Pencarian

Topan Di Borobudur 1

Boma Gendeng 5 Topan Di Borobudur Bagian 1


SERIAL: "BOMA GENDENK"
JUDUL: TOPAN DI BOROBUDUR
Oleh: BASTIAN TITO
HAK CIPTA DAN COPY RIGHT
PADA BASTIAN TITO
DIBAWAH LINDUNGAN UNDANG-UNDANG
Diterbitkan pertama kali Tahun 1997
oleh Penerbit Duta Media, Jakarta
P.O. BOX. NO. A226/JKTJ/13342
Foto cover Depan: Orly Velli Valentine
Vino Giovanni Dilarang keras memfotokopi atau memperba-
nyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 SHOPPING NYAWA SABTU sore. Di bawah tangga Hard Rock
Cafe di gedung Sarinah, di atas sebuah drum
plastik, seorang kakek berpakaian kumal duduk
memperhatikan keadaan sekitarnya. Terkadang
dia terkagum-kagum melihat mobil bagus lewat di
depannya. Sesekali dia tersenyum memperhatikan
pasangan muda-mudi yang jalan sambil berang-
kulan mesra seolah takut roboh ditiup angin yang
sore itu memang bertiup agak kencang. Di pang-
kuannya ada sebuah kerincingan sedang di ping-
gang tergantung sebuah gendang kecil. Dekat ka-
kinya yang memakai sendal butut ada sebuah
payung kecil, terbuat dari kertas. Sampai hari
mulai gelap kakek bermuka cekung keriput, mata
belok dan hidung pesek itu masih duduk di tem-
pat itu. Empat orang anak muda berhenti di depan
si kakek. Salah seorang diantara mereka yang
mengenakan T-shirt merah darah dan blujins
yang salah satu lututnya sengaja dirobek, berna-
ma Aming, sambil menunjuk pada si kakek ber-
kata iseng. "Wah, ni die orangnya mahluk langka yang
bakal jadi bintang tamu di cafe nanti malam."
Teman-teman Aming tertawa gelak-gelak.
Si kakek yang duduk di atas drum plastik terse-
nyum monyong hingga deretan giginya yang ton-
gos seperti mau melompat keluar.
"Wah, giginya ngetril lu!" kata Aming dan kembali membuat tiga temannya tertawa.
"Ming, kalau lu bilang mahluk langka,
musti dilestarikan dong!" Teman Aming yang me-
makai jaket biru gelap berkata sambil letakkan
tangan kirinya di bahu Aming.
"Dilestarikan gua rasa kurang tepat. Co-
coknya diawetkan!" kata Aming pula.
Kembali anak-anak muda itu tertawa ge-
lak-gelak. Sementara si kakek sendiri tetap duduk
tenang di atas drum plastik biru.
"Kek, kayaknya biasa ngamen ya?" Aming
bicara lagi sambil bertolak pinggang.
"Ya, namanya olang cali lejeki. Asal halal"
kakek yang ditanya menjawab sambil nyengir.
Ternyata si kakek cadel, tidak bisa menye-
but huruf R. "Wah, tau-tauan halal en haram segala,"
anak lelaki di ujung kanan berkata. "Bos tua, tau nggak! Jaman sekarang yang
haram aja susah
apa lagi yang halal."
Dua alis mata si kakek naik ke atas. Mu-
lutnya yang tonggos sungingkan senyum.
"Bisanya nyanyi apaan aja Bos?" Aming
bertanya lagi. "Lock bisa, countly hayo, dangdut jangan
ditanya. Keloncong gecel. Kasidahan juga nggak
nampik..." Habis berkata si kakek tertawa sendiri cekikikan.
Empat anak muda di depannya ikutan ter-
tawa. "Kek, dari pada duduk di sini ngerusak pemandangan, nih aku kasih duit
seceng. Pergi dari sini." Aming, anak muda berkaos merah lempar-kan selembar
uang ribuan ke pangkuan si kakek
lalu sambil tertawa-tawa ajak teman-temannya
tinggalkan tempat itu.
Kakek bermata belok bergigi tonggos perha-
tikan uang ribuan di pangkuannya, melirik pada
rombongan empat anak muda yang saat itu ten-
gah berjalan menuju tangga gedung Sarinah di
samping McDonald's. Uang kertas ribuan diam-
bilnya. Sambil bersiul-siul kecil dia menggulung
uang kertas itu lalu sekali tangan kanannya ber-
gerak set! Hampir tidak kelihatan saking cepatnya
gulungan uang kertas seribu perak itu melesat ke
arah tangga gedung Sarinah.
"Aduh!"
Aming yang saat itu tengah menaiki tangga
menjerit keras. Kaki kanannya seperti ditendang
lalu ambruk. Tubuhnya menyusul berlutut. Kalau
tidak dipegangi teman-temannya pasti jatuh di
tangga. "Eh, Ming, lu kenapa?" salah seorang telah bertanya.
"Kaki gua... Kayak ada yang nendang." Am-
ing menjawab sambil pegangi betisnya. Tangan-
nya menyentuh sesuatu, Ada sebuah benda me-
nancap dl kaki kanan celana jinsnya. Gulungan
kertas. Ketika gulungan itu diambil dan dibu-
kanya ternyata selembar uang ribuan. "Ini duit...."
Aming jadi pucat. Dia memandang ke arah tangga
Hard Rock Cafe. Drum plastik itu masih disana.
Tapi kakek berpakaian kumal yang membawa
gendang dan kerincingan serta payung tak ada la-
gi di tempat itu. Aming merasa tengkuknya din-
gin. Tiga temannya terheran-heran bercampur ta-
kut. "Jangan-jangan kakek tadi setan penghuni gedung," ucap Aming dengan suara
gemetar. "Gue memang pernah dengar cerita," teman
Aming yang memakai jaket menyahut. "Dulu wak-
tu gedung Sarinah dibangun, pernah ada buruh
bangunan yang celaka. Jatuh dari tingkat atas.
Mati. Mungkin kakek tadi setan buruh bangunan
itu..." Sementara empat anak muda itu cepat-
cepat masuk ke dalam gedung dengan perasaan
takut, di tangga penyeberangan di depan gedung
Sarinah kakek mata belok bermulut tonggos ber-
jalan tertawa-tawa. Sesekali dia menoleh ke arah
empat orang anak muda itu. Celananya yang
gombrong kebesaran merosot ke bawah hingga
sebagian pantatnya yang hitam tersingkap. Kakek
ini tertawa geli ketika melihat Aming di kejauhan
sana melangkah terpincang-pincang.
Tawa geli orang tua ini terhenti ketika
mendadak di depannya tahu-tahu telah berdiri
seorang yang dari sikapnya jelas-jelas sengaja
menghadang si kakek.
Orang ini mengenakan celana dan pakaian
hitam. Pada bagian dada bajunya terpampang
gambar gunung berwarna biru dengan latar bela-
kang sinar matahari berwarna merah. Di pung-
gungnya orang ini mengenakan sehelai mantel
yang juga berwarna hitam. Si kakek angkat kepa-
lanya memandang wajah orang di hadapannya.
Orang ini ternyata seorang pemuda berambut hi-
tam tebal, rahang menonjol kokoh. Di keningnya
yang tinggi melilit sehelai kain berwarna merah.
Di bawah kening sepasang mata menatap dingin
dan angker. Dia berdiri sambil mulutnya melahap
paha fried chicken.
Walau tidak ada rasa takut di hati si ka-
kek, namun wajah tua bermata belok itu serta
merta berubah begitu dia mengenali siapa adanya
pemuda tinggi kekar di hadapannya.
"Kau...." ucap si kakek.
"Ya, aku!" ujar si pemuda. Suaranya tak
enak di dengar karena dia bicara sambil mengu-
nyah makanan. Tangan kiri bertolak pinggang.
Tangan kanan memegang potongan besar paha
ayam. Sepasang kaki tegak mengembang. Seringai
bermain di mulutnya. Lalu dia dongakkan kepala,
tertawa bergelak. Serpihan paha ayam bermun-
cratan dari mulutnya.
Dua orang pelintas jembatan yang kebetu-
lan lewat sama terheran-heran melihat dua orang
berpenampilan aneh itu. Mula-mula mereka ber-
henti ingin tahu siapa adanya dua orang itu dan
apa yang tengah terjadi. Tapi salah seorang dari
keduanya merasa ada yang tidak beres, cepat-
cepat menarik tangan temannya.
"Orang gila. Ayo Pin. Jangan cari urusan..."
Temannya mengiyakan. "Bisa juga pura-
pura gila. Begitu kita lengah tahu-tahu ngejamb-
ret atau nodong."
Kedua orang pelintas jembatan cepat-cepat
melangkah pergi.
" Pangelan Matahali..." kakek di atas jembatan penyeberang menyebut nama.
Kembali pemuda di hadapannya tertawa
gelak. "Betul sekali! Aku memang Pangelan Matahali." Si pemuda sengaja ikutan
bicara cadel menirukan si kakek. "Dan aku datang tidak sendiri."
Dengan potongan paha ayam yang kini hampir
tinggal tulang pemuda berpakaian serba hitam itu
menunjuk ke belakang. Si kakek melirik. Di bela-
kang sana, dekat ujung jembatan penyeberangan,
bersandar ke tiang besi tegak seorang kakek
bungkuk, berpakaian rombeng, berwajah seputih
kain kafan. Dua matanya yang sangat cekung
menatap menggidikkan ke arah kakek yang tegak
di depan pemuda berpakaian serba hitam. Kalau
pemuda ini adalah Pangeran Matahari maka ka-
kek di ujung jembatan sana mudah diterka siapa
adanya. Yakni bukan lain Si Muka Bangkai alias
Si Muka Mayat, guru Pangeran Matahari.
"Ah...." kakek mata belok yang membawa
gendang, payung dan kerincingan membuka mu-
lut menyeringai lalu berkata. "Gulu dan mulid
muncul belsama. Ada apa" Apa lagi mau shop-
ping ke Salinah" Banyak duit ni ye" Ha...ha...ha!"
