Pencarian

Pedang Golok Yang Menggetarkan 11

Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen Bagian 11


Justru itu, Siauw Pek berlompat mundur. Maka semua senjata jatuh ketanah tanpa mengenai sasarannya. Hal ini juga membuat para pendeta dan imam jadi saling mengawasi, saking heran dan bingung.
Sampai disitu, Leng Bu poan Ban Liang bertindak kedepan, sambil mengawasi semua lawan, dia berkata tawar: "Bagaimana sekarang, apakah kamu masih ingin melanjutkan pertempuran kita ini?"
Semua pendeta itu bungkam, mata mereka mendelong. Mereka masih terpengaruh oleh golok ampuh itu, golok pembasmi, golok yang mematikan
Masih beberapa detik suasana sunyi itu, baru pada akhirnya terdengar satu suara helahan napas disusul dengan kata kata ini: "Sekarang ini biarpun kami bakal dihukum dengan aturan partai
kami, tak mau kami melanjutkan pertempuran ini..." Dialah seorang
pendeta, yang terus membawa tongkatnya dan ngeloyor pergi.
Melihat kawan itu mengangkat kaki, yang lain-nya lalu menyusul, tak terkecuali sisa imam imam dari Bu Tong Pay.
siauw Pek mengawasi orang berlalu. ia tidak mengatakan apapun juga. Hanya, setelah orang pergi jauh, mendadak ia melepaskan goloknya, terus ia menjatuhkan diri dan duduk numprah ditanah
Ban Liang terkejut. Dia lompat menghampiri.
"Kau kenapa, saudara kecil?" tanyanya, sangat prihatin. Siauw Pek menghela napas panjang.
"Tidak apa apa," sahutnya, setelah beristirahat sebentar, cukup sudah" Lalu ia memjamkan matanya.
Sementara itu Kho Kong sudah lama selesai membalut lukanya. Dia tak kurang suatu apa, karena lukanya luka dikulit dan tidak parah.
Ban Liang yang berpengalaman tahu Siauw Pek letih dan membutuhkan waktu yang cukup untuk beristirahat, andaikata musuh datang pula, itulah berbahaya, maka perlu mereka lekas berlalu dari situ. Maka ia berbisik pada Oey Eng: "Lekas kaupergi cari kekota, kita mesti segera mengangkat kaki dari sini."
Oey Eng tahu pentingnya kereta dan waktu maka ia segera pergi. Tidak lama ia sudah kembali bersama sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. "Eh, mana kusirnya?" tanya Ban Liang heran-
"Aku telah suruh dia pergi," sahut Oey Eng.
"Bagus" Ban Liang memuji sambil mengangguk. "Asal kita memberi uang penggantian, itu berarti kita bukan merampas keretanya ini."
Lalu berdua mereka membantu Siauw Pek naik kereta. Si anak muda insaf, dia menurut diajak pergi.
"Silahkan loocianpwee juga naik," berbisik Oey Eng. "Untuk sementara, aku mewakilkan pekerjaan kusir."
Ban Liang merogoh sakunya, mengeluarkan sehelai topeng kulit.
" Kau pakai ini, kau letakkan senjata mu" pesannya.
Oey Eng menurut. ia memakai kedok itu, ia pun meletakkan pedangnya. Segera setelah itu, ia menyambut membuat kudanya lari membawa kereta itu.
Ban Liang menyuruh Siauw Pek menyender. Katanya pula: "Saudara kecil, lekas kau atur pernapasanmu. "
"Tanpa sebab beralasan aku membunuh orang" kata siauw Pek perlahan- ia menyesal dan menghela napas karenanya. "Tetapi merekalah yang memaksa aku turun tangan-.."
Memang, tanpa tindakan bengis itu, berempat mereka tak akan
lolos dari kepungan pendeta pendeta dan imam imam itu.
Mengetahui si anak muda menyesal, Ban Liang menghibur: "Jangan kau berduka, saudara kecil. Siauw Lim dan Bu Tong ternama besar tapi mereka main keroyok, dengan begitu mereka telah kehilangan muka, tak apa apabila kau membinasakan tiga anggotanya. Itu pula suatu tanda peringatan- Sekalipun di muka umum, orang tak akan menyalahkan kau."
" Walaupun demikian, kita terpaksa menanam bibit permusuhan
dengan kedua partai itu," kata Siauw Pek. Sijago tua tertawa.
"Biar bagaimana, jangan kaupikirkan itu, saudara kecil. Merekalah yang mengirim orang orangnya yang liehay mengejar dan mengepung kita, mereka agaknya tak puas sebelum mereka berhasil menawan kita, mati atau hidup, Apakah kita mesti manda ditelikung" sudah wajar kita melakukan perlawanan- Didalam pertempuran, musuh mati atau kita hidup atau sebaliknya, itulah biasa. Paling benar saudara beristirahat. Mungkin didepan kita
menanti lain rintangan pula, bahkan yang terlebih hebat, maka itu, perlu kita bersiap sedia menghadapinya"
Siauw Pek menghela napas. ia memejamkan matanya.
Oey Eng melarikan keretanya dijalan kecil yang tidak rata itu, hingga roda-rodanya menyebabkan ngepulnya debu. Setelah lewat belasan lie, mereka tiba disuatu jalan cagak.
la lalu menahan kudanya. "Loocianpwee, kita menuju kemana ?" ia tanya Ban Liang. Jago
tua itu menyingkap tenda kereta, untuk melihat kesekitarnya. "Kebarat", katanya kemudian.
Oey Eng melarikan keretanya pula. Sampai magrib, kedua kuda kereta berlari perlahan-Itulah sebab keletihannya. Ban Liang melongok keluar.
"Perlu kita cari tempat singgah," katanya. "Kita perlu bersantap. Besok baru kita melanjutkan perjalanan pula . "
Oey Eng mengawasi keempat penjuru. Disebelah barat tampak sinar api. Maka ia tujukan keretanya kesana.
Cahaya api itu nampak dekat tetapi nyatanya mereka mesti melewati dahulu perjalanan setengah jam baru bisa mereka sampai
dan mendekatinya. Itulah api dari sebuah gubuk tunggal ditengah
tegalan- Dari dalam gubuk terdengar suara orang membaca kitab.
Kasihan sepasang kuda kereta itu, saking lelahnya keduanya
roboh begitu mereka dihentikan larinya. Ban Liang melihat keluar.
"Dirumah itu tentu ada barang makanan," katanya. "Kita cari barang hidangan selama itu kuda kita dapat beristirahat dan makan rumput, setelah itu kita melanjutkan perjalanan kita."
Oey Eng mengangguk sedang hatinya berpikir: "Anak sekolah tinggal dirumah tunggal ditengah tegalan belukar seperti ini, sungguh luar biasa Dapatkah dia hidup menyepi dan menderita " Dia melebihi sikap orang yang mengerti silat "
Tatkala itu Siauw Pek sudah beristirahat cukup, ia turun dari keretanya.
Ban Liang melepaskan kedua ekor kuda, sambil bekerja, ia berkata pada Oey Eng: " Untuk tidak mencurigakan, atau membuatnya kaget, baik kau yang pergi kegubuk itu Kalau kita pergi kesana, dalam cuaca segelap ini, kita bisa menerbitkan kecurigaan orang "
Oey Eng menurut. ia segera pergi kegubuk itu dan mengetuk pintunya, dua kali, dengan perlahan-
Dari dalam rumah, suara membaca masih terdengar terus. Nadanya berirama. Rupanya seseorang tengah asyik membaca hingga ketukan pintu tak terdengar.
Oey Eng mengetuk pula, kali ini dengan lebih keras- Iapun memperdengarkan suaranya: "Aku orang didalam perjalanan mohon bertanya"
Baru setelah itu, suara membaca berhenti, disusul dengan pertanyaan yang terang jelas: "Siapa?"
"Aku mohon bermalam," kata Oey Eng, "Akupun mohon barang makanan-"
Pintu segera dibuka. Diambang pintu muncul seorang muda
dengan baju biru. Dia membawa lentera, yang diangkatnya tinggi,
untuk menyuluhi. Setelah mengawasi tetamunya, dia berkata:
"Siauw seng tinggal seorang diri disini buat belajar ilmu surat, aku juga tidak pandai masak. maka aku makan seada-adanya saja, hingga aku tak dapat melayani hatimu.
Baiklah tuan-tuan pergi kira kira sepuluh lie, disana ada sebuah penginapan dimana tuan tuan bisa singgah untuk bersantap dan bermalam juga." Habis berkata begitu, anak muda itu menutup pintunya.
Oey Eng berdiri tercengang. Inilah penyambutan, diluar dugaannya. Ketika ia sudah sadar ia lalu menoleh kebelakang.
Kiranya Ban Liang bersama Siauw Pek dan Kho Kong sudah berdiri dibelakangnya itu.
"Coba tolak pintunya," berkata Ban Liang perlahan-
Oey Eng menurut. Sambil menolak. iapun berkata nyaring: "Saudara, tolong bukakan pintu Lekas"
Tidak ada jawaban, bahkan apipun padam. Itulah tanda orang tidak mau, atau tidak berani membukakan pintu.
Si orang she Oey menjadi mendongkol. Katanya didalam hati: "Anak sekolah harus bermurah hati Siapa tahu dia justru buruk." Dalam sengitnya, dia menolak pintu dengan keras.
Tak kuat pintu itu bertahan, kedua belah daunnya segera menjeblak terbuka. Tapi ruang dalam gelap petang, tak nampak benda apa juga.
"Saudara, tolong nyalakan lilin" Oey Eng minta. "Tak dapat kami jalan sembarangan di dalam sini, nanti kami kena membikin rusak barang barang perabotan rumah tangga..."
Belum berhenti suaranya itu, orang she Oey ini tiba-tiba ingat: "Dia tinggal seorang diri ditempat belukar dan sunyi begini, dia juga membaca kitab sampai malam, mesti selalu ada kemungkinan dia nanti disatroni orang jahat. Bisakah dia hanya seorang anak sekolah
" Kenapa dia tak kenal takut ?"
Ketika Oey Eng berpikir demikian saat itulah dia mendengar
suara sabar dari dalam rumah: "Tuan tuan, paling baik kamu
mendengar nasehatku Sebaiknya kamu lekas lekas berlalu dari sini"
Tanpa menjawab, Ban Liang segera meng luarkan bahan apinya, segera dinyalakan hingga ia bisa melihat tegas ruang rumah itu, yang luasnya kira kira setombak persegi. Apa yang mereka lihat membuat mereka terkejut.
Ditengah ruang terletak dua buah peti mati yang diperlengkapi dengan selembar tirai putih dimana ada dilukiskan gambar seorang
lelaki dengan roman gagah dan seorang nyonya usia pertengahan yang raut mukanya cantik.
Hanya sedetik siauw Pek semua terkejut, lalu mereka tenang kembali.
Ban Liang maju satu tindak, menyulut lilin diatas meja abu didepan sepasang petimati itu, hingga seluruh ruang menjadi terlebih terang.
Disatu pojok terlihat seorang muda dengan baju biru yang tangannya mencekal sejilid buku. Nampak parasnya yang murka. Ketika itu, dia berkata dengan dingin: "Tuan tuan masuk kemari dengan merusak pintu, tidak bedanya itu dengan perampok"
Oey Eng tidak puas, hendak dia menjawab keras, tetapi Siauw Pek mendahuluinya. Anak muda ini lalu memberi hormat.
"Maaf, tuan," katanya, "kami tiba disini karena diburu buru waktu, hingga kami lelah dan kuda kami letih hingga merasa lapar sekali. Disamping itu kamipun tidak tahu bahwa saudara justru tengah berkabung, karenanya jadi berbuat keliru. Harap saudara sudi memaafkan-"
Sementara itu Kho Kong berpikir.
"Besar juga keberanian anak sekolah ini Rumah ini mencil
ditanah belukar, dia mendampingi dua buah peti mati, dia pula
membaca seorang diri diantara api pelita dan sunyi senyap..."
Pemuda itu bertindak mendekati meja, dia menyulut lilin yang kedua.
"Apakah yang tuan tuan hendak minta dari siauw seng?" tanyanya. "Silahkan lekas sebutkan"
Suara orang muda ini dingin tetapi ia tetap menyebut "siauw seng" sebagai gantinya "aku" dengan begitu ia telah merendahkan dirinya. Siauw seng berarti pelajar kecil (muda).
"Kami sudah lapar sekali, kami minta sedikit saja barang makanan," berkata Siauw Pek, "Tentu, sekali kami tidak akan makan
cuma cuma, kami akan mengganti sejumlah uang." Pemuda itu tertawa hambar. Katanya:
"Ditempat sunyi ini dimana ada sedia barang makanan" Aku lihat, baiklah tuan tuan menahan lapar saja dan lekas pergi kesebelah depan dimana ada rumah persinggahan dan makanan-.."
Habis sabar Kho Kong, yang semenjak tadi membungkam saja.
"Katamu tempat sunyi dan tak ada makanan," katanya sengit. "Habis mungkinkah kau hanya makan angin saja?"
Siauw Pek hendak mencegah saudaranya itu tetapi ujung bajunya secara diam diam ditarik Ban Liang, maka terpaksa ia diam saja.
Anak muda itu membuka lembaran bukunya, terus ia duduk. dan berkata: "Kaulah seorang kasar dan sembrono, siauw seng tak mau berurusan denganmu." Dan terus dia membaca dengan suara nyaring dan tinggi.
"Anak sekolahan ini sombong, tawar dan mau hidup sendiri, dia tak mirip miripnya seorang pelajar" kata Kho Kong dongkol sekali, "tak dapat tidak. dia perlu diacar adat"
"Benar juga," pikir Siauw Pek. Iapun tidak puas terhadap kelakuan tuan rumah itu. "Kenapa dia nampak sabar sekali tapi kasar..."
Anak muda itu tidak memperdulikan sikap Kho Kong, dia membaca terus, suaranya makin tinggi, makin keras. Hingga dia menyebabkan Oey Eng dan Ban Liang turut mendongkol.
Lalu si jago tua membisiki si orang she Oey : "Pergi kau rampas bukunya, supaya ia tidak dapat membaca Kita akan lihat, apakah sikapnya lebih jauh"
Oey Eng mengangguk. ia bertindak menghampiri tuan rumah yang sikapnya aneh itu.
"Kau membaca buku apa, tuan?" tanyanya. "Bolehkah aku
numpang melihat?" Di mulut ia berkata manis, tahu-tahu tangannya
sudah menyambar, hingga buku pemuda itu sudah berpisah tangan-
Anak muda berbaju biru itu mengawasi perampas bukunya, ia
duduk terus, sama sekali ia tidak gusar atau bersikap menentang.
Dengan buku ditangannya, Oey Eng memandang anak muda itu, dengan tawar ia berkata^ "Tuan membaca kitab nabi, sudah selayaknya jikalau tuan bermurah hati. Kenapa buktinya sekarang tuan begini cupat pikiran?"
