Pencarian

Iblis Pulau Hantu 1

Dewa Linglung 18 Iblis Pulau Hantu Bagian 1


SATU Kita melihat dulu keadaan di sebuah ge-
dung yang terletak di kaki gunung Cemara Kan-
dang. Gedung ini tak terlalu tua. Bersebelahan
dengan sebuah padepokan, berbatas pagar tem-
bok pendek. Tampaknya kedua rumah itu masih
satu halaman, karena di sebelah kiri gedung ada jalan yang cukup lebar
menyambung dengan halaman padepokan atau pesanggrahan disebelah-
nya. Di atas pintu gapura gedung tampak sede-
retan aksara yang bertulisan; Gedung RAJAWALI
PUTIH. Sederet tulisan tertera pula pada pintu
depan pesanggrahan pada sebuah papan beruku-
ran dua depa kali setengah depa, yang bertulisan; Padepokan Rajawali Putih.
Jelaslah kalau gedung dan pesanggrahan
itu adalah milik perguruan Rajawali Putih. Perguruan ini pada sepuluh tahun yang
silam adalah sebuah perguruan besar yang terkenal diwilayah
timur. Pendirinya adalah seorang pendekar yang
berasal dari Kat Mandu, India. Namun sejak sang pendiri perguruan itu kembali ke
India, dan digantikan oleh salah seorang muridnya yang ber-
nama Gubyar Parongga perguruan ini nampak
sepi. Tampaknya seperti sudah tak ada kegiatan lagi Gubyar Parongga memang sejak
diserahi pimpinan sebagai ketua perguruan, telah pula
mengangkat beberapa orang murid. Bahkan men-
dirikan sebuah partai yang juga bernama Rajawali Putih. Partai ini cukup kondang
dikalangan Rimba Hijau, sebagai partai penegak keadilan.
Namun agaknya tak ada jalan yang selalu
mulus. Tak ada gading yang tak retak. Demikian
juga dengan nasib dan keadaan partai Rajawali
Putih. Dari luar tak nampak adanya keretakan ditubuh partai itu. Tapi dibagian
dalam terlihat jelas adanya kericuhan.
Kemelut ditubuh partai Rajawali Putih
memang sudah lama sejak diangkatnya Gubyar
Parongga sebagai ketua. Seperti diketahui Gubyar Parongga adalah orang yang
dipercayakan untuk
memegang tampuk pimpinan perguruan tersebut.
Namun secara diam-diam Jipang Galih
adik seperguruan Gubyar Parongga tak menyetu-
jui pengangkatan itu. Walau kelihatannya dia tetap mematuhi peraturan perguruan.
Jipang Galih cukup cerdik untuk menyem-
bunyikan sebuah kitab ilmu silat sebelum terjadi pengangkatan ketua, walaupun
belum diketahui
siapa yang akan terpilih menjadi pengganti guru mereka. Namun Jipang Galih sudah
mendapat fi-rasat, bahwa dirinya tak akan terpilih menjadi ketua. Karena dia
mengetahui Gubyar Parongga
amat pandai mengambil hati sang guru.
Ketika Gubyar Parongga mengangkat Giri-
ranti menjadi muridnya, Jipang Galih pun men-
gangkat pula seorang murid laki-laki bernama
Suro Ragil. Jipang Galih mewariskan ilmu-ilmu
tidak saja dari jurus-jurus ilmu silat Rajawali Pu-
tih, tapi juga mewariskan ilmu silat dari luar yang dipadukan dengan jurus-jurus
perguruan Rajawali Putih.
Hal itu tak disetujui Gubyar Parongga. Dia
berpendapat hal itu akan menghilangkan keaslian jurus-jurus perguruan Rajawali
Putih. Jipang Galih membantah, bahwa jurus-jurus silat Rajawali Putih perlu
dipugar, karena jurus-jurus tersebut sudah tak dapat disesuaikan dengan keadaan
saat ini. Namun Gubyar Parongga tetap tak dapat
membenarkan pendapat adik seperguruannya.
Dia memerintahkan Jipang Galih segera memus-
nahkan ilmu luar tersebut. Peraturan perguruan
Rajawali Putih memang sangat keras. Siapapun
pelanggarnya akan dikenakan hukuman bila me-
lakukan kesalahan.
Akan tetapi terhadap adik seperguruannya
Gubyar Parongga tak dapat berlaku kejam. Kepu-
tusannya agar Jipang Galih segera memusnahkan
ilmu luar itu cukup sebagai peringatan keras agar tidak diulangi lagi. Sementara
diapun sebenarnya belum mengetahui asal-usul Suro Ragil yang diangkat murid oleh
Jipang Galih. Namun hal itu
tak perlu dipermasalahkan.
Agaknya keretakan ditubuh partai pergu-
ruan Rajawali Putih sudah tak bisa dipersatukan lagi. Karena Jipang Galih segera
mengatakan maksudnya untuk mengundurkan diri. Tegasnya
keluar dari perguruan tersebut. Mungkin pula hal itu memang sudah direncanakan
sebelumnya oleh
Jipang Galih. Ternyata Gubyar Parongga telah dapat
menduga akan maksud sang adik seperguruan.
Dia tak menghalangi keinginan Jipang Galih un-
tuk mengundurkan diri. Tapi dengan syarat, Ji-
pang Galih tidak diperkenankan menggunakan
jurus-jurus ciptaan perguruan Rajawali Putih. Dia harus melakukan sumpah didepan
arca Budha dan harus membuntungi sebelah tangannya dide-
pan seluruh murid anggota partai Rajawali Putih.
Tantangan berat itu agaknya sudah berada
dibenak Jipang Galih. Persyaratan itu disanggu-
pinya, dan segera dijalankan.
Demikianlah.... setelah semua persyaratan
dikerjakan, dengan disaksikan puluhan pasang
mata para murid anggota partai perguruan Raja-
wali Putih, Jipang Galih melangkah terhuyung-
huyung keluar dari pintu gapura perguruan ter-
sebut di papah muridnya Suro Ragil.
Meninggalkan sepotong lengan berhambu-
ran darah yang tergeletak di tanah.
Itulah peristiwa yang terjadi pada beberapa
tahun yang lalu. Partai Rajawali Putih cuma tinggal namanya saja. Dan gedung
serta pesanggra-
han di kaki gunung Cemara Kandang cuma ting-
gal puing dan reruntuhan belaka....
Sosok tubuh yang berdiri termangu-mangu
memandang puing-puing reruntuhan itu sejak ta-
di, adalah seorang gadis berambut panjang. Ber-
kulit putih dengan alis tebal. Wajahnya cukup
cantik, dengan pakaian persilatan berwarna pu-
tih. Sebuah pedang tersoren dipunggungnya. Na-
mun pada kelembutan wajahnya dapat dilihat
bahwa dia seorang gadis yang berhati keras.
Tampaknya gadis ini seperti menyimpan
dendam yang terkubur dalam dada. Terlihat keti-
ka sepasang lengannya mengepal. Dan setetes air bening berguling dari pipinya.
Siapa adanya gadis ini" Dialah GIRIRANTI,
murid utama Gubyar Parongga.
Samar-samar diantara pandangan matanya
yang mulai berkaca-kaca, tampak terbayang wa-
jah seorang pemuda. Itulah pemuda murid Jipang
Galih yang bernama SURO RAGIL.
Terbayang pula saat perguruan Rajawali
Putih masih jaya. Dan saat-saat mereka sering
bertemu dan berlatih. Waktu-waktu luang mereka
diisi dengan senda-gurau dan canda.
Sukar untuk dapat dikatakan, bahwa dida-
lam relung hati Giriranti ada tertanam benih-
benih cinta pada pemuda itu.
Tapi kesemuanya itu lenyap, ketika terjadi
peristiwa itu. Dan saat terakhir dari pertemuannya adalah ketika Suro Ragil
melangkah pergi keluar dari pintu perguruan Rajawali Putih dengan memapah tubuh
gurunya, Jipang Galih Meninggalkan sepotong lengan yang kutung berlumur
darah. Sejak itu Suro Ragil lenyap tak ada khabar beritanya lagi....
