Mencari Ayah Kandung 2
Dewi Sri Tanjung Mencari Ayah Kandung Bagian 2
kosongmu itu" Tentu kau sudah memfitnah nama baik
Mahapatih Gajah Mada."
Si Tangan Iblis tidak telaten lagi harus bertengkar mulut.
Maka sambil mendelik bentaknya, "Bocah! Menyerahlah sebelum aku turun tangan."
"Hemm," Dewi Sritanjung mendengus dingin. "Aku tidak bersalah, mengapa aku harus
menyerah kau tangkap dan harus menuruti kehendakmu?"
"Huh, engkau berani menentang perintah Si Tangan
Iblis?" "Aku tidak menentang Tangan Gendruwo atau Kaki
Banaspati. Aku tidak menentang siapapun. Akan tetapi sebaliknya aku tentu
membela diri jika orang bermaksud jahat kepadaku."
"Heh... heh... heh... heh," Si Tangan Iblis terkekeh saking penasaran. "Lekas
cabut pedangmu, yang kemudian
menyebabkan engkau menjadi sesombong ini?"
Akan tetapi Dewi Sritanjung selalu ingat akan pesan kakeknya, tidak boleh
sembrono menggunakan pedang
pusaka Tunggul Wulung apabila tidak terancam bahaya benar-benar. "Huh untuk apa
senjata" Tangan dan kakiku masih cukup mampu menghadapi kau."
Hampir meledak dada Si Tangan Iblis saking marah,
mendengar jawaban yang takabur ini. Sungguh sulit ia percaya, gadis ini akan
melawan dirinya dengan tangan kosong.
Bocah! bentaknya sambil mendelik. "Engkau terlalu
sombong. Tetapi baiklah, lekas bersiap diri menghadapi seranganku. Apabila
engkau sanggup melawan aku sampai lima belas jurus saja, engkau boleh pergi dan
tak kuganggu lagi."
"Limabelas jurus" Apakah ucapanmu ini dapat aku
jadikan pegangan?"
"Kurangajar kau!" bentak Si Tangan Iblis menggeledek.
"Aku seorang tua. Sekali bicara takkan mungkin kucabut kembali. Engkau akan aku
bebaskan dan tidak kuganggu lagi, apabila sanggup melawan aku sampai lima belas
jurus saja."
Janji itu tentu saja amat menggembirakan Dewi
Sritanjung. Bagaimanapun pula ia merupakan orang baru di dalam masyarakat.
Kemenangannya yang dua kali
berturut-turut itu belum juga dapat dijadikan ukuran bahwa dirinya sudah mampu
menghadapi bahaya. Maka bagaimanapun ia agak gentar juga menghadapi kakek ini.
Akan tetapi kakek ini sudah berjanji sendiri. Bukankah apabila dirinya dalam
lima belas jurus belum dapat ia kalahkan, berarti dirinya bebas" Diam-diam ia
berjanji kepada dirinya sendiri akan berhati-hati. Sedikit banyak ia sudah
mengenal ilmu tatakelahi murid-muridnya. Maka kiranya takkan begitu jauh
perbedaannya dengan apa yang akan dipergunakan oleh kakek itu.
Sama sekali tidak disadari oleh gadis ini, sekalipun ilmunya serupa, tetapi
digunakan oleh murid dan gurunya, tentu berbeda jauh sekali. Ilmu tatakelahi di
dunia ini, sekalipun bermacam-macam gaya dan nama pada dasar-nya memang hampir
sama. Meskipun demikian keampuhan ilmu bukanlah terletak pada ilmu itu sendiri. Sebab
kecerdasan pengalaman dan latihan maupun hawa sakti dalam tubuh memegang
peranan menentukan dalam setiap perkelahian. Karena dari setiap gerak serangan
maupun tangkisannya, akan mengundang tenaga tidak tampak, sesuai dengan tingkat
kemahiran orang itu sendiri.
Dan tanpa ragu sedikitpun, Dewi Sritanjung sudah
melesat ke depan. Ia langsung menyerang bagian atas kakek itu. Terbelalak juga
kakek ini melihat kecepatan gerak gadis muda ini, sekalipun ia tadi sudah
memperhatikan cukup lama. Sehingga diam-diam kakek ini sudah dapat mengenal ilmu
gadis ini sekalipun baru serba sedikit.
Si Tangan Iblis tidak bergerak dari tempatnya berdiri.
Ketika tangan Dewi Sritanjung sudah hampir menyentuh tubuhnya, barulah kakek ini
mengebutkan tangan kiri disusul gerakan tangan kanan yang seperti kilat cepatnya
menyambar pergelangan tangan gadis ini.
"Wut wut..... Aiihhh......!"
Si Tangan Iblis berseru tertahan sambil menarik kembali tangannya lalu
berjungkir balik ke samping.
Kalau saja Dewi Sritanjung tidak dapat bergerak segesit burung walet tentu
sekali gebrak sudah tertangkap dan tidak dapat berkutik lagi. Ia tadi gembira
melihat lawan tidak bergerak. Tetapi ketika tangan kakek itu mengebut ia menjadi
kaget. Dadanya seperti tertindih oleh batu sebesar gajah disamping pula
menyambar hawa panas sekali,
hingga dirinya sesak napas. Belum juga hilang rasa kagetnya, tangannya sudah
hampir tertangkap si kakek.
Saking gugupnya ia sudah membanting diri ke samping lalu berjungkir balik.
"Heh... heh... heh... heh... heh," Si Tangan Iblis terkekeh.
"Hanya seperti itu kepandaianmu sudah berani jual lagak dan sombong di depan Si
Tangan Iblis."
Dewi Sritanjung mendelik marah, tetapi tidak membuka mulut. Apa yang baru saja
terjadi menyebabkan gadis ini sadar dan tidak boleh sembrono lagi. Sambaran
tangan yang menyebabkan dadanya seperti tertindih batu,
membuktikan kakek ini seorang tokoh sakti. Dan walaupun sambaran tangannya jauh
kalah kuat dibanding dengan gurunya, namun bagi dirinya merupakan ancaman bahaya
pula. Sambil menguatkan hati gadis ini sudah kembali
melesat ke depan melakukan serangan lagi. Tetapi sambil menyerang ini ia sudah
waspada. Ia harus menggunakan kecepatan gerakannya. Dan sebagai seorang gadis
yang tidak tolol, ia tahu bahwa dalam melayani kakek ini tidak perlu bernafsu
untuk mengalahkan. Yang penting asal dirinya dapat menjaga diri tidak roboh oleh
lawan dalam waktu lima belas jurus. Apabila dirinya dapat melayani sampai lima
belas jurus sesuai dengan perjanjian, dirinya bebas. Dan ia percaya apabila dia
menggunakan kecepatannya bergerak, kiranya akan dapat bertahan lebih dari lima belas jurus.
"Wut! Wut.!" Sambaran tangan kakek itu berusaha
menangkap lengan Dewi Sritanjung lagi. Kemudian ketika tangannya bergerak
mendorong, sambaran anginnya
mengenai tempat kosong. Si Tangan Iblis keheranan ketika lawannya lenyap dari
depan matanya. Tetapi tiba-tiba ia merasakan angin pukulan menyambar dari
belakang. Tanpa memutarkan tubuhnya, ia membalikkan tangannya ke belakang punggung untuk
menangkis. "Plak.... Aihhh.....!"
Gadis ini kaget sekali ketika merasakan lengannya
tergetar hebat sekali, ketika pukulannya bertemu dengan langan lawan. Guna
mematahkan tenaga lawan ia sudah berjungkir balik beberapa kali, kemudian gadis
ini sudah berdiri tegak lagi dan siap siaga.
Si Tangan Iblis terbelalak tangkisannya tidak menyebabkan gadis ini roboh. Anak
setankah bocah ini" Kakek ini hampir tidak percaya kepada pandang matanya
sendiri. Apakah tubuh bocah ini kerasnya melebihi batu"
Dari heran kakek ini menjadi marah. Tiba-tiba Si Tangan Iblis menggeram lalu
tubuhnya melesat ke depan
menyerang. Sepuluh jari tangannya dikembangkan. Kuku-nya yang panjang dan
runcing membentuk cengkeraman dan sulit dibayangkan akibatnya apabila
tercengkeram. Sedikitnya kulit akan robek dan sebagian dagingnya akan terpisah dari tubuh.
Akan tetapi Dewi Sritanjung tidak gentar dan ia percaya kegesitannya bergerak.
Dan dalam pada itu, pengalamannya berbenturan tangan tadi hanya menyebabkan
lengannya kesemutan, menyebabkan gadis ini menjadi mantap dan besar hati.
Membuktikan bahwa tangannya cukup kuat menghadapi lawan tua ini, sekalipun dalam
hal tenaga sakti masih jauh ketinggalan.
Perkelahian antara gadis muda dengan kakek ini be-
rlangsung cepat. Angin pukulan Si Tangan Iblis menyambar-nyambar, tetapi dengan
kecepatannya bergerak, Dewi Sritanjung dapat menghindarkan diri, sehingga
pukulan kakek itu tidak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Dan saking cepatnya
bergerak lenyaplah bayangan tubuh gadis ini dan yang tampak tinggal segulung
warna biru muda yang bekelebat ke sana dan kemari.
Dalam waktu singkat lima jurus sudah dilewati. Pukulan Si Tangan Iblis tidak
juga berhasil menyebabkan gadis ini roboh. Hal ini di samping menyebabkan Si
Tangan Iblis keheranan juga menimbulkan penasaran. Akibatnya kakek ini menjadi
lupa kedudukannya sebagai orang tua. Ia terus menghujani serangan berbahaya,
sehingga angin yang kuat semakin melanda dalam gelanggang.
Sarindah dan Sarwiyah yang menonton terbelalak. Mata dua gadis ini tidak
berkedip dan hatinya tegang. Pantas saja mereka tadi mengeroyok dan menggunakan
pedang, tidak juga berhasil mengalahkan gadis yang bertangan kosong itu,
terbuktilah sekarang gadis yang lebih muda itu bukan gadis sembarangan.
Memperoleh bukti bahwa kepandaian mereka berdua
masih di bawah gadis baju biru muda itu, berkuranglah rasa malu dan penasaran
mereka. Mereka berdiri tanpa bergerak dan perhatian mereka tercurah di
gelanggang. Mereka berharap agar kakek mereka cepat dapat
mengalahkan dan menangkap gadis itu, sehingga
kemudian dapat menghina gadis itu.
Saking asyik memperhatikan perkelahian yang berl-
angsung sengit itu. Sarindah maupun Sarwiyah menjadi lengah. Mereka menjadi lupa
kepada Sangkan dan Kaligis.
Dua orang pemuda itu menggunakan kesempatan disaat orang lengah, diam-diam dan
dengan gerakan hati-hati sudah pergi meninggalkan tempat itu.
Sarwiyah teringat kepada Sangkan dan Kaligis sudah terlambat.
"Celaka! Dua bangsat itu sudah minggat!" ujarnya.
Sarindah kaget dan cepat memandang ke arah Sangkan dan Kaligis tadi duduk. Dua
orang gadis ini kemudian melompat hampir berbareng, lalu berlarian mengejar ke
arah barat. Tetapi betapa kecewa dua gadis ini, setelah mencari ke sana dan
kemari, dua pemuda itu tidak tampak lagi batang hidung dan bayangannya. Maka
pada akhirnya dengan hati masygul, dua gadis ini kembali lagi ke tempat perkelahian.
Ketika itu sepuluh jurus sudah lewat. Perkelahian cepat sekali dan angin yang
kuat menyambar sekitarnya.
Sarindah berteriak kepada kakeknya, "Kek, celaka!
Sangkan dan Kaligis melarikan diri!"
Si Tangan Iblis tidak menyahut. Tetapi rasa marahnva semakin menjadi-jadi kepada
gadis muda yang ulet ini.
Karena gara-gara bocah inilah dua orang muridnya yang sudah tertangkap dan
tinggal memberi hukuman, sekarang dapat melarikan diri.
Memang semula kakek ini berkeyakinan, dalam dua
gebrakan saja bocah ini tentu dapat ia kalahkan. Namun ternyata sekarang,
sepuluh jurus sudah lewat, harapannya belum terwujud.
Gadis ini ternyata masih dapat memberi perlawanan
baik sekali dan gerak cepatnya tidak juga berkurang, sekalipun ia sudah berusaha
menekan lawan muda ini dengan kebutan dan dorongan bertenaga. Seakan
pengaruh tenaganya begitu saja lenyap dan gadis ini masih tetap segar serta
kecepatannva geraknya juga tidak berkurang.
Maka kakek ini berapi-api sambil terus bergerak dalam usahanya mengalahkan gadis
ini. Maka timbullah niatnya sekarang untuk mengerahkan tenaga saktinya agar
dapat membuat gadis ini tidak berkutik lagi. Maka sambaran kebutan dan
pukulannya makin bertambah kuat dan angin yang dahsyat menyambar-nyambar.
Dewi Sritanjung kaget juga merasakan sambaran
pukulan lawan terasa semakin kuat dan menyebabkan
dada sesak. Akan tetapi Dewi Sritanjung terus berusaha mempertahankan diri dan
berusaha pula menahan
pengaruh tenaga lawan yang menekan itu. Celakanya
sekalipun sudah berusaha keras untuk bertahan, tidak urung gadis ini terengah-
engah disamping peluh mulai membasahi sekujur tubuh.
Tiba-tiba Dewi Sritanjung berseru nyaring, "Sudah lima belas jurus!"
Sambil berkata gadis ini sudah melompat jauh dan
menghindarkan diri dari pukulan kakek itu. Lalu
sambungnya, "Sekarang aku mau pergi dan jangan ganggu aku lagi."
"Berhenti!" teriak Si Tangan Iblis menggeledek.
Pengaruhnya kuat sekali sehingga Dewi Sritanjung yang lari, berhenti dan
membalikkan tubuh.
"Ada apa lagi" Bukankah kau sendiri sudah berjanji takkan mengganggu lagi?"
"Huh huh, enak saja engkau bicara!" bentak Si Tangan Iblis. "Janji itu sudah aku
cabut! Jika engkau tetap keras kepala, jangan sesalkan aku kalau aku menggunakan
tangan maut."
Sepasang mata gadis ini merah menyala. Kakek itu
sendiri yang sudah berjanji, tetapi mengapa tiba-tiba di-cabut sendiri tanpa
malu sedikitpun"
Akan tetapi Si Tangan Iblis tidak memberi kesempatan kepada gadis ini membuka
mulut. Kakek ini sudah
menerjang maju dengan gerakan menubruk dan men-
cengkeram. Diam-diam Dewi Sritanjung amat khawatir, dan ia sadar sekali ini harus hati-hati
di samping tidak mungkin dirinya harus bertahan hanya dengan kosong. Tadi ia
memang berharap agar dapat bertahan dalam lima belas jurus dan dirinya bisa
bebas. Maka yang penting asal dirinya dapat bertahan selama lima belas jurus itu
sudah cukup. Sebaliknya sekarang terus bertahan akibatnya hanya bakal merugikan diri sendiri,
karena perkelahian tanpa batas dan tanpa dapat membalas, dirinya sendiri yang
akan kehabisan tenaga.
Merasa dirinya tak mungkin dapat bertahan lagi ini, maka tiba-tiba sring....
Seleret sinar biru menyambar ketika pedang pusaka
"Tunggul Wulung" yang ia sembunyikan di dalam baju itu ia cabut dari sarungnya.
Katanya dingin, "Hemm, engkau terlalu memaksa aku. Siapa takut?"
Si Tangan Iblis terbelalak melihat pedang yang
mengeluarkan sinar biru itu. Sebagai seorang tokoh yang sudah luas pengalaman
sekali pandang sudah dapat mem-bedakan mana pedang baik dan mana pedang tidak
baik. "Pedang bagus! Serahkan padaku!" teriak kakek ini yang amat ingin.
Sarindah dan Sarwiyah pun melihat sebatang pedang
yang mengeluarkan sinar biru itu. Maka dua gadis inipun menjadi ngiler dan ingin
sekali memiliki. Karena pedang pusaka tentu akan banyak kegunaannya.
"Kek, rampaslah pedang itu dan berikan padaku." teriak Sarindah yaug menjadi
tidak sabar, begitu melihat pedang pusaka bagus itu.
Dewi Sritanjung tersenyum dingin. Gadis ini tidak gentar sedikitpun, walaupun
berhadapan dengan maut. Sahutnya,
"Hemm, senjata bagi seorang gagah sama harganya
dengan nyawa. Engkau dapat memiliki pedang pusaka
Tunggul Wulung ini, setelah dapat melangkahi mayatku!"
"Bagus! Apakah sulitnya membunuh kau"!" Si Tangan
Iblis merendahkan.
"Makanlah!" bentak Sritanjung sambil menerjang ke
depan. Seleret sinar biru yang panjang menyambar ke depan. Kemudian sudah
berubah menjadi gulungan sinar yang tidak pemah putus, membentuk lingkaran besar
dan kecil, cepat sekali menyambar di sekitar tubuh Si Tangan Iblis.
Si Tangan Iblis kaget juga menghadapi sambaran sinar pedang yang cepat dan
berbahaya itu, disamping sulit diduga arah serangannya. Si Tangan Iblis sadar
pedang pusaka seperti itu tajam luar biasa. Maka dirinya tidak boleh sembrono
menghadapinya. Karena itu ia tidak berani menggunakan jari tangannya untuk menyentil, karena
takut meleset dan jari tangannya bisa menjadi korban. Maka terpaksa dalam usaha
menghalau pedang gadis ini, ia menggunakan telapak tangan mengebut sambil
mencari kesempatan untuk menerkam
pergelangan tangan lawan untuk merebut pedang.
Akan tetapi gerakan pedang Dewi Sritanjung cepat
bukan main. Lingkaran-lingkaran pedangnya yang ber-bentuk kecil dan besar itu
ternyata mengandung tenaga tersembunyi. Ketika tangan kakek itu memberanikan
diri masuk dalam lingkaran sinar pedang, kakek itu berteriak
"Aihhhh.....!"
Secepat kilat Si Tangan Iblis menarik kembali tangannya, namun sayang,
terlambat. Bret, lengan bajunya robek oleh tajamnya pedang.
Si Tangan Iblis marah bukan main. Ia terkenal dengan julukan Si Tangan Iblis
bukan saja tangannya ganas menghadapi lawan, tetapi juga karena kecepatan gerak
tangannya. Saking cepat gerak tangan kakek ini maka orang memberi julukan Si
Tangan Iblis.
Dewi Sri Tanjung Mencari Ayah Kandung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun sekarang ternyata gerak cepat tangannya
ketanggor dengan seorang bocah perempuan saja.
Sekarang lengan bajunya sudah robek oleh pedang dan tentu saja kakek ini merasa
terhina. Tiba-tiba Si Tangan Iblis melompat mundur. Lalu
terdengar suara menggeram dalam tenggorokkan kakek ini seperti geraman seekor
harimau marah. Belum juga lenyap suara geraham marah itu, tiba-tiba Si Tangan
Iblis menggosokkan telapak tangan kiri ke telapak tangan kanan.
