Pencarian

Rahasia Si Badju Perak 2

Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H Bagian 2


memutar pedangnya dengan jurus Yan-bwe-lian-poh (burung kepinis melintas gelombang)
tahu-tahu sinar pedang berkeredep menyamber sehingga berpetakan sekuntum bunga yang
indah sekali. Seketika para anak buah So-keh-pang yang mengepung disekitarnya tersurut
mundur terdesak oleh angin kekuatan samberan pedang yang menyilaukan mata.
Menggunakan peluang ini, segesit belut tiba-tiba tubuh Thian-ih berkelebat merangsang maju
kearah So Tiong. Sebenarnya kedua tangan So Tiong membengkak besar dan tak bisa digerakkan, serta melihat
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
dirinya diserang, untuk membela diri terpaksa dia angkat tangan untuk menangkis sambil
menahan sakit. Untung sebelum ujung pedang Thian-ih sampai, dua anggota So-keh-pang
yang menjaga disampingnya sudah mendahului mencegat didepannya. Kedua orang ini
bertubuh tinggi besar, satu diantaranya menggunakan senjata tongkat pendek, sedang yang
lain bersenjatakan golok. Serentak mereka menangkis sambil balas menyerang.
Terpaksa Thian-ih berkelit mundur, darah semakin bergolak bahna marahnya, bentaknya:
"Kamu minggir atau kalian ini juga termasuk algojo-algojo yang berkedok itu?"
Orang yang bersenjata golok tertawa dingin, jengeknya: "Bukan. Keluarga So selamanya
berlaku lurus dan jujur, belum pernah ia melukai orang secara menggelap. Ji-chengcu
sebaliknya kau keterlaluan, bukan saja kau memaki dan menghina partai kami malah kau
melukai Pangcu kita. Mengingat kau seorang gagah seorang tamu yang terhormat sebisa
mungkin kita menahan sabar, tapi sabar ada batasnya. Bila masih berani melukai Pangcu lagi,
lihatlah seluruh kaum So-keh-pang bersiap untuk gugur sampai titik darah penghabisan!"
Ancaman ini bukannya meredakan amarah Thian-ih malah seperti api disiram minyak. Soalnya
ia tidak percaya lagi pada obrolan orang-orang keluarga So, memang sudah jamak bagi
seorang pembunuh tidak gampang mau mengakui perbuatan jahatnya. Bahna gusar
pikirannya menjadi keruh dan semakin tenggelam dalam nafsu angkara murka.
Secara tak terduga tiba-tiba pedangnya berkelebat secepat kilat menggunakan jurus
Liu-cwan-beng-sia (aliran deras bergelombang keras) menyampok tongkat dan golok musuh,
begitu senjata dan tubuh musuh terpental dan terhuyung mundur sebat luar biasa ia
menerobos lewat terus melesat kearah So Tiong.
Agaknya kedua orang So-keh-pang ini sudah bertekad untuk mengadu jiwa demi keselamatan
sang Pangcu. Dengan beringas segera mereka mengudak balik sambil mencercah dengan
berbagai serangan yang mematikan. Malah siorang bergolok masih sempat berteriak: "Pangcu,
menyingkirlah agak jauh, biar kita yang membereskan kurcaci ini !"
"Tidak, jangan," seru So Tiong lantang. "Ini hanya salah paham saja, kita harus bikin terang
secara damai. Lekas kalian berhenti, jangan melukai Ji-chengcu."
Karena cegahan ini perhatian sipemegang golok agak terpencar dan sedikit lena, tahu-tahu
telapak tangan Thian-ih sudah menyelonong tiba dengan gerak tipu Pek-ya-jwe-gim (Pek-ya
memetik harpa), tanpa ampun pundak kirinya kena digablok keras, seketika ia melolong
kesakitan terus roboh terkulai ditanah.
Perobahan yang tak terduga ini membuat orang-orang So-keh pang semakin ribut dan getol,
ingin rasanya mereka mampuskan orang kurangajar ini, namun terkendali oleh perintah sang
Pangcu jadi mereka hanya mengerubut secara serabutan dan tak turun tangan secara
sesungguhnya, tapi karena kepandaian mereka tinggi, jumlahnya banyak pula, seketika
Thian-ih dibikin gopoh dan mengamuk seperti banteng ketaton. Keadaan yang gawat ini
semakin menegangkan sehingga So Tiong terus berteriak-teriak: "Jangan, hentikan, kalian
mundur, jangan melukai Ji-chengcu!"
Tapi berkat kepandaian yang tinggi didikan guru besar yang kenamaan Thian-ih masih dapat
bergerak bebas diantara kepungan musuh. Begitu tenaga dikerahkan sinar pedang mencorong
tambah terang berkelebatan kian kemari semakin gencar. Begitu juga tangan kiri yang tidak
membekal senjata saban-saban turut bergerak bebas, menyampok atau memukul senjata dan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
raga musuh yang terdekat.
Sekonyong-konyong Thian-ih bersuit panjang, tubuhnya berputar melingkar segesit belut,
pedangnya ikut diayun berputar membabat sehingga para pengepungnya terdesak mundur.
Kesempatan mana digunakan secara kilat oleh Thian-ih dengan jurus Kian-niau-lui-lun (burung
manyar menyusup rimba), tubuhnya melejit tinggi terus menukik menerjang kearah So Tiong.
Dimana sinar pedangnya menusuk dan menyontek, tahu-tahu pundak So Tiong sudah tergores
luka agak parah. Kalau dalam keadaan sehat pasti So Tiong mampu menyingkirkan diri, sayang
kedua tangannya susah digerakkan sehingga mempengaruhi gerak geriknya, ditambah
perhatiannya tercurah untuk mengendalikan anak buahnya yang sudah mulai kalap maka
dengan mudah ia kena terluka oleh senjata Thian-ih. Sambil mengeluh panjang ia terhuyung
mundur, darah membanjir bagai air mancur membasahi tubuhnya.
Melihat Pangcu mereka kena dilukai, tanpa komando lagi serentak mereka menerjang dengan
membabi buta, sebagian berusaha menyelamatkan sang Pangcu dan yang lain ada yang
menyerang kearah Thian-ih. Memang waktu itu pedang Thian-ih telah meluncur lagi hendak
menamatkan jiwa So Tiong, sedetik sebelum ujung pedangnya mengenai sasarannya tiba-tiba
So Tiong berteriak: "Ji-chengcu, aku tidak salahkan kau, ini benar-benar salah paham."
Tergerak hati Thian-ih pedangnya menjadi ragu-ragu untuk diteruskan.
Sedetik saja karena keraguannya anak buah So Tiong sudah mencegat dihadapannya sambil
angkat senjata lempang kedepan terus mendesak maju serempak. Diancam tusukan pedang
sekian banyak ini terpaksa Thian-ih harus jumpalitan kebelakang untuk selamatkan diri, dan
karena mundurnya ini ia terdesak pula sampai ditengah ruangan. Terdengar suatu komando
yang memberi aba-aba maka berbondonglah keluar serombongan anak buah yang membekal
anak panah lengkap dengan busurnya terus mengincar kearah Thian-ih tinggal tunggu
perintah untuk mengerjakan senjatanya.
Thian-ih insaf bahwa jiwanya terancam maut, kalau tidak berusaha membobol kepungan dan
melarikan diri pasti dirinya bisa mati konyol.
Benar juga terdengar siorang bersenjata golok sudah berseru memberi aba-aba: "Perintah
Pangcu, panah!" Seketika anak panah bersuitan bagai hujan lebat meluncur kearah Thian-ih.
Sudah tentu Thian-ih tidak rela mati konyol, pedang diputar laksana kitiran seumpama air
hujan juga susah menembus masuk.
Beruntung So Tiong keburu berteriak mencegah: "Berhenti! Jangan memanah lagi!"
Serentak para juru panah menghentikan serangannya. Keruan Thian-ih berdiri tertegun
ditengah kalangan, hatinya bertanya, "apa gerangan maksud So Tiong sebenarnya?"
Sambil menahan sakit berkatalah So Tiong: "Ji-chengcu, ketahuilah bahwa kejadian ini
benar-benar salah paham belaka. Entah siapa yang mengadu biru dalam hal ini. Tapi yang
terang bukan akulah yang berbuat sekeji itu. Gunakanlah pikiran sehat jangan sampai kau
masuk perangkap musuh."
Betapapun bila teringat kematian kawan-kawannya yang mengiring datang itu, timbul
kegusaran Thian-ih, semprotnya sambil mendelik: "So Tiong, jangan kau jual lagak.
Pendeknya aku tidak percaya akan obrolanmu. Kau pandai bermain muka dua, bagaimana
juga aku bertekad untuk mengambil jiwamu."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Thian-ih lampiaskan amarahnya sambil bolang-balingkan pedang panjangnya. Melihat aksi
Thian-ih ini, para kerabat So-keh-pang juga sudah siap hendak menyerbu lagi. Tepat sebelum
Thian-ih bertindak, tiba-tiba terdengar bentakan halus yang nyaring: "Semua berhenti !"
Belum suaranya lenyap sebuah bayangan orang tahu-tahu sudah melayang tiba dengan
ringannya laksana burung kepinis dihadapan Thian-ih. Waktu Thian-ih menegas kiranya So
Hoan telah kembali, kini orang telah berganti pakaian ringkas dan membekal senjata, sikapnya
kaku dan dingin membesi. Sejenak ia menatap kearah Thian-ih, sinar matanya mengunjuk rasa gusar dan menyesal. Lalu
berlari menghampiri kearah So Tiong dan berkata sedih: "Koko, bagaimana lukamu, apakah
berat?" Luka So Tiong masih mengalirkan darah, namun sekuatnya ia bertahan, sahutnya: "Tak usah
kuatir, luka ini tidak berat. Adik Hoan, mengapa sampai sekarang kau baru tiba" Terjadi
perobahan diluar dugaan. Mendadak Kiau-toako terbokong sehingga menemui ajalnya,
Ji-chengcu kurang periksa, dia menyangka aku.........."
So Hoan menarik muka, katanya kepada Thian-ih: "Ji-chengcu apa kau sudah periksa
Kiau-toako terkena senjata rahasia macam apa" Kebetulan masih sempat kupergoki orang itu,
karena mengejar pembokong gelap itulah maka aku terlambat datang."
Melihat sikap orang yang serius, Thian-ih menjadi ragu-ragu, mau tak mau ia harus percaya
dan bersabar lagi sementara waktu.
"Adik Hoan, siapakah keparat itu" apa kau melihat tegas rupanya?" So Tiong beringsut
menahan sakit dan bertanya.
"Ilmu ringan tubuh orang itu lihay luar biasa," demikian So Hoan menerangkan, "Aku telah
mengerahkan setaker tenagaku mengejar tapi malah tertinggal semakin jauh! Samar-samar
dapat kulihat orang itu mengenakan jubah warna putih perak bersinar kemilau."
Terguncang jantung Thio Thian-ih serta mendengar keterangan So Hoan ini. Bukankah
engkohnya Thio Thian-ki almarhum semasa masih hidup suka mengenakan pakaian putih
perak semacam itu" "Siapakah dia?" So Tiong menggumam sambil membanting kaki. "Tiada hujan tiada angin dia
mencelakai jiwa orang lantas menimpahkan segala dosa ini keatas pundakku. Adik Hoan, kau
harus......" Saking banyak mengeluarkan darah, tubuhnya menjadi lemas tak bertenaga dan
kini tak kuat lagi berdiri diatas kedua kakinya sendiri.
Cepat-cepat So Hoan maju memayang sambil perintahkan anak buahnya mengusung
engkohnya kedalam untuk istirahat. Setelah itu ia berpaling dan berkata kepada Thian-ih:
"Mari kita kejar jejak orang itu ! Dia lari menuju ke-puncak Gun-u-leng. Disana, hanya ada
sebuah jalan buntu, tentu dia takkan dapat menghilangkan jejaknya."
Keadaan Gun-u-leng menjelang petang sangatlah indah permai, sang surya memancarkan
beribu sinar kuning keemas-emasan membuat alam sekitar Gun-u-leng seolah-olah berlapis-
kan permadani emas berkilau-kilau.
Sambil berlincahan So Hoan membuka jalan didepan diikuti Thian-ih. Sebetulnya ia
mengenakan jubah panjang, karena berloncatan lama-lama dia merasa gerah dan kurang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
leluasa, mendadak ia tanggalkan jubahnya itu terus dilempar ketengah udara. Kejadian ini
sangat mendadak keruan membuat Thian-ih melonjak kaget. So Hoan geli melihat tingkah
orang, namun ia tidak ambil peduli. Pakaian dalamnya ringkas ketat berwarna hijau mulus,
tubuhnya terlihat ramping padat lemah gemulai. Ditimpah sinar sang surya wajahnya tampak
semakin cantik molek, lebih-lebih kedua matanya yang bersinar bening menambah
kelincahannya. Saban-saban pedang ditangannya diobat-abitkan untuk membabat tumbuh-tumbuhan liar
yang merintang didepan jalan, kadang kalanya pula dibuat sebagal tongkat untuk berloncatan.
Meskipun jalan pegunungan sangat jelek tapi ini tidak menjadikan suatu halangan atau
rintangan yang berarti, sikapnya wajar dan riang gembira tiada tampak kuatir atau kesal.
Thian-ih mengintil terus dibelakangnya, diam-diam ia membatin: "Aku seorang laki-laki,
mengapa aku harus mengandal tenaga seorang perempuan untuk mencari jejak musuh" Bu-
kan mustahil sekarang ini dirinya juga telah masuk kedalam perangkap pihak So-keh-pang
untuk mencelakai diriku pula" Seorang kesatria mengapa harus mempercayai sepatah kata
ucapan perempuan lincah ini, melepas So Tiong malah masuk kedalam perangkap So Hoan,
mengapa" Entah dia tak kuasa menjawab pertanyaan ini!
Tiba-tiba terbayang olehnya akan keadaan jenazah engkohnya serta cara kematian
Hek-san-siang-ing dan Kiau-si Hengte, tanpa merasa darah mendidih dirongga dadanya.
Semakin dipikir ia semakin ragu-ragu untuk melanjutkan pengejaran ini. Tidaklah lebih baik
dirinya terang-terangan putar balik menghadapi So Tiong dan minta orang mengeluarkan atau
menunjuk keenam orang berkedok itu untuk membereskan pertikaian yang berlarut-larut ini"
Seumpama So Hoan merintangi biarlah sekali tusuk saja kubunuh dara ini habis perkara.
