Pencarian

Prahara Pulau Naga Jelita 2

Dewa Linglung 25 Prahara Pulau Naga Jelita Bagian 2


untuk acara ini!" Panglima mengangguk, lalu berdiri menghadap ke arah arena.
Sebelah lengannya terangkat. Dan... terdengarlah bunyi suara terompet dari
tulang. Seorang laki-laki berpakaian kuning meniup terompet sebagai tanda
pembukaan acara itu.
"Saudara-saudara. Hari ini adalah hari yang
penuh kegembiraan bagi rakyat pulau Naga Jelita.
Ratu kita telah mengundang seorang pendekar
gagah yang bergelar si Pendekar Dewa Linglung, atau Pendekar Naga Merah!
Kesediaannya memenuhi undangan Ratu kita sudah merupakan ke-
gembiraan bagi kita semua. Karena itu Ratu
mengharapkan adanya suatu acara yang menarik
untuk memeriahkan pertemuan ini..." Berkata
Panglima Wadulata dengan suara lantang. Setelah sesaat berhenti untuk melirik ke
arah si Dewa Linglung, lalu melanjutkan pidatonya. "Nah! untuk itu tamu kita
pendekar yang gagah perkasa
ini telah berkenan untuk mempertunjukkan ke-
hebatan jurus-jurus pukulannya. Dan setelah ki-ta melihat kehebatan ilmu yang
dimiliki, kita akan melihat pula kehebatan pedang mustika Na-
ga Merah yang langka itu. Dan inilah pula saat kesempatan bagi penghuni pulau
Naga Jelita untuk memperlihatkan kebolehannya bermain silat.
Sebelum acara bebas dimana siapa diantara ka-
lian boleh menjajal kehebatan sang pendekar Na-ga Merah, maka terlebih dulu akan
dipertunjuk- kan oleh beberapa orang pentolan pulau Naga Jelita untuk menghadapi tetamu
kita!" Ketika Panglima mengangkat tangan sebagai
tanda berakhirnya pidato sambutan itu, maka segera terdengar suara tepuk tangan
riuh diiringi sorak sorai gegap gempita.
Begitu sorak sorai mereda, melompatlah seso-
sok tubuh ke dalam arena. Semua mata menatap
ke arah orang ini. Ternyata dia seorang laki-laki berkepala botak, bertubuh
kekar dan berkulit hitam. Kemunculan orang ini disambut oleh tepuk
tangan riuh dara-dara baju hijau yang mengelilingi arena.
"Hidup Jaka Podang! Hidup Jaka Podang!" te-
riak mereka. Laki-laki ini memang bernama Jaka Podang. Seorang laki-laki yang
merupakan algojo, tukang menyiksa siapa yang melakukan kesala-han. Tubuhnya yang
tinggi besar dengan urat-
urat kekar itu membuat orang akan ngeri jika
berhadapan dengannya. Entah berapa nyawa me-
layang ditangan laki-laki ini selama menjalankan tugas. Tak perempuan tak laki-
laki bila diha-dapkan padanya pasti remuk tulang-tulang tu-
buhnya terkena jepitan kedua lengannya yang bagaikan jepitan baja! Dialah orang
andalan Panglima yang telah dipersiapkan untuk menghadapi si Dewa Linglung.
Sejenak Nanjar melihat laki-laki lawannya ini
dari atas panggung. Tampak dia agak tertegun.
Sementara itu penonton telah tak sabar dan
berteriak-teriak menyuruhnya turun ke arena.
Nanjar segera bangkit berdiri lalu menjura dihadapan Ratu, seraya berujar :
"Mohon dimaafkan
kalau permainanku jelek...." Ratu tersenyum dan sipitkan sebelah mata pada si
Dewa Linglung sambil menyahut. "Anda terlalu merendah, sobat Nanjar! Hm apakah anda tak ingin
menghadapi dengan permainan senjata?" menukas Ratu.
"Sewaktu-waktu bisa juga Ratu Mourita, kalau
aku memang memerlukan penggunaan senjata!
Tapi itu hanya akan aku lakukan dengan seizin
Ratu tentunya..." sahut Nanjar. Setelah mendapat anggukan sang Ratu yang jelita
itu Nanjar segera melompat ke dalam arena.
*** DELAPAN SUARA TEPUK TANGAN RIUH memenuhi
ruangan arena. Melihat lawan bertarung telah
berdiri dihadapannya, laki-laki tinggi besar ini tersenyum menyeringai.
Tampaknya senyum
menganggap rendah, karena lawannya bertubuh
kecil dan tingginya cuma lebih sedikit dari pinggangnya.
Diam-diam Nanjar perhatikan lawannya. "He-
bat juga potongan tubuh laki-laki ini. Pilihan Panglima benar-benar tidak
mengecewakan...!"
kata Nanjar dalam hati. Nanjar gerakkan jari telunjuknya memberi isyarat pada
lawannya untuk maju menyerang terlebih dulu.
Raksasa pulau Naga Jelita ini melangkah
menghampiri. Suara langkah kakinya berdebum
menggetarkan tanah. Dan... Whut ! Whut !
Lengannya bergerak menghantam si Dewa Lin-
glung. Tulang dada atau tulang leher tak bisa tidak akan patah-patah bila
terkena sambaran pu-
kulan yang beratnya puluhan kati itu. Akan tetapi serangan itu menghantam angin,
karena sebat sekali si Dewa Linglung mengelak ke samping seperti terhuyung, lalu mendadak
tubuhnya seperti terdorong kebelakang. Walaupun tampaknya seperti orang
terhuyung, tapi kenyataannya serangan Algojo itu luput.
"Haha...hehe... hayo, jangan sungkan-sungkan
sobat manusia rangkap tiga!" kata Nanjar sambil tertawa. Dibilang dirinya manusia rangkap tiga Jaka Podang si raksasa pulau Naga Jelita ini
mendengus. Wajahnya berubah merah dan kulit
muka terasa panas.
Kali ini dia menerjang untuk menangkap ping-
gang lawan. Kedua lengannya terentang, dan te-
rulur menyambar. Namun hingga napasnya
menggeros keletihan dia tak mampu menyentuh
tubuh lawannya yang berkelebat gesit, serta sese-kali terhuyung bagai orang
mabuk, maka semua
serangannya menjadi luput.
Disuatu saat Nanjar biarkan hantaman tinju
yang besarnya hampir sebesar kepala bayi itu
mengenai dadanya.
BUK! Semua mata membelalak, Ratu terperangah
kaget. Tapi apa yang terlihat" Si Manusia Raksasa berdiri mematung dengan posisi
menghantamkan tinju tanpa bergeming. Yang kena terhantam da-
danya malah tersenyum-senyum sambil mengu-
sap-usap dadanya yang mengepulkan uap putih.
