Pencarian

Iblis Gila Pembangkit Arwah 1

Dewa Linglung 11 Iblis Gila Pembangkit Arwah Bagian 1


SATU Matahari baru saja tersembul dari puncak gunung.
Cuaca cerah. Langit tak berawan. Di pagi itu seorang gadis berjalan cepat
menyusuri jalan setapak. Langkahnya tergesa-gesa. Dia seorang gadis berpakaian
se-derhana. Namun dari gerak langkahnya dia bukan ga-
dis sembarangan. Setidak-tidaknya orang yang men-
gerti ilmu silat.
Mendadak terdengar suara orang di belakangnya.
"Wintari! Tunggu! Hai! Mengapa kau meninggalkan
ku?" diiringi teriakan itu tersembul sesosok tubuh di tikungan jalan. Ternyata
dia seorang laki-laki muda berpakaian putih kumal. Mendengar teriakan itu si
gadis menoleh. Tapi justru dia melangkah lebih cepat.
"Hei! Wintari! Kau marah, ya" Tunggu dulu aku
mau bicara!" teriak orang dibelakangnya. Namun gadis ini tak memperdulikan.
Bahkan kini mempercepat
langkahnya dengan setengah berlari. Pemuda baju
kumal ini jadi garuk-garuk pantat. Setelah membetulkan celana gombrongnya yang
kedodoran dia mengge-
rutu. "Haiih! Apa salahku?"
Akan tetapi kejap selanjutnya tubuh pemuda ini
mencelat ke udara. Bukan main terkejutnya sang gadis karena tahu-tahu pemuda itu
telah berada di hadapannya. Dia hanya mendengar suara angin di atas kepala,
tahu-tahu si pemuda itu telah jejakkan kaki lima enam langkah di hadapannya.
"Jangan halangi aku! aku benci kau! biarkan aku
pergi!" membentak si gadis dengan wajah cemberut.
"Eh, eh, mengapa nona manis" Tunggu dulu. Kita
bicara baik-baik. Jelaskan dulu mengapa kau tiba-tiba marah padaku?" berkata
pemuda itu. "Huh! tak perlu!" sahut si gadis ketus.
"Minggir!" bentaknya. Tiba-tiba lengannya meluncur untuk menghantam dada si
pemuda. Keruan saja pemuda ini jadi terkejut, karena jurus pukulan gadis itu bukan main-
main. Hantaman tenaga dalam yang dilakukan dapat meremukkan isi dada.
Untuk mengelakkan diri terpaksa pemuda itu doyong-
kan tubuhnya ke samping. Akan tetapi gadis ini justru menarik serangan.
Mendadak lengan kiri gadis itu meluncur. Serangan
kedua ini tak dapat dielakkan lagi karena pemuda itu seperti tak menduga.
Buk! Terdengar benturan keras diiringi suara mengaduh
pemuda itu. Tubuhnya terjengkang bergulingan.
"Ahh! kau... kau..."
Pemuda itu masih sempat bangkit. Dari mulutnya
menetes setitik darah. Tapi sedetik kemudian dia roboh lagi setelah perdengarkan
suara mengeluh.
Melihat kejadian itu bukannya si gadis bergirang
hati karena dia telah berhasil merobohkan orang yang akan merintanginya. Tapi
justru membuat dia terkejut.
Secara tak sadar dia telah mempergunakan ilmu pukulan dengan jurus mematikan.
Dia mengetahui si pe-
muda berilmu tinggi. Tentu dapat berkelit dari serangannya. Tapi di luar dugaan
serangan itu justru mengenai sasaran.
Gadis ini jadi berdiri menjublak kebingungan. Wa-
jahnya berubah pucat. Tiba-tiba dia berlari menubruk ke arah pemuda itu, seraya
berteriak kaget.
"Nanjar! Ah, kak Nanjar..! kau..kau... mengapa kau tak mengelakkan seranganku?"
Diguncang-guncangkannya tubuh pemuda itu. Tapi
pemuda itu tak bergeming.
"Dia pingsan! Ah, pukulanku terlalu keras! Aku...
aku memang keterlaluan!" berkata dalam hati Wintari.
Namun dia cepat sadar. Diperiksanya dada pemuda
itu dengan membuka belahan baju bagian dada. Ter-
sentak Wintari melihat lukisan tato bergambar seekor Naga melingkar.
"Ah, apakah dia si Dewa Linglung" si Pendekar Pe-
dang Mustika Naga Merah?" Terbelalak mata dara ini.
Melihat ada darah menetes disudut bibir pemuda itu gadis ini tampak amat
khawatir. Segera disalurkan tenaga dalamnya untuk membantu jalan darah pemuda
itu agar menjadi lancar. Dia khawatir pukulan itu akan menyumbat pernapasan si
pemuda dan meremukkan
isi dadanya. Lengannya ditempelkan ke dada. Segera dia salur-
kan hawa hangat dari telapak tangannya.
Akan tetapi sekian lama dia berusaha menyadarkan
pemuda itu, namun tak ada reaksi apa-apa. Bahkan
napas pemuda itu seperti berhenti. Tubuh pemuda itu tak bergeming. Dalam
kekhawatirannya dara ini jadi kebingungan. Akhirnya dia menangis terisak-isak
seraya memeluki tubuh pemuda itu.
"Kak Nanjar, oh... kak Nanjar..! aku berdosa telah mencelakakan kau!" teriaknya
histeris. Di guncang-guncangkan dan dipeluki tubuh pemuda itu dengan air mata
mengalir deras membasahi dada bidang sang
pemuda. Di saat gadis itu meratapi dan menyesali dirinya,
justru dia tak menyadari kalau lengan pemuda itu telah memeluknya erat-erat.
Selang beberapa saat barulah dia sadar. Wintari merasai lengan hangat yang
agak kasar itu mengelus-elus punggungnya. Ketika dia menatap ke arah wajah
pemuda itu, ternyata si pemuda tengah cengar-cengir memandang padanya.
"Hahaha...jangan menangis nona manis. Tuhan be-
lum mengizinkan aku mati!" berkata Nanjar.
"Hah!" kau... kau cuma berpura-pura saja?" sentak
si gadis. Seketika wajahnya berubah merah dadu. Ti-ba-tiba dia melompat bangkit.
Wajahnya berubah cemberut dan mulutnya keluarkan makian.
"Ih! dasar laki-laki ceriwis! kau.. kau telah menipu-ku!" Tanpa menunggu lebih
lama lagi dia telah berlari cepat tak menoleh lagi. Wajah gadis itu terasa
panas. Dadanya berdebaran. Rasa malu yang bukan buatan
terasa membuat wajahnya semakin panas. Wintari berlari cepat. Sebentar kemudian
telah tak kelihatan lagi.
"Hei!" Wintari..! tunggu!" Nanjar alias si Dewa Linglung cepat bangkit untuk
mengejar. Tapi dia segera menahan langkahnya. Hatinya berkata.
"Ah, biarlah dia pergi. Toh suatu ketika tak mung-
kin kalau tak mencariku. Bukankah dia memerlukan
bantuanku untuk mencari jejak ayahnya yang diculik!"
Akan tetapi berfikir begitu, hati kecilnya berkata lain.
"Heh! tempat ini belum kukenal. Apa lagi dia seo-
rang gadis polos yang mudah dibodohi. Bagaimana kalau sampai dia di jahati
orang?" Memikir demikian, Nanjar segera sambar buntalannya, dan kejap berikutnya
dia telah berkelebat mengejar si gadis.
