Pencarian

Keris Kutukan Iblis 1

Dewa Linglung 16 Keris Kutukan Iblis Bagian 1


Dia datang Sebagai seorang pendekar.
Dia aneh & bertindak seperti
orang linglung Para ksatria menyebut dia
Si DEWA LINGLUNG
Pendekar sakti yang
Digembleng 'lima' tokoh aneh
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
SATU Kecantikan istri Adipati Wukir Kamenda yang
baru dipersunting beberapa bulan yang lalu banyak
dibicarakan orang. Bukan saja dari kalangan Istana,
tapi juga sampai ke desa-desa.
Terutama disekitar Kadipaten.
Dewi Banondari, demikianlah nama wanita
yang cantik rupawan itu.
Sebenarnya Banondari adalah puteri seorang
Empu atau pembuat keris dari sebuah desa terpencil
dikaki gunung. Bagaimana perkenalannya sampai Adi-
pati Wukir Kamenda bisa mempersunting dara yang
cantik rupawan itu" Ternyata tidak terlalu berliku-liku.
Pada suatu hari sang Adipati menemukan se-
bongkah besi dilereng sebuah bukit ketika dalam per-
jalanan menuju Mataram. Bongkahan besi itu di sim-
pannya. Sekembali dari Mataram dia merenung dalam
kamar menimang-nimang besi itu. Terbetik dalam be-
naknya untuk membuat besi itu menjadi sebilah keris.
Keinginan itu disampaikan pada seorang bawa-
hannya, yaitu Tumenggung Kandilangu. Secara kebe-
tulan Tumenggung Kandilangu mengenal seorang Em-
pu yang berdiam di sebuah desa terpencil dikaki gunung di wilayah timur Kota
Raja. Maka diajaknya Adipati Wukir Kamenda ke
tempat sahabatnya itu.
Kandilangu adalah seorang laki-laki yang su-
dah cukup usia. Laki-laki itu berusia sekitar 40 tahun lebih. Adipati Wukir
Kamenda justru masih sangat
muda dibanding usianya, karena sang Adipati baru be-
rusia sekitar 20 tahun. Akan tetapi kemudian usia itu tidaklah menjadi
penghalang buat seseorang untuk
menjabat pangkat Adipati.
Apalagi pemuda itu masih keponakan Patih Ga-
jah Rono. Tumenggung Kandilangu sendiri tak menyang-
ka kalau sahabatnya Empu Tanuboyo mempunyai seo-
rang anak gadis yang sudah remaja. Bahkan berparas
cantik rupawan.
Demikianlah. Kunjungan yang secara tak ter-
duga itu telah membuat hati Adipati Wukir Kamenda
terpikat dengan kecantikan Banondari.
Keris belum lagi selesai dibuat, sang Adipati
langsung melamar gadis itu. Tak dapat dikatakan ter-
kejutnya Empu Tanuboyo. Sukar baginya untuk meno-
lak pinangan itu. Walaupun sebenarnya Banondari be-
lum berhasrat untuk menikah, tapi atas desakan
ayahnya terpaksa dia menerima pinangan Adipati Wu-
kir Kamenda. Pernikahan diadakan secara sederhana sekali.
Karena memang permintaan Empu Tanuboyo. Bebera-
pa hari kemudian Banondari diboyong ke Kadipaten.
Demikianlah, hingga sudah beberapa pekan ini
gadis gunung yang cantik rupawan itu telah menjadi
istri Adipati Wukir Kamenda...
Tampaknya sepasang pengantin baru itu amat
berbahagia. Terutama sekali adalah sang Adipati. Wajahnya
selalu cerah berseri-seri.
Demikian juga dengan Banondari sang gadis
desa anak Empu Tanuboyo itu.
Kini nama si jelita yang cantik rupawan itu te-
lah bertambah dengan sebutan Dewi Banondari. Se-
makin jelita dan anggun saja gadis yang sudah menja-
di istri Adipati itu.
Sekilas orang akan menyangka Dewi Banondari
sangat berbahagia. Betapa tidak" Suaminya seorang
abdi Kerajaan dan orang dari kalangan Istana. Kini dia bukan orang biasa lagi,
tapi orang yang termasuk golongan Ningrat. Berbeda dengan rakyat biasa.
Akan tetapi dibalik kebahagiaan itu ternyata
terselip sesuatu yang mengganjal perasaan gadis itu.
Perasaan itu hanya dia yang mengetahui. Dia memang
tak menunjukkan kemurungan wajahnya dihadapan
sang Adipati. Akan tetapi bila dia sedang sendirian didalam kamar, tampak dia
ter-mangu-mangu dengan
wajah murung. Kebahagiaan itu terasa lenyap dan dia
semakin dicekam perasaan hatinya.
Apakah yang menjadi keresahan sang Dewi Ba-
nondari" Ternyata dipelupuk mata gadis ini selalu ter-
bayang wajah seorang pemuda bernama Sucitro. Pe-
muda itu adalah seorang pekerja yang sehari-hari
membantu ayahnya. Empu Tanuboyo memang banyak
menerima pesanan membuat alat-alat atau senjata apa
saja. Sucitro seorang pemuda pendiam. Sudah sejak
berusia lima belas tahun dia tinggal bersama ayahnya.
Tentu saja selama itu Banondari sedikit banyak men-
getahui riwayat hidup pemuda itu. Dia seorang yatim
piatu. Tutur bahasanya yang baik dan sikapnya yang
sopan, serta perawakannya yang kekar membuat Em-
pu Tanuboyo tertarik pada Sucitro. Empu Tanuboyo
memang memerlukan seorang pembantu untuk me-
nempa besi-besi. Pekerjaan itu memakan tenaga besar.
Bahkan sebulan sekali dia harus mengantarkan ba-
rang pesanan ke kota-kota yang cukup jauh.
Untuk itulah maka Empu Tanuboyo merasa
kebetulan sekali bertemu dengan pemuda tanggung itu
yang pada waktu itu masih berusia sekitar lima belas
tahun. Dia merasa Sucitro orang yang sengaja diper-
temukan Tuhan untuk menjadi pembantunya. Maka
sejak itu Sucitro tinggal bersama Empu Tanuboyo, dan orang tua itu menganggapnya
sebagai anak sendiri.
Hampir lima tahun mereka hidup seperti se-
buah keluarga saja. Banondari telah menganggap Suci-
tro sebagai kakak kandung sendiri.
Akan tetapi walau bagaimanapun akhirnya Ba-
nondari dapat mengetahui kalau Sucitro menaruh cin-
ta padanya. Walau Sucitro tak pernah mengatakannya
secara terus terang. Tapi dari pandangan mata pemu-
da itu, Banondari dapat mengetahui.
Banondari sendiri belum dapat mengetahui
apakah dia juga mencintai Sucitro. Karena bagi seo-
rang gadis yang sehari-hari berdiam di rumah seperti dia tidak banyak pergaulan.
Apalagi tempat tinggal mereka dilereng pegunungan yang sunyi.
Ketika pondok mereka kedatangan tetamu dari
Kadipaten, yaitu Tumenggung Kandilangu dan Adipati
Wukir Kamenda, semakin jelas kelihatan Sucitro
menghindar. Bahkan ketika hari perkawinannya dengan
Adipati Wukir Kamenda, Sucitro menghilang entah
kemana. Hal itulah yang membuat Dewi Banondari sela-
lu resah. Semakin jelas kalau Sucitro diam-diam mencin-
tainya. Dan semakin sukar bagi gadis ini untuk melu-
pakan pemuda itu. Bisakah dia berbahagia diatas pen-
deritaan orang lain" Mengapa dia tak dapat melupa-
kannya" Bukankah dia sendiri belum bisa mengatakan
kalau dia mencintai pemuda itu" Dewi Banondari ber-
gelut dengan bermacam pertanyaan dibenaknya.
Dibukanya tirai jendela kamar. Pandangannya
menatap jauh menembus keluar tembok tebal gedung
Kadipaten. Hatinya mendadak menjadi sunyi.
"Sucitro...! ah, kasihan kau..." berkata pelahan Dewi Banondari. Dan setitik air
bening tersembul dari sudut kelopak matanya.