"Haha.. pukulannya empuk seperti dicolek ga-
dis...!" Nanjar mengerlingkan mata pada gadis
yang berdiri didekatnya. Dialah si gadis pembawa nampan yang mengantarkan Nanjar
kemarin sampai di depan istana Naga Jelita. Disaat semua mata sama terbelalak memandang
ke dalam arena. Nanjar menggerakkan tangannya memanggil
gadis itu. Tanpa disuruh dua kali, gadis itu melompat ke dalam arena.
"Siapa namamu, nona?" tanya Nanjar.
"Aku... NUNIK..." sahutnya sambil tersipu.
"Hm, maukah kau membantuku" Aku akan
minta sedikit pertolongan pada mu Nunik!"
"Pertolongan apakah yang dapat kubantu?"
tanya si gadis terheran.
"Aku cuma mau minta tolong kau menekan
dan menggoyang otot dibawah ketiak tuan Jaka
Podang ini...!" Tentu saja disamping terheran si-gadis bernama Nunik itu juga
tertegun. Tapi segera menyahut.
"Hm, baiklah! Kalau cuma itu aku bersedia..."
Selesai berkata Nunik segera mendekati sang raksasa pulau Naga Jelita yang masih
berdiri mematung bagai arca.
Gadis ini segera julurkan tangannya menekan
kulit dibawah ketiak Jaka Podang, dan menggun-
cang-guncangkan otot yang melekat disitu.
Bersamaan dengan gerakan gadis itu menekan
otot Jaka Podang, maka terbukalah totokan pada tubuh si Algojo pulau Naga Jelita
itu. Akibatnya semua mata jadi membelalak lebar
dengan terperangah heran, karena tiba-tiba saja laki-laki itu perdengarkan suara
tertawa terbahak-bahak sambil berjingkrakan. Nunik yang tak mengerti segera
melompat keluar arena. Sementara Jaka Podang terus tertawa berkakakan sambil
berjingkrakan melompat-lompat.
"Sudah....sudah...! Ampun... hihi... haha... ho-ho...ho....
Geli....haha...geli... hoho...hihi..."
Merah seketika muka Panglima Wadulata. Dia
tahu kalau si Dewa Linglung sengaja telah mem-
permainkan lawannya. Bahkan dengan matanya
yang tajam dan jeli, dia melihat ketika tinju Jaka Podang menghantam ke arah
dada lawannya, dengan tenang pemuda itu gembungkan dada.
Tahulah dia kalau tenaga dalam Nanjar sangat
luar biasa tingginya, hingga pukulan lawan akan terasa oleh sipemukulnya
bagaikan menghantam
kapas. Dan dengan kecepatan kilat jari lengan si Dewa Linglung telah menotok
jalan darah dibawah ketiak laki-laki itu. Jurus totokan si Dewa Linglung adalah
jurus totokan yang dipelajari dari seorang kakek bertangan palsu yang dijumpai
Nanjar beberapa bulan yang lalu. Kakek yang selalu menyembunyikan mukanya
dibalik tudung itu telah mengajari Nanjar cara menotok yang
aneh. Keanehannya adalah bila terbuka totokan-
nya maka orang yang tertotok itu akan tertawa
terpingkal-pingkal tanpa bisa berhenti, hingga sampai putus nyawanya. Tujuan
Nanjar menggunakan jurus totokan itu adalah untuk memancing keluar orang yang
telah membisikinya dengan
mengirim suara jarak jauh ketelinganya. Nanjar yakin orang itu ada disekitar
arena. Dan Nanjar yakin orang yang membisikinya kemarin itu adalah si kakek
bertangan palsu.
Mendadak tiga larik sinar hijau meluncur dari
atas panggung ke arah Jaka Podang diiringi bentakan keras.
"Manusia tak berguna!" terdengar jeritan parau laki-laki itu. Seketika si
manusia raksasa itu terjungkal roboh dengan keadaan tak lebih dari
orang yang menghadapi sakaratul maut. Tak lama tubuh laki-laki itu lepaskan
nyawa. Ratu bangkit berdiri. Dia tak menyangka kalau
Panglima Wadulata turunkan tangan keji mem-
bunuh mati Algojonya. Cepat-cepat Panglima
menjura dihadapan Ratu.
"Terpaksa aku membunuhnya, Ratu. Hal itu
sangat memalukan kita. Kurasa tugasnya sebagai Algojo tak sesuai lagi! Kita bisa
mencari gan-tinya...!"
Sejenak Ratu pulau Naga Jelita tercenung, lalu mengangguk
"Baiklah! segera kau suruh orang menyingkir-
kan mayatnya!" ujar Ratu. Panglima mengangguk, kemudian mengangkat tangan seraya
memberi isyarat pada orang-orangnya.
*** Empat orang gadis baju hijau bertubuh kekar
muncul dari sebelah kiri arena. Langsung menghampiri mayat Jaka Podang. Kemudian
menggo- tongnya keluar dari arena.
Kembali Panglima memberi tanda isyarat. Kali
ini muncul dua laki-laki baju hitam, memakai
ikat kepala lebar. Siapa adanya dua laki-laki ini adalah orang yang bernama
GEMPO dan JOMAN
Dua orang tangan kanan Panglima Wadulata.
"Kami akan coba menguji kehebatan ilmu an-
da, sobat Dewa Linglung. Dan semoga saja anda
tak akan linglung dalam pertarungan nanti!" berkata salah seorang yang bernama
JOMAN. "Mm, aku kadang-kadang suka linglung kalau
melihat orang. Apakah kalian ini orang-orang pulau Naga Jelita, ataukah orang
endonan?" kata
Nanjar sambil tersenyum. Tentu saja membuat
dua laki-laki ini bersemu merah wajahnya. Bah-
kan dalam hati Gempo berkata.
"Sialan! Apakah dia mengetahui kalau aku
orang endonan dipulau ini?" Tapi cepat dia me-
nyahut sambil tertawa.
"Haha.. ilmu totokmu sangat luar biasa, sobat
Dewa Linglung! Sayang kalau dipergunakan un-
tuk menghadapi orang tak berkepandaian macam
Jaka Podang. Untuk menghadapi anda biarlah
kami berdua menggunakan senjata! Dan tentu sa-
ja kamipun tak melarang anda untuk mengguna-
kan pedang mustika Naga Merah. Sekalian kami
ingin mengetahui kehebatannya!" kata Gempo
sambil tertawa dingin.
Nanjar telah waspada dan mengetahui siapa
adanya dua laki-laki ini dengan melihat isyarat gadis bernama Nunik. Bahkan dia
telah waspada sejak berada dalam kamar mewah diperahu besar
yang membawanya kepulau ini. Nanjar teringat
ada suara kasak-kusuk dari dua orang gadis,
yang satu jangkung dan satu lagi agak pendek
kekar. Dalam bisik-bisik itu terdengar ada menyebut-
nyebut pedang Naga Merah. Oleh karena itu sejak masih berada didalam perahu
besar, Nanjar sudah waspada. Benar saja, ketika dia meninggal-
kan tempat tidur untuk pergi kebelakang buritan, pembaringannya tampak seperti
bekas diperiksa
orang. Akan tetapi Nanjar bersyukur karena pedang
mustikanya tidak hilang, dan masih berada di
tempatnya dibawah kasur. Waktu itu Nanjar ter-
kejut karena merasa penasaran untuk memerik-
sa. Barulah dia menyadari kalau pedang itu telah ditukar. Walaupun sarung
pedangnya masih
utuh, tapi isinya sudah ditukar orang. Nanjar
berpura-pura tak mengetahui, dan bersikap biasa saja. Namun dua gadis itu tak
luput dari pengin-taiannya secara tersembunyi.
