Pencarian

Parit Kematian 2

Dewi Ular Parit Kematian Bagian 2


jelas melayang melintasi pertengahan Parit Kematian. Dan
semburan gas panas mengandung api segera menerjang
tubuhnya. Dalam sekejap saja ia sudah terbungkus api,
lalu dalam sekejap pula api itu padam. Zuuub... ! .
Berubah menjadi gumpalan asap hitam yang
menyentak ke atas satu kali, kemudian lenyap tak
berbekas. Tapi pada saat itu sosok tubuh sexy dan kecantikan
Kumala masih tampak melayang, tanpa luka bakar- sedikit
pun. Bahkan tidak sehelai rambut pun yang terbakar oleh
semburan gas berapi tadi. Hal itu membuat si Jelita diam
tertegun di atas dahan pinus. Sampai-sampai ia, tak
menyadari kalau Kumala Dewi sudah menapakkan kakinya
ke tanah berbulu ungu, dan berdirl di bawah pohon tempat
si Jelita bertengger.
Saat itu si Jelita tampak masih memandang lurus ke
arah parit. Diam tak-bergerak bagaikan seekor burung yang
sudah di air keras dan dipakai sebagai pajangan.
"Hey, burung kejam... ! Aku di bawahmu nih!"
Kumala menegur dengan suara mulut. Burung indah
itu tampak terkejut dan menggeragap. Hampir saja jatuh.
Tapi kepakan sayapnya membuat keseimbangannya
terjaga hingga ia tak jadi jatuh.
Jelita memandang ke bawah. Lalu segera terbang
dan hinggap di dahan lebih tinggi, di pohon yang berbeda.
Ia ketakutan melihat Kumala sudah, ada di bawahnya.
Tanpa luka sedikit pun.
"Hey, kenapa kamu kabur?" ejek Kumala lewat
suara gaibnya. "Katanya kamu menunggu kedatanganku,
dan sekarang aku sudah datang padamu, tapi kamu mau
kabur" Rupanya kamu cuma keren dalam penampilanmu
saja, tapi jiwamu jiwa pengecut. Nggak pantas kamu jadi
penjaga perbatasan ini, Jelita."
"Aku.. aku... eehh... aku bukan pengecut. Aku
hanya... hanya merasa heran...Eeehm, ya, hem..."
"Bicaramu sudah nggak beres. Nggak usah banyak
bicaralah. Sekarang turunlah. Aku sudah melupakan
penghinaanmu tadi. Kita berteman saja, okey" Ayo,
turunlah... !"
seraya tangan kanan Kumala diulurkan ke atas,
berharap dapat sambutan damai dari si Jelita. Tapi
ternyata burung itu termasuk burung bergengsi tinggi.
"Tidak semudah itu menurunkan diriku, Kumala. Aku
bukan burung yang lemah dan..."
Suuut... ! Dewi Ular menarik tangan yang sudah
terulur ke atas itu dalam satu sentakan mundur. Maka,
seketika itu juga Jelita seperti terhisap pusaran badai,
langsung jatuh ke bawah tanpa sempat melanjutkan
kata-katanya. Wuuut...!.
Kumala Dewi segera menangkap Jelita dengan dua
tangannya..Huuup... ! Burung itu meronta sesaat, lalu ia
diam setelah sadar berada di tangan Kumala.
Seandainya tidak ditangkap oleh Kumala, ia akan
terhempas membentur tanah keras-keras.
"Naaah, sekarang aku benar-benar berhasil
menangkapmu, bukan" Kalau sudah begini kau mau apa,
hm"!"
Kumala berkata dengan suara mulut, sambil
tersenyum-senyum riang, tak menampakkan ekspresi
permusuhan sedikit pun. Namun hal itu justru membuat
Jelita jadi bertambah ketakutan. Merasa berada dalam
genggaman lawan. Merasa dirinya tertangkap musuh.
"Aku... kau mau... mau minta maaf. Jangan... jangan
sakiti aku ampunilah aku, Kumala..."
"Hey, burung cengeng kau ini. Kenapa kau
ketakutan" Bukankah sudah kubilang aku ingin
bersahabat denganmu. Aku nggak akan menghukummu,
nggak akan menyakitimu. Paham."
"Taa... tapi... tapi ... "
" Baiklah, supaya kau percaya kalau aku nggak
bermaksud jahat padamu, naah... kulepaskan kau..."
Kumala Dewi merendahkan badan, agak jongkok,
dan melepaskan burung itu ke tanah. Tapi di luar dugaan
begitu kaki burung menyentuh tanah, terjadilah letupan
kecil namun menyemburkan asap tebal. Wuuusssh ! Dewi
Ular kontan melompat mundur hingga hampir saja jatuh
terjengkang. "Ooh, rupanya dia nggak boleh menyentuh tanah"!"
ujar hati Kumala yang masih terpengang.
Mata indah Kumala masih belum berkedip, karena
asap hasil letupan tadi telah hilang dan kini yang ada di
depannya bukan seekor burung melainkan sesosok tubuh
tegap, gagah dan berwajah tampan. Wajah tampannya
yang masih muda sangat pantas jika menjadi coverboy
sebuah majalah remaja.
"Maafkan aku, sekali lagi... maafkan aku."
Cowok ganteng yang bertampang imut itu berlutut
satu kaki di depan Kumala dengan kepala tertunduk,
badan sedikit membungkuk. la tak mengenakan baju, tapi
mengenakan selempang emas, serta pakaian bawah yang
ketat terlilit angkin warna emas pula.
Rambutnya sebahu dijepit dengan ikat kepala yang
mirip mahkota, berhias batu-batu indah.
"Ooo, karnu cowok ya?" gumam Kumala saat
mengakhiri masa terbengongnya. " Bangunlah, nggak perlu
hormat begitu. Aku bukan rajamu dan bukan musuhmu.
Kita temenan aja, ya?"
Pemuda berhidung mancung dengan mata kebiru--
biruan itu perlahan-lahan berdiri, masih bersikap. hormat
dan kikuk. "Terima kasih atas kebaikanmu... eeh. ."
"Tetap saja panggil aku Kumala," potong Dewi Ular
karena ia lihat anak muda itu tampak ragu-ragu untuk
menyebut namanya.
Lalu, Kumala berkata lagi, "Tapi kamu nggak pantas
kalau kupanggil: Jelita. Kamu bukan cewek, tapi cowok.
Jadi,pantasnya..."
"Aku Perwira Muda penjaga wilayah Parit Kematian.
Namaku bukan cowok. Kamu salah sangka, Kumala."
"Cowok itu lelaki, atau jantan. Bukan sebuah nama."
Sambil berkata begitu Kumala tersenyum geli.
Lesung pipit dan keindahan bibimya membuat si Perwira
Muda tertegun mengaguminya sesaat. Lalu, ia buru-buru
tersipu sendiri.
"Jadi siapa namamu?"
"Namaku... Ekapaksi."
"Hmmm, eka itu satu, paksi itu burung. Berarti
kamu..." "Satu-satunya burung yang ada di wilayah sini.
Maksudku... di tanah Kahyangan ini," sahut Ekapaksi
sambil masih kikuk karena sikap hormatnya masih ada.
"Tugasmu menjaga tanah kahyangan ini agar tak
dimasuki pihak asing, bukan?"
"Benar ! Selama ini belum pernah ada pihak lain
yang berhasil menyeberangi Parit Kematian."
"Kalau sampai ada yang berhasil, bagaimana?"
sindir Kumala dengan mata melirik cantik.
" aku terpaksa harus mengusirnya."
"Kalau yang diusir nggak mau pergi, bagaimana?"
"Aku... hmm., yaah... aku terpaksa membunuhnya."
"0, begitu" Jadi, sekarang kamu mau mengusirku?"
"Seharusnya begitu."
"Aku nggak mau pergi."
Kumala melengos dengan kedua tangan terlipat di
dada. Sengaja menggoda hati Ekapaksi agar serba salah
dan kebingungan dalam mengambil sikap.
Ternyata Ekapaksi masih bisa tenang. Ia berkata
dengan lembut namun memiliki ketegasan sikap sebagai
Perwira Muda. "Kalau kau tak mau pergi dari sini... terpaksa aku
harus membunuhmu, Kumala."
Dewi Ular terperanjat. Wajahnya cepat berpaling
menatap tajam. Serius dan mulai tampak berwibawa.
"Kamu mau membunuhku" Aku mengajakmu
berteman, bukan bermusuhan."
"Tidak ada temanku yang berasal dari seberang "
"Kau belum tentu menang melawanku, Ekapaksi.
Bagaimana kalau ternyata kau kalah dalam pertarungan
denganku nanti?"
"Aku harus bunuh diri , Itu sudah menjadi sumpah
perwiraku."
