Pencarian

Pedang Golok Yang Menggetarkan 3

Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen Bagian 3


Tatkala ia tersadar, di sisinya telah tersedia makanannya serta itu golok ampuh yang bersinar. Ia sudah lapar sekali, paling dulu ia memakan makanan itu. Baru selesai makan, terdengar oleh Siauw Pek. "Anak. angkat golok itu"
Murid ini ingat pengajaran gurunya, segera ia sambar golok terus melompat bangun, untuk berdiri tegak dengan membawa golok kedepan dadanya.
Lewat lagi sesaat, terdengar pula suara dingin sang guru. "Anak. apakah yang kau rasakan ?"
"Tiada perasaan apa juga yang luar biasa, lootjianpwee."
" Golok di tanganmu berasa berat tidak ?"
"Tidak.." "Nah, mengertikah kau Di dalam ilmu silat yang diutamakan yaitu mengangkat yang berat tapi dirasakan ringan- sebaliknya dengan pelajaranku, mestinya diangkat ringan tetapi dirasakannya berat. Sekarang peganglah yang benar"
Baru suara itu berhenti Siauw Pek sudah terkejut. Tiba tiba ia merasa golok di tangannya menjadi berat, bagaikan ada yang menekan, hingga ia mesti mengeluarkan tenaga untuk menahannya.
Anehnya, tekanan itu makin lama makin berat, ia sampai seperti tak
kuat menahannya Hingga ia mesti mengerahkan seluruh tenaganya.
Hanya sebentar Siauw Pek merasa bahwa semua tenaganya sudah dipindahkan ketangannya, guna mempertahankan golok itu, akan tetapi golok itu tetap berat dan seperti menariknya terus ke bawah, hingga ia merasa otot ototnya kesemutan dan tulangnya sakit, sulit untuknya bertahan lebih jauh.
Kalau tadi terdengar suara bengis, atau sungguh sungguh, dari Siang Go, sekarang terdengar dia itu tertawa riang.
"Nak, letihkah kamu?" tanyanya.
Dengan napas sengal sengal, dengan suara terputus putus, Siauw Pek menjawab gurunya itu : "Boanpwee tidak dapat mengangkat tanganku..."
"Nah, ingatlah " berkata guru itu, "Setelah kau menghunus golok, kau mesti memusatkan perhatianmu, tenagamu, harus dikumpulkan di tanganmu itu, agar kau bagai mengangkat sebuah gunung, dan disaat kau menyerang, baru kau bisa gunakan semua tenagamu, kuat dan hebat bagaikan gunung longsor menimpa laut, membuat lawan tidak punya tenaga lagi untuk melawan"
"Boanpwee akan ingat itu baik baik " Siauw Pek berjanji.
"Dan, sekarang kau letakkan golokmu, duduklah bersila. Aku hendak ajari kau cara menggunakan ilmu golok."
Siauw Pek manyahuti, tapi serentak dengan itu, kosonglah
hatinya, mendadak matanya gelap. lalu jatuh numprah di tanah
Hal itu disebabkan ia telah mengerahkan habis seluruh tenaganya, hingga ia jadi sangat letih, hingga pingsan- Samar samar ia merasa hawa panas masuk dari punggungnya terus kehati dan seluruh tubuhnya. Lenyaplah rasa letihnya, sebagai gantinya, ia merasa lapang. Dan akhirnya ia tidur pulas, tak ingat apa pun juga.
Barulah kemudian entah lewat berapa lama ia tersadar sebab ia merasa tubuhnya dingin.
Belum lagi anak ini sempat berpikir, ia sudah mendengar kembali suara gurunya. "Anak. kau dengar Berlakulah sungguh sungguh, sebab aku mempunyai waktu tak ada satu jam lagi"
Semangat Siauw Pek terbangun-"Aku siap. lootjianpwee" katanya.
"Di dalam ilmu silat di kolong langit ini," berkata Siang Go. "kecuali ilmu pedang ong Too Kiu Kiam dari Kie Tong aku belum pernah coba, yang lainnya telah aku kenal semua. Mereka itu semua mempunyai cacat masing masing, maka selama beberapa puluh tahun, belum ada yang sanggup memecahkan ilmu golokku ini..." Berkata begitu, mendadak si jago tua tertawa riang sekali.
"Semua orang menganggap ilmu golokku ini jago tanpa lawan, sebab asal golokku dipakai menyerang, kalau tak ada yang mati, sedikitnya mesti ada terluka parah. Mungkin si tua bangka she Kie juga berpendapat demikian. Yang benar ialah, meski jurus ku cuma satu, pemecahannya berjumlah sembilan- Itulah sebabnya meski orang yang kuat luar biasa, tak dapat dia membebaskan dirinya dari serangan golokku, tak sanggup dia melakukan serangan balasan- Menurut kau, bagaimana seharusnya orang berbuat?"
"orang mesti memusatkan pikiran dan menutup rapat dirinya," sahut sang murid. Siang Go tertawa.
"Itulah sama dengan duduk diam menantikan kematian " katanya. "Perlawanan begitu justru mudah menyerangnya, tidak usah memikirkan pembokongan- Di dalam keadaan seperti itu, aku telah menang waktu."
"Akan aku ingat pesan ini, lootjianpwee," Siauw Pek berjanji.
Tiba tiba Siang Go mencekam tangan kanan muridnya, sambil berkata. "Selekas golok dihunus, kita segera mengambil sikap menyerang kita harus mendahului guna menggempur semangat lawan, untuk merebut pengaruhnya"
Siauw Pek membiarkan tangannya itu dipegang, dan dengan bantuan gurunya, ia menghunuskan goloknya. Begitu golok tercabut dari sarungnya, tangannya digerakkan bagaikan terputar dan golok lantas menyambar kekanan.
"Kau ingat," guru itu berkata. "Tadi aku telah ajari kau bagaimana harus mencabut golok. sekarang, aku ajari kau cara menggunakannya untuk menyerang lawan-"
Siauw Pek mencoba. Tadi, dibantu gurunya mudah saja ia mencabut goloknya, tetapi ketika mencoba sendiri, ia merasakan kesulitan dan tidak leluasa. Karena itu, ia mencoba dan mencoba lagi, sampaipuluhan kali, barulah ia paham benar, selama itu berkali kali ia minta petunjuk gurunya.
Sementara itu, suaranya Siang Go semakin lama semakin lemah. Tadi, dia berkata bahwa waktunya tinggal kira kira satu jam lagi, juga cekaman guru itu makin lama makin kendor, tak bertenaga sebagaimana semula. siauw Pek menjadi heran sekali.
Akhir akhirnya, guru itu berkata, pelahan
"Anak, pergilah" Aku melarang kau untuk menoleh melihatku" "Lootjianpwee mau apa?" tanya murid itu.
" Golokku ini telah mendampingi aku seumur hidupku," sahut guru itu, "sekarang aku hendak berpisah darinya, sebab hendak aku hadiahkan kepada kau. Aku harap kau bisa melatih dirimu hingga sempurna, agar kepandaianku diwariskan pada yang tepat, supaya tak mengecewakan golokku ini. Nah, lekaslah kau pergi " Siauw pek heran, suara si guru makin lemah lagi, bagaikan orang yang mau putus jiwa.
Dari heran menjadi kuatir. Ingin ia berpaling tetapi tak berani melanggar pesan gurunya itu. Dan sebaliknya ia berat untuk meninggalkan, lebih lebih bertindak pergi.
"Lootjianpwee," akhirnya ia berkata juga. "Aku telah menerima budi, dengan pelajaran ilmu golok ini, dan kelak di belakang hari aku akan dapat membalaskan dendam ayah bundaku dan saudara
saudariku. Budi lootjianpwee begini besar besar, bagaimana aku tidak membalasnya" Lootjianpwee, mungkinkah aku tak dapat melihat wajah Lotjianpwee barang sejenak?"
"Lekas pergi" ada jawaban si guru, bengis.
Murid itu melengak. terpaksalah ia bangkit dan keluar, walaupun dengan tindakan berat. Ketika ia telah berada di luar gua, barulah ia menampak pula sinar sang Surya. Ia berbalik kemuka gua, untuk memberi hormat sambil membungkuk tiga kali, sembari mengucurkan air mata, ia berkata.
" Lootjianpwee, budimu telah mengajari aku ilmu silat golok ini, seumur hidupku tak akan aku lupakan"
Masih Siauw Pek berdiri diam, sampai tiba tiba ia mendengar suara perlahan bagaikan berbisik. "Apakah siluman she Siang telah mewariskan ilmu goloknya kepadamu?"
Dengan segera si anak muda menoleh, maka ia melihat Kie Tong berdiri dihadapannya. Jenggot orang tua itu memain di antara hembusan angin- Dia mengenakan jubah panjang pedangnya menggemblok di punggungnya.
jarak antara mereka sekira kira tiga kaki. Lekas lekas ia memberi hormat.
"Tidak saja Siang Loopee telah mengajari aku ilmu goloknya, bahkan goloknyapUn dihadiahkan kepadaku sedang golok itu belum pernah terpisah darinya semasa hidupnya. Hanya heran orang tua itu, ia tidak sudi memberikan kesempatan untuk aku melihat wajahnya, bahkan dia telah mengusir aku pergi " Kie Tong mengangguk
"Demikianlah biasa kelakuan atau perbuatan aneh Siang Go," katanya "Segala sepak terjangnya sukar untuk diduga-duga. Dia telah mengusir kau keluar dari guanya. Dia tak sudi berdiri berhadapan denganmu, percuma kau memohonnya terlebih jauh. sekarang mari kita lekas pergi "
juga aneh orang tua ini, bukannya dia mengajak Siauw Pek pergi lari, ia hanya menyambar tubuhnya, untuk dikempit, buat dibawa lari, tepat seperti baru-baru ini dia menolongnya dari tempat berlumpur dan berembal
Tempat-tempat yang dilalui berlumpur, banyak binatang berbisanya, ada juga hawa yang jahat, tetapi semua itu tidak dapat merintangi sijago tua, hanya sesaat kemudian, lewat sudah mereka dari daerah penuh dengan ancaman maut itu. Baru sekarang, tubuh si anak muda dilepaskan-
"Anak. untungmu besar sekali " katanya.
Siauw Pek tersenyum, tersenyum duka. ia girang beserta menyesal dan berduka. Hal ini disebabkan ia ingat budi Siang Go, manusia aneh itu. Ia ingin membalas budi, jalannya tidak ada, ingin ia melihat wajahnya saatnya tidak ada juga. ia berada ditempat terbuka, dimana ada sinar matahari, tetapi ia merasakan bagaikan masih berada di dalam gua yang gelap gulita. Dilain pihak iapun bersyukur sekali kepada orang tua she Kie itu, yang ternyata berlaku sangat baik kepadanya.
"Anak. kau pikir apakah ?" bertanya Kie Tong yang melihat anak muda itu masih terus berdiri diam, matanya mengawasi kesekitarnya seperti juga dia kehilangan sesuatu.
"Aku bingung memikirkan siang Loocianpwee," sahut si anak muda. "Kenapa ia berdiam saja di dalam gua dimana tidak ada sinar matahari, dimana seperti tidak ada siang dan malam. Mengapa ia tidak mau tinggal bersama-sama kau, locianpwee " Tempat yang begini luas, walaupun beberapa ratus orang, masih leluasa untuk tinggal menetap disini..." Kie Tong menarik napas.
"Memang Siang Go sangat aneh," katanya. "Sudah beberapa puluh tahun, meski kami tinggal disatu tempat dan berdekatan, kami senantiasa saling menyingkir jauh-jauh. Akulah yang paling dulu menyeberangi Seng Su Kio dan berdiam disini, ketika si siluman datang, untuk memisahkan diri dari aku, dia menyeberangi daerah
berlumpur dan penuh bisa itu, mencarl guanya itu." Siauw Pek pun menarik napas.
"Gua itu tanpa tanaman padi, polowijo atau bebuahan," katanya juga tanpa burung dan binatang lainnya, selama beberapa puluh tahun apa saja yang ia makan ?" Ditanya begitu, Kie Tong tercengang.
"Dia makan apa ?" tanyanya, membalik. "Akupun tidak tahu "
"Locianpwee " kata Siauw Pek, tiba tiba dengan suara keras. "dapatkah loocianpwee mengantarkan aku pula keGua Siang Loocianpwee itu ?" Kie Tong heran. Dia menatap.
"Baru kita pergi, buat apa kita kembali ?" dia tanya.
"Aku ingin meminta dia keluar dari gua itu, dan tinggal bersama dengan kita diBu Yu Kok," si anak muda menjelaskan-
"Tak mungkin " kata Kie Tong, menggelengkan kepalanya. Jikalau Pa Too dan ong Kiam tinggal bersama, sukar ditanggung bahwa keduanya tak akan bentrok satu dengan lain-Memang aku
dapat menahan sabar tetapi kesabaranku juga ada batasnya. oh,
anak. siluman she Siang itu menghormati aku berbareng jeri " "Apakah loocianpwee juga jeri terhadapnya ?"
Kie Tong menghela napas. "Inilah salah satu rahasia seumur hidupku," sahutnya. "Sekarang rahasia itu hendak aku buka, supaya hatiku lega "
Berkata begitu, jago tua ini duduk dengan perlahan-lahan Ia menepuk-nepuk tanah yang berumput.
"Anak. mari duduk" ia mengundang.
Siauw Pek menatap orang tua itu, lalu ia merasa menyesal. Ia melihat wajah orang guram, guram keadaan.
"Tahu begini, tak mestinya aku menanyakan dia," pikirnya. Segera terdengar Kie Tong menarik napas dalam dalam.
"Apa yang aku lakukan seumur hidupku, tidak ada yang tak dapat diperlihatkan kepada langit atau matahari," katanya kemudian. " kecuali satu, yang membuat hatiku tidak tenang. Karena aku sudah mencuri lihat ilmu goloknya Siang Go "
"Tetap itu bukan perbuatan terlalu salah, loopee," sahut Siauw Pek menghibur.
"Buat orang lain mungkin tidak. tidak demikian buatku." "Mengapa begitu, loopee?"
"ong Kiam dan Pa Too sama terkenalnya dalam dunia Rimba Persilatan," orang she Kie menerangkan- "kami sampai mendapat julukan Lam Pek Jie Seng, Nabi darl Selatan dan Utara. Tapi aku mencuri lihat ilmu silat sahabatku itu, apakah itu pantas" Tidak. itulah sangat tidak pantas. Tentu saja sulit untuk menerangkannya mengapa aku melakukan pengintaian-"
"Apa dan maksudnya loopee itu ?"
"Aku ingin melihat kalau kalau ilmu goloknya itu ada lowongannya, supaya aku dapat menggunakan tipu daya untuk memecahkan Toan Hun It Too" Kie Tong mengaku.
Siauw Pek melengak. ia berdiam. Didalam hati ia berpikir: "Jadi tak lain tak bukan maksudmu supaya Ong Kiam menjagoi sendiri, agar nama Ong Kiam dapat menutup nama Pa Too ini memang perbuatan tidak tepat, akan tetapi, dimedan laga, orang tak mencela kecurangan-"
Kie Tong melanjutkan kata katanya : "Pernah aku menyamar dan menguntit Siang Go. selama setahun. Pernah aku menyaksikan dia melakukan tipu silat golok Toan Hut It Too membinasakan belasan jago Rimba Persilatan- Aku melihat bagaimana dia mengeluarkan golok dan menggerakkannya, dari situ aku berhasil menangkap rahasianya..."
