Pencarian

Triping 2

Boma Gendeng Triping Bagian 2


Diserang orang, Allan menghadapi tenang
sekali. Dia hanya menggeser kaki kiri sedikit.
Kepala dimiringkan ke kiri. Tangan kiri mencekal betis lalu tangan kanan
kirimkan tiga kali jotosan kilat ke paha Isman. Anak kelas II-6 itu menjerit
kesakitan. Allan dorong kuat-kuat kaki yang dipegangnya hingga lawan hampir
jatuh terjengkang di tanah kalau tidak cepat ditahan teman-temannya.
Halaman belakang warung jadi ramai. Mang .
Asep muncul tapi bingung sendiri tak tahu mau I berbuat apa. Gita menyeruak di
antara kerumun-1 an para pelajar, memegang lengan Allan terus menarik anak ini.
Anak-anak Kelas II-6 menolong Anton yang saat itu sudah setengah siuman.
Lalu membawa Anton ke dekat pagar samping
sekolah. Yang lain lain memapah Isman yang
tepin-cang-pincang kesakitan.
"Gile, gue nggak nyangka Si Allan punyai maenan juga," kata Vino pada Boma.
Ronny melangkah disamping Allan sambil
tepuk-tepuk bahu anak itu.
Trini muncul dari samping kelas. Dial
tunjukkan wajah sebal melihat Gita dan AllanJ
Tanpa menegur Ronny, Vino, Andi, Firman dani Rio yang dipapasinya anak perempuan
ini menemui Boma, memegang lengan Boma,
berusaha menarik anak laki-laki ini ke dekat bangki batu di pinggir lapangan
basket. "Ada apaan sih Bom. Kok pada main gebui sama-sama satu sekolah" Tawuran sama
satu se kolah! Kalau pada jago sana tawuran sama seko lah lain."
"Rin, jangan ngomel sama aku. Semua past ada sebabnya," jawab Boma.
"Aku sudah tahu. Pasti gara-gara kamu sam Ronny dilemparin telor busuk waktu
main be dulu." "Itu baru sebagian..."
"Maksud kamu?" tanya Trini.
"Kamu tau nggak. Dua hari lalu waktu aku ke Gramedia sama Firman, ada dua orang
suruhan ngegebukin aku..."
"Apa?" Trini terkejut. Dia hendak bertanya lagi.
Tapi saat itu dilihatnya Dwita berdiri di depan pintu kias II-3, memandang ke
arah mereka. Trini buru-buru menarik tangan Boma
meninggalkan tempat itu. Boma hentikan
langkahnya. Di depan sana dilihatnya seorang Pegawai Tata usaha Sekolah
mendatangi Ronny dan Allan.
"Bom, kita pulang aja. Hari ini juga belum ada pelajaran," ajak Trini. Boma
menggeleng. "Aku mau kumpul sama teman-teman dulu, Rin."
Trini kelihatan agak kesal. "Terserah kamu.
Kalau mau berantem lagi silahkan aja!" Anak perempuan ini lalu masuk ke dalam
kelas. Maksudnya mau mengambil tasnya lalu pergi.
Tapi dia terkejut ketika mendapatkan tasnya tidak ada lagi di bangku. Dicari-
cari sekitar situ tetap tidak bertemu. Ditanyakan pada teman-temannya yang
kebetulan ada dalam kelas,
mereka semua menjawab tidak tahu. Trini ingin marah, tapi tidak tahu mau marah
sama siapa. Trini keluar dari kelas. Saat itulah dia melihat tas miliknya tergeletak di
pinggir taman yang memisahkan dua bangunan sekolah. Sebagian
dari tas itu terapung di atas got.
Anak perempuan ini memaki sendiri dalam
hati. "Pasti ada yang sengaja nyemplungin tas ini ke got." Trini mengambil
tasnya yang basah, memandang berkeliling. Menduga-duga siapa
yang berlaku jahat membuang tasnya ke dalam got. Marah dan kejengkelan Trini
semakin menjadi-jadi ketika dia melangkah ke kamar
mandi sekolah untuk mencuci tasnya yang kotor, kena air got, di ujung taman sana
dilihatnya Dwita sudah berkumpul dengan Boma, Ronny
dan yang lain-lainnya. Hanya ada satu cewek lain bersama mereka. Gita Parwati.
Dimana Sulastri, anak baru itu"
Entah siapa yang melapor, peristiwa baku
hantam di belakang warung Mang Asep itu
sampai pada Kepala Sekolah. Empat anak yang langsung terlibat Ronny, Allan,
Anton dan Isman dipanggil ke Kantor. Mereka diberi peringatan keras. Diancam
akan dikeluarkan dari sekolah jika kejadian seperti itu terulang kembali,
keempat anak itu disuruh saling bersalaman.
Tadinya Ronny hendak menerangkan sebab
musabab terjadinya perkelahian itu. Tapi setelah dipikir dia merasa tidak ada
gunanya. Satu hal dia yakin, persoalan ini tidak akan selesai sampai di situ.
Peristiwa Boma menghajar dua orang di toilet toko buku Gramedia pasti akan ada
buntutnya. Berat dugaannya bahwa Anton
juga punya peranan di balik kejadian itu. Dan dirinya sendiri jelas akan
terlibat karena dua orang tak dikenal itu sebenarnya mencari
dirinya. Sewaktu keluar dari kantor kepala sekolah
Ronny dan Allan malah sempat mendengar
Anton berkata pada Isman.
"Gue abisin! Pokoknya nggak ada cerita. Musti gue abisin!"
--oo0dw0oo-- 8 TRIPPING SEJAK tadi Gita memperhatikan Allan. Anak
lelaki itu sebentar-sebentar kelihatan
memegangi kepala. Sapu tangannya sudah
basah dipergunakan untuk menyeka muka,
tengkuk dan kedua lengan. Begitu bel istirahat berdentang dan guru Matematika
keluar dari kelas Gita langsung mendatangi Allan. "Lan, kamu sakit"' tanya Gita. "Nggak,
cuman kurang tidur. Sedikit pusing." "Muka kamu kok pucat?"
Gita memegang lengan anak lelaki itu. "Ih, keringatmu dingin amat."
"Iya tu Git, dari tadi dia nyekain keringat terus." Kawan sebangku Allan berkata
lalu keluar dari kelas.
"Kamu pulang aja Lan. Aku anterin sampai depan. Naik bajaj."
"Nggak usah, nanti juga sembuh," jawab Allan.
Ronny, Boma dan yang lain-lainnya
mendatangi Allan. Mereka juga menyuruh agar Allan pulang saja.
"Nanti aku yang lapor sama Wali Kelas," kata Andi.
Allan menggeleng. Dia coba berdiri. Tapi agak sempoyongan. Anak ini berusaha
menarik nafas panjang.
"Lan, kalau sakit jangan dipaksa. Pulang aja."
Kata Boma. Allan duduk kembali. Menyeka dua lengannya
dengan sapu tangan yang sudah basah. Gita
mengambil sapu tangan bersih dari dalam tas, lalu diberikan pada Allan.
"Kamu benaran nggak mau pulang?"
Allan diam. Seolah dia tengah berpikir untuk mengambil keputusan. Ketika lonceng
masuk berdentang anak itu akhirnya berdiri.
"Baiknya aku memang pulang aja," katanya.
"Buruan, sebelum guru Biologi masuk," kata Gita. "Ayo aku anterin."
"Nggak usah Git. Aku masih kuat jalan sendiri.
Teman-teman, aku pulang. Di, tolong bi-langin Wali Kelas."
"Beres, nanti aku lapor. Hati-hati Lan," kata Andi.
Allan mengambil tasnya. "Aku kawatir," kata Gita. Dia memandang pada Boma.
Saat itu guru Biologi sudah keluar dari Kantor Sekolah, tengah berjalan menuju
Kelas II-9. "Vin," kata Boma pada Vino. "Cepetan kamu susul Si Allan. Anterin sampai dia
naik bajaj."
Vino segera keluar. Setengah berlari dia
menyusul Allan. Tapi sampai di lapangan basket Allan sama sekali tidak
kelihatan. Padahal kalau anak itu pulang oasti melewati lapangan itu. Vino
berhenti, diam bersender di dinding bangunan sekolah. Memandang ke arah pintu
gerbang. "Heran, cepet banget ngilangnya 'tu anak.
Kalau beneran lagi sakit nggak mungkin jalannya bisa cepet. Mungkin dia cuma
pura-pura sakit.
Tapi nggak mungkin. Dia keringatan gitu kok.
Mukanya pucat..."
Tidak puas Vino pergi menemui penjaga pintu gerbang sekolah, tapi nggak ada yang
keluar. Memangnya ada apa?"
"Nggak, nggak ada apa-apa," jawab Vino lalu kembali ke arah sekolah. Di lapangan
basket dia berhenti. Memandang berkeliling. Di ujung
lapangan basket ada sederet pohon besar. Di belakang deretan pohon ini ada satu
bangunan tua yang dipergunakan sekolah sebagai gudang.
Para pelajar jarang berada di sekitar tempat ini karena tempatnya selain kotor
tidak terurus juga kabarnya pernah ada ular. Tetapi tidak semua pelajar takut
berada di tempat itu. Kalau di antara mereka ada yang berani berada di sekitar
bangunan tua itu pasti ada apa-apanya.
Vino ingat kisah Ronny dan Sarah. Waktu itu masih sama-sama di Kelas I. Ronny
Kelas 1-4 Sarah Kelas 1-2. Waktu itu hari Sabtu, hari terakhir sekolah sebelum liburan
panjang. Karena terdesak ingin kencing sekali Vino
terpaksa membuang hajat di balik deretai pohon besar di ujung lapangan basket.
Selain sudah jauh "sore, sekolah sudah sepi dan hari agak gerimis pula, Vino
merasa tidak ada yang akan melihat dia kencing di balik pohon itu. Dia memang
tidak dilihat orang tetapi sebaliknya tidak terduga dia justru melihat orang.
Rasa kepingin kencing anak lelaki itu
langsung terhenti mandek ketika dilihatnya
Ronny dan Sarah saling berpeluk dan berciuman di balik bangunan gudang.
"Brengsek Si Ronny," kata Vino dalam hati.
"Kesambet setan gudang baru nyahok!" Anak ini cepat-cepat pergi dari tempat itu.
Waktu menjagai Boma di Rumah Sakit PMI
Bogor (baca serial Boma Gendeng berjudul
"Suka Suka Cinta") Vino pernah mengatakan pada Ronny bahwa ada anak yang melihat
Ronny ciuman dengan Sarah di gudang. Vino
tidak mengatakan bahwa dia sendiri yang
menyaksikan kejadian itu. Mula-mula Ronny
hendak menyangkal. Tapi kemudian dia malah
bilang. "Kalau cuma ciuman nggak bakal ketularan AIDS Vin. Percaya gue!"