Tapi cepat-cepat Dewi Banondari menghapus-
nya. Lalu merapikan rambut, dan menghilangkan be-
kas-bekas air mata diwajahnya. Dia khawatir kalau
sampai hal itu diketahui suaminya. Bagaimana kalau
Adipati Wukir Kamenda mengetahui dia bersusah hati"
Tentu akan mempertanyakan sebabnya.
"Aku kini telah jadi istri seorang Adipati. Aku harus melupakan Sucitro!
Bukankah aku harus menjadi seorang istri yang baik..." Dan aku gembira karena
telah berbakti pada orang tua dan menuruti kehen-daknya!" berkata dalam hati
wanita muda ini.
DUA Kemanakah gerangan pemuda bernama Sucitro
itu" Beberapa hari sebelum Banondari diboyong ke
Kadipaten, Sucitro memang telah meninggalkan lereng
pegunungan sunyi tempat tinggalnya selama ini.
Dan entah telah berapa hari dia duduk dilereng
tebing dipuncak bukit.
Matanya menatap jauh ke arah cakrawala den-
gan pandangan kosong.
Pernikahan Banondari dengan Adipati Wukir
Kamenda telah membuat dia putus harapan. Hatinya
hancur berkeping-keping. Ternyata Sucitro diam-diam
telah mencintai gadis anak Empu Tanuboyo itu.
Dia telah berniat tidak akan kembali lagi ke
tempat itu. Akan tetapi hal itu dirasakan seperti mengganggu jalan pikirannya.
Perbuatan semacam itu sangat tidak terpuji.
Dia banyak berhutang budi pada Empu Tanuboyo yang
telah merawat dan memeliharanya dan menjadi tempat
bernaungnya selama ini. Patutkah dia pergi begitu saja tanpa mohon diri"
Perbuatan semacam itu seperti perbuatan pengecut, pada pikirannya. Apalagi dia
telah meninggalkan pekerjaan yang belum terselesaikan.
Yaitu membuat keris pesanan Adipati Wukir Kamenda.
Walaupun pada kenyataan Adipati itulah yang
telah menghancurkan harapan dan cita-citanya, tapi
kewajiban tetaplah kewajiban. Dan dia telah diper-
cayakan oleh Empu Tanuboyo untuk menyelesaikan
keris itu. Sucitro menghela napas panjang seperti melepaskan beban berat yang
menindih dadanya. Walau
dia telah mengambil keputusan untuk kembali pulang,
tapi dia masih tak beranjak dari duduknya.
Tak lama dia bangkit berdiri. Wajahnya men-
cerminkan kepastian yang telah bulat.
"Aku harus menyelesaikan pekerjaanku, tak
perduli keris itu untuk siapa. Selanjutnya aku akan
mohon diri...! Dunia ini teramat luas. Apakah aku
akan selamanya mendekam dilereng gunung ini tanpa
ada pengalaman apa-apa selain menempa besi?" kata Sucitro dalam hati.
Dalam kelengangan yang mencekam dipuncak
bukit itu, mendadak Sucitro seperti mendengar suara
berbisik ditelinganya.
"Bagus, Sucitro! Selesaikanlah pekerjaanmu!
Tahukah kau bahwa besi yang kau tempa itu kelak
akan menjadi sebuah keris pusaka yang ampuh dan
tak ada tandingannya! Milikilah keris itu, dan kelak
tak akan ada seorangpun yang berani menghinamu!"
Suara aneh itu mendadak lenyap. Tiba-tiba cu-
aca kelihatan memburuk. Angin keras bertiup. Langit
mendadak menjadi gelap. Kilatan-kilatan petir membe-
lah langit. Sucitro terkejut melihat kejadian aneh itu.
Wajahnya pucat pias. Jantungnya berdegup kencang
dan hatinya berdebar-debar.
Akan tetapi kejadian itu tak berlangsung lama.
Beberapa saat kemudian cuaca kembali cerah. Awan
hitam seperti lenyap tak berbekas. Angin pun berhenti bertiup. Sucitro terpaku
memandang sekitarnya.
"Aneh! benar-benar aneh! Apakah sebenarnya
yang terjadi?" berkata Sucitro dalam hati. "Siapa pula orang yang membisiki di
telingaku?" bertanya Sucitro dalam hati. Tapi tak lama dia segera berlari
menuruni puncak bukit. Rasa takut masih nampak membayang
pada wajahnya. Kejadian seperti itu baru dialami se-
lama hidupnya. Tapi diam-diam dia mengingat-ingat kata-kata
yang membisik ditelinganya.
"Besi yang kau tempa itu kelak akan menjadi
sebuah keris pusaka yang ampuh dan tak ada tandin-
gannya! Milikilah keris itu! Dan kelak tak ada seorangpun yang berani
menghinamu!"
Sucitro mengulang-ulang kata-kata aneh itu
dalam hati. "Aku tak perduli suara siapakah itu! Akan teta-
pi akan kulihat buktinya. Sekarang aku harus segera
kembali pulang ke pondok paman Empu Tanuboyo.
Aku harus menyelesaikan pekerjaanku..!"
Ketika pemuda itu sampai dipondok Empu Ta-
nuboyo, didapati laki-laki tua tengah duduk termangu-mangu dihalaman depan.
Melihat kemunculan pemuda itu tentu saja
membuat dia terkejut dan tersentak kaget. Tapi seketi-ka wajahnya berubah
girang. "Sucitro...! ah, kemana saja kau" Haih! sukur-
lah kau datang kembali!" kata Empu Tanuboyo seraya bangkit berdiri.
"Paman tak usah mengkhawatirkan aku. Masa-
kan aku mau meninggalkan kau seorang diri setelah
tak ada Banondari?" sahut Sucitro tertawa.
"Tapi... kau pergi kemana" Mengapa sampai
berhari-hari" Dan... kau tak menghadiri hari pernikahan adikmu Banondari." tukas
Empu Tanuboyo. "Maafkan aku, paman. Aku tak mau menggang-
gu kebahagiaan kalian..." Sucitro menyahut pendek.
Lalu cepat-cepat melanjutkan kata-katanya.
"Oh, ya! paman aku hampir melupakan peker-
jaanku. Apakah keris pesanan itu sudah selesai?"
"Aku belum sempat melanjutkan pekerjaan itu,


Dewa Linglung 16 Keris Kutukan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Citro. Dan lagi aku masih lelah..."
"Biarlah aku yang mengerjakannya, paman.
Kukira dalam sepekan ini keris itu akan selesai berikut gagang dan sarungnya!"
Empu Tanuboyo tersenyum dan mengangguk.
"Jangan terlalu memaksakan diri, Citro....! Bukankah si pemesan itu sudah
menjadi menantuku sendiri"
"Hm, benar katamu, paman. Tapi aku ingin
agar keris itu cepat selesai. Bukankah kita bisa mengerjakan yang lainnya"
Dan... bila telah selesai biarlah aku yang mengantarnya ke Kota Raja. Sekalian
aku mengucapkan selamat pada sepasang pengantin ba-
ru...!" sahut Sucitro dengan nada suara seperti sungguh-sungguh.
"Bagus, kalau begitu! Aku setuju sekali, Citro.
Kau memang tak mengecewakanku...!" ujar Empu Tanuboyo dengan wajah cerah.
Pemuda itu tak menunggu sampai terlalu lama
lagi, segera balikkan tubuh dan melangkah cepat ke
arah belakang pondok tempat bekerja mereka.
Laki-laki tua ini menatap punggung Sucitro
hingga lenyap disamping rumah.
"Sungguh sayang, Citro...! Aku tahu isi hatimu.
Tapi... aku tak dapat menolak pinangan Adipati Wukir Kamenda, karena aku tahu
setiap keinginan seorang
Adipati sukar untuk dibantah..."
Empu Tanuboyo berkata sendiri dengan suara
pelahan. Dan menarik napas panjang. Kemudian me-
langkah masuk ke dalam pondok.
TIGA Sucitro bekerja siang malam seperti tiada hen-
tinya. Suara ketukan palu berkumandang dilereng pe-
gunungan yang sunyi itu.