" Pelawak Sinting! tua bangka geblek! Mah-
luk kesasar dari alam Setan!" bentak Pangeran
Matahari mulai marah. "Sudah mau mampus ma-
sih bicara edan! Aku memang mau shopping. Mau
belanja. Belanja nyawamu!"
"Mampus" Siapa yang mampus" Aku"
Ha...ha...ha!" Si kakek yang ternyata adalah Pelawak Sinting tertawa mengekeh
lalu goyangkan ke-
rincingan di tangan kirinya hingga mengeluarkan
suara keras nyaring, menusuk liang telinga. Pan-
geran Matahari dan juga Si Muka Bangkai di-
ujung jembatan sampai tekap telinga masing-
masing, kerahkan tenaga dalam untuk menolak
getaran suara yang menyengat.
"Soal mampus bagi aku yang sudah tua
bangka begini adalah soal sepele. Bagaimana ka-
lau kau yang masih muda sepeltimu telnyata nan-
ti mampus duluan"!" Si Pelawak Sinting kembali tertawa gelak-gelak dan goyangkan
kerincingan di tangan kirinya. (Siapa adanya Pelawak Sinting bi-
sa dibaca dalam kisah petualangan Wiro di Negeri
Latanahsilam terdiri dari 18 episode, khususnya
Episode berjudul Hantu Tangan Empat)
Rahang Pangeran Matahari menggembung.
Pelipisnya bergerak-gerak.
"Tua bangka sinting, kalau kau sendiri
menganggap nyawamu sesuatu yang sepele, apa
lagi aku! Kau tidak lebih berharga dari ikan lele
dalam comberan! Gara-gara kau mencuri Batu
Penyusup Batin kau membuat aku dan guruku, bahkan nenek guruku jadi susah!"
(Kisah bagaimana Si Pelawak Sinting Mencuri Batu Penyusup
Batin bisa dibaca dalam serial Boma Gendenk Ep-
isode sebelumnya berjudul Tripping). "Walah, cu-ma batu butut palsu saja mengapa
halus dili- butkan" Kalau kau mau batu, aku bisa belikan.
Besal-besal malah. Kau mau belapa" Tinggal am-
bil. Itu di sebelah sana!"
Si kakek menunjuk kearah jalan raya di-
mana bertumpukan batu-batu kali besar untuk
proyek perbaikan jalan.
"Setan alas! Berani mempermainkan!" Ru-
tuk Pangeran Matahari. Paha ayam yang tinggal
tulang di tangan kanannya dibantingkan ke lantai
jembatan penyeberangan. Tulang ayam itu am-
blas padahal lantai jembatan terbuat dari besi
tebal. Kekuatan tenaga dalam sang Pangeran
sungguh luar biasa, diam-diam membuat Si Pela-
wak Sinting tergetar juga hatinya.
Di ujung jembatan penyeberang Si Muka
Bangkai menyumpah-nyumpah seorang diri. Ti-
dak sabaran kakek muka pucat ini berteriak pada
muridnya. "Pangeran! Tunggu apa lagi! Lekas habisi
tua angka sinting itu!" Mendengar perintah gu-
runya, Pangeran Matahari keluarkan suara meng-
gembor lalu sekali menerjang dia kirimkan satu
tendangan ke arah dada si Pelawak Sinting. Jan-
gankan dada orang tua yang kurus tipis. Tembok
sekalipun pasti akan jebol dilanda tendangan itu!
2 BARU TAHU DIA HARI Sabtu pagi. Lapangan atletik itu di-
penuhi oleh pelajar Kelas II-9 SMU Nusantara III.


Boma Gendeng 5 Topan Di Borobudur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di pinggir lapangan Pak Sanyoto Guru Olahraga
meniup peluit, memberi tanda pada semua pelajar
agar berkumpul untuk diabsen. Ketika nama Bo-
ma Tri Sumitro dipanggil, anak itu tidak ada.
"Dasar anak pemalas. Pasti terlambat lagi."
Pak Sanyoto berkata menyatakan kekesalan.
Ronny Celepuk, Vino, Firman, Andi, Rio
dan Gita Parwati memandang berkeliling, menca-
ri-cari. "Git, kamu tau kemana 'tu anak gendenk?"
tanya Ronny berbisik pada Gita yang berdiri di
sampingnya. "Barusan ada. Tau-tau ngilang. Jangan-
jangan kabur. Bolos. Tapi kok ya berani banget"
Jawab si gemuk Gita.
"Heran juga" kata Sulastri yang berdiri dekat Pak Sanyoto dan oleh teman-
temannya di- panggil Si Centil. "Tadi ada Pak. Kok sekarang nggak nongol."
"Kalau memang ada, dipanggil ya pasti
nyahut! Muncul!" kata Pak Sanyoto pula masih
kesal. "Sudah, kalian semua masuk ke lapangan.
Yang latihan lari siap-siap di track." Lalu Pak Sanyoto melangkah ke tempat
latihan lompat jauh.
Saat itulah Boma muncul, setengah berlari. Pak
Sanyoto hentikan langkah. Memandang pada Bo-
ma dengan mata besar berkilat.
"Dari mana kamu"!" Guru Olah Raga itu
bertanya dengan suara keras dan kasar.
Sulastri, Si Centil yang berdiri tak jauh dari
situ berbisik pada Gita dan Ronny.
"Wah, gawat deh. Kelihatannya Si Umar itu benci banget sama Boma."
Gita diam saja. Ronny juga diam. Tapi anak
ini tahu bencinya Pak Sanyoto pada Boma bukan
gara-gara soal absen pagi itu. Guru Olah Raga ini
menganggap Boma sebagai rival nya sekaligus penghalang dirinya dalam mendekati
Ibu Renata. Nama Umar dikarang sendiri oleh Sulastri
sebagai nama ejekan untuk Pak Sanyoto. Umar
singkatan dari Untung Masih Ada Rambut. Rambut di kepala guru Olah Raga itu
memang tinggal sedikit, nyaris botak. Padahal usianya belum
mencapai tiga puluh lima tahun.
"Maaf, Pak," jawab Boma. "Perut saya mules. Barusan dari belakang."
"Alasan. Kamu datang terlambat 'kan" Ka-
mu memang malas. Saya tahu kamu tidak suka
atletik! Tapi kalau main ben, tarik urat tarik sua-
ra satu malam suntuk kamu layani! Kenapa ka-
mu tidak jadi pengamen saja"!"
Telinga dan hati anak laki-laki itu terasa
panas tapi Boma diam saja. Dia merasa tidak per-
lu bicara banyak lagi. Dia sudah menerangkan
apa adanya. Pak Sanyoto yang memang tidak su-
ka pada Boma kembali keluarkan ucapan.
"Ini kali kedua kamu terlambat. Kali ke tiga
kamu berbuat sama saya akan laporkan kamu
pada Wali Kelas dan Kepala Sekolah!"
Boma masih diam. Dia ingat angka Olah
Raga di rapornya waktu di kelas satu. Tidak per-
nah beranjak dari angkat empat. Waktu naik ke
kelas dua Boma dan juga banyak teman-
temannya berharap mata pelajaran Olah Raga ti-
dak diajar oleh Pak Sanyoto. Tapi harapan mereka
tidak terkabul. Kenyataannya di kelas dua tetap
saja Pak Sanyoto yang memegang mata pelajaran
olah raga. Diamnya Boma malah dianggap sebagai si-
kap acuh oleh Pak Sanyoto.
"Sudah, kamu lari keliling lapangan lima
kali!" Guru Olah Raga itu jatuhkan hukuman. Dia berpaling pada Ronny yang
berdiri tidak jauh dari
situ. "Awasi dia. Kalau nanti dia lari mengelilingi lapangan kurang dari lima
kali, beri tahu saya."
Pak Sanyoto meninggalkan tempat itu, melangkah
ke tempat latihan lompat jauh.
Ronny mendekati Boma.
"Kena lagi gua Ron."
"Kamu sih. Waktu di absen nggak ada."
"Kamu tau gua ude dateng dari pagi. Malah
duluan gua dari Si Umar. Tapi mendadak perut
gua mules. Aku ke belakang dulu. Masa gua mau
berak di lapangan! Gila kali! Nggak taunya dia ngabsen waktu gua lagi ke
belakang." Boma menowel hidungnya. "Ini udah dua kali gua dikerjain sama dia.
Dulu cuma tiga kali mutarin lapangan.
Sekarang lima kali. Dia memang nggak senang
sama aku. Masa gara-gara begini aja aku musti
lari keliling lapangan sampai lima kali."
"Mungkin ini gara-gara kejadian di rumah
Ibu Renata seperti yang kamu ceritain itu..."
"Memang ada kejadian apa di rumah Ibu
Renata?" Tiba-tiba saja si Centil Sulastri berdiri disamping Ronny dan bertanya.
"Ala, Si Centil. Kamu nggak usah tahu deh"
jawab Ronny Celepuk. Sambil memegang bahu
Sulastri Ronny berkata. "Temenin si Vino di tempat latihan lompat jauh. Katanya
kamu naksir dia." "Sorry ya. Enak azza. Siapa bilang gua naksir dia!" kata Sulastri ketus
tapi kemudian tersenyum.
"Ala jangan gitu, bo! Semua temen-temen ngerestuin kok." kata Ronny.
" Au ah, elap!" Sulastri mencibir lalu pergi.
Setelah Sulastri pergi Ronny mendatangi
Boma "Udah, lari sana Bom. Tiga kali aja. Nanti gua bilang udah lima kali."
Boma tersenyum, menowel hidungnya dua
kali. Setelah lebih dulu mengencangkan ikatan ta-
li sepatunya anak ini mulai lari mengelilingi la-
pangan. Larinya santai saja. Membuat Pak Sanyo-
to yang diam-diam memperhatikan menjadi tam-
bah kesal. Pada akhir lari mengeliling lapangan yang
ketiga kali, Ronny yang berdiri di tepi lapangan
mengangkat tangan. "Udah Bom. Cukup."
"Baru tiga kali Ron."
