Rahasia Si Badju Perak 3
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H Bagian 3
Thian-ih pasang kuping, lapat-lapat terdengar suara deburan air terjun dari kejauhan sana,
suara itu bergema dan mendengung bagai derap langkah berlaksa kuda yang berpacu keras.
Kata Thian-ih: "Kim-heng, itu kan suara air terjun !"
Kim Khe-sian tertawa getir sambil menggeleng, katanya lemah: "Bukan......itulah derap
berlaksa kuda yang berlari kencang......lima belas tahun yang lalu......anak istriku......semua
mati dibawah tapak kaki berlaksa kuda itu........selanjutnya......lantas aku mengasingkan diri
menjadi pendeta......segala apa tiada yang kutakuti.....hanya suara derap langkah yang
gemuruh itulah yang paling menusuk sanubariku......"
Thian-ih menjadi gegetun, serunya: "Kim-heng, kuat dan tabahkan hatimu, hanya suara saja
mengapa harus ditakuti ......marilah kita berangkat, biar kudukung kau......"
Kim Khe-sian menggeleng kepala, sahutnya: "Tidak bisa......Ji-chengcu......Kim-k"am-gin-I
.....keparat itu benar-benar jahat......dia tahu......tahu penyakit.......hatiku."
Thian-ih hendak menyeretnya bangun dan meninggalkan tempat itu supaya tidak mendengar
lagi suara yang menakutkan itu. Tapi mendadak Kim Khe-sian bangun berduduk sendiri,
seolah-olah semangatnya sudah pulih kembali, namun sepasang matanya terbelalak besar
memancarkan sinar yang sangat aneh, sambil berduduk ia menggumam: "Lha itu
mereka......anak dan istriku ......haha......kalian jangan takut, ada aku disini......ada aku
disini......jangan takut dan jangan heran terhadap beribu atau berlaksa tentara berkuda.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Betapa tinggi kepandaian Kim Khe-sian ini masa tak mampu melindungi anak istri sendiri"
Hehehe.... sungguh menggelikan! Biar kubrantas para kurcaci dan iblis-iblis laknat seperti
kalian "n" !" Habis berkata mendadak Kim Khe-sian menggerung keras terus melompat bangun
dan menerjang keluar pintu sana.
Sisi kiri dari puncak gunung dimana mereka berada itu adalah jurang yang sangat curam, gema
air terjun itu justru terdengar dari bawah jurang itu. Begitulah sambil memutar tongkatnya
secepat kitiran Kim Khe-sian menerjang kearah sana seperti harimau kelaparan.
Sudah tentu Thian-ih tidak tinggal diam, dengan kencang ia memburu sambil berteriak:
"Kim-heng......Kim-heng....lekas berhenti ...... lekas..... disana jurang......"
Agaknya Kim Khe-sian tidak mendengar teriakan Thian-ih ini, dalam kegelapan malam tampak
dia masih berlari kencang sambil mengobat-abitkan tongkatnya, begitu tiba dipinggir jurang
terus tubuhnya melambung tinggi sambil mengayun tongkatnya......Waktu Thian-ih memburu
tiba dipinggir jurang, disini sudah kosong melompong, bayangan Kim Khe-sian sudah tidak
terlihat lagi. Sedemikian dalam dan gelap gulita jurang itu, hanya terdengar gema air terjun
yang gemuruh serta buih air yang memutih tertimpa sinar reflek yang kemilau.
Thian-ih termangu dipinggir jurang, hatinya sedih dan mendelu, kegusaran membuat hatinya
pepat dan hilanglah segaia harapan. Untung kesadaran masih menyinari benaknya, teringat
olehnya akan tugas dan tanggung jawabnya yang berat, perlahan-lahan ia memutar tubuh
terus tinggalkan tempat itu......
Sang surya mulai muncul dari peraduannya, alam jagat sudah terang tanah. Thian-ih segan
dan berat untuk berpaling lagi, sepagi itu seorang diri ia terus melanjutkan perjalanan
mengejar jejak pembunuh durjana yang kejam itu. Satu jam kemudian setelah menyusuri jalan
pegunungan yang berliku-liku sampailah ia dibawah sebuah tebing yg datar, dimana
terbentang sebuah jalan raya yg harus ditempuhnya menuju ke An-se, begitulah tanpa
mengenal lelah Thian-ih terus melanjutkan pengejarannya.
Beberapa li kemudian, tiba-tiba terlihat olehnya debu mengepul tinggi dikejauhan depan sana,
terlihat puluhan kuda tengah dipacu kencang menuju kearah dirinya, penunggangnya
berpakaian ketat seragam, dipimpin oleh seorang busu (guru silat) yang berusia 30-an,
wajahnya cakap garang, tangannya membekal sebuah tombak putih berkilat menyilaukan
mata. Jauh-jauh Thian-ih sudah mengenal orang yang tengah mendatangi ini, dia bukan lain adalah
sitombak perak Tio Kong yang tenaganya sangat diandalkan oleh Ciu Hou untuk
menyembunyikan diri. Tapi agaknya sipanglima tombak perak tidak kenal Thian-ih lagi karena
tubuhnya yang kotor, sebab perjalanan yang jauh ini ditimpah hujan dan dijemur matahari
membuat sipemuda yang ganteng ini berubah rupa berganti ujut. Terpaksa Thian-ih berteriak
menghentikan mereka: "Tio-heng, harap berhenti sebentar! Aku Thio Thian-ih adanya."
Tio Kong dan rombongannya yang keburu lewat jauh cepat-cepat menghentikan kudanya dan
putar balik, begitu saling berhadapan hampir bersamaan keduanya saling bertanya: "Ketemu
Ciu Hou tidak?" Tersipu-sipu Tio Kong menambahkan: "Begitu mendengar kabar segera kupimpin anak buahku
untuk menyambutnya, sepanjang perjalanan ini belum kutemukan jejaknya!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Thian-ih juga menutur pengalamannya singkat saja, mendengar Kim Khe-sian bunuh diri
terjun kedalam jurang, Tio Kong terkejut dan gusar, katanya: "Sudah terang Ciu-heng lewat
jalan ini, kukira saat ini dia masih berada disekitar sini, lekas berpencar dan carilah ke segala
pelosok !" serentak semua orang berpencar ke segala penjuru untuk mencari jejak Ciu Hou.
Tak lama kemudian seorang anak buah Tiong Kong datang memberi lapor sambil
menyerahkan seperangkap pakaian dan sebuah kunci. Pakaian itu terang milik Ciu Hou, keruan
bercekat hati Thian-ih, firasat jelek membuat hatinya tak tenang, mungkin juga Ciu Hou sudah
menemui ajalnya, maka diperintahkan pula untuk mencari jenazahnya. Matahari sudah doyong
kearah barat namun mereka masih bertangan hampa, selain pakaian dan kunci itu tiada benda
lain lagi yang diketemukan.
Ribuan li sudah ditempuh oleh Thian-ih untuk mengejar sipembunuh dan berusaha
menyelamatkan Ciu Hou, sudah menghamburkan waktu melelahkan badan akhirnya yang
dicari dan diuberi menghilang tanpa jejak seakan-akan telah ditelan kedalam bumi.
Memang tidak memalukan nama sipanglima tombak perak Tio Kong sangat diagungkan
sebagai tokoh silat yang setia kawan dan berbudi luhur dan bajik, sekian hari lamanya mereka
masih belum patah semangat untuk mencari dan mencari terus, jurang yang dalam serta
lembah dan hutan lebat sudah dijelajahi semua, Ciu Hou tetap menghilang secara aneh,
setelah semua sia-sia dan putus harapan akhirnya Thian-ih ambil perpisahan, kini seorang diri
ia kembali pula menempuh perjalanan yang sudah diselusurinya waktu datang.
Musim panas didaerah barat ini memang luar biasa, badai angin menderu dan hawa juga
sangat panas menyesakkan pernapasan, sebaliknya Thian-ih menempuh perjalanan dengan
hati yang membeku sedingin es. Teringat olehnya betapa besar harapannya waktu mengejar
Ciu Hou semakin dekat, siapa duga setelah ribuan li kemudian, yang diperoleh hanya
kehampaan saja. Sampai bayangan sibaju perak saja juga tidak dilihatnya.
Waktu sampai dikota Cui-cwan dan melintas didepan Cui-sian-si, teringat olehnya betapa
gagah perkasa pribadi Kim Khe-sian, namun hanya semalam saja jiwanya telah direnggut
elmaut bersama beberapa murid-muridnya tanpa tempat kubur yang layak, pilu dan duka
nestapa mericuh hatinya. Malu rasanya untuk mampir atau menginjakkan kakinya lagi ke
tempat suci itu, maka secara diam-diam ia mengeloyor lewat kembali menuju kearah timur.
Hari itu juga Thian-ih tiba dikota Buwi. Diatas kuda ia berpikir, para Tongcu dari Kam-liang-pay
itu ternyata adalah tokoh-tokoh pengecut yang hina dina, rasanya mereka harus diberi hajaran
untuk melampiaskan rasa dongkolku ini. Maka dalam malam yang gelap itu dengan
mengenakan pakaian ringkas hitam secara diam-diam Thian-ih mendatangi markas besar
Kam-liang-pay. Agaknya kedatangan Thian-ih ini sangat kebetulan sebab ketujuh tokoh Kam-liang-pay itu
tengah mengadakan perundingan dan sedang merancang suatu tindakan jual beli tanpa modal
(merampok). Mendengar rencana mereka yang keji dan kotor, diam-diam Thian-ih merasa
gusar dan girang pula, gusar karena perbuatan yang bakal mereka laksanakan itu sangat
terkutuk dan hina dina, girang karena dapat mengetahui rencana busuk mereka sehingga
sebelumnya dirinya dapat berjaga dan menggagalkan rencana mereka secara sembunyi.
Ternyatalah bahwa mereka tengah merencanakan untuk membongkar sebuah kuburan orang
untuk mencuri barang mestika yg ikut terpendam dalam kuburan itu. Kebetulan kuburan yang
hendak mereka bongkar itu bukan lain adalah kuburan Li Hong-gi, gadis rupawan putri Li-tayjin
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
atau Tihu dan Ki-lam-hu itu. Sebenarnya Thian-ih hendak turun kebawah berhadapan secara
langsung dan membujuk mereka secara halus untuk membatalkan rencana yang terkutuk dan
rendah itu, namun setelah dipikirkan lebih mendalam rasanya manusia rendah tamak harta
benda takkan mudah diberi pengertian dan diinsafkan, bukan mustahil dari malu mereka naik
pitam setelah rencana busuk mereka diketahui orang dan dirinyalah yang menjadi kambing
hitamnya, kalau ini benar-benar terjadi bukankah dirinya bakal celaka, dan mati konyol" Apa
pula dari pembicaraan mereka itu kelihatan bahwa mereka juga hendak buru-buru bekerja
dalam satu dua hari ini. Karena bukan mustahil kalau terpendamnya dua mutiara mestika
dalam kuburan Li Hong-gi itu juga telah didengar oleh gembong-gembong penjahat lainnya,
pasti banyak pula yang bakal mengincar.
Setelah mengetahui rencana rahasia tokoh-tokoh Kam-liang-pay itu secara jelas, Thian-ih
tinggal pergi pula secara diam-diam, malam itu juga ia melanjutkan perjalanan ke timur, ba-
gaimana juga dia harus setindak lebih dulu sampai di Ki lam untuk mengatur segala sesuatu
dalam menggagalkan rencana busuk yang memalukan itu. Diam-diam Thian-ih bertekad untuk
melindungi kuburan gadis jelita itu dengan sekuat tenaganya, tak peduli apapun yang bakal
terjadi. Waktu lewat Thian-cui didengarnya pula bahwa Liong-gwa-hou-tiang siang-siang sudah
meninggalkan rumah melakukan perjalanan jauh kearah timur beserta anak muridnya.
Thian-ih tahu kemana tujuan mereka maka diam-diam hatinya menjadi gugup, kudanya dipacu
secepat terbang, dua hari kemudian tersusullah rombongan Li Ti yang berjumlah besar itu
serta membawa perbekalan yang serba komplit. Tanpa menimbulkan keributan dan
kecurigaan orang Thian-ih sedikit memutar jalan dan terus mendahului menuju ke Ki-lam.
Tepat pada pertengahan bulan enam Thian-ih tiba di Ki-lam-hu dengan selamat. Tempo hari
sebelum Li-siocia dikuburkan, dia sudah tinggal pergi maka tidak diketahuinya dimanakah letak
kuburan gadis rupawan itu, maka dengan sogokan uang ia mencari tahu dari mulut seorang
kacung restoran, ternyata bahwa kuburan Li-siocia terletak disebelah utara kota Ki-lam,
sedemikian besar dan megahnya kuburan itu berbentuk seperti kamar tidur Li-siocia sendiri
semasa masih hidup! Malah kacung itu bercerita panjang lebar tentang terjadinya suatu
keanehan dalam kuburan itu, katanya meskipun telah wafat beberapa bulan, tapi jenazah Li
Hong-gi sedemikian lama masih utuh seperti sediakala. Ditambahkan bahwa setiap bulan pada
tanggal muda pasti keluarga Li-tihu menyambangi kuburan megah itu utk memeriksa keadaan.
Setelah mendengar cerita ini Thian-ih jadi berpikir, entah benda mestika apakah yang
sedemikian hebat dan besar kasiatnya sehingga jenazah Li Hong-gi masih tetap utuh seperti
masih hidup. Hari itu secara iseng-iseng Thian-ih keluar kota dan menuju ke kuburan yang dihebohkan itu.
Memang kuburan ini sedemikian besar mewah dan kokoh kuat terbuat dari batu yang diuruk
tanah. Thian-ih berputar ke sekelilingnya memeriksa tiada tampak sesuatu yang
mencurigakan, pintu rahasia masih tertutup rapat dan terkunci dari luar, agaknya belum ada
orang yang pernah menyentuhnya. Naga-naganya para kawanan penjahat yang tamak akan
harta benda itu masih belum datang dan turun tangan.
Lewat beberapa hari pagi-pagi benar pelayan penginapan memberi tahu kepada Thian-ih
bahwa hari keseratus wafatnya Li Hong-gi akan diperingati di kuburan megah itu secara
besar-besaran. Maka cepat-cepat Thian-ih bersiap berganti pakaian mengenakan jubah
panjang warna putih mulus, pedang disoreng dipinggang balik jubahnya, tangannya
membekal sebuah kipas lempit sambil berlenggang berlagak sebagai pelajar dia ikuti arus
manusia yang menuju ke pintu utara untuk melihat keramaian.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Tiba di pekuburan suasana disini begitu ramai, selayang pandang hanya kepala manusia
melulu, sedemikian banyak manusia berjubel-jubel sampai susah untuk mendesak maju ke
depan, diam-diam Thian-ih meneliti, dilihatnya banyak diantara mereka itu yang harus
dicurigai. Tidak lama kemudian tampak sebarisan tentara bersenjata lengkap mendatangi membuka
jalan, di belakang barisan ini beriring pula puluhan tandu yang besar-besar berhenti diluar
pekuburan, tampak Li-tihu sendiri yang memimpin upacara sembahyangan ini, kala itu pintu
rahasia kuburan sudah dibuka maka pelan-pelan Li-tihu serta keluarga dan handai-taulannya
masuk kedalam, mereka terdiri dari kaum wanita dan beberapa orang laki-laki, diantaranya
tampak seorang pemuda yang gagah, maka Thian-ih menduga pasti pemuda itulah yang
bernama Nyo Hway-giok calon suami Li Hong-gi. Tubuhnya tinggi tegap beralis hitam
gombyok, Thay-yang-hiat di pelipisnya menonjol keluar dan langkahnya ringan, selayang
pandang dapatlah diketahui bahwa pemuda lembah lembut ini juga dari aliran persilatan.
Kaum perempuan berjalan agak pelan sampai sekian lama mereka masih berjubel diluar pintu
kuburan, sekonyong-konyong angin menghembus agak keras, tahu-tahu dua bayangan
berkelebat cepat saling susul dan enteng sekali mencampurkan diri dalam barisan yang
memasuki kuburan itu. Para penjaga merasa pandangan serasa kabur, disangkanya melihat
burung terbang melintas didepan mata. Di luar tahunya bahwa di kelompok keluarga Li-tihu itu
telah bertambah dua orang gelap yang menyelundup masuk ke dalam.
Salah seorang dari bayangan tadi bukan lain adalah Thian-ih sendiri, perbuatannya ini
hanyalah menelat perbuatan bayangan yang terdahulu, karena dianggapnya kalau orang itu
berani menyelundup kedalam secara diam-diam tentu mengandung maksud yang tidak baik,
maka tanpa kepalang tanggung ia juga melesat memasuki kuburan besar itu.
Ginkang Thian-ih sebetulnya tidak kalah tinggi dari bayangan tadi, namun begitu melangkah
masuk ke dalam kuburan lantas dia kehilangan jejak orang itu, hal ini malah memperingatkan
Thian-ih sendiri, sedikit bergerak dia pun menyelinap dan sembunyi. Dari tempat sembunyinya
Thian-ih meneliti keadaan bangunan kuburan ini, bukan saja luas tapi juga megah dan mewah
benar-benar seperti kamar tidur mendiang Li Hong-gi sendiri. Ditengah ruang besar sebelah
dalam adalah letak peti mati Li Hong-gi yang berbentuk aneh dan istimewa, karena bentuk itu
tak ubahnya seperti sebuah pembaringan yang dihias begitu indah, terlihat Li Hong-gi rebah
diatas pembaringan itu, tubuhnya terbungkus kain sutera yang tersulam indah, dari kejauhan
tampak wajahnya memutih bagai batu giok seakan-akan bidadari yg tengah tidur nyenyak.
Berpuluh keluarga Li-tihu itu berdiri di sekitar peti mati sambil menggerung sesenggukan.
Sebagai orang gelap Thian-ih tidak berani banyak bergerak, tak lupa pula ia mencari letak
sembunyi orang yang menyelundup masuk tadi.
Diempat penjuru ruang tergantung empat pelita yang bersinar terang, hawa disini terasa sejuk
nyaman, entah dimana letak pintu angin yang berhubungan dengan luar, hiasan atau
pajangan dalam kuburan inipun sangat berkelebihan tidak kalah indah dari ruang penganten
anak raja, hanya dindingnya saja yang terlalu banyak variasi dengan lekak-lekuk jadi banyak
tempat yang gelap cocok untuk sembunyi orang, maka tidak mudah bagi Thian-ih mencari
jejak orang itu tanpa dirinya sendiri juga bergerak dari tempat sembunyinya. Tempat dimana
ia sembunyi adalah pojokan dinding yang lekuk kedalam tertutup di belakang kain gordijn lagi,
dinding di belakangnya terasa dingin karena terbuat dari batu-batu gunung, tanpa sengaja
teraba oleh Thian-ih dua tumbung besi, ia menjadi heran untuk apakah kedua tumbung besi
ini" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sementara itu keluarga Li-tihu masih bertangisan dengan sedihnya. Hanya Nyo Hway-giok saja
yang masih berdiri tenang sambil menunduk, namun saban-saban ia juga membesut air mata
yang tak tertahankan lagi. Betapa orang takkan sedih ditinggal pergi calon isterinya.
Tak lama kemudian setelah semua orang selesai sembahyang, beruntun mereka
mengundurkan diri keluar kuburan. Agaknya Nyo Hway-giok berat berpisah dengan calon
istrinya itu, maka sambil mengusap air mata ia berkata pada Li-tihu: "Gak-hu (mertua), siausay
(menantu) hidup tak dapat berdampingan dengan adik Hong-gi, biarlah aku tetap berdiam
disini untuk mendampingi adik Hong-gi selama-lamanya !"
Sudah tentu Li-tihu tidak setuju, para kerabat perempuan juga ikut membujuk, suasana
menjadi ribut, terdengarlah Nyo Hway-giok mengeluh panjang : "Kala hidup aku tak dapat
berdampingan dengan Hong-gi masa kalian masih tidak mengijinkan kita mati dalam satu
liang, dia kan sudah menjadi istriku............sampaikan saja kepada ayahku bahwa Hway-giok
telah mangkat mengikuti isterinya......"
Watak Nyo Hway-giok ini ternyata berperasaan halus dan lemah hati, dalam keadaan yg tidak
terkendali lagi ia menangis tergerung-gerung sambil sesambatan. Maka tidak kepalang
tanggung lagi Li-tihu perintahkan beberapa prajurit untuk menyeretnya keluar dengan
kekerasan. Nyo Hway-giok meronta-ronta minta dilepaskan sambil menoleh dengan pandang
berat berpisah. Thian-ih jadi heran, apakah ini permainan sandiwara atau main pura-pura.
Kalau dinilai dari ilmu silatnya, hanya beberapa prajurit biasa saja mana mampu membuat
dirinya tak berkutik dan mandah saja diseret keluar, apakah maksud perbuatannya ini"
Setelah semua orang keluar, pintu kuburan yang tebal dan berat itu ditutup lalu digembok dan
dikunci dari luar, lantas keadaan dalam kuburan menjadi hening lengang. Sinar pelita
kelap-kelip memancarkan sinarnya yang redup, tampak wajah nan ayu jelita dalam peti mati
itu sedemikian mempesonakan seakan terasa dalam dunia khayal belaka. Dengan sabar
Thian-ih menanti dan menanti, ditunggunya penjahat yang sembunyi dalam kuburan itu keluar
supaya secara gampang dirinya membereskannya.
Sebenarnya sang waktu berjalan dengan cepat, namun bagi Thian-ih terasa sangat lambat
sekali, keadaan yang sunyi lengang itu sungguh membosankan dan membuat Thian-ih
semakin curiga dan waspada, mungkinkah orang itu sudah mengeloyor keluar pula, mengapa
sekian lama ini dia masih belum keluar" Teringat akan keluar Thian-ih bercekat dalam hati,
pintu kuburan sedemikian tebal dan berat terkunci lagi dari luar, cara bagaimana nanti dirinya
harus keluar. Tunggu punya tunggu akhirnya terdengar juga suara keresekan yang lirih dalam keheningan
yang lelap itu. Tahu Thian-ih bahwa penjahat itu mulai bergerak dan bertindak, terpaksa
Thian-ih harus memusatkan perhatiannya terhadap orang dalam kuburan ini, entah nanti bakal
dapat keluar atau tidak sudah tak terpikirkan lagi olehnya.
Dari kegelapan pojok depan sana berkelebat bayangan seorang yang mengenakan pakaian
sepan warna hijau dan berkedok, perawakan orang itu kurus kecil, kedua tangannya
menghunus sepasang senjata yang berbentuk aneh, senjata itu dinamakan Wan-yan-to-hun-siang-hoan (sepasang gelang belibis pencabut nyawa). Sibaju hijau ini
menyapu pandang keempat penjuru lalu merunduk hati-hati memeriksa keadaan sekitarnya.
Cepat-cepat Thian-ih mepet dinding sambil tahan napas, terasa angin berkesiur sibaju hijau
lewat didepannya, untung benar jejaknya tidak sampai konangan.
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Tidak lama kemudian sinar pelita semakin redup dan guram, mungkin sudah kehabisan
minyak. Sekonyong-konyong dari kanan kiri ditubuh Li Hong-gi memancarlah dua sinar terang
setinggi satu kaki, kedua sinar itu berwarna merah putih sangat menyolok mata. Terdengar
sibaju hijau itu berseru tertahan, sekali berkelebat tubuhnya menubruk kearah samping tubuh
Li Hong-gi serta merta diulurkan tangannya hendak mencomot benda bersinar itu, tapi secepat
itu tampak tubuhnya terhuyung mundur pula seakan terintang sesuatu tenaga gaib. Kini orang
itu sudah menanggalkan kedoknya, dengan hati-hati ia menunduk dan memeriksa. Waktu
berdiri lagi dan berpaling Thian-ih melihat orang menunjuk rasa heran dan kejut, sejenak
kemudian tampak ia memindahkan senjatanya ditangan kiri lalu tangan kanan diulur hendak
menghantam kearah jenazah Li Hong-gi...........
Sedetik sebelum tangan sibaju hijau diturunkan mendadak terdengar suara bentakan dingin
dibelakangnya: "Tahan!" Waktu ia berpaling dengan kaget dilihatnya dibelakangnya telah
berdiri satu orang, maka tegurnya dengan gusar: "Keparat dari mana kau" Aku belum
mengenal kau?" Thian-ih berseru lantang: "Cayhe Ho-pak Thio Thian-ih, siapakah tuan yang mulia?"
Sibaju hijau tertawa gelak-gelak, kedua gelangnya dikiblatkan lalu katanya: "0, ternyata
adalah Thio-jichengcu, masa kau belum pernah dengar tentang kedua senjata gelangku ini"
Aku yang rendah Mo-san Lok Sian......"
Tergetar hati Thian-ih, Lok Sian ini adalah salah satu dari Mo-san-sam-kui yang kenamaan,
mereka terdiri dari Pek-bian-kui (setan muka putih) Ho Han dan Hek-bian kui (setan muka
hitam) Ci Kiu. Mo-san-sam-kui (tiga setan dan Mo-san) adalah tokoh-tokoh lihay dari aliran
hitam yang kenamaan di Kangouw. Dulu Thio Thian-ki pernah bercerita tentang pribadi ketiga
saudara angkat ini, terutama senjata-senjata mereka yang berbentuk aneh itu paling gampang
dikenali, mereka bukan saja licik dan ganas, kepandaian Ginkang dan Lwe-kangnya juga
setingkat lebih tinggi dari golongan hitam lainnya. Sungguh tidak nyana bahwa salah satu dari
ketiga setan kenamaan itu ternyata juga ikut berkomplot dalam usaha mencuri benda mestika
dalam kuburan ini. Terdengar Lok Sian berkata lagi dingin: "Ji-chengcu. apa kau juga bermaksud mengincar
kedua mutiara mestika itu?"
Sahut Thian-ih: "Lok-heng, aku tidak tahu tentang hal-ihwal mutiara mestika apa segala......."
Lok Sian mengakak kegilaan, suaranya bergema mendebarkan hati, ujarnya: "Ji-chengcu,
dengan ucapanmu itu agaknya kau sangat memandang rendah kita Mo-san-sam-kui. Kalau
kau sendiri juga ingin memiliki benda mestika itu mengapa main sungkan dan pura-pura tidak
tahu, hahaha, kalau kau berkata tidak tahu lantas apa maksudmu menyelundup kedalam sini?"
Melihat sikap orang yang congkak dan takabur, timbullah amarah Thian-ih, jengeknya dingin:
"Kudengar ada komplotan penjahat yang hendak mencuri......"
"Lantas kau ingin mencampuri urusan ini!" Lok Sian menukas perkataan Thian-ih, "Bukankah
begitu maksudmu " Ji-chengcu, kau baru saja lulus dari perguruan masih berbau bawang,
mungkin belum tahu seluk-beluk peraturan dunia persilatan. Mo-san-sam-kui sudah bertekad
untuk mengambil kedua mutiara mestika dipinggir tubuh bocah perempuan itu, Ho Han dan Ci
Kiu kedua saudaraku itu sebentar akan tiba, silakan kau minggir dan jangan mengganggu
pekerjaanku....." TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Setelah dekat baru Thian-ih melihat tegas, ternyata peti mati Li Hong-gi terbuat dari batu kaca
yang tebal, bening dan tembus cahaya, harganya tentu tidak ternilai. Kedua mutiara merah
putih mencorongkan sinarnya yang kemilau menyinari seluruh tubuh Li Hong-gi, sehingga
wajahnya tampak semakin jelita bagai hidup dan tidur nyenyak.
Bu-ing-kui sisetan tanpa bayangan Lok Sian mendadak berkata di belakangnya: "Ji-chengcu
silakan kau minggir kesamping......"
Tiba-tiba Thian-ih memutar tubuh, sahutnya marah : "Lok-heng, apa yang hendak kau
lakukan?" Lok Sian berkata tawar: "Aku ingin ambil kedua butir mutiara itu, meskipun batu kaca ini tak
ternilai harganya, kita bersaudara tidak mampu memboyongnya keluar terpaksa dihancurkan
saja...." habis berkata ia himpun tenaga, bersiap lancarkan pukulannya.
Bergolak darah Thian-ih saking menahan amarah, bulat tekadnya untuk menentang maksud
jahat manusia tamak ini, bentaknya: "Orang she Lok, memandang muka engkoh-ku maka
kunasehati kau supaya hapus saja niat tamakmu itu, lekaslah tinggalkan tempat ini. Ketahuilah
perbuatanmu ini merupakan perbuatan tercela dan nista dalam kalangan Kangouw, kalau
perbuatan kalian ini sampai tersiar apakah tidak memburukkan nama baik Mo-san-sam-kui.....?"
