Pencarian

Iblis Seruling Maut 2

Dewa Linglung 13 Iblis Seruling Maut Bagian 2


"Apakah ini Padepokan Weringin Kolot?" tanya Guci Manik tanpa menjawab terlebih
dulu pertanyaan
Ki Pandoyo. Ki Pandoyo kerenyitkan keningnya. Benar-
benar dia dikunjungi seorang tetamu tak diundang
yang bersikap kurang ajar. Tapi dengan sabar Ki Pan-
doyo menyahut. "Dugaanmu tidak salah, anak muda. Ada ke-
pentingan apakah kiranya, anak" Apakah kau memang
sengaja ingin kemari atau secara kebetulan saja lewat ditempat ini?"
"Haha.. dibilang kebetulan, ya memang kebetul-
an. Tapi dibilang sengaja, aku tidak sengaja!" sahut Guci Manik dengan tertawa
asam. "Apakah maksud ucapanmu, anak muda"!" Ki
Pandoyo masih bersabar.
"Artinya, aku memang entah kapan bakal da-
tang ke padepokan ini. Dan secara kebetulan aku lewat di tempat ini. Bukankah
itu tidak sengaja" Tapi memang kebetulan sekali. Aku toh tak perlu mencari-cari
lagi dimana adanya padepokan yang bakal aku datangi
kelak" Nanti atau sekarang sama saja. Lebih cepat selesai urusanku lebih
baik..!" sahut Guci Manik dengan tertawa.
Lagi-lagi Ki Pandoyo kerenyitkan keningnya. Di-
tatapnya pemuda itu tajam-tajam.
"Siapakah kau sebenarnya, anak muda" Siapa-
kah yang kau cari di padepokan ini, dan ada urusan
apakah sebenarnya?"
"Baiklah ku sebutkan siapa diriku. Aku berge-
lar si Iblis Seruling Maut!" sahut Guci Manik. "Tujua-nku adalah menemui orang
yang bernama Pandoyo,
atau lebih tepat bergelar si Pedang Malaikat!"
"Urusan apakah yang membawa langkahmu ke
mari untuk menemui si Pedang Malaikat?" tanya Ki Pandoyo dengan hati kian
tersentak. Gelar Iblis Seruling Maut itu baru hari ini dia mendengarnya.
"Aku akan minta petunjuk pada bekas pende-
kar tua yang gagah perkasa itu. Terutama petunjuk il-mu kedigjayaan. Serta ku
ingin melihat kehebatan Pe-
dang Malaikat yang pernah membuat gempar Dunia
Persilatan belasan tahun yang lalu. Apakah pedang itu masih tajam atau sudah
menjadi besi tua...?"
Bagi seorang tokoh tua yang sudah banyak
makan asam-garam Rimba Hijau, jelas dia sudah men-
getahui apa maksud kata-kata pemuda itu. Yaitu da-
tang untuk mencari perkara. Tapi apakah tujuan se-
benarnya dia masih meragukan. Di zaman seperti se-
karang ini memang banyak bermunculan tokoh-tokoh
muda kaum Rimba Hijau yang berilmu tinggi. Hal itu
dimaklumi Ki Pandoyo. Segera dia berkata.
"Siapakah gurumu, bocah" mulutmu tajam se-
tajam pedang. Punya ilmu simpanan macam apakah
kau hingga membuat kesombonganmu melewati batas
ukuran?" Kata-kata Ki Pandoyo menusuk tajam.
"Haha.. aku bukan seorang bocah kecil yang
harus membawa-bawa nama guruku. Katakan saja di
mana pendekar tua itu!" Ternyata jawaban Guci Manik lebih tajam menusuk ulu hati
Ki Pandoyo. "Bocah sombong! bukalah lebar-lebar matamu.
Akulah orang yang kau cari itu!" berkata Ki Pandoyo dengan suara sedingin salju.
"Aha., sudah kuduga memang kau orangnya.
Tapi tampang malaikat walau aku belum pernah meli-
hat tidak seperti kau! Haha... Entah macam apa pe-
dang yang pernah membuat gempar kalangan Rimba
Hijau itu?"
Merah padam wajah Ki Pandoyo. "Bocah som-
bong! Hari ini kalau aku tak merobek mulutmu yang
kotor itu, ku cabut gelarku dan takkan kupergunakan
lagi!" Whuuut! Whuuutt!
Ki Pandoyo telah melancarkan serangan tenaga
dalam dengan kibasan lengan jubahnya yang gom-
brong. Hawa panas menyambar ke arah Guci Manik.
Tapi dengan lompatan indah bagai seekor burung wa-
let, Guci Manik melompat menghindar.
Duk! Sambaran keras tahu-tahu menghantam dada
Guci Manik. Kalau saja dia tak gembungkan dada un-
tuk menangkis serangan tiba-tiba itu, dapat dipastikan tulang dadanya akan
hancur atau patah-patah terkena
tendangan keras yang dilancarkan Ki Pandoyo. Akan
tetapi cukup membuat Guci Manik menjerit kaget. Tu-
buhnya terlempar beberapa tombak.
Merah padam wajah Guci Manik. Dalam dua
jurus saja nyaris jiwanya melayang menghadapi pen-
dekar tua itu. Ternyata nama si Pedang Malaikat bu-
kan main-main. Kali ini Guci Manik tak memandang
enteng. Akan tetapi tetap saja kesombongannya tak
dapat ditutupi.
"Hai, orang tua! jurus tendangan mu sudah
berkurang tenaganya. Tulang-tulangmu pun telah mu-
lai rapuh. Sebaiknya kau keluarkan pedang pusakamu
yang kau banggakan untuk membuktikan ucapanmu.
Haha... kukira sudah sepantasnya kau beristirahat di liang kubur!"
"Bocah sombong! rasakan ini!" Ki Pandoyo
membentak keras seraya mengirim serangan pukulan-
nya yang bernama Pukulan Telapak Malaikat.
Bummm! Bumi bergetar. Asap membumbung ke udara,
dan hawa panas menebar! Akan tetapi Guci Manik le-
nyap tak kelihatan batang hidungnya.
8 Bukan kepalang terkejutnya prajurit Kadipaten
utusan dari Adipati Sawunggana yang diperintah men-
jemput Ki Pandoyo, ketika mendapatkan laki-laki tua
itu dalam keadaan tak bernyawa terkapar didepan
pondok padepokan. Kematiannya amat mengerikan,
karena dari sekujur lubang di tubuhnya mengalirkan
darah kehitaman. Setelah memperhatikan mayat, den-
gan wajah pucat pias dan tengkuk meremang si praju-
rit utusan itu bergegas angkat kaki dari tempat itu.
"Aku harus segera melaporkan hal ini pada
gusti Adipati!" desis si prajurit utusan. Dia bernama Lugut. Laki-laki ini
menbedal kudanya bagai dikejar
setan. Keringat dingin mengembun ditengkuknya.
Mendadak kudanya meringkik panjang. Binatang ini
seperti berubah jadi liar. Bagaimanapun kepandaian
Lugut menunggang kuda, tapi tak luput dari naas. Lu-
gut terjungkal jatuh dari punggung kudanya.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul sesosok tu-
buh yang tak lain dari Guci Manik. Dengan gerakan
gesit pemuda ini berkelebat menahan kuda yang liar
itu. Aneh! begitu pemuda itu melompat ke atas pung-
gungnya, kuda itu mendadak jadi jinak. Dengan ter-
tawa menyeringai Guci Manik membedal kuda si pra-
jurit. Dalam beberapa saat saja pemuda itu sudah tak kelihatan lagi. Cuma suara
derap kaki-kaki kuda yang
lapat-lapat semakin menjauh. Kemudian lenyap, me-
ninggalkan sisa-sisa debu yang mengepul.
Lugut mengucak-ucak matanya dengan wajah
sebentar pucat sebentar merah. "Si.. siapa orang itu"
Edan! dia telah merampas kudaku! Bagaimana aku
harus pulang ke Kadipaten?" memaki si prajurit. Akhirnya dengan melangkah cepat
terpaksa si prajurit si-al itu melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, kalau
tak mau mati ketakutan ditempat itu.
Laporan prajurit utusan yang tiba di kadipaten
dalam keadaan lesu pada sore hari itu, membuat Adi-
pati Sawunggana terkejut bagai disambar petir.
"Kau tak melihat siapa-siapa dipondok pe-
sanggrahan itu?" tanya Adipati Sawunggana. "Ampun, gusti! kecuali orang yang
merampas kuda hamba, tak
ada siapa-siapa lagi ditempat itu..." sahut Lugut.