Ronny lalu tertawa cekikikan.
DI UJUNG lapangan basket Vino hentikan
langkah. Dia merasa bimbang, apa terus
menyelidik ke arah pepohonan atau kembali
saja ke kelas. Akhirnya dia memutuskan
melangkah ke arah deretan pohon-pohon. Belum lima langkah bergerak, Vino
berhenti. Dadanya berdebar. Matanya tak berkesip memandang ke depan. Di antara
celah dua pohon dia melihat punggung mengenakan kemeja putih seragam
sekolah. Vino miringkan kepalanya sedikit. Dia bisa melihat jelas kini. Yang
dilihatnya di balik bangunan gudang tua itu memang Allan.
Saat itu Allan tengah berdiri di samping
gudang. Tangan kiri bersitekan ke dinding
bangunan. Bahu dan dadanya kelihatan turun
naik. Kepala mendongak ke atas seperti sedang melihat sesuatu di atas sana. Lalu
kepala itu digoyang-goyangkan beberapa kali.
"Lan, kamu lagi ngapain?" ujar Vino dalam hati. Matanya terus memperhatikan.
Allan kemudian kelihatan membungkuk.
Mengambil sesuatu dari dalam tas sekolahnya.
Vino tidak dapat melihat benda apa yang diambil Allan. Yang jelas benda yang
diambil itu kemudian dimasukkan ke dalam mulut. Lalu dari dalam tas Allan mengeluarkan Aqua
gelas plastik. Merobek pinggiran gelas, meneguk habis
seluruh isinya.
Bahu dan dadanya masih bergoyang. Allan
bersandar ke dinding gudang. Kepala digoyanggoyang. Mulut mendesah tiada henti.
Lalu perlahan-lahan tubuh anak itu meluncur ke
bawah. Sepasang kakinya melejang-lejang.
Goyangan kepalanya semakin keras/'Gila! Ya
ampun. Si Allan ngepritl" kata Vino. Timbul rasa takut. Dia memutar tubuh,
tinggalkan tempat itu dengan tengkuk terasa dingin. Tapi setengah jalan dia
bingung sendiri. Apakah dia kembali ke kelas atau ke mana" Seandainya dia masuk
kelas bagaimana kalau guru Biologi bertanya dia dari mana. Apa jawabnya. Dia
tidak mungkin, tidak akan mau menceritakan apa yang
dilihatnya pada guru kelas. Lalu bagaimana
sebaiknya" kembali ke tempat Allan tripping"
Dia ngeri. Sampai berapa lama Allan akan
berada dalam keadaan seperti itu"
"Ah, Si Allan itu bikin perkara aja!"
Vino akhirnya pergi ke warung bakso Mang
Asep. Untungnya Mang Asep menutup
warungnya lebih siang karena ada urusan. Vino terduduk di bangku, mengusap
rambut berulang kali. Kepalanya diletakkan di atas dua lengan yang disilangkan.
Vino tidak tahu entah berapa lama dia berada di warung itu. Baru sadar dan kaget ketika lonceng sekolah
berdentang. Vino tidak segera kembali ke Kelas II-9. Dia berdiri dulu di sudut luar kelas.
Menunggu sam- j pai guru Biologi keluar baru dia melangkah
menuju kelas. Itupun tidak masuk. Dari luar anak ini melambaikan tangannya,
memberi tanda pada Boma, Ronny dan yang lain-lainnya.
Melihat Vino muncul sambil melambaikan
tangan, anak-anak itu segera bergegas keluar kelas.
"Kamu disuruh ngantar Allan malah ikutan ngilang!" ujar Ronny.
"Vin, kamu nganterin Allan sampai kel
rumahnya?" tanya Gita yang tiba-tiba muncul.
"Aa... Iyya.... Sampe rumahnya," jawab Vino.
"Duh, perut gue mules. Tunggu, aku ke wc dulu,"
kata Vino sambil pegangi perutnya. Tanpa dilihat Gita Vino kedipkan matanya pada
Boma. Boma segera mengikuti Vino ke wc. Ronny
memperhatikan. Lalu menyusul. Andi, Rio dan Firman segera pula angkat kaki
mengikuti. "Heran, masa sih semuanya pada mules,"
kata Gita Parwati yang ditinggal sendirian.
Begitu berada di dekat wc, belum ditanya Vino sudah berkata.
"Malapetaka Bom, malapetaka."
"Kenapa lu Vin," tanya Boma.
"Apa yang kamu duga bener. Teman baru kita itu...."
"Siapa" Si Allan?" tanya Boma.
"Kenapa dia" Di mana dia sekarang" Betul kamu anterin sampe rumah?" tanya Andi.
"Aku... aku ngeliat dia. Lagi tripping di dekat gudang sekolah."
"Tripping di sekolahan" Apa gue bilang! Gue udah nyangka ada yang nggak bener
sama cowoknya Si Gita itu. Tapi kalau sampai ngeprit di sekolahan sih keliwatan
banget. Gila 'tu anak!"
Boma menowel hidungnya.
"Katanya sakit. Kok malah ngeprit!" Andi mengomel tapi setengah tidak percaya.
"Kalau ketauan pasti dikeluarin!" kata Ronny.
"Si Allan... kenapa sih lu dikasih nama begitu.


Boma Gendeng Triping di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Allan jadi Sialan!" ucap Rio.
"Di mana 'tu anak sekarang?" tanya Ronny.
"Aku rasa masih di gudang," jawab Vino.
"Ayo kita samperin ke sana. Paling nggak dia jangan sampai ketauan orang lain,"
kata Boma. "Kita nggak masuk kelas?" tanya Vino.
"Pelajaran apa sekarang?" ujar Rio.
"Bahasa Inggris. Ibu Renata nggak ada.
Kabarnya udah berapa hari sakit. Kelas kosong.
Nggak tau kalau ada guru pengganti," rnenjelas-kan Firman.
"Kita ke gudang aja!" kata Boma.
Enam anak kelas II-9 itu, Vino di depan sekali bergegas menuju bangunan gudang
tua. Sampai di sana keadaannya sepi-sepi saja.
"Mana Si Allannya?" tanya Boma pada Vino.
"Tadi... tadi dia berdiri di situ, lalu duduk...."
Vino menunjuk ke arah gudang.
"Lu becanda apa gimana Vin," tanya "Ronny.
"Kamu ngibulin kita-kita"!" ujar Rio.
"Sumpah! Tadi dia ada di sini. Aku ngeliat sendiri dia nenggak sesuatu, lalu
tripping...."
"Tadi kapan" Udah berapa lama?" tanya Boma.
"Setengah jam lebih. Mungkin sekitar empat puluh menit. Pokoknya nggak lama
sesudah aku keluar ngikutin dia. Waktu dia ngeprit aku
ketakutan sendiri. Aku pergi ke warungnya Mang Asep...."
Boma, Ronny dan yang lain-lainnya jadi saling pandang.
"Mungkin dia pulang. Kabur...." kata Vino.
"Orang tripping mana bisa kabur...." ujar Boma.
"Mungkin aja Bom. Tergantung jenis obat yang ditelan," ucap Ronny.
"Tanya sama penjaga pintu. Kalau dia pulang pasti penjaga liat," kata Vino pula.
Tapi di pintu gerbang sekolah Pak Saud si
penjaga pintu tidak ditemukan. Anak-anak itu kembali ke Kelas II-9.
"Gimana kalau Gita nanya?" tanya Rio.
"Bilang aja Allan memang sudah pulang,"
jawab Ronny. Boma menyambung. "Awas, jangan ada yang ngebocorin. Kalau guru apa lagi Kepala
Sekolah sampai tau, kita bisa rusak semua."
"Aku masih nggak bisa percaya Si Allan itu bener-bener ngeprit," kata Ronny.
"Vino jelas-jelas ngeliat dia nenggak sesuatu pakai minum Aqua," sahut Boma.
"Kau tau nggak Ron. Obat setan sebangsanya ecstasy
kata orang emang musti diminum sama Aqua
baru bisa on."
"Aku baru inget' kata Andi. "Tetangganya Si Allan pernah bilang kalau 'tu anak
sering pergi ke Ancol. Jangan-jangan dia juga tripping di sana."
"Gua sih cuman kasian sama Gita. Menurut kalian, perlu nggak dikasih tau sama si
gendut itu?"
"Nanti Ron, biar aku yang ngomong," jawab Boma. "Urusan ini kita musti hati-
hati. Gimana-pun juga Allan teman kita. Ingat, dia pasang badan waktu ngebelain
kita berantem sama si Anton."
--ooo0dw0ooo- 9 JANJI KAWIN SINTO GENDENG
PUNCAK Gunung Gede. Sejak fajar
menyingsing Sinto Gendeng melangkah gelisah.
Saat itu sang surya telah menerangi jagat dan sinarnya mulai terasa terik.
"Tua bangka geblek!" Si nenek tiba-tiba semprotkan makian. "Sudah hampir dua
minggu berlalu. Masih belum kelihatan mata hidungnya!
Jangan-jangan dia memang tidak mampu
melakukan! Tapi sesumbar minta kawin segala!
Padahal anunya pasti tidak lebih bagus dari terong busuk! Hik...hik... hik...!
Kawin saja sama kambing! Hik... hik... hik...!"
Sambil mengomel dan tertawa cekikikan
Sinto Gendeng terus melangkah. Ternyata dia bukan melangkah sembarangan, bukan
melangkah di atas tanah.
Saat itu di pedataran kecil tak jauh dari
pondok kayu kediamannya menancap dua lusin
batang bambu setinggi satu setengah tombak.
Batangan-batangan bambu ini ditancap
demikian rupa hingga membentuk empat
persegi, enam memanjang, empat melebar.
Setiap ujung bambu sengaja dipotong runcing, mencuat ke langit. Dan di atas
ujung-ujung bambu runcing inilah si nenek perot melangkah seenaknya. Sesekali masih saja
mengomel, sesekali tertawa cekikikan. Kalau saja dia tidak memiliki ilmu kesaktian, sudah
sejak tadi dua kaki Sinto Gendeng yang tinggal kulit pembalut tulang itu amblas
luka parah dimakan ujung
bambu runcing. Kalaupun dia kebal tapi tidak memiliki ilmu mengimbangi dan
meringankan tubuh yang tinggi, baru bergerak tiga empat langkah niscaya sudah jatuh
bergedebukan di tanah!
"Matahari makin panas, aku kepingin kencing!
Kakek geblek itu masih belum muncul! Sial!"
