Pencarian

Orang Orang Lapar 1

Dewa Linglung 15 Orang Orang Lapar Bagian 1


Dia datang Sebagai seorang pendekar.
Dia aneh & bertindak seperti
orang linglung Para ksatria menyebut dia
Si DEWA LINGLUNG
Pendekar sakti yang
Digembleng 'lima' tokoh aneh
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
SATU Hari masih pagi ketika seekor kuda berlari ce-
pat menuruni lereng pegunungan. Seekor kuda ber-
warna putih yang mempunyai gerakan tangkas menu-
runi tebing-tebing terjal. Tentu saja ketangkasan binatang itu tergantung pula
dari si penunggangnya yang
dapat memilih jalan yang dilalui dengan tepat.
Si penunggang kuda adalah seorang laki-laki
berkulit sawo matang, mengenakan pakaian berwarna
coklat hampir semirip dengan warna kulitnya. Berpe-
rawakan sedang dan memiliki wajah biasa-biasa saja,
gagah tidak jelek pun tidak. Akan tetapi mempunyai
sorot mata yang tajam seperti punya pengaruh kewi-
bawaan yang tersembunyi. Rambutnya agak sedikit
gondrong dengan ikat kepala berwarna kuning. Sikap-
nya tenang dan tidak tergesa-gesa, walaupun dia men-
jalankan kuda dijalan yang cukup berbahaya, karena
sekali kaki kuda tergelincir akan membuat bahaya be-
sar bagi dirinya.
Nyatalah bahwa dia bukan seorang laki-laki bi-
asa, akan tetapi seorang pemuda yang memiliki ilmu
tinggi. Melakukan perjalanan ditempat berbahaya se-
macam itu sudah bukan hal yang aneh lagi. Hingga da-
lam beberapa saat saja dia telah tiba dibawah lereng pegunungan.
Siapa adanya laki-laki muda berwajah tenang
yang usianya tak lebih dari dua puluh lima tahun itu"
Dia bernama Waru Anggono. Murid seorang pertapa
sakti dari pegunungan Tengger. Arah yang dituju ter-
nyata arah yang menuju ke barat. Berkelebatlah
bayangan putih dari gerakan lari kuda tunggangannya
dijalan yang mulai rata. Menembus hutan menerobos
padang rumput. Terus... dan terus ke barat...!
Menjelang senja dia memperlambat lari ku-
danya. Kini arah yang dituju adalah sebuah desa ter-dekat karena dia memerlukan
tempat untuk beristira-
hat setelah sehari penuh melakukan perjalanan.
Tiba di mulut desa dia melompat turun dari
punggung kuda. Kemudian menuntun kudanya den-
gan melangkah pelahan-pelahan.
"Hm, apakah desa ini berpenghuni?" gumam
Waru Anggono. Sementara matanya menjalari keadaan
sekitarnya. Tampaknya desa itu seperti tak terurus.
Gersang... debu menempel dimana-mana, di rumah-
rumah penduduk yang tampak suram. Bahkan bebe-
rapa bangunan dalam keadaan roboh.
Tadinya Waru Anggono akan menyelidiki lebih
ke dalam, tapi segera mengurungkan. "Heh, aku cuma berniat bermalam saja, besok
pagi aku akan meneruskan perjalanan lagi. Kukira pondok ini cukup baik untuk
beristirahat..." berkata Waru Anggono dalam ha-ti.
Pemuda ini segera menuntun kudanya mende-
kati pondok, lalu mengikatnya di tiang rumah. Waru
sudah menduga bahwa pondok-pondok itu tak ber-
penghuni, karena melihat keadaannya yang tak tera-
wat. Tapi sungguh dia tak menyangka kalau tiba-tiba
mendengar suara berkeriutnya daun pintu.
Sesosok tubuh tersembul keluar. Ternyata seo-
rang nenek tua renta berambut putih awut-awutan.
Keadaannya sangat menjijikkan. Karena sekujur tu-
buhnya penuh dengan penyakit kulit. Bahkan tampak
seram karena beberapa ruas jari tangannya tampak
putus akibat terserang penyakit yang menjijikkan dan mengerikan.
Secara tak sengaja dia telah melangkah mun-
dur setindak. Matanya tak berkedip menatap si nenek
tua renta. "Manusiakah?" sentak Waru dalam hati.
"Siapakah kau, anak muda" Ada keperluan apa
memasuki desa ini?" tanya si nenek. Suaranya parau diselingi batuk-batuk yang
terdengar melengking-lengking. Keberanian Waru Anggono timbul, karena dia yakin
orang dihadapannya manusia biasa, bukan sebangsa dedemit.
"Maafkan aku, nek..! aku telah mengusik kete-
nanganmu..." sahut Waru seraya memperkenalkan
namanya. Kemudian melangkah mendekati... Akan te-
tapi cepat-cepat si nenek melangkah mundur. Wajah-
nya berubah terkejut. Tampaknya dia ketakutan seka-
li. "Jangan dekat! Pergilah cepat dari sini..!"
"Mengapa, nek?" tanya Waru Anggono terheran menatap perempuan itu tak mengerti.
"Tempat ini berbahaya! Kau bisa terkena wabah
penyakit menular. Dan tempat ini tidak aman bagimu!"
sahut si nenek dengan wajah penuh kekhawatiran.
Waru Anggono tersenyum. "Ah, jangan terlalu
mengkhawatirkan diriku, nek! Aku tak percaya dengan
adanya penularan penyakit. Bukankah setiap manusia
dilahirkan dengan keadaan darah yang berbeda-beda"
Kalau Tuhan tak mengizinkan aku terkena penyakit,
walaupun aku berada ditempat yang terserang wabah
penyakit tentu takkan terjadi penularan itu!"
Sejenak si nenek kerutkan kening menatap Wa-
ru Anggono. "Aneh! selama dua tahun aku tinggal ditempat
ini, baru kutemui seorang pemuda seberani ini" Murid siapakah pemuda bernama
Waru Anggono ini?" desis si nenek dalam hati. Diam-diam dia tak menyangkal
pendapat Waru Anggono. Walaupun demikian dia tetap
berkata ketus. "Mungkin pendapatmu benar, anak muda!" tu-
kas si nenek. "Kau berkata seperti seorang Kyai saja.
Siapakah yang telah mengajari kau mengenal Tuhan?"
"Sejak kecil ayahku telah mengajari aku men-
genal kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Bahkan guru-
ku pun mengajari aku..!" sahut Waru Anggono.
"Siapakah gurumu?" tanya si nenek dengan ha-ti tercekat.
"Beliau adalah seorang pertapa tua yang ber-
diam di pegunungan Tengger. Beliau bernama Kyai Ba-
lareang". "Kyai Balareang?" suara si nenek seperti berge-tar menyebut nama itu. Mendadak
dia berdiri terpaku
dengan mata menatap tak berkedip. Akan tetapi bukan
menatap Waru, melainkan memandang keluar pondok
dengan tatapan aneh.
Dalam pandangan mata nenek tua renta ini ti-
ba-tiba terbayang sesosok tubuh laki-laki berusia sekitar 30 tahun. Seorang
laki-laki berkumis tipis dan
berwajah tampan. Rambutnya ikal bergelombang. Alis-
nya tebal serta pandangan matanya tajam seolah me-
nandakan kekerasan hatinya. Laki-laki itu adalah
orang yang telah lenyap namanya dan tak pernah ter-
dengar dimana adanya sejak lebih dari dua puluh ta-
hun. Waktu yang cukup lama dan terlalu lama untuk
mengingat keadaannya pada saat sekarang.
Tapi si nenek mencoba membayangkan kea-
daan laki-laki itu pada saat kini, menjelmalah dipandangan matanya seraut wajah
laki-laki tua berambut
putih ikal, berkumis dan berjanggut panjang terurai
memutih. Ketampanan wajahnya masih tampak nyata.
Dan sorot mata laki-laki tua itu masih tajam setajam dua puluh tahun yang lalu.
"Oh, Balareang... tak kusangka kau masih hi-
dup dan berdiam di tempat sunyi pegunungan Teng-
ger." berdesis bibir si wanita tua. Sepasang matanya mendadak berkaca-kaca.
"Nenek..! kau... kau menangis" Apakah kau
mengenal guruku?" tanya Waru Anggono terheran. Pertanyaan itu membuat si nenek
tersadar dari ingatan
masa lalunya. "Tidak! aku tak mengenal gurumu..! Entah
mengapa tiba-tiba aku teringat pada seseorang yang
juga sering dan pernah menyebut-nyebut tentang Tu-
han seperti kau, seperti ayahmu dan seperti guru-
mu..." sahut si nenek seraya memalingkan wajahnya cepat-cepat menyembunyikan air
matanya. "Siapakah orang itu nek" Dan... oh, ya! Boleh-
kah aku mengetahui siapa dirimu, dan mengapa bera-
da ditempat ini" Apakah tempat ini memang tempat
kediamanmu" Dan sejak kapankah terjadinya wabah
penyakit" Apakah semua penduduk desa ini terserang
wabah penyakit seperti yang dideritamu?"
Pertanyaan Waru Anggono yang bertubi-tubi itu
tiba-tiba membuat si nenek tiba-tiba tertawa geli ter-kekeh-kekeh, yang
diselingi batuk melengking-
lengking. "Hik hik hik... bocah bagus! Kau ini seperti seorang petugas Kerajaan
yang menanyai pesakitan sa-ja!" berkata si nenek.
"Tapi aku senang bertemu denganmu, Waru
Anggono. Kaulah orang pertama yang mampu mem-
buat aku tertawa sejak sembilan tahun aku mengem-
bara dan menetap didesa ini!"
"Aneh! apakah selama sembilan tahun kau tak
pernah tertawa?" tanya Waru Anggono menggaruk-
garuk kepala. Tapi si nenek tak menyahut. Dia balik-
kan tubuh dan berkata. "Baiklah, bocah bagus! Aku
akan menjawab semua pertanyaanmu yang buanyak
sekali itu!"
