Pencarian

Rahasia Si Badju Perak 6

Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H Bagian 6


TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
tajam sampai seluruh badan terasa seperti disayat-sayat, sakitnya bukan kepalang. Terdengar
pula suara tawa orang aneh itu laksana tangisan setan gentayangan, lambat laun lantas
teringat oleh Thian-ih, bukan mustahil orang inilah yang dimaksudkan sebagal iblis elang yang
diperbincang oleh Pak-ko-seng guru dan murid itu. Dilihat bentuknya yang jelek seram pasti
hatinya kejam dan telengas. Orang yang terjatuh di tangan manusia macam ini pasti tiada
harapan untuk hidup. Saking putus harapan tiba-tiba ia berteriak memaki: "Ing-mo (iblis
elang)! Lekas bunuhlah aku!"
Mendadak orang aneh itu malah menghentikan aksinya, terdengar suaranya melengking
bertanya: "Apa kau bilang" Tadi kau panggil aku apa?"
Lantas dia menggumam dan berkata sendiri: "Ing-mo ! Baik juga nama ini !"
Harus diketahui selama bertahun-tahun dia hidup seorang diri diatas pulau kosong hanya
berkawan dengan elang melulu, hakikatnya dia tidak mempunyai nama. Bagi dunia ramai yg
mengetahui adanya seorang tokoh lihay diatas pulau ini, maka lantas memberikan nama
sebagai Ing-mo tapi dia sendiri bahwasanya belum pernah mendengar akan nama julukan ini.
Ing-mo mendadak bersuit panjang, suaranya tinggi menusuk hati seperti tangisan gendruwo,
terlihat dia menari-nari sambil menggerakkan kedua tangannya saking kegirangan sambil
berteriak-teriak: "Aku sudah punya nama ! Haha, Ing-mo, mereka menganggap aku sebagai
Iblis ! Haha para iblis menganggap seorang orang tulen, dinamakan iblis. Haha, geli sungguh
menggelikan !" Sejenak berhenti, lantas dia menggumam lagi: "Dari sini dapat kusimpulkan kalau para iblis itu
takut pada aku, hahaha, sungguh girang aku, sungguh girang aku." seperti bocah kecil yang
diberi permen oleh ibunya dia mencak-mencak dan meloncat-loncat. Mendadak ia
mengerakkan kedua lengan panjangnya itu berloncatan ke tengah udara, sambil menyerang
dengan angin kebutannya itu. Saking tidak tahan menderita pukulan yang hampir
menghancurkan seluruh tulang belulangnya, Thian-ih memaki dengan gusar: "Iblis durjana,
kau ini setan jahat. Kenapa tidak segera kau bunuh aku" Aku tidak bermusuhan dengan kau,
mengapa kau siksa aku sedemikian rupa ?"
Ing-mo menyeringai tawa seram, ujarnya: "Siapa berkata kita tidak bermusuhan, semua orang
kuanggap mempunyai dendam dengan aku. Justru aku tidak senang segera membunuhmu,
pelan-pelan akan kusiksa kau sehingga kau menderita supaya lambat laun mati sendiri."
Thian-ih menjadi gusar, semprotnya: "Kenapa semua orang mempunyai dendam kepada kau,
selamanya aku tidak kenal kau bagaimana bisa dikatakan bermusuhan denganmu !"
Sahut Ing-mo : "Sebab di dunia ini tiada seorang baik, semua orang jahat ! Maka aku anggap
mereka semua adalah musuhku !"
Saking tak tahan lagi Thian-ih berteriak memaki: "Kentut ! Kalau kau bermusuhan dengan
semua insan di seluruh dunia ini, mengapa kau mengeram dan sembunyi diri diatas pulau
kosong ini. Naiklah ke daratan besar sana untuk membunuh orang. Beranimu sembunyi di atas
sarangmu ini menghadapi orang tak berdaya dan menyiksanya sampai mati. Terhitung orang
gagah macam apa kau ini?"
Dengan makiannya yang pedas ini sangka Thian-ih pasti iblis elang ini akan berjingkrak gusar,
diluar dugaannya, sebaliknya si iblis ini malah menghentikan serangannya. Sudah berapa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
tahun lamanya dia tidak pernah dimaki orang, karena semua orang yang terjatuh dalam
cengkeramannya, selalu menyembah-nyembah iblis keji ini.
Begitu Ing-mo tertegun diam, segera Thian-ih berusaha lompat bangun sambil mengerahkan
seluruh sisa tenaganya, makinya sambil menuding Ing-mo: "Kau ini iblis jahat, kukira dulu kau
pernah dianiaya orang, maka anggapannya bahwa semua orang didunia ini adalah jahat. Kau
lampiaskan rasa rindu dendammu kepada mereka yg tak berdosa dan kalah ilmu silatnya
dibanding kau ! Masa kau tidak tahu betapa besar dunia ini, berapa ribu berapa laksa manusia
hidup di mayapada ini. Sudah tentu ada yang jahat tapi juga ada yang jujur dan baik.
Seumpama rumput atau pohon-pohon ada yang tinggi dan ada yang rendah, kembang saja
ada perbedaan bagus dan jeleknya, masakan pengertian yang sepele ini tidak terpikirkan
olehmu. Dan kau karena pernah teraniaya oleh sementara orang jahat lantas kau menuduh
dan mencap semua manusia hidup ini adalah jahat dan terkutuk. Pandangan semacam ini
sangat cupat dan sangat kerdil pengetahuanmu. Apalagi apa kau tidak pernah dengar sebuah
kata "tepo seliro", artinya kalau kau tidak mau orang lain menyakiti kau, maka kau sendiri
jangan menyakiti orang lain" Kalau orang jahat sudah menyiksa kau, kau sendiri tidak rela
mati, lalu kenapa kau menyiksa orang lain malah sampai membunuhnya ! Dengan sepak
terjangmu ini tidaklah berkelebihan kalau orang memberi julukan Iblis kepadamu. Perbuatan
jahat yang membunuh orang seperti kucing membunuh tikus ini, benar-benar membuat muak
dan jijik saja, pasti kau dikutuk oleh Tuhan.
Mungkin semua korban yang telah kau bunuh itu tiada satupun yang pernah menyadarkan
pikiran cupatmu ini, itu karena mereka takut mati, maka mereka minta ampun, menyanjung
puja kepadamu, mereka tidak berani mengorek borokmu yang jelek. Tapi aku lain, walau pun
ilmu silatku rendah, seumpama harus mati aku tidak akan mengerutkan kening. Tapi sebelum
ajal aku harus melampiaskan penasaranku dengan membuka kedok kesalahanmu dan dosamu
yang bertumpuk-tumpuk. Dan yang terakhir biarlah aku adu jiwa dengan kau !"
Ing-mo jatuh terduduk diatas tanah tanpa bergerak dan bersuara. Sekarang Thian-ih melihat
tegas wajahnya yang jelek sekali, rambut panjang menutupi seluruh mukanya, timbul rasa
benci dan murka. Teriaknya keras: "Iblis terkutuk, sambutlah pukulanku ini !"
Seluruh tenaganya dikerahkan terus menggenjot sekuatnya. "Blang" terdengar benturan
dahsyat seperti geledek menggelegar, pukulannya itu dengan telak mengenai tubuh Ing-mo,
tapi sedikitpun tubuhnya itu tidak bergeming seakan tidak terjadi suatu apa. Thian-ih
bertambah gusar dan penasaran, bentaknya lagi: "Biar aku adu jiwa dengan kau. Sebagai
penuntut balas bagi mereka yang telah ajal dengan penasaran ditanganmu !"
"Menuntut balas ! Menuntut balas ! Kau juga bisa menuntut balas?" sambil menggumam
Ing-mo perlahan-lahan bangkit berdiri.
Tanpa hiraukan segala akibatnya lagi, Thian-ih rangkap kedua jarinya terus menutuk kearah
dada orang, jalan darah yang diarah adalah Kio-koan-hiat salah satu jalan darah besar yang
mematikan. Tapi si iblis ini seumpama tidak merasa apa-apa. Sebaliknya Thian-ih yang
menyerang dengan kekuatan seluruh tenaga itu seolah-olah membentur dinding baja saja
kerasnya sampai kedua jarinya kesakitan hampir patah. Entah ilmu macam apakah yang telah
dilatih sempurna oleh iblis jahat ini. Badannya kebal segala serangan.
Sambil memijat-mijat kedua jarinya Thian-ih memaki lagi penuh kebencian: "Bangsat terkutuk,
sayang kepandaianku cetek. Baiklah silakan kau bunuh aku. Kalau kau seorang gagah, maka
kuharap kau bisa memberi kelonggaran kepadaku, supaya aku bisa secepatnya mangkat.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Kalau tidak aku sendiri bisa mati, tak rela aku kau siksa !"
Kini terdengar iblis itu berkata pelan: "Kau jangan ribut, berilah waktu untuk aku berpikir dulu
!" Habis berkata dia bertopang dagu dan tenggelam dalam pikirannya.
Thian-ih menjadi terheran-heran, apa mungkin iblis ini mulai sadar akan kesalahannya setelah
dimaki kalang kabut ini. Dengan seksama ia awasi wajah orang, tampak hidungnya tinggal
separo, giginya prongos bibirnya dower, kedua kupingnya juga hilang, kulit mukanya seperti
hangus terbakar bersemu merah melepuh malah sebagian sudah ada yang membusuk tampak
tulang putihnya. Sekilas pandang seperti mayat hidup yang menakutkan.
Selebar mukanya yang masih utuh tinggal sepasang matanya saja yang bundar besar berkilat,
alisnya panjang kelopak matanya berkedip-kedip, dari gerakan inilah orang akan mengetahui
bahwa dia adalah seorang manusia. Malah dapat dibayangkan bahwa beberapa tahun yang
lalu wajahnya itu dan seluruh tubuhnya pasti juga seperti kedua matanya itu indahnya.
Thian-ih menanti sebentar, mendadak dilihatnya Ing-mo mengalirkan airmata, wajahnya
kelihatan berkerut-kerut agaknya tengah menahan penderitaan hatinya, lambat laun dia mulai
sesenggukan suaranya semakin keras dan akhirnya menangis tergerung-gerung, suaranya
penuh mengandung penyesalan yang tak terhingga.
Melihat orang menangis sedemikian sedih, rasa dongkol dan gusar Thian-ih rada terlampias,
maka katanya: "Hai, apa yang kau tangisi" Sudah menyesal" Menyesal juga tidak perlu nangis!
Sudahlah berhenti saja!''
Kata Ing-mo sambil masih sesenggukan: "Bocah bagus, hatiku sedih sekali, kuminta kau pukul
aku mau tidak" Kau gebuklah sekuat tenagamu, pasti aku tidak membalas!" sepasang matanya
penuh mengandung pengharapan dan permintaan memandang kearah Thian-ih.
Thian-ih heran, kini hatinya mulai lega dan simpatik terhadap orang, namun dia masih tidak
mau turun tangan, Ing-mo menjadi gugup, serunya: "Aku memang benar-benar sedih sekali.
Seorang yang telah berbuat salah sudah jamak harus menerima hukuman, sudilah kau
memberi sedekah kepadaku " Jikalau aku terhukum olehmu itu berarti aku sudah menebus
dosa-dosaku, ini akan membuat hatiku senang! Lekas, lekaslah kau pukul. Pukulan atau
tendangan tutukan juga boleh, membagi urat mencopot tulang juga boleh deh, asal kau mau
turun tangan, cepat, cepat!" teriaknya tak sabar lagi.
Thian-ih sudah angkat tangan hendak menampar muka orang, namun serta melihat bentuk
wajahnya yang tidak sempurna itu, matanya juga memancarkan sorot penyesalan, lurus setia
dan penuh harapan, hatinya menjadi berpikir: "Ai, wajahnya ini, entah siapa yang begitu tega
merusak sampai jadi begitu rupa. Meskipun buruk dan menyeramkan, tapi dalam
pandanganku sekarang adalah sedemikian jujur bijaksana dan indah sekali, masa aku tega
hendak menyakiti badanmu lagi." tangan yang diangkat tinggi jadi tak kuasa bergerak.
Ing-mo masih meminta dengan suara yang memilukan: "Lekas, ayo cepat pukul aku. Aduh
tolong! Hatiku sedih sekali!" sambil berteriak-teriak tiba-tiba ia lompat berdiri terus menerjang
kearah Thian-ih seperti orang gila.
Mendadak tangan Thian-ih itu diayun menepuk kearah pundaknya. Kali ini agaknya Ing-mo
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
sudah kehilangan tenaganya, Thian-ih hanya menggunakan empat lima bagian tenaganya,
tapi Ing-mo sudah tergetar roboh bergulingan ditanah.
"Bagus sekali, mari sekali lagi !" demikian teriak Ing-mo girang.
Thian-ih memukul lagi tubuh yang sedang merangkak bangun itu. Tahu dia kalau pikiran orang
sedang berbalik, bagi orang yang sesal kemudian besar harapannya badannya sendiri ditimpa
penderitaan yang semakin besar. Maka dijemputnya sebuah dahan pohon terus dihantamkan
di-tempat-tempat yang tidak membahayakan.
Sebetulnya Thian-ih tidak tega turun tangan, tapi terpikir olehnya: "Kalau aku memikirkan
perbuatan jahatnya, pasti aku dapat memukul semakin gemes." memejamkan mata dia
bayangkan orang-orang yang telah menjadi korban diatas pulau Ing-yu-to ini, dengan
menggerakkan kedua lengan baju dia menerjang berulang-ulang sampai orang yang tidak
berdosa merasakan kesakitan seperti diiris-iris pisau tajam, saking menderita akhirnya mati
dengan mengenaskan. Karena terbayang adegan yang menggiriskan bulu roma ini, hatinya
menjadi geram, dahan pohon ditangannya lantas memukul semakin keras.
Agaknya daging diatas tubuh Ing-mo sangat kekar dan kuat sekali, dipukul dan dihajar
sedemikian rupa oleh Thian-ih tidak mau menyingkir hanya berteriak-teriak saja, malah
menganjurkan memukul semakin keras, akhirnya mulutnya menggumam: "Aku bersalah! Aku
bersalah! Selanjutnya aku tidak berani lagi! Tidak berani lagi!"
