Pencarian

Prahara Pulau Naga Jelita 1

Dewa Linglung 25 Prahara Pulau Naga Jelita Bagian 1


SATU NANJAR BARU SAJA SELESAI melatih tenaga
dalam menyatukan hawa Inti Es, kemudian me-
nebarkan ke sekelilingnya, menariknya kembali
dan mengumpulkan di kedua telapak tangan yang
menyilang di depan dada. Lalu merobah hawa Inti Es menjadi hawa Inti Api,
kemudian menebarkan
ke sekelilingnya. Dan menyedot lagi hawa Inti Api itu untuk disatukan pada
sepasang lengannya.
Kalau tadi sekujur tubuh pemuda itu mengepul-
kan uap putih tipis, kini sebaliknya tubuh pemu-da itu bercucuran keringat
karena perobahan ha-wa dingin menjadi hawa panas. Namun tak lama
hawa panas di sekitar tempat itupun lenyap keti-ka dia menyedotnya kembali ke
kedua lengannya.
Dan... Sepasang lengan yang tadi memerah bagai bara api itu kini kembali memutih
kecoklatan seperti sediakala.
Di saat Nanjar baru saja membuka mata sete-
lah menghembuskan napas melalui mulutnya se-
bagai akhir dari latihannya, tiba-tiba saja tujuh sosok bayangan hijau telah
berkelebatan mengurung pemuda ini. Nanjar tersentak kaget ketika melihat tujuh
orang gadis berbaju serba hijau telah mengelilingi batu besar dimana dia duduk.
Nanjar putar kepalanya menatap ketujuh gadis
yang mengelilinginya. Ternyata mereka tujuh dara yang berparas cantik-cantik,
dengan dandanan
yang sama. Rata-rata mengenakan sepasang ant-
ing-anting besar dan rambut terikat macam bun-
tut kuda. "Heh" Siapa kalian?" tanya Nanjar terheran.
Seorang gadis maju dua langkah ke depan
Nanjar, seraya menyahut.
"Kami orang-orang dari Pulau Naga Jelita! Su-
dah sejak pagi shubuh kami menantikan anda se-
lesai berlatih..."
Nanjar naikkan alisnya menjungkat, sepasang
matanya membesar menatap heran dara baju hi-
jau di hadapannya.
"Pulau Naga Jelita" Pulau apa itu..." Dan ada
maksud apakah kalian terhadap diriku?" tanya
Nanjar. "Kami hanya menjalankan tugas dari pimpinan
kami untuk mencari anda. Lebih dari sebulan
kami melakukan pencarian melacak jejak anda,
akhirnya kami berhasil menemukan anda. Bu-
kankah anda yang bergelar si Dewa Linglung
Pendekar Naga Merah?" Ujar gadis itu.
Lagi-lagi Nanjar melengak. Kali ini menger-
nyitkan keningnya.
"Aneh! dari mana kalian bisa mengetahui?"
"Tidak aneh, sobat gagah! Kami bisa mengenali
dari guratan bergambar Naga di dadamu..." me-
nyahut si dara dengan tersenyum.
"Wah, wah, wah...! Kalian salah melihat orang!
Untuk merancah kulit membuat gambar seekor
Naga bisa saja dilakukan setiap orang. Bahkan
bukan gambar Naga saja, gambar seekor belutpun bisa dibuat orang!" sahut Nanjar
sambil menjum- put pedangnya yang diletakkan di atas batu di sampingnya, kemudian bangkit
berdiri dan melompat turun dari atas batu besar itu.
Kata-kata Nanjar membuat gadis-gadis itu jadi
tertegun saling tatap. Tapi gadis yang tadi bicara segera berkata.
"Alasanmu benar juga sobat gagah! Tapi bo-
lehkan kami melihat pedangmu?" Mendengar de-
mikian Nanjar jadi garuk-garuk tengkuknya.
"Wah, wah! Dari gambar Naga kini merembet
ke pedang..." Sudahlah! Baik! aku mengaku kalah debat denganmu, nona! Tapi tak
usah menye-butku dengan segala gelar, sebut saja namaku,...
Nanjar!" kata si Dewa Linglung dengan muka bersemu merah.
Ketujuh dara itu sama tersenyum, tapi Nanjar
segera menyambung dengan pertanyaan. "Seka-
rang katakan apa maksud kalian mencariku, dan
tugas apa yang kalian sandang dari pimpinan kalian. Lalu siapa pula pimpinan
kalian itu?"
"Kau baca sajalah surat dari pimpinan kami,
dan setelah itu segera ikut kami...!" kata dara itu sambil memberikan segulung
kain yang di ambil
dari sela bajunya.
Nanjar tak banyak bicara lagi, segera membuka
gulungan kain yang diterimanya. Dalam surat
yang ditulis rapi di atas kain itu tertera tulisan yang berbunyi;
DENGAN SEGALA KERENDAHAN HATI AKU
MENGUNDANG KEDATANGAN ANDA KEPULAU
NAGA JELITA! GELAR DEWA LINGLUNG PENDEKAR PEDANG
NAGA MERAH MEMBUAT AKU PENASARAN
UNTUK MELIHAT SENDIRI ORANGNYA!
LEBIH CEPAT DATANG LEBIH BAIK!
RATU PULAU NAGA JELITA
Sehabis membaca, Nanjar jadi tertawa geli sen-
diri. Lalu gulung kain surat itu dan berikan lagi pada gadis itu.
"Surat aneh...! Ratu kalian juga aneh ! Ada-ada saja!" kata Nanjar sambil
geleng-gelengkan kepala. Gadis itu cepat simpan kain surat itu dibalik baju,
lalu berkata. "Sekarang ikut kami!"
"Eh, apakah ini termasuk paksaan?" tanya
Nanjar. "Kami bukan memaksa, tapi kami hanya men-
jalankan perintah! Kami harap sobat Nanjar tak menolak, karena kami terlalu lama
berada di wilayah ini, dan harus secepatnya kembali...!" sahut si gadis.
"Hm, bagaimana kalau kalian tunjukkan saja
dimana adanya pulau Naga Jelita itu. Aku bisa
datang sendiri, dan kalian bisa segera kembali untuk memberi khabar pada Ratu
kalian!" tukas
Nanjar. Sesaat ketujuh gadis itu saling pandang den-
gan kawannya. Kemudian mereka berbisik-bisik
merundingkan usul itu dengan agak menjauh se-
dikit dari si Dewa Linglung.
Tak lama dua orang melompat mendekati Nan-
jar. Salah seorang kawan gadis yang bicara tadi berkata.
"Usul anda bisa diterima! Tapi kami tak lang-
sung kembali ke pulau Naga Jelita.
Kami menunggu anda di pesisir laut utara, je-
lasnya ditanjung KELELAWAR Disana kami telah
menyediakan sebuah perahu untuk membawa
anda ke pulau Naga Jelita!"
"Dan kami beri waktu sepekan. Anda harus
sudah berada disana!" sambung gadis tadi. Sejenak Nanjar tercenung, tapi segera
manggut- manggut. "Baiklah! Mudah-mudahan aku dapat mene-
mukan tempat itu... Eh, siapakah nama kalian
berdua?" "Aku Ande Pulut dan ini adikku Giwang...!" sa-
hut dara yang pertama kali buka suara tadi.