Empu Tanuboyo cuma bisa tersenyum dan
menggeleng-gelengkan kepala melihat pemuda itu. Dia
tahu Sucitro berhati keras. Tekadnya untuk menyele-
saikan keris pesanan Adipati Wukir Kamenda dalam
waktu satu pekan membuat pemuda itu harus bekerja
keras tanpa kenal waktu dan lelah.
Ternyata apa yang dikehendaki itu memang be-
nar-benar terbukti. Sepekan kemudian selesailah
pembuatan keris itu. Sebuah keris berlekuk tujuh
memancarkan sinar hitam kebiru-biruan dengan ga-
gang terbuat dari kayu jati berukir kepala harimau dan sebuah sarung keris yang
indah baru saja selesai dibuat. Sucitro terpaku beberapa saat menatap benda
yang baru diselesaikan itu. Wajahnya tak menampil-
kan ekspresi. Entah puas, entah kurang puas ataukah
bergirang hati. Yang jelas dalam benak pemuda itu
berkecamuk bermacam pikiran. Apakah yang akan di-
lakukannya dengan keris yang sudah selesai itu"
Benarkah seperti kata-kata ghaib itu, bahwa
benda itu akan menjadi sebuah keris pusaka tiada
bandingannya" Kalau ternyata tidak, apakah dia akan
tetap mengantarkannya ke Kota Raja, kepada Adipati
Wukir Kamenda yang telah menghancurkan harapan-
nya itu" Ketegangan mulai menyelinap didiri Sucitro.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul Empu Tanuboyo
memasuki ruangan kerjanya. Selama sepekan laki-laki
tua itu tak berani mengganggu Sucitro. Tapi hari itu Empu Tanuboyo baru berani
memasuki, karena ingin
melihat hasilnya.
Tentu saja sepasang mata laki-laki itu jadi
membelalak takjub melihat sebuah keris yang amat
bagus telah tergeletak diatas meja dihadapan pemuda
itu. Lengkap dengan sarungnya.
"Hebat, kamu mampu menyelesaikannya dalam
waktu sesingkat itu" Kau benar-benar hebat, Citro,
kau pantas menjadi seorang Empu yang kelak meng-
gantikan aku..."
"Ah, paman terlalu berlebihan. Terpaksa aku
menganggap pekerjaanku selesai, karena aku harus
menepati janjiku. Tempaannya masih kurang halus,
paman. Sebenarnya masih memakan waktu beberapa
hari lagi..." sahut Sucitro dengan wajah bersemu merah. "Tidak, ini sudah cukup.
Dan lebih dari cukup!"
tukas Empu Tanuboyo setelah memeriksanya. "Ini sudah cukup sempurna! Aku tidak
main-main, Citro.
Kukira walau aku bekerja siang malam sepertimu, tak
mampu aku menyelesaikan pembuatan keris sebagus
ini dalam waktu singkat. Apalagi dengan gagang dan
sarungnya...!"
"Ah, paman..., kau..."
"Haha... dari dulu aku sudah tahu sifatmu, kau
selalu tak ingin dipuji. Tapi pujianku ini bukan main-main, Citro...!" Empu
Tanuboyo menepuk-nepuk pundak anak muda itu.
"Tak apalah, Citro! Sebenarnya yang lebih ku-
kagumi pada dirimu adalah... tekadmu! Dan tekad itu
telah kau wujudkan dengan bekerja sungguh-sungguh.
Tanpa kesungguhan hati dan tekad yang membaja,
kukira apa yang kau harapkan itu tak akan terbukti!"
Sucitro hanya menundukkan kepala menden-
gar kata-kata Empu Tanuboyo.
"Nah, kapankah kau akan mengantarkan keris
pesanan ini ke Kadipaten?" tanya Empu Tanuboyo.
"Sebaiknya sekarang juga, paman...." sahut Sucitro. "Apakah tak sebaiknya besok
saja" Kau masih lelah dan perlu istirahat" berkata Empu Tanuboyo.
"Tidak, paman. Kukira lebih baik hari ini saja.
Bukankah lebih cepat selesai urusan ini lebih baik"
Besok sore aku sudah kembali, dan malamnya aku bi-
sa tidur dengan hati lega" Sucitro memasukkan keris itu ke dalam serangka dan
menggenggamnya.
"Baiklah, kalau begitu. Hm, tunggu dulu, Citro!
Aku akan mengambil kain pembungkus yang telah ku-
siapkan. Dan aku akan titip surat buat Banondari...!"
Laki-laki tua itu melangkah keluar dari ruangan itu
dan memasuki pintu pondok. Sementara Sucitro me-
langkah keluar dan berdiri menunggu.
"Apakah yang akan kulakukan" Apakah aku
harus menyerahkan keris ini ke Kadipaten?" bertanya-tanya Sucitro dalam hati.
"Hm, kalau keris ini hanya untuk diserahkan pada Adipati itu, buat apa aku harus
bekerja siang malam menyelesaikannya?" bantah hatinya.
"Tidak, aku tak akan mengantarkannya kepada
Adipati itu! Tapi... tapi benarkah keris ini keris pusaka yang tiada bandingnya,
seperti kata-kata ghaib yang
membisik di telingaku?"
Sucitro mengamati keris dalam genggamannya.
Dengan rasa penasaran, Sucitro kembali mencabut
senjata itu dari sarungnya.
Diperhatikan dan ditatapnya benda itu tajam-
tajam. Mendadak dia berkata dengan suara berdesis
pelahan. "Hai, keris, kalau kau benar-benar benda ber-
tuah, perlihatkanlah tanda-tanda tuahmu! Tapi kalau
kau memang besi mati belaka, tunggulah! Di tengah
perjalanan nanti kau akan kulemparkan ke dasar ju-
rang. Tak sudi aku memberikannya pada Adipati kepa-
rat itu. Karena tujuanku adalah memilikimu!"
"Cuih!"
Sucitro meludahi keris itu tiga kali. Mendadak
angin bertiup keras.
Cuaca seketika berubah gelap. Secercah cahaya
dari langit menyambar ke arah keris itu...
Terjadilah keanehan. Sucitro merasakan geta-
ran yang hebat pada lengannya yang menggenggam
benda itu. Hawa dingin menjalar ke sekujur tubuhnya,
membuat dia menggigil dengan tengkuk meremang.
Dan lapat-lapat ditelinganya terdengar bisikan ghaib seperti yang pernah
didengarnya dipuncak bukit.
"Milikilah keris itu, Sucitro! Keris itu memang
berjodoh untukmu, darahmu panas! Didadamu menge-
ram dendam kesumat yang timbul dari rasa cemburu!
Tuah keris itu telah mengalir ke dalam darahmu! Para iblis telah merestuimu!
Cucilah keris itu dengan darah!
Dan kau akan melihat bukti tuahnya. Semakin banyak
kau mencucinya, akan semakin hebat tuahnya. Dan
semakin digjaya dirimu!"
Hampir tak percaya Sucitro mendengar bisikan
aneh itu. Matanya membelalak, mulutnya ternganga
dan darahnya seperti mengalir lebih cepat. Tapi selang sesaat keanehan itupun
lenyap, bersamaan dengan lenyapnya cuaca yang menakutkan itu. Sejenak Sucitro
termangu-mangu. Kejadian aneh seperti dipuncak bu-
kit itu terulang lagi.
Dan dia masih mengingat semua kata-kata bi-
sikan ghaib itu.
"Aku... aku harus mencuci keris ini dengan da-
rah" Darah apa..." Darah siapa?" desisnya dengan tertegun. Pada saat itulah Empu
Tanuboyo muncul dan
menghampirinya. Laki-laki itu seperti tak mengetahui akan kejadian aneh tadi.
Dilengannya tampak secarik
kain sutera kuning yang akan dipergunakan untuk
membungkus keris pesanan Adipati menantunya.
"Citro... gunakanlah kain ini untuk mem-
bungkus keris itu. Dan ini sepucuk surat, tolong kau berikan pada anakku
Banondari" kata laki-laki itu. Ta-pi baru selesai berkata, Empu Tanuboyo tiba-
tiba bertanya. "Eh! Citro, kenapakah kau" Wajahmu pucat....!