"Dengan begitu, lopeejadi telah berhasil mendapatkan daya untuk memecahkan ilmu goloknya itu ?"
"Loopee sudah melihat caranya dia menggunakan goloknya itu, mengapa loopee tetap masih belum bisa memikir jurus untuk memecahkannya ?"
"Ketika itu aku memikir sama seperti pikiranmu sekarang ini, anak. Setelah melihat cacadnya, kenapa aku tidak bisa menggunakan cacad itu?"
Jago tua itu menghela napas pula.
"Pusing aku memikirkan jurus itu, sampai aku hampir gila." dia menambahkan. "Dan pernah pada suatu malam, aku sampai terpaksa menceburkan diri kedalam air yang dinginnya bagaikan es."
"Mengapa begitu, loopee ?"
"Aku ingin supaya hawa dingin membuatku lupa soal itu. Ternyata dugaanku meleset. Tubuhku dingin, sampai meresap ketulang-tulang dan sumsum, tetapi tetap tak dapat aku melupakan keinginan memecahkan Toan Hun It Too itu. Bahkan aku lupa bahwa aku telah berendam diair es. bukankah itu hebat sekali, anak ?"
"Benar-benar kejadian langka " pikir Siauw Pek "Hanya untuk memecahkan rahasia tipu mulihat orang lain, sapai kegilaan macam begini."
Berapa lama Kie Tong berdiam saja, tapi tiba tiba sinar matanya yang biasanya lemah lembut dan ramah, mendadak menatap si anak muda dengan dingin dan tajam. Diapun lalu menanya : "Kau tahu, anak. bagaimanakah caranya aku membebaskan diri dari kesukaranku ini ?"
Ditanya begitu, si anak muda menggoyang kepala. "Mana aku tahu loopee ?" sahutnya.
"Kalau daun rontok. dia jatuh pula keakarnya," kata Kie Tong, tenang. "Baru kemudian dari sembilan jurus tipu silatku, aku melihat suatu rahasianya, dengan begitu barulah aku bebas dari penderitaannya yang kucari- cari sendiri itu."
JILID 5 Tetapi Siauw pek heran.
"Jadi dari ilmu silat loopee sendiri mendapatkan cara untuk
merobohkan tipu silat golok Siang Loocianpwee itu?" tanyanya.
"Bukan, anak. Mungkin seumur hidupku, tidak dapat aku memecahkannya. Hanya, dari sembilan jurus tipu silatku, aku berhasil membebaskan diri dari keinginan gilaku." Siauw Pek menepuk kepalanya.
"Akupun pusing kepala memikirkannya, loopee" katanya:
"Sebenarnya apakah yang membebaskan siksaan loopee itu ?"
Mendadak Kie Tong tertawa riang dan sinar matanyapun bercahaya pula. Kembali ia pada wajahnya yang lemah lembut dan ramah.
"Sebenarnya aku tahu bahwa sembilan Jurus tipu pedangkupun ada banyak cacatnya," katanya. "Baru itu waktu aku sadar, bahwa ilmu silat di kolong langit, biar bagaimana sempurna, mesti ada juga kekurangannya. Jikalau ada ilmu silat sempurna tanpa cacat, bukankah orang itu akan menjadi jago sendiri, dan semua orang Rimba Persilatan mesti tunduk terhadapnya. Kalau itu benar terjadi maka tak usahlah adanya pelbagai partai lagi"
Siauw Pek mulai mengerti. "oh, kiranya begitu..." katanya.
"Tipu pedang ku sembilan jurus, pantas banyak cacatnya," kata Kie Tong kemudian- "Tipu golok Siang Go cuma satu jurus, tak heran sedikit cacatnya. Tipu pedangku berasal dari berbagai macam tipu pedang di kolong langit yang disatukan, karena itu dalam hal pembelaan diri, biarpun dikepung oleh berpuluh orang liehay, aku tak akan kalah. Tipu golok Siang Gopun asalnya adalah dari tipu golok jago jago dunia yang disatukan- Kalau tipu pedangku untuk membela diri, tipu golok Siang Go adalah untuk menerjang. Maka
itu, belum pernah ada orang yang lolos dari serangan goloknya itu. Nah, anak, coba kau pikir : Kalau dengan tipu silat penyerangannya yang istimewa itu maka siang Go menyerang tipu pedangku yang mengutamakan pembelaan diri itu, bagaimanakan nanti kesudahannya ?"
"Aku tidak tahu," sahut pula Siauw Pek. Dia memang tidak mengerti.
"Itu berarti, batu kemala dan batu biasa terbakar musnah sama- sama." kata Kie Tong. "Artinya, dua duanya kalah dan mendapat celaka. Aku terluka oleh bacokan Toan Hun it Too, dia roboh karena balasan serangan pedangku. Anak, semua orang tahu bahwa ilmu pedangku ialah ilmu pedang ong Too, Raja Keadilan, itulah disebabkan belum pernah aku membunuh seorang juga. Pernah aku mengalahkan orang karena desakanku, sampai musuh menyerah kalah dan mundur dengan sendirinya, lain daripada itu, sulit aku melukai membunuh lawanku. inilah yang aku sesaLkan- Begitulah akan kemudian aku telah memperoleh julukan ong Kiam itu."
Siauw Pek heran, katanya didalam hati. Kau terkenal sebagai Ki Lan Un it Kiam, kau disebut juga nabi Rimba Persilatan, ilmu pedangmu menjagoi seluruh dunia, tetapianah, mana ada tipu pedang istimewa yang hanya bisa dipakai menjaga diri, tetapi tak dapat melukai musuh ?"
Kie Tong melihat anak itu berdiam, ia dapat menerka sebabnya. Maka ia tersenyum. "Anak, kau tidak percaya akan kata kataku ini, bukan?"
"Bukannya aku tidak percaya, loopee, aku hanya kurang mengerti..."
"Tentang itu, suka aku memberi penjelasan, cuma aku kuatir, kau belum cukup pengertian untuk memperoleh keinsafan .Jikalau nanti kau telah mempelajari ilmu pedangku, kau akan mengerti jelas." Siauw Pek menatap. sedang orang tua itu mengawasi.
Selang sejenak, mendadak orang tua itu berkata: "Mulai hari ini, aku akan ajari kau ilmu kepandaianku "
Siauw Pek tercengang karena heran dan girangnya.
"Terima kasih, loopee, terima kasih ujarnya cepat. "Bukan hanya aku, juga arwah ayah bundaku dialam baka pasti akan sangat bersyukur kepada loopee "
"Tetapi, anak," kata orang tua itu, "aku kuatir kau nanti tak sanggup membawa ong Kiam dan Pa Too keluar dari lembah Bu Yu Kok ini..."
Mula mula, Siauw Pek heran, tetapi kemudian dia mengerti, Maka ia berkata : "Biar rintangan berlapis lapis, loopee, tak akan kuhiraukan Aku percaya arwah ayah bundaku akan membantu sehingga aku bisa keluar dari lembah ini..."
"Ya, anak memang siapa sangat berbakti, dia akan memperoleh berkah"
Berkata begitu, Kie Tong berhenti secara tiba tiba. Ia menekuk nekuk jeriji tangannya, untuk menghitung hitung.
"Aku ingat sekarang," katanya kemudian, "tiga tahun lagi, adalah saat yang tepat untuk menyeberangi jembatan maut itu..." Ia berdiam sejenak, kemudian katanya lagi: "Mempelajari ilmu silat sampai sempurna bukannya soal mudah, akan tetapi tiga tahun juga bukan waktu yang pendek. Anak, kau berbakat baik sekali, kalau didalam waktu tiga tahun kau terus belajar dengan tekun, kau pasti akan memperoleh kemajuan- Kaupun telah makan cio jie, yang berarti pertambahan untuk kekuatan tubuhmu. Aku percaya, dengan latihan tiga tahun, kau akan dapat menandingi orang yang mempunyai latihan sepuluh tahun "
"Mudah mudahan loopee," kata Siauw Pek. yang sekali lagi
menghaturkan terima kasih. Ia paykuy terhadap orang tua itu.
Sejak itu, mulailah Tjoh Siauw Pek belajar dibawah pimpinan Kie
Tong, yang mendidiknya lebih dahulu didalam ilmu tenaga dalam-
Bukan main sayangnya orang she Kie ini terhadap muridnya ini, hingga untuk makan pakaiannya, dia sendiri yang melayani, si murid cuma diwajibkan belajar tekun dan junun, sedangkan setiap tengah
malam, dia memerlukan mengambilkan ciojie untuk diminum muridnya, supaya tubuh si murid sehat, kuat dan ulet.
Sang waktu berlalu dengan cepat. Dua tahun telah lewat. Selama itu, Siauw Pek sudah melatih baik dirinya dalam ilmu dalam- Bahkan tiap tanggal lima, lima belas dan dua puluh lima selama tiga hari setiap bulan diapun disuruh melatih ilmu golok Siang Go. supaya dia mahir dalam ilmu goloknya itu. Tapi, selama dua tahun yang lalu belum pernah dapat Kie Tong mengajari dia ilmu pedang. dia cuma banyak diceritakan tentang ilmu silat bersenjata itu.
Pada suatu malam selewatnya dua tahun setengah selagi rembulan terang benderang, tiba-tiba Kie Tong mengajak muridnya pergi ke ujung bukit dimana ada banyak tumbuh pohon bunga. Dia tertawa ketika menunjukkan tempat indah itu. "Anak, kau lihat tempat ini, bagaimana perasaanmu?" tanyanya. Siauw Pek melihat keempat penjuru.
"Sungguh indah " sahutnya. "Bunga bunga bagaikan sulaman dan bau harumnya hampir memabukkan orang" Kie Tong tertawa pula.
"Selama dua tahun lebih," katanya. "kecuali selagi berlatih silat, kau tidak pernah keluar pintu. Aku lihat walaupun kau berlelah lelah kemajuanmu adalah diluar dugaanku"
"Itulah berkat kebaikan loopee," kata anak muda. Lagi lagi guru tertawa.
"Mulai malam ini, aku akan ajari kau ilmu pedang " katanya.
Dengan tiba tiba Siauw Pek menjatuhkan diri memberi hormat kepada gurunya itu.
"Suhu, terimalah hormat murid" katanya yang kemudian merubah panggilannya dari loopee paman menjadi "suhu" guru. Ia menjura tiga kali.
Beda daripada biasanya, Kie Tong tidak mencegah. Dia terima baik pemberian hormat itu
"Sekarang kita telah menjadi guru dan murid" katanya, tertawa. "Sejak malam ini, tempomu berdiam di lembah ini tinggal kira kira setengah tahun, karena itu, dibawah pimpinanku kau mesti belajar dengan sungguh sungguh. Taman bunga ini adalah taman buatanku, sengaja aku siapkan buat aku berlatih disini."
Siauw Pek bersyukur. cuma ia tidak mengerti mengapa buat belajar siat pedang guru itu memilih tempat ini, yang dia buat istimewa. Ia sangat bersyukur dan terharu, hingga air matanya meleleh keluar.
"Budi suhu ini sangat besar, entah bagaimana aku bisa membalasnya," katanya.
" Kau telah membalas budiku jikalau kau berhasil mempelajari ilmu pedangku yang terdiri dari sembilan jurus ini," kata guru itu. "Dengan begitu kau telah mewariskan ilmu kepandaianku."
"Aku akan coba, suhu. Aku akan berdaya agar suhu tidak kecewa."
"Tahukah kau, mengapa aku buat taman ini untukmu belajar silat pedang ?"
"Tidak suhu," sahut murid.
"Ilmu silat pedang ku beda daripada ilmu silat pedang lainnya," berkata guru itu. "Lebih beda lagi dengan ilmu golok Siang Go. Selama dua tahun aku menyaksikan kau melatih ilmu golok, aku melihat kau selalu dipengaruhi rasa dendam kesumatmu, sangat hebat perasaan benci dan sakit hatimu. Tidaklah demikian dengan ilmu pedangku. Ilmu pedangku sebaliknya, membutuhkan kelemah lembutan seperti angin musim semi, mesti dipenuhi pengaruh welas asih dan kesabaran- Diwaktu belajar ilmu pedang, hatimu mesti riang gembira, lega terbuka bagaikan berbunga. Nah, inilah sebabnya mengapa kubuatkan kau taman ini. Keindahan tempat ini akan membantu kau menyelesaikan dan memahirkan ilmu pedangmu"
Siauw Pek sangat bersukur, ia sampai menghela napas.
"Suhu baik sekali." katanya.
"Ilmu silat pedangku disebut ong Too Kiu Kiam tetapi juga dipanggil Tay Pie Kiam-hoat yaitu Ilmu Pedang Maha Kasih," berkata guru itu, memberi penjelasan. "Jurus yang pertama dinamakan Siang im Liauw Yauw, atau Mega Indah Bergulung gulung. inilah sebab, asal pedang digerakkan, geraknya mirip mega turun dari langit, segera lawan terkurung sinarnya yang tajam itu, berkilau kilauan terus membawakan sembilan perubahan, mengancam menotok sembilan jalan darah lawan itu. Itulah ancaman serangan untuk lebih menggertak mempunahkan semangat lawan kita. Ilmu pedang ini memang cuma sembilan jurus tetapi setiap sembilan jurus berkailkan sembilan, menjadi semuanya delapan puluh satu jurus pecahan yang sebaliknya dapat berubah bulak-balik hingga seluruhnya menjadi tujuh ratus dua puluh sembilan jurus. Tegasnya jurus-jurus agaknya menjadi kacau sekali karena banyaknya. Malam ini aku akan ajari kau satu jurus dan kau harus melatihnya terus selama dua malam lagi, hingga satu jurusnya mesti selesai dalam tiga hari. Itu berarti, tiga kali sembilan menjadi dua puluh tujuh hari. Aku menetapkan waktu satu bulan untuk kau selesaikan- Sisanya tiga hari lagi akan digunakan sebagai latihan ulangan, supaya kau tidak salah dan agar jadi faham benar".." Habis berkata begitu, orang tua ini menghela napas.
"Tapi ingat, anak." pesannya: "Selama kau mempelajari Tay Pie Kiam-hoat, kau musti menunda latihan golok Toan Hun it Too. Kau harus ketahui, Kiu Kiam dan it Too saling berselisihan maksudnya, maka kalau kau melatihnya dengan serentak. kau akan menampak kesulitan, sebab hatimu terpecah dua. Kalau kau hendak menggunakannya, gunakanlah bergantian- Demikian juga cara melatihnya." Siauw Pek mengerti.
"Pedang dan Golok berselisih, pantas suhu dan Siang Loopee saling menghormati tetapi saling menghindarkan diri..." pikirnya. Ia terus mengangguk kepada gurunya itu, kemudian ia mengawasi, untuk menantikan pelajaran-
"Sekarang waspada " terdengar suara siguru, "pasang matamu, perhatikan, aku hendak memulai jurus yang pertama, lihat dan ingat baik baik."
