Pencarian

Suramnya Bayang Bayang 12

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 12


mengikutinya sejak dari Pajang itu pun semakin lama
menjadi semakin cepat. Ki Wiradana dengan sangat cermat
berusaha untuk tidak membuat kesalahan-kesalahan yang
berakibat pahit baginya. Ia sadar, bahwa lawannya itu tentu
bukan orang kebanyakan. Bahkan ia menduga bahwa dua
orang itu pulalah yang telah merampok saudagar emas
permata di penginapan di Tanah Perdikan Sembojan dan
mengalahkan saudagar itu.
79 SH. Mintardja Dalam pada itu, seorang lagi di antara kedua orang itu
nampaknya masih belum berbuat sesuatu. Ia masih
mengawasi saja kawannya yang sedang bertempur melawan
Ki Wiradana. Namun orang itu terkejut ketika ia mendengar salah
seorang pengawal Ki Wiradana berkata, "Sebaiknya kau
tidak ikut campur, meskipun seandainya kau akan
bertempur berpasangan, Ki Wiradana tidak akan gentar."
Orang itu berpaling ke arah para pengawal. Kemudian
dengan nada datar ia bertanya, "Apakah kalian
pengawalnya?" "Ya," jawab pengawal itu. "Kenapa?"
"Tidak apa-apa," jawab orang itu. Tetapi ia pun kemudian
bertanya, "Kenapa kau tidak melibatkan diri dalam
pertempuran itu jika kau pengawalnya?"
"Kenapa aku harus melibatkan diri" Sebentar lagi
pertempuran itu akan selesai dan kawanmu akan terkapar
di tanah, mati," jawab pengawal itu. Lalu, "Nah, jika kau
ikut campur, maka nasibmu akan sama saja seperti
kawanmu itu." "O," orang itu tiba-tiba saja tersenyum. Katanya, "Kalian
ternyata juga sombong seperti pemangku jabatan Kepala
Tanah Perdikan itu."
"Aku mengatakan sebenarnya. Jika kau tidak percaya
marilah kita tunggu beberapa saat saja," jawab pengawal
itu. Orang berkuda itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya, "Aku akan membuktikan dengan cara
lain. Aku tidak akan menunggu sampai kawanmu terkapar
mati. Jika benar kata-katamu, maka aku akan ikut campur.
80 SH. Mintardja Jika kami harus mati, biarlah mati bersama-sama. Tetapi
aku yakin bahwa kami berdua akan dapat mengalahkan Ki
Wiradana." Pengawal itu termangu-mangu. Lalu katanya, "Sebaiknya
kau menunggu." "Bukankah kau anjurkan aku agar melibatkan diri
meskipun kemudian kau mengancam bahwa dengan
demikian nasibku akan sama seperti kawanku" Nah, aku
akan mencobanya sebab aku mempunyai keyakinan yang
lain," jawab orang itu.
Pengawal itu agak kebingungan sejenak. Namun
kemudian katanya, "Sebaiknya kau tetap disini."
"Kenapa?" bertanya orang berkuda itu. "Apakah kau
takut, bahwa ternyata kemampuan Ki Wiradana tidak
seperti yang kau katakan?"
Wajah pengawal itu menjadi merah, sementara
kawannya telah melangkah mendekat, "Kau jangan berbuat
sesuatu yang dapat mencekik lehermu sendiri, mengerti."
Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Aku
akan membantu kawanku membantai Ki Wiradana. Apa
kata kalian?" "Kau tahu jawabannya," jawab seorang pengawal yang
lain. "Baik. Marilah. Siapa yang akan mati lebih dahulu, atau
keempatnya akan maju bersama?" bertanya orang itu.
Para pengawal itu termangu-mangu sejenak. Hampir
diluar sadar, mereka telah berpaling ke arah Ki Wiradana
yang sedang bertempur melawan salah seorang dari kedua
orang berkuda itu. 81 SH. Mintardja Namun mereka pun telah terkejut. Ternyata pertempuran
itu terjadi dengan sengitnya. Para pengawal itu tidak dapat
mengatakan, apakah Ki Wiradana mempunyai kelebihan
dari orang berkuda yang akan merampoknya, karena
keduanya telah bertempur dengan dahsyatnya. Keduanya
saling mendesak, saling menyerang dan meng-hindar,
seakan-akan keduanya harus mengerahkan segenap
kemampuan mereka. Para pengawal itu memperhatikan dengan mata hampir
tidak terpejam. Apa benar penglihatannya, bahwa Ki
Wiradana pada saat-saat tertentu justru telah terdesak.
Sementara itu, orang berkuda yang seorang lagi tertawa
pendek. Katanya, "Perhatikan dengan seksama. Apakah
dalam keadaan yang demikian itu Ki Wiradana akan dapat
dengan cepat membunuh kawanku" Jika kalian sedikit saja
mengenal ilmu kanuragan, maka kalian akan melihat bahwa
keduanya memiliki kelebihannya masing-masing. Nah, jika
dalam keadaan yang demikian itu aku memasuki arena,
maka Ki Wiradana akan segera mengakui, bahwa ia tidak
akan mampu bertahan lebih lama lagi."
Para pengawalnya itu tidak dapat ingkar. Ternyata bahwa
Ki Wiradana tidak segera dapat mendesak lawannya.
Bahkan kemudian ternyata, sekali-kali Ki Wiradana harus
meloncat surut. Karena itu, maka salah seorang pengawal itu pun
berkata, "Meskipun kami tidak mencemaskan Ki Wiradana,
tetapi jika kau ingin mencampuri persoalan itu, maka
kaulah yang akan lebih dahulu kehilangan nyawamu."
"Suaramu bagaikan petir yang menggelegar langit.
Mengejutkan memang. Tetapi aku kira kalian adalah
pengawal-pengawal Tanah Perdikan yang oleh Ki Wiradana
82 SH. Mintardja sekadar dipergunakan untuk menakut-nakuti anak-anak
saja," berkata orang itu.
"Karena itu minggirlah. Jangan ikut campur. Kalian
masih belum waktunya berbicara di dalam lingkungan
dunia olah kanuragan."
Para pengawal itu benar-benar terhina. Karena itu, maka
mereka pun telah bergerak serentak diseputar orang itu.
Orang berkuda itu tertawa, katanya, "Nah, bukankah aku
juga dapat berbuat kesombongan seperti kalian" Dan kalian
ternyata menjadi marah. Tetapi aku memang ingin
membuat kalian marah. Nah, sekarang apa yang akan kau
lakukan?" Para pengawal itu tidak dapat menahan perasaan mereka
lagi. Meskipun mereka di dalam hati menjadi gelisah
melihat cara orang berkuda yang seorang lagi bertempur
melawan Ki Wiradana, namun mereka masih harus
membuktikan, apakah yang seorang itu juga memiliki ilmu
yang sama. Karena itu, maka para pengawal itu pun segera
mempersiapkan diri. Mereka sudah siap menyerang dari
empat arah diseputar orang berkuda itu.
Orang itu pun telah mempersiapkan diri pula. Sekilas ia
memandang kedua orang yang telah berkelahi. Kedua orang
itu masih saja berdiri termangu-mangu. Mereka
memandang pertempuran antara Ki Wiradana dengan salah
seorang dari orang-orang yang telah mengikutinya dari
Pajang dengan pandangan mata tanpa berkedip.
Sementara itu, maka para pengawal itu pun sudah mulai
bergerak, sehingga orang yang dikepungnya itu pun telah
bergerak pula. Orang itu mulai merendahkan dirinya dan
83 SH. Mintardja bersikap untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan
yang bakal datang. Bahkan orang itu masih sempat memancing serangan.
Katanya, "Marilah, siapakah yang akan mulai" Kalian atau
aku?" Para pengawal itu benar-benar tidak dapat menahan diri
lagi. Dengan garangnya seorang di antara mereka telah
menyerang orang berkuda yang dikepungnya itu.
Tetapi orang yang berdiri di dalam kepungan itu sudah
bersiap. Karena itu, maka ia pun dengan sigapnya telah
menghindari serangan itu. Namun ketiga orang pengawal
yang lain telah memperhitungkannya pula. Demikian orang
itu menghindar, maka hampir bersamaan ketiganya telah
menyerang pula. Mereka menyergap orang itu dengan
perhitungan, bahwa orang itu akan sulit untuk menghindari
serangan yang datang dari tiga arah bersamaan.
Namun yang terjadi adalah diluar dugaan. Demikian
ketiganya menyerang, maka orang itu bagaikan telah
melenting dengan kecepatan yang luar biasa, lepas dari
kepungan. Bahkan pengawal yang menyerang terdahulu,
telah terdorong oleh kekuatan orang itu, sehingga
terhuyung-huyung beberapa langkah surut.
Ketika para pengawal itu menyadari, maka orang itu
telah berdiri tegak sambil bertolak pinggang.
"Marilah," berkata orang itu sambil tersenyum.
"Sebenarnya rencana kalian cukup baik. Kerjasama di
antara kalian telah mapan. Sebagai pengawal Tanah
Perdikan kalian sudah terhitung baik, sehingga agaknya
pengawal Tanah Perdikan Sembojan merupakan pengawal
yang tangguh. 84 SH. Mintardja "Persetan," geram salah seorang dari para pengawal itu,
"Yang kau lakukan adalah satu kebetulan justru pada saat
kami belum bersungguh-sungguh."
Orang yang telah berhasil meloncat dari kepungan itu
tertawa. Katanya, "Kau berbicara kepada siapa" Kau sangka
aku semacam anak-anak yang tidak mampu menilai
keadaan" Sudahlah. Jangan berbicara hilir mudik. Aku
memperingatkan kalian sekali lagi, bahwa kalian masih
belum waktunya memasuki benturan kekerasan dalam
dunia oleh kanuragan. Agaknya ilmumu tidak lebih baik
dari dua orang yang sekarang berdiri ditepi halaman itu."
Namun demikian pemimpin pengawal itu masih
menjawab, "Tetapi kami berempat akan mampu
mengalahkanmu." "Tidak Ki Sanak," berkata orang itu. "Meskipun kau
berempat, tetapi kau tidak akan mampu mengalahkan aku.
Aku berkata sebenarnya. Tetapi jika kau ingin mencoba, aku
tidak berkeberatan."
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 10. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
85 SH. Mintardja Jilid Kesepuluh Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 86 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja KEEMPAT ORANG itu sama sekali tidak
menghiraukan kata-kata orang itu meskipun ada juga
semacam pengakuan di dalam hatinya bahwa orang itu
agaknya memiliki ilmu yang jauh lebih dari tingkat ilmu
mereka. Karena itu, maka keempat orang itu telah bersiap pula.
Mereka berusaha untuk sekali lagi mengepung lawan
mereka dan bersiap menyerang dari segala arah.
Namun dalam pada itu, orang yang berada di dalam
kepungan itu berkata lagi, "Jadi kalian mau mengulangi lagi
kegagalan kalian" Apakah kalian tidak mempunyai cara
yang lebih baik dari cara yang bodoh ini."
Para pengawal itu termangu-mangu. Namun salah
seorang di antara mereka tiba-tiba saja menggeram, "Kau
mulai menjadi ketakutan melihat kami bersungguh-
sungguh mengepungmu."
Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian orang
itu tertawa. Tidak terlalu keras, sangat menyakitkan hati.
Katanya, "Kau memang aneh-aneh. Ada saja cara untuk
menutupi kekurangan diri. Tetapi baiklah. Marilah, kita
mulai dengan permainan jamuran ini. Nanti sekali-kali


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergantian di tengah lingkaran."
Keempat orang itu jantungnya bagaikan disentuh bara.
Kemarahan telah membakar seisi dadanya. Karena itu,
apapun yang terjadi, maka mereka benar-benar akan
menyelesaikan pertempuran itu.
Karena itu, maka tiba-tiba saja seorang di antara
keempat orang itu telah menarik pedangnya sambil berkata,
"Ki Sanak. Apaboleh buat. Menghadapi perampok dan
penyamun memang tidak ada paugeran untuk tidak
mempergunakan senjata."
2 SH. Mintardja Orang yang berdiri ditengah lingkaran itu memandang
lawan-lawannya dengan tajamnya. Apalagi ketika ketiga
pengawal yang lain pun telah melakukan hal yang sama.
"Ki Sanak," berkata orang yang berdiri ditengah itu.
"Kalian mulai bermain dengan senjata. Apakah kalian
menyadari akibatnya. Sentuhan senjata sangat berbeda
akibatnya dengan sentuhan jari dengan kekuatan wajar.
Sentuhan ujung senjata akan dapat menggores kulit dan
mengoyak daging." "Aku memang ingin mengoyak kulit dagingmu dan
merobek jantungmu," berkata pengawal itu.
"Betapa garangnya," sahut orang itu. "Tetapi baiklah.
Kita akan melihat arti dari tingkah laku kalian itu."
Para pengawal tidak menjawab lagi. Namun dengan
demikian maka mereka sudah siap untuk mulai dengan
pertempuran yang menentukan karena mereka sudah
bersenjata. Namun ketika orang yang dikepungnya itu memandang
arena pertempuran antara kawannya dan Ki Wiradana,
maka para pengawal itu diluar sadarnya juga berpaling
sekilas. Namun mereka menjadi gelisah. Ternyata bahwa Ki
Wiradana telah terdesak beberapa langkah surut.
"Apa kataku," berkata orang yang berada di dalam
kepungan, "Bukan kawanku yang terdesak, tetapi Ki
Wiradana." "Persetan," geram salah seorang pengawal. "Kami bunuh
kau, kemudian kami akan bertempur bersama Ki
Wiradana." 3 SH. Mintardja Para pengawal itu tidak menunggu jawaban, dengan serta
merta mereka telah menyerang dengan senjata mereka
masing-masing. Bagaimanapun juga orang yang berada di dalam
kepungan itu mengalami kesulitan untuk menghindari
serangan dari empat ujung pedang pada jarak yang pendek.
Karena itu, tiba-tiba saja ia telah mengambil sesuatu dari
balik bajunya. Ternyata ia telah menarik pisau belati panjang. Sepasang,
tidak hanya sebuah. Dengan sepasang pisau belati itu, ia telah melawan empat
ujung pedang di tangan para pengawal.
Perlawanan orang itu memang mengejutkan. Dengan
pisau-pisaunya ternyata ia mampu menangkis serangan
pedang yang datang beruntun dari segala arah. Bahkan
ketika terjadi benturan-benturan antara senjata mereka,
maka keempat pengawal itu mejadi semakin heran. Pisau-
pisau yang terhitung kecil dibandingkan dengan pedang-
pedang mereka itu mampu menggetarkan tangan mereka
hampir pada setiap sentuhan antara senjata mereka.
"Orang ini memang luar biasa," berkata para pengawal
itu di dalam hatinya. Apalagi ketika kemudian orang itu mulai berloncatan dan
justru menyerang. Maka kepungan keempat pengawal itu
telah terdorong melebar dengan sendirinya, sehingga
kepungan itu tidak banyak memberikan arti lagi.
"Bukan salahku," berkata orang itu. "Kalianlah yang
mulai dengan senjata."
4 SH. Mintardja Para pengawal tidak menjawab. Pertempuran itu menjadi
semakin sengit. Tetapi para pengawal ternyata tidak berbuat
banyak. "Dengar para pengawal," berkata orang itu. "Aku kali ini
hanya mempergunakan pisau-pisau belati. Jika aku
mempergunakan senjataku yang sebenarnya yang masih
berada di pelana kudaku, maka kalian akan menjadi
semakin menyesal." Keempat pengawal itu tidak sempat menjawab. Mereka
justru berloncatan semakin jauh. Namun demikian, maka
setiap kali mereka berusaha untuk menyerang beruntun,
tetapi kadang-kadang juga berbareng.
