Pencarian

Muridku Macho 2

Boma Gendeng 4 Muridku Macho Bagian 2


"Fred, kalau tiga temen kita yang ketangkap nyanyi di Kantor Polisi, cepat atau lambat Polisi akan menggerebek tempat ini." Berkata si Apache.
"Kamu nggak usah kawatir. Tiga teman kita itu tidak tau rumah kontrakan ini."
"Aku tetap saja merasa kawatir Fred. Baiknya kita nyingkir ke Bogor. Ke rumah si Marjuki."
"Di situ malah lebih gawat. Dulu si Klewang dijedor mati di rumah itu." Kata Freddy.
"Kalau gitu kita cari tempat lain. Pokoknya jangan di sini. Aku benar-benar was-was...."
"Nanti saja kita bicara lagi. Aku capek. Ngantuk dan lapar. Aku mau tidur. Tapi sebelum tidur aku mau ma kau dulu. Kamu beli nasi di warung Padang." Freddy mengeluarkan selembar lima ribuan lecek dan menyerahkannya pada si Apache.
Si Apache melihat arloji di pergelangan tangan kanannya. Hampir jam enam. Di luar rumah masih agak lerang.
"Tunggu sampai gelap dulu Fred," katanya sambil mengantongi uang yang lima ribu. Seperempat jam kemudian si Apache berdiri dari kursinya. Sebelum membuka pintu depan, dia mengintip dulu lewat celah hordeng. Bila dirasakannya aman baru pintu dibuka.
Rumah makan Padang hanya sekitar dua ratus meter dari ujung gang. Walau bisa dicapai dengan jalan kaki tapi si Apache lebih suka naik bajaj.
Bagaimana pun juga dia harus menghindari dirinya terlihat di jalanan. Selesai membeli nasi bungkus dengan lauk ala kadarnya, si Apache kembali ke rumah kontrakan. Memasuki gang dia melangkah cepat-cepat menuju rumah kontrakan. Pada setiap langkah yang dibuatnya, dia merasa ada seseorang mengikuti. Si Apache menoleh ke belakang. Yang dilihatnya cuma seorang nenek bungkuk berkulit hitam berpipi cekung. Pakaian lusuh. Di kepalanya ada beberapa hiasan. Mungkin sunting.
"Sialan, cuma seorang gembel pengemis," Si Apache memaki dirinya sendiri. Dia terus berjalan. Hatinya lega begitu sampai di rumah kontrakan. Setelah mengunci pintu entah mengapa dia ingin mengintai keluar lewat celah hordeng. Nenek bungkuk hitam dilihatnya berdiri di depan pintu pagar, memandang ke arah rumah.
Freddy yang melihat kawannya mengintai keluar bertanya.
"Ada apa Man?"
Radiman alias si Apache memberi isyarat dengan gerakan tangan agar Freddy mendekat. Begitu si berewok ada di sampingnya dia berkata. "Lihat keluar...."
Freddy melihat keluar lewat celah hordeng.
"Cuma seorang pengemis tua. Apa anehnya?" ujar Freddy. Dia mengambil bungkusan nasi Padang dari tangan temannya lalu kembali ke kursi.
"Pengemis malam-malam begini, apa nggak aneh Fred?"
"Udah, jangan dipeduliin. Ayo makan. Habis makan kita perlu tidur. Perlu istirahat. Besok pagi kita bicara mau pergi ke mana."
Nenek bungkuk itu masih tegak di depan rumah.
"Kalau dia memang pengemis, pasti sudah tadi-tadi minta uang padaku. Ngulurkan tangan...."
"Mungkin otaknya nggak waras," jawab Freddy. Dari dalam saku blujinsnya si berewok keluarkan koin seratus perak. "Ini, kasih sama dia. Suruh pergi."
Freddy menggulirkan uang logam seratus perak itu ke arah kaki temannya. Si Apache ambil uang itu, letakkan nasi bungkusnya di kursi lalu membuka pintu. Ketika pintu terbuka si nenek aneh tak ada lagi di depan rumah. Ada rasa angker menjalari tubuh si Apache. Apalagi saat itu mendadak saja dia mencium bau pesing santar sekali. Cepat-cepat dia masuk ke dalam rumah, langsung mengunci pintu.
"Udah pergi tu nenek-nenek?" tanya Freddy.
Si Anache tak menjawab. Uang logam seratus perak diletakkannya di atas meja lalu dia mengambil nasi bungkus yang tadi diletakkan di alas kursi.
"Kok uangnya nggak kamu kasih?" tanya Freddy.
"Nenek pengemis itu sudah pergi duluan. Nggak tau ke mana," jawab si Apache. Dirabanya tengkuknya dengan tangan kiri. Dingin berkeringat. "Hati gua nggak enak Fred," katanya.
"Oo... syukur kamu masih punya hati. Gua kira nggak punya hati," jawab si berewok lalu menyeringai. "Man, kamu badan doang yang gede. Julukan doang yang keren. Tapi nyalimu nyali kadal. Pengecut." Si berewok Freddy mulai menyuap nasinya tanpa cuci tangan lebih dulu. Baru saja dia mengunyah suapan pertama, belum sempat ditelan, tiba-tiba dia membaui sesuatu. "Man, kau nyium bau aneh, nggak?" Kadiman si Apache menghirup udara dalam rumah dalam-dalam. Dia mengenali bau itu karena telah mencium sebelumnya.
"Bau pesing," katanya perlahan. "Mungkin pintu kamar mandi terbuka. Baunya nyebar sampai ke sini," kata Freddy lalu menelan makanan dalam mulutnya. Ketika dia hendak menyuap untuk ke dua kali tiba-tiba si Apache melihat tampang temannya itu berubah.
Matanya membelalak, memandang sesuatu di belakangnya.
"Ada apa, Fred?" tanya si Apache. Freddy seperti tak mampu mengunyah makanan dalam mulutnya. Tangannya terasa berat sewaktu diangkat. Tunjukan jarinya gemetar.
"Man... Man...." Tampang si berewok kelihatan memucat. Suaranya tersendat, bukan cuma oleh makanan yang ada dalam mulutnya tapi lebih banyak oleh rasa takut.
Si Apache ikut kecut. Sekujur tubuhnya mendadak jadi dingin. Perlahan-lahan dia palingkan kepala ke arah yang ditunjuk temannya. Si Apache tergagau. kaget dan takut ketika melihat siapa yang tegak di sudut ruangan yang hanya diterangi lampu 10 watt itu. Bukan lain sosok si nanek bungkuk, pengemis tua berkulit hitam berwajah cekung. Nenek ini berdiri dengan kepala agak dijulurkan ke depan, menyeringai angker seperti binatang buas hendak menerkam mangsanya.
Ketika nenek itu keluarkan suara tawa cekikikan, nyali dua preman berambut gondrong itu putus sudah. Keduanya melompat dari kursi masing-masing. Si Apache lari ke pintu depan. Tapi setengah mati dia berusaha, pintu itu tak berhasil dibukanya.
Si berewok Freddy lari ke belakang. Pada bagian yang berhubungan dengan dapur terdapat sebuah pintu dalam keadaan terbuka. Freddy melompat ke arah pintu. Tapi tidak terduga, secara aneh tiba-tiba daun pintu itu bergerak ke arahnya.
"Braaakk!"
Daun pintu kayu Borneo yang cukup keras menumbuk jidat, mulut serta dagu dan perut gendut Freddy. Tak ampun lagi si berewok ini terkapar bergedebuk di lantai, pingsan tak berkutik.
SFKITAR jam delapan malam, petugas piket dikejutkan oleh meluncurnya sebuah bajaj memasuki halaman Polsek. Kendaraan roda tiga ini berhenti di tengah halaman, mesinnya tidak dimatikan.
Beberapa orang anggota Polisi segera menghambur keluar, langsung mengelilingi bajaj. Semua petugas ini jadi terheran-heran ketika mereka dapatkan bajaj itu sama sekali tanpa pengemudi.
"Kok nggak ada sopirnya?" seorang Polisi -Prajurit Satu Timbul- berkata lalu melangkah lebih dekat untuk memeriksa.
"Kabur barangkali," anggota Polisi lainnya menyahuti.
"Mana mungkin. Kalau kabur pasti kelihatan." Pratu Timbul berkata
sambil memasukkan kepala dan separuh badan ke dalam bajaj. Mendadak petugas ini menarik kepala dan badannya kembali.
"Ada apa?" tanya teman di sampingnya.
"Dorong ke tempat terang!" Pratu Timbul minta bantuan teman-temannya.
Bajaj didorong ke depan bangunan utama Polsek. Cahaya lampu di teras bangunan menerangi bajaj.
"Ayo, kalian lihat sendiri!" kata Pratu Timbul.
Tiga orang temannya segera membuka pintu bajaj kiri kanan, memeriksa kendaraan roda tiga itu. Di atas jok bajaj tergeletak duduk dua orang lelaki bertubuh kekar dan berambut gondrong. Yang satu bere-wokan. Ke duanya duduk tak bergerak, mata terpejam. Entah tidur entah pingsan. Tak ada tanda-tanda penganiayaan di wajah dua orang itu. Juga tak ada bercak darah di pakaian mereka.
Dari lantai bajaj ada suara seperti orang mengerang. Ternyata di lantai itu melingkar sosok ketiga, seorang lelaki berkemeja belang-belang, bercelana hitam.
Sementara tiga temannya masih diselimuti perasaan heran, Pratu Timbul malah berpikir-pikir. Ada sesuatu yang coba diingatnya. Tidak
sia-sia dia memutar otak. Begitu ingat dia langsung mengeluarkan borgol. Memborgol si berewok. Teman-temannya disuruh memborgol lelaki di samping si berewok. Kedua orang itu kemudian diseret keluar bajaj, dibaringkan di lantai ruangan piket. Orang ketiga menyusul dikeluarkan dari dalam bajaj, diborgol dan digeletakkan di samping dua lelaki berambut gondrong. Orang ini sadarkan diri lebih dulu dari dua lainnya. Dia langs duduk di lantai. Memandang berkeliling. He melihat ada beberapa orang Polisi mengelilingmy.i. Lalu ketakutan ketika menyadari tangannya berada dalam keadaan diborgol.
"Pak... Pak, kenapa saya diborgol" Kenapa saya ditangkap Pak" Saya nggak bikin salah apa-apa. Saya nggak salah jalan, nggak nerobos lampu merah...."
"Kamu sopir bajaj?" tanya seorang Polisi. "Betul Pak. Kenapa saya jadi ada di Kantor Polisi?"
"Lepaskan borgolnya. Kita tanyai dia," kata Pratu Timbul pada teman di sebelahnya. Lalu jongkok di dekat sosok lelaki berewok yang terbaring di lantai.
"Orang ini," kata Pratu Timbul sambil bangkit berdiri lalu mengambil pesawat HT dari atas meja. "Aku yakin dia Freddy. Buronan perampok anak
sekolah. Yang gondrong satunya si Apache, preman Mangga Besar, konconya si berewok." Pratu Timbul kemudian menghubungi Komandan Polsek lewat HT, melaporkan apa yang terjadi.
