Pencarian

Suramnya Bayang Bayang 13

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 13


Wirajaya. Sejenak kemudian, pintu bilik itu pun telah bergerak.
Tetapi yang terjadi benar-
benar sangat mengejutkan.
Ternyata orang Jipang itu
tidak keluar dengan membawa barang-barangnya untuk pergi ke barak. Tetapi
dengan tiba-tiba saja ia sudah menyerang prajurit Pajang yang berada di muka
pintu biliknya. Serangan itu demikian tiba-tiba sehingga kedua prajurit itu sama sekali tidak
siap untuk melawan. Demikian pedang terjulur dari bilik pintu, maka kedua
prajurit itu berusaha untuk menghindar. Namun ujung
pedang itu ternyata sempat memburunya dan mengoyak
kulit dagingnya. 66 SH. Mintardja Pada serangan pertama, kedua prajurit itu sudah terluka.
Yang seorang lambungnya sobek melintang, sedang yang
lain dadanya terpatuk ujung pedang melubangi dagingnya.
Untunglah bahwa ujung pedang itu tidak memotong
jantungnya. Tetapi kedua prajurit itu pun telah terjatuh dan tidak
berdaya lagi untuk melawannya.
Sementara itu, orang-orang yang menginap di
penginapan itu pun telah menjerit hampir berbareng.
Terutama perempuan-perempuan yang berjualan hasil
bumi dan bermalam di penginapan itu.
Para peronda yang lain pun perhatiannya segera tertarik
pula kepada peristiwa yang tiba-tiba itu. Karena itu, maka
mereka pun dengan tangkasnya berloncatan dengan senjata
yang sudah siap berada di tangan.
Sementara itu, prajurit Jipang telah melukai kedua
prajurit Pajang sehingga keduanya tidak lagi mampu
bangkit dengan darah yang membasahi lantai penginapan
itu berdiri tegak dengan pedang yang telah menjadi merah
oleh darah kedua orang korbannya.
Namun yang kemudian berada dihadapannya bukan lagi
hanya dua orang, tetapi empat orang prajurit yang sudah
bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun yang terjadi kemudian sekali lagi telah membuat
orang-orang yang ada di dalam bilik itu terkejut. Ternyata
serangan berikutnya tidak datang dari orang yang berdiri di
depan pintu itu. Seseorang yang berada di antara orang-
orang yang berada di ruang terbuka penginapan itu telah
menyergap orang-orang yang sudah siap menghadapi
prajurit Jipang yang berada di depan pintu itu.
67 SH. Mintardja Sergapan yang tiba-tiba itu sekali lagi telah menelan
korban. Dua orang terlempar dan jatuh berguling di lantai.
Darah memancar dari luka tubuhnya.
Serangan yang tiba-tiba itu benar-benar telah berhasil
dengan baik. Yang kemudian bersiap menghadapi segala
kemungkinan tinggal dua orang saja di antara para peronda
itu. Tetapi selanjutnya tidak terjadi pertempuran di antara
mereka. Dua orang yang telah melukai prajurit Pajang itu
tiba-tiba saja telah menghambur keluar dari penginapan itu,
menyusup ke dalam gelap. Kedua orang prajurit Pajang itu telah berusaha untuk
memburunya. Namun yang terdengar kemudian adalah
derap kaki-kaki kuda. "Tahan mereka," teriak kedua orang prajurit itu hampir
bersamaan. Tetapi tidak seorang pun yang melakukannya.
Ketika salah seorang di antara dua orang prajurit itu siap
turun ke halaman untuk berlari ke arah kudanya, maka yang
seorang di antara mereka, yang ternyata adalah lurah
prajurit peronda itu menahannya sambil berkata, "Kau
bunyikan saja tanda bahaya. Biarlah aku yang mencoba
mengikutinya. Mungkin aku dapat mencapai mereka
sebelum mereka keluar dari gerbang."
Prajurit itu mengurungkan niatnya. Sementara itu lurah
prajurit itulah yang kemudian meloncat ke atas punggung
kudanya dan berusaha mengejar orang-orang yang
melarikan itu. Sejenak kemudian terdengar suara kentongan yang
mengoyak sepinya malam. Suara kentongan yang kemudian
68 SH. Mintardja disaut oleh suara kentongan yang lain, sehingga akhirnya
bergema diseluruh Pajang.
Sementara itu kaki-kaki kuda telah berderap di jalan-
jalan kota. Namun lurah prajurit yang mengejar dua orang
prajurit Jipang itu ternyata telah kehilangan arah. Ketika ia
berusaha menyusul dan berbelok di tikungan, ternyata
keduanya bagaikan telah menghilang dihisap bumi.
Untuk beberapa lamanya lurah prajurit yang memimpin
kelompok peronda itu termangu-mangu. Namun kemudian
ia bergerak maju lagi. Mungkin kedua orang Jipang itu
bersembunyi dicelah-celah bayangan. Sementara kudanya
dibiarkan lari menghilang, atau keduanya memang sudah
berhasil lolos jauh dari pengamatannya.
Ketika prajurit Pajang itu mendengar suara kuda
berderap mendekat, ia pun segera bersiaga. Tetapi yang
dilihatnya adalah justru prajurit Pajang pula.
"Aku kehilangan buruanku," berkata lurah prajurit itu
kepada dua orang prajurit Pajang yang mendekat.
"Mereka kemana?" bertanya salah seorang dari kedua
prajurit itu. "Mereka berbelok ke tikungan ini. Namun ketika aku
berbelok juga, mereka sudah hilang. Aku tidak lagi
mendengar derap kaki kuda," jawab lurah prajurit itu.
"Siapakah yang kau kejar?" bertanya salah seorang
prajurit Pajang yang baru datang, "Kami memang
mendengar isyarat kentongan. Dan karena itu kami sudah
memencar. Tetapi kami tidak bertemu dengan orang yang
mencurigakan." "Tetapi mereka tentu masih berada di dalam kota," jawab
lurah prajurit itu. 69 SH. Mintardja "Tentu mereka belum sempat keluar ketika isyarat
kentongan itu berbunyi, sehingga dengan demikian, maka
para petugas di regol-regol kota akan menghentikan orang-
orang yang mereka curigai yang berusaha keluar dari kota."
Kedua orang prajurit yang baru datang itu mengangguk-
angguk. Sejenak mereka berkeliling di tempat kedua orang
Jipang itu hilang. Namun mereka tidak menjumpai sesuatu.
Tetapi beberapa saat kemudian, mereka telah mendengar
ringkik kuda disebuah halaman yang luas tetapi nampak
terlalu rimbun oleh gerumbul-gerumbul perdu.
Karena itu, maka ketiga orang prajurit Pajang itu pun
segera mempersiapkan diri menghadapi segala
kemungkinan. Ketiganya yang kemudian turun dari kuda mereka,
dengan hati-hati telah memasuki halaman itu. Pada jarak
beberapa langkah di antara yang seorang dengan yang lain,
maka ketiganya menuju ke arah suara ringkik kuda dengan
senjata telanjang di tangan.
Beberapa langkah kemudian mereka berhenti. Mereka
melihat gerak pada gerumbul-gerumbul perdu. Kemudian
mereka melihat seekor kuda yang termangu-mangu di
dalam kegelapan. Dengan isyarat, maka lurah prajurit itu memberitahukan
kepada kawan-kawannya. Beberapa langkah mereka maju. Namun ternyata yang
mereka ketemukan kemudian hanyalah seekor kuda.
Bahkan kemudian beberapa langkah ditempat yang lebih
dalam seekor kuda yang lain pun berdiri kebingungan.
Untuk beberapa saat lamanya ketiga orang prajurit itu
masih tetap dalam kesiagaan tertinggi. Namun setelah
70 SH. Mintardja beberapa saat mereka mengelilingi halaman itu dan tidak
menemukan orang-orang yang mereka cari, maka mereka
pun menyadari, bahwa kedua orang itu tentu sudah
melarikan diri dengan meninggalkan kuda mereka. Dengan
tanpa menunggang kuda, mereka akan lebih mudah
menyusup di antara pepohonan di halaman-halaman,
kebun-kebun dan daerah-daerah pepat yang lain.
Jika mereka berhasil mencapai dinding kota, maka
mereka akan dapat dengan mudah meloncat keluar, tanpa
melalui pintu gerbang. Namun dalam pada itu, kedua orang prajurit Pajang yang
datang kemudian itu berkata, "Peronda sudah tersebar
setelah terdengar suara isyarat kentongan. Mudah-
mudahan kedua orang itu dapat dijumpai para peronda
sebelum mereka keluar dari kota.
Lurah prajurit itu mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya, "Baiklah. Aku akan kembali ke
penginapan itu. Empat orang kawanku terluka oleh
serangan yang sangat licik."
Ternyata bahwa kedua prajurit yang datang kemudian itu
pun telah mengikuti pula ke penginapan. Agaknya di tempat
itu telah terdapat beberapa orang peronda yang lain, dan
orang-orang yang terluka itu telah mendapatkan
pertolongan seperlunya. Namun ternyata bahwa luka mereka cukup parah.
Sehingga mereka harus dibawa ke tempat perawatan bagi
para prajurit yang terluka.
Malam itu, seluruh kota telah menjadi sibuk. Para
prajurit berusaha untuk menemukan dua orang prajurit dari
Jipang yang tentu dalam tugas sandi berada di Pajang.
Tetapi ternyata kedua orang itu tidak dapat diketemukan.
71 SH. Mintardja Keduanya seolah-olah telah lenyap tanpa bekas. Bahkan
beberapa orang prajurit telah memasuki beberapa rumah
yang dicurigai. Tetapi mereka tidak menemukan keduanya.
Dalam pada itu, di penginapan, lurah prajurit yang empat
kawannya terluka, ternyata menyesali sikap Ki Wiradana.
Dengan nada datar ia berkata, "Ki Sanak. Sebenarnya kau
dapat mengambil bagian dalam peristiwa seperti ini. Jika
benar kau adalah pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan
Sembojan, maka kau termasuk bagian dari Pajang."
"Apa yang kau maksud Ki Sanak?" bertanya Ki Wiradana.
"Kau dapat memerintahkan pengawalmu untuk ikut
menangkap orang-orang Jipang itu," berkata lurah prajurit
itu. Ki Wiradana mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Peristiwa itu terjadi sedemikian tiba-tiba,
sehingga aku tidak siap untuk berbuat sesuatu. Ketika aku
sadar, maka semuanya telah terjadi."
Lurah prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat
mengerti alasan itu. Tetapi dengan demikian maka menurut penilaian lurah
prajurit itu, Ki Wiradana ternyata tidak mempunyai
kemampuan berbuat dan mengambil keputusan dengan
cepat, pada saat-saat yang rumit. Jika ia mampu
menyesuaikan dirinya, maka kedua orang Jipang itu tentu
dapat ditangkap, karena Ki Wiradana itu membawa tujuh
orang pengawal di samping Ki Wiradana sendiri.
Tetapi lurah prajurit itu tidak mau mempersoalkannya
dengan Wiradana. Ia memang tidak mempunyai kekuasaan
untuk itu. 72 SH. Mintardja Sementara itu, Ki Wiradana sendirilah yang merasa
bahwa prajurit Pajang itu telah membuat penilaian atas
dirinya. Namun segala sesuatunya telah terjadi.
"Apakah hal seperti ini akan didengar oleh Ki
Tumenggung Wirajaya atau bahkan Kanjeng Adipati
sendiri?" pertanyaan itu terasa mulai mengganggu
perasaannya. Karena jika demikian, maka Ki Wiradana mencemaskan
bahwa akibatnya akan berpengaruh atas permohonan
wisudanya. Namun akhirnya Ki Wiradana itu menghibur dirinya
sendiri, "Ki Tumenggung Wirajaya bukan kanak-kanak lagi.
Ia tahu mana yang baik dilakukan dan mana yang tidak."
Ternyata disisa malam itu, Ki Wiradana tidak dapat tidur
dengan nyenyak. Ia selalu merasa gelisah. Angan-angannya
selalu dibayangi oleh kegagalannya mohon untuk segera
diwisuda. Namun ia pun menjadi cemas bahwa akan datang
orang-orang yang akan merampoknya.
"Apakah orang-orang yang merampok aku dan saudagar
permata di Tanah Perdikan Sembojan itu juga orang-orang
Jipang?" pertanyaan itu pun telah timbul di dalam hatinya.
Tetapi ia sulit mencari hubungan antara Jipang dan
perampokan. Sudah tentu Jipang tidak akan
mengumpulkan dana bagi perjuangannya memperebutkan
tahta Demak dengan perampokan, karena Jipang adalah
sebuah Kadipaten. Karena Ki Wiradana tidak dapat tidur nyenyak, maka
pagi-pagi benar ia sudah bangun. Para pengawalnya pun
telah dibangunkannya pula.
"Kita akan berangkat sebelum matahari terbit," berkata
Ki Wiradana. 73 SH. Mintardja Seperti yang dikatakannya, setelah biaya penginapannya


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersama tujuh pengawalnya diselesaikan, maka Ki
Wiradana pun telah bersiap-siap meninggalkan penginapan
itu. Penginapan yang nampaknya masih tidur nyenyak.
Pedati-pedati yang berada di halaman milik orang-orang
yang bermalam di penginapan itu berderet di antara
dinding sampai ke dinding. Lembu-lembunya yang dilepas
dari pasangan ditambatkan di halaman samping. Sedangkan
di sisi penginapan itu terdapat kandang kuda yang agak
besar. Agaknya orang-orang di penginapan itu kebanyakan akan
terlambat bangun karena semalam mereka terganggu oleh
peristiwa yang mendebarkan, yang telah membuat empat
orang prajurit Pajang terluka parah.
Ketika Ki Wiradana keluar dari kota, beberapa kali ia
harus berhenti untuk diperiksa. Di gerbang kota ia tertahan
cukup lama. Namun akhirnya Ki Wiradana itu
diperkenankan melanjutkan perjalanan karena jawaban-
jawabannya atas pertanya-an prajurit yang berjaga-jaga
dapat meyakinkan mereka. Namun demikian, meskipun Ki Wiradana dan para
pengawalnya sudah terlepas dari pintu gerbang, namun
mereka masih juga merasa cemas. Karena itu, mereka selalu
bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Mungkin seperti
dikatakan oleh Ki Wirajaya, bahwa ada orang-orang yang
dengan sengaja mempergunakan kesempatan pada saat-
saat kemelut itu untuk melakukan kejahatan.
Tetapi ternyata bahwa perjalanan Ki Wiradana dan para
pengawalnya tidak mengalami hambatan. Mereka dengan
selamat mencapai Tanah Perdikan Sembojan.
74 SH. Mintardja Tanah Perdikan yang besar, yang subur di antara
pegunungan yang tersebar, namun yang ngarainya tetap
basah di segala musim. Kedatangan Ki Wiradana dengan perasaan kecewa telah
disambut oleh Warsi dan orang yang disangka ayahnya.
Sebagaimana diperjalanan Wiradana yang selamat secara
wadag, maka di Tanah Perdikan Sembojan pun tidak
terdapat sesuatu yang dapat mengguncangkan
ketenangannya. Namun berita yang dibawa oleh Ki Wiradana benar-
benar mengecewakan Warsi.