Pertentangan batin ini bergejolak dalam benaknya, sesaat ia susah mengambil keputusan,
pandangannya termenung ke-depan sana dimana bayangan So Hoan tengah berlincahan, dua
kupu-kupu kemala diatas sanggul kepalanya berkilau-kilau. Entah mengapa tangan Thian-ih
yang sudah meraba gagang pedang itu tak kuasa melolosnya keluar.
"Hei, Ji-chengcu !" tiba-tiba seruan So Hoan menyentakkan lamunan Thian-ih. "Kau ingin
melihat panah milik engkohku tidak" Ini kubawa serta dalam kantongku."
Hati Thian-ih masih mendelu, mendengar seruan itu ia hanya mendengus tanpa bergerak.
Pelan-pelan So Hoan berpaling dan balik kembali menghampiri, sepasang mata yang bening itu
dengan tajam menatap wajah Thian-ih, suaranya terdengar halus lembut: "Seharusnya sudah
sejak tadi kuperlihatkan kepada kau. Ketahuilah panah engkohku ini sangat istimewa lain dari
pada yang lain. Cobalah kau periksa sendiri supaya kau sadar akan kesalahan dan
kecerobohanmu......ini, sambutlah!" tiba-tiba tangannya yang putih bagai salju itu
mengangsurkan anak panah.
Sebetulnya Thian-ih hendak mengulur tangan untuk menyambut, tiba-tiba. dilihatnya tangan
So Hoan bergerak seolah-olah hendak menyambitkan anak panah itu. Kontan Thian-ih
berjingkrak kaget dan melompat mundur sambil bersitegang leher.
Terdengar So Hoan mengikik geli, ujarnya: "Hei, kau terkejut tak keruan paran. Kau kira aku
hendak membokong" Hm, Ji-chengcu, keterlaluan benar kau. Ketahuilah bahwa pihak
So-keh-pang sejak kakek moyangnya turun temurun belum pernah melukai musuh secara
gelap main bokong apa segala. Tadi aku hanya berkelakar saja, tapi kau bersitegang leher
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
sedemikian rupa sampai wajahmu pucat ketakutan!" habis berkata ia sambitkan anak panah
di-tangannya itu kebatang sebuah pohon dipinggirnya terus berlari tinggal pergi langsung
menuju ke puncak sambil tertawa cekikikan.
Thian-ih mencabut anak panah itu dan memeriksanya. Ternyata memang panah itu berbeda
dengan panah yang telah membunuh Kiau Keng itu, ukiran kelabang diatas batang panah ini
tidak bersayap dan diujung panah ini terukir pula sebuah huruf 'Tiong' tanda dari pemiliknya.
Sesaat Thian-ih terlongong-longong, hatinya risau dan bingung menghadapi kenyataan ini!
Kuatir orang menunggu terlalu lama bergegas Thian-ih menyusul keatas gunung. Tak lama
kemudian tampak olehnya sebuah bangunan gedung bobrok yang besar angker tegak berdiri
didepannya sana. So Hoan tampak berdiri disebelah samping sana sambil menyoreng pedang
ditangan, entah apa yang tengah direnungkan.
Cepat-cepat Thian ih maju menegur: "Adakah yang kau ketemukan ?"
"Tidak," sahut So Hoan, "Tapi aku berani pastikan bahwa tadi tentu ada orang telah datang
kemari.'' Dengan cermat Thian-ih periksa keadaan sekitarnya, sedikitpun tiada menunjukkan sesuatu
yang mencurigakan, maka ia bertanya: "Darimana kau tahu kalau tadi ada orang pernah
datang kemari?" "Sejak berumur tujuh tahun aku sering bermain digedung ini," demikian tutur So Hoan,
sikapnya sungguh-sungguh. "Keadaan sekitar sini aku sangat apal, sedikit perobahan apapun
tentu dapat kuketahui."
"Menurut apa yang kau ketahui, dimana kiranya orang itu sekarang berada "''
"Kukira, dia masih belum pergi, mungkin bersembunyi dalam gedung bobrok ini."
Segera Thian-ih lolos pedangnya serta ujarnya: "Biar kumasuk mencari dia. Urusan ini harus
segera dapat kubereskan !" sambil menenteng pedang ia beranjak memasuki gedung itu.
Tersipu-sipu So Hoan merintangi serunya: "Ji-chengcu, nanti dulu biar aku yang berjalan
dimuka, sebagai tuan rumah aku wajib melindungi tamuku, seumpama kau sampai terbokong
pula dan terjadi di Gun-u-leng lagi bukankah dosa So-keh-pang akan lebih besar dan
bertambah sukar untuk dicuci bersih?" beberapa kata tajam ini membuat Thian-ih sukar untuk
menjawab. Sebelum bertindak terlebih dulu So Hoan sambitkan beberapa anak panah kearah
tempat-tempat gelap didalam sana, tapi tiada menunjukkan suatu reaksi apa-apa.
Selang sejenak baru So Hoan berkata lagi: "Mari kita masuk !" Beriring mereka beranjak masuk
kedalam ruangan besar. Dikeremangan malam samar-samar terlihat empat buah peti mati
tersebar diempat penjuru. Ternyata diruang besar inilah Thio Thian-ki telah menemui ajalnya.
Suasana sunyi senyap seram dan mencekam hati.
Menunjuk keempat buah peti mati itu mulailah So Hoan buka bicara: "Empat diantara keenam
orang berkedok itu bersembunyi didalam peti mati itu. Waktu datang engkohmu memanggul
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
sebuah buntalan besar, sekonyong-konyong keempat musuh yang sembunyi dalam peti mati
itu hamburkan senjata rahasia hendak merobohkan engkohmu......''
"Jadi waktu peristiwa itu terjadi kau juga berada disini?" tiba-tiba Thian-ih menyela dengan
nada menyindir. "Di peti yang mana kau bersembunyi?"
Mendapat tegoran yang pedas ini, sekonyong-konyong So Hoan membanting kaki, agaknya ia
marah. Mereka saling membisu beberapa saat dalam kegelapan, akhirnya Thian-ih merasa
menyesal akan keteledoran perkataan yang terlalu kurang sopan tadi.
Sesaat kemudian So Hoan membuka suara pula: "Mengapa sedemikian besar curigamu
terhadap kami" Bersikaplah sedikit manis. Aku tahu kejadian itu dari penuturan Ciu Hou,
sedang Ciu Hou katanya diberitahu oleh Hi Si-ing. Sebenarnya kita tidak bermusuhan dengan
engkohmu, dengan alasan apa kau menuduh kita telah mencelakakan jiwanya?"
"Apa benar kalian tidak bermusuhan dengan engkohku ?" tiba-tiba Thian-ih menjengek
dengan ketus dan kaku. "Bukankah Gun-u-kong atau ayahmu itu sebelum ajal pernah ber-
pesan pada kalian untuk mencari engkohku dan menuntut balas bagi beliau?"
Tampak bayangan So Hoan tergetar mundur, agaknya ia sangat terkejut oleh tuduhan Thian-ih
yang semena-mena ini. "Ji-chengcu, siapa yang mengatakan hal itu kepada kau?"
"Ah, mana aku berani mengatakan," sahut Thian-ih sinis. "Jika kukatakan bukankah malah
menambah kerepotan saja bagi kalian?"
"Kerepotan apa?" So Hoan bertanya heran.
"Pasti kalian harus berdaya upaya lagi untuk menutup mulut orang itu. Bukankah ini
menambah suatu kerepotan?" demikian ejek Thian-ih.
So Hoan tak bersuara, namun terdengar nafasnya agak memburu, agaknya ia tengah
menahan gejolak hatinya yang dongkol dan gusar.
Tanpa hiraukan sikap orang, Thian-ih angkat langkah terus maju kedalam.
"Apa lagi yang hendak kau lakukan?" segera So Hoan bertanya.
"Aku ingin memeriksa sebelah dalam."
Buru-buru So Hoan berlari kedepannya, beruntun ia sambitkan dulu beberapa anak panah,
setelah tiada menunjukkan reaksi apa-apa baru ia berkata: "Bangunan gedung ini sangat ru-
mit, waktu ayah masih hidup kita tinggal disini, setelah beliau wafat baru kita pindah kebawah
gunung." Begitulah sambil bercakap-cakap mereka menggeremet semakin dalam, terdengar So Hoan
menyambung ceritanya: "Entah apa sebabnya waktu aku berumur enam tahun gedung jni
tiba-tiba terbakar, keadaannya menjadi seperti sekarang ini tak terurus lagi. Semua seluk
beluk gedung ini aku apal diluar kepala. Jikalau ada orang sembunyi dipojok mana saja pasti


Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

takkan luput dari sambitan anak panahku ini." lalu sambil menimang-nimang anak panah
kepunyaan So Tiong, ia berkata lagi: "Meskipun anak panah ini milik koko, tapi dia kalah
tangkas dari aku." TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Thian-ih diam saja mendengar ocehan orang dalam kegelapan.
Keadaan sebelah dalam sini juga tidak kalah gelap dan heningnya, sebenarnya Thian-ih ingin
mengajak mencari ketempat lain, tapi entah mengapa tak kuasa ia membuka mulut. Ditengah
kegelapan mereka berdiri berendeng dekat satu sama lain, suaranya terdengar lemah lembut
laksana kicauan burung dapat melegakan pendengarnya.
Terdengar pakaian So Hoan gemerisik, tiba-tiba ia berjongkok dan duduk diatas sebuah batu.
Suaranya riang berkata: "Duduklah. Berdiri terus sangat melelahkan!" ia menepuk sebuah batu
disampingnya dan berkata lagi: "Marilah duduk, disini sangat silir dan nyaman."
Sebenarnya Thian-ih segan, tapi rasanya tak enak menolak kebaikan orang, terpaksa ia duduk
juga disebelahnya tanpa bersuara. Namun begitu otaknya tengah bertanya-tanya kepada
dirinya sendiri, "Apa yang tengah kuperbuat ini" Bukan aku membereskan urusanku malah
berindehoy ditengah malam buta rata. Bukan mustahil memang engkohnya adalah musuh
besarku?" Sudah tentu So Hoan tidak tahu apa yang terkandung dalam benak Thian-ih, terdengar ia
masih asyik bercerita: "Waktu aku masih kecil setiap hari kami bermain disini. Cobalah
bandingkan kedua batu yang kita duduki ini, satu tinggi besar dan yang lain kecil rendah. Biasa
kami bermain berebut Tahta, dari luar pintu depan aku dan koko berlari sekencangnya untuk
merebut menduduki batu besar ini. Bagi yang mendapatkan batu besar ini dia menjadi raja,
lalu yang lain menjadi Thaykam (dorna). Sang raja boleh memerintah apa saja yang
dikehendaki kepada punggawanya......."
Begitulah So Hoan bercerita tentang riwayat semasa kecilnya dengan suara lirih penuh
kenangan. Hidup sampai 20-an tahun baru pertama kali inilah Thian-ih mendengar tutur kata
orang yang sedemikian lembut mengasyikkan pendengaran. Waktu ia melirik memang tempat
duduk So Hoan itu agak besar dan tinggi, ini berarti bahwa dirinya kini menjadi Thaykam yang
harus menerima perintah dari junjungannya. Diam-diam Thian-ih geli dan lucu.
Terdengar So Hoan meneruskan: "Kala itu aku berumur 7 tahun, koko lebih besar dua tahun
dari aku, sering aku kalah cepat berlari dan selalu menjadi Thaykam. Tapi koko sangat sayang
dan baik sekali terhadap aku, saban-saban ia mengalah dengan pura-pura jatuh atau keseleo
sehingga aku menang merebut batu besar ini dan menjadi raja. Tanpa sungkan dan mengenal
kasihan aku lantas perintahkan dia melakukan sesuatu yang rumit dan sukar untuk
menyiksanya. Pernah satu kali aku suruh koko memanjat lereng gunung karang diluar sana
untuk memetik sekuntum bunga. Karena kurang hati-hati ia terpeleset jatuh dan luka babak
belur, karena takut dia tak berani pulang dan sembunyi digedung ini sampai beberapa
hari......." Sampai disini ia berdiam sebentar, dllihatnya Thian-ih duduk mematung membisu, tiba-tiba ia
bertanya: "Thio-toako"eh, Ji-chengcu...... kau suka dengar ceritaku?"
"Oh, tidak, eeh, ya ya, aku suka mendengar......" Thian-ih menjadi gelagapan.
Sejenak So Hoan berdiam diri lalu berkata lagi lirih: "Apa kau rela aku menjadi rajamu dan
memerintah kepada kau"''
Tanpa merasa Thian-ih mengangguk, tapi ini cukup dimengerti oleh So Hoan. Sekilas Thian-ih
melihat sinar matanya seakan-akan memancarkan rasa girang.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Tegasnya kau rela menjadi Thaykam?" sambung So Hoan. "Sebagai punggawa kau harus
tunduk akan segala perintahku ?"
"Baiklah!" sahut Thian-ih tanpa ragu-ragu lagi. "Tugas apa yang harus hamba lakukan?"
Tapi setelah dinati-nanti sekian lama So Hoan tetap membungkam, samar-samar dilihatnya
orang tengah menunduk seakan mengusap air mata, kiranya diam-diam ia telah menangis...
Thian-ih tak enak hati, katanya: "Hoan...... nona Hoan, apa yang kau kehendaki" Apa kau
minta sekuntum bunga pula "''
Perlahan-lahan So Hoan angkat kepala, dalam kegelapan tampak sorot matanya bersinar
terang menatap kearah Thian-ih, ujarnya: "Aku tidak akan minta apa-apa padamu. Aku hanya
ingin bertanya, mengapa sedemikian kukuh dan keras kepala kau menuduh tanpa memberi
kesempatan kepada kita untuk menerangkan" Kami merasa tidak pernah berbuat dosa
terhadap siapapun juga, sungguh kami tidak habis mengerti, berdasarkan apakah tuduhanmu
itu?" Thian-ih tunduk dan bungkam seribu basa.
"Coba kau terangkan," sambung So Hoan, "kau sungkan mengatakan siapakah orang yang
mengadu biru itu, tapi cobalah terangkan apa yang orang itu telah katakan kepadamu tentang
kejelekan kita. Aku berani pastikan tentu hanya obrolan dan hasutan belaka, berilah aku
kesempatan untuk membela diri supaya urusan ini dapat dibikin terang."