Diumpamakan oleh Thian-ih kalau orang yang tengah dihajar ini adalah Pak-ko-seng dan Ban
Ai-ling, maka pukulan dahan pohonnya semakin gencar dan berat, sampai kedua tangannya
merasa linu baru dia berhenti. Sementara itu Ing-mo rebah diam tak bergerak lagi, teriakan
seraknya juga sudah berhenti, Thian-ih seperti baru sadar dari impiannya. Agaknya saking
bernafsu sampai dia tidak perhatikan bahwa pukulannya terlalu berat, dilihatnya baju orang
robek-robek, seluruh tubuhnya jalur2 dan mengeluarkan darah, melihat orang rebah tak
bergerak agaknya jatuh pingsan, hatinya menjadi menyesal sekali.
Cepat-cepat Thian-ih memayang tubuh orang. Baru saja tangannya menyentuh badan orang,
hidungnya lantas diserang bau apek dari amisnya bau burung yang memualkan. Tapi Thian-ih
sedang dirundung sesal tak terhingga, sudah terlupakan olehnya apa itu kotor dan buruk rupa
apa segala. Dipeluknya tubuh orang erat-erat sehingga wajah orang yang jelek seram itu
tertampak didepan matanya. Dicarinya sebuah sungai dan digayungnya air yang jernih itu
kemulut orang sambil memanggil-manggil: "Cianpwe ! Cianpwe. Sadarlah!"
Sepasang mata Ing-mo yang indah itu pelan-pelan terbuka. Segera Thian-ih berkata:
"Cianpwe, harap kau maafkan aku, aku memukulmu sampai terluka begini rupa!"
Ing-mo terlongong memandangi wajah Thian-ih, entah karena terharu atau terketuk hatinya,
airmata mengalir lagi semakin deras sampai sesenggukan, kurang lebih sepeminuman teh
kemudian baru berhenti menangis. Dengan lemah lembut Thian-ih membujuk supaya orang
beristirahat. Sampai belakangan meskipun sudah menghentikan tangisnya tapi Ing-mo masih
tersengguk-sengguk. Katanya: "Bocah bagus, apa betul kau tidak jijik melihat tampangku yang
buruk serta tidak mual mengendus bauku yang amis ini dan rela menjadi sahabat sejatiku?"
Tanpa berpikir lagi segera Thian-ih menjawab: "Sudah tentu, jikalau Cianpwe sudi melihat
mukaku, ingin sekali aku bersahabat dengan Cianpwe."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Saking girang Ing-mo sampai berjingkrak bangun, serunya sambil bertepuk tangan: "Bagus
sekali! Kulihat kau ini bukan orang jahat. Dulu memang aku punya banyak teman, tapi akhirnya
mereka semua menjual dan mencelakai aku, menjebakku dengan muslihat keji. Saking
ketakutan membuat aku sejak saat itu tidak berani lagi mempercayai sesama orang, aku tidak
sudi bersahabat dengan manusia. Sejak aku tinggal dipulau ini aku berkawan dengan
burung-burung elang. Tapi sayang burung-burung ini tidak bisa bicara, tiada seorangpun disini
yang bisa kuajak bicara. Hatiku betul-betul terasa pepat dan pikiranku juga menjadi cupat.
Sekarang kau telah menjadi sahabatku, ini baik sekali, aku dapat bicara banyak dengan kau.
Oo, sungguh aku girang sekali, aku senang sekali!" seperti seorang bocah kecil dia mulai
meloncat dan menari-nari.
Kata Thian-ih: "Aku yang rendah bernama Thio Thian-ih, siapakah nama Cianpwe yang mulia"''
Ing-mo tertawa: "Bukankah aku bernama Ing-mo" Kau panggil aku lng-mo saja! Dan aku
panggil kau saudara kecil, selanjutnya kau juga jangan panggil aku Cianpwe apa segala!
Mendengar panggilanku itu hatiku jeri dan takut, sebab dulu pernah ada orang begitu
memanggil aku, tapi akhirnya mereka mengatur tipu daya dibelakangku dan mencelakai aku."
Terlihat oleh Thian-ih waktu dia berkata-kata ini, kedua matanya memancarkan sorot
kebencian yang menyala-nyala, tapi secepat itu telah lenyap lagi, katanya lagi: "Saudara kecil,
mari kita pulang! Ke tempat kediamanku."
Setelah keluar dari hutan rimba ini, mereka sampai dibawah sebuah dinding batu yang tinggi,
diatas dinding batu ini entah ada berapa banyak burung-burung elang besar kecil yang
hinggap di-batu-batu. Sedemikian banyak dan besar-besar burung-burung elang ini, yang
terkecil juga sebesar meja bundar, ada yang sedang bertengger dengan gagahnya, ada pula
yang sedang menyisiki bulu. Begitu melihat kehadiran Thian-ih ini, ada beberapa ekor yang
segera terbang terus menerjang turun. Cepat-cepat Ing-mo mengulapkan tangan sambil
membentak: "Hayo pergi semua, ini saudara kecilku. Bukan hidangan lezat kalian tahu! Kalian
hanya boleh makan daging manusia-sia jahat, tapi jangan sekali-kali kalian berani menyentuh
seujung rambut saudara kecilku ini ya !"
Seperti dapat mendengar arti kata-kata Ing-mo ini, burung-burung elang itu segera terbang
kembali sambil cecowetan. Sesudah melewati deretan dinding batu ini mereka sampai lagi
didepan sebuah rimba, tapi yang cukup mengherankan didalam hutan ini tidak kelihatan ada
jenis burung lain yang terbang lewat, karena heran Thian-ih bertanya: "Apakah di atas pulau
ini hanya terdapat burung-burung elang saja tiada jenis burung lain?"
"Sudah tentu tidak ada," sahut Ing-mo, "Jangan kata tiada lain jenis burung, sampai lain
mahluk hidup saja juga tiada selain aku ini. Seluruh penghuni pulau ini adalah elang melulu
maka dinamakan Ing-yu-to (pulau elang)."
Thian-ih berpikir: mungkin mahluk-mahluk hidup yang lain sudah ditelan habis oleh
elang-elang itu saking kelaparan, dipikir-pikir terasa merinding seluruh badannya.
Ing-mo bertempat tinggal dalam sebuah gua yang cukup besar, keadaan dalam gua ini sangat
sederhana sekali, selain persediaan air minum, makanannya adalah ikan asin dan
buah-buahan saja. Dua ekor elang besar bertengger didepan gua, seakan-akan kedua ekor
burung elang ini adalah penjaga setianya. Bentuk tubuh kedua ekor elang ini lebih kecil sedikit
dibanding yang lain tapi bulunya berwarna biru mengkilap, sikapnya sangat angker dan gagah.
Melihat kedatangan Thian-ih, tidak seperti burung-burung liar lainnya yang terus menyerang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
dengan sembrono, mereka hanya memandang kearah Thian-ih dengan pandangan
mengancam. Thian-ih membatin, tidak heran kalau orang sering mengatakan bahwa mata
burung elang sangat tajam dan awas sekali, baru aku mau percaya setelah melihat sendiri hari
ini. Sambil mengelus-elus bulu kedua ekor burung itu berkatalah Ing-mo: "Ini adalah Toa-lan dan
Ji-lan. Kedua ekor ini juga adalah sahabatku yang sangat setia, hanya sayang mereka tidak
bisa bicara seperti manusia."
Thian-ih ikut menyelinap kedalam gua, untung keadaan disini masih agak bersih. Ing-mo
keluarkan ikan asin dan buah-buahan untuk Thian-ih makan, katanya memberi penjelasan:
"Diatas pulau ini, aku hidup seperti burung-burung elang itu, tiada sesuatu barang lain yang
dapat dimakan, terpaksa hanya makan ikan-ikan dilaut saja, ini takkan habis dimakan untuk
selama-lamanya. Hanya kalau mereka menelannya saja secara mentah-mentah, sebaliknya
aku bisa menyimpan dan menjemurnya menjadi gereh, sesudah biasa makan ikan asin tidak
menjadi soal lagi. Saudara kecil, coba kau cicipi !"
Thian-ih mengunyah ikan asin dan buah-buahan itu bersama, terasa memang lumayan juga.
Melihat orang makan dengan lahapnya, Ing-mo menjadi senang hati, ujarnya: "Saudara kecil,
kenapa kau bisa sampai berada diatas pulau ini"''
Maka berceritalah Thian-ih tentang bagaimana dirinya telah disiksa dan dipermainkan oleh
Pak-ko-seng guru dan murid. Sambil mendengarkan Ing-mo mengertak gigi, begitu Thian-ih
habis bercerita mendadak ia berjingkrak bangun dan berkata kepada Thian-ih: "Saudara kecil,
orang macam ini tak boleh hidup terlalu lama di dunia ini. Kau berdiam disini biar kuringkus
mereka guru dan murid kemari !"
Lalu ia bersuit memanggil Toa-lan dan Ji-lan masuk, dengan ocehan bahasa burung ia bicara,
tiba-tiba salah seekor burung elang itu terbang keluar, tak lama kemudian kembali lagi
bersama seekor burung elang besar sekali, terus mendekam diluar gua. Kata Ing-mo:
"Saudara kecil, kau tunggu disini, aku pergi sebentar dan segera kembali."
Begitu melompat ke punggung elang besar itu bersama Toa-lan terus terbang menjulang
tinggi ketengah angkasa, tinggal Ji-lan menunggu dan menjaga diluar gua.
Malam itu Thian-ih menginap di dalam gua kediaman Ing-mo ini. Hari kedua pagi-pagi benar
terdengar elang-elang diluar gua sana ribut berteriak-teriak. Buru-buru ia berlari keluar untuk
melihat, tampak Ing-mo dengan menunggang elang besar beserta Toa-lan tengah mendatangi
dari kejauhan sana. Setelah semakin dekat terlihat diatas burung elang besar itu kini tambah
lagi satu orang. Begitu mendekati diatas deretan dinding batu curam itu, mendadak Ing-mo
mendorong dan menjatuhkan orang itu dari atas udara. Kontan orang itu melayang turun


Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan cepat dan lurus, agaknya kepandaian silat orang itu tidak lemah, begitu hampir
menyentuh tanah segera ia mengatur posisi badannya sedemikian rupa sehingga gaya
jatuhnya sangat indah bagai seekor burung besar, tanpa bersuara tubuhnya terus meluncur
masuk ke-dalam hutan sebelah kiri sana.
Karena jarak agak jauh, Thian-ih tidak melihat tegas, apakah itu Pak-ko-seng ataukah
muridnya Ban Ai-ling" Dalam kejap lain Ing-mo sudah melayang turun menunggang elangnya
itu, sekali ulur tangan ia seret Thian-ih ke atas punggung elang itu serta ujarnya tertawa:
"Sayang terlambat selangkah, hanya menangkap guru jahatnya itu, sedang muridnya entah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
pergi kemana ! Tapi aku sudah perintah bala elangku untuk mencari ke seluruh pelosok pesisir
laut ini ! Sekarang saudara kecil, kau ikut bersama aku menonton dari atas udara, bagaimana
cara anak-anak piaraanku ini mempermainkan guru bajingan itu."
Sekejap saja elang besar itu sudah terbang melayang-layang diatas rimba. Tampak
Pak-ko-seng tengah berlari lintang pukang, menerobos hutan menuju ke pinggir laut. Begitu
tiba di pesisir yang dilihat hanyalah ombak berderai tanpa terdapat sebuah perahupun juga.
Terpaksa mengerahkan tenaga dengan ilmu ringan tubuhnya yang hebat ia berlari di
permukaan air terus menuju ke tengah lautan teduh.
Melihat ketangkasan orang berlari diatas permukaan air laut itu, diam-diam Thian-ih merasa
kagum dan memuji, Pak-ko-seng ini benar-benar seorang tokoh hebat yang berkepandaian
tinggi, hanya sayang ia berhati culas dan kejam serta banyak akal liciknya, banyak berbuat
kejahatan. Sekarang kalau membiarkan dia lari begitu saja sungguh kurang bijaksana sekali,
maka dengan gugup ia bertanya kepada Ing-mo: "Apa kau tidak melihat ia melarikan diri?"
Ing-mo tertawa ewa, ujarnya: "Tidak lama lagi dia akan kembali sendiri. Letak pulau elang ini
sangat jauh dari daratan besar, jikalau tiada perahu, takkan mungkin dia kuat menyebrang
lautan sedemikian besar dan luas. Betapa pun lihay dan tinggi ilmu Khikang dan Ginkangnya
juga tidak berguna lagi. Nanti kalau dia tidak rela tenggelam menjadi hidangan lezat ikan-ikan
di laut, pasti dia akan kembali sendiri keatas pulau ini."
Sejenak kemudian ia menambahkan lagi: "Hakikatnya seumpama ia tidak menjadi hidangan
ikan dilaut, nanti juga dia akan konyol menjadi makanan ke perut burung-burung elangku. Kita
lihat saja kematian yang mana yang dia pilih nanti. Saudara kecil maukah kau bertaruh dengan
aku, menurut dugaanku, dia pasti kembali lagi untuk terima kematiannya."
Belum lagi Thian-ih sempat menjawab, benar juga Pak-ko-seng yang berlari-lari di permukaan
laut itu telah belok kembali, Ing-mo terkekeh girang, serunya sambil bertepuk tangan: "Tidak
salah bukan! Tidak salah bukan ! Lihatlah betapa tepat dugaanku, agaknya burung-burungku
bakal mendapat makanan daging yang enak sekali. Cobalah biar dia istirahat sebentar untuk
mengumpulkan semangat, biar nanti bertempur melawan anak-anak piaraanku itu."
Meskipun Pak-ko-seng sudah tahu bahwa pulau ini adalah Pulau elang, tapi agaknya sedikitpun
dia tidak gentar dan masih bersikap tenang, istirahat diatas sebuah batu cadas besar dan
tinggi, ia celingak-celinguk kian kemari.
Saat mana Ing-mo beserta Thian-ih menunggang elang besar itu hinggap diatas sebuah pohon
raksasa dan sembunyi diantara rimbunnya dedaonan, sehingga tidak terlihat oleh
Pak-ko-seng. Setelah dinantikan sebentar lantas Ing-mo berkata: "Biarlah dia merasakan dulu
serbuan pertama dari elang-elang piaraanku itu." lalu ia bersuit panjang suaranya mengalun
tinggi ketengah angkasa. Pak-ko-seng yang tengah berbaring diatas batu cadas itu juga sudah
mendengar, dia tahu suitan ini pertanda apa, saking kejut segera ia bergegas bangun. Tak
lama kemudian serombongan elang-elang besar berbaris terbang menuju ke pinggir laut.