Sarindah dan Sarwiyah merasa heran, mengapa kakek
mereka menggosokkan telapak tangan, hanya menghadapi gadis itu saja" Sebab dua
gadis ini tahu belaka, kakeknya sekarang ini sudah akan menggunakan Aji Mega
Langking. Padahal biasanya kakek mereka ini menggunakan aji
tersebut tidak akan sembarangan.
Akan tetapi Dewi Sri Tanjung yang merasa besar hatinya setelah dapat merobek
baju lawan, sama sekali tidak takut.
Di luar tahu gadis ini, Aji Mega Langking amat berbahaya. Sebab uap hitam yang
keluar dari telapak tangan kakek itu mengandung racun dan hawa panas yang dapat
membunuh lawan.
*** 4 iaaattt.....!" Untuk menambah semangatnya Dewi
Sritanjung mengelebatkan pedang pusakanya
H menusuk ke arah mata dan leher sambil berteriak
nyaring. Akan tetapi betapa kaget gadis ini, ketika tiba-tiba melihat keluarnya asap
hitam dari telapak tangan lawan, lalu menyambar ke arah dirinya, ketika telapak
tangan kakek dikebutkan. Hawa yang panas segera menyambar mukanya dan gadis ini
kaget serta melompat mundur, menarik pedangnya sambil berjungkir balik.
Pada saat ia sedang memunahkan tenaga dorongan
lawan dan pengaruh hawa panas tadi, mendadak ia
mendengar suara yang amat mengejutkan.
"Darrr.....!" Suara benturan tenaga amat hebat, meng-gelegar bagai guntur.
Baru saja ia berdiri tegak, sudah terdengar suara halus masuk telinganya,"
Tanjung.... ahh, tak kusangka aku dapat bertemu kau di sini......"
Ketika ia menoleh, serunya, "Ohh.... kau..... Surya Lelana" Aduhhh.....megapa
engkau berada di sini.....?"
"Marilah kita mundur. Guruku sekarang sudah menolong kau dari maut!" Surya
Lelana mengajak dengan halus sambil menarik lengan gadis ini.
Dewi Sritanjung menurut. Hatinya tiba-tiba saja merasa besar dan gembira sekali,
dapat bertemu dengan pemuda yang sudah ia kenal baik. Akan tetapi ketika
teringat tingkah laku Surya Lelana waktu itu, tiba-tiba saja ia mengibaskan
tangannya dan wajahnya berubah merah
agak malu. Untuk menutupi perasaannya ia cepat mengamati ke gelanggang.
Ternyata kakek ganas lawannya tadi sekarang sudah
berkelahi sengit melawan seorang laki-laki setengah umur, bertubuh tegap, dan
pakaiannya seperti petani. Perkelahian itu berlangsung cepat dan sengit. Angin
pukulan menyambar asap hitam sedangkan dari telapak tangan guru Surya Lelana
menyamhar asap wama putih.
"Surya," ujar Dewi Sritanjung tanpa memaling-an muka.
"Engkau tadi bilang, dia gurumu. Apakah dia..... Mpu Mada atau Mahapatih Gajah
Mada" "Siapa lagi guruku kalau bukan beliau?" sahut Surya Lelana sambil tersenyum.
"Guru menolong engkau pada saat tepat. Pada saat dirimu dalam ancaman bahaya."
"Oh.....kalau demikian....."
"Aku dan guru sudah lama hadir, sejak engkau masih bersembunyi di belakang
batu." "Ohh ...jadi kau sudah mendengar seluruhnya?"
"Benar! Tetapi Guru masih cukup sabar menunggu
kesempatan yang tepat. Maka setelah engkau terancam oleh bahaya itu, Guru muncul
dan menangkis pukulan kakek itu."
"Darr....!" Tiba-tiba terdengar lagi benturan nyaring. Si Tangan Iblis terhuyung
mundur lebih tujuh langkah ke belakang, sedang Mpu Mada juga terhuyung ke
belakang tetapi hanya dua langkah saja.
Si Tangan Iblis mendelik dan dadanya berombak.
Bentaknya, "Siapa kau! Mengapa sebabnya engkau
mencampuri urusanku?"
"Hemm. Taruno! Engkau lupa kepadaku?"
Si Tangan Iblis mengamati lawannya penuh selidik. Akan tetapi kakek ini tidak
juga dapat mengenal kembali, siapakah laki-laki di depannya sekarang ini.
"Siapa kau?" bentaknya lagi.
"Taruno! Belum lama, engkau tadi sudah menyebut
namaku. Mengapa engkau sudah lupa lagi" Engkau sudah memfitnah aku, menyebar
bisa kepada cucu-cucumu,
bahwa akulah yang sudah menghancurkan keluargamu.
Kapankah itu terjadi?"
"Kau.... kaukah Mpu Mada yang sekarang menjadi
Mahapatih Majapahit itu?"
Si Tangan Iblis terbelakak tidak percaya. Sebab kalau benar orang yang di
depannya sekarang ini Gajah Mada, mengapa pakaiannya sederhana, dari kain kasar,
seperti layaknya pakaian para petani"
Memang sudah menjadi kebiasaan Mahapatih Gajah
Mada, suka sekali meluangkan waktu masuk dan keluar desa, guna mengetahui
keadaan dan kehidupan para
kawula Majapahit. Maksudnya agar dirinya mendapat
bahan-bahan laporan maupun masukan yang berguna bagi usahanya memajukan dan
memakmurkan Kerajaan
Majapahit. Dalam perjalanan keluar dan masuk desa ini ia melepas pakaian kebesarannya,
mengganti dengan pakaian seperti layaknya petani. Dengan demikian Gajah Mada
akan dapat berbicara dari hati ke hati dengan para kawula kecil. Ia bisa
mendengar keluhan atau kekesalan hati mereka, uneg-unegnya, akibat kebutuhan
kawula belum tercukupi oleh pemerintah.
Gajah Mada meninggalkan Ibukota Majapahit semenjak sepekan lalu. Ia hanya
disertai muridnya, Surya Lelana, sekaligus untuk melatih pemuda ini agar pandai
mengenal kebutuhan para kawula.
Secara kebetulan saja Gajah Mada dan Surya Lelana
lewat di hutan ini. Surya Lelana kaget ketika mengenal Dewi Sritanjung yang
bersembunyi di belakang batu, dan hampir saja pemuda ini melompat dan
mendapatkan Dewi Sritanjung, gadis sederhana yang kuasa memikat hatinya itu.
Akan tetapi Gajah Mada yang selalu waspada cepat mencegah, "Surya. Mau ke mana?"
"Bapa, gadis itu.....gadis berbaju biru di belakang batu itu, adalah murid Uwa
Guru Tunjung Biru. Murid ingin sekali datang menemuinya," dalih Surya Lelana.
Dengan bijaksana Mpu Mada berkata, "Surya! Biarkanlah dahulu, dan jangan kau
ganggu. Agaknya dia sedang memperhatikan mereka berkelahi itu dan tentunya
mempunyai kepentingan pula. Tetapi apabila ternyata dia terancam bahaya, barulah
kita muncul dan menolong.
Sekarang duduk dan tenanglah. Dan mari kita melihat perkelahian itu.
"Tetapi Bapa, Dewi Sritanjung tidak pernah meninggalkan tempat tinggal Uwa Guru.
Mengapa tiba-tiba dia sekarang di hutan ini" Murid menjadi khawatir apabila
telah terjadi apa-apa atas diri Uwa Guru."
Surya Lelana berdalih menggunakan kekhawatirannya
terhadap Kiageng Tunjung Biru. Tetapi maksud yang
sebenarnya agar dirinya bisa diberi izin bertemu dengan gadis itu.
Namun Mpu Mada seorang sabar yang luas pandangan.
Katanya halus, "Surya, sabarkan hatimu. Kalau benar telah terjadi apa-apa atas
diri Kakang Tunjung Biru belum terlambat kita bertindak."
Demikianlah yang sudah terjadi. Kalau Dewi Sritanjung mengintip perkelahian yang
terjadi antara Sarindah melawan Kaligis dan Sangkan, di tempat lain terdapat
pula orang yang mengintip.
Munculnya Si Tangan Iblis dan Sarwiyah tadi segera mengubah keadaan. Namun
kemudian hati pemuda ini
semakin tegang, ketika Dewi Sritanjung harus muncul karena kehadirannya
diketahui oleh Si Tangan Iblis.
Lalu betapa bangga hati Mpu Mada maupun Surya
Lelana ketika mendengar ucapan Dewi yang tanpa gentar, membantah tuduhan Si
Tangan Iblis. Dan malah tanpa ragu lagi gadis itu sudah menganggap Si Tangan
Iblis sebagai pemberontak. Rasa bangga ini kemudian ber-kembang menjadi kagum
dan memuji, ketika Dewi
Sritanjung tanpa gentar sedikitpun melawan keroyokan Sarindah maupun Sarwiyah.
Namun rasa kagum itu
kemudian berubah menjadi berdebar tegang, ketika Dewi Sritanjung berani
menghadapi Si Tangan Iblis.
Ternyata kemudian Dewi Sritanjung memang tidak
mengecewakan. Gerakannya gesit, sehingga serangan
lawan selalu luput. Kalau saja Si Tangan Iblis tidak menggunakan Aji Mega
Lengking yang mengeluarkan asap hitarn dari telapak tangannya, agaknya Mpu Mada
belum juga mau keluar dan menolong.
Demikianlah yang terjadi, mengapa tiba-tiba Mpu Mada dan Surya Lelana muncul di
hutan ini. Dan sekarang Si Tangan Iblis berhadapan langsung dengan musuh be-
buyutannya. Sepasang mala Si Tangan Iblis menyala. Bentaknya,
"Mpu Mada! Siapakah yang menyebar bisa" Apakah
engkau sudah menjadi pengecut, ingkar akan apa yang sudah engkau lakukan
sendiri, membunuh anakku
Karimun?" "Hemm," Mpu Mada mendengus dingin. "Sesungguhnya
aku tidak ingin bicara masalah yang sudah amat lama berlalu itu. Akan tetapi
karena engkau sendiri yang mengungkit-ungkit, biarlah sekarang semua tahu dan
terbuka matanya."
Mpu Mada berhenti dan menatap tajam Si Tangan Iblis.
Lalu, "Apakah engkau lupa ketika itu, anakmu Kebo
Karimun bersama aku sebagai Bekel Bhayangkara,
mengawal keselamatan Raja Jayanegara yang meninggalkan Ibukota Majapahit secara
diam-diam" Akan tetapi setelah tiba di Bedander, anakmu Karimun minta diri untuk
pulang." "Tetapi apakah sebabnya kau bunuh begitu saja?"
hardik Si Tangan Iblis. "Dan salahkah kalau anakku minta diri untuk pulang
menjenguk keluarganya?"
"Heh heh heh heh," Mpu Mada terkekeh. "Orang lain
dapat kautipu dan dapat kaukelabui, tetapi aku tidak mungkin! Kebo Karimun,
anakmu laki-laki itu, diam-diam sudah merupakan sekutumu, dan juga sekutu Kuti
itu, jelas bermaksud membocorkan tempat persembunyian
Raja yang aku selamatkan dan kulindungi. Engkau sebagai pembantu Kuti,
bersekongkol dengan anakmu, agar dapat menangkap dan menawan Raja. Bukankah ini
benar?" Mpu Mada berhenti sambil memandang Si Tangan Iblis penuh selidik. Dan sejenak
kemudian ia baru meneruskan,
"Hai Taruna! Katakan terus terang bukankah sudah tepat apabila petugas yang
berkhianat harus dibunuh mati?"
Mpu Mada berhenti lagi mengambil napas. Sejenak ia meneruskan. "Sekarang
jawablah pertanyaanku. Apakah maksudmu memfitnah aku sebagai pembunuh isteri
Kebo Karimun dan ibu dari cucumu itu" Padahal, bukankah perempuan itu mati oleh
tanganmu sendiri yang berlumuran darah?"
Mendengar kata-kata Mpu mada ini, betapa kaget
Sarindah maupun Sarwiyah. Benarkah kakeknya sendiri yang sudah membunuh ibunya"
Tetapi mengapa sebabnya kakeknya ingkar dan melemparkan tuduhan itu kepada orang
lain" Namun sebagai cucu, mereka tidak lekas mau percaya.
Sebab, sulit dipercaya seorang mertua sampai hati membunuh menantunya sendiri
padahal masih mempunyai
anak yang kecil-kecil.
Akan tetapi kemudian betapa heran kakak-beradik ini ketika mendengar bentakan
kakeknya yang tidak memberi penjelasan, dan mereka menjadi kecewa bukan main.
"Keparat engkau. Gajah Mada. Pendeknya, semua
peristiwa, engkaulah yang menjadi penyebabnya."
"Heh... heh... heh... heh, apakah sebabnya engkau tidak menjawab pertanyaanku"
Taruno! Siapakah pembunuh
perempuan yang menjadi ibu dari cucu-cucumu"!"
Si Tangan Iblis sudah menggeram dan menerjang maju tanpa mau melayani pertanyaan
maupun beradu mulut
lagi. Sebab kakek ini khawatir apabila beradu tajamnya lidah tidak urung
semuanya akan terbongkar rahasianya.
Melihat kakeknya tidak dapat menjawab pertanyaan
Mpu Mada ini, sulit dilukiskan betapa penasaran perasaan dua gadis ini. Sebab
kalau benar pembunuh ibunya malah kakeknya sendiri, jeias selama ini mereka
dijejali dengan kebohongan. Yang semua itu disengaja oleh kakeknya sendiri dalam
usahanya menutup rahasia dirinya. Dan betapa kecewa Sarindah maupun Sarwiyah,
merasa ditipu mentah-mentah oleh kakeknya sendiri ini.
Sarindah yang berangasan tak kuasa lagi menahan
perasaan. Ia sudah menjerit nyaring lalu melompat dan lari sambil menangis.
Sarwiyah kaget dan cepat memburu
sambil berteriak. "Mbakyu, mau ke mana kau?"
Sarindah tidak peduli dan terus lari.
Surya Lelana sudah menggerakkan tubuh untuk
mengejar dua gadis itu. Tetapi Dewi Sritanjung menahan,
"Mau ke mana?"
"Akan kutangkap gadis itu!"
"Biarkan mereka pergi. Kasihan gadis itu, hatinya tentu terpukul setelah
mendengar keterangan yang sebenamva tentang keluarganya. Hemm, mereka sudah
yatim piatu. Dengan demikian, aku masih bernasib lebih baik dari mereka. Sekalipun sampai
sekarang aku belum pemah
berhadapan dengan ayah-bundaku, tetapi tidak lama lagi aku bakal dapat bertemu."
Surya Lelana tertarik dan lupa kepada kakak beradik itu.
Ia tersenyum, wajahnya berseri, lalu bertanya, "Kalau demikian, kau sudah
memperoleh keterangan tentang
orang tuamu" Lalu, siapakah Tanjung?"
"Surya, aku belum tahu siapakah orang tuaku."
Surya Lelana heran dapat jawaban ini. Sejenak
kemudian ia bertanya. "Bagaimanakah ini" Engkau tadi bilang bakal bertemu dengan
ayah-bundamu. Kalau belum tahu, bagaimanakah caramu bisa mencari?"
"Gurumu yang memegang kunci rahasianya. Kakek
hanya bilang, aku harus ke Ibukota, Majapahit dan datang kepada Gurumu sambil
membawa surat Kakek. Sungguh
kebetulan sekarang ini, sebelum aku sampai di sana, telah bertemu dengan gurumu
di hutan ini."
"Hemm, tetapi apakah sebabnya engkau sampai di
hutan ini?"
"Memang ada sebabnya.
Kemudian gadis ini menceritakan apa yang sudah terjadi, sejak meninggalkan
gurunya, sampai perjumpaannya dengan Sangkan dan Kaligis di Nganjuk. Ternyata
dirinya tertipu dan hampir celaka di dalam hutan, apabila dirinya tak dapat
mengalahkan dua pemuda itu.
Surya Lelana geleng-geleng, marah dan geram. Jari
tangannya ia kepalkan, sedang giginya gemeretak, dan sepasang matanya menyala.
Entah apa sebabnya tiba-tiba saja pemuda ini menjadi amat marah kepada dua
pemuda yang mau berbuat kurang ajar kepada gadis ini.
Sementara itu antara Si Tangan Iblis dan Gajah Mada masih berkelahi mati-matian.
Saking cepatnya gerak mereka, tubuh mereka bagaikan lenyap dan yang tampak
tinggal gulungan sinar wama pakaian masing-masing, yang berkelebat ke sana dan
kemari berpindah-pindah.
Sambil berkelahi hati dan perasaan Si Tangan Iblis dilanda kemarahan hebat. Ia
menyembunyikan diri di Tosari dan puluhan tahun lamanya menggembleng diri guna
mendapat kemajuan dalam llmu kesaktian. Di
samping itu iapun menggembleng beberapa orang murid tidak kenal lelah dan
kesulitan. Semua itu hanya dengan satu tujuan saja, guna membalas dendam kepada
musuh-musuhnya, Gajah Mada maupun Mpu Nala. Karena dua
orang ini yang menjadi penyebab hancurnya keluarga.
Sekarang tanpa sengaja dapat bertemu dengan salah
Dewi Sri Tanjung Mencari Ayah Kandung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang musuh itu. Sekarang berhadapan dengan Gajah Mada namun ternyata hasilnya
tidak memuaskan. Baru menghadapi Gajah Mada seorang diri saja, dirinya masih
belum mendapat gambaran pasti apakah dapat mengatasi.
Terbukti ilmu yang amat diandalkan, Aji Mega Langking masih dapat dihalau oleh
Gajah Mada. Apabila baru menghadapi Gajah Mada seorang diri saja belum mampu, apalagi kalau
harus memusuhi Nala.
Kemudian para cucu dan muridnya yang sudah ia didik ber-tahun-tahun itu,
ternyata tidak ada gunanya sama sekali.
Sebab di antara saudara seperguruan sendiri tiada
kerukunan dan malah saling bunuh.
Terdorong oleh cita-citanya ini, ia telah berhasil membujuk Julung Pujud menjadi
sekutunya. Tetapi ahh, mana sahabatnya yang mau membantu itu" Sekarang dirinya
sudah berhadapan dengan Gajah Mada, tetapi Julung
Pujud tidak muncul. Ahh, betapa gampangnya membunuh Gajah Mada ini, kalau
sekarang Julung Pujud muncul.
Teringat kepada Julung Pujud, sambil melancarkan
serangan berbahaya, Si Tangan Iblis sudah berteriak nyaring. Maksudnya sudah
jelas, kalau Julung Pujud berada di tempat yang tidak jauh dari tempat ini tentu
akan mendengar lengkingannya, dan kemudian sahabatnya itu akan datang dan
membantu. Gajah Mada mengerutkan alis. Sebagai seorang cerdik, berkedudukan tinggi dan
luas pengalaman, ia menjadi curiga dan menduga tentu Si Tangan Iblis ini
melengking dalam usahanya mengundang bantuan. Adalah amat berbahaya kalau
dirinya harus berhadapan dengan dua orang lawan sakti sekaligus. Maka dirinya
harus dapat mengalahkan lawannya ini sebelum bantuan itu datang.