Terbungkam mulut Kumala melihat Ekapaksi yang
tetap tenang tapi juga semakin tampak ketegasannya.
Kedua mata Ekapaksi menatap tegar, mulai memancarkan
cahaya permusuhan.
Kumala Dewi masih diam, karena masih
menimbang-nimbang, apakah tantangan permusuhan itu
harus ia layani, atau ia tinggalkan dengan konsekuensi
harus pergi dari wilayah itu.
*** 4 SEBELUM berangkat menembus dimensi gaib,
Kumala sempat berpesan pada si mungil Barbie. "Selama
kakak pergi, kamu tinggal di sini bersama Kak Ray, ya"
Dan,ingat jangan nakal, jangan bikin ulah dan... pokoknya
jangan macem-macem. Ngerti?"
Barbie mengangguk, tapi juga bernada komplein.
"Di sini sepi, Kak. Lebih baik Kak Ray .yang pindah
ke rumah kita, kan ada Bang Sandhi, ada Bang Buron dan
ada Emak."
"Kak Ray sedang sakit. Makanya dia di sini buat
istirahat."
"Tapi tadi aku lihat Kak Ray sehat-sehat aja kok"
Sakit apaan sih, Kak?"
"Sakit bagian dalamnya. Nggak bisa kelihatan,"
"Ooo... sekarang aku tahu maksud Kak Mala suruh
aku tinggal di sini,"
Barbie tersenyum-senyum sambil matanya melirik
lucu. Sok tua. "Tahu apa maksudmu?"
"Aku disuruh jagain Kak Ray yang sedang sakit kan"
Kalau aku tinggal bersama Bang Sandhi di rumah sana,
maka Kak Ray nggak ada yang menjaganya, begitu kan?"
Sama sekali tak terlintas ide seperti itu di benak
Kumala. Tapi setelah dicerna sesaat, bagus juga ide seperti
itu. Kumala pun mengangguk dengan berpura-pura
tersenyum malu.
"Kamu memang anak pinter, Barbie. Nggak bisa
dibohongi."
"Iya dong, kan adiknya Kak Mala, harus pinter. Ya,
kan?" "Benar, benar... ," Kumala manggut-manggut
menyenangkann hati gadis kecil itu. Katanya lagi, "Habis,
nggak ada orang lain yang kakak percayai untuk menjaga
sakitnya Kak Ray kalau bukan kamu, Barbie.Tapi, kakak
takut Barbie kesel kalau kakak terang-terangan suruh
Barbie jagain Kok Ray."
"Aku nggak kesel kok. Kakak tenang aja deh. Kalau
soal jagain sakitnya Kak Ray, aku bisa kok. Jangan kuatir
dijamin aman deh," sambil mengacungkan jempol.
Lagaknya lucu, membuat Kumala geli dan merasa
sedikit tenang. Setidaknya kenakalan Barbie untuk
sementara tidak terlalu mengkhawatirkan.
Biar pun nakalnya bukan main, tapi anak itu
ternyata punya kecenderungan untuk bertanggung jawab
terhadap tugas dan janjinya.
Terbukti sejak kepergian Kumala ia tak pernah bikin
ulah yang menjengkelkan Rayo. Ia justru tampak riang dan
betah tinggal di villa itu. Mungkin karena Rayo sendiri
pandai mengambil hati Barbie, memahami kemauan anak,
mengerti kejiwaan bocah, sehingga anak itu merasa
mendapat teman sebaya sepermainan.
Sejujurnya Rayo mengakui bahwa ia justru terhibur
di pengasingan bersama Barbie. Anak itu lucu dan
menyenangkan baginya. Sesekali ada kebandelan itu hal
yang biasa bagi seorang anak. Rayo dapat memakkuni.
Tapi dalani banyak hal Barbie bisa bersikap patuh dan bisa
memahami kemauan Rayo.
"Nah, sekarang Barbie mandi dulu karena sudah
sore, ya?"
"Tapi habis mandi, Kak Ray dongeng lagi, ya?"
"Jangan habis mandi, Sayang Habis maem aja
dongengnya."
"Iya deh, habis makan aja."
Menurut pengamatan Rayo, anak itu punya sifat
tidak mau diperintah secara paksa: Ada semacam gengsi
yang tumbuh dalam jiwa anak itu jika diperintah secara
paksa, atau diperlakukan sebagai anak kecil yang harus
patuh pada semua perintah. Barbie itu anak yang cerdas,
tapi juga kritis dan ceriwis.
Rasa ingin tahunya terhadap persoalan apa saja
telah membuat anak itu menjadi kritis dan ceriwis. Jika
ditanggapi dengan kesabaran, maka secara otomatis ia
akan merasa puas. Dan, jika ia sudah puas maka ia akan
hargai lawan bicaranya. Seperti halnya ketika Barbie
menanyakan sakitnya Rayo, sebelum ia mendapat
penjelasan yang bisa diterima oleh logika anak-anaknya,
maka ia akan bertanya-tanya terus.
"Aku heran, kata Kak Mala, Kak Ray sakit. Tapi kok
aku. lihat Kakak makannya banyak. Kalau jalan masih
tegak, nggak lemes, dan nggak merintih-rintih., Sebenarnya
Kak Ray sakit apa?"
Setelah berpikir sejeriak Rayo memberikan jawab
yang sangat sederhana dan mudah dipahami.
"Kak Ray sakit perut, Sakitnya kadang datang,
kadang ilang. Jadi nggak setiap saat Kak Ray merintih-
rintih" "Ooo... ," Barbie mengangguk-anggukkan kepala.
Menandakan bahwa keterangan itu bisa diterima oleh


Dewi Ular Parit Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

logjka anak-anaknya.
"Kakak udah periksa ke dokter, lalu dokter bilang
bahwa kakak sakit karena kecapekan bekerja. Jadi, kakak
diharuskan untUk beristirahat. Kalau kakak tinggal di
rumah sana, kakak nggak bisa istirahat. Pasti ada teman
datang yang ngajak main atau ngajak kerja. Jadi, kakak
memilih istirahat di tempat itu."
"Ooo...," Barbie manggut-manggut lagi. "Kak Ray
mau nggak aku pijitin, biar capeknya hilang."
"Mau. Tapi besok saja. Sekarang udah malam. Udah
jam... sepuluh," sambil menunjuk jam dinding yang ada di
kamar tidur itu. "Karena sudah larut malam, jadi Barbie
harus bobo. Supaya besok bisa bangun pagi, bisa dengerin
Kakak mendongeng lagi. Ya?"
"He,eh... ! Besok aja dipijitnya yang, Kak."
Seandainya saat itu ada Kumala, atau Sandhi,
Buron, atau Mak Bariah, maka mereka akan tercengang
heran melihat kepatuhan Barbie kepada Rayo.
Tanpa banyak protes lagi Barbie berbaring sambil
memeluk boneka Panda nya. Rayo menyelimutinya dengan
rapi, lalu memberi ciuman di kening bersamaan dengan
ucapan selamat tidur. Setelah mematikan lampu utama
clan menyalakan lampu tidur, Rayo pun berbaring di
samping anak itu.
Walau sebenarnya Rayo belum mengantuk sedikit
pun, namun is harus berpura-pura tidur juga supaya Barbie
merasa diperlakukan setara dengan diri Rayo.
Jika anak itu sudah tertidur nyenyak, Rayo baru
turun meninggalkan ranjang, mengerjakan sesuatu yang
menjadi urusan pribadinya.
Udara dingin dan suasana sepi di villa itu sering
membuat Rayo tak betah melek sampai lewat pukul dua
belas tengah malam. Padahal jika ia di rumahnya sendiri, ia
jarang tidur sebelum lewat satu malam. Sekarang di vil a
itu ia menjadi orang yang cepat mengantuk. Dia perkirakan
hal itu berhubungan dengan kondisi kehamilannya.
"Terserah, mau ada hubungannya atau nggak,
sebaiknya nggak usah kubahas sendiri. Bukankah Lala
sudah berpesan agar aku jangan memikirkan kehamilanku
ini, karena menurutnya hal itu hanya akan buang-buang
energi. Cuma bikin pusing aja. Toh sebentar lagi Lala akan
selesaikan urusannya dengan pihak Kahyangan dan janin
yang kukandung ini akan dikembalikan kepada pemilik
sebenarnya, sesuai janji paman Dewa Jenaka."
Benar. Rayo tidak mau berpikir tentang.
keganjilannya itu. Ia merasa lebih baik mengikuti hawa
kantuknya daripada harus mengalami tekanan batin akibat
memikirkan kehamilannya. Maka pukul sebelas lewat,
Rayo sudah tidak ingat apa-apa lagi hanyut ke alam
mimpinya. Nyenyak.