"Anggap aja udah lima. Nggak usah kawa-
tir. Biar aku yang lapor sama Si Umar."
Sementara Boma duduk keletihan di tepi
lapangan Ronny Celepuk menemui Pak Sanyoto.
Memberi tahu kalau Boma sudah lari lima kali
mengelilingi lapangan.
"Sudan lima kali?"
"Betul Pak. Sudah lima kali," jawab Ronny, anak jangkung yang hidungnya mancung
tapi bengkok seperti paruh burung.
"Panggil Boma. Kalian berdua datang ke si-
ni." kata guru Olah Raga itu.
Ronny mendatangi Boma.
"Bom, kamu dipanggil Si Umar."
"Ngapain lagi?"
"Nggak tau. Ayo..."
Boma berdiri. Begitu dia dan Ronny sampai
di hadapan Pak Sanyoto, Guru Olah Raga ini per-
lihatkan wajah asam.
"Saya tau kamu baru lari tiga kali. Jangan
kira saya tidak memperhatikan. Kamu lari tiga
kali lagi! Dan kamu..." Pak Sanyoto berpaling pa-da Ronny Celepuk. "Kau saya
hukum lari mengelilingi lapangan enam kali! Lakukan!"
Boma menowel hidungnya. Ronny Celepuk
menggaruk kepala. Sambil mulai berlari Boma
berkata. "Gua bilang apa Ron. Gara-gara ngebohong
sekarang kamu juga ketiban sialnya!"
"Heran, kok Si Umar tahu kamu cuma lari
tiga lapangan."
"Matanya kan ada empat!" jawab Boma.
"Empat gimana" Ngacok aja kamu!"
"Kamu nggak tau?"
"Brengsek. Nafas gua mulai ngorong nih,"
kata Ronny yang baru lari dua pertiga lapangan.
"Si Umar matanya memang empat. Dua di
kepala, dua di dengkul!" Kata Boma. Kedua anak itu lari sambil tertawa-tawa.
Sehabis lari enam kali mengelilingi lapang
Ronny Celepuk jatuhkan diri di samping Boma.
Hidung kembang kempis, dada turun naik dan
nafasnya tersengal-sengal.
"Gila! Kondor gua Bom. Kayaknya gua
nggak seperti nginjak tanah. Kaki gua rasanya hi-
lang! Gila bener Si Umar itu."
"Dia dendam sama gua Ron. Pasti. Biar.
Nanti gua kerjain dia" .
"Kamu jangan macam-macam lagi Bom.
Nanti malah tambah ribet! Kamu tau. Pak Sanyoto tour leader ke Borobudur liburan
bulan depan. Salah-salah nanti kamu bisa disuruh yang nggak-
nggak" kata Ronny.
"Tenang Ron. Liat aja nanti." jawab Boma.
Selesai latihan olahraga, masih ada waktu sepe-
rempat jam sebelum anak-anak kembali ke seko-
lah. Boma, Vino, Ronny, Firman, Andi, Ria serta
Allan mangkal dulu di warung dawet dekat gedung latihan senam.
"Bom, katanya perut kamu mules. Kok mi-
num cendol sampai dua gelas"!" berkata Andi.
"Buat ngedinginin emosi, tau dong." Yang
menjawab Vino. "Ee...ee liat. Si Umar mau pulang," Firman memberi tahu.
Semua anak berpaling ke tempat penitipan
motor. Saat itu Pak Sanyoto kelihatan tengah
mengenakan helm lalu menghidupkan motor
Honda Bebek tuannya. Tak lama kemudian dia
sudah meluncur menuju pintu gerbang keluar.
"Sekarang gua kerjain dia!" Tiba-tiba Boma keluarkan ucapan. Sepasang mata anak
ini memang tak berkesip, mengikuti sosok Pak Sanyoto.
Mata itu kemudian dikedipkan tiga kali. Saat itu
juga mendadak mesin motor yang dikendarai
guru Olah Raga itu mati. Motor berhenti. Pak Sa-
nyoto coba menghidupkan mesin motor kembali.
Sampai beberapa kali dicoba mesin Honda Bebek
itu tetap saja tak bisa dihidupkan. Pak Sanyoto
membuka helmnya. Turun dari motor. Memerik-
sa kendaraannya. Tapi tak berhasil menemukan
dimana kerusakan motor itu.
Ronny dan semua anak-anak yang ada dis-
itu saja tercengang melihat kehebatan Boma.
Hanya dengan mengedipkan mata dia bisa mema-
tikan mesin motor. Dan dari jarak sejauh itu!
" Ajie Gile lu Bom." kata Ronny.
"Kamu punya ilmu apa Bom?" Tanya Andi.
"Pasti ilmu gaib dari nenek aneh yang kau ceritakan itu." Ujar Vino.
"Sekarang baru tau dia" Kata Boma sambil
menowel hidungnya. "Teman-teman ayo kita per-
gi. Lewat pintu belakang."
Setelah membayar cendol anak-anak kelas
II-9 itu meninggalkan lapangan atletik lewat pintu
belakang stadion atletik.
Sampai di sekolah Ronny dan teman-
temannya yang masih penasaran bertanya pada
Boma. "Bom, kamu apain sih motornya Si Umar?"
tanya Ronny. "Bom, kamu beneran punya ilmu ya?"
tanya Vino. "Wah, kamu bisa jadi paranormal Bom"
ucap Rio. "Dukun kali." Menimpali Andi.
Yang ditanya cuma senyum-senyum. Me-
nowel hidungnya. Lalu menjawab.
"Ilmu apa-an" Paranormal apa-an" Orang
selang bensin Honda Bebek butut itu gua sumpel
sama tanah lempung!"
Semua anak melongo. Lalu semua mulut
tertawa riuh. "Gendenk kau Bom!" kata Rio.
"Gila benar!" Kata Ronny.
"Ajie Busyet. Bukan gila benar. Tapi ini si
memang bener-bener gila!" Sambung Vino.
Tawa riuh memenuhi kelas II-9.
3 DENDAM PANGERAN MATAHARI
KEMBALI ke jembatan penyeberangan di
depan gedung Sarinah. Ketika melihat Pangeran
Matahari lancarkan serangan berupa tendangan
maut ke dada, si Pelawak Sinting goyangkan ke-
rincingan di tangan kirinya lalu melompat ke
samping. Punggungnya menabrak pagar besi. Se-
perti membalik tubuh kakek ini mental ke depan.
Bersamaan dengan itu dia hantamkan kerincin-
gannya ke kaki kanan lawan yang menendang
tempat kosong. Walau cuma sebuah kerincingan kaleng,
tapi di tangan kakek seperti Si Pelawak Sinting
benda itu bisa berubah menjadi senjata sangat
berbahaya. Pangeran Matahari cepat tarik kaki
kanannya. Dengan mengandalkan daya lenting
pada kaki kiri murid Si Muka Bangkai ini melom-
pat ke atas. Bergayut pada palang besi pengaman
jembatan lalu melayang turun sambil lancarkan
tendangan berantai dengan dua kaki, luar biasa
cepat dan hebatnya.
Pelawak Sinting yang tahu bahaya segera
melompat tiga langkah ke belakang. Tangan kiri
yang memegang kerincing diangkat ke atas untuk
melindungi kepala. Tangan kanan yang meme-
gang kayu kecil penabuh gendang bergerak me-
lempar. "Trang!"
Kerincingan di tangan kiri Pelawak Sinting


Boma Gendeng 5 Topan Di Borobudur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hancur berantakan. Walau kepalanya selamat da-
ri tendangan namun kakek ini terpental hampir
satu tombak ke arah ujung jembatan penyebe-
rang. Tangan kirinya terasa sakit. Tulang lengan-
nya seperti melesak masuk ke dalam siku.
"Kraak!"
Kayu kecil penabuh gendang yang dilem-
parkan si kakek ke arah tenggorokan dengan mu-
dah dipukul patah dan mental oleh Pangeran Ma-
tahajri. Kesal serangannya lagi-lagi gagal Pange-
ran Matahari nekad memburu lawan. Sambil me-
layang turun dia lepaskan satu pukulan tangan
kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun
Pelawak Sinting berhasil menyusup ke depan
sambil sodokkan payung kertas.
"Bukk!"
"Brett!"
"Ngekk!"
"Braaakk!"
Kepala payung kertas yang dalam keadaan
tidak terkembang itu mendarat tepat di ulu hati
Pangeran Matahari. Baju sang Pangeran robek
besar. Dari mulutnya menyembur suara gusar
seperti orang mau muntah. Begitu kakinya men-
ginjak lantai jembatan tubuhnya terhuyung dua
langkah. Di samping kiri pagar besi pelindung jem-
batan jebol dihantam pukulan tangan kosong
Pangeran Matahari. Saat itu pada ke dua ujung
jembatan penyeberang orang banyak mulai berke-
rubung menyaksikan perkelahian itu. Ini satu
pemandangan yang tidak pernah terjadi.
Dua orang berkelahi di atas jembatan pe-
nyeberang. Dan kedua-duanya berpakaian aneh.
Tadinya orang-orang itu hanya hendak melintas.
Namun melihat apa yang terjadi mereka memilih
tetap berdiri memperhatikan dari kedua ujung
jembatan. "Murid tolol! Hanya menghadapi tua bang-
ka bau tanah itu saja kau tidak mampu!"
Pangeran Matahari mendengar suara gu-
runya Si Muka Bangkai memaki. Membuat telin-
ganya panas dan darah amarah menggejolak. Ra-
hang menggembung, pelipis bergerak.
"Guru, jangan kawatir! Bangsat tua ini
akan kuhabisi saat ini juga!"
Setelah keluarkan ucapan itu Pangeran
Matahari tekuk lutut kirinya sedikit. Tangan ka-
nan diangkat ke atas. Jari-jari membentuk kepa-
lan. Tiba-tiba kepalan itu memancarkan cahaya.
Murid Si Muka Bangkai dari puncak Gunung Me-
rapi ini siap melepas pukulan sangat berbahaya
yakni pukulan Gerhana Matahari.
