Pencarian

Buronan Dari Mataram 2

Dewa Linglung 23 Buronan Dari Mataram Bagian 2


*** WENING RANI membedal kudanya menuju ge-
dung kediaman Tumenggung ASMORO. Tumeng-
gung yang baru, pengganti Tumenggung
KERTOSONO yang telah mengundurkan diri, yaitu
ayah DORO PETAK. Laki-laki yang baru menjabat
Tumenggung satu bulan yang lalu itu masih muda.
Usianya sekitar tiga puluhan tahun.
Ketika seorang pengawal melapor kehadapan-
nya, Tumenggung ini mengangguk. "Katakan, se-
bentar aku datang menemui!!" katanya. Pengawal itupun melangkah pergi.
Tumenggung Asmoro memasuki ruang kamar-
nya. Mengganti baju kemejanya dengan warna biru gelap. Menyisir rambutnya
didepan kaca. Lalu ke-nakan topi ketumenggungan, dan keluar dari ka-
mar. Wening Rani tak terlalu lama menunggu di-
ruang pendopo. Dia telah melihat kedatangan laki-laki Tumenggung itu. Dengan
menjura serta meng-gambar senyum, Tumenggung Asmoro berkata.
"Ada keperluan apakah, Den Ayu Wening kema-
ri" Tentu ada hal yang sangat penting..."
Gadis puteri Adipati ini mengangguk. Diam-
diam hati dara ini agak terpikat melihat ketampa-nan wajah Tumenggung muda itu.
Telah dua kali dia bertemu, sejak dua pekan, setelah dia kembali menetap di Kota Raja. Pertama
ketika Tumenggung muda itu datang ke Kadipaten. Kedua ketika dia pulang dari
pasar Kota Raja, ketika membawa tawanan laki-laki jembros itu.
"Aku membawa surat dari ayahanda...!" kata
Wening Rani. Lalu gadis ini berikan secarik lipatan kertas kain pada laki-laki
itu. Cepat Tumenggung Asmoro membaca surat tersebut.
"Hm, baiklah! Terimakasih atas surat yang kau
sampaikan ini, Den Ayu..."
"Kalau begitu, aku permisi..." Wening Rani
bangkit dari kursinya.
"Ah, mengapa terburu-buru..." Sebaiknya kuse-
diakan minuman untuk menjamu Den Ayu Wen-
ing. Oh, ya! kudengar Den Ayu telah mengundur-
kan diri dari pesanggrahan TEMBAK REJO" Apa-
kah Den Ayu telah menamatkan pelajaran?" sam-
bung Tumenggung muda itu.
Wening Rani memang menantikan kata-kata
yang ditunggunya. Dia ingin agak lama bercakap-cakap mengenai apa saja dengan
laki-laki muda itu. Wening Rani mengangguk.
"Benar! Aku memang telah keluar dari pergu-
ruan itu. Ayah menyesal membawaku kesana. Tapi ayah telah mencarikan aku seorang
guru lain. Seorang tokoh persilatan dari Hindustan. Menurut
ayah seorang ahli ilmu Yoga!" sahut Wening Rani.
Tumenggung Asmoro manggut-manggut. "Wah!
Den Ayu beruntung. Kelak tentu akan memiliki il-mu yang sangat tinggi, dan
langka...!" kata laki-laki ini. "Apa yang diharapkan ayah memang demikian!"
menyahut gadis ini.
"Oh, ya...! Kuambilkan minuman untukmu.
Tunggulah sebentar" Wening Rani mengangguk.
Dan Tumenggung muda itu beranjak masuk ke-
ruang dalam. Tak berapa lama telah keluar lagi dengan membawa dua cawan minuman.
"Aku telah lama menyimpan anggur wangi ini.
Enak, dan sangat menyegarkan. Den Ayu suka?"
"Sekali-sekali aku suka minum anggur. Tapi be-
lum pernah mencicipi anggur sewangi ini..." kata Wening Rani seraya menyambut
cawan. Hidung-nya mengendus bau harum minuman dalam ca-
wan itu. "Cobalah...! Segar sekali rasanya!" kata Tu-
menggung Asmoro seraya mendahului meneguk.
Wening Rani menyeruputnya sedikit. Kemudian
meminumnya beberapa teguk.
"Bagaimana?" tanya Tumenggung Asmoro.
"Enak, menyegarkan tenggorokan. Tapi agak ke-
ras....!" sahut Wening Rani. "Jangan kuatir! Den Ayu tak akan mabuk!" Tumenggung
Asmoro tersenyum.
"Justru aku ingin mabuk..." kata Wening Rani.
Entah mengapa ketika melihat Tumenggung muda
itu tersenyum, hatinya berdebar aneh.
"Bolehkah aku beristirahat sejenak dikamar-
mu?" tanya Wening Rani dengan atas setengah
terkatup. "Mengap tidak" Mari kuantar, Den Ayu..." sahut Tumenggung Asmoro. Wening Rani
bangun berdiri dengan agak terhuyung. Cepat-cepat Tumenggung
muda ini memayangnya keruang dalam.
*** DELAPAN UDARA MALAM YANG DINGIN menyelimuti se-
kitar kadipaten. WENING RANI menarik kain seli-mutnya. Membuntal tubuhnya dengan
kain tebal itu. Sukar sekali dia memicingkan mata. Kejadian siang tadi digedung
ketumenggungan selalu membayang dalam ingatannya. Seolah-olah dekapan
lengan Tumenggung muda itu masih terasa. Dan
sesuatu hal yang sukar dia melupakannya mem-
buat darahnya mengalir lebih cepat. Dan terpanar-lah dia dalam kesendirian,
dengan napas membu-
ru. Mendadak ada perasaan benci yang membludak pada ayahnya, ketika ingatan masa
silam kembali membayang dalam ingatannya. Dia memang tak
dapat melupakannya. Walau dia dapat menutup
rahasia itu rapat-rapat.
"Ayah memang binatang....!" mendesis gadis ini dengan air mata menitik dikelopak
matanya. Terbayang dimatanya ketika suatu malam yang sunyi sepi ayahnya bangkit
dari pembaringan dengan
tubuh bersimbah peluh. Dia hanya dapat menatap dari balik air matanya dengan
mulut terkatup dan isak tertahan dalam dada.
Saat itu dia berkata. "Mengapa kau lakukan ini, ayah..." Bagaimana kalau aku....
aku hamil?" Suara yang dilontarkannya hanya berupa desis. Ayahnya hanya
tersenyum, dan menggeleng. Lengannya membelai rambutnya penuh kasih sayang,
seraya katanya. "Kau tak akan hamil, cah ayu....! Percayalah...!
Dan kau harus menutup rahasia ini sampai kapan pun. Sampai mati! Aku bersumpah
tak akan men-gulangi lagi....! Maafkan aku, anakku..." Wening Rani mengangguk,
dan ketika lengan laki-laki yang disebut ayah itu memeluknya, dia terisak-isak
didada sang ayah.
Waktu itu dia sangat kasihan pada ayahnya.