SELAGI para petugas di ruang Piket sibuk menangani tiga tamu yang datang secara aneh itu, di halaman Polsek, tidak terlihat oleh siapa pun, tegak berdiri seorang nenek bungkuk berpakaian serba hitam. Mulutnya menyeringai pencong. Tangan kanannya menimang-nimiang sebuah benda biru bercahaya sebesar telur burung.
"Batu Penyusup Batin," kata si nenek, "kesaktianmu boleh juga. Aku bisa menghilang dari pandangan mata orang. Hik... hik... hik. Mungkin ada baiknya kamu aku berikan pada muridku Anak Setan si gendenk itu. Hik... hik... hik."
Terbungkuk-bungkuk si nenek melangkah meninggalkan halaman Polsek. Di pintu gerbang dia berpapasan dengan seorang anggota Polisi bertubuh gemuk berperut buncit yang baru saja makan malam di sebuah warung. Iseng, enak saja si nenek menarik hidung Polisi ini. Yang ditarik hidungnya tersentak kaget. Tamparkan tangan ke depan tapi hanya mengenai udara kosong. Si nenek tarik sekali lagi hidung itu. Kali ini selain kesakitan anggota Polisi itu juga jadi ketakutan setengah mati.
Secepat yang bisa dilakukannya dia lari menuju ruangan Piket menemui teman-temannya.
Sebelum keluar dari pintu gerbang si nenek palingkan kepala ke belakang. Matanya membentur bajaj yang tadi dikemudikannya.
"Tidak sangka mudah saja mengemudikan kuda berkaki tiga itu. Tapi bantingannya keras sekali. Tubuhku enjot-enjotan. Aku sampai tiga kali terkencing-kencing. Hik... hik... hik!"
BEBERAPA koran terbitan pagi keesokan harinya masih sempat memuat kejadian aneh Polsek malam tadi. Berbagai judul berita dan sub judul terpampang di halaman satu.
"Sopir Bajaj Mengaku Disirap Nenek Aneh."
"Dua Buronan Pengeroyok Dikirim Nenek Aneh Ke Polsek."
"Boma, Murid SMU Nusantara III Bikin Berita lagi."
"Bajaj Tanpa Sopir Ditumpangi Dua Buronan. Salah Satu Diantaranya Pentolan Preman Si Apache."
"Kejadian Aneh di Polsek. Seorang Anggota Polisi Mengaku Dipencet Hidungnya Sampai Dua Kali."
"Polsek Mendapat Hadian Malam Kliwon. Dua Buronan Dikirim Secara Aneh."
DELAPAN ORANG DALAM KOBARAN API
PAGI itu sebelum jam pelajaran pertama dimulai Trini mendatangi Ronny yang asyik ngobrol bersama teman-teman dekat taman kecil di samping lapangan basket.
"Ron," bisik Gita yang berdiri di samping Si Centil Sulastri. "Liat, si Trini lagi mau ke sini. Gue liat tu kucing garong tampangnya sewot banget. Pasti ada yang nggak beres. Siap-siap aja...."
Apa yang diduga Gita memang benar. Masih beberapa langkah dari Ronny, Trini sudah membuka mulut.
"Ron, kamu brengsek!"
"Waduh, pagi-pagi udah nyemprotin gua! Ada apa Rin?" tanya Ronny.
"Tadi pagi aku baca koran. Ada berita Boma dikeroyok rampok. Kok kamu nggak mau ngasih tau sih" Kayaknya ada yang dirahasiain! Brengsek lu!"
"Iya, brengsek lu Ron," menimbrung Vino membuat Trini jadi tambah jengkel sementara teman-temannya yang lain cuma senyum-senyum. "Rin, gua sih tadinya mau ngasih tau sama kamu-kamu semua. Tapi dilarang sama Boma."
"Bohong aja lu!" tukas Trini. "Iyya memang Ronny tukang bohong," kata Vino lagi.
"Eh, Vin! Jangan konyol lu! Lu juga brengsek!" sembur Trini.
"Wadaww! Gua yang kena sekarang!" kata Vino sambil garuk kepala.
"Ya, Rin terserah kamu deh nggak mau percaya. Nanti aja tanya Boma kalau udah masuk." Kata Ronny.
"Brengsek!" Trini masih sewot.
"Udah, pagi-pagi nggak usah ribut," kata Sulastri seolah mau jadi penengah. "Kalau udah tahu Boma kena musibah, dateng dong ke rumahnya. Kita-kita semua udah pada datang, cuman kamu yang belum nongol." Sulastri melanjuikan ucapan. Dia berdusta karena sebenarnya dia tidak pernah datang ke rumah Boma.
"Ala lu lagi! Kucing burik! Nggak usah ngajarin!" Meluncur kata-kata itu dari mulut Trini. Ditujukan pada Sulastri.
Sulastri mencibir.
"Katanya suka sama Boma, tapi dikasih tau kok malah ngedumel!"
"Eh, Centil! Jangan banyak ngomong lu! Gue jambak baru tau!"
"Eh, belon tan dia siapa Sulastri. Jambak aja kalau berani!" Ditantang begitu Trini jadi nekad. Anak perempuan ini melompat ke depan. Bukan cuma satu tangan, tapi dua tangan sekaligus bergerak men-jambak rambut Sulastri hingga anak ini menjerit kesakitan. Bando di kepalanya mencelat mental.
"Pisain Vin! Git pisain!" Firman berpaling pads Vino dan Gita.
Ronny menggoyangkan tangannya. Berkata setengah berbisik.
"Jangan, biarin aja."
"Rasain lu!" teriak Trini. "Gue emang udah lama pengen ngejambak lu! Dulu lu juga yang ngebuang tas gue ke got!"
Dalam sakitnya dijambak Sulastri tidak tinggal diam. Tangan kanannya bergerak ke depan.
"Breett!"
Baju putih Trini robek besar. Kancing-kancingnya bercopotan. Dadanya tersingkap lebar. Mata semua anak lelaki yang ada di situ pada melotot. Sulastri belum puas. Sekali lagi tangan kanannya bergerak. Kali ini memutus salah satu tali beha yang dikenakan Trini. Anak perempuan ini terpekik. Cepat menutupi dadanya. Mundur beberapa langkah lalu lari ke dalam kelas.
Sulastri rapikan rambutnya.
"Lastri, gila lu!" kata Andi. "Biarin bo! Sekarang bru tau dia siapa Sulastri!"
"Lastri," kata Rio.
"Tadi Trini bilang kamu ngebuang tasnya ke got. Bener?"
"Tuduhan palsu," jawab Sulastri tapi kemudian anak perempuan ini tertawa cekikikan. "Bener, memang aku yang ngebuang tas kucing garong itu ke got. Habis, waktu aku baru masuk sombongnya tu anak bukan main."
Ronny geleng-geleng kepala. Gita tertawa lebar.
"Tapi kamu berantemnya enggak per," tiba-tiba Vino menyeletuk.
"Nggak per gimana?" tanya Lastri.
"Kalau dijambak kamu musti balas ngejambak dong. Masa, kamu ngerobek pakaian orang. Narik behanya si Trini sampai melorot ke mana-mana...."
"Aaah! Tapi kamu semua senang kan liat dada putihnya kucing garong itu"!" tukas Sulastri.
Semua anak laki-laki yang ada di situ sama menyengir.
"Untung kamu bukan berantem sama Si Gita," kata Vino pula.
"kalau berantem sama gua memangnya kenapa?" tanya cewek gemuk Gita Parwati sambil pelolotkan mata pada Vino.
"lyaa, kalau sampai dada kamu yang dibikin melompong sama Sulastri, wadauw! Bisa gerr deh semua kita-kita ini."
"Setan lu!" Maki Gita.
Bel tanda masuk jam pelajaran pertama berdentang. Ketika anak-anak itu masuk ke dalam kelas, Trini malah keluar meninggalkan kelas II-9 itu, pulang ke rumah dengan mata balut merah habis menangis.
HARI itu sejak sore langit kota Jakarta diselimuti awan kelabu. Mendung menggantung di mana-mana. Namun hujan tak kunjung turun.Menjelang senja turun hujan rintik-rintik. Hanya sebentar lalu berhenti. .
Jam di ruang tengah berdentang tujuh kali. Siaran "Seputar Indonesia" di RCTl baru saja berakhir. Ibu Renata masih duduk di depan pesawat televisi. Dia tadi memang menonton tayangan yang banyak diminati pirsawan itu namun dalam menonton pikirannya jauh berada di tempat lain. Ketika pembantu mengatakan bahwa makan malam sudah disiapkan, dia tidak menyahut, juga tidak beranjak dari kursinya.
Pagi tadi Ibu Renata sempat membaca beberapa koran yang mem berita kan peristiwa pengeroyokan Boma, termasuk berita dua orang buronan pe-ngeroyok yang muncul di Polsek secara aneh. Boma... Boma... Boma. Bayangan anak lelaki itu selalu muncul di
pelupuk mata Ibu Renata. Pikirannya tidak bisa lepas dari mengingat Boma dan hatinya senantiasa bertanya-tanya bagaimana keadaan anak itu sekarang. Sebagian dari hati yang bertanya itu masih diselimuti rasa penyesalan sejak kemarin dia mendengar cerita Ronny.
"Kalau saya tidak terlalu mendesak, Boma tak akan bersumpah. Sumpahnya menjadi kenyataan. Tapi, apakah dia benar-benar bersalah" Apakah dia benar-benar yang menye-barkan cerita itu di sekolah?" Ibu Renata mengusap wajahnya. "Mungkin saya yang sebenarnya bersalah. Seorang guru mengajak muridnya menonton! Tolol sekali!
Memalukan!"
Ibu Renata menatap ke arah televisi, mengambil remote lalu mematikan pesawat itu. Percuma menonton. Perhatiannya tidak pada apa yang ditonton.
Guru Bahasa Inggris ini tersentak kaget ketika tiba-tiba pesawat tilpon di sudut ruangan berdering. Seberkas cahaya penuh harapan menyeruak di wajah Ibu Renata.
"Mudah-mudahan dia," hatinya membatin sambil melangkah cepat ke tempat pesawat tilpon terletak.
"Selamat malam, ya.... Oo Pak Sanyoto...."
Wajah yang tadi berseri berubah redup bahkan kelihatan ada bayangan rasa jengkel.
"Saya baik-baik saja Pak. Betul.... Terima kasih.... Aduh maaf Pak San. Saya baru saja siap-siap mau keluar.... Nggak, nggak sama siapa-siapa.... Ah, Pak San bisa saja.... Cuma ke rumah famili kok. Ada adik datang dari Ujung Pandang. BetuL... Saya nggak bisa janji Pak San.... Nanti saya beritahu. Ya... ya.... Selamat malam."
Ibu Renata meletakkan pesawat tilpon.
"Dia lagi. Apa sih maunya orang itu?"
Ketika dia melangkah menuju kamar, pembantu menegur. Menanyakan apakah dia mau makan.
"Nanti saja Mbok. Saya belum lapar," jawab Ibu Renata.
"Jangan suka telat makannya. Nanti Ibu sakit lagi...."