DUA Si nenek menyuruh Waru Anggono me-
masukkan kuda tunggangannya ke dalam pagar pon-
dok melalui jalan samping. Ternyata di belakang pon-
dok terdapat sebuah halaman yang cukup luas. Seke-
liling halaman itu dipagari dengan pagar pohon hidup.
Waru Anggono membiarkan si Putih mengisi perutnya
melalap daun-daun pagar pohon itu. Di belakang pon-
dok ternyata amat jauh berbeda dengan keadaan di
luar pondok. Karena ruangan belakang ini tampak ber-
sih. Tak terlihat debu-debu tebal yang menempel di-
dinding rumah. Bahkan lantai kayu pondokpun tam-
pak berkilat-kilat, terbuat dari kayu jati.
Si nenek terlihat sudah berada di ruangan yang
terbuka itu. Duduk bersila di lantai kayu jati. Dihadapannya terhidang sebuah
kendi tanah liat dan sebuah
gelas dari bumbung bambu.
"Silahkan duduk, Waru Anggono! Kau tentu
haus setelah melakukan perjalanan jauh yang mele-
lahkan. Agaknya Tuhan sudah menjodohkan kau un-
tuk berjumpa denganku dan bermalam ditempat ini..."
Wanita tua ini membuka tutup kendi dan me-
nuangkan air ke dalam bumbung bambu yang tampak
bersih dan berkilat. Waru Anggono melangkah mende-
kati dan duduk di hadapan si nenek berpenyakit kulit yang menjijikkan itu.
"Terima kasih atas jamuanmu, nek..!" kata Wa-ru Anggono.
"Kau tidak merasa jijik meminum airku?" tanya
si nenek seraya menyorongkan bumbung bambu ke
hadapan pemuda ini. Waru Anggono tersenyum. "Ah, nenek..! mengapa kau berkata
begitu" Apakah kau ku-atir aku menolak jamuanmu?" sambil berkata demikian Waru
Anggono meraih bumbung bambu berisi air
bening itu, kemudian tanpa ragu-ragu segera mene-
gaknya hingga tandas. Terasa segar tenggorokannya.
Wajah keriput si nenek menampakkan senyu-
man cerah. "Sejak semula aku sudah percaya padamu, bo-
cah bagus! Kau memang orang yang lain dari pada
yang lain. Nah! aku akan menjawab semua perta-
nyaanmu tadi. Akan tetapi sebelumnya aku ingin men-
getahui apa sebenarnya tujuan melakukan perjalanan
jauh dari pegunungan Tengger. Tentu kau tak kebera-
tan bukan?" berkata si nenek.
"Kalau cuma itu pertanyaanmu tentu saja aku
bersedia mengatakannya padamu, nek!" sahut Waru Anggono. Sejenak setelah
menghela napas, pemuda ini
segera menuturkan maksud dan tujuannya tanpa me-
lewatkan dan menyembunyikan sedikitpun. Waru Ang-
gono menceritakan secara jujur dan polos.
"Jadi tujuanmu adalah mencari adik perem-
puanmu yang telah berpisah sejak kau berumur dua
belas tahun?" tukas si nenek dengan mengerenyitkan kening hingga guratan-guratan
didahinya tampak semakin jelas.
"Benar! Sudah lebih dari delapan bulan aku
mencari jejaknya, tapi belum ada tanda-tanda dimana
adanya adik perempuanku itu. Entah dia sudah mati
entah masih hidup aku tak mengetahui. Tapi aku akan
terus mencari dan mencari ke seluruh pelosok wilayah, sampai aku
menjumpainya..." sahut Waru Anggono
dengan kata-kata pasti.
"Hm, siapakah nama adik perempuanmu itu"
dan kira-kira berusia berapakah sekarang ini?"
"Ketika kami berpisah, dia berusia lima tahun.
Usianya selisih tujuh tahun denganku. Mungkin saat
ini dia kira-kira berusia delapan belas tahun lebih" sahut Waru Anggono. "Dia
bernama Anggi Resmini..!"
Si nenek manggut-manggut mendengar penje-
lasan Waru Anggono. Kemudian terdengar dia menghe-
la napas panjang. Lalu berkata lirih. "Sayang, sudah dua tahun aku tak keluar
dari desa ini karena aku telah memutuskan untuk tetap menunggu kedatangan
seseorang, hingga aku tak dapat membantumu menca-
ri jejak adikmu"
"Siapakah orang yang kau tunggu itu, nek?"
tanya Waru Anggono.
"Seorang tokoh persilatan yang bergelar si Iblis Tampan!"
"Ada persoalan apakah kau dengannya?"
"Hm, dialah orang yang paling kucintai dan ju-
ga paling ku benci! Dia adalah suamiku yang paling terakhir sekali. Dan dia
pulalah yang telah membuat aku cacat seperti ini!" sahut si nenek seraya
menyibakkan jubah lengan kirinya sebatas pergelangan. Tampak ada tanda guratan
menonjol yang melingkari pergelangan
tangan yang jari-jari tangannya cuma tinggal jari tengah dan ibu jari saja.


Dewa Linglung 15 Orang Orang Lapar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sisanya habis dimakan penyakit kulit ganas yang dideritanya.
Tiba-tiba sekali dia membetot dengan tangan
kanan, lepaslah tangan yang mengerikan itu tepat se-
batas pergelangan. Waru tersentak kaget. Sepasang
matanya menatap tak berkedip. Jelaslah kalau tangan
si nenek memang sudah lama putus sebatas pergelan-
gan. Dan semakin terkejut Waru Anggono ketika po-
tongan lengan yang menjijikkan itu dilemparkan ke
lantai papan memperdengarkan bunyi keras seperti
bunyi sepotong kayu.
"Tangan itu cuma tangan palsu!" berkata si nenek. "Dan kau lihatlah!" Tiba-tiba
sekali menggerakkan tubuh si nenek telah melompat berdiri.
Apa yang dilihat Waru Anggono seperti mem-
buat dia sukar mempercayai. Karena si nenek dengan
cepat menguliti tangan dan kakinya. Aneh! dalam se-
kejap saja kulit yang menjijikkan itu telah terkelupas.
Dan dibalik kulit yang mengerikan penuh dengan pe-
nyakit menjijikkan itu ternyata tersembul kulit asli tanpa sedikitpun terkena
penyakit. Kemudian sekali dia merenggut wajahnya, ter-
kelupas pula kulit wajah keriput si nenek. Belum lagi sempat Waru Anggono
melihat wajah aslinya, si nenek
telah membalikkan tubuh. Dari balik jubahnya dia
mengeluarkan sebuah bumbung bambu kecil bersum-
bat. Dari dalam bumbung bambu itu dituangkan se-
macam cairan berwarna kuning. Cairan itu ditumpah-
kan di atas kepala dan digunakan untuk mengeramasi
rambutnya. Aneh! Rambut si "nenek" yang semula putih dalam beberapa kejap saja
kembali berubah meng-
hitam. Itulah rambutnya yang asli. Hitam legam dan
berkilat. Ketika si nenek membalikkan tubuhnya ham-
pir-hampir Waru tak percaya. Karena dihadapannya
telah berdiri tegak seorang wanita berusia kira-kira 40
tahun. Berwajah cantik, walaupun tidak secantik gadis muda. Tapi garis-garis
kecantikannya masih nampak
nyata. "Jadi-jadi kau bukan seorang nenek tua berpenyakit menjijikkan" Ah!
mengapa kau menyamar se-
perti itu?" Waru Anggono menatap wanita dihadapannya dengan mata membelalak.
"Hihihi... nanti kau akan segera mengetahui se-
telah aku menceritakan padamu!" sahut si wanita dengan tertawa. Ternyata dua
baris giginya masih utuh
putih dan rata. Wanita ini kembali duduk di hadapan
Waru Anggono. "Seperti janjiku tadi, aku akan menjawab per-
tanyaan-pertanyaanmu. Kini sebagian telah terjawab!"
kata si wanita.
"Namaku yang sebenarnya ialah Muraini. Lalu
aku menggantinya dengan nama WIRASWATI. Aku di-
kenal oleh kaum Rimba Persilatan dengan gelar si
IBLIS RUPAWAN!" Sampai disini Waru Anggono memotong pembicaraan.
"Aneh! Suami terakhirmu bergelar si IBLIS
TAMPAN dan kau bergelar si IBLIS RUPAWAN. Bukan-
kah sangat cocok sekali" Tapi mengapa hubungan ka-
lian jadi amburadul?"
"Yah..! itulah keanehan kehidupan di dunia.
Tak ada sesuatu yang kekal dan abadi. Demikian juga
dengan hubungan kami!" sahut Wiraswati tersenyum pahit. Kemudian wanita itu
menuturkan keadaan sebenarnya didesa itu.
Penuturan Wiraswati membuat Waru Anggono
tertegun dan terlongong-longong dan hampir-hampir
dia sukar mempercayai.
"Itulah sebabnya aku berada ditempat ini dan
melakukan penyamaran. Selama dua tahun aku telah
memperdalam ilmu-ilmu kepandaianku untuk memba-
las dendam dan penghinaan bekas suamiku si Iblis
Tampan itu. Akan tetapi kemunculanmu membuat aku
merubah niat untuk menunggu dia keluar dari sa-
rangnya. Namun belum saatnya aku membalaskan sa-
kit hatiku, karena ada satu keperluan yang harus ku-selesaikan terlebih dulu..!"
Wiraswati sejenak berhenti
untuk menarik napas, kemudian meneruskan kata-
katanya. "Kuharap kau tak perlu menanyakan mengenai
urusan yang satu ini. Entah mengapa kembali aku te-
ringat pada Tuhan. Yah! kemunculanmu dihadapanku
seperti membuka mataku untuk aku kembali mengin-
gat Tuhan. Aku semakin menyadari akan apa arti se-
benarnya dengan kehidupan ini..." Suara Wiraswati terdengar agak menggetar. Waru
Anggono sekilas dapat melihat sepasang mata wanita itu berkaca-kaca sesaat
ketika Wiraswati cepat cepat-cepat memalingkan
wajahnya dan melompat berdiri.