*** Bagaimana asal kejadian hingga Nanjar alias si De-
wa Linglung muncul di tempat itu dan berkenalan
dengan gadis manis bernama Wintari itu" Nanjar yang selalu berkelana sepembawa
kakinya dan tak pernah
mempunyai tempat kediaman tetap, suatu hari di bu-
lan Suro dia memasuki tapal batas sebuah desa. Desa itu bernama desa Pring
Gading. Baru saja dia memasuki mulut desa telah terjadi
kegaduhan. Seorang gadis dalam keadaan pingsan di-
kerumuni banyak orang. Segera Nanjar menyeruak
masuk untuk melihat lebih dekat. Akan tetapi baru sa-ja dia mau bertanya pada
salah seorang didekatnya, mendadak seorang laki-laki kekar berpakaian bagus
membentak keras dan menyuruh mereka bubar. Laki-
laki itu mengatakan bahwa dia kakak gadis itu.
Tanpa menunggu lebih lama dia langsung memon-
dong dara itu. Penduduk yang tadinya mau memberi-
kan pertolongan tak dapat berbuat apa-apa. Bahkan
mereka bersyukur karena akhirnya keluarganya telah menjumpai gadis itu di desa
mereka. Nanjar agak curiga dengan tindak-tanduk laki-laki
itu. Diam-diam dia menguntit laki-laki itu ternyata membawa seekor kuda yang
ditambatkan disudut jalan desa. Sekali lompat dia telah berada dipunggung
binatang itu setelah sebelumnya dia melepaskan tam-batannya. Gerakan melompat
laki-laki itu dengan
membawa beban seorang gadis dalam pondongannya
cukup membuat Nanjar kagum. Jelas laki-laki itu berilmu tinggi. Selanjutnya
dengan cepat dia mengeprak kuda untuk meninggalkan desa tersebut.
Nanjar menyelinap ke belakang pondok. Diam-diam
dia membuntuti laki-laki itu.
Ternyata laki-laki itu membawa sang gadis ke se-
buah rumah terpencil di dalam hutan. Bukan kepalang terkejutnya Nanjar ketika
mengintip, ternyata laki-laki itu mau memperkosa sang gadis. Tanpa ayal lagi dia
bertindak saat itu juga. Sekali tendang pintu pondok itu menjeblak terbuka.
Kemarahan Nanjar tak terkata-kan lagi. Tanpa ampun dia menghajar habis-habisan
laki-laki itu. Namun Nanjar tak membunuhnya. Sete-
lah puas menyiksa dia melepaskan laki-laki itu pergi.
Tubuh laki-laki itu babak belur dihajar Nanjar. Dengan terseok-seok dia
melarikan diri. Lalu menghilang dibalik rimbunnya hutan.
Nanjar terpaku menatap si gadis yang ternyata telah sadar dari pingsannya.
Terjadilah perkenalan. Gadis itu memperkenalkan namanya. Ternyata dia bernama
Wintari. *** DUA Terkejut Nanjar ketika mendengar prihal gadis itu.
Ternyata dia telah beberapa hari mencari ayahnya
yang diculik orang. Ayah gadis itu bernama Jagareksa, seorang guru silat di
wilayah timur. Suatu hari ketika ayahnya tengah beristirahat mendadak muncul
serom-bongan orang berkuda. Mereka mengatakan dari Kota-
raja, membawa perintah dari Raja untuk menangkap
ayahnya dengan tuduhan ayahnya telah menyusun
kekuatan untuk memberontak.
Tentu saja membuat Jagareksa marah. Orang-orang
berkuda itu tak sedikitpun mirip orang kerajaan. Dan tuduhan itu hanya dibuat-
buat. Jagareksa merasa dirinya telah difitnah. Karena dia pernah kedatangan
utusan Adipati yang meminang anak gadisnya untuk
dijadikan istrinya yang keempat. Pinangan itu ditolak dengan halus. Akan tetapi
utusan itu mengancam
bahwa penolakan itu akan membawa kesusahan pada
dirinya. Jagareksa merasakan adanya hal yang tidak wajar.
Namun pertumpahan darah tak dapat terelakkan lagi.
Seluruh anak buahnya tewas menghadapi lima orang
berkuda itu. Sedangkan dirinya berhasil dilumpuhkan.
Jagareksa ditawan. Dengan tangan kaki terikat dia di-naikkan ke atas kuda.
Kemudian dengan meninggalkan belasan mayat di
halaman padepokan, mereka lenyap dibalik bukit.
Kalau saja Sang ayah tak menotok tubuhnya serta
menyembunyikan dia dibalik tumpukan kayu tentu dia sudah melompat keluar untuk
menempur manusia-manusia itu. Akan tetapi jangankan bergerak, bersuara pun dia
tak dapat, karena sang ayah telah menotok
pula urat suaranya. Dengan air mata berlinang dia melihat murid-murid gurunya
bergelimpangan tak ber-
nyawa. Serta melihat bagaimana sang ayah dikeroyok lima orang yang kemudian
berhasil melumpuhkannya.
Tak sampai setengah hari totokan itu punah. Winta-
ri menjerit histeris dan menangis terisak-isak meman-dangi mayat-mayat kawan-
kawannya yang bergelim-
pangan tak bernyawa. Dia berlari masuk ke kamarnya untuk mempersiapkan senjata-
senjatanya. Lalu melompat keluar untuk mengejar rombongan berkuda ke
balik bukit. Tujuan Wintari adalah ke Kota Raja. Dia yakin
ayahnya ditawan disana. Akan tetapi dia tak begitu yakin yang menawan ayahnya
adalah orang-orang kera-
jaan. Hal itu tentu ada hubungannya dengan pinangan Adipati yang telah ditolak
ayahnya. Dalam keraguan dan antara lelah serta penatnya dalam menempuh
perjalanan, dia tiba di desa Pring Gading. Akan tetapi ketika tiba di tengah
desa, mendadak kepalanya terasa berkunang-kunang. Dia roboh pingsan.
Demikianlah! hingga muncul seorang laki-laki kekar berbaju bagus yang mengaku kakaknya.
Kemudian membawanya
pergi. Tak tahunya laki-laki itu memang sudah sejak lama menguntit Wintari. Di
saat keritis dimana dia nyaris diperkosa laki-laki itu, muncullah Nanjar
menolong dirinya...
Nanjar berkelebat cepat mengejar ke arah hutan.
Saat itu matahari sudah mulai meninggi.
"Haih! kemana perginya anak itu?" gerutu Nanjar.
Matanya jelalatan mencari-cari. Hampir setengah hari dia mengubak isi hutan tapi
tak menjumpai dara manis itu. Ternyata hutan itu seperti tak ada habisnya.
Terkejut Nanjar ketika sadar bahwa dia telah tersesat dalam hutan misterius yang
sukar untuk mencari jalan keluar.
"Celaka! apakah ini yang namanya hutan Werid?"
pikir Nanjar. Dia memang pernah mendengar nama
hutan itu. Hutan yang aneh. Karena bila orang masuk ke dalamnya akan sukar untuk
keluar lagi. "Kalau benar ini hutan Werid, tentu Wintari pun telah tersesat seperti aku. Tapi
mengapa aku tak men-jumpainya?" pikir Nanjar tercenung. Dia duduk dibatang kayu
menyeka keringat yang menetes di dahi.
"Haih! gara-gara perutku yang lapar, hingga dia
ngambek lalu membuat aku susah seperti ini!" gerutu Nanjar memaki dirinya.
Teringat Nanjar ketika dalam mencari jejak orang-
orang berkuda yang menculik ayah Wintari, mereka
menginap di sebuah rumah tua yang tak berpenghuni.
