Pencarian

Muridku Macho 1

Boma Gendeng 4 Muridku Macho Bagian 1


MURIDKU MACHO Djvu by Abu Keisel
Pdf by DewiKZ SATU BOMA DIBAWA KE POLSEK
NENEK berkulit hitam pandangi wajah Boma yang babak belur dihantam lima pengeroyok berkendaraan Toyota Hardtop. Mulutnya yang perot menyeringai.
"Kalau mau jadi pendekar sejati memang musti tahu kerasnya jotosan, kencangnya tendangan. Mukamu bengap, seperti orang kena penyakit biri-biri. Anak setan, aku pergi dulu. Hik... hik... hik!"
Sekali berkelebat sosok si nenek melesat ke arah pohon besar di seberang jalan. Boma ikuti gerakan orang tua itu dengan pandangan mata. Namun di pohon sana bayangan si nenek lenyap. Tak kelihatan apa-apa. Kecuali seekor burung putih, yang hinggap di salah satu cabang.
"Hilang... Nenek itu, dia....' Boma tidak meneruskan kata-katanya. Untuk beberapa lama anak ini masih berdiri sambil memegang plat nomor mobil Toyota Hardtop yang diberikan nenek muka hitam dari Gunung Gede. Lalu lututnya mulai goyah. Rasa sakit akibat pukulan pengeroyok mulai terasa di bagian wajah dan tubuhnya. Matanya masih sempat melihat burung putih yang hinggap di cabang pohon dekat kios rokok mengepakkan sayap lalu pandangannya berubah menjadi samar.
Dia seperti kehabisan tenaga. Ketika sosoknya nyaris roboh beberapa orang berlarian mendatangi. Salah seorang di antaranya adalah Pasiran, tukang rokok yang mangkal di ujung gang dan kenal baik dengan Boma,
"Ini Mas Boma. Dia barusan dikeroyok. Tolong pegangin, saya mau kasi tau orang tuanya." Kata Pasiran pada orang-orang yang ada di situ dengan suara kental aksen Tegal.
"Panggil taksi. Bawa ke rumah sakit." Seorang lain berucap.
Mendengar disebutnya rumah sakit, rasa trauma serta merta menghantui Boma. Pengalaman pahit di rumah sakit akibat musibah di Gunung Gede tempo hari muncul kembali. Dalam keadaan babak belur seperti itu Boma kerahkan seluruh tenaga, berusaha agar tidak pingsan.
"Antarin saya ke rumah. Jangan bawa ke rumah sakit. Saya...." Ucapan Boma terputus ketika tiba-tiba cahaya menyilaukan lampu sebuah mobil pikup terbuka menyoroti wajahnya. Terdengar denyit keras rem mobil. Pintu depan kiri kanan pikup terbuka. Dua orang berseragam Polisi keluar. Bersamaan dengan itu dari bagian belakang kendaraan ini berlompatan pula empat petugas.
TAK JAUH dari pohon besar nenek kulit hitam hentikan lari, berpaling ke seberang jalan. Saat itu dua orang polisi dilihatnya memapah Boma. Beberapa petugas lainnya menanyai orang-orang yang ada di tempat itu.
Si nenek pencongkan mulut. "Kasihan. Anak setan itu pasti akan ketiban urusan tidak enak. Untung tadi dia tidak memukul mati salah seorang pengeroyok...." Si nenek berucap dalam hati. Sambil geleng-gelengkan kepala dia memutar tubuh. Namun baru bergerak setengah putaran tiba-tiba sesuatu menghantam dadanya.
"Bukkk!"
Sinto Gendeng, nenek sakti dari puncak Gunung Gede terpekik. Tubuhnya mencelat menghantam kios rokok hingga kios itu terbalik roboh, isinya berantakan ke mana-mana. Pasiran yang tengah ditanyai Polisi melengak kaget ketika menyaksikan apa yang terjadi dengan kios miliknya. Tanpa pedulikan petugas yang tengah menanyai, Pasiran menghambur lari ke arah kios rokoknya.
"Walah biyung! Matek aku! Ora ono mobil yang nabrak, ora ono angin puyuh! Kenapa kiosku jadi ambrol begini"!" Pasiran berteriak setengah menggerung. Beberapa orang Polisi mendatangi. Ikut terheran-heran melihat apa yang terjadi. Sementara Pasiran sibuk mengambil dan mengumpulkan barang dagangannya yang berhamburan ke mana-mana.
DI BAWAH pohon besar tak jauh dari kios yang terbalik, tidak terlihat oleh orang-orang yang ada di jalan raya kecuali Boma, nenek muka hitam berdiri terhuyung-huyung sambil pegangi dadanya yang barusan terkena hantaman dahsyat. Rasa sakit dan panas seolah ada bara api menimbun dada itu. Di sela bibirnya terlihat ada lelehan darah. Nenek bertampang angker ini bukan orang sembarangan. Ilmu silat dan kesaktiannya telah menggegerkan delapan penjuru rimba persilatan Tanah Jawa. Kalau malam itu ada orang mampu menghantamnya tanpa dia sempat mengetahui, mengelak atau menangkis, berarti si penyerang memiliki tingkat kepandaian luar biasa.
"PAK, jangan bawa ke rumah sakit, Pak," kata Boma pada dua anggota Polisi yang memapahnya. "Saya mau pulang. Rumah saya di ujung gang...."
"Dik, luka adik cukup parah. Adik harus dirawat...."
"Saya nggak apa-apa Pak. Saya nggak apa-apa...." jawab Boma.
"Nggak apa-apa gimana"!" ucap Polisi berpangkat sersan Satu bernama Suwarto yang memapah Boma di sebelah kanan. "Mata kiri kamu bengkak, pipi bengap. Hidung juga bengkak, ada pendarahan. Bibir kamu pecah!" Pada temannya Sersan ini berkata. "Naikkan anak ini ke mobil. Bawa ke RSCM untuk perawatan pertama. Nanti kita tanyai di Polsek...."
"Saya pulang aja Pak. Bapak boleh tanyai saya di rumah," Boma memohon sambil kepalanya dipalingkan ke arah pohon. Saat itu dia melihat nenek berkulit hitam yang kepalanya ditancapi lima tusuk konde perak tengah berusaha bangun sambil pegangi dada. Di hadapan si nenek, dalam kegelapan ada dua sosok menghadang.
"Nek... Nenek...." panggil Boma.
"Anak ini pasti ngacok!" kata Sersan Satu Suwarto. Dia memperhatikan ke jurusan yang dipandang Boma. Arah pohon besar di belakang kios rokok yang terbalik. "Nenek siapa" Siapa yang kamu panggil nenek?"
Boma tak menjawab. Sersan Satu Suwarto dan anak buahnya saling pandang sesaat lalu geleng-gelengkan kepala. Kedua petugas itu memapah Boma ke arah mobil pikup.
"Jangan ke rumah sakit Pak. Jangan. Saya nggak apa-apa. Saya mau pulang aja," pinta Boma.
Tapi dua anggota Polisi itu tetap membawanya ke mobil pikup. Boma berpaling lagi ke arah pohon. Saat itu si nenek muka hitam telah bangkit berdiri. Salah satu dari dua sosok yang mendekam dalam gelap bergerak mendekatinya.
"Nek...."
"Nenek lagi! Nenek lagi! Siapa sih yang kamu panggil Nenek" Setan" Hantu"!" Gerutu Sersan Satu Suwarto sambil terus memaksa Boma melangkah menuju mobil pikup.
Saat itu Boma mendadak ingat peristiwa malam hari di satu bukit kecil. Dalam keadaan di luar sadar, dia melangkah mengikuti bimbingan satu kekuatan aneh. Di satu puncak bukit kecil telah menunggu seorang nenek tinggi hitam bermuka angker.
"Anak Setan," begitu si nenek selalu memanggil yang membuat Boma jadi jengkel. "Malam ini atas kehendak Yang Maha Kuasa antara kau dan aku terjalin satu hubungan yang sebelumnya tidak satu pun di antara kita pernah menduga hal ini akan terjadi...."
Boma tatap sosok nenek tinggi yang menebar bau pesing itu. Dia ingat perempuan tua inilah yang dulu menyelamatkan dirinya dan kawan-kawan sewaktu terjadi musibah di puncak Gunung Gede. Ketika dia dirawat di Rumah Sakit PMI Bogor, nenek aneh ini muncul, ingin menurunkan ilmu kepandaian padanya, tapi ditolak. Lalu nenek ini pula yang kemudian memasukkan hawa sakti ke dalam telapak tangan kirinya yang ada tanda silang sewaktu dia dirawat di RSCM akibat perutnya diclurit rampok di Jalan Kramat Raya. Mendengar ucapan si nenek Boma menowel hidungnya lalu beranikan diri bertanya.
"Nek, maksudmu hubungan apa?"
"Apa yang ada dalam benakmu, Anak Setan?" balik bertanya si nenek.
"Hubungan... hubungan cinta pasti bukan. Iya 'kan Nek"!"
"Gila kau!"
"Hubungan tilpon juga nggak...."
"Tilpon" Binatang apa itu?" tanya si nenek.
"Itu, pesawat untuk bicara jarak jauh." Boma coba menjelaskan.
"Di Gunung Gede tidak ada barang begituan! Kalau mau bicara jarak jauh teriak saja! Atau pakai ilmu mengandalkan tenaga dalam. Anak Setan, dengar baik-baik. Perjalanan nasib serta takdir Illahi membuat kita bertemu satu sama lain. Mulai malam ini kau berjodoh dengan diriku. Sebenarnya sejak aku mengalirkan hawa murni sakti ke dalam tubuhmu itu satu pertanda kita telah berjodoh." Boma melengak kaget. "Nek, maksudmu berjodoh.... Kau kawin dengan saya?"
"Anak Setan! Jangan bicara ngacok! Kau berjodoh untuk jadi muridku! Tahu?"
Boma lepaskan nafas lega tapi masih kernyitkan kening.
"Memangnya kau mau mengajarkan apa Nek" Bahasa Inggris" Matematika atau Fisika" Dua mata pelajaran itu saya memang jeblok banget!"
Si nenek kulit hitam muka cekung tertawa panjang sampai lima tusuk konde yang menancap di batok kepalanya bergoyang-goyang.
"Tolol! Aku tidak mengajarkan segala ilmu begituan! Yang akan kuberikan padamu adalah ilmu kepandaian untuk menjaga diri dan menolong sesama...."
"Kau... kau mau menjadikan saya dukun, Nek" Begitu?"
"Goblok! Apa kau lupa waktu kejadian di Rumah Sakit" Aku pernah menyalurkan hawa murni sakti ke dalam tubuhmu lewat telapak tangan kiri yang suka kau pakai cebok itu! Lupa hah"!"
"Saya nggak lupa Nek. Tapi tangan kiri ini tetap aja saya pakai buat cebok Nek. Mana ada sih orang cebok pakai tangan kanan. Saya nggak tau kesaktian apa yang Nenek berikan."
"Anak Setan! Bagusnya kau jangan banyak bicara dulu! Dengar saja apa yang akan aku katakan!"
Boma menowel hidungnya, berdiam diri. Menunggu apa yang hendak diucapkan orang.
Setelah pandangi wajah anak lelaki di depannya beberapa ketika, si nenek lantas berkata.
"Manusia itu pertama kali dijadikan Gusti Allah dari debu, dirubah menjadi segumpal tanah. Dibentuk sosoknya seperti bentuk dan keadaan manusia sekarang ini. Lalu Gusti Allah meniupkan nyawa ke dalam tubuhnya. Maka hiduplah dia sebagai manusia. Bernafas, makan, minum, berjalan, berbicara, bisa kentut...."
"bisa beoll" sambung Boma polos tapi seenaknya.
"Apa itu beol?" tanya si nenek.
"Itu Nek, maksud saya bisa ke belakang."
"Berak?"