"Nah! aku cuma dapat menemanimu sampai
disini, Waru Anggono! Aku tahu kau seorang pembera-
ni dan lain dari yang lain. Tapi untuk mencoba mema-
suki tujuh pintu desa ini kukira kau harus berpikir
panjang terlebih dulu. Karena seperti tadi telah kukatakan, kau akan berhadapan
dengan orang-orang la-
par! Nah, selamat berpisah. Semoga kita bisa bertemu lagi kalau Tuhan
mengizinkan kita masing-masing berumur panjang...!" Selesai berkata Wiraswati
alias si Iblis Rupawan berkelebat keluar dari ruangan itu ke
halaman belakang. Selanjutnya yang tampak adalah
bayangan jubah warna biru gelap saja yang tampak
melesat keluar pagar, dan lenyap...
Waru Anggono terpaku menatap, ke arah le-
nyapnya si Iblis Rupawan dengan agak terperangah.
Sungguh tak menyangka kalau si nenek berpenyakit
kusta yang mengerikan itu ternyata adalah seorang tokoh Rimba Hijau yang berilmu
tinggi. Kini dia terce-
nung dengan penuturan si Iblis Rupawan mengenai tu-
juh pintu desa yang dihuni oleh orang-orang lapar.
"Apakah makna dari orang-orang lapar itu?"
Waru Anggono bertanya-tanya dalam hati. Benaknya
berpikir keras memecahkan kata-kata itu.
"Jelas seperti yang dikatakan si Iblis Rupawan
bahwa suami terakhirnya si IBLIS TAMPAN berada di-
wilayah desa berpintu tujuh ini. Kalau ditempat ini dihuni oleh orang-orang
lapar apakah sebagai seorang
pendekar dijalan lurus kau akan berpeluk tangan saja"
Kalau mereka semua dalam keadaan terserang wabah
penyakit yang mengerikan, mengapa aku tak berupaya
memberikan pertolongan" Haruskah aku tak memper-
dulikan mereka?" benak Waru Anggono digeluti pertanyaan-pertanyaan.
"Tapi anehnya seolah-olah si Iblis Rupawan
mencegahku untuk menyelidiki dan menyuruhku ber-
fikir panjang untuk coba-coba memasuki ketujuh pin-
tu desa ini...!" Setelah menimbang-nimbang Waru Anggono akhirnya memutuskan
untuk bermalam ditempat
itu. Tapi dia telah bertekad bulat untuk menyelidiki tempat itu. Siapa tahu adik
perempuannya berada ditempat itu. Tak satu tempatpun yang akan dilewatinya
begitu saja tanpa dia harus menyelidiki terlebih dulu.
Karena dia telah bertekad menjelajahi jagat untuk
mencari adik perempuannya.
TIGA Sebuah gedung yang terletak dilereng bukit
yang biasanya sunyi mencekam, siang itu tampak riuh
oleh suara-suara manusia. Itulah gedung milik seorang pendekar tua yang bergelar
si Pendekar Kipas Maut.
Setiap orang diwilayah itu mengenal siapa adanya to-
koh tua itu. Selain seorang pendekar tua berilmu ting-gi, juga seorang hartawan
kaya yang memiliki belasan kapal dagang. Bukit yang letaknya tak jauh dari
pantai itu bahkan sudah menjadi milik pribadinya.
Pintu-pintu gedung tampak penuh dengan hia-
san dari kain berwarna-warni. Pintu gapura yang terletak di sebelah utara juga
telah dihias. Demikian juga dengan tembok tebal yang memagari sekitar gedung.
Tampaknya hari itu adalah hari yang istimewa dengan
adanya keramaian yang tidak seperti biasanya.
Memang! hari itu adalah hari ulang tahun si
hartawan tua alias si Pendekar Kipas Maut. Menurut
keterangan para anak buahnya adalah merupakan hari
ulang tahun yang ke 70. Jadi pada hari ini genaplah
usia sang pendekar tua tujuh puluh tahun.
Dipesisir pantai banyak kapal-kapal kecil ber-
labuh. Dan berbondong-bondong para tamu undangan
menuju ke arah bukit. Bahkan sudah sejak pagi tadi belasan tamu sudah duduk di
dalam ruangan depan
gedung. Dari sebuah perahu berukiran kepala burung
melompat turun dua orang laki-laki berpakaian bang-
sawan. Keduanya masih cukup muda. Usia mereka di-
taksir sekitar dua puluhan tahun lebih.
Tiga orang laki-laki berbaju kuning menyusul
melompat dari perahu yang baru saja mendarat. Lalu
berkelebat cepat ke arah bukit. Gerakan mereka me-
nandakan bahwa ketiganya adalah orang-orang yang
berilmu tinggi.
Ketika melintasi kedua orang berpakaian bang-
sawan, salah seorang dari laki-laki berpakaian bang-
sawan itu berbisik pada kawannya. "Ssst! tiga orang yang selalu membuntuti
perahu kita tadi rupanya juga orang undangan si Pendekar Tua Kipas Maut!"
"Dari pakaiannya yang berwarna kuning serta
senjata yang terselip dipunggung, bukankah mereka si Tiga Setan Tenggara?" kata
kawannya. "Benar dugaanmu!" kata laki-laki yang bertubuh lebih tinggi. Pemuda ini berkulit
agak kehitaman.
Walaupun pakaiannya cara pakaian bangsawan, tapi
cara berjalannya seenaknya saja. Bahkan bila diteliti dia telah salah memasang
kancing baju yang tidak tepat pada lubangnya. Hingga kedua ujung baju sutera
yang dipakainya tidak sama rata.
"Eh, mari kita percepat jalannya agar, segera
sampai ke tempat tujuan." kata si pemuda berbaju salah lubang kancing.
"Huu..! kau ini seperti tamu undangan saja! Ba-
ju yang kita pakai saja dapat mencuri! haha...hihi..." si laki-laki kawannya
tertawa geli. Tentu saja sang kawan cepat-cepat mencubit pantatnya hingga dia
mengaduh. "Sssst! tertawamu jangan terlalu keras. Bisa-bisa menarik perhatian orang!"
bisik si pemuda ini.
"Tapi tak usah main cubit pantat segala!" sungut kawannya.
"Ya, ya! aku minta maaf. Lain kali tidak lagi!"
sahut si bangsawan muda ini dengan tersenyum. "Sakit ya?" "Kalau tak sakit masa
aku mengaduh?"
"Ehm, benar juga..! dulu waktu ibuku mengi-
dam kepingin makan kepiting, jadi sampai sekarang
aku sukar menghilangkan kebiasaan ini"
"Sudahlah jangan mengaco!" bentak kawannya.
Sementara itu keadaan digedung tempat tinggal
si Pendekar Kipas Maut telah memulai upacara. Para
tamu undangan terdiri dari para tokoh kaum Rimba
Hijau yang berada di sebelah timur gedung. Mereka
duduk dideretan kursi yang telah disediakan. Sedang-
kan dari pihak para saudagar dan bangsawan berada
dikursi sebelah barat.
Tentu saja kemunculan dua orang bangsawan
muda itu menarik perhatian, karena pakaiannya yang
salah lobang kancing. Sedang yang seorang lagi cara
berpakaiannya, mirip laki-laki tapi gerakan dan tindak tanduknya mirip wanita,
Namun penerima tetamu segera mempersilahkan keduanya untuk menduduki
kursi sebelah barat.
Seorang laki-laki berjubah merah semerah da-
rah dengan hiasan benang-benang emas tampak berdi-
ri dari kursinya. Laki-laki ini berwajah lebar. Berhidung mancung agak besar
bagian pangkal hidungnya.
Sepasang matanya agak sipit karena kedua pipinya
menggembung. Berkumis dan berjanggut putih dan
berikat kepala dari kain sutera hitam berukir kembang dari benang emas. Dialah
si Pendekar Kipas Maut.
"Terima kasih atas kesediaan saudara-saudara
untuk mengunjungi tempat tinggalku dalam rangka
memperingati hari ulang tahunku yang ke tujuh puluh
ini. Hari ini aku sangat bergirang hati karena masih punya kesempatan mengundang
saudara-saudara.
Tentu saja atas susah payah anda sekalian melang-
kahkan kaki ke tempatku ini kami akan memberikan
sedikit imbalan dengan sekedar jamuan. Dan tentu sa-
ja tak lupa kita saling mendoakan semoga kita semua
diberi panjang umur, hingga kita dapat berjumpa mu-
ka lagi di tahun depan..."
Tepuk tangan riuh menggema di dalam ruan-
gan gedung, ketika si Pendekar Kipas Maut berhenti
berkata. "Terima kasih! Terima kasih!" Laki-laki tua ini mengangkat kedua tangannya dan
menjura ke arah
para tetamu. Pada saat itu tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan hijau ke arah
depan. Tahu-tahu sesosok tubuh telah berdiri di hadapan si Pendekar Kipas Maut.
"Aku si Ular Kobra Hijau mengucapkan selamat
ulang tahun yang ketujuh puluh padamu sobat Pende-
kar Kipas Maut!" seraya berkata orang ini membungkukkan tubuh menjura pada si
pendekar tua. Sang
pendekar tua ini terkejut melihat kemunculan orang
ini, karena dia merasa tak mengundangnya. Akan te-
tapi orang sudah datang dan menjura padanya. Cepat-
cepat dia balas menjura. Tapi alangkah terkejutnya dia ketika merasakan satu
kekuatan hebat telah menyerang ke arahnya. Rupanya gerakan menjura itu telah
dibarengi oleh serangan dahsyat yang sukar diduga.
Namun sebagai pendekar tua kawakan Pende-
kar Kipas Maut maklum kalau sang tamu tak diun-
dang itu sengaja menjajal ilmunya. Segera dia kerah-
kan tenaga dalam untuk menolak kekuatan serangan
si Ular Kobra Hijau.
