Pencarian

Suramnya Bayang Bayang 14

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 14


bekerja lebih keras. Ia ingin membuat Tanah Perdikannya
menjadi kuat dan jika saatnya datang, maka Tanah Perdikan
Sembojan tidak akan mengecewakan.
Karena itu, maka Ki Wiradana telah berusaha dengan segenap
alat kekuasaannya yang ada untuk menambah pemasukan pajak
yang disebutnya sebagai bebasan perjuangan bagi rakyat Tanah
Perdikan. Dengan hasil pajak itu, Ki Wiradana telah membuat
peralatan perang yang lebih baik dari yang telah ada. Ki
Wiradana telah memerintahkan untuk membuat senjata, perisai
dan alat-alat lain yang mungkin dipergunakan dalam
peperangan. Namun dengan demikian, maka rakyat Tanah Perdikan itulah
yang merasa diri mereka menjadi semakin kering diperah oleh
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan itu. Tetapi mereka
sama sekali tidak berani mengelak. Apalagi setelah mereka
melihat, bahwa pengawal Tanah Perdikan Sembojan menjadi
semakin kuat dan semakin garang meskipun terhadap tetangga-
tetangga mereka sendiri. Tetapi ternyata tidak semua orang dalam lingkungan pasukan
pengawal khusus serta para pemimpin pengawal menjadi seperti
orang yang kehilangan kiblat. ternyata masih ada dua orang di
antara mereka yang tetap menyadari, apa yang telah terjadi di
47 SH. Mintardja Tanah Perdikan mereka. Tetapi karena mereka tidak mempunyai
kesempatan serta kekuatan untuk menentang, maka untuk
sementara mereka merasa lebih baik mengikuti arus. Bahkan
mereka telah berusaha untuk dapat ikut serta terpilih menjadi
pengawal khusus yang tinggaldi barak dan mendapatkan latihan-
latihan yang sangat berat, namun yang kemudian telah membuat
mereka benar-benar setataran dengan prajurit Demak.
Sebenarnyalah bahwa duaratus orang pengawal Tanah
Perdikan Sembojan telah menjadi pengawal pilihan. Kemampuan
mereka tidak kalah dengan prajurit Demak yang terpilih
sekalipun. Namun demikian setiap dari mereka masih harus
berlatih dengan keras untuk memelihara keadaan tubuh mereka
dan meningkatkan kemampuan mereka. Baik secara pribadi
maupun dalam kelompok-kelompok dan perang gelar yang
lengkap. Tetapi sebenarnyalah bahwa perkembangan Tanah Perdikan
Sembojan bukannya tidak diamati oleh orang-orang diluar Tanah
Perdikan itu. Tetapi bukan oleh Pajang, karena Pajang benar-
benar sedang sibuk dengan persoalan Demak. Apalagi ketika
berita tentang kematian Sunan Prawata telah sampai ke Pajang.
Maka Pajang pun menjadi gempar pula.
Namun dalam pada itu, Kanjeng Adipati di Pajang ternyata
jarang sekali berada di istananya di Pajang. Sebagian besar
waktunya telah dipergunakan untuk mencoba memecahkan
persoalan yang rumit yang terjadi di Demak. Bahkan Adipati
Hadiwijaya masih berusaha untuk melerai setiap pertengkaran
yang mungkin terjadi. Tetapi ketika agaknya arah penunjukkan pewaris Demak
adalah dirinya, maka kemudian telah timbul kesulitan pada
Adipati Hadiwijaya untuk dianggap tidak berpihak. Orang-orang
lain, terutama Arya Penangsang tentu menuduh, bahwa langkah-
langkah yang diambilnya adalah sekadar meratakan jalan untuk
mengangkat dirinya sendiri menjadi Sultan. Mungkin di Demak,
mungkin di Pajang sendiri.
48 SH. Mintardja Meskipun demikian, usaha Adipati Pajang itu masih juga
dilanjutkannya, tanpa mengenal lelah.
Sementara itu, kekuatan Tanah Perdikan Sembojan pun telah
menjadi semakin kuat. Pasukan pengawal khusus itu benar-benar
merupakan pasukan yang luar biasa.
Keadaan di Tanah Perdikan itu telah membuat sekelompok
orang menjadi berprihatin. Dengan cermat mereka telah
mengamati perkembangan yang terjadi di Tanah Perdikan
Sembojan. Mereka tidak yakin bahwa Tanah Perdikan itu akan
dapat berkembang demikian pesatnya tanpa campur tangan
orang lain. Karena itu, maka dengan sangat hati-hati dua orang telah
berada di Tanah Perdikan itu. Dengan cermat mereka mengamati
keadaan. Sekali-sekali mereka melihat latihan-latihan yang telah
diselenggarakan oleh para pengawal khusus.
Meskipun tidak pernah mendengar di dalam pembicaraan
dimanapun juga, namun dengan mangamati cara latihan yang
dipergunakan maka kedua orang itu dapat menduga, bahwa para
pengawal khusus itu telah mendapat tuntunan dari para prajurit
Jipang. "Latihan-latihan itu menunjukkan ciri yang sama dengan para
prajurit di Jipang," berkata salah seorang di antara mereka.
Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka tidak
dapat mengamati latihan-latihan itu terlalu lama, agar tidak ada
seorang yang kemudian menjadi curiga.
Ketika keduanya meninggalkan tempat-tempat latihan maka
yang seorang telah berkata, "Ya. Kita dapat memastikan. Jipang
telah ikut campur di dalam persoalan ini."
"Bukankah Tanah Perdikan ini sebenarnya termasuk wilayah
Pajang?" bertanya kawannya.
Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Tanah Perdikan
ini memang wilayah Pajang. Jika Jipang memasuki Tanah
Perdikan ini tentu sudah dibicarakannya lebih dahulu dengan Ki
49 SH. Mintardja Wiradana, sehingga dengan demikian maka Tanah Perdikan
Sembojan ternyata telah berusaha untuk melepaskan diri dari
induknya dan berusaha menggabungkan diri dengan Jipang.
Mungkin pergolakan yang terjadi di Demak dengan
meninggalnya Sultan telah membuat Tanah Perdikan ini berubah
sikap." Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Memang
menarik untuk diketahui. Kita sebaiknya mengamati
perkembangan ini dengan seksama. Kita biarkan saja saudagar
emas itu di penginapannya. Agaknya ia memang dengan sengaja
memancing kita untuk merampoknya sekali lagi."
Yang lain tersenyum. Katanya, "Tetapi aku justru ingin
melakukannya. Aku ingin mengetahui sampai dimana tataran
kemampuan para pengawal itu setelah mereka mendapat latihan-
latihan dari orang-orang Jipang."
"Kita sudah dapat menduganya dengan melihat latihan-latihan
yang sekadar dilakukan seperti anak-anak yang sedang bermain
sembunyi-sembunyian dan kadang-kadang sedikit bermain
senjata. Tetapi aku condong untuk sekadar mengganggu, agar
Tanah Perdikan ini menyadari, bahwa mereka tidak dapat
melakukan menurut kehendak hati mereka tanpa dinilai oleh
orang lain," berkata yang seorang
"Bukankah dapat kita lakukan keduanya sekalipun?" jawab
yang lain. "Menganggu dan sedikit menunjukkan kepada para
pengawal yang terlalu berbangga dengan kemampuan itu, bahwa
apa yang telah mereka miliki bukan berarti apa-apa bagi mereka
yang bertualang di dunia kanuragan."
Kawannya mengangguk-angguk. Lalu, "Apa yang akan kita
lakukan?" "Apakah sebaiknya kita membawa Iswari sekaligus dalam
pakaian penarinya?" desis yang lain.
"Kita harus bertanya dahulu kepada Kiai Badra atau Kiai
Soka," jawab kawannya. "Tetapi kita berbuat sesuatu sekarang
ini." 50 SH. Mintardja Yang lain mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Yang paling
mudah adalah mencegat pengawal khusus yang sedang meronda
di malam hari. Kita hentikan mereka dan kita rampas kudanya."
Kawannya mengangguk-angguk pula, "Aku sependapat,"
katanya. "Tetapi apakah kita perlu meninggalkan pertanda perguruan
Guntur Geni," desis yang seorang.
Tetapi kawannya menggeleng. Jawabnya, "Belum waktunya.
Kita masih ingin membuat orang-orang Sembojan kebingungan."
Ternyata kedua orang itu benar-benar ingin melakukan apa
yang mereka katakan. Mereka ingin menjajagi kemampuan para
pengawal khusus, namun sekaligus mereka ingin menunjukkan,
bahwa ada sesuatu yang harus diperhatikan oleh Tanah Perdikan
Sembojan." Sementara itu, karena sudah cukup lama tidak terjadi sesuatu
di Tanah Perdikan Sembojan, maka para pemimpin pengawal dan
para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan itu tidak terlalu
banyak memperhitungkan kemungkinan terjadinya kejahatan.
Yang mereka pikirkan adalah peningkatan tataran para pengawal.
Jika para pengawal menjadi kuat, maka tentu tidak ada orang
yang berani mengganggu ketenangan Tanah Perdikan itu.
Namun yang terjadi ternyata berbeda dengan dugaan orang-
orang Sembojan, bahwa sudah tidak ada lagi orang yang berani
mengganggu ketenangan Tanah Perdikan itu.
Karena itu, maka para pengawal tidak lagi banyak melakukan
pengamatan di atas Tanah Perdikannya itu.
Meskipun demikian sekali-kali masih juga dilakukan
perondaan yang melintasi jalan-jalan yang menghubungkan
padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain. Itu pun
sebenarnya dalam rangka pemeliharaan kewibawaan Ki
Wiradana dengan meragakan pasukan pengawal berkudanya.
Namun yang terjadi, pada satu malam adalah justru
mengejutkan sekali. Ketika dua orang pengawal berkuda
51 SH. Mintardja melintasi sebuah bulak panjang, maka tiba-tiba mereka telah
dihentikan oleh dua orang yang tidak dikenal. Dua orang yang
nampaknya kotor sekali, mengenakan caping bambu yang lebar
dan bertelanjang dada. Salah seorang dari keduanya telah
menyangkutkan ikat kepalanya dilehernya, sedangkan yang lain
mengikatkan ikat kepalanya pada lambungnya.
Kedua orang pengawal yang merasa pernah ditempa oleh para
perwira dari Jipang itu pun menghentikan kuda mereka. Dengan
keyakinan yang kuat terhadap diri sendiri, maka keduanyapun
telah meloncat turun dan mengikatkan kuda mereka pada
batang-batang perdu di pinggir jalan.
Sambil bertolak pinggang salah seorang dari keduanya itu pun
bertanya, "He, apakah kalian orang-orang yang sudah gila. Ujud
kalian memang mirip dengan orang gila. Apalagi tingkah laku
kalian." "O, tentu tidak Ki Sanak," berkata salah seorang yang telah
menghentikan peronda itu, "Kami hanya ingin bertanya."
"Tetapi caramu menghentikan kudaku bukanlah cara
seseorang yang ingin sekadar bertanya. Tetapi seolah-olah kalian
ingin merampok kami. He, apakah kalian tidak mengetahui,
bahwa kami berdua adalah dua orang dari pasukan pengawal
khusus?" bertanya pengawal itu.
"Aku tidak tahu Ki Sanak," jawab orang yang
menghentikannya. "Aku hanya mengetahui bahwa Ki Sanak
berdua adalah orang-orang berkuda yang melintas."
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
"Kau akan bertanya apa?"
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
seorang di antara keduanya berkata, "Kami ingin bertanya,
apakah jalan ini menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan?"
Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Kemudian yang
seorang berkata, "Ya. Jalan ini menuju ke padukuhan induk.
Apakah kau mempunyai keperluan di padukuhan induk?"
52 SH. Mintardja "Ya Ki Sanak," jawab orang yang tidak berbaju itu. "Kami
mempunyai kepentingan dengan seorang perempuan yang
bernama Warsi. Bekas seorang penari jalanan yang tidak tahu
diri. Kepada keluarganya dan tetangga-tetangganya ia mengaku
menjadi istri Kepala Tanah Perdikan Sembojan. He, bukankah itu
ngayawara" Bukankah itu hanya sebuah mimpi dan bahkan
mungkin akan dapat mencemarkan nama baik Kepala Tanah
Perdikan disini?" Kedua pengawal itulah yang kemudian saling berpandangan.
Sejenak kemudian salah seorang dari kedua pengawal itu berkata,
"Siapakah kalian sebenarnya?"
Jawab orang yang tidak berbaju itu seakan-akan meyakinkan,
"Aku adalah pamannya."
"Kalau kau berhasil mencapai padukuhan induk, apa yang
akan kau lakukan?" bertanya pengawal itu.
"Aku akan melaporkannya kepada Kepala Tanah Perdikan ini.
Biarlah Kepala Tanah Perdikan ini menangkap perempuan
jalanan yang menyebut dirinya istri Kepala Tanah Perdikan
Sembojan itu," jawab orang berwajah kotor itu.
Seorang di antara pengawal itu pun kemudian bertanya,
"Apakah kau mengetahui, bahwa Kepala Tanah Perdikan
Sembojan sudah meninggal" Sekarang, pemangku jabatan Kepala
Tanah Perdikan itu adalah anaknya, Ki Wiradana."
"O," orang berwajah kotor itu menangguk-angguk. "Tetapi
apakah benar bahwa pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan
itu kawin dengan seorang penari jalanan?"
Pertanyaan itu terlalu sulit untuk dijawab. Karena itu maka
salah seorang pengawal itu berkata, "Bukankah penari itu
kemenakanmu?" "Seandainya kemenakanmu itu benar-benar kawin dengan
seorang pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan, apakah kau
merasa bangga?" bertanya pengawal itu.
53 SH. Mintardja "Tidak. Sama sekali tidak. Jika terjadi demikian tentu ada yang
tidak wajar. Apalagi menurut pendengaranku dengan sombong
kemenakanku yang penari jalanan itu mengatakan, bahwa ia
berhasil merebut Kepala Tanah Perdikan itu dari istrinya,
seorang perempuan yang baik, yang berasal dari padepokan.
Yang bekerja dengan jujur sebagai istri Kepala Tanah Perdikan
bagi kesejahteraan Tanah Perdikan ini. Bahkan menurut
pendengaranku, istri Kepala Tanah Perdikan yang lama itu telah
dibunuh oleh suaminya sendiri hanya karena Kepala Tanah
Perdikan, atau pemangkunya itu, ingin memperistri
kemenakanku itu," berkata orang berwajah kotor itu.
"Cukup," tiba-tiba pengawal itu membentak. "Ingat kata-
katamu dapat menyeretmu ke dalam kesulitan."
"Tunggu Ki Sanak," potong orang yang berwajah kotor itu.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku justru ingin melaporkannya kepada pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikan itu, agar ia mengetahuinya. Dengan
demikian maka ia akan dapat bertindak lebih baik menghadapi
berita-berita yang dapat mencemarkan namanya."
