Pencarian

Pendekar Baju Putih 6

Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


dan ia mengembalikan mangkoknya kepada Yok-sian sambil mengucapkan
terima kasih. Yok-sian membenahi alat-alatnya dan memasukkan kembali ke dalam saku
jubahnya yang longgar. Kemudian dia bangkit berdiri,
"Nona, jagalah dirimu baik-baik dan cepatlah pulang ke rumah orang tuamu."
Setelah berkata demikian, baru dia menghadapi See-thian Tok-ong dan
berkata, "Tok-ong, aku sudah siap berangkat."
Guru dan murid itu lalu mengawal si tabib pergi dari situ. Ciok Hwa merasa
tubuhnya masih agak lemah, maka iapun duduk bersila di situ sambil
menghimpun tenaga murni. 349 Ia merasa betapa obat itu mulai meresap ke dalam tubuhnya dan terasa gatalgatal pada muka dan lehernya. Akan tetapi ia menahannya dan tidak
menggaruknya, tetapi ia merasa gatalnya berkurang dan tubuhnya menjadi
segar kembali. Ia menemukan pedangnya yang tadi terpental, lalu membawa
pedangnya dan melanjutkan perjalanan.
Di sepanjang perjalanan Ciok Hwa tidak pernah menanggalkan cadarnya dan
kalau terpaksa memperkenalkan namanya, ia selalu menggunakan nama
Huang-hai Sian-li! "Y" Kerajaan Sung yang dipimpin oleh bekas Jenderal Cao Kuang Yin yang kini
bergelar Kaisar Sung Thai Cu memang dapat dikatakan mengalami kemajuan
setelah jaman Lima Wangsa (907-960). Pada tahun 960 itu Jenderal Cao
Kuang Yin oleh para tentara dan pengikutnya diangkat menjadi Kaisar.
Dan berturut-turut dia memimpin pasukannya untuk menundukkan kembali
daerah-daerah yang dulunya menjadi daerah Kerajaan Tang dan kini
melepaskan diri berdiri sendiri, dan dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan
Sung yang semakin luas. Akan tetapi, betapapun juga, kejayaan Kerajaan
Sung tidak dapat menyamai kebesaran kerajaan yang lalu, yaitu Kerajaan
Tang. Pada masa kerajaan Tang, kerajaan ini mampu mempersatukan seluruh
wilayah Cina pedalaman. Sedangkan kerajaan Sung tidak dapat mencapai
kejayaan seperti itu. Ada empat daerah besar yang tidak dapat dikuasainya, terutama sekali daerah
Mancuria Selatan dan Ho-peh serta daerah Timur Laut yang dikuasai
350 sepenuhnya oleh bangsa Khi-tan yang menamakan dirinya dinasti Liao. Dan
di daerah Yunan terdapat Kerajaan Nan-cao. Masih ada lagi dua kerajaan lain
yang selalu mengganggu, yaitu kerajaan Hou-han di Shan-si dan kerajaan
Wu-yeh di sebelah Tenggara.
Empat buah kerajaan ini bukan saja tidak mau tunduk, bahkan mereka
seringkali mengacau di perbatasan, dan berusaha memperluas wilayah
mereka dengan menyerbu ke daerah Sung.
Sejak jaman dahulu sampai pada jaman kerajaan Tang, pemerintah yang
berkuasa selalu menujukan perhatian mereka ke arah utara dan barat. Bahaya
terbesar dianggap datang dari utara dan barat, maka pertahanan Tembok
Besar selalu diperkuat dan lalu lintas perdagangan juga ramai melalui jalan
melalui Tibet ke Dunia Barat, India, Turki dan lain-lain.
Akan tetapi semenjak kerajaan Sung, keadaannya menjadi lain. Kerajaan
Sung tidak mampu bertahan di utara dan barat, dan lebih memperhatikan
daerah selatan. Mulailah terjadi perdagangan dengan negara-negara di selatan, di seberang
lautan. Kalau dahulu perdagangan utama melalui Mongolia, Sin-kiang, Tibet
menuju ke Iran dan ke Timur Tengah, atau membelok ke India, kini lebih
banyak perdagangan dilakukan melalui lautan, ke negara-negara di selatan.
Kalau negara Tang menghimpun pasukan besar untuk membendung bahaya
dari utara dan barat, kerajaan Sung mengambil jalan yang lebih murah,
walaupun ini merendahkan martabat kerajaan. Kerajaan Sung, untuk
menjaga agar jangan ada bahaya serangan dari utara dan barat, tidak segansegan untuk "menyogok" berupa upeti kepada kerajaan Khi-tan yang terkuat
pada masa itu. 351 Memang harus diakui bahwa membayar upeti ini jauh lebih murah
dibandingkan kalau harus memelihara tentara yang kuat untuk menjaga
keamanan di utara dan barat, akan tetapi dengan mengirim upeti, berarti
kerajaan Sung kehilangan kehormatan dan kebesarannya. Sungguh besar
bedanya dengan jaman kerajaan Cin, Han maupun Tang.
Sikap yang diambil kerajaan Sung ini membuat banyak pendekar yang berjiwa
patriot menjadi penasaran dan marah. Mereka menganggap kaisar terlampau
lemah. Kaisar hanya bersenang-senang, tidak mau bersikap keras terhadap musuh
yang merongrong, bahkan menyogok dengan upeti besar. Kaisar sendiri
hanya bersenang-senang di istana dan kekuasaan sebagian besar dipegang
oleh para Thai-kam yang hanya pandai menjadi penjilat akan tetapi tidak
becus mengurus negara dengan baik.
Rasa penasaran dan marah ini memunculkan banyak pendekar yang
menghimpun kekuatan sendiri untuk melawan bangsa Khi-tan, Hou-han, Wuyeh dan Nan-cao dengan cara mereka sendiri. Mereka seringkali menyerang
pasukan ke empat negara ini di perbatasan dengan cara perang gerilya.
Kalau musuh mengerahkan tenaga dengan pasukan besar mereka melarikan
diri, kalau musuh lengah maka pasukan-pasukan musuh itu diserang secara
mendadak. Sedikit banyak ini merupakan rong-rongan bagi pemerintahpemerintah itu dan mereka tidak dapat menyalahkan kerajaan Sung karena
penyerang itu bukan pasukan Sung, melainkan gerombolan yang mereka
namakan "perampok dan penjahat".
Di sepanjang sungai Huang-ho terdapat gorombolan gerilya seperti itu yang
selalu merongrong pasukan Khi-tan di sepanjang perbatasan. Pasukan kecil
352 yang hanya terdiri dari sekitar seratus orang ini dipimpin oleh Huang-ho Ngoliong (Lima Naga Sungai Kuning) dan gerombolan inilah yang membuat
pasukan Khi-tan tidak berani dalam kelompok kecil melakukan penjagaan di
perbatasan selatan bagi mereka.
Sudah terlalu sering pasukan yang kurang dari seratus orang jumlahnya
disergap dan sebagian dari mereka dibunuh. Bahkan dari seratus orangpun
gerombolan itu berani menggempur karena mereka itu rata-rata memiliki ilmu
silat yang cukup tangguh, apa lagi kelima orang pemimpin mereka!
Huang-ho Ngo-liong sejak belasan tahun yang lalu telah terkenal sebagai lima
orang jagoan di dunia kang-ouw yang berilmu tinggi. Seorang di antara
mereka sudah kita kenal baik, yaitu Hek-siauw Siucai, pria tampan berusia
tigapuluh tahun yang dahulu, sekitar sepuluh tahun yang lalu, pernah datang
ke Thian-san-pang dan bertanding melawan Sung Bi Li.
Hek-siauw Siucai yang begitu lihai saja adalah orang kelima. Apa lagi orang
yang pertama sampai dengan yang keempat, yang menjadi kakak-kakak
seperguruan Hek-siauw Siucai!
Orang pertama dari mereka disebut Toa-liong (Naga tertua) bernama
Ouwyang Koan. Yang kedua disebut Ji-liong (Naga kedua) bernama Ji Siok.
Ketiga disebut Sam-liong (Naga ketiga) bernama Bang Kiu It. Yang keempat
disebut Su-liong (Naga keempat) bernama Tang Giok dan yang kelima adalah
Hek-siauw Siucai itulah yang disebut Ngo-liong (Naga kelima) dan bernama
Bhe Koan Sui. Lima orang ini adalah murid-murid Go-bi-pai yang sudah mencapai tingkat
tinggi dan mereka semua berjiwa pendekar patriot. Karena mereka adalah
kawula kerajaan Sung, tentu saja yang mereka bela adalah kerajaan Sung,
353 walaupun di dalam hati mereka itu merasa penasaran dan tidak senang
melihat kaisar tidak memperhatikan pertahanan negara dan hanya bersenang-senang saja. Pada suatu hari ke lima saudara ini berkumpul dan bercakap-cakap
membicarakan keadaan. "Sungguh menyebalkan sekali. Pemerintah kita sama sekali tidak mengacuhkan bahwa para penduduknya di perbatasan utara ini mengalami
gangguan dari bangsa Khi-tan!"
"Kaisar hanya bersenang-senang saja dan memerintahkan Menteri Keuangan
untuk mengirim upeti besar-besaran kepada Khi-tan. Ini sungguh merupakan
pukulan besar kepada perasaan para patriot," kata Ji-liong menyambung
ucapan Toa-liong. "Sungguh amat mengherankan," kata Ngo-liong atau Hek-siauw Siucai Bhe
Koan Sui yang termuda dan tampan. Usianya sekitar empatpuluh tahun
sedangkan kakak-kakaknya beberapa tahun lebih tua dan Toa-liong sendiri
yang tertua berusia limapuluh tahun.
"Kalau diingat bahwa Kaisar Sung Thai Cu dahulunya adalah seorang panglima
besar bernama Cao Kuang Yin yang pantang menyerah, bahkan berhasil
menundukkan banyak daerah sehingga akhirnya dia dapat mempersatukan
semua daerah dan mendirikan kerajaan Sung. Kenapa sekarang dia menjadi
seorang lemah yang hanya mengejar kesenangan dan menyerahkan urusan
pemerintahan kepada para Thai-kam?"
"Sungguh penasaran sekali!" kata Su-liong Tang Giok yang pendek gendut.
"Bagaimana seseorang dapat begitu berubah" Kalau dulunya seorang pejuang
354 gagah perkasa, sekarang berubah menjadi boneka yang tidak malu-malu
mengirim upeti kepada bangsa Khi-tan?"
"Tidak ada yang aneh," kata Sam-liong Bang Kiu It yang bertubuh tinggi
kurus. "Seseorang memang dapat saja berubah karena keadaan. Dulu
seorang pejuang ketika keadaannya masih miskin, akan tetapi begitu
menduduki pangkat tinggi dan merasakan kenikmatan harta dan kemuliaan,
maka menjadi lupa diri dan tenggelam ke dalam kesenangan.
"Apanya yang aneh" Hal itu hanya menunjukkan bahwa dia seorang yang
pada dasarnya lemah. Seorang yang kuat tidak akan berubah, dalam keadaan
dan kedudukan bagaimana jugapun."
"Sam-te benar," kata Ji-liong Ji Siok yang mukanya brewok. "Memang harta
benda dan kedudukan dapat membuat orang menjadi lupa diri."
"Akan tetapi hal ini sungguh merugikan bangsa kita," kata Toa-liong Ouwyang
Koan yang bertubuh tinggi besar. "Kaisar selemah itu sebaiknya diganti saja!"
"Aih, toako, ucapanmu itu sungguh berbahaya kalau terdengar orang lain.
Bisa-bisa kita ini dicap sebagai pemberontak!" kata Ngo-liong.
"Pemberontak" Huh, kita melakukan lebih banyak dari pada kaisar sendiri.
Kita sudah mempertaruhkan nyawa untuk melindungi rakyat di perbatasan,
untuk menghalau pasukan Khi-tan yang berani melewati perbatasan dan
membikin kacau di daerah Sung! Bukan kita yang pemberontak, melainkan
kaisar sendiri yang pengkhianat bangsa, membiarkan bangsanya sengsara
hanya karena ingin hidup bersenang seorang diri saja!"
Selagi mereka bercakap-cakap, pintu diketuk dari luar.
355 "Masuk!" kata Toa-liong dengan suara berwibawa.
Pintu dibuka dari luar dan seorang anggauta kelompok mereka masuk, lalu
melapor. "Tai-hiap, di luar dusun Hek-bun terdapat serombongan tentara Khitan yang agaknya hendak mengacau. Jumlah mereka kurang lebih tigapuluh
orang!" Karena yang mengacau hanya tigapuluh orang saja, Toa-liong lalu memerintahkan kepada adiknya yang paling muda. "Ngo-liong, kaubawa
teman sebanyak empatpuluh orang dan basmi mereka!"
"Baik, toako!" kata Hek-siauw Siucai, orang termuda itu yang selalu
berpakaian seperti seorang sasterawan dan membawa suling yang diselipkan
di ikat pinggangnya. Dia lalu keluar dan tak lama kemudian berangkatlah Ngoliong bersama empatpuluh orang anak buahnya melakukan perjalanan cepat
menuju ke dusun Hek-bun seperti yang dilaporkan anak buah tadi.
Setelah tiba di dusun itu benar saja mereka melihat segerombolan pasukan
Khi-tan memasuki dusun itu. Penduduk dusun itu sudah menjadi ketakutan
sekali karena biasanya para pasukan Khi-tan itu suka bertindak sewenangwenang, merampasi hewan ternak dan juga menculik wanita-wanita muda.
Melihat ini, Ngo-liong lalu membentak keras, "Perampok-perampok Khi-tan
keparat! Serbu?".!"
Dan anak buahnya segera menyerbu. Para perajurit Khi-tan ketika melihat
serombongan orang gagah itu, segera melakukan perlawanan gigih dan
terjadilah pertempuran di dusun itu.
356 Sementara itu, secara kebetulan sekali Cin Po yang sedang mencari musuh
besarnya di sepanjang lembah Sungai Kuning, hari itu tiba di dekat dusun.
Melihat keributan itu dan melihat pula penduduk banyak yang lari mengungsi
keluar dusun, dia segera bertanya kepada mereka apa yang sedang terjadi.
"Segerombolan perajurit Khi-tan sedang mengacau di dusun kami dan
sekarang sedang dihadapi para pendekar Lembah Huang-ho." Memang
pasukan yang dipimpin Ngo-liong itu oleh para penduduk dikenal sebagai
"Para pendekar Lembah Huang-ho".
Mendengar ini, tentu saja Cin Po tertarik sekali.
"Siapakah para pendekar Lembah Huang-ho itu?" tanyanya.
Orang dusun itu memandang Cin Po dengan heran. Pemuda berpakaian serba
putih ini tentu datang dari jauh maka tidak mengenal para pendekar Lembah
Huang-ho yang namanya sudah terkenal di seluruh daerah itu sebagai
pembela rakyat dari gangguan para perajurit Khi-tan.