Sayang Nanjar tak mengetahui kejadian pada
malam sebelum mendarat dipulau Naga Jelita.
Karena dia telah dicekok oleh obat tidur yang di-bubuhkan dalam makanan. Hingga
tak diketahui kalau beberapa orang dari tujuh gadis yang men-
gawal kepulau itu telah dibokong, dan dilemparkan kelaut. Cuma bersisa dua
orang, yaitu Ande Pulut dan Giwang. Namun disisakannya kedua
gadis itu adalah sudah direncanakan, akan di-
umpankan pada Gempo dan Joman.
Ketika mengikuti si gadis pembawa nampan
bernama NUNIK, Nanjar berhasil mengorek
adanya niat jahat didalam undangan terhadap dirinya yang didalangi oleh panglima
Wadulata bersama dua orang laki-laki bernama Joman dan
Gempo. Bahkan dalam istana pulau Naga Jelita


Dewa Linglung 25 Prahara Pulau Naga Jelita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah terjadi perpecahan dua pihak. Satu kelompok berada dipihak Ratu, dan
sekelompok lagi dipihak Panglima Wadulata.
Bahkan nyaris saja Nanjar terkena tipu daya
panglima itu yang menyuguhkan arak yang bisa
merubah orang menjadi dungu.
*** SEMBILAN NANJAR MENENGADAHKAN KEPALA
MENATAP PADA RATU...
Tampak Ratu pulau Naga Jelita mengangguk
sambil tersenyum. Nanjar alihkan tatapan pada
dua orang dihadapannya.
"Baiklah, sobat-sobat! Aku akan memperguna-
kan pedang mustika Naga Merah. Akan tetapi se-
belum aku mencabut senjataku, cabutlah terlebih dulu senjata kalian!" kata
Nanjar. Lalu sambung-
nya. "Aku akan mempergunakannya kelak kalau
memang aku memerlukan penggunaannya!"
"Bagus! Berarti kau telah menganggap remeh
kami, pendekar Dewa Linglung. Dan jangan sa-
lahkan kami kalau anda terluka!" desis Gempo.
Dan sebaik mereka meraba kebalik pakaian, ma-
ka secara berbareng dua kilatan menyambar ke
arah lambung dan leher si Dewa Linglung.
Terkesiap Nanjar tak olah-olah. Gerakan me-
nyerang dua orang ini sangat licik dan menge-
jutkan. Nyaris saja dua golok tipis lawan menabas sapat leher dan pinggangnya.
Untunglah dia cukup waspada. Dengan pergunakan lompatan Kera
digabung jurus langkah Dewa Mabuk, dia berha-
sil menghindari dirinya dari bahaya maut. Tapi tak urung bajunya terkoyak oleh
senjata lawan. Ternyata Nanjar tak diberi kesempatan sedikit
pun untuk bernapas karena kedua orang ini terus mendesak dengan serangan-
serangan gencar yang
berbahaya. Kilatan perak seperti berubah menjadi berpuluh-puluh banyaknya
mengurung si Dewa
Linglung dari setiap penjuru.
Pasangan kedua orang ini ternyata merupakan
pasangan yang sangat hebat.
Disaat pertarungan telah berlangsung belasan
jurus, tiba-tiba Nanjar perdengarkan bentakan
keras. Tahu-tahu kedua tubuh lawannya terhuyung
kebelakang. Ternyata Nanjar telah gunakan jurus Dewa Naga Menggoyang Tubuh.
Kalau tadi tampaknya Nanjar terkepung tanpa dapat meloloskan
diri dari kilatan pedang lawan, dengan jurus ini Nanjar berhasil mendobrak
kepungan maut itu.
Bahkan ketika selarik cahaya merah membias
udara, terdengarlah teriakan kaget kedua lawannya diiringi suara berdenting
keras. TRANGNG...! Tahu-tahu kedua pedang lawan telah terlepas
dari masing-masing cekalan tangan mereka, dan
terpapas menjadi empat potong.
Panglima Wadulata terlompat dari tempat du-
duknya saking terkejut melihat pedang yang ber-cahaya merah ditangan si Dewa
Linglung. Dengan wajah berubah merah karena terkejut. Demikian
juga para penonton disekitar arena pertarungan.
Yang terlebih-lebih kaget adalah Gempo dan Jo-
man. Dengan wajah berubah pucat dan tubuh
gemetar serta nyali yang tinggal seujung kuku
matanya membelalak ke arah pedang mustika
Naga Merah ditangan si Dewa Linglung.
"Ah...." Bukankah... pedang itu sudah..." sen-
tak hati Gempo dan Joman. Disaat itulah tiba-
tiba terdengar teriakan Ratu dari atas panggung.
"Cukup! Acara ini ditutup, dan hanya sampai
disini saja!" Ratu mengangkat sebelah tangan
memberi isyarat tanda semua penonton segera
bubar. Dewa Linglung segera menyimpan pedangnya,
memasukkan dalam serangka di balik punggung.
Kemudian melompat keatas panggung.
Gempo dan Joman sejak tadi sudah menghi-
lang dari arena bersama hamburan para penon-
ton yang meninggalkan arena.
"Maafkan kebodohanku, Ratu... Sebenarnya
aku tak akan menggunakan senjata. Tapi lawan-
ku sangat hebat. Ilmu pedang mereka benar-
benar membuat aku terkurung tak bisa keluar
dari lingkaran pedang!" kata Nanjar. Sambil menjura sempat pula dia melirik sang
Panglima. Laki-laki Panglima itu bertepuk tangan dengan
seruan kagum pada Nanjar, seraya berkata sete-
lah didahului dengan menjura.
"Pedang mustika Naga Merah memang sangat
luar biasa! Untunglah Ratu kami cepat menghen-
tikan acara. Kami khawatir terjadi pertumpahan darah...!" kata Panglima ini.
Ratu manggut-manggutkan kepala.
"Benar, dipihak kami telah tewas seorang, wa-
laupun bukan ditangan anda, sobat Nanjar! Tapi aku khawatir panglimaku yang
gagah ini main hakim seenaknya saja membunuh anak buah!"
tukas Ratu sambil tersenyum sinis menoleh pada sang Panglima.
Panglima Wadulata tersipu dengan wajah me-
rah. Tapi segera menjura. "Semua itu karena aku merasa malu pada kegagahan tamu
kita, Ratu... Untuk itu aku mohon maaf...!" ujar laki-laki ini.