Pemuda itu memperlihatkan wajah gusar, dia tidak membantah hanya dengan dingin dia berkata: "Jikalau tuan-tuan tidak segera meninggalkan tempat ini, harap jangan menyesaliku apabila aku berlaku kurang ajar terhadap kalian." Tiba-tiba Ban Liang tertawa terbahak-bahak.
"Tuan," katanya. "karena tuan berani berdiam ditempat belukar ini bersama sama dua buah peti mati dan dapat membaca buku
dengan tenang, teranglah bahwa kau bukannya sembarang orang,
kau bukan lagi si pelajar yang tubuhnya lemah tak berdaya..."
"Kamu mau pergi atau tidak?" bentak si anak muda. Dia gusar
sekali. Dia pula tidak mau melayani bicara, dia hanya main usir
"Sungguh mulut besar" berkata Ban Liang. "Aku si tua tidak maupergi dari sini, kau dapat berbuat apakah?"
"Sudahlah" Siauw Pek datang sama tengah. "oleh karena orang tidak sudi ketumpangan kita, marilah kita pergi" Ia terus menoleh kepada Oey Eng, dan menyambungi: "Lekas kau kembalikan bukunya itu "
Oey Eng paling menghormati ketua itu, tanpa berkata apa-apa dengan kedua tangannya ia mengangsurkan, mengembalikan buku orang itu.
Si anak muda menyambuti bukunya, segera tampak hawa amarahnya berkurang. Tapi segera dia mengulapka n tangannya sambil berkata pula: "Tuan-tuan berempat, lekaslah kamu pergi.
Dengan sebenar benarnya disini kami tak dapat berdiam lama lama" Siauw Pek merangkap kedua tangannya memberi hormat.
"Maaf, kami mengganggumu" katanya, terus dia mendahului memutar tubuh untuk pergi berlalu.
Ban Liang bersama sama Oey Eng dan Kho Kong lalu mengikuti ketua itu keluar dari rumah gubuk itu.
Segeralah terdengar suara daun pintu menggabruk, pertanda pintu rumah itu telah ditutup dengan dibanting
"Sungguh manusia cupat pikiran" kata Kho Kong murka.
"Mesti ada sebabnya," berkata Ban Liang. "Perlu kita mencari tahu..."
Mereka kembali ketempat mereka, untuk merapihkan kuda kereta, setelah bersama sama mereka mengumpatkan diri diantara ruyuk di dekat rumah gubuk itu.
siauw Pek tidak menentang perbuatan Ban Liang bertiga. Ia tahu perbuatan mereka ini tidak pantas sebab itu berarti tak keruan keruan mengintai orang lain akan tetapi iapun heran atas sikap orang yang sangat luar biasa itu.
Lewat beberapa saat, cahaya api lilin didalam rumah gubuk padam. Menyusul itu terdengar suara keras berulang ulang, mungkin itulah suara orang membuka atau membongkar peti mati. Itulah mengherankan. Bila tadinya mereka tidak melihat peti mati, barangkali mereka tidak menerka demikian-
Dengan sendirinya terasalah sesuatu suasana yang menyeramkan-
sebenarnya suara itu kesunyian kembali menguasai rumah gubuk serta sekitarnya. Iapun mengherankan- Hati Ban Liang sangat terpengaruh.
"Siapa yang mau turut aku pergi menghampiri gubuk itu?" ia tanya kawan kawannya. "Aku?" menyahut Oey Eng dan Kho Kong berbareng. Sebab dua dua pemuda ini sangat tertarik hatinya.
Ban Liang mengawasi kedua kawan itu.
"Saudara Oey, mari kau yang turut aku" katanya tertawa. Ia
bangun berdiri, untuk berlompat keluar dari dalam ruyuk. untuk
terus lari kearah rumah. Oey Eng segera mengikuti orang tua itu.
Ban Liang berlaku waspada, bahkan selagi mendekati gubuk ia perlahankan tindakan kakinya. Ia percaya pemuda baju biru yang aneh itu pasti mempunyai kepandaian yang istimewa. Gerak gerik orang itu sangat mencurigakan-
Tiba dijendela, dua orang itu menghentikan tindakannya. Mereka memasang telinga sambil mengawasi kedalam gubuk. Ruang gelap sekali karena adanya alingan gorden-Rumahpun sangat sunyi.
Saking penasaran, Ban Liang bertindak kepintu belakang. Disini, pintu tak ada gorden penghalangnya. Ia menajamkan sebelah matanya, untuk mengintai kedalam.
Si anak muda berbaju biru tampak duduk di depan peti mati yang kiri. Tutup peti itu sudah terbuka. Didalam peti itu kelihatan sesosok tubuh orang lagi duduk dengan sebelah tangan diulur keluar, tangan itu menampak kedua belah tangannya si anak muda. Mereka berdua bagaikan saling menolak.
Kaget orang tua ini, hingga dengan hati bercekat ia mundur dua tindak.
Sebaliknya, Oey Eng bertindak kesisi orang tua, untuk berada disebelah depannya. Ialah yang sekarang menggantikan mengintai kedalam rumah gubuk itu, hingga ia menampak pemandangan yang serupa, yang membuat hatinya gentar.
Oey Eng dapat melihat dengan terlebih tegas. Si pelajar berbaju biru bukan saja menolakkan kedua belah tangannya kepada tangan orang yang bercokol didalam peti mati itu, bahkan mulut mereka seperti menghembuskan asap putih yang bercampur jadi satu Rupanya yang satu lagi mengeluarkan tenaga dalamnya dan yang lainnya lagi menyambuti, menerimanya
Oey Eng bernyali besar akan tetapi tak berani ia mengawasi terlalu lama, iapun lalu mengundurkan diri.
Dengan diam diam keduanya kembali keruyuk mereka tanpa mereka tahu, si anak muda mengetahui pengintaian mereka atau
tidak. Hanya, sampai mereka berada didalam ruyuk, dari dalam
gubuk tidak terlihat atau terdengar gerak gerik apapun juga.
"Apakah ada sesuatu yang bagus dilihat?" tanya Kho Kong^
"Sungguh tak sedap diminta" sahut Oey Eng menggeleng geleng kepala.
"Apakah yang tak sedap dipandang?" tanya pula Kho Kong.
Oey Eng memberi keterangan pada saudara keduanya itu
tentang apa yang disaksikannya didalam rumah gubuk itu.
"Begitu?" kata Kho Kong terheran heran- "Apakah dia hendak menghidupkan pula orang yang telah mati itu?"
"Mungkin- Mungkin orang itu telah terluka parah." berkata Ban Liang.
"Jikalau itu benar, pastilah si pelajar seorang tabib luar biasa," berkata Oey Eng yang heran bercampur kagum.
"orang itu tidak bersangkut paut dengan kita," berkata Siauw Pek. "Dia tak sudi ketumpangan kita, mungkin itulah sebabnya. Tidak usah kita berkecil hati. Mari kita lekas melanjutkan perjalanan kita."
Urusan sipemuda berbaju biru membuat Ban Liang semua lupa pada perut mereka yang kosong tetapi kata kata siauw Pek ini mengingatkan mereka, maka kembali mereka merasakan keinginannya untuk makan yang sangat.
"Marilah " Kho Kong berkata sambil mendahului bangkit. "Perlu kita cari dahulu rumah makan, buat menangsal perut kita..."
JILID 21 Tapi, belum berhenti suaranya itu, mendadak ia menjatuhkan diri untuk duduk pula.
Ban Liang tahu apa sebabnya kelakuan kawannya ini. Ia sudah mendengar suara tindakan kaki yang berat yang mendatangi. Maka ia segera melongo kearah barat dimana tampak dua sosok tubuh hitam sedang mendatangi, jalannya sangat perlahan, tindakannya sangat berat.
"Agaknya rumah gubuk itu menyimpan sesuatu yang aneh," kata jago tua kemudian-
"Benar," berkata Oey Eng. "Kita telah menemui hal-hal ini, aku
rasa perlu kita cari tahu sampai diakarnya...."
Dua sosok tubuh itu datang semakin dekat, hingga tampak tegas. Siauw Pekpun melongo, ia melihat, itulah dua orang dengan pakaian serba hitam tengah menggotong sebuah bale-bale. sekarang mereka itu berjalan cepat, saban saban mereka pula menyeka peluh dimuka mereka. Diterangnya bintang-bintang, Siauw Pek melihat bahwa kedua orang itu rupanya habis melakukan suatu perjalanan jauh dan agaknya mereka sudah sangat letih hingga tenaganya
hampir habis...... Hati sianak muda tercekat.
"Benar-benar aneh" pikirnya. "Tempat ini sebuah tegalan yang sunyi sekali. Dan pemuda berbaju biru, pelajar itu, aneh sifatnya Kenapa dia tinggal menyepi" Kenapa dia tak menyukai tetamu" Dan orang orang itu" Bukankah mereka orang orang yang telah terluka parah, yang datang buat minta pertolongan tabib" Aneh pemuda itu Dia suka menolong orang, kenapa dia tak sudi membagi nasi kepada kita?"
Saking herannya, siauw Pek menoleh kepada Ban Liang.
"Locianpwe," tanyanya perlahan, "sebenarnya pemuda baju biru itu sedang melakukan apa didalam rumahnya?"
orang yang ditanya menggeleng kepala.
"Aneh, dia aneh sekali" sahutnya. "Dia nampaknya sedang
menolongi orang, atau dia lagi melakukan suatu percobaan.........." "Percobaan?" Siauw Pek tanya.
"Benar Mungkin dia lagi mencoba semacam ilmu silat istimewa Ataupun itulah semacam obat, yang dia mencobanya terhadap
mayat atau orang yang terluka.........."
Kata-katanya si jago tua sederhana saja akan tetapi didalamnya terselip apa-apa yang mengerikan atau menyeramkan- Disitu
disebutkan hal mayat..... Kho Kong menepuk kepalanya sendiri. "Locianpwe, percobaan apakah itu?" dia tanya.
Ketika itu dua orang ang menggotong bale bale itu sudah tiba disamping rumah.
"sukar untuk mengatakannya," sahut Ban Liang atas pertanyaan sembrono. "Mungkin dia sedang mencoba suatu cara pengobatan yang luar biasa sekali. coba orang itu berada disini, pasti dia ketahui
apa sebenarnya perbuatan pemuda itu........."
"Siapakah orang yang locianpwe maksudkan itu?" tanya Oey Eng. "Dialah orang yang kita hendak cari. Dia cerdas melebihi kebanyakan orang, pada dua puluh tahun yang lampau pernah dia mengatakan kepada aku bahwa didalam dunia rimba persilatan tampak alamat pembunuhan hebat, bahwa itu akan terjadi dua puluh tahun kemudian- Walaupun loohu tahu dia pandai tetapi ramalannya buat dua puluh tahun mendatang, loohu ganda tertawa saja. Siapa tahu baru lewat luma atau enam tahun telah terjadi peristiwa pek ho bun yang hebat dan menyedihkan"
Baru saja sijago tua berkata begitu, tiba tiba dari dalam rumah gubuk itu terdengar siulan yang nyaring, yang memecah kesunyian sang malam. Maka jago tua, begitupun ketiga kawannya segera berpaling kearah rumah gubuk itu Pintu gubuk tampak terpentang.
Dua orang berbaju hitam tadi menggotong bale-balenya masuk kedalam gubuk itu, segera terlihat nyalanya api. Kemudian, kedua daun pintu sudah segera ditutup pula.
"Aneh" Siauw Pek berseru perlahan- "Kita telah menyaksikan kejadian ini, mana dapat kita berdiam saja?"
"Saudara benar," kata Oey Eng. "inilah kejadian aneh, yang perlu kita selidiki."
Ban Liang sama tertariknya seperti si anak muda walaupun dia telah sangat banyak pengalamannya. Kejadian seperti ini belum pernah dia melihat atau mengalaminya .
"Kedua saudaraku tolong kamu berdiam disini" kata Siauw Pek kemudian, "kamu harus bersiap sedia, supaya bila terjadi sesuatu diluar dugaan, kamu dapat segera turun tangan, untuk menyambut kami, bersama Ban Locianpwee hendak aku mendekati gubuk itu untuk melihat lihat itulah peristiwa jahat dan kejam, tak dapat kita berpeluk tangan saja membiarkannya"
Oey Eng dan Kho Kong merasa sangat aneh tapi mereka harus menahan sabar, supaya mereka dapat mentaati kata kata ketua mereka. Demikian mereka menerima tugas bersiap sedia.
"Baik, toako" kata mereka. "Kami akan berjaga-jaga disini" Siauw Pek segera berpaling kepada Ban Liang.
"Loocianpwee, mari" ia mengajak. Lalu sambil mendadak. ia keluar dari dalam gerombolan semak semak itu, untuk berlari menghampiri rumah gubuk. Tentu saja ia menjaga supaya ia tidak menerbitkan suara tindakan kakinya. Ban Liang menyusul, tetapi lebih dahulu ia memesan Oey Eng dan Kho Kong, katanya: "Apa yang kita lihat sekarang sangat aneh, maka itu, sebelum kita memperoleh kepastian tidak boleh kita membuat orang merasa terganggu ketenangan atau usahanya. Kamu berdua saudara- saudara, kamu harus dapat berlaku sabar, seandainya kamu menemukan sesuatu, jangan segera kamu turun tangan tapi berikanlah kabar lebih dulu kepada kami" Oey Eng memberikan janjinya.
Setombak berpisah dari rumah gubuk. Siauw Pek berhenti. Tak mau ia membuat sipemuda mendengar gerak geriknya, sambil berdiri ia mengawasi tajam kearah rumah gubuk. ia melihat samar samar bergeraknya bayangan orang, rupanya orang tengah sibuk sekali.
Ban Liang menyusul pemuda itu, ia lalu berbisik: "Dari sini tak dapat kita melihat tegas. Mari kita pergi kedepan."
Siauw Pek mengangguk, ia mengikuti jago tua itu. Ia langsung menghampiri pintu, untuk mencoba melihat kedalam. Secara tiba tiba ia merasakan hatinya kaget, hampir saja ia mengeluarkan seruan tertahan-
Didalam rumah, keadaan jauh berbeda daripada keadaan tadi. Kedua peti mati telah terbuka kedua dua tutupnya dan didalamnya masing masing bercokol seseorang.
orang yang dikiri umurnya lebih kurang empat puluh tahun, beroman tampan, cuma parasnya pucat pasi, tak ada darahnya setetes juga. Dia mengenakan karpus bulu dan bajunya dari kain kasar.
orang didalam peti mati kanan itu adalah seorang wanita usia pertengahan, parasnya cantik sekali, alisnya lentik bagaikan rembulan sisir, rambutnya
dibungkus dengan pita putih. Hanya bajunya, pakaian putih untuk berkabung. Sianak muda tuan rumah juga sudah berganti dandanan- Secarik kain putih sebatas pinggangnya menutupi sebagian bajunya. Didepan kedua peti mati terdapat sebuah peti kayu, yaitu gerobak, yang tutupnya terpentang hingga terlihat didalamnya beberapa pisau kecil yang tajam mengkilap seperti banyak peles batu kumala, ada juga sebuah gunting. Kedua orang berbaju hitam rupanya sudah sangat letih, mereka tidur disisi peti mati. Muka mereka berdua pucat sekali, hingga nampaknya menakutkan-Bale-bale yang tadi digotong terletak dengan tertutup kain hitam, entah apa yang ditutupi, dilihat dari bentuknya itulah mirip manusia atau orang yang sedang tidur nyenyak.
