Pencarian

Iblis Pulau Hantu 2

Dewa Linglung 18 Iblis Pulau Hantu Bagian 2


Tentu saja Nanjar jadi terperanjat, dengan
mata membelalakkan kebingungan.
"Apa yang harus kulakukan" aku... aku be-
lum menoreh kulitmu!" berkata Nanjar dengan sikap serba salah.
"Jauhkan pedang mustikamu! Dan... ce...
cepat kau urut disini! Aduuuh...! aku tak tahan sakitnya...."
"Di.. disini?" tanya Nanjar dengan tergagap.
Sementara hatinya sendiri berdebar tak keruan.
"Ya! cepat lakukan! oh..."
Lengan Seriti Hijau mencekal erat perge-
langan tangan Nanjar, lalu diletakkan diatas dadanya. "Kerahkan hawa murnimu,
dan... urut sampai kebawah..." perintah wanita itu. Tentu sa-ja Nanjar seperti
gelagapan. Tapi mau tak mau
dia harus melakukan karena tak tega melihat wa-
nita itu yang mengerang-ngerang merasakan sakit pada isi dalam tubuhnya.
Dengan menahan napas dia cepat lakukan
seperti yang diperintahkan wanita itu. Kemudian menyalurkan hawa murni dari
kedua lengannya.
Ternyata hal itu mengurangi rasa sakit si wanita.
Tampak Seriti Hijau mulai mengurangi mengge-
liatnya. Wajahnya tak sepucat tadi. Bahkan be-
rangsur-angsur mulai memerah.
Sementara itu Nanjar sendiri seperti orang
yang serba salah. Hal demikian itu membuat da-
rahnya serasa mengalir lebih cepat. Bahkan sekujur tubuhnya mulai mengucurkan
keringat. Mendadak Nanjar berhenti mengurut, ka-
rena melihat wanita itu mulai tenang.
"Apakah telah hilang rasa sakitmu?" tanya Nanjar penuh kekhawatiran. Seriti
Hijau membu- ka matanya. Sepasang mata itu tampak redup.
Sedangkan napasnya tampak memburu.
"Agak lumayan...!" sahutnya lirih. Nanjar menghela napas lega.
"Apakah sewaktu-waktu kau menderita ke-
sakitan seperti ini?"
"Benar! Sejak sepekan ini hampir setiap
saat aku menderita. Dan baru bisa hilang rasa
sakit yang luar biasa itu setelah dilakukan cara seperti tadi. Aku... aku
melakukannya sendiri.
Tapi kali ini rasa sakit itu semakin bertambah sepuluh kali lipat. Aku tak
tahan, Nanjar! Oh! lebih baik aku mati saja...!" berkata Seriti Hijau seraya
mencoba duduk. Tapi dia mengeluh, dan terlentang lagi dengan menyeringai
kesakitan. "Jangan bergerak dulu...!" berkata Nanjar.
"Bagaimana" apakah aku boleh memulai
lagi?" tanya si Dewa Linglung setelah memperhatikan wanita itu sesaat. Dia harus
mengambil ke-putusan agar cepat mengeluarkan racun ditubuh
si wanita. "Jangan kau dekatkan lagi pedangmu,
Nanjar! Aku takut akan kejadian seperti tadi...!"
berkata wanita ini.
"Hm! jadi apa yang harus aku lakukan?"
tanya Nanjar serba salah.
"Kukira tak ada cara lain selain memakai
cara kedua..."
"Cara kedua" Ah, benar katamu! Nah! ka-
takanlah cara kedua itu. Segera aku mengerja-
kan. Mungkin cara tadi tak dapat dipergunakan!"
"Kau mau melakukannya?" tanya Seriti Hi-
jau lirih. "Demi kesembuhanmu, aku bersedia mela-
kukannya!"
"Cara kedua adalah.... kau harus melaku-
kan diriku seperti seorang suami terhadap is-
trinya..." berkata Seriti Hijau. Tentu saja Nanjar melengak. Hampir-hampir dia
berteriak kaget
mendengar apa yang dikatakan wanita itu.
"Kau... kau bicara benar atau ngaco?" sentak Nanjar dengan mata membelalak.
Seriti Hijau mengangguk perlahan. Wajahnya tak menampil-kan sikap dusta.
Pandangan matanya tampak po-
los. Bahkan tampak sepasang mata yang bulat
bening itu berkaca-kaca.
"Hal inilah yang diharapkan si Pendekar
Cendekiawan. Lalu apakah aku harus mengemis
padanya untuk melakukan penyembuhan dengan
cara ini padanya?" kata Seriti Hijau dengan suara tergetar.
Nanjar terpaku menatap wanita itu tak
bergeming. Lalu tertunduk dengan perbagai pera-
saan memenuhi benaknya. Apakah yang harus di-
lakukan" Membiarkan wanita itu tanpa memper-
dulikannya, atau melaksanakan pengobatan den-
gan cara gila itu"
"Aku telah berhutang budi padamu, nona
Seriti Hijau. Kalau tak ada cara lagi selain itu...
yah! apa boleh buat." akhirnya Nanjar berkata lirih. "Aku tak akan melupakan
budi kebaikan-mu, Dewa Linglung...." membisik Seriti Hijau dengan terharu. Dan
Nanjar pun segera meloloskan
pakaiannya.... TUJUH ADIPATI Rah SANCA menggamit pinggang
gadis cantik berkerudung hitam itu dengan terta-wa menyeringai.
"Hahaha... malam ini kau harus menerima
lamaranku, Larasati!"
Wajah gadis ini berubah pias. Dia berusaha
menepiskan lengan laki-laki abdi Kerajaan itu.
Tapi sekali sentak tubuh gadis itu sudah berada dalam pelukannya.
"Gusti Adipati! ini aku belum bersedia un-
tuk itu!" berkata gadis ini seraya meronta.
"Heh! sampai kapan aku harus menunggu"
Selama ini aku masih bersikap sabar menunggu
jawabanmu. Apakah aku harus memakai keke-
rasan?" sungut Adipati Rah Sanca, seraya mendo-rong tubuh gadis itu hingga
membentur dinding
ruangan kamar. "Kekerasan bukanlah jalan yang dapat di-
benarkan. Bukankah telah hamba katakan bahwa
hamba harus menunggu sampai ramanda hamba
pulang dari menjalankan- tugas. Hamba harus
mendapat restu dari ramanda..." kata gadis ini dengan sikap tenang.
Sepasang mata si gadis yang tersembul da-
ri lipatan kerudung hitam yang menutupi wajah-
nya menatap sang Adipati dengan sorot tajam.
"Bagus! kau memang seorang yang sangat
menghormat orang tua. Tapi malam ini kau harus
melayaniku. Kau tak dapat menolak lagi dengan
alasan apapun!" berkata Adipati Rah Sanca dengan suara ditekan. Wanita
berkerudung ini ter-
sebut mundur. "Gusti Adipati! Tak ada cara kekerasan da-
lam melamar orang. Apalagi memaksa melakukan
sesuatu yang diluar hukum. Apakah demikian
buruknya sikap seorang abdi Kerajaan?"
Sesaat Adipati ini melengak. Tapi segera
mengumbar tawa tergelak-gelak.
"Bagus! aku menyukai kekerasan hatimu.
Tapi terlambat! Kukira keteranganku ini bisa
membuat kau mengetahui bahwa kekuasaan di-
wilayah ini berada dalam genggaman tanganku.