"Kau hapal wajah dan bentuk perawakan si pe-
rampas kudamu?"
"Ya, hamba masih ingat. Dia seorang laki-laki
yang masih muda. Berparas gagah. Rambutnya lurus
panjang sebatas leher. Berbaju dari kulit harimau. Matanya agak sipit dan
memakai ikat kepala warna kun-
ing!" bertutur Lugut.
"Berbaju kulit harimau?" sentak Adipati Sawunggana. "Jangan-jangan dia orang
yang telah menculik Retno Sekar..."
"Apakah dia yang telah membunuh Ki Pan-
doyo?" berkata Adipati Sawunggana dalam hati. "Tahukah kau ke mana arah orang
itu melarikan kuda-
mu?" tanya Adipati Sawunggana.
"Ke arah barat, gusti..!" sahut Lugut pasti.
"Hm, aku harus menemui Patih Panji Rana un-
tuk menceritakan hal ini. Aku khawatir dia memasuki
Kota Raja melalui pintu perbatasan sebelah barat!" desis sang Adipati dengan
wajah berubah tegang Firasat-
nya mengatakan bahwa bakal ada kerusuhan di Kota
Raja. Bergegas Adipati Sawunggana masuk ke dalam
ruangan. Tak lama telah keluar lagi dengan pakaian
lengkap. Sebilah keris pusaka yang biasanya disimpan dalam kamar, telah terselip
dipinggangnya. "Siapkan kudaku!" perintahnya pada pengawal.
Prajurit itu dengan sigap segera menjalankan perintah, berlari cepat ke ruang
belakang gedung Kadipaten. Tak lama dia telah muncul di halaman dengan menuntun
seekor kuda putih lengkap dengan pelananya.
Adipati Sawunggana mengumpulkan semua
prajuritnya. Kemudian membagi tugas serta melipat
gandakan penjagaan di sekitar gedung Kadipaten. Saat itu Retno Sekar muncul di
pintu pendopo. "Hendak kemanakah ayah?" sentak gadis ini.
"Apakah yang terjadi?" Retno Sekar yang tampaknya baru bangun dari tidur itu
melompat mendapatkan
ayahnya. "Tak ada apa-apa, anakku..! Tenanglah! Aku
hanya mengkhawatirkan terjadi sesuatu ditempat kita, sementara kepergianku. Aku
akan menghadap kanjeng
Gusti Patih. Ada hal penting yang akan kusampaikan.
Kuharap kau tak keluar rumah. Temani ibumu yang
sedang sakit. Jangan kau membuat sesuatu yang
mencemaskannya..!" kata Adipati Sawunggana
Setelah berkata, Adipati Sawunggana segera
melompat ke punggung kuda tunggangannya, dan
membedal dengan cepat keluar dari pintu gerbang Ka-
dipaten. Sebentar saja lenyap dari pandangan mata
gadis itu. Pintu gerbang segera ditutup kembali oleh dua orang prajurit.
Sementara barisan prajurit lainnya segera menyebar ke masing-masing tempat
penjagaan. Retno Sekar tertegun beberapa saat. Tapi tak lama dia beranjak masuk ke dalam
gedung dengan benak masih
dipenuhi pertanyaan....
00OO00 Beberapa hari sudah Nanjar melacak jejak si
peniup seruling aneh yang diberitakan orang adalah si manusia penebar maut.
Karena setiap terdengar suara
seruling aneh itu, tak lama akan terjadi huru-hara
yang berlanjut dengan kematian! Datang dan perginya
manusia peniup seruling itu seperti setan. Sebentar
muncul diwilayah perbatasan sebelah barat, sebentar
kemudian lenyap. Dan ada berita muncul di wilayah
pintu Kota Raja sebelah selatan. Hal itu membuat Nanjar menjadi jengkel, karena
sepertinya orang itu mengajak dia main kucing-kucingan.
Nanjar sebentar-sebentar jatuhkan pantatnya
duduk ditanah, setelah sekian kali mondar-mandir ka-
rena tak dapat memutuskan arah yang akan dituju.
"Siapakah si peniup seruling setan itu?" geru-tunya dengan menendang mental
sebuah batu. Tapi
karena dia menyalurkan kemengkalan hatinya tanpa
perhitungan. Batu yang ditendangnya justru mental
balik dan menghantam tulang keringnya. Akibatnya si
Dewa Linglung mengaduh kesakitan. Dan berjingkrak-
jingkrak dengan wajah menyeringai.
"Aduuh! Aduuh! sialan" maki Nanjar dengan
wajah menahan sakit. Mendadak dia tersentak kaget,
ketika tiba-tiba telinganya lapat-lapat mendengar sua-ra seruling. "Si peniup
seruling setan?" sentak Nanjar terkejut. Segera dia memasang telinga untuk
mengetahui dari arah mana asal suara seruling itu. Mata Nanjar menatap tak
berkesiap ke arah hutan kecil di sebelah timur.
Dengan gerakan ringan dia berkelebat melom-
pat tanpa menimbulkan suara, mendekati ke arah sua-
ra seruling itu. Dengan melompat dari pohon ke pohon agar kedatangannya tak
diketahui lawan, Nanjar semakin mendekat ke arah asal suara. Tapi dia jadi
tertegun karena mendadak suara seruling itu lenyap.
Keadaan menjadi sunyi mencekam...
"Sial! mengapa berhenti?" desis Nanjar. Dia menunggu suatu gerakan yang dapat
memungkinkan lawan bergerak ke arah lain. Sementara dia tetap me-
masang mata dan telinga untuk siap menyergap. Akan
tetapi suara itu benar-benar lenyap. Tak ada tanda-
tanda di sekitar hutan kecil itu ada manusia.
Mendadak suara seruling itu kembali terdengar
lapat-lapat Nanjar tersentak.
"Kunyuk! suara seruling itu pindah ke hutan
sebelah barat! Ya! di hutan sebelah sana..." memaki Nanjar. Disamping heran,
Nanjar juga jadi penasaran.
Segera dia berkelebat menerobos hutan untuk mende-
kati asal suara seruling yang sudah pindah tempat itu Lagi-lagi Nanjar
kehilangan jejak suara. Mendadak dia melihat berkelebatnya sesosok bayangan
hitam yang bergerak cepat sekali. Melayang seperti sebuah
bayangan setan ke arah lamping bukit.
"Itu pasti makhluknya!" teriak Nanjar dalam ha-ti. Kali ini Nanjar sudah siap
untuk segera membekuk lawannya. Tak ada jalan yang paling baik selain
mempergunakan ilmu terbang yang diandalkannya. Sedetik
kemudian tampak tubuh si Dewa Linglung telah me-
layang bagaikan seekor elang menerobos dedaunan,
dan membumbung melewati puncak pohon.
Benar saja! sesosok bayangan terlihat berkele-
bat ke arah bawah tebing. Nanjar menukik cepat ba-
gaikan elang yang menyambar mangsa
Whuuuk! Dari udara Nanjar menghantam punggung


Dewa Linglung 13 Iblis Seruling Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang itu dengan pukulan jarak jauh, diiringi bentakan
keras. "Berhenti setan seruling!"
Brasss! Hantaman yang dilontarkan Nanjar membuat
tanah berlubang hangus. Tapi manusia itu lenyap en-
tah kemana "Setan alas!" maki si Dewa Linglung dengan geram. Mendadak terdengar
suara tertawa terke-
keh-kekeh dibelakangnya. Bukan kepalang terkejutnya
Nanjar ketika membalikkan tubuh, melihat seorang
kakek berjubah hitam tampak duduk di atas sebatang
pohon kayu dengan kaki menjuntai.
"Pukulan Kilat Bhuana yang hebat! hehehe...
nyaris tubuhku hangus terpanggang. Kaukah gerangan
yang bergelar si Dewa Linglung alias si Pendekar Naga Merah?" Suara si kakek
terdengar bagai tonggeret yang merobek udara membuat gatal telinga. Nanjar
melengak heran, karena orang itu mengenali dirinya.
"Hm, dugaanmu tak salah, orang tua! Siapakah
kau sebenarnya" Dan apa yang kau lakukan ditempat
ini?" Si kakek kembali tertawa terkekeh-kekeh, kemudian sahutnya. "Bukankah kau
tengah mengejar si peniup seruling setan" Hehehe... setelah bertemu men-
gapa kau menanyakan lagi?"
"Heh! jadi kaulah manusia penyebar maut itu"
Bagus! Aku memang mengejar si peniup seruling maut
itu. Kalau kau manusianya sungguh kebetulan sekali.