"Kentut !" hardik Lok Sian tidak kalah gusarnya. "Bagaimana juga Mo-san-sam-kui harus
memperoleh kedua mestika itu. Sekarang juga kubunuh kau, coba siapa lagi yang dapat
mengetahui?" sembari berkata tangan kanan segera didorong kedepan menggunakan jurus
Liok-ting-kay-loh (Liok Ting membuka jalan), dada Thian-ih diincar dengan sebuah pukulan.
Sejak berhadapan Thian-ih sudah bersiaga, begitu serangan musuh mendatang dengan jurus
Tui-san-seng-te (mendorong gunung menjadi datar) sebelah tangannya juga diangkat untuk
menangkis, "blang" kedua tenaga pukulan saling beradu di tengah udara menimbulkan
goncangan yang hebat, dua-duanya tersurut mundur selangkah, naga-naganya tenaga dalam
mereka seimbang alias sama kuat.
Lok Sian berjingkrak semakin gusar, kedua senjatanya dipersiapkan terus menubruk maju
seraya memutar gelangnya dengan gencar dan aneh. Thian-ih insaf bahwa ilmu gelang belibis
musuh sangat lihay, maka segera ia juga melolos pedang untuk menghadapi serangan musuh.
Tidak nyana bahwa ilmu gelang belibis ini memang teramat aneh dan menakjubkan, dalam
gebrak pertama itu tahu-tahu pedang panjang Thian-ih kena terjepit dan tergencet kencang
oleh senjata musuh, seketika susah dicabut lolos, saking besar tenaga yang terkerahkan untuk
membetot akhirnya pedang panjang sendiri malah yang patah menjadi dua, bertepatan
dengan itu sepasang gelang Lok Sian juga telah menindih dan mengepruk tiba.
Dalam keadaan yang gawat itu Thian-ih masih dapat unjuk ketrampilannya, tiba-tiba ia
membalik sembari membungkukkan badan sehingga tubuhnya melejit mengapung di tengah
udara, berbareng kedua kakinya bergerak menjejak ke belakang bergantian. Tindakannya ini
dinamakan Siang-kiong-dat-tui, satu diantara pelajaran tunggal dari Kiam-bun-it-ho yang
lihay. Karena terdesak baru Thian-ih dipaksa melancarkan tipunya ini, keruan perbawanya
bukan main hebatnya. Sudah tentu Bu-ing-kui Lok Sian tidak mengira bakal menghadapi
kepandaian yang aneh bin ajaib ini, meski secepat mungkin ia berusaha mengelakkan diri juga
sudah terlambat, dengan telak kedua kaki Thian-ih menendang di dadanya, seketika setan
bayangan menjerit seram, darah segar menyembur dari mulutnya, tubuhpun segera roboh tak
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
berkutik lagi, jiwanya seketika melayang menghadap Giam-lo-ong.
Meskipun akhirnya dapat membunuh musuh, tak urung hati Thian-ih juga berdetak keras,
badannya basah oleh keringat dingin, sungguh sesal dan gegetun pula akan kebodohan dan
kurangnya pengalaman dalam menghadapi musuh-musuh licik ini, untung pelajaran gurunya
digdaya dan mandraguna, kalau tidak mungkin jiwa sendiri yang sudah melayang jadi setan
gentayangan. Setan tanpa bayangan kini betul-betul sudah menjadi setan gentayangan tulen. Li Hong-gi
masih rebah dalam peti batu kaca dengan tenangnya, kedua matanya terpejamkan, mulutnya
menyungging senyum manis, semakin dipandang semakin mempesonakan. Semakin gelap
kedua mutiara itu semakin memancarkan sinarnya yang terang dan cemerlang.
Setelah termangu sekian lamanya Thian-ih maju mendekat dan memeriksa cara bagaimana
harus membuka peti batu kaca ini, akhirnya di sebelah samping diketemukan sebuah lobang
kunci, agaknya disinilah letak kunci rahasia pembuka peti batu kaca ini. Sekonyong-konyong
tergerak hati Thian-ih, bukankah lobang kunci ini sebesar kunci yang ditemukan dalam
pengejaran Ciu Hou tempo hari " Mengapa tidak dicoba saja" Demikian pikirnya.
Baru saja tangannya merogoh kantong, tiba-tiba terdengar diluar kuburan suara gaduh dibalik
pintu, agaknya seseorang tengah berusaha membongkar dan membandrek kunci. Lekas-lekas
Thian-ih menyeret tubuh Lok Sian untuk disembunyikan lalu dibersihkan pula noda-noda
darah, setelah semuanya beres ia kembali sembunyi di tempatnya tadi.
Suara gedobrakan menerjang pintu semakin keras dan gencar, saking tegang Thian-ih
memegang tumbung besi di belakangnya dan tanpa sengaja ia memutarnya dan tahu-tahu
tumbung besi ditangan kiri itu terlepas, seketika terdengar percakapan dari luar: "Ai, Lo-ho,
kunci ini begini kencang, coba kau kerjakan."
Kiranya kedua tumbung besi itu tembus keluar kuburan, dari lobang tumbung besi ini dapat
melihat keadaan diluar dengan jelas. Terlihat oleh Thian-ih dua orang yang membekal senjata
aneh tengah berusaha membuka pintu rahasia kuburan itu. Dari penerangan yang mereka
bawa Thian-ih dapat melihat tegas wajah mereka putih dan hitam. Batinnya, tentu merekalah
yang dijuluki Pek-bian-kui dan Hek-bian-kui dari Mo-san-sam-kui itu.
Tak lama kemudian terdengar Hek-bian-kui Ci Kiu berjingkrak girang: "Lo-ho, kunci sudah
dapat kubuka." Thian-ih terperanjat, bahwa kepandaian Mo-san-sam-kui ini sangat tinggi tidak perlu
disangsikan lagi, kalau mereka menerjang masuk dan mempergoki dirinya tanpa membekal
senjata, berbahayalah jiwanya. Dalam keadaan yang mendesak ini terpaksa dijemputnya
kedua gelang belibis Lok Sian itu untuk membela diri sekadarnya.
"Blang" pintu batu yang tebal dan besar itu tiba-tiba menjeplak dan terbuka lebar oleh pukulan
kegirangan gabungan Ho Han dan Ci Kiu. Terdengar teriakan mereka yang memanggil-manggil: "Lo-lok, Lok-hiante, eh..............."
Sekian lama mereka memanggil-manggil tanpa penyahutan semestinya, keruan kaget dan
heran kedua orang ini, serta merta timbullah kewaspadaan mereka untuk tidak secara
sembrono menerjang masuk ke dalam kuburan, hanya obor di tangan mereka
digoyang-goyangkan ke kanan kiri. Thian-ih sudah bersiap hendak menerjang keluar dengan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
sebuah serangan kilat yang mematikan, namun sebelum ia bertindak, diluar kuburan sana
terdengar derap langkah orang ramai yang tengah mendatangi disusul suara gelak tawa yang
riuh ramai di belakang Ho Han dan Ci Kiu. Tersipu-sipu kedua setan hitam putih ini memutar
tubuh, secepat itu pula segera Thian-ih melejit maju terus sembunyi dibelakang pintu, dari sini
keadaan diluar dapat dilihatnya lebih tegas lagi. Ternyata diluar sana sudah berjajar tujuh
orang yang menghunus senjata tajam dengan sikap mengancam.
"Siapa kalian" Anjing alap-alap ataukah kawan dari satu golongan?" terdengar Pek-bian-kui Ho
Han berseru menegur. Yang dimaksud dengan anjing alap-alap adalah para bayangkari dari
istana raja, sedang kawan satu golongan adalah sahabat-sahabat Kangouw dari golongan
hitam. Terdengar salah seorang dari tujuh orang itu bergelak tertawa lalu berkata: "O, kalau tidak
salah kalian adalah Pek-bian-kui Ho Han dan Hek-bian-kui Ci Kiu dari Mo-san-sam-kui bukan"
Selamat, selamat bertemu, aku yang rendah Kiu-bwe-long (serigala sembilan ekor) Kiau Sing
beserta saudara-saudara dari Kam-liang-pay !"
Kiranya mereka bukan lain adalah tujuh Tongcu dari Kam-liang-pay, ketujuh orang itu adalah:
Kiu-bwe-long Kiau Sing, Gin-poan-koan (potlot hakim perak) Koan Kiat, Thiat-po-lo-han
(Lohan berlengan besi) Cui Siau-peng, Hwi-yan-cu (siwalet terbang) Lo Cing, Cun-thian-lui
(guntur menggelegar) Si Cin dan dua Tongcu wanita yang bernama Hun-lo-sat (kuntianak
jelita) Kiong Giok-eng dan Soan nio-cu (gadis kecut) Kwe Ceng-sian.
Thian-ih malah lega akan kedatangan tujuh Tongcu dari Kam-liang-pay ini, biarkan mereka
saling cakar dan bergumul sendiri supaya meringankan tenaganya nanti. Satu hal masih
diragukan bahwa Liong-gwa-hou-tiang terang sudah tiba mengapa masih belum muncul"
Setelah hening sejenak Pek-bian-kui membuka suara, "Kiau Tongcu, Kam-liang-pay kalian
bersarang jauh di daerah barat sana, jauh-jauh serta malam-malam meluruk ke Ki-lam, apakah
tujuan kalian?" Kiau-bwe-long Kiau Sing menyeringai tawa, sahutnya: "Ho-heng, seorang jantan bicara secara
terang-terangan, kau kan sudah tahu pura-pura tanya apa segala, bukankah berkelebihan
bacotmu itu! Hahaha..........."
Begitulah karena saling mengukuhi haknya masing-masing kedua belah pihak semakin tegang
berhadapan saling melotot.
Kalau dinilai kekuatannya, dalam hal Lwekang, terang pihak Kam-liang-pay tiada satupun yang
dapat menandingi setan hitam putih ini, namun dengan gabungan tujuh tenaga yang bersiap
main keroyok mereka tidak gentar menghadapi saingan berat dan lihay ini.
Dibawah penerangan obor ditangannya, wajah Pek-bian-kui terlihat pucat pasi menakutkan,
diam-diam ia menerawangi situasi keadaan ini, terang pihak lawan menang banyak tenaga
sehingga semua tindakan harus diperhitungkan lebih masak, apalagi jejak Bu-ing-kui Lok Sian
menghilang tanpa diketahui dimana berada, bagaimana juga harus berlaku sabar dan melihat
keadaan, maka katanya sambil menahan gusar: "Para Tongcu Kam-liang-pay yang terhormat.
Sebenarnya jauh pada dua bulan yang lalu telah kita ketahui tentang kedua butir mutiara
mestika dalam kuburan ini, siang-siang kita sudah merancang untuk mengambilnya, sebab
harus diketahui bahwa salah satu dari mutiara itu yaitu Hwe-ki-cu adalah pusaka pelindung
Mo-san-pay kita. Terang kita setindak lebih maju dengan bukti bahwa Lok-hiante kita sudah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
masuk kedalam untuk mengambil kedua mutiara itu. Jauh-jauh kalian sudah datang, demi
menjaga persahabatan janganlah kita sampai bentrok karena urusan kecil ini, untuk itu baiklah
kita terpaksa mengalah dan merelakan mutiara yang lain yaitu Pi-seng-cu untuk kalian......."
Dasar Kiau Sing licik dan banyak akal muslihatnya, diam-diam ia juga menimang situasi dan
memperbandingkan kekuatan kedua belah pihak. Kalau bertempur satu lawan satu terang
pihak sendiri tiada yang bakal menang, tapi kalau tujuh orang serentak maju berbareng
agaknya cukup berkelebihan untuk membereskan setan hitam putih ini. Mumpung Lok Sian
sisetan gentayangan itu belum keluar, ganyang dulu kedua setan ini lebih baik, demikianlah
pikirnya, maka katanya temberang : "Kalau mau mengalah jangan kepalang tanggung
serahkan kedua-duanya, Kam-liang-pay akan sangat berterima kasih kepada kalian. Kalau
tidak boleh, jangan sesalkan pihak Kam-liang-pay tidak hiraukan persahabatan apa segala.
Jauh-jauh kita kemari tidak mungkin kembali dengan tangan hampa, terpaksa marilah
unjukkan kepandaian kalian untuk dipertontonkan kepada kita sekalian saudara............"
Watak Hek-bian-kui Ci Kiu lebih berangasan, semprotnya bengis: "O, jadi beginilah congor asli
pihak Kam-liang-pay, terhitung orang gagah apa kalian ini" Mari, mari, majulah bersama, Ci
Kiu takkan mundur menghadapi bangsa kurcaci macam kalian............" sambil memaki
dijinjingnya senjata tombak yang menyerupai cabang-cabang pohon Bwe terus melompat
maju ketengah kalangan. Justru tindakan lawan inilah yang dinantikan oleh Kiau Sing, girang hatinya bukan kepalang
karena pancingannya ternyata berhasil, maka serunya memberi aba-aba: "Koan-hiante dan
Cui-hiante, layanilah setan hitam ini. Dan kau Lo-hiante dan Si-hiante cegatlah setan putih itu,
biar aku bersama adik-adik kita masuk ke dalam menjemput mutiara itu.............."
Serentak para saudaranya itu mengiakan bersama, terus bergerak menurut petunjuk saudara
tua mereka tadi. Seketika terjadilah pertempuran yang sengit dan seru. Sementara Kiau Sing
memimpin Kiong Giok-eng dan Kwe Ceng-sian menerjang masuk kedalam kuburan.
Setan hitam putih bertempur sambil membentak-bentak untuk menambah semangat.
Lwekang setan muka putih Ho Han sudah mencapai kesempurnaannya, melihat Kiau Sing
bertiga bermain licik hendak bolos masuk kedalam kuburan, hatinya gusar bukan kepalang,
ilmu sepasang tongkat ditangannya merupakan kepandaian yang paling dibanggakan dan lihay
luar biasa, tidak kepalang tanggung lagi segera dilancarkan tipu Keh-an-koan-hwe (menonton
kebakaran dari sebrang), dengan telak jalan darah mematikan dipunggung Si Cin kena
tertutuk, seketika ia berteriak sambil muntah darah terus roboh terkapar tak bergerak lagi.
Sungguh mengagumkan kepandaian Ho Han ini, secepat itu tutukannya berhasil, mendadak
tubuhnya melejit kebelakang terus menerjang ke mulut kuburan sambil melintangkan kedua
tongkat bajanya serta ancamnya: "Siapa yang ingin mampus, silakan maju rasakan dulu
kemplangan tongkatku ini!"
Beberapa langkah lagi Kiau Sing sudah tiba dimulut kuburan, serta didengarnya teriakan Si Cin
yang mengerikan lalu secepat itu pula Ho Han sudah berkelebat menghadang dimulut
kuburan, keruan bukan kepalang kejut dan gusarnya, maka teriaknya memberi aba-aba: "Maju
bersama, ganyang setan gentayangan ini !"
Serentak senjata mereka bertiga bergerak diacungkan kedepan dengan serangan yang
mematikan, tanpa gentar Ho Han menggerakkan sepasang tongkatnya untuk menangkis.
Kalau disebelah sini Ho Han sudah berhasil membunuh seorang musuh, adalah disebelah sana
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
sisetan muka hitam juga berada diatas angin, tombak bercabangnya ini sangat aneh dan
menakjubkan, gerak-geriknya susah diraba, dilandasi pula oleh kekuatan pembawaan yang
besar, sudah tentu Gin-poan-koan Koan Kiat dan Thiat-pi-lo-han Cui Siau-ping tak mampu
bertahan, dalam gebrak pertama tadi begitu beradu senjata kontan sepasang Poan-koan-pit
Koan Kiat telah dibikin terbang dari tangannya, dalam ketakutannya ia coba putar tubuh
hendak melarikan diri, namun dasar sial tombak bercabang milik setan hitam sudah
mengepruk hancur kepalanya, jeritannya melolong panjang. Mati-matian Cui Siau-ping
membacok dan membabat dengan senjata kapaknya yang besar dan berat, namun hanya
sekali tangkis dan digentakkan saja kapak besar itu juga terbang tinggi malah orangnya juga
terpental jungkir balik. Teriakan Koan Kiat sebelum ajal menggugah sanubari Lo Ceng yang sudah berada diambang
pintu kuburan, tepat waktu ia merandek dan berpaling dilihatnya Cui Siau-ping tengah
menghadapi bahaya, secepat kilat sebelah tangannya diayun, meluncurlah tiga titik bintang
melesat mengarah kedua biji mata setan hitam. Terpaksa setan hitam harus menunduk kepala
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk menyelamatkan diri, dan peluang sedetik ini cukup untuk Lo Ceng memburu tiba
merintangi niat jahatnya terhadap Cui Siau-ping.
Dalam sekejap mata dua diantara saudara para Tongcu Kam-liang-pay itu mampus, sudah
tentu sisa lima yang lain menjadi keder dan ciut nyalinya. Tapi dalam keadaan mati dan hidup
betapapun harus mengadu jiwa, tanpa komando lagi mereka memecah diri dalam dua
kelompok untuk mengeroyok kedua setan dari Mo-san itu.
Bagaimana juga kepandaian setan hitam-putih lebih tinggi dan hebat, beruntun mereka dapat
membinasakan dua musuh, bangkit dan menyalakan semangat tempur mereka, senjata
diputar dan bergerak semakin lincah dan aneh menakjubkan, meskipun dicecar berbagai
serangan senjata musuh, namun penjagaannya sangat rapat seumpama air hujan juga tidak
akan tembus masuk, malah dalam setiap kesempatan dapat melancarkan jurus-jurus
mematikan yang tidak terduga, lambat laun posisinya semakin menguntungkan dan banyak
menyerang dari pada membela diri. Meskipun pihak Kam-liang-pay berjumlah lebih banyak,
betapapun kepandaian pihak sendiri kalah setingkat dibanding musuh, keruan semakin
terdesak dibawah angin. Melihat situasi yang lebih menguntungkan ini bergelak tertawalah kedua setan hitam-putih,
terdengar setan hitam berolok-olok: "Lo-ho, cepat sedikit bisa tidak. Kedua lawanku ini adalah
telur busuk yang tidak berguna, coba biar kubuktikan kulukai seorang yang ini." Benar juga
lantas terdengar Thiat-pi-lo-han menggerung kesakitan, ternyata pundaknya berlobang
tertusuk tombak bercabang Ci Kiu. Meskipun terluka berat dan sakit luar biasa Cui Siau-ping
tak berani mengundurkan diri, dengan mati-matian ia masih terus tempur musuhnya dengan
sengitnya. Terdengar Ci Kiu berolok lagi sambil menyeringai: "Lo Ho, bagaimana" Tidak jelek bukan" Satu
diantara telur busuk ini sudah terluka, sebentar biar kuantar jiwa keduanya ini menghadap
nenek moyangnya!" Disebelah sana Ho Han sisetan putih juga tidak mau kalah suara, serunya: "Bagus sekali, adik
Ci, selamat bekerja, bereskan secepatnya supaya tidak menunda-nunda waktu untuk ambil
kedua mestika itu. Coba kau lihat kedua gadis rupawan genit ini, tidak tega aku turun
tangan........hahaha..........."
Ci Kiu bergelak tertawa, dia merasa geli mendengar banyolan saudaranya itu. Dengan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
tembang sebul dalam saat menghadapi musuh ini seakan-akan mereka tidak pandang sebelah
mata pada kelima musuh-musuhnya, keruan gemas dan murka para Tongcu Kam-liang-pay
bukan main, sudah kewalahan marah lagi sehingga kurang konsentrasi, maka semakin kacau
balaulah pertahanan mereka. Terutama Cui Siau-ping yang terluka berat, langkahnya semakin
sempoyongan maka dialah yang menjadi sasaran paling empuk, tiba-tiba terdengar Ciu Kiu
membentak keras: "Pergilah menghadap Giam-lo-ong !" sekali tendang tepat mengenai dada
Cui Siau-ping, seketika roboh dan muntah darah tak bangun lagi.
Saking kaget Hwi-yan-cu Lo Ceng berteriak ketakutan: "Kiau-toako......" Terpaksa Kiau Sing
tinggalkan setan putih dan memburu tiba membantu Lo Ceng menghadapi setan hitam.
Begitu serigala sembilan ekor tinggal pergi, keadaan Kiong Giok-eng dan Kwe Cing-sian
semakin payah, setelah sekian lama bertempur mati-matian, badan sudah basah kuyup oleh
keringat, napas juga sudah megap-megap, tapi sepasang tongkat Ho Han bergerak semakin
lincah, mengurung empat penjuru sampai kesempatan untuk melarikan diri juga tidak ada lagi.
Maka dilain kejap dengan mudah saja batok kepala Kiong Giok-eng kena terketok hancur oleh
tongkat Ho Han. Saking ketakutan Gadis kecut Kwe Cing-sian sampai tekuk lutut minta
diampuni. Dasar kejam dan telengas, mendadak setan putih malah membentak beringas:
"Perempuan jalang, pergilah, kau sangka Ho-toaya ini orang apa?" tongkatnya menjojoh
kedepan menutuk dada Kwe Cing-sian, seketika ia menjerit roboh dan melayanglah jiwanya.
Tidak keruan paran perasaan hati serigala sembilan ekor Kiau Sing, dalam situasi yang
mendesak ini terpaksa dikeluarkan senjata rahasianya terus disambitkan sekuat tenaga. Kala
itu setan putih tengah kegirangan dapat membereskan musuh-musuhnya sehingga kurang
waspada, waktu sadar bahwa dirinya tengah terancam elmaut sudah kasep, telak sekali kedua
senjata rahasia itu mengenai dada dan mukanya, belum sempat mengeluarkan suara jiwanya
sudah melayang. Sudah tentu gusar Ci Kiu bukan kepalang, dengan kalap ia menerjang seperti harimau gila
sambil memutar senjatanya. Belum sempat Kiau Sing memutar tubuh, kepalanya pun hancur
tercerai-berai. Ibarat cengcorang menerkam tonggeret, tidak tahunya burung gereja mengintil
dibelakangnya. Begitulah keadaan Ci Kiu, tidak disadarinya bahwa Lo Ceng juga tengah
memburu tiba dibelakangnya waktu ia berhasil membunuh Kiau Sing, pedang panjang Lo Ceng
juga sudah melobangi punggungnya sampai tembus keluar dada. Seketika tubuh Ci Kiu
mengejang terus pelan-pelan memutar tubuh mendadak ia menggembor keras sambil mendo-
rong kedua tangannya kedepan lancarkan pukulan sisa tenaganya. Keruan tubuh Lo Ceng
melayang-layang sampai jauh dan terbanting keras diatas tanah. Setelah melancarkan pukulan
terakhir ini, ludaslah tenaga Ci Kiu, dengan keras tubuhnya berdentam ditanah, setelah
berkelojotan akhirnya diam untuk selama-lamanya.
Karena tamak harta pihak Kam-liang-pay dan Mo-san-ji-kui sampai gugur bersama dimedan
laga, mayat bergelimpangan dengan bau anyir darah yang memualkan, sekejap saja keadaan
menjadi hening bertambah seram.
Tidak lama kemudian tampak tubuh si walet terbang Lo Ceng bergerak dan merangkak
bangun, agaknya lukanya tidak terlalu berat, hanya dia seorang yang masih ketinggalan hidup,
setelah pertempuran mati-matian tadi. Sambil menahan sakit setindak demi setindak ia
berengsut jatuh bangun mendekati mulut kuburan.
Keadaan Lo Ceng ini seperti orang yang sudah kehilangan pikiran sehat, sejenak ia merandek
terus memutar balik berjalan berkeliling menghampiri semua mayat-mayat itu untuk diperiksa.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Setelah diketahui semua sudah melayang jiwanya, terdengar mulutnya menggumam: "Bagus
sekali, hahaha, semua sudah modar (mati)! Hahaha, biar aku sendiri yang kangkangi kedua
butir mutiara mestika itu, hehehe!" Lalu ia beringsut lagi menghampiri mulut kuburan.
Sebetulnya Thian-ih sudah bersiap dibelakang pintu kuburan. Tidak tahunya baru saja Lo Ceng
tiba diambang pintu, mendadak tubuhnya dihujani berpuluh batang anak panah dari
belakangnya, tidak ampun lagi tubuhnya roboh dengan puluhan panah menancap diatas
badannya, meskipun dalam keadaan meregang jiwa ini dia masih bertahan sekuat tenaga,
susah payah ia merangkak terus kedepan hendak memasuki mulut kuburan.
Dilain saat dibelakangnya bermunculan bayangan orang banyak yang dipimpin oleh
Liong-gwa-hou-tiang Li Ti, anak buahnya menyulut obor berdiri dikedua sampingnya. Terlihat
oleh Thian-ih wajah Li Ti mengulum senyum ejek sambil memandang hina kearah Lo Ceng
yang masih merangkak-rangkak maju selangkah, mendadak tangan Li Ti terayun menggablok
punggung Lo Ceng dengan kerasnya.
Sepasang mata Li Ti memandang jalang kepada semua anak buahnya untuk angkat perbawa,
lalu dipesannya pada anak buahnya: "Siap untuk masuk! Juru panah bersiaga diluar sini,
bunuh saja siapapun yang berani mendekat !"
Belum habis perkataannya mendadak seorang anak buahnya maju melapor: "Dikejauhan sana
tampak bayangan orang tengah mendatangi......"
Li Ti terperanjat, memang benar dilihatnya sebuah bayangan orang tengah meluncur datang
secepat meteor terbang. Dasar nyali Li Ti memang kecil dan berjiwa pengecut, cepat-cepat ia
memberi komando pada anak buahnya: "Berpencar dan sembunyi, dengar perintahku untuk
bertindak!'' Tersipu-sipu semua orang mencari tempat perlindungan.
Ditempat sembunyinya Thian-ih mencibir bibir, bahwa Li Ti telah memboyong semua
kekuatannya kemari tapi toh masih bermain licik dan pengecut serendah itu, sungguh harus
disesalkan dan memalukan.
Dalam sekejap saja bayangan itu telah meluncur tiba, dari perawakan orang, Thian-ih dapat
mengenal jelas, dia bukan lain adalah Nyo Hway-giok adanya, calon suami Li Hong-gi. Thian-ih
menjadi gugup dan kuatir akan keselamatan orang, bagaimana ia harus menolong jiwa orang
dari ancaman hujan anak panah" Terpaksa dari belakang pintu Thian-ih sambitkan sebuah
senjata rahasia keluar, sebuah bianglala bersuit ketengah udara diluar pekuburan itu. Ini
sudah cukup mengejutkan Nyo Hway-giok, segera ia hentikan langkahnya sambil bersiaga.
Dan belum sempat ia membuka suara, anak panah telah menghujani kearah dirinya, karena
sudah bersiaga Nyo Hway-giok obat-abitkan kedua lengan bajunya yang gondrong tanpa
gentar sedikitpun, seketika anak panah itu berjatuhan di sekitar tubuhnya.
Setelah hujan anak panah itu berhenti, lantas berloncatan keluar sekian banyak orang dari
sekitar tempat-tempat yang gelap, mereka mengepung dengan garang sambil menyoreng
senjata. Dengan tajam Nyo Hway-giok tatap orang-orang di sekitarnya lalu tanyanya: "Apa maksud
kalian membunuh orang sedemikian banyak disini?"
Salah seorang diantara pengepungnya tertawa dingin, jengeknya: "Buyung, siapa kau"
Hendak apa kau kemari?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sungguh harus dipuji sikap Nyo Hway-giok sebagai orang terpelajar yang mengenal sopan
santun, sikapnya tetap sabar meskipun diperlakukan kasar, sahutnya: "Aku yang rendah Nyo
Hway-giok, ini kuburan istriku tercinta. Siapakah kalian ini" Harap suka perkenalkan diri !"
Orang itu menyahut: "Aku she Li bernama Ti berjuluk Liong-gwa-hou-tiang, bicara terus terang
tujuan kita adalah kedua mutiara mestika dalam kuburan istrimu itu, serahkan saja kepada kita
supaya tiada pembunuhan berdarah dan segera kita tinggal pergi............"
Nyo Hway-giok tetap tenang dan sabar, dengan kalem dan sopan ia coba memberi penjelasan:
"Li-enghiong, ketahuilah bahwa kedua butir mutiara itu adalah pemberian seorang aneh yang
hebat kepandaiannya kepada Li-tayjin, kasiatnya sangat aneh dapat menghilangkan kotoran
debu dan peranti melindungi jenazah istriku supaya tidak membusuk, demikianlah keadaan
istriku sekarang, begitu besar manfaat kedua butir mutiara itu kalau sekarang kuserahkan
kepada Li-enghiong, dapatkah jenazah istriku terlindung lagi" Hal ini..........membuat aku yang
rendah serba susah dan tidak dapat melulusi..............."