"Yang sudah ya sudahlah, paman panglima....!
Acara sudah selesai. Aku ingin bercakap-cakap
dengan tamu kita. Kumohon kau tak keberatan
untuk meninggalkan kami berdua!" kata Ratu pu-
lau Naga Jelita.
"Kalau begitu saya mohon diri, Ratu!" berkata
Panglima dengan sikap seperti orang kikuk, kare-na merasa sudah tak diperlukan.
Selesai menjura dia beranjak dengan cepat meninggalkan ruangan itu.
*** Sepeninggal Panglima Wadulata, Ratu Mourita
mempersilahkan Nanjar duduk dikursi yang be-
kas diduduki Panglimanya. Diam-diam dalam hati Nanjar berkata. "Tampaknya Ratu
akan membica-rakan sesuatu yang serius denganku.... Tentang masalah apakah?"
Ratu menatap si Dewa Linglung dengan tata-
pan mata tajam. Kemudian berkata dengan suara
lirih. "Sobat Nanjar! Aku merasa bahwa kemunculan
anda kepulau ini akan membuahkan suatu hal
yang menentukan masih tetap atau tidaknya ke-
kuasaanku sebagai Ratu dipulau ini...!"
"Apakah maksud Ratu?" tanya Nanjar.
"Sukar aku mengatakannya padamu, sobat
Dewa Linglung. Yang jelas semakin terasa saat-
saat kehancuran Istana dan kekuasaanku. Untuk
itulah aku mengharapkan kau berhati-hati, kare-na setiap saat bukan saja
nyawamu, tapi juga
nyawaku berada diujung tanduk!" sahut Ratu
Mourita. "Jangan khawatir, Ratu Mourita! Aku sudah
menyadari hal ini sejak masih berada dalam pe-
rahu yang membawaku kemari! Beberapa orang
dari anak buah Ratu ada yang membelot, dan
berpihak pada Panglima Wadulata, dan secara di-am-diam telah menukar pedang
mustika Naga Merah dengan pedang palsu! Tapi seseorang dari anak buah Ratu sendiri telah
mengembalikan pedang yang asli... sebelum pedang asli yang disembunyikan dua
orang gadis itu di serahkan pada
Panglima Wadulata!" bisik Nanjar. Kemudian
Nanjar menceritakan secara singkat kejadian dalam perahu besar yang ditumpangi
dan diguna- kan mengawal dirinya sampai kepulau ini. Dan
siapa adanya gadis yang telah berpihak menolong dirinya itu. Yaitu NUNIK, si
gadis pembawa nampan.
Apa yang terjadi pada hari kemarin tatkala
Nanjar disuguhi arak penghormatan oleh seorang gadis pembawa nampan kemudian
diceritakan pada Ratu. Ternyata Nunik telah memboikot kee-
nam gadis kawannya dengan melalui jalan raha-
sia kembali kekapal. Lalu mengambil pedang asli yang disembunyikan oleh si gadis
jangkung bernama MEILANI yang bekerja sama dengan gadis
bertubuh kekar kawannya. Pedang asli disembu-
nyikan diperahu. Setelah membungkus pedang
dengan kain dan menyembunyikan di belakang
punggung, lalu berindap-indap memasuki jalan
rahasia. Saat mana Nanjar tengah mengikuti si
gadis pembawa nampan yang menjadi penunjuk
jalan menuju keruang depan Istana Naga Jelita.
Nanjar terkejut, karena tahu-tahu gadis pem-
bawa nampan itu terjungkal roboh. Dan sesosok
tubuh muncul dari lubang rahasia. Dialah
NUNIK. Gadis itu asalnya berada dalam komplotan tujuh gadis yang diutus Panglima
Wadulata, sedangkan dipihak tujuh gadis yang dikepalai
oleh Ande Pulut terlihat seorang gadis bernama SURI yang menjadi mata-mata
orang-orangnya Panglima Wadulata. Disaat ketujuh gadis itu
mengawal Nanjar, dia menyusup ke dalam perahu
dan mengambil pedang asli milik Nanjar yang di sembunyikan.
"Pantas aku melihat perubahan muka Pangli-
ma Wadulata ketika melihat kau mengeluarkan
pedang mustika Naga Merah yang asli...!" kata
Ratu dengan mendesis.
"Jangan khawatir, Ratu Mourita. Aku akan me-
lindungi anda! Dan kita tak sendiri. Ada seseorang yang telah membantuku, entah
siapa. Tapi dia telah mengirim suara jarak jauh ketelinga-
ku..." kata Nanjar dengan suara perlahan. Lalu ceritakan yang dirinya nyaris
meminum arak yang dapat membuat orang menjadi dungu.
Wajah Ratu tampak berubah mendengar kete-
rangan Nanjar. Dia mendesis dengan wajah te-
gang. "Keparat! Arak itu berada dikamar penyiksaan. Hanya Jaka Podang yang
mengetahui tem-
pat penyimpanannya. Arak itu cuma digunakan
untuk para terhukum yang bersalah, untuk men-
jalani hukuman mati. Sebelum dibunuh Jaka Po-
dang mencekok dulu orang hukuman dengan
arak pembuat dungu itu... Pantaslah jika Jaka
Podang dibunuh, karena untuk menutup mulut
laki-laki itu. Jelaslah kalau diam-diam Panglima
Wadulata telah merencanakan pemberontakan,
dan mau merebut kekuasaanku!"
Nanjar mengangguk-angguk, kemudian berka-
ta. "Cukuplah Ratu! Selanjutnya kau harus ber-
hati-hati. Dan... aku pasti akan melindungi dirimu!" Nanjar menjura lalu
beranjak masuk ke-
ruangan untuk kembali kekamarnya.
Ratu pulau Naga jelita masih tercenung duduk
dikursinya. Wajahnya berubah sebentar pucat sebentar merah. Tak lama dia bangkit
berdiri, lalu bertepuk tangan dua kali. Seorang pelayan masuk sambil membungkuk
hormat. "Ada perintah apakah Ratu memanggil ham-
ba?" tanyanya.
"Panglima kawanmu NUNIK, dan suruh meng-
hadapku sekarang juga!" ujar Ratu. Pelayan itu mengangguk, lalu beranjak pergi
dengan cepat. Nanjar mengawasi dari balik pintu kamarnya.
Keadaan dalam istana pulau Naga Jelita tam-
pak mulai tegang.
Diam-diam Nanjar mengharap kemunculan
orang yang telah mengirim suara jarak jauh ketelinganya.
"Siapakah dia?" desis Nanjar dalam hati. Se-
mentara matanya mengawasi sekitar ruangan dari celah pintu.