"Ya kira-kira 'gitu Nek." jawab Boma sambil nyengir dan menowel hidung.
"Sialan kau!" maki si nenek tapi ikutan nyengir. lalu lanjutkan kata-katanya yang tadi terputus.
"Manusia diciptakan punya otak, punya rasa dan hati nurani yang membuatnya kelak lebih mulia dari makhluk hidup lain. Manusia pertama yang diciptakan Gusti Allah itulah yang kita kenal sebagai Nabi Adam. Sampai di sini, Anak Setan, apa kau punya pertanyaan?"
Boma berpikir sejenak. Dia memang sudah banyak mendengar dan membaca riwayat kehadiran
Nabi Adam di muka bumi. Namun saat itu dia tidak mengerti apa maksud si nenek menuturkan riwayat itu padanya.
"Nek, bukankah kemudian Gusli Allah menciptakan Siti Hawa untuk jadi teman hidup Nabi Adam?"
Muka nyaris tak berdaging dan berkulit hitam si nenek menyeringai. "Anak Setan! Kau tidak pernah melupakan urusan perempuan. Hik... hik... hik! Tapi kau betul. Gusti Allah menciptakan Siti Hawa dari salah satu tulang rusuk Nabi Adam. Kau pernah dengar riwayat itu, Anak Setan?"
Boma mengangguk. "Buntut kejadiannya, tidak salah kalau kemudian orang-orang perempuan mengejar orang-orang lelaki. Katanya sih mau kembali ke asalnya di susunan tulang iga lelaki. Tapi anehnya yang dikejar kok lelaki ganteng melulu atau lelaki yang banyak doku."
Si nenek unjukkan tampang merengut. "Hanya perempuan tolol yang mau mengejar lelaki! Jaman sekarang kau saksikan sendiri. Kenyataannya orang lelaki yang mengejar orang perempuan. Kakek-kakek masih mau mengejar gadis padahal pantas jadi cucunya! Eh, tadi kau bicara doku. Apa itu doku?"
"Ini Nek," jawab Boma sambil menggesek-gesekkan telunjuk dengan ibu jari tangan kanan. "Duit alias uang!"
"Uang.... Itu salah satu urusan dunia yang sering membawa manusia ke dalam neraka."
"Nek, kepala saya pusing. Saya nggak ngerti maksud semua pembicaraan ini," kata Boma pula.
"Manusia dijadikan Gusti Allah dari tanah. Berarti dalam setiap sisi kehidupannya manusia tidak akan terlepas dari alam, terutama tanah. Bahkan pada akhir hayatnya manusia akan kembali kepada tanah. Dikubur dalam tanah! Di dalam tubuhmu saat ini ada satu kekuatan yang bisa kau pergunakan setiap saat kau ingini, terutama dalam bahaya. Jika kau menahan nafas, lalu mengencangkan bagian perutmu di sekitar pusar yang menjadi pusat kekuatan hawa sakti yang kau miliki, maka jika kau mengucapkan Basmallah dan menyebut kata berat dalam hati sambil membayangkan batu besar, bukit atau gunung, maka dengan izin Gusti Allah tubuhmu akan menjadi seberat batu, bukit atau seberat gunung!"
Saat itu ingin Boma mengatakan ketidakpercayaannya atas ucapan si nenek, tapi dia diam saja.
"Anak Setan! Dari tampangmu aku tahu kau tidak percaya pada apa yang aku ucapkan. Mari kita lihat. Aku ingin kau membuktikan sendiri."
Habis berkata begitu si nenek cabut satu dari lima tusuk konde yang menancap di batok kepalanya. Tusuk konde dari perak itu diletakkan di tanah, di depan Boma.
"Ambil tusuk konde itu," perintah si nenek.
"Apa sulitnya mengambil tusuk konde ini, Nek," kata Boma seraya ulurkan tangan mengambil tusuk konde dari tanah.
"Letakkan tusuk konde di tempat semula."
Boma ikuti ucapan si nenek. Tusuk konde perak diletakkan di tanah.
"Sekarang ambil lagi," ucap si nenek.
Seperti tadi Boma kembali mengambil tusuk konde perak yang tergeletak di tanah. Tapi sekali ini dia tidak mampu mengambil dan mengangkat. Tusuk konde itu telah berubah menjadi berat luar biasa. Boma kerahkan tenaga. Keringat sampai memercik di keningnya. Dari bersila dia kini berjongkok. Kalau tadi cuma pergunakan tangan kanan, kini dia pergunakan dua tangan sekaligus. Tetap saja tusuk konde perak itu tidak mampu diangkatnya dari tanah. Terengah-engah seperti habis berlari jauh Boma tarik kedua tangannya.
Si nenek menyeringai. Dia ulurkan tangan mengambil tusuk konde lalu ditancapkan kembali di batok kepalanya.
"Tusuk konde itu tadi telah menyatu dengan alam. Di dalam alam terdapat kekuatan Gusti Allah yang maha dahsyat. Aku membayangkan Gunung Gede. Dengan izin Yang Kuasa bobot tusuk konde berubah seberat Gunung Gede! Sampai bijimu pecah, kau tak akan mampu mengangkatnya! Hik... hik... hik!"
"Aneh," anak lelaki ini berucap perlahan.
"Atas izin Allah, tak ada keanehan di dunia ini. Kau bisa membuat sebuah benda menjadi seberat batu raksasa. Kau bisa membuat dirimu menjadi seberat gunung hingga tak ada yang mampu mengangkat...."
UCAPAN si nenek seolah mengiang di telinga Boma. "Kau bisa membuat dirimu menjadi seberat gunung hingga tak ada yang mampu mengangkat...."
Mungkin ini saatnya dia membuktikan ucapan si nenek. Sekaligus membuktikan bahwa dia memang telah menguasai ilmu kesaktian yang diajarkan.
Diam-diam Boma menahan nafas, mengencangkan perut. Kata Basmallah diucapkannya dalam hati. Sambil mengucap kata berat anak ini membayangkan gunung. Apa yang kemudian terjadi membuatnya kaget luar biasa.
Dua anggota Polisi yang setengah memaksa memapah Boma ke arah mobil pikup mendadak merasa seperti mendorong satu benda berat. Jangankan bergerak berjalan, bergeming sedikit pun tubuh Boma tidak.
"Ayo jalan!" Sersan Satu Suwarto berkata sambil kakinya ditendang-tendangkan ke tumit sepatu Boma. Tetap saja anak itu tidak bergerak. Malah kakinya yang terbungkus sepatu berkulit tebal terasa sakit seperti menendang batu. Semakin dia dan temannya memaksa, menarik dan mendorong semakin berat sosok tubuh anak itu.
"Pak, jangan bawa saya ke rumah sakit...." Boma kembali memohon.
Sersan Satu Suwarto yang mulai merasa bingung tapi juga jengkel akhirnya berkata.
"Kalau situ tidak mau ke rumah sakit, ya sudah! Tapi kami tetap harus membawa kamu ke Polsek untuk dimintai keterangan." Kali ini Boma tak berani membantah. Perutnya yang tadi kencangkan perlahan-lahan dikendurkan. Begitu kekuatan hawa sakti yang berpusat di bagian perut buyar, bobot Boma kembali normal seperti semula. Sekali dorong saja anak ini maju sampai dua tiga langkah ke arah mobil pikup.
"Mas Pasiran!" Boma berseru pada pemilik kios rokok. "Tolong kasih tau bapak saya. Saya dibawa ke Polsek."
Pasiran yang sibuk mengurusi barang dagangannya hanya mengangkat kepala lalu mengangguk. Tapi pedagang rokok ini bersama seorang lainnya yang ada di situ kemudian juga dibawa ke Polsek untuk jadi saksi dan dimintai keterangan. Terpaksa Pasiran menitipkan kios dan barang dagangannya pada seorang kenalan.
Sebelum mobil pikup bergerak untuk terakhir kali Boma memandang ke arah pohon.
"Nek...." ucap Boma. Sejak tadi dia merasa nenek penolongnya itu berada dalam bahaya.
Di bawah pohon sana Sinto Gendeng melirik sekilas ke arah Boma. Lalu Boma mendengar suara seperti ngiangan nyamuk di telinganya.
"Anak Setan, jangan pedulikan aku. Bantu petugas. Tapi awas. Jangan menyebut-nyebut diriku." Di atas mobil pikup, salah seorang anggota Polisi mengambil plat nomor kendaraan yang sejak tadi dipegang Boma. Dua buah lobang tempat masuknya sekerup kelihatan robek besar. Agaknya plat kaleng itu dicopot secara sengaja. Dan tentunya mempergunakan daya tarik yang kuat. Tangan biasa tidak mungkin menanggalkan plat kaleng itu begitu saja.
"Ini plat mobil siapa?" tanya anggota Polisi yang duduk di samping Boma di bagian belakang pikup terbuka.
"Plat mobil orang yang ngeroyok saya Pak." Jawab Boma.
"Kok ada sama kamu?"
"Nemu di jalan, Pak. Mungkin jatuh." Jawab Boma berdusta. Dia ingat si nenek. Jangan memberi keterangan apa-apa mengenai dirinya pada Polisi. Dalam keterdiamannya Boma membayangkan sikap kedua orang tuanya kalau mereka menyusul datang ke Polsek. Ibunya akan menangis begitu melihat dia. Ayahnya seperti biasa sebelum bertanya apa-apa pasti akan mendamprat dirinya. lalu terbayang wajah Dwita Tifani. Hari Sabtu tadi anak perempuan itu tidak masuk sekolah. Mungkin sakit. Mungkin juga ikut sibuk bersama orang tuanya mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan tugas baru ayahnya di gedung PBB New York.
Walau berlainan kelas dengan Boma, tapi semua anak di kelas Boma sudah tahu kalau Dwita akan ikut pindah bersama ayahnya ke luar negeri. Dalam keadaan seperti itu, diangkut di alas mobil pikup terbuka, dikawal petugas Polisi, diterpa angin malam yang mencucuk dingin, muka bengap dan badan sakit, hati anak lelaki ini mengeluh.
"Heran, semua anak udah tau kalau dia mau pindah ke luar negeri. Kok Dwita-nya sendiri tenang-tenang aja. Nggak pernah ngomong sama aku. Kayaknya nggak ada peratian."
Boma menowel hidungnya. Tapi mengerenyit sendiri kesakitan.
DUA TAMU ANEH DI KLINIK BEDAH DHARMA BAKTI
SEJAK pensiun dari R.S. Cipto Mangunkusumo, Profesor Victor Nainggolan menyibukkan diri mengurus Klinik Bedah miliknya di Jakarta Pusat. Pagi itu di ruang kerjanya, sambil membaca koran dia menunggu kedatangan seorang pasien untuk bedah satu benjolan kecil di tangan kiri. Tilpon di meja berdering. Profesor Nainggolan mengangkat pesawat. Ternyata dari seorang calon pasien yang minta waktu untuk pemeriksaan hasil ronsen benjolan di leher. Setelah memeriksa buku catatan prakteknya, Profesor Nainggolan minta agar pasien itu datang jam tiga nanti sore.
Ahli bedah lulusan salah sebuah Universitas di Jerman itu meneguk kopinya lalu meneruskan membaca koran. Dia tengah asyik membaca berita kriminalitas di Ibukota ketika tiba-tiba pintu ruangan praktek terbuka. Dua orang dengan tampang dan dandanan luar biasa masuk ke dalam ruangan. Profesor Nainggolan setengah terlonjak di kursinya saking kaget. Dia hampir tidak bisa yakin apakah saat itu benar-benar berhadapan dengan manusia atau makhluk apa. Ruangan praktek itu kini dilanda bau tidak enak yang berasal dari tubuh serta pakaian dua orang yang barusan masuk.
