Rahasia Si Badju Perak 5
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H Bagian 5
perintah hukum !" "Wut", tanpa banyak cakap lagi segera ujung tombaknya menusuk tiba terus berputar
berpetakan kembang perak, betapa hebat permainan tombaknya ini serasi benar dengan
nama julukannya, terpaksa Thian-ih harus melompat menyingkir.
Terdengar golok tujuh bintang Kiu San berteriak: "Saudara Yu dan kau Lu Cau kalian cegat
perempuan itu, biar aku bantu membereskan yang ini."
Thian-ih menjadi gugup, teriaknya pada Hong-gi: "Dik, lekas kembali ke rumah Kwi-locianpwe,
jangan hiraukan aku lagi."
Tanpa diminta kedua kalinya segera Hong-gi mengayun pecut terus memacu kudanya kembali.
Saat itu Yu Liat-bong dan Lu Cau sudah turun dari tunggangannya, tersipu-sipu mereka lompat
lagi keatas kuda terus mengudak dengan kencang. Tapi sedikit waktu ketinggalan ini, kuda
tunggangan Hong-gi itu sudah berlari sedemikian jauhnya!
Dengan tangan kosong Thian-ih layani permainan tombak sakti Khu Gi-liong yang menyerang
dengan sengitnya. Saat mana sigolok tujuh bintang juga sudah menerjang tiba! Bentaknya:
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Gi-liong, kau minggir, biar aku yang meringkusnya !"
Gi-Liong melompat mundur dari kalangan pertempuran. Sebab kedudukan golok sakti tujuh
bintang dalam kesatuan Bhayangkari lebih tinggi, dan lazimnya bagi seorang tokoh yang sudah
terkenal paling menjunjung tinggi pamor dan gengsi, yang diutamakan adalah berkelahi satu
lawan satu secara sportif, takkan sudi dibantu orang lain. Begitu golok tujuh bintang Kiu San
berputar, tujuh gelang tembaga yang berbentuk seperti bintang diatas goloknya itu berbunyi
gemerantang. Memang inilah pertanda khas dari ilmu goloknya itu, dengan gelang diatas
goloknya itu bunyi yang ribut dan memekakkan telinga dapat mengaburkan pemusatan
semangat serta merisaukan hati musuhnya. Sekian tahun lamanya nama Kiu San semakin
disegani tak lain karena mengandal keampuhan senjatanya ini, maka orang-orang Kangouw
memberi julukan golok tujuh bintang kepadanya.
Melihat Hong-gi sudah lari jauh, Thian-ih merasa lega, permainannya juga lebih mantep.
Kontan ia mendahului kirim sebuah jotosan. Terpaksa Kiu San mundur menghindari sambil
melempangkan golok tujuh bintangnya ke depan dengan jurus Peng-sa-bu-hin (tiada bekas
diatas pasir datar). Thian-ih tahu golok musuh adalah senjata pusaka, tak berani menangkis
maka secepat kilat tubuhnya berkelebat ke samping sambil ulurkan kedua jarinya menutuk
Kian-kin-hiat di pundak musuh, gerak cepat serangannya ini benar-benar sangat hebat
menakjupkan. Terdengar Kiu San berseru heran sinar goloknya serong membabat ke bawah,
dengan mudah sekali ia punahkan serangan Thian-ih ini.
Agaknya Lwekang dan kepandaian kedua lawan ini seimbang alias sama kuat, maka
pertempuran ini berjalan semakin sengit dan seru, dalam sekejap saja tujuh delapan jurus
telah berlalu, diam-diam Thian-ih jadi berpikir; pihak lawan masih ada bala bantuan, sedang
aku seorang diri, semakin lama semakin tidak menguntungkan bagiku. Satu-satunya jalan aku
harus cepat bertindak atau melarikan diri. Tapi hatinya kuatir akan keselamatan Hong-gi,
entah dia sudah dapat lolos sampai ke rumah Kwi Chun tidak"
Pantangan terbesar bagi tokoh silat yang sedang bertempur adalah tidak terpusatnya
perhatian, sedikit meleng saja sudah cukup memberi kesempatan pada musuh untuk
merangsak lebih hebat. Demikian juga bagi golok tujuh bintang yang sudah berpengalaman,
melihat kedua mata Thian-ih pelirak-pelirik tahu dia bahwa orang tengah memikirkan atau
menguatirkan sesuatu. Maka permainan golok tujuh bintangnya dipergencar sehingga bunyi
gelang tembaganya juga gemerantang semakin ribut memekakkan telinga. Ternyata tindakan
ini memang berhasil, satu pihak memang Thian-ih berusaha hendak melarikan diri, mendengar
suara yang merincuhkan hati lagi semakin kacau balaulah pertahanannya.
Sebaliknya Kiu San bertempur semakin gagah dan mantep, berapa gebrak kemudian dia sudah
berada di atas angin, begitu ilmu golok tujuh bintang dikembangkan perbawanya semakin
nyata bukan olah-olah, angin menderu-deru diselingi suara yang kacau balau, semakin besar
daya tekannya sehingga pendengarnya merasa pusing tujuh keliling.
Dasar Thian-ih tengah menguatirkan keselamatan Hong-gi, perhatiannya menjadi terpencar,
hampir saja pundaknya kena terpapas oleh golok musuh, tapi tak urung begitu golok sedikit
disengkelit, "Bret" bajunya kena tergantol sobek oleh gelang tembaga.
Jurus ini benar-benar sangat berbahaya, tapi malah menolong Thian-ih karena dia kaget dan
mengucurkan keringat dingin, untuk selanjutnya dia tidak berani gegabah. Bahwasanya orang
yang menghadapi bahaya serta merta akan segera memperlihatkan kepandaian
aslinya dengan jurus-jurus yang paling lihay dan ampuh. Demikian juga keadaan Thian-ih, sekaligus
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
pukulan tangan dan Ginkang perguruannya dilancarkan, secara berantai dia balas menyerang,
sedang kakinya bergerak sedemikian lincahnya berganti-ganti tempat kedudukan, angin
pukulannya juga mengandung kekuatan tenaga dalam yang tersembunyi. Berkali-kali sudah
golok tujuh bintang musuh kena terpental atau serong ke samping kesamber angin
pukulannya. Kini dari terdesak keadaannya menjadi berada diatas angin.
Karena perhatian terpusat cara bertempur Thian-ih juga semakin bersemangat, dengan
mudah saja ia punahkan permainan tujuh golok bintang malah balas mendesaknya. Setindak
demi setindak Kiu San mundur teratur, mengambil kesempatan ini mendadak Thian-ih kirim
sebuah pukulan sedang kakinya menggeser kesamping terus memutar ke belakang menutup
jalan mundur lawan, kedua jari tangan kanan dirangkapkan terus menutuk ke depan dada Kiu
San tepat di jalan darah Te-ting-hiat.
Tapi sebelum tutukannya mengenai sasarannya, Thian-ih tersentak kaget sendiri, bukankah
kematian Siu Hoa tempo hari juga dibawah tutukan jari yang hebat ini, sekali salah jangan
terulang kembali, jikalau Kiu San sampai tertutuk mati lagi bukankah berabe. Bukan mustahil
tujuh tokoh Bhayangkari lainnya akan meluruk dan mengadu jiwa dengan dirinya. Karena
lintas pikiran ini secepat itu pula ia robah serangannya dari tutukan menjadi tamparan, telapak
tangannya hanya sedikit menyentuh dan mengusap di depan dadanya. Siapa duga golok tujuh
bintang Kiu San seorang tokoh silat yang sudah luas pengalaman bertempur, sedikit
perobahan serangan Thian-ih ini lantas memperlihatkan lobang kelemahannya. Gesit sekali
goloknya bergerak dengan jurus Bu-hun-kay-hiat (mega mendung menutupi salju) membacok
ke pundak Thian-ih. Sekonyong-konyong terdengar suara "trang" terlihat golok Kiu San itu jatuh di atas tanah,
tampak pula Kiu San roboh, perlahan-lahan sambil memegangi pergelangan tangan kanannya.
Baru saja langkah Thian-ih hendak diajukan, melihat keadaan ini segera ia siaga dan gesit
sekali ia berpaling ke belakang.
Di belakangnya adalah barisan pohon-pohon hutan yang agak lebat, samar-samar masih
terlihat olehnya sebuah bayangan putih perak yang melambung tinggi membawa sinar
keemasan terus terbang menghilang. Thian-ih jadi dongkol dan gusar tanpa mempedulikan
akibatnya dengan kencang segera ia mengudak.
Dilain pihak Khu Gi-liong sendiri tidak melihat siapakah yang dikejar Thian-ih itu cepat-cepat ia
berjongkok memeriksa keadaan golok tujuh bintang Kiu San, matanya terpejamkan, denyut
nadinya juga sudah berhenti, tampak sebuah benda kecil berkilau menancap di pergelangan
tangannya, keadaan ini mirip benar dengan kematian Siu Hoa yang terkena senjata rahasia
berbisa, sekali kena racun yang mengalir ke dalam darah tiada obat dapat menolong jiwanya.
Mendelu dan pedih perasaan Khu Gi-liong, bergegas ia bangkit sambil menjinjing tombaknya
terus cemplak kudanya mengejar kearah lari Thian-ih.
Dalam pada itu Li Hong-gi yang dikejar kencang oleh Yu Liat bong dan Lu Cau melarikan
kudanya secepat terbang seperti kesetanan. Betapapun pandai cara menunggang kudanya
kalau dibanding dengan para pengejarnya ini masih terpaut sangat jauh. Dalam sekejap mata
saja derap kaki kuda di belakangnya semakin mendekat, saking kejut dan ketakutan serasa
arwah sudah terbang ke awang-awang.
Terdengar Yu Liat-bong berteriak di belakangnya: "Nona Li, tak usah lari lagi ! Kami tidak akan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
membikin susah padamu, kami hanya mengharap kau suka ikut ke kota raja!"
Ke kota raja ! Mana boleh jadi ! Besar tekad Hong-gi untuk ikut Thian-ih pergi ke Ho-bwe-pang.
Apalagi di kota raja ada Nyo Hway-giok, bukan mustahil disana bakal terjadi sesuatu diluar
dugaan, maka tanpa hiraukan seruan orang ia terus memacu kudanya.
Tiba-tiba terdengar kelintingan kuda yang tengah berlari cepat dari arah depan sana sedang
mendatangi, segera terlihat dua orang penunggang kuda yang satu tua dan yang lain muda.
Mereka bukan lain adalah Thi-pi-kim-liong Kwi Chun dan anak gadisnya siwalet putih Kwi
Tong-ing. Jauh-jauh segera Hong-gi berteriak: "Kwi-lopek, Kwi-cici, lekas tolong aku !"
Namun Yu Liat-bong dan Lu Cau sudah mengejar tiba di belakangnya, segera Lu Cau mengulur
tangan mencengkram kuduknya, sekuat tenaga Hong-gi meronta mati-matian sampai kuda
dan penunggangnya terjungkal roboh.
Baru saja Yu Liat-bong hentikan kudanya, mendadak seekor kuda telah membedal tiba serta
terdengarlah hardikan yang keras dan serak: "Anak Ing, kau bantulah Cu-kongcu, biar aku
yang melayani bangsat kurcaci ini."
Terdengar Kwi Tong-ing mengiakan di belakangnya. Kuatir bakal menantunya terluka parah
dengan gusar segera Naga mas berpunggung besi menerjang maju sambil mengayun
tangannya, karena tidak siaga Yu Liat-bong tak sempat berkelit dengan telak tubuhnya
tersampok jatuh dari atas tunggangannya.
Tujuan kedua dari pukulan Thi-pi-kim-liong adalah Lu Cau, dilihatnya Lu Cau tengah memburu
ke arah Hong-gi, karena tidak membekal senjata terpaksa ia ayun pecutnya terus menyabet,
"Tar" untung Lu Cau masih sempat mengelak, namun demikian kudanya yang menjadi
sasaran, karena kesakitan kuda itu sampai berdiri dan berjingkrak-jingkrak. Saking gusar
segera Lu Cau melompat turun.
Sementara itu sudah terdengar bentakan Yu Liat-bong yang bengis: "Siapa kau, berani kau
melindungi pelarian !"
Sekarang baru Kwi Chun tahu duduknya perkara. Ternyata Cu Bing telah melanggar hukum,
tidak heran ia tidak berani tinggal terlalu lama di rumahnya, meninggalkan gelang batu giok
dan menolak perjodohan dengan putrinya, ini tidak lain supaya urusan hukum negara tidak
merembet kepada perkampungannya. Haha, biar sekali ini dia tahu diri bahwa bapak
mertuanya ini karena urusan bakal mantunya juga berani menghadapi setiap rintangan dan
tantangan, seumpama langit bakal ambruk juga tidak peduli lagi.
Maka segera bentaknya: "Bedebah, mantuku ini melanggar hukum apa " Berani kau
menuduhnya sebagai pelarian. Kau sangka setelah aku menutup pedang lantas tidak berani
turun tangan " Haha ! Mari maju bersama biar kalian kenal kepandaian asliku meskipun tidak
menggunakan sepasang pedangku, mengandal sebatang pecut kecil ini rasanya cukup
berlebihan menghadapi kalian bangsa kurcaci !"
"Serr !" tanpa menanti reaksi orang segera pecutnya diayun menyerang ke arah Yu Liat-bong.
Belum sempat mendengar jelas perkataan orang tahu-tahu dirinya diserang, keruan Yu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Liat-bong dan Lu Cau berjingkrak gusar. Tanpa sungkan-sungkan lagi Yu Liat-bong menangkis
dan balas menyerang dengan sepasang kepalannya. Sementara Lu Cau melolos senjatanya
yang berupa sepasang tombak pendek bergigi, berbareng mereka maju merangsak dan
menyerang. Kwi Chun juga melompat turun dari atas kudanya, lama sudah tidak pernah berkelahi maka
terbangkitlah semangat dan darah mudanya. Bagai seekor harimau galak dengan garang ia
gerakkan pecutnya terus menerjang menghadapi rangsakan Yu dan Lu berdua.
Melihat usia musuhnya ini sudah agak lanjut Yu Liat-bong agak memandang enteng lawan
sedikit mengerut alis segera ia berkata pada Lu Cau: "Saudara Lu ! Kau seret saja perempuan
itu ! Segera aku menyusul !"
Sambil menjinjing tombak pendeknya Lu Cau menghampiri kearah Hong-gi yang sedang
menggelendot di haribaan Kwi Tong-ing. Mereka tengah berunding cara bagaimana harus
meloloskan diri. Mendengar orang berteriak hendak menyeret perempuannya saja, bukankah
yang dimaksud ini adalah dirinya, demikian pikir Tong-ing, sudah tentu hatinya menjadi
dongkol katanya tersenyum kepada Hong-gi: "Kongcu, kau rebah saja istirahat, biar aku beri
pelajaran pada orang kurangajar ini !"
Hong-gi manggut-manggut, tapi kuatir melukai orang dan urusan bakal berlarut tiada habisnya
segera ia berpesan: "Cici, jangan melukai mereka, diusir saja sudah cukup !"
Mendengar suara kekasihnya sedemikian nyaring lantang agak serak-serak basah, girang hati
Kwi Tong-ing, sahutnya tertawa: "Baiklah kuturuti permintaanmu."
Melompat bangun terus memapak maju menghadapi Lu Cau. Mendadak Lu Cau merasa
pandangannya agak kabur sebuah bayangan putih berkelebat di depan matanya sebelum ia
melihat tegas tiba-tiba "Plak" pipi kirinya tahu-tahu kena digampar dengan kerasnya. Lantas
terdengar makian Tong-ing: "Kunyuk, kalau kau tahu diri lekas menggelinding pergi, jangan
kau tunggu nonamu ini benar-benar turun tangan."
Lu Cau menjadi murka, kedua senjatanya bergerak sambil membentak: "Kau cari mati !" dari
atas dan bawah tombaknya itu masing-masing mengarah pundak dan lambung lawan.
Seperti ayahnya Tong-ing sendiri juga tidak membekal senjata, cepat-cepat ia melompat
mundur meluputkan diri, sesuai dengan nama julukannya siwalet putih memang Gin-kangnya
luar biasa, sekali loncat dua tombak tingginya, begitu meraba badannya untung juga dia
membekal beberapa batang senjata rahasia mata uang emas, maka dirogohnya sebatang
dipersiapkan ditangannya. Waktu Lu Cau menyerang lagi dengan senjatanya, sekali berkelebat
Tong-ing menggeser kedudukan ke samping kanan sambil membentak: "Lihat senjata rahasia
!" Dimana sinar emas berkelebat maka terdengarlah Lu Cau berteriak kesakitan. Sitangan
penembus awan Yu Liat-bong lantas sadar siapakah orang yg tengah dihadapinya ini, maka
cepat-cepat ia mundur dan menghentikan pertempuran serta serunya: "Bukankah tuan adalah
Thi-pi-kim-liong Locianpwe?"
Semangat tempur Kwi Chun sedang mencapai puncaknya melihat orang mundur dan
menghentikan perkelahian ini hatinya menjadi dongkol, jengeknya dingin: "Bagaimana!
Sangkamu setelah aku menutup pedang lantas tidak berani berkelahi" Hehe! Kalian berani
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
menyakiti menantuku. Kalau tidak kugebah kalian ini siapa lagi yang harus kupukul?"
Kali ini Yu Liat-bong sudah mendengar jelas, tanyanya terheran: "Menantumu" Siapakah
menantumu"'' Takut orang membongkar kedok penyamarannya segera Hong-gi menimbrung: "Lopek,
kawan-kawannya masih mengepung Thio-toako disebelah belakang sana, mereka bukan
orang baik-baik, jangan kau dengar obrolan mereka!"
Melihat menantunya tidak kurang suatu apa, girang hati Kwi Chun, serta mendengar Thian-ih
tengah terkepung hatinya menjadi gusar lagi, bentaknya : "Masih pura-pura pelo" Tidak lekas
pergi, apa masih mau merasakan pecutanku ini !" sambil mengancam ia mengayun tangan
"tar" pecutnya berbunyi nyaring ditengah udara.
Yu Liat-bong ialah paham bahwa yang dimaksud menantunya itu adalah Thian-ih adanya.
Sungguh sebal dan runyam demikian pikirnya. Ternyata Thio Thian-ih adalah bakal menantu
dari keluarga Kwi ini, naga-naganya urusan ini bakal susah diselesaikan. Tengah ia merenung
dan hendak memberi penjelasan sekadarnya, Kwi Chun sudah mengayun pecutnya sambil
menerjang maju lagi, terpaksa ia gerakkan kedua tangannya untuk melawan.
Dilain pihak Lu Cau sudah terluka parah, untung Tong-ing tidak mendesaknya lagi hanya
menjaga keselamatan Hong-gi. Sebaliknya Hong-gi menguatirkan keselamatan Thian-ih: "Cici,
lekaslah kau pergi menolong Thio-toako. Dia sedang dikeroyok dua orang disebelah depan
sana....... lekas..........lekaslah pergi!"
Kwi Tong-ing menjadi heran dan membatin. Sedemikian baik hubungannya dengan orang she
Thio ini sampai keselamatan sendiri juga tidak dihiraukan lagi, malah mendesak aku pergi
menolong sahabatnya itu. Tengah ia hendak berangkat terasa keadaan disini tidak
mengijinkan. Betapapun parah luka dipundak Lu Cau itu masih dapat membuatnya bergerak,
sedang ayahnya juga sedang asyik bertempur, kalau dirinya tinggal pergi lalu bagaimana
dengan bakal suaminya yang lemah, keselamatannya tiada orang yang menjamin.
Tengah hatinya bimbang dan ragu-ragu, mendadak terdengar derap langkah kuda mendatangi
dengan cepat, orang diatas kuda lantas berteriak: "Yu-toako, Kiu San sudah terbokong dan
mati dibunuh oleh bocah keparat itu dengan senjata rahasia berbisanya lagi !"
Bercekat hati Yu Liat-bong, cepat tanyanya: "Mana Thian-ih?"
Pendatang ini adalah sitombak sakti Khu Gi-liong, sahutnya: "Dia sudah lari, sudah kukejar
tidak kecandak, cepat juga lari bocah keparat itu."
Mendengar percakapan itu Hong-gi yang rebah diatas tanah menjadi girang dan kuatir,
girangnya bahwa Thian-ih ternyata tidak kurang suatu apa, kuatirnya bahwa dia telah
membunuh lagi salah seorang anggota kesatuan Bhayangkari, urusan ini selanjutnya semakin
runyam dan susah dibereskan. Dan yang terpenting sejak saat ini dia harus berpisah dengan
dirinya, mungkin dia terus melanjutkan perjalanan menuju Ho-bwe-pang, betapapun aku
harus mengejarnya kesana.
Sebaliknya Kwi Tong-ing berjingkrak girang, batinnya; sahabatmu itu telah lari setelah
membunuh orang, hendak kulihat kemana pula kau hendak mencarinya, seorang pelajar
lemah seperti kau ini bagaimana mungkin melakukan perjalanan sedemikian jauh seorang diri,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
jalan yang tepat tinggal dirumah menjadi menantu bapakku. Karena pikirannya ini wajahnya
lantas berseri-seri. Tapi melihat pihak lawan kini tambah seorang lagi cepat-cepat ia
melindungi didepan Hong-gi.
Berkatalah Yu Liat-bong: "Kwi-loyacu adalah seorang gagah yang kenamaan, kami sekalian
adalah kesatuan Bhayangkari dari istana raja. Hari ini kita terjungkal dibawah tangan
Kwi-lo-enghiong tidak perlu dibuat malu. Tapi entah mengapa Lo-enghiong malah melindungi
pelarian yang harus kita bekuk?"
Naga emas berpunggung besi juga bukan orang goblok, dari menghadapi para Bhayangkari ini
lantas dia teringat akan mutiara mestika yang menyembuhkan putrinya itu. Bukan mustahil
bakal mantunya ini dan Thio Thian-ih yang telah mencuri barang-barang mustika milik raja.
Tapi jelas kalau Cu Bing ini seorang pelajar yang lemah tak pandai silat, betapapun susah
dipercaya dia berani menjadi pencuri. Pasti Thio Thian-ih itulah yang berbuat. Maka segera ia
membuka kata: "Kalian sudah salah mencari orang. Hakikatnya dia tidak pandai main silat,
bagaimana mungkin melanggar hukum apa segala. Apa lagi mencuri" Bukankah obrolan yang
menggelikan saja " Sudah tidak perlu banyak bacot lagi, lekas kalian pergi, sejak saat ini
jangan kalian kemari mencari perkara!"
Kata Yu Liat-bong penuh kebencian: "Thio Thian-ih itu kita akan kirim orang untuk mengejar
dan mencari jejaknya, tentang Li......" dia menunjuk kearah Hong-gi.
Hong-gi menjadi kuatir, segera dampratnya: "Bedebah untuk apa kau main tuding dan tunjuk
aku?" Kata Yu Liat-bong: "Cepat atau lambat kita juga harus menyeretmu pergi kekota raja untuk
menjadi saksi, tentang mutiara itu....."
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siwalet putih Kwi Tong-ing juga tahu yang diminta mereka itu adalah mutiara mestika yang
telah menolong jiwanya itu, bagaimana juga mestika itu tidak bisa diserahkan, karena merasa
sayang; kuatir ayahnya menyanggupi untuk dikembalikan cepat-cepat ia membentak: "Lekas
pergi, jangan sesalkan nanti nonamu tidak memberi ampun pada kalian!" sambil mengancam
dirogohnya senjata rahasia, mata uang yang berkilauan ditimpali sinar surya.
Yu Liat-bong dan Khu Gi-long bergegas mengangkat Lu Cau keatas kuda terus dibawa pergi.
Hong-gi masih belum lega, beramai-ramai mereka juga naik kuda membuntuti dibelakangnya
setelah melihat mereka benar-benar mengangkut jenazah Kiu San baru mereka menghela
napas panjang. Disebelah sana terlihat kuda tunggangan Thian-ih tengah makan rumput,
perbekalannya masih utuh. Sekian lama Hong-gi berdiri termangu, besar harapannya dia akan
kembali lagi, tapi nanti punya nanti setengah harian sudah lewat tanpa terlihat bayangannya.
Terdengar Naga mas berpunggung besi membujuk: "Jikalau Ji-chengcu tidak sampai
meninggal atau terluka, pasti kepergiannya ini ada urusan penting yang perlu diselesaikan,
marilah kita kembali dulu kerumah!"
Namun Hong-gi agaknya sudah bertekad bulat, segera barang perbekalan Thian-ih dipindah
keatas punggung kudanya, lalu katanya kepada Kwi Chun ayah beranak: "Aku sudah berjanji
dengannya melakukan perjalanan menuju ke Ho-bwe-pang, mungkin dia sudah mendahului
aku, betapa juga aku harus mengejarnya."
Kecut dan mendelu perasaan Tong-ing dilihatnya orang sedikitpun tiada perhatian terhadap
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
dirinya. Sampai pada detik dan keadaan demikian bagaimana juga sikap seorang perempuan
yang mudah tersinggung lantas terunjuk dalam lahirnya, karena malu untuk bicara langsung
terpaksa ia merengek kepada ayahnya.
Sudah tentu sang ayah juga memaklumi perasaan anaknya, maka segera katanya:
"Menantuku yang baik, kalau sedemikian besar tekadmu hendak pergi, biarlah Tong-ing ikut
serta sebagai kawan dalam perjalanan. Memang kau sudah tidak mungkin tinggal terlalu lama
disini supaya mereka tidak mencari onar lagi kepadamu, lebih baik kalau kau langsung menuju
ke Ho-bwe-pang. Tong-ing banyak kenal dengan para sahabat dari Ho-bwe-pang. Usia
Tong-ing juga cukup dewasa dan sudah saatnya untuk keluar pintu mencari pengalaman. Tapi
kita harus pulang dulu supaya Tong-ing mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan
diperjalanan!" Sebetulnya Hong-gi ingin menolak, tapi kalau secara langsung dikatakan mungkin akan
menyinggung perasaan mereka ayah dan anak. Apalagi seorang diri dalam perjalanan sejauh
ini juga cukup sunyi dan menakutkan, kalau ada seorang teman rasanya lebih
menggembirakan juga. Sepanjang perjalanan ini perlahan-lahan mencari kesempatan untuk
menjelaskan tentang kedoknya dalam penyamaran ini. Karena pemikiran ini segera ia
manggut-manggut menyetujui. Sudah tentu Tong-ing kegirangan.
Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Thian-ih yang tengah mengejar bayangan putih perak
itu. Jelas sekali dirinya dijadikan kambing hitam sebagai pembunuh jahat, darah bergolak dan
hawa amarah berkobar dalam benaknya, bentuk bayangan yang sudah sangat dikenal dan
Ginkang yang luar biasa itu dulu sudah pernah dilihatnya, kalau dulu dirinya kewalahan terang
kali ini pengejarannya juga pasti akan sia-sia belaka.
Kejar punya kejar tahu-tahu dari kejauhan didepan sana terlihat bangunan sebuah kota.
Sampai sedemikian jauh Thian-ih juga merasa dahaga dan lelah, perlahan-lahan ia kendorkan
larinya, dalam sekejap itu bayangan putih perak didepan sana lantas berkelebat menghilang
entah kemana. Tanpa merasa timbul perasaan giris dan dingin dalam sanubari Thian-ih, bukan
saja ilmu kepandaian orang itu bukan menjadi tandingannya, sepak terjang orang yang serba
misterius serta ilmu Ginkangnya yang hebat itu betapapun dirinya takkan mungkin dapat
mengungkuli. Alhasil dendam kematian engkohnya serta para sahabatnya yang ikut mati
konyol itu bagaimana juga susah dapat terbalas lagi. Malah sekarang dirinya dicap sebagai
pelarian yang mencuri benda-benda pusaka digedung istana raja itu, dalam waktu yang
singkat saja pasti berita ini akan tersebar luas di kalangan Kangouw, sampai air laut kering juga
takkan dapat mencuci bersih nama baiknya yang sudah ternoda itu.
Thian-ih menjadi putus asa, sebagai murid Kiam-bun It-ho yang sangat kenamaan ilmu
kepandaiannya,tapi mengapa setiap kali bergebrak dengan lawan selalu terasa kepandaian
sendiri masih terpaut jauh dibanding lawan, apa mungkin gurunya tidak memberi pelajaran
sepenuh hati sampai kepandaiannya begitu cetek dan jelek tidak ungkulan dari orang lain,
demikianlah hati kecil Thian-ih timbul pertanyaan yang susah terjawab sendiri olehnya.