"Akan aku perhatikan, suhu," simurid memberikan janjinya.
Kie Tong bertindak ketengah taman, dengan perlahan ia mengangkat pedangnya, terus ia bersilat, dengan gerakan yang perlahan- Ia menjalankan semua sembilan jurus.
Sang murid kagum. Ia menyaksikan banyak perubahan. Artinya itu ialah banyak gerakan-Hal ini membuatnya sukar, sebab sulit untuknya mengingat jelas semua perubahan itu. Sehabisnya, Kie Tong berdiri diam, pedangnya disimpan-
"Bagaimana ?" ia menanya kepada muridnya sambil tertawa.
"Bagus, suhu Hanya sejurus pun aku tak ingat lagi..." Guru itu tertawa pula.
"Kalau satu kali lihat saja kau sudah ingat apa itu masih dapat dinamakan ilmu silat istimewa ?"
"Aku tolol, suhu, aku kuatir akan menyia nyiakan pengharapanmu..." Lagi lagi sang guru tertawa.
"Hari masih panjang, anak Kalau betul kau gagal didalam tempo setengah tahun, itu waktu terpaksa kau mesti menunda sampai tiga tahun lagi " Siauw Pek terperanjat.
"Tiga tahun lagi " katanya didalam hati. Ia ingat sakit hati ayah
bunda dan sekalian saudaranya. Tapi ia berikan janjinya: "Baiklah,
suhu, aku akan belajar dengan sungguh sungguh" Kie Tong puas. "sekarang, anak, mari kita mulai "
Guru itu lalu mengajari jurus yang pertama. Ia berlaku sabar dan teliti sekali. Siauw Pek cerdas, iapun sangat rajin, bisa ia menangkap ajaran gurunya.
Sang waktu berjalan dengan cepat. Segera lewatlah satu bulan. Siauw Pek dapat memenuhi janjinya. Didalam waktu satu bulan itu,
ia sudah selesai mempelajari Tay Pie Kiam hoat. ilmu Pedang Maha Kasih itu. Dan selanjutnya ia tinggal melatih saja. Pada suatu hari habis berlatih, Kie Tong menunjuk bunga bunga didalam tamannya itu.
"Tahukah kau mengapa ditempat latihanmu kutanami bunga bunga ?" dia tanya muridnya sambil tertawa ramah.
Siauw Pek menggeleng. "Aku tidak tahu," sahutnya.
"Selama sebulan kau belajar disini, adakah yang luar biasa kau rasai?" Murid itu memandang kesegala arah. Kembali ia menggeleng kepala.
"Aku tidak merasakan apa-apa," sahutnya.
Guru itu tersenyum, tetapi ia tidak memberi keterangan hanya ia mengalihkan pembicaraan- Katanya: "Mulai besok. aku tidak akan mengajarimu lagi, hanya setiap hari dua kali kau datang kesini, untuk berlatih, yaitu setiap jam cu-sie dan ngo-sie."
"cu-sie" ialah jam 11 malam sampai jam 1 tengah malam, dan "ngo-sie" jam 11 siang sampai jam 1 tengah hari.
"Tetapi, suhu," kata si murid, gugup, "aku belum ingat
seluruhnya, perubahannya demikian banyak, bagaimana aku..."
Sang guru menyela, "Kau harus ingat, tak dapat aku senantiasa mendampingimu..." Ia berhenti sejenak. kemudian menambahkan: "Semuanya sembilan jurus, telah kau ingat dengan baik. Tentang perubahan perubahannya, kau nanti akan mengerti sendiri kalau kau sudah menghadapi lawan lawanmu, karena semua itu harus melihat suasana. Belajarlah sendiri, aku tidak ingin mengganggumu. Dengan berlatih sendiri, kau jadi merdeka. Tentang kemajuanmu nanti tak dapat aku memastikannya karena itupun harus melihat untung bagusmu. Di dalam gubuk ada simpanan barang makanan
untuk tiga bulan, sedangkan cio-jie didalam sumur itu, walaupun
tinggal sedikit, masih cukup untuk dimakan selama beberapa bulan"
Siauw Pek menjadi bingung. Aneh guru ini. ia menjadi curiga, hatinya menjadi tidak enak.
"Sebenarnya suhu mau pergi ke mana?" akhirnya ia tanya.
Kie Tong berlaku tenang, jawabnya: "Gurumu mempunyai suatu urusan penting, karena itu aku hendak berpisah dengan kau selama tiga bulan. Berlatihlah dengan sabar dan rajin, tak usah pikirkan aku." Lalu, tanpa memberi kesempatan lagi kepada muridnya, ia lompat melesat, sekejap saja telah lenyap dari pandangan mata si murid, karena dia menyelinap di sebuah tikungan bukit.
Siauw Pek melongo mengawasi gurunya itu, ia menjadi bingung sekali. Sia sia saja ia bercuriga. Kemana gurunya mau pergi, sedang di situ, kecuali Siang Go, tidak ada orang lainnya lagi" Mengapa guru itu mau pergi selama beberapa bulan itu"
Masih sekian lama anak muda ini mendongak memandangi langit, barulah ia mulai berlatih ilmu pedangnya. Ini merupakan pertama kali ia berlatih seorang diri, dan juga mesti hidup sendiri saja. Biarpun begitu, ia tidak merubah kebiasaannya, untuk tetap bersilat dan bersemadi guna memelihara kesehatannya, untuk memperkuat tenaga dalamnya. Hanya kadang kadang saja ia melatih kara bersemadi Siang Go, untuk menjaga agar tidak lupa, supaya pelajarannya si jago golok tak tersia2kan-
Sampai sebegitu jauh, tetap Siauw Pek belum mengerti jelas perbedaan antara pelajaran Kie Tong dan pelajaran Siang Go, hanya karena telah memperoleh kemajuan, dapat juga ia merasakannya. Kalau ia melatih semadhi Kie Tong, ia merasakan seluruh tubuhnya lunak. darahnya berpencar rapi keseluruh anggotanya, terutama ke tangan dan kakinya. segalanya damai. Sebaliknya, kalau ia melatih ajaran Siang Go, dalam seketika ia menjadi tegang tenaganya bagaikan mau melesat keluar, nadinya berdenyut keras, dadanya bergolak. Perbedaan itu terasa makin lama makin jelas.
Tentu saja, walaupun ia belum mengerti, tak mau ia menyia- nyiakan salah satu diantara dua pelajaran silat itu.
Hari-hari berlalu, tiga bulan dilewatkan dengan cepat. Yang paling nyata ialah perbekalannya Siauw Pek sudah habis. ia memang mengharap- harap kembalinya sang guru,
tapi dari pagi sampai siang, dari siang sampai magrib, sia sia
belaka harapannya. Tetap tak nampak bayangan guru itu.
Tengah malam, barulah Kie Tong kelihatan bertindak memasuki gubuknya. Dia berjalan lesu, lain daripada biasanya. Bukan main girang sang murid.
"Suhu" serunya sambil melompat maju, menyambutnya.
"Aku letih sekali," kata guru itu, tangannya diulapkan, "aku
hendak beristirahat. segala sesuatunya, besok akan kita bicarakan."
Siauw Pek percaya keterangan guru itu, ia bisa melihat keletihan sang guru. Ia merasa heran-
"Kau mengapa, suhu ?" tanyanya.
Kie Tong mengulapkan pula tangannya.
"Anak. jangan ganggu aku," katanya. "Aku tidak kurang suatu apa, aku cuma ingin beristirahat."
Guru ini bertindak kepembaringannya dimana ia rebahkan diri, terus tidur.
Siauw Pek heran, hingga dia berpikir: "Tenaga dalam suhu mahir sekali," ia tidak berani menanyakannya lagi.
Malam ini putera Tjoh Kam Pek tidak tidur barang sekejab. Dia duduk bersemadhi sambil menunggui gurunya itu.
Kie Tong tidur nyenyak sekali. Sampai besok tengah hari, baru dia terbangun.
"Oh, suhu sudah bangun," kata Siauw Pek, yang menghela napas, hatinya lega.
Kie Tong memandang muridnya, yang mata sayup sayup, Ia tahu apa sebabnya. "Satu malam kau tak tidur, anak?" katanya
"Aku sehat sehat saja, tak usah suhu memikirkannya," sahut sang murid. Kie Tong berdiam sebentar, kemudian mendadak melompat bangun-
"Anak. bagaimana ilmu pedangmu?" tanyanya tiba tiba.
"Aku tolol, suhu, aku kuatir menyia nyiakan pengharapan suhu, "jawab murid itu.
"Mari" kata sang guru. "Ingin aku melihat kau berlatih"
Siauw Pek menurut. Ia bertindak keluar, pedangnya segera dihunus. Di depang gubuk, ia segera menjalankan ilmu silat pedang Tay Pie Kiam hoat ilmu Pedang Maha Kasih itu
Kie Tong berdiri memperhatikannya dengan penuh perhatian-
Ketika muridnya sudah selesai bersilat, dia mengangguk angguk.
"Sudah bagus" katanya. "Selanjutnya asal hati dan tubuhmu
sudah bersatu padu, kau akan sampai pada kesempurnaannya. "
"Dalam hal itu, aku masih mengharapkan petunjuk suhu," kata si murid yang rendah hati itu, yang sangat menghormati gurunya. Kie Tong mengangkat kepala, memandang kelangit.
"Anak. bagaimana dengan pelajaran Toan Hun It Too ?" kemudian ia bertanya pula.
"Hanya aku merasa masih ada saja sesuatu yang kurang lurus dalam mempraktekkannya." Kie Tong berpikir.
"Ketika Siang Go mengajarimu ilmu golok, apakah dengan hafalannya?" ia tanya.
"Ya, suhu." "Di saat kau melatih Tay Pie Kiam hoat itu, bagaimana perasaanmu?"
"Rasanya hati ini jadi tenang dan damai." Sekonyong konyong guru itu tertawa nyaring.
"Bagus, oh, anak yang baik" serunya, "Kau telah memiliki kemurniannya ilmu silatku"
"Ah, suhu terlalu memuji," murid itu merendah diri.
Habis itu, lenyap senyuman Kie Tong. Dia jadi bersungguh sungguh.
"Anak." katanya. "malam ini diantara jam sebelas dan satu, telah aku sediakan segala apa untuk kau melintasi jembatan maut Seng Su Kio itu. Pada waktu itu kau akan sudah meninggaikan Bu Yu Kok, ini lembah tidak Bersusah hati."
Siauw Pek tercengang. ia kaget. Mereka berdua bakal berpisah sedang sudah bertahun tahun mereka hidup bersama" Ia menarik napas duka. "Apakah suhu tidak pergi bersama?" tanya dia masgul. Kie Tong menggelengkan kepala.
"Anak yang baik, tak dapat aku tinggalkan gubukku ini dimana aku sudah tinggalkan selama puluhan tahun," sahut sang guru. "Tidak tega aku meninggalkannya, memang di sini sunyi tetapi aku senang dengan penghidupan tenang. Anak. tak usah kau pikirkan aku."
"Jikalau begitu, suhu biarlah nanti apa bila aku telah berhasil menuntut balas, aku akan kembali kelembah ini untuk seterusnya menemani suhu," kata sang murid. Guru itu menganggukan tetapi dia kata:
"Tidak usah Aku rasa usiaku sudah cukup tinggi, tidak lama lagi pun akan tiba saatnya aku pulang ke rakhmattullah..."
Mendadak guru itu menutup mulutnya, dan gantinya, dia
mengusap usap rambut muridnya. Dia berkata sabar. "Anak
selayaknya kau pergi menjenguk Siang Go, guru ilmu golokmu itu"
"Oh ya" kata murid itu cepat. "Memang aku mesti pamit pada Siang Lootjianpwee" Tapi Kie Tong menggeleng.
"Tak usah, anak," katanya, "Siang Go aneh, tak apa kau tak menemuinya."
"Siang Lootjianpwee pun telah seperti guruku," berkata Siauw Pek. " Dengan kepergianku ini, entah kapan aku akan kembali kemari..."
"Sudah, tak usah kau pergi, anak." kata pula guru itu. "Apa yang aku katakan, tak akan salah. Sekarang ini kau justru perlu beristirahat."
Siauw Pek heran, akan tetapi, tidak berani ia menanyakan gurunya itu. Terpaksa ia pergi kebiliknya, untuk duduk bersemadhi. Hanya kali ini, karena terlalu banyak berpikir, ia tak dapat menenteramkan diri.
"Anak." kata Kie Tong, "kau telah makan ciojie, hasil pangan itu dapat menambah tenagamu seperti latihan sepuluh tahun. Rupanya Thian menyediakan makanan itu untukmu. sekarang kau mau berlalu, sumur itu juga sudah hampir kosong" Siauw Pek mengangguk.
"Suhu," katanya, "budi suhu besar luar biasa. Suhu seperti telah menghidupkan pula padaku"
"Sudah, anak. jangan kau banyak pikir. Hayo bersemedi terus, aku perlu beristirahat"
"Baik,suhu,"sahut si murid itu, yang terus memejamkan matanya. Sekarang dapat ia mengendalikan hatinya, maka di lain saat, ia sudah lupa pada dirinya sendiri. Ketika kemudian ia tersadar, waktu sudah jam dua malam. Ia mendapatkan gurunya tengah berdiri disisinya, menantikannya. Tentu sekali, ia menjadi terperanjat. Segera ia melompat bangun-
"Jam berapa sekarang, suhu?" tanyanya.
"Masih siang" sahut guru itu. "Nah, bawalah pedangku dan golok
Siang Go" Murid itu menurut, ia menggantung pedang dan golok itu.
Kie Tong yang terdahulu keluar dari gubuknya ini. Ia berpaling kebelakang, mengawasi gubuknya itu dimana ia telah tinggal beberapa tahun setelah itu, ia membuka tindakan lebar lebar mengikuti sang guru.
Kie Tong berjalan terus. Ia memutari sebuah tikungan- Di saat lain, mereka berdua melihat sebuah lembah yang dalam di
hadapannya. Tebing lembah itu hampir mirip tepian jurang. Di situ
nampak sebatang rotan yang besar, dilibatkan pada batu besar.
"Anak," kata Kie Tong, "pergilah turun dengan melapai dari rotan ini."
"Baik, suhu," sahut sang murid, yang terus menghampiri rotan itu, buat memegangnya dengan kedua belah tangannya. dan bergerak turun-
Diwaktu malam seperti itu, lembah itu nampak gelap. Di situpun terdapat kabut dan hawanya dingin. Dari dalam lembah, orang tidak melihat bintang bintang di langit. Tiba di dasar lembah Siauw Pek tidak dapat melihat lima jari tangannya.
"Anak. telah sampailah kau di dasar lembah." tanya Kie Tong dari sebelah atas. "Apa kau tidak kurang suatu apa?"
"Ya, suhu " menjawab sang murid. "Aku tidak kurang suatu apa "
"Jikalau begitu, berdirilah diam, jangan bergerak Aku hendak turun " Siauw Pek menurut. Ia berdiri diam disisi tambang rotan itu. Hanya sebentar, tibalah Kie Tong di dasar lembah.