Kedua pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian
seorang di antara mereka berkata, "Baiklah. Mari ikut kami. Kami
akan mempertemukan kau dengan pemangku Kepala Tanah
Perdikan ini." Kedua orang yang berwajah kotor itulah yang kemudian
menjadi termangu-mangu. Mereka tidak menyangka bahwa para
pengawal itu akan menawarkan niatnya yang demikian. Namun
sudah barang tentu keduanya tidak bermaksud menghadap Ki
Wiradana. Karena itu maka seorang di antara mereka berkata,
"Kami hanya ingin tahu, apakah jalan ini menuju ke padukuhan
induk." "Ya. Jalan ini memang menuju ke padukuhan induk. Karena
itu, marilah, kita berjalan bersama-sama. Aku akan menuntun
kudaku dan bersama-sama pula menghadap Ki Wiradana,
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan ini," jawab salah
seorang pengawal itu. 54 SH. Mintardja "Terima kasih," jawab salah seorang dari kedua orang yang
berwajah kotor itu. "Kami akan pergi sendiri. Kami akan
menghadap jika matahari telah terbit. Bukankah menghadap
pada saat sekarang ini sudah tidak waktunya lagi."
"Tetapi kau dapat menunggu dan jika kau tidak pergi ke
padukuhan induk sekarang, dimana kau akan bermalam?"
bertanya salah seorang dari kedua pengawal itu.
"Kami dapat bermalam dimana saja. Mungkin di banjar
padukuhan terdekat. Tetapi mungkin ditempat lain," jawab orang
yang menyangkutkan ikat kepala di lehernya.
"Tidak Ki Sanak," berkata pengawal itu. "Justru karena
tingkah laku kalian yang aneh, maka sebaiknya kalian pergi ke
padukuhan induk bersama kami."
"Kami berkeberatan Ki Sanak," jawab orang yang mengikatkan
ikat kepala di lambungnya.
"Keberatan atau tidak keberatan," jawab pengawal yang
seorang. "Tegasnya, kami akan menangkap kalian karena sangat
mencurigakan." Tetapi kedua orang berwajah kotor itu menggeleng. Yang
seorang berkata, "Jangan memaksa Ki Sanak. Apalagi berusaha
menangkap kami. Kami datang dengan maksud baik. Seharusnya
kalian justru membantu kami,"orang itu berhenti sejenak, lalu
tiba-tiba saja ia berkata, "Ki Sanak. Bukankah kalian tidak
berkeberatan, bahwa untuk kepentingan kami selama berada di
Tanah Perdikan ini, kalian meminjamkan kuda-kuda kalian"
Nah, dengan demikian kalian telah membantu kami untuk
membersihkan nama baik Kepala Tanah Perdikan kalian."
Kedua pengawal itu menjadi tegang. Dengan demikian maka
mereka pun pasti, bahwa kedua orang itu memang dengan
sengaja ingin membuat persoalan.
Karena itu, maka kedua pengawal itu telah bersiap untuk
menghadapinya sesuai dengan keadaan. Apalagi keduanya
merasa bahwa mereka adalah pengawal khusus yang telah
55 SH. Mintardja ditempa baik secara berkelompok maupun secara pribadi oleh
para perwira dari Jipang.
Salah seorang dari kedua pengawal itu pun berkata, "Kami
memang sudah menduga bahwa kalian memang ingin merampok
kuda-kuda kami yang besar dan tegar. Tetapi kalian ternyata
telah salah langkah. Kami adalah pengawal khusus Tanah
Perdikan ini. Kami adalah orang-orang kepercayaan Kepala
Tanah Perdikan ini untuk menghadapi setiap usaha kejahatan."
"Kami bukan penjahat," jawab salah seorang di antara kedua
orang berwajah kotor itu.
"Kau dapat saja menyebut dirimu bukan penjahat, bahkan
seorang penolong atau seorang apapun juga menurut keinginan
lindahmu. Aku tidak akan berkeberatan. Tetapi bahwa kau ingin
memiliki kuda kami itu adalah satu unsur kejahatan meskipun
kau dapatmenyebut dalih apapun juga. Nah, sekarang kalian
tidak usah banyak bicara. Menyerahlah. Sebab jika kami sudah
mulai bertindak, akibatnya mungkin akan lain daripada jika
kalian sekadar menyerah sebelum melakukan perlawanan,"
berkata salah seorang dari kedua pengawal itu.
Tetapi seorang dari kedua orang berwajah kotor itu justru
tertawa. Katanya, "Kenapa kami harus menyerah untuk
ditangkap, sementara kami merasa diri kami justru berjasa."
Kedua orang pengawal itu benar-benar telah kehilangan
kesabaran. Yang seorang telah memberikan isyarat kepada yang
lain, sehingga keduanya pun kemudian telah melangkah
merenggang untuk mengambil jarak yang satu dengan yang lain.
Keduanya telah bersiap menghadapi kedua orang yang berwajah
kotor itu. Ternyata kedua orang berwajah kotor itu pun telah bersiap
pula. Tanpa melepaskan caping mereka yang lebar, mereka pun
telah mengambil jarak pula, sehingga dengan demikian maka
mereka telah berhadapan seorang dengan seorang.
Kedua pengawal itu berusaha untuk mengenali wajah kedua
orang yang dengan sengaja telah mengganggu mereka. Tetapi
56 SH. Mintardja selain wajah itu kotor, wajah itu seolah-olah telah terlindung oleh
bayangan caping mereka yang lebar yang menutupi kepala
mereka. Sehingga dengan demikian, kedua pengawal itu sama
sekali tidak melihat garis-garis wajah lawan-lawannya. Apalagi
dalam keremangan malam. Dengan demikian, maka memang tidak ada pilihan lain dari
para pengawal itu selain memaksa keduanya menyerah dengan
kekerasan. Sejenak kemudian, maka orang-orang yang sudah siap itu
mulai bergerak. Lambat, tetapi masing-masing berusaha untuk
mengetahui kemungkinan yang mereka hadapi dalam olah
kanuragan. Selangkah demi selangkah, maka mereka pun mulai
memancing perkelahian. Serangan-serangan yang pertama
bukannya serangan yang sebenarnya. Namun ketika tangan dan
kaki mereka telah mulai bersentuhan, maka mulailah mereka
berloncatan. Serangan-serangan pun menjadi semakin mantap
dan kuat. Sementara gerak mereka pun menjadi semakin cepat.
Orang yang mengikatkan ikat kepalanya di lambung telah
berkelahi dengan pengawal yang bertubuh tinggi. Meskipun
badannya tidak terlalu besar, tetapi agaknya anak muda itu
memiliki kemampuan gerak yang sangat cepat. Tangan dan
kakinya termasuk panjang sebagaimana tubuhnya yang tinggi.
Dengan kemampuan yang disadapnya dari para perwira Jipang,
maka anak muda yang bertubuh tinggi itu telah menyerang
lawannya dengan kekuatan yang semakin meningkat dan
kecepatan yang semakin tinggi.
Orang yang mengikatkan ikat kepalanya di lambung itu
seolah-olah hanya melayaninya saja. Ketika pengawal bertubuh
tinggi itu bergerak semakin cepat, maka lawannya bergerak
semakin cepat pula. Jika pengawal bertubuh tinggi itu
meningkatkan kekuatannya, maka lawannya pun telah
meningkatkan kekuatannya pula sehingga dalam benturan-
57 SH. Mintardja benturan kekuatan yang terjadi orang berwajah kotor itu tidak
terdorong surut. Sementara itu orang yang menyangkutkan ikat kepalanya di
leher telah bertempur dengan seorang anak muda yang tubuhnya
tidak terlalu tinggi. Tetapi dadanya nampak bidang dan tubuhnya
kokoh kuat seperti seekor kerbau jantan. Geraknya pun cepat dan
meyakinkan. Justru karena tubuhnya yang tidak terlalu tinggi,
namun mantap dan kokoh, geraknya lebih banyak pada bagian
bawah sebagaimana ia lebih banyak menyerang bagian tubuh
yang rendah. Tetapi kakinya yang kokoh itu sekali-kali
menyambar dengan kekuatan yang mengagumkan mengarah ke
lutut lawannya. "Ah," desah orang yang menyangkutkan ikat kepala di
lehernya," Kau luar biasa. Jika tumitmu mengenai lututku, maka
kakiku mungkin akan patah."
Anak muda itu tidak menjawab. Tetapi serangan-serangannya
datang beruntun. Ketika ia meloncat dengan kecepatan yang
sangat tinggi, maka jari-jarinya yang mengembang telah
mematuk ke arah lambung. "Uah," lawannya berdesah lagi, "Ujung-ujung jarimu akan
dapat mengoyak perutku."
"Diam," geram anak muda yang bertubuh kokoh itu sambil
meloncat menjauhi lawannya."
Tetapi lawannya segera memburunya. Dengan kekuatan yang
semakin tinggi anak muda yang bertubuh kokoh itu
menyerangnya dengan kaki yang berputar.
Tetapi serangan itu pun sama sekali tidak mengenai
sasarannya. Bahkan tiba-tiba saja, hampir tidak disadari, kaki
orang yang berwajah kotor itu telah menyambar kaki lawannya
yang satu lagi, yang menjadi tumpuan berat badannya selagi
kakinya yang satu berputar.
58 SH. Mintardja Benar-benar diluar perhitungan anak muda itu. Karena itu,
maka ia tidak sempat mengelak, sehingga kakinya yang berpijak
di atas tanah itu telah disambar kaki lawannya sehingga ia pun
kehilangan keseimbangannya.
Anak muda itu tidak mampu bertahan untuk tetap tegak.
Karena itu maka ia pun telah terdorong jauh. Tetapi dengan
sigapnya ia telah berguling beberapa kali, kemudian dengan cepat
melenting berdiri. Namun demikian ia tegak, terasa dadanya bagaikan didorong
oleh kekuatan yang tidak terlawan. Ternyata tangan lawannya
telah melekat didadanya. Sekali lagi keseimbangannya tergantung. Dan sekali lagi ia
terdorong jatuh terlentang.
Tetapi anak muda itu tidak jatuh terlentang seperti sebatang
daun pisang. Ia sempat justru meloncat dan berputar di atas
kepalanya. Dengan cepatnya pula ia melenting berdiri.
Tetapi ia telah dikejutkan lagi oleh lawannya yang berdiri
hanya sejengkal dihadapannya. Tetapi lawannya itu tidak berbuat
apa-apa. Lawannya itu tidak mendorongnya, tidak pula
memukulnya. Ia hanya berdiri saja hampir melekat didadanya.
Sedangkan sisi capingnya menyentuh dahinya.
Anak muda itu menjadi kebingungan sesaat. Tetapi ia pun
segera menyadari, bahwa yang berdiri dihadapannya hampir
beradu dada itu adalah lawannya. Karena itu, maka ia pun telah
menarik sebelah kakinya surut, dan sambil merendah ia telah
menghentakkan tangannya memukul dada orang itu dengan
ayunan tangan lurus ke depan.
Jarak mereka sangat pendek. Karena itu, maka pukulan itu
tentu akan meruntuhkan isi dada orang yang berwajah kotor itu.
Tetapi anak muda itu sekali lagi terkejut. Orang itu sempat
bergeser menyamping ke sisi tangannya yang menyerang.
Dengan cepat orang itu menangkap tangan pengawal itu dan
sebelum pengawal itu sempat berbuat sesuatu, tangan itu telah
59 SH. Mintardja terpilin kebelakang sehingga tubuh pengawal itu pun telah
terputar pula. Ketika pengawal itu berusaha untuk menghentakkan diri tiba-
tiba saja sebuah pukulan yang keras telah mengenai
punggungnya, tepat dibawah tengkuk.
Pada saat yang demikian itu, tangannya yang terpilin itu pun
telah terlepas sehingga anak muda itu justru jatuh terjerembab.
Wajah anak muda itu telah menyentuh tanah, sehingga wajah itu
pun telah menjadi kotor, bahkan lebih kotor dari wajah lawannya.
Sejemput pasir telah melekat dibibirnya sehingga mulutnya rasa-
rasanya telah tersumbat. Ketika anak muda itu berguling menjauh, lawannya tidak
memburunya. Dibiarkannya anak muda itu bangkit sambil
mengibas-ibaskan kepalanya dan membersihkan mulutnya
dengan tangannya. Bahkan kemudian dengan lengan bajunya.
Orang berwajah kotor itu ternyata sangat menyakitkan hati. Ia
justru tertawa melihat keadaan anak muda yang telah menelan
sebagian pasir dimulutnya itu.
Sementara itu, kawannya yang bertubuh tinggi pun mengalami
nasib yang sama. Anak muda bertubuh tinggi itu justu telah
terlempar ke dalam parit dipinggir jalan. Begitu ia berusaha
bangkit, tiba-tiba saja terasa kepalanya bagaikan dibebani
sebongkah batu hitam, sehingga tanpa dapat berbuat sesuatu
kepalanya itu telah terbenam ke dalam air.
Betapapun ia berusaha, tetapi pengawal bertubuh tinggi itu
tidak kuat mengangkat kepalanya dari dalam air. Tanpa
dikehendakinya, maka beberapa teguk air dari parit itu telah
tertelan kedalam perutnya. Baru sejenak kemudian, kepalanya itu
dilepaskan oleh lawannya, sehingga ia dapat meloncat berdiri.
Anak muda bertubuh tinggi itu mengumpat-umpat. Tetapi
lawannya yang telah berdiri di atas tanggul parit itu tertawa
berkepanjangan. 60 SH. Mintardja "Nampaknya kau sangat haus anak muda," berkata lawannya
yang berwajah kotor itu. "Perkelahian ini baru saja mulai. Kau
sudah tidak dapat menahan perasaan hausmu sehingga kau telah
minum beberapa teguk air parit yang kotor itu." Anak muda
bertubuh tinggi itu menggeram. Kesabarannya telah benar-benar
habis, sehingga tiba-tiba saja ia telah menarik pedang pendeknya.
"Orang gila," ia menggeram. "Jika kau mati dan tubuhmu
terkapar di jalan ini bukan salahku."
Lawannya mengerutkan keningnya. Tetapi ia berkata, "Jangan
main-main dengan senjata. Jika kau bermain dengan air, kau
hanya akan menjadi basah seperti kau sekarang ini. Tapi jika kau
bermain dengan api, maka kau akan dapat menjadi hangus. Dan
jika kau bermain dengan senjata, maka kulit dagingmu akan
dapat terkoyak karenanya."
"Persetan," geram anak muda bertubuh tinggi itu. "Aku hanya
ingin membawamu menghadap pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikan ini untuk mengetahui apakah yang kau katakan itu
benar atau tidak. Tetapi karena kau sudah melawan, maka aku
akan dapat membunuhmu disini tanpa merasa bersalah."
Orang yang berwajah kotor itu tertawa. Katanya, "Kau dapat


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja mengatakan tanpa bersalah. Memang sebagian besar
kesalahan ini tidak terletak kepadamu. Jika Wiradana tidak
kawin dengan perempuan jalanan sebagaimana pengakuan
perempuan itu sendiri, maka semuanya ini tidak akan terjadi.
Karena itu, biarlah aku meminjam kudamu untuk
mempersoalkan hal ini di Tanah Perdikan Sembojan. Mudah-
mudahan ceritera Warsi itu tidak benar. Dan pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikanmu tidak kawin dengan perempuan yang
tidak tahu diri itu."
"Jangan banyak bicara," bentak pengawal yang bertubuh
tinggi, "Menyerahlah atau mati."
Lawannya termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling ke
arah kawannya, maka perkelahiannya pun agak sedang terhenti.