Sebelum masuk kota Thian-ih istirahat dulu dipinggir hutan, setelah merasa lapar terus masuk
kota dan mencari sebuah rumah makan yang paling dekat. Juragan rumah makan itu seakan
sudah kenal Thian-ih saja, dengan hormat dan sopan sekali ia persilahkan Thian-ih duduk,
malah tanpa dipesan lagi segera beberapa rupa makanan yang lezat dan enak-enak sudah
membanjir keluar diatas meja. Thian-ih sendiri juga segan membuka mulut, dengan lahap ia
sapu habis semua hidangan yang disajikan kini. Setelah perut terasa kenyang baru dia
menerawang tindakan selanjutnya yang harus dilakukan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Perjalanan ke markas besar Ho-bwe-pang yang terletak di Tam-yang-ouw masih sangat jauh,
kalau tidak jadi kesana, sedang sibaju perak sudah menghilang jejaknya, lalu bagaimana
dirinya harus mengambil kepastian.
Dalam melayangkan pikirannya itu lantas teringatlah Hong-gi, apakah kekasihnya itu dapat
meloloskan diri dari kejaran Yu Liat-bong dan mendapat pertolongan dari Kwi Chun ayah
beranak" Bagaimana juga aku harus balik melihatnya, tidak tega rasanya membiarkan dia
seorang diri disana, seumpama Kwi Chun dan keluarganya tahu penyamarannya itu dan
menjadi gusar bukankah berabe sekali. Apalagi kuda dan perbekalannya masih berada
disana...... teringat akan perbekalan dia lantas tersentak kaget, bukankah perak dan uangnya
juga tersimpan dalam buntalannya itu, sekarang dirinya tidak membekal sepeser uangpun jua,
waktu merogoh kantong benar juga kosong melompong, apapun tidak dibekalnya.
Kota ini kira-kira tigapuluhan li jauhnya dari tempat pertempurannya itu, tangan Thian-ih yang
terulur masuk kantong jadi susah dikeluarkan, sekian lama dia duduk melongo entah
bagaimana cara penyelesaiannya ini.
Juragan rumah makan itu dipanggilnya, sambil berseri tawa bertanya si juragan rumah makan
itu: "Tuan, sudah selesai makan" Perlu tambah apa lagi ?"
Thian-ih merasa tidak enak hati, sekian lama dia susah membuka mulut: "Kau sebagai juragan
rumah makan ini aku ada sedikit urusan hendak bicara dengan kau tentang uang makan..."
Tak duga sebelum selesai perkataannya, si juragan rumah makan sudah menukasnya:
"Maksud tuan tentang ongkos makan ini bukan" Siang-siang sudah dipesan dan dibayar
lunas!" Thian-ih terperanjat, cepat ia bertanya siapakah yang telah bayar. Sahut juragan rumah
makan; "Seorang tuan yang mengenakan pakaian baju perak, dialah yang pesan dan minta
disediakan makanan untuk tuan. Malah dia juga suruh kami menyampaikan pesannya bahwa
dia melanjutkan perjalanan menuju ke timur suruh tuan segera mengejarnya, juga sudah
disediakan seekor kuda untuk tuan!"
Thian-ih bungkam seribu basa. Sementara itu pelayan rumah makan telah menuntun keluar
seekor kuda yang serba lengkap, pelana dan pedalnya masih baru gres. Sepak terjang baju
perak ini betul-betul sangat misterius, belum jauh dia meninggalkan Thian-ih, tapi dalam
waktu sedemikian singkat sudah dapat menyelesaikan urusan sedemikian banyak.
Thian-ih berpikir, tindakannya yang demikian cekatan dan rapi, tapi dia lupa satu hal. Mana dia
dapat menyelami isi hatiku yang tengah merindukan Hong-gi disebelah belakang setelah
kenyang gegares hidangannya, dengan menunggang kuda yang baru dibelikan ini terus bukan
menuju ke timur, tapi malah putar balik biar dia kecele. Setelah berada diatas kuda baru saja
hendak dilarikan ke arah barat, tiba-tiba dilihatnya secarik kertas terselip dibawah pelana,
kertas itu penuh tulisan yang berbunyi: "Tak usah terkenang akan Hong-gi, adikmu itu selamat
tak kurang suatu apa. Cepat-cepatlah menuju ke laut timur, disana kau akan menemukan yang
menguntungkan." tulisannya indah dan kuat berlekak-lekuk sangat jelas, inilah tulisan Si baju
perak berpedang emas itu.
Sungguh Thian-ih tidak habis paham apa gerangan yang tengah diaturnya ini" Sudah terang
kalau dirinya dipihak yang bermusuhan, sekali angkat tangan atau tendang saja cukup untuk
membuat dirinya mampus. Tapi selama ini dia tidak pernah turun tangan terhadap Thian-ih,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
hanya para sahabatnya saja yang konyol menjadi korban, tinggal dia seorang diri. Perjalanan
yang jauh dan melelahkan, rasa dongkol dan keki berkecamuk dalam benaknya. Semua ini
bukan saja tidak dihiraukan oleh lawan malah memberi petunjuk untuk menuju ke timur
dengan pengalaman aneh yang menguntungkan apa segala. Setelah sekian lama direnungkan
akhirnya dia ambil kepastian untuk melanjutkan ke timur seperti petunjuk dalam carik kertas
itu. Meskipun kuda dan pelananya serba baru, namun selama perjalanan ini sepeserpun Thian-ih
tidak membekal uang. Akan tetapi lawannya sibaju perak itu sepanjang jalan telah mengatur
segala keperluannya dengan rapi dan beres. Setiap tiba disebuah kota tentu menginap
disebuah hotel terbesar dan mewah, hidangan paling lezat dan enak adalah makanannya, tidur
dihotel serba mewah dengan gratis. Sampai pakaian luar dalam yang diperlukan juga sudah
disediakan dalam hotel-hotel yang dikunjunginya. Sepanjang jalan ini meskipun sibaju perak
meninggalkan segala keperluan ini itu, tapi selama ini tak pernah meninggalkan uang. Thian-ih
tahu pasti dia kuatir begitu dirinya mengantongi uang segera memutar balik lagi. Entah apa
maksud tujuannya memancing dirinya menuju ke laut timur"
Hari itu tiba juga disebuah kota besar dipinggiran lautan timur, disini sibaju perak
meninggalkan sepucuk surat yang berbunyi : "Besok tengah hari pergilah panjat Hun-tai diatas
puncak akan ada orang menyambut kau!" Ternyata ia menjanjikan Thian-ih bertemu di
Hun-tai-san, tapi entahlah apakah dia sendiri yang menantikan disana.
Hun-tai-san terletak sebelah timur keresidenan Tang-hay, gunung ini terbagi depan dan
belakang Hun-tai-san. Thian-ih tidak tahu entah gunung yang mana yang ditunjuk dan
dimaksud oleh sibaju perak. Menurut pelayan hotel bahwa Hun-tai-san depan lebih ramai dari
yang dibelakang. Lantas terpikir deh Thian-ih pastilah Hun-tai-san belakang yang
dimaksudkan, setelah menanyakan cara perjalanan ini dengan kudanya ia menuju ke
Hun-tai-san. Puncak dari Hun-tai-san belakang ini ada dua terletak disebelah kanan kiri, dilihat dari
kejauhan tingginya hampir sama, Thian-ih sendiri tidak tahu puncak yang mana yang
dimaksud oleh sibaju perak. Apa boleh buat akhirnya dipilihnya puncak disebelah kiri itu. Jalan
pegunungan agak sempit dan tidak rata kuda sukar dapat manjat keatas, terpaksa Thian-ih
turun dan berjalan kaki, sampai beberapa li kemudian baru jalanan menjadi datar dan rata,
sepanjang jalan ini panorama sangat mempersonakan, Thian-ih naik keatas kudanya.
Tatkala itu sudah menjelang tengah hari, matahari sudah mulai doyong ke arah barat, hawa
diatas pegunungan ini sangat sejuk, dilihatnya awan mengembang di lereng gunung,
pemandangan ini sungguh melegakan hati, Thian-ih merasa lapang dada, mendadak ia bersuit
panjang. Sekonyong-konyong terasa diatas kepalanya ada gerakan suara yang mencurigakan, begitu ia
mendongak kagetnya luar biasa hampir saja jantungnya melompat keluar dari rongga
dadanya, ternyata sebuah batu sebesar kuda tunggangannya tengah melayang turun dengan
cepatnya tepat diatas kepalanya, jaraknya terpaut sangat dekat, kalau tidak sempat
menyingkir.................. Thian-ih berteriak kejut, bahwasanya orang dalam bahaya pasti
keluarkan kecerdikannya untuk mencari jalan hidup, tangkas sekali ia menggelinding ke
samping, terpaut sedetik saja lantas terdengar suara gemuruh yang menggetarkan bumi,
dimana batu besar itu jatuh, sungguh kasihan kuda tungangannya itu hancur lebur seperti
bergedel, darah dan daging berceceran kemana-mana.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Thian-ih mengelus dada, saking kejutnya badan sampai gemetar, untung benar bahwa dirinya
masih selamat, baru saja ia hendak bangkit berdiri, mendadak kakinya menginjak tempat
kosong, ternyata di pinggir jalan kecil itu adalah rumpun pohon kecil, tak tahunya belakang
rumpun pohon kecil ini adalah jurang yang sangat dalam, Thian-ih tidak memperhatikan hal
ini, kontan tubuhnya terjerumus melayang ke dalam jurang.
Tiba-tiba terdengar olehnya suara gelak tawa orang dari atas. Kiranya memang ada orang
yang tengah menjebak dirinya, Thian-ih memandang ke bawah, lamping jurang ini sedemikian
curam entah berapa dalamnya sampai tidak kelihatan dasarnya, sekali jatuh kesana pasti
tubuhnya hancur lebur, karena merasa tiada harapan lagi, segera ia pejamkan mata pasrah
nasib. Mendadak terasa tubuhnya menyerempet entah benda-benda apa, timbul lagi harapan
hidupnya, secara gerak reflek tangannya menggapai dan mencengkram dengan kencang,
kiranya yang dicekal adalah akar pohon-pohon penjalin yang menjalar diatas tebing itu,
untung tubuhnya melayang dekat dinding gunung sehingga dia selamat bergelantungan
memegangi akar pohon itu.
Orang diatas itu masih perdengarkan gelak tawanya yang menggila, agaknya sangat puas dan
kegirangan, dari bawah Thian-ih masih dapat melihat bayangannya, orang itu mengenakan
pakaian serba hitam, ternyata bukan sibaju perak yang disangkanya, tapi entah apakah
tujuannya hendak membunuh dirinya dengan jebakan yang keji ini" Hatinya geram sekali,
segera kaki tangannya mulai bergerak merambat naik ke atas, untuk membuat perhitungan
dengan si baju hitam ini.
Karena dinding gunung sangat licin susah untuk dipanjat, namun Thian-ih tak putus asa
dengan susah payah ia harus merambat ke atas sambil mengeluarkan ilmu cecak merambat
dinding, diam-diam hatinya berdoa supaya usahanya ini tidak sampai konangan oleh si baju
hitam. Kalau tidak dia tengah berdiri di pinggir jalan, sekali ulurkan tangan saja pasti tamatlah
jiwanya. Tak kira si baju hitam itu kiranya juga cukup cerdik, dengan cermat ia longak-longok,
Thian-ih yang sudah sembunyi dan mepet dinding masih terlihat juga olehnya. Terdengar ia
bergelak panjang, Thian-ih tahu bahaya tengah mengancam lagi, lekas-lekas ia kerahkan
tenaga untuk berjaga-jaga, sedapat mungkin tubuhnya dipepetkan ke dinding gunung.
Mendadak orang di atas itu melancarkan pukulan-pukulan dahsyat sampai debu dan
dahan-dahan pohon beterbangan, tapi karena Thian-ih sembunyi mepet dinding, maka
samberan angin pukulannya itu tidak sampai mengenai dirinya, sementara waktu agaknya dia
masih kuat bertahan. Melihat usahanya ini tidak membawa hasil, cepat-cepat ia mengusungi beberapa buah
batu-batu terus digelundungkan ke bawah, begitu melayang jatuh batu itu menggelundung ke
depan, meskipun suaranya bergemuruh tapi sedikitpun tidak mengenai Thian-ih. Kesempatan
ini digunakan Thian-ih untuk terus merambat ke atas, akhirnya sampai juga di pinggir jurang,
kebetulan si baju hitam tengah mengusung lagi beberapa buah batu. Sekali loncat ringan
sekali Thian-ih menginjakkan kaki di atas tanah, tanpa hiraukan napasnya yang masih
ngos-ngosan, cepat-cepat ia bersiap hendak menghadapi lawan.
Si baju hitam tengah memanggul sebuah batu besar, begitu memutar tubuh, tahu-tahu
Thian-ih sudah berdiri di hadapannya, tampak bajunya sudah koyak-koyak, mukanya terbaret
banyak luka-luka kecil, darah masih mengalir keluar, sepasang matanya mendelik dengan
garangnya, sikapnya ini sangat menakutkan, tanpa merasa si baju hitam sampai mendelong
dan kesima sekian saat. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Dilihatnya oleh Thian-ih si baju hitam ini masih sangat muda, kulitnya putih berwajah cakap,
namun sepasang matanya memancarkan sifat-sifat sombong dan culas serta keji. Thian-ih
berpikir, aku belum pernah kenal orang ini mengapa ia menjebak hendak membunuh aku.
Maka segera bentaknya: "Siapa kau" Mengapa kau jebak aku ke dalam jurang?"
Si baju hitam menyeringai iblis, jengeknya: "Kau ini yang bernama Thio Thian-ih ?"
Thian-ih mengangguk. Mendadak dia angkat batu besar itu sambil berteriak: "Kalau kau Thio
Thian-ih maka kau harus mampus!" mendadak ia lemparkan batu besar itu.
Thian-ih melejit setinggi tiga tombak. "Blang", tempat dimana ia tadi berdiri sampai melesak
dalam ketindih batu sedemikian besar, waktu Thian-ih melayang jatuh lagi tepat ia menginjak
diatas batu yang baru jatuh ini.
Tanpa banyak kata lagi sambil menggerung gusar si baju hitam segera menubruk maju sambil
menyerang dengan pukulannya, tenaga pukulannya sangat kuat dan deras, hampir saja
Thian-ih keterjang jatuh lagi ke dalam jurang.
Mendadak timbul kecerdikan Thian-ih lagi, tangkas sekali tiba-tiba ia mendakan tubuh, terus
menyeruduk kedepan, gesit sekali sibaju hitam mengelak. Kini kedudukan mereka terbalik,
Thian-ih mepet dinding sedang sibaju hitam membelakangi jurang. Sekonyong-konyong sibaju
hitam menjotos lagi dengan kekuatan penuh. Kalau tadi Thian-ih beruntung tidak sampai
terjungkal lagi kedalam jurang, namun kini mepet dinding tiada tempat untuk mundur lagi
terpaksa ia angkat tangan untuk menangkis. "Blang", kedua tangan tergetar sampai linu,
dinding batu dibelakangnya sampai tergetar berhamburan sehingga kepala dan mukanya kotor
kena debu. Agaknya sibaju hitam sudah menjajal bahwa tenaga dalam Thian-ih ternyata tidak dibawah
dirinya, sambil tertawa dingin kakinya bergerak pindah kedudukan terus merangsak maju lagi,
dimana kedua jarinya dirangkapkan terus menutuk ke tenggorokan Thian-ih. Thian-ih
kerahkan tenaga sekuatnya ia menangkis dengan sebuah pukulan. Tapi mendadak sibaju
hitam merobah serangan tutukan menjadi tamparan, telapak tangannya menyerempet lewat
diatas pundaknya, terasa sakit seperti dipapas pisau.
Thian-ih insaf kepandaian sendiri masih bukan tandingan lawan. Siapa duga yang dimaksud
oleh sibaju perak tentang pengalaman aneh yang membawa keberuntungan ternyata adalah
menyuruh dirinya ke Hun-tai-san ini untuk mengantar kematian. Apalagi sibaju hitam ini sudah
mengetahui namaku sebelumnya, ini menambah tebal dugaannya ini.
Terpaksa Thian-ih kuras kepandaian yang dipelajarinya dari gurunya, sedapat mungkin dia
membela diri. Tapi sepasang lengan baju sibaju hitam menari-nari sangat cepat, tenaganya
besar pula, sehingga Thian-ih mati kutu dan terkepung dalam kekangan tenaga pukulannya
itu, seumpama kucing mempermainkan tikus saja, demikianlah keadaan Thian-ih sekarang.
Tahu kalau dirinya tidak bakal ungkulan, dengan rapat ia menjaga diri jangan sampai terlihat
lobang kelemahannya. Tapi bertempur cara begini apa pula gunanya bagi dirinya " Diatas
pegunungan yang sepi ini, siapa pula yang bakal menolongnya. Agaknya sibaju hitam juga
tidak sabaran lagi, jurus-jurus dan tipu-tipu ganas segera dilancarkan, menghadapi yang ini tak
tahu sudah terancam dengan serangan yang lain lama kelamaan Thian-ih merasa sekelilingnya
terkepung oleh bayangan sibaju hitam, tahu dia bahwa pertahanan cara demikian pasti tidak
akan berlangsung lama, hatinya mulai berpikir cara untuk melarikan diri atau bila terpaksa
biarlah membunuh diri saja daripada terhina.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Mendapat hati sibaju hitam merogoh rempelo, dimana angin pukulannya menyambar lewat
segera Thian-ih menubruk maju menempuh bahaya, tapi tubuhnya terpental balik lagi oleh
sebuah pukulan musuh terus terpantek di dinding gunung, begitu tangan kanan diulurkan dua
jarinya menutuk kearah mukanya. Thian-ih kenal jurus tutukan yang dinamakan
Liong-hi-siang-cu (naga mengambil sepasang mutiara), yang diarah adalah kedua biji
matanya, tangan dan kaki Thian-ih sudah terkekang oleh musuh, tubuhnya susah bergerak
lagi, agaknya kedua matanya ini susah diselamatkan lagi.
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terlihat olehnya jari tak bernama dari tangan kanan sibaju hitam mengenakan sebuah cincin
yg berbentuk aneh, bersinar kemilau ditimpa sinar matahari, semakin dekat dan dekat.......
"Creng'' mendadak sebuah kilatan menyambar cincin diatas jari sibaju hitam, maka jari yang
diulurkan dan sudah mengenai kulit mata Thian-ih itu mendadak ditarik kembali secepat kilat,
lantas terdengarlah sebuah suitan nyaring panjang dari kejauhan. Thian-ih membuka mata
seperti baru sadar dari impiannya. Mendadak sibaju hitam berobah sikap, wajahnya
mengunjuk tawa berseri terus menarik lengannya dan berkata: "Saudara Thio, membuat kau
kaget saja. Siaute hanya bermain-main saja dengan kau!''
Tiba-tiba terasa angin berkesiur sebuah bayangan orang melayang turun dengan ringannya.
Thian-ih merasa pandangannya menjadi terang serta hidungnya mengendus bau harum. Tam-
pak seorang gadis yang mengenakan serba putih tengah berdiri tegak dihadapan mereka,
wajahnya yang jelita itu mengunjuk rasa gusar, sepasang matanya yang bening bak bintang
kejora itu tengah menatap tajam memancarkan sinar gusar. Justru sorot gusar ini ditujukan
kearah sibaju hitam. Bagai tikus ketemukan kucing, sibaju hitam menundukkan kepala tak berani beradu pandang
dengan gadis serba putih ini. Terdengar gadis itu menyemprot: "Ban Ai-ling, apa yang kau
lakukan" Berani kau hendak membunuh dia?"
Ternyata sibaju hitam bernama Ban Ai-ling, terdengar ia menyahut gagap: "Adik Hun, kau
salah paham lagi, aku hanya bermain-main saja dengan saudara Thio ini !" sorot mata yang
minta dikasihani memandang kearah Thian-ih, agaknya minta belas kasihannya. Katanya lagi:
"Saudara Thio, coba katakan bukankah kita hanya main saja" Bukankah kita tadi datang
bergandengan tangan!"
Thio Thian-ih mendenguskan hidungnya keras-keras, hatinya merasa muak dan dongkol
melihat sikap licik dan menjilat sibaju hitam yang bernama Ban Ai-ling ini.
Tapi sigadis baju putih juga tidak gampang ditipu, jengeknya dingin: "Bagus sekali Ban Ai-ling,
kau menipu aku mengatakan hendak membantu aku menyambut tamu dan menghadang
dipuncak sebelah kiri ini. Tidak kira kau mengandung maksud jahat, untung aku sudah curiga
akan sikapmu tadi dan lekas-lekas memburu tiba, kalau tidak bukankah Ji-chengcu ini sudah
terjebak dalam tipu muslihatmu." sekilas ia melirik kearah Thian-ih, dimana tangan merogoh
pinggang "sreng" sebilah pedang pusaka lantas dihunus ditangannya, dibawah sinar matahari,
pedang itu memancarkan sinar kebiru-biruan.
Agaknya Ban Ai-ling ini sangat takut menghadapi gadis baju putih, cepat ia membela diri:
"Betul-betul aku hanya main-main saja, aku hanya ingin menjajal kepandaian ajaran dari
Kiam-bun-It-ho tulen yang disohorkan itu, akibatnya...."
Gadis baju putih ini agaknya cukup cerdik, kalau dibiarkan saja mengudal mulut pasti dia akan
mengisahkan keadaan Thian-ih yang tidak becus melawan kepandaiannya, hal ini kiranya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
cukup memalukan bagi Thian-ih yang masih berdiri melongo ditempatnya. Maka cepat-cepat ia
menukas: "Tak usah banyak mulut lagi, lekas kau pergi, aku tidak memerlukan tenagamu lagi
!" Kata Ban Ai-ling: "Adik Hun, biarlah aku menemani kalian menuju ke Hun-tiong-khek."
Gadis baju putih malah membanting kaki berulang-ulang, semprotnya: "Tidak usah dan tidak
perlu, kita bisa jalan sendiri, masa aku tidak kenal jalanan?"
Melihat orang tetap menolak, apa boleh buat akhirnya Ban Ai-ling berkata dengan wajah
mengunjuk sikap mesra: "Kalau begitu baiklah adik Hun, besok kita bertemu ditempat lama."
Thian-ih jadi berpikir; dilihat keadaan ini agaknya Ban Ai-ling dan gadis baju putih ini adalah
sepasang kekasih. Diam-diam ia merasa gegetun dan sayang bagi gadis nan ayu jelita ini.
Tak kira mendadak si gadis baju putih menegakkan alis serta hardiknya: "Ban Ai-ling, apa
maksudmu dengan tempat lama apa segala. Kita dari Hun-tiong-khek selamanya tidak
berhubungan dengan kalian guru dan murid, kuharap jangan kau sembarang mengoceh."
habis berkata ia memutar tubuh menghadap Thian-ih terus sapanya: "Ji-chengcu, mari kita
berangkat !" tanpa hiraukan orang lagi mereka terus manjat keatas gunung.
Terdengar Ban Ai-ling tertawa dingin, entah apa yang digrundelkan, dengan mendelong ia
awasi kedua orang muda mudi ini menghilang dari pandangannya.
Dalam perjalanan ini tanpa Thian-ih keburu membuka mulut, sigadis baju putih sudah
mendahului menerangkan: "Aku bernama Cia In-hun, guruku adalah Hun-tai Siancu (dewi
gunung Hun-tai), kita tinggal di Hun-tiong-khek yang terletak dibelakang puncak sebelah kiri
sana. Kemaren guruku mendapat kabar bahwa Ji-chengcu akan berkunjung kemari, maka
pagi-pagi benar dia menyuruh aku menunggu di-puncak depan ini."
Segera Thian-ih bertanya: "Nona Cia, orang yang memberi kabar itu apakah seorang yang
mengenakan baju perak" Dimana dia sekarang?"
Melihat sikap orang yang gugup, Cia In-hun unjuk senyum geli, sahutnya: "Tentang ini, maaf
aku tidak bisa memberi jawaban. Aku sendiri tidak melihat orang baju perak itu dan tidak tahu
dimana dia sekarang. Harap Ji-chengcu langsung tanyakan saja kepada Suhu nanti!''
Setelah mengucapkan perkataannya tadi, sibaju putih terus bungkam membisu, wajahnya
masih mengunjuk senyuman manis, tapi rada bersikap malu-malu seperti gadis umumnya
kalau berhadapan dengan pemuda. Begitulah sekian lama ia berjalan didepan menunjuk jalan,
sesekali ia menoleh ke belakang, dilihatnya Thian-ih tengah memandangi dirinya, disangkanya
orang lelah dan ingin istirahat, maka segera katanya tertawa: "Sudah hampir sampai, itu diatas
sana!" Thian-ih memandang keatas tempat yang ditunjuk itu adalah sebuah puncak kehijauan yang
diselubungi kabut putih, samar-samar terlihat atap genteng yang bewarna merah. Diam-diam
ia bertanya dalam hati; siapa dan tokoh macam apakah Hun-tai Siancu ini"
Bangunan rumah dipuncak ini ternyata berbentuk lain dari pada yang lain. Setelah beberapa
langkah lagi jalan pegunungan sudah habis dilalui, kini mereka harus menerobos semak-semak
pohon yang berduri tajam. Cia In-hun membuka jubahnya terus loncat berlarian diatas rumpun
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
bunga dan pohon-pohon liar. Waktu ia berpaling dilihatnya Thian-ih juga tengah menelat
perbuatannya, dilihatnya ilmu ringan tubuh orang ternyata tidak dibawahnya terus
membuntuti dibelakangnya. Agaknya Cia In-hun berlega hati, mulutnya berkecek memuji
diam-diam ia merasa kagum.
Thian-ih melihat gerak kaki orang sedemikian lincah dan seenteng burung walet terbang pesat
diatas pepohonan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun juga, sebaliknya setiap kaki sendiri
bergerak pasti terdengar suara keresekan dari sentuhan dahan-dahan pohon itu, diam-diam ia
merasa malu sendiri. Teringat olehnya akan pertolongannya tadi, dari kejauhan melepas
senjata rahasia yang tepat mengenai cincin yang dikenakan di jari Ban Ai-ling sehingga
pemuda jahat itu tahu diri dan mundur teratur. Kepandaian semacam ini benar-benar jarang
terlihat di dunia persilatan. Entah bagaimana kepandaian gurunya Hun-tai Siancu itu " Kalau
muridnya saja sudah sedemikian lihay, pasti kepandaian gurunya itu lebih mengejutkan lagi.
Baru sekarang Thian-ih insaf akan setinggi-tinggi gunung masih ada yang lebih tinggi, semakin
terasa pula olehnya betapa kerdil kepandaian sendiri ini.
Setelah melewati semak belukar yang berumpun duri ini, bangunan genteng merah itu sudah
terlihat semakin jelas. Tengah mereka berlari dengan pesat, mendadak Cia In-hun berhenti
dan melintangkan tangan, katanya tertawa: "Tuan tamu yang mulia hati-hatilah!"
Begitu Thian-ih memandang kebawah kakinya kejutnya bukan kepalang, tepat dibawah
kakinya kiranya adalah sebuah jurang yang dalam dan pekat diselubungi kabut entah berapa
dalamnya. Ternyata meskipun bangunan rumah bergenteng merah itu sudah tidak jauh
jaraknya, tapi untuk mencapai tempat itu mereka masih harus melewati sebuah jurang
didepannya ini. Didapatinya diatas jurang terbentang seutas tali sebesar jempol kaki, tali ini
bergoyang gontai dihembus angin.
Thian-ih berpikir, apakah harus melewati tambang ini kalau mau menyebrang kesana, dilihat
dari besarnya tali itu diam-diam ia menimang dan tiada pegangan dapat lewat dengan selamat
ke sebrang sana. "Ji-chengcu," terdengar Cia In-hun berkata: "Kita harus kesana lewat tali ini, meskipun jurang
ini tidak begitu lebar, tapi selain guru dan Pak-ko-seng tiada seorangpun yang pernah kulihat
dapat terbang ke sana, semua orang yang lewat harus menggunakan tali tambang ini............"
Thian-ih membatin, bocah perempuan ini pandai menipu orang, betapa lebar jurang ini
sedikitnya juga ada sepuluhan tombak, gurunya kan bukan burung, mana mungkin terbang
lewat di tengah udara. Lalu terdengar pula penjelasannya tentang tali tambang itu adalah
terbuat dari untaian urat-urat binatang, puluhan tahun sudah berselang tapi masih kokoh kuat.
