Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 16

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Bagian 16


yang berlangsung dengan sengitnya itu. Ternyata orang yang
wajahnya nampak gelap oleh jambang, kumis dan janggutnya
serta kedua orang anak muda itu adalah orang-orang yang
berilmu tinggi. Keempat orang yang sangat garang itu
ternyata tidak dapat segera mengalahkan lawan-lawan mereka
sebagaimana mereka lakukan terhadap Wicitra serta
pengawalnya yang garang itu. Dalam waktu yang dekat,
pengawal Wicitra itu telah kehilangan kesempatan untuk melindungi
dirinya. Sehingga dalam waktu yang terhitung singkat, orang
yang nampaknya garang dan tidak terkalahkan itu telah
terbunuh. Namun dua orang yang kemudian bertempur melawan Ki
Marta Brewok itu tidak dapat mengulangi keberhasilan
mereka. Mereka tidak dapat segera menguasai dan
apalagi membunuhnya. Orang yang berjambang,
berkumis dan berjanggut lebat itu, ternyata memiliki ilmu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang jauh lebih tinggi dari orang yang garang yang menjadi
pengawal anak muda yang mengaku Pangeran Benawa itu.
Dalam pada itu, orang yang bertempur melawan Paksipun
harus meningkatkan kemampuannya pula. Benturan-benturan
yang terjadi telah membuat jantung orang itu berdebaran.
Tongkat kayu itu ternyata benar-benar merupakan senjata
yang sangat berbahaya bagi anak muda itu.
"Gila," geram orang itu. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa orang-orang yang mereka temui di kedai kecil itu
adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Dengan tongkatnya yang berputaran, Paksi mulai
mendesak lawannya. Sementara itu Wijangpun telah membuat
lawannya menjadi gelisah. Sepasang pisau belatinya yang
digenggam di kedua tangannya berputaran dengan cepat.
Bahkan bagi lawannya sepasang pisau itu seakan-akan telah
berubah menjadi berpasang-pasang yang menyerangnya dari
segala arah. "Iblis manakah yang telah mengajarinya bermain pisau
seperti itu," geram lawan Wijang itu.
Ayah Wicitra menyaksikan pertempuran itu dengan mulut
yang ternganga. Ia bukan seorang yang berilmu tinggi. Tetapi
ia dapat melihat, betapa ketiga orang yang datang kemudian
itu dengan tangkasnya bertempur melawan keempat orang
yang hampir saja membunuhnya, membunuh istrinya dan
membunuh anaknya. Wicitra yang ketakutan itu mulai memperhatikan
pertempuran yang terjadi. Ia mulai melihat betapa kedua
orang anak muda itu bertempur dengan tangkasnya.
Kesadaran Wicitra yang mulai tumbuh menguasai gejolak
perasaannya itu membuatnya menyadari apa yang telah
dilakukannya. Empat orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah
orang-orang berilmu tinggi. Kemampuannya sama sekali tidak
berarti menghadapi dua orang di antara mereka, sedangkan
pengawalnya yang dibanggakan itu dengan cepat telah
terbunuh. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi orang yang wajahnya ditumbuhi jambang, kumis
dan janggut yang lebat itu, sama sekali tidak nampak
mengalami kesulitan melawan dua orang di antara empat
orang yang mencari Pangeran Benawa itu.
"Siapakah sebenarnya mereka bertiga?" pertanyaan itu mulai tumbuh di hati Wicitra.
Wicitra sama sekali tidak menghiraukan mereka ketika ia
melihat ketiga orang itu berada di kedai. Bahkan ia telah
mengusir ketiga orang itu ketika ketiga orang itu berusaha
meyakinkannya, bahwa keempat orang yang mencari
Pangeran Benawa itu adalah orang-orang yang berbahaya.
Wicitra itu tidak mau mendengarkan ketika ketiga orang itu
datang dan minta kepadanya untuk meninggalkan rumahnya
satu atau dua hari. Dengan sombong Wicitra itu bahkan
berniat mengaku dirinya Pangeran Benawa.
Wicitra itupun menjadi sangat malu kepada dirinya sendiri.
Apalagi ketika kemudian ia berjongkok sambil menangis untuk
minta dikasihani. Sementara itu, Paksi masih bertempur dengan cepat
bahkan keras. Lawannya semakin lama menjadi semakin
kasar. Namun Paksi sama sekali tidak mengalami kesulitan.
Bahkan tongkatnya telah membuat lawannya menjadi
kebingungan. Meskipun lawan Paksi telah menghentakkan
kemampuannya, tetapi ujung senjatanya sama sekali tidak
mampu menggapainya. Setiap kali terjadi benturan, maka
tangan lawan Paksi itu terasa pedih. Anak muda itu ternyata
mempunyai tenaga dan kekuatan yang sangat besar.
Bahkan semakin lama ujung tongkat Paksipun menjadi
semakin membingungkannya. Sehingga akhirnya ujung
tongkat Paksi itu mampu menembus pertahanannya.
Lawan Paksi itu berteriak nyaring ketika ujung tongkat
Paksi mendorong pundaknya sehingga hampir saja ia
kehilangan keseimbangannya.
Bagi lawan Paksi, sentuhan ujung tongkat anak muda itu
telah membuatnya menjadi sangat marah. Anak itu masih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terlalu muda untuk mampu mengimbangi ilmunya. Namun
anak muda itulah yang lebih dahulu mampu menembus
pertahanannya, mengenai pundaknya sehingga pundaknya
merasa sangat sakit. Tetapi apapun yang kemudian dilakukan, anak muda
bersenjata tongkat itu memang berilmu sangat tinggi. Bahkan
ketika lawan Paksi itu berusaha menyerang anak muda itu
dengan pedang terjulur mengenai dada, ternyata ujung
pedang itu sama sekali tidak menyentuh tubuhnya. Bahkan
anak muda itu menghindar dengan memiringkan tubuhnya
dan sempat mengayunkan tongkatnya, menghantam lambung.
Demikian keras ayunan tongkat Paksi, sehingga orang itu
terpelanting selangkah ke samping. Tanpa dapat
mempertahankan keseimbangannya, maka orang itu telah
terbanting jatuh. Meskipun demikian, setelah berguling beberapa kali, maka
iapun dengan cepat melenting berdiri.
Paksi tidak memburunya. Seakan-akan ia memang sengaja
memberi kesempatan kepada lawannya mempersiapkan diri
untuk menghadapinya lagi.
Sambil menyeringai orang itu berdiri sambil menggenggam
senjatanya erat-erat. Dipandanginya Paksi dengan mata yang
bagaikan menyala. "Anak demit," orang itu menggeram, "kau akan menyesal dengan kesombonganmu itu."
Paksi berdiri tegak sambil menggenggam tongkatnya.
Katanya, "Bersiaplah."
"Aku akan membunuhmu."
"Kita akan bertempur sampai tuntas."
Orang itu menggertakkan giginya. Namun tiba-tiba saja ia
meloncat menyerang dengan mengerahkan segenap
kemampuannya. Sementara itu, Wijangpun telah mendesak lawannya.
Orang itupun telah mengerahkan kemampuannya pula. Tetapi
lawannya yang terhitung masih muda itu sulit untuk
diimbanginya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lakukan apa yang dapat kau lakukan," berkata Wijang.
"Persetan," geram lawannya.
"Aku tidak dapat membayangkan, apa jadinya jika kau
harus bertempur melawan Pangeran Benawa. Maksudku, jika
Pangeran Benawa mulai bersungguh-sungguh. Jika ia
merengek dan minta ampun, itu semata-mata ia ingin
menjajagi, apakah di otakmu masih ada sisa-sisa akal
sehatmu." "Diam," teriak lawan Wijang.
Tetapi Wijang berkata terus, "Sebenarnyalah Pangeran
Benawa itu ingin tahu, apakah kau masih tetap berjantung
manusia atau jantungmu sudah berbulu serigala sehingga kau
tidak mau mendengarkan permintaan ampun seseorang."
"Cukup," orang itu berteriak pula. "Aku koyak mulutmu."
"Kenapa tidak kau lakukan?" bertanya Wijang.
Kemarahan orang itu sudah membakar ubun-ubunnya.
Dengan garangnya ia meloncat sambil mengayunkan
senjatanya menebas ke arah leher Wijang. Tetapi dengan
tangkas Wijang mengelakkan serangan itu. Bahkan Wijangpun
kemudian melenting dengan cepatnya. Ayunan pisau belatinya
kemudian justru telah menyambar bahu lawannya.
Lawannya meloncat mundur sambil mengumpat-umpat
Dengan telapak tangannya ia meraba pundaknya. Cairan yang
hangat mengalir dari luka di bahunya itu.
Wijang bergerak maju selangkah demi selangkah.
Sepasang pisau belatinya bergetar di kedua tangannya.
Kemarahan lawannya bagaikan membakar jantungnya.
Dengan geram orang itu berkata, "Kau akan menyesali tingkah lakumu."
"Kita sudah memasuki satu sikap akhir, Ki Sanak. Tidak ada yang akan menyesal. Kau tidak, aku juga tidak, apapun yang
akan terjadi. Pertempuran ini hanya akan berakhir setelah aku
atau kau mati di arena ini."
Lawan Wijang yang marah itu membentak dengan
garangnya, "Aku akan membantaimu sampai lumat."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hukuman bagi mereka yang berniat membunuh Pangeran
Benawa adalah hukuman mati, karena seandainya Pangeran
Benawa sendiri yang melakukannya, akibatnya akan sama saja
bagimu." "Tutup mulutmu, tikus kecil."
Wijang justru tertawa. Katanya, "Aku merasakan getar
kecemasan di dalam kata-katamu."
"Persetan kau."
Dengan garangnya orang itupun segera meloncat
menyerang Wijang. Tetapi Wijang sudah siap menghadapinya.
Karena itu ketika orang itu meloncat sambil menjulurkan
senjatanya. Namun Wijang sempat mengelak. Sambil
merendah pisaunya telah terayun menyambar lengan
lawannya. Lengan itupun telah berdarah pula. Setiap titik darah
membuat kemarahan orang itu semakin menyala di dalam
dadanya. Tetapi setiap titik darah yang menetes dari lukanya
telah menyusut tenaga dan kekuatannya.
Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh orang itu. Tangan
dan kaki Wijang terlalu cepat untuk diimbanginya.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin keras.
Orang-orang yang berusaha menangkap Pangeran Benawa itu
benar-benar telah memeras segenap kemampuannya.
Ki Marta Brewok yang menghadapi dua orang lawan telah
membuat kedua orang lawannya menjadi bingung. Orang
yang berjambang lebat itu mampu bergerak demikian
cepatnya. Kedua orang lawannya tidak tahu, senjata apa yang
dipergunakannya, tetapi sentuhan tangannya mampu melukai
kulit mereka. Seakan-akan hanya dengan telapak tangannya,
orang itu dapat menangkis ayunan senjata lawan-lawannya.
Namun keduanya yakin, ada semacam lapisan baja yang
dikenakan oleh orang yang berjambang, berkumis dan
berjanggut lebat itu pada telapak tangannya serta ujung-ujung
yang runcing pada jari-jarinya.
Kedua orang lawan Ki Marta Brewok memang menjadi
bingung. Setelah dengan demikian cepat dan mudahnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka membunuh pengawal yang mengaku Pangeran
Benawa itu, meskipun ujud pengawal itu demikian garangnya,
mereka kemudian menghadapi lawan yang seakan-akan
dilindungi oleh oleh dinding baja di seputarnya. Kedua orang
itu sama sekali tidak pernah berhasil menyentuh kulit
lawannya itu. Jika senjata mereka terjulur lurus atau terayun
mendatar, maka senjata mereka itu seakan-akan telah
membentur sekat yang tidak tertembus.
Tetapi sebaliknya, jari-jari tangan orang itu beberapa kali
berhasil menyentuh tubuhnya. Sedangkan setiap sentuhan,
meninggalkan luka yang menganga.
Keseimbangan pertempuran segera menjadi jelas. Lawan
Paksi dan Wijang sudah terdesak semakin jauh. Sementara
itu, lawan Ki Marta Brewokpun menjadi semakin tidak berarti.
Betapapun mereka berusaha dengan mengerahkan
segenap tenaga, kekuatan dan kemampuan, namun
perlawanan mereka sudah tidak berarti apa-apa lagi. Keempat
orang itu benar-benar telah kehilangan kesempatan.
Wicitra dan kedua orang tuanya telah bergeser menepi. Ia
dapat melihat apa yang bakal terjadi. Ia melihat keempat
orang yang hampir saja membunuhnya itu sudah tidak
berdaya. Kegirangan terasa melonjak di dadanya. Ia merasa terlepas
dari bahaya maut yang hampir saja mencekiknya. Namun
yang kemudian dipertanyakan, bagaimana sikap ketiga orang
itu. Wicitra telah menghinakannya. Telah mengusirnya dan
sama sekali tidak menghargai kata-katanya.
Tetapi menilik sikap mereka, agaknya mereka tidak akan
sebengis keempat orang yang hampir saja membantainya itu.
Dengan kerut di dahi, Wicitra melihat bagaimana Ki Marta
Brewok dengan tangkasnya bertempur. Wicitra menjadi
semakin malu kepada diri sendiri. Ia merasa seakan-akan
dirinya telah menguasai semua ilmu di muka bumi sehingga ia
telah menjadi orang yang tidak terkalahkan. Namun sekarang
ia melihat kenyataan, betapa kecilnya di hadapan orang-orang
berilmu tinggi. Orang-orang berilmu tinggi yang rendah hati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Meskipun Wicitra sudah dapat menduga, akhir dari
pertempuran itu, namun iapun terkejut juga ketika seorang
lawan Ki Marta Brewok itu berteriak nyaring. Tubuhnya
terlempar dari arena dengan darah yang mengalir dari luka-
lukanya. Sejenak kemudian orang-orang itupun telah terbanting
jatuh. Menggeliat, namun kemudian tidak bergerak sama sekali.
Belum lagi ketegangan di jantungnya mengendor, maka
Wicitra itupun melihat bagaimana lawan yang seorang lagi
telah terlempar pula dengan kerasnya. Kepalanya membentur
sebatang pohon yang cukup besar. Benturan yang keras
sekali, sehingga seorang itupun kemudian terjatuh dengan
tubuh yang lunglai.

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nafasnya menjadi sendat, sehingga akhirnya berhenti
sama sekali. Wicitra berdiri termangu-mangu. Dengan demikian, maka
akhir dari kedua orang lawan anak-anak muda itupun menjadi
semakin jelas pula. Lawan Wijang yang menjadi putus asa telah menyerangnya
sejadi-jadinya. Namun ketika pisau belati Wijang bergerak
menyilang, maka ujung pisau itupun telah menggores
dadanya. Cukup dalam, sehingga orang itupun terhuyung-
huyung beberapa langkah surut. Namun kemudian satu
loncatan panjang telah mengakhiri pertempuran itu. Ujung
pisau belati Wijang yang lain kemudian telah terhujam di dada
orang itu. Sementara itu, hampir bersamaan waktunya, Paksipun
telah menyelesaikan lawannya pula. Ketika lawannya berusaha
menusuk lambungnya, Paksi sempat mengelak. Bahkan
kemudian tongkatnyapun telah terayun tepat mengenai
tengkuk lawannya yang kehilangan sasaran itu.
Sejenak kemudian halaman itu menjadi sepi. Paksi berdiri
dengan kaki renggang mengamati lawannya yang sudah tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bernyawa. Sementara Wijang berdiri termangu-mangu. Di
sebelah yang lain, dua sosok tubuh pun terbaring diam.
Di halaman rumah Wicitra itu terdapat lima sosok mayat
dengan luka-luka di tubuh mereka.