Namun kawannya itu sempat berkata, "Aku memberi kesempatan
61 SH. Mintardja kepada lawanku untuk membersihkan mulutnya. Jika lawanmu
minum air yang kotor itu, lawanku menjadi lapar dan makan
beberapa jemput pasir di tanah."
Pengawal yang bertubuh tidak begitu tinggi dan berbadan
kokoh itu telah menarik pedang pendeknya pula. Senjata para
pengawal, jika mereka bertugas di dalam lingkungan Tanah
Perdikan itu sendiri. "Kau jangan mempergunakan senjata anak muda?" berkata
lawannya. "Kalian berdua akan mati," jawab pengawal itu. "Tetapi itu
adalah salah kalian sendiri. Kami sudah berbaik hati dengan
tawaran kami untuk membawa kalian menghadap Ki Wiradana.
Tetapi kalian memilih mati."
"Siapa yang memilih mati?" bertanya orang berwajah kotor
itu. "Persetan. Bersiaplah untuk mati," geram pengawal itu.
Lawannya masih akan menjawab. Tetapi ia justru berpaling
ketika ia mendengar pengawal bertubuh tinggi itulah yang
kemudian menggeram sambil meloncat menyerang lawannya
yang berdiri ditanggul parit.
"He, kau benar-benar bermain-main dengan pedang
pendekmu itu?" berkata lawannya sambil meloncat menghindar.
"Ingat, pedang itu adalah salah satu ciri pengawal khusus Tanah
Perdikan Sembojan. Karena itu, jangan kau pergunakan
seenaknya. Senjata itu dibuat dengan uang yang dipungut dari
rakyat Tanah Perdikan ini, sehingga jangan kau nodai dengan
penggunaan yang tidak sepantasnya. Pedang itu seharusnya kau
pergunakan untuk berbuat baik bagi kepentingan rakyat. Dengan
pedang itu kau seharusnya melindungi aku yang ingin berbuat
baik bagi Tanah Perdikan ini."
"Jangan mengigau lagi," geram pengawal itu. "Pedang pendek
ini memang ciri senjata para pengawal khusus. Karena itu, jika
pedang pendek ini sudah berada ditangan, berarti akan terjadi
62 SH. Mintardja pembunuhan. Jika seorang pengawal terpaksa membunuh, maka
ia bertindak demi kepentingan Tanah Perdikan ini.
Lawannya tidak menjawab. Tetapi ia pun telah menyerang
dengan garangnya. Orang bertubuh kekar itu pun telah bersiap. Dengan nada
datar ia berkata, "Nasibmu tidak akan berbeda. Kau telah
menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kesulitan yang tidak
akan dapat kau atasi. Kau akan mati, dan kami berdua akan
membuat laporan terperinci tentang kematian kalian berdua."
Lawannya justru tertawa. Katanya, "Kematianku tidak berada
ditanganmu. Ingat, bahwa hidup dan mati tidak dapat ditentukan
oleh kita sendiri atau sesama kita."
"Aku akan menjadi lantaran kematianmu," geram pengawal
itu. "Aku akan mendapat jalan pembebasan dari kematian ini. Aku
akan berusaha. Dan baiklah kita akan melihat, siapakah yang
usahanya dibenarkan oleh Yang Maha Menentukan. Kau atau
aku" desis lawannya.
Keduanya tidak berbicara lagi. Pedang pendek pengawal itu
mulai bergerak. Kemudian dengan garangnya ia telah meloncat
menyerang. Tetapi lawannya benar-benar telah bersiap. Karena itu, ketika
serangan itu datang, maka dengan tangkasnya orang berwajah
kotor dan memakai caping yang lebar itu telah meloncat
menghindar. Namun pengawal itu tidak melepaskannya. Dengan
cepat pula ia meloncat memburu. Pedangnya menyambar
mendatar ke arah perut. Sentuhan ujung pedang yang tajam itu
akan dapat membelah perut lawannya. Tetapi pedang itu tidak
menyentuh sasaran sama sekali.
Sejenak kemudian pertempuran pun menjadi semakin sengit.
Kedua pengawal yang bersenjata pedang itu bertempur dengan
kemarahan yang membakar isi dada. Karena itu, maka dengan
penuh nafsu untuk menghancurkan lawan-lawan mereka, pedang
63 SH. Mintardja mereka telah terayun-ayun dengan dahsyatnya. Suaranya
berdesing seperti suara gasing. Menyambar-nyambar dari segala
arah. Tetapi lawan-lawan mereka pun memiliki kemampuan
bergerak melampaui kecepatan sambaran pedang itu. Karena itu,
maka kedua ujung pedang itu sama sekali tidak mengenai
sasarannya. Untuk beberapa lamanya, keempat orang itu masih terlibat
dalam pertempuran. Tata gerak mereka yang semakin cepat,
telah memaksa mereka mengerahkan tenaga yang ada di dalam
diri mereka bahkan didorong oleh kemampuan tenaga cadangan
mereka. Namun usaha para pengawal untuk menghabisi perlawanan
kedua orang berwajah kotor dan memakai caping yang lebar itu
tidak dapat segera mereka lakukan. Bahkan rasa-rasanya
keduanya justru telah bergerak semakin cepat. Pedang-pedang
pendek para pengawal itu masih belum dapat menyentuh
keduanya. Kedua pengawal itu telah mengerahkan segenap kemampuan
dan tenaga mereka. Karena itu, dengan hentakan-hentakan yang
kuat dan mengerahkan segenap tenaga cadangannya, maka kedua
pengawal itu berusaha melibat lawannya semakin cepat. Pedang
mereka berputaran dan terayun-ayun mengerikan, bagaikan
gumpalan awan yang bergulung-gulung melanda lawan-lawan
mereka. Tetapi kedua lawannya itu mampu bergerak bagaikan tatit di
langit. dengan kecepatan yang tidak terjangkau oleh gumpalan-
gumpalan awan yang bergulung itu, mereka sempat
menghindarkan diri dari bahaya yang akan dapat menggulung
nasib mereka dan dengan demikian, menghentikan perlawanan
mereka. Namun kedua orang itu ternyata tidak terkapar di tengah jalan
karena pedang-pedang lawannya. Mereka justru telah
64 SH. Mintardja memancing kedua pengawal itu untuk mengerahkan segenap
kemampuan mereka dan memeras seluruh tenaga mereka.
Sebenarnyalah kedua pengawal itu telah benar-benar
melepaskan segenap tenaga yang ada. Karena itulah, maka
kekuatan mereka pun segera menyusut dengan cepat. Tangan
mereka tidak lagi mampu mengayunkan pedang mereka dengan
kecepatan yang mantap. Sementara kaki mereka menjadi terasa
sangat berat bagaikan melekat di tanah.
Kedua orang berwajah kotor itu mulai tersenyum. Dalam
keadaan yang demikian, maka mereka mulai menentukan
langkah berikutnya dari permainan mereka.
Pada saat kedua orang pengawal itu telah hampir kehabisan
tenaga, maka mulailah kedua orang itu justru menyerang. Sekali-
kali tangan mereka berhasil menyentuh pundak, punggung dan
bahkan tengkuk. Dengan cepat lawan-lawan para pengawal itu mampu
menyusup dicelah-celah putaran pedang yang menjadi sangat
lamban. Bahkan perlawanan para pengawal itu menjadi tidak
berarti sama sekali. Sentuhan-sentuhan serangan kedua orang berwajah kotor itu
menjadi semakin terasa menyakitkan tubuh kedua pengawal itu.
Tetapi mereka memang tidak dapat berbuat sesuatu selain
mengumpat dan sekali-kali berusaha menghindar. Tetapi jika
mereka melangkah sedikit panjang, tubuh mereka justru telah
terhuyung-huyung karena kehilangan keseimbangan.
Kedua orang itu benar-benar menjadi berputus asa, ketika
seorang demi seorang keduanya telah kehilangan senjata mereka.
Dengan kecepatan yang masih utuh, lawan pengawal yang tinggi
itu sempat menendang pergelangan tangannya sehingga
pedangnya telah terlempar, sementara yang lain justru berhasil
merebut pedang pendek pengawal yang bertubuh kotor itu.
Sambil mengacukan pedang itu, orang bercaping lebar itu
berkata, "Nah, sekarang datang giliranku mengancammu.
Serahkan kudamu atau kau akan aku cincang disini."
65 SH. Mintardja Pengawal bertubuh kokoh itu tidak dapat berbuat apapun
juga, sementara kawannya pun telah menjadi semakin lemah.
Apalagi orang berwajah kotor yang seorang lagi telah memungut
pula pedang pendek pengawal yang terlepas dari tangannya itu.
"Ki Sanak," berkata salah seorang dari orang yang berwajah
kotor itu, "Aku minta kau menjawab dengan sebenarnya. Apakah
benar bahwa perempuan yang bernama Warsi berada disini?"
Pengawal yang bertubuh tinggi itu memandang kawannya
sejenak. Namun tiba-tiba saja lawannya telah menarik bajunya
sambil membentak, "Jawab."
Pengawal itu tidak dapat berbuat lain. Ia pun kemudian
mengangguk kecil. "Jadi benar bahwa pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikanmu itu telah kawin dengan perempuan itu?" orang
berwajah kotor itu meyakinkan.
Meskipun ragu-ragu pengawal itu mengangguk pula.
"Jadi anak itu benar-benar berada disini dan menjadi istri
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan ini?" desis salah
seorang berwajah kotor itu. Lalu, "Jika demikian maka kita harus
segera bertindak." Kedua orang pengawal itu berdiri termangu-mangu. Tubuh
mereka terasa bagaikan kehilangan tulang-tulangnya. Sedangkan
perasaan sakit menyengat dimana-mana.
"Ki Sanak," berkata salah seorang di antara kedua orang yang
mencegat mereka, "Apakah kalian sadari, apa yang telah terjadi di
Tanah Perdikan ini sejak Ki Wiradana kawin dengan perempuan
yang bernama Warsi itu. Sebenarnya ia memang bukan
kemanakanku. Bukan pula sanak kadang. Aku bukan orang-orang
yang ingin bertemu dengan Ki Wiradana. Tetapi kami berdua
memang ingin berbicara dengan para pengawal."
Kedua pengawal itu tidak menjawab. Tetapi mereka pun sudah
menyadari sejak semula, bahwa dalih yang dikatakan oleh kedua
66 SH. Mintardja orang itu memang sekadar untuk memancing persoalan. Karena
itu, keduanya tidak terkejut sama sekali.
"Ki Sanak," berkata orang yang ikat kepalanya disangkutkan
dilehernya. "Apalagi kini kalian berdua berada dibawah pimpinan
para pelatih dari Jipang. Apakah dengan demikian Tanah
Perdikan ini sudah berpaling dari Pajang dan berpihak kepada
Jipang?" Kedua pengawal itu mengerutkan keningnya. Seorang di
antara mereka bertanya, "Darimana kau tahu?"
"Tidak semua orang dungu sebagaimana kau dungu," jawab
orang yang menyangkutkan ikat kepalanya dilehernya. "Cara
yang dipergunakan oleh para pelatih pasukan pengawal khusus
itu adalah cara-cara orang Jipang. Memang agak berbeda dengan
yang dilakukan oleh orang-orang Pajang dan Demak. Mereka
sama-sama keras dalam memberikan tuntunan, sama-sama berat
dan bersungguh-sungguh. Tetapi adanya perbedaan yang hanya
dapat dilihat oleh orang-orang yang banyak menekuni olah
kanuragan. Yang kalian miliki sekarang dibawah latihan-latihan
yang berat dari para perwira Jipang itu sama sekali belum sekuku
ireng dibandingan dengan kemampuan orang-orang yang khusus
menekuni olah kanuragan. Karena itu, seharusnya kalian jangan
terlalu berbangga dengan bekal ilmu kalian. Namun yang lebih
penting dari itu, aku ingin mendengar pendapat kalian apakah
kalian merupakan pendukung yang setia, yang dengan kesadaran
melangkah sejalan dengan Ki Wiradana, atau sekadar melakukan
sebagaimana kebanyakan dilakukan orang. Sekadar
menginginkan kedudukan, upah dan sedikit pujian dari sanak
kadang?" Kedua orang itu menjadi bingung. Mereka tidak begitu
mengerti apakah mereka mendukung perjuangan Ki Wiradana
dengan sadar atau tidak. Tetapi bahwa dengan kedudukan mereka sebagai seorang di
antara pasukan pengawal khusus, memang memberikan
kabanggaan kepada mereka. Seolah-olah Tanah Perdikan
67 SH. Mintardja Sembojan tidak ada orang, apalagi anak muda yang lebih
terhormat daripada anggota pasukan pengawal khusus. Karena
itu, maka keduanya merasa kedudukannya itu merupakan
kedudukan yang sangat menarik. Bahkan di samping kebanggaan
mereka pun merasa bahwa mereka memiliki kemampuan yang
sangat tinggi, yang tidak kalah dengan kemampuan prajurit
Jipang atau Demak sekalipun.
Namun ternyata dihadapan dua orang berwajah kotor itu
keduanya tidak mampu berbuat apa-apa.
Karena keduanya tidak segera menjawab, maka orang yang
mengikatkan ikat pinggangnya di lambungnya itu pun berkata,
"Nah, ternyata kalian tidak mengerti apa yang kalian lakukan
selama ini selain mendapat kedudukan dan sedikit kebanggaan.
Karena ketahuilah, bahwa kalian telah berada disatu tataran yang
terpisah dari rakyat Tanah Perdikan ini. Sampai sekarang kalian
melihat Warsi, istri Ki Wiradana sekarang sebagai seorang istri
yang baik dan patuh. Namun sebenarnyalah ia merupakan
sumber kesulitan yang bakal terjadi di Tanah Perdikan ini.
Sedangkan alat-alat yang dipergunakannya di antaranya adalah
kalian berdua." "Omong kosong," geram salah seorang dari kedua orang
pengawal itu. Orang yang mengikatkan ikat pinggangnya dilambungnya itu


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandangnya dengan tajamnya. Katanya, "Aku dapat
menampar mulutmu sampai semua gigimu rontok. Jika tidak
dengan tanganku aku dapat mencongkelnya dengan ujung
pedang pendekmu ini. Tetapi dengar, aku tidak omong kosong.
Jika kau mempunyai telinga, cobalah dengarkan keluh kesah
rakyat Tanah Perdikan ini. Jika kau mempunyai mata, lihatlah
tataran kehidupan rakyat yang menjadi semakin melarat. Nah,
terserah kepada kalian, apa yang akan kalian lakukan. Aku tidak
banyak berkepentingan dengan Tanah Perdikan ini. Tetapi aku
mempunyai telinga dan mempunyai mata untuk mendengar dan
melihat." 68 SH. Mintardja Kedua orang pengawal itu termangu-mangu. Namun mereka
mendengarkan pendapat kedua orang yang tidak dikenalnya itu.
Namun tiba-tiba salah seorang di antara kedua orang berwajah
kotor itu bertanya, "Apakah kalian pernah melihat penari yang
disebut-sebut mirip dengan Nyai Wiradana yang dahulu?"
Hampir diluar sadarnya keduanya menggeleng. Hampir
berbareng pula keduanya menjawab, "Belum."
"Nah, kalian harus memperhatikan berita itu. Mungkin di
antara para pengawal ada yang pernah melihatnya. Karena ada di
antara mereka yang pernah memburunya. Tetapi tidak berhasil
menangkapnya," berkata orang berwajah kotor itu.