Sejak kejadian itu Giriranti menampakkan
perubahan sikap. Dia sering menyendiri, dan ja-
rang berlatih. Dan gurunya Gubyar Parongga juga jarang keluar dari kamarnya.
Tampaknya orang
tua itu lebih banyak bersemadhi.
Kerinduan kian menggeluti diri Giriranti.
Akhirnya dia nekad untuk pergi meninggalkan
perguruan. Setelah menulis sepotong surat dan
meletakkannya diatas meja kamarnya, Giriranti
menyelinap dari padepokan dan lenyap dikegela-
pan malam meninggalkan tempat yang telah
menggembleng dirinya selama ini.
Ternyata perbuatan nekat itu harus dite-
bus dengan mahal. Orang-orang perguruan Raja-
wali Putih mengejarnya untuk menangkap dirinya
hidup atau mati.
Hal yang sangat mengejutkan ialah dia di-
tuduh telah melarikan kitab pusaka perguruan.
Gubyar Parongga telah menuduh dia mencuri ki-
tab pusaka dari ruang rahasia, dan melarikan kitab pusaka itu.
Tentu saja dia menyangkal tuduhan itu.
Pertarunganpun tak dapat terhindarkan lagi. Giriranti terpaksa melakukan tindak
kekerasan demi mempertahankan nyawanya. Akhirnya dia
berhasil meloloskan diri dengan menimbulkan
korban beberapa kawan seperguruannya yang te-
was dan luka-luka.
Namun kemanapun dia pergi selalu di-
bayangi oleh orang-orang perguruan Rajawali Pu-
tih, yang kesemuanya adalah kawan-kawan se-
perguruannya. Giriranti akhirnya menyerahkan
diri dan bersedia ditangkap untuk dibawa meng-
hadap sang guru.
Itulah awal dari penderitaannya. Terpaksa dia
menjalani hukuman yang berat. Dan harus men-
dekam dalam penjara bawah tanah. Ditempat itu-
lah dia mengalami penderitaan yang tak akan ter-lupakan selama hidupnya.
DUA Aku harus membalas perlakuan mereka!
mendesis Giriranti. Tampak dia merapatkan gi-
ginya seperti menahan geram, dan berusaha me-
nahan jatuhnya air mata. "Tak ada jalan hidup bagi kelima manusia busuk itu
selain kematian!"
gumamnya dengan suara menggeletar. Tubuhnya
tampak tergoyang-goyang, dan air mukanya me-
rah padam. Mendadak dia berseru keras. Sua-
ranya berpantulan kesekitar tempat itu. Tiba-tiba dia mencabut pedangnya. Dan
secercah kilatan
menyambar ke arah sebatang pohon yang tum-
buh di tempat itu.
CRASS! Itulah sambaran pedang si gadis yang telah
menumpahkan kemarahannya pada sebatang po-
hon didekatnya. Batang pohon sebesar dua kali
tubuh manusia itu terpapas dan putus.
Sebelum batang pohon yang tumbang itu
terbanting ke tanah, gadis ini gerakkan lengannya tiga kali berturut-turut.
Krakk! Krakk! Kraak!
Batang pohon itu hancur menjadi tiga ba-
gian, dan jatuh berdebuman ke tanah menimbul-
kan suara berisik menggetarkan tanah.
Tampak gadis ini berdiri tegak memandang
lurus ke depan. Sepasang matanya bersinar
menggidikkan. Raut wajahnya kelam membesi.
Perlahan-lahan dia memasukkan kembali pedang
ditangannya kedalam serangka. Kemudian den-
gan cepat dia membalikkan tubuh, dan berlari
cepat meninggalkan tempat itu.
Kelengangan pun kembali merayapi sekitar
tempat itu. Puing-puing reruntuhan bekas gedung dan pesanggrahan perguruan
Partai Rajawali Putih itu cuma jadi saksi bisu
Tak ada tanda-tanda adanya manusia dis-
ekitar tempat itu kecuali segerombolan burung
yang terbang melintas diudara, dan lenyap dibalik hutan....
Kira-kira sepeminuman teh, dari arah barat
terdengar suara derap kaki-kaki kuda. Tak lama terlihat serombongan orang
berkuda seperti mendatangi ketempat itu. Ternyata mereka adalah li-ma orang
penunggang kuda yang seperti terdiri
dari orang-orang kerajaan.
Penunggang kuda paling depan adalah seo-
rang yang bertubuh tegap berkulit agak kehita-
man. Mengenakan pakaian mirip seorang Adipati.
Pakaiannya berwarna hitam dengan sulaman be-
nang-benang emas pada bagian leher dan ujung-
ujung lengan dan kaki.
Lengkap dengan mahkota hitam bergaris-
garis kuning emas serta perhiasan lain yang me-
lekat ditubuhnya yang serba gemerlap.
Empat penunggang kuda dibelakang yang
mengiringinya berpakaian mirip perwira-perwira
kerajaan. Memanglah mereka orang-orang kera-
jaan adanya. Tujuannya belum diketahui, apakah
cuma melintas saja di tempat itu atau memang
menuju kebekas gedung dan pesanggrahan yang
telah jadi reruntuhan itu.
Nyatanya ketika tiba didepan reruntuhan
gedung markas perguruan Rajawali Putih terse-
but, si penunggang kuda paling depan menghen-
tikan langkah kudanya. Kelima orang kerajaan ini tampak mengamati bekas-bekas
reruntuhan gedung itu.
"Sayang tempat ini kalau tak dibangun lagi, gusti Adipati!" berkata perwira di
sebelah kirinya.
"Benar! itulah sebabnya aku mengajak ka-
lian kemari. Aku memang merencanakan untuk
membangun gedung yang terbengkalai ini menjadi
sebuah tempat pemukiman yang baik!" sahut la-ki-laki ini. Ternyata dia memang
seorang Adipati.
Sang Adipati ini tampak tersenyum-
senyum sendiri. Tampaknya dia telah mem-
bayangkan di tempat itu bila telah tercipta sebuah gedung mungil dengan taman-
taman yang indah, serta kolam berair jernih
"Ya! tidak usah terlalu besar. Cukup den-
gan tiga buah kamar. Air untuk kolam dapat di-
ambil dan disalurkan dari sumber mata air di sebelah sana. Aku akan menciptakan
tempat ini

Dewa Linglung 18 Iblis Pulau Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi sebuah Kaputren. Hawanya sejuk, dan
sekeliling tempat ini berpemandangan indah. Ha-
ha... sekali waktu aku kemari untuk beristirahat.
Dan... hahaha..."
Sang Adipati menggumam dalam hati. Se-
nyumnya semakin melebar. Agaknya dia telah
membayangkan masa-masa yang akan datang
yang akan dinikmatinya.
Tiba-tiba sang Adipati mengernyitkan ke-
ningnya. Pandangan matanya tertuju pada hala-
man sebelah kiri pesanggrahan. "Tampaknya ada yang aneh, seperti belum lama
terjadi di tempat ini..." sentaknya dalam hati.
"Kau melihat pohon kayu yang roboh dide-
pan reruntuhan padepokan itu, Ulo Rowo?" tanya sang Adipati pada perwira di
sebelah kirinya.
"Ya! aku melihatnya! Apakah keanehannya,
gusti?" sahut laki-laki bernama Ulo Rowo ini.
Sementara tiga orang perwira lainnya pun
mengalihkan pandangannya pada pohon tumbang
yang ditunjuk Adipati ini.
Serentak tanpa menunggu perintah, ketiga
perwira ini segera melompat turun dari punggung kuda. Dan berkelebatan melompat
mendekati pohon tumbang itu.
"Pohon ini seperti baru ditebas senjata tajam, dan terkena pukulan tenaga dalam
yang he- bat! Jelas seseorang yang berilmu tinggi yang cu-ma bisa melakukannya!" berkata
sang Adipati, seraya melompat turun dari kudanya.