Ayahnya sangat kesepian, sejak keluarga mere-
ka berantakan. Entah apa yang menjadi sebab se-ringnya terjadi pertengkaran,
hingga berakhir den-
gan perpisahan kedua orang tuanya. Hal itu terjadi ketika ayahnya masih menjabat
sebagai Tumenggung. Dan sejak itu ayah sering melamun. Hingga setahun kemudian
ayahnya menjabat pangkat
ADIPATI. Kemudian ayahnya menikah dengan seo-
rang wanita yang menjadi ibu tirinya. Dan dia kemudian dibawah kepesanggrahan
TAMBAK REJO, memenuhi keinginannya untuk mempelajari ilmu
bela diri. Demikianlah, hingga sampai saat itu, rahasia tersebut masih tetap
ditutupnya rapat-rapat.
Tak seorangpun yang mengetahui. Cuma yang je-
las, Tumenggung muda itu pasti mengetahui di-
rinya sudah tidak perawan lagi....
WENING RANI menghela napas. Disekanya air
matanya dengan ujung selimut. Dan dia mencoba
untuk memicingkan mata. Mendadak dia teringat
pada surat yang disuruh ayahnya disampaikan
pada Tumenggung ASMORO.
"Entah perintah apa yang dititahkan ayah pada
Tumenggung muda itu...?" berkata Wening Rani
dalam hati. Sampai subuh, gadis itu tak dapat memicingkan
mata. Ingatannya menerawang kemana-mana. Ti-
ba-tiba dia bangkit dari tempat tidurnya. Mendadak dia teringat pada tawanan
itu. Si laki-laki brewok, yang ditawan dikamar tahanan. Seperti tak tertahan dia
menahan dorongan kuat hatinya untuk melihat laki-laki itu dikamar tahanan.
Wening Rani perlahan berjingkat mendekati pin-
tu. Lalu membuka pintu kamarnya. Kemudian me-
langkah keruang belakang. Setelah melewati beberapa pintu lagi, lalu membelok
kesebelah kanan.
Inilah pintu keluar yang menghubungkan gedung
Kadipaten itu dengan tempat kamar tahanan yang terletak terpisah disamping
gedung. Hati gadis itu tersentak, ketika melihat dua
pengawal menggeletak dipintu kamar tahanan. Ketika dia memeriksa, ternyata kedua
pengawal itu telah tewas. Alangkah terkejutnya gadis puteri Adipati ini ketika
melihat jeruji besi kamar tahanan telah merenggang lebar. Ruang tahanan itu
kosong. "Edan! Laki-laki itu telah meloloskan diri!" sentak Wening Rani terkejut.
"Aneh...!" Pasti ada yang melepaskannya. Aku mengetahui dia tak memiliki ilmu
kepandaian apa-apa... Heh! Siapa yang telah melepaskan orang itu?" Bentak Wening
Rani dipe-nuhi pertanyaan.
"Hm, aku harus membangunkan ayah! Mela-
porkan hal ini....!" desis gadis ini, seraya melompat kembali kedalam gedung,
dan berlari kedalam. Tetapi ketika itu sebuah bayangan berkelebat dari balik
pintu. Dan dengan gerakan cepat membekap gadis ini. Dia tak sempat berteriak
lagi, karena segera terkulai dengan mengeluh. Ternyata sosok
tubuh ini telah menotoknya. Lalu membawanya
melompat dari jendela dan lenyap dikeremangan
pagi subuh. Mendengar suara gaduh, para pengawal yang
tidur dibarak sebelah timur terbangun. Belasan orang berlompatan kearah gedung
Adipati. "Ada apa?"
"Cepat periksa kamar tahanan! Jangan-jangan
laki-laki itu meloloskan diri!" bergegas beberapa
orang melompat pergi melihat keruangan tempat
menyekap tawanan. Tekerjutlah mereka ketika melihat jeruji penjara yang
merenggang lebar, dan menjumpai dua orang pengawal telah tewas dengan tulang
leher patah. Gemparlah seketika seisi gedung Kadipaten. Pa-
ra pengawal berteriak-teriak gaduh, membuat Adipati Bendoro Ningrat melompat
keluar dari kamar tidurnya.
"Celaka, Gusti Adipati...! Penjara bobol! Tawanan itu lepas!"
"Hah!" Goblok! Bagaimana tawanan sampai da-
pat lepas?" Bentak Adipati dengan marah. Lalu
bergerak memeriksa keruang tahanan. Didapatkan dua pengawal tewas terkapar.
Mendadak dia teringat pada Wening Rani. Bergegas pula Adipati ini melompat
kekamar puterinya. Didapatkan gadis
itu tak ada dikamar tidurnya, dan jendela ruang tengah lepas engselnya.
"Bedebah! Anakku ada yang menculik!" keluh
Adipati dengan napas memburu, dan wajah pucat.
"Anak kita Wening, diculik orang..." Oooh..." teriak istri Adipati dengan wajah
pucat, dan membuat kusut masai, menghambur ke luar dari ka-
mar. HINGGA CUACA BERANGSUR TERANG TANAH,
keadaan digedung Kadipaten masih tampak sibuk.
Beberapa prajurit bergerombol di sana-sini. Mereka menjumpai dua penjaga pintu
gerbang telah pulang menjadi mayat dengan kepala remuk. Tak
berapa lama tampak Adipati Bendoro Ningrat
membedal kuda, keluar dari pintu gerbang Kadipa-
ten.... *** SEMBILAN DIPATI BENDORO NINGRAT melarikan kudanya
bagaikan terbang, melintasi perbatasan sebelah timur, menuju kearah lereng
bukit. Yang ditujunya adalah rumah tempat kediaman bekas Tumenggung, yaitu laki-
laki yang bernama KERTOSONO.
Ketika kuda yang ditungganginya memasuki ha-
laman rumah tua itu, dari dalam rumah melompat keluar seorang wanita. Siapa lagi
kalau bukan perempuan asing ahli Yoga dari Hindustan itu.
Adipati ini melompat turun dari atas kuda. Pe-
rempuan asing sahabatnya itu cepat menghampiri.
"Ada kejadian apakah tuan Adipati?" tanyanya.
Adipati Bendoro membisikkan kata-kata ke te-
linga perempuan itu. Tampak wanita itu manggut-manggut. "Hihi... itu soal mudah.
Kapankah aku mulai bertindak...?" tanyanya.
"Sekarang!" menyahut Adipati. Perempuan itu
mengangguk. Dan tak menunggu lama lagi, tubuh
perempuan itu berkelebat cepat keluar dari halaman rumah. Ilmu meringankan
tubuhnya ternyata
sangat hebat. Dalam waktu beberapa kejap saja
tubuh perempuan itu telah melesat bagaikan terbang, dan lenyap dilereng bukit.
"Hm, sekarang aku harus menemui Tumeng-
gung Asmoro, untuk memberitahukan perihal
Wening, anakku!" berdesis laki-laki. ini. Tak lama
Adipati Bendoro Ningrat telah membedal kuda
dengan cepat meninggal tempat itu. Ternyata dia menuju kearah hutan Jati. Baru
saja dia memasuki mulut hutan, sesosok tubuh telah berkelebat keluar dari balik
semak. "Tumenggung Asmoro!" sebut Adipati ini. "Di-
mana kau menyembunyikan kudamu" Sudah la-
ma kau kemari?"