Kelihatannya kedua orang itu sama-sama sal-
ing menjura oleh para tetamu lainnya. Akan tetapi sebenarnya telah terjadi
saling hantam dengan serangan tenaga dalam. Tampak tubuh si pendekar tua
bergoyang-goyang. Jubah putihnya berkibaran. Serangan
tersembunyi itu mampu ditangkisnya. Namun diam-
diam laki-laki tua ini terkejut, karena dadanya terasa sesak akibat gempuran
tenaga dalam sang tetamu. Ta-pi hal itu tak membuat dia sampai terhuyung. Hanya
tampak tubuhnya sedikit bergoyang-goyang.
Adapun pada pihak si Ular Kobra Hijau tak
mengalami perubahan apa-apa. Tubuhnya tak ber-
goyang sedikitpun. Tapi dia cukup terkejut. Karena tak menyangka kalau si


Dewa Linglung 15 Orang Orang Lapar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Kipas Maut mampu
menghalau serangannya, hingga tenaga kekuatan se-
rangannya seolah-olah lenyap sirna.
"Ah, maafkan aku si tua bangka yang rudin ini
telah berani datang tanpa diundang! Tapi aku men-
do'akan semoga kau panjang umur!"
"Terima kasih! Terima kasih! Aku yang tua dan
berilmu rendah ini telah mendapat kunjungan anda,
sobat Ular Kobra Hijau..! Bukannya aku tak mau men-
gundangmu, tapi usia tua ku telah membuat aku ba-
nyak lupa pada sahabat-sahabat lama kaum Rimba Hi-
jau. Terima kasih atas sumbangan anda..." sahut Pendekar Kipas Maut dengan
ramah. Tapi diam-diam wa-
jahnya berubah merah. Karena cara yang dilakukan
sang tetamu tak diundang itu boleh di katakan cara
busuk dan tidak sopan yang bisa membuat malu di-
rinya sebagai tuan rumah.
Melihat keadaan tuan rumah serta sikap mere-
ka, rupanya diantara para tetamu telah bisa menduga
apa yang telah terjadi. Tampak tiga laki-laki berbaju kuning melompat berdiri.
Dan dengan gerakan ringan
secara berbareng mereka berkelebat ke arah depan.
Ternyata ketiganya tak lain dari Si Tiga Setan Tengga-ra. Di bagian para tetamu
sebelah barat yang diperuntukkan kaum saudagar dan bangsawan, tampak dua
laki-laki bangsawan muda saling berbisik. "Agaknya pesta bisa menjadi kacau.
Lihat! si Tiga Setan Tenggara mulai ikut campur tangan. Hm, mereka pasti mau
cari muka di hadapan si Pendekar Kipas Maut!" bisik si gadis penyamar.
"Biar saja! biar tambah ramai! Bukankah keda-
tangan kita mau menonton keramaian?" sahut si laki-laki salah lobang kancing.
Sementara itu keadaan di ruangan perjamuan
jadi tegang. Karena begitu jejakkan kaki di lantai si Ti-ga Setan Tenggara
langsung membentak.
"Heh! Ular Kobra Hijau! kami sebagai tetamu
undangan merasa berhak menegur caramu yang ku-
rang ajar itu. Perbuatanmu bukan saja tak meman-
dang muka pada tuan rumah, tapi juga bisa kami ang-
gap suatu penghinaan buat kami! Kukira disini bukan
tempatnya untuk kau menunjukkan kehebatan ilmu
pukulan tenaga dalammu. Kalau sampai terjadi apa-
apa jangan harap kau bisa lolos dengan keadaan hi-
dup!" Pendekar Kipas Maut cepat-cepat menjura pada ketiga orang ini.
"Sobat-sobatku, tenanglah! Jangan menambah
persoalan. Silahkan duduk kembali...! Dan kepada so-
bat Ular Kobra Hijau, silahkan mencari tempat duduk!"
kata si pendekar tua seraya menoleh pada laki-laki
berjubah hijau bertampang angker itu.
Akan tetapi laki-laki ini mendengus. Matanya
melotot melihat pada ketiga laki-laki baju kuning dihadapannya. Tapi segera dia
perdengarkan suara tertawa sinis, "Hm, ternyata Tiga Setan Tenggara punya
martabat yang sedemikian tingginya. Memang bukan tem-
patnya di ruangan ini untuk menjajal ilmu! Tapi bukankah di luar gedung ada
tempat yang baik" He he...
sudah lama aku ingin melihat kehebatan orang terna-
ma yang punya nama besar di Tenggara!"
"Cukup! cukup! kita sudahi saja persoalan ini.
Harap kalian para tetamuku segera mengambil tempat
duduk..!" sentak si Pendekar Kipas Maut mencegah ke-ributan.
Merasa ditantang bertarung tentu saja Tiga Se-
tan Tenggara merasa dirinya pengecut bila tak mene-
rima tantangan. Apalagi secara kebetulan si Ular Kobra Hijau punya silang
sengketa lama dengan mereka.
"Bagus! agaknya kami Tiga Setan Tenggara
memang perlu memberi pelajaran padamu agar dapat
berlaku sopan dilain hari!" ujar salah satu dari Tiga Setan Tenggara. Dia
seorang yang berperawakan kekar,
bermuka persegi. Dialah yang menjadi ketua diantara
ketiga kelompok ini, yang bernama Bagol Bikrama.
"Maafkan kami, sobat pendekar Kipas Maut!
Kami perlu mengajar adat pada manusia ini agar tahu
sopan-santun!" Saat itu si Ular Kobra Hijau telah berkelebat keluar gedung
terlebih dulu. Tak ayal si Tiga Setan Tenggara segera berkelebat menyusul.
Pendekar tua ini jadi terkejut, dan tak berdaya untuk mencegah.
Bahkan dia tak dapat mencegah tetamunya yang seba-
gian telah bubar dan berlompatan keluar gedung un-
tuk menonton pertarungan.
"Hayo, kita menonton..! pertarungan ini pasti
menarik!" kata si bangsawan muda pada kawannya si gadis penyamar. Keduanya tak
menunggu-nunggu la-ma lagi segera berlompatan keluar gedung. Suasana
pesta ulang tahun dalam sekejap telah berubah men-
jadi pesta pertarungan.
Pendengar Kipas Maut cuma bisa geleng-
gelengkan kepala melihat kejadian itu. Dia tak turut keluar, tapi berdiri
termangu di pintu gedung.
"Haih! sengaja aku menjauhi persengketaan,
tapi justru malah mengundang persengketaan,.!"
menggumam si pendekar tua seraya menarik napas.
Sementara itu halaman gedung dalam sekejap saja te-
lah penuh dengan orang yang mau menyaksikan perta-
rungan. Ular Kobra Hijau telah berhadap-hadapan
dengan lawan bertarungnya, si Tiga Setan Tenggara.
EMPAT Haha...hehe... sudah kuduga Tiga Setan Teng-
gara yang punya martabat tinggi mana mau disebut
pengecut tak punya nyali" Hm, apakah kalian memang
sudah mempersiapkan diri untuk berurusan dengan-
ku?" berkata sinis si Ular Kobra Hijau.
"Tidak salah! kami memang mau menyelesaikan
hutang lama. Kematian seorang saudara seperguruan
kami apakah bisa kami lupakan begitu saja?" sahut Bagol Bikrama dengan ketus.
"Memang tidak aneh! dan sudah kuduga! Kini
kalian telah memasuki aliran lurus karena sudah bo-
san main-main dilumpur hitam. Kalau kalian cari mu-
ka pada tuan rumah si Pendekar Kipas Maut memang
wajar! Dulu kalian menganggap kematian saudara se-
perguruanmu adalah wajar, karena kita masih satu
aliran. Dan aku mengirim nyawanya ke Akhirat, kare-
na saudara seperguruanmu telah melakukan penyele-
wengan dalam pembagian rezeki! Kalau kalian kini
menuntut kematiannya memang sudah kuduga!" ber-
kata Ular Kobra Hijau.
"Tutup mulutmu!" bentak Bagol Bikrama den-
gan wajah seketika berubah merah padam. Gusarnya
tak alang kepalang karena si Ular Kobra Hijau telah
membeberkan kisah lama mereka yang hitam. Apalagi
mereka dikatakan "mencari muka" pada si pendekar tua tuan rumah.
Dua orang kawannya pun memerah wajahnya.
Set! Set! Set! Serentak mereka segera mencabut senjata dari
balik punggung. Inilah senjata andalan mereka, yaitu tombak pendek bermata
tujuh. "Tak perlu dan tak ada gunanya kita bersilat lidah. Segera bersiaplah kau Ular
Kobra untuk mengha-
dapi senjata kami!" bentak Bagol Bikrama. Dua orang kawannya yang bernama Bagol
Benggala dan Bagol
Bagal tanpa menunggu lama segera menyerang secara
berbareng. Ular Kobra Hijau mendengus. Sejak tadi dia te-
lah mempersiapkan diri untuk menghadapi ketiga la-
wannya. Sepasang lengannya tampak mengepulkan
uap tipis berwarna hijau. Ketika senjata-senjata lawan meluruk deras ke arahnya,
secepat kilat dia melompat ke udara... Gerakan jungkir balik itu dibarengi
dengan hantaman pukulan maut ke arah batok kepala lawan.
Whuk! Whuk! Akan tetapi Setan Tenggara telah menarik se-
rangan dan melompat berpencar ke kiri dan ke kanan.
Mereka tahu lawannya bukan lawan enteng. Dan ke-
waspadaan mereka dilipat gandakan. Mereka tahu
akan bahayanya uap hijau lawan.
Bagol Bikrama menerjang dengan hantaman
pukulan yang disertai sambaran senjata ke arah ping-
gang. Ular Kobra Hijau memang bermata jeli. Dia su-
dah menduga akan serangan lawan. Lengannya men-
gibas menghantam tanah. Mendadak tubuhnya me-
lambung dengan meminjam tenaga pukulan. Loloslah
serangan lawan. Dan dengan ringan kedua kakinya
hinggap ditanah.