"Apakah maksudnya orang itu" apakah dia
cuma sengaja menjajal senjata dan kekuatan pu-
kulannya?" berkata Patek Ampel, perwira kedua dari Ulo Rowo. Perwira ketiga dan
keempat adalah, Jala Wong dan Jala Gung.
Laki-laki Adipati ini tak menjawab. Ma-
tanya menjalari sekitar tempat itu.
"Hm, cepat kalian periksa seluruh tempat
ini. Dan kau Ulo Rowo ikut aku!" berkata dia. Tiga
perwira mengangguk, dan cepat berkelebatan me-
lompat kesekitar reruntuhan.
Sementara dia sendiri seraya menggamit
perwira bernama Ulo Rowo itu segera berkelebat
menuju kehutan kecil di sebelah timur.
Ulo Rowo cepat membuntuti dibelakang
sang Adipati. "Kau masih ingat tempat rahasia yang ter-
dapat ruangan penjara bawah tanah itu bukan,
Ulo Rowo?" tanya Adipati berbisik seraya menahan langkahnya.
Perwira ini mengangguk. "Kita periksa ke-
tempat itu. Siapa tahu orang itu bersembunyi
disana. Didalamnya banyak lorong-lorong rahasia yang dapat digunakan sebagai
tempat persembunyian!" Disebelah depan tampak ada tangga undakan yang menurun.
Mereka segera menuruni
tangga batu itu yang membelok setengah lingka-
ran. Tampak sebuah pintu batu yang telah lama
hancur menjadi puing.
Keduanya memasuki pintu itu, kemudian
menemukan pintu lagi yang juga tinggal puing.
Lorong itu kian masuk kedalam tanah. Setelah
melewati beberapa lorong lagi segera tampak se-
buah ruang bertembok besi tebal. Tapi pintunya
juga telah jebol. Disini ada cahaya yang masuk
dari lubang sebelah atas setinggi dua puluh kaki.
Diruangan ini ada tiga bilah penjara. Tapi
yang lainnya masih dalam keadaan terkunci.
Tampak rantai dan gembok yang telah berkarat.
Hampir semua ruangan dipenuhi sarang laba-
laba. "Tak ada tanda-tanda ada orang yang memasuki tempat ini..." berdesis
Adipati ini. "Benar, gusti! kukira dia tak mengetahui
adanya tempat ini, berarti bukan orang pantai
perguruan Rajawali Putih!" tukas Ulo Rowo.
"Belum tentu! Justru aku mencurigai siapa
adanya orang itu. Walaupun seandainya dia bu-
kan orang bekas partai kita, tapi setidak-tidaknya kau harus ingat. Siapa yang
telah merusakkan
penjara besi bawah tanah ini!" sanggah laki-laki ini.
"Apakah maksudmu orang persilatan yang
telah melarikan GIRIRANTI dari penjara bawah
tanah ini?" sentak Ulo Rowo.
"Hm! kalau bukan dia siapa lagi?" sahut sang Adipati. Ulo Rowo manggut-
manggutkan kepala dengan wajah berubah pucat.
"Haha.. kau tak usah khawatir dengan ke-
munculan orang itu. Sejak aku menemukan kitab
yang disembunyikan Jipang Galih, kemudian
mempelajari serta menyerap ilmu-ilmu dengan ju-
rus-jurus yang hebat itu, kukira aku masih sang-gup untuk menghadapi sepuluh
orang macam dia!" sesumbar laki-laki ini.
Lagi-lagi Ulo Rowo manggut-manggut. "Ta-
pi... selama tiga tahun lebih ini kukira ilmu orang itupun akan bertambah
hebat!" kata Ulo Rowo.
"Kita lihat saja! Sayang kita belum menge-
tahui siapa adanya manusia itu!" berkata geram sang Adipati.
Tampaknya dia agak mendongkol dengan
kata-kata Ulo Rowo yang meremehkan ilmu ke-
pandaiannya. Setelah yakin bahwa orang yang dicarinya
tak ada di tempat rahasia itu, mereka segera keluar dari ruang penjara bawah
tanah itu. Ketika sampai diluar, tiga perwira itu telah
berada di tempat itu.
"Apakah kalian menemukan orang disana?"
tanya Adipati. Ketiganya menggeleng. "Tak ada tanda-tanda mencurigakan disekitar
reruntuhan gedung juga pesanggrahan...!" sahut salah seorang melapor.
"Sudahlah! Mari kita kembali!" kata sang Adipati.
Mereka segera menghampiri kuda-kuda
yang tak jauh dari tempat rahasia itu. Tak lama kemudian kelima orang kerajaan
itu segera meninggalkan tempat itu. Sebentar saja rombongan
pasukan berkuda itu semakin jauh, dan lenyap
tak terlihat lagi.
Siapa adanya laki-laki Adipati itu" Dialah
yang bernama RAH SANCA. Dalam urutan tingkat
diperguruan Rajawali Putih termasuk setingkat
dibawah Jipang Galih.
Entah bagaimana sejak terjadi perpecahan
ditubuh partai Rajawali Putih, Rah Sanca dan
tempat orang saudara seperguruannya bisa men-
jadi orang-orang kerajaan.
Kalau saja gadis bernama GIRIRANTI itu
tak terlalu cepat meninggalkan tempat itu, tentu akan terjadi pertarungan hebat.
Karena kelima orang itulah yang menjadi musuh besarnya...
TIGA NANJAR menepuk-nepuk pantat kuda ber-
warna coklat kemerah-merahan itu dengan terse-
nyum. "Nah! segar bukan" kini kau tak kepa-naskan lagi!" berkata Nanjar. Seperti
mengerti kalau sang majikannya telah selesai memandikan,
kuda itu beranjak naik kedarat.
Nanjar membasuh mukanya diair sungai
yang jernih itu, dan membasahi tenggorokannya
dengan beberapa teguk air. Tak lama diapun be-
ranjak ketepi...
Gemercik air sungai berbatu-batu dilereng
pegunungan yang sunyi lengang disiang hari itu
memang membangkitkan selera untuk mandi
atau membasuh muka, hingga Nanjar yang secara
kebetulan lewat di tempat itu tak menyia-nyiakan kesempatan untuk turun
kesungai. Matahari saat itu tepat diatas kepala. Hawa
panas membuat orang segan untuk melakukan
perjalanan. Si Dewa Linglung biarkan kudanya
mengisi perut dengan memakan rumput yang ba-
nyak tumbuh ditepi sungai. Sementara dia sendiri jatuhkan pantatnya dibawah
pohon rindang. Lalu
menyandarkan punggungnya melepas lelah.
Angin sepoi-sepoi yang berhembus menye-
jukkan badan dan membuat mata jadi mengan-
tuk. Tak heran setelah beberapa kali menguap,
Nanjar pun tinggal landas menuju kealam mim-
pi... Akan tetapi diantara sadar dan tiada telin-
ga si Dewa Linglung seperti mendengar suara ku-
da meringkik keras.
Seketika dia terlonjak bangun. Alangkah
terkejutnya dia ketika melihat kuda yang baru selesai dimandikan mendadak
terjungkal roboh. Bi-
natang itu berkelojotan beberapa lama seperti meregang nyawa. Tapi beberapa saat
kemudian ter- kulai tak bergerak-gerak lagi.
Nanjar terkejut melihat kejadian itu. Sekali
gerakan tubuh dia telah melompat untuk meme-
riksa. Tampak pada leher binatang itu tertancap dua buah senjata rahasia.
Tahulah Nanjar yang
telah menyebabkan kematian kuda tunggangan-
nya. "Sialan! siapa yang telah melakukan perbuatan curang dan pengecut ini?"
memaki Nanjar dalam hati. Sementara diam-diam dia memperhatikan sekitar.
Nalurinya yang peka segera dapat mengetahui adanya seseorang yang bersembunyi
dibalik semak belukar.