Kau pasti sakit karena terlalu lelah bekerja. Sudah kukatakan tak usah kau
berangkat hari ini!"
"Tidak paman, aku tidak sakit! Tak ada yang
perlu kau khawatirkan pada diriku...!" sahut Sucitro.
Empu Tanuboyo merasa aneh dengan sikap
pemuda itu yang tiba-tiba mengalami perobahan. Nada
suaranya pun kedengaran parau dan berat. Dan sepa-
sang mata Sucitro terlihat menggidikkan hati. Begitu tajam menatapnya membuat
hatinya tersentak.
Melihat Sucitro menggenggam keris telanjang
dengan tatapan mata tak berkesip ke arahnya entah mengapa tiba-tiba hati Empu
Tanuboyo berdebar dan
merasa ada sesuatu yang tak beres terhadap pemuda
itu. Saat itulah Sucitro melangkah maju setindak
dan berkata. "Paman Empu, maafkan aku yang tak dapat
membalas budimu yang begitu besar terhadap diriku.
Aku... aku terpaksa..."
"Terpaksa" Apakah sebenarnya maksudmu, Ci-
tro?" Hati Empu Tanuboyo mulai terasa tak enak. Dia terheran dengan kata-kata
pemuda itu yang tak di-mengerti maksudnya.
"Aku terpaksa harus memandikan keris ini?"
kata Sucitro dengan suara tegas. Dan wajahnya seke-
tika berubah mengelam. Sepasang matanya semakin
tajam menatapnya.
"Memandikan keris?" Empu Tanuboyo masih
tak mengerti. "Ya, keris ini harus dimandikan dengan... da-
rah! Yaitu darahmu!" Seperti disengat kalajengking, la-ki-laki tua itu tersentak
kaget. Matanya membelalak
dengan wajah seketika berubah pias.
Tapi pada detik itulah saat hari naas sang Em-
pu. Secepat kilat keris ditangan Sucitro meluncur deras... dan menghunjam ke
jantungnya! Empu Tanu-
boyo menjerit parau dan roboh terjungkal. Darah me-
rah menyebur dari dadanya. Laki-laki tua itu cuma menggeliat sekali, kemudian
kepalanya terkulai dan
nyawanya pun melayang ke Alam Baka.
Mendadak alam berubah menjadi gelap. Angin
keras kembali berhembus. Diantara deru angin telinga Sucitro mendengar suara
tertawa disekelilingnya. Suara tertawa yang menggidikkan. Itulah suara tertawa
para iblis dan syaitan. "Sucitro! Sucitro...! Kini takkan ada seorangpun yang
berani menghinamu, lam-piaskanlah dendammu! Kau telah menjadi seorang
yang digjaya! Puaskanlah hasratmu! Penuhilah keingi-
nanmu! Dengan keris ditanganmu kau bisa berbuat
apa saja yang kau inginkan!"
Sucitro bagai terpaku ditempatnya mendengar
suara itu. Suara yang kembali membisik ditelinganya.
"Terima kasih! Terima kasih, suara ghaib!" desis pemuda ini dengan wajah
menyeringai. Kepuasan dan
kegembiraan yang luar biasa ter-pampang pada wa-
jahnya. Ketika keris itu diacungkan ke langit, mendadak cuaca kembali berubah
terang, dan tiupan angin
keraspun berhenti.
Sejenak Sucitro terpaku, tapi segera memasuk-
kan kerisnya ke dalam serangka dan menyelipkan di-
balik bajunya. Sesaat ditatapnya mayat Empu Tanu-
boyo. Kemudian balikkan tubuh dan berjalan cepat
meninggalkan tempat itu menuruni lereng pegunun-
gan. Ketika Sucitro setengah berlari meninggalkan
pondok Empu Tanuboyo barulah dia menyadari kalau
gerakan tubuhnya ringan sekali. Dan yang lebih aneh, Sucitro mampu melompat
sejauh lima-enam tombak,
ketika melompati tempat terjal. Bukan kepalang gi-
rangnya Sucitro. Segera dia mempercepat perjalanan
menuruni lereng pegunungan. Dan beberapa saat ke-
mudian bayangan tubuh pemuda itu sudah tak keliha-
tan lagi.... EMPAT Seorang prajurit datang menghadap Tumeng-
gung Kandilangu. Laki-laki ini tengah berdiri mere-
nung diteras rumah tempat kediamannya. Sebenarnya
yang tengah direnungkan adalah tentang keadaannya
dirinya sendiri.
Dia telah cukup usia dan telah beberapa hari
ini dia mendapat cuti dari Adipati Wukir Kamenda se-
lama satu pekan.
Sudah lama difikirkan tentang niatnya untuk
mengundurkan diri. Rasanya dia telah cukup lama
mengabdi pada Kerajaan. Ingin dia menjadi rakyat bi-
asa. Menjadi petani mencangkul sawah dan ladang,
dan hidup tenang tenteram.
Munculnya prajurit itu membuat dia tersentak
dari lamunannya.
"Gusti Tumenggung. Hamba membawa surat


Dewa Linglung 16 Keris Kutukan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari Kanjeng Adipati Wukir Kamenda...!" kata prajurit itu seraya membungkuk
hormat dan memberikan segulung kertas kain kepada laki-laki itu.
"Hm, masa cutiku masih tinggal dua hari lagi.
Ada hal apakah gerangan Adipati memberi surat pada-
ku?" berkata dia dalam hati. Diterimanya surat itu dan cepat dibuka untuk
mengetahui apa isinya.
Prajurit itu tak menunggu sampai Tumenggung
Kandilangu membacanya.
Dia segera mohon diri. Laki-laki tua ini hanya
mengangguk. Dan prajurit itu cepat menuju ke tempat
kudanya ditambatkan. Dia adalah prajurit utusan dari Kadipaten yang bertugas
mengantarkan surat itu.
"Hei prajurit, tunggu dulu!"
Tentu saja panggilan itu membuat si prajurit
menahan langkahnya. Tumenggung Kandilangu cepat
menghampiri "Ada apakah, gusti" Apakah ada yang harus
kusampaikan pada Kanjeng Adipati?" bertanya sang prajurit.
"Tidak, aku hanya mau bertanya. Siapakah
namamu?" Pertanyaan itu membuat si prajurit agak terte-
gun. Tapi segera menjawab.
"Nama hamba... Kumbara. Ada apakah gusti
menanyakan nama hamba?"
"Tidak apa-apa. Aku seperti baru melihatmu."
"Hamba baru bertugas kali ini menjadi prajurit
utusan menggantikan tugas prajurit yang lama" berkata prajurit itu. Tumenggung
Kandilangu tersenyum
manggut-manggut.
"Haih, pantas saja aku tak mengenalmu. Baik-
lah! Terimakasih atas penjelasanmu!" kata Tumenggung Kandilangu.
"Hamba mohon diri, Gusti Tumenggung...!" kata prajurit itu dengan membungkuk.
Tumenggung Kandilangu mengangguk. "Baiklah!" sahutnya. Laki-laki ini menatap
kepergian prajurit itu hingga lenyap dari pandangan.
"Prajurit itu masih muda, gagah dan dari gera-
kan serta cara melompat ke punggung kuda dapat ku-
ketahui dia bukan prajurit sembarangan!" berkata Tumenggung Kandilangu dalam
hati. "Hm, sekarang ini banyak orang-orang muda
yang berilmu tinggi. Adipati Wukir Kamenda juga ma-
sih muda. Walau pengalamannya belum banyak, tapi
memiliki kecerdasan serta ilmu yang tidak rendah. Aku ini telah semakin tua dan
semakin rapuh. Kukira me-
mang sudah saatnya aku mengundurkan diri. Biarlah
orang-orang muda yang menggantikannya...."
Karena memikirkan prajurit itu serta keadaan
dirinya sendiri, hingga Tumenggung Kandilangu sam-
pai lupa membaca surat ditangannya.
"Hm, apakah isi surat dari Adipati?" Laki-laki tua itu cepat membuka gulungan
kertas, dan segera
membacanya. Tak lama dia segera menggulungnya
kembali. Sejenak dia termenung memandang jauh ke-
luar halaman. "Adipati menyuruh aku menemui Empu Tanu-
boyo, untuk menanyakan keris yang dipesannya. Tam-
paknya dia sudah tak sabar melihat hasil pembuatan
keris dari bahan logam yang ditemukannya...!" berkata Tumenggung dalam hati.