Suasana didalam ruangan itu menyeramkan-
Selagi Siauw Pek mengawasi, ia melihat kedua mayat dari kedua peti mati bergerak sedikit, menyusul itu mereka membuka mata mereka masing-masing Maka mata mereka itu lalu melihat kelilingan dengan sinarnya yang tajam.
"Liehay tenaga dalam mereka" pikir Siauw Pek terperanjat. Si anak muda berbaju biru dengan sebat menjemput sebuah botol kecil dari dalam geroboknya itu, dengan cepat ia menuang isinya, dua butir obat gulung, obat mana segera dimasukkan ke dalam mulut dua orang pria dan wanita itu, seorangnya sebutir.
Habis menelan obat, dua orang itu memejamkan mata, terus mereka merebahkah diri, setelah mana dengan cepat sianak muda berbaju biru menutup pula masing-masing petinya, kemudian lagi sehelai papan diletakkan diatas kedua peti mati itu. Diatas papan itu dia meletakkan bale bale tadi. Paling akhir dia mengambil api lilin, buat ditaruh diatas peti mati itu.
Terus menerus Siauw Pek mengawasi, sementara hatinya berpikir: "Dilihat dari gerak geriknya, dialah seorang tabib, akan
tetapi dilihat dari kelakuannya, bukan itu, sebab dia kekurangan
rasa cinta kasih sesamanya. Entah apa yang sedang dia lakukan?"
SElagi anak muda berpikir begitu, ia melihat sianak muda berbaju biru menyingkap kain penutup bale bale. Dia itu menggunakan tangan kirinya. Kembali Siauw Pek tercengang. Yang rebah dibale itu adalah seorang wanita muda yang tidur nyenyak. sebagaimana terdengar suara dengkurnya dan mukanya merah dadu.
Mulanya anak muda baju biru itu nampak girang, tapi sesaat kemudian, wajahnya menjadi dingin. Lalu ia menarik sehelai sapu tangan hitam, yang dia pakai menutupi muka sinona. Lalu dia meloloskan ikun- atau kain sarungnya sinona. Pada akhirnya, dia menepuk tiga kali kepada bilik disisinya. Siauw Pek melihat tepukan itu berat, sampai bilik sedikit menggetar. Menyusul itu, tanah disatu pojok mendadak terbalik, lalu dari situ dari dalam tanah lompat
seorang kacung umur lima atau enam belas tahun, yang bajunya
hijau. Dia membungkuk kepada sianak muda seraya berkata: "Jieya memanggil hambamu?"
"Jie ya" ialah sebutan untuk tuan yang nomor dua.
Sianak muda menoleh mengawasi orang dengan tawar, katanya: "Beri tahu pada toaya supaya dia berhenti dahulu, karena orang yang kita culik malam ini kembali tak dapat digunakan."
"Toaya" ialah panggilan untuk tuan atau majikan yang nomor satu. Kacung itu menyahuti, dia melompat keliang darima na dia datang, lalu dia menghilang. Tutup lantai itu, yang terbuat dari besi, segera tertutup pula. Pesawat rahasia itu tak nampak. sebab pintu atau tutup besinya, diberi warna sama dengan warna tanah. Yang aneh ialah ditempat belukar itu, didalam sebuah rumah gubuk. mempunyai pintu rahasia semacam itu.
Selagi sianak muda berpikir, telinganya mendengar suaranya Ban Liang: "Tidak dapat kita berdiam lama ditempat semacam ini, mari kita lekas berlalu" Dan jago tua itu lalu memutar tubuh dan berlalu pergi.
Siauw Pek segera menyusul. Ia melihat jago tua itu berlalu secara kesusu sehingga sebentar saja tiba ditempat Oey Eng dan Kho Kong.
Tanpa mengatakan sesuatu, dia menarik tangan kedua kawan itu, buat diajak lari. Pergi
Siauw Pek terus mengikuti, iapun berlari lari. Ban Liang lari terus sejauh sepuluh lie lebih, baru ia berhenti dibawah sebuah pohon kayu.
Oey Eng, Kho Kong turut berlari lari tanpa mereka mengerti apa sebabnya, selama itu, tak sempat mereka menanya sesuatu, sedang herannya bertambah
tambah. SEtelah berhenti lari, habislah sabar Kho Kong. "Loocianpwee, apakah artinya kelakuanmu ini?" dia bertanya.
Jago tua itu hela napas berulang ulang. "Sungguh berbahaya" katanya.
Siauw Pek segera mengerti.
"Locianpwee, apakah kau telah melihat sesuatu mengenai sepak terjangnya pemuda berbaju biru itu ?" tanyanya. Ban Liang berpikir sejenak.
"sekarang ini loohu belum bisa mengatakan apa apa" sahutnya, "hanya melihat keadaan, loohu mau menerka jangan jangan itulah dia."
"Siapakah dia itu, loocianpwee?" tanya pula sianak muda itu.
"Amat panjang menuturkannya saudaraku" sahut Ban Liang yang terus menengadah langit mengawasi bintang bintang. ia pun menghela napas panjang. Dan baru melanjutkan-
"Tiga puluh tahun yang silam, didalam dunia Kang ouw itu telah terjadi hal yang dikata satu peristiwa besar, yang sangat menggemparkan, hanya kemudian, kegemparan sirap dengan cepat. Maka juga, orang yang masih ingat peristiwa itu, tak banyak
lagi........" "Peristiwa apakah itu?" Kho Kong tanya.
"Pada masa itu dalam dunia Rimba Persilatan telah muncul seorang yang luar biasa. Dia menyebut dirinya ceng Gie Loojin, yang berarti si orang tua yang mengutamakan keadilan atau peri kebajikan. Dia mempunyai kepandaian misalnya saja dapat menghidupkan orang yang sudah mati. Dan sejak munculnya orang tua aneh itu maka didalam dunia rimba persilatan telah bermunculan beberapa orang yang sudah lama sekali lenyap tanpa berita."
"Apakah ada hubungannya ceng Gie Loojin dengan orang orang
yang telah lama hilang itu tetapi muncul pula secara mendadak?" "Ya, ada. Mereka adalah orang orang yang ternama."
"Mungkinkah ceng Gie Loojin pandai sekali menyamar hingga dia
dapat memperdayakan orang banyak?" Siauw Pek bertanya.
"Kalau hanya ilmu menyamar yang umum, itu tak akan menggemparkan dunia" Si anak muda heran sekali.
"Habis cara apakah dia pakai buat membikin orang sama wajahnya?"
"Itulah suatu pendapatan aneh dalam dunia ketabiban ceng Gie Loojin itu, asal ia dapat melihat orang satu kali, lantas la bisa membuat seorang yang mirip segalanya."
"oh, begitu" kata Kho Kong kagum.
"ceng Gie Loojin menyebut dirinya loojin- orang tua tentulah umurnya sudah tak muda lagi?" berkata Siauw Pek.
"Tidak salah." "Akan tetapi s i pelajar berbaju biru yang kita ketemukan itu
usianya belum lanjut......"
"Walaupun pelajar berbaju biru itu bukannya ceng Gie Loojin
sendiri, mungkin dialah murid siorang tua." Siauw Pek berpikir.
"Apakah ini cuma terkaan loocianpwee saja?" Ban Liang menggeleng kepala.
"Bukan- Aku melihat suatu rahasianya."
"Apakah itu" Apakah yang mencurigakan?"
"Itu karena diatas peti obat obatannya aku melihat sebuah cap yang menjadi tanda dari ceng Gie Loojin."
"Dengan begini-jadinya pada beberapa puluh tahun yang lampau itu loocianpwee pernah melihat sendiri ceng Gie Loojin-..."
"Ah Iutlah kejadian dari banyak tahun yang berselang. Tatkala itu dunia Rimba Persilatan sedang gempar dengan nama besar dari ceng Gie Loojin, walaupun demikian, orang yang pernah bertemu
atau melihatnya sendiri tidak banyak......, itulah pada suatu malam
sudah larut malam, ketika diluar kehendakku, jadi secara kebetulan, aku mendatangi tempat kediaman sementara orang yang kenamaan
itu....." "Kalau demikian, pantas loocianpwe berkesan mendalam mengenai dia."
"Loocianpwee," campur bicara Oey Eng yang diam saja sejak tadi, "apakah loocianpwee pernah menderita dari dia disebabkan locianpwe ditempat dia
itu?" Dan berkata begitu anak muda ini mengawasi muka orang tua itu. "Tidak Aku tidak sampai diubah macam wajahku oleh dia. Hanya melihat caranya mereka bekerja menjalin wajah seseorang."
Ban Liang berdiam sejenak. baru dia melanjutkan keterangannya: "Ketika itu belum lama aku ceburkan diri dalam dunia kang ouw. Aku telah ditotok jalan darahku, lalu aku digotong kekamar didalam tanah. Entah karena kealpaan orang2 bawahannya, atau mungkin ia sengaja berbuat baik kepadaku, mereka telah kelupaan menotok otot gaguku, bahkan aku masih dapat menggerak geraki
tubuhku....."

Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin itu disebabkan kealpaan." berkata Siauw Pek.
"oleh karena itu dengan mataku aku bisa melihat dan telingaku bisa aku mendengar. Itu waktu didalam kamar itu sudah terdapat
beberapa orang yang telah dibalut mukanya dengan kain putih...." "oh begitu?" kata Kho Kong heran, sedangkan hatinya berdenyut. Ban Liang mengangguk.
"Benar. Loohu tak salah lihat, tak keliru mendengar." "Kemudian?" tanya lagi Siauw Pek.
"Tiga hari tiga malam Loohu dikurung didalam kamar bawah tanah, maka Loohu sempat melihat dibukanya pembalutan padamuka beberapa orang itu. Diantara mereka itu ada dua orang
ang loohu kenali. Yang satu ialah Tiat Tan Kiam Kek Thio Hong
Hong, dan yang lainnya Siang Put Tong dari Thay Im Bun...."
"Siang Put Tong?" Siauw Pek menegasi.
"Benar Apa..... apakah kau pernah bertemu dengan dia?" tanya Ban Liang.
"Ya, satu kali didalam Hek Siu Po, bahkan aku pernah kena pukulannya, pukulan Im Hong Touw Kut ciang yang lihay, sampai hampir aku menemui ajalku."
"Memang ilmu pukulan angin itu adalah ilmu pukulan istimewa dari Thay Im Bun, hebat siapa terkena pukulan itu. Namanya sangat terkenal. Luar biasa yang telah kau kena terhajar tetapi kau dapat tertolong."
"Syukur aku ditolong oleh kedua saudara Oey dan Kho ini, yang bersusah payah mencarikan tabib. Itu waktu, akupun ditolong Kouw
Heng Taysu, pendeta dari Siauw Thian ong Sie.... lalu loocianpwee, bagaimana jalannya maka locianpwee bisa lolos dari kamar bawah tanah itu?"
"Dua orang itu kenal loohu seperti loohupun kenal mereka" Ban Liang melanjutkan cerita.
"Hanya aneh mereka waktu itu. Mereka mengawasi tapi diam saja. Itulah bukti mereka tak kenal aku, teranglah mereka orang orang palsu."
"Tak samanya setiap manusia terletak pada mukanya," berkata Oey Eng, "tetapi dia dapat membuat orang menyamar demikian mirip. benarkah ada kepandaian semacam itu?"
"Telah aku saksikan sendiri. Jikalau tidak mustahil kepandaiannya itu sampai menggemparkan dunia persilatan?"
Habis berkata itu, sijago tua ini menghela napas. Agaknya dia masih amat kagum.
"Menyaksikan kepandaian orang itu, aku kagum hingga aku melengak." dia menerangkan lebih jauh, "Akupun khawatir sekali.
Aku memikiri, wajahku sendiri bakal dimiripi dengan siapa.... celaka kalau sampai terjadi demikian- Maka syukurlah, sebelum orang turun tangan atas diriku. Thio Hong Hong yang sejati bersama Hie Sian ciang Peng telah datang, mereka itu menyerbu masuk kedalam kamar bawah tanah itu. Mereka memang gagah dan namanyapun telah menggemparkan dunia persilatan- Setelah bertempur hebat mereka berhasil membinasakan musuh yang bertanggung jawab atas kamar itu. ceng Gie loojin sebenarnya belum berusia lanjut amat, meskipun ilmu silatnya tak dapat dicela, dia bukanlah lawan Thio Hong Hong berdua. Dia terlukakan Thio Hong Hong dan kabur karenanya.
Thio Hong Hong palsu terbinasa ditangan yang aslinya. Thio Hong Hong sejati/aslinya kagum bukan main melihat Thio Hong
Hong palsu itu. Loohu kenal kedua orang itu, maka loohu telah
ditolong mereka." Oey Eng menghela napas saking kagumnya.
"Benarlah, didalam dunia Kang ouw yang luas ini, tidak ada yang tidak aneh" katanya.
"Itulah hal yang sebelumnya belum pernah aku dengar atau lihat, jikalau yang bicara bukan loocianpwe, pasti aku tak mempercayainya."
"Kemudian bagaimana?" tanya Kho Kong, "Apakah ceng Gie loojin muncul pula?"
"Tidak. Selama beberapa puluh tahun ini, belum pernah aku dengar namanya itu disebut orang pula. Hanya apa yang kini aku saksikan membuat aku teringat padanya, sehingga loohu mau menyangka dia telah muncul lagi. Atau sedikitnya, itulah buah hasil
dari warisannya yang mujizat itu....."
orang tua ini bicara secara wajar, akan tetapi kesannya bagi Oey Eng bertiga mendalam memang aneh orang dapat membuat manusia palsu yang demikian mirip "
"ceng Gie Loojin aneh, hanya aku tidak mengerti, dia tak cukup
tua tetapi dirinya menyebut siorang tua......" kata Kho Kong "pula
bertentanganlah nama dan perbuatannya itu. Namanya ceng Giee, adil, perbuatan, kejam Kenapa dia pakai nama aneh itu?"
"Tak banyak cerita tentang ceng Gie loojin. Dahulu dia menggemparkan, lalu sirap sampai orang melupakannya. Aku sendiripun lupa. Baru sekarang aku mengingatnya . "
Siauw Pek berpikir keras. Ia percaya, jika benar ada orang selihay ceng Gie Loojin, pasti bisa terjadi hal hal yang aneh, hebat. Ban Liang melihat sianak muda diam saja.
"Kau pikirkan apa, saudara kecil?" tegurnya.
"Keterangan loocianpwee ini membuat aku ingat suatu hal"sahut sianak muda.
"Apakah itu saudara kecil?"
"Itulah peristiwa Pek Ho Bun disebabkan serbuan sesama kaum
rimba persilatan-...."
"Maukah saudara menjelaskan agar mungkin loohu dapat memikirkannya?"
