Suramnya Bayang Bayang 19
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 19
Senapati itu memandang Ki Rangga sejenak. Lalu katanya,
"Terima kasih. Sebaiknya Ki Rangga berada di antara anak-anak
muda Tanah Perdikan yang memerlukan dukungan kejiwaan.
Mereka mulai terpengaruh oleh kegarangan pasukan Pajang,
meskipun para prajurit Jipang telah berbuat yang sama. Dua
orang Senapati pembantuku telah berada di antara mereka
disayap kiri. Mungkin Ki Rangga akan berada di sayap kanan."
58 SH. Mintardja Ki Rangga mengangguk-angguk. Jawabannya, "Baiklah. Aku
akan berada disayap kanan. Namun setelah aku melapor
kehadiranku di medan."
Demikianlah, maka Ki Rangga Gupita itu telah menyusup di
antara para prajurit Jipang dan anak-anak muda Tanah Perdikan
Sembojan untuk mencapai ujung sayap disebelah kanan
Beberapa orang prajurit Jipang yang berada di sayap itu
menyambut kedatangan Ki Rangga dengan gembira dan harapan.
Bagi mereka Ki Rangga adalah seorang petugas sandi yang juga
seorang prajurit yang memiliki kemampuan yang tinggi. Karena
itu, maka kehadirannya tentu akan membantu memperingan
tugas para prajurit Jipang.
"Marilah," berkata Ki Rangga.
"Anak-anak ingusan itu tidak mampu berbuat banyak," desis
seorang perwira Jipang. "Mereka belum berpengalaman."
"Tetapi bukankah kehadirannya dapat juga mengurangi beban
para prajurit Jipang?" bertanya Ki Rangga.
"Ya," jawab perwira itu.
Namun sejenak kemudian, keduanya pun telah terlibat ke
dalam pertempuran melawan prajurit-prajurit Pajang.
Dalam pada itu, ternyata Ki Rangga Gupita memang seorang
yang memiliki ilmu yang tinggi. Dalam waktu yang singkat, ia
telah mampu menunjukkan kegarangannya. Seorang prajurit
Pajang yang menyerangnya, tiba-tiba saja telah terdorong surut.
Dengan cepatnya Ki Rangga mengayunkan pedangnya mendatar.
Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Seleret luka telah
mengoyak dada prajurit Pajang itu, sehingga sekali lagi ia
terdorong surut. Bahkan kemudian prajurit itu pun telah jatuh
terlentang dengan bermandikan darah yang mengalir dari luka di
dadanya. Ki Rangga mengamati pedangnya yang merah diujungnya. Ia
sempat berpaling kepada anak-anak muda Tanah Perdikan.
59 SH. Mintardja Dengan lantang ia berkata, "Siapa yang tangannya belum basah
oleh darah, sentuhlah darah yang masih merah itu dengan ujung
jarimu. Maka kalian akan menjadi seorang prajurit yang tidak
lagi ragu-ragu menggerakkan senjata kalian di peperangan."
Anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan itu pun
termangu-mangu. Namun dalam pada itu, Ki Rangga Gupita pun
telah maju mencari lawan yang lain.
Kehadiran Ki Rangga Gupita disayap itu telah membuat
pertempuran menjadi berubah. Kegarangannya benar-benar
menimbulkan kegelisahan di antara para prajurit Pajang.
Namun prajurit Pajang yang berpengalaman itu pun telah
dengan cepat berusaha menguasai keadaan. Tiga orang di antara
mereka telah menempatkan diri menghadapi Ki Rangga Gupita.
Tiga orang yang dianggap memiliki kelebihan dari kawan-
kawannya. "Licik," geram Ki Rangga Gupita setelah ia bertempur
beberapa saat, sementara ketiga orang itu agaknya berhasil
mengganggu keleluasaannya bergerak.
"Apa yang licik?" bertanya prajurit Pajang itu.
"Kalian maju bertiga," sahut Ki Rangga.
"Kita berada di peperangan. Bukan dipertarungan dalam
perang tanding. Siapapun dapat melawanmu. Bahkan seandainya
sekelompok yang terdiri dari seratus orang sekalipun jika kami
memilikinya," jawab salah seorang di antara para prajurit Pajang
itu. Ki Rangga tidak menjawab. Ia pun segera memutar pedangnya
dengan kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti dengan mata
wadag. Namun ketiga orang prajurit Pajang itu berusaha dengan
segenap kemampuan yang ada padanya untuk menahan
keleluasaan gerak Ki Rangga, meskipun berkali-kali ujung senjata
Ki Rangga hampir saja mematuk mereka.
60 SH. Mintardja Dalam kejemuan menghadapi ketiga orang itu, maka Ki
Rangga telah meningkatkan ilmunya. Bukan saja penggunaan
tenaga cadangannya, tetapi ilmunya yang mampu mengguncang
ketabahan hati lawan-lawannya.
Ternyata bahwa Ki Rangga Gupita telah membuat ketiga
lawannya kebingungan. Setiap sentuhan senjata mereka, maka
terasa genggaman mereka atas senjata masing-masing menjadi
sangat panas. Namun demikian para pengawal itu masih tetap bertahan.
Betapapun perasaan panas itu menyengat setiap jari-jarinya.
Bahkan bagaikan menghanguskan kulit dagingnya.
Rangga Gupita itu tertawa ketika ia melihat lawan-lawannya
menyeringai kesakitan. Dengan cepat ia berloncatan sambil
memutar senjatanya. Kemudian senjata itu terayun mendatar
menembus ke arah leher. Ternyata bahwa lawannya sempat
menghindar. Namun ujung pedang itu seakan-akan telah
menggeliat dan justru terjulur lurus ke arah jantung.
Rangga Gupita memang sengaja memberi kesempatan
lawannya menangkis serangannya yang tidak begitu cepat.
Namun demikian senjata lawannya itu menyentuh pedang
Rangga Gupita, maka terdengar desah tertahan. Prajurit Pajang
itu mengaduh karena tangannya bagaikan masuk ke dalam
seonggok bara yang menyala.
"Gila," geram prajurit Pajang itu, sementara Ki Rangga Gupita
tertawa. Kepada anak-anak muda yang bertempur disekitarnya Ki
Rangga itu berteriak, "Lihat, para prajurit Pajang tidak lebih dari
kelinci-kelinci yang bodoh. Karena itu, maka jangan ragu-ragu.
Karena kalian memiliki bekal yang jauh lebih baik dari orang-
orang Pajang ini." Kata-kata Ki Rangga Gupita memang dapat membesarkan hati
anak-anak muda dari Tanah Perdikan Sembojan itu. Sambil
bersorak keras-keras mereka serentak menyerang lawan-lawan
terdekat. 61 SH. Mintardja Namun mereka bukannya Rangga Gupita. Tidak seorang pun
di antara anak-anak muda Tanah Perdikan yang tahu, apakah
sebenarnya yang sudah terjadi. Mereka hanya melihat perubahan
dalam keseimbangan pertempuran antara Ki Rangga dengan
orang-orang Pajang itu. Tetapi mereka tidak mengerti seutuhnya,
bahwa Ki Rangga telah mempergunakan segenap ilmunya sampai
ke puncaknya. Mereka tidak mengerti bahwa setiap sentuhan
senjata, maka tangan prajurit Pajang itu bagaikan tersentuh bara.
Yang mereka lihat hanyalah para prajurit Pajang itu menjadi
terdesak karenanya. Sebenarnyalah ketiga orang prajurit Pajang itu menjadi
bingung. Mereka agaknya tidak mempunyai peluang sama sekali
untuk dapat mengalahkan lawannya. Yang terjadi, semakin lama
tangan mereka menjadi semakin lemah.
Ki Rangga masih tersenyum. Dengan nada datar ia berkata,
"Nah, itu masih baru permulaan. Tetapi sebaiknya kalian harus
bertempur sampai senjata kalian jatuh dengan sendirinya di atas
tanah." Namun Ki Rangga itu terkejut, ketika ia mendengar jawaban
atas kata-katanya dengan nada yang berbeda, sehingga Ki Rangga
Gupita berpaling ke arah suara itu.
"Permainanmu sangat mengesankan Ki Sanak," berkata orang
yang kemudian dilihat oleh Ki Rangga menyusup di antara para
prajurit Pajang. Ki Rangga mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia
bertanya, "Siapakah kau Ki Sanak?"
"Sudah tentu prajurit Pajang. Tetapi jika kau ingin tahu
namaku, aku adalah Wirajaya. Tumenggung Wirajaya," jawab
orang yang baru datang itu.
Ki Rangga Gupita termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun menyahut, "Jadi kau seorang Tumenggung"
Tetapi menilik pakaianmu kau tentu dari kesatuan yang berbeda
dengan prajurit-prajurit yang sedang bertempur ini?"
62 SH. Mintardja "Mungkin," sahut Rangga Gupita. "Tetapi perbedaan yang
tidak berarti, yang penting bahwa aku adalah prajurit Pajang dan
kau adalah prajurit Jipang, karena jika dilihat dari pakaianmu,
kau juga bukan dari kesatuan Jipang yang datang ini. Juga bukan
satu di antara orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Siapa
namamu Ki Sanak?" "Kau tidak memerlukan namaku," jawab Rangga Gupita.
"O," desis Ki Tumenggung. "Aku sudah menyebut namaku.
Bahkan namaku sendiri. Sekarang kau tidak mau menyebut
sebuah nama meskipun nama itu bukan namamu sendiri."
"Bukankah tidak ada artinya apa-apa jika aku menyebut nama
yang bukan namaku sendiri," sahut Ki Rangga yang kemudian
bertanya, "Nah, sekarang apa yang kau kehendaki dalam
pertempuran ini?" "Kau aneh," jawab Tumenggung Wirajaya. "Jika aku turun ke
gelanggang tidak ada maksud yang lain kecuali menangkapmu
serta beberapa orang Senapati yang lain."
"Persetan," geram Ki Rangga Gupita. "Kau kira kau memiliki
kemampuan iblis sehingga kau dapat mengalahkan aku?"
"Aku memang tidak mempunyai kemampuan iblis," jawab Ki
Tumenggung. "Tetapi aku akan berusaha menandingimu."
Ki Rangga tidak menjawab lagi. Ia pun segera mempersiapkan
diri. Agaknya Ki Tumenggung Wirajaya memang lain dengan
prajurit-prajurit kebanyakan.
Karena itu, maka sejenak kemudian Ki Rangga Gupita pun
telah menyerangnya dengan garangnya. Ujung pedangnya yang
bergetar telah mematuk ke arah dada.
Rangga Gupita yang gagal mengenai dada lawannya, tiba-tiba
telah mengibaskan ujung pedangnya mendatar tepat setinggi
dada. Ki Tumenggung yang memang ingin menjajagi kemampuan
dan ilmu lawannya berusaha untuk menangkisnya. Ia sadar,
63 SH. Mintardja menilik sikap ketiga lawan Ki Rangga yang terdahulu. Dalam
setiap sentuhan senjata nampaknya mereka menyeringai
menahan sakit. Karena itu, maka Ki Tumenggung Wirajaya telah
mengetrapkan daya tahannya pada telapak tangannya.
Namun Ki Tumenggung itu terkejut juga. Ia tidak memiliki
ilmu kebal, sehingga meskipun ia telah mengetrapkan kekuatan
daya tahannya pada telapak tangannya, namun Ki Tumenggung
itu merasakan juga panasnya bara api yang menyentuh
tangannya itu. Ki Tumenggung meloncat ke samping itu pun menarik nafas
dalam-dalam. Ia pun sadar, bahwa ia berhadapan dengan seorang
yang memiliki ilmu yang tinggi.
Namun Ki Tumenggung adalah seorang pemimpin Pajang
yang disegani. Meskipun Ki Tumenggung lebih banyak tersenyum
dalam keadaan apapun juga, namun ia memiliki kemampuan
yang cukup tinggi pula. Karena itu, maka yang terjadi kemudian adalah pertempuran
antara dua kekuatan yang melampaui kekuatan orang
kebanyakan. Untuk mengatasi sentuhan yang dapat mengakibatkan telapak
tangan Ki Tumenggung bagaikan menggenggam api itu, maka ia
pun telah mengerahkan ilmunya untuk meningkatkan
kecepatannya bergerak. Dengan kecepatan bergerak yang sangat
tinggi, maka ia dapat membuat Ki Rangga agak kebingungan.
Satu ilmu yang luar biasa, telah membuat Ki Tumenggung itu
mampu membuat tubuhnya menjadi sangat ringan sehingga
seolah-olah tidak berbobot. Dengan demikian maka ia pun
mampu untuk bergerak cepat sekali.
Sekali-kali Ki Tumenggung itu ada di depan lawannya. Namun
tiba-tiba Ki Tumenggung itu pun telah berada di belakang Ki
Rangga Gupita. 64 SH. Mintardja Namun Ki Rangga tidak menjadi putus asa. Ia pun telah
mengerahkan kemampuannya untuk mengatasi kecepatan gerak
Ki Tumenggung meskipun ia lebih sering merasa kehilangan arah
perlawanannya. Namun setiap kali ia berhasil menangkis serangan Ki
Tumenggung, maka rasa-rasanya ia telah membuat sebuah luka
pada tubuh Ki Tumenggung, karena kemampuannya menyengat
telapak tangan lawan dengan kekuatan ilmunya bagaikan
panasnya bara api. Dengan demikian maka pertempuran di antara kedua orang
itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Sedangkan
pertempuran dalam keseluruhannya pun terasa semakin
membakar pula. Jumlah orang dalam pasukan Jipang memang
lebih banyak. Tetapi kemampuan mereka, terutama anak-anak
muda Tanah Perdikan Sembojan, masih belum dapat
mengimbangi kemampuan para
prajurit Pajang yang berpengalaman. Para pengawal Tanah Perdikan yang kebetulan
mendapat tempaan dari para perwira secara langsung memang
jauh lebih baik dari anak-anak muda yang mendapat latihan
sekadarnya dari kawan-kawan mereka sendiri yang telah
menempa diri pada para perwira dari Jipang itu.
Karena itulah, maka dua kekuatan itu menjadi bagaikan
seimbang. Keduanya saling mendesak dan saling bertahan. Sorak
yang membahana setiap kali meledak dari kedua belah pihak
disusul dengan teriakan-teriakan yang bagaikan memecahkan
selaput telinga. Dalam pada itu, maka Senapati tertinggi prajurit Pajang yang
ada di dalam medan pertempuran itu pun dengan
pengamatannya yang cermat telah dapat menilai, bahwa
pertempuran itu tentu akan berlangsung lama sekali. Bahkan
Senapati itu yakin bahwa pada hari itu, mereka harus
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghentikan pertempuran karena malam turun. Pasukan
Pajang yang cukup besar itu tidak mampu memecahkan pasukan
Jipang yang jumlahnya lebih banyak, meskipun di antaranya
adalah anak-anak muda dari Sembojan.
65 SH. Mintardja Karena itu, maka Pajang yang masih mempunyai tenaga
cadangan di balik gerbang kota itu akan dapat dipergunakan di
hari berikutnya. Jika ia tidak dengan segera mengubah
keseimbangan itu dan perang akan berlangsung berkepanjangan,
maka korban akan menjadi semakin banyak.
"Ternyata pasukan disisi Timur ini lebih besar dari kekuatan
pasukan Jipang disisi Barat," berkata Senapati itu di dalam
hatinya. Sebenarnyalah, bahwa matahari semakin lama telah menjadi
semakin rendah. Kemampuan dan tenaga di kedua belah pihak
pun telah menjadi susut. Ayunan pedang sudah tidak lagi sederas
saat pertempuran itu baru mulai. Tombak dan lembing tidak lagi
mematuk secepat patukan ular bendotan.
Dalam pada itu, pertempuran antara Ki Tumenggung Wirajaya
dan Ki Rangga Gupita pun rasa-rasanya tidak akan
berkesudahan. Keduanya memiliki kemampuannya masing-
masing yang dapat saling mengatasi dan saling mengimbangi
meskipun dalam ujud yang berbeda.
Langit pun semakin lama menjadi semakin merah. Matahari
perlahan-lahan telah turun dan memasuki sarangnya di ujung
Barat, sehingga senja pun telah datang.
Pada saat yang demikian, maka terdengar isyarat dari kedua
belah pihak untuk menghentikan pertempuran. Sebagaimana
saat pertempuran itu akan dimulai, maka suara bende pun telah
mengumandang dan menggelepar di udara. Sementara di pihak
lain terdengar suara sangkakala meneriakkan aba-aba untuk
menghentikan pertempuran itu pula.
Bagaimanapun juga kedua belah pihak adalah prajurit-prajurit
yang terlatih dan berpengalaman. Keduanya memiliki beberapa
sifat yang hampir sama, meskipun prajurit Jipang pada
umumnya memiliki watak yang lebih keras. Namun prajurit
Pajang tidak kalah niatnya menghadapi keadaan yang betapapun
sulitnya. Meskipun sekali-kali prajurit Pajang itu mengalami
tekanan yang berat dan beruntun, namun garis pertahanan
66 SH. Mintardja pasukan Pajang tidak patah atau terputus. Seperti tali busur yang
terdesak melentur, namun kemudian menghentak lurus kembali.
Demikianlah ketika pertempuran itu beristirahat, maka para
pemimpin Pajang telah sepakat untuk menurunkan pasukan
cadangannya. Dengan cepat, maka para Senapati telah
memanggil sebagian dari para prajurit yang bertugas untuk
mengamankan keamanan lingkungan di dalam kota. Sementara
itu menyerahkan keadaan dalam kota kepada anak-anak muda
yang masih ada serta laki-laki yang masih belum terlalu tua dan
masih memiliki kekuatan dan tenaga untuk melakukannya.
Sedangkan untuk menjaga segala kemungkinan, maka para
prajurit yang tersisa didalam kota telah diperlengkapi dengan
kuda, agar jika diperlukan mereka dapat mencapai tempat-
tempat tertentu dengan cepat. Sementara sebagian dari mereka
telah diturunkan pula ke medan esok pagi.
Dengan hati-hati dan tidak menimbulkan kecurigaan, seorang
demi seorang dari prajurit cadangan itu telah pergi ke gelar
pasukan Pajang diluar kota menghadapi pasukan Jipang.
Namun sementara itu, seorang pengamat dengan tergesa-gesa
menemui panglima pasukan Pajang yang ada di kota itu untuk
menyampaikan laporan, "Kami melihat dua penghubung berkuda
pasukan Jipang menuju ke Barat.
Panglima itu pun kemudian mengurai persoalannya bersama
para Senapati yang lain. Mungkin kedua penghubung itu
memberitahukan keadaan disisi Timur. Hanya sekadar sebagai
pemberitahuan. Namun agaknya Pasukan Jipang itu
mengharapkan bantuan. Namun agaknya pasukan Jipang yang
masih sedang menyusun pertahanan di daerah yang
dipergunakannya untuk menyusun pertahanan barunya itu, sulit
untuk dapat memenuhinya. Selain itu maka jarak antara dua
pemusatan pasukan Jipang itu cukup jauh. Kemungkinan yang
lain adalah, pasukan disisi Timur memberitahukan bahwa
pasukan Pajang sebagian terbesar ada disisi Timur itu, sehingga
apabila pasukan Jipang disisi Barat akan menyerang, maka
pertahanan disisi Barat tentu sedikit melemah.
67 SH. Mintardja "Kita harus berhati-hati menanggapi sikap prajurit Jipang
yang ternyata mempunyai kemampuan yang sangat besar,"
berkata Tumenggung Wirajaya.
"Ya. Hal itu kami sadari sepenuhnya," jawab Panglima prajurit
Pajang itu. Lalu, "Karena itu, maka kita harus segera mengambil
sikap. Aku akan memerintahkan pasukan disisi Barat bersiaga
sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu,
aku tetap berniat untuk menghancurkan pasukan Jipang, atau
setidak-tidaknya mendesaknya menjauh seperti disisi Barat."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Dengan pasukan cadangan itu kita berharap akan dapat
memecahkan pasukan lawan esok pagi," Ki Tumenggung berhenti
sejenak, lalu, "Tetapi harus diingat, bahwa pasukan Jipang itu
pun memiliki tenaga cadangan meskipun hanya sedikit."
"Ya. Tetapi pasukan cadangan kita lebih banyak," jawab
Panglima pasukan Pajang itu.
Malam itu, pasukan Pajang akan dilengkapi dengan tenaga-
tenaga cadangan, sementara kawan-kawan mereka yang terluka
dan terbunuh telah dikumpulkan dari medan dan dibawa
memasuki regol. Mereka telah dibawa ke banjar terdekat dengan
pintu gerbang kota untuk mendapat perawatan dan pelayanan
sebagaimana seharusnya. Malam itu ternyata bahwa pasukan kedua belah pihak tidak
segera dapat beristirahat. Namun para perwira dikedua belah
pihak pun telah berusaha agar para prajurit itu mendapat
kesempatan beristirahat sebanyak-banyaknya. Pekerjaan-
pekerjaan lain diserahkan kepada mereka yang tidak turun ke
medan esok pagi. Beberapa orang prajurit telah melumuri kaki dan tangan
mereka dengan param yang memang sudah disediakan. Dengan
demikian, terasa urat nadi mereka menjadi hangat, dan darah
pun mengalir dengan lancar. Karena itu, maka perasaan letih dan
penat pun menjadi segera berkurang.
68 SH. Mintardja Tetapi seorang prajurit Pajang yang masih muda berkata
kepada kawannya, "Kau sudah seperti seorang kakek-kakek. Baru
sehari kau bertempur, kau sudah harus memerami kaki, tangan
bahkan punggung dan perutmu."
"Jangan sombong," sahut kawannya. "Soalnya bukan kakek-
kakek atau bukan. Tetapi tubuh ini terasa segar kembali setelah
sehari kita bertempur."
"Aku cukup dengan sedikit lama membenamkan diri
disungai," jawab prajurit muda itu. "Tubuhku telah segar kembali
seperti pada saat aku datang kemari."
"Mungkin kau cukup dengan mandi semalam suntuk. Tetapi
bagiku param ini sangat berarti bagi urat-uratku yang hampir
kejang," jawab kawannya.
Keduanya tidak berbantah lagi. Masing-masing mempunyai
kebiasaannya sendiri-sendiri, sehingga karena itu, maka mereka
melakukan apa yang sesuai dengan kebiasaan mereka masing-
masing. Namun satu hal yang harus mereka lakukan, sebagaimana
diperintahkan oleh para pemimpin mereka, adalah beristirahat
sebanyak-banyaknya dapat mereka lakukan.
"Besok kalian masih harus bertempur penuh. Soalnya adalah
menyangkut masalah hidup dan mati. Karena itu, beristirahatlah.
Jika kalian dengan sombong merasa tidak memerlukan waktu
untuk beristirahat sebaik-baiknya, maka mungkin sekali besok
kau akan keluar dari medan di atas pundak orang-orang yang
mengusungmu," berkata seorang perwira kepada kelompok yang
dipimpinnya. Dengan demikian maka para prajurit pun telah berusaha
sebanyak-banyaknya untuk beristirahat setelah mereka makan
malam, sementara mereka yang terluka kecil oleh goresan-
goresan senjata, namun masih mampu untuk bertempur, telah
mengobati luka-luka mereka lebih dahulu sebelum mereka pergi
tidur. Hanya sekelompok kecil sajalah yang bertugas bergantian
mengamati keadaan. 69 SH. Mintardja Namun dalam keadaan yang demikian, seorang demi seorang
pasukan Pajang telah bertambah.
Malam yang kemudian menjadi kelam, telah menyelubungi
medan dengan kesenyapan. Tetapi tak banyak ada gerak di kedua
belah pihak. Para prajurit tertidur silang melintang dengan
dengkur yang tersendat-sendat.
Pada malam itu, di Tanah Perdikan Sembojan, serombongan
pengamen telah memasuki padukuhan. Di ujung lorong, Kiai
Badra yang memimpin rombongan itu bersama Kiai Soka
berkata, "kita sudah dapat mulai sebagaimana dikehendaki oleh
Ki Tumenggung Wirajaya. Aku yakin bahwa di Pajang, Ki
Tumenggung pun sudah mulai pula mengusik orang-orang
Jipang." "Ya," jawab Kiai Soka. "Kita memang sudah mulai dengan
rancangan kita. Jika mungkin maka kita akan menghindari
benturan-benturan pada langkah-langkah pertama."
"Mudah-mudahan," jawab Kiai Badra. "Kita akan mengadakan
pendekatan dengan orang-orang yang mungkin dapat kita ajak
berbicara." Yang lain pun mengangguk-angguk. Namun mereka telah
mempunyai bekal tertentu sehingga mereka tidak lagi ragu-ragu
untuk menyatakan niat mereka yang sebenarnya.
Ketika rombongan itu mengadakan pertunjukan tanpa diminta
oleh siapapun, maka orang-orang padukuhan itu pun telah
banyak yang berkerumun. Namun, mereka terkejut ketika mereka
melihat penarinya sama sekali tidak mengenakan pakaian
sebagaimana mereka lihat. Penari yang ikut dalam rombongan itu
memakai pakaian sehari-hari seperti yang dikenakan oleh
perempuan-perempuan Tanah Perdikan Sembojan.
Namun dengan demikian, maka orang-orang yang
menyaksikannya menjadi semakin tersentuh hatinya. Perempuan
itu pasti Nyai Wiradana yang hilang.
70 SH. Mintardja Ketika orang-orang padukuhan itu sudah berkumpul karena
mendengar suara gamelan, maka penarinya yang tidak
mengenakan pakaian penari selain sehelai selendang yang
diikatkan di lambung itu pun mulai bangkit dan berdiri di
tengah-tengah arena, dikelilingi oleh orang-orang padukuhan itu
yang melihat penari itu dengan heran.
Namun dalam pada itu, gamelan pun justu telah berhenti.
Orang-orang yang mengerumuni arena itu menjadi semakin
heran. Namun mereka menunggu apa yang akan terjadi
kemudian. Dalam pada itu, maka penari yang tidak mengenakan pakaian
penari itu pun kemudian melangkah mengelilingi arena sambil
memandang orang-orang yang mengerumuninya. Sejenak
kemudian tiba-tiba saja ia berkata, "Ki Sanak, orang-orang
Sembojan yang baik hati. Aku minta maaf, bahwa kali ini aku
tidak dapat menari bagi kalian karena sesuatu hal. Aku tidak
sempat merias diri di pondokanku karena aku telah diusir oleh
orang yang untuk sementara memberikan tempat kepada kami
untuk tinggal, sementara di malam hari dan kadang-kadang
disiang hari, kami mengadakan pertunjukan keliling seperti ini.
Orang-orang Sembojan itu pun mendengarkan keterangan
penari yang tidak dalam pakaian tari itu dengan seksama.
Sementara itu perempuan itu pun berkata lebih lanjut. "Karena
itu, maka sejak saat ini kami tidak lagi mempunyai tempat untuk
berteduh. Memang ada dua pilihan yang dapat kami lakukan.
Kembali ke tempat asal kami, namun untuk datang kembali
ketempat ini jaraknya terlalu jauh, sehingga mungkin akan dapat
kami lakukan dalam waktu tiga atau empat bulan seperti pada
saat kami pulang beberapa waktu yang lalu, atau kami mohon
belas kasihan seseorang untuk memberikan tempat yang baru
bagi kami. Sekadar untuk dapat tidur dan menempatkan
peralatan kami yang tidak berarti."
Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Mereka merasa
kasihan kepada perempuan yang mirip dengan Ki Wiradana itu,
71 SH. Mintardja yang bahkan ada yang sudah menyebutkan bahwa perempuan itu
adalah Nyai Wiradana itu sendiri.
Tetapi mereka tidak berani memberikan tempat kepada
rombongan itu, karena mereka takut kepada Ki Wiradana yang
telah menyatakan bahwa rombongan penari itu harus ditangkap
jika mereka kembali ke Tanah Perdikan.
Karena orang-orang Tanah Perdikan di padukuhan itu
nampak ragu-ragu, maka Nyai Wiradana yang menumbuhkan
teka-teki itu pun berkata, "Ki Sanak, apakah Ki Sanak masih
dibayangi kecemasan, bahwa pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikan ini akan marah?"
Tidak ada jawaban. Tetapi beberapa orang mengangguk
mengiakan. "Baiklah. Jika demikian kami tidak akan memaksa. Agaknya
Nyai Wiradana lah yang sebenarnya berkeberatan, karena Nyai
Wiradana tidak ingin peristiwa yang pernah terjadi itu terulang.
He, apakah bukan hanya sekadar fitnah saja bahwa Nyai
Wiradana dahulu juga seorang penari seperti aku?" bertanya
Iswari. "Ya," hampir berbareng beberapa orang telah menjawab.
"Tetapi menurut pendengaranku, sebelum Ki Wiradana kawin
dengan penari itu, bukankah ia sudah beristri?" bertanya Iswari
itu pula. "Ya," jawab beberapa orang yang semakin banyak jumlahnya.
"Dan istrinya itu kini sudah tidak ada lagi di Sembojan," desak
Iswari pula. Semakin banyak orang yang menjawab, "Ya," bahkan seorang
telah berteriak. "Istrinya telah pergi."
"Baiklah," berkata Iswari. "Bagaimana pendapat kalian
tentang istri Ki Wiradana yang telah pergi itu dengan istrinya
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang sekarang?" 72 SH. Mintardja Tidak seorang pun menjawab. Jawaban yang sudah ada
dikerongkongan pun telah ditelannya kembali.
Namun sementara itu Iswari itu berkata, "Ki Sanak. Menurut
pendengaranku, pada saat istri Ki Wiradana itu pergi, ia baru
mengandung. Apakah kalian juga mengetahuinya?"
Beberapa orang dengan ragu mulai menjawab lagi, "Ya."
"Nah, jika demikian, maka anak itu sekarang tentu sudah
lahir," berkata Iswari. "Sementara itu anak Warsi, juga seorang
penari jalanan itu sudah lahir pula. Tetapi siapakah yang lebih
berhak untuk menjadi Kepala Tanah Perdikan kelak. Anak Iswari
atau anak Warsi." Orang-orang yang mengerumuni arena itu termangu-mangu.
Namun ada juga yang menjawab, "Anak Iswari. Ia lebih berhak
atas kedudukan Kepala Tanah Perdikan ini daripada anak Warsi
yang tamak itu." Kawan-kawannya berpaling ke arah orang itu. Bagaimanapun
juga mereka merasa cemas akan kata-kata yang dilontarkan oleh
salah seorang daripadanya. Jika yang dikatakan itu sampai
terdengar oleh Ki Wiradana, maka ia tentu akan mendapat
hukuman yang berat. Apalagi jika Warsi sendiri mendengarnya,
maka nasib orang itu tentu akan buruk."