Sesudah terdesak sedemikian rupa, terpaksa Thian-ih harus membuka suara, ia ceritakan
semua apa yang telah didengarnya dari To Yung, ditambahkan juga cara kematian para
sahabat engkohnya ditengah perjalanan itu. Sambil bercerita senantiasa ia awasi gerak-gerik
So Hoan, agaknya ia heran dan gusar serta gegetun sekali.
Setelah Thian-ih habis bercerita, mulailah So Hoan memberikan tanggapannya: "Terang kau
telah masuk perangkap orang itu diluar sadar. Satu hal dapat dipastikan bahwa obrolan orang
itu adalah bohong belaka. Hakikatnya pihak So-keh-pang kami tidak atau belum pernah
bermusuhan dengan engkohmu, lalu darimana bisa dikatakan bahwa sebelum ajal ayahku
meninggalkan pesan supaya mencelakai jiwa engkohmu untuk menuntut balas. Disinilah
ketidak beresannya ucapan orang itu. Ketahuilah bahwa ayahku meninggal pada tujuh belas
tahun yang lalu, waktu itu aku baru berumur dua tahun, bayi yang baru pandai bicara, sedang
koko juga baru bersekolah. Dapatkah dua anak kecil yang masih ingusan menerima pesan apa
segala " Setelah ayah meninggal kami diasuh dan dibesarkan oleh bibi Bok-leng Suthay. Beliau
masih hidup dan sekarang mengasingkan diri di Lam hay. Kau dapat mencari keterangan
kepada beliau disana."
Nada So Hoan semakin keras dan sengit, saking gemas akhirnya ia benar-benar marah dan
penasaran, akhirnya semakin serak dan sesenggukan.
Thian-ih menjadi serba salah, mimpi juga ia tidak menduga bahwa urusan sedemikian larut
dan berbelit-belit, agaknya salah paham ini timbul karena dirinya kurang periksa. Memang
tidak gampang dan seketika ia dapat menghilangkan curiganya, tapi bagaimana juga ia harus
menyesal akan sepak terjangnya waktu siang tadi, sedemikian kasar dan berangasan
kelakuannya itu. Kini menghadapi sang jelita yang gusar dan menangis, ia menjadi serba
runyam, katanya tergagap: "Hoan......nona Hoan, apa kau marah kepadaku?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sebenarnya memang So Hoan sangat jengkel dan dongkol, serta mendengar pertanyaan
lembut ini ludaslah kemarahannya. Dasar seorang dara yang aleman ia bungkam tak
menjawab pertanyaan Thian-ih.
Sungguh sesal Thian-ih bukan main karena telah melukai So Tiong tadi siang. Bahkan menurut
cerita So Hoan tadi bahwa So Tiong adalah seorang bajik dan budiman, sejak kecil sudah tahu
menyayang dan melindungi adiknya. Inilah suatu pambek seorang jantan yang harus dipuji.
Tapi dirinya membalas kebaikan orang dengan sebuah tusukan pedang dipundaknya. Saking
gegetun ia termangu dan menggumam: "Siapakah orang itu" Untuk apa dia menghasut
diriku?" "Aku juga belum jelas," tiba-tiba So Hoan menimbrung. "Tapi berani kupastikan bahwa orang
itu ada sangkut-pautnya dengan engkohmu. Kematian Hek-san-siang-ing dan Kiau-si Hengte
adalah perbuatannya atau kaki tangannya. Hanya aku masih heran mengapa ia tumplekkan
dosa-dosa ini ke pihak So-keh-pang kita" Apa mungkin ia bermusuhan dengan kita?"
Agaknya kedua muda-mudi ini sudah mulai ada kata sepakat untuk menyelami persoalan itu
bersama. Maka tak segan-segan lagi Thian-ih tuturkan kejadian di ruang layon tempo hari dimana
engkohnya pernah muncul mengambil pedang dan menggertak dirinya terus menghilang lagi
entah kemana. Tapi waktu peti mati diperiksa terang dan gamblang bahwa engkohnya
memang sudah mati dan masih berbaring dengan tenang. Lalu diceritakan pula pertemuannya
dengan orang bernama To Yung itu, cara bagaimana orang memberi petunjuk pada dirinya
untuk menuntut balas serta memberi advis supaya dirinya mempersunting adik musuhnya
yaitu So Hoan sebagai istri.........
Bercerita sampai disitu Thian-ih merandek sejenak, melihat So Hoan tidak mengunjuk sesuatu
reaksi akan ceritanya itu baru ia lanjutkan kisah perjalanannya. Dimana dalam gardu itu telah
tersedia air minum dengan tiga buah cawan, padahal mereka berempat. Semua ini merupakan
persoalan yang tak terpecahkan oleh otak Thian-ih.
Dengan cermat So Hoan ikuti cerita orang, sejenak ia berpikir lalu katanya: "Hal ini aku belum
berani mengambil kesimpulan yang pasti dan menyeluruh. Tapi yang terang orang misterius
itu tak mengandung maksud jahat terhadap kau. Malah berani kukatakan bukan saja tidak
akan mencelakai kau mungkin juga melindungi keselamatanmu seumpama kau menghadapi
bahaya. Dari tiga cawan dalam gardu itu dapatlah dipastikan, sebagai orang yang berke-
pentingan dalam perjalanan itu tentu kau berlaku sungkan dan menyilahkan mereka minum
lebih dulu, begitu mereka keracunan maka selamatlah jiwamu. Besar dugaanku pada waktu
mana pasti orang itu sembunyi disekitar gardu itu, seumpama secara ceroboh kau
menggayung air hendak mendahului minum, pastilah dia akan menyambitkan senjata rahasia
untuk menolong jiwamu.........Tentang pujiannya terhadapku dan tentang hubungan kita itu,
kukira.........itu hanya maksud baiknya saja........." sebagai seorang gadis remaja ia malu
memperbincangkan persoalan jodoh.
Sampai detik itu mereka masih tenggelam dalam pertanyaan yang belum terpecahkan,
siapakah orang misterius itu" Dan apa maksud tujuannya" Yang jelas harapan dan tujuan
orang itu sudah terkabul, bukankah saat mana So Hoan dan Thian-ih sudah rujuk dan sudah
ada persesuaian hati, begitu wajar dan simpatik mereka bercakap-cakap seumpama kawan
kental. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Angin malam menghembus dingin, karena jubahnya sudah dibuang So Hoan merasa
kedinginan, cepat-cepat Thian-"h melepas jubahnya lalu didekapkan kebahu orang sambil
katanya: "Sudah larut malam, mari kita pulang besok kita lanjutkan penyelidikan ini."
So Hoan mengiakan sambil bangkit berdiri, mereka beriring melangkah keluar. Waktu tiba
dilamping gunung, tampak sekelompok orang tengah naik keatas sambil membawa obor.
Kiranya So Tiong menjadi kuatir melihat adiknya belum kembali sampai tengah malam itu,
maka ia mengutus anak buahnya untuk mencari. Begitu bertemu ditengah jalan legalah hati
orang-orang itu. Begitu sampai dan berhadapan dengan engkohnya So Hoan segera bercerita dengan muka
berseri kepada engkohnya, bahwa kesalah pahaman ini sudah dibikin terang.
Sementara itu, Thian-ih juga maju mengunjuk salam hormatnya, begitu melihat balut
dipundak So Tiong masih merembes darah, hatinya menjadi tak enak, cepat-cepat ia minta
maaf dan nyatakan penyesalannya dengan kikuk dan risi.
So Tiong benar-benar seorang bijaksana yang berhati lapang, katanya tertawa riang: "Tidak
apa, tidak apa, luka kecil ini tak menjadi soal. Kami juga tidak bisa salahkan Ji-chengcu,
semisal aku sendiri kalau mendengar hasutan manis itu juga akan percaya penuh. Maka untuk
selanjutnya Ji-chengcu marilah kita bekerja sama memecahkan persoalan rumit ini. Tadi siang
pihak kita telah berlaku kasar dan kurang hormat terhadap kau, harap kau suka memaafkan
dan jangan ditaruh dalam hati."
Secara jujur polos dan rendah hati So Tiong melayani tamunya, hal ini semakin membuat
Thian-ih tidak enak. Dalam percakapan itu So Tiong memberitahukan bahwa jenazah Kiau Sim telah dimasukkan
dalam peti dan semua telah diatur beres. Sekalian ia bertanya tentang kisah pengejaran jejak
musuh diatas gunung tadi. Secara ringkas So Hoan menuturkan bahwa jejak musuh telah
menghilang dan susah dicari lagi, tapi kemungkinan besar masih sembunyi di puncak sana,
tentang pengalamannya bersama Thian-ih didalam gedung bobrok itu tidak ia ceritakan.
Menginsyafi pentingnya persoalan ini, segera So Tiong perintahkan puluhan anak buahnya
naik gunung untuk memeriksa dan berjaga supaya pelarian itu tidak sempat meloloskan diri,
supaya besok pagi lebih mudah untuk serempak menggeledahnya. Karena malam sudah larut
So Tiong silakan Thian-ih untuk beristirahat.
Hari kedua, luka So Tiong masih belum sembuh hingga tidak leluasa untuk bergerak, terpaksa
Thian-ih bersama So Hoan serta puluhan anak buah So-keh-pang yang naik ke atas gunung.
Menurut laporan anak buah yang berjaga semalam suntuk diatas itu mengatakan bahwa
mereka tidak melihat atau menemukan orang atau bayangan yang meninggalkan tempat itu.
Besar harapan mereka untuk dapat menemukan jejak si pembokong gelap itu diatas gunung.
Sesampai di puncak anak buah So-keh-pang disebar keempat penjuru berjaga rapat
disekeliling gedung bobrok itu. Sementara itu, Thian-ih bersama So Hoan serta lima orang
anak buahnya menggeledah seluruh pelosok gedung besar itu tanpa membawa hasil yang
memuaskan. "Mungkin orang itu telah meninggalkan gedung ini," demikian ujar So Hoan lesu.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Tapi Thian-ih belum patah semangat, sedemikian luas alam pegunungan ini, bukan mustahil
orang itu sembunyi di belakang gedung dalam rimba sana. Tapi So Hoan menerangkan bahwa
belakang gedung sana adalah tebing yang curam, jangan kata manusia binatang atau burung
juga susah terbang keatas sana. Kalau So Hoan bersikap keras akan pendapatnya bahwa tak
mungkin orang itu sembunyi kesana, namun Thian-ih membujuk untuk sekedar melihat-lihat
saja. Akhirnya mereka tiba dibawah tebing tinggi itu. Segera So Hoan berseru heran dan
menemukan apa-apa yang mencurigakan, katanya berbisik: "Memang diatas tebing agaknya
ada orang!" Tebing curam dan tinggi ini ternyata ditumbuhi pohon-pohon jalar yang lebat. Memang tebing
ini sedemikian tinggi, agaknya binatang sebangsa kera dan burung saja yang dapat mencapai
puncaknya sana. Adalah yang mengherankan di kaki tebing terdapat bekas-bekas tapak kaki
manusia, ini membuat Thian-ih dan So Hoan heran dan curiga, terpaksa mereka juga harus
manjat atau merambat keatas, kelima orang anak buahnya disuruh menunggu dibawah.
Begitulah setelah sekian lama mereka bersusah payah merambat keatas sampai kedua tangan
terasa pedas dan berdarah terkena duri mereka tiba diatas puncak yang merupakan sebidang
tanah datar yang tak begitu luas. Pelan-pelan dan hati-hati mereka beranjak maju kedepan,
setelah membelok dan melewati segundukan tanah tinggi yang lebat penuh pepohonan,
langkah mereka menjadi semakin perlahan-lahan dan waspada.
Agaknya daerah hutan sekitar sini belum pernah diinjak kaki manusia. Diatas pohon banyak
sekali kera-kera, besar kecil yang berjingkrak-jingkrak sambil cecowetan melihat manusia
asing. Berjalan maju lagi berapa langkah, mendadak So Hoan menarik lengan Thian-ih dan
berkata lirih: "Berhenti dulu ! Coba lihat apakah itu?"
Thian-ih memandang kearah yang ditunjuk, seketika ia berjingkrak kaget. Dilihatnya
ditengah-tengah diantara tiga pohon besar tergantung jala yang terbuat dari akar pohon
tengah bergoyang-goyang, dalam jala itu rebah seorang yang sangat aneh, rambutnya sangat
panjang dan terurai awut-awutan, tubuhnya dibungkus kulit binatang dan dedaonan seperti
manusia liar. Agaknya orang aneh ini tengah istirahat diatas ayunan itu, kepalanya dikerumuni
beberapa ekor kera yg tengah mencari kutu diatas kepalanya, malah ada pula yang tengah
menggerogoti buah-buahan untuk dijejalkan kemulut orang aneh itu.
Kera adalah binatang cerdik dan paling perasa, begitu Thian-ih dan So Hoan maju mendekat
kera-kera itu menjadi ribut terus berloncatan keatas pohon. Gerak-gerik orang aneh itu sangat
lamban, begitu kera-kera itu ribut dan berlarian perlahan-lahan ia bangun berduduk dan
berpaling, begitu melihat orang asing dihadapannya kedua matanya terbelalak liar
terheran-heran. Mendadak orang aneh ini bersuit panjang suara terdengar sedih memilukan,
tahu-tahu tangannya diulur untuk mencengkeram kearah So Hoan. Keruan So Hoan berjingkat
kaget dan belum sempat ia mencabut keluar pedangnya, Thian-ih keburu mencegah: "Jangan!
Biar aku layani dia !"
Thian-ih maju dua langkah, kedua kepelan tangan diacungkan kedepan satu memakai
cengkraman tangan sedang tangan yang lain menjojoh perut orang aneh itu. Agaknya si orang
aneh merasa terancam bahaya, tiba-tiba tubuhnya berkelebat miring terus sedikit
membungkuk kedepan sambil merangkap kedua tangan didepan dada, inilah jurus yang
dinamakan Tong-cu-pai-hud (anak kecil menyembah sang Budha). Melihat gerak atau jurus
tipu yang sangat dikenalnya ini Thian-ih berseru girang dan mundur kesamping. Tahulah dia
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
sekarang bahwa orang aneh yang tengah dihadapinya ini pasti bukan lain adalah Sutitnya
sendiri yang dikatakan hilang dan menjadi gila itu.
Memang pikiran Hi Si-ing tidak waras dan linglung. Setelah melancarkan jurus
Tong-cu-pay-hud dan gagal merobohkan musuhnya, sekonyong-konyong kedua pergelangan
tangan membalik keatas terus dirobah dengan jurus Hun-ho-ciong yan (burung bangau
menembus awan) sasaran kali ini adalah dada musuh, cara turun tangan dan serangan ini
sangat keji dan agak telengas. Justru inilah memang jurus-jurus khas ajaran Thio Thian-ki
yang paling dibanggakan itu.