"Mereka adalah orang-orang gagah yang selalu membela rakyat yang
diganggu oleh pasukan Khi-tan yang menyeberangi perbatasan. Sudahlah,
kami akan menjauhkan diri mengungsi ke tempat yang lebih aman." Orang
itu pergi tergesa-gesa dan Cin Po segera lari ke arah dusun itu untuk melihat
keadaan. Segera dia melihat sebuah pertempuran yang ramai dan seru sekali antara
orang-orang berpakaian perajurit Khi-tan dan orang-orang berpakaian
preman. Dia melihat betapa para perajurit Khi-tan itu terdesak oleh orangorang yang berpakaian ringkas seperti orang-orang ahli silat itu. Dan memang
357 rata-rata mereka yang disebut para pendekar Lembah Huang-ho itu pandai
sekali memainkan senjata dengan gerakan silat yang cukup lumayan.
Akan tetapi tiba-tiba muncul seorang kakek yang berkepala botak dan
tubuhnya sedang saja akan tetapi matanya menyeramkan, mencorong seperti
mata harimau, hidungnya pesek dan mulutnya besar, kedua telinganya seperti
telinga gajah. Begitu muncul, kakek ini mendorong-dorongkan kedua
tangannya dan para orang gagah itu jatuh bergelimpangan.
Seorang pemimpin mereka yang berpakaian sasterawan dan gagah perkasa
menyerang kakek itu dengan senjata sulingnya, gerakannya gesit dan juga
bertenaga. Akan tetapi kakek itu dengan mudahnya mengelak lalu balas
menyerang. Terjadi perkelahian di antara mereka berdua, namun jelas bahwa
kakek itu jauh lebih lihai sehingga belum sampai duapuluh jurus, pemegang
suling itu telah terpental jauh.
Melihat kakek itu, Cin Po terkejut sekali karena mengenalnya sebagai Pat-jiu
Pak-sian, datuk utara yang memang berpihak kepada Khi-tan itu. Bahkan dia
sendiri pernah dibujuk gurunya itu untuk menjadi perwira Khi-tan dan
kemudian dia melarikan diri setelah membunuh para perajurit Khi-tan yang
berbuat jahat kepada rakyat jelata, merampok dan memperkosa.
Karena takut menjadi orang buruan pemerintah Khi-tan, juga takut kepada
gurunya yang tentu akan marah sekali, maka dia melarikan diri. Siapa kira
kini dia bertemu dengan guru pertamanya itu di sini, dan gurunya membela
para perajurit Khi-tan yang sedang merampoki rakyat.
Dia harus membela orang-orang gagah Lembah Huang-ho itu, kalau tidak,
mereka semua akan tewas bertanding melawan Pat-jiu Pak-sian.
358 Cepat dia melompat ke dekat sasterawan yang roboh tadi. "Cepat, bawa


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orangmu lari, aku yang akan menghadapi kakek itu. Kalian bukan
lawannya!" katanya. Agaknya sasterawan yang bukan lain adalah Hek-siauw Siucai atau Ngo-liong
Bhe Koan Sui itu mengerti benar apa yang dimaksudkan Cin Po. Dia tadi sudah
merasakan sendiri kehebatan kakek itu.
Memang kelompoknya adalah kelompok gerilya, dan selalu bergerak seperti
pasukan gerilya, kalau pihak musuh terlalu kuat mereka melarikan diri
kemudian menyerang kalau musuh lengah.
Dia lalu bersuit keras, memberi tanda kepada anak buahnya dan mereka
segera melarikan diri, terpaksa meninggalkan beberapa orang yang sudah
tewas dan membawa kawan-kawan yang terluka.
Pat-jiu Pak-sian tercengang, ketika tiba-tiba dia berhadapan dengan Cin Po.
Para perajurit Khi-tan yang merasa mendapat kemenangan karena dibantu
kakek sakti itu, memperlihatkan kegagahan mereka dengan mencoba-coba
mengejar para pendekar yang melarikan diri. Akan tetapi ini hanya untuk
berlagak saja. "Kau?"?"" bentak Pat-jiu Pak-sian dan teringatlah dia betapa murid yang
tadinya amat disayangnya sebagai pengganti puteranya yang tewas ini pernah
membunuhi banyak perajurit lalu melarikan diri.
"Engkau pengkhianat dan pemberontak!" kembali dia membentak dan siap
untuk menyerang. "Engkau malah membantu para pemberontak yang
menyerang pasukan kami?"
359 "Tidak, Suhu. Aku tidak termasuk golongan mereka. Akan tetapi aku memang
menentang pasukan Khi-tan kalau pasukan itu melakukan perbuatan jahat!"
katanya gagah. "Hemm, engkau dahulu juga membunuh banyak perajurit Khi-tan lalu
melarikan diri tanpa pamit kepadaku! Murid macam apa engkau ini" Ditolong
bahkan membalas mencemarkan nama baikku sehingga aku mendapat
teguran dari Raja?" "Maaf, Suhu. Ketika aku menjadi perwira Khi-tan, Suhu tidak mengajarkan
aku untuk merampok dan memperkosa wanita. Karena melihat para perajurit
Khi-tan itu melakukan perampokan, pembunuhan dan perkosaan, maka aku
menjadi marah dan membunuh mereka.
"Demikian pula sekarang, para perajurit ini mengganggu rakyat dan orangorang gagah tadi membela rakyat. Seharusnya perbuatan mereka itu patut
dihargai dan perbuatan pasukan Khi-tan patut dicela."
"Apakah engkau tidak mengerti bahwa orang boleh bertindak apa saja
terhadap musuh negara?" bantah Pat-jiu Pak-sian marah.
"Akan tetapi, suhu. Kerajaan Sung tidak menjadi musuh kerajaan Khi-tan.
Bukankah kedua kerajaan itu bersahabat" Tidak semestinya pasukan Khi-tan
melanggar perbatasan dan menyerang penduduk dusun di perbatasan yang
termasuk wilayah Sung."
"Bocah pengkhianat, kau tahu apa?" kata kakek itu dan diapun menyerang
Cin Po dengan ganas. 360 Cin Po merasa menyesal sekali tidak dapat menyadarkan orang tua itu.
Betapapun juga, nyawanya pernah ditolong oleh Pat-jiu Pak-sian, dan bahkan
dia pernah digembleng selama tiga tahun dengan tekun. Tentu saja dia tidak
ingin bermusuhan dengan orang yang telah pernah menyelamatkan nyawanya
itu. Dengan gerakan yang gesit sekali dia mengelak dari serangan bekas gurunya.
Melihat pukulan tangan kirinya dielakkan dengan mudah, Pat-jiu Pak-sian
menjadi semakin marah dan dia lalu bersilat dengan ilmu Pat-jiu-sin-kun.
Sebagai orang yang merangkai ilmu itu, tentu saja gerakannya hebat bukan
main. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa setelah mendapat gemblengan dari
Bu Beng Lojin, Cin Po dapat memainkan Pat-jiu-sin-kun bahkan lebih hebat
darinya! Namun, Cin Po tidak mau melakukan ini. Dia tidak ingin mengalahkan bekas
gurunya dengan ilmu gurunya sendiri, juga dengan ilmu lain. Sekali ini dia
harus membalas budi gurunya itu dengan tidak melukai atau bahkan
mengalahkannya. Diam-diam dia lalu mengerahkan ilmu sihirnya dan mengenangkan wajah Hok
Jin, yaitu putera Pat-jiu Pak-sian yang meninggal dunia karena sakit, wajah
yang mirip dengan wajahnya sendiri itu. Kemudian sambil menudingkan
telunjuknya kepada Pat-jiu Pak-sian, dia berkata,
"Ayah, apakah ayah tega untuk membunuh putera sendiri?"
Seketika Pat-jiu Pak-sian menahan serangannya, terbelalak memandang Cin
Po yang tiba-tiba dalam pandang matanya berubah menjadi puteranya yang
telah tewas, dan dia lalu menangis sejadi-jadinya.
361 "Hok Jin"... ah, Hok Jin.......!"
Cin Po melambaikan tangannya dan dalam pandangan gurunya, dia telah
berubah lagi menjadi sedia kala. Pat-jiu Pak-sian terbelalak dan memandang
Cin Po dengan terheran-heran.
"Suhu, maafkanlah saya dan harap suhu jangan membiarkan para perajurit
Khi-tan itu mengganggu rakyat jelata!" Setelah berkata demikian, sekali
berkelebat diapun lenyap dari pandang mata kakek itu.
Pat-jiu Pak-sian masih tercengang dan sekarang mengertilah dia bahwa tadi
dia dipengaruhi sihir oleh bekas muridnya itu. Dan teringat dia betapa tadi
murid itu dengan mudah menghindarkan diri dari semua serangannya.
Muridnya telah menjadi seorang yang amat pandai, bahkan kuat sekali dengan
ilmu sihirnya. Dia berkelebat begitu saja lenyap dari depannya dan untuk
dapat melakukan hal seperti ini di depan matanya, belum tentu ada keduanya.
Dia menghela napas lalu memanggil para perwira pasukan itu dan melarang
mereka melanjutkan niat mereka mengganggu penduduk dan meminta
mereka untuk kembali ke daerah Khi-tan.
Cin Po yang melarikan diri dari depan Pat-jiu Pak-sian, tiba-tiba berhadapan
dengan puluhan orang yang dinamakan orang-orang gagah Lembah Huangho itu. Dia menahan kakinya dan memandang.
Dia melihat pria berusia empatpuluh tahun yang gagah tadi, yang berpakaian
seperti sasterawan sehingga menimbulkan rasa hormat di hatinya. Dia tidak
tahu bahwa pria itu memandangnya dengan penuh kecurigaan.
362 Pria itu adalah Hek-siauw Siucai Bhe Koan Sui. Tadi ketika terjadi
pertandingan antara Cin Po dan Pat-jiu Pak-sian, Bhe Koan Sui ini sempat
mengintai dan dia merasa heran sekali mengapa pemuda yang telah menolong
dia dan kawan-kawannya itu menyebut Suhu kepada Pat-jiu Pak-sian.
Dia tahu benar siapa Pat-jiu Pak-sian. Seorang datuk utara yang berpihak
kepada Khi-tan. Kenapa pemuda itu menolong mereka kalau dia murid Pat-jiu
Pak-sian" Maka, kini dia memandang penuh curiga walaupun tadi jelas
pemuda itu telah menyelamatkan mereka.
Bhe Koan Sui mengangkat ke dua tangan memberi hormat kepada Cin Po,
diikuti semua anggautanya. "Kami semua menghaturkan terima kasih atas
pertolongan sicu," katanya sambil memandang tajam.
"Ah, tidak perlu dibicarakan hal itu. Aku hanya menyuruh kalian mundur
karena kakek itu hebat bukan main ilmu kepandaiannya dan kalau dilanjutkan
tentu kalian semua akan tewas di tangannya."
"Kau maksudkan Pat-jiu Pak-sian, sicu" Dan bagaimana sicu sendiri dapat
terbebas dari tangannya?"
"Aku?". sempat melarikan diri," kata Cin Po yang tentu saja segan
menceritakan bahwa dia pernah menjadi murid datuk itu.
"Sicu, mari silakan sicu singgah di tempat kami. Para pimpinan kami tentu
akan senang sekali bertemu dengan sicu dan kita dapat membicarakan urusan
perjuangan ini." Sebetulnya Cin Po tidak tertarik dengan urusan perjuangan yang tidak
dimengertinya, akan tetapi dia pikir bahwa orang-orang ini mungkin saja tahu
363 di mana adanya musuh besarnya. Maka dia menggunakan kesempatan ini
untuk bertemu dan berkenalan dengan mereka.
Dia mengangguk dan mengikuti orang-orang itu menuju ke perkampungan
mereka yang terletak di tepi Sungai Kuning. Mereka tinggal di situ bersama
seluruh keluarga mereka, maka tempat itu menjadi sebuah perkampungan
besar. Rumah pimpinan mereka yang lima orang itu berada di tengah-tengah
perkampungan, merupakan rumah besar karena Huang-ho Ngo-liong juga
tinggal bersama isteri-isteri dan anak-anak mereka di tempat ini.
Para pimpinan pejuang itu sudah mendengar betapa pasukan mereka
terancam dengan munculnya Pat-jiu Pak-sian akan tetapi lalu muncul pula
seorang pemuda gagah perkasa yang menyelamatkan mereka. Maka, begitu
mendengar bahwa pemuda itu ikut datang berkunjung bersama Bhe Koan Sui,
empat orang pemimpin yang lain segera keluar dari rumah untuk menyambut.
"Kami adalah pemimpin para pejuang, sicu," kata Bhe Koan Sui memperkenalkan, "Ini adalah kakak kami tertua bernama Ouwyang Koan dan
ini kakak kedua bernama Ji Siok, kakak ketiga bernama Bang Kiu It, kakak
keempat bernama Tang Giok dan aku sendiri saudara kelima bernama Bhe
Koan Sui." Cin Po lalu memberi hormat kepada mereka semua dan dia dipersilakan
masuk. Mereka memberi hormat kepadanya dengan suguhan arak, kemudian
Ouwyang Koan bertanya dengan sikap yang menghormat.
"Tidak tahu, siapakah nama besar sicu?"
"Nama saya Sung Cin Po, paman."
364 "Sicu masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang hebat menurut
cerita para anak buah, sungguh mengagumkan sekali!" kata pula Ji Siok orang
kedua. "Ah, sama sekali tidak. Hanya kebetulan saja saya sudah mengenal Pat-jiu
Pak-sian dan dapat saya bujuk agar tidak menyerang para pendekar. Akan
tetapi kalau saya sendiri tidak cepat-cepat melarikan diri, mungkin saya juga
akan celaka di tangannya. Datuk Utara itu adalah seorang yang sakti," kata
Cin Po merendah. Hidangan lalu dikeluarkan dan Cin Po dijamu makan minum oleh ke lima
saudara itu. Sambil makan minum Cin Po mendengarkan penuturan mereka
mengapa mereka membentuk kelompok yang memusuhi pasukan Khi-tan.
"Sungguh sangat disesalkan bahwa kerajaan Sung begitu lemah," kata
Ouwyang Koan antara lain, "Bukan saja kerajaan Sung memperlihatkan
kelemahannya untuk mengirim upeti sebagai tanda persahabatan kepada
kerajaan Khi-tan, akan tetapi pemerintah juga menutup mata dan telinga,
seolah tidak tahu betapa pasukan Khi-tan seringkali melanggar perbatasan
dan mengganggu rakyat yang tinggal di perbatasan.
Melihat hal ini, kami merasa penasaran. Untuk melindungi rakyat tidak dapat
diandalkan bantuan pemerintah, maka kami menghimpun saudara-saudara
yang berjiwa patriot untuk mengadakan perlawanan setiap kali pasukan Khitan melanggar dan mengganggu rakyat."
Mau tidak mau Cin Po merasa kagum bukan main. Ternyata dia berhadapan
dengan orang-orang yang berjiwa pendekar patriot dan dia merasa malu
kepada diri sendiri. Apa yang dia lakukannya untuk rakyat" Bahkan dia pernah
menjadi perwira bangsa Khi-tan!