Sementara itu, Iswari yang berada di tengah-tengah
kerumunan orang banyak itu pun telah tersentuh hatinya
mendengar jawaban itu. Ternyata bahwa paling tidak seorang di
antara orang-orang Sembojan masih menganggapnya sebagai ibu
dari seorang anak yang akan dengan sah memegang kedudukan
Kepala Tanah Perdikan. Karena itu, di luar kendali perasaannya,
maka muncullah dipermukaan, sifat perempuannya. Dengan
susah payah ia telah menahan agar air mata yang memanasi
pelupuknya itu tidak menitik jatuh.
Namun ternyata bahwa air mata itu masih juga meleleh
dipipinya. 73 SH. Mintardja Tetapi cahaya lampu minyak yang tidak begitu terang tidak
sempat menunjukkan butir-butir air yang menitik kulit pipinya
itu. Sementara itu, Iswari telah menghentakkan perasaannya
sambil berkata, "Jika demikian, maka pada suatu saat, anak itu
akan datang kepada Ki Sanak semuanya."
Kata-kata Iswari itu ternyata merupakan satu isyarat, bahwa ia
telah mengakui tentang dirinya sendiri. Bahwa ia bukan sekadar
perempuan yang mirip dengan Nyai Wiradana. Tetapi dengan
kata-katanya yang dilontarkan itu, serta ujudnya dalam pakaian
sehari-hari, ternyata perempuan itu memang Iswari.
Karena itu, maka Ki Bekel yang kebetulan juga
menyaksikannya, telah menyibak orang yang berkerumun itu.
Ketika ia muncul di arena maka katanya, "Nyai, aku adalah bekel
dari padukuhan ini. Bekel yang seakan-akan sudah dilupakan,
karena semua tugasku sudah diambil alih oleh anak-anak muda
yang disebut pengawal padukuhan yang langsung dipimpin oleh
Ki Wiradana," orang itu berhenti sejenak, lalu katanya, "Ada
kecenderungan aku memberontak karenanya. Tetapi aku tidak
akan mampu berbuat apa-apa. Meskipun demikian, setelah aku
mendengar keterangan Nyai, maka aku telah mengambil satu
kesimpulan tentang Nyai dan rombongan ini. Karena itu, aku
akan mempersilakan rombongan ini untuk berada di rumahku.
Apapun yang akan terjadi, aku akan menerimanya dengan senang
hati." Iswari memandang Ki Bekel dengan tajamnya. Namun
kemudian ia pun bertanya, "Kesimpulan apakah yang telah kau
ambil tentang kami?"
"Semua orang yang berkerumun disini akan mengerti
maksudku," jawab Ki Bekel. "Marilah, singgah dan tinggal di
rumahku. Aku tahu bahwa hal ini akan menjadi persoalan. Tetapi
aku tidak berkeberatan."
74 SH. Mintardja Iswari menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia
memandang Kiai Badra dan Kiai Soka yang ada di dalam
temaramnya lampu minyak untuk mendapat pertimbangan.
Sementara itu, terdengar suara Kiai badra, "Baiklah ngger.
Terimalah tawaran yang sangat berharga ini."
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Ki Bekel.
Kami sangat berterima kasih atas kesempatan ini."
"Marilah. Jika kau masih ingin mendapat kesempatan untuk
menari malam ini, kau dapat merias dirimu di rumahku. Tetapi
jika kau anggap sudah terlalu malam sekarang, maka kau dapat
melakukannya besok," berkata Ki Bekel.
Iswari pun kemudian berkata, "Sekali lagi kami mengucapkan
terima kasih. Dengan senang hati kami akan ikut bersama Ki
Bekel," Lalu katanya kepada orang-orang yang berkerumun itu,
"Ki Sanak semuanya, aku minta maaf bahwa kali ini aku tidak
dapat menari untuk kalian. Tetapi aku berjanji, besok aku akan
menari di halaman rumah Ki Bekel, sebagaimana yang telah
sering aku lakukan."
Orang-orang yang berkerumun itu tidak menjawab. Tetapi
sesuatu telah meyakinkan mereka dengan siapa mereka
sebenarnya berhadapan. Sejenak kemudian, maka iring-iringan kecil itu pun telah
meninggalkan tempat itu menuju ke rumah Ki Bekel. Rumah
yang cukup besar dan terhitung cukup baik dibandingkan dengan
rumah disekitarnya. Agaknya Ki Bekel termasuk orang yang
berkecukupan. ----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 16. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
75 SH. Mintardja Jilid Ke enam belas Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 76 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja ORANG-ORANG yang berkerumun itu pun telah bubar
pula. Tetapi ternyata mereka tidak memencar kembali ke rumah
mereka masing-masing. Sebagian besar dari mereka telah
berkerumun dan berbincang tentang kata-kata penari yang tidak
dalam pakaian tari itu. "Ternyata akhirnya kita benar," berkata seorang laki-laki yang
bertubuh tinggi. "Perempuan itu adalah Nyai Wiradana sendiri."
"Ya," sahut kawannya. "Tanpa menyebut dengan jelas, kita
semuanya sudah mengetahui, bahwa yang dikatakan itu adalah
satu pengakuan." "Tetapi ternyata Ki Bekel telah mengambil sikap yang sangat
berani. Dengan menampung orang-orang itu, apakah tidak
berarti bahwa Ki Bekel dengan terang-terangan telah menentang
kekuasaan Ki Wiradana" Bukan saja kegarangan dan kekerasan
Wiradana yang harus diperhitungkan, tetapi kekerasan
perempuan yang dipungutnya dari jalanan itulah yang harus
diperhitungkan. Ternyata bahwa perempuan itu memiliki
kemampuan melampaui kemampuan Ki Wiradana sendiri," desis
orang yang pertama. "Ki Bekel sudah tidak dapat menahan hati lagi. Sementara ini
ia seolah-olah sudah tidak berarti lagi. Apapun juga dipadukuhan
ini telah dilakukan oleh anak-anak muda yang dipercaya oleh Ki
Wiradana. Sampai memungut pajak pun telah mereka lakukan
dan menyerahkan langsung kepada Ki Wiradana," sahut
kawannya. "Tetapi bagaimana dengan kita?" bertanya orang yang
pertama. "Jika benar terjadi pertentangan yang mengarah kepada
kekerasan" Apakah rombongan kecil itu akan dapat berbuat
banyak menghadapi kekuasaan dan kekuatan Ki Wiradana?"
"Tanah Perdikan ini dalam keadaan lemah," jawab kawannya.
"Sebagian besar kekuatan Tanah Perdikan ini berada di Pajang."
2 SH. Mintardja "Bukankah masih ada sekelompok anak-anak muda yang
sekarang berada di barak itu untuk ditempa menjadi anak-anak
yang perkasa sebagaimana yang telah diberangkatkan ke Pajang
itu?" bertanya yang lain pula.
Kawannya mengerutkan keningnya. Tetapi katanya, "Yang ada
di barak itu tidak lebih dari sisa-sisa yang tinggal di Tanah
Perdikan ini. Mereka tidak dianggap cukup kuat untuk pemilihan
yang pertama. Namun akhirnya mereka dipungut juga dari
padukuhan masing-masing."
Yang lain mengangguk-angguk. Namun seorang di antara
mereka berkata, "Marilah, kita berbicara dengan para pengawal.
Bukankah para pengawal padukuhan ini yang tersisa anak-anak
kita sendiri yang akan dapat kita ajak untuk berbincang?"
"Hanya ada dua tiga orang yang masih ada. Mereka pun akan
segera ditarik ke dalam barak mengganti kelompok yang
terdahulu," jawab kawannya.
"Biar dua atau seorang sekalipun, namun kita wajib berbicara
dengan pengawal itu."
Demikianlah mereka pun telah pergi ke gardu di sisi yang lain
dari padukuhan itu. Dua orang anak muda duduk dengan lesu di dalam gardu itu.
Ketika beberapa orang datang kepadanya, maka telah terkejut
karenanya. Bahkan mereka pun telah berloncatan turun dari
gardunya. Dengan tergesa-gesa mereka bertanya, "Ada apa?"
Seorang di antara mereka yang datang itu pun maju mendekat
sambil berkata, "Apakah kalian mendengar suara gamelan?"
"Ya. Kami mendengar. Tetapi kemudian berhenti," jawab salah
seorang pengawal itu. "Apakah kalian tidak berniat untuk mengambil tindakan"
Bukankah sudah diumumkan oleh Ki Wiradana, bahwa jika
serombongan pengamen itu datang ke padukuhan ini, maka
mereka harus ditangkap."
3 SH. Mintardja Anak-anak muda yang berada di gardu itu termangu-mangu.
Namun salah seorang di antara mereka menjawab, "Tetapi
bukankah tidak berlaku bagi semua rombongan pengamen"
Bukankah hanya yang penarinya mirip dengan Nyai Wiradana itu
saja yang harus dicegah untuk bermain di Tanah Perdikan ini?"
Laki-laki yang berdiri di hadapan anak-anak muda itu justru
bertanya, "Kenapa jika rombongan pengamen yang penarinya
seperti Nyai Wiradana itu harus dilarang?"
"Jangan bertanya kepadaku," sahut anak muda itu.
"Bertanyalah kepada Ki Wiradana."
"Baiklah," berkata laki-laki itu. Lalu, "Ternyata bahwa
rombongan yang datang itu adalah rombongan dengan penari
yang mirip sekali dengan Nyai Wiradana."
Kedua pengawal itu saling berpandangan. Sebenarnyalah
mereka memang sudah mendengar suara gamelan. Ada hasrat
mereka untuk menengok, apakah rombongan itu termasuk
rombongan yang menurut Ki Wiradana harus ditangkap. Tetapi
keduanya merasa segan. Bahkan seorang di antara kedua
pengawal itu pernah mendengar ceritera kawan-kawannya, yang
mendapat kesempatan berlatih dengan cara yang lebih baik,
bahwa mereka pernah gagal menangkap orang-orang yang
menjadi pengiring dari penari yang mirip Nyai Wiradana itu.
Karena itu, jika benar rombongan itu ada di padukuhan mereka,
maka pengawal itu dihadapkan kepada satu persoalan yang amat
pelik. Karena para pengawal itu tidak segera menyahut, maka laki-
laki itu kemudian berkata, "Apakah kalian juga akan menangkap
mereka?" Tiba-tiba saja salah seorang di antara kedua pengawal itu
menjawab, "Kami hanya berdua."
"Kenapa jika berdua" Apakah jika berdua kalian dapat
mengingkari tugas kalian?" bertanya laki-laki itu.
4 SH. Mintardja Para pengawal itu menjadi kebingungan. Sementara seorang
laki-laki yang lain, yang kebetulan adalah paman salah seorang
dari para pengawal itu berkata, "Marilah. Kita temui rombongan
itu yang sekarang berada di rumah Ki Bekel."
"Di rumah Ki Bekel paman," ulang salah seorang pengawal itu.
"Tetapi, apakah kami berdua akan dapat menangkap mereka.
Kecuali jika paman dan kita semuanya ikut melakukannya."
"Marilah, kita melihat apa yang ada di rumah Ki Bekel. Baru
kemudian kita mengambil sikap," berkata pamannya.
Kedua pengawal itu tidak dapat ingkar. Mereka pun terpaksa
ikut bersama orang-orang padukuhan itu menuju kerumah Ki
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bekel. Sementara itu malam pun menjadi semakin dalam.
Padukuhan yang biasanya sudah tidur itu ternyata masih
disibukkan dengan beberapa orang yang berjalan menyusuri
jalan-jalan padukuhan. Namun gardu-gardu di dalam padukuhan
itu sudah menjadi sepi dan tidak lagi terisi oleh gelaknya anak-
anak muda yang meronda. Anak-anak muda di Tanah Perdikan
sebagian seakan-akan telah terhisap ke dalam pasukan Jipang
yang dikirim ke Pajang dan yang lain masuk ke dalam barak-
barak. Beberapa saat kemudian iring-iringan itu telah sampai ke regol
halaman rumah Ki Bekel. Beberapa orang menjadi termangu-
mangu sebagaimana kedua orang pengawal itu. Namun salah
seorang di antara mereka, yang kebetulan adalah paman dari
salah seorang di antara kedua orang pengawal itu berkata,
"Marilah. Kita memasuki regol halaman."
Orang itu justru ada di paling depan. Di belakangnya adalah
dua orang pengawal yang ragu-ragu. Suara desah dan
pembicaraan yang tertahan-tahan, serta kemudian langkah kaki
mereka di halaman, telah memberikan gambaran kepada setiap
orang di dalam rumah itu, apa yang terjadi di halaman.
"Banyak orang datang kerumah ini Ki Bekel," desis Kiai Soka.
5 SH. Mintardja "Aku akan berbicara dengan mereka," berkata Ki Bekel.
"Mereka tentu orang-orang yang kebingungan untuk menentukan
sikap. Mereka tentu didorong oleh perasaan takut kepada Ki
Wiradana dan istrinya yang
memerintahkan untuk menangkap kalian jika kalian
datang ke padukuhan ini."
Wajah Iswari menjadi buram. Dengan nada rendah ia
berdesis, "Apakah kehadiranku
tidak akan dapat diterima lagi
oleh orang-orang padukuhan
ini?" "Ah," desis Kiai Badra, "Tiba-
tiba saja kau menjadi seorang
perajuk. Diterima atau tidak
diterima, tetapi kau mempunyai
hak yang harus kau perjuangkan." Iswari mengangguk. Sementara Ki Bekel berkata, "Aku akan menemui mereka."
Ki Bekel pun kemudian telah membenahi dirinya. Dengan
menyelipkan keris dipinggangnya ia membuka selarak pintu dan
melangkah keluar diikuti oleh Kiai Badra dan bahkan kemudian
Iswari sambil berdesis, "Aku harus berhadapan langsung dengan
mereka." Kiai Badra mengerutkan keningnya. Katanya, "Kau akan
berbicara dengan orang-orang itu."
"Terserah kepada Ki Bekel," jawab Iswari.
Ki Bekel tertegun sejenak. Namun ia pun tidak menjawab.
Tetapi ia langsung menyeberangi pendapa dan berdiri di bibir
tangga menghadap kepada orang-orang yang sudah berada di
halaman. 6 SH. Mintardja Ki Bekel itu pun memandang orang-orang padukuhan yang
berkerumun itu, seolah-olah ingin mengenali seorang demi
seorang. Meskipun cahaya lampu minyak di pendapa hanya
menyentuh mereka dengan lemahnya, tetapi karena wajah-wajah
itu sudah sangat dikenalnya, maka Ki Bekel pun dapat mengenal
seorang demi seorang di antara mereka.
Baru kemudian dengan suara lantang Ki Bekel bertanya,
"Kenapa kalian kemari?"
Adalah diluar dugaan kedua orang pengawal itu, ketika
seorang di antara orang-orang yang mengikuti mereka itu
berkata, "Kami hanya mengikuti kedua orang pengawal itu."
Kedua orang pengawal itu menjadi tegang. Dipandanginya
orang yang berbicara itu dengan sorot mata penuh kebimbangan.
Ki Bekel mengamati kedua orang pengawal itu. Kemudian ia
pun bertanya pula, "Anak-anak muda, apakah keperluan kalian
datang kemari?" Kedua orang anak muda itu menjadi bingung. Untuk beberapa
saat mereka berdiam diri. Bahkan jantung mereka terasa
berdebar semakin cepat. "Apakah kalian ingin menemui aku?" bertanya Ki Bekel.
Kedua orang pengawal itu masih termangu-mangu. Ki Bekel
yang sudah agak lama tidak pernah mereka hiraukan lagi, tiba-
tiba saja kini berdiri dihadapan mereka dengan wibawanya yang
tidak dapat diatasinya. Namun dalam pada itu, meskipun dengan agak gagap salah
seorang di antara kedua pengawal itu menjawab, "Kami
mendapat laporan, bahwa disini ada serombongan pengamen
yang dinyatakan dilarang oleh pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikan Sembojan." "O," Ki Bekel mengangguk-angguk. "Apakah memang ada
larangan seperti itu" Aku tidak tahu menahu. Sudah lama aku
tidak berada dalam tugasku meskipun kedudukanku masih tetap.
Aku Bekel di padukuhan ini. Karena itu, maka aku tidak tahu,
7 SH. Mintardja yang manakah yang dilarang dan yang manakah yang
diperkenankan. Tetapi di rumah ini memang ada serombongan
pengamen yang akan bermalam. Di antaranya adalah kedua
orang ini." Pengawal-pengawal itu memandang Kiai Badra dan Iswari
yang kemudian melangkah ke depan dengan mata yang hampir
tidak berkedip. Ternyata perempuan itu memang mirip sekali
dengan Nyai Wiradana. Bahkan tiba-tiba saja seorang di antara
orang-orang yang mengikuti kedua pengawal itu berkata,
"Mereka adalah orang-orang yang sudah kita kenal di Tanah
Perdikan ini." "Apa yang akan kau lakukan?" bertanya yang lain.
Kedua orang pengawal itu menjadi semakin bingung. Bahkan
seorang di antara mereka berdesis, "Bukankah kalian yang
mengajak kami kemari?"
"Ya, lalu apa yang akan kalian lakukan setelah berada disini?"
bertanya yang lain lagi. Kedua orang pengawal itu menjadi semakin bingung.
Sementara Ki Bekel itu pun bertanya, "Orang-orang padukuhan
ini, apakah yang sebenarnya kalian inginkan" Apakah kalian
memang akan menangkap penari beserta para pengiringnya atau
apa?" Seorang yang berambut putih tiba-tiba saja melangkah maju
sambil berkata, "Kami hanya ingin meyakinkan, bagaimana
pendapat para pengawal itu sebenarnya."
Kedua pengawal itu menjadi bertambah bingung. Namun
orang-orang yang berkerumun di halaman itu pun termangu-
mangu mendengar kata-kata itu. Beberapa orang tidak mengerti
ujung pangkal dari sikap mereka bersama. Namun orang
berambut putih itu agaknya telah menentukan sikapnya. Katanya,
"Kami ingin meyakinkan para pengawal, dengan siapa
sebenarnya mereka berhadapan."
8 SH. Mintardja Laki-laki yang kebetulan paman dari salah seorang di antara
kedua orang pengawal itu pun maju pula sambil berkata, "Kita
sudah berkumpul disini. Meskipun hanya ada dua orang
pengawal, tetapi keduanya akan dapat menjadi wakil dari sikap
yang sebenarnya dari para pengawal."
"Kita akan mengambil sikap disini," berkata orang yang
berambut putih itu. "Bukankah ketika kita berangkat ke rumah
ini, kita berniat untuk mengambil satu sikap."
"Sikap apa?" bertanya Ki Bekel.
"Sikap kita semuanya tentang penari itu," jawab orang
berambut putih. Iswari menjadi berdebar-debar. Namun kemudian Ki Bekellah
yang bertanya lagi. "Sikap yang akan kalian tentukan, akan
menentukan sikap kami. Maksudku, rombongan pengamen yang
kau maksud dan aku, karena aku sudah bertekad untuk berada di
antara mereka setelah aku yakin, siapakah penari itu
sebenarnya." Orang berambut putih itu mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Aku berada dipihak Ki Bekel."
Pernyataan yang tiba-tiba itu telah membuat jantung Iswari
berdegup semakin keras. Dipandanginya wajah-wajah tegang dari
orang-orang yang berada di halaman. Sementara itu, laki-laki
yang kebetulan adalah paman dari salah seorang pengawal itu
pun menyahut, "Aku juga."
Sejenak halaman rumah Ki Bekel itu dicengkam oleh
ketegangan. Kedua pengawal itu benar-benar kehilangan akal.
Justru karena itu untuk beberapa saat mereka diam membeku.
Orang-orang yang semula kurang mengerti tentang keadaan
yang mereka hadapi itu pun seakan-akan telah terbangun dari
sebuah mimpi. Beberapa orang di antara mereka berkata, "Kami
berada bersama Ki Bekel."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Iswari pun kemudian
menundukkan kepalanya. Ternyata orang-orang padukuhan itu
9 SH. Mintardja telah mengambil sikap yang hampir saja meruntuhkan air
matanya. Tetapi seperti yang pernah terjadi, Iswari tidak ingin
menunjukkan kelemahannya. Ia berusaha untuk bertahan,
meskipun matanya terasa menjadi panas.
"Terima kasih," berkata Ki Bekel. "Dengan demikian aku yakin
bahwa seisi padukuhan ini akan bersikap seperti kalian, karena
menurut penglihatanku, kalian adalah orang-orang yang paling
berpengaruh di padukuhan ini. Seterusnya, terserah kepada
kalian para pengawal. Sikap yang manakah yang akan kalian
ambil." Kedua orang pengawal itu menjadi semakin bingung. Namun
dalam keadaan yang demikian, Ki Bekel pun bertanya, "Anak-
anak muda. Sebenarnya untuk apa kalian bekerja sekarang ini"
Beberapa orang kawan-kawanmu yang dianggap lebih baik dari
kalian telah dibawa ke Pajang. Mereka akan bertempur bersama-
sama orang Jipang, yang selama ini tidak pernah bersangkut paut
dengan Tanah Perdikan ini karena Tanah Perdikan ini
merupakan bagian dari kesatuan Pajang. Namun dalam
pertentangan antara Pajang dan Jipang justru anak-anak kita
telah berpihak kepada Jipang."
Kedua orang pengawal itu tidak menjawab. Tetapi mereka
mencoba melihat ke dalam diri mereka sendiri.
"Nah, renungkan," berkata Ki Bekel. Lalu, "Kalian tidak perlu
mengambil keputusan sekarang. Kau sudah melihat penari yang
harus kau tangkap. Kau pun tahu siapakah penari itu
sebenarnya?" Kedua pengawal itu masih terdiam. Sementara itu Ki Bekel
berkata seterusnya, "Bertanyalah kepada kawan-kawanmu yang
masih ada. Suruh mereka juga merenungi keadaannya," Ki Bekel
itu pun berhenti sejenak, lalu, "Nah Ki Sanak. Aku kira kalian
sebaiknya pulang ke rumah masing-masing. Kita pun akan
merenung sebagaimana kedua pengawal itu. Kemudian
mengambil keputusan, apakah kita masing-masing akan
melaporkan keadaan ini kepada Ki Wiradana atau tidak. Jika
10 SH. Mintardja seorang saja di antara kalian tidak senang melihat sikapku dan
sikap kita bersama, maka orang itu tentu akan dengan segera
melapor kepada Ki Wiradana, sehingga ia akan mengirimkan
beberapa orang pengawal untuk datang. Tetapi jika demikian
maka tentu akan terjadi perkelahian karena aku dan beberapa
orang padukuhan ini sudah menyatakan tekad. Meskipun kita
tidak mempunyai kemampuan apa-apa tetapi kita dilandasi oleh
satu keyakinan akan kebenaran sikap kita. Selebihnya, kalian
anak-anak muda, meskipun kalian adalah para pengawal-
pengawal yang ditunjuk, tetapi kalian adalah anak-anak muda
dari padukuhan ini."
Kedua anak muda itu semakin terbungkam. Sementara itu,
sekali lagi Ki Bekel berkata, "Nah, sudahlah. Silakan kembali ke
rumah masing-masing. Kita akan beristirahat. Besok kita akan
bekerja sebagaimana kita lakukan sehari-hari. Namun sikap
terhadap Tanah Perdikan ini harus mengalami perubahan,
apapun yang akan terjadi atas diri kita kemudian."
Orang-Orang yang ada di halaman itu mengangguk-angguk.
Meskipun tidak terucapkan namun seakan-akan mereka telah
berjanji di dalam diri sendiri, bahwa mereka telah menentukan
satu sikap. Mereka merasa dihadapkan kepada satu pilihan, anak
Warsi atau anak Iswari. Pilihan mereka tentu akan mengandung
akibat yang mungkin tidak menyenangkan. Meskipun demikian,
rasa-rasanya nurani mereka tidak akan ingkar dari kebenaran
menurut penilaian atas kedua orang anak itu.
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang ada di halaman
rumah itu pun perlahan-lahan mulai bergerak. Mereka
meninggalkan rumah Ki Bekel dengan tekad yang bulat di dalam
hati. Mereka sudah terlalu lama mengalami tekanan yang
menghimpit. Namun tidak seorang pun yang berani menyatakan
perasaannya karena sikap Ki Bekel dan orang-orang yang
mempengaruhinya. Orang-orang yang menentukan sikap
kepemimpinan di Tanah Perdikan Sembojan, justru bukan orang
Sembojan sendiri. 11 SH. Mintardja Orang-orang itu pun sadar, bahwa Iswari juga bukan orang
Sembojan. Tetapi ia pernah menjadi istri pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikan dan menjadi istri pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikan dan mempunyai seorang anak dengan
suaminya itu. Sikapnya baik dan perempuan yang meskipun
masih muda itu mampu menempatkan dirinya sebagai ibu bagi
rakyat Tanah Perdikan Sembojan.
Dalam pada itu, kedua orang pengawal itu pun telah kembali
ke dalam gardu mereka. Tengah malam dua orang pengawal yang
lain baru akan datang menggantikan mereka.
Ketika kedua orang pengawal yang lain datang ternyata kedua
orang pengawal yang bertugas sebelumnya tidak segera
meninggalkan gardu. Mereka masih bercakap-cakap sejenak.
Pembicaran mereka berkisar pada keadaan padukuhan mereka.
"Kawan-kawan kita rasa-rasanya sudah menjadi semakin
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
habis," berkata pengawal yang bertugas di bagian pertama tengah
malam itu. "Ya. Apalagi ketika orang-orang yang tersisa harus masuk pula
ke dalam barak. Jika mereka keluar dari latihan-latihan yang
berat itu, maka kitalah yang akan segera masuk," jawab
kawannya. "Gardu-gardu sekarang rasa-rasanya semakin sepi. Jika
dahulu anak-anak muda yang tidak sedang bertugas pun
berkumpul di gardu-gardu, sekarang yang bertugas pun rasanya
malas untuk pergi ke gadu," berkata anak muda yang pertama.
Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia pun mengaku didalam
hati, bahwa suasana padukuhan dan bahkan seluruh Tanah
Perdikan Sembojan telah berubah.
Karena kawannya tidak menjawab, maka anak muda yang
pertama itu pun bertanya, "he, sebelum kau keluar dan datang ke
gardu ini, apakah tadi kau mendengar gamelan?"
"Tadi kapan?" bertanya kawannya.
"Masih agak sore," jawab kawannya.
12 SH. Mintardja Kedua anak muda yang bertugas dilewat tengah malam itu
saling berpandangan. Namun salah seorang di antara mereka pun
menarik nafas sambil berkata, "Kami memang mendengar. Tetapi
kami tidak berbuat apa-apa. Ketika orang-orang keluar dari
rumah dan pergi menonton, kami justru bersembunyi di dalam
rumah kami. Bukankah rombongan itu termasuk rombongan
yang oleh Ki Wiradana tidak dikehendaki berada di Tanah
Perdikan ini." "Kenapa kalian tidak keluar dan menangkap mereka?"
bertanya anak muda yang pertama.
"Kau ini aneh," jawab kawannya. "Bukankah kau yang sedang
bertugas saat itu?" "Ya," jawab pengawal yang bertugas dibagian pertama dari
tengah malam itu, "Akulah yang bertugas. Dan aku memang
sudah berusaha untuk datang ke tempat rombongan itu
menginap." "Dimana?" bertanya yang akan menggantikannya.
"Di rumah Ki Bekel," jawab yang pertama. "Aku sudah
bertemu dengan rombongan itu. Rombongan yang penarinya
mirip sekali dengan Nyai Wiradana."
"O," kawannya mengangguk-angguk. "Dan kau
menangkapnya?" "Aku tidak dapat melakukannya," jawab pengawal yang
pertama. "Kenapa?" bertanya yang datang kemudian.
"Penari itu ternyata memang Nyi Wiradana. Setiap orang di
padukuhan ini sekarang sudah mengetahuinya. Dan bahkan
sebagaimana Ki Bekel, maka setiap orang di padukuhan ini justru
berusaha melindunginya," jawab anak muda yang datang
terdahulu. "Melindungi bagaimana?" bertanya kawannya.
13 SH. Mintardja "Mereka berpihak kepada rombongan itu. Dan bahkan Ki
Bekel minta agar kita tidak melaporkannya kepada Ki Wiradana
atau para pengawal yang lain," jawab pengawal yang pertama
yang kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya di rumah Ki
Bekel. Bahkan kemudian katanya, "Ternyata bahwa aku pun
sependapat dengan mereka. Perempuan itu adalah Nyai
Wiradana sendiri. Tentu bukan sekadar pengakuan seseorang
yang ingin memanfaatkan keadaan karena ia mirip dengan Nyai
Wiradana." "Tetapi kemungkinan itu ada," jawab pengawal yang datang
kemudian. "Karena kita sudah agak lama tidak melihat Nyi
Wiradana, maka seseorang yang mirip dengan Nyi Wiradana kita
anggap bahwa orang itu benar-benar Nyi Wiradana hanya
berdasarkan pengakuan saja."
"Tidak," jawab pengawal yang pertama. "Meskipun kita sudah
agak lama tidak melihatnya, tetapi bagi orang-orang padukuhan
ini, Nyi Wiradana masih tetap dikenang ujud dan polah
tingkahnya. Sehingga kita tidak akan salah mengenalinya."
Kedua pengawal yang datang kemudian itu pun mengangguk-
angguk. Namun dalam pembicaraan selanjutnya kedua pengawal
yang datang kemudian itu pun sependapat dengan kedua
kawannya, bahwa sebaiknya harus terjadi perubahan di Tanah
Perdikan itu. "Sikap Ki Bekel memberikan kemungkinan untuk mengadakan
perubahan itu. Justru pada saat Tanah Perdikan ini lemah,"
berkata salah seorang pengawal yang datang terdahulu.
"Betapapun lemahnya, tetapi apakah artinya kekuatan yang
ada di padukuhan ini," sahut kawannya.
"Bukankah Ki Bekel akan dapat berhubungan dengan
padukuhan-padukuhan lain" Tentu Ki Bekel akan melakukannya
dengan sangat berhati-hati. Jika setiap laki-laki di padukuhan ini
dan padukuhan sebelah benar-benar bertekad bulat, maka kita
tentu akan dapat mengimbangi kekuatan para pengawal yang
jumlahnya sudah tidak cukup banyak. Apalagi jika para pengawal
14 SH. Mintardja itu mendapat petunjuk dan kekangan dari orang tua mereka
masing-masing karena orang tua mereka sejalan dengan sikap Ki
Bekel." Kawannya mengangguk-angguk. Sementara pengawal yang
datang terdahulu itu berkata, "Baiklah. Aku akan pulang.