Orang pertama lelaki tua renta berpakaian kumal rombeng. Tubuhnya menghampar bau tidak enak. Wajahnya mengerikan untuk dipandang. Wajah itu dihias dua mata cekung angker, tidak berdaging dan kelihatan pucat pasi seolah tidak berdarah. Mulutnya selalu berada dalam keadaan miring hingga dia seperti dalam keadaan menyeringai
terus-menerus. Manusia satu ini berambut putih sepunggung. Profesor Victor Nainggolan memperhatikan, orang ini buntung tangan kirinya sebatas siku. Sepasang matanya yang cekung memandang tak berkesip seolah-olah mau menelan sosok sang ahli bedah yang tinggi kurus itu.
Orang kedua tak kalah hebatnya, malah lebih mengerikan. Seorang nenek mengenakan jubah dalam tebal biru pekat. Rambutnya berwarna merah, menjulai panjang dan diikat di sekitar pinggang. Kalau rambut yang riap-riapan itu tidak diikat ujungnya akan menjela sampai lantai ruangan. Sepuluh jari tangan si nenek panjang berwarna merah. Lalu sepasang matanya. Ini yang paling mengerikan. Dua mata itu merah semua, tak ada putihnya! Satu hal yang luar biasa, nenek bermantel biru ini memanggul sosok seorang kakek berpakaian kolor di bahu kirinya. Seperti kakek di sebelahnya, nenek ini mengeluarkan bau yang tidak sedap di ruang praktek ber-ac itu.
"Penjahat bukan, pengemis jelas bukan...." membatin Profesor Victor Nainggolan.
"Kalian ini siapa?" Ahli bedah itu bertanya dengan suara serak tersekat.
"Siapa kami tidak penting." Yang menjawab kakek muka pucat bertangan buntung. Dia memberi isyarat pada nenek bermantel biru, lalu menunjuk ke ranjang periksa di samping kiri ruangan praktek. Si nenek melangkah mendekati ranjang lain membaringkan tubuh kakek yang sejak tadi dipanggul. Selesai membaringkan orang, si nenek berpaling pada Profesor Nainggolan.
"Kami butuh pertolongan...."
Saat itu sang Profesor masih setengah terkesiap. Belum sempat dia menjawab tiba-tiba dari ruangan dalam terdengar langkah-langkah kaki bersepatu.
Sesaat kemudian muncul seorang perempuan muda berseragam putih. Dia adalah satu-satunya juru rawat yang membantu Profesor Nainggolan di Klinik hari itu. Juru rawat ini begitu terkejut melihat orang-orang aneh di ruang praktek, langsung pucat dan melangkah mundur. Nenek bermantel cepat mendekati. Tak dapat mengendalikan rasa takutnya juru rawat ini menjerit keras. Namun suara jeritannya hanya sampai di tenggorokkan. Dengan cepat nenek bermantel menggerakkan tangan, menotok urat besar di pangkal leher. Membuat juru rawat itu serta-merta kaku tak bisa bergerak tak bisa bersuara!
Melihat apa yang terjadi, rasa takut membuat Profesor Nainggolan berusaha melarikan diri ke ruang belakang. Namun gerakannya dihadang oleh kakek bermuka pucat. Sekali tangan kanan kakek ini bergerak, apa yang terjadi dengan juru rawat Poliklinik dialami pula oleh sang ahli bedah.
Profesor ini tertegun kaku tak bersuara di dekat sekat pembatas ruang praktek dengan ruang operasi.
Nenek bermata merah berambut riap-riapan melangkah mendekati Profesor Nainggolan.
"Profesor, dengar baik-baik apa yang akan aku ucapkan. Aku tidak akan mengulang dua kali, dan apa yang kami inginkan harus terlaksana. Kedipkan matamu dua kali tanda kau mengerti apa yang aku barusan bilang!"
Profesor ahli bedah yang tak bisa bersuara tak mampu bergerak itu ternyata bisa mengedipkan matanya dua kali.
Nenek bermata merah menyeringai. "Jika kau berjanji tidak akan berteriak, aku akan membuka jalan suaramu. Tapi untuk sementara tubuhmu akan tetap kaku tak bisa bergerak. Jika kau berani menipu, aku akan hancurkan semua peralatan di tempat ini lalu meremas kepalamu seperti ini!"
Selesai berucap si nenek ulurkan tangan mengambil benda penindih kertas terbuat dari kaca tebal berbentuk piramid yang terletak di atas meja. Sekali tangannya meremas kraaakk! Penindih kertas itu hancur menjadi kepingan-kepingan kecil yang kemudian diletakkannya di atas koran yang tadi dibaca Profesor Nainggolan.
Profesor Nainggolan terbelalak kaget dan kecut. Mukanya pucat pasi. Seumur hidup baru sekali ini dia dilanda rasa takut luar biasa begitu rupa.
"Ya, Tuhan, tabahkan diri saya. Saat ini mungkin saya tidak berhadapan dengan manusia. Tolong saya Tuhan." sang Profesor berdoa dalam hati.
"Profesor, jika kau berjanji tidak berteriak, aku akan buka jalan suaramu! Kedipkan matamu dua kali tanda kau mengerti dan setuju!"
Kembali Profesor Nainggolan kedipkan matanya dua kali.
Tangan kanan nenek bermantel biru berkelebat.
"Beettt!"
Urat besar di pangkal leher sang Profesor ditotoknya. Detik itu juga ahli bedah itu terbatuk-batuk beberapa kali.
"Katakan apa mau kalian." Profesor Nainggolan beranikan diri keluarkan ucapan. Suaranya perlahan, bergetar.
Sebagai jawaban nenek bermata merah rambut riap-riapan melangkah mendekati kawannya si kakek bungkuk muka pucat. Tangan kanannya yang berkuku panjang merah bergerak ke lengan kiri pakaian si kakek. Brettt! Lengan itu robek besar.
"Kau lihat, tangan sobatku ini buntung sebatas siku. Aku ingin kau menyambungnya dengan tangan baru."
Profesor Nainggolan terkesiap mendengar ucapan itu. Dia perhatikan tangan kiri kakek muka pucat yang buntung. "Hal itu tak mungkin saya lakukan." kata Profesor Nainggolan. "Dari keadaan tangan itu, buntungnya pasti sudah berlangsung lama. Saya tidak bisa melakukan. Lagi pula mau disambung dengan tangan baru dari mana?"
"Tangan orang ini." Yang menjawab adalah nenek bermantel biru yang berdiri di samping ranjang periksa.
Profesor Nainggolan terkejut. Mulutnya sampai ternganga. Untuk beberapa lamanya dia tegak terdiam seperti itu.
"Profesor pasti mampu melakukan," kata nenek bermantel biru dengan pandangan mata merah menyala tak berkesip.
"Tidak mungkin...." Profesor Nainggolan gelengkan kepala.
"Apa yang tidak mungkin. Kami tahu Profesor pernah belajar di Cina seluk-beluk penyambungan tangan dan kaki buntung...." Yang bicara adalah kakek muka pucat.
"Bagaimana Anda tahu. Anda-anda ini siapa sebenarnya?"
"Sudah aku bilang, Profesor tidak perlu tahu siapa kami. Lakukan saja apa yang kami minta. Jika kau berani menolak bangunan Klinik ini akan kami sama ratakan dengan tanah...."
"Saya bukan menolak. Tapi menyambung tangan yang sudah lama buntung mana mungkin...."
"Lalu apa artinya Profesor belajar sekian lama di Cina?"
"Tangan atau kaki yang buntung ada kemungkinan untuk disambung jika buntungnya masih baru. Tidak lewat dari dua jam...."
"Begitu?" ujar nenek mata merah. Dia melangkah ke lemari yang penuh berisi alat-alat bedah.
"Jangan dibuka. Semua peralatan di situ sudah disteril," kata Profesor Nainggolan mencegah setengah berteriak.
Tapi si nenek tidak perduli. Sekali tangannya diputar handel pintu lemari kaca berderak palah. Pintu lemari dibuka. Si nenek mengambil sebuah pisau besar berkilat. Pisau ini dimelintangkannya di depan wajah sang Profesor lalu berkata.
"Dengan pisau ini aku bisa membuat buntungan baru di tangan sobatku. Lima jari di atas siku. Lalu dengan pisau ini aku juga bisa memutus lengan kiri orang di atas ranjang lima atau enam jari di atas sikunya. Berarti kau punya dua tangan buntung kurang dari dua jam. Berarti mudah bagimu menyambung tangan sobatku ini dengan tangan orang itu!"
"Tetap tidak mungkin. Urusannya tidak semudah itu...."
"Buat jadi mudah! Agar kau tidak susah!" Kata kakek muka pucat.
"Atau mungkin tangan kirimu saja yang aku babat putus untuk disambung ke tangan kiri sobatku!" kata nenek mata merah lalu tertawa mengekeh.
"Saya tidak bisa melakukan. Orang di atas ranjang itu. Siapa dia?"
"Perlu apa kau tanyakan dirinya" Dia cuma pengemis kurang ingatan yang kami temukan di jalanan. Dan satu hal! Untuk tangan kirinya yang akan dibuntungi ada ganti rugi cukup memadai!" Habis berkata begitu dari balik mantelnya si nenek keluarkan dua gepok uang lima puluh ribuan, masing-masing gepok berjumlah lima juta Rupiah. Satu gepok dilemparkannya ke atas tubuh pengemis di atas tempat tidur.
"Itu kami rasa cukup untuk ganti lengannya yang kami perlukan. Dan ini lima juta untuk ongkos penyambungan!" Si nenek lemparkan gepokan lima juta yang satunya ke atas meja kerja Profesor Nainggolan.
"Demi Tuhan, saya tidak bisa melakukan apa yang kalian minta. Ambil kembali uang itu. Bawa orang di atas tempat tidur. Tinggalkan klinik saya sekarang juga."
"Profesor... Profesor. Kau mengingkari janji!"
"Saya tidak berjanji apa-apa," jawab Profesor Nainggolan.
"Begitu?" ujar si nenek. Lalu umbar tawa bergelak. Sepasang matanya memancarkan cahaya aneh menggidikkan. Pisau besar berkilat yang masih dipegangnya di tangan kanan dilemparkannya pada kakek muka pucat.
"Muka Bangkai, buntungi tangan kiri orang ini!"
Sambil keluarkan tawa mengekeh kakek muka pucat yang ternyata Si Muka Bangkai dengan tangan kanannya sambuti pisau yang dilemparkan si nenek yang bukan lain adalah gurunya yakni Kunti Api. Sambil tertawa mengekeh dia ulurkan lidah menjilati pisau besar lalu melangkah mendekati Profesor Nainggolan.
Lelehlah nyali ahli bedah lulusan Jerman itu.
KETIKA rombongan petugas Kepolisian yang diberitahu lewat tilpon memasuki Klinik Bedah Dharma Bakti, Profesor Victor Nainggolan, mereka menemukan ahli bedah itu terduduk pucat di terasa Klinik ditemani juru rawat yang masih menangis sesenggukan. Tiga petugas menanyai kedua orang ini. Yang lain-lain melakukan pemeriksaan di bagian dalam. Dua gepok uang lima puluhan ribu yang ditemukan ternyata hanya satu lembar sebelah atas dan satu lembar sebelah bawah saja berupa uang asli. Di sebelah dalam hanya berupa potongan-potongan kertas polos yang ukurannya dibuat sama dengan uang di sebelah atas dan bawah.
Di meja operasi, tergeletak sosok pengemis yang masih belum sadar akibat pengaruh obat bius. Tangan kirinya buntung, dibalut sebatas siku.
TIGA BAKU HANTAM TIGA DEDENGKOT RIMBA PERSILATAN
DIBAWAH bayangan gelap pohon besar di pinggir jalan Sinto Gendeng memandang menyorot pada dua sosok yang tegak menghadang di hadapannya.