"Sejak subuh tadi, Gusti Adipati. Kudaku ku-
sembunyikan disana....!" sahutnya sambil menunjuk.
"Ada peristiwa yang mengejutkan, dan merobah
rencanaku, adik Tumenggung!" berkata Adipati
dengan wajah muram.
"Peristiwa mengejutkan?" tanya Tumenggung
Asmoro. "Ya! Laki-laki tawanan itu telah lolos dari tahanan. Dia menjebol terali besi,
membunuh empat pengawal tadi subuh, dan melarikan anakku
WENING RANI!" sahut Adipati ini.
"Bagaimana bisa terjadi, Gusti?" sentak laki-laki ini dengan wajah menampakkan
keterkejutan. Sementara Adipati Bendoro Ningrat memperhati-
kan sikap Tumenggung muda itu penuh selidik.
"Hm, memang sangat aneh! Menurut anakku,
tawanan itu seorang laki-laki yang tak berkepandaian apa-apa. Kalau dia bisa
meloloskan diri, bahkan menculik anakku, tentu seseorang telah
menolongnya!" kata Tumenggung Bendoro Ningrat.
"Gusti Adipati mencurigai hamba?" tanya laki-
laki ini, karena merasa sorotan mata yang terasa aneh dan begitu tajam menusuk.
"Aku tidak mengatakan bahwa aku mencuri-
gaimu. Tapi yang akan kutanyakan adalah, dima-


Dewa Linglung 23 Buronan Dari Mataram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

na kau menyembunyikan gadis bernama DORO
PETAK itu?" sahut Adipati. "Dan aku perlu bukti mayat bekas Tumenggung itu,
apakah kau telah
melenyapkan nyawanya seperti yang kuperintah-
kan?" Sejenak Tumenggung Asmoro tertegun. Begitu
cepat Adipati Bendoro Ningrat beralih kelain persoalan, seolah-oleh tak
mengkhawatirkan keselamatan anak gadisnya.
"Baiklah! Kalau itu yang Gusti Adipati tanya-
kan, aku bersedia menunjukkan!" jawab Tumeng-
gung Asmoro. Lalu sambungnya. "Yang manakah
yang akan gusti lihat dulu" Apakah ketempat
mayat bekas Tumenggung itu, atau ketempat aku
menyimpan gadis, itu?" Kali ini Adipati Bendoro Ningrat yang terdiam beberapa
saat. "Kau bisa diajak kerja sama, bukan?" kata Adi-
pati ini setelah beberapa merenung.
"Seperti telah hamba katakan sebelumnya. Aku
hanya mengharapkan imbalan yang patut kuteri-
ma, sebagai balasan atas apa yang telah aku jalankan!" sahut Tumenggung muda ini
dengan ter- senyum kaku. "Bagus! Aku percaya padamu!" Adipati Bendoro
Ningrat melompat turun dari atas kuda. Lengan-
nya meraba sela bajunya. Lalu mengeluarkan se-
buah bungkusan kain berwarna hitam.
"Terimalah ini, separuh dari apa yang telah ku-janjikan!" Tumenggung Asmoro
menangkap benda
yang dilemparkan kearahnya. Sejenak dia menatap
laki-laki dihadapannya. Lalu dengan cepat mem-
buka kantong kain hitam itu. Dari dalam kantong dikeluarkan sebuah benda.
Ternyata sebuah emas batangan. Tumenggung muda itu tersenyum. Lalu
menyimpan lagi benda itu dalam kantong kain,
dan menyelipkan kebalik baju.
"Apa perintah selanjutnya yang hamba kerja-
kan?" kata Tumenggung Asmoro.
"Saat ini aku telah menitahkan SHAKILA, saha-
batku perempuan asing itu untuk melenyapkan
nyawa Ki Ageng GIRING! Menggantikan tugasmu
semula. Kini tugasmu adalah mencari jejak laki-laki tawanan itu. Bila kau
menjumpainya, habisi nyawa kedua orang itu!"
Tumenggung muda itu terperangah kaget.
"Mengapa Gusti Adipati menyuruhku membu-
nuh puteri Gusti Adipati sendiri?" tanyanya dengan mata membelalak.
"Hm, WENING RANI itu bukan anak kandung-
ku!" sahut laki-laki ini dengan suara tegas. Tumenggung muda itu manggut-
manggut. "Baiklah kalau begitu. Tugas itu segera hamba
jalankan!" kata Tumenggung ini.
"Tapi ingat! Rahasiaku hanya kau yang menge-
tahui. Dan kau harus tutup mulutmu, jangan
sampai bocor!"
"Beres, Gusti Adipati! Jangan khawatir, aku
akan menjaga rahasia ini, dan tak akan seorang pun didunia ini yang mengetahui
selain aku!" sahut Tumenggung muda itu dikeluarkan secarik
kain hitam dari balik baju. Ternyata sebuah to-peng. Kemudian digunakan
membungkus wajah-
nya. Ketika Tumenggung muda itu akan beranjak
pergi, Adipati cepat menahannya. "Tunggu! se-
baiknya kau tunjukkan dulu dimana kau menim-
bun mayat laki-laki bekas Tumenggung itu!"
"Baik! Silahkan Gusti Adipati mengikutiku...!"
sahut Tumenggung, seraya beranjak melangkah
keluar hutan. Tak lama mereka telah berlari cepat menuju lereng bukit. Dan pada
tempat ketinggian, dekat air terjun, Tumenggung Asmoro menghenti-kan larinya.
Dia menunjuk kearah sisi bukit didepannya.
"Ditempat itulah aku menimbun mayatnya!" ka-
ta Tumenggung Asmoro. Adipati Bendoro Ningrat
melompat kearah yang ditunjukkan itu. Tampak
dihadapannya segundukan tanah. Dan, ketika ta-
tapan mata laki-laki ini melihat sepotong lengan yang tersembul keluar, dia
tersenyum. "Kini aku percaya...!"
"Apakah hamba perlu membongkarnya agar
Gusti Adipati lebih yakin lagi?" tanya Tumenggung Asmoro.
"Tak perlu! Tak perlu! Aku benar-benar percaya penuh padamu! Kini tunjukkan
dimana kau menyembunyikan gadis bernama DORO PETAK itu!"
"Apakah hamba perlu juga mengantarkan ke
tempat itu?" tanya Tumenggung.
"Tak perlu! Kau katakan saja mana jalan yang
harus kutempuh!" menyahut Adipati cepat-cepat.
Dalam pikirnya dia toh tak perlu harus terburu-buru. Semua urusan sudah
diserahkan pada
orang-orangnya.
Tumenggung memberitahu jalan yang harus di-
lalui. Kemudian diapun segera mohon diri untuk menjalankan tugas... ***
SEPULUH KI AGENG GIRING terpaku diruang depan pe-
sanggrahan. Kepergian dua orang murid perem-
puannya selama lebih dari dua pekan telah meri-saukan hati laki-laki tua ini.
Terutama sekali kekhawatiran itu tertuju pada
DORO PETAK. Karena dia mengetahui gadis itu
puteri sahabatnya, KERTOSONO, bekas Tumeng-
gung yang telah mengundurkan diri dari jabatan.