Sebaiknya besok kau pergi ke rumah Ki Bekel dan bertemu
dengan rombongan itu. Beberapa orang pengawal yang ada di
padukuhan ini akan aku temui dan aku harap mereka pun
sependapat dengan kita."
"Ada satu hal yang perlu kita perhatikan," berkata kawannya.
"Mungkin kita akan dapat menyusun kekuatan mengimbangi
kekuatan para pengawal yang ada di luar padukuhan ini dan
barangkali satu dua padukuhan lagi yang mungkin sependapat
dengan sikap Ki Bekel. Tetapi bagaimana dengan Ki Wiradana
dan Nyi Wiradana yang sekarang, yang ternyata memiliki
kemampuan yang sangat tinggi, serta beberapa orang yang ada
disekeliling Ki Wiradana?"
Pengawal yang datang terdahulu itu menarik nafas dalam-
dalam. Katanya, "Kau pernah mendengar ceritera tentang para
pengawal yang pernah mencoba menangkap orang-orang di
dalam rombongan itu?"
"Semacam desas-desus. Tetapi apakah memang benar seperti
itu?" kawannya menyahut.
"Aku percaya bahwa terjadinya memang seperti desas-desus
itu. Sehingga jika benar-benar terjadi semacam benturan, maka
orang-orang dalam rombongan itu tentu akan ikut serta bersama
kita," pengawal itu berhenti sejanak. Namun kemudian sambil
bangkit dan bergeser ia berkata, "Aku tidak ingin dikirimkan ke
Pajang sebagai pengikut orang-orang Jipang. Jika kami mati
disana, maka kematian itu adalah kematian yang sia-sia saja.
Lebih baik aku mati dalam usaha untuk mengadakan perubahan
di Tanah Perdikan ini sendiri."
Kawannya hanya mengangguk-angguk. Pengawal yang datang
terdahulu itu bersama seorang yang lain telah meninggalkan
15 SH. Mintardja gardu itu dan pulang ke rumah mereka masing-masing.
Sementara dua orang kawannya yang menggantikannya bertugas
duduk termangu-mangu. Rasa-rasanya gardu ini memang sepi.
Orang-orang yang tidak bertugas tidak mau lagi berada di gardu
sekadar untuk berkelakar atau ikut berjaga-jaga.
Ternyata kedua orang yang bertugas kemudian itu pun
sependapat dengan kedua kawannya yang terdahulu. Memang
harus ada perubahan di Tanah Perdikan itu. Menurut
pengamatannya, semakin lama keadaan di Tanah Perdikan itu
tidak menjadi semakin baik, tetapi justru sebaliknya. Rakyat
semakin terhimpit oleh beban pajak yang berat dan bahkan
hampir tidak tertanggungkan lagi. Ki Wiradana memerintah
berdasarkan atas kebijakan orang-orang baru yang tidak banyak
dikenal sebelumnya di Tanah Perdikan Sembojan. Anak-anak
mudanya yang ditempa dengan latihan-latihan berat yang
ternyata telah dikirim ke Pajang untuk berperang justru melawan
Pajang bagi kepentingan Jipang.
"Besok dari gardu ini kita langsung pergi ke rumah Ki Bekel,"
berkata salah seorang dari kedua orang pengawal itu.
"Ya. Dari rumah Ki Bekel kita temui beberapa orang kawan
kita yang tersisa," jawab kawannya. "Meskipun hanya tinggal
beberapa orang saja yang tinggal, namun kita akan dapat
berbincang dengan mereka. Satu hal yang perlu kita ingat, bahwa
sikap kita ternyata hampir sama. Tidak seorang pun di antara kita
yang berusaha berbuat sesuatu meskipun kita mendengar suara
gamelan. Bahkan mungkin ada satu dua orang di antara kita yang
justru menonton pertunjukan itu."
Yang seorang mengangguk-angguk sambil bergumam, "Tanah
Perdikan ini harus menemukan kembali masa-masanya yang baik
sebagaimana masa Ki Gede Sembojan memerintah."
Keduanya mengangguk-angguk. Namun agaknya keduanya
merasa udara dingin semakin mencengkam, sehingga mereka
lebih senang membenamkan diri di dalam gardu yang sedikit
16 SH. Mintardja memberikan kehangatan daripada mondar-mandir di jalan-jalan
padukuhan. Malam itu rasa-rasanya terlalu panjang bagi kedua anak muda
yang bertugas itu. Mereka menunggu dengan kesabaran yang
dipaksakan. Ketika mereka mendengar ayam jantan berkokok,
maka mereka pun mengharap langit akan menjadi merah dan
sebentar kemudian mereka akan meninggalkan gardu itu untuk
pergi ke rumah Ki Bekel. "He, kenapa kita harus menunggu sampai pagi," tiba-tiba saja
salah seorang di antara keduanya berdesis.
"Maksudmu?" bertanya kawannya.
"Kenapa kita tidak bergerak
saja sejak sekarang" Kita dapat
meninggalkan gardu ini. Untuk
apa kita berada disini sampai
pagi, sementara kita sudah
menentukan tekad untuk mengadakan perubahan di Tanah Perdikan ini?" anak
muda yang pertama itu justru
bertanya pula. "Kita memang dapat meninggalkan gardu ini tanpa
takut dianggap bersalah jika
kita memang sudah bertekad
untuk menentang kebijakan Ki
Wiradana. Tetapi apakah kita
akan mengetuk pintu rumah Ki Bekel malam-malam begini" Atau
mungkin membangunkan kawan-kawan kita" Biarlah kita
menunggu sampai pagi. Kita akan dapat bekerja dengan lebih
wajar dan tidak menimbulkan kegelisahan sebelum kita
sebenarnya mulai dengan langkah-langkah yang berarti," sahut
kawannya. 17 SH. Mintardja Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menyahut lagi.
Dicobanya untuk memejamkan matanya sambil bersandar
dinding. Katanya, "Aku akan tidur. Aku merasa tertekan dengan
menunggu sampai pagi tanpa berbuat sesuatu. Karena itu, aku
akan berusaha untuk tidur saja disisa malam ini."
"Tidurlah. Aku yakin kau tidak akan dapat melakukannya,"
jawab kawannya pula. "Jantungmu sudah dicengkam oleh
kegelisahan. Tetapi ada baiknya untuk dicoba."
Yang sudah memejamkan matanya itu tidak menjawab. Tetapi
sebenarnyalah bahwa ia tidak dapat tidur barang sekejap pun,
karena kegelisahannya yang mencengkam.
Namun kedua orang pengawal itu pun kemudian menyadari,
bahwa sisa malam tinggal sedikit, sehingga mereka akan segera
dapat meninggalkan gardu itu untuk menemui Ki Bekel.
*** Sementara itu, di Pajang, ketika langit mulai dibayangi oleh
warna merah, pasukan Pajang dan Jipang pun telah mulai
bersiap-siap. Mereka membenahi diri dan ketika nasi sudah
masak, maka mereka telah menyuapi mulut masing-masing
hingga sekenyang-kenyangnya. Kemudian, para prajurit itu pun
telah mengamati senjata masing-masing, sehingga jangan sampai
mengecewakan apabila mereka sudah berada di medan. Sebagian
dari prajurit Pajang telah melengkapi dirinya dengan sebuah
pisau belati di samping senjata masing-masing.
Para Senapati pun kemudian telah siap pada pasukannya
masing-masing. Seperti di hari sebelumnya, maka pasukan Jipang lah yang
bergerak lebih dahulu. Merekalah yang kemudian datang
menyerang pasukan Pajang yang berada di luar dinding. Namun
pasukan Pajang pun telah bersiap sepenuhnya. Karena itu ketika
mereka melihat pasukan Jipang mulai bergerak, maka dengan
cepat pasukan Pajang pun menyongsongnya.
18 SH. Mintardja Sambil bergerak maju, maka prajurit Pajang yang terlatih
diperkuat oleh para pengawal dari padukuhan diseputar kota,
telah menyusun gelar. Sebagaimana Jipang yang
mempergunakan gelar yang melebar, maka Pajang pun
mempergunakan gelar yang lebar pula. Pagi itu Pajang nampak
memasuki medan perang dengan gelar Garuda Nglayang. Gelar
yang memiliki bagian-bagian yang diperkuat. Selain di ujung
tengah yang merupakan paruh kekuatan gelar itu, maka disebelah
menyebelah dibawah pimpinan Senapati pengapit, kekuatan
pasukan Pajang bagaikan kuku-kuku yang tajam yang siap
menerkam lawan. Di ujung sayap, terdapat pula kekuatan-
kekuatan yang dipimpin oleh para Senapati yang menjadi pusat
sayap sebelah-menyebelah.
Sementara itu, ternyata pasukan Jipang telah mempergunakan
gelar Sapit Urang. Juga sebuah gelar yang melebar dengan
pemusatan beberapa kekuatan yang merupakan kepala dari gelar
itu dengan sapit di ujung-ujung gelar sebelah-menyebelah.
Selangkah demi selangkah kedua kekuatan itu maju mendekat.
Pasukan Jipang yang kemudian berlari-lari kecil siap menerkam
pasukan Pajang yang ternyata telah bertambah jumlahnya,
karena pasukan cadangan yang telah ditarik pula ke medan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan saja dapat menggantikan mereka yang terluka dan
terbunuh di peperangan. Tetapi lebih daripada itu.
Sejenak kemudian, maka untuk memberikan hentakan kepada
kekuatan masing-masing, maka kedua belah pihak telah bersorak
gemuruh pada saat kedua pasukan itu bertemu. Ujung-ujung
senjata telah merunduk, sementara perisai telah ditempatkan di
muka dada, sedangkan daun-daun pedang telah bergetar.
Sesaat kemudian, maka kedua pasukan yang kuat itu benar-
benar telah berbenturan. Dengan tenaga yang masih segar maka
kedua belah pihak telah menghentakkan kekuatan dan
kemampuan mereka masing-masing. Kedua belah pihak tidak
mau menjadi santapan ujung senjata justru pada saat
pertempuran baru mulai. 19 SH. Mintardja Yang terdengar kemudian adalah senjata yang berdentangan.
Tombak yang mematuk perisai, pedang yang saling membentur,
trisula yang berputar berdesingan. Ujung tombak panjang yang
menyambar-nyambar. Dalam pada itu, ternyata bahwa dengan tenaga cadangan yang
memasuki arena, serta pasukan Jipang yang telah susut karena
terbunuh dan terluka di hari pertama, maka jumlah pasukan
dikedua belah pihak menjadi seimbang.
Dengan demikian, maka kedua gelar itu pun mempunyai
kekuatan yang pada benturan pertama nampak seimbang pula.
Tetapi para Senapati di kedua belah pihak mulai berusaha
mengenali kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
Pasukan Pajang maupun pasukan Jipang tidak semuanya terdiri
dari prajurit-prajurit yang sebenarnya. Keduanya telah menarik
anak-anak muda para pengawal padukuhan untuk memperkuat
masing-masing pihak. Namun ternyata bahwa prajurit Jipang
telah mempergunakan tenaga para pengawal Tanah Perdikan
Sembojan lebih banyak daripada anak-anak muda yang
dipergunakan oleh Pajang.
Meskipun demikian para perwira dari Jipang yakin, bahwa
secara pribadi mereka mempunyai prajurit-prajurit terpilih yang
akan dapat menjadi imbangan kekurangan pada para pengawal
Tanah Perdikan Sembojan. *** Ketika kedua pasukan itu bertempur semakin sengit, maka di
Tanah Perdikan Sembojan dua orang pengawal sedang
berbincang dengan Ki Bekel. Sementara itu, Iswari menunggui
pembicaraan itu dan mengikutinya dengan sungguh-sungguh.
"Baiklah Ki Bekel," kedua orang pengawal itu mengangguk-
angguk. "Aku menjadi semakin jelas. Semalam kedua kawanku
telah mengatakan serba sedikit. Dan sekarang aku menjadi pasti."
"Nah, Nyai Wiradana sudah tidak bersembunyi di balik wajah
penari lagi sekarang," berkata Ki Bekel. "Tergantung kepada kita.
20 SH. Mintardja Tetapi kita sudah mengetahui bahwa yang sebenarnya berhak
atas Tanah Perdikan ini, tentu anak Nyi Wiradana yang tua.
Bukan anak penari jalanan itu."
"Aku juga penari jalanan," potong Iswari.
"Tetapi tentu bukan penari yang sesungguhnya," jawab Ki
Bekel. "Aku pun yakin, bahwa Nyi Wiradana yang sekarang itu pun
bukan penari yang sesungguhnya," berkata Iswari kemudian.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin sekali. Aku
pun berpikir demikian. Sehingga dengan demikian, maka yang
dilakukannya itu sudah dipertimbangkannya masak-masak.
Diperhitungkan dan dengan hati-hati dilaksanakan."
Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Sementara itu salah
seorang di antara mereka berkata, "Ki Bekel. Kami akan berusaha
bekerja dengan hati-hati dan tidak memancing kegelisahan pada
saat-saat sekarang ini."
"Terserah kepada cara yang akan kalian tempuh," berkata Ki
Bekel. "Aku akan berhubungan dengan setiap laki-laki yang
meskipun sudah setengah umur, tetapi yang masih sanggup
memegang senjata akan menjadi kekuatan kita."
"Meskipun sedikit, di padukuhan ini masih juga ada anak-anak
muda yang sudah memiliki dasar-dasar keprajuritan. Aku yakin,
bahwa kita akan sependapat," berkata kedua pengawal itu.
Ki Bekel tersenyum. Setelah beberapa lamanya, terbentang
tanggul pemisah di antara dirinya dan anak-anak muda yang
langsung dikuasai oleh Ki Wiradana, maka kini Ki Bekel sudah
berhasil berhubungan kembali dengan anak-anak muda
padukuhannya. Bahkan ternyata mereka telah menemukan alas berpijak yang
sama untuk mengadakan perubahan di Tanah Perdikan
Sembojan. 21 SH. Mintardja Sementara itu kedua pengawal itu pun telah minta diri.
Dengan tekad yang mantap keduanya berniat untuk benar-benar
berbuat sesuatu bagi Tanah Perdikannya yang pada saat-saat
terakhir benar-benar mengalami keadaan yang terasa sangat
pahit. Sepeninggalan kedua orang anak muda itu, maka Ki Bekel pun
kemudian berkata kepada Iswari, "Nyi, apapun yang terjadi, kita
memang harus segera mulai. Nilai-nilai kehidupan di Tanah
Perdikan ini semakin lama menjadi semakin buram."
"Baiklah Ki Bekel. Kami pun sudah siap. Bahkan ada
keinginanku untuk menunjukkan kepada Ki Bekel, pegangan
yang dapat meyakinkan kepercayaan Ki Bekel tentang aku dan
orang-orang yang datang bersamaku."
Ki Bekel mengerutkan keningnya.
"Aku ingin menghindari keragu-raguan yang betapapun
kecilnya. Memang dapat terjadi, orang yang memiliki kemiripan
dengan Iswari kemudian menyatakan dirinya sebagai Iswari
karena ia tahu pasti, bahwa anaknya berhak atas Tanah Perdikan
ini. Dengan dukungan kekuatan yang dianggapnya akan dapat
mengimbangi kekuatan Ki Wiradana, ia tampil memasuki
putaran pertentangan di Tanah Perdikan ini," berkata Iswari.
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Namun kemudian
jawabnya, "Tidak ada keraguan selembar rambut pun. Tetapi jika
Nyi Wiradana ingin menunjukkan pegangan yang dapat
mempertebal kepercayaan kami, maka kami pun akan menjadi
semakin bangga atas perjuangan kami."
Iswari pun kemudian menunjukkan kepada Ki Bekel, bandul
pertanda kekuasaan Tanah Perdikan Sembojan, yang diterimanya
dari kakeknya. Ki Bekel mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia
berkata, "Semuanya menjadi semakin pasti. Apakah Ki Gede
sebelum meninggal telah memberikan pertanda ini?"
22 SH. Mintardja "Ya. Pada saat meninggal," jawab Iswari. "Pertanda ini
dititipkan kepada Gandar yang pada saat meninggalnya Ki Gede
ia menungguinya." Ki Bekel mengangguk-angguk. Diamatinya bandul emas
dengan rantainya. Pada bandul itu bertahtakan lukisan kepala
seekor burung. Pertanda yang dikenal oleh hampir setiap orang
yang menjadi bebahu di Tanah Perdikan Sembojan, karena Ki
Gede memang pernah menunjukkan kepada mereka pertanda
yang diterima turun temurun bagi Kepala Tanah Perdikan
Sembojan. Sambil menyerahkan kembali bandul itu maka ia pun
bergumam, "Sekarang kita tidak mempunyai pilihan lain kecuali
mengambil kembali kedudukan yang sudah dibayangi oleh
kelahiran anak penari jalanan itu. Yang harus memimpin Tanah
Perdikan itu sudah tentu harus anak Nyi Wiradana yang tua.
Seandainya dalam keadaan wajar pun anak Nyi Wiradana yang
akan menggantikan kedudukan Kepala Tanah Perdikan, karena
anak Nyi Wiradana telah lahir lebih dahulu. Apalagi setelah
ternyata bahwa anak Nyi Wiradana lah yang telah mendapatkan
pertanda untuk menggantikan kedudukan Kepala Tanah
Perdikan ini." "Terima kasih atas kepastian Ki Bekel tentang aku dan nanti
anakku. Mudah-mudahan kita tidak berdiri sendiri," berkata
Iswari. "Aku yakin. Aku akan dapat berhubungan dengan padukuhan-
padukuhan terdekat. Sehingga dengan demikian maka
lingkungan kita akan menjadi semakin luas," berkata Ki Bekel.
Sebenarnyalah apa yang dikatakan oleh Ki Bekel itu
dilakukannya. Orang-orang padukuhan itu, dihari itu telah
melakukan pekerjaan mereka sehari-hari. Mereka tidak
memberikan kesan apapun tentang peristiwa semalam dirumah
Ki Bekel. Seakan-akan di padukuhan itu tidak pernah terjadi
sesuatu meskipun sebenarnya satu langkah yang sangat penting
23 SH. Mintardja telah diambil. Satu langkah yang akan dapat mengubah wajah
seluruh Tanah Perdikan Sembojan.
Dengan penuh keyakinan di hati, maka Ki Bekel pun kemudian
telah pergi menemui Ki Bekel di padukuhan sebelah.
Diuraikannya apa yang telah terjadi di padukuhannya.
Dikatakannya bahwa perempuan yang mirip dengan Nyi
Wiradana yang hilang yang datang kembali ke padukuhan itu
sebagai penari memang Nyi Wiradana yang sebenarnya.
Dikatakan pula tentang bandul pertanda kekuasaan Tanah
Perdikan Sembojan yang ada di tangan Iswari itu.
Ki Bekel dipadukuhan sebelah mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya dengan suara lemah, "Aku sudah tidak
mempunyai kuasa apapun juga di sini. Semuanya sudah diambil
alih oleh para pengawal yang dipimpin langsung oleh Ki
Wiradana, yang kini dikendalikan oleh orang-orang yang tidak
kita kenal sebelumnya. Orang tua yang bernama Ki Randukeling
itu agaknya mempunyai pengaruh yang sangat besar atas diri Ki
Wiradana." "Orang itu adalah kakek Nyi Wiradana yang sekarang," jawab
Ki Bekel dari padukuhan yang dikunjungi Iswari. Lalu katanya,
"Tetapi ternyata anak-anak muda itu kini dapat diajak bicara di
padukuhanku. Aku tidak tahu, bagaimana suasana di padukuhan
ini." "Sulit sekali, jawab Ki Bekel di padukuhan itu. "Aku tidak
yakin bahwa aku akan dapat membujuk mereka sebagaimana kau
lakukan." "Jika demikian, maka sebaiknya kau menunggu. Biarlah para
pengawal dari padukuhanku yang menjajagi kemungkinan yang
dapat terjadi di sini. Nanti aku akan datang lagi untuk
memberitahukan kepadamu. Tetapi aku ingin kepastian
sikapmu," berkata Ki Bekel yang datang itu. "Nah, bagaimana
sikapmu sendiri?" "Jika yang kau katakan itu benar, maka aku berpihak
kepadamu," jawabnya.
24 SH. Mintardja "Marilah datang ke rumahku. Kau akan menjadi yakin,"
berkata Ki Bekel yang datang berkunjung itu.
Ternyata Ki Bekel dari padukuhan itu tidak berkeberatan. Ia pun telah pergi
bersama tamunya untuk membuktikan kata-katanya.
Ketika Ki Bekel itu bertemu
langsung dengan Iswari dan
melihat sendiri bandul pertanda
kuasa Tanah Perdikan Sembojan, maka ia pun menjadi
yakin dan pasti. "Tetapi persoalannya
tergantung kepada para pengawal," berkata Ki Bekel dari
padukuhan sebelah. "Biarlah anak-anak muda
dari padukuhan ini cepat menghubungi anak-anak muda di
padukuhanmu." Ki Bekel di padukuhan sebelah itu pun segera minta diri.
Tetapi seperti Ki Bekel yang memberikan tempat bagi Iswari itu,
ia pun telah meyakinkan dirinya sendiri.
"Aku akan berbicara dengan orang-orang tua. Mudah-
mudahan mereka dapat meyakinkan anak-anak mereka," berkata
Ki Bekel itu di dalam hatinya.
Sebenarnyalah Ki Bekel yang memberi tempat bagi Iswari itu
telah menemui para pengawal. Ia minta agar para pengawal dapat
berhubungan dengan kawan-kawannya di padukuhan sebelah.
"Tetapi berhati-hatilah," berkata Ki Bekel. "Mungkin ada satu
dua orang yang sulit mengerti."
"Baiklah Ki Bekel. Aku akan menemui mereka. Aku mengenal
watak dan tabiat kawan-kawanku di padukuhan sebelah. Mudah-
25 SH. Mintardja mudahan tidak terjadi sesuatu yang dapat mengaburkan
keinginan kita." Ternyata untuk memanfaatkan tekad anak-anak muda itu, Ki
Bekel telah minta agar Iswari menunjukkan pertanda kuasa
Tanah Perdikan itu. Dan ternyata bahwa dengan demikian, maka
anak-anak muda itu menjadi semakin mantap. Mereka benar-
benar menghendaki satu perubahan terjadi di padukuhan
mereka. Meskipun mereka masih terhitung muda, tetapi mereka tidak
meninggalkan perhitungan. Mereka pun telah membicarakan
dengan orang-orang tua, sikap apakah yang harus mereka ambil
jika para pengawal yang berada di Pajang itu kembali bersama
para prajurit Jipang. "Kita akan membicarakan dengan orang-orang dalam
rombongan penari itu," berkata Ki Bekel. "Namun agaknya hal itu
dapat kalian bicarakan di antara kalian lebih dahulu, sebelum
kita mendapat bahan-bahan dari pihak lain."
Demikianlah, anak-anak muda itu pun telah berusaha untuk
dapat menjalankan tugas mereka dengan sebaik-baiknya. Mereka
sadar bahwa mereka harus melakukannya dengan sangat berhati-
hati. Mereka harus memilih kesempatan dan suasana untuk
menyatakan sikap mereka. Dalam pada itu, ternyata seseorang telah mencari rombongan
penari jalanan yang sedang berada di rumah Ki Bekel itu. Ketika
Iswari melihat orang itu, maka dipersilakannya orang itu naik ke
pendapa. Yang kemudian menemuinya bukan saja Iswari sendiri, tetapi
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka. Bahkan Ki Bekel pun
telah di minta untuk ikut serta menemuinya.
"Kau membawa berita apa?" bertanya Kiai Soka.
"Kiai," berkata orang itu. "Dua orang penghubung dari Pajang
telah datang ke kaki Gunung Prapat.
26 SH. Mintardja "O," Kiai Soka mengangguk-angguk, "Berita apa yang mereka
bawa?" "Pasukan Pajang telah bergerak. Pasukan Jipang yang disisi
Barat telah didesak. Kemudian gerakan dilanjutkan ke sisi
Timur," berkata orang itu.
"Bagaimana hasilnya?" bertanya Kiai Soka.
"Gerakan baru dimulai ketika penghubung itu berangkat.
Mudah-mudahan mereka berhasil," jawab orang itu.
Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada Kiai
Badra, "Ini tentu satu isyarat bahwa kitapun harus segera mulai.
Jika pasukan Jipang dan anak-anak Tanah Perdikan ini terdesak,
maka mungkin sekali mereka akan memanggil lagi beberapa
orang anak muda di Tanah Perdikan ini untuk membantu, karena
mendatangkan pasukan dari Jipang tentu memerlukan waktu
yang panjang." Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian
meskipun tidak dengan serta merta, maka kita pun harus
memberi kesan, bahwa Tanah Perdikan ini memerlukan anak-
anak muda bagi kepentingan sendiri. Jika Tanah Perdikan ini
menjadi tidak tenang, maka Ki Wiradana tentu tidak akan
melepaskan anak-anak mudanya untuk di kirim ke Jipang.
Sementara itu, selagi pertempuran antara Pajang dan Jipang
masih berlangsung, para pengawal itu tidak akan dikirim kembali
ke Tanah Perdikan Sembojan.
Kiai Soka berpaling kepada Ki Bekel sambil berkata, "Itulah Ki
Bekel. Pertempuran di Pajang telah berlangsung kemarin dan
hari ini, karena penghubung itu tentu berangkat kemarin dari
Pajang." "Ya," jawab orang yang baru datang. "Orang itu berangkat
kemarin menjelang pagi, pada saat pasukan Pajang siap
bergerak." "Baiklah," berkata Kiai Soka, "Kami akan mempertimbangkan
langkah-langkah yang akan kami ambil."
27 SH. Mintardja "Jika demikian, maka apakah aku sudah diperkenankan untuk
kembali ke Gunung Prapat?" bertanya orang yang datang itu.
"Ah, tentu saja tidak sekarang," sahut Ki Bekel. "Ki Sanak
dapat beristirahat sejenak. Baru setelah tidak letih dan tidak haus
lagi, Ki Sanak akan kembali."
Orang itu termangu-mangu. Namun Kiai Soka pun tersenyum
sambil mengangguk. Ketika orang itu kemudian dipersilakan pergi ke gandok, maka
Kiai Soka pun berkata sekali lagi kepada Kiai Badra. "Ini adalah
pertanda bahwa kita akan mulai."
"Ya," jawab Kiai Badra. "Jika demikian maka aku harus
mengambil tunggul yang disimpan di padepokan itu. Dengan
tunggul itu, maka segala sesuatunya dapat dilakukan atas nama
Pajang, sementara dengan pertanda kekuasaan Tanah Perdikan,
hak atas Tanah Perdikan ini berada di tangan Iswari pula atas
nama anaknya." Kiai Soka mengangguk-angguk. Katanya, "Bekal yang sudah
lengkap. Hak atas Tanah Perdikan ini serta wewenang atas nama
Pajang yang berhak memerintahkan Tanah Perdikan ini dengan
sah." "Baiklah," berkata Kiai Badra. "Aku harus segera mengambil
tunggul itu. Sebelum fajar esok pagi, aku tentu sudah berada
ditempat ini kembali. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu
disaat aku tidak ada, meskipun aku yakin, bahwa Kiai Badra dan
Nyai Soka akan dapat mengatasinya meskipun seandainya orang
yang bernama Randukeling itu sendiri yang mengambil langkah-
langkah disini apabila ia kembali dari Pajang lebih cepat dari
kedatanganku." "Agaknya tidak akan ada persoalan yang timbul dalam waktu
dekat. Hari ini dan malam nanti. Entahlah jika esok pagi, karena
kita harus cepat memancing persoalan untuk mencegah
pengiriman anak-anak muda itu ke Pajang jika orang-orang
Jipang itu memerlukannya," jawab Kiai Soka. "Karena itu, jika
28 SH. Mintardja Kiai ingin pergi, silakan. Tetapi besok sebelum fajar, Kiai harus
benar-benar telah datang di tempat ini."
"Semoga Yang Maha Agung mengijinkannya," sahut Kiai
Badra. "Agaknya semakin aku cepat berangkat, akan semakin
baik. Aku akan membawa Gandar bersamaku."
Dengan demikian maka Kiai Badra pun segera bersiap-siap.
Ternyata Ki Bekel mengusulkan agar mereka pergi saja berkuda.
"Bukan apa-apa. Tetapi dengan demikian kalian akan
menghemat waktu dan tenaga," katanya.
Kiai Badra dan Gandar setuju untuk mempergunakan kuda
dalam perjalanan mereka mengambil tunggul yang mereka
simpan baik-baik dan tersembunyi di padepokan.
Sejenak kemudian, justru Kiai Badra lah yang berangkat lebih
dahulu dari orang yang datang melaporkan kedatangan dua
orang penghubung dari Pajang di Gunung Prapat. Bersama
Gandar Kiai Badra berkuda di antara jalan-jalan padukuhan.
Agar tidak terlalu menarik perhatian, maka mereka tidak berpacu
terlalu cepat. Hanya apabila mereka berada di bulak-bulak
panjang yang sepi, maka mereka telah mempercepat derap kaki
kuda mereka. Sementara itu, anak-anak muda dari padukuhan yang
memberikan tempat kepada rombongan Iswari, telah berusaha
berhubungan dengan anak-anak muda dari padukuhan sebelah,
padukuhan yang bekelnya telah dihubungi lebih dahulu. Namun
para pengawal itu pun bersikap cukup berhati-hati sehingga
mereka tidak dengan serta merta menawarkan perubahan bagi
Tanah Perdikan Sembojan. Namun ternyata keluhan-keluhan anak-anak muda yang
sedang menjajagi sikap kawan-kawannya itu mendapat
tanggapan. Ternyata anak-anak muda di padukuhan sebelah itu
pun merasa tidak puas terhadap kenyataan yang dihadapinya,
apalagi sepeninggal anak-anak muda yang dianggap terbaik dari
Tanah Perdikan Sembojan. 29 SH. Mintardja "Aku tidak tahu, apakah keadaan ini dapat bertahan," berkata
salah seorang anak muda dari padukuhan sebelah.
"Maksudmu?" bertanya anak muda yang sedang menjajagi itu.