"Mbok, kapan-kapan kalau ada tilpon dari orang bernama Sanyoto, bilang saya nggak ada." Sang pembantu mengangguk lain memperhatikan jam di dinding yang menunjukkan pukul 7.24.
"Belum lapar" Biasanya setengah tujuh Ibu sudah duduk di meja makan. Sekarang sudah jam tujuh lewat. Bilangnya belum lapar. Beberapa hari ini Ibu kok sering keliatan ngelamun?" DI DALAM kamar Ibu Renata terbaring menelentang. Dua matanya dipejamkan. Siang tadi di sekolah dia memberikan nomor tilpon rumahnya pada Ronny.
Berikan ini sama Boma. Minta dia nilpon saya nanti malam. Saya minta kamu tidak memberi tahu siapa-siapa."
"Baik Bu, tapi di rumah Boma nggak punya tilpon." Kata Ronny sambil mengambil potongan kertas bertuliskan nomor tilpon yang disodorkan Ibu Renata.
Ibu Renata terdiam sesaat. Akhirnya berkata. "Berikan saja. Kalau dia nggak keberatan nilpon saya, dia bisa menggunakan tilpon umum."
"Baik Bu."
"Kamu sudah ketemu Boma?"
Ronny mengangguk.
"Kamu cerita saya menanyakan dia?"
"Saya cerita semua Bu."
"Dia tidak marah kamu cerita begitu?"
"Nggak, cuma heran."
"Heran" Heran kenapa?"
"Boma nggak nyangka kalau Ibu menanyakan dia."
"Dia bilang apa saja sama kamu?"
"Katanya dia celaka karena bersumpah. Tapi sumpahnya nggak palsu. Dia bersumpah buat ngeyakinin Ibu kalau dia tidak bohong...." "Tidak bohong soal apa?"
Ronny agak sungkan menjawab. Tapi akhirnya dia berkata juga. "Soal siapa yang nyebarin berita Ibu mengajak dia nonton itu."
"Jadi boma bilang sama kamu kalau dia tidak menyebarkan cerita itu?"
"Katanya Ibu pasti girang mendengar dia celaka. Tapi katanya lagi, walau Ibu punya pikiran dia yang menyebarkan cerita, yang penting dia nggak pernah berbuat jahat sama Ibu."
Ibu Renata terdiam. Apa yang didengarnya dari mulut Ronny itu membuat hatinya terenyuh. Untuk beberapa lamanya Guru Bahasa Inggris yang cantik ini tegak terdiam.
"Hanya itu yang dikatakan Boma sama kamu?" Akhirnya Ibu Renata membuka mulut bertanya lagi.
"Boma juga cerita apa sebabnya dia tidak mau menemani Ibu nonton."
"Oh ya?" Ibu Renata terkejut. Ini satu hal yang tak pernah diduganya. "Apa katanya?"
Dia menolak diajak sama Ibu karena ingin menjaga nama dan kehormatan Ibu. Kalau sampai ada anak-anak, apa lagi guru yang melihat, pasti buruk akibatnya. Kata Boma, dia sih anak gendenk nggak apa-apa. Tapi Ibu pasti akan jadi susah."
Ibu Renata merasakan lututnya goyah mendengar keterangan Ronny itu.
Perlahan-lahan dia dudukkan diri di kursi di belakang meja. Kalau saja saat itu Boma ada di hadapannya mungkin akan dipeluknya anak itu untuk menunjukkan rasa penyesalannya.
"Boma... Boma. Saya telah berprasangka buruk pada anak itu. Kalau dia memang menjaga nama dan kehormatan saya, berarti memang bukan dia yang menyebar cerita itu. Lalu siapa" Saya harus menemuinya secepat mungkin. Besok mudah-mudahan dia masuk. Tapi bicara di sekolah, walaupun di Kantor, bisa saja menambah bahan pergunjingan yang tidak enak."
DAN MALAM itu yang menilpon ternyata bukan Boma. Tapi Pak Sanyoto, Guru Olah Raga.
"Heran itu orang. Apa saya harus menunjukkan sikap tidak suka saya secara kasar. Atau bilang sama dia terang-terangan?"
Mata perempuan itu terus saja terpejam. Dia seolah-olah takut melihat langit-langit kamarnya sendiri. Walau mata terpejam namun telinganya menangkap setiap suara di luar kamar. Dia mengharapkan suara sesuatu. Suara deringan tilpon. Tapi sampai dia keletihan dalam penungguan dan akhirnya tertidur tilpon di luar kamar tak kunjung berdering. Mungkin Boma tidak mau menilponnya. Mungkin anak itu masih sakit. Mungkin juga
Ronny tidak memberikan nomor tilpon itu.
PESAWAT helikopter itu terbang tak menentu di ketinggian 2000 kaki di atas rimba belantara Kalimantan Tengah. Dari bagian mesin membersit asap hitam disertai percikan-percikan bunga api. Di dalam kokpit pilot heli tak henti-hentinya meneriakkan kata midday berulang kali di corong radiokom, memberi tahu bahwa dia tengah menghadapi bahaya sementara pesawat seperti kehilangan bobot, terus melaju turun.
Helikopter itu hanya bisa bertahan beberapa menit. Dalam keadaan tak bisa dikendalikan lagi pesawat akhirnya menukik ke bawah menghujam di antara kerapatan pepohonan raksasa. Beberapa saat kemudian satu ledakan dashyat menggelegar. Api berkobar. Di atas kobaran api kepulan asap hitam menjulang ke udara.
Dari dalam kepulan asap hitam itu tiba-tiba menyeruak satu sosok seorang berpakaian pilot. Sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki dikobari api. Anehnya cuma wajahnya yang tidak diselubungi api hingga terlihat jelas. Orang ini melangkah menjauhi helikopter yang tenggelam dalam kobaran api dan asap hitam. Di satu tempat dia hentikan langkah. Dari mulutnya keluar ucapan. Suaranya
menggema menggidikkan seolah keluar dari satu lobang batu yang dalam.
"Renata... Renata! Saya masih hidup.... Saya masih hidup! Tunggu saya Renata.... Jangan pergi.... Jangan pergi!"
Orang itu mengangkat tangan kanannya yang dikobari api dan mendadak berubah besar serta panjang. Menggapai-gapai ke depan, coba menyentuh satu paras perempuan berwajah cantik. Wajah itu adalah wajah Renata. Perempuan itu berteriak ketakutan. Melompat menjauhi gapaian tangan.
Ibu Renata menjerit keras. Dia tutupi wajahnya dengan ke dua tangan lalu melompat berusaha menghindar dari tangan seram yang hendak menyentuh wajahnya.
PINTU kamar terbuka. Ibu Renata di ujung tempat tidur, bersandar ke dinding kamar. Wajahnya pucat dan keringatan.
"Ibu...."
"Saya mimpi Mbok...." Suara Guru Bahasa Inggris itu terdengar gemetar. "Jam berapa sekarang?" Ibu Renata menjawab pertanyaannya sendiri dengan berpaling ke arah meja kecil di samping tempat tidur. Di situ ada sebuah beker kecil. Jarum-jarum beker ini menunjukkan jam 9.45 malam.
"Ambilkan saya air putih Mbok...."
Ketika si pembantu hendak keluar kamar Ibu Renata berkata. "Mbok.... Ada tilpon buat saya?"
"Nggak ada Bu. Nggak ada...."
Ibu Renata menyeka keringat yang membasahi keningnya. Matanya kemudian dialihkan ke dinding di kepala tempat tidur. Di situ tergantung sebuah foto besar seorang lelaki berambut crew cut, mengenakan seragam pilot, berdiri gagah Si depan sebuah pesawat heli.
Ibu Renata pejamkan matanya. Wajahnya disembunyikan di balik dua telapak tangan. Di antara tarikan nafas panjang yang berulang kali hatinya bersuara lirih dan perih.
"Kalau saja kau masih ada...."
Tiba-tiba mengiang suara yang menggema di dalam mimpi.
"Renata... Renata! Saya masih hidup.... Saya masih hidup! Tunggu saya Renata.... Jangan pergi...: Jangan pergi!"
Perempuan itu mulai sesenggukan, mengambil bantal dan menenggelamkan wajahnya ke bantal. Dia berusaha menguasai diri namun tak bisa. Turun dari tempat tidur ibu Renata membuka pintu kamar, bersamaan dengan sang pembantu yang datang membawa segelas air putih. Tabrakan tak terhindarkan. Gelas berisi air putih di tangan si Mbok terlepas, jatuh berderai ke lantai keramik.
"Aduh Ibu, maafkan saya...."
"Saya yang salah Mbok," kata Ibu Renata lalu melangkah pergi ke ruangan makan. Dia duduk di meja makan. Bukan untuk bersantap tapi kembali sesenggukkan menahan tangis.
Sang pembantu pandangi pecahan gelas dan tumpahan air di lantai. Dalam hati perempuan berusia hampir setengah abad ini berkata.
"Gelas pecah. Pertanda apa lagi ini...."
SEMBILAN TAMU PEJABAT SORE ITU Ronny ke rumah Boma sendirian. Di pintu pagar dia tak jadi masuk. Di ruang tamu dilihatnya ayah dan ibu Boma tengah mengobrol. serius dengan sepasang suami istri yang kira-kira seusia mereka. Boma juga duduk di situ. Anak ini sebentar-sebentar memandang ke luar. Dia telah mendengar suara sepeda motor yang dikendarai Ronny dan tahu kalau Ronny ada di luar sana. Boma berdiri, keluar menemui Ronny. "Ron, kamu naik ke atas aja. Ke kamar gua...." "Biar aku nunggu di sini aja Bom. Ada tamu siapa?"
"Orang tuanya si Anton," jawab Boma.
"Orang tuanya si Anton" Ngapain mereka pada ke sini" Pantes tadi di jalanan aku liat ada Volvo biru gelap parkir. Nomor dua angka. Nggak taunya ada pejabat yang datang ke rumah kamu."
Boma nyengir. "Kamu tunggu di sini Ron. Nggak lama lagi mereka pasti pulang."
Sambil menunggu, Ronny yang merasa mulutnya asam nyalakan sebatang rokok. Baru dua kali hisap dua tamu di rumah Boma kelihatan keluar diiringi ayah dan ibu Boma, lalu Boma di sebel'ah belakang. Ronny cepat membuang rokoknya ke got. Ketika hendak minta diri tamu yang laki-laki memegang tangan ayah Boma seraya berkata.
"Pak Sumitro, saya bermohon sekali. Saya harap Bapak bisa mengerti dan menolong saya...."
Sumitro Danurejo angguk-anggukan kepala.
"Semua kejadian ini kita ambil hikmahnya, Pak Yusuf."
"Saya dan istri akan datang lagi ke sini. Harap Bapak tidak bosan menemui kami." Laki-laki bernama Yusuf itu ayah Anton berpaling pada Boma. "Nak Boma, Bapak juga minta pertolongan Nak Boma. Anton nanti akan Bapak suruh menemui Nak Boma. Untuk minta maaf." Yusuf memegang bahu Boma. Istrinya sejak tadi tegak diam lalu mengeluarkan kata. Sebentar-sebentar mengusap kedua matanya dengan sehelai sapu tangan.