Dengan ringan sekali gadis baju putih itu loncat ke atas tambang, dua kali entulan tubuhnya
sudah melesat sampai di tengah-tengah jurang, dengan seenaknya ia berdiri seumpama di
tanah datar saja. Kuatir Thian-ih tidak percaya disini ia menggerakkan tubuh sambil
berjongkok dan mengentul-entul sampai tambang itu bergoyang gontai, bukan takut malah dia
tertawa berseri dan berseru kepada Thian-ih: "Ji-chengcu, lihatlah, tambang ini sedemikian
kokoh kuat." Di kejap lain gadis baju putih sudah tiba di seberang jurang dengan selamat. Thian-ih
membatin betapa sukarpun juga harus kucoba, supaya tidak menjadi buah tertawaan seorang
gadis. Teringat olehnya sejak meninggalkan perguruan, entah sudah berapa kali menghadapi
dan mengalami pertempuran-pertempuran dahsyat yang membahayakan jiwa, demikian juga
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kali ini, paling banyak terkubur didalam jurang, apa pula yang harus ditakutkan. Setelah
berketetapan timbullah semangat dan keberaniannya, begitu mengembangkan ginkang terus
melayang dan hinggap di atas tambang itu.
Terasa kakinya seperti menginjak di atas tanah saja, memang tambang itu sangat kuat dan
keras, maka dengan lega hati ia maju terus sampai di tengah, tiba-tiba terdengar olehnya
dibawah sana suara yang gemuruh dari deburan ombak tak tertahan lagi ia melongok ke
bawah. Tampak di bawah jurang sana ternyata adalah arus air yang sangat deras sekali
bergelombang tinggi, suaranya gemuruh bagai geledek, tanpa merasa hatinya menjadi ngeri
dan takut, sedikit gemetar kakinya lantas terpeleset jatuh...............
Dalam saat-saat yang kritis itu untung tangannya masih sempat meranggeh dan memegang
kencang tambang aneh itu sehingga tubuhnya bergelantungan. Terdengar seruan kaget,
secepat terbang enteng sekali Cia In-hun berlari datang berdiri di atas tambang sambil
mengulur tangannya terus menjinjing tubuh Thian-ih ke atas. Thian-ih merasa mukanya
merah membara. Setelah sampai di seberang jurang Thian-ih mengintil terus di belakangnya, tak lama kemudian
di tengah-tengah kabut yang tebal di hadapannya telah berdiri sebuah bangunan gedung yang
bergenteng merah itu, bangunan gedung ini begitu megah dan angker, diatas pintu depan
tergantung sebuah papan nama yang bertuliskan "Hun-tiong-khek" tiga huruf, kiranya tepat
dan serasi benar nama ini dengan keadaan sekelilingnya.
Baru saja kakinya melangkah masuk pintu lantas hidungnya diserang bebauan wangi dari
harumnya kembang-kembang yang sedang mekar, di belakang emper sebelah sana terlihat
seekor burung betet segera menggape-gapekan sayap sambil berteriak: "Tamu agung datang,
tamu agung datang." Dua ekor kera warna putih lantas melompat keluar, begitu melihat
Thian-ih lantas cecoetan sambil berjingkrak-jingkrak, matanya yang merah bening
berputar-putar memandang Thian-ih dengan seksama. Segera Cia In-hun menggerakkan
tangan sambil berkata: "lekas laporkan kepada Siancu!" mendadak burung betet itu terbang
masuk, sedang kedua kera putih juga lantas loncat menghilang di balik pintu.
Tak lama kemudian Cia In-hun membawa Thian-ih sampai di depan sebuah pintu bundar
berbentuk bulan sabit, di depan pintu kerai terbuat dari bambu terurai turun. Sampai di depan
kerai segera Cia In-hun membungkuk tubuh memberi lapor: "Sam-ho Thio-keh-cheng
Ji-chengcu sudah tiba !"
"Silakan masuk !" terdengar sebuah suara menyahut dari dalam, tapi tak terlihat orang keluar
menyambut. Thian-ih membatin lagi, takabur benar Hun-tai Siancu ini. Menyingkap kerai ia terus
menyelinap masuk. Tampak diatas kasur kecil peranti untuk bersamadi duduk seorang
perempuan setengah baya, sikapnya welas asih dan berseri girang. Sekali pandang lantas
Thian-ih merasa seolah-olah dirinya pernah melihat atau bertemu, suatu perasaan dekat da-
lam batin lantas timbul dalam benaknya, tanpa merasa segera ia membungkuk tubuh memberi
hormat, serta sapanya: "Wanpwe Thio Thian-ih menghadap Siancu. Semoga Siancu selalu
sehat walafiat." Hun-tai Siancu menerima pemberian hormatnya itu, terdengar suaranya tersenggak: "Silakan
bangun..............."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sekilas Thian-ih masih sempat melihat, mendadak kedua matanya memancarkan rasa duka
hampa. Tapi ini terjadi sekilas saja, tak lama kemudian seperti awan yang mengembang dan
tersebar hilang. Kini pandangan matanya terang penuh mengandung belas kasih, sehingga
Thian-ih merasa hangat dan lega serta lapang dada.
Tanpa berkesip Hun-tai Siancu memandangi wajah Thian-ih. Cia In-hun sudah mengundurkan
diri, maka dalam ruangan itu tinggal mereka berdua, Thian-ih ingin menanyakan jejak si badju
perak. Tapi sampai diujung mulut ia telan kembali, biarlah dia sepuas hati memandangi dirinya.
Seakan sang bunda yang welas asih penuh kasih sayang melihat anaknya yang telah kembali
dari perjalanan yang jauh. Siapapun tidak mau memecahkan suasana tenang hangat dan
nyaman ini. Tidak lama kemudian terdengar Hun-tai Siancu menghela napas dan bertanya: "Apa kau mau
tinggal beberapa lama di-tempat ini?"
Sebetulnya Thian-ih hendak menolak karena masih banyak urusan yang perlu dibereskan tapi
entah mengapa terasa sulit untuk menampik kebaikan yang ditawarkan ini dan susah
membuka mulut, tanpa sadar ia manggut-manggut.
Hun-tai Siancu tersenyum, katanya: "Kau pergilah istirahat dan makan dulu. Nanti datang lagi
menghadap aku, ada banyak persoalan yang hendak kutanyakan kepadamu."
Waktu Thian-ih keluar, Cia In-hun sudah menyediakan segala sesuatu yang diperlukan.
Setelah mandi lantas makan, meski hanya berupa hidangan sederhana saja dia makan dengan
lahapnya. Suasana di Hun-tiong-khek (kediaman ditengah awan) sangat tenang dan sunyi,
tatkala itu disiang hari, dimana tempat Thian-ih makan hanya kabut dan angin sepoi-sepoi saja
yang memenuhi ruangan itu, memang kadang kala kera-kera kecil berloncatan lewat tapi juga
sangat hati-hati tidak mengeluarkan suara, ini menambah suasana menjadi lebih angker.
Thian-ih berpikir, agaknya sikap Hun-tai Siancu terhadap dirinya sangat baik dan prihatin, dia
minta dirinya tinggal disini entah untuk maksud apa" Teringat akan Hong-gi hatinya menjadi
gundah tidak tentram, diam-diam ia ambil kepastian hendak menanyakan jejak siorang
berkedok itu, tak peduli ketemu atau tidak, begitu urusan disini selesai secepatnya aku harus
segera kembali mencari Hong-gi.
Malam itu begitu berhadapan Thian-ih lantas menanyakan jejak sibaju perak. Ternyata Hun-tai
Siancu juga tidak main sembunyi, dikatakan bahwa sibaju perak memang pernah datang, tapi
hanya tinggal beberapa kejap lantas pergi lagi, dia datang memberi tahu akan kedatangan
Thian-ih. Thian-ih bertanya kemanakah dia pergi. Hun-tai Siancu menjawab tidak tahu. Hati
Thian-ih menjadi risau, pikirnya, untuk apa sibaju perak membawa dirinya keatas Hun-tai-san
" Sesaat ia tenggelam dalam pemikirannya.
Sekarang mulailah Hun-tai Siancu bertanya kepadanya, ditanyakan pelajaran apa saja yang
telah dipelajari selama berada di Kiam-bun-San" Bagaimana pengalamannya setelah turun
gunung" Thian-ih merasa Siancu sedemikian akrab dan kasih sayang seumpama menghadapi
sanak keluarganya sendiri, maka tanpa ragu-ragu lagi ia mulai bercerita panjang-lebar tentang
semua pengalaman selama ia turun gunung.
Dengan tenang Hun-tai Siancu ikuti ceritanya. Setelah cerita Thian-ih habis ia
menggeleng-geleng kepala sambil menghela napas panjang. Ia menegor Thian-ih tidak
seharusnya dia begitu tergesa-gesa untuk menuntut balas sampai merembet dan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
mengorbankan banyak jiwa yang meninggal secara konyol. Tergerak hati Thian-ih, batinnya,
kalau sibaju perak itu pernah kemari pasti dia sangat bersahabat dengan Hun-tai Siancu.
Ditanyakan nama dan siapakah sebenarnya sibaju perak itu mengapa ia selalu menggoda dan
mempermainkan dirinya membunuh dengan semena-mena. Hun-tai Siancu tidak menjawab
secara langsung, hanya dikatakan bahwa itu ada sebab lain yang tak dapat diterangkan, kelak
pasti Thian-ih akan paham sendiri. Ditegaskan bahwa sibaju perak itu tiada mengandung
maksud jahat terhadap dirinya. Hanya godaan dan sepak terjangnya terhadap Thian-ih itu
memang rada keterlaluan. Thian-ih tidak percaya, diajukan bukti-bukti tentang kematian Kim Khe-sian sipendeta
pemabukan itu. Betapa gagah dan jujur serta kesatrianya pendeta itu, tapi toh mengalami
ancaman dan permainan sibaju perak, akhirnya sampai menceburkan diri kedalam jurang yang
dalam dan mati tanpa dipendam diliang kubur yg layak, apakah dia juga mempunyai dosa "
Hun-tai Siancu tertawa, katanya: "Apa kau tahu kalau dia mempunyai ganjalan hati" Menurut
hematku sudah siang-siang dia harus mampus, apa kau tahu sebab musabab akan
kematiannya itu?" Thian-ih membayangkan adegan yang menggiriskan pada malam itu, katanya dengan gemas:
"Karena takut mendengar suara deburan air terjun sehingga menimbulkan kenangan pahit dan
menyedihkan akan pengalamannya pada masa yang lampau. Anak dan istrinya mati dibawah
injakan kaki-kaki kuda, sedang gema suara air terjun itu memang persis benar dengan derap
langkah berlaksa kuda yang sedang berlari kencang......"
Hun-tai Siancu sedikit menggeleng kepala, katanya: "Kim Khe-sian salah, meskipun dia
menyesal dan bertobat sebelum ajal, tapi dia masih tidak rela mengemukakan dosa-dosanya
yang tercela itu kepadamu. Dari sini dapatlah dimengerti betapa licik orang ini, dia masih
mengharap supaya namanya tidak tercela dan harum sepanjang masa......"
Melihat Thian-ih memandang dirinya dengan sorot keheranan tak mengerti, maka mulailah dia
bercerita: Banyak tahun yang lalu, dalam kalangan Kangouw muncul seorang kesatria yang
gagah perwira, akhirnya dia menikah dan memperoleh seorang putra. Tapi pada usia
pertengahan, mendadak sifatnya berobah sangat tercela, dia mengalihkan cintanya menyukai
seorang gadis remaja lain, dan gadis remaja itu selalu mengejar dan tergila-gila padanya,
malah mendesaknya supaya menceraikan istrinya yang pertama. Akhirnya dia termakan akan
bujuk rayu dan maksud keji itu, tapi dia berpikir kalau perceraian bukanlah penyelesaian yang
tepat mengingat nama baiknya selama ini, akhirnya pasti perbuatannya yang tidak senonoh ini
akan mendapat cercah dan kutukan para sahabat Kangouw, dari pada bercerai lebih baik
dilenyapkan saja jiwanya supaya perbuatan kotornya tidak diketahui orang lain. Maka dengan
kandungan angan-angan yang jahat ini selalu ia mencari kesempatan untuk turun tangan.
Pada suatu ketika kesempatan itu tiba juga. Didengarnya kabar bahwa pada suatu tempat
selalu terjadi kerusuhan huru-hara akan berandal-berandal jahat yang merajalela. Maka
tentara kerajaan hendak menggerebek sarang-sarang penyamun itu. Dengan sengaja ia
membawa anak istrinya ke tempat dimana balatentara kerajaan bakal lewat disitu. Memang
rombongan tentara berkuda lewat seperti yg direncanakan, dia pura-pura berseru kejut dan
ketakutan sambil berteriak-teriak dan melarikan diri, saking tergesa-gesa ia seret anaknya itu,
diluar dugaan anaknya itu sangat sayang dan tak mau berpisah dengan ibunya, mati-matian ia
menggondeli ibunya tidak mau tinggal pergi, dalam sekejap mata saja rombongan tentara
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkuda sudah tiba didepan mata, terpaksa orang itu loncat menyingkir sendiri, mengandal
Ginkangnya yang tinggi dengan gampang saja ia lolos dari bahaya. Sebaliknya istri dan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
anaknya hancur lebur terinjak-injak kaki kuda. Meskipun muslihatnya itu berhasil, tapi
tujuannya semula hanya hendak membunuh istrinya saja tidak kira akhirnya anaknya ikut
melayang jiwanya. Sejak saat itu, walaupun ia hidup senang tapi suara teriakan sang istri
sebelum ajal selalu terkiang di pinggir telinganya, sehingga ia menyesal dan bertobat sampai
mati dengan pengalaman yang kau saksikan sendiri. Inilah riwayat hidup Kim Khe-sian dulu,
setelah mendengar cerita ini apakah kau masih beranggapan kalau kematiannya itu
penasaran?" Thian-ih bungkam. Kata Hun-tai Siancu lagi: "Yang lain umpamanya Kiau-si Hengte,
Hek-san-siang-ing, Cin-tiong-sam-hiap, serta sipena berapi Siu Hoa dan golok tujuh bintang
Kiu San, dosa mereka sudah bertumpuk-tumpuk dan kematian mereka adalah setimpal.
Sebaliknya mereka yang bijaksana dan jujur, umpamanya kau sendiri, Nyo Hway-giok serta Li
Hong-gi dan Ban-keh-seng-hud Ciu Hou, meskipun terancam bahaya berulang-ulang, tapi
sedikitpun tidak mengalami cidera apa-apa........"
Diam-diam bercekat hati Thian-ih. Sedemikian jelas dan terang analisa Siancu ini seperti dia
mengalami sendiri. Meskipun tadi dirinya sudah menuturkan semua dengan jelas, tapi juga
cukup meragukan, maka segera tanyanya: "Mohon tanya Siancu, mengapa si baju perak
berbuat begitu rupa" Apakah tujuan yang sebenarnya?"
Hun-tai Siancu mengerutkan alis, sahutnya lirih : "Apakah tujuan semua sepak terjangnya itu"
Aku sendiri tidak tahu jelas, tapi aku percaya bahwa dia tidak mengandung maksud jahat
terhadap kau !" Tak tertahan lagi Thian-ih, berkata keras: "Dia membunuh banyak kawan-kawanku, berulang
kali menggoda dan mempermainkan aku dengan Hong-gi, menculik Ciu Hou sampai tidak
keruan paran jejaknya. Dan yang menjengkelkan dia mengambing-hitamkan aku menjadi
pelarian pemerintah yang mencuri dan membunuh petugas hukum. Apakah ini maksud
baiknya?" Sekarang suara Hun-tai Siancu mengandung tegoran langsung: "Seorang muda jangan begitu
terburu nafsu menyimpulkan sesuatu sebelum kau sendiri jelas akan duduk perkaranya.
Betapapun urusan ini kelak dapat dibereskan. Benarkah dan mengapa kelima orang berkedok
itu membunuh engkohmu" Bagaimana juga tindakan si baju perak bukan hendak menjebak
kau, akhirnya kau tentu akan paham sendiri akan seluk-beluk semua peristiwa ini."
Thian-ih tidak berani banyak petingkah lagi, tapi hatinya masih dirundung pertanyaan yang
belum terjawab itu, dia minta supaya Hun-tai Siancu memberikan sedikit penerangan dan jalan
petunjuk ke arah penyelesaian yang sempurna. Sekian lama Hun-tai Siancu termangu meman-
dangi wajahnya, sedikit menggelengkan kepala, sorot mata yang penuh kehampaan serta
kepiluan hati terlihat lagi. Ini membuat Thian-ih terkejut dan curiga.
Sang waktu berjalan sangat cepat, sekejap saja beberapa hari telah berlalu. Selama itu
Thian-ih tinggal di Hun-tiong-khek mendapat petuah dan wejangan berharga dari Hun-tai
Siancu, hatinya mulai tenang dan pikiran tentram, beberapa hari berikutnya sebagai seorang
angkatan lebih tua lazimnya Hun-tai Siancu menguji kepandaiannya dalam sastra maupun ilmu
silat. Akhirnya didapatinya meskipun bakat Thian-ih sangat baik, tapi cara pelajarannya kalang
kabut, terutama dalam bidang ilmu silat, setiap kali Thian-ih bersilat berulang kali Hun-tai
Siancu menggeleng kepala.
Dikatakan bahwa Kiam-bun it-ho tidak sepenuh hati membimbing muridnya, mungkin apa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
yang telah dipelajarinya itu masih kalah jauh dibanding Bangau tunggangannya itu. Ini perlu
perbaikan dan latihan dari mula lagi.
Belajar sastra dan memperdalam ilmu silat untuk bekal hidup adalah harapan Thian-ih sejak
semula. Kini mendapat kesempatan diberi petunjuk dari guru silat kenamaan, dibawah ajaran
dan didikan Hun-tai Siancu setiap pagi dia belajar sastra sedang sorenya ikut Hun-tai Siancu
belajar silat. Pelajaran ini termasuk ilmu pedang, ilmu pukulan, senjata rahasia dan Ginkang,
sudah tentu dalam hal tenaga dalam juga tidak ketinggalan karena Hun-tai Siancu mempunyai
ilmu khas dalam bidang ini.
Diam-diam Thian-ih merasa girang dan bersyukur, semakin giat dia belajar tidak mengenal
lelah, dari pagi sampai sore dia tekun belajar. Sekarang Cia In-hun menjadi kawan
seperguruannya, setiap saat mereka selalu berduaan belajar bersama bersilat bersama juga.
Karena dia lebih lama belajar dibawah didikan Hun-tai Siancu sudah tentu kepandaiannya jauh
lebih tinggi dari Thian-ih, namun sedikitpun dia tidak sombong atau takabur, bukan saja
membantu mengoreksi kesalahan Thian-ih malah selalu mengalah pula. Mungkinlah memang
sudah pembawaan sifat perempuan yang tidak senang menang dan berwatak halus. Lama
kelamaan timbul rasa suka dan simpatik dalam benak Thian-ih terhadap gadis pingitan ini.
Pohon Kwi diatas gunung mudai berkembang, dengan riang dan senang Thian ih lewatkan
hidupnya diatas gunung, setelah mendapat petunjuk dan penjelasan dari Hun-tai Siancu
sekarang dia tidak terburu nafsu hendak menuntut balas atau mencari perkara kepada si baju
perak. Meskipun masih banyak urusan menanti dia untuk diselesaikan, umpamanya mencari
jejak kelima orang berkedok itu untuk menuntut balas sakit hati engkohnya, mencari Ciu Hou
untuk menyembuhkan penyakit gila Hi Si-ing, menyerahkan kembali kedua mutiara untuk
menolong Lim Han keluar dari penjara, membantu terangkapnya perjodohan Li Hong-gi
dengan Nyo Hway-giok, meringkus si baju perak untuk dijadikan saksi akan perbuatannya
yang keji membunuh Siu Hoa dan Kiu San. Pergi ke So-keh-pang menyambangi So-si
Hengmoay, semua urusan ini meskipun menanti dia untuk dikerjakan, tapi sekarang Thian-ih
merasa yang terpenting adalah memperdalam ilmu kepandaian sendiri untuk bekal dalam
menunaikan semua tugas yang harus dilaksanakan itu.
Tentang persoalannya dengan sibaju perak pernah beberapa kali lagi ia tanyakan kepada
Hun-tai Siancu, malah Cia In-hun juga tidak ketinggalan dikorek keterangannya, tapi mereka
selalu menghindarkan pembicaraan ke soal pokok ini, hanya dikatakan bahwa kelak pasti
dirinya akan paham sendiri akan duduknya perkara ini.
Thian-ih menjadi gemes dan dongkol, betapapun Hun-tai Siancu hendak membela dia, kalau
toh dia sedemikian keterlaluan sudah mempermainkan dirinya beserta Hong-gi, menganiaya
Ciu Hou lagi dan membunuh beberapa orang sahabatnya, semua ini adalah kenyataan. Bukan
mustahil pencurian harta pusaka dari gudang istana juga perbuatannya. Biar nanti kalau
pelajaran silatnya sudah sempurna dan lulus, aku harus meringkusnya hidup-hidup dan
memaksanya menyerahkan Ciu Hou keluar serta mengembalikan harta pusaka yang telah
dicurinya itu. Lalu dihadapkan sekian banyak kesatuan Bhayangkari, menelanjangi perbuatan
jahatnya yang terkutuk itu. Andaikan dirinya tidak membunuhnya, pasti para kerabat dari
kesatuan Bhayangkari atau handai taulan sang korban akan membuat perhitungan dengan dia.
Teringat Hong-gi tanpa merasa perasaan Thian-ih menjadi hampa dan risau. Apakah kelak
dirinya harus menikah dengan dia " Ataukah merangkapkan perjodohannya dengan Nyo
Hway-giok" Nyo Hway-giok adalah seorang pemuda yang paling dipuji dan dikaguminya
sedang Li Hong-gi adalah gadis yang paling dicintai, dia tidak tahu bagaimana dirinya harus
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
mengambil sikap atau tindakan"
Seumpama pernikahan Hong-gi dengan Nyo Hway-giok betul-betul terangkap, lalu Thian-ih
harus mencari jodoh yang mana" Su Hoankah, gadis jelita yg pertama kali mengetuk hatinya
ini adalah cerdik dan pandai bekerja, tapi dia masih kalah dibanding dengan Hong-gi. Atau
mencari Sip Yan-hun dari Ciong-lam-san itu " Meskipun sudah bertemu beberapa kali, tapi
Thian-ih tahu bahwa pihak sana memang ada jatuh hati terhadap dirinya, tapi bila terhalang
akan wajah Hong-gi yang ayu jelita serta suaranya yang merdu terkiang dipinggir telinganya,
kalau Sip Yan-hun dibandingkan seumpama kunang-kunang dibanding sinar rembulan.
Bayangan Cia In-hun tiba-tiba terlintas didepan matanya, setiap hari dia menemani dirinya
seorang gadis sedemikian cantik, lemah lembut, cerdik cendekia dan cekatan lagi, bukan saja
ilmu silatnya tinggi kepandaian sastranya juga diatas lebih tinggi dari dirinya, apalagi dia
sedemikian rendah hati, seolah-olah dalam maksud Hun-tai Siancu sudah setuju serta
mengharap akan terangkap perjodohan ini.
Setiap kali mereka berduaan selalu Thian-ih merasa selalu gadis ayu ini memandangi dirinya,
semua tingkahnya ini tak perlu diragukan lagi bahwa hatinya mulai mekar dan dihinggapi
penyakit asmara yang mulai bersemi dalam sanubarinya.
Namun demikian betapa juga Thian-ih sukar dapat melupakan Hong-gi lagi, bukan saja
wajahnya yang molek bak bidadari serta potongan tubuh yang menggiurkan itu, wataknya
juga lincah dan riang gembira penuh optimistis, pengalaman selama dalam perjalanan yang
pahit getir, siapa lagi yang kuat menderita semacam itu. Ini dapat dimaklumi oleh Thian-ih
sendiri. Sekarang mereka berpisah jauh sekali, tapi Thian-ih percaya pasti Hong-gi tengah
mengenangkan dirinya, bagaimana juga rasa cinta ini sulitlah untuk ditampik.
Lama kelamaan Thian-ih dihinggapi penyakit mala rindu, badannya semakin kurus dan pucat,
berat rasanya meninggalkan Hun-tai-san karena dia harus memperdalam kepandaiannya
disini, tapi kenangannya akan Li Hong-gi selalu mengganggu konsentrasi dalam pelajarannya.
Ingin rasanya dapat terbang untuk berkumpul dengan sang kekasih, bertemuan yang penuh
keharuan dan mesra, untuk menceritakan pengalaman selama berpisah ini, sumpah sehidup
semati takkan berpisah lagi untuk selama-lamanya.
Agaknya Cia In-hun dapat menyelami kerisauan hati Thian-ih, sore itu setelah latihan selesai
dan mendapat persetujuan dari Hun-tai Siancu mereka keluar berjalan-jalan mencari angin.
Setelah berjalan sekian lama mendadak Thian-ih menunjuk puncak didepan Hun-tiong-khek
sana dan bertanya: "Belakang Hun-tai-san ini terdapat dua puncak, pemandangan dipuncak
sebelah kanan sana bagaimana?"
Sahut Cia In-hun: "Puncak didepan itu lebih tinggi, pemandangannya juga menakjupkan!"
Tergeraklah keinginan Thian-ih hendak bertamasya sepuas hati, katanya kepada Cia In-hun:
"Adik Hun, mari kita dolan ke sebelah sana, sekaligus kita coba Ginkang yang baru kupelajari
itu!" Agaknya Cia In-hun sangat terpaksa, namun juga segan menolak permintaan orang, akhirnya
ia mengangguk setuju. Setelah menuruni undakan batu mereka sampai dimana tempo hari Thian-ih hampir terjungkal
kedalam jurang dari atas jembatan tambang. Sekarang Ginkang Thian-ih mengalami kemajuan
pesat setelah digembleng oleh Hun-tai Siancu, dengan memberanikan diri beruntun berapa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kali loncatan saja dengan enteng sekali dia sudah sampai di sebrang dengan selamat. Hatinya
senang sekali. Dengan mengembangkan Ginkang mereka berlarian di atas semak belukar dari
rumpun pohon yang penuh duri itu dan sampailah ditempat pertemuan pertama dengan Cia
In-hun tempo hari. Disini jiwanya hampir melayang dijebak Ban Ai-ling.
Dengan Cia In-hun sebagai penunjuk jalan, mereka membelok memasuki sebuah jalan
pengkolan yang berlika-liku, beruntun mereka melewati lembah dan melompati sungai
akhirnya mereka sampai di atas sebuah puncak. Sekarang terlihat Hun-tiong-khek menjulang
tinggi di hadapan mereka. Jadi tempat di mana sekarang berdiri adalah puncak sebelah kanan
dari belakang Hun-tai-san itu.
Angin menghembus sepoi-sepoi membawa harumnya bunga Kwi, terbangkitlah semangat
Thian-ih. Tanyanya kepada Cia In-hun: "Adik Hun, puncak disebelah samping ini seolah-olah
lebih baik dari Hun-tiong-khek, tak tahu adakah orang kosen yang mengasingkan diri ditempat
ini?" "Ada sih ada, hanya belum bisa terhitung sebagai orang kosen."
Thian-ih menjadi heran, tanyanya: "Siapakah dia?"
"Mereka bukan lain adalah Ban Ai-ling yang hendak mencelakai kau tempo hari dengan
gurunya Pak-ko-seng, mereka kebetulan berdiam dipuncak ini !"
Teringat oleh Thian-ih pemuda baju hitam Ban Ai-ling itu, memang adalah seorang rendah
yang jahat dan telengas, entah bagaimana martabat Pak-ko-seng itu, dimintanya Cia In-hun
memberikan penjelasan. Cia In-hun memberi tahu bahwa Pak-ko-seng ini sebelumnya berdiam di Pak-ko-san yang
membelakangi laut sebelah timur sana. Ilmu silat Pak-ko-seng sangat tinggi dan sudah
sempurna betul, dalam hal sastra umpamanya memetik harpa bermain catur serta seni lukis
juga sangat mahir, apalagi pandai pentangan dan mengobati orang boleh dikata dia seorang
tokoh yang serba pandai dan luas pengalaman, pergaulannya juga luas dan pandai bicara lagi.
Lima tahun yang lalu sebab mengagumi kepandaian Hun tai Siancu sengaja mereka pindah
dari Pak-ko-san ke puncak kanan ini. Katanya dengan tetangga yang dekat dan berilmu tinggi
mereka dapat selalu tukar pikiran dalam segala bidang. Tapi menurut Hun-tai Siancu bahwa
mereka guru dan murid bukan orang baik-baik, sikapnya dingin dan kurang menghargai
mereka. Justru Pak-ko-seng ini tebal muka, sering dia datang merecoki Suhu di
Hun-tiong-khek bermain catur atau ngobrol panjang lebar. Hun-tai Siancu segan menolak, tapi
dikasih hati mereka malah menjadi tuman, terutama muridnya yang bernama Ban Ai-ling itu,
hatinya jahat, kekejiannya melebihi gurunya, sering juga dia ikut datang untuk mendekati Cia
In-hun, membuatnya sangat muak dan benci.
