Pencarian

Suramnya Bayang Bayang 2

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 2


gugur dan beberapa kawan mereka yang terluka. Namun
kehadiran Kiai Badra di hutan itu memberikan banyak
pertolongan kepada anak-anak muda yang terluka, sehingga
mereka tidak terlambat mendapatkan perawatan.
Kehadiran pasukan Sembojan itu disambut dengan gembira
oleh keluarga mereka. Namun di antara kegembiraan dan
kebanggaan atas kemenangan mereka atas segerombolan
berandal yang ditakuti, beberapa orang telah menangisi
keluarganya yang terpaksa meninggalkan mereka untuk selama-
lamanya. "Setiap usaha yang besar tentu memerlukan pengorbanan,"
berkata Wiradana yang berusaha menghibur keluarga yang
kehilangan itu. "Seluruh Tanah Perdikan akan tetap mengenang
jasa-jasanya. Pengorbanan kalian tidak sia-sia. Ternyata kita
telah menghancurkan sebuah gerombolan yang paling ditakuti di
seluruh Pajang." Orang-orang yang berduka itu mencoba untuk mengerti.
Tetapi sebagian dari mereka masih saja meratapi kematian
keluarganya. "Jika harus jatuh korban, kenapa korban itu harus salah
seorang dari kami," berkata salah seorang dari mereka didalam
hati, "Kenapa bukan orang lain."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lxiii lxiii SH. Mintardja Dengan demikian, maka bagaimana pun juga kebanggaan
menghentak-hentak di dalam dada, namun Tanah Perdikan
Sembojan memang harus berkabung.
Dalam pada itu, maka Wiradana pun telah menghadap
ayahnya pula. Dengan bangga ia pun melaporkan kemenangan
yang telah didapatkannya di hutan yang tidak begitu lebat itu.
"Sebagian besar dari mereka memang telah kami hancurkan,"
lapor Wiradana. "Kami datang dengan tiba-tiba. Orang-orang di
dalam gerombolan itu tidak menyangka, sehingga mereka tidak
sempat memberikan perlawanan sebaik-baiknya. Meskipun
demikian ada empat orang di antara kami yang terbunuh.
Sedangkan beberapa orang lain telah terluka."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Nampaknya kau
memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan. Karena itu, maka
apapun yang terjadi atasku, aku tidak akan berkecil hati. Aku
yakin bahwa Tanah Perdikan ini akan justru menjadi semakin
berkembang." "Semoga ayah," jawab Wiradana. "Kami, anak-anak muda
Sembojan akan berusaha untuk tidak mengecewakan ayah."
"Terima kasih Wiradana," gumam ayahnya. Lalu, "Bagaimana
dengan mereka yang terluka?"
"Kiai Badra yang kebetulan ada di Tanah Perdikan ini telah
sangat membantu. Ia ikut pergi ke hutan itu dan menyiapkan
pengobatan dengan segera, sehingga dengan demikian tidak
terjadi seorang anak yang terluka kehilangan kesempatan untuk
sembuh karena keterlambatan pengobatan," jawab Wiradana.
Ayahnya mengangguk-angguk. Nampak kepuasan membayang
di wajah orang yang sedang sakit itu.
Dalam pada itu, Ki Gede itu pun kemudian bertanya pula,
"Dimana Kiai Badra sekarang?"
"Ia berada di gandok," jawab Wiradana.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lxiv lxiv SH. Mintardja Ki Gede tidak bertanya lagi. Bahkan Wiradana pun kemudian
telah keluar dari bilik ayahnya dengan dada yang berkembang
atas keberhasilannya. Namun hampir di luar sadarnya, maka tiba-tiba saja ia telah
singgah di gandok. Ketika ia mengetuk pintu, yang membuka
pintu gandok adalah seorang gadis yang sedang meningkat
dewasa. Demikian pintu dibuka, maka gadis itu pun berdiri
membeku sambil menundukkan kepalanya.
"O," Wiradana pun termangu-mangu. Tetapi ia pun kemudian
bertanya, "Dimana Kiai Badra?"
"Ia pergi ke sungai," suara gadis itu sendat.
"Ke sungai?" ulang Wiradana.
"Ya. Bersama kakang Gandar," jawab gadis itu pula masih
sambil menundukkan kepalanya.
Wiradana tidak bertanya lebih lanjut. Ia pun kemudian
meninggalkan gandok itu dan melihat orang-orang yang terluka.
Namun agaknya semua sudah mendapat perawatan sebaik-
baiknya. Bahkan mereka yang terluka ringan, telah diantarkan
kembali ke rumah masing-masing, sementara yang terluka agak
berat, telah ditempatkan di serambi di rumah Ki Gede. Mereka
akan berada ditempat itu agar pengobatan mereka dapat
dilakukan secara teratur dan baik oleh Kiai Badra.
Namun dalam pada itu, Wiradana juga tidak lengah. Ia
memerintahkan para pengawal untuk tetap berjaga-jaga di setiap
padukuhan. Di antara para perampok itu ada yang berhasil
melarikan diri. Karena itu, para pengawal masih harus selalu
memperhitungkan kemungkinan pembalasan dendam.
"Tetapi kita benar-benar telah menghancurkan mereka,"
berkata salah seorang di antara anak-anak muda Sembojan.
"Ya. Tetapi mungkin mereka masih mempunyai kawan
ditempat lain. Atau mereka bersama-sama dengan gerombolan-
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lxv lxv SH. Mintardja gerombolan lain datang untuk sekadar membalas sakit hati,"
sahut Wiradana. Anak-anak itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti, bahwa
kemungkinan yang demikian memang ada. Sehingga karena itu,
maka setiap pemimpin pengawal di padukuhan-padukuhan telah
mengatur penjagaan sebaik-baiknya.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Kiai Badra dan Gandar
tidak pergi ke sungai sebagaimana yang dikatakan oleh cucunya,
karena kepada cucunya ia memang mengatakan demikian.
Tetapi Kiai Badra dan Gandar telah pergi ke hutan yang
menjadi ajang pertempuran antara anak-anak muda Sembojan
dengan para perampok itu. Bahkan Kiai Badra telah singgah di
padukuhan di ujung Tanah Perdikan dan mengajak beberapa
orang untuk pergi ke hutan itu. Terutama anak-anak mudanya.
"Untuk apa?" bertanya orang-orang padukuhan itu.
"Mayat-mayat yang terkapar ditempat itu masih belum
dikuburkan," jawab Kiai Badra.
"Bukankah Wiradana sudah mengatakan, bahwa kita tidak
usah memperdulikannya?" bertanya salah seorang anak muda.
"Tetapi jika benar-benar kita membiarkannya, maka yang
paling parah terkena akibatnya adalah padukuhan ini.
Padukuhan ini adalah padukuhan yang terdekat," berkata Kiai
Badra. "Apakah mereka akan menjadi hantu" Dan kemudian
mengganggu padukuhan ini?" bertanya orang-orang padukuhan
itu. "Tidak. Bukan menjadi hantu. Tetapi jika tubuh itu
membusuk, maka akan dapat menimbulkan berbagai penyakit
yang akan dapat menjalar sampai padukuhan ini. Binatang-
binatang kecil mungkin akan terbawa angin atau lalat yang
beterbangan di padang perdu itu telah membawa bibit-bibit
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lxvi lxvi SH. Mintardja penyakit. Aku adalah orang yang menekuni berbagai penyakit
dan penyebabnya," sahut Kiai Badra.
Orang-orang di padukuhan kecil itu mulai berpikir. Sementara
itu Kiai Badra berkata, "Penyakit menular itu tidak akan kalah
mengerikan daripada kedatangan para perampok itu dimasa
hidupnya. Bahkan penyakit menular tidak hanya akan memusuhi
anak-anak muda dan orang-orang tua. Bukan hanya para
pengawal dan bebahu padukuhan ini. Tetapi anak-anak pun akan
mereka bunuh juga dengan kejamnya."
Ternyata bahwa keterangan Kiai Badra itu dapat masuk ke
dalam akal mereka. Karena itu, maka orang-orang padukuhan itu
pun telah pergi bersama-sama dengan Kiai Badra dan Gandar
sambil membawa cangkul dan alat-alat yang diperlukan ke hutan
di seberang padang perdu.
Hal itu akhirnya telah didengar pula oleh Wiradana. Karena
itu, ketika malam turun di Tanah Perdikan Sembojan, Wiradana
telah memanggil Kiai Badra untuk mendapat keterangan tentang
usahanya menguburkan orang-orang dari gerombolan Kalamerta
yang terbunuh. "Aku tidak sampai hati membiarkan hal itu terjadi ngger,"
jawab Kiai Badra. "Tetapi yang lebih mencemaskan bagiku, adalah keselamatan
padukuhan kecil itu sendiri. Angger dapat membayangkan,
bahwa binatang buas akan dapat membawa mayat-mayat itu
berserakan di dalam hutan. Atau karena hal yang lain, mayat-
mayat yang membusuk akan dapat menumbuhkan penyakit
mengerikan dan sulit untuk diatasi."
Wiradana mengangguk-angguk. Katanya, "Jika alasan Kiai
bahwa hal itu Kiai lakukan demi keselamatan orang-orang
Sembojan, maka aku tidak berkeberatan. Bahkan aku
mengucapkan terima kasih atas usaha Kiai."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lxvii lxvii SH. Mintardja Kiai Badra tidak menjawab. Tetapi rasanya ada sesuatu yang
kurang mapan di dalam hatinya. Meskipun demikian, Kiai Badra
sama sekali tidak mengatakannya.
Dalam pada itu, kehancuran gerombolan Kalamerta telah
membuat kehidupan di Sembojan menjadi tenang kembali.
Orang-orang Sembojan tidak lagi merasa dibayangi oleh
kekuatan yang akan dapat mengejutkan mereka di malam hari.
Namun dalam pada itu, keadaan Ki Gede masih saja
mencemaskan. Bagaimanapun juga Kiai Badra berusaha, tetapi
perkembangannya memang sangat lambat. Apalagi kaki Ki Gede
yang seolah-olah telah lumpuh sama sekali.
"Kiai," berkata Ki Gede pada suatu hari, "Apapun yang terjadi
atasku, akan aku terima dengan senang hati. Dengan melihat
perkembangan pribadi Wiradana, maka rasa-rasanya tugasku
memang sudah selesai."
"Ki Gede," jawab Kiai Badra, "Aku masih akan berusaha.
Menilik keadaannya, maka Ki Gede tidak akan mengalami
kelumpuhan mutlak, meskipun kaki dan tangan Ki Gede tidak
akan dapat pulih seperti sediakala. Namun setidaknya Ki Gede
masih dapat berjalan sendiri dan berbuat sesuatu dengan tangan
sendiri." Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara datar ia
berkata, "Terima kasih Kiai. Ternyata yang Kiai lakukan jauh
melampaui harapan." "Itu sudah menjadi kewajibanku, Ki Gede," jawab Kiai Badra.
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Sebenarnya aku ingin mempersiapkan Kiai untuk tetap berada di
Sembojan. Aku dapat membuat sebuah padepokan yang Kiai
perlukan. Bukankah Kiai tidak meninggalkan seorang cantrik di
padepokan Kiai" Gandar dan cucu Kiai sudah berada disini."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lxviii lxviii SH. Mintardja Kiai Badra tersenyum. Namun kemudian katanya, "Terima
kasih Ki Gede. Tetapi sebenarnyalah padepokan kecil itu rasa-
rasanya sudah mengikat aku untuk tetap berada disana."
Ki Gede tidak menjawab. Tetapi yang ditanyakan kemudian
adalah cucu Kiai Badra. "Apakah cucu Kiai itu krasan tinggal disini?" bertanya Ki Gede.
Kiai Badra tersenyum. Katanya, "Pada mulanya ia hanya
memberi aku waktu dua atau tiga hari. Tetapi ternyata ia betah
tinggal disini. Apalagi ketika ia sudah mulai mengenal satu dua
orang pembantu Ki Gede. Sekarang cucuku sudah sering berada
di dapur." "O," Ki Gede pun tersenyum. "Tetapi jangan Kiai suruh anak
itu bekerja. Kasihan. Biarlah ia tinggal di gandok."
Tetapi jawab Kiai Badra, "Anakku adalah gadis padepokan Ki
Gede. Jika ia harus tinggal di gandok saja, maka ia akan benar-
benar minta pulang. Biarlah ia bekerja. Justru di padepokan ia
bekerja jauh lebih keras. Ia harus mencari kayu, mencari air dan
bekerja sendiri di dapur."
"Kasihan anak itu," desis Ki Gede. Namun hampir di luar
sadarnya Ki Gede bertanya, "Tetapi Kiai, dimanakah ayah dan ibu
anak itu?" Kiai Badra mengerutkan keningnya. Wajahnya tiba-tiba saja
menjadi buram. Nampak sesuatu terbayang di wajahnya itu.
"Peristiwa itulah yang membuat aku lebih senang tinggal
menyendiri Ki Gede," jawab Kiai Badra dengan suara dalam.