Apalagi ketika dengan jantung yang berdeguban
Wiradana mengatakan, bahwa wisuda itu tertunda untuk
waktu yang tidak diketahui. Bahkan mungkin sampai saat
anaknya lahir. Dengan singkat Wiradana menceriterakan apa yang telah
terjadi di Pajang. Dengan demikian, maka Warsi akan
mendapat gambaran, bahwa sebenarnyalah Pajang memang
sedang kisruh. Terasa isi dada Warsi bagaikan akan meledak. Ia ingin
bertindak untuk mengatasi persoalan yang seakan-akan
terputus itu. Jika ia mendapat kesempatan menghadap,
maka ia tidak akan sedungu Wiradana. Ia tentu mempunyai
cara untuk mengemukakan alasan-alasannya.
Tetapi Warsi tidak dapat melakukannya. Selama ini ia
berperan sebagai seorang istri yang lembut, yang tidak
bernafsu untuk memiliki dan menguasai sesuatu yang
menyangkut kebendaan dan kepentingan lahiriah.
Untuk beberapa saat Warsi berusaha menahan dirinya.
Baru kemudian ia berkata, "Sudahlah kakang. Jangan
75 SH. Mintardja dirisaukan. Kakang memang dapat mengusahakan jalan
yang manapun juga. Tetapi jangan terlalu memaksa diri."
Ki Wiradana termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian menjawab, "Tetapi apakah aku dapat menunggu
sampai waktu yang tidak ditentukan itu Warsi" Dan apakah
aku harus menemukan benda yang menjadi syarat wisuda
itu, sementara aku sudah mencari disegala sudut rumah ini,
tetapi aku tidak menemukannya?"
"Kakang masih terlalu letih," berkata Warsi. "Kita akan
dapat memikirkannya kemudian. Sekarang sebaiknya
kakang beristirahat dahulu. Selanjutnya, persoalan kakang
jangan terpancang kepada hari wisuda itu saja. Tetapi
pergolakan yang terjadi antara Demak dan Jipang itu
ternyata telah bergema sampai ke Pajang. Mungkin
sebentar lagi akan menjalar ke Tanah Perdikan ini."
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Sebagaimana biasa, ia
menganggap bahwa istrinya benar-benar berniat baik.
Istrinya berusaha untuk membuatnya menjadi tenang dari
kegelisahannya. Sementara itu orang yang disebut sebagai ayah Warsi itu
pun berkata pula, "Bukankah kita masih mempunyai waktu"
Kita akan dapat memikirkannya dengan tenang. Memang
sebaiknya kau beristirahat saja dahulu. Agaknya persoalan
yang akan kau hadapi di Tanah Perdikan ini akan
berkembang menjadi semakin banyak.
Kau masih harus memecahkan persoalan hari wisuda,
sementara kau sudah membicarakan dengan seorang
saudagar bahwa kau akan menjebak perampok-perampok
itu sebagaimana diceriterakan oleh Warsi. Sementara itu
persoalan Pajang dalam hubungannya dengan Demak telah
berkembang pula menyangkut Kadipaten Jipang.
76 SH. Mintardja Karena itu, maka agaknya memerlukan waktu untuk
memikirkannya dengan tenang."
"Ya ayah," jawab Ki Wiradana. "Tetapi aku disini merasa
sendiri. Tidak ada orang yang dapat aku ajak berbincang.
Orang-orang tua di Tanah Perdikan ini rasa-rasanya tidak
mampu memberikan pendapat yang dapat membuka
pikiranku. Bahkan sebagian dari mereka berpikir terlalu sempit.
Mereka tidak lebih dari orang-orang yang merasa dirinya
pandai tetapi dalam ruang lingkup yang sangat sempit.
Mereka tidak mengetahui persoalan-persoalan yang hidup
dan berkembang di luar Tanah Perdikan ini. Pada masa
ayah memerintah, ayah memang terlalu mumpuni, sehingga
segala sesuatunya dipikirkan dan dilaksanakan oleh ayah
sendiri. Agaknya aku belum sampai pada tataran itu."
"Agaknya memang demikian Ki Wiradana. Tetapi itu
bukan berarti bahwa kau sendiri. Mungkin kau dapat
berbincang dengan istrimu. Jika orang-orang tua itu pun
mungkin mempunyai pikiran-pikiran yang baik bagi Tanah
Perdikan ini, namun kau harus dapat menangkap
maksudnya, meskipun masih harus kau kembangkan
sehingga menjadi pikiran yang berharga," berkata laki-laki
yang mengaku sebagai ayah Warsi itu.
Ki Wiradana mengangguk-angguk kecil. Kemudian ia
pun berdesis, "Baiklah ayah. Aku akan beristirahat lebih
dahulu. Namun dalam waktu dekat, aku berjanji untuk
menjebak kedua orang penjahat yang sering melakukan
kejahatan di penginapan-penginapan. Di Pajang kemarin
kedua orang itu tidak dijumpai. Namun kekalutan terjadi
karena ada kedua orang Jipang yang juga berada di
penginapan itu pula."
77 SH. Mintardja Demikianlah, Ki Wiradana pun telah berusaha
melepaskan kerisauannya meskipun hanya sekejap-kejap.
Kerisauannya itu selalu datang menggelitik hatinya,
sehingga dihari-hari berikutnya ia menjadi lebih banyak
merenung. Namun dalam pada itu, dalam kesempatan tersendiri,
Warsi itu pun bergumam dihadapan orang yang disebut
sebagai ayahnya itu, "Wiradana memang terlalu bodoh
untuk melakukan tugasnya. Pada saat ayahnya masih ada, ia
agaknya terlalu manja dan jarang sekali mendapat tugas-
tugas penting yang harus dipertanggung jawabkannya.
Sampai saatnya ia menggantikan ayahnya, ia masih saja
seperti kanak-kanak yang harus dituntun di saat belajar
berjalan." Laki-laki yang disebut ayahnya itu mengangguk-angguk.
Katanya kemudian, "Tetapi benturan-benturan itu akan
dapat menjadi pengalaman yang berharga baginya. Mudah-
mudahan ia akan segera menemukan sikap yang mantap."
"Kau juga bodoh," geram Warsi. "Akulah yang akan
mengambil alih pimpinan di Tanah Perdikan ini. Biarlah ia
dungu. Aku mengemudikan kelak," suara Warsi tiba-tiba
menurun. "Tetapi aku inginkan ia diwisuda lebih dahulu,
baru aku akan melakukannya. Sebelum itu, jika orang-orang
Pajang mengetahuinya, bahwa Wiradana sebenarnya tidak
memerintah, akan dapat timbul persoalan dengan
wisudanya kelak. Bahkan mungkin akan ada langkah yang kurang
menguntungkan yang diambil oleh Pajang."
Laki-laki yang disebut ayah Warsi itu mengangguk-
angguk. Namun ia tidak mengatakan sesuatu lagi. Ia sudah
cukup mengenal watak dan sifat Warsi.
78 SH. Mintardja Dalam pada itu, maka hari-hari yang disepakati antara Ki
Wiradana dengan saudagar emas permata untuk menjebak
para perampok itu menjadi semakin dekat.
Dengan demikian, maka Ki Wiradana pun telah
mempersiapkan orang-orang terbaiknya untuk mengawasi
penginapan-penginapan, terutama yang akan dipergunakan
oleh saudagar itu. Bahkan Wiradana telah memerintahkan
kepada dua orang di antara para pengawal untuk bermalam
di penginapan itu juga nanti di malam yang sudah
dibicarakannya. Bahkan sejak malam sebelumnya.
Semakin dekat dengan hari yang ditentukan, Ki
Wiradana menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak ingin salah
langkah. Apalagi saudagar itu justru akan menjadi korban
karena kekeliruannya menghitung hari.
Sebenarnyalah, pada hari yang ditentukan saudagar itu
telah datang. Ia telah memesan sebuah bilik khusus bagi
dirinya dan seorang pembantunya. Sementara itu, ia dengan
sengaja telah berjalan hilir mudik di pasar dan kemudian
mengunjungi Ki Wiradana pada hari kedatangannya itu
juga. Kedatangannya telah disambut dengan gembira oleh Ki
Wiradana sekeluarga. Bahkan saudagar itu pun telah
diperkenalkan pula kepada laki-laki yang disebut sebagai
ayah Warsi itu. "Kami sudah siap," berkata Ki Wiradana. "Mungkin
malam ini atau malam-malam berikutnya jika terjadi lagi
perampokan itu, maka para pengawal tentu akan berhasil
menangkap mereka. Dengan demikian, maka akan terbuka
rahasia perampokan itu. Apakah mereka benar-benar
perampok atau orang-orang yang dengan sengaja membuat
kekisruhan di Tanah Perdikan ini sebagaimana rombongan
79 SH. Mintardja pengamen dengan penari yang mirip dengan Iswari atau
mereka adalah orang-orang Jipang."
"Orang-orang Jipang?" ayah Warsi yang mengaku
sebagai saudagar itu terkejut.
"Ya, orang-orang Jipang," jawab Ki Wiradana.
Ternyata saudagar itu memang belum mendengar apa
yang terjadi di Pajang tentang orang-orang Jipang itu.
Karena itu, maka Ki Wiradana pun kemudian berceritera
serba singkat tentang orang-orang Jipang itu.
Saudagar itu mengangguk-angguk. Sekilas teringat
olehnya rencana pamannya di Gunung Kukusan yang segera
akan berada di Tanah Perdikan itu pula. Pamannya itu akan
berusaha untuk menyeret Tanah Perdikan Sembojan ke
dalam sengketa antara Jipang dan Demak termasuk Pajang
tentang warisan tahta Demak itu sendiri.
"Ternyata asap dari api yang menyala di Jipang itu sudah
sampai ke Pajang," berkata ayah Warsi di dalam hatinya.
Tetapi ia tidak ingin mendahului keterangan pamannya
tentang persoalan yang menyangkut hubungan Tanah
Perdikan Sembojan dengan Jipang. Biarlah pamannya itu
mengatakannya langsung kepada Ki Wiradana.
Namun dari Ki Wiradana pula ayah Warsi yang mengaku
sebagai saudagar itu mendengar, bahwa kedudukannya
masih belum dikukuhkan. Persoalannya berkait dengan
kesibukan Adipati Pajang karena pergolakan yang terjadi di
Demak. Apalagi kemudian meluas sampai ke Jipang.
"Tetapi pada suatu saat Ki Wiradana tentu akan
menemukan satu jalan keluar yang barangkali memadai,"
berkata ayah Warsi yang menyatakan dirinya sebagai
seorang saudagar itu. 80 SH. Mintardja "Mudah-mudahan Ki Saudagar," jawab Ki Wiraana.
"Namun persoalan itu rasa-rasanya telah membuat hatiku
menjadi pepat." "Sudah barang tentu. Namun karena Ki Wiradana
sekarang sudah memangku jabatan Kepala Tanah Perdikan,
maka seharusnya bahwa perhatian Ki Wiradana tidak boleh
terampas hanya oleh satu persoalan saja," berkata ayah
Warsi itu. "Apalagi kita sudah mempersiapkan sebuah
jebakan dan aku sudah menyediakan diri menjadi
umpannya. Mudah-mudahan jebakan itu akan berhasil."
"Mudah-mudahan," desis Ki Wiradana.
Namun sementara itu, ketika Ki Wiradana beberapa saat
meninggalkan Warsi menemui Saudagar itu bersama orang
yang mengaku sebagai ayahnya, maka ayah Warsi yang
sebenarnya itu pun berkata, "Kakekmu akan bersedia
datang." "Syukur ayah," jawab Warsi gembira. "Tetapi sampai saat
ini kakek itu belum tampak. Bukankah kakek itu akan ayah
persilakan datang mendahului ayah?"
"Ternyata ia lebih suka datang kemudian setelah aku
memberitahukannya kepadamu.
Mungkin ia memerlukan bantuanmu untuk mengatur
orang-orang kita yang terlibat ke dalam permainan ini, agar


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakekmu tidak salah sebut. Juga terhadap orang yang
disebut sebagai ayahmu itu," berkata ayah Warsi.
Warsi mengangguk-angguk. Desisnya, "Jadi kapan kakek
akan datang?" "Mungkin besok atau lusa," jawab ayah Warsi yang
mengaku sebagai saudagar itu.
81 SH. Mintardja Namun kemudian katanya, "Tetapi di samping
memenuhi undanganku, kakekmu juga mempunyai
kepentingan tersendiri."
"Kepentingan apa?" bertanya Warsi.
"Ia ternyata terlibat dalam kemelut antara Jipang dan
Demak. Kakekmu adalah pengikut Arya Penangsang yang
setia," berkata ayah Warsi itu.
Warsi mengerutkan keningnya. Namun ketajaman
penggraitanya telah menunjukkan kepadanya arah
pembicaraannya dengan ayahnya itu. Bahkan hampir di luar
sadarnya ia berkata, "Ayah, apakah kakek ingin melibatkan
Sembojan dalam persoalan ini?"
Ayahnya mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Biarlah kakekmu sendiri besok menjelaskannya."
Warsi mengangguk-angguk. Desisnya, "Menarik sekali.
Nampaknya Pajang sudah tidak memperhatikan lagi
keadaan Tanah Perdikan ini dengan mempersulit persoalan.
Jika Pajang tidak mempersulit, apakah susahnya melakukan
wisuda itu. Kami sendirilah yang mengadakan persiapan
dan kemudian menyelenggarakan upacara. Semua biaya
dan tenaga, kami sendirilah yang menanggungnya. Mereka,
orang-orang Pajang itu tinggal datang dan mengucapkan
beberapa kalimat pengukuhan saja. Tidak ada kesulitan
meskipun Pajang sedang sibuk. Pengukuhan itu dapat
berlangsung dalam waktu satu hari. Seandainya Adipati
Pajang sendiri tidak dapat datang, maka ia dapat
menugaskan salah seorang pemimpin pemerintahan,
mungkin yang disebut Tumenggung Wirajaya itu untuk
datang, asal ia membawa pertanda kuasa Adipati Pajang.
Maka selesailah persoalannya."
82 SH. Mintardja Ayah Warsi mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah, kau
menunggu kakekmu. Hari ini atau besok aku masih menjadi
umpan untuk memancing perampok itu."
Hati-hatilah ayah. Meskipun kakang Wiradana sudah
menyiapkan pengawal, tetapi mungkin terjadi sesuatu di
luar perhitungan kita," pesan Warsi. Untuk beberapa lama
ayah Warsi yang dikenal oleh Wiradana sebagai saudagar
itu masih berada di rumahnya. Namun beberapa lama
kemudian ia pun minta diri untuk pergi ke penginapan.
Ki Wiradana yang kemudian menemuinya pula, telah
mengantarkannya sampai ke regol halaman. Seperti Warsi
ia berpesan, "Hati-hatilah Ki Saudagar. Mereka adalah
orang-orang yang licik dan tidak segan-segan
mempergunakan segala cara untuk melakukan usahanya
yang kotor itu." Ayah Warsi itu tersenyum. Katanya, "Aku tidak akan
melakukan kesalahan untuk kedua kalinya."
Demikian orang itu meninggalkan rumahnya, maka lewat
seorang pengawal Ki Wiradana telah memerintahkan
mereka yang mendapat tugas khusus mengawasi
penginapan yang terutama dipergunakan oleh saudagar itu
untuk bersiaga. "Satu atau dua orang harus mengawasi terus ke mana
saudagar itu pergi. Siang apalagi malam. Karena perampok-
perampk itu tidak memilih waktu," berkata Ki Wiradana.
Ternyata Ki Wiradana sendiri sudah mengalami di rampok
di siang hari justru di jalan yang terhitung ramai.