"Semakin lama pemerintahan di Tanah Perdikan ini menjadi
semakin kabur. Beberapa orang di antara kawan-kawan kita yang
tinggal sedikit ini sekarang berada di dalam barak latihan. Tetapi
agaknya mereka pun akan segera dikirim ke Pajang untuk
disurukkan ke dalam api peperangan. Sementara itu pajak di
Tanah Perdikan ini menjadi semakin mencekik. Kami yang
memungut pajak itu pun kadang-kadang merasa betapa beratnya
beban orang-orang Tanah Perdikan ini. Meskipun beberapa
orang kaya masih dapat juga berpangku tangan sambil meneguk
minuman panas pada saat-saat menunggu panennya yang akan
memenuhi lumbung-lumbung. Tetapi sebagian besar dari
penghuni padukuhanku merasa keberatan atas kebijakan Ki
Wiradana sekarang. Dua orang pamanku merasa tercekik.
Sementara ayahku merasa sedikit bernafas karena aku adalah
seorang pengawal. Tetapi seandainya aku mati di pertempuran
bagi kepentingan Jipang, apakah ayahku masih juga mendapat
perlindungan seperti sekarang ini?"
Pengawal yang sengaja menjajagi kawan-kawannya itu pun
tiba-tiba saja bertanya, "Jadi maksudmu di Tanah Perdikan ini
harus ada perubahan?"
Kawannya itu pun terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun
pengawal yang sedang menjajagi itu cepat berkata. "Maksudku,
apakah kita mohon agar Ki Wiradana mengubah
kebijaksanaannya?" Kawan-kawannya dari padukuhan sebelah mengerutkan
keningnya. Namun salah seorang di antara mereka berkata,
"Apakah hal itu mungkin" Jika kebijaksanaan itu datangnya dari
Ki Wiradana sendiri aku kira memang mungkin. Tetapi kita tidak
dapat menutup mata bahwa orang-orang diseputar Ki Wiradana
itu mempunyai pengaruh yang sangat besar. Nyi Wiradana
ternyata seorang perempuan yang keras hati. Bukan seorang
30 SH. Mintardja perempuan yang lemah lembut sebagaimana kita duga
sebelumnya. Saudagar emas dan permata itu tiba-tiba saja telah
mendapat tempat disisi Ki Wiradana. Bahkan ayah Warsi itu pun
sekarang ikut-ikutan menentukan perintah-perintah. Apalagi jika
kelak Ki Randukeling dan Ki Rangga Gupita itu datang.
Anak muda yang sedang menjajagi itu mengangguk-angguk.
Tetapi ia masih berkata, "Bagaimana jika kita coba
mengutamakan persoalan yang sebenarnya. Mungkin Ki
Wiradana tidak tahu bahwa keadaan rakyatnya sekarang sudah
sangat parah, karena ia jarang sekali berkesempatan untuk
melihat padukuhan-padukuhan."
Tetapi kawannya dari padukuhan sebelah itu menggeleng.
Katanya, "Sulit sekali. Yang menentukan sekarang bukan Ki
Wiradana. Tetapi orang lain."
"Ah," desis anak muda yang menjajaginya, "Pada suatu saat Ki
Wiradana harus mengambil sikap sebagai pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikan ini."
"Kita tidak dapat mengharapkannya," jawab kawannya.
"Jadi, apakah kita akan membiarkan keadaan ini berkembang
semakin parah?" Kawan-Kawannya dari padukuhan sebelah menarik nafas
dalam-dalam. Dengan nada dalam salah seorang di antara
mereka berkata, "Kita tidak akan dapat berbuat apa-apa."
Pengawal yang sedang menjajagi kawan-kawannya itu
berdesis, "Seandainya Nyi Wiradana itu masih Nyi Wiradana
yang lama." "Ya," sahut kawannya dengan serta merta. "Mungkin
keadaannya akan jauh berbeda. Perubahan-perubahan yang
suram ini baru mulai setelah Nyi Wiradana hilang dan kemudian
Ki Gede Sembojan terbunuh."
"Bencana yang datang berurutan," desis pengawal yang sedang
menjajagi sikap kawan-kawannya itu.
31 SH. Mintardja "Mungkin memang bencana yang datang berurutan. Tetapi
mungkin yang terjadi itu adalah satu rangkaian peristiwa yang
direncanakan," berkata salah seorang kawannya.
"He?" pengawal itu bertanya.
Kawannya tiba-tiba menjadi pucat. Ternyata telah terloncat
dari mulutnya sesuatu yang akan dapat mencelakakan dirinya.
Bahkan keringatnya pun telah mengalir dari keningnya.
Bukan saja anak muda itu yang menjadi sangat gelisah. Tetapi
kawan-kawannya menjadi gelisah pula.
Untuk beberapa saat suasana justru menjadi tegang. Pengawal
yang sengaja menjajagi kawan-kawannya itu tidak segera
menanggapinya. Namun justru karena pengawal itu tidak segera menyahut,
maka terasa ketegangan menjadi semakin mencengkam.
Bahkan pengawal yang memang sedang menjajaginya itu
kemudian berkata, "Bukan maksudku. Tetapi, ada orang yang
mengira demikian." "Siapakah orang itu?" bertanya pengawal itu pula.
Anak muda itu benar-benar terdiam. Mulutnya ternyata telah
telanjur mengatakan sesuatu yang tidak dapat ditariknya
kembali. Ia tidak ingin menyebut orang-orang lain yang tidak
tahu menahu persoalannya. Karena itu, maka apapun yang akan
terjadi, tidak ada orang yang akan dapat memikulnya kecuali
dirinya sendiri. Namun ternyata pengawal yang menjajaginya itu justru
melemparkan pertanyaan yang aneh, "Bagaimana pendapatmu
jika Nyi Wiradana yang lama itu ada disini?"
Anak muda itu tidak segera menjawab. Ia menjadi sangat
berhati-hati. Apakah maksud pertanyaan pengawal itu.
Sementara pengawal itu berkata selanjutnya, "Bukankah
menurut pendapatmu, jika Nyi Wiradana itu masih Nyi Wiradana
yang lama, maka keadaan tentu akan berbeda. Nah, ternyata
32 SH. Mintardja bahwa Nyi Wiradana yang lama itu masih ada dan kini berada di
Tanah Perdikan ini pula."
Anak-anak muda itu menjadi bimbang. Seorang di antara
mereka bertanya, "Aku tidak mengerti maksudmu sebenarnya.
Apakah kau ingin memancing kekeruhan, atau kau memang ingin
menjerumuskan kami ke dalam kesulitan atau maksud-maksud
yang lain yang tidak aku ketahui?"
Pengawal yang sedang menjajagi kawan-kawannya itu pun
akhirnya berkata, "Baiklah aku berkata terus terang. Mungkin hal
ini akan membawa akibat yang kurang baik bagi kita. Tetapi
setelah mendengar pendapat kalian, yang tentu keluar dari hati
nurani kalian, maka aku ingin memberitahukan, bahwa penari
perempuan yang sering mengadakan pertunjukan keliling dan
dikatakan mirip dengan Nyi Wiradana itu memang Nyi
Wiradana." "Darimana kau tahu?" bertanya kawannya.
"Penari itu sekarang berada di rumah Ki Bekel padukuhanku,"
jawab pengawal itu. "Apakah kau berkata sebenarnya?" kawan-kawannya masih
bertanya. "Yakinkanlah dirimu, bahwa aku bermaksud baik. Aku juga
menginginkan perubahan itu," jawab pengawal itu. "Karena itu,
jika kalian tidak berkeberatan, marilah satu atau dua orang di
antara kalian pergi ke padukuhanku. Kalian akan bertemu
dengan Nyi Wiradana. Kalian akan dapat berbicara apa saja bagi
kepentingan Tanah Perdikan ini. Dan kalian akan dapat melihat
bukti tentu Nyi Wiradana itu, bahwa ia bukan hanya seorang
yang mengaku dirinya Nyi Wiradana karena kemiripan wajahnya
dan menuntut hak atas tanah ini atas nama anaknya."
"Bagaimana ia dapat membuktikan dirinya, bahwa ia benar-
benar Nyi Wiradana?" bertanya kawannya.
"Marilah. Dua di antara kalian pergi bersamaku," berkata
pengawal itu. 33
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
SH. Mintardja Sebenarnyalah dua di antara anak-anak muda itu telah pergi
ke padukuhan sebelah untuk bertemu dengan Nyi Wiradana. Nyi
Wiradana sendiri sama sekali tidak berkeberatan untuk
menerima mereka. Bahkan sebagaimana diinginkan oleh anak-
anak muda itu, Nyi Wiradana memang menunjukkan pertanda
kuasa Tanah Perdikan Sembojan.
"Kami menjadi yakin sekarang," berkata kedua orang anak
muda itu. "Kami akan menghimpun kawan-kawan kami yang
tinggal." "Bertemulah dengan Ki Bekel di padukuhanmu," berkata
pengawal yang telah datang menemuinya pertama kali.
"Apakah Ki Bekel akan dapat mengerti sikap kami?" bertanya
salah seorang dari kedua anak muda itu.
"Justru Ki Bekel sudah lebih dahulu meyakini sikap ini,"
berkata pengawal itu. Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Aku akan menemui Ki Bekel. Sudah lama aku tidak berhubungan
dengan Ki Bekel. Mungkin Ki Bekel tidak begitu senang terhadap
kedatangan kami. Kami, para pengawal telah mengambil alih
semua tugas-tugasnya atas perintah Ki Wiradana, sehingga Ki
Bekel, aku kira bukan saja di padukuhanku, mereka tidak senang
terhadap para pengawal."
"Tetapi para bekel itu pun mengetahui, bahwa sebab dari
keadaan itu bukanlah kami, para pengawal. Tetapi Ki Wiradana
sendiri. Para bekel yang sempat merenungi keadaan yang
sebenarnya akan melihat bahwa kami pun hanya sekadar menjadi
alat. Semuanya adalah untuk kepentingan Ki Wiradana dan
istrinya yang sekarang," berkata pengawal itu. "Pajak yang
dipungut diseluruh Tanah Perdikan ini tentu bukan semuanya
untuk membiayai perang di Pajang, karena sebagian besar dari
biaya perang itu ditanggung oleh Jipang yang memang memiliki
kekayaan yang besar. Sebagian besar dari pajak yang dipungut
tidak mengenal waktu, sebagian besar tentu menjadi miliki Nyi
34 SH. Mintardja Wiradana yang agaknya memang seorang perempuan yang
tamak." Anak-anak muda dari padukuhan sebelah yang memerlukan
menemui Nyi Wiradana itu pun kemudian minta diri. Mereka
akan bekerja keras untuk ikut mengadakan perubahan-
perubahan di Tanah Perdikan Sembojan.
"Dua padukuhan sudah menentukan sikap," berkata pengawal
yang menemui anak-anak muda itu. "Mudah-mudahan ada juga
padukuhan yang lain yang bersedia membantu kita."
"Kita akan berusaha," berkata anak-anak muda dari
padukuhan sebelah. Demikianlah, anak-anak muda itu kembali ke padukuhannya
maka mereka pun telah mengadakan perubahan di antara mereka
meskipun dengan sangat berhati-hati dan tidak menarik
perhatian orang banyak. Ternyata bahwa anak-anak muda di
padukuhan itu sependapat bahwa memang sudah sampai
saatnya, di Tanah Perdikan Sembojan diadakan perubahan
tatanan. "Marilah, kita bertemu dengan Ki Bekel," berkata salah
seorang di antara mereka.
"Kita tidak perlu bersama-sama pergi ke rumahnya. Dua di
antara kita sudah cukup," berkata yang lain.
Ternyata mereka memutuskan untuk mengirimkan dua orang
di antara mereka, yang telah langsung dapat bertemu dengan Nyi
Wiradana, untuk menemui Ki Bekel.
Sebagaimana sudah dikatakan oleh anak muda dari
padukuhan sebelah, sebenarnyalah Ki Bekel dari padukuhan itu
telah lebih dahulu menentukan sikap. Karena itu ketika anak-
anak muda itu datang kepadanya, maka pembicaraan pun
menjadi lancar. 35 SH. Mintardja "Kami mohon maaf Ki Bekel, bahwa selama ini kami telah
melanggar hak dan wewenang Ki Bekel," berkata salah seorang
dari anak-anak muda itu. "Itu bukan salahmu," berkata Ki Bekel. "Kalian hanya
menjalankan perintah Ki Wiradana saja. Namun pada saat
akhirnya kalian telah menentukan kebenaran di dalam diri
tentang Tanah Perdikan ini. Dengan keyakinan akan kebenaran
itu, maka kita akan berbuat sejauh dapat kita lakukan dengan
akibat apapun juga."
"Baik Ki Bekel," jawab anak-anak muda itu.
"Nah, jika demikian, marilah kita membenahi diri. Aku akan
mengerahkan orang-orang tua yang masih mampu berbuat
sesuatu dan kalian menyiapkan anak-anak muda. Mungkin kalian
akan berhadapan dengan kawan-kawan kalian yang justru telah
mendapat latihan yang lebih berat, tetapi anak-anak muda yang
akan melihat ayah mereka berada di pihak kita, maka mereka
tentu akan berpikir dua kali untuk melakukan kekerasan
terhadap kita," berkata Ki Bekel.
Demikianlah maka anak-anak muda itu pun kemudian telah
melakukan persiapan apa saja yang dapat mereka lakukan. Tetapi
jumlah mereka memang terlalu sedikit. Meskipun demikian,
anak-anak muda itu telah dilambari dengan satu keyakinan
sehingga pendirian mereka tidak akan mudah menjadi goyah.
Keadaan Tanah Perdikannya yang disaksikannya dari hari kehari,
telah menempa tekad mereka untuk mengadakan perubahan.
"Meskipun jumlah kita sedikit, tetapi kawan-kawan kita yang
ada di barak itu juga tidak terlalu banyak. Kecuali jika kawan-
kawan kita yang ada di Pajang akan ditarik," berkata salah
seorang di antara mereka.
"Kita sudah bertekad," jawab kawannya. "Aku kira seluruh
Tanah Perdikan ini seakan-akan sudah digenangi minyak. Jika
ada yang berani menyalakan api, maka seluruh Tanah Perdikan
akan menyala." *** 36 SH. Mintardja Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di Pajang pun
semakin lama menjadi semakin sengit. Ketika kedua belah pihak
telah menjadi basah oleh keringat, maka mereka menjadi
semakin garang. Apalagi mereka yang melihat kawannya telah
mengalirkan darah dari lukanya. Bahkan jika seorang sahabatnya
telah terbunuh oleh ujung senjata lawan.
Dengan demikian maka benturan-benturan senjata pun
menjadi semakin cepat susul menyusul. Bunga api pun
berloncatan dan suara erang kesakitan tenggelam dalam sorak
yang gemuruh hampir diseluruh medan.
Kedua pasukan itu pun berusaha saling menekan. Kedua belah
pihak telah melepaskan kemampuan tertinggi. Para prajurit
Jipang telah menghentakkan kemampuannya di antara anak-
anak muda Tanah Perdikan Sembojan untuk dapat memecahkan
pasukan Pajang. Tetapi para prajurit Pajang adalah prajurit-prajurit yang
terlatih matang. Karena itu, maka mereka pun mampu mengatasi
setiap tekanan. Bahkan dengan ketajaman pengamatan mereka,
maka telah melihat kelemahan pada pasukan Jipang.
Para prajurit-prajurit Pajang mengetahui bahwa sebagian dari
pasukan Jipang adalah para pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
Meskipun anak-anak muda itu pernah mendapat latihan-latihan
yang sangat berat, tetapi mereka belum mempunyai pengalaman
yang memadai untuk bertempur melawan para prajurit Pajang
yang telah mengenyam banyak sekali pahit getirnya peperangan.
Karena itulah, maka lubang-lubang tertentu dari gelar Sapit
Urang dari pasukan Jipang itu pun terdapat kelemahan-
kelemahan. Dengan kemampuan mengurai medan, maka
pasukan Pajang telah berusaha menyusup pada lubang-lubang
kelemahan itu. Ketika matahari semakin tinggi dan mencapai puncak langit,
maka pasukan Pajang telah menemukan beberapa kemajuan.
Bahkan disayap kiri pasukan Jipang, para prajurit Pajang berhasil
37 SH. Mintardja menyusup cukup dalam, justru pada leher sayap, sehingga jalur
pasukan Jipang ke ujung sayap menjadi agak terganggu.
Senapati yang berada di ujung sayap itu cepat bertindak.
Kekuatan gelar Sapit Urang sebenarnya ada di ujung Sapitnya
yang akan menjepit kekuatan lawan dari dua arah, ujung dan
ujung. Namun Senapati itu tidak membiarkan tangkai kekuatan
itu patah ditengah. Karena itu, maka ia pun segera
memerintahkan sekelompok prajurit dan sekelompok pengawal
Tanah Perdikan untuk bergeser, menyelamatkan leher sayap yang
hampir patah itu. Usaha Senapati itu berhasil. Namun demikian, dalam
keseluruhan ternyata pasukan Pajang mempunyai kelebihan.
Perlahan-lahan pasukan Pajang yang mengerahkan segenap
kekuatannya, telah mendesak maju. Apalagi ketika matahari telah
mulai turun ke Barat. Betapapun juga, keringat anak-anak muda
Sembojan yang terkuras telah menurunkan kemampuan mereka
menggerakkan senjata. Bagaimanapun juga orang-orang Jipang
berusaha untuk membuat imbangan dengan kemampuan
mereka, namun pasukan Pajang benar-benar telah memberikan
tekanan yang sangat berat.
Setapak demi setapak pasukan Jipang itu terdesak. Tetapi
pasukan Jipang masih tetap berpegang pada gelarnya yang utuh,
sehingga karena itu, maka pertempuran gelar itu masih tetap
berlangsung dengan sengitnya.
Pasukan Pajang yang berhasil mendesak pasukan lawan
berusaha untuk benar-benar memecahkan gelar lawannya dan
mengkoyak pertahanan mereka. Namun ternyata gelar Sapit
Urang itu telalu liat untuk dapat dipatahkan.
Semakin lama matahari pun menjadi semakin rendah.
Betapapun juga pasukan Pajang berusaha, namun sampai saatnya
matahari turun ke punggung bukit, pasukan Pajang masih tetap
terikat dalam gelarnya, meskipun gelar itu telah terdorong
mundur dan terdesak. 38 SH. Mintardja Bagaimana pun juga, maka ketika malam turun, Pajang harus
menghentikan pertempuran. Beberapa orang perwira sempat
bergeremang. Ternyata kegelapan masih sempat menyelamatkan
pasukan Jipang. Ketika terdengar isyarat di kedua belah pihak, maka masing-
masing telah menarik diri ke kubu mereka. Dengan letih kedua
pasukan itu kembali ke barak-barak sementara, yang mereka
bangun dan mereka ambil dari para penghuni padukuhan.
Pada saat gelap mulai merata, maka yang kemudian turun ke
medan adalah petugas-petugas yang lain. Petugas-petugas
kemanusiaan yang harus menolong dan merawat orang-orang
yang terluka dan mengumpulkan mereka yang terbunuh.
Di siang hari kedua belah pihak berjuang untuk saling
membunuh dan melukai. Sementara di malam hari, beberapa
orang harus bekerja keras untuk menolong mereka.
Malam itu Ki Rangga Gupita telah berbicara dengan para
Senapati dari pasukan Jipang yang terdesak. Dengan ketajaman
penglihatannya maka Ki Rangga menganggap bahwa sulit bagi
pasukan Jipang untuk dapat menahan kekuatan pasukan Pajang.
Tetapi Panglima pasukan Jipang yang berada disisi Timur
Pajang itu menjawab, "Aku masih belum berputus asa. Aku masih
mempunyai kekuatan cadangan. Bahkan aku akan dapat
mengerahkan semua orang. Aku tidak akan meninggalkan
seorang pun meskipun mereka adalah juru masak. Mungkin aku
telah menempuh satu langkah yang berbahaya. Tetapi aku yakin,
bahwa dengan mengerahkan pasukan cadangan dan semua orang
yang ada, maka kita akan dapat memecahkan pasukan Pajang.
Dengan demikian, maka kita akan dapat menyelesaikan
pertempuran besok dan mengatur kembali tata susunan tugas
dalam pasukan ini." "Justru itu adalah langkah putus asa," berkata Ki Rangga
Gupita. "Jika kau gagal, maka pasukan akan hancur mutlak.
Pasukanmu akan dikoyak-koyak dan tidak akan berbekas lagi,
39 SH. Mintardja karena tidak ada landasan yang tersisa sama sekali untuk dapat
tegak kembali. Senapati yang menjadi Panglima pasukan Jipang itu
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Tetapi
menurut perhitunganku pasukan Pajang akan hancur besok jika
aku kerahkan semua orang yang ada tanpa kecuali."
Ki Rangga Gupita menggeleng. Katanya dengan kerut
didahinya. "Jangan berkhayal. Marilah kita membuat penilaian
yang wajar dalam pertarungan seperti ini. Kita harus mengakui,
bahwa pasukan Pajang benar-benar pasukan yang tangguh.
Memang ada kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari anak-
anak muda pengawal padukuhan di sekitar kota. Tetapi jumlah
mereka sangat kecil dibandingkan dengan jumlah seluruh
kekuatan Pajang, sehingga keadaan itu tidak banyak
berpengaruh. Agak berbeda dengan pasukan kita yang terdiri
sebagian dari pasukan pengawal Tanah Perdikan Sembojan."
"Jadi bagaimana menurut tanggapan Ki Rangga?" bertanya
Panglima itu. "Kita tarik mundur pasukan kita malam ini. Kita mencari
kedudukan yang baru, yang tidak akan diserang dalam waktu
dekat oleh pasukan Pajang. Kita mengirimkan utusan ke Tanah
Perdikan Sembojan untuk membawa pasukan pengawal lebih
banyak lagi. Semua kekuatan yang ada dapat dikerahkan.
Sementara itu, Tanah Perdikan Sembojan harus mengerahkan
lagi anak-anak muda yang sebelumnya dianggap masih terlalu
muda. Ambil anak-anak remaja yang sudah berumur enambelas
tahun. Tidak usah menunggu sampai delapan belas," berkata Ki
Rangga. "Anak-Anak berumur enam belas justru sedang dalam
tataran yang paling buas jika kita berhasil menggelitiknya.
Setelah mereka mendapat latihan sekadarnya maka mereka pun
harus segera dikirim kemari. Dengan kekuatan itu maka barulah
kita akan dapat meyakinkan diri bahwa kita akan dapat
memecahkan pasukan Pajang. Itu pun yang berada di luar
dinding kota. Jika mereka menarik diri memasuki gerbang maka
kita harus membuat perhitungan-perhitungan baru. Atau kita
40 SH. Mintardja memang tidak mempunyai rencana dengan tergesa-gesa
memasuki kota. Mungkin kita menunggu perkembangan pasukan
Pajang dan Jipang yang berada di seberang-menyeberang
Bengawan Sore. Jika Kanjeng Adipati Jipang berhasil
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghancurkan Hadiwijaya, maka segalanya akan dapat
dianggap selesai. Untuk menghancurkan kota ini maka kita tidak
akan lebih sulit dari memijat ranti masak."
Senapati yang menjadi Panglima pasukan Jipang di Pajang itu
mengangguk-angguk. Sebenarnya rasa-rasanya agak segan untuk
mengakui kelebihan Pajang yang hanya berselisih selapis tipis itu.
Namun kemudian ia pun menjawab, "Jika pertimbangan Ki
Rangga demikian, aku pun tidak akan berkeberatan. Tetapi
bagaimana dengan anak-anak muda dari Tanah Perdikan
Sembojan" Apakah tidak akan ada kesulitan untuk
mengambilnya lebih banyak lagi" Mungkin Kepala Tanah
Perdikan itu akan merasa berkeberatan karena sebagian besar
dari anak-anak mudanya telah berada di sini."
Tetapi Ki Rangga tersenyum, katanya, "Jangan takut.
Bertanyalah kepada Ki Randukeling."
Senapati itu memandang Ki Randukeling yang ikut
mendengarkan pembicaraan. Dengan suara sendat dan ragu ia
bertanya, "Bagaimana pendapat Ki Randukeling?"
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Mungkin aku dapat membantu, memanggil anak-anak muda itu,
karena Kepala Tanah Perdikan Sembojan adalah cucuku. Tetapi
sekali lagi aku ingin memperingatkan, bahwa anak-anak
Sembojan itu bukannya prajurit-prajurit yang telah masak.
Mungkin sebagian dari mereka yang pernah mendapat latihan-
latihan yang baik dan bersungguh-sungguh tidak akan banyak
mengecewakan meskipun mereka belum berpengalaman. Namun
sebagian yang lain, adalah anak-anak muda yang masih belum
mapan. Bukan saja ilmunya, tetapi untuk bertempur sehari penuh
seperti prajurit, mereka akan kelelahan. Meskipun demikian, aku
kira pertimbangan yang diberikan oleh Ki Rangga Gupita
menurut pendapatku agak lebih baik daripada pertimbangan
41 SH. Mintardja untuk besok pagi mengerahkan semua orang. Dalam
pertempuran seperti ini, kita masing-masing tidak boleh tergesa-
gesa sehingga akan dapat menjerumuskan banyak korban yang
tidak perlu hanya karena dibakar oleh gejolak perasaan dan
barangkali sedikit harga diri."
Panglima pasukan Jipang disisi Timur Pajang itu
mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah jika demikian. Aku akan
menarik pasukan ini untuk menunggu kedatangan anak-anak
muda dari Tanah Perdikan Sembojan. Dengan bantuan itu, serta
mengerahkan semua orang yang ada, kita akan menghancurkan
pasukan Pajang." "Jika demikian, maka kita akan mengirimkan utusan ke Tanah
Perdikan Sembojan," berkata Ki Rangga Gupita.
"Siapa?" bertanya Senapati itu.
"Ki Randukeling," jawab Ki Rangga Gupita. "Ia akan dapat
memaksa cucunya untuk tidak dapat menolak permintaannya.
Bahkan untuk mempersiapkan para remaja yang dapat
memberikan sedikit pengertian tentang perang dalam waktu satu
dua pekan sebelum mereka dibawa kemari."
"Baiklah," jawab Ki Randukeling. "Aku akan pergi ke
Sembojan. Tetapi apakah tidak lebih baik jika aku pergi bersama
Ki Rangga Gupita?" "Aku tidak berkeberatan," jawab Ki Rangga. "Rasa-rasanya
memang sudah terlalu lama tidak bertemu dengan Warsi."
Ki Randukeling mengerutkan keningnya. Namun Ki Rangga
Gupita itu tertawa sambil berkata, "Jangan takut. Aku tidak akan
berbuat apa-apa." "Seandainya Ki Rangga akan berbuat apa-apa aku tidak akan
mencegahnya. Itu sama sekali bukan persoalanku lagi," sahut Ki
Randukeling. Ki Rangga tertawa semakin keras, sementara Panglima
pasukan Jipang itu menjadi termangu-mangu. Ia tidak mengerti,
apa yang dikatakan oleh Ki Rangga itu.
42 SH. Mintardja Karena itu, maka Ki Rangga pun berkata kepada Panglima itu,
"Yang terakhir memang bukan persoalan prajurit Jipang. Tetapi
persoalan pribadiku."
Ternyata Panglima itu tanggap. Katanya, "Itulah agaknya
maka Ki Rangga mengusulkan untuk menambah pasukan lagi."
Ki Rangga masih tertawa. Tetapi ia menjawab, "Jangan kau
baurkan kepentingan Jipang dengan kepentingan sendiri."
Panglima itu pun tertawa. Katanya, "Ki Rangga akan
mendapat kedua-duanya."
Ki Rangga yang masih tertawa itu tidak menjawab lagi. Ia pun
kemudian minta diri untuk bersiap-siap. Sementara Panglima itu
pun berkata, "Jika demikian maka aku pun akan segera
mengambil langkah. Pasukan ini untuk sementara memang harus
menjauh. Jika para petugas yang mengumpulkan kawan-kawan
kami yang terluka dan yang
terbunuh itu sudah kembali,
maka kita akan segera meninggalkan tempat ini."
"Baiklah," jawab Ki Rangga
yang menjadi bersungguh- sungguh. "Untuk keselamatan
pasukan ini, maka keputusanmu cukup baik. Bukankah kita tidak dibatasi
waktu, sehingga kita tidak
harus dengan tergesa-gesa
mengorbankan orang kita?"
Panglima itu mengangguk- angguk, sementara Ki Rangga
dan Ki Randukeling pun telah
meninggalkan mereka. Dalam pada itu, malam itu juga pasukan Jipang telah ditarik
mundur melampaui beberapa bulak. Satu gerak yang telah
menimbulkan banyak tanggapan. Sebagian dari para prajurit
43 SH. Mintardja Jipang tidak dapat mengerti kenapa keputusan yang demikian
diambil. Namun sebagian yang lain sependapat dengan sikap itu,
karena mereka tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa setidak-
tidaknya pasukan Jipang tidak akan berhasil memecahkan
pasukan Pajang. Bahkan mereka yang langsung berada di
pertempuran akan dapat merasakan, kelemahan-kelemahan yang
terdapat dalam pasukan Jipang memang berbahaya bagi
kesatuan gelar. Namun harga diri para prajurit Jipang kadang-kadang telah
mencegah mereka mempergunakan nalar. Mereka tidak mau
melihat kenyataan yang terjadi, karena orang-orang Jipang harus
dianggap sebagai prajurit yang tidak terkalahkan.
Ki Rangga dan Ki Randukeling yang telah bersiap-siap pula
sempat mengikuti gerak mundur itu pula. Setelah mereka melihat
dimana pasukan Jipang itu kemudian membangun sebuah
pertahanan, maka mereka pun segera bersiap untuk pergi ke
Tanah Perdikan Sembojan. "Kita akan berangkat setelah hari terang tanah," berkata Ki
Randukeling. "Baiklah," jawab Ki Rangga Gupita. "Sementara ini kita sempat
beristirahat." Demikianlah pasukan Jipang telah mengambil beberapa buah
rumah dan banjar padukuhan bagi kepentingan mereka tanpa
menghiraukan keluhan para penghuninya yang harus mengungsi
ke rumah sanak kadang tetangga-tetangganya.
Malam itu dengan ketangkasan prajurit, Jipang telah berhasil
membangun pertahanan yang kuat, disebuah padukuhan.
Sementara itu, Ki Rangga dan Ki Randukeling ternyata masih
sempat beristirahat sejenak sambil menunggu hari terang tanah.
Ketika saatnya tiba, maka Ki Rangga Gupita dan Ki
Randukeling pun telah minta diri kepada Panglima pasukan
Jipang disisi Timur Pajang. Mereka akan berusaha untuk
Kaki Tiga Menjangan 5 Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin Tujuh Pedang Tiga Ruyung 8
Senapati itu memandang Ki Rangga sejenak. Lalu katanya,
"Terima kasih. Sebaiknya Ki Rangga berada di antara anak-anak
muda Tanah Perdikan yang memerlukan dukungan kejiwaan.