Begitu dua tamu pergi Boma segera mengajak Konny naik ke kamarnya di tingkat atas.
"Nah, sekarang kamu ceritain ngapain orang tua si Anton datang ke sini. Gua udah nyelidikin di sekolahan. Si Anton kagak nongol dari hari Senin."
"Orang tuanya juga nggak tau anaknya ada di mana. Cuma katanya Senin siang lalu Anton nilpon. Dia nggak berani pulang. Anak itu ngasi tau semua kejadian sama ibunya. Bilang kalau dia terlibat perkara pengeroyokan hari Sabtu malam itu. Lima orang yang dibayarnya buat ngerjain kita sudah tertangkap semua. Cepat atau lambat Polisi akan tau cerita sebenarnya. Dia akan menjadi orang buronan."
"Gua rasa orang tua si Anton tau di mana anaknya ngumpet. Mungkin juga mereka yang ngumpetin."
"Aku rasa begitu," jawab Boma.
"Lalu apa maunya orang tua si Anton?"
"Mereka minta agar aku tidak melibatkan anaknya dalam pemeriksaan dan terutama dalam sidang pengadilan nanti."
"Bagaimana mungkin" Tu anak memang udah terlibat kok. Apa lagi kamu 'kan sudah diperiksa Polisi. Memang sih kamu nggak nyebut-nyebut si Anton. Tapi di pengadilan nanti kamu nggak bisa dusta Bom. Lima monyet bayarannya si Anton bisa aja diatur sama Bapaknya si Anton. Tapi kamu sama Bokap kamu apa mau diatur?"
"Menurut Bokapnya Si Anton, kalau aku cukup membatasi kejadian itu pada perkara perampokan saja berarti itu sudah nyelamatin anaknya...."
"Bukan cuma anaknya. Tapi dia juga. Nyelamatin jabatannya!"
"Memang ini urusan berat. Bokap gua bilang si Anton bisa dituduh melakukan pembunuhan berencana. Berdasarkan KUHP Pasal 339 tuntutan hukumannya masuk bui dua puluh tahun."
"Hebat juga Bokap lu tau segala urusan Hukum. Lalu keterangan sama Polisi jadi simpang siur."
"Bom, ini perkara besar. Ini saatnya kita balas ngegebuk si Anton dan kaki tangannya. Kita bertindak berdasarkan hukum yang berlaku. Tidak seperti mereka, pakai hukum rimba. Ala
Mafia! Mereka pasti habis, Bom! Percaya gua! Udah kamu jelaskan aja semua pada Polisi. Biar tau rasa tu anak. Mentang-mentang anak pejabat. Waktu kita dilemparin telor busuk aja aku rasanya dendam setengah mati. Apa lagi waktu kamu dibilangin gendenk karena keberatan ilmu!"
"Mauku sih tadinya begitu Ron. Tapi seudahnya aku pikir-pikir rasanya nggak tega juga."
Ronny gelengkan kepala dan acungkan tinju. "Kalau kamu sampai koit dibunuh sama si Apache itu, pasti kamu nggak bisa bilang segala nggak tega. Orang tuanya si Anton menjanjikan sesuatu sama kamu, sama Bokap kamu?"
"Tadi dalam pembicaraan omongan-nya memang mengarah ke situ. Balas jasa sebagai tanda terima kasih. Tapi Bokap gua langsung motong, mengalihkan pembicaraan pada hal lain." Boma menowel hidungnya lalu berkata lagi. "Udah Ron, nanti aja kita liat di pengadilan. Tau nggak, menjelang selesai aku ngasih keterangan di Polsek tau-tau Bokapnya Trini muncul."
"Tau dari mana dia?"
"Waktu aku tanya dia bilang Trini yang ngasi tau. Hari ini Trini pulang cepat...."
"Bukan pulang cepat Bom. Ada kejadian di sekolah. Trini berantem
sama si Centil cewek baru itu." Lalu Ronny Celepuk menceritakan kejadian tadi pagi disekolah. "Wah, berarti kamu bisa hutang budi lagi buat kedua kali Bom."
"Kamu untung punya pacar bapaknya Polisi."Boma cuma tersenyum lalu menowel hidungnya.
Dari dalam kantong kemejanya Ronny keluarkan selembar potongan kertas. Lalu diserahkannya pada Boma. Boma perhatikan sebentar angka-angka yang tertulis di atas kertas itu. Dia tahu itu adalah nomor tilpon. Tapi bergurau dia berkata kepada Ronny.
"SDSB udah nggak ada lagi. Ini nomor lotere apaan Ron?"
"Bukan nomor lotere. Itu nomor tilpon Ibu Renata."
"Wah, kejutan nih! Kok kamu bisa dapetin nomor tilponnya Ibu itu?"
"Dia yang nulis. Diberikan sama aku. Disertai pesan agar disampaikan pada kamu. Dan nanti malam dia minta kau menilponnya."
"Nomor tilpon Ibu Renata. Itu kejutan pertama. Dia yang nulis lalu diberikan pada kamu. Itu kejutan kedua. Dipesan agar diberikan padaku. Itu kejutan ke tiga. Dia minta aku menilponnya nanti malam. Itu kejutan keempat!"
"Jangan kaget, pasti ada kejutan ke lima dan ke enam!" menimpali Ronny. "Gimana ceritanya sampai Ibu Renata ngasi nomor tilpon. Kamu cerita yang jujur Ron. Jangan ditambah jangan dikurangin."
Ronny lalu menceritakan pertemuan dan pembicarannya dengan Ibu Renata di sekolah hari itu.
"Kayaknya dia mulai meragukan kalau kamu yang nyebar berita soal menonton itu."
"Mungkin begitu mungkin juga nggak," jawab Boma.
"Untuk pastinya kamu tilpon aja Ibu Renata nanti malam." Kata Ronny. "Terus terang gua nggak abis pikir Bom. Siapa yang punya pekerjaan nyebar luasin cerita kamu sama Ibu Renata itu."
"Inget kemarin waktu kamu, aku dan Vino bicara di kamar ini" Aku ingat sesuatu. Tapi nggak sempat ngomong karena teman-teman yang lain berdatangan...."
"Sekarang kamu boleh ngomong apa yang kamu ingat itu." Kata Ronny pula.
"Pak Sanyoto," ucap Boma. "Waktu kelas satu kita masuk siang pulang sore."
"Betul."
"Sore itu, kalau aku nggak salah hari Sabtu, Ibu Renata manggil aku ke kantor. Di kantor cuma kami berdua. Guru-guru sudah pada pulang. Waktu itu Ibu Renata bilang dia mau ngajak aku nonton. Aku lupa filmnya apa. Tapi kata Ibu Renata film itu bagus sekali dan ceritanya banyak kesamaan dengan kehidupannya. Saat itu aku bingung Ron. Tapi kemudian masih bisa berpikir. Ajakan Ibu Renata aku tolak. Aku lupa apa alasan yang aku bilang waktu itu. Nah, waktu keluar dari Kantor aku Hat Pak Sanyoto. Kayaknya dia udah lama berdiri, nguping dekat pintu Kantor sebelah luar. Waktu ngeliat aku, dia pura-pura ngebetulin sesuatu di motornya."
"Jangan-jangan dia ngedenger apa yang Ibu Renata bilang."
"Bisa aja."
"Lalu karena Ibu Renata lebih punya perhatian sama kamu, dia ngegosipin kejadian itu ke mana-mana. Dasar guru kuyak! Kamu musti ceritain sama Ibu Renata Bom."
"Aku nggak berani Ron. Nggak mau. Urusan bisa tambah panjang."
"Kok" Kenapa" Kamu harus membersihkan diri di mata Ibu Renata. Biar Ibu Renata tau kalau memang bukan kamu yang jadi biang kerok nyebarin cerita nggak karuan."
"Aku nggak punya bukti kalau Pak Sanyoto yang jadi dalang nyebarin cerita." Kata Boma.
Ronny terdiam lalu berkata. "Iyya juga. Susah juga." "Udah, nggak usah dipikirin." Kata Boma pula.
Ronny keluarkan kunci motor dari kantong blujinsnya. "Aku cabut dulu Bom. Nomor tilpon Ibu Renata sudah patik berikan. Pesan sudah hamba sampaikan. Selanjutnya terserah anda." Ucap Ronny menirukan kata-kata iklan di televisi.
DAN seperti diketahui malam itu Boma tidak menilpon Ibu Renata. Setelah Ronny pergi Boma membaca sebuah majalah di lantai bawah lalu selesai sembahyang Magrib dia naik kembali ke kamarnya. Untuk beberapa lama anak ini memperhatikan wajahnya di sebuah kaca kecil yang tergantung di dinding. Besok dia harus masuk sekolah. Untung benjat-benjut di wajahnya sudah berkurang jauh. Selagi dia mengusap-usap pipinya yang pernah lebam tiba-tiba dia melihat wajah lain dalam kaca. Wajah nenek-nenek berkulit hitam, berpipi cekung dengan mata mencorong angker. Wajah seram itu menyeringai. Bersamaan dengan itu Boma mencium bau pesing santar sekali.
SEPULUH SINTO GENDENG DATANG
SUMITRO Danurejo merasa heran melihat di pintu pagar rumah berdiri seorang nenek berpakaian butut, bertampang seram. Rokok yang terselip di bibir dicabutnya, kacamata plus enam ditanggalkan, diletakkan di atas meja. Saat itu si nenek di luar sana enak saja nyelonong masuk.
"Malam-malam kok masih mau ngemis?" tegur Sumitro. Walau suaranya menegur agak tidak enak didengar tapi tangan kirinya merogoh ke kantong celana panjang di mana ada beberapa uang logam seratus perakan.
Nenek yang ditegur menyeringai lalu berkata.
"Sampean salah menduga. Aku bukan pengemis."
"Lalu?" tanya Sumitro heran. Saat itu bau tidak enak yang sudah diciumnya sejak tadi terasa semakin menusuk.
"Lalu" Hik... hik... hik!" Si nenek tertawa lalu enak saja dia mengambil rokok yang ada di sela jari tangan kanan Sumitro. Rokok dihisapnya satu kali. Sumitro jadi marah. Ketika dia hendak membentak tiba-tiba si nenek hembuskan asap rokok dalam mulutnya ke wajah lelaki itu. Saat itu juga seperti dihipnotis Sumitro tertegak diam, tak bergerak tak mampu bersuara.
Si nenek perhatikan rokok yang dipegangnya. "Ini yang namanya rokok. Dasar manusia pada tolol. Mau saja menenggak asap. Apa nggak kembung"!" Walau berucap begitu tapi si nenek sedot rokok di tangannya sekali lagi. Lalu rokok itu diselipkan kembali di sela jari Sumitro. Sambil senyum-senyum si nenek masuk ke dalam rumah, menaiki tangga, menyelinap masuk ke dalam kamar Boma.


Boma Gendeng 4 Muridku Macho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

DI DALAM kamar Boma tersurut mundur dua langkah begitu melihat wajah nenek seram dalam kaca. Ketika dia memutar tubuh dan palingkan kepala, ternyata si nenek telah berdiri tiga langkah di hadapannya, menyeringai dan menebar bau pesing.