Nah! dengar baik- baik, bocah manis. Ramanda-
mu Tumenggung Banyuroto telah tewas ketika
menjalankan tugas. Berarti tak ada yang harus
kau tunggu-tunggu lagi!" berkata sang Adipati dengan tersenyum.
Adipati Rah Sanca cepat menyambung ka-
ta-katanya. "Tak usah bersedih. Bukankah kau berada
dalam perlindunganku" Ramandamu tewas seba-
gai kesatria. Gugur sebagai kesuma bangsa!"
Laki-laki Adipati ini mengira gadis itu akan
menjerit kaget, lalu menangis terisak-isak. Akan tetapi alangkah terkejutnya
ketika justru suara bentakan nyaring yang didengarnya.
"Manusia terkutuk! kaulah pembunuhnya!"
Sekali renggut gadis itu lepaskan kain kerundung penutup wajahnya. Adipati Rah
Sanca tersentak,
wajahnya berubah kaget.
"Hah! kau bukan Larasati" Siapa kau?"
bentaknya serasa melangkah mundur setindak.
"Hm! aku memang bukan Larasati. Tapi
aku adalah orang yang pernah kau jerumuskan
dalam kehinaan. Selama ini aku telah melacak jejakmu. Ternyata kau pandai
menyulap dirimu
menjadi seorang Adipati diwilayah ini! Heh! Namun kebusukanmu terbongkar karena
ulah per- buatanmu sendiri!"
Mata Adipati Rah Sanca melotot lebar men-
jalari sekujur tubuh wanita dihadapannya dari
ujung rambut sampai kekaki.
"Kau... kau GIRIRANTI...?" sentaknya terkesiap. Wanita dihadapannya tertawa
dingin. "Bagus! ternyata ingatanmu masih tajam, manusia
bejat! Masih ingatkah kau pada perbuatan yang
kau lakukan bersama empat orang saudara se-
perguruanmu, terhadap diriku?"
Rah Sanca menelan ludah. Kakinya kemba-
li menyurut mundur. Akan tetapi tak lama dia
sudah dapat menguasai diri lagi.
"Ah, sudahlah, Giriranti...! Jangan mengingat masa lalu. Kau ternyata masih
tetap cantik seperti dulu. Kuakui memang akulah yang meru-
sak kehormatanmu pertama kali. Tapi saat itu
aku dalam keadaan khilap. Sebenarnya aku kasi-
han melihat kau menjalani hukuman guru men-
dekam dipenjara besi bawah tanah! Pernah tersi-
rat dalam benakku untuk menolongmu keluar da-
ri tempat hukuman itu, untuk membawa lari kau.
Tapi.... apakah yang arus kuperbuat" Sukurlah
seseorang telah menolong dirimu. Kuharap kau
mengerti, aku... sangat mencintai dirimu..." kata Adipati Rah Sanca dengan suara
dibuat setenang
mungkin. "Gombal! laki-laki semacammu memang
pandai memutar lidah. Aku sudah dapat memba-
ca jalan pikiranmu. Hm! kau kira semudah itu
mengakali aku?" membentak Girianti dengan suara dingin.
"Ketahuilah! kedatanganku adalah untuk
mengambil nyawamu! Dosamu sudah melebihi
takaran. Dengan jabatan Adipati yang kau san-
dang bahkan membuat kau semakin bertindak
sewenang-wenang. Kekuasaanmu telah kau per-
gunakan hanya untuk kesenangan hatimu bela-
ka. Kau kira aku tak mengetahui perbuatanmu
selama ini" Selain kau, akupun akan mengirim
pula nyawa empat orang manusia keparat pengi-
kutmu yang juga telah menodai diriku!" berkata Giriranti dengan napas memburu
dan wajah semakin kelam membesi.
"Hahaha... ilmu kepandaian macam apa-
kah yang akan kau tunjukkan dihadapanku, bo-
cah manis?" mengejek Adipati ini. Namun dalam hati Rah Sanca dia membathin.
"Selama lebih dari tiga tahun menghilang, tentu anak ini telah memiliki ilmu
kepandaian yang tidak boleh dianggap enteng, hingga berani sesumbar sedemikian
rupa. Entah siapa orang yang telah menolongnya keluar dari penjara bawah tanah itu..."
Tapi sedikitpun tak nampak keterkejutan
pada wajah Rah Sanca. Bahkan dengan bertolak
pinggang dia berkata mengejek. "Nah! segera kau tunjukkan kebolehanmu, anak
manis! Ingin sekali aku melihat, apakah ilmu kepandaianmu telah
semakin maju...!"
"Bagus! kau bersiaplah untuk menemui ke-
matian!" membentak Giriranti.
Tanpa menunggu lagi Giriranti lancarkan
serangan dengan dua kepalan menghantam ke
arah dada lawan. Inilah jurus yang dinamakan
Dua Kepalan Dewa. Rah Sanca cepat mengegos
menghindari serangan. Tampaknya sangat men-
ganggap enteng serangan bekas saudara sepergu-
ruannya ini. Tak dinyana angin pukulannya saja membuat tubuhnya terhuyung, dan
hawa panas menyerempet kulit tubuhnya.
"Gila! apakah tenaga dalamnya telah sede-
mikian tinggi?" sentak Rah Sanca dalam hati. Walau begitu Rah Sanca tak
memperlihatkan keter-
kejutannya. "Serangan bagus! Ternyata jurus Dua Kepalan Dewa telah dapat kau
mainkan dengan baik!" berkata Adipati ini.
"Hm! bukankah kau telah berhasil mencuri
kitab yang disembunyikan paman Jipang Galih,
dan telah menguasai isinya" Pergunakanlah ilmu
yang kau dapat itu untuk mempertahankan nya-
wamu!" kata Giriranti dingin.
"Bocah sombong!" maki Rah Sanca. Nafasnya memburu, karena dia merasa dianggap
en- teng oleh gadis bekas saudara seperguruannya
separtai. "Jaga seranganku!" bentaknya. Dan mener-
janglah Rah Sanca dengan jurus-jurus maut yang
dilancarkan secara beruntun.
Giriranti telah siap untuk menghadapi se-
rangan Adipati ini. Tentu saja dia segera mengim-banginya dengan mengeluarkan
jurus-jurus sim-
panannya. Sebentar saja ruangan itu telah men-
jadi ajang pertarungan.
Akibatnya tembok ruangan ambrol, dan
mereka meneruskan pertarungan diluar ruangan
gedung Tumenggung itu. Jelaslah kalau gadis itu tak dapat dengan mudah untuk
dirobohkan. Setiap serangan selalu dapat dihindarkan dengan
baik. Bahkan setelah lewat belasan jurus, tampak Rah Sanca mulai terdesak.
Dalam hati Rah Sanca terkejut bukan
main, karena setiap jurus yang dipelajari dalam kitab pusaka yang dicurinya
seperti telah dapat terbaca oleh Giriranti. Namun dia belum lagi
mengeluarkan jurus-jurus istimewa karena masih
mengharapkan gadis itu dapat dirobohkan tanpa


Dewa Linglung 18 Iblis Pulau Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terluka berat. Dalam benak laki-laki berotak kotor ini masih mengharap dapat
mengulang mencicipi
kehangatan tubuh sang dara.
Mendadak Rah Sanca berseru keras. Seke-
tika dia merobah serangan dengan jurus-jurus tipuan. Inilah jurus-jurus yang
dinamakan jurus
Memancing Naga Meninggalkan Sarangnya. Giri-
ranti agak terkecoh. Serangan-serangan tipuan ini agak membingungkan dia.