Kedua pengawal itu masih saja terdiam. Tetapi sebenarnyalah
mereka mendengar semua yang dikatakan oleh kedua orang
berwajah kotor itu. Bukan saja mendengar, tetapi mereka mulai
tertarik kepada kata-katanya. Seolah-olah keduanya telah
memberikan sesuatu yang baru, yang selama itu mereka sisihkan
dari perhatian mereka. Nah, berkata orang yang memakai caping lebar dan
menyangkutkan ikat kepalanya di lehernya, "Sekarang, aku
memerlukan kuda-kuda kalian. Sebenarnya kuda itu tidak perlu
sama sekali bagi kami. Tetapi dengan demikian, maka kami telah
membuat suatu persoalan yang benar-benar harus kalian
laporkan." "Itu tidak mungkin," sahut salah seorang di antara kedua
pengawal itu. "Kenapa tidak. Bukankah lebih baik aku membawa kuda
kalian daripada aku harus membantai kalian disini?" jawab orang
yang menyangkutkan ikat kepala dilehernya.
Pengawal itu tidak menjawab. Mereka memang tidak akan
dapat melawan. Sementara mereka menggenggam pedang
ditangan, mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi pedang
mereka telah berpindah tangan.
69 SH. Mintardja "Nah, menyingkirlah," berkata yang menyangkutkan ikat
kepalanya dilehernya. "Kami akan mengambil kuda-kuda kalian.
Kedua orang pengawal itu pun bergeser mundur. Mereka
memang tidak dapat berbuat lain. Sementara orang yang
mengambil kuda mereka itu pun berkata, "Jika kalian tidak
kehilangan kuda kalian, kalian dapat menutupi kekalahan kalian
dan tidak melaporkan apa yang terjadi sekarang ini. Tetapi jika
kalian kembali ke barak tanpa kuda kalian, maka kalian tidak
akan dapat ingkar, bahwa kalian telah dikalahkan dan tidak dapat
mempertahankan kuda-kuda kalian."
Kedua pengawal itu hanya dapat mengumpat. Tetapi mereka
tidak dapat mencegah kedua orang itu mengambil kuda mereka
dan kemudian meloncat ke punggung kuda itu.
"Terima kasih," berkata orang yang mengikatkan ikat kepala
dilambung. Kedua ekor kuda itu pun kemudian telah berderap
meninggalkan para pengawal yang termangu-mangu. Namun
beberapa langkah dari keduanya, kuda-kuda itu berhenti. Kedua
orang yang menunggang kuda itu pun telah melemparkan
pedang-pedang pendek para pengawal itu sambil berkata, "Inilah
ciri kebesaran kalian. Namun ingat, bahwa jika kalian benar-
benar akan menjadi pengikut orang-orang Jipang, maka kalian
akan berhadapan dengan Pajang. Dan apabila kalian tidak juga
mau mendengar keluh kesah dan melihat kesulitan hidup orang-
orang Tanah Perdikan ini, maka kalian berhadapan dengan
orang-orang Tanah Perdikan ini, yang terdiri atas keluarga kalian
sendiri." Demikian orang itu selesai berbicara, maka mereka pun telah
memacu kuda mereka meninggalkan kedua orang pengawal yang
termangu-mangu itu. Baru ketika kuda-kuda itu lenyap ditikungan bagaikan ditelan
gelapnya malam, maka para pengawal itu menarik nafas dalam-
dalam. 70 SH. Mintardja "Permainan yang gila," geram salah seorang dari kedua
pengawal itu, "Aku tidak mengerti, apa yang sebenarnya mereka
kehendaki." Kawannya, pengawal yang bertubuh kekar kokoh itu pun
menyahut, "Mereka sekadar ingin mengguncang Tanah Perdikan
ini. Agaknya keduanya adalah pengikut Nyai Wiradana yang
hilang itu. Bukankah mereka menyebut-nyebut nama Nyai
Wiradana?" "Ya, mereka menyebut penari yang mirip Nyai Wiradana itu,"
jawab yang bertubuh tinggi.
"Kita memang harus membuat laporan. Tetapi apakah kita
juga akan mengatakan seutuh kedua orang itu tentang para
perwira Jipang di Tanah Perdikan ini?" bertanya yang bertubuh
kokoh. Kawannya termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Aku
kira belum perlu mengatakannya sekarang. Kita melaporkan saja
bahwa kita bertemu dengan beberapa orang yang telah
merampok kuda-kuda kita. Kita berada di bulak yang jauh dari
padukuhan sehingga kita tidak sempat membunyikan isyarat
bahwa ada sekelompok perampok yang memasuki Tanah
Perdikan ini." Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, "Marilah. Kita sadar
bahwa kita akan mendapat hukuman karenanya. Tetapi itu lebih
baik karena kita tidak dicincang disini."
"Kedua orang itu tentu mempunyai maksud jauh dari pada
sekadar mengadakan kekacauan disini di Tanah Perdikan ini. Aku
sependapat, bahwa tentu ada hubungannya dengan Nyai
Wiradana yang terdahulu," desis pengawal yang bertubuh tinggi.
"Mungkin Nyai Wiradana yang terdahulu dengan sengaja telah
meninggalkan suaminya ketika ia mendengar bahwa suaminya
telah berhubungan dengan seorang penari jalanan," berkata
pengawal yang bertubuh kokoh itu tiba-tiba, "Di tempat
persembunyiannya ia telah membangun suatu kekuatan yang
akan dapat mengimbangi kekuatan Ki Wiradana."
71 SH. Mintardja "Mungkin kedua orang itu termasuk pendukungnya. Tetapi
darimana orang itu tahu, bahwa para pelatih dari pasukan khusus
itu adalah orang-orang Jipang," desis orang yang bertubuh tinggi.
"Bukankah dengan demikian orang itu akan dapat berhubungan
dengan Pajang." Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi hampir diluar sadarnya
ia bertanya, "Manakah yang sebenarnya lebih baik. Pajang atau
Jipang?" Kawannya termangu-mangu. Namun akhirnya ia menggeleng,
"Aku tidak tahu, kenapa Ki Wiradana memilih Jipang daripada
Pajang. Padahal menurut ingatanku, ketika ayah Ki Wiradana
memegang pimpinan Tanah Perdikan ini dan Tanah Perdikan ini
berada dibawah kuasa Pajang, tata kehidupan di sini berjalan
dengan baik. Tidak ada kekisruhan dan tidak ada kesulitan.
Namun pada saat-saat terakhir, sejak munculnya Kalamerta,
maka keadaan menjadi semakin memburuk."
"Dan Ki Gede Sembojan berhasil membunuh Kalamerta," desis
kawannya. "Ya. Tetapi sejak itu keadaan Tanah ini menjadi kacau. Ki
Wiradana tertarik kepada penari janggrung itu," desis yang lain.
Keduanya mengangguk-angguk. Tetapi keduanya tidak dapat
mengambil satu kesimpulan pun dari persoalan yang mereka
bicarakan. Sejenak kemudian, maka dengan tergesa-gesa keduanya telah
kembali ke barak mereka dan langsung berhubungan dengan
pemimpin pengawal yang sedang bertugas.
Dengan memotong-motong peristiwa yang sebenarnya dan
dengan menambah sedikit, mereka menyampaikan laporan
tentang sekelompok perampok yang mencegat mereka di bulak
panjang. "Berapa orang seluruhnya?" pemimpin pengawal itu bertanya.
"Enam orang," jawab pengawal yang bertubuh tinggi itu.
"Mereka merampok kuda-kuda kami. Menilik tata geraknya
72 SH. Mintardja mereka adalah perampok-perampok yang sudah terbiasa dengan
pekerjaan mereka." Pemimpin pengawal itu memandang kedua pengawal itu
dengan wajah yang tegang. Dengan suara lantang ia berkata,
"Dan kalian sama sekali tidak berdaya menghadapinya?"
"Kami telah bertempur dengan segenap kemampuan kami,"
jawab yang bertubuh kokoh. Lalu, "Kami tidak tahu, seandainya
pertempuran itu berlangsung terus, apakah kami yang akan
mereka kalahkan, atau kami yang akan berhasil menangkap
mereka." "Jadi mereka melarikan diri?" bertanya pemimpinnya.
"Ya," jawab pengawal yang kokoh itu. "Empat orang
bertempur melawan kami, dua yang lain mengambil kuda kami.
Kemudian mereka pun telah berloncatan kepunggung kuda
masing-masing." "Kalian tidak dapat berbuat apa-apa?" pemimpin pengawal
yang marah itu hampir berteriak. "Justru pada saat mereka
meloncat ke punggung kuda mereka."
"Demikian cepatnya, rasa-rasanya kami tidak mendapat
kesempatan," yang bertubuh tinggi menyambung. "Dua orang
lebih dahulu meloncat ke punggung kuda, sementara yang dua
orang berusaha menahan kami, namun yang kemudian, dua
orang yang sudah berada di punggung kuda itulah yang
menyerang kami dari atas kudanya, sehingga memberikan
kesempatan kedua orang kawannya yang lain naik ke atas
kudanya pula. Sejenak kemudian, mereka telah memacu kuda
mereka serta membawa kuda-kuda kami bersama mereka."
Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba
saja ia bertanya, "Tetapi kenapa wajah kalian menjadi kotor dan
kau menjadi basah kuyup."
Kedua pengawal itu tergugup. Pengawal yang bertubuh tinggi
itu menjawab, "Aku membersihkan kepalaku dengan air di
pinggir jalan itu. Orang-orang berkuda itu telah membaurkan
73 SH. Mintardja tanah dan pasir ke kepalaku pada saat aku mendesaknya,
sehingga sesaat aku kehilangan penglihatanku karena pasir yang
masuk ke dalam mataku."
"Dan kau mencuci kepalamu dengan debu?" bertanya
pemimpin pengawal itu kepada pengawal yang bertubuh kokoh.
Pengawal yang bertubuh kokoh itu menjadi bingung. Tetapi ia
pun kemudian menjawab, "Aku tidak mencuci kepalaku. Tetapi
cara lawanku pun tidak berbeda dengan cara yang sudah
dilakukan oleh kawan-kawannya. Tetapi selain itu aku memang
jatuh tertelungkup ketika aku berusaha mengejar orang-orang
berkuda itu. Aku demikian tergesa-gesa dan pada saat mereka
melarikan diri aku memang menjadi bingung dan tidak tahu apa
yang harus aku lakukan, sehingga langkahku yang tergesa-gesa
itu membuat aku kehilangan keseimbangan."
Pemimpin pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun
akhirnya ia berkata, "Meskipun agak ragu-ragu, tetapi aku terima
alasan kalian untuk sementara. Meskipun demikian, bahwa
kalian telah kehilangan kuda kalian, maka kalian harus
menunggu keputusan yang akan diambil terhadap kalian untuk
mempertanggungjawabkan kelengahan kalian itu."
Kedua pengawal itu tidak menjawab. Tetapi mereka sudah
menduga, bahwa mereka akan mendapat hukuman karenanya.
Ketika keduanya mendapat kesempatan untuk membenahi
diri, maka orang yang bertubuh tinggi itu berkata, "Aku menjadi
tidak sabar menunggu pagi, agar jalan itu dilalui pedati dan
orang-orang yang pergi ke pasar."
"Kenapa?" bertanya yang bertubuh kokoh.
"Aku cemas jika laporan ini didengar oleh para pelatih dari
Jipang dan mereka dengan teliti melihat bekas perkelahian itu.
Bukankah sama sekali tidak ada bekas perkelahian berkuda?"
berkata orang yang bertubuh tinggi.
Kawannya mengangguk-angguk. Ia pun menjadi cemas pula
karenanya. Namun ternyata bahwa mereka tidak melihat usaha
74 SH. Mintardja untuk melihat bekas arena itu sehingga matahari terbit. Dengan
demikian maka segala jejak dan bekas pun akan terhapus oleh
kaki orang-orang yang akan ke pasar serta pedati atau kaki-kaki
kuda termasuk kuda beban.
Baru setelah keduanya yakin bahwa para pemimpin pengawal
dan para pelatih dari Jipang itu tidak melihat bukti kebohongan
mereka, barulah mereka sempat beristirahat. Mereka sempat
memejamkan mata sekejap. Namun sebentar kemudian mereka
pun harus sudah bangun. Ketika keduanya keluar dari dalam bilik, mereka melihat barak
mereka telah kosong. Kawan-kawan mereka telah pergi keluar
untuk berlatih bagi ketahanan tubuh mereka seperti yang setiap
hari mereka lakukan, kecuali yang semalam bertugas dan yang
masih belum selesai bertugas.
Kedua orang pengawal itu pun segera membenahi dirinya,
karena waktu istirahat mereka akan segera habis. Sebentar lagi
mereka harus bersiap mengikuti upacara serah terima tugas. Baru
kemudian mereka mendapat istirahat sehari penuh. Namun
menjelang sore mereka harus sudah bersiap ke barak mereka lagi
untuk mengikuti latihan-latihan yang diadakan terus menerus
dibawah pimpinan para perwira di Jipang.
Namun sementara itu, keduanya masih juga berbicara tentang
kedua orang yang mereka jumpai itu. Ternyata mereka adalah
orang-orang yang memiliki penglihatan yang tajam di dalam
bidang olah kanuragan. Ternyata mereka mengetahui hanya
dengan melihat cara-cara berlatih, bahwa pelatih itu adalah
orang-orang Jipang.

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa maksud mereka sebenarnya?" pertanyaan itulah yang
selalu mengganggu kedua pengawal itu.
Ternyata pertanyaan itu selalu saja timbul meskipun mereka
berusaha melupakannya, sehingga akhirnya keduanya tidak
mampu lagi menyimpannya di dalam hati. Keduanya dapat
merahasiakan kehadiran para pelatih dari Jipang itu dan tidak
75 SH. Mintardja membocorkannya kepada siapapun. Tetapi mereka tidak dapat
menyimpan rahasia mereka sendiri tentang kedua orang itu.
Tetapi keduanya tidak dapat mengatakan kepada sembarang
orang. Keduanya ternyata juga memilih orang yang mereka
anggap cukup dewasa untuk menanggapi keadaan yang mereka
alami. Orang yang tidak akan mungkin mencelakakannya.
"Aku telah memberikan laporan palsu," berkata orang yang
bertubuh tinggi itu kepada seorang kawannya yang dianggap
akan dapat memberikan pertimbangan kepadanya, apakah
sebaiknya ia berterus terang kepada pemimpin pengawal yang
masih belum memutuskan hukuman apakah yang akan diberikan
kepadanya. "Aku kira begitu," berkata orang itu. "Nampaknya kedua orang
itu mempunyai tujuan yang sangat luas di Tanah Perdikan ini."
"Kedua orang itu juga menyebut-nyebut tentang Nyai
Wiradana keduanya. Baik yang sudah hilang maupun yang
sekarang dalam perbandingan yang berlawanan. Mereka memuji
Nyai Wiradana yang hilang itu dan mencela yang sekarang
sampai habis-habisan," berkata yang bertubuh kokoh. "Orang itu
pun mengatakan tentang penari yang mirip dengan Nyai
Wiradana yang hilang itu. Sayang aku belum pernah melihat
penari itu." ----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 12. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
76 SH. Mintardja Jilid Ke dua belas Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 77 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja TETAPI diluar dugaan, kawannya yang diajak berbicara itu
menyahut, "Aku pernah melihatnya. Aku bahkan pernah
memburunya untuk menangkap. Tetapi aku dan beberapa orang
pengawal pada waktu itu gagal menangkapnya. Ternyata para
pengiring penari itu memiliki kemampuan melampaui
kemampuan kami. Bahkan perempuan yang mirip dengan Nyai
Wiradana itu pun memiliki kemampuan dalam ilmu kanuragan,
sehingga seorang di antara kami tidak berdaya menghadapinya."