Terdengar suara tepukan riuh memuji dari se-
bagian penonton. Agaknya jurus yang dipergunakan
Ular Kobra Hijau amat bagus.
Merahlah wajah si Tiga Setan Tenggara. Bagol
Bikrama tiba-tiba bersuit nyaring memberi tanda. Se-
ketika menerjanglah ketiganya dan mengirim hanta-
man dan serangan-serangan maut bertubi-tubi.
Dalam sekejap saja yang nampak adalah cuma
bayangan-bayangan hijau dan kuning saling berkele-
batan, diiringi bentakan-bentakan keras merobek uda-
ra. Jurus-demi jurus terus berlalu. Serangan-
serangan hebat si Tiga Setan Tenggara memang luar
biasa. Tombak mata tujuh mereka seperti bayangan
maut yang menusuk dan menerjang bertubi-tubi.
Agaknya ketiganya berniat cepat-cepat menghabisi la-
wannya. Tampaknya Ular Kobra Hijau agak kewalahan
menangkis dan menghindari serangan itu. Bahkan dia
tak punya kesempatan untuk melepaskan pukulannya
yang mengandung uap racun. Apalagi dia harus meng-
hadapi tiga lawan sekaligus. Namun segera nampak
kelebihan dari laki-laki bertampang angker ini. Karena tampak dengan mudahnya
dia menangkis dan menghalau serangan.
Sementara itu dua bangsawan tiruan yang tu-
rut menyaksikan mulai berbisik-bisik. "Kita bertaruh!
kau pegang siapa yang menang?"
"Baik! Apa taruhannya?" kata si gadis penyamar. "Kalau kau menang dalam
perjalanan besok
aku akan menggendongmu. Kalau kau kalah kau yang
menggendongku!" sahut si bangsawan kawannya.
"Huh! taruhan macam apa itu" Aku tak mau! Sudahlah, tak perlu pakai taruhan
segala...!" desis si gadis penyamar dengan muka merah jengah. Diam-diam hatinya
menjadi geli. Kawannya itu memang lagaknya
konyol. "Aku pegang si Ular Kobra Hijau. Dia yang akan memenangkan pertarungan
ini" kata si gadis penyamar. "Hm, kalau aku pegang yang menang sajalah!"
berkata si pemuda kawannya dengan menyengir.
"Kau ini mengajak orang bertaruh, tapi tidak
sungguh-sungguh" Huuuh! dasar pemuda konyol! Ce-
riwis lagi!" gerutu si gadis penyamar.
"Aku sungguh-sungguh! bukan saja aku meme-
gangnya, tapi aku akan memeluknya"
"Terserah kaulah! hari ini kau memang mulai
bicara melantur! Dan..., apakah kau... mulai linglung"
Dasar si...."
"Ssssssst!"
Cepat-cepat si pemuda kawannya menaruh te-
lunjuk di depan mulutnya.
Peringatan itu membuat si gadis penyamar ter-
sadar bahwa dia hampir terlepas bicara. Untung saja
suaranya tertahan. Dan perhatian orang tengah tertuju pada jalannya pertarungan.
Pada saat itu si Ular Kobra Hijau mengeluarkan
bentakan keras. Tubuhnya mencelat setinggi lima
tombak. Ketika menukik sepasang lengannya teren-
tang. Terdengarlah jeritan-jeritan saling susul ketika gelombang uap hijau
meluncur dari sepasang telapak
tangannya. Kejadian itu begitu cepat. Rupanya si Ular Kobra Hijau telah
menyiapkan serangan maut itu, dan
mencari peluang yang tepat. Tiga batang tubuh si Tiga Setan Tenggara terjungkal
roboh dan berkelojotan me-regang nyawa. Dalam waktu tak berapa lama ketiga
tubuh laki-laki itu terkulai dan melepaskan nyawa,
dengan kulit muka berubah menghijau. Uap racun ga-
nas si Ular Kobra Hijau tua ini telah menewaskan me-
reka. Kejadian itu membuat semua penonton meme-
kik kaget. Keadaan yang tadinya tegang itu berubah
jadi kengerian. Karena seketika semua menatap pada
si Ular Kobra Hijau dengan marah. Mereka tak me-
nyangka kalau manusia itu tega menurunkan tangan
keji. Apalagi mereka mengetahui kalau si Ular Kobra
Hijau adalah bukan orang undangan si tuan rumah.
Benar saja! Saat itu juga telah berkelebat me-
lompat lima orang laki-laki ke hadapan tokoh golongan
hitam ini. "Manusia pengacau! kau telah seenaknya saja
menyebar maut ditempat kami. Perbuatanmu yang ku-
rang ajar dan tak tahu sopan-santun pada ketua kami
saja sudah dapat membuat kami dari pihak tuan ru-
mah untuk mengusirmu! Kini kau menebar maut pula
terhadap tiga orang tetamu terhormat kami yang sen-
gaja datang jauh-jauh untuk menghadiri upacara
ulang tahun ketua kami!"
"Hm, siapakah kalian?" berkata si Ular Kobra Hijau dengan suara dingin.
"Kami Lima Elang Cakar Besi!" kelima orang ini mempekenalkan diri.
"Heh! apakah kalian juga akan menunjukkan
kepandaian di hadapanku?" bentak si Ular Kobra Hijau dengan suara sedingin es.
"Keparat! kami bukan mau menunjukkan ke-
pandaian. Tapi akan mengusirmu seperti mengusir
anjing kurap, karena kau telah membuat kekacauan
pesta!" bentak ketua dari Lima Elang Cakar Besi dengan menggembor marah.
"Bagus! kalau kalian dapat mengusirku, aku
berjanji tak akan muncul lagi di Rimba Hijau untuk se-lamanya!" sumbar si Ular
Kobra Hijau dengan tertawa sinis. "Keparat! manusia sombong sepertimu yang telah
banyak menumpuk dosa dan menebar maut sudah
tak layak diusir lagi, tapi dikirim ke Neraka!" bentak Lima Elang Cakar Besi.
Dan secara serentak mereka
menerjang dengan senjata-senjata Cakar Besi yang
menjadi andalan mereka.
Pertarungan kedua tak dapat dihindarkan lagi.
Lima tokoh persilatan yang memang adalah orang-
orang dari pihak si tuan rumah ini dengan ganas me-
lakukan serangan-serangan. Ular Kobra Hijau perden-
garkan dengusan. Sekejap saja tubuhnya lenyap dian-
tara kelebatan senjata-senjata lawan. Gerakan laki-laki tokoh hitam ini memang


Dewa Linglung 15 Orang Orang Lapar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luar biasa gesitnya, walaupun kelima lawannya telah mengurung rapat dengan
serangan-serangan gencar.
Sementara itu di dalam gedung keadaan para
tetamu undangan jadi kacau dan diliputi ketakutan.
Terutama dari kaum para saudagar dan bangsawan.
Mereka mulai mengkhawatirkan keselamatan diri me-
reka. Pendekar Kipas Maut sendiri seperti kebingungan untuk mengambil langkah
apa yang akan diperbuat-nya. Mencegah pertarungan sudah tak memungkinkan
lagi. Pada saat itu tiba-tiba terdengar jeritan dari arah ruang dalam gedung,
disusul teriakan-teriakan
riuh. "Rampok! Rampok! Kejaar! Tangkaap...!" Dan lapat-lapat terdengar pula
teriakan, "Penculik! To-looong! Den Ayu Setyorini diculik!" Dan disusul pula
oleh suara-suara bergedubrakan serta jerit-jerit mengerikan.
"Celaka! apa yang terjadi?" sentak si Pendekar Kipas Maut.
Detik itu juga dia telah berkelebat melompat ke
ruangan dalam. Hampir saja dia bertubrukan dengan
beberapa orang anak buahnya yang justru tengah ber-
lari memasuki ruangan pertemuan.
"Apa yang terjadi" Katakan cepat!" bentak laki-laki tua ini.
"Celaka, ketua...! Ada beberapa orang pengacau
memasuki gedung bagian belakang. Dua orang men-
dobrak pintu kamar ketua. Kami berusaha menggem-
pur untuk meringkus, tapi mereka berilmu tinggi. Dua
kawan kami tewas, dan kami sendiri terluka. Mereka
merampok harta benda dan-dan kami tak tahu apa
yang terjadi dengan Den Ayu Setyorini. Kami hanya
melihat bayangan-bayangan berkelebat dari jendela
ruangan kamar Den Ayu...! Kemudian secepatnya kami
kemari untuk memberitahu ketua!" melapor salah seorang dari kedua orang pengawal
gedung itu. Tampak
bahu dan lengannya mereka terluka dan mengucurkan
darah. "Bodoh! mengapa bisa terjadi demikian" Kemana pengawal gedung yang
lainnya?" sentak si Pendekar tua dengan wajah pucat.
Mendadak... ya! mendadak sekali, secepat kilat
kedua pengawal gedung itu tiba-tiba menusuk dan
menabaskan golok-golok ditangannya. Kejadian itu be-
gitu cepat dan di luar dugaan. Tak ampun lagi lam-
bung si Pendekar Kipas Maut telah terhunjam oleh go-
lok hingga amblas hampir ke gagangnya. Dan tabasan
golok pengawal yang satu lagi merobek pinggang si
pendekar tua. Terbelalak mata laki-laki ini. Seketika tubuhnya
terhuyung. Darah menyembur dari lukanya.
"Hahaha... siapa yang bodoh, pendekar tua"
Justru kaulah yang bodoh! Karena semua ini telah
kami rencanakan!" berkata salah seorang pengawal gedung dengan tertawa
menyeringai. "Keparat! Siapa sebenarnya kalian?" bentak Pendekar Kipas Maut dengan wajah
pucat pias. "Haha..haha... kami adalah komplotan ORANG-
ORANG LAPAR!"