Mereka mulai terpengaruh oleh kegarangan pasukan Pajang,
meskipun para prajurit Jipang telah berbuat yang sama. Dua
orang Senapati pembantuku telah berada di antara mereka
disayap kiri. Mungkin Ki Rangga akan berada di sayap kanan."
58 SH. Mintardja Ki Rangga mengangguk-angguk. Jawabannya, "Baiklah. Aku
akan berada disayap kanan. Namun setelah aku melapor
kehadiranku di medan."
Demikianlah, maka Ki Rangga Gupita itu telah menyusup di
antara para prajurit Jipang dan anak-anak muda Tanah Perdikan
Sembojan untuk mencapai ujung sayap disebelah kanan
Beberapa orang prajurit Jipang yang berada di sayap itu
menyambut kedatangan Ki Rangga dengan gembira dan harapan.
Bagi mereka Ki Rangga adalah seorang petugas sandi yang juga
seorang prajurit yang memiliki kemampuan yang tinggi. Karena
itu, maka kehadirannya tentu akan membantu memperingan
tugas para prajurit Jipang.
"Marilah," berkata Ki Rangga.
"Anak-anak ingusan itu tidak mampu berbuat banyak," desis
seorang perwira Jipang. "Mereka belum berpengalaman."
"Tetapi bukankah kehadirannya dapat juga mengurangi beban
para prajurit Jipang?" bertanya Ki Rangga.
"Ya," jawab perwira itu.
Namun sejenak kemudian, keduanya pun telah terlibat ke
dalam pertempuran melawan prajurit-prajurit Pajang.
Dalam pada itu, ternyata Ki Rangga Gupita memang seorang
yang memiliki ilmu yang tinggi. Dalam waktu yang singkat, ia
telah mampu menunjukkan kegarangannya. Seorang prajurit
Pajang yang menyerangnya, tiba-tiba saja telah terdorong surut.
Dengan cepatnya Ki Rangga mengayunkan pedangnya mendatar.
Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Seleret luka telah
mengoyak dada prajurit Pajang itu, sehingga sekali lagi ia
terdorong surut. Bahkan kemudian prajurit itu pun telah jatuh
terlentang dengan bermandikan darah yang mengalir dari luka di
dadanya. Ki Rangga mengamati pedangnya yang merah diujungnya. Ia
sempat berpaling kepada anak-anak muda Tanah Perdikan.
59 SH. Mintardja Dengan lantang ia berkata, "Siapa yang tangannya belum basah
oleh darah, sentuhlah darah yang masih merah itu dengan ujung
jarimu. Maka kalian akan menjadi seorang prajurit yang tidak
lagi ragu-ragu menggerakkan senjata kalian di peperangan."
Anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan itu pun
termangu-mangu. Namun dalam pada itu, Ki Rangga Gupita pun
telah maju mencari lawan yang lain.
Kehadiran Ki Rangga Gupita disayap itu telah membuat
pertempuran menjadi berubah. Kegarangannya benar-benar
menimbulkan kegelisahan di antara para prajurit Pajang.
Namun prajurit Pajang yang berpengalaman itu pun telah
dengan cepat berusaha menguasai keadaan. Tiga orang di antara
mereka telah menempatkan diri menghadapi Ki Rangga Gupita.
Tiga orang yang dianggap memiliki kelebihan dari kawan-
kawannya. "Licik," geram Ki Rangga Gupita setelah ia bertempur
beberapa saat, sementara ketiga orang itu agaknya berhasil
mengganggu keleluasaannya bergerak.
"Apa yang licik?" bertanya prajurit Pajang itu.
"Kalian maju bertiga," sahut Ki Rangga.
"Kita berada di peperangan. Bukan dipertarungan dalam
perang tanding. Siapapun dapat melawanmu. Bahkan seandainya
sekelompok yang terdiri dari seratus orang sekalipun jika kami
memilikinya," jawab salah seorang di antara para prajurit Pajang
itu. Ki Rangga tidak menjawab. Ia pun segera memutar pedangnya
dengan kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti dengan mata
wadag. Namun ketiga orang prajurit Pajang itu berusaha dengan
segenap kemampuan yang ada padanya untuk menahan
keleluasaan gerak Ki Rangga, meskipun berkali-kali ujung senjata
Ki Rangga hampir saja mematuk mereka.
60 SH. Mintardja Dalam kejemuan menghadapi ketiga orang itu, maka Ki
Rangga telah meningkatkan ilmunya. Bukan saja penggunaan
tenaga cadangannya, tetapi ilmunya yang mampu mengguncang
ketabahan hati lawan-lawannya.
Ternyata bahwa Ki Rangga Gupita telah membuat ketiga
lawannya kebingungan. Setiap sentuhan senjata mereka, maka
terasa genggaman mereka atas senjata masing-masing menjadi
sangat panas. Namun demikian para pengawal itu masih tetap bertahan.
Betapapun perasaan panas itu menyengat setiap jari-jarinya.
Bahkan bagaikan menghanguskan kulit dagingnya.
Rangga Gupita itu tertawa ketika ia melihat lawan-lawannya
menyeringai kesakitan. Dengan cepat ia berloncatan sambil
memutar senjatanya. Kemudian senjata itu terayun mendatar
menembus ke arah leher. Ternyata bahwa lawannya sempat
menghindar. Namun ujung pedang itu seakan-akan telah
menggeliat dan justru terjulur lurus ke arah jantung.
Rangga Gupita memang sengaja memberi kesempatan
lawannya menangkis serangannya yang tidak begitu cepat.
Namun demikian senjata lawannya itu menyentuh pedang
Rangga Gupita, maka terdengar desah tertahan. Prajurit Pajang
itu mengaduh karena tangannya bagaikan masuk ke dalam
seonggok bara yang menyala.
"Gila," geram prajurit Pajang itu, sementara Ki Rangga Gupita
tertawa. Kepada anak-anak muda yang bertempur disekitarnya Ki
Rangga itu berteriak, "Lihat, para prajurit Pajang tidak lebih dari
kelinci-kelinci yang bodoh. Karena itu, maka jangan ragu-ragu.
Karena kalian memiliki bekal yang jauh lebih baik dari orang-
orang Pajang ini." Kata-kata Ki Rangga Gupita memang dapat membesarkan hati
anak-anak muda dari Tanah Perdikan Sembojan itu. Sambil
bersorak keras-keras mereka serentak menyerang lawan-lawan
terdekat. 61 SH. Mintardja Namun mereka bukannya Rangga Gupita. Tidak seorang pun
di antara anak-anak muda Tanah Perdikan yang tahu, apakah
sebenarnya yang sudah terjadi. Mereka hanya melihat perubahan
dalam keseimbangan pertempuran antara Ki Rangga dengan
orang-orang Pajang itu. Tetapi mereka tidak mengerti seutuhnya,
bahwa Ki Rangga telah mempergunakan segenap ilmunya sampai
ke puncaknya. Mereka tidak mengerti bahwa setiap sentuhan
senjata, maka tangan prajurit Pajang itu bagaikan tersentuh bara.
Yang mereka lihat hanyalah para prajurit Pajang itu menjadi
terdesak karenanya. Sebenarnyalah ketiga orang prajurit Pajang itu menjadi
bingung. Mereka agaknya tidak mempunyai peluang sama sekali
untuk dapat mengalahkan lawannya. Yang terjadi, semakin lama
tangan mereka menjadi semakin lemah.
Ki Rangga masih tersenyum. Dengan nada datar ia berkata,
"Nah, itu masih baru permulaan. Tetapi sebaiknya kalian harus
bertempur sampai senjata kalian jatuh dengan sendirinya di atas
tanah." Namun Ki Rangga itu terkejut, ketika ia mendengar jawaban
atas kata-katanya dengan nada yang berbeda, sehingga Ki Rangga
Gupita berpaling ke arah suara itu.
"Permainanmu sangat mengesankan Ki Sanak," berkata orang
yang kemudian dilihat oleh Ki Rangga menyusup di antara para
prajurit Pajang. Ki Rangga mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia
bertanya, "Siapakah kau Ki Sanak?"
"Sudah tentu prajurit Pajang. Tetapi jika kau ingin tahu
namaku, aku adalah Wirajaya. Tumenggung Wirajaya," jawab
orang yang baru datang itu.
Ki Rangga Gupita termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun menyahut, "Jadi kau seorang Tumenggung"
Tetapi menilik pakaianmu kau tentu dari kesatuan yang berbeda
dengan prajurit-prajurit yang sedang bertempur ini?"
62 SH. Mintardja "Mungkin," sahut Rangga Gupita. "Tetapi perbedaan yang
tidak berarti, yang penting bahwa aku adalah prajurit Pajang dan
kau adalah prajurit Jipang, karena jika dilihat dari pakaianmu,
kau juga bukan dari kesatuan Jipang yang datang ini. Juga bukan
satu di antara orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Siapa
namamu Ki Sanak?" "Kau tidak memerlukan namaku," jawab Rangga Gupita.
"O," desis Ki Tumenggung. "Aku sudah menyebut namaku.
Bahkan namaku sendiri. Sekarang kau tidak mau menyebut
sebuah nama meskipun nama itu bukan namamu sendiri."
"Bukankah tidak ada artinya apa-apa jika aku menyebut nama
yang bukan namaku sendiri," sahut Ki Rangga yang kemudian
bertanya, "Nah, sekarang apa yang kau kehendaki dalam
pertempuran ini?" "Kau aneh," jawab Tumenggung Wirajaya. "Jika aku turun ke
gelanggang tidak ada maksud yang lain kecuali menangkapmu
serta beberapa orang Senapati yang lain."
"Persetan," geram Ki Rangga Gupita. "Kau kira kau memiliki
kemampuan iblis sehingga kau dapat mengalahkan aku?"
"Aku memang tidak mempunyai kemampuan iblis," jawab Ki
Tumenggung. "Tetapi aku akan berusaha menandingimu."
Ki Rangga tidak menjawab lagi. Ia pun segera mempersiapkan
diri. Agaknya Ki Tumenggung Wirajaya memang lain dengan
prajurit-prajurit kebanyakan.
Karena itu, maka sejenak kemudian Ki Rangga Gupita pun
telah menyerangnya dengan garangnya. Ujung pedangnya yang
bergetar telah mematuk ke arah dada.
Rangga Gupita yang gagal mengenai dada lawannya, tiba-tiba
telah mengibaskan ujung pedangnya mendatar tepat setinggi
dada. Ki Tumenggung yang memang ingin menjajagi kemampuan
dan ilmu lawannya berusaha untuk menangkisnya. Ia sadar,
63 SH. Mintardja menilik sikap ketiga lawan Ki Rangga yang terdahulu. Dalam
setiap sentuhan senjata nampaknya mereka menyeringai
menahan sakit. Karena itu, maka Ki Tumenggung Wirajaya telah
mengetrapkan daya tahannya pada telapak tangannya.
Namun Ki Tumenggung itu terkejut juga. Ia tidak memiliki
ilmu kebal, sehingga meskipun ia telah mengetrapkan kekuatan
daya tahannya pada telapak tangannya, namun Ki Tumenggung
itu merasakan juga panasnya bara api yang menyentuh
tangannya itu. Ki Tumenggung meloncat ke samping itu pun menarik nafas
dalam-dalam. Ia pun sadar, bahwa ia berhadapan dengan seorang
yang memiliki ilmu yang tinggi.
Namun Ki Tumenggung adalah seorang pemimpin Pajang
yang disegani. Meskipun Ki Tumenggung lebih banyak tersenyum
dalam keadaan apapun juga, namun ia memiliki kemampuan
yang cukup tinggi pula. Karena itu, maka yang terjadi kemudian adalah pertempuran
antara dua kekuatan yang melampaui kekuatan orang
kebanyakan. Untuk mengatasi sentuhan yang dapat mengakibatkan telapak
tangan Ki Tumenggung bagaikan menggenggam api itu, maka ia
pun telah mengerahkan ilmunya untuk meningkatkan
kecepatannya bergerak. Dengan kecepatan bergerak yang sangat
tinggi, maka ia dapat membuat Ki Rangga agak kebingungan.
Satu ilmu yang luar biasa, telah membuat Ki Tumenggung itu
mampu membuat tubuhnya menjadi sangat ringan sehingga
seolah-olah tidak berbobot. Dengan demikian maka ia pun
mampu untuk bergerak cepat sekali.
Sekali-kali Ki Tumenggung itu ada di depan lawannya. Namun
tiba-tiba Ki Tumenggung itu pun telah berada di belakang Ki
Rangga Gupita. 64 SH. Mintardja Namun Ki Rangga tidak menjadi putus asa. Ia pun telah
mengerahkan kemampuannya untuk mengatasi kecepatan gerak
Ki Tumenggung meskipun ia lebih sering merasa kehilangan arah
perlawanannya. Namun setiap kali ia berhasil menangkis serangan Ki
Tumenggung, maka rasa-rasanya ia telah membuat sebuah luka
pada tubuh Ki Tumenggung, karena kemampuannya menyengat
telapak tangan lawan dengan kekuatan ilmunya bagaikan
panasnya bara api. Dengan demikian maka pertempuran di antara kedua orang
itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Sedangkan
pertempuran dalam keseluruhannya pun terasa semakin
membakar pula. Jumlah orang dalam pasukan Jipang memang
lebih banyak. Tetapi kemampuan mereka, terutama anak-anak
muda Tanah Perdikan Sembojan, masih belum dapat
mengimbangi kemampuan para
prajurit Pajang yang berpengalaman. Para pengawal Tanah Perdikan yang kebetulan
mendapat tempaan dari para perwira secara langsung memang
jauh lebih baik dari anak-anak muda yang mendapat latihan
sekadarnya dari kawan-kawan mereka sendiri yang telah
menempa diri pada para perwira dari Jipang itu.
Karena itulah, maka dua kekuatan itu menjadi bagaikan
seimbang. Keduanya saling mendesak dan saling bertahan. Sorak
yang membahana setiap kali meledak dari kedua belah pihak
disusul dengan teriakan-teriakan yang bagaikan memecahkan
selaput telinga. Dalam pada itu, maka Senapati tertinggi prajurit Pajang yang
ada di dalam medan pertempuran itu pun dengan
pengamatannya yang cermat telah dapat menilai, bahwa
pertempuran itu tentu akan berlangsung lama sekali. Bahkan
Senapati itu yakin bahwa pada hari itu, mereka harus
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghentikan pertempuran karena malam turun. Pasukan
Pajang yang cukup besar itu tidak mampu memecahkan pasukan
Jipang yang jumlahnya lebih banyak, meskipun di antaranya
adalah anak-anak muda dari Sembojan.
65 SH. Mintardja Karena itu, maka Pajang yang masih mempunyai tenaga
cadangan di balik gerbang kota itu akan dapat dipergunakan di
hari berikutnya. Jika ia tidak dengan segera mengubah
keseimbangan itu dan perang akan berlangsung berkepanjangan,
maka korban akan menjadi semakin banyak.
"Ternyata pasukan disisi Timur ini lebih besar dari kekuatan
pasukan Jipang disisi Barat," berkata Senapati itu di dalam
hatinya. Sebenarnyalah, bahwa matahari semakin lama telah menjadi
semakin rendah. Kemampuan dan tenaga di kedua belah pihak
pun telah menjadi susut. Ayunan pedang sudah tidak lagi sederas
saat pertempuran itu baru mulai. Tombak dan lembing tidak lagi
mematuk secepat patukan ular bendotan.
Dalam pada itu, pertempuran antara Ki Tumenggung Wirajaya
dan Ki Rangga Gupita pun rasa-rasanya tidak akan
berkesudahan. Keduanya memiliki kemampuannya masing-
masing yang dapat saling mengatasi dan saling mengimbangi
meskipun dalam ujud yang berbeda.
Langit pun semakin lama menjadi semakin merah. Matahari
perlahan-lahan telah turun dan memasuki sarangnya di ujung
Barat, sehingga senja pun telah datang.
Pada saat yang demikian, maka terdengar isyarat dari kedua
belah pihak untuk menghentikan pertempuran. Sebagaimana
saat pertempuran itu akan dimulai, maka suara bende pun telah
mengumandang dan menggelepar di udara. Sementara di pihak
lain terdengar suara sangkakala meneriakkan aba-aba untuk
menghentikan pertempuran itu pula.
Bagaimanapun juga kedua belah pihak adalah prajurit-prajurit
yang terlatih dan berpengalaman. Keduanya memiliki beberapa
sifat yang hampir sama, meskipun prajurit Jipang pada
umumnya memiliki watak yang lebih keras. Namun prajurit
Pajang tidak kalah niatnya menghadapi keadaan yang betapapun
sulitnya. Meskipun sekali-kali prajurit Pajang itu mengalami
tekanan yang berat dan beruntun, namun garis pertahanan
66 SH. Mintardja pasukan Pajang tidak patah atau terputus. Seperti tali busur yang
terdesak melentur, namun kemudian menghentak lurus kembali.
Demikianlah ketika pertempuran itu beristirahat, maka para
pemimpin Pajang telah sepakat untuk menurunkan pasukan
cadangannya. Dengan cepat, maka para Senapati telah
memanggil sebagian dari para prajurit yang bertugas untuk
mengamankan keamanan lingkungan di dalam kota. Sementara
itu menyerahkan keadaan dalam kota kepada anak-anak muda
yang masih ada serta laki-laki yang masih belum terlalu tua dan
masih memiliki kekuatan dan tenaga untuk melakukannya.
Sedangkan untuk menjaga segala kemungkinan, maka para
prajurit yang tersisa didalam kota telah diperlengkapi dengan
kuda, agar jika diperlukan mereka dapat mencapai tempat-
tempat tertentu dengan cepat. Sementara sebagian dari mereka
telah diturunkan pula ke medan esok pagi.
Dengan hati-hati dan tidak menimbulkan kecurigaan, seorang
demi seorang dari prajurit cadangan itu telah pergi ke gelar
pasukan Pajang diluar kota menghadapi pasukan Jipang.
Namun sementara itu, seorang pengamat dengan tergesa-gesa
menemui panglima pasukan Pajang yang ada di kota itu untuk
menyampaikan laporan, "Kami melihat dua penghubung berkuda
pasukan Jipang menuju ke Barat.
Panglima itu pun kemudian mengurai persoalannya bersama
para Senapati yang lain. Mungkin kedua penghubung itu
memberitahukan keadaan disisi Timur. Hanya sekadar sebagai
pemberitahuan. Namun agaknya Pasukan Jipang itu
mengharapkan bantuan. Namun agaknya pasukan Jipang yang
masih sedang menyusun pertahanan di daerah yang
dipergunakannya untuk menyusun pertahanan barunya itu, sulit
untuk dapat memenuhinya. Selain itu maka jarak antara dua
pemusatan pasukan Jipang itu cukup jauh. Kemungkinan yang
lain adalah, pasukan disisi Timur memberitahukan bahwa
pasukan Pajang sebagian terbesar ada disisi Timur itu, sehingga
apabila pasukan Jipang disisi Barat akan menyerang, maka
pertahanan disisi Barat tentu sedikit melemah.
67 SH. Mintardja "Kita harus berhati-hati menanggapi sikap prajurit Jipang
yang ternyata mempunyai kemampuan yang sangat besar,"
berkata Tumenggung Wirajaya.
"Ya. Hal itu kami sadari sepenuhnya," jawab Panglima prajurit
Pajang itu. Lalu, "Karena itu, maka kita harus segera mengambil
sikap. Aku akan memerintahkan pasukan disisi Barat bersiaga
sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu,
aku tetap berniat untuk menghancurkan pasukan Jipang, atau
setidak-tidaknya mendesaknya menjauh seperti disisi Barat."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Dengan pasukan cadangan itu kita berharap akan dapat
memecahkan pasukan lawan esok pagi," Ki Tumenggung berhenti
sejenak, lalu, "Tetapi harus diingat, bahwa pasukan Jipang itu
pun memiliki tenaga cadangan meskipun hanya sedikit."
"Ya. Tetapi pasukan cadangan kita lebih banyak," jawab
Panglima pasukan Pajang itu.
Malam itu, pasukan Pajang akan dilengkapi dengan tenaga-
tenaga cadangan, sementara kawan-kawan mereka yang terluka
dan terbunuh telah dikumpulkan dari medan dan dibawa
memasuki regol. Mereka telah dibawa ke banjar terdekat dengan
pintu gerbang kota untuk mendapat perawatan dan pelayanan
sebagaimana seharusnya. Malam itu ternyata bahwa pasukan kedua belah pihak tidak
segera dapat beristirahat. Namun para perwira dikedua belah
pihak pun telah berusaha agar para prajurit itu mendapat
kesempatan beristirahat sebanyak-banyaknya. Pekerjaan-
pekerjaan lain diserahkan kepada mereka yang tidak turun ke
medan esok pagi. Beberapa orang prajurit telah melumuri kaki dan tangan
mereka dengan param yang memang sudah disediakan. Dengan
demikian, terasa urat nadi mereka menjadi hangat, dan darah
pun mengalir dengan lancar. Karena itu, maka perasaan letih dan
penat pun menjadi segera berkurang.
68 SH. Mintardja Tetapi seorang prajurit Pajang yang masih muda berkata
kepada kawannya, "Kau sudah seperti seorang kakek-kakek. Baru
sehari kau bertempur, kau sudah harus memerami kaki, tangan
bahkan punggung dan perutmu."
"Jangan sombong," sahut kawannya. "Soalnya bukan kakek-
kakek atau bukan. Tetapi tubuh ini terasa segar kembali setelah
sehari kita bertempur."
"Aku cukup dengan sedikit lama membenamkan diri
disungai," jawab prajurit muda itu. "Tubuhku telah segar kembali
seperti pada saat aku datang kemari."
"Mungkin kau cukup dengan mandi semalam suntuk. Tetapi
bagiku param ini sangat berarti bagi urat-uratku yang hampir
kejang," jawab kawannya.
Keduanya tidak berbantah lagi. Masing-masing mempunyai
kebiasaannya sendiri-sendiri, sehingga karena itu, maka mereka
melakukan apa yang sesuai dengan kebiasaan mereka masing-
masing. Namun satu hal yang harus mereka lakukan, sebagaimana
diperintahkan oleh para pemimpin mereka, adalah beristirahat
sebanyak-banyaknya dapat mereka lakukan.
"Besok kalian masih harus bertempur penuh. Soalnya adalah
menyangkut masalah hidup dan mati. Karena itu, beristirahatlah.
Jika kalian dengan sombong merasa tidak memerlukan waktu
untuk beristirahat sebaik-baiknya, maka mungkin sekali besok
kau akan keluar dari medan di atas pundak orang-orang yang
mengusungmu," berkata seorang perwira kepada kelompok yang
dipimpinnya. Dengan demikian maka para prajurit pun telah berusaha
sebanyak-banyaknya untuk beristirahat setelah mereka makan
malam, sementara mereka yang terluka kecil oleh goresan-
goresan senjata, namun masih mampu untuk bertempur, telah
mengobati luka-luka mereka lebih dahulu sebelum mereka pergi
tidur. Hanya sekelompok kecil sajalah yang bertugas bergantian
mengamati keadaan. 69 SH. Mintardja Namun dalam keadaan yang demikian, seorang demi seorang
pasukan Pajang telah bertambah.
Malam yang kemudian menjadi kelam, telah menyelubungi
medan dengan kesenyapan. Tetapi tak banyak ada gerak di kedua
belah pihak. Para prajurit tertidur silang melintang dengan
dengkur yang tersendat-sendat.
Pada malam itu, di Tanah Perdikan Sembojan, serombongan
pengamen telah memasuki padukuhan. Di ujung lorong, Kiai
Badra yang memimpin rombongan itu bersama Kiai Soka
berkata, "kita sudah dapat mulai sebagaimana dikehendaki oleh
Ki Tumenggung Wirajaya. Aku yakin bahwa di Pajang, Ki
Tumenggung pun sudah mulai pula mengusik orang-orang
Jipang." "Ya," jawab Kiai Soka. "Kita memang sudah mulai dengan
rancangan kita. Jika mungkin maka kita akan menghindari
benturan-benturan pada langkah-langkah pertama."
"Mudah-mudahan," jawab Kiai Badra. "Kita akan mengadakan
pendekatan dengan orang-orang yang mungkin dapat kita ajak
berbicara." Yang lain pun mengangguk-angguk. Namun mereka telah
mempunyai bekal tertentu sehingga mereka tidak lagi ragu-ragu
untuk menyatakan niat mereka yang sebenarnya.
Ketika rombongan itu mengadakan pertunjukan tanpa diminta
oleh siapapun, maka orang-orang padukuhan itu pun telah
banyak yang berkerumun. Namun, mereka terkejut ketika mereka
melihat penarinya sama sekali tidak mengenakan pakaian
sebagaimana mereka lihat. Penari yang ikut dalam rombongan itu
memakai pakaian sehari-hari seperti yang dikenakan oleh
perempuan-perempuan Tanah Perdikan Sembojan.
Namun dengan demikian, maka orang-orang yang
menyaksikannya menjadi semakin tersentuh hatinya. Perempuan
itu pasti Nyai Wiradana yang hilang.
70 SH. Mintardja Ketika orang-orang padukuhan itu sudah berkumpul karena
mendengar suara gamelan, maka penarinya yang tidak
mengenakan pakaian penari selain sehelai selendang yang
diikatkan di lambung itu pun mulai bangkit dan berdiri di
tengah-tengah arena, dikelilingi oleh orang-orang padukuhan itu
yang melihat penari itu dengan heran.
Namun dalam pada itu, gamelan pun justu telah berhenti.
Orang-orang yang mengerumuni arena itu menjadi semakin
heran. Namun mereka menunggu apa yang akan terjadi
kemudian. Dalam pada itu, maka penari yang tidak mengenakan pakaian
penari itu pun kemudian melangkah mengelilingi arena sambil
memandang orang-orang yang mengerumuninya. Sejenak
kemudian tiba-tiba saja ia berkata, "Ki Sanak, orang-orang
Sembojan yang baik hati. Aku minta maaf, bahwa kali ini aku
tidak dapat menari bagi kalian karena sesuatu hal. Aku tidak
sempat merias diri di pondokanku karena aku telah diusir oleh
orang yang untuk sementara memberikan tempat kepada kami
untuk tinggal, sementara di malam hari dan kadang-kadang
disiang hari, kami mengadakan pertunjukan keliling seperti ini.
Orang-orang Sembojan itu pun mendengarkan keterangan
penari yang tidak dalam pakaian tari itu dengan seksama.
Sementara itu perempuan itu pun berkata lebih lanjut. "Karena
itu, maka sejak saat ini kami tidak lagi mempunyai tempat untuk
berteduh. Memang ada dua pilihan yang dapat kami lakukan.
Kembali ke tempat asal kami, namun untuk datang kembali
ketempat ini jaraknya terlalu jauh, sehingga mungkin akan dapat
kami lakukan dalam waktu tiga atau empat bulan seperti pada
saat kami pulang beberapa waktu yang lalu, atau kami mohon
belas kasihan seseorang untuk memberikan tempat yang baru
bagi kami. Sekadar untuk dapat tidur dan menempatkan
peralatan kami yang tidak berarti."
Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Mereka merasa
kasihan kepada perempuan yang mirip dengan Ki Wiradana itu,
71 SH. Mintardja yang bahkan ada yang sudah menyebutkan bahwa perempuan itu
adalah Nyai Wiradana itu sendiri.
Tetapi mereka tidak berani memberikan tempat kepada
rombongan itu, karena mereka takut kepada Ki Wiradana yang
telah menyatakan bahwa rombongan penari itu harus ditangkap
jika mereka kembali ke Tanah Perdikan.
Karena orang-orang Tanah Perdikan di padukuhan itu
nampak ragu-ragu, maka Nyai Wiradana yang menumbuhkan
teka-teki itu pun berkata, "Ki Sanak, apakah Ki Sanak masih
dibayangi kecemasan, bahwa pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikan ini akan marah?"
Tidak ada jawaban. Tetapi beberapa orang mengangguk
mengiakan. "Baiklah. Jika demikian kami tidak akan memaksa. Agaknya
Nyai Wiradana lah yang sebenarnya berkeberatan, karena Nyai
Wiradana tidak ingin peristiwa yang pernah terjadi itu terulang.
He, apakah bukan hanya sekadar fitnah saja bahwa Nyai
Wiradana dahulu juga seorang penari seperti aku?" bertanya
Iswari. "Ya," hampir berbareng beberapa orang telah menjawab.
"Tetapi menurut pendengaranku, sebelum Ki Wiradana kawin
dengan penari itu, bukankah ia sudah beristri?" bertanya Iswari
itu pula. "Ya," jawab beberapa orang yang semakin banyak jumlahnya.
"Dan istrinya itu kini sudah tidak ada lagi di Sembojan," desak
Iswari pula. Semakin banyak orang yang menjawab, "Ya," bahkan seorang
telah berteriak. "Istrinya telah pergi."
"Baiklah," berkata Iswari. "Bagaimana pendapat kalian
tentang istri Ki Wiradana yang telah pergi itu dengan istrinya
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang sekarang?" 72 SH. Mintardja Tidak seorang pun menjawab. Jawaban yang sudah ada
dikerongkongan pun telah ditelannya kembali.
Namun sementara itu Iswari itu berkata, "Ki Sanak. Menurut
pendengaranku, pada saat istri Ki Wiradana itu pergi, ia baru
mengandung. Apakah kalian juga mengetahuinya?"
Beberapa orang dengan ragu mulai menjawab lagi, "Ya."
"Nah, jika demikian, maka anak itu sekarang tentu sudah
lahir," berkata Iswari. "Sementara itu anak Warsi, juga seorang
penari jalanan itu sudah lahir pula. Tetapi siapakah yang lebih
berhak untuk menjadi Kepala Tanah Perdikan kelak. Anak Iswari
atau anak Warsi." Orang-orang yang mengerumuni arena itu termangu-mangu.
Namun ada juga yang menjawab, "Anak Iswari. Ia lebih berhak
atas kedudukan Kepala Tanah Perdikan ini daripada anak Warsi
yang tamak itu." Kawan-kawannya berpaling ke arah orang itu. Bagaimanapun
juga mereka merasa cemas akan kata-kata yang dilontarkan oleh
salah seorang daripadanya. Jika yang dikatakan itu sampai
terdengar oleh Ki Wiradana, maka ia tentu akan mendapat
hukuman yang berat. Apalagi jika Warsi sendiri mendengarnya,
maka nasib orang itu tentu akan buruk."