Tiba-tiba cara berkelahinya berubah. Kalau tadi ia bergerak cepat seperti kilat,
sekarang gerakannya malah menjadi lambat. Tetapi dalam gerak lambatnya ini,
disusul oleh menyambarnya angin yang dahsyat memukul, setiap
tangannya mengebut maupun mendorong. Makin lama
sambaran anginnya semakin dahsyat dan dari telapak tangan mengepul asap putih
yang halus. Sadarlah Si Tangan Iblis, lawannya sekarang sudah
menggunakan ilmu kesaktian yang membuat Gajah Mada amat terkenal, ialah Aji
Brama Seta atau api putih. Itulah sebabnya dari telapak tangannya mengepul uap
putih. Melihat lawan sudah menggunakan Aji Brama Seta,
maka tidaklah mungkin dirinya dapat bertahan tanpa menggunakan Aji Mega
Langking, atau awan hitam. Tetapi bagaimanapun dalam hati timbul keraguannya
mungkin-kah dirinya dapat mengatasi lawan" Tadi sudah terjadi percobaan, ketika
tangannya berbenturan. Dirinya terpaksa terhuyung sampai tujuh langkah,
sebaliknya Gajah Mada hanya surut dua langkah saja.
Akan tetapi keadaan sudah amat mendesak. Ia sudah
dipaksa oleh keadaan yang tidak mungkin dapat ia hindari lagi. Kalau tidak
cepat-cepat menggunakan aji kesaktian-nya, dirinya sendiri akan celaka.
Dalam keadaan terdesak ini Si Tangan Iblis menjadi nekad. Dua telapak tangannya
segera saling gosok.
Telapak tangan yang terdiri dari kulit dan daging ini, mendadak berubah bagai
api yang membara merah dan
mengeluarkan asap hitam. Hampi berbareng dengan
geraman dahsyat dari kerongkongannya masing-masing, tubuh mereka melompat ke
depan. "Darr......!" Terjadi benturan tenaga yang dahsyat sekali dari dua macam aji
kesaktian dan terjadi ledakan yang keras, seperti ledakan halilintar di angkasa.
Tubuh dua orang tersebut kemudian terhempas ke
belakang dan kemudian terhuyung-huyung seperti layang-layang putus talinya.
Dua orang sakti ini sekarang wajahnya tampak berbeda Gajah Mada wajahnya pucat
setelah terhuyung beberapa langkah ke belakang lalu jatuh terduduk. Dari
mulutnya menyembur darah kental dan agak hitam, sedang dadanya turun naik
seperti kehabisan napas.
Akan tetapi keadaan Si Tangan iblis lebih parah lagi.
Wajah kakek dari Tosari ini sekarang menjadi hitam seperti hangus. Setelah
terhuyung beberapa langkah ke belakang, menyemburlah darah hitam cukup banyak,
lalu roboh terguling tidak bergerak lagi.
Peristiwa itu menyebabkan Surya Lelana dan Dewi
Sritanjung amat terkejut. Dewi Sritanjung sudah melompat maju menghampiri Gajah
Mada. Tetapi Surya Lelana cepat menyambar lengan gadis itu.
"Jangan!" Cegahnya
"Tetapi.....gurumu....."
Surya Lelana menggeleng. Katanya, "Biarkanlah dahulu agar istirahat. Sekalipun
Guru terluka parah, tetapi tidak membahayakan. Setelah selesai mengatur
pernapasan. Guru akan segar kembali."
Dewi Sritanjung memandang Surya Lelana dengan
gelisah. Katanya, "Kau ini bagaimana" Gurumu jelas membutuhkan pertolongan.
Tetapi mengapa engkau malah membiarkan gurumu menderita?"
"Percayalah Tanjung. Guru tidak apa-apa." Surya Lelana menerangkan. Setelah
berhasil mengatasi darahnya yang bergolak dan terguncang dalam dadanya sebagai
akibat benturan tenaga tadi Guru akan kembali seperti biasa.
Melihat sikap Surya Lelana yang tenang dan mendengar ucapan pemuda itu yang
tidak khawatir, Dewi Sritanjung tidak mendesak lagi.
Kemudian perhatiannya beralih ke kakek Si Tangan Iblis yang roboh miring tidak
berkutik. Dan tiba-tiba saja ber-golaklah rasa penasaran dalam dada gadis ini.
Tadi dirinya hampir celaka dalam tangan kakek jahat itu. Apakah salahnya dalam
keadaan kakek jahat itu tidak berdaya, sekarang menggunakan kesempatan untuk
melakukan pembalasan. "Biarlah aku tebas saja leher kakek jahat itu!" katanya dalam hati.
"Sring....!" Sinar biru memancar menyilaukan ketika pedang pusaka Tunggul Wulung
tercabut dari sarung.
Surya Lelana kaget berbareng heran. Tanyanya,
"Tanjung! Untuk apa engkau mencabut pedang?"
"Aku hampir celaka di tangan kakek jahat itu. Dia
sewenang-wenang dan mau menangkap aku, setelah
mengetahui aku mempunyai hubungan dengan gurumu.
Hemm, di saat tidak berdaya seperti itu, apakah salahnya aku menggunakan
kesempatan menabas lehernya?" ujar gadis itu dengan nada gemas.
"Jangan! Engkau jangan mengotori tanganmu dengan
perbuatan yang kurang patut."
Dewi Sritanjung tersinggung lalu membentak, "Apa yang kurang patut" Dia musuh
dan jahat. Maka sepantasnyalah aku menggunakan kesempatan ini untuk membunuh
dia." "Tidak, Tanjung, tidak boleh! Mencelakakan orang
dalam keadaan sudah terluka dan tak berdaya, adalah pantangan bagi ksatrya
sejati." Dengan halus Surya Lelana berusaha menenangkan
gadis ini, setelah melihat wajah gadis ini merah padam.
"Tanjung, hendaknya engkau mau mendengar
nasihatku. Baik Guruku maupun Gurumu tentu akan melarang, apabila akan
mencelakakan orang yang sudah tidak berdaya. Sebab, perbuatan itu dianggap tidak
patut, dan akan mencemarkan martabat ksatrya."
Dewi Sritanjung yang hatinya masih diianda rasa
penasaran, sudah akan membuka mulut guna membela
pendiriannya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara halus masuk
telinganya, "Sritanjung, apa yang sudah dikatakan oleh Surya Lelana itu memang
benar. Memang tidaklah patut bagimu, kamu harus menggunakan kesempatan pada saat
orang terluka dan tidak berdaya. Apapun alasannya, bagi ksatrya tidak bisa
dibenarkan, karena hai itu akan mencemarkan nama ksatrya."
Dewi Sritanjung memalingkan muka, lalu sepasang
matanya terbelalak. Ternyata Gajah Mada sudah bangkit.
Wajah orang itu sudah tidak pucat lagi dan sekarang malah berseri. Gadis ini
kagum sekali. Mengapa Gajah Mada sudah tampak segar kembali dalam waktu singkat
sedangkan Si Tangan Iblis masih belum berkutik"
Gajah Mada berdiri sambil memandang Si Tangan Iblis.
Ia menghela napas, terdapat perasaan yang menyebabkan Mahapatih Gajah Mada ini
menyesal sekali.
Agak lama Gajah Mada berdiri tanpa membuka mulut
Surya Lelana memandang Si Tangan Iblis penuh perhatian.
Sedangkan Dewi Sritanjung sekalipun masih kurang puas terpaksa menyarungkan pedang pusakanya. Ia
tidak membuka mulut, tetapi dalam dadanya bergolak macam-macam perasaan yang
menyebabkan ia merasa heran.
Menurut pendapatnya, dalam setiap perkelahian, hanya satu di antara dua yang
akan diperoleh. Kalah mati terbunuh atau menang dan membunuh. Akan tetapi
sekarang ada larangan semacam itu, larangan membunuh musuh di saat sudah tidak
berdaya" Padahal di saat orang tidak berdaya itu, merupakan kesempatan yang amat
bagus untuk memperoleh kemenangan. Dan bukankah
setelah musuh mati, akan lenyap pula orang yang
memusuhi. Namun sekarang ternyata tiba-tiba Si Tangan Iblis
bergerak. Kemudian tangan kakek itu bergerak dan
meraba raba. Dia berusaha mengangkat tubuhnya dengan tangan. Tetapi agaknya dia
sudah kehabisan tenaga, buktinya baru setengah terangkat tubuhnya sudah
terbanting lagi ke tanah.
Nyatalah bahwa keadaan Si Tangan Iblis memang
payah. Kakek itu terluka parah sekali, dan sekarang kakek yang terkenal dengan
julukan Si Tangan Iblis ini dalam keadaan sekarat.
Setelah melihat Si Tangan Iblis belum mati, Gajah Mada berkata, "Taruno!
Tentunya engkau puas sekarang,
setelah, mendapat kesempatan saling gempur dengan aku, bukan?"
Sambil roboh miring Si Tangan Iblis membuka mata.
Walaupun dalam keadaan setengah mati, sepasang mata Si Tangan Iblis seperti
menyinarkan api menatap Gajah Mada tidak berkedip. Dadanya naik turun.
"Gajah Mada! katanya. Huh, jika engkau jantan sejati, bunuhlah aku sekarang
juga. Engkau jangan menghina aku seperti ini. Huh, tahukah engkau Si Tangan
Iblis tidak takut mati....?"
"Taruno, hemm, dengarlah baik-baik. tidak pernah
terpikir olehku untuk menghina siapapun." Gajah Mada menyahut halus. "Dua orang
yang berkelahi, kalau yang seorang menang, tentu saja yang seorang pasti kalah.
Jadi itu sudah lumrah! Taruno, engkau keliru jika menganggap sikapku ini
menghina engkau. Kenapa kita harus saling bunuh" Nyawa bukan milik manusia
tetapi di tangan Yang Maha Tinggi."
"Engkau keparat Gajah Mada!" teriak Si Tangan Iblis.
Akan tetapi tiba-tiba, "Huaaahhhhhh....!" Si Tangan Iblis muntah darah lagi
cukup banyak. Darah yang menyembur ke luar itu membasahi pipi, kumis dan
jenggotnya. Akan tetapi Si Tangan Iblis seperti tidak memperhatikan keadaannya, malah
berteriak lagi, "Aku tidak butuh khotbahmu, Gajah Mada. Aku hanya menuntut
kepadamu, engkau jangan menghina aku. Hayo, bunuhlah aku
sekarang juga, seperti apa yang sudah menjadi cita-citaku, akan membunuhmu jika
menang melawan kau. Cepat
Gajah Mada, bunuhlah aku!"
Gajah Mada menggelengkan kepalanya. Sahutnya halus,
"Taruno! Terserahlah penilaianmu terhadap diriku. Tetapi tak mungkin engkau
dapat memaksa aku, untuk
mengotorkan tanganku dengan darahmu. Taruno! Yang
Maha Tinggi belum menghendaki engkau mati, tidak juga akan mati. Sekalipun
demikian engkau memerlukan waktu cukup lama guna memulihkan kesehatanmu.
Harapanku hanyalah sadarlah engkau dari kegelapan. Gunakan
waktumu yang tinggal sedikit ini untuk mendekatkan dirimu dengan perbuatan baik
dan selalu mohonlah kepada
Dewata Yang Agung agar diampun segala kesalahanmu.
Engkau jangan mengotori hidupmu yang akan datang
dengan perbuatanmu dalam kehidupan sekarang ini.
Bukankah manusia hidup di dunia ini terbilang tahunnya sedangkan di alam sana
kita hidup tidak terbilang
tahunnya" Karena itu waktu bagi manusia hidup di dunia ini mengumpulkan bekal
menghadapi pengadilan Yang
Maha Tinggi......."
"Huh... huh, peduli apa dengan kehidupanku di sana yang akan datang. Aku memang
lebih suka mendapat
hukuman masuk neraka, kemudian menjelma menjadi
setan gentayangan dan aku akan mengoyak-ngoyak tubuh dan dagingmu guna membalas
dendam." Mahapatih Gajah Mada hanya tersenyum mendengar
ucapan Si Tangan Iblis yang menyakitkan hati itu. Padahal Dewi Sritajung yang
hanya mendengar saja perutnya sudah muak dan dalam dadanya bergolak rasa marah.
Setelah menghela napas pendek. Gajah Mada mem-
balikkan tubuh, lalu tangannya menggapai Dewi Sritanjung dan Surya Lelana.
Katanya halus, Marilah kita pergi.
Biarkan dia marah-marah seorang diri.
Surya Lelana dan Dewi Sritanjung tidak berani mem-
bantah. Kemudian dua orang muda ini melangkah
mengikuti Mahapatih Gajah Mada. Tetapi sekalipun
demikian mereka masih mendengar teriakan Si Tangan Iblis yang penuh ancaman.
"Hai Gajah Mada! Dengarkanlah sumpahku ini, huh! Aku Si Tangan Iblis bersumpah
disaksikan oleh langit dan bumi.
Apabila aku bisa sembuh kembali, aku akan meng-
gembleng diri untuk membalas hinaanmu hari ini. Huh, kelak kemudian hari apabila
aku dapat mengalahkan
engkau, huh huh, akan kucincang hancur tubuhmu dan aku minum habis darahmu."
Dewi Sritanjung tak kuat menahan perasaan, lalu
membalikkan tubuh dan mencaci, "Bangsat tua! Jika
engkau tak dapat menahan mulutmu, aku akan kembali dan meremuk mulut dan
kepalamu!"
Tanjung, Gajah Mada mencegah dengan halus. "Marilah kita pergi dan jangan
hiraukan ucapannya. Aku ingin sekali mendengar kabar tentang Gurumu, di samping
ingin pula bertanya, apakah sebabnya engkau tiba di tempat ini?"
Kendati ucapan Gajah Mada ini halus tetapi pengaruhnya besar sekali. Dewi
Sritanjung membalikkan tubuh, meneruskan langkah mengikuti di belakang Gajah
Mada. Sekalipun Si Tangan Iblis masih terus mengumbar mulut dan caci makinya, suara
itu masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.
Dewi Sritanjung dan Surya Lelana melangkah ber-
dampingan di belakang Gajah Mada. Berkali-kali dua orang muda ini bertatap
pandang, dan diakhiri dengan sekulum senyum. Tidak terucapkan kata-kata dari
bibir masing-masing, tetapi hati mereka sudah berbicara.
Seperti ada kekuatan yang tidak terlawan, mereka saling sentuh, dan sesaat
kemudian sudah bergandengan
tangan. Entah apa saja sebabnya, tetapi yang jelas jari tangan dua orang muda
ini kemudian saling pijit dan setiap kali saling pandang dengan bibir tersenyum.
Mata memancarkan sinar penuh harap dan wajah masing-masing berseri.
Gajah Mada melangkah tanpa membuka mulut dan
tidak pernah berpaling. Mahapatih Majapahit yang
menyamar sebagai kawula kecil ini, dalam perjalanan selalu aman karena tidak
seorangpun menduga, sebagai orang kedua di Majapahit.
Setelah keluar dari hutan barulah Gajah Mada
menghentikan langkah dan memalingkan muka ke arah
dua orang muda itu. Bibir Gajah Mada tersenyum melihat mereka demikian rukun.
Namun, diam-diam orang tua ini menjadi sedih juga apabila akhirnya mereka harus
kecewa. Tanjung, Gajah Mada berkata halus. "Engkau belum
menjawab pertanyaanku. Apakah sebabnya seorang diri engkau sampai di tempat
ini?" Dewi Sritanjung memberikan hormatnya dengan
berlutul. Tetapi Gajah Mada cepat-cepat membangunkan,
"Bangkitlah! Engkau akan berkata apa?"
Dewi Sri Tanjung Mencari Ayah Kandung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Murid Dewi Sritanjung melaksanakan perintah Kakek untuk pergi ke Ibukota
Majapahit dan datang menghadap Paman Guru, sambil menyampaikan surat."
"Surat?"
"Benar. Dan inilah surat itu."
Dewi Sritanjung mengambil surat dari tempatnya
menyimpan, lalu diterimakan kepada Gajah Mada.
Setelah menerima surat tersebut, secepatnya disimpan di dalam baju. Katanya,
"Marilah kita langsung ke
Majapahit."
Dewi Sritanjung keheranan. Mengapa surat yang
diberikan tidak dibaca dan malah disimpan, lalu mengajak pulang ke Majapahit"
Akan tetapi sekalipun demikian gadis ini tidak bertanya.
Dewi Sritanjung tidak tahu bahwa Gajah Mada
mempunyai alasan lain, Gajah Mada sadar surat dari kakak seperguruannya itu
tentu amat penting sekali bagi dirinya.
Maka timbullah kekhawatirannya apabila ada orang yang mendengar dan melihat,
kemudian berusaha merebut dari tangannya. Sekalipun tidak gampang orang, merebut
surat ini dari tangannya, namun apakah salahnya selalu berhati-hati"
* * * Dan beberapa kekaguman gadis ini setelah dirinya
menginjakkan kaki di Ibukota Majapahit.
Jalan yang dilalui lebar dan rata. Sebagai pengeras jalan dipasang oleh orang
batu yang diatur rapi. Rumah di kiri dan kanan jalan besar dan bagus-bagus.
Jalan itu penuh orang lalu lalang dan di sana sini banyak orang membuka rumah
untuk berjualan. Baik laki-laki maupun perempuan memakai pakaian bagus. Juga ia
melihat pula laki-laki memakai pakaian seragam dengan membawa senjata
tombak maupun pedang dengan perisai. Dan mereka itu semuanya memakai kain batik
dengan corak gringsing.
Memang demikianlah, semua prajurit Majapahit
memakai kain batik corak gringsing sebagai seragamnya.
Sedang pada dada tampak simbul dengan gambar buah
maja. Surya Lelana dengan senang hati menerangkan kepada Dewi Sritanjung, yang ia
anggap perlu untuk diketahui.
Kemudian ia mengajak gadis ini masuk ke dalam sebuah rumah sederhana berpagar
batu kuat, yang pada
gerbangnya dijaga oleh prajurit bersenjata tombak.
"Disinikah rumah gurumu?" bisik Dewi Sritanjung.
Surya Lelana menggeleng. Ketika itu mereka sedang
lewat pada pintu gerbang. Prajurit yang berjaga memberi hormat dengan memberikan
sembah. Dan tanpa memandang mereka, Gajah Mada langsung masuk ke
halaman. "Ini rumah peristirahatan Guru, Surya Lelana menerangkan. Dan sekarang ini kita
masih di pinggiran kota Majapahit. Nanti setelah kita tiba di tengah kota engkau
akan melihat keramaian kota Majapahit yang sebenarnya.
Engkau akan melihat rumah rumah besar dan kuat. Ialah keraton....."
"Apakah itu keraton?" potong Sritanjung.