365 "Sungguh perbuatan yang patut dipuji. Ngo-wi (kalian berlima) adalah orangorang gagah sejati. Saya ingin minum untuk menghargai kegagahan Ngo-wi
itu!" Dia mengangkat cawan araknya dan disambut oleh lima orang itu dengan
gembira. "Sung-sicu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa. Mengapa sicu tidak
bergabung saja dengan kami" Kalau ada sicu yang membantu, tentu
perjuangan kami akan lebih berarti lagi! Kita melindungi rakyat, juga sekaligus
menjunjung nama dan kehormatan kerajaan Sung agar jangan diinjak-injak
oleh orang-orang Khi-tan!" kata Bhe Koan Sui.
"Terima kasih, paman. Kiranya belum saatnya sekarang bagi saya untuk
membantu perjuangan karena saya masih mempunyai banyak urusan pribadi
yang harus diselesaikan. Oya, kebetulan sekali saya bertemu dengan paman
berlima. "Sebetulnya kedatangan saya ke daerah ini adalah untuk mencari seorang
yang sudah lama saya cari. Barangkali ngo-wi (anda berlima) dapat memberi
petunjuk kepada saya ke mana saya harus mencari orang itu."
"Ah, tentu kami akan suka sekali membantu, Sung-sicu!" kata Bhe Koan Sui
dengan gembira. Agaknya dia akan merasa gembira sekali kalau dapat
melakukan sesuatu untuk membantu orang muda yang gagah itu untuk
membalas budi. "Siapakah nama orang yang kaucari itu?"
"Itulah sulitnya, saya sendiri tidak tahu siapa namanya, akan tetapi saya tahu
bahwa dia berjuluk Hek-siauw Siucai. Apakah di antara ngo-wi ada yang
mengenalnya?" 366 Semua orang terbelalak memandang kepada Cin Po. "Sung-sicu, tentu saja
kami mengenal orang itu. Ada keperluan apakah sicu mencari dia?" tanya Bhe
Koan Sui dengan suara agak gemetar.
"Saya mempunyai perhitungan yang harus diselesaikan dengan orang itu. Di
mana saya dapat menemukan Hek-siauw Siucai?"
"Di sini! Akulah Hek-siauw Siucai Bhe Koan Sui!" kata sasterawan itu sambil
memandang dan wajahnya sedikit pucat.
Kini Cin Po yang terbelalak dan dia bangkit dari kursinya, memandang tajam
ke arah lima orang yang berhadapan dengan dia terhalang meja itu.
"Ahhhh, begitukah" Kalau begitu ngo-wi ini adalah apa yang disebut Huangho Ngo-liong?"
"Benar sekali! Sung sicu, ada urusan apakah engkau dengan adik kami yang
termuda itu?" tanya Ouwyang Koan dengan pandang mata penuh selidik.
"Urusan hutang nyawa bayar nyawa!" kata Cin Po, kini suaranya terdengar
ketus dan marah karena dia teringat akan ibunya.
Orang di depannya ini adalah pembunuh ayahnya yang membuat dia sejak
kecil mengenakan pakaian berkabung! Ibunya melarang dia mengenakan
pakaian berwarna karena ini, dan sebelum dia dapat membalas dendam
kematian ayahnya dia tidak boleh melepaskan perkabungannya.
"Hek-siauw Siucai, cabutlah senjatamu dan mari kita selesaikan hutang
piutang nyawa ini!" 367 "Nanti dulu, Sung sicu. Aku tidak mengerti. Aku berhutang nyawa siapakah"
Seingatku, yang pernah kubunuh hanyalah para penjahat dan aku tidak
percaya bahwa engkau adalah putera seorang penjahat! Tentu saja aku berani
mempertanggung-jawabkan perbuatanku! Katakan siapa ayahmu agar dapat
kuingat apakah benar aku telah membunuhnya!"
Hek-siauw Siucai bersikap gagah dan sedikitpun tidak kelihatan gentar
melainkan penasaran, dan pertanyaan itu membuat Cin Po bingung karena
dia sendiri juga tidak tahu siapa ayahnya!
"Aku tidak dapat mengatakan siapa nama ayahku, akan tetapi ibuku yang
menyuruh aku membalas dendam kepada Hek-siauw Siucai. Kalau engkau
benar Hek-siauw Siucai, majulah dan mari kita selesaikan urusan ini. Aku
hanya menaati perintah ibuku!" kata Cin Po sambil mendorong kursinya dan
melangkah mundur mencari tempat yang luas.
"Nanti dulu, sicu. Aku bukan orang yang tidak bertanggung jawab. Sebelum
kita bertanding menentukan mati hidup, aku harus tahu lebih dulu dengan
siapa aku bertanding dan untuk urusan apa. Siapakah ibumu yang menyuruh
engkau membunuhku itu" Mungkin aku mengenalnya!"
"ibuku bernama Sung Bi Li!"
Hek-siauw Siucai mengerutkan alisnya.
"Bantulah aku. Aku tidak ingat nama itu, akan tetapi di mana ibumu tinggal?"
"Ibu adalah murid kepala dari Thian-san-pang!"
368 Mata sasterawan itu terbelalak, lalu dia teringat semuanya, peristiwa yang
terjadi kurang lebih duapuluh satu tahun yang lalu. Ketika itu dia masih muda
dan masih berwatak keras.
Karena pada suatu hari dia salah paham dengan ketua Thian-san-pang maka
terjadi perkelahian dan dia dikalahkan oleh ketua Thian-san-pang yang
bernama Tiong Gi Cinjin. Kekalahan ini membuatnya penasaran sekali dan dia
lalu berlatih keras untuk menebus kekalahannya itu.
Dan pada suatu hari, duapuluh satu tahun yang lalu, dia naik ke Thian-san
untuk mencari Tiong Gi Cinjin di Thian-san-pang. Akan tetapi dia bertemu
dengan Sung Bi Li, murid kepala Thian-san-pang karena Tiong Gi Cinjin


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebetulan tidak berada di rumah.
"Ahhh, tentu saja aku ingat. Murid kepala Thian-san-pang itu ibumu" Ketika
itu ia belum menikah. Akan tetapi mengapa ia menyuruh engkau membunuhku" Memang benar ia pernah kalah olehku, akan tetapi sungguh
aneh sekali kalau hanya karena kekalahan itu, ia menyuruh puteranya
membunuhku?" "Ibu menyuruh aku membunuhmu untuk membalaskan kematian ayahku!
Engkau yang membunuh ayahku, maka engkau harus menebusnya dengan
nyawamu sekarang. Aku hanya menaati ibuku, maka engkau atau aku yang
hari ini akan mati menyusul mendiang ayah!"
"Nanti dulu, orang muda. Ada sesuatu yang janggal di sini. Ketika aku bertemu
dan bertanding dengan ibumu, ia masih belum menikah. Bagaimana mungkin
aku membunuh ayahmu"
369 "Dengarlah, biar kuceritakan dari semula. Setahun sebelum aku bertemu
ibumu, aku telah dikalahkan dalam pertandingan melawan Tiong Gi Cinjin,
ketua Thian-san-pang. Dalam setahun aku berlatih tekun untuk membalas
kekalahanku itu." "Ah, sikapmu itu keterlaluan, Ngo-te. Kalah dalam pertandingan adalah soal
biasa," Ouwyang Koan mencela adiknya.
"Toako, ketika itu usiaku masih muda sekali, masih belum sanggup menerima
kekalahan. Nah, kulanjutkan ceritaku. Setelah berlatih dengan tekun selama
setahun, pada suatu hari aku berkunjung ke Thian-san-pang untuk mencari
Tiong Gi Cinjin. Akan tetapi, Tiong Gi Cinjin tidak ada, yang ada hanya murid
kepalanya, yaitu ibumu. "Sung Bi Li marah mendengar aku ingin menantang gurunya. Kami lalu
bertanding. Aku tidak ingin mencelakai ibumu maka aku hanya menotoknya.
"Siapa kira, para murid Thian-san-pang marah dan mengepungku. Aku tidak
berani melawan murid Thian-san-pang yang demikian banyaknya itu, lalu
untuk menyelamatkan diri, aku menyandera ibumu.
"Dalam keadaan tertotok pingsan ibumu kularikan sampai aku terbebas dari
kepungan. Aku lalu melepaskan ibumu yang pingsan itu di lereng Thian-san
dan pergi meninggalkannya.
"Nah, hanya itulah yang terjadi. Kalau kini aku dituduh membunuh ayahmu,
sungguh suatu penasaran besar apa lagi engkau tidak dapat menerangkan
siapa nama ayahmu yang katanya kubunuh itu."
370 Tentu saja Cin Po menjadi bingung. Dia bukan seorang pemuda yang singkat
pandangan. Dia dapat melihat kebenaran dalam ucapan siucai itu. Akan tetapi
bagaimana lagi" Dia harus memenuhi perintah ibunya.
Bagaimanapun juga, dia tidak mungkin dapat meragukan kata-kata ibunya.
Mungkinkah ibunya berbohong" Tidak mungkin! Maka dia lalu melangkah
mundur. "Hek-siauw Siucai, apapun yang kaukatakan, aku tetap akan menantangmu.
Bagaimanapun juga, aku lebih percaya kepada ucapan ibuku yang memesan
dengan keras agar aku membunuhmu demi membalas kematian ayahku!"
Mendengar ucapan itu, Tang Giok yang pendek gendut itu melompat dari
tempat duduknya. "Orang muda, kalau engkau tidak mau mendengarkan
kata-kata adikku yang cukup beralasan, berarti engkau hendak mencari
perkara." "Su-ko, biarlah aku menghadapinya sendiri," kata Hek-siauw Siucai Bhe Koan
Sui. "Bagaimanapun aku juga sudah curiga kepadanya.
"Dia mengenal baik Pat-jiu Pak-sian dan dia mampu menghentikan serangan
orang-orang Khi-tan. Aku kini bahkan mencurigainya bahwa dia adalah
seorang mata-mata Khi-tan yang bertugas menyelidiki kita dan kini hanya
berdalih kosong hendak membalas dendam kematian ayahnya.
"Mana mungkin orang membalas dendam kematian ayahnya yang tidak
diketahui siapa namanya" Sung Cin Po, kalau engkau menghendaki
kematianku, mari majulah!"
371 Berkata demikian, Hek-siauw Siucai lalu melompat ke depan dan melintangkan sulingnya di depan dada, siap untuk bertanding.
Cin Po menjadi semakin ragu mendengar itu semua, akan tetapi dia serba
salah. Setelah kini bertemu orang yang dicari-cari, mana mungkin pembalasan dendam tidak dilanjutkan, dan apa nanti jawabannya kepada
ibunya kalau dia pulang"
Diapun tidak berani memandang rendah lawan. Biarpun dia merasa yakin
bahwa dengan tangan kosongpun dia akan mampu menang, namun untuk
menghormati lawan dia lalu menghunus pedangnya. Nampak sinar putih
kemerahan berkelebat ketika pedang Yang-kiam dicabutnya.
Hek-siauw Siucai tidak menjadi gentar melihat pedang pusaka ampuh ini.
"Sung Cin Po, engkau yang menantangku, maka mulailah!"
Cin Po mengelebatkan pedangnya menyerang dengan tusukan. Bhe Koan Sui
mengelak dan membalas serangan itu dengan sulingnya. Ternyata suling itu
digerakkan seperti pedang karena dia memang memainkan Go-bi-kiam-sut
yang hebat. Sulingnya menjadi gulungan sinar hitam yang mengeluarkan suara mengaung-ngaung ketika dipakai menyerang. Akan tetapi tentu saja bagi Cin
Po yang sudah memiliki kesaktian, gerakan siucai itu nampak masih terlampau
lamban. Dia lalu mengimbangi dengan pedangnya yang menjadi gulungan
sinar putih kemerahan. 372 "Trang-trangg-trangg?".!!" Ketika pedang bertemu suling berulang kali, Heksiauw Siucai berjungkir balik ke belakang karena dia terdorong oleh tenaga
raksasa yang membuatnya terlempar ke belakang.
Selagi lawan berjungkir balik ke belakang, Cin Po mengejar dan berseru, "Heksiauw Siucai, rasakan pembalasanku!"
"Traanggg?".!" Pedangnya ditangkis oleh pedang di tangan Tang Giok.
"Engkau mau membunuh adikku" Harus melampaui mayatku lebih dulu!"
katanya dan dia menyerang dengan pedangnya
Gerakannya juga dahsyat sekali karena ilmu pedangnya Go-bi-kiam-sut
digerakkan secara hebat. Tiga orang kakak yang lain juga sudah mencabut
pedang dan kini mereka semua mengepung Cin Po.
"Orang muda, kalau benar engkau mata-mata Khi-tan, terpaksa kami akan
mengeroyokmu! Engkau musuh kami dan setiap orang mata-mata Khi-tan
harus mati di tangan kami!"
Setelah berkata demikian lima orang itu serentak maju mengeroyok! Heksiauw Siucai tidak percaya bahwa pemuda itu hendak membalas dendam, dan
yakin bahwa dia tentu mata-mata Khi-tan, mungkin sekutu Pat-jiu Pak-sian
yang lihai. Oleh karena itu, diapun tidak raga-ragu lagi untuk mengeroyok
karena mata-mata Khi-tan adalah musuh yang harus dibunuh!
Terjadilah perkelahian yang amat seru. Setelah dikeroyok lima barulah
keadaannya agak seimbang. Lima orang Huang-ho Ngo-liong itu terkejut
bukan main. Mereka berlima maju bersama, namun tetap saja mereka tidak
mampu mendesak, pemuda itu memiliki gerakan yang luar biasa sekali.
373 Ilmu silatnya tinggi dan gerakannya seperti seekor burung saja. Apa lagi
pedangnya demikian hebat sehingga dalam beberapa gebrakan saja pedang
Tang Giok dan pedang Ji Siok yang berani beradu secara langsung telah patah
menjadi dua potong! Cin Po tidak mau memperpanjang perkelahian itu. Dia hanya ingin membunuh
Hek-siauw Siucai seperti yang dipesan ibunya dan dia tidak mau membunuhi
orang-orang gagah yang patriotik itu. Maka, dia lalu mengerahkan khi-kang
dan kekuatan sihirnya, lalu membentak dengan suara nyaring sekali.
Lima orang itu seketika lumpuh dan roboh bergelimpangan! Tentu saja
mereka terkejut setengah mati menghadapi serangan melalui bentakan aneh
itu. "Hek-siauw Siucai, pilihlah. Engkau ingin membunuh diri sendiri atau terpaksa
harus aku yang membunuhmu?"
Empat orang kakaknya berlutut dan menghadap Cin Po.
"Kalau hendak membunuh, bunuhlah kami semua! Kami yakin bahwa adik
kami tidak bersalah. Kalau memang dia bersalah, tidak usah engkau datang
menghukumnya, kami sendiri yang akan menghukum. Kami berpantang
melakukan segala bentuk kejahatan! Kami sudah kalah, mau bunuh cepatlah
bunuh, kami tidak takut mati!"