Tapi sebelum aku membekukmu, katakanlah apa
maksudmu sebenarnya dengan perbuatan yang kau
lakukan itu?"
"Hehehhe... anak muda! aku tak dapat menceri-
takan padamu mengenai urusanku itu. Tapi yang jelas
kau adalah orang berbahaya yang bakal menjadi peng-
halang langkahku. Oleh sebab itu aku sengaja me-
mancing mu ke tempat ini untuk membunuh mu!" sahut si kakek berjubah hitam
dengan suara tak sedap
didengar telinga.
"Hm, jadi maksudmu demikian" aku akan san-
gat berterima kasih kalau kau mampu membunuhku.
Tapi kalau ucapanmu tak terbukti jangan menyesal
kalau aku yang akan menghentikan perbuatan kejimu
untuk selama-lamanya!" berkata Nanjar dengan sikap jumawa. Si kakek tertawa lagi
terkekeh-kekeh. Seperti geli melihat lawan berani jual lagak di hadapannya.
"Bagus! dengan rela akan kuserahkan kepalaku
bila kau sanggup menghadapi ilmu "Membetot sukma"
dari seruling ku!" ujar si kakek.
"Katakan dulu siapa nama dan gelarmu, tua
bangka sombong! sebelum kau mengatakan jangan ha-
rapkan aku mau melayanimu!" Si kakek tertawa gelak-gelak mendengar ucapan
Nanjar. "Heheh.. hehe.. sudah lama aku mengharapkan pertemuan dengan seo-
rang pendekar aneh yang punya gelar terkenal di se-
tiap penjuru jagat, setelah bertemu orangnya mana
mungkin kau tak melayaniku main-main?" berkata si kakek jubah hitam.
"Baiklah! agar kau tak kecewa, sebelum nya-
wamu kukirim ke luar dunia akan kukatakan siapa
nama dan gelarku. Aku bernama Beo Aningkal! Gelar-
ku tak jauh dari senjata andalan ku ini, yaitu si Iblis Seruling Maut!"
00OO00 Di lain tempat tepatnya di sebelah selatan per-
batasan Kota Raja, ternyata tengah terjadi kerusuhan karena menyusupnya seorang
pemuda berbaju kulit
harimau yang membunuh dua orang penjaga perbata-
san. Pemuda itu tak lain dari Guci Manik. Akan tetapi tak begitu mudah bagi Guci
Manik untuk menyusup
ke wilayah Kota Raja. Karena puluhan prajurit Kera-
jaan telah melakukan penjagaan ketat. Melihat mun-
culnya pemuda yang dicurigai dengan ciri-ciri yang telah dipesankan, segera
mereka mengurung si pemuda
berbaju kulit harimau itu.
Akan tetapi mendadak enam orang prajurit
menjerit dan terjungkal roboh. Tiga orang perwira yang mengepalai tiga regu
prajurit jadi tersentak kaget melihat bagaimana hanya dengan mengibaskan lengan,
enam orang prajurit telah roboh tewas seketika. Tahulah mereka kalau mereka
tewas oleh serangan senjata
rahasia si pemuda pengacau itu.
Tiga perwira ini melompat maju. Mereka adalah
Pradigdo, Karmenda dan Bomaranu. Ketiganya adalah
perwira kelas satu yang memiliki ilmu tinggi dan telah mendapat tanda
penghargaan dari patih Panji Rana.
Tidak sedikit jasanya dalam memberantas pengacau.
"Manusia telengas! sebutkan siapa dirimu sebe-
lum kepalamu kami pisahkan dari batang lehermu!
Apa maksudmu mengacau diwilayah kerajaan kami?"
membentak Bomaranu. Laki-laki perwira kerajaan ini
telah mencabut senjata andalannya, sepasang tombak
pendek bermata tiga. Sementara Karmenda bersenja-
takan sebilah pedang dan Pradigdo menggunakan se-
buah tombak panjang bervariasi sepasang kapak di ki-
ri kanannya. Keduanya mengurung Guci Manik siap
untuk menerjang maju
"Hahaha... keroco-keroco macam kalian tak
pantas berhadapan denganku! Apakah tak ada orang
yang lebih pantas untuk menghadapiku?" ejek Guci Manik. Membuat ketiga perwira
Kerajaan ini jadi naik darah. Akan tetapi mereka tak terpancing emosi.
"Heh! untuk menangkap seorang penjahat se-
macam kau, tak perlu mengotori tangan pemimpin
kami. Lekaslah kau sebutkan siapa kau. Dan apa tu-
juanmu mengacau diwilayah Kerajaan kami?" bentak Bomaranu.
"Haha... baik! baik! Aku si Iblis Seruling Maut bertujuan merebut kekuasaan
Kerajaan Purwacarita!
Nah! menyingkirlah kalian kalau kalian tak ingin kehilangan nyawa!" sahut Guci
Manik dengan suara tajam.
Meletuplah kemarahan ketiga perwira Kerajaan
ini. Serentak mereka menerjang setelah diberi aba-aba oleh Bomaranu. Sepasang
tombak pendek Bomaranu
meluncur deras menusuk ke arah dada dan perut la-
wan. Namun dengan cepat Guci Manik miringkan tu-
buhnya ke samping menghindari serangan.
Akan tetapi segera kakinya menjejak tanah un-
tuk melompat jungkir balik ketika tabasan pedang
Karmenda menabas ke arah kakinya. Saat tubuhnya
berputar di udara tombak panjang bermata kapak Pra-
digdo menyambar ganas diiringi bentakan laki-laki
perwira kerajaan itu.
"Mampus!"
Akan tetapi gesit luar biasa gerakan Guci Ma-
nik. Secepat kilat dia berhasil menangkap badan tom-
bak setelah terlebih dulu menghantam benda maut itu
dengan angin pukulannya. Nyatalah tenaga dalam si
pengacau muda ini amat tinggi. Karmenda terkejut ka-
rena senjatanya nyaris terlepas. Selagi dia terperangah, tiba-tiba pangkal
tombak menekan keras ke dadanya.
Menjeritlah perwira Kerajaan ini. Darah menyembur di belakang punggungnya.
Pangkal tombaknya telah me-nembus dadanya hingga ke punggung.
Karmenda terjungkal roboh dengan serangan
merobek udara. Setelah menggeliat dengan mata mem-
belalak lebar, perwira inipun terkulai tak bergerak lagi.
Melihat kematian Karmenda meledaklah kemarahan
Bomaranu dan Pradigdo. Kedua perwira ini segera me-
nerjang dengan serangan-serangan ganas. Pedang di
tangan Pradigdo menyambar-nyambar laksana seekor
Naga mengamuk. Sedangkan sepasang tombak pendek
bermata tiga Bomaranu menusuk dan mendesis-desis
ketika dipergunakan menyerang lawan dengan gencar.
Guci Manik agak terkejut melihat serangan-
serangan ganas lawannya. Akan tetapi selama belasan
tahun dia telah digembleng oleh seorang tokoh kosen
yang mengajarinya ilmu-ilmu tinggi. Dalam hal kejelian mata serta kelincahan
tubuh tampaknya telah dikua-sai Guci Manik. Segera saja sepasang mata elangnya
dapat melihat dimana kelemahan-kelemahan lawan.
Sambil menghindari setiap serangan, Guci Manik me-
nunggu kesempatan baik untuk melepas-kan puku-
lannya. Di jurus keenam belas, tiba-tiba pemuda itu membentak keras. Tubuhnya
berkelebat ke udara di
saat sambaran pedang dan tombak lawan siap me-
manggang tubuhnya. Detik itulah yang dinantikan, ka-
rena segera Guci Manik lepaskan tendangan ke arah
Pradigdo. Krak! Terdengar suara berderak yang diba-
rengi terlemparnya tubuh perwira itu diiringi jeritan pendek. Tubuh Pradigdo
berguling-guling beberapa
kali, lalu berhenti.
Tampak lehernya terkulai mengucurkan darah.
Ternyata tulang leher perwira muda itu telah patah.
Jeritan berikutnya merambah udara ketika
cengkeraman tangan Guci Manik hinggap di kepala
Bomaranu. Lima jari-jari tangan Guci Manik telah am-
blas menoblos batok kepala perwira kerajaan ini. Bo-
maranu perdengarkan jeritan menyayat hati. Bersa-
maan dengan melesatnya tubuh si pemuda berbaju
kulit harimau ke tanah, tubuh perwira kerajaan inipun roboh ke depan nyawa lepas
seketika..... Puluhan prajurit yang melihat kejadian itu se-
rentak mundur dengan nyali menciut. Akan tetapi se-
bagian lagi menerjang dengan tombak dan pedang ter-
hunus. Kenekatan sekelompok prajurit-prajurit ini ternyata tak ubahnya bagai
kayu lapuk yang menyong-
song kobaran api. Karena segera terdengar jeritan saling susul diiringi
terjungkalnya tubuh-tubuh para prajurit itu ketika ratusan jarum-jarum maut
mengan- dung racun meluruk ke arah mereka. Buyarlah sisa
pasukan kerajaan yang memang nyalinya sudah ciut
itu, melarikan diri....