"Keraton adalah tempat kediaman Raja. Juga rumah
para pejabat tinggi Majapahit merupakah rumah-rumah yang indah dan megah. Letak
antara rumah para pembesar itu memang saling berjauhan. Ada pula yang di dalam
kota dan ada juga yang meniilih di luar kota."
Akan tetapi keterangan Surya Lelana ini kurang begitu mendapat perhatian gadis
ini, sebab ia melihat pe-mandangan baru, yang diam-diam menyebabkan gadis ini
keheranan. Ia melihat semua orang yang berada di tempat ini berlutut ketika
melihat Gajah Mada. Baik di saat orang itu berdekatan maupun di tempat yang agak
jauh. Agaknya Surya Lelana tahu apa yang terpikir oleh gadis ayu ini. Katanya halus,
"Tanjung, kedudukan Guru memang amat tinggi. Itulah sebabnya semua orang
berlutut sebagai tanda menghormati. Tetapi sebenarnya Guru sendiri
kurang senang dengan penghormatan seperti ini. Tetapi karena hal ini sudah
merupakan adat kebiasaan dan tata krama pergaulan antara para bangsawan dengan
kawula, maka Guru terpaksa menerima saja."
"Dan kau...." Dewi Sritanjung menatap pemuda tampan itu, "tentunya putera salah
seorang pejabat tinggi Majapahit pula...."
Surya Lelana tersenyum lalu mengangguk, "Kau benar.
Tetapi tidak setinggi jabatan Guru maupun jabatan Gusti Adityawarman."
"Siapakah dia itu?"
"Gusti Adityawarman adalah seorang yang memegang
jabatan paling tinggi di antara bangsawan Majapahit.
Kekuasaannya dan kekuasaan Guru bisa dikatakan
seimbang. Hanya bedanya, Guru merupakan wakil Raja dalam bidang urusan luar,
artinya urusan pemerintahan, sedang Gusti Adityawarman adalah wakil Raja dalam
urusan dharmaputra maupun kerabat Raja. Urusan Gusti Adityawarman masih ada lagi
yang penting. Beliau merupakan pembesar tinggi kerajaan dalam bidang hukum dan
peraturan yang berlaku. Semua keputusan di bidang
hukum baru berlaku apabila sudah mendapat persetujuan beliau."
"Apakah hukum itu" " tanya gadis ini penuh minat.
Tentu saja bagi seorang gadis yang semula hidup
terasing itu sama sekali asing dengan apa yang disebut hukum.
"Tanjung, masalah ini uraiannya terlalu panjang dan rumit. Nanti bisa kita
tanyakan kepada Guru. Mari, sekarang ikutlah aku."
"Ke mana?"
"Nanti kau akan tahu sendiri."
Lengan Dewi Sritanjung segera ia sambar dan setengah ia seret lalu ia ajak
memisahkan diri dengan Gajah Mada.
Mereka lewat jalan berbatu pada teritis rumah, sedangkan Gajah Mada langsung
masuk ke pendapa.
Hatinya berdebar tidak keruan ketika gadis ini mengikuti Surya Lelana. Namun
demikian ia percaya pemuda ini takkan melakukan perbuatan yang kurang baik.
Dugaan gadis ini ternyata benar. Tak lama kemudian tibalah ia pada ruangan
belakang yang luas. Ia diserahkan kepada para pelayan perempuan.
"Bawalah Diajeng Dewi Sritanjung ini ke dalam kamar rias," perintahnya kepada
para pelayan itu. "Layanilah kebutuhannya untuk ganti pakaian. Sesuai dengan
perintah Rama, kalian boleh mengambil pakaian Puteri Tisna Dewi".
Surya Lelana sudah mengubah panggilannya kepada
Gajah Mada. Sekarang tidak menyebut Guru lagi, tetapi menyebut Rama, berarti
Ayah. Sesudah memberi perintah kepada tiga pelayan
perempuan itu. Surya Lelana memandang Dewi Sritanjung dengan bibir mengulum
senyum. "Diajeng Tanjung, ikutlah mereka untuk ganti pakaian.
Setelah kita selesai ganti pakaian, kita segera menghadap Rama Gajah Mada, kita
akan langsung pulang ke rumah kepatihan."
Dewi Sritanjung hanya mengangguk, karena gadis ini kurang tahu maksudnya,
mengapa harus berganti pakaian.
Surya Lelana bisa menduga perasaan Dewi Sritanjung sekarang ini. Maka katanya
lagi, "Diajeng, semua akan aku terangkan sesudah engkau selesai berganti
pakaian. Engkau adalah seorang puteri, maka mulai hari ini engkau harus meninggalkan
keadaan dan kebiasaan lama."
Dewi Sritanjung mengangguk lagi, sekalipun hatinya ragu berbareng keheranan.
Mengapa secara tiba-tiba Surya Lelana mengatakan dirinya seorang puteri
bangsawan"
Kalau demikian, apakah dirinya salah seorang anak
pejabat tinggi kerajaan" Dan apakah Surya Lelana telah tahu siapakah dirinya
ini" Surya Lelana sudah melangkah pergi, sedang Dewi
Sritanjung segera mengikuti tiga orang pelayan itu. Ia dipersilakan masuk ke
dalam kamar yang amat indah dan berbau harum. Tiga pelayan perempuan itu
kemudian sibuk membuka beberapa almari besar dan Dewi
Sritanjung dipersilakan memilih sendiri pakaian yang disukai dan tersimpan dalam
almari itu. Dewi Sritanjung terbelalak kagum ketika melihat pakaian dari bahan
sutera halus, bertumpuk dalam tiga almari tersebut. Sebagai seorang gadis yang
sejak kecil hidup dalam hutan dan tidak pernah mendapat kesempatan untuk
memiliki pakaian bagus dari bahan sutera, tentu saja malah
menjadi bingung.
Akan tetapi ia memang menyukai warna biru. Maka di-ambillah baju dari bahan
sutera warna biru muda.
Sedangkan perlengkapan pakaian yang lain, ia tidak dapat memilih, maka para
pelayan diminta memilihkannya.
Dewi Sritanjung menjadi agak malu, ketika dirinya harus melepaskan pakaiannya
kemudian ganti dan semuanya
dilayani para pelayan. Sejak ia dapat menyelenggarakan kebutuhannya sendiri, ia
selalu mencukupi sendiri
kebutuhannya. Namun ternyata hari ini dirinya harus mengubah kebiasaan itu, dan
gadis ini serasa mimpi.
Lalu hatinya berdebaran membayangkan setelah dirinya nanti dapat bertemu dengan
ayah-bundanya yang selama ini belum pernah ia kenal.
Dewi Sritanjung merasakan tubuhnya menjadi berat dan kaku, setelah pada beberapa
bagian tubuhnya harus
dipasang berbagai macam perhiasan emas yang cukup
berat. Ia menjadi merasa lucu dan geli ketika melihat dirinya sendiri.
Kaki yang biasanya tidak pemah dipasang apa-apa itu sekarang harus menggunakan
alas dari kulit binatang, sehingga kakinya tidak menapak bumi dan sulit
melangkah. Pada pergelangan kakinya sekarang terdapat hiasan yang terbuat dari
emas. Pada lehernya bertambah lagi hiasan kalung yang berat, gemerlapan dihias
berlian dan mutiara. Kemudian pada pergelangan tangan yang semula tidak ada apa-
apa itu sekarang dipasang beberapa buah gelang, dan apabila tangannya bergerak
timbullah suara gemerincing nyaring.
Ketika Surya Lelana muncul di depan pintu dan melihat Dewi Sritanjung, kontan
saja mulutnya sudah memuji dan matanya memandang kagum.
"Aduh Diajeng Tanjung... engkau tambah cantik...."
Sekalipun kata-kata ini diucapkan oleh Surya Lelana secara jujur namun tidak
urung Dewi Sritanjung agak malu juga. Tetapi di samping malu itupun terselip
perasaan bangga. Manakah ada perempuan muda yang tidak
menjadi bangga dipuji kecantikannya" Lebih lagi yang meniuji cantik itu adalah
pemuda tampan, pemuda yang diam-diam sudah menarik perhatiannya.
Ya pemuda tampan yang dahulu pernah memberi
ciuman tanpa seijinnya, tetapi sekalipun demikian ia tidak menjadi marah. Ia
tidak tahu apakah sebabnya ia selalu terkenang kepada peristiwa itu. Karena
nyatanya kenangan itu memang indah dan menyenangkan. Ia juga tidak tahu mengapa
hatinya terliputi kegembiraan yang sulit terlukis-kan begitu dirinya dapat
berdekatan dengan Surya Lelana.
Dewi Sritanjung tersenyum manis oleh pujian Surya
Lelana. Dan begitu memandang si pemuda, gadis inipun kagum. Pemuda itu tampak
semakin tampan dan ganteng setelah ganti pakaian yang indah, pakaian
bangsawanan. "Surya..... ehh..... engkaupun lebih tampan lagi....." puji gadis ini tanpa
sungkan. Pujian ini disambut oleh Surya Lelana dengan ketawa-nya yang lepas.
Adapun tiga orang pelayan itu bibirnya tersenyum agak takut. Tetapi bagaimanapun
dalam hati tiga pelayan perempuan ini timbul pula rasa kagum. Karena pada
kenyataannya Surya Lelana memang merupakan seorang pemuda tampan, sedangkan si
gadis jelita inipun
merupakan puteri yang cantik molek.
"Marilah kita menghadap Rama," ajak Surya Lelana
sambil menyambar tangan Dewi Sritanjung. Kemudian
mereka meninggalkan kamar ini menuju ruangan besar dalam rumah besar bagian
belakang. Akan tetapi rumah besar itu sepi. Surya Lelana
mengajak Dewi Sritanjung ke pendapa. Ternyata Gajah Mada sudah duduk di pendapa,
sedangkan di depannya telah duduk bersimpnh dua orang tumenggung yang
agaknya sedang memberi laporan.
Gajah Mada tersenyum ketika melihat munculnya dua
orang muda itu. Ia menggerakkan tangan kanan memberi isyarat supaya dua orang
muda itu datang mendekat.
Ketika Surya Lelana dan Dewi Sritanjung sudah menghadap dan berlutut sambil
memberi sembah, Gajah Mada berkata, "Anakku, syukur sekali kalian sudah siap dan
selesai ganti pakaian. Sekarang marilah kita secepatnya pulang dan masuklah
lebih dahulu ke dalam kereta."
Surya Lelana mengiakan, lalu mengajak Dewi Sritanjung menuju ke kereta yang
sudah siap di depan pendapa.
Sebuah kereta kebesaran Mahapatih Majapahit. Kereta beroda empat dan ditarik
oleh delapan ekor kuda yang besar dan gagah.
Kereta yang indah, sehingga Dewi Sritanjung me-
mandang kagum. Kereta itu tertutup rapat berpintu dan pada beberapa lubang pada
dinding kereta yang dapat dipergunakan memandang ke luar kereta, ditutup oleh
tirai dari kain sutera.
Dewi Sritanjung dipersilakan masuk lebih dahulu ketika pintu kereta dibuka Surya
Lelana. Tanpa ragu sedikitpun gadis ini masuk, lalu duduk pada bagian belakang.
Namun ketika Surya Lelana sudah masuk, pemuda ini
cepat memberitahu, "Diajeng, kita harus duduk di sini. Kita berjajar, sebab bak
belakang untuk tempat duduk Rama."
"Idih! Kau ini bagaimana?" sahut Dewi Sritanjung sambil tersenyum dan mata yang
indah itu mengerling. "Bukankah alasanmu ini, karena engkau bermaksud agar
engkau dapat duduk berdampingan dengan aku?"
Sekalipun berkata demikian, sebenarnya gadis ini
merasa senang sekali apabila dapat duduk berdampingan dengan Surya Lelana. Entah
apa sebabnya, rasanya
bahagia sekali apabila ia dapat duduk berdampingan dengan Surya Lelana.
Surya Lelana menyambut ucapan gadis ini dengan
ketawa lirih. Lalu, "Diajeng, aku memang berkata sejujur-nya. Memang pada bagian
belakang itu merupakan tempat duduk kebesaran bagi Rama dalam kedudukannva
sebagai Mahapatih Majapahit. Sedang engkau dan aku harus
duduk di sini, dan......"
Dewi Sritanjung yang sudah duduk di samping Surya
Lelana menatap wajah pemuda ini sambil bertanya. "Dan apa....?"
Surya Lelana tidak cepat menjawab. Bibirnya tersenyum dan matanya menatap wajah
ayu itu. Yang dipandang
menjadi berdebar dan malu, tetapi dalam dadanya terasa amat bahagia.
"Apakah engkau tidak marah dengan kejadian waktu
itu" Ketika aku mau pergi dan minta diri dari kau sambil....
mencium ...?"
Pipi gadis ini berubah merah mendengar pertanyaan itu.
Untuk sejenak gadis menundukkan muka. Setelah diangkat lagi, kepalanya
menggeleng. "Tidak Surya. Tidak ada rasa marah dalam hatiku."
jawabnya polos.
"Apakah sebabnva engkau tidak marah?"
Gadis ini tergagap mendengar pertanyaan ini. Se-
sungguhnya ingin sekali mengatakan, dirinya tak tahu mengapa sebabnya tidak
marah atas perlakuan Surya
Lelana. Dan sungguh aneh pula dirinya malah selalu terkenang pengalaman itu.
Dewi Sritanjung menggeleng kepalanya, jawabnya lirih.
"Aku tidak tahu....."
Jantung Surya Lelana berdebar mendengar jawaban
gadis yang singkat ini. Kalau demikian halnya apakah jawaban ini merupakan
tanda, gadis inipun mengimbangi perasaan hatinya" Ia sudah terlanjur tercuri
hatinya oleh gadis ini. Gadis sederhana, tetapi memiliki kecantikan luar biasa,
kecantikan yang alami.
Dengan agak takut Surya Lelana bergerak. Pemuda ini ingin menjajaki bagaimanakah
sikap Sritanjung. Maka jari tangannya lalu meraba jari-tangan Dewi Sritanjung
yang kecil, runcing dan halus itu. Jari tangan itu untuk beberapa saat lamanya
ia usap-usap dan ia permainkan. Setelah melihat gadis ini diam saja, gerakannya
mulai berani dan merembet naik ke lengan. Lain sambil mengusap-usap lengan itu,
Surya Lelana berkata halus.
"Diajeng, apakah engkau takkan marah apabila men-
Dewi Sri Tanjung Mencari Ayah Kandung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengar perkataanku?"
"Engkau mau berkata apa?" sahut Dewi Sritanjung
sambil menundukkan kepalanya, karena usapan tangan Surya Lelana itu kuasa
membuat jantungnya berdebar tegang. "Dan mengapa pula aku harus marah?"
"Diajeng, tahukah engkau bahwa sejak pertemuanku
denganmu yang pertama kali, aku sudah jatuh cinta
kepadamu?"
Dewi Sritanjung berjingkrak mendengar istilah asing yang diucapkan oleh pemuda
tampan di sampingnya ini.
Tetapi justru kata-kata asing ini, sebenarnya sudah lama tersimpan dalam dadanya
dan selalu berharap agar Surya Lelana mengucapkan kata-kata itu.
Akan tetapi sekarang, anehnya, setelah mendengar
ucapan dan mulut Surya Lelana yang mencintai dirinya, mulut Dewi Sritanjung
malah seperti terkunci dan tidak bisa menjawab, sekalipun dalam dadanya bergolak
perasaan yang mendesak agar segera memberi jawaban. Dan gadis ini hanya bisa
menundukkan muka, dadanya turun naik.
"Diajeng Tanjung," bisik Surya Lelana halus, sedang jari tangannya dengan
lancang sudah mengangkat dagu Dewi Sritanjung yang halus dan kuning itu.
"Bagaimana" Engkau terimakah perasaan cintaku ini?"
Dewi Sritanjung belum juga menjawab, sekalipun
hatinya amat ingin. Namun sekalipun gadis ini belum menjawab. Surya Lelana sudah
cukup maklum bahwa gadis ini mengimbangi perasaannya. Terbukti Dewi Sritanjung
tidak berusaha melepaskan jari tangan Surya Lelana yang memegang dagu.
Tahu-tahu Surya Lelana sudah memeluk, lalu mencium mulut Dewi Sritanjung. Untuk
sejenak Dewi Sritanjung gelagapan, namun sejenak lagi gadis ini sudah mendorong
pundak Surya Lelana perlahan.
"Surya......ya.....agaknya akupun mempunyai perasaan yang sama ...." jawabnya.
"Mengapa masih menggunakah istilah agaknya,
Diajeng" Apakah engkau masih meragukan cinta kasihku?"
"Surya, hal ini bisa kita bicarakan setelah aku bertemu dengan orang tuaku.
Kemudian orang tuamu bisa bicara ngan orang tuaku. Hemmm, Sudahlah.....Guru
datang....."
* * * Cerita ini terpaksa berhenti sampai di sini dahulu, lalu menyusul cerita baru
dengan judul " TERSIKSA SEPERTI DI NERAKA ".
Siapakah yang tersiksa seperti di neraka" Baca saja dan Anda akan memperoleh
jawabannya. Kasihan juga Dewi Sritanjung ini. Gadis yang sejak kecil belum pemah mengenal
ayah dan bundanya, di Ibukota Majapahit harus berhadapan dengan pengalaman pahit
dan amat mengecewakan hatinya. Sebagai akibatnya ia
"minggat" dengan perasaan tidak keruan. Dalam keadaan seperti ini, Dewi
Sritanjung kurang waspada. Dan akibatnya tertangkap oleh pemuda bejat moral
Rudra Sangkala, murid sakti tokoh Murti Sari.
Sungguh kasihan. Gadis jelita, polos dan lugu itu di dalam cengkeraman laki-iaki
bejat seperti Rudra Sangkala yang mempunyai senjata ampuh racun wangi itu.
........Dan kasihan sekali cucu Si Tangan Iblis yang tertua dan bernama Sarindah
itu, dalam usahanya menuntut
balas kepada Gajah Mada. Gadis itu mencari dukun
tenung. "Dengarlah baik-baik. Engkau harus tahu baik tenung laki-laki maupun perempuan
yang akan melakukan tugas itu menghuni dalam tubuhku. Jadi, antara aku dan
engkau, syaratnya harus rukun seperti suami dan isteri."
"Aku sedia. Tetapi....."
"Tetapi apa.......?"
"Kerjakan dahulu tenung itu......"
Sarindah puas tenung itu sudah pergi. Kemudian siutt...
wut cap....! Sarindah terbelalak kaget. Pedangnya tak dapat ditarik kembali
terjepit jari tangan Kakek Madrim.
Sarindah marah. Cacinya. "Setan tua! Cabul, keparat!
Lepaskan pedangku!"
"Heh heh heh heh, engkau cantik sekali dan harus
menjadi isteriku....."
Entah sudah herapa lama Sarindah tertidur. Ia merasa dingin dan membuka mata, ia
hampir menjerit kaget
mendapatkan dirinya tanpa memakai selembar benang
pun. Dan disampingnya Kakek Madrim tertidur dalam
keadaan sama.....