O, jadi begitu, demikian batin Thian-ih. Belum lama mereka berada diatas puncak cuaca sudah
hampir petang, matahari kebetulan hampir tenggelam di peraduannya dengan memancarkan
sinar kuning keemasan yang mempesonakan. Thian-ih sampai kesima melihat pemandangan
yang sedemikian indah. Terdengar Cia In-hun mendesak di belakangnya: "Engkoh Thian-ih, mari kita pulang, lambat
sedikit waktu saja mungkin kita tak dapat melihat jalan. Kalau terlambat pulang pasti Suhu
akan menegor kita." TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Melihat cuaca memang hampir petang Thian-ih juga tidak berani tinggal terlalu lama lagi,
cepat-cepat mereka berlari turun gunung sambil mengembangkan ilmu ringan tubuh supaya
secepatnya tiba di Hun-tiong-khek.
Betapapun cepat lari mereka karena jarak terlalu jauh, baru sampai dibawah gunung cuaca
sudah petang dan tidak dapat melihat jalan lagi. Angin gunung menghembus dengan kerasnya
menderu-deru, daun pohon berkeresekan dihembus angin, seakan-akan ada orang mengejar
di belakang mereka. Diam-diam Thian-ih dan Cia In-hun mengeluh, mereka tidak membawa
bahan api terpaksa harus maju menggeremet didalam dasar jurang yang gelap pekat.
Seumpama berkepandaian setinggi langit juga dalam keadaan yang begini tak berguna lagi,
terpaksa mereka bergandengan tangan terus menggeremet maju. Umumnya hati seorang
perempuan lebih penakut, tangan yang tergenggam oleh Thian-ih itu terasa gemetar dan
berkeringat. Sedikit meleng hampir saja kaki Thian-ih terjerumus dan terjungkal ke dalam
jurang. Karena tidak melihat tegas keadaan sekelilingnya mereka tak berani sembarangan
maju dan bergerak. Kata Thian-ih akhirnya: "Adik Hun, terang kita terlambat untuk pulang, terpaksa mencari
sebuah tempat untuk menginap saja disini."
Apa boleh buat, Cia In-hun mengiakan setuju. Pelan-pelan Thian-ih manjat ke lamping gunung
mendapatkan sebuah gua, untung keadaan dalam gua ini kering dan bersih. Thian-ih
mengundang Cia In-hun masuk ke dalam, dengan daun-daun kering ditebar di atas tanah
sebagai kasuran mereka bersiap untuk bermalam di tempat ini.
Gua itu tidak begitu besar cukup untuk rebahan seorang saja. Begitu Cia In-hun berbaring,
mengingat adat istiadat yang melarang persentuhan badan muda mudi, sekuatnya Thian-ih
tahan rasa kantuknya berjaga dimulut gua, dengan bersenjatakan sebuah dahan pohon ia
mondar mandir di depan gua. Sungguh celaka pada tengah malam mendadak terbit angin
badai membawa hujan lebat. Terpaksa Thian-ih harus berdiri ditimpah hujan sampai badannya
basah kuyup. Untung Cia In-hun terkejut bangun dari tidurnya, berulang kali ia minta Thian-ih
masuk gua. Tapi Thian-ih berpikir, toh sudah basah kuyup, kehujanan lagi beberapa jam apa
halangannya. Memang mulutnya mengiakan tapi kakinya tidak bergerak, saking gugup
akhirnya Cia In-hun yang berlari keluar dan menyeretnya masuk ke dalam gua.
Dalam kegelapan terasa tangan Cia In-hun tengah meraba-aba badannya, didapatinya seluruh
tubuh Thian-ih basah kuyup, seakan baru keluar dari sungai, maka omelnya: "Engkoh
Thian-ih, mengapa kau menyiksa dirimu sendiri. Beginikah pambek seorang kesatria kalangan
persilatan, mengapa kau begitu sungkan dan malu-malu !" lalu berulang kali ia mendesak
Thian-ih menanggalkan pakaian luarnya supaya tidak sakit kedinginan. Sudah tentu Thian-ih
tidak mau mencopot pakaiannya. Tapi sikap Cia In-hun justru sangat polos dan terbuka,
segera diulurkan tangannya hendak membukakan baju orang. Keruan Thian-ih menjadi gugup
sendiri: "Ya, ya biar aku copot sendiri !"
Tanpa merasa jantung Thian-ih berdebur sangat keras, teringat pengalaman dalam gua ini
tidak seberapa besar bedanya dengan pengalamannya dalam kuburan waktu menolong
Hong-gi tempo hari. Kelak kalau tidak diketahui orang itulah baik, kalau tidak ini merupakan
dosa yang susah dapat ditebus dengan apa juga.
Mendadak dilihatnya tidak jauh di sebelah samping sana sinar api berkelap kelip, hatinya
bersorak girang, cepat ia berlari keluar mencarinya. Itulah di sebuah rimba kecil ditengah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
rimba ini terdapat sebuah rumah batu, dari dalam rumah batu inilah mencorong keluar sinar
pelita itu. Diam-diam Thian-ih merambat maju, maksudnya hendak mengetok pintu dan minta
api. Tapi waktu langkahnya semakin dekat mendadak terdengar suara keriyat-keriyut yang
aneh, waktu ia mengintip melalui lobang jendela, dia menjadi kaget dan gusar. Dari sinar pelita
keadaan dalam ruang dalam terlihat sangat jelas, diatas dua dipan kayu terlihat dua laki-laki
dan dua perempuan tengah melakukan adegan yang sangat memalukan.
Waktu ditegasi begitu melihat salah seorang laki-laki yang berada dekat jendela ini Thian-ih
lebih terkejut lagi. Kiranya orang ini bukan lain adalah Ban Ai-ling. Sedikit meleng karena
terkejut tubuh Thian-ih menumbuk dinding sampai mengeluarkan suara. Ban Ai-ling yang
dekat jendela mendengar suara yang mencurigakan segera melompat keluar begitu mereka
berhadapan, melihat orang di depannya ini adalah Thian-ih mendadak Ban Ai-ling bergelak ter-
tawa: "Haha, ternyata adalah saudara Thian-ih. Selamat bertemu, hari ini entah angin apa
yang membawamu ke tempat ini ! mari, kita bersalaman..............." mengulur tangan dia terus
menarik Thian-ih. Thian-ih muak dan benci melihat tampang orang kotor ini, tanpa membuka mulut dia putar
tubuh terus hendak tinggal pergi.
Ban Ai-ling segera mendesak maju mencegat didepannya, jengeknya dingin: "Begini gampang
kau hendak tinggal pergi, kurasa tidak sedemikian mudah" marilah kita bermain-main dulu,
coba kulihat adakah sundel cantik itu akan datang menolongmu lagi ?"
Mendadak ia turun tangan menyerang dengan tipu Hwi-ing-cu-lip (elang terbang menutul pari)
menutuk pundak Thian-ih tepat di jalan darah Cian-kin-hiat. Thian-ih tidak berkelit atau
menyingkir, dengan jurus Heng-gan-siang-hong (memandang kepuncak) tubuh sedikit
mendak kedua tangannya terus didorong ke depan mengarah perut dan dada lawan, jurus
serangan ini menggunakan delapan bagian tenaganya, tujuannya supaya lawan tahu diri dan
cepat-cepat menarik kembali serangannya. Untuk selamatkan diri benar juga Ban Ai-ling
berkelebat ke samping terus mengirim lagi sebuah pukulan. Thian-ih himpun tenaganya
menyambut pukulan lawan. "Blang", ternyata Ban Ai-ling tidak kuat menahan tangkisan
tenaga Thian-ih yang dilandasi kegusaran sampai tubuhnya sempoyongan, mulutnya berseru
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertahan menyatakan keheranannya. Sungguh diluar sangkanya, pemuda yang tempo hari
terjungkal di tangannya, baru berpisah berapa lama saja sudah bertambah pesat
kepandaiannya. Ban Ai-ling menginsyafi bahwa Lwekang lawan sudah lebih unggul dari dirinya. Hatinya
menjadi takut tak keruan paran, tiba-tiba ia berteriak ke arah batu rumah: "Suhu, lekas
keluar." Yang benar Thian-ih sudah kerahkan seluruh tenaganya baru sedikit unggul saja. Begitu
mendengar orang berteriak, hatinya sedikit terkejut, apakah seorang pria lain dalam rumah itu
adalah gurunya Pak ko-seng" Kalau dia ikut turun tangan, mana dirinya menjadi tandingan
orang, lantas teringat Pak-ko-seng dan muridnya ini adalah bangsa rendah yang tidak tahu
malu, tanpa merasa timbul hawa amarah dalam benaknya, ingin rasanya segera
menghancur-leburkan tubuh kedua guru dan murid ini.
Melihat Ban Ai-ling sudah ketakutan, Thian-ih bergerak semakin cepat dengan serangan yang
gencar, sampai musuhnya kelabakan mencak-mencak, jurus-jurus yang dilancarkan adalah
ilmu yang dipelajari dari Hun-tai Siancu. Namun sebelum ia berhasil merobohkan musuh keji
ini, dari dalam rumah berkelebat keluar sebuah bayangan, dimana terlihat lengan bajunya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
dikebutkan, sebuah jalur angin kencang segera menerjang kearah Thian-ih. Sontak Thian-ih
merasa dadanya seperti ditindih batu besar sampai susah bernapas, darah hampir menyembur
keluar sampai ditenggorokannya. Tahu dirinya terancam bahaya cepat-cepat ia melesat
mundur. Gerakan Pak-ko-seng sungguh cepat dan lincah sekali, sekejap saja mendadak ia mendesak
tiba disamping Thian-ih sambil perdengarkan gelak tawanya yang bergelombang seperti suara
kokok-beluk. Sekuat tenaga Thian-ih lompat menyingkir, tapi angin pukulan lawan mengekang
dirinya seumpama dinding kokohnya, sehingga sia-sialah usahanya hendak menjebol keluar.
Pak-ko-seng hanya menarikan kedua lengan bajunya tanpa turun tangan lebih lanjut, tapi
hanya angin pukulannya itu sudah cukup mengekang Thian-ih dalam kurungannya. Melihat
Thian-ih berlarian kian kemari tumbuk sana terjang sini selalu terpental balik dengan
sempoyongan, seperti tikus dipermainkan kucing saja, pak-ko-seng tertawa gelak-gelak
menikmati hasil karyanya yang sangat dibanggakan selama ini.
Terdengar Ban Ai-ling berteriak dari samping: "Suhu, tutuk dia, aku hendak bertanya pada
dia!" Benar juga dengan dua jari tangan kanannya Pak-ko-seng menutuk jalan darah pelemas
ditubuh Thian-ih. Dengan mendelik Thian-ih awasi wajah orang, tapi tak mampu berontak atau
bergerak lagi, begitu kiok-ti-hiat terasa linu dia lantas tersuruk jatuh.
Bentak Ban Ai-ling: "Kau datang bersama Cia In-hun bukan" Dimana dia sekarang?"
Thian-ih berpikir, kalau Cia In-hun masih belum bangun, kalau sampai terbekuk oleh mereka
guru dan murid akibatnya tentu susah dibayangkan. Maka pejamkan mata tanpa bersuara.
Ban Ai-ling terloroh-loroh, bentaknya lagi: "Thio Thian-ih, kau masih berani tidak buka suara"
Biarlah kau merasakan kenikmatan tutukanku ini." disertai dengan ancamannya itu kedua
jarinya segera menutuk jalan darah dibawah ketiaknya. Seketika Thian-ih merasa seakan-akan
seluruh tulang dan otot-ototnya lumer dan copot semua, laksana ribuan semut sedang
merambat diseluruh tubuhnya, saking kesakitan ia menggigit gigi sekencang-kencangnya
sampai mengeluh kesakitan tanpa tertahan.
Ban Ai-ling tersenyum ejek, desaknya lagi: "Katakan tidak" Rasakan kelihayan tutukanku ini!
Lekas katakan, dimana dia sekarang?"
Sungguh tidak memalukan watak Thian-ih sebagai seorang kesatria yang kuat menahan
segala uji. Dia tahu kalau dirinya sedang disiksa dengan semacam ilmu membagi urat
mencopot tulang, sakitnya bukan buatan, tapi dia masih berusaha tidak membuka mulut.
Tak lama kemudian sambil melihat cuaca segera Pak-ko-seng membuka suara: "Anak Ling
cepat kau cari sendiri, waktu dia datang kan ada jejak kakinya, sekarang hujan sudah reda,
pasti jejak kakinya masih jelas terlihat....''
Baru sekarang Ban Ai-ling sadar, serunya kegirangan: "Suhu pikiranmu ini tepat sekali. Kalau
dia bersembunyi dalam gua disekitar sini. Haahha......"
"Cekluk" dia menelan ludah.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Pak-ko-Seng seorang tua bangkotan yang licik dan banyak akalnya, katanya tertawa: "Kalau
dia masih berada dalam gua, saat ini hari kebetulan akan terang tanah, mungkin dia masih
belum bangun, sangat tepat kepergianmu ini !" sejenak berhenti lalu pesannya lagi: "Tapi kau
harus hati-hati, terlebih dulu kau harus tutuk jalan darahnya, jangan sampai dia melarikan diri,
kalau Hun-tai Siancu itu sampai marah, wah tambah berabe nanti !"
Ban Ai-ling menyeringai tawa: "Suhu, ucapanmu tepat sekali. Baiklah aku akan berbuat
menurut petunjukmu. Kalau nasi sudah menjadi bubur, tidak takut gurunya itu tidak melulusi."
Secepat terbang segera Ban Ai-ling berlari keluar. Segera Pak-ko-seng menjinjing Thian-ih,
sekali meraba-aba ditubuhnya, kontan rasa kesakitan tadi segera lenyap. Tapi badannya masih
sangat lemah tak bertenaga. Sekali lempar tubuh Thian-ih terbang tinggi dan sebelum
menyentuh tanah, mendadak Pak-ko-seng berteriak kejut, terus menyambar tubuhnya lagi
terus dibawa lari kearah puncak secepat angin.
Dalam pada itu Ban Ai-ling sudah memasuki gua dimana tempat Cia In-hun tengah tidur
nyenyak, sambil menyeringai iblis segera ia peluk tubuh yang tidur celentang itu.
Sekonyong-konyong Cia In-hun melompat bangun dan "Blang" dengan telak pukulannya
mengenai pundaknya. Keruan Ban Ai-ling menjerit kesakitan, dan terperanjat sekali. Tanpa
berani berpaling lagi segera Cia In-hun menerobos keluar terus lari sekencang-kencangnya.
Luka Ban Ai-ling tidak berat, tapi nafsu birahinya masih menyala-nyala, sungguh sesalnya
bukan buatan, mengapa tadi tidak menutuknya lebih dulu, dengan sempoyongan segera ia
mengejar keluar. Mendadak terdengar dari kejauhan sana teriak orang sedang
memanggil-manggil: "In-hun! In-hun! Thian-ih! Dimana kalian?"
Mendengar suara Hun-tai Siancu ini bagai kelinci mendengar guntur, cepat-cepat Ban Ai-ling
menyelinap masuk kembali kedalam gua. Sejenak kemudian dia merasa dengan sembunyi
ditempat ini bukan tempat yang aman, siapa tahu kalau Cia In-hun sudah bertemu dengan
Hun-tai Siancu dan tahu kalau dirinya berada dalam gua ini bukankah mereka akan segera
meluruk kesini ! Cia In-hun saja susah dilawan apalagi bersama gurunya. Maka sambil
menahan kesakitan dia menggeremet keluar. Untung bayangan Hun-tai Siancu dan Cia In-hun
tidak terlihat, bergegas ia lari terbirit-birit ke puncak kanan dibelakang Hun-tai-san, yaitu
rumah batu kediaman gurunya itu.
Melihat kelakuan muridnya yang serba runyam ini, segera Pak-ko-seng menanyakan
pengalamannya, dengan tergagap Ban Ai-ling menuturkan. Pak-ko-seng berjingkrak murka,
makinya: "Goblok, sudah kusuruh kau menutuk jalan darahnya. Apa kau sudah linglung?"
Ban Ai-ling mewek-mewek, sahutnya: "Ya, Suhu memang aku sudah linglung."
Melihat tingkah muridnya ini, Pak-ko-seng menjadi jengkel dan geli lagi, katanya: "Tidak lekas
kau bawa orang she Thio itu masuk kedalam lorong bawah tanah! Apa lagi yang kau tunggu
berdiri disitu?" Ban Ai-ling mengiakan sambil membungkuk-bungkuk tubuh, tersipu-sipu ia berlari masuk
kedalam kamar terus jinjing tubuh Thian-ih, setelah menekan knop pintu rahasia terus masuk
kedalam lorong bawah tanah yang peranti dibuat berbuat mesum mereka guru dan murid.
Dalam kamar bawah tanah itu Ban Ai-ling lampiaskan kedongkolan hatinya sambil menggebuki
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
dan menendangi tubuh Thian-ih sampat babak belur, dimaki kalang kabut lagi. Karena jalan
darah tertutuk dan tidak mampu bergerak, Thian-ih mandah saja dirinya disiksa. Dari mulut
orang yang mengomel panjang pendek, Thian-ih menarik kesimpulan bahwa Cia In-hun tentu
belum sampai ternoda, legalah hatinya, diketahui pula kalau mereka guru murid tentu tak lama
lagi akan menyusul tiba, timbullah setitik harapan dalam benaknya.
Tak lama kemudian Thian-ih mendengar suara Pak-ko-seng tertawa diatas: "Kukira siapa"
Ternyata tetangga agung datang bertandang, mengapa sepagi ini" Ada urusan apakah" Lho
nona Cia, kenapa kau terpeleset jatuh " Sampai pakaianmu kotor dan robek?"
Terdengar suara Hun-tai Siancu berkata dingin: "Muridku ini bukan jatuh, adalah karena
terbokong oleh bangsat rendah yang kurang ajar. Mana muridmu itu " Kuminta panggil dia
keluar!" "Muridku, Ban Ai-ling maksudmu " Dua hari yang lalu dia pergi ke Tang-hay, kira-kira sepuluh
hari lagi baru pulang."
Sekarang nada perkataan Hun-tai Siancu mengandung kemarahan, semprotnya: "Pak-ko
Toyu, ucapan seorang kalangan kita selamanya mengutamakan kepercayaan dan kenyataan.
Terang gamblang jejak kaki muridmu menghilang sampai disini. Kalau kau mengatakan tidak
ada, apakah kau tidak terlalu menghina orang!"
Pak-ko-seng juga berkata keras: "Aneh, dia benar-benar tidak ada, kalau tidak percaya silakan
kau geledah!" "Tamuku di Hun-tiong-khek bernama Thio Thian-ih kemaren malam mendadak hilang, kukira
dia sekarang berada dirumah batu itu, harap lepaskan dia keluar."
"Hahaha, Siancu, kau ini main kelakar sama aku! Tamumu hilang kenapa minta ganti
kepadaku, kan aku bukan penyamun atau bangsa penculik. Kapan aku pernah kenal orang
yang bernama Thio Thian-ih apa segala. Ini bukan guyon-guyon !"
Sayangnya Thian-ih tidak bisa bersuara, ingin menggunakan kepalanya untuk membentur
dinding supaya bersuara, tapi seluruh badan lemas lunglai tiada sedikit tenagapun. Terdengar
olehnya suara Siancu mulai mengancam: "Pak-ko-seng, kalau kau tidak serahkan mereka
berdua, aku pasti tidak akan berhenti."
"Kalau kau tidak percaya, suruh aku bagaimana" Silakan kau periksa saja, rumah batu ini
terbagi tiga kamar, jauh lebih kecil dan sempit dari Hun-tiong-khek kediamanmu itu. Kau tidak
percaya cobalah kau geledah sendiri !"
"Sreng" terdengar suara pedang dilolos dari sarungnya, lantas terdengar lagi Siancu berkata
penuh tekad: "In-hun, menghadapi orang macam ini jangan terlalu percaya, biar aku awasi
dia, kau masuk memeriksa."
Dikejap lain lantas terdengar derap langkah Cia In-hun melangkah kian kemari diatas. Saking
tegang Ban Ai-ling berkeringat basah kuyup. Agak lama berselang baru terdengar suara Cia
In-hun penuh kemarahan dan putus asa, "Suhu, tidak ada."
Terdengar gelak tawa pak-ko-seng, serunya: "Bagaimana" Kataku kalian ini terlalu banyak
curiga, mengandal nama dan ketenaranku, masa aku bisa mencelakai tamumu" Dan lagi kalau
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kelakuan muridku tidak genah, pasti aku tidak lepaskan dia, apalagi sampai menggoda dan
kurangajar terhadap nona Cia, pasti akan kubekuk dan kutelikung diserahkan pada Siancu.
Tapi bukan mustahil nona Cia sendiri yang salah lihat orang, mungkin tamu kalian yang
bernama Thio Thian-ih itu yang berbuat kurangajar terus melarikan diri........hahaha. Siancu,
coba katakan betul tidak rekaanku ini"''
Derap langkah Hun-tai Siancu dengan Cia In-hun semakin menjauh dan hilang. Terdengar
Pak-ko-seng masih mengoceh: "Aku tidak salahkan kalian. Kita kan tetangga saling bantu
adalah jamak. Baiklah, begitu anak Ling kembali pasti aku akan gusur dia dan menanyakan
dihadapan kalian.... baiklah......selamat bertemu......"
Mendadak Ban Ai-ling melompat bangun sambil menghela napas panjang-panjang. Sebaliknya
Thian-ih merasa pilu sedih dan putus harapan. Ruang bawah tanah ini meski hanya berpaut
selapis batu dinding, sedemikian dekat tapi Hun-tai Siancu dan Cia In-hun tak dapat
menemukan tempat itu. Nanti punya nanti akhirnya Pak-ko-seng turun ke ruang bawah tanah ini, katanya sambil
mengerutkan kening: "Sungguh sukar menghadapi mereka, untung tempat ini sangat bagus
bangunannya, sedikitpun tidak kelihatan bekas-bekasnya."
"Suhu," kata Ban Ai-ling, "Thio Thian-ih ini harus diapakan, dibunuh saja bagaimana atau
dibuang kedalam jurang?"
Pak-ko-seng merenung sebentar lalu katanya: "Semua cara itu kurang sempurna. Meskipun
mungkin Hun-tai Siancu tidak mengetahui, tapi jangan sampai menimbulkan kecurigaan! Cara
yang terbaik adalah menggunakan golok orang lain untuk membunuhnya. Benar, anak Ling,
kau bawa dia ke-pulau Elang saja, biar Iblis elang itu yang membunuhnya, ini jadi tidak
menyangkut pada kita, bukankah cara ini paling baik dan sempurna?"
"Akal bagus !" teriak Ban Ai-ling memuji muslihat gurunya, "Suhu, apa sekarang juga
berangkat?" "Bocah goblok yang tidak tahu urusan," omel Pak-ko-seng merengut, "Kau sangka Hun-tai
Siancu dan muridnya sudah pergi" Hm, mereka tengah sembunyi disekitar rumah batu kita ini!
Kita harus mengulur waktu sampai mereka benar-benar sudah pergi baru berangkat. Apalagi
sejak saat ini kau jangan terburu-buru pulang, sementara waktu kau sembunyi ditempat
Susiokmu. Setelah pertikaian ini padam baru kau boleh kembali. Selanjutnya baru kita pikirkan
lagi cara untuk menundukkan mereka guru dan murid, tidak perlu terburu nafsu."
Dua hari sudah berlalu, Thian-ih terkurung dalam ruang bawah tanah itu, badan lemas tak
bertenaga, dalam keadaan perut lapar dan dahaga kesehatannya semakin jelek pikirannya jadi
kurang waras diantara sadar tak sadar. Sampai hari ketiga, Pak-ko-seng memasukkannya
kedalam sebuah kantongan besar, dipanggul diatas pundaknya terus dibawa lari secepat
terbang. Yang terasa hanya angin menderu dipinggir telinga, entah sudah berapa jauh jalan
ditempuh, akhirnya mereka tiba dipinggir laut dimana Ban Ai-ling mengendalikan sebuah
perahu tengah menanti. Pak-ko-seng mengeluarkan Thian-ih lalu membebaskan tutukan jalan
darahnya serta memberi makan dan minum. Setelah itu jalan darah pelemasnya ditutuk lagi
supaya dia meringkuk lemas diatas perahu. Lalu dia berpesan kepada Ban Ai-ling: "Setelah
sampai dipulau Elang baru kau bebaskan tutukannya. Iblis Elang itu paling suka mendapat
seorang pemuda lincah yang pandai silat! Ingat jangan lupa pesanku ini!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Ban Ai-ling mulai mengayuh perahunya menuju ke tengah lautan. Kira-kira setengah harian
kemudian dari jauh terlihat sebuah pulau muncul dihadapan mereka. Dengan hati-hati Ban
Ai-ling melabuhkan perahunya dipinggiran terus menggendong Thian-ih kedaratan, setelah
membuka jalan darahnya, seperti dikejar setan saja, dia terus lari terbirit-birit naik ke atas
perahunya lalu mengayuhnya cepat.
Walaupun jalan darah sudah bebas tapi untuk sementara waktu darah masih belum normal
berjalan jadi tubuh juga susah bergerak dalam sementara waktu. Hanya derita yang dialami
selama ini akan siksaan Pak-ko-seng dan muridnya yang membuatnya sangat menderita maka
untuk sementara waktu ia masih lemas lunglai rebah diatas tanah.
Tak lama kemudian diatas angkasa mendadak muncul sebuah benda melayang-layang diatas
kepalanya, sebentar lagi lantas berdatangan lagi beberapa ekor, lambat laun terbang semakin
rendah semua mengelilingi Thian-ih, sikapnya garang seperti hendak menyambar turun.
Sekilas pandang saja lantas Thian-ih paham asal usul nama dari pulau ini. Elang-elang raksasa
yang terbang diatas kepalanya ini sebesar meja, patuknya tajam luar biasa, cakarnya runcing
dan keras bagai tembaga. Mereka tengah menanti hendak merobek-robek tubuh Thian-ih
untuk dimakan. Cepat-cepat Thian-ih harus mengerahkan hawa murni memulihkan tenaga,
sebelum dirinya diserang tenaga harus sudah pulih dan melarikan diri.
Gerombolan burung elang ini semakin lama semakin banyak, tatkala itu tiba tengah hari,
saking banyak elang bergerombol sampai sayapnya itu menutupi sinar matahari, sehingga
Thian-ih merasa seperti disaat magrib.
Tiba-tiba salah seekor elang yang terbang rendah menukik turun, agaknya dia sudah tak sabar
menunggu lagi, cakar dan patuknya berbareng menyerang kearah Thian-ih. Maka elang-elang
lain kuatir ketinggalan tak mendapat hidangan lezat beramai-ramai lantas menerjang turun
sambil memekik-mekik ! Mendadak Thian-ih loncat bangun, "Wut, wut", dua kali pukulannya
dilancarkan. Tujuh delapan elang yang menerjang terdepan sekaligus terjungkal jatuh kena
angin pukulannya, sambil memekik-mekik elang-elang yang lain segera terbang tinggi.
Menggunakan kesempatan ini segera Thian-ih angkat langkah terus berlari kencang menyusup
kedalam rimba. Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan panjang dibelakangnya, lantas terlihat
sebuah bayangan hitam besar tengah mengejar bagai terbang. Bayangan ini seperti elang
juga, membuntuti dibelakang Thian-ih sejauh dua tiga rombak. Thian-ih sudah lari terbirit-birit
sekencangnya, tapi masih belum dapat menghindarkan kejaran bayangan hitam itu, selalu
mengikuti dibelakangnya berjarak dua tiga tombak. Begitu Thian-ih mengendorkan larinya, dia
juga terbang lamban. Seakan-akan memang sengaja hendak mempermainkan Thian-ih.
Waktu ia berpaling dilihatnya jelas bahwa bayangan hitam itu juga manusia adanya, tapi
bayangan itu agaknya malu-malu kucing, begitu dipandang dia lantas memungkur hanya
kelihatan punggungnya saja. Tampak dia mengenakan jubah hitam, rambutnya panjang
terurai, kakinya telanjang, bentuk yang aneh ini seperti setan ditengah alas pegunungan.
Hati Thian-ih kebat-kebit, melihat orang tidak bergerak, dengan membesarkan hati segera ia
menggeremet maju hendak melihat tegas, sampai jarak mereka tinggal tiga empat kaki,
mendadak orang aneh itu kebutkan lengan panjangnya kebelakang. Kontan Thian-ih merasa
seperti dadanya dipukul godam, badannya terus roboh terkapar.
Orang aneh itu mendadak pentang kedua tangannya terus loncat keudara terbang seperti
burung elang, kedua lengan panjangnya itu menari-nari ditengah udara seperti dua sayap
besar, Thian-ih merasa setiap kali lengannya itu bergerak lantas tubuhnya disambar angin
Si Kumbang Merah 16 Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Kisah Membunuh Naga 30
perintah hukum !" "Wut", tanpa banyak cakap lagi segera ujung tombaknya menusuk tiba terus berputar
berpetakan kembang perak, betapa hebat permainan tombaknya ini serasi benar dengan
nama julukannya, terpaksa Thian-ih harus melompat menyingkir.