"Toh benar dalam dunia Kang ouw ada kepandaian menyalin rupa?"
"Benar. Buktinya telah aku saksikan dahulu itu."
"Maka itu aku memikir, loocianpwee: Bagaimana kalau ada orang yang menyamar jadi ayahku dan dia sengaja muncul dipuncak Yan In Hong itu" Bukankah itu tidak sulit" Dengan begitu bukankah mudah saja orang menimpahkan kesalahan kepada ayahku" Bagaimanakah anggapan locianpwe?"
"Itulah mungkin"
"Benar" kata Oey Eng dan Kho Kong.
"Mungkin si jahat itu, pada waktu dia turun tangan, dia tetap menyamar sebagai ayahku."
Ban Liang menganggukkan kepalanya. "Sayangnya kita tak ada saksi."
"Jika ada orang yang menyamar menjadi ayahku, kenapa tak ada yang menyamar juga menjadi orang lain?" kata pula sianak muda. Hati Ban Liang bercekat, ia ingat suatu apa.
"Apakah kamu maksudkan orang menyamar jadi ketua Siauw Limpay atau Bu Tong pay?" dia menegaskan-
"Ya, sekarang dapat menyamar jadi satu orang, kenapa tidak tidak lain lain orang lagi?" Oey Engpun berkata. Siauw Pek menghela napas.
"Yang tidak mengerti ialah kenapa orang menyamar ayahku...." katanya. "sekarang ini percuma saja kita menerka-nerka," berkata Ban Liang. "Hanya satu hal yang meninggalkan kesan mendalam terhadapku. Ya itu peristiwa Pek Ho Bun Sampai sekarang sudah lewat sepuluh tahun lebih akan tetapi orang Rimba Persilatan belum melupakannya. Inipun aneh."
Siauw Pek berpikir. Ia bertanya pula: "Mungkin orang berbaju biru itu ialah murid ceng Gie loojin. Hanya yang mengherankan, kenapa dia memilih rumah gubuk dan juga ditempat tegalan belukar semacam itu" Siapakah pria dan wanita itu" Rupanya mereka itu belum mati, tapi kenapa mereka mau berdiam didalam peti" Apakah maksud sipelajar berbaju biru menggunakan dua peti mati itu" Apakah semua itu hanya untuk menyesatkan orang banyak agar tak ada yang mencurigakannya . "
Ban Liang heran melihat orang berpikir demikian, ia menanyakan sebabnya. "Aku mengherani orang berbaju biru itu serta sepak terjangnya. Kalau kita dapat menyelidiki dia, mungkin kita akan
membeber suatu rahasia Rimba Persilatan-...."
"Kau benar juga, saudara kecil. sulitnya bagi kita tak tahu bagaimana kita harus bekerja"
Siauw Pek berpikir. ^ "AKu memikir sesuatu," katanya kemudian-
"Apakah itu, saudara kecil?"
"Inilah pikiran sederhana saja. Kita menyelundup masuk kegubuknya itu."
"Kita berpura kena ditawan?"
"Ya, salah satu loocianpwee atau saudara Oey atau saudara Kho, menyaru menjadi orangnya dan aku yang menyamar orang tawannya. Tidaknya dengan begitu kita masuk kedalam gubuknya?" Ban Liang berpikir.
"Daya ini baik cuma sangat berbahaya" ujarnya.
"Jalan lain tidak ada. Aku mau menerka rumah itu sebagai pusat kejahatan-Atau mungin itulah tempat seperti dikatakan Su Kay taysu, yaitu suatu sarangnya usaha rahasia yang berbahaya, bahwa
peristiwa Pek Ho bun baru peristiwa permulaan saja....."
Dengan tenang anak muda ini menatap kawan kawannya, terutama Ban Liang. "setelah belasan tahun, peristiwa coh Keepo menjadi peristiwa yang tergantung," kata ia meneruskan- "Perkara gantung, sebab tetap tak diketahui sebab musababnya. Pernah aku menerka ketika ayahku pergi ke Yan In Hong, disana ia telah
memergoki rahasia orang maka ia dicelakai, difitnah....."
"Apakah sekarang saudara kecil merubah perkiraanmu itu?" Siauw Pek mengangguk.
"Setelah pengalamanku beberapa bulan," katanya, setelah mendengar kata kata Su Kay Taysu, sekarang aku mengerti bahwa soal bukannya sesederhana seperti terkaanku semula. Ia menghela napas, lalu ia menambahkan "Ketika dahulu ketua siauw Limpay itu terbinasakan orang, mestinya dia ditemani beberapa orang muridnya. Kenapakah tidak ada diantaranya yang melihat gurunya dianiaya" Mengenai itu, aku memikir dua kemungkinan-..."
Ban Liang mengangguk angguk. Ia membenarkan jalan pikiran anak muda ini. Siauw Pek menghela napas. Ia berkata pula: "Kemungkinan yang pertama yaitu penganiayaan itu telah dipikir masak masak oleh orang itu, tetapi toh telah diketahui ayahku.
Entahlah bagaimana caranya ayahku memergokinya. Maka itu, Pek Ho Po diserbu. Maksudnya tak lain tak bukan, untuk membungkam mulut ayahku."
"Benar BEnar" Ban Liang memuji. Dia menunjukkan-jempoinya. "Kemungkinan yang lainnya yaitu, keempat ketua partai itu belum mati." Ban Liang mementang kedua matanya, mendelong menatap si anak muda.
Iapun bertanya: "Apa" Bukankah hal kematian keempat ketua partai itu telah diketahui oleh umum" Mungkinkah kematian itu kematian palsu?" Si anak muda tertawa hambar.
"Yang tampak toh mayat mayat, bukan?" katanya. "Siapakah yag dapat membuktikan bahwa semua mayat itu benar mayat mayat ketua keempat partai itu?"
Ban Liang menggumam. "Ini..... ini...... ada juga kemungkinannya......."
"Jikalau keempat ketua partai itu benar masih hidup," berkata pula Siauw Pek, "masih ada dua tekanan lainnya lagi. Yang pertama ialah rencana jahat itu dipikir dan dilaksanakan oleh mereka
berempat, jadi merekalah siorang jahat....."
"Sungguh luar biasa" menyela Ban Liang heran dan kagum berbareng. "Toh ini kemungkinan yang bukan tak mungkin"
Ban Liang mengangguk. "Kemungkinan lainnya yang kedua?"
?"Mereka telah ditangkap orang, telah dibawa lari dan
disembunyikan....." " Kenapakah begitu?"
Siauw Pek mengangkat kepala, memandang langit. Ia menghela napas pula. "Kemungkinan ini, sebabnya sangat ruwet, rumit sekali. Mungkin disebabkan orang hendak pinjam tenaga mereka. Atau mereka mau dipaksa untuk menyerahkan sesuatu."
"Saudara kecil," berkata si jago tua kagum, "mungkin pemikiranmu ini tidak cocok, akan tetapi, karena kau dapat menerka begini, inilah bukti dari kecerdasanmu yang luar biasa. orang lain
pasti tidak dapat menduga sebagai kau....."
"Itulah sebabnya kenapa aku jadi ingin menyelundup masuk kedalam rumah gubuk itu, guna membuat penyelidikan- Siapa tahu kalau hasil penyelidikan ini merupakan bukti yang berhubungan dengan kematian keempat ketua partai itu ataupun sebaliknya" Pokoknya kita memperoleh sesuatu hasil penyelidikan."
"Jikalau orang itu benar murid ceng Gie Lojin", berkata Ban Liang kemudian, "dengan menempuh jalan berbahaya ini, ada kemungkinan wajah kitapun nanti disalin rupanya atau jiwa kita
terancam maut...." "Aku tahu itu," kata Siauw Pek, "yang pikirannya sudah tetap. Waktu kita sempit sekali. Mungkin mereka bakal pindah ketempat lain Apabila itu sampai terjadi, kemana kita harus cari mereka didunia yang begini luas ini?"
"Baiklah" kata sijago tua akhirnya, "cuma, untuk memasuki gua
harimau, kita mesti mempunyai rencana dahulu...."
"Tentang itu telah aku pikirkan" siauw Pek berkata.
Ban Liang mengernyitkan alisnya. Pikirnya: "Keras hati anak muda ini, dia sangat cerdas Benar benarkah dia hendak menyelundup masuk kedalam rumah
gubuk itu?" Lalu ia bertanya, "Apakah rencanamu, saudara kecil?"
"Paling dahulu kita bersembunyi didekat rumah gubuk itu. Diam diam kita menguntit orang orang itu, orang orang yang berpakaian hitam. Kita lihat mereka pergi kemana dan siapa siapa yang mereka
tawan....." "Apakah saudara kecil berniat menyaru menjadi seorang tawanan?"
"Benar. Aku yang menyamar jadi orang tawanan, lalu loocianpwee atau salah satu diantara kedua saudara Oey dan Kho yang menjadi orang serba hitam itu."
"Bagus" Kho Kong memuji sambil dia menunjukkan jempolnya. "Bagus"
"Aku situa memikir sesuatu", berkata Ban Liang. "Aku duga orang orang berpakaian hitam mesti ada mempunyai isyarat supaya mereka mengenal satu dengan lain."
"Justru karena itu, kita mesti kuntit dahulu mereka, lihat apa yang mereka lakukan, sesudah itu baru kita bekuk mereka, untuk mengorek keterangan dari mulutnya, supaya dengan begitu kita bisa menyamar dengan sempurna." Ban Liang menghela napas.
"Kalau didalam rumah gubuk itu benar ada ceng Gie loojin"^
katanya masgul, "lebih baik kita tak usah pergi melihatnya....."
Siauw Pek heran- Ia melihat orang tua ini masih ingat lakon dahulu hari dan dia tetap jeri terhadap ceng Gie loojin, ingin ia mesti mengatakan apa.
"Mari kita cari penginapan dahulu", katanya kemudian- "Nanti kita berdamai pula."
Ban Liang menurut, akan tetapi didalam hatinya dia berkata "Aku mesti berdaya buat membikin anak muda ini membataikan
rencananya....." Setelah melihat keempat penjuru. Siauw Pek berempat menuju kesebelah depan-Mereka melalui sepuluh mil lebih, baru mereka dapat rumah penginapan- Karena tempat itu kecil, penginapan juga satu satunya. Itulah losmen miliknya seorang setengah tua, yang mewarisinya dari leluhurnya semenjak lima puluh tahun yang lalu.
Ketika Ban Liang berempat tiba dilosmen, waktu sudah jam lima pagi. Tuan ruma dan kedua pembantunya sudah pada bangun, bahkan mereka telah membuka pintu, buat mengantarkan para tetamunya berangkat pergi sehabisnya tetamu itu sarapan pagi.
Dasar losmen kecil, kamarnya cuma dua dan perabotannya sangat miskin, orang mesti tidur dilantai, diatas tikar, kalau tetamunya banyak orang, apakah kita orang semuanya ini mesti
tidur berjejalan.... Dikamar yang satu masih ada seorang tetamu yang masih tidur.
Ban Liang memberi tahu tuan rumah bahwa berempat ia memborong sebuah kamar, tak ia ketumpangan tetamu lainnya. Iapun bertanya, apa itu tetamu satu
satunya, bakal berangkat hari ini.
"Ya, kecuali dia mati disini" kata tuan rumah. Kata "mati" itu dia ucapkan perlahan sekali, agaknya dia kawatir ada orang lain yang
mendengarnya.... Ban Liang batuk batuk. niatnya membuat si tetamu mendusin, tapi ia gagal, walaupun ia berlaku berisik. orang
tidur bagaikan mayat..... Setelah terang tanah, tuan rumah menyediakan barang hidangan-
"Masih tetamu yang satu itu belum bangun juga."
"Apakah dia tamu langgananmu?" tanya ban Liang pada tuan rumah.
"Bukan-" "Apa pekerjaan dia?"
"Tukang tambal kwali dan tempayan- Sekarang silahkan tuan tuan sarapan dahulu, sebentar akan aku bangunkan dia, andaikan dia masih tetap akan bermalam disini, akan aku minta dia pindah
kamar....." Ban Liang mengangguk. "Kau she apa, tuan?"
"Tan." "Bagus. Kami akan berdiam disini tiga atau lima malam. Kami tengah menjanjikan kawan kawan-"
"Baik, tuan-tuan- Terima kasih"
Ban Liang masih mengawasi tetamu yang tidur nyenyak itu, lalu dia mengajak tiga kawannya pergi keruang depan, tempat bersantap. Disitu cuma ada tiga buah meja tua serta kursi kursinya,
barang hidangan sudah disiapkan diatas sebuah meja, maka
berempat mereka lalu duduk menangsel perut, lahap makannya.
Tengah mereka bersantap itu, mendadak tuan rumah datang sambil berlari lari dengan muka pucat dan roman bingung, dengan gugup, dia kata tak lancar: "Tuan-tuan, maaf, maaf Aku menyesal
sekali..... Tamu tadi itu telah meninggal dunia..... buat tuan-tuan,
akan aku sediakan kamar yang lainnya...."
Ban Liang terperanjat, dia berjingkrak bangun. Ketika tuan rumah itu mau mengundurkan diri, dia lalu menghadang dan bertanya: "benarkah dia mati?"
"Benar, tuan- Mana aku berani main-main- Sejak lima puluh
tahun, baru kali ini aku mengalami peristiwa semacam ini...." "sekarang kau hendak pergi kemana?"
"Inilah jiwa manusia. Maka aku mesti menemui kepala kampung."
"Tunggu sebentar. Aku mengerti ilmu obat obatan, mari kita tengok dahulu orang itu."
"Tak usah, tuan- Dia sudah mati, kaki tangannya telah dingin
semua....." Ban Liang mencekal tangan orang itu.
"Inilah kejadian buruk buat losmenmu" katanya, "Mari kita lihat
dahulu, mungkin aku dapat menolong dia......"
Tuan rumah itu kaget. Hebat cekalan itu, hingga dia habis tenaganya.
"Tuan-... tuan-.... benar.....," katanya menyeringai.
Lalu mereka pergi kekamar tadi. Tamu itu masih rebah seperti orang tidur nyenyak.
Ban Liang menyingkap selimut. Ia lihat orang itu berumur kira kira tiga puluh tahun dan mukanya pucat. Ketika ia meraba kehidung orang itu, ia mendapat kenyataan benar orang itu sudah berhenti bernapas.
"Benarkah dia sudah mati?" Kho Kong tanya.
Ban Liang meraba nadi orang. Ia masih ingin bukti lebih jauh.
Kalau hidung orang itu tidak bernapas, tidak demikian dengan nadinya. Nadi itu masih berdenyut.
Lalu Ban Liang mengedipkan mata pada Siauw Pek bertiga, mengisyaratkan agar mereka itu bersembunyi dibelakang pintu, setelah itu ia tertawa dingin dan berkata: "Nadimu masih berdenyut sahabat, itulah bukti bahwa kau masih hidup. Aku si orang she Ban pernah mengalami taufan dan gelombang dahsyat, mustahil perahuku karam didalam selokan" Maka, jangan kau bermain gila lagi sahabat"
orang yang dikatakan sudah mati itu tetap berdiam, tubuhnya tak bergeming. Tuan rumah menghela napas.