Sebenarnya agak enggan dia menjalankan tu-
gas itu, karena masih dalam masa cuti. Tapi sebagai
seorang bawahan terpaksa dia harus mengerjakan pe-
rintah tersebut. Dengan langkah agak gontai Tumeng-
gung Kandilangu memasuki rumahnya.
Tak berapa lama tampak Tumenggung Kandi-
langu keluar dari rumah tua yang cukup besar itu
dengan menunggang kuda. Tapi mengenakan pakaian
biasa seperti rakyat jelata. Dia memang sedang dalam keadaan diluar tugas. Tugas
yang tengah dijalankan
kali ini adalah tugas pribadi Adipati Wukir Kamenda.
Tak dikisahkan perjalanan Tumenggung Kandi-
langu ke tempat tinggal Empu Tanuboyo. Laki-laki tua itu telah memasuki halaman
pondok sang Empu. Sejak
tadi Tumenggung Kandilangu telah merasakan keane-
han. Hidungnya mencium bau busuk yang terendus
hidung. Dia menduga bau busuk yang ditimbulkan
dari binatang yang telah lama mati. Tapi semakin de-
kat ke pondok Empu Tanuboyo, bau busuk itu sema-
kin santar. Alangkah terkejutnya Tumenggung Kandilangu
ketika mendapatkan sesosok tubuh manusia yang te-
lah membusuk tergeletak dihalaman pondok mertua
Adipati Wukir Kamenda. Dan bukan kepalang terpe-
ranjatnya ketika dia mengetahui sosok mayat itu tak
lain dari mayat Empu Tanuboyo yang telah membu-
suk. "Hah, siapakah yang telah membunuh orang
tua ini?" sentak Tumenggung Kandilangu dengan wajah pucat.
"Aku harus secepatnya memberitahu Adipati!"
berkata Tumenggung ini seraya melompat ke pung-
gung kuda. Selanjutnya dengan membedal kudanya
laki-laki itu meninggalkan tempat itu. Kejadian yang mengejutkan itu telah
membuat dia terkejut luar biasa dan merasa harus segera melaporkan pada Adipati
Wukir Kamenda. Ketika dengan napas terengah-engah Tumeng-
gung Kandilangu tiba di Kadipaten, lagi-lagi dia terkejut karena gedung
Kadipaten dipenuhi para prajurit.
Bahkan terdapat diantaranya Senopati Rah Bu-
tho dan Patih Gajah Rono.
"Apakah yang terjadi?" pikir Tumenggung Kandilangu. Ketika dia menanyakan pada
sekelompok pra-
jurit yang dihampirinya.
"Kanjeng Adipati dan istrinya tewas dibunuh
orang?" sentaknya dengan wajah berubah kaget. Dan seketika itu juga tulang-
tulang disekujur tubuh laki-laki tua itu seperti dilolosi.
"Manusia iblis manakah yang telah melakukan
perbuatan gila sekeji itu?" ucapnya dengan suara bergetar. "Ya, Tuhan...!
Bencana apakah yang bakal terjadi" Aku baru saja menemui Empu Tanuboyo atas pe-
rintah kanjeng Adipati dan men-jumpai orang tua itu
telah menjadi mayat! Tengah bermimpikah aku" Atau-
kah ini semua dibawah kesadaranku?" berkata dalam hati sang Tumenggung. Tapi dia
benar-benar merasa
hal itu suatu kenyataan.
Didepan matanya dia melihat mayat Adipati
Wukir Kamenda dan istrinya terkujur tak bergerak. Ketika dia membuka kain
penutup kedua mayat, ma-
tanya membelalak lebar. Hampir-hampir dia tak per-
caya melihatnya.
Gadis anak Empu Tanuboyo itu tewas dengan
dua luka mengoyak leher dan dada, tepat dibagian jantungnya. Dan keadaan mayat
Adipati Wukir Kamenda
lebih mengerikan lagi. Hampir sekujur tubuhnya pe-
nuh luka bekas tusukan senjata tajam. Bahkan kedua
matanya tercongkel, hingga mayat itu sudah tak mem-
punyai biji mata lagi!
Kemunculan Tumenggung Kandilangu segera
mendapat perhatian. Karena dia orang terdekat Adipati Wukir Kamenda. Bahkan
dialah yang tengah dinanti-nantikan untuk dimintai keterangannya.
Dalam persidangan kilat itu, Tumenggung Kan-
dilangu segera memberikan keterangan. Bahwa tadi
pagi dia telah kedatangan seorang prajurit utusan Adipati Wukir Kamenda yang
memberikan sepucuk surat.
Yaitu surat perintah Adipati yang menitahkan dirinya untuk pergi menemui Empu
Tanuboyo. Surat itu segera diperlihatkan kepada Patih Gajah Rono.
Patih Gajah Rono segera memeriksa surat ter-
sebut. Setelah meneliti kemudian sang Patih segera
menyuruh Tumenggung Kandilangu meneruskan pe-
nuturannya. Tanpa melebih atau mengurangkan, segera
Tumenggung ini menuturkan semua kejadian dari awal
hingga akhir dan hingga kedatangannya ke Kadipaten
untuk memberi laporan....
LIMA Tugas Senopati Rah Butho adalah mengantar
keberangkatan Tumenggung Kandilangu untuk mem-
bawa mayat Empu Tanuboyo ke Kadipaten.
Dengan keadaan masih letih, terpaksa Tu-
menggung tua itu menjalankan perintah. Empat praju-
rit disertakan dalam perjalanan ke lereng gunung tempat kediaman sang mertua
Adipati tersebut.
Maka iring-iringan pasukan berkuda tampak
meninggalkan gedung kadipaten diikuti puluhan pa-
sang mata dari para prajurit, dan tatapan mata Patih Gajah Rono.
"Mayat itu harus diperiksa. Apakah pelaku
pembunuhnya orang yang sama. Dari luka-luka ditu-
buh Adipati Wukir Kamenda keponakanku itu juga is-
trinya, dapat kuketahui si pelaku menggunakan sebi-
lah keris...!"
Berkata sang Patih dalam hati. Tiba-tiba wajah
laki-laki ini berubah. Hatinya tersentak. "Hm, sebuah keris" Bukankah
keponakanku itu bertujuan menanyakan pembuatan keris yang dipesan pada Empu Ta-
nuboyo?" Patih Gajah Rono berfikir keras untuk meme-
cahkan persoalan pelik yang dihadapinya. Yaitu men-
getahui siapa pembunuh Adipati Wukir Kamenda dan
istrinya, juga si pembunuh Empu Tanuboyo.
Untuk itu dia harus mengetahui latar belakang
dari kejadian tersebut. Orang yang menjadi tumpuan-
nya adalah Tumenggung Kandilangu. Karena dia yang
mengetahui perihal Empu Tanuboyo yang menjadi sa-
habatnya itu. Juga yang telah membawa Adipati kepo-
nakannya ke tempat tinggal Empu Tanuboyo. Hingga
secara tak disangka-sangka Adipati Wukir Kamenda
menjadi menantu Empu Tanuboyo karena memperi-
strikan anak gadisnya.
"Aku harus melakukan pemeriksaan ulang se-
kali lagi, setelah selesai mengebumikan para jenazah.
Kukira hanya Tumenggung Kandilangu yang bisa men-
getahui riwayat Empu Tanuboyo..." demikian pikir Patih Gajah Rono.
Pada saat itu seorang prajurit mengendarai
seekor kuda mendatangi Patih Gajah Rono yang berdiri dihalaman depan gedung
Kadipaten. Sesampai dihadapan sang patih, prajurit itu
melompat turun dari kuda tunggangannya.
Lalu membungkuk memberi hormat.
"Gusti Patih..., perkenalkanlah hamba menyu-
sul mereka untuk membantu menjemput jenazah Em-
pu Tanuboyo!" berkata prajurit itu.
Patih Gajah Rono agak terkejut melihat keda-
tangan prajurit itu yang menghadap secara tiba-tiba.