"Maaf Kiai," berkata Ki Gede kemudian. "Aku tidak ingin
membuat Kiai bersedih karena peristiwa yang telah terjadi."
"Tidak Ki Gede," jawab Kiai Badra. "Yang terjadi itu memang
sudah terjadi." Ki Gede tidak bertanya lagi. Tetapi Kiai Badra lah yang
kemudian berceritera sendiri. "Suatu kecelakaan yang sulit
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lxix lxix SH. Mintardja diterima dengan nalar. Pada saat itu, cucuku baru berada di
rumahku yang tidak jauh dari rumah anakku itu. Tiba-tiba rumah
anakku itu terbakar dan anakku serta istrinya tidak sempat
menyelamatkan diri. Mereka ikut terbakar di dalam rumah itu,"
Kiai Badra itu berhenti sejenak. Lalu, "Bukankah sulit diterima
nalar, bahwa dua orang yang sudah tua tidak mampu keluar dari
api yang membakar rumahnya" Seandainya pintu rumah itu
sudah terbakar, apakah mereka tidak dapat menerobos dinding
bambu?" Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Memang aneh. Dan
apakah pintu rumahnya itu hanya ada satu?"
"Ya. Itulah agaknya yang membuat aku menjadi sangat
prihatin. Sehingga timbul dugaanku, bahwa telah terjadi sesuatu
yang tidak dapat kami duga sebelumnya. Mungkin satu


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

permusuhan. Tetapi menurut pengamatanku, anakku suami istri
adalah orang yang bergaul dengan wajar. Mereka tidak pernah
bersikap bermusuhan dengan siapapun."
Ki Gede mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Badra
meneruskan, "Karena itu, maka aku pun telah mengambil satu
keputusan untuk menyingkir. Memang ada perasaan takut,
bahwa aku pun akan dimusuhinya. Sementara itu aku telah
merawat cucuku yang secara kebetulan tidak ada di rumahnya
pada saat kebakaran itu."
"Kasihan anak itu," desis Ki Gede. "Siapakah nama cucu Kiai
itu?" Ia sudah berada disini beberapa hari. Tetapi aku masih
belum mengetahui namanya."
"Ia anak padepokan," jawab Kiai Badra. "Namanya juga
seburuk anak itu sendiri. Orang memanggilnya Endang Iswari."
"Bagus sekali," sahut Ki Gede. "Namanya yang bagus. Jika
tidak disebut dengan endang, maka orang tidak akan
membayangkan bahwa ia adalah gadis padepokan."
"Nama yang asal saja menyebutnya," jawab Ki Badra.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lxx lxx SH. Mintardja "Kiai," berkata Ki Gede kemudian, "Daripada cucu Kiai itu
bekerja di dapur, maka biarlah ia membantu merawatku. Biarlah
anak itu membawa minuman dan makananku. Biarlah aku
mengenal anak yang malang itu semakin dekat. Aku tidak
mempunyai anak perempuan Kiai."
"Ah," desis Kiai Badra, "Anak itu adalah anak yang dungu dan
bodoh. Mungkin Ki Gede akan kecewa jika Ki Gede mengenalnya
lebih banyak." Ki Gede tersenyum. Katanya, "Biarlah ia mendapat
kesempatan untuk mengembangkan pribadinya dalam
lingkungan yang lebih besar. Disini terdapat banyak orang,
karena kebetulan aku adalah seorang pamong dari Tanah
Perdikan. Dengan demikian maka hidupnya tidak terlalu terbatas
pada sebuah padepokan kecil. Biarlah ia belajar bergaul dengan
sesamanya, karena pada saatnya nanti, bekal itu akan sangat
diperlukan." Kiai Badra mengangguk-angguk. Meskipun demikian ia
bergumam, "Aku tidak dapat meninggalkan padepokan kecil itu."
"Jika Kiai ingin kembali kelak, biarlah anak itu tinggal disini.
Kiai akan dapat menengoknya kapan saja Kiai inginkan," berkata
Ki Gede. "Dan aku akan selalu sepi tanpa cucuku itu," berkata Kiai
Badra. "Maaf Kiai, tetapi sebaiknya Kiai jangan terlalu mementingkan
diri sendiri," berkata Ki Gede Sembojan. "Berilah cucu Kiai itu
kesempatan." Kiai Badra termangu-mangu. Namun katanya, "Dalam
beberapa hari ini biarlah ia melakukan sebagaimana Ki Gede
kehendaki. Tetapi jika Ki Gede kecewa, sebaiknya Ki Gede
berterus terang." Ki Gede tersenyum. Sambil mengangguk kecil ia menjawab,
"Baiklah. Tetapi seandainya cucu Kiai itu masih belum dapat
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lxxi lxxi SH. Mintardja melakukannya dengan baik, maka ia masih mempunyai
kesempatan untuk belajar."
Dengan demikian, maka di hari-hari berikutnya, cucu Kiai
Badra itu mendapat tugas untuk melayani Ki Gede yang sedang
sakit. Dengan cekatan, Iswari menyediakan minuman dan makan
Ki Gede pada saatnya. Sementara Gandar masih juga merawatnya
dengan sungguh-sungguh, sedang Kiai Badra dengan tekun
berusaha untuk mengurangi kelumpuhan pada kaki dan tangan
Ki Gede. Ternyata bahwa usaha Kiai Badra itu tidak sia-sia. Sedikit
demi sedikit, kaki dan tangan Kia Gede itu pun telah mampu
digerakkan. Kekuatan racun yang mencengkam dengan
garangnya dengan menumbuhkan beberapa kerusakan pada
jaringan tubuh, lambat laun dapat diatasi meskipun tidak akan
mampu memulihkannya. Namun dengan demikian, justru Kiai Badra tidak dapat
beringsut sama sekali dari Tanah Perdikan Sembojan. Dengan
sangat Ki Gede minta agar Kiai Badra tetap tinggal sampai
puncak usahanya. "Jika sudah sampai pada batas yang dapat dicapai, apa boleh
buat," berkata Ki Gede kepada Kiai Badra.
Namun dalam pada itu, Ki Gede justru menjadi semakin
tertarik kepada cucu Kiai Badra. Ki Gede merasa, bahwa ia
mempunyai seorang anak laki-laki yang sudah dewasa.
Sementara itu, cucu Kiai Badra itu pun telah menginjak usia
dewasa pula bagi seorang gadis. Bahkan ternyata kemudian,
bahwa Endang Iswari bukannya seorang gadis yang dungu. Ia
memiliki kelebihan dari gadis-gadis lain di Tanah Perdikan itu.
Ketika Ki Gede melihat Iswari memperhatikan huruf-huruf
pada sarung pedang yang tergantung di dinding dengan tidak
sengaja telah menanyakan apakah Iswari dapat membaca. Maka
sambil menundukkan kepalanya gadis itu berkata, "Ayah
mengajariku untuk membaca. Tetapi aku belum pandai."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lxxii lxxii SH. Mintardja "Seandainya aku memberimu sebuah kidung yang tertulis di
atas rontal, apakah kau dapat membacanya?" bertanya Ki Gede.
Gadis itu hanya menunduk saja. Namun dari sorot di wajahnya
Ki Gede menangkap pengakuan, bahwa serba sedikit, gadis itu
akan dapat membacanya. Demikianlah ketika malam mulai turun, Ki Gede telah
memanggil Kiai Badra untuk datang ke dalam biliknya. Dengan
senyum dibibirnya ia berkata, "Kiai. Dalam kegelisahan ini, rasa-
rasanya aku ingin sesuatu yang dapat membuat jiwaku menjadi
segar. Kiai sudah berhasil merawat tubuhku sehingga harapan-
harapan baru telah tumbuh. Namun, apakah Kiai sependapat,
jika malam ini aku minta Iswari untuk membaca sebuah kidung
bagiku?" "Membaca kidung?" ulang Kiai Badra. "Cucuku adalah seorang
gadis yang bodoh." Tetapi Ki Gede tertawa. Katanya, "Meskipun ia tidak
mengatakannya, tetapi aku tahu, bahwa Kiai sudah mengajari
cucu Kiai membaca dan menulis. Sungguh satu kelebihan bagi
seorang gadis." Kiai Badra tidak menjawab, tetapi tampak senyum di sela-sela
bibirnya. Karena itu, maka Ki Gede pun kemudian minta Iswari untuk
membaca sebuah cerita yang tertulis pada setumpuk rontal yang
ada di sisi pembaringannya.
Semula Iswari menolak. Tetapi akhirnya gadis itu pun telah
mencobanya juga membaca kidung dalam tembang yang
mengalun di sepinya malam, ditunggui oleh ayahnya.
Ternyata bahwa suara itu telah menyusup di sela-sela dinding
dan menyentuh telinga anak-anak muda yang sedang bertugas di
luar. Beberapa orang anak muda yang sedang duduk di gardu di
dekat regol halaman pun mulai tergelitik hatinya mendengar
tembang yang menggetarkan udara malam yang dingin.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lxxiii lxxiii SH. Mintardja Sementara itu, di dalam bilik yang lain, Wiradana pun
mendengar suara tembang itu. Hampir di luar sadarnya ia pun
bangkit dari pembaringannya. Jelas terdengar olehnya, bahwa
suara tembang itu berasal dari bilik ayahnya.
Dengan hati-hati Wiradana keluar dari biliknya. Hampir
berjingkat ia mendekati pintu bilik ayahnya. Sementara di antara
suara tembang yang merdu ia mendengar ayahnya kadang-
kadang berbicara dengan Kiai Badra tentang makna isi tembang
itu. Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Sesuatu telah
bergejolak di dalam hatinya. Ia jarang-jarang bertemu dengan
cucu Kiai Badra itu. Karena itu, ia jarang memperhatikannya.
Namun ketika telinganya menangkap suara tembang itu ia mulai
membayangkan, betapa lembutnya wajah cucu Kiai Badra.
"Wajah itu memang tidak cantik sekali," gumam Wiradana di
dalam hati tetapi kelembutan yang terpancar dari wajah itu
membayangkan betapa lembut pula hatinya. Apalagi ketika
terdengar suaranya dalam nada tembang yang menawan."
Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian
kepada diri sendiri pula, "Anak itu ternyata anak yang pandai. Ia
mampu membaca kitab itu."
Untuk beberapa saat Wiradana mendengarkan suara tembang
itu. Namun akhirnya seakan-akan ada sesuatu yang memaksanya
untuk masuk ke dalam bilik ayahnya itu.
Namun ketika bilik itu terbuka, dan Wiradana masuk dari bilik
pintu, dengan serta merta, cucu Kiai Badra itu pun telah berhenti.
Kepalanya menunduk dalam-dalam, sehingga malam pun
menjadi hening sepi. "O, kau Wiradana," sapa Ki Gede.
"Aku mendengar suara tembang," desis Wiradana.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lxxiv lxxiv SH. Mintardja "Gadis itulah yang sedang membaca," jawab Ki Gede,
"Ternyata ia adalah gadis yang pandai dan suaranya pun jernih
sekali. Aku sedang mendengar ia melagukan tembang itu."
Wiradana pun tiba-tiba saja jadi bingung. Apalagi yang akan
dikatakannya kepada ayahnya. Sekilas ia memandang gadis itu.
Tetapi gadis itu tetap menunduk dalam-dalam.
Namun akhirnya ia berkata, "Ah, biarlah ia membaca terus.
Aku akan mendengarkan diluar saja."
Wiradana tidak menunggu jawaban. Ia pun kemudian
melangkah surut sambil menutup pintu bilik ayahnya kembali.
Namun dalam pada itu, Iswari tidak lagi berminat untuk
membaca. Ketika ia sempat memandang ayahnya, maka nampak
sorot matanya, bahwa gadis itu tidak ingin lagi meneruskannya.
Karena itu, maka Kiai Badra pun justru bertanya kepadanya,
"Bagaimana Wari" Apakah kau masih akan meneruskannya?"
Iswari menggeleng lemah. Tetapi ia tidak menjawab.
Ki Gede tertawa pendek. Ia mengenal sifat gadis-gadis.
Agaknya cucu Kiai Badra itu pun menjadi malu karenanya.
Dengan demikian, maka sulit baginya untuk mulai lagi membaca
kelanjutan ceritera yang sebenarnya menarik itu.
"Baiklah," berkata Ki Gede, "Sebenarnya aku senang sekali kau
membaca untukku. Suaramu jernih dan landung. Las-lasan dan
dengan greget yang mapan."
"Ah. Ki Gede terlalu memuji," sahut Kiai Badra.
"Aku berkata sebenarnya. Biarlah Iswari sering membaca
untukku. Bukan saja dapat membuat hatiku semakin cerah.
Tetapi hal itu penting bagi Iswari sendiri. Ia menjadi semakin
lancar membaca dan suaranya akan menjadi semakin matang,"
jawab Ki Gede. Kiai Badra tidak menjawab. Tetapi ia pun tertawa pula.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lxxv lxxv SH. Mintardja Namun dalam pada itu, maka Kiai Badra pun kemudian minta
diri untuk kembali ke gandok bersama anak gadisnya. Agaknya
gadis itu telah mengantuk pula.