Hanya saja, kenyenyakan tidur itu kali ini terganggu
oleh tangan Barbie yang mengguncang-guncang lengannya.
Barbie membangunkan tidur Rayo dengan satu alasan
klise. "Aku pengen pipis, Kak."
"Ya, ke kamar mandi sana. Jangan lupa nanti
diguyur ya?"
"Anterin, Kak takut."
"Aduuh, Barbie... kemarin malam kamu keluar
masuk kamar mandi sendirian nggak takut. Masa'
sekarang takut"!" tapi Rayo tetap saja bangun melayani
kemanjaan Barbie. Selesai buang air kecil, Barbie
mendapat teguran dari Rayo.
"Lain kali kalau mau pipis nggak usah bangunin
kakak, ya" Soalnya, kalau kakak sudah tidur, lalu
dibangunkan, maka akan sulit untuk tidur kembali."
"Iya, Kak."
"Nggak usah pakai alasan takut lagi. Kakak tahu,
Barbie anak pemberani. Nggak pernah punya rasa takut
pada siapa pun. Jadi, Barbie jangan bohongin kakak lagi
dengan alasan takut, ya?"
Barbie mengangguk "Iya. Sebenarnya aku bangunkan Kakak bukan karena takut ada setan."
"Tuh ! , bener kan. Lantas, karena apa?"
"Karena aku mau kasih tahu Kakak, tapi takut kalau
nggak dipercaya."
"Mau kasih tahu apa maksudmu?"
"Hmmm, mau kasih tahu... di luar rumah ada orang,
Kak." Diam sebentar Rayo menyimpulkan ucapan anak itu.
"Dia mau dekatin rumah ini, Kak."
"Orang... orang apa maksudmu?"
"Orang itu mau jahat sama Kakak."
Makin berkerut dahi Rayo, makin tajam matanya
memandang Barbie. Yang dipandang sebentar-sebentar
memperhatikan ke arah pintu. Hal itu membuat Rayo
bertambah curiga.
"Barbie, kamu sungguh-sungguh bicara begitu?"
"Kalau nggak percaya, coba Kakak intip dari balik
gordyn depan. Kakak akan lihat seorang perempuan berdiri
di depan pintu gerbang sana. Dia pakai topi, kayak anak
lelaki." Penasaran hati Rayo jadinya. Ia ingin buktikan kata-
kata anak itu, sebab ia sudah punya banyak informasi
tentang kelebihan bocah berwajah boneka ini.
Dengan hati-hati sekali Rayo keluar dari kamar,
diikuti oleh Barbie. Mereka menuju ruang tamu yang
sengaja tidak dinyalakan lampunya.
Dalam keadaan gelap Rayo menyingkap sedikit
gordyn penutup dinding kaca yang menghadap ke arah
depan. Dari situ ia dapat memandang ke arah pintu
gerbang yang berjarak 30 meter dari tempatnya berada.
"Astaga..."!" ucap Rayo.
Ternyata yang dikatakan Barbie memang benar. Ada
orang yang berdiri di depan pintu gerbang. Orang itu
sendirian, mengenakan celana jeans, jaket, dan
mengenakan topi biru. Cahaya lampu taman membias
sampai sana, sehingga siapa pun yang berdiri di sana akan
kelihatan dari tempat Rayo mengintip.
"Dia bukan perempuan, tapi lelaki," bisik Rayo.
"Bukan lelaki, Kak. Dia itu perempuan. Tapi dia
pakai topi dan celana panjang, jadi seperti lelaki."
"0, gitu?" Rayo mengintai kembali.
Orang tersebut masih berdiri di tempatnya dengan
kedua tangari dimasukkanke dalam saku jaketnya. Lalu,
Rayo kembali bicara pada Barbie.
"Menurutmu dia itu. siapa" Pencuri atau
perampok?"
"Nggak tahu. Pokoknya, dia punya niat jahat. Dia
bukan orang biasa. Dia punya ilmu juga, seperti Kak Mala."
"Oh, dia punya kekuatah gaib"!"'
"iya. Punya kekuatan gaib. Sebentar lagi dia akan
buat semua listrik di sini padam."
"Wah, gawat! Sebaiknya kita...,"
Blaaap... ! Rayo belum selesai bicara, listrik sudah
padam lebih dulu. Semua tempat menjadi gelap. Bukan
hanya lampu di villa itu saja yang padam, tapi lampu
jalanan dan di vil a lain juga padam.
"Barbie, sini ikut kakak ke kamar. Kakak mau ambil
HP buat telepon polisi." Rayo berusaha menggenggam
tangan Barbie untuk dibawa masuk ke kamar.
"Nggak usah telepon orang lain, Kak. Tenang aja,
aku mau nyalakan semua lampu yang padam in."
"Barbie, kamu. .."
Kaki anak kecil itu menghentak ke lantai satu kali
sebelum Rayo selesai bicara.
Duugh... ! Maka, seketika itu juga semua lampu meniadi
menyala. Bahkan lampu yang semula memang
dipadamkan ternyata ikut menyala juga. Lampu jalanan
yang padam sejak tiga hari yang lalu, kini menyala terang.
Semua lampu menyala dua kali lipat lebih terang dari
aslinya. Rayo sempat tertegun kagum memandangi Barbie.
Tapi dia segera ingat tentang orang misterius di gerbang
sana, maka ia pun buru-buru mengintip lagi dari balik
gordyn yang tadi.
"Orang itu masih ada!" bisik Rayo. "Tapi dia sudah
berada di halaman kita. Belum jauh dari pintu gerbang sih,
dari mana dia bisa masuk, padahal pintu gerbang terkunci
dan tampaknya tidak dirusak sedikit pun?"
"Kakak heran, ya?"
Teguran pelan Barbie membuat Rayo sadar bahwa
keajaiban seperti itu mestinya sudah bukan sesuatu yang
mengherankan lagi baginya. Pasti perempuan bertopi biru
itu menggunakan kekuatan gaibnya untuk bisa menembus
gerbang besi tinggi itu.
"Bie..., sekarang dia sedang kebingungan memandang ke sana-sini. Heran melihat lampu menyala
semua, kali ya?"
Barbie ikut ngintip lewat celah gordyn itu juga.
"Dia bukan bingung melihat semua lampu menyala,
Kak. Tapi dia sedang mencari siapa yang menyalakan
lampu-lampu ini,"
Berbie tertawa cekikikan, tapi sangat pelan. Tangan
Rayo buru-buru membungkamnya, karena khawatir
didengar perempuan tersebut.
Blaab... ! Lampu padam lagi.
Sebelumnya Rayo sempat melihat perempuan itu
menjentikkan jarinya, lalu semua lampu menjadi padam.
Maka, Barbie pun segera menghentakkan kakinya ke lantai
seperti tadi. Duugh... ! Dan, semua lampu menyala kembali secara
serentak. Rayo melihat perempuan bertopi itu terperangah
kesal. Lalu, ia berjalan dengan langkah cepat menuju
teras. "Kak, Kak... orang itu mendekati kita!"
"Ssst, iya... kakak tahu. Sebaiknya kakak keluar saja
untuk temui dia dan menanyakan apa maunya."
"Jangan, Kak! Nanti orang itu celakai Kakak."
" Kalau kakak bersikap baik-baik, mungkin dia.. ."
"Pokoknya jangan keluar. Orang itu memang cari
Kakak." "Terus, gimana dong?"
"Aku aja yang temui dia," jawab Barbie dengan
ucapan cepat. Rayo tak sempat melontarkan kata pencegahan,
tahu-tahu anak itu sudah berkelebat pergi. Menembus
pintu. Bluuuss... ! Rayo hanya bisa tercengang melihat kejadian gaib
yang dilakukan bocah sekcil Barbie.
Timbul rasa khawatirnya terhadap Barbie. Rayo tak
ingin terjadi sesuatu yang membahayakan pada diri anak
itu, maka ia segera menyusulnya keluar. Tapi rupanya pintu
tak bisa dibuka..Kunci pinta itu tak berfungsi .
"Pasti dibuat begini oleh Barbie, biar aku nggak bisa
keluar! Sialan tuh anak!" sambil tangan Rayo menyingkap
kembali kain gordyn tempatnya mengintip dari tadi.
Dilihatnya anak itu sedang duduk di tepian tembok
teras yang tingginya hanya satu meter kurang. Barbie
duduk dengan santai, mengayun-ayunkan kedua kakinya.
Tenang sekali. Tak merasa kedinginan sedikit pun, padahal
ia hanya mengenakan rok bertali di pundaknya tanpa
lengan. Perempuan bertopi itu memperlambat langkahnya
setelah menyadari ada seorang anak duduk di teras.