Kata Ing-mo memberi penjelasan: "Rombongan elang pertama ini belum pernah kulatih,
merekalah yang kau hadapi waktu kau datang kemaren, cobalah kita lihat apakah mereka kuat
menghadapi bajingan tengik itu?"
Rombongan elang pertama ini kira-kira berjumlah dua puluh terbang diatas kepala
Pak-ko-seng mereka melayang berputar-putar. Sekonyong-konyong salah seekor TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
mempelopori menukik turun terus mematuk dan mencengkeram kearah Pak-ko-seng.
Pak-ko-seng menggerung gusar sambil mengerjakan kedua tangannya memukul serabutan
menyambut serbuan elang-elang dari udara. Betapa dahsyat tenaga pukulannya ini, kontan
beberapa ekor yang terdepan tersapu jatuh terkena angin pukulannya. Tapi yang lain ternyata
tidak gentar masih terjun bergantian menyerang, seperti pasukan berani mati saja agaknya.
Sekarang Pak-ko-seng menjerit panjang, suaranya bergema seperti auman naga meninggi
menusuk telinga, sambil melancarkan pukulan-pukulannya sampai angin pukulannya berputar
menjulang tinggi ketengah angkasa, semua elang yang keterjang pasti roboh menggape-gape
ditanah tanpa mampu terbang kembali.
Dalam sekejap mata saja, disekitar Pak-ko-seng sudah penuh bertumpuk puluhan
mayat-mayat burung elang, lainnya yang masih ketinggalan hidup segera terbang meninggi
melarikan diri. Agaknya Pak-ko-seng sangat bangga dan senang melihat kemenangannya ini,
sekali lagi ia bersuit nyaring seolah-olah menantang penghuni dari majikan pulau ini. Bahwa
pasukan burung elangmu ini cuma sebegitu saja tak berguna, masa dapat melawan gembong
silat macamku ini. Demikian ia berlagak sambil bertolak pinggang mondar-mandir dengan
angkuhnya. Ing-mo menggumam: "Bajingan ini sudah menghadapi kematian masih berani banyak lagak.
Kalau aku dapat meringkusnya kemari masa tak dapat menamatkan riwayatnya. Biarlah diberi
kesempatan untuk istirahat dan menghimpun tenaga kembali! Nanti biar dia merasakan
serbuan gelombang kedua!"
Menunggu sebentar mendadak ia bersuit lagi memberi aba-aba, puluhan ekor elang berwarna
bulu abu-abu segera terbang mendatangi dengan formasi seperti huruf 'V', sedemikian rapi
sekali formasi barisan ini. Tahu menghadapi serangan yang lebih berbahaya segera
Pak-ko-seng loncat turun ketanah berpasir, disini ia menanti. Dilihatnya barisan elang
gelombang kedua ini lain dari semula tadi. Begitu tiba mereka langsung menukik turun tapi
bukan menyerang ternyata malah berdiri berjajar dengan formasi yang sama, mereka
mengepung Pak-ko-seng dalam sebuah barisan sambil mementang sayap masing-masing.
Sikap Pak-ko-seng masih sangat tenang tanpa gentar atau takut. Dengan waspada ia berdiri
menanti serbuan musuh. Tiba-tiba salah seekor elang yang terbesar memekik keras, serentak
semua elang-elang itu lancarkan serbuan berbareng, begitu pentang sayap terus terbang
menyerbu kearah Pak-ko-seng. Entah patuk atau cakarnya tajam luar biasa semua meluncur
keatas tubuhnya, sedikit ayal saja pasti seluruh tubuhnya akan dedel-dowel. Betapapun
Pak-ko-seng tidak mengira bahwa burung elang yang dihadapi ini juga pandai mengatur
barisan, keruan kejutnya bukan kepalang, secepat kitiran tubuhnya berputar sambil mengayun
pukulannya untuk melindungi badan, dimana angin pukulannya menyambar dengan
dahsyatnya burung-burung elang itu seperti menumbuk tembok segera melesat mundur dan
berdiri seperti kedudukan semula.
Kiranya elang-elang ini sudah terlatih sempurna, maju mundur sangat cekatan dan tangkas
sekali. Meskipun pukulan Pak-ko-seng sangat lihay, namun sekali ini seekorpun tiada yang
terluka oleh pukulannya. Begitulah sekian lama mereka berdiri berhadapan menanti
kesempatan. Mulailah rombongan elang itu melancarkan serangan gelombang kedua, waktu
terbang sampai diatas kepala Pak-ko-seng, sekarang Pak-ko-seng ganti siasat bertempur, dari
menyerang dia lebih banyak menjaga diri, saban-saban dengan pukulannya ia membokong
dan menyergap secara licik, harapannya dengan menjatuhkan salah seekor diantaranya pasti
membuat gusar dan takut yang lain. Tapi kiranya perhitungannya ini meleset. Justru sifat
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
elang-elang ini sangat pendiam dan liar, betapapun mereka tidak mengenal takut, cara
penyerangannya juga teratur, mundur maju ada perhitungan, tidak kalah pandai dari barisan
ilmu manusia umumnya. Meskipun akhirnya ada beberapa ekor yang terpukul jatuh dan mati,
ini berbalik membuat yang lain lebih leluasa lagi untuk mendesak lebih dekat. Bagaimana juga
kedua tangannya itu takkan mampu menangkis dan memukul serbuan serentak dari berbagai
penjuru, maka terlihat pundaknya sudah mulai mengalirkan darah, kulitnya sudah tercakar
robek. Kini elang-elang itu kembali dalam kedudukan formasi semula, gebrak selanjutnya
Pak-ko-seng selalu meleset dalam perhitungannya, tubuhnya sudah banyak terluka, malah
kedua matanya juga hampir tercolok buta, maka untuk gebrak selanjutnya dia tak berani
takabur lagi, dengan seksama dan prihatin ia memperhatikan cara pemecahan barisan elang.
Kecerdikan dan kepandaian serta pengalaman Pak-ko-seng memang tidak memalukan sebagai
tokoh silat yang kenamaan, akhirnya terpecahkan juga olehnya cara mematahkan serbuan
barisan elang ini. Terpikir olehnya pasti ada satu diantara burung-burung elang itu yang
memegang komando dengan aba-abanya, dengan penemuannya ini sekejap saja lantas dapat
terbongkar olehnya, memang jelas sekali bahwa elang terbesar yang berada ditengah itulah
yang memegang komando, setiap kali sayapnya bergerak, maka elang-elang yang lain
bergerak maju mundur menurut aba-abanya itu. Maka secara diam ia menanti kesempatan.
Mendadak tubuhnya melejit maju terus menubruk kearah elang besar itu dengan gesit dan
tangkas sekali. Agaknya elang besar ini tidak menyangka dan tak bersiaga, dengan telak ia
kena tertangkap hidup-hidup, begitu jurus Tay-sui-pi-chiu (bantingan keras) dilancarkan,
kontan burung elang besar itu terbanting hancur diatas pasir.
Ing-mo menggumam diatas pohon: "Cukup hebat. Tak kira orang jahat ini juga dapat
memecahkan barisanku, hebat, cukup hebat!''
Sekali mulutnya menjebir dan bersuara nyaring, dia panggil dan tarik mundur pasukan
elangnya ini. Menggunakan kesempatan keributan serta kekurang waspadaan para elang yang
bersiap terbang kembali itu, Pak-ko-seng lancarkan pula pukulan-pukulannya, kontan ada
beberapa ekor lagi kena terpukul jatuh dan mati.
Pak-ko-seng ini benar-benar bersifat buas dan liar. Mungkin karena sudah kelaparan, sekali
sambar ia sobek seekor burung elang yang terluka dan belum mati terus dihisap darahnya dan
digeragoti dagingnya mentah-mentah.
Seolah-olah dia sudah tahu bahwa Ing-mo tengah sembunyi dan memberi komando kepada
pasukan elangnya itu, maka setelah kenyang makan daging mentah, dia banting dan lontarkan
tulang belulang burung elang kedalam hutan serta teriaknya menantang: "Ing-mo! Apa
gunanya kau kerahkan pasukan burung elangmu yang tak berguna ini menghadapi aku" Kalau
kau seorang laki-laki dan berani mari keluar langsung hadapi aku!''
Ing-mo menggumam: "Jikalau aku perintahkan burung elangku untuk menyiksamu,
seumpama kau tidak mati terpatuk atau tercakar juga pasti mati kelelahan. Mengandal
kepandaianmu yang tidak berarti ini, salah satu Toa-lan atau Ji-lan saja cukup dapat mematuk
buta kedua matamu itu. Baiklah, memang aku sudah lama belum pernah berkelahi
sungguh-sungguh sekali ini kukabulkan permintaanmu."
Lantas dengan ringan sekali tanpa mengeluarkan suara ia terbang turun keatas tanah.
Pak-ko-seng merasa pandangannya sedikit kabur, tahu-tahu dihadapannya sudah berdiri
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
seorang yang bukan lain adalah Ing-mo sendiri yang berbentuk seperti setan alas. Keruan
kejutnya bukan main. Maka sambil membesarkan hatinya segera ia membentak: "Ing-mo!
Menggunakan kesempatan aku tidak bersiaga kau membokong dan menutuk jalan darahku
serta menculik aku keatas pulau ini. Kau perintahkan elang-elang piaraanmu yang tidak
berguna itu untuk mempermainkan aku, apa maksud sebenarnya?"
Tanpa menjawab pertanyaan orang mendadak Ing-mo bersuit panjang, suaranya melengking
tinggi seperti tangisan setan gentayangan, membuat pendengarnya giris dan merinding.
Pak-ko-seng juga merinding dan kuncup nyalinya serta katanya lagi jeri: "Ing-loheng,
selamanya kita belum saling bermusuhan, kenapa kau hendak mencelakai aku. Lekaslah kau
kirim aku pulang, nanti aku akan antar banyak makanan untuk kau, ya, banyak makanan yang
lezat dan enak rasanya, berapa banyak yang kau minta pasti kupenuhi!"
Sedikitpun Ing-mo tidak terpincut akan bujuk rayu yang manis ini. Kini Pak-ko-seng ganti siasat
dengan sedikit mengancam: "Jikalau kau tidak antar aku pulang, ketahuilah, para kawanku
dan muridku pasti akan datang kemari mencari perhitungan dengan kau, pasti kau bukan
tandingan mereka." Ing-mo tetap membisu, hanya menyeringai iblis dengan suara kekehnya yang menakutkan.
Lama kelamaan Pak-ko-seng menjadi takut sendiri, begitu putar tubuh dia bersiap hendak lari,
tapi gerak tubuh Ing-mo lebih gesit dan lebih cepat, sekali berkelebat tahu-tahu dia sudah
menghadang dihadapannya. Terlihat secepat kilat tubuh mereka saling bentur dan terangkap
menjadi satu, lantas mendadak terpental mundur lagi. Kalau Ing-mo masih berdiri tegak tanpa
bergerak, adalah Pak-ko-seng terhuyung mundur sambil kedua tangannya mendekap dadanya
terus lari terbirit-birit masuk kedalam hutan.
Ing-mo segan mengejar, sekali melejit tubuhnya meluncur keatas pohon lagi, sambil
mengusap-usap kedua tangannya, ia berkata: "Kukira betapa besar kemampuannya. Tak
kukira ternyata ya sebegitu saja. Tadi hanya beradu sekali pukulan, dia lantas lari terbirit-birit
ketakutan, sungguh tidak berguna."
Mereka menunggang burung elang besar itu lagi terbang ketengah angkasa, mengejar
keutara, dimana Pak-ko-seng melarikan diri. Agaknya luka yang diderita Pak-ko-seng tidak
ringan, saking ketakutan ia lari lintang pukang seperti dikejar setan sampai jatuh bangun dan
muntah darah, kadang kala hanya mendengar pekik suara elang saja lantas kuncup nyalinya
terus lari menyelinap masuk kedalam gerombolan pohon menyembunyikan diri.
Thian-ih adalah seorang pemuda yang berhati jujur dan bijaksana, lama kelamaan dia tidak
tega melihat penderitaan orang. Tapi segera Ing-mo memperingatkan padanya; "Ingatlah
akan perbuatan jahatnya selama ini, apa yang dialami sekarang ini hanya sekadar pembalasan
saja." Sekonyong-konyong terdengar Pak-ko-seng menjerit ngeri di-bawah sana, kiranya karena
kurang hati-hati kakinya terjeblos masuk ke dalam rawa.
Ing-mo malah berseru kegirangan: "Rawa-rawa dalam hutan itu adalah paling hebat,
betapapun tinggi kepandaianmu sekali kau terjeblos masuk kedalam rawa itu, semakin ber-
gerak tubuhmu tenggelam semakin dalam, dan tak tertolong lagi !"
Memang terlihat berulang kali Pak-ko-seng melompat-lompat didalam rawa itu, sekuat tenaga
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
ia berusaha ingin melompat keatas daratan, tapi usahanya selalu sia-sia, sampai yg terakhir
tubuhnya dapat melompat keluar setinggi tiga kaki sambil berteriak nyaring minta tolong, tapi
tubuhnya meluncur jatuh lagi kedalam rawa.
Thian-ih tidak tega, ingin dia melompat turun menolong, tapi dicegah dan dirintangi oleh
Ing-mo, katanya: "Saudara kecil, jangan sekali-kali kau turun kesana! Sekali kau pergi, kau
takkan kembali juga!"
Memang Pak-ko-seng saat itu sudah semakin tenggelam, semakin besar tenaga geraknya
tubuhnya semakin amblas dan daya sedot kebawah juga semakin besar, waktu tinggal
kepalanya saja ia masih coba berteriak dengan suara serak: "Ing-mo, Ing-loheng, tolong !"
Waktu Thian-ih melirik kearah Ing-mo, tampak muka Ing-mo tetap wajar dan kaku tanpa ada
perobahan sikapnya, malah sepasang matanya memancarkan sorot pandangan menghina dan
memandang rendah, dan yang paling jelas agaknya merasa sangat puas.
Tubuh Pak-ko-seng sudah semakin menghilang, tapi mendadak ia meronta keatas sambil
mengayunkan sebelah tangannya melontarkan sebuah entah benda apa keatas daratan. Lalu
tubuhnya hilang ditelan kedalam lumpur, hanya terlihat kedua tangannya yang masih
menggape-gape. Ing-mo turun memeriksa bersama Thian-ih, setelah terbukti bahwa Pak-ko-seng betul-betul
menemui ajalnya ditelan kedalam rawa baru mereka jemput benda yang dilontarkan tadi.