Ki Marta Brewoklah yang kemudian melangkah mendekati
Wicitra sambil berkata, "Nah, sekarang kau baru percaya,
bahwa orang-orang itu sangat berbahaya bagimu."
Wicitra mengangguk dalam-dalam sambil berkata, "Ya, Ki
Sanak. Aku percaya. Aku mohon ampun atas sikapku terhadap
Ki Sanak." Sementara itu, ayah Wicitra itupun berkata, "Kami
mengucapkan terima kasih, Ki Sanak. Ki Sanak telah
menyelamatkan nyawa anakku."
"Satu pelajaran yang sangat berharga bagi anakmu."
"Kau harus bersukur kepada Yang Maha Agung, Wicitra.
Kaupun harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Ki Sanak bertiga ini."
Sekali lagi Wicitra mengangguk hormat sekali. Katanya,
"Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, Ki
Sanak. Yang Maha Agung sajalah yang dapat membalas kebaikan
budi Ki Sanak bertiga."
"Wicitra," berkata Ki Marta Brewok, "setelah terjadi peristiwa ini, apa yang akan kau lakukan?"
Wicitra termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Aku akan
melakukan sebagaimana Ki Sanak katakan. Aku akan
meninggalkan tempat ini."
"Bagaimana dengan rencanamu menjual tanah dan rumah
ini serta mengusir ayah dan ibumu?"
Wicitra terkejut mendengar pertanyaan itu. Untuk beberapa
saat ia justru terbungkam.
Ternyata Ki Marta Brewok tidak memaksanya untuk
menjawab. Tetapi ia justru bertanya kepada ayah Wicitra,
"Bagaimana dengan lima sosok mayat itu" Apakah kita dapat minta tolong orang-orang padukuhan ini untuk
menguburnya?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mereka takut keluar rumah, Ki Sanak. Apalagi setelah
terjadi peristiwa ini."
"Kau panggil mereka dan katakan bahwa keadaan sudah
aman. Tidak ada lagi orang-orang yang mencari Pangeran
Benawa. Justru mereka akan diminta tolong untuk
menguburkan mereka."
Ayah Wicitra termangu-mangu sejenak. Namun
katanya kemudian, "Aku akan mencobanya."
Ternyata ayah Wicitra itu berhasil meyakinkan tetangga-
tetangganya, bahwa bahaya yang mereka takuti untuk
sementara telah tidak ada lagi, sehingga beberapa orang telah
keluar dari rumahnya dan pergi ke halaman rumah Wicitra.
Mereka memang agak ketakutan ketika mereka melihat Ki
Marta Brewok dan kedua orang anak muda yang berpakaian
kusut. Tetapi ayah Wicitra memberitahukan kepada mereka,
bahwa ketiga orang itulah yang telah membinasakan orang-
orang garang yang mencari Pangeran Benawa itu.
"Kami adalah para pengikut Harya Wisaka," berkata Ki Marta Brewok kepada orang-orang yang berkerumun. "Kami
sebenarnya juga mencari Pangeran Benawa sebagaimana
keempat orang itu. Tetapi kami tahu, bahwa kami tidak dapat
melibatkan kalian begitu saja dalam pencaharian ini. Karena
itu, maka kami pun tidak akan pernah mengganggu kalian.
Apapun yang aku lakukan terhadap kalian, kalian tentu tidak
akan dapat membantu kami."
"Terima kasih, Ki Sanak," sahut seorang yang rambut dan kumisnya sudah memutih.
Di sisa hari itu, orang-orang padukuhan itu disibukkan oleh
lima sosok mayat yang harus mereka kuburkan. Namun
mereka merasa tenang, bahwa di padukuhan itu terdapat tiga
orang berilmu tinggi yang dapat melindungi mereka dari
kemungkinan buruk. Hari itu, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang bermalam di
rumah Wicitra. Ketika orang-orang yang sibuk menguburkan
lima sosok mayat itu sudah pulang ke rumah masing-masing,
sementara malam mulai turun, Ki Marta Brewok, Paksi dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijang telah mandi pula, maka merekapun duduk di pendapa
rumah Wicitra bersama dengan Wicitra dan kedua orang
tuanya. Setelah minum seteguk wedang jahe, maka Ki Marta
Brewokpun mengulangi pertanyaannya, "Wicitra, aku masih
ingin mendengar jawabmu, setelah peristiwa ini, apakah yang
akan kau lakukan" Apakah sekedar meninggalkan tempat ini,
atau kau mempunyai rencana yang lain?"
"Aku belum memikirkannya, Ki Sanak, kecuali pergi
meninggalkan tempat ini?"
"Dalam keadaan yang gawat, apakah kau sadari, apa yang
telah dilakukan oleh ayah dan ibumu, yang sedianya akan kau
usir dari rumah ini?"
Wajah Wicitra menjadi tegang. Dipandanginya Ki Marta
Brewok dengan tajamnya. Pertanyaan itu benar-benar telah
mengguncang jantungnya. Ia berusaha mengingat, apa yang
akan dilakukan. Menjual tanah dan rumah itu. Mengusir ayah
dan ibunya. Namun Wicitra itupun kemudian sempat
membayangkan, apa yang telah dilakukan oleh ayah dan
ibunya saat ia berada di dalam keadaan yang paling gawat.
Meskipun ayah dan ibunya itu tahu, bahwa ia akan
mengusirnya serta menjual tanah dan rumahnya, namun
kedua orang tuanya itu masih berusaha melindunginya.
Seperti seorang ibu yang memeluk anaknya erat-erat saat
terjadi gempa, maka ibunya telah memeluknya saat nyawanya
terancam. Bahkan ayah dan ibunya itu telah menyatakan
kesediaannya untuk mati jika itu dapat menyelamatkan
nyawanya. Sejenak Wicitra termangu-mangu. Di luar sadarnya
dipandanginya ayah dan ibunya yang sudah tua itu. Rasa-
rasanya di penglihatannya ayah dan ibunya menjadi lain. Ayah
dan ibunya kelihatan begitu tua namun wajahnya yang cerah
itu bagaikan bercahaya. Tiba-tiba Wicitra itu membayangkan apa yang terjadi
dengan ayah dan ibunya itu jika keduanya terusir dari
rumahnya. Apa yang terjadi pada keduanya jika keduanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
harus hidup menumpang di rumah pamannya, sementara itu,
sebelumnya ia mempunyai tanah, rumah, sawah dan ladang.
Terasa jantung Wicitra bergetar. Orang tua yang diusirnya itu
ternyata masih juga bersedia mati untuknya.
Tiba-tiba saja Wicitra itu menutup wajahnya dengan kedua
telapak tangannya. Terdengar anak muda itupun menangis
terisak-isak seperti kanak-kanak yang menahan tangisnya
karena takut dicambuk ayahnya.
"Wicitra, kenapa?" Ibunyapun beringsut
mendekatinya. "Bukankah segala sesuatunya sudah lampau. Bahaya yang
hampir saja merenggut nyawa itu sudah lewat."
Wicitra mengangguk-angguk. Tetapi isaknya masih saja
mengguncang tubuhnya. "Kenapa kau Wicitra. Kenapa kau, Ngger."
Tiba-tiba saja Wicitra itu memeluk ibunya. Tangisnya tidak
lagi tertahan. Ia tidak saja terisak. Tetapi Wicitra itu benar-benar menangis.
"Ibu, maafkan aku. Ayah," tangisnya.
"Kenapa, kau kenapa?" Ibunya yang cemas telah mengguncang-guncang tubuhnya.
"Ayah, Ibu. Aku mohon maaf. Hampir saja aku telah
menyia-nyiakan Ayah dan Ibu. Aku telah menjadi anak
durhaka. Hampir saja aku mengusir Ayah dan Ibu dari rumah
ini." "Sudahlah, Wicitra. Bukankah semua itu belum terjadi?"
"Tetapi semuanya itu akan terjadi seandainya tidak terjadi peristiwa yang hampir saja merenggut nyawaku. Bahkan aku
pun tidak memikirkannya, jika Ki Sanak itu tidak bertanya
kepadaku. Ayah, Ibu, aku mohon maaf. Aku telah khilaf. Aku
pun harus minta maaf kepada banyak orang karena
kesombonganku selama ini, seolah-olah aku adalah orang
yang terpenting di dunia ini. Seolah-olah putaran kehidupan ini berporos padaku."
"Aku bersyukur, Wicitra," desis ayahnya. "Ternyata peristiwa ini ada juga nilainya bagimu. Nilai yang baik. Kau
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
juga harus minta maaf seribu kali kepada ketiga orang yang
telah menyelamatkanmu. Kau telah berbuat kasar kepada
mereka, namun justru merekalah yang telah
membangunkanmu dari mimpi burukmu."
Wicitra mengangguk-angguk. Tangisnya sudah mereda.
Ketika ia sudah dapat mengucapkan permohonan maaf
kepada ayah dan ibunya, maka rasa-rasanya bebannya sudah
jauh berkurang. Kepada Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang, Wicitra itupun
berkata, "Ki Sanak bertiga. Aku benar-benar menyesal atas sikapku. Bukan saja terhadap kalian bertiga, tetapi juga
terhadap semua orang. Selama ini aku telah terbius oleh
keberhasilanku. Ketika aku pulang ke padukuhan ini, aku
merasa bahwa disini aku adalah orang yang paling penting.
Orang yang paling berarti, sehingga aku tidak lagi mampu
mengekang perasaanku."
"Kau masih mempunyai banyak waktu untuk meluruskan
jalanmu, anak muda."
Wicitra mengangguk-angguk.
"Tetapi kau harus setia kepada pengakuanmu ini, Wicitra.
Maksudku, kau tidak akan pernah mengulanginya lagi. Juga
sikapmu terhadap lingkunganmu, terutama kepada ayah dan
ibumu. Mereka adalah sosok yang menjadi lantaran
kelahiranmu. Karena itu, kau tidak dapat memisahkan diri dari
kehadiran mereka." "Aku akan selalu mengingatnya, Ki Sanak. Aku akan selalu
mengingat apa yang terjadi. Aku tidak akan lagi mengganggu
ayah dan ibu tentang tanah, rumah, sawah dan pategalan."
"Mudah-mudahan kau selalu mengingatnya," desis Ki Marta Brewok.
Pembicaraan mereka terputus ketika satu dua orang
tetangga datang untuk sekedar ikut berbincang di pendapa.
Mereka membicarakan ketakutan yang melanda padukuhan itu
sejak keempat orang itu mencari Pangeran Benawa di
padukuhan mereka. Bahkan orang itu sudah mengancam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
untuk membawa sepuluh orang penghuni padukuhan itu
apabila mereka tidak menemukan Pangeran Benawa.
Kepada orang-orang itu Ki Marta Brewok selalu
mengatakan bahwa ia dan kedua orang anak muda yang
datang bersamanya itu adalah para pengikut Harya Wisaka.
Dengan demikian, maka ceritera yang berkembang di
padukuhan itu kemudian adalah, bahwa dua kelompok
pengikut Harya Wisaka telah saling berbenturan. Empat orang
di antaranya telah terbunuh.
Beberapa orang yang datang ke rumah orang tua Wicitra
itu berbincang sampai lewat tengah malam. Ibu Wicitra
menjadi sibuk menyediakan minuman dan bahkan makan
menjelang tengah malam. Baru menjelang dini, tetangga-
tetangga dekat orang tua Wicitra itu minta diri.
Pagi-pagi sekali, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijangpun
telah bangun. Mereka segera pergi ke pakiwan dan berbenah
diri. Sebelum fajar mereka telah minta diri untuk
melanjutkan perjalanan mereka.
"Kemana?" bertanya ayah Wicitra.
"Kami tidak dapat mengatakannya, karena kami akan pergi
ke tempat yang kami sendiri tidak tahu," jawab Ki Marta
Brewok. "Mencari Pangeran Benawa?" bertanya Wicitra.
"Ya. Kami memang harus mencari Pangeran Benawa.
Bedanya dengan keempat orang itu, kami telah mengenal
Pangeran Benawa sehingga tidak akan dapat dikelabuhi lagi."
"Jadi kalian sudah mengenal Pangeran Benawa?"
"Aku adalah abdi di istana Pajang," jawab Ki Marta Brewok.
"Karena itu, aku dapat mengenal Pangeran Benawa dengan
baik." Wicitra mengangguk-angguk. Ia merasa dirinya semakin
kecil. Tetapi untunglah bahwa ketiga orang itu mempunyai
sifat dan watak yang lain sekali dengan keempat orang yang
telah terbunuh itu meskipun mereka mengemban tugas yang
sama. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun sebelum Ki Marta Brewok meninggalkan rumah
Wicitra ia masih juga bertanya, "Apakah kau akan segera
meninggalkan rumah ini?"
"Ya," Wicitra mengangguk-angguk, "hari ini juga aku akan meninggalkan rumah ini. Siapa tahu masih ada kelompok-kelompok lain yang mencari Pangeran Benawa. Seandainya
mereka tidak menyangka aku Pangeran Benawa, mereka
mungkin saja memaksa aku untuk menemukannya, sementara
Pangeran Benawa tidak ada disini."
Demikianlah, maka Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijangpun
telah minta diri kepada seisi rumah itu. Kepada ayah dan ibu
Wicitra dan kepada Wicitra yang pada hari itu juga akan
meninggalkan rumahnya. Namun Wicitra telah berubah
karenanya. Wicitra tidak lagi akan memaksa ayah dan ibunya
menjual tanah, rumah, sawah dan pategalannya.
Demikianlah, maka sebelum matahari terbit, Ki Marta
Brewok, Paksi dan Wijang telah berada di sebuah bulak yang
panjang. Embun masih nampak menggantung di ujung
dedaunan yang basah. Namun langit nampak cerah. Tidak ada
selembar awan pun yang nampak di wajah langit.


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pada itu, burung-burung liarpun telah terbangun
pula di sarangnya. Kicaunya membuat pagi menjadi semakin
semarak. Sementara langit menjadi merah oleh cahaya
matahari yang mulai menguak cakrawala.
Ketiga orang yang berjalan di dinginnya pagi itu tidak
banyak berbicara. Paksi yang berjalan di paling depan, sekali-
sekali menghentakkan tongkatnya di tanah yang masih basah.
Di ujung rerumputan, butir-butir embun masih nampak
berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari.
Paksi memang tidak banyak berbicara. Ia bahkan mulai
memikirkan dirinya sendiri. Paksi itu telah melihat, bagaimana seorang ayah yang berusaha melindungi anaknya sehingga
siap untuk menyerahkan nyawanya.
"Apakah ayahku juga dapat berbuat seperti itu?"
pertanyaan itu tiba-tiba saja telah tersembul di hatinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ayahnya agaknya
memang agak lain dari ayah Wicitra.
"Apakah ayah juga bersedia menyerahkan nyawanya
bagiku?" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ayahnya justru telah
memerintahkannya untuk melakukan satu pekerjaan yang
tidak masuk akal. Pada umurnya yang ketujuh-belas, ayahnya
telah memerintahkannya memasuki satu dunia yang sangat
garang tanpa bekal yang memadai.
"Jika saja aku tidak bertemu dengan beberapa orang yang
baik hati," berkata Paksi di dalam hatinya. "Seandainya aku tidak bertemu dengan guru. Tidak bertemu dengan Pangeran
Benawa sendiri. Tetapi langsung bertemu dengan keempat
orang yang mencari Pangeran Benawa dan diperlakukan
seperti Wicitra, maka ayahku tidak akan berusaha melindungi
aku sebagaimana dilakukan oleh ayah Wicitra. Bahkan ayah
tentu akan menganggap aku seorang yang sudah sepantasnya
mati karena hidupku sama sekali tidak berarti bagi seorang
ayah." Terngiang kata-kata yang menusuk hatinya, bahwa ayah
Paksi itu tidak menghendaki Paksi pulang tanpa membawa
cincin yang dicarinya itu.