*** Tamat *** Sala, medio Marel 1987
Seruling Sakti 23 Pahlawan Harapan Karya Tang Fei Pedang Golok Yang Menggetarkan 9
kosongmu itu" Tentu kau sudah memfitnah nama baik
Mahapatih Gajah Mada."
Si Tangan Iblis tidak telaten lagi harus bertengkar mulut.
Maka sambil mendelik bentaknya, "Bocah! Menyerahlah sebelum aku turun tangan."
"Hemm," Dewi Sritanjung mendengus dingin. "Aku tidak bersalah, mengapa aku harus
menyerah kau tangkap dan harus menuruti kehendakmu?"
"Huh, engkau berani menentang perintah Si Tangan
Iblis?" "Aku tidak menentang Tangan Gendruwo atau Kaki
Banaspati. Aku tidak menentang siapapun. Akan tetapi sebaliknya aku tentu
membela diri jika orang bermaksud jahat kepadaku."
"Heh... heh... heh... heh," Si Tangan Iblis terkekeh saking penasaran. "Lekas
cabut pedangmu, yang kemudian
menyebabkan engkau menjadi sesombong ini?"
Akan tetapi Dewi Sritanjung selalu ingat akan pesan kakeknya, tidak boleh
sembrono menggunakan pedang
pusaka Tunggul Wulung apabila tidak terancam bahaya benar-benar. "Huh untuk apa
senjata" Tangan dan kakiku masih cukup mampu menghadapi kau."
Hampir meledak dada Si Tangan Iblis saking marah,
mendengar jawaban yang takabur ini. Sungguh sulit ia percaya, gadis ini akan
melawan dirinya dengan tangan kosong.
Bocah! bentaknya sambil mendelik. "Engkau terlalu
sombong. Tetapi baiklah, lekas bersiap diri menghadapi seranganku. Apabila
engkau sanggup melawan aku sampai lima belas jurus saja, engkau boleh pergi dan
tak kuganggu lagi."
"Limabelas jurus" Apakah ucapanmu ini dapat aku
jadikan pegangan?"
"Kurangajar kau!" bentak Si Tangan Iblis menggeledek.
"Aku seorang tua. Sekali bicara takkan mungkin kucabut kembali. Engkau akan aku
bebaskan dan tidak kuganggu lagi, apabila sanggup melawan aku sampai lima belas
jurus saja."
Janji itu tentu saja amat menggembirakan Dewi
Sritanjung. Bagaimanapun pula ia merupakan orang baru di dalam masyarakat.
Kemenangannya yang dua kali
berturut-turut itu belum juga dapat dijadikan ukuran bahwa dirinya sudah mampu
menghadapi bahaya. Maka bagaimanapun ia agak gentar juga menghadapi kakek ini.
Akan tetapi kakek ini sudah berjanji sendiri. Bukankah apabila dirinya dalam
lima belas jurus belum dapat ia kalahkan, berarti dirinya bebas" Diam-diam ia
berjanji kepada dirinya sendiri akan berhati-hati. Sedikit banyak ia sudah
mengenal ilmu tatakelahi murid-muridnya. Maka kiranya takkan begitu jauh
perbedaannya dengan apa yang akan dipergunakan oleh kakek itu.
Sama sekali tidak disadari oleh gadis ini, sekalipun ilmunya serupa, tetapi
digunakan oleh murid dan gurunya, tentu berbeda jauh sekali. Ilmu tatakelahi di
dunia ini, sekalipun bermacam-macam gaya dan nama pada dasar-nya memang hampir
sama. Meskipun demikian keampuhan ilmu bukanlah terletak pada ilmu itu sendiri. Sebab
kecerdasan pengalaman dan latihan maupun hawa sakti dalam tubuh memegang
peranan menentukan dalam setiap perkelahian. Karena dari setiap gerak serangan
maupun tangkisannya, akan mengundang tenaga tidak tampak, sesuai dengan tingkat
kemahiran orang itu sendiri.
Dan tanpa ragu sedikitpun, Dewi Sritanjung sudah
melesat ke depan. Ia langsung menyerang bagian atas kakek itu. Terbelalak juga
kakek ini melihat kecepatan gerak gadis muda ini, sekalipun ia tadi sudah
memperhatikan cukup lama. Sehingga diam-diam kakek ini sudah dapat mengenal ilmu
gadis ini sekalipun baru serba sedikit.
Si Tangan Iblis tidak bergerak dari tempatnya berdiri.
Ketika tangan Dewi Sritanjung sudah hampir menyentuh tubuhnya, barulah kakek ini
mengebutkan tangan kiri disusul gerakan tangan kanan yang seperti kilat cepatnya
menyambar pergelangan tangan gadis ini.
"Wut wut..... Aiihhh......!"
Si Tangan Iblis berseru tertahan sambil menarik kembali tangannya lalu
berjungkir balik ke samping.
Kalau saja Dewi Sritanjung tidak dapat bergerak segesit burung walet tentu
sekali gebrak sudah tertangkap dan tidak dapat berkutik lagi. Ia tadi gembira
melihat lawan tidak bergerak. Tetapi ketika tangan kakek itu mengebut ia menjadi
kaget. Dadanya seperti tertindih oleh batu sebesar gajah disamping pula
menyambar hawa panas sekali,
hingga dirinya sesak napas. Belum juga hilang rasa kagetnya, tangannya sudah
hampir tertangkap si kakek.
Saking gugupnya ia sudah membanting diri ke samping lalu berjungkir balik.
"Heh... heh... heh... heh... heh," Si Tangan Iblis terkekeh.
"Hanya seperti itu kepandaianmu sudah berani jual lagak dan sombong di depan Si
Tangan Iblis."
Dewi Sritanjung mendelik marah, tetapi tidak membuka mulut. Apa yang baru saja
terjadi menyebabkan gadis ini sadar dan tidak boleh sembrono lagi. Sambaran
tangan yang menyebabkan dadanya seperti tertindih batu,
membuktikan kakek ini seorang tokoh sakti. Dan walaupun sambaran tangannya jauh
kalah kuat dibanding dengan gurunya, namun bagi dirinya merupakan ancaman bahaya
pula. Sambil menguatkan hati gadis ini sudah kembali
melesat ke depan melakukan serangan lagi. Tetapi sambil menyerang ini ia sudah
waspada. Ia harus menggunakan kecepatan gerakannya. Dan sebagai seorang gadis
yang tidak tolol, ia tahu bahwa dalam melayani kakek ini tidak perlu bernafsu
untuk mengalahkan. Yang penting asal dirinya dapat menjaga diri tidak roboh oleh
lawan dalam waktu lima belas jurus. Apabila dirinya dapat melayani sampai lima
belas jurus sesuai dengan perjanjian, dirinya bebas. Dan ia percaya apabila dia
menggunakan kecepatannya bergerak, kiranya akan dapat bertahan lebih dari lima belas jurus.
"Wut! Wut.!" Sambaran tangan kakek itu berusaha
menangkap lengan Dewi Sritanjung lagi. Kemudian ketika tangannya bergerak
mendorong, sambaran anginnya
mengenai tempat kosong. Si Tangan Iblis keheranan ketika lawannya lenyap dari
depan matanya. Tetapi tiba-tiba ia merasakan angin pukulan menyambar dari
belakang. Tanpa memutarkan tubuhnya, ia membalikkan tangannya ke belakang punggung untuk
menangkis. "Plak.... Aihhh.....!"
Gadis ini kaget sekali ketika merasakan lengannya
tergetar hebat sekali, ketika pukulannya bertemu dengan langan lawan. Guna
mematahkan tenaga lawan ia sudah berjungkir balik beberapa kali, kemudian gadis
ini sudah berdiri tegak lagi dan siap siaga.
Si Tangan Iblis terbelalak tangkisannya tidak menyebabkan gadis ini roboh. Anak
setankah bocah ini" Kakek ini hampir tidak percaya kepada pandang matanya
sendiri. Apakah tubuh bocah ini kerasnya melebihi batu"
Dari heran kakek ini menjadi marah. Tiba-tiba Si Tangan Iblis menggeram lalu
tubuhnya melesat ke depan
menyerang. Sepuluh jari tangannya dikembangkan. Kuku-nya yang panjang dan
runcing membentuk cengkeraman dan sulit dibayangkan akibatnya apabila
tercengkeram. Sedikitnya kulit akan robek dan sebagian dagingnya akan terpisah dari tubuh.
Akan tetapi Dewi Sritanjung tidak gentar dan ia percaya kegesitannya bergerak.
Dan dalam pada itu, pengalamannya berbenturan tangan tadi hanya menyebabkan
lengannya kesemutan, menyebabkan gadis ini menjadi mantap dan besar hati.
Membuktikan bahwa tangannya cukup kuat menghadapi lawan tua ini, sekalipun dalam
hal tenaga sakti masih jauh ketinggalan.
Perkelahian antara gadis muda dengan kakek ini be-
rlangsung cepat. Angin pukulan Si Tangan Iblis menyambar-nyambar, tetapi dengan
kecepatannya bergerak, Dewi Sritanjung dapat menghindarkan diri, sehingga
pukulan kakek itu tidak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Dan saking cepatnya
bergerak lenyaplah bayangan tubuh gadis ini dan yang tampak tinggal segulung
warna biru muda yang bekelebat ke sana dan kemari.
Dalam waktu singkat lima jurus sudah dilewati. Pukulan Si Tangan Iblis tidak
juga berhasil menyebabkan gadis ini roboh. Hal ini di samping menyebabkan Si
Tangan Iblis keheranan juga menimbulkan penasaran. Akibatnya kakek ini menjadi
lupa kedudukannya sebagai orang tua. Ia terus menghujani serangan berbahaya,
sehingga angin yang kuat semakin melanda dalam gelanggang.
Sarindah dan Sarwiyah yang menonton terbelalak. Mata dua gadis ini tidak
berkedip dan hatinya tegang. Pantas saja mereka tadi mengeroyok dan menggunakan
pedang, tidak juga berhasil mengalahkan gadis yang bertangan kosong itu,
terbuktilah sekarang gadis yang lebih muda itu bukan gadis sembarangan.
Memperoleh bukti bahwa kepandaian mereka berdua
masih di bawah gadis baju biru muda itu, berkuranglah rasa malu dan penasaran
mereka. Mereka berdiri tanpa bergerak dan perhatian mereka tercurah di
gelanggang. Mereka berharap agar kakek mereka cepat dapat
mengalahkan dan menangkap gadis itu, sehingga
kemudian dapat menghina gadis itu.
Saking asyik memperhatikan perkelahian yang berl-
angsung sengit itu. Sarindah maupun Sarwiyah menjadi lengah. Mereka menjadi lupa
kepada Sangkan dan Kaligis.
Dua orang pemuda itu menggunakan kesempatan disaat orang lengah, diam-diam dan
dengan gerakan hati-hati sudah pergi meninggalkan tempat itu.
Sarwiyah teringat kepada Sangkan dan Kaligis sudah terlambat.
"Celaka! Dua bangsat itu sudah minggat!" ujarnya.
Sarindah kaget dan cepat memandang ke arah Sangkan dan Kaligis tadi duduk. Dua
orang gadis ini kemudian melompat hampir berbareng, lalu berlarian mengejar ke
arah barat. Tetapi betapa kecewa dua gadis ini, setelah mencari ke sana dan
kemari, dua pemuda itu tidak tampak lagi batang hidung dan bayangannya. Maka
pada akhirnya dengan hati masygul, dua gadis ini kembali lagi ke tempat perkelahian.
Ketika itu sepuluh jurus sudah lewat. Perkelahian cepat sekali dan angin yang
kuat menyambar sekitarnya.
Sarindah berteriak kepada kakeknya, "Kek, celaka!
Sangkan dan Kaligis melarikan diri!"
Si Tangan Iblis tidak menyahut. Tetapi rasa marahnva semakin menjadi-jadi kepada
gadis muda yang ulet ini.
Karena gara-gara bocah inilah dua orang muridnya yang sudah tertangkap dan
tinggal memberi hukuman, sekarang dapat melarikan diri.
Memang semula kakek ini berkeyakinan, dalam dua
gebrakan saja bocah ini tentu dapat ia kalahkan. Namun ternyata sekarang,
sepuluh jurus sudah lewat, harapannya belum terwujud.
Gadis ini ternyata masih dapat memberi perlawanan
baik sekali dan gerak cepatnya tidak juga berkurang, sekalipun ia sudah berusaha
menekan lawan muda ini dengan kebutan dan dorongan bertenaga. Seakan
pengaruh tenaganya begitu saja lenyap dan gadis ini masih tetap segar serta
kecepatannva geraknya juga tidak berkurang.
Maka kakek ini berapi-api sambil terus bergerak dalam usahanya mengalahkan gadis
ini. Maka timbullah niatnya sekarang untuk mengerahkan tenaga saktinya agar
dapat membuat gadis ini tidak berkutik lagi. Maka sambaran kebutan dan
pukulannya makin bertambah kuat dan angin yang dahsyat menyambar-nyambar.
Dewi Sritanjung kaget juga merasakan sambaran
pukulan lawan terasa semakin kuat dan menyebabkan
dada sesak. Akan tetapi Dewi Sritanjung terus berusaha mempertahankan diri dan
berusaha pula menahan
pengaruh tenaga lawan yang menekan itu. Celakanya
sekalipun sudah berusaha keras untuk bertahan, tidak urung gadis ini terengah-
engah disamping peluh mulai membasahi sekujur tubuh.
Tiba-tiba Dewi Sritanjung berseru nyaring, "Sudah lima belas jurus!"
Sambil berkata gadis ini sudah melompat jauh dan
menghindarkan diri dari pukulan kakek itu. Lalu
sambungnya, "Sekarang aku mau pergi dan jangan ganggu aku lagi."
"Berhenti!" teriak Si Tangan Iblis menggeledek.
Pengaruhnya kuat sekali sehingga Dewi Sritanjung yang lari, berhenti dan
membalikkan tubuh.
"Ada apa lagi" Bukankah kau sendiri sudah berjanji takkan mengganggu lagi?"
"Huh huh, enak saja engkau bicara!" bentak Si Tangan Iblis. "Janji itu sudah aku
cabut! Jika engkau tetap keras kepala, jangan sesalkan aku kalau aku menggunakan
tangan maut."
Sepasang mata gadis ini merah menyala. Kakek itu
sendiri yang sudah berjanji, tetapi mengapa tiba-tiba di-cabut sendiri tanpa
malu sedikitpun"
Akan tetapi Si Tangan Iblis tidak memberi kesempatan kepada gadis ini membuka
mulut. Kakek ini sudah
menerjang maju dengan gerakan menubruk dan men-
cengkeram. Diam-diam Dewi Sritanjung amat khawatir, dan ia sadar sekali ini harus hati-hati
di samping tidak mungkin dirinya harus bertahan hanya dengan kosong. Tadi ia
memang berharap agar dapat bertahan dalam lima belas jurus dan dirinya bisa
bebas. Maka yang penting asal dirinya dapat bertahan selama lima belas jurus itu
sudah cukup. Sebaliknya sekarang terus bertahan akibatnya hanya bakal merugikan diri sendiri,
karena perkelahian tanpa batas dan tanpa dapat membalas, dirinya sendiri yang
akan kehabisan tenaga.
Merasa dirinya tak mungkin dapat bertahan lagi ini, maka tiba-tiba sring....
Seleret sinar biru menyambar ketika pedang pusaka
"Tunggul Wulung" yang ia sembunyikan di dalam baju itu ia cabut dari sarungnya.
Katanya dingin, "Hemm, engkau terlalu memaksa aku. Siapa takut?"
Si Tangan Iblis terbelalak melihat pedang yang
mengeluarkan sinar biru itu. Sebagai seorang tokoh yang sudah luas pengalaman
sekali pandang sudah dapat mem-bedakan mana pedang baik dan mana pedang tidak
baik. "Pedang bagus! Serahkan padaku!" teriak kakek ini yang amat ingin.
Sarindah dan Sarwiyah pun melihat sebatang pedang
yang mengeluarkan sinar biru itu. Maka dua gadis inipun menjadi ngiler dan ingin
sekali memiliki. Karena pedang pusaka tentu akan banyak kegunaannya.
"Kek, rampaslah pedang itu dan berikan padaku." teriak Sarindah yaug menjadi
tidak sabar, begitu melihat pedang pusaka bagus itu.
Dewi Sritanjung tersenyum dingin. Gadis ini tidak gentar sedikitpun, walaupun
berhadapan dengan maut. Sahutnya,
"Hemm, senjata bagi seorang gagah sama harganya
dengan nyawa. Engkau dapat memiliki pedang pusaka
Tunggul Wulung ini, setelah dapat melangkahi mayatku!"
"Bagus! Apakah sulitnya membunuh kau"!" Si Tangan
Iblis merendahkan.
"Makanlah!" bentak Sritanjung sambil menerjang ke
depan. Seleret sinar biru yang panjang menyambar ke depan. Kemudian sudah
berubah menjadi gulungan sinar yang tidak pemah putus, membentuk lingkaran besar
dan kecil, cepat sekali menyambar di sekitar tubuh Si Tangan Iblis.
Si Tangan Iblis kaget juga menghadapi sambaran sinar pedang yang cepat dan
berbahaya itu, disamping sulit diduga arah serangannya. Si Tangan Iblis sadar
pedang pusaka seperti itu tajam luar biasa. Maka dirinya tidak boleh sembrono
menghadapinya. Karena itu ia tidak berani menggunakan jari tangannya untuk menyentil, karena
takut meleset dan jari tangannya bisa menjadi korban. Maka terpaksa dalam usaha
menghalau pedang gadis ini, ia menggunakan telapak tangan mengebut sambil
mencari kesempatan untuk menerkam
pergelangan tangan lawan untuk merebut pedang.
Akan tetapi gerakan pedang Dewi Sritanjung cepat
bukan main. Lingkaran-lingkaran pedangnya yang ber-bentuk kecil dan besar itu
ternyata mengandung tenaga tersembunyi. Ketika tangan kakek itu memberanikan
diri masuk dalam lingkaran sinar pedang, kakek itu berteriak
"Aihhhh.....!"
Secepat kilat Si Tangan Iblis menarik kembali tangannya, namun sayang,
terlambat. Bret, lengan bajunya robek oleh tajamnya pedang.
Si Tangan Iblis marah bukan main. Ia terkenal dengan julukan Si Tangan Iblis
bukan saja tangannya ganas menghadapi lawan, tetapi juga karena kecepatan gerak
tangannya. Saking cepat gerak tangan kakek ini maka orang memberi julukan Si
Tangan Iblis.
Dewi Sri Tanjung Mencari Ayah Kandung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun sekarang ternyata gerak cepat tangannya
ketanggor dengan seorang bocah perempuan saja.
Sekarang lengan bajunya sudah robek oleh pedang dan tentu saja kakek ini merasa
terhina. Tiba-tiba Si Tangan Iblis melompat mundur. Lalu
terdengar suara menggeram dalam tenggorokkan kakek ini seperti geraman seekor
harimau marah. Belum juga lenyap suara geraham marah itu, tiba-tiba Si Tangan
Iblis menggosokkan telapak tangan kiri ke telapak tangan kanan.