Dengan perlahan lahan, mata Siauw Pek mulai terbiasa dengan tempat gelap. Ia pun dibantu banyak tenaga dalamnya. Samar samar ia melihat kesekitarnya. Memang benar, lembah itu penuh kabut dan juga berhawa dingin...
"Sungguh satu tempat yang mengerikan," pikir anak muda ini. Ia melihat tegas tak lebih jauh daripada empat atau lima kaki.
Kie Tong mengulur sebelah tangannya, dengan perlahan ia mencekal tangan muridnya.
"Anak. percayalah kepada takdir," kata sang guru, sabar. "Lihatlah kita berdua dan Siang Go kita semua telah beruntung berhasil melintasi jembatan maut Seng Su Kio Lebih lebih aku dan Siang Go, kami telah menempuh bahaya, melawan hembusan angin puyuh yang berbahaya itu. Memang tentang pengalamannya itu, Siang Go belum pernah menceritakan kepadaku, akan tetapi aku
telah menduganya. Mungkin dia telah lebih menderita daripada aku, karena dia selanjutnya berdiam didalam gua gelap gulita itu dimana tidak ada sinar matahari, bahkan tak mau dia meninggalkannya." Berkata begitu, orang tua ini menghela napas.
"Anak. tempat kita ini tenang luar biasa," ia menambahkan selang sejenak. "tetapa kesunyian semacam ini sangat membosankan, membuat orang tak senang mendiamkannya lama- lama. Kau tahu, pernah beberapa kali aku mencoba menyeberangi Seng Su Kio, hanya sayang saban saban aku gagal selalu aku terpaksa mundur sendirinya, hingga akhirnya matilah niatku meninggalkan tempat ini. Harapan telah tidak ada lagi..." Siauw Pek dapat mengerti kata kata gurunya itu.
"Suhu adalah seorang lihay, suhupun tidak sanggup melintasi Seng Su Kio" kata sang murid, "apa lagi aku. Aku percaya, ketika hari itu aku dapat menyeberangi jembatan maut itu, rupanya aku dapat perlindungan arwah ayah bundaku." Kie Tong menghela napas.
"Mengenai soal menyeberangi Seng Su Kio telah lama aku memikirkannya," katanya. "Sesudah lewat waktu sekian lama, akhirnya aku toh dapat memikir satu jalannya. Kau tahu, anak. kenapa aku memisahkan diri dari kau selama tiga bulan " Sebab aku telah pergi ke lembah berkabut dan dingin ini, disisi aku membuat penyelidikan, guna membuktikan pemikiranku itu. Tak sia sialah aku menggunakan waktu tiga bulan itu, nyata aku telah berhasil mendapatkan kebenaran pemikiran itu. Dengan begini anak. aku jadi mencarikan juga kau suatu jalan keluar, buat meninggalkan Bu Yu Kok dan Seng Su Kio..." Siauw Pek heran.
"Apakah kenyataan itu, suhu ?" ia bertanya.


Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Angin puyuh dijembatan itu mempunyai tenaga kuat luar biasa," sang guru menjelaskan " akan tetapi tenaga itu pula ada suatu keanehannya.Jikalau seorang melintasi jembatan dengan pikiran kosong, lupa akan hidup dan mati angin itu meniupnya melintas, tubuh orang itu tidak merintanginya, tak bertahan akan hembusan- Demikianlah kau, ketika dahulu melintasi, kau ada dalam keadaan
lupa segala-galanya, karena pikiranmu dipengaruhi oleh kebinasaan hebat dan menyedihkan dari ayah bunda serta saudara saudaramu, oleh sebab itulah kau dapat melintasinya."
"Jikalau demikian adanya, suhu," kata Siauw Pek, "ingin aku mencoba melintasi jembatan itu. Aku akan lupakan segala apa dan tidak akan menggunakan tenaga menentang hembusan angin puyuh itu."
"Ayah bundamu telah mati, anak. di dalam dunia ini tak akan ada ayah bundamu yang kedua. Kau masih berduka, masih bergusar, akan tetapi tak nanti kau berduka dan bergusar seperti dahulu itu, seperti saat ayah bundamu baru dibinasakan orang- Karena itu, sekarang tak dapat kau melupakan diri secara sewajar seperti dahulu itu. Selama kau masih sadar dan ingat bahwa kau masih hidup, kau tak kan dapat menghindarkan diri dari angin puyuh itu, kau pasti bakal terhembus hingga tergelincir jatuh kedalam jurang. Itulah sebabnya mengapa aku memikir dan lalu mencoba untuk membuktikan pemikiran itu. Tiga bulan lamanya aku berdiam di lembah dingin gelap berkabut ini, siang dan malam aku melakukan penelitian, aku memperhatikan hembusan angin- Aku mendapat kenyataan adalah malam ini, hembusan angin itu yang paling lemah, sebelumnya, aku juga telah membuat penyelidikan dengan seksama, aku mendapat kenyataan, setiap tiga tahun satu kali, ada dua belas jam tenaga hembusan berkurang banyak. Walaupun tenaga hembusan itu lemah, tapi itu masih tak dapat dilawan oleh tenaga manusia. Hari ini, tengah hari dan tengah malam, adalah saatnya tenaga hembusan itu berkurang, selewatnya itu, tenaga itu akan jadi kuat pula seperti biasa. Maka itu, jikalau kita lewatkan kesempatan ini, kita mesti menanti lagi sampai tiga tahun kemudian
" Siauw Pek mengangguk angguk.
"Suhu," tanyanya, "apakah suhu mau meninggalkan tempat ini bersama sama aku?"
"Telah kujelaskan tenaga hembusan itu," kata si guru. "tenaga itu tak dapat dilawan berbareng oleh dua orang. Anak. tak usah kau pusingkan lagi gurumu."
Siauw Pek merasa berat, ia hendak memeluk gurunya itu, tetapi Kie Tong sudah menariknya, buat diajak segera berjalan dan dengan cepat cepat
Mereka menempuh kabut. Siauw Pek terus mengikuti gurunya, yang nampaknya telah hapal sekali dengan lembah itu. Ia merasa bahwa ia diajak naik, bahkan beberapa kali mereka mesti jalan merayap.
"Anak" kata Kie Tong kemudian, sesudah mereka jalan beberapa lama, mendadaklah. "Kau ikuti aku dengan merayap."
Mau tidak mau, Siauw Pek mesti menurut dan mengikuti di belakang gurunya itu. Jalanan itu makin lama makin sempit, sebab dikiri kanannya jalan dinding dinding batu gunung yang licin- Bahkan akhir akhirnya, jalanan sempit itu hanya dapat dilalui seorang saja.
Lewat sekira waktu malam, telinga Siauw Pek mendengar suara yang nyaring, serentak ia pun berada ditempat terbuka, hingga mereka dapat bangun berdiri. Ia memandang ke segala arah. Nyata ia tengah berdiri dimuka sebuah gua batu yang berada diantara tembokan gunung. Ia pun mendengar hembusan angin serta suara ombak beradu adu, hingga kedua suara itu bersatu padu bagaikan sebuah irama...
Kie Tong mengulur tangannya, dia menepuk nepuk sebatang balok panjang setombak lebih, sambil berkata : "Gua batu ini tadinya sangat sempit akan tetapi dengan menggunakan waktu beberapa hari, aku telah menggempur dan membukanya hingga jadi luas begini. Jikalau dari mulut gua ini kita melompat kaluar, kita sampai didasar lembah. Air disitu bergelombang, suaranya keras, tetapi karena terintang sempitnya mulut gua ini, tenaga ombaknya menjadi sangat terbatas, tak bisa menjadi terlebih hebat lagi..."
Berkata sampai disitu, guru ini hening sejenak. Ia batuk batuk perlahan.
"Sekarang ini waktunya sudah tidak banyak lagi, tidak dapat aku menjelaskan terlebih jauh," katanya, menyambungi. "Lagipula, kau tidak tahu keadaan disini terlebih baik daripada kau mengetahuinya. Lihatlah ini sepotong balok. Telah aku ikat dengan rotan yang kuat sekali. Jikalau balok ini dilempar kedasar jurang, dia akan dibawa hanyut oleh arus. Didasar itu ada banyak batu besar malang melintang, ada kemungkinan balok akan terjepit dan menyangkut diantaranya. Kau gunakan balok ini untuk berenang berhanyut arus itu seandainya aku nampak bahaya, lekas kau teriaki aku nanti aku menarikmu kembali."
Begitu habis berkata, Kie Tong mengangkat balok itu, sambil berseru nyaring, dengan sekuat tenaganya dilemparkannya balok itu kedalam jurang. Sejauh empat atau lima tombak. balok itu jatuh secara perlahan. Kie Tong memegangi rotan erat erat.
"Nah, anak. pergilah " katanya menyuruh.
Siauw Pek tahu bahwa tak ada jalan lain lagi, ia menjatuhkan diri didepan gurunya, untuk memberi hormat.
"Suhu," katanya, "jikalau aku berhasil menyeberangi arus ini dan tiba diseberang sana, aku akan ikat rotan ini pada batu besar, kemudian suhu bersama Siang Lotjianpwee dapat menggunakan buat menyeberang, untuk meninggaikan tempat ini "
"Itu soal tiga tahun kemudian," berkata sang guru. "Sekarang ini
sudah tak banyak waktu lagi, lekaslah pergi " Sang murid menangis
"Budi suhu sangat besar. tak mampu aku membalasnya. Suhu, baik baiklah suhu merawat diri, muridmu mau pergi "
Habis berkata, Siauw Pek bangkit berdiri, tangannya menyambar rotan- Ia menguatkan hati, tanpa ayal lagi, ia melompat keluar dari mulut gua.
Mulut gua jauh lebih tinggi dari permukaan air, waktu tubuh Siauw Pek hampir sampai di air, dia merasa ada hembusan angin
yang meniupnya, begitu keras, hampir cekalannya kepada rotan terlepas. Syukur dia tabah dan cerdik, lekas lekas dirangkulnya rotan itu hingga selanjutnya dia bisa merosot turun-
Ketika dirasanya tubuhnya dingin, tahulah Siauw Pek bahwa ia telah tercebur disolokan gunung yang lebar yang berarus dahsyat itu. Tanpa berkuasa lagi, ia terus dibawa hanyut. Ia ingat pesan Kie Tong, dipegangnya rotan erat-erat.
Satu kali Siauw Pek terkejut, ia merasa nyeri, sebab tubuhnya telah terbentur batu besar kepalanya terasa pusing, matanya gelap. Ia gelagapan hingga dua kali dia menceleguk air di luar keinginannya. Tapi ia masih sadar, ia memegang keras-keras rotannya, lekas-lekas dikeluarkannya kepalanya untuk dapat bernapas. Dengan begini ia dapat menenangkan hatinya.
Sang arus tetap membawanya hanyut. Hanya setelah lewat beberapa tombak. tiba-tiba ia merasa aliran tak sekeras semula, sedangkan kakinya lantas dapat menginjak sebuah batu besar ketika ia memandang, ternyata arus tertahan oleh sebuah batu besar sekali.
Kesempatan ini digunakan sianak muda untuk beristirahat sebentar, setelah itu, ia maju lagi. Tak lama selewatnya batu besar itu, arus mulai deras lagi. Ia kembali mencetak rotan erat erat. Kali ini dia melapai, hingga ia dapat mencekam balok yang terikat rotan itu.
"Celaka..." Siauw Pek mengluh didalam hati, hatinyapun berCekat. "Kabut begini gelap. sungai entah berapa lebar lagi, dapatkah aku mengandalkan tenagaku untuk berenang " Bagaimana aku bisa tiba diseberang ?"
Berpikir begitu, anak muda ini terdiam. Tapi otaknya bekerja terus. Kemudian ia mendoa didalam hati : "Ayah dan ibu, harap ayah dan ibu melindungi putramu ini" Setelah itu, ia mengambil keputusan. Dengan tangan kiri, ia memeluk balok dengan tangan kanan, ia mencabut goloknya dan menabas kutung rotan yang
dipakai mengikat balok itu. Setelah itu, ia memeluk balok dengan kedua tangannya.
Dengan terputusnya rotan itu, segera terbawa arus dan hanyut cepat sekali.
Tubuh Siau Pek terbawa hanyut, tak hentinya telinganya mendengar suara-suara nyaring dan berisik. Sebab baloknya itu
sering membentur batu dan saban-saban teringat hanyutnya.
TubuhnyapUn senantiasa terombang ambing karena damparan arus.
Didalam keadaan seperti ini, Siauw Pek tak tahu bahwa ia telah melewati waktu berapa lama. Apa yang dirasakannya ialah tenaganya hampir habis. Meski demikian, pelukannya tetap diperkeras. Yang terakhir ia merasa kaget dan merasa sangat nyeri, sebab dahinya sebelah kiri kena terbentur batu besar, hingga ia tak sadarkan diri. Ketika entah berapa lama kemudian ia tersadar dari pingsannya, ia melihat tempat disekitarnya telah berubah.
Berdiri dihadapan Siauw Pek seorang nona nelayan yang mengenakan baju hijau berkuncir panjang. sedangkan celananya komprang dan kedua kakinya telanjang. Nona itu tengah merapikan jalanya. Ia sendiri rebah diatas lantai dari suatu bahagian perahu, yang beralaskan kasur yang tebal. Ia menarik napas lega, lalu ingin menyapa nona itu, tapi sinona, yang melihatnya tersadar, berbalik menatap kepadanya, kemudian melepaskan jaringnya, sambil berseru: "Kakek Kakek.. Mari orang itu sudah sadar"
Kemudian terdengar jawaban dari seorang kakek, yang berkata: "Lekas kau panaskan sup kau itu, suguhkan kepadanya, supaya dia makan" Menyusul kemudian, terlihat datangnya orang itu. seorang tua yang bertubuh kasar, yang kepalanya ditutup dengan tudung bambu dan tubuhnya mengenakan baju kasar.
Diam-diam anak muda ini mengerahkan tenaga dalamnya. Ia merasa lega. Jalan napasnya tidak terganggu, cuma kepalanya masih nyeri sedikit demikian juga lengan dan pahanya, terasa nyeri sekali bekas terbentur- bentur batu
orang tua itu menghampirinya, lalu dia membungkuk sambil mengulurkan tangannya untuk meraba kepala sianak muda. Mendadak anak muda itu bergerak bangun untuk duduk. orang tua itu terkejut dan dia lalu mundur. "oh saudara kecil, kau telah sadar," katanya heran-
"Terima kasih paman," sahut Siauw Pek. "paman telah menolongku," ia bangkit, dan memberi hormat.
orang tua itu hendak mencegah, tetapi sudah tidak keburu.
"Kau bertubuh kuat, saudara kecil," katanya. "Rupanya kau pernah belajar silat."
"Maaf paman, itulah sebenarnya," Siauw Pek mengakui. Tak dapat ia berdusta. tiba tiba ia terkejut. Ia ingat pedang dan goloknya yang biasanya tergantung dipinggangnya, telah tidak ada. Ia melihat tajam kesekitarnya.
"Saudara kecil, kau mencari apa?" tanya si nelayan tua. "Aku membekal senjata, entah itu telah lenyap atau..." "Apakah itu golok dan pedang ?"
"Benar. Apakah paman telah melihatnya ?"
"Barang- barang itu telah kusimpan-.."