Untuk menjaga kesopanan, Nanjar sengaja bermalam
di luar. Sementara Wintari mendapatkan sebuah ka-
mar yang cukup baik. Setelah dibersihkan dapat di-
pergunakan untuk tidur.
Menjelang tengah malam perut Nanjar melilit. Rasa
lapar menyerang perutnya berkeruyukan. Nanjar du-
duk sementara otaknya berfikir. Akhirnya dia memu-
tuskan untuk mencari desa terdekat guna mengisi perut. Dengan berindap-indap dia
segera meninggalkan rumah kuno itu, khawatir Wintari terbangun.
Nanjar tak menyadari kalau diam-diam Wintari te-
lah membuntuti. Ternyata Wintari tak dapat tidur dalam kamar pengap itu. Hatinya
gelisah. Wajah ayahnya yang lenyap diculik orang-orang berkuda itu selalu
terbayang dalam benaknya.
Secara kebetulan Nanjar mendapatkan sebuah ke-
dai yang masih buka setelah berhasil menemukan se-
buah desa yang agak cukup jauh dari tempat mereka
menginap. Sungguh di luar dugaan Nanjar kalau kedai itu adalah tempat
berkumpulnya wanita-wanita nakal dan para hidung belang. Terdorong oleh perutnya
yang lapar, Nanjar tak ambil peduli. Terpaksa dia singgah juga. Setelah memesan
makanan dua orang wanita
mendekati. Mereka merayu Nanjar untuk berkencan.
Merah muka Nanjar. Dia telah berjanji tak akan
mengulangi kebodohan yang kedua kali. Walau wanita-wanita itu cantik dan
menggiurkan, Nanjar menolak
secara halus. Namun mana mereka mau diam sampai
di situ saja" Dengan terus merayu mereka membujuk
Nanjar untuk bermalam.
Terpaksa Nanjar pura-pura setuju dan memilih sa-
lah satu dari keduanya. Padahal dalam hati dia telah mengatur rencana. Di dalam


Dewa Linglung 11 Iblis Gila Pembangkit Arwah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamar Nanjar menotok
wanita itu, dan kabur keluar dari jendela. Semua itu dilakukan karena dia
melihat tiga orang yang tukang pukul di tempat itu selalu mengawasi. Kalau dia
menolak bisa membuat keributan.
Sungguh tak diduga ternyata Wintari memperhati-
kan dari tempat persembunyiannya. Dengan muka pa-
nas dia kembali ke rumah kuno. Hatinya menjadi ma-
sygul dan membenci Nanjar yang dianggap seorang
pemuda hidung belang. Demikianlah, ketika pagi menjelang, dia mendapatkan Nanjar
masih tidur mendeng-kur di luar rumah kuno.
Entah rasa benci entah rasa cemburu di hati Winta-
ri. Yang jelas dia diam-diam angkat kaki tanpa sepen-getahuan Nanjar. Ketika
Nanjar terbangun dan sadar bahwa Wintari telah angkat kaki dari tempat itu,
segera dia menyusul. Namun gara-gara dia pura-pura
pingsan terkena pukulan sang gadis itu, Wintari marah
lagi. Hingga dia tersesat di dalam hutan Werid karena mengejar dara itu...
*** TIGA Apa yang dikhawatirkan Nanjar memang benar. Ka-
rena Wintari ternyata telah masuk dalam perangkap
dalam hutan Werid. Tujuh orang manusia bertopeng
telah bermunculan di saat gadis itu tersesat dan mencari jalan keluar dari hutan
misterius itu. Belum sempat dia berbuat sesuatu, dua orang telah berkelebat
melompat. Salah seorang menotok dengan gerakan kilat. Robohlah Wintari. Dan
kejap selanjutnya dia telah berada dalam pondongan salah seorang dari tujuh
orang bertopeng itu.
Hutan Werid memang benar-benar misterius, kare-
na hanya penghuni hutan itu saja yang mengetahui jalan-jalan rahasia. Dalam
beberapa kejap saja ketujuh manusia bertopeng itu telah lenyap tak ketahuan
kemana arahnya.
Sementara itu Nanjar yang termangu-mangu tak ta-
hu harus berbuat apa, tiba-tiba mendengar suara tertawa dibelakangnya. Cepat dia
balikkan tubuh untuk melihat. Akan tetapi terkejut Nanjar karena tak melihat
apa-apa. Suara tertawa itu jelas suara tertawa wanita.
"Heh!" Apakah kau Wintari?" teriak Nanjar. Mulut-
nya berkata begitu tapi hatinya menduga lain. "Ra-
sanya tak mungkin kalau yang barusan tertawa itu
Wintari! Suara tertawa itu renyah dan begitu merdu seperti aku pernah
mendengarnya..." pikir Nanjar dengan tertegun.
"Gadis centil yang menggoda ku keluarlah! mengapa
kau tak berani unjukkan diri" Apakah kau tak punya hidung atau tampangmu jelek
sekali?" teriak Nanjar.
Matanya mengawasi ke setiap balik batang pohon.
Akan tetapi tetap saja tak ada yang muncul. Nanjar ja-di kesal. Akhirnya dia
mengancam. "Baiklah! kalau kau tak mau keluar, ingin kulihat
apakah kau masih tetap mau bersembunyi atau mau
melarikan diri! Aku akan bertelanjang bulat!" berkata Nanjar. Ancaman Nanjar
benar-benar dibuktikan. Lengannya bergerak membuka tali ikat pinggangnya yang
sering kedodoran.
Pada saat itulah terdengar suara disusul berkele-
batnya sesosok tubuh melompat keluar dari balik semak.
"Tunggu!"
Sesosok tubuh telah berdiri di hadapan Nanjar. Itulah tubuh seorang gadis yang
membuat Nanjar terpe-
rangah kaget. "RANGGAWENI!" sentak Nanjar terkejut.
"Kak Nanjar! kau... sinting!" berkata gadis itu. Akan tetapi cepat-cepat dia
berpaling jengah, karena saat itu celana Nanjar merosot separuh. Cepat-cepat
Nanjar be-tulkan celananya. Mulutnya tertawa girang.
"Eh, adik Ranggaweni! bagaimana kau sampai bera-
da di hutan ini" Kemana burung Rajawali mu si JA-
BUR?" tanya Nanjar seraya lompat menghampiri.
Ranggaweni adalah murid si Raja Pengemis yang telah tewas di pulau misterius
dalam pertarungan dengan si Raja Siluman Naga. Nanjar masih ingat pada pesan
kakek itu di saat kematiannya, yaitu dia telah dipesan oleh si Raja Pengemis
untuk menjaga muridnya itu.
"Aku tak membawa burung Rajawali itu. Dia ku
tinggalkan, dan kusuruh menunggu di atas bukit!" sahut Ranggaweni sambil
menunjuk ke arah barat.
"Lalu bagaimana sampai kau berada di hutan?"
tanya Nanjar. "Hm, seperti kau juga, kak Nanjar! Bukankah kau
tak menemukan jalan keluar dari hutan ini?" Ranggaweni balik bertanya tanpa
menjawab. "Ya! aku tersesat! Hutan ini aneh! Aku mengejar
seorang gadis. Aku khawatir dia mendapat kesusahan, karena dia gadis sebatang
kara!" Ranggaweni kerutkan keningnya.
"Siapa dia?" tanyanya dengan nada cemburu.
"Dia bernama Wintari!" sahut Nanjar, seraya kemu-
dian menceritakan secara singkat tentang dirinya.
Ranggaweni manggut-manggut.
"Hutan ini aneh! Apakah ini yang bernama hutan
Werid?" tanya Nanjar.