Apalagi saat itu hatinya dibakar dendam sedalam lautan untuk
membunuh lawannya.
Sebenarnya hal ini takkan terjadi, karena
dalam setiap pertarungan harus dapat bersikap
tenang serta konsentrasi yang baik. Kelebihan
emosi dapat membuat orang kehilangan kontrol,
dan dapat mengakibatkan kefatalan pada dirinya
sendiri. Tampaknya Rah Sanca tahu gelagat baik.
Hal itu cepat dimanfaatkan. Sambil menyerang
dia membuat ejekan-ejekan yang membuat panas
hati si gadis. Tentu saja Giriranti semakin berang.
Beberapa kali sudah dia terjebak serangan ti-
puan. Nyaris saja serangan lawan mengenai sasa-
ran. Beruntung dia memiliki kegesitan yang luar biasa. Hingga tak sampai dia
kecolongan. Namun ketika pada saat Rah Sanca menye-
rang ke arah selangkangan dengan disertai ejekan yang menyakitkan hati, dia tak
dapat menahan emosi yang membakar dada. Giriranti sempat
menghindar dengan melompat dua tombak ber-
jumpalitan. Tak dinyana serangan itu lagi-lagi
cuma tipuan. Justru Rah Sanca telah dapat
memperhitungkan kemana arah bergerak lawan.
Disaat itulah dia merobah gerakan. Ka-
kinya menotol tanah. Dan tubuhnya melambung
keudara hampir bersamaan dengan lompatan sal-
to Giriranti. Detik itulah kakinya bergerak menghantam.
BUK! Tak ampun tubuh dara itu terlempar me-
layang dan jatuh bergulingan di tanah. Rah Sanca tak berhenti sampai disitu.
Ketika kedua kakinya hinggap di tanah, langsung melompat mengejar
tubuh lawan yang berguling-guling.
Giriranti terperangah kaget. Tulang pung-
gungnya serasa remuk terkena hantaman kaki
lawan. Ketika tubuhnya gulingan tubuhnya ber-
henti, secara reflek dia meloloskan pedang tipisnya yang terbelit dipinggang.
Saat itulah dengan mengumbar tertawa
Rah Sanca gerakkan lengannya menotok gadis
itu. Didetik itulah kilatan pedang Giriranti menyambar...
Rah Sanca terperangah kaget. Tapi terlam-
bat. Pedang tipis gadis itu telah menghunjam ke-lambungnya. Terasa benda dingin
menembus daging tubuhnya, membuat rasa ngilu pada
ususnya. Tubuh laki-laki ini limbung. Matanya mem-
belalak dengan wajah menyeringai menahan sakit
yang terasa sampai keubun-ubun. "Kau... kau..."
suara Rah Sanca tergetar.
"Saat kematianmu telah tiba, manusia daj-
al!" berkata dingin Giriranti. Dan sekali menyen-takkan pedangnya, seketika
darah memuncrat,
diiringi untaian usus yang ambrol keluar dari kulit perut laki-laki itu. Rah
Sanca mengerang bagaikan suara kerbau disembelih. Darah meman-
cur dari luka lebar yang mengoyak lambung.
Tubuh laki-laki ini terhuyung-huyung. Ma-
tanya membeliak semakin lebar. Kemudian den-
gan suara teriakan parau, tubuh Adipati itu roboh terkapar di tanah. Setelah
mengalami sekarat, beberapa saat kemudian nyawanya pun melayang...
Giriranti tegak mematung bagai arca. Ma-
tanya menatap dingin pada sosok tubuh yang ter-
lentang berkubang darah didekat kakinya. Tak
lama terdengar suara helaan napas gadis ini se-
perti lega dari perasaan yang menindih dadanya.
Dia mendongak menatap mega putih yang bera-
rak dilangit. "Guru...! masih empat manusia lagi yang
harus kulenyapkan, untuk membayar lunas den-
dam kesumatku..." terdengar suaranya bergumam. Kemudian gadis ini cabut serangka
pedang yang membelit dipinggang. Pedang berlumur da-
rah itu dibersihkan dirumput. Lalu memasukkan
kembali pedang tipisnya kedalam serangka. Ke-
mudian berkelebat pergi dari tempat itu....
DELAPAN Dua pasang mata sejak tadi memperhati-
kan jalannya pertarungan itu, hingga berakhir dengan kematian sang Adipati
dengan lambung ro-
bek, dan isi perut membusai keluar. Ketika wani-ta itu berkelebat cepat
meninggalkan tempat itu, kedua sosok tubuh ini melompat keluar dari tempat
persembunyian. Mereka dua orang berlainan jenis. Satu pe-
rempuan satu laki-laki. Kiranya tak lain dari Nanjar dan wanita kawannya adalah
Seriti Hijau alias si Iblis Pulau Hantu. Bagaimana sampai mereka
berada di tempat ini" Tentu saja tak terlalu sukar diterka. Setelah Nanjar mau
tak mau terpaksa
melakukan cara gila demi menolong jiwa wanita
itu, maka terlihatlah tampak jelas buktinya. Ling-karan kehitaman di sekitar
dada dan perut Seriti Hijau hilang tanpa bekas.
Tapi sebaliknya racun jahat itu justru
mengendap dalam tubuh Nanjar. Akan tetapi ter-
nyata Nanjar berakal cerdik. Selama mengobati
dia telah memindahkan racun dengan menyalur-
kannya kedalam badan pedang mustika yang di-
genggamnya. Dengan cara itu racun jahat terse-
but cuma lewat melalui aliran darahnya dan langsung meresap ke dalam pedang.
Tampak badan pedang dalam genggaman-
nya berubah menghitam, menutup sinar merah
pedang mustika Naga Merah itu. Proses lewatnya
racun itu tak urung membuat Nanjar terkulai te-
rengah-engah, karena harus memporsir tenaga
dalam untuk menyedot racun melalui cara gila,
yang hampir-hampir membuyarkan konsentra-
sinya. Seriti Hijau melompat bangun, dengan air mata menggenang di pelupuk mata.
Lalu menarik kain selimut untuk menutupi tubuhnya. Nanjar
masih terlentang terengah-engah. Matanya terpe-
jam. Sementara keringat hampir membasahi se-
kujur tubuhnya.
Wanita ini mulai merasakan perobahan
pada tubuh dan aliran darahnya, yang kembali
normal. Wajah yang tadi tampak pias itu kini berangsur-angsur kembali memerah.
Tampaknya Seriti Hijau masih belum pulih benar dari alam
kenyataan yang telah menyembuhkan luka da-
lamnya. Dalam proses pengobatan itu dia menga-
lami dua kali pingsan.
Sukmanya seperti entah melayang kemana
yang menyeret dirinya kealam mimpi.
Namun dalam keadaan setengah sadar ta-
di, dia mendahului melompat bangun dan me-
nyambar jubah untuk menutupi tubuhnya. Na-
mun kini berangsur-angsur ingatannya kembali
pulih. Air matanya menggenang ketika dia sadar
dari kenyataan itu. Seketika wajahnya berubah
memerah, dan semakin merah. Hampir semerah
seonggok darah yang menggenang diatas tikar.
Hati wanita ini tersentak. Lalu tundukkan
wajahnya. Terasa air hangat mengalir kepipi. Namun cuma sesaat. Tampak seulas
senyum terukir pada sudut bibirnya. Hatinya terasa lega. Dia tak merasa telah kehilangan.