"Hemm...." masih memegangi dadanya yang sakit, si nenek bergumam. "Guru dan murid. Mereka rupanya. Dua setan alas keparat. Satu ratu, satunya setan golongan hitam rimba persilatan." Meski gelap, guru pendekar 212 Wiro Sableng ini ternyata masih bisa mengenali jelas siapa adanya dua orang di hadapannya.
Yang pertama adalah tua bangka yang dikenal sebagai guru Pangeran Matahari yakni kakek berjuluk Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Sinto Gendeng soroti sosok manusia satu ini dengan pandangan mata geram tapi juga heran.
"Aneh, aku tidak lupa. Beberapa waktu lalu ketika Si Muka Bangkai ini menyerbu ke puncak Gunung Gede, aku telah membuat buntung tangan kirinya. Kini mengapa tangan itu utuh kembali" Memakai tangan palsu" Agaknya tidak. Walau agak kaku tangan itu jelas tangan sungguhan. Tapi di bagian siku ada balutan-balutan tebal dan palang bambu pengganjal. Mungkin aku harus membetot lepas tangan kiri bangsat muka pucat ini untuk mengetahui keadaan tangannya."
Sinto Gendeng melirik pada sosok tinggi yang tegak di samping Si Muka Mayat.
"Mengenakan mantel biru, rambut merah riap riapan. Sepuluh kuku jari panjang merah. Dua mata juga merah seperti setan neraka! Siapa tidak kenal dirinya. Kunti Api! Guru Si Muka Bangkai."
"Dadamu masih sakit Sinto?" Tiba-tiba Si Muka Bangkai menegur ketika melihat Sinto Gendeng masih pegangi dadanya yang tadi kena gebuk, entah dihantam jotosan entah dilabrak tendangan.
Sinto Gendeng keluarkan suara mendengus lalu meludah ke tanah. Ludahnya bercampur darah pertanda dia menderita luka dalam cukup parah. Salah satu dari dua orang itu tadi menghantamnya. Menimbang tingkat kepandaian mereka Sinto Gendeng menduga yang menghantamnya pastilah Kunti Api.
Setelah mendengus sekali lagi nenek sakti dari Gunung Gede berkata.
"Datang berdua. Masih tidak punya malu berlaku pengecut. Membokong lawan secara keji! Cuah!" Kembali Sinto Gendeng meludah.
"Nenek jelek," menyahuti Si Muka Bangkai. "Jangan salahkan kami. Makin tua matamu makin lamur. Pendengaranmu mulai tuli. Kau tak tahu diserang orang. Ternyata nama besarmu di delapan penjuru angin hanya isapan jempol, bohong belaka!"
Kunti Api tertawa bergelak mendengar ucapan muridnya itu. "Sinto Gendeng, aku ingin mendengar apa jawabmu!" ujar Kunti Api pula.
"Jawabanku mudah-mudah saja! Kalian berdua mencari mati!"
Si Muka Bangkai dan Kunti Api tertawa gelak-gelak mendengar jawaban Sinto Gendeng itu.
"Puaskan tawa kalian! Biar keras, lebih panjang lebih bagus! Nanti di liang neraka kalian tidak bisa tertawa lagi seperti saat ini!" menimpali Sinto Gendeng.
"Nenek bau pesing!" semprot Si Muka Bangkai. "Melihat gelapnya langit, tak ada bulan tak ada bintang, agaknya malam ini lebih cocok menjadi malam kematian bagimu!"
"Bicaramu sombong amat!" ucap Sinto Gendeng sambil sunggingkan seringai mengejek di mulutnya yang perot. "Mentang-mentang punya tangan baru! Tangan setan mana yang kau sambung ke tangan kirimu yang buntung" Hik... hik... hik!"
Tampang Si Muka Bangkai jadi membesi mendengar ucapan Sinto Gendeng. Dia menjawab dengan suara keras. "Kalau kau mau tahu setan mana yang tangannya kupakai, baiknya cepat-cepat kau kukirim ke neraka. Di sana kau boleh bertanya pada setiap setan yang kau temui!" Sinto Gendeng tertawa cekikikan.
"Muridku Muka Bangkai," Kunti Api berucap. Waktu bicara dia sengaja kerahkan tenaga dalam hingga suaranya menindih suara tawa Sinto Gendeng. "Aku setuju sekali dengan pendapatmu. Malam ini akan menjadi malam terakhir bagi nenek bau pesing itu jual tampang jeleknya di muka bumi! Tapi kurasa tak ada salahnya kita menunda kematian nenek bau ini kalau dia mau menyerahkan cepat-cepat Batu Penyusup Batin yang dirampasnya tempo hari." (Dalam Episode sebelumnya berjudul "Tripping" diceritakan bagaimana Sinto Gendeng berhasil merampas satu batu sakti bernama Batu Penyusup Batin milik Kunti Api yang dipinjamkan pada Si Muka Bangkai untuk diserahkan pada Pangeran Matahari. Batu ini mempunyai kesaktian membuat seseorang tidak terlihat. Sinto Gendeng merampas batu tersebut ketika batu tengah dipergunakan Si Muka Bangkai untuk mengusapi wajah dan tubuh Pangeran Matahari di sebuah gudang bangunan).
"Ah, gentayangan malam-malam buta ternyata kalian mencari batu butut itu! Hik... hik... hik.... Kalian datang terlambat. Sayang sekali... sayang sekali!"
"Tua bangka jahanam! Apa maksudmu"!" Menghardik Si Muka Bangkai. Dia paling merasa bersalah
karena batu sakti milik gurunya itu sampai dapat dirampas oleh Sinto Gendeng. Sang guru yang disebutnya dengan panggilan Eyang Kunti Api memang belum menunjukkan tanda-tanda marah apa lagi menjatuhkan hukuman. Tapi kalau sampai batu itu tidak berhasil didapatnya kembali, jangan harap dia bisa lolos dari rajaman. Bukan mustahil Kunti Api sendiri yang akan menghabisi nyawanya!
Ditanya Si Muka Bangkai, Sinto Gendeng berkata. "Kata orang, batu sakti itu bisa membuat seseorang lenyap, tidak terlihat sosoknya oleh orang lain. Nah, nah! Kalau batu itu memang masih ada padaku mana mungkin kalian berdua bisa melihatku sejelas seperti sekarang?"
"Tua bangka celaka! Kau kemanakan batu itu"!" bentak Kunti Api.
Sinto Gendeng garuk-garuk pipinya yang baret akibat cakaran Si Muka Bangkai tempo hari.
"Aku lupa aku kemanakan batu itu. Mungkin sudah kujual pada tukang loak. Barangkali sudah kubuang ke jamban atau comberan. Aku lupa, maklum sudah tua. Jadi sudah pikun! Hik... hik... hik!"
Merasa dipermainkan Kunti Api menggembor marah. Dia melompat hingga kini jaraknya dengan Sinto Gendeng hanya terpisah tiga langkah. "Aku tanya kali terakhir! Kau kemanakan Batu Penyusup Batin milikku"!" Kunti Api membentak garang.
"Ada, tapi aku lupa aku kemanakan. Tunggu, biar aku berpikir mengingat-ingat lebih dulu!" jawab Sinto Gendeng sambil menggaruk-garuk kening. Sesaat kemudian dia berkata. "Ah, baru aku ingat. Batu sakti itu kemarin malam aku main-mainkan dalam mulut. Tak sengaja tertelan. Tadi pagi aku sulit buang air besar. Mampet, seperti ada yang menghalangi. Saat ini ada sesuatu terasa mengganjal di bawah bokongku. Hik... hik! Mungkin sekali batu sakti milikmu itu!"
"Jahanam kurang ajar! Kau berani mempermainkan aku!" teriak Kunti Api sementara Si Muka Bangkai melangkah mendekati.
"Eyang, dia minta mampus lebih cepat! Kita habisi saja sekarang juga!" berucap Si Muka Bangkai.
"Hai tunggu!" seru Sinto Gendeng. "Aku tidak berdusta. Yang mengganjal di bawah perutku pasti batu sakti itu. Jika kalian tidak percaya lihat saja sendiri!"
Habis berkata begitu enak saja si nenek tarik ke atas kain panjangnya yang bau pesing, memutar tubuh lalu menungging ke arah dua orang yang kini dibelakanginya. .
"Lihat baik-baik! Kalau ada benda biru-biru pasti batu sakti yang kalian cari!" kata Sinto Gendeng lalu tertawa ha-ha hi-hi.
Kunti Api palingkan kepala. Wajahnya semerah saga. Seumur hidup belum pernah dia dihina orang begitu rupa. Si Muka Bangkai keluarkan seruan tertahan lalu buru-buru menoleh ke jurusan lain, tak berani memandang.
Dalam marahnya Kunti Api melompat ke depan sambil hantamkan tendangan ke pantat Sinto Gendeng. Yang diserang sudah bisa menduga. Sebelum tendangan sampai dia menghambur tiga langkah ke depan. Begitu kaki Kunti Api menderu lewat dia berbalik sambil lepaskan pukulan yang memancarkan sinar terang berkilauan dalam gelapnya malam.
"Pukulan Sinar Matahari! Awas!" Berteriak Si Muka Bangkai. Dengan cepat dia hantamkan tangan kanannya.
Diserang orang Kunti Api tidak tinggal diam. Nenek ini hantamkan pukulan tangan kosong sekaligus dengan tangan kiri kanan. Terjadi pemandangan dahsyat dalam gelapnya malam.
Dari arah Sinto Gendeng melesat sinar putih berkilauan menebar hawa panas luar biasa. Sebaliknya dari arah dua lawan menghambur rangkuman sinar merah, kuning dan hitam. Itulah Pukulan "Gerhana Matahari" yang
dilepaskan Si Muka Bangkai dengan tangan kanan.
Dari dua tangan Kunti Api sendiri menderu dua larik sinar merah membara. Inilah pukulan maut yang disebut "Setan Api Turun Ke Bumi."
"Dess!"
"Dess!"
"Dess!"
"Blaaarrr!"
Dua pekikan satu seruan keras mengumandang tapi tertindih oleh suara gelegar dahsyat disertai kobaran nyala api mencuat ke langit menggoncang seantero tempat. Pohon besar di ujung gang mengepulkan asap. Kios rokok milik Pasiran untuk kedua kalinya mencelat mental dan hancur berantakan tak karuan. Kenalan Pasiran yang diminta menjaga kios itu sudah tunggang-langgang sejak tadi-tadi. Dia tidak melihat tiga dedengkot rimba persilatan itu saling baku hantam. Namun begitu pohon besar mengepulkan asap dan kios rokok terpental hancur berantakan, tidak pikir panjang lagi orang ini segera menghambur lari.
Dua serangan yang dilepaskan Si Muka Bangkai dan Kunti Api setelah bertabrakan dengan Pukulan Sinar Matahari yang dilepas Sinto Gendeng terbelah dan melesat ke arah tiga penjuru. Namun yang jadi sasaran sudah lebih dulu berkelebat lenyap. Sebalikhya Pukulan Sinar Matahari walau terbelah dua masih sempat menyambar ke arah Si Muka Bangkai dan Kunti Api. Kedua orang ini sama-sama terpekik, menghambur selamatkan diri.
"Wuss!"
"Wuss!"
"Jahanam kurang ajar!" terdengar makian Kunti Api. Nenek ini sibuk mengipas-ngipas mematikan api yang membakar ujung bawah mantelnya. Tapi karena mantel terlalu tebal, semakin dikipas api semakin besar. Sambil menyumpah tak karuan dari pada terbakar hangus Kunti Api terpaksa buka mantelnya. Celakanya di sebelah dalam nenek ini tidak mengenakan pakaian lain, kecuali kutang lebar dan celana dalam butut!
Di bagian lain Si Muka Bangkai tegak dengan tengkuk merinding dan muka bertambah pucat. Pakaian rombengnya di sebelah kanan hangus hitam. Dalam marahnya Kunti Api melompat ke depan, mencari Sinto Gendeng. Tapi orang yang dicari tak kelihatan lagi. Lenyap entah ke mana. Ketika pandangannya membentur sosok Kunti Api kagetlah Si Muka Bangkai melihat keadaan gurunya.