Hek-siauw Siucai bangkit berdiri. "Ke empat koko, jangan berbuat bodoh. Dia
menghendaki kematianku, biarlah aku mati di depannya agar dia tidak
mengganggu kalian lagi. Aku sudah kalah dan aku layak mati!" Berkata
demikian, Hek-siauw Siucai menggerakkan sulingnya menghantam kepalanya
sendiri. 374 "Tranggg......!!" Suling itu terlepas dari tangannya, mencelat entah ke mana.
Ternyata suling itu tadi ditangkis oleh Cin Po! Melihat sikap mereka, Cin Po
semakin ragu bahwa Hek-siauw Siucai memang bersalah.
Dia harus tanya lagi kepada ibunya dengan jelas. Kelak masih belum
terlambat mencarinya untuk membunuhnya setelah ibunya memberi penjelasan. Dia harus tahu siapa nama ayahnya dan bagaimana ayahnya
sampai terbunuh oleh Hek-siauw Siucai.
"Orang muda, kenapa engkau lakukan itu?" tanya Hek-siauw Siucai dengan
heran dan juga penasaran. "Jangan mengira aku pengecut dan penakut.
Biarlah aku mati agar ke empat kakakku tidak kauganggu lagi. Apakah engkau
hendak menghinaku dengan mencegah aku membunuh diri?"
Cin Po menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Sikap kalian yang
gagah perkasa meragukan hatiku dan aku akan bertanya lagi kepada ibuku.
Kalau sudah yakin, barulah aku akan mencarimu lagi!" Setelah berkata
demikian, sekali berkelebat Cin Yo lenyap dari depan mereka.
"Orang muda yang sakti!" kata Tang Giok.
Ouwyang Koan memandang kepada adiknya yang termuda. "Ngo-te,
sesungguhnya apakah yang telah kaulakukan terhadap ibunya atau ayahnya"
Aku melihat pemuda itu seorang yang gagah perkasa dan kiranya tidak
mungkin dia menjadi mata-mata Khi-tan."
"Toako, yang kuceritakan tadi adalah benar. Aku berani bersumpah. Apakah
toako juga percaya bahwa aku telah membunuh orang tanpa berani
bertanggung jawab" 375 "Ketika aku bertemu ibu kandung pemuda itu, ia masih gadis. Bagaimana aku
tahu-tahu didakwa telah membunuh suami gadis itu yang sama sekali aku
tidak kenal" "Dan yang amat mencurigakan, bagaimana pemuda itu sendiri tidak
mengetahui nama ayah kandungnya" Aku yakin terdapat rahasia yang aneh
dalam urusan ini." "Kita berharap saja dia akan mendapatkan keterangan yang benar sehingga
dia tidak akan mencari kita lagi. Ilmu kepandaiannya sungguh hebat dan dia
memiliki tenaga mujijat untuk mengalahkan kita. Kita sama sekali bukan
lawan pemuda aneh itu," kata pula Ouwyang Koan.
"Kita tidak perlu takut, toako. Yang penting, aku tidak bersalah. Soal mati
hidup adalah permainan kita sehari-hari, bukan" Tidak mengapa mati, asal
mati tidak dalam kesalahan, melainkan dalam kebenaran," kata Hek-siauw
Siucai dengan sikap yang gagah.
Para kakaknya mengangguk membenarkan. Mereka adalah pejuang-pejuang
membela rakyat dan dalam setiap pertempuran melawan pasukan Khi-tan,
mereka selalu mempertaruhkan nyawa.
"Y" Dengan keberanian luar biasa Hui Ing akhirnya tiba juga di lereng Bukit
Menjangan. Pada hal, sepanjang jalan dara ini mendengar keterangan bahwa
bukit itu keramat dan ditakuti semua orang. Di puncak bukit terdapat
serombongan orang yang galak dan berilmu tinggi. Yang Kim Sun yang
melakukan perjalanan bersamanya, menyatakan kekhawatirannya.
376 "Sun-ko, See-thian Tok-ong itu lihai bukan main. Kukira sebaiknya engkau
menanti di lereng ini, biar aku saja yang menemuinya. Jadi, aku tidak perlu
harus melindungimu kalau ada bahaya mengancam. Percayalah kepadaku, dia
sakti dan ahli sihir."
Kim Sun menurut dan menanti di lereng itu.
Hui Ing tidak memperdulikan peringatan penduduk dusun itu. Mereka boleh
jadi takut kepada See-thian Tok-ong, akan tetapi ia justeru ingin bertemu
dengan datuk itu. Ia melangkah dengan waspada karena tahu bahwa ia telah
memasuki daerah kekuasaan datuk itu.
Tiha-tiba terdengar suara suitan bersambung-sambung dan segera dibalas
oleh suitan dari arah lain. Tahu-tahu Hui Ing telah terkepung. Ia memilih
padang rumput yang luas agar mendapatkan tempat yang leluasa kalau
sampai terjadi pengeroyokan nanti dan ia berdiri menanti.
Tidak lama kemudian, dari segala penjuru bermunculan orang-orang yang
berpakaian hitam mengepungnya. Jumlah mereka ada tujuhbelas orang. Dan
mereka semua memegang senjata tajam, dengan sikap mengancam
memperkecil lingkaran mereka mengepung Hui Ing.
"Siapakah engkau, nona" Memasuki wilayah kami tanpa ijin!" bentak seorang
di antara mereka. Dengan sikap tenang Hui Ing memandang ke sekeliling, memutar tubuhnya
dengan tangan menuding ke arah mereka semua.
377 "Apakah kalian tidak dapat melihat" Aku adalah seorang gadis berkepala
harimau!" Terdengar gadis itu mengeluarkan suara auman seperti harimau
dan tujuhbelas orang itu mundur dengan mata terbelalak ketakutan.
"Siluman?".!" Mereka berseru dan hendak lari karena mereka melihat bahwa
Hui Ing benar-benar menjadi seorang gadis yang berkepala harimau!
"Jangan lari!" Terdengar bentakan dan muncullah Kang-siauw Tai-hiap Kam
Song Kui, murid See-thian Tok-ong.
Bentaknya mengandung khi-kang kuat sehingga Hui Ing melepaskan
kekuatan sihirnya. Di antara para pengepung itu terdapat bekas anak buah
Tok-coa-pang dan kini ada yang mengenal Hui Ing lalu berseru nyaring.
"Ia adalah gadis yang telah membunuh Tok-coa Pang-cu berdua!"
Kam Song Kui juga teringat. Gadis ini bersama Sung Cin Po pernah ditawan
oleh gurunya, akan tetapi kemudian tertolong secara aneh oleh angin
berpusing. Mendengar gadis ini yang telah membunuh kakak beradik Coa,


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketua dan wakil ketua Tok-coa-pang, Kam Song Kui memberi perintah.
"Tangkap gadis ini!!"
Dia sendiri sudah menerjang maju dengan suling bajanya. Hui Ing menangkis
dan mengamuk, karena tujuhbelas anak buah itupun agaknya hendak
berlomba untuk menangkapnya. Hui Ing mencabut pedang Im-kiam dan
pedang itu mengeluarkan sinar putih seperti perak yang bergulung-gulung
seperti seekor naga putih mengamuk.
378 "Ada apa ribut-ribut ini?" terdengar bentakan dan muncullah See-thian Tokong bersama Ban Koan. Melihat munculnya dua orang ini, Hui Ing juga
berteriak. "Tahan senjata! Aku ingin bicara dengan See-thian Tok-ong!"
See-thian Tok-ong memberi isyarat agar orang-orangnya menghentikan
pengeroyokan. Dia memandang dengan senyum mengejek, sedangkan Ban
Koan memandang dengan wajah ketakutan.
"Nona muda, engkau hendak bicara apakah denganku?" tanya See-thian Tokong.
Biarpun menghadapi datuk barat yang ia tahu amat sakti, Hui Ing tidak
menjadi gentar. Dengan berani ia menentang sinar mata orang tinggi besar
bermuka hitam dan bersorban itu, dan dari pertemuan sinar mata ini saja ia
tahu bahwa datuk inipun memiliki kekuatan mujijat dari ilmu hitam, yang
amat berwibawa dan mempunyai pengaruh yang tidak wajar. Namun, ia
mengangkat mukanya dan berkata dengan suara lantang dan dingin.
"See-thian Tok-ong, engkau adalah seorang datuk dari barat dan selamanya
tidak mempunyai urusan dengan Thian-san-pang. Aku adalah Kwan Hui Ing,
puteri mendiang ketua Thian-san-pang!
"Kini aku datang untuk menangkap Ban Koan karena dia adalah seorang murid
Thian-san-pang yang murtad, seorang pengkhianat keji. Aku mengharap
engkau orang tua tidak akan mencampuri urusan dalam Thian-san-pang dan
membiarkan aku menangkap Ban Koan ini!" Ia menudingkan telunjuknya
kepada Ban Koan yang menjadi pucat.
"Suhu, gadis ini yang telah membunuh kakak beradik Coa dari Tok-coa-pang!"
tiba-tiba Kam Song Kui berkata kepada gurunya.
379 Mendengar ini, alis yang tebal dan panjang itu berkerut, dan dia bertanya
dengan suara dalam. "Benarkah, engkau telah membunuh ketua dan wakil
ketua Tok-coa-pang, nona?"
"Benar, karena mereka bersekongkol dengan Ban Koan dan merampas Thiansan-pang!" jawab Hui Ing dengan berani.
"Hemm, kedua orang kakak beradik Coa adalah sahabat kami, engkau telah
membunuh mereka. Maka aku tidak dapat mengampunimu dan engkau sudah
selayaknya dibunuh!"
Akan tetapi sebelum See-thian Tok-ong turun tangan, Ban Koan sudah
mendekatinya. "Locianpwe, harap jangan bunuh ia, akan tetapi tawan saja.
Dengan ia menjadi tawanan kita, kita dapat memaksa mereka menyerahkan
kembali Thian-san-pang!"
See-thian Tok-ong mengangguk-angguk dan tertawa bergelak.
"Nona, mulai sekarang engkau menjadi tawananku. Menyerah dan berlututlah
engkau nona muda!" Setelah berkata demikian, tangannya membuat gerakan.
memerintah dan sinar matanya mencorong menatap wajah Hui Ing.
Akan tetapi, diam-diam Hui Ing juga sudah mengerahkan tenaga sihirnya
menolak pengaruh yang keluar dari pandang mata, suara dan gerakan tangan
kakek tinggi besar itu. "See-thian Tok-ong, aku tidak akan menyerah, apa lagi berlutut kepadamu!"
See-thian Tok-ong terkejut bukan main. Dia mengerahkan seluruh tenaganya
dan mengeluarkan bentakan nyaring. Diserang dengan tenaga sihir seperti ini,
380 lawan biasanya akan merasa lumpuh dan roboh. Akan tetapi gadis itu berdiri
tegak, matanya mencorong, bahkan ia melintangkan Im-kiam di depan
dadanya dengan sikap menantang.
Sekarang maklumlah See-thian Tok-ong bahwa gadis itu memang memiliki
kekebalan terhadap pengaruh sihirnya, maka dia menjadi penasaran dan juga
malu. Diambilnya pedang melengkung yang menempel di punggungnya dan
diapun menggereng sambil menerjang ke arah Hui Ing dengan gerakan seperti
angin puyuh. Hui Ing menggerakkan pedang Im-kiam untuk menangkis dan
balas menyerang. Akan tetapi dalam hal ilmu pedang, biarpun ilmu pedang Thian-san-kiam-sut
yang dimainkannya telah disempurnakan dengan petunjuk Bu-beng Lo-jin,
tetap saja dara itu masih belum mampu menandingi See-thian Tok-ong yang
sudah banyak pengalaman dan yang memiliki sin-kang amat kuat itu. Apa lagi
ke dua tangannya dapat mulur sehingga beberapa kali Hui Ing terkejut karena
tidak mengira bahwa pedang itu dapat menjadi panjang karena tangan yang
mulur. Betapapun juga, dengan gigihnya ia membela diri dan dapat menahan
desakan kakek itu sampai limapuluh jurus. Akhirnya, tangan kiri See-thian
Tok-ong mulur dan dapat mencengkeram pundak Hui Ing, lalu menotoknya
dan gadis itu roboh terguling.
Ban Koan yang sudah siap cepat meringkus dan membelenggu kedua
tangannya dengan kuat sekali. Dia merasa girang bukan main karena telah
mendapatkan jalan untuk merampas kembali Thian-san-pang dari tangan
Sung Bi Li, yaitu dengan menjadikan gadis ini sebagai sandera!
381 Dia tahu benar akan sifat mata keranjang Kam Song Kui, maka karena tidak
ingin gagal mendapatkan kembali kedudukannya sebagai ketua Thian-sanpang, dia sendiri yang menjaga agar gadis itu tidak diganggu oleh murid Seethian Tok-ong itu.
Tak lama kemudian, berangkatlah Ban Koan, See-thian Tok-ong dan Kam
Song Kui menuju ke Thian-san, membawa Hui Ing sebagai tawanan. Mereka
sama sekali tidak mengetahui bahwa perjalanan mereka dibayangi seseorang,
dan orang itu bukan lain adalah Yang Kim Sun.
Pemuda ini terkejut melihat Hui Ing menjadi tawanan, akan tetapi dia seorang
yang cerdik, tidak nekat mencoba untuk menyerang mereka. Dia tahu bahwa
kalau Hui Ing saja tertawan, apa lagi dia. Maka, dia hanya membayangi saja
dari jauh. "Y" Sung Bi Li menyambut puteranya dengan kecewa dan marah.
"Apa katamu" Engkau sudah berhadapan dengan Hek-siauw Siucai dan tidak
membunuhnya" Bagaimanakah engkau ini" Aku bersusah payah mendidikmu
hanya dengan satu tujuan ini, yaitu membunuh musuh besar itu. Dan
sekarang engkau mengatakan bahwa engkau tidak dapat membunuhnya?"
Sung Bi Li berkata gemas, wajahnya berubah merah. Sudah duapuluh tahun
ia menanti saat yang dinanti-nanti ini, yaitu mendengar bahwa puteranya
telah dapat membunuh musuh besarnya, dan apa kenyataannya"
"Harap ibu suka menenangkan hati, ibu. Dengarkanlah dulu penjelasanku,"
kata Cin Po dengan lembut.
382 "Sama sekali aku tidak bermaksud untuk tidak mentaati perintah ibu, sama
sekali tidak bermaksud untuk mengecewakan hati ibu. Akan tetapi, ibu,
setelah bertemu dengan Hek-siauw Siucai, aku menghadapi kenyataan yang
mengejutkan. "Hek-siauw Siucai dan empat orang kakaknya, yang terkenal dengan sebutan
Huang-ho Ngo-liong, adalah pendekar-pendekar sejati, patriot-patriot gagah
perkasa yang membela rakyat dari pengacauan orang-orang Khi-tan di
perbatasan. Mereka sama sekali bukan penjahat!"