"Apakah anda perlu mengetahui nama yang lain-
nya?" sambung Ande Pulut.
"Cukuplah!" sahut Nanjar sambil tersenyum.
Diantara semua gadis, Ande Pulutlah yang tam-
pak paling cantik. Gadis ini punya dua buah le-sung pipit di kedua belah
pipinya. Tapi adiknya yang bernama Giwang juga tak kalah cantik.
Setelah menjura, Ande Pulut lalu beri isyarat
kawan-kawannya untuk segera tinggalkan lembah
batu itu. Nanjar hanya terpaku memandang ber-
kelebatnya sosok-sosok tubuh dara baju hijau itu dengan gesit melompat diantara
batu-batu, dan lenyap dimulut lembah.
Lembah berbatu-batu dimana Nanjar berlatih
tenaga dalam itu tak seberapa besar. Sudah dua hari dua malam dia berada di
dalam lembah itu yang digunakan selain untuk beristirahat, juga melatih ilmu-
ilmu pukulan dan tenaga dalamnya.
Entah bagaimana sampai ketujuh orang gadis itu bisa menjumpai Nanjar berada di
tempat itu. Beberapa lama Nanjar terpaku disitu menatap
ke mulut lembah. Selain terkejut karena didatangi ketujuh dara-dara pulau Naga
Jelita, dia juga merasa aneh tak hujan tak angin tahu-tahu ada
orang yang mengundangnya datang ke sebuah
pulau asing yang baru didengar namanya. Selain merasa heran, tapi juga timbul
rasa penasaran untuk mengetahui orang macam apakah yang
mengaku Ratu pulau Naga Jelita itu"
*** DUA KETIKA KETUJUH GADIS BAJU HIJAU ITU
berjalan cepat merambas hutan, tiga sosok
bayangan telah membuntuti. Siapa adanya ketiga orang itu, ternyata tiga orang
laki-laki bertampang kasar. Seorang bermuka lancip dengan ku-
mis bisa dihitung, rambut kucai kecoklatan. Matanya setengah mengantuk, memegang
buli-buli berisi arak. Orang kedua bermuka segi empat, kulit mukanya penuh jerawat besar-
besar, mata si-
pit agak bintit, hidungnya besar gepeng.
Orang ketiga mata juling, gigi tonggos, dipipi kiri ada bejolan sebesar telur
angsa. Sesaat mereka berhenti dibalik semak, dengan
mata terus mengawasi ke arah berkelebatnya tu-
juh gadis baju hijau itu, yang lenyap dibalik hutan bambu. Merekalah yang
menggelari diri si
TIGA SILUMAN KALI KENDIL. Gelarnya sudah
tercatat didunia persilatan sebagai tiga tokoh go-longan hitam.
"Ssst...! untung besar kita kali ini. Kau lihat, kalau rejeki sudah di depan
mata apakah akan
kita tolak?" kata si laki-laki muka segi empat berkulit kasar yang didadanya
terdapat cacahan bergambar Naga ini.
"Apa rencanamu, kakang Bagor?" tanya kedua
laki-laki kawannya hampir berbareng.
"Kita bekerja sambil menyelam minum air! Ta-
hukah kalian maksudku" Jelasnya begini... Kita tangkap dua gadis yang paling
cantik, lalu kita serahkan pada Raden SUTRIAJI!
Bukankah kita akan mendapatkan uang" Ke-
mudian... hehehe..." Laki-laki bernama BAGOR
ini berbisik-bisik pada kedua kawannya yang
tampak manggut-manggut sambil tertawa menye-
ringai. "Cepat kita kejar mereka sebelum pergi jauh!"
Keduanya mengangguk. Tapi salah seorang
berkata. "Kelihatannya mereka berilmu tinggi, kakang!
Apakah kita mampu menghadapi mereka?"
"Cuih! Apakah kau meragukan ilmu kepan-
daian kita" Percuma saja kita bergelar Tiga Siluman Kali Kendil kalau tak mampu
menangkap tu- juh orang perempuan! Tak perduli mereka orang-
orang dari pulau Naga Jelita atau Naga Setan!"
mendelik mata Bagor melihat keragu-raguan ka-
wannya. "Baik, kakang Bagor! Aku sengaja bergurau.
Tapi kita memang tak boleh bertindak gegabah
dan terlalu memandang rendah, bukankah begitu
Canggik?" Yang ditoleh cuma menyengirkan mu-
lutnya. "Sudah! cepatlah! Aku tak ingin rencana kita
gagal!" bentak Bagor dengan suara mendesis.
Tanpa mengangguk lagi kedua laki-laki itu segera berkelebat dari situ. Sebentar
saja lenyap ditelan semak rimbun. Betet tersenyum menyeringai. Ta-pi segera
enjot tubuhnya untuk memburu mang-
sa-mangsanya yang cantik-cantik itu...
Gerakan ketujuh gadis berbaju hijau itu me-
mang sangat cekatan. Mereka berkelebat cepat
menuju ke arah barat, merambas hutan.
Gadis paling depan adalah gadis yang bernama
Ande Pulut. Tampaknya dia yang menjadi kepala
dari keenam gadis lainnya.
Selama mencari jejak si Dewa Linglung, tak se-
dikit mereka mengalami rintangan. Tapi berkat
kerja sama yang kuat diantara mereka, sampai
saat ini mereka masih tetap bertujuh. Nyatalah kalau ketujuh gadis itu telah
tergembleng kuat oleh latihan yang matang.
Dan pantas kalau mereka diutus untuk menca-
ri jejak si Dewa Linglung oleh sang Ratu mereka.
Tapi sepandai-pandai tupai meloncat, akhirnya
jatuh juga ke tanah. Kalau beberapa waktu yang lalu mereka bisa mengelakkan
rintangan, tampaknya kali ini belum tentu. Karena yang tengah membuntuti adalah
tiga orang tokoh sangat licik yang terkenal dengan gelar si Tiga Siluman Kali
Kendil. Selain ketiga tokoh ini berilmu tinggi juga sangat licik dan sudah
banyak pengalaman didunia persilatan. Bahkan secara diam-diam mereka telah
diperalat oleh seseorang yang bernama Raden SUTRIAJI. Entah siapa adanya Raden
Sutriaji itu. Yang jelas saat ini kita tengah mengikuti langkah-langkah ketiga
manusia tersebut.
Sementara itu Nanjar telah berada dimulut
lembah, dan masih berdiri termangu-mangu. Be-
naknya masih tertuju pada ketujuh dara cantik
baju hijau yang membawa pesan melalui surat
dari pemimpin mereka.
"Ratu Pulau Naga Jelita..." bibir Nanjar bergerak-gerak mengeluarkan suara
menggumam. "Hm, jelas kata-kata RATU itu mengungkapkan
arti seorang pemimpin atau Raja perempuan..."
desis pemuda ini. "Aneh benar isi surat itu. Apa maksudnya Ratu Pulau Naga
Jelita itu mau bertemu denganku?" berkata Nanjar dalam hati. Tapi mendadak dia
tersenyum sendiri. Hatinya berkata. "Hehe... perduli dengan Ratu atau Raja yang
mengundangku. Kalau tak ada asap tentu tak ada
api. Baik dan jahatnya tujuan Ratu Pulau Naga
Jelita aku tak mengetahui. Kalau dia penasaran ingin bertemu denganku, justru
akupun penasaran ingin bertemu muka dengannya. Entah ma-
cam hantu perempuan ataukah macam kuntila-
nak dari kuburan, yang pasti aku akan datang
menemuinya..."