Bahkan ada rasa baha-gia yang sukar terlukiskan tampak pada raut wa-
jahnya. Seriti Hijau melompat berdiri, dan dengan
cepat mengenakan jubahnya dengan tubuh mem-
belakangi Nanjar. Hampir bersamaan dengan ber-
geraknya wanita itu, si Dewa Linglung pun me-
lompat bangun. Matanya membelalak melihat
keadaan dirinya sendiri. Hampir-hampir dia ber-
teriak kaget. Tapi segera sadar dari linglungnya.
Cepat dia membereskan pakaiannya.
Baru saja selesai, suara lirih Seriti Hijau
menyibak keheningan dalam ruangan itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Nanjar!
Kini aku yang berhutang budi padamu..." Nanjar garuk-garuk tengkuknya dengan
mata menatap tajam wanita dihadapannya.
"Kau telah sembuh dari pengaruh racun
itu?" tanyanya ragu. Seriti Hijau balikkan tubuh.
Tampak bibirnya sunggingkan senyuman, seraya
kepalanya mengangguk. Kemudian melangkah
mendekati si Dewa Linglung yang terpaku mena-
tap wanita itu.
Dua langkah didepan Nanjar, wanita ini
berhenti. Mendadak wanita ini sibakkan jubahnya dibagian dada. Nanjar tersentak.
Benaknya memikir. "Apa lagi yang diinginkan gadis ini" Apakah dia mau mengulangi
perbuatan gila itu" Ah! gila!
benar-benar gila!"
Akan tetapi wanita itu segera berkata lirih.
"Kau lihatlah! tanda kehitaman disekitar
dada dan perutku telah lenyap...! Kau telah menolong jiwaku...! Entah bagaimana
caranya aku membalas budimu?" Benar saja. Ketika Nanjar memperhatikan, warna kehitaman itu
telah lenyap tanpa bekas. Dia manggut-manggutkan ke-
pala. Dan Seriti Hijau segera melipat kembali jubahnya.
Barulah Nanjar sadar kalau dia telah men-
galirkan racun ditubuhnya yang berhasil menye-
dot racun jahat pada tubuh wanita itu telah di-alirkan kepedang mustikanya.
Cepat dia balikkan tubuh dan menjumput pedang Naga Merah yang
menggeletak dibagian ujung tikar.
Lalu memperhatikan badan pedang yang
menghitam, menutup sinar merah pedang musti-
ka itu. Nanjar berpikir sejenak. Tak lama tampak dia berdiri dengan menyilangkan
kedua lengan diatas dada dengan mencekal erat gagang pedang.
Sesaat terlihat tubuh si Dewa Linglung agak
menggetar. Ternyata dia tengah mempergunakan
cara untuk mengeluarkan racun yang terserap di-
pedang mustika itu.
Dengan kerahkan hawa murni serta kekua-
tan tenaga dalamnya, Nanjar mengusir keluar ra-
cun yang meresap dibadan pedang. Proses ini tak memakan waktu lama. Selang
sepeminuman teh,
tampak asap hitam mengepul dari ujung pedang
berbentuk ekor naga itu.
Perlahan-lahan warna hitam yang menutup
badan pedang tampak lenyap, dan pedang musti-
ka itu menampakkan cahaya aslinya. Merah, se-
merah darah. Nanjar cepat masukkan pedang dalam se-
rangkanya, tak lupa menyelipkan seruling tu-
langnya kebalik baju gombrongnya. Kemudian
memberi isyarat pada wanita itu seraya melompat mendekati.
"Tutup jalan pernapasanmu! kita harus se-
cepatnya meninggalkan tempat ini!" bisik Nanjar.
Wanita itu mengangguk. kemudian menuruti pe-
rintah menutup hidungnya dengan cepat.
"Jalan sini!" bisik Seriti Hijau, ketika melihat Nanjar akan melompat ke arah
pintu batu. Seriti Hijau menekan sebuah batu persegi
yang menempel dinding ruangan. Sebuah lubang
menganga ketika dinding itu bergeser. Wanita ini cepat merundukkan kepala
memasuki lubang rahasia itu. Kemudian menyusul Nanjar.
Dengan mengikuti dibelakang si Seriti Hi-
jau, Nanjar tak henti-hentinya memuji kecerdikan wanita itu. Demikianlah,
akhirnya mereka muncul dibelakang bukit dekat sebuah air terjun.
Mereka menyempatkan diri untuk mandi
membersihkan tubuh diair terjun. Tak dapat dice-ritakan lagi, bahwa keakraban
sebentar saja telah terjalin demikian erat diantara keduanya. Mereka
meninggalkan tempat yang membawa kenangan
itu dengan seribu satu kesan. Tampak Seriti Hijau menggelendot manja mencekal
erat lengan si De-wa Linglung ketika keduanya melangkah pergi da-
ri tempat itu....
Sementara itu Lembu Teleng ternyata telah
mengatur rencana untuk mengerjai dua orang
yang berada diruang rahasia. Lembu Teleng
membawa sesuatu ketika keluar dari gudang
tempat menyimpan bahan makanan. Wajahnya
nampak menyeringai. Lalu berindap-indap men-
dekati ruangan dimana sang ketua mengurung di-
ri. "Dasar otakku tumpul! aku tak ingat kalau
masih menyimpan sisa bahan peledak berisi obat
bius ini. Haha.. hehe... dengan cara ini aku akan membereskan mereka. Si Setan
cantik berilmu tinggi itu sudah kuketahui kalau dia terluka dalam. Markas rahasiaku rupanya
hanya digunakan
sebagai tempat persembunyian! Dengan benda-
benda ini akan terbebaslah aku dari tekanan si
setan cantik itu. Dan kawannya si pendekar mu-
da tampang bego itu segera kukirim nyawanya ke
Akhirat. Dan... haha... hehe.. aku akan dapat
mencicipi kehangatan tubuh si setan cantik!" pi-
kiran-pikiran kotor Lembu Teleng memenuhi
otaknya. Tiba didepan pintu batu yang masih tertu-
tup seperti tadi, Lembu Teleng siap menjalankan rencananya. Lengannya bergerak
menekan batu empat persegi di bawah pintu. Ketika pintu batu itu berderit menggeser terbuka,
cepat dia menggi-git tali-tali sumbu yang menjulur dikedua benda bahan peledak
ditangannya. Detik selanjutnya dengan cepat dia melem-


Dewa Linglung 18 Iblis Pulau Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

parkan kedua buah benda bahan peledak itu ke-
dalam ruangan tersebut. Kemudian segera menu-
tup kembali pintu batu itu dengan menekan tom-
bol rahasia. Lembu Teleng tak terus beranjak dari tem-
patnya. Lengannya siap menghantam bila orang
yang dikerjai menerobos lewat pintu itu. Tapi dia yakin akan keampuhan senjata
bahan peledak berisi obat bius itu yang mampu bekerja cepat.
Selang kira-kira sepenanak nasi, tak ada
tanda-tanda bergesernya pintu batu. Berarti rencana yang dijalankan berhasil
dengan baik. De-
mikian pikir laki-laki ini. Lembu Teleng menekap hidungnya dengan sehelai kain
Lalu menekan tombol pembuka pintu batu. Ketika pintu batu itu bergeser membuka, langsung dia
melompat kedalam ruangan.
Asap putih tipis masih tampak memenuhi
ruangan. Mata Lembu Teleng menjalari sekitar ruangan itu. Akan tetapi seketika
dia jadi tersentak kaget, karena tak menjumpai adanya dua orang
yang terkapar diruangan itu seperti yang di-
bayangkannya. "Setan belang! kemana perginya kedua ku-
nyuk itu?" mendesis Lembu Teleng. Tiba-tiba dia melihat sebuah lubang menganga
didinding sebelah kiri ruangan. Sekali gerakkan kaki dengan
menekan tongkatnya, dia telah melompat men-
dekati. Alangkah terperanjatnya Lembu Teleng ketika menyadari bahwa kedua orang
itu telah meloloskan diri lewat pintu rahasia.