Ternyata itulah serenteng gelang emas, bentuk pembuatannya sangat istimewa. Mendadak
Thian-ih teringat, cincin seperti bentuk ini agaknya sudah pernah dilihatnya di jari tangan Ban
Ai-ling. Dengan seksama Ing-mo memeriksa dan menimang-nimang gelang mas itu, wajahnya
membeku, tapi matanya memancarkan sikap keheranan, katanya: "Ternyata begitu ! Bajingan
ini ternyata adalah.................." sampai disitu ia merandek dan menelan kata-kata
selanjutnya, Thian-ih menanyakan apa yang telah ditemukan diatas gelang itu, maka sambil
menyerahkan gelang mas itu kepada Thian-ih Ing-mo memberi pesan: "Ini adalah sebuah
benda tanda pengenal suatu perkumpulan rahasia. Pak-ko-seng ini mungkin ada hubungan
dengan sesuatu perkumpulan gelap itu, kau bawa dan simpanlah benda ini, hati-hati kelak
mungkin ada gunanya untuk kepentinganmu !"
Ternyata itulah serenteng gelang-elang emas yang panjang setengah kaki, setiap gelang
berbentuk sama terbuat dari mas murni, diatas gelang-elang itu terukir seekor ular kecil,
kepala ular sedikit mendongak, mata ular terporotkan sebutir berlian kecil yang berkelap-kelip,
mulutnya terbuka dan menjulurkan lidahnya yang berwarna merah darah, ukirannya sangat
bagus dan hidup. Thian-ih tidak tahu pertanda dari aliran atau golongan apakah ular kecil itu, waktu ditanyakan
kepada Ing-mo, dia ganda tertawa dan menjawab: "Kelak akan tahu sendiri."
Waktu tiba kembali didalam gua, hubungan Thian-ih dengan Ing-mo sudah semakin intim dan
akrab sekali. Thian-ih menceritakan semua pengalamannya selama ini, dengan seksama
Ing-mo mendengarkan. Setelah selesai ceritanya Thian-ih bertanya, apakah Ing-mo tahu
asal-usul kelima orang berkedok hitam itu. Sekali ini Ing-mo bersikap terbuka, sambil
menunjuk gelang mas ditangan Thian-ih, ia berkata, mungkin kelima orang itu ada hubungan
erat dengan perkumpulan rahasia itu. Tapi Ing-mo sendiri juga tidak begitu jelas mengenai
perkumpulan gelap itu, apa yang diterangkan masih belum cukup memuaskan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Lalu ditanyakan juga kesan-kesannya terhadap sibaju perak itu. Sekian lama Ing-mo
merenung lalu mengutarakan pendapatnya, dia sangat menyetujui akan pandangan Hun-tai
Siancu. Dibujuknya Thian-ih supaya jangan terburu nafsu hendak menuntut balas, lama
kelamaan peristiwa itu tentu akan terbongkar sendirinya.
Dari hari kehari hubungan mereka semakin mendalam, karena merasa simpatik dan untuk
membantu Thian-ih selekasnya dapat menunaikan tugas beratnya, maka Ing-mo turunkan
seluruh kepandaian silatnya kepada Thian-ih. Secara tekun dan tidak mengenal lelah siang dan
malam Thian-ih menggembleng diri, dicapainya kemajuan yang amat pesat.
Tapi setelah berselang sekian lama, penyakit mala rindu Thian-ih mulai kambuh lagi, selalu
terbayang dua wajah di kelopak matanya, ini membuat hatinya risau dan gundah tidak
tentram. Secara terus terang dia utarakan isi hatinya kepada Ing-mo bahwa dia sangat
merindukan Li Hong-gi dan juga ingin bertemu dengan Hun-tai Siancu. Terhadap Li Hong-gi
karena mereka sudah ada hubungan asmara. Tapi terhadap Hun-tai Siancu dia tidak kuasa
menerangkan cuma terasa olehnya bahwa sikap Hun-tai Siancu terlalu manis terhadap dirinya,
besar harapannya ingin selalu mendampingi di sisinya.
Ing-mo membujuk sambil tertawa, bahwa Toa-lan atau Ji-lan salah satu burung elang
pribadinya itu dapat mengirimkan surat ke alamat yang dituju. Dikatakan pula nanti setelah


Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat Thian-ih selesai dan sempurna betul mempelajari ilmu silatnya Toa-lan mengantarkannya kembali ke daratan besar.
Maka segera ditulisnya sepucuk surat dan suruh Toa-lan mengantarkan ke tempat Hun-tai
Siancu dipuncak Hun-tiong-khek di gunung Hun-tai-san. Hari kedua balasan surat telah tiba.
Itulah tulisan tangan Hun-tai Siancu sendiri. Dituturkan dalam surat itu sejak kehilangan
Thian-ih, Hun-tai Siancu dan Cia In-hun sangat gugup dan kuatir, mereka sudah menggeledah
seluruh pelosok alas pegunungan Hun-tai itu tanpa menemukan jejaknya dan akhir-akhir ini
didapatinya Pak-ko-seng juga mendadak menghilang tak keruan paran, ditempat
kediamannya ditemui jejak2 cakar burung elang, menurut dugaannya ini pasti hasil karya dari
majikan pulau elang. Maka mereka lantas menduga kemungkinan besar Pak-ko-seng telah
membuang diri Thian-ih ke pulau elang. Sebetulnya mereka sudah bersiap hendak berangkat
dan mencari kemari, tak terduga Toa-lan keburu tiba membawa surat, sungguh mereka girang
bukan main. Dengan nada seorang tua kepada anak muda ia berpesan kepada Thian-ih, supaya
menyampaikan salam hormatnya kepada Ing-mo pribadi. Dipesan juga supaya Thian-ih
belajar lebih giat supaya tidak mengecewakan harapan dari Ing-mo yang telah sudi
menurunkan kepandaiannya kepada dirinya. Dimana setelah semua pelajarannya selesai
diharap selekasnya kembali ke Hun-tai untuk berkumpul kembali."
Begitulah untuk selanjutnya Thian-ih tinggal terus diatas pulau elang memperdalam ilmu
kepandaiannya dibawah bimbingan Ing-mo.
Untuk sementara mari kita ikuti perjalanan Li Hong-gi bersama Kwi Tong-ing, dengan
menunggang kuda mereka langsung menuju ke markas besar Ho-bwe-pang yang terletak di
Tam-yang-ouw. Sepanjang jalan ini sikap Kwi Tong-ing agak malu-malu kucing dan kikuk,
sebaliknya sikap Li Hong-gi sangat terbuka dan wajar, selalu dia dulu yang mengajak bicara.
Hanya setiap kali hendak menginap di hotel selalu Kwi Tong-ing yang maju kedepan bicara
dengan manager hotel. Sepanjang jalan ini tak ubah seperti kakak beradik saja hubungan
mereka. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Meskipun Kwi Tong-ing terlahir dari kalangan persilatan tapi dia tidak memandang rendah Li
Hong-gi yang lemah. Sejak kecil ia sudah ikut ayahnya berkelana di kalangan Kangouw, apa
yang pernah dilihatnya tidak sedikit, perjalanan menuju ke Tam-yang ini entah sudah berapa
kali pernah dilalui. Maka sekali ini dialah yang menjadi petunjuk jalan, dia melayani segaia
keperluan Hong-gi sedemikian rupa sehingga Hong-gi merasa tak enak sendiri. Diam-diam ia
membatin cara bagaimana kelak dia memberi penjelasan, hanya bagaimana juga belum
saatnya membongkar kedok penyamarannya, maka setiap tindak tanduknya dibikin hati-hati,
untung tidak konangan dan mencurigakan.
Hari itu mereka sampai juga di Tam-yang, markas besar Ho-bwe-pang sudah kelihatan dari
kejauhan. Itulah sebuah perkampungan besar yang dibangun sangat megah dan angker
sekali. Dibangun membelakangi danau. Diatas kuda Li Hong-gi meninggikan lehernya
melongok-longok kedepan, tak tertahan lagi segera Tong ing bertanya: "Kongcu, apa kau
sudah kenal Pangcu Ho-bwe-pang?"
Hong-gi menggeleng kepala. Tong-ing menjadi heran, tanyanya lagi: "Kongcu, kalau kau tidak
kenal Kun-suseng Liok Pek-ing, lalu apa tujuanmu kemari?"
"Aku mau mencari Thio Toako, dia pernah berjanji bersama aku datang kesini, kukira saat ini
dia sudah sampai lebih dulu."
Kwi Tong-ing menjadi mangkel, pelajar lemah ini sungguh menyebalkan, selalu bicara
mengenai Thio-toakonya melulu.
Dalam hati ia mengomel panjang-pendek, tapi lahirnya tetap bersikap manis, sekian lama
mereka bungkam, lalu katanya lagi: "Baiklah, kita masuk lebih dulu, aku kenal baik dengan
Kun-suseng nanti kita tanyakan kepada dia !"
Hong-gi mandah mengintil saja dibelakang Tong-ing, maka Tong-ing sebagai pelopor maju
kedepan pintu markas besar Ho-bwe-pang minta dilaporkan kedatangan mereka. Ingin
bertemu dengan Kun-suseng Liok Pek-ing Liok-pangcu.
Dengan seksama para penjaga didepan pintu itu mengamat-amati dan menanyakan asal-usul
Tong-ing. Terpaksa Tong-ing sebutkan nama julukan ayahnya serta julukannya sendiri.
Nama julukan Thi-pi-kim-liong ayah beranak ternyata benar-benar sangat tenar dan disegani,
serentak para penjaga didepan pintu gerbang itu beramai-ramai maju unjuk hormat, segera
ada yang berlari masuk memberi lapor. Tak lama kemudian Liok Pek-ing sendiri keluar
secara langsung:"Li-kongcu ini sudah berjanji dengan Thio Thian-ih untuk datang menyambangi
Pangcu disini, harap tanya apakah Thio Thian-ih sudah datang kemari?"
menyambut. Setelah memperkenalkan Hong-gi, Tong-ing lantas bicara Liok Pek-ing melengak, sahutnya: "Thio-chengcu belum pernah datang kemari. Silakan kalian
istirahat dulu dalam perkampungan kita sambil menunggu kedatangannya!"
Takut kedok penyamarannya nanti menunjukkan belangnya, segera Hong-gi turut bicara:
"Terima kasih akan kebaikan Pangcu, ada lebih leluasa kita menginap dihotel saja !" habis
berkata dia lantas unjuk hormat dan minta diri.
Jauh-jauh datang kemarkas Ho-bwe-pang, setelah sampai berkata hanya berapa kecap saja
lantas minta diri. Ini membuat Tong-ing uring-uringan, namun sedemikian jauh dia masih telan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
saja kejengkelan hatinya, dengan sabar ia turuti semua kehendak Hong-gi. Begitulah dia
menurut saja menginap di hotel.
Telaga Tam-yang cukup luas, pemandangan disini sangat indah menakjupkan. Tapi Hong-gi
tiada selera menikmati pemandangan yang molek ini, setiap hari selalu mengeram diri dalam
kamar, tiga lima hari sekali bersama Tong-ing mencari Liok Pek-ing menanyakan kabar Thio
Thian-ih, tapi selalu mereka kecele dan kembali dengan hampa ke hotel. Entah sudah berapa
kali mereka pulang pergi menanyakan kepada Liok Pek-ing, tanpa merasa tahu-tahu dua bulan
sudah berselang, bukan saja Tong-ing sudah sebal dan tak kerasan lagi, Hong-gi sendiri juga
bersikap lesu tak bersemangat. Maka untuk terakhir mereka datang menyambangi Liok
Pek-ing mereka meninggalkan sepucuk surat untuk Thian-ih, dipesan juga kepada Liok
Pek-ing, jikalau Thio Thian-ih datang diminta dia mengirim orang mengantar surat ke
Hong-kiam-san-cheng. Liok Pek-ing melulusi untuk membantu. Hari itu juga mereka segera
kembali menuju ke utara, siang dan malam mereka terus mengebut kembali ke
Hong-kiam-san-cheng untuk menunggu kabar. Dalam pada itu Thian-ih tengah asyik dan
tekun mempelajari kepandaian silat Ing-mo yang rumit dan sukar dimengerti itu, tapi semakin
diselami terasa semakin dalam mengaduk sumber inti sari pelajaran murni ilmu silat. Keruan
dalam singkat saja kepandaiannya maju pesat sampai berlipat ganda mencapai
kesempurnaannya, seakan sibuta melihat matahari kembali. Lama kelamaan Thian-ih sudah
mencakup seluruh inti rahasia pelajaran segala macam ilmu silat. Dengan mendapat petunjuk
langsung dari Ing-mo ditambah bakatnya memang bagus sekali, tekun belajar menyelami
dengan seksama lagi, maka dalam jangka pendek beberapa bulan saja dia sudah mencakup
seluruh pelajaran silat Ing-mo yang tidak atau belum pernah diturunkan kepada orang lain.
Keadaan Thian-ih sekarang sudah jauh berbeda waktu pertama kali dia datang dulu. Bila
teringat apa yang telah dipelajarinya dari Kiam-bun, hanya bekal yang tidak berarti itu dirinya
berani berkelana dan malang melintang di Kang-ouw, seumpama kunang-kunang kecil tak
berguna. Teringat pula akan ucapan Hun-tai Siancu, bahwa Kiam-bun-it-ho tidak sepenuh hati
memberi pelajaran silat kepadanya, ternyata bahwa ucapan itu sangat tepat dan terasakan
dalam kenyataan. Selama Thian-ih tinggal dipulau elang, burung-burung elang piaraan Ing-mo sering disuruh
berkirim surat pulang pergi ke Hun-tai-san. Hari itu seekor burung elang membawa sepucuk
surat kilat dari Hun-tai Siancu, dalam surat itu diterangkan bahwa: "Sibaju perak berpedang
emas sudah diketahui jejaknya, diharap selekasnya kembali ke Hun-tai untuk, berunding!"
Sudah tentu Thian-ih berjingkrak girang, sudah tibalah saatnya untuk sekian kalinya
berkecimpung di kalangan Kangouw menyusuri jejak musuh besar itu, untuk menyelesaikan
permusuhan yang telah berlarut itu dengan bekal kepandaian yang telah dipelajarinya di
Hun-tai dan di pulau elang ini.