"Haha.. haha... sudah kukatakan, kalian cuma
keroco-keroco yang hanya akan mengantar nyawa sa-
ja!" Guci Manik tertawa gelak-gelak. Namun sesaat wajahnya berubah membesi.
Matanya yang tajam bagai
mata elang menatap ke arah menara istana kerajaan
Purwacarita yang sudah terlihat dikejauhan.
"Hm, tunggulah kau patih PANJI RANA! manu-
sia pemfitnah yang telah menyebabkan kematian ayah-
ku, dan pembunuh serta pemerkosa ibuku! Hari ini
aku Guci Manik akan memisahkan kepalamu dari ba-
tang lehermu! Dan kau Prabu Citrasoma. Hari ini ada-
lah hari kau melepaskan kekuasaan. Akulah yang ke-
lak bakal menggantikan kedudukanmu menjadi Raja
kerajaan Purwacarita!" Setelah tertawa berkakakan si Iblis Seruling Maut
berkelebat ke arah Istana kerajaan Purwacarita....
9 Kegelisahan hati Retno Sekar sejak kepergian
ayahnya Adipati Sawunggana semakin memuncak, ka-
rena telah dua hari dua malam sang ayah belum kem-
bali dari Istana. Bukan gadis itu saja yang gelisah, akan tetapi semua prajurit
kadipaten mulai was-was
akan adanya sesuatu yang telah terjadi dengan Adipati Sawunggana. Ketidak
sabaran Retno Sekar untuk keluar dari gedung Kadi paten semakin nyata dengan
berkemasnya gadis itu memakai pakaian singsat leng-
kap dengan pedang di pinggang. Retno Sekar beranjak
keluar dari dalam gedung.
Tapi dia kembali lagi ke ruang dalam, dan tam-
pak merenung sejenak di pintu ruangan. Dua orang
pengawal yang memperhatikan tingkah lakunya segera
melangkah menghampiri. "Hendak kemanakah, gusti Puteri?" tanya salah seorang
pengawal itu. Retno Sekar menoleh. Sejenak dia menatap wajah si pengawal.
"Hm, tidak tahukah kau bahwa aku sedang cemas
memikirkan ayah yang tak kunjung datang" Kalian
tampaknya tenang-tenang saja! Bagaimana kalau ter-
jadi sesuatu di Istana?"
"Kami hanya menjalankan perintah gusti Adipa-
ti, gusti puteri..!" sahut si pengawal dengan menunduk hormat. "Aku akan
menyusul ayah ke Istana. Hatiku tak enak! Jangan-jangan ada terjadi sesuatu
disana..."
berkata Retno Sekar.
"Maaf, gusti puteri. Bukan hamba mencegah,
tapi hamba hanya mengingatkan bahwa gusti Adipati
telah melarang gusti puteri meninggalkan gedung Kadipaten!" kata pengawal yang
satunya setelah mem-
bungkuk hormat.
"Aku mengerti, tapi aku tak dapat berdiam diri
lebih lama untuk melihat keadaan ayah di Istana!" ka-ta Retno Sekar. Selesai
berkata, Retno Sekar segera
berlari ke halaman gedung. Agaknya dia telah memu-
tuskan untuk pergi menyusul sang ayah.
Namun pada saat itu juga tiga bayangan tubuh
berkelebat menghadang. Ternyata mereka adalah tiga
orang kepala regu pengawal Kadipaten. Ketiga laki-laki ini menjura di hadapan
Retno Sekar. "Ampun gusti puteri. Hamba telah dipesan un-
tuk mengawasi gusti puteri dan mencegah gusti puteri meninggalkan. gedung
Kadipaten.. Melengak Retno Sekar. Sepasang alisnya naik
dengan mata menyorot tajam pada ketiga pengawal itu.
"Walau Gusti mu memerintahkan demikian, ta-
pi kalian tak dapat mencegah keputusanku. Aku tetap
akan ke istana untuk mengetahui keadaan beliau!"
ucapnya dengan ketus.
"Ampun gusti puteri. Kami hanya diperintah
oleh kepala prajurit Gaman Seto. Kalau gusti puteri
berkeras juga, tunggulah! hamba akan mengatakan hal
ini padanya" berkata pengawal yang bertubuh tegap dengan kumis tipis di atas
bibir itu. Dia bernama Gundila. Retno Sekar sejenak tercenung. Tapi kemudian
dia menghela napas.
"Baiklah! panggil Gaman Seto untuk mengha-
dap ku!" "Siap, gusti puteri!" sahut Gundila seraya membungkuk. Kemudian bergegas
melangkah pergi
menuju barak di belakang gedung. Sementara dua
orang kawannya masih tetap berdiri ditempat semula.
Retno Sekar menghela napas. Wajahnya tampak ku-
sut. Kecemasan menggayuti dadanya.
Serasa tak sabar dia menanti kedatangan Ga-
man Seto. Entah mengapa hatinya mendadak jadi ber-
debar-debar. Pada saat kesabarannya hampir habis,
tampak Gundila muncul sambil berlari-lari ke arahnya.


Dewa Linglung 13 Iblis Seruling Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi tanpa Gaman Seto si kepala prajurit itu.
"Mana Gaman Seto?" tanya Retno Sekar dengan suara agak ditekan.
"Ampun Gusti Puteri..! Dia... dia tengah berse-
madhi. Hamba tak berani mengganggu. Sebaiknya gus-
ti puteri menunggu sampai semadhinya selesai!" sahut Gundila dengan tergagap.
Retno Sekar membelalakkan matanya.
"Bersemadhi" dalam saat seperti ini masih
sempat-sempatnya bersemadhi segala! Hm, biarlah
aku yang menemuinya!" Selesai berkata Retno Sekar beranjak menuju barak dengan
langkah cepat. Sementara Gundila cuma menatap pada puteri Adipati itu dengan
mulut ternganga.
Alangkah terkejutnya Retno Sekar ketika mem-
buka pintu kamar barak, mendapatkan Gaman Seto
dalam keadaan duduk bersila disudut ruangan. Yang
membuat dia terkejut dan membelalakkan mata adalah
laki-laki kepala prajurit Kadipaten itu duduk dengan keadaan tubuh bertelanjang
bulat Setengah menjerit, gadis itu menutupkan pintu
kamar keras-keras. Lalu berlari cepat, keluar dari
ruangan barak itu. Suara berdentamnya daun pintu
yang dihempaskan keras-keras oleh Retno Sekar mem-
buat Gaman Seto terlompat bangun dari semadhinya.
"Hah!" seperti kudengar suara jeritan gusti pu-
teri Retno Sekar?" sentak Gaman Seto dengan tertegun sejenak. "Apakah dia telah
memasuki kamarku?"
Sementara Retno Sekar langsung masuk ke
ruangan gedung Kadipaten. Disana dia duduk dikursi
dengan wajah sebentar pucat sebentar merah. Nafas-
nya memburu seperti baru melihat setan.
"Apa-apaan Gaman Seto" Apakah dia telah gila
melakukan semadhi dengan keadaan seperti itu?" berkata Retno Sekar dalam hati.
Akhirnya Retno Sekar
menggagalkan niatnya untuk keluar dari gedung Kadi-
paten. Otaknya rumit dipenuhi berbagai pertanyaan
mengenai ayahnya yang sampai malam menjelang tiba
belum juga muncul. Juga memikirkan tingkah laku
Gaman Seto yang aneh. "Hm, aku curiga pada si Gaman Seto itu. Sejak dia diangkat
ayah menjadi kepala prajurit, sikapnya terhadapku agak lain. Dia sering
mencuri pandang bila aku tak memperhatikannya.
Anehnya, dia tak mematuhi perintahku ketika aku
menyuruhnya agar ayah mengadakan penyambutan
pada pendekar muda bernama Nanjar. Bahkan mela-
porpun tidak! Tapi yang lebih aneh adalah, ayah selalu membela dia!" Retno Sekar
teringat kejadian beberapa hari yang lalu.