Bahkan baru dialaminya ada seorang prajurit seberani itu mengajukan permohonan
yang biasanya hanya
menunggu perintah dari atasan.
"Hm, siapa namamu, prajurit?" tanya Patih ini dengan mengerenyitkan keningnya
menatap tajam-tajam wajah dan perawakan prajurit muda itu.
"Nama hamba, Kumbara! Jaka Kumbara...!" sahut prajurit itu.
Patih Gajah Rono manggut-manggut. Diam-
diam dia agak menaruh kecurigaan pada prajurit mu-
da itu. "Setahuku setiap prajurit Kadipaten selalu tak
ketinggalan membawa senjata. Sebuah tombak atau
sebilah pedang dipinggang. Kemanakah senjatamu?"
tanya Patih Gajah Rono.
Ditanya demikian prajurit itu agak terkejut. Ta-
pi segera menyahut.
"Ampun gusti Patih! Hamba sengaja tak mem-
bawa tombak atau pedang karena hamba hanya akan
membantu menjemput jenazah saja...!"
"Bagaimana kalau terjadi peristiwa yang tak
terduga ditengah perjalanan" Dan bukankah itu me-
langgar suatu disiplin atau ketentuan yang telah dite-tapkan oleh atasanmu?"
Pertanyaan Patih Gajah Rono sejenak membuat
prajurit muda itu tertegun.
"Benar, paduka gusti Patih! Hamba telah mela-
kukan kelalaian, harap Gusti Patih memaafkan!" sahut prajurit bernama Jaka
Kumbara itu. "Hm, jarang aku menjumpai seorang prajurit
seberani kau. Tapi tak apalah. Aku memaafkanmu.
Dan aku izinkan kau menyusul mereka untuk mem-
bantu membawa jenazah!" ujar Patih Gajah Rono.
Prajurit itu mengucapkan terimakasih, kemu-
dian melompat kepunggung kuda dan membedalnya
dengan cepat meninggalkan halaman gedung Kadipa-
ten. Empat perwira kerajaan melompat ke hadapan
Patih Gajah Rono setelah laki-laki itu memberi isyarat.
"Ikuti prajurit itu! Aku mencurigainya. Bila terjadi sesuatu kalian boleh
menangkapnya dan secepat-
nya memberi laporan padaku!"
"Siap, Gusti Patih!" sahut keempat Hulubalang istana itu hampir berbareng.
Kemudian cepat mereka
menghampiri kuda masing-masing. Dan beberapa saat
kemudian keempat Hulubalang itu telah membedal
kuda menyusul si prajurit aneh yang bersikap mencu-
rigakan itu. Sementara itu Patih Gajah Rono melangkah
masuk ke dalam pendopo.
Wajahnya nampak tegang. Dia berjalan mon-
dar-mandir dengan menggendong tangan.
"Sikap prajurit itu memang aneh...! Ah, aku ba-
ru ingat! Bukankah dia si prajurit yang diutus Adipati membawa surat pada
Tumenggung" Ya! namanya
Kumbara, lengkapnya Jaka Kumbara. Apakah dia te-
lah bekerja sama pada Tumenggung Kandilangu" Dan
mungkinkah kalau dia yang telah melakukan pembu-
nuhan?" benaknya penuh berisi pertanyaan yang sukar terjawab.
"Hm, sebaiknya aku memang harus menunggu
kedatangan mereka, juga laporan dari empat huluba-
lang Istana!" desis Patih mengambil keputusan.
Lalu beranjak ke ruang dalam.
*** Sementara itu keempat hulubalang yang me-
nyusul si prajurit bernama Jaka Kumbara itu terus
membedal kuda mengejar. Masih kelihatan kepulan


Dewa Linglung 16 Keris Kutukan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

debu didepan mereka, berarti si prajurit itu tak terlalu jauh untuk menyusulnya.
Ternyata si Jaka Kumbara ini mengetahui
keempat penunggang kuda berada dibelakangnya.
"Hm, sudah kuduga, aku pasti dicurigai...! Tapi mereka percuma saja
mengejarku...!" berdesis si prajurit dengan tersenyum. Mendadak dia membelokkan
kudanya dengan tajam ke arah semak belukar.
Terdengar ringkik binatang itu dan suara ber-
derak ranting dan dahan yang patah. Didetik itu tam-
pak tubuh si prajurit melesat dari punggung kuda. Gerakannya cepat sekali. Dalam
beberapa kali berkelebat saja bayangan tubuhnya lenyap entah kemana.
Ketika empat hulubalang Istana itu melintasi
tempat itu, salah seorang perwira menghentikan ku-
danya. "Tahan!" teriaknya memberi tanda pada ketiga kawannya.
Patahan ranting yang berserakan disisi jalan
serta ringkikan kuda disemak belukar telah membuat
kecurigaan perwira ini. Tentu saja ketiga kawannya segera menahan kuda masing-
masing, lalu bergegas
menghampiri sang kawan.
Membelalak mata mereka melihat kuda si pra-
jurit yang terjerumus masuk ke dalam semak. Tapi pe-
nunggangnya sendiri tak kelihatan. Serentak mereka
berlompatan dari atas kuda. Lalu menyebar mencari
jejak prajurit itu.
Tapi sejauh itu mereka mencari tak diketahui
kemana lenyapnya sang prajurit bernama Jaka Kum-
bara itu. Tempat itu habis dilacak, namun hasilnya
sia-sia. Keempatnya segera berunding, lalu mengambil keputusan. Ternyata mereka
memutuskan untuk
memberi laporan pada Patih Gajah Rono.
Tak lama keempat hulubalang segera berlompa-
tan naik ke punggung kuda masing-masing, dan sege-
ra membedal cepat meninggalkan tempat itu, kembali
ke Kadipaten...
*** ENAM Benarlah dugaanku! Prajurit itu pasti musuh
yang menyelinap ke dalam gedung Kadipaten! Kuper-
hatikan caranya melompat kepunggung kuda serta si-
kapnya yang tak mungkin dilakukan oleh seorang pra-
jurit, kecuali menunggu perintah atasannya! Jangan-
jangan dialah si pembunuh keponakanku!" berkata Patih Gajah Rono dengan wajah
berubah merah padam.
"Apakah perintah Gusti Patih selanjutnya?" ka-ta salah seorang perwira dengan
wajah menunduk.
"Sudah, pergilah sana! Kita hanya- menunggu
kedatangan Tumenggung Kandilangu, karena aku su-
dah tak ada rencana lagi selain itu!"
Keempat perwira itu mengangguk, lalu segera
mengundurkan diri.
Baru saja keempat perwira itu beranjak pergi,
mendadak terdengar suara derap langkah-langkah ka-
ki kuda mendatangi gedung Kadipaten.
Tampak dua orang prajurit yang turut menyer-
tai kepergian Tumenggung Kandilangu telah kembali.
Langsung mereka menghadap dengan wajah pucat
pias. "Ada apa lagi?" sentak Patih Gajah Rono dengan ketegangan memuncak.
"Gusti Patih! Kami belum sempat sampai di-
tempat tujuan telah dihadang oleh seseorang yang
memakai pakaian keperajuritan. Lalu... prajurit itu
meminta kami kembali saja. Dia mengatakan bahwa
dia sendiri yang akan membawa mayat Empu Tanu-
boyo ke Kadipaten! Kemudian..."
Prajurit itu berhenti sebentar untuk mengha-
pus keringat didahinya.
"Kemudian bagaimana?" bentak Patih Gajah
Rono tak sabar.
"Kemudian terjadi perdebatan dengan Gusti
Senopati, karena beliau merasa prajurit itu telah berbuat lancang. Karena kata-
kata Gusti Senopati kasar, telah membuat prajurit itu naik pitam. Dia menghina
gusti Senopati sebagai seorang abdi Kerajaan yang tak becus menangkap
penjahat..."
"Lalu bagaimana seterusnya?" sentak Patih Gajah Rono dengan hati tak sabar.