"Eyang, apa yang terjadi denganmu!" "Edan! Kau sudah lihat sendiri! Masih bertanya!" bentak Kunti Api marah.
"Aku bersumpah akan membunuh nenek keparat itu!"
"Kalau begitu cari dia! Kejar sampai dapat! Mengapa masih berada di tempat ini"!" Hardik Kunti Api.
Si Muka Bangkai jadi bingung. "Eyang Kunti, kalau aku pergi bagaimana denganmu?"
Tak usah perdulikan diriku! Lekas cari dan kejar tua bangka keparat itu!"
Setengah hati tapi karena takut Si Muka Bangkai akhirnya tinggalkan juga tempat itu. Tak lama setelah muridnya pergi Kunti Api berlalu pula dari situ. Sepanjang jalan sumpah rutuknya terdengar tiada henti.
Di satu tempat gelap Sinto Gendeng tertawa cekikikan. "Kunti Api, Kunti Api!" Ucap Sinto Gendeng sambil geleng-geleng kepala. "Di luar dandananmu kelihatan mewah mencorong. Mantel tebal biru bahan mahal. Di dalam ternyata cuma pakai kutang dan celana butut! Hik... hik... hik! Apa begitu semua perempuan sekarang"! Hik... hik... hik!"
Dari dalam rumah sepanjang dua sisi jalan, penghuni kelihatan keluar. Mereka terheran-heran melihat pohon besar mengepulkan asap. Lalu kios rokok Pasiran yang terguling di jalan, hancur berantakan.
EMPAT PERKARA BESAR SESUAI janji malam tadi, hari Minggu pagi Ronny datang ke rumah Boma. Suasana lengang menyambutnya. Biasanya Sumitro Danurejo, ayah Boma, saat-saat seperti itu duduk di kursi dekat tangga, mengenakan singlet dan kain sarung, duduk membaca koran sambil menghisap rokok ditemani secangkir kopi. Atau ibu Boma keluar menyapanya. Sementara Boma sendiri biasanya masih bergelung di tempat tidur. Tapi sekali ini Sumitro Danurejo tak kelihatan di kursinya. Ibu Boma tidak keluar menyambut dan menyapanya. Di atas meja Kompas Minggu terlipat rapi, belum disentuh, belum dibaca. Di samping koran secangkir kopi panas masih penuh, belum diminum. Aromanya yang harum menggoda rongga pernafasan Ronny.
Ronny Celepuk melangkah mendekati meja. Pagi itu dia memang belum sempat sarapan atau minum. Melihat kopi panas dalam cangkir dan mencium harumnya yang sedap, membuat air liur Ronny turun naik di tenggorokkan. Anak lelaki berhidung bengkok ini membungkuk. Ulurkan tangan.
"Rejeki nganggur jangan didiemin. Minum dulu aah...."
Baru saja jari-jarinya menyentuh pegangan cangkir tiba-tiba ada suara orang batuk di belakangnya. Ronny kaget. Tangannya goyang. Sebagian kopi panas tumpah menyirami tangannya. Anak lelaki itu mengerenyit kesakitan, cepat-cepat meletakkan cangkir kopi ke atas tatakannya di meja. Ketika dia berpaling Sumitro Danurejo sudah berdiri di hadapannya. Kaca mata tebal plus 6 mencantel rendah di batang hidungnya.
Ronny Celepuk jadi salah tingkah". "Wah, habis deh gue didamprat!" Pikir Ronny. Dia sadar kesalahannya. Dia memberanikan diri menyapa.
"Selamat pagi Oom."
"Haus?" tanya ayah Boma.
Ronny tambah salah tingkah. Tapi dasar celepuk masih bisa nyengir.
"Minum saja kopinya. Habisin."
"Nggak Oom. Kirain nggak ada orang di rumah. Sayang kopi panas didiemin." Ucap Ronny. Lalu sebelum Sumitro Danurejo membuka mulut, anak ini cepat bertanya. "bomanya ada Oom?" Lelaki pensiunan Departemen Penerangan itu pegang bahu kanan Ronny Celepuk, menekannya sambil berkata.
"Duduk...."
Ronny jadi kecut.
"Sial bener." Ronny menyesali diri dalam hati. "Mau diapain gue" Gara-gara nggak tahan ngeliat kopi di .cangkir."
Ronny duduk di kursi yang biasa diduduki Sumitro Danurejo. Sumitro sendiri kemudian duduk di bangku lain di hadapan Ronny. Pandangan matanya tak berkesip diarahkan tepat-tepat ke mata Ronny, membuat anak lelaki ini jadi tambah kecut.
"Maaf Oom, kopinya nggak sempat saya minum. Masih utuh. Cuma tumpah sedikit."
"Diam. Saya mau bicara." Suara dan air muka Sumitro Danurejo ter-dengar dan kelihatan serius. Membuat Ronny tambah merasa tidak enak. Dia menunggu apa yang mau dikatakan ayah Boma. "Tadi malam Boma dikeroyok orang." Kata-kata itu kemudian keluar dari mulut Sumitro.
Ronny kaget. "Tadi malam Boma dikeroyok orang." Sumitro Danurejo mengulang.
"Sama siapa Oom?" Ronny bertanya.
"Belum tahu. Boma sama beberapa orang saksi dibawa ke Polsek. Ditanyai sampai pagi. Ini perkara besar." "Sekarang Bomanya di mana?"
Sumitro menudingkan jari telunjuk tangan kirinya ke atas. "Di kamarnya. Tidur. Capek.... Sakit."


Boma Gendeng 4 Muridku Macho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya boleh ke atas Oom?"
Sumitro diam sebentar lalu mengangguk. "Kalau dia masih tidur, jangan dibangunkan."
Ronny berdiri. Tangga kayu menuju tingkat atas seperti mau dilompatinya. Pintu kamar Boma renggang tak tertutup. Ronny mendorong daun pintu. Di sudut kamar dilihatnya ibu Boma tertidur di atas sehelai sajadah. Di sampingnya, Bram kakak Boma duduk di lantai bersandar ke dinding, matanya terpejam. Mungkin tidur.
Ronny mendorong daun pintu lebih ke dalam.
Begitu masuk ke kamar, begitu langkah Ronny terhenti.
Sosok Boma terbaring di tempat tidur. Dua bantal sekaligus menopang kepalanya. Mata kiri bengkak, pipi kiri kanan lebam. Hidung merah, ada nocl.i darah mengering di salah satu pinggiran lobangnya. Mata kiri yang bengkak dan mata kanan sama-sama terpejam. Tapi dua mata itu bergerak membuka ketika pintu kamar terbuka dan Ronny masuk.
Melihat wajah Boma, kalau tidak ada ibu dan kakak kawannya itu dalam keadaan tertidur hampir saja dia memanggil setengah berteriak. Dengan menindih suaranya, seperlahan mungkin Ronny berkata.
"Bom! Gila! Kau kenapa"!"
Yang ditanya menatap sebentar lalu tersenyum. "Sial! Muka lu bengep begitu masih bisa nyengir!"
Boma menyilangkan telunjuk tangan kiri diatas mulutnya seraya menggoyangkan kepala ke arah ibu dan kakaknya.
"Kita bicara di bawah aja." Kata Boma.
"Memangnya lu bisa jalan?" tanya Ronny Celepuk.
"Jangankan jalan. Terbang juga gua bisa!" jawab Boma.
"Tapi di bawah ada bokap lu," kata Ronny lagi. "Kita ngomong di teras, di bawah pohon jambu."
"Kamu nggak ngerasa sakit Bom" Muka lu ancur-ancuran begitu."
"Ala, gua udah minum obat." Jawab Boma. "Kamu udah ke dokter?"
Boma menggeleng. Sebenarnya Boma sendiri merasa heran. Akibat pukulan dan tendangan orang-orang yang mengeroyoknya mukanya dan beberapa bagian tubuhnya babak belur. Tapi rasa sakit hanya dirasakan beberapa saat, malam tadi. Setelah itu dia tidak merasa apa-apa lagi. Cuma orang yang melihat keadaan wajahnya memang bisa merasa ngeri sendiri. Boma sadar kalau obat yang diberikan nenek kulit hitam malam tadi itulah yang telah menolongnya.
Tangga kayu mengeluarkan suara berderik sewaktu Boma dan Ronny menuruni menuju ke lantai bawah. Ketika dua anak ini melewati ruang tamu, dari bawah tangga mendadak terdengar suara Sumitro Danurejo.
"Boma! Kamu mau ke mana?"
"Nggak ke mana-mana. Cuma di teras." Jawab Boma.
Di teras di bawah pohon jambu berdaun rimbun yang tidak pernah berbuah sejak ditanam, Boma duduk di sebuah kursi reyot, Ronny duduk di atas bangku kayu.
"Sekarang ceritain apa yang kejadian, Bom." Ronny sudah tidak sabar.
Boma lalu menceritakan peristiwa tadi malam yaitu hanya beberapa saat setelah dia turun dari motor Ronny.
"Aku lagi jalan ke kios rokoknya Mas Pasiran. Biasa, beliin rokok pesanan Bokap gua. Mendadak ada mobil berhenti. Lima orang aku liat keluar dari Toyota Hardtop. Kamu ingat kejadian waktu aku sama Firman dipukulin orang di Gramedia?"
Ronny mengangguk.
"Nah, yang dua aku kenalin. Salah satu dari mereka lelaki berewok bernama Fred. Orang-orang ini nyariin kamu juga."
"Pasti mereka mau balas dendam."
"Bukan cuma mau balas dendam Ron. Aku mau dibunuh. Salah seorang dari mereka bawa belati. Hampir mampus aku Ron...."
Cerita Boma terputus. Anak ini tidak tahu bagaimana dia harus melanjutkan ceritanya tanpa memberi tahu kalau ada satu kekuatan dalam dirinya yang membuat dia sanggup menghadapi lima pengeroyok. Juga tidak mungkin dia memberi tahu munculnya nenek aneh berkulit hitam yang batok kepalanya ditancapi lima tusuk konde perak itu.
"Terusnya gimana Bom?" tanya Ronny.
Boma menowel hidungnya yang bengkak. Otaknya diputar mencari jawaban. Untung dia segera dapat akal.
"Mas Pasiran. Dia bersama beberapa orang yang kebetulan ada di dekat situ berteriak-teriak lalu mendatangi. Lima pengeroyok kabur...."
"Lantas gimana kamu bisa dibawa ke Polsek?" tanya Ronny.
"Kamu tahu dari mana aku dibawa ke Polsek?"
"Bokap lu yang bilang." Jawab Ronny Celepuk.
Boma mengangguk. "Nggak lama sesudah orang-orang itu kabur, kebetulan ada patroli Polsek lewat.Aku sama Mas Pasiran dan beberapa orang lainnya dibawa ke Kantor Polisi. Diminta keterangan. Tapi aku nggak bilang kalau pengeroyokan itu ada sangkut pautnya sama kejadian kita dengan si Bodong dan si Anton. Aku nggak mau teman-teman ikut terlibat, dipanggil ke Kantor Polisi. Termasuk kamu, Ron."
"Jadi soal kamu dikeroyok sampai babak belur begini, sama Polisi kamu bilang apa?"
"Aku bilang orang-orang itu mau ngerampok. Tapi aku nggak punya apa-apa yang berharga untuk dirampok. Mereka jadi marah. Aku melawan. Salah seorang dari mereka cabut belati mau nusuk aku."
"Polisi nggak bodoh Bom. Aku juga nggak setuju. Kamu mustinya ceritakan semuanya. Ini bukan urusan main-main Bom."