Sekali berkelebat dengan mudah Thian-ih hindarkan diri. Kini hatinya semakin mantep dan
tidak ragu-ragu lagi bahwa yang dihadapi ini memang Sutitnya, serunya: "Hi-sutit, berhenti
dulu, aku ini Thian-ih!"
Hi Si-ing seakan-akan tidak mendengar, jurus serangannya masih gencar dan hebat, agaknya
ia bernafsu benar untuk merobohkan lawannya sehingga mengerahkan setaker tenaganya
sampai pukulannya membawa samberan angin yang menderu. Sudah tentu Thian-ih tidak
bakal melukai atau balas menyerang, sedemikian jauh ia cuma main kelit dan menghindar
sambil memberi peringatan: "Hi Si-ing, berhenti! Hi Si-ing! Akulah Thian-ih, akulah Susiokmu!"
Baru sekarang Hi Si-ing tersentak kaget dan menghentikan serangannya terus berdiri
melongo. Nama 'Hi Si-ing, Thio Thian-ih' seolah-olah sangat dikenal dan mengetuk
sanubarinya, sekian lama ia berdiam diri tenggelam dalam pikirannya.
Thian-ih berkata lagi: "Si-ing, aku adalah Thian-ih. Mengapa keadaanmu menjadi demikian,
marilah ikut aku pulang."
Sekonyong-konyong Hi Si-ing bergelak tawa kegila-gilaan, seperti orang menangis dengan
nada yang menggetirkan hati. Keruan Thian-ih dan So Hoan tertegun beberapa saat. Tiba-tiba
Hi Si-ing memutar tubuh terus berlari kencang kedalam hutan. Maka lekas-lekas Thian-ih
berdua ikut mengejar. Tampak Hi Si-ing berlari ke pinggir sebuah jurang terus menyelusup ke
dalam sebuah gua, terlihat gua itu sangat cetek, mungkin di tempat itulah selama ini dia
menetap karena gua itu sangat kecil dan sempit, hanya bisa cukup untuk berdiri satu orang
maka Thian-ih berdua berdiri diluar gua.
Tidak lama kemudian Hi Si-ing berlari keluar pula, tangannya mencekal seutas rantai yang
mengkilap, mulutnya komat-kamit mengeluarkan suara yang tidak dimengerti, kaki tangannya
mencak-mencak dan menari-nari diatas rumput.
Thian-ih mengenali bahwa rantai yang dipegang Si-ing itu adalah benda milik engkohnya


Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena selalu tergantung diatas leher engkohnya dan belum pernah ditanggalkan. Teringat
oleh Thian-ih, dulu secara kelakar ia menggoda engkohnya mengapa mengenakan perhiasan
seorang wanita. Karena godaannya itu engkohnya segera menjadi marah dan berobah air
mukanya, namun hanya menggeleng kepala saja tanpa memberi penjelasan. Menurut dugaan
Thian-ih mungkin rantai ini mempunyai riwayat tersendiri yang sangat rahasia. Sekarang dia
telah meninggal, rahasia kalung berantai ini mungkin akan terpendam pula untuk
selama-lamanya. Setelah sekian lama berjingkrak dan menari-nari, mungkin karena kelelahan tiba-tiba Hi Si-ing
merebahkan diri terus nangis menggerung-gerung.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Thian-ih memberi tanda kepada So Hoan, berbareng mereka maju memayang bangun Hi
Si-ing. Seketika Hi Si-ing mengunjuk rasa ketakutan dan seram, sekuat tenaga ia coba
berontak dan meronta-ronta. Terpaksa Thian-ih mesti menutuk jalan darah pelemasnya
sehingga pingsan terus dipanggulnya dan dibawa turun ke bawah tebing.
Sebelum berlalu ia minta So Hoan masuk kedalam gua untuk mencari benda-benda apa lagi
yang dapat diketemukan, tapi So Hoan keluar lagi dengan tangan hampa.
Setelah sampai dimarkas besar So-keh-pang badan Hi Si-ing dibikin bersih, rambut dan
jenggotnya dicukur, maka tampak wajahnya yang gagah ganteng. Karena hidup bercampur
kera-kera dengan makanan yang tidak menentu sehingga badannya tampak kurus karena
tidak terawat, semangatnya juga sangat lesu. Berbagai pertanyaan sudah diajukan,
jawabannya mengelantur dan kacau balau. Makannya juga sangat lahap tiada ubahnya
binatang yang sudah lama kelaparan.
Malam itu Thian-ih coba mengurut dan berusaha mengobati penyakit hilang ingatan Sutitnya
dengan kemampuan apa yang pernah dipelajarinya dari gurunya dulu, memang usahanya ini
tidak tersia-sia, akhirnya Hi Si-ing bisa membuka suara menjawab pertanyaan yang diajukan
secara lemah-lembut, tapi juga masih samar-samar: "Baju perak............Hahaha, satu orang
dikeroyok enam, setan hitam yang berkedok......................."
"Siapakah mereka itu?" tanya Thian-ih.
Hi Si-ing menggeleng kepala, jawabnya terputus-putus: "Tidak mungkin, aku tidak
percaya....... tapi surat peringatan itu...............oh Tuhan..................bagaimana aku ini?"
sekonyong-konyong ia berjingkrak bangun terus meraba-aba seluruh tubuh sendiri sambil
berani mengambil.....jangan, jangan ambil...... lekas kembalikan kepadaku......lekas kembalikan
kepadaku..............."
mengoceh: "Mana suratku itu......mana suratku itu"......... Siapa yang "Si-ing ! Apa yang tertulis diatas surat itu?"
Cepat-cepat Si-ing goyang-goyang tangan dengan kepala juga ikut menggeleng, serunya:
"Tidak, tidak boleh kukatakan. Kau bunuh aku juga tidak kukatakan !"
Thian-ih menjadi serba susah, pikirnya tentu surat itu sangat penting isinya. Sementara itu
setelah menggeledah seluruh tubuh sendiri tanpa menemukan apa-apa, mungkin karena
kelelahan Hi Si-ing rebah lagi di atas pembaringan terus mendengkur.
Begitulah dengan berbagai usaha Thian-ih terus berusaha coba mengorek keterangan dari
mulut Hi Si-ing. Beberapa tabib kenamaan sudah diundang untuk mengobati penyakitnya itu,
tapi mereka tidak kuasa menyembuhkan penyakit hilang ingatan lantaran ketakutan dan
kecewa itu. Setiap hari yang diocehkan pasti tentang baju perak, setan hitam, buntalan besar,
tidak mungkin dan mengapa suratku hilang........terpaksa Thian-ih harus bersabar sehingga
tanpa terasa setengah bulan sudah lewat sejak ia tinggal di So-keh-pang.
Dalam pada itu atas bantuan So Tiong, Thian-ih sudah mengirim para jenazah dari Siu Keng-in
dan Kiau-si Heng-te ke masing-masing rumah dan keluarganya disertai surat keterangan dari
Thian-ih sendiri. Setelah dirundingkan Thian-ih dan So Tiong sependapat untuk memecahkan
duduk perkara sebenarnya terpaksa mereka harus mencari tahu kepada Ciu Hou, mungkin dari
mana dapat dikorek sedikit keterangan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Tapi entah dimana sekarang Ciu Hou berada, kemana pula mereka harus mencari. Dalam
melewatkan hari-hari yang senggang itu hubungan Thian-ih dengan So Hoan semakin erat dan
mesra, selalu mereka tampak berduaan.
Selama itu luka dipundak So Tiong juga mulai sembuh, diam-diam ia bergirang dalam hati
melihat hubungan intim adiknya dengan Thian-ih, sesekali tersimpul senyum gembira pada
wajahnya. Sang waktu berjalan dengan cepatnya, pada suatu hari seorang centeng berlari masuk
memberi laporan bahwa diluar ada serombongan orang yang mohon bertemu. Bergegas So
Tiong pimpin anak buahnya keluar menyambut. Adalah saat ini Thian-ih dan So Hoan tengah
indehoy dibelakang kebun, tengah asyiknya mereka bermesraan, seorang pelayan datang
melaporkan permintaan So Tiong supaya mereka keluar ikut menyambut kedatangan
tamu-tamu terhormat dari kota raja.
Meja perjamuan sudah tersedia diruang tengah, para tamu berjumlah sepuluh orang, semua
berseragam sebagai petugas hukum. Melihat kedatangan Thian-ih berdua semua bangkit
sambil angkat tangan dan basa-basi sekadarnya. Lalu So Tiong perkenalkan Thian-ih dan So
Hoan satu persatu. Tamu-tamu dari kota raja yang tak lain adalah petugas hukum dari istana
raja, dipimpin oleh seorang gagah bertubuh kekar berusia 40-an. Dia bukan lain adalah
Komandan Bayangkari istana yang terkenal dengan julukan Kiang-siang-yan Lim Han atau
siwalet terbang. Kali ini mereka tengah menjalani tugas berat sekalian mampir ke
So-keh-pang. Sifat Lim Han ternyata peramah dan bebas polos, dalam pembicaraan selanjutnya baru
diketahui bahwa ternyata Thian-ih sudah berada di So-keh-pang selama sebulan tanpa
mendapat hasil menyelidiki jejak musuh besarnya, keruan kecewa dan luluhlah semangat Lim
Han, ujarnya: "Ji-chengcu, bicara terus terang kami juga menemui jalan buntu seperti kau. Kita
kejar pelarian itu sampai dipegunungan Ci-bong ini lantas jejak pencuri besar itu menghilang
tanpa bekas. Mungkin diatas Gun-u-leng itu masih ada sesuatu tempat rahasia yang belum kita
ketahui !" So Tiong menyela ikut bicara: "Entah sudah berapa kali kita geledah dan obrak-abrik
Gun-u-leng itu " Benar-benar memang tiada apa-apa yang mencurigakan."
Tersipu-sipu Lim Han berkata: "So-kongcu. Aku seorang kasar bicara kurang hati-hati, bukan
aku mau mencurigai pihak So-keh-pang kalian, akan tetapi ......kupikir, pencuri yang kukejar
itu pasti ada hubungan erat dengan orang yang sedang Ji-chengcu cari itu." Lantas ia
ketengahkan tugas apa yg tengah melibatkan dirinya dalam usahanya ini.
Kiranya pada 3 bulan yg lalu, gudang harta istana besar dikota raja kebobolan maling terbang,
entah berapa banyak jumlah harta yang tak ternilai telah dicuri oleh maling terbang itu.
Bermula penanggung jawab gudang harta itu tak berani memberi laporan pada sang
junjungan. Tapi apa celaka secara kebetulan beberapa hari kemudian sang raja ingin melihat
salah sebuah pusaka kerajaan yang ikut tercuri. Saking ketakutan penjaga dan penanggung
jawab gudang bunuh diri. Keruan peristiwa ini menimbulkan kemarahan sang raja, segera ia
memberi perintah pada komisaris negara untuk mengadakan pemeriksaan dengan teliti,
ternyata bahwa banyak sekali barang-barang berharga yang tak ternilai juga ikut hilang
tercuri. Selidik punya selidik akhirnya diketahui bahwa sipencuri ternyata adalah seorang tokoh
silat dari kalangan Kangouw yang pandai terbang diatas genteng. Segera perintah
penangkapan dikeluarkan dan justru tugas berat ini menimpa pada Lim Han serta
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kesatuannya. Dari Pakkhia (kota raja) Lim Han mengejar jejak si pencuri sampai ke Shoatang, sudah
beberapa kali mereka bentrok dengan simaling terbang itu sepanjang jalan, tapi karena
Ginkang simaling terbang itu teramat lihay, selalu ia dapat meloloskan diri, begitulah akhirnya
mereka mengejar sampai di Ci-bong-san ini, dan ternyata jejak pencuri itu telah menghilang
disekitar markas besar So-keh-pang.
So Tiong bertiga merasa kalau urusan ini agak sulit juga untuk dipecahkan, naga-naganya
memang sipencuri ini ada sangkut-pautnya dengan peristiwa yang menimpa Thian-ih tempo
hari. Maka terpaksa Thian-ih juga ceritakan pengalamannya beberapa waktu yang lalu.
Begitulah tengah mereka makan minum sambil memperbincangkan soal yang rumit ini,
seorang centeng masuk melapor, katanya ada seorang utusan dari Ki-lam-hu mohon bertemu
dengan Lim Han dkk. sambil membekal sepucuk surat kilat. Sehabis membaca surat itu air
muka Lim Han berubah hebat, lalu katanya kepada pengirim surat itu: "Segera kau kembali
dan beritahukan kepada Li-tayjin, katakan bahwa segera aku akan tiba disana, harap dia
jangan kuatir dan takut."
Kata Lim Han kepada Thian-ih dan So Tiong kakak beradik: "Malam kemarin maling terbang itu
sudah muncul lagi di Ki-lam-hu, Li-tayjin yaitu Tihu dari Ki-lam-hu sengaja mengutus orang
minta kita segera kembali kesana."
Mendengar adanya sumber penyelidikan ini Thian-ih tidak tinggal diam, segera ia menyatakan
ingin ikut menyerapi. Demikian juga So Hoan tidak mau ketinggalan. Sudah tentu dengan
senang hati Lim Han menerima bantuan tenaga yang sangat berharga ini, bergegas mereka
bersiap terus beramai-ramai berangkat menuju ke Kota Ki-lam.
Dalam perjalanan itu Lim Han bercerita kepada Thian-ih bahwa sebetulnya dirinya
mengemban dua tugas yang amat menyusahkan, selain mengejar sipencuri itu dia juga tengah
menyelidiki urusan pribadi keluarga Li-tayjin sendiri. Menurut cerita selanjutnya bahwa
ternyata Li-tayjin ini mempunyai seorang anak gadis yang belum dinikahkan, wajahnya ayu
rupawan bak bidadari, bernama Li Hong-gi. Pada tiga bulan yang lalu gadis rupawan ini pernah
hilang secara misterius digondol pergi seorang yang berkedok.
Li-tayjin sudah berusia lanjut dan hanya mempunyai seorang anak perempuan saja, maka
anaknya ini dipandang sebagai mestika, entah mengapa mendadak anak gadisnya
menghilang, keruan sedih dan dukanya bukan main, hampir dia membunuh diri saking putus
asa. Betapa sukar dan repot para hamba telah mencari kemana-mana tanpa hasil, siapa kira
pada suatu malam tahu-tahu Li Hong-gi sudah kedapatan tidur dalam kamarnya sendiri,
seolah-olah menghilangnya ini seperti digondol genderuwo saja.