Mendadak terbersit dibenaknya akan sesuatu
yang membuat darahnya berdesir. "Hm, apakah si
Gundila sengaja menjebakku agar aku memasuki ka-
marnya?" pikir Retno Sekar. "Heh! jangan harap kuampuni jiwanya bila dia berniat
kurang ajar terhadapku! Hal ini akan kulaporkan pada ayah!"
10 Malam semakin melarut... Retno Sekar tak da-
pat tidur di kamarnya, setelah menghibur ibunya yang masih terbaring sakit
ditemani mbok emban. Hawa
panas dalam kamar seperti dia berdiam di dalam Nera-
ka layaknya. Retno Sekar melangkah keluar ruangan.
Dilihatnya para pengawal masih tetap menjalankan tu-
gas berjaga di sekitar gedung Kadipaten.
Tiba-tiba membelalak mata Retno Sekar melihat
sesosok tubuh berlari-lari kecil dari samping gedung.
Hampir saja dia menjerit saking terkejutnya karena
melihat siapa adanya orang itu. Ternyata tiada lain da-ri Gaman Seto. Laki-laki
kepala prajurit Kadipaten itu mengeluarkan suara bergumam dari mulutnya entah
bicara apa. Tapi yang membuat kaki Retno Sekar me-
langkah mundur dengan mulut ternganga dan mata
membelalak adalah laki-laki itu berlari-lari kecil dengan tubuh membugil tanpa
sehelai benangpun menu-
tupi tubuhnya. Bukan saja Retno Sekar yang merasa aneh dan
terkejut melihat keadaan Gaman Seto, tapi juga pu-
luhan prajurit yang menyaksikan hal itu jadi terheran-
heran. "Hai" apa-apaan dia" Lho.." Kog" apakah mataku tak salah lihat?" berkata
seorang pengawal kepa-da temannya yang juga terbelalak melihat keadaan
Gaman Seto si Kepala Prajurit yang berlari-lari kecil dengan tubuh membugil.
Sementara bibirnya tiada
henti bergumam menyebut kata-kata yang tak dimen-
gerti. "Gaman Seto, telah berubah ingatan! Ya! dia..
dia telah gila!?" sentak pengawal kawannya. Segera puluhan prajurit saling
berdatangan. Semua mata jadi
terpentang lebar-lebar menyaksikan keadaan Gaman
Seto yang memalukan itu. Tapi tak seorangpun yang
berani mendekati laki-laki itu. Sementara Gaman Seto sendiri tanpa mengacuhkan
keadaan sekitarnya terus
berlari-lari memutari gedung Kadipaten.
Setelah tujuh kali memutar, Gaman Seto me-
masuki kamarnya. Beberapa pengawal yang berada di
pintu segera menyingkir melihat si Kepala Prajurit beranjak masuk ke ruangan
barak. Terdengar pintu ka-
mar ditutupkan. Rupanya Gaman Seto segera me-
masuki kamarnya dan tak keluar lagi hingga pagi.
Keadaan digedung Kadipaten semakin bertam-
bah memusingkan otak. Karena persoalan Adipati yang
belum kembali dari Istana telah bertambah dengan ke-
jadian aneh, yaitu berubahnya pikiran Gaman Seto
sang Kepala Prajurit Kadipaten. Pada malam berikut-
nya kembali Gaman Seto mengulangi perbuatan kema-
rin malam berlari-lari kecil memutari gedung Kadi-
paten dengan bertelanjang bulat.
"Gaman Seto telah menjadi gila! Oh, apa yang
harus aku lakukan" Sebaiknya aku segera menyusul
ayah!" desis Retno Sekar dengan kecemasan kian memuncak. Baru saja dia mengambil
keputusan men- dadak terdengar suara seruling memecah kesunyian.
Puluhan prajurit yang berjaga-jaga di sekitar halaman gedung Kadipaten terkejut
mendengar suara seruling
itu. Sementara Retno Sekar sendiri terpana dengan
berdiri mematung.
Sukmanya seolah-olah terbetot oleh suara seru-
ling itu. Puluhan prajurit berdiri mematung dengan
mata membelalak dan mulut terkancing. Pada saat itu-
lah tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh, disusul dengan
berkelebatnya sebuah bayangan hitam
ke halaman gedung Kadipaten. Siapa adanya sosok tu-
buh ini tak lain dari Beo Aningkal alias si Iblis Seruling Maut. Ternyata
diwilayah Kota Raja bukan hanya seorang yang menamakan dirinya si Iblis Seruling
Maut. Karena si pemuda berbaju kulit harimau itupun meng-
gelari dirinya si Iblis Seruling Maut.
Bagaimana sampai Beo Aningkal, si kakek
penghuni Cadas Siluman itu bisa berada di gedung Ka-
dipaten" Kisahnya demikian.... Ketika terjadi perta-
rungan antara si Dewa Linglung melawan kakek ber-
nama Beo Aningkal yang menyebut dirinya bergelar si
Iblis Seruling Maut ini, keadaan di Kota Raja tengah terjadi kegemparan. Guci
Manik berhasil menyusup ke
dalam Istana. Namun pemuda itu tak semudah itu me-
laksanakan maksudnya. Karena penjagaan di Istana
amat ketat. Agaknya Guci Manik menunda penyerangan
untuk menunggu kemunculan Beo Aningkal, gurunya.
Segera dia menyelinap dan bersembunyi di menara Is-
tana. Ratusan prajurit mengepung sekitar istana, me-
lakukan penjagaan dengan ketat.
Sementara pertarungan Nanjar dengan Beo
Aningkal memakan waktu cukup lama. Gempuran su-
ara seruling yang menimbulkan- kekuatan hebat
mempengaruhi syaraf Nanjar. Dalam keadaan kepala
terasa berat dan pandangan berkunang-kunang, dia
mencabut seruling simpanannya. Yaitu seruling yang
selalu disimpannya, pemberian dari seorang tokoh wa-
nita yang masih ada pertaliannya dengan Pedang Mus-
tika Naga Merah. Seruling yang terbuat dari tulang dan berukiran kepala Naga itu
segera membersitkan suara
melengking menindih kekuatan hebat seruling lawan
yang nyaris membetot sukmanya. Bila dia tak teringat pada benda itu entahlah apa
yang terjadi. Karena di
saat itu Nanjar merasa sekujur tulang-tulang persen-
diannya serasa lemas. Dalam keadaan demikian akan
mudah bagi lawan untuk merobohkannya.
Adu kekuatan tenaga dalam melalui suara se-
ruling segera saling gempur. Ternyata kekuatan tenaga dalam Nanjar berhasil
menggempur suara seruling Beo
Aningkal. Kakek itu terkejut. Akan tetapi dengan tipu muslihat licik dia sengaja
memancing Nanjar agar
menjauhi Kota Raja. Saat itu adalah saat dimana dia
akan mulai bergerak untuk menumpas orang-orang
Kerajaan. Dengan mengumbar tenaga menghadapi si
Dewa Linglung akan menguras habis tenaganya.
Dia tahu saat yang baik untuk kelak membu-
nuh pendekar muda itu. Nanjar berhasil dijebak ma-
suk ke dalam lubang perangkap. Agaknya Beo Aning-
kal tak berniat membunuh si Dewa Linglung saat itu.
Segera dia menutup lubang jebakan. Dan cepat menu-
ju ke arah Kota Raja. Demikianlah, hingga dia muncul digedung Kadipaten.
Kekuatan suara seruling yang mengandung te-
naga dalam hebat mempengaruhi syaraf membuat pu-
luhan pengawal Kadipaten tak berkutik bagaikan ter-
kena tenung. Begitu juga dengan keadaan Retno Se-
kar, yang berdiri terpana dengan pandangan mata
membelalak dan mulut ternganga.
Beo Aningkal terkekeh, seraya melangkah men-
dekati gadis ini. Lengannya bergerak menotok, dan
dengan sebat dia memondong gadis itu ke atas pun-
dak. Lalu dengan terkekeh dia melangkah lebar menu-
ju pintu penjagaan. Puluhan prajurit cuma berdiri
mematung tanpa bereaksi apa-apa.
BRAAAK! Sekali hantam pecahlah pintu kayu jati yang
menjadi pintu utama gedung Kadipaten itu dihantam
pukulan lengannya.
Pecahnya pintu gapura itu membuat semua
prajurit sadar dari pengaruh kekuatan yang telah me-
nenung mereka. Serentak saja mereka mengejar si ka-
kek dengan berteriak-teriak.
"Penculik! penculik! Tangkaaap! dia menculik
gusti puteri Retno Sekar!" Suara gaduh dan hiruk-pikuk meledak di halaman gedung
Kadipaten. Gaman
Seto pun baru tersadar dari pengaruh hebat itu. Serta-merta dia melompat
mengejar ke arah pintu. "Goblok!