Demikianlah, pada hari-hari tertentu, Ki Gede minta Iswari
untuk membaca buatnya. Mula-mula Kiai Badra masih harus
menungguinya sambil mengamati keadaan Ki Gede yang menjadi
semakin baik pula. Namun kemudian Iswari itu menjadi semakin
berani. Ia sudah mau membaca ceritera sendiri di bilik Ki Gede
Sembojan. Sebenarnyalah sikap Ki Gede pun terasa sangat baik kepada
gadis itu. Gadis yang telah kehilangan ayah dan ibunya itu,
merasa seakan-akan ia menemukan ayahnya yang baru. Ki Gede
bukan saja mendengarkan Iswari membaca. Tetapi kadang-
kadang Ki Gede masih harus membetulkan kesalahan-kesalahan
yang dibuat oleh Iswari. Bahkan kadang-kadang kalimat-kalimat
dalam tembang yang dibacanya, sehingga lancar membaca tetapi
ia pun menyadap pengertian-pengertian yang tersirat dari kita
yang dibacanya. Mirip sekali sebagaimana dilakukan oleh
kakeknya jika kakeknya itu sedang mengajarnya membaca dan
mengerti arti dan makna dari bacaannya itu.
Namun dalam pada itu, ternyata Iswari tidak saja pandai
membaca ceritera dalam ungkapan tembang yang merdu. Tetapi
ternyata Iswari pandai juga bermain rinding. Dengan alat yang
sederhana itu ia dapat melahirkan lagu-lagu yang dapat
menyentuh hati. Dengan demikian, maka rasa-rasanya Ki Gede menjadi
semakin dekat dengan gadis itu. Bahkan, di dalam angan-
angannya Ki Gede mulai membayangkan, bahwa gadis itu akan
dapat diambilnya menjadi menantunya.
Tetapi Ki Gede tidak dapat mengambil keputusan itu sendiri.
Karena itu, maka ia sudah berniat untuk berbicara dengan
Wiradana, apakah Wiradana sependapat jika Ki Gede berniat
untuk mempertemukan Wiradana dengan gadis itu.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lxxvi lxxvi SH. Mintardja Untuk membicarakan hal itulah, maka Ki Gede telah
memanggil Wiradana. Ketika Wiradana memasuki biliknya,
wajah anak muda itu berubah menjadi cerah. Ternyata ayahnya
tidak lagi berbaring saja di pembaringannya. Tetapi Ki Gede itu
sudah duduk di bibir pembaringannya itu.
"Ayah," desis Wiradana.
"Ya Wiradana. Aku sedang mencoba untuk duduk. Semalam
Kiai Badra menolong aku bangkit. Kemudian aku telah
dimintanya untuk mencoba dan mencoba bangkit. Ternyata
bahwa pagi tadi aku sudah berhasil untuk bangkit sendiri dan
duduk, meskipun aku belum dapat berbuat apa-apa selain duduk
ini," berkata ayahnya.
"Tetapi bukankah hal itu sudah merupakan suatu kemajuan
yang sangat menggembirakan dan memberikan harapan-


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harapan," jawab Wiradana.
"Ya. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh Kiai Badra, bahwa
kaki dan tanganku terutama, tidak akan dapat pulih seperti
semula. Meskipun barangkali aku akan dapat berjalan lagi dan
tanganku dapat aku pergunakan, namun tidak akan seperti
sebelum jaringan tubuhku dirusakkan oleh racun keris Kalamerta
itu," berkata Ki Gede.
"Ayah dapat minta kepada Kiai Badra untuk berbuat apa saja
agar keadaan ayah dapat pulih kembali. Ayah dapat menawarkan
upah berapa saja yang diminta," berkata Wiradana.
"O," Ki Gede mengerutkan keningnya, "Jangan salah menilai
orang tua itu. Ia berbuat tanpa pamrih sama sekali. Ia tidak akan
mau menerima apapun yang akan aku berikan kepadanya."
"Ah, apakah begitu ayah" Ia memang seorang dukun. Karena
itu mengobati orang adalah pekerjaannya. Ia hidup dari
pekerjaan itu. Jika orang yang diobatinya tidak memberikan upah
kepadanya, maka ia tidak akan dapat membiayai hidupnya
dengan cucu serta seorang cantriknya itu," jawab Wiradana.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lxxvii lxxvii SH. Mintardja Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jangan
berprasangka begitu dangkal terhadap dukun yang satu ini. Ia
bukan orang yang menjajakan jasanya untuk mendapatkan
sedikit upah buat hidupnya. Agaknya ia memang orang lain dari
orang-orang yang kau sebutkan itu. Karena itu, maka duduklah.
Barangkali aku dapat berbicara agak panjang."
Wiradana pun kemudian duduk dipembaringan di sisi
ayahnya. Sementara itu Ki Gede berkata, "Wiradana. Ada sesuatu
yang ingin aku katakan kepadamu."
Wiradana termangu-mangu. Rasa-rasanya ayahnya memang
ingin mengatakan sesuatu yang penting kepadanya.
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 2. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai kasih
http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lxxviii lxxviii SH. Mintardja Jilid Kedua Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lxxix lxxix SH. Mintardja ` - 1 SH. Mintardja TETAPI untuk beberapa saat Ki Gede tidak mengatakan
sesuatu. Memang ada keseganan Ki Gede untuk mengatakannya
berterus terang. Seandainya anaknya menerimanya apakah gadis
itu bersedia. Dan apakah Kiai Badra dapat menyetujuinya.
Namun akhirnya Ki Gede memutuskan untuk menanyakannya
lebih dahulu kepada Wiradana, kalau Wiradana bersedia, baru Ki
Gede akan membicarakannya dengan Kiai Badra.
Demikianlah, betapapun beratnya, maka Ki Gede pun telah
mengatakan niatnya kepada Wiradana. Bahwa ia ingin melihat
Wiradana dapat hidup bersama dengan cucu Kiai Badra.
"Aku sangat berhutang budi kepada Kiai Badra," berkata Ki
Gede. "Namun aku pun mengerti, bahwa dasar hidup bersama
bukanlah sekadar membalas budi. Tetapi harus ada keserasian
perasaan dan nalar dari kedua orang yang ingin mempertautkan
hidupnya. Karena itu, aku bertanya kepadamu. Kau mempunyai
kesempatan untuk merenungkan. Dan aku memang tidak ingin
kau menjawab sekarang."
Wiradana menundukkan kepalanya. Di luar sadarnya ia mulai
membayangkan gadis yang bernama Iswari, cucu Kiai Badra itu.
Seorang gadis yang sederhana tetapi mempunyai kecerdikan
alamiah. Bahkan kakeknya telah mengajarinya membaca dan
melagukan kidung-kidung yang merdu. Bermain rinding dan
ketrampilan bekerja melampaui perempuan-perempuan lain
yang ada di rumah itu. Bukan saja bekerja di dapur dan
membersihkan isi rumah, tetapi gadis itu trampil juga bekerja
yang lebih berat lagi. Mengambil air, menumbuk padi dan di
pagi-pagi benar menyapu halaman.
"Pikirkanlah anakku," berkata Ki Gede. "Tetapi segalanya
terserah kepadamu. Kau dapat mempertimbangkan banyak hal.
Tetapi kau harus lebih banyak melihat masa depanmu sendiri."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
1 SH. Mintardja Wiradana mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan
memikirkannya ayah. Aku mengerti kenapa ayah mengusulkan
hal itu. Meskipun demikian aku ingin mengenal gadis itu lebih
banyak lagi." "Lakukanlah yang baik menurut pertimbanganmu. Aku akan
menahan Kiai Badra untuk tinggal di sini beberapa saat lagi,
sementara kau sudah dapat mengambil satu keputusan," berkata
Ki Gede. "Namun dalam pada itu, aku sama sekali masih belum
berhubungan dengan Kiai Badra untuk membicarakan persoalan
ini. Baru jika kau setuju aku akan mulai merintis pembicaraan,
agar tidak menimbulkan salah paham."
Wiradana mengangguk-angguk pula. Jawabnya, "Baiklah
ayah. Aku minta waktu beberapa hari."
Ketika kemudian Wiradana itu meninggalkan bilik ayahnya,
maka pikirannya selalu saja dipengaruhi oleh keinginan ayahnya.
Wiradana mengerti, bahwa Kiai Badra sudah berhasil menolong
jiwa ayahnya. Tetapi seperti yang dikatakan ayahnya, jika ia
mengambil keputusan untuk menerima keinginan ayahnya, dasar
utamanya bukanlah sekadar membalas budi.
Tetapi ternyata bahwa hal itulah yang lebih tebal
menyelubungi perasaannya. Bagaimanapun juga, ayahnya telah
berhutang budi kepada seorang yang bernama Kiai Badra itu,
terikat pada suatu keadaan yang sulit untuk dilupakan Ayahnya
itu. Di hari-hari berikutnya. Wiradana mulai memperhatikan
Iswari dengan sungguh-sungguh, meskipun ia tetap memelihara
jarak agar Iswari sendiri tidak mengetahuinya. Hampir semua
sikap dan tingkah lakunya tidak terlepas dari pengamatan
Wiradana. Namun kebimbangan masih saja menyelubungi hati anak
muda itu. Sebagai seorang anak Kepala Tanah Perdikan, maka ia
mempunyai kesempatan untuk menggantikan kedudukan
ayahnya karena ia memang tidak mempunyai seorang pun
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
2 SH. Mintardja saudara yang akan dapat memperkecil kesempatan itu. Karena
itu, maka segalanya selalu dihubungkannya dengan kedudukan
yang kelak akan diterimanya sebagai warisan itu.
"Apakah gadis itu pantas menjadi isteri Kepala Tanah
Perdikan," berkata Wiradana di dalam hatinya. "Ia terlalu
sederhana. Kehidupan padepokan telah membentuknya menjadi
gadis lugu dan nampaknya sedikit dungu, meskipun ia dapat
membaca, menulis dan bahkan melagukan kidung-kidung pujian.
Ia terlalu terbiasa bekerja keras. Mengambil air untuk mengisi
jambangan, menumbuk padi dan kerja-kerja yang lain meskipun
beberapa orang sudah berusaha mencegahnya. Tetapi hal yang
demikian akan menguntungkan kedudukannya sebagai seorang
istri Kepala Tanah Perdikan yang besar" Apakah hal itu tidak
akan mengurangi wibawaku kelak?"
Demikianlah, berhari-hari Wiradana membuat pertimbangan-
pertimbangan yang kadang-kadang justru membingungkan.
Namun lambat laun ia berhasil melihat kelebihan gadis itu.
Gadis itu memang gadis yang cekatan meskipun pendiam. Cepat
mengambil keputusan dalam keadaan yang memerlukan. Sifat
yang nampaknya lugu itu ternyata adalah ujud dari sikapnya yang
jujur, sementara ia sama sekali bukan gadis yang dungu seperti
yang nampak pada ujud lahiriahnya.
Dari hari ke hari, Wiradana berhasil melihat kelebihan gadis
itu dari gadis-gadis sebayanya. Jarang sekali seorang gadis yang
mendapat kesempatan untuk dapat membaca dan menulis.
Mengenali kitab-kitab yang berisi ceritera tentang para pahlawan,
nasehat tentang kebaikan budi dan kidung pujian bagi Yang
Maha Agung. Diberati pula dengan perasaan berhutang budi, maka ketika
kemudian Wiradana menghadap ayahnya, maka ia pun berkata,
"Ayah. Aku telah membuat pertimbangan-pertimbangan.
Agaknya gadis itu memang mempunyai beberapa kelebihan dari
perempuan-perempuan lain ayah."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
3 SH. Mintardja "Jadi kau tidak keberatan jika aku melamar gadis itu kepada
kakeknya?" bertanya Ki Gede.
"Terserahlah kepada ayah," jawab Wiradana.
"Jangan berkata begitu. Jangan menyerahkan persoalan yang
menyangkut masa depanmu sepenuhnya kepada ayah," berkata
Ki Gede. "Baiklah," jawab Wiradana. "Aku dapat menerimanya. Namun
bukankah segalanya masih tergantung juga kepada gadis itu
sendiri?" Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan berbicara
dengan Kiai Badra. Mudah-mudahan tidak akan timbul masalah."
Wiradana tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian
meninggalkan bilik ayahnya.
Ki Gede yang berbaring di pembaringannya tersenyum sendiri.
Rasa-rasanya ia sudah melihat secercah cahaya yang menerangi
Tanah Perdikannya bagi hari-hari depan. Wiradana, anaknya
satu-satunya akan mendapat seorang istri yang rajin, trampil, dan
mempunyai kepandaian yang jarang dimiliki oleh kebanyakan
perempuan. Ketika hal itu disampaikan kepada Kiai Badra pada satu
kesempatan, maka terasa sesuatu membayangi kejernihan sorot
mata Kiai Badra. Satu hal yang tidak terduga oleh Ki Gede. Ia
berharap bahwa keinginannya itu akan disambut dengan gembira
oleh orang tua itu. "Bagaimana pendapat Kiai Badra?" bertanya Ki Gede.