Malam yang kemudian turun adalah malam yang tegang
bagi Tanah Perdikan Sembojan, terutama di padukuhan
induk. Beberapa pengawal tersembunyi, mengawasi
penginapan yang dipergunakan oleh saudagar itu dengan
83 SH. Mintardja seksama. Dua orang pengawal yang tidak dalam sikap
pengawal, berada di penginapan itu pula.
Namun ternyata malam yang tegang itu lewat tanpa
terjadi sesuatu. Para pengawal yang berjaga-jaga semalam
suntuk, mengumpat di dalam hati ketika mereka melihat
langit menjadi terang. "Gila," geram salah seorang di antara mereka, "Perampok
itu sama sekali tidak menampakkan ujung hidungnya."
"Justru perampok yang cerdik," jawab kawannya. "Ia
tidak mau menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam
kesulitan. Bahkan kemungkinan untuk tertangkap."
Pengawal yang pertama mengumpat. Tetapi kawannya
yang lain segera menyahut.
"Mungkin aku dapat menyebutnya dengan istilah lain
agar kita merasa lebih berjasa daripada menyebutnya
cerdik. Mereka agaknya ketakutan melihat kita mengawasi
penginapan itu." "Persetan," geram kawannya yang pertama membuka
pembicaraan. Para pengawal itu tidak saling berbicara lagi. Agaknya
tugas mereka untuk malam itu telah berakhir. Beberapa
orang pengawal yang lain akan mengambil alih tugas
mereka di siang hari. Namun sebenarnyalah para pengawal
itu menjadi kecewa bahwa mereka tidak mendapat
kesempatan untuk menangkap perampok yang telah
mengganggu Tanah Perdikan mereka dan pemangku
jabatan Kepala Tanah Perdikan itu.
Di hari yang baru itu, Warsilah yang dibebani oleh
sebuah harapan akan kehadiran seorang tamu lagi.
Kakeknya dari Gunung Kukusan sebagaimana dikatakan
84 SH. Mintardja oleh pamannya. Kakeknya bukan saja akan dapat
melindunginya yang sedang dalam keadaan mengandung
itu, tetapi kakeknya juga membawa persoalan yang
menyangkut hubungan antara Tanah Perdikan Sembojan
dengan Jipang. Memang satu persoalan baru yang harus
dipikirkannya. Tetapi Warsi agaknya sudah tidak tertarik
lagi untuk tetap berada dibawah kekuasaan Pajang yang
dianggapnya mengabaikan kepentingan Tanah Perdikan
Sembojan. "Tetapi aku memang memerlukan penjelasan dari
kakek," berkata Warsi di dalam hatinya.
Ketika matahari naik sepenggalah, maka saudagar emas
yang menginap di penginapan serta menyediakan diri untuk
menjadi umpan itu telah berada di rumah Wiradana.
Dengan nada kesal ia berkata, "Semalam aku menunggu.
Ternyata perampok licik itu tidak datang."
"Aku pun hampir tidak tidur semalam," sahut Ki
Wiradana. "Aku selalu hilir mudik antara gardu di regol dan
bilik pembaringan. Tetapi sampai hampir pagi aku tidak
mendengar suara isyarat apapun juga."
Saudagar itu mengangguk-angguk. Sementara itu
pembicaraan mereka masih berkisar kepada usaha mereka
menjebak perampok-perampok itu.
Namun dalam pada itu, seorang tamu telah da tang
kerumah itu. Seorang yang rambutnya telah memutih dan
wajahnya telah dipenuhi oleh garis-garis umur. Namun
demikian tubuhnya masih nampak tegap kekar dalam
ketuaannya. ----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 11. 85 SH. Mintardja Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
86 SH. Mintardja Jilid Kesebelas Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 87 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja "KAKEK," tiba-tiba saja Warsi berlari menghambur,
lalu, "Silakan kakek."
Orang tua itu mengangguk-angguk. Wajahnya nampak
terang dan tatapan matanya bagaikan bersinar oleh nyala
api kemauan yang membara di dalam dadanya.
"Ini rumahmu Warsi," bertanya orang tua itu, "Bagus
sekali." "Ya. Kakek. Marilah. Inilah kakang Wiradana, suamiku,"
Warsi mempersilakan. Orang tua itu melangkah masuk. Wiradana pun
kemudian menyambutnya dengan penuh hormat, "Aku
adalah Wiradana kakek."
"Kau adalah cucuku," desis orang tua itu.
"Ini adalah kakekku kakang. Ayah dari ibuku," Warsi
memperkenalkan. "Marilah kakek, silakan," Wiradana pun mempersilakan
pula. "Hari ini ayah juga berada disini kakek," berkata Warsi.
"O, begitu. Kebetulan sekali. Sudah lama aku tidak
bertemu dengan ayahmu," jawab orang tua itu.
Sekilas orang tua itu memandang ayah Warsi yang
mengaku sebagai saudagar itu. Tetapi ia sudah tahu, bahwa
yang disebut ayah oleh Warsi itu justru orang lain.
Ketika Warsi datang bersama orang yang disebutnya
ayahnya itu, kakeknya mengumpat di dalam hati.
"Orang seperti kadal ini diakunya sebagai ayahnya,"
berkata kakek Warsi di dalam hatinya.
2 SH. Mintardja Namun ia pun menanggapi kehadirannya sebagai ia
menanggapi kedatangan menantunya.
Pertemuan itu pun rasa-rasanya menjadi akrab. Bahkan
saudagar itu pun telah terlibat pula dalam pembicaraan-
pembicaraan yang berkepanjangan tentang diri mereka
masing-masing. Kedatangan orang yang mengaku sebagai kakek Warsi itu
memberikan harapan baru bagi Ki Wiradana. Ia melihat
pada wajah dan sorot matanya, bahwa orang itu memiliki
kemampuan berpikir melampaui orang-orang Tanah
Perdikan Sembojan sendiri. Dengan demikian ia berharap
bahwa selain Ki Suadagar, ayah Warsi dan Warsi sendiri, ia
akan mendapat kawan berbincang lebih banyak lagi.
Hari itu, kakek Warsi itu masih belum mengatakan
sesuatu. Ia masih saja berbicara tentang keluarganya.
Tentang kampung halaman dan tentang dongeng-dongeng
yang lain yang menarik bagi Ki Wiradana.
Namun dalam pada itu, ketika senja mulai membayang di
langit, Ki Wiradana dan Ki Saudagar telah mempersiapkan
lagi satu jebakan sebagaimana malam sebelumnya.
Mungkin perampok itu datang lagi setelah mereka tahu,
bahwa saudagar emas permata itu berada lagi di Tanah
Perdikan Sembojan dan bermalam di penginapan yang
terdahulu. Tetapi nampaknya kakek Warsi yang baru datang itu
telah berusaha untuk menahan saudagar itu, agar malam itu
ia tidur di rumah Ki Wiradana.
"Ada yang ingin aku katakan," berkata orang yang
mengaku sebagai kakek Warsi.
3 SH. Mintardja "Kepada siapa?" bertanya saudagar itu, "Kepada Ki
Wiradana dan istrinya atau kepadaku."
"Kepada kalian semuanya," berkata orang itu.
Dengan demikian maka Ki Saudagar itu pun untuk
malam itu telah bermalam di rumah Wiradana. Orang yang mengaku kakek Warsi itu mempunyai persoalan yang akan dibicarakan dengan mereka. Namun ayah Warsi yang mengaku sebagai saudagar itu mengerti, apa yang akan dibicarakan oleh pertapa

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari Gunung Kemukus itu. Sebenarnyalah malam turun perlahan-lahan di atas
Tanah Perdikan Sembojan. Orang tua yang diperkenalkan Warsi sebagai kakeknya yang
bernama Ki Randukeling, telah memanggil orang-orang
yang ingin diajaknya berbicara di ruang dalam termasuk
Warsi sendiri. Setelah orang-orang itu berkumpul, dan setelah mereka
meneguk minuman panas, maka Ki Randukeling itu pun
berkata, "Aku minta maaf, bahwa aku datang dengan
membawa satu persoalan yang barangkali justru akan dapat
mengganggu ketenangan Ki Wiradana."
Ki Wiradana menjadi berdebar-debar. Namun serba
sedikit Warsi sudah dapat menduga, bahwa yang akan
dikatakan oleh Ki Randukeling adalah persoalan Tanah
4 SH. Mintardja Perdikan Sembojan dalam hubungannya dengan Pajang dan
Jipang. Ki Wiradana yang sama sekali masih belum mengetahui
apa yang akan dikatakannya telah mendengarkannya
dengan sungguh-sungguh, sementara itu Ki Randukeling
berkata selanjutnya, "Ki Wiradana, bukankah Ki Wiradana
sudah mengetahui serba sedikit persoalan yang timbul
antara Demak, Pajang dan Jipang yang barangkali juga akan
menyangkut banyak pihak yang lain" Nah, agaknya aku
perlu berbicara serba sedikit tentang hal itu sesuai dengan
pengetahuanku. Jika ternyata aku keliru, maka aku mohon
dapat diluruskan." Ki Wiradana mengerutkan keningnya. Menilik sikap dan
pembicaraannya, maka kakek Warsi itu benar-benar akan
berarti baginya untuk membantunya memerintah Tanah
Perdikan Sembojan yang terasa mulai bergejolak karena
bermacam-macam sebab. Dalam pada itu, Ki Randukeling melanjutkan, "Tetapi
sebelumnya aku mohon Ki Wiradana dapat
mempertimbangkan sebaik-baiknya. Jangan terlalu cepat
mengambil kesimpulan. Aku tidak berkeberatan di dalam
pertemuan ini hadir Ki Saudagar. Mungkin Ki Saudagar
yang menurut dugaanku sering melakukan perjalanan ke
tempat-tempat yang jauh akan dapat memberikan
pertimbangan atas pendapatku."
Ki Wiradana menjadi semakin berdebar-debar. Dengan
jantung yang terasa berdeguban semakin keras ia
mendengarkan Ki Randukeling berkata selanjutnya. "Ki
Wiradana. Aku sudah mendengar dari Warsi, apa yang
terjadi atasmu dengan pengunduran saat-saat kau
dikukuhkan karena Pajang sedang sibuk. Sebenarnya hal itu
tidak perlu terjadi, karena persoalanmu tidak bersangkut
5 SH. Mintardja paut dengan persoalan yang terjadi di Demak. Adipati
Pajang dapat saja melaksanakan kewajibannya atas Demak
dan sekaligus mengukuhkan kedudukanmu. Mungkin
Adipati itu memang tidak dapat datang sendiri ke Tanah
Perdikan ini. Tetapi ia dapat memerintahkan orang lain
untuk melakukannya."
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya kakek.
Ternyata sikap orang-orang Pajang tidak menguntungkan
bagiku." "Itu adalah ciri orang-orang Pajang," berkata Ki
Randukeling selanjutnya. Ki Wiradana mengerutkan keningnya. Dengan nada
tinggi ia bertanya, "Ciri yang bagaimana kakek?"
"Orang-orang Pajang memang orang-orang yang bekerja
sangat lamban. Bahkan lebih buruk dari itu, orang-orang
Pajang termasuk Adipati Hadiwijaya, selalu menunda-
nunda pekerjaan yang sebenarnya dapat diselesaikan dalam
waktu singkat. Bahkan kadang-kadang ada-ada saja alasan
yang sebenarnya tidak masuk akal untuk memperlambat
pekerjaan mereka. Bukan sekadar karena orang-orang
Pajang adalah orang-orang yang malas, tetapi ada perasaan
dengki terhadap keberhasilan seseorang. Mereka lebih
senang melihat Ki Wiradana dalam keadaan terkatung-
katung daripada Ki Wiradana dengan mantap menjadi
seorang Kepala Tanah Perdikan," berkata Ki Randukeling.
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Katanya, "Pantas. Ada
saja alasan Ki Tumenggung Wirajaya. Nampaknya Ki
Tumenggung adalah seorang yang ramah, dan dengan
ikhlas ingin membantu mempermudah penyelesaian
persoalan pengukuhan ini. Tetapi agaknya benar juga
pendapat kakek. Semua orang Pajang memang bekerja
dengan lamban, berpura-pura dan tidak jujur."
6 SH. Mintardja "Tepat," jawab Ki Randukeling, "Coba, ingat-ingat apa
saja yang pernah dilakukan oleh Ki Tumenggung itu."
"Ia nampaknya baik sekali terhadapku kakek. Tetapi ia
telah mempersulit pengukuhan ini dengan alasan yang
agaknya memang dibuat-buat. Ia memaksa untuk
menemukan sebuah bandul dan rantainya yang sampai saat
ini hilang sepeninggalan ayah. Menurut keterangan Ki
Tumenggung, bandul emas yang bertatahkan gambar kepala
seekor burung elang itu merupakan syarat bagi wisudaku
sebagai Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Karena itu, Ki
Tumenggung minta aku mencarinya sambil menunggu
kesempatan setelah persoalan Kanjeng Adipati Pajang dapat
diselesaikan," jawab Ki Wiradana.
"Nah, bukankah sudah nyata," berkata Ki Randukeling,
"Sebenarnya syarat itu tidak perlu sama sekali. Siapakah
yang meragukan bahwa Ki Wiradana adalah anak Ki Gede
Sembojan yang terbunuh itu" Jika orang-orang Pajang tidak
ingin mempersulit keadaan, maka pengukuhan itu dapat
saja dilakukan tanpa pertanda itu dan tidak usah menunggu
persoalan dengan Demak selesai."
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan
Ki Randukeling. Karena itu, ia menjadi semakin kecewa
terhadap sikap orang-orang Pajang. Bahkan Adipati Pajang
sendiri. Karena ia pun telah langsung menghadapnya,
namun ia tidak berhasil mendapatkan ketetapan waktu
sebelum anaknya lahir. Namun demikian, apakah yang dapat diperbuatnya,
karena Tanah Perdikan Sembojan termasuk daerah
kekuasaan Adipati Pajang. Segala keputusan hanya dapat
diberikan oleh Pajang bagaimana pun bunyinya.
Dalam pada itu, ayah Warsi yang menyebut dirinya
sebagai saudagar emas permata itu pun berkata, "Ki
7 SH. Mintardja Randukeling. Aku adalah seorang pedagang keliling yang
pernah mendatangi berbagai kota, termasuk Jipang, Pajang
dan Demak. Sebenarnyalah pemerintahan di Pajang adalah
pemerintahan yang paling buruk dibandingkan dengan
Kadipaten lain. Terutama Jipang. Jipang memiliki seorang
Adipati yang terampil terengginas. Cepat bertindak dan
tidak terlalu memikirkan persoalan-persoalan kecil yang
tidak berarti. Seandainya persoalan Ki Wiradana ini terjadi
di Jipang, maka aku kira segala sesuatunya tentu sudah
mendapat penyelesaian sewajarnya."
"Ya," sahut Ki Randukeling, "Agaknya tidak ada
persoalan apapun juga yang dapat timbul hanya karena
bandul dan karena kesibukan. Sebenarnya Adipati Pajang
tidak usah menyibukkan diri untuk mengurusi Demak,
karena sudah ada orang-orang tertentu, para pemimpin
Demak, orang-orang tua serta para pemimpin agama yang
memikirkan, bagaimana selanjutnya pemerintah di Demak
sepeninggalan Kanjeng Sultan Trenggana."
Ki Wiradana mengerutkan keningnya. Sementara itu
Warsi pun bertanya, "Tetapi apakah kita boleh memilih
kakek" Misalnya, kita ingin menempatkan Tanah Perdikan
ini dibawah kuasa Jipang bukan Pajang."