"Benar!" menyahut Ranggaweni. "Baiklah aku ceri-
takan bagaimana sampai aku berada di tempat ini dan tersesat seperti kau tak
dapat menemukan jalan keluar!" lanjut Ranggaweni.
Gadis ini menghela napas. Setelah merenung seje-
nak, dia segera memulai pembicaraan.
"Kau pernah mendengar nama Iblis Gila Pembangkit
Arwah?" tanya Ranggaweni. Nanjar memijit keningnya.
"Rasanya tidak! Julukan itu seram benar, baru ini
aku mendengarnya!" sahut si Dewa Linglung.
"Nah! untuk itulah aku mencarinya ke hutan ini!
Karena hutan Werid ini adalah tempat tinggalnya. Untuk menyelidiki hutan ini
kurasa agak sulit, oleh sebab itu Jabur kusuruh tunggu di atas bukit yang tak
jauh jaraknya dari hutan ini. Tahukah kau ada hal apakah aku mencarinya?" tanya
si gadis. Sepasang matanya
menatap Nanjar dan Nanjar melihat jelas ada setitik air bening yang menggenang
di kelopak matanya.
Nanjar menggeleng.
"Ceritakanlah! apakah iblis itu telah mengganggu-
mu?" sentak Nanjar. Nanjar amat mengkhawatirkan
ada kejadian apa-apa yang menimpanya.
"Lebih dari setahun aku tak pernah berhasil menca-
rimu, dan selama itu banyak peristiwa yang telah terjadi!" berkata pelahan
Ranggaweni. Dia berusaha menahan jatuh air matanya. Nanjar membiarkan gadis itu
menahan perasaannya.
"Masih ingatkah kau pada seorang laki-laki pemilik Pedang Inti Es?" Pertanyaan
itu membuat Nanjar segera ingat laki-laki pendamping Ranggaweni. Ya, pada laki-
laki itulah Nanjar menaruhkan harapannya untuk menjadi penggantinya menjaga
gadis ini. "Maksudmu... SOMA?" sentak Nanjar. "Ah, aku ba-
ru ingat! Kemana dia" Apakah kalian telah menjadi
suami istri?" tanya Nanjar.
"Suami istri" Huh! apakah kau kira aku mencin-
tainya?" menjawab Ranggaweni ketus. Akan tetapi dia menghela napas.
"Dia memang mencintai ku! Orangnya gagah, juga
berkepandaian tinggi. Tapi hatiku... hatiku entah mengapa tak dapat menerima
cintanya..."
Nanjar jadi membungkam dengan seribu satu ma-
cam pertanyaan dibenaknya. Ranggaweni berpaling
menatap ke arah hutan yang gelap. Nanjar melihat ma-ta gadis itu mendelong
menatap ke depan. Dia tak ta-hu apa yang menjadi sebab gadis ini sukar menutur-
kan peristiwa yang dialami.
Kalau saja Nanjar punya perasaan peka, tentu da-
pat menerka isi hati sang gadis, karena di hati gadis itu cuma ada satu nama
yang selalu dirindukannya,
yaitu Nanjar! "Sudahlah adik Ranggaweni, kau ceritakanlah men-
genai apa yang telah menimpa kalian! Dan kemanakah Soma?" akhirnya Nanjar buka
suara. "Soma telah tewas enam bulan yang lalu!" sahut
Ranggaweni sendu.
"Hah!" siapa yang telah membunuhnya?" sentak
Nanjar terkejut.
"Kekasihnya sendiri?"
"Soma punya seorang kekasih?"
"Ya! dia bernama Sripandu! murid Ki Pamutih atau
si Iblis Gila Pembangkit Arwah!" sahut Ranggaweni
tanpa menoleh pada Nanjar.
"Jadi untuk itulah kau ke tempat ini?" tanya Nan-
jar. "Benar! Aku harus menuntut balas kematiannya!"
Kali ini tampak tubuh Ranggaweni terguncang-
guncang. Ternyata dia menangis terisak-isak. Dara ini tak dapat menahan
kesedihannya. "Sudahlah! aku akan membantumu mencari musuh
besarmu itu! Kukira kau tak terlalu harus bersedih ha-ti. Bukankah kau tak
mencintainya?" berkata Nanjar seraya mendekati dan memegang pundaknya. Gadis
itu makin terisak-isak. Terpaksa Nanjar menunggu
sampai tangisnya reda.
"Justru aku merasa amat kehilangan, karena sete-
lah dia tiada baru kusadari kalau aku mencintainya.."
Akhirnya Ranggaweni berkata pelahan sambil menyeka air matanya. Nanjar manggut-
manggut. "Sudahlah,
orang yang sudah mati mengapa masih kau kenang"
Lebih baik kau pikirkan jalan keluar dari hutan ini!
Kukira tempat ini amat berbahaya! Keberanianmu
sungguh luar biasa berani menyatroni sarang si Iblis Gila Pembangkit Arwah!"
"Hm, percuma aku jadi murid si Raja Pengemis!"
sahut Ranggaweni. "Eh! Dewa Linglung! Bukankah kau memiliki ilmu "terbang",
mengapa tak kau pergunakan untuk terbang keluar dari hutan ini?" tiba-tiba
Ranggaweni berkata. Matanya menatap Nanjar dengan tan-
das, seperti tidak mengerti mengapa Nanjar tak mempergunakan ilmunya yang hebat
itu" *** EMPAT Akan tetapi belum sempat Nanjar menyahut, telah
terdengar suara tertawa berkakakan, diiringi menebarnya bau busuk yang amat luar
biasa. Keduanya me-
lompat mundur. Lengan mereka secara tak sadar sal-
ing berpegangan erat.
Bukan kepalang terkejutnya mereka ketika tahu-
tahu entah dari mana telah bermunculan sosok-sosok tubuh yang amat menyeramkan.
Mulut keduanya ternganga dengan mata membeliak. Karena yang ber-
munculan itu adalah mayat-mayat yang sudah rusak
tak keruan. Mayat-mayat hidup!
Tak terasa lengan Rangga Weni semakin erat men-
cekal bergelangan tangan Nanjar.
"Jangan takut! ini pasti perbuatan si Iblis Gila Pembangkit Arwah!" berkata
Nanjar. "Siapkan senjatamu!"
ujarnya para Ranggaweni. Tanpa berayal lagi gadis itu segera loloskan pedangnya
dibalik punggung. Hawa
dingin menggidikkan menebar. Itulah pedang Inti Es yang telah dipergunakan
Rangga Weni. Nanjar melirik sekilas. Dia tahu pedang itu milik
Soma. Pedang yang pernah menghebohkan orang per-
silatan karena menginginkannya. Dia segera cabut keluar Seruling berkepala Naga
dari balik bajunya. Sementara itu mayat-mayat hidup itu dengan suara
menggereng dihidung semakin mendekat mengurung
mereka. Bau busuk membuat Rangga Weni nyaris
mual mau muntah. Namun dia mencekal erat-erat hu-
lu pedangnya, dengan menahan napas.
Suara tertawa mengekeh terbahak-bahak kembali
berkumandang. "Heheheh..hehe.. Dewa Linglung! Sudah lama aku
menantikan kedatanganmu! Kau telah masuk ke da-
lam hutan Werid, dan kau gadis cantik ternyata saha-batnya. Hehehe... mana
mungkin kubiarkan kalian
meloloskan diri lagi" walaupun kau punya ilmu ter-
bang sekalipun?" Suara itu terdengar di beberapa
arah. Akan tetapi tak nampak bayangan seorang ma-
nusiapun. Jelas Ki Pamutih alias si Iblis Gila Pembangkit Arwah mempergunakan
ilmu suara berpindah
yang hebat. "Iblis Gila Pembangkit Arwah! manusia pengecut!
mengapa kau tak menampakkan diri?" membentak
Nanjar. Namun bersamaan dengan itu mayat-mayat
hidup itu telah menerjangnya. Terpaksa Nanjar le-
paskan cekalan tangannya pada pergelangan tangan
Rangga Weni. Seraya berteriak dia mengirim pukulan ke arah depan.