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
jawabnya tidak pasti. "Ki Gede. Segala sesuatunya tergantung
kepada cucuku itu. Aku akan menyampaikannya. Dan ia akan
mengambil satu keputusan. Namun aku sebagai kakeknya,
mengucapkan terima kasih yang tidak dapat aku gambarkan
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
4 SH. Mintardja betapa besarnya, karena perhatian Ki Gede terhadap cucuku.
Seorang anak padepokan yang bodoh dan malas."
"Jangan terlalu merendahkan diri Kiai. Aku tahu, cucu Kiai
adalah seorang gadis yang pandai dan yang membuatnya nampak
bodoh adalah justru kejujurannya," jawab Ki Gede. Tetapi
kemudian, "Namun demikian, segalanya memang tergantung
kepada anak itu sendiri. Aku hanya berharap, agar keinginanku
ini tidak tersia-siakan."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Rasa-rasanya ia telah
menerima beban yang sangat berat.
Karena itu, maka sejenak kemudian, ia pun telah mohon diri.
Katanya kemudian, "Aku akan berbicara dengan cucuku Ki
Gede." "Silahkan Kiai. Aku menggantungkan harapan kepada usaha
Kiai meyakinkan cucu Kiai itu," jawab Ki Gede.
Dengan kepala tunduk, Kiai Badra pun kemudian
meninggalkan bilik Ki Gede kembali ke gandok. Ketika ia
membuka pintu biliknya, dilihatnya Gandar masih duduk
merenungi jari-jari tangannya yang dikembangkannya.
Tetapi demikian pintu berderit, ia pun segera bangkit dan
menarik nafas dalam-dalam.
"Nampaknya ada sesuatu yang penting Kiai?" bertanya
Gandar. Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Penting sekali."
"Apakah ada tanda-tanda bahwa gerombolan itu bangkit
kembali dan akan menyerang Tanah Perdikan ini?" bertanya
Gandar pula. Kiai Badra menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Bukan soal
gerombolan itu lagi. Bukan pula tentang penyakit Ki Gede yang
semakin baik. Tetapi persoalannya menyangkut hubungan antara
aku dan Ki Gede." Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
5 SH. Mintardja "Maksud Kiai?" desak Gandar.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
"Gandar. Aku sebenarnya memang ingin mempertimbangkanmu
sebelum aku menyampaikannya kepada adikmu."
Wajah Gandar menjadi tegang. Tetapi kesan itu pun sejenak
kemudian telah lenyap dari wajahnya. Dengan nada dalam ia
bertanya, "Apakah ada persoalan yang menyangkut pribadi Kiai?"
"Ya Gandar," jawab Kiai Badra.
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Keduanya yang
kemudian duduk di amben kayu nampak menjadi bersungguh-
sungguh. "Gandar," berkata Kiai Badra kemudian, "Sebenarnyalah
bahwa Ki Gede menaruh minat terhadap adikmu untuk
diambilnya menjadi menantu."
Terasa sesuatu bergejolak di dalam jantung Gandar. Tetapi
seperti semula, semua kesan itu tidak nampak di sorot matanya.
Bahkan ia pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata,
"Satu penghargaan yang sangat tinggi."
"Itulah yang aku cemaskan Gandar. Hal ini dilakukan oleh Ki
Gede justru karena aku telah mengobatinya. Mungkin Ki Gede
merasa bahwa aku telah menyelamatkan jiwanya. Padahal yang
aku lakukan bukan apa-apa. Aku hanya sebagai lantaran. Jika ia
menghargai aku terlalu tinggi maka akibatnya akan kurang baik
bagi Iswari sendiri. Apalagi jika angger Wiradana akan
menerimanya dengan agak terpaksa," berkata Kiai Badra dengan
wajah yang muram. Gandar mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Ki Gede tentu
sudah mempertimbangkannya dari segala segi. Ki Gede pun tentu
sudah membicarakannya dengan Wiradana. Bahkan mungkin
permintaan ini datang dari Wiradana sendiri setelah ia mengenal
Iswari lebih dekat."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
6 SH. Mintardja Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Lalu ia pun bertanya,
"Bagaimana pendapatmu Gandar. Sebelum aku
menyampaikannya kepada adikmu."
"Jika Iswari setuju, maka tentu tidak akan ada keberatannya
Kiai. Bukankah Wiradana pada saatnya akan menggantikan
kedudukan ayahnya menjadi seorang Kepala Tanah perdikan
yang cukup besar?" Kiai Badra memandang wajah Gandar sejenak. Seolah-olah ia
ingin membaca isi hatinya. Tetapi ia tidak melihat kesan apapun
pada orang itu. Bahkan Gandar pun kemudian berkata, "Bukankah dengan
demikian Kiai akan dapat menanggalkan satu beban" Gadis itu
memang merupakan beban bagi Kiai. Jika ia sudah mendapat
tempat yang baik, maka sebaiknya Kiai melepaskannya."
"Tempat yang baik itulah yang aku sangsikan," jawab Kiai
Badra. "Kiai terlalu berprasangka," jawab Gandar.
"Gandar, adikmu adalah anak yang dungu. Kurang
mempunyai wawasan terhadap lingkungan, justru ia cukup lama
hidup dalam dunia terpisah. Ia mengenal masyarakat dari satu
jarak, sehingga ia tidak masuk ke dalamnya," berkata Kiai Badra
kemudian. "Tidak Kiai. Meskipun Iswari tinggal di padepokan terpencil,
tetapi ia bergaul dengan sesamanya. Ia sering pergi ke pasar
untuk menjual hasil tanah kita. Ia mempunyai beberapa orang
kawan gadis-gadis padukuhan yang sering bergurau bersamanya
di sungai ketika mereka sedang mencuci," sahut Gandar.
"Tetapi Iswari tidak melihat kehidupan yang utuh dari satu
lingkungan. Ia melihat orang-orang yang berada di pasar. Ia
bergurau dan bergembira bersama dengan kawan-kawannya di
sungai. Tetapi ia tidak melihat kesulitan, kesedihan disamping
kegembiraan pada persoalan-persoalan hidup yang lain dari satu
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
7 SH. Mintardja lingkungan keluarga. Ia tidak melihat masalah-masalah yang
dapat timbul. Kelaparan, kekerasan, perselisihan dan bahkan
kekuasaan. Ia tidak pernah mengalami bencana kekeringan
karena kemarau yang panjang atau banjir di musim hujan.
Padepokan kita yang terpencil itu bukan satu gambaran yang
utuh kelak ia menjadi istri seorang Kepala Tanah Perdikan, maka
bekal pengalamannya atas rakyatnya akan sangat miskin,"
berkata Kiai Badra kemudian.
Gandar mengangguk-angguk kecil. Ia mengerti alasan Kiai
Badra yang mendasar itu. Meskipun demikian, Gandar itu masih juga berkata, "Tetapi
dengan jujur kita dapat mengatakan, bahwa Iswari adalah
seorang gadis yang cerdas. Ia akan cepat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya, sebagaimana kita lihat sekarang. Ia
pandai mengambil pengalaman yang tidak dihayatinya dalam
kehidupan sehari-hari itu dari kitab-kitab yang dibacanya. Dan
Iswari mampu menyerap keadaan di sekitarnya untuk
dicernakannya." Kiai Badra menarik nafas pula. Namun kemudian katanya,
"Segalanya akan terserah kepada Iswari sendiri. Mudah-mudahan
ia mendapat terang di hatinya sehingga ia akan dapat
menentukan pilihannya dengan tepat," kemudian suara Kiai
Badra pun merendah, "Gandar, sebenarnyalah bahwa ada sesuatu
yang kurang aku mengerti terhadap sifat angger Wiradana. Ia
adalah anak tunggal Ki Gede yang mewarisi ilmunya dan kelak
tentu Tanah Perdikannya. Namun nampaknya wataknya agak
jauh berbeda dengan watak Ki Gede itu sendiri."
"Wiradana masih muda sekali," jawab Gandar. "Memang wajar
sekali jika nampak perbedaan dari kedua orang itu didalam
menentukan sikap. Tetapi bukan berarti bahwa Wiradana akan
berbuat dengan pertimbangan yang dangkal itu untuk
selanjutnya. Umurnya akan mempengaruhinya, sehingga pada
suatu saat akan datang masanya, sikap Wiradana akan seperti
sikap ayahnya." Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
8 SH. Mintardja Kiai Badra mengangguk-angguk meskipun ia tidak sependapat
sepenuhnya. Ia tidak dapat melupakan sikap Wiradana terhadap
orang-orang yang sudah dikalahkannya. Rasa-rasanya ada
sesuatu yang kurang mapan baginya.
Tetapi ia berusaha untuk mengerti penjelasan Gandar. Karena
itu, maka katanya kemudian, "Aku akan berbicara dengan Iswari.
Gadis itu sudah cukup dewasa. Ialah yang akan mengambil
keputusan yang menentukan."
"Ya Kiai. Sebaiknya Kiai berbicara langsung dengan Iswari.
Tetapi sudah barang tentu ia memerlukan alasan untuk
menentukan sikapnya," berkata Gandar.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Memang akhirnya
aku akan tergantung kepada sikapnya."
"Ya Kiai. Iswari cukup dewasa untuk menentukan," sahut
Gandar dengan suara yang merendah.
"Besok aku akan berbicara dengan anak itu," gumam Kiai
Badra kemudian. Sebenarnyalah, Kiai Badra ingin segera menyampaikan hal itu
kepada cucu perempuannya. Meskipun Kiai Badra itu tidak dapat
mengesampingkan kesannya yang didapatkannya terhadap
Wiradana dalam beberapa kali sentuhan kepentingan.
Karena itulah, maka Kiai Badra justru menjadi gelisah.
Di hari berikutnya, ketika gelap malam mulai turun, maka Kiai
Badra telah memanggil cucunya untuk berbicara tentang dirinya
ditunggui oleh Gandar. Dengan hati-hati dan sedikit gambaran
tentang kehidupan, Kiai Badra menyatakan kepada cucunya,
apakah ia bersedia untuk menerima keinginan Ki Gede yang ingin
mengambilnya menjadi menantu.
Meskipun Kiai Badra sudah mengambil jalan yang melingkar,
namun hal itu masih juga mengejutkan Iswari. Ia sama sekali
tidak memikirkan persoalan yang demikian, sehingga karena itu,
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
9 SH. Mintardja maka seolah-olah telah dihadapkan kepada satu persoalan yang
tidak diduganya. Karena itu, maka beberapa saat ia justru tidak dapat
mengucapkan sepatah katapun. Mulutnya bagaikan terbungkam
dan jantungnya segera berdegup semakin keras.
Kiai Badra mengerti perasaan cucunya. Karena itu ia tidak
dengan tergesa-gesa memaksa cucunya untuk menjawab.
"Pikirkan dengan tenang. Tetapi adalah wajar, bahwa pada
suatu saat kau akan menghadapi masalah seperti ini. Kau sudah
menjadi seorang gadis dewasa. Bukan saja umurmu, tetapi juga
ujud lahiriahmu. Karena itu, maka persoalan yang kau hadapi
sekarang adalah persoalan yang tidak dapat kau singkiri di dalam
kehidupan ini. Karena di dalam hidup seseorang, maka persoalan
ini akan dilintasinya. Tanpa menghadapi persoalan seperti ini,
maka tugas hidup ini masih belum lengkap karenanya.
Iswari masih tetap menunduk. Namun kakeknya kemudian berkata. "Baiklah
Iswari, pergilah ke bilikmu.
Mungkin malam ini kau dapat
merenunginya. Besok kau dapat
memberikan jawaban yang sudah kau pertimbangkan dengan masak-masak sehingga
langkah-langkah berikutnya
tidak akan digayuti oleh penyesalan yang akan selalu
mengganggu." Iswari pun kemudian meninggalkan kakeknya. Demikian ia sampai di dalam
biliknya, maka ia pun langsung
merebahkan dirinya di pembaringannya.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
10 SH. Mintardja Namun demikian, matanya sama sekali tidak dapat
dipejamkannya. Semalam suntuk Iswari dibebani oleh
pertanyaan kakeknya yang terasa sangat sulit untuk dijawabnya.
Tetapi dengan demikian, mau tidak mau ia harus mulai
menilai seorang laki-laki muda yang bernama Wiradana, anak Ki
Gede yang kelak akan menggantikan kedudukan sebagai Kepala
Tanah Perdikan Sembojan. Sebagai seorang gadis yang hidupnya lebih banyak terpisah
dari pergaulan yang besar, maka Iswari merasa sangat sulit untuk
menentukan sikap. Ia selalu disaput oleh pengertian sebagaimana
dikatakan oleh kakeknya. Bahwa pada suatu saat setiap orang
akan sampai pada suatu keadaan seperti yang dihadapinya.
Seseorang tentu akan kawin dan melanjutkan hadirnya anak-
anak manusia yang akan meneruskan sejarah hidupnya.
