Pencarian

Pendekar Tanpa Bayangan 1

Dewa Linglung 19 Pendekar Tanpa Bayangan Bagian 1


SATU Dari ujung jalan berbatu-batu di lereng bu-
kit itu tampak debu mengepul ke udara. Tak lama
muncul serombongan orang berkuda dengan di-
iringi suara derap kaki-kaki kuda. Hingar bingar!
Karena bercampur dengan suara ringkik
kuda dan teriakan para penunggangnya membaur
dengan jeritan-jeritan suara wanita.
Ternyata mereka terdiri dari delapan pe-
nunggang kuda. Tiga penunggang kuda dianta-
ranya membawa tiga orang wanita. Dua dari ketiga
wanita itu menjerit-jerit berada dalam pelukan pa-
ra penunggang kuda ini. Sedangkan wanita yang
seorang lagi dalam keadaan tak sadarkan diri.
Dua penunggang kuda yang berada di ten-
gah rombongan, masing-masing membawa kain
buntalan. Dan empat penunggang kuda lainnya
cuma mengiringi di belakang.
Sepintas kita sudah dapat menduga, bahwa
mereka adalah sekelompok orang-orang jahat.
Memang benarlah! Mereka tidak lain dari sekelom-
pok penyamun, yang baru saja berhasil membawa
sejumlah korban selain harta benda juga tiga
orang wanita. Jauh di bawah bukit dimana terdapat se-
buah perkampungan kecil yang sudah tak ber-
penghuni, tampak serombongan pasukan kerajaan
melintasi desa mati itu.
Penunggang kuda paling depan adalah seo-
rang laki-laki berusia kurang lebih setengah abad.
Berpakaian serta hitam dengan sulaman benang
emas. Rambutnya tergelung kecil di belakang
mahkota yang merupakan lambang seorang Tu-
menggung. Dialah Tumenggung Gagak Pamungkas
dengan empat belas prajurit berkuda kadipaten
yang mengawal di belakangnya.
Melewati desa mati itu Tumenggung Gagak
Pamungkas memperlambat kudanya. Dua prajurit
segera menyusul mengapit di sebelah kiri kanan
sang Tumenggung. Salah seorang berkata seraya
menunjuk ke depan.
"Di sebelah depan ada persimpangan jalan.
Kita menuju kearah yang sebelah kiri, gusti Tu-
menggung!"
"Hm! itu memang jalan satu-satunya yang
menuju ke kota Kendal! Berapa jauhnya dari per-
simpangan jalan itu?" tanya laki-laki tinggi besar berkumis tebal dan kaku ini.
Alisnya yang berbulu
lebat terjungkit turun hampir menyatu.
"Tak berapa jauh lagi gusti, kira-kira dua
puluh tombak dari persimpangan jalan itu. Di
tempat itulah terjadinya pembegalan..." menyahut laki-laki prajurit ini.
Ternyata dua orang prajurit ini yang memberi laporan dan sebagai penunjuk
jalan. Tumenggung Gagak Pamungkas tak men-
jawab, tapi segera membedal kuda mendahului si
prajurit. Tampaknya dia sudah tak sabar untuk
segera tiba di tempat kejadian.
Keempat belas pengawal itupun segera
mempercepat lari kuda-kuda mereka membuntuti
di belakang sang Tumenggung.
Keberanian Tumenggung Gagak Pamungkas
serta ilmu kepandaian yang dimiliki memang san-
gat menunjang kedudukannya. Itulah sebabnya
dalam usia lebih dari lima puluh tahun, tenaganya
masih bisa terpakai. Bahkan dia ditugaskan Adi-
pati Kencono Alam untuk menjaga perbatasan se-
latan ini yang terkenal rawan. Belum mencapai se-
bulan bertugas di wilayah itu, ternyata sudah ada
kejadian yang harus ditangani. Wilayah yang tidak
aman itu memang sedang dalam pengawasannya.
Tentu saja mendengar laporan dua orang prajurit
tentang terjadinya pembegalan oleh sekelompok
penyamun terhadap serombongan iring-iringan
yang mengawal kereta tandu, telah membuat dia
berang. Dan menyiapkan dua belas prajurit Kadi-
paten yang terlatih untuk menuju sasaran.
Akan tetapi kedatangan mereka ternyata te-
lah terlambat beberapa menit, karena ketika rom-
bongan yang dipimpin Tumenggung ini hanya
menjumpai mayat-mayat bergelimpangan.
Sepasang mata Tumenggung Gagak Pa-
mungkas membelalak lebar melihat keadaan yang
mengenaskan di depan matanya.
Belasan orang menggeletak tumpang-tindih
dalam keadaan tak bernyawa.
Sebuah kereta tandu porak-poranda terge-
limpang disisi jalan. Dua ekor kuda penarik kereta itu mati.
"Keparat! kita terlambat...! Mereka telah
menjadi korban keganasan para penyamun itu!"
teriak Tumenggung ini seraya melompat dari
punggung kuda. Keempat belas prajurit itu cepat
melompat dari punggung kuda masing-masing un-
tuk memeriksa mayat-mayat itu.
Kecuali dua prajurit penunjuk jalan yang
masih tetap berdiri dengan terperangah. Sungguh
mereka tak mengira, kalau kejadian akan berlang-
sung demikian cepat. Tampak keduanya saling
pandang, dan sama-sama menggelengkan kepala.
Salah seorang dari kedua belas prajurit itu
tiba-tiba berteriak.
"Seorang korban yang terluka parah masih
hidup, gusti!"
"Bagus! kita bisa mendapat keterangan dari
dia!" tersentak girang sang Tumenggung. Detik itu juga Tumenggung Gagak
Pamungkas telah berkelebat memburu.
Laki-laki korban keganasan para penyamun
itu tampaknya sudah tak ada harapan untuk hi-
dup. Sekujur tubuhnya penuh dengan bekas luka
bacokan, dan darah membasahi pakaiannya.
Nafasnya tinggal satu-satu. Tumenggung
Gagak Pamungkas tak membuang waktu untuk
lakukan pertanyaan.
"Cepat katakan! siapa adanya kalian" dan
apakah kau mengetahui siapa komplotan para pe-
nyamun itu?"
Laki-laki ini membuka matanya. Suaranya
tersendat-sendat ketika membuka suara.
"Kami... orang-orang perguruan Harimau
Tunggal, yang... ditugaskan mengawal sepasang
pengantin baru. Mereka adalah anak dan menantu
Den Bei Hong Taliwongso..."
"Hm! lalu apakah kau mengenal siapa para
penyamun itu?"
Akan tetapi laki-laki itu tak dapat menjawab
lagi. Karena kepalanya telah terkulai. Jiwanya te-
lah melayang...
Tumenggung Gagak Pamungkas bangkit
berdiri dengan wajah keruh. Namun keterangan
itu tampaknya sudah cukup baginya. "Apa yang
akan kita lakukan, gusti" Apakah kita kejar ke sa-
rang mereka" Kukira mereka belum terlalu
jauh...!" tanya seorang pengawal.
"Hm...! Belum saatnya! Mari kita kembali
untuk melaporkan hal ini pada gusti Adipati!" sahut Tumenggung ini.
"Bagaimana dengan mayat-mayat itu?"