Sedikit banyak dia mengetahui perihal rumah
tangga laki-laki itu. Tapi dia harus membungkam mulut, karena ancaman Adipati
Bendoro Ningrat.
Sebagai rakyat jelata, guru silat ini tak mampu berbuat apa-apa. Apalagi adanya
puteri Adipati itu dipesanggrahannya. Membuat dia harus lebih ber-hati-hati.
Karena keselamatannya bisa terancam.
Kalau saja ayah Adipati yang telah almarhum
itu bukan bekas kawan seperjuangannya, tentu
dia sudah angkat kaki dari tempat itu, dan membongkar kasus perbuatan itu pada
Tumenggung Kertosono sejak lama.
"Adipati Bendoro Ningrat memang berwatak be-
jat! Sungguh jauh berbeda dengan mendiang
ayahnya. Aku sangat mengkhawatirkan nasib
DORO PETAK. Kertosono telah menitipkan anak
gadis satu-satunya itu padaku. Kalau dia menemui bahaya, sungguh tak mengenakkan
hatiku..." ber-
kata laki-laki tua ini dalam hati. Pikirannya kusut.
Dan sampai saat ini dia belum membuat satupun
suatu keputusan yang dirasa baik.
Setelah menghela napas panjang seperti mele-
paskan beban berat yang menindih dadanya, Ki
Ageng GIRING beranjak masuk kedalam ruangan.
Tapi baru saja beberapa tindak kakinya melang-
kah, mendadak terdengar suara tertawa melengk-
ing, diiringi kata-kata.
"HIHIHI...HIHI... KI AGENG GIRING! Apakah tu-
lang-tulang tuamu masih sanggup untuk mengha-
dapi beberapa jurus ilmu Yoga dari negeri Hindustan?" Tersentak laki-laki tua
ini, ketika tahu-tahu sebuah bayangan putih berkelebat, dan tahu-tahu didepan
pesanggrahan telah berdiri sesosok tubuh.
Mata tua Ki Ageng Giring agak melebar melihat
seorang wanita berambut panjang dikepang terurai sampai sebatas lutut,
berpakaian putih telah berdiri menatapnya.
"Siapakah anda...?" tanya laki-laki tua ini, dengan mengerenyitkan keningnya.
"Hihi...hik... sudah lama aku ingin kemari, melihat tampang orang yang pernah
mengalahkan kakakku dengan jurus ilmu pedangnya yang he-
bat. Ternyata baru kali ini kesempatan itu datang!"
berkata wanita asing ini dengan logat yang pasih.
"Kakakmu" Hm, dengan kau sendiri aku belum
pernah mengenal. Apalagi kakakmu" Siapakah
kau sebenarnya" Dan siapa pula kakakmu?" ujar
Ki Ageng Giring dengan hati terkejut.
"Sudah kukatakan, aku adalah seorang ahli il-
mu Yoga dari negeri Hindustan. Kalau kau mau
tahu lebih jelas siapa aku, baiklah kusebutkan siapa adanya kakakku itu. Dialah
seorang laki-laki yang bernama BHUTAN! Dalam dunia persilatan
dia dijuluki si Tangan SAKTI! Apakah kau pernah mendengar namanya, dan apakah
kau lupa bahwa kau pernah mengalahkannya dengan jurus ilmu
pedangmu delapan tahun yang silam?" kata wanita asing berhidung mancung yang
dihiasi oleh seben-tuk perhiasan semacam cincin dari emas.
Sejurus Ki Ageng GIRING tercenung. Agak lama
dia merenung. Sementara itu beberapa orang mu-
rid-muridnya telah bermunculan dan menatap
wanita asing itu dengan heran. Karena mereka tak mengetahui kemunculannya.
"Hm, ya! Aku ingat kini! Hal itu sudah lama berlalu. Dan pertarungan itu bukan
berdasarkan dendam. Tapi kami hanya saling menguji ilmu kepandaian."
"Dendam atau bukan bagiku bukan alasan un-
tuk kini menebus kekalahan kakakku. Tahukah
kau akibat dari kekalahannya" Dia telah membuntungi sebelah tangannya, karena
malu pada guru-ku!" sahut wanita ini. Tentu saja penjelasan si wanita asing
membuat Ki Ageng Giring tersentak. Ta-pi segera berkata.
"Hal itu bukanlah kesalahanku! Dan aku tak
menyuruh kakakmu membuntungi sebelah len-
gannya!" kata si kakek dengan tetap tenang.
"Cukup! Bagiku kekalahan itu sudah merupa-
kan alasan untuk aku menjajal kehebatan ilmu
pedang yang tersohor dan sangat kau andalkan
itu, orang tua! Aku SHAKALA telah bersumpah un-
tuk menghadapimu, dan kalau aku kalah, maka
bukan sebelah tanganku yang akan kubuntungi
untuk menutup malu, melainkan batang leherku
ini sebagai penebus kekalahanku!"
Terperangah Ki Ageng Giring. Dengan berkata
begitu, berarti wanita itu telah siap mempertaruh-kan nyawa menghadapinya.
"Mana pedang pusakamu" Hayo, kau hadapi ju-
rus-jurus ilmu Yoga ku!" bentak Shakila dengan memasang kuda-kuda. Sebelah kaki
terangkat, dan dua lengan terentang. Melihat demikian belasan murid Ki Ageng GIRING
berlompatan mengu-
rung dengan senjata terhunus.
"Minggirlah kalian!" berkata laki-laki tua ini memberi perintah menyingkir pada
para muridnya. Lalu maju selangkah. "Ambilkan senjataku!" ka-
tanya seraya menoleh pada seorang murid laki-laki disebelahnya.
"Guru! Biarlah kami yang menghadapi perem-
puan liar ini!" kata laki-laki muda ini.
"Hm, kalian bukan tandingannya. Dan perta-
rungan ini hanya cuma aku yang harus mengha-
dapi!" Sang murid tak dapat membantah. Segera dia
berkelebat melompat kedalam ruang kamar gu-
runya. Tak lama telah melompat keluar dengan
lengan mencekal sebuah pedang berwarna hijau.
Cepat laki-laki ini memberikan pada gurunya.
"Bagus! Cabutlah senjatamu itu, Ki Ageng Gir-
ing! Pendekar Pedang Hijau! Dan hadapi jurus il-mu Yogaku!" bentak Shakila.
SREK! Sinar hijau membersit keluar ketika pedang pu-
saka itu dicabut keluar dari serangkanya. Wanita asing ini tak menunggu lama
lagi. Dengan membentak keras dia menerjang...
WHUT! WHUT! WHUT!
Gerakan salto Shakila demikian cepat. Tahu-
tahu tendangan-tendangan kakinya secara kilat telah menyambar dahsyat. Akan
tetapi dengan gesit Ki Ageng Giring Membuang tubuh ke samping. Beberapa kali dia
mengegos menghindari serangan.
Diam-diam dia mengagumi gerakan wanita itu.
Tapi laki-laki ini terperangah kaget, karena angin hantaman kaki itu saja telah
membuat tubuhnya terhuyung. Nyata tenaga dalam wanita itu
sangat hebat. Sekali kena sasaran, tulang anggota tubuhnya bisa remuk.