Karena itu, maka dalam kesulitan untuk menentukan sikap,
Iswari menjadi pasrah kepada nasibnya. Ia memang tidak ingin
memilih. Jika seorang laki-laki akan hadir di dalam hidupnya,
maka ia akan menerimanya dengan segala senang hati, asal
masih dalam batas-batas kewajaran.
Dengan demikian, ketika keesokan harinya, kakeknya
memanggilnya, maka Iswari telah memutuskan untuk
menyerahkan segala sesuatunya kepada kakeknya saja.
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengerti
sepenuhnya. Cucunya memang tidak akan menentukan sikap
apapun. Ia tentu akan bersandar kepada keputusan yang diambil
oleh Kiai Badra. Yang kemudian dibebani oleh perasaannya adalah Kiai Badra.
Ia tidak segera dapat menentukan sikap menghadapi persoalan
cucunya itu. Namun Gandar kemudian berkata, "Kiai, bukankah Kiai dapat
merasakan keikhlasan hati Ki Gede?"
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
11 SH. Mintardja "Ya," Kiai Badra mengangguk-angguk. Namun ia tidak
mengatakan jawabannya, karena cucunya ada di antara mereka.
Tetapi di dalam hati ia berkata, "Aku percaya kepada keputusan
hati Ki Gede. Tetapi aku kurang mengerti sikap anak laki-
lakinya." Namun dalam pada itu, maka akhirnya Kiai Badra pun telah
disudutkan oleh satu keadaan untuk mengambil sikap. Dengan
keragu-raguan yang masih saja bergejolak di dalam jantungnya,
maka ia pun kemudian berkata, "Baiklah Iswari. Jika kau tidak
berkeberatan, maka biarlah aku menghadap Ki Gede dan
menyampaikan jawaban."
Iswari tidak menjawab. Tetapi kepalanya yang tunduk benar-
benar merupakan suatu isyarat, bahwa ia memang tidak menolak.
Jawaban Kiai Badra sangat menggembirakan Ki Gede serta
merta maka ia pun telah memanggil Wiradana untuk
menyampaikan jawaban Kiai Badra tentang cucunya.
Wiradana mengangguk-angguk. Tidak banyak yang
dikatakannya kepada ayahnya, selain ucapan terima kasih.
Namun dalam pada itu, Kiai Badra rasa-rasanya dapat juga
membaca perasaan itu. Hambar.
Tetapi ia sudah menyatakan keputusannya. Tidak mungkin
baginya untuk menarik kembali, jika ia tidak ingin memutuskan
hubungannya dengan Ki Gede yang menerima hal itu sebagai satu
kegembiraan. Dengan demikian, maka pembicaraan di antara Ki Gede dan
Kiai Badra itu seakan-akan telah menjadi satu keputusan yang
sudah sependapat. Bahkan Ki Gede pun kemudian berkata, "Kiai
Badra. Buat apa kita menunggu terlalu lama. Kita sudah
sependapat. Anak-anak kita sudah bersedia. Maka sebaiknya
segalanya terjadi dengan cepat, sebelum umurku ditelan oleh
penyakitku." "Ki Gede justru bertambah baik," berkata Kiai Badra.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
12 SH. Mintardja "Tetapi aku sudah cacat. Keadaanku akan dapat berubah-ubah
dengan cepat. Hari ini aku nampak sehat. Besok mungkin
keadaanku akan menjadi sangat buruk dengan tiba-tiba. Karena
itu, mumpung aku masih berkesempatan, biarlah hari
perkawinan anak-anak kita itu dilangsungkan lebih cepat,"
berkata Ki Gede.

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiai Badra akhirnya menyerahkan segala-galanya kepada Ki
Gede. Karena keadaan tubuhnya, maka Ki Gede ingin segera
melihat, anak laki-laki satu-satunya itu hidup sebagai seorang
suami. "Aku sudah tidak pantas lagi untuk memimpin Tanah
Perdikan ini," berkata Ki Gede itu di dalam hatinya, "Aku harus
berani melihat kenyataan bahwa pimpinan Tanah Perdikan ini
harus berpindah tangan. Apalagi anakku sudah cukup dewasa
dan agaknya mempunyai kemampuan untuk melakukan
sebagaimana aku kehendaki, meskipun ada sedikit sifatnya yang
perlu mendapat teguran."
Dengan demikian, maka Ki Gede pun dalam waktu yang
pendek, telah mengundang orang-orang tua di Sembojan.
Agaknya Ki Gede benar-benar ingin melakukan niatnya secepat-
cepatnya. Sementara itu, Kiai Badra masih berusaha dengan segenap
kemampuannya untuk mengobati keadaan Ki Gede yang sudah
berangsur baik. Pada saat-saat terakhir, tangan dan kakinya
sudah dapat bergerak. Kemudian perlahan-lahan Kiai Badra telah
dapat menyaksikan Ki Gede itu mencoba berdiri meskipun masih
harus bertelekan tongkat.
"Tuhan Maha Besar," desis Ki Gede itu pada saat menjelang
hari-hari perkawinan anaknya. "Aku akan mendapat seorang
menantu sebagaimana aku kehendaki, sementara itu keadaan
tubuhku menjadi berangsur baik."
Sebenarnyalah Ki Gede sudah mulai dapat menapakkan
kakinya dan mulai melangkah. Meskipun kakinya masih terasa
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
13 SH. Mintardja sangat lemah, tetapi harapan untuk dapat mempergunakan
kakinya itu menjadi semakin besar, meskipun tidak sebagaimana
semula. Pada saat-saat Ki Gede benar-benar sudah dapat berjalan
meskipun harus bertongkat, maka saat-saat perkawinan anak Ki
Gede dengan Iswari itu pun akan segera berlangsung. Rumah Ki
Gede di Sembojan telah mulai dibersihkan. Di halaman belakang,
orang-orang telah membelahi kayu sebagai persiapan untuk kayu
bakar. Dinding yang mulai kendor telah dibetulkan. Sementara
atap yang tiris telah diperbaiki. Beberapa orang memperbaiki
pagar bukan saja halaman tetapi juga kebun belakang.
Namun dalam pada itu, wajah Wiradana sendiri nampaknya
masih saja hambar. Tidak ada gairah yang menyala di dalam
dadanya menjelang hari perkawinannya. Bahkan seperti juga
Iswari, Wiradana itu cenderung untuk melakukan perkawinan itu
sebagaimana ia menjalani satu kewajiban. Tidak ada ungkapan
kegembiraan dan pandangan yang hidup bagi masa depan.
Meskipun dengan nalar keduanya dapat menerima keinginan
Ki Gede itu, tetapi seakan-akan perkawinan itu akan berlangsung
tanpa jiwa. Tetapi Ki Gede tidak begitu menghiraukan keadaan itu.
Baginya kedua orang yang berkepentingan sudah menyatakan
kesediaan mereka. Apalagi pada saat-saat terakhir, Ki Gede
benar-benar telah mampu berjalan dan mempergunakan
tangannya sebagaimana sewajarnya. Tetapi tangan dan kaki itu
tidak lagi mampu mengungkapkan ilmunya yang dahsyat, karena
kaki dan tangannya itu menjadi terlalu lemah untuk mendukung
kemampuannya yang sangat tinggi.
Namun demikian Ki Gede tidak terlalu banyak menghiraukan
lagi. Ia ingin melihat anaknya kawin dengan seorang gadis yang
memiliki kelebihan dari kebanyakan gadis. Bahkan tidak seorang
pun gadis Sembojan yang memiliki kepandaian dan kecerdasan,
apalagi ketrampilan seperti Iswari. Dari menyapu halaman,
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
14 SH. Mintardja mengambil air, menumbuk padi, tetapi juga memasak dan
membersihkan isi rumah dan juga kemampuan untuk bermain
rinding dengan gending-gending ngelangut serta membaca kitab
berisi ceritera-ceritera dan kidung puji-pujian.
Ketika saatnya tiba, maka Tanah Perdikan Sembojan telah
menjadi ramai di siang dan malam hari sampai tiga hari tiga
malam. Hampir di setiap padukuhan diselenggarakan keramaian
dengan pertunjukan-pertunjukan. Di padukuhan induk
suasananya benar-benar sangat meriah. Mereka ikut bergembira
tanpa banyak mengetahui persoalannya. Sementara orang-orang
tua mengalir tidak putus-putusnya ke rumah Ki Gede untuk
menyatakan kegembiraannya.
Ki Gede sama sekali tidak mau mengecewakan mereka.
Dengan wajah yang jernih diterimanya tanda ikut bergembira
atas perkawinan anak Kepala Perdikan satu-satunya itu. Kelapa,
beras ketan, sayur-sayuran dan bermacam-macam barang hasil
kerajinan. Kain tenun yang paling baik yang dibuat oleh orang-
orang Sembojan, terompah dari kulit dan beberapa jenis barang
yang lain. Perkawinan antara Wiradana dan Iswari benar-benar
merupakan satu perkawinan yang meriah.
Dalam pada itu, bagaimana pun juga, kemeriahan saat-saat
perkawinan itu berpengaruh juga terhadap kedua orang anak
muda itu. Meskipun sebelumnya perkawinan itu terasa hambar
bagi mereka, tetapi dalam kemeriahan keramaian itu, wajah
keduanya mulai nampak cerah. Wiradana menerima kunjungan
anak-anak muda dengan gurau yang segar dan tawa yang lepas.
Sementara Iswari di dalam biliknya nampak tersenyum renyah,
meskipun kepalanya lebih banyak menunduk daripada
memandang orang-orang yang mengerumuninya.
Meskipun Iswari bukan gadis Sembojan, tetapi rasa-rasanya ia
sudah menjadi akrab dengan kehidupan di Tanah Perdikan itu.
Agak meleset dugaan kakeknya, bahwa kehidupannya
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
15 SH. Mintardja mengasingkan diri akan menghambat usaha cucunya untuk
menyesuaikan diri dengan kehidupan di Tanah Perdikan itu.
Meskipun demikian, berbeda dengan Ki Gede yang tenggelam
dalam kegembiraan, maka Kiai Badra berusaha untuk
memperhatikan keadaan cucunya dengan seksama.
"Bagaimana menurut pendapatmu Gandar?" bertanya Kiai
Badra. "Meskipun Iswari menerima keinginan Ki Gede tetapi
nampaknya segalanya hanya pada permukaannya saja."
"Tetapi ia tidak merasa terpaksa Kiai," jawab Gandar.
"Mungkin pada saat itu, ia tidak dapat menolak karena berbagai
pertimbangan. Tetapi setidak-tidaknya ia tidak merasa Kiai
memaksanya. Bahkan menurut pengamatanku, pada saat-saat
terakhir, anak itu sudah mulai nampak gembira. Perlahan-lahan
ia mampu menyesuaikan dirinya."
"Syukurlah," Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. "Aku
semula merasa cemas, bahwa anak itu sulit untuk menyesuaikan
diri." "Tetapi ternyata tidak demikian Kiai. Iswari berhasil
menyesuaikan dirinya. Ia benar-benar akan menjadi seorang
perempuan yang memiliki kelebihan dari perempuan-perempuan
lain di Sembojan, sehingga ia akan mempunyai wibawa yang
besar sebagai istri seorang Kepala Tanah Perdikan," berkata
Gandar. "Mudah-mudahan segalanya terjadi seperti yang kau katakan,"
desis Kiai Badra. Sebenarnyalah perkawinan antara Wiradana dan Iswari itu
terjadi dengan sangat meriah. Ki Gede seakan menyatakan
syukur atas kesembuhannya meskipun tidak dapat pulih seperti
sediakala. Demikianlah, maka saat-saat kedua orang pengantin itu
dipertemukan, halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan
yang luas itu pun menjadi penuh sesak. Orang-orang Sembojan
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
16 SH. Mintardja ingin melihat sepasang pengantin itu. Beberapa orang di antara
mereka berdesis dengan penuh kekaguman, "Benar-benar
pasangan yang serasi. Wiradana dalam pakaian penganten benar-
benar nampak seperti Arjuna."
"Ya," sahut yang lain, "Istrinya seperti Sumbadra."
"Benar. Meskipun agak kehitam-hitaman," berkata yang lain
lagi. "Hitam manis. He bukankah Sumbadra juga berkulit hitam
manis sehingga ia disebut Rara Ireng?" berkata orang yang
pertama. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Menurut penglihatan
mereka pasangan pengantin itu benar-benar pasangan yang
pantas. Bukan saja ujudnya, tetapi setiap orang Sembojan
akhirnya mengetahui, bahwa Iswari memiliki kepandaian yang
tidak dimiliki perempuan pada umumnya di Sembojan.
Namun dalam pada itu selagi orang-orang Sembojan sedang
merayakan hari perkawinan putra tunggal Ki Gede Sembojan,
maka dua orang yang tidak dikenal sehari-hari di Sembojan telah
memasuki keramaian di halaman. Tidak seorang pun yang
memperhatikan. Meskipun halaman rumah Ki Gede menjadi
terang benderang seperti siang oleh obor yang terpasang di
banyak tempat, tetapi orang yang berdesakan itu sama sekali
tidak memperhatikan siapa saja yang berada di sebelahnya.