"Nek...." Boma menegur dengan suara tercekat.
"Anak Gendenk."
"Syukur."
"Eh, mengapa kau bilang syukur?" tanya si nenek sambil delikkan mata.
"Biasanya kau memanggil saya Anak Setan. Sekarang Anak Gendenk."
Si nenek tertawa cekikikan.
"Anak Gendenk, Anak Setan dengar. Aku tidak bisa lama-lama di tempat ini. Aku datang karena ada firasat dirimu dalam bahaya...."
"Bahayanya sudah lewat Nek. Nenek tau sendiri. Waktu saya dikeroyok orang, mau dibunuh. Bukankah Nenek ikut menolong?"
"Bahaya yang sudah lewat perlu apa aku urus. Yang aku maksud adalah bahaya yang bakal datang. Ada orang yang akan membunuhmu. Petunjuk memberi tahu kau bakal dipateni di sekolahan. Besok kau masuk sekolah?"
Boma mengangguk.
"Siapa orang jahat itu Nek" Masih kawanan kelompok lima pengeroyok itu?"
"Dia mahluk dari alamku. Dikenal dengan nama Pangeran Matahari. Berpakaian serba hitam. Ada gambar gunung dan matahari di dadanya. Dia juga pakai mantel warna hitam. Kepalanya diikat secarik kain merah. Dia merupakan suruhan para dedengkot golongan hitam yang tak suka kemunculan dirimu sebagai Pendekar Tahun 2000."
"Apa Nek, saya Pendekar Tahun 2000" Nek setiap muncul kau membawa keanehan. Sulit bisa dipercaya."
"Dalam rimba persilatan keanehan hanya selangkah jaraknya dari kematian. Itu sebabnya setiap keanehan harus kau perhatikan, harus kau
pecahkan sebelum keanehan memecah kepalamu! Mahluk bernama Pangeran Matahari itu ilmunya tinggi. Selain itu mata biasa tidak bisa melihat ujudnya karena dia sudah diusap dengan benda ini oleh gurunya yang bernama Si Muka Bangkai...."
Dari balik baju hitam bututnya di bawah ketiak kiri si nenek keluarkan sebuah benda berbentuk dan sebesar telur burung merpati, berwarna biru bercahaya.
"Apa itu Nek?" tanya Boma.
"Batu Penyusup Batin," jawab si nenek. "Jika batu ini kau genggam, ujudmu tak akan terlihat oleh siapa pun. Kau lenyap, menghilang dari pemandangan mata manusia. Jika Pangeran Matahari muncul, orang lain tak bisa melihat dirinya, tapi kau bisa."
"Kalau saya bisa menghilang wah enak juga Nek." Kata Boma.
"Enaknya"! "tanya si nenek.
"Saya bisa gentayangan ke mana-mana. Masuk bioskop nggak bayar. Ngintip orang pacaran. Ngintipin cewek mandi. Masuk ke kamar penganten baru...."
"Anak Setan!" bentak si nenek. "Ilmu apa saja kalau dipergunakan salah, untuk kejahatan, bisa kualat makan diri sendiri."
"Nek, gimana kalau setelah menghilang saya tidak bisa kembali ke alam nyata" Bisa celaka saya seumur-umur."
"Dasar anak gendenk! Tubuhmu tidak ludes, tidak menghilang benaran. Yang kejadian mata manusia tidak bisa melihat sosokmu. Itu bisa melindungi dirimu, dari segala macam bahaya! Bukan buat ngintip cewek kencing!"
"Nek, saya tetap nggak mau nerima batu itu.
Ngeri Nek."
"Kalau jadi anak tolol boleh saja. Tapi jangan keliwatan. Aku sudah bilang dirimu terancam bahaya maut. Pangeran Matahari akan muncul mau membunuhmu. Aku pinjamkan batu ini selama beberapa hari padamu."
"Saya nggak berani Nek. Tetap nggak berani. Takut...."
"Takut apa jijik"! Karena batu ini barusan aku keluarkan dari ketiakku hah"!"
Boma menowel hidungnya.
"Tidak, bukan karena itu Nek."
"Jangan dusta Anak Setan!"
"Saya nggak dusta Nek. Sumpah...."
"Jangan suka bersumpah! Urusan sumpahmu sama guru cantik itu belum beres. Sekarang kamu sumpah lagi sama nenek jelek ini! Bisa tambah celaka kamu!" "Kok.... Kok Nenek tau saya sumpahan sama Ibu Renata?" tanya Boma heran.
"Apa yang aku tidak tahu mengenai dirimu. Yang tersembunyi dalam celana di bawah perutmu itu juga aku tahu! Ada tahi lalatnya di lempengan sebelah kiri! Hik... hik... hik!"
Boma melengak kaget. Kaget karena apa yang dikatakan si nenek memang benar adanya. Tak sadar dia turunkan tangan meraba bagian bawah celananya. Tawa cekikikan si nenek tambah keras.
"Anak Setan, kau tetap tidak mau menerima Batu Penyusup Batin ini?"
Boma gelengkan kepala. Tangan kirinya masih menekap ke bawah perut. Si nenek tampak kesal.
"Terserah kamu!" katanya. "Kalau kau celaka jangan salahkan aku!" Perempuan tua berwajah angker dengan lima tusuk konde di kepalanya itu melangkah mendekati Boma. Anak lelaki ini mundur.
"Kamu takut"!" Si nenek menyeringai.
"Nek, Nenek ini siapa sih sebenarnya?"
"Kalau aku beri tahu namaku apa kau mau menerima batu sakti ini?"
"Nggak Nek, nggak. Biar saya nggak tau nama Nenek...."
Si muka angker tertawa panjang. "Bagus, kau rupanya tidak mempan disogok! Nik... hik... hik!"
Nenek itu maju lagi satu langkah. Tiba-tiba tangan kirinya ditepukkan ke bahu kanan Boma seraya berkata. "Kau akan menyesal tidak mau kupinjamkan batu sakti itu. Aku pergi sekarang!"
Boma merasa bahunya yang ditepuk menjadi pegal dan berat.
"Nek, pintu keluar sebelah sini," kata Boma ketika melihat si nenek melangkah ke arah jendela yang tertutup.
"Siapa bilang aku keluar lewat pintu!" jawab si nenek sambil tertawa lebar. Tangannya bergerak membuka daun jendela. "Anak tolol, dengar baik-baik. Batu Penyusup Batin sudah aku susupkan ke dalam bahu kanan di bawah tulang belikatmu. Jika kau mengusap bahumu satu kali, sosokmu akan menjadi samar. Jika kau mengusap kedua kali, tubuhmu akan lenyap dari pemandangan mata manusia. Jika kau mengusap sekali lagi, ujudmu akan kembali seperti semula."
Boma tersentak kaget. Dirabanya bahu kanannya di bawah tulang belikat. Astaga, ada sesuatu yang menonjol pada daging di bawah tulang belikatnya. Selagi Boma bingung, kaget dan juga takut si nenek kembali tertawa cekikikan. Lalu sekali dia berkelebat sosoknya melesat keluar jendela. Boma
mengejar ke jendela, namun dia hanya melihat kegelapan di luar sana. Si nenek tak kelihatan lagi.
TERNYATA si nenek tidak terus pergi. Dia melayang ke teras rumah, menemui Sumitro Danurejo yang sampai saat itu masih tegak tak bergerak tak bersuara. Rokok yang terselip di sela jari tangan kanannya dan masih menyala hampir membakar jari-jari itu. Seperti tadi si nenek mengambil rokok itu, menghisapnya dalam-dalam lalu hembus-kan asap rokok ke wajah Sumitro. Sisa rokok diselipkan kembali ke jari tangan lelaki itu. Setelah tertawa cekikikan si nenek berkelebat. Sumitro melihat sosok perempuan tua itu laksana terbang menembus udara malam, berkelebat di wuwungan rumah tetangga lalu lenyap.
Hanya sesaat setelah sosok si nenek bau pesing lenyap, Sumitro sadar akan dirinya. Dia mampu bergerak dan bersuara kembali. Dia perhatikan rokok di tangannya yang tinggal pendek. Memandang ke arah atap rumah tetangga di seberang sana, lalu kembali memperhatikan rokok. Dia tak berani meneruskan menghisap. Rokok itu dicampakkannya ke jalanan. Kini ada rasa takut menjalari tengkuknya yang terasa dingin. Cepat-cepat lelaki ini masuk ke dalam rumah, mengunci pintu
depan lalu naik ke atas, menemui Boma di kamarnya.
Tapi Boma tidak ada dalam kamar. "Ke mana lagi itu anak?" Sumitro bicara sendirian sambil meraba tengkuknya.
Sebenarnya saat itu Boma ada dekat jendela. Barusan dia mencoba mengusap bahu kanannya dua kali. Dia tidak dapat memastikan apakah dirinya benar-benar lenyap seperti kata si nenek. Dia baru percaya akan kenyataan setelah melihat ayahnya masuk kamar tapi tidak melihat dirinya tegak dekat jendela.
"Boma"!" Sumitro memanggil.
Tak ada jawaban.
Boma berpikir apa sebaiknya dia segera mengusap bahunya sekali lagi. Tapi dia kawatir ayahnya akan kaget besar. Lebih dari itu dia tidak mau ada orang lain tahu kalau dia memiliki ilmu aneh. Boma terus saja berdiri diam dekat jendela.
Sumitro Danurejo kembali usap tengkuknya yang dingin. Dia memandang seputar kamar. Lalu gelengkan kepala.
"Gila! Mengapa banyak keanehan sekarang terjadi di rumah ini?"
"Boma!" Sumitro memanggil lagi. Tetap tak ada jawaban. Jengkel, tapi kemudian lebih banyak takutnya, Sumitro Danurejo keluar dari kamar anaknya. MALAM itu Boma tidak mengikuti apa yang dipesankan Ronny. Dia tidak menilpon Ibu Renata. Hal ini membuat kegelisahan mendalam dalam diri Guru Bahasa Inggris itu. Membuatnya sulit tidur. Pikirannya menerawang jauh. Hatinya diselubungi berbagai rasa. Dia baru bisa memicingkan mata menjelang pagi. Ketika bangun tubuhnya terasa capai sekali. Namun keletihan pisik yang dirasakannya tidak ada arti sama sekali dibanding dengan tekanan penyesalan batin yang menghunjam lubuk hatinya.
KEESOKAN harinya, hari Rabu Boma kembali masuk sekolah. Justru Ibu Renata tidak kelihatan. Menurut kabar yang bersumber dari Tata Usaha Sekolah, Guru Bahasa Inggris itu terserang flu.
Pagi itu Ronny datang lebih dulu di sekolah. Ketika Boma muncul, sehabis dikerubungi oleh teman-temannya Ronny mengajak Boma masuk ke dalam kelas.
"Orang Tata Usaha bilang Ibu Renata tidak masuk. Sakit flu. Tadi malam kamu nilpon dia?"
Boma menggeleng.
"Aku udah duga," Ronny berkata sambil sandarkan punggungnya ke tembok. "Kamu nggak kasian sama Ibu itu?"