"Aku tau," jawab Boma perlahan. "Naga-naga-nya para pengeroyok itu bakal bisa dibekuk dalam waktu singkat. Soalnya plat nomor mobil Toyota Hardtop itu ada di tangan Polisi. Siapa pemiliknya gampang dilacak." Boma mengalihkan pembi-caraan.
"Gimana plat mobil itu bisa ada sama Polisi?" Ronny bertanya heran.
Boma mengusap kepalanya sekali lagi. Diamenyesal memberi tahu soal plat nomor mobil itu. Karena hal ini berhubungan dengan si nenek aneh. Di Polsek, petugas sampai beberapa kali bertanya bagaimana Boma bisa mendapatkan plat nomor Toyota Hardtop itu.
"Aku nemuin di jalan. Dekat tempat aku dikeroyok. Mungkin jatuh. Mungkin murnya udah kendor." Boma memberi jawaban yang sama dengan apa yang dikatakannya di Polsek.
"Rasain mereka! Huh! Bokapmu bilang ini perkara besar. So pasti. Ini perkara kriminal Bom. Kamu mau dibunuh! Yang direncanakan lebih dulu. Hukumannya berat Bom! Rasain si Anton! Baru nyaho' dia! Baru tau die!"
"Belum tentu ini kerjaannya si Anton, Ron." Kata Boma. "Bisa aja si berewok bernama Freddy itu ngajak temen-temennya ngerjain aku karena dendam."
"Kalau buat gua sih udah kebaca. Si Anton pasti kebawa-bawa. Terserah kamu. Kamu bilang sama Polisi kejadian itu cuma perampokan. Berarti latar belakangnya nggak tersingkap. Kalau urusan sampai di Pengadilan, sekali kamu nyanyi si Anton nggak bisa lari." Ronny diam sebentar lalu berkata lagi. "Sebenarnya kalau dipikir-pikir si Anton itu yang dendam berat sama aku.
Ingat waktu aku bikin KO dia di sekolah" Tapi malah kamu yang jadi sasaran."
"Kita berdua jadi sasaran. Aku yang ketemu, aku yang apes duluan." ujar Boma pula. "Orang yang bernama Freddy sama temannya mungkin dendam berat sama gua. Gara-gara gua kencingin di toilet Gramedia." Boma mengusap hidungnya. "Ini jadi urusan nggak enak buat aku Ron. Sidang peristiwa perampokan tempo hari aja belon beres. Sekarang urusan kayak gini. Lusa, hari Selasa aku musti ke Polsek lagi."
"Tapi kalau urusan nggak dibikin tuntas preman-preman seperti pengeroyokmu itu nggak kapok-kapoknya," kata Ronny pula. "Dan kau tau! Si Anton pasti keseret-seret! Dosanya lebih berat. Karena dia bisa dianggap sebagai dalang pelaku. Dia pasti yang ngebayar lima preman itu untuk ngerjain kita-kita. Anak tolol! Cuman gara-gara naksir sama Trini aja, bikin urusan yang nggak-nggak. Aku bilang sama kamu Bom. Udah, jauin aja si Trini. Dia cuma bikin masalah buat kita-kita. Temen-temen pada nggak suka sama dia. Kalau si Anton memang suka sama Trini ya sudah. Kasih aja! Segala cewek kayak begituan kamu ladenin!"
"Jangan sewot Ron. Aku rasa Trini nggak tau apa-apa. Biar gimana dia teman kita juga."
"Ah, kamu masih ngebelain dia. Jangan-jangan kamu benaran cintrong sama dia!" Ronny tampak kesal. Setelah diam beberapa saat Ronny berkata. "Batal rencana kita ke rumah si Allan. Baiknya kamu tidur aja Bom. Istirahat. Besok pasti kamu belum bisa sekolah. Aku mau beri tau teman-teman...."
"Jangan. Nggak usah Ron."
"Nggak bisa!"
"Oke deh. Terserah kamu." Boma mengalah. "Tapi cukup cuma Firman, Vino, Rio, Andi dan Gita. Allan juga boleh. Yang lain-lain nggak perlu tau.
"Trini?" tanya Ronny. "Nggak usah." "Dwita?" tanya Ronny lagi. Boma diam tapi kemudian gelengkan kepala. "Nggak usah Ron."
"Kok?"
Ronnymenyengir. "Aku nggak mau temen-temen jadi pada repot. Cuma gara-gara anak gendenk macam aku ini dikerjain orang."
Ronny Celepuk angkat bahu, berdiri lalu usap kepala cepak temannya itu.
"Bom, aku jadi nyesel. Semua kejadian ini gara-gara aku ngejotosin si Bodong di Atrium Senen dulu, konconya si Anton yang ngelempar kamu sama telor busuk. Ditambah si Anton aku hajar sampai semaput di sekolah. Ditambah lagi si Anton ngebet sama Trini, tapi tu cewek suka sama ka-mu....?"
"Ala.... Nggak usah pakai nyesel-nyesel segala Ron. Anggap aja gue lagi apes." kata Boma pula sambil mengusap hidungnya.
Boma masih tampak kesal. Kesal pada dirinya sendiri.
"Gimana kalau aku kumpulin temen-temen. Bikin pembalasan sama orang-orang yang mukulin kamu."
"Biar Polisi yang kerja Ron. Lagian siapa teman teman yang kamu maksudkan" Si Firman ceking" Vino, Andi...."
"Bukan mereka Ron. Aku punya teman. Gang anak-anak Kramat."
"Jangan cari urusan baru Ron. Ngomong-ngomong kepala gua rada pusing. Gua tiduran dulu...."
"Oke Bom. Nanti aku datang lagi." Ronny menunggu sampai temannya itu masuk ke dalam rumah, baru melangkah pergi.
LIMA SUMPAH BOMA DAN KENYATAAN
JAM ke tiga di Kelas II-9 adalah mata pelajaran bahasa Inggris. Ibu Renata yang belum lama sembuh dari sakit pagi itu memasuki kelas dengan air muka cukup cerah walau sejak beberapa hari belakangan ini senyumnya tak banyak kelihatan. Senyum itu malah tidak ada sama sekali setiap dia mengajar di Kelas II-9. Setiap memasuki Kelas II-9 Ibu Renata merasa seperti ada ganjalan. Semua anak di kelas ini paling tahu peristiwa dia mengajak Boma menonton. Berdiri di depan kelas dia merasa mata setiap anak memandangnya seperti mencemooh.
Ibu Renata menjawab salam selamat pagi anak-anak dengan anggukan kepala. Dan surprise!. Ada sedikit senyum di bibirnya yang merah. Namun senyum yang sedikit ini serta merta pupus sewaktu dia mengarahkan pandangan ke sudut kiri kelas. Bangku Boma Tri Sumitro kosong.
"Boma tidak masuk?" Ibu Renata bertanya. Pandangannya diarahkan pada Firman kawan satu bangku Boma. Firman
mendahului jawabannya dengan gelengan kepala.
"Tidak Bu."
Guru Bahasa Inggris ini seperti hendak bertanya lagi namun membatalkan maksudnya.
Di bangku depan kiri Trini berpaling pada Gita. "Dut, kamu tau Boma ke mana?"
Si gendut Gita Parwati yang sejak lama memang tidak sreg dengan Trini, apa lagi barusan ditegur dengan sebutan Dut, kependekan dari Gendut, cuma angkat bahu lalu gelengkan kepala.
Ibu Renata melirik ke arah Trini dan Gita. Dia diam sesaat. Mungkin ada yang tengah dipikirkan. Mungkin juga ada yang hendak ditanyakannya pada salah satu dari dua anak perempuan itu. Tapi apa yang kemudian dilakukannya adalah mengambil buku bahan pelajaran Bahasa Inggris yang diletakannya di meja.
Setelah hampir setengah jam mengikuti pelajaran, "Si Centil" Sulastri anak baru pindahan dari Semarang membalikkan badan. Dengan suara perlahan setengah berbisik berkata pada Vino yang duduk di belakangnya.
"Bo, aku liat Ibu kita ngajarnya kayak nggak ada semangat." "Masa' sih" Kok kamu tau?" sahut Vino.
"Ini pasti gara-gara si Macho nggak masuk."
"Maksudmu Boma?"
"Siapa lagi." Jawab Sulastri. "Lucu ya?"
"Apanya yang lucu?" Tanya Rio yang duduk di samping Vino.
"Ibu Renata kan lagi marahan sama Boma. Tapi begitu Boma nggak masuk ditanyain juga." Jawab Sulastri.
"Kamu tau dari mana Ibu Renata marah sama Boma?" Vino yang bertanya.
"Sulastri bo!" jawab cewek cakep bertubuh padat sintal, berkulit hitam manis itu. "Kalau orang sekampung aja tau Ibu Renata marah gara-gara omongannya mau ngajak Boma nonton bisa kesebar di sekolahan ini, masa' Sulastri nggak bisa tau" Kayaknya bakalan ada kejadian besar antara Boma dan Ibu Renata."
"Kamu nyumpahin temen sama guru sendiri." Firman yang ikut mendengar percakapan nimbrung ngomong.
"Dosa lho, kalau aku nyumpahin. Tapi aku sudah bisa memperkirakan tau" Lagian kejadian yang aku maksud itu belum tentu hal jelek. Ihh... Belum tau dikau." Sulastri bicara sambil senyum-senyum.
"Kamu kayak paranormal aja!" ucap Vino. Sulastri ulurkan tangannya, coba menusuk lengan Vino dengan ujung bolpen. Untung Vino cepat menghindar dengan menarik tangannya.
Di bangku depan sebelah kanan, si gemuk Gita Parwati yang duduk di belakang Trini sejak tadi memperhatikan Vino dan yang lain-lainnya. Gita heran dan menduga-duga apa yang tengah dibicarakan anak perempuan yang dijulukinya "Si Centil" itu dengan kawan-kawannya yang lain.
"Ssstt... udah, jangan ngobrol aja. Ibu Renata dari tadi ngeliatin ke sini." Kata Andi yang duduk di samping kanan Sulastri.
"Anak-anak, harap memperhatikan pelajaran! Jangan ngobrol sendiri-sendiri!"
Baru saja Andi mengingatkan terdengar suara Ibu Renata memperingatkan.
"Nah, gue bilang apa!" kata Andi.
Beberapa menit sebelum jam pelajaran selesai Ibu Renata melangkah ke sudut kelas di mana Sulastri, Rio, Vino, Firman, Andi dan Ronny duduk saling berdekatan. Anak-anak itu mengira Ibu Renata akan memarahi mereka karena tadi ngobrol seenaknya dalam jam pelajaran. Tapi dugaan mereka keliru.
Setelah memandangi anak-anak itu satu persatu Ibu Renata bertanya.
"Kalian tahu ke mana Boma" Kenapa dia tidak masuk hari ini?"
Tak ada yang menjawab. Mungkin bisa tapi tidak mau. Hari Minggu siang, sehabis dari rumah Boma Ronny keliling menemui teman-temannya. Dia menceritakan apa yang terjadi dengan Boma. Pada semua temannya Ronny mengingatkan agar kejadian itu tidak diceritakan pada siapa pun-termasuk Trini dan Dwita. Firman dan Vino melirik ke arah Ronny. Ronny sendiri duduk diam dan tenang-tenang saja sambil usap-usap dagu. Ibu Renata merasa ada sesuatu yang disembunyikan anak-anak itu. Dia mendekati Ronny lalu berkata.
"Temui saya di kantor pada jam istirahat."
"Ajie sial!Gue yang kena!" kata Ronny Celepuk sambil garuk-garuk kepala begitu Ibu Renata melangkah kembali ke depan kelas.
Jam istirahat, sewaktu Ronny berjalan menuju Kantor SMU III Nusantara, Trini setengah berlari mengejarnya. Trini pegang pundak anak lelaki itu.
"Ron, memangnya Boma ke mana" Sakit?"
"Nggak 'tu." Jawab Ronny.