"Apakah ayah menganggap cincin itu lebih berharga dari
anaknya?" pertanyaan itu timbul pula di hati Paksi.
Namun Paksi sama sekali tidak tahu jawabnya.
"Justru karena itu aku harus pulang," berkata Paksi di dalam hatinya.
Ki Marta Brewok yang berjalan di belakang Paksi juga tidak
banyak berbicara. Sementara itu Wijang berjalan di paling
belakang. Diamatinya lingkungannya yang hijau.
Sawah, padukuhan-padukuhan, namun juga hutan yang lebat
di kaki gunung. Ketika Paksi berpaling, maka dilihatnya Ki Marta Brewok
berjalan beberapa langkah di belakangnya. Baru beberapa
langkah lagi Wijang berjalan sambil menebarkan pandangan
matanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Marilah. Mumpung masih pagi," ajak Paksi.
Ki Marta Brewok mempercepat langkahnya. Tetapi Wijang
menyahut, "Kenapa tergesa-gesa."
Paksi menarik nafas dalam-dalam.
Paksi yang kemudian berjalan di sebelah Ki Marta Brewok
itu ternyata tidak dapat menahan desakan perasaannya. Bagi
Ki Marta Brewok bukan saja kawan seperjalanan. Tetapi ia
adalah gurunya yang telah membentuknya menjadi seorang
yang berilmu tinggi. "Guru," berkata Paksi kemudian, "aku menjadi sangat gelisah."
"Kenapa?" "Seakan-akan aku tidak sedang berjalan pulang."
"Apa yang kau pikirkan?"
"Apakah ayahku juga bersedia berkorban seperti ayah
Wicitra itu, Guru?" Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Katanya
kemudian, "Tentu, Paksi. Seorang ayah tentu akan selalu
melindungi anak-anaknya sebagaimana dilakukan oleh ayah
Wicitra. Tentang berhasil atau tidak, itu tergantung pada
keadaan dan kemampuan. Tetapi naluri seorang ayah tentu
akan berbuat yang terbaik bagi anaknya."
"Bagaimana pendapat Guru tentang ayahku yang telah
memerintahkan kepadaku untuk mencari cincin itu?"
-ooo00dw00ooo- Jilid 15 KI MARTA BREWOK menarik nafas dalam-dalam. Untuk
beberapa saat ia justru terdiam. Diedarkannya pandangan
matanya kesekelilingnya. Hutan, sawah dan ujung gunung
yang berselimut awan tipis. Namun Ki Marta Brewokpun
kemudian berkata "Paksi. Jangan risau. Bukankah kau pulang
sambil membawa cincin yang dikehendaki oleh ayahmu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jika karena itu, aku diterima baik oleh ayahku, maka
bukan akulah yang diharapkan pulang. Tetapi cincin itu.
Seandainya ada orang lain yang datang membawa cincin itu,
maka ayah tidak akan pernah bertanya dimana aku berada.
Apakah aku akan pulang atau tidak"
"Jangan berprasangka buruk seperti itu, Paksi"
Paksi seakan-akan tidak mendengar kata-kata Ki Marta
Brewok itu. Tetapi ia berkata selanjutnya "Wicitra yang sudah
jelas berniat untuk mengusir ayah dan ibunya, pada saat yang
gawat masih ditangisi oleh ibunya, sementara ayahnya
bersedia mengorbankan nyawanya. Tetapi bagaimana dengan
ayahku?" "Sudahlah. Pulanglah. Serahkan cincin itu kepada ayahmu"
"Setelah aku renungkan, agaknya tidak ada gunanya bagiku
menyerahkan cincin itu kepada ayah. Demikian cincin itu
diambil kembali oleh Pangeran Benawa, maka aku tentu akan
diusirnya lagi dari rumah. Bahkan mungkin ayahku
memerintahkan kepadaku untuk mencuri cincin itu dari tangan
Pangeran Benawa" "Jika cincin itu kemudian diambil Pangeran Benawa,
bukankah itu bukan salahmu?"
"Ayah tidak akan menghiraukan apakah aku bersalah atau
tidak. Sebagaimana ayah memerintahkan aku mencari cincin
itu, maka ayah tentu akan menimpakan beban itu dipundakku"
Ki Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Tetapi bagaimanapun juga, disaat kau datang, maka kau
akan diterima sebagai seorang pahlawan"
Paksi menarik nafas panjang. Katanya "Apakah artinya
seorang pahlawan, jika itu hanya semu?"
"Sudahlah, Paksi" berkata Ki Marta Brewok "kau jangan
terlalu berprasangka. Kau wajib mencobanya"
Paksi tidak menjawab. Demikianlah, maka merekapun berjalan terus. Wijang
masih berjalan beberapa langkah dibelakangnya. Ia serba
sedikit mendengar pembicaraan antara Ki Marta Brewok dan
Paksi. Sebenarnyalah Wijang juga merasa heran terhadap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sikap ayah Paksi. Pada saat Paksi menginjak umur tujuh belas,
ia harus meninggalkan rumahnya memasuki satu dunia yang
sama sekali asing baginya, dunia yang keras dengan tugas
yang sangat berbahaya, tanpa bekal sama sekali.
"Ayah Paksi adalah seorang Tumenggung" desis Pangeran
Benawa "agaknya ia seorang yang memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang luas. Tetapi masih juga tumbuh di
kepalanya untuk memperlakukan anaknya semena-mena"
Tetapi desis itu hanya didengarnya sendiri. Bahkan
kemudian iapun bergumam pula perlahan sekali "Pamrih dan
ketamakan seseorang ternyata sangat berpengaruh terhadap
sikap seseorang. Jika yang terjadi pada Paksi, anak yang
diperlakukan semena-mena, sebaliknya yang terjadi pada
Wicitra. Anaknyalah yang memperlakukan orang tuanya
semena-mena" Namun Wijang itupun kemudian bertanya kepada diri
sendiri "Bagaimana dengan ayahku?"
Wijang menarik nafas panjang. Katanya kepada diri sendiri
"Tetapi ayahku adalah seorang raja"
Namun tiba-tiba timbul pertanyaan didalam hatinya
"Apakah ada bedanya kewajiban seorang ayah terhadap
anaknya dari seorang raja dan bukan seorang raja?"
Wijang termangu-mangu. Tetapi kakinya melangkah terus.
Namun telinganya seakan-akan mendengar jawaban "Tentu
berbeda anak muda. Bukan saja terhadap anaknya. Tetapi
juga terhadap istri-istrinya. Dengan bertumpu pada wewenang
dengan kekuasaan, seorang raja dapat berbuat lain dari orang
kebanyakan" Hampir diluar sadarnya, Wijang itu bergumam "Tetapi
hakekat seorang ayah dan kepala keluarga?"
Wijang terkejut sendiri. Tetapi untunglah bahwa agaknya
Paksi dan Ki Marta Brewok tidak menghiraukannya.
Demikianlah bertiga, mereka berjalan terus. Paksi masih
berjalan disamping Ki Marta Brewok. Wijang masih berjalan di
belakang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perjalanan ke Pajang memang sebuah perjalanan yang
panjang. Karena itu, maka mereka harus bermalam di
perjalanan. Tetapi ketiga orang itu sudah bersepakat untuk
menghindari persoalan-persoalan yang timbul diperjalanan
sehingga menghambat dan bahkan memperpanjang waktu
perjalanan mereka. Mereka ingin segera sampai di Pajang.
Meskipun Paksi menjadi sangat berdebar-debar, tetapi iapun
ingin segera tahu, apa yang akan terjadi dirumahnya nanti.
Tetapi kesediaan Wijang menyerahkan cincinnya justru
membuatnya semakin gelisah. Paksi pernah melihat Wijang
menyerahkan cincin itu kepada seseorang yang ingin
merampasnya. Tetapi orang itu harus menyerahkan kembali
cincin itu. Bahkan bersama nyawanya.
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengerti,
kenapa hal itu dilakukan oleh Wijang, karena menurut
pendapatnya, Wijang bukan seorang pembunuh.
"Jika orang itu dibiarkan hidup, maka Pangeran Benawa
tidak akan mempunyai tempat untuk bergerak sama sekali"
berkata Paksi didalam hatinya.
Ketika kemudian malam datang, mereka tidak bermalam di
sebuah banjar padukuhan agar mereka tidak tersentuh
persoalan-persoalan yang dapat menghambat perjalanan
mereka. Sebenarnyalah dengan menginap di tempat terbuka, maka
mereka memang tidak disentuh oleh persoalan-persoalan
apapun. Dihari berikutnya, ketiga orang itupun meneruskan
perjalanan mereka dengan sangat berhati-hati. Ketika mereka
merasa haus dan lapar, maka merekapun singgah di kedai-
kedai kecil yang tidak banyak disinggahi orang. Namun dalam
pada itu, semakin dekat mereka dengan Pajang, jantung Paksi
menjadi semakin berdebar-debar. Seperti yang dikatakannya,
rasa-rasanya ia sedang tidak mendekati rumahnya yang dihuni
oleh ayah, ibu dan saudara-saudaranya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun Ki Marta Brewok selalu membesarkan hatinya.
Dengan nada dalam ia berkata "Keluargamu sedang
menunggumu, Paksi" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Wijangpun
berkata "Kau akan pulang sambil membawa cincin yang dicari
oleh ayahmu itu, Paksi. Karena itu, jangan cemas, bahwa
kedatanganmu akan mendapat sambutan buruk dari ayahmu"
Paksi mengangguk-angguk kecil. Tetapi sebenarnyalah
bahwa ia tidak dapat menyingkirkan debar dijantungnya.
Bahkan semakin dekat dengan pintu gerbang kota, debar itu
menjadi semakin keras. Namun Paksipun kemudian
menetapkan niatnya. Ia harus pulang. Ibunya sudah
menunggu terlalu lama. Lebih dari setahun ia mengembara.
Tetapi seperti yang sudah direncanakan, Paksi akan
mengetuk pintu rumahnya setelah malam menjadi larut. Jika
ia menyerahkan cincin itu, ayahnya tidak mempunyai
kesempatan untuk memindahkan cincin itu ketangan orang
lain. Setidak-tidaknya untuk malam itu.
Namun sebelum Paksi sampai di rumahnya, maka ia harus
memberikan kesempatan kepada Wijang untuk sampai ke
istana dan mempersiapkan dirinya sebagai Pangeran Benawa
yang kemudian akan datang kerumah Paksi untuk mengambil
cincin itu. "Jika ayah berkeberatan, maka nyawa ayah akan
dipungutnya pula" berkata Paksi didalam hatinya.
Tetapi Paksi masih berpengharapan bahwa Wijang tidak
memperlakukan ayahnya dengan cara yang garang itu. Justru
karena Wijang mengenalnya dengan baik. Karena itu, maka
Paksipun tidak berpaling lagi. Ia harus segera pulang.
Ketika malam turun, maka merekapun telah memasuki
gerbang kota. Wijanglah yang kemudian mendahului Paksi,
langsung menuju ke istana setelah menyerahkan cincinnya
kepada Paksi. Bersama Ki Marta Brewok Paksipun kemudian duduk di
pinggir alun-alun yang sepi. Mereka membayangkan, Wijang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu memasuki regol butulan dan mengejutkan para abdi di
istana. "Jangan cemaskan Pangeran itu" berkata Ki Marta Brewok.
"Apakah Pangeran Benawa itu tidak akan dipanggil oleh
ayahandanya untuk mempertanggung-jawabkan
perbuatannya?" "Tentu tidak malam ini. Sultan Hadiwijaya kini menjadi
sangat lamban. Segala-galanya kini menjadi lambat dan
bahkan kadang-kadang beberapa masalah dilupakan begitu
saja. "Tetapi apakah Kangjeng Sultan itu tidak akan langsung
menanggapi kedatangan Pangeran Benawa yang sudah sekian
lama pergi meninggalkan istana" Apalagi jika sudah diketahui
bahwa Pangeran Benawa itu membawa cincin kerajaan?"
"Kangjeng Sultan tidak akan beringsut dari
pembaringannya" Paksi menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Untuk beberapa lama keduanya duduk di pinggir alun-alun.
Sementara itu, malampun menjadi bertambah malam. Derik
cengkerik terdengar menggores sepinya malam.
"Nah, sekarang pulanglah. Tengah malam kau mengetuk
pintu rumahmu. Mudah-mudahan kau diterima dengan baik
oleh keluargamu. Terutama oleh ayahmu"


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paksi mengangguk sambil berdesis "Untuk seterusnya
dimana aku dapat bertemu Ki Marta Brewok?"
Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya "Aku akan sering
berada disini. Terutama di malam hari"
"Terima-kasih guru" sahut Paksi dengan suara yang hampir
tidak terdengar. "Tetapi kau jangan lupa pula kepada gurumu. Datanglah
kepadanya. Laporkan apa yang pernah terjadi di sepanjang
perjalananmu. Suka dan dukanya"
"Baik, guru" jawab Paksi dengan suara yang bergetar.
Paksipun kemudian bangkit berdiri. Demikian pula Ki Marta
Brewok. "Aku mohon diri guru" desis Paksi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Marta Brewok menepuk bahu Paksi "Baik-baiklah
membawa dirimu" Paksi mengangguk kecil sambil menjawab "Baik, guru"
Demikianlah, Paksipun melangkahkan kakinya menyusuri
pinggir alun-alun itu. Kemudian berbelok dan keluar melintasi
jalan kota yang sepi. Sambil melangkah, Paksi mengamati jalan yang sudah
dikenalnya dengan baik, namun yang sudah lebih dari satu
tahun ditinggalkannya. Tetapi masih belum banyak yang
berubah. Bangunan disebelah-menyebelah jalan masih yang
dahulu itu juga. Jantung Paksi terasa berdenyut semakin keras ketika ia
menjadi semakin dekat dengan regol halaman rumahnya.
Halaman rumah yang cukup luas. Rumahnyapun termasuk
rumah yang baik sebagaimana rumah seorang Tumenggung.
Ketika tangan Paksi menguak pintu regol rumahnya,
hatinyapun menjadi semakin bergetar. Namun Paksipun
kemudian melangkah dengan mantap menuju ketangga
pendapa. Malam telah menjadi semakin larut. Dikejauhan terdengar
suara kentongan dengan irama titir.
"Tengah malam" desis Paksi "Pangeran Benawa tentu telah
berbuat sesuatu. Menjelang pagi, Pangeran Benawa akan
datang kerumah ini untuk mengambil cincin itu"
Beberapa saat kemudian Paksi berdiri termangu-mangu di
depan pintu pringgitan. Namun kemudian tangannya
diangkatnya. Paksi mengetuk pintu rumahnya perlahan-lahan. Agaknya
seisi rumah itu sudah tidur nyenyak. Demikian pula ayah, ibu
dan adik-adiknya. Paksipun telah mengetuk pintu rumahnya
lagi. Agak lebih keras dari semula.
Ternyata ketukan itu telah membangunkan ayah dan
ibunya. Keduanya memang menjadi bimbang. Ketukan pintu di
tengah malam itu menimbulkan berbagai prasangka pada
keduanya. "Siapa?" terdengar suara ayah Paksi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku ayah, Paksi"
"Paksi?" nama itu sangat mengejutkannya. Sejenak ia
berdiri termangu-mangu. Ibunyalah yang berlari ke pintu sambil menyebut nama itu
"Paksi. Kau benar Paksi?"