Sementara itu, orang-orang yang lewat dan bahkan
orang-orang padukuhannya pun melihat perkelahian yang
telah terjadi itu. Karena itu maka mereka pun menjadi
semakin lama semakin gelisah. Pemilik warung yang
ketakutan itu akhirnya tidak dapat menahan diri lagi. Pada
saat pertempuran itu menjadi semakin sengit, dan darah
mulai meleleh dari luka, maka ia pun telah berlari ke gardu
terdekat dan dengan sekuat tenaga telah membunyikan
kentongan. Suara kentongan dengan nada titir itu menjadi semakin
menarik perhatian. Bahkan beberapa lama kemudian,
terdengar suara kentongan yang lain telah menyambutnya
dan sambung menyambung suara kentongan itu menjalar
semakin lama semakin jauh.
Ternyata suara kentongan itu telah terdengar oleh para
bebahu padukuhan itu. Dengan segera mereka pun berlari-lari menuju ke banjar.
Namun orang-orang di banjar masih belum tahu pasti apa
yang terjadi. 5 SH. Mintardja Baru sejenak kemudian, dua orang berlari-lari
memberitahukan apa yang telah terjadi di warung itu. Dua
orang yang dianggap gegedug di daerah padukuhan itu dan
sekitarnya sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa.
Bahkan kemudian beberapa orang yang semua bersama-
sama singgah di warung itu telah saling berkelahi.
Dengan demikian maka para bebahu padukuhan itu telah
membawa laki-laki yang bersedia membantunya dengan
senjata di tangan menuju ke warung itu. Meskipun mereka
bukan orang-orang berilmu, tetapi menurut pendapat
bebahu itu, jika mereka datang dalam jumlah yang besar,
maka hal itu tentu akan berpengaruh juga.
Ketika seorang bekel yang memimpin orang-orang
padukuhan itu datang dengan hati-hati memasuki halaman
warung di pinggir jalan itu, hatinya menjadi berdebar-
debar. Ia melihat orang-orang yang sedang berjalan melalui
jalan itu berhenti dan mengerumuni pintu pagar yang
rendah dari halaman warung itu
"Minggir Ki Sanak," minta Bekel yang diikuti oleh
sekelompok laki-laki bersenjata.
Beberapa orang telah menyibak. Namun ketika Ki Bekel
itu memasuki pintu warung, maka pemilik warung itu
berkata, "Terlambat Ki Bekel."
"Kenapa?" bertanya Ki Bekel.
"Dua orang perampok itu telah melarikan diri dengan
meninggalkan korban-korbannya," jawab pemilik warung
itu. Ki Bekel termangu-mangu. Sementara itu pemilik
warung itu pun berkata, "Aku persilakan Ki Bekel melihat di
sebelah warungku ini."
6 SH. Mintardja Ki Bekel dan beberapa orang laki-laki itu kemudian pergi
keserambi yang ditunjukkan oleh pemilik warung itu. Yang
dijumpainya sangat mengejutkan.
Beberapa orang terbaring di amben bambu di serambi
itu. Sementara itu, seorang di antara mereka yang terluka
itu pun duduk di bibir amben sambil menyeringai menahan
sakit. "Apa yang terjadi Ki Sanak?" bertanya Ki Bekel.
Ki Wiradana, satu-satunya orang yang masih sempat
duduk meskipun sambil menahan sakit itu pun menjawab,
"Telah terjadi perampokan."
"Di siang hari begini?" bertanya seseorang.
"Ya," jawab Ki Wiradana. "Perampokan yang gila. Dua
orang telah mengikuti perjalananku dari Pajang. Ternyata
mereka baru bertindak ketika aku sampai disini."
"Apakah Ki Sanak melawan?" bertanya Ki Bekel.
"Ya. Kami telah melawan. Tetapi kedua perampok itu
agaknya memang memiliki ilmu yang tinggi," jawab Ki
Wiradana. "Apakah ada barang-barang Ki Sanak yang sempat
dibawa?" bertanya Ki Bekel.
"Tidak," jawab Ki Wiradana. "Kami masih mampu
mempertahankannya meskipun kawan-kawanku
mengalami cidera yang agak parah."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Kemudian seorang
yang memiliki pengetahuan tantang obat-obatan datang
untuk mengobatinya. "Siapakah Ki Sanak sebenarnya?" bertanya Ki Bekel.
7 SH. Mintardja Ki Wiradana pun kemudian menyebut tentang dirinya
dan jabatannya. Baru kemudian ia pun bertanya, "Dan Ki
Sanak" "Aku adalah Bekel di padukuhan ini," jawab Ki Bekel.
Lalu, "Jika Ki Sanak pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikan Sembojan, maka perjalanan Ki Sanak ke Pajang
agaknya ada hubungannya dengan jabatan Ki Sanak itu."
"Agaknya memang demikian," jawab Ki Wiradana.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Dengan keadaan Ki Sanak dan para pengawal Ki Sanak,
maka agaknya Ki Sanak tidak akan sempat melanjutkan
perjalanan hari ini. Kami ingin mempersilakan Ki Sanak
tinggal barang satu dua hari di padukuhan ini. Jika keadaan
Ki Sanak sudah baik, maka kami persilakan Ki Sanak
melanjutkan perjalanan. Namun Ki Sanak perlu berhati-
hati. Mungkin para perampok itu masih saja mengikuti Ki
Sanak." Ki Wiradana mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Jika
keadaanku sudah baik, aku tidak akan menunda perjalanan
kembali. Sebenarnya aku tidak gentar menghadapi
keduanya." "Tetapi Ki Sanak terluka cukup parah," berkata Ki Bekel.
"Mungkin aku telah melakukan satu kesalahan. Aku
terlalu menganggap mereka tidak berbahaya," jawab Ki
Wiradana. Lalu katanya, "Tetapi bukankah jalan menuju ke
Sembojan tidak hanya satu?"
"Memang ada beberapa jalur. Aku dapat menunjukkan
jalur jalan yang jarang sekali dilalui. Mungkin Ki Sanak
dapat mengambil jalan itu."
8 SH. Mintardja Ki Wiradana mengangguk-angguk. Bahkan kemudian
katanya, "Kami sangat berterima kasih atas kesediaan Ki
Sanak untuk menerima kami barang satu dua hari di
padukuhan ini. Aku kira dalam dua hari keadaan kami
sudah menjadi baik kembali.
Namun apakah dengan demikian kami akan dapat
menyulitkan padukuhan ini jika kedua orang itu dengan
nekad berusaha meneruskan niatnya untuk merampok kami
justru pada saat kami masih dalam keadaan seperti ini?"
Ki Bekel itu pun menjawab, "Jumlah kami cukup banyak.
Mungkin kemampuan kami tidak seberapa. Tetapi dalam
jumlah yang tidak terhitung dibandingkan jumlah yang
hanya dua orang itu, maka kami akan dapat
mempertahankan diri kami dari keduanya."
Dengan demikian, maka Ki Wiradana dan para
pengawalnya pun kemudian telah dibawa ke banjar. Ki
Wiradana sendiri mampu berjalan meskipun kemudian Ki
Bekel mempersilakannya naik juga ke atas sebuah pedati
sebagaimana para pengawalnya.
"Naiklah," berkata Ki Bekel. "Jika kau memaksa diri
untuk berjalan juga, maka luka-lukamu akan terasa semakin
parah." Ki Wiradana tidak membantah. Ia pun kemudian naik ke
atas pedati. Namun katanya kemudian, "Kami menitipkan
kuda-kuda kami." "Jangan kau risaukan," jawab Ki Bekel. "Kami mengurusi
kuda-kuda kalian sebaik-baiknya."
Dengan demikian maka Ki Wiradana pun tinggal di
banjar padukuhan itu. Ternyata orang-orang padukuhan itu
adalah orang-orang yang lugu dan ramah. Namun dalam
keadaan yang bagi mereka cukup gawat itu, hampir setiap
9 SH. Mintardja laki-laki telah menyediakan diri untuk berbuat sesuatu bagi
padukuhannya. Ketika senja mulai turun, maka gardu-
gardu pun mulai terisi. Jauh lebih banyak dari mereka yang
berkewajiban ronda pada malam itu. Peristiwa di warung
ditepi jalan yang menghubungkan Pajang dan Sembojan itu,
telah mendorong setiap orang laki-laki untuk berbuat
sesuatu. Tetapi tidak seorang pun yang datang mengganggu
padukuhan itu. Yang dicemaskan, bahwa kedua orang
perampok itu, apalagi jika mereka mengajak kawan-kawan
mereka untuk datang ke padukuhan itu, ternyata tidak
terjadi. Malam-malam di padukuhan itu terasa sebagaimana
malam-malam sebelumnya. Tenang dan sepi, selain di
gardu-gardu peronda, mereka yang berjaga-jaga sibuk
berusaha agar mereka tidak segera tertidur. Ada yang
merebus air, merebus ketela pohon, dan ada yang berjalan
hilir mudik di depan regol-regol padukuhan.
Namun tiga malam telah lewat. Keadaan Ki Wiradana
pun benar-benar telah kelihatan baik meskipun sebenarnya


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luka-lukanya masih belum sembuh benar. Dalam keadaan
yang banyak melepaskan tenaga, maka luka-luka itu akan
dapat berdarah lagi. Apalagi para pengawalnya. Keadaan mereka masih belum
sebaik keadaan Ki Wiradana.
Namun Ki Wiradana mulai menjadi gelisah. Meskipun
sejak ia berangkat dari Tanah Perdikan ia sudah
mengatakan bahwa kepergiannya mungkin memerlukan
waktu beberapa hari untuk menyelesaikan persoalan Tanah
Perdikan Sembojan dengan tuntas, namun ia pun mulai
digelisahkan oleh kemungkinan bahwa orang-orang di
Tanah Perdikan Sembojan sudah menunggu-nunggunya.
10 SH. Mintardja Karena itu, meskipun keadaannya masih belum sembuh
sama sekali, Ki Wiradana kemudian minta diri untuk
meneruskan perjalanannya.
"Sebaiknya kau menunggu luka-lukamu sembuh sama
sekali," berkata Ki Bekel.
"Terima kasih Ki Bekel.
Aku agaknya sudah terlalu
lama meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan. Pertolonganmu sudah terlalu
banyak sehingga aku tidak
dapat melupakannya disaat-
saat mendatang. Mungkin aku masih akan hilir mudik
antara Sembojan dan Pajang
setelah keadaan menjadi tenang. Dalam kesempatan itu, aku akan dapat singgah
di rumahmu," jawab Ki
Wiradana. Ki Bekel tidak dapat menahannya lagi. Ia mengerti,
bahwa tugas seorang Kepala Tanah Perdikan bukannya
tugas yang ringan, sehingga karena itu, maka sebagai
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Ki Wiradana
tidak dapat terlalu lama pergi.
Sebenarnya para pengawal Ki Wiradana masih ingin
tinggal lebih lama agar luka-luka mereka menjadi semakin
baik. Tetapi agaknya Ki Wiradana sudah tidak dapat
menunggu lagi, sehingga mereka pun terpaksa ikut pula
bersiap-siap untuk meninggalkan padukuhan itu.
11 SH. Mintardja "Sebenarnya aku masih ingin menunda perjalanan ini
dalam dua tiga hari lagi," berkata salah seorang di antara
mereka. "Tempat ini menyenangkan," desis kawannya. "Aku dapat
tinggal disini dengan tenang dan mendapat pelayanan yang
menyenangkan pula." Tetapi mereka tidak dapat mencegah Ki Wiradana yang
merasa sudah terlalu lama meninggalkan kewajibannya.
Dalam pada itu Ki Bekel pun bertanya, "Ki Wiradana.
Demi keamanan perjalanan Ki Wiradana, apakah aku dapat
memerintahkan dua tiga orang pergi ke Sembojan untuk
memanggil pengawal yang cukup seandainya di perjalanan
Ki Wiradana yang masih belum sembuh benar itu bertemu
dengan para perampok?"
Ki Wiradana mengerutkan keningnya. Jarak antara
Sembojan dan padukuhan itu memang tidak terlalu jauh. Ia
akan dapat menunggu sehari jika ia sependapat dengan
pendapat Ki Bekel. Dengan demikian mungkin lima atau
enam orang pengawalnya akan dapat menjemputnya.
Namun Ki Wiradana itu akhirnya menggeleng. Katanya,
"Terima kasih Ki Bekel. Biarlah aku dan para pengawal yang
ada menempuh perjalanan kembali. Seperti yang sudah kita
sebut-sebut, jalan ke Tanah Perdikan bukan hanya satu.
Mudah-mudahan aku tidak diganggunya lagi dalam
perjalanan pulang." Demikianlah, maka setelah membenahi diri, maka pada
saat fajar menyingsing, Ki Wiradana pun telah berada di
punggung kudanya bersama para pengawalnya. Mereka
akan menempuh perjalanan mereka yang sebenarnya
memang sudah tidak terlalu jauh.
12 SH. Mintardja Namun kemungkinan yang buruk itu masih saja dapat
terjadi, jika kedua orang perampok itu mencegat mereka di
perjalanan kembali. Tetapi Ki Wiradana akan memilih jalan yang paling kecil
kemungkinannya diketahui atau diperkirakan oleh para
perampok itu akan dilaluinya, sehingga Ki Wiradana
berharap bahwa para perampok itu tidak akan
mengganggunya disisi perjalanannya itu.
Sejenak kemudian, beberapa ekor kuda itu pun telah
berpacu. Ki Bekel dan para bebahu padukuhan itu
mengantar mereka sampai ke regol banjar.
Ki Wiradana menempuh sisa perjalanannya dengan hati
yang berdebar-debar. Bagaimanapun juga ia tidak dapat ingkar, bahwa
sebenarnyalah Ki Wiradana tidak akan mampu menandingi
ilmu orang yang berusaha merampoknya itu. Ia akan dapat
berkata apa saja kepada orang lain sebagaimana kepala Ki
Bekel, bahwa seolah-olah ia telah lengah menghadapi
lawannya karena ia tidak mengira sama sekali, bahwa
perampok itu ternyata memiliki ilmu yang cukup. Tetapi
kepada dirinya sendiri ia harus mengakui imbangan
kemampuan yang sebenarnya antara dirinya dengan
perampok yang telah melukainya itu.
Dalam pada itu, ternyata bahwa perjalanan Ki Wiradana
yang sudah tidak terlalu panjang itu tidak dapat
ditempuhnya dengan terlalu cepat, karena keadaan Ki
Wiradana terutama para pengawalnya yang masih belum
sembuh benar. Bahkan Ki Wiradana dan para pengawalnya
masih juga harus beristirahat disebuah kedai untuk
menjaga agar keadaannya tidak menjadi terlalu buruk.
13 SH. Mintardja Akhirnya, setelah menempuh perjalanan dengan penuh
ketegangan, Ki Wiradana dan para pengawalnya pun
selamat sampai ke rumah mereka di Sembojan. Demikian
mereka memasuki Tanah Perdikan Sembojan, maka rasa-
rasanya jantung mereka telah tersiram dengan embun yang
sejuk. Meskipun kemungkinan buruk itu masih saja dapat
terjadi di Tanah Perdikan mereka sendiri, tetapi
kemungkinan itu sudah menjadi sangat kecil.