"Gusti Senopati marah, dan menampar prajurit
itu. Ternyata dia memiliki ilmu kepandaian, dan mam-
pu mengelakkan tamparan Gusti Senopati. Dua orang
kawan kami maju untuk menangkap prajurit yang te-
lah membuat keonaran itu. Tapi mereka bahkan jadi
korban! Prajurit itu berilmu tinggi. Dalam beberapa jurus saja kedua kawan kami
terjungkal, dan...tewas!
Saat ini Gusti Adipati tengah bertarung dengan prajurit gila itu..."
"Edan, aku jadi penasaran ingin tahu siapa se-
benarnya prajurit itu, dugaanku semakin kuat, dialah si pembunuh yang kita
cari!" berkata Patih Gajah Ro-no.
"Siapkan kudaku!" perintah sang Patih. Keadaan di gedung Kadipaten menjadi
gempar ketika Patih Gajah Rono membedal kuda keluar dari halaman, diikuti
belasan perwira Kerajaan. Dibagian depan adalah dua orang prajurit yang tadi
yang menjadi penunjuk
jalan. *** Sementara itu dilereng gunung pada sebuah
tempat tepi sungai berbatu-batu tampak tengah terjadi
pertarungan seru antara dua orang abdi Kerajaan.
Ternyata si prajurit bernama Jaka Kumbara itulah
yang tengah bertarung dengan Senopati Rah Butho.
Dua orang prajurit tampak tergeletak tak ber-
nyawa dengan dada remuk dan batok kepala rengat.
"Manusia busuk, katakan kau siapa sebenar-
nya!" bentak Senopati Rah Butho dengan menebaskan klewang panjang memapas
pinggang lawan.
"Haha... Senopati semacammu lebih baik segera
melepaskan jabatan saja kalau cuma punya ilmu
menggebah anjing!" ejek si prajurit seraya mengelakkan diri. Gerakannya sangat
gesit. Sambaran ganas
senjata Senopati seperti tak dipandang mata.
Semakin gusar Senopati Rah Butho. Dengan
membentak keras dia menyerang dengan jurus-jurus
mematikan. Klewangnya berubah jadi segulung sinar
putih yang menderu-deru menyambar mengurung la-
wannya. Melihat lawannya mengeluarkan jurus-jurus
yang dahsyat dan mematikan, prajurit ini agak terkejut. Sejak tadi dia telah
mempersiapkan diri karena lawannya bukanlah lawan enteng.
"Heh, aku memang mengharapkan beroleh la-
wan berat. Kini saatnya aku mengeluarkan senjataku!"
berkata si prajurit dalam hati.
Dengan gerakan gesit dia melakukan lompatan-
lompatan menghindari serangan gencar sang Senopati.
Disatu kesempatan diapun mencabut senjatanya.
Secerah sinar hitam kebiruan tampak berkre-
dep ditangannya. Ternyata sebuah keris telah tergenggam. Itulah keris KUTUKAN
IBLIS. Siapa adanya prajurit itu memang tiada lain da-
ri Sucitro adanya.
Whuuuut! whuuut!
Trang! Terdengar teriakan kaget Senopati Rah Butho,
ketika tiba-tiba klewangnya terpental dan terlepas dari cekalannya. Dia
merasakan benturan keras yang
menggetarkan lengan dan membuat aliran darahnya
serasa berhenti. Hawa dingin merayap ke sekujur tu-
buhnya. Dan terlihat olehnya si prajurit berdiri tegak dengan wajah menyeringai
menatapnya. Ditangannya
tercekal sebuah keris yang memancarkan hawa meng-
gidikkan. "Haha...haha..ha... ilmu kepandaianmu tak ada
artinya, Senopati! Lebih baik kau serahkan jabatanmu secara baik-baik. Aku akan
mengampuni nyawamu.
Dan biarkan aku yang menggantikan kedudukanmu!"
berkata si prajurit alias Sucitro dengan wajah menyeringai dan sepasang mata
memancarkan kengerian ba-
gi yang melihatnya.
Sejak tadi Tumenggung Kandilangu cuma men-
jadi penonton saja, tanpa berani mengambil tindakan
apa-apa. Dia mengetahui Senopati Rah Butho adalah
orang yang mudah tersinggung bila dia turut campur
urusannya. Apalagi cuma menghajar seorang prajurit.
Akan tetapi diam-diam sejak tadi hatinya sudah
terperanjat, karena dalam segebrakan saja dua orang
prajurit sudah tewas terbunuh ditangan anak muda
berpakaian prajurit Kadipaten itu. Dan semakin terkejut ketika mengenali dialah
prajurit yang mengaku
bernama Kumbara.
Melihat senjata Senopati Rah Butho terlepas,
Tumenggung Kandilangu melompat dengan memben-
tak seraya mencabut keris pusakanya.
"Katakan siapakah kau sebenarnya, anak mu-
da" Bukankah kau prajurit yang telah membawa surat
dari Adipati Wukir Kamenda, prajurit utusan dari Ka-
dipaten?" "Haha...haha... benar! Aku Jaka Kumbara! Me-
mang aku yang telah menyampaikan surat dari Adipati
Wukir Kamenda padamu. Surat itu kudapatkan dari
prajurit yang memang diutus untuk tugas itu. Tapi sebelum sampai ketempatmu, aku
telah mengirim nya-
wanya ke Akhirat. Kemudian aku yang meneruskan
tugas itu!" sahut Jaka Kumbara alias Sucitro dengan tertawa menyeringai.
"Apakah tujuanmu sebenarnya?" sentak Tu-
menggung Kandilangu.
"Hm, tadinya aku akan membunuhmu, tapi aku
segera mengurungkan niatku, karena aku merasa kau
bukan lawan yang kuharapkan! Kau sudah terlalu tua,
dan kupikir sudah cukup bagiku melampiaskan den-
damku membunuh manusia-manusia yang kubenci.
Yaitu Adipati Wukir Kamenda dan... dan istrinya!"
"Keparat, jadi kaulah yang telah melakukan
perbuatan keji itu?" bentak Senopati Rah Butho dengan wajah beringas, seraya
melompat berdiri dan me-
nyambar klewangnya yang tergeletak di tanah.
Hampir tak percaya Tumenggung Kandilangu
mendengar keterangan pemuda itu. Benaknya penuh
pertanyaan. Siapakah gerangan pemuda itu" Tiba-tiba
teringatlah sang Tumenggung pada beberapa pekan
yang lalu ketika dia mengajak Adipati Wukir Kamenda
ke tempat tinggal Empu Tanuboyo. Sekilas dia melihat adanya seorang pemuda
berpakaian kotor berada disamping pondok laki-laki pembuat senjata itu.
"Katakan siapakah kau sebenarnya, anak mu-
da" Dan dendam apakah hingga kau membunuh Adi-
pati dan istrinya" Kuharap kau mengatakan sejujur-
nya!" Tumenggung Kandilangu kembali berkata.
"Dendam apa" Hahaha... siapa yang tak men-
dendam melihat gadis yang dicintainya direbut orang, aku adalah anak angkat Empu
Tanuboyo, yang telah
bertahun-tahun hidup bersamanya. Tapi aku merasa
disisihkan, merasa tak dihargai karena aku hanya seorang pegawai, seorang kuli
penempa besi! Cintaku
amat besar pada gadis anak Empu Tanuboyo induk
semangku. Walau aku tidak mungkin memiliki Banon-
dari, tapi setidak-tidaknya orang tua itu menaruh perhatian padaku. Tapi...
ternyata dia lebih tergiur dengan harta dan kedudukan. Aku dianggap seperti
sampah tak berguna dan tak perlu lagi dihiraukan. Hal itulah yang menimbulkan dendam
dan sakit hatiku!"
Sucitro berhenti sejenak, seraya menghapus
keringat dirahangnya.
"Dan... kini hatiku telah puas! Karena aku telah membunuh semua orang yang
membuat aku sakit ha-ti! Gadis itu telah mendapatkan cintaku dengan ku
mengirimnya ke liang Akhirat!"
Kata-kata prajurit gadungan itu diakhiri den-
gan suara tertawa terbahak-bahak menggetarkan uda-
ra. "Hentikan tertawamu, manusia iblis! Kau tak-
kan dapat meloloskan diri!" Satu bentakan keras tiba-tiba terdengar membelah
udara. Dan sebuah bayangan tubuh manusia berkele-
bat ke hadapan Sucitro.