Boma menowel hidungnya.
"Kalau Pak Sanyoto nggak masuk hari ini gara-gara flu, apa aku juga harus merasa kasihan sama dia?"
"Gendenk kamu Bom! Aku tanya lain, jawabmu lain lagi. Sejak punya ilmu kamu kok jadi sering ngelantur omongannya" Jalan pikiranmu seperti nggak normal lagi. Mungkin kamu dendam sama Ibu Renata" Dia nuduh kamu biang kerok penyebar cerita yang membuat dia malu setengah mati. Kamu kan udah tau, dia salah sangka. Aku yakin Bom, Ibu Renata bukan cuma sakit flu. Ada sakitnya yang lain...."
"Gitu?" Boma menowel hidungnya. "Udah lama kamu jadi dokter atau dukun" Atau terkun?"
"Gendenk lu Bom!"
Bel tanda masuk berbunyi. Ketika semua anak telah duduk di bangku masing-masing, Boma memandang seputar kelas. Dia tidak melihat Trini di bangkunya.
"Ron," kata Boma pada Ronny yang duduk di sebelah depan. "Kalau ngikutin omonganmu, aku juga musti kasian sama Trini. Bangkunya kosong. Dia nggak masuk hari ini."
Ronny diam saja. Yang menyahuti malah Vino. "Trini bukannya nggak masuk. Tapi terlambat doang. Mungkin dia lagi sibuk ngejait kutangnya yang putus dibetot Sulastri kemaren."
Si Centil Sulastri mesem-mesem. Yang lain senyum-senyum kecil mendengar ucapan Vino.
SEBELAS IBU RENATA SAKIT LAGI
HARI RABU, tepat satu minggu Ibu Renata tidak masuk mengajar. Hari ini ada rapat guru di SMU Nusantara III. Dua jam pelajaran terakhir anak-anak dipulangkan.
"Bom, kamu nggak buru-buru pulang 'kan?" tanya Ronny ketika melangkah keluar dari kelas.
"Kenapa" Kamu mau ngajak aku ke mana" Ke Mal?"
"Ada yang aku mau bicarain. Kita ngobrol di warung baksonya Mang Asep."
"Ngobrol aja sambil jalan."
"Bom, ini soal sakitnya Ibu Renata. Hari ini persis seminggu dia nggak masuk mengajar."
"Kamu rajin banget ngitungin hari orang sakit."
"Sakitnya Ibu Renata serius Bom."
"Memangnya sakitnya apa" Katanya cuma flu." "Bukan cuma flu Bom. Tapi ada gejala tipus."
"Dokter sekarang nggak heran. Kalau pasien panas dikit dibilang tipus. Apa lagi kalau dokternya magang rumah sakit. Pasti disuruh rawat. Sekarang penyakit sering dikomersialkan Ron."
"Gue nggak ngerti itu. Mau dikomersialkan,mau diapain kek. Yang aku mau omongin soal Ibu Renata. Sakitnya udah gitu lama, kok kamu ngga mau nengokin sih?"
"Eh, gua rasa nggak ada aturan di sekolah ini kalau guru sakit anak murid musti nengokin."
"Aturan sih memang nggak ada. Tapi budaya kita kan budaya timur Bom...."
"Sok tau lu. Kalau budaya timur memangnya kenapa?"
"Nengokin orang sakit itu nggak ada ruginya. Apa lagi yang sakit guru kita. Ibu Renata. Guru sebaik itu rasanya nggak enak kalau sampai nggak ditengokin."
"Ibu Renata kan baik sama kamu-kamu. Sama aku enggak."
"Kamu kayaknya masih dendam aja."
"Kata orang pinter, jadi manusia nggak boleh dendam. Tapi yang namanya manusia paling nggak punya perasaan. Iyya 'kan?"
"Kata orang pikiran jangan dipengaruhi perasaan. Bisa jadi nggak sehat," jawab Ronny.
"Kamu kayak Socrates aja," ujar Boma. Ditowelnya hidungnya lalu bertanya.
"Kamu memangnya udah nengokin si Ibu?" "Udah dua kali. Kali yang kedua aku nggak bisa ketemu. Kata pembantunya Ibu Renata nggak bisa turun dari tempat tidur. Nggak mau ketemu siapa-siapa."
"Nah kalau nggak mau ketemu siapa-siapa, buat apa aku datang" Malu-maluin aja...."
Ronny pegang tangan Boma. "Bom, aku yakin Ibu Renata sangat ngarepin kedatanganmu."
"Pak Sanyoto udah nengokin?"
"Brengsek! Kok kamu nanyain guru kunyak itu!" ujar Ronny jengkel. "Ibu Renata nggak suka sama Guru Olah Raga itu tau. Gua sih cuman ngasih usul Bom. Lu tau nggak...."
"Tau apa?" tanya Boma.
"Waktu aku datang kedua kali, aku cuma ketemu sama pembantu...."
"Tunggu dulu, kamu datang sama siapa?" potong Boma.
"Sama Sarah," jawab Ronny sambil sedikit tersenyum. "Terus?"
"Waktu aku sama Sarah mau pergi, pembantu nanya begini. Nak, mungkin kenal sama orang namanya Boma?" Boma hentikan langkah. Duduk di bangku batu di pinggiran taman. Saat itu keadaan mulai sepi. Beberapa anak bermain basket di ujung lapangan.
"Kamu jawab apa Ron?"
"Aku tanya sama pembantu. Memangnya kenapa 'Bi" Pembantu itu bilang. Dia sering dengar Ibu Renata mengigau. Kalau ngigau dia manggil-manggil nama kamu."
"Ngacok! Kamu ngarang Ron!"
"Sumpah! Aku nggak ngarang! Tanya sama Sarah situ. Atau sama si pembantu di rumahnya Ibu Renata.
Boma menowel hidungnya. Matanya tunduk memandang bunga layu di dekat kakinya.
"Ibu Renata sudah ke dokter?" tanya anak ini.
"Sudah dua dokter. Panasnya masih belum turun-turun juga."
"Flu sekarang memang begitu Ron. Panas tinggi, lama sembuhnya. Gua rasa nggak ada yang perlu dikawatirin."
"Jadi kamu tetap nggak mau nengokin Ibu Renata?"
Boma diam. "Kamu mau nemanin aku?" "Mau aja Bom. Tapi aku rasa lebih baik kamu datang sendirian."
"Aku musti bawa apa?"
Nggak perlu bawa apaan. Ibu Renata cuman mau liat kamu. Mau ngomong. Kangen. Itu aja...." "Kapan aku musti ke sana?" tanya Boma lagi.
"Terserah kamu. Yang penting jangan waktu dia lagi tidur siang. Juga jangan keliwat malam." Ronny pandangi wajah sahabatnya itu lalu berkata. "Kamu inget nggak, kamu sendiri yang bilang. Ibu Renata ngajak kamu nonton karena filmnya ada kesamaan dengan jalan hidupnya. Mungkin saja dia mau cerita sesuatu pada kamu. Mungkin cuma kamu yang dia percaya."
Boma diam lagi. Matanya masih menatap bunga layu di ujung kaki. "Kasian itu kembang," katanya. "Orang sebanyak ini, nggak ada yang nyiramin. Taman ini apa nggak ada yang ngurus."
"Kamu bisa bilang kasian sama kembang. Tapi sama guru sendiri nggak kasian."
Boma usap-usap hidungnya lalu berdiri.
"Ayo Ron, pulang. Udah sepi."
Di pintu gerbang sekolah sebelum berpisah Ronny berhenti sebentar. Ditatapnya wajah Boma.
"Kamu mau bilang apa Ron?"
Ronny gelengkan kepala. "Aku nggak mau bilang apa-apa. Aku udah kehabisan omongan."
Boma tertawa. "Kamu bilang ingin jadi pengacara. Membela orang-orang tertindas. Tapi kalau pengacara
kehabisan ngomong wah bisa gawat Ron! Mulut dan kata-kata itu senjatanya pengacara nomor satu."
"Ada senjata yang lebih berharga Bom," sahut Ronny.
"Apa?"
Ronny menunjuk ke kepala dan ke dadanya. "Otak sehat sama hati bersih."
"Boleh juga omongan lu!" kata Boma seraya menowel hidungnya. Anak ini lambaikan tangan lalu menyeberang jalan.
Ronny pandangi temannya itu. Hatinya berkata. "Nggak bisa juga sih dia disalain. Hatinya polos. Nggak pernah nyakitin temen. Sama guru sangat menghormat. Sampai mau sumpah segala untuk mendapatkan kepercayaan. Tapi yang didapatnya pukulan dan tendangan."
DUABELAS MURIDKU MACHOKU
BOMA berlaku cerdik. Seolah ada firasat dia lidak berhenti tepat di depan rumah nomor 14 itu. Setelah lewat dua rumah baru dia memberi tahu supir bajaj agar berhenti. Dengan jalan kaki dia kembali ke arah rumah nomor 14 itu. Rumah berpagar cat putih, rumah Ibu Renata. Boma sengaja tidak menyusuri tepi jalan di mana rumah terletak, tapi menyeberang ke sisi jalan yang lain.
Menjelang Boma akan sampai ke rumah nomor 14 itu dari ujung jalan tiba-tiba sebuah Honda Bebek meluncur dan berhenti tepat di pintu pagar cat putih. Boma cepat menyelinap ke balik sebuah bedeng PU. Dia sering mendengar dan mengenali betul suara motor itu. Ketika dia memperhatikan dari balik sudut dinding bedeng, dugaannya tidak salah.
Guru Olah raga Pak Sanyoto mematikan mesin motor, memarkir kendaraannya dekat pintu pagar lalu menekan bel. Bel itu agak tersembunyi di balik tembok pagar. Tapi Pak Sanyoto tahu tempatnya. Pertanda dia sudah pernah ke rumah itu sebelumnya. Guru Olah Raga ini turun dari kendaraannya sambil menenteng satu kantong plastik.
"Sial, gua keduluan," kata Boma dalam hati. Dia berpikir lebih baik segera pulang saja. Tapi kalau dia keluar dari balik bedeng itu sekarang, mungkin Pak Sanyoto melihatnya. Boma memutuskan menunggu.
Pintu garasi rumah terbuka. Seorang perempuan berkebaya lusuh keluar. Siti, pembantu yang diceritakan Ronny, yang sudah bekerja di rumah Ibu Renata hampir empat tahun.
"Mbok, Ibu Renata ada?" Pak Sanyoto menyapa.
"Bapak dari mana?"
"Saya Sanyoto, saya dan Ibu Renata sama-sama ngajar di Nusantara III."
"Ooh, Ibu ada tapi sedang tidur. Masih sakit."
"Bisa saya ketemu sebentar?"
"Bapak masuk dulu. Silakan duduk di teras. Saya beri tahu Ibu."
Sanyoto mengucapkan terima kasih lalu naik ke teras rumah dan duduk di kursi yang ada di situ. Tak lama kemudian pembantu tadi keluar kembali.
"Aduh maaf, Pak. Ibunya masih tidur. Saya nggak berani ngebangunin."
"Sakitnya Ibu bagaimana?"