Kembali Sinto Gendeng memaki. Perlahan-lahan dia angkat ke atas kain panjang
yang melilit tubuhnya. Enak saja dia hendak kencing sambil berjalan di atas
bambu itu. Tapi maksudnya
tertahan ketika tiba-tiba dikejauhan -terdengar suara kerincingan keras sekali.
Ditimpai tabuhan gendang. Lalu disusul suara Orang bernyanyi.
Na... na... na Ni... ni.... ni
Kala kupandang kelip bintang jauh di sana
Sayup teldengar melodi cinta yang menggema
Telasa kembali gelola jizva mudaku Kalena
telsentuh alunan lagu semeldu kopi dangdut.
Na... na... na Ni... ni... ni
Tak lama kemudian dari balik deretan
pepohonan, diujung pedataran kecil muncul
sosok seorang kakek bermuka cekung, mulut
tonggos. Dia berjalan sambil menari. Tangan kanan menabuh gendang kecil yang
tergantung di pinggang. Tangan kiri menggoyang
kerincingan. Di atas kepalanya terkembang
payung kecil terbuat dari kertas. Celananya yang gombrong dekil kedodoran hingga
sebagian pantatnya yang hitam tersingkap. Lucunya
pantat yang setengah tersingkap itu diogel-ogel kian kemari.
Di atas bambu runcing Sinto Gendeng
hentikan langkahnya. Nenek ini geleng-geleng kepala.
"Dasar geblek!" maki guru Pendekar 212 Wiro Sableng ini. Lalu dia berteriak.
"Pelawak Sinting!
Hentikan nyanyianmu! Bising tidak enak!
Kupingku pengang!" Habis berteriak Sinto Gendeng kembali melangkah dari bambu
satu ke bambu lain. Kakek aneh yang barusan muncul dongakkan
kepala. Lalu tertawa gelak-gelak. Tangan kanan masih terus menabuh gendang,
tangan kiri menggoyang kerincingan.
"Sinto yang geblek aku atau kau! Apa yang kau lakukan" Apa tidak ada tempat
beljalan yang lebih baik! Dasal nenek konyol!" "t
"Ngomong saja tidak becus! Berani memaki!"
"Ha... ha... ha!" Si kakek yang dipanggil dengan nama Pelazvak Sinting kembali
tertawa gelak-gelak. (Jika pembaca ingin tahu lebih lanjut siapa adanya kakek
berjuluk Pelawak
Sinting ini harap baca serial Wiro Sableng di Negeri Latanahsilam berjudul
"Hantu Tangan Empat" dan"Rahasia Mawar Beracun". Seperti diceritakan dalam
Episode "Istana Kebahagiaan"
ketika istana milik Hantu Muka Dua itu meledak hancur, semua orang yang ada di
dalamnya melesat bermentalan ke langit, lalu terpesat ke berbagai tempat di Pulau Jawa
dan pulau-pulau lainnya. Dalam kejadian ini rupanya kakek
Pelawak Sinting terpesat di Tanah Jawa sebelah barat).
Puas tertawa Pelawak Sinting kembali
lantunkan nyanyian.
Na., na... na Ni.. ni... ni
Kala kupandang kelip bintang jauh di sana
Sayup telde'ngal melodi cinta yang menggema...
Baru sempat melantunkan dua bait nyanyian,
Sinto Gendeng membentak lantang.
"Tua bagka edan! Apa kau tuli"! Hentikan nyanyimu!"
"Ah, Sinto, kau tidak tahu kemajuan jaman.
Lagu yang aku nyanyikan ini sedang digandrungi olang di dunia sana. Namanya Kopi
Dangdut..."
"Perduli setan Kopi Dangdut, Kopi Tubruk,*
Kopi Pahit! Aku tidak sudi mendengar. Lekas kau beri tahu apa kau berhasil
mendapatkan benda yang aku minta"!"
Si kakek menyeberangi lapangan kecil,!
menyusup diantara barisan batangan bambu,
lalu berhenti tepat di bawah dua bambu di atas mana Sinto Gendeng berdiri tegak
dengan kaki terkembang. Melihat orang berdiri di bawah dan memandang ke atas, Si
nenek cepat rapatkan
dua kakinya. Dua batang bambu sampai meliuk akibat gerakan sepasang kaki itu.
"Jahanam! Kau sengaja berdiri di bawah sana!
Kau mau ngintip auratku! Kakek ganjen sialan!
Kutusuk buta nanti dua mata mesummu!"
Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak.
"Sinto aku berdiri di bawah sini, mengapa!
musti takut" Jangan-jangan kabal yang aku silap benal adanya."
"Kabal" Kabal apa"!" bentak Sinto Gendengl sambil delikkan mata dan sengaja
bicara cadel meniru pelonya si kakek.
"Kabal bahwa seumul hidup kau tidak pelnahl pakai"celana dalam. Ha... ha...ha!"
"Jahanam setan alas. Biar kusumpal mulut kurang ajarmu!"
Sinto Gendeng cabut sebatang bambu. Lalu
secepat kilat bambu runcing itu dilemparkannya!
ke arah kepala kakek Pelawak Sinting.
Berdiri di atas bambu runcing, mencabut!
sebatang bambu, lalu membuat gerakan
menyerang dengan bambu yang*sama bukanlah
satu hal mudah. Semua itu dilakukan nenek
sakti dari puncak Gunung Gede ini dalam satu gerakan kilat dan tak terduga.
Pelawak Sinting berteriak kaget.
"Sinto! Kau mau membunuh calon suamimu sendili!"
Si kakek sambar payung kertas yang sejak
tadi ada di atas kepalanya lalu cepat melompat ke samping kiri selamatkan muka
dari tusukan bambu runcing. Bambu besar itu lewat hanya
satu jengkal di samping pipinya. Di atas sana Sinto Gendeng angkat tangan kanan
ke udara, lengan diputar. Secara aneh bambu yang gagal menghantam Pelawak
Sinting kini berbalik.
Laksana petir menyambar batang bambu itu
membabat ke arah pinggang Pelawak Sinting.
Untuk kedua kalinya sambil berteriak tegang si kakek selamatkan diri. Kali ini
dengan jatuhnya tubuh lalu bergulingan di tanah.
"Praakk! Praakk!"
Dua bambu runcing di atas mana Sinto
Gendeng berdiri hancur berantakan dihantam
Pelawak Sinting. Sebelum tubuhnya terperosok jatuh si nenek cepat melesat
berpindah ke ujung bambu lainnya sambil berteriak.
"Kakek buduk! Siapa sudi kawin denganmu!
Terong busuk bau comberan!"
"Eit Sinto! Jangan belani bicala begitu!:" balas berteriak si Pelawak Sinting.
"Ingat! Kau sudah beljanji!"
Sinto Gendeng terdiam. Muka cekung dan
keriputnya mendadak berubah. Dadanya
berdebar. "Tua bangka geblek ini. Jika dia berani berkata begitu apakah berarti
dia benar-benari berhasil mendapatkan benda yang aku minta itu.
Celaka. Mati aku! bagaimana aku mungkin
berlaku takabur sampai sempat-sempatnya
berjanji segala!"
"Sinto mengapa kau mendadak diam" Apa
sedang menghitung hali baik bulan baik
pelkawinan kita" Ha... ha... ha!"
Di atas bambu runcing Sinto Gendeng ke-i
luarkan teriakan melengking tinggi. Lalu nenek ini melayang terjun ke bawah. Di
lain kejap dia sudah berada dua langkah di hadapan Pelawak Sinting.
Si nenek, ulurkan tangan kirinya. Matanya
yang cekung angker menatap Pelawak Sinting
tak berkesip. "Lekas serahkan benda itu!"
Pelawak Sinting menyeringai.
"Kau keliwat kesusu. Telbulu-bulu. Tapi takl jadi apa. Makin cepat kita kawin
bukankah makin enak" Ha... ha...ha!"
"Jahanam! Jangan membuat aku benar-benari marah!" bentak Sinto Gendeng.
"Aih, jadi tadi-tadi itu kau cuma malah bohong-bohongan!"
Sinto Gendeng berteriak panjang saking
marahnya. Seumur hidup belum pernah dia
berhadapan dengan orang yang pandai bersilat lidah seperti kakek satu ini.
"Serahkan! Atau aku benar-benar akan
membunuhmu! Kakek geblek! Jangan kira aku
main-main!"
Pelawak Sinting goyangkan tangannya yang
memegang kerincing. Sambil manggut-manggut
dan ogel-ogelkan pantat dia masukkan tangan kanan ke balik pinggang celana
sebelah depan dimana terletak satu kantong kain. Dari dalam kantong ini dia
keluarkan sebuah benda lonjong sebesar telur burung dara, berwarna biru. Inilah
Batu Penyusup batin. Pelawak Sinting tidak
segera serahkan batu itu pada Sinto Gendeng.
Sambil digosok-gosok dalam genggaman tangan kanannya, dia berkata.
"Ucapanmu tempo hali telnyata betul. Pangelan Matahali, mulid Si Muka Bangkai
telnyata memang muncul didunia sana. Keadaan bisa
gawat. Anak yang kau katakan akan kau jadikan Fendekal Tahun 2000 itu bisa
dihabisinya sebelum maksudmu kesampaian. Selain itu dia juga akan mampu mengoblak ablik
segala apa saja sekehendak otak kejinya. Tapi kau tak usah ka-watil. Aku belhasil menculi
batu ini dali saku mantelnya. Nah, kau inginkan batu. Aku selah-kan padamu. Tapi
halap ingat janji."
Sepasang mata Sinto Gendeng berkilat-kilat.
Tidak menunggu lebih lama dia segera
menyambar batu biru itu dari tangan Pelawak Sinting lalu melesat ke atas bambu-
bambu runcing. Di atas sana ia perhatikan batu itu dekat-dekat di depan matanya. Tiba-
tiba si nenek berteriak keras.
"Kurang ajar!"
Di bawanya Pelawak Sinting mendongak
keheranan. "Eh, ada apa Sinto" Mengapa kau memaki"
Siapa yang kulang ajal!"
Sinto Gendeng keluarkan suara menggerung
lalu melesat turun. Batu Penyusup Batin
diacung-kannya tepat-tepat didepan mulut


Boma Gendeng Triping di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tonggos Pelawak Sinting.
"Palsu! Batu ini palsu!" teriak si nenek-
"Apa?" Pelawak sinting terkejut dan mendelik.
"Kau menipu aku! Kau pasti menculi batu yang asli. Memberikan yang palsu ini
padaku! Untuk itu akan aku korek isi perutmu!"
"Tunggu!" Pelawak sinting cepat bersurat ketika Sinto Gendeng gerakan tangannya
ke arah perutnya dalam jurus Kepala Naga
Menyusup Awan. "Aku belsumpah, batu itu yang aku culi dali Pangelan Matahali.