"Bedebah laknat!" menggerung marah pendekar tua ini. Walau keadaannya amat
mengiriskan hati, tapi laki-laki tua ini masih mampu melancarkan serangan
ke arah dua pengawal gedung palsu itu.
WHUUUK! WHUUUK!
Dua hantaman sekaligus bertenaga dalam cu-
kup tinggi dari sisa-sisa kekuatannya menerjang dua
laki-laki itu. Angin panas menyambar dahsyat! tapi
dengan cepat keduanya bergulingan menghindar.
Bhlarr! Terdengar suara berderak keras. Tiang
penyangga gedung hancur dan roboh terkena hanta-
man angin pukulannya. Dua manusia licik itu berge-
rak cepat dan melompat berdiri. Mendadak mereka me-
lepaskan senjata-senjata rahasia ke arah si pendekar tua yang tengah terhuyung-
huyung menahan tubuhnya itu.
Pada saat yang sama dua sosok bayangan ber-
kelebat memasuki ruangan.
"Celaka!" terdengar teriakan terkejut. Salah sa-tu bayangan mendadak berkelebat
ke arah sang pen-
dekar tua yang telah terluka parah. Dua larik sinar ungu menyambar ke arah
meluruknya senjata-senjata
rahasia tersebut. Seketika itu juga buyarlah senjata-senjata rahasia mengandung
maut itu dan terhantam
balik ke arah penyerangnya.
Terdengarlah jeritan-jeritan menyayat hati di-
iringi robohnya dua pengawal gedung palsu itu. Seku-
jur tubuhnya penuh tertancap paku-paku beracun mi-
lik mereka sendiri. Setelah berkelojotan sesaat antaranya kedua manusia busuk
itu melepaskan nyawa.
Ternyata si penolong ini tiada lain adalah salah
satu dari dua bangsawan penyamar. Ketika mendengar
kegaduhan di dalam gedung mereka segera berkeleba-
tan masuk untuk mengetahui apa yang terjadi.
"Sobat tua Pendekar Kipas Maut, apakah yang
terjadi?" teriak si pemuda salah lobang kancing seraya melompat mendekati.
Terkejut pemuda bangsawan penyamar ini me-
lihat keadaan si tuan rumah yang mengiriskan. Darah
mengucur dari lukanya yang merobek pinggang. Dan
sebuah golok terhunjam di lambungnya.
"Terima kasih atas bantuanmu, sobat-sobat te-
tamuku..." kata laki-laki tua ini menatap kedua bangsawan muda dihadapannya. Dia
mengetahui barusan
nyawanya dalam bahaya dan telah diselamatkan oleh
salah seorang diantaranya. Akan tetapi bahaya lain terus mengincar, disamping
keadaan si pendekar tua
sudah diambang maut.
Mendadak terdengar suara tertawa mengikik
yang mendirikan bulu roma disusul berkelebatnya se-
sosok bayangan. Sekejap di ruangan itu telah berdiri sesosok tubuh dari seorang
wanita berbaju merah berkembang-kembang warna putih. Akan tetapi berkulit
muka hitam dan wajahnya tak sedap dipandang. Wani-
ta ini bermuka kasar berbibir tebal. Kedua daun telinganya lebar mengenakan
anting-anting besar. Sorot
matanya tajam menggidigkan.
"Mawar Beracun...!?" sentak si Pendekar Kipas Maut terkejut.
"Hihihi.. bagus! kau masih mengenaliku pende-
kar tua, di saat maut sudah diambang pintu. Sebenar-
nya aku memang malas turun tangan untuk mengha-
bisi nyawamu yang sudah pantas pensiun! Dan aku te-
lah mewakilkan beberapa orang muridku untuk menja-
lankan tugas dengan menyamar sebagai pengawal-
pengawal gedung!"
"Apa maksudmu sebenarnya" mengapa kau
bertindak sepengecut ini?" menggeram si Pendekar Kipas Maut.
"Hihihi... Aku telah masuk dalam komplotan
Orang-Orang Lapar! Tugasku adalah merampas harta
bendamu, karena kau telah menolak untuk membantu
perjuangan kami. Aku mengetahui kau mempunyai
banyak simpanan. Ketahuilah, bahwa setiap perintang
perjuangan kami harus dilenyapkan! Aku telah meng-
hasut anak-anak buahmu, dan hampir sebagian bera-
da dipihakku! Dan kau tahu, siapakah si Ular Kobra
Hijau" Dia adalah suamiku yang turut mendukung
perjuanganku! Hihi... kini kau adalah seorang yang
paling miskin dan paling rudin, Pendekar Kipas Maut!
Bahkan kematianmu amat hina dari rendah, karena
harus mati di tangan anak buahku. Di tangan orang-
orang berkepandaian rendah! Kematian dua anak bua-
hku itu tak ada artinya. Bahkan anak-anak buahku te-
lah berhasil menculik anak gadismu Setyorini! Anak
gadismu akan kami jadikan komplotan Orang-Orang
Lapar!" LIMA Amarah si Pendekar Kipas Maut laksana meng-
gelegaknya lahar panas kawah gunung yang mau me-
ledak! Tubuhnya tergetar bergoyang-goyang. Wajahnya
sebentar pucat sebentar merah. Giginya gemeretuk
menahan geram. "Manusia tidak tahu membalas budi!" membentak laki-laki pendekar tua ini.
"Patutkah aku membantu perjuangan kaum pemberontak kerajaan Mataram"
Padahal pihak Kerajaan berupaya mempersatukan se-
luruh wilayah dan bertindak adil serta bijaksana dalam pemerintahannya! Belasan
tahun kau mengabdi padaku, dan belasan tahun aku menaruh kepercayaan pa-
damu. Bahkan kau sudah kuanggap sebagai keluarga
sendiri. Tapi beginikah balasanmu" Secara diam-diam
kau memasuki komplotan manusia-manusia serakah!
manusia-manusia tamak, yang tak menghargai tujuan
mulia pihak Kerajaan. Manusia-manusia yang memen-
tingkan hawa nafsu belaka! Hatimu telah tercemar oleh racun! betapa nistanya!
betapa terkutuknya! Ooooh!
kau memang sungguh-sungguh manusia terkutuk!" teriak si Pendekar Kipas Maut
dengan suara menggetar.
Sementara itu kedua bangsawan muda sama-
ran cuma terpaku mendengarkan. Wanita berwajah hi-
tam itu perdengarkan suara tertawa dingin.
"Hihi.... Kalau hatiku tercemar racun memang
tepat. Karena sejak empat tahun yang lalu aku meng-
hilang dari sini, aku telah bergelar si Mawar Beracun!
Dan bukanlah kau telah mengetahui pula" Sayangnya
kau tak mengetahui rencana yang telah kupersiapkan,
hingga terpaksa kau harus menebusnya dengan mah-
al!" Kembali wanita ini mengikik tertawa.
"Iblis keparat!" mendadak si pendekar tua
membentak keras. Lengannya bergerak menghantam.
Hawa panas menyambar ke arah si Mawar Beracun.
Serangan itu disusul oleh kilatan sinar perak yang menyambar bagaikan kilatan
lidah petir ke arah wanita itu. Ternyata itulah senjata Kipas Maut si pendekar
tua yang dipergunakan untuk membinasakan manusia tak
tahu membalas budi itu.
Akan tetapi detik itu bayangan si wanita berke-
lebat cepat menghindarkan diri. Dan selarik sinar kuning memapaki serangan Kipas
Maut si pendekar tua.
Terdengar suara berdesing, dan...
Pras! Kipas Maut si pendekar tua mencelat menjadi
dua potong. Ketika wanita itu jejakkan kakinya di lantai, ditangannya telah
tergenggam sebuah pedang ber-
sinar kuning. Membelalak mata si Pendekar Kipas Maut.
"Kau.. kau telah mencuri pedang Mustika Emas milik-ku?" gembor si pendekar tua.
"Hihihi... sudah sejak lama pedang pusaka ini
berada ditanganku!"
"Kau... kau... jahanam! Ke... parat!" Gemboran si Pendekar Kipas Maut mendadak
diiringi dengan ter-jungkalnya tubuh yang limbung itu. Darah kental me-
nyembur dari mulutnya ke lantai, bercampur dengan
ceceran darah dari luka-lukanya yang sudah sangat
parah. Si pemuda bangsawan samaran terkejut. Dia
memburu ke arah pendekar tua itu. Pada saat itu ter-
dengar suara tertawa mengikik si Mawar Beracun.
"Hihihi... kau pemuda bangsawan palsu! Aku
telah mengetahui siapa dirimu. Silahkan kau datang
ke desa Wabah Kusta untuk mencariku! Ajaklah serta
kawan gadismu. Bukankah dia tengah mencari jejak
pembunuh orang tuanya" Dia ada didesa Wabah Kus-
ta!" Selesai berkata bayangan tubuh si Mawar Bera-
cun berkelebat dan lenyap dari ruangan itu.
Pemuda ini melompat mengejar disusul oleh ke-
lebatan tubuh si gadis penyamar kawannya. Akan te-
tapi saat itu bersamaan dengan munculnya puluhan
manusia yang berjejalan memasuki ruangan gedung.
Terpaksa keduanya menahan langkahnya.
Belasan orang memburu ke arah si Pendekar
Kipas Maut yang terkapar bermandikan darah. "Celaka! ketua terbunuh! Ketua kita
tewas terbunuh!" Beberapa orang berteriak. Mendadak satu bentakan keras
menggema di ruangan itu.
"Pasti kalian pembunuhnya! Heh! jangan harap
kau dapat meloloskan diri!" Tahu-tahu tiga orang telah berkelebat ke hadapan si
kedua bangsawan samaran.