Kedua tangan yang tadi dimasukkan saku jaket, kini
dikeluarkan dengan jari-jari sedikit renggang. Sepertinya ia
bersiap melakukan satu tindakan yang bersifat menyerang.
Atau berjaga-jaga menghadapi bahaya yang sewaktu-waktu
datang menyerangnya.
Semakin dekati teras, semakin lambat langkahnya.
Dari tempat pengintaiannya Rayo bisa melihat jelas raut
wajah perempuan itu. Bahkan ekspresi keheranan
perempuan itu pun bisa terlihat jelas oleh Rayo.
"Mau cari siapa, Bibi?" tegur Barbie dengan tengil.
Perempuan itu tidak langsung menjawab, tapi
menghentikan langkahnya dan menaikkan topinya sedikit,
agar penglihatannya lebih jelas lagi. Barbie cengar-cengir
seenaknya. Tetap tenang.
"Bibi mau cari siapa" Kok nggak jawab sih?"
"Kamu tinggal di sini?"
"He,eh. Kenapa?"
"Mama kamu mana ?"
"Mama itu apa" Ibu, ya" Kalau ibu, nggak ada."
"Lalu, siapa orang yang sedang hamil di rumah ini?"
Rayo terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia
mengusap perutnya dengan dahi berkerut, karena hatinya
bertanya-tanya, apa maunya orang itu dan mengapa
bertanya tentang kehamilan.
"Hamil itu apa sih" Lapar?"
Perempuan itu makin mendekat lagi. Sengaja
membungkuk biar beradu pandangan dengan Barbie.
"Hamil itu perutnya mengandung bayi. Siapa yang
sedang mengandung bayi di rumah ini?"
"Bukan aku kok. Aku kan masih kecil. Mana bisa
perutku dimasuki bayi."
"Aku tahu kalau bukan kamu, tapi siapa?"
"Yaaa, nggak tahu. Tanya aja sama yang lain. Aku


Dewi Ular Parit Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang baru di sini, Bi."
"Kalau begitu aku akan menggeledah rumah ini, dan
mengambil kandungan orang yang sedang hamil."
Wuuut... ! Tahu-tahu gadis kecil itu sudah berdiri menghadang
langkah perempuan bertopi, yang tak lain adalah Mak Ayu.
Keberadaan Barbie yang tahu-tahu menghadang di
depannya sempat membuat Mak Ayu semakin curiga. Ia
tak melihat anak itu berdiri dari duduknya, bahkan tidak
melihat anak itu bergerak turun dari tempatnya semula,
tapi dia bisa dengan cepatnya berada di depan pintu
masuk. "Anak ini bukan sembarang anak," pikir Mak Ayu. "
Tapi kenapa nggak ada getaran energi apapun yang
kurasakan darinya?"
"Bibi nggak boleh masuk!" Barbie merentangkan
kedua tangan saat Mak Ayu maju selangkah.
"Sepertinya aku pernah melihatmu, Nak."
"Aku belum pernah tuh," jawab Barbie dengan
spontan sekali.
Mak Ayu menarik napas panjang.
"Kalau kamu meng,halangi langkahku, kamu akan
menyesal. Jadi, sebaiknya kamu jangan sok tahu begitu,
Nak. Menyingkirlah!"
"Nggak mau."
Barbie bertolak pinggang. Lagaknya semakin tengil.
Mak Ayu menjadi bertambah geram. Rayo sangat khawatir
melihat Barbie bertingkah begitu. Tapi ia hanya bisa
kebingungan sendiri di dalam karena tak bisa membuka
pintu depan. Bahkan ketika ia mencoba mau lewat
belakang, lalu memutar ke samping untuk sampai teras,
temyata pintu belakang pun sulit dibuka. Pintu tembus
garasi sama sekali tak hisa bergerak handlenya.
"Hey, anak kecil nggak baik berlagak begitu sama
orang tua. Kurang ajar itu namanya."
"Biarin."
Mak Ayu menggeram, "Kamu benar-benar memaksaku marah ya",Haah ... "! " Mak Ayu mengayunkan
tangannya untuk menampar wajah Barbie, tapi ayunan itu
tak mengenai apapun selain udara kosong.
Sekali lagi Mak Ayu maju selangkah agar tangannya
bisa menjangkau Barbie. Kemudian, tangan itu diayunkan
kuat-kuat dengan sasaran wajah Barbie.
Wuuuut... ! Kencang sekali. Tapi Mak Ayu seperti menampar
udara. Tanpa mengenai apa-apa.
"Kamu lagi ngapain, Bi" Hihihihi...! " Barbie
menertawakan. Kemarahan tak dapat ditahan-tahan lagi. Mak Ayu
meraih kepala Barbie, menjambak rambutnya, kemudian
dengan sadis ia lemparkan anak itu membentur tiang
teras. Wuuusst... ! "Hahh .."! " Mak Ayu terbelalak kaget. Ternyata ia
tidak melemparkan apa-apa.
Barbie masih berdiri di tempatnya sambil cekikikan
sendiri. "Kurang ajar! Kau berani mempermainkan aku,
Bocah busuk ... !!"
Kini dengan kedua tangannya Mak Ayu menjambak
rambut Barbie, satu tangannya mencengkeram lengan
Barbie. Anak itu diangkat dan dibantingkan ke arah pilar
teras lagi. Wuussst... ! Kejadiannya sama seperti tadi. Tidak ada yang
dibanting oleh kedua tangan Mak Ayu. Padahal tadi dia
yakin betul telah berhasil menjambak rambut dan
mencengkeram lengan anak itu. Tapi kenyataannya ia
hanya seperti membanting udara kosong dengan sekuat
tenaga. Suara Barbie terdengar cekikikan di belakangnya.
Mak Ayu makin dibakar kemarahan. Napasnya
tampak terengah-engah. Dadanya naik-turun dengan jelas
sekali. Tatapan matanya menjadi liar dan beringas,
"Hi hi hi hi... Bibi habis ngapain" Kok ngos-ngosan?"
"Jangan ngeledek kamu, haaagggrrh ... !!"
Tangan kanan Mak Ayu diangkat melebihi kepalanya
Telapak tangan itu seperti terbakar di bagian tengahnya.
Menyala merah seperti bara. Energi gaibnya itulah yang
akan dihantamkan ke tubuh Barbie tanpa ragu-ragu lagi.
Sedikit pun sudah tak ada belas kasihan lagi terhadap
anak itu. Tapi sebelum tangannya Mengayun, Barbie sudah
lebih dulu menudingkan jari telunjuk ke arah Mak Ayu
sambil tetap cekikikan.
"Hi, hi, hi, hi... Bibi tangannya lucu, ada lampunya .
Hihihi ... !"
Wuuuuussss... !.
Tahu-tahu tubuh Mak Ayu seperti diterjang badai
paling ganas. Terlempar ke belakang dengan sangat kuat.
Topinya terlepas dari kepala, rambutnya tampak terurai
panjang. Mak Ayu tak mampu menguasai keseimbangan
badannya: Melayang-layang di udara bebas dalam posisi
telentang. Suaranya mengerang panjang.
Gumprrrraaang , ... !!!!
"Aaahhk ... ! " pekik Mak Ayu, karena hempasan itu
membuat kepalanya beradu keras dengan pintu gerbang
besi. Ia terbanting di sana, lalu terkapar sambil mengerang
kesakitan. Bukan hanya kepalanya yang berdarah dan
dipegangi tangannya, tapi tangan yang satunya juga
memegangi dada yang terasa sakit sekali itu.
Sekujur tubuhnya terasa sakit semua. Tundingan jari
Barbie tadi temyata mengandung kekuatan gaib yang
sangat besar, hingga Mak Ayu terlempar jauh dan
membentur gerbang besi dengan sangat kuat.
Bahkan ketika ia sempatkan melirik dadanya,
ternyata jaketnya telah berlubang sebesar uang logam,
dengan sisa hangus di bagian tepinya. Lubang itu bukan
hanya pada jaket, namun tembus sampai ke baju
dalamnya, bahkan sampai melubangi kulit serta daging di
bagian dada itu. Masih ada asap yang mengepul dari
lubang di dada tersebut.
Mak Ayu benar-benar kesakitan. Nyaris lumpuh
akibat luka bakar di dadanya seperti ikut memutuskan
urat-urat di sekujur tubuhnya. darah yang keluar dari
lubang itu berwarna hitam.
Mungkin darah tersebut ikut terbakar hangus juga.
Rayo berhasil keluar dari rumah dengan cara
memecahkan kaca jendela di ruang makan. Ia segera
menghampiri Barbie dengan sangat tegang. Langsung
memeluk Barbie dalam posisi jongkok.
"Kamu nggak apa-apa, Bie"! Kamu nggak terluka
kan"!"