"Bukan main," desis perempuan, salah seorang dari kedua
orang itu. Kawannya seorang laki-laki, mengangguk-angguk. Katanya,
"Satu keramaian yang sangat meriah. Tetapi anak itu memang
seorang yang cerdik. Dalam keramaian seperti ini untuk
merayakan hari perkawinannya, ia tidak lupa mengerahkan
pengawal-pengawal Tanah Perdikan untuk mengamati keadaan
sampai ke ujung-ujung padukuhan yang terpencil sekalipun."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
17 SH. Mintardja "Ya, jawab yang perempuan. Tetapi itu adalah wajar sekali.
Wiradana adalah anak tunggal," jawab perempuan itu.
Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka memperhatikan
kedua orang mempelai yang sedang dipertemukan dengan
upacara yang utuh. "Perhatikan benar-benar," berkata yang laki-laki. "Pengantin
laki-laki itu adalah Wiradana. Ia adalah anak Ki Gede Sembojan
yang telah membunuh pamanmu, Kalamerta."
Perempuan itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia
berdesis, "Anak itu memang tampan."
"Tampan atau tidak tampan, kau tidak berurusan," berkata
yang laki-laki. "Tugasmu membinasakannya dengan cara apa
saja. Syukur kau akan dapat membunuh ayahnya. Tetapi agaknya
sulit untuk melakukannya. Pamanmu pun tidak berhasil. Bahkan
ia telah terbunuh. Apalagi sekarang nampaknya ia sudah menjadi
agak baik. Dan ternyata ia memang sudah dapat berdiri
mendampingi anak laki-lakinya."
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
akhirnya ia mengangguk- angguk. Katanya, "Aku akan
membunuhnya. Bukan satu kesulitan bagiku. Aku kira,
kemampuannya belum setingkat dengan kemampuanku. Dimana pun aku akan dapat melakukannya." "Tetapi hati-hati. Ia benar-
benar seorang yang memiliki
akal yang cerah. Ketika orang-
orang pamanmu siap untuk membalas dendam dan Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
18 SH. Mintardja bersiap-siap di dalam hutan sebelah Tanah Perdikan ini, ternyata
bahwa Wiradana dan para pengawal Tanah Perdikan inilah yang
telah memasuki barak dari para pengikut pamanmu. Bukan
sebaliknya, sehingga orang-orang yang mendendam itu justru
telah dihancurkan sama sekali," berkata yang laki-laki.
Perempuan itu mencibirkan bibirnya. Katanya, "Aku tidak
akan membawa seorang pun untuk membantuku. Aku sanggup
melakukannya sendiri. Setelah selapan."
"Jangan berkata begitu," jawab yang laki-laki. "Kita akan
merencanakan usaha ini sebaik-baiknya. Biarlah Wiradana
menikmati hari-hari perkawinannya. Tetapi jika selapan telah
lewat, maka kita akan bertindak."
"Aku akan menunggu sampai selapan," geram perempuan itu.
"Baiklah. Marilah kita menyingkir," ajak yang laki-laki.
Tetapi perempuan itu menjawab, "Tunggu. Aku masih ingin
melihat wajahnya." "Apakah kau tidak akan dapat mengenalnya?" bertanya yang
laki-laki. "Bukan tidak mengenalnya. Aku akan selalu mengingat wajah
itu. Justru karena laki-laki itu terlalu tampan. He, aku berkata
dengan jujur. Adakah laki-laki diantara kita yang setampan anak
muda itu" Beruntunglah perempuan yang menjadi istrinya.
Tetapi kasihan. Selapan hari lagi, ia akan menjadi janda," sahut
perempuan itu. Laki-laki yang berdiri disampingnya mengerutkan keningnya.
Namun ia pun kemudian bergumam, "Kau jangan terpancang
kepada ketampanan wajah laki-laki muda itu. Kau harus
membunuhnya. Ia sudah membunuh semua kemungkinan dan
harapan kita bagi masa depan. Ayahnya telah membunuh
pamanmu." "Jangan cemas. Laki-laki itu akan menjadi mayat sesudah
selapan hari. Aku tidak sampai hati merampas kebahagiaan
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
19 SH. Mintardja istrinya itu sebelum ia menikmati perkawinannya," jawab
perempuan itu. "Karena itu, aku memberinya waktu."
"Terserah kepadamu. Tetapi laki-laki itu harus mati karena
kesalahan ayahnya. Bahkan jika mungkin ayahnya pun harus
mati," geram laki-laki yang berdiri disebelah perempuan itu.
"Kau hanya mengucapkannya. Tetapi aku yang akan
melakukannya harus memperhitungkan semua kemungkinan
yang dapat terjadi atas usaha ini," jawab perempuan itu.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Termasuk wajahnya yang tampan?" sahut laki-laki itu.
Perempuan itu tersenyum. Katanya, "Jangan cemas."
Demikianlah, maka kedua orang itu pun kemudian pergi
meninggalkan tempat keramaian itu. Mereka menyelusuri
lorong-lorong di dalam lingkungan padukuhan induk. Namun
sikap mereka sama sekali tidak mencurigakan sehingga mereka
kemudian hilang dari kesibukan Tanah Perdikan Sembojan.
Di tengah-tengah pategalan yang sepi, keduanya telah
menyembunyikan dua ekor kuda. Demikian mereka mengambil
kuda-kuda mereka, maka sejenak kemudian kuda-kuda itu pun
telah berpacu menjauh dari Tanah Perdikan Sembojan.
"Aku harus memancingnya untuk dapat berhadapan dengan
seorang dengan seorang," berkata perempuan itu. "Aku tidak
dapat membunuhnya di antara pengawalnya."
"Aku jadi curiga," berkata laki-laki itu, "Jika kau bertemu
dengan laki-laki muda itu seorang dengan seorang maka yang
terjadi akan lain." Perempuan itu tertawa. Katanya, "Nalarmu memang sangat
picik. Kau tahu siapa aku he" Atau barangkali aku harus
membunuhmu lebih dahulu?"
"Aku hanya ingin mengingatkanmu. Aku tidak bermaksud
apa-apa," jawab laki-laki itu.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
20 SH. Mintardja Perempuan itu masih tertawa. Namun kemudian katanya,
"Sudahlah. Selapan hari adalah batas yang pantas yang aku
berikan bagi kesenangan perempuan yang menjadi isterinya itu."
Laki-laki itu yang menyertainya itu tidak menjawab. Kuda itu
berlari terus dalam gelapnya malam. Mereka memilih jalan-jalan
yang tidak memasuki padukuhan, agar mereka tidak bertemu
dengan orang-orang yang sedang bersuka ria, namun juga para
pengawal yang berada di gardu-gardu.
Dengan demikian, maka keduanya itu pun telah berhasil
keluar dari Tanah Perdikan Sembojan tanpa rintangan apapun
juga, sementara itu, keramian di Sembojan pun berlangsung
dengan aman dan tidak mengalami gangguan apapun juga.
Yang paling bergembira dalam upacara itu adalah justru Ki
Gede Sembojan. Demikian upacara perkawinan selesai dan para
tamu serta rakyat Sembojan yang berkumpul di halaman mulai
meninggalkan tempat keramaian, maka seakan-akan tidak lagi
dapat menahan diri, Ki Gede telah menemui anak laki-lakinya
beserta istrinya. Dengan lancar Ki Gede berkata, "Anak-anakku. Rasa-rasanya
tugasku benar-benar telah selesai. Aku sudah mengantarkan
kalian sampai ke batas. Karena itu, maka sudah sewajarnya, jika
aku menyingkir dari segala kehadiranku. Bahkan seandainya
maut pun datang menjemput, aku sama sekali sudah tidak
menyesal." "Ah, jangan berkata begitu," jawab Wiradana.
"Aku berkata sebenarnya. Aku berkata dari dasar hati,"
berkata ayahnya pula. Lalu, "Karena itu, dalam waktu dekat, aku
ingin menyerahkan semua hak dan kewajibanku kepadamu,
Wiradana. Bersiaplah untuk menerimanya. Aku percaya
kepadamu, bahwa kau akan dapat melakukannya. Kau
mempunyai ketangkasan untuk bertindak, sementara istrimu
akan dapat membantumu. Ia memiliki pengetahuan yang dapat
dipelajarinya dari kitab-kitab yang dibacanya. Jika kau tidak
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
21 SH. Mintardja sempat membaca kitab-kitab itu, maka biarlah istrimu
melakukannya. Dalam tembang, maka isi kitab itu akan dapat
semakin merasuk ke tulang sungsum."
Wiradana tidak menjawab. Ia tidak mengerti, perasaan apakah
yang sebenarnya sedang bergejolak. Apakah sebenarnya ia
menjadi senang atas sikap ayahnya, atau sebaliknya. Tetapi rasa-
rasanya memang ada satu keinginan untuk mencoba
mengendalikan pemerintahan di Tanah Perdikan itu sepenuhnya.
Ternyata bahwa yang dikatakan oleh Ki Gede itu bukan
sekadar terloncat saja dari sela-sela bibirnya. Di hari berikutnya,
setelah hari perkawinan anaknya, ia sudah mulai merencanakan
satu upacara penyerahan segala hak dan kewajibannya sebagai
Kepala Tanah Perdikan kepada anak laki-lakinya. Apalagi Ki
Gede merasa bahwa tubuhnya telah menjadi cacat, sehingga tidak
mungkin baginya untuk dapat melakukan tugas sebaik-baiknya
seandainya ia berusaha bertahan untuk menjadi Kepala Tanah
Perdikan. Karena itulah, maka di hari-hari berikutnya, Ki Gede sering
memanggil orang-orang tua dan para bebahu Tanah Perdikan
Sembojan untuk membicarakan persoalan yang
direncanakannya, menyerahkan segala hak dan kewajibannya
kepada anak laki-lakinya yang sudah melaksanakan salah satu
kewajiban hidupnya, kawin.
Bagaimanapun juga, hari perkawinan itu mempunyai
pengaruh juga atas Wiradana dan Iswari. Karena keduanya
sebelumnya belum pernah tertarik kepada orang-orang lain,
maka kehadiran mereka sebagai suami istri itu pun akhirnya
telah menempatkan mereka ke dalam satu kenyataan, bahwa
keduanya memang sepasang suami istri. Karena itulah, maka atas
landasan kenyataan itu, maka mereka pun berusaha untuk dapat
berbuat sebaik-baiknya sebagai dua orang yang telah terikat
dalam perkawinan. Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
22 SH. Mintardja Dalam pada itu, di luar penglihatan siapapun juga, bahkan Ki
Badra, Gandar merasa bahwa hidupnya telah menjadi terkoyak.
Dalam sekali dipusat jantungnya, tersimpan secercah harapan
di dalam hidupnya atas seorang gadis yang tinggal bersamanya di
dalam padepokan yang terpencil. Tetapi Gandar merasa dirinya
terlalu kecil. Ia merasa dirinya bukan apa-apa sehingga karena
itu, maka yang tersimpan di dalam hatinya akan tetap tersimpan.
Ketika ia melihat Iswari duduk bersanding dengan anak
Kepala Tanah Perdikan Sembojan, maka hatinya terasa meronta.
Tetapi dengan nalarnya ia berusaha untuk mengendalikannya.
"Apa yang dapat aku lakukan?" dengan pertanyaan itu, maka
Gandar hanya dapat menatap gemerlapnya bintang-bintang di
langit pada malam hari. Betapa ia berusaha untuk menahan gejolak hatinya, ketika Ki
Badra kemudian memanggilnya dan bertanya kepadanya,
"Bagaimana menurut pendapatmu, Setelah dilangsungkannya
perkawinan itu?" Gandar berusaha untuk tersenyum. Tanpa menghiraukan
pedih di hatinya ia berkata, "Nampaknya keduanya berusaha
untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan itu. Kiai, aku yakin,
bahwa perkawinan itu akan dapat memberikan kebahagiaan bagi
Iswari dan Wiradana."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan.
Yang dapat kita lakukan kemudian adalah berdoa, agar keduanya
mendapat terang di hati dalam ikatan perkawinan mereka."
Gandar mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia
bergumam, "Hari depan mereka akan menjadi cerah," Lalu
katanya pula, "Bukankah Ki Gede sudah bersiap-siap untuk
menyerahkan segala hak dan kewajibannya sebagai Kepala Tanah
Perdikan kepada Wiradana."
"Itulah yang aku cemaskan," sahut Kiai Badra. "Menurut
pengamatanku, Wiradana masih terlalu muda. Mungkin karena
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
23 SH. Mintardja Ki Gede merasa dirinya menjadi cacat, maka ia tergesa-gesa
melakukan penyerahan itu. Namun sebelumnya, seandainya Ki
Gede masih tidak berkeberatan memimpin Tanah Perdikan ini ia
masih akan dapat melakukan tugasnya dengan baik. Hal-hal yang
menyangkut kegiatan di medan, biarlah dilakukan oleh Wiradana
dengan petunjuk-petunjuknya. Ki Gede masih mempunyai
kekuasaan untuk mengatur. Jika ada salah langkah dari
Wiradana, Ki Gede masih mempunyai wewenang untuk
meluruskannya." "Bukankah Wiradana juga sudah masak untuk menerima
tugas itu?" bertanya Gandar.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Jawabnya, "Mungkin sekali.