"Penjahat atau bukan, Hek-siauw Siucai telah membunuh ayahmu, dan dia
harus dibalas!" bentak Bi Li yang masih kecewa.
"Justeru itulah yang membingungkan hatiku, ibu. Dia bersumpah bahwa dia
tidak mengenal ayah kandungku, tidak merasa telah membunuhnya. Dan dia
kulihat bukan seorang yang suka berbohong, orangnya gagah perkasa,
seorang pendekar sejati."
"Cukup! Apakah engkau lebih percaya dia dari pada ibumu sendiri" Dia bohong
kalau mengatakan tidak mengenal, apakah dia juga berkata tidak mengenal
aku?" "Dia bertanya siapa ibu dan aku sudah memberitahukan, dan dia mengaku
mengenal ibu. Bahkan dia menduga apakah ibu mendendam kepadanya
karena ibu pernah dikalahkan olehnya" Setahu dia, ibu belum bersuami ketika
itu. Maka, aku pulang dulu untuk minta penjelasan kepadamu, ibu.
"Siapakah sebenarnya nama ayahku" Ketika aku ditanya siapa ayahku, aku
tidak dapat menjawab! 383 "Setelah aku mengetahui nama ayahku, baru aku akan kembali kepada Heksiauw Siucai dan kutanyakan kepadanya. Siapa ayahku dan bagaimana
sampai dia tewas di tangan Hek-siauw Siucai?"
Ditanya demikian, tiba-tiba Bi Li menutupi muka dengan kedua tangannya dan
menangis. Cin Po menjadi bingung sekali, akan tetapi pada saat itu terdengar suara ributribut di luar. Seorang anggauta Thian-san-pang berlari masuk dengan muka
pucat. "Pang-cu....... ada".. ada Ban Koan datang berkunjung?".!" katanya.
Mendengar ini, Bi Li menghentikan tangisnya dan bersama Cin Po ia
melangkah keluar. Dan di luar ternyata telah berdiri Ban Koan dan See-thian
Tok-ong bersama muridnya Kam Song Kui.
Dan yang lebih mengejutkan lagi, Hui Ing telah menjadi tawanan mereka!
Gadis itu diikat ke dua tangannya dan Ban Koan yang berdiri di dekatnya
menempelkan sebatang pedang di leher gadis itu!
Tentu saja Bi Li dan Cin Po terkejut sekali, akan tetapi melihat Hui Ing dalam
ancaman maut dan di situ terdapat pula datuk sakti See-thian Tok-ong,
mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
"Ban Koan, apa yang kaulakukan itu?" bentak Sung Bi Li.
Ban Koan tertawa. "Ha-ha, sumoi, kaukira aku sudah kalah" Lihat, Hui Ing
sudah berada di ujung pedangku. Kembalikan Thian-san-pang kepadaku dan
aku tidak akan membunuh Hui Ing. Berjanjilah bahwa engkau menyerahkan
384 Thian-san-pang kepadaku dan selamanya tidak akan menuntut, atau kalau
tidak, gadis ini akan kubunuh lebih dulu baru kemudian kalian semua akan
tewas!" Dengan adanya See-thian Tok-ong di situ, Hui Ing tidak dapat mempengaruhi
Ban Koan dengan sihirnya dan ia benar-benar tidak berdaya. Diam-diam Cin
Po memutar otaknya. Dia membiarkan ibunya berbantahan dengan Ban Koan. Bi Li memaki-maki
Ban Koan sebagai seorang pengkhianat tak tahu malu.
Tiba-tiba Cin Po menudingkan telunjuknya ke arah See-thian Tok-ong. "Seethian Tok-ong, semua ini gara-gara engkau, dan aku akan membuat
perhitungan denganmu, Ing-moi, lawanlah!"
Dan tanpa menanti lebih lanjut, Cin Po sudah menggunakan pedang Yangkiam untuk menyerang See-thian Tok-ong. Serangannya sungguh dahsyat
sekali sehingga datuk itu terpaksa mencurahkan seluruh perhatiannya,
mencabut pedang melengkungnya dan menangkis. Segera ke duanya terlibat
dalam pertandingan yang amat seru.
Melihat See-thian Tok-ong sudah sibuk melawan kakaknya, Hui Ing
memandang kepada Ban Koan, "Ban Koan, ular di tanganmu itu menyerang
dirimu sendiri. Lihat!"
Ban Koan berteriak melihat betapa pedangnya berubah menjadi ular yang kini
membalik dan hendak mematuknya. Terpaksa dia melompat ke belakang dan
kesempatan ini dipergunakan oleh Hui Ing untuk meloncat ke dekat ibunya.
Bi Li menggerakkan pedangnya membabat putus ikatan tangan Hui Ing.
385 Akan tetapi, pada saat itu Kang-siauw Taihiap Kam Song Kui juga sudah
menggerakkan suling bajanya menyerang Hui Ing yang baru saja terlepas
ikatan tangannya. Serangan itu hebat sekali datangnya dan Bi Li menangkis
dengan pedangnya untuk melindungi puterinya.
"Traaggg........!" Bi Li terhuyung ke belakang dan merasa betapa tangannya
seperti lumpuh. Kam Song Kui melanjutkan serangannya kepada Hui Ing yang
masih kaku ke dua tangannya karena lama dibelenggu. Hui Ing terpaksa
melempar tubuh ke belakang dan bergulingan untuk menghindarkan diri dari
hujan serangan yang dilakukan Kam Song Kui kepadanya.
Dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba muncul Yang Kim Sun menerjang
Kam Song Kui. Kam Song Kui terkejut dan cepat mengalihkan penyerangannya kepada pemuda Kun-lun-pai ini sehingga mereka bertempur
dengan seru dan hebatnya.
Sementara itu, Hui Ing merasa girang melihat munculnya kawan baru itu dan
ia mengurut-urut kedua pergelangan tangannya untuk melancarkan darahnya. Ia melihat betapa pedangnya Im-kiam yang tadi dipergunakan Ban
Koan untuk menodongnya telah terlempar dari tangan Ban Koan yang
ketakutan melihat pedang itu beruhah menjadi ular dan secepat kilat Hui Ing
lalu melompat ke arah pedang yang menggeletak di atas tanah itu dan
mengambilnya. Hui Ing yang melihat betapa Cin Po bertanding dengan See-thian Tok-ong
yang amat sakti dan berbahaya, lalu membantu kakaknya itu karena ia
melihat bahwa Yang Kim Sun agaknya mampu mengimbangi permainan suling
Kam Song Kui. 386 Ban Koan sudah tidak terpengaruh sihir lagi. Kini dia menghadapi Bi Li. Melihat
anak buah Thian-san-pang masih mengepung tempat itu, dia lalu memberi
perintah, "Kawan-kawan aku datang kembali untuk memimpin kalian. Hayo
tangkapi orang-orang ini!"
Akan tetapi, para anggauta Thian-san-pang tidak ada yang bergerak mentaati
perintahnya, bahkan mereka memandang kepada Ban Koan dengan sinar
mata penuh kebencian. "Ban Koan, tidak perlu engkau membujuk anggauta kami, sia-sia saja. Mereka
tidak mau kau bawa menyeleweng lagi. Riwayatmu sudah tamat, pengkhianat!" Bi Li lalu menyerang dengan pedangnya, menusukkan
pedangnya ke arah dada Ban Koan.
Ban Koan menangkis dan meloncat ke belakang.
"Sumoi, aku tidak ingin membunuhmu!" katanya, akan tetapi sebagai jawaban
Bi Li menyerang lagi dengan penuh kebencian. Mereka lalu bertanding dengan
hebat. Sebetulnya, dalam hal ilmu pedang Thian-san-kiam-sut, tingkat Bi Li lebih
tinggi dari pada Ban Koan. Akan tetapi sejak Ban Koan menjadi anggauta Tokcoa-pang dan mempelajari ilmu dari perkumpulan itu, juga dia memakai baju
kebal senjata, maka kalau dia menghendaki, tentu dia akan dapat membuat
Bi Li roboh. Akan tetapi kenyataannya dia memang tidak ingin membunuh Bi Li, bahkan
melukaipun tidak. Sampai sekarang dia mencinta Bi Li!
387 Sebetulnya pertandingan antara See-thian Tok-ong melawan Cin Po amat seru
dan seimbang. Biarpun Cin Po sudah mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dari
Pat-jiu Pak-sian dan Nam-san Sianjin, bahkan ilmu-ilmu itu menjadi sempurna
setelah dia menerima petunjuk Bu Beng Lojin, akan tetapi yang dia lawan
adalah See-thian Tok-ong seorang datuk barat yang sakti. Apa lagi See-thian
Tok-ong memiliki ilmu hitam yang amat kuat, yang besar sekali pengaruhnya
dalam gerakan silatnya, maka Cin Po harus mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya untuk dapat mengimbangi datuk sesat itu.
Akan tetapi, begitu Hui Ing menyerbu masuk membantunya, terjadi ketidakseimbangan dan mulailah See-thian Tok-ong terdesak. Terutama sekali ketika
dua orang muda itu tidak hanya menggunakan pedang mereka mendesak,
sepasang pedang Im-yang Siang-kiam yang ampuh, akan tetapi juga mereka
menggunakan tangan kiri menyerang dengan Ngo-heng-sin-kun. Dari tangan
kiri mereka itu menyambar hawa pukulan yang amat kuat.


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika dalam keadaan terdesak itu tangan kiri Cin Po sempat mengenai dada
See-thian Tok-ong, kakek itu terjengkang. Dia berjungkir balik beberapa kali
dan setelah menginjak tanah, ternyata ujung bibirnya berdarah, tanda bahwa
dia muntah darah dan sudah menderita luka dalam.
Maklum bahwa keadaan dapat berbahaya baginya, See-thian Tok-ong
membanting sebuah benda yang mengakibatkan tempat itu digulung asap
hitam yang tebal. See-thian Tok-ong juga melihat keadaan muridnya yang
belum mampu mengalahkan lawannya, maka dia menerjang ke depan dan
memegang tangan muridnya lalu diajak lari di balik asap tebal.
Tidak mungkin mengejar See-thian Tok-ong dalam keadaan seperti itu, dapat
berbahaya sekali, maka Cin Po segera melompat mendekati ibunya yang
masih bertanding melawan Ban Koan.
388 "Ibu, biarlah aku yang menghadapi pengkhianat ini!" kata Cin Po.
Dia melangkah maju dan Ban Koan yang menjadi ketakutan itu terbelalak.
Tak disangkanya sama sekali bahwa See-thian Tok-ong dan Kam Song Kui
meninggalkannya begitu saja.
Tadinya dia mengharapkan bantuan anak buah Thian-san-pang, akan tetapi
anak buah itu sama sekali tidak taat lagi kepadanya. Dan setelah See-thian
Tok-ong dan muridnya pergi meninggalkannya seorang diri tentu saja dia
menjadi ketakutan sekali.
Habislah semua harapannya untuk berkuasa kembali di Thian-san-pang dan
kini dia malah dihadapi Cin Po yang ditakutinya! Dengan nekat Ban Koan lalu
menggerakkan pedangnya menyerang Cin Po.
Cin Po menangkis dengan Yang-kiam.
"Trakkk........"
Pedang di tangan Ban Koan patah menjadi dua potong. Ban Koan mundurmundur dan wajahnya pucat sekali.
"Tidak?", jangan?"! Cin Po, jangan bunuh aku".., jangan bunuh ayah
kandungmu sendiri?".!" katanya dalam keadaan amat ketakutan.
Mendengar ini, Cin Po mengerutkan alisnya. "Apa kaubilang" Siapa ayah
kandungku?" "Akulah ayah kandungmu, Cin Po. Engkau puteraku......, maka jangan bunuh
aku, Cin Po?".!" Ban Koan meratap dan dia menjatuhkan diri berlutut.
389 "Bohong......!" Terdengar teriakan nyaring dan yang berteriak ini adalah Bi Li
yang sekali meloncat sudah berada di dekat Ban Koan dan menodongkan
pedangnya. "Pombohong busuk kau........!"
"Tidak, sumoi?" engkau tentu tahu betapa aku amat mencintamu....... ketika
engkau dibawa Hek-siauw Siucai dan ditinggalkan di semak belukar dalam
keadaan pingsan itu, aku....... aku tidak dapat menahan diri".. aku
menggaulimu?" dan Cin Po?" Cin Po ini adalah anakku, anak kandung kita,
sumoi." "Jahanam keparat!" Wajah Bi Li menjadi pucat sekali, kemudian berubah
merah sekali. "Masih belum terlambat, sumoi. Marilah kita bangun rumah tangga baru,
aku?" aku cinta padamu dan kita sudah mempunyai seorang putera?""
"Jahanaaaaaam?"!" Pedang itu berkelebat dan putuslah leher Ban Koan,
kepalanya menggelinding seperti bola, tubuhnya terjengkang dan darah
muncrat-muncrat dari lehernya.
Bi Li membuang pedangnya, menutupi muka dengan kedua tangan dan
menangis tersedu-sedu. Cin Po sendiri terbelalak memandang itu semua. Dia tetap tidak mengerti.
Ibunya mendidiknya sejak kecil untuk membuat dia membalas dendam atas
kematian ayah kandungnya kepada Hek-siauw Siucai, dan kini tiba-tiba Ban
Koan mengaku sebagai ayah kandungnya!
390 Dia melihat ibunya terhuyung dan hampir roboh, maka cepat dia meloncat
dan tepat sekali menerima tubuh ibunya yang terguling pingsan.
Cin Po lalu memondong tubuh ibunya diajak masuk diikuti oleh Hui Ing dan
Yang Kim Sun yang sudah dikenalnya pula.
Dalam perjalanan masuk itu Hui ing sempat bertanya kepada pemuda Kunlun-pai itu.
"Kenapa engkau baru muncul sekarang?"
"Maafkan aku, Ing-moi. Melihat engkau ditawan See-thian Tok-ong, aku tidak
berdaya. Kalau aku muncul dan berusaha menolongmu tentu akan sia-sia
malah aku tentu ditangkap pula. Maka aku membayangi dan mengikuti sampai
di sini, mencari-cari kesempatan untuk menolongmu."
Hui Ing mengangguk puas. Temannya ini ternyata setia, terus mengikuti
sampai ke Thian-san-pang. Memang pemuda itu benar juga. Kalau pemuda
itu nekat hendak menolongnya, tentu dia tertangkap atau bahkan dibunuh
oleh See-thian Tok-ong. Cin Po merebahkan ibunya di atas pembaringan. Setelah siuman, Bi Li
menangis dan mengeluh panjang pandek. Cin Po menghibur ibunya,
mengatakan bahwa kini Ban Koan telah tewas, dan ibunya tidak perlu bersedih
lagi. "Aihh, engkau tidak tahu?"!" kata ibunya menangis. Ketika itu yang berada
di dalam kamar hanya Hui Ing dan Cin Po, sedangkan Yang Kim Sun yang
merasa tidak enak sebagai orang luar, menunggu di ruangan depan.