Sesaat Nanjar menatap ke arah barat. Lalu
mendongak melihat ke langit. Matahari baru se-


Dewa Linglung 25 Prahara Pulau Naga Jelita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jengkal lebih, belum terlalu siang untuk melakukan perjalanan ke PAMINGGARAN.
Nanjar memang telah merencanakan ke kota
itu menyambangi salah seorang sahabatnya. Dari sana dia bisa terus ke arah utara
menuju ke pesisir pantai untuk mencari letak tanjung
KELELAWAR dimana ketujuh gadis baju hijau
bakal menantikan kedatangannya. Waktu masih
cukup panjang. Perjalanan ke Paminggaran selain tujuan Nanjar mengunjungi
sahabatnya, juga sekalian mau menginap beberapa malam di kota
itu. Setelah memikir-mikir sejenak, Nanjar segera
beranjak meninggalkan mulut lembah batu. Tapi
baru beberapa tindak dia berhenti.
"Eh... bajuku..." Nanjar teringat kalau dia telah melemparkan baju gombrongnya
yang lusuh didekat batu besar dimana dia duduk berlatih, dan terlupa
mengenakannya. "Haiih! LINGLUNGKU kambuh lagi..." gumam-
nya sambil garuk-garuk tengkuk yang tidak gatal.
Malas rasanya untuk turun mengambil, Nanjar
langsung berkelebat meninggalkan tempat itu.
TIGA TUJUH dara baju hijau berjalan cepat...
Selewat gelincir Matahari mereka telah tiba di satu pedusunan. Ande Pulut
mengangkat sebelah
lengannya. "Kita beristirahat di dusun ini...!" katanya. Lalu memberi isyarat
pada yang lainnya
untuk menunggu disitu. Seperti yang biasa dia
lakukan, Ande Pulut akan memeriksa terlebih du-lu tempat yang akan didikan
tempat beristirahat.
Tubuh dara ini berkelebat dari tempat berdi-
rinya. sebentar saja bayangan tubuhnya telah lenyap dibalik belukar. Ternyata
Ande Pulut men-
gambil jalan memutar untuk memeriksa dusun
kecil yang akan disinggahi itu. Keenam gadis ini duduk beristirahat. Akan tetapi
selalu waspada dengan tak menganggurkan mata untuk mengawasi keadaan sekitarnya.
Seorang gadis berbisik pada kawan didekatnya.
Dia adalah gadis yang berada dibagian paling belakang ketika melakukan
perjalanan tadi.
"Ssst! Apakah kau tadi mendengar suara men-
curigakan dibelakang kita?" tanyanya. Yang di-
tanya menggeleng. "Aku tak mendengar suara
apa-apa" Hm, kau selalu dibayangi perasaan jelek saja bibi gembul..."
"Aku merasa ada orang-orang yang membayan-
gi kita..." kata gadis bernama Wenah ini. Dia merupakan gadis yang paling gemuk,
hingga di julu-ki kawan-kawannya si BIBI GEMBUL, karena ka-
lau soal makan dialah yang paling gembul.
"Curiga itu perlu, dan sangat diperlukan, so-
bat!" menukas dia dengan sikap seperti seorang guru menasihati muridnya.
"Ya! Bu guru...!" Eh, suara mencurigakan ba-
gaimanakah yang kau dengar, bibi gembul?"
Tiba-tiba Wenah tempelkan jari telunjuknya
dibibir. "Sssst... dengar, suara aneh itu terdengar la-
gi.." Tentu saja gadis ini jadi tercekat hatinya, dan pasang telinga untuk
mendengarkan lebih jelas.
Dan terdengarlah suara dari sela pantat si bibi gembul.
"Pssssssss... pret!... pret!"
Melotot seketika mata gadis ini dengan muka
berubah merah. "Sialan ! Kau...kau... uuuh...!" teriaknya dengan serta merta melompat sambil
menutup hi- dung, karena sekonyong-konyong tercium bau tak sedap. Meledaklah seketika suara
tertawa si gembrot terpingkal-pingkal hingga buah dadanya
yang besar itu bergoyang-goyang.
Sambil memaki-maki panjang pendek gadis
bernama Suri ini menghambur lari ke arah ka-
wan-kawannya. "Ada apa, Suri?" tanya salah seorang kawan.
"Hihihi...hihi... dia terkena serangan uap beracun!" teriak Wenah sambil tertawa
tiada henti. "Awas kau bibi gembul! Akan kubalas nanti!"
teriak Suri dengan mulut monyong. Yang lainnya cuma tersenyum setelah mengetahui
apa yang terjadi. Pada saat itulah Ande Pulut kembali
muncul. "Sudah, jangan banyak bergurau! Mari kita
singgah dan beristirahat di dusun ini!" kata Ande Pulut.
"Bagaimana keadaannya, kak?" tanya Giwang.
"Aman! Dusun ini kosong. Kita bisa menginap
malam ini ditempat ini...!" Tanpa menunggu wak-tu lagi mereka segera berlarian
menuju kedusun kosong itu.
Ande Pulut memerintahkan kawan-kawannya
berkumpul untuk membagi tugas. Akan tetapi
melengak karena ditunggu sampai agak lama si
gadis bernama Wenah tak kunjung muncul.
"Hm, kemana si bibi gembul?" tanya Ande Pu-
lut. Semua menggeleng. Terlebih Suri, dia sama se-
kali tak memperhatikan kemana gerangan gadis
kawannya itu. Apalagi saat itu dia masih men-
dongkol hatinya karena, dipermainkan gadis itu.
"Cepat periksa tempat ini, dan cari dia!" perintah Ande Pulut. Kelima gadis itu
mengangguk, la-lu berkelebatan mencari kawan yang satu itu. Su-ri mencari
ketempat dimana tadi gadis itu duduk bersama dia, akan tetapi tak dijumpai
berada ditempat itu.
"Heh" Kemana si gembrot itu?" sentak hati ga-
dis" ini. Mendadak dia teringat pada kata-kata Wenah tadi. Hatinya syak, jangan-
jangan apa yang dikhawatirkan gadis itu benar. Siapa me-
nyangka kalau memang ada yang membayangi
mereka. Pencarian berjalan terus hingga hari menjadi
gelap. Ketika mereka hampir putus asa karena
tak menemukan jejak gadis itu, mendadak salah
seorang gadis berteriak tertahan seperti suara orang terkejut.
Beberapa orang segera berlompatan memburu
kesana, diantaranya terdapat juga Suri.
Membelalak seketika mata mereka melihat ga-
dis itu dalam keadaan terlentang disemak belu-
kar. Tak terkirakan terkejutnya mereka karena
menemukan si bibi gembul dalam keadaan terto-
tok. Pucatlah seketika wajah Suri.
Walaupun tadi hatinya mendongkol, tapi dia ti-
dak marah. Hal seperti itu sudah biasa, dan ber-canda di perjalanan memang
membuat hati terhi-
bur. Apalagi adanya Wenah diantara mereka
membuat mereka sering tertawa. Tak dinyana gu-
rauan si bibi gembul benar-benar jadi kenyataan.