Kalian membiarkan saja penculik itu kabur dari sini"
Akan ku pecat kalian semua!" bentak Gaman Seto
dengan wajah merah padam. Akan tetapi yang diben-
tak cuma membelalakkan mata memandang ke bawah
pusar sang Kepala Prajurit. Karena Gaman Seto me-
mang tak mengenakan pakaian sama sekali alias
membugil. Sadar akan dirinya, Gaman Seto membentak
seorang prajurit. "Buka celanamu!"
"Ba..baik, den..!" sahut si pengawal dengan wajah pucat pias. Tanpa membuang
waktu Gaman Seto
segera mengenakan celana si prajurit. Selesai menutu-pi tubuh bagian bawah dan
barang terlarangnya, Ga-
man Seto cepat menyambar tombak yang dicekal se-
orang prajurit. Selanjutnya bagaikan terbang dia me-
ngejar si penculik anak gadis Adipati Sawunggana
dengan berteriak-teriak.
00OO00 BHLAARRRR! Batu persegi yang tebalnya hampir tiga jengkal
lengan itu pecah berhamburan menjadi puing-puing
kecil yang bertebaran di udara. Nanjar berhasil menjebol batu penutup yang
memenjarakan dia di dalam lu-
bang perangkap yang digunakan Beo Aningkal.
"Sial dangkalan! aku tertipu si kakek keparat
itu!" maki Nanjar dengan wajah merah padam dan napas memburu. Untuk menjebol
batu penutup lubang
itu telah menguras tenaga dalamnya hampir sepertiga
bagian. Mendadak Nanjar punya firasat buruk dan sa-
dar akan kelicikan lawan yang sengaja menjebak dia
pada perangkap itu.
"Celaka! aku baru ingat si laki-laki berbaju kulit harimau. Bukankah diapun
mempunyai sebuah se-
ruling yang mirip dengan seruling kakek keparat itu"
Tentulah dia murid si kakek keparat itu!" sentak Nanjar dengan wajah pucat.
"Pantas aku terkecoh oleh suara seruling yang membingungkan. Tentu kakek kepa-
rat itu sengaja memancingku agar menjauhi Kota Raja.
Dengan demikian si pemuda berbaju kulit harimau itu
bebas menyusup masuk ke Kota Raja untuk menga-
cau..." Tiba-tiba Nanjar teringat pada Retno Sekar, gadis puteri Adipati yang
pernah diculik si laki-laki berbaju kulit harimau. Entah mengapa tiba-tiba dia
mengkhawatirkan gadis itu. Seolah-olah pada pengli-
hatannya gadis itu tengah dalam bahaya....
Tak berayal lagi Nanjar segera berkelebat me-
lompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Tu-juannya cuma satu yaitu
Kota Raja. - -00OO00 - Adipati Sawunggana ternyata berada di sebelah
timur Istana dengan dua puluh orang pasukan berku-
da. Malam yang penuh ketegangan itu telah lewat tan-
pa terjadi sesuatu. Akan tetapi tampak nyata kegelisahan laki-laki yang duduk
dipunggung kuda ini. Entah
berapa kali dia mondar-mandir memutari perkemahan.
Ingatannya selalu tertuju pada istrinya yang tengah
terbaring sakit, dan pada puterinya Retno Sekar.
Sejak tadi hatinya berdebaran tak menentu.
Kegelisahan semakin memuncak ketika dia melihat fa-
jar mulai menyingsing. "Sebaiknya aku kembali ke Kadipaten dulu..! Hatiku tak
enak. Aku akan meminta
izin dulu pada Gusti Patih Panji Rana" desis Adipati ini.
Mendadak terdengar suara seruling memecah
keheningan pagi, membuat Adipati Sawunggana terlon-


Dewa Linglung 13 Iblis Seruling Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jak kaget. Berita si peniup seruling maut yang telah membawa banyak korban di
luar wilayah Kota Raja
memang telah disiarkan kesegenap orang Kerajaan.
Tentu saja terdengarnya suara seruling yang memecah
keheningan pagi itu membuat kedua puluh perwira Ke-
rajaan itu terkesiap.
Suara seruling itu mendadak berhenti. Tapi se-
gera disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan
hitam ke tengah perkemahan. Membelalak mata Adipa-
ti Sawunggana melihat kemunculan seorang kakek
berjubah hitam yang memondong sesosok tubuh di
atas pundaknya. Semakin membelalak mata laki-laki
ini melihat siapa adanya orang yang berada di atas
pundak kakek kurus berjubah hitam itu.
"Retno Sekar!" anakku..." sentaknya terperanjat. Saat itu beberapa perwira
Kerajaan telah berlompatan mengurung dengan senjata-senjata terhunus.
"Hehehe... tentu kau Adipati Sawunggana, ayah
angkat gadis ini! Sudah kuduga kau berada ditempat
ini, karena ketika aku membawa bocah perempuan ini
kau tak ada digedungmu karena kau tak menampak-
kan diri malam tadi!" berkata si peniup seruling kakek tua renta itu.
"Si.. siapakah kau"!" bentak Adipati Sawunggana.
"Hm, lupakah kau padaku, Sawunggana" Aku
Beo Aningkal! Sebelum kau menduduki jabatan Adipati
bukankah kau pernah melihatku?" sahut si kakek
dengan senyum sinis. Sementara sepasang matanya
menyorot tajam seolah sebilah pedang yang menyam-
bar menatap sang Adipati.
"Beo Aningkal...?" desis Adipati Sawunggana terkejut. Wajah Adipati ini berubah
pucat mengetahui siapa adanya kakek itu.
"Apa maksudmu dengan semua ini" Mengapa
kau menculik anakku?" bentak Sawunggana dengan
melangkah setindak seraya mencabut keris pusaka di-
pinggangnya. "Hehehe... mengapa kau masih juga mengela-
buiku" Mata tuaku sejak lama telah mengetahui kalau
gadis ini adalah puteri sang Prabu Citrasoma yang
sengaja disembunyikan ditempat kediamanmu! Karena
Prabu Citrasoma khawatir terjadi penculikan lagi terhadap putrinya, setelah
putera laki-lakinya lenyap diculik orang!" sahut Beo Aningkal dengan suara
tandas. "Belasan tahun aku menyimpan dendam pada
orang-orang Kerajaan, karena fitnah keji Patih Panji Rana. Sehingga aku dipecat
dari jabatanku sebagai
Adipati dan diusir seperti anjing kurap!" sambung Beo Aningkal dengan suara
parau yang melengking penuh
dendam. "Bukan saja aku mendendam pada Patih Panji
Rana dan Sang Prabu Citrasoma yang telah memecat
ku. Tapi juga terhadap seluruh orang Kerajaan Purwa-
carita! Takkan puas hatiku sebelum melenyapkan
nyawa dan menghancur-leburkan Kerajaan ini! Nama
Kerajaan Purwacarita harus lenyap dari muka bumi ini berikut orang-orang
Kerajaan itu sendiri!" Lanjut Beo Aningkal.
"Oleh sebab itulah aku menculik GUCI MANIK,
putera Sang Prabu. Dan selama belasan tahun aku
mendidiknya dengan ilmu-ilmu kedigjayaan, yang ke-
lak akan kupergunakan dia untuk melampiaskan den-
dam ku! Kini Guci Manik telah dewasa. Dan saat ini
dia sudah menyusup masuk ke Istana. Tibalah saatnya
aku membalas dendam! Tak lama lagi Guci Manik
akan mengirim nyawa Sang Prabu Citrasoma ke Akhi-
rat! Sejarah akan mencatat bahwa kematian Raja Ke-
rajaan Purwacarita tewas di tangan putera Mahkota.
Puteranya sendiri! Dan Kerajaan Purwacarita akan
bergelimang oleh darah!"
Sampai disini Adipati Sawunggana tak dapat
menahan amarahnya.
"Hentikan ocehanmu, Beo Aningkal! Lepaskan
gadis itu dari tanganmu! Kau takkan berhasil melak-
sanakan dendam gilamu! Rawe-rawe rantas. Malang-
malang putung! Takkan kami biarkan selangkahpun
kau menindak sebelum melangkahi mayat kami!" bentak Adipati Sawunggana dengan
suara lantang. "Heheh..hehe.. aku memang akan mengirim
nyawa-nyawa kalian ke pintu Akhirat!" Mendadak lengan Beo Aningkal mengibar ke
belakang. Tiga orang
perwira yang melancarkan serangan dari belakang
menjerit keras dan terjungkal roboh. Terkejut beberapa kawan perwira itu melihat
ketiganya tewas dengan tulang dada remuk terkena hantaman angin pukulan si
kakek. Serentak belasan perwira maju menerjang. Tapi
lagi-lagi terdengar jeritan saling susul ketika dengan gerakan cepat sekali
tubuh si kakek melesat ke udara.