"Keparat! dua kunyuk itu telah minggat le-
wat pintu rahasia ini?"" Edan! Haih! otakku be-
nar-benar tumpul! mengapa aku tak ingat kalau
dalam ruangan ini ada jalan rahasia...?"?"
Lembu Teleng membanting kakinya dengan
geram. Lalu melompat keluar dari ruangan itu....
SEMBILAN Siapakah perempuan yang hebat itu" Se-
lain berilmu tinggi tampaknya dia juga sangat telengas!" berkata Nanjar. "Urusan
dendam seperti ini kita tak bisa mencampuri..."
"Benar! seperti yang telah kita dengar perempuan itu pernah dinodai Adipati ini,
bersama empat orang kawannya! Tampaknya mereka bekas satu perguruan! Jelas
Adipati ini pun bukan manusia baik-baik. Kematian dengan cara seperti ini cukup
setimpal dengan perbuatannya!" kata Seriti Hijau dengan wajah dingin menatap
sosok tubuh Rah Sanca yang membusai isi perutnya.
Nanjar manggut-manggutkan kepala, Tiba-
tiba Nanjar tempelkan telunjuknya keatas bibir.
"Sssst! ada orang datang....! Cepat kita sembunyi!" Keduanya cepat berkelebat
kembali ketempat persembunyian yang tadi.
Benar saja! Selang dua kali sepeminuman
teh tampak empat orang berkuda mendatangi
tempat itu. Siapa sangka kalau mereka adalah
empat orang perwira kerajaan. Dan siapa adanya
mereka tak lain dari bekas orang-orang pergu-
ruan partai Rajawali Putih.
Melihat keadaan gedung Tumenggung yang
temboknya hancur, mereka sudah terkejut. Apa-
lagi melihat seseorang yang terkapar di tanah
berkubang darah, lengkap dengan pakaian Adipa-
ti. Seketika mereka melompat turun dari atas
kuda masing-masing dan memburu ke arah
mayat itu. "Gusti Adipati?""... Hah! siapa yang telah membunuhnya?" sentak salah seorang
dengan wajah pucat. Keempat orang ini terperanjat kaget hingga berteriak tertahan.
Detik itulah tiba-tiba terdengar bentakan
keras melengking tajam.
"Setan-setan terkutuk! bagus, kalian da-
tang mengantar nyawa!"
Disusul dengan berkelebatnya sesosok
bayangan dari belakang reruntuhan tembok ge-
dung. Sekejap saja di tempat itu telah berdiri tegak sesosok tubuh. Siapa lagi
kalau bukan wanita tadi, yaitu Giriranti.
Ternyata Giriranti yang pergi dari tempat
itu, dikejauhan melihat empat ekor kuda menda-
tangi. Hatinya tersentak, dia menduga pastilah
empat penunggang kuda berpakaian perwira ke-
rajaan itu akan menuju kegedung Tumenggung.
Walau belum dapat memastikan siapa
adanya mereka, tapi gadis ini segera berkelebat mendahului kembali ke arah
gedung. Lalu sembunyi direruntuhan tembok. Ge-
rakan gadis inilah yang ditangkap pertama kali
oleh Nanjar. Dia tak menduga kalau kemudian
muncul empat penunggang kuda terdiri dari
orang-orang perwira kerajaan.
Kemunculan empat perwira ini membuat
Giriranti girang bukan main. Siapa mengira kalau musuh-musuh yang dicarinya
telah datang sendiri tanpa dia harus bersusah payah mencari. Sege-ra dia
mengenali wajah-wajah keempat orang be-
kas satu partai yang telah menodainya itu.
Empat orang ini terkejut melihat muncul-
nya seorang gadis berwajah dingin bertolak pinggang dihadapan mereka.
"Siapakah kau, nona" mengapa mengang-
gap kami setan-setan terkutuk?" bentak Ulo Rowo dengan terheran. Tapi hatinya
telah mendapat pi-rasat buruk.
"Huh! ternyata orang-orang partai Rajawali Putih pandai menyamar menjadi
perwira-perwira
kerajaan! Tapi samaran kalian sudah terbuka ke-
doknya. Akulah Giriranti. Hidupku takkan tenang sebelum melenyapkan nyawa kalian
yang telah banyak menumpuk dosa! Kalian segera akan me-
nyusul manusia terkutuk tuan besarmu itu ke
Neraka!" Bagai melihat roh halus saja layaknya me-
reka belalakkan mata lebar-lebar terperangah.
"Giriranti" murid ketua partai Rajawali Putih?" sentak Ulo Rowo. Seketika
keempat perwira ini melangkah mundur dengan wajah pucat.
"Bagus! kalian masih ingat aku, berarti kalian juga masih ingat perbuatan
terkutuk kalian terhadap diriku!" bentak Giriranti dengan suara sedingin es
Tanpa dikomandokan lagi keempat perwira
ini serentak mencabut senjatanya. Ulo Rowo ber-
senjatakan sepasang tombak pendek. Sedangkan
ketiga kawannya mencabut klewang dari pinggang
masing- masing.
Detik selanjutnya mereka segera menerjang
gadis itu dengan tabasan-tabasan dan tusukan
maut. Namun Giriranti bukanlah gadis yang seta-
raf lagi ilmunya walaupun keempatnya telah ber-
tambah pula ilmu kepandaiannya. Kakak seper-
guruan mereka Rah Sanca saja yang menguasai
penuh kitab pusaka Rajawali Putih menemui ajal
ditangan gadis itu. Apalagi mereka yang cuma sedikit saja mempelajari tak sampai
sebagian ilmu dalam kitab pusaka tersebut.
Kelebatan tubuh Giriranti bagaikan bayan-
gan, bergerak lincah menghindari serangan. Kege-sitannya laksana seekor walet.
Hingga serangan-
serangan mereka hanya mengenai tempat kosong.
Nanjar dan Seriti Hijau terus memperhati-
kan jalannya pertarungan. Diam-diam dalam hati
mereka memuji kelincahan dan kegesitan gadis
itu. Selang waktu empat belas jurus, tiba-tiba Giriranti merobah gerakannya.
Tubuhnya men- dadak lenyap dari pandangan keempat lawannya.
Gerakan aneh dengan jurus Menipu
Bayangan itu membuat mereka kehilangan jejak
dan tak mengetahui kemana lawan mereka berke-
lebat. Ternyata bukan keempat perwira itu saja yang keheranan. Tapi juga gadis
itu sendiri terheran-heran. Jelas dia masih berdiri tegak diantara keempat
lawannya. Tapi aneh! justru empat perwira itu memburu ketempat kosong.
Sebenarnya tidaklah aneh! karena tampak
tadi bibir Seriti Hijau tampak bergerak-gerak.
Nanjar yang juga terkejut dengan sikap keempat
perwira itu akhirnya mengetahui kalau si Iblis Pulau Hantu yang tak berapa jauh
dari tempat per-
sembunyiannya, telah mempergunakan ilmu
mengirim suara jarak jauh untuk membisiki gadis itu. Kesempatan baik itu segera
dipergunakan Giriranti untuk menggunakan pedang tipisnya.