Tetapi Ki Tumenggung dengan cepat menangkap
lengannya sambil berkata "Tunggu. Apakah benar yang
datang itu Paksi" "Aku tidak dapat melupakan suaranya"
"Sudah lama ia meninggalkan rumah ini. Segala-galanya
tentu sudah berubah"
"Tetapi suara itu tidak berubah sama sekali"
"Tetapi kau tidak boleh tergesa-gesa. Mungkin suaranya
tidak berubah. Mungkin yang datang itu memang Paksi. Tetapi
apakah Paksi masih sama seperti Paksi yang dahulu atau
tidak" "Paksi tidak akan pernah berubah. Ia adalah anakku"
"Baiklah. Sambutlah anakmu itu" desis Ki Tumenggung. Ibu
Paksi itulah yang kemudian mengangkat selarak pintu.
Yang berdiri dimuka pintu memang Paksi. Demikian pintu
terbuka, maka Paksipun segera berjongkok didepan ibunya.
Diraihnya tangan ibunya dan kemudian diciumnya.
"Paksi. Paksi" desis ibunya. Ditariknya bahu Paksi agar anak
muda itu berdiri. Kemudian, dipeluknya anak laki-lakinya yang
sudah hampir satu setengah tahun mengembara.
Paksi memeluk ibunya pula. Air mata yang mengalir dan
membasahi bahu Paksi, terasa hangat. Mata Paksi terasa
menjadi hangat pula. Ketika ibunya melepaskan pelukannya, maka Paksipun
berjongkok di hadapan ayahnya pula sambil berkata "Ayah,
aku pulang" Ayahnya memandang wajah Paksi. Tetapi Paksi menunduk
sehingga ayahnya tidak dapat melihat wajahnya itu.
"Kau datang darimana, Paksi?" bertanya ayahnya.
Paksi menjadi heran mendengar pertanyaan itu. Bahkan
ibunyapun menjadi heran pula, sehingga ibunyapun itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyahut "Bukankah Paksi pergi menjalankan perintah
kakang Tumenggung" "O, benar begitu, Paksi?"
Paksi tidak menjawab. Tetapi pengalamannya dalam
pengembaraan, membuatnya menjadi bertambah lantip. Ia
tahu kemana arah pertanyaan ayahnya itu. Karena itu, maka
Paksi justru menunggu, apa yang akan ditanyakan ayahnya
lebih lanjut. "Paksi" berkata ayahnya kemudian "kau belum menjawab
pertanyaanku" "Maksud ayah?" Paksi justru bertanya.
"Apakah selama ini kau telah pergi menjalankan
perintahku?" "Ya, ayah" jawab Paksi. Tetapi Paksipun tahu, bahwa
ayahnya akan segera bertanya apakah ia berhasil atau tidak.
Bahkan ayahnya tentu akan mengingatkannya, bahwa
ayahnya itu telah berpesan, agar ia tidak kembali sebelum ia
berhasil menemukan cincin bermata tiga itu.
Paksi harus menahan senyumnya ketika ia mendengar
ayahnya itu bertanya "Kau ingat, bagaimana bunyi
perintahku?" "Ingat ayah" jawab Paksi "meskipun perintah itu ayah
ucapkan setahun yang lalu"
"Sebut bunyi perintahku itu" berkata ayahnya kemudian.
"Biarlah ia duduk dahulu. Biarlah ia minum atau makan
atau beristirahat dahulu. Ia baru datang setelah setahun
meninggalkan rumah" "Jangankan setahun" jawab ayahnya "seorang laki-laki
akan melakukan tugasnya sampai tuntas. Sebelum selesai,
maka seorang laki-laki pantang berhenti meskipun harus
dilakukan seumur hidupnya"
"Tetapi Paksi itu sekarang ada disini. Ia tidak akan lari.
Kakang akan dapat bertanya kapan saja kepadanya"
"Aku ingin mendengar jawabnya, apakah ia dapat
menyelesaikan tugasnya sampai tuntas atau tidak sebelum ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masuk kedalam. Jika tugasnya belum tuntas, tidak pantas jika
ia masuk kedalam rumah kita"
"Biarlah ia masuk"
Tidak" Ki Tumenggung itu membentak.
Tetapi adalah diluar dugaan bahwa Nyi Tumenggung itupun
membentak pula "Tidak. Aku akan membawa Paksi masuk
kedalam rumahnya sendiri"
Wajah Ki Tumenggung menjadi merah. Diluar sadarnya, ia
bertanya "Kau berani membantah kata-kataku, Nyi?"
"Aku sudah tua. Aku sudah cukup lama menunjukkan
kesetianku kepadamu, kakang. Jika sekarang aku bersikap
lain, karena aku sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi. Baik
bagi badanku, maupun bagi namaku. Apapun yang akan kau
lakukan, lakukanlah. Jika kau ingin menghinakan aku,
lakukanlah" Jantung Paksi menjadi bedebar-debar. Tetapi ia tidak
sempat memikirkannya. Ibunya telah menariknya dan
membawanya masuk keruang dalam.
Ki Tumenggung menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak
mencegah ketika kemudian Nyi Tumenggung membimbing
Paksi masuk keruang dalam.
Sejenak kemudian Paksipun telah duduk diruang dalam.
Dengan lembut ibunya berkata "Duduklah Paksi. Aku akan
membuat minuman bagimu"
Paksi tidak menjawab. Tetapi dipandangnya ayahnya yang
berdiri dengan wajah yang tegang.
"Kau tidak akan pergi lagi, Paksi. Kau akan tetap berada
dirumahmu" Paksi masih tidak menjawab. Sementara itu ibunyapun
beranjak dari tempatnya untuk pergi kedapur. Namun ia
sempat berkata "Biarkan ia beristirahat dahulu, kakang.
Jangan kau usik anak itu dengan segala macam pertanyaan
yang dapat mengganggu ketenangannya"
Paksi mendengarkan perselisihan itu dengan jantung yang
berdebaran. Setelah melakukan pengembaraan lebih dari
setahun panggraitanya menjadi semakin tajam. Karena itu,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pembicaraan ayah dan ibunya yang keras itu telah
menimbulkan berbagai tanggapan didalam hatinya.
Namun ayahnya benar-benar tidak mengganggunya.
Bahkan kemudian ayahnya itu masuk kedalam biliknya tanpa
menutup pintu rumahnya. Karena itu, maka Paksipun
kemudian bangkit berdiri untuk menutup pintu yang terbuka
itu. Didapur, ibunya telah membangunkan seorang
pembantunya untuk menyiapkan minum dan makan bagi
Paksi. "Hangatkan sayurnya" berkata ibu Paksi itu "anak itu tentu
kedinginan dalam perjalanannya yang panjang"
Dalam pada itu, ibu Paksi itupun segera masuk keruang
dalam. Dilihatnya Paksi yang sedang menutup dan menyelarak
pintu rumahnya. "Duduk sajalah Paksi" berkata ibunya "kau tentu letih.
Sebaiknya kau beristirahat. Mungkin kau ingin mandi atau
berbenah diri" Paksi merasakan kesejukan kasih seorang ibu. Ia
membayangkan betapa seorang ibu telah siap berkorban,
meskipun anaknya sudah mengusirnya. Agaknya ibunya juga
akan bersedia berkorban sebagaimana ibu Wicitra. Tetapi
Paksi harus merenungi sikap ayahnya. Pembicaraan ayah dan
ibunya yang pendek itu cukup keras. Tetapi Paksipun harus
menepati waktu sebagaimana dibicarakannya dengan
Pangeran Benawa. Karena itu, sebelum Pangeran Benawa
datang, cincin itu harus sudah berada di tangan ayahnya.
"Kemana saja kau selama ini, Paksi. Aku sangat rindu
kepadamu" Paksi mencoba untuk tersenyum. Ia tidak ingin membuat
perasaan ibunya semakin pedih. Karena itu, maka wajah Paksi
itu justru nampak gembira. Katanya "Satu pengalaman yang
menarik, ibu. Aku telah melihat daerah yang luas sekali"
"Apakah kau tidak mengalami peristiwa-peristiwa buruk
diperjalanan?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak, Ibu. Jika sekali-sekali kakiku terantuk batu,
bukankah itu wajar sekali?"
Ibunya menarik nafas panjang. Ia mengerti bahwa Paksi
ingin menenteramkan hatinya.
Namun ibunya itu terkejut ketika Paksi itupun bertanya
"Dimana ayah?" Ibunya mengerutkan dahinya. Ia tahu bahwa suaminya
berada didalam biliknya. Bahkan Ki Tumenggung itu tentu
mendengar pertanyaan Paksi itu.
"Bukankah ayahmu berada didalam biliknya?"
"Aku ingin berbicara dengan ayah"
"Bukankah dapat kau lakukan besok pagi" Beristirahatlah.
Makanlah atau jika sebelumnya kau akan mandi dahulu.
Kemudian berganti pakaian. Pakaianmu nampak lusuh dan
kotor. Berapa bulan kau tidak berganti pakaian?"
Paksi tertawa. Katanya "Aku selalu mencucinya, ibu. Aku
sengaja tidak menyediakan ganti pakaian. Setiap kali aku
mencuci disungai, maka akupun ikut berjemur sampai pakaian
itu kering" "Kau bawa pula tongkat kayu, sehingga ujudmu benar-
benar seperti seorang pengembara"
Paksi tertawa. Katanya "Tongkat ini tongkat wasiat, ibu.
Seseorang memberikan kepadaku sebagai kenang-kenangan,
itulah sebabnya, aku membawanya kemana-mana"
"Bagaimana jika pakaianmu yang selembar itu koyak?"
"Aku dapat membeli dipasar. Bukankah aku mempunyai
uang?" "Jadi uang bekalmu itu masih ada" atau kau sudah menjual
perhiasan yang ibu berikan kepadamu?"
"Uang itu masih ada ibu. Aku tidak banyak
membelanjakannya selama dalam pengembaraan"
"Bagaimana kau makan sehari-hari?"
Wajah Paksi nampak cerah. Ia teringat kepada kebunnya di
lereng gunung Merapi. Sambil tertawa Paksi berkata "Aku
sempal berkebun ditanah yang subur, ibu"
"Tanah siapa?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tanah tanpa pemilik. Aku membuka tanah dipinggir
sebuah hutan" ketika Paksi melihat kerut didahi ibunya, ia
segera berkata "menyenangkan sekali. Satu pengalaman yang
sulit aku dapatkan tanpa pengembaraan ini"
Ibunya mengangguk-angguk. Namun karena ia melihat
wajah Paksi yang cerah, maka hatinyapun menjadi terang
pula. Bayangan-bayangan tentang kehidupan Paksi yang
penuh dengan penderitaan menjadi semakin kabur. Bahkan
ibu Paksi itupun kemudian dapat tersenyum pula sebagaimana
Paksi. Apalagi Paksi menganggap pengalaman hidupnya itu
sangat berarti baginya, serta beberapa ceritera jenaka yang
terjadi di perjalanannya.
Namun kemudian Paksi itupun bertanya lagi- Dimana ayah,
ibu" "Kau akan berbicara dengan ayahmu?"
"Ya"

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Penting sekali?"
"Ya, ibu. Aku ingin menyampaikan hasil pengembaraanku"
Ibunya termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi
iapun bertanya "Jadi kau berhasil?"
Sebelum Paksi menjawab, ayahnya sudah keluar dari dalam
biliknya. Ia memang mendengar pembicaraan Paksi dan
ibunya. Dengan tergesa-gesa iapun bertanya "Jadi kau
berhasil, Paksi?" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat ayahnya
melangkah mendekatinya. Paksipun telah bersiap-siap untuk
mengamati wajah ayahnya disaat ia mendengar bahwa
perjalan-annya berhasil. "Ayah. Aku telah melakukan perintah ayah sejauh dapat
aku lakukan. Ternyata Yang Maha Peyayang telah menuntun
perjalananku sehingga aku berhasil"
"Cincin itu?" "Ya, ayah" "Kau dapatkan cincin itu?"
"Ya" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lihat, apakah cincin itu benar-benar cincin yang dimaksud.
Cincin bermata tiga butir batu akik yang berbeda warnanya
dan jenisnya" Paksipun kemudian telah mengambil cincin yang
disimpannya di kantong ikat pinggangnya.
"Apakah benar cincin ini yang ayah maksudkan?"
Mata Ki Tumenggung itu terbelalak. Ia melihat tiga butir
mata cincin itu bagaikan bercahaya. Dengan tergesa-gesa
diambilnya cincin itu dari tangan Paksi. Diamatinya cincin iu
dengan seksama. Tiba-tiba Ki Tumenggung itu tertawa.
Semakin lama menjadi semakin keras.
"Kakang Kakang Tumenggung" panggil Nyi Tumenggung.
Bahkan kemudian sambil mengguncang-guncang lengan
suaminya "kenapa kakang tiba-tiba kehilangan kendali seperti
ini?" Suara tertawa itu memang mereda. Ki Tumenggung itupun
duduk sambil berkata "Ternyata kau adalah anak yang sangat
baik, Paksi. Kau dapat melakukan tugas yang dibebankan di
pundakmu sehingga berhasil. Memang cincin inilah yang dicari
selama ini" Paksi tidak menjawab. Tetapi ia menyadari, bahwa
kegembiraan itu tidak akan berumur panjang. Sebelum
matahari terbit, Pangeran Benawa akan datang untuk
mengambil cincin itu. "Dimana kau dapat cincin ini?" bertanya ayahnya
kemudian. "Dikaki Gunung Merapi disisi Selatan, ayah" Ayahnya
mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun bertanya
"Bagaimana kau mendapatkan cincin itu?"
Paksi sudah menduga bahwa ayahnya akan bertanya
seperti itu kepadanya. Karena itu dengan lancar iapun
menjawab "Dalam samadi aku seakan-akan melihat bintang
kecil yang jatuh dibalik segerumbul pepohonan. Ketika aku
memburunya, maka ternyata aku menemukan sebuah telaga
kecil dibalik gerumbul itu, ayah. Ketika aku mendekat, maka
aku melihat cahaya tiga warna didalam air. Entah apakah yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
meyakinkan aku waktu itu, tetapi akupun segera terjun
kedalam air menuju ke sumber cahaya itu. Ternyata aku
mendapatkan cincin ini"
"Paksi" berkata ayahnya "aku tahu, bahwa banyak orang
yang mencari cincin ini. Apakah kau tidak bertemu atau
bahkan berebutan dengan mereka?"
"Hanya akulah yang berada di telaga kecil pada waktu itu,
ayah. Tidak ada orang lain. Baru kemudian, aku mengetahui
bahwa di lereng sebelah Selatan Gunung Merapi banyak orang
yang memburu cincin itu"
"Dari mana kau tahu, bahwa mereka sedang memburu
cincin itu sedangkan cincin itu sudah berada di tanganmu"
"Dimana-mana terjadi keributan. Yang satu menuduh yang
lain menyembunyikan. Bahkan ada seorang yang mencari
seorang yang bernama Pangeran Benawa yang menurut kata
mereka, telah melarikan cincin itu dari istana"
"Jadi perebutan itu terjadi di tempat-tempat terbuka?"
"Bahkan di pasar, di kedai, dimana saja" jawab Paksi "di
pasar aku juga pernah melihat dua orang saling menuduh.
Bukan menyembunyikan cincin, tetapi menyembunyikan
Pangeran Benawa" Ayah Paksi itu tertawa berkepanjangan. Katanya "Apa yang
kau lakukan" Kau tentu mentertawakan mereka karena kaulah
yang telah membawa cincin itu"
"Ya, ayah. Tetapi aku justru harus berhati-hati. Aku takut
bahwa cahaya mata cincin itu akan menembus kantong ikat
pinggangku. Karena itu, aku selalu menyingkir jika terjadi
perselisihan diantara mereka"
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia
bertanya "Bukankah kau tidak berbohong, Paksi?"