Si Pelawak Sinting sebelumnya tidak per-
nah berhadapan dengan Pangeran Matahari dan
tidak tahu jenis pukulan sakti apa saja yang dimi-
liki lawan. Namun dari kepalan yang memancar-
kan sinar aneh kakek ini maklum kalau Sang
Pangeran hendak melepaskan satu pukulan dah-
syat. Maka tidak tunggu lebih lama dia pindahkan
payung kertas ke tangan kiri, langsung dikem-
bangkan. Tangan kanan diangkat ke atas, meng-
gantung di udara di sisi kanan. Tenaga dalam di-
alirkan penuh pada payung dan tangan kanan.
Dua kaki menginjak lantai besi jembatan penye-
berang laksana dua tiang batu yang kokoh.
Tiba-tiba Pangeran Matahari keluarkan
bentakan keras. Bersamaan dengan itu dia hen-
takkan tangan kanannya ke depan. Di belakang,
Si Muka Bangkai yang gatal tangan dan ingin bu-
ru-buru melihat kematian Si Pelawak Sinting tiba-
tiba melompat ke belakang muridnya. Telapak
tangan kanan ditempelkan ke punggung Pangeran
Matahari. "Wuuttt!"
Satu gelombang angin menderu ganas. Tiga
cahaya, kuning, merah dan hitam berkiblat mela-
brak ke arah Si Pelawak Sinting. Orang banyak
yang menyaksikan kejadian ini pada dua ujung
atas jembatan penyeberang keluarkan seru terta-
han. Yang berdiri di belakang si kakek serta merta
berserabutan lari menuruni tangga. Takut terkena
sambaran tiga cahaya aneh menggidikkan
Si kakek tidak tinggal diam. Payung kertas
di tangan kiri diputar demikian rupa. Cahaya ke-
coklatan berbentuk lingkaran bergelung di udara
melindungi dirinya pada sisi sebelah kiri. Semen-
tara dari tangan kanan si kakek yang dihantam-
kan ke arah lawan, menderu angin deras men-
gandung tenaga dalam tinggi.
Cahaya merah, kuning dan hitam serangan
Pangeran Matahari disambut oleh cahaya kecok-
latan tangkisan Si Pelawak Sinting.
"Dess.... dess... dess!"
Tiga letupan yang tidak begitu keras meng-
gema di atas jembatan. Si Pelawak Sinting berse-
ru kaget ketika melihat bagaimana tiga cahaya
pukulan sakti lawan menggulung cahaya coklat
pukulan penangkis yang dilepaskannya. Lalu!
"Braaakk!"
Kipas kertas di tangan kiri Si Pelawak Sint-
ing hancur bertaburan. Berubah menjadi kepin-
gan-kepingan terbakar. Pukulan mengandung te-
naga dalam tinggi yang dilepaskannya dengan
tangan kanan terpental ke samping begitu ber-
benturan dengan kekuatan pukulan Gerhana Ma-
tahari. Membuat jebol dan hangus pagar pelin-
dung jembatan seluas hampir dua meter persegi.
Di ujung jembatan di belakang si kakek, tiga ca-
haya pukulan Gerhana Matahari menghantam
tiang-tiang besi dan pagar pengaman jembatan
hingga amblas merah dan mengepulkan asap.
Si Pelawak Sinting sendiri terpental ke
ujung jembatan penyeberang. Sebagian pakaian
dan tubuhnya tampak hangus. Sosok kakek ini
kemudian menggelinding di tangga, jatuh terka-
par di lantai besi pertengahan tangga. Sebelum
orang datang bertambah banyak Pangeran Mata-
hari dan Si Muka Bangkai segera lari tinggalkan
tempat itu. Sebenarnya tenaga dalam dan kesaktian
yang dimiliki Si Pelawak Sinting masih cukup
ampuh untuk menghadapi serangan Pangeran
Matahari. Kalaupun dia kalah akibatnya tidak
akan separah seperti yang dialaminya saat itu.
Bencana ini terjadi karena Si Muka Bangkai telah
menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya ke tu-
buh muridnya sehingga tenaga dalam Pangeran
Matahari jadi berlipat ganda.
Di pertengahan jembatan orang banyak
berkerumun berdesakan berusaha melihat sosok
Si Pelawak Sinting. Beberapa orang diantaranya
adalah Aming dan kawan-kawannya.
Aming memegang lengan kawan di sebe-
lahnya. Lalu berbisik dengan suara gemetar.
"Ben, ini kakek yang kita temuin di tangga
kafe tadi," Aming mengenali.
"Berarti dia bukan setan buruh yang mati
jatuh itu..."
Benny teman Aming mengangguk. "Tapi
gua kira sekarang dia udah jadi setan benaran.
Ayo kita pergi aja. Bisa-bisa nanti ditanyain Poli-
si..." Beberapa petugas Kepolisian berdatangan beberapa saat kemudian. Salah
seorang dari mereka membawa handy talky. Dengan pesawat ko-munikasi ini anggota
Polisi itu menghubungi jaja-
ran Kepolisian terdekat, ambulans serta Kodim
sementara jembatan penyeberangan itu semakin
padat oleh kerumunan orang yang ingin tahu apa
yang telah terjadi.
*** AMBULANS itu meluncur sepanjang Jalan
Thamrin menuju RS Cipto. Seorang petugas Polisi
duduk di sebelah depan samping pengemudi. Di
dalam ambulans sosok Si Pelawak Sinting terbu-
jur tak bergerak, pingsan berat. Mungkin juga da-
lam keadaan sekarat. Satu-satunya pertolongan
yang bisa diberikan petugas ambulans adalah me-
letakkan selang oksigen dibawah hidungnya. Se-
belumnya petugas berusaha memberikan infus.
Tapi berkali-kali dicoba, di tangan maupun di ka-
ki jarum infus tidak bisa menembus kulit si ka-
kek "Orang tua aneh," kata petugas ambulans yang duduk dibagian belakang
kendaraan berdua
dengan temannya. "Jarum infus tidak bisa me-
nembus kulitnya. Waktu tadi saya paksakan ja-
rum infus malah bengkok..."
"Mungkin dia punya ilmu kebal," menyahut
petugas satunya. "Yang saya lihat aneh justru celaka yang dia alami. Tidak ada
api, tapi tubuhnya
hangus. Hangusnya cuma sebelah. Korban kece-
lakaan seperti ini biasanya bikin susah kita saja.
Tidak ada KTP. Tidak ada identitas sama sekali..."
Sambil berkata petugas ini memandang ke luar
lewat kaca belakang. Saat itulah dia melihat se-
suatu. Segera dia memberi tahu temannya.
Di tengah keramaian lalu lintas jalan raya
sekitar jam delapan malam itu seorang kelihatan
berdiri sepanjang tepi jalan, berusaha mengejar
ambulans yang membawa Si Pelawak Sinting.
Sambil berlari orang ini tiada hentinya mengelua-
rkan ucapan. Memanggil-manggil.
"Labudung.... Labudung. Tunggu aku... La-
budung!" "Lihat, ada orang lari. Kayaknya ngejar
mobil ini." petugas ambulans yang duduk sebelah belakang memberi tahu.
Kawan yang diberi tahu melihat keluar.
Memperhatikan, lalu memandang pada sosok ka-
kek yang terbujur di depannya.
"Aneh lagi..."
"Ada apa?"
"Coba kau perhatikan. Orang yang lari ke
arah mobil itu, ciri-cirinya persis sama dengan
kakek yang ada dalam ambulans ini. Lihat pa-
kaiannya, wajahnya...."
Menjelang Bundaran Ha. arus lalu lintas
yang padat membuat ambulans terpaksa terpaksa
meluncur perlahan. Walau Sirine dibunyikan dan
lampu merah dinyalakan namun kepadatan lalu
lintas sulit diterobos. Sementara itu orang yang
mengejar semakin dekat ke ambulans.
"Kayaknya bakal ada yang tidak beres. Be-
ri tahu Polisi di depan."
Kaca pemisah ruang pengemudi dengan
bagian belakang ambulans digeser.
"Pak... Pak...!"
"Kraaakk!"
Kunci pintu belakang ambulans berderak
patah karena dibuka paksa. Seorang kakek ber-
pakaian kumal, membawa kerincingan, gendang
dan payung kertas melompat masuk ke dalam
ambulans. Dua petugas berteriak. Pengemudi
ambulans hentikan kendaraan. Polisi di sebelah
depan melompat ke luar. Ketika petugas ini sam-
pai di bagian belakang kendaraan, sosok kakek
yang sebelumnya terbujur dalam ambulans tidak
ada lagi. Dua petugas ambulans berteriak sambil
menunjuk-nunjuk ke seberang jalan,
"Dibawa lari Pak! Kakek dalam mobil diba-
wa lari!" Anggota Polisi memperhatikan ke arah
yang ditunjuk. Di arah jalan yang menuju ke Blo-
ra dia melihat ada orang berlari cepat sekali sam-
bil memanggul sesosok tubuh di bahu kirinya. Ti-
dak tunggu lebih lama lagi anggota Polisi ini sege-
ra lari mengejar. Para pengemudi mobil yang ter-
kejut karena jalannya mendadak terhalang oleh
orang yang lari sambil memanggul sesosok tubuh
dan terhalang oleh Polisi yang mengejar membu-
nyikan klakson berulangkali. Banyak pengemudi
mobil memperlambat atau menghentikan kenda-
raan mereka karena ingin tahu apa yang terjadi.
Copet bukan, todong juga bukan. Aneh keliha-
tannya. Ada Polisi mengejar seorang kakek yang
lari sambil mendukung sosok seorang tua! Untuk
beberapa lamanya jalan menjadi macet.
Di mulut Jalan Blora anggota Polisi yang
mengejar kehilangan jejak orang yang dikejarnya.
Dengan nafas tersengal petugas ini kembali ke
ambulans. Dia meminta pengemudi ambulans
menuju Pos Polisi terdekat.