Sang Ratu tampak mondar-mandir seperti tak
sabar menanti kedatangan Nunik yang disuruh-
nya menghadap. *** SEPULUH DENGAN WAJAH MERAH PADAM Panglima
Wadulata beranjak cepat menuju barak yang di-
gunakan tempat perundingan rahasia. Belasan
gadis yang berkumpul diruangan itu serentak
bangkit berdiri ketika melihat munculnya Pangli-ma Wadulata diruangan tersebut.
Matanya men- cari-cari seseorang diantara para wanita itu.
"Dimana MELIANI?" tanya Panglima ini. Seo-
rang gadis maju ke depan seraya membungkuk,
dan menyahut. "Dia barusan keluar, tuan Panglima!"
"Hm, cepat cari dia, dan suruh menghadapku!"
ujarnya dengan wajah kaku. Kemudian keluar da-
ri ruangan itu, dan menghilang dipintu ruangan dalam. Dua orang gadis segera
beranjak cepat keluar dari ruangan rahasia.
Mereka tersembul dilorong yang menuju ke
samping disebelah luar istana.
Saat mana dua wanita baju hijau, satu jang-
kung dan satu pendek kekar melangkah tergesa-
gesa dilorong itu. Dua gadis itu segera menemui mereka, lalu berbisik-bisik
menyampaikan perintah Panglima.
"Habislah aku...! Pasti aku kena damprat dan
entah hukuman apa yang akan kuterima dari
Panglima..." desah Meliani dengan wajah pucat.
"Ini semua gara-gara pengkhianatan NUNIK! Aku
telah membunuh gadis sialan itu!" sambungnya.
"NUNIK?" sentak salah seorang utusan Pangli-
ma Wadulata. Gadis yang terkejut ini adalah
SURI. "Benar!" sahut si gadis pendek kekar. Lalu
sambungnya. "Dia telah berkhianat, dan mencuri pedang asli yang disembunyikan diperahu,
kemudian memberikan pada pendekar Dewa Linglung! Keparat itu telah kami kirim
jiwanya ke Neraka!"
Mendadak terdengar bentakan dari lorong se-
belah kanan diiringi munculnya tiga sosok tubuh.


Dewa Linglung 25 Prahara Pulau Naga Jelita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pembunuh-pembunuh licik! Kalian harus te-
bus kematian beberapa orang kawanku!" terke-
siap empat gadis ini melihat siapa yang muncul itu. Ternyata mereka adalah Ande
Pulut, Giwang dan Wenah si gadis gembrot.
"Dan kau jahanam Meilani! Kau telah men-
gumpan aku pada dua manusia keparat JOMAN
dan GEMPO! Kalian harus menebusnya dengan
darah dan jiwamu!" bentak Ande Pulut dan Gi-
wang hampir berbareng.
Serentak kedua gadis itu langsung menerjang
ganas dengan sepasang badik yang dicabut dari
masing-masing pinggang kedua dara itu.
Tentu saja Meilani si gadis jangkung mau tak
mau harus menghadapi kedua gadis yang kalap
itu. Dan, si gadis pendek kekar cepat gunakan
sepasang Clurit untuk membantu kawannya. Se-
dangkan Wenah dengan kemarahan meluap-luap
melompat kehadapan Suri, si gadis yang pernah
jadi kawan seperjalanan menempuh suka dan
duka itu. "Jahanam tengik! Kiranya kau diam-diam telah
jadi mata-mata dirombongan regu kami" Kau ha-
rus tebus kelicikanmu dengan nyawa keparatmu,
jahanam!" bentak Wenah. Gadis satunya lagi yang merasa keadaan mendadak jadi
berubah gawat, cepat angkat langkah seribu untuk melaporkan
kejadian itu. Akan tetapi Ande Pulut telah membentak. Lengannya mengibas... Dua
larik sinar hijau menderu. Gadis itu menjerit parau dan ter-
jungkal roboh. Setelah menggelepar sekarat, lalu tubuh itupun diam tak berkutik
lagi. Ternyata dua batang jarum telah menembus tengkuknya.
Pertarungan dilorong rahasia itu tak dapat di-
hindarkan lagi. Meliana mempertahankan diri
mati-matian. Seolah-olah dia berhadapan dengan manusia yang telah hidup lagi,
karena bukankah Ande Pulut dan Giwang telah diberi minuman pe-rusak otak yang
dapat membuat orang menjadi
dungu oleh Gempo dan Joman" Dan gadis gem-
brot yang dijuluki si bibi gembul itu bukankah telah dilemparkan kelaut setelah
ditotok olehnya"
Sementara itu... pelayan Ratu dengan tergo-
poh-gopoh kembali keruang Istana mendapatkan
Ratu Mourita. Wajahnya tampak pucat pias. Ratu tak dapat menahan sabar, segera
membentak. "Katakan, apa yang telah terjadi?"
"Ampun, Ratu... hamba menjumpai NUNIK te-
lah tewas dilorong sebelah luar Istana..." kata gadis ini dengan suara gemetar.
"Bedebah! Pasti Panglima dan komplotannya
yang telah membunuhnya!" teriak Ratu dengan
wajah berubah. "Apa perintah Ratu selanjutnya?" tanya pe-
layan itu. Ratu Mourita melangkah dua tindak kepintu
ruangan. Matanya mengawasi ke arah bawah di
mana arena tempat diadakannya pertarungan
tampak sunyi kosong. "Hm, panggillah Panglima, suruh menghadapiku!" kata Ratu.
"Siap Ratu!" kata pelayan itu. Ketika akan be-
ranjak meninggalkan ruangan itu mendadak dia merandek. Lengannya mencabut sebuah
badik dari balik lipatan bajunya. Dan... secepat kilat dia membalikkan tubuh.
Kilatan badik tiba-tiba meluncur ke arah pung-
gung Ratu ketika badik ditangan pelayan itu meluncur deras untuk menghunjam pada
sasaran. Akan tetapi didetik itu terdengar bentakan ke-
ras, dan.... Whut! Segelombang angin telah menerpa keras mem-
buat badik ditangan pelayan itu terlepas. Dan tubuh pelayan itu sendiri
terjungkal kelantai. Lalu berkelojotan. Namun sesaat segera lepaskan nyawa
dengan mata mendelik dan lidah terjulur ke-
luar. Sesosok tubuh yang tak lain dari si Dewa Lin-
glung telah berada dibelakang Ratu. Sesaat ma-
tanya menatap pada Ratu lalu beralih pada gadis pelayan itu. Nanjarlah yang
telah menghantam
dengan pukulannya hingga badik ditangan pe-
layan itu terlepas. Akan tetapi dia terkejut, karena
melihat dileher si pelayan tampak tertancap dua buah jarum hijau.
"Terimakasih atas pertolonganmu, sobat Nan-
jar. Aku sudah menduga pelayan keparat inipun
sudah terlibat dalam pengkhianatan!" kata Ratu.
Ternyata disaat keritis mengancam jiwanya,
Ratu Mourita telah sempat kibaskan lengan un-
tuk menghabisi nyawa pelayan itu dengan jarum
maut yang disembunyikan dibawah pergelangan
tangan. "Hebat! Ternyata Ratu lebih cekatan dari
aku..." kata Nanjar dengan tersenyum.