Aku ambil sendili dali saku mantelnya sehabis dia
menyaksikan mengamen."
"Siapa percaya pada ucapanmu!"
"Jangan-jangan kau yang sengaja berdalih!!
Batu itu asli tapi pula-pula kau bilang palsu. Akal bulusmu untuk menghindali
janji kawin dengan aku!"
"Batu ini tidak ada gunanya bagiku! Lihat apa yang aku lakukan! Habis berkata
begitu Sinto Gendeng remaskan telapak dan jari-jari tangan kanannya. Terdengar
suara berkeratakan. Ketika genggaman dibuka Batu Penyusup Batin telah
berubah menjadi bubuk halus.
"Bukan sulap bukan tipuan! Eh, kau tidak tengah menyiasati aku bukan Sinto?"
"Setan kurap! Siapa menyiasatimu! Kalau itu batu asli masakan, aku
memusnahkannya!"
"Kau betul juga," kata Pelawak Sinting terperangah lalu jatuh terduduk di tanah.
Rambutnya yang awut-awutan dijambak-jambak.
Mulutnya ternganga tonggos sementara matanya dipejamkan.
"Tua bangka jelek! Apa yang kau lakukan?"
hardik Sinto Gendeng. "Aku tengah belpikil!"
"Hemm... aku juga tengah berpikir!" sahut Sinto Gendeng.
"Apa yang kau pikilkan kalau aku boleh tahu,"
tanya Pelawak Sinting.
"Yang kupikirkan saat ini bagaimana cara yang paling enak membunuh sekaligus
mem-pesiangimu!"
Pelawak Sinting terlonjak saking kagetnya.
Tapi kakek konyol ini segera saja dapat akal. Dia kembangkan payung, letakkan di
atas kepala. Goyang kerincingan dan pukul gendang sambil pantat setengah ditunggingkan. Orang
lain akan mengira ini adalah gaya si kakek yang senang menyanyi dan menari. Tapi
sebenarnya ini merupakan satu pasangan kuda-kuda yang
hebat. Salah-salah lawan menyerang akan
terjebak dalam satu benteng pertahanan dan
secepat kilat bisa berubah mengirimkan
serangan balik yang dahsyat.
"Sinto Gendeng, kalau kau memang puya maksud jahat telhadapku, tak jadi apa. Kau
tidak mau menepati janji kawin denganku kau bakal f kualat sendili! Tapi yang
aku minta saat ini, " sebelum kau membunuh aku, kembalikan dulu Batu Penyusup
Batin padaku dalam
keadaan utuh!"
"Apa katamu"!" ucap Sinto Gendeng setenga!
berteriak. "Dasar tua bagka edan! Apa kau buta'
Kau melihat sendiri batu palsu itu sudal
kuhancurkan!"
"Perduli setan tujuh tulunan!ri sahut Pelawak Sinting. "Palsu atau asli, aku mau
batu itu kembalikan. Dalam keadaan utuh!"
"Kakek Sinting! Kau mencari perkara!" teriak Sinto Gendeng. Habis berteriak
nenek ini langsung menerjang kirimkan serangan ganas.1
Tangan kiri lancarkan satu pukulan sakti dalami jurus Kunyuk Melempar Buah
sedang tangam kanan menyambar dua buah tusuk konde perak!
di kepalanya lalu dilemparkan ke arah Pelawak Sinting.
Pada saat Sinto Gendeng mulai lancarkan
serangan, kakek yang terpesat dari Negeri LaJ
tanahsilam ini goyangkan kerincinghya demikian rupa hingga menimbulkan suara
bising luar biasa mencucuk telinga Sinto Gendeng.
Bersamaan dengan itu Pelawak Sinting juga
pukul gendangnya. Suara tabuhan gendang
bukan saja tambah memekakkan telinga tapi
juga membuat dada orang bergetar.
Ketika dua tusuk konde melesat dan pukulan
sakti menderu, payung di atas kepala si kakek tiba-tiba berputar deras lalu
melayang ke bawah.
Payung kertas itu berputar menebar angin
kencang. Dan yang membuat Sinto Gendeng jadi melengak kaget ialah payung yang
tadinya kecil makin lama makin besar. Membuat sosok si
kakek terlindung dibelakangnya.
"Wuuuttt!"
"Braakk!"
"settt! Settt!"
"Kraakk! Kraaak!"
Pukulan Kunyuk Melempar Buah membuat
hancur besar pinggiran payung. Tapi putarannya yang hebat menggulung pukulan
sakti yang dilepaskan si nenek lalu melontarkannya ke
udara. Dua tusuk konde menancap dan merobek
bagian lain dari payung. Namun tidak sanggup menembus!
Sepasang mata Sinto Gendeng yang selama
ini mendekam di dalam rqnngga cekung seolah mau melompat keluar. Saking tidak
percaya melihat kejadian itu. Bagaimana mungkin hanya sebuah payung kertas sanggup
menahan pukulan saktinya yang bisa memporak
porandakan sebuah bangunan. Bagaimana
mungkin sebuah payung kertas tidak bisa
ditembus dua tusuk kondenya padahal tusuk
konde itu mampu menembus dan
menghancurkan sebuah batu besar"!
Perlahan-lahan payung berhenti berputar.
Lalu jatuh ke tanah. Bersamaan dengan itu
bentuknya kembali berubah mengecil. Ketika
pandangan si nenek lepas tak terhalang lagi, mulutnya keluarkan seruan tertahan.
"Hah"!"
Pelawak Sinting tak ada lagi di depannya!
Selagi Sinto Gendeng memandang kian
kemari mencari-cari, di kejauhan terdengar
suara kerincingan dan bunyi gendang. Lalu
menyusul suara orang bernyanyi.
Na... na... na Ni...ni... ni
Kau yang minta tolong kau yang mau
menggolong Kau yang butuh, kau yang mau membunuh
Kau yang beljanji, kau yang mengingkali
Apakah nyawaku lebih buluk dali batu yang
dihanculkan Apa kematian cukup pantas untuk satu kega
galan Mulutmu sudah mengucap janji
Aku menganggap kau sudah menjadi istli
Belpikillah supaya mengelti
Na...na...na Ni...ni...ni Sinto Gendeng terkesiap mendengar nyanyian
itu. Sesaat dia merenung lalu menghela nafas panjang. Hatinya membatin.
"Mungkin aku telah berlaku keliru. Mungkin dia memang tidak tahu kalau batu itu
palsu. Ada yang tidak beres. Siapa yang punya pekerjaan?"
Sinto Gendeng melangkah mendekati payung
kertas yang tergeletak di tanah. Mengambil dua buah tusuk kondenya yang menancap
di payung itu. "Kakek konyol itu. Ilmunya boleh juga.
Payung butut begini mampu menahan lemparan
dua tusuk kondeku. Hemmm...sebenarnya aku
masih bisa minta tolong padanya. Namun saat ini agaknya hatinya telah terluka."
Si nenek pencongkan mulut. "Apakah aku perlu
mencarinya" Ah, biar nanti saja. Paling penting saat ini aku harus mencari anak
setan itu! Kalau tidak bertemu terpaksa ku harus bekerja sendiri.
Anak setan satunya jelas berada dalam keadaan bahaya." Sinto Gendeng ambil
payung di tanah, dielus-elus diluruskan bagian-bagian yang robek, dilipat lalu
disisipkan di punggung pakaian.
--oo0dw0oo-- 10 SINTO GENDENG KELUAR SARANG
GUDANG besar penyimpanan berbagai m?
terial bangunan dalam keadaan sepi. Saati itu semua pekerja sedang istirahat
makan. Di pintu gudang memang ada seorang penjaga tapi asyik membaca buku porno
hingga tidak menyadari
kalau seorang berpakaian aneh telah
menyelinap masuk ke dalam gudang.
Pangeran Matahari duduk di atas susunan;
kaleng-kaleng besar berisi cat tembok,
terlindung di balik timbunan kantong semen. Dia tak habis pikir atas kejadian
yang barusan dialami. Begitu mudah orang mencuri sebuah
benda yang disimpannya dalam saku mantel.
Apakah dia telafl kehilangan ilmu kesaktian"
Rahangnya menJ gembung. Seharusnya dia
merasa malu bahkai) terpukul oleh kejadian itu.
Tapi dasar manusia dijuluki "Pangeran segala cerdik segala akal, segala ilmu,
segala licik, segala congkak," walau kesal namun sikapnya tenang-tenang saja.
Hanya dalam hati dia
berkata. "Tua bangka keparat pengamen itu. Dia pasti bukan manusia biasa. Siapa dia
sebenarnya"
Tokoh berkepandaian tinggi yang menyamar"
Bukan mustahil kemunculannya ada sangkut
paut dengan Pendekar Tahun 2000 yang
dikatakan guru. Jangan-jangan dia kaki tangan Sinto Gendeng."
Dalam soal berpikir, kecerdikan dan
penggunaan akal Pangeran Matahari memang
hebat. Dia sudah bisa menduga kalau kakek
pengamen punya hubungan dengan. Sinto
Gendeng. Baru saja Pangeran Matahari berkata dalam
hati tiba-tiba seorang bertangan kiri buntung, bungkuk, berpakaian rombeng
dengan wajah sepucat kain kafan, muncul di hadapannya. Dua mata yang terpuruk angker pada
rongga dalam memandang penuh marah pada sang Pangeran.
"Guru!" kaget Pangeran Matahari bukan kepalang ketika dia mengangkat kepala dan
melihat siapa adanya orang tua itu. Buru-buru dia berdiri lalu membungkuk
memberi hormat.
"Murid tolol! Kecongkakanmu hari ini amblas dalam comberan!" Begitu membuka
mulut orang tua yang bukan lain adalah Si Muka Bangkai
alias Si Muka Mayat menyemprot kasar.
Pangeran Matahari tentu saja sudah tahu
sebab apa si orang tua mendampratnya begitu rupa. Tapi dasar licik panjdng akal
dia berpura-pura terkejut dan heran.
"Guru, gerangan apa sampai membuatmu
marah besar seperti ini" Murid menduga jangan-jangan...."
Dari tenggorokan Si Muka Bangkai keluar
suara menggembor pertanda dia benar-benar
marah sekali. "Pangeran goblok! Tutup mulutmu!"
Dibentak atau dihardik bagi Pangeran
Matahari bukan soal.. Tapi dimaki Pangeran
goblok membuatnya sakit hati. Kalau yang
memaki bukan gurunya saat itu juga pasti sudah dirobek mulut atau dipecahkannya
kepalanya. Rahang menggembung, pelipis bergerak-gerak.