Detik itu juga tubuhnya berkelebat. Kilatan-
kilatan menyilaukan mata membilas udara. Dan...
seketika itu juga terdengarlah jeritan-jeritan men-gerikan merobek udara.
Darah memuncrat disana-sini diiringi ro-
bohnya empat perwira kerajaan itu. Selanjutnya
tampak perwira-perwira kerajaan itu berkelojotan meregang nyawa. Satu
diantaranya langsung tewas dengan leher hampir putus. Dua orang robek
lambungnya dan yang seorang mukanya berlu-
muran darah. Ternyata pedang tipis gadis itu telah membelah hampir sebagian
kepala perwira ini. Tak sampai hitungan dua puluh, keempat
perwira kerajaan itu sudah tak bergerak lagi, karena masing-masing nyawanya
telah melayang ke
alam Baka. Gerakan pedang Giriranti memang te-
ramat cepat dan sukar diikuti pandangan mata
untuk mengakhiri pertarungan.
Saat itulah dua bayangan berkelebat me-
lompat munculkan diri.
"Jurus permainan pedang yang hebat!"
berkata Nanjar dengan menggaruk-garuk teng-
kuknya. Dia telah berdiri didepan gadis itu.
Disebelah kiri si gadis terdengar pula sua-
ra. "Membunuh empat cecunguk rendah macam
begitu mengapa harus membuang-buang waktu?"
Gadis ini balikkan tubuhnya dan menatap
tajam orang yang bicara. "Hm! tentu kau yang telah mengajari aku tadi?" tanyanya
dengan alis menukik tajam.
"Hihihi... benar! Aku tak sabar melihat kau bertele-tele melenyapkan nyawa
perwira kentut itu!" menyahut Seriti Hijau.
"Itu adalah jurus Menipu Bayangan! Sela-
ma ini aku belum bisa memecahkan. Siapakah
kau" mengapa kau mengetahui jurus itu dan bisa
menguasainya?" kata Giriranti, yang dilanjutkan dengan pertanyaan.
"Aku tak punya nama asli. Sebut saja aku
Seriti Hijau, dan boleh dengan gelarku sekalian.
Aku bergelar si Iblis Pulau Hantu!"
"Iblis Pulau Hantu?"" sentak gadis ini dengan wajah berubah.
"Hihihi... mengapa kau tampak terkejut
mendengar gelar itu" Walau aku bergelar demi-
kian, tapi watakku tak sejahat iblis! Dan... kau belum mengenal siapa adanya
kawanku ini" Dialah yang bergelar si Dewa Linglung, atau si pendekar Naga Merah.
Nama aslinya pendek saja.
yaitu Ginanjar! Tapi dia lebih senang dipanggil dengan nama yang lebih pendek,
yaitu Nanjar!"
Giriranti alihkan tatapannya pada si Dewa
Linglung yang kebetulan baru saja membetulkan
celana gombrongnya yang merosot. Cepat-cepat
gadis ini kembali memandang pada Seriti Hijau.
"Guruku pernah memberi tugas padaku
untuk mencari jejakmu. Ada persoalan apakah
kau dengan guruku?"
"Hm, siapakah gurumu?" balik bertanya Seriti Hijau.
"Guruku bergelar si Pendekar Cendekia-
wan. Dialah yang telah menyelamatkan aku dari
siksaan dalam penjara bawah tanah, dan mele-
paskan aku dari gangguan lima manusia terkutuk
yang menodai diriku!"
Keterangan Giriranti mendadak telah mele-
nyapkan senyuman yang tersungging dibibir Seriti Hijau. "Bagus! tak ketemu
gurunya, muridnya pun tak mengapa. Gurunya berwatak licik, tentu
muridnya pun tak jauh berbeda. Kau tentu tak
lebih licik dan culas melebihi si pendekar palsu
itu!" membentak wanita ini.
Giriranti terkejut, seraya melangkah mun-
dur. Pedangnya disilangkan didada. "Jangan menuduh seenaknya! Anggapanmu keliru
besar ka- lau kau menyamakan aku dengan guruku! Wa-
laupun dia telah menolong ku dan mengangkat
aku sebagai murid, tapi aku tak suka dengan wa-
tak dan perbuatannya! Ketahuilah! aku telah me-
larikan diri dari pulau Hantu dengan tujuan mencari manusia-manusia yang telah
menodaiku. Dendamku sudah terlaksana! Aku tak mencam-
puri urusan kalian dengan guruku!" berkata Giriranti dengan sikap gagah.
Seriti Hijau tertawa dingin, dan berkata
mengejek. "Heh! apakah hal itu bukannya dianggap
sebagai pengkhianatan" Kau termasuk seorang
manusia yang tak tahu membalas budi!"
"Itu bukan urusanmu! Aku bebas menen-
tukan sikapku, dan berhak memilih jalan mana
yang harus kutempuh!" kata Giriranti ketus.
Nanjar yang tahu gelagat bakal runyam,
segera melangkah ketengah mereka. "Kukira jalan terbaik adalah kita berdamai.
Mencari permusu-han sangat mudah, semudah membalikkan tela-
pak tangan. Mengalah adalah jalan terbaik!" kata Nanjar sambil mengangkat kedua
tangan. Lalu berpaling pada Seriti Hijau.
"Kukira pendapat nona Giriranti ini benar
juga. Jika langkah yang ditempuh gurunya adalah salah, dia berhak menentukan
sikap untuk tidak
mematuhi perintah. Walaupun dia dianggap seo-
rang murid yang murtad atau seorang yang tak
tahu membalas budi...!"
"Heh! justru aku khawatir dia gunakan tipu daya. Dengan begitu dia bisa
meloloskan diri dan kabur dari tangan kita!" tukas Seriti Hijau membantah.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar benta-
kan keras diiringi berkelebatnya sesosok bayan-
gan putih. "Murid murtad! sandiwaramu telah berak-


Dewa Linglung 18 Iblis Pulau Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hir! Jangan kau menambah kericuhan lagi!" Tentu saja seketika Nanjar dan dua
wanita ini jadi terkejut melihat munculnya sosok tubuh berjubah pu-
tih di tempat itu.
Yang paling terkejut adalah Giriranti. Seke-
tika wajahnya memucat pias bagai tak berdarah.
Tubuhnya menggeletar hingga nyaris pedang tipis yang digenggamnya terlepas.
Laki-laki berjubah putih ini berwajah pucat. Paras mukanya menampakkan usia muda
sekitar dua puluh lima
tahun. Tanpa kumis dan jenggot.
"Pendekar Cendekiawan!" sentak Seriti Hijau dengan terkesiap. Tentu saja Nanjar
terkejut mengetahui siapa adanya orang ini. Dia sudah
siapkan diri untuk menghadapi pertarungan.
"Bagus! kita tak susah-susah menya-troni manusia berkedok pendekar ini. Mari
kita hadapi bersama-sama!" bisik Seriti Hijau seraya melompat mendekati Nanjar.
Didetik itulah Girianti melompat ke depan. Pedangnya diacungkan
dengan ujungnya menghadap ke arah dadanya
sendiri Sepasang mata gadis ini tampak bersimbah
air mata. "Guru...! aku memang murid murtad yang
tak tahu membalas budi! Biarlah kuakhiri jiwaku!
Kau tentu telah membaca surat yang kutinggal-
kan dikamarku, bahwa aku akan mencari manu-
sia-manusia yang telah menodaiku untuk melam-
piaskan dendamku. Kini dendam itu sudah ter-
balaskan! Aku rela mati sebagai penebus
pengkhianatanku!" berkata gadis ini dengan terisak-isak didepan laki-laki
berjubah itu. Selesai mengucapkan kata-kata itu pedang
tipisnya segera dihunjamkan ke arah dadanya.