Diam-diam dia terkejut karena sekitar
tempat itu telah dikurung oleh sosok-sosok ma-
nusia yang bersembunyi disekitar lereng pegu-
nungan tersebut.
"Kurang ajar! apa maunya mereka" Menga-
pa membunuh kudaku seenaknya?" memaki Nan-
jar dalam hati.
Pada detik itulah berkelebatan sosok-sosok
tubuh dari balik semak dan seberang sungai. Ge-
rakan-gerakan tubuh mereka sangat gesit, per-
tanda memiliki ilmu-ilmu yang cukup tinggi. Da-
lam waktu sekejap saja Nanjar telah dikurung
oleh belasan sosok tubuh yang hampir rata-rata
berpakaian warna hijau.
Yang agak aneh adalah para pengurung ini
berwajah kaku, dan masing-masing hanya mem-
punyai sebelah kaki. Mereka menggunakan tong-
kat bercagak untuk penunjang sebelah kakinya.
Cuma dengan memperhatikan sekilas saja
Nanjar telah mengetahui kalau mereka menggu-
nakan topeng mirip kulit manusia yang satu sama lain mempunyai raut bentuk yang
sama. "Hem, apakah mereka perkumpulan yang
menamakan diri Partai Iblis Berkaki Satu?" sentak Nanjar dalam hati.
Dia memang pernah mendengar adanya
sebuah partai yang bermukim diwilayah utara itu.
"Jika anda mau selamat, segera ikut kami
untuk menghadap ketua!" salah seorang tiba-tiba berkata dengan suara dingin.
"Hm, siapa kalian" setelah membunuh ku-
daku seenaknya, lalu menyuruh aku menghadap
ketua kalian. Apakah kesalahanku" dan... apa
maksud kalian sebenarnya?" berkata Nanjar dengan sinis acuh tak acuh.
"Jangan banyak bicara! kalau mau selamat
segera ikuti perintah kami!" bentak salah seorang yang bertubuh agak tinggi
besar. Sepasang matanya menatap Nanjar tak berkedip dengan mimik
wajah tetap kaku.
"Apakah kalian orang-orang partai Iblis
Berkaki Satu?" tanya Nanjar tanpa pedulikan an-
caman orang. "Bagus! kalau kau telah mengetahui, men-
gapa tak menggubris perintah kami" Apakah kau
ingin kami mengambil tindakan kekerasan?"
membentak laki-laki didepan Nanjar.
"Hm, ingin kulihat apakah kalian mampu
membuktikan ancaman itu?" Nanjar sengaja jual lagak dihadapan orang-orang itu
tanpa menun-jukkan sikap takut sama sekali.
Tentu saja membuat laki-laki dihadapan-
nya melengak. Empat orang telah melompat maju.
Tiba-tiba, Whuuut! Whuuut! Whuuut!
Empat buah tongkat menyambar ke arah si
Dewa Linglung dengan deras. Empat serangan ini
ternyata serangan yang sangat membahayakan,
yang dibarengi dengan bentakan membelah uda-
ra. Nanjar sudah dapat menduga akan hal ini,
karena itu dia telah siap untuk menghadapi sega-la kemungkinan. Dia sengaja
menanti serangan
tongkat lawan agar lebih dekat. Tiba-tiba dengan gerakan secepat kilat lengannya
mengibas diikuti liukan tubuh dengan jurus gerakan yang dinamakan Raja Siluman
Ular menggoyang Bumi. Aki-
batnya dua orang menjerit kaget diiringi terlemparnya dua buah tongkat menjadi
empat potong. Sedangkan si penyerangnya terlempar bergulin-
gan. Dua orang lainnya terperangah, karena se-
rangan tongkat mereka menemui tempat kosong.
Bahkan dia telah kehilangan lawan yang tengah
diserangnya. Tahu-tahu tengkuk mereka telah
disambar sepasang lengan yang mencengkeram
bajunya. Sebelum mereka sadar akan bahaya,
kepala mereka telah beradu dengan keras. Pan-
dangan mata mereka seketika menjadi gelap. Ke-
duanya roboh mengabruk ke tanah dalam kea-
daan tak sadarkan diri.....
Nanjar kibas-kibaskan bajunya dan tepuk-
tepuk tangannya seperti membersihkan kotoran
debu yang menempel.
"Silahkan maju lagi yang mau cari penya-
kit!" Tentu saja kejadian segebrakan itu membuat terkejut para pengurung dari
orang-orang partai Iblis Berkaki Satu. Mereka tak menyangka dalam segebrakan saja empat
orang kawan mereka roboh. Padahal serangan yang dilakukan ada-
lah jurus yang sukar untuk dihindari lawan. Apalagi dilakukan oleh empat orang.


Dewa Linglung 18 Iblis Pulau Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tahulah mereka kalau lawannya bukan orang sembarangan
Tiga orang segera melompat maju. Keti-
ganya memakai jubah hijau tua berlengan lebar.
Sepintas Nanjar sudah dapat menduga tiga ini
adalah boleh dibilang tokoh yang mempunyai
tingkat lebih tinggi dari yang lainnya. Dari gerakannya yang tak menimbulkan
suara ketika je-
jakkan kaki ke tanah.
"Bagus! pantas kalau ketua kami wanti-
wanti berpesan agar hati-hati menghadapi anda.
Kiranya kepandaianmu lumayan juga!" berkata dingin salah seorang. Kemudian
langsung memberi tanda pada kedua kawannya. Serentak ketika
lengan mereka bergerak, dalam sekejap dimasing-
masing lengan telah tercekal sebuah senjata rantai berbandulan kepala tengkorak.
"Hm, apakah masih ada senjata lain yang
lebih baik dari rantai monyet yang kalian pergunakan?" ejek Nanjar dengan tetap
sinis. Akan tetapi ketiga orang ini tanpa menggubris ejekan itu, segera
lancarkan serangan. Kali ini mereka tak
menyerang secara berbareng. Namun melakukan-
nya secara bergantian.
Nanjar agak berlaku hati-hati karena tahu
lawannya bukan lawan enteng. Sambaran bandu-
lan kepala tengkorak lawan menimbulkan bau
amis yang memuakkan. Ternyata dari lubang ke-
pala tengkorak itu menyebar uap biru. Nanjar ta-hu kalau uap itu beracun.
Whuut! Whuuut! Sambaran bandulan tengkorak lawan ber-
gerak saling susul, diiringi serangan tongkat
mengurung dari setiap arah. Gerakan mereka
sangat gesit, setelah menyerang langsung melom-
pat mundur. Lalu digantikan oleh kawannya.
Namun Nanjar juga tak kalah cepat untuk
menghindarkan serangan. Tubuhnya berkeleba-
tan melompat dengan gerakan-gerakan aneh. Ter-
kadang seperti orang mabuk, terkadang seperti
lompatan kera. Dalam beberapa jurus itu senjata lawan tak satupun yang menemui
sasarannya. Mendadak salah seorang berseru keras.
Tubuhnya berkelebat menerjang. Tongkatnya me-
nyambar-nyambar laksana puluhan tombak yang
mencecar lawan. Sementara bandulan rantai
tengkorak terus mengelilingi menyemburkan uap
biru. Nanjar telah salurkan hawa murni dan
menutup pernapasan. Dapat diakui ketiga lawan-
nya memiliki kegesitan yang melebihi keempat
orang tadi. Apalagi uap biru itu terus menerus
menyembur kearahnya. Kalau menurutkan hati si
Dewa Linglung sebenarnya dia akan memper-
mainkan-nya sampai beberapa jurus. Akan tetapi
niat Nanjar berubah karena lawan main uap ra-
cun. Seraya membentak keras Nanjar merubah
gerakannya. Tubuhnya melambung enam tombak.
Ketika menukik kedua lengannya direntangkan.
Seketika menyambarlah angin keras berhawa di-
ngin. Ketiga orang ini seperti terpukau. Salah seorang berseru memberi
peringatan untuk meng-
hindar. "Awas! pukulan Inti Es!" Akan tetapi terlambat. Tiga jeritan terdengar
merambah udara diiringi terjungkalnya tiga sosok tubuh itu. Uap putih mengepul ditubuh
ketiganya. Satu persatu
jatuh berdebuk dengan tubuh kaku.