Terdengar golok tujuh bintang Kiu San berteriak: "Saudara Yu dan kau Lu Cau kalian cegat
perempuan itu, biar aku bantu membereskan yang ini."
Thian-ih menjadi gugup, teriaknya pada Hong-gi: "Dik, lekas kembali ke rumah Kwi-locianpwe,
jangan hiraukan aku lagi."
Tanpa diminta kedua kalinya segera Hong-gi mengayun pecut terus memacu kudanya kembali.
Saat itu Yu Liat-bong dan Lu Cau sudah turun dari tunggangannya, tersipu-sipu mereka lompat
lagi keatas kuda terus mengudak dengan kencang. Tapi sedikit waktu ketinggalan ini, kuda
tunggangan Hong-gi itu sudah berlari sedemikian jauhnya!
Dengan tangan kosong Thian-ih layani permainan tombak sakti Khu Gi-liong yang menyerang
dengan sengitnya. Saat mana sigolok tujuh bintang juga sudah menerjang tiba! Bentaknya:
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Gi-liong, kau minggir, biar aku yang meringkusnya !"
Gi-Liong melompat mundur dari kalangan pertempuran. Sebab kedudukan golok sakti tujuh
bintang dalam kesatuan Bhayangkari lebih tinggi, dan lazimnya bagi seorang tokoh yang sudah
terkenal paling menjunjung tinggi pamor dan gengsi, yang diutamakan adalah berkelahi satu
lawan satu secara sportif, takkan sudi dibantu orang lain. Begitu golok tujuh bintang Kiu San
berputar, tujuh gelang tembaga yang berbentuk seperti bintang diatas goloknya itu berbunyi
gemerantang. Memang inilah pertanda khas dari ilmu goloknya itu, dengan gelang diatas
goloknya itu bunyi yang ribut dan memekakkan telinga dapat mengaburkan pemusatan
semangat serta merisaukan hati musuhnya. Sekian tahun lamanya nama Kiu San semakin
disegani tak lain karena mengandal keampuhan senjatanya ini, maka orang-orang Kangouw
memberi julukan golok tujuh bintang kepadanya.
Melihat Hong-gi sudah lari jauh, Thian-ih merasa lega, permainannya juga lebih mantep.
Kontan ia mendahului kirim sebuah jotosan. Terpaksa Kiu San mundur menghindari sambil
melempangkan golok tujuh bintangnya ke depan dengan jurus Peng-sa-bu-hin (tiada bekas
diatas pasir datar). Thian-ih tahu golok musuh adalah senjata pusaka, tak berani menangkis
maka secepat kilat tubuhnya berkelebat ke samping sambil ulurkan kedua jarinya menutuk
Kian-kin-hiat di pundak musuh, gerak cepat serangannya ini benar-benar sangat hebat
menakjupkan. Terdengar Kiu San berseru heran sinar goloknya serong membabat ke bawah,
dengan mudah sekali ia punahkan serangan Thian-ih ini.
Agaknya Lwekang dan kepandaian kedua lawan ini seimbang alias sama kuat, maka
pertempuran ini berjalan semakin sengit dan seru, dalam sekejap saja tujuh delapan jurus
telah berlalu, diam-diam Thian-ih jadi berpikir; pihak lawan masih ada bala bantuan, sedang
aku seorang diri, semakin lama semakin tidak menguntungkan bagiku. Satu-satunya jalan aku
harus cepat bertindak atau melarikan diri. Tapi hatinya kuatir akan keselamatan Hong-gi,
entah dia sudah dapat lolos sampai ke rumah Kwi Chun tidak"
Pantangan terbesar bagi tokoh silat yang sedang bertempur adalah tidak terpusatnya
perhatian, sedikit meleng saja sudah cukup memberi kesempatan pada musuh untuk
merangsak lebih hebat. Demikian juga bagi golok tujuh bintang yang sudah berpengalaman,
melihat kedua mata Thian-ih pelirak-pelirik tahu dia bahwa orang tengah memikirkan atau
menguatirkan sesuatu. Maka permainan golok tujuh bintangnya dipergencar sehingga bunyi
gelang tembaganya juga gemerantang semakin ribut memekakkan telinga. Ternyata tindakan
ini memang berhasil, satu pihak memang Thian-ih berusaha hendak melarikan diri, mendengar
suara yang merincuhkan hati lagi semakin kacau balaulah pertahanannya.
Sebaliknya Kiu San bertempur semakin gagah dan mantep, berapa gebrak kemudian dia sudah
berada di atas angin, begitu ilmu golok tujuh bintang dikembangkan perbawanya semakin
nyata bukan olah-olah, angin menderu-deru diselingi suara yang kacau balau, semakin besar
daya tekannya sehingga pendengarnya merasa pusing tujuh keliling.
Dasar Thian-ih tengah menguatirkan keselamatan Hong-gi, perhatiannya menjadi terpencar,
hampir saja pundaknya kena terpapas oleh golok musuh, tapi tak urung begitu golok sedikit
disengkelit, "Bret" bajunya kena tergantol sobek oleh gelang tembaga.
Jurus ini benar-benar sangat berbahaya, tapi malah menolong Thian-ih karena dia kaget dan
mengucurkan keringat dingin, untuk selanjutnya dia tidak berani gegabah. Bahwasanya orang
yang menghadapi bahaya serta merta akan segera memperlihatkan kepandaian
aslinya dengan jurus-jurus yang paling lihay dan ampuh. Demikian juga keadaan Thian-ih, sekaligus
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
pukulan tangan dan Ginkang perguruannya dilancarkan, secara berantai dia balas menyerang,
sedang kakinya bergerak sedemikian lincahnya berganti-ganti tempat kedudukan, angin
pukulannya juga mengandung kekuatan tenaga dalam yang tersembunyi. Berkali-kali sudah
golok tujuh bintang musuh kena terpental atau serong ke samping kesamber angin
pukulannya. Kini dari terdesak keadaannya menjadi berada diatas angin.
Karena perhatian terpusat cara bertempur Thian-ih juga semakin bersemangat, dengan
mudah saja ia punahkan permainan tujuh golok bintang malah balas mendesaknya. Setindak
demi setindak Kiu San mundur teratur, mengambil kesempatan ini mendadak Thian-ih kirim
sebuah pukulan sedang kakinya menggeser kesamping terus memutar ke belakang menutup
jalan mundur lawan, kedua jari tangan kanan dirangkapkan terus menutuk ke depan dada Kiu
San tepat di jalan darah Te-ting-hiat.
Tapi sebelum tutukannya mengenai sasarannya, Thian-ih tersentak kaget sendiri, bukankah
kematian Siu Hoa tempo hari juga dibawah tutukan jari yang hebat ini, sekali salah jangan
terulang kembali, jikalau Kiu San sampai tertutuk mati lagi bukankah berabe. Bukan mustahil
tujuh tokoh Bhayangkari lainnya akan meluruk dan mengadu jiwa dengan dirinya. Karena
lintas pikiran ini secepat itu pula ia robah serangannya dari tutukan menjadi tamparan, telapak
tangannya hanya sedikit menyentuh dan mengusap di depan dadanya. Siapa duga golok tujuh
bintang Kiu San seorang tokoh silat yang sudah luas pengalaman bertempur, sedikit
perobahan serangan Thian-ih ini lantas memperlihatkan lobang kelemahannya. Gesit sekali
goloknya bergerak dengan jurus Bu-hun-kay-hiat (mega mendung menutupi salju) membacok
ke pundak Thian-ih. Sekonyong-konyong terdengar suara "trang" terlihat golok Kiu San itu jatuh di atas tanah,
tampak pula Kiu San roboh, perlahan-lahan sambil memegangi pergelangan tangan kanannya.
Baru saja langkah Thian-ih hendak diajukan, melihat keadaan ini segera ia siaga dan gesit
sekali ia berpaling ke belakang.
Di belakangnya adalah barisan pohon-pohon hutan yang agak lebat, samar-samar masih
terlihat olehnya sebuah bayangan putih perak yang melambung tinggi membawa sinar
keemasan terus terbang menghilang. Thian-ih jadi dongkol dan gusar tanpa mempedulikan
akibatnya dengan kencang segera ia mengudak.
Dilain pihak Khu Gi-liong sendiri tidak melihat siapakah yang dikejar Thian-ih itu cepat-cepat ia
berjongkok memeriksa keadaan golok tujuh bintang Kiu San, matanya terpejamkan, denyut
nadinya juga sudah berhenti, tampak sebuah benda kecil berkilau menancap di pergelangan
tangannya, keadaan ini mirip benar dengan kematian Siu Hoa yang terkena senjata rahasia
berbisa, sekali kena racun yang mengalir ke dalam darah tiada obat dapat menolong jiwanya.
Mendelu dan pedih perasaan Khu Gi-liong, bergegas ia bangkit sambil menjinjing tombaknya
terus cemplak kudanya mengejar kearah lari Thian-ih.
Dalam pada itu Li Hong-gi yang dikejar kencang oleh Yu Liat bong dan Lu Cau melarikan
kudanya secepat terbang seperti kesetanan. Betapapun pandai cara menunggang kudanya
kalau dibanding dengan para pengejarnya ini masih terpaut sangat jauh. Dalam sekejap mata
saja derap kaki kuda di belakangnya semakin mendekat, saking kejut dan ketakutan serasa
arwah sudah terbang ke awang-awang.
Terdengar Yu Liat-bong berteriak di belakangnya: "Nona Li, tak usah lari lagi ! Kami tidak akan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
membikin susah padamu, kami hanya mengharap kau suka ikut ke kota raja!"
Ke kota raja ! Mana boleh jadi ! Besar tekad Hong-gi untuk ikut Thian-ih pergi ke Ho-bwe-pang.
Apalagi di kota raja ada Nyo Hway-giok, bukan mustahil disana bakal terjadi sesuatu diluar
dugaan, maka tanpa hiraukan seruan orang ia terus memacu kudanya.
Tiba-tiba terdengar kelintingan kuda yang tengah berlari cepat dari arah depan sana sedang
mendatangi, segera terlihat dua orang penunggang kuda yang satu tua dan yang lain muda.
Mereka bukan lain adalah Thi-pi-kim-liong Kwi Chun dan anak gadisnya siwalet putih Kwi
Tong-ing. Jauh-jauh segera Hong-gi berteriak: "Kwi-lopek, Kwi-cici, lekas tolong aku !"
Namun Yu Liat-bong dan Lu Cau sudah mengejar tiba di belakangnya, segera Lu Cau mengulur
tangan mencengkram kuduknya, sekuat tenaga Hong-gi meronta mati-matian sampai kuda
dan penunggangnya terjungkal roboh.
Baru saja Yu Liat-bong hentikan kudanya, mendadak seekor kuda telah membedal tiba serta
terdengarlah hardikan yang keras dan serak: "Anak Ing, kau bantulah Cu-kongcu, biar aku
yang melayani bangsat kurcaci ini."
Terdengar Kwi Tong-ing mengiakan di belakangnya. Kuatir bakal menantunya terluka parah
dengan gusar segera Naga mas berpunggung besi menerjang maju sambil mengayun
tangannya, karena tidak siaga Yu Liat-bong tak sempat berkelit dengan telak tubuhnya
tersampok jatuh dari atas tunggangannya.
Tujuan kedua dari pukulan Thi-pi-kim-liong adalah Lu Cau, dilihatnya Lu Cau tengah memburu
ke arah Hong-gi, karena tidak membekal senjata terpaksa ia ayun pecutnya terus menyabet,
"Tar" untung Lu Cau masih sempat mengelak, namun demikian kudanya yang menjadi
sasaran, karena kesakitan kuda itu sampai berdiri dan berjingkrak-jingkrak. Saking gusar
segera Lu Cau melompat turun.
Sementara itu sudah terdengar bentakan Yu Liat-bong yang bengis: "Siapa kau, berani kau
melindungi pelarian !"
Sekarang baru Kwi Chun tahu duduknya perkara. Ternyata Cu Bing telah melanggar hukum,
tidak heran ia tidak berani tinggal terlalu lama di rumahnya, meninggalkan gelang batu giok
dan menolak perjodohan dengan putrinya, ini tidak lain supaya urusan hukum negara tidak
merembet kepada perkampungannya. Haha, biar sekali ini dia tahu diri bahwa bapak
mertuanya ini karena urusan bakal mantunya juga berani menghadapi setiap rintangan dan
tantangan, seumpama langit bakal ambruk juga tidak peduli lagi.
Maka segera bentaknya: "Bedebah, mantuku ini melanggar hukum apa " Berani kau
menuduhnya sebagai pelarian. Kau sangka setelah aku menutup pedang lantas tidak berani
turun tangan " Haha ! Mari maju bersama biar kalian kenal kepandaian asliku meskipun tidak
menggunakan sepasang pedangku, mengandal sebatang pecut kecil ini rasanya cukup
berlebihan menghadapi kalian bangsa kurcaci !"
"Serr !" tanpa menanti reaksi orang segera pecutnya diayun menyerang ke arah Yu Liat-bong.
Belum sempat mendengar jelas perkataan orang tahu-tahu dirinya diserang, keruan Yu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Liat-bong dan Lu Cau berjingkrak gusar. Tanpa sungkan-sungkan lagi Yu Liat-bong menangkis
dan balas menyerang dengan sepasang kepalannya. Sementara Lu Cau melolos senjatanya
yang berupa sepasang tombak pendek bergigi, berbareng mereka maju merangsak dan
menyerang. Kwi Chun juga melompat turun dari atas kudanya, lama sudah tidak pernah berkelahi maka
terbangkitlah semangat dan darah mudanya. Bagai seekor harimau galak dengan garang ia
gerakkan pecutnya terus menerjang menghadapi rangsakan Yu dan Lu berdua.
Melihat usia musuhnya ini sudah agak lanjut Yu Liat-bong agak memandang enteng lawan
sedikit mengerut alis segera ia berkata pada Lu Cau: "Saudara Lu ! Kau seret saja perempuan
itu ! Segera aku menyusul !"
Sambil menjinjing tombak pendeknya Lu Cau menghampiri kearah Hong-gi yang sedang
menggelendot di haribaan Kwi Tong-ing. Mereka tengah berunding cara bagaimana harus
meloloskan diri. Mendengar orang berteriak hendak menyeret perempuannya saja, bukankah
yang dimaksud ini adalah dirinya, demikian pikir Tong-ing, sudah tentu hatinya menjadi
dongkol katanya tersenyum kepada Hong-gi: "Kongcu, kau rebah saja istirahat, biar aku beri
pelajaran pada orang kurangajar ini !"
Hong-gi manggut-manggut, tapi kuatir melukai orang dan urusan bakal berlarut tiada habisnya
segera ia berpesan: "Cici, jangan melukai mereka, diusir saja sudah cukup !"
Mendengar suara kekasihnya sedemikian nyaring lantang agak serak-serak basah, girang hati
Kwi Tong-ing, sahutnya tertawa: "Baiklah kuturuti permintaanmu."
Melompat bangun terus memapak maju menghadapi Lu Cau. Mendadak Lu Cau merasa
pandangannya agak kabur sebuah bayangan putih berkelebat di depan matanya sebelum ia
melihat tegas tiba-tiba "Plak" pipi kirinya tahu-tahu kena digampar dengan kerasnya. Lantas
terdengar makian Tong-ing: "Kunyuk, kalau kau tahu diri lekas menggelinding pergi, jangan
kau tunggu nonamu ini benar-benar turun tangan."
Lu Cau menjadi murka, kedua senjatanya bergerak sambil membentak: "Kau cari mati !" dari
atas dan bawah tombaknya itu masing-masing mengarah pundak dan lambung lawan.
Seperti ayahnya Tong-ing sendiri juga tidak membekal senjata, cepat-cepat ia melompat
mundur meluputkan diri, sesuai dengan nama julukannya siwalet putih memang Gin-kangnya
luar biasa, sekali loncat dua tombak tingginya, begitu meraba badannya untung juga dia
membekal beberapa batang senjata rahasia mata uang emas, maka dirogohnya sebatang
dipersiapkan ditangannya. Waktu Lu Cau menyerang lagi dengan senjatanya, sekali berkelebat
Tong-ing menggeser kedudukan ke samping kanan sambil membentak: "Lihat senjata rahasia
!" Dimana sinar emas berkelebat maka terdengarlah Lu Cau berteriak kesakitan. Sitangan
penembus awan Yu Liat-bong lantas sadar siapakah orang yg tengah dihadapinya ini, maka
cepat-cepat ia mundur dan menghentikan pertempuran serta serunya: "Bukankah tuan adalah
Thi-pi-kim-liong Locianpwe?"
Semangat tempur Kwi Chun sedang mencapai puncaknya melihat orang mundur dan
menghentikan perkelahian ini hatinya menjadi dongkol, jengeknya dingin: "Bagaimana!
Sangkamu setelah aku menutup pedang lantas tidak berani berkelahi" Hehe! Kalian berani
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
menyakiti menantuku. Kalau tidak kugebah kalian ini siapa lagi yang harus kupukul?"
Kali ini Yu Liat-bong sudah mendengar jelas, tanyanya terheran: "Menantumu" Siapakah
menantumu"'' Takut orang membongkar kedok penyamarannya segera Hong-gi menimbrung: "Lopek,
kawan-kawannya masih mengepung Thio-toako disebelah belakang sana, mereka bukan
orang baik-baik, jangan kau dengar obrolan mereka!"
Melihat menantunya tidak kurang suatu apa, girang hati Kwi Chun, serta mendengar Thian-ih
tengah terkepung hatinya menjadi gusar lagi, bentaknya : "Masih pura-pura pelo" Tidak lekas
pergi, apa masih mau merasakan pecutanku ini !" sambil mengancam ia mengayun tangan
"tar" pecutnya berbunyi nyaring ditengah udara.
Yu Liat-bong ialah paham bahwa yang dimaksud menantunya itu adalah Thian-ih adanya.
Sungguh sebal dan runyam demikian pikirnya. Ternyata Thio Thian-ih adalah bakal menantu
dari keluarga Kwi ini, naga-naganya urusan ini bakal susah diselesaikan. Tengah ia merenung
dan hendak memberi penjelasan sekadarnya, Kwi Chun sudah mengayun pecutnya sambil
menerjang maju lagi, terpaksa ia gerakkan kedua tangannya untuk melawan.
Dilain pihak Lu Cau sudah terluka parah, untung Tong-ing tidak mendesaknya lagi hanya
menjaga keselamatan Hong-gi. Sebaliknya Hong-gi menguatirkan keselamatan Thian-ih: "Cici,
lekaslah kau pergi menolong Thio-toako. Dia sedang dikeroyok dua orang disebelah depan
sana....... lekas..........lekaslah pergi!"
Kwi Tong-ing menjadi heran dan membatin. Sedemikian baik hubungannya dengan orang she
Thio ini sampai keselamatan sendiri juga tidak dihiraukan lagi, malah mendesak aku pergi
menolong sahabatnya itu. Tengah ia hendak berangkat terasa keadaan disini tidak
mengijinkan. Betapapun parah luka dipundak Lu Cau itu masih dapat membuatnya bergerak,
sedang ayahnya juga sedang asyik bertempur, kalau dirinya tinggal pergi lalu bagaimana
dengan bakal suaminya yang lemah, keselamatannya tiada orang yang menjamin.
Tengah hatinya bimbang dan ragu-ragu, mendadak terdengar derap langkah kuda mendatangi
dengan cepat, orang diatas kuda lantas berteriak: "Yu-toako, Kiu San sudah terbokong dan
mati dibunuh oleh bocah keparat itu dengan senjata rahasia berbisanya lagi !"
Bercekat hati Yu Liat-bong, cepat tanyanya: "Mana Thian-ih?"
Pendatang ini adalah sitombak sakti Khu Gi-liong, sahutnya: "Dia sudah lari, sudah kukejar
tidak kecandak, cepat juga lari bocah keparat itu."
Mendengar percakapan itu Hong-gi yang rebah diatas tanah menjadi girang dan kuatir,
girangnya bahwa Thian-ih ternyata tidak kurang suatu apa, kuatirnya bahwa dia telah
membunuh lagi salah seorang anggota kesatuan Bhayangkari, urusan ini selanjutnya semakin
runyam dan susah dibereskan. Dan yang terpenting sejak saat ini dia harus berpisah dengan
dirinya, mungkin dia terus melanjutkan perjalanan menuju Ho-bwe-pang, betapapun aku
harus mengejarnya kesana.
Sebaliknya Kwi Tong-ing berjingkrak girang, batinnya; sahabatmu itu telah lari setelah
membunuh orang, hendak kulihat kemana pula kau hendak mencarinya, seorang pelajar
lemah seperti kau ini bagaimana mungkin melakukan perjalanan sedemikian jauh seorang diri,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
jalan yang tepat tinggal dirumah menjadi menantu bapakku. Karena pikirannya ini wajahnya
lantas berseri-seri. Tapi melihat pihak lawan kini tambah seorang lagi cepat-cepat ia
melindungi didepan Hong-gi.
Berkatalah Yu Liat-bong: "Kwi-loyacu adalah seorang gagah yang kenamaan, kami sekalian
adalah kesatuan Bhayangkari dari istana raja. Hari ini kita terjungkal dibawah tangan
Kwi-lo-enghiong tidak perlu dibuat malu. Tapi entah mengapa Lo-enghiong malah melindungi
pelarian yang harus kita bekuk?"
Naga emas berpunggung besi juga bukan orang goblok, dari menghadapi para Bhayangkari ini
lantas dia teringat akan mutiara mestika yang menyembuhkan putrinya itu. Bukan mustahil
bakal mantunya ini dan Thio Thian-ih yang telah mencuri barang-barang mustika milik raja.
Tapi jelas kalau Cu Bing ini seorang pelajar yang lemah tak pandai silat, betapapun susah
dipercaya dia berani menjadi pencuri. Pasti Thio Thian-ih itulah yang berbuat. Maka segera ia
membuka kata: "Kalian sudah salah mencari orang. Hakikatnya dia tidak pandai main silat,
bagaimana mungkin melanggar hukum apa segala. Apa lagi mencuri" Bukankah obrolan yang
menggelikan saja " Sudah tidak perlu banyak bacot lagi, lekas kalian pergi, sejak saat ini
jangan kalian kemari mencari perkara!"
Kata Yu Liat-bong penuh kebencian: "Thio Thian-ih itu kita akan kirim orang untuk mengejar
dan mencari jejaknya, tentang Li......" dia menunjuk kearah Hong-gi.
Hong-gi menjadi kuatir, segera dampratnya: "Bedebah untuk apa kau main tuding dan tunjuk
aku?" Kata Yu Liat-bong: "Cepat atau lambat kita juga harus menyeretmu pergi kekota raja untuk
menjadi saksi, tentang mutiara itu....."
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siwalet putih Kwi Tong-ing juga tahu yang diminta mereka itu adalah mutiara mestika yang
telah menolong jiwanya itu, bagaimana juga mestika itu tidak bisa diserahkan, karena merasa
sayang; kuatir ayahnya menyanggupi untuk dikembalikan cepat-cepat ia membentak: "Lekas
pergi, jangan sesalkan nanti nonamu tidak memberi ampun pada kalian!" sambil mengancam
dirogohnya senjata rahasia, mata uang yang berkilauan ditimpali sinar surya.
Yu Liat-bong dan Khu Gi-long bergegas mengangkat Lu Cau keatas kuda terus dibawa pergi.
Hong-gi masih belum lega, beramai-ramai mereka juga naik kuda membuntuti dibelakangnya
setelah melihat mereka benar-benar mengangkut jenazah Kiu San baru mereka menghela
napas panjang. Disebelah sana terlihat kuda tunggangan Thian-ih tengah makan rumput,
perbekalannya masih utuh. Sekian lama Hong-gi berdiri termangu, besar harapannya dia akan
kembali lagi, tapi nanti punya nanti setengah harian sudah lewat tanpa terlihat bayangannya.
Terdengar Naga mas berpunggung besi membujuk: "Jikalau Ji-chengcu tidak sampai
meninggal atau terluka, pasti kepergiannya ini ada urusan penting yang perlu diselesaikan,
marilah kita kembali dulu kerumah!"
Namun Hong-gi agaknya sudah bertekad bulat, segera barang perbekalan Thian-ih dipindah
keatas punggung kudanya, lalu katanya kepada Kwi Chun ayah beranak: "Aku sudah berjanji
dengannya melakukan perjalanan menuju ke Ho-bwe-pang, mungkin dia sudah mendahului
aku, betapa juga aku harus mengejarnya."
Kecut dan mendelu perasaan Tong-ing dilihatnya orang sedikitpun tiada perhatian terhadap
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
dirinya. Sampai pada detik dan keadaan demikian bagaimana juga sikap seorang perempuan
yang mudah tersinggung lantas terunjuk dalam lahirnya, karena malu untuk bicara langsung
terpaksa ia merengek kepada ayahnya.
Sudah tentu sang ayah juga memaklumi perasaan anaknya, maka segera katanya:
"Menantuku yang baik, kalau sedemikian besar tekadmu hendak pergi, biarlah Tong-ing ikut
serta sebagai kawan dalam perjalanan. Memang kau sudah tidak mungkin tinggal terlalu lama
disini supaya mereka tidak mencari onar lagi kepadamu, lebih baik kalau kau langsung menuju
ke Ho-bwe-pang. Tong-ing banyak kenal dengan para sahabat dari Ho-bwe-pang. Usia
Tong-ing juga cukup dewasa dan sudah saatnya untuk keluar pintu mencari pengalaman. Tapi
kita harus pulang dulu supaya Tong-ing mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan
diperjalanan!" Sebetulnya Hong-gi ingin menolak, tapi kalau secara langsung dikatakan mungkin akan
menyinggung perasaan mereka ayah dan anak. Apalagi seorang diri dalam perjalanan sejauh
ini juga cukup sunyi dan menakutkan, kalau ada seorang teman rasanya lebih
menggembirakan juga. Sepanjang perjalanan ini perlahan-lahan mencari kesempatan untuk
menjelaskan tentang kedoknya dalam penyamaran ini. Karena pemikiran ini segera ia
manggut-manggut menyetujui. Sudah tentu Tong-ing kegirangan.
Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Thian-ih yang tengah mengejar bayangan putih perak
itu. Jelas sekali dirinya dijadikan kambing hitam sebagai pembunuh jahat, darah bergolak dan
hawa amarah berkobar dalam benaknya, bentuk bayangan yang sudah sangat dikenal dan
Ginkang yang luar biasa itu dulu sudah pernah dilihatnya, kalau dulu dirinya kewalahan terang
kali ini pengejarannya juga pasti akan sia-sia belaka.
Kejar punya kejar tahu-tahu dari kejauhan didepan sana terlihat bangunan sebuah kota.
Sampai sedemikian jauh Thian-ih juga merasa dahaga dan lelah, perlahan-lahan ia kendorkan
larinya, dalam sekejap itu bayangan putih perak didepan sana lantas berkelebat menghilang
entah kemana. Tanpa merasa timbul perasaan giris dan dingin dalam sanubari Thian-ih, bukan
saja ilmu kepandaian orang itu bukan menjadi tandingannya, sepak terjang orang yang serba
misterius serta ilmu Ginkangnya yang hebat itu betapapun dirinya takkan mungkin dapat
mengungkuli. Alhasil dendam kematian engkohnya serta para sahabatnya yang ikut mati
konyol itu bagaimana juga susah dapat terbalas lagi. Malah sekarang dirinya dicap sebagai
pelarian yang mencuri benda-benda pusaka digedung istana raja itu, dalam waktu yang
singkat saja pasti berita ini akan tersebar luas di kalangan Kangouw, sampai air laut kering juga
takkan dapat mencuci bersih nama baiknya yang sudah ternoda itu.
Thian-ih menjadi putus asa, sebagai murid Kiam-bun It-ho yang sangat kenamaan ilmu
kepandaiannya,tapi mengapa setiap kali bergebrak dengan lawan selalu terasa kepandaian
sendiri masih terpaut jauh dibanding lawan, apa mungkin gurunya tidak memberi pelajaran
sepenuh hati sampai kepandaiannya begitu cetek dan jelek tidak ungkulan dari orang lain,
demikianlah hati kecil Thian-ih timbul pertanyaan yang susah terjawab sendiri olehnya.