"Keadaan tak memungkinkan lagi untuk kita
berdiam ditempat ini, Ratu! Mari kita tinggalkan ruangan ini!" kata Nanjar.
Telinganya mendengar suara langkah-langkah
mendekati ruangan Istana. Sekali gerakkan tan-
gan, si Dewa Linglung telah meraih pinggang Ra-tu, dan membawanya melompat dari
tempat ke- tinggian ruangan atas ke arah bawah.
Dan didetik itu puluhan anak panah meluruk
bagai hujan. Nyaris menambus tubuh mereka
menjadi sate, kalau Nanjar tak cepat menying-
kir... *** SEBELAS BARU saja Nanjar dan Ratu Mourita jejakkan
kaki ditanah, telah terdengar bentakan-bentakan keras disusul berkelebatnya
sosok-sosok tubuh
mengurung mereka.
Entah dari mana munculnya empat laki-laki
baju kuning dengan senjata terhunus mengurung
mereka. Ketika Nanjar melihat keatas tampak belasan gadis baju hijau dengan
topeng merah siap melepaskan anak panas dari busurnya.
"Haha...haha... kalian telah terkepung, Dewa
Linglung...! Lebih baik menyerah, dan berikan pedang mustika Naga Merah padaku!"
Terdengar suara orang tertawa diiringi kata-kata bernada parau.
Disebelah kiri ruangan istana tampak berdiri
Panglima Wadulata bertolak pinggang. Di sebe-
lahnya berdiri seorang kakek berjubah kuning
bermata picak sebelah. Terkejut Nanjar mengenali kakek itu adalah yang
berjulukan si Iblis Mata Satu. Tokoh yang sangat ditakuti diperairan utara.
"Iblis Mata Satu! kiranya kau bergabung dengan Panglima keparat bernama Wadulata
itu" Hm, sungguh perbuatan licik! Kiranya hal ini sudah kalian rencanakan
sebelumnya!" berkata
Nanjar. "Benar! Aku telah membuat rencana untuk
menguburmu dipulau penghasil Emas ini! Perem-
puan yang bersamamu itu tak ada arti apa-apa
bagiku! Dia hanya merupakan boneka saja untuk
memancing munculnya kaum hidung belang yang
bakal membawa banyak uang untuk mendatangi
tempat ini!" berkata si kakak jubah kuning.
"Keparat! Jadi kalian telah mengelabui aku"
Oh, kalian sungguh manusia jahanam! Secara tak langsung aku telah dijadikan alat
sebagai Ratu ditempat maksiat ini !" membentak wanita ini dengan wajah berubah
merah karena geram.
Akan tetapi suara bentakan itu telah disusul
dengan serangan empat laki-laki baju kuning
dengan bentakan menggeledek.
Nanjar cabut senjatanya pedang mustika Naga
Merah. Sekali gerakkan pedang mengibas udara,
senjata lawan terpental dengan suara berdentingan. Empat laki-laki melompat
mundur. Dan de-
tik itu puluhan anak panah menyambar ke arah
keduanya. Dewa Linglung membentak marah. Dengan
memutar pedang dia menangkis disertai lompatan dua tombak ke udara. Puluhan anak
panah terpental. Tiga anak panah disambar dengan tang-
kapan. Lalu dilemparkan ke arah penyerang. Tiga sosok tubuh gadis baju hijau
bertopeng merah
menjerit panjang, lalu terjungkal roboh.
Saat itulah si kakek jubah kuning telah me-
lompat menerjang ke arah Nanjar. Tongkat di tangannya menyambar-nyambar laksana
lautan menderu yang mengeluarkan hawa dingin menu-
suk tulang. Tahulah Nanjar kalau lawannya telah gunakan ilmu tenaga dalam Inti
Es. "Bagus! Boleh juga kita mengadu tenaga da-
lam!" berkata Nanjar dengan mendengus. Agak
keteter juga si Dewa Linglung melayani serangan tongkat si kakek mata satu.
Untuk itu Nanjar
mempergunakan jurus Benteng Uap Naga Merah.
Pedangnya diputar sedemikian rupa hingga men-
gepulkan uap merah yang menggidikkan tak ka-
lah dingin dengan serangan tongkat yang menim-
bulkan hawa dingin, karena Nanjar membaren-
ginya dengan tenaga dalam Inti Es pula. Dingin ditambah dingin, kalau bukan dua
tokoh yang memiliki ilmu tinggi, tentu kedua tubuh mereka sudah beku menjadi es.
Diam-diam kakek mata satu terkesiap. Dia tak
menyangka kalau lawan justru mengeluarkan ju-
rus Inti Es pula. Padahal tujuannya mendesak
lawan dengan jurus itu adalah untuk menahan
memancarnya cahaya merah dari pedang pusaka
si Dewa Linglung.
Dia mengetahui kehebatan cahaya merah dari
pedang mustika ditangan lawan. Tentu saja si Iblis Mata Satu tak mau jantungnya
menjadi beku. Dengan menggembor keras dia menggempur per-
tahanan lawan dengan pukulan Multi Geni. Inilah jurus langka yang diperolehnya
dari menggem-bleng diri didataran tinggi pegunungan DIENG
diwilayah utara. Kekuatannya melebihi jurus pukulan Inti Api.
Gumpalan api menyambar ke arah si Dewa
Linglung. Disaat itulah tiba-tiba terdengar bentakan keras disusul meluncurnya
uap putih seputih
salju menyambar ke arah gumpalan api yang di-
lepas dari tangan si Iblis Mata Satu.
BHRUSSSH...! Terdengar suara seperti bara tersiram air. Asap hitam mengepul diudara. Didetik
itu Nanjar telah melempar tubuhnya sejauh lima-enam tombak.
Dan ditempat itu tahu-tahu telah berdiri seorang kakek bertopi capil yang
menutupi wajahnya.
Nanjar tersentak kaget dan girang. Kakek itulah yang telah memberinya tiga jurus
ilmu menotok dari perantaraan pengiriman suara jarak jauh.
Dialah si kakek lengan palsu adanya.
"Siapa kau?" bentak si Iblis Mata Satu. Sebelah matanya melotot lebar melihat
orang yang muncul dihadapannya.
"Hm, apakah kau pernah mendengar julukan
seorang petualang di Rimba Persilatan yang
hanya memiliki sebelah lengan?" balik bertanya laki-laki berkumis dan berjanggut
lebat memutih itu. Suaranya terdengar dingin dari bawah tudung capil.
"Pendekar Lengan Tunggal, JOKO SANGIT!?"
sentak kakek ini dengan wajah berubah pucat.
Tak terasa kakinya melangkah kebelakang dua
tindak. "Bagus! Sebelah matamu masih tajam, iblis
tua!" berkata si kakek bertudung capil.