Paksi mengerutkan dahinya. Katanya "Maksud ayah?"
"Tidak. Aku percaya kepadamu. Terima-kasih, Paksi"
Ayahnya tidak berkata apa-apa lagi. Tetapi dibawanya cincin
itu kedalam biliknya. Ibu Paksi itupun menarik nafas dalam-dalam. Diusapnya
kepala anaknya sambil berkata "Yang Maha Penyayang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memberi jalan kepadamu untuk menyelesaikan tugasmu
dengan baik" Paksi mengangguk kecil. Katanya "Ya, ibu. Aku memang
tidak berkeputusan memohon"
"Permohonanmu ternyata didengarNya"
"Ya, ibu" Namun pembicaraan mereka terhenti. Ia melihat Ki
Tumenggung keluar dari biliknya dan dengan tergesa-gesa
pergi ke belakang. "Ayah" panggil Paksi yang menjadi cemas. Tetapi Ki
Tumenggung tidak mendengarnya. Bahkan ia berjalan terus
kebelakang lewat pintu butulan.
Paksi seakan-akan diluar sadamva telah bangkit pula
mengikuti ayahnya sampai ke pintu. Dari pintu butulan ia
melihat ayahnya memanggil seorang pembantunya. Dengan
singkat Ki Tumenggung itu memberi perintah-perintah.
Paksi yang memiliki Aji Sapta Pangrungu sempat
mendengar ayahnya berkata "Pergilah. Katakan, bahwa lampu
itu telah menyala di Katumenggungan"
Paksi tahu bahwa ayahnya telah memberi isyarat sandi.
Tetapi agaknya pembantu ayahnya itu sudah tahu kemana ia
harus pergi, sehingga tanpa disebutpun ia tidak bertanya.
Ketika orang itu pergi ke kandang kuda, maka Paksipun
telah melangkah mundur dan kembali keruang dalam. Ayah
Paksipun telah masuk pula. Tanpa berpaling kepada Paksi dan
ibunya yang berdiri termangu-mangu, Ki Tumenggungpun
masuk kembali kedalam biliknya.
Namun ibu Paksi itupun kemudian berkata "Apakah kau
akan mandi dahulu sebelum makan?"
Paksi ragu-ragu sejenak. Ia harus mengawasi ayahnya. Jika
saja ayahnya menyerahkan cincin itu kepada orang lain.
"Pembantu yang membawa isyarat sandi itu perlu
mendapat perhatian khusus" berkata Paksi didalam hatinya.
Karena itu, maka Paksi itupun berkata "Aku tidak mandi
sekarang" "Jadi?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil tersenyum Paksi berdesis "Besok saja ibu. Dalam
pengembaraan aku terpaksa tidak terlalu rajin untuk mandi"
Ibunyapun tersenyum. Tetapi ia tidak memaksa.
Karena itu, sejenak kemudian, Paksi itu justru duduk di
ruang dalam untuk makan. Namun dari tempatnya Paksi tahu
jika ayahnya meninggalkan biliknya atau jika ada orang lain
yang masuk kedalam bilik itu.
Paksi sengaja makan dengan perlahan-lahan. Karena
ibunya menungguinya, maka Paksipun berceritera panjang
lebar tentang pengembaraannya. Paksi membuat dongeng
tentang samadinya sehingga ia melihat bintang kecil yang
seakan-akan jatuh dari langit, yang ternyata adalah cincin itu.
Setiap kali ibunya mengangguk-angguk. Nampak
kekaguman memancar di sorot mata ibunya. Ternyata anak
laki-lakinya itu adalah anak laki-laki yang berani.
Berbeda dengan bagian-bagian yang dirahasaikan, Paksi
bercerita tentang keranda yang terbang di malam hari.
Seluruh Kademangan menjadi ketakutan. Namun akhirnya
Paksi dapat membongkar rahasia keranda terbang itu.
"O. Kau tidak menjadi katakutan melihat keranda terbang
itu, Paksi?" "Tentu tidak ibu. Sejak semula aku sudah tidak percaya
bahwa ada keranda yang dapat terbang"
"O, orang-orang Kademangan itu tentu berterima-kasih
kepadamu" "Aku memang menjadi pahlawan ibu"
Ibunya tertawa. Ceritera itu menjadi sangat menarik
baginya. Sementara itu, kedua adik Paksipun telah terbangun pula.
Merekapun kemudian telah ikut duduk diruang dalam
menunggui Paksi yang sedang makan. Ternyata keduanya
juga senang mendengarkan dongeng yang dibuat oleh Paksi.
Bahkan keduanya tertawa tergelak-gelak kelika Paksi
berceritera pula kepada mereka tentang keranda yang terbang
itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kedatangan Paksi membuat kedua adiknya itu bergembira.,
Selama Paksi pergi, berganti-ganti mereka bertanya, kenapa
Paksi tidak segera pulang. Karena itu mereka merasa benar-
benar gembira ketika Paksi berada di rumah lagi.
"Bukankah kakang tidak akan pergi lagi?" bertanya adik
perempuan Paksi. "Tidak" ibunya yang menjawab.
"Ayah tidak memerintahkan kakang untuk mencari cincin
itu lagi?" "Ah, jangan berbicara tentang cincin itu" desis ibunya yang
mengetahui bahwa cincin itu adalah benda yang menjadi
bahan rebutan banyak pihak.
Adik laki-laki Paksipun berdesis "Kami bukan kanak-kanak
lagi, ibu. Kami tahu, bahwa kami tidak boleh berbicara tentang cincin itu disembarang tempat. Tetapi bukankah disini tidak
orang lain?" Paksi tertawa. Adiknya memang sudah nampak remaja.
Tubuhnya yang tinggi dan dadanya yang bidang
mengisyaratkan bahwa adiknya adalah seorang laki-laki yang
kokoh. Bukan saja wadagnya, tetapi juga hatinya.
Karena itu, maka Paksipun berkata "Tentu, kau tentu sudah
bukan kanak-kanak lagi. Tetapi barangkali adikmu masih harus
diberitahu tentang sesuatu yang rahasia"
"Uh, kakang mengira bahwa aku masih kanak-kanak?"
Paksi tertawa pula. Katanya "Setahun lebih aku
mengembara. Kau sudah nampak benar-benar seperti seorang
gadis" "Ah" Tetapi adik laki-laki Paksipun menyahut "Sekali-sekali sudah
ada anak muda yang memandanginya tanpa berkedip"
Adik perempuan Paksi itu bangkit. Namun kakaknya dengan
cepat bergeser. Katanya "Jangan"
Paksi tertawa berkepanjangan. Ia senang melihat adik-
adiknya yang nampak bergembira. Agak berbeda dengan Paksi
sendiri. Sebelum ia meninggalkan rumahnya, jarang sekali ia
sempat bergurau. Ada saja yang harus dilakukannya. Sebagai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
anak seorang Tumenggung, Paksi termasuk seorang anak
muda yang prihatin. Namun justru dalam pengembaraannya,
Paksi menemukan sesuatu yang berharga bagi dirinya.
Dalam pada itu, malampun bertambah dalam. Paksi yang
sudah selesai makan, masih belum beranjak dari tempatnya.
"Beristirahatlah, Paksi" berkata ibunya kemudian.
"Sebentar ibu" jawab Paksi "baru saja aku selesai makan"
"Tetapi kau tentu letih"
"Sedikit" jawab Paksi "tetapi aku tidak apa-apa. Adik-adikku
masih ingin mendengarkan aku berceritera tentang
pengembaraanku" Ibunya memandang adik-adik Paksi berganti-ganti. Katanya
"Apakah kalian tidak akan tidur lagi?"
"Aku senang mendengarkan kakang Paksi berceritera"
jawab adik perempuannya. Ibunya menarik nafas panjang. Sementara Paksipun
menyahut "Aku juga masih belum ingin tidur ibu"
Ibunya tidak dapat memaksa mereka. Bahkan ibunya juga
masih saja duduk bersama mereka diruang dalam. Mangkuk-
mangkuk nasi dan sayur serta lauknya seadanya, masih belum
disingkirkan. Sebenarnyalah bahwa Paksi menunggu kedatangan
Pangeran Benawa. Menurut pembicaraan mereka, Pangeran
Benawa akan datang menjelang fajar. Sambil menunggu,
Paksi mengisi waktunya dengan berceritera kepada adik-
adiknya. Ceritera yang dikarangnya sekenanya saja. Namun
yang dapat menimbulkan gelak dan tawa.
Dalam pada itu, malampun beringsut menjelang dini. Ayam
jantan sudah terdengar berkokok lagi. Adik perempuan Paksi
itu sudah mulai menguap. Ia mulai mengantuk lagi.
"Tidurlah" berkata ibunya "masih ada waktu beberapa lama
sebelum pagi" Adik perempuan Paksi itupun kemudian bangkit sambil
berkata "Bukankah kau tidak akan pergi lagi, kakang?"
"Tidak" jawab Paksi.
"Besok kau harus berceritera lagi. Panjang sekali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Gantian" besok akulah yang akan berceritera.
"Apa yang dapat kau ceriterakan?"
"Banyak. Kancil yang suka mencuri timun" Adik
perempuannya bergeser mendekatinya. Tetapi adik laki-laki
Paksi itu bergerak lebih cepat menjauh.
"Sudahlah" berkata ibunya "tidurlah. Kakakmu tentu
merasa letih. Tetapi karena ia tidak mau mengecewakan
kalian, maka ia masih bertahan"
Adik perempuan Paksi itupun kemudian telah pergi ke
biliknya lagi. Demikian pula adik laki-laki itupun berkala "Aku akan tidur lagi, kakang. Kakang tentu juga letih"


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paksi tersenyum. Katanya "Tidurlah. Sebentar lagi aku juga
akan tidur" Ketika kedua orang adiknya sudah tidur, maka ibunyapun
berkata "Tidurlah. Bilikmu masih bilik yang dahulu. Setiap hari aku membersihkannya. Karena itu, jika kau mau tidur, di
bilikmu tidak terdapat banyak debu"
Paksi itu mengangguk. Katanya "Baik ibu. Aku akan pergi
rke pakiwan lebih dahulu"
Sejenak kemudian, setelah mencuci muka, tangan dan
kakinya, Paksipun telah duduk lagi di ruang dalam. Ibunya
telah menyediakan pakaian sepengadeg jika Paksi mau
berganti. "Pakaianmu kusut dan kotor, Paksi"
Tetapi Paksi tertawa. Katanya "Aku terbiasa memakai
pakaian selembar ini untuk beberapa hari ibu. Kemudian
mencucinya di kali sambil berjemur menunggu pakaian ini
kering" "Kau sekarang ada dirumah, Paksi. Suasananya tentu
berbeda. Terserahlah kepadamu - berkata ibunya kemudian
"tetapi beristirahatlah"
"Baik, ibu " jawab Paksi.
Tetapi sebelum Paksi beringsut, ia mendengar derap kaki
kuda memasuki halaman rumahnya. Paksi itu menjadi
termangu-mangu sejenak. Namun kuda itu hanya seekor dan
langsung berlari kebelakang. Paksipun tahu, bahwa yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
datang itu adalah pemabantunya yang tadi yang menjalankan
perintah ayahnya membawa isyarat sandi.
Sebenarnyalah, ayah Paksi yang juga mendengar derap
kaki kuda itu, langsung keluar dari biliknya. Membuka pintu
butulan dan bertanya saja sambil berdiri di pintu butulan-
Bagaimana?" "Sudah Ki Tumenggung" jawab orang itu.
"Bagus" berkata Ki Tumenggung tanpa keluar dari pintu
butulan. Setelah menutup pintu butulan, maka ayah Paksi itupun
segera kembali kedalam biliknya. Sekilas ia memandang Paksi
yang masih duduk diruang dalam bersama ibunya. Tetapi ia
sama sekali tidak bertanya.
Paksi menarik nafas panjang. Tetapi iapun tidak bertanya
apa-apa pula. Ia hanya memandangi ayannya yang kembali
masuk kedalam biliknya. "Ternyata ayah juga belum tidur" berkata Paksi didalam
hatinya. Paksipun tahu, bahwa ada sesuatu yang dilakukan
oleh ayahnya dengan cepat. Agaknya ayahnya juga tidak ingin
terlambat. Namun Paksi tidak tahu, apa yang akan dilakukan
oleh ayahnya itu. Tetapi tentu ada hubungannya dengan
cincin yang baru saja dibawanya pulang.
Karena itu, Paksi menjadi gelisah. Ia berharap bahwa
Pangeran Benawa akan datang mendahului rencana ayahnya
itu. Tetapi ibunyapun lelah bertanya lagi kepadanya
"beristirahatlah, Paksi. Bukankah kau letih?"
Paksi tersenyum. Katanya "Baik ibu. Aku akan beristirahat.
Tapi beberapa saat lagi fajar akan menyingsing"
"Masih ada waktu meskipun hanya sedikit"
Paksi memang pergi ke biliknya. Tetapi ia tidak berbaring
dan apalagi memejamkan matanya. Paksi mengangkat
wajahnya ketika ia mendengar derap kaki beberapa ekor kuda.
Tetapi kemudian ia justru menjadi bimbang. Siapakah yang
datang itu. Pangeran Benawa atau orang-orang yang telah
meneriman isyarat ayahnya. Diluar sadarnya, Paksi tiba-tiba
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
saja meraih tongkatnya yang disandarkannya di dekat
pembaringannya. "Jika orang-orang itu bukan Pangeran Benawa dan akan
mengambil, cincin itu, aku harus mencegahnya, apapun yang
terjadi" berkata Paksi didalam hatinya. Sejenak menunggu.
Bahkan Paksipun kemudian telah berdiri dipintu biliknya.
Sejenak kemudian terdengar pintu pringgitan di ketuk
orang. Agaknya beberapa orang telah naik ke pendapa dan
langsung ke pringgitan. Karena tidak segera ada jawaban,
maka pintu itu telah diketuk lagi. Lebih keras.
Ibu Paksipun telah berada di biliknya pula. Dengan nada
cemas, ibunya itupur. berkata "Kakang Tumenggung. Kakang
dengar orang mengetuk pintu?"
"Ya" jawab Ki Tumenggung.
"Siapakah mereka itu?" bertanya istrinya.
Ki Tumenggung itu bangkit dari pembaringannya.
Disambarnya kerisnya dan dikenakannya di punggungnya.
Sambil mengenakan bajunya ia bertanya "Siapa diluar?"
"Aku Ki Tumenggung" terdengar jawaban.
"Apakah kalian tidak dapat datang besok" Ini bukan
waktunya untuk datang ke rumah seseorang"
Paksi mendengar kata-kata ayahnya itu. Dengan demikian
Paksi tahu, bahwa yang datang itu tentu bukan orang-orang
yang memang ditunggu oleh ayahnya, kecuali jika mereka
dengan sengaja membuat satu permainan.
Tetapi ketukan pintu itu terdengar lagi. Terdengar suara
diluar pintu "Ada sesuatu yang sangat penting, Ki
Tumenggung. Bukalah pintumu"
"Datanglah besok pagi"
"Aku perlu sekarang. Bukalah pintumu atau aku akan
membukanya sendiri" Ki Tumenggung menjadi bimbang. Meskipun sudah
menyelipkan keris dipunggungnya, Ki Tumenggung itu masih
menyambar tombak pendek di plonconnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu Paksipun telah keluar dari biliknya pula.
Bahkan adik laki-lakinya yang juga menggenggam tombak
pendek. Ki Tumenggung memang nampak ragu-ragu. Namun
terdengar suara diluar "Ki Tumenggung. Bukalah pintunya.