Sarindah dan Sarwiyah merasa heran, mengapa kakek
mereka menggosokkan telapak tangan, hanya menghadapi gadis itu saja" Sebab dua
gadis ini tahu belaka, kakeknya sekarang ini sudah akan menggunakan Aji Mega
Langking. Padahal biasanya kakek mereka ini menggunakan aji
tersebut tidak akan sembarangan.
Akan tetapi Dewi Sri Tanjung yang merasa besar hatinya setelah dapat merobek
baju lawan, sama sekali tidak takut.
Di luar tahu gadis ini, Aji Mega Langking amat berbahaya. Sebab uap hitam yang
keluar dari telapak tangan kakek itu mengandung racun dan hawa panas yang dapat
membunuh lawan.
*** 4 iaaattt.....!" Untuk menambah semangatnya Dewi
Sritanjung mengelebatkan pedang pusakanya
H menusuk ke arah mata dan leher sambil berteriak
nyaring. Akan tetapi betapa kaget gadis ini, ketika tiba-tiba melihat keluarnya asap
hitam dari telapak tangan lawan, lalu menyambar ke arah dirinya, ketika telapak
tangan kakek dikebutkan. Hawa yang panas segera menyambar mukanya dan gadis ini
kaget serta melompat mundur, menarik pedangnya sambil berjungkir balik.
Pada saat ia sedang memunahkan tenaga dorongan
lawan dan pengaruh hawa panas tadi, mendadak ia
mendengar suara yang amat mengejutkan.
"Darrr.....!" Suara benturan tenaga amat hebat, meng-gelegar bagai guntur.
Baru saja ia berdiri tegak, sudah terdengar suara halus masuk telinganya,"
Tanjung.... ahh, tak kusangka aku dapat bertemu kau di sini......"
Ketika ia menoleh, serunya, "Ohh.... kau..... Surya Lelana" Aduhhh.....megapa
engkau berada di sini.....?"
"Marilah kita mundur. Guruku sekarang sudah menolong kau dari maut!" Surya
Lelana mengajak dengan halus sambil menarik lengan gadis ini.
Dewi Sritanjung menurut. Hatinya tiba-tiba saja merasa besar dan gembira sekali,
dapat bertemu dengan pemuda yang sudah ia kenal baik. Akan tetapi ketika
teringat tingkah laku Surya Lelana waktu itu, tiba-tiba saja ia mengibaskan
tangannya dan wajahnya berubah merah
agak malu. Untuk menutupi perasaannya ia cepat mengamati ke gelanggang.
Ternyata kakek ganas lawannya tadi sekarang sudah
berkelahi sengit melawan seorang laki-laki setengah umur, bertubuh tegap, dan
pakaiannya seperti petani. Perkelahian itu berlangsung cepat dan sengit. Angin
pukulan menyambar asap hitam sedangkan dari telapak tangan guru Surya Lelana
menyamhar asap wama putih.
"Surya," ujar Dewi Sritanjung tanpa memaling-an muka.
"Engkau tadi bilang, dia gurumu. Apakah dia..... Mpu Mada atau Mahapatih Gajah
Mada" "Siapa lagi guruku kalau bukan beliau?" sahut Surya Lelana sambil tersenyum.
"Guru menolong engkau pada saat tepat. Pada saat dirimu dalam ancaman bahaya."
"Oh.....kalau demikian....."
"Aku dan guru sudah lama hadir, sejak engkau masih bersembunyi di belakang
batu." "Ohh ...jadi kau sudah mendengar seluruhnya?"
"Benar! Tetapi Guru masih cukup sabar menunggu
kesempatan yang tepat. Maka setelah engkau terancam oleh bahaya itu, Guru muncul
dan menangkis pukulan kakek itu."
"Darr....!" Tiba-tiba terdengar lagi benturan nyaring. Si Tangan Iblis terhuyung
mundur lebih tujuh langkah ke belakang, sedang Mpu Mada juga terhuyung ke
belakang tetapi hanya dua langkah saja.
Si Tangan Iblis mendelik dan dadanya berombak.
Bentaknya, "Siapa kau! Mengapa sebabnya engkau
mencampuri urusanku?"
"Hemm. Taruno! Engkau lupa kepadaku?"
Si Tangan Iblis mengamati lawannya penuh selidik. Akan tetapi kakek ini tidak
juga dapat mengenal kembali, siapakah laki-laki di depannya sekarang ini.
"Siapa kau?" bentaknya lagi.
"Taruno! Belum lama, engkau tadi sudah menyebut
namaku. Mengapa engkau sudah lupa lagi" Engkau sudah memfitnah aku, menyebar
bisa kepada cucu-cucumu,
bahwa akulah yang sudah menghancurkan keluargamu.
Kapankah itu terjadi?"
"Kau.... kaukah Mpu Mada yang sekarang menjadi
Mahapatih Majapahit itu?"
Si Tangan Iblis terbelakak tidak percaya. Sebab kalau benar orang yang di
depannya sekarang ini Gajah Mada, mengapa pakaiannya sederhana, dari kain kasar,
seperti layaknya pakaian para petani"
Memang sudah menjadi kebiasaan Mahapatih Gajah
Mada, suka sekali meluangkan waktu masuk dan keluar desa, guna mengetahui
keadaan dan kehidupan para
kawula Majapahit. Maksudnya agar dirinya mendapat
bahan-bahan laporan maupun masukan yang berguna bagi usahanya memajukan dan
memakmurkan Kerajaan
Majapahit. Dalam perjalanan keluar dan masuk desa ini ia melepas pakaian kebesarannya,
mengganti dengan pakaian seperti layaknya petani. Dengan demikian Gajah Mada
akan dapat berbicara dari hati ke hati dengan para kawula kecil. Ia bisa
mendengar keluhan atau kekesalan hati mereka, uneg-unegnya, akibat kebutuhan
kawula belum tercukupi oleh pemerintah.
Gajah Mada meninggalkan Ibukota Majapahit semenjak sepekan lalu. Ia hanya
disertai muridnya, Surya Lelana, sekaligus untuk melatih pemuda ini agar pandai
mengenal kebutuhan para kawula.
Secara kebetulan saja Gajah Mada dan Surya Lelana
lewat di hutan ini. Surya Lelana kaget ketika mengenal Dewi Sritanjung yang
bersembunyi di belakang batu, dan hampir saja pemuda ini melompat dan
mendapatkan Dewi Sritanjung, gadis sederhana yang kuasa memikat hatinya itu.
Akan tetapi Gajah Mada yang selalu waspada cepat mencegah, "Surya. Mau ke mana?"
"Bapa, gadis itu.....gadis berbaju biru di belakang batu itu, adalah murid Uwa
Guru Tunjung Biru. Murid ingin sekali datang menemuinya," dalih Surya Lelana.
Dengan bijaksana Mpu Mada berkata, "Surya! Biarkanlah dahulu, dan jangan kau
ganggu. Agaknya dia sedang memperhatikan mereka berkelahi itu dan tentunya
mempunyai kepentingan pula. Tetapi apabila ternyata dia terancam bahaya, barulah
kita muncul dan menolong.
Sekarang duduk dan tenanglah. Dan mari kita melihat perkelahian itu.
"Tetapi Bapa, Dewi Sritanjung tidak pernah meninggalkan tempat tinggal Uwa Guru.
Mengapa tiba-tiba dia sekarang di hutan ini" Murid menjadi khawatir apabila
telah terjadi apa-apa atas diri Uwa Guru."
Surya Lelana berdalih menggunakan kekhawatirannya
terhadap Kiageng Tunjung Biru. Tetapi maksud yang
sebenarnya agar dirinya bisa diberi izin bertemu dengan gadis itu.
Namun Mpu Mada seorang sabar yang luas pandangan.
Katanya halus, "Surya, sabarkan hatimu. Kalau benar telah terjadi apa-apa atas
diri Kakang Tunjung Biru belum terlambat kita bertindak."
Demikianlah yang sudah terjadi. Kalau Dewi Sritanjung mengintip perkelahian yang
terjadi antara Sarindah melawan Kaligis dan Sangkan, di tempat lain terdapat
pula orang yang mengintip.
Munculnya Si Tangan Iblis dan Sarwiyah tadi segera mengubah keadaan. Namun
kemudian hati pemuda ini
semakin tegang, ketika Dewi Sritanjung harus muncul karena kehadirannya
diketahui oleh Si Tangan Iblis.
Lalu betapa bangga hati Mpu Mada maupun Surya
Lelana ketika mendengar ucapan Dewi yang tanpa gentar, membantah tuduhan Si
Tangan Iblis. Dan malah tanpa ragu lagi gadis itu sudah menganggap Si Tangan
Iblis sebagai pemberontak. Rasa bangga ini kemudian ber-kembang menjadi kagum
dan memuji, ketika Dewi
Sritanjung tanpa gentar sedikitpun melawan keroyokan Sarindah maupun Sarwiyah.
Namun rasa kagum itu
kemudian berubah menjadi berdebar tegang, ketika Dewi Sritanjung berani
menghadapi Si Tangan Iblis.
Ternyata kemudian Dewi Sritanjung memang tidak
mengecewakan. Gerakannya gesit, sehingga serangan
lawan selalu luput. Kalau saja Si Tangan Iblis tidak menggunakan Aji Mega
Lengking yang mengeluarkan asap hitarn dari telapak tangannya, agaknya Mpu Mada
belum juga mau keluar dan menolong.
Demikianlah yang terjadi, mengapa tiba-tiba Mpu Mada dan Surya Lelana muncul di
hutan ini. Dan sekarang Si Tangan Iblis berhadapan langsung dengan musuh be-
buyutannya. Sepasang mala Si Tangan Iblis menyala. Bentaknya,
"Mpu Mada! Siapakah yang menyebar bisa" Apakah
engkau sudah menjadi pengecut, ingkar akan apa yang sudah engkau lakukan
sendiri, membunuh anakku
Karimun?" "Hemm," Mpu Mada mendengus dingin. "Sesungguhnya
aku tidak ingin bicara masalah yang sudah amat lama berlalu itu. Akan tetapi
karena engkau sendiri yang mengungkit-ungkit, biarlah sekarang semua tahu dan
terbuka matanya."
Mpu Mada berhenti dan menatap tajam Si Tangan Iblis.
Lalu, "Apakah engkau lupa ketika itu, anakmu Kebo
Karimun bersama aku sebagai Bekel Bhayangkara,
mengawal keselamatan Raja Jayanegara yang meninggalkan Ibukota Majapahit secara
diam-diam" Akan tetapi setelah tiba di Bedander, anakmu Karimun minta diri untuk
pulang." "Tetapi apakah sebabnya kau bunuh begitu saja?"
hardik Si Tangan Iblis. "Dan salahkah kalau anakku minta diri untuk pulang
menjenguk keluarganya?"
"Heh heh heh heh," Mpu Mada terkekeh. "Orang lain
dapat kautipu dan dapat kaukelabui, tetapi aku tidak mungkin! Kebo Karimun,
anakmu laki-laki itu, diam-diam sudah merupakan sekutumu, dan juga sekutu Kuti
itu, jelas bermaksud membocorkan tempat persembunyian
Raja yang aku selamatkan dan kulindungi. Engkau sebagai pembantu Kuti,
bersekongkol dengan anakmu, agar dapat menangkap dan menawan Raja. Bukankah ini
benar?" Mpu Mada berhenti sambil memandang Si Tangan Iblis penuh selidik. Dan sejenak
kemudian ia baru meneruskan,
"Hai Taruna! Katakan terus terang bukankah sudah tepat apabila petugas yang
berkhianat harus dibunuh mati?"
Mpu Mada berhenti lagi mengambil napas. Sejenak ia meneruskan. "Sekarang
jawablah pertanyaanku. Apakah maksudmu memfitnah aku sebagai pembunuh isteri
Kebo Karimun dan ibu dari cucumu itu" Padahal, bukankah perempuan itu mati oleh
tanganmu sendiri yang berlumuran darah?"
Mendengar kata-kata Mpu mada ini, betapa kaget
Sarindah maupun Sarwiyah. Benarkah kakeknya sendiri yang sudah membunuh ibunya"
Tetapi mengapa sebabnya kakeknya ingkar dan melemparkan tuduhan itu kepada orang
lain" Namun sebagai cucu, mereka tidak lekas mau percaya.
Sebab, sulit dipercaya seorang mertua sampai hati membunuh menantunya sendiri
padahal masih mempunyai
anak yang kecil-kecil.
Akan tetapi kemudian betapa heran kakak-beradik ini ketika mendengar bentakan
kakeknya yang tidak memberi penjelasan, dan mereka menjadi kecewa bukan main.
"Keparat engkau. Gajah Mada. Pendeknya, semua
peristiwa, engkaulah yang menjadi penyebabnya."
"Heh... heh... heh... heh, apakah sebabnya engkau tidak menjawab pertanyaanku"
Taruno! Siapakah pembunuh
perempuan yang menjadi ibu dari cucu-cucumu"!"
Si Tangan Iblis sudah menggeram dan menerjang maju tanpa mau melayani pertanyaan
maupun beradu mulut
lagi. Sebab kakek ini khawatir apabila beradu tajamnya lidah tidak urung
semuanya akan terbongkar rahasianya.
Melihat kakeknya tidak dapat menjawab pertanyaan
Mpu Mada ini, sulit dilukiskan betapa penasaran perasaan dua gadis ini. Sebab
kalau benar pembunuh ibunya malah kakeknya sendiri, jeias selama ini mereka
dijejali dengan kebohongan. Yang semua itu disengaja oleh kakeknya sendiri dalam
usahanya menutup rahasia dirinya. Dan betapa kecewa Sarindah maupun Sarwiyah,
merasa ditipu mentah-mentah oleh kakeknya sendiri ini.
Sarindah yang berangasan tak kuasa lagi menahan
perasaan. Ia sudah menjerit nyaring lalu melompat dan lari sambil menangis.
Sarwiyah kaget dan cepat memburu
sambil berteriak. "Mbakyu, mau ke mana kau?"
Sarindah tidak peduli dan terus lari.
Surya Lelana sudah menggerakkan tubuh untuk
mengejar dua gadis itu. Tetapi Dewi Sritanjung menahan,
"Mau ke mana?"
"Akan kutangkap gadis itu!"
"Biarkan mereka pergi. Kasihan gadis itu, hatinya tentu terpukul setelah
mendengar keterangan yang sebenamva tentang keluarganya. Hemm, mereka sudah
yatim piatu. Dengan demikian, aku masih bernasib lebih baik dari mereka. Sekalipun sampai
sekarang aku belum pemah
berhadapan dengan ayah-bundaku, tetapi tidak lama lagi aku bakal dapat bertemu."
Surya Lelana tertarik dan lupa kepada kakak beradik itu.
Ia tersenyum, wajahnya berseri, lalu bertanya, "Kalau demikian, kau sudah
memperoleh keterangan tentang
orang tuamu" Lalu, siapakah Tanjung?"
"Surya, aku belum tahu siapakah orang tuaku."
Surya Lelana heran dapat jawaban ini. Sejenak
kemudian ia bertanya. "Bagaimanakah ini" Engkau tadi bilang bakal bertemu dengan
ayah-bundamu. Kalau belum tahu, bagaimanakah caramu bisa mencari?"
"Gurumu yang memegang kunci rahasianya. Kakek
hanya bilang, aku harus ke Ibukota, Majapahit dan datang kepada Gurumu sambil
membawa surat Kakek. Sungguh
kebetulan sekarang ini, sebelum aku sampai di sana, telah bertemu dengan gurumu
di hutan ini."
"Hemm, tetapi apakah sebabnya engkau sampai di
hutan ini?"
"Memang ada sebabnya.
Kemudian gadis ini menceritakan apa yang sudah terjadi, sejak meninggalkan
gurunya, sampai perjumpaannya dengan Sangkan dan Kaligis di Nganjuk. Ternyata
dirinya tertipu dan hampir celaka di dalam hutan, apabila dirinya tak dapat
mengalahkan dua pemuda itu.
Surya Lelana geleng-geleng, marah dan geram. Jari
tangannya ia kepalkan, sedang giginya gemeretak, dan sepasang matanya menyala.
Entah apa sebabnya tiba-tiba saja pemuda ini menjadi amat marah kepada dua
pemuda yang mau berbuat kurang ajar kepada gadis ini.
Sementara itu antara Si Tangan Iblis dan Gajah Mada masih berkelahi mati-matian.
Saking cepatnya gerak mereka, tubuh mereka bagaikan lenyap dan yang tampak
tinggal gulungan sinar wama pakaian masing-masing, yang berkelebat ke sana dan
kemari berpindah-pindah.
Sambil berkelahi hati dan perasaan Si Tangan Iblis dilanda kemarahan hebat. Ia
menyembunyikan diri di Tosari dan puluhan tahun lamanya menggembleng diri guna
mendapat kemajuan dalam llmu kesaktian. Di
samping itu iapun menggembleng beberapa orang murid tidak kenal lelah dan
kesulitan. Semua itu hanya dengan satu tujuan saja, guna membalas dendam kepada
musuh-musuhnya, Gajah Mada maupun Mpu Nala. Karena dua
orang ini yang menjadi penyebab hancurnya keluarga.
Sekarang tanpa sengaja dapat bertemu dengan salah
Dewi Sri Tanjung Mencari Ayah Kandung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang musuh itu. Sekarang berhadapan dengan Gajah Mada namun ternyata hasilnya
tidak memuaskan. Baru menghadapi Gajah Mada seorang diri saja, dirinya masih
belum mendapat gambaran pasti apakah dapat mengatasi.
Terbukti ilmu yang amat diandalkan, Aji Mega Langking masih dapat dihalau oleh
Gajah Mada. Apabila baru menghadapi Gajah Mada seorang diri saja belum mampu, apalagi kalau
harus memusuhi Nala.
Kemudian para cucu dan muridnya yang sudah ia didik ber-tahun-tahun itu,
ternyata tidak ada gunanya sama sekali.
Sebab di antara saudara seperguruan sendiri tiada
kerukunan dan malah saling bunuh.
Terdorong oleh cita-citanya ini, ia telah berhasil membujuk Julung Pujud menjadi
sekutunya. Tetapi ahh, mana sahabatnya yang mau membantu itu" Sekarang dirinya
sudah berhadapan dengan Gajah Mada, tetapi Julung
Pujud tidak muncul. Ahh, betapa gampangnya membunuh Gajah Mada ini, kalau
sekarang Julung Pujud muncul.
Teringat kepada Julung Pujud, sambil melancarkan
serangan berbahaya, Si Tangan Iblis sudah berteriak nyaring. Maksudnya sudah
jelas, kalau Julung Pujud berada di tempat yang tidak jauh dari tempat ini tentu
akan mendengar lengkingannya, dan kemudian sahabatnya itu akan datang dan
membantu. Gajah Mada mengerutkan alis. Sebagai seorang cerdik, berkedudukan tinggi dan
luas pengalaman, ia menjadi curiga dan menduga tentu Si Tangan Iblis ini
melengking dalam usahanya mengundang bantuan. Adalah amat berbahaya kalau
dirinya harus berhadapan dengan dua orang lawan sakti sekaligus. Maka dirinya
harus dapat mengalahkan lawannya ini sebelum bantuan itu datang.