Meskipun demikian, kedatangan Ki Wiradana telah
mengejutkan hati Warsi yang menunggunya dengan
berdebar-debar. Ki Wiradana yang datang dengan luka-luka
ditubuhnya meskipun sudah mengalami penyembuhan
meskipun belum sempurna. Ki Wiradana tidak dapat mengulas peristiwa yang terjadi
itu terlalu banyak, karena beberapa orang pengawal
menyaksikan kekalahannya. Meskipun demikian, ia masih
mampu membuat kesan, bahwa kekalahannya itu bukannya
karena ilmunya yang berselisih banyak, tetapi semata-mata
karena kelengahan Ki Wiradana sendiri.
Sementara itu, para pengawalnya yang masih dalam
keadaan yang lebih buruk dari Ki Wiradana sendiri,
demikian mereka sampai di rumah pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikan itu, maka mereka langsung pergi ke
serambi samping. "Beri kami minum panas," berkata salah seorang di
antara mereka kepada pelayan Ki Wiradana, sementara itu
para pengawal itu pun segera membaringkan diri. Badan
rasa-rasanya masih terlalu lemah dan luka-luka mereka
yang sudah pampat itu rasa-rasanya akan kambuh lagi jika
mereka tidak segera beristirahat.
Seseorang yang mengalami luka parah di punggungnya
mempergunakan cara tersendiri untuk beristirahat. Ia
14 SH. Mintardja duduk disebuah lincak di serambi sambil memeluk bantal
dan bersandar menyamping pada lengannya.
Jantung Warsi menjadi berdegupan lebih cepat. Ketika ia
melihat luka Ki Wiradana maka ia dapat mengambil
kesimpulan sesuai dengan ketajaman pengamatannya
meskipun tidak dikatakan kepada Ki Wiradana, bahwa yang
melukai suaminya adalah orang yang melukai ayahnya yang
mengaku saudagar permata.
"Saudagar itu masih berada disini," berkata Warsi.
"Apakah kakang perlu bertemu dan berbicara tentang orang
yang melukai kakang" Mungkin mereka mempunyai
hubungan atau bahkan orangnya adalah orang itu juga,
yang pekerjaannya memang memasuki penginapan-
penginapan dan merampok orang-orang bermalam."
"Tetapi orang-orang yang merampok kami di perjalanan
tidak melakukannya di penginapan sebagaimana yang
dilakukan atas saudagar emas itu," jawab Ki Wiradana.
"Apakah mereka akan berani melakukannya di Pajang"
Di sebuah kota yang ramai, yang setiap saat jalan-jalan
dilalui oleh prajurit yang sedang meronda?" sahut Warsi.
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin
kau benar. Baiklah, aku akan berbicara dengan saudagar
itu." "Tetapi tentu tidak perlu sekarang. Kakang perlu
beristirahat setelah menempuh perjalanan dalam keadaan
terluka seperti itu," berkata Warsi.
Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Ia memang
merasa tubuhnya sangat letih.
Bukan saja karena perjalanannya, tetapi juga karena
luka-lukanya yang belum sembuh benar.
15 SH. Mintardja Ketika ia kemudian pergi ke pakiwan, maka dilihatnya
para pengawalnya berada di serambi sambil menghirup
minuman panas. Mereka nampak sangat letih dan bahkan
nampaknya mereka masih merasakan luka-luka mereka
pedih tersentuh keringat.
Tetapi minuman panas itu agaknya membuat mereka
merasa segar. "Minumlah," berkata Ki Wiradana. "Kemudian kalian
masih memerlukan pengobatan. Kita mempunyai tabib
yang lebih baik dari dukun di padukuhan itu," berkata Ki
Wiradana kepada para pengawalnya.
Setelah membersihkan diri serta menghadapi minuman
dan makanan, maka Ki Wiradana telah memanggil saudagar
yang masih berada di rumahnya. Diceriterakannya apa yang
telah terjadi atasnya di perjalanan serta disebutnya ciri-ciri
orang itu sebagaimana dikenalnya. Bahkan ciri-ciri tata
geraknya yang paling tajam dapat ditangkap oleh Ki
Wiradana. Saudagar itu mengangguk-angguk. Katanya, "Tentu
orang itu juga. Ciri-ciri itu sesuai benar. Sebenarnyalah
bahwa kedua orang itu adalah orang-orang yang
pekerjaannya merampok para korbannya di penginapan
atau diperjalanan setelah dari penginapan itu."
"Dengan demikian, maka kita harus mengawasi setiap
penginapan yang ada di Tanah Perdikan ini," berkata Ki
Wiradana. "Tetapi agaknya disini hanya ada satu dua.
Tidak lebih dari lima buah di seluruh Tanah Perdikan di
pusat-pusat perdagangan. Selebihnya orang-orang dalam perjalanan akan
bermacam di banjar-banjar padukuhan. Mereka biasanya
16 SH. Mintardja tidak memerlukan penginapan-penginapan sebagaimana
para pedagang dan saudagar-saudagar."
Saudagar itu mengangguk-angguk. Katanya, "Satu
pengalaman yang berharga."
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Tetapi timbul di
dalam angan-angannya satu usaha untuk menjebak kedua
orang perampok itu di penginapan yang berada di Tanah
Perdikan Sembojan pada suatu saat dengan cara yang harus
diperhitungkan sebaik-baiknya.
Agaknya berbeda dengan pikiran Ki Wiradana, Warsi
memandang peristiwa itu dengan rangkaian-rangkaian
peristiwa yang lain. Warsi belum pernah mendengar
sebelumnya, bahwa ada perampok-perampok yang
berusaha mencari korbannya di penginapan-penginapan.
"Mungkin kedua orang itu melakukan cara yang aneh itu
belum terlalu lama," berkata Warsi di dalam hatinya.
Tetapi ia cenderung menduga, bahwa kedua orang itu
sama sekali tidak ingin merampok sebagaimana diduga oleh
Ki Wiradana. Kedua orang itu adalah bagian dari
sekelompok orang yang mengadakan pertunjukan keliling
dengan penari yang mirip sekali dengan Nyai Wiradana
yang hilang. Mereka sengaja menumbuhkan kesan yang
dapat mengganggu ketenangan hidup Ki Wiradana dengan
keluarganya, bahkan seisi Tanah Perdikan Sembojan.
Dengan demikian maka Warsi mengambil satu
kesimpulan, bahwa mereka adalah orang-orang yang
berpihak kepada Iswari yang telah hilang itu.
"Ternyata kekuatan mereka cukup meyakinkan," berkata
Warsi di dalam hatinya. 17 SH. Mintardja Namun kemudian, "Tetapi mereka baru menilai
kemampuan kami dari kemampuan ayah dan kakang
Wiradana. Pada saatnya nanti mereka akan berhadapan
dengan aku sendiri."
Tetapi Warsi sependapat dengan langkah yang diambil
oleh Ki Wiradana untuk mengawasi setiap penginapan.
Yang penting baginya bukan pengawasan penginapan itu
sendiri. Tetapi kesiagaan dan peningkatan kemampuan para
pengawal yang akan dapat dipergunakannya setiap saat
pada langkah-langkah berikutnya.
Namun yang menggelisahkan Warsi kemudian adalah


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adanya salah satu syarat bagi pelaksa-naan wisuda. Bagi
Tanah Perdikan Sembojan berupa sebuah bandul yang
bertatahkan lukisan kepala seekor burung elang dan
tergantung pada seutas rantai yang kesemuanya terbuat
dari emas. "Wiradana memang dungu," geram Warsi di dalam
hatinya. "Kenapa ia tidak dapat menguasai benda itu
sebelumnya." Namun Warsi pun telah diganggu oleh perasaan sesal
karena ia dengan tergesa-gesa telah membunuh Ki Gede
sebelum pertanda itu berada di tangan Ki Wiadana. Namun
hal itu dilakukannya karena Warsi belum mengetahui,
bahwa Wiradana, anak Ki Gede itu sendiri belum
mengetahuinya juga meskipun ia pernah melihat benda itu.
"Tetapi langsung atau tidak langsung Ki Gede sudah
mengatakannya pada saat ia menunjukkan benda itu,"
berkata Warsi di dalam hatinya. "Tetapi otak Wiradana
memang tumpul. Ia hanya tampan pada wajahnya, tetapi
otaknya tidak lebih dari otak udang."
18 SH. Mintardja Namun sementara itu Wiradana telah berusaha untuk
mencari benda yang merupakan salah satu syarat bagi
diwisudanya menjadi Kepala Tanah Perdikan itu diseluruh
sudut rumahnya. Ia telah membongkar bilik ayahnya dan
bahkan mengeluarkan semua perabot yang ada di dalam
bilik itu. "Aku harus menemukannya," geram Ki Wiradana.
Betapapun jantung Warsi bergejolak, namun dihadapan suaminya ia berkata, "Kakang memang
harus menemukannya. Tetapi kakang tidak perlu
menjadi sangat gelisah dan
bahkan menjadi bingung. Jika hal itu memang temurun kepada kakang, maka pertanda itu tentu akan
dapat kakang ketemukan. Bukankah kakang tidak perlu
tergesa-gesa" Pada saat ini
sebagaimana kakang katakan, pimpinan pemerintahan di Pajang, termasuk
Kanjeng Adipati sendiri dengan disibukkan oleh peristiwa
yang mengejutkan, yang menurut kakang telah terjadi di
Demak. Karena itu, sambil mencari dengan tenang kita
masih harus menunggu persoalan Demak itu dapat
diselesaikan dan Kanjeng Adipati di Pajang kembali ke
istananya." Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Kata-kata
isterinya itu memang dapat sedikit menenangkan
19 SH. Mintardja kegelisahannya. Tetapi sebelum benda itu diketemukan,
rasa-rasanya hatinya masih saja merasa selalu gelisah.
Sementara itu, maka Warsi pun kemudian bertanya,
"Tetapi apakah kakang sempat mengingat, apakah benda itu
pernah diberitahukan atau ditunjukkan kepada orang lain
selain kakang?" "Maksudmu kepada siapa?" justru Ki Wiradana ganti
bertanya. "Kepada istri kakang pada waktu itu misalnya?" Warsi
menjelaskan. Wiradana mengerutkan keningnya. Ia mencoba
mengingat-ingat, apakah ayahnya pernah menunjukkan
benda itu kepada Iswari. Karena itu maka katanya, "Aku belum pernah melihat
ayah menunjukkan benda itu kepada Iswari. Tetapi ayah
sangat dekat dengan perempuan itu, sehingga kemungkinan
itu memang ada." "Apakah mungkin benda itu justru dibawa oleh istri
kakang itu?" bertanya Warsi kemudian.
"Tentu tidak. Pada waktu ia pergi untuk yang terakhir
kalinya, ia bersama perempuan di padukuhan diluar Tanah
Perdikan ini pergi menengok seseorang yang melahirkan.
Mustahil bahwa dengan demikian ia membawa benda itu,"
Ki Wiradana mengingat-ingat. Namun katanya kemudian,
"Aku akan mencari benda itu di manapun juga. Mungkin
memang Iswari yang menyimpannya."
Sekali lagi Wiradana membongkar rumahnya. Ia mencari
ditempat-tempat yang mungkin menjadi tempat
penyimpanan bagi Iswari. Namun ia sama sekali tidak
menemukan apapun juga. 20 SH. Mintardja Dalam keadaan yang hampir putus asa Wiradana itu
berkata, "Segala sesuatunya akan aku serahkan kepada Ki
Tumenggung Wirajaya. Jika benda itu memang tidak
diketemukan, maka ia akan mengusahakan dengan cara
apapun juga. Tetapi sudah tentu lebih baik jika benda itu
dapat diketemukan. Maka semuanya akan berjalan lancar
dan tidak berbelit-belit."
Warsi mengumpat di dalam hatinya. Tetapi ia pun tidak
dapat berbuat apa-apa. Ia melihat, bagaimana Wiradana
berusaha mencari benda yang menjadi pertanda kekuasaan
di Tanah Perdikan Sembojan itu. Tidak ada jengkal ruang
yang terlampauinya. Namun benda itu benar-benar tidak
dapat diketemukan. Karena itu, harapan yang masih ada tinggal pada Ki
Tumenggung Wirajaya. Ki Tumenggung yang ramah dan
baik hati, yang nampaknya memang tidak ada niat untuk
mempersulit persoalan. Namun sebagaimana pejabat yang terdahulu, memang
ada kemungkinan bahwa Ki Tumenggung Wirajaya itu akan
diganti. Tetapi menilik waktu jabatannya, maka hal itu tidak
akan segera terjadi jika tidak ada persoalan yang sangat
penting. Tetapi hubungan antara Pajang dan Demak tentu akan
mengalami goncangan-goncangan dengan peristiwa yang
baru saja terjadi, sehingga kemungkinan-kemungkinan itu
memang dapat saja terjadi dalam waktu dekat.
Dengan menyesal, Wiradana pun berkata kepada
istrinya, "Sayang sekali Warsi. Benda itu tidak dapat aku
ketemukan." Bagaimanapun juga gejolak perasaan Warsi, namun
dengan lembut ia berkata, "Sudahlah kakang. Kita serahkan
21 SH. Mintardja segala sesuatunya kepada Yang Maha Adil. Jika hak itu
memang akan temurun kepada kakang, maka
bagaimanapun caranya, maka pada suatu saat kakang tentu
akan diwisuda." Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
berharap bahwa wisuda itu akan dilakukan sebelum anak
kita lahir." "Bukan suatu tuntutan yang mutlak kakang," berkata
Warsi. "Hal itu kita inginkan agar di saat anak kita lahir,
maka ia adalah anak kepala Tanah Perdikan yang sah.
Tetapi segala sesuatunya tentu tergantung kepada keadaan.
Meskipun anak kita lahir sebelum kakang diwisuda, namun
anak itu tetap anak kakang yang kapanpun saatnya akhirnya
akan diwisuda juga menjadi Kepala Tanah Perdikan."
Wiradana mengangguk-angguk. Kata-kata Warsi itu
memang dapat sedikit meredakan gejolak kegelisahannya.
Meskipun demikian ia tidak akan dapat melupakan sama
sekali, bahwa ia masih belum memegang benda yang
menjadi pertanda kekuasaan di Tanah Perdikan Sembojan.
Namun dalam pada itu, maka persoalan lain harus
dilakukannya pula. Ia tidak dapat terpancang kepada satu
persoalan yang masih belum dapat dipecahkannya itu,
karena Tanah Perdikan Sembojan menuntut penyelesaian
banyak sekali persoalan-persoalan.
Yang dilakukan lebih dahulu oleh Ki Wiradana adalah
usaha untuk mengatasi kemungkinan datangnya dua orang
perampok di rumah-rumah penginapan. Karena itu, maka
Ki Wiradana telah menghubungi para pemimpin
penginapan di padukuhan-padukuhan yang memiliki rumah
penginapan yang tidak banyak jumlahnya, termasuk
pimpinan pengawal di padukuhan induk.
22 SH. Mintardja "Aku akan bersedia menjadi umpan," berkata saudagar
yang bermalam di rumah Ki Wiradana yang tidak lain
adalah ayah Warsi sendiri itu.
"Tetapi perampok itu tahu, bahwa barang-barang Ki
Sanak sudah tidak ada lagi," berkata Ki Wiradana.
"Sudah barang tentu aku akan meninggalkan Tanah
Perdikan ini untuk beberapa lama. Baru kemudian aku akan
kembali lagi dengan membawa barang-barang berharga.
Nah, mudah-mudahan mereka akan dapat kita jebak
dengan cara itu," sahut saudagar permata itu.
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Meskipun demikian ia
merasa ragu-ragu, apakah hal itu tidak akan
membahayakan saudagar itu sendiri. Pada benturan
pertama, perampok itu tidak membunuhnya, atau tidak
sempat membunuhnya karena para pengawal telah
berdatangan. Tetapi pada kesempatan lain, mungkin
perampok itu akan benar-benar membunuh.