Jelas mereka telah dibuntuti orang, bahkan telah menotok gadis itu. Saat itulah
tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh diiringi berkelebatnya sesosok tubuh
muncul ditempat itu.
Seorang laki-laki bertampang mengantuk telah
berdiri diantara mereka.
"Siapa kau?" bentak empat gadis ini hampir se-
rempak. "Haha..hehe... perkenalkan namaku Raden
CANGGIK!" Sesaat mereka saling pandang sesama kawan-
nya, tapi Suri telah membentak.
"Heh! Kau pasti yang telah menotok kawan
kami!" Mendengar tuduhan itu, Canggik yang memang
salah satu dari Tiga Siluman Kali Kendil ini pura-pura melengak.
"Walah.! Jangan sembarang menuduh orang,
nona...! Aku tak tahu menahu apa-apa. Kedatan-
ganku kedusun ini secara kebetulan saja...!"
"Kentut busuk! bunuh mampus manusia itu!"
Suara bentakan keras menggeledak membuat
semua yang berada disitu terlonjak kaget. Karena secara tiba-tiba saja si bibi
gembul yang disangka pingsan dalam keadaan tertotok itu telah melompat dari
semak belukar dimana dia terkapar me-
nelentang. Tentu saja membuat mereka terlongong. Terle-
bih-lebih laki-laki itu, karena memang dialah
yang telah menotok gadis itu lalu menyeretnya
kebalik semak belukar.
Terkejut dan girang seketika merona wajah
keempat gadis itu. Serentak mereka berlompatan mengurung laki-laki itu.
"Jahanam sialan! Kau telah menotokku lalu
menyeret tubuhku kesemak itu, apakah kau kira
totokanmu mempan" Siang-siang aku sudah tahu
kau membuntuti kami!" berkata Wenah.
"Celaka betul aku hari ini" Aku kena dikibuli si gadis gembrot! Rupanya dia
telah gunakan cara
menutup jalan darah!" berkata Canggik dalam ha-ti. Seketika wajahnya berubah
pucat. Akan tetapi dia tak dapat berpikir lebih jauh, karena kelima gadis itu telah
menyerangnya. *** EMPAT APA yang dialami kelima gadis itu ternyata tak jauh berbeda dengan yang dialami
dua gadis lainnya. Yaitu Ande Pulut dan Giwang. Disisi lain dari hutan kecil itu
Ande Pulut tengah bertarung sen-git dengan seorang laki-laki bertampang kasar.
Siapa adanya lawannya itu tak lain dari Bagor.
Sementara ditempat yang tak berapa jauh dari
pertarungan tampak Giwang bertarung seru den-
gan si muka lancip kumis tikus.
Ande Pulut gunakan sepasang pedang pendek
menyerang laki-laki itu. Sedangkan lawannya
mencekal sebuah cambuk yang bagian ujungnya
berduri. Sambil mengelakkan serangan, mulutnya tiada berhenti berceloteh.
"Hehe... haha... gadis ayu! Lebih baik kau se-
rahkan dirimu. Sayang kalau kulitmu yang mulus itu tergores duri cambukku!"
"Setan jelek! Tutup mulut Bagormu!" bentak
Ande Pulut dengan geram. Sepasang pedangnya
menyambar diiringi bentakan keras. Tapi dengan gesit Bagor mengelak sambil
menyeringai. Makin lama tanpa disadari pertarungan mereka semakin menjauh dari
tempat dimana Giwang bertarung.
Sementara itu Giwang dengan semangat tinggi terus mencecar lawannya dengan
sambaran- sambaran pedang. Seperti halnya Bagor laki-laki bernama Warok inipun bertarung
sambil terus mundur ke arah hutan lebat.
Dalam cuaca yang semakin gelap itu sangat
mengganggu pandangan mata Giwang, karena la-
wan berpakaian serba hitam. Mendadak laki-laki itu lemparkan sesuatu ke depan
gadis lawannya.
Benda itu menimbulkan ledakan yang mengelua-
rkan asap. Tersentak Giwang, karena hidungnya
mencium bau yang membuat kepala menjadi be-
rat. Sebelum dia menyadari apa yang terjadi, ta-hu-tahu tubuhnya telah kena
totok. Pedangnya
terlepas dari cekalnya. Dengan sebat laki-laki itu menyambar tubuh dara itu, dan
memondongnya. Kemudian membawanya berkelebat masuk hutan.
Suara suitan dari dalam hutan adalah tanda
bahwa kawannya telah bekerja dengan baik,
membuat Bagor segera mulai menggunakan cam-
buk untuk membuat terlepas pedang lawan. Wa-
lau demikian tampaknya Bagor sangat khawatir
melukai tubuh Ande Pulut yang mulus, hingga
kembali dia terdesak hebat.
Bret! Tabasan pedang gadis itu telah membuat sobek
bajunya, dan dadanya tergores. "Sial kuda!" maki Bagor mendesis.
Whut! Whut! Pedang lawan telah kembali meluncur untuk
menabas leher. Bergulingan laki-laki ini meng-
hindarkan diri. Tapi saat itu telah dipergunakan untuk melemparkan benda itu ke
arah si gadis. Diiringi suara teriakan kaget Ande Pulut, asap putih mengepul memenuhi sekitar
tempat itu. Akan tetapi sebelum dia sempat mengendus asap
mengandung obat bius itu segelombang angin te-
lah menerpa asap itu hingga buyar. Dan seiring dengan itu terdengarlah bentakan
keras. "Manusia jahil! Perbuatanmu sungguh licik!"
Alangkah terkejutnya ketika Bagor melihat
munculnya seorang pemuda gondrong tahu-tahu
telah berdiri dihadapannya.
Tanpa ayal cambuk berdurinya menyambar....
diiringi bentakan keras. "Sial kuda! siapa kau be-rani turut campur urusanku?"
Whut! Whut! Dua kali dia mengayunkan cambuknya, tapi
dua kali serangan lolos karena dengan terhuyung orang dihadapannya itu dapat
menghindari serangan.
Bagor makin penasaran. Kali ini dia memba-
rengi serangan cambuknya dengan sambaran-
sambaran pukulannya. Beberapa batang pohon
sebesar betis patah-patah terkena angin pukulan.
Ternyata Bagor memiliki tenaga dalam cukup
tinggi. Sayang tak menemui sasaran. Pada saat itulah
terdengar bentakan si pemuda gondrong.
"Cukup!"
Diiringi bentakan itu terdengar suara....BUK!
Terdengar lengking kesakitan laki-laki itu. Tubuhnya terlempar kena hantaman
kepalan pemu- da gondrong itu, dan terbanting keras. Bagor me-
ringis kesakitan. Tulang punggungnya serasa patah. Dadanya serasa remuk.
Melihat situasi tak mengizinkan, dengan me-
nahan sakit Bagor angkat langkah seribu meram-
bas masuk ke dalam hutan. Tentu saja kaget dan girang Ande Pulut bukan kepalang,
karena yang telah menolongnya adalah si Dewa Linglung. Tapi mendadak wajahnya berubah pucat.
"Celaka! Adikku...!" detik itu juga dia telah berkelebat melompat mencari Giwang
yang tadi ten- gah bertarung dengan salah seorang kawan laki-
laki tadi. Nanjar ikut mencari dengan berkelebatan diantara semak hutan kecil
itu.