391 "Apakah sesungguhnya yang terjadi, ibu" Aku masih belum mengerti sama
sekali." "Dia, ayah kandungmu, Cin Po. Ayah kandungmu".. ahhh, aku sendiripun
baru tahu sekarang."
"Akan tetapi ibu selalu mengatakan bahwa ayah kandungku terbunuh oleh
Hek-siauw Siucai.........."
"Dengarlah ceritaku, Cin Po. Aku telah bersalah, aku telah berdosa padamu.
Dengarlah ceritaku, engkau juga, Hui Ing, agar ceritaku menjadi contoh bagi
kalian berdua. "Duapuluh tahun lebih yang lalu, tepat seperti diceritakan Hek-siauw Siucai
kepadamu, Cin Po, Hek-siauw Siucai datang ke Thian-san-pang untuk mencari
kakek gurumu, yaitu mendiang Tiong Gi Cinjin. Mereka berdua pernah bentrok
dan dalam pertandingan itu Hek-siauw Siucai dikalahkan kakek gurumu.
"Agaknya dia merasa penasaran dan dia datang untuk menebus kekalahannya. Akan tetapi kakek gurumu sedang tidak berada di rumah, yang
ada hanya aku yang menjadi murid kepala dan sedang melatih murid-murid
lain. Hek-siauw Siucai mencela ilmu silatku dan kami bertanding.
"Dia berhasil menotokku dan melihat para murid Thian-san-pang hendak
mengeroyoknya, dia lalu menawanku, dan membawaku turun dari puncak
untuk mencegah para murid Thian-san-pang mengejarnya. Di lereng, dia lalu
meninggalkan aku di padang rumput dalam keadaan pingsan.
392 "Ketika aku siuman kembali dari pingsan, aku mendapatkan diriku telah
ternoda. Tentu saja aku menganggap bahwa yang menodai aku adalah Heksiauw Siucai dan aku bersumpah untuk membalas dendam kepadanya.
"Peristiwa itu membuat aku mengandung Cin Po dan lahirlah engkau! Aku lalu
mendidikmu dengan cita-cita bahwa kalau engkau sudah besar, engkau akan
membalaskan sakit hatiku kepada Hek-siauw Siucai dan membunuhnya!"
"Akan tetapi, menurut pendapat ibu, bukankah dia itu ayah kandungku?"
"Itulah, anakku. Maafkan ibumu. Saking sakit hatiku karena peristiwa itu, aku
membencinya, aku membencimu pula dan aku menghendaki agar ayah anak
saling berbunuhan! Itulah pembalasan dendamku!
"Akan tetapi kemudian muncul Ban Koan dengan pengakuannya! Tuhan Maha
adil, aku sendiri yang membunuhnya. Bukan engkau. Engkau anak Ban Koan,
biarpun aku sendiri baru mengetahuinya sekarang."
Wajah Cin Po menjadi pucat sekali. Ingin rasanya dia menangis menggerunggerung kalau teringat bahwa dia putera Ban Koan, manusia yang licik dan
curang itu, yang berkhianat dan berwatak buruk sekali, bahkan Ban Koan yang
sudah tahu bahwa dia adalah anak kandungnya pernah berusaha untuk
membunuhnya dengan menendangnya ke dalam jurang! Ayah macam apa
itu" "Aih?" ibu?", aku akan lebih berbahagia kalau aku menjadi anak Hek-siauw
Siucai......!" katanya dengan suara sedih sekali.
"Aku mengerti, anakku. Sekarang, setelah aku dapat membalas dendamku
kepada orang yang bersalah, engkau tidak perlu berkabung lagi."
393 "Tidak, ibu! Aku akan tetap berkabung, berkabung untuk diriku sendiri yang
mempunyai ayah kandung begitu jahatnya! Ini semua gara-gara Tok-coapang dan See-thian Tok-ong. Ibu, aku akan mencari See-thian Tok-ong, aku
akan membunuhnya sekedar untuk menebus dosa-dosa ayah kandungku
yang jahat!" Setelah berkata demikian, Cin Po meloncat dengan cepat dan berkelebat
lenyap dari situ. "Cin Po?"!" Ibunya berteriak memanggil sambil menangis.
Hui Ing merangkul ibunya. "Sudahlah, ibu. Koko sedang berduka sekali,
percuma saja mencoba untuk menghalangi dia pergi. Ibu harus istirahat dulu."
"Aku"... aku bersalah kepadanya, aku berdosa?"."
"Sudahlah, ibu," Hui Ing merangkul dan ibunya lalu menangis dalam
pelukannya. Dendam, dalam bentuk bagaimanapun, hanya meracuni hati sendiri. Dendam
menimbulkan kebencian yang amat mendalam dan di dalam kebencian
terkandung kekerasan dan kekejaman.
Bi Li yang mendendam itu bahkan mendendam kepada anaknya sendiri,
karena anak itu dilahirkan bukan atas kehendaknya, bahkan berlawanan
dengan kehendaknya. Akan tetapi setelah anaknya besar, mulai terasa kasih
sayangnya kepada anaknya sehingga dia merasa berdosa telah bermaksud
mengadu anaknya dengan ayah kandung anak itu sendiri.
394 Bi Li jatuh sakit. Hui Ing yang merawatnya dan selama itu, Yang Kim Sun
dengan setia menunggu di Thian-san-pang. Dia berada di situ sebagai tamu.
Ketika Bi Li berangsur sehat kembali, Yang Kim Sun sudah tinggal di Thiansan-pang selama satu bulan. Pada suatu hari Bi Li seolah baru tahu bahwa di
Thian-san-pang ada tamu, yaitu pemuda yang tempo hari membantu mereka
menghadapi See-thian Tok-ong dan puteranya.
"Hui Ing, siapakah pemuda itu" Dan kenapa sampai sekarang dia masih
berada di sini?" tanya Bi Li.
Mendengar pertanyaan ini, wajah Hui Ing menjadi merah sekali. Selama
sebulan ini, hubungannya dengan Kim Sun menjadi semakin akrab, bahkan
Kim Sun telah menyatakan perasaan hatinya yang penuh cinta kepadanya!
Dan dara inipun membalas cintanya karena Hui Ing yang kehilangan Cin Po
sebagai pria yang dicintanya, kini mendapatkan pengganti dalam diri Kim Sun.
Ia sudah melepaskan harapannya dari Cin Po yang ia tahu mencinta Ciok Hwa
yang berwajah buruk. "Dia adalah sahabatku, ibu. Namanya Yang Kim Sun, murid Kun-lun-pai,"
jawab Hui Ing sambil menundukkan mukanya.
"Bukankah dia yang datang membantu kita menghadapi See-thian Tok-ong
dengan puteranya?" "Benar, ibu. Dia yang telah menandingi Kang-siauw Tai-hiap Kam Song Kui,
murid See-thian Tok-ong itu."
"Hemm, sudah sebulan lewat, mengapa dia masih berada di sini?"
395 "Anu, ibu?". dia melihat ibu sakit dan kakak Cin Po pergi, dia".. dia sengaja
tinggal di sini untuk menemani dan menghiburku."
"Hemmm, Hui Ing, engkau saling cinta dengan pemuda ini?"
Ditodong pertanyaan seperti itu, wajah dara itu menjadi semakin kemerahan
dan ia hanya tersenyum malu-malu dan menundukkan mukanya, tangannya
dengan jari-jari gemetar sibuk bermain-main dengan ujung bajunya.
Melihat ini, Bi Li menahan senyumnya. "Siapakah ayah bunda pemuda itu, Hui
Ing?" Hui Ing mengangkat mukanya memandang wajah ibunya. "Ibu, dia".. dia
sudah yatim piatu. Gurunya, ketua Kun-lun-pai menjadi pengganti orang
tuanya." "Hemm?"" Bi Li memandang gadis itu dengan kasihan. Pemuda itu ternyata
sama dengan Hui Ing, tidak mempunyai ayah bunda lagi.
"Kalau begitu, aku akan merasa terhormat sekali kalau pimpinan Kun-lun-pai
suka datang ke sini dan membicarakan urusan perjodohanmu denganku."
"Ah, ibu?".!" Hui Ing merangkul ibunya dengan malu-malu.
Bi Li tersenyum, akan tetapi sekali ini kedua matanya basah. Ia terharu sekali
dan baru ia teringat bahwa Hui ing telah menjadi seorang gadis dewasa, bukan
kanak-kanak lagi. 396 "Sudahlah, beritahu kepadanya agar dia memberitahukan guru-gurunya.
Tidak baik kalau terlalu lama dia tinggal di sini, tentu hanya akan
menimbulkan omongan yang tidak baik."
"Baik, ibu." Gadis itu lalu keluar dan mencari Yang Kim Sun. Ia menemukan Kim Sun
sedang duduk di dalam taman bunga. Ditemuinya pemuda itu.
"Sun-ko?".!"
"Ah. Ing-moi, engkau mencari aku?"
"Benar, Sun-ko. Eh".. tadi ibu sudah bicara dengan aku tentang dirimu."
"Tentang diriku?"
"Ya, dan ibu".... ibu agaknya setuju dengan hubungan kita."
"Bagus! Aku girang sekali mendengarnya, Ing-moi!"
"Akan tetapi ibuku minta agar pimpinan Kun-lun-pai segera datang ke sini
menemui ibu untuk membicarakan tentang?". kita."
"Tentang kita?"
"Maksudku tentang perjodohan kita."
"Kalau begitu, aku akan segera pulang ke Kun-lun-pai dan menyampaikannya
kepada suhu. Ing-moi."
397 "Memang begitulah yang paling baik, Sun-ko."
Sejenak mereka saling pandang dengan sinar mata penuh pernyataan hati
masing-masing, Hari itu juga Kim Sun berpamit untuk pulang ke Kun-lun-san
dan kepergiannya diantar Hui Ing sampai di luar perkampungan Thian-sanpang.
"Y" Lahirnya kerajaan Sung merupakan peristiwa yang luar biasa. Seperti
diketahui, kerajaan Sung berdiri dan sebagai kaisar pertamanya adalah
jenderal Cao Kuang Yin (960-976). Akan tetapi sesungguhnya, bukanlah
kehendak dia untuk menjadi kaisar yang berjuluk Sung Thai Cu, kaisar
pertama dari kerajaan Sung.
Pada waktu itu, yang memegang pemerintahan adalah kerajaan Chou. Kaisar
Chou terakhir sakit keras dalam tahun 959 dan sebagai penggantinya
diangkatlah puteranya, seorang pangeran yang masih kanak-kanak. Jenderal
Cao Kuang Yin sendiri pada waktn itu (tahun 959) dikirim oleh pemerintah ke
utara untuk memerangi bangsa Khi-tan di utara.
Di luar pengetahuan Jenderal Cao Kuang Yin, para panglima dan perwira
bawahannya merasa tidak senang dengan pengangkatan seorang kaisar baru
yang masih kanak-kanak yang diwakili oleh walinya, yaitu ibunya sendiri.
permaisuri yang kini menjadi Ibu Suri setelah pangeran kecil itu menjadi
kaisar. Apa artinya seorang kaisar kecil dan diwakili oleh seorang wanita" Tentu tidak
akan mampu mengurus pemerintahan dan kelak tidak akan dapat menghargai
jasa-jasa para panglima dan perwira yang maju perang.
398 Demikianlah, ketika malam hari Jenderal Cao Kuang Yin mengaso dalam
tendanya, para panglima itu dengan pedang di tangan, memasuki tendanya,
memaksanya untuk mengenakan pakaian kuning, yaitu pakaian kaisar, dan
mengangkatnya menjadi kaisar secara paksa"
Tentu saja Jenderal Cao Kuang Yin terkejut bukan main. Akan tetapi para
panglima itu memaksanya dengan pedang di tangan. Dia lalu berkata,
"Baiklah, aku akan mengabulkan permintaan kalian dengan syarat bahwa
kalian semua harus tunduk dan menaati semua perintahku. Kalau kalian tidak
mau berjanji demikian, biar dipaksapun aku

Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak akan menerima pengangkatan kaisar ini. Para panglimanya setuju. Barulah Jenderal Cao Kuang Yin memberi perintah,
"Kita memasuki kota raja, akan tetapi aku melarang kalian mendatangkan
kekacauan. Semua warga istana tidak boleh dibunuh, juga para pembesar dan
pejabat istana tidak boleh diganggu, kecuali tentu saja kalau mereka
melawan. Kalau mereka semua sudah menyerah, tidak boleh mengganggu
keadaan kota raja, agar tetap tenang dan aman. Aku tidak menghendaki
kekerasan dan keributan dalam pergantian kekuasaan ini. Kalian semua
setuju?" Semua panglima setuju. Demikianlah, Cao Kuang Yin membawa pasukannya
ke kota raja dan terjadilah perebutan kekuasaan tanpa pertumpahan darah.
Ibu Suri menyerah dan tidak melakukan perlawanan.
Setelah disahkan menjadi Kaisar Sung Thai Cu, kaisar pertama dari kerajaan
baru Sung, Sung Thai Cu membuat gerakan-gerakan yang cerdik sekali. Dia
tidak membasmi keluarga raja yang lama, bahkan memberi kedudukan yang
tidak penting kepada mereka sehingga tidak ada yang mendendam
399 kepadanya. Dia menukar-nukar jabatan di antara para pejabat lama,
memberikan kedudukan yang penting kepada orang-orang kepercayaannya.
Setelah semua diaturnya, dia masih kurang puas. Bagaimanapun juga, dia
menjadi kaisar atas desakan bahkan paksaan para panglima bawahannya,
maka hatinya masih tidak enak kalau memikirkan mereka. Kelompok
panglima ini tentu dapat saja pada suatu hari mengangkat seorang kaisar lain
untuk menggantikannya! Pada suatu hari, baru beberapa bulan setelah dia menjadi kaisar, dia
mengundang semua panglima yang terlibat dalam pemaksaan dia menjadi
kaisar dahulu, dan menjamu mereka makan minum sampai mereka itu mabok
dan berada dalam suasana gembira.
Kaisar lalu berkata kepada mereka, "Kami tidak dapat tidur nyenyak di malam
hari." "Apakah yang menjadi sebabnya, Yang Mulia?" tanya para panglima itu.
"Kalianlah penyebabnya," jawab Kaisar. "Mudah saja dimengerti. Siapakah di
antara kalian yang tidak merasa iri akan kedudukanku sebagai kaisar?"