Thian-ih menjadi getol dan kurang sabar mendengar penjelasan Nyo Hway-giok yg berbau
kecut sebagai kaum pelajar itu. Bicara secara sopan dan demi keadilan kepada manusia
pengecut dan licik seperti Liong-gwa-hou-tiang ini akan sia-sia dan hampa. Memang tepat
dugaannya ini, terdengar Liong-gwa-hou-tiang berkata sambil menggeleng kepala:
"Nyo-kongcu, orang hidup adalah untuk mati, setelah mati untuk apa pula dilindungi jenazah
dan wajahnya apa segala " Seumpama aku tidak minta, cepat atau lambat pasti juga dicuri
orang lain. Bukankah kau sudah melihat mayat-mayat bergelimpangan ini" Mereka saling
bunuh karena ingin mengangkangi kedua mutiara itu, mampus sekelompok akan membanjir
kelompok yang lain lagi, sebaiknya tanamlah budi kepada orang lain demi kebaikan sesama
manusia dan demi ketenteraman istrimu tercinta dalam kuburan itu, marilah serahkan
kepadaku saja........."
"Gading gajah membakar tubuh, mutiara menimbulkan bahaya......" demikian Nyo Hway-giok
menggumam seorang diri, lalu serunya: "Memang ucapanmu tepat sekali. Betapapun sebelum
aku sendiri mati, tidak rela kulihat wajah istriku yang molek itu berubah sedikitpun.
Li-enghiong, lebih baik kuganti dengan emas perak atau harta benda berharga lainnya kepada
kalian bagaimana, jangan kedua mutiara itu yang kalian incar."
Tingkah dan ucapan Nyo Hway-giok yang lemah lembut ini membuat Li Ti sebal dan tidak sabar
lagi serta memandang rendah. Tiba-tiba semprotnya marah dengan melotot: "Kutu busuk!
Siapa sabar tawar menawar dengan kau, bagaimana juga mutiara itu harus kita dapatkan, kau
minggir !" lalu dengan langkah lebar ia memburu ke mulut kuburan.
Nyo Hway-giok menjadi gugup, tersipu-sipu ia memburu menghadang sambil melintangkan
kedua tangannya di depan pintu kuburan, ujarnya: "Li-enghiong, berapa banyak yang kau
minta akan kuserahkan kepadamu, tapi jangan........."
Mendadak Li Ti angkat tangan terus memukul ke dada orang, terpaksa Nyo Hway-giok harus
membela diri, tangan kirinya terlihat bergerak menyambut pukulan musuh, seketika terasa
sejalur tenaga besar menerjang ke arah Li Ti dengan dahsyatnya, kontan tubuhnya yang tinggi
besar itu terpental terbang ke belakang.
Tidak kepalang heran dan kejut Nyo Hway-giok sampai melongo sekian lama, bahwa
kepandaian orang ternyata sedemikian tidak becus, maka cepat-cepat ia susuli lagi dengan
tangan kanan didorong kedepan terus ditarik balik lagi hingga angin pukulannya tersedot
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kembali, tanpa kuasa tubuh Liong-gwa-hou-tiang terbawa jumpalitan dan jatuh duduk di tanah
tanpa kurang suatu apa. Seharusnya Liong-gwa-hou-tiang sudah harus tahu diri dan insaf betapa lihay kepandaian
Kongcu terpelajar ini. Dasar pengecut, licik dan berwatak biadab dan kejam serta culas,
dianggapnya sifat Nyo Hway-giok yang lemah lembut itu gampang dilayani, maka segera ia
siapkan anak buahnya dengan aba-aba: "Semua siap dan serbu, bunuh pelajar tengik ini !"
Serempak anak buahnya menerjang serabutan dari kanan kiri dan depan, seketika Nyo
Hway-giok dihujani serangan membadai yang merepotkan, sesaat ia terkepung di tengah
susah untuk meloloskan diri. Dasar besar nyalinya, ia berlaku tetap tenang dan sabar, kedua
lengan bajunya beterbangan sangat indahnya seperti orang tengah menari-nari menangkis
dan menyambuti setiap serangan pengeroyoknya, sedemikian lincah ia bergerak seumpama
kupu-kupu terbang diantara rumpun bunga, setiap kali lengan bajunya mengebut pasti salah
seorang pengeroyok diberi tanda mata. Dia tidak mau membunuh, hanya memberi peringatan
saja supaya mereka tahu diri dan mundur teratur.
Ibarat naik harimau tak bisa turun, begitulah keadaan Li Ti serta anak buahnya, sedemikian
jauh sudah kepalang tanggung bertindak meskipun lawannya tangguh dan susah dirobohkan,
namun bukannya mundur mereka malah semakin gencar menyerang mati-matian. Betapapun
kebutan lengan baju Nyo Hway-giok lihay luar biasa, kesiur anginnya saja tak gampang
ditembus seumpama sebuah tembok yang kokoh kuat, setindakpun mereka tak kuasa maju.
Saking kewalahan akhirnya timbullah niat jahat dan akal licik Li Ti. Secara diam-diam ia
mundur keluar gelanggang pertempuran terus mencomot segenggam senjata rahasia. Begitu
menjejakkan kaki disaat tubuhnya terapung ditengah udara belum tangannya sempat
menyambitkan senjata rahasianya, tiba-tiba punggung sendiri terasa disentuh sebuah benda
yang tepat mengenai jalan darah yang melemaskan, kontan rasa nyeri dan kesakitan meresap
ketulang sungsum menyergap tubuhnya. Dengan sendirinya tenaga yang terkerahkan agak
lumpuh, maka senjata yang tergenggam itu menjadi kendor sambitannya dan bukan mengenai
Nyo Hway giok malah melukai para anak buahnya sendiri yang sedang giat mengeroyok
musuhnya. Maka terdengar keluh kesakitan saling susul berbareng anak buahnya banyak yang
bergulingan ditanah sambil berteriak-teriak.
Nyo Hway-giok menjadi kaget dan melengak sekejap saja para musuh yang mengeroyok itu
malah berlarian pontang-panting seperti dikejar setan. Dilihatnya pula Li Ti sudah terkapar
tanpa bernyawa lagi. Keruan semakin heran dan bertanya-tanya, pasti orang yang memberi
pertanda adanya bahaya waktu dirinya datang tadi itulah yang telah memberikan pertolongan
lagi sekarang ini. Lekas-lekas ia membungkuk keempat penjuru berseru lantang: "Orang
gagah siapakah yang telah sudi menolong jiwa Cayhe" Silakan keluar akan kusampaikan rasa
terima kasih yang berlimpah kepada tuan!" berulang kali sudah Nyo Hway-giok berkaok-kaok
tanpa mendapat reaksi yang diharapkan, akhirnya ia menggumam seorang diri: "Hanya dua
butir mutiara saja sampai mengorbankan sedemikian banyak jiwa manusia. Dosa, berdosa, ai
memang salahku, aku terlalu mementingkan kepentinganku saja demi menyelamatkan tubuh
adik Hong-gi.....ai, kalian harus bersabar, tunggulah setelah aku mati, saat mana terserah
kalian hendak mengambil mutiara itu. Setelah aku meram bersama satu liang dengan adik
Hong-gi... Kita tidak akan sayangi kedua benda mestika itu"."
Cuaca semakin gelap, tengah malam telah menjelang, dengan tenang Nyo Hway-giok
menyapu pandang ke sekelilingnya lalu dengan langkah lebar memasuki kuburan.
Cepat-cepat Thian-ih sembunyi dibelakang gordiyn tempatnya semula, Nyo Hway-giok
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
melangkah dengan tenangnya, setelah melihat tiada perobahan dalam kuburan itu legalah
hatinya. Tiba didepan peti mati ia membungkuk memberi hormat serta katanya: "Adik Hong-gi,
lihatlah aku datang mengunjungimu, kuharap arwahmu mendapat tempat yang tenang dialam
baka. Memang kedatanganku ini sangat lancang dan mungkin kau tertawakan tindakanku
yang bodoh ini. Adik Hong-gi selama ini kita belum pernah bertemu muka, namun sejak lama
kudengar betapa harum nama dan agungnya istriku itu bukan saja cantik rupawan luhur budi
serta cerdik cendekia pula. Sekarang kita telah bertemu aku sangat senang dan lega. Selama
ini aku terlalu rajin belajar dan memperdalam ilmu silat, bukan karena tidak ingin menemuimu
sebenarnya aku takut sekali kita bersua akan membuatku terkenang selalu dan rindu
sepanjang masa sehingga mungkin mengganggu pelajaranku itu. Lagi pula musim semi yang
akan datang kita sudah akan melangsungkan pernikahan. Saat mana kita akan selalu
bersanding dan takkan berpisah untuk selamanya, betapa gembira dan bahagia hidup
kita.....Siapa tahu kabar jelekmu membuat aku hampir-hampir pingsan dan lenyaplah seluruh
harapan yang telah kucita-citakan itu. Meskipun secepatnya aku menyusul tiba mana kala kau
sudah tak dapat bicara lagi denganku, sepasang matamu bak bintang kejora sudah
terpejamkan untuk selama-lamanya. Kau takkan dapat melihat lagi, kini aku telah datang, kita
takkan berpisah lagi, biar kututup pintu itu dari dalam kita bisa berdampingan untuk sepanjang
masa." Sinar pelita dalam kuburan semakin redup dan guram, tubuh Nyo Hway-giok semampai diatas
peti mati sambil sesenggukan dengan suara serak, menggumam lalu menangis dan menangis
serta menggumam lagi, saking terharu tanpa merasa Thian-ih juga ikut berduka dan
mengalirkan airmata. Dari ucapannya terang bahwa Nyo Hway-giok hendak bunuh diri untuk
menyusul istrinya dialam baka, ,besar niatnya untuk mencegah perbuatan bodoh yang nekad
ini, namun keadaan dirinya saat itu tidak mengijinkan dia berbuat begitu, siapa tahu kalau
perbuatan baiknya ini malah akan menimbulkan salah paham dan curiga orang, akhirnya
terpikirkan untuk tinggal pergi secara diam-diam, dipikir memang gampang namun prakteknya
sangat sulit. Meskipun Nyo Hway-giok tengah menangis dengan sedihnya, betapapun
Lwekangnya sudah mencapai taraf yang tertinggi, sedikit bertindak salah bukan mustahil akan
menimbulkan kerepotan yang susah dilerai. Maka terpaksa Thian-ih berlaku sabar dan menanti
perkembangan selanjutnya.
Nyo Hway-giok menghentikan tangisnya, matanya mendelong terlongong memandangi wajah
Li Hong-gi lalu gumamnya lagi: "Adik Hong-gi, ketahuilah kedua mutiara disisi tubuhmu itu
adalah Hwe-ki-cu dan Pek-seng-cu. Pasti Gak-hu tidak tahu akan hal ini, bahwa kedua butir
mutiara mestika itu adalah sebagian benda-benda berharga dari gudang istana raja yang telah
hilang dicuri simaling terbang yang menggemparkan itu. Siapakah orang aneh yang
menyerahkan kedua mutiara ini" Darimana pula ia peroleh kedua mutiara ini untuk melindungi
tubuhmu sehingga tidak membusuk " Aku harus berterima kasih kepada orang itu, namun
nama dan jejaknya tidak menentu kemana pula aku harus mencarinya " Adik Hong-gi kalau
kalangan pemerintahan mengetahui perihal kedua butir mutiara mestika ini, pasti celakalah, ai
dosa tak terampun mungkin membawa kemusnahan bagi kedua keluarga kita."
Thian-ih terperanjat. Tak tersangka olehnya bahwa dua butir mutiara itu ternyata adalah
sebagian harta benda berharga yang tercuri dari gudang istana raja itu, entah adakah
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hubungan dan sangkut pautnya dengan sibaju perak, kalau benar perbuatan sibaju perak
kejadian ini semakin aneh lagi. Dengan sengaja dia sudah meracuni Li Hong-gi hingga mati,
lalu mengapa pula ia berikan kedua butir mutiara mestika ini untuk melindungi raganya supaya
tidak membusuk" Terdengar Nyo Hway-giok tengah berkata lagi: "Adik Hong-gi, sayang kau tak dapat bicara
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
lagi, tahukah kau apa yang hendak kutanyakan kepadamu" Ingin aku tahu apakah kau suka
kalau aku memangku jabatan dalam pemerintahan" Apa kau dapat menyelami isi hatiku" Keta-
huilah meskipun aku keturunan seorang berpangkat, tapi aku benci segala jabatan, aku lebih
senang bebas dan kelana tanpa rintangan dan belenggu yang mengekang. Kita dapat hidup
mengembara kemana kita suka, pesiar, bermain musik atau belajar membaca dan silat,
bayangkan betapa senang dan bahagia hidup semacam itu, rasanya lebih menggembirakan
dari pada hidup dilingkungan pemerintahan yang terlalu membosankan dengan ikatan dinas
apa segala..........."
Tidak terkirakan oleh Thian-ih bahwa ternyata keturunan seorang berpangkat macam dia
mempunyai pambek sedemikian besar dan luhur, sedemikian besar tekad dan cita-citanya
sampai rela meninggalkan jabatan pemerintahan yg tinggi mandah kelana di Kangouw yang
penuh liku-liku hidup yang membahayakan. Timbul rasa kagum dan simpatik dalam benak
Thian-ih, ingin benar rasanya bersahabat dengan seorang kawan yang berpandangan jauh
selaras dengan tujuan hidup sendiri.
Mendadak suara Nyo Hway-giok berubah ketus penuh penyesalan: "Tapi.........sekarang........
semua menjadi kenangan hampa belaka, betapapun indah impian muluk-muluk itu, kau sudah
pergi mendahului aku.........aku.........hidup.......bagaimana aku dapat hidup melewatkan
hari-hari yang mengenaskan ini.............."
Kata Nyo Hway-giok lagi sambil sesenggukkan: "Adik Hong-gi, semasa hidup kita tidak bisa
berdampingan, biarlah kita mati dalam satu liang kubur, peduli dengan segala peristiwa dan
urusan dalam dunia ini sudah tiada sangkut-pautnya lagi dengan aku..............."
Lalu dari dalam sakunya dikeluarkan sebuah anak kunci terus dimasukkan dan diputar dilobang
kunci, di lain saat dengan mudah sekali tutup batu kaca itu sudah terbuka. Seketika
berhamburanlah bau harum semerbak memenuhi seluruh ruang pekuburan itu. Nyo
Hway-giok bersiap hendak memasuki peti batu kaca itu, serta melihat tegas wajah Li Hong-gi
seketika ia mengunjuk rasa kaget dan heran, saking terpesona dan gembira tanpa merasa ia
membungkuk tubuh mencium bibir Li Hong-gi, tiba-tiba ia tersentak dan berjingkat mundur,
Thian-ih mendengar dia tengah menggumam: "Heran, apa yang telah terjadi" Mengapa
bibirnya masih terasa hangat, mulutnya berbau arak keras sekali?"
Nyo Hway-giok tenggelam dalam pikirannya, penemuan yang tak terduga ini menyebabkan
Thio Thian-ih juga ikut terheran-heran, kalau betul-betul terjadi masakah tidak janggal" Mana
mungkin orang yang sudah meninggal selama seratus hari bibirnya masih terasa hangat,
bukan mustahil karena keampuhan dari kasiat kedua butir mutiara itu. Atau kesalahan dari
perasaan Nyo Hway-giok sendiri"
Dilihatnya Nyo Hway-giok tengah membungkuk memeriksa dengan teliti, tak lama kemudian
dia angkat kepala sambil bertepuk tangan, wajahnya penuh mengunjuk rasa kegirangan yang
berlimpah, terdengar ia menggumam lagi: "Mungkinkah adik Hong-gi minum arak 'Pek-jit-kui'
(seratus hari pulang) " Unsu (guru berbudi) pernah berkata bahwa seseorang yang minum
Pek-jit-kui meskipun tubuhnya kaku, tapi kalau ditutuk Jin-tiong-hiatnya, pasti kelopak
matanya bergerak-gerak, dari sini dapatlah kubuktikan apakah adik Hong-gi benar-benar
sudah meninggal atau masih hidup........."
Jantung Thian-ih ikut berdebur dengan kerasnya, dengan tegang ia ikuti perkembangan
selanjutnya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sementara itu Nyo Hway-giok sudah ulur jarinya hendak menutuk tapi mendadak ditarik
kembali, katanya: "Aku menjadi ragu-ragu apakah adik Hong-gi kuat menahan tutukanku ini."
sejenak ia termenung lalu katanya lagi: "Betapapun harus kucoba untuk membuktikan adik
Hong-gi betul-betul belum meninggal, dik, maafkan tindakan engkohmu yang lancang ini !"
secepat kilat jarinya bergerak sekali, lalu dengan cermat ia mengawasi kelopak biji mata Li
Hong-gi. Jarak Thian-ih agak jauh jadi tak dapat melihat tegas, hatinya ikut gugup dan tidak tentram.
Akhirnya dilihatnya Nyo Hway-giok menegakkan tubuh sambil berseri gembira, saking riang
dia sampai mencak-mencak dan menari-nari seperti putus lotre tiga juta. Terdengar mulutnya
mengoceh: "Bagus sungguh menggembirakan, adik Hong-gi ternyata kau belum meninggal,
kau hanya minum arak Pek-jit-kui ! Rasa girang engkohmu ini, oh, dik, kalau kukatakan pasti
kau tidak percaya, hampir aku kelenger saking senang," memang gerak-geriknya
sempoyongan hampir roboh.
Nyo Hway-giok membungkuk lagi memeriksa dengan cermat seperti dokter yang tengah
memeriksa pasiennya, mengendus sini mendengarkan sana lalu didengarkan pula denyut
jantung Li Hong-gi sekian lama terus tekan sini dan pegang sana baru akhirnya ia berkata:
"Adik Hong-gi, sekarang dapat kupastikan bahwa kau hanya minum arak Pek-jit-kui itu. Unsu
pernah bercerita kepadaku bahwa ditapal batas Hun-kui diatas pegunungan yang tinggi
terdapat sebatang pohon aneh yang dinamakan Cap-li-biau-hiang (bau wanginya semerbak
sampau sepuluh li), kuntum bunga ini berbentuk kecil tidak menyolok, setiap tahun hanya
berkembang sekali pada tiap musim semi, meskipun berada jauh sepuluh li misalnya bila
mengendus bau wangi ini seketika orang akan roboh ditengah jalan. Maka mereka yang sudah
kenal akan bau wangi ini cepat-cepat menutup hidung dan mulut.
Kuntum bunga Cap-li-biau-hiang kalau direndam dalam air salju dapat menjadi semacam arak
yang harum dan sangat keras, seteguk saja dapat membuat orang jatuh mabuk sampai berapa
lama baru bisa siuman. Dulu seorang sahabat Unsu pernah membuat percobaan dengan
kuntum bunga arak itu, akhirnya memang terbukti seratus hari kemudian baru orang yang
jatuh mabuk itu siuman. Oleh karena itu, maka dinamakan Pek-jit-kui (seratus hari kembali).
Meskipun arak semacam itu tidak dapat membunuh atau mencelakai orang, tapi kasiatnya
memang sangat mengejutkan, jarang orang suka menggunakan, betapa tidak karena sekali
jatuh mabuk seratus hari kemudian baru bisa siuman, bukan mustahil bagi orang yang sekali
jatuh mabuk seratus hari tanpa bergerak tanpa makan minum seumpama orang mati
badannya takkan membusuk. Alkisah pernah terjadi seorang penjahat tunggal yang gemar
minum arak secara suka rela menyediakan diri sebagai percobaan, akhirnya baru satu minggu
saja sejak ia jatuh mabuk badannya mulai membusuk dan akhirnya meninggal dunia dalam
waktu setengah bulan saja. Lain halnya dengan sahabat Unsu itu, waktu mengadakan
percobaan ia pernahkan dirinya didalam sebuah gua diatas puncak gunung es, untung
lwekangnya sudah sempurna selama itu ia kuat bertahan, namun demikian tak urung setelah
siuman dari mabuknya tubuhnya cacat terserang hawa dingin. Sejak itu mulailah nama
Pek-jit-kuy itu tersebar luas dan belum pernah kejadian ada orang berani minum arak obat
yang lihay itu. Siapa nyana kiranya adik Hong-gi juga telah minum arak obat pembius itu,
malam ini pula genaplah seratus hari, sebentar lagi pasti adik Hong-gi bakal siuman, betapa
hatiku takkan girang......"
Saking senang tanpa disadari ia berjingkrak berjumpalitan serta menari-nari seperti bocah
kecil. Diam-diam Thian-ih juga merasa senang dan mengucapkan syukur dalam hati.
Mendadak Nyo Hway-giok berhenti dan berdiri tegak seakan ingat sesuatu, gumamnya: "Wah,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
hampir aku kelupaan, menurut keterangan Suhu bahwa setelah siuman dari mabuknya dia
harus dijaga oleh seorang yang berlainan kelamin untuk membantunya memperlancar jalan
darah dengan cara menutuk dan menembuskan semua jalan darah besar-kecil lalu
mengurutnya pula, setelah itu baru menyalurkan tenaga murni sendiri kedalam tubuh
sipemabuk, meskipun cara ini kurang sopan, tapi hanya cara inilah yang dapat menolong.
Apalagi juga harus bertindak secara cepat, terlambat sedetik saja sipenderita pasti celaka,
badan menjadi kejang dan jiwa bisa melayang seketika."
Mendengar semua uraian itu Thian-ih menjadi serba salah gugup dan malu lagi, cara
pengobatan semacam itu harus dilakukan oleh suami-istri yang harus bersentuhan tubuh
sedemikian rupa, sebagai orang luar mana bisa dirinya menyaksikan adegan yang tak boleh
dilihat orang luar itu. Saking bingung Thian-ih menjadi gopoh selekasnya ia harus berusaha
menyelundup keluar kuburan.
Sampai sedemikian lama Li Hong-gi masih berbaring dengan tenangnya. Nyo Hway-giok
menanti dengan sabar dan tekun. Sekonyong-konyong terdengar bentakan dan caci maki
diluar kuburan sana, keruan Nyo Hway-giok kaget dan gugup, katanya: "Adik Hong-gi segera
bakal sadar, bila ada orang masuk mengganggu disaat aku mengobati pasti bisa celakalah kita
berdua. Terpaksa harus kugebah pergi dulu orang-orang itu."
Mulut berkata segera iapun bertindak, cepat-cepat ia tutup peti batu kaca lalu dikunci pula,
ujarnya: "Adik Hong-gi, segera aku kembali, kali ini aku tidak akan main sungkan dan ampun
lagi kepada para penjahat itu." sambil angkat alis bergegas ia lari keluar.
Lekas-lekas Thian-ih keluar dari tempat sembunyinya dan memburu kearah pintu, kalau tadi
terdengar suara pertempuran yang seru dan sengit sampai angin pukulan menderu-deru dan
senjata berdenting saling beradu. Maka Thian-ih berpikir: biar aku saja yang menghajar adat
para penjahat itu supaya Nyo Hway-giok ada kesempatan memberi pertolongan kepada
istrinya. Karena pikirannya ini pelan-pelan ia menggeremet keluar kuburan, namun suasana
diluar kuburan dalam sekejap itu telah menjadi sunyi tanpa kelihatan bayangan seorang jua,
sampai Nyo Hway-giok sendiri juga telah menghilang entah kemana "
Tatkala itu sang surya mulai muncul di ufuk timur memancarkan sinar kuningnya yang terang
benderang, angin pagi sepoi-sepoi dingin menggugah lamunan Thian-ih. Thian-ih menjadi
serba sulit dan bimbang, akan ditinggal pergi atau menunggu kedatangan Nyo Hway-giok"
Sekian lama ia susah ambil kepastian, tapi Li Hong-gi masih berada didalam peti betapapun
harus menolongnya dari mara bahaya. Tunggu punya tunggu Nyo Hway-giok masih belum
tampak mata hidungnya, terpaksa ia masuk kembali kedalam kuburan, seketika ia kaget dan
memburu maju. Ternyata Li Hong-gi benar-benar sudah siuman dan hendak duduk didalam
peti batu kaca itu, namun karena tutup itu terlalu rendah jadi tubuhnya tak dapat duduk tegak
dan kedua tangannya meronta-ronta berusaha menyurung tutup peti. Keruan Thian-ih ikut
menjadi gugup dan kerepotan berusaha membuka tutup peti itu, namun tutup itu sedikitpun
tidak bergeming karena sudah terkunci, dilihatnya pula Li Hong-gi masih meronta dan
mencakar serta mencekik leher sendiri, naga-naganya dia sudah kehabisan napas.
Mendadak teringat oleh Thian-ih akan kunci kecil yang ditemukannya di daerah barat tempo
hari waktu mengejar jejak Ciu Hou itu, maka cepat-cepat dirogohnya keluar dan dicobakan ke
dalam lobang kunci, eh, ternyata persis dan cocok benar lalu diputarnya dua kali, benar juga
tutup peti itu seketika terbuka sendiri. Tampak kedua mata Li Hong-gi berkedip-kedip sambil
menyedot hawa panjang, tiba-tiba ia mengeluh lirih, terus roboh terlentang dan pingsan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Cepat Thian-ih berlari keluar kuburan terus menggembor dan berkaok-kaok sekerasnya
memanggil nama Nyo Hway-giok, namun sampai mulutnya kering masih belum tampak
bayangan orang muncul. Dari gugup Thian-ih menjadi gegetun dan mangkel, bukankah Nyo
Hway-giok sendiri tadi pernah berkata bila si pemabuk tidak segera diberi pertolongan dalam
jangka waktu sepeminuman teh maka dia akan segera mati kejang" Tapi sekian lama ini yang
ditunggu dan diharapkan masih belum datang, sebagai seorang kesatria dapatkah dirinya
berpeluk tangan melihat kematian orang di depan matanya tanpa memberi pertolongan
sepenuhnya " Tapi betapapun cara pertolongan semacam itu sangat menyulitkan karena
mereka harus bersentuhan tubuh sebagaimana lazimnya sebagai suami isteri, lalu bagaimana
mungkin dirinya harus menggantikan orang yang berhak melakukan tugas itu" Karena kuatir
cepat-cepat ia berlari masuk lagi, dilihatnya keadaan Li Hong-gi sangat payah, keningnya
berkerut dalam sambil menggigit bibir kencang-kencang, agaknya sangat menderita dan
menahan sakit, napas juga mulai memburu, tiba-tiba matanya terpentang dengan pandangan
yang harus dikasihani, tapi mulutnya tak kuasa dipentang, hanya kedua tangannya
mencengkram kencang baju di depan dadanya.
Pikiran Thian-ih tengah bertempur dengan batinnya, sang waktu tidak menanti orang, sampai
sedemikian jauh masih belum kelihatan Nyo Hway-giok muncul. Kini hanya dua jalan untuk dia
bertindak: pertama secara kejam dan "tega hati tinggal pergi' begitu saja tanpa hiraukan mati
hidup orang, kedua tanpa hiraukan adat istiadat atau sopan santun lazimnya segera memberi
pertolongan, kalau ini benar-benar dilakukan itu berarti untuk selanjutnya Li Hong-gi sudah
menjadi calon istrinya, karena tak mungkin lagi ia menikah dengan orang lain, tapi apakah dia
rela " Apakah Nyo Hway-giok dapat dan mau memahami segala ini "
Kaki tangan Li Hong-gi sudah mengejang, namun matanya masih menatap kearah Thian-ih
dengan pandangan gusar dan kecewa, seakan sesalkan sikapnya yang ragu-ragu dan tak
berani berlaku tegas. Seketika tergetar sanubari Thian-ih, waktu sudah berlarut dirinya tak
boleh berayal lagi untuk segera turun tangan, kalau tidak pasti yang menjadi korban akan
memaki dan mengutuk dirinya yang hidup juga pasti menista dan mencercah kebodohannya,
sampai saat itu bagaimana hidup dirinya selanjutnya, seumpama menyesal juga sudah kasep.
Maka tanpa ayal lagi cepat-cepat ia berlari menutup pintu kuburan memantek dan
mengganjelnya dengan batu besar. Waktu dirinya memburu balik lagi seluruh tubuh Li Hong-gi
mulai gemetar dan dingin sekali, wajahnya juga sudah berubah pucat sampai hidung juga
mengalirkan darah segar. Cepat-cepat Thian-ih mengerahkan tenaga dan mengkonsentrasikan pikiran serta menghimpun semangat terus menyalurkan tenaga
murninya melalui telapak tangan, tangan yang lain berbareng bekerja menutuk berbagai jalan
darah penting yang menembus ke jantung dan otak serta menormalkan jalan darahnya.