Ing-mo sendiri sudah tiada minat berkelana di dunia ramai, maka dia hadiahkan sebilah
pedang yang dinamakan Siang-sim-jin-kiam, pedang pusaka pelindung pulau elang itu. Tak
lupa ia serahkan juga rentengan gelang mas peninggalan Pak-ko-seng itu kepada Thian-ih.
Dipesannya supaya menyimpannya baik-baik, suatu ketika mungkin ada manfaatnya di
kalangan Kangouw. Sekadarnya saja Ing-mo menerangkan bahwa gelang rentengan ini adalah
pertanda khas dari suatu perkumpulan rahasia yang puluhan tahun yang lalu sudah ditumpas
hancur lebur. Jarang sekali orang-orang Kangow yang mengetahui riwayat hidup dari
organisasi gelap ini. Sekali ini entah bagaimana pertanda khas mereka bisa terdapat di badan
Pak-ko-seng, dikuatirkan kalau perkumpulan rahasia yang telah ditumpas dulu sudah mulai
bersemi dan berkembang secara rahasia lagi. Ing-mo sendiri hanya sekelumit saja mengetahui
seluk beluk mereka. Dulu mereka kenamaan dan disegani karena sering mengganas dan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
mempergunakan cara-cara keji dan berbisa menghadapi lawannya. Mungkin dulu akarnya
belum dicabut sampai habis dan sekarang mulai bersemi kembali, maka kalau tidak secepatnya
diberantas, dikuatirkan dalam waktu dekat ini pasti akan timbul huru-hara yang
menggemparkan di kalangan Kangouw, maka dipesan kepada Thian-ih untuk waspada dan
hati-hati. Disarankan juga supaya segera menghimpun kaum pendekar dan orang-orang
gagah di seluruh dunia persilatan untuk secepatnya turun tangan, menyergap dan
memberantas secara menyeluruh sebelum mereka bersayap. Thian-ih manggut berulang-ulang sambil mengiakan. Teringat bakal meninggalkan pulau elang ini, lantas
terkenang kepada Li Hong-gi, hatinya sudah bergejolak dan susah tertahan lagi, siang-siang
pikirannya sudah melayang jauh entah kemana. Melihat orang termangu dan tidak sabaran
lagi, Ing-mo tersenyum geli segera ia perintahkan burung elangnya untuk mengantar
pemberangkatan Thian-ih ke Hun-tai-san.
Sebelum berpisah mereka berjabatan tangan dan berpelukan, berat untuk berpisah, kata
Ing-mo sambil mengalirkan air mata: "Saudara kecil, sejak berkumpul kita sangat cocok satu
sama lain, aku tidak mau menjadi gurumu, tapi aku rela menjadi sahabatmu. Perpisahan hari
ini entah kapan baru dapat berjumpa dan berkumpul kembali. Kudoakan setelah
keberangkatanmu ini kau dapat secepatnya menyelesaikan tugas2 beratmu, lakukan segala
dharma bakti bagi sesama umat manusia. Janganlah kau sia-siakan pengharapanku dan
Hun-tai Siancu ! Dan lagi, kuharap pada saat hari bahagiamu nanti jangan kau lupakan
Sahabat tuamu ini. Kalau mengijinkan datanglah kalian ke pulau elang yang terputus dari dunia
ramai ini, berdiamlah disini beberapa hari untuk berkumpul. Aku benar-benar menunggu dan
jangan terlambat datang, jikalau sampai aku sudah mangkat tinggal tulang belulangku saja
seumpama kau banyak isi hati yang ingin diutarakan kepadaku menyesal juga sudah
terlambat.................."
Thian-ih sendiri juga sampai terharu dan mengalirkan air mata, tangannya menggenggam
erat2 lengan Ing-mo, sekian lama mereka berhadapan dan bertangisan. Thian-ih berjanji
untuk tidak melupakan pesan dan permintaannya itu.
Menunggang burung elang lebih cepat dari naik perahu, kira-kira tiga jam saja, tiba-tiba
burung elang besar itu memekik nyaring terus menukik turun, ternyata mereka sudah sampai
di belakang puncak Hun-tai-san. Baru saja ia membetulkan pakaiannya dan melangkah ke
depan beberapa langkah, terdengar sebuah seruan nyaring merdu dari depan sana: "Engkoh
Thian-ih! Engkoh Thian-ih!"
Laksana sekuntum bunga putih yang indah dan harum semerbak sekejap saja didepannya
tahu-tahu sudah berdiri seorang gadis jelita yang mengenakan pakaian serba putih, wajahnya
yang halus putih itu bersemu merah jambu kemaluan, sepasang matanya cemerlang sebening
air memancarkan rasa girang yang tak tertahan, ujung mulutnya menyungging senyum manis.
Keadaan ini bak sekuntum bunga segar, sesuci dan seagung bunga teratai.
Diam-diam Thian-ih terkejut dan melengak, baru beberapa bulan saja mereka berpisah, gadis
pingitan ini ternyata bertambah molek dan jelita, melihat orang tengah menghampiri dan
menatap dirinya, cepat-cepat ia membungkuk diri memberi hormat dan menyapa: "Adik
In-hun!" Cia In-hun tersenyum lebar bak sekuntum bunga mekar, katanya: "Siang-siang sudah
kuperhitungkan pasti hari ini kau datang. Kukatakan burung elang itu sangat cepat berkirim
surat. Siancu tidak percaya, sekarang sudah kenyataan dan dugaanku sangat tepat!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Begitu sinar mata saling bentrok, seketika terketuk hati kecil Thian-ih, jantungnya berdebur
keras. Pandangan penuh arti dari orang gadis ini, masa tidak dapat diselami olehnya. Hanya
sayang, hatinya ini sekarang sudah menjadi milik Li Hong-gi. Selama beberapa bulan tinggal
dipulau elang betapa rindunya kepada gadis jelita itu, sungguh ia sangat menyesal akan sikap
dingin dan kelakuannya yang tidak genah dulu itu. Kini setelah kembali sudah tentu ia harus
mencari dan bertemu kembali dengan Hong-gi, untuk selanjutnya mereka pasti hidup
berdampingan dengan rukun dan tentram sampai dihari tua.
Memang Cia In-hun sudah jatuh cinta pada pandangan pertama tempo hari. Akan tetapi
terpaksa Thian-ih tidak bisa menerima rasa cintanya ini. Seumpama hutang budi atau hutang
apa saja pada orang lain mudah untuk membalasnya, tapi hutang cinta inilah yang sukar
dibendung. Maka cepat-cepat Thian-ih palingkan muka tidak berani beradu pandang lagi.
Sebaliknya Cia In-hun sendiri juga lantas bersikap kikuk dan malu-malu. Dia mengintil
dibelakang Thian-ih sambil membungkam diri. Tak lama kemudian mereka sudah tiba di
Hun-tiong-khek. Seketika timbul suatu perasaan aneh yang menyentak sanubarinya, ria dan gembira, itulah
karena segera ia bakal berjumpa kembali dengan Hun-tai Siancu, orang yang paling dirindukan
selama ini. Begitu menyingkap kerai segera tampak Hun-tai Siancu tengah duduk semadi
diatas kasuran bundar, maka dengan rasa hormat segera ia berlutut dan menyembah.
Hun-tai Siancu mengulur tangan membimbing bangun, terasa pandangan sepasang matanya
itu memancarkan kasih sayang dan lemah lembut yang melapangkan dadanya. Tapi masih
terasakan juga oleh Thian-ih pandangan kehampaan itu masih terkandung dalam sorot
matanya. Tapi sudah jauh berbeda dibanding tempo hari, itu terjadi hanya sekilas saja seperti
percikan api, lantas diselimuti oleh rasa girang.
Hun-tai Siancu menanyakan keadaan Thian-ih selama berpisah ini. Thian-ih duduk
disampingnya dan menutur ringkas dan jelas. Mendengar kepandaian Thian-ih sudah maju pe-
sat dan bersahabat lagi dengan Ing-mo, malah dihadiahi pula sebilah pedang pusaka, wajah
Siancu mengunjuk rasa senang dan gembira. Setelah seluruh cerita selesai, Thian-ih bertanya:
"Dimanakah sibaju perak itu sekarang" Ingin aku segera mencarinya untuk memecahkan
semua teka-teki yang selama ini selalu mengikat diriku."
Sekilas Hun-tai Siancu mengunjuk perasaan hampa itu lagi. Kali ini Thian-ih melihatnya dengan
jelas sekali. Tahu dia bahwa pasti ada latar belakang apa yang menyebabkan tapi tak enak ia
mendesak lagi. Nanti pasti Siancu sendiri akan menjelaskan, maka dengan menekan perasaan,
ia menanti dengan sabar. Sekian lama menunggu baru Siancu mulai membuka kata perlahan-lahan: "Sekarang dia
tengah menghadapi kesukaran, karena terkepung dan dikurung didalam suatu tempat oleh
beberapa jagoan Bhayangkara dan beberapa tokoh kaum persilatan, jiwanya terancam elmaut
dalam waktu dekat ini..............."
Thian-ih terperanjat, tanyanya dengan nada berat: "Kalau begitu jika sekarang aku pergi
membuat perhitungan dengan dia berarti aku mengambil keuntungan disaat orang sedang
kepepet !" dia menerka dalam hati bahwa Hun-tai Siancu ini rada simpatik terhadap sibaju
perak itu, sudah tentu dia tidak merelakan Thian-ih pergi mendesak orang. Maka sekarang ia
membuka kata lebih dulu untuk menunjukkan bahwa dia sungkan untuk membangkang
maksud Hun-tai Siancu. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Tapi setelah terucapkan tak urung Thian-ih merasa menyesal, pikirnya seumpama sibaju perak
mati dalam pengeroyokan musuh, dan dirinya telah kehilangan kesempatan yang baik ini,
bukankah teka-teki itu takkan terpecahkan selamanya.
Tengah dia sangsi dan bimbang, sungguh tak terduga Hun-tai Siancu malah mengucapkan
perkataan yg lebih mengejutkan lagi: "Ya, tepat sekali. Bukan saja aku tidak ijinkan kau
menggrebeknya disaat ia kepepet. Malah kuminta kepada kau besok pagi segera berangkat
kesana mengandal kepandaian yang telah kau pelajari baru-baru ini dan ketajaman pedang
pusaka pemberian Ing-mo itu untuk menolongnya keluar........"
Saking kejut Thian-ih sampai melonjak bangun. Hampir dia menyangka kupingnya salah
dengar. Siapa takkan kaget bahwa Hun-tai Siancu ternyata mengutus dirinya pergi menolong
musuh yang selama ini telah mempermainkan dirinya. Tugas secara timbal balik ini bukankah
sangat menggelikan. Tapi sikap Hun-tai Siancu tetap tenang dan kalem. Thian ih disuruh mengundurkan diri
membersihkan badan dan menangsel perut, serta tambahnya sebelum Thian-ih keluar pintu:
"Thian-ih! Kau bersabar lagi sebentar, nanti akan kuterangkan alasanku....." meskipun
suaranya lemah lembut, namun seolah-olah mengandung wibawa besar yang tidak boleh tidak
harus dipatuhi. Terpaksa Thian-ih mengiakan.
Membekal rasa curiga dan tak habis mengerti Thian-ih mengundurkan diri, setelah mandi dan
ganti pakaian, Cia In-hun telah menyediakan makanan untuknya. Keadaan di Hun-tiong-khek
masih sedemikian tenang dan sunyi, otak Thian-ih berputar dan melayang-layang, mereka
hubungan antara Hun-tai Siancu dengan sibaju perak itu, namun semakin pikir semakin kacau


Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

balau, tak kuasa ia menelorkan jawabannya sendiri. Malamnya waktu yang diharap-harapkan
akhirnya tiba juga. Hun-tai Siancu memanggilnya menghadap dan menceritakan suatu kisah
lama. Dulu ada seorang pemuda pengangguran yang mengandal sedikit kepandaian silatnya banyak
melakukan kejahatan dan malang melintang dldunia persilatan seorang diri. Betapa besar dan
banyak kejahatan yang telah diperbuatnya sampai pihak pemerintah telah mengutus banyak
polisi untuk menangkapnya, tapi selalu dia dapat lolos. Apakah sebabnya" Ternyata ia punya
seorang sahabat kental yang pandai menyamar dan ilmu rias, sering mereka menyamar jadi
satu orang dan muncul pada dua tempat yang berlainan dalam waktu yang bersamaan untuk
mengelabui kelayak ramai dan selalu beruntung dapat meloloskan diri. Banyak tahun
kemudian, mengandal kecerdikannya serta kepandaian penyamarannya itu mereka masih
bekerja langgeng selalu lolos dari pengejaran petugas hukum.
Ternyata bahwa diantara mereka sudah ada kata sepakat, hasil harta benda yang telah mereka
rampok, sipemuda rela menerima sebagian kecil saja dan sebagal gantinya setiap wanita yang
mereka tangkap harus diserahkan padanya untuk bersenang-senang. Kalau yang satu gila
harta sedang yang lain mata keranjang. Entah sudah berapa lama, dan berapa banyak
kejahatan yang telah mereka lakukan.
Pada suatu ketika sewaktu sipemuda itu melakukan perampokan dan mendapat hasil besar,
tengah ia kegirangan dan berusaha melarikan diri dari kejaran polisi, mendadak ia merasa
bahwa dibelakangnya ada seseorang tengah membuntuti maka mereka lantas mengadu
kepandaian ringan tubuh, ternyata bahwa ilmu sipemuda jauh ketinggalan kalau dibanding
kepandaian pengejarnya. Tahu dia bahwa kaum pendekar dari kalangan persilatan telah
datang menggrebek, cepat-cepat ia minta bantuan teman akrabnya itu untuk menyamar dan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
berusaha lari dengan kedok penyamaran barunya itu. Siapa tahu betapa tajam dan luas
pengetahuan sipengejar itu ternyata akhirnya ia kecandak dan terbongkar kedoknya,
temannya itu berhasil melarikan diri sedang dia sendiri terpaksa harus angkat senjata melawan
mati-matian. Itu terjadi pada suatu malam terang bulan, dalam pertempuran itu sipemuda mendapati
bahwa pengejarnya itu ternyata adalah seorang pendekar wanita, karena tidak ungkulan
melawan musuhnya saking malu dan gusar segera ia angkat pedang hendak menggorok leher
membunuh diri. Pendekar wanita itu cukup cerdik dan bijaksana, dia tidak tega melihat
kematiannya itu, lalu menolongnya malah, dan untuk selanjutnya mereka tenggelam dalam
buaian asmara, mungkin memang sudah takdir Thian akhirnya mereka menikah.