Pangeran Matahari menatap tajam wajah sang
guru. "Untung aku berlaku waspada. Kalau tidak Batu Penyusup Batin itu akan lenyap
selama lamanya." "Guru, maafkan diriku. Apakah guru telah menemukan kembali batu sakti itu" Batu
itu aku taruh dalam saku mantel. Tapi lenyap dicuri se orang kakek pengamen."
"Selama ini kau terlalu sombong, terlalu congkak...."
"Guru, tunggu dulu!" tiba-tiba Pangeran Matahari berkata.
"Murid kurang ajar! Beraninya kau memotong ucapanku!" hardik Si Muka Bangkai.
Pangeran Matahari tidak perduli. "Apa kau lupa, guru" Bukankah kau sendiri ikut
menanam kan semua sifat itu di dalam diriku ketika kau menggembleng aku di
puncak Merapi?"
Dua mata Si Muka Bangkai yang ada dalam
rongga cekung seperti mau melompat keluar.
"Dasar kampret!"
"Kampret"!" Pangeran Matahari melotot heran.
"Waktu dulu kau kutemukan di desa Sleman, itu sebutan yang aku berikan padamu.
Setelah puluhan tahun berlalu ternyata kau masih saja manusia kampret!"
Pangeran Matahari menatap muka pucat
sang guru, melirik pada tangan kirinya yang buntung lalu tertawa gelak-gelak.
(Untuk mengetahui riwayat Pangeran Matahari harap
baca serial Wiro Sableng berjudul "Pangeran Matahari")
Di pintu gudang, penjaga asyik membaca
buku porno turunkan buku yang dipegangnya,
memandang ke dalam gudang.
"Siapa yang tertawa...?" tanyanya dalam hati.
Dia turun dari tumpukan balok kayu, masuk
sampai beberapa langkah ke dalam gudang,
memperhatikan ke segala penjuru. Dia tidak
melihat siapa-siapa. Bulu kuduknya mendadak merinding. "Jangan-jangan setannya
si Tukijan,"
katanya dalam hati. Lalu cepat-cepat dia keluar dari dalam gudang. Tukijan
adalah buruh bangunan yang mati akibat kecelakaan sebulan
lalu. Jatuh dari tingkat empat gedung yang
tengah dibangun.
"Pangeran Matahari, kau dengar baik-baik.
Sejak kecil sifat segala licik, congkak sombong bahkan kejam telah ada dalam
dirimu! Mungkin karena kau merasa diri sebagai seorang
Pangeran. Mungkin juga itu sudah warisan darah daging dari. orang tuamu!"
"Aku tidak pernah ingat siapa orang tuaku.
Aku tidak pernah kenal mereka sejelas aku
melihat dua telapak tanganku!" kata Pangeran Matahari sambil memandang ke atas
ke arah atap seng gudang.
"Tidak heran! Tidak heran kalau kau juga tidak tahu siapa dirimu sendiri!" tukas
Si Muka Bangkai yang membuat merah padam tampang
Pangeran Matahari. "Kecongkakan dan


Boma Gendeng Triping di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesombonganmu semakin berlipat ganda
setelah kau mewarisi semua ilmu kepandaian
dariku! Tapi hari ini semua akal licik,
kesombongan dan kecongkakanmu, seperti
kataku tadi, amblas dalam comberan ketololan!
Batu biru yang kuberikan padamu lenyap dicuri orang. Dan tololmu lagi, kau
menganggap si pencuri adalah manusia biasa, pengamen tua
bangka! Kau tahu siapa orang itu?"
Tenang saja Pangeran Matahari gelengkan
kepala. "Dia adalah mahluk berkepandaian tinggi, tersesat dari negeri seribu dua ratus
tahun silam. Di negeri sana dia dikenal dengan nama Si Pelawak Sinting. Di dunia
sini dia muncul sebagai kaki tangan Sinto Gendeng! Nenek
keparat dari Gunung Gede itulah yang telah
memperalatnya untuk mencuri Batu Penyusup
Batin yang ada dalam saku mantelmu!"
"Aku memang sudah menduga," kata
Pangeran Matahari sambil rangkapkan dua
tangan di depan dada. "Tapi tadi guru berkata bahwa berkat kewaspadaan guru,
batu sakti itu tidak...."
"Batu yang asli! Batu Penyusup Batin yang asli memang masih ada padaku! Yang
kuberikan padamu hanya batu tiruan. Batu kaivinanl Kalau saja aku tidak berlaku cerdik
melakukan hal itu, batu yang asli sudah amblas dibawa kabur."
"Batu kawinan, aku tidak mengerti maksud guru," kata Pangeran Matahari pula.
"Dalam keadaan seperti sekarang ini,
membawa batu asli tanpa mampu menjaganya
adalah sangat berbahaya. Banyak mata bisa
melihat, banyak tangan jahat bisa mengambil.
Itu sebabnya, batu yang asli aku ikatkan ke batu tiruan. Selama satu minggu aku
bersamadi. Kesaktian yang ada dalam Batu Penyusup Batin yang asli mengalir ke dalam batu
tiruan. Namun kekuatannya hanya dua tiga hari saja. Batu
tiruan itulah yang aku berikan padamu."
"Kalau begitu, guru, apakah kau masih punya banyak batu tiruan?" tanya Pangeran
Matahari. "Kampret besar!" maki Si Muka Bangkai.
"Syukur...." ujar Pangeran Matahari.
"Eh, apa maksudmu berkata syukur"!" tanya sang guru.
"Dulu aku dibilang kampret kecil. Sekarang sudah jadi kampret besar. Salahkah
kalau aku bersyukur?"
Si Muka Bangkai mendelik besar lalu tertawa gelak-gelak.
Di depan pintu gudang kembali si penjaga
tersentak kaget.
"Suara tertawa," katanya dalam hati. "Tapi suaranya berbeda dengan yang pertama
tadi...." Untuk memeriksa kembali ke dalam gudang dia merasa takut. Penjaga ini tinggalkan
tempat itu mencari teman-temannya.
"Pangeran Matahari, aku tidak membawa
batu tiruan. Aku punya cara lain untuk
membuatmu bisa menyusup ke dalam tubuh
seseorang. Kekuatan dan kemampuannya lebih lama
dibanding batu kawinan. Mendekat ke sini."
Pangeran Matahari melangkah maju
mendekati sang guru. Kakek bungkuk masukkan tangan kanannya ke balik baju
rombeng. Sesaat kemudian di tangan kanan itu tampak sebuah
benda memancarkan cahaya biru. Itulah Batu
Penyusup Batin asli yang diterimanya dari
gurunya Eyang Kunti Api. Dengan mulut
berkomat-kamit membaca mantera Si Muka
Bangkai usapkan Batu Penyusup Batin ke kepala dan muka muridnya. Usapan turun ke
leher, dada, perut, dua paha dan dua kaki.
"Pejamkan matamu," perintah si kakek.
Pangeran Matahari pejamkan dua mata. Si
Muka Bangkai tempelkan batu sakti di kening muridnya, di bawah ikat kepala kain
merah. Kembali dia berkomat kamit membaca mantera.
Saat itulah sang murid berkata.
"Guru, apakah kau mencium bau sesuatu?"
Tadinya Si Muka Bangkai hendak membentak
marah karena ucapan Pangeran Matahari
membuyarkan pemusatan perhatiannya. Tapi
ketika mengendus, dia memang membaui
sesuatu. Bau yang membuat jantungnya
berdetak keras dan tampangnya berubah
membesi. Bau pesing!
Karena sang guru tidak keluarkan jawaban,
Pangeran Matahari perlahan-lahan buka
sepasang matanya. Begitu mata dibuka, pada
saat itulah dari atas tumpukan kantong-kantong semen di ujung kiri gudang,
berkelebat satu bayangan disertai menebarnya bau pesing yang amat santar.
Mendahului kelebatan bayangan
yang laksana terbang, melesat dua buah senjata rahasia memancarkan cahaya putih.
"Guru! Awas serangan!" teriak Pangeran Matahari. Cepat dia dorong dada Si Muka
Bangkai hingga kakek ini terjengkang jatuh.
Dalam kejutnya Batu Penyusup Batin yang
tadi ditempelkan di kening Pangeran Matahari, tidak sempat digenggam kembali
oleh Si Muka Bangkai. Bersamaan dengan terjengkangnya
tubuhnya, batu yang terlepas dari pegangannya itu ikut mental ke udara. Selagi
Pangeran Matahari membungkuk selamatkan diri dari
serangan dua senjata rahasia, sosok yang
melayang membuat gerakan berjumpalitan dua
kali berturut-turut, lalu menukik turun. Sambil turun orang ini hantamkan kaki
kirinya ke punggung Si Muka Bangkai. Bersamaan dengan
itu tangan kanannya menyambar Batu Penyusup Batin yang mental ke udara!
"Batu Penyusup Batin!" teriak Si Muka Bangkai yang saat itu terkapar di lantai
gudang. Dia berusaha bangkit tapi roboh kembali.
Tendangan orang telah meremukkan tulang
punggungnya hingga selain menahan sakit luar biasa kakek muka mayat ini juga
kehilangan keseimbangan. Cepat sekali, begitu berhasil menangkap Batu Penyusup Batin orang di atas sana
kembali membuat gerakan kilat, melesat ke arah celah besar di dinding atas ujung kiri
gudang. "Bangsat berani mati!" teriak Pangeran Matahari. Dalam keadaan setengah terduduk
di lantai dia hantamkan tangan kanannya. Sesaat udara terasa redup. Lalu tiba-
tiba berkiblat sinar kuning, hitam dan merah. Menderu panas dan
ganas ke arah orang yang berkelebat di atas sana. Jangankan tubuh manusia,
tembok bajapun akan hancur dihantam pukulan sakti
itu. Karena pukulan yang dilepaskan Pangeran Matahari adala salah satu pukulan
sakti paling ditakuti dalam rimba persilatan yaitu Pukulan Gerhana Matahari
Namun sasaran yang dihantam telah lebih
dulu lolos di balik celah dinding gudang. Begitu Pukulan Gerhana Matahari
melabrak dinding
gudang yang terbuat dari seng, tak ampun lagi dinding itu hancur berantakan.
Kepingan-kepingan seng melesat tinggi ke udara
terbungkus nyala api. Bukan itu saja. Hawa
panas pukulan sakti membakar seluruh dinding gudang yang masih utuh. Api
merambat dengan cepat, berkobar ganas karena dalam gudang itu tersimpan berbagai
bahan mengandung kimia
antara lain cat. Lalu di salah satu sudut terdapat beberapa tabung gas yang
biasanya dipergunakan untuk mengelas. Kebakaran besar serta merta menggegerkan kawasan
itu. Pangeran Matahari cepat menolong gurunya.