"He" tunggu dulu! Kalian jangan menuduh
orang sembarangan!" teriak si pemuda dengan wajah pucat. Demikian juga gadis
penyamar kawannya. Wajahnya seketika berubah pucat. Dia melangkah maju
dan berkata. "Memang benar, bukan kami yang membunuh
beliau. Justru kami tengah mengejar..." Akan tetapi ketiga orang itu telah
membentak "Jangan coba-coba menipu kami! Sudah sejak
semula kedatangan kalian amat mencurigakan. Kalian
bangsawan-bangsawan palsu yang menyamar!"
"Enak saja kau bicara! Apakah kau bisa mem-
buktikan?" sanggah si pemuda dengan bertolak pinggang. "Huh! pakai bajupun salah
lobang kancing! Kalau pakaianmu bukan boleh meminjam, tentu hasil
mencuri!" kata laki-laki bertampang angker ini seraya menunjuk pada baju si
pemuda. Tentu saja membuat si pemuda cepat melirik
pada bajunya. "Celaka aku...! Haih! aku kurang teliti memasang kancing baju..."
Mata pemuda ini mendelik kaget ketika mengetahui keadaan pakaiannya.
Pada saat itu beberapa orang yang memeriksa
dua orang mayat yang terkapar di ruangan itu berteriak. "Lihat! Ini dua orang
kita...! Kalau bukan dua cecunguk ini yang telah melakukannya, habis siapa la-
gi?" Membentak marah ketiga orang itu. Dan tanpa
menunggu waktu lagi mereka segera menyerang den-
gan senjata-senjatanya yang telah sejak tadi telanjang.
Terpaksa kedua "bangsawan" ini harus mempertahankan nyawanya. Mereka berkelit
gesit menghindari se-
rangan dan mencoba menerobos keluar dari pintu
ruangan. Tapi puluhan manusia semakin banyak men-
gurung mereka. Sementara itu pertarungan di luar gedung telah
sejak tadi berakhir. Lima Elang Cakar Besi tampak
berkaparan tak bernyawa. Dan entah sejak kapan le-
nyapnya si Ular Kobra Hijau, karena sosok tubuhnya
tak kelihatan lagi.
"Celaka...! apa yang harus kita lakukan?" bisik si pemuda pada kawan gadisnya.
"Kita terobos saja kepungan mereka, dan bu-
nuh setiap yang menghalangi!" bisik si gadis penyamar. "Jangan sembarangan
membunuh orang! Uru-
san bisa bertambah runyam!" bisik si pemuda.
"Habis apa yang akan kita lakukan" Berdiam


Dewa Linglung 15 Orang Orang Lapar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri dan membiarkan mereka membantai kita?" sungut si gadis. "Hm! aku akan pakai
caraku sendiri!"
Mendadak gadis ini membuka jubah bangsa-
wannya dan melemparkan ke lantai. "Hayo, tanggalkan pakaian sial itu! tak ada
gunanya lagi kita menyamar!"
berkata si gadis seraya membersihkan kumis pal-
sunya. Mau tak mau pemuda ini segera membuka ju-
bah samarannya dan membantingnya di lantai. Saat
itu semua mata tertuju pada keduanya. Kini di hada-
pan mereka terlibat dua orang remaja. Yang seorang
adalah pemuda berpakaian putih dari kain kasar yang
serba gombrong. Dan seorang lagi adalah gadis muda
berusia kira-kira 18 tahun berwajah cantik dengan
rambut dikepang dua.
Empat orang kekar berpakaian hitam dengan
simbol kepala tengkorak berwarna putih melompat ke
depan. "Bagus! kiranya kalian datang sengaja menga-caukan pesta. Dan dengan cara
membokong telah
membunuh Pendekar Kipas Maut! Sebutkan siapa se-
benarnya kalian sebelum kami mengirim nyawa kalian
ke Neraka!" bentak salah seorang.
"Bukan kami yang... yang... "berkata gagap si pemuda dengan paras berubah pucat.
Akan tetapi saat
itu si gadis berkepang telah melompat dan mendorong
tubuh si pemuda, dengan mata membeliak lebar.
"DEWA LINGLUNG! kau ini seorang pendekar
ataukah seorang pengecut" Jelas kita difitnah! Bukan mustahil kalau semua ini
telah mereka rencanakan!
Membunuh mereka sama artinya dengan membunuh
komplotan Orang-Orang Lapar!" Tentu saja seketika wajah keempat laki-laki
berbaju hitam bersimbol kepala tengkorak itu jadi berubah terkejut.
Perubahan wajah itu segera dimanfaatkan oleh
si gadis. "Hei! kalian semua majulah, kalau mau mam-
pus di tangan si Pendekar Naga Merah alias si Dewa Linglung!" berteriak lantang
gadis ini seraya mencabut senjata sepasang tombak pendek berumbai kain merah
dan kuning dari pinggangnya.
"Haiih! anak bengal!" gerutu pemuda ini dalam hati. Siapa adanya orang ini
memang tak lain dari
Nanjar alias si Dewa Linglung. Tentu saja dengan begi-ni mereka tak perlu
menutupi diri lagi.
"Benarkah kau si Dewa Linglung?" sentak
keempat laki-laki itu dengan kaki tak terasa menyurut mundur.
"Apa yang dikatakan nona Milani sahabatku ini
memang benar! Namaku Nanjar, dan kaum Rimba Hi-
jau menggelariku dengan julukan si Dewa Linglung...."
berkata Nanjar dengan tersenyum.
"Nah! apakah kalian semua percaya kalau seo-
rang pendekar seperti si Dewa Linglung yang jelas be-
rada dijalan lurus telah main bokong membunuh si
Pendekar Kipas Maut yang juga berada di aliran lu-
rus?" berteriak lantang si gadis bernama Milani ini.
Beberapa orang yang turut mengurung menda-
dak melompat maju. Dan salah seorang berkata. "Kami dari perguruan Merak Sakti
menyatakan bahwa hal ini
adalah tidak mungkin. Ini memang suatu fitnah keji
yang telah direncanakan!"
"Aku si tua bangka juga sependapat dengan so-
bat-sobat dari perguruan Merak Sakti!" seorang kakek berpakaian bertambalan
mirip pengemis melompat ma-ju. Kakek tua ini menjura pada si Dewa Linglung.
"Nama asliku Beng Sam Kun. Sudah sejak lama
aku mengabdi pada Kerajaan Mataram. Ayahku dari
Tartar. Ibuku asli pribumi. Sungguh girang hatiku dapat berjumpa dengan anda
sobat Pendekar Dewa Lin-
glung yang telah kudengar kehebatan serta perjuan-
gannya menegakkan keadilan!"
Nanjar cepat-cepat balas menjura. "Ah, ilmuku
yang rendah dan sedikit perjuanganku itu belum be-
rarti apa-apa, sobat pendekar Beng Sam Kun. Orang
hanya melebih-lebihkan saja..." kata Nanjar merendah.
Tapi diam-diam dia terkejut, karena jelas ditempat itu banyak tokoh-tokoh sakti
dari pihak kaum pendekar.
Bahkan terdapat diantaranya orang-orang Kerajaan
Mataram. Ketika menjura tadi terasa ada kekuatan te-
naga yang menindih ke arah dadanya. Tapi Nanjar su-
dah maklum kalau si kakek pengemis cuma menguji
saja. Cepat-cepat dia gunakan jurus tenaga dalamnya
Menolak Angin Menghalau Hujan. Kekuatan tenaga da-
lam yang menghimpit dada sekejap telah punah. Jurus
itu dipergunakan ketika balas menjura.
Hal ini berbeda dengan tenaga dalam yang di-
kerahkan si Ular Kobra Hijau terhadap si Pendekar Ki-
pas Maut. Karena si Ular Kobra Hijau menggunakan
tenaga keras untuk menghantam. Sedangkan si kakek
pengemis Beng Sam Kun menggunakan tenaga halus
untuk menindih. Menghantam dan menindih adalah
sangat berbeda. Kalau menghantam bisa membuat se-
suatu yang dihantam menjadi hancur. Akan tetapi me-
nindih tidaklah demikian. Nanjar menduga hal itu adalah sudah menjadi adat
kebiasaan si kakek untuk ber-
kenalan pada seseorang.
Benar saja! Karena di telinga Nanjar mendadak
terdengar suara halus si kakek Beng Sam Kun. "Sobat Dewa Linglung! Aku berada di
pihakmu...!" Nanjar tersenyum dan manggut-manggut menatap si kakek pen-
gemis. "Ah! Kami sebenarnya tak tahu menahu dengan urusan ini. Kami hanya
menerima undangan. Tentu
saja kami berada di pihak si tuan rumah. Kalau yang
membunuh adalah komplotan Orang-Orang Lapar se-
perti yang dikatakan nona muda ini, mungkin saja be-
nar. Tapi kalau menuduh kami adalah anggota dari
komplotan itu, tentu saja kami menolak!" kata laki-laki yang berdiri agak depan.
"Sebenarnya tuduh-menuduh tanpa alasan itu
tidak dibenarkan. Biarlah aku si tua bangka hina-dina ini mewakilkan nona Milani
untuk menyampaikan
maaf, dan menyudahi urusan sampai disini!" berkata si kakek Beng Sam Kun
menengahi. "Saat ini kita tengah berkabung dengan kema-
tian salah seorang sahabat kita dari kaum pendekar.
Yaitu Sobat Pendekar Kipas Maut! Sebaiknya kita le-
kas-lekas mengurus jenazah! Di tempat ini memang
sukar dibedakan mana kawan dan mana lawan. Tapi
sebagai orang yang telah berkecimpung di dunia persilatan tentu bisa waspada!"
sambung si kakek penge-
mis. "Kalau begitu kami mohon diri. Dan kamipun mohon maaf pada sobat pendekar
Dewa Linglung atas
kekeliruan kami!" Selesai berkata keempat laki-laki itu menjura, kemudian
balikkan tubuh dan menyeruak
keluar dari kerumunan orang.