Pendekar wanita itu keluaran dari aliran lurus yang mempunyai nama harum dan disegani,
kepandaiannya tinggi dan sudah malang melintang di Kangouw sekian lama, sekali ini dengan
merendah diri dan rela hati ia menikah dengan seorang perampok besar, maka dia membujuk
pada sipemuda yaitu suaminya supaya mencuci tangan menghentikan perbuatan kotor yang
terkutuk itu, untuk selanjutnya kembali kejalan lurus dan hidup yang sebenarnya. Saking
mencintai istrinya, bermula memang dia sangat penurut hidup tentram dalam rumah membaca
buku sambil memperdalam ilmu silatnya, untuk sekian lama mereka hidup berdampingan
dengan rukun dan bahagia. Akan tetapi, gunung dapat dirobohkan sungai dapat dibendung,
namun watak orang sudah berdarah daging susah dirobah. Ini terjadi setelah mereka menikah
beberapa bulan kemudian, karena sudah bunting sehingga penjagaan pendekar wanita
terhadap suaminya agak kendor, maka timbullah tangan gatalnya untuk mengulangi
perbuatan jahatnya seperti yang sudah-sudah. Didunia Kangouw dia menimbulkan huru-hara
lebih hebat dan menggemparkan dari yang pernah diperbuatnya dulu.
Setelah melakukan beberapa kali pekerjaan besar tanpa modal, waktu ia kembali membawa
dosa serta hasil kejahatannya itu, istrinya sudah melahirkan seorang putra. Begitu tahu
suaminya masih nyeleweng dan susah diperbaiki lagi tak mungkin dapat ditolong pula saking
pedih dan duka, dia lantas tinggal pergi dan putuskan hubungan suami-istri, bersumpah untuk
tidak akan berjumpa lagi selama-lamanya.
Ternyata sipemuda itu masih belum insaf dan masih terus melakukan dagang tanpa modal itu,
putranya dititipkan pada salah seorang familinya, sedang dia masih beroperasi kemana-mana,
membunuh merampok dan memperkosa. Agaknya hati nuraninya masih belum tersesat terlalu
dalam, disaat-saat ia melakukan kejahatannya, bila teringat akan anak dan istri sungguh ia
sangat menyesal dan berusaha untuk cuci tangan serta berusaha memperbaiki hidupnya yang
sentausa dan sejahtera. Tapi betapa juga perbuatan jahat yang diperbuatnya sudah
bertumpuk-tumpuk, kadung dia insaf akan hasil perbuatan jahatnya yang tak halal itu, untuk
cuci tangan juga sudah terlambat dan tak mungkin lagi.
Akhirnya waktu anaknya berusia sepuluh tahun, terketuklah hatinya, timbullah ikatan batin
dan perasaan sayang yang mendalam terhadap putranya itu. Selanjutnya ia tekun mendidik
dan mengajar putra satu-satunya itu sampai dia meninggal dunia. Hal ini memang harus
dihargai dan dipuji. Tahun itu dia merampok didaerah Liong-he dan mendapat hasil yang besar, sejak itu ia cuci
tangan dan menyembunyikan diri, menikah lagi dan mendirikan perkampungan, dari seorang
perampok besar kini dia berganti rupa menjadi seorang hartawan yang kaya raya. Putranya itu
sudah besar dan dipanggil kembali dari penitipannya untuk mengelabui mata kuping
masyarakat sekelilingnya serta para sahabatnya dia mengakui bahwa putranya itu adalah adik
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kandungnya. Sejak hari itu dia hidup senang dan serba ada dengan harta bendanya yang tidak halal itu.
Usianya masih rada muda baru menanjak pertengahan umur, namun dia tekun dan
menghabiskan keringatnya untuk mendidik dan membimbing anaknya, dipanggilnya beberapa
guru-guru untuk memberi pelajaran silat dan memperdalam ilmu surat. Pada hari-hari biasa
waktu adiknya ini berada didalam rumah, semangatnya lantas timbul dan sikapnya sangat
riang gembira hidupnya teratur, namun bila adiknya kembali ketempat perguruannya, si-
kapnya lantas berubah pendiam dan jarang tersenyum, kalau tidak membaca buku selalu
mengeram diri didalam kamar. Malah terhadap istrinya kedua sendiri juga bersikap acuh tak
acuh seperti orang asing yang tidak kenal ditengah jalan. Keadaan semacam ini berlangsung
tidak terlalu lama, menurut hematnya semula ini hanya sebagai penebus dosanya dulu dan
sebagai ganti saja. Hakikatnya dia masih sangat merindukan istrinya pendekar itu. Maka dia
giat membimbing anaknya kejalan yg benar, mengekang dirinya sedemikian rupa dengan
mendharmabaktikan harta benda kekayaannya kepada mereka yang membutuhkan, karena
kedermawannya itu mulailah namanya disegani dan dihargai sebagai hartawan yang budiman
dan pengasih, maka kelayak ramai memberi julukan Budha hidup kepadanya, tujuan dari pada
sikap baiknya ini adalah untuk menebus kesalahannya terhadap istrinya tercinta supaya
mereka dapat rujuk kembali.
Begitulah dia menunggu dan menunggu, setahun dua tahun, pendekar wanita itu tidak mau
melanggar sumpahnya sendiri, penyesalan dan perbuatan baiknya masih belum dapat
menggugah sanubarinya, harapan akhirnya menjadi putus asa, dari putus asa pikirannya
menjadi lebih menggila, bukan saja dia memeras diri malah dengan kepandaiannya yang tinggi
itu dimana-mana ia menimbulkan gelombang keganasan, mencari bahaya untuk menghibur
diri. Akhirnya dia bergabung dan bekerja sama lagi dengan teman karibnya itu menyamar dengan
satu wajah yang berlainan. Jikalau adiknya itu tak berada dirumah, karena senggang dan
secara iseng-iseng selalu dia keluar rumah membuat perkara, lahirnya saja dia seorang
hartawan yang budiman yang suka bertamasya kemana-mana, tapi hakikatnya dia tengah
memerankan sebagai seorang tokoh begal tunggal yang sangat ditakuti. Kadangkala mereka
bekerja bersama, suatu ketika dia turun tangan seorang diri, sedang temannya itu menyamar
menjadi dirinya tinggal dirumah mengenyam kesenangan yang berlimpah-limpah, rahasia ini
tiada seorangpun yang mengetahui.
Tahun-tahun belakangan ini nyalinya semakin besar, dengan temannya itu secara
sembunyi-sembunyi mereka menyelundup kedalam istana raja, dari gudang harta kekayaan
negara mereka mencuri sejumlah besar benda-benda pusaka yang tak ternilai harganya. Hasil
curian ini mereka sembunyikan disuatu tempat yang sangat tersembunyi. Bersama itu karena
tekanan batin yang sekian lama ini tidak tersalurkan, pikirannya menjadi berubah dan
berkobarlah nafsu birahi yang sekian lama ini tidak tersalurkan, pikirannya menjadi berubah
karena kobaran nafsu birahi itu. Pernah satu kali ia kesasar ke suatu tempat dimana ia telah
kesalahan tangan membunuh seorang perempuan. Diluar tahunya ternyata keluarga perem-
puan itu mempunyai hubungan erat dengan suatu perkumpulan rahasia, segera mereka
mengerahkan kaki tangannya untuk mengepung dan meringkusnya. Tapi karena kepandaian
ilmu rias temannya itu memang lihay, akhirnya ia dapat lolos dan selamat dari pengejaran itu.
Dalam pelariannya itu dia lewat disuatu kota besar, disini ia melihat seorang perempuan yang
cantik luar biasa, timbul minatnya hendak menculiknya, tidak kepalang tanggung dia culik
perempuan itu dari rumah bupati, tujuannya semula hendak memaksanya menjadi gundik
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
saja, tapi ditengah jalan ia teringat akan putra tunggalnya yang sudah menanjak dewasa,
karena rasa cintanya kepada sang putra, lantas dia ingin menjodohkan perempuan cantik yang
diculiknya ini kepada putranya itu. Karena pikiran baiknya ini selamatlah perempuan itu dari
bahaya ternoda kesuciannya.
Dalam perjalanan kembali dengan membawa perempuan culikannya itu, ia lewat
dipegunungan Ci-bong didaerah Shoatang di puncak Gun-u-ling, malam hari itu dia bersua
dengan lawan-lawan berat disana. Ternyata mereka bukan lain adalah musuh-musuh besar
dari perkumpulan rahasia yang telah membuntuti jejaknya. Karena teman baiknya yang pandai
menyamar itu tiada didampingnya, dia menjadi kewalahan, melawan keroyokan para musuh
beratnya itu, akhirnya mati konyol dalam pengeroyokan itu."
Sampai disitu cerita Hun-tai Siancu, Thian-ih sudah dapat memahami sebagian besar makna
cerita itu, maka segera tanyanya: "Siancu, bukankah peranan utama dalam ceritamu ini kau
maksudkan adalah engkohku.........." karena gugup dan menahan emosi suaranya terdengar
berubah sember. Dengan tenang sepasang mata Hun-tai Siancu yang bening dan berwibawa itu menatap
Thian-ih, rasa kasih sayang segera terbayang dimukanya, katanya perlahan-lahan: "Tidak
salah, rahasia ini sudah tersembunyi selama duapuluh tahun. Sampai hari ini sudah
seharusnya kau ketahui. Pemuda dalam ceritaku itu adalah engkohmu Thio Thian-ki dan juga
adalah ayah kandungmu sendiri......"
Thian-ih melonjak kaget bagai mendengar geledek di-pinggir kupingnya, dadanya bergejolak
dan entah bagaimana perasaan hatinya susah diraba, teriaknya dengan suara serak: "Aku
tidak percaya! Tidak percaya......"
"Thian-ih!" kata Hun-tai Siancu lemah lembut. "Lihatlah aku......'' suaranya halus dan
berwibawa. Sekali pandang lantas Thian-ih merasa sikapnya itu angker dan agung, membuat
timbul rasa hormatnya. Kata Hun-tai Siancu lagi: "Apa kau sudah percaya?"
Tak tertahan lagi Thian-ih manggut-manggut, tapi lantas tanyanya lagi dengan suara serak:
"Lalu siapakah ibuku! Siapa pula sibaju perak itu?"
Airmuka Hun-tai Siancu berubah membeku, sahutnya: "Tentang ibumu, dia masih hidup
didunia ini......" Betapa besar rasa kangen dan haus Thian-ih akan kasih sayang seorang ibunda, dengan
gugup ia bertanya: "Dimana dia" Dimana dia sekarang?"
Hun-tai Siancu menyahut tersenggak: "Aku tidak tahu!'' timbul bayangan gelap dan rasa
kehampaan dalam wajahnya, jawaban itu sungguh membuat hancur hati Thian-ih. Tidak
tertahan lagi pecahlah tangisnya tergerung-gerung seperti anak kecil, karena tangis ini maka
dia tidak perhatikan perobahan air muka Hun-tai Siancu tadi.
Selanjutnya Hun-tai Siancu berkata lagi dengan suara lantang: "Si baju perak adalah teman
akrab ayahmu yang pandai rias itu. Dia she To bernama Yong. Namanya tidak tenar dan tanpa
julukan dikalangan Kangouw. Sebabnya karena dia menyamar dengan wajah yang serupa
dengan ayahmu, membekal sebilah pedang emas, mengenakan baju perak lagi. Maka
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
khalayak ramai hanya mengetahui adanya satu begal tunggal besar, ada si maling terbang
yang mencuri digudang harta istana, ilmu silatnya aneh dan tinggi, sepak terjangnya luar biasa
dan jejaknya tidak menentu sehingga mengelabui mata semua orang. Inilah kelihayan dari To
Yong serta ayahmu yang dapat bekerja sama secara rapi sekali!
Betapa besar dan tenar nama si Budha hidup Thio Thian-ki, ketenaran namanya, kekayaannya
serta semua-semua itu, boleh dikata semua karena mengandal bantuan besar teman karibnya
itu, mereka sudah merupakan dwi-tunggal yang sudah tidak mungkin dapat berpisah lagi. Dulu
ibumu pernah mentertawakan To Yong sebagai duplikat ayahmu. Sejak ayahmu menikah dia
hidup tenang dan bahagia, maka To Yong juga lantas mengekang diri hidup menyendiri
dengan aman dan tentram. Waktu ayahmu menceburkan diri lagi kedalam kalangan Kangouw
menimbulkan gelombang keganasan, maka To Yong juga lantas ikut gatal tangan, dia
membantu ayahmu melakukan kejahatan, bertindak secara semena-mena.
Yang mengherankan To Yong ini hanya menyimpan benda-benda berharga saja, sekian tahun
lamanya entah sudah berapa banyak simpanan harta benda dari hasil operasinya itu. Tapi
sedikitpun ia tidak kikir dan ingin mencari hidup mewah apa segala, tanpa menikah pula.
Hanya selalu ia mengikuti jejak ayahmu, sewaktu beroperasi begitu menghadapi bahaya atau
kejaran musuh lantas dia muncul memancing pengejarnya ke tempat lain sehingga ayahmu
dapat lolos dan pulang dengan selamat. Kadangkala dia tinggal di Thio-keh-cheng dengan
wajah ayahmu untuk menutupi mata telinga keluarga dan masyarakat sekitarnya. Berapa
tahun sudah betapa setia kawan dia terhadap ayahmu itu, agaknya takkan luntur
selama-lamanya, hubungan erat lahir batin mereka lebih dalam dan lebih tebal dari hubungan
ayah ibumu serta ibu tirimu yang kau anggap sebagai enso itu."
Tutur Siancu selanjutnya: "Sekarang mulai kututurkan keadaan waktu ayahmu meninggal
dipuncak Gun-u-leng itu. Sejak kematian ayahmu, To Yong berubah menjadi orang lain,
agaknya dia terpukul batinnya, sepak terjangnya mendjadi kalang kabut dan tidak genah lagi.