Yang datang adalah Pangeran Benawa"
Paksi menarik napas dalam-dalam. Tetapi tidak seorangpun
yang memperhatikannya, karena orang-orang diruang dalam
itu memusatkan perhatiannya kepada pintu pringgitan yang
tertutup rapat dan diselarak dari dalam.
Ki Tumenggung benar-benar menjadi tegang. Bahkan iapun
telah berpaling. Dipandanginya Paksi dan adik Paksi itu
berganti-ganti. Namun ayah Paksi itu tidak mengatakan
sesuatu. "Ki Tumenggung" terdengar suara yang lain.
Paksi langsung dapat mengenali suara itu. Suara Wijang.
Tetapi ia tentu datang sebagai Pangeran Benawa.
"Aku datang untuk satu keperluan yang penting. Tolong Ki
Tumenggung, bukalah pintu rumahmu. Aku bukan perampok
yang akan merampok kekayaanmu"
Ki Tumenggung masih saja ragu-ragu. Nyi Tumenggung
berdiri dibelakangnya dengan tubuh gemetar. Sementara itu
Paksi dan adiknya berdiri tegak di depan bilik mereka masing-
masing. Namun Ki Tumenggung tidak mempunyai pilihan lain.
Iapun kemudian melangkah perlahan-lahan ke pintu
pringgitan. "Kakang" desis Nyi Tumenggung.
"Masuklah kedalam bilik Nyi"
Nyi Tumenggung yang masih saja berdiri dengan gemetar.
Paksilah yang kemudian mendekatinya. Dibimbingnya ibunya
masuk kedalam biliknya- Sebaiknya ibu berada didalam bilik
saja" Nyi Tumenggung itu masih saja ragu-ragu. Tetapi Paksi
membimbingnya dan bahkan sedikit mendorongnya, sehingga
ibunya itupun kemudian masuk kedalam biliknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Tumenggungpun kemudian telah mengangkat selarak
pintu rumahnya. Demikian pintu itu terbuka, maka Ki
Tumenggung itupun melangkah mundur sambil mengangguk
dalam-dalam. "Pengeran Benawa" desis Ki Tumenggung.
"Bukankah namaku telah disebut"
"Hamba Pangeran. Tetapi hamba masih ragu-ragu. Di
jaman seperti ini, banyak orang-orang yang memanfaatkan
nama-nama orang penting untuk mengelabui orang lain"
Pangeran Benawa tersenyum. Katanya "Aku mengerti, Ki
Tumenggung. Aku tidak menyalahkan Ki Tumenggung yang
berhati-hati, sehingga Ki Tumenggung harus membawa
tombak untuk menyambut kedatanganku"
"Hamba mohon ampun, Pangeran"
"Barangkali Ki Tumenggung dapat menyimpan tombak
pendek itu" "Hamba Pangeran"
Ketika Ki Tumenggung kemudian meletakkan tombaknya
didalam plonconnya, maka Pangeran Benawapun bertanya
"Apakah kedua anak muda itu anak Ki Tumenggung"
"Hamba Pangeran" jawab Ki Tumenggung.
"Aku melihat keduanya agak berbeda. Tapi mungkin yang
aku lihat hanya ujud lahiriahnya saja. Yang satu berpakaian
wajar dimalam hari, sedangkan yang lain berpakaian agak
aneh. Kusut dan kumal"
Ki Tumenggung memandang Paksi sekilas. Pakaiannya
memang kusut dan kumal. Tetapi ia tidak menyangka bahwa
Pangeran Benawa bakal datang malam itu dan sempal
memperhatikan pakaian Paksi.
Paksi sendiri memandang Pangeran Benawa yang
tersenyum. Pangeran Benawa yang dikenalnya bernama
Wijang itu berpakaian lengkap sebagaimana seorang
Pangeran. Meskipun dimalam hari, tetapi Pangeran Benawa itu
memang hadir sebagai Pangeran diiringi oleh beberapa orang
pengawal. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena Ki Tumenggung sulit untuk menjawab pertanyaan
itu, maka Pangeran Benawapun kemudian berkata "Sudanlah.
Mungkin anak Ki Tumenggung yang satu itu memang lebih
senang berpenampilan aneh seperti seorang pengembara"
"Hamba Pangeran" sahut Ki Tumenggung sambil
membungkuk hormat. "Nah, Ki Tumenggung. Aku minta maaf, bahwa malam-
malam begini aku datang kerumah Ki Tumenggung. Ada
sesuatu yang penting sekali yang harus aku bicarakan,
menyangkut masa depan dari Kerajaan Pajang"
Jantung Ki Tumenggung menjadi berdebar-debar. Dengan
nada dalam Ki Tumenggung itu bertanya "Apakah titah
Pangeran?" "Ki Tumenggung. Selagi aku samadi, maka aku telah
menerima satu isyarat yang sangat mendebarkan jantungku.
Seakan-akan ada suara yang berdengung di telingaku, bahwa
sebuah bintang akan jatuh dari langit" Pangeran Benawa itu
terdiam sejenak. Namun kemudian katanya "Rasa-rasanya ada
pula yang mendorongku keluar sanggar. Sebenarnyalah aku
telah melihat sebuah bintang kecil yang melayang dilangit dan
jatuh dipermukaan bumi. Aku tidak tahu dengan pasti, arti dari isyarat itu. Tetapi pada waktu yang hampir bersamaan, Kiai
Waskita, nujum istana telah datang menemuiku, justru saat
aku masih berdiri di halaman sanggar. Kiai Waskita juga
menerima isyarat yang menurut pendapatnya sangat penting.
Cincin Kerajaan yang hilang telah kembali ke Pajang. Tetapi
tidak langsung masuk ke bangsal pusaka. Aku masih harus
mengambil cincin itu"
Jantung Ki Tumenggung menjadi semakin berdebaran. Arus
darahnya bagaikan arus banjir bandang didalam nadinya
"Ki Tumenggung" berkata Pangeran Benawa "menurut
petunjuk Kiai Waskita serta isyarat yang aku terima, maka aku
harus mengikuti cahaya yang menyala seperti pelita menyusuri
jalan-jalan kota. Meskipun mula-mula aku tidak melihat pelita
itu, tetapi akupun telah bersiap bersama beberapa pengawal.
Ternyata petunjuk Ki Waskita itu benar. Beberapa saat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kemudian aku memang melihat cahaya api seperti pelita yang
keluar dari bangsal pusaka. Aku dan para pengawalku
mengikuti nyala pelita itu. Aku sendiri tidak menyangka,
bahwa pelita itu akhirnya memasuki halaman rumah ini dan
bahkan masuk kedalam menyusup pintu meskipun pintunya
tidak terbuka" Keringat dingin telah mengalir di punggung Ki
Tumenggung. Namun dengan gagap Ki Tumenggung itu
menjawab "Ampun Pangeran. Hamba tidak mengerti, apa
yang Pangeran maksudkan?"
"Ki Tumenggung. Cincin kerajaan itu sekarang ada disini.
Nah, jika Ki Tumenggung menyimpan cincin itu, tolong,
berikan cincin itu kepadaku. Aku, atas nama ayah anda akan
sangat berterima-kasih. Besok aku akan melaporkannya
kepada ayahanda agar ayahanda itu sendiri memanggil Ki
Tumenggung menghadap"
"Tetapi hamba mohon ampun. Hamba sama sekali tidak
tahu menahu tentang cincin kerajaan itu, Pangeran"
"Maaf Ki Tumenggung. Bukannya aku tidak percaya ke-
pada Ki Tumenggung. Tetapi barangkali Ki Tumenggung
khilaf, tolong, apakah cincin itu ada disini atau tidak"
Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Sementara
Pangeran Benawa itu telah memberi isyarat kepada seorang
yang menyertainya sambil berkata "Kiai, kemarilah"
Seorang tua yang jambang, kumis dan janggutnya sudah
bercampur putih, melangkah maju. Matanya nampak sayu.
sebuah tongkat bambu digenggamnya dengan tangan kirinya.
"Ampun, Pangeran" desis orang itu.
"Nah, katakan, dimana cincin itu berada" Orang itu
mengangkat wajahnya. Kemudian
dimiringkannya kepalanya, seakan-akan ia sedang
mendengarkan sesuatu. "Cincin itu ada disini Pangeran"
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya Ki Tumenggung dengan tajamnya. Katanya
"Nah, kau dengar Ki Tumenggung. Cincin itu ada disini"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tetapi", Pangeran Hamba tidak tahu, apakah sebenarnya
yang Pangeran kehendaki. Hamba sama sekali tidak tahu
tentang cincin yang Pangeran maksudkan"
"Kiai. Apakah Ki Tumenggung atau kau yang telah
berbohong" "Ampun Pangeran Hamba sama sekali tidak berani
berbohong" Tiba-tiba saja orang yang disebut Ki Waskita itu
memandang Paksi dengan tanpa berkedip. Bahkan kemudian


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang itu maju selangkah mendekatinya.
Paksi memang terkejut melihat Kehadiran orang itu. Orang
itu telah dikenalnya dengan baik, karena orang itu adalah Ki
Marta Brewok. Tetapi penampilannya yang berbeda, serta
kehadirannya dirumahnya itu memang membuat Paksi juga
bertanya-tanya. Ki Marta BrewoK nampak jauh lebih tua dari yang
dikenalinya. Ia membuat jambang, kumis dan janggutnya
menjadi bercampur putih. Bahkan nampak punggungnya
sedikit bongkok bertumpu pada sebatang tongkat bambu.
Beberapa saat setelah Paksi berpisah dengan Wijang, ia
masih sempat duduk di pinggir alun-alun beberapa lama. Baru
kemudian ia meninggalkan Ki Marta Brewok itu untuk pulang
sambil membawa cincin bermata tiga itu.
"Agaknya Ki Marta Brewok seorang yang dekat dengan
Pangeran Benawa" berkata Paksi didalam hatinya.
Dalam pada itu, Ki Marta Brewok yang oleh Pangeran
Benawa disebut Kiai Waskita itupun mendekati Paksi sambil
berkata "Nah, anak muda. Aku melihat getar yang lain pada
sorot matamu. Kenapa kau menjadi sangat gelisah d an
ketakutan?" Paksi benar-benar menjadi bingung, sementara Kiai
Waskita melangkah semakin dekat
"Aku melihat hubungan anak ini dengan cincin itu,
Pangeran. Kemudian aku melihat pula hubungan Ki
Tumenggung dengan cincin itu pula"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Namun
suaranya masih tetap bernada rendah "Ki Tumenggung.
Jangan mempersulit tugasku. Atau ayahanda sendiri yang
harus datang kemari" Bukankah itu tidak sewajarnya bahwa
seorang raja harus turun dari istana untuk mengambil sebuah
cincin, meskipun cincin itu cincin kerajaan?"
Ki Tumenggung benar-benar menjadi bingung. Meskipun
Pangeran Benawa masih mengendalikan diri sepenuhnya,
namun Pangeran yang masih muda itu akan dapat bertindak
lebih keras lagi sesuai dengan kemudaannya.
Sementara itu Kiai Waskitapun berkata "Maafkan aku Ki
Tumenggung. Jika aku mengatakan yang sebenarnya itu sama
sekali bukan karena aku mengada-ada. Tetapi isyarat itu kami
lihat dengan jelas. Maksudku, Pangeran Benawa melihatnya
dan aku juga melihatnya. Aku tidak tahu apakah ada orang
lain yang juga melihatnya, sehingga merekapun akan datang
kemari untuk berusaha merebutnya dari tangan Ki
Tumenggung. Ki Tumenggung justru berdiri seperti patung. Jantungnya
bergejolak didalam dadanya.
Dalam pada itu, dengan ujung tongkat bambunya, Kiai
Waskita itu menyentuh perut Paksi sambil bertanya "He, anak
muda. Katakan sesuatu tentang cincin itu. Apakah cincin itu
ada padamu sehingha Ki Tumenggung tidak tahu menahu?"
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Paksipun
menjawab- Aku tidak tahu yang Kiai Waskita maksudkan. Jika
disini dipersoalkan sebentuk cincin, maka aku sama sekali
tidak tahu, cincin apakah yang sedang dipersoalkan itu"
Tetapi Kiai Waskita tertawa. Katanya "Kau tidak dapat
menyembunyikan kegelisahanmu. Nah, katakan. Dimana
cincin itu" Wajah Paksi menjadi tegang. Dengan tegas Paksi
menjawab pula "Aku tidak tahu"
"Kau membuat Pangeran Benawa marah" berkata Kiai
Waskita. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi tidak menjawab. Ketika ia memandang Pangeran
Benawa, maka dilihatnya Pangeran Benawa itu tersenyum.
Katanya "Anak muda. Jika kau mengetahui dimana cincin itu
disimpan, tolong katakan kepadaku. Kau akan mendapat
ganjaran yang memadai dengan keterangan itu, karena cincin
kerajaan itu akan segera kembali ke bangsal pusaka"
Paksi menggelengkan kepalanya. Katanya "Hamba tidak
mengetahui Pangeran"
Pangeran Benawa tertawa. Iapun melangkah mendekati
Paksi. Diamatinya pakaian Paksi yang kusut itu. Bahkan
kemudian Pangeran Benawa itu melangkah mengitarinya.
"Pakaianmu aneh, anak muda. He, apakah kau benar anak
Ki Tumenggung seperti juga anak muda yang satu itu?"
Paksi mengangguk. "Kenapa kau memakai pakaian seperti ini?" Paksi tidak
segera dapat menjawab. Tetapi tanpa disengaja ia
memandang sepengadeg pakaian yang sudah disediakan oleh
ibunya. "Anak muda" berkata Pangeran Benawa "kau masih
mempunyai waktu untuk mengatakan, dimanakah cincin itu"
Tetapi Paksi sama sekali tidak menjawab.
Dalam kediaman itu, ruangan dalam rumah Ki Tumenggung
itu terasa dicengkam oleh ketegangan. Pangeran Benawa yang
kemudian berdiri di hadapan Paksipun mulai bersikap lebih
keras. Katanya "Jangan menghambat tugasku anak muda.
Pada saat matahari terbit nanti, aku harus menghadap
ayahanda dan menyerahkan cincin itu"
"Pangeran" berkata Paksi kemudian "hamba tidak tahu
menahu yang Pangeran maksudkan"
"Sekali lagi aku bertanya" Pangeran Benawa itu mulai
membentak "dimana cincin itu, he. Aku dapat
mempergunakan kuasaku atas nama ayahanda untuk
memaksamu berbicara"
Sementara itu Kiai Waskilapun berkata "Katakan anak
muda. Katakan agar kau terlepas dari kemarahan Pangeran
Benawa" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Paksi sama sekali tidak menjawab.
Sebenarnyalah Paksi memang menjadi bingung. Apa yang
harus dikatakannya. Sebelumnya Wijang dan Kiai Mana
Brewok tidak mengatakan bahwa ia akan dihadapkan pada
pertanyaan-pertanyaan seperti itu.
Paksi terkejut ketika ia mendengar Pangeran Benawa itu
berkata "Bawa semuanya ke halaman"
"Pangeran" sahut Ki Tumenggung "apa maksud Pangeran?"
Pangeran Benawa mengulangi perintahnya "Bawa
semuanya ke halaman"
Beberapa orang pengawal Pangeran Benawa itupun segera
bergerak. Merekapun segera membawa Ki Tumenggung, Paksi
dan adik laki-laki Paksi. Namun dalam pada itu, la mendengar
Ki Marta Brewok berbisik "Kau harus tetap ingkar, Paksi"
Paksi mengerutkan dahinya. Namun dengan demikian ia
tahu, apa yang harus dilakukannya. Sejenak kemudian,
mereka lelah berada di halaman. Paksi didorong berdiri di
tengah-tengah. Pangeran Benawa yang berdiri dihadapannya
itupun bertanya sambil bertolak pinggang "Siapa namamu,
anak muda" "Nama hamba Paksi, Pangeran" jawab Paksi.