Tiba-tiba cara berkelahinya berubah. Kalau tadi ia bergerak cepat seperti kilat,
sekarang gerakannya malah menjadi lambat. Tetapi dalam gerak lambatnya ini,
disusul oleh menyambarnya angin yang dahsyat memukul, setiap
tangannya mengebut maupun mendorong. Makin lama
sambaran anginnya semakin dahsyat dan dari telapak tangan mengepul asap putih
yang halus. Sadarlah Si Tangan Iblis, lawannya sekarang sudah
menggunakan ilmu kesaktian yang membuat Gajah Mada amat terkenal, ialah Aji
Brama Seta atau api putih. Itulah sebabnya dari telapak tangannya mengepul uap
putih. Melihat lawan sudah menggunakan Aji Brama Seta,
maka tidaklah mungkin dirinya dapat bertahan tanpa menggunakan Aji Mega
Langking, atau awan hitam. Tetapi bagaimanapun dalam hati timbul keraguannya
mungkin-kah dirinya dapat mengatasi lawan" Tadi sudah terjadi percobaan, ketika
tangannya berbenturan. Dirinya terpaksa terhuyung sampai tujuh langkah,
sebaliknya Gajah Mada hanya surut dua langkah saja.
Akan tetapi keadaan sudah amat mendesak. Ia sudah
dipaksa oleh keadaan yang tidak mungkin dapat ia hindari lagi. Kalau tidak
cepat-cepat menggunakan aji kesaktian-nya, dirinya sendiri akan celaka.
Dalam keadaan terdesak ini Si Tangan Iblis menjadi nekad. Dua telapak tangannya
segera saling gosok.
Telapak tangan yang terdiri dari kulit dan daging ini, mendadak berubah bagai
api yang membara merah dan
mengeluarkan asap hitam. Hampi berbareng dengan
geraman dahsyat dari kerongkongannya masing-masing, tubuh mereka melompat ke
depan. "Darr......!" Terjadi benturan tenaga yang dahsyat sekali dari dua macam aji
kesaktian dan terjadi ledakan yang keras, seperti ledakan halilintar di angkasa.
Tubuh dua orang tersebut kemudian terhempas ke
belakang dan kemudian terhuyung-huyung seperti layang-layang putus talinya.
Dua orang sakti ini sekarang wajahnya tampak berbeda Gajah Mada wajahnya pucat
setelah terhuyung beberapa langkah ke belakang lalu jatuh terduduk. Dari
mulutnya menyembur darah kental dan agak hitam, sedang dadanya turun naik
seperti kehabisan napas.
Akan tetapi keadaan Si Tangan iblis lebih parah lagi.
Wajah kakek dari Tosari ini sekarang menjadi hitam seperti hangus. Setelah
terhuyung beberapa langkah ke belakang, menyemburlah darah hitam cukup banyak,
lalu roboh terguling tidak bergerak lagi.
Peristiwa itu menyebabkan Surya Lelana dan Dewi
Sritanjung amat terkejut. Dewi Sritanjung sudah melompat maju menghampiri Gajah
Mada. Tetapi Surya Lelana cepat menyambar lengan gadis itu.
"Jangan!" Cegahnya
"Tetapi.....gurumu....."
Surya Lelana menggeleng. Katanya, "Biarkanlah dahulu agar istirahat. Sekalipun
Guru terluka parah, tetapi tidak membahayakan. Setelah selesai mengatur
pernapasan. Guru akan segar kembali."
Dewi Sritanjung memandang Surya Lelana dengan
gelisah. Katanya, "Kau ini bagaimana" Gurumu jelas membutuhkan pertolongan.
Tetapi mengapa engkau malah membiarkan gurumu menderita?"
"Percayalah Tanjung. Guru tidak apa-apa." Surya Lelana menerangkan. Setelah
berhasil mengatasi darahnya yang bergolak dan terguncang dalam dadanya sebagai
akibat benturan tenaga tadi Guru akan kembali seperti biasa.
Melihat sikap Surya Lelana yang tenang dan mendengar ucapan pemuda itu yang
tidak khawatir, Dewi Sritanjung tidak mendesak lagi.
Kemudian perhatiannya beralih ke kakek Si Tangan Iblis yang roboh miring tidak
berkutik. Dan tiba-tiba saja ber-golaklah rasa penasaran dalam dada gadis ini.
Tadi dirinya hampir celaka dalam tangan kakek jahat itu. Apakah salahnya dalam
keadaan kakek jahat itu tidak berdaya, sekarang menggunakan kesempatan untuk
melakukan pembalasan. "Biarlah aku tebas saja leher kakek jahat itu!" katanya dalam hati.
"Sring....!" Sinar biru memancar menyilaukan ketika pedang pusaka Tunggul Wulung
tercabut dari sarung.
Surya Lelana kaget berbareng heran. Tanyanya,
"Tanjung! Untuk apa engkau mencabut pedang?"
"Aku hampir celaka di tangan kakek jahat itu. Dia
sewenang-wenang dan mau menangkap aku, setelah
mengetahui aku mempunyai hubungan dengan gurumu.
Hemm, di saat tidak berdaya seperti itu, apakah salahnya aku menggunakan
kesempatan menabas lehernya?" ujar gadis itu dengan nada gemas.
"Jangan! Engkau jangan mengotori tanganmu dengan
perbuatan yang kurang patut."
Dewi Sritanjung tersinggung lalu membentak, "Apa yang kurang patut" Dia musuh
dan jahat. Maka sepantasnyalah aku menggunakan kesempatan ini untuk membunuh
dia." "Tidak, Tanjung, tidak boleh! Mencelakakan orang
dalam keadaan sudah terluka dan tak berdaya, adalah pantangan bagi ksatrya
sejati." Dengan halus Surya Lelana berusaha menenangkan
gadis ini, setelah melihat wajah gadis ini merah padam.
"Tanjung, hendaknya engkau mau mendengar
nasihatku. Baik Guruku maupun Gurumu tentu akan melarang, apabila akan
mencelakakan orang yang sudah tidak berdaya. Sebab, perbuatan itu dianggap tidak
patut, dan akan mencemarkan martabat ksatrya."
Dewi Sritanjung yang hatinya masih diianda rasa
penasaran, sudah akan membuka mulut guna membela
pendiriannya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara halus masuk
telinganya, "Sritanjung, apa yang sudah dikatakan oleh Surya Lelana itu memang
benar. Memang tidaklah patut bagimu, kamu harus menggunakan kesempatan pada saat
orang terluka dan tidak berdaya. Apapun alasannya, bagi ksatrya tidak bisa
dibenarkan, karena hai itu akan mencemarkan nama ksatrya."
Dewi Sritanjung memalingkan muka, lalu sepasang
matanya terbelalak. Ternyata Gajah Mada sudah bangkit.
Wajah orang itu sudah tidak pucat lagi dan sekarang malah berseri. Gadis ini
kagum sekali. Mengapa Gajah Mada sudah tampak segar kembali dalam waktu singkat
sedangkan Si Tangan Iblis masih belum berkutik"
Gajah Mada berdiri sambil memandang Si Tangan Iblis.
Ia menghela napas, terdapat perasaan yang menyebabkan Mahapatih Gajah Mada ini
menyesal sekali.
Agak lama Gajah Mada berdiri tanpa membuka mulut
Surya Lelana memandang Si Tangan Iblis penuh perhatian.
Sedangkan Dewi Sritanjung sekalipun masih kurang puas terpaksa menyarungkan pedang pusakanya. Ia
tidak membuka mulut, tetapi dalam dadanya bergolak macam-macam perasaan yang
menyebabkan ia merasa heran.
Menurut pendapatnya, dalam setiap perkelahian, hanya satu di antara dua yang
akan diperoleh. Kalah mati terbunuh atau menang dan membunuh. Akan tetapi
sekarang ada larangan semacam itu, larangan membunuh musuh di saat sudah tidak
berdaya" Padahal di saat orang tidak berdaya itu, merupakan kesempatan yang amat
bagus untuk memperoleh kemenangan. Dan bukankah
setelah musuh mati, akan lenyap pula orang yang
memusuhi. Namun sekarang ternyata tiba-tiba Si Tangan Iblis
bergerak. Kemudian tangan kakek itu bergerak dan
meraba raba. Dia berusaha mengangkat tubuhnya dengan tangan. Tetapi agaknya dia
sudah kehabisan tenaga, buktinya baru setengah terangkat tubuhnya sudah
terbanting lagi ke tanah.
Nyatalah bahwa keadaan Si Tangan Iblis memang
payah. Kakek itu terluka parah sekali, dan sekarang kakek yang terkenal dengan
julukan Si Tangan Iblis ini dalam keadaan sekarat.
Setelah melihat Si Tangan Iblis belum mati, Gajah Mada berkata, "Taruno!
Tentunya engkau puas sekarang,
setelah, mendapat kesempatan saling gempur dengan aku, bukan?"
Sambil roboh miring Si Tangan Iblis membuka mata.
Walaupun dalam keadaan setengah mati, sepasang mata Si Tangan Iblis seperti
menyinarkan api menatap Gajah Mada tidak berkedip. Dadanya naik turun.
"Gajah Mada! katanya. Huh, jika engkau jantan sejati, bunuhlah aku sekarang
juga. Engkau jangan menghina aku seperti ini. Huh, tahukah engkau Si Tangan
Iblis tidak takut mati....?"
"Taruno, hemm, dengarlah baik-baik. tidak pernah
terpikir olehku untuk menghina siapapun." Gajah Mada menyahut halus. "Dua orang
yang berkelahi, kalau yang seorang menang, tentu saja yang seorang pasti kalah.
Jadi itu sudah lumrah! Taruno, engkau keliru jika menganggap sikapku ini
menghina engkau. Kenapa kita harus saling bunuh" Nyawa bukan milik manusia
tetapi di tangan Yang Maha Tinggi."
"Engkau keparat Gajah Mada!" teriak Si Tangan Iblis.
Akan tetapi tiba-tiba, "Huaaahhhhhh....!" Si Tangan Iblis muntah darah lagi
cukup banyak. Darah yang menyembur ke luar itu membasahi pipi, kumis dan
jenggotnya. Akan tetapi Si Tangan Iblis seperti tidak memperhatikan keadaannya, malah
berteriak lagi, "Aku tidak butuh khotbahmu, Gajah Mada. Aku hanya menuntut
kepadamu, engkau jangan menghina aku. Hayo, bunuhlah aku
sekarang juga, seperti apa yang sudah menjadi cita-citaku, akan membunuhmu jika
menang melawan kau. Cepat
Gajah Mada, bunuhlah aku!"
Gajah Mada menggelengkan kepalanya. Sahutnya halus,
"Taruno! Terserahlah penilaianmu terhadap diriku. Tetapi tak mungkin engkau
dapat memaksa aku, untuk
mengotorkan tanganku dengan darahmu. Taruno! Yang
Maha Tinggi belum menghendaki engkau mati, tidak juga akan mati. Sekalipun
demikian engkau memerlukan waktu cukup lama guna memulihkan kesehatanmu.
Harapanku hanyalah sadarlah engkau dari kegelapan. Gunakan
waktumu yang tinggal sedikit ini untuk mendekatkan dirimu dengan perbuatan baik
dan selalu mohonlah kepada
Dewata Yang Agung agar diampun segala kesalahanmu.
Engkau jangan mengotori hidupmu yang akan datang
dengan perbuatanmu dalam kehidupan sekarang ini.
Bukankah manusia hidup di dunia ini terbilang tahunnya sedangkan di alam sana
kita hidup tidak terbilang
tahunnya" Karena itu waktu bagi manusia hidup di dunia ini mengumpulkan bekal
menghadapi pengadilan Yang
Maha Tinggi......."
"Huh... huh, peduli apa dengan kehidupanku di sana yang akan datang. Aku memang
lebih suka mendapat
hukuman masuk neraka, kemudian menjelma menjadi
setan gentayangan dan aku akan mengoyak-ngoyak tubuh dan dagingmu guna membalas
dendam." Mahapatih Gajah Mada hanya tersenyum mendengar
ucapan Si Tangan Iblis yang menyakitkan hati itu. Padahal Dewi Sritajung yang
hanya mendengar saja perutnya sudah muak dan dalam dadanya bergolak rasa marah.
Setelah menghela napas pendek. Gajah Mada mem-
balikkan tubuh, lalu tangannya menggapai Dewi Sritanjung dan Surya Lelana.
Katanya halus, Marilah kita pergi.
Biarkan dia marah-marah seorang diri.
Surya Lelana dan Dewi Sritanjung tidak berani mem-
bantah. Kemudian dua orang muda ini melangkah
mengikuti Mahapatih Gajah Mada. Tetapi sekalipun
demikian mereka masih mendengar teriakan Si Tangan Iblis yang penuh ancaman.
"Hai Gajah Mada! Dengarkanlah sumpahku ini, huh! Aku Si Tangan Iblis bersumpah
disaksikan oleh langit dan bumi.
Apabila aku bisa sembuh kembali, aku akan meng-
gembleng diri untuk membalas hinaanmu hari ini. Huh, kelak kemudian hari apabila
aku dapat mengalahkan
engkau, huh huh, akan kucincang hancur tubuhmu dan aku minum habis darahmu."
Dewi Sritanjung tak kuat menahan perasaan, lalu
membalikkan tubuh dan mencaci, "Bangsat tua! Jika
engkau tak dapat menahan mulutmu, aku akan kembali dan meremuk mulut dan
kepalamu!"
Tanjung, Gajah Mada mencegah dengan halus. "Marilah kita pergi dan jangan
hiraukan ucapannya. Aku ingin sekali mendengar kabar tentang Gurumu, di samping
ingin pula bertanya, apakah sebabnya engkau tiba di tempat ini?"
Kendati ucapan Gajah Mada ini halus tetapi pengaruhnya besar sekali. Dewi
Sritanjung membalikkan tubuh, meneruskan langkah mengikuti di belakang Gajah
Mada. Sekalipun Si Tangan Iblis masih terus mengumbar mulut dan caci makinya, suara
itu masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.
Dewi Sritanjung dan Surya Lelana melangkah ber-
dampingan di belakang Gajah Mada. Berkali-kali dua orang muda ini bertatap
pandang, dan diakhiri dengan sekulum senyum. Tidak terucapkan kata-kata dari
bibir masing-masing, tetapi hati mereka sudah berbicara.
Seperti ada kekuatan yang tidak terlawan, mereka saling sentuh, dan sesaat
kemudian sudah bergandengan
tangan. Entah apa saja sebabnya, tetapi yang jelas jari tangan dua orang muda
ini kemudian saling pijit dan setiap kali saling pandang dengan bibir tersenyum.
Mata memancarkan sinar penuh harap dan wajah masing-masing berseri.
Gajah Mada melangkah tanpa membuka mulut dan
tidak pernah berpaling. Mahapatih Majapahit yang
menyamar sebagai kawula kecil ini, dalam perjalanan selalu aman karena tidak
seorangpun menduga, sebagai orang kedua di Majapahit.
Setelah keluar dari hutan barulah Gajah Mada
menghentikan langkah dan memalingkan muka ke arah
dua orang muda itu. Bibir Gajah Mada tersenyum melihat mereka demikian rukun.
Namun, diam-diam orang tua ini menjadi sedih juga apabila akhirnya mereka harus
kecewa. Tanjung, Gajah Mada berkata halus. "Engkau belum
menjawab pertanyaanku. Apakah sebabnya seorang diri engkau sampai di tempat
ini?" Dewi Sritanjung memberikan hormatnya dengan
berlutul. Tetapi Gajah Mada cepat-cepat membangunkan,
"Bangkitlah! Engkau akan berkata apa?"
Dewi Sri Tanjung Mencari Ayah Kandung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Murid Dewi Sritanjung melaksanakan perintah Kakek untuk pergi ke Ibukota
Majapahit dan datang menghadap Paman Guru, sambil menyampaikan surat."
"Surat?"
"Benar. Dan inilah surat itu."
Dewi Sritanjung mengambil surat dari tempatnya
menyimpan, lalu diterimakan kepada Gajah Mada.
Setelah menerima surat tersebut, secepatnya disimpan di dalam baju. Katanya,
"Marilah kita langsung ke
Majapahit."
Dewi Sritanjung keheranan. Mengapa surat yang
diberikan tidak dibaca dan malah disimpan, lalu mengajak pulang ke Majapahit"
Akan tetapi sekalipun demikian gadis ini tidak bertanya.
Dewi Sritanjung tidak tahu bahwa Gajah Mada
mempunyai alasan lain, Gajah Mada sadar surat dari kakak seperguruannya itu
tentu amat penting sekali bagi dirinya.
Maka timbullah kekhawatirannya apabila ada orang yang mendengar dan melihat,
kemudian berusaha merebut dari tangannya. Sekalipun tidak gampang orang, merebut
surat ini dari tangannya, namun apakah salahnya selalu berhati-hati"
* * * Dan beberapa kekaguman gadis ini setelah dirinya
menginjakkan kaki di Ibukota Majapahit.
Jalan yang dilalui lebar dan rata. Sebagai pengeras jalan dipasang oleh orang
batu yang diatur rapi. Rumah di kiri dan kanan jalan besar dan bagus-bagus.
Jalan itu penuh orang lalu lalang dan di sana sini banyak orang membuka rumah
untuk berjualan. Baik laki-laki maupun perempuan memakai pakaian bagus. Juga ia
melihat pula laki-laki memakai pakaian seragam dengan membawa senjata
tombak maupun pedang dengan perisai. Dan mereka itu semuanya memakai kain batik
dengan corak gringsing.
Memang demikianlah, semua prajurit Majapahit
memakai kain batik corak gringsing sebagai seragamnya.
Sedang pada dada tampak simbul dengan gambar buah
maja. Surya Lelana dengan senang hati menerangkan kepada Dewi Sritanjung, yang ia
anggap perlu untuk diketahui.
Kemudian ia mengajak gadis ini masuk ke dalam sebuah rumah sederhana berpagar
batu kuat, yang pada
gerbangnya dijaga oleh prajurit bersenjata tombak.
"Disinikah rumah gurumu?" bisik Dewi Sritanjung.
Surya Lelana menggeleng. Ketika itu mereka sedang
lewat pada pintu gerbang. Prajurit yang berjaga memberi hormat dengan memberikan
sembah. Dan tanpa memandang mereka, Gajah Mada langsung masuk ke
halaman. "Ini rumah peristirahatan Guru, Surya Lelana menerangkan. Dan sekarang ini kita
masih di pinggiran kota Majapahit. Nanti setelah kita tiba di tengah kota engkau
akan melihat keramaian kota Majapahit yang sebenarnya.
Engkau akan melihat rumah rumah besar dan kuat. Ialah keraton....."
"Apakah itu keraton?" potong Sritanjung.
"Keraton adalah tempat kediaman Raja. Juga rumah
para pejabat tinggi Majapahit merupakah rumah-rumah yang indah dan megah. Letak
antara rumah para pembesar itu memang saling berjauhan. Ada pula yang di dalam
kota dan ada juga yang meniilih di luar kota."