Hanya satu jelas dapat dinilai, bahwa selama ini dia tetap masih melindungi kau secara
sembunyi-sembunyi. Besar hasratnya mengangkat namamu dikalangan Kangouw, supaya
hidupmu senang dan bahagia. Memangnya pembawaannya dia seorang cerdik cendekia,
seorang tokoh misterius, sejak yang terakhir dia bekerja sama dengan ayahmu, yaitu menculik
nona Li Hong-gi putri Li Tihu di Kilam, karena melihat nona Li sudah remaja cantik lagi, dia
berusaha hendak menjodohkan nona Li itu kepada kau. To Yong dapat memaklumi isi dan
hasrat ayahmu itu, dan dia juga sangat setuju. Siapa tahu setelah meninggalkan Ki-lam,
ditengah jalan dia dicegat musuh-musuhnya, yaitu komplotan enam orang berkedok itu,
karena memanggul Li Hong-gi maka ayahmu tidak leluasa bergerak dan turun tangan, To
Yonglah yang memancing mereka sehingga ayahmu dapat melarikan diri dengan selamat. Tapi
dasar memang sudah nasib dipuncak Gun-u-leng dipegunungan Ci-bong dalam daerah
Shoatang itu, ayahmu disergap dan dibokong oleh para musuhnya. Keenam orang berkedok
itu seorang diantaranya adalah ayah dari kelima orang lainnya. Kelima pemuda itu pernah
bersumpah hendak membunuh ayahmu, karena adik kandung perempuan mereka telah
dinodai dan dibunuh oleh ayahmu.
Waktu To Yong menyusul tiba ayahmu sudah keburu mati, sedang Hong-gi diantar pulang oleh
keenam orang berkedok itu. Murid satu-satunya ayahmu juga jatuh pingsan dipinggir jenazah
ayahmu. Disamping Hi Si-ing tertinggal sehelai surat pernyataan yang mencatat lengkap
kejahatan yang telah diperbuat oleh ayahmu serta nama-nama enam orang berkedok serta
asal-usulnya permusuhan mereka ini.
Melihat kematian ayahmu yang mengenaskan ini To Yong menjadi murka sekali dan tenggelam
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kedalam kedukaan serta putus asa.
Setelah Hi Si-ing siuman baru diketahui bahwa ternyata sipemuda ini juga telah mengetahui
kedok penyamaran suhunya bahwa orang yang telah membimbingnya selama ini kiranya
adalah pencuri terbang dan duplikat seorang bekal tunggal yang disegani itu, secara
diam-diam ia juga tengah menguntit jejak Suhunya itu sampai di pegunungan Ci-bong itu.
Jikalau dia sudah sampai sedemikian jauh mengetahui semua rahasia ini, demi melindungi dan
menjaga nama baik si Budha hidup Thio Thian-ki yang kenamaan sebagai hartawan budiman
terpaksa dia dicekoki dengan racun sehingga kehilangan kesadaran dan pikirannya menjadi
tidak normal seperti orang gila.
Pada saat itulah mendadak didengarnya ada derap langkah orang yang mendatangi dari luar
sana, cepat-cepat To Yong menyembunyikan diri, orang yang datang ini ternyata adalah
Ban-keh-seng-hud Ciu Hou. Melihat kematian Thio Thian ki yang mengenaskan serta Hi Si-ing
menjadi gila, tersipu-sipu ia turun gunung ke markas besar So-keh-pang minta bantuan. Dan
yang paling celaka adalah dia juga telah membaca surat peringatan itu. Maka karena takut dia
menguarkan atau menceritakan rahasia Thio Thian-ki kepada orang lain, secara diam-diam To
Yong mengawasi dan menggertaknya hendak mengambil jiwanya.
Waktu Ciu Hou turun gunung minta bala bantuan, To Yong menggusur Hi Si-ing ke puncak
belakang yang curam itu untuk disembunyikan. Sekembalinya ia melihat Ciu Hou bersama So
Tiong kakak beradik tengah mengemasi jenazah ayahmu, sudah tentu dia tidak leluasa keluar
mengunjukkan diri. Melihat kebaktian serta kesetiaan Ciu Hou tidak menceritakan rahasia yang
telah dibacanya itu, baru To Yong merasa lega.
Secara diam-diam ia menguntit pengiriman jenazah engkohmu sampai di Thio-keh-cheng,
waktu semua tamu yang melawat tengah berkumpul, timbullah pikiran iseng hendak meracun
seluruh hadirin itu. Dibakarnya kamar belakang diatas loteng itu, ketika semua orang berlari
keluar ikut menolong dan memadamkan kebakaran, kesempatan ini digunakannya menyebar
racun kedalam poci-poci arak yang telah disajikan untuk para tamu-tamu itu. Tak lupa dia me-
nyelinap juga masuk kedalam ruang layon mengambil pedang emas milik ayahmu itu, karena
bentuk penyamarannya yang serupa benar dengan ayahmu sehingga kau ketakutan,
disangkanya engkohmu yang telah meninggal itu hidup kembali. Hakikatnya dia tiada niat
hendak mencelakai kau, maka setelah mengambil pedang mas itu secara diam-diam ia lalu
mengundurkan diri. Para tamu yang datang melawat kebanyakan adalah kaum persilatan dari kalangan hitam.
Sejak kematian ayahmu sifat To Yong berubah agak sesat, timbullah perasaan bencinya
terhadap orang-orang jahat yang sudah penuh berlepotan darah ini. Begitu menghilang dari
ruang layon dia menjenguk dulu keruang tamu,dilihatnya tipu daya yang diaturnya dengan
racun berbisanya ternyata terbongkar oleh kecerdikan Ciu Hou, hanya Siu Tat-in dari salah
seorang Hek-san-siang-ing saja yang menemui ajalnya, hatinya semakin geram dan
menyumpah-nyumpah kepada Ciu Hou, diam-diam ia ambil keputusan hendak membuat onar
dan kegaduhan. Tapi waktu kau bersama Siu Kheng-in dan Kiau-si Hengte berangkat ke pegunungan Ci-bong
mendadak ia merobah lagi niatnya. Yg paling dikuatirkan adalah kau mengetahui rahasia
ayahmu sendiri, maka dia tidak ingin melihat kau dapat menemukan jejak keenam orang
berkedok itu. Sengaja ia muncul di hotel itu menemui kau mengatur sebuah cerita pembualan untuk menipu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com


Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau supaya kau menuntut balas kepada So Tiong. Disamping itu dia juga berhasrat hendak
menjodohkan kau dengan So Hoan sebagai istrimu, sebab jejak Li Hong-gi tidak diketahui.
Sedang kau juga sudah menanjak dewasa cukup besar untuk berumah tangga. To Yong sangat
simpatik terhadap So Hoan, maka dengan ceritanya itu dia mengharap perjodohan ini bisa
terangkap. Siapa tahu, akalan yang dia atur itu menjadi suatu pikiran yang kontras dalam
pemikiranmu, sepihak kau harus menuntut balas kepada So Tiong, di lain pihak orang juga
menganjurkan mengambil adik orang sebagai isteri ini benar-benar janggal dan sangat meng-
gelikan. Semua sepak terjang ini adalah karena timbul rasa pertanggungan jawabnya akan
keselamatanmu dan melindungi kau sejak kematian ayahmu itu serta untuk menutupi dosa
serta rahasia ayahmu itu. Demi kebahagiaanmu maka dia telah berbuat sedemikian nyeleweng
dan sesumbar. Karena dia telah tahu kalau kau sudah merasa curiga, maka dia tidak berani
menyinggung-nyinggung lagi soal itu, cepat-cepat ia minta diri untuk mengundurkan diri.
Sepanjang jalan dengan racunnya yang jahat dia meracuni Siu Khing-in, memanah Kiau Keng
sampai menemui ajalnya dan semua kejahatan ini dia timpahkan kepundak So Tiong sehingga
lebih tebal keyakinanmu bahwa So Tiong merupakan biang keladi dari serentetan
pembunuhan yang telah terjadi ini!
Sesampai di markas besar So-keh-pang, untung kau berlaku cermat, sabar dan tidak
sembrono. Secara diam-diam sekali lagi To Yong turun tangan membokong Kiau Sim dengan
senjata rahasia beracunnya sehingga kau tidak lagi mencurigai tapi ini sudah kenyataan bahwa
memang So Tiong-lah yg menjadi gara-gara. Segera kau turun tangan menempur So Tiong.
Untung si kelabang terbang So Tiong selalu mundur dan mengalah, pula berkat kecermatan So
Hoan yang menemukan jejak To Yong lantas dia bersama kau mengejar sampai dipuncak
Gun-u-ieng itu. Melihat bahwa tipu muslihatnya telah gagal, sebetulnya siang-siang To Yong sudah
meninggalkan tempat itu, maka kau berkesempatan mendapat penjelasan dari So Hoan akan
kesalah paham ini. Sampai yang terakhir kalian menemukan tempat persembunyian Hi Si-ing,
semua kejadian ini sebetulnya berada diluar perhitungan To Yong sendiri.
Tatkala itulah dapat diketahui oleh To Yong bahwa Li Hong-gi telah diantar pulang ke Ki-lam
oleh keenam orang berkedok itu. Diam-diam ia mengejar keenam orang berkedok itu lalu
dengan tipu dayanya ia berhasil mengurung mereka disuatu tempat yang sangat terahasia.
Begitu jejaknya muncul di Ki-lam, kuatir akan keselamatan putrinya segera Li-tihu kirim surat
minta bantuan kepada Lim Han, tak terduga kau sendiri juga ikut terpancing dalam kericuhan
yang panjang ini. Malam itu To Yong kembangkan tindak tanduknya yang serba misterius itu, terlebih dulu ia
muncul diatas genteng menemui kau serta bergebrak beberapa jurus, waktu itu dia
mengenakan kedok muka yang seram menakutkan, disaat kau kememek dan kesima dia lantas
menghilang sambil perdengarkan suara panjangnya.
Tapi dilain kejap sebenarnya ia sudah menyamar menjadi Lim Han terus naik keloteng
menghadiahkan secawan arak Pek-jit-kui kepada Li Hong-gi. Untung secepat itu kau dapat
membongkar muslihatnya itu lantas mengerahkan bala bantuan untuk mengepung dan
menangkapnya. Memang saat itu To Yong masih berada diatas loteng belum ada kesempatan
untuk meloloskan diri, terpaksa dia menyamar lagi menjadi wajah ayahmu lalu tiduran diatas
ranjang. Karena ia bergegas bangun sehingga kau kaget sampai jatuh pingsan, maka dia
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
peroleh kesempatan untuk melarikan diri.
Kedua butir mutiara mestika yang dipersembahkan oleh To Yong untuk diikut sertakan dalam
penguburan Li Hong-gi adalah barang curian dari gudang harta istana raja, sekali ini kedua
benda mestika itu menunjukkan kasiatnya yg betul-betul ampuh dan mandraguna. Dia sudah
pasti dan tahu betul bahwa penguburan akan kematian Li Hong-gi ini pasti tiada akan terjadi
apa-apa diluar perhitungannya, tepat pada seratus hari kemudian diusahakan menculiknya
keluar dari kuburan untuk merangkapkan perjodohan kalian.
Dalam waktu senggang sambil menanti datangnya hari keseratus itu, dia mulai lagi membuat
kegemparan mengejar-ngejar jejak Ciu Hou, satu-satunya orang yang mengetahui segala
seluk beluk semua rentetan kejadian ini. Ciu Hou terus melarikan diri menuju barat, sepanjang
jalan To Yong sebarkan lagi obat racunnya menyebar maut. Kematian Thi-tha-thian-ong,
Cin-tiong-sam-hiat adalah buah karyanya, sebaliknya dia tidak membunuh Ciu Hou, keruan Ciu
Hou semakin mencak-mencak serasa seujung duri selalu mengancam dipunggungnya setiap
saat dapat menancap diatas tubuhnya mengambil jiwanya, gugup dan takut selalu
merangsang jiwanya, lebih celaka lagi, dimana ia tiba selalu membawa bencana, dan ini telah
didengar orang dimana-mana, sampai akhirnya tiada seorangpun yang berani menerima
kedatangannya. Terpaksa Ciu Hou harus pontang-panting melarikan diri, hampir saja dia
menjadi gila. Sebaliknya To Yong sendiri merasa senang dan terhibur melihat permainan
sandiwara ini ternyata sangat sukses.
Tidak mengherankan tokoh-tokoh macam Liong-gwa-hou-tiang dan tujuh Tongcu dari
Kam-liang tiada yang mau menerima kedatangannya, maklum siapa yang mau mengantar jiwa
sendiri ke lobang maut dan mati secara konyol. Waktu lewat di Ciu-cwan, sipendeta
pemabukan Kim Khe-sian berusaha mengejar dan melindunginya sebagai pernyataan
kesetiaannya terhadap sesama kawan yang tengah mengalami penderitaan. Tapi karena dia
sendiri juga bukan orang dari kaum lurus, meskipun dia mengandal akan kekebalan badannya
dan tidak takut akan racun, tapi akhirnya toh dia tidak kuasa menangkis jurus mematikan yang
dilancarkan To Yong dengan selentikan kata-katanya sehingga menggugah penyakit bisul
yang selama ini selalu mengeram dalam sanubarinya. Akhirnya dia membunuh diri
menceburkan diri kedalam jurang.
Kematian Kim Khe-sian merupakan babak terakhir dari permainan sandiwara yg menegangkan
itu, untuk selanjutnya Ciu Hou kena teringkus oleh To Yong dan disekap pada suatu tempat
tanpa membunuhnya. Tapi sengaja dia tinggalkan baju luar Ciu Hou serta anak kunci untuk
membuka tutup peti mati Li Hong-gi.
Dipihak lain, beberapa hari kemudian setelah kematian Li Hong-gi, Li-tihu baru mengetahui
bahwa kasiat dari kedua butir mutiara itu ternyata dapat melindungi keutuhan tubuh putrinya,
sering dia masuk kedalam kuburan besar itu untuk menengok wajah putri tunggalnya itu.
Rahasia kasiat kedua butir mutiara yang mandraguna ini segera bocor dan dapat didengar oleh
para gembong-gembong silat dari kalangan hitam. Maka beramai-ramai Liong-gwa-hou-tiang
dan Kam-liang-Tongcu serta Mo-san-sam-kui segera menggrebek tiba berusaha mencuri
kedua benda pusaka itu. To Yong juga tahu bahwa kau sendiri agaknya juga tertarik akan kericuhan yang bakal terjadi
ini, karena kuatir akan keselamatanmu buru-buru dia juga menyusul Ke Ki-lam. Malam itu
terlebih dulu kau bunuh Setan tanpa bayangan Loh Cau salah satu dari Mo-san-sam-kui.