Sementara itu, Iswari yang berada di tengah-tengah
kerumunan orang banyak itu pun telah tersentuh hatinya
mendengar jawaban itu. Ternyata bahwa paling tidak seorang di
antara orang-orang Sembojan masih menganggapnya sebagai ibu
dari seorang anak yang akan dengan sah memegang kedudukan
Kepala Tanah Perdikan. Karena itu, di luar kendali perasaannya,
maka muncullah dipermukaan, sifat perempuannya. Dengan
susah payah ia telah menahan agar air mata yang memanasi
pelupuknya itu tidak menitik jatuh.
Namun ternyata bahwa air mata itu masih juga meleleh
dipipinya. 73 SH. Mintardja Tetapi cahaya lampu minyak yang tidak begitu terang tidak
sempat menunjukkan butir-butir air yang menitik kulit pipinya
itu. Sementara itu, Iswari telah menghentakkan perasaannya
sambil berkata, "Jika demikian, maka pada suatu saat, anak itu
akan datang kepada Ki Sanak semuanya."
Kata-kata Iswari itu ternyata merupakan satu isyarat, bahwa ia
telah mengakui tentang dirinya sendiri. Bahwa ia bukan sekadar
perempuan yang mirip dengan Nyai Wiradana. Tetapi dengan
kata-katanya yang dilontarkan itu, serta ujudnya dalam pakaian
sehari-hari, ternyata perempuan itu memang Iswari.
Karena itu, maka Ki Bekel yang kebetulan juga
menyaksikannya, telah menyibak orang yang berkerumun itu.
Ketika ia muncul di arena maka katanya, "Nyai, aku adalah bekel
dari padukuhan ini. Bekel yang seakan-akan sudah dilupakan,
karena semua tugasku sudah diambil alih oleh anak-anak muda
yang disebut pengawal padukuhan yang langsung dipimpin oleh
Ki Wiradana," orang itu berhenti sejenak, lalu katanya, "Ada
kecenderungan aku memberontak karenanya. Tetapi aku tidak
akan mampu berbuat apa-apa. Meskipun demikian, setelah aku
mendengar keterangan Nyai, maka aku telah mengambil satu
kesimpulan tentang Nyai dan rombongan ini. Karena itu, aku
akan mempersilakan rombongan ini untuk berada di rumahku.
Apapun yang akan terjadi, aku akan menerimanya dengan senang
hati." Iswari memandang Ki Bekel dengan tajamnya. Namun
kemudian ia pun bertanya, "Kesimpulan apakah yang telah kau
ambil tentang kami?"
"Semua orang yang berkerumun disini akan mengerti
maksudku," jawab Ki Bekel. "Marilah, singgah dan tinggal di
rumahku. Aku tahu bahwa hal ini akan menjadi persoalan. Tetapi
aku tidak berkeberatan."
74 SH. Mintardja Iswari menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia
memandang Kiai Badra dan Kiai Soka yang ada di dalam
temaramnya lampu minyak untuk mendapat pertimbangan.
Sementara itu, terdengar suara Kiai badra, "Baiklah ngger.
Terimalah tawaran yang sangat berharga ini."
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Ki Bekel.
Kami sangat berterima kasih atas kesempatan ini."
"Marilah. Jika kau masih ingin mendapat kesempatan untuk
menari malam ini, kau dapat merias dirimu di rumahku. Tetapi
jika kau anggap sudah terlalu malam sekarang, maka kau dapat
melakukannya besok," berkata Ki Bekel.
Iswari pun kemudian berkata, "Sekali lagi kami mengucapkan
terima kasih. Dengan senang hati kami akan ikut bersama Ki
Bekel," Lalu katanya kepada orang-orang yang berkerumun itu,
"Ki Sanak semuanya, aku minta maaf bahwa kali ini aku tidak
dapat menari untuk kalian. Tetapi aku berjanji, besok aku akan
menari di halaman rumah Ki Bekel, sebagaimana yang telah
sering aku lakukan."
Orang-orang yang berkerumun itu tidak menjawab. Tetapi
sesuatu telah meyakinkan mereka dengan siapa mereka
sebenarnya berhadapan. Sejenak kemudian, maka iring-iringan kecil itu pun telah
meninggalkan tempat itu menuju ke rumah Ki Bekel. Rumah
yang cukup besar dan terhitung cukup baik dibandingkan dengan
rumah disekitarnya. Agaknya Ki Bekel termasuk orang yang
berkecukupan. ----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 16. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
75 SH. Mintardja Jilid Ke enam belas Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 76 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja ORANG-ORANG yang berkerumun itu pun telah bubar
pula. Tetapi ternyata mereka tidak memencar kembali ke rumah
mereka masing-masing. Sebagian besar dari mereka telah
berkerumun dan berbincang tentang kata-kata penari yang tidak
dalam pakaian tari itu. "Ternyata akhirnya kita benar," berkata seorang laki-laki yang
bertubuh tinggi. "Perempuan itu adalah Nyai Wiradana sendiri."
"Ya," sahut kawannya. "Tanpa menyebut dengan jelas, kita
semuanya sudah mengetahui, bahwa yang dikatakan itu adalah
satu pengakuan." "Tetapi ternyata Ki Bekel telah mengambil sikap yang sangat
berani. Dengan menampung orang-orang itu, apakah tidak
berarti bahwa Ki Bekel dengan terang-terangan telah menentang
kekuasaan Ki Wiradana" Bukan saja kegarangan dan kekerasan
Wiradana yang harus diperhitungkan, tetapi kekerasan
perempuan yang dipungutnya dari jalanan itulah yang harus
diperhitungkan. Ternyata bahwa perempuan itu memiliki
kemampuan melampaui kemampuan Ki Wiradana sendiri," desis
orang yang pertama. "Ki Bekel sudah tidak dapat menahan hati lagi. Sementara ini
ia seolah-olah sudah tidak berarti lagi. Apapun juga dipadukuhan
ini telah dilakukan oleh anak-anak muda yang dipercaya oleh Ki
Wiradana. Sampai memungut pajak pun telah mereka lakukan
dan menyerahkan langsung kepada Ki Wiradana," sahut
kawannya. "Tetapi bagaimana dengan kita?" bertanya orang yang
pertama. "Jika benar terjadi pertentangan yang mengarah kepada
kekerasan" Apakah rombongan kecil itu akan dapat berbuat
banyak menghadapi kekuasaan dan kekuatan Ki Wiradana?"
"Tanah Perdikan ini dalam keadaan lemah," jawab kawannya.
"Sebagian besar kekuatan Tanah Perdikan ini berada di Pajang."
2 SH. Mintardja "Bukankah masih ada sekelompok anak-anak muda yang
sekarang berada di barak itu untuk ditempa menjadi anak-anak
yang perkasa sebagaimana yang telah diberangkatkan ke Pajang
itu?" bertanya yang lain pula.
Kawannya mengerutkan keningnya. Tetapi katanya, "Yang ada
di barak itu tidak lebih dari sisa-sisa yang tinggal di Tanah
Perdikan ini. Mereka tidak dianggap cukup kuat untuk pemilihan
yang pertama. Namun akhirnya mereka dipungut juga dari
padukuhan masing-masing."
Yang lain mengangguk-angguk. Namun seorang di antara
mereka berkata, "Marilah, kita berbicara dengan para pengawal.
Bukankah para pengawal padukuhan ini yang tersisa anak-anak
kita sendiri yang akan dapat kita ajak untuk berbincang?"
"Hanya ada dua tiga orang yang masih ada. Mereka pun akan
segera ditarik ke dalam barak mengganti kelompok yang
terdahulu," jawab kawannya.
"Biar dua atau seorang sekalipun, namun kita wajib berbicara
dengan pengawal itu."
Demikianlah mereka pun telah pergi ke gardu di sisi yang lain
dari padukuhan itu. Dua orang anak muda duduk dengan lesu di dalam gardu itu.
Ketika beberapa orang datang kepadanya, maka telah terkejut
karenanya. Bahkan mereka pun telah berloncatan turun dari
gardunya. Dengan tergesa-gesa mereka bertanya, "Ada apa?"
Seorang di antara mereka yang datang itu pun maju mendekat
sambil berkata, "Apakah kalian mendengar suara gamelan?"
"Ya. Kami mendengar. Tetapi kemudian berhenti," jawab salah
seorang pengawal itu. "Apakah kalian tidak berniat untuk mengambil tindakan"
Bukankah sudah diumumkan oleh Ki Wiradana, bahwa jika
serombongan pengamen itu datang ke padukuhan ini, maka
mereka harus ditangkap."
3 SH. Mintardja Anak-anak muda yang berada di gardu itu termangu-mangu.
Namun salah seorang di antara mereka menjawab, "Tetapi
bukankah tidak berlaku bagi semua rombongan pengamen"
Bukankah hanya yang penarinya mirip dengan Nyai Wiradana itu
saja yang harus dicegah untuk bermain di Tanah Perdikan ini?"
Laki-laki yang berdiri di hadapan anak-anak muda itu justru
bertanya, "Kenapa jika rombongan pengamen yang penarinya
seperti Nyai Wiradana itu harus dilarang?"
"Jangan bertanya kepadaku," sahut anak muda itu.
"Bertanyalah kepada Ki Wiradana."
"Baiklah," berkata laki-laki itu. Lalu, "Ternyata bahwa
rombongan yang datang itu adalah rombongan dengan penari
yang mirip sekali dengan Nyai Wiradana."
Kedua pengawal itu saling berpandangan. Sebenarnyalah
mereka memang sudah mendengar suara gamelan. Ada hasrat
mereka untuk menengok, apakah rombongan itu termasuk
rombongan yang menurut Ki Wiradana harus ditangkap. Tetapi
keduanya merasa segan. Bahkan seorang di antara kedua
pengawal itu pernah mendengar ceritera kawan-kawannya, yang
mendapat kesempatan berlatih dengan cara yang lebih baik,
bahwa mereka pernah gagal menangkap orang-orang yang
menjadi pengiring dari penari yang mirip Nyai Wiradana itu.
Karena itu, jika benar rombongan itu ada di padukuhan mereka,
maka pengawal itu dihadapkan kepada satu persoalan yang amat
pelik. Karena para pengawal itu tidak segera menyahut, maka laki-
laki itu kemudian berkata, "Apakah kalian juga akan menangkap
mereka?" Tiba-tiba saja salah seorang di antara kedua pengawal itu
menjawab, "Kami hanya berdua."
"Kenapa jika berdua" Apakah jika berdua kalian dapat
mengingkari tugas kalian?" bertanya laki-laki itu.
4 SH. Mintardja Para pengawal itu menjadi kebingungan. Sementara seorang
laki-laki yang lain, yang kebetulan adalah paman salah seorang
dari para pengawal itu berkata, "Marilah. Kita temui rombongan
itu yang sekarang berada di rumah Ki Bekel."
"Di rumah Ki Bekel paman," ulang salah seorang pengawal itu.
"Tetapi, apakah kami berdua akan dapat menangkap mereka.
Kecuali jika paman dan kita semuanya ikut melakukannya."
"Marilah, kita melihat apa yang ada di rumah Ki Bekel. Baru
kemudian kita mengambil sikap," berkata pamannya.
Kedua pengawal itu tidak dapat ingkar. Mereka pun terpaksa
ikut bersama orang-orang padukuhan itu menuju kerumah Ki
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bekel. Sementara itu malam pun menjadi semakin dalam.
Padukuhan yang biasanya sudah tidur itu ternyata masih
disibukkan dengan beberapa orang yang berjalan menyusuri
jalan-jalan padukuhan. Namun gardu-gardu di dalam padukuhan
itu sudah menjadi sepi dan tidak lagi terisi oleh gelaknya anak-
anak muda yang meronda. Anak-anak muda di Tanah Perdikan
sebagian seakan-akan telah terhisap ke dalam pasukan Jipang
yang dikirim ke Pajang dan yang lain masuk ke dalam barak-
barak. Beberapa saat kemudian iring-iringan itu telah sampai ke regol
halaman rumah Ki Bekel. Beberapa orang menjadi termangu-
mangu sebagaimana kedua orang pengawal itu. Namun salah
seorang di antara mereka, yang kebetulan adalah paman dari
salah seorang di antara kedua orang pengawal itu berkata,
"Marilah. Kita memasuki regol halaman."
Orang itu justru ada di paling depan. Di belakangnya adalah
dua orang pengawal yang ragu-ragu. Suara desah dan
pembicaraan yang tertahan-tahan, serta kemudian langkah kaki
mereka di halaman, telah memberikan gambaran kepada setiap
orang di dalam rumah itu, apa yang terjadi di halaman.
"Banyak orang datang kerumah ini Ki Bekel," desis Kiai Soka.
5 SH. Mintardja "Aku akan berbicara dengan mereka," berkata Ki Bekel.
"Mereka tentu orang-orang yang kebingungan untuk menentukan
sikap. Mereka tentu didorong oleh perasaan takut kepada Ki
Wiradana dan istrinya yang
memerintahkan untuk menangkap kalian jika kalian
datang ke padukuhan ini."
Wajah Iswari menjadi buram. Dengan nada rendah ia
berdesis, "Apakah kehadiranku
tidak akan dapat diterima lagi
oleh orang-orang padukuhan
ini?" "Ah," desis Kiai Badra, "Tiba-
tiba saja kau menjadi seorang
perajuk. Diterima atau tidak
diterima, tetapi kau mempunyai
hak yang harus kau perjuangkan." Iswari mengangguk. Sementara Ki Bekel berkata, "Aku akan menemui mereka."
Ki Bekel pun kemudian telah membenahi dirinya. Dengan
menyelipkan keris dipinggangnya ia membuka selarak pintu dan
melangkah keluar diikuti oleh Kiai Badra dan bahkan kemudian
Iswari sambil berdesis, "Aku harus berhadapan langsung dengan
mereka." Kiai Badra mengerutkan keningnya. Katanya, "Kau akan
berbicara dengan orang-orang itu."
"Terserah kepada Ki Bekel," jawab Iswari.
Ki Bekel tertegun sejenak. Namun ia pun tidak menjawab.
Tetapi ia langsung menyeberangi pendapa dan berdiri di bibir
tangga menghadap kepada orang-orang yang sudah berada di
halaman. 6 SH. Mintardja Ki Bekel itu pun memandang orang-orang padukuhan yang
berkerumun itu, seolah-olah ingin mengenali seorang demi
seorang. Meskipun cahaya lampu minyak di pendapa hanya
menyentuh mereka dengan lemahnya, tetapi karena wajah-wajah
itu sudah sangat dikenalnya, maka Ki Bekel pun dapat mengenal
seorang demi seorang di antara mereka.
Baru kemudian dengan suara lantang Ki Bekel bertanya,
"Kenapa kalian kemari?"
Adalah diluar dugaan kedua orang pengawal itu, ketika
seorang di antara orang-orang yang mengikuti mereka itu
berkata, "Kami hanya mengikuti kedua orang pengawal itu."
Kedua orang pengawal itu menjadi tegang. Dipandanginya
orang yang berbicara itu dengan sorot mata penuh kebimbangan.
Ki Bekel mengamati kedua orang pengawal itu. Kemudian ia
pun bertanya pula, "Anak-anak muda, apakah keperluan kalian
datang kemari?" Kedua orang anak muda itu menjadi bingung. Untuk beberapa
saat mereka berdiam diri. Bahkan jantung mereka terasa
berdebar semakin cepat. "Apakah kalian ingin menemui aku?" bertanya Ki Bekel.
Kedua orang pengawal itu masih termangu-mangu. Ki Bekel
yang sudah agak lama tidak pernah mereka hiraukan lagi, tiba-
tiba saja kini berdiri dihadapan mereka dengan wibawanya yang
tidak dapat diatasinya. Namun dalam pada itu, meskipun dengan agak gagap salah
seorang di antara kedua pengawal itu menjawab, "Kami
mendapat laporan, bahwa disini ada serombongan pengamen
yang dinyatakan dilarang oleh pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikan Sembojan." "O," Ki Bekel mengangguk-angguk. "Apakah memang ada
larangan seperti itu" Aku tidak tahu menahu. Sudah lama aku
tidak berada dalam tugasku meskipun kedudukanku masih tetap.
Aku Bekel di padukuhan ini. Karena itu, maka aku tidak tahu,
7 SH. Mintardja yang manakah yang dilarang dan yang manakah yang
diperkenankan. Tetapi di rumah ini memang ada serombongan
pengamen yang akan bermalam. Di antaranya adalah kedua
orang ini." Pengawal-pengawal itu memandang Kiai Badra dan Iswari
yang kemudian melangkah ke depan dengan mata yang hampir
tidak berkedip. Ternyata perempuan itu memang mirip sekali
dengan Nyai Wiradana. Bahkan tiba-tiba saja seorang di antara
orang-orang yang mengikuti kedua pengawal itu berkata,
"Mereka adalah orang-orang yang sudah kita kenal di Tanah
Perdikan ini." "Apa yang akan kau lakukan?" bertanya yang lain.
Kedua orang pengawal itu menjadi semakin bingung. Bahkan
seorang di antara mereka berdesis, "Bukankah kalian yang
mengajak kami kemari?"
"Ya, lalu apa yang akan kalian lakukan setelah berada disini?"
bertanya yang lain lagi. Kedua orang pengawal itu menjadi semakin bingung.
Sementara Ki Bekel itu pun bertanya, "Orang-orang padukuhan
ini, apakah yang sebenarnya kalian inginkan" Apakah kalian
memang akan menangkap penari beserta para pengiringnya atau
apa?" Seorang yang berambut putih tiba-tiba saja melangkah maju
sambil berkata, "Kami hanya ingin meyakinkan, bagaimana
pendapat para pengawal itu sebenarnya."
Kedua pengawal itu menjadi bertambah bingung. Namun
orang-orang yang berkerumun di halaman itu pun termangu-
mangu mendengar kata-kata itu. Beberapa orang tidak mengerti
ujung pangkal dari sikap mereka bersama. Namun orang
berambut putih itu agaknya telah menentukan sikapnya. Katanya,
"Kami ingin meyakinkan para pengawal, dengan siapa
sebenarnya mereka berhadapan."
8 SH. Mintardja Laki-laki yang kebetulan paman dari salah seorang di antara
kedua orang pengawal itu pun maju pula sambil berkata, "Kita
sudah berkumpul disini. Meskipun hanya ada dua orang
pengawal, tetapi keduanya akan dapat menjadi wakil dari sikap
yang sebenarnya dari para pengawal."
"Kita akan mengambil sikap disini," berkata orang yang
berambut putih itu. "Bukankah ketika kita berangkat ke rumah
ini, kita berniat untuk mengambil satu sikap."
"Sikap apa?" bertanya Ki Bekel.
"Sikap kita semuanya tentang penari itu," jawab orang
berambut putih. Iswari menjadi berdebar-debar. Namun kemudian Ki Bekellah
yang bertanya lagi. "Sikap yang akan kalian tentukan, akan
menentukan sikap kami. Maksudku, rombongan pengamen yang
kau maksud dan aku, karena aku sudah bertekad untuk berada di
antara mereka setelah aku yakin, siapakah penari itu
sebenarnya." Orang berambut putih itu mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Aku berada dipihak Ki Bekel."
Pernyataan yang tiba-tiba itu telah membuat jantung Iswari
berdegup semakin keras. Dipandanginya wajah-wajah tegang dari
orang-orang yang berada di halaman. Sementara itu, laki-laki
yang kebetulan adalah paman dari salah seorang pengawal itu
pun menyahut, "Aku juga."
Sejenak halaman rumah Ki Bekel itu dicengkam oleh
ketegangan. Kedua pengawal itu benar-benar kehilangan akal.
Justru karena itu untuk beberapa saat mereka diam membeku.
Orang-orang yang semula kurang mengerti tentang keadaan
yang mereka hadapi itu pun seakan-akan telah terbangun dari
sebuah mimpi. Beberapa orang di antara mereka berkata, "Kami
berada bersama Ki Bekel."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Iswari pun kemudian
menundukkan kepalanya. Ternyata orang-orang padukuhan itu
9 SH. Mintardja telah mengambil sikap yang hampir saja meruntuhkan air
matanya. Tetapi seperti yang pernah terjadi, Iswari tidak ingin
menunjukkan kelemahannya. Ia berusaha untuk bertahan,
meskipun matanya terasa menjadi panas.
"Terima kasih," berkata Ki Bekel. "Dengan demikian aku yakin
bahwa seisi padukuhan ini akan bersikap seperti kalian, karena
menurut penglihatanku, kalian adalah orang-orang yang paling
berpengaruh di padukuhan ini. Seterusnya, terserah kepada
kalian para pengawal. Sikap yang manakah yang akan kalian
ambil." Kedua orang pengawal itu menjadi semakin bingung. Namun
dalam keadaan yang demikian, Ki Bekel pun bertanya, "Anak-
anak muda. Sebenarnya untuk apa kalian bekerja sekarang ini"
Beberapa orang kawan-kawanmu yang dianggap lebih baik dari
kalian telah dibawa ke Pajang. Mereka akan bertempur bersama-
sama orang Jipang, yang selama ini tidak pernah bersangkut paut
dengan Tanah Perdikan ini karena Tanah Perdikan ini
merupakan bagian dari kesatuan Pajang. Namun dalam
pertentangan antara Pajang dan Jipang justru anak-anak kita
telah berpihak kepada Jipang."
Kedua orang pengawal itu tidak menjawab. Tetapi mereka
mencoba melihat ke dalam diri mereka sendiri.
"Nah, renungkan," berkata Ki Bekel. Lalu, "Kalian tidak perlu
mengambil keputusan sekarang. Kau sudah melihat penari yang
harus kau tangkap. Kau pun tahu siapakah penari itu
sebenarnya?" Kedua pengawal itu masih terdiam. Sementara itu Ki Bekel
berkata seterusnya, "Bertanyalah kepada kawan-kawanmu yang
masih ada. Suruh mereka juga merenungi keadaannya," Ki Bekel
itu pun berhenti sejenak, lalu, "Nah Ki Sanak. Aku kira kalian
sebaiknya pulang ke rumah masing-masing. Kita pun akan
merenung sebagaimana kedua pengawal itu. Kemudian
mengambil keputusan, apakah kita masing-masing akan
melaporkan keadaan ini kepada Ki Wiradana atau tidak. Jika
10 SH. Mintardja seorang saja di antara kalian tidak senang melihat sikapku dan
sikap kita bersama, maka orang itu tentu akan dengan segera
melapor kepada Ki Wiradana, sehingga ia akan mengirimkan
beberapa orang pengawal untuk datang. Tetapi jika demikian
maka tentu akan terjadi perkelahian karena aku dan beberapa
orang padukuhan ini sudah menyatakan tekad. Meskipun kita
tidak mempunyai kemampuan apa-apa tetapi kita dilandasi oleh
satu keyakinan akan kebenaran sikap kita. Selebihnya, kalian
anak-anak muda, meskipun kalian adalah para pengawal-
pengawal yang ditunjuk, tetapi kalian adalah anak-anak muda
dari padukuhan ini."
Kedua anak muda itu semakin terbungkam. Sementara itu,
sekali lagi Ki Bekel berkata, "Nah, sudahlah. Silakan kembali ke
rumah masing-masing. Kita akan beristirahat. Besok kita akan
bekerja sebagaimana kita lakukan sehari-hari. Namun sikap
terhadap Tanah Perdikan ini harus mengalami perubahan,
apapun yang akan terjadi atas diri kita kemudian."
Orang-Orang yang ada di halaman itu mengangguk-angguk.
Meskipun tidak terucapkan namun seakan-akan mereka telah
berjanji di dalam diri sendiri, bahwa mereka telah menentukan
satu sikap. Mereka merasa dihadapkan kepada satu pilihan, anak
Warsi atau anak Iswari. Pilihan mereka tentu akan mengandung
akibat yang mungkin tidak menyenangkan. Meskipun demikian,
rasa-rasanya nurani mereka tidak akan ingkar dari kebenaran
menurut penilaian atas kedua orang anak itu.
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang ada di halaman
rumah itu pun perlahan-lahan mulai bergerak. Mereka
meninggalkan rumah Ki Bekel dengan tekad yang bulat di dalam
hati. Mereka sudah terlalu lama mengalami tekanan yang
menghimpit. Namun tidak seorang pun yang berani menyatakan
perasaannya karena sikap Ki Bekel dan orang-orang yang
mempengaruhinya. Orang-orang yang menentukan sikap
kepemimpinan di Tanah Perdikan Sembojan, justru bukan orang
Sembojan sendiri. 11 SH. Mintardja Orang-orang itu pun sadar, bahwa Iswari juga bukan orang
Sembojan. Tetapi ia pernah menjadi istri pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikan dan menjadi istri pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikan dan mempunyai seorang anak dengan
suaminya itu. Sikapnya baik dan perempuan yang meskipun
masih muda itu mampu menempatkan dirinya sebagai ibu bagi
rakyat Tanah Perdikan Sembojan.
Dalam pada itu, kedua orang pengawal itu pun telah kembali
ke dalam gardu mereka. Tengah malam dua orang pengawal yang
lain baru akan datang menggantikan mereka.
Ketika kedua orang pengawal yang lain datang ternyata kedua
orang pengawal yang bertugas sebelumnya tidak segera
meninggalkan gardu. Mereka masih bercakap-cakap sejenak.
Pembicaran mereka berkisar pada keadaan padukuhan mereka.
"Kawan-kawan kita rasa-rasanya sudah menjadi semakin
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
habis," berkata pengawal yang bertugas di bagian pertama tengah
malam itu. "Ya. Apalagi ketika orang-orang yang tersisa harus masuk pula
ke dalam barak. Jika mereka keluar dari latihan-latihan yang
berat itu, maka kitalah yang akan segera masuk," jawab
kawannya. "Gardu-gardu sekarang rasa-rasanya semakin sepi. Jika
dahulu anak-anak muda yang tidak sedang bertugas pun
berkumpul di gardu-gardu, sekarang yang bertugas pun rasanya
malas untuk pergi ke gadu," berkata anak muda yang pertama.
Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia pun mengaku didalam
hati, bahwa suasana padukuhan dan bahkan seluruh Tanah
Perdikan Sembojan telah berubah.
Karena kawannya tidak menjawab, maka anak muda yang
pertama itu pun bertanya, "he, sebelum kau keluar dan datang ke
gardu ini, apakah tadi kau mendengar gamelan?"
"Tadi kapan?" bertanya kawannya.
"Masih agak sore," jawab kawannya.
12 SH. Mintardja Kedua anak muda yang bertugas dilewat tengah malam itu
saling berpandangan. Namun salah seorang di antara mereka pun
menarik nafas sambil berkata, "Kami memang mendengar. Tetapi
kami tidak berbuat apa-apa. Ketika orang-orang keluar dari
rumah dan pergi menonton, kami justru bersembunyi di dalam
rumah kami. Bukankah rombongan itu termasuk rombongan
yang oleh Ki Wiradana tidak dikehendaki berada di Tanah
Perdikan ini." "Kenapa kalian tidak keluar dan menangkap mereka?"
bertanya anak muda yang pertama.
"Kau ini aneh," jawab kawannya. "Bukankah kau yang sedang
bertugas saat itu?" "Ya," jawab pengawal yang bertugas dibagian pertama dari
tengah malam itu, "Akulah yang bertugas. Dan aku memang
sudah berusaha untuk datang ke tempat rombongan itu
menginap." "Dimana?" bertanya yang akan menggantikannya.
"Di rumah Ki Bekel," jawab yang pertama. "Aku sudah
bertemu dengan rombongan itu. Rombongan yang penarinya
mirip sekali dengan Nyai Wiradana."
"O," kawannya mengangguk-angguk. "Dan kau
menangkapnya?" "Aku tidak dapat melakukannya," jawab pengawal yang
pertama. "Kenapa?" bertanya yang datang kemudian.
"Penari itu ternyata memang Nyi Wiradana. Setiap orang di
padukuhan ini sekarang sudah mengetahuinya. Dan bahkan
sebagaimana Ki Bekel, maka setiap orang di padukuhan ini justru
berusaha melindunginya," jawab anak muda yang datang
terdahulu. "Melindungi bagaimana?" bertanya kawannya.
13 SH. Mintardja "Mereka berpihak kepada rombongan itu. Dan bahkan Ki
Bekel minta agar kita tidak melaporkannya kepada Ki Wiradana
atau para pengawal yang lain," jawab pengawal yang pertama
yang kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya di rumah Ki
Bekel. Bahkan kemudian katanya, "Ternyata bahwa aku pun
sependapat dengan mereka. Perempuan itu adalah Nyai
Wiradana sendiri. Tentu bukan sekadar pengakuan seseorang
yang ingin memanfaatkan keadaan karena ia mirip dengan Nyai
Wiradana." "Tetapi kemungkinan itu ada," jawab pengawal yang datang
kemudian. "Karena kita sudah agak lama tidak melihat Nyi
Wiradana, maka seseorang yang mirip dengan Nyi Wiradana kita
anggap bahwa orang itu benar-benar Nyi Wiradana hanya
berdasarkan pengakuan saja."
"Tidak," jawab pengawal yang pertama. "Meskipun kita sudah
agak lama tidak melihatnya, tetapi bagi orang-orang padukuhan
ini, Nyi Wiradana masih tetap dikenang ujud dan polah
tingkahnya. Sehingga kita tidak akan salah mengenalinya."
Kedua pengawal yang datang kemudian itu pun mengangguk-
angguk. Namun dalam pembicaraan selanjutnya kedua pengawal
yang datang kemudian itu pun sependapat dengan kedua
kawannya, bahwa sebaiknya harus terjadi perubahan di Tanah
Perdikan itu. "Sikap Ki Bekel memberikan kemungkinan untuk mengadakan
perubahan itu. Justru pada saat Tanah Perdikan ini lemah,"
berkata salah seorang pengawal yang datang terdahulu.
"Betapapun lemahnya, tetapi apakah artinya kekuatan yang
ada di padukuhan ini," sahut kawannya.
"Bukankah Ki Bekel akan dapat berhubungan dengan
padukuhan-padukuhan lain" Tentu Ki Bekel akan melakukannya
dengan sangat berhati-hati. Jika setiap laki-laki di padukuhan ini
dan padukuhan sebelah benar-benar bertekad bulat, maka kita
tentu akan dapat mengimbangi kekuatan para pengawal yang
jumlahnya sudah tidak cukup banyak. Apalagi jika para pengawal
14 SH. Mintardja itu mendapat petunjuk dan kekangan dari orang tua mereka
masing-masing karena orang tua mereka sejalan dengan sikap Ki
Bekel." Kawannya mengangguk-angguk. Sementara pengawal yang
datang terdahulu itu berkata, "Baiklah. Aku akan pulang.