Ketika itu terdengar suara nyaring halus si nona : "Kakek. sup ikan sudah dipanasi, biarlah dia makan "
Siauw Pek menoleh. sekarang ia melihat tegas nona itu, yang usianya dikira baru lima atau enam belas tahun, matanya jeli, alisnya lentik, kulitnya putih halus. Untuk kaum nelayan, dia cantik sekali.
Meskipun dia mengatakan demikian, nona itu toh membawakan sendiri sup ikannya kepada si anak muda, sambil mengangsurkan ia berkata manis : "Sup ini masih panas, tuan- Mari makan "
Siauw Pek menyambut sop itu.
"Ucapannya halus dan rapi. mungkin dia pernah bersekolah," pikir Siauw Pek. yang terus mengucapkan terima kasih : "Merepotkan saja, nona "
"Maafan kami, saudara kecil," berkata si nelayan tua, ramah. "Kami berdua, kakek dan cucu, hidup sebagai nelayan sukar hidup kami, karena itu tak dapat kami mematuhi aturan adat istiadat sopan santun, yang melarang pria dan wanita berpegangan tangan- .."
"Paman jujur dan polos, aku justru senang sekali " Orang tua itu tersenyum, ia melihat kesekitarnya.
"Hari ini hasil kami lumayan, cukup buat aku membeli arak. untuk minum sampai mabuk, sekarang, marilah kita pulang "
"Ya, kakek " kata si nona, yang terus tertawa manis. "Hari ini akupun mendapatkan dua ekor ikan yang langka, hendak aku bawa pulang untuk dipiara. Aku minta jangan kakek menjualnya, untuk ditukar dengan arak " Kakek itu tertawa.
"Ah budak. kau selalu biasa " tegurnya.
"Masih tak mau lekas lekas merapikan jala kita "
Nona manis itu tersenyum, dia keluar dari gubuk perahunya.
Senang Siauw Pek melihat lagak lagu si nona, yang wajar dan polos, yang, rupanya tahu segala sesuatu sebagai seorang anak nelayan.
"apakah paman masih mempunyai anggota keluarga lainnya ?" Ditanya begitu, sicrang tua menghela napas
"Kami cuma berdua, kakek dan cucu," jawabnya. "Buruk nasib anak ini, dihari dia lahir, ayahnya mendapat kecelakaan, yaitu perahunya karam dan lenyap bersama-samanya, hingga sekarang tak ada kabarnya lagi..."
"Mungkin dia masih hidup, paman- orang baik dilindungi Tuhan " Nelayan tua itu tersenyum sedih.
"Saudara kecil, tak usah kau menghibur aku," katanya. "Sudah lima puluh tahun aku hidup sebagai nelayan, mustahil aku tak tahu sifat air" Kecelakaan itu disebabkan munculnya angin puyuh laut yang hebat sekali. Kami kaum nelayan, siapa ketemu angin itu, dia tak ampun lagi. Untuk kami, kami mengenal pepatah yang mengatakan, rejeki tak datang serentak. bencana tak jalan sendirian- Setahun kemudian, ibu si anak telah menemui ajalnya. Maka selanjutnya, kami hidup berdua. Syukur kepada Tuhan, dalam usiaku begini tinggi, aku tetap sehat dan segar, maka selama tiga belas tahun, kami kakek dan cucu dapat terus hidup bersama."
"Jadi cucu paman itu tahun ini berusia tiga belas tahun ?"
"Empat belas tahun, saudara kecil. Memang nampaknya dia seperti anak umur lima atau enam belas tahun- Tidak ada yang mendidiknya, maka aku kirim dia kesekolah dimana dia telah belajar selama tiga tahun- Anak itu berotak terang, sayang dia wanita dan juga longgor, dalam usia sepuluh tahun, dia sudah mirip anak umur tiga atau empat belas tahun- Terpaksa aku menghentikan sekolahnya, supaya dia bisa diajak menangkap ikan bersama sama. Inilah penghidupan kami."
Siauw Pek heran- Bocah umur empat belas tahun sudah seperti orang dewasa. orangnya pun cerdas dan cantik. Ketika itu muncul pula si nona.
"Kakek. sudah siap " katanya. si kakek bangkit.
"Saudara kecil, kau rebahlah, biarlah aku memegang kemudi." Habis berkata, dia pergi ke luar.
Siauw Pek mengawasi kakek dan cucu itu keluar, kemudian dia duduk bersemadhi.
Kira-kira sudah lewat waktu beberapa lama, tiba-tiba terdengar suara nyaring halus dari si nona : "Tuan, sudah sampai, silahkan turun dari perahu "
Siauw Pek membuka matanya dan memandang keluar, maka ia melihat si nona di mulut gubuk perahunya itu, wajahnya manis
menarik hati. Dia tidak tertawa tapi nampak bagaikan sedang
tersenyum simpul. Tanpa merasa, hati pemuda ini guncang.
"Sungguh manis sekali " pikirnya. Terus ia bangkit seraya bertanya : "Mana kakekmu, nona ?"
Si nona membalas memandang, kedua matanya bermain menggiurkan-
" Kakek telah pergi membeli arak. dia mau mengundang kau minum, tuan " sahutnya.
"Aku tak biasa minum, aku kuatir nanti mengecewakan kakekmu
" Nona itu tertawa, hingga nampak dua baris giginya yang bagus. "Kau she apa tuan ?"
"She Tjoh, namaku Siauw Pek," si anak muda memperkenalkan diri.
"Oh, tuan Tjoh " kata si nona. "Aku Han Lian Jie. Selanjutnya panggil saja aku Lian Jie. si Lian-"
"Mana aku berani lancang, nona." Nona itu tertawa.
"Tak apa " katanya. "Bahkan kakek memanggil aku si budak Lian Semua tetanggaku memanggil aku Lian Jie, maka itu, janganlah kau segan-" Selagi bicara itu, mata si nona bermain bagus sekali, lagaknya menggiurkan-
Siauw Pek masih muda, dia jangan sendirinya, hingga tak berani dia mengawasi lama-lama.
"Mari nona " katanya, seraya berjalan keluar dari gubuk perahu.
"Rumah kami sempit, maka itu kakek menyuruh aku mengajakmu ke Heng Hoa Kie," kata si nona.
"Heng Hoa Kie" adalah sebuah rumah makan didesa itu.
Siauw Pek heran- Asal sinar mata mereka berdua bertemu, terus hatinya bimbang.
"Baik nona tak usah mengantarkanku," katanya kemudian, seraya matanya diarahkan kesungai. "Nona tunjukkan saja jalannya, nanti aku pergi sendiri."
"Kalau begitu, aku jadi mesti berdiam seorang diri didalam perahu. Mana bisa ?" kata si nona, menatap.
"Kalau begitu, marilah " kata Siauw Pek. yang terus turun dari perahu.
"Eh, tuan " memperingatkan si nona. "Apakah kau tidak mau bawa golok dan pedangmu?"
Siauw Pek tercengang. "Akh, mengapa aku melupakan senjataku?" ia tegur dirinya sendiri. "Nona ini terlalu manis, tak dapat aku berdiam lama-lama disini. Sebentar setelah bertemu si orang tua, perlu aku segera mengucapkan selamat tinggal..." Ia kembali kedalam perahu, mengambil golok dan pedangnya, kemudian ia keluar pula, untuk bertindak pergi.
"Eh, eh, jangan jalan terlalu cepat, tuan " berkata si nona, yang repot menyusul. "Nanti aku tak kuat mengikuti "
Terpaksa Siauw Pek memperlambat tindakannya, hingga keduanya jalan berendeng.
"Tuan tentu pandai silat?" kata sinona sambil jalan- "Aku tidak pandai, lumayan saja," sahut si anak muda. "Maukah tuan mengajari aku barang dua jurus?"
Tak dapat Siauw Pek menolak. orang telah menolong jiwanya dan pantaslah kalau ia membalas budi.
"Aku akan ajari tiga jurus," katanya. "Untuk menjaga diri saja."
Berkata begitu, anak muda ini lalu mengajari tiga jurusnya sambil ia memetakan dengan kedua tangannya.
Nona Han benar-benar cerdas, cepat sekali ia hafal tiga jurus itu.
"Dia cerdas melebihi aku sepuluh kali," kata Siauw Pek didalam hati, kagum.Jikalau dia dapat guru yang pandai, pasti dia lekas maju dan mencapai kesempurnaan-"
Pasar terpisah empat atau lima lie dari tepi sungai, maka itu tanpa merasa, sepasang muda mudi itu sudah sampai disana. Ketika itu kira kira jam tiga empat lohor, pasar sudah bubar, tak banyak orang mundar mandir, tetapi, dilihat dari toko-toko atau warung dikiri kanan, rupanya itulah sebuah pasar yang ramai.
Lian Jie kenal baik pasar itu, langsung ia mengajak Siauw Pek ke Heng Hoa Kie, sebuah rumah makan yang selalu banyak langganannya. Ruang ada tiga, dua dikiri dan satu dikanan. Sejumlah tetamu sedang duduk berkumpul. Ketika sinona tiba, banyak mata diarahkan kepadanya.
Diam-diam Siauw Pek memasang mata kepada si nona. Dia ternyata berjalan langsung, tidak melirik kekiri dan kanan, sama sekali tak menghiraukan para tetamu itu. Dia membawa kawannya ini masuk keruang kedua dimana terdapat sebuah kamar.
Setelah dua orang ini mengambil tempat duduk, seorang pelayan muncul. Dia kenal si nona, sambil tertawa dia berkata : "oh kau, nona Sudah sepuluh hari aku tak melihatmu"
"Sudahlah, jangan banyak omong" nona itu menegur, "Kakekku sudah datang, atau belum?"
"Sudah, paman Han sudah datang. Dia memesan, kalau nona datang, supaya menantikannya, dia pergi sebentar saja."
Setelah berkata begitu, pelayan itu mengawasi si nona tak hentinya, matanya galak. Dia seperti kelaparan paras elok. Lian Jie mengerutkan alisnya. "Bawakan kami dua kati arak " katanya.
"Nona minum seorang diri atau berdua ?" tanya pelayan itu, mencari cari omongan- Dia toh tahu orang berdua, dan akan jadi bertiga dengan si orang tua nanti.
"Memangnya kau buta?" bentak sinona. "Kau lihat sendiri berapa jumlahnya kami ?"
Pelayan itu menoleh kepada Siauw Pek lalu dia tertawa dan berkata : "oh, nona sudah punyai si dia "
Tiba-tiba siauw Pek menjadi gusar. ia menekan meja, tubuhnya lalu mencelat, terus sebelah tangannya melayang kemuka orang itu sedang mulutnya mencaci : "Kau ngoceh tidak keruan, yah ?"
Tanpa disengaja, pemuda ini memperlihatkan ilmu ringan tubuhnya. Pelayan itu kaget, dia menjerit keras, tubuhnya terpelanting.
Melihat orang itu terpelanting, Siauw Pek terperanjat. Sekarang baru ia insaf. segera ia melompat pula untuk menyambar tubuh pelayan itu. ia berhasil tetapi si pelayan bagaikan setengah mati dan mulutnya berdarah. Begitupun hidungnya, sedangkan napasnya empas- empis.
Segera Siauw Pek menguruti tubuh orang.
Hanya sebentar, orang itu telah membuka matanya, ia menatap si anak muda. Mendadak ia menekuk lutut dan bermohon : "Tuan, maaf, ampunilah jiwaku..." Lian Jie tercengang, ia mengawasi kawannya. Siauw Pek menatap. ia menghela napas.
"Ingat, lain kali jangan kau menghina perempuan " katanya bengis.
"Aku berjanji tuan," kata pelayan itu, yang terus ngeloyor pergi. Lian Jie sadar, ia kagum sekali.
"Liehay ilmu silatmu" Katanya pada sianak muda. "Maaf nona, pelayan itu kurang ajar hingga aku habis sabar." si nona mengawasi.
"Aku hendak minta sesuatu, dapatkah ?"
Siauw Pek tunduk. Matanya si nona memain secara menarik hati sekali.
"Kamulah penolongku, nona, asal yang aku sanggup, akan aku lakukan," ia menjawab.
Mendadak nona itu tertawa.
"Disekitar tempat ini, semua orang memuji aku cantik," katanya. "Dimana aku lewat, disitu semua mata memandangku, kau telah melihat, coba katakan, aku ini benar benar cantik atau tidak?"
siauw Pek melengak. Tidak sangka ia akan mendengar pertanyaan itu. ia menjadi tidak dapat menjawab segera. Kembali si nona tertawa. "Katakanlah " desaknya, "jangan ragu ragu"
"Kalau benar nona tanya aku, kalau jawabanku salah, harap kau jangan gusar."
"oh, tidak bicaralah"
"orang memuji nona cantik, tetapi buat aku kau lebih benar genit."
Di saat itu si nelayan tua muncul di ambang pintu.
" oh, paman " si pemuda menyambut. "Silahkan duduk "
"Tadi aku jumpa beberapa sahabat, mereka mengajakku minum,"
berkata si nelayan "Kau tentu telah menunggu lama, maaf" "Paman sungkan"
Ketika itu seorang pelayan muncul dengan barang makanan, ketika dia melihat si nona, dia tersengsam, hingga hampir dia membentur meja, melihat itu, Lian Jie tertawa geli. Diam diam Siauw Pek menghela napas.
"Dia masih muda sekali, tetapi tampaknya seperti sudah dewasa." pikirnya. "Pakaiannya yang sangat ini tidak dapat menyembunyikan kecantikannya. Sayang dia genit sekali."
"Adik, mari minum " si nelayan tua mengundang selagi pemuda itu berpikir.
siauw Pek mengangguk. ia menemani minum. Setelah bergaul dengan Kie Tong, ia jadi doyan arak.
Lian Jie menuangi cawan pemuda itu. "Tuan, mari minum " katanya.
" Inilah hormatku" Siauw Pek mengawasi nona itu, ia bingung. "Minumlah, adik kecil," kata Han Loo Djie.
"Anak ini, sejak kecil melihat aku doyan minum, dia meniru."
siauw Pek malu di hati ia menghabiskan isi cawan yang kedua itu. ia memikir buat lekas lekas angkat kaki. Karena terpaksa ia melayani minum lagi. Selama itu, ia melihat si nona makin manis dan makin manis.
"Aku mesti pergi sekarang," pikirnya kemudian- Maka ia bangkit, untuk menjura kepada si nelayan tua seraya berkata. "Paman kau beserta nona Han telah menolong aku, aku sangat berterima kasih, akan kuingat budi kalian berdua, sayang aku punya urusan penting hingga tidak dapat aku berdiam lama lama di sini. Aku memohon diri..." Berkata begitu, pemuda ini membalikkan tubuhnya hendak pergi.
"Tuan Tjoh, jangan pergi dulu" Itulah suaranya si nona, keras tetapi merdu.
"Ada apa, nona?" Siauw Pek berbalik. Si nona tertawa.
"Hendak aku beritahukan suatu hal kepadamu," katanya. "Beberapa hari lalu seorang tukang tenung telah meramaikan aku, katanya aku tidak selamanya menjadi seorang nelayan sewaktu waktu namaku bakal terkenal di antara orang banyak."