Sepeminuman teh kemudian usahanya ini ternyata berhasil juga, tampak tubuh Li Hong-gi
yang kejang dan gemetar itu sudah mulai berangsur baik, semakin besarlah tekad Thian-ih
untuk menolong secara terbuka dan tidak kepalang tanggung menurut petunjuk yang pernah
didengar dari ucapan Nyo Hway-giok itu.
Begitulah setelah jalan darah normal kembali rasa kejang juga telah hilang, perlahan-lahan Li
Hong-gi mulai siuman, kedua matanya sedikit terbuka memandangi wajah Thian-ih meski
malu-malu tapi sorot matanya tidak menunjukkan kekesalan hatinya, agaknya dia tidak
sesalkan tindakan Thian-ih yang keterlaluan ini serta pasrah nasib saja. Maklum badannya
terasa sangat lemah dan terkulai melintang diatas tubuh Thian-ih, boleh dikata seluruh
badannya rebah dalam pelukan Thian-ih yang kencang.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Lama kelamaan tenaga Li Hong-gi sudah mulai pulih sebagian, tubuhnya sudah dapat bergerak
sedikit miring, tanpa malu-malu lagi ia pandang wajah Thian-ih dengan senyum simpul yang
manis sekali, senyuman yang berarti bahwa Thian-ih sudah dianggapnya sebagai suami sendiri
yang tengah berusaha memberi pertolongan kepada istrinya.
Entah sudah berselang berapa lama kemudian, tubuh Thian-ih sendiri juga sudah basah kuyup
oleh keringat, waktu ia menghentikan saluran tenaganya sendiri dan pentang mata seketika
jantungnya berdebar keras, maklum menghadapi si jelita yang rupawan malah bersentuh
tubuh lagi tanpa mengenakan pakaian yang layak, tergugahlah hatinya dari keinginan
terhadap perangsang yang membangkitkan daya kelakiannya, jantungnya seperti bertambah
mendegup dan darahnya menggelora. Untung sebelum ia kehilangan kesadarannya,
didengarnya suara yang mencurigakan dari arah pintu sana. Thian-ih terkejut dan pikirannya
menjadi terang serta tergugahlah pikiran kotornya, keringat dingin mengalir diatas jidatnya.
Cepat-cepat ia bimbing tubuh Li Hong-gi lantas turun dari peti batu berkaca itu, tubuh Li
Hong-gi masih sangat lemah belum kuat berdiri, terpaksa menggelendot di tubuh Thian-ih, dua
pasang mata saling berpandangan, sesaat mereka kemekmek entah apa yang harus
dikatakan. Akhirnya Thian-ih membuka suara: "Nona Li, kuharap kau tidak salah paham, aku terpaksa
bertindak sekasar ini untuk menolong jiwamu.........."
Dengan sepasang matanya yang bening lembut Li Hong-gi memandangi wajahnya serta
sahutnya merdu: "Mana bisa aku salahkan kau, kau sudah menolong jiwaku, berterima kasih
saja sudah terlambat !" sedemikian merdu suaranya bagai kicau burung kenari, seketika
hilanglah rasa kuatir rikuh serta risi Thian-ih, dilihatnya Li Hong-gi tengah mengulum senyum
yang menggiurkan, sinar matanya membuat Thian-ih merasa lega dan badan terasa hangat .
Tanya Thian-ih penuh kasih sayang: "Nona Li, bagaimana perasaanmu?"
"Seperti sedang mimpi saja," sahut Li Hong-gi lembut, "aku masih ingat kemaren malam aku
berada dirumah sedang bermain catur dengan cici So, pada tengah malam Li-toaya datang
memberikan secangkir arak kepadaku, arak itu sangat wangi dan hangat sampai aku merasa
gerah dan mungkin terus jatuh mabuk tak ingat apa-apa lagi. Saat apakah sekarang"
Bagaimana aku bisa sampai disini" Tempat apakah ini?"
Li Hong-gi melayangkan pandangannya ke seluruh pelosok ruang besar ini, melihat peti mati
yang besar dan mewah itu, hatinya merasa ciut dan takut, tanpa merasa ia cekal kencang
lengan Thian-ih, tanpa ragu-ragu lagi Thian-ihpun membimbingnya.
Hari sudah mulai terang tanah sebentar lagi pasti ada orang datang, untuk menghindarkan
prasangka yang kurang baik, mereka harus segera meninggalkan kuburan ini. Maka segera
katanya: "Nona Li, segala hal ihwal kejadian ini tidak mudah dituturkan dalam waktu singkat,
yang terpenting kita harus cepat-cepat tinggalkan tempat ini dulu."
Sebelum tinggal pergi tak lupa oleh Thian-ih diambilnya kedua butir mutiara mestika yang
menimbulkan bencana bagi sesama kaum persilatan itu. Sambil menyerahkan kepada Li
Hong-gi, Thian-ih berkata: "Apakah kau sudah merasa baik" Dapatkah berjalan sendiri?"
"Sudah agak mendingan tapi kepalaku masih terasa pening." baru berapa langkah tiba-tiba ia
mengeluh kesakitan karena kakinya menginjak batu kerikil tubuhpun sampai sempoyongan
hampir roboh. Lekas-lekas Thian-ih pegangi tubuhnya. Dengan jengkel Li Hong-gi pegangi
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
telapak kakinya sambil mengomel: "Tanpa mengenakan sepatu mana aku bisa berjalan."
Apa boleh buat terpaksa Thian-ih harus menggendongnya untuk meninggalkan tempat itu.
Waktu sampai di ambang pintu dilihatnya pintu batu itu sudah sedikit terbuka dan kedua batu
besar yang dibuat mengganjel juga sudah tergeser ke samping, terang kalau tadi sudah ada
orang yang datang, dari suara lirih yang didengarnya tadi Thian-ih berkesimpulan kalau ringan
tubuh orang itu pasti sangat tinggi, diam-diam ia sudah dapat menduga siapakah kiranya
orang itu, semakin bertambahlah duka dan gelisah hatinya. Saat mana tiada banyak tempo
buat berpikir, cuaca sudah terang benderang untung belum ada orang datang, tersipu-sipu
Thian-ih tinggal pergi sambil menggendong Li Hong-gi.
Maksud Thian-ih semula hendak mengantar Li Hong-gi pulang ke tempat ayahnya. Tapi Li
Hong-gi berkeras dan membandel tak mau pulang minta dibawa ke tempat lain untuk istirahat
sambil mendengarkan cerita Thian-ih tentang pengalamannya selama ini.
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sepanjang jalan Thian-ih bercerita blak-blakan dengan ringkas jelas, lalu sambungnya: "Untuk
menolong jiwamu terpaksa aku tidak hiraukan segala adat sopan santun lagi."
Wajah Li Hong-gi berseri merah, sahutnya: "Thio-toako, bukan saja tidak salahkan kau malah
aku harus berterima kasih kepadamu."
Panggilan yang halus dan mesra ini membuat hati Thian-ih syur dan lega luar biasa,
diangkatnya kepalanya serta bertanya keheranan: "He, kau masih ingat namaku?"
Senyum Li Hong-gi menjadi-jadi bagai kuntum bunga mekar, sahutnya dengan suara halus:
"Mengapa tidak ingat, kau adalah Thio-jichengcu, So cici pernah bercerita tentang dirimu,
katanya kau pandai silat dan pintar sastra, aku.......aku tidak punya saudara ............bolehkah
aku panggil kau engkoh saja?"
Menghadapi sifat polos dan lincah ini terketuk perasaan Thian-ih, sahutnya: "Bagus, boleh
saja, tapi...... tapi.........aku..................nona Li!"
Li Hong-gi merengut, katanya aleman: "Jangan lagi kau panggil aku Nona Li apa segala,
sedemikian baik kau terhadapku, kuingin kau menjadi engkohku !"
"Baik, baiklah ! Tapi engkohmu ini kurang cocok dibanding kau.................."
"Cocok saja.................." tukas Li Hong-gi sambil menatap tajam dengan kedua biji matanya
yang bening dan cemerlang bagai bintang kejora. "Kau sangat cocok menjadi engkohku."
demikian sambungnya. Thian-ih berpikir, cerdik dan pandai juga cara Hong-gi berpikir, tentu dia sudah pikirkan masa
depannya. Seumpama kejadian hari ini, bilamana kelak mereka tidak bisa sehidup semati, itu
berarti mereka hanya sebagai kakak dan adik belaka jadi hubungan mereka masih erat dan
dekat. Karena pikirannya ini lapanglah dada Thian-ih. Namun demikian terasa juga seakan
dirinya telah kehilangan sesuatu apa yang membuat hatinya terasa kosong dan hampa.
Tengah ia terpekur dalam lamunannya tiba-tiba Li Hong-gi membuka kata: "Koko, perutku
lapar mari kita pergi cari makanan!"
Thian-ih bertanya bagaimana kalau mengantarnya pulang"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Tak terduga Li Hong-gi balik bertanya apakah kalau dia pulang Thian-ih mau ikut serta dan
selalu mendampinginya " Keruan Thian-ih menjadi serba salah dengan tegas ia tekankan
bahwa ia harus mengembara untuk mencari jejak musuh besar pembunuh engkohnya, jadi tak
mungkin berdiam menetap dirumah Li Hong-gi. Li Hong-gi memperingatkan, kalau dirinya
kehilangan perlindungan yang diandalkan bagaimana kalau dirinya diculik dan diracun orang
lagi" Thian-ih menjadi serba sulit, jejak sibaju perak memang sangat misterius, betapapun Li
Hong-gi sangat membutuhkan tenaganya, didesak sedemikian rupa Thian-ih menjadi rikuh
dan tak enak hati serta menyatakan kekuatirannya.
Debat punya debat mereka masih belum dapat mengambil putusan konkrit, akhirnya Thian-ih
membawanya ke sebuah penginapan, dimana Li Hong-gi minta supaya dibelikan seperangkat
pakaian laki-laki untuk menyamar supaya tidak menimbulkan kecurigaan dan perhatian orang.
Bahwa kuburan Li Hong-gi telah bobol jenazahnya juga hilang, malah di luar dan didalam
kuburannya bergelimpangan mayat-mayat manusia yang mengerikan keadaannya, peristiwa
besar yang menggemparkan seluruh huni kota Ki-lam ini seketika membuat Li-tihu marah
mencak-mencak dan sedih pula, segera ia perintahkan menutup seluruh pintu kota dan
mengadakan penjagaan serta penggeledahan serempak yang keras dan ketat.
Li Hong-gi sudah bertekad bulat mengikuti Thian-ih kemana dia pergi seumpama istri
mengikuti suami layaknya, sudah tentu tidak ingin bertemu lagi dengan ayah-bundanya,
bergegas mereka berkemas sekadarnya terus berangkat. Untung Ginkang Thian-ih sudah
mencapai taraf yang dapat dibanggakan, malam itu dengan mudah mereka melompati tembok
kota terus merat keluar kota. Menurut tafsiran Thian-ih tentu Nyo Hway-giok sudah kembali
kekota raja, maka disewanya sebuah kereta untuk Li Hong-gi sedang dirinya menunggang
seekor kuda terus langsung menuju ke kota raja.
Takut ayah-bunda berkuatir dan banyak pikiran, sebelum berangkat Li Hong-gi menulis
sepucuk surat yang antara lain isinya menerangkan segala peristiwa yang telah terjadi diluar
kuburan serta pengalaman dirinya sendiri, diterangkan pula tentang Nyo Hway-giok yang pergi
mengejar jejak penjahat disaat dirinya meregang jiwa dan hampir menemui ajalnya, untung
Thio-jikongcu yang sudah dikenal itu datang tepat pada waktunya memberi pertolongan.
Melihat keadaan dirinya yang menderita tanpa hiraukan pantangan antara sentuhan badan laki
dan perempuan, dia mengorbankan tenaga murninya untuk membantu dan menyembuhkan
dirinya, karena sudah ketelanjur maka anak tidak menyesal dan sudah bertekad untuk
mendampinginya seumur hidup sebagai suami istri. Seharusnya untuk itu mereka harus minta
restu dan bersujud dihadapan para orang tua, tapi mengingat situasi yang masih tegang dan
tidak aman bukan mustahil para penjahat akan turun tangan lagi, maka terpaksa dalam
sementara waktu ini dia harus mengikuti Thio Thian-ih mengumpat ke tempat yang jauh dan
aman. Keadaan ini adalah terpaksa diharap ayah bunda suka memaafkan dan jangan banyak
pikiran, dibawah perlindungan Thio Thian-ih yang berkepandaian tinggi pasti keselamatan
jiwanya dapat terjamin. Kelak kalau sudah aman dan tenteram anak pasti segera pulang
keharibaan ayah bunda. Tentang perkawinan dengan keluarga Nyo diminta ayah suka
membatalkan saja. Surat itu tertanda atas nama Li Hong-gi bersama Thio Thian-ih sebagai
menantu. Setelah selesai menulis surat itu Li Hong-gi angsurkan kepada Thian-ih. Tangan Thian-ih
gemetar waktu membaca surat itu, hatinya kejut dan girang serta menyesal dan gugup pula,
katanya tergagap: "Adik Hong-gi, mana bisa begini, mana bisa begini !"
Mata Li Hong-gi merah hampir menangis, sahutnya: "Ko-ko, kita sudah bersentuhan badan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
walaupun belum melampaui batas hubungan, betapapun hatiku sudah bulat tidak menikah
dengan orang lain......."
Thian-ih semakin gugup, ujarnya: "Adik Hong-gi, mari kita mencari Nyo Hway-giok untuk
menerangkan hal ini"."
"Tidak, tidak bukan menerangkan tapi adalah suatu pernyataan. Nanti kalau sudah bertemu
biar aku yang menjelaskan kepada dia tentang apa yang telah terjadi sebenarnya, akan
kuminta dia mencari jodoh lain"." sekilas melirik kearah Thian-ih, dilihatnya Thian-ih tengah
menggelengkan kepala, hatinya semakin mangkel dan serunya marah: "Thian-ih, apa kau
tidak suka kepadaku" Karena aku seorang lemah dan tidak cocok menjadi pasangan seorang
gagah perwira ?" "Bukan, bukan begitu adik Hong-gi, betapa jelita dan agung wajah serta tubuhmu ini, seribu
Thian-ih juga belum dapat memadai, bukan aku tidak suka kepada kau, soalnya.......eh,
sebenarnya aku menyukai kau......"
"Ai, naga-naganya kau sudah punya tambatan hati " Apakah So-cici yang datang bersama kau
malam itu?" Sudah tentu So Hoan kalah jauh dibanding sama Hong-gi, walaupun sikap So Hoan sangat baik
dan simpatik terhadapnya, tapi selama itu belum pernah menyatakan sikap apa-apa
kepadanya, maka segera sahutnya: "Bukan, tidak. Aku punya pilihan hati apa?"
Hong-gi menghela napas lega diulurkannya tangan menggenggam tangan Thian-ih, ujarnya
lemah lembut: "Thian-ih, jadi kau belum punya pilihan hati dan menyukai aku pula, itulah
bagus sekali......." sikapnya mesra dan aleman sekali.
Thian-ih kewalahan terpaksa dengan lemah lembut ia membujuk dengan kata-kata manis
untuk mencari dan menemui Nyo Hway-giok dulu serta menjelaskan kepadanya supaya tidak
menimbulkan salah paham, tentang urusan perjodohan ini biarlah kelak diputuskan lagi.
Melihat orang demikian kukuh Hong-gi agak marah dan jengkel namun tak enak
merengek-rengek terus. Surat itu dimasukkan pos ditengah perjalanan, sepanjang jalan Thian-ih mengiringi disamping
kereta menunggang seekor kuda belang, setelah melewati sungai besar, Hong-gi minta
kepada Thian-ih untuk membelikan pakaian perempuan, didalam kereta itulah sejak hari itu ia
mengenakan pakaian perempuan lagi.
Tengah hari itu mereka tengah menempuh jalan pegunungan yang berdebu, karena hawa
sangat panas tanpa sadar Li Hong-gi menyingkap tenda kereta, dan secara kebetulan sikusir
kereta berpaling kebelakang, dilihatnja pemuda yang ganteng dibelakangnya itu mendadak
berubah wajah menjadi seorang perempuan jelita yang ayu rupawan, saking terperanjat
sikusir sampai kesima, mulut terpentang lebar tanpa dapat mengeluarkan suara.
Untuk menghindari perhatian umum Thian-ih hanya membelikan pakaian kasaran sekadarnya
saja, namun demikian masih tidak mengurangi kejelitaan dan keagungan sicantik ini meskipun
berdandan secara sederhana semakin pandang malah terasa semakin menggiurkan, apalagi
wajahnya selalu mengulum senyum yang manis mesra, Thian-ih semakin kesengsam dan
girang serta kuatir, tanpa merasa ia menghela napas panjang.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Karena perjalanan sangat jauh dan hawa juga panas sekali, selalu duduk dalam tenda kereta
membuat Li Hong-gi merasa kesal dan tak betah lagi, saban-saban ia menyingkap tenda untuk
melihat pemandangan di sepanjang jalan serta mencari angin, sudah tentu wajahnya nan ayu
jelita itu menarik banyak perhatian orang sepanjang jalan, setiap pasang mata pasti melotot
kesima memandangi wajahnya yang cantik molek bak bunga mekar.
Sejak kecil Hong-gi hidup dalam lingkungan keluarga berpangkat, meskipun sering bepergian,
namun selalu terkurung dalam usung tenda yang tertutup rapat, jangankan melihat atau
dilihat orang, mengintippun menjadi pantangan keluarganya. Belum pernah merasa sebebas
yang dialami sekarang, hatinya semakin riang dan pikiran terasa terbuka setelah melihat
kenyataan hidup dialam yang bebas ini. Namun demikian lama kelamaan ia merasa bosan dan
sebal juga karena setiap orang yang melihatnya selalu melotot kesima, akhirnya ia bertanya
kepada Thian-ih: "Koko, lihatlah! Mengapa mereka selalu melihat aku begitu rupa, apa
tubuhku ini ada sesuatu yang istimewa?"
Thian-ih tersenyum geli, gadis ini terlalu polos dan wajar, tidak disadari olehnya betapa cantik
wajahnya itu, maka tidaklah heran kalau orang-orang terpesona melihatnya. Tapi semua ini
tidak dikatakan, hanya diminta ia menurunkan tenda kereta dan habis perkara.
Kalau tadi orang-orang memandang dengan pandangan terpesona kepada Li Hong-gi,
sebaliknya sekarang orang-orang itu memandang kepada Thian-ih dengan sorot yang sirik dan
iri, sudah tentu hal ini membuat Thian-ih merasa bangga dan senang dalam hati. Insan
manakah yang takkan terpesona melihat wajah ayu bak bidadari"
Dasar putri orang berpangkat yang biasanya selalu dilayani oleh para dayang dan ditunggui,
nyali Li Hong-gi menjadi sangat kecil, setiap kali menginap dipenginapan ia takut sendirian
dalam sebuah kamar tersendiri, alasannya gampang saja, bagaimana kalau dirinya diculik
orang pula" Toh tidak mungkin Thian-ih meronda diluar kamarnya semalam suntuk. Kalau
dipikir memang beralasan, bukan mustahil wajahnya yang cantik molek itu telah menimbulkan
rasa dengki sementara para penjahat yang berniat kotor terhadapnya. Maka untuk menjaga
terjadinya segala kemungkinan terpaksa Thian-ih melulusi untuk menyewa sebuah kamar saja.
Sudah tentu dalam pandangan Manager penginapan dan orang-orang lain, mereka adalah
suami istri, namun hakikatnya mereka masih menjaga baik norma-norma adat kesopanan,
belum pernah berhubungan melewati batas kesusilaan.
Hari itu mereka menginap pula dalam sebuah penginapan, didalam kamar Thian-ih merasakan
sesuatu keanehan, yaitu karena perjalanan yang jauh ini seluruh tubuhnya penuh kotoran
debu, sebaliknya keadaan Li Hong-gi tetap bersih menyala bagai sekuntum bunga teratai putih
mulus yang habis disiram hujan. Sungguh Thian-ih tidak habis mengerti.
Agaknya Li Hong-gi mengetahui isi pertanyaan yang terkandung dalam benak Thian-ih, sambil
tersenyum simpul dikeluarkan sebutir mutiara dari dalam balik bajunya serta katanya: "Koko,
agaknya kau sudah melupakan kasiat Pi-seng-cu ini. Sekarang terbukti dengan membekal
mutiara ini sedikitpun tiada debu kotoran dalam kereta, berkali-kali kuminta kau duduk dalam
kereta menemani aku, kau tetap berkukuh menunggang kuda saja, coba lihat betapa
bodohnya kau ini tidak tahu kebaikan orang lain." Habis berkata wajahnya bersungut-sungut
marah. Tersipu-sipu Thian-ih minta maaf.
Esok harinya mereka melanjutkan perjalanan lagi. Kali ini Hong-gi mengenakan mutiara itu
sebagai perhiasan, sebuah untuk hiasan didepan dada sedang yang lain diatas sanggul
kepalanya. Ditimpa sinar matahari kedua mutiara itu memancarkan sinar berkilau yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
menyilaukan pandangan semua orang. Melihat betapa cemerlangnya kedua butir mutiara itu,
semakin jauh Thian-ih semakin was-was dan kuatir, maka segera ia minta untuk
menanggalkan kedua perhiasannya itu. Betapa cantik jelitanya Li Hong-gi ini sudah menjadi
buah pembicaraan orang-orang sepanjang jalan. Apalagi mengenakan perhiasan yang
harganya tak ternilai itu, keruan menimbulkan incaran dan ngiler para penjahat dari golongan
hitam. Benar juga setelah melewati Ho-kian lantas Thian-ih merasa bahwa sepanjang perjalanan ini
mereka mulai dikuntit oleh berbagai rombongan orang-orang yang tidak dikenal. Diam-diam ia
menambah kewaspadaan, pedang panjangnya sudah patah sewaktu bertempur melawan Lok
Sian tempo hari, maka waktu meninggalkan kuburan tak lupa ia ambil sepasang tongkat milik
Pek-bian-kui sekedar untuk berjaga-jaga, kini tongkat itu dipersiapkan untuk menjaga segala
kemungkinan. Tidak jauh dari danau Se-ting, sang surya sudah doyong ke barat. Mendadak jauh di depan
sana terlihat membedal kencang dua ekor kuda yang tengah mendatangi, kedua
penunggangnya berpakaian ringkas dan membekal senjata, setelah dekat kedua ekor kuda
berpencar ke kanan kiri melesat lewat disamping kereta Hong-gi, tapi tidak jauh kemudian
mendadak memutar balik lagi terus dipacu lagi kearah datangnya semula.
Tidak lama kemudian datang lagi dua penunggang kuda yang bertingkah laku serupa.
Sekarang baru Thian-ih sadar dan waspada, cepat-cepat disuruhnya Li Hong-gi menurunkan
tenda, sepasang tongkat pendeknya disiapkan diatas kudanya. Beberapa li kemudian di depan
sana mereka harus melewati sebuah lembah yang bermulut sempit, lembah ini dilingkungi oleh
tebing-tebing yang menjulang tinggi ke angkasa, samar-samar terlihat berkelebatnya
bayangan beberapa orang di atas sana. Si kusir kereta, agaknya mengenal gelagat, betapapun
dia takut untuk meneruskan keretanya meski sudah dijanjikan bayaran berlipat ganda.
Terpaksa Thian-ih mengancam dengan kekerasan senjatanya, apa boleh buat si kusir
menjalankan keretanya lagi dengan kebat-kebit. Thian-ih sudah turun dari atas kuda dan
mendahului membuka jalan di depan, ditimpah sinar matahari sepasang tongkat di tangannya
berkilat menyolok mata. Diluar dugaan sebegitu jauh mereka masih dapat berjalan terus
seenaknya melewati lembah itu tanpa adanya gangguan sedikitpun. Lega dan heran hati
Thian-ih, tanpa pikir panjang lagi diperintahkan supaya kereta berjalan cepat.
Malam itu mereka menginap di sebuah hotel di pinggir danau Se-ting, tengah mereka makan
minum dalam kamar, seorang pelayan masuk menyampaikan sebuah kotak kecil katanya
pemberian dari seseorang. Waktu dibuka didalam kotak kecil itu terdapat secarik kertas yang
penuh tulisan berbunyi: "Disampaikan kepada tuan Pek-bian-kui Ho Han dari Mo-san. Malam
ini diatas sebuah perahu di pinggir danau Se-ting, kami adakan perjamuan untuk menyambut
kedatangan tuan, harap memberi muka dan sukalah datang." Salam hormat dari Tok Bok-san
dan Go Hong. Bercekat hati Thian-ih waktu melihat kedua nama ini. Maklumlah Tok Bok-san dan Go Hong ini
merupakan gembong-gembong penjahat dari kalangan hitam di daerah Ho-pak dan Kam-siok
yang sudah sangat kenamaan. Tok Bok-san terkenal karena ilmu To-sa-ciang dan ilmu
weduknya. Sedang julukan Go Hong adalah Hun-tiap (kupu jelita) dia lihay dalam ilmu ringan
tubuh, asalnya seorang maling terbang. Bersama Tok Bok-san mereka berdua mengangkat diri
dengan julukan Se-ting-siang-mo (dua gembong iblis dari Se-ting). Sungguh tak nyana
ditempat ini mereka harus berhadapan langsung dengan kedua gembong iblis ini. Mungkin
karena melihat senjata yang digembolnya itu mereka menyangka dirinya sebagai Pek-bian-kui
Ho Han salah satu dari Mo-san-sam-kui. Bukankah ini sangat kebetulan. Hatinya menjadi
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
gundah dan ragu-ragu, pergi atau tidak persoalan ini membuat hatinya susah mengambil
keputusan, kalau tidak pergi nanti dianggap takut, kalau pergi lalu bagaimana dengan Li
Hong-gi. Melihat orang tepekur bingung, Li Hong-gi mengikik geli, katanya: "Koko siapakah yang
mengirim surat itu?"
Lalu ia bangkit mendekat serta menyambuti surat yang diangsurkan Thian-ih kepadanya,
setelah membaca surat itu, Li Hong-gi tersenyum katanya: "Tok Bok-san, Go Hong. Orang
macam apakah mereka itu" Mereka menyangka kau adalah Ho Han, mungkin karena
memandang nama Ho Han itu jadi mereka tidak turun tangan di tengah jalan. Apa yang
mereka kehendaki" Apakah mereka hendak merampok kita?"
"Tok Bok-san dan Go Hong adalah dua gembong penjahat yang terkenal di kalangan hitam.
Kalau Tok Bok-san semula sebagai penjahat tunggal besar, sedang Go Hong adalah maling
terbang yang ditakuti.........."
Mendengar keterangan ini berdetak jantung Li Hong-gi, sekarang ia merasa takut, terang
mereka tengah mengincar kedua mutiara yang dibawanya itu, maka katanya gugup: "Koko,
para penjahat itu pasti banyak kaki tangannya, betapapun kita takkan kuat menahan
kerubutan mereka. Lebih baik jangan hiraukan mereka, tinggal pergi saja secara diam-diam."
Sebenarnya Thian-ih tidak setuju memperlihatkan kelemahan, namun demi keselamatan
Hong-gi mau tak mau ia harus berpikir panjang, memang terpaksa mereka harus menyingkir
sementara. Malam itu juga secara diam-diam mereka lanjutkan perjalanan.
Waktu terang tanah mereka sudah puluhan li jauhnya dari danau Se-ting, tiba-tiba terdengar
derap langkah kaki kuda yang riuh rendah di belakang mereka, segerombolan orang tengah
mengejar tiba dengan kencang. Terang tak mungkin lagi mereka dapat menyingkir dari
kejaran ini, terpaksa Thian-ih hentikan kereta di pinggir hutan menunggu kedatangan mereka
sambil menenteng kedua tongkat pendeknya dengan sikap gagah.
Para pengejar sudah semakin dekat, dibawah sinar matahari pagi yang cerlang cemerlang
terlihat rombongan pengejar ini terdiri dari dua puluhan orang penunggang kuda, dua ekor
yang terdepan tinggi besar penunggangnya juga bertubuh kekar, salah seorang berwajah
putih cakap. Begitu dekat segera si tinggi kekar itu menegor kepada Thian-ih: "Ho-lotoa ! Kau juga seorang
Senja Jatuh Di Pajajaran 9 Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An Pedang Inti Es 5
Thian-ih pasang kuping, lapat-lapat terdengar suara deburan air terjun dari kejauhan sana,
suara itu bergema dan mendengung bagai derap langkah berlaksa kuda yang berpacu keras.