Sudah tentu Li-tayjin berjingkrak kegirangan, secara lemah lembut ia menanyakan
pengalaman anaknya selama ini, tapi Li Hong-gi bersumpah sampai matipun dia tidak mau
membuka mulut. Tubuhnya agak sedikit kurus tanpa kekurangan suatu apa.
Sekarang mendadak pencuri berkedok itu tiba-tiba muncul lagi di Kim-lam-hu, teringat akan
pengalaman yang dulu Li-tayjin ketakutan setengah mati, cepat-cepat ia kirim surat kilat
memanggil pulang dirinya untuk berjaga dan menghadapi simaling.
Siang hari itu rombongan Lim Han sudah memasuki kota Ki-lam dan langsung menghadap
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kepada Li-tayjin, segera diadakan perjamuan untuk menyambut kedatangan mereka. Dan
pembicaraan diketahui bahwa sipencuri yang tengah mengacau kota Ki-lam itu ternyata
seorang yg berilmu tinggi mengenakan jubah perak bersenjata pedang kuning emas.
Mendengar keterangan ini Thian-ih melonjak kaget dan berubah air mukanya. Sibaju perak
dan Loh-kim-kiam bukankah itu pertanda khas milik engkohnya yang sudah meninggal dunia
itu. Keruan Thian-ih menjadi bingung dan curiga.
Perjamuan berjalan dengan meriah, tak lupa Li-tayjin mengundang anak gadisnya yang
pernah hilang itu keluar untuk diperkenalkan pada para hadirin. Sebelum ini semua orang
sudah dengar tentang kejelitaan Li-siocia yang mashur itu, kini bakal berhadapan langsung
dengan putri rupawan itu seketika terbangkit semangat mereka. Tak ketinggalan So Hoan
sendiri sebagai kaum Hawa juga ikut tertarik dan ingin berkenalan. Hanya Thian-ih yang
tengah dirundung berbagai pertanyaan dan keanehan duduk tepekur dengan tidak tenang.
Tidak lama kemudian tampak Li Hong-gi Siocia telah berjalan keluar dibimbing dayangnya,
terasa kehadirannya ini seolah-olah menambah cerah dan gilang gemilang keadaan ruang
perjamuan ini. Sekilas melirik saja So Hoan lantas mengakui dalam hati bahwa memang
kecantikan diri sendiri masih kalah jauh dibanding orang. Kalau So Hoan sendiri sampai
mengagumi tidaklah heran kalau Lim Han dkk. lebih-lebih terpesona dan terlongong-longong
memandangi wajah yang ayu jelita ini. Sekian lama suasana menjadi hening lelap, baru
akhirnya terdengar helaan napas panjang dan berat, semua bagai tersadar dari lamunannya.
Demikian juga waktu Thian-ih angkat kepala memandangi wajah nan ayu bak bidadari ini ia
merasa Li-siocia ini sedemikian agung rupawan, secantik dewi kahyangan sampai
menimbulkan suatu macam hawa keangkeran. Sekian lama Thian-ih kesengsem memandangi
tubuh yang ramping berisi serta air muka yang bulat telor dengan sepasang mata yang bening
cerah, pendek kata Li-siocia ini adalah wanita tercantik yang pernah dilihatnya selama hidup
ini. Sementara itu, sambil malu-malu kucing Li Hong-gi membungkuk tubuh memberi hormat pada
para hadirin, saking kesengsem sehingga semua orang lupa membalas hormatnya.
Li-tihu menjadi geli dan tertawa riang, ujarnya: "Hong-ji, mengapa tanpa ganti pakaian kau
lantas keluar, apa tidak takut ditertawai oleh para tamu kita?"
Sahut Li-siocia: "Bukankah ayah pesan supaya lekas keluar, karena terburu-buru mana sempat
anak berganti pakaian apa segala......" suaranya merdu bagai musik dari malaikat dewata.
Dengan langkah gemulai Li Hong-gi menghampiri ketempat duduk disamping ayahnya, setelah
ia duduk baru semua orang menghela napas lega.
Segera Lim Han mendahului buka suara: "Menurut hematku kecantikan Li-siocia tiada
bandingannya dikolong langit ini. Selama dikota raja entah berapa banyak putri-putri
bangsawan dan dayang-dayang kraton yang pernah kulihat, rasanya tiada satupun yang
sebanding dengan kecantikan Li-siocia."
Dan pertanyaan Lim Han selanjutnya diketahui bahwa pada musim semi tahun depan, Li
Hong-gi akan melangsungkan pernikahannya dengan anak kedua Nyo-tayjin penjabat
Sekretaris militer yang bernama Nyo Hway-giok.
"O, ternyata adalah Nyo-jikongcu yang mempersunting Li-siocia. Nyo-kongcu seorang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
sastrawan yang pandai silat, wajahnya ganteng dan kenamaan dikota raja. Bagus...... sungguh
cocok pasangan ini........" berulang-ulang ia memuji dan nyatakan kekagumannya pada
pasangan yang setimpal ini.
Diam-diam Thian-ih membatin, siapakah gerangan Nyo Hway-giok itu" Kalau ada kesempatan
ingin rasanya bertemu untuk berkenalan. Karena batinnya ini tanpa merasa berulang kali ia
melirik kearah Li Hong-gi. Secara kebetulan sinona juga tengah memandang kearah dirinya,
wajahnya cerah mengulum senyum manis. Seketika timbul perasaan yang susah dilukiskan
dalam benak Thian-ih. Demikianlah sambil makan minum mereka mengobrol panjang lebar, akhirnya diputuskan
untuk malam nanti mereka akan mengadakan penjagaan ketat dan meningkatkan
kewaspadaan. So Hoan ditugaskan untuk tidur bersama mendampingi Li Hong-gi. Lim Han
meronda dibawah dan Thian-ih berjaga diatas genteng, sedang anak buah lainnya disebar
diempat penjuru. Begitulah setelah semua diatur beres haripun sudah berlarut malam, perjamuan bubar dan So
Hoan langsung membimbing Li Hong-gi kembali ke kamarnya diatas loteng.
Malam semakin larut hawa juga semakin dingin, namun semua ini tidak dihiraukan oleh
Thian-ih yang meronda diatas genteng. Sekonyong-konyong dilihat sebuah bayangan perak
kemilau berkelebat dikejauhan sana. Thian-ih bersiap dan semakin waspada serta memasang
mata dan kuping. Bayangan putih perak itu berloncatan segesit kera diatas rumah dalam
sekejap mata saja bayangan itu sudah dekat menuju ke-arah loteng dimana letak kamar tidur
Li Hong-gi. Setelah agak dekat memang benar baju perak orang yang mendatangi ini memang
persis benar dengan maling terbang yang digemparkan itu.
Otak Thian-ih harus bekerja cepat, pikirnya: "Mungkin sibaju perak ini berhubungan erat
dengan aku, lebih baik seorang diri aku menghadapinya untuk membereskan persoalan itu."
Karena keinginannya ini segera ia menjejakkan kakinya sehingga tubuhnya melambung tinggi
meluncur ke-depan seenteng burung terbang langsung memapak kedatangan sibaju perak.
Nyata benar betapa besar nyali sibaju perak, tanpa takut-takut kakinya masih terus berlari
kedepan juga memapak kedatangan Thian-ih. Maka dalam sekejap mata saja mereka telah
berdiri berhadapan berjarak beberapa langkah. Dengan tegas Thian-ih melihat memang baju
dan kedok orang ini berwarna putih perak kemilau, perawakan tubuhnya juga sangat mirip
benar dengan engkohnya yang sudah meninggal itu, selintas pandang sukarlah dibedakan
tulen atau palsukah orang ini.
"Siapa kau"'' tiba-tiba Thian-ih menegor.
Orang itu diam saja tanpa bergerak. Karena jengkel Thian-ih melolos pedang, ternyata
sibaju-perak juga tidak mau ketinggalan melolos pedang emas dari pinggangnya. Meskipun
malam itu cuaca gelap, tapi Thian-ih masih dapat mengenali pedang ditangan orang itu
memang bukan lain pedang emas milik engkohnya itu.
Disamping kaget Thian-ih juga girang, seumpama dirinya dapat meringkus maling terbang ini
tentu kejadian misterius yang sulit dipecahkan ini dapat dibikin terang. Maka tanpa ayal segera
ia membentak: "Siapakah kau" Mengapa kau bekal pedang keluargaku itu, apa mungkin kau
kenal engkohku ?" Bukan menjawab malah tiba-tiba orang itu tertawa gelak-gelak, suaranya mengalun semakin
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
tinggi bagai keluhan naga. Keruan Thian-ih berjingkat kaget, karena nada tertawa ini sudah
sering didengarnya sebelum ini. Itulah suara Thio Thian-ki. Apa mungkin engkohnya
benar-benar belum meninggal" Tidak, tidak mungkin. Lebih baik ku 'tanggalkan kedoknya'
demikian secepat pikiran ini timbul secepat itu pula mendadak ia bertindak, tahu-tahu
pedangnya sudah menusuk tiba ke tenggorokan sibaju perak.
Kalau dikata Thian-ih sudah bergerak secepat kilat, ternyata gerak gerik sibaju perak juga tidak
kalah cepatnya, entah cara bagaimana, ia bergerak tahu-tahu Loh kim-kiam ditangannya juga
sudah balas menyerang menggunakan jurus Ho-gak-ciong-kong, pedangnya menikam miring
dari samping mengarah lambung.
Gebrak pertama ini mau tak mau Thian-ih dipaksa melompat mundur untuk menjaga diri. Dia
tahu bahwa Loh-kim-kiam tajam luar biasa, pedang biasa ditangannya itu pasti terpotong
menjadi dua seumpama saling bentur. Begitulah sambil melompat mundur tangan kirinya tidak
berhenti bekerja kepelannya menjojoh keulu hati lawan. Sibaju perak juga menggoyang
tangan kiri dgn tipu Pek-ya-jui-kim (pek-ya membanting harpa) ternyata ia sambuti pukulan
Thian-ih secara keras. Keruan semakin besar rasa curiga Thian-ih melihat cara lawannya
bersilat, karena semua tipu-tipu yang dilancarkan musuh tiada banyak bedanya dengan kepan-
daian khas dari engkohnya. Sudah tentu sibaju perak tidak memberi kesempatan pada
Thian-ih untuk banyak berpikir, sedetik itu gerakan Thian-ih merandek secepat anak panah


Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sibaju perak sudah melejit tiba dengan serangannya yang berbahaya.
Sebelum serangan musuh tiba Thian-Th masih keburu menghardik: "Siapa kau?"
Tanpa bersuara sibaju perak menggerakkan Loh-kim-kiam dengan tipu Lo-gu-hun-cui (badak
air menyiak air), tahu-tahu dada Thian-ih diancam senjata musuh. Untuk berkelit sudah tidak
mungkin lagi terpaksa Thian-ih gunakan ilmu tunggal perguruannya yaitu jurus
Toan-kim-ciat-giok (memutus emas memapas batu giok), kedua jari tengah tangan kiri
menyelentik sekali dibatang pedang Loh-kim-kiam. "Creng" pedang berdering dan tertolak
miring kesamping. Dimana sinar emas berkelebat sibaju perak sudah menarik pulang
senjatanya sambil berseru kejut dan heran.
Kalau senjata lawan pedang biasa pasti selentikan Thian-ih tadi dengan mudah mematahkan
pedang itu, namun tidak demikian halnya dengan Loh-kim-kiam, seketika malah Thian-ih
rasakan kedua jarinya linu nyeri. Diam-diam ia juga heran dan tak habis mengerti, sebetulnya
lawan mempunyai kans yang besar untuk terus melancarkan pedangnya menyerang dirinya
dengan jurus yang lebih hebat mematikan, tapi yang terang musuh malah menarik kembali
senjatanya. Dilain saat sibaju perak telah merangsak maju lagi, Thian-ih berpikir, dalam hal Lwekang dan
Ginkang aku tidak ungkulan dari musuh, apalagi senjata musuh adalah pedang pusaka. Untuk
menghadapi terpaksa harus menggunakan pelajaran silat perguruannya yang ampuh itu,
karena ketetapan hatinya ini, pedang dipindah tangan kiri terus menikam dengan jurus
Song-gwat-tui-jiang (mengantar rembulan mendorong jendela), berbareng tangan kanan
meninju dengan pukulan keras.
Ternyata sibaju perak juga nelat perbuatannya, pedang dilintangkan menangkis serangan
pedang Thian-ih berbareng tangan kanan diulur menangkis pukulan Thian-ih di tengah jalan.
Tangkas sekali Thian-ih cepat-cepat merobah serangannya dengan tipu Jui-ciam-ing-soa
(menyelusupkan benang kedalam jarum), begitu tenaga dikerahkan menderulah angin
pukulannya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Ternyata dalam gebrak terakhir ini Thian-ih telah melancarkan ilmu pukulan dari pelajaran
tunggal Kiam-bun-it-ho yang hebat tiada keduanya. Begitu tangan kanannya menyelinap
disentakkan kesamping, kontan sibaju perak kena digempur kedudukannya hingga tubuhnya
menyelonong maju, sebat sekali Thian-ih menggunakan kesempatan baik ini menggeser kaki
ke kiri sambil merangkap kedua jarinya melancarkan jurus Jui-ci-lam-tian (tertawa menunjuk
langit selatan), "Bret", tepat sekali kedok sibaju perak kena dijambret dari atas kepalanya.
Begitu ia melihat tegas wajah dibalik kedok perak itu hampir saja ia menjerit ngeri, saking
seram serasa bulu romanya berdiri tubuh juga menggigil dan terhuyung mundur. Ternyata
wajah yang dilihatnya di belakang kedok itu sedemikian seram dengan dua baris gigi yang
prongos, pipinya menonjol tinggi, hidungnya kropos berlubang, tidak heran kalau orang yang
melihatnya pasti merinding dan takut.
Sesaat Thian-ih tertegun mendelong kesempatan ini digunakan sibaju perak untuk terbang
pergi sambil perdengarkan tawa panjang yang mengalun tinggi seperti suara kokok-beluk. Dari
gerak tubuhnya yang selincah burung itu Thian-ih menaksir Ginkang sendiri takkan mampu
mengejar musuh. Demikianlah ia termangu sekian lamanya diatas genteng, sedemikian jauh
tidak dilihatnya ada orang menyusul datang, hatinya lega dan bersyukur, karena disangkanya
sibaju perak telah digebahnya pergi. Tapi hatinya bertanya-tanya siapakah dia sebenarnya"
Untuk mengetahui segala seluk-beluk peristiwa ini satu-satunya jalan hanya meringkusnya.