4 WADAM TAMAN LAWANG
KAKEK berpakaian kumal itu lari seperti
bayangan setan menyusuri rel kereta api. Sepan-
jang jalan dia terus-terusan berucap. "Labu-
dung... Labudung jangan mati. Jangan mati sebe-
lum kau memberi tahu diriku. Siapa memperla-
kukan dirimu seperti ini. Labudung... Labu-
dung..." Di satu tempat gelap si kakek hentikan la-


Boma Gendeng 5 Topan Di Borobudur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rinya. Dia merunduk memperhatikan wajah Si Pe-
lawak tinting yang dipanggulnya sambil jari-jari
tangannya memegang urat besar di leher kakek
itu. Memang masih terasa denyutan nadi. Tapi
perlahan sekali dan terputus-putus.
"Labudung. Jangan mati! Beri tahu aku
siapa yang berbuat jahat padamu!"
Kakek itu memandang ke ujung rel di bela-
kangnya. Kawatir ada orang yang mengejar dia la-
ri kembali. Cukup jauh berlari, di bawah satu po-
hon besar antara rel dan kali dia kembali berhen-
ti. Kakek ini tidak tahu di tempat apa dia sebe-
narnya saat itu berada. Tempat itu adalah kawa-
san Taman Lawang tempat mangkalnya para Wa-
dam Ibukota. Apa lagi malam itu malam Minggu.
Jumlah wadam yang beroperasi di tempat itu le-
bih ramai dari malam-malam hari biasa.
Sosok kakek yang dipanggul diturunkan,
dibaringkan di tanah lalu orang tua ini tempelkan
dua tangannya di dada Si Pelawak Sinting. Perla-
han-lahan dia alirkan hawa sakti.
"Labudung, adikku.... Bangunlah... sadar-
lah. Bicara padaku. Katakan padaku siapa yang
memperlakukanmu begini rupa."
Begitu hawa sakti masuk ke tubuhnya, Si
Pelawak Sinting yang tengah sekarat seolah men-
dapat kekuatan, perlahan-lahan membuka mata.
"Labudung... Labudung adikku..."
"Si... siapa yang memanggil na...namaku?"
Pelawak Sinting keluarkan ucapan. Suaranya per-
lahan dan terputus-putus.
"Ah... syukur... Syukur kau sadar. Labu-
dung, aku Labodong, kakak kembarmu." Kakek
bernama Labodong letakkan kepala Si Pelawak
Sinting di pangkuannya. Rupanya orang yang te-
lah melarikan Si Pelawak Sinting adalah kakak
kembarnya sendiri.
"Labodong.... Kaa...kau ada di sini" Ki...kita dimana?"
"Ya, aku Labodong kakak kembarmu. Mu-
kamu rusak begini. Didempul satu truk juga tak
bakal utuh. Dengar adikku, kau tak usah bicara
banyak. Cukup memberi tahu siapa yang mence-
lakai dirimu seperti ini!"
Labudung alias Si Pelawak Sinting kum-
pulkan sisa tenaga yang ada, baru menjawab.
"Seolang pem...pemuda. Beljul... juluk Pan-
gelan Matahali. Dia... dia tidak sendili. Dia meng-
hantamku belsama gulunya. Kakek muka putih
Beljuluk Si Muka Bangku. Eh bukan, bukan
bangku. Tapi Bangkai... Si Muka Bangkai...."
Suara Si Pelawak Sinting terputus.
Dua matanya tertutup.
"Labubung! Jangan mati!" teriak Labodong.
"Labod... Labodong. Kenapa kau jadi baik
tel... telhadapku?" Si Pelawak Sinting alias Labudung bertanya tanpa membuka
kedua matanya. "Adikku, jangan kau berkata begitu. Sema-
sa di Latanahsilam aku memang sering berbuat
kurang ajar, mengotori namamu dengan berbagai
perbuatan jahat. Aku sering mencemarkan na-
mamu, memalsukan diri mengaku sebagai Si Pe-
lawak Sinting untuk mencari keuntungan sendiri.
Tapi hari ini aku bertobat. Benar-benar mengaku
salah..." Suara Labodong bercampur isak.
"Kak, kakak.... Sebelum mati aku ada satu
permintaan..."
"Katakan adikku. Ucapkan..." kata Labo-
dong sambil membelai rambut kusut masai adik
kembarnya. "Seolang nenek sakti belnama ... Sin... Sin-
to Gendeng...pel...pelnah mengikat janji untuk
kawin denganku. Kalau aku mati, cal... cali nenek
itu. Wakilkan diliku menjadi sua.... suaminya."
Labodong tersentak kaget. Isakannya lang-
sung berhenti dan matanya yang tidak kalah be-
lok dengan saudara kembarnya kelihatan bertam-
bah mendelik. "Apa kau bilang adikku" Kau menyuruh
aku mewakili dirimu kawin dengan... dengan sia-
pa?" "Namanya Sinto Gendeng. Kau... kau tak
akan menyes... menyesal kawin dengan nenek
itu... Kakak, jang...jangan kau belani menolak
pel...pelmintaanku..."
Labodong menahan nafas. Dia geleng-
geleng kepala berulangkali. "Jangan meno-
lak...jangan menampik. Kau... kau halus lakukan
hal itu. Kau hal... halus kawin dengan Sin... Sinto Gendeng..."
"Labudung, aku tidak kenal nenek itu. Ba-
gaimana orangnya aku tidak pernah melihat"
"Gam... gampang mencalinya. Kalau berte-
mu kau pasti tahu itu olangnya. Di... di kepalanya
ada lima tusuk konde pelak. Lalu... lalu olangnya
bau pesing..."
"Ah...." Labodong tersentak, suaranya se-
rak. "Satu lagi pelmintaanku, Kakak..."
"Ya... ya. Katakanlah."
"Kau halus meneluskan jalan hidupku di
kota ini. Jadilah pengamen. Kau bakal banyak
uaang. Halap kau menghapal baik-baik Kopi
Dangdut..."
"Kopi Dangdut" Binatang apa itu?" tanya
Labodong. "Itu bu... bukan binatang. Tapi nyanyian.
Lagu dangdut. Banyak olang suka. Kalau kau bi-
sa nyanyikan itu sebagai pengamen kau bakal
mudah dapat uang."
"Ya... ya... aku akan hapalkan nyayian itu,"
kata Labodong pula yang mengiyakan saja uca-
pan saudaranya yang sedang sekarat itu karena
tidak mau bicara berpanjang-panjang. Tapi tiba-
tiba dia ingat sesuatu. "Labudung, mengapa aku musti menghapal Kopi Dangdut.
Bukannya Tenda Biru..." Rupanya Labodong pernah juga mendengar nyanyian Tenda
Biru yang populer dibawakan
penyanyi Dessy Ratnasari itu.
"Jangan... Tenda Bilu bukan lagu dang-
dut," ucap Si Pelawak Sinting. Lalu sambungnya.
"La... lagi pula lagu itu tidak cocok untukmu.
Tenda Bilu lagu olang putus cinta, diting... tinggal kawin kekasih. Padahal...
kau... kau tidak ditinggal kawin, malah mau.. mau kawin sama Sinto
Gendeng..."
Labodong hanya bisa goleng-goleng kepala
mendengar kata-kata adik kembarnya itu.
"Kak, aku pelgi Kakak. Jangan lupa, laksa-
nakan niat kawin dengan Sin... Sin..."
Suara Si Pelawak Sinting terputus. Kepa-
lanya terkulai.
"Labudung! jangan mati! Biar kau saja
yang kawin dengan nenek bau pesing itu..." Labodong goncang tubuh adiknya.
Tiba-tiba kepala Si Pelawak Sinting yang
barusan terkulai bergerak tegak kembali.
"Eeeh, Labudung, adikku... Kau... kau ti-
dak jadi mati?" Suara Labodong bertanya serak.
Matanya melotot.
"Ada yang kelupaan, Kak. Ada yang kel...
kelupaan..."
"Apa" " tanya sang kakak kembar.
"Aku punya jimat. Dibungkus kain hitam.
Akan.... akan kubelikan padamu..."
"Adikku, jangan pikir segala jimat..."
"Ini bukan jimat sembalangan. Halap kau
suka mengambil sendili..."
Tidak mau menolak permintaan adiknya
yang tengah sekarat Labodong berkata. "Baik,
akan kuambil. Dimana kau menyimpannya" Da-
lam saku pakaian...?"
"Bu... bukan... Bukan di situ... Jimat itu
aku sim... simpan di bawah pelut, di selang... se-
langkanganku. Masukkan tanganmu ke celanaku.
Kau pasti menemukan. Begitu kau pegang lekas
kau sentakkan. Kau copot! Begitu dapat tempel-
kan di se... selangkanganmu..."
"Gila!" maki Labodong dalam hati. Dia go-
leng-goleng kepala. Walau tidak suka tapi Labo-
dong terpaksa ikuti permintaan adik kembarnya
yang mau mati itu. Dia susupkan tangannya ke
dalam celana sang adik. Tangan itu meraba-raba,
bergerak-gerak mencari-cari.
Sepasang mata Si Pelawak Sinting keliha-
tan meram melek seperti orang keenakan.
"Sud... sudah kau dapatkan jim...jimat itu
Labodong?"
"Kurasa sudah" jawab sang kakek.
"Tunggu apa lagi. Lek... lekas kau betot..."
"Baik, akan aku lakukan," kata Labodong
pula. Tangannya yang didalam celana digerakkan
menyentak. "Aduh!" Labudung menjerit keras. "Gila
kau! Teganya kau menyakiti diliku yang sudah
mau mati ini!"
"Gila bagaimana"!" teriak Labodong. "Kau tad yang menyuruh betot!"
"Yang balusan kau betot bukan jimat. Ta...
tapi bijiku! Huah sakitnya! Untung tidak copot!"
"Hah"!" Labodong kaget ada, kasihan ada,
ge1i juga ada. Tangannya bergerak lagi. Akhirnya dia ber-
hasil meraba sebuah benda kecil, terasa hangat-
hangat basah. Hati-hati benda ini ditariknya.