Kini Ki Ageng Giring telah pasang kuda-kuda.
Pedangnya menyilang didepan dada. Ketika serangan kembali tiba, pedangnya
menebas dan me-
nyambar-nyabar membentuk kilatan-kilatan hijau.
Hebat wanita asing itu dengan tubuh yang ber-
kelebatan lincah, serangan itu lolos. Bahkan yang disangka lawan serangannya
akan menemui sasaran, ternyata luput. Tubuh Shakila tiba-tiba me-nekuk dengan
kepala merendah. Sambaran pe-
dang lewat diatas kepala. Akan tetapi diluar du-gaan sepasang kakinya bagaikan
ekor Kalajengk-
ing, tiba-tiba menyambar melewati kepalanya.
WHUK! WHUK! BUK!
Satu sambaran kaki Shakila berhasil mengenai
lambung lawannya dengan telak.
Ki Ageng Giring terhuyung kebelakang. Wajah-
nya tampak menyeringai. Saat itu telah dibarengi dengan lompatan tubuh wanita
itu. Dan... WHUK! WHUK ! WHUK !
Lagi sepasang kaki wanita itu menyambar kea-
rah kepala dan dada laki-laki guru silat ini.
Dalam keadaan seperti itu sukar bagi orang
yang belum berpengalaman untuk menghindari se-
rangan. Apalagi saat itu Ki Ageng Giring merasakan lambungnya nyeri. Kalau dia
tak memiliki tenaga dalam tinggi, dan menggembungkan perut
menahan hantaman itu, tentu isi perutnya telah hancur. Secepat kilat dia menabas
dengan pedangnya. Cepat sekali melebihi gerakan Ki Ageng Giring, sepasang kaki
Shakila mendadak berubah arah. Satu keatas satu kebawah. Dan... KREP!
Tahu-tahu sebelah lengan Ki Ageng Giring yang
mencekal pedang telah kena jepit sepasang kaki wanita itu. Terkejut laki-laki
pendekar tua ini. Namun lengan kirinya cepat meluncur menghantam
kedada lawan yang berada satu jengkal diatas tanah.
Serangan itu disambut dengan pukulan lengan
pula oleh lawannya.
PLAK ! Dua pukulan saling beradu. Seketika itu juga
terdengar teriakan tertahan Ki Ageng Giring, tubuhnya terjungkal, berbareng
dengan tubuh la-
wannya yang menindih tubuhnya. Pedangnya ter-
lepas. Jepitan sepasang kaki Shakila mengendur, namun dengan gerak cepat lagi-
lagi tubuh wanita asing itu melompat dengan gerakan salto. Sekejap dia telah
berdiri tegak diatas tanah.
"Hihi... ternyata ilmu pedangmu sudah rapuh,
Pendekar Pedang Hijau!" mengejek wanita ini. Tapi mendadak wajahnya berubah


Dewa Linglung 23 Buronan Dari Mataram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pucat. Apa sebabnya
Sungguh dia tak menyangka kalau laki-laki tua itu masih mampu menyerang. Bahkan
secara tak ter-duga. Tahu-tahu ujung kaki Ki Ageng GIRING te-
lah menendang gagang pedang yang tergeletak ditanah. Tepat ujung pedang itu
menghadap kea- rahnya. Membersitlah sinar hijau menyambar kearah dadanya.
Sukar untuk diikuti kecepatan sambaran pe-
dang itu yang meluncur bagai anak panah.
Tahu-tahu Shakila menjerit kaget. Dan...
BLES! Pedang itu telah menembus dada kirinya
sampai kepunggung.
Murid-murid pesanggrahan TAMBAK REJO ber-
sorak girang. Sejak tadi mereka mengikuti jalannya pertarungan.
Tampak tubuh wanita ini terhuyung kebela-
kang, dan roboh terjungkal. Ki Ageng Giring sendiri tak menyangka kalau serangan
mendadak itu bakal menemui sasaran. Akan tetapi terkejutnya Ki Ageng Giring dan murid-
muridnya tak alang ke-palang. Tahu-tahu tubuh wanita yang tergeletak itu
melompat bangun. Kilatan sinar hijau menyambar kearah ulu hati Ki Ageng Giring,
diiringi bentakan keras wanita itu.
Sesosok bayangan berkelebat diiringi teriakan
kaget. "Awas...!" tapi terlambat. Ujung pedang itu telah menembus sedikit kulit dada Ki
Ageng Giring. Namun sebelum menembus jantung laki-laki tua itu,
mendadak wanita asing ini kebelakang. Pedang dalam genggamannya terlepas.
Tahu-tahu seorang pemuda berambut gondrong
telah berada di tempat itu. Sebelah lengannya baru saja menghantam kearah wanita
asing itu. Dan sebelah lengannya lagi memayang tubuh laki-laki guru silat itu.
Siapa adanya pemuda itu" Tak lain dari si Dewa Linglung.
Ternyata pemuda itu sejak tadi telah mengikuti jalannya pertarungan. Dia memang
tengah mem-buntuti Shakila yang dijumpai di jalan desa berlari cepat bagai
terbang. Ternyata menuju ke pesanggrahan ini. Ketika terjadi pertarungan tadi,
Nanjar dapat melihat bahwa serangan-serangan
wanita asing itu sangat hebat, walaupun hanya
bertangan kosong. Tahulah dia siapa adanya pe-
rempuan itu. Dan persoalan apa dengan laki-laki tua ketua pesanggrahan bernama
Ki Ageng Giring itu. Tapi serangan pedang Ki Ageng Giring juga tak kalah
hebatnya. Nanjar sendiri hampir menyangka pedang laki-laki tua itu telah
menembus dada lawan. Tapi kecepatan matanya masih mampu meli-
hat gerakan lengan Shakila yang bergerak merenggang, dan menjepit badan pedang
dengan ketiak- nya. Tapi Nanjar agak terkecoh karena wanita itu roboh terjungkal.
Saat itu Nanjar telah melompat lebih dekat.
Mendadak tubuh wanita itu meletik, dan tahu-
tahu pedang telah dalam genggaman tangan wani-
ta itu, dan secara cepat digunakan menusuk kea-
rah dada Ki Ageng Giring.
Nanjar melompat seraya berteriak memberi pe-
ringatan. Tapi terlambat. Ujung pedang telah menembus kulit dada laki-laki tua
itu. Nanjar memang kalah cepat dalam bertindak, karena dia
memang tak menduga sama sekali. Tapi dalam de-
tik maut itu dia masih bisa mengejar keterlambatannya walau hanya setengah
detik. Pukulan tangannya mampu membuat tertahannya ujung pe-
dang, dan tubuh wanita itu terlempar kebelakang.
Tampak pedang pusaka itu menempel didada
laki-laki tua itu. Nanjar cepat mencabutnya, dan siap dilemparkan ketubuh wanita
asing itu karena mendongkolnya. Tapi hebat si wanita asing itu.