Kata Thian-ih: "Kim-heng, itu kan suara air terjun !"
Kim Khe-sian tertawa getir sambil menggeleng, katanya lemah: "Bukan......itulah derap
berlaksa kuda yang berlari kencang......lima belas tahun yang lalu......anak istriku......semua
mati dibawah tapak kaki berlaksa kuda itu........selanjutnya......lantas aku mengasingkan diri
menjadi pendeta......segala apa tiada yang kutakuti.....hanya suara derap langkah yang
gemuruh itulah yang paling menusuk sanubariku......"
Thian-ih menjadi gegetun, serunya: "Kim-heng, kuat dan tabahkan hatimu, hanya suara saja
mengapa harus ditakuti ......marilah kita berangkat, biar kudukung kau......"
Kim Khe-sian menggeleng kepala, sahutnya: "Tidak bisa......Ji-chengcu......Kim-k"am-gin-I
.....keparat itu benar-benar jahat......dia tahu......tahu penyakit.......hatiku."
Thian-ih hendak menyeretnya bangun dan meninggalkan tempat itu supaya tidak mendengar
lagi suara yang menakutkan itu. Tapi mendadak Kim Khe-sian bangun berduduk sendiri,
seolah-olah semangatnya sudah pulih kembali, namun sepasang matanya terbelalak besar
memancarkan sinar yang sangat aneh, sambil berduduk ia menggumam: "Lha itu
mereka......anak dan istriku ......haha......kalian jangan takut, ada aku disini......ada aku
disini......jangan takut dan jangan heran terhadap beribu atau berlaksa tentara berkuda.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Betapa tinggi kepandaian Kim Khe-sian ini masa tak mampu melindungi anak istri sendiri"
Hehehe.... sungguh menggelikan! Biar kubrantas para kurcaci dan iblis-iblis laknat seperti
kalian "n" !" Habis berkata mendadak Kim Khe-sian menggerung keras terus melompat bangun
dan menerjang keluar pintu sana.
Sisi kiri dari puncak gunung dimana mereka berada itu adalah jurang yang sangat curam, gema
air terjun itu justru terdengar dari bawah jurang itu. Begitulah sambil memutar tongkatnya
secepat kitiran Kim Khe-sian menerjang kearah sana seperti harimau kelaparan.
Sudah tentu Thian-ih tidak tinggal diam, dengan kencang ia memburu sambil berteriak:
"Kim-heng......Kim-heng....lekas berhenti ...... lekas..... disana jurang......"
Agaknya Kim Khe-sian tidak mendengar teriakan Thian-ih ini, dalam kegelapan malam tampak
dia masih berlari kencang sambil mengobat-abitkan tongkatnya, begitu tiba dipinggir jurang
terus tubuhnya melambung tinggi sambil mengayun tongkatnya......Waktu Thian-ih memburu
tiba dipinggir jurang, disini sudah kosong melompong, bayangan Kim Khe-sian sudah tidak
terlihat lagi. Sedemikian dalam dan gelap gulita jurang itu, hanya terdengar gema air terjun
yang gemuruh serta buih air yang memutih tertimpa sinar reflek yang kemilau.
Thian-ih termangu dipinggir jurang, hatinya sedih dan mendelu, kegusaran membuat hatinya
pepat dan hilanglah segaia harapan. Untung kesadaran masih menyinari benaknya, teringat
olehnya akan tugas dan tanggung jawabnya yang berat, perlahan-lahan ia memutar tubuh
terus tinggalkan tempat itu......
Sang surya mulai muncul dari peraduannya, alam jagat sudah terang tanah. Thian-ih segan
dan berat untuk berpaling lagi, sepagi itu seorang diri ia terus melanjutkan perjalanan
mengejar jejak pembunuh durjana yang kejam itu. Satu jam kemudian setelah menyusuri jalan
pegunungan yang berliku-liku sampailah ia dibawah sebuah tebing yg datar, dimana
terbentang sebuah jalan raya yg harus ditempuhnya menuju ke An-se, begitulah tanpa
mengenal lelah Thian-ih terus melanjutkan pengejarannya.
Beberapa li kemudian, tiba-tiba terlihat olehnya debu mengepul tinggi dikejauhan depan sana,
terlihat puluhan kuda tengah dipacu kencang menuju kearah dirinya, penunggangnya
berpakaian ketat seragam, dipimpin oleh seorang busu (guru silat) yang berusia 30-an,
wajahnya cakap garang, tangannya membekal sebuah tombak putih berkilat menyilaukan
mata. Jauh-jauh Thian-ih sudah mengenal orang yang tengah mendatangi ini, dia bukan lain adalah
sitombak perak Tio Kong yang tenaganya sangat diandalkan oleh Ciu Hou untuk
menyembunyikan diri. Tapi agaknya sipanglima tombak perak tidak kenal Thian-ih lagi karena
tubuhnya yang kotor, sebab perjalanan yang jauh ini ditimpah hujan dan dijemur matahari
membuat sipemuda yang ganteng ini berubah rupa berganti ujut. Terpaksa Thian-ih berteriak
menghentikan mereka: "Tio-heng, harap berhenti sebentar! Aku Thio Thian-ih adanya."
Tio Kong dan rombongannya yang keburu lewat jauh cepat-cepat menghentikan kudanya dan
putar balik, begitu saling berhadapan hampir bersamaan keduanya saling bertanya: "Ketemu
Ciu Hou tidak?" Tersipu-sipu Tio Kong menambahkan: "Begitu mendengar kabar segera kupimpin anak buahku
untuk menyambutnya, sepanjang perjalanan ini belum kutemukan jejaknya!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Thian-ih juga menutur pengalamannya singkat saja, mendengar Kim Khe-sian bunuh diri
terjun kedalam jurang, Tio Kong terkejut dan gusar, katanya: "Sudah terang Ciu-heng lewat
jalan ini, kukira saat ini dia masih berada disekitar sini, lekas berpencar dan carilah ke segala
pelosok !" serentak semua orang berpencar ke segala penjuru untuk mencari jejak Ciu Hou.
Tak lama kemudian seorang anak buah Tiong Kong datang memberi lapor sambil
menyerahkan seperangkap pakaian dan sebuah kunci. Pakaian itu terang milik Ciu Hou, keruan
bercekat hati Thian-ih, firasat jelek membuat hatinya tak tenang, mungkin juga Ciu Hou sudah
menemui ajalnya, maka diperintahkan pula untuk mencari jenazahnya. Matahari sudah doyong
kearah barat namun mereka masih bertangan hampa, selain pakaian dan kunci itu tiada benda
lain lagi yang diketemukan.
Ribuan li sudah ditempuh oleh Thian-ih untuk mengejar sipembunuh dan berusaha
menyelamatkan Ciu Hou, sudah menghamburkan waktu melelahkan badan akhirnya yang
dicari dan diuberi menghilang tanpa jejak seakan-akan telah ditelan kedalam bumi.
Memang tidak memalukan nama sipanglima tombak perak Tio Kong sangat diagungkan
sebagai tokoh silat yang setia kawan dan berbudi luhur dan bajik, sekian hari lamanya mereka
masih belum patah semangat untuk mencari dan mencari terus, jurang yang dalam serta
lembah dan hutan lebat sudah dijelajahi semua, Ciu Hou tetap menghilang secara aneh,
setelah semua sia-sia dan putus harapan akhirnya Thian-ih ambil perpisahan, kini seorang diri
ia kembali pula menempuh perjalanan yang sudah diselusurinya waktu datang.
Musim panas didaerah barat ini memang luar biasa, badai angin menderu dan hawa juga
sangat panas menyesakkan pernapasan, sebaliknya Thian-ih menempuh perjalanan dengan
hati yang membeku sedingin es. Teringat olehnya betapa besar harapannya waktu mengejar
Ciu Hou semakin dekat, siapa duga setelah ribuan li kemudian, yang diperoleh hanya
kehampaan saja. Sampai bayangan sibaju perak saja juga tidak dilihatnya.
Waktu sampai dikota Cui-cwan dan melintas didepan Cui-sian-si, teringat olehnya betapa
gagah perkasa pribadi Kim Khe-sian, namun hanya semalam saja jiwanya telah direnggut
elmaut bersama beberapa murid-muridnya tanpa tempat kubur yang layak, pilu dan duka
nestapa mericuh hatinya. Malu rasanya untuk mampir atau menginjakkan kakinya lagi ke
tempat suci itu, maka secara diam-diam ia mengeloyor lewat kembali menuju kearah timur.
Hari itu juga Thian-ih tiba dikota Buwi. Diatas kuda ia berpikir, para Tongcu dari Kam-liang-pay
itu ternyata adalah tokoh-tokoh pengecut yang hina dina, rasanya mereka harus diberi hajaran
untuk melampiaskan rasa dongkolku ini. Maka dalam malam yang gelap itu dengan
mengenakan pakaian ringkas hitam secara diam-diam Thian-ih mendatangi markas besar
Kam-liang-pay. Agaknya kedatangan Thian-ih ini sangat kebetulan sebab ketujuh tokoh Kam-liang-pay itu
tengah mengadakan perundingan dan sedang merancang suatu tindakan jual beli tanpa modal
(merampok). Mendengar rencana mereka yang keji dan kotor, diam-diam Thian-ih merasa
gusar dan girang pula, gusar karena perbuatan yang bakal mereka laksanakan itu sangat
terkutuk dan hina dina, girang karena dapat mengetahui rencana busuk mereka sehingga
sebelumnya dirinya dapat berjaga dan menggagalkan rencana mereka secara sembunyi.
Ternyatalah bahwa mereka tengah merencanakan untuk membongkar sebuah kuburan orang
untuk mencuri barang mestika yg ikut terpendam dalam kuburan itu. Kebetulan kuburan yang
hendak mereka bongkar itu bukan lain adalah kuburan Li Hong-gi, gadis rupawan putri Li-tayjin
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
atau Tihu dan Ki-lam-hu itu. Sebenarnya Thian-ih hendak turun kebawah berhadapan secara
langsung dan membujuk mereka secara halus untuk membatalkan rencana yang terkutuk dan
rendah itu, namun setelah dipikirkan lebih mendalam rasanya manusia rendah tamak harta
benda takkan mudah diberi pengertian dan diinsafkan, bukan mustahil dari malu mereka naik
pitam setelah rencana busuk mereka diketahui orang dan dirinyalah yang menjadi kambing
hitamnya, kalau ini benar-benar terjadi bukankah dirinya bakal celaka, dan mati konyol" Apa
pula dari pembicaraan mereka itu kelihatan bahwa mereka juga hendak buru-buru bekerja
dalam satu dua hari ini. Karena bukan mustahil kalau terpendamnya dua mutiara mestika
dalam kuburan Li Hong-gi itu juga telah didengar oleh gembong-gembong penjahat lainnya,
pasti banyak pula yang bakal mengincar.
Setelah mengetahui rencana rahasia tokoh-tokoh Kam-liang-pay itu secara jelas, Thian-ih
tinggal pergi pula secara diam-diam, malam itu juga ia melanjutkan perjalanan ke timur, ba-
gaimana juga dia harus setindak lebih dulu sampai di Ki lam untuk mengatur segala sesuatu
dalam menggagalkan rencana busuk yang memalukan itu. Diam-diam Thian-ih bertekad untuk
melindungi kuburan gadis jelita itu dengan sekuat tenaganya, tak peduli apapun yang bakal
terjadi. Waktu lewat Thian-cui didengarnya pula bahwa Liong-gwa-hou-tiang siang-siang sudah
meninggalkan rumah melakukan perjalanan jauh kearah timur beserta anak muridnya.
Thian-ih tahu kemana tujuan mereka maka diam-diam hatinya menjadi gugup, kudanya dipacu
secepat terbang, dua hari kemudian tersusullah rombongan Li Ti yang berjumlah besar itu
serta membawa perbekalan yang serba komplit. Tanpa menimbulkan keributan dan
kecurigaan orang Thian-ih sedikit memutar jalan dan terus mendahului menuju ke Ki-lam.
Tepat pada pertengahan bulan enam Thian-ih tiba di Ki-lam-hu dengan selamat. Tempo hari
sebelum Li-siocia dikuburkan, dia sudah tinggal pergi maka tidak diketahuinya dimanakah letak
kuburan gadis rupawan itu, maka dengan sogokan uang ia mencari tahu dari mulut seorang
kacung restoran, ternyata bahwa kuburan Li-siocia terletak disebelah utara kota Ki-lam,
sedemikian besar dan megahnya kuburan itu berbentuk seperti kamar tidur Li-siocia sendiri
semasa masih hidup! Malah kacung itu bercerita panjang lebar tentang terjadinya suatu
keanehan dalam kuburan itu, katanya meskipun telah wafat beberapa bulan, tapi jenazah Li
Hong-gi sedemikian lama masih utuh seperti sediakala. Ditambahkan bahwa setiap bulan pada
tanggal muda pasti keluarga Li-tihu menyambangi kuburan megah itu utk memeriksa keadaan.
Setelah mendengar cerita ini Thian-ih jadi berpikir, entah benda mestika apakah yang
sedemikian hebat dan besar kasiatnya sehingga jenazah Li Hong-gi masih tetap utuh seperti
masih hidup. Hari itu secara iseng-iseng Thian-ih keluar kota dan menuju ke kuburan yang dihebohkan itu.
Memang kuburan ini sedemikian besar mewah dan kokoh kuat terbuat dari batu yang diuruk
tanah. Thian-ih berputar ke sekelilingnya memeriksa tiada tampak sesuatu yang
mencurigakan, pintu rahasia masih tertutup rapat dan terkunci dari luar, agaknya belum ada
orang yang pernah menyentuhnya. Naga-naganya para kawanan penjahat yang tamak akan
harta benda itu masih belum datang dan turun tangan.
Lewat beberapa hari pagi-pagi benar pelayan penginapan memberi tahu kepada Thian-ih
bahwa hari keseratus wafatnya Li Hong-gi akan diperingati di kuburan megah itu secara
besar-besaran. Maka cepat-cepat Thian-ih bersiap berganti pakaian mengenakan jubah
panjang warna putih mulus, pedang disoreng dipinggang balik jubahnya, tangannya
membekal sebuah kipas lempit sambil berlenggang berlagak sebagai pelajar dia ikuti arus
manusia yang menuju ke pintu utara untuk melihat keramaian.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Tiba di pekuburan suasana disini begitu ramai, selayang pandang hanya kepala manusia
melulu, sedemikian banyak manusia berjubel-jubel sampai susah untuk mendesak maju ke
depan, diam-diam Thian-ih meneliti, dilihatnya banyak diantara mereka itu yang harus
dicurigai. Tidak lama kemudian tampak sebarisan tentara bersenjata lengkap mendatangi membuka
jalan, di belakang barisan ini beriring pula puluhan tandu yang besar-besar berhenti diluar
pekuburan, tampak Li-tihu sendiri yang memimpin upacara sembahyangan ini, kala itu pintu
rahasia kuburan sudah dibuka maka pelan-pelan Li-tihu serta keluarga dan handai-taulannya
masuk kedalam, mereka terdiri dari kaum wanita dan beberapa orang laki-laki, diantaranya
tampak seorang pemuda yang gagah, maka Thian-ih menduga pasti pemuda itulah yang
bernama Nyo Hway-giok calon suami Li Hong-gi. Tubuhnya tinggi tegap beralis hitam
gombyok, Thay-yang-hiat di pelipisnya menonjol keluar dan langkahnya ringan, selayang
pandang dapatlah diketahui bahwa pemuda lembah lembut ini juga dari aliran persilatan.
Kaum perempuan berjalan agak pelan sampai sekian lama mereka masih berjubel diluar pintu
kuburan, sekonyong-konyong angin menghembus agak keras, tahu-tahu dua bayangan
berkelebat cepat saling susul dan enteng sekali mencampurkan diri dalam barisan yang
memasuki kuburan itu. Para penjaga merasa pandangan serasa kabur, disangkanya melihat
burung terbang melintas didepan mata. Di luar tahunya bahwa di kelompok keluarga Li-tihu itu
telah bertambah dua orang gelap yang menyelundup masuk ke dalam.
Salah seorang dari bayangan tadi bukan lain adalah Thian-ih sendiri, perbuatannya ini
hanyalah menelat perbuatan bayangan yang terdahulu, karena dianggapnya kalau orang itu
berani menyelundup kedalam secara diam-diam tentu mengandung maksud yang tidak baik,
maka tanpa kepalang tanggung ia juga melesat memasuki kuburan besar itu.
Ginkang Thian-ih sebetulnya tidak kalah tinggi dari bayangan tadi, namun begitu melangkah
masuk ke dalam kuburan lantas dia kehilangan jejak orang itu, hal ini malah memperingatkan
Thian-ih sendiri, sedikit bergerak dia pun menyelinap dan sembunyi. Dari tempat sembunyinya
Thian-ih meneliti keadaan bangunan kuburan ini, bukan saja luas tapi juga megah dan mewah
benar-benar seperti kamar tidur mendiang Li Hong-gi sendiri. Ditengah ruang besar sebelah
dalam adalah letak peti mati Li Hong-gi yang berbentuk aneh dan istimewa, karena bentuk itu
tak ubahnya seperti sebuah pembaringan yang dihias begitu indah, terlihat Li Hong-gi rebah
diatas pembaringan itu, tubuhnya terbungkus kain sutera yang tersulam indah, dari kejauhan
tampak wajahnya memutih bagai batu giok seakan-akan bidadari yg tengah tidur nyenyak.
Berpuluh keluarga Li-tihu itu berdiri di sekitar peti mati sambil menggerung sesenggukan.
Sebagai orang gelap Thian-ih tidak berani banyak bergerak, tak lupa pula ia mencari letak
sembunyi orang yang menyelundup masuk tadi.
Diempat penjuru ruang tergantung empat pelita yang bersinar terang, hawa disini terasa sejuk
nyaman, entah dimana letak pintu angin yang berhubungan dengan luar, hiasan atau
pajangan dalam kuburan inipun sangat berkelebihan tidak kalah indah dari ruang penganten
anak raja, hanya dindingnya saja yang terlalu banyak variasi dengan lekak-lekuk jadi banyak
tempat yang gelap cocok untuk sembunyi orang, maka tidak mudah bagi Thian-ih mencari
jejak orang itu tanpa dirinya sendiri juga bergerak dari tempat sembunyinya. Tempat dimana
ia sembunyi adalah pojokan dinding yang lekuk kedalam tertutup di belakang kain gordijn lagi,
dinding di belakangnya terasa dingin karena terbuat dari batu-batu gunung, tanpa sengaja
teraba oleh Thian-ih dua tumbung besi, ia menjadi heran untuk apakah kedua tumbung besi
ini" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sementara itu keluarga Li-tihu masih bertangisan dengan sedihnya. Hanya Nyo Hway-giok saja
yang masih berdiri tenang sambil menunduk, namun saban-saban ia juga membesut air mata
yang tak tertahankan lagi. Betapa orang takkan sedih ditinggal pergi calon isterinya.
Tak lama kemudian setelah semua orang selesai sembahyang, beruntun mereka
mengundurkan diri keluar kuburan. Agaknya Nyo Hway-giok berat berpisah dengan calon
istrinya itu, maka sambil mengusap air mata ia berkata pada Li-tihu: "Gak-hu (mertua), siausay
(menantu) hidup tak dapat berdampingan dengan adik Hong-gi, biarlah aku tetap berdiam
disini untuk mendampingi adik Hong-gi selama-lamanya !"
Sudah tentu Li-tihu tidak setuju, para kerabat perempuan juga ikut membujuk, suasana
menjadi ribut, terdengarlah Nyo Hway-giok mengeluh panjang : "Kala hidup aku tak dapat
berdampingan dengan Hong-gi masa kalian masih tidak mengijinkan kita mati dalam satu
liang, dia kan sudah menjadi istriku............sampaikan saja kepada ayahku bahwa Hway-giok
telah mangkat mengikuti isterinya......"
Watak Nyo Hway-giok ini ternyata berperasaan halus dan lemah hati, dalam keadaan yg tidak
terkendali lagi ia menangis tergerung-gerung sambil sesambatan. Maka tidak kepalang
tanggung lagi Li-tihu perintahkan beberapa prajurit untuk menyeretnya keluar dengan
kekerasan. Nyo Hway-giok meronta-ronta minta dilepaskan sambil menoleh dengan pandang
berat berpisah. Thian-ih jadi heran, apakah ini permainan sandiwara atau main pura-pura.
Kalau dinilai dari ilmu silatnya, hanya beberapa prajurit biasa saja mana mampu membuat
dirinya tak berkutik dan mandah saja diseret keluar, apakah maksud perbuatannya ini"
Setelah semua orang keluar, pintu kuburan yang tebal dan berat itu ditutup lalu digembok dan
dikunci dari luar, lantas keadaan dalam kuburan menjadi hening lengang. Sinar pelita
kelap-kelip memancarkan sinarnya yang redup, tampak wajah nan ayu jelita dalam peti mati
itu sedemikian mempesonakan seakan terasa dalam dunia khayal belaka. Dengan sabar
Thian-ih menanti dan menanti, ditunggunya penjahat yang sembunyi dalam kuburan itu keluar
supaya secara gampang dirinya membereskannya.
Sebenarnya sang waktu berjalan dengan cepat, namun bagi Thian-ih terasa sangat lambat
sekali, keadaan yang sunyi lengang itu sungguh membosankan dan membuat Thian-ih
semakin curiga dan waspada, mungkinkah orang itu sudah mengeloyor keluar pula, mengapa
sekian lama ini dia masih belum keluar" Teringat akan keluar Thian-ih bercekat dalam hati,
pintu kuburan sedemikian tebal dan berat terkunci lagi dari luar, cara bagaimana nanti dirinya
harus keluar. Tunggu punya tunggu akhirnya terdengar juga suara keresekan yang lirih dalam keheningan
yang lelap itu. Tahu Thian-ih bahwa penjahat itu mulai bergerak dan bertindak, terpaksa
Thian-ih harus memusatkan perhatiannya terhadap orang dalam kuburan ini, entah nanti bakal
dapat keluar atau tidak sudah tak terpikirkan lagi olehnya.
Dari kegelapan pojok depan sana berkelebat bayangan seorang yang mengenakan pakaian
sepan warna hijau dan berkedok, perawakan orang itu kurus kecil, kedua tangannya
menghunus sepasang senjata yang berbentuk aneh, senjata itu dinamakan Wan-yan-to-hun-siang-hoan (sepasang gelang belibis pencabut nyawa). Sibaju hijau ini
menyapu pandang keempat penjuru lalu merunduk hati-hati memeriksa keadaan sekitarnya.
Cepat-cepat Thian-ih mepet dinding sambil tahan napas, terasa angin berkesiur sibaju hijau
lewat didepannya, untung benar jejaknya tidak sampai konangan.
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Tidak lama kemudian sinar pelita semakin redup dan guram, mungkin sudah kehabisan
minyak. Sekonyong-konyong dari kanan kiri ditubuh Li Hong-gi memancarlah dua sinar terang
setinggi satu kaki, kedua sinar itu berwarna merah putih sangat menyolok mata. Terdengar
sibaju hijau itu berseru tertahan, sekali berkelebat tubuhnya menubruk kearah samping tubuh
Li Hong-gi serta merta diulurkan tangannya hendak mencomot benda bersinar itu, tapi secepat
itu tampak tubuhnya terhuyung mundur pula seakan terintang sesuatu tenaga gaib. Kini orang
itu sudah menanggalkan kedoknya, dengan hati-hati ia menunduk dan memeriksa. Waktu
berdiri lagi dan berpaling Thian-ih melihat orang menunjuk rasa heran dan kejut, sejenak
kemudian tampak ia memindahkan senjatanya ditangan kiri lalu tangan kanan diulur hendak
menghantam kearah jenazah Li Hong-gi...........
Sedetik sebelum tangan sibaju hijau diturunkan mendadak terdengar suara bentakan dingin
dibelakangnya: "Tahan!" Waktu ia berpaling dengan kaget dilihatnya dibelakangnya telah
berdiri satu orang, maka tegurnya dengan gusar: "Keparat dari mana kau" Aku belum
mengenal kau?" Thian-ih berseru lantang: "Cayhe Ho-pak Thio Thian-ih, siapakah tuan yang mulia?"
Sibaju hijau tertawa gelak-gelak, kedua gelangnya dikiblatkan lalu katanya: "0, ternyata
adalah Thio-jichengcu, masa kau belum pernah dengar tentang kedua senjata gelangku ini"
Aku yang rendah Mo-san Lok Sian......"
Tergetar hati Thian-ih, Lok Sian ini adalah salah satu dari Mo-san-sam-kui yang kenamaan,
mereka terdiri dari Pek-bian-kui (setan muka putih) Ho Han dan Hek-bian kui (setan muka
hitam) Ci Kiu. Mo-san-sam-kui (tiga setan dan Mo-san) adalah tokoh-tokoh lihay dari aliran
hitam yang kenamaan di Kangouw. Dulu Thio Thian-ki pernah bercerita tentang pribadi ketiga
saudara angkat ini, terutama senjata-senjata mereka yang berbentuk aneh itu paling gampang
dikenali, mereka bukan saja licik dan ganas, kepandaian Ginkang dan Lwe-kangnya juga
setingkat lebih tinggi dari golongan hitam lainnya. Sungguh tidak nyana bahwa salah satu dari
ketiga setan kenamaan itu ternyata juga ikut berkomplot dalam usaha mencuri benda mestika
dalam kuburan ini. Terdengar Lok Sian berkata lagi dingin: "Ji-chengcu. apa kau juga bermaksud mengincar
kedua mutiara mestika itu?"
Sahut Thian-ih: "Lok-heng, aku tidak tahu tentang hal-ihwal mutiara mestika apa segala......."
Lok Sian mengakak kegilaan, suaranya bergema mendebarkan hati, ujarnya: "Ji-chengcu,
dengan ucapanmu itu agaknya kau sangat memandang rendah kita Mo-san-sam-kui. Kalau
kau sendiri juga ingin memiliki benda mestika itu mengapa main sungkan dan pura-pura tidak
tahu, hahaha, kalau kau berkata tidak tahu lantas apa maksudmu menyelundup kedalam sini?"
Melihat sikap orang yang congkak dan takabur, timbullah amarah Thian-ih, jengeknya dingin:
"Kudengar ada komplotan penjahat yang hendak mencuri......"
"Lantas kau ingin mencampuri urusan ini!" Lok Sian menukas perkataan Thian-ih, "Bukankah
begitu maksudmu " Ji-chengcu, kau baru saja lulus dari perguruan masih berbau bawang,
mungkin belum tahu seluk-beluk peraturan dunia persilatan. Mo-san-sam-kui sudah bertekad
untuk mengambil kedua mutiara mestika dipinggir tubuh bocah perempuan itu, Ho Han dan Ci
Kiu kedua saudaraku itu sebentar akan tiba, silakan kau minggir dan jangan mengganggu
pekerjaanku....." TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Setelah dekat baru Thian-ih melihat tegas, ternyata peti mati Li Hong-gi terbuat dari batu kaca
yang tebal, bening dan tembus cahaya, harganya tentu tidak ternilai. Kedua mutiara merah
putih mencorongkan sinarnya yang kemilau menyinari seluruh tubuh Li Hong-gi, sehingga
wajahnya tampak semakin jelita bagai hidup dan tidur nyenyak.
Bu-ing-kui sisetan tanpa bayangan Lok Sian mendadak berkata di belakangnya: "Ji-chengcu
silakan kau minggir kesamping......"
Tiba-tiba Thian-ih memutar tubuh, sahutnya marah : "Lok-heng, apa yang hendak kau
lakukan?" Lok Sian berkata tawar: "Aku ingin ambil kedua butir mutiara itu, meskipun batu kaca ini tak
ternilai harganya, kita bersaudara tidak mampu memboyongnya keluar terpaksa dihancurkan
saja...." habis berkata ia himpun tenaga, bersiap lancarkan pukulannya.
Bergolak darah Thian-ih saking menahan amarah, bulat tekadnya untuk menentang maksud
jahat manusia tamak ini, bentaknya: "Orang she Lok, memandang muka engkoh-ku maka
kunasehati kau supaya hapus saja niat tamakmu itu, lekaslah tinggalkan tempat ini. Ketahuilah
perbuatanmu ini merupakan perbuatan tercela dan nista dalam kalangan Kangouw, kalau
perbuatan kalian ini sampai tersiar apakah tidak memburukkan nama baik Mo-san-sam-kui.....?"