"Bukan main," desis pengawal yang bertubuh kokoh itu. "Dan
kalian tidak berhasil menangkap mereka?"
"Tidak. Kami tidak berhasil. Tetapi kami pun tidak
mengatakan yang sebenarnya terjadi. Kami hanya mengatakan
bahwa kami tidak berhasil menemukan mereka," jawab
kawannya itu. Pengawal yang bertubuh tinggi itu pun mengangguk-angguk.
Namun ia pun kemudian bertanya, "Apakah benar, Nyai
Wiradana yang hilang itu memang mirip dengan penari yang kau
katakan itu?" "Menurut pendapatku bukan hanya sekadar mirip. Tetapi
orang itu adalah Nyai Wiradana," jawab kawannya.
"Ah, mana mungkin. Nyai Wiradana telah hilang," jawab
pengawal yang bertubuh tinggi.
Tetapi kawannya menarik nafas dalam-dalam. Desisnya,
"Tidak seorang pun yang tahu, kemana hilangnya Nyai Wiradana.
Mungkin Nyai Wiradana memang pergi meninggalkan Tanah
Perdikan ini setelah ia mengetahui bahwa suaminya
berhubungan dengan seorang penari jalanan. Siapa tahu, bahwa
Ki Wiradana telah berhubungan lama dengan perempuan itu,
tetapi yang hanya diketahui oleh Nyai Wiradana sendiri. Bahkan
Ki Gede Sembojan pun tidak mengetahui."
"Kami juga menduga seperti itu," berkata pengawal yang
bertubuh tinggi. 2 SH. Mintardja Namun mereka tidak berani mengambil kesimpulan apapun
juga tentang kehilangan Nyai Wiradana dan tentang penari yang
mirip Nyai Wiradana. Namun para pengawal itu menduga, bahwa
adalah satu kemungkinan dengan sengaja Nyai Wiradana tampil
sebagai penari jalanan untuk menyindir kehadiran Nyai
Wiradana yang sekarang ini.
Tetapi semua dugaan itu hanyalah untuk diri mereka sendiri.
Tidak ada di antara mereka yang berani mengatakannya kepada
siapapun juga kecuali kepada orang-orang terdekat.
Namun yang masih menjadi pertimbangan adalah bahwa
orang yang merampas kuda itu mengetahui bahwa para pelatih
pengawal khusus itu adalah orang-orang Jipang.
Dengan diam-diam maka peristiwa yang sebenarnya telah
terjadi pada kedua orang pengawal itu telah menjadi bahan
pembicaraan meskipun hanya dilingkungan yang sangat terbatas.
Dilingkungan para pengawal yang merasa saling mempercayai
dan bersahabat erat. Namun dalam lingkungan yang terbatas itu, benar-benar telah
menimbulkan satu masalah yang semakin lama semakin
mencengkam. Tetapi dalam pada itu latihan-latihan di Tanah Perdikan
Sembojan itu berlangsung terus. Kedua orang pengawal yang
telah kehilangan kudanya itu telah mendapat hukuman. Mereka
harus melakukan latihan jauh lebih berat dari kawan-kawannya
untuk waktu sepekan. Dengan latihan-latihan yang berat, maka para perwira dari
Jipang itu pun merasakan kemajuan yang pesat dari anak-anak
muda Tanah Perdikan itu. Bahkan anak-anak muda itu telah
mendekati tataran seorang prajurit di dalam olah kanuragan.
Seandainya mereka harus turun ke medan, maka mereka tidak
akan merasa canggung menggerakkan senjata mereka, meskipun
seandainya mereka harus menghadapi para prajurit Pajang
sekalipun. 3 SH. Mintardja Karena itulah, maka para perwira dari Jipang itu merasa perlu
untuk memperluas tingkat kemampuan anak-anak muda Tanah
Perdikan itu. Sehingga dengan demikian, maka mereka telah
memberikan hari lagi bagi anak-anak Tanah Perdikan Sembojan
untuk berlatih bersama para pengawal di padukuhan-padukuhan.
Karena itu, maka untuk selanjutnya, setiap pekan, para pengawal
yang sudah mendapat latihan khusus dari para perwira Jipang itu
harus memberikan latihan kepada kawan mereka di padukuhan
sebanyak dua hari. Dengan demikian maka Tanah Perdikan terasa menjadi
semakin sibuk. Para pengawal di Tanah Perdikan pun menjadi
semakin bergairah untuk mengikuti latihan-latihan itu.
Meskipun yang melatih mereka kemudian adalah kawan-
kawan mereka sendiri, tetapi ternyata bahwa kawan-kawan
mereka itu seakan-akan semakin lama menjadi semakin berubah.
Mereka menjadi jauh lebih keras dan taat mempergunakan
waktu. Agaknya para perwira dari Jipang telah menempa mereka
menjadi seorang pengawal yang memiliki kemampuan dan tekad
seorang prajurit pilihan.
Sementara itu, dalam kesibukan latihan-latihan yang berat,
ternyata telah terjadi satu peristiwa yang menggerakkan hati
orang diseluruh Tanah Perdikan.
Nyai Wiradana telah melahirkan seorang anak laki-laki
sebagaimana yang diharapkan oleh ayahnya.
Dengan demikian maka anak laki-laki itu telah disambut
dengan penuh kegembiraan oleh Ki Wiradana. Karena itu, maka
seisi Tanah Perdikan Sembojan harus ikut bergembira dengan
diisi berbagai macam acara. Di rumah Ki Wiradana sendiri telah
diadakan pula beberapa malam tuguran. Beberapa orang laki-laki
berkumpul untuk bergantian membaca sebuah kitab yang berisi
kisah dalam bentuk kidung macapat.
Sementara itu ditempat-tempat lain juga diadakan tuguran
semacam itu, sekaligus menjadi tempat berkumpul para
4 SH. Mintardja pengawal Karena Ki Wiradana telah memerintahkan, di samping
kegembiraan yang sangat besar bagi Tanah Perdikan Sembojan,
mereka tidak boleh lengah.
Karena itulah, maka di samping malam tuguran sambil
membaca kitab yang berisi
kidung dalam bentuk tembang
macapat, di gardu-gardu para
pengawal pun tetap berjaga-
jaga sebagaimana seharusnya.
Tetapi gardu-gardu tidak lagi berisi anak-anak muda
yang sekadar datang untuk
bergurau dengan kawan- kawannya pada malam-malam
mereka tidak bertugas. Anak-
anak muda yang sedang tidak
bertugas itu telah berkmpul
ditempat-tempat orang-orang
tua membaca kitab berisi kisah dalam tembang itu.
Namun ternyata bahwa pada malam-malam yang gembira itu,
Tanah PerdikanSembojan masih harus mengalami peristiwa-
peristiwa yang dapat menumbuhkan kegelisahan.
Justru pada malam sepasaran yang meriah yang dirayakan di
rumah Ki Wiradana, dipinggir Tanah Perdikan Sembojan telah
lewat serombongan tukang ngamen dengan seorang penari yang
mirip sekali dengan Nyai Wiradana yang telah hilang.
Meskipun rombongan itu hanya sekadar lewat, namun
ternyata telah menumbuhkan kesan yang sangat menggemparkan
Tanah Perdikan itu, justru setelah para perwira Jipang berada di
Sembojan. "Gila," geram Ki Wiradana. "Jika aku sempat menemukan
mereka." 5 SH. Mintardja Meskipun demikian, ternyata Ki Wiradana telah memanggil
para pemimpin pengawal dan menunjukkan kemarahannya.
"Mereka hanya lewat di sebuah padukuhan terpencil," jawab
seorang pemimpin pengawal.
"Apakah di padukuhan itu tidak ada pengawal?" bertanya Ki
Wiradana dengan nada tinggi.
"Rombongan itu menyusuri dinding padukuhan hanya lewat
beberapa halaman, lalu seakan-akan telah menghilang.
Ketika laporan mengenai rombongan itu sampai di gardu,
maka rombongan itu agaknya telah meninggalkan padukuhan itu.
Ternyata ketika para pengawal datang ke tempat rombongan itu
nampak dan berhenti beberapa saat, rombongan itu sudah tidak
ada," jawab pemimpin pengawal yang bertanggung jawab di
padukuhan itu. "Kalian memang bekerja terlalu lamban," suara Ki Wiradana
meninggi. "Jika kalian bekerja dengan cepat, maka kalian tentu
masih dapat menemukan rombongan itu.
Bukankah ada di antara pengawal yang dapat mengejar
rombongan itu dengan berkuda?"
Pemimpin pengawal itu tidak berani lagi menjawab. Ki
Wiradana agaknya benar-benar marah, sehingga jika ia masih
juga menjawab, maka Ki Wiradana justru akan bertambah
marah. Namun dalam pada itu, ternyata Ki Wiradana masih juga
bertanya, "Apakah ada di antara orang-orang padukuhan ini yang
sempat melihat bahwa di antara orang-orang di dalam
rombongan itu terdapat seorang penari yang mirip dengan
Iswari?" "Ya," jawab pemimpin pengawal itu dengan hati yang
berdebar-debar. "Di antaranya terdapat seorang perempuan."
6 SH. Mintardja "Aku tidak bertanya seorang perempuan. Apakah perempuan
itu mirip dengan Iswari?" Ki Wiradana membentak semakin
keras. Keringat dingin mulai membasahi tubuh pemimpin pengawal
itu. Namun kemudian jawabnya, "Hal itu masih perlu diadakan
pengamatan lagi Ki Wiradana. Sebenarnyalah masih kurang jelas,
apakah yang terjadi sebenarnya. Rombongan itu berada di luar
padukuhan. Beberapa orang sempat keluar lewat butulan di


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dinding padukuhan. Merekalah yang melihat dan seorang di
antara mereka pulalah yang telah memberitahukan kepada para
pengawal di regol, bahwa rombongan penari yang untuk
beberapa lama tidak tampak itu telah datang kembali."
Ki Wiradana telah menghentakkan tangannya sambil
menggeretakkan giginya. Dengan keras ia berkata, "Kesalahan ini
tidak boleh terulang kembali. Jika rombongan penari itu datang
lagi, maka mereka harus dapat ditangkap, hidup atau mati."
Perintah itu ternyata sangat mengejutkan. Beberapa orang
pemimpin pengawal saling berpandangan.
Namun Ki Wiradana menegaskan, "Jika orang-orang di dalam
rombongan itu melawan pada saat mereka akan ditangkap, maka
kalian mendapat wewenang untuk bertindak lebih tegas terhadap
mereka. Itu adalah hak kalian, karena dengan demikian maka
orang-orang itu telah melawan perintah pemimpin Tanah
Perdikan ini." Para pemimpin pengawal itu menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi mereka tidak menjawab. Namun dengan demikian mereka
menyadari, bahwa Ki Wiradana telah sampai ke puncak
kesabarannya menghadapi rombongan penari yang mempunyai
seorang penari yang mirip dengan Nyai Wiradana yang hilang itu.
Karena itulah, maka para pemimpin pengawal pun menjadi
keras pula seperti sikap Ki Wiradana. Perintah yang terloncat dari
mulut Ki Wiradana itu pun telah menjalar pula kepada para
pengawal. 7 SH. Mintardja "Jika orang-orang di dalam rombongan penari jalanan itu
tidak mau ditangkap dan berusaha melawan, maka para
pengawal diberi wewenang untuk mempergunakan kekerasan,"
berkata para pemimpin pengawal itu kepada para pengawal.
Bukan saja para pengawal khusus yang terpilih untuk mendapat
latihan-latihan dari para perwira di Jipang, tetapi juga para
pengawal yang lain. Namun dalam pada itu, di antara para pengawal terpilih itu
terdapat orang-orang yang pernah gagal menangkap rombongan
penari itu. Meskipun mereka telah mendapat tempaan dari para
perwira Jipang, namun mereka masih tetap ragu-ragu, apakah
para pengawal akan dapat melakukannya.
Tetapi lebih daripada sekadar keragu-raguan, apakah mereka
akan dapat menangkap atau tidak, ternyata pengawal itu lebih
banyak dipengaruhi oleh satu anggapan, bahwa penari itu bukan
sekadar mirip Nyai Wiradana, tetapi orang itu adalah Nyai
Wiradana sendiri. "Jika benar orang itu Nyai Wiradana, apakah yang harus aku
lakukan seandainya aku menjumpainya sekali lagi?" bertanya
pengawal itu kepada diri sendiri. "Apakah aku harus
menangkapnya atau aku harus bersikap lain?"
Beberapa orang terdekat memang mulai membicarakannya.
Jika orang itu bernama Iswari, seharusnya Ki Wiradana merasa
bersyukur, bahwa istrinya yang hilang itu telah diketemukan
kembali. Tetapi dengan kehadiran Warsi, maka persoalannya
tentu akan berbeda. Namun dalam pada itu, Ki Wiradana benar-benar dicemaskan
oleh kehadiran penari yang mirip dengan Iswari itu. Menilik
sikap perempuan yang disebut Serigala Betina, maka Ki
Wiradana menjadi ragu-ragu apakah perempuan itu benar-benar
telah membunuh Iswari. Bahkan Ki Wiradana condong menduga,
bahwa Serigala Betina itu telah membohonginya.
Karena itulah, maka Ki Wiradana menjadi cemas, bahwa
rahasianya akan dapat terbuka.
8 SH. Mintardja Dengan demikian maka atas persetujuan Warsi, Ki Wiradana
sendiri hampir setiap malam telah meronda di daerah
rombongan penari itu muncul untuk yang terakhir kali. Bahkan
kadang-kadang telah ikut pula bersamanya, penggendang yang
diakunya sebagai ayah Warsi dan pedagang emas berlian yang
justru sebenarnya adalah ayah Warsi.
Ki Wiradana menolak jika para perwira dari Jipang
menawarkan diri untuk ikut meronda berkeliling Tanah
Perdikan. Ia tidak yakin bahwa orang-orang Jipang itu akan
dapat sejalan dengan rencananya.
"Jika rombongan itu diketemukan, maka yang harus
diperhatikan adalah penari itu. Jika benar ia adalah Iswari yang
belum dibunuh oleh Serigala Betina itu, maka dengan cara
apapun juga, perempuan itu harus dibungkam untuk selamanya,"
berkata Ki Wiradana di dalam hatinya.
Sementara itu kemelut di Demak ternyata bukan semakin
susut, tetapi justru semakin membara. Sepeninggal Sunan
Prawata, maka telah terjadi pula pembunuhan yang
menggemparkan. Ketika Ratu Kalinyamat mengadukan kematian
kakaknya, Sunan Prawata ke Demak, maka diperjalanan pulang,
suaminya telah terbunuh pula oleh orang-orang yang tidak
dikenal. Namun Ratu Kalinyamat yakin, bahwa pembunuh-pembunuh
itu adalah orang-orang yang telah dikirim oleh Arya Penangsang
dari Jipang. Di Tanah Perdikan Sembojan para perwira Jipang yang
bertugas ternyata telah mendapat perintah pula untuk
mempersiapkan Tanah Perdikan itu dalam keterlibatan yang
lebih jauh. Karena itulah, maka Rangga Gupita telah berbicara
secara khusus dengan Ki Randukeling mengenai persoalan yang
akan menjadi semakin luas itu.