Tetapi mungkin pula karena umurnya yang masih muda, maka
ada hal-hal yang kadang-kadang terasa kurang mapan. Mudah-
mudahan sejalan dengan meningkatnya umur Wiradana, maka ia
akan menemukan keserasian sikap di dalam hidupnya."
"Kiai tidak perlu mencemaskannya," sahut Gandar, "Bukankah
hal itu akan terjadi dengan sendirinya."
Kiai Badra tidak menjawab. Tetapi masih nampak sesuatu
yang buram pada sorot matanya.
Sementara itu, diluar Tanah Perdikan Sembojan di dalam
sebuah rumah besar dan berhalaman luas, nampaknya memiliki
perabotan terpilih dan mahal, beberapa orang sedang berkumpul.
Mereka dengan sungguh-sungguh sedang berbincang-bincang
tentang seseorang yang bernama Wiradana, anak Kepala
Perdikan Sembojan yang baru saja melangsungkan hari
perkawinannya. "Kau terlalu berbaik hati Warsi," berkata seorang laki-laki
yang berambut putih, "Kenapa kau menunggu selapan?"
Perempuan yang dipanggil Warsi itu tertawa. Katanya, "Ayah
yang sama sekali tidak berperikemanusiaan. Selapan hari itu pun
sebenarnya terlalu pendek bagi sepasang pangantin baru."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
24 SH. Mintardja "Ayah Wiradana itu sama sekali tidak memikirkan apapun
juga pada saat ia membunuh pamanmu. Ki Gede Sembojan sama
sekali tidak menaruh belas kasihan kepada bibimu yang baru
beberapa hari dikawininya. Ki Gede juga tidak menghiraukan
bayi yang baru saja dilahirkan oleh bibimu yang satu lagi,"
berkata orang tua itu. Tetapi Warsi tertawa berkepanjangan. Katanya, "Itu salah
paman sendiri. Ia baru beberapa hari kawin dengan bibi yang ke
sembilan pada saat bibi yang keenam melahirkan. Sementara itu,
paman masih juga berkeliaran di Tanah Perdikan Sembojan,
sementara anaknya yang baru lahir sebenarnya memerlukan
kehadirannya. Selebihnya Ki Gede Sembojan itu tidak
mengetahuinya." Orang tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Jadi kau tetap pada kebaikan hatimu untuk memberi
kesempatan perkawinan itu berlangsung sampai selapan?"
"Biarlah. Sementara itu, aku akan sempat menyelidiki
kemungkinan yang paling baik untuk memancing Wiradana
keluar dari kubunya dan berhadapan dengan aku sendiri. Aku
akan menunjukkan cara yang paling jantan untuk
membunuhnya, sebagaimana ayahnya membunuh paman
Kalamerta," berkata Warsi.
Orang itu pun mengangguk-angguk. Katanya, "Siapa di antara
orang-orang ini yang akan ikut bersamamu ke Sembojan?"
"Aku merencanakan untuk pergi sendiri agar tidak terlalu
banyak menarik perhatian. Aku akan leluasa berada di Sembojan.
Ada beberapa pasar yang cukup besar di Sembojan. Dan mungkin
aku akan dapat berkeliling padukuhan dan keluar masuk
halaman dengan caraku," berkata perempuan itu.
"Cara apa yang akan kau pakai?" bertanya ayahnya.
"Aku dapat menjadi seorang penjual apa saja" Atau mungkin
dapat menjadi penebas melinjo. Aku akan membeli melinjo yang
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
25 SH. Mintardja masih ada di batangnya atau macam-macam buah yang lain. Atau
cara lain yang lebih baik," berkata Warsi.
"Terserah kepadamu. Tetapi tugas itu akan dapat kau lakukan
semakin cepat semakin baik," berkata ayahnya.
Namun tiba-tiba saja Warsi tersenyum. Katanya, "Ada cara
yang paling menarik. Justru dengan menarik perhatian sebanyak-
banyaknya. Tetapi rasa-rasanya malu juga melakukannya.
Beberapa hari aku pikirkan. Namun akhirnya aku segan
melakukannya." "Cara yang mana?" bertanya ayahnya.
"Dengan ngamen berkeliling Tanah Perdikan Sembojan. Aku
menjadi penari, dan beberapa orang menjadi pemukul gamelan,"
berkata Warsi. Namun segera dilanjutkan, "Tetapi aku tidak ingin
mempergunakan cara ini."
Sesaat pertemuan itu menjadi hening. Namun tiba-tiba
ayahnya berkata, "Aku rasa justru cara itulah yang paling baik.
Warsi, dengan berkeliling Tanah Perdikan Sembojan sebagai
pembeli dan mungkin membeli mlinjo di pohonnya akan mudah
menarik perhatian. Mereka kadang-kadang akan bertanya, kau
datang dari mana" Kau akan sulit untuk menjawabnya, apalagi
kau hanya sendiri. Tetapi dengan ngamen seperti itu, kau dapat
menjawab tempat yang jauh, yang tidak dikenal oleh orang-orang
Sembojan." Warsi mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya,
"Tetapi aku malu juga. Meskipun aku dapat juga menarik, tetapi
ditonton dan dikerumuni oleh banyak orang dengan cara yang
kasar rasa-rasanya merinding juga. Apalagi dengan kebiasaan
anak-anak muda yang ugal-ugalan."
"Tetapi bukankah itu hanya satu cara" Jika kau sempat
menarik perhatian keluarga Ki Gede, maka kau tentu akan dapat
menyelidiki kehidupan Wiradana. Bukan hanya kau sendiri,
tetapi para penabuh gamelan yang mengikutimu akan dapat
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
26 SH. Mintardja membantumu tanpa menarik perhatian sebagaimana jika kau
pergunakan cara lain," berkata ayahnya.
Bahkan seorang yang pernah mengikuti Warsi menyusup ke
halaman rumah Ki Gede pada saat Wiradana kawin berkata, "Aku
condong untuk menempuh cara lain. Cara yang paling akhir."
Ternyata beberapa orang justru menganjurkan agar Warsi
mempergunakan cara yang paling akhir. Dengan cara itu, mereka
akan dapat berada di Tanah Perdikan Sembojan untuk waktu
yang terhitung lama. Mereka akan dapat mohon untuk bermalam
di banjar barang tiga atau empat hari. Sementara itu, Warsi akan
dapat mempergunakan waktunya yang tersisa, setelah ngamen,
untuk mencari cara jantan seperti yang di inginkannya, karena
Warsi tidak mau membunuh Wiradana dengan cara yang licik.
"Aku akan menunjukkan bahwa darah keluarga Kalamerta


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan pengecut. Dan aku ingin melihat, bagaimana Wirada itu
mati dalam ketakutan dan dalam kekecewaan, bahwa yang
membunuhnya adalah seorang perempuan," berkata Warsi
berkali-kali apabila ia mengatakan bagaimana ia akan
membunuh Wiradana. Namun dalam pada itu, agaknya beberapa orang telah
menganjurkan Warsi untuk berangkat ke Sembojan dalam
sebuah rombongan yang cukup. Lima orang akan mengiringinya
sebagai penabuh dan ia sendiri akan menjadi tledeknya.
Atas desakan-desakan itu, akhirnya Warsi pun menerima cara
yang sebenarnya tidak disukainya. Tetapi ia masih juga berkata,
"Tetapi jika pada satu saat aku memukul laki-laki yang kasar
hingga pingsan, jangan menyalahkan aku."
"Kau dapat menjaga perasaanmu. Biarlah orang lain
melakukannya, sehingga sikapmu tidak akan mengundang
pertanyaan," berkata ayahnya.
"Jadi diperlukan seseorang yang akan dapat menakuti
penonton?" bertanya Warsi.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
27 SH. Mintardja "Ya. Tetapi jangan memancing persoalan, sehingga orang di
seluruh padukuhan akan mengeroyok kalian," berkata ayahnya
pula. Warsi tersenyum. Namun kemudian katanya, "Jika kalian
memang sependapat, baiklah aku berusaha untuk menyesuaikan
diri. Dalam satu dua hari, aku akan memperbaiki caraku menari,
sementara itu dapat dipersiapkan seperangkat gamelan untuk
kepentingan itu. "Jangan cemas," jawab orang yang pernah menyertainya ke
Tanah Perdikan Sembojan, "Aku akan menjadi tukang
gendangnya. Kelompok kita akan menjadi kelompok yang serasi.
Selain tukang gendang aku juga mampu menakut-nakuti orang."
Demikianlah, maka mereka pun sepakat untuk melakukan
cara itu. Warsi pun telah berusaha untuk memperbaiki tata gerak
tarinya dan mencoba meningkatkan kemampuannya
melontarkan tembang, sementara sekelompok kecil laki-laki telah
berlatih menjadi pemukul gamelan yang akan mengiringi Warsi
ngamen di daerah Tanah Perdikan Sembojan.
Menjelang selapan hari dari hari perkawinan Wiradana, maka
sekelompok kecil orang-orang yang menyimpan dendam di dalam
hatinya, telah mulai melakukan tugas mereka. Agar tidak menarik
perhatian orang-orang yang pernah mengenali mereka dalam
hidup mereka sehari-hari, maka mereka meninggalkan
padukuhan mereka di malam hari, pada saat orang-orang tidur
lelap. Namun, demikian mereka sampai ke daerah yang tidak
mereka kenal dalam kehidupan sehari-hari, maka mereka pun
mulai melakukan sebagaimana mereka rencanakan. Bahkan
sebelum mereka memasuki Tanah Perdikan Sembojan, mereka
sudah ngamen, justru untuk menghindari pertanyaan tentang
gamelan yang mereka bawa.
Ternyata bahwa usaha mereka cukup berhasil. Bukan saja
kelompok kecil itu tidak dicurigai oleh orang-orang di padukuhan
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
28 SH. Mintardja yang mereka lalui, tetapi mereka benar-benar telah mendapat
uang. Sebenarnyalah Warsi adalah seorang perempuan yang sangat
cantik. Dengan bekal kemampuannya menari, senyumnya dan
tingkah lakunya, maka Warsi benar-benar telah menarik
perhatian setiap laki-laki yang melihatnya.
Karena itulah, maka rombongan penari yang ngamen itu pun
telah mendapat tanggapan yang sangat hangat dari orang-orang
di padukuhan-padukuhan yang dilaluinya. Selain Warsi memang
seorang yang cantik dengan kepandaiannya ternyata cukup baik
sebagai seorang yang sedang ngamen.
Tetapi dengan demikian, perjalanan mereka ke Tanah
Perdikan Sembojan menjadi semakin lambat. Mereka tidak dapat
menolak, jika seseorang memanggilnya dan meminta rombongan
itu bermain di halaman rumahnya. Bahkan kadang-kadang Warsi
harus bermain di sudut-sudut padukuhan untuk memenuhi
keinginan beberapa orang untuk menarik janggrung yang agak
kasar. Namun Warsi tidak ingin kelompok kecil itu dicurigai,
sehingga karena itu, maka permintaan itu pun harus
dipenuhinya. Ngamen itu sendiri ternyata telah membawa pengalaman
tersendiri bagi Warsi. Di beberapa tempat ia sempat melihat,
beberapa orang laki-laki yang kasar justru telah saling berkelahi
karena mereka ingin dan berebut dahulu untuk menari bersama
Warsi. Mereka semula hanya saling dorong dan saling berebut
sampur. Namun akhirnya mereka telah benar-benar berkelahi.
Karena itulah, maka beberapa orang perempuan di
padukuhan-padukuhan menjadi prihatin. Apalagi yang suaminya
telah menjadi tergila-gila tledek yang ngamen di padukuhan itu.
Tetapi ada satu hal yang membuat perempuan-perempuan itu
berbesar hati. Warsi menolak setiap usaha untuk
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
29 SH. Mintardja memperkenalkan diri melampaui batas-batas antara penonton,
sejauh-jauhnya menari bersama dengan mereka apabila mereka
ngibing dalam tarian janggrung.
Dengan demikian, maka perjalanan kelompok kecil itu
menjadi lebih lambat dari yang mereka perhitungkan. Baru
beberapa hari kemudian mereka mendekati Tanah Perdikan
Sembojan, dan kemudian memasukinya.
"Jangan melakukan tari yang kasar," berkata salah seorang
penabuh, "Kita harus menghindari permainan janggrung. Karena
jika terjadi keributan seperti yang pernah kita alami, beberapa
orang laki-laki saling berkelahi, maka kita akan dapat diusir dari
Tanah Perdikan yang tertib ini."
Warsi mengangguk-angguk. Ia pun sependapat, bahwa di
Tanah Perdikan Sembojan ia akan menari lebih sopan dan baik
daripada sepanjang perjalanan yang telah ditempuhnya.