"orang yang sudah putus jiwa mana bisa bicara......." katanya. Iapun heran-
"Kau tidak tahu diri, sahabat" kata pula Ban Liang, tetap dingin, "baik, jangan kau katakan aku kejam" Ia mengangkat tangannya mengancam dada orang.
Tamu itu tetap rebah tak bergerak.
Jago tua itu tidak menghajar dada orang, hanya mendadak
tangannya diarahkan kejalan darah sin hong, untuk menotok.
Baru sekarang ancaman itu ada hasilnya. Tepat jarinya mengenai baju, tepat tubuh orang itu bergerak menggelinding, lincah sekali dia bergerak bangun dan duduk. Ban Liang tertawa.
"Aku kira kau tidak takut mati, sahabat" ejeknya, "Kiranya kau takut juga" orang itu menatap Ban Liang, matanya mencilak. setelah itu ia mengawasi Siauw Pek dan dua pemuda lainnya. Ia tidak
membuka suara. Ia duduk tetapi kedua tangannya masih memegangi selimutnya, hingga kedua belah tangannya itu dan sepasang kakinya tetap ketutupan selimut itu.
sikap tenang itu membuat Siauw pek berempat kagum. Ban liang menjadi gusar.
"Sahabat, diri asalmu sudah terlihat tegas, kau masih tetap berpura pura" katanya sengit. "Apakah maksudmu?"
orang itu rebah dengan perlahan lahan- Baru sekarang dia membuka mulutnya. Katanya: "Aku sedang tidur, apa sangkutnya aku dengan kamu" Kenapa kau hendak menotok jalan darahku?" Tanpa menanti jawaban, dia memejamkan matanya, seperti juga dia telah tidur nyenyak pula.
Siauw Pek heran. juga Ban Liang yang berpengalaman, bicaranya orang itu beralasan, sulit untuk menjawabnya.
Sedangkan orang berdiam, tuan rumah berkata pada tamunya itu: "Duduk halnya begini tuan- Keempat tuan ini memborong kamarku ini, maka itu aku memikir memohon tuan pindah kekamar yang lain, bagaimana?" orang itu membalik tubuhnya.
"Siapa berusaha dia tahu aturan" tegurnya. "Dan didalam hotel, ada orang yang datang lebih dulu, ada yang datang belakangan. Bukankah aku yang lebih dahulu menyewa kamar ini" Kenapa mereka tak diminta mengambil kamar yang lainnya?"
Tuan rumah bungkam. Tamu itu benar.
Walaupun lagaknya aneh, perbuatan tamu itu cocok dengan peri kebenaran- Maka itu Ban Liang berempat kalah alasan-
Tapi Kho kong habis sabar melihat sijago tua dan ketuanya diam saja
"Soal toh sederhana sekali, bukan?" kata dia.
"Kami banyakan, tuan sendirian, jadi kalau kau menukar kamar, bukankah itu pantas?"
Tiba tiba orang itu berkata: "Baiklah aku akan mengalah"
Kho kong puas. Katanya: "Bagus kau bersedia pindah, tapi kenapa kau tidak mau pindah segera?"
"Ya, aku akan pindah" berkata orang itu, yang tiba tiba mencelat bangun untuk melesat keluar kamar. Ia tetap membawa selimutnya dengan apa ia lalu lenyap bersama Hanya sekelebatan Ban Liang heran dan kagum, juga ketiga kawannya tak terkecuali tuan rumah, siauw Pek tidak melihat sesuatu yang mencurigakan- Dengan perlahan, ia berkata pada tuan rumah: "Nah, kau lihat tuan Tamumu itu adalah seorang Kang Ouw yang luar biasa"
Tuan rumah yang melengak, berkata: "Ya, aku telah
melihatnya....." "Karena dia bukan sembarangan tamu, tuan tentu tak usah pakai segala aturan lagi"
sijago tua berkata pula, "Maukah kau serahkan semua barangnya dia itu kepada kami?"
Nampaknya tuan rumah itu bersusah hati.
"Bagaimana aku dapat menyerahkannya?" tanyannya. "Aku tidak mengerti silat, bagaimana kalau dia datang pula untuk memintanya" Mudah saja buat dia merampas Jiwaku" "
"Biar bagaimana dia sudah membenci" kata Ban Liang tertawa. "Bukankah kau seperti memaksanya pindah kamar" Selama kami berada disini, dia tentu tidak berani datang dulu. Tapi nanti seperginya kami" Nah sama saja bukan?"
Tuan rumah kaget, dia takut, hingga kakinya bergemetar keras. "Tuan tuan benar. Aku mohon sukalah tuan tuan mendayakan
menolong aku....." Sijago tua berpikir.
"Ada dayanya hanya itu tetap bergantung kepada
peruntunganmu...." "Asal jiwaku selamat, akan aku lakukan segala apa...."
"Nah, kita kembali pada persoalan- Kau serahkan barang barang orang itu, untuk kami periksa. Mungkin dari barangnya itu kita ketahui tentang dia. Kalau dia jahat, jangan khawatir, kami yang akan mencarinya. Kalau dia orang baik baik, buat urusan begini, tidak nanti dia minta jiwamu."
"Tuan benar," berkata tuan rumah, hatinya sedikit lega. "Sebenarnya dia tidak membawa barang apa apa kecuali sebuah kotak kayu yang atasnya tertuliskan empat huruf menandakan dia tukang membetulkan kwali dan jamban-..."
"Baiklah, mari kita lihat dulu"
"Tunggu" berkata tuan rumah. Mendadak ia ingat sesuatu. "Nanti aku periksa dahulu, dia pindah kekamar lain atau tidak kalau dia tidak pergi, tidak dapat aku ganggu barangnya."
"Baik Mari kita lihat bersama"
Berlima mereka pergi kelain kamar, yang terpisah cuma beberapa
tindak. Pintu kamar masih tertutup, pertanda belum pernah dibuka. Tuan rumah menghampiri pintu, tapi mendadak dia mundur pula. "Silahkan tuan tuan yang masuk lebih dahulu" katanya.
Ban Liang tahu orang itu takut, maka dia maju kedepan- Dia menolak pintu sambil bertindak masuk kedalam kamar itu. Dia bersiap sedia.
Kamar itu kosong. "Dia tidak berada dikamar ini Kemanakah dia perginya?" tanya
sijago tua didalam hati. Ia menoleh kepada tuan rumah, lalu. "Apa
kau masih mempunyai kamar lainnya yang dapat ditempati?" "Tidak."
"Kalau begitu, pergi kau ambil peti kayunya itu"
Tuan rumah menyahut "ya" terus memutar tubuh dan berlalu. Baru dua tindak, ia sudah memutar pula tubuhnya. Katanya "Siapa diantara tuan tuan yang turut kepadaku?"
Ban Liang tahu orang itu tetap takut. Ia memberi isyarat pada Oey Eng dan Kho Kong. Dua saudara itu mengangguk, lalu mereka ikut tuan rumah. "Aneh orang itu" kata siauw Pek seberlalunya Oey Eng bertiga, "Dia pergi dengan membawa bawa selimut Tak ku percaya dia sudah meninggalkan losmen ini"
Ban Liang mengangguk. "Dia sembunyi entah dimana." katanya, "Aku rasa dia membutuhkan peti kayunya ini. Baik kita mengintainya apabila dia datang, kalau perlu kita keroyok dia agar dia dapat dibekuk, kalau terpaksa tak ada halangannya untuk membunuhnya "
"Mungkinkah dia datang untuk kita?" tanya Siauw Pek.
"Aku menerka demikian-... coba kita tidak mencurigainya,
bagaimana kalau selagi kita tidur dia membokong" Dia lihay, apabila
diam diam dia menotok jalan darah kita, tidakkah itu berbahaya?"
Siauw Pek mengangguk. Lalu dia naik keatas rumah, untuk memasang mata, Ban Liang berdiam terus didalam kamar, bersembunyi dibelakang pintu. Tidak lama Oey Eng bertiga sudah kembali. Dengan mudah saja mereka mendapati kotak kayu itu, yang benar bertuliskan empat huruf tanda tukang tambal. Ban Liang menyambut kotak itu, ia tidak segera membuka tutupnya, hanya dengan keren ia berkata kepada tuan rumah : "Pergi kau kembali kekamarmu untuk beristirahat. Andaikata orang itu datang meminta barangnya ini kau katakan bahwa akulah yang mengambilnya, kau tak akan dibikin susah"
Dengan bersangsi tuan rumah itu mengundurkan diri.
Segera setelah tuan rumah itu berlalu, Ban Liang lompat naik keatas rumah dimana sambil mengerahkan tenaga dalamnya, ia berkata "Sahabat, kami telah melihat kepandaian ringan tubuh dari kau, nyata kau lihay sekali Kau telah datang, tentu dengan maksud sengaja, kenapa kau tidak sekalian memunculkan dirimu" Silahkan-.. Sahabat, barangmu telah aku ambil, maka itu sebentar, sebelum tengah hari kau tidak datang mengambilnya, kamu akan membuka tutupnya buat melihat isinya."
Habis berkata begitu, jago tua itu lompat turun pula, masuk kedalam kamar, terus berkata pada tiga kawannya, "kita berempat bergantian menjagai peti kayu ini. Aku telah bicara dengan orang itu, tak mungkin dia datang membokong kita"
siauw Pek tidak mengerti maksud kawannya ini. "Kenapa kita tidak mau membukanya sekarang saja?" pikirnya. "Buat apa menanti sampai tengah hari?" Tak mau ia banyak bertanya. Mesti ada maksudnya jago tua yang berpengalaman itu.
Maka mereka berempat lalu duduk bersemedhi, yang seorang
sambil memasang mata dan telinga. Sampai mendekati tengah hari,
belum ada gerakan apa apa: tidak terdengar tidak terlihat sesuatu.
Ketika sang tengah hari tiba, cuaca terang benderang. Awan tidak ada. Waktu itu, Ban Liang berempat telah memperoleh kesegaran tubuh mereka. Maka jago tua itu lalu menghampiri peti kayu itu, buat dibawa kehalaman luar, diantara sinarnya matahari yang terik. Ia tidak mau membuka dengannya, hanya mencari sepotong bambu galah yang panjang. Sebelum mulai membuka, ia berkata tidak mau mengambil peti kayunya, karena itu kalau isi peti bukan barang barang yang tidak berharga, mesti ada sesuatu yang
lainnya yang luar biasa....
Mendengar kata kata itu barulah Siauw Pek tersadar. "Locianpwe benar Aku kagum" kata ia memuji.
Ban Liang mencekal galahnya dengan erat sambil berbuat begitu, bersiap sedia, ia berkata pula: "Kita berdiri jauh lima kaki dari peti kayu, dapat kita peluang untuk menyelamatkan diri kita, akan tetapi baiklah saudara saudara mengerahkan tenaga dalam kalian, untuk bersiap sedia terhadap segala kemungkinan" Siauw Pek bertiga mengangguk. Memangnya mereka sudah berjaga jaga.
Segera juga Ban Liang bekerja. Tepat dia menghajar pintu kuningan dari peti kayu itu, hingga kunci itu jatuh ketanah. Setelah itu, ia memasang ujung galah, untuk dipakai menyontek guna membuka tutup peti. Tapi tiba tiba diantara cahaya matahari terlihat berkelebatnya satu bayangan hitam, lalu sebatang galah lainnya
menyambar, menghajar galah sijago tua, hingga kedua batang bambu itu menerbitkan suara nyaring.
Ban Liang terperanjat. Hajaran itu keras sekali sampai ia merasai lengannya bergetar. Didalam hati ia memuji hajaran hebat itu. Sedang begitu, dia melihat galah yang dipakai menghajar galahnya itu sudah menyontek peti kayu yang terus terangkat dan melesat tinggi.
Semua itu terjadi didalam sekejap.
"Kejar" berseru sijago tua yang juga mendahului lompat kearah melesatnya peti kayu itu.
coh siauw Pekpun melompat mengejar.
Oey Eng dan Kho Kong kalah sebat, hanya sedetik, mereka kehilangan Ban Liang dan ketuanya itu.
siauw Pek bertari dengan menggunakan lari cepat. "Pat Pou Kan siam" - "Delapan tindak menghadang tong geret" lekas sekali ia sampai dipojok rumah penginapan- Disitu ia tidak melihat orang tadi, hanya galahnya itu disandarkan ditembok. Tapi ia segera lompat naik keatas rumah untuk melihat kesekitarnya.
Dusun itu kecil dan terpencil. Kecuali diarah utara, dimana tampak beberapa rumah, ditimur, selatan dan barat hanya tegalan belukar. Dibarat terdapat segunduka n pohon lebat, disitu ia sempat melihat berkelebatnya bayangan orang, yang lenyap dibalik pohon- Tanpa bersangsi lagi, ia menyusul bayangan itu.
Kira kira dua miljauhnya sianak muda bertari lari, tibalah dia disebuah tempat dimana ada segumplukanpohon bambu yang kecil, yang mengitari sebuah kuburan besar. Kuburan itu tertutup pohon rotan lebat, hampir tidak nampak apabila orang tidak datang mendekatinya .
Tetap waktu itu terdengar tangisan yang sedih sekali.
Si anak muda memasang telinga. ia terperanjat sendirinya. Tangisan itu keluar dari dalam kuburan-
"Kuburan ini mungkin telah puluhan tahun tak terurus, siapa sekarang datang menyambanginya dan menangis begini sedih" Pasti dia mempunyai hubungan sangat erat dengan orang yang terkubur
disini....." Demikian pikir Siauw Pek yang terus dengan tindakan perlahan menghampiri kuburan itu. ia melewati pohon pohon bambu yang merupakan pagar hidup, hingga ia mendapat kenyataan tanah pekuburan itu lebar kira kira setang a h bahu. Mestinya pohon rotan dan bambu itu sengaja ditanamkan-
Mengikuti suara tangisan, anak muda itu berjalan terus. Hampir separuh nyaia memutari kuburan, sampailah dibagian dimana pohon rotan kosong, sebagai gantinya ada sebuah lubang gua. Dari dalam situlah tangisan itu keluar.
siauw Pek mengawasi kemulut gua, hingga ia melihat sebuah pintu kecil. Tanpa perhatian pintu itu tak tampak. sekarang terdengar nyata, tangisan itu bercampur kata berulang ulang:
"Suhu, suhu, oh, kau mati secara bersengsara sekali..... ilmu silat muridmu ini telah dimusnahkan orang, andaikata aku berniat mencari balas tapi aku sudah tidak mampu. Seumur hidupku, aku
telah tidakpunya harapan lagi......"
"Dialah seorang murid yang baik," pikir Siauw Pek, "dia sudah
tidak berdaya akan tetapi dia masih ingat gurunya. Siapakah dia?" "Suhu" ialah guru.