"Kau sudah mabuk, nona," kata Siauw Pek yang membalikkan
tubuhnya pada si nelayan tua, dan meneruskan berkata: "Paman,
nona Lian sudah mulai dewasa, harap kau baik baik mendidiknya . "
Sia sia saja kata kata pemuda ini. Tanpa ketahuan, Han loo djie sudah tidur pulas, kepalanya diletakkan di atas meja.
"Tuan Tjoh," kata si nona, "Jikalau kau suka mengajak aku, kakek tak akan mencegah." Siauw Pek terkejut.
"Lain kali saja," katanya. "Apabila ada kesempatan, aku akan datang menjenguk nona dan kakekmu."
Begitu berkata, Siauw Pek lantas bertindak pergi dengan cepat,
tetapi ia masih dengar suara si nona. "Tuan Tjoh, tukang tenung
berkata bahwa tiga bulan lagi aku bukan seorang nelayan lagi "
Pemuda itu berjalan terus, pesat tindakannya. Selang sepuluh lie, barulah ia berjalan perlahan- ia menyesal meninggaikan si nelayan secara terburu begitu, tetapi ia tidak bisa berbuat lain- inilah perjalanannya yang pertama, tetapi ia tidak menjadi bingung. Kie Tong telah banyak sekali menuturkan ia segala hal ikhwal Kang- ouw, dunia Sungai Telaga.
Ketika matahari mulai selam diarah barat, Siauw Pek menunda tindakan kakinya ia menoleh kearah dari mana ia datang, lalu ia ingat Lian Jie. Sayang anak itu cantik tetapi genit dia mendatangkan rasa suka tetapi pun rasa ngeri...
Lama juga pemuda ini berdiri diam, baru ia melanjutkan perjalanannya itu. ia menghela napas perlahan, ia berduka tetapi dadanya panas. Beberapa kali ia meraba golok dipinggangnya dan pedang dipunggungnya. Lalu dia berkata didalam hati : "Tjoh siauw Pek Tjoh Siauw Pek. Ingat... Kaulah putera ayah bundamu, kau akhli waris Pek Ho Bun, tak dapat kau melupakan sakit hatimu yang besar sekali. Kau ingat tanggung jawabmu Kau mesti ketahui, berapa sulit perjalanan dihadapanmu. Disana terdapat musuh musuhnya ratusan jiwa anggota keluargamu. Dikolong langit ini, sebagian besar orang-orang Rimba Persilatan adalah musuh musuhmu.
-ooodwooo- JILID 6 "Karena itu, kau harus sabar dan tenang, kau mesti pandai berpikir.Jangan sampai kau dapat dipermainkan oleh kecantikan dan kegenitan Han Lian Jie "
Berpikir demikian, Siauw pek lalu mengambil ketetapan. Ia menuju dulu ke pek Hopo kampung halamannya di kota Gak yang. Ia ingin menyaksikan reruntuhan rumah tanggan yang hancur itu. Mungkin reruntuh rumahnya akan membuatnya ingat sesuatu. Setelah itu mau pergi ke Jie Sie Wan untuk menjenguk Lauw Hay itu si buta, guna meminta pulang barang barang titipan ayahnya. Itulah warisan yang tertinggal untuknya.
Setelah dia mengambil ketetapan ini, harinya menjadi lebih lega.
Ia membuka tindakan lebar, untuk melanjutkan perjalanannya.
Sore itu, ditengah jalan tak tampak lain orang. Hanya sang angin yang menghembus-hembus bajunya. Tetapi ia tak merasa kesepian- Baginya sudah biasa hidup menyendiri. Tengah ia berjalan, sekonyong-konyong Siauw Pek mendengar suara napas orang. Berat suara itu, seperti suara orang sakit parah. Ia heran hatinya menjadi tertarik, ingin ia ketahui, siapa orang itu.
Berjalan maju, pemuda ini mengitari sebuah tempat yang lebar dengan pepohonan- Ia mendapatkan tanah datar yang ditumbuhi rumput. Ketika itu binatang binatang sudah keluar, dan dibawah cahaya bintang, ia melihat dua orang yang berpakaian serba hitam tengah bertarung seru. Mereka itulah yang mengeluarkan suara napas yang berat itu.
"Heran mereka itu," pikirnya. "Apakah ada permusuhan besar diantara mereka berdua sehingga mereka berkelahi mati hidup ditempat belukar ini" Mengapa mereka mencari waktu malam seperti ini ?"
Sambil berpikir, Siauw Pek bertindak dengan perlahan, hingga setelah datang lebih dekat ia dapat melihat tegas kedua orang itu, yang masing-masing baru berusia dua puluh empat atau dua puluh lima tahun, yang satu bersenjatakan sepasang poan koan-pit, senjata yang berupa seperti pit, alat tulis, yang lain bergeman sebatang pedang panjang. Hanya ketika itu, senjata mereka itu diletakkan ditanah sejauh satu tombak lebih, mereka sendiri berkelahi dengan tangan kosong, untuk mengadu kekuatan- Mungkin ini disebabkan mereka telah kewalahan bertarung dengan memakai senjata.
Dua orang muda itu berdiri berhadapan, sama sama memasang kuda kuda, dan mengeluarkan tangan mereka masing masing, untuk ditempelkan menolak satu pada lain-Itulah pertanda mereka sedang menguji tenaga dalam masing masing. Rupanya mereka sudah beradu lama, hingga kaki mereka melesak ke dalam tanah. Anehnya, mereka sama tangguhnya.
Dahi dua orang muda itu sudah bermandikan peluh. Dilihat dari
roman dan suara napasnya nyata mereka sudah kehabisan tenaga,
hanya untuk menghentikan pertempuran, agaknya mereka segan-..
"Tentunya mereka akan berhenti sendiri sesudah mereka kehabisan tenaga..." pikir siauw Pek.
"Itulah berbahaya, sebab ada kemungkinan napas mereka akan turun berhenti juga. Dapatkah aku berdiam saja dan tidak menolong mereka ?"
Sejenak anak muda ini berdiam, buat berpikir mengambil keputusan- Setelah itu, ia bertindak maju menghampiri dua orang itu. Ia maju sambil dekat sekali, diantara keduanya. Diam diam ia mengerahkan tenaga dalamnya, kedua tangannya diangsurkan. Lalu tiba tiba ia berseru, kedua tangannya ditempelkan diantara dua orang itu, untuk menanggapi, seraya maju ke tengah tengah mereka sambil menolak kekiri dan kekanan.
Dua orang itu terpisah, mereka sama sama mundur. Mereka tidak dapat mempertahankan diri lagi dua duanya lalu roboh. Hanya
begitu roboh cepat mereka bangun pula, untuk duduk bersemadhi, guna mengatur napasnya masing masing. Mereka menutup mata, tidak ada orang yang mengawasi orang yang memisahkannya. Siauw Pek mengerti sebabnya itu. Itulah daya guna mencegah luka dalam.
"Tuan tuan," kata anak muda ini, " kepandaian kamu berimbang, jikalau bertempur terus, kamu bakal sama sama celaka. Paling benar ialah kau jangan berkelahi lebih jauh "
Setelah berkata, siauw Pek membalikkan tubuhnya hendak berjalan pergi. Ia tidak menantikan jawaban- la tahu, tak mudah kedua orang itu lekas lekas menyahuti. Akan tetapi dugaannya meleset. Baru ia jalan belasan tindak dari belakangnya terdengar satu seruan lemah : "Berhenti "
Lemah itu suara tapi nadanya penuh hawa amarah. Siauw Pek heran, ia menghentikan tindakannya.
Segera terdengar suara yang lainnya : "Jikalau kau seorang laki- laki, tunggulah kami barang satu jam "
Anak muda itu memandang langit.
"Baiklah " katanya sabar. "Akan aku tunggu kamu selama satu
jam." Untuk menantikan itu, ia terus duduk numprah ditanah.
Benar saja selang kira-kira satu jam, si baju hitam disebelah selatan sudah bangkit lebih dahulu. Lantas yang disebelah utara pun menyusul berlompat bangun. Mereka itu saling memandang, terus keduanya berjalan menghampiri pemisahnya tadi. Melihat sikap orang mengancam, Siauw Pek bangkit.
"Kamu menyuruh aku menanti, tuan-tuan, ada petunjuk apakah dari kamu kepadaku ?" ia tanya sabar.
"Siapa suruh kau campur tangan ?" bentak pemuda yang dikiri, bengis.
"Memang " kata yang dikanan. "Kami berdua berkelahi, ada sangkut pautnya apakah denganmu" Kenapa kau pisahkan kami?"
"Maksudku baik, tuan-tuan- Aku lihat tenaga kamu bisa mati berdua. Sudah nyata kamu sama tangguhnya, buat apa kamu berkelahi terus ?"
"Kamu benar, tetapi kamu telah merusak sumpah kami " berkata yang dikiri. "Bahkan kamu membikin kami celaka. sebab kami mesti berkelahi dari mulai lagi "
Yang dikananpun berkata dingin- "Kami sudah berkelahi selama tiga bulan, tak juga ada kesudahannya, kekuatan kami selalu seimbang, tidak ada yang menang atau kalah, maka malam ini kami berjanji akan berkelahi terus sampai mati. Siapa sangka, selagi akan tiba saatnya kematian, kau datang mengacau. Maka kaulah yang harus bertanggung jawab "
siauw Pek mengawasi tajam kedua orang itu. Usia mereka ditaksir belum lewat dua puluh tiga atau dua puluh empat tahun. Ia heran, maka ia bertanya: "Tuan-tuan, kamu masih muda, kenapa kamu bermusuhan begini hebat, hingga kamu mau berkelahi sampai mati " Sudah berkelahi tiga bulan, kamu tetap seri, bukankah itu bukti dari batas kepandaian kamu " Apakah kebaikannya andaikata kamu berkelahi terus ?"
"Sebenarnya kami tidak bermusuhan," sahut yang dikiri. "Tetapi, tak dapat tidak kamu mesti berkelahi "
Lalu kata yang dikanan: "Bukan saja kami tak bermusuhan, bahkan kami saling mengasihi, tapi kami terikat oleh sumpah, maka salah satu dari kami mesti mati " Siauw Pek heran berbareng tertarik hati. Ia jadi ingat akan nasibnya sendiri.
"Aneh, tuan-tuan," katanya. "Kamu sendiri tidak bermusuhan, tapi kamu mau berkelahi hidup atau mati. Mungkinkah ada permusuhan mengenai pembunuhan ayah kamu?"
"Bukan permusuhan disebabkan pembunuhan ayah, hanya guru " kata yang kiri, dingin-"Hanya guru sama dengan ayah, bukan" Maka itu pun musuh besar "
"Dan kami telah bersumpah didepan arwah guru kami untuk menuntut balas. Begitulah sulit buat kami hidup bersama didalam dunia ini " Siauw Pek dapat mengerti, ia mengangguk.
"Bicaramu beralasan, tuan-tuan- Coba katakan kepadaku, kenapa guru kamu bermusuhan satu dengan lain " Siapakah sebenarnya yang bersalah diantara mereka itu ?"
"Inilah permusuhan yang kami, sebagai murid tak dapat menjelaskannya," jawab yang di kiri. "Urusan kami tak dapat
diberitahukan orang luar. Yang benar ialah guruku terbinasa
ditangan guru dia. Mana bisa sakit hati ini tidak dibalaskan ?"
"Gutuku juga terbinasa ditangan guru dia " kata yang dikanan, dingin- " Urusan tetua kami mesti kami yang muda yang membereskannya "
"Bagaimana, eh?" tanya Siauw Pek heran- "Jadi guru kamu telah saling bunuh ?" Orang yang dikanan mengangguk.
"Mereka sama-sama terkena satu pukulan tangan, lantas mereka
sama-sama mati." Mendengar itu, siauw Pek menarik napas.
"Kalau begitu, tuan-tuan bakal mengulangi lakon guru kalian itu " katanya. "Kamu bakal jadi seperti batu kemala yang sama-sama hancur lebur Tuan-tuan, maukah kamu mendengar nasihatku, berhentilah berkelahi, supaya kalian mengikat persahabatan saja ?" orang yang dikiri menghela napas.
"Kau benar," katanya. Tapi tak dapat aku turuti nasehatmu ini."
"Kalau kata-kataku benar, kenapa tak dapat dituruti ?" tanya Siauw Pek.
"Aku juga tak dapat menerima," kata yang di kanan- "Kecuali...?" "Kecuali apa ?"
"Sebab sumpah kami itu " menjelaskan yang dikanan. "kecualinya yaitu ada orang yang dapat mengalahkan kami berdua, kami berdua serentak akan melawan satu orang "
"Mengapa sumpah itu begini aneh ?"
"Jikalau dia dapat mengalahkan kami, itulah bukti keliehayan dia," kata yang dikanan "Jikalau kami tidak mendengar nasehat dia, andai kata dia mau, mudah saja dia membunuh salah satu dari kami, kalau salah satu dari kami mati, mana dapat kami. kami ialah yang masih hidup dapat menuntut balas." Siauw Pek heran, tapi didalam hati dia mau tertawa:
"Kamu aneh" katanya, "toh salah satu diantara kamu mesti mati ?"
"Sudah" Kata yang dikiri, "kau memisahkan kami, kau cari kesulitanmu sendiri"
"Jangan kau sesalkan kami."
Siauw Pek menatap orang itu, dia mengangguk.
"Baiklah kalau begitu," katanya, terpaksa. "Ingin mencoba coba kamu barang satu dua jurus. Tapi perlu aku jelaskan, tiada niatku merampas kemenangan atau untuk bersombong maksudku hanya ingin memisahkan kami, supaya kamu akur satu sama lain- Nah, majulah "
"Kami berdua mengepung kau seorang, itulah tidak adil," kata yang kiri. "Sekarang begini saja : Kau boleh pilih pakai tangan kosong atau senjata "
Siauw Pek berpikir : "Aku belajar silat, kebanyakan aku mengatakan senjata tajam, Guru Kie mengatakan kepadaku, ong Too Kiu Kiam dapat dipakai melawan kepungan, baiklah sekarang aku mencoba..." Segera ia menghunus pedangnya, ia berkata pula : "Baiklah, mari kita main main dengan senjata tajam "
Orang yang dikiri melompat, dan memungut senjatanya : pedang.
Orang muda yang dikananpun menjemput pegangannya :poan koan pit. Lantas keduanya bersikap mengurung.
"Awas " berseru orang yang memegang pedang, yang terus menikam, dengan tipu silat " Kebakaran hutan membakar hutan-" Siauw Pek mengalah, dia berkelit.
Justru orang berkelit, pemuda yang memegang poan koan pit, maju menusuk. karena dia menggunakan tipu "Kuda hutan membiak suri," senjatanya mengarah kekedua jalan darah.
Tepat pada waktu itu, pemuda berpedang itu menikam pula, kali
ini dengan tikaman "Burung belibis terbang turun di pasir datar."
Maka dengan begitu, segera serulah Siauw Pek dikepung dua lawan itu.
Setelah bertarung beberapa lama tetap Siauw Pek terkurung kedua musuhnya. Ia bisa mendesak mereka itu mundur, tetapi kembali dia dirapatkan- Ia terkepung tetapi ia tak terdesak. Dengan mudahnya ia menghalau setiap serangan, pembelaan dirinya rapat sekali.