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan
Warsi benar-benar telah mengarah. Ternyata bahwa Warsi
memang seorang yang memiliki ketajaman berpikir,
sehingga ia dapat langsung membimbing pembicaraan itu
ke sasaran tanpa disadari oleh Ki Wiradana.
Dipandanginya Warsi sejenak. Kemudian katanya kepada
Ki Wiradana, "Sudah tentu kita tidak dapat memilih. Bukan
kitalah yang menentukan, Tanah Perdikan ini berada
dibawah kekuasaan siapa. Tetapi memang sudah ada
ketentuan sebelumnya yang disetujui bersama antara para
8 SH. Mintardja Adipati, bahwa satu lingkungan dinyatakan berada di
wilayah Kadipaten tertentu. Karena itu, kita harus tunduk
kepada satu ketentuan pembagian wilayah itu. Dan Pajang
ternyata merupakan Kadipaten yang berhak memerintah
Tanah Perdikan ini."
"Tetapi ternyata Pajang tidak dapat berbuat sebaik-
baiknya bagi kepentingan Tanah Perdikan ini kakek,"
berkata Warsi pula. Ki Randukeling termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Pertanyaanmu membuat aku berdebar-
debar. Aku memang mempunyai persoalan yang dapat kita
bicarakan malam ini dengan sungguh-sungguh. Langsung
menyangkut hubungan antara Tanah Perdikan ini dengan
Pajang." "Maksud kakek?" Warsi pulalah yang bertanya.
Ki Randukeling termenung sesaat. Ada semacam keragu-
raguan membayang di wajahnya. Namun kemudian
katanya, "Baiklah, aku tidak akan terlalu banyak
memberikan alasan. Tetapi aku berharap bahwa kalian
dapat memikirkan persoalan ini dengan sungguh-sungguh.
Sebagaimana aku katakan, aku tidak akan memaksa satu
keputusan. Tetapi hendaknya masalah ini dipikirkan baik-
baik," Ki Randukeling berhenti sejenak, sementara Ki
Wiradana menjadi berdebar-debar. Lalu katanya lebih
lanjut, "Ki Wiradana. Nampaknya Pajang memang tidak
begitu menghiraukan Tanah Perdikan yang tidak terlalu
dekat dengan pusat pemerintahan Kadipaten Pajang,
sehingga Adipati Pajang menganggap bahwa Tanah
Perdikan ini sama sekali tidak penting, atau barangkali
Adipati Pajang memang tidak ingin melihat ketidakpastian
terjadi di atas Tanah Perdikan ini. Karena itu, sebagai satu
lingkungan yang hidup dan memiliki pertimbangan-
9 SH. Mintardja pertimbangan tertentu, maka kita tidak akan dapat
menentukan sikap terhadap Pajang. Pada saat Pajang
berada di dalam ketidakpastian. Karena Pajang adalah
sebuah Kadipaten yang berada dibawah kekuasaan Demak,
maka dalam kekalutan ini, diharapkan akan dapat terjadi
pergeseran kekuatan dan kekuasaan dari keturunan
Trenggana kembali ke keturunan Sekar Seda Lepen."
Wiradana mengerutkan keningnya. Keterangan Ki
Randukeling telah membuatnya menjadi berdebar-debar.
Sementara itu Ki Randukeling berkata selanjutnya, "Ki
Wiradana. Jika Pajang memang tidak lagi menganggap
Tanah Perdikan ini penting untuk digarap dan dibimbing
menuju ke satu keadaan yang mantap, maka buat apa Tanah
Perdikan ini masih tetap bersandar kepada Pajang. Kenapa
kita tidak beralih kiblat dengan menempatkan diri kita
dibawah kekuasaan Jipang. Jipang letaknya memang tidak
jauh, tetapi jika yang lebih jauh itu mampu memberikan
tempat yang lebih baik bagi Tanah Perdikan ini, apa
salahnya?" Ki Wiradana menjadi tegang. Pada saat-saat ia mengikuti
pembicaraan Ki Randukeling, ia memang sudah menduga,
bahwa pembicaraan itu akan sampai kesana.
Namun demikian, agaknya tawaran ini memang sangat
menarik. Rasa-rasanya ia sudah tidak berpengharapan lagi
untuk dapat dikukuhkan apalagi dalam waktu singkat
karena beberapa alasan. Salah satu alasan adalah pertanda
kuasa Tanah Perdikan Sembojan yang hilang itu.
"Memang mungkin hanya merupakan satu alasan saja,"
berkata Ki Wiradana di dalam hatinya. "Tetapi sebenarnya
Pajang atau justru Adipati Pajang ingin Tanah Perdikan ini
hapus dan menjadi daerah Pajang sebagaimana
Kademangan-kademangan yang tidak mempunyai
10 SH. Mintardja wewenang menentukan lingkungannya sendiri selain patuh
dan tunduk segala perintah dan paugeran dari Pajang,
terutama menyangkut pajak."
Namun dalam pada itu, Ki Wiradana tidak segera
menjawab. Ada kebimbangan di dalam hatinya untuk
menentukan pilihan, sehingga karena itu, maka untuk
beberapa saat ia justru terdiam.
Karena Ki Wiradana justru termangu-mangu, maka Ki
Randukeling itu pun berkata, "Kau tidak perlu gelisah dan
memaksa diri untuk mengambil keputusan cucuku.
Berpikirlah. Karena kau mempunyai seorang istri, maka
bicarakanlah persoalanmu dengan istrimu."
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah
kakek. Aku akan mencoba merenungkan. Mungkin dalam
waktu singkat kami, maksudku aku dan istriku sudah akan
dapat mengambil keputusan."
"Pertimbangkan keputusanmu baik-baik, karena
persoalannya menyangkut bukan saja kau berdua, tetapi
seisi Tanah Perdikan ini," berkata kakek itu pula. Lalu,
"Selebihnya Jipang letaknya lebih jauh dari Pajang. Karena
itu dalam beberapa hal, Tanah Perdikan ini akan mendapat
lebih banyak kebebasan. Jipang tidak akan sempat
membuat perhitungan sampai yang sekecil-kecilnya
mengenai perkembangan Tanah Perdikan ini, juga dalam
hal perhitungan pajak. Apalagi sampai saat ini adalah
sebuah Kadipaten yang kaya raya, sehingga hal-hal seperti
itu tidak akan banyak mendapat perhatian.
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Tetapi ia memang


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak ingin mengambil keputusan. Ia akan membuat
pertimbangan-pertimbangan sesuai dengan keterangan-
keterangan yang didengarnya dari kakek Warsi dan dari Ki
Saudagar. 11 SH. Mintardja Dalam pada itu, ketika malam menjadi larut, maka
orang-orang yang berbincang itu pun merasa telah cukup.
Mereka pun kemudian dipersilakan beristirahat di bilik-
bilik yang sudah disediakan. Saudagar emas itu pun
bermalam pula di rumah Ki Wi radana sebagaimana pernah
dilakukannya sebelumnya. Namun, ketika malam menjadi sepi, dan para tamu
Ki Wiradana sudah berada dibalik bilik masing-masing,
maka Ki Wiradana masih duduk di ruang dalam bersama istrinya. "Warsi," berkata Ki
Wiradana kemudian, "Kita
sudah mendengar keterangan
kakek tentang kemungkinan-
kemungkinan yang dapat kita
lakukan. Bagaimana menurut
pendapatmu?" "Segalanya terserah saja
kepada kakang," berkata Warsi sambil menunduk, "Mana
yang baik bagi kakang, aku merasa akan baik juga bagiku."
"Tetapi persoalan ini adalah persoalan yang gawat Warsi.
Bukan saja menyangkut aku dan kau. Tetapi menyangkut
Tanah Perdikan ini. Jika aku mengambil keputusan untuk
menghindari kekuasaan Pajang dan menyatukan diri
dengan Jipang, maka ada beberapa kemungkinan dapat
terjadi. Mungkin Pajang akan datang untuk menghukum
Tanah Perdikan ini. Menangkap aku dan bahkan mungkin
keluargaku. Kemudian merampas Tanah Perdikan ini untuk
selama-lamanya," berkata Wiradana dengan sungguh-
12 SH. Mintardja sungguh. "Tetapi jika kita tidak bergabung dengan Jipang
seperti yang dikatakan oleh kakekmu itu, nasib Tanah
Perdikan ini agaknya lambat laun juga akan sama saja.
Tetapi sudah barang tentu tidak akan terjadi kekerasan
sebagaimana jika kita dengan serta merta memisahkan diri
dari Pajang. Sebab dengan demikian kita akan dapat disebut
sebagai pemberontak."
Warsi menarik nafas dalam-dalam. Ia sendiri berada
dalam kebimbangan. Selama ini ia adalah istri yang
penurut, yang tidak banyak memberikan pendapat selain
menurut saja, meskipun dengan cara lain, cara yang sangat
lembut selalu memberikan tekanan yang tidak terlawan oleh
Wiradana. "Apakah aku dapat memberikan pendapatku dengan cara
yang selama ini aku pergunakan" pertanyaan itu mulai
bergetar di hatinya. Namun Warsi masih akan mencobanya. Jika ia
mengalami kesulitan dalam persoalan yang penting dan
gawat ini, maka terpaksa ia akan mempergunakan cara lain.
Ia sendiri sudah memutuskan, bahwa Wiradana memang
harus menempatkan diri dibawah kuasa Jipang.
Sementara itu karena Warsi tidak segera menjawab,
maka Ki Wiradana pun telah mendesaknya, "Aku
memerlukan pendapatmu Warsi."
Warsi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku hanya
seorang istri kakang. Segala sesuatunya memang terserah
kepadamu. Apa yang baik bagimu, tentu akan baik juga
bagiku. Karena itu, barangkali kakang dapat berbicara sekali
lagi dengan kakek. Kakang dapat minta pendapatnya. Apa
yang sebaiknya kita lakukan di Tanah Perdikan ini. Namun
sebenarnyalah aku kasihan melihat keadaanmu kaang.
Meskipun aku kurang mengerti, tetapi rasa-rasanya orang-
13 SH. Mintardja orang Pajang itu telah menganggap bahwa mereka dapat
berbuat sesuka hatinya terhadapmu. Sebagai seorang istri
aku hanya dapat merasakan sebagaimana kau rasakan.
Sementara ini aku pun mengerti, bahwa kau tidak lagi
menghormati Pajang sebagaimana sebelumnya. Namun
segalanya terserah, manakah yang baik bagi kakang."
Ki Wiradana mengerutkan keningnya. Seperti setiap kali
terjadi, kata-kata istrinya yang dikatakannya tidak dalam
nada pertimbangan selain sekadar pasrah itu memberinya
dorongan untuk mengambil keputusan. Namun demikian ia
sependapat, bahwa sebaiknya ia berbicara sekali lagi dengan
kakek Warsi. Tetapi rasa-rasanya Ki Wiradana itu sudah
mengerti bahwa Warsi sendiri agaknya tidak lagi
menginginkannya untuk tetap berkiblat kepada Pajang,
tetapi Warsi tidak berani mengatakannya dengan terus
terang. Tetapi Ki Wiradana tidak ingin mengganggu kakeknya
yang sedang beristirahat. Karena itu maka segalanya yang
menyumbat dadanya ditahankan sampai keesokan harinya.
Demikianlah, ketika Ki Wiradana dan tamu-tamunya
duduk di sebuah amben besar di pagi harinya, menghadapi
mangkuk-mangkuk minuman panas, rasa-rasanya ia tidak
sabar lagi menunggu. Karena itu, maka Ki Wiradanalah
yang kemudian membuka pembicaraan tentang
kemungkinan untuk melepaskan diri dari Pajang dan
bergabung dengan Jipang. "Tetapi bagaimana jika Pajang itu datang dengan
pasukan segelar sepapan?" bertanya Ki Wiradana.
Kakek Warsi itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Semuanya akan dapat diperhitungkan sebaik-baiknya.
Sudah barang tentu cucu tidak akan dengan serta merta
mengumumkan, bahwa Tanah Perdikan Sembojan tidak lagi
14 SH. Mintardja berada dibawah kuasa Adipati Pajang. Kita akan
melakukannya dengan diam-diam seolah-olah tidak terjadi
sesuatu. Namun sementara itu, kita membuat hubungan
dengan Jipang. Baru setelah Jipang menyatakan siap
melindungi Tanah Perdikan ini, maka baru kita akan
menyatakannya secara terbuka. Sementara itu, antara
Jipang dan Pajang sudah tidak ada lagi pengikatnya yang
akan dapat mengambil keputusan. Pada saat Demak masih
berdiri, maka persoalan yang timbul antara dua Kadipaten,
akan dicari penyelesaiannya di Demak. Tetapi kini tidak ada
lagi kekuasaan Demak itu. Sedangkan siapakah yang akan
menggantikannya, masih dalam persoalan. Bahkan
mungkin kekuasaan Demak akan beralih ke Jipang karena
Arya Penangsang memang berhak atas kekuasaan itu,"
Kakek Warsi pun berhenti sejenak, sementara itu ayah
Warsi yang mengaku sebagai saudagar itu pun berkata,
"Aku mengerti. Jika aku diijinkan memberikan pendapatku,
aku setuju dengan keterangan Ki Randukeling. Tidak ada
yang dapat diharapkan lagi dari Pajang. Apalagi ketika pada
saat terakhir aku sempat melihat Jipang meskipun hanya
dalam waktu dua hari. Ternyata kekuatan Jipang jauh
melampaui kekuatan Pajang. Jika terjadi sesuatu,
maksudku jika terjadi pertentangan sehingga
mengakibatkan perang maka tidak ada kekuatan yang akan
dapat mengimbangi Jipang. Kecuali itu, Arya Penangsang
adalah seseorang yang tidak ada duanya di Demak. Apalagi
dibandingkan dengan Adipati Hadiwijaya dari Pajang.
Karena itu, menurut pendapatku, jalan seperti yang
dikatakan oleh Ki Randukeling itu akan dapat ditempuh
oleh Tanah Perdikan ini, sementara itu, latihan-latihan bagi
para pengawal Tanah Perdikan dapat ditingkatkan."
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Hampir di luar
sadarnya ia memandang laki-laki yang disebut ayah oleh
15 SH. Mintardja Warsi, sehingga orang itu pun kemudian berdesis, "Agaknya
memang tidak ada pilihan lain yang lebih baik."
Pendapat orang-orang itu benar-benar telah
menjeratnya. Namun demikian ia masih juga bertanya
kepada Warsi, "Bagaimana pendapatmu Warsi. Kau lihat,
orang-orang yang aku anggap mempunyai pengetahuan dan
pengalaman ini berpendapat, bahwa sebaiknya kita
meninggalkan Pajang dan berpihak kepada Jipang."
Warsi menundukkan kepalanya. Namun katanya, "Aku
tidak dapat memberikan pertimbangan apapun kakang,
karena aku memang tidak mengerti. Tetapi disini ada kakek
dan ada ayah. Sementara itu Ki Saudagar itu pun memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang luas tentang Kadipaten-
kadipaten yang berada di luar Pajang. Mereka telah
memberikan pertimbangan mereka, sehingga segala
sesuatunya kakanglah yang dapat memutuskannya. Bagiku,
mana yang menguntungkan bagi kakang dan Tanah
Perdikan ini adalah yang paling baik. Jika menurut kakang
Jipang memberikan lebih banyak kemungkinan bagi
kebaikan Tanah Perdikan ini, maka aku pun hanya
mengikut saja." Ki Wiradana mengangguk-angguk. Meskipun Warsi tidak
menentukan, tetapi Ki Wiradana menjadi semakin mantap.