"Kentut !" hardik Lok Sian tidak kalah gusarnya. "Bagaimana juga Mo-san-sam-kui harus
memperoleh kedua mestika itu. Sekarang juga kubunuh kau, coba siapa lagi yang dapat
mengetahui?" sembari berkata tangan kanan segera didorong kedepan menggunakan jurus
Liok-ting-kay-loh (Liok Ting membuka jalan), dada Thian-ih diincar dengan sebuah pukulan.
Sejak berhadapan Thian-ih sudah bersiaga, begitu serangan musuh mendatang dengan jurus
Tui-san-seng-te (mendorong gunung menjadi datar) sebelah tangannya juga diangkat untuk
menangkis, "blang" kedua tenaga pukulan saling beradu di tengah udara menimbulkan
goncangan yang hebat, dua-duanya tersurut mundur selangkah, naga-naganya tenaga dalam
mereka seimbang alias sama kuat.
Lok Sian berjingkrak semakin gusar, kedua senjatanya dipersiapkan terus menubruk maju
seraya memutar gelangnya dengan gencar dan aneh. Thian-ih insaf bahwa ilmu gelang belibis
musuh sangat lihay, maka segera ia juga melolos pedang untuk menghadapi serangan musuh.
Tidak nyana bahwa ilmu gelang belibis ini memang teramat aneh dan menakjubkan, dalam
gebrak pertama itu tahu-tahu pedang panjang Thian-ih kena terjepit dan tergencet kencang
oleh senjata musuh, seketika susah dicabut lolos, saking besar tenaga yang terkerahkan untuk
membetot akhirnya pedang panjang sendiri malah yang patah menjadi dua, bertepatan
dengan itu sepasang gelang Lok Sian juga telah menindih dan mengepruk tiba.
Dalam keadaan yang gawat itu Thian-ih masih dapat unjuk ketrampilannya, tiba-tiba ia
membalik sembari membungkukkan badan sehingga tubuhnya melejit mengapung di tengah
udara, berbareng kedua kakinya bergerak menjejak ke belakang bergantian. Tindakannya ini
dinamakan Siang-kiong-dat-tui, satu diantara pelajaran tunggal dari Kiam-bun-it-ho yang
lihay. Karena terdesak baru Thian-ih dipaksa melancarkan tipunya ini, keruan perbawanya
bukan main hebatnya. Sudah tentu Bu-ing-kui Lok Sian tidak mengira bakal menghadapi
kepandaian yang aneh bin ajaib ini, meski secepat mungkin ia berusaha mengelakkan diri juga
sudah terlambat, dengan telak kedua kaki Thian-ih menendang di dadanya, seketika setan
bayangan menjerit seram, darah segar menyembur dari mulutnya, tubuhpun segera roboh tak
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
berkutik lagi, jiwanya seketika melayang menghadap Giam-lo-ong.
Meskipun akhirnya dapat membunuh musuh, tak urung hati Thian-ih juga berdetak keras,
badannya basah oleh keringat dingin, sungguh sesal dan gegetun pula akan kebodohan dan
kurangnya pengalaman dalam menghadapi musuh-musuh licik ini, untung pelajaran gurunya
digdaya dan mandraguna, kalau tidak mungkin jiwa sendiri yang sudah melayang jadi setan
gentayangan. Setan tanpa bayangan kini betul-betul sudah menjadi setan gentayangan tulen. Li Hong-gi
masih rebah dalam peti batu kaca dengan tenangnya, kedua matanya terpejamkan, mulutnya
menyungging senyum manis, semakin dipandang semakin mempesonakan. Semakin gelap
kedua mutiara itu semakin memancarkan sinarnya yang terang dan cemerlang.
Setelah termangu sekian lamanya Thian-ih maju mendekat dan memeriksa cara bagaimana
harus membuka peti batu kaca ini, akhirnya di sebelah samping diketemukan sebuah lobang
kunci, agaknya disinilah letak kunci rahasia pembuka peti batu kaca ini. Sekonyong-konyong
tergerak hati Thian-ih, bukankah lobang kunci ini sebesar kunci yang ditemukan dalam
pengejaran Ciu Hou tempo hari " Mengapa tidak dicoba saja" Demikian pikirnya.
Baru saja tangannya merogoh kantong, tiba-tiba terdengar diluar kuburan suara gaduh dibalik
pintu, agaknya seseorang tengah berusaha membongkar dan membandrek kunci. Lekas-lekas
Thian-ih menyeret tubuh Lok Sian untuk disembunyikan lalu dibersihkan pula noda-noda
darah, setelah semuanya beres ia kembali sembunyi di tempatnya tadi.
Suara gedobrakan menerjang pintu semakin keras dan gencar, saking tegang Thian-ih
memegang tumbung besi di belakangnya dan tanpa sengaja ia memutarnya dan tahu-tahu
tumbung besi ditangan kiri itu terlepas, seketika terdengar percakapan dari luar: "Ai, Lo-ho,
kunci ini begini kencang, coba kau kerjakan."
Kiranya kedua tumbung besi itu tembus keluar kuburan, dari lobang tumbung besi ini dapat
melihat keadaan diluar dengan jelas. Terlihat oleh Thian-ih dua orang yang membekal senjata
aneh tengah berusaha membuka pintu rahasia kuburan itu. Dari penerangan yang mereka
bawa Thian-ih dapat melihat tegas wajah mereka putih dan hitam. Batinnya, tentu merekalah
yang dijuluki Pek-bian-kui dan Hek-bian-kui dari Mo-san-sam-kui itu.
Tak lama kemudian terdengar Hek-bian-kui Ci Kiu berjingkrak girang: "Lo-ho, kunci sudah
dapat kubuka." Thian-ih terperanjat, bahwa kepandaian Mo-san-sam-kui ini sangat tinggi tidak perlu
disangsikan lagi, kalau mereka menerjang masuk dan mempergoki dirinya tanpa membekal
senjata, berbahayalah jiwanya. Dalam keadaan yang mendesak ini terpaksa dijemputnya
kedua gelang belibis Lok Sian itu untuk membela diri sekadarnya.
"Blang" pintu batu yang tebal dan besar itu tiba-tiba menjeplak dan terbuka lebar oleh pukulan
kegirangan gabungan Ho Han dan Ci Kiu. Terdengar teriakan mereka yang memanggil-manggil: "Lo-lok, Lok-hiante, eh..............."
Sekian lama mereka memanggil-manggil tanpa penyahutan semestinya, keruan kaget dan
heran kedua orang ini, serta merta timbullah kewaspadaan mereka untuk tidak secara
sembrono menerjang masuk ke dalam kuburan, hanya obor di tangan mereka
digoyang-goyangkan ke kanan kiri. Thian-ih sudah bersiap hendak menerjang keluar dengan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
sebuah serangan kilat yang mematikan, namun sebelum ia bertindak, diluar kuburan sana
terdengar derap langkah orang ramai yang tengah mendatangi disusul suara gelak tawa yang
riuh ramai di belakang Ho Han dan Ci Kiu. Tersipu-sipu kedua setan hitam putih ini memutar
tubuh, secepat itu pula segera Thian-ih melejit maju terus sembunyi dibelakang pintu, dari sini
keadaan diluar dapat dilihatnya lebih tegas lagi. Ternyata diluar sana sudah berjajar tujuh
orang yang menghunus senjata tajam dengan sikap mengancam.
"Siapa kalian" Anjing alap-alap ataukah kawan dari satu golongan?" terdengar Pek-bian-kui Ho
Han berseru menegur. Yang dimaksud dengan anjing alap-alap adalah para bayangkari dari
istana raja, sedang kawan satu golongan adalah sahabat-sahabat Kangouw dari golongan
hitam. Terdengar salah seorang dari tujuh orang itu bergelak tertawa lalu berkata: "O, kalau tidak
salah kalian adalah Pek-bian-kui Ho Han dan Hek-bian-kui Ci Kiu dari Mo-san-sam-kui bukan"
Selamat, selamat bertemu, aku yang rendah Kiu-bwe-long (serigala sembilan ekor) Kiau Sing
beserta saudara-saudara dari Kam-liang-pay !"
Kiranya mereka bukan lain adalah tujuh Tongcu dari Kam-liang-pay, ketujuh orang itu adalah:
Kiu-bwe-long Kiau Sing, Gin-poan-koan (potlot hakim perak) Koan Kiat, Thiat-po-lo-han
(Lohan berlengan besi) Cui Siau-peng, Hwi-yan-cu (siwalet terbang) Lo Cing, Cun-thian-lui
(guntur menggelegar) Si Cin dan dua Tongcu wanita yang bernama Hun-lo-sat (kuntianak
jelita) Kiong Giok-eng dan Soan nio-cu (gadis kecut) Kwe Ceng-sian.
Thian-ih malah lega akan kedatangan tujuh Tongcu dari Kam-liang-pay ini, biarkan mereka
saling cakar dan bergumul sendiri supaya meringankan tenaganya nanti. Satu hal masih
diragukan bahwa Liong-gwa-hou-tiang terang sudah tiba mengapa masih belum muncul"
Setelah hening sejenak Pek-bian-kui membuka suara, "Kiau Tongcu, Kam-liang-pay kalian
bersarang jauh di daerah barat sana, jauh-jauh serta malam-malam meluruk ke Ki-lam, apakah
tujuan kalian?" Kiau-bwe-long Kiau Sing menyeringai tawa, sahutnya: "Ho-heng, seorang jantan bicara secara
terang-terangan, kau kan sudah tahu pura-pura tanya apa segala, bukankah berkelebihan
bacotmu itu! Hahaha..........."
Begitulah karena saling mengukuhi haknya masing-masing kedua belah pihak semakin tegang
berhadapan saling melotot.
Kalau dinilai kekuatannya, dalam hal Lwekang, terang pihak Kam-liang-pay tiada satupun yang
dapat menandingi setan hitam putih ini, namun dengan gabungan tujuh tenaga yang bersiap
main keroyok mereka tidak gentar menghadapi saingan berat dan lihay ini.
Dibawah penerangan obor ditangannya, wajah Pek-bian-kui terlihat pucat pasi menakutkan,
diam-diam ia menerawangi situasi keadaan ini, terang pihak lawan menang banyak tenaga
sehingga semua tindakan harus diperhitungkan lebih masak, apalagi jejak Bu-ing-kui Lok Sian
menghilang tanpa diketahui dimana berada, bagaimana juga harus berlaku sabar dan melihat
keadaan, maka katanya sambil menahan gusar: "Para Tongcu Kam-liang-pay yang terhormat.
Sebenarnya jauh pada dua bulan yang lalu telah kita ketahui tentang kedua butir mutiara
mestika dalam kuburan ini, siang-siang kita sudah merancang untuk mengambilnya, sebab
harus diketahui bahwa salah satu dari mutiara itu yaitu Hwe-ki-cu adalah pusaka pelindung
Mo-san-pay kita. Terang kita setindak lebih maju dengan bukti bahwa Lok-hiante kita sudah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
masuk kedalam untuk mengambil kedua mutiara itu. Jauh-jauh kalian sudah datang, demi
menjaga persahabatan janganlah kita sampai bentrok karena urusan kecil ini, untuk itu baiklah
kita terpaksa mengalah dan merelakan mutiara yang lain yaitu Pi-seng-cu untuk kalian......."
Dasar Kiau Sing licik dan banyak akal muslihatnya, diam-diam ia juga menimang situasi dan
memperbandingkan kekuatan kedua belah pihak. Kalau bertempur satu lawan satu terang
pihak sendiri tiada yang bakal menang, tapi kalau tujuh orang serentak maju berbareng
agaknya cukup berkelebihan untuk membereskan setan hitam putih ini. Mumpung Lok Sian
sisetan gentayangan itu belum keluar, ganyang dulu kedua setan ini lebih baik, demikianlah
pikirnya, maka katanya temberang : "Kalau mau mengalah jangan kepalang tanggung
serahkan kedua-duanya, Kam-liang-pay akan sangat berterima kasih kepada kalian. Kalau
tidak boleh, jangan sesalkan pihak Kam-liang-pay tidak hiraukan persahabatan apa segala.
Jauh-jauh kita kemari tidak mungkin kembali dengan tangan hampa, terpaksa marilah
unjukkan kepandaian kalian untuk dipertontonkan kepada kita sekalian saudara............"
Watak Hek-bian-kui Ci Kiu lebih berangasan, semprotnya bengis: "O, jadi beginilah congor asli
pihak Kam-liang-pay, terhitung orang gagah apa kalian ini" Mari, mari, majulah bersama, Ci
Kiu takkan mundur menghadapi bangsa kurcaci macam kalian............" sambil memaki
dijinjingnya senjata tombak yang menyerupai cabang-cabang pohon Bwe terus melompat
maju ketengah kalangan. Justru tindakan lawan inilah yang dinantikan oleh Kiau Sing, girang hatinya bukan kepalang
karena pancingannya ternyata berhasil, maka serunya memberi aba-aba: "Koan-hiante dan
Cui-hiante, layanilah setan hitam ini. Dan kau Lo-hiante dan Si-hiante cegatlah setan putih itu,
biar aku bersama adik-adik kita masuk ke dalam menjemput mutiara itu.............."
Serentak para saudaranya itu mengiakan bersama, terus bergerak menurut petunjuk saudara
tua mereka tadi. Seketika terjadilah pertempuran yang sengit dan seru. Sementara Kiau Sing
memimpin Kiong Giok-eng dan Kwe Ceng-sian menerjang masuk kedalam kuburan.
Setan hitam putih bertempur sambil membentak-bentak untuk menambah semangat.
Lwekang setan muka putih Ho Han sudah mencapai kesempurnaannya, melihat Kiau Sing
bertiga bermain licik hendak bolos masuk kedalam kuburan, hatinya gusar bukan kepalang,
ilmu sepasang tongkat ditangannya merupakan kepandaian yang paling dibanggakan dan lihay
luar biasa, tidak kepalang tanggung lagi segera dilancarkan tipu Keh-an-koan-hwe (menonton
kebakaran dari sebrang), dengan telak jalan darah mematikan dipunggung Si Cin kena
tertutuk, seketika ia berteriak sambil muntah darah terus roboh terkapar tak bergerak lagi.
Sungguh mengagumkan kepandaian Ho Han ini, secepat itu tutukannya berhasil, mendadak
tubuhnya melejit kebelakang terus menerjang ke mulut kuburan sambil melintangkan kedua
tongkat bajanya serta ancamnya: "Siapa yang ingin mampus, silakan maju rasakan dulu
kemplangan tongkatku ini!"
Beberapa langkah lagi Kiau Sing sudah tiba dimulut kuburan, serta didengarnya teriakan Si Cin
yang mengerikan lalu secepat itu pula Ho Han sudah berkelebat menghadang dimulut
kuburan, keruan bukan kepalang kejut dan gusarnya, maka teriaknya memberi aba-aba: "Maju
bersama, ganyang setan gentayangan ini !"
Serentak senjata mereka bertiga bergerak diacungkan kedepan dengan serangan yang
mematikan, tanpa gentar Ho Han menggerakkan sepasang tongkatnya untuk menangkis.
Kalau disebelah sini Ho Han sudah berhasil membunuh seorang musuh, adalah disebelah sana
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
sisetan muka hitam juga berada diatas angin, tombak bercabangnya ini sangat aneh dan
menakjubkan, gerak-geriknya susah diraba, dilandasi pula oleh kekuatan pembawaan yang
besar, sudah tentu Gin-poan-koan Koan Kiat dan Thiat-pi-lo-han Cui Siau-ping tak mampu
bertahan, dalam gebrak pertama tadi begitu beradu senjata kontan sepasang Poan-koan-pit
Koan Kiat telah dibikin terbang dari tangannya, dalam ketakutannya ia coba putar tubuh
hendak melarikan diri, namun dasar sial tombak bercabang milik setan hitam sudah
mengepruk hancur kepalanya, jeritannya melolong panjang. Mati-matian Cui Siau-ping
membacok dan membabat dengan senjata kapaknya yang besar dan berat, namun hanya
sekali tangkis dan digentakkan saja kapak besar itu juga terbang tinggi malah orangnya juga
terpental jungkir balik. Teriakan Koan Kiat sebelum ajal menggugah sanubari Lo Ceng yang sudah berada diambang
pintu kuburan, tepat waktu ia merandek dan berpaling dilihatnya Cui Siau-ping tengah
menghadapi bahaya, secepat kilat sebelah tangannya diayun, meluncurlah tiga titik bintang
melesat mengarah kedua biji mata setan hitam. Terpaksa setan hitam harus menunduk kepala
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk menyelamatkan diri, dan peluang sedetik ini cukup untuk Lo Ceng memburu tiba
merintangi niat jahatnya terhadap Cui Siau-ping.
Dalam sekejap mata dua diantara saudara para Tongcu Kam-liang-pay itu mampus, sudah
tentu sisa lima yang lain menjadi keder dan ciut nyalinya. Tapi dalam keadaan mati dan hidup
betapapun harus mengadu jiwa, tanpa komando lagi mereka memecah diri dalam dua
kelompok untuk mengeroyok kedua setan dari Mo-san itu.
Bagaimana juga kepandaian setan hitam-putih lebih tinggi dan hebat, beruntun mereka dapat
membinasakan dua musuh, bangkit dan menyalakan semangat tempur mereka, senjata
diputar dan bergerak semakin lincah dan aneh menakjubkan, meskipun dicecar berbagai
serangan senjata musuh, namun penjagaannya sangat rapat seumpama air hujan juga tidak
akan tembus masuk, malah dalam setiap kesempatan dapat melancarkan jurus-jurus
mematikan yang tidak terduga, lambat laun posisinya semakin menguntungkan dan banyak
menyerang dari pada membela diri. Meskipun pihak Kam-liang-pay berjumlah lebih banyak,
betapapun kepandaian pihak sendiri kalah setingkat dibanding musuh, keruan semakin
terdesak dibawah angin. Melihat situasi yang lebih menguntungkan ini bergelak tertawalah kedua setan hitam-putih,
terdengar setan hitam berolok-olok: "Lo-ho, cepat sedikit bisa tidak. Kedua lawanku ini adalah
telur busuk yang tidak berguna, coba biar kubuktikan kulukai seorang yang ini." Benar juga
lantas terdengar Thiat-pi-lo-han menggerung kesakitan, ternyata pundaknya berlobang
tertusuk tombak bercabang Ci Kiu. Meskipun terluka berat dan sakit luar biasa Cui Siau-ping
tak berani mengundurkan diri, dengan mati-matian ia masih terus tempur musuhnya dengan
sengitnya. Terdengar Ci Kiu berolok lagi sambil menyeringai: "Lo Ho, bagaimana" Tidak jelek bukan" Satu
diantara telur busuk ini sudah terluka, sebentar biar kuantar jiwa keduanya ini menghadap
nenek moyangnya!" Disebelah sana Ho Han sisetan putih juga tidak mau kalah suara, serunya: "Bagus sekali, adik
Ci, selamat bekerja, bereskan secepatnya supaya tidak menunda-nunda waktu untuk ambil
kedua mestika itu. Coba kau lihat kedua gadis rupawan genit ini, tidak tega aku turun
tangan........hahaha..........."
Ci Kiu bergelak tertawa, dia merasa geli mendengar banyolan saudaranya itu. Dengan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
tembang sebul dalam saat menghadapi musuh ini seakan-akan mereka tidak pandang sebelah
mata pada kelima musuh-musuhnya, keruan gemas dan murka para Tongcu Kam-liang-pay
bukan main, sudah kewalahan marah lagi sehingga kurang konsentrasi, maka semakin kacau
balaulah pertahanan mereka. Terutama Cui Siau-ping yang terluka berat, langkahnya semakin
sempoyongan maka dialah yang menjadi sasaran paling empuk, tiba-tiba terdengar Ciu Kiu
membentak keras: "Pergilah menghadap Giam-lo-ong !" sekali tendang tepat mengenai dada
Cui Siau-ping, seketika roboh dan muntah darah tak bangun lagi.
Saking kaget Hwi-yan-cu Lo Ceng berteriak ketakutan: "Kiau-toako......" Terpaksa Kiau Sing
tinggalkan setan putih dan memburu tiba membantu Lo Ceng menghadapi setan hitam.
Begitu serigala sembilan ekor tinggal pergi, keadaan Kiong Giok-eng dan Kwe Cing-sian
semakin payah, setelah sekian lama bertempur mati-matian, badan sudah basah kuyup oleh
keringat, napas juga sudah megap-megap, tapi sepasang tongkat Ho Han bergerak semakin
lincah, mengurung empat penjuru sampai kesempatan untuk melarikan diri juga tidak ada lagi.
Maka dilain kejap dengan mudah saja batok kepala Kiong Giok-eng kena terketok hancur oleh
tongkat Ho Han. Saking ketakutan Gadis kecut Kwe Cing-sian sampai tekuk lutut minta
diampuni. Dasar kejam dan telengas, mendadak setan putih malah membentak beringas:
"Perempuan jalang, pergilah, kau sangka Ho-toaya ini orang apa?" tongkatnya menjojoh
kedepan menutuk dada Kwe Cing-sian, seketika ia menjerit roboh dan melayanglah jiwanya.
Tidak keruan paran perasaan hati serigala sembilan ekor Kiau Sing, dalam situasi yang
mendesak ini terpaksa dikeluarkan senjata rahasianya terus disambitkan sekuat tenaga. Kala
itu setan putih tengah kegirangan dapat membereskan musuh-musuhnya sehingga kurang
waspada, waktu sadar bahwa dirinya tengah terancam elmaut sudah kasep, telak sekali kedua
senjata rahasia itu mengenai dada dan mukanya, belum sempat mengeluarkan suara jiwanya
sudah melayang. Sudah tentu gusar Ci Kiu bukan kepalang, dengan kalap ia menerjang seperti harimau gila
sambil memutar senjatanya. Belum sempat Kiau Sing memutar tubuh, kepalanya pun hancur
tercerai-berai. Ibarat cengcorang menerkam tonggeret, tidak tahunya burung gereja mengintil
dibelakangnya. Begitulah keadaan Ci Kiu, tidak disadarinya bahwa Lo Ceng juga tengah
memburu tiba dibelakangnya waktu ia berhasil membunuh Kiau Sing, pedang panjang Lo Ceng
juga sudah melobangi punggungnya sampai tembus keluar dada. Seketika tubuh Ci Kiu
mengejang terus pelan-pelan memutar tubuh mendadak ia menggembor keras sambil mendo-
rong kedua tangannya kedepan lancarkan pukulan sisa tenaganya. Keruan tubuh Lo Ceng
melayang-layang sampai jauh dan terbanting keras diatas tanah. Setelah melancarkan pukulan
terakhir ini, ludaslah tenaga Ci Kiu, dengan keras tubuhnya berdentam ditanah, setelah
berkelojotan akhirnya diam untuk selama-lamanya.
Karena tamak harta pihak Kam-liang-pay dan Mo-san-ji-kui sampai gugur bersama dimedan
laga, mayat bergelimpangan dengan bau anyir darah yang memualkan, sekejap saja keadaan
menjadi hening bertambah seram.
Tidak lama kemudian tampak tubuh si walet terbang Lo Ceng bergerak dan merangkak
bangun, agaknya lukanya tidak terlalu berat, hanya dia seorang yang masih ketinggalan hidup,
setelah pertempuran mati-matian tadi. Sambil menahan sakit setindak demi setindak ia
berengsut jatuh bangun mendekati mulut kuburan.
Keadaan Lo Ceng ini seperti orang yang sudah kehilangan pikiran sehat, sejenak ia merandek
terus memutar balik berjalan berkeliling menghampiri semua mayat-mayat itu untuk diperiksa.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Setelah diketahui semua sudah melayang jiwanya, terdengar mulutnya menggumam: "Bagus
sekali, hahaha, semua sudah modar (mati)! Hahaha, biar aku sendiri yang kangkangi kedua
butir mutiara mestika itu, hehehe!" Lalu ia beringsut lagi menghampiri mulut kuburan.
Sebetulnya Thian-ih sudah bersiap dibelakang pintu kuburan. Tidak tahunya baru saja Lo Ceng
tiba diambang pintu, mendadak tubuhnya dihujani berpuluh batang anak panah dari
belakangnya, tidak ampun lagi tubuhnya roboh dengan puluhan panah menancap diatas
badannya, meskipun dalam keadaan meregang jiwa ini dia masih bertahan sekuat tenaga,
susah payah ia merangkak terus kedepan hendak memasuki mulut kuburan.
Dilain saat dibelakangnya bermunculan bayangan orang banyak yang dipimpin oleh
Liong-gwa-hou-tiang Li Ti, anak buahnya menyulut obor berdiri dikedua sampingnya. Terlihat
oleh Thian-ih wajah Li Ti mengulum senyum ejek sambil memandang hina kearah Lo Ceng
yang masih merangkak-rangkak maju selangkah, mendadak tangan Li Ti terayun menggablok
punggung Lo Ceng dengan kerasnya.
Sepasang mata Li Ti memandang jalang kepada semua anak buahnya untuk angkat perbawa,
lalu dipesannya pada anak buahnya: "Siap untuk masuk! Juru panah bersiaga diluar sini,
bunuh saja siapapun yang berani mendekat !"
Belum habis perkataannya mendadak seorang anak buahnya maju melapor: "Dikejauhan sana
tampak bayangan orang tengah mendatangi......"
Li Ti terperanjat, memang benar dilihatnya sebuah bayangan orang tengah meluncur datang
secepat meteor terbang. Dasar nyali Li Ti memang kecil dan berjiwa pengecut, cepat-cepat ia
memberi komando pada anak buahnya: "Berpencar dan sembunyi, dengar perintahku untuk
bertindak!'' Tersipu-sipu semua orang mencari tempat perlindungan.
Ditempat sembunyinya Thian-ih mencibir bibir, bahwa Li Ti telah memboyong semua
kekuatannya kemari tapi toh masih bermain licik dan pengecut serendah itu, sungguh harus
disesalkan dan memalukan.
Dalam sekejap saja bayangan itu telah meluncur tiba, dari perawakan orang, Thian-ih dapat
mengenal jelas, dia bukan lain adalah Nyo Hway-giok adanya, calon suami Li Hong-gi. Thian-ih
menjadi gugup dan kuatir akan keselamatan orang, bagaimana ia harus menolong jiwa orang
dari ancaman hujan anak panah" Terpaksa dari belakang pintu Thian-ih sambitkan sebuah
senjata rahasia keluar, sebuah bianglala bersuit ketengah udara diluar pekuburan itu. Ini
sudah cukup mengejutkan Nyo Hway-giok, segera ia hentikan langkahnya sambil bersiaga.
Dan belum sempat ia membuka suara, anak panah telah menghujani kearah dirinya, karena
sudah bersiaga Nyo Hway-giok obat-abitkan kedua lengan bajunya yang gondrong tanpa
gentar sedikitpun, seketika anak panah itu berjatuhan di sekitar tubuhnya.
Setelah hujan anak panah itu berhenti, lantas berloncatan keluar sekian banyak orang dari
sekitar tempat-tempat yang gelap, mereka mengepung dengan garang sambil menyoreng
senjata. Dengan tajam Nyo Hway-giok tatap orang-orang di sekitarnya lalu tanyanya: "Apa maksud
kalian membunuh orang sedemikian banyak disini?"
Salah seorang diantara pengepungnya tertawa dingin, jengeknya: "Buyung, siapa kau"
Hendak apa kau kemari?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sungguh harus dipuji sikap Nyo Hway-giok sebagai orang terpelajar yang mengenal sopan
santun, sikapnya tetap sabar meskipun diperlakukan kasar, sahutnya: "Aku yang rendah Nyo
Hway-giok, ini kuburan istriku tercinta. Siapakah kalian ini" Harap suka perkenalkan diri !"
Orang itu menyahut: "Aku she Li bernama Ti berjuluk Liong-gwa-hou-tiang, bicara terus terang
tujuan kita adalah kedua mutiara mestika dalam kuburan istrimu itu, serahkan saja kepada kita
supaya tiada pembunuhan berdarah dan segera kita tinggal pergi............"
Nyo Hway-giok tetap tenang dan sabar, dengan kalem dan sopan ia coba memberi penjelasan:
"Li-enghiong, ketahuilah bahwa kedua butir mutiara itu adalah pemberian seorang aneh yang
hebat kepandaiannya kepada Li-tayjin, kasiatnya sangat aneh dapat menghilangkan kotoran
debu dan peranti melindungi jenazah istriku supaya tidak membusuk, demikianlah keadaan
istriku sekarang, begitu besar manfaat kedua butir mutiara itu kalau sekarang kuserahkan
kepada Li-enghiong, dapatkah jenazah istriku terlindung lagi" Hal ini..........membuat aku yang
rendah serba susah dan tidak dapat melulusi..............."