"Nggak. Bibi yang di sana itu yang terluka. Hi, hi, hi...
tadi dia terbang kayak bungkus roti kena angin,Kak! Lucu
sekali." Rayo Pasca tak bisa ikut tertawa. Ketegangan dan
kecemasan membuatnya tersenyum pun sulit.
"Mana orang itu sekarang, hah" Mana" Kalau dia
mati bagaimana" Kita jadi kena perkara, Barbie. Kita bisa
ditangkap polisi dan dipenjara kalau sampai orang itu tadi
mati! Di mana dia sekarang"!"
"Tuuuh, di pintu gerbang... ! Yuk, lihat dia yuk, Kak!"
Barbie berlari-lari kecil sambil menarik tangan Rayo.
Namun sampai di sana mereka tak menemukan
Mak Ayu. Tidak ada seorang pun yang terlihat melintas di
jalanan depan pintu gerbang itu. Tapi mereka menemukan
sisa tetesan darah hitam di tanah beraspal. Salah satu besi
pintu gerbang juga tampak berlumuran darah yang
warnanya hitam.
"Ke mana perginya orang itu, Barbie"! Kemana,
hah"!"
"Nggak tahu. Tadi aku lihat dia jatuh di sini."
Sambil terengah-engah Rayo memeriksa sekeliling
gerbang. Tapi tidak ada tenda-tanda yang mencurigakan.
Hanya saja, bulu kuduk Rayo jadi merinding lagi, karena
tiba-tiba ia mencium bau wangi kembang sewaktu angin
berhembus pelan menerpanya.
"Bau kembang dari mana ini" Apakah dari tanaman
asli,atau dari alam sana" Hmm, jangan-jangan ini bau
wangi kembangnya orang mati?"
Rayo clingak--clinguk, lalu tiba-tiba ia membungkuk
sambil menyeringai menahan sakit.
"Uhhkk .. !! "
"Kak... " Kenapa " "
"Oouuhhkkk... Cepat kita masuk ke dalam, Bie.. !
Ayo, lekas."
"Tapi... tapi Kak Ray kenapa" Sakitnya kambuh, ya?"
"Iyy, iya... ! Ouuhhff... !"
Rayo tak sanggup lari. Perutnya seperti diremas-remas dan dipelintir-plintir dengan kasar. Belum
pernah ia merasakan sakit perut seperti ini, meski sejak ia
mengalami kehamilan gaib itu. Entah mengapa sekarang
perutnya menjadi sangat sakit, sampai keringat dinginnya
bercucuran membasahi wajah, leher dan dada.
"Aauuhh... ! Aaahhhkk... !"
Barbie membuka pintu rumah dengan mudah sekali.
Tanpa kunci atau benda apapun. Ia menarik tangan Rayo
agar segera masuk, lalu menutup, pintu itu. Lubang kunci
diusap memakai tangan kanannya. Pintu itu telah terkunci
lagi seperti semula.
Saat itu Rayo meringkuk di sofa panjang sambil
mengerang kesakitan. Kadang tubuhnya mengejang demi
menahan rasa sakit yang seharusnya dilampiaskan dengan
teriakan keras-keras.
"Kak..." Kak Ray... ?" suara Barbie tak terhiraukan
lagi . Rayo sibuk menahan rasa sakit itu. Tapi nada suara
Barbie temyata makin lama makin meninggi.
"Kok Ray... "! Kenapa perut Kakak jadi besar... "!
Kak... lihat tuh, perut Kakak jadi besar... !"
Rayo sibuk melawan rasa sakit, Barbie kebingungan
sendiri melihat perut Rayo makin membengkak dan terus
membengkak. 5 KETAMPANAN milik Perwira Muda itu sangat
disayangkan oleh Kumala Dewi kalau sampai habis
terbakar gas beracunnya Parit Kematian. Sejujurnya saja,
Kumala menyukai wajah tampan milik Ekapaksi. Imut.dan
terkesan lugu. Biasanya wajah-wajah seperti itu awet muda. Dalam
perkiraan Kumala, sang Perwira Muda itu baru berusia
sekitar 23 tahun. Tapi dalam kenyataannya mungkin lebih.
Di Kahyangan banyak dewa-dewi yang kelihatan masih
muda belia tapi sebenarnya sudah berusia ratusan tahun.
"Sayang sekali dia terlalu disiplin dalam tugasnya.
Terlalu kokoh memegang sumpah jabatannya. Aku jadi
bingung harus berbuat apa kalau begini," ujar hati Kumala
dengan menutup jalur gaibnya supaya tak didengar
Ekapaksi. Katanya lagi, "Dia tetap mengusirku dari tempat ini.
Kalau aku benar-benar keluar dari batas wilayah
Kahyangan ini, aku merasa sangat dilecehkan olehnya.
Terhina sekali kalau sampai aku diusir keluar dari
Kahyangan untuk yang kedua kalinya. Tapi kalau kulayani
tantangannya, dia pasti kalah. Dan, kalau dia merasa kalah
berhadapan denganku, maka dia akan nekat bunuh diri.
Duhhh, harus bagaimana aku kalau begini ... !!"
Dewi Ular sudah jelaskan, bahwa dia sebenarnya
adalah warga Kahyangan juga, anak dari Dewa Permana
dan Dewi Nagadini. Tetapi agaknya Ekapaksi tidak mudah
mempercayai penjelasan yang datang dari pihak luar .
"Siapa pun bisa saja-mengaku anaknya paman
Permana, atau anaknya dewa yang lain. Pengakuan palsu
seperti itu mudah dilakukan oleh siapa saja. Tapi jangan
harap aku mempercayainya. Karena jika satu kali aku
percaya oleh pengakuan dari pihak luar, maka selanjutnya
aku akan mempunyai kebiasaan begitu. Pada akhirnya
nanti aku akan tertipu oleh penuturan lawan,sehingga
perbatasan ini akan mudah dilalui oleh siapa saja dan dari
alam mana saja. Karena itu, aku mohon maaf... belum bisa
mempercayai pengakuanmu , Kumala "
Juga ketika Kumala Dewi menjelaskan bahwa dia
datang ke Kahyangan karena diundang oleh para dewa
senior, dia dijemput oleh utusan terhormat yaitu Dewa
Jenaka, tapi karena suatu, halangan maka ia terpisah dari
Dewa Jenaka. Penjelasan itu hanya ,membuat Ekapaksi tersenyum
sangat tipis. Menandakan bahwa hatinya sedikit pun tidak
mempercaya penjelasan tersebut.
"Siapa saja bisa mengaku kenal dengan Dewa
Bahakara, atau dewa lainnya. Tapi sekali lagi aku mohon
maaf yang sebesar-besarnya, karena aku belum bisa
mernpercayai pengakuan seperti itu. Jadi, sebaiknya
cepatlah tinggalkan perbatasan ini, Kumala. Atau, kita
tentukan sekarang juga siapa yang harus mati di sini."
Menyedihkan sekali.
"Dia telah menginjak-injak harga diriku dengan halus
dan sangat sopan," pikir Kumala. "Daripada aku pergi
karena usirannya, lebih baik kucoba untuk melumpuhkan
dia, tapi jangan sampai ia merasa kalah dan bunuh diri.
bagaimana caranya?"


Dewi Ular Parit Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari mulut berbibir sensual itu terucap kata-kata
bernada keras yang ditujukan pada Ekapaksi. "kulayani
tantanganmu. Kita tentukan siapa yang mati di sini demi
tugas dan harga diri; kau, atau aku."
Sambil melangkah ke samping untuk mengatur
jarak, Kumala masih terus berpikir mencari jalan yang
terbaik. Dan, tiba-tiba ia dapatkan satu gagasan yang tidak
terlalu cemerlang namun lumayan untuk mengatasi
kebimbangannya sejak tadi.
"Kulumpuhkan dia, tapi jangan sampai mati. Akan
kubuat dia terpuruk tanpa bisa berbuat apa-apa, sehingga
tak punya kesernpatan untuk melakukan bunuh diri."
Ekapaksi pun melangkah ke samping, mengambil
jarak pertarungan, sambil matanya memperhatikan
Kumala lekat-lekat. Seperti sedang mencari tahu, di. mana
kira-kira titik kelemahan lawannya itu. Tiba-tiba terdengar
suara gemuruh seperti gunung runtuh. Suara itu
,menggema ke mana-mana.
Gluuuurrrrrr .... !
Pohon pinus bergetar. Tebing Parit Kematian juga
bergetar, menimbulkan suara aneh tersendiri.
Menyeramkan. Kumala Dewi melirik ke sana-sini
mencari tahu suara apa yang terjadi saat itu. Ekapaksi pun
tidak memperhatikan lawannya lagi, namun justru
memandang ke seberang parit penuh selidik.