Karena itu maka katanya, "Kakek. Jika pertimbangan kakek
dan ayah demikian, diperkuat oleh keterangan Ki Saudagar,
maka aku pun tidak mempunyai pilihan lain. Tetapi dengan
keterangan, bahwa perpindahan kiblat itu tidak akan
menimbulkan kesulitan bagi Tanah Perdikan ini jika Pajang
menggunakan kekerasan."
"Aku akan membantu cucu," berkata Ki Randukeling.
"Aku mempunyai hubungan dengan orang-orang Jipang.
Aku akan minta kepada mereka untuk melindungi Tanah
16 SH. Mintardja Perdikan ini. Sementara itu para pengawal Tanah Perdikan
ini sendiri harus mendapat latihan-latihan yang sungguh-
sungguh. Pada saatnya Pajang tidak akan berani
mengirimkan pasukannya keluar, jika mereka merasa
terancam oleh pasukan Jipang."
"Tetapi Jipang letaknya cukup jauh kakek," berkata
Wiradana. "Tetapi Jipang dapat mengirimkan pasukannya segelar
sepapan mendekati Pajang. Maka Pajang akan selalu
merasa terancam bahaya," berkata kakeknya.
Wiradana mengangguk-angguk. Agaknya kakeknya tidak
asal saja mengutarakan pendapatnya. Tetapi ia pun
mempunyai pertimbangan-pertimbangan berdasarkan
nalar. Sementara itu kakeknya berkata, "Jipang harus
menempatkan pasukannya disebelah Barat Pajang agar
perhatian mereka selalu tertuju ke Barat. Tidak ke Timur."
Dengan demikian, pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikan Sembojan itu telah mengambil satu keputusan.
Namun keputusan itu akan tetap merupakan rahasia sampai
saatnya Tanah Perdikan Sembojan mampu menghadapi
kemungkinan Pajang mempergunakan kekerasan, dengan
bantuan Jipang. Baru kemudian Tanah Perdikan Sembojan
akan menengadah wajahnya sambil berkata, "Pajang aku
tidak memerlukan pengukuhanmu. Aku dapat berdiri tanpa
Pajang." Dalam pada itu, kakek Warsi itu pun kemudian berkata,
"Jika kau sudah bulat Wiradana, maka biarlah aku segera
mulai dengan langkah-langkah berikutnya. Tetapi aku
berpesan kepada semuanya yang mendengar keputusan ini
untuk tetap merahasiakannya. Kau juga Warsi. Kau tidak
boleh lupa membicarakannya jika kau sedang berkumpul
17 SH. Mintardja dengan perempuan-perempuan lain. Tidak seorang pun
boleh mengetahuinya."
"Baik kakek," jawab Warsi. "Aku akan selalu
mengingatkannya." "Sementara ini segalanya dapat berjalan sebagaimana
biasanya. Tidak ada perubahan-perubahan yang boleh
nampak," berkata Ki Randukeling selanjutnya.
"Ya," berkata Saudagar, "Aku pun akan melanjutkan
usahaku menjebak perampok itu."
"Tetapi bagaimana jika mereka justru orang-orang
Jipang?" bertanya Wiradana.
"Tidak apa-apa. Mereka harus ditangkap. Seperti aku
katakan, sikap kalian tidak boleh berubah dengan serta
merta," sahut Ki Randukeling.
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Namun ia berharap
bahwa keadaan Tanah Perdikan Sembojan akan mnejadi
lebih baik. Menurut ingatannya, sejak ayahnya menjadi
Kepala Tanah Perdikan di Sembojan, Pajang memang tidak
pernah memberikan bimbingan apapun juga.
Diserahkannya segala sesuatunya kepada ayahnya untuk
mengerjakan. Namun pada saat-saat tertentu, Pajang
menghendaki Tanah Perdikan Sembojan membayar pajak
berwujud apa saja yang dapat diserahkan. Bukan saja hasil
bumi dan ternak. Tetapi juga uang. Sehingga dengan
demikian, maka menurut penglihatan Ki Wiradana
kemudian setelah ia mendapat keterangan dari kakek
Warsi, Pajang hanya dapat memeras tanpa dapat
memberikan apa-apa. Ternyata keputusan Ki Wiradana itu ditanggapi dengan
sungguh-sungguh oleh Ki Randukeling. Sebagai pengikut
Arya Penangsang yang setia, maka ia tidak mau kehilangan
18 SH. Mintardja kesempatan itu. Laporan tentang sikap Ki Wiradana itu
harus segera sampai kepada para pimpinan di Jipang,
terutama Patih Mantahun. Namun sebelum kakek Warsi itu berada di Tanah
Perdikan Sembojan, ia memang sudah berhubungan

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan petugas sandi dari
Jipang. Orang itu harus berada pula di Sembojan dan
pada suatu saat harus menemuinya. Sebenarnyalah ketika Ki Randukeling itu pada satu
pagi yang cerah berjalan-
jalan di jalan bulak di antara
tanaman padi yang subur, seseorang telah berjalan pula
searah di belakangnya. Namun orang itu berjalan lebih
cepat, sehingga semakin lama jarak di antara keduanya
semakin dekat. Ketika orang itu kemudian berada tiga langkah
dibelakang Ki Randukeling, maka orang itu bergumam,
"Apakah aku berbicara dengan Ki Randukeling?"
Ki Randukeling berpaling. Dilihatnya seorang laki-laki
muda berwajah cerah. Laki-laki yang bertubuh tegap kekar,
namun sama sekali tidak menunjukkan sifat dan tingkah
laku yang garang. Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kau Rangga Gupita?"
19 SH. Mintardja Laki-laki muda itu tersenyum. Katanya, "Aku mengikuti
Ki Randukeling dari ujung bulak ini."
"Sejak kapan kau berada di Tanah Perdikan ini?"
bertanya Ki Randukeling. "Sesuai dengan pesan Ki Randukeling," jawab laki-laki
yang disebut Rangga Gupita.
"Baiklah. Aku memang memerlukan kau segera," berkata
Ki Randukeling. "Kau akan bersamaku ke rumah Ki
Wiradana. Dan aku akan menyebutmu sebagai cantrikku
yang menyusul aku, karena seisi padepokanku di Gunung
Kukusan sudah menungguku."
"Terserah saja kepada Ki Randukeling," jawab Rangga
Gupita. "Untuk selanjutnya aku hanya akan menyebut namamu
saja. Tidak dengan gelarmu," berkata Ki Randukeling.
"Mana yang baik bagi kita di daerah yang masih belum
aku kenal betul ini," jawab Rangga Gupita.
"Baiklah," jawab Ki Randukeling. Lalu katanya,
"Sebenarnyalah usahaku ternyata telah berhasil. Aku dapat
membujuk Ki Wiradana untuk menempatkan dirinya
dibawah pengaruh Jipang. Tanah Perdikan ini letaknya
memang agak jauh dari Pajang. Tetapi arahnya akan
memberikan kemungkinan yang baik. Sementara itu, Jipang
juga akan menempatkan pasukannya di sebelah barat
Jipang." "Kau harus segera menyampaikan laporan kepada Ki
Patih Mantahun. Yang perlu segera dilakukan adalah
mengirimkan beberapa orang perwira yang akan melatih
anak-anak muda Tanah Perdikan ini, agar pada saatnya
dapat dipersiapkan untuk menghadapi Pajang, di samping
20 SH. Mintardja prajurit Jipang yang akan dikirim kelak. Namun dengan
kekuatan Tanah Perdikan ini, maka Jipang akan dapat
menghemat prajuritnya, karena Jipang tentu akan
menghadapi kekuatan-kekuatan lain," berkata Ki
Randukeling. "Tetapi kekuatan yang paling besar adalah kekuatan
Pajang," sahut Rangga Gupita.
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Namun katanya,
"Tanah Perdikan ini juga akan dapat memberikan dukungan
kekuatan menghadapi Pajang."
Rangga Gupita mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
sependapat dengan Ki Randukeling. Dan aku akan segera
melakukannya. Tetapi apakah aku perlu singgah di rumah
Ki Wiradana?" "Kau belum mengenalnya. Kau perlu berkenalan dengan
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan itu," berkata Ki
Randukeling. "Tetapi sebagai cantrikku. Cantrik seorang
pertama di Gunung Kukusan."
"Baiklah. Aku akan berkenalan dengan Ki Wiradana.
Tetapi kenapa aku harus diebut sebagai cantrik Gunung
Kukusan" Apakah ada salahnya jika aku menyebut diriku
seorang prajurit dari Jipang" Atau barangkali lebih lengkap
lagi bahwa aku berada disini dalam tugas sandi?" berkata
Rangga Gupita. "Kita masih belum yakin akan sikap Ki Wiradana.
Nampaknya memang masih belum mantap. Tetapi untuk
sementara kau dapat menyebut dirimu cantrik Gunung
Kukusan. Pada saatnya nanti kau akan mengatakan yang
sebenarnya," jawab Ki Randukeling.
"Jika demikian, maka aku harus menyesuaikan sikapku
dan barangkali pakaianku?" bertanya Rangga Gupita.
21 SH. Mintardja "Bagaimana dengan pakaianmu" Kau sudah memakai
pakaian seorang petani. Apalagi" Apakah pakaian cantrik
itu harus lain dan barangkali lebih buruk dari pakaian
seorang petani seperti yang kau pakai?" berkata Ki
Randukeling. "Memang kesannya, seorang cantrik adalah seseorang
yang hidup dalam dunia tersendiri. Disebuah padepokan
tanpa menghiraukan kehidupan di luar lingkungannya,"
berkata Rangga Gupita. "Aku adalah seorang pertapa. Tetapi jika aku keluar dari
padepokan, maka aku akan menyesuaikan diri dengan
tujuanku sehingga aku akan dapat menempatkan diri
dimanapun dalam hubungan antar manusia," berkata Ki
Randukeling. "Tetapi aku pernah melihat seorang pertapa dalam
pakaian kusut yang sekadar dililitkan ditubuhnya berada di
jalan-jalan raya di Jipang," berkata Rangga Gupita.
"Ah, tentu tidak. Tetapi mungkin juga, bahwa pertapa
yang demikian benar-benar telah melepaskan diri dari
hubungan lahiriah dengan dunia ini," berkata Ki
Randukeling. "Itulah bedanya antara mereka dengan aku.
Aku masih menganggap diriku yang pertapa ini, sebagian
dari lingkunganku. Aku masih berpikir tentang Tanah
Perdikan Sembojan agar menjadi bagian dari Jipang dan
melepaskan diri dari Pajang. Aku masih mempunyai pilihan
bahwa kekuasaan Demak sebaiknya kembali saja kepada
keturunan Sekar Seda Lepen, dan tidak jatuh ke tangan
keturunan Trenggana," jawab Ki Randukeling.
Rangga Gupita mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Aku mengerti. Dan kini Ki Randukeling justru sedang sibuk
melibatkan diri dalam persoalan besar yang terjadi di
Jipang." 22 SH. Mintardja "Ya. Demikianlah memang yang terjadi," jawab Ki
Randukeling. Rangga Gupita tersenyum. Tetapi ia tidak mengatakan
sesuatu. Demikianlah keduanya pun kemudian berbelok dan
melingkar lewat jalan sempit kembali ke padukuhan induk.
Ketika mereka mamasuki halaman rumah Ki Wiradana,
maka orang-orang yang melihatnya menjadi heran, bahwa
pertapa itu datang dengan seseorang.
Namun Ki Randukeling kemudian menjelaskan, bahwa
orang itu adalah salah seorang cantriknya yang
menyusulnya. "Namanya Gupita," berkata Ki Randukeling kepada Ki
Wiradana. Gupita pun diterima dengan baik, sementara Ki Randukeling
pun kemudian memanggil Ki Wiradana, Warsi dan laki-laki yang
disebut sebagai ayah Warsi, sementara ia pun menyuruh
memanggil saudagar emas berlian yang sedang berada di
penginapannya dalam usahanya untuk menjebak dua orang
perampok. "Dua orang sedang pergi ke penginapan itu," Ki Wiradana
memberitahukan kepada kakeknya ketika mereka sudah
berkumpul di ruang tengah.
"Kita menunggu sejenak," berkata Ki Randukeling.
Sementara itu Warsi telah menghidangkan minuman hangat
dan makanan. Namun sebenarnyalah bahwa ia telah mengerti
apa yang akan dikatakan oleh kakeknya itu.
Sejenak kemudian, maka saudagar emas berlian yang
menginap di penginapan itu pun telah datang pula dan duduk di
antara mereka. Dengan kerut didahinya ia bertanya, "Apakah ada
sesuatu yang penting dan harus segera ditangani?"
23 SH. Mintardja "Tidak terlalu penting Ki Saudagar," jawab Ki Randukeling.
Bahkan ia pun masih sempat bertanya, "Bagaimana dengan
perampok itu?" "Mereka sama sekali tidak menampakkan dirinya," jawab Ki
Saudagar itu. "Ternyata mereka pun mempunyai perhitungan," berkata Ki
Randukeling. Lalu, "Tetapi baiklah. Aku akan mengatakan
kepentinganku kali ini," kakek Warsi itu berhenti sejenak, lalu
katanya, "Seorang cantrik dari padepokan telah menyusul.
Mereka menganggap bahwa aku telah pergi terlalu lama."
"Jadi kakek akan kembali?" bertanya Ki Wiradana.
"Ya. Aku akan kembali ke Gunung Kukusan. Tetapi aku pun
akan langsung berhubungan dengan Jipang. Aku akan
menyampaikan keputusan kalian. Namun aku berpesan, jangan
melakukan sesuatu yang dapat menarik perhatian. Jangan
membocorkan rahasia ini," jawab pertapa dari Kukusan itu.
"Lalu apakah yang dapat aku kerjakan disini?" bertanya Ki
Wiradana. Ki Randukeling mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Kau tetap dapat meningkatkan latihan-latihan bagi
pengawalmu menurut kemampuan tenaga yang ada. Agaknya
hanya kau sendirilah yang akan mampu memberikan latihan-
latihan itu." Ki Wiradana mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya kakek. Aku
disini seolah-olah hanya seorang diri. Aku harus melakukan
semuanya." "Apakah ayah cucu juga melakukan sebagaimana kau lakukan
sekarang?" bertanya Ki Randukeling.
"Ya kakek. Ayah juga berbuat segala sesuatunya sendiri. Ada
beberapa pengawal kepercayaannya. Tetapi kemampuan dan
ilmunya tidak lebih baik dari yang kita lihat sekarang," jawab Ki
Wiradana. 24 SH. Mintardja Dalam pada itu, tiba-tiba saja saudagar emas dan berlian itu
berkata, "Ki Wiradana. Jika Ki Wiradana tidak berkeberatan, aku
bersedia membantu. Bukankah aku juga akan menjadi penghuni
Tanah Perdikan ini jika aku sudah mendapatkan sebidang tanah
disini" Bukankah juga menjadi kewajibanku untuk ikut serta
berbuat sesuatu bagi Tanah Perdikannya?"
Ki Wiradana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Terima kasih Ki Saudagar. Aku sangat berterima kasih.
Dengan demikian maka tugasku akan menjadi sedikit ringan."
Laki-laki yang disebut ayah Warsi itu pun hampir saja ikut
pula menyediakan diri. Tetapi Warsi menggamitnya, sehingga
orang itu mengurungkan niatnya.
Namun dalam pada itu, kakek Warsi itu pun berkata,
"Wiradana. Jika aku berhasil berhubungan dengan Jipang, maka
aku akan minta beberapa orang untuk melatih para pengawal di
sini. Mereka adalah perwira-perwira prajurit Jipang yang
memang mempunyai wewenang untuk menempa para prajurit.