"Suhu," terdengar pula, "setiap kali muridmu datang menjenguk suhu disini, setiap kali juga bertambahlah tanggung jawabku. Suhu pandai ilmu pengobatan, suhu bercita cita menolong dunia, bagitu mulia angan angan suhu, siapa tahu kau dicelakai manusia hina dina, bahkan kepandaian itu dipakai untuk rencana yang jahat
sekali.... Suhu, karena itu walaupun suhu berada didunia baka, hati suhu tak akan tenteram, sedangkan muridmu, dia hidup bagaikan
mati...." Tanpa merasa, Siauw Pek berkesan baik terhadap orang yang menangis itu.
"Suhu, sakit rasanya hati muridmu ini," Suara itu terdengar lebih jauh. "Kepandaian suhu telah digunai sihina dina buat mencelakai
kaum Rimba persilatan- Aku pikir daripada hidup tak berdaya dan
tersiksan bathin dan lahir, lebih baik aku susul suhu didunia baka." Hati Siauw Pek cemas.
"Rupanya dia bunuh diri, mesti aku cegah, aku mesti menolongnya," pikirnya. Maka ia lalu menyingkap oyot oyot rotan yang menghadang, yang menutupi daun pintu, terus ia bertindak masuk kedalam gua itu.
Gua itu tidak lempeng langsung, untuk tiba didalam, Siauw Pek mesti mengambil waktu beberapa detik, tatkala ia sampai ia telah tertambat satu tindak
Dimuka sebuah batu nisan terdapat dua buah lentera kaca, sumbunya lentera itu dinyalakan, maka ruang itu cukup terang. Didepan nisan terkuali tubuh seorang laki laki yang bajunya compang camping, dadanya tertancapkan sebilah golok emas - kim too -sebagaimana golok itu mengeluarkan sinar kuning. Tapi orang itu belum putus jiwa, ketika dia mendengar tindakan orang dia menoleh.


Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Murid jahat, kau tertambat" dia mendamprat Siauw Pek. Dia tertawa hambar. Anak muda itu melompat menghampiri untuk memegang tubuh orang itu.
"Saudara jangan salah mengerti" katanya cepat "aku
bukannya....." Hanya sedetik itu, berhentilah napasnya orang yang nekad itu. Dampratnya itu adalah kata katanya yang terakhir. Siauw Pek menyesal sekali.
"Kalau aku tidak datang, mungkin dia belum mati...." pikirnya.
"Dia menyangka akulah si murid jahat..... oh Siauw Pek. Siauw Pek.
walau maksud hatimu baik, kaulah seperti pembunuhnya .... "
Tanpa merasa, air mata anak muda ini keluar meleleh. Karena orang sudah mati, Siauw Pek melepaskan cekalannya. Ia membaca
huruf huruf batu nisan itu: Kuburan ceng Gie Loojin, Goan Kong cie Tabib yang luar biasa pandai
Terperanjat sianak muda, hingga ia melongo mengawasi batu nisan itu, sedangkan otaknya bekerja. "ceng Gie Loojin tabib pandai"
oooooooooo "Baru saja aku dengar cerita Ban loocianpwe tentang ceng Gie Loojin-" pikirnya, "sungguh diluar dugaan, sekarang aku
menemukan kuburannya...." Ia tunduk. Mengawasi orang berpakaian bagaikan pengemis itu.
"Saudara" gumamanya, "asal kau masih hidup setengah harian lagi saja, pastilah soal rumit kang ouw bakal menjadi terang jelas
Adakah ini kehendak Thian".... oh saudara, karena disini tidak ada peti mati, aku tak mau mengganggumu, baiklah kau tetap rebah
disamping gurumu ini....."
Habis berkata, Siauw Pek mencabut golok emas dari dada orang itu.
Dan Golok Emas itu - kim too - bersinar diantara cahaya api. Disitu tampak ukiran empat huruf, bunyinya: "ceng Gie Cie Too" "Golok keadilan" Golok itu harus diambil, buat dibawa pergi atau
dibiarkan didalam kuburan ini.....
"Ah, baiklah aku bawa." pikirnya kemudian. Ia ingat, dengan membawa pergi golok itu, mungkin ia akan berhasil mencari keterangan ceng Gie loojin. "Nanti setelah aku berhasil dapat aku mengembalikannya kemari."
Maka, dengan membawa golok emas itu, ia keluar dari liang kuburan itu. Kedua daun pintu ia tutup rapat seperti semula. Ketika ia melihat kelangit, ia tahu bahwa tanpa merasa ia sudah menggunakan waktu satu jam didalam kuburan itu. Kapan ia ingat kawan kawannya, yang tentu tengah mengharapnya dilosmen, segera ia lari pulang. Benarlah dugaannya, Ban Liang bertiga tengah menunggukannya.
"Saudara kecil, kami lagi menantikanmu untuk bersantap tengah hari," berkata si jago tua.
"Kemana saja kau pergi?"
"Apakah yang kau peroleh?"
"Dengan tak sengaja aku menemui........"
Ban Liang mengerdipkan mata.
"Mari lekas makan Kita harus lekas lekas melanjutkan perjalanan
kita" berkata jago tua itu, yang mencegah orang bicara terus.
Siauw Pek berhenti bicara, ia mengerti isyarat itu. Ketika ia menoleh kekiri, ia mendapati dua orang tak dikenal lagi duduk minum arak. Dua dua orang itu bercacat bekas bacokan golok pada mukanya masing-masing, sikap mereka sangat tawar.
"Aneh mereka ini"...... pikir sianak muda.
Dua orang itu serupa dandanannya, serupa pula cacat lukanya itu, masing masing codet alisnya yang kiri ditengah tengah, lalu bersambung kebatas hidung, terus kepinggiran mulut sampai dileher.
"Mungkinkah itu cacat asal?" Siauw Pek menerka nerka. "Kalau itulah luka bacokan, siapakah yang membacoknya hingga demikian tepat?"
oleh karena itu si anak muda mengawasinya, dua orang itu balik
mengawasi juga. Maka bentroklah sinar mata mereka bertiga
Siauw Pek tahu ia yang salah, lekas lekas ia melengos, berpaling
kearah lain- Ia berpura pura melihat orang tanpa disengaja.
"Lekas makan" kata Ban Liang, perlahan sekali. Dia agaknya kesusu.
Siauw Pek heran, pikirnya: "Biasanya orang tua ini bangga akan dirinya sendiri, kenapa sekarang sikapnya berubah, dia seperti jeri terhadap dua orang itu?"
Oey Eng dan Kho kong berdiam saja. Mereka sudah habis makan, begitu juga Ban Liang. Bertiga mereka tinggal menantikan ia sendiri. KArena itu, lekas lekas iapun menangsel perutnya
JILID 22 "Mari " Ban Liang mengajak. melihat kawannya sudah makan cukup, Ia morogoh sakunya, untuk meninggalkan uang diatas meja.
Terus ia berbangkit dan berjalan terlebih dulu. Oey Eng dan Kho
kong mengikuti. Sianak muda yang berjalan paling belakang.
Setibanya diluar losmen, Seng Supoan mempercepat tindakan kakinya. Dia jalan seperti berlari lari. Sampai tujuh lie lebih, baharulah ia berhenti. Dia menoleh kebelakang. Setelah melihat tidak ada orang lain, ia menghela napas panjang.
"Loocianpwee ada apakah?" tanya Siauwpek. yang baru sempat berbicara.
"Apakah kau melihat tugas dua orang tadi, yang cacat mukanya?"
"Macam mereka aneh, sekali lihat saja, sukar untuk melupakannya"
"Tahu, atau, kenalkau kau kedua orang itu?"
"Tidak" "Apakah kau belum pernah dengar gurumu menceriterakannya ?" "Belum."
"Kalau begitu, tak heran- Ah, tidak kusangka mereka berdua masih hidup," Siauwpek makin tidak mengerti.
"Siapakah mereka, loocianpwee?" tanyanya. "Dapatkah loocianpwee menjelaskan tentang mereka itu?"
Ban Liang mengangguk. "Pasti aku akan menuturkannya, dia, inilah perlu Supaya apabila dilain waktu kamu bertemu dengan mereka itu, lekas lekas menyingkir menjauhlah .."
"Apakah ilmu silat mereka itu liehay luar biasa?" bertanya Siauwpek heran-
"Kalau bicara dari hal ilmu silat saja, jangan kata kau tak usah takut, akupun tak perlu jeri terhadap mereka itu..."
"Mungkinkah mereka itu pandai ilmu membetot sukma atau menawan roh?" Ban Liang tersenyum.
"Seumurku belum pernah aku menemui ilmu jahat semacam itu" "Jikalau begitu, pasti ilmu silat mereka luar biasa mahir..."
"Pada beberapa puluh tahun yang lampau, dua jago Rimba Persilatan yang paling kesohor adalah ong Kiam kie tong dan Ta To Siang Go," Ban Liang menjelaskan- "Mereka berdualah yang menjadi sebab kenapa ada kata kata "Dibawah ong kiam tidak ada panglima yang sanggup bertempur sepuluh jurus dan Dibawah Ta Too tak ada orang yang beruntung hidup,." Tapi semenjak kedua jago itu menyeberangi jembatan maut Seng su kio dimana mereka mensunyi diri, maka didalam dunia Rimba Persilatan, kecuali Siauw limpay, Bu Tong pay dan lainnya partai partai persilatan besar, ada juga It ceng, Siang ok dan It San jin.
"It ceng ialah Satu lurus benar, siang ok yaitu sepasang siJahat, dan It Sanjin seorang bebas merdeka."
Ban Liang melegakan dadanya dengan menarik napas panjang, baru ia melanjutkan keterangannya. "It ceng itu ialah Tiat Tan Kiam kek Thio Hong Hong, siJago pedang bernyali besi. Dan It Sanjin yaitu Hie sian cianpeng si Dewa Ikan-"
"Julukan It ceng dan siang ok sudah jelas sendirinya, artinya tepat menurut huruf huruf nya. Bagaimana dengan It Sanjin" Apakah artinya Sanjin itu?"
Ban liang menghela napas pula sebelum dia memberikan penjelasan lebih jauh. Berkata ia, "Hie Tian cianpeng mempunyai satu kegemaran, ialah sangat menggemari ikan, tak peduli lkan apa. Kalau orang minta pertolongannya dengan membawakan seekor ikan, pasti ia menolongnya. Dia suka sekali mengumpulkan lkan, asal yang langka, Karena kegemarannya itu, dia tidak menghiraukan urusan kaum Persilatan- Asal ada orang membawakan ikan yang luar biasa, dia tidak ambil pusing orang itu orang macam apa. Inilah sebabnya, dia berkelakuan lurus dan buruk tidak ketentuan- Biasanya dia dapat melaksanakan segala pertolongan yang diminta itu. Demikianlah, lantaran sukar menilai dia sebenarnya orang dari golongan mana, kaum Rimba Persilatan menyebutnya Sanjin, orang yang bebas merdeka." Siauw pek mengangguk,
"Kiranya begitu." katanya. "Kiranya dia angin anginan-"
"cianpeng bersenjatakan apa loocianpwee?" Oey Eng bertanya.
"Setiap hari dia berkawan dengan lkan senjatanyapun ada hubungannya dengan binatang air itu. Ialah sebatang joran pancing dan sebuah jala lkan yang biasa dia gemblok dipunggungnya. Katanya jalanya itu lebih liehay dari jorannya, hanyalah sangat jarang orang melihat dia menggunakannya."
"Dua orang yang bercacat golok dimukanya itu, pasti merekalah siang ok," berkata Sia u Pek kemudian. "Benar saudara coh, kau cerdas sekali"
"Julukan mereka saudara kembar, maka juga selain macamnya, tabiat dan kegemarannya, semuanya sama, bahkan mereka sama kejam dan jahatnya. Ilmu silat mereka berdua berimbang. Kabarnya beberapa puluh tahun dahulu itu merekalah sisa mampus dibawah golok ampuh dari Siang Go"
"oh mereka pernah lolos dari Toan Hun It Too?" tegasi Siauwpek.
"Tidak salah Itulah yang mengherankan Biasanya belum pernah ada orang yang bisa bebas dari golok Siang Go. Ilmu golok siang Go menjadi semacam rahasia, yang tak ada orang yang dapat memahaminya."
"Loocianpwee," siauw Pek tanya lebih dulu, katanya sesudah ong Kiam dan Pa Too mengundurkan diri, baru muncul It ceng, Siang ok dan it Sanjin, karena itu, bagaimana duduknya maka Siang Ok lolos dari Pa Too?" Ban Liang tertawa.
"Pertanyaan yang tepat" katanya, saking gembira. "Selama munculnya ong kiam dan Pa Too mereka berdua ditakuti berbareng dihormati kaum Rimba persilatan semuanya. Sinar pedang dan cahaya golok mereka membuat lain orang tak dapat mengangkat nama. Tentang Siang ok, asal usul mereka tidak diketahui jelas, hanya tahu-tahu keganasan mereka yang membuat nama mereka dibuat sebutan. Siapa yang berani main gila terhadapnya, mesti celaka, bahkan sampai kepada rumah tangga atau anak istrinya. Kekejaman mereka tidak ada taranya. Mereka galak dan sombong, sampai mereka berani menentang ong kiam dan Pa Too. Begitulah orang menyebut mereka Siang ok sepasang sijahat. orang Kang ouw, baik yang lurus maupun yang sesat, rata-rata membenci mereka, hingga semuanya ingin mereka itu tersingkir. Siang Go tidak berketentuan tempat kediamannya, sulit orang mencarinya guna menyampaikan tantangan Siang ok itu. Tiga tahun telah lewat
sejak tantangan Siang ok, selama itu, kejahatan semakin terkenal,
barulah selewatnya itu mereka bertemu juga dengan Pa Too..."
"Bagaimanakah jalannya maka mereka dapat lolos dari Pa Too?" tanya siauwpek.
"Tentang duduknya dengan jelas, yang tahu hanya Pa Too dan Siang ok sendiri," jawab Ban Liang, "Hanya terdengar Siang ok menentang Pa Too bertarung diluar kota Kim leng. Lewat hari pertempuran itu, selanjutnya orang tidak melihat atau mendengar lagi tentang kejahatan Siang ok. Maka orang mereka tentulah menerka sudah mampus diujung golok. Maka rata rata orang mendoa bersyukur. orangpun memuji Siang Go yang ditakuti itu, karena dia telah menyingkirkan bahaya untuk umum. Sesudah banyak tahun lewat, mereka itu muncul pula dan mengulangi kegagalan mereka, bahkan berlebihan. Mereka muncul sebab
mereka mendengar kabar bahwa ong kiam dan Pa Too sudah mengundurkan diri."
"Setelah tidak adanya ong kiam dan Pa too siapa lagi yang dapat mengekang mereka itu?" Kho kong bertanya.
"Itulah Tiat tan kiam kek Thio Hong Hong dan Hie sian ciang
peng Tatkala itu nama Thio Hong Hong sedang mentereng..."
"Jadi buat kedua kalinya Siang ok telah diusir, hanya kali ini oleh Thio Hong Hong?"