Tetapi Ki Wiradana tidak melihat orang lain yang
mungkin dapat dijadikan umpan.
Umpan itu sendiri memang harus tidak terlalu lunak
sehingga memungkinkannya bertahan untuk beberapa saat
lamanya sebelum para pengawal datang membantunya
menangkap kedua orang perampok itu.
Sementara itu saudagar itu pun berkata, "Nah, dalam
keadaan yang sudah diperhitungkan, maka kita akan dapat
berhasil. Sementara itu, aku sebenarnya memang akan
segera datang lagi. Bukankah sudah aku katakan bahwa aku
memang ingin mempunyai sebidang tanah di Tanah
Perdikan ini?" 23 SH. Mintardja Ki Wiradana itu pun mengangguk-angguk. Katanya
kemudian, "Baiklah. Kita harus merencanakannya dengan
cermat agar dengan demikian, kita tidak akan mengalami
kegagalan, dan bahkan Ki Saudagar akan benar-benar
kehilangan lagi barang-barang yang mahal harganya itu."
Dengan demikian, maka keduanya pun telah membuat
rencana yang terperinci untuk menjebak perampok yang
menurut dugaan mereka selalu melakukan perampokan
atas orang-orang yang berada di penginapan-penginapan.
Orang-orang yang mereka duga membawa barang-barang
yang cukup berharga, meskipun Ki Wiradana menjadi heran
juga bahwa kedua orang itu dapat menyebut bandul dan
kalung pertanda kekuasaan Tanah Perdikan Sembojan.
"Agaknya kedua orang itu berusaha menyelidiki calon
korbannya dengan seksama.
Atau mungkin ada orang lain yang mempunyai tugas
khusus untuk menyelidiki calon korbannya, sedang
keduanya tinggal melaksanakan saja," berkata Ki Wiradana.
Saudagar itu mengangguk-angguk. Jawabnya, "Mungkin
demikian. Karena itu, maka kita pun harus berhati-hati.
Kita tidak boleh menganggap mereka terlalu ringan.
Mungkin dua orang yang merampok aku berbeda dengan
dua orang yang melakukannya atas Ki Wiradana, sehingga
mereka merupakan satu jaringan kekuatan yang harus kita
perhatikan dengan sungguh-sungguh karena tangan-
tangannya telah mulai meraba ketenangan Tanah Perdikan
Sembojan." Ki Wiradana mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa
sepeninggalan ayahnya tidak ada lagi orang kuat di Tanah
Perdikan Sembojan itu. Wiradana sendiri hanya dapat
menyombongkan kemampuan ayahnya, karena Wiradana
24 SH. Mintardja tidak mempelajari ilmu itu dengan tekun dan melakukan
laku yang seharusnya dilakukan, namun terasa sangat berat.
Tetapi ia tidak dapat sekadar menyesali diri. Ia harus
mengisi kekurangan itu dengan memperkuat pasukan
pengawalnya, sementara itu, ia harus berusaha untuk
menyisihkan waktu, melakukan latihan-latihan yang berat,
agar ilmunya dapat meningkat.
Namun Wiradana pun sadar, bahwa tanpa guru,
usahanya akan merupakan usaha yang sangat sulit dan
berat, serta memerlukan kesungguhan yang tidak tanggung-
tanggung. Akhirnya Wiradana telah menemukan kesepakatan.
Saudagar emas itu akan segera meninggalkan Tanah
Perdikan Sembojan dan dalam waktu sebulan akan kembali
lagi. Sementara itu, Wiradana akan menyiapkan pengawal-
pengawal khusus bagi penginapan yang akan dipergunakan
oleh saudagar emas dan permata itu.
Demikianlah, maka setelah cukup lama saudagar itu
tinggal pada keluarga Wiradana, serta keadaannya telah
pulih kembali seperti sediakala, maka saudagar itu bersama
seorang kawannya telah minta diri. Namun mereka terikat
pada rencana yang akan mereka lakukan sebulan kemudian.
Saudagar itu bukan saja akan menjadi umpan untuk
menjebak kedua perampok itu, tetapi ia juga ingin membeli
sebidang tanah di Tanah Perdikan Sembojan.
Dalam pada itu, ketika Warsi sempat berbicara tanpa
hadirnya Wiradana ia berkata, "Ayah, agaknya ayah dapat
bertindak tepat. Sebagaimana ayah ketahui, bahwa kita
berhadapan dengan kekuatan yang agak cukup besar.
Mungkin kedua orang yang merampok ayah itu juga orang
25 SH. Mintardja yang merampok kakang Wiradana. Tetapi mungkin bukan


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meskipun mereka berasal dari kelompok yang sama. Kita
tidak boleh melepaskan persoalan itu dengan hadirnya
serombongan pengamen dengan seorang penari yang mirip
dengan Iswari, istri kakang Wiradana yang terdahulu.
Kemudian perampokan atas ayah dan yang baru saja terjadi
atas kakang Wiradana. Kenapa perampokan iu hanya terjadi
disekitar kita saja. Bukan orang lain. Seandainya orang itu
tidak mengetahui bahwa ayah adalah ayahku, namun
mereka menganggap bahwa ayah telah berhubungan
dengan keluarga Wiradana, sehingga perhiasan yang ayah
bawa, kecuali yang tertinggal padaku, telah diambilnya."
Ayah Warsi mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin
pengamatanmu benar. Karena itu, kau harus berhati-hati."
"Ayah, aku sekarang sedang mengandung. Sementara itu,
kakang Wiradana ternyata tidak cukup kuat untuk
melindungi aku dan Tanah Perdikan ini jika kekuatan
tertentu itu benar-benar akan menghancurkan
kedudukannya. Karena itu, aku mohon ayah dapat
membantu kami," minta Warsi.
"Sebulan lagi aku akan berada disini," berkata ayahnya.
"Maksudku, bukan ayah sendiri. Bukankah ayah juga
tidak dapat berbuat banyak terhadap kedua orang
perampok itu?" berkata Warsi.
"Lalu, maksudmu bagaimana?" bertanya ayahnya.
"Ayah harus mengirimkan orang lain kepadaku," berkata
Warsi. "Orang yang memiliki kekuatan yang memadai."
"Siapakah yang kau maksud?" bertanya ayahnya. "Orang
yang kau anggap sebagai ayahmu itu?"
26 SH. Mintardja "Pada satu saat itu juga ia harus berada disini. Tetapi
ayah dapat berhubungan dengan keluarga Kalamerta yang
berada di tempat lain yang menurut ayah akan dapat
membantuku. Apakah orang itu akan datang sebagai
pamanku atau sebagai siapapun juga."
Ayahnya mengangguk-angguk. Ia dapat mengikuti jalan
pikiran Warsi, bahwa agaknya memang ada kekuatan yang
membayangi kekuasaan Ki Wiradana. Bahkan seperti juga
Warsi, ayahnya memang dipengaruhi juga oleh satu dugaan,
bahwa Nyai Wiradana yang tua itu belum mati.
"Baiklah Warsi," berkata ayahnya. "Aku akan berusaha
berhubungan dengan kekuatan-kekuatan yang akan dapat
membantumu. Karena ternyata Wiradana memang tidak
dapat berbuat banyak menghadapi orang-orang yang
mungkin dengan sengaja membayangi kekuasaannya."
"Terima kasih ayah," sahut Warsi. "Semakin cepat orang
itu datang, agaknya akan menjadi semakin baik. Kita rasa-
rasanya sudah didesak oleh keadaan yang tidak dapat kita
hindari lagi. Sementara ini aku memang hanya bersandar
kepada kakang Wiradana dan para pengawalnya, yang
meskipun tidak memiliki ilmu apapun juga namun
jumlahnya ternyata cukup banyak. Nanti, jika anakku telah
lahir, maka agaknya aku harus mengambil sikap yang lebih
mantap untuk menentukan masa depan bagi keturunanku."
Ayahnya mengangguk-angguk. Namun agaknya ia sedang
mengingat-ingat, siapakah yang mungkin akan dapat
dihubungi. Namun tiba-tiba ia berkata, "Bagaimana jika aku
berhubungan dengan kakekmu di kaki Gunung Kukusan.
Maksudku, pamanku yang tinggal disebuah padepokan yang
tidak banyak dikenal."
27 SH. Mintardja "Maksud ayah, adik kakek?" bertanya Warsi.
"Ya. Bukankah kau sudah mengenalnya?" bertanya
ayahnya pula. "Tentu ayah. Bukankah satu saat dimasa kecilku, aku
pernah tinggal di padepokan itu?" wajah Warsi tiba-tiba
menjadi cerah. Namun sejenak kemudian nada suaranya
menurun, "Tetapi apakah kakek akan bersedia datang?"
"Aku akan mencoba. Aku akan mengatakan semua
persoalan yang terjadi, sejak kematian pamanmu
Kalamerta. Mungkin hatinya akan bergerak," berkata ayah.
"Tetapi aku tidak dapat memastikannya apakah ia mau
datang dan bermain-main bersama kita."
"Tergantung cara ayah menyampaikan persoalan,"
berkata Warsi. "Tetapi aku menjadi lupa-lupa ingat akan
sifat dan watak kakek itu."
"Baiklah," berkata ayah Warsi. "Aku mempunyai waktu
sebulan. Mudah-mudahan ia akan bersedia mendahului aku
dan menemuimu, benar-benar sebagai kakekmu dan kau
perkenalkan kepada Wiradana juga sebagai kakekmu."
"Ayah dari orang yang mengaku ayahku itu?" bertanya
Warsi. "Bukankah kau mempunyai ayah dan ibu" Katakanlah
bahwa kakekmu itu adalah kakek menurut garis dari
ibumu," jawab ayahnya.
Warsi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Permainan
ini menjadi terlalu rumit. Mungkin pada suatu saat aku lupa
berhadapan dengan siapa aku sebenarnya dan siapa
menurut permainan yang sedang kita lakukan."
28 SH. Mintardja "Tetapi bukankah hal itu tidak akan berlangsung terlalu
lama" Jika kau sudah melahirkan anakmu, maka semuanya
akan menjadi sesuai dengan keadaanmu yang sebenarnya.
Kau akan menguasai Wiradana sebagaimana kau menguasai
permainan yang tidak berdaya. Apalagi dengan orang-orang
yang kita anggap akan dapat bekerja bersama dengan kita,"
berkata ayahnya. Warsi mengangguk-angguk. Ia memang akan
menghentikan permainan itu sampai batas kelahiran
anaknya. Sesudah itu, maka semuanya akan bergerak
dengan wajar meskipun barangkali tidak akan
menyenangkan hati Wiradana.
Namun demikian, Warsi masih juga bertanya, "Tetapi
bagaimana jika kakang Wiradana ternyata masih belum
diwisuda?" Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan
nada rendah, "Tentu merupakan satu persoalan. Mau tidak
mau kita harus menunggunya."
Warsi memandang ayahnya sekilas. Tetapi ia pun
berdesah, "Aku pun memikirkannya."
"Tetapi jangan terlalu risau," berkata ayahnya. "Kau
harus menginat anak di dalam kandungan itu agar tidak
terlalu terpengaruh oleh kegelisahan-kegelisahan ibunya.
Dengan demikian maka anakmu tidak akan terganggu
badani maupun jiwani."
Warsi mengangguk-angguk. Katanya, "Ya ayah. Namun demikian aku menunggu
perkembangan keadaan selanjutnya.
Sebagaimana ayah ketahui, kakang Wiradana tidak cukup
berilmu menghadapi kekisruhan yang setiap saat akan
29 SH. Mintardja dapat melanda Tanah Perdikan ini. Meskipun mungkin
dalam keadaan terpaksa aku masih mampu melindungi
diriku dengan gerak yang terbatas, namun sebelum saatnya
datang sesuai dengan perhitungan yang mapan, aku belum
akan menyatakan diriku sendiri di hadapan kakang
Wiradana dan dihadapan orang-orang Tanah Perdikan ini."
"Baiklah Warsi. Tetapi sepeninggalanku kau memang
harus berhati-hati. Aku sudah menentukan batas waktu satu
bulan. Dengan demikian maka selama ini aku tidak akan
berada di Tanah Perdikan ini," berkata ayahnya.
"Namun untuk mengurangi beban, biarlah dipertengahan
bulan nanti, orang yang aku sebut sebagai ayahku itu akan
dapat datang mengunjungi aku barang sepekan untuk
membantuku jika aku benar-benar dalam kesulitan,"
berkata Warsi. "Baiklah. Aku akan mengatakan kepadanya, agar ia
datang mengunjungimu," jawab ayahnya.
Dengan demikian, maka disamping kesepakatan
Wiradana dengan saudagar emas itu, maka saudagar itu
telah membuat kesepakatan sendiri dengan Warsi di luar
pengetahuan Ki Wiradana. Sehingga sampai pada saatnya
orang itu benar-benar minta diri dan meninggalkan rumah
Ki Wiradana bersama seorang kawannya.
Sepeninggalan orang itu, Wiradana memang merasa sepi.
Bukan saja karena tidak ada kawan berbincang di ujung
malam, namun menurut Ki Wiradana, ia benar-benar
menjadi sendiri menghadapi kemungkinan-kemungkinan
yang dapat terjadi. Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Wiradana telah
menenggelamkan diri ke dalam lingkungan pasukan
pengawalnya. Ia menjadi semakin bergairah memberikan
30 SH. Mintardja latihan-latihan yang berat bagi orang-orang yang khusus
dan mendapat kepercayaan sepenuhnya daripadanya.
Dengan sungguh-sungguh Ki Wiradana mengajari
mereka untuk mengawasi beberapa rumah penginapan,
terutama penginapan yang akan dipergunakan oleh
saudagar emas pertama itu sebulan mendatang.
Namun kekuatan yang dibangun oleh Ki Wiradana
itu tidak saja ditujukan bagi
para perampok yang diduga
sering mendatangi rumah- rumah penginapan, tetapi juga untuk menegakkan kedudukannya, karena Ki Wiradana masih merasa sangsi, apakah ia tidak akan
mengalami kesulitan jika pertanda kuasa Tanah Perdikan Sembojan itu tidak
diketemukan. Seandainya Ki
Wiradana tidak menemui kesulitan karena sikap Ki
Tumenggung Wirajaya, namun jika hal itu diketahui oleh
orang-orang Sembojan sendiri, mungkin justru akan dapat
timbul masalah karenanya.
Sementara itu, ayah Warsi yang meninggalkan Tanah
Perdikan Sembojan telah berada di rumahnya. Kepada
orang-orangnya ia memerintahkan untuk bersiap-siap.
"Sebanyak mungkin di antara kita harus berada di
Sembojan," berkata ayah Warsi.
"Jika tidak ada sanak saudara kita yang berada di
Sembojan, maka kalian yang harus merantau dan mencari
31 SH. Mintardja pekerjaan di Sembojan, atau ada di antara kalian yang akan
turut dengan aku tinggal di Sembojan karena aku akan
membeli tanah di Tanah Perdikan itu. Dengan demikian
maka kedudukan Warsi akan menjadi semakin kuat."
Sementara itu katanya kepada laki-laki yang disebut
sebagai ayah Warsi. "Kau harus segera pergi ke Sembojan.
Satu atau dua pekan lagi. Mungkin Warsi memerlukan
bantuanmu karena suaminya tidak akan mampu
melindunginya jika ia benar-benar dalam keadaan bahaya.
Warsi sendiri untuk beberapa bulan ini tidak akan dapat
terlalu banyak bergerak, karena ia sedang mengandung. Ia
harus mempertahankan kandungannya, sehingga dengan
demikian maka keturunannya kelak akan dapat
menggantikan kedudukan Ki Wiradana."