Sebelum masuk kota Thian-ih istirahat dulu dipinggir hutan, setelah merasa lapar terus masuk
kota dan mencari sebuah rumah makan yang paling dekat. Juragan rumah makan itu seakan
sudah kenal Thian-ih saja, dengan hormat dan sopan sekali ia persilahkan Thian-ih duduk,
malah tanpa dipesan lagi segera beberapa rupa makanan yang lezat dan enak-enak sudah
membanjir keluar diatas meja. Thian-ih sendiri juga segan membuka mulut, dengan lahap ia
sapu habis semua hidangan yang disajikan kini. Setelah perut terasa kenyang baru dia
menerawang tindakan selanjutnya yang harus dilakukan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Perjalanan ke markas besar Ho-bwe-pang yang terletak di Tam-yang-ouw masih sangat jauh,
kalau tidak jadi kesana, sedang sibaju perak sudah menghilang jejaknya, lalu bagaimana
dirinya harus mengambil kepastian.
Dalam melayangkan pikirannya itu lantas teringatlah Hong-gi, apakah kekasihnya itu dapat
meloloskan diri dari kejaran Yu Liat-bong dan mendapat pertolongan dari Kwi Chun ayah
beranak" Bagaimana juga aku harus balik melihatnya, tidak tega rasanya membiarkan dia
seorang diri disana, seumpama Kwi Chun dan keluarganya tahu penyamarannya itu dan
menjadi gusar bukankah berabe sekali. Apalagi kuda dan perbekalannya masih berada
disana...... teringat akan perbekalan dia lantas tersentak kaget, bukankah perak dan uangnya
juga tersimpan dalam buntalannya itu, sekarang dirinya tidak membekal sepeser uangpun jua,
waktu merogoh kantong benar juga kosong melompong, apapun tidak dibekalnya.
Kota ini kira-kira tigapuluhan li jauhnya dari tempat pertempurannya itu, tangan Thian-ih yang
terulur masuk kantong jadi susah dikeluarkan, sekian lama dia duduk melongo entah
bagaimana cara penyelesaiannya ini.
Juragan rumah makan itu dipanggilnya, sambil berseri tawa bertanya si juragan rumah makan
itu: "Tuan, sudah selesai makan" Perlu tambah apa lagi ?"
Thian-ih merasa tidak enak hati, sekian lama dia susah membuka mulut: "Kau sebagai juragan
rumah makan ini aku ada sedikit urusan hendak bicara dengan kau tentang uang makan..."
Tak duga sebelum selesai perkataannya, si juragan rumah makan sudah menukasnya:
"Maksud tuan tentang ongkos makan ini bukan" Siang-siang sudah dipesan dan dibayar
lunas!" Thian-ih terperanjat, cepat ia bertanya siapakah yang telah bayar. Sahut juragan rumah
makan; "Seorang tuan yang mengenakan pakaian baju perak, dialah yang pesan dan minta
disediakan makanan untuk tuan. Malah dia juga suruh kami menyampaikan pesannya bahwa
dia melanjutkan perjalanan menuju ke timur suruh tuan segera mengejarnya, juga sudah
disediakan seekor kuda untuk tuan!"
Thian-ih bungkam seribu basa. Sementara itu pelayan rumah makan telah menuntun keluar
seekor kuda yang serba lengkap, pelana dan pedalnya masih baru gres. Sepak terjang baju
perak ini betul-betul sangat misterius, belum jauh dia meninggalkan Thian-ih, tapi dalam
waktu sedemikian singkat sudah dapat menyelesaikan urusan sedemikian banyak.
Thian-ih berpikir, tindakannya yang demikian cekatan dan rapi, tapi dia lupa satu hal. Mana dia
dapat menyelami isi hatiku yang tengah merindukan Hong-gi disebelah belakang setelah
kenyang gegares hidangannya, dengan menunggang kuda yang baru dibelikan ini terus bukan
menuju ke timur, tapi malah putar balik biar dia kecele. Setelah berada diatas kuda baru saja
hendak dilarikan ke arah barat, tiba-tiba dilihatnya secarik kertas terselip dibawah pelana,
kertas itu penuh tulisan yang berbunyi: "Tak usah terkenang akan Hong-gi, adikmu itu selamat
tak kurang suatu apa. Cepat-cepatlah menuju ke laut timur, disana kau akan menemukan yang
menguntungkan." tulisannya indah dan kuat berlekak-lekuk sangat jelas, inilah tulisan Si baju
perak berpedang emas itu.
Sungguh Thian-ih tidak habis paham apa gerangan yang tengah diaturnya ini" Sudah terang
kalau dirinya dipihak yang bermusuhan, sekali angkat tangan atau tendang saja cukup untuk
membuat dirinya mampus. Tapi selama ini dia tidak pernah turun tangan terhadap Thian-ih,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
hanya para sahabatnya saja yang konyol menjadi korban, tinggal dia seorang diri. Perjalanan
yang jauh dan melelahkan, rasa dongkol dan keki berkecamuk dalam benaknya. Semua ini
bukan saja tidak dihiraukan oleh lawan malah memberi petunjuk untuk menuju ke timur
dengan pengalaman aneh yang menguntungkan apa segala. Setelah sekian lama direnungkan
akhirnya dia ambil kepastian untuk melanjutkan ke timur seperti petunjuk dalam carik kertas
itu. Meskipun kuda dan pelananya serba baru, namun selama perjalanan ini sepeserpun Thian-ih
tidak membekal uang. Akan tetapi lawannya sibaju perak itu sepanjang jalan telah mengatur
segala keperluannya dengan rapi dan beres. Setiap tiba disebuah kota tentu menginap
disebuah hotel terbesar dan mewah, hidangan paling lezat dan enak adalah makanannya, tidur
dihotel serba mewah dengan gratis. Sampai pakaian luar dalam yang diperlukan juga sudah
disediakan dalam hotel-hotel yang dikunjunginya. Sepanjang jalan ini meskipun sibaju perak
meninggalkan segala keperluan ini itu, tapi selama ini tak pernah meninggalkan uang. Thian-ih
tahu pasti dia kuatir begitu dirinya mengantongi uang segera memutar balik lagi. Entah apa
maksud tujuannya memancing dirinya menuju ke laut timur"
Hari itu tiba juga disebuah kota besar dipinggiran lautan timur, disini sibaju perak
meninggalkan sepucuk surat yang berbunyi : "Besok tengah hari pergilah panjat Hun-tai diatas
puncak akan ada orang menyambut kau!" Ternyata ia menjanjikan Thian-ih bertemu di
Hun-tai-san, tapi entahlah apakah dia sendiri yang menantikan disana.
Hun-tai-san terletak sebelah timur keresidenan Tang-hay, gunung ini terbagi depan dan
belakang Hun-tai-san. Thian-ih tidak tahu entah gunung yang mana yang ditunjuk dan
dimaksud oleh sibaju perak. Menurut pelayan hotel bahwa Hun-tai-san depan lebih ramai dari
yang dibelakang. Lantas terpikir deh Thian-ih pastilah Hun-tai-san belakang yang
dimaksudkan, setelah menanyakan cara perjalanan ini dengan kudanya ia menuju ke
Hun-tai-san. Puncak dari Hun-tai-san belakang ini ada dua terletak disebelah kanan kiri, dilihat dari
kejauhan tingginya hampir sama, Thian-ih sendiri tidak tahu puncak yang mana yang
dimaksud oleh sibaju perak. Apa boleh buat akhirnya dipilihnya puncak disebelah kiri itu. Jalan
pegunungan agak sempit dan tidak rata kuda sukar dapat manjat keatas, terpaksa Thian-ih
turun dan berjalan kaki, sampai beberapa li kemudian baru jalanan menjadi datar dan rata,
sepanjang jalan ini panorama sangat mempersonakan, Thian-ih naik keatas kudanya.
Tatkala itu sudah menjelang tengah hari, matahari sudah mulai doyong ke arah barat, hawa
diatas pegunungan ini sangat sejuk, dilihatnya awan mengembang di lereng gunung,
pemandangan ini sungguh melegakan hati, Thian-ih merasa lapang dada, mendadak ia bersuit
panjang. Sekonyong-konyong terasa diatas kepalanya ada gerakan suara yang mencurigakan, begitu ia
mendongak kagetnya luar biasa hampir saja jantungnya melompat keluar dari rongga
dadanya, ternyata sebuah batu sebesar kuda tunggangannya tengah melayang turun dengan
cepatnya tepat diatas kepalanya, jaraknya terpaut sangat dekat, kalau tidak sempat
menyingkir.................. Thian-ih berteriak kejut, bahwasanya orang dalam bahaya pasti
keluarkan kecerdikannya untuk mencari jalan hidup, tangkas sekali ia menggelinding ke
samping, terpaut sedetik saja lantas terdengar suara gemuruh yang menggetarkan bumi,
dimana batu besar itu jatuh, sungguh kasihan kuda tungangannya itu hancur lebur seperti
bergedel, darah dan daging berceceran kemana-mana.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Thian-ih mengelus dada, saking kejutnya badan sampai gemetar, untung benar bahwa dirinya
masih selamat, baru saja ia hendak bangkit berdiri, mendadak kakinya menginjak tempat
kosong, ternyata di pinggir jalan kecil itu adalah rumpun pohon kecil, tak tahunya belakang
rumpun pohon kecil ini adalah jurang yang sangat dalam, Thian-ih tidak memperhatikan hal
ini, kontan tubuhnya terjerumus melayang ke dalam jurang.
Tiba-tiba terdengar olehnya suara gelak tawa orang dari atas. Kiranya memang ada orang
yang tengah menjebak dirinya, Thian-ih memandang ke bawah, lamping jurang ini sedemikian
curam entah berapa dalamnya sampai tidak kelihatan dasarnya, sekali jatuh kesana pasti
tubuhnya hancur lebur, karena merasa tiada harapan lagi, segera ia pejamkan mata pasrah
nasib. Mendadak terasa tubuhnya menyerempet entah benda-benda apa, timbul lagi harapan
hidupnya, secara gerak reflek tangannya menggapai dan mencengkram dengan kencang,
kiranya yang dicekal adalah akar pohon-pohon penjalin yang menjalar diatas tebing itu,
untung tubuhnya melayang dekat dinding gunung sehingga dia selamat bergelantungan
memegangi akar pohon itu.
Orang diatas itu masih perdengarkan gelak tawanya yang menggila, agaknya sangat puas dan
kegirangan, dari bawah Thian-ih masih dapat melihat bayangannya, orang itu mengenakan
pakaian serba hitam, ternyata bukan sibaju perak yang disangkanya, tapi entah apakah
tujuannya hendak membunuh dirinya dengan jebakan yang keji ini" Hatinya geram sekali,
segera kaki tangannya mulai bergerak merambat naik ke atas, untuk membuat perhitungan
dengan si baju hitam ini.
Karena dinding gunung sangat licin susah untuk dipanjat, namun Thian-ih tak putus asa
dengan susah payah ia harus merambat ke atas sambil mengeluarkan ilmu cecak merambat
dinding, diam-diam hatinya berdoa supaya usahanya ini tidak sampai konangan oleh si baju
hitam. Kalau tidak dia tengah berdiri di pinggir jalan, sekali ulurkan tangan saja pasti tamatlah
jiwanya. Tak kira si baju hitam itu kiranya juga cukup cerdik, dengan cermat ia longak-longok,
Thian-ih yang sudah sembunyi dan mepet dinding masih terlihat juga olehnya. Terdengar ia
bergelak panjang, Thian-ih tahu bahaya tengah mengancam lagi, lekas-lekas ia kerahkan
tenaga untuk berjaga-jaga, sedapat mungkin tubuhnya dipepetkan ke dinding gunung.
Mendadak orang di atas itu melancarkan pukulan-pukulan dahsyat sampai debu dan
dahan-dahan pohon beterbangan, tapi karena Thian-ih sembunyi mepet dinding, maka
samberan angin pukulannya itu tidak sampai mengenai dirinya, sementara waktu agaknya dia
masih kuat bertahan. Melihat usahanya ini tidak membawa hasil, cepat-cepat ia mengusungi beberapa buah
batu-batu terus digelundungkan ke bawah, begitu melayang jatuh batu itu menggelundung ke
depan, meskipun suaranya bergemuruh tapi sedikitpun tidak mengenai Thian-ih. Kesempatan
ini digunakan Thian-ih untuk terus merambat ke atas, akhirnya sampai juga di pinggir jurang,
kebetulan si baju hitam tengah mengusung lagi beberapa buah batu. Sekali loncat ringan
sekali Thian-ih menginjakkan kaki di atas tanah, tanpa hiraukan napasnya yang masih
ngos-ngosan, cepat-cepat ia bersiap hendak menghadapi lawan.
Si baju hitam tengah memanggul sebuah batu besar, begitu memutar tubuh, tahu-tahu
Thian-ih sudah berdiri di hadapannya, tampak bajunya sudah koyak-koyak, mukanya terbaret
banyak luka-luka kecil, darah masih mengalir keluar, sepasang matanya mendelik dengan
garangnya, sikapnya ini sangat menakutkan, tanpa merasa si baju hitam sampai mendelong
dan kesima sekian saat. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Dilihatnya oleh Thian-ih si baju hitam ini masih sangat muda, kulitnya putih berwajah cakap,
namun sepasang matanya memancarkan sifat-sifat sombong dan culas serta keji. Thian-ih
berpikir, aku belum pernah kenal orang ini mengapa ia menjebak hendak membunuh aku.
Maka segera bentaknya: "Siapa kau" Mengapa kau jebak aku ke dalam jurang?"
Si baju hitam menyeringai iblis, jengeknya: "Kau ini yang bernama Thio Thian-ih ?"
Thian-ih mengangguk. Mendadak dia angkat batu besar itu sambil berteriak: "Kalau kau Thio
Thian-ih maka kau harus mampus!" mendadak ia lemparkan batu besar itu.
Thian-ih melejit setinggi tiga tombak. "Blang", tempat dimana ia tadi berdiri sampai melesak
dalam ketindih batu sedemikian besar, waktu Thian-ih melayang jatuh lagi tepat ia menginjak
diatas batu yang baru jatuh ini.
Tanpa banyak kata lagi sambil menggerung gusar si baju hitam segera menubruk maju sambil
menyerang dengan pukulannya, tenaga pukulannya sangat kuat dan deras, hampir saja
Thian-ih keterjang jatuh lagi ke dalam jurang.
Mendadak timbul kecerdikan Thian-ih lagi, tangkas sekali tiba-tiba ia mendakan tubuh, terus
menyeruduk kedepan, gesit sekali sibaju hitam mengelak. Kini kedudukan mereka terbalik,
Thian-ih mepet dinding sedang sibaju hitam membelakangi jurang. Sekonyong-konyong sibaju
hitam menjotos lagi dengan kekuatan penuh. Kalau tadi Thian-ih beruntung tidak sampai
terjungkal lagi kedalam jurang, namun kini mepet dinding tiada tempat untuk mundur lagi
terpaksa ia angkat tangan untuk menangkis. "Blang", kedua tangan tergetar sampai linu,
dinding batu dibelakangnya sampai tergetar berhamburan sehingga kepala dan mukanya kotor
kena debu. Agaknya sibaju hitam sudah menjajal bahwa tenaga dalam Thian-ih ternyata tidak dibawah
dirinya, sambil tertawa dingin kakinya bergerak pindah kedudukan terus merangsak maju lagi,
dimana kedua jarinya dirangkapkan terus menutuk ke tenggorokan Thian-ih. Thian-ih
kerahkan tenaga sekuatnya ia menangkis dengan sebuah pukulan. Tapi mendadak sibaju
hitam merobah serangan tutukan menjadi tamparan, telapak tangannya menyerempet lewat
diatas pundaknya, terasa sakit seperti dipapas pisau.
Thian-ih insaf kepandaian sendiri masih bukan tandingan lawan. Siapa duga yang dimaksud
oleh sibaju perak tentang pengalaman aneh yang membawa keberuntungan ternyata adalah
menyuruh dirinya ke Hun-tai-san ini untuk mengantar kematian. Apalagi sibaju hitam ini sudah
mengetahui namaku sebelumnya, ini menambah tebal dugaannya ini.
Terpaksa Thian-ih kuras kepandaian yang dipelajarinya dari gurunya, sedapat mungkin dia
membela diri. Tapi sepasang lengan baju sibaju hitam menari-nari sangat cepat, tenaganya
besar pula, sehingga Thian-ih mati kutu dan terkepung dalam kekangan tenaga pukulannya
itu, seumpama kucing mempermainkan tikus saja, demikianlah keadaan Thian-ih sekarang.
Tahu kalau dirinya tidak bakal ungkulan, dengan rapat ia menjaga diri jangan sampai terlihat
lobang kelemahannya. Tapi bertempur cara begini apa pula gunanya bagi dirinya " Diatas
pegunungan yang sepi ini, siapa pula yang bakal menolongnya. Agaknya sibaju hitam juga
tidak sabaran lagi, jurus-jurus dan tipu-tipu ganas segera dilancarkan, menghadapi yang ini tak
tahu sudah terancam dengan serangan yang lain lama kelamaan Thian-ih merasa sekelilingnya
terkepung oleh bayangan sibaju hitam, tahu dia bahwa pertahanan cara demikian pasti tidak
akan berlangsung lama, hatinya mulai berpikir cara untuk melarikan diri atau bila terpaksa
biarlah membunuh diri saja daripada terhina.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Mendapat hati sibaju hitam merogoh rempelo, dimana angin pukulannya menyambar lewat
segera Thian-ih menubruk maju menempuh bahaya, tapi tubuhnya terpental balik lagi oleh
sebuah pukulan musuh terus terpantek di dinding gunung, begitu tangan kanan diulurkan dua
jarinya menutuk kearah mukanya. Thian-ih kenal jurus tutukan yang dinamakan
Liong-hi-siang-cu (naga mengambil sepasang mutiara), yang diarah adalah kedua biji
matanya, tangan dan kaki Thian-ih sudah terkekang oleh musuh, tubuhnya susah bergerak
lagi, agaknya kedua matanya ini susah diselamatkan lagi.
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terlihat olehnya jari tak bernama dari tangan kanan sibaju hitam mengenakan sebuah cincin
yg berbentuk aneh, bersinar kemilau ditimpa sinar matahari, semakin dekat dan dekat.......
"Creng'' mendadak sebuah kilatan menyambar cincin diatas jari sibaju hitam, maka jari yang
diulurkan dan sudah mengenai kulit mata Thian-ih itu mendadak ditarik kembali secepat kilat,
lantas terdengarlah sebuah suitan nyaring panjang dari kejauhan. Thian-ih membuka mata
seperti baru sadar dari impiannya. Mendadak sibaju hitam berobah sikap, wajahnya
mengunjuk tawa berseri terus menarik lengannya dan berkata: "Saudara Thio, membuat kau
kaget saja. Siaute hanya bermain-main saja dengan kau!''
Tiba-tiba terasa angin berkesiur sebuah bayangan orang melayang turun dengan ringannya.
Thian-ih merasa pandangannya menjadi terang serta hidungnya mengendus bau harum. Tam-
pak seorang gadis yang mengenakan serba putih tengah berdiri tegak dihadapan mereka,
wajahnya yang jelita itu mengunjuk rasa gusar, sepasang matanya yang bening bak bintang
kejora itu tengah menatap tajam memancarkan sinar gusar. Justru sorot gusar ini ditujukan
kearah sibaju hitam. Bagai tikus ketemukan kucing, sibaju hitam menundukkan kepala tak berani beradu pandang
dengan gadis serba putih ini. Terdengar gadis itu menyemprot: "Ban Ai-ling, apa yang kau
lakukan" Berani kau hendak membunuh dia?"
Ternyata sibaju hitam bernama Ban Ai-ling, terdengar ia menyahut gagap: "Adik Hun, kau
salah paham lagi, aku hanya bermain-main saja dengan saudara Thio ini !" sorot mata yang
minta dikasihani memandang kearah Thian-ih, agaknya minta belas kasihannya. Katanya lagi:
"Saudara Thio, coba katakan bukankah kita hanya main saja" Bukankah kita tadi datang
bergandengan tangan!"
Thio Thian-ih mendenguskan hidungnya keras-keras, hatinya merasa muak dan dongkol
melihat sikap licik dan menjilat sibaju hitam yang bernama Ban Ai-ling ini.
Tapi sigadis baju putih juga tidak gampang ditipu, jengeknya dingin: "Bagus sekali Ban Ai-ling,
kau menipu aku mengatakan hendak membantu aku menyambut tamu dan menghadang
dipuncak sebelah kiri ini. Tidak kira kau mengandung maksud jahat, untung aku sudah curiga
akan sikapmu tadi dan lekas-lekas memburu tiba, kalau tidak bukankah Ji-chengcu ini sudah
terjebak dalam tipu muslihatmu." sekilas ia melirik kearah Thian-ih, dimana tangan merogoh
pinggang "sreng" sebilah pedang pusaka lantas dihunus ditangannya, dibawah sinar matahari,
pedang itu memancarkan sinar kebiru-biruan.
Agaknya Ban Ai-ling ini sangat takut menghadapi gadis baju putih, cepat ia membela diri:
"Betul-betul aku hanya main-main saja, aku hanya ingin menjajal kepandaian ajaran dari
Kiam-bun-It-ho tulen yang disohorkan itu, akibatnya...."
Gadis baju putih ini agaknya cukup cerdik, kalau dibiarkan saja mengudal mulut pasti dia akan
mengisahkan keadaan Thian-ih yang tidak becus melawan kepandaiannya, hal ini kiranya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
cukup memalukan bagi Thian-ih yang masih berdiri melongo ditempatnya. Maka cepat-cepat ia
menukas: "Tak usah banyak mulut lagi, lekas kau pergi, aku tidak memerlukan tenagamu lagi
!" Kata Ban Ai-ling: "Adik Hun, biarlah aku menemani kalian menuju ke Hun-tiong-khek."
Gadis baju putih malah membanting kaki berulang-ulang, semprotnya: "Tidak usah dan tidak
perlu, kita bisa jalan sendiri, masa aku tidak kenal jalanan?"
Melihat orang tetap menolak, apa boleh buat akhirnya Ban Ai-ling berkata dengan wajah
mengunjuk sikap mesra: "Kalau begitu baiklah adik Hun, besok kita bertemu ditempat lama."
Thian-ih jadi berpikir; dilihat keadaan ini agaknya Ban Ai-ling dan gadis baju putih ini adalah
sepasang kekasih. Diam-diam ia merasa gegetun dan sayang bagi gadis nan ayu jelita ini.
Tak kira mendadak si gadis baju putih menegakkan alis serta hardiknya: "Ban Ai-ling, apa
maksudmu dengan tempat lama apa segala. Kita dari Hun-tiong-khek selamanya tidak
berhubungan dengan kalian guru dan murid, kuharap jangan kau sembarang mengoceh."
habis berkata ia memutar tubuh menghadap Thian-ih terus sapanya: "Ji-chengcu, mari kita
berangkat !" tanpa hiraukan orang lagi mereka terus manjat keatas gunung.
Terdengar Ban Ai-ling tertawa dingin, entah apa yang digrundelkan, dengan mendelong ia
awasi kedua orang muda mudi ini menghilang dari pandangannya.
Dalam perjalanan ini tanpa Thian-ih keburu membuka mulut, sigadis baju putih sudah
mendahului menerangkan: "Aku bernama Cia In-hun, guruku adalah Hun-tai Siancu (dewi
gunung Hun-tai), kita tinggal di Hun-tiong-khek yang terletak dibelakang puncak sebelah kiri
sana. Kemaren guruku mendapat kabar bahwa Ji-chengcu akan berkunjung kemari, maka
pagi-pagi benar dia menyuruh aku menunggu di-puncak depan ini."
Segera Thian-ih bertanya: "Nona Cia, orang yang memberi kabar itu apakah seorang yang
mengenakan baju perak" Dimana dia sekarang?"
Melihat sikap orang yang gugup, Cia In-hun unjuk senyum geli, sahutnya: "Tentang ini, maaf
aku tidak bisa memberi jawaban. Aku sendiri tidak melihat orang baju perak itu dan tidak tahu
dimana dia sekarang. Harap Ji-chengcu langsung tanyakan saja kepada Suhu nanti!''
Setelah mengucapkan perkataannya tadi, sibaju putih terus bungkam membisu, wajahnya
masih mengunjuk senyuman manis, tapi rada bersikap malu-malu seperti gadis umumnya
kalau berhadapan dengan pemuda. Begitulah sekian lama ia berjalan didepan menunjuk jalan,
sesekali ia menoleh ke belakang, dilihatnya Thian-ih tengah memandangi dirinya, disangkanya
orang lelah dan ingin istirahat, maka segera katanya tertawa: "Sudah hampir sampai, itu diatas
sana!" Thian-ih memandang keatas tempat yang ditunjuk itu adalah sebuah puncak kehijauan yang
diselubungi kabut putih, samar-samar terlihat atap genteng yang bewarna merah. Diam-diam
ia bertanya dalam hati; siapa dan tokoh macam apakah Hun-tai Siancu ini"
Bangunan rumah dipuncak ini ternyata berbentuk lain dari pada yang lain. Setelah beberapa
langkah lagi jalan pegunungan sudah habis dilalui, kini mereka harus menerobos semak-semak
pohon yang berduri tajam. Cia In-hun membuka jubahnya terus loncat berlarian diatas rumpun
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
bunga dan pohon-pohon liar. Waktu ia berpaling dilihatnya Thian-ih juga tengah menelat
perbuatannya, dilihatnya ilmu ringan tubuh orang ternyata tidak dibawahnya terus
membuntuti dibelakangnya. Agaknya Cia In-hun berlega hati, mulutnya berkecek memuji
diam-diam ia merasa kagum.
Thian-ih melihat gerak kaki orang sedemikian lincah dan seenteng burung walet terbang pesat
diatas pepohonan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun juga, sebaliknya setiap kaki sendiri
bergerak pasti terdengar suara keresekan dari sentuhan dahan-dahan pohon itu, diam-diam ia
merasa malu sendiri. Teringat olehnya akan pertolongannya tadi, dari kejauhan melepas
senjata rahasia yang tepat mengenai cincin yang dikenakan di jari Ban Ai-ling sehingga
pemuda jahat itu tahu diri dan mundur teratur. Kepandaian semacam ini benar-benar jarang
terlihat di dunia persilatan. Entah bagaimana kepandaian gurunya Hun-tai Siancu itu " Kalau
muridnya saja sudah sedemikian lihay, pasti kepandaian gurunya itu lebih mengejutkan lagi.
Baru sekarang Thian-ih insaf akan setinggi-tinggi gunung masih ada yang lebih tinggi, semakin
terasa pula olehnya betapa kerdil kepandaian sendiri ini.
Setelah melewati semak belukar yang berumpun duri ini, bangunan genteng merah itu sudah
terlihat semakin jelas. Tengah mereka berlari dengan pesat, mendadak Cia In-hun berhenti
dan melintangkan tangan, katanya tertawa: "Tuan tamu yang mulia hati-hatilah!"
Begitu Thian-ih memandang kebawah kakinya kejutnya bukan kepalang, tepat dibawah
kakinya kiranya adalah sebuah jurang yang dalam dan pekat diselubungi kabut entah berapa
dalamnya. Ternyata meskipun bangunan rumah bergenteng merah itu sudah tidak jauh
jaraknya, tapi untuk mencapai tempat itu mereka masih harus melewati sebuah jurang
didepannya ini. Didapatinya diatas jurang terbentang seutas tali sebesar jempol kaki, tali ini
bergoyang gontai dihembus angin.
Thian-ih berpikir, apakah harus melewati tambang ini kalau mau menyebrang kesana, dilihat
dari besarnya tali itu diam-diam ia menimang dan tiada pegangan dapat lewat dengan selamat
ke sebrang sana. "Ji-chengcu," terdengar Cia In-hun berkata: "Kita harus kesana lewat tali ini, meskipun jurang
ini tidak begitu lebar, tapi selain guru dan Pak-ko-seng tiada seorangpun yang pernah kulihat
dapat terbang ke sana, semua orang yang lewat harus menggunakan tali tambang ini............"
Thian-ih membatin, bocah perempuan ini pandai menipu orang, betapa lebar jurang ini
sedikitnya juga ada sepuluhan tombak, gurunya kan bukan burung, mana mungkin terbang
lewat di tengah udara. Lalu terdengar pula penjelasannya tentang tali tambang itu adalah
terbuat dari untaian urat-urat binatang, puluhan tahun sudah berselang tapi masih kokoh kuat.