"Entah bagaimana caranya, Thio Hong Hong berhasil mengundang Hiesian cian Peng dan bersama samalah mereka berdua mengalahkan sepasang sijahat itu. Kabarnya Siang ok terluka parah luka yang dapat mematikannya. Maka adalah diluar dugaan bahwa mereka itu masih belum mati dan sekarang mereka muncul di tempat kecil dan sunyi ini "
Jago tua itu menghela napas, lalu ia menambahkan: "Jadi benarlah kata kata su kay taysu bahwa malapetaka besar kaum rimba persilatan tengah mendatangi semakin dekat..."
"Tak mungkinkah Siang ok ada hubungannya dengan si pelajar dari rumah gubuk itu?" kata siauwpek.
"Dan, tak mungkinkah Siang ok pun bersangkut paut dengan ceng Gi Loojin sudah meninggal dunia," sahut Siauwpek memberitahukan-
"Apa ?" "Dia sudah menutup mata, dan kuburannya berada didekat sini..."
"Bagaimana kau ketahui itu?"
"Karena aku telah melihat kuburan itu."
Ban Liang heran- "Benarkah ?" dia menegaskan-
Siauw Pek merogo sakunya, mengeluarkan kim too golok emas.
"Apakah loocianpwee kenal dengan golok ini ?" tanyanya sambil menghunjukkan kim too. Ban Liang menyambuti, ia meneliti golok itu.
"Benar," katanya sejenak kemudian- "Walaupun aku belum pernah melihatnya tapi tapi..." Ia berpikir sebentar, baru ia melanjutkan : "Pernah kudengar bahwa selama ceng Gie loojin merantau, dia suka membawa kimtoo yang terukirkan empat huruf ceng Gie too. Tak disangka kau telah mendapatkannya."
"Dengan tidak dinyana nyana, aku telah menemui kuburan ceng Gie lo-jin dan telah masuk kedalamnya," menerangkan Siauwpek. "hanya aku menyesal, karena itu juga, di luar dugaanku, aku telah menyebabkan seorang hilang jiwanya... Mengapa dia bukan mati ditanganku akan tetapi dia kaget karena aku..."
"Kau membuatnya mati lantaran kaget ?"
"Ya. Itulah pengalaman aneh dari aku. Maksudku menceriterakan pengalamanku itu, tapi dua orang bercacat mukanya itu merintangi hingga tak sempat aku bicara."
"Benar benar aneh Benar benar dunia kang ouw rumit..."
"Demikian juga kesanku, loocianpwee," berkata Siauwpek. yang terus menuturkan pengalamannya sejak mendengar suara tangisan sampai terjadinya peristiwa menyedihkan didalam kuburan ceng Gie Loojin itu.
Ban Liang bertiga melengak mendengar keterangan anak muda itu.
"Jikalau begitu, benarlah ceng Gie loojin sudah meninggal dunia," katanya masgul. hingga dia menghela napas.
"Kasihan orang compang camping itu. Sayang dia telah
membunuh diri. Kalau tidak, dapat kita minta keterangannya."
"Ya benar benar rumit" kata Ban Liang "inilah urusan yang tak dapat kita bereskan sendiri. Nah, mari kita lekas berangkat Jikalau
kita berhasil mengundang orang itu, mungkin kita mempunyai
harapan besar, dan dengan begitu dapat kita mengundang dan
bekerja sama dengan su kay taysu dan lain orang satu tujuan-"
"Loocianpwee," Kho kong tanya, "siapakah orang yang hendak kita cari itu?"
"Sabar, saudara muda. Sebelum aku memperoleh persetujuan dari orang itu sekarang tak bisa aku menyebut namanya." Ia mengangkat kepalanya, ia menghela napas, lalu menambahkan : "Tempat dimana orang itu menyembunyikan diri, mungkin cuma akulah seorang yang mengetahui, andaikata dia tidak mau keluar pula, untuk memasuki lagi dunia kangouw percuma menyebut namanya, bahkan itu bisa membahayakan dia."
"Tak apalah untuk tidak memberitahukan she dan namanya" berkata Kho Kong, "tetapi kurasa, bukankah boleh akan loocianpwee menutur perihal dirinya, tentang sifatnya ?"
"Tentang itu boleh." berkata Ban Liang, dengan batuk batuk perlahan. "Kie Tong dan Siang Go terkenal karena pedang dan golok mereka, karena ilmu silatnya, tetapi orang ini terkenal dengan ilmu suratnya, buat kecerdasannya. Setahuku, belum pernah ada orang lain yang melebihi kepandaiannya itu..."
"Jadi tak mengerti ilmu silat?" tanya Kho Kong, heran.
"Bukan begitu. Dia mengerti ilmu silat, cuma kepandaiannya itu tak dapat mengangkat namanya."
"Buat membeber rahasia atau rencana jahat segolongan kaum kangouw sekarang ini kita membutuh kepandaian silat yang mahir sekali" berkata pula Kho Kong,
"karena orang yang loocianpwee sebutkan berkepandaian silat tidak berarti, aku pikir, tak usahlah kita cari dia"
Ban Liang tertawa. "Adikku, bukannya aku si tua mau memberi nasehat kepadamu,"
katanya sabar, "akan tetapi kau harus menginsyafi banyaknya, dan
rupa-rupa ragamnya kaum kangouw. Ilmu silat saja belum cukup,"
Kho Kong penasaran, ia hendak bicara lebih jauh, akan Oey Eng mengedipkan matanya mencegahnya.
Ban Liang telah banyak pengalamannya ia tahu kawannya itu tidak puas, maka ia berkata "Engkau tidak puas, bukan?"
"Jikalau loocianpwee hendak memaksa aku membuka mulut, baiklah, aku akan bicara terus terang "
"Dia sembrono tetapi jujur" pikir sejago tua "dia kata apa yang dia pikir, kalau hatinya dikekang, dia tak puas. Baiklah aku layani dia bicara, supaya dia bisa dibikin gembira." Maka ia berkata, "Adikku, ada apakah pendapatmU" Bicaralah, aku akan mencuci telingaku untuk mendengarnya." Kho Kong si jujur tertawa.
"Sebenarnya akupun tidak punya pendapat yang berarti" katanya polos, "Aku cuma belum jelas tentang perbedaan ilmu silat dengan ilmu surat. Dan bagi kami yang mempelajari ilmu silat, kami membutuhkan pedang atau golok. dengan menggunakan senjata itu, kami dapat mengambil keputusan siapa menang siapa kalah. Tapi, kalau kepandaian ilmu silat kami tidak berarti, apakah artinya ilmu surat yang luar biasa itu" Nah, loocianpwee, inilah pikiranku, bagaimana pendapat loocianpwee ?" orang tua itu tertawa.
"Apakah ada pendapat lain ?" tanya ia.
"Kita sekarang lagi merantau, jauh sudah ribuan lie, kita pergi kebarat dan ketimur, maksud kita mencuci bersih sakit hati ketua kami" berkata si polos. "Tapi lawan kita sangat banyak jumlahnya, sedangkan kita, kita cuma beberapa orang saja. Mungkinkah kita melawan mereka itu" oleh karena itu, menurut pendapatku, kita perlu mencari kawan-kawan yang liehay untuk membantu kita. Selekasnya tenaga kita cukup, kita langsung menuju Siauw Lim Sie, untuk berbicara, untuk mencari siJahat biang keladi"
"Bagus" Ban Liang mengangguk. "Ada apakah lagi?"
"Untuk itu, seperti telah kukatakan, kita membutuhkan kawan kawan yang liehay ilmu silatnya Tapi ilmu surat, apakah faedahnya itu?"
"Apakah kau telah bicara cukup, saudara kecil?"
"Sudah, loocianpwee. Kalau loocianpwee bisa membuatku puas,
bila nanti aku bertemu dengan orang itu, pasti aku akan
menghormati dia lebih daripada selayaknya" Sijago tua tersenyum.
"Buat kita orang Kang ouw, ilmu silat memang perlu," katanya, "akan tetapi disamping itu, kadang kadang kepintaran silat jauh melebihinya. Tak usah kita melihat yang jauh, kita perhatikan saja beberapa soal yang kita dengar sekarang, yang kita hadapi, semua itu tak dapat dibereskan dengan ilmu silat."
"Urusan apakah itu?" Kho Kong menegas.
"Umpamanya rahasia ceng Gie Lo-jin itu. Sekalipun ong kiam danPa Too muncul pula, belum tentu mereka sanggup memecahkannya." Kho Kong berdiam beberapa lama. Ban Liang tertawa perlahan.
"Bagaimana dengan golok warisan ceng Gie loojin itu" kenapa golok itu dipanggil ceng Gie Too Golok keadilan" Tak mungkin ceng Gie berarti hanya goloknya ceng Gie loojin" ceng Gie tak dapat diartikan nama orang saja, itu mestinya ceng-gie keadilan-Golok itu lupa bukan terbuat dari baja, tak tajam semestinya.Jadi kalau bicara tentang ilmu silat, apa gunanya golok semacam itu" Menurut terkaanku, golok itu mestinya mengandung suatu rahasia entah rahasia apa"..."
"Kalau begitu apakah dengan belajar surat lalu orang dapat memecahkan rahasia itu?" tanya Kho Kong penasaran-
"orang yang hendak kita cari itu adalah seorang yang luar biasa pandai. Mengenai ilmu silatnya meski itu bukan kepandaian yang sangat mahir tetapi dia tak ada disebelah bawahku"
"Jikalau demikian, itulah bukan sembarang ilmu silat" Kho kong akui.
"Dia terpelajar tinggi, dia misalnya saja telah membaca habis semua buku diseluruh negara, kalau aku si tua bicara dengannya, selalu itu terjadi buat beberapa hari lamanya..."
"Apakah yang loocianpwee bicarakan dengannya?" menyela Oey Eng
"Banyak ragamnya. Apa yang aku pikirkan, lalu dibicarakan. Umpama soal ilmu meramal, ilmu tabib, ilmu alam dan ilmu bumi. Tidak ada soal yang dia tidak ketahui."
"Jikalau demikian adanya, membaca itu banyak faedahnya," si sembrono pikir. "Kalau begitu, perlu aku membaca banyak buku..." Maka ia berkata pada sijago tua : "Kalau nanti aku bertemu orang
itu, apabila dia dapat membuatku takluk. didepan kau, loocianpwee,
akan aku berlutut dan mengangguk angguk hingga tiga kali."
"Jangan kita berjanji apa apa" kata si jago tua, tertawa. "Lihat saja nanti setelah kita bertemu dengan orang itu"
Demikian mereka melakukan perjalanan, berhari hari, tanpa kesepian.
Pada suatu tengah hari, tibalah mereka di kaki sebuah gunung. DisituBan Liang menghentikan tindakannya.
"Sudah sampai" katanya. "Mari kita beristirahat sebentar, baru kita pergi menemui orang itu."
Kho kong mendongak mengawasi gunung yang tinggi itu yang puncaknya bagaikan masuk ke langit.
Ban Liang menggeleng kepala.
"Dia justru tinggal diujung sana, dikaki gunung," katanya.
"Aku pikir tak perlu kita beristirahat lagi, kata si polos. "Kita sudah sampai, kenapa kita tak mau sekalian beristirahat dirumahnya saja"
"Saudara Kho," berkata Oey Eng. "locianpwee orang sendiri, kau dapat bicara seenaknya saja dengannya, akan tetapi sebentar
apabila kita bertemu dengan orang pandai itu, jangan kau sembarangan bicara^"
Selama beberapa hari itu, baik Oey Eng maupun Siauwpek. telah dipengaruhi kata katanya Ban Liang tentang sahabatnya yang dipuji tinggi itu, karena itu, saudara she Oey ini menasehati adik angkatnya itu agar dia nanti tak salah bicara.
"Baiklah," adik itu berjanji.
setelah beristirahat cukup, Ban Liang mengajak kawan kawannya berangkat pula.
Kho Kong lalu jalan dimuka, dijalan kecil. sampai mereka melewati sebuah tikungan-Segera mereka melihat sebuah peng empang dimana terdapat sepasang angsa putih tengah berenang mundar mandir. Begitu mereka melihat ada orang asing, kedua binatang itu segera mementang mulutnya, memperdengarkan suara yang berisik, terus mereka berenang ketepian, untuk naik kedarat dan berlari lari kearah sebuah rumah bilik tertutup atap. yang letaknya dipinggir peng empang .
Ban Liang menghentikan tindakannya, mengawasi kedua binatang itu.
"Sepasang angsa itu telah dipelihari tiga puluh tahun lamanya," katanya seorang diri. Lalu ia mengepriki pakaiannya, terus ia bertindak kearah rumah gubuk itu.
siauwpek dan Oey Eng bertiga turut merapihkan pakaian mereka. Mereka mengikuti jago tua itu.
Rumah gubuk itu, bagian depan dan belakangnya, ditumbuhi banyak rumput dan pepohonan lainnya seperti mengitari seluruhnya. Itulah mirip gubuk seorang ini, tak sesuai buat ditinggali seorang ahli surat.
Tiba dimuka pintu, tampak kedua daun pintu tertutup rapat. Kedua ekor angsa tadi telah pergi entah kemana.
Sunyi keadaan disekitar itu, seakan denyut jantungpun dapat terdengar.
Ban Liang melirik Siauwpek. ia berkata perlahan : "Harap kamu menanti sebentar disini, aku hendak mengetuk pintu."
"Silahkan, loocianpwee." sahut si anak muda. Ban Liang bertindak perlahan menghampiri pintu. Ketika ia mulai mengetuk iapun mengetuk dengan perlahan-
siauwpek memasang telinga. ia mendengar ketukan pintu itu bagaikan berirama Setelah mengetuk beberapa puluh kali, si jago tua berhenti. Kho Kong memandang kesekitarnya.
"Beginikah tempat kediaman seorang pandai surat?" pikirnya.
Didalam kesunyian itu, dari dalam rumah terdengar suara yang halus tetapi terang. "Siapa?"
Suara itu menarik hati terdengarnya.
Ban Liang tercengang. ia rupanya tidak menyangka akan mendengar suara wanita.
"Aku yang rendah, Ban liang." Sahutnya perlahan-
"Ada pengajaran apa, Ban cianseng?" tanya pula suara merdu itu. Dia membahasakan sian seng atau tuan- Sesungguhnya, suara itu sangat menggiurkan.
Oey Eng heran hingga ia berpikir: "Benarkah kata pepatah, "Digunung yang dalam ada burung yang indah dari rumah gubuk muncul seorang nona cantik,." Belum pernah aku mendengar suara wanita begini halus dan merdu."
Ban Liang yang tua dan berpengalamanpun dipengaruhi sekali suara itu. Baharu lewat sesaat, ia menjawab: "Aku hendak menemui kakak Hoan- Aku minta sukalah nona tolong memberitahukan tentang kedatanganku ini."
Sebelum memperoleh jawaban, Ban Liang lebih dulu mendengar tarikan napas yang panjang.
"Kau datang terlambat. Guruku telah menutup mata sudah lama sekali."
Itulah jawaban diluar dugaan sijago tua, sehingga dia berdiri tertegun, hingga tak tahu dia apa yang mesti diucapkan- Diapun merasakan hatinya sakit bagaikan diiris iris.