Baru saja tubuhnya menggabruk ketanah, menda-
dak dia gunakan gerakan salto. Detik berikutnya wanita itu telah berada diatas
tembok pagar pesanggrahan. Tampak wanita ini berdiri tegak menatap kearah mereka
yang terperangah kagum.
Sepasang mata Shakila membersit tajam mena-
tap si pemuda berambut gondrong itu. Wajahnya
tampak menyeringai seperti dia telah terluka dalam akibat pukulan itu. "Bagus!
Kau telah berhasil menyelamatkan nyawanya, pemuda gagah. Tapi
suatu saat kelak, aku akan datang mencarimu!"
berkata wanita itu. Selesai berkata demikian, tubuh perempuan ahli Yoga itu
berkelebat dari atas tembok, dan lenyap tak kelihatan lagi.
Para murid pesanggrahan TAMBAK REJO bagai
tersadar dari tercengangnya, serentak memburu
kearah guru mereka.
Nanjar merebahkan tubuh laki-laki tua itu.
Tampak dadanya mengucurkan darah. Cepat Nan-
jar membuka kain buntalan dibelakang punggung, lalu mengeluarkan sebuah
bungkusan kecil. Setelah memeriksa luka itu, dia berkata.
"Bubuhkan obat bubuk ini pada lukanya. Lalu
balut dengan kain. Darah akan berhenti mengalir.
Dalam dua hari, kalau pedang ini tak beracun, lu-ka akan mengering...!"
Nanjar berikan bungkusan kecil itu pada salah
seorang murid laki-laki tua itu. "Terimakasih, atas pertolongan anda, tuan
pendekar...!" kata murid-murid lainnya.
Nanjar bangkit berdiri, menatap sejenak pada
laki-laki yang pingsan itu. "Mudah-mudahan ji-
wanya dapat tertolong..." kata Nanjar lirih. Kemudian cepat sekali Nanjar
berkelebat melesat keluar dari halaman pesanggrahan itu. Sebentar saja
bayangan tubuhnya lenyap. Para murid Ki Ageng
Giring cuma terpana memandang dengan terlon-
gong kagum, juga terheran-heran.
Dari mana munculnya pemuda gondrong itu"
Begitu cepat memberikan pertolongan, kemudian
berkelebat pergi bagai angin lewat.
"Siapakah pemuda aneh itu?" berkata salah
seorang dengan berdiri menjublak, menatap kea-
rah lenyapnya bayangan tubuh si pemuda gon-
drong. Tapi mereka segera tersadar bahwa guru mere-
ka memerlukan pertolongan secepatnya. Maka si-
buklah mereka memberikan pertolongan...
*** SEBELAS KALAU HARI ITU ADA BURUNG BANGAU
RAKSASA TERBANG DIANGKASA, burung bangau
itu adalah si Dewa Linglung. Nanjar telah mempergunakan ilmu anehnya yang
langka, yaitu salah
satu jurus ilmu "terbang" yang diwariskan salah seorang gurunya, yaitu si Raja
Siluman Bangau.
Namun sesaat kemudian manusia burung itu telah lenyap, ketika menukik, dan
menyusup masuk kedalam hutan dibawahnya. Saat itu suara orang
saling bentak terdengar dari arah hutan bambu dilereng bukit itu. Apakah
gerangan yang tengah terjadi" Dan siapakah mereka".
Tampak seorang laki-laki yang tiada lain dari
Adipati Bendoro Ningrat tengah bertarung dengan seorang laki-laki bercadar
merah. Orang itu adalah si penjaga mulut goa yang berada dilereng bukit
tersebut. "Apakah kau tak mengetahui tanda ini?" bentak
Adipati, seraya keluarkan sebuah benda tanda
pengenal bahwa dia seorang alat Kerajaan, seperti yang dikatakan Tumenggung,
kalau dia menemukan kesulitan setelah menjumpai goa dimana Tu-
menggung itu menyekap DORO PETAK.
"Aku tak perduli dengan segala macam tanda
pengenal! Kau boleh masuk menemui gadis itu kalau kau telah langkahi mayatku!"
bentak laki-laki bercadar merah itu dengan suara berat parau.
"Keparat! Bedebah...! Kau mau mampus" Baik-
lah, kalau begitu!" bentak Adipati ini dengan muka
terasa panas. Dia merasa dipermainkan, dan be-
nar-benar merasa terhina.
Sekali lengannya bergerak, dia telah mencabut
keris dari pinggangnya. "Kerisku ini telah makan korban lebih dari empat puluh
orang. Kalau kau mampus berarti kaulah korban yang keempat puluh satu!" berkata
Adipati Bendoro Ningrat dengan suara dingin.
Laki-laki bercadar merah tertawa bergelak, sua-ra tertawanya begitu menggidikan
jantung. "Haha... ha.... diantara korban yang telah kau bunuh itu bukankah ada seorang
wanita, isteri seorang saudara seperguruanmu bernama JAKA
BAJUL..." Setelah kau perkosa kemudian kau bu-
nuh dengan keji! Semua itu kau lakukan ketika
saudara seperguruanmu itu tengah menjalankan
tugas sebagai prajurit Kerajaan Mataram. Perbuatan kejimu itu sudah lewat, lebih
dari lima tahun.
Tahukah kau bahwa prajurit yang dikabarkan te-
lah tewas itu ternyata masih hidup" Dan dia telah mencarimu yang buron dari
perguruan, karena
perbuatanmu diketahui gurumu! Dan tahukah
kau siapakah aku" Akulah JAKA BAJUL?"
Setelah berkata demikian, laki-laki bercadar
merah itu tiba-tiba membuka cadar penutup wa-
jahnya. Alangkah terkejutnya Adipati Bendoro Ningrat melihat laki-laki itu tak
lain dari tawanan yang meloloskan diri dari tahanan di gedung kadipaten, dan
yang telah menculik Wening Rani.
"Jadi kau... Jaka Bajul?" sentak Adipati ini dengan terperangah kaget. "Apakah
kau lupa pada tampangku, yang kini penuh dengan brewok ini?"
berkata si laki-laki brewok dengan suara parau penuh dendam.
Keringat sebesar-besar kacang menetes turun
dari dahi laki-laki bergelar Adipati ini. Tak terasa dia melangkah mundur
setindak. Dari dalam goa
mendadak muncul dua sosok tubuh, membuat
Adipati ini lagi-lagi membelalakkan mata, karena kedua orang itu adalah WENING
RANI dan Tumenggung ASMORO.
"Laki-laki hidung belang! Manusia jahanam! Ki-
ranya kau tak lebih jahat dari pada iblis!" membentak Wening Rani. Matanya
menatap Adipati
Bendoro Ningrat dengan sorot mata berapi-api.
"Tumenggung Asmoro! Apa artinya ini?" bentak
Adipati ini dengan suara bergetar karena terkejut dan marah.
Tumenggung muda ini tertawa gelak-gelak. Lalu
berkata. "Tanyakan saja pada anak gadismu, kukira dia
bisa menjelaskan!"
Tentu saja Adipati Bendoro Ningrat lebih tak
mengerti. Dia menatap pada Wening Rani, lalu
kearah Tumenggung Asmoro, dan beralih lagi pada si laki-laki brewok alias Jaka
Bajul. Kemudian kembali kearah Wening Rani.