Dengan demikian maka para pengawal Tanah Perdikan ini akan
mempunyai kemampuan seorang prajurit yang pilih tanding.
Dalam keadaan yang demikian dibantu oleh sekelompok prajurit
Jipang yang sebenarnya, maka Pajang tidak akan dapat berbuat
apa-apa atas Tanah Perdikan ini, sementara pasukan Jipang yang
lain mengancam Pajang dari arah Barat."
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Ia berharap bahwa segala
sesuatunya dapat berjalan dengan baik sehingga Tanah Perdikan
Sembojan akan benar-benar mampu tegak di luar kekuasaan
Pajang yang penilaian Ki Wiradana, tidak banyak menghiraukan
kepentingan Tanah Perdikan itu, selain dengan tekanan telah
memungut pajak yang besar.
Demikianlah, maka kakek Warsi itu pun telah menentukan,
bahwa di pagi hari berikutnya ia akan meninggalkan Tanah
Perdikan itu kembali ke Gunung Kukusan dan apabila mungkin
akan berhubungan dengan Jipang untuk menyampaikan
maksudnya. 25 SH. Mintardja Namun sebelum meninggalkan Tanah Perdikan, kakek Warsi
itu sempat memberikan pesan-pesan yang sangat berarti bagi Ki
Wiradana untuk menyusun latihan-latihan bagi para
pengawalnya. Bahkan Ki Randukeling itu telah memberikan petunjuk
tentang tataran para pengawal.
"Ada tiga tataran," berkata Ki Randukeling. "Tataran pertama,
adalah mereka yang memang menyatakan diri sebagai pengawal.
Jumlahnya memang tidak terlalu banyak. Tetapi mereka adalah
pusat kekuatan Tanah Perdikan ini. Mereka harus tidak
merangkap pekerjaan lain, kecuali mengkhususkan diri dalam
tugasnya sebagai pengawal. Bahkan sawah ladang mereka pun
harus mereka serahkan untuk digarap orang lain. Kepada mereka
Ki Wiradana dapat memberikan penghasilan tetap bagi hidup
mereka dan jika sudah berkeluarga, bagi keluarga mereka.
Tataran kedua adalah anak-anak muda yang menyatakan diri
bersedia menjadi pengawal di padukuhan masing-masing. Tetapi
mereka tidak mengkhususkan diri. Mereka masih tetap dalam
kerja mereka sehari-hari. Mereka harus bekerja di sawah dan
ladang bagi hidup mereka dan keluarga mereka. Namun pada
saat tertentu mereka mendapat tugas-tugas pengawalan, sebagai
kewajiban mereka terhadap Tanah Perdikan. Mereka pun harus
mendapat latihan-latihan yang baik sebagaimana seorang prajurit


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meskipun tidak akan sejajar dengan para pengawal khusus.
Sedangkan tataran yang ketiga adalah semua laki-laki di Tanah
Perdikan ini. Semua orang akan mendapat kewajiban untuk
berbuat sebagaimana para pengawal jika Tanah Perdikan ini
terancam bahaya. Tegasnya jika Tanah Perdikan ini diserang dari
luar." Ki Wiradana mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih
kakek. Aku akan mencoba menyusun tataran pengawal di Tanah
Perdikan ini sebagaimana kakek katakan. Mudah-mudahan aku
berhasil." "Latihan-latihan harus segera kau mulai. Kau tidak perlu
menunggu kedatangan para perwira. Justru dengan demikian,
26 SH. Mintardja maka tidak akan nampak perubahan yang serta merta dalam
latihan-latihan para pengawal di Tanah Perdikan ini," berkata
kakek Warsi kemudian. Pesan ini ternyata sangat berarti bagi Ki Wiradana. Bahkan
telah menumbuhkan gejolak di dalam dadanya, mendorong
tekadnya untuk membuat Tanah Perdikan Sembojan sebagai
Tanah Perdikan yang kuat dan tidak tergoyahkan. Bukan saja
menghadapi Pajang, tetapi juga menghadapi orang-orang
Sembojan sendiri yang nampaknya ada beberapa pihak yang
tidak dengan ikhlas melakukan perintah-perintahnya dan bahkan
menunjukkan gejala untuk menentangnya.
Sepeninggal kakek Warsi di saat yang telah direncanakan
maka Ki Wiradana pun segera berkemas. Namun ia merasa
sedikit heran, bahwa ternyata kakek Warsi adalah orang yang
agaknya memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas. Ia
bukan seorang pertama yang berpandangan sesempit
padepokannya. Bahkan menurut pendapat Ki Wiradana, ayah
Warsi pun bukan seorang yang terlalu bodoh meskipun ia tidak
lebih dari seorang penggendang.
"Nampaknya Warsi benar-benar tersesat ketika ia menjadi
penari jalanan. Bagaimanakah pendapat kakeknya jika ia melihat
bahwa Warsi berjalan beriringan dalam pakaian penari
disepanjang jalan di malam hari, kemudian menanggapi
kekasaran laki-laki dalam janggrung yang dibaui oleh tuak?"
berkata Ki Wiradana di dalam hatinya.
Tetapi Ki Wiradana tidak mengatakan kepada siapapun juga
pertanyaan yang terbersit di dalam hatinya itu.
Dalam pada itu, sepeninggal kakek Warsi, Wiradana dan Ki
Saudagar benar-benar telah bersiap untuk menyusun pasukan
pengawal Tanah Perdikan dalam tataran sebagaimana dikatakan
oleh kakek Warsi. Meskipun yang ada sebenarnya di Tanah
Perdikan Sembojan sudah mirip sebagaimana dikatakan oleh Ki
Randukeling, namun Wiradana harus menegaskan, yang
27 SH. Mintardja manakah pengawal khusus dan yang manakah pengawal dalam
tataran yang lebih luas. Sementara itu, Warsi yang
berbicara dengan laki-laki yang
disebut ayahnya telah menggeram, "Kau jangan ikut-
ikutan. Hampir saja aku lupa
menampar mulutmu. Kau adalah seorang pengendang.
Jangan merasa dirimu memiliki
ilmu untuk ikut melatih para
pengawal di Tanah Perdikan
ini." Laki-laki itu hanya mengangguk saja. "Nah, hati-hatilah menempatkan dirimu sebagaimana aku harus sangat
berhati-hati menempatkan diriku," berkata Warsi kemudian.
"Berpura-pura untuk waktu yang sangat lama kadang-kadang
terlupa juga," gumam laki-laki itu.
"Jika kau merusakkan permainan ini, aku bunuh kau," geram
Warsi. Laki-laki itu tidak menjawab. Tidak ada gunanya berbantah
dengan Warsi. Bahkan mungkin Warsi benar-benar akan
menampar mulutku. Demikianlah, Ki Wiradana telah bekerja keras untuk
memperbaiki susunan tataran pengawalnya. Ia memang tidak
terlalu banyak harus membuat perubahan-perubahan.
Para pengawal yang ditunjuk untuk menjadi alas kekuatannya
itulah yang kemudian dianggapnya sebagai pengawal khusus.
Mereka sejak sebelumnya memang sudah menerima hadiah dan
pemberian dari Ki Wiradana lebih banyak dari para pengawal
28 SH. Mintardja yang lain dengan harapan bahwa mereka akan patuh dan selalu
melakukan perintahnya. "Jika mungkin, mereka sebaiknya ditempatkan di barak-barak
tertentu. Meskipun tidak semua dari para pengawal khusus itu.
Tetapi inti dari pasukan khusus yang mampu bergerak setiap saat
dengan cepat. Katakanlah, mereka adalah pasukan pengawal
berkuda dari Tanah Perdikan ini."
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Namun dengan demikian,
ia akan memerlukan anggaran yang banyak untuk kepentingan
para pengawalnya. "Pajak di Tanah Perdikan ini terlalu rendah," berkata Ki
Saudagar itu kepada Ki Wiradana. "Maksudku bagi mereka yang
berkecukupan, pajak dapat dinaikkan serba sedikit. Ki Wiradana
jangan menyebut bahwa mereka dikenakan pajak lebih banyak,
tetapi mereka harus membayar iuran bagi peningkatan
kesejahteraan Tanah Perdikan ini, termasuk segi keamanannya.
Ki Wiradana dapat sedikit memberikan gambaran apa yang
terjadi di Demak, sehingga dalam keadaan yang tidak menentu
ini, mungkin terjadi kekisruhan," Ki Saudagar itu berhenti
sejenak. Selanjutnya, "Orang-orang jahat, akan dapat
memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan diri mereka
sendiri. Apalagi jika perhatian para Adipati tertuju kepada
pengisian tahta yang kosong itu. Tetapi lebih parah lagi jika
terjadi benturan pendapat dan bahkan mungkin peperangan.
Tetapi sekali lagi aku peringatkan pesan Ki Randukeling, bahwa
Ki Wiradana untuk berpihak kepada Jipang adalah merupakan
satu keputusan yang masih sangat rahasia. Hanya orang-orang di
dalam rumah Ki Wiradana sajalah yang boleh mengetahui.
Pengawal yang paling dipercaya pun sebaiknya belum mendengar
tentang keputusan ini."
"Ya Ki Saudagar. Aku memang belum mengatakan kepada
siapapun juga," jawab Ki Wiradana.
"Bagus," jawab saudagar itu. "Sementara itu Ki Wiradana
dapat mengatur para pengawal sebaik-baiknya. Aku akan
29 SH. Mintardja membantu memberikan latihan-latihan bersama seorang
kawanku itu." "Terima kasih. Kita memang harus segera mulai," berkata Ki
Wiradana. "Semakin cepat semakin baik. Aku yakin bahwa Ki
Randukeling akan bergerak dengan cepat. Kita harus sudah siap
dengan susunan tataran para pengawal sebelum beberapa orang
perwira dari Jipang itu datang."
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Katanya, "Dalam waktu
sebulan aku akan sudah siap dengan susunan tataran para
pengawal sebagaimana dikehendaki oleh kakek dari Gunung
Kukusan. Aku tidak terlalu banyak membuat perubahan-
perubahan. Yang penting bagiku adalah justru penegasan, nama-
nama dari pasukan khusus dan nama-nama dari para pengawal
yang lain." Dengan demikian, maka Ki Wiradana telah memanggil
beberapa orang kepercayaannya. Dengan singkat ia menguraikan
keadaan yang mereka hadapi pada saat-saat terakhir, dengan
kosongnya tahta di Demak, maka mungkin akan terjadi
persoalan-persoalan yang tidak dikehendaki. Tetapi seperti yang
dipesankan Ki Randukeling dan Ki Saudagar, persoalan
hubungan antara Jipang dan Tanah Perdikan itu sama sekali
tidak disinggungnya. Demikianlah, maka dalam waktu yang terhitung singkat, Ki
Wiradana telah menyiapkan susunan tataran pada pengawal. Ia
telah membuat suatu barak yang akan menjadi barak para
pengawal khusus dari pasukan berkuda Tanah Perdikan
Sembojan. Dalam waktu yang singkat pula, setiap padukuhan harus
sudah mengirim nama-nama para pengawalnya.
Ki Saudagar ternyata mengagumi gerak Ki Wiradana yang
cepat itu. Sebagaimana dikatakannya, dalam waktu satu bulan
hanya lebih beberapa hari, semuanya telah tersusun rapi.
Meskipun barak yang khusus bagi pengawal berkuda masih
30 SH. Mintardja belum selesai sepenuhnya, tetapi sebagian dari pengawal berkuda
yang pada umumnya terdiri dari anak-anak muda yang belum
berkeluarga itu telah dapat mempergunakannya.
"Bagi mereka yang sudah berkeluarga akan tetap tinggal pada
keluarga masing-masing," berkata Ki Wiradana. "Tetapi mereka
harus mampu bergerak cepat dan berada di barak pasukan
pengawal berkuda dalam waktu pendek. Kecuali jika ada perintah
lain," berkata Ki Wiradana kepada para pengawal itu.
Dengan para pemimpin pengawal, Ki Wiradana telah
membicarakan cara yang akan ditempuh untuk memberikan
latihan-latihan yang lebih baik bagi mereka.
"Untuk sementara, aku dan Ki Saudagar akan menempa
mereka dari pasukan pengawal yang tinggal di barak dan mereka
yang termasuk pasukan pengawal khusus yang jumlahnya tidak
terlalu banyak. Hanya dalam waktu sekali sepekan, para
pengawal di padukuhan-padukuhan akan mendapat latihan-
latihan dari para pengawal khusus," Ki Wiradana menegaskan.
Dengan demikian, maka Tanah Perdikan Sembojan itu
nampaknya menjadi semakin hidup. Setiap hari mereka melihat
latihan-latihan yang dilakukan oleh para pengawal khusus.
Sedangkan sepekan sekali pasukan khusus itu justru mendapat
waktu untuk beristirahat dari latihan-latihan mereka, tetapi
mereka justru memberikan latihan-latihan kepada para pengawal
yang lain di padukuhan-padukuhan.
Tetapi di samping kegiatan para pengawal yang membuat
Tanah Perdikan Sembojan itu nampak bertambah perkasa,
terdengar di banyak sudut Tanah Perdikan orang yang mengeluh.
Ternyata peningkatan beban anggaran Tanah Perdikan Sembojan
itu harus dipikul oleh rakyat. Orang-orang yang dianggap
berkecukupan harus memberikan sumbangan khusus disamping
pajak mereka. Bahkan kemudian bukan saja mereka yang
berkecukupan. Pelaksanaannya ternyata telah menimbulkan
persoalan-persoalan tersendiri.
31 SH. Mintardja Batas antara mereka yang berkecukupan dan yang tidak
termasuk berkecukupan memang sulit untuk ditentukan. Apalagi
ada kesengajaan dari para petugas yang menentukan batas untuk
mengaburkan batasan yang tidak jelas itu, sehingga dengan
demikian maka sebagian besar dari orang-orang Tanah Perdikan
Sembojan itu dianggap saja berkecukupan. Sedangkan besar
kecilnya sumbangan yang harus mereka berikan itu pun
merupakan masalah yang kadang-kadang harus diatasi dengan
kekerasan. Namun dalam pada itu, rakyat kecil di Tanah Perdikan
Sembojan tidak dapat menolak ketentuan yang dipaksakan
kepada mereka oleh Ki Wiradana, pengemban tugas Kepala
Tanah Perdikan yang mempergunakan para pengawal khusus
sebagai alat untuk melaksanakan ketentuan itu. Yang dapat
mereka lakukan tidak lebih dari mengeluh dan bergeremang di
antara mereka. Sementara itu, Rangga Gupita telah membawa berita tentang
Tanah Perdikan Sembojan itu ke Jipang. Ketika ia langsung
menyampaikan masalahnya kepada Ki Patih Mantahun, maka Ki
Patih itu pun bertanya, "Apakah kau yakin bahwa Tanah Perdikan
itu benar-benar dapat dipercaya."
"Pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan adalah cucu Ki
Randukeling," jawab Rangga Gupita.
"Bawa Ki Randukeling kemari," berkata Ki Patih Mantahun.
"Ia berada di padepokannya, di Gunung Kukusan," jawab
Rangga Gupita. "Ia ingin mempersiapkan segala sesuatunya,
karena Ki Randukeling sendiri ternyata ingin tinggal untuk waktu
yang agak lama di Tanah Perdikan Sembojan. Sehingga karena
itu, maka ia harus mengatur padepokannya, agar selama ia tidak
berada di padepokan, segala sesuatunya dapat berjalan lancar."