Laki-laki kekar ini palingkan kepala me-
mandang kearah mayat-mayat yang bergeletakan
di tengah jalan. Wajahnya tampak sinis.
"Biarkan saja! bukan urusan kita. Tujuan
kita adalah menumpas para penyamun terkutuk
itu!" sahutnya. Selesai berkata dia melompat ke punggung kuda.
Keempat belas prajurit termasuk dua praju-
rit yang membawa laporan itu segera bergegas me-
lompat ke punggung kuda masing-masing.
Tak lama rombongan pasukan laskar itu-
pun bergerak meninggalkan tempat itu... DUA
Dua orang prajurit ini menjalankan ku-
danya di bagian belakang. Ketika melewati sebuah
belokan, mendadak kedua prajurit ini menyelinap
keluar dari barisan, lalu membedal kuda dengan
cepat memasuki hutan kecil...
Tiba di suatu tempat mereka berhenti. Ke-
mudian masing-masing melompat turun dari
punggung kuda. Salah seorang berkelebat kearah
semak belukar. Tak lama muncul lagi dengan
membawa setumpuk pakaian.
"Cepat ganti pakaianmu, Tolaga! Kita harus
melaporkan secepatnya pada bangsawan tua itu
mengenai kejadian pembegalan itu!" berkata prajurit yang agak sedikit kekar
berkulit kasar ini pada kawannya. Dia bernama Samiri.
"Haha... beres! akupun sudah tak sabar
menerima kepingan uang emas dari si kambing
tua, Den Bei Hong Taliwongso! hahaha..." Tolaga tertawa gelak-gelak seraya
membuka pakaian prajurit yang dikenakan, lalau melemparkannya ke
dalam semak. Tak lama kedua orang itu telah selesai
mengganti pakaian. Ternyata mereka bukanlah
prajurit sebenarnya. Siapapun tak menyangka ka-
lau mereka adalah Samiri dan Tolaga. Dua orang
penjahat picisan yang kerjanya hanya memburu
keping uang emas belaka.
Mencari kesempatan dalam kesempitan. Di-
balik keganasan para penyamun itu, dia meman-
faatkan kesempatan untuk mencari untung.
Cara menggunting dalam lipatan ini me-
mang telah lama mereka lakukan. Bukan saja me-
reka mengetahui siapa adanya para penyamun itu,
tapi dia juga mengenal siapa pemimpin gerombo-
lan penjahat itu.
Karena Samiri dan Tolaga adalah bekas
anggota para pembegal itu.
Cara kerja mereka yang cepat, serta kelici-
kan dan tipu daya untuk menghasilkan keuntun-
gan memang telah dimiliki mereka.
Tentu saja dalam hal ini mereka punya bek-
al ilmu kepandaian.
Walaupun tak seberapa tinggi namun mere-
ka dapat menyelinap dan menghilang seperti ular.
Dengan cara kerja yang menghasilkan keuntungan
cukup lumayan itu, mereka tak perlu khawatir
terhadap ancaman kaum pendekar maupun para
penegak hukum. Samiri dan Tolaga memang telah mendengar
berita kalau bangsawan tua Den Bei Hong Tali-
wongso baru saja mengadakan pesta pernikahan
anak gadisnya. Rencanapun diatur sedemikian ru-
pa. Bagi manusia yang penuh dengan tipu daya li-
cik, demi menghasilkan keuntungan tidaklah su-
kar untuk mencari jalan.
Samiri menulis surat rahasia bahwa ada se-
seorang yang mengancam akan membunuh putri
bangsawan tua itu karena dendam. Samiri menga-
takan bahwa dia sanggup menyingkirkan orang
itu, tapi dia memerlukan imbalan. Dia memberi ja-
lan dengan dua cara. Kesatu adalah menitipkan
uang imbalan pada seorang pegawainya, yaitu
yang telah memberikan surat rahasia itu. Lalu
menyuruh pegawainya mengantarkan uang terse-
but ke suatu tempat. Cara kedua adalah mereka
bertemu empat mata. Dengan pesan, bahwa bang-
sawan tua itu tak diperkenankan melaporkan hal
ini pada siapapun. Samiri menulis dirinya dengan
julukan si Dewa Penolong.
Sementara itu Samiri membagi tugas. Dia
menunggu di suatu tempat, agak jauh dari tempat
yang telah ditentukan untuk pembicaraan empat
mata. Sedangkan Tolaga menunggu di tempat yang
ditentukan, dimana si pegawai bangsawan tua itu
akan mengantarkan uang yang diinginkan.
Ternyata apa yang diharapkan tak memba-
wa hasil. Dua cara itu tak dipenuhi si bangsawan
tua. Karena sebelumnya bangsawan tua itu telah
mempergunakan tenaga orang-orang perguruan
Macan Tunggal. Orang-orang perguruan Macan Tunggal
memang telah sejak lama disewa dan diperguna-
kan tenaganya untuk menjaga keselamatan ke-
luarga bangsawan tua itu. Bahkan ketika meraya-
kan pesta pernikahan anak gadisnya, Den Bei
Hong Tolowongso mempercayakan keamanan pes-
ta pada orang-orang perguruan itu.
Kegagalan mereka bukan berarti mereka
harus menyerah tanpa syarat. Mereka menyingkir
pergi ketika orang-orang perguruan Harimau
Tunggal mengadakan pelacakan terhadap diri me-
reka. Namun keduanya masih terus mengawasi
keadaan dalam gedung bangsawan tua itu. Hingga
salah seorang dari mereka mendengar berita sepa-
sang mempelai itu akan mengadakan perjalanan
keluar kota dalam rangka berbulan madu.
Kesempatan ini tak disia-siakan. Mereka
menguntit iring-iringan pembawa kereta tandu
yang dikawal belasan orang-orang perguruan Ha-
rimau Tunggal. Inilah kesempatan baik bagi mere-
ka untuk mendapatkan keuntungan. Ketika rom-
bongan akan melewati perbatasan, dua orang pra-
jurit berkuda menahan rombongan itu.
Mereka adalah dua orang prajurit penjaga


Dewa Linglung 19 Pendekar Tanpa Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perbatasan. Sebagai petugas alat kerajaan kedua-
nya berhak menanyakan siapa rombongan itu, dan
kemana tujuannya. Ketua pengawal perguruan
Harimau Tunggal tampil ke depan. Lalu mengada-
kan pembicaraan pada dua penjaga itu. Mungkin
menerangkan siapa adanya rombongan itu dan
maksud tujuannya.
Tampaknya tak juga dari pihak-pihak ra-
kyat jelata, dua orang bertugas itupun tak menyia-
nyiakan kesempatan baik untuk mendapat tamba-
han uang saku. Apa lagi rombongan yang akan le-
wat itu adalah rombongan keluarga bangsawan.
Pemuda gagah bermata sipit yang menung-
gang kuda di sebelah kiri kereta tandu segera
menghampiri. Agaknya dia telah hapal dengan
maksud penahanan itu. Bahkan dia tampak tak
sabar menunggu pembicaraan pemimpin rombon-
gan pengawal dengan dua prajurit tersebut.
Ternyata pemuda ini adalah sang menantu
si bangsawan tua. Dia bernama Han Soma. Segera
dia menghampiri mereka.