"Nah Paksi. Katakan, dimana cincin itu sekarang. Menurut
Kiai Waskita, menilik sikapmu dan tentu saja dari penglihatan
yang lebih dalam dari sekedar melihat sikap dan ujud lahiriah
itu, kau tahu dimana cincin iiu sekurang"
"Ampun Pangeran. Hamba benar-benar tidak tahu, apakah
yang Pangeran maksudkan dengan cincin kerajaan itu"
Wajah Pangeran Benawa menjadi tegang. Suaranya
menjadi semakin keras "Katakan, Paksi. Selagi kau masih
mempunyai kesempatan"
"Ampun Pangeran. Apa yang mesti hamba katakan
"Nampaknya kemarahan Pangeran Benawa tidak tertahankan
lagi. Tiba-tiba ia berkata kepada salah seorang pengawalnya
"Berikan cambuk itu"
Paksi benar-benar menjadi tegang. Demikian pula Ki
Tumenggung dan adik laki-laki Paksi itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau mau mengatakan dimana cincin itu atau tidak, Paksi"
"Ampun Pangeran. Hamba benar-benar tidak tahu"
Tiba-tiba cambuk yang berjuntai panjang itu meledak. Paksi
terkejut, sehingga ia bergeser selangkah surut.
Ki Tumenggungpun benar-benar menjadi cemas. Bukan
karena Paksi yang akan disakiti. Tetapi yang dicemaskan
adalah bahwa Paksi akan terpaksa mengatakan, bahwa cincin
itu telah diberikan kepadanya.
"Paksi" bentak Pangeran Benawa "aku tidak terbiasa
melakukan dengan cara ini. Tetapi kali ini aku terpaksa
melakukannya jika kau tetap tidak mau menunjukkan cincin
itu. Paksi sama sekali tidak menjawab.
Pangeran Benawa itupun kemudian melangkah maju.
Sementara Kiai Waskita telah mendekatinya sambil berkata
"Anak muda. Bukankah lebih baik jika kau tidak disakiti.
Katakan dimana cincin itu"
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun telinga Paksi
itupun kemudian mendengar perlahan-lahan sekali Rapatkan
kakimu" Paksi tidak tahu, apa maksud Ki Marta Brewok. Tetapi Paksi
itupun kemudian berdiri tegak dengan kedua kakinya yang
merapat. "Kiai Waskita" berkala Pangeran Benawa "menyingkirlah.
Biarlah aku memaksa anak itu berbicara dengan caraku"
Ki Marta Brewok yang disebut Kiai Waskita itupun kemudian
bergeser menjahui Paksi sambil berkata "Jangan biarkan
tubuhmu sakit, ngger"
Tetapi Paksi tetap berdiam diri.
Pangeran Benawalah yang kemudian mendekati Paksi.
Tiba-tiba saja cambuknya terangkat dan terayun deras sekali
menyambar kaki Paksi. Satu ledakan yang keras kemudian terdengar. Adik Paksi
memejamkan matanya. Ia tidak mau melihat kaki kakaknyajtu
dikoyak oleh juntai cambuk yang panjang itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi sendiri mengatupkan giginya rapat-rapat serta
meningkatkan daya tahan tubuhnya.Namun ternyata Paksi
sendiri merasa heran, bahwa lecutan cambuk itu tidak terasa
terlalu sakit di kakinya, ujung cambuk itu rasa-rasanya hanya
melingkari kakinya saja tanpa melukainya.
Dalam pada itu, Pangeran Benawapun membentak lagi
"Nah, apakah kau masih tetap tidak mau mengatakannya?"
Paksi benar-benar berdiri tegak seperti patung. Ia sama
sekali tidak bergerak, tetapi juga tidak berbicara.
Sekali lagi cambuk itu meledak. Juntainya melingkar diarah
paha Paksi. Tetapi seperti yang pertama, lecutan cambuk itu
tidak terasa terlalu sakit. Namun demikian, orang-orang yang
menyaksikan lecutan-lecutan cambuk itu kulitnya terasa
meremang. Adik laki-laki Paksi bukan saja memejamkan
matanya, tetapi ia bergeser dan berpaling. Sementara Ki
Tumenggung menjadi semakin tegang. Jika Paksi tidak tahan
lagi, maka ia tentu akan berbicara tentang cincin yang sudah
diserahkan kepadanya itu.
Dalam pada itu, ketika Pangeran Benawa siap untuk
mengayunkan cambuknya lagi, tiba-tiba ibunya berlari
menghambur lewat pintu pringgitan menuruni tangga
pcndapa,langsung memeluk anaknya. Sambil menangis ibu
Paksi itupun berkata "Ampun Pangeran. Jangan sakiti anakku.
Jika anakku salah dan harus dihukum, hukum saja hamba
Pangeran" "Anakmu bersalah" berkata Pangeran Benawa.
"Anakku tidak tahu apa-apa, Pangeran"
"Minggirlah, Nyi Tumenggung"
"Tidak. Aku tidak akan pergi. Biarlah aku yang
mengalaminya. Biarlah aku dicambuk bahkan sampai mati
sekalipun. Tetapi jangan anakku"
Pangeran Benawa berdiri termangu-mangu. Dipandanginya
Nyi Tumenggung yang menangis itu dengan tajamnya.
Sementara itu, Paksi merasakan betapa hangatnya ia
berada didalam pelukan ibunya. Setahun lebih ia
mengembara, seakan-akan terlempar dari keluarganya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seakan-akan Paksi itu tidak lebih dari kleyang kabur kanginan.
Seperti daun kering yang diterbangkan angin. Terbayang
kembali peristiwa yang menimpa Wicitra. Ibunya juga
memeluk Wicitra seperti ibunya. Ibu Wicitra itu juga bersedia
menggantikan hukuman anaknya seperti ibunya.
Tetapi ayahnya berbeda dengan ayah Wicitra. Jika ayah
Wicitra bersedia mati bagi anaknya, ayahnya sama sekali tidak
berbuat sesuatu ketika ia dicambuk. Untunglah bahwa yang
mencambuk itu adalah Pangeran Benawa yang agaknya dapat
mempermainkan cambuknya sehingga tidak sangat
menyakitinya, meskipun juntai cambuk itu juga terasa
menyengat kakinya. Ki Tumenggunglah yang kemudian menjadi tegang.
Pangeran Benawa itu melangkah mendekatinya dengan
cambuk ditangannya. "Ki Tumenggung segala sesuatunya terserah kepada Ki
Tumenggung. Jika Ki Tumenggung tidak mau menunjukkan
cincin itu kepadaku, maka aku akan memaksamu"
"Pangeran" berkata Ki Tumenggung "hamba adalah
seorang Tumenggung. Pangeran tidak dapat berbuat seperti
itu terhadap hamba. Meskipun Pangeran adalah putera
Kangjeng Sultan. Tetapi apakah Pangeran berhak menghukum
hamba, seorang Tumenggung yang diangkat berdasarkan
kekancingan Kangjeng Sultan Hadiwijaya"
"Aku tidak akan menghukum Ki Tumenggung. Tetapi aku
akan membawa Ki Tumenggung menghadap ayahanda. Kiai
Waskita akan menjelaskan segala-galanya kepada ayahanda.
Sementara itu, aku akan menggeledah rumah Ki Tumenggung.
Kiai Waskita akan tahu, apakah cincin itu ada dirumah ini atau tidak"
"Pangeran" wajah Ki Tumenggung menjadi tegang "hamba
mohon Pangeran mengerti. Hamba tidak membawa cincin itu"
Pangeran Benawa tidak menghiraukannya. Katanya "Aku
sendiri akan mencari cincin itu didalam bersama Kiai Waskita"
"Pengeran" potong Ki Tumenggung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Pangeran Benawa itu berkata selanjutnya "Bawa Ki
Tumenggung dan anak ini kembali masuk kedalam"
Kepada Nyi Tumenggung Pangeran Benawa berkata "Jika
anak muda itu tidak Nyi Tumenggung lepaskan, maka ia akan
mengalami nasib yang lebih buruk lagi"


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nyi Tumenggung menjadi ragu-ragu. Namun Kiai
Waskitalah yang mendekatinya sambil berkata "Nyi. Untuk
kepentingan anakmu sendiri. Lepaskanlah anak itu. Ia akan
kami bawa masuk kedalam bersama Ki Tumenggung untuk
mencari cincin itu" Nyi Tumenggung masih belum melepaskan Paksi, sehingga
Kiai Waskita berkata "Aku akan menanggung keselamatan
anakmu" Dengan sorot mata penuh kebimbangan Nyi Tumenggung
itu memandang Kiai Waskita. Dengan nada yang meyakinkan
Kiai Waskita berkata "Percayalah kepadaku"
Akhirnya Nyi Tumenggung melepaskan Paksi yang
kemudian digiring memasuki rumahnya kembali oleh Kiai
Waskita sementara Ki Tumenggung telah dibawa oleh para
pengawal Pangeran Benawa naik kependapa kemudian
memasuki pringgitan. Namun sementara itu Ki Marta Brewok sempal berdesis
ditelinga Paksi "Dimana cincin itu disimpan?"
"Dibawa masuk kedalam bilik ayah" bisik Paksi.
Sejenak kemudian Ki Tumenggung dan Paksi itu lelah
berada diruang dalam. Beberapa orang pengawal berdiri
didepan pintu. Pangeran Benawa yang berada diruang dalam itupun
kemudian bertanya kepada Kiai Waskita "Kiai, barangkali kita
tidak dapat memaksa Ki Tumenggung untuk berbicara. Bahkan
mungkin Ki Tumenggung benar-benar tidak tahu bahwa cincin
itu ada dirumah ini, karena cincin itu datang sendiri. Karena
itu, kita akan mencari dengan cara kita sendiri"
Kiai Waskita mengangguk-angguk sambil berkata "Aku akan
mencoba, Pangeran" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak kemudian, Kiai Waskita itupun berdiri ditengah-
tengah ruang dalam. Iapun merenung sesaat. Kemudian
seperti orang yang mendengarkan sesuatu yang tidak jelas,
Kiai Waskita memiringkan kepalanya.
Tiba-tiba saja Kiai Waskita itu melangkah perlahan-lahan.
Tangan kirinya bertumpu pada tongkatnya. Punggungnya
yang agak bongkok menjadi semakin bongkok.
Kepala Ki Tumenggung menjadi pening ketika ia melihat
orang yang disebut Kiai Waskita itu melangkah kepintu bilik Ki Tumenggung. Didepan pintu Kiai Waskita itu berhenti. Katanya
"Menurut pengamatan hamba, cincin itu ada didalam bilik ini,
Pangeran" "Ini bilik siapa Ki Tumenggung?"
"Bilik hamba, Pangeran"
"Nah, Ki Tumenggung. Kami akan mencari cincin itu di-bilik
Ki Tumenggung. Tetapi agar Ki Tumenggung tidak menuduh
kami mengambil sesuatu milik Ki Tumenggung, aku minta Ki
Tumenggung menunggui kami disaat kami mencari cincin itu
didalam bilik Ki Tumenggung"
"Sebenarnya hamba memang berkeberatan, Pangeran.
Didalam bilik itu tersimpan perhiasan-perhiasan Nyi
Tumenggung. Benda-benda pusaka simpanan hamba dan
benda-benda berharga lainnya"
Pangeran Benawa mengangguk-anguk. Katanya "Aku
mengerti, Ki Tumenggung. Jika demikian, aku persilahkan Ki
Tumenggung sajalah yang mencari cincin itu. Kami akan
menungguinya. Seperti yang aku katakan, mungkin cincin itu
datang sendiri ke rumah ini. Atau kemungkinan-kemungkinan
lain yang Ki Tumenggung sendiri tidak tahu"
"Tetapi?" "Seharusnya Ki Tumenggung tanggap akan maksudku
dengan kesempatan yang aku berikan ini. Karena aku
mempunyai cara lain yang tentu tidak akan Ki Tumenggung
senangi" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Tumenggung berdiri termangu-mangu. Sementara
Pangeran Benawa berdesis perlahan "Cara ini mungkin untuk
menyatakan bahwa Ki Tumenggung tidak bersalah"
Ki Tumenggung tidak dapat berbuat lain. Ia menyadari,
bahwa Pangeran Benawa sudah memberikan kesempatan
kepadanya, sehingga ia dapat dianggap tidak bersalah. Tetapi
beratnya untuk menyerahkan cincin itu. Cincin yang diburu
oleh Paksi untuk waktu yang panjang. Lebih dari setahun.
Tetapi jika Pangeran Benawa kehilangan kesabaran dan
menggeledah sendiri bilik itu dan menemukannya, maka ia
tidak akan dapat ingkar, bahwa ia dapat dituduh
menyembunyikan cincin Kerajaan atau bahkan lebih buruk dari
itu. Ia dapat dituduh mencuri cincin Kerajaan yang hilang itu
karena terbukti dapat diketemukan dirumahnya.
Karena itu, maka Ki Tumenggung itu akhirnya berkata
"Baiklah, Pangeran. Aku akan mencarinya. Memang mungkin
cincin itu turun dari langit dan langsung masuk kedalam
rumahku dan bahkan kedalam bilikku"
Dengan lesu Ki Tumenggung itupun kemudian masuk ke-
dalam biliknya. Sementara Pangeran Benawa berdiri dipintu.
Memang tidak ada yang dapat dilakukan oleh Ki Tumenggung
selain mengambil cincin itu dan kemudian menyerahkannya
kepada Pangeran Benawa. Pangeran Benawa yang berdiri dimuka pintu menerima
cincin itu sambil tersenyum. Namun iapun masih juga berdesis
perlahan sekali "Ki Tumenggung, sebenarnyalah Kiai Waskita
tahu bahwa cincin itu tidak turun dari langit. Tetapi cincin itu tentu dibawa oleh seseorang kemari. Getaran panggraitanya
yang tajam tidak dapat ditipu dengan cara apapun juga.
Tetapi jika aku berkata demikian dihadapan para pengawal,
maka berarti harus ada orang yang ditangkap dan dituntut
karena telah menyembunyikan cincin kerajaan"
Ki Tumenggung tidak menyahut. Ditundukkannya
kepalanya dalam-dalam. Namun demikian, terasa didadanya
seakan-akan ombak dilautan yang didera prahara berdeburan
menghantam tebing. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nah, sudahlah. Persoalan ini aku anggap selesai. Aku tidak
akan mempermasalahkannya lagi. Besok aku akan menghadap
ayahanda dan berusaha untuk meredam persoalan ini agar
tidak berkepanjangan"
"Terima-kasih, Pangeran" desis Ki Tumenggung.
"Sekarang, aku minta diri"
Ketika kemudian Pangeran Benawa keluar dari ruang
dalam, maka para pengawalnya yang berdiri dimuka pintu
pringgitanpun mengikutinya pula. Demikian pula Kiai Waskita
dan Ki Tumenggung. Dibelakangnya Paksi melangkah dengan
ragu-ragu. Namun demikian Pangeran Benawa berada di pendapa
bersama beberapa orang pengawalnya serta Kiai Waskita,
tiba-tiba saja diluar dugaan siapapun, Ki Tumenggung itu
berkata "Ampun Pangeran... Jika hamba boleh berterus
terang. Anak hamba itulah yang telah membawa cincin ini
pulang" "He" Pangeran Benawa itu benar-benar terkejut mende-
ngar pengakuan itu. Demikian pula Ki Marta Brewok dan
apalagi Paksi sendiri. Pangeran Benawa yang kemudian berdiri tegak di pendapa
itu bertanya dengan suara bergetar "Apakah kau berkata
sebenarnya?" "Hamba Pangeran. Pangeran melihat sendiri, bahwa anak
hamba itu masih mengenakan pakaian seorang pengembara.