Orang yang disebut ayah Warsi itu mengangguk-angguk.
Katanya, "Baiklah. Secepatnya aku akan pergi ke Tanah
Perdikan Sembojan." "Sebaiknya kau tidak pergi sendiri," berkata ayah Warsi.
"Ajaklah salah seorang yang dapat kau percaya
kemampuannya. Kau dapat menyebut paman Warsi atau
saudara sepupu atau apa saja. Warsi tentu akan tanggap."
"Jika demikian aku harus memilih. Tetapi aku tidak akan
memerlukan waktu sampai sepekan untuk mendapatkan
teman pergi ke Tanah Perdikan Sembojan," jawab orang
yang disebut ayah Warsi itu.
"Sementara itu, aku akan pergi ke kaki Gunung Kukusan.
Aku akan pergi ke rumah paman yang berada di padepokan
itu. Mungkin akan dapat membantu jika pada saatnya Warsi
memerlukannya," berkata ayah Warsi.
"Kenapa harus pergi ke Gunung Kukusan?" bertanya laki-
laki yang disebut ayah Warsi itu. "Apakah kita tidak
32 SH. Mintardja mempunyai kekuatan cukup untuk menghadapi orang-
orang Sembojan yang mungkin menjadi gila karena sikap Ki
Wiradana?" "Bukan terhadap orang-orang Sembojan," jawab ayah
Warsi. "Mungkin Warsi harus berhadapan dengan kekuatan
di luar Tanah Perdikan. Kekuatan di dalam Tanah Perdikan
tidak akan banyak berarti lagi, karena Wiradana sudah
menyusun kekuatan. Tetapi menghadapi sekelompok orang-
orang ngamen yang memiliki seorang penari seperti Nyai
Wiradana yang terdahulu, kemudian orang yang merampok
aku dan orang yang merampok Ki Wiradana sendiri,
memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh."
Laki-laki yang disebut ayah Warsi itu mengangguk-
angguk. Ia pun menyadari, bahwa tentu ada kekuatan dari
luar. Sebagaimana Warsi dan ayahnya, maka laki-laki itu
sependapat, bahwa kekuatan dari luar Tanah Perdikan
Sembojan itu tentu berhubungan dengan hilangnya Nyai
Wiradana terdahulu. "Apakah dengan demikian, kita tidak dapat menempuh
jalan memintas?" bertanya laki-laki yang disebut ayah
Warsi itu. "Maksudmu?" bertanya ayah Warsi.
"Bagaimana jika orang-orang Sembojan tidak justru
menunggu. Jika kita yakin, bahwa orang-orang itu tentu
mempunyai hubungan dengan keluarga Nyai Wiradana


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terdahulu, maka sebaiknya orang-orang Sembojan
sajalah yang datang ke padepokannya. Dengan demikian
maka segalanya tentu akan selesai dengan tuntas.
Mereka tidak akan dapat lagi mengganggu kita untuk
selamanya," berkata laki-laki itu.
33 SH. Mintardja "Jika kita berbuat dengan tergesa-gesa, yang mungkin
terjadi adalah dua kemungkinan. Yang tidak akan
mengganggu mungkin mereka tetapi mungkin justru kita,"
jawab ayah Warsi. "Apakah kekuatan mereka sangat nggegirisi sehingga kita
termasuk kekuatan para pengawal Tanah Perdikan
Sembojan harus merasa cemas?" bertanya laki-laki itu pula.
"Kau memang dungu," jawab ayah Warsi. "Menghadapi
sesuatu yang tidak jelas, kita tidak boleh tergesa-gesa. Jika
mereka tidak yakin memiliki kekuatan, mereka tidak akan
berani memasuki Tanah Perdikan Sembojan dalam
kelompok pengamen dan membawa seorang penari yang
mirip sekali dengan Nyai Wiradana."
"Bukankah itu baru sekadar dugaan" Mungkin kelompok
itu tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga Nyai
Wiradana yang hilang itu. Tetapi kita sajalah yang dibayangi
oleh keragu-raguan untuk bertindak dengan cepat," desis
laki-laki itu kemudian. "Memang ada seribu kemungkinan," jawab ayah Warsi.
"Tetapi kita harus memilih yang paling baik bagi kita."
Laki-laki yang disebut ayah Warsi itu menarik nafas
dalam-dalam. Namun ia berusaha untuk membayangkan,
perkembangan terakhir yang mencekam di Tanah Perdikan
Sembojan. Juga tentang pertanda kuasa yang tidak dapat
diketemukan oleh Ki Wiradana itu.
Dengan demikian, maka mereka telah menyiapkan diri
masing-masing. Ayah Warsi yang sebenarnya, bersiap-siap
pergi ke Kaki Gunung Kukusan, sementara orang yang
disebut ayah Warsi itu bersiap-siap untuk pergi ke Tanah
Perdikan Sembojan. 34 SH. Mintardja Namun ia akan memilih seorang kawan yang paling baik
untuk menghadapi segala kemungkinan.
Namun orang itu sadar, bahwa Tanah Perdikan
Sembojan telah disentuh oleh kekuatan yang tidak dapat
dilawan oleh ki Wiradana sendiri dan oleh ayah Warsi itu.
"Hanya Warsi yang akan mampu menghadapi mereka,"
berkata orang itu di dalam hatinya. Namun sebagaimana
didengar dari ayah Warsi, bahwa Warsi itu sedang
mengandung, sehingga sebelum anaknya lahir ia tidak akan
dapat banyak berbuat. Karena itu, maka akhirnya laki-laki yang diaku sebagai
ayah Warsi di Tanah Perdikan Sembojan itu pun tidak
melihat cara lain kecuali yang akan dilakukan oleh ayah
Warsi, menghubungi salah seorang dari keluarga Kalamerta
yang dianggap memiliki kelebihan.
Setelah bersiap-siap, maka ayah Warsi itu pun kemudian
berangkat ke kaki Gunung Kukusan. Waktu yang ada
padanya hanyalah sebulan saja sebelum ia harus berusaha
kembali ke Tanah Perdikan Sembojan. Karena itu, ia harus
mempergunakan waktu itu sebaik-baiknya. Sedangkan laki-
laki yang mengakui sebagai ayah Warsi itu pun telah
berusaha untuk menemukan seseorang di antara beberapa
orang kawannya untuk ikut ke Tanah Perdikan Sembojan
pada saat-saat keadaan Tanah Perdikan Sembojan menjadi
semakin hangat. Namun dalam pada itu, Warsi sendiri sedang dicengkam
oleh kecemasan. Ia tidak ingin kandungannya itu terganggu.
Namun di Tanah Perdikan Sembojan benar-benar tidak ada
lagi kekuatan yang dapat diandalkan. Perampok-perampok
itu dengan leluasa dapat menerkam korbannya. Bahkan di
antaranya adalah pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan
Sembojan itu sendiri. Tetapi jika tergesa-gesa menyatakan
35 SH. Mintardja dirinya yang sebenarnya, maka untuk menghadapi benturan
kekerasan, ia mencemaskan kandungannya. Juga karena
Wiradana ternyata masih belum dapat menyelesaikan
persoalannya untuk mendapatkan wisuda sebagai Kepala
Tanah Perdikan yang sah. Dengan demikian, maka untuk sementara yang dapat
dilakukan oleh Warsi adalah sekadar mendorong agar ia
bekerja keras untuk meningkatkan kemampuan pengawal-
pengawalnya dan dirinya sendiri.
"Tetapi jangan terlalu memaksa diri kakang," berkata
Warsi dengan nada lembut seorang istri.
Ki Wiradana mengangguk kecil. Baginya Warsi adalah
seorang istri yang penuh dengan kasih sayang. Yang
berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya bagi suaminya dan
yang menjaga agar keadaan suaminya tidak menjadi
memburuk karena kerja yang terlalu keras. Yang selalu
meredakan setiap ketegangan yang mencekam dan yang
sama sekali tidak mementingkan diri sendiri, karena
apapun yang dilakukan semata-mata bagi kepentingan
suaminya saja. Karena itu, bagi Wiradana, Warsi adalah seorang isteri
yang sangat baik, yang merasa bahwa dirinya berasal dari
perempuan yang derajatnya tidak seimbang karena seakan-
akan Wiradana telah memungutnya dari pinggir jalan dan
bahkan telah mengorbankan istrinya yang terdahulu.
Dengan dugaan-dugaan yang demikian, rasa-rasanya
Wiradana menjadi semakin sayang dan bahkan didorong
oleh perasaan iba dan belas kasihan, ia menganggap bahwa
Warsi adalah seorang istri yang sebaik-baiknya. Apalagi
setelah perempuan itu mengandung.
36 SH. Mintardja Namun dengan demikian, maka Wiradana lah yang ingin
segala sesuatunya cepat sekali. Ia ingin membuat istrinya
menjadi sangat gembira bahwa pada saatnya lahir, ia sudah
diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Bukan
lagi sekadar pemangku jabatan .
Tetapi agaknya ia masih harus menempuh jalan yang
berliku untuk sampai kepada keinginannya itu.
Dalam pada itu, Wiradana mulai melihat istrinya
mempersiapkan perlengkapan bagi bayinya yang akan lahir
kelak. Warsi sudah mulai membuat kain popok dan
menyiapkan bothekan. "Bukankah waktunya masih agak lama?" bertanya
Wiradana. "Tetapi membuat perlengkapan begini memang
memerlukan waktu yang agak lama kakang," sahut istrinya.
"Bukankah masih ada waktu setengah tahun lagi,"
berkata Ki Wiradana pula.
"Memang waktu rasa-rasanya masih panjang. Tetapi jika
saatnya datang, rasa-rasanya semuanya akan tergesa-gesa,"
jawab istrinya. Wiradana hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi rasa-
rasanya hatinya menjadi semakin membengkak ketika ia
melihat istrinya dengan tekun dan bersungguh-sungguh
menyambut kedatangan bayinya meskipun masih setengah
tahun mendatang. Sementara itu, Wiradana masih juga bekerja keras
dengan pengawal khususnya.
Namun usahanya itu tidak sia-sia. Pengawal khususnya
memang menjadi sekelompok pengawal pilihan.
37 SH. Mintardja Pengawal pilihan itulah yang kemudian mendapat tugas
dari Ki Wiradana untuk mengembangkan kemampuannya
kepada para pengawal di setiap padukuhan, sehingga
dengan demikian, maka jajaran pengawal Tanah Perdikan
Sembojan termasuk kesatuan pengawal yang kuat dan
trampil. Namun dalam pada itu, sebagaimana pernah dibicarakan
dengan Ki Tumenggung Wirajaya, bahwa pada permulaan
bulan berikutnya dari saat Ki Wiradana menghadap, maka
Ki Wiradana itu akan datang lagi menghadap Ki
Tumenggung. Mungkin memang belum ada yang dapat
dilakukan oleh Ki Tumenggung karena keadaan yang tiba-
tiba saja mencengkam keluarga Adipati Pajang dengan
gugurnya Kanjeng Sultan Demak.
Namun mungkin ada sela-sela waktu yang didapatkannya
untuk membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang
dapat dilakukan di Tanah Perdikan Sembojan.
Karena itu, maka ketika bulan muda sudah datang dan
memasuki peredarannya, Ki Wiradana telah membicarakan
kemungkinan untuk sekali lagi menghadap Ki Wirajaya
sebagaimana pernah dibicarakan sebelumnya.
"Memang mungkin aku belum akan mendapatkan
penyelesaian yang tuntas," berkata Ki Wiradana. "Tetapi
setidak-tidaknya aku akan dapat mengingatkan ki
Tumenggung jika Ki Tumenggung belum sempat
membicarakannya dengan Kanjeng Adipati."
"Tetapi perjalanan ke Pajang ternyata berbahaya
kakang," berkata Warsi.
"Aku akan membawa pengawal lebih banyak lagi,"
berkata Ki Wiradana. "Dengan demikian, maka tidak akan
ada orang yang akan mengganggu perjalananku."
38 SH. Mintardja Warsi termangu-mangu. Sebenarnyalah bahwa ia cemas
jika Wiradana akan mengalami kesulitan di perjalanan. Jika
para penjahat itu menginginkan kematiannya, maka
agaknya hal itu akan dapat dilakukannya. Tetapi dengan
pengawal yang lebih banyak, memang mungkin perjalanan Ki Wiradana akan
menjadi lebih aman. Namun mengingat keinginannya untuk mendesak, agar
Ki Wiradana segera diwisuda, Warsi justru ingin
mendorongnya agar Ki Wiradana segera berangkat dan
menyelesaikan persoalannya. Sehingga pada saat anaknya
lahir, Ki Wiradana benar-benar sudah seorang Kepala
Tanah Perdikan yang sah. Dengan demikian, maka jika ia
ingin menguasainya, maka persoalannya tidak lagi akan
menyangkut dengan hari-hari wisudanya.
Akhirnya Warsi memilih untuk membiarkan Ki Wiradana
pergi dengan pengawal yang lebih banyak lagi. Apalagi
pengawal-pengawal itu telah mengadakan latihan hampir
setiap hari dengan tekun dan bersungguh-sungguh.
Sambil menunggu kedatangan saudagar emas permata
yang memberikan batas waktu sebulan sejak ia
meninggalkan Tanah Perdikan, maka Ki Wiradana pun
telah memutuskan untuk sekali lagi menghadap kepada Ki
Tumenggung Wirajaya sebagaimana dikatakannya pada
waktu ia menghadap untuk pertama kalinya.
Pada saat-saat Ki Wiradana siap untuk berangkat, maka
ia sudah mengatur para penjaganya sebaik-baiknya. Ia
sudah menentukan apa yang harus mereka lakukan jika
terjadi sesuatu. Namun menjelang Ki Wiradana siap untuk berangkat,
maka di rumah Ki Wiradana telah kedatangan dua orang
39 SH. Mintardja tamu. Seorang laki-laki yang dikenalnya sebagai ayah Warsi,
bersama seorang laki-laki yang lain yang disebutnya sebagai
suadara sepupunya. Ki Wiradana menjadi gembira sekali. Justru pada saat ia
akan meninggalkan istrinya yang sedang mengandung,
maka orang yang dianggapnya mertuanya itu telah datang.
"Kebetulan sekali ayah," berkata Wiradana setelah ia
menanyakan keselamatan ayahnya, "Aku justru telah
bersiap-siap untuk pergi ke Pajang. Dengan demikian maka
Warsi tidak jadi berada di rumah sendiri, karena ayah akan
berada di sini sampai paling sedikit, saatnya aku datang."
"Ternyata satu kebetulan yang baik," berkata laki-laki itu.
"Tetapi apakah Ki Wiradana akan pergi untuk waktu yang
lama?" "Tidak ayah. Aku hanya akan meyakinkan penyelesaian
wisudaku menjadi Kepala Tanah Perdikan yang sampai saat
ini ternyata masih belum dapat dilaksanakan," jawab Ki
Wiradana. "Baiklah. Aku akan berada disini sampai kau kembali,"
sahut laki-laki itu. "Tetapi Ki Wiradana akan pergi kira-kira berapa hari?"
"Antara empat sampai lima hari saja ayah," jawab Ki
Wiradana. "Dalam waktu itu mungkin aku sudah
mendapatkan kejelasan meskipun mungkin masih ada
tenggang waktu dari pelaksanaan wisuda itu sendiri. Tetapi
aku memerlukan kepastian.
Karena anakku akan lahir kira-kira setengah tahun lagi."
"Pergilah," berkata laki-laki itu, "Selama itu, bahkan
mungkin sesudah kau kembali, aku akan berada di tempat
ini, membantu Warsi yang mungkin memerlukannya."