"Nampaknya Arya Penangsang telah mengambil langkah-
langkah berikutnya," berkata Ki Randukeling.
9 SH. Mintardja "Ya. Kanjeng Adipati Jipang sudah jemu menunggu. Ia harus
mempercepat persoalan, sehingga akan segera menjadi jelas
baginya mukti atau mati," jawab Rangga Gupita.
"Apakah Tanah Perdikan ini harus segera mempersiapkan
pasukan tempur dan bersiap melawan Pajang?" berkata Ki
Randukeling. "Agaknya memang demikian. Tetapi masih belum dengan
terbuka. Jipang sendiri juga masih belum dengan terbuka
menyatakan perang melawan Pajang. Bagi Jipang, Pajang adalah
kekuatan yang paling besar yang dihadapinya untuk menuju ke
tahta Demak yang ditinggalkan oleh Sultan Trenggana itu," jawab
Rangga Gupita. Ki Randukeling mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Cucuku
juga sudah melahirkan. Ia akan dapat berbuat lebih banyak dari
sebelumnya." "Ki Wiradana sudah cukup berbuat sesuai dengan yang kita
kehendaki," berkata Rangga Gupita.
Tetapi Ki Randukeling menggeleng. Katanya, "Ia masih terlalu
lamban. Bayangan istrinya yang lama masih mengendalikan
langkah-langkahnya. Agaknya Warsi akan dapat berbuat lebih
baik jika pimpinan pemerintahan ada padanya."
Rangga Gupita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
menjawab, "Mungkin. Tetapi jangan dengan serta merta. Apalagi
Warsi masih belum pulih benar setelah ia melahirkan."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia
berkata, "Memang semua langkah harus diperhitungkan baik-
baik. Aku sependapat. Tetapi aku pun menganggap bahwa
waktunya sudah tiba. Yang perlu diperhatikan adalah cara yang
paling tepat dan tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru
yang dapat justru mempersulit diri kita disini."
Rangga Gupita mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Aku
akan berbicara dengan Ki Wiradana sambil melihat anaknya yang
memberikan kebanggaan bagi Ki Wiradana dan seluruh Tanah
10 SH. Mintardja Perdikan ini. Tetapi sudah tentu bersama dengan Ki
Randukeling." Ki Randukeling mengangguk-angguk. Katanya, "Wiradana
sudah tahu siapakah sebenarnya Ki Rangga Gupita."
Rangga Gupita tersenyum. Katanya, "Meskipun ia sudah
mengetahuinya, tetapi kita akan berbicara bersama-sama."
Ki Randukeling tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku akan minta
agar Ki Wiradana memanggil orang-orang terpenting di Tanah
Perdikan ini. Bukankah begitu yang kau maksud?"
Warsi yang hadir juga dalam pertemuan itu pun menjadi
berdebar-debar. Tetapi ia masih tetap menahan diri untuk tidak
dengan serta merta menyatakan diri untuk berbuat sesuatu,
sebagaimana dinasihatkan oleh kakeknya.
Sementara itu, Ki Wiradana pun berkata, "Kita dapat
melakukan bersama-sama. Kita membentuk pasukan tempur
yang kuat sebagaimana dikehendaki, bukan sekadar pasukan
pengawal, sekaligus membersihkan kerusuhan-kerusuhan yang
ada di dalam lingkungan Tanah Perdikan ini. Para pengawal di
padukuhan-padukuhan pun telah meningkat pula kemampuan
mereka sehingga mereka bukan lagi sekadar orang-orang yang
hanya dapat menjaga gardu di malam hari."
Rangga Gupita mengangguk-angguk. Katanya, "Memang itu
adalah jalan yang paling dekat yang dapat ditempuh. Dan kita
akan menempuh jalan itu. Sampai sekarang Ki Wiradana masih
menolak uluran tangan para perwira untuk membantunya
membersihkan Tanah Perdikan ini dari kegelisahan itu. Dan itu
aku hargai sebagai satu langkah yang bijaksana dan atas dasar
harga diri. Namun jika keadaan memaksa, maka aku kira tidak
ada salahnya jika para perwira itu ikut pula membantunya. Tentu
akan dapat juga dilakukan oleh para pengawal khusus yang sudah
terlatih. Tetapi dengan para perwira yang jauh lebih
berpengalaman itu, tidak akan nampak terlalu banyak orang yang
meronda di malam hari, sehingga tidak akan menimbulkan
kegelisahan di antara orang-orang Tanah Perdikan ini."
11 SH. Mintardja Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya
beberapa orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu. Namun
kemudian katanya, "Baiklah Ki Rangga. Aku akan
memikirkannya. Mungkin pada saat tertentu aku juga akan
memerlukan bantuan. Namun maksudku menghindari
kemungkinan pengamatan orang lain atas kehadiran para
perwira dari Jipang itu, sebagaimana rencana kita untuk
menyusun satu pasukan tempur yang kuat, tetapi tidak dengan
terbuka." Ki Rangga mengangguk-angguk. Kemudian katanya kepada Ki
Randukeling, "Kita sudah dapat mulai melangkah. Tetapi
bagaimana pendapat Ki Randukeling?"
"Aku sependapat dengan isi pembicaraan ini. Tetapi aku pun
sependapat dengan Wiradana, bahwa untuk sementara biarkan
saja Tanah Perdikan ini membersihkan diri sendiri tanpa bantuan
para perwira dari Jipang untuk tetap menegakkan wibawa para
pemimpin dan pengawal Tanah Perdikan ini. Jika perlu biarlah
aku, Ki Saudagar dan ayah Wiradana sajalah yang membantu
membersihkan Tanah Perdikan ini. Baru jika keadaan sangat
memaksa, kami akan berhubungan dengan para perwira dari
Jipang," sahut Ki Randukeling.
Ki Rangga Gupita mengangguk. Kemudian katanya, "Baiklah.
Kita akan melihat perkembangan keadaan di Tanah Perdikan ini,
sementara kita juga menunggu perkembangan yang terjadi di
Demak." Dengan demikian, maka Ki Wiradana merasa bahwa tugasnya
menjadi semakin berat. Tetapi ia masih menghargai para perwira dari Jipang yang
tetap menghargai kepemimpinannya.
"Sikap yang tentu tidak dimiliki oleh para perwira Pajang,"
berkata Ki Wiradana di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, Warsi yang memperhatikan
pembicaraan itu, meskipun ia sama sekali tidak mencampurinya
sebagaimana biasa dilakukannya, seolah-olah ia tidak lebih dari
12 SH. Mintardja seorang istri yang setia dan tidak mempunyai keinginan untuk
melampaui langkah yang dilakukan oleh suaminya, diluar
sadarnya telah memperbandingkan kedua orang yang masih
sama-sama muda. Suaminya, Ki Wiradana pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikan di Sembojan, dengan Ki Rangga Gupita,
seorang perwira Jipang dalam tugas sandi di Tanah Perdikan
Sembojan. Sama sekali diluar keinginannya bahwa kemudian Warsi
menilai keduanya. Namun yang dilihatnya adalah justru
kelebihan pada Rangga Gupita. Baik seorang prajurit dan
pemimpin maupun wujudnya sebagai orang muda.
Tetapi angan-angan itu pecah ketika Warsi mendengar
anaknya menangis. Anak laki-laki yang lahir dari perkawinannya
dengan Ki Wiradana yang sudah melepaskan korban istri Ki
Wiradana yang bernama Iswari.
Dengan demikian maka Warsi pun meninggalkan pertemuan
itu untuk pergi ke biliknya. Dilihatnya anak laki-lakinya yang
lahir dalam keadaan sehat itu menangis ketika ia terbangun dari
tidurnya. Sementara itu pertemuan di pendapa itu masih berlangsung
sesaat. Karena sebentar kemudian, pertemuan itu pun telah
dianggap cukup. Namun Warsi yang baru berbaring disisi anaknya terkejut
ketika ia mendengar suara di depan biliknya. "Silakah menunggu
sebentar," terdengar suara suaminya.
Sejenak kemudian, pintu bilik itu pun telah terbuka. Suaminya
melangkah masuk sambil menutup pintu itu kembali.
Warsi yang kemudian bangkit itu pun bertanya, "Ada apa
kakang?" "Tidak apa-apa Warsi. Sekadar ingin melihat anakmu," jawab
Ki Wiradana. "Siapa?" bertanya Warsi.
13 SH. Mintardja "Ki Rangga Gupita," jawab Wiradana.
Tanpa diketahui sebabnya, Warsi menjadi berdebar-debar.
Namun ia pun kemudian membenahi pakaiannya sambil berkata,
"Biarlah aku bawa anak kita keluar. Bilik ini terlalu kotor."
Warsi pun kemudian membawa anaknya ke luar pintu
biliknya. Sebenarnya telah menunggu di ruang dalam Ki Rangga dan Ki
Randukeling. Demikian Warsi keluar sambil mengemban
anaknya, maka Ki Rangga pun tersenyum sambil melangkah
mendekat. "Begitu cepat besar," berkata


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Rangga. Warsi masih saja berdebar-
debar. Apalagi ketika Ki Rangga
itu kemudian semakin mendekatinya sambil menyentuh bayinya. "Gagah seperti ayahnya,"
desis Ki Rangga. "Besok tentu
akan menjadi seorang laki-laki
pilihan seperti ayahnya juga."
Ki Rangga tertawa. Warsi pun tersenyum pula. Tetapi ia
berkata di dalam hati, "Tidak
sekadar seperti ayahnya. Ayahnya sama sekali tidak mampu mengimbangi ilmu ibunya.
Anak ini harus menjadi seperti atau bahkan malampaui
kemampuan ibunya." Sejenak Ki Gupita masih mengamati anak Warsi di dalam
gendongannya. Baru kemudian ia berkata, "Sudahlah. Aku akan
kembali ke barak para perwira Jipang."
14 SH. Mintardja Ki Wiradana mengangguk-angguk sambil menjawab, "Silakan
Ki Rangga. Beberapa persoalan yang tumbuh akan aku bicarakan
dengan kakek dan Ki Rangga."
"Ya. Aku akan selalu berusaha untuk ikut memecahkan
masalah-masalah yang apalagi timbul karena hubungan Tanah
Perdikan ini dengan Jipang."
Demikianlah, maka Ki Rangga yang kemudian tinggal bersama
para perwira Jipang itu pun segera meninggalkan ruang dalam.
Ketika ia turun dari tangga pendapa, Ki Randukeling masih saja
mendampinginya. "Warsi nampaknya telah sehat kembali," berkata Ki Rangga.
Ki Randukeling berpaling. Dilihatnya Ki Wiradana dan Warsi
berdiri di pendapa sambil memandangi mereka yang
menyeberangi halaman menuju ke regol. Di tangan Warsi masih
nampak anaknya yang sehat dan kuat menggerak-gerakkan
tangannya, seolah-olah melambai kepada kedua orang yang
meninggalkan pendapa itu.
"Ya," desis Ki Randukeling kemudian. "Kau ternyata lebih
banyak mengetahui tentang Warsi daripada suaminya. Ki
Wiradana masih belum mengetahui bahwa Warsi memiliki
kemampuan yang tinggi dan bahkan pernah berkelahi dan
mengalahkannya." Ki Rangga Gupita tertawa. Katanya, "Bukan salahku.
Bukankah Ki Randukeling sendiri lebih percaya kepadaku
daripada kepada Ki Wiradana?"
"Kenapa?" Ki Randukeling mengerutkan keningnya. Tetapi Ki
Rangga Gupita tidak segera menjawab. Ketika mereka melalui
regol seorang pengawal berjaga-jaga dengan tombak ditangan.
Selangkah tiga orang lainnya berada di gardu.
Dengan serta merta ketiga orang yang berada di gardu itu pun
meloncat turun sambil membungkuk hormat kepada Ki Rangga.
15 SH. Mintardja Ki Rangga tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
Sementara itu kakinya melangkah terus sampai keduanya berada
di luar regol. "Ki Randukeling. Kenapa Ki Randukeling justru
memberitahukan kepadaku tentang kelebihan Warsi itu. Tidak
kepada suaminya?" bertanya Ki Rangga.
"Justru karena Ki Rangga bukan suaminya," jawab Ki
Randukeling sambil tertawa.
"Ki Rangga. Warsi memang menghendaki demikian. Untuk
dapat memasuki rumah itu, ia telah berpura-pura menjadi penari
jalanan. Nah, atas dasar pribadi seorang penari itulah maka
Warsi menjadi istri Ki Wiradana. Namun pada saatnya maka
Warsilah yang akan mengendalikan kekuasaan di Tanah Perdikan
ini. Meskipun demikian ia tidak akan dapat meninggalkan Ki
Wiradana, karena hak atas Tanah Perdikan ini ada pada Ki
Wiradana. "Bukankah hal itu menurut pandangan mata orang Pajang?"
bertanya Ki Rangga. "Ya, sudah tentu, karena Tanah Perdikan ini berada di dalam
wilayah Pajang," jawab Ki Randukeling.
"Dan apakah Ki Randukeling akan mempertahankan Tanah
Perdikan ini untuk seterusnya berkiblat kepada Pajang?" Ki
Rangga justru bertanya. Ki Randukeling tertawa. Tetapi ia tidak menjawab.
Sementara itu, setelah Ki Rangga dan Ki Randukeling hilang di
balik pintu regol, maka Warsi pun telah membawa bayinya
kembali ke dalam biliknya, sementara Ki Wiradana masih akan
berbicara dengan beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan
yang masih tinggal. Namun dalam pada itu, adalah diluar kemauan Warsi sendiri,
bahwa ia selalu memperhatikan sikap suaminya dibandingkannya
dengan sikap Ki Rangga Gupita.
16 SH. Mintardja Adalah diluar kehendaknya pula bahwa pada saat-saat tertentu
ia melihat dengan mata angan-angannya tingkah laku Rangga
Gupita. Tetapi Warsi tetap menyadari, bahwa ia adalah istri pemangku
jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Anak yang
dilahirkannya itu adalah anak Kepala Tanah Perdikan Sembojan
yang kelak akan menggantikan kedudukan ayahnya.