"Lalu, kok nggak masuk?"
"Nggak tau juga, ya."
"Memangnya kamu enggak ketemu-ketemu dia?"
"Baru hari ini." Jawab Ronny. "Ala, kamu bohong! Kamu pasti tau Boma ke mana."
"Kalau tau pasti aku bilang, Rin."
"Lalu kalau nanti Ibu Renata tanya, kamu mau bilang apa?"
"Sama. Nggak tau." Jawab Ronny lalu mene-ruskan langkahnya menuju Kantor Sekolah.
"Celepuk itu bohong! Aku yakin dia bohong!" kata Trini sendirian.
Trini memandang berkeliling. Dekat lapangan basket dilihatnya Vino, Andi, Firman dan Rio asyik bicara. Anak perempuan ini segera mendatangi mereka. Tapi langkahnya serta-merta tertahan sewaktu dari ujung kiri lapangan basket Dwita Tifani bersama Gita Parwati kelihatan berjalan ke arah kelompok anak-anak lelaki itu. Sekali pun berlari, Trini tidak mungkin mencapai Vino dan kawan-kawannya lebih dulu dari Dwita dan Gita.
"Brengsek," Trini Damayanti hanya bisa menggerutu dalam hati. Dia tidak suka pada Gita. Pada Dwita lebih lagi.
KETIKA Ronny memasuki Ruang Kantor SMU Nusantara III Ibu Renata sedang bicara dengan Bapak Sanyoto, Guru Olah Raga. Ronny terpaksa
mengurungkan niatnya masuk, berdiri menunggu dekat pintu. Dari tempatnya berdiri anak ini dapat melihat Ibu Renata menggeleng-gelengkan kepala. Lalu Ronny mendengar Guru Bahasa Inggris itu berkata.
"Malam nanti saya tidak bisa Pak San. Lain kali saja."
"Belakangan ini Ibu kelihatan banyak sibuk. Kesehatannya lho Bu Rena. Kan habis sakit...."
"Terima kasih Bapak memperhatikan saya."
Pak Sanyoto berpaling ke pintu. Sekilas dia melihat sosok Ronny di luar sana. Guru Olah Raga ini memandang kembali pada Ibu Renata.
"Jadi boleh?" Suara Pak Sanyoto lebih pelan dari tadi. Mungkin karena kini tahu ada orang lain di dekat situ.
"Maafkan saya Pak San. Nanti saja. Saya akan beri tahu."
Ronny ulurkan kepalanya melewati pinggiran pintu. Dia melihat Pak Sanyoto berdiri dengan wajah kecewa. Lalu dengan senyum dibuat-buat Guru Olah Raga itu keluar dari ruangan. Ketika melihat Ronny di dekat pintu senyum yang dibuat-buat itu lenyap.
"Ada apa kamu di sini"! Guru Olah Raga bertanya. Nada suaranya tinggi dan mimik wajahnya tidak sedap. Di balik semua ini tersembunyi adanya rasa kawatir. Kawatir kalau-kalau Ronny mendengar pembicaraannya dengan Ibu Renata tadi.
"Saya dipanggil Ibu Renata, Pak." Jawab Ronny Celepuk.
"Ya sudah. Masuk sana." Pak Sanyoto bergegas meninggalkan tempat itu.
Ibu Renata masih berdiri di tempat tadi dia bicara dengan Guru Olah Raga Pak Sanyoto.
"Pak Sanyoto bicara apa sama kamu?" Bertanya Ibu Renata.
"Nggak bicara apa-apa Bu. Cuma tanya ada keperltian apa saya berdiri dekat pintu." "Kamu jawab apa?"
"Saya bilang saya dipanggil Ibu." Jawab Ronny.
Ibu Renata duduk di kursi di belakang meja. Dia tidak menyuruh Ronny duduk di kursi di depannya.
"Ronny...."
"Ya Bu."
"Kamu sama Boma kawan karib 'kan?" Ronny mengangguk.
"Berarti kamu tahu kenapa Boma tidak masuk hari ini."
"Saya nggak tau Bu. Mungkin saja dia sakit...."
"Bagaimana kamu tahu kalau dia sakit?"
"Saya bilang mungkin Bu."
"Kapan kamu terakhir kali bertemu Boma?" Ronny Celepuk tak segera menjawab. Mungkin dia tengah berpikir. Mungkin juga merasa heran mengapa Ibu Renata begitu ingin tahu mengapa Boma tidak masuk sekolah hari ini.
"Terakhir saya ketemu Boma.... Hari Sabtu. Waktu sama-sama pulang sekolah." "Betul?" "Sungguh Bu."
"Kamu nggak bohong?"
Ronny tertawa. "Kok kamu ketawa?"
"Saya nggak bohong Bu."
"Ibu tahu kamu bohong."
Ronny terdiam. Mencoba senyum. Senyum anak lelaki ini justru membuat Ibu Renata semakin yakin kalau dia memang bohong.
"Saya mau kamu cerita yang sebenarnya, Ronny."
Ronny usap-usap hidungnya yang seperti paruh burung kakak tua. Matanya tak berani menatap wajah Ibu Renata. Hatinya berkata-kata sendiri.
"Heran, Ibu ini kok maksa banget sih. Jangan-jangan dia punya firasat ada apa-apa dengan Boma. Tapi apa sih sebenarnya kepentingannya. Dulu Boma pernah cerita kalau Ibu Renata marah sama dia. Boma dituduh menyebar omongan soal ngajak nonton itu. Ibu Renata benci berat sama Boma. Sekarang malah mau tau banyak mengenai Boma."
"Ronny...."
"Ya, Bu." "Saya tahu kamu anak baik. Saya ingin kamu bicara apa adanya."
"Saya nggak tau mau ngomong apa Bu."
"Kenapa" Kamu tidak suka sama saya?"
"Nggak Bu."
"Lalu" Ada yang melarang" Boma" Teman-temanmu?"
"Bu, saya minta waktu."
"Maksudmu?" Ibu Renata menyan-darkan punggungnya ke kursi. Dalam hati dia berkata. "Anak ini tahu sesuatu. Tapi dia tidak mau bicara."
"Besok saya kasi tau Ibu."
"Lho, kok sampai nunggu besok" Memangnya mau lapor sama siap dulu?" Ibu Renata tersenyum. Senyum yang bagi Ronny terasa seperti mendesaknya.
"Nggak lapor sama siapa-siapa Bu."
"Berarti kamu bisa bicara sekarang. Nggak usah besok.''
Ronny diam. Mengusap hidungnya.
"Ronny, Ibu akan sangat kecewa kalau kau tidak mau bicara."
Ronny kembali terdiam.
Bel tanda masuk berdentang.
Ibu Renata berdiri. Wajahnya memancarkan rasa kecewa tapi juga menunjukkan rasa bingung. Ronny Celepuk untuk beberapa lama masih berdiri di depan meja. "Kalau tidak ada yang mau kau katakan, silakan kembali ke kelas." Kata Ibu Renata tanpa meman-dang pada Ronny dan sambil mengambil tasnya dari atas meja.
"Bu Renata, maafkan saya Bu. Saya sudah janji sama Boma, sama teman-teman agar nggak cerita. Tapi Saya takut Ibu marah...."
"Saya tidak marah. Buat apa marah?" ujar Guru Bahasa Inggris itu. Dia tetap tegak tak beranjak dari belakang meja.
"Boma kena musibah lagi Bu."
Sepasang bola mata bagus dan bening Ibu. Renata membesar sedikit, menatap Ronny tak berkesip.
"Musibah apa" Apa yang terjadi?"
"Boma dikeroyok lima orang. Kejadiannya malam Minggu lalu. Perkaranya sekarang sudah di tangan Polisi."
Tubuh Ibu Renata perlahan-lahan duduk kembali ke kursi.
"Sekarang Boma di mana?"
"Di rumah, Bu."
"Ronny, ceritakan selengkap-lengkapnya bagaimana kejadiannya." "Tapi sudah bel Bu."
"Biar, nanti saya bicara sama guru yang mengajar."
RONNY sudah lama keluar dari ruangan Kantor SMU Nusantara III tapi Ibu Renata masih duduk di belakang meja. Wajahnya yang cantik tampak redup. Sebentar-sebentar dia menarik nafas dalam. Cerita Ronny membuat Guru Bahasa Inggris ini gelisah berat. Pikiran dan hatinya kacau-balau. Lalu dia ingat pertemuannya dengan Boma di ruangan kantor itu beberapa waktu lalu. Dia menuduh Boma menyebar luaskan cerita yaitu bahwa dia mengajak anak itu menonton tapi ditolak. Cerita itu kemudian menjadi gunjingan yang memalukan di seluruh SMU Nusantara III. Bukan cuma para murid saja yang tahu, tapi guru-guru pun tahu. Pak Nugroho, Kepala Sekolah sampai menegurnya.
Boma sendiri tidak mengaku sebagai pelaku yang menyebar luaskan cerita tersebut. Ibu Renata ingat pembicaraannya dengan Boma di ruangan itu.
Saya tidak menyangka seburuk itu budi pekertimu. Kalau kau tidak suka sama Ibu, jangan ceritanya disampaikan sama orang lain."
"Sumpah Bu," kata Boma.
"jangan bersumpah Boma. Saya paling benci pada orang yang suka mengangkat sumpah tapi ternyata sumpah palsu...."
Boma mulai bingung.
"Pergi Boma, pergilah...." kata Ibu Renata sambil melambaikan tangan menyuruh Boma pergi.
Tapi Boma tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
"Ibu Renata, sekali lagi saya sumpah. Saya tidak berbuat sejahat itu."
Ibu Renata geleng-gelengkan kepala.
"Kalau sumpah saya palsu, biar saya nggak selamat."
"Kalau sumpah saya palsu, biar saya nggak selamat."
Ucapan Boma itu terngiang di telinga Ibu Renata. Perempuan itu masih duduk di kursinya.
Keningnya ditopangkan ke tangan kanan. Halinya berucap. "Dia dikeroyok orang. Berarti tidak selamat. Dia termakan sumpahnya sendiri. Berarti sumpahnya memang palsu. Boma.... Benarkah semua kenyataan ini" Seharus-nya saat itu kau tak perlu bersumpah. Mungkin saya terlalu mendesaknya dengan tuduhan itu. Mungkin Boma tidak bersalah. Tapi...." Ibu Renata geleng-kan kepalanya. Ada cairan hangat jatuh dari kelopak matanya, membasahi pipi. Guru Bahasa Inggris ini baru sadar kalau dia telah meneteskan air mata. Cepat-cepat dia mengambil sapu tangan dari dalam tas, menyeka perlahan ke dua mata dan pipinya.
"Ibu Renata. Tidak mengajar?"
Tiba-tiba ada suara dari arah pintu Ruangan Kantor.
Ibu Renata mengangkat kepalanya. Memandang ke arah pintu. Dia melihat Pak Nugroho, Kepala Sekolah, berdiri di situ.
"Sakit?" Tanya Kepala Sekolah.
Ibu Renata gelengkan kepala. Coba tersenyum.
"Cuma pusing sedikit, Pak."
"Kalau memang sakit pulang saja."
"Tidak, tidak apa-apa. Saya masih bisa mengajar. Terima kasih Pak." Lalu Ibu Renata keluar dari ruangan. Bergegas ke Kelas II-5. Dia sudah terlambat sekitar seperempat jam mengajar pelajaran Bahasa Inggris di kelas itu.
ENAM U M A R = UNTUNG MASIH ADA RAMBUT
\ PULANG sekolah Ronny dan Vino langsung ke rumah Boma. Begitu melihat Boma, Vino berkata.
"Kemaren tampangmu masih peyang Bom. Sekarang mendingan, benjutnya udah rada kempes."
Boma tertawa. "Hidung gua masih suka nyut-nyutan," katanya. Lalu Boma bertanya. "Yang laen-laen nggak pada ke sini?"