Tanpa berkata apa-apa lalu merogoh ke ba-
lik saku. Dua keeping emas dilemparkan kearah
dua prajurit itu. Salah seorang dengan tersenyum
cepat menangkapnya. Lalu bungkukkan tubuh
menjura, seraya mengucapkan terima kasih. Ki-
ranya inilah yang diinginkan dua penjaga itu. Nya-
tanya dengan mudah mereka dapat meneruskan
perjalanan tanpa halangan apa-apa.
*** Tolaga dan Samiri saling pandang. Ketika
rombongan berlalu meninggalkan perbatasan itu,
keduanya menyelinap dari tempat persembunyian.
Apa yang dilakukan dua manusia ini" Ternyata
beberapa saat antaranya mereka telah berada di
belakang si dua prajurit penjaga.
Kedua prajurit ini tampak tengah tertawa-
tawa sambil menimang-nimang keping emas di
masing-masing tangan mereka.
Tolaga dan Samiri bertindak cepat. Mereka
berkelebat melompat, lalu menotok dua pengawal
sial itu. Dan sebuah pukulan keras pada belakang
leher membuat mereka pingsan tak sadarkan diri,
tanpa mengetahui siapa pembokongnya.
Kedua keping emas itu kini berpindah ke
tangan mereka mereka.
Sejenak Tolaga dan Samiri saling pandang
dengan tersenyum menyeringai. Samiri cepat se-
lipkan keping emas ke balik baju. Kemudian mem-
beri isyarat untuk membukai pakaian korban me-
reka. Selesai itu mereka segera menyeret tubuh
dua prajurit itu ke dalam semak belukar.
Sekali bertindak mendapat untung tak ke-
palang. Disamping mendapat dua keping emas,
mereka juga mendapat dua ekor kuda.
Prajurit sial itu mereka seret ke dalam se-
mak belukar. Kemudian dengan cepat mereka
mengganti pakaian dengan pakaian-pakaian praju-
rit itu. Lalu bergerak menyusul rombongan pen-
gawal kereta tandu.
Samiri berotak cerdik
Dia menyuruh Tolaga menghentikan kuda.
Kemudian menyembunyikan pakaian mereka dis-
emak belukar dengan tanda-tanda yang mudah di-
ingat, yaitu dekat sebuah batu besar di tepi jalan itu. Setelah berunding,
tampak keduanya mem-belokkan kuda dari jalan berbatu-batu itu. Apa
yang dilakukan Samiri dan Tolaga adalah mem-
buntuti mereka dengan jarak terlalu dekat. Karena
mereka tahu jalan yang dilewati rombongan itu
adalah jalan rawan yang merupakan kekuasaan
komplotan pembegal Elang Darah, yang mereka
adalah bekas anggotanya.
Benar saja! Dari tempat ketinggian itu me-
reka dapat melihat munculnya para penyamun-
penyamun Elang Darah. Suara ringkik kuda dan
jeritan ketakutan tiga wanita yang berada dalam
kereta tandu membaur dengan teriakan-teriakan
para penyerbu. Dalam waktu sekejap saja pertarungan an-
tara para pengawal kereta tandu dan para pem-
begal segera terjadi
Sejenak Tolaga dan Samiri terpaku di tem-
patnya. Namun hal itu memang sudah diduga me-
reka, dan telah direncanakan Samiri.
Laki-laki ini segera memberi tanda untuk
segera membedal kuda meninggalkan tempat itu.
Ternyata kemudian seperti yang telah di ceritakan
di bagian depan, kedua orang prajurit samaran itu
melaporkan kejadian itu pada Tumenggung Gagak
Pamungkas. Kedua orang ini ternyata punya penglihatan
dan pendengaran yang jeli. Semua itu berkat kege-
sitan mereka dalam memasang indera untuk men-
getahui apa yang terjadi dalam wilayah itu, hingga dikirimnya Tumenggung Gagak
Pamungkas ke wilayah itu sejak sebulan yang lalu telah dapat diketahui....
TIGA Pemuda gondrong ini mengenakan baju pe-
nuh tambalan yang berwarna-warni. Adalah aneh
kalau bajunya penuh dengan tambalan, tapi dia
membiarkan celananya sobek disana-sini. Bahkan
salah satu ujung celana pangsi warna hitam yang
sudah lusuh itu sobek hingga membelah sampai
ke lutut. Selain berpakaian aneh, sikapnya pun tam-
pak aneh. Wajahnya selalu menampilkan senyum.
Sepintas orang akan mengatakan dia orang yang
tidak waras. Akan tetapi setiap gadis pasti akan
tertarik untuk melirikkan mata, karena tampang-
nya yang gagah. Perawakannya pun sangat meme-
nuhi syarat sebagai seorang pemuda bertubuh
sempurna. Tinggi tidak pendekpun bukan.
Selain itu otot-otot tubuhnya tampak terli-
hat kekar. Tatapan matanya bisa menjatuhkan ga-
dis untuk bertekuk lutut dihadapannya.
Seorang pemuda sempurna dalam perawa-
kan, tapi aneh dalam berpakaian.
Belahan baju pada dadanya tanpa berjahit.
Tampaknya seperti di konyokkan begitu saja. Dan
dari sobekan belahan baju itu tersembul bulu-bulu
dada yang lebat.
Seuntai kalung terbuat dari potong-
potongan bambu kecil tampak menghiasi lehernya,
melengkapi keanehan pakaian pemuda ini.
Termasuk ikat pinggang lebar terbuat dari
kulit yang penuh dengan hiasan paku-paku. Serta
sehelai kain hitam lusuh yang digunakan sebagai
ikat kepala. Pemuda ini berdiri memandang kearah per-
kampungan penduduk dari atas bukit itu. Entah
apa yang membersit dalam pikirannya, karena
tampak senyumnya semakin melebar.
Ternyata di bawah sana di jalan setapak
tampak tersembul sesosok tubuh yang berjalan
dengan langkah tergesa-gesa. Walaupun jarak dari
atas bukit cukup jauh, tapi pemuda aneh ini telah
dapat menerka kalau orang yang tengah berjalan
tergesa-gesa itu adalah seorang wanita.
Dugaan pemuda aneh itu memang benar!
Seorang gadis berbaju kembang dengan kain kasar
sederhana yang dikenakan tak begitu rapi berjalan
agak tergesa-gesa. Wajahnya nampak menampil-
kan kecemasan, dengan rambut yang agak kusut.
Langkahnya setengah berlari ketika melewati jalan
setapak di kaki bukit itu.
Sepintas saja dapat diketahui dia seorang
gadis biasa. Gadis ini berwajah cukup cantik. Sean-
dainya berdandan tentu akan lebih kentara kecan-
tikan parasnya. Entah kemana tujuan si gadis ini,
dan apa yang menjadi kecemasan hatinya hingga
dia melakukan perjalanan dengan agak tergesa-
gesa. Apa yang dicemaskan gadis ini ternyata
sangat beralasan. Karena agak jauh di belakang
tampak tiga orang laki-laki berperawakan kekar
dan kasar berjalan cepat seperti membuntuti gadis
itu. Paling depan adalah seorang laki-laki bertu-
buh gemuk. Perutnya yang membuncit agak menggang-
gu langkahnya ketika berjalan.