Namun sementara itu, memang sudah mulai tumbuh niat di
dalam hati Warsi, sebagaimana dirancangkannya sebelumnya,
bahwa setelah ia melahirkan, maka ia akan menyatakan dirinya
sendiri dihadapan suaminya dan mengendalikannya menurut
kehendaknya. Dalam pada itu, maka Tanah Perdikan Sembojan pun telah
berkembang dalam kendali Jipang. Setiap peristiwa dan
perkembangan keadaan di Demak dan Jipang sendiri akan
menjadi pegangan langkah-langkah yang diambil oleh Tanah
Perdikan Sembojan. Namun dalam pada itu, di dalam lingkungan Tanah Perdikan
itu sendiri telah terjadi pergolakan yang meskipun masih berada
dibawah selimut ketaatan rakyat Sembojan kepada pemimpin-
pemimpin mereka yang terasa asing. Beban yang semakin berat
dan tingkah laku para pemimpin mereka yang semakin tidak
dapat mereka mengerti. Kehadiran beberapa orang yang tidak
dikenal sebelumnya yang langsung ikut mengendalikan
pemerintahan dan kemudian kesibukan para pengawal yang
betapapun diselubungi namun terasa oleh rakyat Sembojan
bahwa di Tanah Perdikan itu tengah dilakukan satu kegiatan
seolah-olah Tanah Perdikan itu akan terlibat kedalam satu
peperangan. Namun dalam kedaan yang tidak menentu itu, perhatian
rakyat Sembojan justru telah tertuju kepada seorang penari
jalanan yang mirip dengan Nyai Wiradana yang hilang. Adalah
sama sekali bertentangan dengan keinginan para pemimpin
Tanah Perdikan itu, bahwa dalam keadaan yang semakin sulit,
17 SH. Mintardja citra Nyai Wiradana yang hilang itu menjadi semakin baik dimata
rakyat Tanah Perdikan. Perempuan-perempuan telah berbisik-bisik kepada suaminya
di rumah, bahwa tingkah laku Nyai Wiradana yang hilang itu jauh
lebih berbeda dengan tingkah laku Nyai Wiradana yang sekarang.
Bagi perempuan-perempuan di Tanah Perdikan itu, Nyai
Wiradana yang lama, meskipun masih muda dan belum terlalu
lama berada di Tanah Perdikan itu, namun rasa-rasanya sudah
menjadi sangat akrab dan bahkan rasa-rasanya dapat menjadi
pengayoman yang manis dan tanpa pamrih.
Karena itulah, setiap terbetik berita, serombongan orang-
orang ngamen mamasuki Tanah Perdikan Sembojan dengan
penari seorang perempuan yang mirip dengan Nyai Wiradana
maka telah timbul harapan bahwa Nyai Wiradana itu akan timbul
kembali di Tanah Perdikan itu.
Sebenarnyalah, sementara itu Iswari telah menyelesaikan laku
yang sangat berat yang harus ditempuhnya untuk sampai kepada
puncak ilmunya. Namun dengan kesungguhan hati dan tekad
yang membaja serta rasa tanggung jawab akan hari depan anak
laki-lakinya, maka Iswari benar-benar telah berubah. Meskipun
nampaknya Iswari menjadi semakin kurus dan hitam dibakar
oleh terik matahari dalam laku yang sangat berat, namun ia telah
benar-benar menjadi seorang yang jarang ada duanya.
Bahkan bukan saja Iswari yang telah menemukan satu tataran
penguasaan ilmu yang sangat tinggi dibawah asuhan kakek dan
neneknya, namun perempuan yang disebut Serigala Betina yang
telah berada di padepokan kecil bersama dengan Iswari, telah
mendapat kesempatan pula untuk meningkatkan ilmunya.
"Aku yakin bahwa kau benar-benar telah menyadari jalannya
yang sesat yang pernah kau rambah," berkata Nyai Soka kepada
perempuan yang disebut Serigala Betina itu.
"Ya Nyai," jawab perempuan itu. "Aku berjanji bahwa aku
akan hidup dalam satu kehidupan yang baru. Hidupku yang lama
18 SH. Mintardja yang berlumuran dosa itu harus aku tinggalkan dan tidak akan
pernah tersentuh lagi."
"Apalagi setelah kau mendapat kesempatan untuk menguasai
tingkat ilmu yang lebih tinggi dari yang pernah kau miliki dan
kau pergunakan untuk kepentingan yang berbeda itu. Maka kau
harus benar-benar hidup dalam satu dunia yang baru yang justru
sangat berlawanan dengan duniamu yang lama," berkata Nyai
Soka. Serigala Betina itu tidak menjawab. Namun kepalanya
tertunduk dalam-dalam. Ia sangat berterima kasih kepada Iswari
yang justru telah menyentuh perasaannya pada saat ia siap untuk
membunuhnya. Karena dengan demikian, maka Iswari telah
memungkinkannya untuk memasuki satu kehidupan baru yang
lebih cerah dan berarti bagi sesamanya.
Sementara itu, perkembangan Tanah Perdikan Sembojan tidak
terlepas dari perhatian orang-orang di padepokan tersebut setiap
langkah Ki Wiradana selalu mereka ikuti dengan seksama. Satu
kesempatan telah dicoba oleh Kiai Badra, apakah perhatian orang
terhadap Nyai Wiradana yang lama masih tetap besar, dengan
sekali mengirimkan rombongan pengamen dengan seorang
penari yang oleh orang-orang Tanah Perdikan Sembojan
dianggap mirip sekali dengan Iswari, justru pada saat Tanah
Perdikan itu sedang bergolak.
Ternyata bahwa perhatian orang-orang Tanah Perdikan masih
cukup besar. Dan ternyata bahwa rakyat kebanyakan masih
menganggap bahwa penari itu mempunyai kedudukan yang
khusus, sehingga tidak seorang pun di antara mereka yang telah
mencoba mengganggu atau bahkan mencoba menangkapnya
meskipun perintah itu sudah dijalankan.
Ketika rombongan penari itu berhenti disebuah padukuhan, di
depan mulut butulan dinding padukuhan itu, ternyata banyak
orang yang telah keluar dan menemuinya.
19 SH. Mintardja Pada saat seperti itu, penari jalanan itu memang mendapat
tanggapan sebagaimana mereka berhadapan dengan Nyai
Wiradana sendiri. "Citra Nyai Wiradana tidak berubah dimata rakyat Tanah
Perdikan," berkata Kiai Badra.
Kiai Soka mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya,
"Tetapi kita harus memperhatikan persoalannya yang terjadi di
Tanah Perdikan itu sekarang. Ternyata Wiradana berhasil
menyusun satu kekuatan yang sangat besar dengan hadirnya
orang-orang Jipang. Karena itu, jika pada saat ini kita bertindak,
maka kita akan berhadapan dengan kekuatan yang seharusnya
ditujukan kepada Pajang."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar.
Memang bukan saatnya sekarang kita bertindak. Tetapi kita tidak
boleh melepaskan ikatan rakyat Sembojan dengan Nyai Wiradana
yang hilang itu." "Aku sependapat," desis Kiai Soka. "Setiap kali kita lakukan
sesuatu untuk memberikan satu kesan tersendiri kepada orang-
orang Tanah Perdikan Sembojan.
Namun langkah kita yang terakhir masih harus kita tunda
sampai saat yang paling tepat."
"Kita harus mencari kekuatan dari dalam lingkungan Tanah
Perdikan itu sendiri," berkata Kiai Badra. "Dan ini harus kita
lakukan dengan sangat berhati-hati dan tidak berkeputusan."
"Bagaimana pendapat kalian jika kita berhubungan dengan
Pajang," tiba-tiba saja Nyai Soka bertanya.
"Memang mungkin kita lakukan. Tetapi langkah-langkah
terakhir Pajang nampaknya dipersiapkan untuk menghadapi
pergolakan di Demak. Pajang juga sudah mempersiapkan
pasukannya tidak saja untuk mempertahankan Pajang, tetapi
nampaknya pasukan yang siap dikirim ke medan. Agaknya
Pajang pun membuat perhitungan seperti Jipang yang lebih baik
mengirimkan pasukan daripada sekadar bertahan. Itulah
20 SH. Mintardja sebabnya maka Pajang agaknya menunda tanggapannya atas
Tanah Perdikan Sembojan," jawab Kiai Soka.
"Atau Pajang memang tidak menyadari akan sikap Sembojan
karena perhatiannya yang dengan tajam ditujukan kepada
Jipang," berkata Nyai Soka selanjutnya.
"Kemungkinan yang demikian memang ada," Kiai Badralah
yang kemudian menyahut. "Memang Demak memerlukan perhatian sepenuhnya dari
Kanjeng Adipati Hadiwijaya, sebab tumpuan harapan keluarga
Kanjeng Sultan Trenggana sepenuhnya ada pada Kanjeng Adipati
Hadiwijaya di Pajang. Sementara sikap Jipang semakin tegas dan
apalagi beberapa orang yang berpengaruh di Demak nampaknya
telah timbul perbedaan pendapat pula, siapakah yang pantas
untuk memegang kendali kekuasaan Demak."
"Agaknya Kanjeng Adipati di Pajang tidak hanya sekadar
bersikap menunggu," sahut Kiai Soka. "Agaknya Kanjeng Adipati
di Pajang justru sudah mengambil langkah-langkah. Memang
terlalu berat baginya jika ia dituduh terlalu bernafsu untuk
merebut tahta Demak. Tetapi jika cara itu yang paling baik
dilakukan pada saat seperti ini, maka Kanjeng Adipati harus rela
mengorbankan sebutannya sebagai seorang yang tidak


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempunyai pamrih. Karena pamrih yang sebenarnya bukan tahta
itu sendiri, tetapi keselamatan dan kelangsungan kuasa Demak
meskipun dapat saja berpusat di Pajang atau tempat lain. Tetapi
tidak di Jipang yang bukan keturunan langsung Sultan
Trenggana." "Agaknya Pajang memang kurang memperhatikan Sembojan.
Tetapi dengan demikian dapat membantunya. Kita dapat
mengumpulkan keterangan tentang Tanah Perdikan itu
sebanyak-banyaknya. Dalam kesempatan tertentu kita akan
berhubungan dengan Pajang. Agar Pajang tidak dikejutkan oleh
satu kekuatan yang tidak diketahuinya sama sekali," berkata Kiai
Badra. "Bahkan alangkah baiknya jika Tanah Perdikan Sembojan
dapat menyelesaikan persoalannya sendiri."
21 SH. Mintardja "Apa maksud kakang?" bertanya Nyai Soka.
"Tanpa menambah kesibukan berpikir dan kesibukan
keprajuritan Pajang, Sembojan dapat dikuasai kembali oleh jalur
kepemimpinan yang tidak menyimpang dan tetap berkiblat
kepada Pajang," jawab Kiai Badra.
"Maksudmu kita berhubungan dengan Ki Wiradana untuk
menyadarkan kesesatannya?" bertanya Nyai Soka.
"Tidak," jawab Kiai Badra. "Kekuatan di Sembojan sendiri
menuntut pulihnya kekuasaan dan kiblat pemerintahan. Bukan
Ki Wiradana yang sudah dikuasai oleh satu kekuatan yang tidak
akan mungkin dilepaskannya."
"Lalu siapa?" bertanya Nyai Soka.
"Seseorang yang memiliki pertanda khusus Tanah Perdikan
Sembojan," jawab Kiai Badra.
Orang-orang yang mendengar keterangan itu mengangguk-
angguk. Mereka mengerti maksud Kiai Badra. Anak Iswarilah
yang harus tampil meskipun masih harus ada seseorang yang
menjadi walinya dalam pemerintahan karena anak Iswari itu
masih belum dapat melaksanakan tugasnya.
Kiai Soka pun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, "Kita
akan mencoba. Kita akan mempersiapkan satu kekuatan di antara
orang-orang Perdikan sendiri. Satu rencana yang mungkin
merupakan rencana yang panjang. Karena mula-mula kita baru
dapat memelihara perhatian mereka terhadap Iswari. Kemudian
menumbuhkan kesadaran orang-orang Sembojan atas sikap yang
kurang menguntungkan dari para pemimpinnya.
Jika perasaan ini dapat menyusup di antara para pengawal,
maka akibatnya tentu akan lebih baik."
"Tetapi apakah kita akan sampai hati melihat perpecahan dan
pertumpahan darah yang terjadi di Sembojan jika dua kekuatan
yang timbul itu akan saling berhadapan?" bertanya Nyai Soka.
22 SH. Mintardja "Pada saat yang demikian kita akan tampil menghadapi para
pemimpin di Tanah Perdikan itu. Jika para pemimpin itu sudah
dikuasai, maka persoalannya tidak akan terlalu banyak
berkembang," desis Kiai Soka.
Orang-orang tua yang sedang berbicang tentang kemungkinan
yang berkembang di Tanah Perdikan itu mengangguk-angguk.
Nampaknya mereka telah menemukan kesepakatan. Meskipun
demikian Kiai Badra masih berkata, "Tetapi segala sesuatunya
masih harus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di
Tanah Perdikan itu sendiri, Demak dan bahkan Jipang. Karena
para perwira Jipang di Tanah Perdikan Sembojan tentu
dikendalikan oleh perintah-perintah dari Jipang langsung."
Dengan demikian maka yang harus dilakukan oleh keluarga
Iswari itu untuk selanjutnya hanyalah sekadar memelihara
ingatan dan perhatian mereka kepada Iswari, sehingga orang-
orang Sembojan masih merasa mempunyai ikatan dengan Iswari
itu. Bahkan kesan bahwa Iswari masih hidup harus diperluas dan
harus menjadi semakin jelas bagi orang-orang Sembojan.
Namun dalam pada itu, Gandar ternyata mempunyai pendapat
tersendiri. Katanya, "Di samping semua rencana itu Kiai, aku
berpendapat bahwa para pengawal di Sembojan harus
menyadari, bahwa kemampuan mereka bukanlah kemampuan
yang patut dibanggakan, agar mereka tidak merasa menjadi
kekuatan yang meyakinkan. Apalagi untuk melawan Pajang."
"Aku sependapat," sambung Jati Wulung. "Orang-orang Tanah
Perdikan Sembojan harus mendapat kesan, bahwa orang-orang
yang pernah mengikuti latihan pada para perwira dari Jipang
untuk waktu yang pendek itu, tidak mampu untuk mengatasi
kerusuhan yang terjadi di Sembojan sendiri. Apalagi untuk
menentang Pajang yang mempunyai kelengkapan keprajuritan
yang tinggi dengan prajurit-prajuritnya yang terlatih dan
berpengalaman untuk waktu yang terhitung panjang."
23 SH. Mintardja Orang-orang tua yang mendengarkannya ternyata tidak
menentangnya. Bahkan sambil tersenyum Kiai Badra berkata,
"Perhatian kalian justru tertuju kepada benturan kekerasan."
"Tetapi ada juga baiknya," sahut Sambi Wulung, saudara tua
seperguruan Jati Wulung dari perguruan Guntur Geni, "Bahkan
jika perlu sekali-kali harus dibuktikan bahwa perwira-perwira
Jipang itu tidak cukup mampu untuk mempertahankan diri
dalam benturan kekerasan dengan orang-orang yang mungkin di
Tanah Perdikan Sembojan disebut sebagai perampok atau
perusuh atau istilah apapun."
"Kami tidak berkeberatan," berkata Kiai Badra. Namun
kemudian, "Tetapi hati-hatilah. Di Tanah Perdikan itu juga
terdapat orang-orang yang disegani. Menurut Gandar Nyai
Wiradana adalah orang yang memiliki ilmu tinggi dari keluarga
Kalamerta. Dan bukankah kalian juga mengetahui, bahwa Ki
Randukeling, kakek Warsi ada juga di Tanah Perdikan itu.
Sementara kalian telah berhasil menjajagi kemampuan pedagang
emas berlian yang ternyata adalah ayah Warsi itu sendiri
sebagaimana pernah kalian katakan, karena kalian melihat
mereka pernah bertemu di pasar. Tetapi Ki Randukeling dan
petugas sandi yang berada di barak para perwira dari Jipang
harus kalian perhatikan benar-benar. Bahkan aku ingin
menasehatkan, hidarilah benturan kekuatan dengan Ki
Randukeling." Kedua orang dari Guntur Geni itu mengangguk-angguk.