Sebaiknya besok kau pergi ke rumah Ki Bekel dan bertemu
dengan rombongan itu. Beberapa orang pengawal yang ada di
padukuhan ini akan aku temui dan aku harap mereka pun
sependapat dengan kita."
"Ada satu hal yang perlu kita perhatikan," berkata kawannya.
"Mungkin kita akan dapat menyusun kekuatan mengimbangi
kekuatan para pengawal yang ada di luar padukuhan ini dan
barangkali satu dua padukuhan lagi yang mungkin sependapat
dengan sikap Ki Bekel. Tetapi bagaimana dengan Ki Wiradana
dan Nyi Wiradana yang sekarang, yang ternyata memiliki
kemampuan yang sangat tinggi, serta beberapa orang yang ada
disekeliling Ki Wiradana?"
Pengawal yang datang terdahulu itu menarik nafas dalam-
dalam. Katanya, "Kau pernah mendengar ceritera tentang para
pengawal yang pernah mencoba menangkap orang-orang di
dalam rombongan itu?"
"Semacam desas-desus. Tetapi apakah memang benar seperti
itu?" kawannya menyahut.
"Aku percaya bahwa terjadinya memang seperti desas-desus
itu. Sehingga jika benar-benar terjadi semacam benturan, maka
orang-orang dalam rombongan itu tentu akan ikut serta bersama
kita," pengawal itu berhenti sejanak. Namun kemudian sambil
bangkit dan bergeser ia berkata, "Aku tidak ingin dikirimkan ke
Pajang sebagai pengikut orang-orang Jipang. Jika kami mati
disana, maka kematian itu adalah kematian yang sia-sia saja.
Lebih baik aku mati dalam usaha untuk mengadakan perubahan
di Tanah Perdikan ini sendiri."
Kawannya hanya mengangguk-angguk. Pengawal yang datang
terdahulu itu bersama seorang yang lain telah meninggalkan
15 SH. Mintardja gardu itu dan pulang ke rumah mereka masing-masing.
Sementara dua orang kawannya yang menggantikannya bertugas
duduk termangu-mangu. Rasa-rasanya gardu ini memang sepi.
Orang-orang yang tidak bertugas tidak mau lagi berada di gardu
sekadar untuk berkelakar atau ikut berjaga-jaga.
Ternyata kedua orang yang bertugas kemudian itu pun
sependapat dengan kedua kawannya yang terdahulu. Memang
harus ada perubahan di Tanah Perdikan itu. Menurut
pengamatannya, semakin lama keadaan di Tanah Perdikan itu
tidak menjadi semakin baik, tetapi justru sebaliknya. Rakyat
semakin terhimpit oleh beban pajak yang berat dan bahkan
hampir tidak tertanggungkan lagi. Ki Wiradana memerintah
berdasarkan atas kebijakan orang-orang baru yang tidak banyak
dikenal sebelumnya di Tanah Perdikan Sembojan. Anak-anak
mudanya yang ditempa dengan latihan-latihan berat yang
ternyata telah dikirim ke Pajang untuk berperang justru melawan
Pajang bagi kepentingan Jipang.
"Besok dari gardu ini kita langsung pergi ke rumah Ki Bekel,"
berkata salah seorang dari kedua orang pengawal itu.
"Ya. Dari rumah Ki Bekel kita temui beberapa orang kawan
kita yang tersisa," jawab kawannya. "Meskipun hanya tinggal
beberapa orang saja yang tinggal, namun kita akan dapat
berbincang dengan mereka. Satu hal yang perlu kita ingat, bahwa
sikap kita ternyata hampir sama. Tidak seorang pun di antara kita
yang berusaha berbuat sesuatu meskipun kita mendengar suara
gamelan. Bahkan mungkin ada satu dua orang di antara kita yang
justru menonton pertunjukan itu."
Yang seorang mengangguk-angguk sambil bergumam, "Tanah
Perdikan ini harus menemukan kembali masa-masanya yang baik
sebagaimana masa Ki Gede Sembojan memerintah."
Keduanya mengangguk-angguk. Namun agaknya keduanya
merasa udara dingin semakin mencengkam, sehingga mereka
lebih senang membenamkan diri di dalam gardu yang sedikit
16 SH. Mintardja memberikan kehangatan daripada mondar-mandir di jalan-jalan
padukuhan. Malam itu rasa-rasanya terlalu panjang bagi kedua anak muda
yang bertugas itu. Mereka menunggu dengan kesabaran yang
dipaksakan. Ketika mereka mendengar ayam jantan berkokok,
maka mereka pun mengharap langit akan menjadi merah dan
sebentar kemudian mereka akan meninggalkan gardu itu untuk
pergi ke rumah Ki Bekel. "He, kenapa kita harus menunggu sampai pagi," tiba-tiba saja
salah seorang di antara keduanya berdesis.
"Maksudmu?" bertanya kawannya.
"Kenapa kita tidak bergerak
saja sejak sekarang" Kita dapat
meninggalkan gardu ini. Untuk
apa kita berada disini sampai
pagi, sementara kita sudah
menentukan tekad untuk mengadakan perubahan di Tanah Perdikan ini?" anak
muda yang pertama itu justru
bertanya pula. "Kita memang dapat meninggalkan gardu ini tanpa
takut dianggap bersalah jika
kita memang sudah bertekad
untuk menentang kebijakan Ki
Wiradana. Tetapi apakah kita
akan mengetuk pintu rumah Ki Bekel malam-malam begini" Atau
mungkin membangunkan kawan-kawan kita" Biarlah kita
menunggu sampai pagi. Kita akan dapat bekerja dengan lebih
wajar dan tidak menimbulkan kegelisahan sebelum kita
sebenarnya mulai dengan langkah-langkah yang berarti," sahut
kawannya. 17 SH. Mintardja Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menyahut lagi.
Dicobanya untuk memejamkan matanya sambil bersandar
dinding. Katanya, "Aku akan tidur. Aku merasa tertekan dengan
menunggu sampai pagi tanpa berbuat sesuatu. Karena itu, aku
akan berusaha untuk tidur saja disisa malam ini."
"Tidurlah. Aku yakin kau tidak akan dapat melakukannya,"
jawab kawannya pula. "Jantungmu sudah dicengkam oleh
kegelisahan. Tetapi ada baiknya untuk dicoba."
Yang sudah memejamkan matanya itu tidak menjawab. Tetapi
sebenarnyalah bahwa ia tidak dapat tidur barang sekejap pun,
karena kegelisahannya yang mencengkam.
Namun kedua orang pengawal itu pun kemudian menyadari,
bahwa sisa malam tinggal sedikit, sehingga mereka akan segera
dapat meninggalkan gardu itu untuk menemui Ki Bekel.
*** Sementara itu, di Pajang, ketika langit mulai dibayangi oleh
warna merah, pasukan Pajang dan Jipang pun telah mulai
bersiap-siap. Mereka membenahi diri dan ketika nasi sudah
masak, maka mereka telah menyuapi mulut masing-masing
hingga sekenyang-kenyangnya. Kemudian, para prajurit itu pun
telah mengamati senjata masing-masing, sehingga jangan sampai
mengecewakan apabila mereka sudah berada di medan. Sebagian
dari prajurit Pajang telah melengkapi dirinya dengan sebuah
pisau belati di samping senjata masing-masing.
Para Senapati pun kemudian telah siap pada pasukannya
masing-masing. Seperti di hari sebelumnya, maka pasukan Jipang lah yang
bergerak lebih dahulu. Merekalah yang kemudian datang
menyerang pasukan Pajang yang berada di luar dinding. Namun
pasukan Pajang pun telah bersiap sepenuhnya. Karena itu ketika
mereka melihat pasukan Jipang mulai bergerak, maka dengan
cepat pasukan Pajang pun menyongsongnya.
18 SH. Mintardja Sambil bergerak maju, maka prajurit Pajang yang terlatih
diperkuat oleh para pengawal dari padukuhan diseputar kota,
telah menyusun gelar. Sebagaimana Jipang yang
mempergunakan gelar yang melebar, maka Pajang pun
mempergunakan gelar yang lebar pula. Pagi itu Pajang nampak
memasuki medan perang dengan gelar Garuda Nglayang. Gelar
yang memiliki bagian-bagian yang diperkuat. Selain di ujung
tengah yang merupakan paruh kekuatan gelar itu, maka disebelah
menyebelah dibawah pimpinan Senapati pengapit, kekuatan
pasukan Pajang bagaikan kuku-kuku yang tajam yang siap
menerkam lawan. Di ujung sayap, terdapat pula kekuatan-
kekuatan yang dipimpin oleh para Senapati yang menjadi pusat
sayap sebelah-menyebelah.
Sementara itu, ternyata pasukan Jipang telah mempergunakan
gelar Sapit Urang. Juga sebuah gelar yang melebar dengan
pemusatan beberapa kekuatan yang merupakan kepala dari gelar
itu dengan sapit di ujung-ujung gelar sebelah-menyebelah.
Selangkah demi selangkah kedua kekuatan itu maju mendekat.
Pasukan Jipang yang kemudian berlari-lari kecil siap menerkam
pasukan Pajang yang ternyata telah bertambah jumlahnya,
karena pasukan cadangan yang telah ditarik pula ke medan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan saja dapat menggantikan mereka yang terluka dan
terbunuh di peperangan. Tetapi lebih daripada itu.
Sejenak kemudian, maka untuk memberikan hentakan kepada
kekuatan masing-masing, maka kedua belah pihak telah bersorak
gemuruh pada saat kedua pasukan itu bertemu. Ujung-ujung
senjata telah merunduk, sementara perisai telah ditempatkan di
muka dada, sedangkan daun-daun pedang telah bergetar.
Sesaat kemudian, maka kedua pasukan yang kuat itu benar-
benar telah berbenturan. Dengan tenaga yang masih segar maka
kedua belah pihak telah menghentakkan kekuatan dan
kemampuan mereka masing-masing. Kedua belah pihak tidak
mau menjadi santapan ujung senjata justru pada saat
pertempuran baru mulai. 19 SH. Mintardja Yang terdengar kemudian adalah senjata yang berdentangan.
Tombak yang mematuk perisai, pedang yang saling membentur,
trisula yang berputar berdesingan. Ujung tombak panjang yang
menyambar-nyambar. Dalam pada itu, ternyata bahwa dengan tenaga cadangan yang
memasuki arena, serta pasukan Jipang yang telah susut karena
terbunuh dan terluka di hari pertama, maka jumlah pasukan
dikedua belah pihak menjadi seimbang.
Dengan demikian, maka kedua gelar itu pun mempunyai
kekuatan yang pada benturan pertama nampak seimbang pula.
Tetapi para Senapati di kedua belah pihak mulai berusaha
mengenali kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
Pasukan Pajang maupun pasukan Jipang tidak semuanya terdiri
dari prajurit-prajurit yang sebenarnya. Keduanya telah menarik
anak-anak muda para pengawal padukuhan untuk memperkuat
masing-masing pihak. Namun ternyata bahwa prajurit Jipang
telah mempergunakan tenaga para pengawal Tanah Perdikan
Sembojan lebih banyak daripada anak-anak muda yang
dipergunakan oleh Pajang.
Meskipun demikian para perwira dari Jipang yakin, bahwa
secara pribadi mereka mempunyai prajurit-prajurit terpilih yang
akan dapat menjadi imbangan kekurangan pada para pengawal
Tanah Perdikan Sembojan. *** Ketika kedua pasukan itu bertempur semakin sengit, maka di
Tanah Perdikan Sembojan dua orang pengawal sedang
berbincang dengan Ki Bekel. Sementara itu, Iswari menunggui
pembicaraan itu dan mengikutinya dengan sungguh-sungguh.
"Baiklah Ki Bekel," kedua orang pengawal itu mengangguk-
angguk. "Aku menjadi semakin jelas. Semalam kedua kawanku
telah mengatakan serba sedikit. Dan sekarang aku menjadi pasti."
"Nah, Nyai Wiradana sudah tidak bersembunyi di balik wajah
penari lagi sekarang," berkata Ki Bekel. "Tergantung kepada kita.
20 SH. Mintardja Tetapi kita sudah mengetahui bahwa yang sebenarnya berhak
atas Tanah Perdikan ini, tentu anak Nyi Wiradana yang tua.
Bukan anak penari jalanan itu."
"Aku juga penari jalanan," potong Iswari.
"Tetapi tentu bukan penari yang sesungguhnya," jawab Ki
Bekel. "Aku pun yakin, bahwa Nyi Wiradana yang sekarang itu pun
bukan penari yang sesungguhnya," berkata Iswari kemudian.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin sekali. Aku
pun berpikir demikian. Sehingga dengan demikian, maka yang
dilakukannya itu sudah dipertimbangkannya masak-masak.
Diperhitungkan dan dengan hati-hati dilaksanakan."
Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Sementara itu salah
seorang di antara mereka berkata, "Ki Bekel. Kami akan berusaha
bekerja dengan hati-hati dan tidak memancing kegelisahan pada
saat-saat sekarang ini."
"Terserah kepada cara yang akan kalian tempuh," berkata Ki
Bekel. "Aku akan berhubungan dengan setiap laki-laki yang
meskipun sudah setengah umur, tetapi yang masih sanggup
memegang senjata akan menjadi kekuatan kita."
"Meskipun sedikit, di padukuhan ini masih juga ada anak-anak
muda yang sudah memiliki dasar-dasar keprajuritan. Aku yakin,
bahwa kita akan sependapat," berkata kedua pengawal itu.
Ki Bekel tersenyum. Setelah beberapa lamanya, terbentang
tanggul pemisah di antara dirinya dan anak-anak muda yang
langsung dikuasai oleh Ki Wiradana, maka kini Ki Bekel sudah
berhasil berhubungan kembali dengan anak-anak muda
padukuhannya. Bahkan ternyata mereka telah menemukan alas berpijak yang
sama untuk mengadakan perubahan di Tanah Perdikan
Sembojan. 21 SH. Mintardja Sementara itu kedua pengawal itu pun telah minta diri.
Dengan tekad yang mantap keduanya berniat untuk benar-benar
berbuat sesuatu bagi Tanah Perdikannya yang pada saat-saat
terakhir benar-benar mengalami keadaan yang terasa sangat
pahit. Sepeninggalan kedua orang anak muda itu, maka Ki Bekel pun
kemudian berkata kepada Iswari, "Nyi, apapun yang terjadi, kita
memang harus segera mulai. Nilai-nilai kehidupan di Tanah
Perdikan ini semakin lama menjadi semakin buram."
"Baiklah Ki Bekel. Kami pun sudah siap. Bahkan ada
keinginanku untuk menunjukkan kepada Ki Bekel, pegangan
yang dapat meyakinkan kepercayaan Ki Bekel tentang aku dan
orang-orang yang datang bersamaku."
Ki Bekel mengerutkan keningnya.
"Aku ingin menghindari keragu-raguan yang betapapun
kecilnya. Memang dapat terjadi, orang yang memiliki kemiripan
dengan Iswari kemudian menyatakan dirinya sebagai Iswari
karena ia tahu pasti, bahwa anaknya berhak atas Tanah Perdikan
ini. Dengan dukungan kekuatan yang dianggapnya akan dapat
mengimbangi kekuatan Ki Wiradana, ia tampil memasuki
putaran pertentangan di Tanah Perdikan ini," berkata Iswari.
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Namun kemudian
jawabnya, "Tidak ada keraguan selembar rambut pun. Tetapi jika
Nyi Wiradana ingin menunjukkan pegangan yang dapat
mempertebal kepercayaan kami, maka kami pun akan menjadi
semakin bangga atas perjuangan kami."
Iswari pun kemudian menunjukkan kepada Ki Bekel, bandul
pertanda kekuasaan Tanah Perdikan Sembojan, yang diterimanya
dari kakeknya. Ki Bekel mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia
berkata, "Semuanya menjadi semakin pasti. Apakah Ki Gede
sebelum meninggal telah memberikan pertanda ini?"
22 SH. Mintardja "Ya. Pada saat meninggal," jawab Iswari. "Pertanda ini
dititipkan kepada Gandar yang pada saat meninggalnya Ki Gede
ia menungguinya." Ki Bekel mengangguk-angguk. Diamatinya bandul emas
dengan rantainya. Pada bandul itu bertahtakan lukisan kepala
seekor burung. Pertanda yang dikenal oleh hampir setiap orang
yang menjadi bebahu di Tanah Perdikan Sembojan, karena Ki
Gede memang pernah menunjukkan kepada mereka pertanda
yang diterima turun temurun bagi Kepala Tanah Perdikan
Sembojan. Sambil menyerahkan kembali bandul itu maka ia pun
bergumam, "Sekarang kita tidak mempunyai pilihan lain kecuali
mengambil kembali kedudukan yang sudah dibayangi oleh
kelahiran anak penari jalanan itu. Yang harus memimpin Tanah
Perdikan itu sudah tentu harus anak Nyi Wiradana yang tua.
Seandainya dalam keadaan wajar pun anak Nyi Wiradana yang
akan menggantikan kedudukan Kepala Tanah Perdikan, karena
anak Nyi Wiradana telah lahir lebih dahulu. Apalagi setelah
ternyata bahwa anak Nyi Wiradana lah yang telah mendapatkan
pertanda untuk menggantikan kedudukan Kepala Tanah
Perdikan ini." "Terima kasih atas kepastian Ki Bekel tentang aku dan nanti
anakku. Mudah-mudahan kita tidak berdiri sendiri," berkata
Iswari. "Aku yakin. Aku akan dapat berhubungan dengan padukuhan-
padukuhan terdekat. Sehingga dengan demikian maka
lingkungan kita akan menjadi semakin luas," berkata Ki Bekel.
Sebenarnyalah apa yang dikatakan oleh Ki Bekel itu
dilakukannya. Orang-orang padukuhan itu, dihari itu telah
melakukan pekerjaan mereka sehari-hari. Mereka tidak
memberikan kesan apapun tentang peristiwa semalam dirumah
Ki Bekel. Seakan-akan di padukuhan itu tidak pernah terjadi
sesuatu meskipun sebenarnya satu langkah yang sangat penting
23 SH. Mintardja telah diambil. Satu langkah yang akan dapat mengubah wajah
seluruh Tanah Perdikan Sembojan.
Dengan penuh keyakinan di hati, maka Ki Bekel pun kemudian
telah pergi menemui Ki Bekel di padukuhan sebelah.
Diuraikannya apa yang telah terjadi di padukuhannya.
Dikatakannya bahwa perempuan yang mirip dengan Nyi
Wiradana yang hilang yang datang kembali ke padukuhan itu
sebagai penari memang Nyi Wiradana yang sebenarnya.
Dikatakan pula tentang bandul pertanda kekuasaan Tanah
Perdikan Sembojan yang ada di tangan Iswari itu.
Ki Bekel dipadukuhan sebelah mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya dengan suara lemah, "Aku sudah tidak
mempunyai kuasa apapun juga di sini. Semuanya sudah diambil
alih oleh para pengawal yang dipimpin langsung oleh Ki
Wiradana, yang kini dikendalikan oleh orang-orang yang tidak
kita kenal sebelumnya. Orang tua yang bernama Ki Randukeling
itu agaknya mempunyai pengaruh yang sangat besar atas diri Ki
Wiradana." "Orang itu adalah kakek Nyi Wiradana yang sekarang," jawab
Ki Bekel dari padukuhan yang dikunjungi Iswari. Lalu katanya,
"Tetapi ternyata anak-anak muda itu kini dapat diajak bicara di
padukuhanku. Aku tidak tahu, bagaimana suasana di padukuhan
ini." "Sulit sekali, jawab Ki Bekel di padukuhan itu. "Aku tidak
yakin bahwa aku akan dapat membujuk mereka sebagaimana kau
lakukan." "Jika demikian, maka sebaiknya kau menunggu. Biarlah para
pengawal dari padukuhanku yang menjajagi kemungkinan yang
dapat terjadi di sini. Nanti aku akan datang lagi untuk
memberitahukan kepadamu. Tetapi aku ingin kepastian
sikapmu," berkata Ki Bekel yang datang itu. "Nah, bagaimana
sikapmu sendiri?" "Jika yang kau katakan itu benar, maka aku berpihak
kepadamu," jawabnya.
24 SH. Mintardja "Marilah datang ke rumahku. Kau akan menjadi yakin,"
berkata Ki Bekel yang datang berkunjung itu.
Ternyata Ki Bekel dari padukuhan itu tidak berkeberatan. Ia pun telah pergi
bersama tamunya untuk membuktikan kata-katanya.
Ketika Ki Bekel itu bertemu
langsung dengan Iswari dan
melihat sendiri bandul pertanda
kuasa Tanah Perdikan Sembojan, maka ia pun menjadi
yakin dan pasti. "Tetapi persoalannya
tergantung kepada para pengawal," berkata Ki Bekel dari
padukuhan sebelah. "Biarlah anak-anak muda
dari padukuhan ini cepat menghubungi anak-anak muda di
padukuhanmu." Ki Bekel di padukuhan sebelah itu pun segera minta diri.
Tetapi seperti Ki Bekel yang memberikan tempat bagi Iswari itu,
ia pun telah meyakinkan dirinya sendiri.
"Aku akan berbicara dengan orang-orang tua. Mudah-
mudahan mereka dapat meyakinkan anak-anak mereka," berkata
Ki Bekel itu di dalam hatinya.
Sebenarnyalah Ki Bekel yang memberi tempat bagi Iswari itu
telah menemui para pengawal. Ia minta agar para pengawal dapat
berhubungan dengan kawan-kawannya di padukuhan sebelah.
"Tetapi berhati-hatilah," berkata Ki Bekel. "Mungkin ada satu
dua orang yang sulit mengerti."
"Baiklah Ki Bekel. Aku akan menemui mereka. Aku mengenal
watak dan tabiat kawan-kawanku di padukuhan sebelah. Mudah-
25 SH. Mintardja mudahan tidak terjadi sesuatu yang dapat mengaburkan
keinginan kita." Ternyata untuk memanfaatkan tekad anak-anak muda itu, Ki
Bekel telah minta agar Iswari menunjukkan pertanda kuasa
Tanah Perdikan itu. Dan ternyata bahwa dengan demikian, maka
anak-anak muda itu menjadi semakin mantap. Mereka benar-
benar menghendaki satu perubahan terjadi di padukuhan
mereka. Meskipun mereka masih terhitung muda, tetapi mereka tidak
meninggalkan perhitungan. Mereka pun telah membicarakan
dengan orang-orang tua, sikap apakah yang harus mereka ambil
jika para pengawal yang berada di Pajang itu kembali bersama
para prajurit Jipang. "Kita akan membicarakan dengan orang-orang dalam
rombongan penari itu," berkata Ki Bekel. "Namun agaknya hal itu
dapat kalian bicarakan di antara kalian lebih dahulu, sebelum
kita mendapat bahan-bahan dari pihak lain."
Demikianlah, anak-anak muda itu pun telah berusaha untuk
dapat menjalankan tugas mereka dengan sebaik-baiknya. Mereka
sadar bahwa mereka harus melakukannya dengan sangat berhati-
hati. Mereka harus memilih kesempatan dan suasana untuk
menyatakan sikap mereka. Dalam pada itu, ternyata seseorang telah mencari rombongan
penari jalanan yang sedang berada di rumah Ki Bekel itu. Ketika
Iswari melihat orang itu, maka dipersilakannya orang itu naik ke
pendapa. Yang kemudian menemuinya bukan saja Iswari sendiri, tetapi
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka. Bahkan Ki Bekel pun
telah di minta untuk ikut serta menemuinya.
"Kau membawa berita apa?" bertanya Kiai Soka.
"Kiai," berkata orang itu. "Dua orang penghubung dari Pajang
telah datang ke kaki Gunung Prapat.
26 SH. Mintardja "O," Kiai Soka mengangguk-angguk, "Berita apa yang mereka
bawa?" "Pasukan Pajang telah bergerak. Pasukan Jipang yang disisi
Barat telah didesak. Kemudian gerakan dilanjutkan ke sisi
Timur," berkata orang itu.
"Bagaimana hasilnya?" bertanya Kiai Soka.
"Gerakan baru dimulai ketika penghubung itu berangkat.
Mudah-mudahan mereka berhasil," jawab orang itu.
Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada Kiai
Badra, "Ini tentu satu isyarat bahwa kitapun harus segera mulai.
Jika pasukan Jipang dan anak-anak Tanah Perdikan ini terdesak,
maka mungkin sekali mereka akan memanggil lagi beberapa
orang anak muda di Tanah Perdikan ini untuk membantu, karena
mendatangkan pasukan dari Jipang tentu memerlukan waktu
yang panjang." Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian
meskipun tidak dengan serta merta, maka kita pun harus
memberi kesan, bahwa Tanah Perdikan ini memerlukan anak-
anak muda bagi kepentingan sendiri. Jika Tanah Perdikan ini
menjadi tidak tenang, maka Ki Wiradana tentu tidak akan
melepaskan anak-anak mudanya untuk di kirim ke Jipang.
Sementara itu, selagi pertempuran antara Pajang dan Jipang
masih berlangsung, para pengawal itu tidak akan dikirim kembali
ke Tanah Perdikan Sembojan.
Kiai Soka berpaling kepada Ki Bekel sambil berkata, "Itulah Ki
Bekel. Pertempuran di Pajang telah berlangsung kemarin dan
hari ini, karena penghubung itu tentu berangkat kemarin dari
Pajang." "Ya," jawab orang yang baru datang. "Orang itu berangkat
kemarin menjelang pagi, pada saat pasukan Pajang siap
bergerak." "Baiklah," berkata Kiai Soka, "Kami akan mempertimbangkan
langkah-langkah yang akan kami ambil."
27 SH. Mintardja "Jika demikian, maka apakah aku sudah diperkenankan untuk
kembali ke Gunung Prapat?" bertanya orang yang datang itu.
"Ah, tentu saja tidak sekarang," sahut Ki Bekel. "Ki Sanak
dapat beristirahat sejenak. Baru setelah tidak letih dan tidak haus
lagi, Ki Sanak akan kembali."
Orang itu termangu-mangu. Namun Kiai Soka pun tersenyum
sambil mengangguk. Ketika orang itu kemudian dipersilakan pergi ke gandok, maka
Kiai Soka pun berkata sekali lagi kepada Kiai Badra. "Ini adalah
pertanda bahwa kita akan mulai."
"Ya," jawab Kiai Badra. "Jika demikian maka aku harus
mengambil tunggul yang disimpan di padepokan itu. Dengan
tunggul itu, maka segala sesuatunya dapat dilakukan atas nama
Pajang, sementara dengan pertanda kekuasaan Tanah Perdikan,
hak atas Tanah Perdikan ini berada di tangan Iswari pula atas
nama anaknya." Kiai Soka mengangguk-angguk. Katanya, "Bekal yang sudah
lengkap. Hak atas Tanah Perdikan ini serta wewenang atas nama
Pajang yang berhak memerintahkan Tanah Perdikan ini dengan
sah." "Baiklah," berkata Kiai Badra. "Aku harus segera mengambil
tunggul itu. Sebelum fajar esok pagi, aku tentu sudah berada
ditempat ini kembali. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu
disaat aku tidak ada, meskipun aku yakin, bahwa Kiai Badra dan
Nyai Soka akan dapat mengatasinya meskipun seandainya orang
yang bernama Randukeling itu sendiri yang mengambil langkah-
langkah disini apabila ia kembali dari Pajang lebih cepat dari
kedatanganku." "Agaknya tidak akan ada persoalan yang timbul dalam waktu
dekat. Hari ini dan malam nanti. Entahlah jika esok pagi, karena
kita harus cepat memancing persoalan untuk mencegah
pengiriman anak-anak muda itu ke Pajang jika orang-orang
Jipang itu memerlukannya," jawab Kiai Soka. "Karena itu, jika
28 SH. Mintardja Kiai ingin pergi, silakan. Tetapi besok sebelum fajar, Kiai harus
benar-benar telah datang di tempat ini."
"Semoga Yang Maha Agung mengijinkannya," sahut Kiai
Badra. "Agaknya semakin aku cepat berangkat, akan semakin
baik. Aku akan membawa Gandar bersamaku."
Dengan demikian maka Kiai Badra pun segera bersiap-siap.
Ternyata Ki Bekel mengusulkan agar mereka pergi saja berkuda.
"Bukan apa-apa. Tetapi dengan demikian kalian akan
menghemat waktu dan tenaga," katanya.
Kiai Badra dan Gandar setuju untuk mempergunakan kuda
dalam perjalanan mereka mengambil tunggul yang mereka
simpan baik-baik dan tersembunyi di padepokan.
Sejenak kemudian, justru Kiai Badra lah yang berangkat lebih
dahulu dari orang yang datang melaporkan kedatangan dua
orang penghubung dari Pajang di Gunung Prapat. Bersama
Gandar Kiai Badra berkuda di antara jalan-jalan padukuhan.
Agar tidak terlalu menarik perhatian, maka mereka tidak berpacu
terlalu cepat. Hanya apabila mereka berada di bulak-bulak
panjang yang sepi, maka mereka telah mempercepat derap kaki
kuda mereka. Sementara itu, anak-anak muda dari padukuhan yang
memberikan tempat kepada rombongan Iswari, telah berusaha
berhubungan dengan anak-anak muda dari padukuhan sebelah,
padukuhan yang bekelnya telah dihubungi lebih dahulu. Namun
para pengawal itu pun bersikap cukup berhati-hati sehingga
mereka tidak dengan serta merta menawarkan perubahan bagi
Tanah Perdikan Sembojan. Namun ternyata keluhan-keluhan anak-anak muda yang
sedang menjajagi sikap kawan-kawannya itu mendapat
tanggapan. Ternyata anak-anak muda di padukuhan sebelah itu
pun merasa tidak puas terhadap kenyataan yang dihadapinya,
apalagi sepeninggal anak-anak muda yang dianggap terbaik dari
Tanah Perdikan Sembojan. 29 SH. Mintardja "Aku tidak tahu, apakah keadaan ini dapat bertahan," berkata
salah seorang anak muda dari padukuhan sebelah.
"Maksudmu?" bertanya anak muda yang sedang menjajagi itu.