Melihat kejadian itu serentak kawan-
kawannya yang lain terperangah kaget. Dan... cepat sekali mereka berkelebatan
melarikan diri.
Sebentar saja sosok-sosok tubuh mereka telah lenyap dari tempat itu.
Nanjar tak berniat mengejar, walau sebe-
narnya hatinya sangat mendongkol. Dia berdiri
terpaku beberapa saat seraya menghela napas.
"Hm, siapa sebenarnya ketua mereka" Ingin seka-
li aku berkenalan dengannya! Dan apa maksud-
nya ingin bertemu muka padaku" Heh! sebenar-
nya kalau anak buahnya tak berlaku seenaknya
saja, mungkin aku masih bisa berlaku baik!" berkata Nanjar dalam hati.
Nanjar menatap ke arah kudanya, kemu-
dian mengalihkan pandangannya ke arah sosok-
sosok tubuh Orang-orang Partai Iblis Berkaki Sa-tu yang bergeletakan di tanah.
Sebenarnya dia tak berniat membunuh me-
reka. Empat penyerang dalam gebrakan pertama
hanya dibuat pingsan. Akan tetapi ketiga penye-
rang yang menggunakan uap beracun melalui
senjata kepala tengkorak telah menemui ajalnya.
"Peristiwa ini akan berbuntut panjang. Tapi aku ingin mengetahui siapa adanya
ketua Partai Iblis Berkaki Satu itu" Dan kegiatan apa yang di-lakukannya diwilayah ini?"
gumam si Dewa Linglung.......
EMPAT Disebuah tempat rahasia.
"Lapor, ketua! kami tak berhasil menang-
kap pemuda berkuda coklat itu. Empat kawan
kami dan tiga pemimpin regu tewas ditangan pe-
muda itu!" laki-laki berjubah hijau salah satu dari anggota partai Iblis Berkaki
Satu melaporkan kejadian yang dialami regu mereka.
Ternyata belasan orang yang melarikan diri
itu telah berada diruang rahasia.
"Tapi kami berhasil membunuh kuda pe-
muda itu, ketua...!" lanjut laki-laki yang melapor.
"Bodoh!!!" Satu bentakan menggeledek
membuat si pelapor ini terlonjak kaget. Demikian juga para anak buah yang
lainnya. Sang ketua
membesarkan mata, melotot tajam menatap para
anak buahnya. Laki-laki ini bertubuh tinggi be-
sar, berjubah hitam. Mengenakan topeng tengko-
rak yang menutupi cuma sebagian muka saja. Si
muka tengkorak sebelah ini tampaknya gusar bu-
kan main mendengar laporan kegagalan itu. Ter-
nyata sang ketua inipun berkaki satu.
Sekali gerakkan tangan laki-laki ini telah
mencengkeram baju anak buahnya yang memberi
laporan. "Aku bukan perintahkan kau membunuh
kuda, tolol! Tapi menangkap pemuda itu. Bukan-
kah sudah kupesan wanti-wanti, bahwa dia bu-
kan pemuda sembarangan. Kalau kalian membu-
juknya dengan baik-baik untuk menghadapku,
kukira takkan terjadi kesialan ini!"
"Ampun ket... ketua...!"
Laki-laki berjubah hitam ini mendengus ge-
ram seraya membantingkan tubuh anak buahnya
ke lantai. "Semua keluar! tinggalkan ruangan ini!"
bentaknya dengan berang. Tak ayal lagi belasan
orang anak buahnya segera menyingkir pergi dan
lenyap dibalik pintu batu. Kecuali seorang anak buah yang masih berada di tempat
itu, yaitu si pelapor yang masih menyeringai kesakitan mengurut-urut
punggungnya. "Mengapa kau tidak cepat-cepat minggat,
goblok?" membentak si ketua. Sekali lompat dia telah berada didekat laki-laki
itu. "Ampun ketua.... aku segera akan pergi..." terbungkuk-bungkuk si laki-laki
naas itu, seraya mencoba
bangkit berdiri. Tampaknya si topeng tengkorak sebelah tak sabar lagi untuk
mengusir pergi anak buahnya. Kakinya bergerak melayang menendang
tubuh laki-laki itu.
Sudah dapat dibayangkan apa yang bakal
terjadi... Akan tetapi sebelum tubuh laki-laki itu terlempar, mendadak terdengar
teriakan kaget si muka tengkorak sebelah. Bukan tubuh anak
buahnya yang terlempar, akan tetapi justru dia
sendiri yang terjungkal.
Ternyata sebelum ujung kaki sang ketua
mengenai sasaran, laki-laki itu dengan cepat balikkan tubuh dan menangkap
pergelangan kaki
sang ketua. Selanjutnya dengan gerakan cepat la-ki-laki itu membantingkan tubuh
sang ketua ke- lantai. Kejadian tak terduga itu tentu saja membuat si ketua jadi terperanjat
kaget. "Keparat! kau berani melawanku?" bentaknya dengan wajah berubah merah
padam. Dengan cepat dia melompat
bangun. Seumur-umur menjadi ketua baru kali
ini dia diperlakukan sedemikian rupa oleh seo-
rang anak buah. Dan hal ini adalah sangat mus-
tahil. Memang sangat mustahil. Dan kemustahi-
lan itu segera terungkap. Tampak laki-laki anak buahnya itu menggerakkan tangan
membuka to- peng penutup mukanya. Dan dengan cepat sekali
membuka pakaian jubah hijau yang dikenakan.
Hampir melejit sepasang mata si muka
tengkorak sebelah melihat siapa adanya sang
anak buah, yang tiada lain adalah pemuda yang
diperintahkan untuk menangkapnya. Siapa
adanya laki-laki itu ternyata tak lain dari Nanjar alias si Dewa Linglung.
"Hahaha... baru kudengar ada seorang ke-
tua yang jatuh terbanting oleh anak buahnya
sendiri. Ha haha...."
Nanjar terpingkal-pingkal geli menahan ter-
tawa. Sementara si ketua yang bernasib sial itu cuma melotot lebar memandang
laki-laki di hadapannya. Namun diam-diam hatinya mencelos.
Terperanjatnya tak alang-kepalang.
Tak terasa kakinya melompat setindak.
Dan dengan cepat lengannya terjulur menyambar
tongkatnya. "Hm, andakah ketua Partai Iblis Berkaki
Satu?" tanya Nanjar. Sementara matanya memperhatikan tampang laki-laki itu dari
ujung rambut sampai kekaki.
"Aku hanya wakil ketua partai saja, sobat
pendekar muda! Kedatangan anda sungguh men-
gejutkan sekali. Maafkan perlakuanku yang ku-
rang sopan menyambut tetamu. Juga perbuatan
anak buahku yang bertindak serampangan!" menyahut laki-laki ini.
"Haha... kukira aku telah membayar sikap
kalian dengan memberi sedikit pelajaran. Sudah-
lah! hutangmu impas!" kata Nanjar dengan sikap
jumawa. "Kau tidak memperkenalkan namamu?"
tanya Nanjar. "Aku Lembu Teleng. Orang Rimba Persila-
tan menjuluki diriku si Jagal Nyawa!" sahut laki-laki itu dengan suara kaku.
"Julukan yang seram! Apakah maksud tu-
juanmu ingin bertemu muka denganku adalah
untuk menjagal nyawaku?" berkata Nanar dengan bertolak pinggang membelakangi.
"Sama sekali tidak, sobat pendekar gagah.
Bukankah anda telah mendengar sendiri aku
memaki kebodohan anak buahku" Sungguh aku
menyesali peristiwa yang membuat anda kehi-
langan kuda, juga timbulnya korban dipihak ka-
mi!" sahut Lembu Teleng.
Nanjar perdengarkan dengusan dihidung,
lalu balikkan tubuh. Matanya menatap tajam la-
ki-laki dihadapannya.