"Kita harus pergi sebelum api lebih besar.
Sebelum orang-orang masuk ke tempat ini!" kata sang murid.
"Tunggu," jawab Si Muka Bangkai. Dia melompat ke lantai di depan tumpukan tinggi
kayu triplek. Di lantai itu menancap dua buah senjata rahasia yang tadi
menyerang Pangeran Matahari. Si Muka Bangkai mencabut dua benda itu. Ketika
diperhatikan, mukanya berubah
kelam. Ternyata benda itu adalah dua buah
tusuk konde perak.
"Tusuk konde perak! Siapa lagi pemiliknya kalau bukan keparat Sinto Gendeng!"
Si kakek keluarkan suara menggerung.
Amarahnya bukan kepalang. Lebih lagi begitu dia ingat bahwa si nenek itu juga
yang tadi telah merampas Batu Penyusup Batin.
"Nenek keparat itu. Dia keluar dari sarangnya.
. Kalau tidak segera dicegah, bahaya besar akan mengancam diriku dan para tokoh
golongan hitam." --oo0dw0oo-- 11 BUKAN TRIPING BUKAN NGEPRIT
PULANG sekolah hari itu Boma dan teman-
temannya kecuali Gita Parwati kumpul di warung bakso Mang Asep. "Heran" kata
Boma. "Siapa yang usil punya mulut kayak kompor dua belas sumbu. Hampir semua
anak Nusantara Tiga
udah pada tau kejadian Allan tripping. Malah katanya ada guru yang juga udah
tau. Gila banget!" Ronny langsung memandang pada Vino. "Vin, kau yang liat Allan tripping. Kamu
yang ceritain sama kita-kita. Kamu ceritain sama anak lain nggak."
"Sumpah Ron! Aku nggak cerita sama siapa-siapa," jawab Vino.
"Mungkin kita perlu ngomong lagi sama Gita,"
berkata Rio sambil memperhatikan Ronny
mengeluarkan bungkusan rokok dari tasnya.
"Ron, lu jangan gila. Emang sih udah bubaran sekolah. Tapi jangan ngacok berani
ngerokok di sini." Andi mengingatkan.
"Mulut gue asem banget!" jawab Ronny.
"Kalau asem kumur-kumur sono sama air
cucian mangkok baksonya Mang Asep." kata Boma.
"Sial!" Ronny masukkan kembali rokoknya ke dalam tas. Lalu bertanya. 'Bom, waktu
kamu ketemu Gita, 'tu anak bilang apa?",
"Katanya Allan bukan bangsa anak begituan.
Jangan kan tripping, nenggak minuman keras
aja nggak, ngerokok juga nggak. Malah dia
bilang Vino ngarang."
"Wah, kalau gitu gua musti ikutan ngomong sama dia," kata Vino. "Buktinya
sekarang kok udah dua hari si Allan nggak masuk-masuk."
"Aku rasa dia pindah sekolah gara-raga yang beginian juga. Ketauan ngeprit."
Ucap Firman. "Bisa jadi," menyahuti Andi.
"Besok kalau Si Allan masih belon masuk, aku mau ngomong lagi sama Gita. Di, kau
sama Vino musti ngelacak. Siapa yang punya mulut jahil sampai kejadian ini
bocor. Bukan cuma anak-anak kelas lain yang tau, tapi juga guru."
"Kalau ngomong sama Gita, kamu musti hati-hati Bom," kata Ronny.
"hati-hatinya?"
"Belakangan aku liat 'tu anak sering ngela-mun. Nggak mau gabung sama kita-kita.
Kelihatannya jadi sensitip. Gampang
tersinggung..."
"Mungkin lagi mens 'kali," kata Vino.
"Perempuan kalau lagi dateng bulan sifatnya kadang-kadang 'kan aneh-aneh!"
"Sok tahu lu Vin!" sembur Andi. "Kayak lu udah pernah ngalamin mens aja!"
"Sialan! Emangnya gue cewek!" jawab Vino.
Semua anak tertawa riuh.
SIANG itu, waktu jam istirahat, Kelas II-9 sepi.
Di dalam kelas hanya ada Gita Parwati duduk sendirian. Asyik membaca majalah.
Boma berdiri di sudut pintu, memperhatikan. Dia menduga
Gita tahu kalau dia berdiri di situ
memperhatikan, tapi pura-pura terus membaca.
Ronny dan teman-teman yang berdiri di ujung kelas sebelah luar memberi isyarat
agar Boma segera masuk dan bicara dengan Gita. Boma
akhirnya masuk ke dalam kelas.
"Asyik banget Git, pasti majalah porno," Boma menegur. Sengaja memancing dengan
ucapan seperti itu untuk melihat reaksi Gita.
"Enak aja lu," jawab Gita. "Liat dulu!" Gita mengangkat majalah yang dibacanya,
memperlihatkan cover depan. Ternyata sebuah majalah pelajar bahasa Inggris.
"Git, aku mau ngomong," kata Boma.
"Aku udah tahu. Ngomong aja..."
"Gimana kabarnya Allan?"
"Baik."
"Baik" Kok masih nggak masuk?"
"Baik bukan berarti sehat 'tau."
"Beneran sakitnya apa sih?" tanya Boma lagi.
"Mana aku tau Bom. Tanya sama dokternya atau sama ortunya."
"Kamu 'kan sering kesana."
"Siapa bilang?" Gita angkat kepala dari majalah yang dibacanya, menatap Boma
sebentar lalu kembali memandang ke majalah di atas meja.
Boma merapatkan badannya ke samping
meja. Lalu pegang lengan Gita. Dia merasakan denyutan cepat sekali pada urat
nadi di lengan temannya ini.
"Git,, jujur aja. Kau tau si Allan itu ngeprit?".
"Itu lagi yang diomongin. Kemarin aku udah bilang. Dia bukan bangsa cowok gituan
Bom." Gita menjawab, tapi melengos, tidak berani
memandang mata Boma.
"Aku nggak ada maksud apa-apa Git. Kita 'kan teman. Aku kasian sama kamu, sama
Allan." "Buat apa ngasianin orang kayak aku Bom"
Tapi ya makasih untuk pengasianannya," jawab Gita.
"Git, keadaan mungkin tidak seperti yang kami duga. Tadi pagi aku liat orang tua
Allan menemui Kepala Sekolah."
"Biar aja. Biar jelas semuanya..."
"Kamu ngebelain Allan nggak tanggung-
tanggung. Memangnya kamu cintrong banget
sama dia?" tanya Boma.
Gita diam. Tatapannya ke wajah Boma seperti ingin menyampaikan suara hatinya.
Ketika akhirnya anak perempuan ini menjawab,
suaranya terdengar perlahan.
"Habis, siapa sih yang suka sama aku Bom"
Gendut, item. Jelek begini. Allan selalu meratiin aku. Memang sih dia nggak
pernah bilang sayang sama aku. Tapi aku tau perasaan kami sama."
Boma terdiam. Hatinya sangat tersentuh.
Perasaan haru biru merenyuh lubuk kalbunya
Ditowelnya hidungnya. Lalu dilihatnya ada air mata meggelinding jatuh dari
tanggul kelopak mata anak perempuan itu. Kalau sudah begini Boma jadi tidak
tahan.

Boma Gendeng Triping di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bom...."
"Udah Git, nanti kita ngomong lagi. Kalau ketemu Allan bilang salam dari teman-
teman." "Aku tau kamu dan teman-teman semua
baik..." Gita menyeka air matanya. "Bom..."
Tapi Boma sudah keluar dari dalam kelas.
--oo0dw0oo-- KETIKA lonceng tanda jam pelajaran
berikutnya dimulai, yang masuk ke dalam Kelas II-9 bukannya guru Fisika, tetapi
guru bahasa Inggris Ibu Renata.
"Selamat siang Bu," anak-anak satu kelas memberi salam.
"Selamat siang," jawab Ibu Renata. Sejak sakit ini kali pertama dia masuk ke
Kelas II-9. Badannya agak susut sedikit namun tidak
mengurangi kecantikannya. Sesaat dia
memandang berkeliling, memperhatikan bangku yang kosong, bangkunya Allan. Lalu
melirik ke sudut kelas sebelah kiri di mana Boma duduk.
Firman yang duduk di sebelah Boma langsung
berbisik. "Boma, kamu dilirik sama Ibu Renata..."
"Kamu 'kali yang dilirik, bukan aku." Jawab Boma. Dua anak ini sama-sama
menutupi mulut menahan tertawa.
"Sudah sembuh 'Bu?" Tiba-tiba seorang anak bertanya.
Ibu Renata anggukkan kepala, tersenyum
sedikit dan sekilas kembali melirik ke sudut kiri kelas.
"Sakitnya apa sih Bu?" seorang anak lain bertanya.
Yang menjawab teman di belakangnya. "Ah, mau tau aja sakitnya Ibu Renata.
Emangnya kamu dokter?"
"Dukun, kali!" menimpali suara anak perempuan. Yang bicara ternyata adalah Si
Centil Sulastri, anak baru pindahan dari
Semarang. Suara tawa terdengar di mana-mana.
Ibu Renata juga tertawa walau kelihatan agak dipaksakan.
"Anak-anak, saya mewakili Wali Kelas II-9
yang hari ini berhalangan hadir. Saya
meneruskan permintaan dari Bapak Kepala
Sekolah, Bapak Nugroho, untuk menyampaikan
pesan atau pemberitahuan. Hal ini sehubungan dengan sakitnya teman kalian
Allan." Sampai di situ Ibu Renata berhenti sebentar.
Apa yang barusan dikatakannya menimbulkan
berbagai dugaan di hati dan benak anak-anak Kelas II-9. Banyak dari anak-anak
itu mengira^ setelah diketahui tripping di sekolah Allan akan dikeluarkan atau minta keluar.
Itu sebabnya pagi tadi ayah Allan datang menemui Kepala Sekolah.
Hampir semua mata ditujukan pada Gita. Anak perempuan ini hanya bisa tundukkan
kepala sambil mencungkil-cungkil kuku jari tangannya.
"Anak-anak..." Ibu Renata meneruskan ucapannya. "Sebelumnya pada Kepala Sekolah
telah masuk laporan bahwa Allan diketahui
tripping di sekolah..."
"Siapa yang melapor Bu?" Tiba-tiba ada yangi bertanya. Boma.
Ibu Renata memandang ke sudut kiri Kelas; II-9. Dia menatap ke arah Boma
sebentar lalu mengalihkan pandangan ke jurusan lain seraya berkata. "Siapa yang melapor tidak
perlu kalian ketahui. Yang penting kalian ketahui adalah bahwa Allan sama sekali
tidak melakukan
tripping. Dia tidak minum obat terlarang..."