"Awas, adik Weni! pergunakan pedangmu!" Pukulan
tenaga dalam Nanjar lolos, karena mayat-mayat hidup itu bagaikan segumpal kapas
berkelebatan melayang.
Bahkan pukulan itu seperti lewat saja menembus tu-
buh mereka yang menyerupai bayangan.
"Setan keparat!" memaki Nanjar. Terpaksa dia me-
lompat menghindari terjangan tiga mayat hidup. Adapun Rangga Weni tak berayal
lagi segera menebaskan pedangnya. Sinar putih berkilat menimbulkan hawa
dingin. Mata pedang Inti Es menimbulkan belasan larik sinar putih yang
berkelebatan. Namun seperti juga Nanjar tebasan pedang itu tak berarti apa-apa.
Mayat-mayat hidup itu seperti bayangan yang tak mampu
disentuh oleh ketajaman pedang sang gadis. Terpaksa dara ini melompat beberapa
kali menghindari terjangan mayat-mayat hidup yang menyeramkan itu.
Baru saja kakinya menginjak tanah telah muncul
lagi mayat hidup dibelakangnya. Rangga Weni menjerit karena terkejutnya.
Pedangnya berkelebat menyambar.
Namun sama seperti tadi. Tabasan itu lewat menyam-
bar angin. Dalam tersentaknya dia menoleh pada Nanjar. Terlihat Nanjar sendiri
seperti kebingungan menghadapi serangan-serangan mayat-mayat hidup itu.
Napas Rangga Weni serasa sesak karena bau busuk
yang menyengat hidung, disamping nyalinya jadi ciut.
Karena rasa takut dan seram menghadapi mayat-
mayat hidup itu. Pada saat itulah terdengar suara tertawa melengking tinggi.
Kilatan warna pelangi berkelebatan di udara, disusul munculnya bayangan sesosok
tubuh. "Hihihi... permainan anak kecil mengapa siang-
siang kau tunjukkan di depan dua bocah ini, sobat Ki Pamutih" Sungguh kau
keterlaluan!"
Hebat akibat berkelebatnya sinar pelangi itu, karena mayat-mayat hidup itu
perdengarkan jeritan parau.
Tubuh-tubuh mereka lenyap. Sebagai gantinya di tempat itu telah berdiri sesosok
tubuh ramping. Dia seorang nenek berambut putih. Kulit mukanya berkeriput.
Mengenakan jubah warna hijau.
Dewa Linglung dan Rangga Weni terperangah. Na-
mun cepat-cepat Nanjar menjura seraya menghatur-
kan terima kasih.
"Siapakah nenek" Ah, terima kasih atas pertolongan anda!"
"Hihihik... tak usah banyak peradatan, anak muda.


Dewa Linglung 11 Iblis Gila Pembangkit Arwah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku hanya memperingati kalian berdua. Sebaliknya
kalian cepat keluar dari hutan ini!" Selesai berkata wanita tua itu kibaskan
lengannya ke arah samping ki-ri. Segelombang cahaya hijau meluncur.
Aneh! Hutan rimba itu seperti terkuak oleh cahaya
itu. Hingga nampak kini di jalan memanjang yang menuju keluar dari hutan itu.
"Nenek! kau belum memperkenalkan siapa dirimu!"
berkata Nanjar.
"Aih! bocah bawel! Cepatlah kalian angkat kaki, sebelum Nini GALUNGGUNG
membiarkan kau mampus
dikerubuti mayat-mayat hidup!" Sebenarnya Nanjar
tak merasa jeri dengan makhluk-makhluk itu walau-
pun tadinya dia bekas seorang yang paling penakut
dengan setan. Justru dia ingin tahu tampang Ki Pamutih si Iblis Gila Pembangkit
Arwah, yang mengendalikan mayat-mayat hidup itu. Akan tetapi ketika melihat pada
Rangga Weni, gadis itu mengangguk memberi
isyarat untuk segera angkat kaki.
"Baiklah, nek. Terima kasih Nini Galunggung! Bu-
dimu takkan kulupakan!" Selesai berkata Nanjar me-
lompat menyambar buntalannya, dan kejap selanjut-
nya dia telah menggamit tangan Rangga Weni untuk
dibawa melompat pergi. Nenek keriput ini memperha-
tikan kedua anak muda itu yang berlari-lari menyusuri jalan yang menembus hutan
itu. Hingga kemudian tak nampak lagi bayangan tubuhnya.
Barulah dia balikkan tubuh memandang ke puncak
pohon di sebelah selatan. Dia memang mengetahui
bahwa sesosok tubuh yang diduganya adalah si Iblis Gila Pembangkit Arwah berdiri
dicabang pohon itu.
Akan tetapi dia tak menampak bayangannya lagi. Ta-
hulah dia kalau si Iblis Gila Pembangkit Arwah telah angkat kaki dari tempat
itu. Terdengar nenek ini
menghela napas dan berkata menggumam.
"Hm, dendammu sedalam lautan Ki Pamutih! Tapi
bukan cara seperti itu kau melampiaskan dendammu!"
Selesai berkata nenek yang bergelar Nini Galunggung itu perdengarkan tertawa
melengking. Tubuhnya berkelebat. Sekejap telah lenyap tak ketahuan kemana
perginya. Kesenyapan kembali merambah hutan Werid
yang misterius itu....
*** LIMA Suara suitan menggema dari bawah puncak bukit di
pagi yang baru saja merekah itu. Cahaya mentari masih lemah bersinar. Raja siang
itu baru muncul dari peraduannya.
Seekor burung Rajawali raksasa tampak terbang
dari atas puncak bukit. Itulah burung peliharaan Nanjar yang bernama Jabur.
Mendengar suara suitan itu, sang Rajawali tampak seperti kegirangan. Dia terbang
melayang memutari bukit mencari-cari dari arah mana suara suitan itu. Mulutnya
tak hentinya mengeluarkan suara mengiyak.
Tak lama dia mendengar lagi suara suitan yang le-
bih nyaring. Jabur palingkan kepalanya. Tampaknya
dia mengenali nada suara suitan itu. Kejap berikutnya dia telah terbang menukik
dengan cepat. Dan dapat
melihat dua orang dibawahnya. Itulah Nanjar dan
Rangga Weni yang tengah menantikan kedatangannya.
"Jabur! ah, kau makin gagah dan kuat saja!" teriak Nanjar, ketika burung
Rajawali raksasa itu hinggap di atas batu dihadapannya. Sekejap Nanjar telah
melompat mendekati. Tak ayal langsung memeluk lehernya
seraya mengusap-usapnya dengan terharu dan kasih
sayang. Dia merasa amat rindu telah lebih setahun tak pernah berjumpa. Burung
Rajawali itupun mengiyak
pelahan. Sayapnya dikibas-kibaskan. Dia tampak gi-
rang sekali bertemu dengan majikannya yang lama.
Rangga Weni melompat mendekati. Dara ini cuma
tersenyum melihatnya. Diam-diam dia merasakan elu-
san tangan Nanjar pada leher burung itu seperti terasa mengelus rambutnya. Dia
menunduk dengan menghela napas.
Diam-diam terasa hatinya menjadi sunyi. Mungkin-
kah Nanjar mencintainya" Serasa jauh hatinya mene-
rawang. Saat itu pula dia teringat pada Soma. Air matanya pun kembali menitik.