Benda yang satu ini memang jimat benaran. Begi-
tu jimat yang terbungkus kain hitam itu lepas da-
ri tubuh Si Pelawak Sinting Labudung, kepalanya
kembali terkulai. Sekali ini nafasnya ikut me-
layang. "Labudung....!" Labodong terpekik. Dia ta-hu kalau kali ini adik kembarnya itu
benar-benar sudah meninggal. Labodong peluk tubuh Labu-
dung. Tubuhnya berguncang menahan ledakan
tangis Pada saat itu tiba-tiba dari balik pohon
muncul seseorang. Lalu ada suara menegur. Sua-
ra itu terdengar merdu menyerupai suara perem-
puan tapi agak besar.
"lihh... Siapa yang main di tempat terang
begin. Gila kali! "
Sambil terus memeluk tubuh adiknya La-
bodong angkat kepala. Kakek ini terkejut karena
tak mengira yang menegur adalah seorang pe-
rempuan muda berkulit putih, bertubuh tinggi
semampai, berambut pirang sebahu, berwajah
cantik sekali seperti Indo. Si cantik ini mengena-
kan rok super mini hingga dari tempatnya duduk
menjelepok di tanah memeluk saudaranya, Labo-
dong dapat melihat bagian teratas dua paha si
cantik. Si cantik ini mengenakan blus yang po-
tongannya begitu indah dan terbelah di sebelah
tengah membuat dadanya yang besar putih keli-
hatan jelas menyembul kencang dan menantang.
"Idih opa-opa! Gila!" kata si cantik begitu melihat Wajah Labodong. Lalu cepat-
cepat si cantik ini yang bukan lain adalah wadam Taman La-
wang tinggalkan tempat itu. Dia pergi menemui
seorang temannya. Memberi tahu kalau ada ka-
kek-kakek lagi main di bawah pohon sana.
Setelah ditinggal sendiri bersama jenazah
adiknya Labodong berkata. "Labudung adikku,
aku terpaksa meningalkanmu. Aku ingin memba-
wamu, menguburmu di satu tempat. Tapi kau ta-
hu sendiri aku tidak tahu segala urusan pema-
kaman. Lagipula kabarnya tanah makam cukup
mahal di Jakarta ini. Dan... dan tidak ada jami-
nan tidak bakal digusur di kemudian hari.
Hik...hik.. hik. Jadi sebaiknya kau mati menurut
cara orang di negeri kita sana. Kembali ke tanah
asal leluhur kita. Aku pergi adikku. Selamat ting-
gal... Selamat jalan."
Perlahan-lahan Labodong turunkan kepala
adik kembarnya dari pangkuan. Lalu dia bangkit
berdiri. Setelah pandangi Si Pelawak Sinting un-
tuk terakhir kali dia segera tinggalkan tempat itu.
Tak lama setelah Labodong pergi terjadi
suatu keanehan dengan sosok mayat Si Pelawak
Sinting. Kakek yang berasal dari Latanahsilam
Negeri 12 ribu tahun silam ini tubuhnya perla-
han-lahan berubah seolah leleh. Lelehan berubah
menjadi cairan putih kental yang menggenang di-
tanah. Wadam yang tadi melihat Labudung di ba-
wah pohon menemui seorang temannya, membe-
ritahu apa yang barusan dilihatnya.
"Ada kakek maen sama teman kita" Ah,
kau bohong aja!"
" Swear deh sial tujuh turunan. Gue sampai ngibrit ngeliatnya." Sang wadam pakai
bersumpah tujuh turunan segala. Padahal satu turunan saja
tidak bakalan punya. "Ih, gila juga! Teman kita siapa" Biasanya sih si Angela
yang suka Slordeg, suka ngambil langganan sembarangan. Kalau ike
sama kakek-kakek prei dulu la yaouw! Siapa yang doyan terong bonyok. Ike rasa
pasti deh Si Angela."
"Nggak tau. Nggak keliatan. Abis dikekepin
terus. Lagian gelap. Kalo nggak percaya ayo kita
liat barengan."
Ketika dua orang wadam itu sampai di ba-
wah pohon mereka hanya menemui genangan cai-
ran putih kental di tanah.


Boma Gendeng 5 Topan Di Borobudur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mana, kok nggak ada siapa-siapa" Ah,
bener 'kan" Lu bohong aja!" Kata wadam yang diajak temannya. Lalu wadam ini
melihat cairan putih kental yang menggenang di tanah. Dia
membungkuk. Lalu menjerit perlahan. "Iiihhhh....
gila! Kok bisa banyak begini. Ampe seember.
Ihhh...." Wadam satunya memandang berkeliling
terheran-heran.
"Aneh, tadi ada disini. Berduaan. Asyik
banget. Gue liat si kakek masih bisa goyang kok!
Nafasnya gue dengar sampai ngosngosan!" pa-
dahal goyang dan ngosngossannya si kakek Labo-
dong yang dilihat wadam ini adalah getaran dan
sesak nafas karena menahan isak tangis yang
mau meledak. Tiba-tiba genangan cairan putih kental be-
rubah menjadi asap. Bau aneh seperti bau keme-
nyan terbakar memenuhi tempat itu. Dua orang
wadam tadi terkejut pucat.
"Mira.... Mira," bisik wadam satunya me-
nyebut nama temannya. "Jangan-jangan yang gue
liat tadi setan rel kereta..."
"Aduh mami, ike jadi pengen pipis!"
Dua wadam sama-sama memekik lalu ter-
birit-birit tinggalkan tempat itu.
5 RENCANA PEMBUNUHAN BOMA
JAM 03.00 dinihari, menjelang pagi hari
Minggu. Lopo Tuak "Tao Toba" dalam keadaan gelap dan sepi. Satu-satunya penerangan
adalah nyala lampu 10 watt di bagian luar, tergantung di ba-
wah atap. Pemilik lapo dan anak istrinya tertidur nyenyak di bagian belakang
bangunan papan kedai minuman itu. Tidak mengetahui kalau dalam
kedai ada dua orang tamu gelap asyik menjarah
tuak. Tamu pertama seorang kakek duduk di
ujung meja sebelah kiri. Berpakaian rombeng se-
perti pengemis. Saat itu dia telah menghabiskan
tiga botol besar tuak. Orang biasa jika minum se-
banyak itu kulit wajahnya akan menjadi merah.
Tapi orang ini walau dalam gelap, mukanya keli-
hatan putih pucat dan angker. Dia bukan lain
adalah dedengkot golongan hitam rimba persila-
tan Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat.
Di hadapan Si Muka Bangkai, di ujung me-
ja sebelah kanan duduk muridnya. Pangeran Ma-
tahari. Pendekar jahat yang dijuluki Pangeran segala cerdik, segala akal, segala
ilmu, segala licik, segala congkak, musuh bebuyutan Pendekar 212
Wiro Sableng, murid nenek sakti Sinto Gendeng
dari puncak Gunung Gede.
Sang Pangeran seka mulutnya dengan be-
lakang telapak tangan, memandang pada gurunya
lalu berkata. "Guru, dari tadi kau diam saja. Mukamu
kelihatan asam. Ada sesuatu yang kau jengkel-
kan. Apa kau tidak senang kalau hari ini aku
berhasil membunuh seorang manusia tua bangka
keparat yang selama ini telah membuat kita su-
sah?" Si Muka Bangkai tidak segera menjawab.
Dia mengambil botol tuak keempat, menenggak
isinya sampai ludas lalu tertawa mengekeh.
"Jangan terlalu sombong dengan apa yang
telah kau lakukan hari ini. Si Pelawak Sinting
yang kau bunuh hanyalah mahluk tak berguna
dari negeri duaribu dua ratus tahun silam..."
"Guru, apa kau lupa" Gara-gara bangsat
itu semua urusan jadi berantakan. Dia yang men-
curi Batu Penyusup Batin yang kau berikan pa-
daku. Walau kemudian kau mengakui batu itu
cuma batu palsu. Apa semua yang terjadi ini bu-
kan kualat karena kau menipu diri sendiri dan
menipu muridmu ini?"
"Murid kurang ajar! Setiap aku berbuat se-
suatu. Ada sebabnya1" bentak Si Muka Bangkai
dengan nada marah sekali karena si murid men-
gungkit-ungkit soal batu palsu yang diberikannya
tempo hari. "Aku yang mengatur! Kau hanya jadi pelaksana! Ingat itu baik-baik!
Yang jadi sasaran
sebenarnya saat ini adalah anak lelaki bernama
Boma. Dan kau belum mampu berbuat sesuatu
apa terhadap anak itu!"
"Guru, aku sudah menyelidik. Aku sudah
tahu anak itu sekolah dimana. Dalam waktu be-
berapa hari ini aku akan menghabisinya."
"Dalam waktu beberapa hari. Mengapa be-
gitu lama?"
"Guru, aku punya firasat. Sejak beberapa
waktu belakangan ini ada seseorang menguntit
gerak-gerikku. Mungkin sekali Sinto Gendeng...!"
"Kalau kau tahu yang menguntitmu Sinto
Gendeng, apa kau kira akan bisa menghabisi
anak bernama Boma itu selama Sinto Gendeng ti-
dak kau habisi lebih dulu" Nenek Gendeng itu
adalah pelindung Boma. Mungkin telah menjadi-
kan anak itu sebagai muridnya. Mungkin juga dia
telah menyuruh muridnya Pendekar 212 Wiro
Sableng untuk berjaga-jaga. Bukankah aku dan
guruku pernah bilang bahwa ada seorang pemuda
yang hendak dijadikan sebagai Pendekar Tahun
2000 oleh orang-orang rimba persilatan golongan
putih. Aku hampir yakin anak bernama Boma itu-
lah orangnya! Pangeran tolol, kau harus me-
nyingkirkan Sinto Gendeng lebih dulu. Dendamku
padanya sudah berkarat. Mulai dari saat dia me-
rampas Batu Penyusup Batin. Lalu perbuatan kurang ajarnya menelanjangi guruku
Kunti Api tem- po hari. Jahanam!" Si Muka Bangkai gerakkan
sepuluh jari tangannya hingga mengeluarkan su-
ara bergemeletakan. "Kalau Sinto Gendeng sudah jadi satu dengan tanah! Kau mudah
saja menghabisi anak itu!"