Dialah yang bernama Jologento. Seorang
yang cukup berpengaruh di desa wilayah kaki bu-
kit itu. Dua orang di belakangnya adalah boleh di-
bilang dua pengawal pribadi yang kemanapun dia
pergi selalu mengintil di belakangnya.
"Kita tak boleh bertindak secara kasar dan
terang-terangan terhadap anak gadis itu. Aku
hanya ingin tahu kemana tujuannya?" bisik Jologento pada salah seorang
pengawalnya yang ber-
nama Godil ini.
"Kalau cuma pingin mengetahui, kukira
kami berdua saja yang menguntit, den Jologento.
Raden tak usah bersusah payah seperti ini...!" berkata pelahan laki-laki
pengawal si Gendut ini.
"Benar katamu...! tapi... tapi aku rasanya
tak tahan untuk melihat wajahnya. Hatiku benar-
benar telah kepincut melihat kecantikan gadis
itu..." kata Jologento seraya berhenti melangkah.
Lalu jatuhkan pantatnya ke tanah. Nafas-
nya tampak memburu tersenggal-sengal.
"Haha... kalau sejak tadi raden menuruti
usulku, tentu sudah sejak melewati hutan kecil itu kami sudah dapat mencegat
perjalanannya!" kata Godil yang ditimpali oleh kawannya.
"Benar, raden! Rencana kami sudah ma-
tang. Aku akan berpura-pura mengalami kecela-
kaan di tengah jalan yang akan dilalui gadis itu
dengan mendahuluinya melalui jalan bercagak ta-
di. Langkahnya pasti terhambat. Dan raden bisa
menyusul. Bukankah dengan begitu raden akan puas
bisa bertemu muka. Bahkan bisa langsung mengu-
tarakan perasaan cinta raden terhadap dirinya..."
kata laki-laki bernama Rembong ini.
Tampaknya termakan juga hati si gendut
ini. Dia amat mempercayai pada dua pengawal
pribadinya itu.
"Kalau begitu lakukanlah sekarang, apakah
masih bisa kalian kerjakan?" tanya laki-laki gendut ini. "Beres! Tapi...
hehehe... biasa, den!" sahut Godil seraya mengangsongkan kedua lengannya
dengan telapak tangan terbuka.
"Hm! tak bosan-bosannya kalian dengan
upah! kerjakan dulu! jangan-jangan kalian telah
terlambat!" kata si gendut dengan wajah kesal.
"Jangan khawatir, den! jalan setapak di le-
reng bukit ini cukup jauh dan panjaaang...! Masih
cukup waktu untuk mencegatnya." kata Rembong
dengan tertawa menyeringai.
Jologento cepat merogoh sakunya mengelu-
arkan beberapa keping uang receh. "Nih! kalian bagi dua. Tapi awas kalau kalian
gagal melakukan
tugas!" katanya dengan memberungut.
"Hehe... beres, den! beres...!!"
Dengan sigap Godil menerima uang tip itu
kemudian membagi dua dengan Rembong.
Tanpa menunggu perintah untuk kedua
kali, keduanya segera berlompatan dengan cepat
untuk mengejar gadis itu.
Ternyata Godil dan Rembong tak menggu-
nakan cara yang seperti di katakan tadi. Tapi langsung memburu gadis itu dengan
gerakan sebat. Dua orang ini memang tak percuma menjadi pen-
gawal Jologento tuan tanah yang sampai setua ini
masih juga membujang.
Sebagai tuan tanah yang memiliki kebun
kelapa cukup luas di wilayah itu, dia cukup men-
jadi orang yang terpandang.
Akan tetapi sikapnya yang lugu dan agak
bodoh itu membuat dia sering diakali oleh dua
centeng yang sekaligus merangkap pengawal-
pengawal pribadinya.
Kelemahannya adalah terhadap wanita can-
tik. Tak jarang kedua pengawal pribadinya mem-
bawa dia ke tempat-tempat daerah hitam dimana
terdapat perempuan-perempuan nakal.
Tentu saja untuk jasa itu, mereka mendapat
imbalan, sekaligus dapat menikmati kegemaran
mereka minum tuak dan tak melewatkan kesem-
patan untuk turut melakukan hal yang sama se-
perti sang majikan.
EMPAT Nyai Sekar Arum, gadis desa yang diincar
oleh Jologento adalah anak seorang bekas kepala
desa. Keadaan sang ayah yang sudah tua dan ser-
ing sakit-sakitan membuat dia sering mondar-
mandir ke rumah sanak famili sang ayah, untuk
mencari tambahan biaya membeli obat, disamping
untuk kebutuhan sehari-hari.
Ternyata sering munculnya gadis itu telah
menjadi perhatian si gendut, yang mendapat lapo-
ran dari kedua centengnya. Seperti kejadian pada
hari, Jologento tak tahan untuk mencegat gadis


Dewa Linglung 19 Pendekar Tanpa Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Ternyata Nyai Sekar Arum telah mendapat fi-
rasat buruk. Dia tak melewati jalan seperti bi-
asanya. Tapi sengaja membelok memasuki jalan
setapak dihutan kecil. Jalan ini cukup jauh, kare-
na harus memutari desa itu.
Adanya dua orang yang selalu memperhati-
kan di ujung jalan yang biasa dilalui, membuat dia merasa curiga. Siang itu
sepulang dari rumah pa-mannya, hatinya berdebar-debar. Entah mengapa
perasaannya kurang tenteram. Firasat buruk se-
perti membayang dikelopak matanya. Dia khawatir
kedua orang tadi mengganggunya. Itulah sebabnya
dia membelok, dan mengambil jalan dengan mele-
wati jalan setapak dihutan kecil di kaki bukit itu...
Hatinya agak tenteram karena telah melihat
dikejauhan ada asap mengepul, pertanda sudah
hampir tiba diperkampungan. Memang desa yang
ditujunya sudah tak terlalu jauh lagi.
Akan tetapi tiba-tiba terperanjat gadis ini
ketika tahu-tahu dua sosok tubuh telah mence-
gatnya. Alangkah terkejut gadis ini ketika mengetahui orang yang mencegat itu
adalah kedua orang
yang memang sengaja dihindari.
"Hehe...haha... tahan dulu langkahmu, adik
manis! mengapa harus terburu-buru?" berkata
Godil dengan tertawa menyeringai.
"Haha... benar, adik manis. Boleh akang
bertanya, kemana tujuan nyai" dan hehe... boleh
akang tahu siapa nama nyai...?"
Rembong ikut-ikutan menyapa dengan gaya
gagah, sambil membetulkan pakaiannya. Gadis ini
bukannya menyahut malah melangkah mundur.
Wajahnya tampak pucat.
"Siapa kalian" jangan ganggu aku?" bentak gadis ini.
"Hehe... akang bukan mau mengganggu,
nyai. Tapi nyailah yang mengganggu akang, karena
wajah nyai yang cantik membuat akang jadi ku-
rang tidur kurang makan, dan ..."
"Dan kurang ajar!"
Tahu-tahu suara dingin sedingin es mene-
ruskan kata-katanya. Tentu saja Rembong jadi
terkejut. Ketika membalikkan tubuh matanya se-
ketika membelalak melihat disitu telah berdiri seo-
rang pemuda berambut gondrong, berpakaian
aneh yang penuh dengan tambalan berwarna-
warni. "Siapa kau!" membentak Godil seraya mencabut goloknya di pinggang.