"Sial dangkalan! Kau masih saja selalu turut
campur urusan orang!" maki Iblis Mata Satu.
Walau hatinya diam-diam merasa jeri dengan
kemunculan tokoh yang datang dan perginya bagi
bayangan itu, tapi dia masih coba menggertak.
"Bagus! Kali ini kau akan menyesal telah turut campur urusanku dipulau ini. Kau
dan si pendekar Linglung itu segera akan terkubur dipulau
ini!" bentaknya dengan suara keras dibarengi tertawa terkekeh.
Suara tertawanya mengandung kekuatan tena-
ga dalam yang menyakitkan gendang telinga.
Akan tetapi suara tertawa itu seketika lenyap kakek ini melempar tongkatnya
ketanah. Dan...
Bhusss...! Tongkat itu tiba-tiba menjelma menjadi seekor
ular besar bersisik hitam.
"Hadapilah tongkat Ular Raksasaku, pendekar
lengan buntung!"
Bentak si Iblis Mata Satu. Dan ketika dia ber-
kata itu lengannya bergerak mengibaskan jubah.
Terdengar suara angin menggebu disusul dengan
uap mengepulnya uap hitam yang menjelma men-
jadi ratusan kelelawar.
Nanjar terperangah kaget melihat kehebatan si
Iblis Mata Satu. Diam-diam mengepal erat gagang pedang mustika Naga Merah. Tiba-
tiba Nanjar teringat pada Ratu Mourita. Ketika dia mencari wanita itu ternyata
tengah bertarung dengan pan-
glima Wadulata.
Tahu-tahu Nanjar mendengar suara lengkingan
wanita itu. Tampak tubuhnya terlempar bergulingan. Panglima itu perdengarkan
suara tertawa bergelak. Tombak bermata kapaknya telah meno-
reh baju pada bagian dada sang Ratu, dan meng-
gores sedikit kulitnya.
Melihat aurat yang mulus serta goresan yang
mengeluarkan darah itu, Panglima Wadulata ter-
tawa berkakakan.
"Haha...haha.. segeralah kau menyerah dan
minta maaf dengan berlutut dikakiku, Mourita!
Mungkin aku masih bisa mengampuni jiwamu!"
"Iblis keparat! Kaulah yang harus minta maaf
atas kekurang ajaranmu. Dan menebusnya den-
gan nyawamu!" bentak Ratu dengan wajah me-
nyeringai menahan sakit.
"Haha...hehe.. kau telah dipesan oleh seorang
hartawan kaya, dan aku telah mendapat imbalan


Dewa Linglung 25 Prahara Pulau Naga Jelita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagian. Maka tak apalah kalau aku cuma men-
cicipi satu kali kehangatan tubuhmu, Mourita!"
tukas Panglima Wadulata.
"Manusia terkutuk! Pergilah kau ke Neraka!"
Bentakan keras tiba-tiba merobek udara. Kila-
tan Cahaya merah merambas udara. Tersentak
kaget laki-laki ini melihat kelebatan pedang Naga Merah tiba-tiba menyambar
kearahnya. Detik itu dia gulingkan tubuh dengan cepat. Dan sekali
lengannya merengkuh, tahu-tahu dia sudah ber-
lindung dibalik tubuh Ratu pulau Naga jelita.
"Haha... Hayo seranglah, pendekar gagah. Kau
akan melihat orang yang kau lindungi ini akan
melayang jiwanya ke Akhirat!" berkata Panglima Wadulata dengan tertawa mengejek.
"Bunuh mati... manusia keparat ini, sobatku!
Jangan perdulikan diriku!" teriak Ratu dengan
suara parau tertahan dikerongkongan.
"Kau memang harus mampus!" memaki Pan-
glima Wadulata. Lengannya bergerak, dan Bress!
Darah menyemburat dari lambung wanita itu di-
barengi menyembulnya ujung tombak Panglima
Wadulata. Ternyata laki-laki itu dipengaruhi ke-cemburuan serta kemarahan yang
bukan alang- kepalang akibat kegagalannya memiliki pedang
mustika Naga Merah. Kejengkelannya meledak
pada Ratu, hingga dengan geram dia menoblos
punggung wanita itu dengan tombaknya dari be-
lakang punggung.
Ketika itu juga lengannya mendorong sang Ra-
tu, dan dia berkelebat melompat... untuk angkat langkah seribu. Akan tetapi
cahaya merah telah menyambar lebih dahulu.
Terdengarlah lengkingan panjang laki-laki itu.
Lambungnya terkoyak pedang Naga Merah. Usus-
nya terburai. Robohlah manusia itu dengan merejang-rejang bagai kerbau
disembelih. Tak lama
nyawanya melayang lepas dari raganya.
Sementara itu pertarungan si Iblis Mata Satu
dengan kakek berlengan palsu itu hampir menca-
pai puncaknya. Ular raksasa ciptaan si kakek itu tak mampu mengelabui mata si
Pendekar Lengan
Tunggal. Walau tak berubah ujud kembali menja-
di tongkat, namun tak bergerak dari tempatnya.
Sedangkan ratusan kelelawar ciptaan itu menda-
dak meluruk ke arah si penciptanya sendiri. Hal itu membuat terkesiap kakek mata
satu. Dengan berteriak ketakutan dia berkelebat melarikan diri.
Namun ratusan kelelawar ciptaan itu telah me-
recahnya dengan gigitan-gigitan. Menjerit-jerit si kakek setinggi langit. Hanya
dalam waktu singkat telah bersimbah darah dengan kulit dan daging
terkoyak mengerikan. Wajahnya hampir tak ber-
bentuk lagi. Sesaat setelah laki-laki itu lepaskan nyawanya, kelelawar ciptaan
itu lenyap menjadi gumpalan asap, dan hilang tak berbekas.
Kakek bertopi capil masih berdiri tegak. Di tangannya tampak sebuah kitab yang
diletakkan di- atas dada, dicekal oleh tangan palsunya.
Sedangkan sebelah tangannya lagi tampak
menghitung biji tasbih dengan mulut berkemak-
kemik membaca dzikir yang cuma kedengaran de-
sisnya. Sementara itu ular raksasa ciptaan itu telah
berubah menjadi tongkat seperti asalnya.
Nanjar terperangah memandang dengan mata
membelalak. Disaat dia berkelebat untuk meng-
hampiri, mendadak tubuh kakek itu lenyap jadi
gumpalan asap putih. Ketika asap itu lenyap, tubuh laki-laki bertopi capil itu
telah tak berada ditempat berdirinya lagi.
"Ah, jadi dia si Pendekar lengan Tunggal Joko
Sangit" Ilmunya sungguh sangat tinggi dan men-
gagumkan..." berkata Nanjar dalam hati. "Tapi..