"Guru, walau aku bilang Sinto Gendeng
menguntit, tapi secara nyata sulit melacak kebe-
radaannya. Nenek itu tidak beda dengan setan.
Dicari susah bertemu tapi tahu-tahu, secara
mendadak dia bisa saja muncul."
"Murid congkak tapi tolol!" sembur Si Muka Bangkai. "Aku tidak mau tahu segala
macam kesulitan yang kau hadapi. Kau aku gembleng den-
gan segala macam ilmu kepandaian justru untuk
menghadapi kesulitan. Aku hanya mau melihat
kau membawa kepala Sinto Gendeng ke hada-
panku!" Dua kali sang guru menyebutnya tolol di-
tambah congkak. Telinga dan hati Pangeran Ma-
tahari jadi panas.
"Guru, soal Sinto Gendeng bukan menjadi
tanggungjawabku. Itu adalah tanggung jawabmu.
Bukankah nenek itu keluar dari sarangnya gara-
gara dulu kau dan kekasih gelapmu Nyi Ragil
membunuh Datuk Mudo Carano Ameh sepupu
Tua Gila, kekasih Sinto Gendeng!"
"Pangeran setan kurang ajar! Jangan kau
menuduh aku berbuat mesum dengan Nyi Ragil!
Jangan kau menuduh aku membunuh Datuk sia-
lan itu. Nyi Ragil yang membunuh saudara sepu-
pu Tua Gila itu karena dia punya dendam terha-
dap Sinto Gendeng. Nenek keparat dari puncak
Gunung Gede itu di masa mudanya pernah mere-
but kekasih Nyi Ragil!" (Kisah terbunuhnya Datuk Mudo Carano Ameh bisa diikuti
dalam serial Wiro
Sableng berjudul "Si Cantik Dalam Guci")
Pangeran Matahari menyeringai.
"Guru, kau boleh menyangkal. Tapi aku
tahu banyak hubunganmu dengan setan betina
bernama Nyi Ragil itu. Mulai dari perselingkuhan
sampai semua rencana dan perbuatanmu meng-
hancurkan para tokoh silat golongan putih," kata Pangeran Matahari berani
sekali. Sepasang mata cekung Si Mata Bangkai
memancarkan kilatan menggidikkan.
"Braaak!"
Si Muka Bangkai menggebrak meja kayu
di hadapannya. Empat kaki meja amblas sampai setengah
jengkal ke ubin lantai. Tapi luar biasa deretan bo-
tol-botol tuak yang ada di atas meja tidak satu-
pun yang roboh, bahkan bergoyangpun tidak!
"Pangeran Matahari! Jangan kau berani bi-
cara kurang ajar! Jangan kau berani menolak pe-
rintahku dengan membual segala macam ucapan
kotor! Jangan tunjukkan kesombongan dan ke-
cerdikan licik padaku! Saat ini aku masih dalam
berduka! Pendekar 212 Wiro Sableng telah mem-
bunuh Nyi Ragil Tawangalu!" (Kisah terbunuhnya Nyi Ragil Tawangalu alias Si
Manis Penyebar Maut
dapat pembaca ikuti dalam serial Wiro Sableng
pada Episode berjudul Kutukan Sang Badik yang akan segera terbit).
Sang murid yang punya sifat congkak ma-
na perdulikan duka cita Si Muka Bangkai. Dia
membuka mulut. "Guru..."
"Diam!" Bentak Si Muka Bangkai dengan
mata membeliak besar.
Sang murid jadi tergetar juga hatinya lalu
walau dia putar kepala memandang ke jurusan
lain tapi dimulutnya tersungging seringai seolah
mengejek sang guru.
Si Muka Bangkai teguk tuak dibotol beri-
kutnya sampai setengah. Sambil menyeka bibir
dia memandang ke luar kedai minuman lewat
jendela kawat. Dalam hati kakek ini membatin.
"Tak lama lagi pagi segera datang. Mengapa dia belum muncul juga?"
Tiba-tiba ada angin bertiup. Pintu kedai
terbuka. Sesosok tubuh, laksana bayangan setan
berkelebat masuk. Di lain kejap seorang nenek
bermantel biru tebal, berambut merah riap-riapan
tahu-tahu telah duduk di kursi di samping meja
sebelah kiri, antara Si Muka Bangkai dan Pange-
ran Matahari. Nenek ini punya sepasang mata
merah seperti menyala. Mukanya yang angker ter-
tutup dandanan tebal mencorong hingga tam-
pangnya kacau tidak karuan. Ketika dua tangan-
nya diletakkan di meja, kuku-kukunya yang pan-
jang-panjang juga kelihatan merah menggidikkan.
"Eyang Guru!" Seru Si Muka Bangkai begi-
tu melihat dan mengenali orang yang duduk di
sampingnya. "Nenek Guru!" Ucap Pangeran Matahari.
Si Muka Bangkai dan muridnya segera
bangkit berdiri dari kursi masing-masing lalu
membungkuk hormat dalam-dalam.
Si nenek bermantel biru berambut merah
riap-riapan yang dikenal dengan nama Kunti Api
dongakkan kepala lalu tertawa mengekeh.
"Aku lihat ada minuman enak di atas meja!
Mengapa kalian guru dan murid malah berteng-
kar dalam kenikmatan ini"!"
"Eyang, harap maafkan. Pangeran Matahari
muridku telah berani menolak perintah," berkata Si Muka Bangkai. Lalu kakek ini
jelaskan persoa-
lan yang tengah mereka hadapi. Dia juga mene-
rangkan kematian Si Pelawak Sinting yang dibu-
nuh Pangeran Matahari.
Si nenek goleng-goleng kepala.
"Aku melihat tidak ada masalah yang perlu
dipertengkarkan!" Kata Kunti Api pula.
Tampang Si Muka Bangkai berubah jadi
asam Pangeran Matahari sunggingkan senyum.
"Hai! Minuman apa yang tengah kalian
nikmati ini?"
Tiba-tiba Kunti Api bertanya sambil melotot
pandangi belasan botol besar di atas meja.
"Kami minum tuak Eyang." Jawab Si Muka
Bangkai. "Tuak" Enak?"
"Enak Eyang. Silahkan kalau mau menco-
ba." Si Muka Bangkai cepat mengambil botol
tuak yang masih penuh lalu menyerahkan pada
gurunya. Kunti Api sambuti botol, tengadahkan
kepala dan membuka mulut.
"Gluk...gluk...gluk"
Sebentar saja tuak satu botol besar itu lu-
das masuk ke dalam perutnya.
"Aahhh.... Memang enak. Sedap sekali. Tu-
buhku jadi hangat." Kunti Api seka mulutnya lalu mengekeh perlahan. "Dengar
kalian berdua. Anak lelaki bernama Boma itu harus kalian cari, harus
disingkirkan cepat-cepat jadi tugas utamamu
Pangeran Matahari! Aku menyirap kabar anak itu
akan berada di kawasan Candi Borobudur dua
minggu dimuka. Borobudur termasuk kawasan
Gunung Merapi, daerah kekuasaanmu! Kau harus
bisa membunuhnya dengan mudah di tempat itu.
Apa lagi Borobudur jauh dari Gunung Gede sa-
rangnya si nenek keparat Sinto Gendeng. Dia pas-
ti sulit mengetahui anak itu dalam bahaya. Tapi,
bagaimanapun juga, jika kau mampu menghabi-
sinya di sini lakukanlah! Makin cepat anak itu
mati makin baik! Mengenai Sinto Gendeng biar
aku mengatur kematian nenek keparat itu bersa-


Boma Gendeng 5 Topan Di Borobudur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ma gurumu! Dia pernah menelanjangi diriku se-
cara kurang ajar! Sebagai balasan aku bersumpah
akan mengelupas sekujur kulit muka dan tubuh-
nya!" Kunti Api pentang sepuluh jari tangannya yang memiliki kuku panjang
mengerikan. Selain
bisa mengeluarkan api, sepuluh kuku jari itu juga
bisa membeset lawan secara ganas mengerikan.
Si Muka Bangkai tatap mata muridnya le-
kat-lekat. "Pangeran Matahari, Eyang Guru telah be-
rucap. Apa jawabmu"!"
Pangeran Matahari rapatkan dua tangan di
depan kepala. Lalu berkata. "Guru, Nenek Guru, aku akan lakukan apa yang guru
dan Nenek Guru perintahkan."
"Kalau begitu kau tunggu apa lagi?" ujar Si Muka Bangkai pula.
Pangeran Matahari tatap wajah gurunya
sesaat. Rahangnya tampak mengembung dan pe-
lipisnya bergerak-gerak pertanda ada emosi berge-
jolak dalam dirinya. Sesaat kemudian, sambil
membawa sebotol tuak, tanpa berkata apa-apa
dia tinggalkan kedai minuman itu.
Begitu Pangeran Matahari lenyap dalam
kegelapan malam di luar sana Kunti Api berpaling
pada muridnya. " Suro Ageng Kalamenggolo," Kunti Api memanggil Si Muka Bangkai dengan nama
aslinya, "Mungkin karena Pangeran Matahari tahu kalau
kau bukan gurunya sebenarnya, hanya saudara
kembar Si Muka Bangkai yang asli. Maka dia ke-
lihatan begitu keras kepala terhadapmu."
Si Muka Bangkai menyeringai. "Walaupun
aku bukan gurunya yang asli, tetapi aku sejuta
layak dihormatinya sebagai guru. Aku tahu ba-
nyak tentang dirinya seperti aku mengenal dua
telapak tanganku sendiri. Sebaliknya dia tidak
tahu banyak mengenai diriku. Kalau dia berani
macam-macam aku akan membuat hidupnya
sengsara selama-lamanya...."