Dalam pengembaraannya itulah ia menemukan cincin itu dan
dibawanya pulang. Diserahkannya cincin itu kepada hamba,
sehingga dengan demikian hamba tidak tahu menahu, dari
mana anak hamba itu mendapatkan cincin kerajaan itu"
Beberapa orang pengawal Pangeran Benawa serentak
bergeser. Meskipun mereka belum menerima perintah apapun,
namun mereka tiba-tiba saja sudah bersiaga.
Untuk beberapa saat Pangeran Benawa tercenung. Ia
memang agak bimbang menanggapi laporan Ki Tumenggung
itu. Namun Pangeran Benawa itupun tanggap pula, bahwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dalam saat yang gawat itu, Ki Tumenggung masih sempat
berusaha untuk menyingkirkan anak sulungnya itu.
Paksi sendiripun segera mengetahui maksud ayahnya itu.
Dengan demikian, maka Paksilah yang harus bertanggung-
jawab tentang cincin kerajaan yang berada dirumahnya itu.
Pendapa rumah Ki Tumenggung itupun kemudian telah
dicengkam oleh ketegangan. Pangeran Benawa yang tidak
siap menghadapi keadaan itu, memang harus berpikir, apa
yang sebaiknya dilakukan. Sementara itu, para pengawalnya
telah siap untuk menjalankan perintah yang setiap saat
diucapkan dari mulutnya. Pangeran Benawa memang dapat menguasai para peng-
awalnya itu dengan baik. Iapun dapat memerintahkan para
pengawalnya untuk merahasiakan apa yang terjadi seandainya
dikehendakinya. Tetapi Pengeran Benawa tidak yakin, bahwa
sekian banyak mulut para pengawalnya itu tidak ada satupun
yang terlanjur mengucapkan rahasia itu kepada orang lain
sehingga rahasia itu akan dapat merambat sampai ke mana-
mana, seandainya ia mengabaikan laporan Ki Tumenggung.
Pengeran Benawapun kemudian telah melangkah
mendekati Ki Tumenggung. Pangeran Benawa itu berdiri
hanya selangkah saja dihadapannya.
"Kenapa tidak kau katakan hal ini sejak aku datang"
Kenapa kau ingkar, bahwa dirumah ini terdapat cincin
Kerajaan?" "Ampun Pangeran. Hamba hanya ingin melindungi anak
hamba" "Jika demikian, kenapa justru pada saat segala-galanya aku
anggap selesai, kau justru mengatakan bahwa anakmulah
yang telah membawa cincin itu?"
"Pangeran. Hamba ternyata tidak dapat mempertahankan
kebohongan itu. Perasaan bersalah telah menekan jiwa
hamba, sehingga akhirnya hamba memang harus berterus-
terang. Kenyataan yang buruk tidak akan dapat
disembunyikan selama-lamanya, sehingga akhirnya aku
memilih untuk bertcrus-terang"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ternyata kau memberikan pengakuan yang berbelit-belit,
Ki Tumenggung. Tetapi baiklah. Aku sadari, bahwa aku tidak
dapat bertindak tergesa-gesa terhadap seorang Tumenggung
yang mendapat surat kekancingan langsung dari ayahanda.
Tetapi segala sesuatunya tergantung kepada ayah-anda.
Tetapi tentang anakmu, akulah yang akan menentukan,
apakah anakmu akan digantung atau dipancung"
Tiba-tiba terdengar ibu Paksi menjerit. Iapun berlari dan
sekali lagi memeluk anaknya.
"Jangan bawa anakku" teriak Nyi Tumenggung.
Pangeran Benawa yang tidak menduga menghadapi
persoalan itu memang agak menjadi bingung. Apa yang
sebaiknya dilakukan. Namun dalam pada itu, Kiai Waskitapun
telah mendekati Nyi Tumenggung sambil berkata "Kau tidak
dapat menahan anakmu, Nyi. Ia harus ikut bersama Pangeran
Benawa" Namun kemudian hampir berbisik Kiai Waskita berkata
"Jangan cemas, Nyi. Aku akan melindunginya"
Tiba-tiba tangis Nyi Tumenggung itu mereda. Nada suara
itu pernah didengarnya. Lembut dan menyentuh perasaannya.
Kiai Waskita itupun berkata pula "Lebih baik kau
menyerahkan anakmu daripada persoalannya berkepanjangan.
Jangan membuat Pangeran Benawa merasa terganggu dengan
tingkahmu, Nyi" Namun kemudian Kiai Waskita itu berbisik lagi "Percayalah
kepadaku" Nyi Tumenggung tidak menyadari, pengaruh apa yang
telah mencengkam jantungnya, sehingga Nyi Tumenggung itu
melepaskan anaknya. Sementara Paksi sendiri berbisik-
Memang ibu jangan cemas. Aku sudah mengenal Kiai Waskita
dengan baik" "Berkidunglah tembang Asmarandana, Nyi" desis Kiai
Waskita kemudian "kau pandai melagukannya. Kemudian
kaupun harus selalu berdoa kepada Sang Pencipta untuk
keselamatan anakmu" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kiai Waskita itupun kemudian telah menarik lengan Paksi
sambil berkata "Ikut kami. Jika kau ingin membawa
tongkatmu, bawalah" Paksi tidak menolak. Katanya kepada ibunya "Aku minta diri
ibu" Ibunya melepaskan Paksi dengan air mata yang mengalir di
pipinya. Tetapi ada sesuatu yang aneh pada orang berewok
yang bernama Kiai Waskita itu. Suaranya yang lembut itu
seakan-akan pernah didengarnya. Bahkan orang itu menyebut
tembang yang memang sering dilagukannya dahulu.
Terasa ada sesuatu yang aneh pada orang itu. Namun Nyi
Tumenggung itupun tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ia
percaya kepada orang itu.
Kiai Waskitapun kemudian telah membawa Paksi turun ke
halaman. Sementara Pangeran Benawapun telah bersiap pula
meninggalkan halaman rumah itu. Seorang pengawal telah
memegangi kendali kudanya ketika tiba-tiba saja beberapa
orang berkuda memasuki halaman rumah Ki Tumenggung.
Namun orang itu terkejut ketika mereka melihat Pangeran
Benawa ada di halaman rumah itu pula, sehingga dengan
serta-merta orang-orang itupun berloncatan turun.
"Paman Harya Wisaka" desis Pangeran Benawa.
Harya Wisaka tertegun sejenak. Namun kemudian iapun
bertanya "Angger Pangeran Benawa. Kenapa angger berada
disini?" "Aku telah mengambil cincin kerajaan yang hilang itu
paman. Cincin itu ada disini. Kiai Waskita dengan ketajaman
panggraitanya dapat menangkap getarnya sehingga kami
datang kemari untuk mengambilnya. Nah, kenapa paman
pagi-pagi buta juga datang kemari?"
Harya Wisaka menjadi berdebar-debar. Tetapi ternyata
nalarnya memang trampil sehingga iapun segera menjawab
"Aku terbiasa berkuda di pagi-pagi buta mengelilingi kota.
Bukankah angger tahu itu" Dengan laku seperti itu,
kesehatanku akan tetap terjaga. Pada umurku sekarang, aku
berani berlomba melawan anak-anak muda, khususnya dalam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ketrampilan menguasai kuda. Tetapi akupun bersedia
berlomba dalam hal apa saja"
Pangeran Benawa mengerutkan dahinya Katanya "Paman


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang luar biasa" "Pagi ini kebetulan aku berkuda lewat didepan rumah ini.
Aku tertarik mendengar sedikit keributan, sehingga akupun
kemudian singgah" "Apakah terjadi keributan disini?" bertanya Pangeran
Benawa. "Apapun yang terjadi, tetapi yang terjadi itu sangat menarik
perhatianku" "Jika demikian, baiklah. Kami akan meninggalkan tempat
ini. Kami telah berhasil mendapatkan cincin itu. Kami akan
membawa anak muda yang telah membawa cincin itu ke
rumah ini. Anak laki-laki sulung Ki Tumenggung"
Harya Wisaka tidak menyahut. Tetapi nampak wajahnya
menjadi tegang. Pangeran Benawapun kemudian telah meloncat
kepunggung kudanya. Iapun kemudian berkata kepada
seorang pengawalnya "Berikan salah satu kuda kalian kepada
anak muda itu. Kalian dapat berkuda berdua"
Namun sebelum kuda Pangeran Benawa itu bergerak,
Pangeran Benawa itu masih berkata "Paman, aku tertarik akan
kesediaan paman untuk berlomba ketrampilan menguasai
kuda tetapi juga dalam hal apa saja"
"Kenapa?" bertanya Harya Wisaka.
"Suatu kali aku ingin melakukannya"
Wajah Harya Wisaka menjadi panas. Dengan lantang iapun
menyahut "Bagus ngger. Aku terima tantangan itu. Kapan
angger ingin melakukannya"
"Terserah kepada paman. Aku siap setiap saat" jawab
Pangeran Benawa sambil menggerakkan kendali kudanya.
Darah Harya Wisaka tersirap. Ia merasa ditantang oleh
anak-anak yang baru kemarin berani naik ke punggung kuda.
Tetapi dihadapan para pengawal, Harya Wisaka tidak dapat
berbuat apa-apa. Namun Harya Wisaka itupun masih juga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menjawab "Terima kasih atas kesempatan yang angger
Pangeran berikan itu. Aku tidak akan pernah melupakannya"
Pangeran Benawa tidak menghiraukannya lagi. Bahkan
berpalingpun tidak. Bersama para pengawalnya Pangeran
Benawa meninggalkan halaman rumah ayah Paksi yang
mendapat gelar Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Sepeninggal Pangeran Benawa, maka ibu Paksipun segera
berlari masuk kedalam biliknya. Iapun segera menjatuhkan
dirinya menelungkup di pembaringan.
"Ibu" terdengar suara anak laki-lakinya, adik Paksi. Nyi
Tumenggung itupun mencoba menahan isaknya.
"Jangan menangis, ibu. Kakang Paksi akan dapat menjaga
dirinya sendiri" Dipeluknya anak laki-lakinya itu sambil berdesis "Kenapa
hal ini harus terjadi atas kakakmu. Ia baru saja pulang dari
pengembaraannya. Kini ia justru telah ditangkap dan dibawa
oleh Pangeran Benawa. Aku tidak tahu, kenapa ayahmu justru
menunjuk kakakmu ketika Pangeran Benawa itu sudah siap
untuk beranjak pergi"
"Aku juga tidak mengerti, ibu. Seharusnya ayah tidak
melakukannya" Nyi Tumenggung itupun bangkit ketika ia melihat anak
gadis remajanya berdiri di depan pintu biliknya.
"Ibu, apa yang terjadi. Aku takut sekali ibu"
"Kemarilah, ngger" desis Nyi Tumenggung.
Gadis remaja itupun berlari langsung memeluk ibunya.
Tubuhnya gemetar oleh ketakutan yang sangat.
"Jangan takut" kakaknya mencoba untuk menenangkannya
"besok aku akan mencari keterangan tentang kakang Paksi.
Aku yakin, Pangeran Benawa tidak akan berbuat sewenang-
wenang" "Apa yang terjadi dengan kakang Paksi?" bertanya adik
perempuannya yang tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya
telah terjadi. "Sedikit kesalah-pahaman. Hanya itu" jawab kakaknya.
"Kau harus tidur lagi, ngger" desis Nyi Tumenggung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sudah pagi ibu. Sebentar lagi kita harus sudah bangun"
"Kembalilah ke bilikmu. Masih ada waktu untuk beristirahat"
berkata kakaknya. Tetapi gadis remaja itu menggeleng, katanya "Aku disini
saja bersama ibu" Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun
kemudian berkata "Ibu akan pergi ke dapur dan
membangunkan para pembantu. Di pendapa ada beberapa
orang tamu. Ayahmu tentu minta dibuatkan minuman bagi
mereka" "Aku ikut ibu pergi ke dapur"
Nyi Tumenggung tidak dapat mencegahnya. Karena itu,
maka diajaknya anak gadisnya pergi ke dapur, sementara
kakaknya kembali ke biliknya.
Meskipun anak muda itu kembali berbaring di
pembaringannya, tetapi ia tidak dapat memejamkan matanya.
Ia memang merasa heran atas tingkah laku ayahnya yang
dengan sengaja menyurukkan kakaknya kedalam kesulitan.
Seandainya ayahnya itu tidak menunjuk Paksi, maka menurut
Pangeran Benawa, persoalannya tentu tidak akan
mempermasalahkannya lagi.
Sementara itu, tiba-tiba saja telah datang Harya Wisaka
dengan beberapa orang pengikutnya, sehingga anak muda itu
bertanya didalam hatinya "Apakah ada hubungan antara sikap
ayah itu dengan kehadiran Harya Wisaka. Atau kehadiran
Harya Wisaka itu ada hubungannya dengan kedatangan
kakang Paksi yang membawa cincin kerajaan itu?"
Tetapi anak muda itu sama sekali tidak tahu, apa yang
sebenarnya terjadi dalam kaitannya dengan cincin kerajaan
itu. Dalam pada itu, di halaman, Harya Wisaka menjadi sangat
tegang. Kemarahannya serasa membakar jantungnya ketika ia
mendengar dari Ki Tumenggung tentang sikap Pangeran
Benawa. "Apakah benar kau mendapat isyarat dari langit tentang
kehadiran cincin itu dirumah Ki Tumenggung?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku tidak tahu, apakah sebenarnya yang telah menuntun
Pangeran Benawa itu kemari"
"Yang aku ketahui, cincin itu justru dibawa oleh Pangeran
Benawa yang justru telah meninggalkan istana beberapa lama.
Bagaimana mungkin cincin itu dapat jatuh ketangan anakmu"
"Tetapi ternyata anakku dapat menemukannya disebuah
belumbang kecil. Ia melihat cahaya yang seakan-akan jatuh
dari langit dan jatuh dibelakang sebuah gerumbul. Ternyata di
belakang gerumbul itu terdapat sebuah belumbang"
Harya Wisaka termangu-mangu sejenak, la mencoba
menghubungkan peristiwa demi peristiwa. Demikian beruntun.
"Hampir saja aku justru terjebak" desis Harya Wisaka.
"Aku tidak sempat memberitahukan, bahwa Pangeran
Benawa telah datang kemari" jawab Ki Tumenggung.
"Tetapi berhati-hatilah, Ki Tumenggung. Pangeran Benawa
adalah seorang anak muda yang cerdik dan berani. Ia tentu
mempunyai prasangka buruk terhadapku karena aku datang
kemari pagi-pagi buta"
"Tetapi itu lebih baik daripada Pangeran Benawa datang
kemudian" berkata Ki Tumenggung.
Harya Wisaka mengangguk-angguk. Katanya "Ya. la dapat
langsung melibatkan aku dalam soal cincin ini"
"Sekarang, semua kesalahan telah aku limpahkan kepada
Paksi. Biarlah Paksi bertanggung jawab atas cincin itu"
"Kenapa Ki Tumenggung justru melimpahkan tanggung-
jawab kepada anak Ki Tumenggung" Kenapa Ki Tumenggung
tidak justru melindunginya?"
Jodoh Rajawali 9 Sarang Perjudian Karya Gu Long Badai Awan Angin 7
^