Oleh karena putera Tjoh Kam Pek kena dikurung, tanpa merasa, mereka sudah bertempur dua puluh jurus lebih. Mulanya Siauw Pek rada risi setelah itu, hatinya mantap. permainan silatnya menjadi tenang dan rapi, dilain pihak, serangannya terus bertambah membahayakan lawan-
Lagi sepuluh jurus dilewatkan, tengah serunya mereka bertempur, mendadak pemuda yang bergegaman pedang melompat keluar kalangan- Sambil memberi hormat, dia berkata : "Saudara,
ilmu pedangmu lihay, aku menyerah kalah" Iapun terus
melemparkan senjatanya. Pemuda yang lainnya turut mundur.
"Terima kasih buat belas kasihanmu, saudara," katanya sambil melemparkan poan koan pitnya untuk memberi hormat juga. Siauw Pek heran. Ia melihat orang orang itu belum kalah.
"Tuan tuan mengalah saja," katanya.
Pemuda yang bersenjata pedang itu memberi hormat pula, ia berkata : "Saudara, akulah oey Eng. Bolehkah aku mengetahui she dan besar dari saudara ?"
"Aku Tjoh Siauw Pek," sahut Siauw Pek singkat.
"Aku Kho Kong," berkata pemuda yang bersenjata poan koanpit sambil menjura.
"Syukur saudara saudara suka berdamai," kata Siauw Pek. "Terima kasih, itu tandanya saudara saudara sudi memberi muka padaku. Nah, sampai ketemu pula "
Berkata begitu, anak muda ini menyimpan pedangnya, ia memberi hormat, kemudian bertindak pergi. Iasudahjalan empat atau lima lie tatkala ia mendengar suara orang berlari lari dari arah belakangnya. Ia heran, maka ia menoleh. Ternyata oey Eng dan Kho
Khong tengah berlari cepat ke arahnya, mereka sambil saban saban
memanggil padanya. Ia lalu berhenti berjalan, untuk menantikan-
"Kami mengagumi kepandaian silatmu, saudara Tjoh," kata oey Eng. "kami juga kagum akan kebaikan hatimu. Kau amat mulia sekali Saudara, aku menyusul kau untuk bermohon jikalau anda tidak mencela kebodohan kami, agar kami diijinkan menemanimu di sepanjang jalan, agar sewaktu waktu kami dapat menerima petunjukmu, supaya kami mendapat tambah kemajuan-"
"Kami berdua adalah sama sama anak yatim piatu yang dipelihara dan dididik guru kami masing masing," Kho Kong pun berkata. "Itulah sebabnya mengapa kami sangat menyintai dan menghormati guru kami, sehingga kami suka membelanya mati matian- Aku kagum terhadap kau, saudara Tjoh. Kau telah memisahkan kami dan membuat akur satu dan yang lain- Saudara tahu, kami tidak punya rumah tangga, kami hidup dalam perantauan- Ketika dulu guru kami berkelahi, mereka cuma perebutkan nama kosong. Mereka menutup mata karena sama sama terluka, tak sempat mereka memberi penjelasan atau memesan- Kami berkelahi hanya disebabkan ingin menuntut balas, lain tidak.
Tadinya habis setiap berkelahi, karena letih, kami beristirahat,
selama itu, selalu kami sadar bahwa kami inilah anak anak piatu..." Siauw Pek menghela napas.
"Nasibku juga sama dengan kamu, saudara saudara," katanya, yang lantas menghentikan kata katanya, sebab mendadak ia ingat, tidak selayaknya ia menuturkan riwayatnya. "Bagus kamu insaf akan keadaan diri kami. Bukankah kamu tak akan berkelahi pula, bahkan sebaliknya, akan bersahabat?"
"Itulah putusan kami, saudara Tjoh," sahut oey Eng. "Dulupun guru kami tidak memesan buat kami menuntut balas hingga hidup dan mati. Bahkan sekarang kami menyesal, kami pun menyesalkan sumpah kami itu, yang keterlaluan-"
"Sebenarnya," Kho Kong turut bicara pula, "guru kami ada juga meninggalkan pesan tetapi itu tidak mengenai sebab musababnya mereka bertempur, hanya mengenai soal pembalasan- Pesan itu ialah: Kalau kelak dikemudian hari ada orang yang memisahkan kami, kami berdua mesti kepung dia, jika kamu kena dikalahkan, pembalasan harus dilunaskan-"
"Baru guru kami berkata begitu, mereka sudah menutup mata. Tadi kami kena dikalahkan, saudara Tjoh, hati kami jadi tertarik, maka kami berdamai untuk mengikuti kau..."


Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak dapat Siauw Pek menerima permintaan itu. Ia mempunyai urusan sendiri.
"sukur kamu akur satu sama lain," katanya "saudara saudara, aku mempunyai urusan sendiri yang penting, maaf, tak dapat aku menemui kamu lama lama, selamat tinggal "
"TUnggu dulu saudara Tjoh " Kho Kong memanggil sela gi pemuda itu mengangkat kaki.
"Tolong dengar dulu kataku..."
"Saudara Tjoh," oey Engpun berkata, "kau bagaikan penolong jiwa kami, karena itulah, suka kami mengawanimu, untuk mengiringimu."
"Terima kasih, saudara saudara. Dengan sebenarnya, tak dapat kamu mengikuti aku. Aku mempunyai musuh besar, sekarang aku lagi mencarinya, entah di mana, tetapi setiap saat, mungkin aku ini
akan bertempur mati hidup.Jikalau kamu berdua turuti aku, bukankah itu dapat menyusahkan kamu" Yang benar kita bersahabat saja Nah, sampai bertemu pula"
"Saudara Tjoh mari dengar dahulu" kata oey Eng, yang telah saling mengerdipi mata dengan Kho Kong. "Sebenarnya kami menyusul saudara sebab kami melihat saudara agaknya mempunyai urusan penting..."
"Bukannya aku menolak kalian, saudara saudara, yang benar ialah kedudukan aku sangat berbahaya. Memang sekarang aku tak kurang suatu apa, siapa tahu dilain waktu" Sekarang ini orang belum tahu tentang kemunculanku"
"Seorang laki laki binasa untuk orang yang mengenalnya, demikian sebuah pepatah." berkata oey Eng. "Pepatah itu tepat sekali. Kami takluk kepadamu, saudara Tjoh, maka itu kami bersedia menyerahkan diri kami untuk mengikutimu, supaya kami dapat membalas sedikit budimu. Dalam hal ini kami tidak menghiraukan soal mati hidup"
"Jiwa kami telah kau tolong, saudara Tjoh," kata Kho Kong, " karena itu mana dapat kami tidak membalasnya dengan jiwa kami juga?"
"Kamu baik sekali, saudara saudara. Hanya..."
oey Eng tertawa nyaring dan lama, kata katanya Siauw Pek terputus karenanya. Tertawa itu mengagumkan dan mengharukan, sebab keluar dari hati yang tulus.
Habis tertawa, oey Eng bersikap tenang sekali. Katanya sabar: "Saudara Tjoh, kami tahu sebabnya saudara menampik kami. Itulah karena ilmu silat kami tidak berarti, hingga kau kuatir kami hanya akan menjadi bandulan saudara, bahwa kami cuma akan menyusahkanmu saja... Nah, saudara, karena itu, ijinkanlah memohon diri" Berkata begitu, pemuda ini memberi hormat, terus memutar tubuh. Kho Kong melihat kawannya pergi, dia menarik napas panjang.
"Kami berlaku setulusnya, sesungguh hati siapa tahu saudara
Tjoh menolak kami," katanya masgul. "Baiklah, saudara, akupun
bermohon diri..." Ia memberi hormat, lalu pergi menyusul oey Eng.
Siauw Pek tergugah, hingga ia ternganga mengawasi dua orang itu. ia menghela napas, hatinya tidak enak.
"saudara oey, Saudara Kho" ia lalu memanggil. "Saudara saudara maukah kamu dengar dahulu kata kataku?"
oey Eng berpaling, dia tertawa sedih.
"Kepandaian kami tidak berarti, sukar buat kami bersahabat dengan kau, saudara Tjoh..." katanya, menyesal.
"Saudara-saudara, kamu baik sekali, akupun mengerti," kata Siauw Pek. "Hanya aku mohon supaya kami juga mengerti aku. Aku mempunyai kesulitan sendiri. Tapi, saudara-saudara, jikalau kamu
tidak kuatir nanti kena terembet rembet olehku baiklah, suka aku
terima tawaran kamu ini. Lebih dahulu, terimalah rasa syukurku"
Berkata begitu, ia memberi hormat. oey Eng girang, dia tertawa.
"Jikalau saudara memang benar sudi menerima kami," katanya, "kami berjanji akan dengan sekuat tenaga kami membantu saudara membuat pembalasan" Kho Kong juga, memberikan janjinya Siauw Pek menghela napas. Wajahnya tampak guram.
" Kedua saudaraku, tahukah kamu siapa itu musuhku?"
"Kami tidak tahu, saudara sudi kiranya anda menjelaskan," minta Kho Kong.
"Musuhku itu bukan cuma satu, bahkan banyak." Siauw Pek menerangkan- "Merekalah kesembilan partai besar serta sembilan partai lainnya merabalah sembilan pay, empat bun, tiga hwee dan dua pang."
Mendengar itu, oey Eng dan Kho Kong melengak. Itulah mereka tidak sangka. Hingga beberapa lama mereka tak dapat berkata kata.
"Nah, sekarang tentulah saudara saudara sudah ketahui," Siauw Pek menambahkan.
"Kalau tentang diriku ini, terutama tentang niatku untuk menuntut balas, diketahui oleh pihak luar oleh musuh musuhku, segera juga aku akan terancam bahaya besar. Pasti mereka itu akan mencariku, guna turun tangan lebih dahulu. Dengan begitu, saudara saudara, hanya karena aku seorang, kamu pun jadi dimusuhi oleh banyak musuh Maksudku, oleh dunia Rimba Persilatan-.."
"Ya, Saudara," tanya oey Eng kemudian, "kau baru berusia lebih kurang dua puluh tahun bagaimana caranya sampai kau jadi bermusuhan dengan delapan belas partai itu ?"
"Ya, saudara, apakah sebabnya itu ?" Kho Kong pun bertanya.
"Panjang ceritanya, saudara saudaraku," sahut Siauw Pek, tenang. "sakit hati ini dimulai oleh keluargaku setingkat diatas. inilah dendam kesumat pembunuhan ayahku beserta penasaran kebinasaan seluruh keluarga dan kampung halaman " Kho Kong heran.
"Saudara Tjoh," katanya, "toh tak dapat kau membalas dendam kepada semua orang Rimba Persilatan ?"
Siauw Pek mengangguk. "Benar," sahutnya. "Kata pepatah penasaran ada penyebabnya, utang ada piutangnya. Demikian juga sekalian orang Rimba Persilatan yang telah memusuhi keluargaku itu. Pertama tama hendak aku membuat penyelidikan yang seksama, untuk dapat tahu sebab musabab yang sebenarnya, setelah itu, ingin aku cari dia atau mereka yang menjadi biang keladinya. Tak kupikir buat ganggu mereka yang main ikut ikutan saja. Akan aku bunuh musuh atau musuhku yang utama, guna menghibur arwah ayah bunda serta saudara saudaraku di alam baka."
oey Eng mengerti, ia mengangguk angguk. Selanjutnya, ia memperlihatkan roman sungguh sungguh.
"Ada sesuatu yang hendak kutanyakan, saudara," katanya, "Mungkin ini pertanyaan yang tak seharusnya. Aku minta saudara tidak menjadi kecil hati."
" Katakanlah, saudara oey " kata Siauw Pek cepat. "Aku bersedia mendengarnya."
"Jikalau seorang orang dituduh oleh ribuan orang, pasti semua orang mengatakan dia bersalah," kata oey Eng. "Dia itu tentulah ada sebabnya. Sekarang mengenai sakit hatimu, saudara. inilah perumpamaan saja. Seandainya setelah saudara membuat penyelidikan tetapi kenyataannya ayah saudaralah yang bersalah, bagaimana nanti sikap dan tindak tanduk saudara ?"
"Pertanyaanmu tepat, saudara oey." jawab Siauw Pek, yang tidak menjadi kurang senang "Jikalau hasil penyelidikanku benar seperti terkaanmu ini, aku bersedia menghadapi orang banyak untuk mengaku bersalah buat menebus dosa " oey Eng kagum, dia menunjukkan jempolnya.
" Dengan mengandaikan kepada kata katamu ini, saudara Tjoh " katanya, sungguh sungguh " bersedia aku untuk mengikuti kau, untuk memberikan seluruh tenagaku kepadamu "
"Aku juga " seru Kho Kong, yang tidak kurang kagumnya, hingga dia memberikan janjinya seketika.
Siauw Pek terharu, ia menghela napas.
"Kamu baik sekali, kedua saudaraku, aku sangat bersyukur kepada kamu," katanya. Dengan sebenarnya, seorang diri saja, aku menghadapi kesulitan dalam usahaku menuntut balas ini. Syukur, didalam perantauan aku bertemu dengan kamu berdua yang bersedia membantuku. Mungkin ini disebabkan arwah ayah danibusaya yang sudah meninggal dunia itu telah memberkahikuputra tunggalnya. Nah, kedua saudara, terimalah hormat dan terima kasihku "
Berkata begitu, Siauw Pek lalu memberikan hormat sambil berlutut, menjura.
oey Eng dan Kho Kong menjadi repot, dengan tersipu sipu
mereka menjatuhkan diri di tanah guna membalas hormat itu.
"Tidak berani kami menerima hormat ini," kata mereka.
Bertiga mereka saling memberi hormat, lalu sambil berpegangan
tangan, mereka berbangkit berdiri. oey Eng puas, dia tersenyum.
"Sejak saat ini, kami akan turut segalanya perintahmu, kakak Tjoh," kata dia setulusnya. "Di dalam dunia Rimba persilatan tidak ada si tua dan si muda, yang ada hanya si gagah dan si pintar, karena itu, saudara, justru kau terlebih lihay daripada kami berdua, kaulah kakak kami " Tapi Siauw Pek menolak.
"Itulah tak dapat, saudara oey. Kita bersahabat, mesti ada yang usianya lebih tua..."
"Bukan begitu, kakak Tjoh," Kho Kong pun berkata. "Ular tanpa kepala tidak dapat berjalan, burung tanpa sayap tidak dapat terbang demikian juga kita. Kami berdua sangat mengagumi saudara, karenanya kami memohon persahabatanmu. Saudara, untuk mewujudkan cita citamu, tenaga kita bertiga masih belum cukup. Maka itu, menurut pikiranku untuk usaha kita ini, baik kita membangun suatu ikatan dan yang menjadi bengcu, kepala ataupun pemimpinnya, ialah kau sendiri. Setelah ini, kita akan cari dan menerima kawan kawan yang sepaham dengan kita. Secara begini, disamping kita bisa membalas dendam, sekalian kita juga bisa membasmi mereka yang busuk dan jahat, supaya kaum Rimba Persilatan mengangkat pula namanya yang bersih."