"Nah! kini jelaskan maksud tujuanmu!"
berkata Nanjar. Lembu Teleng mengangguk.
"Baik! Ikutlah aku!" katanya seraya melompat-lompat mendekati sebuah pintu yang
tertutup. Laki-laki itu gerakkan tongkatnya mengetuk se-
buah batu per-segi empat yang menonjol di sebe-
lah atas pintu batu.
Terdengar suara bergerit. Pintu batu itu
bergeser dan terlihatlah sebuah lorong. Dalam lorong itu terdapat tangga undakan
yang menurun dan membelok kesebelah kiri.
Sesaat Nanjar tertegun memandang lorong
yang diterangi lampu- lampu obor kecil didinding
batu. "Sebuah tempat rahasia yang bagus! atau sebuah ruangan perangkap?" pikir
Nanjar dalam benak. Tapi si Dewa Linglung tak merasa jerih
untuk segera mengikuti dibelakang si Jagal Nya-
wa yang telah lebih dulu melompat menuruni
tangga batu memasuki lorong itu.
LIMA Nanjar tertegun ketika tiba disatu ruangan agak lebar. Seseorang bertudung
rumput yang menyembunyikan wajahnya, tampak duduk di-
atas sebuah batu berbentuk bulat. Lembu Teleng
segera menjura, seraya berkata.
"Ketua! aku telah membawa orang yang
kau pesan ini, dengan tanda-tanda lengkap seper-ti yang ketua maksudkan!"
Terdengar suara ketu-kan tongkat si laki-laki bertudung rumput. Lem-
bu Teleng mengerti. Cepat dia balikkan tubuh dan beranjak meninggalkan ruangan.
Terdengar suara
berderit, ketika pintu batu dalam ruangan itu
bergerak menutup.
"Hm, siapakah kau?" berkata Nanjar dengan sikap tenang.
Tak ada suara sahutan, kecuali suara
menghela napas. Namun tak lama terdengar sua-
ra orang itu. Suara yang bening merdu.
"Selamat datang ditempatku, sobat Dewa
Linglung.....!"
Nanjar kerutkan kening menatap orang itu.
Yang ditatap pelahan-lahan membuka tudung
rumputnya. Dan tampaklah seraut wajah wanita
berambut tergelung berwarna putih. Wajah seorang nenek tua yang kaku tanpa
senyum. "Masih ingatkah kau padaku?" bertanya wanita berjubah hijau ini. Ucapannya
diiringi gerakan melompat. Dalam sekejap dia telah berdiri di depan Nanjar.
Nanjar pentang mata memperhatikan siapa
adanya wanita itu.
"Ah! kalau tak salah bukankah kau si Seriti Hijau, Iblis Pulau Hantu?" sentak
Nanjar terkejut.
Beberapa bulan yang lalu Nanjar pernah
bertemu dengan wanita ini, ketika dalam perjalanan menuju kepulau Tangkil yang
terpencil ditengah laut. Wanita ini mencegat perjalannya, mem-
bocorkan perahu dan membakarnya dengan han-
taman pukulan Inti Api.
Tentu saja Nanjar marah dan mendongkol
bukan main dengan ulah si nenek itu. Dengan ba-


Dewa Linglung 18 Iblis Pulau Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ju basah kuyup dia melompat kedaratan pulau
aneh yang batu-batunya hampir rata-rata berben-
tuk menyeramkan.
Pertarungan tak dapat dihindarkan. Mere-
ka saling menguji kepandaian lawan.
Ternyata nenek tua itu berilmu tinggi.
Bahkan senjata tongkat hitamnya tak mempan
oleh ketajaman pedang pusaka Naga Merah yang
dimiliki Nanjar. Disaat pertarungan berjalan sudah lebih dari dua puluh jurus,
tiba-tiba si nenek jubah hijau itu berseru untuk menghentikan pertarungan.
Lengannya menunjuk kepulau Tangkil
yang letaknya tak seberapa jauh dari pulau aneh itu. Apa yang dilihat Nanjar"
Ternyata pulau akan ditujunya itu telah terbakar hebat. Ledakan-ledakan
menggelegar menghancur-leburkan pulau
itu. Dalam waktu tak lama saja pulau itu musnah tenggelam.
Sadarlah Nanjar kalau wanita tua itu ju-
stru telah menyelamatkan jiwanya dari kematian.
Mereka pun saling memperkenalkan diri.
Dari si nenek yang bernama persilatan Se-
riti Hijau, dan bergelar si Iblis Pulau Hantu itu, tahulah Nanjar kalau orang
yang mengundangnya
bermaksud mencelakai para tokoh persilatan, termasuk dirinya.
"Benar! ternyata kau tidak linglung, sobat Dewa Linglung! Tahukah kau apa
maksudnya aku mencarimu" Dan mengapa aku ingin bicara em-
pat mata padamu?"
Nanjar menggeleng. "Sama sekali tidak! ra-
hasia apakah yang akan kau katakan?" sahut Nanjar.
"Mari silahkan duduk, sobat Pendekar Na-
ga Merah! Kukira sudah saatnya aku mem-
perkenalkan diri, siapa aku sebenarnya....!" berkata wanita ini seraya
mendahului beranjak me-
langkah kesudut ruangan. Disudut ini terbentang sebuah tikar yang biasa
dipergunakan untuk ti-dur. Tak lama kemudian mereka telah sama
duduk berhadapan. Iblis Pulau Hantu menarik
sesuatu pada wajahnya. Tampaklah sebuah se-
raut wajah seorang wanita cantik berusia kira-
kira 25 tahun lebih.
Ternyata wanita ini mengenakan sebuah
topeng kulit yang mirip kulit manusia. Nanjar tertegun. Bagai seekor ular yang
berganti kulit saja, wanita itu menarik kulit-kulit palsu pada tangan dan kaki.
Kulit tua penuh keriput itu mengelupas habis. Yang tinggal adalah kulit halus
mulus, putih dan sedap dipandang.
Seorang wanita berparas cantik dengan
mata tajam membulat menatap Nanjar. Tatapan
yang mengandung arti dan sukar diketahui.
Nanjar terpaksa memandang, dan geleng-
geleng kepala sambil tersenyum.
"Ah...! sungguh Tuhan Maha Kuasa, dapat
ciptakan makhluk secantik kau, Seriti Hijau....!"
kata Nanjar memuji.
Untuk pertama kalinya Nanjar melihat bi-
bir si Iblis Pulau Hantu sunggingkan senyuman.
Akan tetapi cuma sekilas. Senyum itu kembali lenyap. "Nanjar! maukah kau
membantuku?" bisik wanita ini lirih. Sepasang matanya menatap Nanjar lekat-
lekat. Nanjar balas menatap dan ber-
tanya heran. "Membantumu" apakah yang harus kubantu?"
"Hm! aku bertanya apakah kau bersedia
membantuku?" ulang Seriti Hijau serius. Nanjar tertawa kecil. "Sebenarnya
pertanyaanmu sudah terjawab, nenek Iblis Pulau Hantu! Sebagai seorang yang tahu
diri, karena jiwanya pernah kau
tolong masakan aku harus menolak memban-
tumu" Asalkan untuk kebaikan, aku pertaruhkan
kepalaku untuk membantu, hitung-hitung mem-
balas jasa orang..." menjawab si Dewa Linglung.
"Kalau tidak karena membalas jasa, kau
tak akan mau membantuku?" tanya Seriti Hijau agak ketus. Nanjar garuk tengkuknya
yang tidak gatal. "Bukan begitu maksudku, nenek manis...
Tentu saja aku akan membantu siapa saja yang
memerlukan bantuanku, tak perduli membalas
jasa orang atau tidak. Yang penting demi kema-
nusiaan, dan untuk kebaikan! Nah! katakanlah,
apa yang harus kulakukan!"
"Bagus kalau begitu!" kata wanita ini. Untuk kedua kalinya Nanjar melihat bibir
Seriti Hijau tersenyum. Tapi kembali senyum itu lenyap.