Para panglima itu memberi hormat dengan membungkuk dalam dan mereka
membantah. "Mengapa Yang Mulia berkata demikian" Paduka telah menjadi
Kaisar yang sah, siapa yang masih mempunyai niat-niat buruk terhadap
paduka?" Kaisar tersenyum dan berkata lagi, "Kami sama sekali tidak pernah ragu akan
kesetiaan kalian. Akan tetapi apabila pada suatu hari seorang di antara kalian
tiba-tiba dibangunkan di waktu pagi dan dipaksa untuk mengenakan pakaian
400 kuning, biarpun kalian tidak menghendakinya, bagaimanakah dia akan dapat
menolak mengadakan pemberontakan seperti yang telah kalian lakukan
kepadaku?" Para panglima itu mengatakan bahwa tidak seorangpun di antara mereka yang
cukup dikagumi dan disayang untuk mendapatkan kesempatan seperti itu dan
mereka memohon kepada Kaisar untuk mengambil langkah-langkah yang
bijaksana untuk mencegah terjadinya kemungkinan yang dikhawatirkan itu.
Setelah Kaisar dapat memberi isyarat akan apa yang dikhawatirkan itu, diapun
berkata dengan nada suara bersungguh-sungguh.
"Kehidupan manusia tidaklah lama. Kebahagiaan adalah kalau orang memiliki
harta benda dan sarana untuk menikmati hidup ini dan dapat mewariskan
keadaan yang membahagiakan itu kepada anak cucunya.
"Kalau kalian, panglima-panglimaku, mau meninggalkan kedudukan kalian
sebagai panglima, hidup di kampung halaman, memilih tanah yang subur dan
baik, dan selanjutnya hidup berkecukupan penuh damai dan kebahagiaan di
antara keluarga kalian sampai kalian mengakhiri hidup dalam usia tua,
bukankah itu jauh lebih baik dari pada hidup penuh bahaya dan serba tidak
menentu" Sehingga tidak akan tersisa kecurigaan dan keraguan antara raja
dan para pejabatnya, dan kita dapat saling melibatkan keluarga dalam ikatanikatan pernikahan sehingga di antara kita akan terdapat ikatan keluarga dan
persahabatan yang kekal."
Para panglima itu mengerti akan maksud kaisar dan mereka segera memenuhi
kehendak kaisar karena merekapun ingin menikmati hidup serba berkecukupan di dalam keluarga mereka, tinggal di kampung halaman dengan
senang dan tenang. 401 Demikianlah, Kaisar Sung Thai Cu dapat melenyapkan keraguan dan
kekhawatiran dari dalam hatinya. Dia mengangkat panglima-panglima baru
dan merasa terhindar dari ancaman para panglima yang dulu memaksanya
menjadi kaisar. Seperti telah diceritakan di bagian depan, banyak raja-raja muda yang tunduk
dan mengakui kekuasaan kerajaan Sung yang berhasil menyatukan daerahdaerah yang tadinya berdiri sendiri-sendiri itu. Yang masih menunjukkan sikap
menentang, dengan mudah ditundukkan. Akan tetapi ada empat kerajaan
yang tetap tidak dapat ditundukkan, bahkan empat kerajaan ini seringkali
merupakan ancaman bagi kerajaan Sung.
Mereka itu adalah kerajaan Khi-tan di utara, di Ce-kiang sebelah tenggara
sepanjang pantai ada kerajaan Wu-yeh, di Shan-si ada kerajaan Han atau
Hou-han dan di selatan sebelah barat terdapat kerajaan Nan-cao. Empat
kerajaan inilah yang belum dapat ditundukkan.
Sung Thai Cu tidak mengangkat seorang di antara puteranya yang masih
kecil-kecil menjadi putera mahkota, melainkan mengangkat adiknya sendiri.
Hal ini adalah atas permintaan Ibu Suri, seorang wanita yang amat cerdik.
Ketika wanita ini menderita sakit keras, sebelum meninggal dunia ia
memanggil Kaisar Sung Thai Cu, lalu bertanya, "Tahukah engkau mengapa
engkau bisa mendapatkan kedudukan sebagai kaisar ini?"
Sebagai seorang anak yang berbakti, kaisar menjawab, "Semua ini berkat
kebijaksanaan ibu dan nenek-moyang?"."
"Sama sekali tidak! Bukan aku, bukan pula nenek moyangmu yang
menyebabkannya. Satu-satunya alasan mengapa engkau hari ini dapat duduk
402 di singgasana adalah karena kaisar kerajaan Chou telah begitu bodoh untuk
mengangkat seorang anak kecil menjadi penggantinya. Kalau sekarang
engkau mewariskan kerajaan kepada seorang anak kecil, nasib yang sama
mungkin akan menimpa kerajaan kita seperti yang dialami kerajaan Chou."
Demikianlah, setelah diingatkan oleh ibunya yang bijaksana, Kaisar Sung Thai
Cu mengangkat adiknya menjadi pangeran mahkota dan dalam tahun 976,
dia wafat digantikan oleh adiknya sendiri yang berjuluk Sung That Cung.
Kaisar Sung That Cung (976-1004) melanjutkan usaha yang telah dirintis oleh
kakaknya dan pada saat ini, dia baru setahun menggantikan kakaknya.
"Y" Cin Po meninggalkan Thian-san-pang dengan berlari cepat. Hatinya merasa
berduka sekali setelah dia mengetahui bahwa dia adalah putera Ban Koan.
Ban Koan ayah kandungnya akan tetapi ayah kandung macam apa. Dia
dilahirkan ibunya sebagai hasil pemerkosaan Ban Koan atas diri ibu
kandungnya. Dia adalah seorang anak haram.
Lebih dari itu, dia dilahirkan dari seorang ibu yang tidak menghendaki
kelahirannya. Akibat perkosaan! Dari anak yang lahir dari perbuatan jahat
sejahat-jahatnya. Dan ayahnya adalah seorang penjahat besar, seorang
pengkhianat dan telah banyak melakukan kejahatan!
Cin Po menangis sambil berlari cepat. Dia merasa rendah diri. Dia tidak
menyalahkan ibunya kalau hendak mengadu dia dengan ayah kandungnya
sendiri. 403 Memang ayahnya, yang kemudian ternyata adalah Ban Koan, sepantasnya
dibunuh. Manusia itu amat jahat dan dia adalah anaknya, darah dagingnya!
Pukulan batin ini terlalu hebat baginya. Sampai tidak kuat dia menanggungnya
dan dalam keadaan yang sengsara itu teringatlah dia akan kekasihnya.
"Ciok Hwa........ Hwa-moi?".!" Dia merintih dalam hatinya.
Hanya Ciok Hwa yang akan dapat menghiburnya dan mendapat kenyataan
siapa dirinya, dia merasa lebih lega. Sudah sepatutnya dia berjodoh dengan
Ciok Hwa. Bukan saja Ciok Hwa berwajah buruk sekali, akan tetapi juga Ciok Hwa adalah
puteri seorang datuk sesat, Tung-hai Mo-ong yang juga jahat. Ayah mereka
sama-sama jahat jadi mereka sudah cocok kalau menjadi suami isteri.
"Ciok Hwa?".!" Dia mengeluh dan kakinya membawanya lari menuju ke
tempat tinggal Ciok Hwa. Dia harus pergi ke Pulau Hiu, mengunjungi Ciok Hwa
karena dalam keadaan seperti itu dia merasa rindu sekali kepada gadis yang
baginya memiliki watak yang paling bijaksana dan paling baik itu.
Dia membeli perahu kecil di pantai dan mendayung perahu itu menuju ke
Pulau Hiu. Baru setengah pelayaran menuju ke Pulau itu, mendadak
bermunculan perahu-perahu hitam dan dia telah dikepung. Cin Po mengenal
mereka dan berdiri di perahunya, melambaikan tangan.
"Haiiiii, antarkan aku ke Pulau Hiu. Aku ingin bertemu Huang-hai Sian-li?".?"
teriaknya. 404 Mereka itu memang benar anak buah pulau Hiu. Mereka juga mengenal Cin
Po dan seorang di antara mereka, yaitu Tok-gan Kim-go, moloncat ke atas
perahu Cin Po dan memberi hormat.
"Kiranya Sung-taihiap yang datang. Akan tetapi, kalau tai-hiap datang hendak
mengunjungi Huang-hai Sian-li, kedatangan tai-hiap terlambat."
Cin Po terkejut! "Terlambat" Apa maksudmu?"
"Huang-hai Sian-li telah sebulan yang lalu meninggalkan kami, tai-hiap. Ia
menyerahkan pimpinan bajak laut kepada saya, dan ia tidak akan kembali ke
sini lagi. Akan tetapi selama ini, kami menjalankan tugas sesuai dengan pesan
Sian-li dan tidak pernah kami melanggarnya."
Cin Po merasa kecewa bukan main. "Kim-go, tahukah engkau ke mana ia
pergi?" "Sian-li tidak memberitahu, hanya mengatakan hendak pulang ke kampung
halamannya!" "Ah, kalau begitu tentu pulang ke tempat tinggal ayahnya. Baik aku akan
menyusulnya ke sana!" katanya dan merekapun berpisah. Cin Po mendayung
kembali perahunya ke pantai.
Dia tahu ke mana harus pergi karena pernah dia berkunjung ke rumah Tunghai Mo-ong di daerah Wu-yeh, di sepanjang pantai laut Timur di Propinsi Cekiang.
405 Pada suatu pagi tibalah Cin Po di perbatasan antara kerajaan Wu-yeh dan
kerajaan Sung. Ketika dia sedang berjalan di padang rnmput, dari jauh dia
melihat sebuah pertempuran.
Sekelompok pasukan kerajaan Sung bertempur melawan sekelompok
pasukan kerajaan Wu-yeh. Mengingat bahwa tempat pertempuran itu masih
termasuk wilayah Sung, lebih dari sepuluh lie dari tapal batas, maka jelas
bahwa pasukan Wu-yeh itu yang melanggar perbatasan.
Sebetulnya Cin Po tidak tertarik oleh perang, biarpun dia termasuk orang yang
tinggal di daerah kerajaan Sung, namun belum pernah terpikirkan olehnya
untuk membantu kerajaan Sung menghadapi kerajaan lain. Baginya, kerajaan
manapun juga bangsanya adalah satu, kecuali bangsa Khi-tan yang
merupakan bangsa Mancu. Akan tetapi sekali ini perhatiannya tertarik oleh adanya sebuah kereta yang
indah. Kereta itu dilindungi oleh belasan orang pengawal yang berilmu tinggi.
Dengan pedang mereka, belasan orang pengawal itu melindungi mereka dari
serangan para perajurit Wu-yeh dan kepandaian para pengawal ini memang
cukup tinggi sehingga usaha para perajurit Wu-yeh tidak ada yang berhasil.
Perlahan-lahan pasukan Wu-yeh terpukul mundur.
Tiba-tiba muncul seorang kakek tinggi kurus yang mukanya meruncing seperti
muka tikus dengan kumis dan jenggot jarang. Seorang kakek berwajah buruk
dan nampak berpenyakitan dengan rambutnya yang tipis botak.
Akan tetapi begitu dia memasuki pertempuran membantu pasukan Wu-yeh,
tentara Sung menjadi kocar-kacir! Bahkan para pengawal yang menjaga
kereta itu kini kewalahan menghadapi kakek itu.
406 Cin Po segera mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Tung-hai Mo-ong
Kui Bhok, ayah Kui Ciok Hwa! Sejenak Cin Po menjadi bimbang ragu. Kakek
itu adalah calon mertuanya yang dia harapkan akan menerima pinangannya.
Akan tetapi sekarang kakek itu menyerang pasukan Sung.
Bagaimana dia dapat mendiamkannya saja" Entah siapa yang berada di dalam
kereta itu, akan tetapi jelas agaknya keselamatan orang dalam kereta itu
terancam dan melihat keretanya yang indah, jelas bahwa dia tentu seorang
yang berkedudukan tinggi di istana kerajaan Sung! Bagaimanapun juga, dia
harus menolong dan menyelamatkannya, akan tetapi kalau dia melakukan hal
itu, berarti dia harus bentrok melawan ayah Ciok Hwa.
Cin Po tidak lama bersangsi. Pemuda ini telah menerima gemblengan Bu Beng
Lojin, sudah segera dapat memutuskan mana yang harus dia lakukan dan
mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang tidak baik. Kalau dia
mendiamkan saja pembesar kerajaan Sung itu terancam bahaya, maka
perbuatannya itu sungguh tidak benar.
Biarpun dia tidak memegang jabatan dan terang-terangan membantu
kerajaan Sung, akan tetapi dia adalah warga Sung dan sudah menjadi
kewajibannya untuk membantu Sung menghadapi kerajaan lain. Apa lagi
kalau di pihak sana terdapat seorang sakti seperti Tung-hai Mo-ong. Kalau
dibiarkannya saja, tentu pasukan Sung itu, berikut orang dalam kereta, akan
dibasmi habis oleh Tung-hai Mo-ong.
Biarpun para pengawal itu memegang pedang dan kakek itu bertangan
kosong, namun dalam beberapa gebrakan saja para pengawal itu roboh satu
demi satu. Setiap sambaran tangannya merupakan jurus maut dan tidak
dapat dielakkan atau ditangkis oleh para pengawal itu. Mereka menjadi kocar-
407 kacir dan keadaan pasukan Sung kini terdesak hebat karena pasukan Wu-yeh
mendapat angin setelah Tung-hai Mo-ong datang membantu mereka.
Sekali meloncat Cin Po sudah berada di depan kakek itu dan pada saat itu
Tung-hai Mo-ong sedang melancarkan pukulan jarak jauh kepada para
pengawal yang terdesak hebat. Cin Po mengangkat tangannya menangkis.
"Dukkk.......!!" Dua tangan bertemu dan kakek itu terdorong ke belakang dua
langkah. Dia terkejut sekali dan memandang dengan penuh perhatian. Dia
melihat seorang pemuda berpakaian putih berdiri di depannya.
Segera dia mengenal Cin Po dan matanya terbelalak marah. Pemuda ini yang
menolak menjadi mantunya, bahkan yang kemudian berhasil melarikan diri
atas bantuan puterinya. Dia memarahi puterinya yang kemudian bahkan menghilang dan baru saja
kembali kepadanya. Kini pemuda ini muncul lagi menentangnya dan membela
orang-orang Sung! "Sung Cin Po, kau?" kau berani melawanku?" bentaknya marah.
"Maaf, locianpwe. Bukan maksudku untuk melawanmu, akan tetapi aku harus
melindungi pasukan kerajaan Sung karena aku warga negaranya. Harap
locianpwee suka memandang mukaku dan tidak melanjutkan pertempuran.
Bukankah tempat ini termasuk wilayah Sung dan pasukan Wu-yeh itu yang
melanggar perbatasan?"
Dalam hatinya pemuda itu berteriak pada si kakek bahwa dia tidak ingin
bermusuhan dengan ayah gadis yang dicintanya!
408 "Sung Cin Po, baru mengingat urusan lama saja aku harus membunuhmu,
apalagi sekarang setelah engkau berani menentangku."
"Locianpwe, urusan lama sudah tidak ada lagi antara kita. Ketahuilah bahwa
adik Ciok Hwa dan aku sudah bersepakat untuk berjodoh."
"Ha-ha-ha, enak saja. Sekarang kalau hendak berjodoh dengan anakku,
siapapun juga harus lebih dulu dapat mengalahkan aku!"