"Bagus, bagus," oey Eng memuji. "Inilah pikiran yang baik sekali. Menurut aku, tak usah sulit sulit kita mencari nama, baik pakai saja Rombongan Tjeng Gi pang "
"Apakah nama itu tidak terlalu agung?" tanya Siauw Pek. "ceng Gi berarti "keadilan", dan "Pang" ialah "Kawanan". "Menurut aku, sekarang baiknya kiga jangan membangun ikatan dahulu, sebab kita belum membuat penyelidikan dan hasilnya belum ketahuan-Jikalau nanti yang bersalah adalah ayahku, tidakkah kita merusak kesucian kata kata Tjeng Gi itu?" oey Eng menarik napas kagum.
" Kakak Tjoh, kau ini sungguh bijaksana " ia memuji. "Sekarang baiknya begini saja. Ikatan kita jangan dibangun dahulu, tetapi kau tetap menjadi bengcu yaitu pemimpin kami."
"Ya, ya kakak Tjoh menjadi bengcu" kata Kho Kong, "Nah, bengcu, apakah tindakan permulaanmu" Kemana kita pertama pergi?"
"Ketika ayahku masih ada," sahut Siauw Pek "beliau pernah memberitahukan bahwa beliau telah menitipkan beberapa rupa barang pada seorang sahabatnya, maka itu sekarang aku memikirkan buat pergi mengambil barang barang itu, yang mestinya penting sekali. Dari sana baru kita mulai membuat penyelidikan tentang urusan ayahku."
"Jikalau demikian, mari kita berangkat sekarang," mengajak oey Eng.
"Satu hal harus diperintah," Siauw Pek pesan- "Sebelum kita berhasil mencari keterangan baiknya aku menyembunyikan diri dulu, agar musuh tidak datang mengganggu. Artinya kita membuat penyelidikan secara rahasia."
"Itu benar" oey Eng dan Kho Kong setuju.
Lalu mereka itupun berjalanlah. Inilah yang pertama kali putera Tjoh Kam Pek mendapat kawan- Dan, pada suatu tengah hari, mereka tiba di Ji Si Wan, kota Gak yang bagian selatan-
Jie Sie Wan adalah sebuah dusun kecil, yang penduduknya hanya
beberapa puluh keluarga, kebanyakan petani yang sederhana.
Tiba didesa itu Siauw Pek bertiga berpakaian sebagai orang orang desa juga. senjata mereka disimpan dalam bungkusan, untuk tidak mendatangkan kecurigaan- Lebih dahulu mereka berpura-pura mengitari desa, baru berjalan memasuki.
Seorang tua, yang sedang berangin sambil mengipasi diri, tampak sedang duduk dibawah sebuah pohon, Siauw Pek menghampiri orang tua itu, untuk memberi hormat kepadanya sambil menanya kalau-kalau desa itu benar desa Jie Sie Wan-
"Benar," sahut orang tua itu, "Tuan tuan hendak mencari siapakah ?"
"Ada seorang tuna netra yang dipanggil Lauw Hay tju, benarkah dia tinggal disini?" tanya Siauw Pek.
sebelum menjawab, orang tua itu memandangi si anak muda dahulu.
"Lauw Hay tju ?" dia mengulangi. "Dia tinggal disebelah barat sana, di sebuah rumah bilik. Mudah mencarinya, sebab rumahnya itu mencil sendirian."
"Terima kasih " kata Siauw Pek seraya memberi hormat pula, terus ia mengajak kedua kawannya bertindak kearah barat.
Selagi berjalan, tiga orang ini masih mendengar orang tua itu berkata kata seorang diri : "Aneh Sudah empat atau lima tahun, tak
pernah ada seorang jua yang mencari Lauw Hay tju, tetapi selama
beberapa hari ini, tak hentinya orang datang menjenguknya..."
Siauw Pek terperanjat. Karena ini, segera ia mempercepat tindakannya.
Disebelah barat itu ada sebidang tanah persawahan dan kebun, benar disana tampak sebuah rumah kecil, yang dikelilingi pohon- pohon bambu hijau.
"Tentu itulah rumahnya," kata oey Eng, perlahan. "Mari kita hampiri."
Begitu ia melihat rumah cilik itu, Siauw pek merasakan tindakannya menjadi berat. Disebabkan hatinya tiba-tiba menjadi tidak tenang, dan ia lalu menerka nerka : Adakah barang titipan ayahnya masih ada " Apakah barang titipan itu ada sangkut pautnya dengan urusan sakit hatinya" Sebenarnya si tuna netra itu orang macam apa" Kenapa ayahnya menitipkan barangnya kepada orang buta itu"
Selagi ia masih berpikir, tahu tahu Kauw-Pek telah tiba di depan rumah orang. Pintu rumah tertutup. Didepannya tergantung sebuah
papan merk, bunyinya: Lauw Hay tju, Mo Kut Tam Siang. Artinya "Lauw Hay tju si akhli nujum dengan meraba tulang."
Segera Siauw Pek mengetuk pintu. "Apa ada orang di dalam ?" tanyanya.
Dari dalam terdengar jawaban yang parau. "Apakah orang yang ingin di ramalkan" Silahkan masuk "
Siauw Pek menolak daun pintu. Ia melihat ruang depan yang penuh rumput dan daun daun, tandanya ruang itu tak kenal sesapu. Ia menerka tentulah tuan rumah tinggal seorang diri saja.
Disitu, Kho Kong mendahului masuk keruang dalam. Segera dilihatnya seorang buta yang sedang duduk dibelakang sebuah meja, orang itu sudah tua, rambutnya panjang dan kusut,
bajunya telah pecah disana sini, sedang janggutnya ubanan dan meroyot turun kedadanya. Kedua matanya sudah buta. Mengawasi
orang bercaCad itu ia heran- ia tidak mengerti mengapa Tjoh Kam
Pek dapat menitipkan barangnya kepada orang buta semacam ini.
Tuan rumah rupanya telah tahu tetamunya sudah masuk. ia bangkit secara mengundang: "Silahkan duduk dikursi bambu didepanku ini." Sementara itu Siauw Pek dan oey Eng mengikuti Kho Kong.
Walaupun buta matanya, Lauw Hay tju terang pendengarannya. Ia dapat membedakan orang dari tindakan kakinya saja.
" Ketiga tuan, silahkan duduk" ia mengundang pula. "Mataku tidak dapat melihat, maaf, aku tak dapat meninggalkan tempat dudukku untuk menyambut kedatangan tuan tuan."
"Maaf, lotjianpwee, aku mengganggu ketenteramanmu," kata Siauw Pek. Ia menyebut "lootjianpwee" orang tua tingkat lebih atas karena dialah sahabat, bahkan orang kepercayaan ayahnya.
"Sama sekali tidak. tuan," kata tuan rumah. "Aku hidup dari hasilnya ramalanku, aku menyambut girang setiap kunjungan, lebih
banyak tetamu lebih baik lagi, jikalau tiada orang datang, bukankah aku mati kelaparan ?"
Diam-diam Siauw Pek mengawasi tajam si tuna netra. Ia tidak
melihat sesuatu yang luar biasa, yang mencurigakan-
"sebenarnya kami datang bukan untuk minta diramalkan,"
katanya kemudian perlahan-Mendadak Lauw Hay-tju menjadi heran.
"Habis kamu datang mau apa ?" tanyanya, suaranya segera berubah.
"Bengtju kami datang untuk mencari keterangan," oey Eng turut bicara. "Jikalau kau dapat memberi penjelasan, kami akan beri banyak uang kepadamu, hingga selanjutnya tak usah kau hidup dari ramalanmu lagi."
" Walaupun kedua mataku sudah buta, aku masih mempunyai semacam kepandaian." berkata si buta. " Dengan hasil kepandaianku itu, dapat aku melewatkan hari-hariku. Mengenai uang yang tak ketahuan asal usulnya, maaf, tak dapat aku menerimanya."
"Lotjianpwee memang seorang berilmu," kata Siauw Pek. "Aku yang muda..."
"Aku menujumkan orang untuk penghidupanku," memutus si orang tua, "aku harap tuan tuan jangan mengangkat tinggi-tinggi padaku." Siauw Pek menghela napas perlahan-
" Lotjianpwee, ingin aku menyebut satu nama mungkin lotjianpwee mengenalnya," katanya sabar.
"Tidak. aku tidak kenal " kata siorang cepat. " Kecuali orang-
orang yang datang meramalkan kesini, aku tidak kenal siapa juga "
Mendengar suara orang itu, hati Siauw Pek lega, kemudian ia berkata perlahan sekali : "Lotjianpwee, apakah barang titipan sahabatkmu dari kaum Pek Ho Bun masih ada?" Ditanya begitu, Lauw Hay-tju kaget, hingga tubuhnya gemetar.
"Sekarang jam berapa ?" tanyanya cepat.
"sudah lohor magrib matahari sore merah," sahut Siauw Pek.
Kembali tubuh siorang buta bergemetar. Dia berkata lagi: "Dijalan ketempat baka tak ada penginapan-.."
Siauw Pek kemudian menimpali: "Tetamu datang dari Tanah Barat tempat hati Buddha."
Tiba-tiba Lauw Hay-tju menggerakkan tangannya menyambar tongkat bambu yang disandarkan dikursinya.
"Kau siapa ?" dia bertanya keras.
"Boanpwee Tjoh Siauw Pek," sahut sianak muda sabar.
Mendadak pula tangan kanan Lauw Hay tju bergerak. dengan tongkatnya itu dia menusuk kedada sianak muda. Tongkat itu bergerak bagaikan kilat. Siauw Pek kaget sekali.
"Lotjianpwee" ia berseru sambil berkelit. Kho Kong kaget, dia segera menyiapkan senjatanya.
Hebat orang tua itu, dia buta tetapi sangat gesit. Baru tetamunya berkelit, tusukannya yang kedua sudah menyusul.
Melihat betapa liehaynya si orang tua, Siauw Pek kagum. Katanya didalam hati: "Hebat ilmu silat tongkat ini, sungguh gagah, juga tenaga dalamnya mahir sekali." ia berkelit pula.
Kali ini Kho Kong menangkis. "Tahan, lotjianpwee " dia berseru.
"Aku situa tidak takut kamu kabur" kata orang tua itu, yang terus
mundur kesamping, sedang tongkatnya ditarik kembali.
Boanpwee Tjoh Siauw Pek, ia berkata pula. "Ayahku ialah Tjoh Kam Pek dari Pek Ho Bun." Lauw Hay tju menyela dengan tertawa dingin.
"Apakah kau menghinaku sebab aku buta tak melihat apa-apa, tidak melihat kau ?" tanyanya.
Siauw Pek heran, hingga dia tercengang.
"Sebelum ayahku melihat bencana, ayah telah memesan boanpwee." ia menerangkan- "Ayah bilang, andaikata boanpwee dapat hidup, supaya boanpwee pergi mencari lotjianpwee disini untuk meminta barang-barang yang dititipkan ayah. Syukur boanpwee tidak mati maka itu sekarang boanpwee datang kemari..."
Mata situan rumah buta tetapi toh mencilak hingga tampak putihnya. "Kalau begitu sungguh aneh " serunya.
"Kenapa, lotjianpwee ?" bertanya Siauw Pek. Iapun heran, hatinya bercacat. "Apakah jawaban boanpwee tidak tepat ?" Lauw Hay-tju tidak menjawab dia hanya bertanya. "Bukankah kau telah datang kemarin ?"
sekarang Siauw Pek yang ganti terkejut. "Apa ?" tanyanya.
"Kemarin datang seorang pemuda kepadaku," berkata Lauw Hay- tju. "Katanya dialah anak piatu dari Tjoh Kam Pek. Tepat jawaban dia tak salah sepatah katapun juga, kata-kata rahasia itu hanya diketahui kami berdua, ayahmu dan aku. Kalau dia tahu kata-kata rahasia itu, dia pasti bukan si orang palsu "
Siauw Pek bingung dan menyesal, berkali kali dia membanting kakinya.
"Siapakah orang itu ?" tanyanya berulang ulang. "Siapakah dia " Bagaimana dia dapat mengetahui kata kata rahasia itu ?"
Tiba tiba terdengar tawa dingin dari Kho Kong.
"Lotjianpwee" dia menyela, "kedua matamu itu benar benar buta atau hanya berlagak buta ?"
"Bicara sebenarnya, tuan tuan," sahut orang tua itu, " mata ku ini bukan buta seluruhnya, cuma lamur saja. Aku dapat melihat jauh empat atau lima kaki, dengan samar samar."
oey Eng campur bicara. "Locianpwee," katanya, "kalau loocianpwee cuma lamur, tentu loocianpwee berkesan mendalam mengenai anak muda yang
kemarin itu. Apakah loocianpwee bisa menunjukkan sesuatu yang istimewa ?" orang tua itu berdiam.
"Andaikata aku tahu, akupun tidak dapat menjelaskan kepada kamu," sahutnya dingin. "Kalau dikatakan dia itu palsu, mana bisa aku percaya bahwa kamu bukannya yang palsu juga."
"Tetapi loocianpwee," kata Siauw Pek, yang tetap bingung sekali, apakah kata-kata rahasiaku ada yang salah ?"
"Tidak Sepatah katapun tidak "
"Jikalau sepatah katapun tidak ada yang salah, kenapa loocianpwee masih tak mau percaya aku ?"
Kho Kong menyela: "Dikolong langit ini, semua orang dapat dipalsukan, tetapi tidak ada orang yang sudi mengaku menjadi anak orang lain "
"Tapi kata kata rahasia orang itu, sepatah juga tidak salah," berkata si orang tua. "kata kata rahasia itu hanya diketahui oleh aku dan sahabat Tjoh Kam Pek serta isterinya. Jikalau bukan Tjoh Kam Pek yang memberi tahu, bagaimana orang lain itu?" Siauw Pek menghela nafas.
"Loocianpwee, coba tolong ingat ingat pula, ia minta: Benarkah
taksalah sepatah kata jua timpalan orang muda kemarin itu?"
"Tidak. tidak salah sama sekali. Kata kata itu telah aku hafal belasan tahun, jangankan orang itu salah, dia beragu ragu pun pasti curiga dan aku dapat mendedasnya "
"Apakah loocianpwee tanya she dan namanya ?"
"Itulah tidak, anak. Adalah perjanjian diantara aku dan sahabatku Tjoh Kam Pek untuk tak usah menanyakan she dan nama orang yang minta barang titipan itu. Pesan ayahmu itu pasti adalah hasil dari pemikiran yang dalam. Ayahmu merantau keseluruh negara, pasti ada orang yang memperhatikan dan mengintainya. Pasti orangpun akan mencurigai setiap orang yang ada hubungan dengannya. Aku menerima pesan aku mesti berlaku jujur dan setia
terhadap pesan itu, jadi aku tidak tanyakan she dan nama anak
muda itu." Siauw Pek menyesal sekali. Kembali ia menarik nafas.
"Boanpwe datang dari ribuan lie, tak sangka karena terlambat satu hari, urusan jadi gagal secara hebat begini..^" katanya. Si orang buta dengan perlahan duduk pula dikursinya.
Gelang Kemala 6 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Memanah Burung Rajawali 22
^