Namun cepat-cepat dia
menghapusnya. Rasa rendah diri dan malu menyelu-
bungi jiwa gadis ini khawatir Nanjar menolak cintanya.
Bukankah seorang pemuda gagah yang walaupun ber-
tampang tolol seperti Nanjar akan banyak gadis yang menggilainya" Mana mungkin
dia ada perhatian pada
dirinya" Mustahil kalau gadis bernama Wintari itu di-am-diam adalah kekasihnya"
Pikiran Rangga Weni jadi kacau. Hatinya serasa remuk, karena orang yang menjadi
pendampingnya selama ini telah tewas. Dia begitu khawatir kalau menemui
kegagalan cinta lagi.
Hal itulah yang membuat gadis ini menjadi patah
hati. Diam-diam dia melangkah mundur. Gerakannya
dibuat pelahan khawatir Nanjar mendengarnya. Diba-
lik batu bukit yang nonjol dia menyelinap. Kejap selanjutnya Rangga Weni telah
berkelebat cepat meninggalkan tempat itu, setelah dia menggoreskan sebuah batu
runcing dibatu bukit.
Terkejut Nanjar ketika menyadari bahwa Rangga
Weni tak kelihatan berada dibelakangnya.
"He" kemana dia?" sentak Nanjar terkejut. Nanjar
berpaling kekanan-kekiri. Bahkan melompat ke atas
batu bukit yang agak tinggi. Tapi tak melihat adanya sosok tubuh Rangga Weni.
"Hm, dasar gadis bengal! Pasti dia sembunyi lagi!"
gumam Nanjar tersenyum. Dewa Linglung garuk-garuk
kepalanya memikir. Cara apa lagi yang akan dia lakukan untuk membuat gadis itu
muncul dari tempat persembunyiannya" Cara seperti yang dia lakukan di dalam
hutan itu rasanya tak berguna.
"Hm, cara ini kukira lebih baik!" berkata Nanjar dalam hati. Dia rogoh keluar
seekor kelinci yang tadi malam ditangkapnya dalam perjalanan. Kelinci itu masih
hidup. Cuma dengan sedikit totokan telah membuat
binatang santapan itu tak berkutik.
"Jabur! Tentunya kau juga lapar" baiklah! aku akan memanggang kelinci ini dulu.
Nanti kita bersantap
mengisi perut!"
Nanjar mengumpulkan kayu-kayu kering. Lalu
membuat api unggun. Tak lama dia telah memanggang
kelinci muda itu setelah menyembelih dan menguli-
tinya. Sebentar saja bau panggang daging kelinci yang sedap telah menebar
dibawah bukit itu.
"Haha.. bau sedap ini mustahil tak mengundang
munculnya gadis bengal itu. Pasti dia keluar dari persembunyiannya!" pikir
Nanjar dalam hati.
Akan tetapi sampai daging panggang itu masak
Rangga Weni belum juga muncul. Nanjar mulai tak
enak perasaan hatinya. Selera makannya lenyap. Di-
lemparkannya panggang daging kelinci itu ke arah Jabur yang langsung menangkap
dengan paruhnya. Nan-
jar cuma memperhatikan Jabur yang menikmati san-
tapannya dan langsung menelannya.
"Jabur! mari kita cari Rangga Weni!" berkata Nanjar seraya melompat ke punggung
Jabur. Burung Rajawali ini mengiyak pelahan. Tak lama dia kibas-kibaskan
sayapnya. Kejap selanjutnya dia telah terbang ke udara. Tak lama burung Rajawali
raksasa itu telah me-
layang-layang memutari sekitar bukit. Nanjar yang berada dipunggung burung
raksasa itu pentang matanya lebar-lebar mencari-cari kalau-kalau dibawahnya
terlihat Rangga Weni. Akan tetapi sekian lama Nanjar
mencari tetap saja dia tak menampak orang yang dicarinya.
"Ah, kemana perginya dia" mengapa dia meninggal-
kan ku dengan diam-diam?" keluh Nanjar. Hatinya
bertanya-tanya sendiri.
"Perempuan memang aneh! isi hatinya sukar diter-
ka!" gumamnya. Nanjar tepuk-tepuk leher binatang
itu. "Jabur! mari kita kesana!" Nanjar menunjuk ke arah utara. Jabur mengangguk-
angguk seperti mengerti. Tak lama dia terbang membelok lalu dengan cepat
melayang ke arah yang ditunjuk Nanjar.
*** Sepasang mata bening itu tampak berkaca-kaca
memperhatikan burung Rajawali itu yang terbang ce-
pat ke arah utara. Itulah sepasang mata dari seorang dara jelita Rangga Weni.
Gadis ini sembunyi dibalik bongkah batu. Matanya menatap ke arah si Jabur
yang lenyap dibalik bukit. Gadis ini bangkit berdiri.
Terdengar dia menghela napas.
"Selamat tinggal kak Nanjar. Kukembalikan si Jabur padamu! Biarkanlah aku pergi
membawa diriku sendiri. Agaknya kita memang tak berjodoh. Semoga Tuhan selalu
melindungimu..." bibir dara ini keluarkan suara mendesis. Dan air bening pada
kedua kelopak matanya menetes turun membasahi pipinya.
Tak lama Rangga Weni balikkan tubuhnya lalu ber-
kelebat meninggalkan lembah itu. Kemanakah tujuan
Rangga Weni" Ternyata dia kembali ke arah semula,
yaitu menuju ke hutan Werid.
Dara cantik itu tak mengetahui kalau pada saat itu sesosok tubuh telah
menguntitnya. Dialah seorang la-ki-laki berwajah tampan. Siapa laki-laki
penguntit itu"
Dia tak lain dari si Pendekar Patah Hati.
Gerakan pemuda ini amat gesit. Ilmu larinya luar
biasa. Tampak sebentar saja dia sudah hampir menyusul Rangga Weni. Tapi tiba-
tiba dia memperlambat larinya, karena Rangga Weni secara mendadak meng-
hentikan larinya. Mata gadis ini memandang ke depan.
Ternyata sesosok tubuh tertelungkup menghalangi ja-
lan. "Heh!" siapa orang itu" Orang tidur ataukah
mayat?" berdesis Rangga Weni. Pelahan dia mendekati.
Matanya menatap tajam-tajam memperhatikan orang
yang menelungkup itu. Barulah dia mengetahui kalau orang itu masih hidup, karena
mendengar suara deng-kurnya.
"Gila! siang hari begini masih tidur. Tapi mengapa dia memilih tidur di tengah
jalan begini, mengganggu orang lewat?" berkata Rangga Weni dalam hati.
"Sebaiknya aku lompati saja!" pikirnya. Tapi baru
saja dia bersiap untuk melompat mendadak orang itu menggeliat lalu terlihat dia
menguap. "Huaaah! enak benar tidurku, sampai-sampai hari
sudah siang!" Ternyata dia seorang laki-laki setengah tua berwajah jelek.
Berambut gondrong tak terawat.
Bajunya bertambalan dan tampak kumal sekali.
*** ENAM Orang itu mengucak-ucak matanya. Hidungnya
kembang-kempis seperti mengendus-endus bau sesua-
tu. Memang dia mengendus bau harum dari tubuh
seorang gadis. Tiba-tiba dia menoleh. Pandangan matanya beradu dengan tatapan
dara cantik dihadapan-
nya. "Eh. paman... harap kau memberi jalan. Aku num-
pang lewat!" berkata Rangga Weni. Kata-katanya ra-
mah. Sengaja dia tersenyum dan mengangguk. Rangga
Weni menduga laki-laki itu seorang pengemis biasa.