"Sekarang sudah jauh mendingan. Tapi sesekali panasnya suka naik."
"Sudah ke dokter?"
"Sudah dua kali, Pak."
"Barangkali, saya bisa menunggu di sini sampai Ibu bangun?"
"Boleh saja. Tapi kasian kalau Bapak nanti nunggunya lama."
Sanyoto merasa tidak senang dengan jawaban pembantu itu. Sang pembantu juga merasakan. Maka Siti berkata. "Atau mungkin Bapak datang lagi nanti malam. Sekitar jam setengah tujuh?"
Sanyoto memperhatikan arloji di lengan kirinya. Saat ilu baru jam 4.55 sore. Di dalam rumah dia tnendengar suara kran mengucur di kamar mandi. Tadi waktu dia baru datang suara itu tidak ada. Berarti ada seseorang baru masuk ke kamar mandi dan menghidupkan kran air.
"Mbok, di rumah sini yang tinggal siapa saja?" tanya Sanyoto.
"Cuma Ibu Renata dan saya," jawab si pembantu.
"Berarti di kamar mandi, yang barusan membuka kran air adalah Ibu Renata." Otak Guru Olah Raga itu bekerja.
Merasa dibohongi Sanyoto menjadi mengkal. Dia berkata.
"Saya ada keperluan lain nanti malam. Sebetulnya kalau saya menunggu saja, biar lama nggak apa-apa."
Si pembantu tidak memberikan jawaban. Sanyoto merasa tambah tidak enak, tambah kesal. Ibu Renata jelas tidak sedang tidur. Perempuan itu tidak mau menemui dia lalu menyuruh pembantunya mengatakan bahwa dia sedang tidur.
"Kalau saya tidak boleh menunggu, ya sudah Mbok." Kata Sanyoto pula.
Bungkusan yang dipegangnya diletakkan di meja. "Tolong sampaikan ini sama Ibu Renata. Salam dari saya Pak Sanyoto."
"Isinya apa Pak?"
"Anggur," jawab Sanyoto kesal. Dia merasa tidak sopan seorang pembantu ingin tahu apa isi bingkisan yang diberikan orang untuk majikannya. Ini membuat Guru Olah Raga itu semakin kesal.
Suara deru Honda Bebek yang dikemudikan Sanyoto lenyap di tikungan jalan. Mbok Siti tengah menutup pintu pagar ketika dia melihat ada seorang anak laki-laki menyeberangi jalan, mendatangi. Ketika dia mengangkat kepala, anak itu sudah berdiri di hadapannya. Begitu melihat wajah si anak, air muka sang pembantu jadi berubah. Mulutnya ternganga. Bola mata membesar. Dia seperti kaget.
"Bapak...." Suara Mbok Siti seperti tercekik.
Seumur hidup baru sekali itu Boma Tri Sumitro dipanggil Bapak. Untuk beberapa lamanya ke dua orang itu berdiri saling pandang.
"Maafkan saya, Anak mau cari siapa?" Mbok Siti akhirnya keluarkan ucapan tapi sepasang matanya masih terus mengawasi anak laki-laki di depannya dan air mukanya tetap berubah seperti tadi.
"Saya mau ketemu Ibu Renata. Saya murid Ibu di SMU Nusantara III."
"Nama Anak siapa?"
"Saya Boma."
Untuk kedua kalinya Boma melihat perempuan di depannya terkejut. Boma jadi tidak enak tapi dia tidak mau bertanya.
"Nama Anak siapa?" Mbok Siti bertanya sekali lagi.
"Boma," jawab Boma. Dalam hati dia berkata. "Budek kali ini orang."
"Boma?"
Boma mengangguk.
Tiba-tiba Mbok Siti membuka pintu pagar cepat-cepat.
"Nak Boma.... Nak Boma...."
"Ada apa Mbok?" Tanya Boma heran.
"Masuk, masuk dulu. Nanti saya beri tau Ibu."
Pembantu memegang lengan Boma lalu membawa anak itu ke teras. Dengan suara agak perlahan dia berkata.
"Waktu sakit, Ibu Renata sering ngigau nyebut-nyebut nama situ. Boma... Boma... Boma."
Boma menowel hidungnya. Dalam hati anak ini berkata. "Ronny nggak cerita bohong."
"Duduk Nak Boma, duduk. Saya beri tau Ibu," kata Mbok Siti.
Belum sempat pembantu ini melangkah masuk ke dalam tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di depan pintu pagar dengan mengeluarkan suara berdenyit, pertanda pengemudinya menginjak pedal rem dalam-dalam. Sekaligus pertanda bahwa si pengemudi diselimuti emosi tinggi.
Mbok Siti dan Boma berpaling. Keduanya sama-sama terkejut. Pak Sanyoto! Tanpa metnatikan mesin motor Honda Bebek lelaki itu turun dari kendaraan, langsung menuju teras rumah.
Sesuatu telah terjadi. Entah mengapa tadi setelah sesaat meluncur di atas motor meninggalkan rumah Ibu Renata, lelaki itu berpaling ke belakang. Tak sengaja dia melihat seorang anak laki-laki sedang menyeberang jalan menuju rumah Ibu Renata. Walau agak jauh tapi matanya cukup awas untuk melihat dan mengenali siapa anak itu.
"Mbok, kamu 'kan cuma pembantu. Tapi beraninya ngebohongin saya!" Sanyoto membentak.
Mbok Siti kelihatan pucat pasi wajah tuanya.
"Kembalikan bungkusan itu. Saya keliru ngasih!" Sanyoto menunjuk pada bungkusan plastik berisi anggur.
Dengan tangan gemetar Mbok Siti mengambil bungkusan anggur di atas meja lalu menyerahkannya pada Pak Sanyoto. Setengah merenggut lelaki itu
mengambil bungkusan. Sebelum pergi dia memandang ke arah Boma.
"Selamat sore Pak," Boma memberi salam.
Sanyoto diam saja. Mukanya masam sekali. Cepat-cepat dia kembali ke motor yang mesinnya sengaja dibiarkan hidup. Tiba-tiba lelaki ini berlaku aneh. Bungkusan berisi anggur itu dibantingkannya ke aspal. Belum puas, bungkusan digilasnya dengan roda motor.
Mbok Siti masih tertegun sesaat melihat kejadian itu.
"Sayang, anggur dalam plastik digilas" seperti itu. Harganya pasti mahal. Kalau nggak mau ngasih Ibu Renata, ya disedekahkan pada orang miskin lebih baik." Mbok Siti keluarkan ucapan. Lalu dia berpaling pada Boma.
"Kok Pak Sanyoto bisa marah seperti itu Mbok?"
"Mungkin dia tahu saya bohongin. Bilang Ibu Rena masih tidur. Jadi dia marah. Habis, saya mau gimana. Wong Ibu Renata sendiri yang selalu bilang sama saya. Kalau ada tilpon dari orang yang namanya Pak Sanyoto bilang dia lagi tidur. Malah kalau orangnya sampai datang, bilang dia masih tidur. Saya 'kan cuma ikut apa majikan suruh. Wong namanya pembantu. Iyya toh?"
"Kalau saya nggak dipesanin kayak gitu Mbok" Kalau ada anak namanya Boma datang, bilang Ibu lagi tidur?"
Mbok Siti tertawa sambil gelengkan kepala. "Nak Boma, tunggu di sini. Saya beri tau Ibu." Boma mengangguk. Dalam duduk menunggu dia berpikir-pikir, perlakuan apa lagi kelak yang bakal diterimanya dari Pak Sanyoto. Jelas Guru Olah Raga itu akan bertambah benci padanya setelah melihat kehadirannya di rumah Ibu Renata. Tambah marah lagi karena dia tidak diterima Ibu Renata. Sebaliknya Boma yang datang kemudian diperbolehkan masuk menemui Guru Bahasa Inggris itu.
"Pasti gawat. Pasti aku bakal jadi bahan inceran pelampiasan kemarahan. Keliling seputar lapangan sampai tiga kali udah. Angka empat dalam Rapor udah. Apa lagi?"
Tak lama kemudian Mbok Siti muncul di teras.Dia melambaikan tangan pada Boma.
"Ayo masuk. Ibu Renata barusan dari kamar mandi. Sekarang menunggu di kamar."
Boma masuk. Di ruang tamu dia berhenti.
"Saya tunggu di sini saja Mbok."
"Ibu Renata belum boleh jalan keluar kamar. Lebih banyak berbaring
di tempat tidur. Soalnya belum sembuh benar."
Boma tampak bimbang. Kikuk.
"Ibu Renata yang bilang. Ibu Renata yang suruh agar Nak Boma dibawa ke kamar."
"Mbok, apa Ibu kalau sakit biasa nerima tamu di kamar?"
"Nggak semua tamu. Biasanya teman dekat, atau masih keluarga."
"Mbok, tadi Mbok manggil saya Bapak. Kenapa?"
"Anu.... Ala, jangan biarkan Ibu menunggu lama. Nanti saya yang kena marah. Ayo masuk. Mari saya anter sampai ke pintu."
Boma masih bimbang. Masih berdiri tak bergerak di ruang tamu itu. Mbok Siti menarik lengan anak lelaki ini, membawanya ke kamar yang pintunya terbuka.
"Masuk...." bisik si pembantu sambil mendorong perlahan punggung anak lelaki itu.
Ibu Renata terbaring pucat tanpa make-up di atas tempat tidur. Tubuhnya yang agak kurusan mengenakan piyama warna biru muda. Kepalanya dialasi dua buah bantal agar tinggi. Sepasang matanya menatap ke arah Boma. Pandangan mata yang seolah tidak percaya kalau saat itu dia benar-benar melihat Boma berdiri di ambang pintu kamar. Kalau dia punya kekuatan untuk bangkit serta keberanian untuk melakukan, saat itu ingin sekali dia bangkit dari tempat tidur dan memeluk anak lelaki itu.
Boma balas menatap. Untuk beberapa saat lamanya sepasang mata guru dan murid itu saling bertemu. Boma melihat mata Ibu Renata masih bening dan bagus, hanya saja telah kehilangan cahayanya yang selama ini sangat mempesona. Boma tidak tahu harus berkata apa, mau menyapa bagaimana. Akhirnya dia mengucapkan: "Selamat sore Ibu Rena."
"Boma...." Suara Ibu Renata perlahan sekali. Dia menunjuk pada kursi di samping tempat tidur.
Boma duduk di kursi itu. Ibu Renata masih menatapi wajahnya. Boma sendiri saat itu tidak lagi memandangi Ibu Renata. Sepasang matanya terpaku pada sebuah potret besar yang tergantung di dinding, di atas kepala tempat tidur. Potret seorang lelaki muda jangkung, rambut crew cut, mengenakan pakaian pilot dengan latar belakang sebuah helikopter besar.
Boma seperti melihat dirinya sendiri dalam potret itu. Aneh, mengapa wajah dan potongan rambut orang dalam potret bisa sama dengan dirinya. Lama Boma memandangi potret itu. Sampai akhirnya Ibu Renata memecah kesunyian dalam kamar.
Suaranya perlahan tapi jelas terdengar di telinga Boma.