Suara gemuruh yang panjang itu kini disusul dengan
suara dentuman kecil, tapi membuat tanah sekitarnya
menyentak-nyentak dalam guncangan lebih hebat lagi.
Jduuur, jduuur, jduuur... !!
Tubuh mereka berdua ikut terlonjak-lonjak tiga kali.
Seperti menaiki truck bak terbuka lalu melintasi polisi tidur
tiga kali. Begitulah kira-kira sentakan tubuh mereka yang
membuat keduanya sama-sama tegang, namun bukan
untuk saling menyerang. Justru tanpa sadar mereka saling
berdekatan dengan pandangan. mata nanar penuh
waspada. "Gemuruh dari mana itu tadi?" tanya Kumala setelah
suara gemuruh hilang dan getaran alam berhenti.
"Entahlah. Tapi sepertinya terjadi di dekat-dekat
sini." Belum sempat Kumala mengajukan usul untuk
sama-sama Memeriksa. situasi perbatasan, tahu-tahu
suara gemuruh itu datang lagi walau tak sekeras tadi-.
Kali ini suara gernuruh itu sangat pelan dengan
getaran alam sekelilingnya juga pelan. Mereka berdua
menjadi seperti berada di atas sebuah ayakan raksasa.
Bergetar terus dalam posisi apa saja. Bahkan kadang oleng
seperti mau jatuh. Jika-bicara suara mereka menjadi
bergetar, mirip vibrasi seorang vocalis yang sedang
menyanyikan sebuah lagu.
"Pertarungan kita tunda dulu, Kumala."
"Aku setuju. Kalau boleh kubantu kau merneriksa
keadaan sekitar wilayah perbatasan ini."
"Untuk apa kau mau membantuku?"
"Sudah kubilang, ayah-ibuku ada di sini dan .. "
Kumala mengalihkan pembicaraan sebentar sambil
memegangi lehernya.
"Aduuh, suara kita kok jadi kayak gini, ya" Kayak
kaset lagu yang pitanya udah kriting."
Dewi Ular tersenyum geli, membuat Ekapaksi pun
merasa geli setelah menyadari suara mereka sama-sama
bergetar. Hanya saja, Ekapaksi tak mau menonjolkan
senyuman gelinya. Mungkin demi menjaga keseriusannya
sebagai seorang Perwira Muda yang tetap menganggap
Kumala musuhnya,maka ia merasa tak layak tampil
cengar-cengir pada saat itu.
Kumala Dewi kembali ke pembicaraan semula,
"Bagaimana dengan usulku tadi" Boleh aku ikut
merneriksa keadaan wilayah ini?"
Ekapaksi tidak menjawab. Diam. Tapi tampak
sedang berpikir mempertimbangkan usulan tersebut. Pada
saat itu, Kumala melihat dua kelebat bayangan melintas di
belakang Ekapaksi.
Wuuut, wuuut . !
Ekapaksi dalam bahaya, pikimya. Maka, dengan
secepat kilat Kumala meraih tangan Ekapaksi dan
menariknya dalam satu sentakkan kuat.
Weess... ! Ekapaksi terpelanting di
belakang Kumala sementara itu kedua tangan Kumala segera menyentak ke
depan dalam posisi satu kaki berlutut.
Buuhk, buttuhk.. "Aaahkk... !"
"Uh,hk.k....!"
Dua pekikan pendek terdengar setelah Kumala Dewi
melepaskan pukulan hawa sakti ke arah dua kelebat
bayangan tadi. Pukulan itu mengenai sasaran. Keduanya
terkapar sambil bersandar pada batang pohon pinus.
Mereka mengerang kesakitan. Dewi Ular mendekati dua
pemuda yang sama-sama mengenakan rompi hitam
berhias, benang emas. Wajah mereka tampan-tampan
walau tidak setampan wajah Ekapaksi.
"Tahan, Kumala. . !" sergah Ekapaksi yang
menyangka Kumala akan menghajar kedua pemuda itu.
"Mereka menyelinap mau menyerangmu dari
belakang."
"Bukan. Mereka anak buahku."
" Ooh ...!!" "
Kumala merasa menyesal bercampur malu. Kedua
anak buah Ekapaksi itu segera dihampiri. Wajahnya sudah
membiru akibat pukulan hawa sakti yang mengenai dada
mereka: Kondisi mereka segera dipulihkan oleh Kumala
Dewi menggunakan hawa murni penyembuh segala
macam luka. "Maafkan aku., Sekali lagi, maafkan. Aku nggak tahu
kalau kau punya anak buah, Paksi."
"Sebagai orang asing, kurasa kau tak perlu
mengetahui hal itu agar kau tak tahu seberapa besar
kekuatan penjagaan di sini."
Ekapaksi membantu salah seorang untuk berdiri.
Getaran alam dan suara gemuruh sudah berhenti. Suara
Ekapaksi terdengar jelas saat menyebut nama kedua anak
buahnya itu. "Azoma, Hasta... bahaya apa yang,kalian hadapi di
ujung parit sana" Jelaskan."
"Tidak ada bahaya dari pihak luar, Paksi, " jawab
Azoma sambil sesekali melirik Kumala penuh curiga.
"Yang muncul adalah bahaya dari dalam," timpal
Hasta. Kedua-alis tebalnya Ekapaksi mengernyit tajam.
"Bahaya dari dalam" Maksudmu suara gemuruh dan
getaran tadi berasal dari pihak kita sendiri?"
"Benar, Paksi," Azoma yang. menjawab, dan agaknya
ia lebih banyak mendapat informasi ketimbang Hasta.
Katanya lagi, "Hyang Dewa Nathalaga sedang
marah. Suasana di Balai Sidang menjadi kacau. Bubar
semua." "Dewa Perang marah"! Gawat!" gumam Kumala, tapi
terdengar oleh Ekapaksi, sehingga Kumala pun sempat
dipandangi oleh Ekapaksi dengan nada heran.
Ekapaksi tak menyangka kalau Kumala mengetahui
bahwa Dewa Nathalaga adalah Dewa Perang.
Namun agaknya Ekapaksi tak mau menunjukkan
rasa heran itu secara lerang-terangan dan berkepanjangan.
Ekapaksi segera beraling pandangan kepada Azoma.
"Lanjutkan keteranganmu, Azoma."
"Mungkin saat ini kemarahan Hyang Nathalaga
sudah reda, karena saat kulinggal kabur ke ujung parit
menghampiri Hasta, Hyang Nathalaga sedang dibujuk dan
ditenangkan oleh beberapa dewa sepuh kita, termasuk
Hyang Dewa Murkajagat."
"Apa yang membuat Dewa Nathalaga marah?" tanya
Ekapaksi. "Kabar yang kudengar, kemarahan itu dikarenakan
utusan yang beliau kirimkan ke bumi sampai batas waktu
ini belum kembali. Utusan itu adalah Dewa Bahakara, alias
Dewa Jenaka."
Ekapaksi melirik sekilas ke wajah Kumala Dewi yang
tampak serius mendengarkan keterangan Azoma. Ekapaksi
teringat pengakuan Kumala tadi. Namun is belum mau
membahasnya, karena masih ingin mendengar penjelasan
Azoma selanjutnya.
"Dewa Jenaka diutus menjemput putri tunggalnya
Dewa Permana yang dulu dibuang ke bumi. Sampai
sekarang keduanya belum menghadap beliau. Padahal
sesuai hasil sidang para dewa senior beberapa waktu yang
lalu, seharusnya hari ini dilakukan upacara agung di
Sasana Dewantara. Dalam upacara agung itu Sang Hyang
Maha Dewa akan hadir secara resmi..."
"Tunggu, tunggu. ," potong Ekapaksi. "Upacara agung
itu untuk keperluan apa?"
"Untuk acara penobatan Manggala yudha...."
"0, siapa yang mau diangkat menjadi senopati
perang?" "Yaaa, putrinya Dewa Permana itulah," sahut Hasta
yang sudah sangat paham, karena sudah lebih dulu
mendapat penjelasan hal itu dari Azoma.
"Begitulah, Paksi Tapi sampai saat ini Dewa Jenaka
belum kembali ke Kahyangan, padahal seharusnya sudah
dari kemarin Dewa Jenaka datang bersama putrinya Dewa
Permana itu. Rencana upacara penobatan agaknya gagal
dilaksanakan saat sekarang ini, sedangkan Dewa Perang
dan jajarannya sudah mempersiapkan upacara agung
secara besar--besaran. "
"Termasuk upacara untuk menyambut kedatangan
sang calon senopati perang kita itu," tirnpal Hasta. "Dengar-
dengar upacara penyambutannya saja akan dilakukan
secara besar-besaran dan meriah. Jadi,menurutku . . wajar
saja kalau Dewa Nathalaga merasa kecewa atas
kelambatan kerja Dewa Jenaka, yang seharusnya sudah
berada di Balai Sidang bersama sang calon senopati itu."