Dewa Linglung 25 Prahara Pulau Naga Jelita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu kawan Bagor yang berhasil me-
nawan Giwang tak sabar menunggu. Kembali dia
beri tanda isyarat dengan suitan panjang dua
kali. Bagor yang tengah lari lintang pukang dengan meringis-ringis berteriak.
"JERO....! Dimana kau?"
"Cepatlah! aku disini...! Apakah kau berhasil?"
terdengar suara sahutan dari arah depan. Bagor cepat memburu kesana.
"Lho" Mana gadis itu?" tanya laki-laki ini melihat kawannya bukan hanya tak
memanggul tu- buh seorang wanita, bahkan meringis-ringis me-
nahan sakit. "Gadis matamu picak! Seseorang telah muncul
dan menyerangku....!" maki Bagor dengan mata
mendelik. "Heh! Tak apalah, hari ini aku mengalah. Toh
kau sudah dapat! Eh, mana Canggik?" tanya laki-
laki ini. "Entahlah! Bukankah tugas dia hanya menge-
cohkan kawan-kawan dua gadis yang kita incar?"
sahut Jero. "Hm, kau beri tanda isyarat lagi, lalu kita me-nantinya beberapa saat. Kalau dia
belum muncul juga kita tinggal saja... Toh dia akan menyusul nanti ketempat
Raden Sutriaji...!" kata Bagor. Ba-ru saja dia selesai berkata mendadak
terdengar suara bentakan disusul oleh berkelebatnya sesosok tubuh.
"Lepaskan gadis itu!"
Mendelik mata Bagor melihat tahu-tahu si pe-
muda gondrong yang tadi bertarung dengannya
muncul dihadapan mereka.
"Bangsat! Dialah yang tadi telah menggagalkan
aku..." bisik Bagor dengan wajah pucat. Jero sipitkan mata melihat pemuda
gondrong itu. Tapi
cepat turunkan gadis itu ditanah, dan mencabut clurit dari belakang punggung.
"Heh! Masakan dengan berdua kita tak sang-
gup menghadapi monyet ini?"
"Bagus! Tadi aku sengaja mengalah, tapi kini
takkan kuberi hati lagi!" kata Bagor. Lalu beri isyarat pada kawannya. Serentak
kedua laki-laki ini mengurung.
Whuk! Whuk! Whuk!
Bagor memutar pecutnya menimbulkan suara
bersuitan membias udara. Jero membuka jurus
dengan lengan terkembang, kemudian bergerak
menyilangkan Clurit.
"Serang!" teriak Jero sambil melompat. Senja-
tanya membabat ke arah leher lawan. Sementara
Bagor melecut ke arah kaki pemuda itu. Pemuda
gondrong yang tak lain dari si Dewa Linglung itu melompat kesamping. Ujung
kakinya menyambar
kelambung Jero. Tentu saja Jero tak membiarkan lambungnya kena sasaran. Dia
mengegos dengan
melompat setombak kebelakang. Untuk menge-
lakkan sambaran kaki itu terpaksa dia menahan
serangan. Tapi terkesiap laki-laki ini, karena angin sambaran kaki itu terasa
dingin menyentuh
kulit lambung. Tahulah dia kalau lawan tak dapat dipandang enteng.
Kembali dia menerjang ganas. Clurit diarahkan
kepinggang sambil membarenginya dengan puku-
lan tangan kirinya. Sementara Bagor menanti saat yang tepat untuk menyerang
dengan cambuknya.
Untuk menghindari serangan itu Nanjar telah gunakan jurus-jurus Langkah dewa
mabuk. Tampak tubuhnya terhuyung kekanan dan kekiri. Seran-
gan clurit lolos kekiri cepat dipergunakan Bagor untuk menyambarkan ujung
cambuknya, lalu dibarengi dengan pukulan tenaga dalam ke arah
kepala lawan. Mendadak pemuda itu merundukkan kepala,
dan cepat sekali gerakan lengan Nanjar menghantam dengan jurus Tinju Dewa Mabuk.
Angin pu- kulan menderu menyambar lengan Bagor yang
memegang cambuk. Terkesiapnya laki-laki ini bukan main-main karena tahu-tahu
rasakan len- gannya seperti terbakar. Dengan menjerit dia le-
paskan cambuknya, lalu melompat kebelakang
sambil berjingkrakan memegangi lengannya.
Tentu saja membuat kawannya jadi terkejut.
Tapi dia sudah kepalang membuka jurus. Dengan
membentak keras Cluritnya menyambar laksana
kilat membabat punggung si pemuda gondrong.
Akan tetapi sukar untuk diduga gerakan lawan.
Tubuh yang membelakangi itu mendadak memba-
lik, dan.... Whuut! Tabasan clurit lolos, karena pemuda itu menggeser tubuh
kesamping. Selanjutnya... BUK!
Jero merasa punggungnya dihantam palu keti-
ka dengan kecepatan kilat siku lengan pemuda
itu menghantam dengan telak. Tak ampun dia ja-
tuh berdebam ditanah tepat didekat kaki lawan.
Sebelum ujung kaki pemuda itu menghantamnya
dia telah menggelindingkan tubuhnya, lalu me-
lompat berdiri dengan terhuyung. Jero menyeringai menahan sakit, serasa tulang
punggungnya seperti patah-patah. Sesaat mereka saling pan-
dang dengan kawannya dengan muka berubah
pias. Mengetahui tak ada harapan menang, kedu-
anya segera berkelebatan melompat dari situ, dan lenyap dalam keremangan hutan.
Sementara itu lima orang gadis termasuk si
gadis gemuk alias bibi gembul telah kehilangan jejak laki-laki lawannya. Tak
lama muncul Ande Pulut ditempat itu. Disaat mereka mencari-cari Giwang yang tak
ada diantara mereka, muncullah si Dewa Linglung. Pemuda ini memondong tubuh
gadis yang tengah mereka cari itu.
"Aku telah membuka totokannya, tapi dia tam-
pak masih lemah karena telah menghisap asap
yang memabukkan itu!" kata Nanjar seraya mem-
baringkan tubuh dara itu direrumputan. Enam
orang gadis lainnya serentak mengerumuni.
"Terimakasih atas pertolongan anda, tuan pen-
dekar...!" kata Ande Pulut. "Ah, kalau tak ada kau entah apa jadinya nasib kami"
Mungkin kami telah bercerai berai..." sambung Ande Pulut.
"Merekalah yang menamakan dirinya si Tiga Si-
luman Kali Kendil!" Kata Nanjar. "Aku telah memberi sedikit pelajaran pada
mereka. Tapi saat beberapa bulan yang lalu itu aku dalam penyama-
ran, sehingga mereka tak mengenali diriku. Kali kedua inilah kebetulan aku
menjumpai lagi. Ternyata mereka telah minggat ke wilayah utara ini.
Ilmunya tak seberapa tinggi, tapi kelicikannya itulah yang harus kita berhati-
hati. Suatu saat di-pertemuan ketiga barulah aku bertindak tak ke-
palang tanggung...!" kata Nanjar.
Ketujuh orang gadis itu memohon Nanjar be-
rangkat bersama-sama saja dengan mereka. Nan-
jar tak dapat menolak untuk menginap malam itu di dusun tersebut. Tapi besoknya
pagi-pagi sekali si Dewa Linglung telah tak kelihatan batang hidungnya. Ande
Pulut maklum watak pendekar
muda yang aneh itu.