Dengan ringan sekali gadis baju putih itu loncat ke atas tambang, dua kali entulan tubuhnya
sudah melesat sampai di tengah-tengah jurang, dengan seenaknya ia berdiri seumpama di
tanah datar saja. Kuatir Thian-ih tidak percaya disini ia menggerakkan tubuh sambil
berjongkok dan mengentul-entul sampai tambang itu bergoyang gontai, bukan takut malah dia
tertawa berseri dan berseru kepada Thian-ih: "Ji-chengcu, lihatlah, tambang ini sedemikian
kokoh kuat." Di kejap lain gadis baju putih sudah tiba di seberang jurang dengan selamat. Thian-ih
membatin betapa sukarpun juga harus kucoba, supaya tidak menjadi buah tertawaan seorang
gadis. Teringat olehnya sejak meninggalkan perguruan, entah sudah berapa kali menghadapi
dan mengalami pertempuran-pertempuran dahsyat yang membahayakan jiwa, demikian juga
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kali ini, paling banyak terkubur didalam jurang, apa pula yang harus ditakutkan. Setelah
berketetapan timbullah semangat dan keberaniannya, begitu mengembangkan ginkang terus
melayang dan hinggap di atas tambang itu.
Terasa kakinya seperti menginjak di atas tanah saja, memang tambang itu sangat kuat dan
keras, maka dengan lega hati ia maju terus sampai di tengah, tiba-tiba terdengar olehnya
dibawah sana suara yang gemuruh dari deburan ombak tak tertahan lagi ia melongok ke
bawah. Tampak di bawah jurang sana ternyata adalah arus air yang sangat deras sekali
bergelombang tinggi, suaranya gemuruh bagai geledek, tanpa merasa hatinya menjadi ngeri
dan takut, sedikit gemetar kakinya lantas terpeleset jatuh...............
Dalam saat-saat yang kritis itu untung tangannya masih sempat meranggeh dan memegang
kencang tambang aneh itu sehingga tubuhnya bergelantungan. Terdengar seruan kaget,
secepat terbang enteng sekali Cia In-hun berlari datang berdiri di atas tambang sambil
mengulur tangannya terus menjinjing tubuh Thian-ih ke atas. Thian-ih merasa mukanya
merah membara. Setelah sampai di seberang jurang Thian-ih mengintil terus di belakangnya, tak lama kemudian
di tengah-tengah kabut yang tebal di hadapannya telah berdiri sebuah bangunan gedung yang
bergenteng merah itu, bangunan gedung ini begitu megah dan angker, diatas pintu depan
tergantung sebuah papan nama yang bertuliskan "Hun-tiong-khek" tiga huruf, kiranya tepat
dan serasi benar nama ini dengan keadaan sekelilingnya.
Baru saja kakinya melangkah masuk pintu lantas hidungnya diserang bebauan wangi dari
harumnya kembang-kembang yang sedang mekar, di belakang emper sebelah sana terlihat
seekor burung betet segera menggape-gapekan sayap sambil berteriak: "Tamu agung datang,
tamu agung datang." Dua ekor kera warna putih lantas melompat keluar, begitu melihat
Thian-ih lantas cecoetan sambil berjingkrak-jingkrak, matanya yang merah bening
berputar-putar memandang Thian-ih dengan seksama. Segera Cia In-hun menggerakkan
tangan sambil berkata: "lekas laporkan kepada Siancu!" mendadak burung betet itu terbang
masuk, sedang kedua kera putih juga lantas loncat menghilang di balik pintu.
Tak lama kemudian Cia In-hun membawa Thian-ih sampai di depan sebuah pintu bundar
berbentuk bulan sabit, di depan pintu kerai terbuat dari bambu terurai turun. Sampai di depan
kerai segera Cia In-hun membungkuk tubuh memberi lapor: "Sam-ho Thio-keh-cheng
Ji-chengcu sudah tiba !"
"Silakan masuk !" terdengar sebuah suara menyahut dari dalam, tapi tak terlihat orang keluar
menyambut. Thian-ih membatin lagi, takabur benar Hun-tai Siancu ini. Menyingkap kerai ia terus
menyelinap masuk. Tampak diatas kasur kecil peranti untuk bersamadi duduk seorang
perempuan setengah baya, sikapnya welas asih dan berseri girang. Sekali pandang lantas
Thian-ih merasa seolah-olah dirinya pernah melihat atau bertemu, suatu perasaan dekat da-
lam batin lantas timbul dalam benaknya, tanpa merasa segera ia membungkuk tubuh memberi
hormat, serta sapanya: "Wanpwe Thio Thian-ih menghadap Siancu. Semoga Siancu selalu
sehat walafiat." Hun-tai Siancu menerima pemberian hormatnya itu, terdengar suaranya tersenggak: "Silakan
bangun..............."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sekilas Thian-ih masih sempat melihat, mendadak kedua matanya memancarkan rasa duka
hampa. Tapi ini terjadi sekilas saja, tak lama kemudian seperti awan yang mengembang dan
tersebar hilang. Kini pandangan matanya terang penuh mengandung belas kasih, sehingga
Thian-ih merasa hangat dan lega serta lapang dada.
Tanpa berkesip Hun-tai Siancu memandangi wajah Thian-ih. Cia In-hun sudah mengundurkan
diri, maka dalam ruangan itu tinggal mereka berdua, Thian-ih ingin menanyakan jejak si badju
perak. Tapi sampai diujung mulut ia telan kembali, biarlah dia sepuas hati memandangi dirinya.
Seakan sang bunda yang welas asih penuh kasih sayang melihat anaknya yang telah kembali
dari perjalanan yang jauh. Siapapun tidak mau memecahkan suasana tenang hangat dan
nyaman ini. Tidak lama kemudian terdengar Hun-tai Siancu menghela napas dan bertanya: "Apa kau mau
tinggal beberapa lama di-tempat ini?"
Sebetulnya Thian-ih hendak menolak karena masih banyak urusan yang perlu dibereskan tapi
entah mengapa terasa sulit untuk menampik kebaikan yang ditawarkan ini dan susah
membuka mulut, tanpa sadar ia manggut-manggut.
Hun-tai Siancu tersenyum, katanya: "Kau pergilah istirahat dan makan dulu. Nanti datang lagi
menghadap aku, ada banyak persoalan yang hendak kutanyakan kepadamu."
Waktu Thian-ih keluar, Cia In-hun sudah menyediakan segala sesuatu yang diperlukan.
Setelah mandi lantas makan, meski hanya berupa hidangan sederhana saja dia makan dengan
lahapnya. Suasana di Hun-tiong-khek (kediaman ditengah awan) sangat tenang dan sunyi,
tatkala itu disiang hari, dimana tempat Thian-ih makan hanya kabut dan angin sepoi-sepoi saja
yang memenuhi ruangan itu, memang kadang kala kera-kera kecil berloncatan lewat tapi juga
sangat hati-hati tidak mengeluarkan suara, ini menambah suasana menjadi lebih angker.
Thian-ih berpikir, agaknya sikap Hun-tai Siancu terhadap dirinya sangat baik dan prihatin, dia
minta dirinya tinggal disini entah untuk maksud apa" Teringat akan Hong-gi hatinya menjadi
gundah tidak tentram, diam-diam ia ambil kepastian hendak menanyakan jejak siorang
berkedok itu, tak peduli ketemu atau tidak, begitu urusan disini selesai secepatnya aku harus
segera kembali mencari Hong-gi.
Malam itu begitu berhadapan Thian-ih lantas menanyakan jejak sibaju perak. Ternyata Hun-tai
Siancu juga tidak main sembunyi, dikatakan bahwa sibaju perak memang pernah datang, tapi
hanya tinggal beberapa kejap lantas pergi lagi, dia datang memberi tahu akan kedatangan
Thian-ih. Thian-ih bertanya kemanakah dia pergi. Hun-tai Siancu menjawab tidak tahu. Hati
Thian-ih menjadi risau, pikirnya, untuk apa sibaju perak membawa dirinya keatas Hun-tai-san
" Sesaat ia tenggelam dalam pemikirannya.
Sekarang mulailah Hun-tai Siancu bertanya kepadanya, ditanyakan pelajaran apa saja yang
telah dipelajari selama berada di Kiam-bun-San" Bagaimana pengalamannya setelah turun
gunung" Thian-ih merasa Siancu sedemikian akrab dan kasih sayang seumpama menghadapi
sanak keluarganya sendiri, maka tanpa ragu-ragu lagi ia mulai bercerita panjang-lebar tentang
semua pengalaman selama ia turun gunung.
Dengan tenang Hun-tai Siancu ikuti ceritanya. Setelah cerita Thian-ih habis ia
menggeleng-geleng kepala sambil menghela napas panjang. Ia menegor Thian-ih tidak
seharusnya dia begitu tergesa-gesa untuk menuntut balas sampai merembet dan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
mengorbankan banyak jiwa yang meninggal secara konyol. Tergerak hati Thian-ih, batinnya,
kalau sibaju perak itu pernah kemari pasti dia sangat bersahabat dengan Hun-tai Siancu.
Ditanyakan nama dan siapakah sebenarnya sibaju perak itu mengapa ia selalu menggoda dan
mempermainkan dirinya membunuh dengan semena-mena. Hun-tai Siancu tidak menjawab
secara langsung, hanya dikatakan bahwa itu ada sebab lain yang tak dapat diterangkan, kelak
pasti Thian-ih akan paham sendiri. Ditegaskan bahwa sibaju perak itu tiada mengandung
maksud jahat terhadap dirinya. Hanya godaan dan sepak terjangnya terhadap Thian-ih itu
memang rada keterlaluan. Thian-ih tidak percaya, diajukan bukti-bukti tentang kematian Kim Khe-sian sipendeta
pemabukan itu. Betapa gagah dan jujur serta kesatrianya pendeta itu, tapi toh mengalami
ancaman dan permainan sibaju perak, akhirnya sampai menceburkan diri kedalam jurang yang
dalam dan mati tanpa dipendam diliang kubur yg layak, apakah dia juga mempunyai dosa "
Hun-tai Siancu tertawa, katanya: "Apa kau tahu kalau dia mempunyai ganjalan hati" Menurut
hematku sudah siang-siang dia harus mampus, apa kau tahu sebab musabab akan
kematiannya itu?" Thian-ih membayangkan adegan yang menggiriskan pada malam itu, katanya dengan gemas:
"Karena takut mendengar suara deburan air terjun sehingga menimbulkan kenangan pahit dan
menyedihkan akan pengalamannya pada masa yang lampau. Anak dan istrinya mati dibawah
injakan kaki-kaki kuda, sedang gema suara air terjun itu memang persis benar dengan derap
langkah berlaksa kuda yang sedang berlari kencang......"
Hun-tai Siancu sedikit menggeleng kepala, katanya: "Kim Khe-sian salah, meskipun dia
menyesal dan bertobat sebelum ajal, tapi dia masih tidak rela mengemukakan dosa-dosanya
yang tercela itu kepadamu. Dari sini dapatlah dimengerti betapa licik orang ini, dia masih
mengharap supaya namanya tidak tercela dan harum sepanjang masa......"
Melihat Thian-ih memandang dirinya dengan sorot keheranan tak mengerti, maka mulailah dia
bercerita: Banyak tahun yang lalu, dalam kalangan Kangouw muncul seorang kesatria yang
gagah perwira, akhirnya dia menikah dan memperoleh seorang putra. Tapi pada usia
pertengahan, mendadak sifatnya berobah sangat tercela, dia mengalihkan cintanya menyukai
seorang gadis remaja lain, dan gadis remaja itu selalu mengejar dan tergila-gila padanya,
malah mendesaknya supaya menceraikan istrinya yang pertama. Akhirnya dia termakan akan
bujuk rayu dan maksud keji itu, tapi dia berpikir kalau perceraian bukanlah penyelesaian yang
tepat mengingat nama baiknya selama ini, akhirnya pasti perbuatannya yang tidak senonoh ini
akan mendapat cercah dan kutukan para sahabat Kangouw, dari pada bercerai lebih baik
dilenyapkan saja jiwanya supaya perbuatan kotornya tidak diketahui orang lain. Maka dengan
kandungan angan-angan yang jahat ini selalu ia mencari kesempatan untuk turun tangan.
Pada suatu ketika kesempatan itu tiba juga. Didengarnya kabar bahwa pada suatu tempat
selalu terjadi kerusuhan huru-hara akan berandal-berandal jahat yang merajalela. Maka
tentara kerajaan hendak menggerebek sarang-sarang penyamun itu. Dengan sengaja ia
membawa anak istrinya ke tempat dimana balatentara kerajaan bakal lewat disitu. Memang
rombongan tentara berkuda lewat seperti yg direncanakan, dia pura-pura berseru kejut dan
ketakutan sambil berteriak-teriak dan melarikan diri, saking tergesa-gesa ia seret anaknya itu,
diluar dugaan anaknya itu sangat sayang dan tak mau berpisah dengan ibunya, mati-matian ia
menggondeli ibunya tidak mau tinggal pergi, dalam sekejap mata saja rombongan tentara
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkuda sudah tiba didepan mata, terpaksa orang itu loncat menyingkir sendiri, mengandal
Ginkangnya yang tinggi dengan gampang saja ia lolos dari bahaya. Sebaliknya istri dan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
anaknya hancur lebur terinjak-injak kaki kuda. Meskipun muslihatnya itu berhasil, tapi
tujuannya semula hanya hendak membunuh istrinya saja tidak kira akhirnya anaknya ikut
melayang jiwanya. Sejak saat itu, walaupun ia hidup senang tapi suara teriakan sang istri
sebelum ajal selalu terkiang di pinggir telinganya, sehingga ia menyesal dan bertobat sampai
mati dengan pengalaman yang kau saksikan sendiri. Inilah riwayat hidup Kim Khe-sian dulu,
setelah mendengar cerita ini apakah kau masih beranggapan kalau kematiannya itu
penasaran?" Thian-ih bungkam. Kata Hun-tai Siancu lagi: "Yang lain umpamanya Kiau-si Hengte,
Hek-san-siang-ing, Cin-tiong-sam-hiap, serta sipena berapi Siu Hoa dan golok tujuh bintang
Kiu San, dosa mereka sudah bertumpuk-tumpuk dan kematian mereka adalah setimpal.
Sebaliknya mereka yang bijaksana dan jujur, umpamanya kau sendiri, Nyo Hway-giok serta Li
Hong-gi dan Ban-keh-seng-hud Ciu Hou, meskipun terancam bahaya berulang-ulang, tapi
sedikitpun tidak mengalami cidera apa-apa........"
Diam-diam bercekat hati Thian-ih. Sedemikian jelas dan terang analisa Siancu ini seperti dia
mengalami sendiri. Meskipun tadi dirinya sudah menuturkan semua dengan jelas, tapi juga
cukup meragukan, maka segera tanyanya: "Mohon tanya Siancu, mengapa si baju perak
berbuat begitu rupa" Apakah tujuan yang sebenarnya?"
Hun-tai Siancu mengerutkan alis, sahutnya lirih : "Apakah tujuan semua sepak terjangnya itu"
Aku sendiri tidak tahu jelas, tapi aku percaya bahwa dia tidak mengandung maksud jahat
terhadap kau !" Tak tertahan lagi Thian-ih, berkata keras: "Dia membunuh banyak kawan-kawanku, berulang
kali menggoda dan mempermainkan aku dengan Hong-gi, menculik Ciu Hou sampai tidak
keruan paran jejaknya. Dan yang menjengkelkan dia mengambing-hitamkan aku menjadi
pelarian pemerintah yang mencuri dan membunuh petugas hukum. Apakah ini maksud
baiknya?" Sekarang suara Hun-tai Siancu mengandung tegoran langsung: "Seorang muda jangan begitu
terburu nafsu menyimpulkan sesuatu sebelum kau sendiri jelas akan duduk perkaranya.
Betapapun urusan ini kelak dapat dibereskan. Benarkah dan mengapa kelima orang berkedok
itu membunuh engkohmu" Bagaimana juga tindakan si baju perak bukan hendak menjebak
kau, akhirnya kau tentu akan paham sendiri akan seluk-beluk semua peristiwa ini."
Thian-ih tidak berani banyak petingkah lagi, tapi hatinya masih dirundung pertanyaan yang
belum terjawab itu, dia minta supaya Hun-tai Siancu memberikan sedikit penerangan dan jalan
petunjuk ke arah penyelesaian yang sempurna. Sekian lama Hun-tai Siancu termangu meman-
dangi wajahnya, sedikit menggelengkan kepala, sorot mata yang penuh kehampaan serta
kepiluan hati terlihat lagi. Ini membuat Thian-ih terkejut dan curiga.
Sang waktu berjalan sangat cepat, sekejap saja beberapa hari telah berlalu. Selama itu
Thian-ih tinggal di Hun-tiong-khek mendapat petuah dan wejangan berharga dari Hun-tai
Siancu, hatinya mulai tenang dan pikiran tentram, beberapa hari berikutnya sebagai seorang
angkatan lebih tua lazimnya Hun-tai Siancu menguji kepandaiannya dalam sastra maupun ilmu
silat. Akhirnya didapatinya meskipun bakat Thian-ih sangat baik, tapi cara pelajarannya kalang
kabut, terutama dalam bidang ilmu silat, setiap kali Thian-ih bersilat berulang kali Hun-tai
Siancu menggeleng kepala.
Dikatakan bahwa Kiam-bun it-ho tidak sepenuh hati membimbing muridnya, mungkin apa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
yang telah dipelajarinya itu masih kalah jauh dibanding Bangau tunggangannya itu. Ini perlu
perbaikan dan latihan dari mula lagi.
Belajar sastra dan memperdalam ilmu silat untuk bekal hidup adalah harapan Thian-ih sejak
semula. Kini mendapat kesempatan diberi petunjuk dari guru silat kenamaan, dibawah ajaran
dan didikan Hun-tai Siancu setiap pagi dia belajar sastra sedang sorenya ikut Hun-tai Siancu
belajar silat. Pelajaran ini termasuk ilmu pedang, ilmu pukulan, senjata rahasia dan Ginkang,
sudah tentu dalam hal tenaga dalam juga tidak ketinggalan karena Hun-tai Siancu mempunyai
ilmu khas dalam bidang ini.
Diam-diam Thian-ih merasa girang dan bersyukur, semakin giat dia belajar tidak mengenal
lelah, dari pagi sampai sore dia tekun belajar. Sekarang Cia In-hun menjadi kawan
seperguruannya, setiap saat mereka selalu berduaan belajar bersama bersilat bersama juga.
Karena dia lebih lama belajar dibawah didikan Hun-tai Siancu sudah tentu kepandaiannya jauh
lebih tinggi dari Thian-ih, namun sedikitpun dia tidak sombong atau takabur, bukan saja
membantu mengoreksi kesalahan Thian-ih malah selalu mengalah pula. Mungkinlah memang
sudah pembawaan sifat perempuan yang tidak senang menang dan berwatak halus. Lama
kelamaan timbul rasa suka dan simpatik dalam benak Thian-ih terhadap gadis pingitan ini.
Pohon Kwi diatas gunung mudai berkembang, dengan riang dan senang Thian ih lewatkan
hidupnya diatas gunung, setelah mendapat petunjuk dan penjelasan dari Hun-tai Siancu
sekarang dia tidak terburu nafsu hendak menuntut balas atau mencari perkara kepada si baju
perak. Meskipun masih banyak urusan menanti dia untuk diselesaikan, umpamanya mencari
jejak kelima orang berkedok itu untuk menuntut balas sakit hati engkohnya, mencari Ciu Hou
untuk menyembuhkan penyakit gila Hi Si-ing, menyerahkan kembali kedua mutiara untuk
menolong Lim Han keluar dari penjara, membantu terangkapnya perjodohan Li Hong-gi
dengan Nyo Hway-giok, meringkus si baju perak untuk dijadikan saksi akan perbuatannya
yang keji membunuh Siu Hoa dan Kiu San. Pergi ke So-keh-pang menyambangi So-si
Hengmoay, semua urusan ini meskipun menanti dia untuk dikerjakan, tapi sekarang Thian-ih
merasa yang terpenting adalah memperdalam ilmu kepandaian sendiri untuk bekal dalam
menunaikan semua tugas yang harus dilaksanakan itu.
Tentang persoalannya dengan sibaju perak pernah beberapa kali lagi ia tanyakan kepada
Hun-tai Siancu, malah Cia In-hun juga tidak ketinggalan dikorek keterangannya, tapi mereka
selalu menghindarkan pembicaraan ke soal pokok ini, hanya dikatakan bahwa kelak pasti
dirinya akan paham sendiri akan duduknya perkara ini.
Thian-ih menjadi gemes dan dongkol, betapapun Hun-tai Siancu hendak membela dia, kalau
toh dia sedemikian keterlaluan sudah mempermainkan dirinya beserta Hong-gi, menganiaya
Ciu Hou lagi dan membunuh beberapa orang sahabatnya, semua ini adalah kenyataan. Bukan
mustahil pencurian harta pusaka dari gudang istana juga perbuatannya. Biar nanti kalau
pelajaran silatnya sudah sempurna dan lulus, aku harus meringkusnya hidup-hidup dan
memaksanya menyerahkan Ciu Hou keluar serta mengembalikan harta pusaka yang telah
dicurinya itu. Lalu dihadapkan sekian banyak kesatuan Bhayangkari, menelanjangi perbuatan
jahatnya yang terkutuk itu. Andaikan dirinya tidak membunuhnya, pasti para kerabat dari
kesatuan Bhayangkari atau handai taulan sang korban akan membuat perhitungan dengan dia.
Teringat Hong-gi tanpa merasa perasaan Thian-ih menjadi hampa dan risau. Apakah kelak
dirinya harus menikah dengan dia " Ataukah merangkapkan perjodohannya dengan Nyo
Hway-giok" Nyo Hway-giok adalah seorang pemuda yang paling dipuji dan dikaguminya
sedang Li Hong-gi adalah gadis yang paling dicintai, dia tidak tahu bagaimana dirinya harus
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
mengambil sikap atau tindakan"
Seumpama pernikahan Hong-gi dengan Nyo Hway-giok betul-betul terangkap, lalu Thian-ih
harus mencari jodoh yang mana" Su Hoankah, gadis jelita yg pertama kali mengetuk hatinya
ini adalah cerdik dan pandai bekerja, tapi dia masih kalah dibanding dengan Hong-gi. Atau
mencari Sip Yan-hun dari Ciong-lam-san itu " Meskipun sudah bertemu beberapa kali, tapi
Thian-ih tahu bahwa pihak sana memang ada jatuh hati terhadap dirinya, tapi bila terhalang
akan wajah Hong-gi yang ayu jelita serta suaranya yang merdu terkiang dipinggir telinganya,
kalau Sip Yan-hun dibandingkan seumpama kunang-kunang dibanding sinar rembulan.
Bayangan Cia In-hun tiba-tiba terlintas didepan matanya, setiap hari dia menemani dirinya
seorang gadis sedemikian cantik, lemah lembut, cerdik cendekia dan cekatan lagi, bukan saja
ilmu silatnya tinggi kepandaian sastranya juga diatas lebih tinggi dari dirinya, apalagi dia
sedemikian rendah hati, seolah-olah dalam maksud Hun-tai Siancu sudah setuju serta
mengharap akan terangkap perjodohan ini.
Setiap kali mereka berduaan selalu Thian-ih merasa selalu gadis ayu ini memandangi dirinya,
semua tingkahnya ini tak perlu diragukan lagi bahwa hatinya mulai mekar dan dihinggapi
penyakit asmara yang mulai bersemi dalam sanubarinya.
Namun demikian betapa juga Thian-ih sukar dapat melupakan Hong-gi lagi, bukan saja
wajahnya yang molek bak bidadari serta potongan tubuh yang menggiurkan itu, wataknya
juga lincah dan riang gembira penuh optimistis, pengalaman selama dalam perjalanan yang
pahit getir, siapa lagi yang kuat menderita semacam itu. Ini dapat dimaklumi oleh Thian-ih
sendiri. Sekarang mereka berpisah jauh sekali, tapi Thian-ih percaya pasti Hong-gi tengah
mengenangkan dirinya, bagaimana juga rasa cinta ini sulitlah untuk ditampik.
Lama kelamaan Thian-ih dihinggapi penyakit mala rindu, badannya semakin kurus dan pucat,
berat rasanya meninggalkan Hun-tai-san karena dia harus memperdalam kepandaiannya
disini, tapi kenangannya akan Li Hong-gi selalu mengganggu konsentrasi dalam pelajarannya.
Ingin rasanya dapat terbang untuk berkumpul dengan sang kekasih, bertemuan yang penuh
keharuan dan mesra, untuk menceritakan pengalaman selama berpisah ini, sumpah sehidup
semati takkan berpisah lagi untuk selama-lamanya.
Agaknya Cia In-hun dapat menyelami kerisauan hati Thian-ih, sore itu setelah latihan selesai
dan mendapat persetujuan dari Hun-tai Siancu mereka keluar berjalan-jalan mencari angin.
Setelah berjalan sekian lama mendadak Thian-ih menunjuk puncak didepan Hun-tiong-khek
sana dan bertanya: "Belakang Hun-tai-san ini terdapat dua puncak, pemandangan dipuncak
sebelah kanan sana bagaimana?"
Sahut Cia In-hun: "Puncak didepan itu lebih tinggi, pemandangannya juga menakjupkan!"
Tergeraklah keinginan Thian-ih hendak bertamasya sepuas hati, katanya kepada Cia In-hun:
"Adik Hun, mari kita dolan ke sebelah sana, sekaligus kita coba Ginkang yang baru kupelajari
itu!" Agaknya Cia In-hun sangat terpaksa, namun juga segan menolak permintaan orang, akhirnya
ia mengangguk setuju. Setelah menuruni undakan batu mereka sampai dimana tempo hari Thian-ih hampir terjungkal
kedalam jurang dari atas jembatan tambang. Sekarang Ginkang Thian-ih mengalami kemajuan
pesat setelah digembleng oleh Hun-tai Siancu, dengan memberanikan diri beruntun berapa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kali loncatan saja dengan enteng sekali dia sudah sampai di sebrang dengan selamat. Hatinya
senang sekali. Dengan mengembangkan Ginkang mereka berlarian di atas semak belukar dari
rumpun pohon yang penuh duri itu dan sampailah ditempat pertemuan pertama dengan Cia
In-hun tempo hari. Disini jiwanya hampir melayang dijebak Ban Ai-ling.
Dengan Cia In-hun sebagai penunjuk jalan, mereka membelok memasuki sebuah jalan
pengkolan yang berlika-liku, beruntun mereka melewati lembah dan melompati sungai
akhirnya mereka sampai di atas sebuah puncak. Sekarang terlihat Hun-tiong-khek menjulang
tinggi di hadapan mereka. Jadi tempat di mana sekarang berdiri adalah puncak sebelah kanan
dari belakang Hun-tai-san itu.
Angin menghembus sepoi-sepoi membawa harumnya bunga Kwi, terbangkitlah semangat
Thian-ih. Tanyanya kepada Cia In-hun: "Adik Hun, puncak disebelah samping ini seolah-olah
lebih baik dari Hun-tiong-khek, tak tahu adakah orang kosen yang mengasingkan diri ditempat
ini?" "Ada sih ada, hanya belum bisa terhitung sebagai orang kosen."
Thian-ih menjadi heran, tanyanya: "Siapakah dia?"
"Mereka bukan lain adalah Ban Ai-ling yang hendak mencelakai kau tempo hari dengan
gurunya Pak-ko-seng, mereka kebetulan berdiam dipuncak ini !"
Teringat oleh Thian-ih pemuda baju hitam Ban Ai-ling itu, memang adalah seorang rendah
yang jahat dan telengas, entah bagaimana martabat Pak-ko-seng itu, dimintanya Cia In-hun
memberikan penjelasan. Cia In-hun memberi tahu bahwa Pak-ko-seng ini sebelumnya berdiam di Pak-ko-san yang
membelakangi laut sebelah timur sana. Ilmu silat Pak-ko-seng sangat tinggi dan sudah
sempurna betul, dalam hal sastra umpamanya memetik harpa bermain catur serta seni lukis
juga sangat mahir, apalagi pandai pentangan dan mengobati orang boleh dikata dia seorang
tokoh yang serba pandai dan luas pengalaman, pergaulannya juga luas dan pandai bicara lagi.
Lima tahun yang lalu sebab mengagumi kepandaian Hun tai Siancu sengaja mereka pindah
dari Pak-ko-san ke puncak kanan ini. Katanya dengan tetangga yang dekat dan berilmu tinggi
mereka dapat selalu tukar pikiran dalam segala bidang. Tapi menurut Hun-tai Siancu bahwa
mereka guru dan murid bukan orang baik-baik, sikapnya dingin dan kurang menghargai
mereka. Justru Pak-ko-seng ini tebal muka, sering dia datang merecoki Suhu di
Hun-tiong-khek bermain catur atau ngobrol panjang lebar. Hun-tai Siancu segan menolak, tapi
dikasih hati mereka malah menjadi tuman, terutama muridnya yang bernama Ban Ai-ling itu,
hatinya jahat, kekejiannya melebihi gurunya, sering juga dia ikut datang untuk mendekati Cia
In-hun, membuatnya sangat muak dan benci.