Akan tetapi sebelum ujung pedang me-
nyentuh kulit gadis itu, mendadak laki-laki berjubah putih itu mengangkat
tangannya. Secercah
kilatan putih meluncur dari bawah jubah me-
nyambar bagai kilat
Tringng...! Pedang tipis yang siap mengantarkan nya-
wa gadis itu ke Akhirat mendadak terpental dan
terlepas dari tangan gadis itu.
"Bocah tolol!" membentak laki-laki ini. Sekali berkelebat si laki-laki berjubah
putih telah mengangkat bangun gadis ini. Tentu saja Giriranti bagai tak percaya
melihat sikap gurunya yang telah menyelamatkan jiwanya.
"Nyawamu lebih berharga dari perem-
puan laknat ini!" berkata si pendekar Cendekiawan seraya menunjuk pada Seriti
Hijau. Wanita ini mendelikkan matanya.
"Huh! mana lebih baik dari dirimu sendiri"
Belasan kaum pendekar telah kau jebak hingga
menemui kematian dipulau Tangkil. Nyaris saja
kaupun membinasakan kawanku ini! Pendekar
palsu berhati culas! Manusia hidung belang se-
macammu mana mungkin membiarkan muridnya
mati bunuh diri" Hihi.. apalagi gadis secantik mu-ridmu itu!" mengejek Seriti
Hijau. "Hm! sobat pendekar! kuharap kau tak
mencampuri urusan ini! Aku hanya mau membu-
ka kedok kejahatan perempuan ini!" berkata dingin pendekar Cendekiawan seraya
menatap tajam pada si Dewa Linglung.
Tentu saja Nanjar jadi tak mengerti, dan
cuma bisa terlongong dengan mata sebentar me-
natap pada Seriti Hijau dan laki-laki berjubah itu silih berganti.
"Murid murtad! kau lihatlah siapa aku se-
benarnya?" tiba-tiba pendekar Cendekiawan
membentak, seraya menjambret ke arah wajah-
nya. Selapis kulit yang menyerupai kulit manusia itu mengelupas. Sekejap saja
terlihatlah wajah as-li laki-laki berjubah putih ini.
Ternyata dia seorang kakek yang berwajah
penuh kerut, berkulit muka putih dengan sejum-
put jenggot memutih tanpa kumis.
Tentu saja selain Nanjar yang terkejut, ter-
lebih-lebih lagi si Seriti Hijau.
SEPULUH "MAHA GURU...!?" tersentak Seriti Hijau si Iblis Pulau hantu dengan wajah pucat
bagai ker-tas. "Hm, murid durhaka! Tipu dayamu sungguh licik! Setelah kau
menjebak belasan pendekar dipulau Tangkil, kau mempitnah pula orang lain!
Perbuatanmu sangat terkutuk! Sifat iri dengkimu masih menguasai hatimu yang
kotor. Apakah kau
belum cukup setelah membunuh saudara seper-
guruanmu Jipang Galih dan muridnya" Setelah
kau berhasil membujuk dia untuk menyembunyi-
kan kitab" Kemudian kau menjebak pula kakak
seperguruanmu Gubyar Parongga dipulau Tang-
kil, hingga dia tewas bersama belasan orang
kaum pendekar!"
"Kini setelah kau puas menghancurkan
perguruan partai Rajawali Putih, kau mau mem-
perdayai pula seorang pendekar muda, yang tena-
ganya masih dibutuhkan para penegak kebena-
ran! Sungguh licik, jahat dan keji! Kejahatanmu telah melewati batas. Kebusukan
hatimu melebihi busuknya bangkai!" suara kakek ini bagaikan menghipnotis Seriti
Hijau, hingga dia cuma berdiri tegak dengan wajah pucat dan tubuh menggele-
tar memegangi tongkat tambangnya.
"Beruntung aku membuat kitab tiga jilid.
Kitab jilid pertama adalah yang dipelajari lima
murid berwatak bejat, yang telah ditukar oleh Jipang Galih, adik seperguruanmu.
Kitab jilid keti-ga kau rampas dari tangan Jipang Galih. Kemu-
dian kau membunuh adik seperguruanmu beserta
muridnya yang bernama Suro Ragil itu.
Ternyata kau tidak puas dengan kitab jilid
kedua yang kau pelajari, hingga kau mencuri ki-
tab jilid ketiga, yang sebenarnya tak seorangpun dari kedua saudara
seperguruanmu kuizinkan
menyentuh apalagi mempelajari kitab itu, sampai ada perintah dariku! Tapi dengan
lancang kau telah memperalat Jipang Galih untuk mencurinya!"
Sampai disini kakek berjubah putih itu
berhenti berkata untuk menghela napas. Wajah-
nya menampakkan kekecewaan yang mendalam
terhadap ketiga muridnya yang diharapkan dapat
membuat harum nama Perguruan Rajawali Putih.
Tapi karena ulah perbuatan murid perempuan-
nya, partai yang punya pamor besar diwilayah timur itu punah dengan keadaan
menyedihkan....
Sementara itu Nanjar yang melihat situasi
jadi berubah sedemikian rupa, jadi serba salah.
Sebenarnya saking mendongkolnya karena mera-
sa tertipu oleh Seriti Hijau, hampir saja lengannya bergerak menghantam ubun-
ubun kepala wanita
itu. Mendadak saja wajahnya menjadi merah ke-
tika teringat bahwa dirinya telah dipermainkan, hingga dia melakukan cara gila
didalam ruang bawah tanah markas Partai Iblis Berkaki Satu.
Akan tetapi teringat akan pesan si kakek
yang segera diketahui adalah maha guru pergu-
ruan partai Rajawali Putih, terpaksa dia menelan
ludah menahan geram. Sebelum wanita yang pu-
cat pias dengan tubuh menggeletar itu menyadari, diam-diam dia telah berkelebat
melompat dari belakang wanita itu tanpa menimbulkan suara.
Dilain pihak, Giriranti terbelalak meman-
dang wanita itu dan gurunya silih berganti. Tahulah dia kalau kakek itu adalah
maha guru pergu-
ruan Rajawali Putih. Guru dari bekas gurunya
sendiri, yaitu Gubyar Parongga. Tentu saja diam-diam dia menyimak semua kata-
kata sang maha guru alias kakek gurunya itu dengan seksama.
Merah padam seketika wajah dara ini men-
getahui kelicikan dan kebusukan wanita itu, yang masih termasuk bibi gurunya.
Sepasang mata gadis ini membinar mena-
tap Seriti Hijau. Jelas sudah, pemuda yang dicin-tainya, Suro Ragil, telah
dibunuh oleh wanita itu.
Dalam keadaan menunduk, diam-diam Se-
riti Hijau mencari jalan untuk meloloskan diri.
Mencelos hatinya mengetahui Nanjar tahu-tahu
telah tak berada dibelakangnya. Ketika melirik ke arah Giriranti, tampak gadis
itu tengah melompat untuk memungut pedang tipisnya yang tergeletak
di tanah. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-
baiknya. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke arah
gadis itu. Sekali lengannya bergerak, dia telah berhasil menangkap pinggangnya.
Dan detik beri-kutnya ujung tongkat tambangnya telah menem-
pel dileher gadis itu. Giriranti terkesiap. Niatnya menjumput pedang miliknya
jadi gagal total! Bahkan kini dia dijadikan sandera oleh si Iblis Pulau
Hantu. "Lepaskan aku perempuan licik! pengecut!