Rembong tahu gelagat
tidak baik, segera menghunus klewangnya seraya
melangkah mundur.
Pemuda aneh ini tak menjawab, tapi me-
nengadah ke atas. Tentu saja Godil dan Rembong
ikut-ikutan melihat ke atas.
Tampak seekor burung elang terbang ber-
putar-putar di atas kepala mereka.
Detik itulah, tiba-tiba dua centeng ini per-
dengarkan jeritan mengerikan. Dan dua tubuh itu
roboh dengan nyawa melayang...
Ketika Gentolo si gendut ini tiba di tempat
itu, bukan saja terbelalak matanya melihat kedua
orang centeng kepercayaannya telah menjadi dua
sosok mayat. Akan tetapi juga terperangah karena
tak menjumpai adanya gadis yang diincarnya di
tempat itu. Seketika wajahnya berubah pucat. Lututnya
gemetar dengan tubuh menggigil dan keringat din-
gin membasahi tengkuknya.
"Siapa yang mem...bunuhnya?" sentak hati Gentolo.
"Hah!" jangan-jangan gadis itu... dedemit!
bukan manusia! Jangan-jangan dialah yang telah
membunuhnya..."
Detik itu juga si gendut balikkan tubuh,
dan jatuh bangun berlari meninggalkan tempat itu
seperti dikejar setan.
LIMA Jauh di atas bukit tampak dua sosok tubuh
di atas sela batu-batu besar seperti dua arca yang diam tak bergerak. Ternyata
satu wanita dan satu
laki-laki. Siapa adanya laki-laki itu tiada lain dari
pemuda gondrong berpakaian aneh. Dan dihada-
pannya adalah gadis yang jadi incaran raden Gen-
tolo itu. Sepasang mata si pemuda tak berkedip me-
natap gadis dihadapannya. Senyumnya tampak
semakin lama semakin melebar. Sementara gadis
yang ditatapnya bagaikan kena pesona menatap
pemuda aneh itu dengan terpaku membisu.
"Siapa namamu?"
Pertanyaan pemuda itu membuat gadis itu
tersadar dari terpakunya. "Namaku Sekar Arum...."
menyahut si gadis dengan lidah terasa kaku. Jan-
tungnya mendadak berdetak keras. Lepas dari mu-
lut macan tapi jatuh pula ke mulut buaya. Dari ta-
tapan mata pemuda itu yang menjalari sekujur tu-
buhnya, dia sudah pasrah dengan apa yang bakal
terjadi. Kejadian mengerikan yang baru saja ter-
pampang di depan mata itu demikian mena-
kutkan. Kedua laki-laki yang mencegat perjala-
nannya telah tewas secara mendadak. Entah den-
gan cara bagaimana pemuda berpakaian aneh itu
membunuhnya. Karena gerakan tubuh pemuda
aneh ini tak terlihat. Tahu-tahu lenyap, dan dua
laki-laki yang mau mengganggunya menjerit ro-
boh, dan tewas seketika.
Dia melangkah mundur dengan wajah pu-
cat pias, dan sekujur tubuh gemetar. Tahu-tahu
terasa ada sepasang lengan yang menangkap ping-
gang dan membekap mulutnya.
Sebelum dia sadar apa yang terjadi, tahu-
tahu angin bertiup terasa menampar tubuhnya.
Tubuhnya terasa melayang-layang hingga dia cu-
ma memejamkan mata. Ketika dia membuka mata,
tahu-tahu dia telah berada di atas bukit. Seketika dia terpaku memandang laki-
laki gagah berbaju
aneh itu berdiri dihadapannya dengan tersenyum
menatapnya. Mau tak mau dia mengagumi ketampanan
si pemuda gondrong.
Tapi sinar matanya yang menjalari sekujur
tubuhnya membuat dia menyurut mundur. Na-
mun hanya setindak. Kakinya serasa terpaku di
tanah. Hingga dia cuma bengong terlongong mena-
tap pemuda itu tanpa mampu mengucapkan kata-
kata. Sementara jantungnya berdetak keras. Sinar
mata pemuda itu mengandung firasat buruk. Rasa
takut membuat tubuhnya gemetar membayangkan
apa yang bakal terjadi pada dirinya.
Jawaban disitu membuat senyum si pemu-
da gondrong berubah jadi tawa tergelak-gelak.
Namun matanya tak lepas menatap Sekar Arum.
"Hahaha... nama yang bagus! Sungguh tak
kukira kalau di desa di bawah kaki bukit ini ada
makhluk secantik kau...."
Jantung Sekar Arum semakin berguncang,
dan kali ini dia mampu melangkah mundur. Wa-
jahnya semakin pucat.
"Apa yang mau kau lakukan?" sentak si gadis dengan suara bergetar.
"Haha... takut usah takut, gadis manis! aku
tak akan menyakitimu. Bahkan aku akan mem-
buat kau senang..." sahut si pemuda gondrong
dengan tertawa.
Sekar Arum terperangah kaget, karena ta-
hu-tahu dia telah berada dalam pelukan pemuda
itu. Saat itu juga dia berusaha meronta. Tapi aneh, gadis ini rasakan sekujur
tubuhnya tak mampu
digerakkan. Sekar Arum tak dapat berbuat apa-apa se-
lain membelalakkan mata ketika lengan pemuda
itu menggerayangi tubuhnya. Pan satu persatu
melepaskan seluruhnya pakaian ditubuhnya.
"Ah... kau sungguh cantik Sekar Arum. Po-
tongan tubuhmu pun sangat indah. Kulitmu pu-
tih... dan rambutmu... lebat dan indah" berkata pemuda aneh itu seraya
menelusuri setiap lekuk
liku tubuh sang gadis. Kemudian lengannya berge-
rak menguraikan rambut dara itu yang tergelung
di atas kepala.
Sekar Arum benar-benar tak berdaya. Tak
ubahnya dia bagaikan sebuah boneka yang tak
dapat berbuat apa-apa.
"Ya, Tuhan...! kalau apa yang bakal terjadi
adalah sudah suratan nasibku. Kuserahkan se-
mua ini pada MU..." berkata gadis ini dalam hati dengan memejamkan mata.
Tapi, lama... lama... dia menanti apa yang
akan terjadi selanjutnya. Namun yang dinanti tak
kunjung tiba. Perlahan dia membuka mata. Makin
lebar... makin lebar! Tersentak Sekar Arum karena
tak melihat pemuda gondrong itu berada dihada-
pannya. "Oh, kemanakah perginya pemuda itu?"
sentak Sekar Arum. Matanya bergerak menjalari
sekitar bukit-bukit berbatu-batu itu. Tapi tak terlihat dimana adanya pemuda
gondrong itu. "Aneh..." mengapa dia pergi" mengapa dia
tak jadi melakukan hal itu...?" bertanya-tanya dalam hati Sekar Arum. Yang lebih
aneh adalah kini
dia dapat menggerakkan lagi anggota tubuhnya.
Tentu saja girangnya tak alang-kepalang.
Tak ayal dia segera menjumput pakaiannya,
lalu mengenakannya dengan bergegas.