"Ayah! Biarlah aku menyebut ayah padamu un-
tuk yang terakhir kali. Katakanlah! Apakah aku benar-benar bukan anakmu " Kalau
aku bukan anakmu, lalu siapakah sebenarnya kedua orang
tuaku" Dan, mengapa kau mau melenyapkan
nyawaku?" berkata Wening Rani dengan suara pa-
rau mengandung isak dan agak tergetar karena
menahan perasaan yang menekan dadanya.
"Aku... aku tak dapat mengatakannya..." sahut
Adipati dengan suara tergagap. Wajahnya seketika menjadi pucat pias.
"Kau harus mengatakannya!" bentak Wening
Rani lengan suara keras setengah menjerit. Sesaat suasana menjadi hening
mencekam. "Baik! Aku akan mengatakannya!" kata Adipati
ini setelah menyeka peluh yang turun kedahi.
"Kau memang bukan anakku! Tujuh belas ta-
hun yang lalu aku menemukan seorang bayi yang
tergeletak didepan pintu kamarku. Aku tak tahu siapa yang telah meletakkannya
disitu. Kemudian aku memberikan bayi itu pada seorang pelayan digedung ayahku!
Dialah yang merawat bayi itu. Ketika ayahku meninggal, bayi itu telah tumbuh
menjadi besar. Bocah perempuan itu berumur ki-
ra-kira tujuh atau delapan tahun. Kemudian aku menikah dengan seorang janda.
Ketika itu aku masih berpangkat Tumenggung. Bocah itu kemu-
dian dirawat oleh isteriku. Sayang isteriku tak berumur panjang. Setelah
kematian ibu tirimu, kaupun kuserahkan pada Ki Ageng GIRING, bekas
pembantu Istana yang telah mengundurkan diri,
dan membuka perguruan silat didesa Tambak Sa-
ri..." tutur Adipati Bendoro Ningrat.
"Jadi tak seorangpun mengetahui siapa ayah
ibuku?" berkata Wening Reni dengan terisak. Sepasang matanya telah bersimbah air
mata. Adipati Bendoro Ningrat tampaknya tak mem-
perdulikan lagi terhadap Wening Rani. Kini dia pentang mata menatap pada
Tumenggung Asmoro.
"Kini katakan siapa dirimu, manusia pengkhianat!"
bentak Adipati ini dengan darah serasa mendidih.
Mendadak Wening Rani maju selangkah men-
dekati Tumenggung muda itu.
"Biarlah aku yang menjelaskan. Hm, tahukah
kau wahai manusia yang kelakuannya lebih ren-
dah dari pada binatang! Tumenggung Asmoro ada-
lah Panglima KERAJAAN MATARAM yang telah di-
tugaskan menangkapmu, dan telah mendapat izin
dari Sri Sultan untuk melacak jejak buronan kerajaan Mataram!" berkata Wening
Rani dengan suara lantang.
Pucatlah seketika wajah Adipati Bendoro Nin-
grat. Kalau ada geledek disiang hari tak akan
membuat dia seterkejut itu mendengar apa yang
dikatakan Wening Rani.
"Aku membawa bukti, bahwa aku memang di-
perintahkan menangkapmu!" kata Tumenggung
Asmoro, seraya lemparkan segulung kertas kain pada laki-laki itu.
Membelalak mata Adipati Bendoro melihat surat
perintah itu memang dari Raja Kerajaan Mataram.
Lengkap dengan tanda tangan dan cap Kerajaan.
"Keparat! Kalian tak akan mampu menang-
kapku!" bentak Adipati ini dengan menggeram marah. Surat perintah itu
dibantingkannya ketanah.
"Kau memang tak perlu ditangkap lagi, Adipati
busuk! Karena aku segera akan mengirim nyawa-
mu ke Neraka!" bentak Jaka Bajul, seraya menerjang dengan beringas.
Dalam sekejap saja terjadilah pertarungan seru antara kedua laki-laki bekas
saudara seperguruan
itu. Keris ditangan Adipati Bendoro Ningrat menge-
luarkan cahaya biru yang menimbulkan hawa din-
gin, menyambar-nyambar dengan ganas.
Namun Jaka Bajul yang bertangan kosong da-
pat mengimbangi serangan lawannya dengan pu-
kulan-pukulan berbahaya. Jurus-jurus tangan ko-songnya membaurkan hawa panas
menindih hawa dingin yang keluar dari badan keris. Jaka Bajul mengetahui keris itu adalah
keris pusaka gurunya yang telah dicuri laki-laki bernama Bendoro itu.


Dewa Linglung 23 Buronan Dari Mataram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untuk itu dia bertarung dengan hati-hati.
Sementara itu Wening Rani hanya menatap
dengan terperangah. Dia tak menyangka kalau la-ki-laki brewok yang disangkanya
tak memiliki kepandaian apa-apa itu, ternyata seorang yang ber-kepandaian
tinggi. Dan ilmunya setingkat dengan Adipati itu.
Selang empat belas jurus, tampak serangan ke-
ris Adipati Bendoro Ningrat mulai agak berkurang.
Karena terpecah perhatiannya melihat munculnya dua sosok tubuh dari dalam goa.
Siapa adanya dua orang itu tak lain dari si gadis bernama Doro Petak, dan
seorang laki-laki tua
yang membuat jantungnya terlonjak, saking terkejutnya.
Siapa adanya laki-laki itu tiada lain dari
KERTOSONO, laki-laki bekas Tumenggung yang
telah mengundurkan diri.
Akibat pecahnya perhatian Adipati itu, telah
membuat dia lengah. Satu hantaman keras kearah dada tak dapat dielakkan lagi.
Adipati ini rasakan
dadanya seperti dihantam palu godam. Tubuhnya
terhuyung beberapa langkah kebelakang.
Kesempatan itu telah dinanti-nantikan Wening
Rani sejak tadi.
Mendadak tubuh gadis ini melompat kearah Do-
ro Petak. Lengannya menyambar pedang yang ter-
soren dipinggang gadis itu. Dan dengan gerakan cepat Wening Rani berkelebat
kearah Adipati Bendoro Ningrat. Seraya membentak keras, dengan
bercampur isak, gadis ini hujamkan pedang ditangannya kearah dada laki-laki itu.
Terdengar teriakan parau membelah udara. Su-
kar terelakkan lagi serangan secara tiba-tiba itu, karena saat itu Adipati
Bendoro Ningrat dalam
keadaan terhuyung akibat hantaman pukulan Ja-
ka Banjul. Pedang itu amblas tepat kejantung laki-laki itu.
Membelalak mata Adipati Bendoro Ningrat. Tapi
sesaat tubuhnya oleng, dan ambruk ketanah, setelah beberapa saat menggelepar
sekarat, tubuh la-ki-laki itupun terkulai tak bergeming. Nyawanya telah melayang
ke Akhirat. Wening Rani menatap laki-laki itu dengan se-
nyum dibibir. Hatinya puas telah menamatkan ri-wayat manusia durjana yang telah
merusak ke- hormatannya itu.
Akan tetapi mendadak wajahnya berubah pias.