"Tadi kudengar," sambung Azoma, "Hyang Dewa
Nathalaga mau nekat turun ke bumi sendiri menjemput
dan membujuk putrinya Dewa Permana itu untuk dibawa
ke sini. Tapi sepertinya tadi niat itu dicegah oleh Hyang
Dewa Murkajagat. Entah bagaimana keputusan terakhir,
aku sudah pergi lebih dulu.?"
Dewi,Ular diam saja. Bahkan berlagak seolah--olah
tidak tahu menahu tentang hal itu. Tapi dari tadi diam-diam
Ekapaksi menyimpan kegelisahan di hatinya. Sampai
akhirnya ia bertanya dengan suara pelan kepada Azoma,
namun suara itu tetap terdengar sampai di telinga Kumala
Dewi. "Apa kamu tahu, -siapa nama putrinya Dewa
Permana yang mau dinobatkan sebagai senopati perang
kita itu?"
"Apa kamu tidak tahu" Seharusnya kamu lebih tahu
dariku." "Banyaknya anak dewa sepuh kita, mana mungkin
kuhapal semua namanya" Kalau kau tahu, katakan siapa
namanya?" "Hmmmm..., kalau tidak salah namanya... Dewi Ular,
karena ia terlahir dari kandungannya Dewi Nagadini,
ibunya." Hasta menimpali, "Aku juga pernah mendengar
nama Dewi Ular dan beberapa kisah petualangannya.
Kalau tidak salah, dia hidup di bumi dengan nama...
Kumala. hmmm... Kumala Dewi."
Deegh... ! Seperti ada yang menendang jantung
Ekapaksi ketika kedua anak buahnya menyebutkan nama-
nama itu. Matanya melirik cepat ke arah Kumala, dan kala
itu Kumala berlagak cuek, memandang sekeliling ternpat
itu dengan bertolak pinggang.
"Ssst... , apa kalian pernah melihat seperti apa
wajah atau si Dewi Ular itu?"
"Belum," jawab Hasta, dan Azoma menimpali. "Aku
juga belum pernah melihat seperti apa wajahnya."
"Hemm, kalau... kalau wajah dan ciri-cirinya Kumala
Dewi, kalian pernah lihat?"
"Juga belum," jawab keduanya harnpir bersamaan.
Ekapaksi kembali memperhatikan Kumala yang saat
itu sedang, memunggungiriya. Padahal saat itu Kumala
sedang tersenyum menertawakan pertanyaan Ekapaksi
yang dianggap sebagai pertanyaan bodoh, tapi
menggelikan. "Kalau dia?" bisik Azoma. "Dia itu siapa, dan
mengapa ada di sini bersamamu?"
Ekapaksi kebingungan menjawabnya. Mendesah
beberapa kali sambil sebentar-sebentar melirik ke arah
Kumala yang sekarang sudah dalam posisi berhadapan
dengan mereka bertiga. Kumala sengaja menatap
Ekapaksi. Tatapannya lembut, tenang, tapi membuat.
Ekapaksi semakin salah tingkah sendiri.
"Pssst... !" Azoma mendesis sambil mencolek, lengan
Ekapaksi. "Kamu belum jawab pertanyaanku. Dia itu
siapa"!"
Ekapaksi garuk-garuk kepala.
"Tadi memang dia mengaku, bernama Kumala Dewi,
alias Dewi Ular. Juga mengaku sebagai anaknya Dewa
Permana dan Dewi Nagadini, dan mengaku dijemput Dewa
Jenaka untuk dibawa ke sini tapi terpisah dengan Dewa
Jenaka dalam perjalanan."
"Oohh, jadii... jadi dia adalah..."
"Itu pengakuannya!" potong Ekapaksi, sambil
menghindari tatapan mata Kumala dari jarak sekitar
sepuluh langkah.
Tambahnya lagi, "Tidak semua pengakuan adalah
kebenaran yang sejati. Banyak yang celaka akibat


Dewi Ular Parit Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengakuan dusta."
"Dan, lebih celaka lagi orang yang selalu berusaha
menutupi kebodohannya," sahut Kumala sambil berlagak
melihat-lihat arah lain, namun ekor matanya tetap tertuju
pada Ekapaksi. Tiba-tiba terdengar suara Hasta menyentak. "Hey,
lihat itu... !"
Semua terkejut, termasuk Kumala. Hasta menunjuk
ke satu arah. Pandangan mata segera tertuju ke arah
tersebut. Oh, ternyata ada seberkas sinar biru cerah sedang.
melintas di atas perbukitan pinus. Sinar itu bergerak
zig-zag di antara batang-batang pohon pinus.
Dia bergerak menjauhi tempat pertemuan Kumala
dan Ekapaksi itu. Karena munculnya dari balik perbukitan,
maka Ekapaksi tak perlu mengejar, karena ia yakin sinar
itu bukan datang dari pihak lawan.
"Dewa siapa yang pergi itu?" Azoma bertanya lirih
tak ditujukan pada siapa pun kecuali pada diri sendiri. Tapi
dijawab pula oleh Ekapaksi dengan suara pelan.
"Dilihat dari kecerahan warna birunya, sepertinya dia
panglima kita, Zom."
"Dewa Ardhitaka maksudmu" Ah, sinar birunya tidak
secerah itu kok. Ya, kan?" ia berpaling pada Hasta.
"Kalau beliau sedang gusar memang begitu warna
sinarnya," sahut Kumala, membuat kedua anak buah
Ekapaksi tertegun memandangnya, sementara Ekapaksi
tersenyum tipis, terkesan meremehkan pendapat Kurnala
tadi. "Kalau kau masih berada di sini, sebaiknya jangan
sok tahu."
Kumala mau menyangkal, tapi sudah didului suara
Azoma. "Eh, dia kembali lagi! Lihat itu..."
"Iya, dia menuju kemari," timpal Hasta.
Mereka menunggu dengan rasa ingin tahu. Sinar
biru itu meluncur cepat ke arah mereka.
Pada jarak tertentu sinar tersebut pecah dan
padam. Blaab... ! Lalu, tampaklah seraut wajah tua berjubah putih
dan mengenakan ikat kepada dari kain putih sederhana.
Dari raut wajahnya Kumala sangat mengenalinya,
sementara Ekapaksi dan kedua anak buahnya segera
membungkuk sarnbil rnenyilangkan tangan kanan di dada-.
Begitulah cara mereka memberi penghormatan
kepada yang lebih senior.
"Paman Ardhitaka . .. "!" sebut Kumala sambil
tersenyum dengan sedikit membungkukkan badan, tapi tak
sampai menukik seperti yang dilakukan Ekapaksi dan anak
buahnya. "Syukurlah kau sudah berada di sini, Kumala Dewi,"
ujar sang dewa senior, Dewa Bencana. Dialah komandan
pasukan wilayah perbatasan. Praktis dia sebagai
atasannya Ekapaksi.
Oleh sebab itu, Ekapaksi dan anak buahnya
bersikap sangat hormat menyambut kedatangan Dewa
Ardhitaka yang kali ini mengenakan pakaian serba putih.
Ekapaksi sempat berdebar-debar cemas ketika
mendengar Kumala menyapa Dewa Ardhitaka dengan
sebutan paman, dan dengan tetap berdiri tenang, bahkan
wajahnya berseri-seri. Lalu, debar-debar yang dialami
Ekapaksi bertambah kuat dengan kecemasan semakin
membuat kakinya gemetar setelah Dewa Ardhitaka
menyebut nama Kumala Dewi tanpa keraguan lagi.
"Mati aku! Kalau begitu, dia memang benar Kumala
Dewi," keluh hati Ekapaksi sambil menelan ludahnya
sendiri. "Paman, kenapa kali ini Paman mengenakan
pakaian serba putih" Tumben amat?" sambil Kumala
memandangi dari jarak cukup dekat.
"Ketahuilah, Kumala... Nathalaga sekarang sedang
marah, karena si Bahakara atau Dewa Jenaka belum
pulang juga, padahal dia mendapat tugas untuk
menjemputmu "
"Ya, aku sudah mendengar ceritanya dari Azoma
baru saja tadi, Paman," seraya Kumala menunjuk Azoma
yang segera grogi dan salah tingkah. Dia tak menyangka
namanya akan disebutkan oleh Kumala.
Sementara itu, Kumala pun menjelaskan secara
garis besar tentang peristiwa yang membuat dirinya
terpisah dari Dewa jenaka, dan sampai sekarang belum
berhasil bertemu dengan Dewa Penabur Tawa itu.