"Katakan, bahwa Mantahun ingin berbicara langsung. Aku kira
ia akan menyediakan waktu, karena Ki Randukeling kadang-
kadang mempunyai pikiran yang menarik, sebagaimana
usahanya untuk menarik Tanah Perdikan Sembojan ke dalam
32 SH. Mintardja lingkungan perjuangan Kanjeng Adipati Jipang. Justru karena
kelak Sembojan yang menguntungkan dan tanahnya yang
menurut pendengaranku sangat subur," berkata Ki Mantahun.
"Sebagian tanahnya memang sangat subur," jawab Rangga
Gupita. "Tetapi baiklah. Aku akan menghubungi Ki Randukeling.
Mudah-mudahan ia cepat selesai dengan padepokannya sendiri."
Sebenarnyalah, bahwa Ki Randukeling sama sekali tidak
berkeberatan untuk pergi ke Jipang setelah ia selesai membenahi
padepokan yang akan ditinggalkannya untuk waktu yang
mungkin agak lama. Memang ada sesuatu yang ingin langsung
dibicarakannya dengan Ki Patih Mantahun tentang
kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan di Tanah
Perdikan Sembojan. Namun sambil menunggu kedatangan Ki Randukeling maka
para pemimpin di Jipang telah dapat membicarakan rencana
yang mapan bagi Tanah Perdikan Sembojan.
Dengan demikian, ketika Ki Randukeling benar-benar datang
menemui Ki Patih Mantahun bersama Rangga Gupita, maka
banyak persoalan yang sudah dapat disiapkan pemecahannya.
Dengan demikian maka tidak banyak lagi masalah-masalah yang
masih harus dipersoalkan.
"Yang perlu," berkata Ki Randukeling, "Jipang harus segera
mengirimkan beberapa orang perwira untuk memberikan


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

latihan-latihan kepada para pengawal di Tanah Perdikan. Dengan
demikian Tanah Perdikan itu akan dapat dipersiapkan, bukan
saja sebagai sumber persediaan makanan, tetapi sumber
kekuatan. Ki Patih mungkin tidak dapat memperkirakan, berapa
lama Kanjeng Adipati Arya Penangsang memerlukan waktu
untuk menyelesaikan perjuangannya."
"Kau benar Ki Randukeling," jawab Ki Patih Mantahun. "Kita
harus bersiap-siap untuk perjuangan yang lama."
"Bukankah sampai saat ini masih belum jelas, apa yang akan
terjadi?" bertanya Ki Randukeling.
33 SH. Mintardja "Para pemimpin di Demak, orang-orang tua yang berpengaruh
dan para Adipati sedang berbicara tentang kemungkinan-
kemungkinan yang paling baik bagi masa depan Tanah Perdikan
ini. Tetapi pembicaraan itu tidak akan berkeputusan. Kanjeng
Adipati di Jipang harus berpegangan kepada jalur kekuasaan
yang sebenarnya di Demak, karena terbunuhnya ayahanda
Adipati di Jipang telah menggeser jalur kedudukan Sultan di
Demak, dari keturunan Sekar Seda Lepen kepada keturunan
Trenggana," berkata Patih Mantahun.
"Tetapi apakah Adipati Jipang mendapat cukup dukungan?"
bertanya Ki Randukeling. "Memang mungkin dukungan itu masih harus diperjuangkan.
Tetapi itu merupakan bagian dari perjuangan Adipati Jipang
dalam keseluruhan," jawab Patih Mantahun. Namun kemudian,
"Tetapi alat perjuangan terakhir adalah siap di Jipang. Kami,
para pemimpin di Jipang sudah bertekad, bahwa alat perjuangan
terakhir, yaitu kekuatan senjata, telah cukup memadai untuk
melawan semua kekuatan yang mungkin akan bergabung,
termasuk Pajang. Apalagi para pengawal di Tanah Perdikan
Sembojan itu dapat dibina sebagaimana prajurit."
"Sejak sebelumnya mereka sudah mendapat latihan-latihan
yang tentu masih belum memadai. Tetapi setidaknya dapat
merupakan pemanasan dari usaha berikutnya, menempa mereka
menjadi prajurit-prajurit sebagaimana prajurit Jipang."
Ki Patih mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan mengirim
beberapa orang perwira segera."
"Sesudah aku berangkat ke Tanah Perdikan," berkata Ki
Randukeling. "Kapan kau berangkat?" bertanya Ki Patih.
"Besok aku akan kembali ke padepokan. Hanya untuk satu
malam. Kemudian aku akan langsung menuju ke Tanah Perdikan.
Bersama Rangga Gupita," jawab Ki Randukeling.
34 SH. Mintardja "Jika demikian, aku akan mengirimkan beberapa orang
perwira tiga hari mendatang. Mereka akan langsung pergi ke
Tanah Perdikan Sembojan," berkata Ki Patih.
"Perintahkan mereka menemui aku di Tanah Perdikan di
rumah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikannya," pesan Ki
Randukeling. "Tetapi ingat, jangan menarik perhatian orang-
orang kebanyakan. Dalam kelompok-kelompok kecil, yang
sebanyak-banyaknya terdiri dari tiga orang."
"Baik. Aku akan menuruti petunjukmu. Sementara itu,
persiapan yang lain pun telah dilakukan," berkata Ki Patih
Mantahun. "Sebaiknya Ki Patih mempersiapkan satu pasukan yang dapat
memancing perhatian orang-orang Pajang. Jika kekerasan itu
tidak dapat dihindari, maka biarlah sepasukan Jipang berada
disebelah barat Pajang untuk menarik perhatian mereka.
Sementara itu, Sembojan dapat mempersiapkan diri sebaik-
baiknya untuk menyerang Pajang dari arah Selatan," berkata Ki
Randukeling. "Kami akan sangat memperhatikan. Tetapi jika saatnya
datang, aku akan menghubungi lagi Ki Randukeling sambil
mengetahui sampai dimana persiapan yang dilakukan oleh
Sembojan," berkata Ki Patih.
Demikianlah, maka Ki Randukeling telah meninggalkan
Jipang. Ia tidak merasa perlu berhubungan langsung dengan
Arya Jipang, karena baginya Arya Jipang dan Ki Patih Mantahun
tidak banyak bedanya. Meskipun Patih Mantahun telah cukup tua
dilihat dari banyaknya umur, tetapi ia masih tetap seorang Patih
yang pikirannya sangat diperlukan oleh Arya Jipang. Bahkan
dalam umurnya yang semakin tua, bukan saja pikirannya yang
masih jernih, tetapi kemampuan ilmunya jarang ada duanya.
Sepeninggal Ki Randukeling, Ki Patih Mantahun telah
mempersiapkan beberapa orang perwira yang akan dikirim ke
Tanah Perdikan Sembojan. Menurut perhitungannya maka
agaknya duapuluh orang perwira yang berbobot akan dapat
35 SH. Mintardja membentuk satu pasukan yang kuat dalam waktu yang singkat di
Tanah Perdikan. Dengan demikian, maka Tanah Perdikan yang
semula menjadi daerah kuasa Pajang itu justru akan dapat
membayangi Pajang sendiri. Sementara pasukan Jipang yang
sebenarnya akan berada di sebelah Barat Pajang.
"Memang hanya Pajang yang perlu mendapat perhatian yang
sungguh-sungguh," berkata Mantahun di dalam hatinya.
Sebenarnyalah bahwa saingan yang terberat bagi Arya
Penangsang adalah Adipati Pajang Hadiwijaya. Meskipun
Hadiwijaya bukan menantu dari puteri tertua Sultan Trenggana,
tetapi ia adalah orang yang dianggap memiliki kemampuan
terbaik di antara keluarga Sultan Demak itu.
Meskipun demikian, Arya Penangsang tidak tanggung-
tanggung menghadapi keturunan Trenggana yang dianggapnya
telah merenggut tahta dari ayahnya. Sehingga dengan demikian,
dalam kekuasaan yang wajar, ia tentu bukan salah seorang dari
calon yang akan menggantikan Sultan Trenggana.
Dalam pada itu, Ki Patih Mantahun yang telah
mempersiapkan duapuluh orang perwira pilihan, telah
melaporkannya pula kepada Arya Penangsang bahwa Tanah
Perdikan Sembojan telah menyatakan diri berdiri dipihak
mereka. "Kau yakin?" bertanya Arya Penangsang.
"Hamba yakin Kanjeng Adipati," jawab Mantahun, "Karena
hamba telah bertemu langsung sahabat hamba yang bernama Ki
Randukeling." "Ya. Aku mengenal orang itu," potong Arya Penangsang.
"Nah, pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan
yang kecewa terhadap Pajang itu adalah cucu Ki Randukeling,"
jawab Patih Mantahun. "Bagus," jawab Arya Penangsang, "Kita harus menjadikan
Tanah Perdikan itu, kecuali alas penyediaan makan bagi
36 SH. Mintardja perjuangan jangka panjang, juga tenaga. Aku tidak berkeberatan
atas rencanamu tentang Tanah Perdikan itu."
"Hamba sudah menyiapkan duapuluh orang perwira terpilih,"
berkata Mantahun. "Biarlah mereka pergi," jawab Arya Penangsang. "Tetapi
mereka harus bekerja cepat. Mereka harus selalu menyesuaikan
diri dengan langkah-langkah yang akan aku ambil."
"Rangga Gupita berada di Tanah Perdikan itu pula. Ia adalah
seorang perwira dari pasukan sandi. Ialah yang akan mengatur
segala hubungan antara Tanah Perdikan Sembojan dengan
Jipang," jawab Mantahun.
"Tetapi apakah kita mungkin dalam waktu dekat, sebelum kita
sempat berbuat sesuatu. Pajang telah datang dengan pasukannya
untuk memaksa Tanah Perdikan itu kembali tunduk kepada
kuasa Pajang?" bertanya Arya Penangsang.
"Terhadap Pajang, Tanah Perdikan itu belum menyatakan
sikap. Baru kemudian, jika Tanah Perdikan itu sudah kuat, maka
barulah ia akan menyatakan dirinya berada dibawah
perlindungan Jipang. Sementara itu, Jipang telah menempatkan
pasukannya untuk membayangi Pajang dari arah Barat," jawab
Patih Mantahun. Arya Jipang mengangguk-angguk, "Aku memang merasa perlu
untuk menekan Pajang dengan menunjukkan kekuatan. Dengan
demikian maka Pajang akan menjadi cemas, sehingga dalam
pembicaraan-pembicaran yang akan berlangsung, Pajang tidak
akan bersitegang untuk mempertahankan keturunan Trenggana
memegang kendali pemerintahan di Demak," Arya Penangsang
itu berhenti sejenak, lalu, "Tetapi jika Tingkir itu tetap keras
kepala, maka apaboleh buat. Pajang harus dihancurkan."
Dengan demikian, maka Arya Penangsang pun telah merestui
rencana Patih Mantahun yang akan diterapkan di Tanah
Perdikan Sembojan dan Arya Penangsangpun tidak berkeberatan
untuk mengirimkan pasukannya ke sebelah Barat Pajang untuk
37 SH. Mintardja memancing perhatian Pajang dan sekaligus memberikan tekanan
dalam pembicaraan-pembicaraan yang diadakan di Demak.
Dengan ijin dan bahkan restu itu, berangkatlah duapuluh
orang perwira ke Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi seperti pesan
Ki Randukeling, maka duapuluh orang itu tidak pergi bersama-
sama dalam satu iring-iringan. Mereka terbagi dalam kelompok-
kelompok kecil yang terdiri dari dua atau tiga orang dengan
mengikuti jalan yang berbeda-beda, sehingga dengan demikian
kepergian mereka ke Tanah Perdikan tidak menarik perhatian
orang disepanjang jalan. Apalagi dalam kemelut yang sedang
terjadi di Demak, maka setiap keadaan akan selalu menjadi arah
pengamatan dari pihak yang lain.
Beberapa hari kemudian, Ki Randukeling yang telah berada di
Tanah Perdikan Sembojan itu lebih dahulu. Ia datang bersama
Rangga Gupita yang diakunya sebagai cantriknya.
Kedatangan Ki Randukeling memberikan harapan-harapan
baru bagi masa depan Tanah Perdikan itu, meskipun harus dilalui
melewati masa-masa ketegangan.
Demikian Ki Randukeling berada kembali di Tanah Perdikan,
maka ia pun segera menyampaikan kepada Ki Wiradana bahwa
hubungan dengan Jipang sudah terjalin.
"Dalam waktu dekat, akan datang para perwira yang mendapat
tugas untuk menyusun kekuatan di Tanah Perdikan ini. Orang-
orang Jipang percaya, bahwa disini, di Tanah Perdikan ini
tersedia tenaga yang cukup. Jika terdapat beberapa orang yang
dapat menyusunnya menjadi satu kekuatan yang teratur, maka
kekuatan Tanah Perdikan ini harus diperhitungkan," berkata Ki
Randukeling kemudian. "Terima kasih kakek," jawab Ki Wiradana. "Waktunya
memang menjadi semakin mendesak. Dalam waktu yang tidak
terlalu lama, Warsi akan melahirkan, sementara itu, sama sekali
tidak ada kabar dari Pajang tentang wisuda itu. Sehingga dengan
demikian maka keputusan untuk berpihak kepada Jipang akan
aku tunjukkan kepada Pajang."
38 SH. Mintardja "Tetapi jangan tergesa-gesa dan jangan bertindak sendiri. Kau
harus menyesuaikan langkahmu dengan tahap-tahap yang
dilakukan oleh Jipang menghadapi kemelut ini."
Ki Wiradana mengangguk-angguk, katanya, "Aku mengerti
kakek." "Nah, sejak sekarang kau dapat mempersiapkan orang-
orangmu. Duapuluh orang akan datang. Tidak hanya satu atau
dua orang, kau sadari jumlah itu" Duapuluh orang. Satu kekuatan
yang cukup besar bagi Tanah Perdikan ini. Dan mereka akan
membantumu menyusun pasukan pengawal di Tanah Perdikan
ini," berkata Ki Randukeling. "Bukankah dengan demikian Tanah
Perdikan ini akan menjadi Tanah Perdikan yang kuat?"
Ki Wiradana menjadi berdebar-debar. Namun ia pun merasa
bahwa ternyata ia tidak harus bekerja sendiri sebagaimana
dilakukan oleh ayahnya dahulu. Ia kini mempunyai beberapa
orang kawan. Dan bahkan duapuluh orang perwira dari Jipang
akan datang ke Tanah Perdikan ini.
Rencana kehadiran duapuluh orang perwira itu pun kemudian
diberitahukan oleh Ki Wiradana dalam satu pertemuan tertutup
para pemimpin pengawal Tanah Perdikan. Kepada mereka pun
Wiradana belum mengatakan, bahwa orang-orang yang bakal
datang itu adalah orang-orang dari Kadipaten Jipang. Ki
Wiradana hanya mengatakan, bahwa mereka adalah para sahabat
kakeknya. "Namun demikian, pada saatnya kalian memang harus
mengetahui langkah-langkah yang akan kami ambil kemudian,"
berkata Ki Wiradana. Keterangan Ki Wiradana itu memang menjadi bahan
pembicaraan para pemimpin pengawal. Mereka memang
berpengharapan untuk mendapatkan ilmu yang lebih tinggi.