40 SH. Mintardja Dengan demikian, Ki Wiradana menjadi semakin longgar
perasaannya untuk meninggalkan istrinya, karena ayah
mertuanya dan seorang saudara sepupunya akan berada di
rumahnya. Demikianlah, pada hari yang sudah ditentukan,
Wiradana pergi ke Pajang. Ia tidak hanya dikawal oleh
empat orang tetapi ia membawa tujuh orang pengawal yang
terpecah. Tiga orang bersamanya dan empat orang yang lain
akan berkuda beberapa puluh langkah di belakangnya.
Selebihnya, Ki Wiradana telah memilih jalan yang tidak
terlalu banyak dilalui orang, sehingga dengan demikian
maka kemungkinan perjalanannya diketahui orang-orang
yang bermaksud jahat menjadi berkurang.
Sementara Ki Wiradana menempuh perjalanan ke Pajang, maka ayah Warsi

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sebenarnya telah berada di padepokan pamannya, di kaki Gunung Kukusan. Bahkan ia sudah mengutarakan semua persoalan yang dihadapi Warsi sebagai keponakan Kalamerta dan yang telah berhasil membunuh orang yang telah membunuh Kalamerta itu sendiri. "Saat ini ia memerlukan
bantuan untuk mewujudkan keinginannya sampai kepada
anak keturunannya," berkata ayah Warsi kepada pamannya.
Pamannya, seorang pertapa di lereng Gunung Kukusan
mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Kalian
41 SH. Mintardja tidak membicarakannya dengan aku sebelumnya. Kalian
tidak pernah datang berkunjung ketempat ini. Kalian hanya
memberitahukan kematian Kalamerta. Sesudah itu tidak
ada apa-apa lagi. Sekarang tiba-tiba saja kau datang dengan
persoalan yang sudah menjadi rumit karena pokal anakmu."
"Tetapi Warsi mempunyai perhitungan buat masa depan
bagi keturunannya," berkata ayahnya.
"Dan ia menyerahkan dirinya kepada seorang laki-laki
hanya karena ia menginginkan anaknya kelak menjadi
Kepala Tanah Perdikan Sembojan" Apakah itu tidak sama
artinya dengan perempuan-perempuan yang menyerahkan
dirinya kepada laki-laki untuk mendapatkan harta benda
dan kekayaan?" bertanya pamannya.
"Jangan menilai begitu terhadap Warsi paman," berkata
ayah Warsi. "Paman tentu mengenal keluarga Kalamerta
sebaik-baiknya. Apa yang kami kerjakan dan apa pula yang
kami inginkan." "Ya. Aku kenal gerombolan Kalamerta sebagai
gerombolan perampok yang garang," berkata pertapa di
kaki Gunung Kukusan itu. "Jika pada suatu saat, keturunan Warsi dapat menjadi
seorang yang terpandang, maka aku kira cara untuk
mencari harta dan kekayaan yang demikian itu tidak akan
terjadi lagi bagi keturunan keluarga Kalamerta," jawab ayah
Warsi. Lalu, "Namun satu hal yang paman harus
mengetahuinya, bahwa Warsi memang sudah jatuh cinta
kepada laki-laki yang sebelumnya ingin dibunuhnya itu.
Dan perasaan itulah yang pertama-tama tumbuh di hati
Warsi. Baru kemudian ia ingin anaknya menjadi Kepala
Tanah Perdikan Sembojan. Karena itu maka dugaan paman
tentang Warsi tidak seluruhnya benar."
42 SH. Mintardja Petapa di kaki Gunung Kukusan itu mengangguk-angguk.
Namun kemudian katanya, "Sebenarnya aku tidak
berkeberatan melibatkan diri dalam persoala Warsi. Tetapi
pada saat ini, aku mempunyai sebuah persoalan tersendiri,
yang juga memerlukan penyelesaian. Bahkan segera."
"Persoalan apa paman?" bertanya ayah Warsi.
"Apakah kau sudah mendengar bahwa Kanjeng Sultan
Demak gugur di peperangan, meskipun tidak sedang berada
di medan?" bertanya petapa itu.
"Ya paman. Aku mendengarnya ketika aku berada di
Sembojan," jawab ayah Warsi.
"Nah, jika demikian, maka kau perlu mengetahui bahwa
tahta yang kosong itu telah menumbuhkan persoalan.
Keluarga Kanjeng Sultan Demak mulai mempersoalkan,
siapakah yang akan menggantikan kedudukan Kanjeng
Sultan. Namun satu hal yang perlu kau ketahui, bahwa ada
garis keturunan yang lain yang juga berhak atas tahta
Demak," berkata petapa itu.
"Siapa paman?" bertanya ayah Warsi.
"Putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang
dari Jipang," jawab pertapa itu.
Ayah Warsi mengerutkan keningnya. Namun demikian
katanya, "Tetapi apakah hal itu ada hubungannya dengan
persoalan paman?" Pertapa itu tersenyum. Katanya, "Aku adalah pengikut
Adipati Jipang yang setia. Aku mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan Ki Patih Mantahun, pepatih Kadipaten
Jipang." Ayah Warsi menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk ia berdesis, "Paman akan
43 SH. Mintardja menghubungkan persoalan itu dengan kedudukan Warsi di
Sembojan?" "Ya. Aku akan berada di Sembojan. Tetapi dalam rangka
mempersiapkan Sembojan menjadi alas perjuangan Adipati
Jipang. Jika benar terjadi perang antara Jipang dan
keluarga Sultan Demak yang lain termasuk Adipati Pajang
maka Sembojan akan merupakan tempat berpijak yang
sangat baik untuk menghadapi Pajang. Sementara itu Arya
Penangsang akan mempersiapkan pancadan perjuangan
menghadapi Cirebon dan sisa kekuatan di Demak sendiri,"
berkata petapa itu. Ayah Warsi mengangguk-angguk. Baginya sama sekali
tidak ada keberatan apapun juga, seandainya Sembojan
berada di pihak Jipang jika benar-benar terjadi
permusuhan. Tetapi bagaimana dengan Ki Wiradana
sendiri. Selama ini Sembojan merupakan salah satu wilayah
Pajang. Daerah Tanah Perdikan yang luas yang
membentang di bagian Timur Pegunungan Sewu di pesisir
Selatan. Jipang yang jauh dari Pajang memang memerlukan
tempat berpijak. Meskipun Sembojan juga tidak terlalu
dekat dari Pajang, tetapi letaknya yang di arah Selatan itu
akan dapat memberikan banyak bantuan. Selain bantuan
pangan, mungkin di Sembojan terdapat anak-anak muda
yang bersedia berjuang bagi Jipang.
Petapa di kaki Gunung Kukusan itu pun kemudian
berkata, "Sembojan akan menjadi sangat penting artinya.
Bukankah di Sembojan terdapat tanah yang subur" Dalam
perang yang mungkin akan berlangsung lama kita harus
menyediakan sumber-sumber pangan untuk mendukung
perjuangan itu. Bahkan mungkin di Tanah Perdikan
Sembojan terdapat orang-orang yang berotak waras, yang
melihat sejarah keturunan raja-raja di Demak dengan lebih
44 SH. Mintardja cermat. Sebenarnyalah bahwa Adipati Jipang mempunyai
hak dan wewenang yang paling besar untuk menduduki
tahta Demak sepeninggal Trenggana. Karena ayahandalah
yang sebenarnya berhak untuk menjadi Sultan di Demak
seandainya ia mendapat gelar setelah terbunuh dengan
Pangeran Sekar Seda Lepen. Dan keluarga pengkhianat
itulah yang kemudian berhasil menduduki tahta Demak.
Nah, apakah hal itu akan dapat dibiarkan berkelanjutan"
Sudah waktunya tahta itu kembali kepada yang
sebenarnya berhak. Arya Penangsang dari Jipang."
Ayah Warsi itu mengangguk-angguk. Jika demikian,
maka persoalannya menjadi semakin luas. Tidak lagi
persoalan antara keluarga Kalamerta dan keluarga Ki Gede
di Tanah Perdikan Sembojan serta kesulitan untuk
mendapatkan kesempatan wisuda karena pertanda kuasa
yang belum diketemukan. Namun persoalannya telah
menyangkut hubungan antara Pajang dan Demak, bahkan
dengan Jipang. Jika Wiradana menyetujui sikap pamannya,
maka berarti bahwa Sembojan akan terseret ke dalam
persoalan yang lebih besar dari persoalannya sendiri.
Meskipun demikian, ayah Warsi itu berkata kepada
pamannya, "Paman, sebaiknya paman pergi ke Sembojan.
Paman akan dapat bertemu dan berbicara di antara kami
yang berada di Sembojan."
Pamannya itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Jadi aku harus memasuki satu arena permainan yang
membingungkan itu?" "Jika paman sudah berada di Sembojan untuk beberapa
hari, maka paman tidak akan mengalami kebingungan lagi.
Semuanya akan berjalan sebagaimana sewajarnya," berkata
ayah Warsi. "Di Sembojan kita akan dapat menentukan
segala-galanya. 45 SH. Mintardja Karena sebenarnya Warsi menghadapi lawan yang cukup
berat. Warsi mempunyai dugaan bahwa perampok-
perampok itu bukannya sekadar perampok yang
menginginkan harta benda. Tetapi mereka tersangkut
dalam satu kelompok yang memang menginginkan
kegoyangan pemerintahan Tanah Perdikan yang dipimpin
oleh Ki Wiradana. Menurut dugaan Warsi, mereka adalah
orang-orang yang setia kepada Nyai Wiradana yang lama,
yang mungkin masih belum terbunuh sebagaimana diduga
oleh Ki Wiradana sendiri.
Paman ayah Warsi itu mengangguk-angguk. Lalu
katanya, "Baiklah. Aku akan pergi ke Sembojan. Kemudian
aku akan menghubungi para pengikut Adipati Jipang. Aku
berharap, bahwa sebelum aku pergi ke Sembojan aku dapat
berpesan agar salah seorang dari petugas Sandi Jipang
dapat pergi ke Sembojan menemui aku."
"Jika demikian, apakah paman dapat pergi bersamaku?"
bertanya ayah Warsi. "Aku juga harus datang ke Sembojan sebagai seorang
pedagang?" bertanya pertapa itu.
"Tidak. Paman datang benar-benar sebagai kakek Warsi,"
jawab ayah Warsi. "Tetapi Warsi sudah mempunyai ayah lain sebagaimana
kau ceriterakan," sahut pertapa itu. "Bahkan seandainya aku
adalah kakek Warsi, bagaimana alasannya bahwa aku dapat
datang bersama kau."
"Kita tidak dapat bersamaan. Paman dapat langsung
menuju ke rumah Warsi. Sementara itu, aku akan langsung pergi ke penginapan
yang sudah kami sepakati sebelumnya untuk menjadi
tempat menjebak perampok-perampok itu. Bahkan
46 SH. Mintardja mungkin paman akan dapat membantu kami menangkap
perampok itu. Jika kami dapat menangkap seorang saja di
antara mereka, maka aku kira, segalanya akan terungkap
termasuk penari yang mirip sekali dengan Nyai Wiradana,
apabila pendapat Warsi tentang orang-orang yang
mengganggu Tanah Perdikan itu benar," berkata ayah
Warsi. Pamannya yang tinggal di sebuah Padepokan di Kaki
Gunung Kukusan itu pun mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Aku akan pergi ke Sembojan. Aku akan menjajagi
kemungkinan untuk menjadikan Sembojan salah satu
landasan bagi perjuangan Arya Penangsang disisi Selatan
tanah ini. Tetapi sebelumnya ajari aku untuk mengenali
tokoh-tokoh ceritera yang hidup di negeri Sembojan itu,
agar aku tidak salah sebut dan tidak salah ucap. Adalah satu
ceritera yang lucu jika aku ternyata tidak mengenali orang
yang disebut ayah Warsi itu, justru adalah kakeknya."
"Paman tentu sudah mengenalnya. Ia pernah datang
kemari," berkata ayah Warsi.
"Mudah-mudahan aku tidak salah pilih," berkata
pamannya. "Agaknya lebih baik aku datang sehari sebelum paman.
Aku akan dapat memesan Warsi, agar ia dengan cepat
menempatkan peranan masing-masing pada susunan yang
seharusnya," berkata ayah Warsi.
"Agaknya memang lebih baik demikian," berkata
pamannya. Namun kemudian katanya, "Tetapi jika menurut
katamu tidak ada orang kuat di Tanah Perdikan itu, kenapa
Tanah itu tidak langsung dikuasainya saja oleh Warsi."
47 SH. Mintardja "Warsi masih menunggu Ki Wiradana diwisuda, selain ia
juga masih menunggu bayinya yang akan lahir," jawab ayah
Warsi. Demikianlah maka kedua orang itu pun telah
menentukan rencana berikutnya, sehingga pada saatnya
segalanya akan dapat berjalan dengan lancar dan tidak akan
menumbuhkan persoalan sebelum saatnya itu memang
akan ditumbuhkannya."
Dalam pada itu, Ki Wiradana yang pergi ke Pajang, telah
berada di Pajang pula. Tetapi ia tidak ingin bermalam di rumah Ki Tumenggung
Wirajaya agar tidak merepotkannya. Ia bermalam di
penginapan yang pernah dipergunakannya dahulu, dengan
pengertian bahwa ia telah membawa pengawal lebih
banyak, sehingga ia akan dapat mengatasinya jika kedua
orang perampok itu masih akan merampoknya lagi.
Sementara itu tujuh orang pengawal yang pernah ikut
bersamanya namun yang sudah mendapat latihan-latihan
yang keras untuk meningkatkan kemampuannya meskipun
dalam waktu yang terhitung singkat.
Ternyata Ki Tumenggung Wirajaya memang seorang
yang ramah. Diterimanya Wiradana dengan senang hati.
Bahkan sekali lagi ia menawarkan agar Wiradana bersedia
bermalam di rumahnya. "Terima kasih Tumenggung," jawab Ki Wiradana. "Aku
datang bersama beberapa orang pengawal."
"Pengawal?" bertanya Ki Tumenggung.
Dengan singkat Ki Wiradana menceriterakan
pengalamannya ketika ia kembali ke Sembojan pada saat ia
menghadap yang terdahulu.
48 SH. Mintardja Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya,
"Nampaknya orang-orang itu memanfaatkan keadaan yang
mulai hangat di Demak."


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Wiradana mengangguk kecil. Katanya, "Apakah ada
persoalan yang timbul sepeninggal Kanjeng Sultan Demak?"
"Persoalan yang sering dihadapi. Jawab dari pertanyaan,
"Siapakah yang akan menggantikannya," jawab Ki
Tumenggung. Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Ternyata
tentang warisan itu memang akan dapat membakar
persaudaraan. Bukan hanya orang-orang yang berderajat
rendah, tetapi orang-orang yang berderajat tinggi pun
sering berebut warisan. Warisan harta benda atau warisan
kedudukan, atau bahkan kedua-duanya.
Namun dalam pada itu, Ki Wiradana pun segera kembali
kepada persoalan tentang dirinya, "Tetapi apakah Kanjeng
Adipati Hadiwijaya sudah berada kembali di Pajang?"
"Sudah Ki Wiradana. Tetapi tentu hanya untuk sesaat.