Sementara Gandar hanya menundukkan kepalanya saja. Apalagi
ketika Kiai Badra kemudian berkata, "Khusus bagi Gandar yang
sudah dikenal di Tanah Perdikan Sembojan. Kau harus lebih
berhati-hati. Setiap pengenalan atas dirimu akan berakibat buruk
bagi padepokan kecil kita. Meskipun barangkali mereka tidak
akan dapat memburu kita sampai ke Tlaga Kembang ini, tetapi
mereka akan dapat menghancurkan padepokan kita yang kecil
itu." 24 SH. Mintardja "Aku akan berhati-hati Kiai," jawab Gandar. "Namun
meskipun aku pernah dikenal di Tanah Perdikan Sembojan,
tetapi hanya dalam lingkungan yang sangat terbatas.
"Tetapi ciri-ciri tubuhmu akan dapat dikenali dalam ingatan Ki
Wiradana karena ia tentu akan menghubungkannya dengan
orang-orang disekitar Iswari," jawab Kiai Badra.
Gandar mengangguk-angguk. Tetapi ia dapat memahami
pesan Kiai Badra itu, sehingga pesan itu akan tetap diingatnya.
Meskipun demikian katanya kemudian, "Tetapi tidak seorang pun
dari para perwira dari Jipang itu yang mengenal aku."
"Ah," desah Kiai Badra. "Berpikirlah dengan tenang. Jangan
terlalu dipengaruhi oleh perasaan. Bagiku sikap hati-hati adalah
sikap yang paling baik."
Gandar mengangguk-angguk. Ia tidak lagi menyatakan
sesuatu. Agaknya memang tidak ada pertentangan sikap. Namun
orang-orang tua menghendaki langkah-langkah yang diambil
dilandasi dengan sikap yang hati-hati. Karena persoalannya akan
menyangkut persoalan yang sangat luas. Termasuk Tanah
Perdikan Sembojan seluruhnya bahkan dalam hubungannya
dengan Pajang dan Jipang.
Sementara itu, pergolakan di Demak menjadi semakin
menegangkan. Jipang benar-benar telah menyiapkan pasukan
yang kuat. Bahkan ternyata sesuai dengan rencana, Jipang telah
mengirimkan pasukan ke Selatan, mendekati Kadipaten Pajang.
Satu perjalanan pasukan yang panjang. Namun ketabahan
pasukan Jipang memang terpuji, sebagaimana sikap Adipatinya
yang garang. Perjalanan itu sama sekali tidak membuat mereka
mengeluh. Bahkan menghadapi tugas yang sangat gawat itu pun
mereka sama sekali tidak merasa sebagai beban yang berat.
Para pemimpin dari pasukan Jipang yang dikirim ke Selatan
itu sudah mendapat keterangan terperinci tentang Pajang dan
pasukan yang dipersiapkan di Tanah Perdikan Sembojan. Mereka
mendapat perintah untuk langsung menghubungi para perwira
25 SH. Mintardja yang bertugas di Tanah Perdikan Sembojan agar gerakan pasukan
dapat diatur sebaik-baiknya.
Namun gerakan itu tidak lepas dari pengamatan para petugas
sandi dari Pajang. Mereka mengetahui bahwa Jipang telah mengirimkan pasukan
ke Selatan mendekati kedudukan Pajang.
Tetapi Pajang tidak tergesa-gesa mengambil sikap. Namun
demikian para pemimpin di Pajang memerintahkan untuk
mengamati gerakan pasukan itu dengan cermat. Juga akibat dari
gerakan itu terhadap padukuhan-padukuhan yang dilewatinya
dan bahkan kemudian padukuhan yang akan menjadi tempat
mereka membuat pasanggrahan.
Dengan teratur laporan-laporan tentang gerakan itu diterima
oleh para pemimpin di Pajang, sehingga mereka dapat
menyesuaikan diri dengan sikap Jipang. Namun Pajang memang
tidak dengan semata-mata bergerak menghadapi pasukan Jipang.
Tetapi Pajang lebih banyak bergerak di lingkungannya dengan
menyusun pertahanan yang kuat dan berlapis.
Namun keterangan yang kemudian diterima, bahwa gerakan
pasukan Jipang tidak hanya ke arah Pajang, tetapi juga ke arah
Demak. Dengan demikian, maka Pajang harus dengan cepat
mengambil sikap Pajang sendiri tidak mencemaskan pasukan
Jipang yang membayangi Kadipaten itu. Tetapi bahwa Jipang
kemudian juga menggerakkan pasukannya ke arah Demak, maka
Adipati Pajang menjadi gelisah. Jika Adipati Jipang menguasai
Demak, maka akan timbul pengaruh jiwani bagi para Adipati di
daerah Timur, seolah-olah Arya Penangsang dari Jipang memang
menguasai Demak sepeninggal Sultan Trenggana Sementara itu
pasukan Demak sendiri yang kehilangan gairah perjuangannya
karena meninggalnya Sultan Trenggana, serta kekalutan yang
kemudian timbul, harus mendapat lecutan untuk dapat bangkit
kembali dari kegoncangan perasaan mereka.
26 SH. Mintardja Jika Jipang menyerang Demak dalam keadaan yang demikian,
maka Demak akan dengan mudah dapat dikalahkan oleh
kegarangan Adipati Jipang Arya Penangsang dan pasukannya
yang kuat. Karena itu, maka Pajang harus dengan segera mengimbangi
gerakan Jipang karena menurut beberapa orang pemimpin
Demak serta orang-orang yang berpengaruh di Demak, maka
tidak ada orang lain yang akan menjadi pengganti Sultan
Trenggana selain adipati Pajang, meskipun ia hanya seorang anak
menantu. Ternyata Pajang telah mengambil satu sikap yang
mengejutkan Jipang. Pajang tidak saja menyusun pertahanan
yang kuat untuk menghadapi pasukan Jipang dikirim mendekati
Pajang, namun ternyata Pajang juga mengirimkan pasukannya
yang kuat langsung dihadapan
pasukan Jipang yang membuat
pesanggrahan di sebelah Timur
Bengawan Sore dalam usahanya
mendekati Demak. Sementara
itu Pajang telah membuat pesanggrahan di sebelah Barat
Bengawan Sore dan justru langsung dibawah pengamatan
Adipati Pajang sendiri. Kemarahan Arya Penangsang tidak terbendung
lagi menghadapi sikap Adipati
Pajang. Namun demikian, Patih Mantahun yang bijaksana telah
berusaha untuk menahan ledakan perasaan Adipati Jipang itu.
"Apalagi yang kita tunggu?" bertanya Arya Penangsang.
"Kanjeng Adipati, justru karena pasukan Pajang yang kuat
berada disini, maka biarlah kita menghancurkan Pajang. Kita
27 SH. Mintardja rebut Pajang dan dengan demikian maka Adipati Pajang akan
menjadi bingung. Sementara itu, kita akan dapat menarik
sebagian pasukan kita setelah Pajang jatuh untuk
menghancurkan pasukan Pajang yang ada disini," jawab
Mantahun. Arya Penangsang termenung sejenak. Namun ia pun
kemudian bertanya, "Apakah pasukan yang kita kirim ke Pajang
cukup kuat untuk menghancurkan Pajang?"
"Betapapun kuatnya pasukan Pajang yang ada di sebelah
Bengawan Sore, namun Adipati Pajang tidak akan begitu bodoh
untuk mengosongkan Pajang itu sendiri."
"Kita mempunyai kekuatan cadangan yang akan mampu
membantu pasukan kita menghancurkan Pajang," berkata Patih
Mantahun. Arya Penangsang termangu-mangu. Namun ia pun segera
teringat akan Sembojan. Karena itu, maka kemudian katanya, "Apakah Sembojan akan
benar-benar dapat dibanggakan dalam persoalan yang besar dan
bersungguh-sungguh ini?"
"Aku percaya kepada para perwira yang sudah kita kirim ke
Sembojan. Mereka akan berhasil membentuk satu pasukan yang
kuat, yang akan dapat membantu menghancurkan Pajang dari
sisi yang lain," berkata Mantahun. "Selama ini kita selalu
mengadakan hubungan dengan perwira itu untuk mendapat
laporan dan mengirimkan pesan-pesan. Sementara itu, Ki
Randukeling juga selalu berada di Sembojan sejak pergolakan
semakin meningkat. Ia hampir tidak pernah meninggalkan Tanah


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perdikan itu untuk kembali ke padepokannya."
Arya Penangsang mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Aku mendengarkan pendapatmu. Aturlah sebaik-baiknya, agar
Sembojan sempat mengerahkan pasukannya dan mendekati
Pajang. Jika pasukan itu dianggap terlalu lemah, maka sebagian
pasukan Jipang akan dapat dibaurkan dengan mereka. Dengan
demikian maka Pajang akan dibayangi dari dua arah. Pada saat
28 SH. Mintardja tertentu, maka kedua pasukan itu akan menyerbu Pajang yang
lemah, karena sebagian pasukannya berada disini."
"Nah, baru setelah itu, maka sebagian dari pasukan Jipang
akan ditarik untuk menghancurkan pasukan Pajang yang berada
disini," sambung Patih Mantahun.
"Tetapi bagaimanakah jika justru Pajang yang mendahului
menyerang kita disini?" bertanya Arya Penangsang.
"Pajang tidak akan mungkin berani menyerang dengan
pasukannya yang ada sekarang Kanjeng. Sebagaimana aku
berpendapat bahwa sebaiknya kita juga tidak menyerang pasukan
Pajang," jawab Patih Mantahun.
"Bengawan itu?" bertanya Arya Penangsang pula.
"Ya. Pasukan yang seimbang seperti ini, akan selalu
memperhitungkan langkah-langkah yang akan diambil sebaik-
baiknya. Siapa yang berani menyeberangi Bengawan Sore, maka
pasukannya akan dihancurkan di tengah-tengah Bengawan, atau
justru pada saat pasukan itu akan naik ke darat. Dengan anak
panah dan lembing, maka pasukan yang menunggu di darat akan
dengan mudah mengurangi jumlah pasukan yang masih berada
di dalam air Bengawan itu," sahut Patih Mantahun.
Arya Penangsang mengangguk-angguk. Menurut perhitungan
nalar memang demikian. Tetapi kadang-kadang ledakan perasaannya sulit untuk
dikekang, sehingga dalam keadaan tertentu, Arya Penangsang
sering kehilangan kendali nalarnya. Pada kesempatan berpikir
dengan bening. Arya Penangang merasa berterima kasih terhadap
patihnya yang tua dan bijaksana itu.
"Mantahun," berkata Arya Penangsang kemudian, "Kau harus
memperingatkan aku setiap saat agar aku tidak terseret oleh
gejolak perasaanku."
"Aku selalu berusaha Kanjeng. Namun kadang-kadang
Kanjeng terlalu dipengaruhi oleh perasaan, sehingga sulit untuk
dikekang." 29 SH. Mintardja Arya Penangsang mengangguk-angguk. Memang tidak
mungkin bagi Pajang atau Jipang mendahului menyerang dengan
menyeberangi Bengawan Sore. Menurut perhitungan kridaning
perang, maka yang menyerang akan dengan mudah dihancurkan
tanpa ampun sebelum sempat naik ke darat.
Dalam keadaan yang demikian, maka Jipang telah
memberikan perintah kepada para perwiranya di Sembojan agar
menyiapkan pasukan secepatnya dan bergerak mendekati Pajang
dari arah yang berbeda dengan pasukan yang telah lebih dahulu
berada di padukuhan-padukuhan di sebelah Pajang untuk
membayanginya. Karena sebelumnya Sembojan memang sudah mempersiapkan
diri, maka usaha untuk membentuk pasukan itu pun dapat
dilakukan dengan cepat. Di samping duaratus orang pengawal
khusus, maka telah disusun pula pasukan dalam jumlah yang
lebih banyak di antara para pengawal di padukuhan-padukuhan.
"Ini adalah tanggung jawab kita," berkata Ki Randukeling
kepada Ki Wiradana. "Kita telah menyatakan diri berdiri dipihak Jipang. Maka kita
pun harus melakukan segala perintahnya."
Namun Ki Wiradana rasa-rasanya menjadi sangat berat untuk
melepaskan anak-anak mudanya meninggalkan Tanah
Perdikannya untuk membayangi, dan bahkan kemudian
menyerang Pajang "Kakek," berkata Ki Wiradana kemudian. "Apakah bukan
sebaiknya bahwa pasukan yang kita susun itu sekadar untuk
mempertahankan Tanah Perdikan ini. Tetapi bukan untuk
menyerang?" "Bukankah hal seperti ini sudah kita sadari sejak kita
menerima para perwira dari Jipang itu?" jawab Ki Randukeling.
"Dan kini saatnya sudah tiba. Bukan Pajang yang menyerang
Tanah Perdikan ini. Tetapi kita yang akan menyerang Pajang."
30 SH. Mintardja "Tetapi rasa-rasanya sangat berat untuk melepaskan anak-
anak muda itu kakek. Mereka akan berhadapan dengan prajurit-prajurit pajang yang
sudah jauh lebih banyak berpengalaman. Sebagian dari mereka
tentu tidak akan pernah melihat Tanah Perdikan ini kembali,"
suara Ki Wiradana merendah.
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Sebagian
dari mereka memang akan menjadi korban. Tetapi korban itu
adalah korban yang tidak sia-sia. Sebagaimana setiap gegayuhan
tentu harus berani melepaskan korban. Bukankah kau ingin
melepaskan diri dari Pajang yang tidak berminat untuk
mengukuhkan kedudukanmu sebagai Kepala Tanah Perdikan dan
kemudian berpihak kepada Jipang" Sudah tentu dengan satu
keinginan bahwa Jipang akan dengan senang hati menetapkan
dan mewisudamu menjadi Kepala Tanah Perdikan."
"Tetapi bagiku pengorbanan yang diberikan itu rasa-rasanya
terlalu berat. Sepuluh atau duapuluh bahkan mungkin lebih dari anak-anak
muda terbaik Sembojan akan menjadi banten," berkata Ki
Wiradana. "Itu harus sudah kita sadari jauh sebelumnya. Coba
bayangkan, apakah tidak akan ada bebanten seandainya Pajang
yang datang kemari untuk memaksamu kembali tunduk kepada
mereka?" Ki Randukeling berhenti sejenak.
Kemudian katanya selanjutnya, "Justru sekarang tugasmu
menjadi jauh lebih ringan. Jipang sudah menempatkan
pasukannya dihadapan Pajang. Sementara Pajang telah
mengirimkan pasukan segelar-sepapan yang kuat kehadapan
pasukan Jipang seberang-menyeberang Bengawan Sore.
Bukankah dengan demikian kekuatan Pajang dirumahnya sendiri
menjadi jauh lebih susut" Yang harus kita perhatikan kemudian
adalah kesatuan langkah dengan pasukan Jipang yang sudah
berada diharapan Pajang. Demikian pasukan Jipang itu
menyerang untuk menembus pertahanan Pajang yang lemah,
31 SH. Mintardja maka kita pun harus segera bergerak. Nah, kau dapat
memperhitungkan kemungkinan itu. Bukankah tidak ada
kesempatan lain yang lebih baik dari kesempatan itu" Jika Pajang
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 7 Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Meteor Kupu Kupu Dan Pedang 2
^