Tak lama selesailah dia menutupi kembali
sekujur tubuhnya. Kembali dia memperhatikan
sekitarnya. Namun tetap tak terlihat adanya sosok
tubuh si pemuda gondrong berpakaian aneh itu
berada di sekitar tempat itu.
"Benar-benar pemuda aneh..." bisiknya dalam hati. "Tapi juga seorang pemuda
tampan dan gagah yang belum pernah kujumpai laki-laki se-tampan dia..."
Sekar Arum bergegas melangkah menuruni
bukit itu. Sementara dalam hati tak habis-habisnya
memuji ketinggian ilmu si pemuda aneh. Untuk
menuruni bukit itu tidaklah mudah karena jalan
yang curam dan berbatu-batu. Tapi pemuda aneh
itu dalam waktu hampir dapat dikatakan cuma be-
rapa kejap saja telah dapat membawa dia ke atas
bukit. Jalan menanjak adalah lebih sukar ketim-
bang menurun. "Pemuda aneh...... siapakah dia" Apakah
semacam itukah kehebatan ilmu orang yang dis-
ebut kaum Rimba Hijau?" berkata hatinya.
Namun diam-diam hatinya menjadi ngeri
melihat ketelengasan si pemuda aneh yang dalam
sekejap saja telah melenyapkan nyawa orang.
ENAM Delapan pembegal itu melompat turun dari
punggung kuda masing-masing ketika mereka
tiba di sebuah tempat tersembunyi. Markas para
penyamun ini ternyata terletak di belakang sebuah
bukit di dalam hutan. Jalan menuju markas dijaga
oleh dua orang yang segera menutup kembali pin-
tu rahasia. Sebuah pintu rahasia terdiri dari pepoho-
nan hidup yang tumbuh di pintu goa berlumut.
Sedangkan dikiri kanan adalah semak belukar
rimbun. Hingga sukar diketahui kalau di tempat
itu adalah pintu markas para pembegal yang sela-
ma ini menjadi momok menakutkan bagi pendu-
duk wilayah selatan maupun para pendatang yang
melewati sekitar wilayah itu.
Di dalam ruangan goa ini ternyata terdapat
sebuah halaman lebar hampir seluas lebih dari ti-
ga puluh tombak persegi.
Sebuah tempat yang strategis. Karena ruan-
gan ini berada dalam udara terbuka. Tampak seke-
liling ruang yang boleh disebut sebagai sebuah ta-
man itu, berpagar tebing batu setinggi hampir se-
puluh kaki. Dalam taman ini ada banyak terdapat lu-
bang-lubang yang merupakan pintu-pintu goa.
Benar-benar sebuah taman rahasia yang berada
dalam sebuah relung bukit. Tak seorangpun akan
menyangka kalau di tempat ini berdiam komplotan
para pembegal yang menamakan diri mereka den-
gan sebutan komplotan penyamun Elang Darah.
Diantara empat pintu goa, terdapat sebuah
pintu goa yang paling lebar. Di depan mulut goa ini terdapat sebuah kolam berair
jernih dengan tana-man kembang beraneka warna diseke-lilingnya.
Kearah mulut pintu goa inilah kedelapan
laki-laki bertopeng kain merah itu menatapkan
mukanya Sementara itu tiga orang wanita yang ber-
hasil diculik dalam keadaan terkulai pingsan da-
lam pondongan tiga laki-laki bertopeng kain merah
itu. Sesosok tubuh berjubah merah tersembul
di pintu goa. Rambutnya hitam terurai ke bela-
kang. Wajahnya mengenakan cadar tipis berwarna
hitam. Dari bayangan tubuhnya samar-samar ter-
lihat dari sebab tipisnya jubah sutera yang dike-
nakannya, dapat diketahui orang ini adalah wani-
ta. Melihat munculnya sosok tubuh itu, kede-


Dewa Linglung 19 Pendekar Tanpa Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lapan laki-laki ini cepat menjura. Wanita bercadar
ini perdengarkan suaranya.
"Bagus...! siapakah korban kalian ini?"
Laki-laki paling depan segera menyahut.
"Tiga orang gadis! salah seorang tampaknya
masih pengantin baru. Kedua gadis lainnya mung-
kin dua orang pelayannya."
Wanita bercadar ini mengangguk, seraya
berkata. "Masukkan mereka dalam ruang tahanan
terpisah! Dan barang rampasan masukkan ke da-
lam gudang! Selanjutnya kalian boleh beristirahat!"
Kedelapan laki-laki ini mengangguk. Tiga orang se-
gera bergegas membawa tiga korban itu memasuki
pintu kedua untuk memasukkan tiga wanita itu
dalam tahanan. Dua orang yang membawa buntalan kain
memasuki pintu goa ketiga. Sedang yang lainnya
setelah mengikat kuda-kuda mereka segera ber-
kelebatan memasuki pintu goa keempat.
Wanita ketua komplotan penyamun Elang
Darah ini berjalan mondar-mandir dalam ruang
kamarnya. Tampaknya dia agak gelisah.
"Hm, berita angin yang kudengar muncul-
nya seseorang yang menamakan dirinya si Pende-
kar Tanpa Bayangan, membuat aku harus mulai
waspada. Untuk sementara operasi pembegalan
harus dihentikan! Apakah julukan itu ada hubun-
gannya dengan bekas guruku, Paderi wanita Biksu
Rondo Jati?" berkata si wanita ketua dalam hati.
Wanita ketua ini lama berdiri terpaku me-
natap ke mulut goa.
Sementara otaknya terus berpikir.
"Kalau dihubungkan dengan bertugasnya
Jalak Pamungkas si Tumenggung tua itu memang
bisa masuk akal. Karena laki-laki itu pernah men-
jadi kekasih bekas guruku dimasa muda. Mungkin
pula diam-diam mereka-mereka telah menyam-
bung kembali hubungan asmara, semenjak aku
diusir keluar dari pesanggrahan! Huh! benar-benar
munafik! Perempuan tua itu menganggap aku te-
lah melakukan perbuatan hina, tapi dia sendiri
menjalin hubungan dengan laki-laki" mendesis
wanita ini, seraya melepaskan cadar hitam tipis
penutup wajah. Ternyata dia seorang wanita yang berusia
sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya cukup cantik,
dengan tulang pipi yang agak menonjol.
Kulit mukanya putih, karena tebalnya be-
dak yang digunakan memoles wajahnya. Akan te-
tapi bekas luka memanjang dari pelipis sampai ke-
pipi yang menggores wajahnya. Tetap tampak
membayang. Walaupun dipoles sedemikian tebal
oleh bedak untuk menghilangkan tanda itu.
Dari sepasang matanya yang bersinar din-
gin, dapat diterka bahwa wanita ini menyimpan
dendam sedalam lautan. Dan dari garis-garis mu-
kanya dapat diketahui bahwa dia seorang wanita
telengas dan kejam. Dan dari pandangan matanya
yang aneh, wanita ini seperti seorang yang mem-
punyai kelainan jiwa.
Di sebelah pembaringan terdapat, sebuah
kaca rias. Kearah sinilah sepasang kakinya me-
langkah. Lama dia terpaku memandangi wajahnya
sendiri, tanpa senyum. Dan jikapun tersenyum-
senyum, itu begitu dingin.