"Itu potret Sandro. Suami saya...."
Mendengar ucapan Ibu Renata baru Boma mengalihkan pandangannya dari potret ke wajah Ibu Renata.
"Suami Ibu" Saya mengira...."
"Mengira apa?"
"Saya mengira Ibu belum kawin," kata Boma polos.
Guru Bahasa Inggris itu menatap wajah Boma sebentar lalu tertawa. Tertawa membuat wajahnya menjadi merah. Kecantikan dan cahaya pada matanya seolah kembali.
"Suami Ibu pilot?"
Ibu Renata mengangguk.
"Sekarang suami Ibu tugas di mana?"
"Dia sudah tidak ada. Sejak dua tahun lalu...."
"Maksud Ibu?"
"Panjang ceritanya Boma. Begitu panjang seolah tak ada akhir. Saya berusaha melupakan. Tapi tidak bisa. Kamu melihat wajah dalam potret itu?"
Boma mengangguk. Lalu berkata. "Saya merasa heran. Wajah dalam potret itu mirip wajah saya. Saya seolah melihat potret saya sendiri."
Ibu Renata tersenyum tapi dengan mata dipejamkan. "Setiap saya melihat kamu, saya seolah melihat Sandro. Saya merasa bahagia dalam derita saya. Saya tertawa dalam tangis saya...."
Boma melihat ada butir air mata bening berkilat muncul di sudut kedua mata perempuan itu lalu meluncur jatuh ke pipi. Dada anak ini jadi sesak.
"Boma, saya pernah melakukan satu kesalahan besar padamu. Waktu kamu masuk tadi, saya masih melihat bekas tanda-tanda kekerasan di wajahmu. Saya merasa berdosa. Saya merasa seolah diri saya menyumpahi agar celaka. Apa lagi kemudian saya mendengar cerita dari Ronny. Bahwa kau sangat menghargai nama dan kehormatan diri saya. Bahwa kau tidak pernah ingin berbuat jahat terhadap saya. Saya merasa berdosa. Benar-benar berdosa."
Boma tidak tahu mau berkata apa. Dia duduk mematung di atas kursi. Hanya matanya yang bergerak memandang dari wajah sang guru ke potret di dinding.
"Boma, sakit saya adalah sebagian dari dosa yang harus saya tebus. Saya tahu kau menderita karena tekanan saya. Tapi ketahuilah, saya justru yang sangat menderita karena perbuatan saya sendiri."
"Ibu Rena, saya rasa Ibu tidak pernah berbuat salah apa-apa. Apa lagi sampai bilang berdosa. Saya...."
"Saya mengajakmu menonton bukan karena hasrat yang bukan-bukan. Tapi cerita dalam film itu banyak sekali kesamaannya dengan hidup saya. Saya pernah mengatakan padamu. Film itu menceritakan seorang pilot yang mengalami celaka; Pesawatnya jatuh di satu rimba belantara. Tiga tahun lamanya pilot itu berjuang agar bisa keluar dari rimba belantara yang ganas. Ketika berhasil dia menemui istrinya telah kawin dengan laki-laki lain."
Ibu Renata menutup matanya dengan tangan, isak tangisnya tak bisa dibendung. Boma bingung. Dia berharap agar Mbok Siti muncul saat itu. Di meja kecil di samping tempat tidur ada kotak tissu. Boma mengambil dan meletakkannya di tepi tempat tidur.
"Ibu Rena, suami Ibu. Apakah dia...."
Ibu Rena tahu apa yang hendak ditanyakan Boma. Dia mengambil sehelai tissu, menyeka ke dua matanya.
"Peristiwanya sekitar dua tahun lalu. Sandro dikontrak oleh satu perusahaan perkayuan di Kalimantan Tengah. Saat itu kami baru saja menikah selama dua bulan. Berita buruk itu datang dua hari setelah terjadi. Pesawat heli yang dipiloti Sandro jatuh di satu rimba belantara. Tapi sampai hari ini bangkai pesawat
ataupun jenazah Sandro tidak pernah ditemui."


Boma Gendeng 4 Muridku Macho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kepala Boma tertunduk. Kini dia yang merasa bersalah menolak ajakan Ibu Renata untuk menemaninya menonton. Untuk pertama kalinya anak ini menggerakkan tangan menowel hidungnya.
"Dua tahun, saya tidak mengharapkan lagi Sandro akan kembali. Saya sering mimpi. Dia muncul dalam pakaian pilot. Berteriak bahwa dia masih hidup. Berteriak agar saya menunggunya. Saya tidak mempunyai keyakinan bahwa dia masih hidup. Kalau saya harus menunggu, sampai berapa tahun saya harus melakukan hal itu" Ketika saya pertama kali mengajar di Nusantara III, ketika saya pertama kali melihat kamu, saya merasa Sandro seolah-olah hidup kembali. Wajahmu, cara kamu berjalan, tertawamu, sama seperti dia. Saya ingin sekali mendekatimu, bersamamu. Tapi kita berada di dua tempat yang dipisah oleh pagar bernama ketidak mungkinan. Ketika saya berusaha melompati pagar itu, mengajakmu menonton, pagar itu bukan saja roboh, tapi malapetaka datang atas diri kita berdua. Saya...."
Makin banyak Ibu Renata bicara semakin sesak rasanya dada Boma.
"Ibu Rena, Ibu masih sakit. Jangan dulu bicara banyak."
"Boma, saya ingin mengeluarkan semua apa yang saya rasa. Kamu mungkin mentertawakan saya. Tapi saya tidak perlu merasa malu. Saya tidak mau memendam rasa menjadi penyakit yang sulit disembuhkan, menjadi penyakit yang akan makan diri saya sendiri. Saya sudah cukup menderita terbaring selama satu minggu di atas tempat tidur ini. Dokter mengatakan saya kena flu. Ada juga yang mengatakan saya terserang gejala tipus. Apa pun penyakit saya hanya saya sendiri yang tahu. Saya bersyukur, sangat bersyukur kamu mau datang melihat saya. Sebagian dari penyakit saya rasanya hilang setelah melihat kehadiranmu. Saya.... Boma, kalau saja saya bisa memelukmu...."
Ibu Renata tidak meneruskan ucapannya. Dia tiba-tiba sadar kalau dia telah bicara terlalu banyak dan terlalu jauh. Dia hanya menunjukkan kelemahannya sendiri. Dia merasa malu. Isaknya tenggelam di dalam bantal di mana dia kemudian membenamkan wajahnya.
Boma berdiri dari kursi. Lama dia tegak memandangi tubuh yang menelungkup di alas tempat tidur itu. Perlahan-lahan dia memberanikan diri duduk di tepi tempat tidur. Sesaat dia me mandang potret besar di dinding. Hatinya berdoa. Semoga Sandro suami
Ibu Renata masih hidup. Semoga Ibu Renata bisa bertemu kembali dengan dia.
Duduk di tepi tempat tidur Boma tidak tahu mau berbuat apa. Keluar dari kamar" Meninggalkan perempuan itu begitu saja"
"Ibu Renata, jangan nangis Bu," ucap Boma perlahan.
Tangis Ibu Renata malah tambah keras. Boma jadi semakin bingung. Entah bagaimana mendadak ada keberanian dalam diri anak ini. Disentuhnya punggung Ibu Renata, diusapnya seraya berkata berulang kali. "Ibu, jangan nangis terus. Saya bingung Bu."
Tubuh yang menelungkup itu tiba-tiba berbalik. Boma menarik tangannya sebelum dia tak sengaja menyentuh dada Ibu Renata. Namun tangan Ibu Renata bergerak lebih dahulu memegang tangan anak lelaki itu. Seperti bergayut di tali pengharapan Ibu Renata pergunakan tangan itu untuk bersigantung bangkit dari tempat tidur. Tapi tubuhnya oleng. Sebelum dia jatuh kembali ke atas tempat tidur, Boma cepat merangkul sosok Ibu Renata.
"Boma...." Ibu Renata membenamkan wajahnya di dada anak lelaki itu. Tidak sengaja keningnya menekan Batu Penyusup Batin yang ada di bawah
tulang belikat kanan Boma sampai dua kali.
"Boma...." Ibu Renata angkat wajahnya dari dada Boma. Saat itu ingin sekali dia melihat wajah Boma, memegang wajah itu dengan ke dua tangannya. Namun perempuan ini tiba-tiba menjerit keras. Tangannya masih merangkul. Dia masih merasa menyentuh tubuh Boma. Tapi sosok anak itu sama sekali tidak kelihatan.
"Ibu Renata...."
Ada suara tapi ujud orangnya tidak kelihatan. Untuk ke dua kalinya Ibu Renata menjerit.
"Boma, kau di mana"!"
Wajah Ibu Renata menunjukkan rasa takut amat sangat. Dia lepaskan rangkulannya. Perempuan ini beringsut pucat ke kepala tempat tidur.
"Boma?"
"Saya di sini Bu," jawab Boma. Tiba-tiba dia sadar. "Astaga, jangan-jangan. Pasti ada kesalahan teknis!" Cepat Boma ucap benjolan di bahu kanannya. Saat itu juga sosoknya muncul kembali di ha-dapan Ibu Renata, masih duduk di tepi tempat tidur.
"Boma, bagaimana mungkin" Tadi kau... tadi kau lenyap. Lalu...."
Boma menowel hidungnya. Lalu tersenyum.
"Tadi saya melompati pagar yang Ibu sebut sebagai pagar ketidak mungkinan itu. Sekarang kita berada di sisi yang sama. Rasanya semua kini menjadi mungkin."
"Boma...?" Sepasang mata Ibu Renata membesar, memandang tak berkesip mendengar ucapan Boma.
Tiba-tiba perempuan ini terisak keras. Ketika gerungan itu berubah menjadi tangis keras Boma telah mendekap Ibu Renata erat-erat ke dada kirinya, tak berada di dada kanan. Takut Batu Penyusup Batin akan tersentuh kembali. Takut kesalahan teknis terulang lagi.
"Ibu, Ibu Renata, jangan nangis...." Boma coba membujuk.
"Tidak, saya akan menangis sepuas hati saya." Jawab Ibu Renata.
"Sampai pagi?" ujar Boma.
Satu cubitan menyengat di pinggang Boma, membuat anak ini tersentak kesakitan. Ibu Renata menarik kepalanya dari dada Boma.
"Ada apa?"
"Ibu nyubit saya?"
"Kau aneh. Dalam keadaan seperti ini masih bisa bergurau. Saya tidak mencubit."
Tiba-tiba mengiang suara tawa cekikikan di telinga Boma. Anak ini berpaling ke pintu. Semula disangkanya yang tegak di ambang pintu Mbok Siti. Ternyata sosok nenek berkulit hitam yang kepalanya ditancapi lima tusuk konde perak itu.
Melihat Boma memandang ke arahnya nenek ini angguk-anggukkan kepala sambil acung-acungkan jempol dengan tangan kanannya.
"Nenek konyol. Pasti tadi dia yang nyubit pinggang gua!" gerutu Boma dalam hati.
TAMAT Seruling Samber Nyawa 11 Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long Hati Budha Tangan Berbisa 12
^