Tapi siapakah yang mampu menangkapnya, karena bukan saja ilmu silatnya lihay, Ginkangnya
juga tiada tandingan, dengan mudah saja ia akan melarikan diri dengan kecepatan bagi meteor
terbang. Rasanya juga tiada seorang tokoh siapapun yang mampu menandingi kelihayannya
itu. Dengan teliti dan cermat ia meronda sebentar diatas genteng, setelah dilihatnya tiada sesuatu
yang mencurigakan diam-diam ia melompat turun ke tanah. Dari tempat gelap sana terdengar
Lim Han bertanya: "Ada kejadian apa?"
Thian-ih tak enak menerangkan ia menyahut seadanya saja: "Tidak apa-apa, mungkin maling
itu ketakutan dan takkan datang pula!"
"Coba kau naik ke loteng untuk memeriksa, kalau ternyata tak terjadi apa-apa, lebih baik kita
berjaga secara aplusan untuk menghemat tenaga para kawan juga ingin istirahat."
Thian-ih mengiakan dan langsung naik ke loteng, dilihatnya Li Hong-gi dan So Hoan masih
belum tidur mereka tengah asyik bermain catur. Thian-ih lantas berkata: "Tidak terjadi
apa-apa bukan" Kalian harus segera tidur."
"Tidak apa, setelah selesai permainan ini kita segera tidur," sahut So Hoan.
Baru saja Thian-ih mau tinggal pergi sekilas dilihatnya wajah Li Hong-gi bersemu merah agak
ganjil, segera ia merandek dan bertanya curiga: "Nona Li, kau kenapa?"
Sahut Li Hong-gi: "Aku merasa sangat gerah dan sangat lelah !"
Kejut Thian-ih bukan kepalang, tanyanya gugup: "Siapa tadi yang kemari?"
"Hanya Lim-toaya yang datang, katanya malam sangat dingin dia membawa secangkir arak
untuk Hong-gi Cici........" So Hoan tersentak kaget dilihatnya tubuh Li Hong-gi sudah terkulai
lemas diatas kursinya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Berapa lama Lim Han datang kemari?" tanya Thian-ih cepat.
Sekarang So Hoan insaf telah terjadi sesuatu yang kurang beres, sahutnya: "Belum lama,
barusan saja." Thian-ih membanting kaki, serunya: "Celaka, waktu aku kemari Lim Han masih berada di
bawah, bagaimana mungkin sekaligus muncul dua orang, cepat, adik Hoan, panggil orang."
Baru saja So Hoan hendak berteriak memanggil orang, buru-buru Thian-ih memeriksa
pernapasan Li Hong-gi lalu mencegah So Hoan. Katanya hampir berbisik: "Adik Hoan, jangan
berteriak, mari kita coba periksa mungkin orang itu masih berada diatas loteng ini, biar aku
mempersiapkan para kawan untuk membekuknya. Kau tetap disini pura-pura main catur
dengan Hong-gi.........."
Saat mana napas Hong-gi sudah berhenti dan raganya sudah mulai dingin membeku, keruan
Thian-ih berdua sangat gusar dan kaget, tapi menangkap pembunuhnya lebih penting. Tanpa
menimbulkan kegaduhan Thian-ih turun ke bawah dan menuturkan peristiwa diatas kepada
Lim Han dkk. Lim Han kaget dan bergidik, berulang-ulang ia nyatakan keheranannya.
Cepat-cepat Thian-ih mengatur rencananya, serentak para kawan-kawan disebar mengepung
rapat bangunan loteng itu sambil menyiapkan senjata rahasia dan anak panah.
Setelah semua beres dipersiapkan bergegas Thian-ih dan Lim Han naik ke loteng sambil
membekal senjata, mulailah mereka menggeledah satu persatu setiap kamar yang terdapat
diatas loteng itu. Thian-ih tidak berani berlaku ceroboh mereka berpencar kekiri dan kanan,
sekian lama mereka masuk keluar dari kamar ke kamar tanpa hasil, akhirnya Thian-ih sampai
di kamar paling ujung, disini dilihatnya kelambu terurai turun samar-samar seperti ada orang
tidur diatas ranjang, Thian-ih bertanya-tanya: siapakah orang ini"
Kalau dia seorang wanita kan berabe, maka dari kejauhan ia menegur: "Hei, harap bangun
sebentar, ada sesuatu hal ingin kutanya!" Orang diatas ranjang itu bungkam tanpa bergerak,
apakah orang ini juga keracunan, demikian batin Thian-ih, hatinya kebat-kebit dan was-was.
Perlahan-lahan ia maju mendekat terus menyingkap kelambu. Begitu kelambu terbuka orang
yang rebah diatas ranjang itu mendadak berjingkat bangun, tampak seluruh tubuhnya me-
ngenakan pakaian putih perak, dibawah penerangan pelita yang remang-remang terlihat
wajahnya persis benar dengan mendiang engkohnya Thio Thian-ki.
Betapa dekat jarak mereka itu begitu melihat arwah engkohnya yang gentayangan itu, bukan
kepalang kejut dan takut Thio Thian-ih, seketika ia jatuh pingsan dan terkulai diatas lantai.
Entah sudah berselang berapa lama waktu ia siuman lagi kamar itu sudah kosong melompong,
sibaju perak sudah menghilang entah kemana.
Waktu Thian-ih melangkah keluar hari sudah mendekati terang tanah. Betapa besar
pengorbanan tenaga yang telah dikerahkan untuk melindungi seorang putri remaja, akhirnya
toh terjadi juga peristiwa yang menyedihkan ini. Keruan Lim Han, So Hoan dan lain-lain sangat
malu, menyesal dan mendelu. Lebih-lebih Thian-ih pedih dan risau bukan kepalang, hatinya
diliputi tanda tanya, apa motif pembunuhan ini"
Kalau Li-tihu masih kuat menahan emosi serta memimpin anak buahnya mengurus segala
keperluan untuk mengubur gadisnya ini. Tidak demikian halnya dengan ibu Li Hong-gi serta
kaum wanita lainnya, mereka tergerung-gerung sesambatan menangisi kemangkatan Li
Hong-gi. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Untuk melanjutkan pengejarannya terpaksa Thian-ih dan So Hoan minta diri lebih dulu
sebelum penguburan Li Hong-gi selesai. Lim Han tetap tinggal untuk membantu seperlunya.
Sebelum berpisah sudah ada kata sepakat antara Thian-ih dan Lim Han untuk selalu saling
memberi kabar bilamana mendapat info tentang jejak simaling berbaju perak, untuk ini
So-keh-pang dijadikan sentral penghubung.
Begitu meninggalkan kota Ki-lam, Thian-ih dan So Hoan langsung kembali dulu ke
So-keh-pang, mereka disambut oleh So Tiong.
So Tiong memberitahu kepada Thian-ih, katanya: "Sip Yan-hong dan Sip Yan-hun
kakak-beradik dari Ciong-lam-san ada mengirim surat untuk disampaikan kepada kau."
Cepat-cepat Thian-ih membuka surat itu, ternyata surat itu memberitahu bahwa Ciu Hou saat
itu tengah berada di Ciong-lam-san, gerak-geriknya sangat ganjil dan selalu murung,
seolah-olah ada suatu rahasia yang tidak berani disampaikan kepada orang lain. Sekian hari ia
selalu terpekur, makan dan tidur tidak tenang, berulang kali menyatakan ingin berpamitan.
Setelah membaca surat itu, seakan melihat sepercik sinar harapan dalam benak Thian-ih.
Malam itu ia bermalam di So-keh-pang, hari kedua pagi-pagi benar ia sudah minta diri dan
bergegas berangkat menuju ke Ciong-lam-san. Sebetulnya So Hoan ingin mengiringi, namun
telah ditolak secara halus oleh Thian-ih.
Jarak Ciong-lam-san dari Shoatang sangat jauh, siang dan malam Thian-ih menempuh
perjalanan secara kilat, beberapa hari kemudian baru dia tiba dibawah kaki Ciong-lam-san.
Ternyata kedatangannya sudah diketahui lebih dulu oleh Sip Yan-hong dan Sip Yan-hun,
siang-siang mereka telah menanti dibawah gunung, begitu berhadapan, segera Sip Yan-hong
memberitahu: "Ji-chengcu, sayang sekali kedatanganmu ini sudah terlambat, Ciu Hou sudah
berangkat tiga hari yang lalu kearah barat."
Sedemikian jauh dengan susah payah dirinya menyusul dan ternyata kecele, sudah tentu
Thian-ih merasa masgul dan gugup, tanyanya: "Jalan manakah yang dia tempuh" Biar segera
aku mengejarnya!" Kata Sip Yan-hong: "Menurut katanya, tujuannya terakhir adalah An-se-hu, disana tinggal
seorang sahabat kentalnya, sepanjang jalan ini aku sudah menyuruh orang menguntitnya,
tidak ketinggalan pula kusebar beberapa orang untuk berhubungan dengan berbagai
tokoh-tokoh silat untuk ikut membantu. Maka harap Ji-chengcu tak usah kuatir, dengan
gampang kau dapat mengejar ditengah jalan, silahkan istirahat dulu................"
Singkatnya secara lazimnya Sip Yan-hong mengadakan perjamuan sekadarnya, perjamuan
selamat datang juga perjamuan selamat jalan karena Thian-ih buru-buru hendak menyusul Ciu
Hou. Menurut penuturan Sip Yan-hong bahwa Ciu Hou menginap disitu selama tujuh hari, hari
ke hari dilewatkan dengan semangat semakin lesu, menurut ceritanya yang samar-samar
bahwa dia menyimpan suatu rahasia, maka cepat atau lambat pasti dirinya akan dibunuh
orang supaya tutup mulut. Apalagi setelah didengar kabar bahwa anak gadis Li-tihu di
Ki-lam-hu telah meninggal karena keracunan, Ciu Hou semakin tak tenang dan ketakutan
setengah mati, maka pada tiga hari yang lalu saking tak tahan lagi dia tinggal pergi tanpa
pamit, hanya meninggalkan sepucuk surat yang mengatakan tujuannya terakhir adalah
An-se-hu, katanya disana ada seorang sahabat kentalnya yang dapat diandalkan.
Selesai perjamuan buru-buru Thian-ih minta diri pada tuan rumah. Sebelum berpisah Sip
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Yan-hong memberi keterangan: "Sepanjang perjalanan menuju ke An-Se ini ada beberapa
tokoh-tokoh silat yang dapat diandalkan bantuannya, umpamanya di Hu-hong ada
Thi-ta-thian-ong Cin Lo, siraja langit menara besi. Di Po-ke ada Cin-tiong-sam-hiap, Thian-cui
ada Liong-gwa-hou-tiang Li Ti, sibudiman dari luar perbatasan; Bu-wi ada tujuh orang Tongcu
dari Kam-liang-pay; Ciu-cwan ada Cui-thau-to Kim Khe-sian, sipendeta pemabukan, sampai di
An-se ada Tio Kiong sitombak perak, mereka ini adalah sahabat-sahabat kental Ciu Hou.
Thian-ih dianjurkan untuk mencari ke alamat yang tersebut diatas itu.
Hari kedua menjelang petang Thian-ih sampai di Hu-hong, setelah mencari tahu langsung ia
menuju ke gedung kediaman Thi-ta-thian-ong Cin Lo. Waktu tiba diluar gedung keluarga Cin,
seketika Thian-ih tertegun sekian lamanya, dilihatnya diatas pintu besar tergantung kain blaco
dengan tulisan ''duka-cita", hatinya kaget dan mendapat firasat tak enak, entah siapa yang
telah meninggal dari keluarga Cin ini" Waktu centeng memberi laporan akan kedatangannya,
anak sulung Cin Lo keluar menyambut mengenakan pakaian berkabung, sapanya sambil
sesunggukan: "Ji-chengcu selamat datang, tak beruntung ayah telah meninggal dua hari yang
lalu, paman Ciu Hou juga telah melarikan diri ke barat........"
Kiranya pada malam kedatangan Ciu Hou, Cin Lo mengadakan perjamuan, tengah mereka
makan minum dengan riang gembira, tiba-tiba Cin Lo roboh binasa terkena senjata rahasia
beracun, dilihat keadaannya Ciu Hou tahu bahwa musuh yang mengejar dirinya sudah tiba
karena keadaan Cin Lo mirip benar dengan kematian Hek-san-siang-ing dan Kiau-si Hengte.
Justru yang membuat Ciu Hou gegetun adalah mengapa musuh tidak secara langsung
mengambil jiwanya tapi malah mencelakai jiwa seorang yang tiada sangkut pautnya dengan
peristiwa itu" Hakikatnya jadi kematian Cin Lo ini adalah kerembet karena dirinya. Maka
dengan gusarnya ia memaki kalang kabut dan menantang si-pembokong gelap itu supaya
keluar untuk bertanding secara jantan. Agaknya makiannya itu berhasil memancing orang itu
muncul dalam ruang perjamuan itu, namun hanya sekejap saja dia terus menghilang lagi.
Dari penjelasan selanjutnya Thian-ih tahu bahwa si-pembokong dengan senjata rahasia itu
ternyata bukan lain adalah sibaju perak yang membekal Loh-kim-kiam itu. Dengan hidmat ia
memberi penghormatan didepan layon Cin Lo lalu cepat-cepat minta diri melanjutkan
pengejarannya ke arah barat. Anak Cin Lo mengantar sampai diluar pintu.
Sungguh kesal dan kuatir Thian-ih bukan kepalang, siapa nyana bahwa kematian engkohnya
ternyata membawa buntut yang tiada akhirnya ini. Beruntun beberapa jiwa telah meninggal
tanpa dosa, dendam permusuhan ini semakin mendalam. Karena kuatir akan keselamatan Ciu
Hou, Thian-ih bedal kudanya secepat terbang.
Po-ke merupakan daerah kekuasaan Cin-tiong-sam-hiap, mereka berturut-turut adalah
Yu-hiap Ki Bing, Hu-hiap Kam Cian-tjhiu dan In-hiap Hoan Lip-heng; mereka adalah saudara
angkat yang tinggal bersama. Nama Cin-tiong-sam-hiap sudah menggetarkan kalangan
Kangouw sekian lamanya terutama didaerah Cin-tiong ini namanya sangat diagung-agungkan.