"Semakin lama pemerintahan di Tanah Perdikan ini menjadi
semakin kabur. Beberapa orang di antara kawan-kawan kita yang
tinggal sedikit ini sekarang berada di dalam barak latihan. Tetapi
agaknya mereka pun akan segera dikirim ke Pajang untuk
disurukkan ke dalam api peperangan. Sementara itu pajak di
Tanah Perdikan ini menjadi semakin mencekik. Kami yang
memungut pajak itu pun kadang-kadang merasa betapa beratnya
beban orang-orang Tanah Perdikan ini. Meskipun beberapa
orang kaya masih dapat juga berpangku tangan sambil meneguk
minuman panas pada saat-saat menunggu panennya yang akan
memenuhi lumbung-lumbung. Tetapi sebagian besar dari
penghuni padukuhanku merasa keberatan atas kebijakan Ki
Wiradana sekarang. Dua orang pamanku merasa tercekik.
Sementara ayahku merasa sedikit bernafas karena aku adalah
seorang pengawal. Tetapi seandainya aku mati di pertempuran
bagi kepentingan Jipang, apakah ayahku masih juga mendapat
perlindungan seperti sekarang ini?"
Pengawal yang sengaja menjajagi kawan-kawannya itu pun
tiba-tiba saja bertanya, "Jadi maksudmu di Tanah Perdikan ini
harus ada perubahan?"
Kawannya itu pun terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun
pengawal yang sedang menjajagi itu cepat berkata. "Maksudku,
apakah kita mohon agar Ki Wiradana mengubah
kebijaksanaannya?" Kawan-kawannya dari padukuhan sebelah mengerutkan
keningnya. Namun salah seorang di antara mereka berkata,
"Apakah hal itu mungkin" Jika kebijaksanaan itu datangnya dari
Ki Wiradana sendiri aku kira memang mungkin. Tetapi kita tidak
dapat menutup mata bahwa orang-orang diseputar Ki Wiradana
itu mempunyai pengaruh yang sangat besar. Nyi Wiradana
ternyata seorang perempuan yang keras hati. Bukan seorang
30 SH. Mintardja perempuan yang lemah lembut sebagaimana kita duga
sebelumnya. Saudagar emas dan permata itu tiba-tiba saja telah
mendapat tempat disisi Ki Wiradana. Bahkan ayah Warsi itu pun
sekarang ikut-ikutan menentukan perintah-perintah. Apalagi jika
kelak Ki Randukeling dan Ki Rangga Gupita itu datang.
Anak muda yang sedang menjajagi itu mengangguk-angguk.
Tetapi ia masih berkata, "Bagaimana jika kita coba
mengutamakan persoalan yang sebenarnya. Mungkin Ki
Wiradana tidak tahu bahwa keadaan rakyatnya sekarang sudah
sangat parah, karena ia jarang sekali berkesempatan untuk
melihat padukuhan-padukuhan."
Tetapi kawannya dari padukuhan sebelah itu menggeleng.
Katanya, "Sulit sekali. Yang menentukan sekarang bukan Ki
Wiradana. Tetapi orang lain."
"Ah," desis anak muda yang menjajaginya, "Pada suatu saat Ki
Wiradana harus mengambil sikap sebagai pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikan ini."
"Kita tidak dapat mengharapkannya," jawab kawannya.
"Jadi, apakah kita akan membiarkan keadaan ini berkembang
semakin parah?" Kawan-Kawannya dari padukuhan sebelah menarik nafas
dalam-dalam. Dengan nada dalam salah seorang di antara
mereka berkata, "Kita tidak akan dapat berbuat apa-apa."
Pengawal yang sedang menjajagi kawan-kawannya itu
berdesis, "Seandainya Nyi Wiradana itu masih Nyi Wiradana
yang lama." "Ya," sahut kawannya dengan serta merta. "Mungkin
keadaannya akan jauh berbeda. Perubahan-perubahan yang
suram ini baru mulai setelah Nyi Wiradana hilang dan kemudian
Ki Gede Sembojan terbunuh."
"Bencana yang datang berurutan," desis pengawal yang sedang
menjajagi sikap kawan-kawannya itu.
31 SH. Mintardja "Mungkin memang bencana yang datang berurutan. Tetapi
mungkin yang terjadi itu adalah satu rangkaian peristiwa yang
direncanakan," berkata salah seorang kawannya.
"He?" pengawal itu bertanya.
Kawannya tiba-tiba menjadi pucat. Ternyata telah terloncat
dari mulutnya sesuatu yang akan dapat mencelakakan dirinya.
Bahkan keringatnya pun telah mengalir dari keningnya.
Bukan saja anak muda itu yang menjadi sangat gelisah. Tetapi
kawan-kawannya menjadi gelisah pula.
Untuk beberapa saat suasana justru menjadi tegang. Pengawal
yang sengaja menjajagi kawan-kawannya itu tidak segera
menanggapinya. Namun justru karena pengawal itu tidak segera menyahut,
maka terasa ketegangan menjadi semakin mencengkam.
Bahkan pengawal yang memang sedang menjajaginya itu
kemudian berkata, "Bukan maksudku. Tetapi, ada orang yang
mengira demikian." "Siapakah orang itu?" bertanya pengawal itu pula.
Anak muda itu benar-benar terdiam. Mulutnya ternyata telah
telanjur mengatakan sesuatu yang tidak dapat ditariknya
kembali. Ia tidak ingin menyebut orang-orang lain yang tidak
tahu menahu persoalannya. Karena itu, maka apapun yang akan
terjadi, tidak ada orang yang akan dapat memikulnya kecuali
dirinya sendiri. Namun ternyata pengawal yang menjajaginya itu justru
melemparkan pertanyaan yang aneh, "Bagaimana pendapatmu
jika Nyi Wiradana yang lama itu ada disini?"
Anak muda itu tidak segera menjawab. Ia menjadi sangat
berhati-hati. Apakah maksud pertanyaan pengawal itu.
Sementara pengawal itu berkata selanjutnya, "Bukankah
menurut pendapatmu, jika Nyi Wiradana itu masih Nyi Wiradana
yang lama, maka keadaan tentu akan berbeda. Nah, ternyata
32 SH. Mintardja bahwa Nyi Wiradana yang lama itu masih ada dan kini berada di
Tanah Perdikan ini pula."
Anak-anak muda itu menjadi bimbang. Seorang di antara
mereka bertanya, "Aku tidak mengerti maksudmu sebenarnya.
Apakah kau ingin memancing kekeruhan, atau kau memang ingin
menjerumuskan kami ke dalam kesulitan atau maksud-maksud
yang lain yang tidak aku ketahui?"
Pengawal yang sedang menjajagi kawan-kawannya itu pun
akhirnya berkata, "Baiklah aku berkata terus terang. Mungkin hal
ini akan membawa akibat yang kurang baik bagi kita. Tetapi
setelah mendengar pendapat kalian, yang tentu keluar dari hati
nurani kalian, maka aku ingin memberitahukan, bahwa penari
perempuan yang sering mengadakan pertunjukan keliling dan
dikatakan mirip dengan Nyi Wiradana itu memang Nyi
Wiradana." "Darimana kau tahu?" bertanya kawannya.
"Penari itu sekarang berada di rumah Ki Bekel padukuhanku,"
jawab pengawal itu. "Apakah kau berkata sebenarnya?" kawan-kawannya masih
bertanya. "Yakinkanlah dirimu, bahwa aku bermaksud baik. Aku juga
menginginkan perubahan itu," jawab pengawal itu. "Karena itu,
jika kalian tidak berkeberatan, marilah satu atau dua orang di
antara kalian pergi ke padukuhanku. Kalian akan bertemu
dengan Nyi Wiradana. Kalian akan dapat berbicara apa saja bagi
kepentingan Tanah Perdikan ini. Dan kalian akan dapat melihat
bukti tentu Nyi Wiradana itu, bahwa ia bukan hanya seorang
yang mengaku dirinya Nyi Wiradana karena kemiripan wajahnya
dan menuntut hak atas tanah ini atas nama anaknya."
"Bagaimana ia dapat membuktikan dirinya, bahwa ia benar-
benar Nyi Wiradana?" bertanya kawannya.
"Marilah. Dua di antara kalian pergi bersamaku," berkata
pengawal itu. 33
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
SH. Mintardja Sebenarnyalah dua di antara anak-anak muda itu telah pergi
ke padukuhan sebelah untuk bertemu dengan Nyi Wiradana. Nyi
Wiradana sendiri sama sekali tidak berkeberatan untuk
menerima mereka. Bahkan sebagaimana diinginkan oleh anak-
anak muda itu, Nyi Wiradana memang menunjukkan pertanda
kuasa Tanah Perdikan Sembojan.
"Kami menjadi yakin sekarang," berkata kedua orang anak
muda itu. "Kami akan menghimpun kawan-kawan kami yang
tinggal." "Bertemulah dengan Ki Bekel di padukuhanmu," berkata
pengawal yang telah datang menemuinya pertama kali.
"Apakah Ki Bekel akan dapat mengerti sikap kami?" bertanya
salah seorang dari kedua anak muda itu.
"Justru Ki Bekel sudah lebih dahulu meyakini sikap ini,"
berkata pengawal itu. Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Aku akan menemui Ki Bekel. Sudah lama aku tidak berhubungan
dengan Ki Bekel. Mungkin Ki Bekel tidak begitu senang terhadap
kedatangan kami. Kami, para pengawal telah mengambil alih
semua tugas-tugasnya atas perintah Ki Wiradana, sehingga Ki
Bekel, aku kira bukan saja di padukuhanku, mereka tidak senang
terhadap para pengawal."
"Tetapi para bekel itu pun mengetahui, bahwa sebab dari
keadaan itu bukanlah kami, para pengawal. Tetapi Ki Wiradana
sendiri. Para bekel yang sempat merenungi keadaan yang
sebenarnya akan melihat bahwa kami pun hanya sekadar menjadi
alat. Semuanya adalah untuk kepentingan Ki Wiradana dan
istrinya yang sekarang," berkata pengawal itu. "Pajak yang
dipungut diseluruh Tanah Perdikan ini tentu bukan semuanya
untuk membiayai perang di Pajang, karena sebagian besar dari
biaya perang itu ditanggung oleh Jipang yang memang memiliki
kekayaan yang besar. Sebagian besar dari pajak yang dipungut
tidak mengenal waktu, sebagian besar tentu menjadi miliki Nyi
34 SH. Mintardja Wiradana yang agaknya memang seorang perempuan yang
tamak." Anak-anak muda dari padukuhan sebelah yang memerlukan
menemui Nyi Wiradana itu pun kemudian minta diri. Mereka
akan bekerja keras untuk ikut mengadakan perubahan-
perubahan di Tanah Perdikan Sembojan.
"Dua padukuhan sudah menentukan sikap," berkata pengawal
yang menemui anak-anak muda itu. "Mudah-mudahan ada juga
padukuhan yang lain yang bersedia membantu kita."
"Kita akan berusaha," berkata anak-anak muda dari
padukuhan sebelah. Demikianlah, anak-anak muda itu kembali ke padukuhannya
maka mereka pun telah mengadakan perubahan di antara mereka
meskipun dengan sangat berhati-hati dan tidak menarik
perhatian orang banyak. Ternyata bahwa anak-anak muda di
padukuhan itu sependapat bahwa memang sudah sampai
saatnya, di Tanah Perdikan Sembojan diadakan perubahan
tatanan. "Marilah, kita bertemu dengan Ki Bekel," berkata salah
seorang di antara mereka.
"Kita tidak perlu bersama-sama pergi ke rumahnya. Dua di
antara kita sudah cukup," berkata yang lain.
Ternyata mereka memutuskan untuk mengirimkan dua orang
di antara mereka, yang telah langsung dapat bertemu dengan Nyi
Wiradana, untuk menemui Ki Bekel.
Sebagaimana sudah dikatakan oleh anak muda dari
padukuhan sebelah, sebenarnyalah Ki Bekel dari padukuhan itu
telah lebih dahulu menentukan sikap. Karena itu ketika anak-
anak muda itu datang kepadanya, maka pembicaraan pun
menjadi lancar. 35 SH. Mintardja "Kami mohon maaf Ki Bekel, bahwa selama ini kami telah
melanggar hak dan wewenang Ki Bekel," berkata salah seorang
dari anak-anak muda itu. "Itu bukan salahmu," berkata Ki Bekel. "Kalian hanya
menjalankan perintah Ki Wiradana saja. Namun pada saat
akhirnya kalian telah menentukan kebenaran di dalam diri
tentang Tanah Perdikan ini. Dengan keyakinan akan kebenaran
itu, maka kita akan berbuat sejauh dapat kita lakukan dengan
akibat apapun juga."
"Baik Ki Bekel," jawab anak-anak muda itu.
"Nah, jika demikian, marilah kita membenahi diri. Aku akan
mengerahkan orang-orang tua yang masih mampu berbuat
sesuatu dan kalian menyiapkan anak-anak muda. Mungkin kalian
akan berhadapan dengan kawan-kawan kalian yang justru telah
mendapat latihan yang lebih berat, tetapi anak-anak muda yang
akan melihat ayah mereka berada di pihak kita, maka mereka
tentu akan berpikir dua kali untuk melakukan kekerasan
terhadap kita," berkata Ki Bekel.
Demikianlah maka anak-anak muda itu pun kemudian telah
melakukan persiapan apa saja yang dapat mereka lakukan. Tetapi
jumlah mereka memang terlalu sedikit. Meskipun demikian,
anak-anak muda itu telah dilambari dengan satu keyakinan
sehingga pendirian mereka tidak akan mudah menjadi goyah.
Keadaan Tanah Perdikannya yang disaksikannya dari hari kehari,
telah menempa tekad mereka untuk mengadakan perubahan.
"Meskipun jumlah kita sedikit, tetapi kawan-kawan kita yang
ada di barak itu juga tidak terlalu banyak. Kecuali jika kawan-
kawan kita yang ada di Pajang akan ditarik," berkata salah
seorang di antara mereka.
"Kita sudah bertekad," jawab kawannya. "Aku kira seluruh
Tanah Perdikan ini seakan-akan sudah digenangi minyak. Jika
ada yang berani menyalakan api, maka seluruh Tanah Perdikan
akan menyala." *** 36 SH. Mintardja Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di Pajang pun
semakin lama menjadi semakin sengit. Ketika kedua belah pihak
telah menjadi basah oleh keringat, maka mereka menjadi
semakin garang. Apalagi mereka yang melihat kawannya telah
mengalirkan darah dari lukanya. Bahkan jika seorang sahabatnya
telah terbunuh oleh ujung senjata lawan.
Dengan demikian maka benturan-benturan senjata pun
menjadi semakin cepat susul menyusul. Bunga api pun
berloncatan dan suara erang kesakitan tenggelam dalam sorak
yang gemuruh hampir diseluruh medan.
Kedua pasukan itu pun berusaha saling menekan. Kedua belah
pihak telah melepaskan kemampuan tertinggi. Para prajurit
Jipang telah menghentakkan kemampuannya di antara anak-
anak muda Tanah Perdikan Sembojan untuk dapat memecahkan
pasukan Pajang. Tetapi para prajurit Pajang adalah prajurit-prajurit yang
terlatih matang. Karena itu, maka mereka pun mampu mengatasi
setiap tekanan. Bahkan dengan ketajaman pengamatan mereka,
maka telah melihat kelemahan pada pasukan Jipang.
Para prajurit-prajurit Pajang mengetahui bahwa sebagian dari
pasukan Jipang adalah para pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
Meskipun anak-anak muda itu pernah mendapat latihan-latihan
yang sangat berat, tetapi mereka belum mempunyai pengalaman
yang memadai untuk bertempur melawan para prajurit Pajang
yang telah mengenyam banyak sekali pahit getirnya peperangan.
Karena itulah, maka lubang-lubang tertentu dari gelar Sapit
Urang dari pasukan Jipang itu pun terdapat kelemahan-
kelemahan. Dengan kemampuan mengurai medan, maka
pasukan Pajang telah berusaha menyusup pada lubang-lubang
kelemahan itu. Ketika matahari semakin tinggi dan mencapai puncak langit,
maka pasukan Pajang telah menemukan beberapa kemajuan.
Bahkan disayap kiri pasukan Jipang, para prajurit Pajang berhasil
37 SH. Mintardja menyusup cukup dalam, justru pada leher sayap, sehingga jalur
pasukan Jipang ke ujung sayap menjadi agak terganggu.
Senapati yang berada di ujung sayap itu cepat bertindak.
Kekuatan gelar Sapit Urang sebenarnya ada di ujung Sapitnya
yang akan menjepit kekuatan lawan dari dua arah, ujung dan
ujung. Namun Senapati itu tidak membiarkan tangkai kekuatan
itu patah ditengah. Karena itu, maka ia pun segera
memerintahkan sekelompok prajurit dan sekelompok pengawal
Tanah Perdikan untuk bergeser, menyelamatkan leher sayap yang
hampir patah itu. Usaha Senapati itu berhasil. Namun demikian, dalam
keseluruhan ternyata pasukan Pajang mempunyai kelebihan.
Perlahan-lahan pasukan Pajang yang mengerahkan segenap
kekuatannya, telah mendesak maju. Apalagi ketika matahari telah
mulai turun ke Barat. Betapapun juga, keringat anak-anak muda
Sembojan yang terkuras telah menurunkan kemampuan mereka
menggerakkan senjata. Bagaimanapun juga orang-orang Jipang
berusaha untuk membuat imbangan dengan kemampuan
mereka, namun pasukan Pajang benar-benar telah memberikan
tekanan yang sangat berat.
Setapak demi setapak pasukan Jipang itu terdesak. Tetapi
pasukan Jipang masih tetap berpegang pada gelarnya yang utuh,
sehingga karena itu, maka pertempuran gelar itu masih tetap
berlangsung dengan sengitnya.
Pasukan Pajang yang berhasil mendesak pasukan lawan
berusaha untuk benar-benar memecahkan gelar lawannya dan
mengkoyak pertahanan mereka. Namun ternyata gelar Sapit
Urang itu telalu liat untuk dapat dipatahkan.
Semakin lama matahari pun menjadi semakin rendah.
Betapapun juga pasukan Pajang berusaha, namun sampai saatnya
matahari turun ke punggung bukit, pasukan Pajang masih tetap
terikat dalam gelarnya, meskipun gelar itu telah terdorong
mundur dan terdesak. 38 SH. Mintardja Bagaimana pun juga, maka ketika malam turun, Pajang harus
menghentikan pertempuran. Beberapa orang perwira sempat
bergeremang. Ternyata kegelapan masih sempat menyelamatkan
pasukan Jipang. Ketika terdengar isyarat di kedua belah pihak, maka masing-
masing telah menarik diri ke kubu mereka. Dengan letih kedua
pasukan itu kembali ke barak-barak sementara, yang mereka
bangun dan mereka ambil dari para penghuni padukuhan.
Pada saat gelap mulai merata, maka yang kemudian turun ke
medan adalah petugas-petugas yang lain. Petugas-petugas
kemanusiaan yang harus menolong dan merawat orang-orang
yang terluka dan mengumpulkan mereka yang terbunuh.
Di siang hari kedua belah pihak berjuang untuk saling
membunuh dan melukai. Sementara di malam hari, beberapa
orang harus bekerja keras untuk menolong mereka.
Malam itu Ki Rangga Gupita telah berbicara dengan para
Senapati dari pasukan Jipang yang terdesak. Dengan ketajaman
penglihatannya maka Ki Rangga menganggap bahwa sulit bagi
pasukan Jipang untuk dapat menahan kekuatan pasukan Pajang.
Tetapi Panglima pasukan Jipang yang berada disisi Timur
Pajang itu menjawab, "Aku masih belum berputus asa. Aku masih
mempunyai kekuatan cadangan. Bahkan aku akan dapat
mengerahkan semua orang. Aku tidak akan meninggalkan
seorang pun meskipun mereka adalah juru masak. Mungkin aku
telah menempuh satu langkah yang berbahaya. Tetapi aku yakin,
bahwa dengan mengerahkan pasukan cadangan dan semua orang
yang ada, maka kita akan dapat memecahkan pasukan Pajang.
Dengan demikian, maka kita akan dapat menyelesaikan
pertempuran besok dan mengatur kembali tata susunan tugas
dalam pasukan ini." "Justru itu adalah langkah putus asa," berkata Ki Rangga
Gupita. "Jika kau gagal, maka pasukan akan hancur mutlak.
Pasukanmu akan dikoyak-koyak dan tidak akan berbekas lagi,
39 SH. Mintardja karena tidak ada landasan yang tersisa sama sekali untuk dapat
tegak kembali. Senapati yang menjadi Panglima pasukan Jipang itu
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Tetapi
menurut perhitunganku pasukan Pajang akan hancur besok jika
aku kerahkan semua orang yang ada tanpa kecuali."
Ki Rangga Gupita menggeleng. Katanya dengan kerut
didahinya. "Jangan berkhayal. Marilah kita membuat penilaian
yang wajar dalam pertarungan seperti ini. Kita harus mengakui,
bahwa pasukan Pajang benar-benar pasukan yang tangguh.
Memang ada kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari anak-
anak muda pengawal padukuhan di sekitar kota. Tetapi jumlah
mereka sangat kecil dibandingkan dengan jumlah seluruh
kekuatan Pajang, sehingga keadaan itu tidak banyak
berpengaruh. Agak berbeda dengan pasukan kita yang terdiri
sebagian dari pasukan pengawal Tanah Perdikan Sembojan."
"Jadi bagaimana menurut tanggapan Ki Rangga?" bertanya
Panglima itu. "Kita tarik mundur pasukan kita malam ini. Kita mencari
kedudukan yang baru, yang tidak akan diserang dalam waktu
dekat oleh pasukan Pajang. Kita mengirimkan utusan ke Tanah
Perdikan Sembojan untuk membawa pasukan pengawal lebih
banyak lagi. Semua kekuatan yang ada dapat dikerahkan.
Sementara itu, Tanah Perdikan Sembojan harus mengerahkan
lagi anak-anak muda yang sebelumnya dianggap masih terlalu
muda. Ambil anak-anak remaja yang sudah berumur enambelas
tahun. Tidak usah menunggu sampai delapan belas," berkata Ki
Rangga. "Anak-Anak berumur enam belas justru sedang dalam
tataran yang paling buas jika kita berhasil menggelitiknya.
Setelah mereka mendapat latihan sekadarnya maka mereka pun
harus segera dikirim kemari. Dengan kekuatan itu maka barulah
kita akan dapat meyakinkan diri bahwa kita akan dapat
memecahkan pasukan Pajang. Itu pun yang berada di luar
dinding kota. Jika mereka menarik diri memasuki gerbang maka
kita harus membuat perhitungan-perhitungan baru. Atau kita
40 SH. Mintardja memang tidak mempunyai rencana dengan tergesa-gesa
memasuki kota. Mungkin kita menunggu perkembangan pasukan
Pajang dan Jipang yang berada di seberang-menyeberang
Bengawan Sore. Jika Kanjeng Adipati Jipang berhasil
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghancurkan Hadiwijaya, maka segalanya akan dapat
dianggap selesai. Untuk menghancurkan kota ini maka kita tidak
akan lebih sulit dari memijat ranti masak."
Senapati yang menjadi Panglima pasukan Jipang di Pajang itu
mengangguk-angguk. Sebenarnya rasa-rasanya agak segan untuk
mengakui kelebihan Pajang yang hanya berselisih selapis tipis itu.
Namun kemudian ia pun menjawab, "Jika pertimbangan Ki
Rangga demikian, aku pun tidak akan berkeberatan. Tetapi
bagaimana dengan anak-anak muda dari Tanah Perdikan
Sembojan" Apakah tidak akan ada kesulitan untuk
mengambilnya lebih banyak lagi" Mungkin Kepala Tanah
Perdikan itu akan merasa berkeberatan karena sebagian besar
dari anak-anak mudanya telah berada di sini."
Tetapi Ki Rangga tersenyum, katanya, "Jangan takut.
Bertanyalah kepada Ki Randukeling."
Senapati itu memandang Ki Randukeling yang ikut
mendengarkan pembicaraan. Dengan suara sendat dan ragu ia
bertanya, "Bagaimana pendapat Ki Randukeling?"
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Mungkin aku dapat membantu, memanggil anak-anak muda itu,
karena Kepala Tanah Perdikan Sembojan adalah cucuku. Tetapi
sekali lagi aku ingin memperingatkan, bahwa anak-anak
Sembojan itu bukannya prajurit-prajurit yang telah masak.
Mungkin sebagian dari mereka yang pernah mendapat latihan-
latihan yang baik dan bersungguh-sungguh tidak akan banyak
mengecewakan meskipun mereka belum berpengalaman. Namun
sebagian yang lain, adalah anak-anak muda yang masih belum
mapan. Bukan saja ilmunya, tetapi untuk bertempur sehari penuh
seperti prajurit, mereka akan kelelahan. Meskipun demikian, aku
kira pertimbangan yang diberikan oleh Ki Rangga Gupita
menurut pendapatku agak lebih baik daripada pertimbangan
41 SH. Mintardja untuk besok pagi mengerahkan semua orang. Dalam
pertempuran seperti ini, kita masing-masing tidak boleh tergesa-
gesa sehingga akan dapat menjerumuskan banyak korban yang
tidak perlu hanya karena dibakar oleh gejolak perasaan dan
barangkali sedikit harga diri."
Panglima pasukan Jipang disisi Timur Pajang itu
mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah jika demikian. Aku akan
menarik pasukan ini untuk menunggu kedatangan anak-anak
muda dari Tanah Perdikan Sembojan. Dengan bantuan itu, serta
mengerahkan semua orang yang ada, kita akan menghancurkan
pasukan Pajang." "Jika demikian, maka kita akan mengirimkan utusan ke Tanah
Perdikan Sembojan," berkata Ki Rangga Gupita.
"Siapa?" bertanya Senapati itu.
"Ki Randukeling," jawab Ki Rangga Gupita. "Ia akan dapat
memaksa cucunya untuk tidak dapat menolak permintaannya.
Bahkan untuk mempersiapkan para remaja yang dapat
memberikan sedikit pengertian tentang perang dalam waktu satu
dua pekan sebelum mereka dibawa kemari."
"Baiklah," jawab Ki Randukeling. "Aku akan pergi ke
Sembojan. Tetapi apakah tidak lebih baik jika aku pergi bersama
Ki Rangga Gupita?" "Aku tidak berkeberatan," jawab Ki Rangga. "Rasa-rasanya
memang sudah terlalu lama tidak bertemu dengan Warsi."
Ki Randukeling mengerutkan keningnya. Namun Ki Rangga
Gupita itu tertawa sambil berkata, "Jangan takut. Aku tidak akan
berbuat apa-apa." "Seandainya Ki Rangga akan berbuat apa-apa aku tidak akan
mencegahnya. Itu sama sekali bukan persoalanku lagi," sahut Ki
Randukeling. Ki Rangga tertawa semakin keras, sementara Panglima
pasukan Jipang itu menjadi termangu-mangu. Ia tidak mengerti,
apa yang dikatakan oleh Ki Rangga itu.
42 SH. Mintardja Karena itu, maka Ki Rangga pun berkata kepada Panglima itu,
"Yang terakhir memang bukan persoalan prajurit Jipang. Tetapi
persoalan pribadiku."
Ternyata Panglima itu tanggap. Katanya, "Itulah agaknya
maka Ki Rangga mengusulkan untuk menambah pasukan lagi."
Ki Rangga masih tertawa. Tetapi ia menjawab, "Jangan kau
baurkan kepentingan Jipang dengan kepentingan sendiri."
Panglima itu pun tertawa. Katanya, "Ki Rangga akan
mendapat kedua-duanya."
Ki Rangga yang masih tertawa itu tidak menjawab lagi. Ia pun
kemudian minta diri untuk bersiap-siap. Sementara Panglima itu
pun berkata, "Jika demikian maka aku pun akan segera
mengambil langkah. Pasukan ini untuk sementara memang harus
menjauh. Jika para petugas yang mengumpulkan kawan-kawan
kami yang terluka dan yang
terbunuh itu sudah kembali,
maka kita akan segera meninggalkan tempat ini."
"Baiklah," jawab Ki Rangga
yang menjadi bersungguh- sungguh. "Untuk keselamatan
pasukan ini, maka keputusanmu cukup baik. Bukankah kita tidak dibatasi
waktu, sehingga kita tidak
harus dengan tergesa-gesa
mengorbankan orang kita?"
Panglima itu mengangguk- angguk, sementara Ki Rangga
dan Ki Randukeling pun telah
meninggalkan mereka. Dalam pada itu, malam itu juga pasukan Jipang telah ditarik
mundur melampaui beberapa bulak. Satu gerak yang telah
menimbulkan banyak tanggapan. Sebagian dari para prajurit
43 SH. Mintardja Jipang tidak dapat mengerti kenapa keputusan yang demikian
diambil. Namun sebagian yang lain sependapat dengan sikap itu,
karena mereka tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa setidak-
tidaknya pasukan Jipang tidak akan berhasil memecahkan
pasukan Pajang. Bahkan mereka yang langsung berada di
pertempuran akan dapat merasakan, kelemahan-kelemahan yang
terdapat dalam pasukan Jipang memang berbahaya bagi
kesatuan gelar. Namun harga diri para prajurit Jipang kadang-kadang telah
mencegah mereka mempergunakan nalar. Mereka tidak mau
melihat kenyataan yang terjadi, karena orang-orang Jipang harus
dianggap sebagai prajurit yang tidak terkalahkan.
Ki Rangga dan Ki Randukeling yang telah bersiap-siap pula
sempat mengikuti gerak mundur itu pula. Setelah mereka melihat
dimana pasukan Jipang itu kemudian membangun sebuah
pertahanan, maka mereka pun segera bersiap untuk pergi ke
Tanah Perdikan Sembojan. "Kita akan berangkat setelah hari terang tanah," berkata Ki
Randukeling. "Baiklah," jawab Ki Rangga Gupita. "Sementara ini kita sempat
beristirahat." Demikianlah pasukan Jipang telah mengambil beberapa buah
rumah dan banjar padukuhan bagi kepentingan mereka tanpa
menghiraukan keluhan para penghuninya yang harus mengungsi
ke rumah sanak kadang tetangga-tetangganya.
Malam itu dengan ketangkasan prajurit, Jipang telah berhasil
membangun pertahanan yang kuat, disebuah padukuhan.
Sementara itu, Ki Rangga dan Ki Randukeling ternyata masih
sempat beristirahat sejenak sambil menunggu hari terang tanah.
Ketika saatnya tiba, maka Ki Rangga Gupita dan Ki
Randukeling pun telah minta diri kepada Panglima pasukan
Jipang disisi Timur Pajang. Mereka akan berusaha untuk
Kaki Tiga Menjangan 5 Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin Tujuh Pedang Tiga Ruyung 8