Sudah lumrah bagi seorang pengemis yang tidur se-
maunya, tak peduli diemper rumah atau di tengah ja-
lan. "Hehehe... silakan! silakan!" menyahut laki-laki itu seraya menggeser pantatnya
kesisi. Sementara matanya yang menatap Rangga Weni tampak membinar.
Bibirnya menyeringai menampakkan sebaris gigi yang besar-besar dan tampak
menguning. Rangga Weni menahan napas. Perutnya serasa
mual rasanya mau muntah. Laki-laki pengemis itu
amat kotor dan menjijikkan.
"Terima kasih..!" ucap Rangga Weni, seraya bertin-
dak melangkah. Akan tetapi terkejut dara ini karena kakinya serasa berat
digerakkan seperti diberati beban beratnya ratusan kati.
Tahulah dia kalau si pengemis itu bukan orang bi-
asa dan berniat mengganggunya. Namun sebagai mu-
rid si Raja Pengemis mana dia mau menyerah begitu
saja pada pengemis keroco yang kotor dan menjijikkan itu" Dengan mengerahkan
tenaga dalam dikedua kaki, dia enjot tubuh untuk melompat.
Apa yang dilakukan berhasil. Akan tetapi diluar dugaan tahu-tahu tongkat si
pengemis yang sejak tadi di-cekalnya telah menyambar ke arah kaki. Rangga Weni
berteriak kaget. Namun dengan sebat lengannya bergerak menghantam ke arah
tongkat. Gerakan menghan-
tam itu disertai suara bentakan keras. Akan tetapi be-tapa terkejutnya gadis ini
karena dia merasa satu tenaga yang amat kuat telah membetot tubuhnya. Dalam
keadaan seperti itu dia tak bisa berbuat apa-apa. Sekilas dia melihat laki-laki
pengemis itu tertawa menyeringai. Sepasang lengannya terpentang siap menyangga
tubuhnya. Sedetik lagi tubuh dara itu akan jatuh dalam deka-
pan si pengemis. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara jeritan parau. Tubuh si
pengemis terjungkal roboh. Tenaga sedotan itu lenyap. Bahkan tubuh Rangga Weni
seperti terdorong kebelakang. Dengan sebat dara ini gunakan kelihaiannya untuk
menahan keseimbangan
tubuhnya. Dan dengan gerakan melompat jungkir ba-
lik dia telah jejakkan kakinya ke tanah.
Terkejut Rangga Weni ketika sebuah bayangan ber-
kelebat disertai kata-kata.
"Bagus! Pengemis hina macam begitu tak patut
menjamah tubuhmu, nona!" Sekejap dia telah melihat seorang laki-laki gagah telah
berdiri dihadapannya. Ketika menatap ke arah si pengemis, ternyata pengemis itu
telah rebah tak berkutik. Dikeningnya menancap dua buah jarum berwarna hijau.
Jelas dia tewas karena jarum maut itu. Siapa lagi pembunuhnya kalau bukan laki-
laki dihadapannya itu"
"Siapa kau" mengapa kau membunuhnya?" sentak
Rangga Weni terkejut. Diam-diam dia memperhatikan
wajah orang. "Hahaha... nyawa manusia tak berharga macam be-
gitu mengapa kau harus mempedulikan" Tak sampai
hatiku melihat kulitmu yang halus dijamah tangan-
tangan kotor manusia ini!" sahut laki-laki itu sambil tertawa.
"Siapakah anda?" tanya Rangga Weni. Diam-diam
dia waspada pada orang ini. Jelas dia seorang laki-laki yang kejam, walau
diakuinya laki-laki itu berwajah tampan.
"Aku... namaku Arya Pandan, tapi orang menjuluki
aku si PENDEKAR PATAH HATI!" Tentu saja gadis ini
tersentak. Tak terasa kakinya menindak selangkah kebelakang.
"Anda seorang pendekar" Hm, tak sepantasnya an-
da berbuat sekeji itu!" kata Rangga Weni.
Pemuda itu hanya tertawa mendengar kata-kata
Rangga Weni. "Hahaha... nona benar! Akan tetapi apakah salah
kalau yang dibunuhnya adalah seorang manusia yang
telah banyak melakukan kejahatan memperkosa pulu-
han gadis dan membunuh belasan manusia?" Tentu
saja jawaban Arya Pandan membuat Rangga Weni me-
lengak. "Sudahlah! mengapa mengurusi mayat manusia ko-
tor yang nyawanya sudah pindah ke Akhirat" Mau ke-


Dewa Linglung 11 Iblis Gila Pembangkit Arwah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manakah tujuan anda, nona" Boleh aku tahu siapa
namamu?" Arya Pandan alias si Pendekar Patah Hati
beranjak melangkah mendekati.
Rangga Weni terpaksa menarik napas. Walau ba-
gaimanapun dia harus berterima kasih pada laki-laki dihadapannya ini, karena
telah menolongnya.
"Aku Rangga Weni. Tujuanku tak dapat kuse-
butkan!" "Ah, tak apalah! Jalan ini menuju ke perbatasan Ko-ta Raja. Kalau membelok ke
kanan anda akan mema-
suki hutan yang bernama hutan Werid. Hutan itu amat angker! Aku hanya menemanimu
saja sampai persimpangan jalan itu. Gadis secantikmu melakukan perjalanan
seorang diri amat besar bahayanya, apakah no-na Rangga Weni bersedia kuantar?"
berkata si Pendekar Patah Hati dengan sopan.
Rangga Weni jadi terdiam. Sejenak dia bingung un-
tuk menjawab. Diam-diam hatinya berkata. "Orang ini telah menolongku. Dia
berilmu tinggi. Apakah aku
akan menolak kebaikkannya?" Akhirnya dia mengang-
guk. "Baiklah! tapi hanya sampai persimpangan jalan itu saja. Selanjutnya silahkan
anda mengambil jalan sendiri, dan tak usah memperdulikan aku!" berkata Rang-ga
Weni. "Hahaha... baik! baik! Aku cuma mau mengantar
sampai persimpangan jalan itu!" sahut Arya Pandan.
Tak banyak berayal Rangga Weni segera teruskan
langkahnya dengan berlari cepat. Arya Pandan mengikuti disamping gadis itu.
Diam-diam Rangga Weni
mengakui kehebatan gerakan lari Arya Pandan.
"Aneh! mengapa dia bergelar si Pendekar Patah Ha-
ti?" dalam hati Rangga Weni bertanya-tanya. Namun
dara ini terus berlari. Sedikitpun dia tak lepas dari ke-waspadaan, karena
khawatir dicelakai orang kedua kalinya. Namun dalam beberapa saat dalam
perjalanan itu kecurigaannya hilang. Arya Pandan bersikap biasa-biasa saja. Tak ada tanda-
tanda dia seorang yang ber-hati jahat. Diam-diam dia bersyukur dengan kemunculan
pemuda ini yang telah menyelamatkan dirinya dari bahaya.
Hatinya bergidik, bagaimana kalau sampai dia jatuh ke tangan pengemis itu" Sukar
dia membayangkannya.
Kira-kira semakanan nasi. Arya Pandan berkata.
"Kira-kira dua ratus langkah lagi kita akan sampai dipersimpangan jalan dibatas
wilayah Kota Raja. Nona Rangga Weni akan kemana?" Pertanyaan Arya Pandan
membuat Rangga Weni sedikit terkejut. Karena dalam berlari-lari itu pikiran
Rangga Weni kosong.