Kelas II-9 sesaat dicekam kesunyian. Semua
anak seperti tidak percaya mendengar kata-kata Ibu Renata itu. Ketika banyak
mata diarahkan kembali pada Gita Parwati, anak-anak di bangku terdekat saling
berbisik. "Liat, si Gita nangis..."
Saat itu Gita Parwati duduk menundukkan
kepala. Sehelai sapu tangan dipergunakan
menutupi sebagian wajah, terutama sepasang
matanya. "Memang ada yang melihat Allan menelan sesuatu, minum segelas Aqua lalu goyang-
goyang kepala di sekolah. Tapi saat itu
sebenarnya dia bukan sedang tripping. Bukan menelan ecstasy. Melainkan minum
obat. Obat dari dokter. Di dapat berdasarkan resep dokter.
Anak-anak, Kepala Sekolah minta saya
menyampaikan, memberi tahu pada kamu
bahwa Allan sejak lama menderita penyakit
epilepsi..."
Epilepsi apa-an sih Di," tanya Rio yang duduk di sampingnya. "Sipilis ya?"
Andi menutupi mulutnya menahan ketawa.
"Epilepsi aja nggak tau. Anak sekolah malu-maluin. Ngakunya kelas dua lagi..."
"Gue 'kan bukannya dokter!" Rio jadi sengit.
"Epilepsi sama dengan ayan. Tau nggak"!"
Diberi tahu Rio cuma ngangguk sambil
monyongkan mulut.
"Kalian mungkin banyak yang tidak tahu penyakit ini. Sebab dan jenisnya
bermacam-macam. Allan rentan terhadap udara pengap,
terutama di tempat-tempat ramai, rentan
terhadap stres. Penyakitnya bisa kambuh tidak terduga. Ketika ada yang melihat
dia menelan sesuatu dan meneguk Aqua, sebenarnya dia
tengah minum obat dokter. Jadi anak-anak,
sekali lagi saya menyampaikan pesan Kepala
Sekolah. Allan bukan pecandu obat terlarang.
Dia tidak pecandu ecstasy atau obat apapun.
Sekarang dia masih istirahat di rumah. Kita doakan agar dia segera masuk sekolah
lagi..." "Amin!" beberapa anak mengamini.
Saat itulah Boma, Firman dan Andi, disusul, Ronny dan Rio mendatangi Gita yang
seseng-*1 gukan di bangkunya. Anak-anak lain melakukah hal yang sama. Gita dikerubungi.
Anak-anak perempuan menciumnya. Termasuk Sulastri.
Trini satu-satunya anak perempuan yang hanya tegak tertegun dan tak beranjak di
bangkunya. Boma pegang tangan Gita dengan tangan
kanan. Tangan kiri mengusap punggung anak
perempuan itu. "Git maapin aku Git. Maapin juga teman-teman. Tadinya kami udah nyangka yang
nggak-nggak sama Allan..."
Sesenggukan Gita berubah jadi tangis
mengharukan. Dia mengangkat kepalanya,
menurunkan sapu tangan yang menutupi dua
matanya sedikit. Diantara isakannya anak
perempuan ini berkata.
"Bom, sebenarnya aku sudah tau lama
sakitnya Allan. Tapi aku mau bilang sama kalian nggak tega. Akibatnya dia
dituduh tripping..."
"Sekarang udah nggak lagi Git," kata Ronny.
Ibu Renata sesaat masih berdiri di depan
kelas memperhatikan semua simpati yang
diberikan anak-anak pada Gita. Kemudian dia memberi isyarat pada Boma. Melihat
isyarat ini Boma datang mendekat.
"Ibu manggil saya?" tanya Boma.
"Selesai sekolah, kamu Ibu tunggu di kantor."
"Baik Bu."
"Jangan lupa."
"Iyya Bu."
Ketika anak-anak yang' mengerumuni Gita
bubar dan Boma kembali ke bangkunya, kini
Boma yang mereka kerumuni.
Ronny bertanya.
"Ibu Renata ngomongin apa sama kamu?"
"Pulang sekolah dia suruh aku datang ke kantor."
"Ngapain?" tanya Firman.
"Nggak tau," jawab Boma sambil menowel hidung. "Yang jelas sikapnya dingin.
Belum pernah aku liat Ibu Renata seperti itu."
"Jangan-jangan dia tau kita pada kasak-kusuk curiga sama si Allan," kata Vino.
"Kalau memang begitu berarti kamu yang dipanggil Vin, bukan Boma. Kamu yang
pertama kali ngeliat Allan, nyangka dia lagi tripping," kata Andi pula.
Boma menowel hidungnya. "Kayaknya ada
soal lain yang mau diomongin Ibu Renata. Tapi aku nggak tau soal apa."
Semua anak memandang pada Boma. Ronny
hendak mengatakan sesuatu tapi saat itu guru Fisika sudah masuk ke dalam kelas.
--oo0dw0oo-- 12 SUMPAH BOMA - AIR MATA IBU RENATA
HUJAN turun rintik-rintik ketika Boma
melangkah seorang diri menuju Kantor Sekolah.
Di Ruang Tamu Kepala Sekolah beberapa orang guru duduk bercakap-cakap. Mereka
kemudian meninggalkan tempat itu sebelum hujan
berubah lebat. Ketika berpapasan, Boma segera memberi hormat.
Di Ruang Guru Ibu Renata duduk seoran diri
di belakang meja sambil menulis. Dia ber henti menulis ketika melihat Boma
muncul di ambang pintu.
"Selamat siang Bu," Boma memberi salam.
Ibu Renata menjawab dengan anggukan kepala.
Wajahnya tidak cerah seperti biasa mungkin
karena habis sakit. Sikapnya masih kelihatan dingin. Guru Bahasa Inggris ini
menunjuk ke bangku di depan mejanya, memberi isyarat agar Boma duduk di situ.
Boma duduk. Ibu Renata meneruskan menulis sesuatu lalu
meletakkan bolpen di atas meja, melipat kertas yang barusan ditulis, memasukkan
ke dai am tas. "Boma."
"Ya Bu."
"Kamu masih ingat. Waktu di kelas satu saya pernah ngajak kamu sama-sama nonton
film...." "Ya Bu, saya ingat," jawab Boma.
"Saat itu kamu menolak."
Boma mengangguk. "Benar Bu," katanya kemudian.
Ibu Renata diam.
Boma memberanikan diri bertanya. "Ibu
marah saya menolak?"
"Film yang saya mau lihat itu bukan cuma bagus. Tapi banyak kesamaannya dengan
kehidupan saya...." Guru Bahasa Inggris itu diam kembali. Lalu gelengkan kepala.
"Tidak, saya tidak marah kamu menolak. Yang saya tidak
menduga dan benar-benar marah, mengapa
kamu menyebarkan, memberi tahu orang lain
bahwa saya pernah mengajakmu nonton."
Boma tercengang. Ditatapnya wajah cantik
Guru Bahasa Inggris itu.
"Bu, saya nggak pernah cerita sama siapa-siapa kalau Ibu ngajak saya nonton."
"Jangan dusta Boma. Kamu menyebar
omongan...."
"Sumpah Bu. Saya nggak pernah nyebar-
nyebar omongan begitu...."
Dalam wajah yang tetap dingin Ibu Renata
tunjukkan air muka tidak percaya. Matanya
mulai merah. Dia berusaha keras membendung
tangis. Tapi isakannya tak tertahankan lagi. Dua telapak tangannya ditutupkan ke
mukanya. Bahunya bergoncang turun naik.
"Saya tidak menyangka seburuk itu budi pekertimu. Kalau kau tidak suka. sama
Ibu, jangan ceritanya disampaikan sama orang lain."
"Sumpah Bu," kata Boma. "Jangan bersumpah Boma. Saya paling benci pada orang
yang suka mengangkat sumpah tapi ternyata palsu...." "Bu, saya...." "Tidak
mungkin Boma. Tidak mungkin.
Waktu kita bicara pada akhir jam pelajaran hari Sabtu itu, hanya kita berdua di
dalam kelas. Tidak ada orang lain. Tidak ada siapa-siapa. Lalu bagaimana ceritanya jadi
tersebar kalau bukan kamu sendiri yang melakukan" Saya malu
sekali. Malu sekali Boma. Mungkin, mungkin
saya terpaksa minta berhenti mengajar di
sekolah ini. Saya akan keluar...."
"Jangan Bu. Jangan minta berhenti. Jangan keluar," kata Boma.
Ucapan polos anak ini membuat air mata
yang sejak tadi terbendung menggelinding jatuh ke pipi putih Ibu Renata. Isak
tangis perempuan ini semakin keras. Boma memandang ke arah
pintu. Dia takut saat itu ada guru atau orang lain yang melihat.
"Bu, bagaimana Ibu tau kalau saya menyebar cerita itu" Ada yang melapor?" Boma
tiba-tiba ajukan pertanyaan.
"Kamu tidak perlu tau siapa yang memberi tahu, siapa yang melapor. Pak Nugroho
Kepala Sekolah tadi pagi memanggil saya. Dia tau cerita itu karena katanya sudah
tersebar di antara anak-anak sekolah, di antara para guru. Kamu tahu apa yang
Pak Nugroho bilang?"
Boma menggeleng.
"Kamu mau tahu?"
Boma tak berani menjawab.
"Pak Nugroho bilang apa yang saya lakukan sangat tidak pantas. Seorang guru
perempuan mengajak muridnya menonton! Bukan saja
merupakan satu tindakan yang keliru, tapi juga merusak image guru."
Ibu Renata menyeka air mata yang semakin
banyak bercucuran.
Boma mulai bingung. Dia bangkit dari bangku.
Hendak dipegangnya tangan Ibu Renata. Dia
takut. Akhirnya ditowelnya hidungnya sendiri lalu melangkah keluar Ruangan Guru.
Di pintu anak ini hentikan langkahnya dan membalik. Untuk beberapa lamanya
dipan-danginya Guru Bahasa Inggris itu. Sikap dingin masih belum pupus dari
wajah perempuan muda itu.
"Pergi Boma, pergilah...." kata Ibu Renata sambil melambaikan tangan menyuruh
Boma pergi. Tapi Boma tidak beranjak dari tempatnya
berdiri. "Ibu Renata, sekali lagi saya sumpah. Saya tidak berbuat sejahat itu."
Ibu Renata geleng-gelengkan kepala.
"Kalau sumpah saya palsu, biar saya nggak selamat."
Habis berkata begitu Boma menowel
hidungnya sampai tiga kali lalu membalikkan badan, melangkah cepat-cepat
meninggalkan Ruang Guru. Setelah Boma keluar dari ruangan guru, Ibu
Renata masih tertegak di belakang meja.