Terdengar dia menghela napas, seperti merasakan beban berat yang menindih
dadanya. "Sebenarnya aku malu meminta perto-
longanmu... tapi hanya inilah jalan satu-satunya yang harus kutempuh!" berkata
Seriti Hijau lirih.
"Tahukah kau bahwa sebenarnya aku dalam keadaan terluka dalam akibat pertarungan
dengan seorang tokoh Rimba Hijau yang menginginkan
jiwaku?" lanjut Seriti Hijau. Nanjar tersentak kaget. "Aku sama sekali tak
mengetahui....! Siapakah tokoh persilatan itu" Mengapa dia mengin-
ginkan jiwamu?"
"Dia adalah orang yang telah mengun-
dangmu kepulau Tangkil!"
"Maksudmu si Pendekar Cendekiawan?"
sentak Nanjar terperangah. Seriti Hijau mengangguk. "Dia bukan seorang pendekar,
tapi manusia dajal yang berkedok pendekar!"
Nanjar jadi melototkan matanya lebar-
lebar. "Manusia keparat itu tengah kucari jejaknya. Sungguh tak kusangka kau
telah bertarung
dengannya! Dia benar-benar manusia licik, keji
dan telengas! Kalau tujuanmu adalah untuk
membantu melenyapkan manusia terkutuk yang
telah membunuh belasan pendekar itu, dengan
rela hati walaupun tak kau pinta aku siap mem-
bantumu!" kata Nanjar dengan lengan mengepal geram. "Bukan itu persoalannya..."
sahut Seriti Hijau tenang.
"Jadi... jadi apa maksudmu?" Nanjar jadi terheran. Lagi-lagi dia menggaruk
tengkuknya karena tak mengerti dengan maksud Seriti Hijau.
Wanita ini kembali menghela napas seje-
nak. Tiba-tiba dia menyibakkan jubah hijaunya
dibagian depan. Nanjar membelalakkan mata. Ke-
ruan saja si Dewa Linglung jadi terpukau, karena melihat sepasang aurat yang
membuntal padat
terpampang didepan matanya.
"Apa maksudmu?" sentak Nanjar dengan
wajah berubah. "Kau perhatikan sekitar dada dan perutku,
apakah tak kau lihat warna kehitaman?" kata Seriti Hijau. Nanjar tersentak.
Sadarlah dia kalau wanita itu tak berniat kotor seperti sangkaannya.
Benar saja apa yang dikatakan wanita itu. Di-
sekitar buah dada dan bagian atas pusar tampak
warna kehitaman. Agak samar karena ruangan
bawah tanah itu cuma diterangi obor-obor kecil
didinding ruangan.
"Ya! aku melihatnya...." kata Nanjar tergagap. Mau tak mau darahnya berdesir
melihat pe- mandangan didepan matanya.
Seriti Hijau kembali menutupkan jubah-
nya. Lalu berkata.
"Itulah luka dalam pada tubuhku akibat
pukulan beracun yang dilontarkan si Pendekar
Cendekiawan..."
Nanjar manggut-manggutkan kepala.
"Punya masalah apakah kau dengan manusia itu"
Tampaknya dia benar-benar mau membunuhmu
secara perlahan, agar kau mati secara tersiksa!"
"Masalahnya tak terlalu rumit. Karena aku
tak mau bergabung dengan dia. Tujuan si Pende-
kar terkutuk itu adalah menumpas semua kaum
pendekar lurus. Dan dia menginginkan aku seba-
gai pendampingnya. Tentu saja mau meman-
faatkan tenagaku demi kepentingannya!"
"Manusia gila! kukira dia orang yang tidak waras. Apakah dia bertujuan
mengangkat diri
menjadi orang yang berkuasa di Rimba Hijau?"
"Kukira begitu!" sahut Seriti Hijau.
"Racun apakah yang dipergunakannya?"
tanya Nanjar dengan perasaan khawatir. "Apakah kau memerlukan bantuanku untuk
membantu menyembuhkan luka dalammu?" tanya Nanjar.
Wanita ini tersenyum. Kali ini senyumnya
tampak melebar. Hingga dimata Nanjar wajah Se-
riti Hijau tampak semakin manis menawan hati.
"Dugaanmu tepat, sobat Dewa Linglung!
Racun yang dipergunakannya adalah racun yang
amat langka didunia ini. Racun ini diserap dari sejenis tumbuhan cendawan yang
hidup seratus tahun sekali. Aku tak tahu nama jenis Cendawan
itu. Menurut si Pendekar Cendekiawan, dalam
jangka waktu tak sampai enam bulan nyawaku
akan melayang, dengan didahului hancurnya ba-
gian-bagian dalam tubuhku sedikit demi sedikit.
Benar seperti yang kau katakan. Manusia terku-
tuk itu mau membunuhku secara perlahan-
lahan..." "Edan! benar-benar manusia setan, dede-
mit, iblis!" memaki Nanjar. Seriti Hijau tertawa mengikik. "Hihi... setan,
dedemit atau iblis sama saja masih satu keturunan!"
Nanjar garuk-garuk tengkuknya. "Haih, da-
lam keadaan terluka dalam sedemikian parah dan
menakutkan, masih sempat-sempatnya dia ter-
tawa..!" berkata dalam hati Nanjar.
Sehabis tertawa, wajah Seriti Hijau kembali
berubah keruh, seperti kehilangan semangat. Se-
telah menghela napas, Seriti Hijau berkata lirih.
"Sebaiknya kau mendengar ceritaku, sebe-
lum aku memerlukan bantuanmu, Nanjar...!"
Nanjar yang tengah memikirkan bagaimana ca-
ranya menolong jiwa wanita itu, cepat mengang-
guk. Dia memang ingin mendengar kisahnya ba-
gaimana sampai wanita itu bisa bersembunyi di
tempat rahasia ini, dan menjadi ketua dari partai Iblis Berkaki Satu.
ENAM Lembu Teleng berjalan mondar-mandir di-
luar ruangan. Tampaknya hatinya seperti resah.
Wajahnya sebentar merah padam, sebentar surut
memucat. "Hm, sekian lama aku menunggu, tapi perempuan itu belum memberi
jawaban. Rasanya
aku tak sabar lagi! Tapi aku masih khawatir pada dia. Apakah racun itu benar-
benar telah mem-pengaruhi dirinya?" berdesis Lembu Teleng alias si Jagal Nyawa.
Siapa sebenarnya Lembu Teleng ini" dialah
sebenarnya ketua partai Iblis Berkaki Satu, yang menguasai wilayah itu.
Pada dua bulan berselang seorang wanita
melangkah terhuyung melewati wilayah kekua-
saannya. Sebagai golongan para begal yang mela-
kukan kejahatan secara licik dengan cara main
serang lalu sembunyi, Lembu Teleng cepat mene-
rima laporan dari anak buahnya.
Tentu saja Lembu Teleng segera muncul
untuk melihat sang calon korban. Napsu iblisnya seketika timbul, karena dia
memang jarang melampiaskan kelaki-lakiannya diwilayah itu. Selain sebagai
buronan Kerajaan, juga dia terpaksa harus menghilangkan jejaknya dengan tak
muncul- kan diri dan bersembunyi di tempat rahasia itu.
Namun dia berpatokan, bahwa setiap orang
yang melewati tempat itu harus dibunuh, demi
keamanan dirinya.
Tak dinyana sang korban justru berilmu
tinggi, bahkan telah mengobrak-abrik anak
buahnya. Akibatnya dia dan semua anak buah-
nya harus bertekuk lutut di kaki wanita itu.
Lembu Teleng diberi kebebasan berbuat di-
luar, akan tetapi dalam kekuasaan si wanita itu.
Demikianlah, apa yang diperintahkan si wanita
selalu dituruti demi menjaga dirinya dari bahaya yang lebih besar. Namun selama
itu hasrat didalam dada Lembu Teleng tetap menggebu. Anta-
ra berani dan takut yang menjadi satu. Walau dia telah mengetahui kalau sang
Ketua sebenarnya
dalam keadaan terluka dalam sangat parah.