Apalagi dia telah mendengar kalau si Dewa
Linglung akan menyambangi dulu sahabatnya.
Dan dia telah berjanji akan berada dipantai Tanjung Kelelawar sebelum waktu
sepekan. Ande Pu-
lut segera membangunkan anak buahnya, lalu
menyuruh bersiap-siap untuk segera melanjutkan perjalanan.
*** LIMA PERAHU BESAR ITU MELUNCUR perlahan-
lahan meninggalkan pantai karang Tanjung Kele-
lawar. Enam buah layar terpancang kuat ditiang perahu. Empat belas gadis berbaju
hijau itu membawa tetamu undangan sang pemimpin me-
reka. Siapa adanya tetamu undangan itu tak lain dari si Dewa Linglung adanya.
Tampak pemuda itu duduk diatas geladak paling depan. Berdiri disebelah kirinya adalah Ande
Pulut. Dan disebelah belakang tak jauh dari situ berdiri Giwang, Suri dan Wenah
si bibi gembul. Sedangkan yang lainnya ada yang berdiri ditiang layar paling
besar paling atas. Ada pula yang berada diburitan, dan sebagian lagi berkumpul
diperut perahu melakukan tugas masing-masing.
Tak diceritakan lamanya pelayaran... singkat-
nya sudah dua hari dua malam perahu besar itu
terapung-apung ditengah gelombang. Persediaan
dalam perahu seperti makanan dan lain-lain cu-
kup banyak. Adanya tujuh orang gadis lagi yang menunggui
perahu di tanjung Kelelawar memang tak diceri-
takan oleh Ande Pulut. Tentu saja semua itu
membuat dia terheran, karena sedemikian cu-
kupnya perlengkapan orang-orang pulau Naga Je-
lita yang kesemuanya itu adalah cuma untuk
urusan mencari dan menjemput dirinya.
Nanjar diperlakukan didalam perahu besar itu
bagaikan Pangeran Muda saja layaknya. Dalam
kamar yang berkasur empuk dan kain seprei
warna hijau berbau harum minyak wangi. Bah-
kan herannya sampai-sampai Nanjar tak bisa ti-
dur pulas memikirkan hal itu. Semakin tak sabar rasa hati Nanjar untuk cepat-
cepat tiba ditempat tujuan.
Dihari keempat belas bulan kedelapan perahu
mendarat disebuah pulau. Girangnya Nanjar tak
alang-kepalang. Rasanya hampir bosan dia bera-
da didalam perahu terombang-ambing ditengah
lautan. Mendadak pintu kamarnya diketuk dari
luar. "Masuklah!" kata Nanjar. Seorang gadis mun-
cul dipintu membawa seperangkat pakaian warna
putih dari kain sutera tebal.
"Kita sudah sampai, Raden...! Dan Raden di-
persilahkan mengenakan pakaian yang telah dis-
ediakan ini...!" kata gadis itu seraya menjura. La-lu setelah meletakkan diatas
meja kecil, kemudian keluar lagi. Nanjar cuma geleng-geleng kepala dengan bibir
tersenyum. Belum sempat dia
ucapkan terimakasih, gadis baju hijau itu telah lenyap diluar pintu.
Ketika si Dewa Linglung keluar dari pintu ka-
marnya, tujuh gadis baju hijau telah siap menanti dimuka pintu.
"Penyambutan apa lagi ini?" tanya Nanjar da-
lam hati. "Tuan pendekar Naga Merah dipersilahkan tu-
run dari perahu!" kata mereka dengan suara se-
rempak. Nanjar mengangguk. "Haha... aku me-
mang mau turun dari perahu ini. Bosan rasanya
aku berlayar!" kata Nanjar sambil tertawa. Se-
mentara matanya menatap ketujuh dara baju hi-
jau. "Eh, tak kulihat Ande Pulut dan Giwang di an-
tara kalian?" tanya Nanjar.
"Kami bertujuh menggantikan tujuh gadis di-
bawah pimpinan Ande Pulut!" menyahut salah
seorang gadis paling depan. Nanjar manggut-
manggut. Tiga gadis balikkan tubuh dan berjalan terlebih dulu kesisi geladak,
kemudian dengan
gesit melompat turun dari atas perahu. Kemudian disusul oleh si Dewa Linglung.
Terakhir keempat gadis yang mengawal dibelakang.
"Mari ikut kami!" kata tiga gadis yang lebih du-lu melompat. Tadinya Nanjar mau
melihat-lihat dulu keadaan dipelabuhan. Ada beberapa perahu
lainnya yang berada dipelabuhan itu, tapi tak
tampak ada seorang pun disekitar pelabuhan
sunyi itu. Terpaksa Nanjar ikuti tiga orang gadis itu dengan dikawal oleh empat
orang dibelakang-nya.
Ketika tubuh si Dewa Linglung dan ketujuh
gadis yang mengawalnya lenyap dibalik tebing dipulau itu, dua sosok tubuh
melompat dari perahu lain ke perahu yang ditumpangi Nanjar tadi. Ter-
nyata dua orang laki-laki berpakaian warna gelap yang membungkus wajahnya dengan
topeng. Dan salah seorang menemukan apa yang ten-
gah dicarinya. Mata laki-laki ini liar memandang kebarak dibagian belakang
buritan. Tampak dua
gadis baju hijau tergolek dalam keadaan terikat dan mulut disumpal kain. Laki-
laki ini kembali melompat keatas geladak, lalu memberi isyarat
pada kawannya. Tak lama kedua laki-laki itu telah berlompatan ketempat dimana
kedua gadis baju hijau itu terikat.
Siapa adanya kedua gadis itu tiada lain dari
Ande Pulut dan Giwang. Apakah sebenarnya yang
terjadi" Kalau saja Nanjar mengetahui kejadian tadi malam sebelum mendarat
dipulau itu tentu
akan mengetahui siapa ketujuh gadis yang telah mengawalnya itu.
Dua laki-laki itu memanggul tubuh kedua dara
tersebut, dan membawanya kesuatu tempat ter-
sembunyi. Ande Pulut hanya dapat mengutuk
panjang pendek pada dua manusia itu yang seca-
ra bergantian memperkosanya. Nasib dirinya tak berbeda dengan nasib Giwang.
Setelah puas men-gumbar napsu iblis, kedua laki-laki itu mence-
kokkan sesuatu kemulut mereka. Lalu mereka
mengembalikan kedua gadis itu ke dalam perahu
besar dan melepaskan ikatan.
Apa yang terjadi kemudian dengan Ande Pulut
dan Giwang" Tampak mereka seperti dua orang
tolol yang tak mampu berpikir apa-apa lagi. Bahkan kejadian tadi malam di mana
tujuh orang ga-
dis secara curang telah melakukan pembokongan
gelap membunuh lima gadis kawannya, termasuk
si bibi gembul Wenah. Kemudian melemparkan
mayat-mayat kawan-kawan mereka itu sendiri ke
dalam laut. Ande Pulut tak dapat berbuat apa-apa karena dia dalam keadaan
tertotok. Demikian ju-ga adiknya, Giwang. Tapi dia mengetahui sabo-
tase itu adalah dibawah pimpinan seorang wanita jangkung. Siapa adanya wanita
itu adalah tangan kiri merangkap kekasih Panglima WADULATA.