"Nanti nyusul," jawa Ronny. "Gita, Allan, Andi, Rio sama Firman ceking katanya ke Gramedia dulu, cari buku."
"Kirain beli apel sama anggur buat gua," ujar Boma bercanda.
"Maunya mereka sih gitu. Tapi kata Gita, anak kayak kamu kalau dikasih buah-buahan luar negeri takut disentri, malah mencret," kata Vino mengarang. Boma cuma menyengir.
"Bom, gua mau ngomong. Tapi sorry nih...." Ronny bicara sambil melirik pada Vino.
"Pakai sorry menyorry segala. Memangnya ada apaan"
"Gue terpaksa nyeritain kejadian kamu dikeroyok...."
"Sama siapa?" tanya Boma. "Trini?"
Ronny menggeleng. "Bukan," ucapnya.
"Pasti Dwita. Kan aku udah bilang Ron. Jangan...."
Ronny kembali menggeleng.
"Ibu Renata." Ucap Ronny kemudian. Suaranya perlahan seolah takut Boma akan terkejut.
Boma memang terkejut. Matanya melotot. Hidung ditowel berkali-kali. "Ajie gile! Kok ceritanya sampai ke Ibu Renata?"
"Aku dipanggil ke kantor. Ditanyain kenapa kamu nggak masuk. Terpaksa Bom. Aku terpaksa bilang. Habis Ibu Renata ngedesak terus. Kayaknya dia tau kalau aku ngebohong."
"Kamu bilang apa saja Ron?" suara Boma lemas, wajahnya menunjukkan kejengkelan.
"Aku ceritain semua. Sorry Bom."
"Lalu reaksi Ibu Renata gimana?"
Boma menowel hidungnya.
"Diem aja. Tapi aku liat wajahnya sedih."
Boma kembali menowel hidungnya.
"Jangan ngarang Ron."
"Aku nggak ngarang," jawab Ronny.
"Mustinya dia girang tau aku celaka begini."
"Kok kamu ngomong begitu?" tanya Vino.
Boma memandang ke luar jendela.
"Waktu aku dituduh nyebarin soal nonton itu, buat ngeyakinin dia aku sampai sumpah sama Ibu Renata. Aku bilang kalau sumpahku palsu, aku bakal nggak selamat."
"Dasar gendenk! Ngapain kamu pakai sumpah kayak gitu segala?" tukas Ronny.
"Habis, dia nggak percaya," sahut Boma. "Sekarang justru dia jadi percaya beneran kalau kamu bohong. Terbukti. Kenyataannya kamu nggak selamat. Celaka dikeroyok rampok. Berarti sumpahmu memang sumpah palsu. Berarti memang kamu yang nyebarin omongan."
"Biar aja Ibu Renata punya pikiran begitu. Yang penting aku nggak berbuat jahat sama dia." Boma diam lalu melanjutkan. "Eh, kamu bilang aku dikeroyok rampok. Bukan dikeroyok gara-gara ribut sama si Bodong dan si Anton."
"Gua nggak tolol nyeritain yang sebenernya Bom," jawab Ronny. "Kan urusan bisa jadi panjang."
"Encer juga otak lu," kata Boma sambil senyum.
"Sebenarnya kenapa sih kamu nggak mau diajak nonton Bom?" Bertanya Vino.
"Aku cuman mau ngejaga nama dan kehormatan Ibu Renata, Vin. Kalau sampai ada anak-anak yang lihat aku nonton sama Ibu Renata, apa lagi kalau yang ngeliat guru, kamu bisa bayangin gimana akibatnya. Aku sih anak gendenk nggak apa-apa. Tapi Ibu Renata pasti akan jadi susah...."
"Hatimu polos juga Bom," ujar Vino. "Tapi kalau aku yang diajak. Wah! Nggak usah ditawarin sampai dua kali. Ibu Renata kan cantik banget. Kulitnya putih. Matanya bagus, bening. Suaranya sejuk seperti air es di
waning bakso Mang Asep...." Habis berkata begitu Vino tertawa sendiri.
"Kalau kamu sih nggak heran Vin," kata Boma. "Jangankan cewek, kambing congek dibedakin kalau ngajak, kamu pasti mau."
Ronny tertawa mengakak.
Vino cuma bisa mendehem-dehem. Lalu berkata. "Aku rasa Ibu Renata nggak punya pikiran buruk sama kamu Bom...."
"Mana aku tau. Buktinya dia marah berat sama aku."
Vino menjawab. "Itu yang keliatan di luar. Sebenernya, menurut aku dia malah sayang sama kamu."
"Sialan lu!" semprot Boma.
"Taroan yuk!"
"Ini taroannya!" jawab Boma lalu tendang tulang kering kaki kanan Vino hingga anak ini teraduh-aduh dan berjingkat-jingkat kesakitan.
Ibu Renata bilang apa lagi sama kamu?" tanya Boma pada Ronny.
"Sampai aku keluar kantor dia nggak bilang apa-apa. Cuma aku lihat wajahnya pucat."
"Mudah-mudahan dia nggak nyukurin aku digebuk orang begini," kata Boma.
"Aku rasa kalau dia sayang sama kamu, pasti dia nggak punya pikiran atau perasaan begitu Bom." Vino lagi yang menggoda.


Boma Gendeng 4 Muridku Macho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Besok kau masuk?" tanya Ronny. Boma menggeleng.
"Besok pagi aku musti ke Polsek. Tadi malam ada Polisi datang. Ngasi tau kalau tiga orang dari dua pengeroyokku sudah tertangkap."
"Bravo!" seru Vino. "Cepet juga Polisi kerjanya. Salut deh!"
"Mereka melacak dari plat nomor mobil.
Menurut Polisi dua pengeroyok yang masih buron sudah diketahui identitasnya. Tinggal diciduk. Yang dua ini, satu si berewok bernama Freddy. Satunya lagi yang mau nusuk aku pakai belati namanya Radiman. Dikenal dengan julukan si Apache."
"Indian kesasar!" ujar Ronny.
"Menurut Polisi lima orang itu memang bangsa premanan. Sering mangkal di kawasan Mangga Besar. Kerjaan mereka merasin orang. Besok pagi aku musti ke Polsek. Polisi perlu keterangan tambahan. Nanti nyusul bikin Berita Acara."
"Aku besok bisa bolos. Nganterin kamu ke Kantor Polisi." Kata Ronny pula.
"Nggak usah Ron. Aku bisa pergi sendiri. Paling Bokap gua yang nemenin. Uuhh.... Dia ngomel nululu saban ngeliat gua. Katanya seumur-umur baru aku dari sekian banyak keluarga yang bikin urusan sama Polisi. Waktu aku nyautin siapa sih yang mau cari
urusan sama Polisi, eh aku hampir digaplok. Tinggal Ibu gue cuma bisa nangis."
"Abang lu gimana?" tanya Vino.
"Dia sempat nekat waktu pertama kali lihat gua babak belur di Kantor Polisi. Dia mau balas dendam, ngumpulin temen-temennya. Tapi dilarang Bokap gua. Polisi juga ngasi nasihat." Lalu Boma bertanya. "Ron, cewek lu gimana?"
"Cewek gua" Siapa?" Ronny berlagak pilon.
"Belagak lu! Siapa lagi! Si Sarah!"
"Uh, makin melar aja Bom." Vino yang menjawab. "Jerawatnya tambah banyak. Habis dipupuk terus sama Ronny."
Ronny tersenyum. "Itu bukti kalau aku jadi saudara asuh yang bener. Orang-orang pada sibuk sama urusan orang tua asuh. Gua sih jadi saudara asidt aja." Ronny kembali memandang keluar lewat jendela. Masih berusaha mengingat-ingat.
"Bom, ada yang aku mau bilang sama kamu. Tapi ini nggak ada hubungannya sama kejadian pengeroyokan. Cuma terkait sama Ibu Renata."
"Apaan Ron?" tanya Boma.
"Waktu aku mau masuk Kantor, aku lihat Pak Sanyoto Guru Olah Raga lagi
ngomong sama Ibu Renata. Aku sih nggak begitu denger apa yang mereka omongin. Tapi kayaknya Pak Sanyoto ngebet sama Ibu Renata."
"Kamu tau dari mana?" Bertanya Vino.
"Mungkin Pak Sanyoto mau ngajak Ibu Renata pergi. Atau mungkin juga mau datang ke rumahnya. Soalnya aku dengar Ibu Renata bilang malam nanti dia tidak bisa. Lain kali saja. Nanti saja dia beri tau...."
"Urusan guru sama guru biarin aja Ron. Ngapain kita pikirin." Kata Boma pula.
"Siapa yang mikirin. Yang aku jadi nggak enak, waktu Pak Sanyoto keluar, dia kayaknya geram sekali ngeliat aku. Omongannya kasar. Mungkin dia ngira aku sengaja ngintipin. Dia nanya kasar sekali. Ada apa kamu di sini"!"
"Pak Sanyoto keliatannya juga nggak senang sama aku," ucap Boma.
"So pasti!" celetuk Vino. "Kamu kan saingannya."
"Brengsek lu Vin," kata Boma. Lalu meneruskan. "Inget nggak, waktu latihan atletik. Gua nggak salah apa-apa, cuman terlambat lima menit. Padahal latihan juga belon mulai. Eh, aku disuruh lari muterin lapangan sampai tiga kali. Sial, berok gua rasanya mau copot. Lalu di Rapor angka
Olah Raga gua dikasih jeblok. Empat! Sialan kagak!".
"Waktu istirahat aku sering liat Pak Sanyoto suka ngedeketin Ibu Renata. Juga kalau ada acara-acara tertentu. Dia selalu berusaha duduk di samping Ibu Renata." Ujar Ronny.
"Pak Sanyoto sih kalah ster sama Ibu Renata." Kata Vino pula. "Ke sekolah dia cuma naik Honda Bebek bapet. Ibu Renata bawa Suzuki Katana."
"Pak Sanyoto tampangnya sih nggak jelek-jelek amat. Cuman kepalanya aja yang udah rada botak. Nggak salah kalau anak baru Si Sulastri itu ngasih nama dia Si Umar."
Ron?" tanya Vino. "Uh, ketinggalan bajaj kamu Vin. UMAR artinya untung Masih Ada Rambut."
Boma dan Vino sama-sama tertawa cekikikan mendengar kata-kata Ronny itu.
"Pak Sanyoto, Pak Sanyoto...." Boma menyebut nama Guru Olah Raga itu berulang-ulang. Tiba-tiba dia ingat sesuatu. "Ron! Vin! Gue jadi inget!"
"Inget apa?" tanya Ronny.
Di luar terdengar langkah-langkah berisik menaiki tangga.
"Pasti Gita sama yang Iain-lain," kata Vino. Lalu anak ini melangkah ke pintu. Boma menowel hidungnya. Tak jadi melanjutkan ucapannya yang tadi terputus.
TUJUH DUA BURONAN KIRIMAN NENEK ANEH
DARI luar rumah kontrakan di ujung gang itu kelihatan sepi. Di dalam ternyata ada dua orang lelaki berambut gondrong tengah bicara serius. Si gondrong pertama sebagian wajahnya tertutup berewok. Dia bukan lain Freddy, lelaki yang dihajar Boma di toilet Gramedia. Dia pula yang jadi pimpinan empat kawannya mencari Ronny dan Boma. Yang ditemukan pada Sabtu malam itu cuma Boma sendirian dan langsung dikeroyok.
Orang kedua bernama Radiman. Oleh kawan-kawan dan beberapa kelompok preman Ibukota dikenal dengan julukan Si Apache. Lelaki ini paling sadis. Nyawa orang baginya bukan apa-apa. Dialah yang malam itu membawa belati hendak menikam menghabisi Boma.
Pendekar Kidal 9 Tokoh Besar Karya Khu Lung Hati Budha Tangan Berbisa 6
^