Mendadak dia gerakan lengannya meraba
wajah. Meraba goresan luka memanjang yang
membekas diwajahnya.
"Heh! aku tak akan melupakan dendam ini,
seperti juga tak akan pernah hilangnya bekas luka
ini!" mendesis si wanita. Kemudian balikkan tubuh dan mengenakan lagi cadar
penutup wajahnya.
Dugaan wanita inipun semakin keras kalau
munculnya seseorang yang menamakan dirinya si
Pendekar Tanpa Bayangan itu ada hubungannya
dengan Biksu Rondo Jati, bekas gurunya.
"Kalau orang itu bukan murid perempuan
tua itu, habis siapa lagi" Karena hanya bekas gu-
ruku itulah orang yang mampu melenyapkan
bayangan tubuhnya! Atau memang bekas guruku
itu yang muncul dan melakukan penyamaran den-
gan julukan si Pendekar Tanpa Bayangan?"
Ternyata hal inilah yang membuat hati wa-
nita itu agak resah.
"Malam nanti aku harus keluar untuk me-
nyelidiki..." desahnya mengambil keputusan. "Aku akan melihat dulu ketiga
tawanan itu. Bagaimanakah rupa perempuan yang masih pengantin baru
itu?" katanya dalam hati seraya melangkah masuk ke ruang belakang goa.
TUJUH Tolaga dan Samiri membedal kuda dengan
cepat menuju ke sasaran, yaitu rumah gedung
tempat tinggal bangsawan tua Hong Taliwongso.
Mereka sengaja tak menempuh jalan yang tadi di-
lalui, tapi memotong jalan, dengan tujuan meng-
hindari kepergoknya mereka dengan pengawal
penjaga tapal batas yang akan menggantikan dua
penjaga yang telah diperdayakan dan diseret ke
dalam semak dengan keadaan pingsan dan terto-
tok. Akan tetapi ketika melintasi sebuah belokan
dihutan kecil, mendadak dilihatnya seorang pe-
muda tengah berjalan seenaknya di tengah jalan
itu. Tampaknya orang muda itu tak mengetahui
kalau ada dua ekor kuda berlari kencang diha-
dapannya. "Hai! minggir! kau mau mampus!?" teriak
Samiri. Matanya melotot lebar. Jangankan untuk
menahan lari kuda, memberi peringatan pun su-
dah terlambat. Karena kuda-kuda mereka sudah
tinggal beberapa depa lagi.
Tampaknya tak mungkin orang muda itu
dapat menghindari diri, tiba-tiba kedua kuda itu
meringkik keras seraya menahan larinya dengan
mengangkat kaki depan.
Akibatnya, Samiri dan Tolaga terlempar dari
punggung kuda dan jatuh terjungkal. Kedua kuda
itu langsung kabur tak tentu arah dengan mem-
perdengarkan suara ringkikan ketakutan.
"Keparat! siapa kau?" bentak Samiri seraya melompat berdiri diikuti Tolaga.
Wajah dua laki-laki ini merah padam. Sekujur tubuh dan pa-
kaiannya penuh debu.
Orang yang dibentak demikian rupa ternya-
ta malah bertanya dengan heran.
"Eh!" ada apa yang terjadi" Kalian jatuh
sendiri dari kuda, mengapa membentak aku secara
kasar?" tanya pemuda gondrong bertampang dun-
gu ini dengan belalakkan mata.
"Bocah gendeng! apa kau tak tahu kalau
kau hampir saja diterjang kuda" Gara-gara kau
yang tak mau minggir, hingga kami menjadi kor-
ban jatuh dari atas kuda. Bahkan kami harus ke-
hilangan dua ekor kuda yang kabur ketakutan!"
bentak Tolaga dengan geram.
"Gara-gara aku...?" tanya pemuda ini dengan menggaruk-garuk tengkuknya. Mendadak
dia tertawa terpingkal-pingkal.
"Hahaha... haha... aku yang tak tahu apa-
apa mengapa harus disalahkan" Justru seharus-
nya akulah yang marah, karena kalian hampir
mencelakakan aku. Naik kuda kalau menemukan
jalan yang membelok harus mengurangi kecepa-
tan. Apa kau anggap jalan ini milik nenek moyang
kalian?" kata pemuda ini acuh tak acuh.
Tentu saja Samiri dan Tolaga gusar bukan
main, merasa dirinya dianggap remeh. Samiri
memberi tanda pada kawannya. Tolaga mengang-
guk mengerti. "Heh! jangan membuat kami gusar, anak
muda! lebih baik kau ganti kedua kuda kami, ma-
ka kami akan menghabiskan urusan sampai dis-
ini!" kata Samiri. Sementara matanya tertuju pada buntalan kain yang dibawa
pemuda itu, yang dis-ampirkan di atas pundaknya.
Pemuda ini tiada lain adalah Nanjar, si De-
wa Linglung. Dia tertawa kecil, dengan tanpa mengacuh-
kan kedua orang yang telah mengurungnya. Bah-
kan ujung kakinya memainkan batu kecil di atas
tanah. "Kalau kau mau selamat, serahkan saja pa-da kami sepuluh keping emas
untuk pengganti ke-
dua kuda kami yang kabur itu, agar kami bisa
membeli kuda lagi!" sambung Tolaga.
"Haha... kuda-kuda kalianpun hasil me-
rampas. Kalau aku harus menyerahkan sepuluh
keping emas berarti kalian mempunyai keuntun-
gan dua belas keping emas! Wah! wah! dalam seke-
jap kalian bisa jadi orang kaya..." menjawab Nanjar.
Tentu saja kata-kata si Dewa Linglung
membuat dua orang ini membelalakkan mata ter-
kejut. "Keparat! bocah ini mengetahui perbuatan kita..." bisik Tolaga
menghampiri Samiri dengan wajah pucat.
"Hm, habisin saja..." berkata Samiri dengan wajah berubah. Serentak keduanya
mencabut senjata masing-masing.
"Anak muda! ternyata kau banyak tahu ten-
tang kami. Maka jangan menyesal kalau kami ter-
paksa harus menutup mulutmu!" membentak Sa-
miri dengan suara dingin.
"Hahaha... bukannya banyak lagi, tapi ba-
nyuak! Bukankah kalian yang telah memberi surat
rahasia pada si bangsawan tua Hong Taliwongso"
Dalam isi surat itu kalian memberitahukan adanya
seseorang yang mengancam jiwa anak perempuan
bangsawan tua itu. Kalian menjanjikan akan ber-
hasil membereskan si pengancam, dengan syarat
orang tua itu mau memberikan uang imbalan. Dan
bukankah kalian ini yang menamakan diri si Dewa
Penolong?"
Hampir melejit biji mata Samiri dan Tolaga
mendengar Nanjar membeberkan semua tipu
dayanya. Seketika wajah mereka berubah merah
padam. "Bagus! kalau begitu segeralah kau berang-
kat ke Akhirat!" bentak Samiri menggeledek. Sepasang kapak tipisnya menyambar ke
arah Nanjar. Akan tetapi detik itu jempol kaki Nanjar yang sejak tadi mempermainkan sebutir
batu kecil, mendadak
menjentik... Menjeritlah laki-laki ini ketika batu kecil itu
meluncur deras kearah kaki Samiri, dan tepat
mengenai tulang keringnya.