Thian-ih menjadi getol dan kurang sabar mendengar penjelasan Nyo Hway-giok yg berbau
kecut sebagai kaum pelajar itu. Bicara secara sopan dan demi keadilan kepada manusia
pengecut dan licik seperti Liong-gwa-hou-tiang ini akan sia-sia dan hampa. Memang tepat
dugaannya ini, terdengar Liong-gwa-hou-tiang berkata sambil menggeleng kepala:
"Nyo-kongcu, orang hidup adalah untuk mati, setelah mati untuk apa pula dilindungi jenazah
dan wajahnya apa segala " Seumpama aku tidak minta, cepat atau lambat pasti juga dicuri
orang lain. Bukankah kau sudah melihat mayat-mayat bergelimpangan ini" Mereka saling
bunuh karena ingin mengangkangi kedua mutiara itu, mampus sekelompok akan membanjir
kelompok yang lain lagi, sebaiknya tanamlah budi kepada orang lain demi kebaikan sesama
manusia dan demi ketenteraman istrimu tercinta dalam kuburan itu, marilah serahkan
kepadaku saja........."
"Gading gajah membakar tubuh, mutiara menimbulkan bahaya......" demikian Nyo Hway-giok
menggumam seorang diri, lalu serunya: "Memang ucapanmu tepat sekali. Betapapun sebelum
aku sendiri mati, tidak rela kulihat wajah istriku yang molek itu berubah sedikitpun.
Li-enghiong, lebih baik kuganti dengan emas perak atau harta benda berharga lainnya kepada
kalian bagaimana, jangan kedua mutiara itu yang kalian incar."
Tingkah dan ucapan Nyo Hway-giok yang lemah lembut ini membuat Li Ti sebal dan tidak sabar
lagi serta memandang rendah. Tiba-tiba semprotnya marah dengan melotot: "Kutu busuk!
Siapa sabar tawar menawar dengan kau, bagaimana juga mutiara itu harus kita dapatkan, kau
minggir !" lalu dengan langkah lebar ia memburu ke mulut kuburan.
Nyo Hway-giok menjadi gugup, tersipu-sipu ia memburu menghadang sambil melintangkan
kedua tangannya di depan pintu kuburan, ujarnya: "Li-enghiong, berapa banyak yang kau
minta akan kuserahkan kepadamu, tapi jangan........."
Mendadak Li Ti angkat tangan terus memukul ke dada orang, terpaksa Nyo Hway-giok harus
membela diri, tangan kirinya terlihat bergerak menyambut pukulan musuh, seketika terasa
sejalur tenaga besar menerjang ke arah Li Ti dengan dahsyatnya, kontan tubuhnya yang tinggi
besar itu terpental terbang ke belakang.
Tidak kepalang heran dan kejut Nyo Hway-giok sampai melongo sekian lama, bahwa
kepandaian orang ternyata sedemikian tidak becus, maka cepat-cepat ia susuli lagi dengan
tangan kanan didorong kedepan terus ditarik balik lagi hingga angin pukulannya tersedot
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kembali, tanpa kuasa tubuh Liong-gwa-hou-tiang terbawa jumpalitan dan jatuh duduk di tanah
tanpa kurang suatu apa. Seharusnya Liong-gwa-hou-tiang sudah harus tahu diri dan insaf betapa lihay kepandaian
Kongcu terpelajar ini. Dasar pengecut, licik dan berwatak biadab dan kejam serta culas,
dianggapnya sifat Nyo Hway-giok yang lemah lembut itu gampang dilayani, maka segera ia
siapkan anak buahnya dengan aba-aba: "Semua siap dan serbu, bunuh pelajar tengik ini !"
Serempak anak buahnya menerjang serabutan dari kanan kiri dan depan, seketika Nyo
Hway-giok dihujani serangan membadai yang merepotkan, sesaat ia terkepung di tengah
susah untuk meloloskan diri. Dasar besar nyalinya, ia berlaku tetap tenang dan sabar, kedua
lengan bajunya beterbangan sangat indahnya seperti orang tengah menari-nari menangkis
dan menyambuti setiap serangan pengeroyoknya, sedemikian lincah ia bergerak seumpama
kupu-kupu terbang diantara rumpun bunga, setiap kali lengan bajunya mengebut pasti salah
seorang pengeroyok diberi tanda mata. Dia tidak mau membunuh, hanya memberi peringatan
saja supaya mereka tahu diri dan mundur teratur.
Ibarat naik harimau tak bisa turun, begitulah keadaan Li Ti serta anak buahnya, sedemikian
jauh sudah kepalang tanggung bertindak meskipun lawannya tangguh dan susah dirobohkan,
namun bukannya mundur mereka malah semakin gencar menyerang mati-matian. Betapapun
kebutan lengan baju Nyo Hway-giok lihay luar biasa, kesiur anginnya saja tak gampang
ditembus seumpama sebuah tembok yang kokoh kuat, setindakpun mereka tak kuasa maju.
Saking kewalahan akhirnya timbullah niat jahat dan akal licik Li Ti. Secara diam-diam ia
mundur keluar gelanggang pertempuran terus mencomot segenggam senjata rahasia. Begitu
menjejakkan kaki disaat tubuhnya terapung ditengah udara belum tangannya sempat
menyambitkan senjata rahasianya, tiba-tiba punggung sendiri terasa disentuh sebuah benda
yang tepat mengenai jalan darah yang melemaskan, kontan rasa nyeri dan kesakitan meresap
ketulang sungsum menyergap tubuhnya. Dengan sendirinya tenaga yang terkerahkan agak
lumpuh, maka senjata yang tergenggam itu menjadi kendor sambitannya dan bukan mengenai
Nyo Hway giok malah melukai para anak buahnya sendiri yang sedang giat mengeroyok
musuhnya. Maka terdengar keluh kesakitan saling susul berbareng anak buahnya banyak yang
bergulingan ditanah sambil berteriak-teriak.
Nyo Hway-giok menjadi kaget dan melengak sekejap saja para musuh yang mengeroyok itu
malah berlarian pontang-panting seperti dikejar setan. Dilihatnya pula Li Ti sudah terkapar
tanpa bernyawa lagi. Keruan semakin heran dan bertanya-tanya, pasti orang yang memberi
pertanda adanya bahaya waktu dirinya datang tadi itulah yang telah memberikan pertolongan
lagi sekarang ini. Lekas-lekas ia membungkuk keempat penjuru berseru lantang: "Orang
gagah siapakah yang telah sudi menolong jiwa Cayhe" Silakan keluar akan kusampaikan rasa
terima kasih yang berlimpah kepada tuan!" berulang kali sudah Nyo Hway-giok berkaok-kaok
tanpa mendapat reaksi yang diharapkan, akhirnya ia menggumam seorang diri: "Hanya dua
butir mutiara saja sampai mengorbankan sedemikian banyak jiwa manusia. Dosa, berdosa, ai
memang salahku, aku terlalu mementingkan kepentinganku saja demi menyelamatkan tubuh
adik Hong-gi.....ai, kalian harus bersabar, tunggulah setelah aku mati, saat mana terserah
kalian hendak mengambil mutiara itu. Setelah aku meram bersama satu liang dengan adik
Hong-gi... Kita tidak akan sayangi kedua benda mestika itu"."
Cuaca semakin gelap, tengah malam telah menjelang, dengan tenang Nyo Hway-giok
menyapu pandang ke sekelilingnya lalu dengan langkah lebar memasuki kuburan.
Cepat-cepat Thian-ih sembunyi dibelakang gordiyn tempatnya semula, Nyo Hway-giok
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
melangkah dengan tenangnya, setelah melihat tiada perobahan dalam kuburan itu legalah
hatinya. Tiba didepan peti mati ia membungkuk memberi hormat serta katanya: "Adik Hong-gi,
lihatlah aku datang mengunjungimu, kuharap arwahmu mendapat tempat yang tenang dialam
baka. Memang kedatanganku ini sangat lancang dan mungkin kau tertawakan tindakanku
yang bodoh ini. Adik Hong-gi selama ini kita belum pernah bertemu muka, namun sejak lama
kudengar betapa harum nama dan agungnya istriku itu bukan saja cantik rupawan luhur budi
serta cerdik cendekia pula. Sekarang kita telah bertemu aku sangat senang dan lega. Selama
ini aku terlalu rajin belajar dan memperdalam ilmu silat, bukan karena tidak ingin menemuimu
sebenarnya aku takut sekali kita bersua akan membuatku terkenang selalu dan rindu
sepanjang masa sehingga mungkin mengganggu pelajaranku itu. Lagi pula musim semi yang
akan datang kita sudah akan melangsungkan pernikahan. Saat mana kita akan selalu
bersanding dan takkan berpisah untuk selamanya, betapa gembira dan bahagia hidup
kita.....Siapa tahu kabar jelekmu membuat aku hampir-hampir pingsan dan lenyaplah seluruh
harapan yang telah kucita-citakan itu. Meskipun secepatnya aku menyusul tiba mana kala kau
sudah tak dapat bicara lagi denganku, sepasang matamu bak bintang kejora sudah
terpejamkan untuk selama-lamanya. Kau takkan dapat melihat lagi, kini aku telah datang, kita
takkan berpisah lagi, biar kututup pintu itu dari dalam kita bisa berdampingan untuk sepanjang
masa." Sinar pelita dalam kuburan semakin redup dan guram, tubuh Nyo Hway-giok semampai diatas
peti mati sambil sesenggukan dengan suara serak, menggumam lalu menangis dan menangis
serta menggumam lagi, saking terharu tanpa merasa Thian-ih juga ikut berduka dan
mengalirkan airmata. Dari ucapannya terang bahwa Nyo Hway-giok hendak bunuh diri untuk
menyusul istrinya dialam baka, ,besar niatnya untuk mencegah perbuatan bodoh yang nekad
ini, namun keadaan dirinya saat itu tidak mengijinkan dia berbuat begitu, siapa tahu kalau
perbuatan baiknya ini malah akan menimbulkan salah paham dan curiga orang, akhirnya
terpikirkan untuk tinggal pergi secara diam-diam, dipikir memang gampang namun prakteknya
sangat sulit. Meskipun Nyo Hway-giok tengah menangis dengan sedihnya, betapapun
Lwekangnya sudah mencapai taraf yang tertinggi, sedikit bertindak salah bukan mustahil akan
menimbulkan kerepotan yang susah dilerai. Maka terpaksa Thian-ih berlaku sabar dan menanti
perkembangan selanjutnya.
Nyo Hway-giok menghentikan tangisnya, matanya mendelong terlongong memandangi wajah
Li Hong-gi lalu gumamnya lagi: "Adik Hong-gi, ketahuilah kedua mutiara disisi tubuhmu itu
adalah Hwe-ki-cu dan Pek-seng-cu. Pasti Gak-hu tidak tahu akan hal ini, bahwa kedua butir
mutiara mestika itu adalah sebagian benda-benda berharga dari gudang istana raja yang telah
hilang dicuri simaling terbang yang menggemparkan itu. Siapakah orang aneh yang
menyerahkan kedua mutiara ini" Darimana pula ia peroleh kedua mutiara ini untuk melindungi
tubuhmu sehingga tidak membusuk " Aku harus berterima kasih kepada orang itu, namun
nama dan jejaknya tidak menentu kemana pula aku harus mencarinya " Adik Hong-gi kalau
kalangan pemerintahan mengetahui perihal kedua butir mutiara mestika ini, pasti celakalah, ai
dosa tak terampun mungkin membawa kemusnahan bagi kedua keluarga kita."
Thian-ih terperanjat. Tak tersangka olehnya bahwa dua butir mutiara itu ternyata adalah
sebagian harta benda berharga yang tercuri dari gudang istana raja itu, entah adakah
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hubungan dan sangkut pautnya dengan sibaju perak, kalau benar perbuatan sibaju perak
kejadian ini semakin aneh lagi. Dengan sengaja dia sudah meracuni Li Hong-gi hingga mati,
lalu mengapa pula ia berikan kedua butir mutiara mestika ini untuk melindungi raganya supaya
tidak membusuk" Terdengar Nyo Hway-giok tengah berkata lagi: "Adik Hong-gi, sayang kau tak dapat bicara
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
lagi, tahukah kau apa yang hendak kutanyakan kepadamu" Ingin aku tahu apakah kau suka
kalau aku memangku jabatan dalam pemerintahan" Apa kau dapat menyelami isi hatiku" Keta-
huilah meskipun aku keturunan seorang berpangkat, tapi aku benci segala jabatan, aku lebih
senang bebas dan kelana tanpa rintangan dan belenggu yang mengekang. Kita dapat hidup
mengembara kemana kita suka, pesiar, bermain musik atau belajar membaca dan silat,
bayangkan betapa senang dan bahagia hidup semacam itu, rasanya lebih menggembirakan
dari pada hidup dilingkungan pemerintahan yang terlalu membosankan dengan ikatan dinas
apa segala..........."
Tidak terkirakan oleh Thian-ih bahwa ternyata keturunan seorang berpangkat macam dia
mempunyai pambek sedemikian besar dan luhur, sedemikian besar tekad dan cita-citanya
sampai rela meninggalkan jabatan pemerintahan yg tinggi mandah kelana di Kangouw yang
penuh liku-liku hidup yang membahayakan. Timbul rasa kagum dan simpatik dalam benak
Thian-ih, ingin benar rasanya bersahabat dengan seorang kawan yang berpandangan jauh
selaras dengan tujuan hidup sendiri.
Mendadak suara Nyo Hway-giok berubah ketus penuh penyesalan: "Tapi.........sekarang........
semua menjadi kenangan hampa belaka, betapapun indah impian muluk-muluk itu, kau sudah
pergi mendahului aku.........aku.........hidup.......bagaimana aku dapat hidup melewatkan
hari-hari yang mengenaskan ini.............."
Kata Nyo Hway-giok lagi sambil sesenggukkan: "Adik Hong-gi, semasa hidup kita tidak bisa
berdampingan, biarlah kita mati dalam satu liang kubur, peduli dengan segala peristiwa dan
urusan dalam dunia ini sudah tiada sangkut-pautnya lagi dengan aku..............."
Lalu dari dalam sakunya dikeluarkan sebuah anak kunci terus dimasukkan dan diputar dilobang
kunci, di lain saat dengan mudah sekali tutup batu kaca itu sudah terbuka. Seketika
berhamburanlah bau harum semerbak memenuhi seluruh ruang pekuburan itu. Nyo
Hway-giok bersiap hendak memasuki peti batu kaca itu, serta melihat tegas wajah Li Hong-gi
seketika ia mengunjuk rasa kaget dan heran, saking terpesona dan gembira tanpa merasa ia
membungkuk tubuh mencium bibir Li Hong-gi, tiba-tiba ia tersentak dan berjingkat mundur,
Thian-ih mendengar dia tengah menggumam: "Heran, apa yang telah terjadi" Mengapa
bibirnya masih terasa hangat, mulutnya berbau arak keras sekali?"
Nyo Hway-giok tenggelam dalam pikirannya, penemuan yang tak terduga ini menyebabkan
Thio Thian-ih juga ikut terheran-heran, kalau betul-betul terjadi masakah tidak janggal" Mana
mungkin orang yang sudah meninggal selama seratus hari bibirnya masih terasa hangat,
bukan mustahil karena keampuhan dari kasiat kedua butir mutiara itu. Atau kesalahan dari
perasaan Nyo Hway-giok sendiri"
Dilihatnya Nyo Hway-giok tengah membungkuk memeriksa dengan teliti, tak lama kemudian
dia angkat kepala sambil bertepuk tangan, wajahnya penuh mengunjuk rasa kegirangan yang
berlimpah, terdengar ia menggumam lagi: "Mungkinkah adik Hong-gi minum arak 'Pek-jit-kui'
(seratus hari pulang) " Unsu (guru berbudi) pernah berkata bahwa seseorang yang minum
Pek-jit-kui meskipun tubuhnya kaku, tapi kalau ditutuk Jin-tiong-hiatnya, pasti kelopak
matanya bergerak-gerak, dari sini dapatlah kubuktikan apakah adik Hong-gi benar-benar
sudah meninggal atau masih hidup........."
Jantung Thian-ih ikut berdebur dengan kerasnya, dengan tegang ia ikuti perkembangan
selanjutnya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sementara itu Nyo Hway-giok sudah ulur jarinya hendak menutuk tapi mendadak ditarik
kembali, katanya: "Aku menjadi ragu-ragu apakah adik Hong-gi kuat menahan tutukanku ini."
sejenak ia termenung lalu katanya lagi: "Betapapun harus kucoba untuk membuktikan adik
Hong-gi betul-betul belum meninggal, dik, maafkan tindakan engkohmu yang lancang ini !"
secepat kilat jarinya bergerak sekali, lalu dengan cermat ia mengawasi kelopak biji mata Li
Hong-gi. Jarak Thian-ih agak jauh jadi tak dapat melihat tegas, hatinya ikut gugup dan tidak tentram.
Akhirnya dilihatnya Nyo Hway-giok menegakkan tubuh sambil berseri gembira, saking riang
dia sampai mencak-mencak dan menari-nari seperti putus lotre tiga juta. Terdengar mulutnya
mengoceh: "Bagus sungguh menggembirakan, adik Hong-gi ternyata kau belum meninggal,
kau hanya minum arak Pek-jit-kui ! Rasa girang engkohmu ini, oh, dik, kalau kukatakan pasti
kau tidak percaya, hampir aku kelenger saking senang," memang gerak-geriknya
sempoyongan hampir roboh.
Nyo Hway-giok membungkuk lagi memeriksa dengan cermat seperti dokter yang tengah
memeriksa pasiennya, mengendus sini mendengarkan sana lalu didengarkan pula denyut
jantung Li Hong-gi sekian lama terus tekan sini dan pegang sana baru akhirnya ia berkata:
"Adik Hong-gi, sekarang dapat kupastikan bahwa kau hanya minum arak Pek-jit-kui itu. Unsu
pernah bercerita kepadaku bahwa ditapal batas Hun-kui diatas pegunungan yang tinggi
terdapat sebatang pohon aneh yang dinamakan Cap-li-biau-hiang (bau wanginya semerbak
sampau sepuluh li), kuntum bunga ini berbentuk kecil tidak menyolok, setiap tahun hanya
berkembang sekali pada tiap musim semi, meskipun berada jauh sepuluh li misalnya bila
mengendus bau wangi ini seketika orang akan roboh ditengah jalan. Maka mereka yang sudah
kenal akan bau wangi ini cepat-cepat menutup hidung dan mulut.
Kuntum bunga Cap-li-biau-hiang kalau direndam dalam air salju dapat menjadi semacam arak
yang harum dan sangat keras, seteguk saja dapat membuat orang jatuh mabuk sampai berapa
lama baru bisa siuman. Dulu seorang sahabat Unsu pernah membuat percobaan dengan
kuntum bunga arak itu, akhirnya memang terbukti seratus hari kemudian baru orang yang
jatuh mabuk itu siuman. Oleh karena itu, maka dinamakan Pek-jit-kui (seratus hari kembali).
Meskipun arak semacam itu tidak dapat membunuh atau mencelakai orang, tapi kasiatnya
memang sangat mengejutkan, jarang orang suka menggunakan, betapa tidak karena sekali
jatuh mabuk seratus hari kemudian baru bisa siuman, bukan mustahil bagi orang yang sekali
jatuh mabuk seratus hari tanpa bergerak tanpa makan minum seumpama orang mati
badannya takkan membusuk. Alkisah pernah terjadi seorang penjahat tunggal yang gemar
minum arak secara suka rela menyediakan diri sebagai percobaan, akhirnya baru satu minggu
saja sejak ia jatuh mabuk badannya mulai membusuk dan akhirnya meninggal dunia dalam
waktu setengah bulan saja. Lain halnya dengan sahabat Unsu itu, waktu mengadakan
percobaan ia pernahkan dirinya didalam sebuah gua diatas puncak gunung es, untung
lwekangnya sudah sempurna selama itu ia kuat bertahan, namun demikian tak urung setelah
siuman dari mabuknya tubuhnya cacat terserang hawa dingin. Sejak itu mulailah nama
Pek-jit-kuy itu tersebar luas dan belum pernah kejadian ada orang berani minum arak obat
yang lihay itu. Siapa nyana kiranya adik Hong-gi juga telah minum arak obat pembius itu,
malam ini pula genaplah seratus hari, sebentar lagi pasti adik Hong-gi bakal siuman, betapa
hatiku takkan girang......"
Saking senang tanpa disadari ia berjingkrak berjumpalitan serta menari-nari seperti bocah
kecil. Diam-diam Thian-ih juga merasa senang dan mengucapkan syukur dalam hati.
Mendadak Nyo Hway-giok berhenti dan berdiri tegak seakan ingat sesuatu, gumamnya: "Wah,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
hampir aku kelupaan, menurut keterangan Suhu bahwa setelah siuman dari mabuknya dia
harus dijaga oleh seorang yang berlainan kelamin untuk membantunya memperlancar jalan
darah dengan cara menutuk dan menembuskan semua jalan darah besar-kecil lalu
mengurutnya pula, setelah itu baru menyalurkan tenaga murni sendiri kedalam tubuh
sipemabuk, meskipun cara ini kurang sopan, tapi hanya cara inilah yang dapat menolong.
Apalagi juga harus bertindak secara cepat, terlambat sedetik saja sipenderita pasti celaka,
badan menjadi kejang dan jiwa bisa melayang seketika."
Mendengar semua uraian itu Thian-ih menjadi serba salah gugup dan malu lagi, cara
pengobatan semacam itu harus dilakukan oleh suami-istri yang harus bersentuhan tubuh
sedemikian rupa, sebagai orang luar mana bisa dirinya menyaksikan adegan yang tak boleh
dilihat orang luar itu. Saking bingung Thian-ih menjadi gopoh selekasnya ia harus berusaha
menyelundup keluar kuburan.
Sampai sedemikian lama Li Hong-gi masih berbaring dengan tenangnya. Nyo Hway-giok
menanti dengan sabar dan tekun. Sekonyong-konyong terdengar bentakan dan caci maki
diluar kuburan sana, keruan Nyo Hway-giok kaget dan gugup, katanya: "Adik Hong-gi segera
bakal sadar, bila ada orang masuk mengganggu disaat aku mengobati pasti bisa celakalah kita
berdua. Terpaksa harus kugebah pergi dulu orang-orang itu."
Mulut berkata segera iapun bertindak, cepat-cepat ia tutup peti batu kaca lalu dikunci pula,
ujarnya: "Adik Hong-gi, segera aku kembali, kali ini aku tidak akan main sungkan dan ampun
lagi kepada para penjahat itu." sambil angkat alis bergegas ia lari keluar.
Lekas-lekas Thian-ih keluar dari tempat sembunyinya dan memburu kearah pintu, kalau tadi
terdengar suara pertempuran yang seru dan sengit sampai angin pukulan menderu-deru dan
senjata berdenting saling beradu. Maka Thian-ih berpikir: biar aku saja yang menghajar adat
para penjahat itu supaya Nyo Hway-giok ada kesempatan memberi pertolongan kepada
istrinya. Karena pikirannya ini pelan-pelan ia menggeremet keluar kuburan, namun suasana
diluar kuburan dalam sekejap itu telah menjadi sunyi tanpa kelihatan bayangan seorang jua,
sampai Nyo Hway-giok sendiri juga telah menghilang entah kemana "
Tatkala itu sang surya mulai muncul di ufuk timur memancarkan sinar kuningnya yang terang
benderang, angin pagi sepoi-sepoi dingin menggugah lamunan Thian-ih. Thian-ih menjadi
serba sulit dan bimbang, akan ditinggal pergi atau menunggu kedatangan Nyo Hway-giok"
Sekian lama ia susah ambil kepastian, tapi Li Hong-gi masih berada didalam peti betapapun
harus menolongnya dari mara bahaya. Tunggu punya tunggu Nyo Hway-giok masih belum
tampak mata hidungnya, terpaksa ia masuk kembali kedalam kuburan, seketika ia kaget dan
memburu maju. Ternyata Li Hong-gi benar-benar sudah siuman dan hendak duduk didalam
peti batu kaca itu, namun karena tutup itu terlalu rendah jadi tubuhnya tak dapat duduk tegak
dan kedua tangannya meronta-ronta berusaha menyurung tutup peti. Keruan Thian-ih ikut
menjadi gugup dan kerepotan berusaha membuka tutup peti itu, namun tutup itu sedikitpun
tidak bergeming karena sudah terkunci, dilihatnya pula Li Hong-gi masih meronta dan
mencakar serta mencekik leher sendiri, naga-naganya dia sudah kehabisan napas.
Mendadak teringat oleh Thian-ih akan kunci kecil yang ditemukannya di daerah barat tempo
hari waktu mengejar jejak Ciu Hou itu, maka cepat-cepat dirogohnya keluar dan dicobakan ke
dalam lobang kunci, eh, ternyata persis dan cocok benar lalu diputarnya dua kali, benar juga
tutup peti itu seketika terbuka sendiri. Tampak kedua mata Li Hong-gi berkedip-kedip sambil
menyedot hawa panjang, tiba-tiba ia mengeluh lirih, terus roboh terlentang dan pingsan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Cepat Thian-ih berlari keluar kuburan terus menggembor dan berkaok-kaok sekerasnya
memanggil nama Nyo Hway-giok, namun sampai mulutnya kering masih belum tampak
bayangan orang muncul. Dari gugup Thian-ih menjadi gegetun dan mangkel, bukankah Nyo
Hway-giok sendiri tadi pernah berkata bila si pemabuk tidak segera diberi pertolongan dalam
jangka waktu sepeminuman teh maka dia akan segera mati kejang" Tapi sekian lama ini yang
ditunggu dan diharapkan masih belum datang, sebagai seorang kesatria dapatkah dirinya
berpeluk tangan melihat kematian orang di depan matanya tanpa memberi pertolongan
sepenuhnya " Tapi betapapun cara pertolongan semacam itu sangat menyulitkan karena
mereka harus bersentuhan tubuh sebagaimana lazimnya sebagai suami isteri, lalu bagaimana
mungkin dirinya harus menggantikan orang yang berhak melakukan tugas itu" Karena kuatir
cepat-cepat ia berlari masuk lagi, dilihatnya keadaan Li Hong-gi sangat payah, keningnya
berkerut dalam sambil menggigit bibir kencang-kencang, agaknya sangat menderita dan
menahan sakit, napas juga mulai memburu, tiba-tiba matanya terpentang dengan pandangan
yang harus dikasihani, tapi mulutnya tak kuasa dipentang, hanya kedua tangannya
mencengkram kencang baju di depan dadanya.
Pikiran Thian-ih tengah bertempur dengan batinnya, sang waktu tidak menanti orang, sampai
sedemikian jauh masih belum kelihatan Nyo Hway-giok muncul. Kini hanya dua jalan untuk dia
bertindak: pertama secara kejam dan "tega hati tinggal pergi' begitu saja tanpa hiraukan mati
hidup orang, kedua tanpa hiraukan adat istiadat atau sopan santun lazimnya segera memberi
pertolongan, kalau ini benar-benar dilakukan itu berarti untuk selanjutnya Li Hong-gi sudah
menjadi calon istrinya, karena tak mungkin lagi ia menikah dengan orang lain, tapi apakah dia
rela " Apakah Nyo Hway-giok dapat dan mau memahami segala ini "
Kaki tangan Li Hong-gi sudah mengejang, namun matanya masih menatap kearah Thian-ih
dengan pandangan gusar dan kecewa, seakan sesalkan sikapnya yang ragu-ragu dan tak
berani berlaku tegas. Seketika tergetar sanubari Thian-ih, waktu sudah berlarut dirinya tak
boleh berayal lagi untuk segera turun tangan, kalau tidak pasti yang menjadi korban akan
memaki dan mengutuk dirinya yang hidup juga pasti menista dan mencercah kebodohannya,
sampai saat itu bagaimana hidup dirinya selanjutnya, seumpama menyesal juga sudah kasep.
Maka tanpa ayal lagi cepat-cepat ia berlari menutup pintu kuburan memantek dan
mengganjelnya dengan batu besar. Waktu dirinya memburu balik lagi seluruh tubuh Li Hong-gi
mulai gemetar dan dingin sekali, wajahnya juga sudah berubah pucat sampai hidung juga
mengalirkan darah segar. Cepat-cepat Thian-ih mengerahkan tenaga dan mengkonsentrasikan pikiran serta menghimpun semangat terus menyalurkan tenaga
murninya melalui telapak tangan, tangan yang lain berbareng bekerja menutuk berbagai jalan
darah penting yang menembus ke jantung dan otak serta menormalkan jalan darahnya.