Akhirnya setan hitam putih dari Mo-san-sam-kui juga saling cakar dengan tujuh Tongcu dari
Kam-liang pay, kedua belah pihak sama-sama menjadi korban akan ketamakannya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
masing-masing, tinggal si walet terbang Lo Ci-peng seorang yang masih ketinggalan hidup,
tapi tak urung akhirnya dia juga terpanah dan dipukul mampus oleh Liong-gwa-hou-tiang Li Ti.
Disaat itulah secara kebetulan Nyo Hway-giok kembali datang ketanah pekuburan, kau
lepaskan senjata rahasia untuk memperingati dia serta membantu dia membunuh Li Ti. Semua
kejadian ini disaksikan oleh To Yong secara diam-diam dengan tegas.
Siang-siang To Yong memperhitungkan bahwa saat Hong-gi bakal sadar sudah tiba sengaja ia
menimbulkan kegaduhan diluar kuburan untuk memancing Nyo Hway-giok keluar, lalu
melibatnja sehingga tiada kesempatan untuk kembali kedalam kuburan menolong Li Hong-gi.
Dan saat itulah karena terpaksa kau memberi pertolongan. Sewaktu Nyo Hway-giok kembali
kedalam kuburan, To Yong juga ikut menyelundup masuk. Nyo Hway-giok menyaksikan kau
tengah memeluk Hong-gi serta sedang memberikan pertolongan. Tahu dia bahwa kesalahan
ini telah terjadi dan tak mungkin dapat ditarik kembali, mungkin memang sudah takdir Tuhan
akan perjodohan ini. Tapi sewaktu pikiranmu tenggelam dalam buaian cinta dan hampir
tersesat hendak melakukan sesuatu yang hampir melanggar kesusilaan, tak tertahan lagi ia
menghela napas. Untung benar karena helaan napas inilah telah menggugah kesadaranmu.
Melihat kelurusan jiwamu yang suci murni itu diam-diam Nyo Hway-giok memuji dan kagum
terhadap kau, diam-diam ia juga merasa senang dan bahagia bahwa sandaran hidup Li
Hong-gi dikelak kemudian hari ternyata telah ada orang yang dapat memikulnya, maka secara
diam-diam ia mengundurkan diri dari kuburan itu.
Setelah mengatur segala rencana yg berhasil lancar itu, To Yong masih terus menguntit kalian
menuju keutara bahwa kau masih menjaga kesopanan adat istiadat kuno tidak mau menerima
uluran cinta Li Hong-gi benar-benar membuatnya kuatir sekali, tapi ia sendiri tidak tahu
dengan cara bagaimana dapat membujuk dan merangkap perjodohan ini, maka ia terus
menguntit sampai dikota raja.
Kedua butir mutiara itu memang sudah kau kembalikan kepada Lim Han, namun karena To
Yong melihat kau ongkang-ongkang saja berdiam dirumah menikmati hidup enak dan tak mau
berkelana lagi di Kangouw, sengaja dia hendak mencari perkara, maka ia curi lagi kedua
mutiara itu terus diporotkan dikedua anting-anting Hong-gi. Sudah tentu mutiara yang
dipersembahkan kepada atasan Lim Han itu adalah palsu, setelah diperiksa kenyataan bahwa
kedua butir mutiara itu memang palsu kontan dia dijebloskan kedalam penjara.
Sebagai kerabat dan bawahannya segera sipena berapi Siu Hoa pimpin anak buahnya
menggrebek kerumahmu, waktu dia lancarkan tiga jurus berantai dari ilmu goloknya,
semestinya kau ingin menyudahi saja pertempuran itu dengan caramu sendiri. Tapi pada saat
itulah To Yong sambitkan senjata rahasianya, begitu pergelangan Siu Hoa tersambit jarum
berbisa itu kontan tangannya menjadi linu dan kaku tak dapat bergerak, tak mungkin lagi dia
dapat merobah permainan goloknya, tubuhnya kontan menubruk maju memapak ke ujung
jarimu malah. Seketika ia roboh tertutuk dadanya pada jalan darah yang mematikan.
Karena kematian Siu Hoa ini maka kau dituduh membunuh petugas dan berani membangkang
dari penangkapan. Terpaksa kau harus lari, dan berkelana lagi di Kangouw. Ini juga
merupakan maksud dari pada To Yong. Didaerah sekitar Hong-kiam-san-cheng kalian bentrok
lagi dengan golok tujuh bintang Kiu San yang telah mengejar tiba, waktu kau terdesak dan
hampir kalah, sekali lagi To Yong membantu dengan sambitan senjata rahasianya membunuh
Kiu San, tapi sekali ini dia sengaja mengunjuk jejaknya, sedang kau sendiri memang sudah
siang-siang waspada begitu melihat bayangannya segera kau mengudak mati-matian hendak
menangkapnya. To Yong tahu bahwa kau tidak membekal sepeser uangpun jua, maka
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
sepanjang jalan dia mengatur segala keperluanmu dan memancingmu sampai disini! Dan
kelanjutan dari semua peristiwa itu kau sendiri sekarang sudah jelas. Tapi pengalamanmu
yang terakhir disini ini To Yong tidak tahu, sebab setelah memancingmu naik keatas gunung
lantas dia tinggal pergi lagi entah kemana."
Dengan panjang lebar Hun-tai Siancu menutur riwayat dan sepak terjang sibaju perak alias To
Yong. Thian-ih mendengarkan sampai terlongong-longong, terasa olehnya sahabat karib
ayahnya ini, segala sesuatu yang dilakukan rada simpang siur dan serba kontras. Secara
diam-diam ia mempermainkan dirinya, sehingga dirinya harus luntang-lantung dikejar petugas
hukum dengan perasaan was-was dan ketakutan. Kalau dikata tujuannya ini hanyalah untuk
menutupi dosa-dosa perbuatan jahat ayahnya ini masih dapat dimaklumi dan dimaafkan. Tapi
kalau mau dikatakan demi melanjutkan cita-cita ayahnya yang belum terkabul, secara
sembunyi melindungi keselamatannya, dengan cara perlindungan yang demikian, benar-benar
membuat orang tidak berani menerima kebaikan semacam itu.
Apalagi sejak kedatangannya ke Hun-tai-san, dia harus mengalami siksaan dan penderitaan
oleh siksaan Pak-ko-seng dan Ban Ai-ling, sampai akhirnya dirinya dibuang kepulau elang
betapa bahaya jiwanya waktu itu. Jikalau To Yong benar-benar menguatirkan dan menjaga
keselamatannya, mengapa terus tinggal pergi begitu saja. Pikir punya pikir ia tenggelam dalam
kenangannya. Agaknya Hun-tai Siancu juga sudah menebak akan isi hatinya ini, segera ia memberikan
penjelasan: "Tadi sudah kukatakan, To Yung ini seorang cerdik dan pandai, Gin-kang, senjata
rahasia merupakan kepandaian yang paling dia banggakan, terutama dalam cara
menggunakan rayu dan ilmu riasnya boleh dikata dia raja diatas raja, seorang ahli diantara
ahli. Hanya sejak kematian ayahmu mungkin karena terpukul batinnya, lantas sepak
terjangnya sedikit tidak genah dan serba berlawanan dengan segi-segi kehidupan umumnya."
Thian-ih harus memeras keringat memikirkan yang sudah lalu dan menerawangi yang akan
datang, teringat olehnya sibaju perak disepanjang perjalanan menuju kepegunungan Ci-bong
tempo hari, dengan arak beracun berusaha meracun mereka beramai, dengan panah beracun
membunuh Siu Kheng-In salah satu dari Hek-san-siang-in. Waktu itu mereka berempat tapi
mengapa dalam gardu itu hanya disediakan tiga cawan. Jelas sekali memang inilah cara
pengaturan dari sibaju perak yang tepat dan lihay sekali. Diketahui sebagai tuan rumah,
meskipun dahaga juga harus menyilahkan dulu para kawannya minum lebih dulu.
Dengan perhitungan yang tepat ini pasti selamatlah jiwa Thian-ih. Sampai Thian-ih sendiri
menduga pasti tatkala itu To Yong tengah sembunyi ditempat sekitar gardu itu, untuk menjaga
segala kemungkinan jikalau Thian-ih salah bertindak ingin minum arak beracun itu, sudah
tentu dia akan segera turun tangan mencegah dari tempat sembunyinya.
Umpamanya dalam pembokongan terhadap Kiau Keng yang mati konyol itu. Mengapa bukan
Thian-ih sendiri yang diarah, setelah peristiwa itu ia sendiri pernah bergebrak langsung dengan
To Yong, jelas sekali kalau kepandaian sendiri bukan tandingan orang, tapi mengapa dia tidak
turunkan tangan jahatnya. Semua kejadian ini kalau dianggap urusan sepele, tapi semua ini
dapat membuktikan kata-kata Hun-tai Siancu itu memang betul. To Yong alias sibaju perak
memang benar-benar tengah melindungi dirinya secara diam-diam. Thian-ih berpikir dan
semakin tenggelam dalam menerawangi semua pengalaman yang telah dialaminya.
Sekonyong-konyong dia teringat lagi, asal mula To Yong memancing dirinya kemari, serta
menceritakan semua peristiwa itu kepada Hun-tai Siancu secara jelas sekali. Dari sini dapatlah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
diperkirakan bahwa Hun-tai Siancu dihadapannya ini pasti salah seorang sahabat ayahnya
serta To Yong itu, paling tidak hubungan mereka sangat erat satu sama lain. Bukan mustahil
dia adalah seorang angkatan tua yang berhubungan erat pula dengan dirinya sendiri, apakah
mungkin dia adalah..................
Berpikir sampai disini dia sudah tak kuat lagi menahan sabar, bergegas ia bangkit berdiri serta
tanyanya: "Siancu! Harap kau suka memberi tahu, apakah hubunganmu dengan ayah serta To
Yong itu?" Hun-tai Siancu agak terperanjat, tapi sekilas itu dia dapat menenangkan perasaannya,
sahutnya tawar: "Tidak lebih aku hanya seorang sahabat biasa saja dan mereka......"
Terunjuk rasa kecewa diwajah Than-ih, tanyanya lagi mendesak: "Siancu, dimanakah ibu
sekarang berada" Mohon diberitahu alamatnya !"
Terlintas rasa sedih dan hampa di airmuka Hun-tai Siancu, sahutnya pelan-pelan: "Tentang
ibumu, aku hanya tahu bahwa dia masih hidup didunia fana ini, tapi dimana dia sekarang ber-
tempat tinggal itulah aku tidak tahu!"
Hati Thian-ih semakin sedih dan masgul, menunduk kepala ia bungkam seribu basa, sungguh
hatinya merasa sesal dan berduka bahwa selama dua puluhan tahun ini ayah kandung sendiri
dianggapnya sebagai kakak kandung, sekarang dia telah meninggal, sudah jelas kalau ibu
kandungnya masih hidup didunia fana ini namun kemana pula dirinya harus mencarinya. Rasa
sayang dan cinta ibunda adalah sedemikian besar melekat dalam sanubarinya, betapa takkan
membuat hatinya duka karena sejak kecil dia belum pernah meresapi cinta ibunda yang agung.
Kedua mata Hun-tai Siancu berkedip-kedip menahan airmata. Diam-diam ia sudah dapat
menyilami perasaan Thian-ih, maka sambil tersenyum manis segera ia membujuk: "Thian-ih,
aku mengenal ibumu, dia adalah seorang pendekar perempuan. Usianya masih belum
menanjak pertengahan. Meskipun saatnya belum tiba kau dapat menemui beliau, tapi bolehlah
kau melegakan hati, pasti dia masih sehat walafiat tanpa kurang suatu apa!"
Kata Thian-ih: "Kalau dia orang tua masih sehat dan segar, mengapa setelah ayah meninggal
sedemikian tega dia membiarkan aku keluntang keluntung kemana-mana menderita dalam
rantau, sedikitpun dia tidak hiraukan keselamatanku serta sayang padaku" Apakah dia
memang tidak mengakui bahwa aku adalah keturunannya ?"
Nada ucapannya Thian-ih mengandung kedongkolan, segera Hun-tai Siancu membujuk:
"Thian-ih, jangan kau salah paham terhadap ibumu. Ibumu adalah sahabat karibku berkumpul
selama beberapa tahun, sifat dan perasaannya sedikit banyak aku dapat menyilaminya. Pasti
ada sesuatu hal yg menyebabkan dia untuk sementara waktu ini tidak dapat berkumpul
dengan kau. Tapi dapat kupastikan bahwa dia tentu juga sangat terkenang akan kau. Menurut
dugaanku pasti kelak dia akan datang mencari kau dan kau tidak perlu kuatir atau timbul
perasaan tidak puas dan jengkel terhadap ibumu."
Thian-ih bungkam. Berhenti sebentar Hun-tai Siancu lantas melanjutkan: "Sekarang jejak To Yong sudah
terbongkar, dia dikejar dan dikepung untuk ditangkap, dan karena tempat pendaman harta
benda hasil rampokannya hanya dia seorang yang tahu, tidaklah heran para gembong-gembong silat dari aliran hitam banyak pula yang ingin meringkusnya untuk
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
mengangkangi harta benda itu. Dibawah gencetan dan kejaran dari berbagai musuh-musuhnya, sekarang dia terkurung dipuncak Gun-u-leng di-pegunungan Ci-bong-san,
terutama yang harus kita perhatikan adalah dia sekarang sedang terserang penyakit demam,
tenaganya lemah dan........"
Thian-ih tetap membisu, tahu dia bahwa kelanjutan dan perkataan Hun-tai Siancu yg tidak
terucapkan itu maksudnya adalah ingin menyuruh dirinya pergi kesana menolong To Yong.
Terhadap sibaju perak yg selama ini mempermainkan dirinya itu, Thian-ih benar-benar


Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membencinya sampai ketulang sungsumnya, bersumpah hendak meringkusnya. Siapa duga
sekarang dirinya menerima tugas harus menolongnya dari mara bahaya malah, ini
benar-benar susah diduga sebelumnya. Hatinya menjadi bimbang dan gundah, untuk sesaat
mulutnya tersumbat tak tahu apa yang harus dikatakan"
Pelan-pelan Hun-tai Siancu menjelaskan dengan sabar: "Thian-ih, To Yong adalah sahabat
karib ayahmu, sejak kematian ayahmu meskipun sepak terjangnya agak brandalan, tapi kalau
Anak Pendekar 8 Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Hati Budha Tangan Berbisa 5
^