"Akibat dati keterlambatan ini," kata Dewa Ardhitaka,
"Kakang Nathalaga akan menjatuhkan hukuman berat
kepada si Bahakara, jika nanti Bahakara sudah kembali."
"Itu tidak adil, Paman. Sebab ..."
"Aku juga sependapat begitu. Tapi, soal itu akan
kupikirkan nanti saja. Sekarang yang perlu kau ketahui
adalah... Nathalaga menunjukku untuk menggantikan
tugasnya Bahakara, yaitu menjemput dirimu dalam waktu
hanya satu hari menurut hitungan bumi! Hanya satu hari!"
'Paman menyanggupi?"
"Kalau aku menolak tugas itu, Nathalaga semakin
murka. Dikhawatirkan akan merusak kedamaian di
Kahyangan. Oleh sebab itu, aku menyanggupi tugas
tersebut. Tetapi lagi-lagi si Dewa Perang itu memberi
ancaman yang memberatkan bagiku."
"Ancaman apa, Paman?"
"Kalau aku gagal menjemputmu atau terlambat
membawamu ke Balai Sidang, maka hukuman yang akan
kuterima adalah.... Hukuman mati!"
"Ya, ampuuun... segitu marahnya Eyang Nathalaga,
ya"!" gumam Kumala, lalu geleng-geleng kepala sambil
berdecak. "Oleh sebab itu, aku mengenakan pakaian serba
putih ini sebagai tanda bahwa Au sedang berada di
ambang kematian. Sebab ketika aku menerima tugas itu,
aku sendiri belum yakin akan berhasil menjemputmu.
Bertemu denganmu pun itu belum bisa kupastikan. Tapi....
Dewa Ardhitaka menarik napas panjang.
la berkata lagi, "Tapi, sekarang aku merasa tidak
berada di ambang kematian, karena tak disangka-sangka
ternyata kau sudah berada di wilayah Kahyangan, dan
sedang bercanda, dengan Perwira Mudaku ini, ya" Bagus,
bagus, bagus... !"
Dewa Ardhitaka menepuk-nepuk pundak Ekapaksi.
Sang Perwira Muda sangat tidak enak hati karena disangka
sedang bercanda dengan Kumala, sementara Kumala Dewi
hanya bisa menarik napas,mernendam rasa kesal,
Sebenarnya isa ingin mengadukan sikap Ekapaksi
terhadapnya sejak tadi, tapi keinginan itu segera
disingkirkan jauh-jauh, mengingat ada persoalan besar
yang membentang di depan matanya, yaitu penobatan
dirinya sebagai Manggalayudha atau Senopati Perang dari
Kahyangan. "Paman, dulu aku pernah memberi tanda di telapak
tangan Paman, bukan?"
"Ya, sampai sekarang masih ada. ," Dewa Ardhitaka
menunjukkan telapak tangannya yang mempunyai tato
gambar naga hijau. Kecil. Siapa pun yang diberi tato seperti
itu oleh Kumala, berarti dia harus dibebaskan dari
hukuman apapun.
Ketentuan tersebut konon sudah tertulis dalam
KUHK, Kitab. Undang-Undang Hukum Kahyangan. Dulu
memang Dewa Ardhitaka pernah mendapat tato bebas
hukuman dari Kumala, (Baca serial Dewi Ular dalam
episode: "BULAN BERDARAH").
Dewa Ardhitaka berkata kepada Ekapaksi dan anak
buahnya. "Siapa yang mendapat tato ini dari Dewi Ular,maka
ia dibebaskan dari segala hukuman. Tapi hanya berlaku
untuk tugas yang sedang dikerjakan pada saat itu. Bukan
berlaku selamanya."
Ekapaksi manggut-manggut, semakin malu kepada
Kumala. "Sekarang mana tangannya yang satu lagi, Paman.
Coba aku lihat sebentar."
"Untuk apa?" Dewa Ardhitaka menyodorkan tangan
yang satunya dengan ragu dan heran. "Mau apa kau
periksa tanganku yang tidak bertato ini, Kumala?"
Kumala tersenyum-senyum. Telapak tangan itu
diperhatikan. Dan, tiba-tiba dari jari tangan Kumala keluar
sinar hijau kecil yang sangat cepat gerakannya.
Claaap ! Dewa Ardhitaka terkejut, menarik tangannya dengan
cepat pula. Tapi tangan itu segera dilihatnya kembali.
Ternyata telapak tangan yang semula kosong, sekarang
sudah ada tato baru. Tato gambar naga kecil warna hijau.
Tato itulah sebenarnya jawaban dari pertanyaan Dewa
Ardhitaka tadi. Sang Dewa berkerut dahi tajam sekali.
"Apa maksudmu memberikan satu tato lagi padaku,
Kumala?" "Supaya Paman Ardhitaka bebas dari hukuman
mati." "Oh, Kumala, Kumala... rupanya kamu belum
paham, ya" Tugasku bukan mencari tanda bebas
hukuman, tapi menjemputmu dan membawamu menghadap Dewa Perang, biar dinobatkan dengan upacara
agung Kahyangan sebagai Senopati Perang! Nantinya kau
harus berhadapan melawan anaknya Dewa Kegelapan
yang memiliki kesaktian sangat membahayakan pihak
Kahyangan maupun kehidupan di muka bumi, yaitu Athila
Darapura! Ngerti"!"
"0, ya, aku sangat mengerti, Paman. Tapi tolong
sampaikan kepada. Eyang Nathalaga, aku menolak
penobatan itu!"
"Apa ... !!! "
"Hahh ... !! "
Dewa Ardhitaka dan Ekapaksi dengan kedua anak
buahnya, sama-sama tercengang kaget mendengar
pernyataan tegas Kumala.
"Kamu menolak penobatan itu, Kumala"!"
"Ya" Paman. Aku tidak suka diagung-agungkan."
"Itu bukan mengagungkan kamu, tapi meresmikan
kamu sebagai senopati perang kami!"
"Aku nggak butuh jabatan resmi kayak gitu, Paman.
Aku datang kemari semula hanya ingin menyelamatkan
Rayo dari kehamilannya, dan membantu paman Dewa
Jenaka agar tak kena sangsi hukurnan atas tugasnya. Tapi
aku tidak tahu kalau akan dinobatkan sebagai
Manggalayudha atau Senopati Perang. Kalau aku tahu
akan ada upacara agung dan pesta penobatan besar-
besaran, aku tidak akan datang, Paman. Aku tidak akan
nekat menyeberangi Parit Neraka itu dan berselisih dengan
Ekapaksi."
Dewa Ardhitaka terbengong dengan
mulut melompong. Ekapaksi dan kedua anak buahnya hanya bisa
saling pandang tanpa suara. Mereka tak menyangka
bahwa Kumala akan menolak mentah-mentah acara
bergengsi itu. "Paman, sampaikan salamku kepada semua yang
ada di Balai Sidang nanti. Katakan, bahwa tanpa
penobatan seperti itu, aku tetap maju sebagai senopati
perang jika Khayangan diserang Laskar Iblisnya si
Lokapura. Dan, satu hal lagi... tanpa penobatan resmi
begitu, aku tetap akan tampil sebagai lawan utamanya si
Athila Darapura. Setinggi apapun kesaktian anak itu, kalau
dia akan merusak kehidupan di bumi dan di Kahyangan,
maka akulah yang akan maju menghadapinya, Paman."
Semua masih diam tertegun. Terkesima oleh
perkataan tegas dari bidadari cantik jelita itu.
"Nah, cuma itu pesanku untuk Para leluhurku,
Paman. Tolong sampaikan segera. Terima kasih. Selamat
tinggal, Paman Ardhitaka... Selamat tinggal Ekapaksi, Azom
dan Hasta... Damai sejahtera menyertai hidup kalian
dimana saja."
Claaap... !' Tiba-tiba. Kumala Dewi berubah menjadi seberkas
sinar hijau berbentuk seperti naga kecil. Sinar hijau itu
melesat dengan kecepatan melebihi cahaya Melintasi Parit
Kematian tanpa mengalami luka apapun. Kemudian lenyap
dan pandangan mereka.
Sang senopati harus segera pergi, karena masih
banyak kasus yang harus ditangani secepatnya.Terutama
kehamilan Rayo Pasca. Jika ternyata Dewa Jenaka hilang
entah kemana dan tak ditemukan lagi, lalu apa yang harus
dilakukan Kumala untuk menyelamatkan kekasihnya dari
kehamilan bayi titipan itu"
SELESAI Episode Selanjutnya
Terjerat Asmara Mistik
Makam Bunga Mawar 11 Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Ronggeng Dukuh Paruk 1
^