Mungkin dalam waktu dekat, Kanjeng Adipati akan kembali
ke Demak dalam persoalan yang sama," jawab Ki
Tumenggung. "Jika demikian, bagaimana dengan persoalanku" Dengan
kemungkinan penyelenggaraan wisuda?" bertanya Ki
Wiradana. "Aku sudah menyampaikannya kepada Kanjeng Adipati,"
jawab Tumenggung. "Namun dalam kesibukannya, maka Kanjeng Adipati
hanya memerintahkan untuk menyiapkan pertanda kuasa di
Tanah Perdikan Sembojan. Kanjeng Adipati masih belum
dapat mengatakan, kapan wisuda itu akan dapat dilakukan,
49 SH. Mintardja berhubung dengan kesibukan Kanjeng Adipati sendiri.
Apalagi dalam persoalan ini Adipati di Jipang, Arya
Penangsang telah ikut campur pula, karena ia merasa pula
berhak atas tahta Demak."
Wajah Ki Wiradana menjadi tegang. Katanya, "Dengan
demikian apakah berarti bahwa mungkin dalam waktu
setelah tahun ini, wisuda itu belum menemukan pertanda
kuasa Tanah Perdikan itu. Pada saat ayah tidak seorang pun
yang ingat akan benda yang penting bagi Tanah Perdikan
Sembojan itu." Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Ki Wiradana. Aku sebagai seorang petugas dalam hal ini,
akan selalu berusaha. Tetapi aku tentu tidak akan dapat
berbuat banyak jika Kanjeng Adipati sendiri baru dalam
keadaan sibuk dan tegang. Sebenarnyalah aku tidak berani
mendesak sampai dua tiga kali. Nanti, jika keadaan sudah
menjadi semakin baik, barulah aku akan mengulangi
persoalan itu lagi."
"Tetapi hal itu sangat penting bagi kami di Tanah
Perdikan Sembojan Ki Tumenggung," desis Ki Wiradana.
"Aku mengerti Ki Wiradana. Aku akan membantu Ki
Wiradana sejauh dapat dan berani aku lakukan. Namun
baiklah Ki Wiradana mengetahui, tetapi hanya untuk Ki
Wiradana sendiri agar tidak menggelisahkan rakyat, bahwa
Kanjeng Adipati telah memerintahkan untuk menyiapkan
prajurit. Karena itu, maka dapat dibayangkan bahwa
persoalannya menjadi cukup gawat," jawab Ki Tumenggung.
Ki Wiradana menjadi berdebar-debar. Nampaknya
persoalan Demak itu akan berpengaruh juga atas Tanah
Perdikan Sembojan. Setidak-tidaknya bahwa saat
wisudanya pun akan tertunda sampai waktu yang tidak
dapat ditentukan. 50 SH. Mintardja Tetapi Wiradana memang merasa berada dalam
kesulitan. Ki Tumenggung Wirajaya adalah orang yang
sangat baik kepadanya. Ia sudah berbuat sejauh dapat
dilakukan. Bahkan ternyata Ki Tumenggung telah
menyampaikannya pula kepada Kanjeng Adipati tentang
persoalan Tanah Perdikan Sembojan. Namun Kanjeng
Adipati yang sedang dicengkam oleh persoalan di Demak itu
belum dapat menentukan, apa yang akan dilakukannya.
"Jika Kanjeng Adipati sudah memerintahkan
menyiapkan pasukan, maka keadaan tentu akan benar-
benar gawat," berkata Wiradana di dalam hatinya.
Karena itu, maka ia hanya dapat berkata, "Ki
Tumenggung. Jadi apakah yang sebaiknya harus aku
lakukan?" "Maaf Ki Wiradana," jawab Ki Tumenggung dengan
penuh penyesalan. "Aku kira yang dapat Ki Wiradana
lakukan sekarang, adalah sekadar menunggu. Selama itu, Ki
Wiradana dapat mengusahakan pertanda yang hilang itu,
mungkin akan dapat diketemukan. Dalam keadaan seperti
ini, maka Kanjeng Adipati tentu tidak sempat memikirkan
kemungkinan-kemungkinan lain daripada mempergunakan
tata cara sebagaimana seharusnya berlaku."
"Tetapi jika benda itu memang hilang Ki Tumenggung,
karena ayah meninggal dalam keadaan tidak wajar?"
bertanya Ki Wiradana. Ki Tumenggung itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Memang dapat diusahakan untuk mengatasinya.
Dengan beberapa orang saksi dan kesediaan beberapa orang
tua di Tanah Perdikan Sembojan untuk bertanggung jawab,
serta kesediaan beberapa orang pejabat di Pajang untuk ikut
mempertanggung jawabkan pula, bahwa yang di wisuda
adalah pewaris sah. Namun jika ditempuh cara itu, maka
51 SH. Mintardja pelaksanaannya akan menjadi semakin rumit. Justru pada
saat Kanjeng Adipati sibuk sekali seperti sekarang ini,
pelaksanaannya tentu akan tertunda. Memang aku tidak
dapat menyebut batasan waktu. Jika persoalan Demak cepat
selesai, maka hal yang menyangkut Tanah Perdikan
Sembojan pun cepat dapat diselesaikan. Tetapi jika tidak,
maka mungkin persoalan Ki Wiradana pun akan tertunda.
Tetapi seperti yang aku katakan, bukankah tidak ada
persoalan apapun pada Ki Wiradana" Agaknya Ki Wiradana
tidak mempunyai kecemasan bahwa akan terjadi perebutan
kekuasan di Tanah Perdikan itu karena anak Kepala Tanah
Perdikan yang terdahulu memang hanya satu. Nampaknya
tidak ada pula orang yang merasa berhak atas kedudukan
itu selain Ki Wiradana sendiri, sebagaimana Arya
Penangsang bagi Kerajaan Demak. Bukankah sebenarnya
tidak terlalu jauh berbeda kedudukan Ki Wiradana, sesudah
atau sebelum diwisuda?"
Ki Wiradana memang tersentuh ke dalam satu keadaan
yang sulit. Ia tidak dapat berbuat apapun atas Ki
Tumenggung yang baik dan ramah itu. Namun penundaan
itu akan menyusahkannya dan mungkin juga istrinya yang
ingin wisuda itu dilaksanakan sebelum anaknya lahir.
Tetapi apaboleh buat. Segalanya terjadi diluar kuasa Ki
Tumenggung itu sendiri, bahwa kebetulan sekali telah
terjadi persoalan di Demak dan menyangkut Kanjeng
Adipati Pajang. Meskipun demikian, Ki Wiradana masih juga bertanya,
"Ki Tumenggung, apakah dalam keadaan seperti ini, aku
diperkenankan menghadap Kanjeng Adipati" Mungkin jika
aku dapat memberikan penjelasan, Kanjeng Adipati akan
bersedia memikirkannya dan melakukan langkah-langkah
darurat." 52 SH. Mintardja Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Katanya,
"Mungkin aku dapat mengusahakan agar kau menghadap.
Tetapi akibatnya tentu tidak akan menguntungkan Ki
Wiradana, justru karena pikiran Kanjeng Sultan yang
sedang kusut." Ki Wiradana termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Aku akan mohon belas kasihannya.
Mungkin agak berbeda dengan jika ia berhadapan dengan
Ki Tumenggung. Berhadapan dengan yang berkepentingan,
mungkin hati Kanjeng Adipati akan menjadi luluh
meskipun dalam keadaan yang kusut sekalipun."
Ki Tumenggung Wirajaya menjadi ragu-ragu. Namun ia
berusaha untuk sekali lagi memperingatkan, "Tetapi hal itu
akan berakibat sebaliknya. Kanjeng Adipati akan merasa
selalu terdesak justru dalam keadaan yang tidak
menguntungkan." "Aku mohon dengan sangat Ki Tumenggung," berkata Ki
Wiradana. "Bukan berarti aku tidak percaya kepada Ki
Tumenggung. Tetapi semata-mata dengan perhitungan,
bahwa jika Kanjeng Adipati melihat langsung keadaannku,
mungkin Kanjeng Adipati akan memberikan sedikit
perhatian dalam kekalutannya itu."
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Baiklah. Jika kau bersikeras hati untuk menghadap, aku
akan berusaha." Sebenarnyalah Ki Tumenggung adalah orang yang sulit
untuk menolak permintaan orang lain meskipun hal itu
akan dapat menyulitkan dirinya sendiri. Jika Ki Wiradana
sempat menghadap maka persoalannya tidak akan menjadi
semakin mudah dipecahkan. Namun ia tidak sampai hati
untuk mengecewakan Ki Wiradana.
53 SH. Mintardja "Biarlah ia mendengar sendiri, apa yang dikatakan oleh
Kanjeng Adipati," berkata Ki Tumenggung di dalam hatinya.
Karena itu, maka katanya, "Jika demikian, baiklah Ki
Wiradana harap menunggu satu dua hari. Mudah-mudahan
kesempatan itu segera terbuka. Mungkin justru tidak dihari-
hari paseban. Tetapi pada saat-saat khusus yang sering
dipergunakan oleh Kanjeng Adipati untuk menerima
persoalan-persoalan yang tidak perlu dibicarakan dalam
sidang di paseban." "Terima kasih Ki Tumenggung. Aku akan menunggu
sampai saatnya Ki Tumenggung memanggil aku. Aku
berada di penginapan seperti yang pernah aku sebutkan,"
sahut Ki Wiradana. Dengan demikian, timbullah di hati Ki Wiradana
harapan. Ia akan menjelaskan sebagaimana adanya. Jika
Kanjeng Sultan menaruh belas kasihan atas anaknya yang
akan lahir, maka Kanjeng Sultan akan dapat mengambil
satu kebijaksanaan. Namun Ki Tumenggunglah yang mengalami kesulitan. Ia
menjadi ragu-ragu untuk menyampaikan permohonan Ki
Wiradana kepada Kanjeng Adipati yang diketahuinya
sedang dalam keadaan yang terlalu sibuk. Bukan saja secara
wantah, tetapi juga kesibukan nalar dan budinya. Kanjeng
Adipati memang menantu Kanjeng Sultan Demak yang
paling muda. Namun beberapa pihak menganggap bahwa ia
adalah salah seorang yang memiliki kelebihan dari
menantu-menantu Kanjeng Sultan yang lain.
Tetapi Ki Tumenggung yang tidak dapat menolak
permintaan Ki Wiradana itu, akhirnya dalam satu
kesempatan memberanikan diri untuk menyampaikannya
kepada Kanjeng Adipati. 54 SH. Mintardja "Ampun Kanjeng Adipati," berkata Ki Tumenggung
dengan suara bergetar, "Apakah hamba diperkenankan
menyampaikan satu permohonan dari salah seorang hamba
di Pajang?" Adipati Pajang menurut kebiasaannya memang bukan
orang yang garang. Ia banyak mendengarkan pendapat
orang lain bahkan ia senang berbincang dalam waktu-waktu
senggangnya dengan siapapun juga yang dianggapnya
berguna baginya. Namun dalam kekalutan itu, Kanjeng Adipati bertanya,
"Siapakah yang akan menghadap dan dalam persoalan
apa?" "Ampun Kanjeng Adipati. Yang akan menghadap Ki
Wiradana, pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan di
Sembojan," jawab Ki Tumenggung Wirajaya.
"Untuk apa?" wajah Kanjeng Adipati mulai berkerut.
"Sebenarnyalah hamba sudah menjelaskan tentang
kedudukannya dalam hubungan permohonannya untuk
diwisuda. Namun ia ingin menghadap langsung Kanjeng
Adipati. Mungkin ia dapat memberikan penjelasan lebih
banyak dan mungkin Kanjeng Adipati akan berbelas
kasihan jika Kanjeng Adipati langsung dapat bertemu
dengan orang itu," berkata Ki Tumenggung dengan ragu.
Wajah Kanjeng Adipati Hadiwijaya itu menjadi tegang.
Dengan nada datar ia bertanya, "Bukankah aku sudah
memberi jawaban atas hal itu kepadamu?"
"Hamba Kanjeng Adipati. Tetapi seperti yang hamba
katakan. Ki Wiradana ingin menyampaikan persoalannya
langsung kepada Kanjeng Adipati," jawab Ki Tumenggung.
55 SH. Mintardja "Jika demikian, jika setiap orang yang mempunyai
kepentingan dengan persoalan Tanah Perdikan akan
menghadap aku langsung, maka aku tidak memerlukan kau
lagi Ki Tumenggung. Aku mengangkatmu dalam jabatanmu
adalah agar aku tidak harus mengurusi semua persoalan
yang timbul di Kadipaten ini," jawab Kanjeng Adipati.
Ki Tumenggung sudah mengira, bahwa ia akan mendapat
jawaban yang demikian. Tetapi ia memang tidak dapat
berbuat lain justru karena ia ingin berbuat sebaik-baiknya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Kanjeng Adipati
berkata, "Tetapi baiklah suruhlah Wiradana itu menghadap.
Nanti sore setelah matahari turun menjelang senja. Aku
mempunyai waktu luang."
Ki Tumenggung menjadi heran atas kesempatan yang
tidak diduganya itu. Namun sebagaimana didengarnya,
bahwa Ki Wiradana mendapat kesempatan untuk
menghadap menjelang senja.
Karena itu, maka Ki Tumenggung kemudian mohon diri
untuk menyampaikan berita itu kepada Ki Wiradana.
Alangkah gembiranya hati Ki Wiradana. Ternyata
demikian mudahnya ia mendapat kesempatan untuk
menghadap. Tidak ada kesulitan apapun juga. Sekali Ki


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tumenggung menyampaikan permohonannya, maka
Kanjeng Adipati segera memberinya kesempatan. Tidak
besok, apalagi lusa. Tetapi nanti sore menjelang senja.
Rasa-rasanya semuanya akan dengan cepat selesai. Besok
ia akan pulang ke Sembojan dengan kepastian, bahwa
Kanjeng Adipati sudah menentukan hari wisuda baginya,
jauh sebelum anaknya itu lahir. Dengan demikian, maka ia
pun akan segera dapat membenahi Tanah Perdikan
Sembojan tanpa ragu-ragu lagi.
56 SH. Mintardja Ketika matahari mulai turun, Ki Wiradana telah berada
di rumah Ki Tumenggung. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu senja. Hari itu
matahari menjadi seakan-akan bergerak turun lambat.
Namun akhirnya waktunya datang juga. Bersama Ki
Tumenggung Wirajaya, Ki Wiradana pergi ke istana Adipati
Hadiwijaya di Pajang. Seperti yang dikatakan, maka Adipati Pajang benar-benar
telah menerima Ki Wiradana disebuah ruang yang khusus
bagi Adipati Hadiwijaya untuk menerima orang-orang yang
datang menghadap di luar paseban.
Ketika Kanjeng Adipati memasuki ruangan, maka Ki
Wiradana menjadi berdebar-debar. Bahkan Ki Tumenggung
pun tidak kurang berdebar-debarnya pula.
Dengan ketajaman penggraitanya, Ki Tumenggung
merasakan sesuatu yang kurang wajar terhadap sikap
Kanjeng Adipati yang sedang dalam suasana yang kalut
karena kematian Sultan Trenggana di Demak.
Setelah beberapa saat Kanjeng Adipati duduk, barulah ia
bertanya, "Apakah kau yang bernama Wiradana, pemangku
jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan?"
Ki Wiradana menunduk sambil menyembah. Katanya,
"Kanjeng Adipati. Hamba adalah Wiradana, pemangku
jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan."
"Apakah maksudmu mohon menghadap?" bertanya
Kanjeng Adipati kemudian.
"Mungkin Ki Tumenggung Wirajaya pernah
menyampaikan permohonan hamba untuk mendapatkan
wisuda, karena sebenarnyalah hamba dan istri hamba
sangat berharap, agar hamba telah diwisuda sebelum anak
57 SH. Mintardja hamba itu lahir setengah tahun mendatang," jawab Ki
Wiradana. "Jadi kau sudah menyampaikan persoalanmu kepada Ki
Tumenggung Wirajaya?" bertanya Kanjeng Adipati.