Tentu saja ketika Samiri berjingkrakan den-
gan wajah menyeringai kesakitan. Melihat itu Nan-
jar jadi tertawa terpingkal-pingkal karena melihat adegan lucu laki-laki itu.
"Bocah keparat, mampuslah kau!" memben-
tak keras Tolaga, seraya tebaskan sepasang badik
kearah Nanjar dengan didahului gerakan melom-
pat. Nanjar terhuyung ke depan seperti mau jatuh.
Tapi hal itu justru membuat lolosnya tebasan yang
bisa memutuskan pinggangnya. Nyaris ujung ba-
dik itu menggores kulit perut si Dewa Linglung, kalau pemuda itu tak
mengempeskan perutnya.
Namun tak urung bajunya terkoyak oleh
senjata lawan. Nanjar unjukkan wajah pucat se-
perti ketakutan, ketika melihat bajunya yang so-
bek. "Hah! kalian benar-benar mau membunuh-
ku...?" Nanjar pura-pura tersentak
"Hahaha... siapa bilang aku main-main" Se-
belum membunuhmu aku akan menguliti kulitmu
terlebih dahulu!" menggertak Tolaga merasa mendapat angin. Dia tak mengira kalau
pemuda itu ternyata seorang dogol. Tadi tertawa tergelak-
gelak, tapi sekarang ketakutan mengetahui dirinya
akan dibunuh. Gerakan terhuyung itu memang membuat
Tolaga merasa aneh, karena serangannya bisa lu-
put. Tapi dia segera menduga hal itu cuma secara
kebetulan saja. Si dogol ini mana mengerti ilmu silat" pikirnya.
Sementara itu Samiri telah melompat ke
hadapannya. Sepasang kapaknya mendesing
membelah kepala Nanjar dan menyambar ke leher
Nanjar membuang tubuhnya dengan berguling ke
samping. Ujung kakinya menyambar ke perut laki-
laki itu. Buk! Serangan tak terduga itu membuat Samiri
mengaduh kesakitan memegangi perutnya yang
kena tendangan kaki Nanjar. Mendelik mata Tola-
ga. Kali ini dia tak percaya kalau anak muda itu
tak memiliki ilmu silat. Dengan menggerung keras
dia melompat menerjang Nanjar.
Akan tetapi tiba-tiba dia perdengarkan jeri-
tan keras. Tubuhnya roboh terjungkal. Ternyata
sebuah ranting kayu telah menembus punggung-
nya hingga sampai ke perut. Tolaga menggeliat me-
regang nyawa. Tak lama kepalanya terkulai. Nya-
wanya melayang.
Seketika wajah Samiri berubah pucat bagai
kertas, ketika tahu-tahu sebuah lengan men-
cengkeram tengkuknya. Dan satu suara dingin
terdengar di telinganya. Itulah suara seorang wani-ta.


Dewa Linglung 19 Pendekar Tanpa Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau lihatlah siapa aku..."
Membelalak lebar mata Samiri, ketika se-
buah wajah yang bertanda goresan luka meman-
jang pada wajah orang dihadapannya.
"Hah!" ket... ketua...?" sentaknya terperangah. Namun suaranya segera lenyap
berganti dengan erangan, ketika jari-jari lengan wanita itu menghunjam ke jantungnya.
"Sudah terlalu lama aku membiarkan kau
mengekor di belakang ku, bangsat! manusia licik
semacammu selayaknya mampus!" desis si Elang
Darah. Dan, ketika dia menyentakkan lengannya,
darah segera memuncrat. Segumpal jantung telah
berada dalam cengkeraman wanita itu.
Samiri menggeliat dan menggelepar sesaat.
Kemudian jiwanya melayang seketika.
"Eh! bukankah kau Biksu Rara Tantri?"
sentak Nanjar terkejut setindak. Matanya tajam
mengawasi sosok tubuh dihadapannya.
Wanita ini tersenyum menatap si Dewa Lin-
glung. Lalu membanting hancur benda isi dada
Samiri itu ke tanah. Kemudian gunakan kain ca-
darnya untuk menyeka lengannya yang penuh ber-
lepotan darah. "Dewa Linglung...! aku berhutang budi pa-
damu! Hihi... kukira kau sudah tak mengenal diri-
ku. Ternyata matamu masih tajam. Tentu kau ma-
sih ingat peristiwa tiga tahun yang lalu...?"
"Tentu saja aku masih mengingatnya!" sa-
hut Nanjar dengan menatap tajam wanita ini. Te-
ringat Nanjar ketika wanita itu bertarung mengha-
dapi dua tokoh yang menamakan diri mereka si
Sepasang Iblis Sembilan Racun. Dua tokoh yang
membuat heboh dengan segala tindakan kekeja-
mannya. Secara kebetulan Nanjar bahu-mem-
bahu menumpas kedua manusia itu. Walaupun
kedua manusia itu tak menemui kematian, dan
berhasil melarikan diri. Namun kedua iblis itu da-
lam keadaan terluka parah.
"Hihi... sukurlah, kalau kau masih mengin-
gatnya. Budimu itu takkan pernah kulupakan. En-
tah bagaimana cara aku membalasnya..." kata wanita ini.
*** Nanjar tertawa tawar. Tapi dalam hati diam-
diam dia terkejut karena wanita itu berwatak te-
lengas. "Haha... sudahlah! soal lama itu lupakan saja..." kata Nanjar.
"Bagaimanakah keadaanmu kini, sahabat
Biksu Rara Tantri?" tanya Nanjar, menutup keter-
kejutannya karena melihat ketelengasan paderi
wanita yang dikenalkan tiga tahun yang lalu itu.
"Ah, aku baik-baik saja. Selama ini aku me-
nutup diri untuk memperdalam ilmu kepandaian-
ku." sahut wanita ini. "Oh, ya... kuharap kau tak memanggilku dengan sebutan
Biksu lagi, cukup
dengan namaku saja" sambung wanita ini.
"Eh, mengapakah" apakah kau telah me-
ninggalkan ke Biksuanmu?" tanya Nanjar. Wanita itu terdiam sesaat.
"Ya...! aku merasa masih belum mampu
membersihkan diri. Entahlah mungkin suatu saat
aku akan kembali menjadi Biksu!" sahut Rara Tantri dengan suara datar. "Oh, ya!
aku belum mengatakan siapa adanya dua manusia ini. Mereka ada-
lah dua bangsat kelas rendah yang licik. Selain
pekerjaannya memeras orang, juga gemar mem-
perkosa gadis-gadis. Manusia semacam ini sudah
sepantasnya dibunuh mampus!" lanjut wanita ini, seraya gerakkan kaki menendang
tubuh Samari yang sudah lepas nyawanya. Mayat laki-laki itu
terlempar ke dalam semak.
"Mari kita pergi dari tempat ini, sobat Dewa, Linglung. Banyak yang akan
kukatakan padamu
mengenai hal yang mungkin belum kau ketahui..."
cepat-cepat Rara Tantri berkata, lalu menarik len-
gan Nanjar untuk diajak berlalu. Nanjar terpaksa
menuruti keinginan wanita bekas biksu itu.
Pedang Hati Suci 5 Bende Mataram Karya Herman Pratikto Kelana Buana 14
^