Ternyata tiada lain dari Patih Gajah Rono, yang
telah menyusul ke tempat pertarungan. Kemunculan-
nya disusul dengan berlompatannya belasan perwira
Kerajaan. Sebentar saja pemuda berpakaian prajurit
itu telah terkepung dari segala jurusan.
Agaknya pertarungan tak dapat dihindarkan,
dan pertumpahan darah segera akan terjadi, kalau pa-
da saat itu tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-
kekeh. Dan munculnya sebuah bayangan berkelebat.
Tahu-tahu ditempat itu telah berdiri seorang
kakek tua renta berjubah putih. Kakek ini bertubuh
kurus kecil. Berkepala besar dan berambut cuma be-
berapa helai. Bagian ubun-ubunnya tampak berkilat
dan gundul plontos.
"Heheheheh...hehe... bocah gendeng! Jangan
mengumbar pertumpahan darah. Simpanlah kerismu,
cucuku! Bukan saatnya kau menimbulkan bencana
membuat keonaran. Pergilah tinggalkan wilayah ini!"
Seraya berkata kakek ini menatapkan sepasang
matanya yang membersitkan sinar aneh mempengaru-
hi Jaka Kumbara alias Sucitro.
Pemuda ini merasakan arus yang kuat meng-
hunjam ke dalam pandangannya. Dia tersurut mun-
dur. Hatinya penuh pertanyaan, siapakah adanya ka-
kek itu, dia sama sekali tak mengenalnya. Tapi menga-pa menyebutnya cucu
terhadap dia"
Dan anehnya dia seperti tak sanggup menolak
perintah si kakek. Lengannya yang memegang keris
Kutukan Iblis tergetar. Dan secara diluar kesadaran
dia telah memasukkan benda itu ke dalam serang-
kanya dipinggang, dibalik bajunya.
"Cepat tinggalkan wilayah ini. Dan jangan kem-
bali lagi kemari!" Kata-kata si kakek kembali meluncur mengulang perintahnya.
Lagi-lagi Jaka Kumbara alias Sucitro tersurut


Dewa Linglung 16 Keris Kutukan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mundur selangkah.
"Baik, baik, kakek! Aku akan segera pergi me-
ninggalkan tempat ini..." sahut pemuda itu dengan wajah pias.
Dan sebelum semua orang-orang kerajaan
sempat berbuat sesuatu, Jaka Umbara telah melompat
keluar dari kurungan belasan perwira yang mengu-
rungnya, lalu berkelebat cepat dan lenyap dari pan-
dangan mata mereka...
Saat kejadian itu berlangsung, Patih Gajah Ro-
no dan Senopati Rah Butho serta Tumenggung Kandi-
langu seperti terkesima. Demikian juga dengan belasan perwira Kerajaan yang
mengurung si prajurit gadungan. Barulah mereka sadar setelah pemuda pembuat
keonaran itu pergi.
"Heh! Siapakah kau, kakek tua renta" Mengapa
kau membiarkan manusia itu lolos dari tangan kami?"
bentak Patih Gajah Rono dengan mata membelalak
menatap si kakek aneh.
"Heheheh... aku si tua renta ini cuma menolong
kalian. Menghindarkan terjadinya malapetaka yang le-
bih banyak lagi!" sahut si kakek.
"Apa maksudmu" Dan katakan siapa sebenar-
nya kau?" bertanya Patih Gajah Rono dengan memandang heran.
"Tahukah kau, kakek tua" Penjahat itu telah
membunuh Adipati Wukir Kamenda. Kami harus me-
nangkapnya untuk dihukum dan dihadapkan pada
sang Prabu!" gembor Senopati Rah Butho menimpali kata-kata sang Patih.
"Aku tahu! Aku mengetahuinya, raden! Tapi
apakah aku akan membiarkan korban-korban kembali
berjatuhan" Padahal tenaga kalian amat dibutuhkan
oleh Kerajaan. Dan, aku sudah mendapat pirasat,
bahwa kalian takkan mampu menghadapi pemuda
itu!" sahut si kakek dengan tenang dan suara datar.
"Baiklah, kakek yang budiman. Kau tentu lebih
arif dan lebih mengetahui dari kami. Kini ceritakanlah, apa sebabnya kau
berpendapat demikian" Dan kau belum mengatakan siapa dirimu!" kata Patih Gajah
Rono. Patih Kerajaan ini agaknya dapat memaklumi bahwa
kakek tua dihadapannya bukanlah orang sembaran-
gan. Terbukti dia telah mampu membuat pemuda itu
menuruti perintahnya.
Namun hatinya masih penasaran sebelum
mengetahui siapa sebenarnya kakek tua renta itu. Ka-
kek ini manggut-manggutkan kepala dengan terse-
nyum. "Namaku, Bimo Gundil. Orang-orang Rimba Hijau menyebutku si Pertapa Mata
Dewa...!" si kakek memperkenalkan diri. Membelalak mata Patih Gajah
Rono mendengar nama kakek aneh itu, seketika dia
menjatuhkan diri berlutut.
"Oh, maafkan aku yang tak tahu siapa dirimu,
Eyang...! Aku Gajah Rono menghaturkan sembah su-
jud ke hadapan Eyang...!" berkata Patih Gajah Rono dengan wajah berubah pias.
Melihat kelakuan sang Patih, Senopati Rah Butho dan Tumenggung Kandilangu
serta sekalian para perwira Kerajaan lainnya jadi turut menjatuhkan diri
berlutut menuruti sang pemimpin-nya. Walaupun masing-masing belum mengetahui
sia- pa adanya kakek aneh itu.
"Ah, ah...! bangunlah kalian semuanya! apa-
apaan kalian ini mengapa berlutut dihadapan aku si
tua bangka orang gunung ini?" berkata si kakek Bimo Gundil dengan wajah berubah
merah. "Dari paduka Prabu hamba mengetahui Eyang
Bimo Gundil adalah sesepuh Kerajaan Whirata yang
telah berpuluh tahun mengasingkan diri. Kami yang
bermata buta ini sungguh tak menghormati pada
Eyang. Maafkanlah kekhilapan kami..." sahut Patih Gajah Rono seraya menjura.
"Hm, sudah, sudahlah, jangan mengungkit ri-
wayat lama. Saat ini aku bukan apa-apa. Mari kalian
duduklah mendengarkan penuturanku...!" kata kakek
Bimo Gundil dengan suara bernada sungguh-sungguh.
Agaknya apa yang akan dituturkan adalah hal amat
penting bagi mereka.
Ringan sekali gerakan si kakek ini ketika me-
lompat ke atas batu besar. Tahu-tahu dia telah duduk diatasnya. Semua yang
berada ditempat itu segera
mengelilinginya dengan duduk diatas rumput.
"Apakah yang akan kau tuturkan adalah men-
genai anak muda tadi. Tahukah kalian mengapa kalian
ku larang menempur pemuda itu" Karena dia bukan-
lah lawan yang akan semudah itu untuk kalian me-
nangkap atau meringkusnya. Mengapa kukatakan
demikian" Karena aku telah mengetahui adanya suatu
bencana yang bakal ditimbulkan oleh pemuda itu. Dari hasil tirakatku kepada
Tuhan Yang Maha Pencipta,
aku telah mendapat firasat akan munculnya sebuah
benda yang bakal menimbulkan korban dan malapeta-
ka. Yaitu sebuah keris yang bernama Keris KUTUKAN
IBLIS! Keris pembawa malapetaka itu berada ditangan
pemuda tadi! Nah! pahamkah kalian bahwa apa yang
aku lakukan adalah hanya menghindari malapetaka
itu pada kalian semua, terutama pada Kerajaan Whira-
ta!" Tentu saja penjelasan Eyang Bimo gundul
membuat semua yang berada ditempat itu menjadi
terperangah kaget.
"Keris Kutukan Iblis?" sentak Patih Gajah Rono dengan wajah berubah tegang.
Demikian juga dengan
Senopati Rah Butho dan Tumenggung Kandilangu. Wa-
Si Pemanah Gadis 10 Memburu Iblis Lanjutan Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Pedang Kayu Harum 8
^