Akan tetapi keterangan Surya Lelana ini kurang begitu mendapat perhatian gadis
ini, sebab ia melihat pe-mandangan baru, yang diam-diam menyebabkan gadis ini
keheranan. Ia melihat semua orang yang berada di tempat ini berlutut ketika
melihat Gajah Mada. Baik di saat orang itu berdekatan maupun di tempat yang agak
jauh. Agaknya Surya Lelana tahu apa yang terpikir oleh gadis ayu ini. Katanya halus,
"Tanjung, kedudukan Guru memang amat tinggi. Itulah sebabnya semua orang
berlutut sebagai tanda menghormati. Tetapi sebenarnya Guru sendiri
kurang senang dengan penghormatan seperti ini. Tetapi karena hal ini sudah
merupakan adat kebiasaan dan tata krama pergaulan antara para bangsawan dengan
kawula, maka Guru terpaksa menerima saja."
"Dan kau...." Dewi Sritanjung menatap pemuda tampan itu, "tentunya putera salah
seorang pejabat tinggi Majapahit pula...."
Surya Lelana tersenyum lalu mengangguk, "Kau benar.
Tetapi tidak setinggi jabatan Guru maupun jabatan Gusti Adityawarman."
"Siapakah dia itu?"
"Gusti Adityawarman adalah seorang yang memegang
jabatan paling tinggi di antara bangsawan Majapahit.
Kekuasaannya dan kekuasaan Guru bisa dikatakan
seimbang. Hanya bedanya, Guru merupakan wakil Raja dalam bidang urusan luar,
artinya urusan pemerintahan, sedang Gusti Adityawarman adalah wakil Raja dalam
urusan dharmaputra maupun kerabat Raja. Urusan Gusti Adityawarman masih ada lagi
yang penting. Beliau merupakan pembesar tinggi kerajaan dalam bidang hukum dan
peraturan yang berlaku. Semua keputusan di bidang
hukum baru berlaku apabila sudah mendapat persetujuan beliau."
"Apakah hukum itu" " tanya gadis ini penuh minat.
Tentu saja bagi seorang gadis yang semula hidup
terasing itu sama sekali asing dengan apa yang disebut hukum.
"Tanjung, masalah ini uraiannya terlalu panjang dan rumit. Nanti bisa kita
tanyakan kepada Guru. Mari, sekarang ikutlah aku."
"Ke mana?"
"Nanti kau akan tahu sendiri."
Lengan Dewi Sritanjung segera ia sambar dan setengah ia seret lalu ia ajak
memisahkan diri dengan Gajah Mada.
Mereka lewat jalan berbatu pada teritis rumah, sedangkan Gajah Mada langsung
masuk ke pendapa.
Hatinya berdebar tidak keruan ketika gadis ini mengikuti Surya Lelana. Namun
demikian ia percaya pemuda ini takkan melakukan perbuatan yang kurang baik.
Dugaan gadis ini ternyata benar. Tak lama kemudian tibalah ia pada ruangan
belakang yang luas. Ia diserahkan kepada para pelayan perempuan.
"Bawalah Diajeng Dewi Sritanjung ini ke dalam kamar rias," perintahnya kepada
para pelayan itu. "Layanilah kebutuhannya untuk ganti pakaian. Sesuai dengan
perintah Rama, kalian boleh mengambil pakaian Puteri Tisna Dewi".
Surya Lelana sudah mengubah panggilannya kepada
Gajah Mada. Sekarang tidak menyebut Guru lagi, tetapi menyebut Rama, berarti
Ayah. Sesudah memberi perintah kepada tiga pelayan
perempuan itu. Surya Lelana memandang Dewi Sritanjung dengan bibir mengulum
senyum. "Diajeng Tanjung, ikutlah mereka untuk ganti pakaian.
Setelah kita selesai ganti pakaian, kita segera menghadap Rama Gajah Mada, kita
akan langsung pulang ke rumah kepatihan."
Dewi Sritanjung hanya mengangguk, karena gadis ini kurang tahu maksudnya,
mengapa harus berganti pakaian.
Surya Lelana bisa menduga perasaan Dewi Sritanjung sekarang ini. Maka katanya
lagi, "Diajeng, semua akan aku terangkan sesudah engkau selesai berganti
pakaian. Engkau adalah seorang puteri, maka mulai hari ini engkau harus meninggalkan
keadaan dan kebiasaan lama."
Dewi Sritanjung mengangguk lagi, sekalipun hatinya ragu berbareng keheranan.
Mengapa secara tiba-tiba Surya Lelana mengatakan dirinya seorang puteri
bangsawan"
Kalau demikian, apakah dirinya salah seorang anak
pejabat tinggi kerajaan" Dan apakah Surya Lelana telah tahu siapakah dirinya
ini" Surya Lelana sudah melangkah pergi, sedang Dewi
Sritanjung segera mengikuti tiga orang pelayan itu. Ia dipersilakan masuk ke
dalam kamar yang amat indah dan berbau harum. Tiga pelayan perempuan itu
kemudian sibuk membuka beberapa almari besar dan Dewi
Sritanjung dipersilakan memilih sendiri pakaian yang disukai dan tersimpan dalam
almari itu. Dewi Sritanjung terbelalak kagum ketika melihat pakaian dari bahan
sutera halus, bertumpuk dalam tiga almari tersebut. Sebagai seorang gadis yang
sejak kecil hidup dalam hutan dan tidak pernah mendapat kesempatan untuk
memiliki pakaian bagus dari bahan sutera, tentu saja malah
menjadi bingung.
Akan tetapi ia memang menyukai warna biru. Maka di-ambillah baju dari bahan
sutera warna biru muda.
Sedangkan perlengkapan pakaian yang lain, ia tidak dapat memilih, maka para
pelayan diminta memilihkannya.
Dewi Sritanjung menjadi agak malu, ketika dirinya harus melepaskan pakaiannya
kemudian ganti dan semuanya
dilayani para pelayan. Sejak ia dapat menyelenggarakan kebutuhannya sendiri, ia
selalu mencukupi sendiri
kebutuhannya. Namun ternyata hari ini dirinya harus mengubah kebiasaan itu, dan
gadis ini serasa mimpi.
Lalu hatinya berdebaran membayangkan setelah dirinya nanti dapat bertemu dengan
ayah-bundanya yang selama ini belum pernah ia kenal.
Dewi Sritanjung merasakan tubuhnya menjadi berat dan kaku, setelah pada beberapa
bagian tubuhnya harus
dipasang berbagai macam perhiasan emas yang cukup
berat. Ia menjadi merasa lucu dan geli ketika melihat dirinya sendiri.
Kaki yang biasanya tidak pemah dipasang apa-apa itu sekarang harus menggunakan
alas dari kulit binatang, sehingga kakinya tidak menapak bumi dan sulit
melangkah. Pada pergelangan kakinya sekarang terdapat hiasan yang terbuat dari
emas. Pada lehernya bertambah lagi hiasan kalung yang berat, gemerlapan dihias
berlian dan mutiara. Kemudian pada pergelangan tangan yang semula tidak ada apa-
apa itu sekarang dipasang beberapa buah gelang, dan apabila tangannya bergerak
timbullah suara gemerincing nyaring.
Ketika Surya Lelana muncul di depan pintu dan melihat Dewi Sritanjung, kontan
saja mulutnya sudah memuji dan matanya memandang kagum.
"Aduh Diajeng Tanjung... engkau tambah cantik...."
Sekalipun kata-kata ini diucapkan oleh Surya Lelana secara jujur namun tidak
urung Dewi Sritanjung agak malu juga. Tetapi di samping malu itupun terselip
perasaan bangga. Manakah ada perempuan muda yang tidak
menjadi bangga dipuji kecantikannya" Lebih lagi yang meniuji cantik itu adalah
pemuda tampan, pemuda yang diam-diam sudah menarik perhatiannya.
Ya pemuda tampan yang dahulu pernah memberi
ciuman tanpa seijinnya, tetapi sekalipun demikian ia tidak menjadi marah. Ia
tidak tahu apakah sebabnya ia selalu terkenang kepada peristiwa itu. Karena
nyatanya kenangan itu memang indah dan menyenangkan. Ia juga tidak tahu mengapa
hatinya terliputi kegembiraan yang sulit terlukis-kan begitu dirinya dapat
berdekatan dengan Surya Lelana.
Dewi Sritanjung tersenyum manis oleh pujian Surya
Lelana. Dan begitu memandang si pemuda, gadis inipun kagum. Pemuda itu tampak
semakin tampan dan ganteng setelah ganti pakaian yang indah, pakaian
bangsawanan. "Surya..... ehh..... engkaupun lebih tampan lagi....." puji gadis ini tanpa
sungkan. Pujian ini disambut oleh Surya Lelana dengan ketawa-nya yang lepas.
Adapun tiga orang pelayan itu bibirnya tersenyum agak takut. Tetapi bagaimanapun
dalam hati tiga pelayan perempuan ini timbul pula rasa kagum. Karena pada
kenyataannya Surya Lelana memang merupakan seorang pemuda tampan, sedangkan si
gadis jelita inipun
merupakan puteri yang cantik molek.
"Marilah kita menghadap Rama," ajak Surya Lelana
sambil menyambar tangan Dewi Sritanjung. Kemudian
mereka meninggalkan kamar ini menuju ruangan besar dalam rumah besar bagian
belakang. Akan tetapi rumah besar itu sepi. Surya Lelana
mengajak Dewi Sritanjung ke pendapa. Ternyata Gajah Mada sudah duduk di pendapa,
sedangkan di depannya telah duduk bersimpnh dua orang tumenggung yang
agaknya sedang memberi laporan.
Gajah Mada tersenyum ketika melihat munculnya dua
orang muda itu. Ia menggerakkan tangan kanan memberi isyarat supaya dua orang
muda itu datang mendekat.
Ketika Surya Lelana dan Dewi Sritanjung sudah menghadap dan berlutut sambil
memberi sembah, Gajah Mada berkata, "Anakku, syukur sekali kalian sudah siap dan
selesai ganti pakaian. Sekarang marilah kita secepatnya pulang dan masuklah
lebih dahulu ke dalam kereta."
Surya Lelana mengiakan, lalu mengajak Dewi Sritanjung menuju ke kereta yang
sudah siap di depan pendapa.
Sebuah kereta kebesaran Mahapatih Majapahit. Kereta beroda empat dan ditarik
oleh delapan ekor kuda yang besar dan gagah.
Kereta yang indah, sehingga Dewi Sritanjung me-
mandang kagum. Kereta itu tertutup rapat berpintu dan pada beberapa lubang pada
dinding kereta yang dapat dipergunakan memandang ke luar kereta, ditutup oleh
tirai dari kain sutera.
Dewi Sritanjung dipersilakan masuk lebih dahulu ketika pintu kereta dibuka Surya
Lelana. Tanpa ragu sedikitpun gadis ini masuk, lalu duduk pada bagian belakang.
Namun ketika Surya Lelana sudah masuk, pemuda ini
cepat memberitahu, "Diajeng, kita harus duduk di sini. Kita berjajar, sebab bak
belakang untuk tempat duduk Rama."
"Idih! Kau ini bagaimana?" sahut Dewi Sritanjung sambil tersenyum dan mata yang
indah itu mengerling. "Bukankah alasanmu ini, karena engkau bermaksud agar
engkau dapat duduk berdampingan dengan aku?"
Sekalipun berkata demikian, sebenarnya gadis ini
merasa senang sekali apabila dapat duduk berdampingan dengan Surya Lelana. Entah
apa sebabnya, rasanya
bahagia sekali apabila ia dapat duduk berdampingan dengan Surya Lelana.
Surya Lelana menyambut ucapan gadis ini dengan
ketawa lirih. Lalu, "Diajeng, aku memang berkata sejujur-nya. Memang pada bagian
belakang itu merupakan tempat duduk kebesaran bagi Rama dalam kedudukannva
sebagai Mahapatih Majapahit. Sedang engkau dan aku harus
duduk di sini, dan......"
Dewi Sritanjung yang sudah duduk di samping Surya
Lelana menatap wajah pemuda ini sambil bertanya. "Dan apa....?"
Surya Lelana tidak cepat menjawab. Bibirnya tersenyum dan matanya menatap wajah
ayu itu. Yang dipandang
menjadi berdebar dan malu, tetapi dalam dadanya terasa amat bahagia.
"Apakah engkau tidak marah dengan kejadian waktu
itu" Ketika aku mau pergi dan minta diri dari kau sambil....
mencium ...?"
Pipi gadis ini berubah merah mendengar pertanyaan itu.
Untuk sejenak gadis menundukkan muka. Setelah diangkat lagi, kepalanya
menggeleng. "Tidak Surya. Tidak ada rasa marah dalam hatiku."
jawabnya polos.
"Apakah sebabnva engkau tidak marah?"
Gadis ini tergagap mendengar pertanyaan ini. Se-
sungguhnya ingin sekali mengatakan, dirinya tak tahu mengapa sebabnya tidak
marah atas perlakuan Surya
Lelana. Dan sungguh aneh pula dirinya malah selalu terkenang pengalaman itu.
Dewi Sritanjung menggeleng kepalanya, jawabnya lirih.
"Aku tidak tahu....."
Jantung Surya Lelana berdebar mendengar jawaban
gadis yang singkat ini. Kalau demikian halnya apakah jawaban ini merupakan
tanda, gadis inipun mengimbangi perasaan hatinya" Ia sudah terlanjur tercuri
hatinya oleh gadis ini. Gadis sederhana, tetapi memiliki kecantikan luar biasa,
kecantikan yang alami.
Dengan agak takut Surya Lelana bergerak. Pemuda ini ingin menjajaki bagaimanakah
sikap Sritanjung. Maka jari tangannya lalu meraba jari-tangan Dewi Sritanjung
yang kecil, runcing dan halus itu. Jari tangan itu untuk beberapa saat lamanya
ia usap-usap dan ia permainkan. Setelah melihat gadis ini diam saja, gerakannya
mulai berani dan merembet naik ke lengan. Lain sambil mengusap-usap lengan itu,
Surya Lelana berkata halus.
"Diajeng, apakah engkau takkan marah apabila men-
Dewi Sri Tanjung Mencari Ayah Kandung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengar perkataanku?"
"Engkau mau berkata apa?" sahut Dewi Sritanjung
sambil menundukkan kepalanya, karena usapan tangan Surya Lelana itu kuasa
membuat jantungnya berdebar tegang. "Dan mengapa pula aku harus marah?"
"Diajeng, tahukah engkau bahwa sejak pertemuanku
denganmu yang pertama kali, aku sudah jatuh cinta
kepadamu?"
Dewi Sritanjung berjingkrak mendengar istilah asing yang diucapkan oleh pemuda
tampan di sampingnya ini.
Tetapi justru kata-kata asing ini, sebenarnya sudah lama tersimpan dalam dadanya
dan selalu berharap agar Surya Lelana mengucapkan kata-kata itu.
Akan tetapi sekarang, anehnya, setelah mendengar
ucapan dan mulut Surya Lelana yang mencintai dirinya, mulut Dewi Sritanjung
malah seperti terkunci dan tidak bisa menjawab, sekalipun dalam dadanya bergolak
perasaan yang mendesak agar segera memberi jawaban. Dan gadis ini hanya bisa
menundukkan muka, dadanya turun naik.
"Diajeng Tanjung," bisik Surya Lelana halus, sedang jari tangannya dengan
lancang sudah mengangkat dagu Dewi Sritanjung yang halus dan kuning itu.
"Bagaimana" Engkau terimakah perasaan cintaku ini?"
Dewi Sritanjung belum juga menjawab, sekalipun
hatinya amat ingin. Namun sekalipun gadis ini belum menjawab. Surya Lelana sudah
cukup maklum bahwa gadis ini mengimbangi perasaannya. Terbukti Dewi Sritanjung
tidak berusaha melepaskan jari tangan Surya Lelana yang memegang dagu.
Tahu-tahu Surya Lelana sudah memeluk, lalu mencium mulut Dewi Sritanjung. Untuk
sejenak Dewi Sritanjung gelagapan, namun sejenak lagi gadis ini sudah mendorong
pundak Surya Lelana perlahan.
"Surya......ya.....agaknya akupun mempunyai perasaan yang sama ...." jawabnya.
"Mengapa masih menggunakah istilah agaknya,
Diajeng" Apakah engkau masih meragukan cinta kasihku?"
"Surya, hal ini bisa kita bicarakan setelah aku bertemu dengan orang tuaku.
Kemudian orang tuamu bisa bicara ngan orang tuaku. Hemmm, Sudahlah.....Guru
datang....."
* * * Cerita ini terpaksa berhenti sampai di sini dahulu, lalu menyusul cerita baru
dengan judul " TERSIKSA SEPERTI DI NERAKA ".
Siapakah yang tersiksa seperti di neraka" Baca saja dan Anda akan memperoleh
jawabannya. Kasihan juga Dewi Sritanjung ini. Gadis yang sejak kecil belum pemah mengenal
ayah dan bundanya, di Ibukota Majapahit harus berhadapan dengan pengalaman pahit
dan amat mengecewakan hatinya. Sebagai akibatnya ia
"minggat" dengan perasaan tidak keruan. Dalam keadaan seperti ini, Dewi
Sritanjung kurang waspada. Dan akibatnya tertangkap oleh pemuda bejat moral
Rudra Sangkala, murid sakti tokoh Murti Sari.
Sungguh kasihan. Gadis jelita, polos dan lugu itu di dalam cengkeraman laki-iaki
bejat seperti Rudra Sangkala yang mempunyai senjata ampuh racun wangi itu.
........Dan kasihan sekali cucu Si Tangan Iblis yang tertua dan bernama Sarindah
itu, dalam usahanya menuntut
balas kepada Gajah Mada. Gadis itu mencari dukun
tenung. "Dengarlah baik-baik. Engkau harus tahu baik tenung laki-laki maupun perempuan
yang akan melakukan tugas itu menghuni dalam tubuhku. Jadi, antara aku dan
engkau, syaratnya harus rukun seperti suami dan isteri."
"Aku sedia. Tetapi....."
"Tetapi apa.......?"
"Kerjakan dahulu tenung itu......"
Sarindah puas tenung itu sudah pergi. Kemudian siutt...
wut cap....! Sarindah terbelalak kaget. Pedangnya tak dapat ditarik kembali
terjepit jari tangan Kakek Madrim.
Sarindah marah. Cacinya. "Setan tua! Cabul, keparat!
Lepaskan pedangku!"
"Heh heh heh heh, engkau cantik sekali dan harus
menjadi isteriku....."
Entah sudah herapa lama Sarindah tertidur. Ia merasa dingin dan membuka mata, ia
hampir menjerit kaget
mendapatkan dirinya tanpa memakai selembar benang
pun. Dan disampingnya Kakek Madrim tertidur dalam
keadaan sama.....
*** Tamat *** Sala, medio Marel 1987
Seruling Sakti 23 Pahlawan Harapan Karya Tang Fei Pedang Golok Yang Menggetarkan 9