Si Muka Bangkai keluarkan ucapan seperti
itu tanpa mengetahui kalau saat itu sebenarnya
Pangeran Matahari sengaja menyelinap dibalik
dinding kedai minuman. Sepasang mata sang
Pangeran keluarkan kilatan menggidikkan. Serin-
gai setan bermain di mulutnya. "Kau tahu diriku, tapi kau tidak tahu hantu. Aku
juga bisa membuat dirimu sengsara seumur-umur. Kau bisa jadi
ular sanca. Tapi aku juga bisa jadi seekor ko-
bra..." Pangeran Matahari teguk tuak dalam botol sampai setengahnya lalu sekali
berkelebat sosok-
nya lenyap dalam udara malam menjelang pagi
yang dingin. Di kejauhan terdengar suara anjing
meraung panjang. (Dalam cerita silat Serial Wiro
Sableng diriwayatkan kematian Si Muka Bangkai
yang asli di tangan Bujang Gila Tapak Sakti. Harap baca Episode terakhir Wasiat
Iblis berjudul Kiamat Di Pangandaran).
*** JAM lima lewat, pagi hari Minggu itu seper-
ti biasanya Marihot Sinaga pemilik kedai tuak Tao
Boba telah bangun dari tidurnya. Turun dari ran-
jang dia ke kamar mandi dulu, baru pergi ke de-
pan. Begitu memasuki kedai pandangan matanya
langsung membentur deretan botol-botol tuak di
atas meja. "Hah"!" kejutnya. Setengah melompat dia
mendekat meja di tengah kedai. Tidak percaya
pada penglihatannya dia hidupkan lampu besar.
Terbelalak mata Marihot antara percaya dan ti-
dak. Belasan botol tuak bergeletakan dalam kea-
daan kosong di atas meja. Di tengah meja terletak
sebuah kendi terbuat dari tanah. Marihot Sinaga
mengangkat kendi tanah. Dibalikkannya. Tak ada
cairan yang keluar. Suara mengeram keluar dari
tenggorokan pemilik Lapo Tuak itu.
"Kosong! Tuak murniku!" Suara Marihot
Sinaga bergetar. Matanya membeliak garang me-
mandang seputar kedai.
Siapa yang datang" Siapa yang minum se-
mua tuak dalam botol ini" Juga tuak murni da-
lam kendi tanah" Dia ingat betul, sebelum tidur
semua meja telah dibersihkan. Tak ada tamu
yang datang untuk meminum. Dia sendiri yang
menutup, mengunci pintu kedai. Marihot paling-
kan kepala ke arah pintu kedai. Dilihatnya pintu
dalam keadaan terbuka.
"Apa ini" Kejadian apa ini"!" kata pemilik kedai tuak itu sambil melangkah
mengeliling meja
yang penuh dengan deretan botol kosong. Akhir-
nya dia terduduk disalah satu kursi.
Lalu dia mulai berteriak-teriak memanggil
istrinya. "Saroha! Saroha! Bangunlah kau! Lihat...
lihat apa yang terjadi di kedai kita! Ini gara-gara kau mengajak aku tidur
siang-siang. Maling masuk aku tak tahu! Maling jahanam! Habis tuakku
dijarahnya! Habis daganganku! Hancur modalku!
Sial besar! Saroha! Saroha!"
Yang muncul bukannya Saroha tetapi seo-
rang berpakaian seragam dan bertopi pet hijau.
Hansip. Mukanya kusam matanya kuyu tanda
baru bangun tidur.
" Tulang... Tulang, ada apa Tulang"!"
"Komang! Kau Hansip di sini! Kau menjadi
keamanan di sini"!"
"Tentu saja Tulang" jawab Hansip yang bernama Komang.
"Maling masuk lapoku! Menjarah habis
tuak di kedai ini! Kau tidak tahu! Apa saja kerja-
mu"!"
"Astaga" Masa' iyaa Tulang" Bagaimana mungkin"!"
"Bagaimana mungkin! Bagaimana mung-
kin! Lihat! Puluhan botol tuak pada kosong. Satu
kendi tuak murni habis dibantai maling itu! Se-
mua dihabisi di kedaiku! Kalau tahu aku siapa
orangnya kupancung batang lehernya!" teriak Marihot Sinaga. Diambinya guci tanah
di atas meja lalu dibantingkannya ke lantai di depan kaki Ko-
mang. Tak ampun lagi guci tanah itu hancur be-
rantak Komang melompat kaget. Waktu turun sa-
lah satu tumit sepatu botnya terpeleset. Tak am-
pun lagi Komang jatuh bergedebuk di lantai.
"Hanssip sial! Kau pasti tidur!" Teriak Marihot Sinaga. "Kau pasti molor!"
" Tulang, empat kali saya melintasi warung Tulang malam ini. Saya tidak melihat
siapa-siapa..."
"Empat kali atau sepuluh kali! Pantatlah
sama kau!" maki pemilik kedai tuak itu, Komang didorongnya keluar kedai. Pintu
kedai ditutupnya
dengan bantingan keras.
Di luar kedai Hansip Komang tegak terhe-
ran-heran. Sambil geleng-geleng kepala dia berka-
ta. "Aneh, ada maling kok bukannya nyikat te-
levisi tapi menengggak tuak! Ah! Jangan-jangan Si Tulang itu mabok. Dia sendiri
yang geludesin tuak, bilang ada maling. Sial, aku yang kena
damprat. Dibilang pantat!" Hansip itu akhirnya ngeloyor tinggalkan Lapo Tuak Tao
Toba. 6 BERITA DALAM SURAT KABAR MINGGU
MINGGU pagi Sumitro Danurejo sibuk
mengerjakan sablon lima ratus kaos oblong pesa-
nan langganan. Di dapur istrinya tengah mema-
sak. Bram pagi-pagi telah berangkat ke Bogor un-
tuk satu keperluan. Di kamarnya di tingkat atas
Boma belum mandi, baru saja selesai membaca
tiga surat kabar terbitan hari Minggu itu. Semua
memuat berita peristiwa perkelahian di Jembatan
penyeberangan di Jalan Thamrin, di depan ge-
dung Sarinah. Dalam berita disebutkan seorang
lelaki tua dan seorang pemuda mengeroyok sam-
pai mati seorang kakek pengamen. Dua penge-
royok lenyap melarikan diri. Diperkirakan ketiga
orang itu adalah orang-orang sakti dari "Banten".
Karena dalam perkelahian jelas terlihat sambaran
cahaya aneh setiap masing-masing melancarkan
serangan. Ciri-ciri dua pengeroyok telah diketahui
oleh pihak berwajib dan penyelidikan lebih lanjut
tengah dilakukan. Keanehan disusul dengan kea-
nehan lain. Ketika pengamen tua yang tengah se-
karat dilarikan dengan ambulans ke RSCM, di
tengah jalan muncul seorang lelaki tua yang ciri-
cirinya sangat sama dengan korban mengejar am-
bulans. Kakek misterius ini kemudian menculik
sosok kakek pengamen yang kemungkinan telah
jadi mayat lalu melarikannya ke arah Jalan Blora.
Polisi yang coba mengejar kehilangan jejak.
Lama Boma terduduk di ujung tempat ti-
dur, bersandar ke dinding. Kemudian kembali di-
ambilnya tiga surat kabar Minggu. Dibacanya sa-
tu persatu, perlahan-lahan dan hati-hati seolah
tidak mau satu katapun terlewat. Bagian yang di-
bacanya adalah mengenai ciri-ciri pengeroyok
yang muda. "Menurut saksi mata, salah seorang penge-
royok masih muda. Diduga berusia sekitar dua puluh lima tahun. Yang menarik dari
pemuda ini dia mengenakan pakaian serba hitam dengan gambar
gunung di dada kiri. Di punggungnya dia memakai sehelai mantel hitam seperti
mantel Superman. Berambut gondrong dengan kening diikat secarik
kain merah..."
"Berambut gondrong dengan kening diikat
secarik kain merah...." Boma mengulang memba-
ca kalimat itu sampai berkali-kali. Lalu anak ini
letakkan surat kabar di atas tempat tidur, melipat
kaki dan kembali bersandar ke dinding kamar di
belakangnya. Dua matanya memandang ke luar
kamar lewat jendela yang terbuka. Di ambang
jendela yang terbuka Boma seperti melihat
bayangan satu wajah nenek keriput, bermuka ce-
kung kulit hitam dengan lima tusuk konde dari
perak menancap sebagai hiasan dan juga sebagai
senjata di atas kepalanya.
"Aku jadi ingat nenek itu..." Boma berkata dalam hati. "Terakhir sekali muncul
di kamar ini, dia mengatakan sesuatu. Tentang seseorang yang
katanya... katanya hendak membunuhku..." Bo-
ma menowel hidungnya lalu tangannya bergerak
menyapu tengkuknya yang mendadak terasa din-
gin dan lembab oleh keringat. Dalam keadaan se-
pi itu Boma ingat hampir semua pembicaraan
dengan si nenek.......
"Anak Gendeng, Anak Setan dengar. Aku ti-
dak bisa lama-lama di tempat ini. Aku datang karena ada firasat dirimu dalam
bahaya..."
"Bahayanya sudah lewat Nek. Nenek tau
sendiri. Waktu saya dikeroyok orang, mau dibu-
nuh. Bukankah Nenek ikut menolong?"
"Bahaya yang sudah lewat perlu apa aku
urus. Yang aku maksud adalah bahaya yang bak-
al datang. Ada orang yang akan membunuhmu.
Petunjuk memberi tahu kau bakal dipateni di sekolahan. Besok kamu masuk
sekolah?" Boma mengangguk.
"Siapa orang jahat itu Nek" masih kawanan
lima pengeroyok itu?"
"Dia mahluk dari alamku. Dikenal dengan
nama Pangeran Matahari. Berpakaian serba hitam.
Ada gambar gunung dan matahari di dadanya. Dia
juga pakai mantel warna hitam. Kepalanya diikat secarik kain merah. Dia
Hikmah Pedang Hijau 2 Pengemis Tua Aneh Ouw Bin Hiap Kek Karya Kho Ping Hoo Naga Beracun 1
^