Waktu Thio Thian-ki meninggal mereka juga datang melawat, dalam perjamuan tempo hari itu
mereka sudah berkenalan langsung dengan Thio Thian-ih.
Sebelum sampai didepan rumah Cin-tiong-sam-hiap, dari kejauhan Thian-ih sudah mendengar
suara isak tangis yang sesambatan. Thian-ih menjadi was-was dan gelisah : Apakah
Cin-tiong-sam-hiap juga telah menjadi korban selanjutnya" Agaknya dugaannya ini tidak
meleset, dilihatnya keadaan didalam rumah kacau balau orang-orang berlalu lalang dengan
repotnya sampai tiada seorangpun yang berjaga di luar untuk menyambut tamu.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Thian-ih menambat kudanya diluar pintu terus mengikut arus orang-orang yang hilir mudik
masuk kedalam untuk sembahyang. Thian-ih bertanya dalam hati; apa mungkin sekaligus
Sam-hiap meninggal berbareng" Waktu sampai diambang pintu ia melongok kedalam,
dilihatnya para handai taulan keluarga Sam-hiap tengah berjajar di pinggir tiga buah peti mati
membalas penghormatan para tamunya. Mencelos perasaan Thian-ih, maka tidak enak
rasanya ia memperkenalkan diri, syukur orang yang datang melawat ini keliwat banyak hingga
dirinya susah dikenal. Dari percakapan para tamu yang ngobrol diluar pintu, Thian-ih tahu
bahwa Cin-tiong-sam-hiap juga mati keracunan, mirip benar dengan cara kematian Cin Lo.
Sekali lagi pembunuh itu telah mengorbankan tiga jiwa manusia tanpa berdosa, sebaliknya Ciu
Hou dilepas begitu saja sampai ketakutan dan melarikan diri pula. Mengapa demikian"
Bukankah cara membunuh Cin Lo dan Cin-tiong-sam-hiap begitu gampang, kalau mau pasti
Ciu Hou takkan lolos dari genggamannya, tapi mengapa sipembunuh itu tidak turun tangan
secara langsung" Apa hendak meringkus Ciu Hou hidup-hidup atau memang sengaja hendak
menimbulkan kegemparan serta ketakutan orang untuk menggertak saja"
Cin-tiong-sam-hiap sangat tenar dan kenamaan didunia persilatan, lawan-lawannya sangat
banyak dan tersebar diempat penjuru, mendengar kematiannya ini berbondong-bondong
mereka berdatangan, mereka bersepakat untuk menuntut balas bagi para almarhum, tapi
karena banyaknya mulut yang ikut bicara dan selisih pendapat akhirnya tidak mendapat
keputusan yang positif. Cara kematian Cin Lo dan Cin-tiong-sam-hiap itu benar-benar telah
menggetarkan sanubari para sahabat itu. Manusia tiada yang tidak takut mati, siapa tahu kalau
anak panah beracun itu tahu-tahu melesat mengarah dirinya, bukankah menjadi korban
konyol seperti kematian Cin Lo dan Cin-tiong-sam-hiap.
Thian-ih mengundurkan diri secara diam-diam terus melanjutkan perjalanan kearah barat
meski seorang diri dia takkan gentar dan takut, selama hayat masih dikandung badan, dia
takkan mundur setapakpun. Seumpama dirinya akhirnya juga menjadi sasaran, akan
ditandanginya secara jantan. Bagaimana juga demi arwah engkohnya serta para sahabat yang
telah menjadi korban itu, dia harus mencari perhitungan dengan sibaju perak untuk
memperhitungkan perbuatan kejinya ini.
Waktu tiba di Thian-cui, Thian-ih kuatir kalau Liong-gwa-hou-tiang juga sudah menjadi korban
keganasan sibaju perak. Tapi kenyataan dugaannya kali ini meleset.
Waktu Thian-ih tiba didepan rumah keluarga Li keadaan disini sepi dan tenang-tenang saja,
hanya penjagaan agak diperketat, anak murid Li Ti mempersiapkan busur dan menghunus
senjata tajam menjaga dengan keras diluar pintu.
Naga-naganya disini belum terjadi sesuatu yang menggemparkan, mungkin sebelumnya Li Ti
sudah dengar kabar jelek yang menimpa beberapa kawan itu, maka sebelumnya sudah bersiap
siaga dan waspada, memang benar sebelum hujan sedia payung. Begitulah dengan perasaan
lega Thian-ih turun dari atas kuda terus maju memperkenalkan diri pada beberapa penjaga
didepan pintu itu. Agaknya anak murid Li Ti amat teliti dan cermat, Thian-ih diamat-amati
sekian lamanya dari atas sampai bawah dan dari bawah sampai atas, setelah repot setengah
harian, baru salah seorang diantara mereka masuk kedalam untuk melapor dan yang lain
malah mempersiapkan senjata dan pura-pura berpencar, namun hakikatnya mereka
mengawasi dan mengepung Thian-ih.
Thian-ih maklum akan kekuatiran tuan rumah yang mungkin telah mendengar kabar dari Po-ke
akan kematian Cin-tiong-sam-hiap, berlaku hati-hati dan cermat adalah sudah jamak, atau
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
mungkin saat itu memang Ciu Hou tengah berada didalam hingga mereka harus merundingkan
sekian lama untuk mempertimbangkan apakah mereka harus menyambut kedatangan
Thian-ih ini, terpaksalah Thian-ih harus menanti pula sampai sekian lama itu.
Tapi nanti punya nanti sampai setengah jam kemudian baru orang yang masuk melapor itu
keluar lagi dan mengatakan bahwa kebetulan Liong-gwa-hou-tiang sedang keluar dan mohon
sang tamu meninggalkan secarik kertas saja seumpama memang perlu untuk disampaikan,


Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jikalau tiada keperluan lain dipersilahkan kembali saja. Keruan bukan main murka Thian-ih,
terang Li Ti ini takut kena perkara, kalau kebetulan dia sedang pergi mengapa tidak sejak tadi
anak muridnya menolak kedatangannya " Sungguh sangat rendah dan hina perbuatan
semacam ini seumpama mencuri kelintingan menutup telinga sendiri.
Sebisa mungkin Thian-ih coba menahan sabar, sambil menahan gusar ia bertanya apakah Ciu
Hou pernah datang berkunjung atau tidak" Para penjaga itu mengunjuk rasa ketakutan tanpa
berani buka mulut sambil goyang tangan dan menunjuk kearah barat, sedemikian kasar dan
memualkan kelakuan mereka ini, untung Thian-ih tidak sampai diusir terang-terangan. Geli
dan dongkol Thian-ih dibuatnya, sungguh tidak nyana bahwa Liong-gwa-hou-tiang hanya
seorang kerdil yang mengaku sebagai tokoh gembong silat kenamaan, hakikatnya dia seorang
pengecut yang hina dina. Bukan mustahil Ciu Hou juga telah kebentur batunya disini. Maka
tanpa ayal Thian-ih memacu kudanya kearah barat lagi.
Beratus li sekitar kota Bu-wi adalah dibawah kekuasaan Kam-liang-pay yang besar dan
berpengaruh, Thian-ih menduga pasti Ciu Hou sudah sampai disana untuk minta perlindungan.
Bahwasanya kepandaian tujuh Tongcu dari Kam-liang-pay itu sangat disegani oleh kaum
persilatan, hal ini tidak perlu disangsikan lagi bahwa Ciu Hou pasti sudah mendapai
perlindungan yang melegakan, karena bukankah mereka adalah sahabat-sahabat kental dari
Ciu Hou. Menurut tafsiran Thian-ih asal Ciu Hou masih hidup dan bisa sampai dilingkungan
daerah hak kekuasaan kaum Kam-liang-pay, maka tidak perlu dikuatirkan lagi bahwa
keselamatannya pasti akan terjamin. Betapa lihay dan ampuh kepandaian sibaju perak masa
mengandal kemampuan tujuh Tongcu dari kam-liang-pay serta anak buahnya tidak dapat
mengatasi seorang musuh saja" Apalagi kejadian di Hu-hong dan Po-ke merupakan peringatan
bagi mereka untuk berlaku lebih siaga.
Diluar dugaan begitu Thian-ih sampai dikota Bu-wi hatinya sungguh dongkol dan dadanya
hampir meledak saking murka. Kiranya peristiwa di Hu-hong dan Po-ke itu telah membuat
botoh-botoh silat sepanjang jalan yang dilewati oleh Ciu Hou semua ketakutan setengah mati
bagai anjing mencawat ekor dikejar setan. Liong-gwa-hou-tiang sudah menjadi bukti
kenyataan, kini ternyata bahwa tujuh Tongcu dari Kam-liang-pay juga sedemikian pengecut,
mereka membatasi gerak-gerik anak buahnya, dianjurkan juga untuk cuci tangan dan tidak
turut mencampuri kepentingan orang lain. Yang lebih memalukan lagi ternyata ketujuh
gembong kenamaan itu telah mengundurkan diri naik keatas gunung untuk sembunyi.
Bukankah kekuatan Kam-liang-pay dengan beratus anak buahnya adalah sedemikian
besarnya, mereka sudah biasa malang melintang diseluruh pelosok daerah barat, ini bukan
menjadi rahasia umum lagi, sudah tentu perbuatan para pemimpinnya yang melarikan diri dari
tugas mulia yang harus membantu yang lemah dan menindas yang lalim, menjadi buah
tertawaan dan caci maki para anak buahnya yang berdarah panas dan jujur lurus serta
khalayak ramai umumnya, maka tidaklah heran kalau setiap pelosok diseluruh kota Bu-wi
masyarakat tengah memperbincangkan hal-hal yang memalukan ini.
Selidik punya selidik akhirnya Thian-ih tahu bahwa Ciu Hou ternyata masih hidup dan terus
melanjutkan tujuannya kearah barat. Dihitung dari keberangkatan Ciu Hou, Thian Ih menaksir
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
masih dapat menyusulnya ditengah jalan. Diatas kuda Thian-ih menimang-nimang, perjalanan
Ciu Hou selanjutnya masih harus mampir di Ciu-cwan dimana ada pendeta pemabukan Kim
Khe-sian dan yang terakhir baru sampai di An-se ditempat Tio Kong sitombak perak.
Konon kabarnya Tio Kong sitombak perak adalah adik angkat Ciu Hou, seorang gagah perwira
yang budiman, dengan adanya hubungan yang erat serta sifat luhur dari sitombak perak pasti
Tio Kong takkan menolak kedatangan Ciu Hou. Entah bagaimana dengan perangai pendeta
pemabukan, Kim Khe-sian itu, biarlah kenyataan membuktikan dia seorang pengecut yang
takut mati atau seorang gagah yang setia kawan yang berani berkorban demi sahabat.
Sebelum petang Thian-ih keburu memasuki kota Cui-cwan, maka dia langsung menuju tempat
kediaman pendeta pemabukan yg berada lima li diluar kota Cui-cwan, Kim Khe-sian tinggal
dibiara Cui-sian-si, memang sesuai dengan nama julukannya dia paling gemar minum arak,
senjatanya berupa tongkat baja seberat seratus duapuluh kati, yang lebih hebat lagi tubuhnya
sedemikian keras tidak mempan senjata karena dia melatih semacam ilmu Lwekang yang
dinamakan Thi-po-san (ilmu weduk), maka tidak heranlah kalau iapun sebagai tokoh yang
sangat disegani dikalangan Kangouw.
Begitu sampai di Cui-sian-si Thian-ih langsung masuk kedalam biara itu, setiba di dalam
pelataran biara itu tampak olehnya Kim Khe-sian tengah berlatih diri dengan memutar sebuah
tongkat besar secepat kitiran, keringat sudah membasahi seluruh tubuhnya yang telanjang
sebagian atas, agaknya sudah sekian lama ia asyik berlatih diri sambil mengerahkan seluruh
tenaga dan kepandaiannya sehingga tongkat besar itu berputar dan menderu-deru sungguh
hebat dan menakjubkan perbawa ilmu tongkatnya ini.
Begitu Thian-ih beranjak di pinggir pelataran seorang hwesio cilik segera maju menyambut
dan terus berputar sambil berseru: "Suhu, Ji-chengcu telah tiba !"
"Siut".Bum" tiba-tiba Kim Khe-sian memutar tongkatnya sedemikian dahsyat lalu secara
mendadak menghentikan permainannya terus menggentakkannya ke atas tanah, sikapnya
tenang dan wajar tanpa terengah-engah, serunya sambil tertawa lebar : "Ji-chengcu, sudah
kuduga akan kedatanganmu ini, sebagai seorang gagah kau lebih berani dan tabah dari
domba-domba pengecut yang takut mati itu. Hahaha, sungguh menyenangkan, sangat
menyenangkan !" Seluruh tubuh Pendeta pemabukan ini basah kuyup oleh keringat, tanpa sungkan-sungkan
ditariknya Thian-ih masuk ke dalam kamar semedhinya, lalu diambilnya sebuah handuk untuk
membasuh keringat diatas badannya yang tromok besar dan penuh tumbuh bulu hitam. Dari
atas sebuah rak dijinjingnya sebuah guci arak terus ditenggaknya dengan bernafsu sampai
habis setengah guci. Sambil mengusap arak yang meleleh diujung mulutnya ia angsurkan guci
arak itu kepada Thian-ih, katanya: "Ji-chengcu, coba kau rasakan ini arak buatanku sendiri !"
"Kim-heng, apakah Ciu Hou sudah pernah kemari ?" Thian-ih langsung membuka
pembicaraan. "Tidak, belum kemari," sahut Kim Khe-sian dengan air muka membara. "Ji-chengcu, agaknya
sitabib tua itu sudah ketakutan terhadap kura-kura itu, kemarin dia lewat tapi tidak berani
mampir kesini. Hm, anggapnya aku Kim Khe-sian seorang yang takut mati, sejajar dengan para
kurcaci yang mengagungkan diri sebagai botoh-botoh Kam-liang-pay itu. Sejak beberapa hari
yang lalu aku sudah mendapat kabar dan kunanti kedatangannya kesini, sebenarnya ingin
benar aku bertemu muka dengan penjahat berbaju perak itu untuk berkenalan dengan racun
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
berbisanya itu. Arak aku punya sendiri tak nanti dia mampu meracuni, apalagi kulitku tebal tak
perlu kuatir terlukakan oleh segala macam senjata rahasia. Tanpa adanya urusan Ciu Hou ini
juga ingin aku berkenalan dengan kepandaian silat penjahat berbaju perak itu, selamanya Kim
Khe-sian tidak pernah gentar menghadapi segala rintang bahaya. Sayang saking ketakutan Ciu
Hou sudah lupa pada diriku, secara diam-diam ia terus melanjutkan perjalanan sampai aku
menunggunya dengan hampa........."