Ucapan Boma terngiang di telinganya.
"Kalau sumpah saya palsu, biar saya nggak selamat."
"Berani sekali. Seberani itu dia bersumpah,"
kata Ibu Renata dalam hati.
--oo0dw0oo-- BOMA berjalan sambil memukul-mukulkan


Boma Gendeng Triping di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinju kanannya ke dalam telapak tangan kiri.
"Ajie Gilel" Kenapa jadi begini urusannya"
Musti gua selidikin siapa yang punya kerjaan!"
Saat itu Boma ingin sekali ada kawan-
kawannya yang masih belum pulang. Ingin sekali dia menceritakan apa yang barusan
dibicara-kannya dengan Ibu Renata. Mungkin dengan
menyampaikan hal itu dadanya bisa lega,
perasaannya bisa tenang. Namun baik Ronny,
Firman, Vino, maupun Andi dan Rio, tak satupun yang ada di sekolah. Semua sudah
pulang. Boma berdiri di pintu gerbang sekolah. Suara deru motor yang bising membuat dia
berpaling. Guru Olahraga Bapak Sanyoto lewat dengan
sepeda motor yang bocor kenalpotnya.
"Siang Pak," kata Boma sambil anggukkan kepala.
Mungkin tidak melihat, mungkin juga tidak
mendengar salam anak muridnya, Guru
Olahraga itu lewat saja tanpa menjawab hormat Boma.
"Nggak denger sih mungkin," kata Boma jadi kesal karena penghormatannya seolah
tidak diacuhkan. "Budek sih mungkin. Soalnya 'tuh motor udah kayak suara speed boat
aja. Tapi buta jelas nggak. Rugi gua ngasih hormat.
Sialan! Tapi udahlah. Buat apa aku pikirin."
Borna menowel hidungnya.
Langit semakin gelap. Hujan rintik-rintik
berubah lebat. Boma tutupi kepalanya dengan tas, melangkah tinggalkan pintu
gerbang sekolah. Tapi langkahnya tertahan ketika di belakangnya ada suara deru mobil.
Menoleh ke belakang sebuah Suzuki Katana putih meluncur perlahan. Di belakang
kemudi duduk Ibu Renata.
Hujan lebat turun mendera. Boma masih
tegak di pintu gerbang berpayung tas sekolah.
Suzuki Katana lewat di sampingnya. Saat itu ingin
sekali Boma melihat Ibu Renata menurunkan
kaca jendela kiri Suzuki Katana, ingin sekali mendengar Guru Bahasa Inggris itu
menyapanya. "Boma, ayo ikutan sama saya...."
Namun harapan itu hanyalah suara hati Boma
Tri Sumitro sendiri. Suzuki Katana meluncur melewatinya. Boma baru sadar dan
beranjak dari pintu gerbang sekolah setelah sekujur tubuh dan pakaiannya basah kuyup.
HONDA Tiger merah berhenti di ujung gang
"Di sini aja Ron. Nggak usah masuk," kata Boma. Begitu motor berhenti Boma
segera turun. "Aku juga males masuk Bom. Takut didamprat kakek tetangga kamu itu. Dikit-dikit
mau ngeguyur kepala gua sama air kencing. Padahal gue rasa 'tu kakek boro-boro
kencing, kentut aja udah nggak bisa!"
Boma tertawa lebar mendengar ucapan
Ronny Celepuk. "Besok hari Minggu gimana?" tanya Ronny
"Jadi ke rumah Allan?"
"Boleh, tapi awas lu, jangan keliwat siang Janji pagi dateng siang, siang dateng
sore. janji malem bisa-bisa lu dateng subuh."
Ronny menyengir. Boma lambaikan tangan.
Anak ini tengah berjalan ke tukang rokok
diseberang jalan untuk membeli Gudang Garam Filter pesanan ayahnya ketika tiba-
tiba dari arah belakang sebuah Toyota Hardtop berhenti. Dua orang keluar dari
sebelah depan, tiga lainnya melompat dari bagian belakang kendaraan.
Boma yang mendadak mendapat firasat tidak
enak, cepat menyeberang, melangkah ke arah
tembok tinggi sebuah bangunan. Karena mau
berbalik dan masuk ke gang. Di mulut gang
sudah dihadang dua dari lima orang yang
barusan turun dari jip. Anak lelaki ini sekarang ingat. Toyota jip itu
sebelumnya mengikuti dia dan Ronny lalu lenyap di satu tikungan jalan.
Tahu-tahu kini muncul di belakangnya. Dugaan Boma tidak keliru. Dia mendengar
ada suara seseorang berkata.
"Bener dia Fred! Sayang temannya udah
pergi!" Fred. Boma ingat. Itu nama lelaki berewok
yang memukulinya di toilet Gramedia. Dan suara orang yang barusan bicara sama
dengan suara temannya si berewok. Boma mencapai tembok,
membalik. Lima orang berdiri di hadapannya. Si berewok di tengah-tengah.
"Jagoan tengik! Gua mau liat kehebatan lu sekali lagi!" si berewok membuka
mulut. Dia memberi isyarat dengan gerakan tangan. Empat orang temannya, dua di
kiri dua di kanan tanpa banyak bicara langsung menyerbu Boma.
Perkelahian tidak seimbang segera terjadi.
Walau mampu melayangkan tinjunya
beberapa kali dengan telak ke arah lawan
namun dengan cepat Boma terdesak. Lebih-
lebih setelah si berewok ikut membantu empat temannya.
Pedagang rokok yang melihat kejadian itu
berteriak kaget. Tapi kembali masuk ke dalam kios rokoknya dengan ketakutan
ketika dua orang penyerang mengancam.
"Berani macem-macem gua bakar kios lu!"
ancam salah seorang pengeroyok.
Darah mengucur dari hidung dan mulut
Boma. Kakinya mulai goyah. Ketika satu jotosan melanda perutnya dan satu
tendangan menghajar tulang kering kaki kirinya, anak ini langsung roboh.
"Abisin! Bikin mampus!"
"Jangan dibunuh Fred! Nanti jadi urusan!"
"Bunuh! Urusan belakangan!" kata si berewok.
Lalu dia mengeluarkan sebilah belati dari
pinggangnya, diserahkan pada salah seorang
temannya. Pada saat itulah -seperti kejadian di toilet toko buku Gramedia- Boma tiba-tiba
merasakan ada hawa dingin di tengkuknya. Tubuhnya
bergeletar panas. Nafasnya seperti membara.
Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat ke
atas. Lima orang yang mengeroyoknya sama
terkejut. Dua orang berlaku lengah. Tinju Boma bersarang di hidung lelaki
sebelah kanan. "Praakk!"
Orang ini meraung keras. Tulang hidungnya
pecah. Darah mengucur deras.
Korban kedua muntah darah ketika
tendangan Boma mendarat di dadanya. Orang
ini langsung jatuh terduduk, mengerang
kesakitan beberapa lamanya lalu susah payah berusaha berdiri.
Lelaki yang memegang belati tusukkan
senjata di tangan kanannya ke perut Boma.
Nasibnya tak kalah jelek dari dua temannya.
Tinju kanan Boma menyodok ulu hatinya. Orang ini megap-megap sambil pegangi
perut. Belatinya jatuh entah ke mana. Boma melompat.
Tangan kiri dihantamkan ke kening orang.
Seekor burung putih, entah dari mana
datangnya, terbang di atas tempat terjadinya perkelahian lalu hinggap di cabang
pohon dekat kios rokok.
Sesaat lagi tangan kiri Boma akan
menghantam batok kepala orang yang tadi
hendak menikamnya dengan belati, tiba-tiba
Boma merasa ada yang mencekal lengan kirinya.
Bersamaan dengan itu ada suara berkata.
"Anak setan! Kau membunuh orang dengan tangan mautmu" Apa kau lupa telapak
tangan kirimu ada tanda silang, tanda kematian" Apa kau lupa tangan kirimu sudah kuisi
ilmu kesaktian"!"
Boma terkejut. Dia memandang ke kiri dan
kanan. Dia tak melihat orang yang bicara. Anak ini mencium bau pesing. Dia coba
berontak. Tapi tak mampu lepaskan diri dari cekalan tangan yang tak kelihatan.
Boma kemudian mendengar seseorang
berteriak. "Fred! Cabut Fred!"
Lima orang pengeroyok berhamburan naik ke
atas Toyota Hardtop. Kendaraan itu tancap gas, lenyap dalam beberapa detik saja.
Boma tersurut mundur ketika di depannya
kelihatan satu sosok samar bungkuk sementara bau pesing tercium makin santar.
Sosok samar perlahan-lahan kelihatan semakin nyata. Boma tambah tersurut.
"Nek...." Boma mengenali. Nenek hitam bermuka kulit pembungkus tulang dengan
lima tusuk konde di atas batok kepalanya. Nenek
inilah yang menolongnya sewaktu ditimpa
malapetaka di Gunung Gede. Nenek ini pula
yang memberikan ilmu secara aneh padanya.
Saat itu beberapa orang berdatangan ke
tempat kejadian itu, termasuk tukang rokok di pinggir jalan. Si nenek
menggerendeng. "Anak setan, nanti aku datang lagi mene muimu. Sekarang kau telan ini...."
Begitu berucap si nenek sumpalkan satu benda hitam sebesar ujung ibu jari.
Empuk-empuk pahit.
"Nek, kau menjejali aku tai kambing apa racun?"
Si nenek tertawa cekikian. "Itu obat yan akan menyembuhkan seluruh luka yang kau
alami. Sudah, jangan banyak tanya. Telan saja!
Namanya saja obat. Mana ada obat semanis
gulanya cendol! Hik... hik... hik!"
Si nenek cabut sesuatu dari pinggangnya.
"Ini satu lagi aku berikan padamu!"
Boma kerenyitkan keningnya.
"Apa ini Nek?" tanya Boma.
"Mana tahu aku apa ini namanya! Di
kampungku di puncak Gunung Gede tak pernah
ada benda beginian. Ambil. Pasti nanti ada
gunanya bagimu!"
Boma mengambil benda yang diberikan si
nenek. Ternyata benda itu adalah kaleng tipis plat nomor mobil. Plat nomor
polisi sebelah belakang Toyota jip yang dikendarai lima
pengeroyok. Ketika Boma masih bingung dan mau
bertanya, si nenek bau pesing telah lenyap dari hadapannya.
TAMAT Pembuat Ebook :
Scan djvu oleh : Abu Keisel
Convert & Edit oleh : Dewo KZ
Pdf Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/
http://kang-zusi.info/
http://dewikz.byethost22.com/
http://ebook-dewikz.com/
Ikat Pinggang Kemala 5 Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek Rahasia Peti Wasiat 4
^