Cepat benar dia menjadi tua?" berdesis si Dewa Linglung. Nanjar segera mengenali
siapa adanya laki-laki itu. Joko Sangit adalah sahabat Roro Centil si pendekar
wanita Pantai Selatan. Setelah beberapa tahun tak ada khabar beritanya ternyata
telah berubah menjadi seorang kakek berilmu
sangat tinggi. Untuk mengetahui riwayat Joko Sangit, dapat
diikuti dalam serial: Roro Centil).
PERTARUNGAN DIPULAU NAGA JELITA tam-
paknya sudah berakhir...
Nanjar menatap sosok tubuh Ratu Mourita
dengan tatapan haru. Mendadak dari lorong sebelah kanan Istana tersembul tiga
sosok tubuh. Mereka berlari-lari menghampiri si Dewa Lin-
glung. Ternyata ketiganya adalah gadis yang telah dikenal Nanjar. Yaitu Ande
Pulut, Giwang dan si bibi gembul, Wenah. Ketiganya telah berhasil me-nyelesaikan
pertarungan. Meilani gadis kekasih Panglima itu tewas ditangannya. Dan Wenah
berhasil membunuh mati Suri si pengkhianat yang
diam-diam telah bergabung dengan Panglima Wa-
dulata. Melihat kematian Panglima itu secara mengeri-
kan mereka tampak girang walau bercampur nge-
ri. Tapi melihat sosok tubuh Ratu yang terkapar tak jauh didekat mayat laki-laki
itu, mereka perdengarkan seruan kaget. Lalu berlarian membu-
runya. "Sudahlah, adik-adik manis....! Prahara telah
berlalu. Jangan sesali kematian yang sudah diga-riskan Yang Maha Kuasa. Aku cuma
bisa mene- waskan manusia berwatak jahat ini, tapi tak dapat menyelamatkan jiwa Ratu..."
kata Nanjar dengan suara datar.
"Ya...! Kami sadar akan hal itu, tuan pendekar Dewa Linglung. Sedikit banyak
anda telah turut
membantu perjuangan hidup dan mati Ratu dan
kami para pengikutnya yang setia. Kami bersyu-
kur anda dapat lolos dari kejahatan yang telah direncanakan Panglima
Wadulata..." kata Wenah
dengan mata berkaca-kaca memandang Ratu, lalu
beralih menatap Nanjar.
"Kami berdua juga berhutang budi pada anda,
sobat Dewa Linglung" kata Ande Pulut dengan
menundukkan wajah. Kedua gadis kakak beradik
itu tampak bersikap kaku didepan Nanjar. Dan
Nanjar dapat melihat adanya dua titik air mata pada masing-masing kelopak kedua
dara itu. "Kita bersyukur kepada Tuhan. Hanya DIA lah
yang telah membuat kita masih panjang umur!"
kata Nanjar. Ketiga gadis manggut-manggut.
"Sayang dua manusia keparat yang turut serta
dalam rencana busuk ini serta empat orang laki-laki baju kuning, dan beberapa
orang kawan yang telah menjadi musuh kami berhasil meloloskan
diri. Mereka melarikan diri dengan perahu kecil di-
pantai. Sedangkan dua perahu termasuk perahu
besar yang dipergunakan kita telah dirusak!" kata Wenah. Rupanya setelah
menewaskan lawan-lawan bertarungnya mereka mencari jejak Gempo
dan Joman. Dipantai mereka dapatkan perahu
besar telah dirusak, juga perahu yang satu lagi.
Dan dikejauhan tampak perahu yang masih utuh
berlayar cepat meninggalkan perairan pesisir pantai pulau Naga Jelita. Melihat
demikian mereka cepat kembali ke Istana melalui lorong rahasia,
dan dapatkan Ratu telah tewas, juga Panglima
Wadulata telah menjadi mayat. Namun mereka
bersyukur melihat sang pendekar Naga Merah
masih berdiri tegak tak kurang suatu apa.
Nanjar temukan jenazah NUNIK yang tewas
dengan keadaan menyedihkan. Kematiannya su-
dah diketahui Nanjar dari pemberitaan si pelayan Ratu yang telah berkhianat.
Namun gadis pelayan itu sendiri menemui ajal ditangan sang Ratu.
Berempat mereka mengurus jenazah gadis itu,
dan menimbunnya di samping kuburan jenazah
Ratu Mourita. Selama beberapa hari Nanjar ber-
diam di Istana pulau Naga Jelita ditemani tiga gadis cantik sambil memperbaiki
perahu yang telah dirusakkan komplotan manusia-manusia jahat
itu. Dihari kelima selesailah perbaikan kerusakan
perahu. Dan diiringi suara burung-burung camar yang mematuk ikan-ikan kecil
dipermukaan laut, perahu kecil berpenumpang tiga gadis dan satu
pemuda itu bergerak meninggalkan pantai pulau
Naga Jelita. Dari dalam perahu terdengar gurauan si bibi Gembul yang telah
menanak nasi. Sambil mulutnya menggayam tak hentinya berceloteh.
"Tuan pendekar Linglung...! Eh, Dewa Lin-
glung, apakah anda tak berniat mencari pen-
damping" Diantara dua gadis kawanku ini pasti
tak keberatan untuk menjadi pendampingmu. Pi-
lihlah salah satu saja..."
Mendengar olok-olok Wenah, merahlah wajah
Ande Pulut dan Giwang. Tapi mereka tidak ma-
rah. "Eh, bibi Gembul! Kalau kau tak mau diam, nanti aku ceburkan kau kelaut!"
kata Ande Pulut sambil tersipu.
"Hihihi... kebetulan! Sekalian aku mau me-
nangkap ikan untuk teman nasiku..."
Karena tertawa akibatnya gadis ini terselak na-si hingga terbatuk-batuk. Tentu
saja Ande Pulut dan Giwang tertawa geli menyoraki gadis kawannya yang iseng
mulut itu. Terselak-selak si bibi Gembul dan beberapa
kali terbangkis-bangkis hingga dia tak dapat menahan pertahanan yang berada
dibagian bawah.
Semakin gencarlah suara tertawa kedua gadis
hingga meledak-ledak. Akan tetapi segera mereka berlompatan menjauhi sambil
menutup hidung.
Karena bau uap gas racun segera menyebar.
Nanjar melompat keatas tiang layar, lalu berdi-ri disana. Bibirnya sunggingkan
senyuman. Se- mentara matanya memandang ke arah pulau Na-
ga Jelita yang telah jadi pulau kosong tak ber-penghuni. Dan akan menjadi tempat
persingga- han burung-burung camar dan bangau serta bi-
natang-binatang di sekitarnya...
TAMAT Scan by Clickers
Juru Edit: Fujidenkikagawa
PDF: Abu Keisel
Document Outline
SATU *** DUA TIGA *** EMPAT *** LIMA *** ENAM *** *** TUJUH *** DELAPAN *** ***
SEMBILAN *** ***
SEPULUH *** SEBELAS TAMAT Pendekar Penyebar Maut 20 Pedang Abadi Zhang Seng Jian Serial 7 Senjata Karya Khu Lung Sumpah Palapa 13
^