Lima jari tangannya mengembang melancarkan pu-
kulan yang membersitkan uap hitam berbau amis.
Tersentak kaget Adipati Sawunggana. Dalam beberapa
jurus saja delapan perwira telah tewas di tangan kakek itu. Di samping
mengkhawatirkan Retno Sekar,
Adipati Sawunggana mencari siasat untuk meroboh-
kan lawan yang luar biasa saktinya itu. Karena adanya Retno Sekar dalam
pondongan lawan membuat para
perwira Kerajaan sukar melancarkan serangan. Dis-
amping mulai jeri melihat kehebatan kakek itu. Mereka tak dapat bertindak
sembrono untuk menempuh resi-ko yang berakibat kematian!
Mendadak kakek itu cabut keluar serulingnya
dari balik jubah. Detik berikutnya segera terdengar suara melengking dari tiupan
seruling yang menggetar-
kan gendang telinga. Kakek itu mempergunakan dua
buah jari tangannya untuk melagukan irama tiupan
serulingnya. Nada-nada aneh yang mengalun itu menimbul-
kan segelombang kekuatan hebat yang mempengaruhi
syaraf. Seketika mereka terpana oleh pengaruh suara
itu hingga masing-masing menjublak bagai patung.
Detik-detik maut semakin dekat, karena tiupan
suara seruling semakin melengking tinggi. Dan tampak beberapa orang perwira
mulai terhuyung. Tampak darah kental berwarna hitam mengalir dari lubang hi-
dung, telinga dan mulut mereka. Tak berapa lama em-
pat perwira telah terjungkal roboh dengan nyawa me-
layang! Keadaan Adipati Sawunggana pun dalam kea-
daan kritis Laki-laki ini berusaha menekap kedua te-
linganya dengan tangan menggeletar. Keris pusakanya
telah lepas dari genggaman tangannya. Adipati ini merasakan urat syarafnya bagai
dibetot-betot dan sakit luar biasa. Dalam keadaan demikian dia tak dapat ber-
fikir lagi. Agaknya tak lama lagi maut akan menjem-
putnya. Pada detik itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan keras yang disusul
dengan berkelebatnya seso-
sok bayangan. "Iblis tua! hentikan tiupan seruling mu!"
Whuuuk! Sambaran angin keras tiba-tiba menerpa ke
arah wajah si kakek. Plas! Suara seruling lenyap seketika. Dan disusul dengan
suara berderak hancur. Ter-
nyata sambaran angin itu telah membuat seruling di
tangan Beo Aningkal terlepas. Benda itu menghantam
batang pohon besar yang tak jauh berada dibelakang-
nya. Hingga membuat benda maut itu hancur beserpi-
han, dan melesak amblas ke batang pohon.
Bukan kepalang terkejutnya Beo Aningkal me-
lihat si Dewa Linglung tahu-tahu telah muncul dide-
pan mata. Belum hilang terkejutnya, mendadak sam-
baran dahsyat menghantam ke arah kakinya. Tersen-
tak kaget kakek ini. Detik itu juga dia melesat menghindar. Tanah menyemburat
meninggalkan lubang be-
sar. Di antara kepulan debu tampak berkelebat bayan-
gan putih merambah udara. Teriakan kaget terdengar
merobek udara dibarengi terlemparnya sesosok tubuh
laksana dihempaskan dari langit ke bumi. Tampak tu-
buh si kakek terguling-guling beberapa kali ditanah.
Dan baru terhenti setelah menabrak kemah hingga ro-
boh membungkus tubuhnya.
Tampak kepala kakek itu terkulai diantara
kain-kain kemah yang menggulung tubuhnya. Ada da-
rah yang mengalir... dan tubuh itu tak bergerak lagi.
Terperangah seketika para perwira Kerajaan itu
melihat sesosok tubuh melayang ringan dari udara dan jejakkan kaki ke tanah.
Seorang pemuda berbaju putih kumal telah berdiri tegak ditempat itu dengan
memondong tubuh seorang gadis yang dalam keadaan tak sa-
darkan diri. Siapa adanya pemuda itu tiada lain dari si Dewa Linglung alias
Nanjar.Bagai baru tersadar dari mimpi Adipati Sa-
wunggana melompat ke arah pemuda itu. "Sobat pendekar Dewa Linglung! Oh, terima
kasih atas bantuan-
mu..! lagi-lagi kau menyelamatkan jiwaku. Sungguh
kami tak menyangka masih bisa hidup. Seruling maut
itu nyaris merenggut jiwa kami kalau kau tak datang
tepat pada waktunya..!" berkata Adipati Sawunggana dengan membungkuk, menjura
pada Nanjar. Nanjar mengangguk. "Secara kebetulan aku ti-
ba ditempat ini. Semua itu karena Tuhan masih meng-
hendaki kita bertemu lagi, sobat Adipati!" sahut Nanjar seraya memberikan gadis
dalam pondongannya pada
laki-laki itu. "Untunglah dia dalam keadaan pingsan. Kalau
tidak, diapun akan menjadi korban ketelengasan ma-
nusia itu!" Cepat-cepat Adipati Sawunggana menyambut Retno Sekar, puteri
angkatnya. Sementara para
perwira lainnya segera mendekati Nanjar. Masing-
masing menjura pada pemuda ini dan mengucapkan
terima kasih. "Kalian tampaknya terluka dalam, juga kau so-
bat Adipati. Beristirahatlah kalian sambil mengobati luka dalam kalian. Dan yang
terpenting adalah gadis
ini. Kau harus menjaganya, sobat Adipati karena kese-lamatannya telah menjadi
tanggung jawabmu..! Rawat-
lah dia; Biarlah aku yang akan menyelesaikan urusan
dalam istana!"
Para perwira Kerajaan itu hampir serentak
mengangguk. Adipati Sawunggana tak sempat berpe-
san lagi, karena kejap itu juga tubuh si Dewa Linglung telah berkelebat lenyap
dari hadapan mereka. Laki-laki ini menghela napas. Bibirnya bergerak-gerak
mengucapkan kata-kata bergumam pelahan.
"Pendekar muda..! Semoga Tuhan melindungi
dirimu..."
00OO00 Patih Panji Rana membelalakkan mata lebar-
lebar melihat sesosok bayangan melompat dari atas
menara diiringi suara tertawa gelak-gelak merobek ketegangan yang mencekam. Akan
tetapi segera disusul
dengan suara jeritan-jeritan menyayat hati.
Seorang pemuda berbaju kulit harimau tampak
mengibaskan-ngibaskan lengannya kesana kemari.
Desiran senjata-senjata rahasia menyambar ke arah
belasan prajurit yang berjaga-jaga sejak tadi malam di sekitar pendopo Istana.
Dalam waktu sekejapan saja
belasan prajurit itu terjungkal roboh.
"Setan! kiranya dia bersembunyi di atas mena-
ra?" sentak Patih Panji Rana dengan wajah pucat. Kejap itu juga dia telah
berkelebat melompat dari tempat berdirinya. "Manusia iblis! hentikan
perbuatanmu!"
membentak laki-laki tua berusia di atas lima puluh tahun ini. "Haha... siapakah
kau" Syukurlah kalau orang penting Kerajaan yang datang! Apakah kau Patih Panji
Rana?" Guci Manik menatap tajam abdi Kerajaan itu.
Agaknya dia sudah dapat menduga siapa orang itu.
"Benar! akulah Patih Panji Rana!" sahut abdi kerajaan ini dengan tersentak.
Terasa tatapan mata
pemuda itu bagaikan hunjaman pedang yang menem-
bus ke dadanya.
"Bagus! bersiaplah untuk menjemput kematian.
Karena aku segera akan mengirim nyawa busukmu ke
liang Neraka!" berkata dingin Guci Manik.
"Heh! dendam apakah yang tersimpan di dalam
dadamu, anak muda" Mengapa kau memusuhi orang-
orang Kerajaan?" Dalam terkejutnya Patih Panji Rana masih sempat untuk bertanya.
Guci Manik tertawa gelak-gelak. Suara tertawa yang membuat hati Patih Pan-ji
Rana tergetar. Bahkan bulu tengkuknya meremang.
"Sebenarnya aku pantang menyebutkan nama-
ku. Tapi biarlah aku memberitahukan siapa diriku,
walau guruku melarangnya!" berkata pemuda ini selesai mengumbar tawa.