"Haih! hampir saja persoalan akan menjadi le-
bih rumit! Untunglah kau orang tua sobat Beng Sam
Kun dapat mencari jalan keluar. Kami berdua mengu-
capkan terima kasih atas dukungan kalian semua,
hingga kami terhindar dari fitnah!" kata Nanjar seraya menjura pada si kakek
pengemis dan orang-orang dari
perguruan Merak Sakti.
"Kalau urusan sudah beres, biarlah aku angkat
kaki lebih dulu!" Tiba-tiba si gadis Milani balikkan tubuh dan berkelebat keluar
gedung. "Hei! mau kemana kau adik Milani" Tung-
guu...!" teriak Nanjar terkejut.
"Aku akan ke desa Wabah Kusta mencari pem-
bunuh ayah ibuku!" teriak Milani. Sesaat masih terlihat bayangan tubuhnya yang
berkelebat melompat dari
sebuah jendela bulat di sisi ruangan gedung.
"Celaka! pasti dia ngambek padaku!" berkata dalam hati si Dewa Linglung. Pada
saat itu si kakek
pengemis Beng Sam Kun berkata.
"Silahkan sobat menyusulnya. Biarlah menge-
nai urusan pemakaman jenazah, kami dan kawan-
kawan lainnya yang mengurus!"
Sejenak Nanjar menatap pada laki-laki tua ku-
rus berjubah putih itu, kemudian menyapukan pan-
dangannya pada orang-orang perguruan Merak Sakti.
"Ya, biarlah kami yang akan mengurus!" kata salah seorang.
"Baiklah! sekali lagi kami mengucapkan terima
kasih!" Selesai berkata tubuh sang Pendekar Naga Merah berkelebat, dan lenyap
dari pandangan mata, tak
tahu kemana arah keluarnya dari gedung itu. Cuma
mata tua yang tajam dari si kakek Beng Sam Kun saja
yang mengetahui.
Semua orang yang berada ditempat itu mengge-
leng-gelengkan kepala penuh kekaguman. Demikian
juga halnya orang-orang perguruan Merak Sakti. Pe-
muda itu seperti punya ilmu menghilang saja. Sekejap mata telah lenyap dari
hadapan mereka.
ENAM Kemana gerangan perginya si gadis bernama
Milani itu" Benarkah dia pergi karena ngambek alias
marah pada Nanjar si Dewa Linglung" Apakah tujuan-
nya memang ke desa Wabah Kusta untuk mencari
orang yang telah membunuh kedua orang tuanya"
Dengan gerakan cepat bagaikan seekor wallet,
Milani menuruni bukit sebelah barat. Sengaja dia
mengambil arah lain dan tak melalui pintu masuk ke
tempat gedung dilereng bukit yang ada di sebelah uta-ra.
Entah beberapa saat dia berlari, ketika sayup-
sayup telinganya mendengar suara memanggil na-
manya di kejauhan. Dia tahu itu suara Nanjar si Dewa Linglung. Tapi dia tak
memperdulikan. Bahkan mem-percepat larinya. Dalam beberapa saat saja dia telah
memasuki hutan belukar.
Dia terus berlari dan berlari menembus hutan,
kemudian menyusuri tepi sungai berbatu-batu. Dan
baru berhenti ketika cuaca mulai berubah gelap. Ter-
nyata hari telah menjelang senja.
Milani duduk di atas batu besar diseberang
sungai. Pandangan matanya menjalari sekitarnya.
"Jejak si pembunuh kedua orang tuaku telah
kuketahui, walau aku belum menemukannya. Aku ya-
kin si Mawar Beracun tidak berdusta..." berkata Milani dalam hati. "Tapi yang
membuat aku heran, mengapa dia mengenal diriku" Dan mengetahui maksud tujua-
nku?" Milani tercenung beberapa saat. Tiba-tiba gadis ini mendadak melompat
berdiri. "Aku tahu sekarang! Aku pernah melihat dia
ketika aku tengah bercakap-cakap dengan si Dewa
Linglung di sebuah kedai..." desisnya pelahan.
"Pasti dia orang yang duduk di meja belakang,
karena mejanya tak terlalu jauh dari mejaku. Benar!
pantas dia mengenali si Dewa Linglung, juga mengena-
liku. Tentu dia membuntuti ketika kami mencuri pa-
kaian bangsawan di sisi sebuah kota!"
Sejenak Milani mengingat kejadian beberapa
hari yang lalu. Kemudian dia merenung mengingat per-
temuan dengan pemuda bernama Nanjar itu hingga
sampai ke tempat ini.
Ketika itu Milani tengah berada di sebuah kota
yang cukup ramai. Kota itu baru pertama kali dising-
gahinya. Sejak dia kembali dari perguruan dan menge-
tahui kejadian yang menimpa kedua orang tuanya, Mi-
lani pergi mengembara. Dia berniat mencari jejak si
pembunuh ayah ibunya.
Ayahnya adalah seorang bangsawan yang men-
jabat sebagai Kepala Desa. Sejak berusia tiga belas tahun dia menggemari ilmu
bela diri. Itulah sebabnya
ayahnya mengirim dia ke sebuah perguruan silat di
sebuah tempat yang cukup jauh. Dan belajar ilmu bela diri pada seorang tua yang
bernama Ki Tanumbala. Se-
tahun sekali dia pulang untuk menemui kedua orang
tuanya. Empat tahun sudah dia belajar ilmu kedig-
jayaan. Dan dia berhasil menamatkan pelajaran. Tapi
alangkah terkejutnya ketika dia kembali pulang pada
keempat kalinya telah menjumpai keadaan gedung
tempat tinggalnya telah berubah menjadi puing. Dari
keterangan penduduk segera diketahui bahwa kedua
orang tuanya telah tewas terbunuh.
Ternyata tak seorangpun yang mengetahui sia-
pa pembunuhnya. Mereka hanya melihat api berkobar
dimalam hari membakar gedung tempat tinggal kedua
orang tuanya dan memusnahkan bangunan itu. Dari
beberapa mayat yang terbakar mereka mengetahui di-
antaranya terdapat mayat kedua orang tua Milani.
Akan tetapi walau siapa adanya manusia keji
yang telah melakukan perbuatan biadab itu tidak diketahui, telah diketemukan
sebuah benda oleh salah seorang penduduk. Benda itu berada didekat mayat ayah-
nya. Yaitu sebuah benda berupa gelang berbentuk
ular, terbuat dari emas. Dan sepotong lengan yang putus sebatas pergelangan.
Dapat diduga sebelumnya telah terjadi perta-
rungan terlebih dulu. Dan si penjahat terpapas putus pergelangan tangannya.
Benda itu disimpan oleh orang yang menemukan. Dan diberikan pada Milani ketika
gadis itu pulang.
Dengan berbekal benda itu sebagai tanda pen-
genal si pembunuh orang tuanya dia mengembara. Da-
lam pengembaraan dia telah berjumpa dengan Nanjar
yang secara kebetulan telah menolong dirinya dari sergapan sekelompok pembegal
yang berniat memperko-
sanya. Selagi Milani termangu-mangu tanpa disadari
cuaca bertambah gelap. Sadarlah dia kalau hari telah berganti malam.
"Oh! Aku harus mencari tempat bermalam" desisnya tersentak. Malam yang dingin
itu dilewati si gadis dengan tidur dicabang pohon. Baginya selama pen-
gembaraan hal itu sudah terbiasa.
Ketika menjelang pagi dia terbangun, hidung-
nya mengendus bau sedap yang menusuk hidung. Dia
melompat turun dan berkelebat ke arah sungai. Sete-
lah membasuh muka Milani mulai mencari-cari dari
arah mana datangnya bau sedap seperti bau wanginya
panggang daging. Mendadak dia merasa perutnya ber-
bunyi berkeriutan. Agaknya cacing-cacing perutnya
sudah mulai menggeliat minta makanan.
Mendadak dia melihat cahaya api dari balik
semak belukar. Tak ayal segera dia berkelebat ke arah cahaya itu. Selang sesaat
dia melihat seonggok api unggun ditengah hutan kecil. Di atas kayu yang telah


Dewa Linglung 15 Orang Orang Lapar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi bara itu segumpal daging kelinci yang hampir matang berada di atas
panggangan. Dari sinilah rupanya bau sedap yang menimbulkan rasa lapar perut-
nya itu. Sejenak Milani memperhatikan sekitarnya. Hatinya berkata.
"Aneh! seseorang pasti tengah memanggang
daging ditengah hutan ini. Tapi kemana gerangan si
pemilik daging panggang?" Watak bengalnya mendadak timbul. "Hm, perduli dengan
siapa pemiliknya. Aku dapat memintanya nanti setelah aku mengisi perutku!"
Sekali bergerak melompat dia telah berada di-
dekat api unggun. Air liurnya hampir menetes melihat daging panggang yang telah
matang kekuning-kuningan di atas panggangan api unggun. Tak berayal
lagi lengannya segera terjulur untuk menyambar kayu
penusuk daging panggang.
Akan tetapi mendadak terasa ada angin ber-
syiur. Tahu-tahu makanan lezat didepan mata itu telah lenyap. Terkejut Milani.
Tak terasa dia melompat mundur. Hampir saja dia berteriak kaget, karena tahu-
tahu terdengar suara tertawa geli terbahak-bahak. Ketika
dia menengadah, tampak seseorang berpakaian serba
gombrong, berambut gondrong tengah duduk dicabang
pohon. Ditangannya tercekal daging kelinci panggang
yang tadi lenyap didepan matanya.
Bukan main terperanjatnya dia ketika menge-
tahui siapa adanya orang itu. Karena tiada lain dari Nanjar alias si Dewa
Linglung. "Oh! kau.... kau....?"
"Hahaha.... lain kali kalau mau mencuri ma-
kanan harus permisi terlebih dulu!" berkata Nanjar sambil tertawa dan melompat
turun. Kemudian melemparkan daging kelinci panggang ditangannya ke
arah si gadis. "Nah! makanlah untukmu! Aku hanya bergurau
Matahari Esok Pagi 15 Tokoh Besar Karya Khu Lung Pedang Kiri 9
^