"Hamba Kanjeng Adipati," jawab Ki Wiradana.
"Lalu, apakah jawab Ki Tumenggung?" bertanya Adipati
Pajang itu. Ki Wiradana mengerutkan keningnya. Ia mulai
merasakan sesuatu yang menekan jantungnya. Namun ia
harus menjawab pertanyaan Kanjeng Adipati itu.
Karena itu, maka Ki Wiradana itu pun terpaksa
mengatakan apa yang pernah dikatakan oleh Ki
Tumenggung Wirajaya. Ia tidak dapat mengurangi atau
menambah, karena Ki Tumenggung itu hadir juga di ruang
itu. Ketika Ki Wiradana selesai menyampaikan jawaban yang
pernah diberikan kepadanya oleh Ki Tumenggung, maka
Adipati Pajang itupun bertanya, "Jika demikian, maka aku
kira persoalannya telah ditangani dan ditanggapi oleh Ki
Tumenggung yang memang mempunyai tugas untuk itu.
Kenapa Ki Wiradana masih memerlukan waktu untuk
menghadap aku?" "Hamba ingin memohon belas kasihan," sahut Ki
Wiradana dengan nada memelas.
"Ki Wiradana," berkata Kanjeng Adipati Hadiwijaya,
"Aku memang minta agar Ki Wiradana datang saat ini.
Tetapi apa yang akan aku katakan tidak berbeda dengan apa
yang sudah aku katakan kepada Ki Tumenggung Wirajaya.
Sebagaimana kau ketahui, bahwa pikiranku sekarang
sedang kalut. Karena itu, jangan menambah beban pada
58 SH. Mintardja saat-saat yang begini. Ketahuilah, bahwa kau telah
melakukan satu kesalahan. Untunglah bahwa Ki
Tumenggung Wirajaya adalah orang yang baik hati. Jika
kau berhadapan dengan orang lain, maka kau tentu sudah
diusirnya dan bahkan persoalanmu akan menjadi
berkepanjangan karena kau telah berusaha melangkahi
wewenangnya. Karena itu, kembalilah ke Tanah Perdikan
Sembojan. Tunggulah sampai Ki Tumenggung
memanggilmu untuk diwisuda. Kau harus belajar dari
pengalamanmu agar kau menjadi dewasa. Bukan dalam hal
umur, tetapi dalam hal tataran pemerintahan."
Jantung Ki Wiradana terasa bagaikan berhenti
berdentang. Tubuhnya menjadi lemas dan keringatnya
mengalir di seluruh tubuhnya.
"Jangan cemas bahwa aku akan menghukummu dengan
mempersulit persoalanmu," berkata Kanjeng Adipati,
"Tetapi ketahuilah, bahwa segala sesuatunya harus
dilakukan sesuai dengan paugeran. Siapkan semua uba-
rampe. Baru kemudian hari wisuda itu akan ditentukan.
Dengan sedikit keterangan, bahwa aku masih harus
menyelesaikan persoalan Demak yang bagiku lebih penting
karena menyangkut lebih banyak lingkungan dan rakyat
daripada Tanah Perdikan Sembojan."
Semua harapan yang telah ditimbun di dalam dada Ki
Wiradana itupun telah larut.
Ternyata Adipati Pajang bukannya akan memberikan
kesempatan kepadanya untuk mendapat wisuda sesuai
dengan permohonannya, tetapi Adipati Pajang itu justru
hanya sekadar ingin menunjukkan kesalahannya.
Karena itu, setelah pintu tertutup sama sekali baginya,
maka ia pun bersama Ki Tumenggung mohon diri.
59 SH. Mintardja "Kau masih harus lebih banyak belajar," berkata Adipati
Hadiwijaya itu. "Kau harus mengendapkan gejolak
keinginanmu yang tidak terkendali itu. Karena dengan
demikian, justru kau akan terjerumus ke dalam kesulitan."
Betapa Ki Wiradana menyesali perbuatannya, namun
sebenarnyalah bahwa Ki Tumenggung Wirajaya adalah
orang yang baik. Ia sama sekali tidak ikut pula menyalahkan
Ki Wiradana. Bahkan ia kemudian berusaha untuk
meringankan beban perasaan Ki Wiradana. "Sudahlah.
Jangan kau risaukan. Nanti jika persoalan Kanjeng Adipati
dengan Demak itu selesai, maka akulah yang akan
menyampaikannya sekali lagi."
"Tetapi kapan?" bertanya Ki Wiradana.
"Itulah yang tidak aku ketahui. Dan bahkan Kanjeng
Adipati sendiri pun tidak mengetahuinya," jawab Ki
Tumenggung. Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya
ia sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk dapat
memenuhi keinginannya, diwisuda sebelum anaknya lahir.
Ki Tumenggung yang melihat kekecewaan membayang di
wajah Ki Wiradana itu pun berkata, "Sekali lagi aku ingin
memperingatkanmu, Ki Wiradana. Bahwa kedudukanmu
sekarang dengan sesudah diwisuda tidak akan jauh berbeda.
Bagimu tidak akan ada orang yang mengganggumu dan
merasa dirinya juga berhak atas Tanah Perdikan Sembojan
sehingga sebenarnya kau tidak perlu merisaukannya."
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Ia pun mencoba
untuk mengurangi perasaan kecewanya dengan menekan
pengertian seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung itu.
Dengan demikian maka Ki Wiradana menganggap tidak
perlu lagi untuk berada di Pajang lebih lama. Ia sudah
60 SH. Mintardja menentukan, bahwa keesokan harinya, ia akan kembali ke
Tanah Perdikan Sembojan. Ketika ia menyampaikan hasil pertemuannya dengan
Kanjeng Adipati, maka para pengawalnya pun menjadi
kecewa. Mereka sebenarnya berdoa agar Ki Wiradana cepat
diwisuda, karena dengan demikian, mereka pun akan
menerima hadiah dari pemimpinnya yang masih terhitung
muda itu. Namun ternyata bahwa keinginan itu akan tetap
menjadi keinginan saja. Namun dalam pada itu, pada hari-hari terakhir ia berada
di Pajang, maka Ki Wiradana memang melihat beberapa
kesibukan yang tidak dilihat sebelumnya. Ia melihat prajurit
berkuda yang hilir mudik di jalan-jalan raya. Bahkan di
penginapan-penginapan telah terjadi semacam pemeriksaan
terhadap orang-orang yang bermalam. Masing-masing
mendapat beberapa pertanyaan yang harus dijawab dengan
meyakinkan. Ketika sekelompok peronda datang ke penginapan Ki
Wiradana, maka mereka memang menjadi curiga melihat
beberapa orang yang berasal dari Tanah Perdikan Sembojan
bermalam. Namun Ki Wiradana yang langsung menghadapi
para peronda itu berhasil meyakinkan tentang yang
dikatakannya. "Jika kalian meragukan keteranganku, kalian dapat
bertemu dengan Ki Tumenggung Wirajaya atau bertanya
langsung kepada Kanjeng Adipati," berkata Ki Wiradana.
Para peronda itu ternyata mempercayainya sehingga
mereka tidak mengganggu Ki Wiradana dengan tujuh orang
pengawalnya. Namun dalam pada itu, di bagian lain dari penginapan
itu, justru pada bagian yang sering dipergunakan oleh para
61 SH. Mintardja saudagar dan orang-orang yang mempunyai banyak bekal
perjalanan, yaitu pada sebuah bilik, telah terjadi keributan.
Sekelompok peronda itu yang dipimpin oleh seorang
lurah prajurit menemukan seseorang yang dianggap
mencurigakan. Apalagi ternyata ketika salah seorang dari
para prajurit itu justru telah dapat mengenalinya.
"He, bukankah kita pernah bertemu di Demak. Pada
waktu aku bertugas mengawal Kanjeng Adipati Hadiwijaya
di Pajang. Aku tidak pernah dapat melupakanmu karena
kita waktu itu terlibat kedalam satu persoalan sehingga
hampir saja terjadi bentrokan di antara kita di Demak. Di
warung itu kau agaknya memang sedang mabuk. Sehingga
kau mengigau tentang kedudukan yang seharusnya berada
di tangan Arya Penangsang," berkata prajurit itu. "Sehingga
ketika aku mencegah kau membuat kerusakan di warung
itu, kita terlibat dalam perselisihan. Untunglah pada waktu
itu sekelompok peronda dari Demak telah melerai kita,
sehingga persoalan yang hampir saja menyala menjadi
benturan kekerasan itu dapat dihindarkan. Sementara kau
waktu itu telah diserahkan kepada kawan-kawan yang
kemudian datang. Para pengawal Adipati Jipang."
Wajah orang itu menjadi tegang. Namun kemudian ia
berkata, "Aku memang prajurit Jipang. Tetapi apa salahku
di sini. Aku sedang dalam perjalanan menengok salah
seorang saudaraku yang sedang sakit di sebuah padukuhan
di sebelah Selatan Pajang."
"Di padukuhan mana?" bertanya prajurit itu.
"Kali Pancer," jawab prajurit Jipang itu. "Jika kau tidak
percaya, marilah, besok kita pergi ke Kali Pancer."
Para prajurit peronda itu termangu-mangu sejenak
menghadapi seorang prajurit Jipang itu. Namun akhirnya
62 SH. Mintardja lurah prajurit itu berkata, "Baiklah Ki Sanak. Jika kau
memang prajurit Jipang dan tidak berniat untuk berbuat
sesuatu yang tidak kami inginkan di sini, maka kami ingin
mempersilakan ki Sanak bermalam tidak disini."
"Kenapa?" bertanya prajurit itu.
"Untuk kepentingan keamanan Ki Sanak sendiri.
Marilah, ikut kami ke barak. Ki Sanak akan dapat bermalam
disana. Besok Ki Sanak akan dengan leluasa melanjutkan
perjalanan menuju ke Kali Pancer. Di sebelah Selatan
Pajang memang ada sebuah padukuhan yang bernama Kali
Pancer," berkata lurah prajurit Pajang yang sedang
meronda itu. "Aku tidak mengerti maksdmu," berkata prajurit Jipang
itu. "Apakah itu berarti bahwa kalian ingin menangkapku?"
"Sama sekali tidak," jawab lurah prajurit itu. "Tetapi kau
tentu mengetahui suasana yang sekarang sedang kemelut
ini." "Yang kemelut adalah persoalan orang-orang besar.
Tetapi orang-orang kecil sekali seperti aku ini, tentu sama
sekali tidak berkepentingan apapun juga," berkata prajurit
itu. "Karena itu, marilah. Sebaiknya kau bermalam di barak
saja," berkata lurah prajurit Pajang.
"Kau aneh," sahut prajurit Jipang. "Sebaiknya kau tidak
perlu mengurusi aku. Biar saja aku bermalam dimanapun."
Lurah prajurit itu mengerutkan keningnya. Katanya,
"Kau jangan berprasangka buruk. Prajurit Pajang bukan
prajurit liar yang akan berbuat sekehendak sendiri. Tetapi
kami berbuat di atas landasan paugeran. Karena itu, jangan
cemas. Kami tidak ingin berbuat apa-apa. Kami hanya ingin
63 SH. Mintardja agar tidak terjadi sesuatu atas kau di sini. Karena
bagaimana pun juga, tentu ada orang yang akan dapat
memancing di air keruh, justru pada saat kau berada di
Pajang. Disebuah penginapan dengan gaya seorang perwira
atau seorang saudagar yang kaya raya, karena kau telah
memilih sebuah ruangan khusus yang mahal."
Prajurit Jipang itu menjadi tegang. Ia memang pantas
untuk dicurigai. Selain ia tidak mengenakan pakaian
kelengkapan seorang prajurit Jipang, ia memang berada di
tempat yang jarang dipergunakan bagi orang kebanyakan.
Biasanya orang-orang yang tidak mempunyai banyak uang


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan bermalam di tempat yang terbuka di penginapan itu.
Apalagi kebiasaan orang menempuh perjalanan biasa,
yang kemalaman di jalan, tidak bermalam di penginapan.
Tetapi di banjar-banjar padukuhan. Apalagi padukuhan
yang disebut Kali Pancer adalah padukuhan yang sudah
tidak jauh lagi dari penginapan itu sehingga apabila ia benar
ingin pergi ke Kali Pancer, maka ia tidak akan singgah di
tempat ini. Dalam pada itu, seorang prajurit Pajang yang lain telah
mendapat keterangan dari pemilik penginapan itu bahwa
orang itu sama sekali tidak mengaku sebagai orang Jipang.
Ia membawa seekor kuda dan datang bersama dengan
orang lain yang juga bermalam di tempat itu. Namun di
tempat yang dipakai oleh kebanyakan orang. Di tempat
yang terbuka. Tidak di dalam bilik seperti orang itu, yang
mengaku sebagai seorang saudagar.
Prajurit Pajang menjadi semakin curiga. Prajurit yang
mendapat keterangan dari pemilik penginapan itu pun
kemudian ikut pula menakan agar orang itu bersedia
bermalam di barak para prajurit.
64 SH. Mintardja Orang Jipang itu akhirnya menarik nafas dalam-dalam
sambil berkata, "Apaboleh buat. Kalian, orang-orang
Pajang, terlalu berprasangka buruk terhadap orang lain.
Sebenarnya aku tidak mempunyai sangkut paut dengan
kemelut yang terjadi di Demak sekarang ini, karena aku
tidak lebih dari seorang prajurit rendahan."
"Di barak kau tidak perlu membayar seperti di
penginapan ini Ki Sanak," berkata lurah prajurit yang
memimpin sekelompok kawan-kawan yang sedang meronda
itu. "Orang Jipang itu tidak keluar dengan membawa barang
banyak." Prajurit Jipang itu mengerutkan keningnya. Sementara
itu lurah prajurit Pajang itu berkata selanjutnya, "Bayaran
yang terlalu tinggi bagi seorang prajurit rendahan seperti Ki
Sanak ini. Bahkan mungkin tidak akan terjangkau."
Wajah prajurit Jipang itu menegang. Ia merasakan
tajamnya sindiran lurah prajurit Pajang itu. Tetapi orang
Jipang itu sama sekali tidak menanggapinya.
Bahkan ia berkata, "Baiklah. Aku akan mengikut kalian.
Tetapi sewa bilik di hari ini akan menjadi tanggungan kalian
karena aku tidak mempergunakannya seutuhnya."
"Kami akan membicarakannya dengan pemilik
penginapan ini," berkata lurah prajurit Pajang. "Tentu ia
tidak akan berkeberatan untuk membebaskanmu dari
kewajiban membayar sewa bilik ini."
"Tunggulah sejenak," berkata prajurit Jipang itu. "Aku
akan membenahi barang-barangku."
Orang Jipang itu pun kemudian masuk ke dalam
biliknya, sementara dua orang prajurit itu bergeser
65 SH. Mintardja memperhatikan keadaan di ruangan terbuka dari
penginapan itu. Ki Wiradana dan para pengawalnya sama sekali tidak
ikut campur dalam persoalan itu. Namun kesan yang
mereka dapatkan adalah, bahwa persoalan antara Pajang
dan Jipang dalam hubungannya dengan kekosongan di
Demak menjadi agak meruncing.
Meskipun Kanjeng Adipati Pajang tidak mengumumkan
secara terbuka agar tidak menggelisahkan rakyatnya, tetapi
para prajurit telah mendapat perintah untuk bersiaga
sepenuhnya seperti dikatakan oleh Ki Tumenggung
Kucing Suruhan 6 Pendekar Tongkat Dari Liongsan Liong-san Tung-hiap Karya Kho Ping Hoo Dendam Empu Bharada 18
^