Tapi setelah membawa Nanjar menghadap
sang "ketua", Lembu Teleng merasa dirinya seorang yang teramat bodoh, karena
telah diperalat wanita itu. Namun tampaknya Lembu Teleng telah mempunyai rencana
sendiri dengan semua
itu. Rencana itu datangnya memang terlambat,
dan baru saat ini dia menyadari kebodohannya.
"Hm! tak apa! Terlambat atau tidak tak menjadi soal. Walaupun dengan adanya
pendekar muda bertampang tolol itu, toh mereka takkan dapat lolos dari perangkapku!" berkata
dalam hati Lembu Teleng. Tampak bibirnya bergerak menyeringai,
lalu menyelinap dari ruangan itu....
Secara singkat Seriti Hijau menuturkan ke-
jadian, sejak dia kalah bertarung dengan si Pendekar Cendekiawan yang licik dan
banyak tipu- daya. Dia terpaksa harus menyelamatkan diri dari kejaran manusia itu. Ternyata
si Pendekar Cendekiawan tak terus mengejar.
Karena manusia itu yakin bahwa suatu
saat, Seriti Hijau pasti akan mencari dia untuk mendapatkan obat penawar racun.
"Apakah saat ini si Pendekar Cendekiawan
berada di pulau Hantu?" tanya Nanjar.
"Dugaanmu tepat sekali, Nanjar! Manusia
licik itu memang menguasai pulau bekas tempat
berdiamku. Kukira dia masih setia menungguku.
Waktu enam bulan itu sudah tinggal satu bulan
lagi. Dan aku mulai mengalami penderitaan hebat sejak tadi malam. Sampai mati
aku tak akan mengemis padanya untuk meminta obat penawar ra-
cun. Untunglah aku sejak jauh-jauh hari telah
memesan pada anak buahku, orang-orang partai
Iblis Berkaki Satu untuk mencari kalau-kalau
melihat kau. Dan menahanmu untuk dibawa
menghadap aku. Secara kebetulan kau justru le-
wat diwilayah ini. Nasibku sungguh beruntung,
karena dipertemukan dirimu. Hanya kaulah ha-
rapanku untuk menyembuhkan luka dalam ditu-
buhku ini..."


Dewa Linglung 18 Iblis Pulau Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang harus kulakukan?" tanya Nanjar.
Seriti Hijau sejenak termenung. "Aku me-
nemukan sebuah kitab mengenai cara memus-
nahkan racun jahat. Secara kebetulan kau mem-
punyai pedang mustika yang dapat menyedot ra-
cun. Kau bisa gunakan cara itu untuk memban-
tuku mengeluarkan racun dalam tubuhku!" kata Seriti Hijau dengan suara perlahan.
Dalam ruang itu memang mereka tak bicara keras, karena
khawatir didengar orang-orang partai Iblis Berka-
ki Satu. Seriti Hijau secara singkat telah menuturkan kejadian, bagaimana sampai
dia diangkat sebagai ketua di tempat itu. Kalau tidak dengan cara cerdik mengakali mereka,
tentu siang-siang sejak beberapa pekan yang lalu Seriti Hijau sudah berbalik
dikuasai orang-orang partai Iblis Berkaki Satu. Karena mereka mengetahui dirinya
dalam keadaan terluka parah.
Apalagi dalam pertarungan menghadapi
Lembu Teleng, telah menguras tenaga dalamnya.
Dengan cara untung-untungan dia berhasil
menggertak laki-laki ketua partai itu. Padahal kalau Lembu Teleng mengetahui,
tentu dengan mu-
dah Lembu Teleng dapat merobohkan dirinya. Se-
dikit ilmu sihir yang dimiliki Seriti Hijau ternyata mampu membuat ciut nyali
Lembu Teleng. Dan untungnya pula Lembu Teleng me-
mang sedang sangat hausnya dengan perempuan.
Mungkin dia berharap suatu ketika dapat menak-
lukkan wanita cantik itu untuk melampiaskan
napsu bejatnya sebelum dia mengirim nyawa wa-
nita itu ke liang Akhirat.
Dengan alat-alat penyamar yang memang
selalu dibawanya, Seriti Hijau menyulap wajahnya didalam ruangan itu. Semakin
menciutlah nyali
Lembu Teleng. Hingga setiap perintah Seriti Hijau terpaksa harus dituruti.
Nanjar membelalakkan mata menatap wa-
nita itu. "Haih! dasar linglung! mengapa aku tak in-
gat kalau pedang mustikaku dapat kupergunakan
untuk menyedot racun?" sentak Nanjar. Hampir
saja dia menampar pipinya sendiri. Untung kebiasaan itu tak berkelanjutan.
Nanjar hanya mengu-
sap-usap pipinya sambil memaki kebodohannya.
Tapi dalam hati diam-diam Nanjar menge-
luh. "Celaka! bagaimana aku harus mengobati lu-kanya, kalau luka itu berada
dibagian..."
"Nah! tunggu apa lagi" segera kau mencoba
senjata pusakamu untuk menyedot racun ditu-
buhku! Walau aku masih ragu dengan cara per-
tama ini, tapi setidaknya tak membuat aku pena-
saran. Kalau memang berhasil memang yang ku-
harapkan. Tapi kalau gagal, terpaksa harus pakai cara kedua..."
"Apakah ada cara kedua selain mengguna-
kan pedang mustika ini?" sentak Nanjar yang tanpa ayal segera meloloskan pedang
mustika Na-ga Merah dari belakang punggung.
"Ya! cara kedua itu nanti saja dibicarakan, setelah mencoba dengan jalan ini.
Siapa tahu berhasil..." sahut Seriti Hijau seraya membuka jubahnya. Nanjar membelalakkan
mata sambil menahan napas. Lagi-lagi satu pemandangan in-
dah telah membuat dia secara tak sadar telah
menelan ludah. Entah mengapa tahu-tahu teng-
gorokannya serasa kering.
Seriti membaringkan tubuhnya terlentang
diatas tikar. Sebagian tubuhnya terbuka. Hanya
bagian bawah saja yang terbungkus jubah hijau
menutup aurat si wanita ini.
Walau dalam keadaan seperti itu, tapi Nan-
jar tetap sadar kalau bukan saatnya dia men-
gumbar perasaan hatinya. Dia harus menyela-
matkan jiwa wanita itu dari ganasnya racun yang mengeram ditubuh sang dara.
Nanjar telah siap mengerahkan tenaga da-
lamnya untuk menyedot racun melalui pedang
mustika Naga Merah. Dia segera pejamkan mata
untuk menghimpun kekuatan tenaga dalam.
Tampak lengannya menggetar dan berubah me-
rah. Sementara pedang mustika itu sendiri sema-
kin membersitkan sinar merah yang menerangi
sekitar ruangan.
Setelah Nanjar merasa kekuatan tenaga
dalamnya terkumpul, maka diapun telah siap un-
tuk memulai bekerja.
"Maaf, aku harus menoreh sedikit kulitmu
agar racun jahat itu dapat terserap, nona Seriti Hijau." berkata Nanjar seraya
membuka matanya.
Wanita ini mengangguk. Akan tetapi sebelum
ujung pedang digoreskan kekulit tubuh Seriti Hijau, mendadak wanita ini
mengeluh. Sepasang
matanya mendadak membuka. Tampak wajahnya
menyeringai seperti menahan rasa sakit yang
amat sangat. Detik itu juga wanita ini menjerit lirih. Len-
gannya bergerak memegangi dada dan perutnya.
Lalu tubuhnya menggeliat-geliat disertai rintihan kesakitan.
"Oh! aduuuh! Celaka!... ra... racun itu mulai bekerja lagi. Aaah...! adduuuh!
to... toloong aku Nanjar..."
Pendekar Penyebar Maut 8 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 Karya Marshall Pedang Penakluk Iblis 5
^