Dari dalam rumah gubuk itupun tak terdengar suara apa apa, sampai lewat sesaat baru si nona menambahkan- "Gubuk kami kecil dan sempit, tak ada tempat untuk kami menerima tetamu, maka itu Loocianpwee, silakan"
Baru sekarang Ban Liang dapat membuka pula mulutnya. "Nona," tanyanya, "sejak kapankah nona jadi murid kakak Hoanku itu?" Suara halus dan merdu itu terdengar pula :
"Sudah sejak beberapa tahun. Apakah Ban locianpwee kurang percaya akan kata kataku ini"
Ban Liang menghela napas.
"Bukannya loohu tidak percaya atau bercuriga, nona," sahutnya.
"Sebabnya ialah belum pernah loohu mendengar bahwa kakak Hoan
ada atau telah menerima murid, hingga aku jadi heran karenanya"
"Walaupun Ban loocianpwee belum pernah mendengar halnya guruku menerima murid akan tetapi sebaliknya kami, kami telah mendengar suhu sering bicara tentang loocianpwee," demikian suara dari dalam itu, yang menyebut "suhu" untuk gurunya. Karena ia menggunakan kata kata "kami", teranglah nona itu terdiri lebih dari satu orang. Kembali Ban Liang menghela napas.
"Syukur sahabatku itu tidak melupakan sahabatnya," katanya,
perlahan-Dari dalam gubuk terdengar pula elahan napas perlahan-
"Sayang guru kami itu belum pernah menyebut halnya loocianpwee adalah sahabat karibnya, kalau tidak- tidak nanti boanpwee bicara secara begini dengan loocianpwee." kata pula suara didalam. Ia sekarang membahasakan diri "boan-pwee", orang dari tingkat muda
"Bagus benar" kata Ban Liang didalam hati. "Bicaramu begini halus dan merendah, tetapi kau toh tidak sudi membukakan pintu untuk mempersilahkan aku masuk..."
Siauw Pek bertiga mendapat dengar tegas pembicaraan diantara dua orang itu, mereka terus mendengari, tetapi Kho Kong tidak sabaran, maka dia berbisik kepada ketuanya^.
"Pintu gubuk itu tidak kokoh- kuat, dapat kita mendobraknya terpentang" Ketua itu tersenyum.
"Ban Loocianpwee sendiri tak mau berbuat demikian, kenapa kita mendahului dia?" katanya. "Pasti ada sebabnya kenapa Ban loocianpwee bersikap sabar begini.Jangan kita sembrono."
Setelah sesaat, baru terdengar suara sijago tua: "Sudah nona ketahui bahwa akulah sahabat kekal gurumu, kenapa nona tidak mau membuka pintu untuk kami bertemu muka " Akupun perlu menghunjuk dihadapan abu kakak Hoan itu."
Suara didalam itu menjawab: "Kalau begitu, silahkan loocianpwee masuk "
Ban Liang segera menolak daun pintu, yang terbuka dengan segera nyatalah pintu itu hanya dirapatkan- Ketika ia melihat kedalam, ia mendapatkan seorang nona dengan pakaian hijau duduk membelakangi pintu, mukanya menghadap kedinding bilik, dimana tergantung gambar lukisan seorang pria.
Ban Liang segera mengenali gambar sahabatnya, si orang she Hoan itu, yang sebenarnya bernama tiong heng. Di atas meja ada hlo louw, tempat abu, yang tertancapkan sebatang hlo, yang apinya menyala, dan asapnya bergulung naik.
Dengan melihat saja belakang si nona, Ban Liang segera menerka bahwa orang mestinya cantik sekali. Katanya didalam hati: "Melihat punggung dia, hati orang sudah berdenyut, kalau melihat wajahnya, mungkin orang akan berlutut didepannya dan akan mengaku sebe hambanya..."
Jago tua ini bukan pemogor tetapi toh dia tertarik hatinya.
"Apakah Ban Loocianpwee telah melihat gampar ditembok itu?" demikian terdengar pertanyaan si nona.
"sudah," sahut orang yang ditanya.
Mendapat jawaban itu, si nona lalu berkata: "Baiklah kalau begitu. Nah, terimalah hormat boanpwee"
Ban Liang dapat menangkap arti kata kata itu. Si nona minta dia lekas untuk beri hormat pada gambar itu dan kemudian lekas mengundurkan diri...
Tapi Ban Liang berpikir. "Saudara Hoan pandai ilmu tabib, tak mungkin dia mudah mendapat sakit dan menutup mata karenanya Nona yang begini cantik, mungkin dia ada hubungannya yang erat dengan kematian saudara Hoan itu..."
Selagi jago tua ini menerka demikian, si nona telah berkata pula: "Guruku telah menutup mata disebabkan menggunai pikiran terlalu banyak, boanpwee menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas perhatian loocianpwee ini..."
Mendengar begitu, Ban Liang heran sekali. Teranglah bahwa orang telah menerka apa yang ia pikir itu. Karena ini, ia jadi bercuriga. Dengan suara perlahan, ia memuji:
"Kakak Hoan, harap arwahmu mengetahui, jikalau kau mati dengan mengandung penasaran, tolong kau memberikan alamat kepadaku..."
Nona itu mendengar suaranya. Ia tahu tetamu itu bercuriga. Maka ia lalu menjelaskan tentang sakit gurunya itu.
Ban Liang mengawasi gambar didinding itu, ia berkata pula: "Kakak Hoan, kakak Hoan, bukannya aku bercuriga, tetapi kaulah seorang pandai, kau tabib bagaikan dapat menghidupkan kembali orang yang telah menutup mata, karena itu,jangan kata kau memang selalu sehat walafiat, kau tak mungkin mendapat sakit, andaikata kesehatanmu terganggu, kau puas, akan sembuh dengan makan sebungkus atau sebutir saja obatmu, mana dapat kau meninggal dunia karena capek bekerja?"
Jago tua ini tidak dapat menuduh langsung kepada si nona, maka dia sengaja bicara kepada gambar si sahabat karib.
Tetapi si nona dapat menangkap maksud orang, maka ia menghela napas dan berkata pula: "Dengan sebenarnya suhu menutup mata karena bekerja terlalu keras .Jikalau loocianpwee tidak percaya, ya, apa boleh buat..."
Itulah semacam tantangan- Tak dapatBan Liang bicara lebih jauh
dengan gambar orang maka ia batuk-batuk dan berkata pada si
nona: "Sebelum ada kepastian, tak berani aku bicara sembarangan-"
"Benarlah seperti kata suhu," berkata si nona. "Memang suhu pernah mengatakan kepada boanpwee, seandaikata loocianpwee datang kemari tentulah loocianpwee akan mencurigai wafatnya suhu..."
"Bagaimana andaikata benar loohu mencurigai?"
"Suhu memesan buat memberi waktu loocianpwee melakukan penyelidikan-"
"Sahabatku itu pandai, tidak heran apabila dia dapat menerka begini," pikir Ban Liang. "Hanya nona ini, siapa tahu dia bicara benar atau dusta?" Maka ia berkata: "Lebih dahulu aku ingin pergi melihat kuburannya sahabatku itu."
"Baik sekali. silahkan, loocianpwee"
Sekalipun dia sudah bicara begitu lama dengan tetamunya, nona itu terus duduk madap kedinding, tak pernah sekali juga dia berpaling. Ini pun mengherankan si jago tua, hingga makin bertambahlah kecurigaannya.
"Baiklah, nona. Aku minta sukalah nona menunjukkan kuburan itu."
"Loocianpwee, apakah masih ada kehendakmu yang lain?" si nona bertanya. "Kalau ada, tolong loocianpwee beritahukan sekalian- Sebentar, setelah menjenguk kuburan suhu, kukira tak usah loocianpwee datang pula kemari"
Kata kata itu berarti pengusiran terhadap pihak tetamu akan tetapi walaupun demikian, suara si nona tetap merdu.
"Ini... ini..." kata Ban Liang, bingung, "sulit aku menerimanya..." Nona itu menghela napas.
"Ah, benarlah kata suhu," katanya. "Suhu memberitahukan kepada boanpwee bahwa ianpwee sangat bercuriga."
"Mati atau hidup ada soal besar sekali, nona, karena itu, soal itu perlu ada kepastian-"
Atas itu maka terdengarlah suara tinggi dari si nona^ "Adikku,
pergi kau ajak Ban loocianpwee menjenguk kuburan suhu"
Mendengar kata-kata itu, Ban liang heran- Apalagi setelah itu seorang nona segera muncul dari balik gorden disisi mereka. Nona itu halus jalannya. Ban Liang segera menoleh, untuk mengawasi. Segera ia tertegun.
Nona itu, baik dandanannya, maupun potongan tubuhnya, sama benar dengan nona yang lagi duduk itu. Hanya dia ini dapat dilihat wajahnya dengan jelas. Dia cantik sekali. sepasang alisnya lentik, kedua matanya tajam dan hidup, hidungnya bangir, mulutnya mungil, sedangkan bibirnya merah. Dia elok bagai pigura.
Nona itu langsung menghampirkan nona yang memanggil "adik" kepadanya, dia sedikit membungkuk untuk mukanya mendekati muka nona yang duduk itu, buat berbicara dengan perlahan, seperti berbisik. Setelah itu, dengan tindakan perlahan, dia berjalan keluar rumah.
Kembali Ban Liang heran dibuatnya.
"Nona ini mau mengajak aku melihat kuburan sahabatku, kenapa
dia tak menyapa sedikit juga kepadaku?" tanyanya didalam hati.
Justru jago tua ini keheran heranan, ia mendengar si nona yang tetap duduk itu berkata kepadanya. "Adikku itu memang tak suka banyak bicara, loocianpwee baik ikuti saja dia.Jangan loocianpwee
menanyakan apa juga, supaya tidak terjadi sesuatu yang akan membuat pertemuan ini bubar secara tidak menyenangkan-.."
"Hal bagaimanakah ini?" tanya sijago tua itu didalam hati. ia heran bukan kepalang. Maka ia lalu menanya : "Nona, bagaimanakah andaikata ditempat pekuburan itu loohu melihat atau menemui sesuatu yang mencurigakan" Bagaimana jikalau loohu memikir untuk menanya dia " Masih tak bolehkah ?"
"Paling baik loocianpwee jangan bicara dengan adikku," menjawab si nona, tenang. "cukup apabila loocianpwee simpan saja didalam hati" Kembali Ban Liang heran sekali.
Ketika itu si nona penunjuk jalannya sudah keluar sejauh beberapa tombak dari rumah gubuk. terpaksa jago tua itu pergi menyusul.
Sementara itu Siauw Pek bertiga menanti dengan sabar, hanya mereka merasa aneh waktu melihat ada seorang wanita muda keluar dari rumah gubuk tapi jago tua itu tidak muncul. Mereka melihat tegas nona itu, yang cantik, yang bertindak dengan perlahan. Tadinya mereka mau menghampiri rumah, untuk mencari tahu, tapi justru itu tampak kawan mereka keluar. Segera Siauw Pek bertindak maju. "Loocianpwea mau pergi kemana?" tanya dia. "Siapa nona itu?"
"Merekalah murid-murid sahabatku almarhum." sahut Ban Liang. "Sekarang aku mau ikut nona itu memberi hormat pada arwah sahabatku itu."
"oh, begitu?" kata Siauw Pek, heran, "Kamu turut atau jangan?"
"Baiklah kita pergi bersama..." berkata Ban Liang. yang tiba-tiba merandak. "Hanya, nona itu tidak suka banyak bicara, kita jangan bicara dengannya." Dengan berkata begitu, orang tua itu berjalan pula akan menyusul si nona.
Siau Pek mengikuti, diturut oleh Oey Eng dan Kho Kong.
Nona itu mengajak para tetamunya berjalan sejauh sampai empat lima lie, sampai di sebuah lembah yang sunyi. Bahkan itulah
lembah yang mati. Sebab disebelah depannya sebuah puncak tinggi menutup jalan, dan dikiri dan kanannya adalah dinding dinding bukit yang tinggi dan licin-
Ban Liang melihat sekeliling, ia tidak mendapati kuburan, sehinnga segera ia merasakan heran- "Apakah budak itu memancingku datang kemari?" ia menerka nerka. "Mungkinkah dia merencanakan sesuatu?"
Selagi jago tua itu menduga, si nona sudah berjalan terus, ia melewati sebuah batu besar yang seperti menutupi jalanan. ia jalan disisi batu besar itu.
Ban Liang heran, mau ia menanya, tetapi ia batalkan maksudnya. Si nona tadi telah memesan dengan sangat supaya ia jangan berbicara dengan nona pengantar itu. Iapun tadi sudah memesan Siauw Pek bertiga, maka jikalau ia yang mulai bicara, ketiga sahabatnya itu pasti menjadi dan akan mentertawakannya. Maka ia mengekang diri, tidak berkata. sebaliknya, ia mempercepat tindakan kakinya, untuk menyandak nona itu. ia telah memikir, andainya sinona melakukan sesuatu tindakan, hendaknya ia mendahului turun tangan, agar ia atau mereka tak sampai terjebak.


Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nona itu berjalan terus. Dia menghampiri sebuah batu karang yang besar Kembali ia jalan disamping batu itu. Hanya sekarang dia segera sampai didepan sebuah gua. Di situlah dia memutar tubuh, berpaling kebelakang, tangannya berulang kali menggapai, tangannya itu putih bagai batu kemala.
Ban Liang menghampiri nona itu sampai dekat. ia melihat gua itu
bagaikan terkurung dinding batu diempat penjuru. Pikirnya:
"Tanpa memasuki sarang harimau, tak memperoleh anak macan" maka teruslah ia bertindak masuk.
Bagian dalam dari gua itu merupakan dua ruang yang lebar. Itulah gua alam, bukan gua buatan- seluruh ruang bersih keadaannya. Di tengah itu, dekat pada dinding terdapat sebuah peti mati yang terbuat dari batu. Dan si nona segera menekuk lutut di
depan peti mati itu, kedua pipinya yang merah dadu dilanda air matanya. Dia menangis sedih tanpa suara.
Memandang petimati itu, tanpa terasa Ban Liangpun mengucurkan airmata. ia ingat sahabat karibnya Begitu ia datang dekatpetimati itu, ia menagis menggerung. Tidak dapat ia menahan duka hatinya.
siauwpek bertiga menyusul masuk. Mereka mendengar tangisan kawan tua itu, mereka melihat kesedihan sikawan, sedangkan si
nona menangis tanpa suara. Dengan sendirinya mereka turut
terharu, sehingga mereka berdiam saja air muka mereka suram.
siauwpek tak tahu petimati itu jenazah siapa, hanya Ban Liang telah memberitahukan tentang sahabatnya, slorang she Hoan itu yang katanya pandai sekali, maka sendirinya ia itu menghargai sahabat yang sudah menjadi orang halus itu. Bahkan sendirinya ia bertekuk lutut didepan petimati.
Payung Sengkala 8 Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bara Naga 15
^