"Kim-heng, tepatnya Ciu Hou sudah lewat berapa lama?"
Kim Khe-sian tersenyum penuh arti, ujarnya: "Ji-chengcu, jangan kau anggap aku ini ceroboh,
tapi aku bekerja sangat teliti. Begitu Ciu Hou menginjakkan kakinya di daerah Cui-cwan,
murid-muridku sudah membuntuti jejaknya, baru saja ada laporan bahwa dia tengah memacu
kudanya langsung menuju ke An-se, biar segera aku berangkat mengejarnya."
Mendengar Ciu Hou baru lewat belum berapa lama Thian-ih menjadi gopoh dan tidak tenang,
ingin rasanya segera pergi menyusul !
Sebaliknya Kim Khe-sian berlaku sabar, bujuknya: "Tidak menjadi soal, Ji-chengcu, biar
kutanggung pasti Ciu Hou takkan menemui rintangan. Sebentar kita naik dua ekor kuda
jempolan, malam ini juga kita mengejarnya.........."
Setelah menenggak araknya berkatalah pendeta pemabukan: "Ji-chengcu, jangan kau heran
akan kebiasaanku ini, sehari tidak minum arak aku tidak bisa hidup. Apalagi akan maju perang,
lebih banyak dan kenyang aku menenggak arak semangatku semakin berkobar dan tenagapun
semakin besar. Hahahaha, sudah lama aku tidak bertanding dengan lawan berat, kukira
penjahat yang mengejar-ngejar Ciu Hou itu boleh juga, biarlah nanti aku layani dia untuk
memuaskan diri....." habis berkata menyambar jubah panjangnya, tangan kiri menjinjing
tongkat besi sedang tangan kanan mengempit guci arak lantas melangkah lebar, ajaknya
kepada Thian-ih: "Ji-chengcu, mari kita berangkat ! seumpama kau lelah istirahat saja di
kelentengku menunggu kabar baik, kukira Kim Khe-sian seorang sudah cukup berlebihan
melayani penjahat beracun itu........"
Melihat watak orang sedemikian jujur terbuka dan gagah perwira lagi sungguh girang hati
Thian-ih, sahutnya, "Kim-heng, aku tidak kenal lelah, mari kita berangkat !"
Dalam lain kejap empat ekor kuda dipacu secepat terbang menjelang senja itu menuju arah
barat, selain Kim Khe-sian dan Thian-ih dua murid hwesio ikut mengiringi perjalanan ini.
Sepanjang perjalanan menuju ke barat ini adalah tanah tandus belaka, jarang diketemukan
perumahan manusia, selayang pandang hanya debu dan awan saja yang bergulung-gulung
ditengah angkasa. 20 li kemudian Kim Khe-sian larikan kudanya paling depan, cuaca sudah semakin petang,
tiba-tiba didepan sana menghadang seorang hwesio cilik ditengah jalan, nyata itulah salah
seorang murid Kim Khe-sian yang diutus untuk membuntuti jejak Ciu Hou. Setelah memberi
hormat dia melaporkan: "Ciu Susiok menempuh jalan kecil ini, dua orang kita telah
menguntitnya terus." dari pertanyaan Thian-ih selanjutnya diketahui bahwa Ciu Hou baru
lewat kira-kira empat jam yang lalu, lekas-lekas Thian-ih bersama Kim Khe-sian keprak
kudanya mengejar dengan kencang.
Tak lama kemudian jalan pegunungan yang harus dilewati semakin jelek, lari kuda harus
diperlambat. Sekilas terlihat oleh Thian-ih sebatang pohon dipinggir jalan yang terpapas
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kulitnya samar-samar terlihat ada sebaris tulisannya. Thian-ih berlaku cermat, disangkanya itu
tanda-rahasia yang ditinggalkan oleh Ciu Hou siapa tahu, maka cepat ia panggil Kim Khe-sian
terus mendekati pohon besar itu.
Karena hari sudah petang terpaksa salah seorang murid Kim Khe-sian menyumat obor, maka
terlihatlah tulisan itu berbunyi: "Ciu Hou seorang kejam dan telengas, dia harus mampus disini
dan saat ini juga. Para sahabat dari Bulim yang ingin turut campur dalam urusan ini sukalah
berpikir dulu sebelum bertindak. Lebih baik kembalilah sampai disini saja. Tertanda
Kim-kiam-gin-i-khek, tertanggal sekian.
Kim Khe-sian gusar, tangannya sudah diayun hendak menggempur batang pohon itu, untung
Thian-ih keburu mencegah sambil memperingatkan bukan mustahil batang pohon itu telah
dilumuri racun berbisa. Tapi Kim Khe-sian tak kuat lagi menahan amarahnya, tongkatnya
diayun memukul batang pohon itu sampai patah dan roboh.
Begitulah dilain saat mereka sudah melanjutkan lagi pengejaran kearah barat, karena cuaca
sangat gelap, Kim Khe-sian menyuruh kedua muridnya menyalakan obor. Setelah melewati
sebuah tikungan kira-kira sudah tiba disamping gunung, samar-samar terlihat oleh mereka
sebuah kelenteng dikejauhan sana. "Mari kita periksa kesana," demikian ajak Kim Khe-sian,
segera dua muridnya yang membawa obor membuka jalan.
Setelah dekat terlihatlah pintu kelenteng itu tertutup rapat, dasar berangasan dan tak kuat
menahan sabar tanpa banyak kata lagi segera Kim Khe-sian melangkah maju terus
menendang daun pintu dengan kerasnya, kontan pintu yang kokoh kuat dan besar itu
terpentang lebar dan bersamaan dengan itu terdengar suara gedebukan dari jatuhnya dua
benda berat dibalik pintu sebelah dalam sana. Keruan Kim Khe-sian beramai terkejut dan
bersiaga, serentak mereka menghunus senjata serta melangkah masuk dengan hati-hati.
Waktu melihat apa yang telah terjadi seketika mereka berdiri melongo dan terheran-heran.
Ternyata dikanan kiri belakang pintu tergeletak dua sosok tubuh manusia, yang mereka kenali
adalah murid-murid Kim Khe-sian yang diutus menguntit jejak Ciu Hou itu. Waktu diperiksa
ternyata tubuh mereka sudah kaku dingin, agaknya sudah sekian lama jiwanya melayang,
adalah yang paling menggemaskan bahwa jenazah yang sudah kaku dingin itu ternyata dibuat
ganjel pintu, waktu daun pintu ditendang Kim Khe-sian kedua mayat itu terpental jatuh
gedebukan. Keruan bukan kepalang pedih dan pilu rasa hati Kim Khe-sian, tanpa sadar diulurkan tangan
sambil hendak mengangkat jenazah muridnya, tapi lagi-lagi Thian-ih mencegah memperingatkan akan racun yang jahat itu.
Sekonyong-konyong salah seorang murid Kim Khe-sian itu berteriak kejut sambil menunjuk
sebuah guci arak diatas meja sembahyang, dibawah guci terselip secarik kertas yang penuh
tulisan malah belum kering lagi. Waktu dibaca tulisan itu berbunyi: "Pada malam yang kelam
ini berkunjunglah pendeta pemabukan, tiada hidangan lain untuk melayani tamu agung,
kudengar tuan seorang mulia ribuan cangkir takkan mabuk, silakan minum arak dalam guci ini,
coba bisa mabuk atau tidak" Tertanda sibaju perak berpedang emas.
Perlahan-lahan Kim Khe-sian mencukil tutup guci, dibawah penerangan sinar obor terlihat arak
dalam guci itu berwarna kehijau-hijauan, agaknya arak ini sangat keras baunya sampai
menyerang hidung, tapi siapa yang berani minum arak beracun ini. Sekian lama mereka
memeriksa keadaan segala pelosok dalam kelenteng itu tanpa menemukan sesuatu yang
mencurigakan, Kim Khe-sian menenggak araknya lalu berkata kepada Thian-ih, "Dilihat dari
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
tulisan yang belum kering ini, kukira bangsat itu belum pergi jauh, mari kita kejar !"
Thian-ih setuju, diam-diam hatinya memuji dan kagum. Memang bukan nama kosong akan
ketenaran nama besar Kim Khe-sian sebagai seorang laki-laki sejati, sekarang hasratnya lebih
besar lagi untuk membekuk sipenjahat beracun itu, padahal ia tahu bahwa bahaya elmaut
senantiasa mengancam jiwanya, namun dia pantang mundur dan terus mengejar musuh jahat
itu. Sebelum berangkat dipandangnya jenazah kedua muridnya dengan rasa perih dan
duka..... Begitulah dilain saat mereka sudah beranjak, diperjalanan ditengah pegunungan yang
dikelilingi hutan lebat, belum jauh mereka berjalan sekonyong-konyong dua batang anak
panah melesat keluar dari balik hutan sebelah samping sana, maka dilain kejap terdengarlah
lolong kesakitan dari kedua murid Kim Khe-sian itu dan terus terjungkal dari atas kuda.
Thian-ih dan Kim Khe-sian melonjak kaget, tersipu-sipu mereka putar balik dan memburu
kedalam hutan mencari jejak musuh, namun mereka kembali dengan tangan hampa. Kim
Khe-sian mengumpat caci menantang pembokong itu tanpa ada reaksi apa-apa.
Tiba-tiba Kim Khe-sian melompat keluar dan berjalan sempoyongan seperti orang mabuk
menghampiri kearah jenazah muridnya, kali ini Thian-ih tidak keburu merintangi, diam-diam ia
mengeluh dalam hati. Tampak Kim Khe-sian menenggak araknya lagi terus menyumat obor
yang padam itu. Sekonyong-konyong sebatang anak panah melesat dari balik hutan sana
langsung mengarah dadanya, tidak berkelit atau menyampok jatuh senjata rahasia ini Kim
Khe-sian malah membusungkan dada, maka terdengarlah suara "tring" anak panah itu malah
terpental jatuh sendiri tanpa melukai seujung rambutpun. Keruan kejut dan heran Thian-ih
bukan main. Maka terdengar Kim Khe-sian menggerung keras terus melesat kearah datangnya anak panah
sambil memutar tongkat besinya. Thian-ih juga tidak ketinggalan mengejar dibelakangnya,
terdengar Kim Khe-sian mengupat caci: "Bangsat anjing rendah! Lekas menggelinding keluar,
plintat-plintut terhitung orang gagah apa itu !" Dengan jurus Sian-hong-sau-yap (angin lesus
menyapu daun) tongkatnya menyapu dengan dahsyatnya sehingga dahan pohon berjatuhan.
Dalam hutan sangat gelap dan sunyi, yang terdengar hanya gema makian Kim Khe-sian, sekian
lama mereka ubek-ubekan tanpa menemukan jejak sipembokong itu, malah diketemukan pula
tulisan diatas pohon yang berbunyi: "Ilmu weduk Kim Khe-sian memang harus dipuji,
kutunggu kedatangan kalian dirumah batu diatas gunung, jangan lupa datanglah selekasnya.
Terlanda Kim-kiam-gin-i-khek.''
Keberanian dan ketabahan Kim Khe-sian memang tiada taranya, tanpa hiraukan mayat kedua
muridnya lagi, dia terus berlari-lari pesat menuju ke puncak. Memang di puncak tertinggi ini
tegak sebuah rumah batu, dari kejauhan samar-samar terlihat sorot pelita yang menyorot
keluar, keadaan disini sunyi lengang tanpa ada gerakan apa-apa. Agaknya Kim Khe-sian terlalu
mengandalkan Ilmu weduknya, tanpa gentar sedikitpun ia terus menerjang masuk. Kuatir
akan keselamatan orang Thian-ih juga membuntuti terus dibelakangnya dengan ketat.
Rumah batu ini hanya terdiri satu kotak ruang dengan peralatan rumah tangga yang
sederhana, dimana hanya terdapat pembaringan batu, pelita dan jerami kering tanpa terlihat
jejak manusia. Dengan marahnya Kim Khe-sian menggeledah dan mengubrak-abrik semua
pelosok ruang kecil itu. Saking gemes dan dongkol akhirnya Thian-ih juga pentang bacot turut
memaki: "Kim-kiam-gin-i-khek, lekas menggelinding keluar terima kematian!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Suaranya mendengung keras sampai menggetarkan rumah batu itu, mendadak dari atas tiang
blandar jatuh sebuah kranjang kecil, didalam kranjang itu terlihat secarik kertas yang penuh
tulisan pula. Lekas-lekas Thian-ih memungut dan dibacanya: "Aku ke belakang gunung untuk
membereskan Ciu Hou dulu. Kiranya Lwekang Kim Khe-sian juga hanya kepalang tanggung,
tak perlu aku turun tangan lagi, malam ini juga kau akan menemui ajalmu dalam rumah batu
itu........" Thian-ih terkejut sambil menoleh, benar juga dilihatnya wajah Kim Khe sian pucat pias, kedua
matanya redup badan gemetar dan napasnya juga memburu........
Tersipu-sipu Thian-ih maju menegur: "Kim-heng, kau kenapa?"
Kata Kim Khe-sian lemah: "Ji-chengcu, cepatlah kau pergi menolong Ciu Hou, jalan dibelakang
gunung ini dapat menembus langsung ke An-Se. Kau harus dapat mengejar Ciu Hou dan
menolongnya".kau"..kau lekas berangkat......"
Sudah tentu Thian-ih tidak mau, tanyanya sambil memayang tubuh orang terus direbahkan
diatas tanah: "Kim-heng, kau ......kau......kan tidak terkena racun, dimana kau merasa tidak
enak badan?" Kim Khe-sian menjawab tergagap: "Aku.......aku tidak kena racun, tapi keracunan......di......
dalam hati......Kim-kiam-gin-i ini......dia sungguh lihay......"
Thian-ih menyapu pandang kesekelilingnya, hanya pelita dalam rumah yang masih menyala
terang, tapi tubuh Kim Khe-sian yang besar tromok itu semakin lemah dan terkulai. Thian-ih
semakin gopoh dan gusar, tanyanya lagi: "Kim-heng, bagaimana kalau kupanggul pulang?"
"Tidak...... tidak perlu......Ji-chengcu......apa kau tidak dengar......suara itu.....suara itu......"
Jejak Di Balik Kabut 16 Kampung Setan Karya Khulung Pendekar Pendekar Negeri Tayli 2
^