O, jadi begitu, demikian batin Thian-ih. Belum lama mereka berada diatas puncak cuaca sudah
hampir petang, matahari kebetulan hampir tenggelam di peraduannya dengan memancarkan
sinar kuning keemasan yang mempesonakan. Thian-ih sampai kesima melihat pemandangan
yang sedemikian indah. Terdengar Cia In-hun mendesak di belakangnya: "Engkoh Thian-ih, mari kita pulang, lambat
sedikit waktu saja mungkin kita tak dapat melihat jalan. Kalau terlambat pulang pasti Suhu
akan menegor kita." TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Melihat cuaca memang hampir petang Thian-ih juga tidak berani tinggal terlalu lama lagi,
cepat-cepat mereka berlari turun gunung sambil mengembangkan ilmu ringan tubuh supaya
secepatnya tiba di Hun-tiong-khek.
Betapapun cepat lari mereka karena jarak terlalu jauh, baru sampai dibawah gunung cuaca
sudah petang dan tidak dapat melihat jalan lagi. Angin gunung menghembus dengan kerasnya
menderu-deru, daun pohon berkeresekan dihembus angin, seakan-akan ada orang mengejar
di belakang mereka. Diam-diam Thian-ih dan Cia In-hun mengeluh, mereka tidak membawa
bahan api terpaksa harus maju menggeremet didalam dasar jurang yang gelap pekat.
Seumpama berkepandaian setinggi langit juga dalam keadaan yang begini tak berguna lagi,
terpaksa mereka bergandengan tangan terus menggeremet maju. Umumnya hati seorang
perempuan lebih penakut, tangan yang tergenggam oleh Thian-ih itu terasa gemetar dan
berkeringat. Sedikit meleng hampir saja kaki Thian-ih terjerumus dan terjungkal ke dalam
jurang. Karena tidak melihat tegas keadaan sekelilingnya mereka tak berani sembarangan
maju dan bergerak. Kata Thian-ih akhirnya: "Adik Hun, terang kita terlambat untuk pulang, terpaksa mencari
sebuah tempat untuk menginap saja disini."
Apa boleh buat, Cia In-hun mengiakan setuju. Pelan-pelan Thian-ih manjat ke lamping gunung
mendapatkan sebuah gua, untung keadaan dalam gua ini kering dan bersih. Thian-ih
mengundang Cia In-hun masuk ke dalam, dengan daun-daun kering ditebar di atas tanah
sebagai kasuran mereka bersiap untuk bermalam di tempat ini.
Gua itu tidak begitu besar cukup untuk rebahan seorang saja. Begitu Cia In-hun berbaring,
mengingat adat istiadat yang melarang persentuhan badan muda mudi, sekuatnya Thian-ih
tahan rasa kantuknya berjaga dimulut gua, dengan bersenjatakan sebuah dahan pohon ia
mondar mandir di depan gua. Sungguh celaka pada tengah malam mendadak terbit angin
badai membawa hujan lebat. Terpaksa Thian-ih harus berdiri ditimpah hujan sampai badannya
basah kuyup. Untung Cia In-hun terkejut bangun dari tidurnya, berulang kali ia minta Thian-ih
masuk gua. Tapi Thian-ih berpikir, toh sudah basah kuyup, kehujanan lagi beberapa jam apa
halangannya. Memang mulutnya mengiakan tapi kakinya tidak bergerak, saking gugup
akhirnya Cia In-hun yang berlari keluar dan menyeretnya masuk ke dalam gua.
Dalam kegelapan terasa tangan Cia In-hun tengah meraba-aba badannya, didapatinya seluruh
tubuh Thian-ih basah kuyup, seakan baru keluar dari sungai, maka omelnya: "Engkoh
Thian-ih, mengapa kau menyiksa dirimu sendiri. Beginikah pambek seorang kesatria kalangan
persilatan, mengapa kau begitu sungkan dan malu-malu !" lalu berulang kali ia mendesak
Thian-ih menanggalkan pakaian luarnya supaya tidak sakit kedinginan. Sudah tentu Thian-ih
tidak mau mencopot pakaiannya. Tapi sikap Cia In-hun justru sangat polos dan terbuka,
segera diulurkan tangannya hendak membukakan baju orang. Keruan Thian-ih menjadi gugup
sendiri: "Ya, ya biar aku copot sendiri !"
Tanpa merasa jantung Thian-ih berdebur sangat keras, teringat pengalaman dalam gua ini
tidak seberapa besar bedanya dengan pengalamannya dalam kuburan waktu menolong
Hong-gi tempo hari. Kelak kalau tidak diketahui orang itulah baik, kalau tidak ini merupakan
dosa yang susah dapat ditebus dengan apa juga.
Mendadak dilihatnya tidak jauh di sebelah samping sana sinar api berkelap kelip, hatinya
bersorak girang, cepat ia berlari keluar mencarinya. Itulah di sebuah rimba kecil ditengah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
rimba ini terdapat sebuah rumah batu, dari dalam rumah batu inilah mencorong keluar sinar
pelita itu. Diam-diam Thian-ih merambat maju, maksudnya hendak mengetok pintu dan minta
api. Tapi waktu langkahnya semakin dekat mendadak terdengar suara keriyat-keriyut yang
aneh, waktu ia mengintip melalui lobang jendela, dia menjadi kaget dan gusar. Dari sinar pelita
keadaan dalam ruang dalam terlihat sangat jelas, diatas dua dipan kayu terlihat dua laki-laki
dan dua perempuan tengah melakukan adegan yang sangat memalukan.
Waktu ditegasi begitu melihat salah seorang laki-laki yang berada dekat jendela ini Thian-ih
lebih terkejut lagi. Kiranya orang ini bukan lain adalah Ban Ai-ling. Sedikit meleng karena
terkejut tubuh Thian-ih menumbuk dinding sampai mengeluarkan suara. Ban Ai-ling yang
dekat jendela mendengar suara yang mencurigakan segera melompat keluar begitu mereka
berhadapan, melihat orang di depannya ini adalah Thian-ih mendadak Ban Ai-ling bergelak ter-
tawa: "Haha, ternyata adalah saudara Thian-ih. Selamat bertemu, hari ini entah angin apa
yang membawamu ke tempat ini ! mari, kita bersalaman..............." mengulur tangan dia terus
menarik Thian-ih. Thian-ih muak dan benci melihat tampang orang kotor ini, tanpa membuka mulut dia putar
tubuh terus hendak tinggal pergi.
Ban Ai-ling segera mendesak maju mencegat didepannya, jengeknya dingin: "Begini gampang
kau hendak tinggal pergi, kurasa tidak sedemikian mudah" marilah kita bermain-main dulu,
coba kulihat adakah sundel cantik itu akan datang menolongmu lagi ?"
Mendadak ia turun tangan menyerang dengan tipu Hwi-ing-cu-lip (elang terbang menutul pari)
menutuk pundak Thian-ih tepat di jalan darah Cian-kin-hiat. Thian-ih tidak berkelit atau
menyingkir, dengan jurus Heng-gan-siang-hong (memandang kepuncak) tubuh sedikit
mendak kedua tangannya terus didorong ke depan mengarah perut dan dada lawan, jurus
serangan ini menggunakan delapan bagian tenaganya, tujuannya supaya lawan tahu diri dan
cepat-cepat menarik kembali serangannya. Untuk selamatkan diri benar juga Ban Ai-ling
berkelebat ke samping terus mengirim lagi sebuah pukulan. Thian-ih himpun tenaganya
menyambut pukulan lawan. "Blang", ternyata Ban Ai-ling tidak kuat menahan tangkisan
tenaga Thian-ih yang dilandasi kegusaran sampai tubuhnya sempoyongan, mulutnya berseru
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertahan menyatakan keheranannya. Sungguh diluar sangkanya, pemuda yang tempo hari
terjungkal di tangannya, baru berpisah berapa lama saja sudah bertambah pesat
kepandaiannya. Ban Ai-ling menginsyafi bahwa Lwekang lawan sudah lebih unggul dari dirinya. Hatinya
menjadi takut tak keruan paran, tiba-tiba ia berteriak ke arah batu rumah: "Suhu, lekas
keluar." Yang benar Thian-ih sudah kerahkan seluruh tenaganya baru sedikit unggul saja. Begitu
mendengar orang berteriak, hatinya sedikit terkejut, apakah seorang pria lain dalam rumah itu
adalah gurunya Pak ko-seng" Kalau dia ikut turun tangan, mana dirinya menjadi tandingan
orang, lantas teringat Pak-ko-seng dan muridnya ini adalah bangsa rendah yang tidak tahu
malu, tanpa merasa timbul hawa amarah dalam benaknya, ingin rasanya segera
menghancur-leburkan tubuh kedua guru dan murid ini.
Melihat Ban Ai-ling sudah ketakutan, Thian-ih bergerak semakin cepat dengan serangan yang
gencar, sampai musuhnya kelabakan mencak-mencak, jurus-jurus yang dilancarkan adalah
ilmu yang dipelajari dari Hun-tai Siancu. Namun sebelum ia berhasil merobohkan musuh keji
ini, dari dalam rumah berkelebat keluar sebuah bayangan, dimana terlihat lengan bajunya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
dikebutkan, sebuah jalur angin kencang segera menerjang kearah Thian-ih. Sontak Thian-ih
merasa dadanya seperti ditindih batu besar sampai susah bernapas, darah hampir menyembur
keluar sampai ditenggorokannya. Tahu dirinya terancam bahaya cepat-cepat ia melesat
mundur. Gerakan Pak-ko-seng sungguh cepat dan lincah sekali, sekejap saja mendadak ia mendesak
tiba disamping Thian-ih sambil perdengarkan gelak tawanya yang bergelombang seperti suara
kokok-beluk. Sekuat tenaga Thian-ih lompat menyingkir, tapi angin pukulan lawan mengekang
dirinya seumpama dinding kokohnya, sehingga sia-sialah usahanya hendak menjebol keluar.
Pak-ko-seng hanya menarikan kedua lengan bajunya tanpa turun tangan lebih lanjut, tapi
hanya angin pukulannya itu sudah cukup mengekang Thian-ih dalam kurungannya. Melihat
Thian-ih berlarian kian kemari tumbuk sana terjang sini selalu terpental balik dengan
sempoyongan, seperti tikus dipermainkan kucing saja, pak-ko-seng tertawa gelak-gelak
menikmati hasil karyanya yang sangat dibanggakan selama ini.
Terdengar Ban Ai-ling berteriak dari samping: "Suhu, tutuk dia, aku hendak bertanya pada
dia!" Benar juga dengan dua jari tangan kanannya Pak-ko-seng menutuk jalan darah pelemas
ditubuh Thian-ih. Dengan mendelik Thian-ih awasi wajah orang, tapi tak mampu berontak atau
bergerak lagi, begitu kiok-ti-hiat terasa linu dia lantas tersuruk jatuh.
Bentak Ban Ai-ling: "Kau datang bersama Cia In-hun bukan" Dimana dia sekarang?"
Thian-ih berpikir, kalau Cia In-hun masih belum bangun, kalau sampai terbekuk oleh mereka
guru dan murid akibatnya tentu susah dibayangkan. Maka pejamkan mata tanpa bersuara.
Ban Ai-ling terloroh-loroh, bentaknya lagi: "Thio Thian-ih, kau masih berani tidak buka suara"
Biarlah kau merasakan kenikmatan tutukanku ini." disertai dengan ancamannya itu kedua
jarinya segera menutuk jalan darah dibawah ketiaknya. Seketika Thian-ih merasa seakan-akan
seluruh tulang dan otot-ototnya lumer dan copot semua, laksana ribuan semut sedang
merambat diseluruh tubuhnya, saking kesakitan ia menggigit gigi sekencang-kencangnya
sampai mengeluh kesakitan tanpa tertahan.
Ban Ai-ling tersenyum ejek, desaknya lagi: "Katakan tidak" Rasakan kelihayan tutukanku ini!
Lekas katakan, dimana dia sekarang?"
Sungguh tidak memalukan watak Thian-ih sebagai seorang kesatria yang kuat menahan
segala uji. Dia tahu kalau dirinya sedang disiksa dengan semacam ilmu membagi urat
mencopot tulang, sakitnya bukan buatan, tapi dia masih berusaha tidak membuka mulut.
Tak lama kemudian sambil melihat cuaca segera Pak-ko-seng membuka suara: "Anak Ling
cepat kau cari sendiri, waktu dia datang kan ada jejak kakinya, sekarang hujan sudah reda,
pasti jejak kakinya masih jelas terlihat....''
Baru sekarang Ban Ai-ling sadar, serunya kegirangan: "Suhu pikiranmu ini tepat sekali. Kalau
dia bersembunyi dalam gua disekitar sini. Haahha......"
"Cekluk" dia menelan ludah.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Pak-ko-Seng seorang tua bangkotan yang licik dan banyak akalnya, katanya tertawa: "Kalau
dia masih berada dalam gua, saat ini hari kebetulan akan terang tanah, mungkin dia masih
belum bangun, sangat tepat kepergianmu ini !" sejenak berhenti lalu pesannya lagi: "Tapi kau
harus hati-hati, terlebih dulu kau harus tutuk jalan darahnya, jangan sampai dia melarikan diri,
kalau Hun-tai Siancu itu sampai marah, wah tambah berabe nanti !"
Ban Ai-ling menyeringai tawa: "Suhu, ucapanmu tepat sekali. Baiklah aku akan berbuat
menurut petunjukmu. Kalau nasi sudah menjadi bubur, tidak takut gurunya itu tidak melulusi."
Secepat terbang segera Ban Ai-ling berlari keluar. Segera Pak-ko-seng menjinjing Thian-ih,
sekali meraba-aba ditubuhnya, kontan rasa kesakitan tadi segera lenyap. Tapi badannya masih
sangat lemah tak bertenaga. Sekali lempar tubuh Thian-ih terbang tinggi dan sebelum
menyentuh tanah, mendadak Pak-ko-seng berteriak kejut, terus menyambar tubuhnya lagi
terus dibawa lari kearah puncak secepat angin.
Dalam pada itu Ban Ai-ling sudah memasuki gua dimana tempat Cia In-hun tengah tidur
nyenyak, sambil menyeringai iblis segera ia peluk tubuh yang tidur celentang itu.
Sekonyong-konyong Cia In-hun melompat bangun dan "Blang" dengan telak pukulannya
mengenai pundaknya. Keruan Ban Ai-ling menjerit kesakitan, dan terperanjat sekali. Tanpa
berani berpaling lagi segera Cia In-hun menerobos keluar terus lari sekencang-kencangnya.
Luka Ban Ai-ling tidak berat, tapi nafsu birahinya masih menyala-nyala, sungguh sesalnya
bukan buatan, mengapa tadi tidak menutuknya lebih dulu, dengan sempoyongan segera ia
mengejar keluar. Mendadak terdengar dari kejauhan sana teriak orang sedang
memanggil-manggil: "In-hun! In-hun! Thian-ih! Dimana kalian?"
Mendengar suara Hun-tai Siancu ini bagai kelinci mendengar guntur, cepat-cepat Ban Ai-ling
menyelinap masuk kembali kedalam gua. Sejenak kemudian dia merasa dengan sembunyi
ditempat ini bukan tempat yang aman, siapa tahu kalau Cia In-hun sudah bertemu dengan
Hun-tai Siancu dan tahu kalau dirinya berada dalam gua ini bukankah mereka akan segera
meluruk kesini ! Cia In-hun saja susah dilawan apalagi bersama gurunya. Maka sambil
menahan kesakitan dia menggeremet keluar. Untung bayangan Hun-tai Siancu dan Cia In-hun
tidak terlihat, bergegas ia lari terbirit-birit ke puncak kanan dibelakang Hun-tai-san, yaitu
rumah batu kediaman gurunya itu.
Melihat kelakuan muridnya yang serba runyam ini, segera Pak-ko-seng menanyakan
pengalamannya, dengan tergagap Ban Ai-ling menuturkan. Pak-ko-seng berjingkrak murka,
makinya: "Goblok, sudah kusuruh kau menutuk jalan darahnya. Apa kau sudah linglung?"
Ban Ai-ling mewek-mewek, sahutnya: "Ya, Suhu memang aku sudah linglung."
Melihat tingkah muridnya ini, Pak-ko-seng menjadi jengkel dan geli lagi, katanya: "Tidak lekas
kau bawa orang she Thio itu masuk kedalam lorong bawah tanah! Apa lagi yang kau tunggu
berdiri disitu?" Ban Ai-ling mengiakan sambil membungkuk-bungkuk tubuh, tersipu-sipu ia berlari masuk
kedalam kamar terus jinjing tubuh Thian-ih, setelah menekan knop pintu rahasia terus masuk
kedalam lorong bawah tanah yang peranti dibuat berbuat mesum mereka guru dan murid.
Dalam kamar bawah tanah itu Ban Ai-ling lampiaskan kedongkolan hatinya sambil menggebuki
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
dan menendangi tubuh Thian-ih sampat babak belur, dimaki kalang kabut lagi. Karena jalan
darah tertutuk dan tidak mampu bergerak, Thian-ih mandah saja dirinya disiksa. Dari mulut
orang yang mengomel panjang pendek, Thian-ih menarik kesimpulan bahwa Cia In-hun tentu
belum sampai ternoda, legalah hatinya, diketahui pula kalau mereka guru murid tentu tak lama
lagi akan menyusul tiba, timbullah setitik harapan dalam benaknya.
Tak lama kemudian Thian-ih mendengar suara Pak-ko-seng tertawa diatas: "Kukira siapa"
Ternyata tetangga agung datang bertandang, mengapa sepagi ini" Ada urusan apakah" Lho
nona Cia, kenapa kau terpeleset jatuh " Sampai pakaianmu kotor dan robek?"
Terdengar suara Hun-tai Siancu berkata dingin: "Muridku ini bukan jatuh, adalah karena
terbokong oleh bangsat rendah yang kurang ajar. Mana muridmu itu " Kuminta panggil dia
keluar!" "Muridku, Ban Ai-ling maksudmu " Dua hari yang lalu dia pergi ke Tang-hay, kira-kira sepuluh
hari lagi baru pulang."
Sekarang nada perkataan Hun-tai Siancu mengandung kemarahan, semprotnya: "Pak-ko
Toyu, ucapan seorang kalangan kita selamanya mengutamakan kepercayaan dan kenyataan.
Terang gamblang jejak kaki muridmu menghilang sampai disini. Kalau kau mengatakan tidak
ada, apakah kau tidak terlalu menghina orang!"
Pak-ko-seng juga berkata keras: "Aneh, dia benar-benar tidak ada, kalau tidak percaya silakan
kau geledah!" "Tamuku di Hun-tiong-khek bernama Thio Thian-ih kemaren malam mendadak hilang, kukira
dia sekarang berada dirumah batu itu, harap lepaskan dia keluar."
"Hahaha, Siancu, kau ini main kelakar sama aku! Tamumu hilang kenapa minta ganti
kepadaku, kan aku bukan penyamun atau bangsa penculik. Kapan aku pernah kenal orang
yang bernama Thio Thian-ih apa segala. Ini bukan guyon-guyon !"
Sayangnya Thian-ih tidak bisa bersuara, ingin menggunakan kepalanya untuk membentur
dinding supaya bersuara, tapi seluruh badan lemas lunglai tiada sedikit tenagapun. Terdengar
olehnya suara Siancu mulai mengancam: "Pak-ko-seng, kalau kau tidak serahkan mereka
berdua, aku pasti tidak akan berhenti."
"Kalau kau tidak percaya, suruh aku bagaimana" Silakan kau periksa saja, rumah batu ini
terbagi tiga kamar, jauh lebih kecil dan sempit dari Hun-tiong-khek kediamanmu itu. Kau tidak
percaya cobalah kau geledah sendiri !"
"Sreng" terdengar suara pedang dilolos dari sarungnya, lantas terdengar lagi Siancu berkata
penuh tekad: "In-hun, menghadapi orang macam ini jangan terlalu percaya, biar aku awasi
dia, kau masuk memeriksa."
Dikejap lain lantas terdengar derap langkah Cia In-hun melangkah kian kemari diatas. Saking
tegang Ban Ai-ling berkeringat basah kuyup. Agak lama berselang baru terdengar suara Cia
In-hun penuh kemarahan dan putus asa, "Suhu, tidak ada."
Terdengar gelak tawa pak-ko-seng, serunya: "Bagaimana" Kataku kalian ini terlalu banyak
curiga, mengandal nama dan ketenaranku, masa aku bisa mencelakai tamumu" Dan lagi kalau
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kelakuan muridku tidak genah, pasti aku tidak lepaskan dia, apalagi sampai menggoda dan
kurangajar terhadap nona Cia, pasti akan kubekuk dan kutelikung diserahkan pada Siancu.
Tapi bukan mustahil nona Cia sendiri yang salah lihat orang, mungkin tamu kalian yang
bernama Thio Thian-ih itu yang berbuat kurangajar terus melarikan diri........hahaha. Siancu,
coba katakan betul tidak rekaanku ini"''
Derap langkah Hun-tai Siancu dengan Cia In-hun semakin menjauh dan hilang. Terdengar
Pak-ko-seng masih mengoceh: "Aku tidak salahkan kalian. Kita kan tetangga saling bantu
adalah jamak. Baiklah, begitu anak Ling kembali pasti aku akan gusur dia dan menanyakan
dihadapan kalian.... baiklah......selamat bertemu......"
Mendadak Ban Ai-ling melompat bangun sambil menghela napas panjang-panjang. Sebaliknya
Thian-ih merasa pilu sedih dan putus harapan. Ruang bawah tanah ini meski hanya berpaut
selapis batu dinding, sedemikian dekat tapi Hun-tai Siancu dan Cia In-hun tak dapat
menemukan tempat itu. Nanti punya nanti akhirnya Pak-ko-seng turun ke ruang bawah tanah ini, katanya sambil
mengerutkan kening: "Sungguh sukar menghadapi mereka, untung tempat ini sangat bagus
bangunannya, sedikitpun tidak kelihatan bekas-bekasnya."
"Suhu," kata Ban Ai-ling, "Thio Thian-ih ini harus diapakan, dibunuh saja bagaimana atau
dibuang kedalam jurang?"
Pak-ko-seng merenung sebentar lalu katanya: "Semua cara itu kurang sempurna. Meskipun
mungkin Hun-tai Siancu tidak mengetahui, tapi jangan sampai menimbulkan kecurigaan! Cara
yang terbaik adalah menggunakan golok orang lain untuk membunuhnya. Benar, anak Ling,
kau bawa dia ke-pulau Elang saja, biar Iblis elang itu yang membunuhnya, ini jadi tidak
menyangkut pada kita, bukankah cara ini paling baik dan sempurna?"
"Akal bagus !" teriak Ban Ai-ling memuji muslihat gurunya, "Suhu, apa sekarang juga
berangkat?" "Bocah goblok yang tidak tahu urusan," omel Pak-ko-seng merengut, "Kau sangka Hun-tai
Siancu dan muridnya sudah pergi" Hm, mereka tengah sembunyi disekitar rumah batu kita ini!
Kita harus mengulur waktu sampai mereka benar-benar sudah pergi baru berangkat. Apalagi
sejak saat ini kau jangan terburu-buru pulang, sementara waktu kau sembunyi ditempat
Susiokmu. Setelah pertikaian ini padam baru kau boleh kembali. Selanjutnya baru kita pikirkan
lagi cara untuk menundukkan mereka guru dan murid, tidak perlu terburu nafsu."
Dua hari sudah berlalu, Thian-ih terkurung dalam ruang bawah tanah itu, badan lemas tak
bertenaga, dalam keadaan perut lapar dan dahaga kesehatannya semakin jelek pikirannya jadi
kurang waras diantara sadar tak sadar. Sampai hari ketiga, Pak-ko-seng memasukkannya
kedalam sebuah kantongan besar, dipanggul diatas pundaknya terus dibawa lari secepat
terbang. Yang terasa hanya angin menderu dipinggir telinga, entah sudah berapa jauh jalan
ditempuh, akhirnya mereka tiba dipinggir laut dimana Ban Ai-ling mengendalikan sebuah
perahu tengah menanti. Pak-ko-seng mengeluarkan Thian-ih lalu membebaskan tutukan jalan
darahnya serta memberi makan dan minum. Setelah itu jalan darah pelemasnya ditutuk lagi
supaya dia meringkuk lemas diatas perahu. Lalu dia berpesan kepada Ban Ai-ling: "Setelah
sampai dipulau Elang baru kau bebaskan tutukannya. Iblis Elang itu paling suka mendapat
seorang pemuda lincah yang pandai silat! Ingat jangan lupa pesanku ini!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Ban Ai-ling mulai mengayuh perahunya menuju ke tengah lautan. Kira-kira setengah harian
kemudian dari jauh terlihat sebuah pulau muncul dihadapan mereka. Dengan hati-hati Ban
Ai-ling melabuhkan perahunya dipinggiran terus menggendong Thian-ih kedaratan, setelah
membuka jalan darahnya, seperti dikejar setan saja, dia terus lari terbirit-birit naik ke atas
perahunya lalu mengayuhnya cepat.
Walaupun jalan darah sudah bebas tapi untuk sementara waktu darah masih belum normal
berjalan jadi tubuh juga susah bergerak dalam sementara waktu. Hanya derita yang dialami
selama ini akan siksaan Pak-ko-seng dan muridnya yang membuatnya sangat menderita maka
untuk sementara waktu ia masih lemas lunglai rebah diatas tanah.
Tak lama kemudian diatas angkasa mendadak muncul sebuah benda melayang-layang diatas
kepalanya, sebentar lagi lantas berdatangan lagi beberapa ekor, lambat laun terbang semakin
rendah semua mengelilingi Thian-ih, sikapnya garang seperti hendak menyambar turun.
Sekilas pandang saja lantas Thian-ih paham asal usul nama dari pulau ini. Elang-elang raksasa
yang terbang diatas kepalanya ini sebesar meja, patuknya tajam luar biasa, cakarnya runcing
dan keras bagai tembaga. Mereka tengah menanti hendak merobek-robek tubuh Thian-ih
untuk dimakan. Cepat-cepat Thian-ih harus mengerahkan hawa murni memulihkan tenaga,
sebelum dirinya diserang tenaga harus sudah pulih dan melarikan diri.
Gerombolan burung elang ini semakin lama semakin banyak, tatkala itu tiba tengah hari,
saking banyak elang bergerombol sampai sayapnya itu menutupi sinar matahari, sehingga
Thian-ih merasa seperti disaat magrib.
Tiba-tiba salah seekor elang yang terbang rendah menukik turun, agaknya dia sudah tak sabar
menunggu lagi, cakar dan patuknya berbareng menyerang kearah Thian-ih. Maka elang-elang
lain kuatir ketinggalan tak mendapat hidangan lezat beramai-ramai lantas menerjang turun
sambil memekik-mekik ! Mendadak Thian-ih loncat bangun, "Wut, wut", dua kali pukulannya
dilancarkan. Tujuh delapan elang yang menerjang terdepan sekaligus terjungkal jatuh kena
angin pukulannya, sambil memekik-mekik elang-elang yang lain segera terbang tinggi.
Menggunakan kesempatan ini segera Thian-ih angkat langkah terus berlari kencang menyusup
kedalam rimba. Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan panjang dibelakangnya, lantas terlihat
sebuah bayangan hitam besar tengah mengejar bagai terbang. Bayangan ini seperti elang
juga, membuntuti dibelakang Thian-ih sejauh dua tiga rombak. Thian-ih sudah lari terbirit-birit
sekencangnya, tapi masih belum dapat menghindarkan kejaran bayangan hitam itu, selalu
mengikuti dibelakangnya berjarak dua tiga tombak. Begitu Thian-ih mengendorkan larinya, dia
juga terbang lamban. Seakan-akan memang sengaja hendak mempermainkan Thian-ih.
Waktu ia berpaling dilihatnya jelas bahwa bayangan hitam itu juga manusia adanya, tapi
bayangan itu agaknya malu-malu kucing, begitu dipandang dia lantas memungkur hanya
kelihatan punggungnya saja. Tampak dia mengenakan jubah hitam, rambutnya panjang
terurai, kakinya telanjang, bentuk yang aneh ini seperti setan ditengah alas pegunungan.
Hati Thian-ih kebat-kebit, melihat orang tidak bergerak, dengan membesarkan hati segera ia
menggeremet maju hendak melihat tegas, sampai jarak mereka tinggal tiga empat kaki,
mendadak orang aneh itu kebutkan lengan panjangnya kebelakang. Kontan Thian-ih merasa
seperti dadanya dipukul godam, badannya terus roboh terkapar.
Orang aneh itu mendadak pentang kedua tangannya terus loncat keudara terbang seperti
burung elang, kedua lengan panjangnya itu menari-nari ditengah udara seperti dua sayap
besar, Thian-ih merasa setiap kali lengannya itu bergerak lantas tubuhnya disambar angin
Si Kumbang Merah 16 Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Kisah Membunuh Naga 30