Senyum itu lenyap bagai tersapu angin. Tiba-tiba dia membalikkan tubuh.
Terperangah kaget semua yang ada disitu, karena dilambung gadis ini tampak
tertancap keris pusaka Adipati itu.
Darah mengalir turun kekakinya. Wening Rani
tiba-tiba melangkah kearah Doro Petak. Terdengar suaranya menggetar ketika
berkata. "Doro Petak....! Sebelum aku mati, maukah kau
memaafkan ku?" Gadis baju putih bekas saudara
satu pesanggrahan itu melompat mendekati. Len-
gannya terulur menyambut lengan Wening Rani
yang terulur menggapai.
Akan tetapi sebelum lengan Doro Petak sempat
menyambutnya, tubuh Wening Rani telah ter-
huyung roboh. Dan sebelum tubuhnya menyentuh
tanah, jiwanya telah terlebih dulu melayang....
Sesaat ketika semua orang tengah memandang
kearah gadis itu dengan tertegun, dan gadis bernama Doro Petak itu terpaku
menatap Wening Ra-
ni dengan air mata mengembang.... Tumenggung
Asmoro berdehem.
"Tampaknya urusan ini telah selesai...! Dan tugas sementaraku sebagai Tumenggung
telah pula berakhir. Maka sebaiknya aku memberi penjela-
san." kata Tumenggung Asmoro.
Diantara semua orang yang ada disitu, cuma si
laki-laki brewok Jaka Bajul yang perlihatkan senyum, menatap Tumenggung muda
itu. "Sebenarnya Panglima Kerajaan Mataram itu
bukanlah aku. Tapi sobat JAKA BAJUL inilah
orangnya! Kami telah bekerja sama untuk membe-
kuk buronan dari Mataram ini!" kata Tumenggung Asmoro.
"Benar! Akulah Panglima Kerajaan Mataram
yang sebenarnya!" kata Jaka Bajul sambil tersenyum. Matanya menatap pada dua
orang di hada- pannya. Doro Petak geleng-gelengkan kepala sam-
bil berkata. "Wah, kalian ini benar-benar orang yang pandai main sandiwara. Tadinya aku
mengira tuan Tumenggung adalah orang yang jahat, karena telah menculikku dan
membawa ketempat ini...! Ternyata aku dipertemukan dengan ayahku..."
"Haha... mungkin kau akan lebih terkejut kalau mengetahui ayahmu adalah pemain
sandiwara yang lebih pandai dari kami!" kata Tumenggung Asmoro. Doro Petak belalakkan
mata, seraya ber-paling menatap sang ayah. "Permainan sandiwara macam yang telah
ayah lakukan...?" tanya gadis ini dengan heran.
"Doro Petak, anakku....! Sebenarnya aku belum
mengundurkan diri dari jabatan ketumenggun-
ganku!" jawab Kertosono.
"Hah!?" Hanya itu yang diucapkan oleh Doro Pe-
tak, si Burung Dara Berbulu Putih itu. Matanya membelalak menatap kearah semua
orang. Tiba-tiba ajukan pertanyaan pada Tumenggung Asmoro.
"Jadi kau ini siapa?" tanyanya.
Jaka Bajul menepuk-nepuk pundak dara itu.
"Dialah seorang pendekar muda yang bergelar si Dewa Linglung. Atau si Pendekar
Naga Merah, yang telah banyak membantu aku melacak jejak
buronan dari Mataram ini!" kata Jaka Bajul sambil menunjuk pada mayat Adipati
Bendoro Ningrat.
"Haih! Sobat Panglima terlalu membesarkan ge-
lar orang. Namaku NANJAR. Tentang gelar itu, ka-laupun orang mau menyebut aku si
Tolol dari atas pohon Jengkol pun tak menjadi soal...!" kata Nanjar sambil
tertawa. Mendengar gurauan Tumenggung muda itu se-
mua jadi tertawa geli.
"Sudahlah! Kini saatnya aku memenuhi permin-
taan sahabatku ini!" Kata Nanjar sambil menepuk bahu Panglima Jaka Bajul.
Sebelum laki-laki itu menyanggah, karena merasa tak punya permin-taan apa-apa,
Nanjar telah menjura dihadapan
Tumenggung Kertosono.
"Dengan segala kerendahan hati, aku mewakil-
kan sahabatku Panglima JAKA BAJUL untuk me-
lamar nona DORO PETAK, anak bapak Tumeng-
gung untuk dijadikan isterinya. Semoga bapak
Tumenggung bersedia menerimanya...!"
Berseri seketika wajah Tumenggung Kertosono.
Seraya balas menjura dia berkata. "Bagiku lamaran itu sangat menggirangkan
hatiku, seolah-olah mimpi rasanya karena aku akan memperoleh me-nantu seorang
Panglima dari Kerajaan Mataram.
Tapi semua itu aku hanya bisa memasrahkan pa-
da anakku..."
*** Sejenak Doro Petak tertegun menatap Nanjar,
lalu beralih kepada laki-laki brewok yang berdiri menjublak terlongong, karena
dia benar-benar tak mengerti kalau kata-kata itu yang diucapkan si Dewa
Linglung. "Kau... kau..." katanya dengan tergagap me-
mandang kearah Nanjar yang cepat-cepat memberi isyarat dengan jari telunjuknya.
Cepat-cepat Nanjar mendekati gadis itu.
"Nona Doro Petak, sudikah kau menerima lama-
ran itu" Dia sangat mendambakan seorang isteri.
Dan sejak lama dia jatuh cinta padamu!"
"Oh... aku harus berkata apa?" kata gadis ini
dengan wajah berubah merah.
"Cukup dengan kau mengangguk satu kali, ma-
ka kau sudah menjawab lamaran itu...!" Nah,
mengangguklah...!" kata Nanjar berbisik. Dalam keadaan demikian sukar bagi
seorang gadis yang dilamar secara tiba-tiba begitu. Walau sebenarnya dihati dara
ini ada perasaan aneh, sejak pertama kali berjumpa dengan laki-laki itu.
Akhirnya gadis tak punya jalan lain selain mengangguk. Seketika itu juga
melompatlah si Dewa Linglung sambil tertawa gelak-gelak.
"Selamat! Selamat! Selamat!" kata Nanjar disela tertawanya. Kemudian sekali
berkelebat, lenyaplah sosok tubuh pendekar muda itu.
Mereka hanya melihat melintasnya bayangan
putih yang membumbung keudara, melintasi pu-
cuk-pucuk pepohonan dihutan itu.
Panglima Kerajaan Mataram ini tertegun bebe-
rapa saat. Dan ketika tatapan matanya beradu
dengan tatapan gadis itu, kedua-duanya sama ter-tunduk dengan wajah memerah.
TAMAT Scan: Clickers Juru Edit: Fujidenkikagawa
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Document Outline
SATU *** DUA *** TIGA *** EMPAT *** LIMA *** ENAM *** TUJUH *** *** DELAPAN *** SEMBILAN *** SEPULUH *** SEBELAS *** TAMAT
Pedang Keadilan 23 Pendekar Tongkat Dari Liongsan Liong-san Tung-hiap Karya Kho Ping Hoo Pedang Kilat Membasmi Iblis 2
^