Sepeminuman teh kemudian usahanya ini ternyata berhasil juga, tampak tubuh Li Hong-gi
yang kejang dan gemetar itu sudah mulai berangsur baik, semakin besarlah tekad Thian-ih
untuk menolong secara terbuka dan tidak kepalang tanggung menurut petunjuk yang pernah
didengar dari ucapan Nyo Hway-giok itu.
Begitulah setelah jalan darah normal kembali rasa kejang juga telah hilang, perlahan-lahan Li
Hong-gi mulai siuman, kedua matanya sedikit terbuka memandangi wajah Thian-ih meski
malu-malu tapi sorot matanya tidak menunjukkan kekesalan hatinya, agaknya dia tidak
sesalkan tindakan Thian-ih yang keterlaluan ini serta pasrah nasib saja. Maklum badannya
terasa sangat lemah dan terkulai melintang diatas tubuh Thian-ih, boleh dikata seluruh
badannya rebah dalam pelukan Thian-ih yang kencang.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Lama kelamaan tenaga Li Hong-gi sudah mulai pulih sebagian, tubuhnya sudah dapat bergerak
sedikit miring, tanpa malu-malu lagi ia pandang wajah Thian-ih dengan senyum simpul yang
manis sekali, senyuman yang berarti bahwa Thian-ih sudah dianggapnya sebagai suami sendiri
yang tengah berusaha memberi pertolongan kepada istrinya.
Entah sudah berselang berapa lama kemudian, tubuh Thian-ih sendiri juga sudah basah kuyup
oleh keringat, waktu ia menghentikan saluran tenaganya sendiri dan pentang mata seketika
jantungnya berdebar keras, maklum menghadapi si jelita yang rupawan malah bersentuh
tubuh lagi tanpa mengenakan pakaian yang layak, tergugahlah hatinya dari keinginan
terhadap perangsang yang membangkitkan daya kelakiannya, jantungnya seperti bertambah
mendegup dan darahnya menggelora. Untung sebelum ia kehilangan kesadarannya,
didengarnya suara yang mencurigakan dari arah pintu sana. Thian-ih terkejut dan pikirannya
menjadi terang serta tergugahlah pikiran kotornya, keringat dingin mengalir diatas jidatnya.
Cepat-cepat ia bimbing tubuh Li Hong-gi lantas turun dari peti batu berkaca itu, tubuh Li
Hong-gi masih sangat lemah belum kuat berdiri, terpaksa menggelendot di tubuh Thian-ih, dua
pasang mata saling berpandangan, sesaat mereka kemekmek entah apa yang harus
dikatakan. Akhirnya Thian-ih membuka suara: "Nona Li, kuharap kau tidak salah paham, aku terpaksa
bertindak sekasar ini untuk menolong jiwamu.........."
Dengan sepasang matanya yang bening lembut Li Hong-gi memandangi wajahnya serta
sahutnya merdu: "Mana bisa aku salahkan kau, kau sudah menolong jiwaku, berterima kasih
saja sudah terlambat !" sedemikian merdu suaranya bagai kicau burung kenari, seketika
hilanglah rasa kuatir rikuh serta risi Thian-ih, dilihatnya Li Hong-gi tengah mengulum senyum
yang menggiurkan, sinar matanya membuat Thian-ih merasa lega dan badan terasa hangat .
Tanya Thian-ih penuh kasih sayang: "Nona Li, bagaimana perasaanmu?"
"Seperti sedang mimpi saja," sahut Li Hong-gi lembut, "aku masih ingat kemaren malam aku
berada dirumah sedang bermain catur dengan cici So, pada tengah malam Li-toaya datang
memberikan secangkir arak kepadaku, arak itu sangat wangi dan hangat sampai aku merasa
gerah dan mungkin terus jatuh mabuk tak ingat apa-apa lagi. Saat apakah sekarang"
Bagaimana aku bisa sampai disini" Tempat apakah ini?"
Li Hong-gi melayangkan pandangannya ke seluruh pelosok ruang besar ini, melihat peti mati
yang besar dan mewah itu, hatinya merasa ciut dan takut, tanpa merasa ia cekal kencang
lengan Thian-ih, tanpa ragu-ragu lagi Thian-ihpun membimbingnya.
Hari sudah mulai terang tanah sebentar lagi pasti ada orang datang, untuk menghindarkan
prasangka yang kurang baik, mereka harus segera meninggalkan kuburan ini. Maka segera
katanya: "Nona Li, segala hal ihwal kejadian ini tidak mudah dituturkan dalam waktu singkat,
yang terpenting kita harus cepat-cepat tinggalkan tempat ini dulu."
Sebelum tinggal pergi tak lupa oleh Thian-ih diambilnya kedua butir mutiara mestika yang
menimbulkan bencana bagi sesama kaum persilatan itu. Sambil menyerahkan kepada Li
Hong-gi, Thian-ih berkata: "Apakah kau sudah merasa baik" Dapatkah berjalan sendiri?"
"Sudah agak mendingan tapi kepalaku masih terasa pening." baru berapa langkah tiba-tiba ia
mengeluh kesakitan karena kakinya menginjak batu kerikil tubuhpun sampai sempoyongan
hampir roboh. Lekas-lekas Thian-ih pegangi tubuhnya. Dengan jengkel Li Hong-gi pegangi
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
telapak kakinya sambil mengomel: "Tanpa mengenakan sepatu mana aku bisa berjalan."
Apa boleh buat terpaksa Thian-ih harus menggendongnya untuk meninggalkan tempat itu.
Waktu sampai di ambang pintu dilihatnya pintu batu itu sudah sedikit terbuka dan kedua batu
besar yang dibuat mengganjel juga sudah tergeser ke samping, terang kalau tadi sudah ada
orang yang datang, dari suara lirih yang didengarnya tadi Thian-ih berkesimpulan kalau ringan
tubuh orang itu pasti sangat tinggi, diam-diam ia sudah dapat menduga siapakah kiranya
orang itu, semakin bertambahlah duka dan gelisah hatinya. Saat mana tiada banyak tempo
buat berpikir, cuaca sudah terang benderang untung belum ada orang datang, tersipu-sipu
Thian-ih tinggal pergi sambil menggendong Li Hong-gi.
Maksud Thian-ih semula hendak mengantar Li Hong-gi pulang ke tempat ayahnya. Tapi Li
Hong-gi berkeras dan membandel tak mau pulang minta dibawa ke tempat lain untuk istirahat
sambil mendengarkan cerita Thian-ih tentang pengalamannya selama ini.
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sepanjang jalan Thian-ih bercerita blak-blakan dengan ringkas jelas, lalu sambungnya: "Untuk
menolong jiwamu terpaksa aku tidak hiraukan segala adat sopan santun lagi."
Wajah Li Hong-gi berseri merah, sahutnya: "Thio-toako, bukan saja tidak salahkan kau malah
aku harus berterima kasih kepadamu."
Panggilan yang halus dan mesra ini membuat hati Thian-ih syur dan lega luar biasa,
diangkatnya kepalanya serta bertanya keheranan: "He, kau masih ingat namaku?"
Senyum Li Hong-gi menjadi-jadi bagai kuntum bunga mekar, sahutnya dengan suara halus:
"Mengapa tidak ingat, kau adalah Thio-jichengcu, So cici pernah bercerita tentang dirimu,
katanya kau pandai silat dan pintar sastra, aku.......aku tidak punya saudara ............bolehkah
aku panggil kau engkoh saja?"
Menghadapi sifat polos dan lincah ini terketuk perasaan Thian-ih, sahutnya: "Bagus, boleh
saja, tapi...... tapi.........aku..................nona Li!"
Li Hong-gi merengut, katanya aleman: "Jangan lagi kau panggil aku Nona Li apa segala,
sedemikian baik kau terhadapku, kuingin kau menjadi engkohku !"
"Baik, baiklah ! Tapi engkohmu ini kurang cocok dibanding kau.................."
"Cocok saja.................." tukas Li Hong-gi sambil menatap tajam dengan kedua biji matanya
yang bening dan cemerlang bagai bintang kejora. "Kau sangat cocok menjadi engkohku."
demikian sambungnya. Thian-ih berpikir, cerdik dan pandai juga cara Hong-gi berpikir, tentu dia sudah pikirkan masa
depannya. Seumpama kejadian hari ini, bilamana kelak mereka tidak bisa sehidup semati, itu
berarti mereka hanya sebagai kakak dan adik belaka jadi hubungan mereka masih erat dan
dekat. Karena pikirannya ini lapanglah dada Thian-ih. Namun demikian terasa juga seakan
dirinya telah kehilangan sesuatu apa yang membuat hatinya terasa kosong dan hampa.
Tengah ia terpekur dalam lamunannya tiba-tiba Li Hong-gi membuka kata: "Koko, perutku
lapar mari kita pergi cari makanan!"
Thian-ih bertanya bagaimana kalau mengantarnya pulang"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Tak terduga Li Hong-gi balik bertanya apakah kalau dia pulang Thian-ih mau ikut serta dan
selalu mendampinginya " Keruan Thian-ih menjadi serba salah dengan tegas ia tekankan
bahwa ia harus mengembara untuk mencari jejak musuh besar pembunuh engkohnya, jadi tak
mungkin berdiam menetap dirumah Li Hong-gi. Li Hong-gi memperingatkan, kalau dirinya
kehilangan perlindungan yang diandalkan bagaimana kalau dirinya diculik dan diracun orang
lagi" Thian-ih menjadi serba sulit, jejak sibaju perak memang sangat misterius, betapapun Li
Hong-gi sangat membutuhkan tenaganya, didesak sedemikian rupa Thian-ih menjadi rikuh
dan tak enak hati serta menyatakan kekuatirannya.
Debat punya debat mereka masih belum dapat mengambil putusan konkrit, akhirnya Thian-ih
membawanya ke sebuah penginapan, dimana Li Hong-gi minta supaya dibelikan seperangkat
pakaian laki-laki untuk menyamar supaya tidak menimbulkan kecurigaan dan perhatian orang.
Bahwa kuburan Li Hong-gi telah bobol jenazahnya juga hilang, malah di luar dan didalam
kuburannya bergelimpangan mayat-mayat manusia yang mengerikan keadaannya, peristiwa
besar yang menggemparkan seluruh huni kota Ki-lam ini seketika membuat Li-tihu marah
mencak-mencak dan sedih pula, segera ia perintahkan menutup seluruh pintu kota dan
mengadakan penjagaan serta penggeledahan serempak yang keras dan ketat.
Li Hong-gi sudah bertekad bulat mengikuti Thian-ih kemana dia pergi seumpama istri
mengikuti suami layaknya, sudah tentu tidak ingin bertemu lagi dengan ayah-bundanya,
bergegas mereka berkemas sekadarnya terus berangkat. Untung Ginkang Thian-ih sudah
mencapai taraf yang dapat dibanggakan, malam itu dengan mudah mereka melompati tembok
kota terus merat keluar kota. Menurut tafsiran Thian-ih tentu Nyo Hway-giok sudah kembali
kekota raja, maka disewanya sebuah kereta untuk Li Hong-gi sedang dirinya menunggang
seekor kuda terus langsung menuju ke kota raja.
Takut ayah-bunda berkuatir dan banyak pikiran, sebelum berangkat Li Hong-gi menulis
sepucuk surat yang antara lain isinya menerangkan segala peristiwa yang telah terjadi diluar
kuburan serta pengalaman dirinya sendiri, diterangkan pula tentang Nyo Hway-giok yang pergi
mengejar jejak penjahat disaat dirinya meregang jiwa dan hampir menemui ajalnya, untung
Thio-jikongcu yang sudah dikenal itu datang tepat pada waktunya memberi pertolongan.
Melihat keadaan dirinya yang menderita tanpa hiraukan pantangan antara sentuhan badan laki
dan perempuan, dia mengorbankan tenaga murninya untuk membantu dan menyembuhkan
dirinya, karena sudah ketelanjur maka anak tidak menyesal dan sudah bertekad untuk
mendampinginya seumur hidup sebagai suami istri. Seharusnya untuk itu mereka harus minta
restu dan bersujud dihadapan para orang tua, tapi mengingat situasi yang masih tegang dan
tidak aman bukan mustahil para penjahat akan turun tangan lagi, maka terpaksa dalam
sementara waktu ini dia harus mengikuti Thio Thian-ih mengumpat ke tempat yang jauh dan
aman. Keadaan ini adalah terpaksa diharap ayah bunda suka memaafkan dan jangan banyak
pikiran, dibawah perlindungan Thio Thian-ih yang berkepandaian tinggi pasti keselamatan
jiwanya dapat terjamin. Kelak kalau sudah aman dan tenteram anak pasti segera pulang
keharibaan ayah bunda. Tentang perkawinan dengan keluarga Nyo diminta ayah suka
membatalkan saja. Surat itu tertanda atas nama Li Hong-gi bersama Thio Thian-ih sebagai
menantu. Setelah selesai menulis surat itu Li Hong-gi angsurkan kepada Thian-ih. Tangan Thian-ih
gemetar waktu membaca surat itu, hatinya kejut dan girang serta menyesal dan gugup pula,
katanya tergagap: "Adik Hong-gi, mana bisa begini, mana bisa begini !"
Mata Li Hong-gi merah hampir menangis, sahutnya: "Ko-ko, kita sudah bersentuhan badan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
walaupun belum melampaui batas hubungan, betapapun hatiku sudah bulat tidak menikah
dengan orang lain......."
Thian-ih semakin gugup, ujarnya: "Adik Hong-gi, mari kita mencari Nyo Hway-giok untuk
menerangkan hal ini"."
"Tidak, tidak bukan menerangkan tapi adalah suatu pernyataan. Nanti kalau sudah bertemu
biar aku yang menjelaskan kepada dia tentang apa yang telah terjadi sebenarnya, akan
kuminta dia mencari jodoh lain"." sekilas melirik kearah Thian-ih, dilihatnya Thian-ih tengah
menggelengkan kepala, hatinya semakin mangkel dan serunya marah: "Thian-ih, apa kau
tidak suka kepadaku" Karena aku seorang lemah dan tidak cocok menjadi pasangan seorang
gagah perwira ?" "Bukan, bukan begitu adik Hong-gi, betapa jelita dan agung wajah serta tubuhmu ini, seribu
Thian-ih juga belum dapat memadai, bukan aku tidak suka kepada kau, soalnya.......eh,
sebenarnya aku menyukai kau......"
"Ai, naga-naganya kau sudah punya tambatan hati " Apakah So-cici yang datang bersama kau
malam itu?" Sudah tentu So Hoan kalah jauh dibanding sama Hong-gi, walaupun sikap So Hoan sangat baik
dan simpatik terhadapnya, tapi selama itu belum pernah menyatakan sikap apa-apa
kepadanya, maka segera sahutnya: "Bukan, tidak. Aku punya pilihan hati apa?"
Hong-gi menghela napas lega diulurkannya tangan menggenggam tangan Thian-ih, ujarnya
lemah lembut: "Thian-ih, jadi kau belum punya pilihan hati dan menyukai aku pula, itulah
bagus sekali......." sikapnya mesra dan aleman sekali.
Thian-ih kewalahan terpaksa dengan lemah lembut ia membujuk dengan kata-kata manis
untuk mencari dan menemui Nyo Hway-giok dulu serta menjelaskan kepadanya supaya tidak
menimbulkan salah paham, tentang urusan perjodohan ini biarlah kelak diputuskan lagi.
Melihat orang demikian kukuh Hong-gi agak marah dan jengkel namun tak enak
merengek-rengek terus. Surat itu dimasukkan pos ditengah perjalanan, sepanjang jalan Thian-ih mengiringi disamping
kereta menunggang seekor kuda belang, setelah melewati sungai besar, Hong-gi minta
kepada Thian-ih untuk membelikan pakaian perempuan, didalam kereta itulah sejak hari itu ia
mengenakan pakaian perempuan lagi.
Tengah hari itu mereka tengah menempuh jalan pegunungan yang berdebu, karena hawa
sangat panas tanpa sadar Li Hong-gi menyingkap tenda kereta, dan secara kebetulan sikusir
kereta berpaling kebelakang, dilihatnja pemuda yang ganteng dibelakangnya itu mendadak
berubah wajah menjadi seorang perempuan jelita yang ayu rupawan, saking terperanjat
sikusir sampai kesima, mulut terpentang lebar tanpa dapat mengeluarkan suara.
Untuk menghindari perhatian umum Thian-ih hanya membelikan pakaian kasaran sekadarnya
saja, namun demikian masih tidak mengurangi kejelitaan dan keagungan sicantik ini meskipun
berdandan secara sederhana semakin pandang malah terasa semakin menggiurkan, apalagi
wajahnya selalu mengulum senyum yang manis mesra, Thian-ih semakin kesengsam dan
girang serta kuatir, tanpa merasa ia menghela napas panjang.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Karena perjalanan sangat jauh dan hawa juga panas sekali, selalu duduk dalam tenda kereta
membuat Li Hong-gi merasa kesal dan tak betah lagi, saban-saban ia menyingkap tenda untuk
melihat pemandangan di sepanjang jalan serta mencari angin, sudah tentu wajahnya nan ayu
jelita itu menarik banyak perhatian orang sepanjang jalan, setiap pasang mata pasti melotot
kesima memandangi wajahnya yang cantik molek bak bunga mekar.
Sejak kecil Hong-gi hidup dalam lingkungan keluarga berpangkat, meskipun sering bepergian,
namun selalu terkurung dalam usung tenda yang tertutup rapat, jangankan melihat atau
dilihat orang, mengintippun menjadi pantangan keluarganya. Belum pernah merasa sebebas
yang dialami sekarang, hatinya semakin riang dan pikiran terasa terbuka setelah melihat
kenyataan hidup dialam yang bebas ini. Namun demikian lama kelamaan ia merasa bosan dan
sebal juga karena setiap orang yang melihatnya selalu melotot kesima, akhirnya ia bertanya
kepada Thian-ih: "Koko, lihatlah! Mengapa mereka selalu melihat aku begitu rupa, apa
tubuhku ini ada sesuatu yang istimewa?"
Thian-ih tersenyum geli, gadis ini terlalu polos dan wajar, tidak disadari olehnya betapa cantik
wajahnya itu, maka tidaklah heran kalau orang-orang terpesona melihatnya. Tapi semua ini
tidak dikatakan, hanya diminta ia menurunkan tenda kereta dan habis perkara.
Kalau tadi orang-orang memandang dengan pandangan terpesona kepada Li Hong-gi,
sebaliknya sekarang orang-orang itu memandang kepada Thian-ih dengan sorot yang sirik dan
iri, sudah tentu hal ini membuat Thian-ih merasa bangga dan senang dalam hati. Insan
manakah yang takkan terpesona melihat wajah ayu bak bidadari"
Dasar putri orang berpangkat yang biasanya selalu dilayani oleh para dayang dan ditunggui,
nyali Li Hong-gi menjadi sangat kecil, setiap kali menginap dipenginapan ia takut sendirian
dalam sebuah kamar tersendiri, alasannya gampang saja, bagaimana kalau dirinya diculik
orang pula" Toh tidak mungkin Thian-ih meronda diluar kamarnya semalam suntuk. Kalau
dipikir memang beralasan, bukan mustahil wajahnya yang cantik molek itu telah menimbulkan
rasa dengki sementara para penjahat yang berniat kotor terhadapnya. Maka untuk menjaga
terjadinya segala kemungkinan terpaksa Thian-ih melulusi untuk menyewa sebuah kamar saja.
Sudah tentu dalam pandangan Manager penginapan dan orang-orang lain, mereka adalah
suami istri, namun hakikatnya mereka masih menjaga baik norma-norma adat kesopanan,
belum pernah berhubungan melewati batas kesusilaan.
Hari itu mereka menginap pula dalam sebuah penginapan, didalam kamar Thian-ih merasakan
sesuatu keanehan, yaitu karena perjalanan yang jauh ini seluruh tubuhnya penuh kotoran
debu, sebaliknya keadaan Li Hong-gi tetap bersih menyala bagai sekuntum bunga teratai putih
mulus yang habis disiram hujan. Sungguh Thian-ih tidak habis mengerti.
Agaknya Li Hong-gi mengetahui isi pertanyaan yang terkandung dalam benak Thian-ih, sambil
tersenyum simpul dikeluarkan sebutir mutiara dari dalam balik bajunya serta katanya: "Koko,
agaknya kau sudah melupakan kasiat Pi-seng-cu ini. Sekarang terbukti dengan membekal
mutiara ini sedikitpun tiada debu kotoran dalam kereta, berkali-kali kuminta kau duduk dalam
kereta menemani aku, kau tetap berkukuh menunggang kuda saja, coba lihat betapa
bodohnya kau ini tidak tahu kebaikan orang lain." Habis berkata wajahnya bersungut-sungut
marah. Tersipu-sipu Thian-ih minta maaf.
Esok harinya mereka melanjutkan perjalanan lagi. Kali ini Hong-gi mengenakan mutiara itu
sebagai perhiasan, sebuah untuk hiasan didepan dada sedang yang lain diatas sanggul
kepalanya. Ditimpa sinar matahari kedua mutiara itu memancarkan sinar berkilau yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
menyilaukan pandangan semua orang. Melihat betapa cemerlangnya kedua butir mutiara itu,
semakin jauh Thian-ih semakin was-was dan kuatir, maka segera ia minta untuk
menanggalkan kedua perhiasannya itu. Betapa cantik jelitanya Li Hong-gi ini sudah menjadi
buah pembicaraan orang-orang sepanjang jalan. Apalagi mengenakan perhiasan yang
harganya tak ternilai itu, keruan menimbulkan incaran dan ngiler para penjahat dari golongan
hitam. Benar juga setelah melewati Ho-kian lantas Thian-ih merasa bahwa sepanjang perjalanan ini
mereka mulai dikuntit oleh berbagai rombongan orang-orang yang tidak dikenal. Diam-diam ia
menambah kewaspadaan, pedang panjangnya sudah patah sewaktu bertempur melawan Lok
Sian tempo hari, maka waktu meninggalkan kuburan tak lupa ia ambil sepasang tongkat milik
Pek-bian-kui sekedar untuk berjaga-jaga, kini tongkat itu dipersiapkan untuk menjaga segala
kemungkinan. Tidak jauh dari danau Se-ting, sang surya sudah doyong ke barat. Mendadak jauh di depan
sana terlihat membedal kencang dua ekor kuda yang tengah mendatangi, kedua
penunggangnya berpakaian ringkas dan membekal senjata, setelah dekat kedua ekor kuda
berpencar ke kanan kiri melesat lewat disamping kereta Hong-gi, tapi tidak jauh kemudian
mendadak memutar balik lagi terus dipacu lagi kearah datangnya semula.
Tidak lama kemudian datang lagi dua penunggang kuda yang bertingkah laku serupa.
Sekarang baru Thian-ih sadar dan waspada, cepat-cepat disuruhnya Li Hong-gi menurunkan
tenda, sepasang tongkat pendeknya disiapkan diatas kudanya. Beberapa li kemudian di depan
sana mereka harus melewati sebuah lembah yang bermulut sempit, lembah ini dilingkungi oleh
tebing-tebing yang menjulang tinggi ke angkasa, samar-samar terlihat berkelebatnya
bayangan beberapa orang di atas sana. Si kusir kereta, agaknya mengenal gelagat, betapapun
dia takut untuk meneruskan keretanya meski sudah dijanjikan bayaran berlipat ganda.
Terpaksa Thian-ih mengancam dengan kekerasan senjatanya, apa boleh buat si kusir
menjalankan keretanya lagi dengan kebat-kebit. Thian-ih sudah turun dari atas kuda dan
mendahului membuka jalan di depan, ditimpah sinar matahari sepasang tongkat di tangannya
berkilat menyolok mata. Diluar dugaan sebegitu jauh mereka masih dapat berjalan terus
seenaknya melewati lembah itu tanpa adanya gangguan sedikitpun. Lega dan heran hati
Thian-ih, tanpa pikir panjang lagi diperintahkan supaya kereta berjalan cepat.
Malam itu mereka menginap di sebuah hotel di pinggir danau Se-ting, tengah mereka makan
minum dalam kamar, seorang pelayan masuk menyampaikan sebuah kotak kecil katanya
pemberian dari seseorang. Waktu dibuka didalam kotak kecil itu terdapat secarik kertas yang
penuh tulisan berbunyi: "Disampaikan kepada tuan Pek-bian-kui Ho Han dari Mo-san. Malam
ini diatas sebuah perahu di pinggir danau Se-ting, kami adakan perjamuan untuk menyambut
kedatangan tuan, harap memberi muka dan sukalah datang." Salam hormat dari Tok Bok-san
dan Go Hong. Bercekat hati Thian-ih waktu melihat kedua nama ini. Maklumlah Tok Bok-san dan Go Hong ini
merupakan gembong-gembong penjahat dari kalangan hitam di daerah Ho-pak dan Kam-siok
yang sudah sangat kenamaan. Tok Bok-san terkenal karena ilmu To-sa-ciang dan ilmu
weduknya. Sedang julukan Go Hong adalah Hun-tiap (kupu jelita) dia lihay dalam ilmu ringan
tubuh, asalnya seorang maling terbang. Bersama Tok Bok-san mereka berdua mengangkat diri
dengan julukan Se-ting-siang-mo (dua gembong iblis dari Se-ting). Sungguh tak nyana
ditempat ini mereka harus berhadapan langsung dengan kedua gembong iblis ini. Mungkin
karena melihat senjata yang digembolnya itu mereka menyangka dirinya sebagai Pek-bian-kui
Ho Han salah satu dari Mo-san-sam-kui. Bukankah ini sangat kebetulan. Hatinya menjadi
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
gundah dan ragu-ragu, pergi atau tidak persoalan ini membuat hatinya susah mengambil
keputusan, kalau tidak pergi nanti dianggap takut, kalau pergi lalu bagaimana dengan Li
Hong-gi. Melihat orang tepekur bingung, Li Hong-gi mengikik geli, katanya: "Koko siapakah yang
mengirim surat itu?"
Lalu ia bangkit mendekat serta menyambuti surat yang diangsurkan Thian-ih kepadanya,
setelah membaca surat itu, Li Hong-gi tersenyum katanya: "Tok Bok-san, Go Hong. Orang
macam apakah mereka itu" Mereka menyangka kau adalah Ho Han, mungkin karena
memandang nama Ho Han itu jadi mereka tidak turun tangan di tengah jalan. Apa yang
mereka kehendaki" Apakah mereka hendak merampok kita?"
"Tok Bok-san dan Go Hong adalah dua gembong penjahat yang terkenal di kalangan hitam.
Kalau Tok Bok-san semula sebagai penjahat tunggal besar, sedang Go Hong adalah maling
terbang yang ditakuti.........."
Mendengar keterangan ini berdetak jantung Li Hong-gi, sekarang ia merasa takut, terang
mereka tengah mengincar kedua mutiara yang dibawanya itu, maka katanya gugup: "Koko,
para penjahat itu pasti banyak kaki tangannya, betapapun kita takkan kuat menahan
kerubutan mereka. Lebih baik jangan hiraukan mereka, tinggal pergi saja secara diam-diam."
Sebenarnya Thian-ih tidak setuju memperlihatkan kelemahan, namun demi keselamatan
Hong-gi mau tak mau ia harus berpikir panjang, memang terpaksa mereka harus menyingkir
sementara. Malam itu juga secara diam-diam mereka lanjutkan perjalanan.
Waktu terang tanah mereka sudah puluhan li jauhnya dari danau Se-ting, tiba-tiba terdengar
derap langkah kaki kuda yang riuh rendah di belakang mereka, segerombolan orang tengah
mengejar tiba dengan kencang. Terang tak mungkin lagi mereka dapat menyingkir dari
kejaran ini, terpaksa Thian-ih hentikan kereta di pinggir hutan menunggu kedatangan mereka
sambil menenteng kedua tongkat pendeknya dengan sikap gagah.
Para pengejar sudah semakin dekat, dibawah sinar matahari pagi yang cerlang cemerlang
terlihat rombongan pengejar ini terdiri dari dua puluhan orang penunggang kuda, dua ekor
yang terdepan tinggi besar penunggangnya juga bertubuh kekar, salah seorang berwajah
putih cakap. Begitu dekat segera si tinggi kekar itu menegor kepada Thian-ih: "Ho-lotoa ! Kau juga seorang
Senja Jatuh Di Pajajaran 9 Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An Pedang Inti Es 5