Mendengar ini, Cin Po mendapat pikiran yang baik. "Kalau begitu, marilah kita
bertanding berdua saja, locianpwe, dan kita tarik mundur semua pasukan
yang bertempur. Biarlah pertandingan antara kita saja yang menentukan
kalah menang!" "Baik!" teriak Tung-hai Mo-ong yang memandang rendah pemuda itu. Dia


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah merobohkan Cin Po tanpa banyak kesukaran, maka tantangan itu
diterimanya dengan hati besar.
Dia lalu meneriaki pasukan Wu-yeh agar mundur dan menghentikan
pertempuran. Kedua pihak kini tidak lagi bertempur, melainkan menjadi
penonton ketika dua jagoan tua dan muda itu saling berhadapan.
Bahkan dari tirai kereta itu mengintai dua pasang mata dengan penuh
ketegangan dan kekhawatiran. Sepasang mata seorang laki-laki setengah tua
dan sepasang mata seorang gadis cantik jelita bermata bintang. Mereka
adalah ayah dan anak, seorang pejabat tinggi yang datang bersama puterinya
di tempat itu sehabis pulang mengunjungi kampung halaman dengan
pengawalan ketat. 409 Tung-hai Mo-ong adalah datuk yang jarang sekali mempergunakan senjata
tajam biarpun menyembunyikan di dalam ilmu jarum-jarum pukulannya beracun yang yang ampuh menyambar kadang bersama pukulannya. Kini menghadapi Cin Po yang dipandangnya rendah, diapun tidak menggunakan senjata, dan kedua tangannya sudah diangkat ke atas kepala
dan membentuk cakar. Itulah pembukaan dari ilmu silat Toat-beng-sin-ciang
(Tangan Sakti Pencabut Nyawa).
Melihat orang yang diharapkannya menjadi ayah mertuanya itu menghadapinya tanpa senjata, Cin Po juga segan menggunakan Yang-kiam
yang tergantung di punggungnya. Diapun bertangan kosong dan memasang
kuda-kuda yang kokoh kuat.
"Locianpwe, aku sudah siap, mulailah!"
"Ha-ha-ho-ho, orang muda. Kalau aku yang mulai menyerangmu, aku akan
ditertawakan orang sedunia. Engkau yang muda mulailah!" tantang Tung-hai
Mo-ong, bersikap gagah-gagahan karena disaksikan demikian banyaknya
orang. "Locianpwe, lihat seranganku!" Cin Po mulai menyerang, dengan tamparan
perlahan saja, akan tetapi tamparan itu mendatangkan angin pukulan yang
hebat sehingga membuat rambut tipis di kepala kakek itu berkibar.
Tung-hai Mo-ong terkejut. Tak disangkanya pemuda itu demikian hebat
tenaga dalamnya, maka diapun cepat menggerakkan tangannya menangkis
dan sekalian menangkap pergelangan tangan lawan.
410 Cin Po tidak mau tangannya ditangkap, maka dia menarik kembali tangannya
dan tangan kirinya kini menyambar dengan totokan ke arah dada.
Tung-hai Mo-ong mengelak dengan memutar tubuhnya lalu memukul dari atas
ke arah kepala Cin Po dengan jurus "Siok-lui-kek-teng" (Petir Menyambar di
Atas Kepala), sebuah serangan yang dahsyat sekali apa lagi yang melakukan
itu Tung-hai Mo-ong yang memiliki tenaga sakti amat kuat sehingga baru
hawa pukulannya sudah cukup ampuh untuk melukai dalam kepala lawan.
Namun Cin Po menghindarkan diri dengan loncatan Lo-wan-teng-ki (Monyet
Tua Melompati Cabang) sehingga kepalanya terhindar dari sambaran tangan
lawan. Cin Po maklum akan hebatnya ilmu silat lawan, maka diapun tidak
membuang waktu lagi, segera memainkan Ngo-heng-sin-kun yang dipelajarinya dari kakek Bu-beng Lojin.
Dan menghadapi ilmu silat sakti ini, Tung-hai Mo-ong gelagapan. Belum
pernah selama hidupnya dia menghadapi ilmu silat seperti ini yang
mengandung bermacam tenaga. Kadang keras, kadang lunak, kadang panas,
dan kadang dingin. Dan hebatnya, semua serangannya kandas dalam ilmu
silat pemuda itu! Tentu saja Tung-hai Mo-ong menjadi penasaran sekali. Tidak mungkin dalam
waktu kurang lebih dua tahun saja pemuda ini telah menguasai ilmu yang
mampu menandinginya! Dia lalu memainkan Toat-beng-sin-ciang yang paling ampuh sambil mengerahkan tenaganya dan bersilat dengan hati-hati sekali. Namun, pemuda
itu dapat menghindarkan diri dengan baik melalui elakan atau tangkisan yang
demikian kuatnya sehingga tiap kali lengan mereka bertemu, Datuk Timur itu
terhuyung ke belakang. 411 Semua anak buah pasukan, baik dari tentara Sung maupun Wu-yeh,
menonton pertandingan itu dengan hati tegang. Pasukan Wu-yeh sudah
mengenal Tung-hai Mo-ong dan mereka sudah merasa yakin bahwa datuk
mereka itu pasti akan keluar sebagai pemenang.
Tidak demikian dengan pasukan Sung. Mereka sama sekali tidak mengenal
siapa pemuda baju putih itu, maka biarpun pemuda itu mewakili mereka,
mereka masih ragu dan kini menonton dengan hati diliputi penuh ketegangan
dan kekhawatiran. Mereka maklum bahwa kalau pemuda itu kalah, tentu
mereka akan diserang oleh pasukan Wu-yeh dan dengan adanya kakek itu
pihak mereka tentu akan hancur.
Pembesar yang berada di dalam kereta juga menonton dengan hati tegang,
demikian pula puterinya. Pembesar itu bernama Lu Tong Pi, berpangkat
Menteri Kebudayaan dan puterinya bernama Lu Bwe Kim, seorang gadis
berusia delapanbelas tahun yang cantik jelita.
Mereka berdua baru saja berkunjung ke kampung halaman Lu Tong Pi, hanya
berdua saja, karena ibu gadis itu sudah meninggal dunia ketika dara ini
berusia sepuluh tahun. Sebagai seorang Menteri, Lu Tong Pi dikawal ketat oleh
pasukan keamanan. Baik Lu Tong Pi maupun puterinya tidak pernah mempelajari ilmu silat,
Menteri itu ahli sastera dan pandai menulis dan melukis, sedangkan puterinya
soorang ahli tari, juga menulis sajak dan mempunyai pengertian mendalam
tentang sastera. Maka, menghadapi pertandingan itu, mereka hanya
menonton, tanpa mengerti siapa yang lebih unggul di antara kedua orang itu.
Akan tetapi mereka, biarpun juga tidak mengenal pemuda itu, maklum bahwa
pemuda itu berpihak kepadanya dan agaknya keselamatan mereka 412 tergantung dari pertandingan itu. Maka, tentu saja mereka berdua mengharapkan kemenangan bagi si pemuda baju putih.
"Ayah, kenapa kita tidak mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri
saja?" bisik gadis itu yang juga tegang dan ketakutan seperti ayahnya.
"Ah, tidak mungkin, anakku. Itu berbahaya sekali."
"Akan tetapi, ayah. Kalau pemuda baju putih itu kalah......"
"Paling banyak kita akan menjadi tawanan. Percayalah, orang-orang kerajaan
Wu-yeh adalah bangsa Han juga, mereka tidak ganas dan liar seperti orang
Khi-tan. Akan tetapi belum tentu pemuda itu kalah."
Pertandingan antara Cin Po melawan Tung-hai Mo-ong sudah berlangsung
semakin seru. Seratus jurus telah terlewat dan masih belum ada yang
kelihatan terdesak. Hal ini benar-benar membuat Tung-hai Mo-ong merasa penasaran sekali.
Sungguh tidak pernah disangkanya bahwa Cin Po sekarang telah menjadi
seorang pemuda yang demikian tangguhnya. Bahkan dia sendiri beberapa kali
sempat sibuk terdesak menghadapi ilmu silat pemuda itu yang aneh dan
memiliki daya serang amat dahsyat.
Dan diam-diam diapun merasa girang. Bukankah tadi pemuda ini menyatakan
sudah bersepakat dengan Ciok Hwa untuk berjodoh" Alangkah bangga dan
senangnya kalau dia mempunyai mantu sehebat ini!
413 Akan tetapi mereka bertanding di depan puluhan pasang mata. Tentu akan
merendahkan martabatnya kalau sampai dia kalah. Apa lagi dalam pandangan
para perajurit Wu-yeh. Dia adalah datuk di daerah Wu-yeh yang amat terkenal, sebagai datuk nomor
satu. Bagaimana kalau mereka melihat dia kalah melawan seorang pemuda"
Cin Po adalah seorang pemuda yang berperasaan halus. Setelah bertanding
seratus jurus lebih dia tahu bahwa kalau dia menghendaki dia akan mampu
mengalahkan datuk ini. Diam-diam dia merasa girang bukan main.
Gemblengan selama dua tahun oleh Bu Beng Lojin membuat dia mampu
menandingi datuk timur! Akan tetapi dia merasa tidak enak kalau harus
mengalahkan ayah kekasihnya itu di depan orang banyak. Apa lagi sampai
melukainya. Maka, setelah mencari akal, dia lalu mengarahkan seluruh tenaga
sihirnya dan sambil mendorongkan ke dua tangannya, dia mengeluarkan
suara melengking yang hebat sekali.
Itulah ilmu yang disebut Tong-te-ho-kang (Suara Sakti Getarkan Bumi), dan
yang ditujukan ke arah depan. Pasukan Wu-yeh yang menonton pun diterpa
suara ini banyak yang berpelantingan. Apa lagi dari ke dua tangan yang
didorongkan itu timbul angin yang keras.
Tung-hai Mo-ong mencoba untuk menahan diri dengan dorongan ke dua
tangannya dengan pukulan jarak jauh pula. Akan tetapi hawa pukulan yang
menerjangnya itu terlampau hebat dan diapun terdorong ke belakang sampai
terhuyung-huyung. Biarpun tidak sampai roboh dan sama sekali tidak terluka, namun datuk ini
maklum bahwa ia telah kalah. Karena itu dia berteriak keras kepada pasukan
414 Wu-yeh untuk mundur, dan dia mendahului melompat jauh dan menghilang
dari tempat itu! Pasukan Wu-yeh tentu saja menjadi ketakutan dan kehilangan semangat
untuk bertempur setelah kakek itu pergi karena tadipun sebelum dibantu
kakek itu mereka sudah mulai terdesak. Apa lagi sekarang di pihak musuh
terdapat pemuda baju putih yang agaknya telah mampu mengalahkan datuk
timur. Mereka lalu lari berserabutan kembali ke timur, ke wilayah Wu-yeh.
Pasukan Sung merubung Cin Po dan memberi pujian kepada pemuda itu.
Komandan mereka, seorang panglima pengawal segera mengajaknya
menghadap Menteri Lu yang juga turun dari keretanya bersama puterinya.
Biarpun dia tidak menghendaki imbalan jasa atau pujian, akan tetapi demi
sopan santun, Cin Po tidak menolak ketika dihadapkan kepada Menteri
Kebudayaan Lu Tong Pi. Dia merasa terkejut dan juga malu ketika melihat
gadis itu. Demikian agung, damikian anggun dan cantik jelita.
Baru sekali ini dia berhadapan dengan seorang pembesar tinggi, juga dengan
seorang puteri bangsawan yang memandangnya dengan mata seperti bintang
yang mengaguminya! Dengan sikap hormat dia lalu mengangkat kedua
tangan depan dada, lalu agak membungkuk memberi hormat kepada ayah
dan anak itu. "Tai-hiap," kata sang komandan memperkenalkan. "Engkau berhadapan
dengan Yang Mulia Menteri Kebudayaan, paduka Menteri Lu Tong Pi dan puteri
beliau, nona Lu Bwe Kim."
Diam-diam hati Cin Po terkejut juga mendengar bahwa orang dalam kereta
itu adalah seorang Menteri negara. Kembali dia memberi hormat dan berkata,
415 "Tai-jin, maafkan kalau saya bersikap kurang hormat karena tidak mengetahui." "Aih, tai-hiap tidak perlu bersikap sungkan. Bagaimanapun juga, tai-hiap telah
menolong kami, mungkin telah menyelamatkan nyawa kami berdua. Siapakah
namamu tai-hiap?" "Nama saya Sung Cin Po, tai-jin," jawabnya dengan lancar karena sejak
semula dia tidak sudi menggunakan nama marga ayah kandungnya, yaitu
marga Ban. Dia lebih suka menggunakan marga ibu kandungnya.
"Bagus, semuda ini engkau telah memiliki ilmu silat yang begitu tinggi. Engkau
tidak boleh menyembunyikan diri saja, tai-hiap. Engkau dapat berbuat banyak
demi negara dan bangsa."
"Maaf, tai-jin. Saya tidak mempunyai ambisi untuk itu," kata Cin Po
merendahkan diri. "Akan tetapi tidakkah engkau melihat
betapa kerajaan-kerajaan lain
merupakan ancaman bagi kerajaan kita" Marilah ikut dengan kami ke kota
raja, tai-hiap dan peristiwa tadi akan kulaporkan kepada Yang Mulia Kaisar."
"Ah, terima kasih, tai-jin. Sungguh saya tidak mengharapkan apa-apa, tidak
mengharapkan imbalan jasa karena semua itu sudah saya anggap sebagai
suatu kewajiban. Ijinkan saya pergi, tai-jin."
"Nanti dulu, Sung Cin Po!"
416 Tiba-tiba terdengar suara merdu dan ternyata yang bicara adalah Lu Bwe Kim,
puteri Menteri itu. Berdebar rasanya jantung dalam dada Cin Po ketika
namanya dipanggil oleh gadis bangsawan yang cantik jelita itu.


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diapun menghadapinya sambil menunduk, tidak berani menatap wajah cantik
itu atau bertemu pandang dengan sepasang mata bintang itu.
"Apakah yang dapat saya perbuat untuk nona?" tanyanya, lembut.
"Sung Cin Po, perjalanan pulang ke kota raja masih jauh dan baru saja kami
mengalami ancaman bahaya yang mengerikan. Biarpun telah diantarkan
pasukan pengawal, buktinya tadi hampir saja kami celaka, kalau tidak ada
engkau yang menolong kami, tentu kami mengalami kecelakaan.
"Karena itu, hati kami akan selalu merasa gelisah dalam perjalanan pulang
ini. Engkau yang telah menolong kami, maukah engkau berbaik hati, tidak
kepalang tanggung dan membantu mengawal kami sampai kami tiba di
tempat tujuan, yaitu di kota raja?"
"Ah, benar seperti yang dikatakan Bwe Kim puteriku. Tai-hiap, tolonglah kami,
bantulah pengawalan kami sampai ke kota raja!"
Pendekar Bayangan Setan 8 Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Pangeran Perkasa 14
^