Tetapi mereka juga ingin tahu, siapakah sebenarnya duapuluh
orang yang bakal datang. "Jika orang-orang itu sudah pasti berada di Tanah Perdikan
ini, maka barulah aku akan memberitahukan persoalan yang
39 SH. Mintardja sebenarnya kepada kalian," berkata Ki Wiradana kepada para
pemimpin pengawal yang agaknya selalu dibayangi oleh berbagai
macam pertanyaan itu. Wiradana menjadi gelisah menunggu kedatangan para perwira
seperti yang dikatakan oleh Ki Randukeling. Tetapi Ki
Randukeling berkata, "Mereka pasti akan datang. Mungkin hari
ini. Mereka tidak akan berjarak lebih dari dua hari dari
kedatanganku." Sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh Ki Randukeling,
maka orang pertama dan kedua telah datang pada hari itu.
Mereka langsung menuju ke rumah Ki Wiradana, disusul dengan
orang-orang berikutnya. Agar tidak menarik perhatian orang-orang Sembojan sendiri,
maka sebagian dari kuda-kuda mereka pun telah dibawa
langsung ke halaman belakang.
Ternyata dua puluh orang itu datang berurutan dalam jarak
waktu yang tidak terlalu dekat. Mereka memang menempuh jalan
yang berbeda atau kecepatan yang berselisih, sehingga tidak
menimbulkan kesan, bahwa orang-orang berkuda dalam
kelompok-kelompok kecil itu merupakan satu kesatuan.
Setelah kedua puluh orang itu lengkap berada di rumah Ki
Wiradana, maka mereka pun telah diterima dengan resmi oleh Ki
Randukeling. Kemudian Ki Randukeling menyerahkan
keduapuluh orang itu kepada Ki Wiradana.
"Ki Wiradana dapat memanfaatkan keduapuluh orang perwira
ini untuk membentuk satu pasukan yang kuat di Tanah Perdikan
ini," berkata Ki Randukeling. Lalu, "Segala sesuatunya terserah


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada Ki Wiradana. Tetapi keduapuluh orang ini mempunyai
pengetahuan dan pengalaman. Meskipun demikian, keputusan
terakhir tetap pada Ki Wiradana, karena pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikan disini adalah Ki Wiradana. Keduapuluh
orang itu tidak mencampuri pemerintahan di Tanah Perdikan ini.
Mereka datang untuk membantu Ki Wiradana. Tidak untuk
menyaingi pemerintahan Ki Wiradana."
40 SH. Mintardja Ki Wiradana pun kemudian menerima mereka dengan senang
hati dan penuh dengan harapan bagi masa depan Tanah Perdikan
itu. Untuk selanjutnya, keduapuluh orang itu akan ditempatkan
di beberapa rumah yang sudah disediakan didekat barak yang
sudah dibuat bagi para pengawal khusus.
Dengan kehadiran mereka, maka untuk selanjutnya Ki
Wiradana tidak merasa perlu lagi untuk merahasiakan hubungan
Tanah Perdikan itu dengan Jipang khusus terhadap para
pemimpin pengawal. Namun demikian, para pemimpin pengawal
itu harus merahasiakannya kepada orang-orang diluar
lingkungan mereka karena Tanah Perdikan Sembojan tidak ingin
Pajang segera melakukan tindakan seandainya mereka
mengetahui. Jika berita tentang keduapuluh orang itu tersebar
dan hubungan antara Tanah Perdikan Sembojan dengan Jipang
meluas diketahui, maka hal itu tentu akan segera sampai kepada
orang-orang Pajang. Karena itu orang-orang Sembojan harus
berusaha untuk menyimpan rahasia itu sejauh mungkin dan
menyesuaikan langkah-langkah mereka dengan langkah-langkah
yang diambil oleh Jipang menghadapi Demak dan Pajang.
Demikianlah dengan hati-hati, keduapuluh orang itu telah
dirempatkan di rumah-rumah yang sudah disediakan didekat
barak pada pengawal khusus. Sementara itu, Ki Wiradana telah
mengambil langkah-langkah selanjutnya.
"Kalian harus membantu aku," berkata Ki Wiradana. "Karena
itu maka kalian harus melakukan kewajiban kalian dengan
sebaik-baiknya. Keduapuluh orangyang datang itu merupakan
satu kesempatan yang sangat baik bagi Tanah Perdikan ini,
karena dengan demikian Tanah Perdikan ini akan dapat
menyusun satu pasukan pengawal yang kuat, melampaui
kekuatan Tanah Perdikan manapun juga. Kalian tidak lagi berada
pada tataran pengawal Tanah Perdikan sebagaimana para
pengawal Tanah Perdikan yang lain, tetapi kalian adalah prajurit-
prajurit pilihan yang berada pada tataran prajurit Demak
sendiri," Ki Wiradana berhenti sejenak, lalu, "Namun demikian
langkah-langkah yang aku ambil sekarang ini harus kalian
41 SH. Mintardja rahasiakan. Keduapuluh orang itu akan berbaur menjadi satu
dengan kalian, sehingga tidak akan nampak dari luar, bahwa
disini ada duapuluh orang perwira dari prajurit Jipang."
Para pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Mereka
mendengarkan penjelasan Ki Wiradana yang panjang lebar
dengan seksama, sehingga mereka pun mengerti dengan jelas
segala maksud dan tujuannya.
Demikianlah, sejak saat itu, Ki Wiradana menyerahkan
pasukan pengawalnya kepada para perwira itu untuk
mendapatkan latihan-latihan yang sebaik-baiknya.
Pada hari-hari pertama, keduapuluh orang itu berusaha untuk
mengetahui tingkat kemampuan para pengawal yang ada di barak
yang akan menjadi alas ukuran untuk mulai dengan latihan-
latihan berikutnya. Kemudian para perwira dari Jipang itu telah
membagi para pengawal menjadi duapuluh kelompok kecil.
Masing-masing sepuluh orang. Dengan demikian maka Tanah
Perdikan Sembojan akan mempunyai duaratus orang yang akan
menjadi inti kekuatan Tanah Perdikan itu.
Ternyata bahwa keduapuluh orang perwira itu pun telah
menentukan waktu latihan sebagaimana ditentukan oleh Ki
Wiradana sebelumnya. "Kami akan memberikan satu hari dalam sepekan kepada
kalian untuk melatih kawan-kawan kalian di padukuhan-
padukuhan, sehingga dengan demikian maka para pengawal di
padukuhan-padukuhan itu pun pada saatnya akan dapat
membantu kalian dengan sebaik-baiknya," berkata para perwira
itu kepada kelompoknya. Dengan demikian, maka mulailah Tanah Perdikan Sembojan
dengan satu masa yang sangat sibuk. Para pengawal benar-benar
harus menjalani latihan-latihan yang sangat berat, sebagaimana
latihan-latihan yang dilakukan oleh prajurit. Apalagi para perwira
itu menghadapi satu jumlah yang terhitung kecil bagi latihan-
latihan keprajuritan. 42 SH. Mintardja Namun demikian ternyata rahasia bagi kedatangan duapuluh
orang Jipang itu tetap merupakan rahasia yang hanya diketahui
oleh para pemimpin pengawal dan duaratus pengawal khusus
yang mendapat latihan yang sangat berat itu. Mereka dengan
rapat menyimpan rahasia itu sehingga para pengawal di
padukuhanpun tidak mengetahui, bahwa dalam latihan-latihan
pasukan pengawal khusus itu terdapat orang-orang Jipang.
Sementara itu, latihan- latihan bagi para pengawal
khusus itu memang sangat berat. Setiap pagi mereka
menempa kemampuan jasmaniah mereka dengan berlari-lari menempuh jarak
yang semakin lama semakin
panjang. Memanjat lereng-
lereng pegunungan atau meloncati bebatuan di sungai-
sungai. Mereka mendapat latihan-latihan dalam perkelahian pribadi maupun
dalam kelompok. Sementara itu
pada saat-saat tertentu, mereka
bersama-sama berlatih dalam
perang gelar yang mapan. Mereka pun diajari berkelahi dengan mempergunakan
bermacam-macam senjata. Senjata yang disediakan, bahkan
senjata apapun yang mereka ketemukan ditempat perkelahian itu
terjadi. Batu, potongan kayu, bambu dan bahkan lumpur dan
pasir. "Kalian harus menjadi seorang yang mampu mengatasi segala
persoalan yang dapat timbul di peperangan," berkata para
perwira itu kepada para pengawal.
Namun dalam pada itu, betapapun berat latihan-latihan yang
harus mereka jalani, mereka pun mendapat keseimbangan
43 SH. Mintardja dengan pemberian yang cukup banyak dari Ki Wiradana. Mereka
tidak perlu lagi memikirkan makan dan minum. Mereka juga
tidak memikirkan karena semuanya itu sudah disediakan oleh Ki
Wiradana. Bahkan mereka masih mendapat uang untuk
keperluan mereka yang lain.
Tetapi dengan demikian, maka semakin lama semakin
banyaklah rakyat yang mengeluh. Pasukan pengawal khusus itu
merupakan beban yang berat bagi Tanah Perdikan Sembojan.
Meskipun atas dasar beberapa pertimbangan Jipang justru telah
memberikan bantuan atas terbinanya pasukan pengawal khusus
itu bagi kepentingan Jipang, namun beban itu masih terasa
sangat berat di pundak rakyat Tanah Perdikan itu.
Meskipun demikian, keluhan mereka sama sekali tidak
didengar oleh para pemimpin di Tanah Perdikan. Apalagi yang
kemudian memegang kendali pemerintahan di Sembojan bukan
lagi Ki Wiradana dan para pembantu serta orang-orang tua di
Tanah Perdikan itu, tetapi justru orang-orang yang tidak dikenal
sebelumnya. Selain Ki Wiradana terdapat seorang pertapa yang
disebut kakek Nyi Wiradana. Kemudian seorang saudagar emas
dan berlian untuk menetap pula. Yang lain adalah seorang laki-
laki yang disebut ayah Nyi Wiradana meskipun wajah mereka
tidak mempunyai kemiripan sama sekali.
Sementara itu yang melaksanakan segala tugas di Tanah
Perdikan itu memang sudah bergeser pula. Para Bekel di
padukuhan-padukuhan tidak lagi bertugas apapun, karena
semuanya telah dilaksanakan oleh para pemimpin pengawal yang
bertanggung jawab langsung kepada Ki Wiradana. Para
pemimpin pengawal itu hanya menghubungi para bekel untuk
menentukan besar kecilnya pajak tambahan. Itu pun akhirnya
yang mengambil keputusan adalah para pemimpin pengawal itu
sendiri. Dalam pelaksanaan pemungutannya dilakukan oleh para
pemimpin pengawal itu. Dengan demikian, maka tata pemerintahan di Tanah Perdikan
Sembojan memang benar-benar telah bergeser.
44 SH. Mintardja Dalam pada itu, dari hari kehari, kandungan Warsi pun
menjadi semakin besar. Saat-saat kelahiran pun menjadi semakin
dekat. Namun demikian Ki Wiradana sudah tidak lagi
mempunyai keinginan untuk pergi ke Pajang menanyakan
kemungkinan wisuda bagi pengukuhan jabatannya. Apalagi
sampai sedemikian lama, Wiradana masih belum menemukan
ciri kekuasaan di Tanah Perdikan Sembojan yang berupa sebuah
bandul pada rantai yang terbuat dari emas dan bertatahkan
lukisan kepala burung elang.
Demikianlah, pada saat-saat Tanah Perdikan Sembojan sedang
sibuk meningkatkan kemampuannya di bidang kekuatan
pasukannya serta menunggu kelahiran anak Warsi yang menjadi
semakin dekat, maka di Demak telah terjadi satu kegemparan
yang dengan cepat tersebar beritanya. Meskipun peristiwa itu
sendiri tidak terjadi di Demak, namun peristiwa itu terjadi
sebagai akibat kekosongan tahta di Demak.
Sunan Prawata, salah seorang putra Sultan Trenggana telah
terbunuh. Meskipun sulit untuk mengetahui bagaimana pembunuhan itu
terjadi, namun didekat tubuh Sunan Prawata yang terbunuh
bersama istrinya, terdapat mayat seorang yang diduga telah
membunuh Sunan Prawata. Sementara itu, berita kematian Sunan Prawata itu telah
dihubungkan dengan niat adipati Jipang untuk mengambil
kembali tahta dari Demak ke Jipang.
Ki Wiradana yang mendengar berita itu kemudian telah
bertanya kepada Ki Randukeling, "Bagaimana pendapat kakek
tentang berita ini."
"Aku mendengarnya dari para perwira Jipang yang mendapat
berita dari penghubung mereka, bahwa Sunan Prawata
seharusnya memang terbunuh," jawab Ki Randukeling.
"Kenapa?" bertanya Ki Wiradana.
45 SH. Mintardja "Menurut orang-orang Jipang. Sunan Prawata lah yang
memerintahkan seseorang membunuh ayah Adipati Jipang.
Seandainya ayah Adipati Jipang itu tidak terbunuh, maka ialah
yang berhak menggantikan kedudukan ayahnya yang pada waktu
itu memegang kekuasaan di Demak. Tetapi karena ayah Adipati
Jipang itu terbunuh, maka tahta telah diwariskan kepada
adiknya, Sultan Trenggana," berkata Ki Randukeling.
"Tetapi apakah benar bahwa ayah Arya Penangsang dibunuh
atas perintah Sunan Prawata?" bertanya Ki Wiradana.
Ki Randukeling mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Tidak ada seorang pun yang menghendaki kematiannya
kecuali Sunan Prawata. Ia mengharap bahwa dengan demikian,
maka tahta temurun kepada ayah Sunan Prawata. Pangeran
Trenggana." Ki Wiradana mengangguk-angguk. Sementara itu Ki
Randukeling berkata, "Tidak ada yang dapat mengatakan yang
sebenarnya. Baik kematian Sekar Seda Lepen, maupun kematian
Sunan Prawata. Orang-orang yang membunuh mereka telah
terbunuh pula ditempat kejadian, sehingga dengan demikian
tidak ada seorang pun yang dapat menceriterakan, siapakah
sebenarnya yang telah memerintah kepada orang-orang itu untuk
melakukan pembunuhan. Namun yang sudah terjadi adalah
Pengeran Sekar Seda Lepen terbunuh oleh orang yang kemudian
dibunuh oleh para pengikut Pangeran Sekar Seda Lepen ditempat
itu juga. Sedangkan pembunuh Sunan Prawata telah mati juga
ditempat pembunuhan terjadi. Menilik keadaannya, maka keris
yang dipergunakannya untuk membunuh Sunan Prawata dengan
menusuknya sampai tembus dari dada ke punggung, bahkan
ujung keris itu telah menyentuh pula istri Sunan Prawata itu
pulalah yang dipergunakan untuk membunuh pembunuh itu
dengan melemparkannya dan langsung mengenai pembunuh itu.
Karena itu, maka segala macam kesimpulan dan dugaan semata-
mata. Meskipun demikian, dugaan itu tentu mendekati
kebenaran." 46 SH. Mintardja Ki Wiradana mengangguk-angguk. Namun yang penting
langkah-langkah ternyata sudah mulai diambil dari pihak
manapun juga. Justru langkah-langkah kekerasan. Yang terjadi
adalah satu pembunuhan yang tentu akan mempunyai akibat
berikutnya. Karena itu, maka Ki Wiradana menganggap peristiwa itu
sebagai permulaan dari benturan-benturan mendatang.
Termasuk di Tanah Perdikannya yang telah menentang Pajang
Dengan peristiwa kematian Sunan Prawata itu, mungkin Pajang
pun akan mulai menggerakkan pasukannya untuk mengatasi
keadaan. Dengan demikian, maka Ki Wiradana telah berusaha untuk
Pendekar Seribu Diri 5 Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam 2
^