Panglima Wadulata adalah orang yang cukup be-
sar pengaruhnya, karena merupakan singa jantan sang Ratu pulau Naga Jelita.
Siapa adanya dua
laki-laki yang membungkus mukanya dengan to-
peng itu adalah tangan kanan Panglima itu. Ande Pulut tak akan pernah melupakan
dua manusia yang telah memperkosa dirinya dan adiknya itu.
Akan tetapi dalam keadaan demikian dia sudah
tak mampu berpikir apa-apa lagi....
Akan tetapi satu hal yang diluar dugaan, si bibi gembul alias Wenah tahu-tahu


Dewa Linglung 25 Prahara Pulau Naga Jelita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muncul disamping
geladak. Tubuhnya basah kuyup. Diantara lima
orang yang dilemparkan kelaut, cuma dialah seorang yang masih hidup, dan mampu
merayap naik kepinggiran perahu, setelah semalam-
malaman dia menempel diperut perahu. Untung
ada segumpal tambang yang menempel disisi
lambung perahu. Dengan berpegang pada belitan
tambang itulah dia mampu menyelamatkan nya-
wanya. Melihat keadaan Ande Pulut dan Giwang, ter-
heran gadis ini. Dilihatnya kedua kawan itu sudah tak selayaknya manusia wajar.
Seperti orang yang tolol atau dungu. Bahkan dia melihat sesuatu yang membuat
jantungnya tersentak.
Keparat! Ini pasti perbuatan Gempo dan Jo-
man! Tampaknya dia bekerja sama dengan si
jangkung, kuntilanak perempuan itu. Entah apa-
kah perbuatan keji membunuh dan menganiaya
ketujuh gadis rombongan kami ini adalah atas perintah Panglima Wadulata?"
berkata Wenah da-
lam hati. Tapi cepat menarik lengan Ande Pulut dan Giwang untuk bersembunyi
dibalik onggokan
tambang dan terpal layar, karena mendengar sua-ra langkah orang mendatangi.
Hati Wenah berdebar, karena mengkhawatir-
kan yang muncul adalah orang-orangnya Pangli-
ma Wadulata. Untunglah suara langkah itu ter-
henti, kemudian menjauh lagi. Wenah menotok
Ande Pulut dan Giwang yang sudah menjadi
orang dungu. Lalu berkelebat ke arah dapur. Setelah menyikat makanan, menangsal
perutnya yang kosong karena semalam-malam terus ber-
juang melawan hantaman deburan ombak, dia
kembali lagi ketempat onggokan kain terpal. Lengannya bergerak membebaskan
totokannya yang
digunakan agar keduanya tak membuat kegadu-
han hingga orang mengetahui tempat persembu-
nyian itu. Beberapa saat lama Wenah tercenung
mencari jalan untuk meloloskan diri dan mela-
porkan kejadian itu pada Ratu...
*** ENAM MAU DIBAWA KEMANAKAH AKU....?"
tanya Nanjar setelah dia dibawa memutari teb-
ing disisi pantai. Rasanya tanpa adanya Ande Pulut, dia tak leluasa bercakap-
cakap. Para gadis yang mengawalnya kali ini rata-rata menutup mulut. Setiap
Nanjar bertanya selalu dijawab dengan tanda isyarat. Akhirnya tak tahan untuk
berdiam diri, Nanjar bertanya seraya hentikan langkah kakinya. Mendadak mereka
berkelebatan melompat
dan lenyap. Saat itulah terdengar suara tertawa terbahak-bahak, disusul
munculnya sesosok tubuh mengenakan jubah hitam dan mantel hijau.
Nanjar perhatian wajah pendatang ini. Ternya-
ta dia seorang laki-laki bertampang angker dengan kumis tebal, berambut lebat.
Hidungnya me- lengkung bagai paruh burung betet. Dialah Pan-
glima WADULATA.
"Haha... selamat datang dipulau Naga Jelita,
pendekar Dewa Linglung! Aku adalah Panglima
Wadulata yang ditugaskan menyambut kedatan-
gan anda dipulau ini!" katanya seraya menjura.
Nanjar balas menjura sambil tersenyum, lalu menyahut.
"Namaku Nanjar! Dimanakah tempat tinggal
Ratu?" "Sebentar anda akan kami bawa mengha-
dap...!" kata Panglima ini, lalu bertepuk tangan ti-ga kali. Dari balik tebing
muncul seorang gadis baju hijau membawa sebuah nampan berisi dua
buah cawan berisi arak. Lalu menyuguhkan diha-
dapan Panglima. "Silahkan, sobat pendekar ga-
gah! Arak ini merupakan minuman khusus bagi
setiap tetamu yang diundang datang oleh Ratu
kami...." kata Panglima, seraya menjumput se-
buah cawan. Sedang secawan lagi diberikan gadis itu pada Nanjar.
"Mari minum..." kata Panglima selesai Nanjar
menerima cawan yang diperuntukkannya. Nanjar
mengangguk, seraya mendekatkan cawan kebi-
birnya. Akan tetapi pada saat itulah terdengar suara berbisik ditelinga Nanjar.
"Anak muda! Singkirkan minuman berbahaya
itu, kalau kau tak mau berubah jadi dungu..."
Nanjar tersentak kaget. Diam-diam dia memba-
thin dalam hati. "He" Siapa yang telah membisiki telingaku dengan mempergunakan
ilmu mengirim suara jarak jauh?"
Prang....! Mangkuk berisi arak itu mendadak terlepas da-
ri tangan Nanjar seperti tak sengaja. Sejenak Nanjar tertegun, tapi cepat-cepat
berkata; "Maafkan aku, sobat Panglima...! Aku tak sen-
gaja menumpahkan arak penghormatan ini..." Be-
rubahlah seketika wajah Panglima. Mendadak dia berkata dingin.
"Hm, anda berperasangka buruk rupanya ter-
hadapku" Tapi tak mengapa..." Panglima ini
membanting cawan yang berada ditangannya.
Tampaknya arak itupun belum sempat diminum-
nya. Kemudian berpaling pada si pembawa mi-
numan. "Bawalah tetamu kita ini kehadapan Ratu!"
Pelayan mengangguk. Kemudian beri isyarat
pada Nanjar agar segera mengikuti. Sementara itu Panglima Wadulata berkelebat
pergi dari tempat itu, dan lenyap diujung lorong sebelah barat.
Baru saja injakkan kaki dipulau Naga Jelita,
Nanjar sudah menemukan banyak kejanggalan.
Tentu saja membuat dia harus berhati-hati. Bahkan dalam kejadian barusan sudah
tertanam si- kap tak bersahabat dari Panglima Wadulata. En-
tah siapa adanya Panglima Wadulata itu, apakah kedudukannya disamping Ratu
belumlah diketahui dengan jelas oleh Nanjar. Bahkan tampang
Ratu pulau Naga Jelita saja sampai saat itu dia belum mengetahui. Dengan sikap
penuh kewas-padaan, Nanjar mengikuti dibelakang gadis pem-
bawa nampan itu memasuki lorong yang berbe-
lok-belok. *** DITENGAH PULAU, dikelilingi tebing batu-batu
karang tampak sebuah bangunan berbentuk ke-
pala Naga mengangakan mulutnya. Pada mulut
Naga itulah terletak pintu masuk ke istana. Belasan penjaga terdiri dari para
wanita menatapkan mata melihat kemunculan Nanjar.