Rangga Weni perlambat larinya. "Aku... aku akan
menuju ke hutan Werid!" jawabnya dengan mengatur napas yang tersengal. Diam-diam
dia kagum karena
Arya Pandan tampaknya tak merasa lelah sedikitpun.
"Nona Rangga Weni mau ke hutan Werid?" tanyanya
seperti tak percaya.
"Benar! Mengapa" apakah kau merasa aneh?" tanya
Rangga Weni. "Cukup aneh! Tapi aku kagum dengan keberanian
anda!" menyahut Arya Pandan. Jawaban Arya Pandan
terputus, karena persimpangan jalan sudah didepan
mata. "Nah! aku hanya mengantarmu sampai disini! sam-
pai jumpa, semoga tak terjadi apa-apa dengan dirimu,
nona Rangga Weni!" berkata si Pendekar Patah Hati.
Tubuh laki-laki itu berkelebat. Sekejap saja dia sudah lenyap.
Rangga Weni terhenyak. Dia menghentikan larinya.
Begitu cepat Arya Pandan menghilang hingga dia tak sempat lagi mengucapkan
terima kasih. Namun Rangga Weni segera berteriak keras-keras.
"Terima kasih atas budi baikmu, sobat Pendekar Pa-
tah Hati! Semoga Tuhan membalas kebaikanmu!"
Rangga Weni terpaku sejenak. Dia menatap ke arah
jalan yang menuju ke hutan Werid. Rasa seram menyelinap dalam hatinya. Namun
tekadnya bulat. Dia akan mencari wanita bernama SRI PANDU murid si Iblis Gila
Pembangkit Arwah guna membalaskan dendam kematian Soma!
Dia tak peduli apa yang akan terjadi. Walau dia
akan cuma tinggal namanya saja di dunia ini! Diman-tapkannya hatinya. Dan dara
ini jejakkan kakinya untuk segera berlari cepat menuju ke arah hutan Werid.
*** TUJUH Pendekar Patah Hati berlari cepat melalui jalan terjal dengan memotong arah
terdekat menuju ke hutan
Werid. "Hahaha.. aku harus mendahului dia. Gadis semu-
lus itu sukar kudapatkan. Sungguh bodoh kalau dia
kubiarkan tanpa kusentuh!" menggumam Arya Pan-
dan. Mulutnya tertawa menyeringai. Dipercepat gerakan larinya. Sebentar kemudian
dia telah tiba ditepi hutan. Arya Pandan menyelinap masuk kebalik semak
rimbun. Apa yang dilakukannya ditempat itu.
Dia duduk bersila. Matanya terpejam. Bibirnya ko-
mat-kamit seperti tengah membaca mantera-mantera.
Tak lama dia membuka mata dan bangkit berdiri. Setelah melihat kekiri dan kanan,
dia keluar dari balik semak. Wajah laki-laki ini tampak berubah kaku. Ma-
tanya memancarkan hawa yang menggidikkan bagi
yang melihat. Tampak dia rangkapkan lagi tangannya ke atas dada. Bibirnya
kembali berkemak-kemik membaca mantera. Tak lama sepasang tangannya tergetar.
Tiba-tiba Arya Pandan gerakkan kedua belah tangan-
nya merentang. Hawa dingin mencekam meluncur dari
kedua telapak tangannya. Kedua tangannya kembali
menyatu. "Nah! selesai!" mendesis mulut laki-laki ini. "Untuk sementara dia takkan pergi
jauh dari tempat ini. Sementara aku segera menemui si Iblis Gila Pembangkit
Arwah untuk meminta petunjuknya. Kakek tolol itu
akan tetap menjadi penghuni kamar penjaranya sendi-ri, sampai aku memutuskan
untuk membunuhnya,
atau dia mati keracunan!"
Selesai menggumam, tubuh Arya Pandan berkelebat
masuk kedalam hutan dan lenyap terhalang rimbun-
nya pepohonan. Siapakah sebenarnya ARYA PANDAN" Bagaimana
sampai dia dapat menguasai si Iblis Gila Pembangkit Arwah" Marilah kita dengar
peristiwa pada beberapa bulan yang silam...
Asalnya peristiwa adalah ketika Ki Pamutih berta-
rung menghadapi puluhan orang-orang Kerajaan yang
akan menangkapnya. Secara kebetulan Arya Pandan
berada tak jauh dari tempat pertarungan itu. Laki-laki yang bergelar si Pendekar
Patah Hati itu bermata jeli, dan diam-diam punya rencana panjang untuk
perjalanan hidupnya. Dia melibatkan diri dalam pertarungan, dan membantu Ki
Pamutih yang bergelar menyeram-
kan itu. Rasa simpati Ki Pamutih akhirnya tertanam pada
Arya Pandan, hingga dia berkenan membawa pemuda
itu ketempat persembunyiannya, yaitu dihutan WE-
RID. Kehebatan Ki Pamutih walaupun bermata buta
sangat mengagumkan, karena dengan kepekaannya
dapat mengetahui jalan-jalan rahasia dihutan yang telah dibangunnya selama
bertahun-tahun itu. Bahkan
dia mempunyai belasan anak buah yang dipasang dan
diperintahkan menjaga disekitar hutan yang menjadi tempat tinggalnya itu.
Rencana Arya Pandan menjadi kenyataan. Orang
tua itu kena di bujuk dengan tipu dayanya, hingga dia diangkat menjadi murid.
Arya Pandan diperkenalkan
pada seorang gadis yang menjadi anak angkatnya,
bernama SRI PANDU. Sripandu adalah seorang gadis
yang berparas cantik yang amat disayangi oleh Ki Pamutih. Ternyata selama
beberapa bulan menjadi murid kakek itu. Arya Pandan berhasil merayu Sripandu,
hingga gadis itu menyerahkan dirinya bulat-bulat dalam pelukannya.
Selama enam bulan menjadi murid laki-laki tua itu, tak sedikit Arya Pandan
mewarisi ilmu-ilmu aneh si Iblis Gila Pembangkit Arwah alias Ki Pamutih itu.
Namun benih yang tertanam dirahim Sripandu lambat laun
semakin membesar juga. Sripandu telah hamil tiga bulan.... Hal itu akhirnya
terdengar oleh Ki Pamutih. Semula kakek itu marah besar pada Arya Pandan. Tapi
mengetahui Sripandu amat mencintainya, kemarahan-
nya menjadi buyar. Bahkan Ki Pamutih berniat menjadikan Arya Pandan pembantunya
dalam mewujudkan
cita-citanya menumbangkan Kerajaan Telaga Mandiri.
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Arya Pandan
untuk mempelajari ilmu-ilmu hitam Ki Pamutih. Se-
mua ilmu telah diturunkan pada Arya Pandan dalam
waktu singkat. Cuma ilmu pembangkit arwah saja
yang belum diwariskan. Bukan saja jalan-jalan rahasia dihutan Werid itu saja,
akan tetapi juga kamar penjara bawah tanah yang dibangun Ki Pamutih telah
diketahuinya. Dengan kelicikannya Arya Pandan berhasil menjeb-
loskan Ki Pamutih dalam kamar penjaranya sendiri.
Semua itu karena Ki Pamutih tak mau menurunkan
ilmu pembangkit Arwah. Ancaman akan membunuh
Sripandu yang tengah mengandung membuat Ki Pa-
mutih menurunkan ilmunya.
Arya Pandan adalah seorang ahli racun. Dengan ra-
cun yang dibubuhkan pada minuman dia berhasil me-
lumpuhkan Ki Pamutih. Demikianlah. Ki Pamutih kini dalam kekuasaan Arya Pandan.
Biang Ilmu Hitam 4 Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong Kisah Para Penggetar Langit 8
^