Curang!" berteriak-teriak Giriranti. Namun tak ada artinya, karena sekali lengan
wanita itu bergerak menotok, dia tak mampu berbuat apa-apa
lagi. Kakek jubah putih ini tampak masih bersikap tenang. Sedikitpun tak
menampakkan terke-
jut dengan kejadian itu.
Bahkan dia berkata dengan suara sedingin
salju. "Tak ada jalan hidup bagimu lagi, murid durhaka. Selain kau harus menebus
kejahatanmu dengan kematian!"
Tapi dalam hati Seriti Hijau berkata lain.
"Heh! tak nantinya dia berani bertindak selama bocah perempuan ini menjadi
sanderaku!"
Tak menunggu waktu lagi Seriti Hijau cepat
melompat dari tempat itu. Kemudian berkelebat
melarikan diri dengan terus menyandera Giriranti dalam pelukan tangannya.
Seriti Hijau berkelebat kesana-kemari den-
gan gerakan melompat secara aneh. Seolah-olah
bayangan tubuhnya lebih dari satu, berkelebatan ke arah yang berlawanan.
Ternyata wanita itu mempergunakan Ilmu
Menipu Bayangan. Tak percuma dia bergelar si
IBLIS PULAU HANTU. Berkelebatnyapun bagai
bayangan hantu.
Tahu-tahu tubuhnya muncul direlung batu
bukit. Tampak wajahnya agak berseri dan bibir-
nya tersenyum menyeringai. "Hihihi... tak ada
tempat yang lebih bagus selain markas rahasia
partai Berkaki Satu!" mendesis Seriti Hijau. Dibalik bukit dihadapannya yang
berjarak sekitar dua ratus lie itu terletak air terjun. Tempat dia dan Nanjar
keluar dari terowongan Rahasia markas
Iblis Berkaki Satu. Jalan itu harus ditempuh dengan menerobos hutan yang kira-
kira lima belas
tembok lagi dibawah bukit.
Setelah memutar kepala memperhatikan
sekitarnya, wanita ini segera bergerak melesat da-ri tempat itu, dengan
memanggul tubuh Giriranti diatas pundak. Gerakannya cepat sekali menerobos hutan
belukar. Sengaja dia mengambil jalan berliku-liku untuk menghilangkan jejak.
Ternyata dia mengambil jalan memutar,
tak melewati bawah air terjun karena khawatir
diketahui jejaknya. Tak berapa lama lewat sepe-
nanak nasi tampak dia sembulkan kepala dipun-
cak air terjun.
Dari atas bukit berbatu-batu itu dia men-
gawasi kebawah.
Mendadak timbul niat buruknya, karena
merasa sudah tak memerlukan lagi Giriranti se-
bagai sandera. Dengan tersenyum iblis perlahan
dia melangkah mendekati tepi tebing berbatu di-
atas air terjun.
Dan... sekali lengannya mengayun, me-
layanglah tubuh gadis itu dari puncak air terjun.
Akan tetapi bersamaan dengan melayang-
nya tubuh Giriranti, terdengar bentakan membe-
lah udara. "Iblis telengas! kau berangkatlah ke Nera-
ka!" bentakan itu disusul dengan berkelebatnya sebuah bayangan dibelakang wanita
itu. Alangkah terperanjatnya wanita itu ketika membalikkan tubuh, ternyata sang
maha guru telah berada di
tempat itu. Sebelum wanita ini sempat berbuat
sesuatu, kakek itu telah gerakkan lengannya.
Sinar ungu membersit menyambar tubuh
wanita itu, yang tak sempat mengelakkan diri la-gi. Terdengar suara jeritan
menyayat hati diiringi terlemparnya tubuh wanita itu melayang kedasar
air terjun yang penuh dengan batu-batu cadas.
Pukulan tenaga dalam yang dilontarkan kakek itu telah merenggutkan nyawa si
Iblis Pulau Hantu
ditengah jalan sebelum tubuhnya menghantam
batu-batu cadas.
Air yang mengalir deras dihulu sungai itu
berubah memerah. Tampak sosok tubuh si Iblis
Pulau Hantu tersembul timbul tenggelam terbawa
hanyut derasnya air terjun. Sekujur tubuhnya
remuk hampir tak berbentuk lagi. Tak lama sosok mayat itupun lenyap tenggelam
tak timbul lagi...
Bagaimanakah nasibnya Giriranti" Ternya-
ta Yang Maha Pencipta belum mengizinkan dia
tewas. Karena disaat tubuhnya terlempar mela-
yang kebawah bukit curam air terjun itu, sesosok bayangan berkelebat bagaikan
seekor burung elang yang menyambar.
Tahu-tahu tubuhnya telah berada dalam
pondongan seseorang yang jejakkan kaki diatas
batu disisi sungai. Siapa adanya orang itu tiada lain dari si Dewa Linglung.
"Haih! hampir saja jiwanya melayang! Pe-
rempuan setan pulau Hantu itu benar-benar ber-
hati kejam!" bergumam Nanjar seraya letakkan tubuh gadis itu diatas batu.
Kemudian memeriksa pernapasannya. Ternyata Giriranti cuma pingsan, dan dalam
pengaruh totokan si Iblis Pulau Hantu.
Cepat dia gerakkan tangannya membuka
totokan dengan mengurut dibeberapa tempat tu-
buh gadis itu. Tak lama Giriranti pun membuka
matanya. Mendadak dia tersentak bangun.
"Oh!" dimana perempuan Iblis itu" Dan....
kau" Apa yang telah terjadi dengan diriku?" Nanjar tersenyum sambil berkata.
"Kau tak apa-apa bukan" Jangan khawatir
manusia culas berhati kejam itu telah pindah
tempat ke alam Baka! Kakek maha gurumu telah


Dewa Linglung 18 Iblis Pulau Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengirim jiwanya ke Akhirat! Secara kebetulan
aku melihat perempuan iblis yang menyanderamu
melemparkan tubuhmu dari atas air terjun itu.
Untunglah aku sempat menolongmu...!" kata Nanjar menjelaskan.
Giriranti membelalakkan matanya menatap
Nanjar. Entah perasaan apa yang berkecamuk da-
lam hati gadis itu. Yang jelas tampak bibirnya
bergerak-gerak seperti hendak mengucapkan ka-
ta-kata terima kasih. Tapi mendadak dara itu roboh terkulai tak sadarkan diri.
Nanjar cepat me-nyangganya.
Dari atas lamping batu bukit tampak si ka-
kek berjubah putih berdiri tegak menatap ke arah bawah. Memandang si Dewa
Linglung yang melangkah perlahan meninggalkan tepian air terjun, kemudian
membawanya berkelebat cepat dari
tempat itu. Sebentar saja bayangan tubuh si De-
wa Linglung lenyap terhalang rimbunnya hutan
lebat. Kakek jubah putih masih tetap berdiri tegak dilamping batu bukit. Tanpa
membuat gera- kan apa-apa. Tampak seulas senyum tersembul
dari bibirnya. Tatapan matanya dialihkan kelan-
git, menatap awan putih yang beriringan diantara langit biru yang memayungi
jagat. Terdengar suara helaan napasnya membias
udara. Pertanda hati kakek ini merasa lega. Tak lama orang tua itupun balikkan
tubuh, dan berkelebat lenyap dari puncak bukit itu....
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Edited by Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Eng Djiauw Ong 31 Sumpah Palapa Karya S D Djatilaksana Pendekar Pengejar Nyawa 19
^