Tampaknya sang Ratu telah mengetahui, dan
mendapat laporan akan kedatangan pendekar
undangannya itu. Ketika Nanjar dibawa oleh dua penjaga wanita berselempang kain
kuning ke da- lam ruangan, ternyata Ratu pulau Naga Jelita telah menyambutnya dengan berdiri
dipintu depan. Melihat seorang wanita berparas cantik mema-
kai baju bersisik perak bergelimpangan, dengan dandanan yang menyolok, tahulah
Nanjar kalau wanita itu adalah Ratu yang dimaksud. Dua pen-
gawal itu segera mengundurkan diri.
Nanjar cepat menjura didepan wanita itu.
"Andakah Ratu pulau Naga Jelita?" tanya Nan-
jar. Ratu mengangguk sambil tersenyum seraya
katanya. "Benar! Selamat datang dikerajaanku, pende-
kar gagah! Girang rasa hatiku. Anda pasti si Dewa Linglung, pendekar Naga
Merah ...!"
"Begitulah menurut kata orang. Tapi gelar itu
sangat membuat aku tak enak hati. Baiknya Ratu memanggilku dengan namaku
saja ..." kata Nanjar. "Siapakah namamu, pendekar gagah?" tanya
Ratu. "Nanjar! Lengkapnya Ginanjar...!"
"Oh, nama yang bagus! Silahkan masuk, pen-
dekar gagah. Oh, ya sobat Nanjar, senang sekali aku berjumpa anda. Anda akan
menjadi tamu is-timewaku dipulau Naga Jelita ini!"
"Ratu sendiri tak punya nama?" tanya Nanjar.
"Hihi... kaulah seorang tamuku yang paling
aneh, baru berjumpa sudah menanyakan namaku
segala. Tapi tak apalah, namaku... MOURITA..."
Ratu memperkenalkan diri dengan senyum dibi-
bir. Nanjar manggut-manggut seraya melangkah
ke dalam mengikuti sang Ratu.
"Nama andapun bagus, Ratu..." kata Nanjar.
Ratu tak menjawab, tapi tersenyum, seraya
bertepuk dua kali. Dari ruang dalam muncul dua gadis baju hijau dengan selempang
kuning. Berbeda dengan gadis yang dua orang tadi. Kalau
dua gadis itu berambut dikepang, dua gadis ini rambutnya disanggul. Dihadapan
Ratu, kedua pelayan ini membungkuk, seraya salah seorang berkata.
"Apakah perintah Ratu?" tanyanya.
"Hm, bawalah tetamuku ini kekamar istimewa
yang telah disediakan. Dan uruslah dengan baik sampai ada perintah dariku untuk
bertemu lagi..."
"Siap Ratu!" menyahut dua orang pelayan itu.
Kemudian menoleh pada Nanjar. Nanjar menatap
sang Ratu. Ratu mengangguk sambil tersenyum.
"Kapan aku bisa bercakap-cakap dengan anda
Ratu Mourita?" tanya Nanjar.
"Hm, besok siang aku kirim pengawal untuk
memberitahu padamu!" Nanjar mengangguk.
Kemudian balikkan tubuh dan mengikuti dua
gadis pelayan itu menuju ruang yang telah diperuntukkan bagi dirinya. Sesaat
Ratu masih berdi-ri menatap sampai pemuda itu lenyap dibalik pin-tu. Kemudian
terdengar dia menghela napas, dan balikkan tubuh untuk segera beranjak menuju
keruang tengah. Dikursi kebesarannya sang Ratu termangu-mangu. Tak lama dia
bangkit berdiri,
lalu dengan cepat memasuki ruangan kamarnya.
*** TUJUH PANGLIMA WADULATA duduk tak jauh di se-
belah kanan Ratu pulau Naga Jelita. Di sebelah kirinya tampak duduk si Dewa
Linglung dengan
pakaian sutera putih. Pertama-tama yang buka
suara adalah Panglima Wadulata.
"Ratu! Untuk menghormati tetamu kita, acara
apakah yang akan Ratu adakan pada hari ini?"
kata Panglima. Sementara matanya melirik pada
Nanjar yang duduk tenang-tenang ditingkat atas ruangan itu. Matanya menatap
kebawah dimana terdapat sebuah arena yang garis tengahnya sekitar dua belas tombak.
Disekeliling lingkaran berdiri berjajar puluhan gadis berbaju hijau. Di sebelah
utara, tepat diujung pandang mata tampak
sebuah rak senjata berisi beberapa macam senja-ta tajam seperti tombak, pedang,
parang, klewang dan alat untuk penangkis atau tameng.
Ketika Panglima Wadulata berbicara tadi bu-
kannya Nanjar tak mendengar, tapi pura-pura tak mengacuhkan kata-kata Panglima
itu. Bahkan Nanjar tampak mengedipkan mata pada seorang
gadis yang kebetulan menatap kepanggung. Di-
alah gadis pembawa nampan yang berisi arak ke-
tika Panglima Wadulata menyuguhkan arak
penghormatan pada Nanjar kemarin.
Apa yang dilakukan Nanjar ternyata tak luput
dari mata Panglima. Sebelum Ratu menjawab, ce-
pat-cepat Panglima Wadulata menyambung.
"Ingin sekali aku melihat kehebatan ilmu pe-
dang Naga Merah tetamu kita ini, Ratu! Bagaima-na kalau kita memeriahkan
pertemuan ini dengan melihat permainan pendekar gagah yang namanya telah santar
didunia Rimba Hijau itu" Rupanya akan merupakan acara yang sangat mena-
rik...!" Sebelum Ratu pulau Naga Jelita menjawab,
mendadak Nanjar mendehem seraya berpaling
menatap sang Ratu. Saat itu Ratu justru tengah menatap kearahnya. Cepat Nanjar
bangkit berdiri, seraya menjura.
"Ratu Mourita! Apakah Panglimamu mempu-
nyai orang-orang andalan yang berilmu lumayan
untuk menghadapiku" Tapi tak perlu bertarung
pakai senjata segala. Untuk mereka silahkan saja.
Tapi aku akan menghadapi dengan tangan ko-
song!" berkata Nanjar.
"Bagus! Ratu! ini merupakan tantangan buat
kita. Aku memang telah menyiapkan orang-
orangku untuk mencoba kehebatan jurus-jurus
pukulan tetamu kita yang gagah ini!" kata Pan-
glima Wadulata seraya bangkit berdiri. Dalam
berkata itu tampak senyum sinis menyungging di bibirnya. Ratu pulau Naga Jelita
tersenyum menatap Nanjar. Lalu beri isyarat pada Panglima untuk duduk.
"Terimakasih atas kesediaan anda sobat, Dewa
Linglung! Apa yang akan anda perlihatkan diha-
dapanku adalah merupakan kehormatan buat Is-
tana Pulau Naga Jelita. Untuk itu sekali lagi aku mengucapkan terimakasih!" kata
Ratu. Selesai berkata dia menoleh pada panglima Wadulata.
"Nah! Kau boleh beri isyarat tanda pembukaan
Petualang Asmara 5 Sepasang Golok Mustika Karya Chin Yung Memanah Burung Rajawali 11
^