"Namaku GUCI MANIK! Aku datang dan mun-
cul di Istana ini untuk membunuh seorang manusia
yang bernama Panji Rana! Siapakah Panji Rana" Ha-
ha.. dialah seorang Patih Kerajaan Purwacarita yang
telah memfitnah ayahku yang bernama Beo Aningkal!
Ayahku tewas karena menjalani hukuman mati atas
perintah Prabu Citrasoma! Ternyata manusia bernama
Panji Rana itu belum puas mengumbar hawa nafsu.
Dia telah pula memperkosa ibuku! Akibat perbuatan
terkutuk itu menyebabkan ibuku membunuh diri! Nah!
Cukupkah penjelasanku" Kini setelah belasan tahun
aku menuntut ilmu, hari inilah saatnya aku membalas
dendam!" Tersentak Patih Panji Rana mendengar kata-
kata laki-laki muda berbaju kulit harimau itu. Dengan mata membelalak dia
menatap pemuda itu tak berkesiap. "Jadi kau... GUCI MANIK?" seru Patih Panji Ra-
na terperangah. "Siapakah yang menceritakan peristiwa belasan tahun itu padamu,
anak muda?" Suara Patih Panji Rana tergetar.
"Siapa lagi kalau bukan guruku yang telah me-
nyelamatkan diriku dan mendidik ku selama ini. Aku
tak mengetahui siapa nama guruku. Tapi dia menye-
butkan gelar yang pernah disandangnya di dunia per-
silatan. Dia bergelar si Hantu Elang Hitam!" sahut Guci Manik. "Hah!" Hantu
Elang Hitam" Dia.. dialah yang sebenarnya bernama BEO ANINGKAL!" sentak Patih
Panji Rana terkejut.
"Jangan ngaco! Beo Aningkal adalah nama
ayahku yang telah tewas karena fitnah kejimu, Panji
Rana!" bentak Guci Manik. "Hm, saat kematianmu sudah didepan mata, manusia
busuk! Ternyata kau ma-
sih bisa memutar lidah! Pantas Sang Prabu Citrasoma
percaya dengan kata-katamu, hingga tak segan-segan


Dewa Linglung 13 Iblis Seruling Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia menjatuhkan hukuman mati pada ayahku! Haha-
ha... hari ini hari yang terakhir kau hidup di dunia, patih busuk! Nah!
terimalah kematianmu!" Kata-kata Gu-ci Manik ditutup dengan pukulan ganas yang
meng- hantam batok kepala laki-laki abdi Kerajaan itu.
Akan tetapi didetik itu tiba-tiba terdengar suara
berteriak. "Tahan!"
Teriakan itu seperti amat berpengaruh pada
Guci Manik yang serta merta mengalihkan pukulan
mautnya ke udara.
Bhlarrr! Ledakan keras terdengar merobek udara. Gema
suara ledakan keras itu berpantulan ke seluruh ruan-
gan Istana. Tahu-tahu di depan Guci Manik telah ber-
diri seorang laki-laki berpakaian keraton. Siapa adanya laki-laki ini tiada lain
dari Prabu Citrasoma.
Dari melihat pakaiannya saja Guci Manik telah
dapat menerka siapa laki-laki itu. "Heh! kau tentu Prabu Citrasoma, raja
Kerajaan Purwacarita!"
"Benar, anak muda..!" sahut Prabu Citrasoma.
Suara laki-laki ini bergetar, sementara pandangan matanya menatap Guci Manik
dari ujung rambut sampai
ke mata kaki. Akhirnya kedua pasang mata mereka
saling bentrok. Adanya pertalian darah di antara mere-ka membuat masing-masing
merasakan adanya sesua-
tu yang menyentuh direlung hati masing-masing, Si
pemuda bermata elang ini tertegun menatap. Bahkan
dia merasa jantungnya berdetak keras.
"Anak muda! kalau kau benar bernama Guci
Manik, aku pernah kehilangan seorang anak laki-laki
pada belasan tahun yang silam. Dia bernama Guci
Manik. Aku sendiri yang telah memberi nama anakku
itu. Dia hilang diculik orang! Aku tak tahu siapa yang telah menculiknya. Tapi
dugaanku adalah orang yang
bernama BEO ANINGKAL! Dia bekas seorang Adipati
yang ku pecat karena melakukan perbuatan yang me-
malukan dan menjatuhkan nama baik Kerajaan! Apa-
kah kau mempunyai tanda hitam sebesar ibu jari di
belakang punggung?"
Tersentak Guci Manik mendengar kata-kata
Prabu Citrasoma. Entah kekuatan apa yang telah me-
lunakkan hati pemuda ini hingga sorot matanya yang
setajam mata pedang itu mendadak luruh. Bagai ada
kekuatan aneh yang menggerak tangannya, Guci Ma-
nik membuka baju kulit harimau yang dikenakannya.
Lalu balikan tubuh membelakangi Prabu Citrasoma.
Terpekiklah seketika sang Prabu Citrasoma me-
lihat hitam yang benar ada dipunggung pemuda itu.
"Guci Manik! kau... kau memiliki tanda hitam
itu. Kalau begitu kau...kau adalah anakku! Kaulah
anakku yang hilang diculik orang itu!" Membelalak ma-ta Guci Manik. Dia berdiri
terpaku tak bergeming.
Saat itu Patih Panji Rana telah berteriak girang,
dan menyembah di hadapan pemuda itu.
"Gusti Raden Guci Manik. Benar! kaulah putera
mahkota Kerajaan Puwacarita!"
"Anakku..! akulah ayahmu yang sebenarnya!
Kaulah darah daging ku!" Prabu Citrasoma tak dapat membendung kegembiraannya.
Dipeluknya Guci Manik dengan kegembiraan meluap-luap. Entah kekuatan
apa yang telah membuka mulut pemuda ini hingga ter-
lontar kata-kata dari mulutnya.
"Ayah..! Oh, ayah...!" Guci Manik balas memeluk dan keduanya saling rangkul
dengan erat seperti
tak akan dilepaskan lagi. Pada saat itulah muncul seorang perempuan tua kurus
pucat. Tapi mengenakan
pakaian keraton. Perempuan ini tak lain dari permai-
suri sang Prabu Citrasoma.
"Guci Manik..!" benarkah kau Guci Manik?"
berkata wanita ini dengan suara bergetar, sementara matanya menatap Guci Manik
tak berkesiap. "Anakku! itulah ibumu! Ibumu yang telah me-
lahirkan kau. Yang telah hampir habis air matanya
menangisi dirimu, karena kehilangan anak laki-laki
sangat dicintainya..!" berkata Prabu Citrasoma. Sesaat Guci Manik menatap
perempuan itu. Dan... terdengar-lah pekikan pemuda ini seraya melompat memeluk
wanita keraton itu.
"Ibuuu...!"
"Anakku...!" Kedua ibu dan anak itu seketika sating berpelukan diiringi isak
tangis kebahagiaan
Prabu Citrasoma menatap dengan air mata me-
leleh di pipinya.
Laki-laki ini mendadak menengadah menatap
ke langit. Dari bibirnya terlompat kata-kata dengan
suara bergetar.
"Dewata Yang Agung! Segala puji atasku yang
telah mempertemukan kami kembali. Dan menyela-
matkan Kerajaan Purwacarita dari kehancuran..!" Entah sejak kapan sesosok tubuh
telah berdiri di puncak
menara Istana. Dialah si Dewa Linglung. Pendekar
muda ini tersenyum. Lengannya menggaruk-garuk
tengkuknya, menatap kejadian di bawahnya.
"Syukurlah tak terjadi pertumpahan darah..!"
gumam Nanjar. Dari puncak menara dia melihat rom-
bongan pasukan berkuda mendatangi ke arah Istana.
Orang paling depan yang menunggang kuda adalah
Adipati Sawunggana. Sedangkan disebelahnya yang
menunggang kuda putih tak lain dari Retno Sekar
adanya. Di bagian belakang adalah para perwira ke-
rajaan yang mengiringi mereka berdua.
Di saat keharuan dan kegembiraan tengah ber-
langsung di Istana, si Dewa Linglung berkelebat lenyap dari puncak menara. Tak
seorangpun mengetahui kalau si Pendekar Naga Merah yang turut ambil bagian
dalam menumpas kejahatan manusia pengacau, telah
meninggalkan tempat itu.....
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Si Bungkuk Pendekar Aneh 3 Sepasang Garuda Putih Seri Keris Pusaka Sang Megatantra 5 Karya Kho Ping Hoo Pedang Langit Dan Golok Naga 6
^