Sebenarnyalah, pengalaman di sepanjang jalan itu memberikan
kegembiraan tersendiri kepada Warsi. Meskipun ia sendiri tidak
menunjukkan, bahwa jika ia sedikit saja melepaskan ilmunya
maka laki-laki kasar yang saling berkelahi itu akan menjadi
pingsan karenanya. Dengan demikian Warsi telah berhasil
mengekang dirinya dan benar-benar berperan sebagai seorang
tledek yang cantik dan menarik.
Demikianlah, rombongan kecil penari dan pengiringnya itu
telah memasuki Tanah Perdikan Sembojan. Sebelum kelompok
itu, memang pernah datang kelompok-kelompok seperti itu.
Namun kelompok-kelompok pengamen itu memang agak kurang
mendapat perhatian di Tanah Perdikan Sembojan.
Namun ketika untuk pertama kalinya Warsi kebar di sudut
sebuah padukuhan, maka tanggapan para penontonnya agak lain.
Penari yang satu ini menari dengan cara yang jauh lebih baik dari
penari-penari yang pernah mereka lihat. Dengan luruh Warsi
membawakan tari-tariannya dalam irama yang lambat. Sama
sekali bukan sebuah tarian yang dapat menarik penontonnya
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
30 SH. Mintardja untuk memasuki arena dalam irama yang panas dan bahkan
kadang-kadang membakar. Karena itulah, maka rombongan kecil yang membawa hanya
seorang penari itu tidak terlalu banyak mengundang persoalan.
Mereka yang telah menyaksikan Warsi menari menganggap
bahwa penari yang satu ini adalah seorang penari yang baik.
Bukan saja tingkah lakunya, tetapi juga tariannya. Sehingga
dengan demikian, kelompok kecil itu tidak menumbuhkan satu
keinginan dari orang-orang Tanah Perdikan Sembojan untuk
menolaknya. "Agaknya kelompok ini berbeda dengan kelompok-kelompok
lain yang pernah lewat di Tanah Perdikan ini," berkata salah
seorang yang telah menonton rombongan Warsi yang kebar di
sudut padukuhan. "Ya," jawab yang lain, "Nampaknya mereka benar-benar
sekadar mencari makan tanpa niat buruk seperti rombongan-
rombongan lain yang dapat merusak rumah tangga."
Tanggapan yang baik itu ternyata memang sangat
menguntungkan bagi Warsi. Ketika ia kemudian kebar lagi di
tempat lain, maka ia pun telah mendapat tanggapan yang sama.
Warsi menari dengan sikap yang sopan dan baik. Bahkan seakan-
akan ia sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya yang
selalu tunduk. Tari-tariannya pun tidak pernah diiringi dengan
gending-gending panas sebagaimana kebanyakan rombongan
tledek yang lain. Karena itulah, maka ketika pengendangnya, yang menjadi
pemimpin dari rombongan itu mohon kepada seorang bekel di
sebuah padukuhan dalam daerah kekuasaan Tanah Perdikan
Sembojan untuk bermalam di Banjar, maka atas pertimbangan
beberapa orang bebahu padukuhan itu, maka bekel itu pun sama
sekali tidak berkeberatan.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
31 SH. Mintardja Kepada bekel itu, pengendang yang menjadi pemimpin
rombongan itu pun mengaku, bahwa Warsi adalah anak gadisnya.
Mereka melakukan ngamen itu justru karena terpaksa sekali.
"Daerah kami telah dilanda kekeringan. Musim kemarau yang
terlalu panjang menimbulkan paceklik yang sulit diatasi. Karena
itu maka untuk menyambung hidup kami, kami telah melakukan
cara yang barangkali tidak terhormat ini," berkata pengendang
itu kepada Ki Bekel. "Terhormat atau tidak, tergantung kepada kalian sendiri. Jika
kalian benar-benar sekadar menyambung hidup, tanpa
menimbulkan persoalan di tempat-tempat kalian mencari nafkah,
maka aku kira yang kalian lakukan itu masih cukup terhormat,"
jawab Ki Bekel. "Ya Ki Bekel. Kami memang berusaha untuk tidak
menimbulkan persoalan. Karena itu, kami berusaha untuk
berbuat sebaik-baiknya. Kami benar-benar sekadar mencari
penyambung hidup kami yang sulit," berkata tukang kendang
yang menjadi pemimpin rombongan tledek itu.
Demikianlah, ternyata rombongan Warsi itu dapat diterima
dengan baik oleh orang-orang Sembojan. Mereka sama sekali
tidak menaruh keberatan. Bahkan beberapa orang yang
mendengar alasan kedatangan mereka menjadi belas kasihan.
"Kasihan sekali gadis yang cantik itu," berkata seseorang, "Ia
sama sekali tidak pantas menjadi tledek. Seharusnya ia menjadi
istri seorang bekel atau seorang demang. Nampaknya ia masih
malu ditonton orang. Namun agaknya desakan paceklik yang
tidak teratasi telah memaksanya untuk memenuhi perintah orang
tuanya." "Ketika ia mulai belajar menari, mungkin sama sekali tidak
terbayang di angan-angannya, bahwa pada suatu ketika ia akan
menjadi seorang tledek," berkata yang lain.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
32 SH. Mintardja Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun justru dengan
demikian rencana Warsi dapat berjalan dengan rancak tanpa
hambatan. Ia sudah diterima dengan baik di Tanah Perdikan
Sembojan. Mereka tinggal berusaha untuk dapat memasuki
padukuhan induk Tanah Perdikan.
Usaha itu bukankah usaha yang sulit. Ketika semuanya sudah
direncanakan dengan masak, maka pada suatu hari, rombongan
kecil itu telah meninggalkan banjar dan berangkat menuju ke
padukuhan induk. Agak berbeda dengan hari-hari sebelumnya,
maka Warsi menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan pada
sore hari. Ketika matahari mulai terbenam di ujung Barat, Warsi mulai
kebar di sudut padukuhan induk. Suara gamelannya telah
mengumandang, memanggil para penghuni padukuhan. Sebagian
besar dari mereka telah pernah mendengar, bahwa ada
sekelompok orang ngamen yang memasuki Tanah Perdikan
Sembojan. Tetapi kelompok ini adalah kelompok yang manis.
Tidak menunjukkan tari-tarian yang panas dan kasar, yang dapat
menumbuhkan persoalan bagi keluarga yang kurang teguh
imannya. Sehingga dengan demikian maka rombongan ini benar-
benar hanya satu jenis tontonan yang menyenangkan.
Sejenak kemudian, maka sudut padukuhan induk Tanah
Perdikan Sembojan itu pun telah penuh dengan orang-orang
yang ingin menonton. Di bawah lampu minyak yang terang,
mereka menyaksikan seorang gadis cantik yang menari dengan
gerak yang gemulai sambil menundukkan kepalanya. Seolah-olah
gadis itu sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya
memandang orang-orang yang berkerumun menyaksikan dan
mengaguminya. "Gadis itu cantik sekali," desis seorang anak muda.
"Sayang sekali, bahwa ia terperosok ke dalam satu kehidupan
yang memelas," sahut kawannya.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
33 SH. Mintardja "Tetapi bukankah itu lebih baik baginya daripada ia
menempuh cara hidup yang sesat dengan memanfaatkan
kecantikannya dan kepandaiannya menari" Perempuan lain
mungkin akan berbuat jauh lebih dalam dari yang dilakukan.
Perempuan lain akan menari sambil menengadahkan wajahnya.
Memandang setiap laki-laki dengan kerling mata yang memukau.
Namun yang kemudian memaksa laki-laki melemparkan uang
seberapa saja yang ada di dalam sakunya. Bahkan mungkin akan
dapat dilakukan satu pelanggaran yang lebih jauh dan gawat,
sehingga seseorang akan dapat menjual rumah, halaman, kerbau
dan sapinya bahkan sawah dan ladangnya," berkata anak muda
yang pertama. Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi sambil tersenyum ia
berkata, "He, agaknya kau sudah tertarik kepada kecantikan gadis
itu." "Aku memang menganggapnya seorang gadis yang sangat
cantik. Nampaknya kelakuannya tidak tercela. Aku berkata
dengan jujur," jawab yang pertama. Lalu, "Aku kasihan
kepadanya. Justru karena paceklik yang ganas, ia harus


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjalani hidup seperti itu. Menjadi tontonan dan tidak mustahil
ada saja laki-laki yang mengganggunya."
"Pengiringnya tentu akan melindunginya," sahut kawannya.
Anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu mereka
pun telah terpukau oleh gerak Warsi yang diiringi oleh irama
gamelan yang ngerangin meskipun dengan gamelan yang
sederhana. Irama yang lembut dan wajah yang tunduk memang
dapat menyentuh perasaan para penontonnya. Sehingga ketika
salah seorang pengiringnya mengedarkan tambir untuk
mendapat sumbangan dari para penontonnya, maka beberapa
orang dengan tidak segan-segan telah melemparkan uang yang
mereka bawa ke dalam tambir itu.
Malam itu adalah malam yang pertama Warsi menginjakkan
kakinya sebagai seorang penari di padukuhan induk Tanah
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
34 SH. Mintardja Perdikan Sembojan. Malam itu Warsi masih belum menerima
permintaan khusus untuk menari di halaman seseorang. Malam
itu Warsi masih menari dalam rangka memperkenalkan diri dan
dengan rendah hati seorang pengiringnya mengedarkan tambir
untuk menerima kemurahan hati para penontonnya.
Dengan perkenalannya malam itu. Ternyata Warsi berhasil
menarik perhatian beberapa orang. Ada beberapa alasan dari
mereka yang di hari-hari berikutnya memanggilnya untuk menari
di halaman dengan imbalan tertentu. Ada yang karena belas
kasihan, tetapi ada juga yang ingin menatap kecantikannya.
Bahkan dengan kecerdikan yang terselubung, pengendangnya
berhasil memohon untuk dapat tinggal di banjar padukuhan
induk barang dua tiga hari.
Ketika permohonan itu disampaikan kepada Wiradana maka
Wiradana masih belum banyak memperhatikan kehadiran
sekelompok orang-orang ngamen di Tanah Perdikannya. Ia hanya
menanyakan kepada beberapa orang pembantunya apakah
permohonan itu sebaiknya dikabulkan atau tidak.
"Kelompok ini agaknya kelompok yang baik," jawab salah
seorang pembantunya. "Tidak ada kesan yang dapat
menumbuhkan ketidak-senangan seseorang kepada kelompok
ini. Bahkan dapat memancing belas kasihan beberapa orang yang
menyaksikannya dan mendengar kisah, kenapa seorang gadis
yang cantik harus ikut dalam kelompok ngamen seperti itu."
"Jika kalian tidak berkeberatan, maka terserah sajalah," jawab
Wiradana. "Aku sendiri belum pernah melihat tontonan itu."
"Setiap sore, sebelum berangkat berkeliling, rombongan itu
lebih dahulu telah kebar di halaman banjar meskipun tidak
terlalu lama," jawab pembantunya.
Wiradana hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia memang
belum menyempatkan diri untuk melihat pertunjukan yang
menarik itu. Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
35 SH. Mintardja Namun dalam pada itu, Wiradana masih terhitung pengantin
baru itu telah kembali ke dalam tugas-tugasnya. Kadang-kadang
ia berada di padukuhan-padukuhan sampai larut malam.
Tetapi pada satu saat, terbersit pula keinginannya untuk
melihat tontonan yang menjadi bahan pembicaraan banyak orang
itu. Apalagi kadang-kadang ia juga mendengar suara gamelan
yang dihanyutkan angin menyentuh daun telinganya. Namun
rasa-rasanya ia masih belum mempunyai waktu.
Adalah satu kebetulan, bahwa ketika Wiradana berada di satu
padukuhan yang sedang menyelesaikan perbaikan bendungan
dan dengan sengaja mengundang rombongan kecil itu sebagai
pelepas lelah dimalam hari, maka Wiradana menyaksikan
tontonan itu di tepian, di atas pasir di bawah bendungan.
Ketika terpandang olehnya wajah gadis penari yang cantik itu,
maka rasa-rasanya jantungnya berdenyut semakin cepat. Namun
dengan segera ia berusaha untuk mengendalikan diri. Bahkan di
dalam hatinya ia berkata, "Aku sudah seorang pengantin baru."
Namun demikian, kesempatan Wiradana menyaksikan
tontonan itu di tepian, telah membawa akibat yang
berkepanjangan. Penglihatannya yang sekilas itu telah
membawanya untuk menyaksikan penari itu pada kesempatan
berikutnya. Meskipun Wiradana tetap pada kesadarannya, bahwa ia baru
saja menginjak masa perkawinan, namun gadis penari itu
memang seorang gadis yang cantik di matanya.
Dalam pada itu, Warsi pun sadar sepenuhnya, bahwa ia sudah
berhasil menarik perhatian Wiradana. Anak Ki Gede Sembojan
yang telah membunuh pamannya. Ia pun selalu ingat, bahwa
setelah selapan ia harus memancing Wiradana itu untuk dapat
bertemu seorang diri. Atau ia dengan sengaja menyelidiki, pada
saat-saat yang manakah Wiradana mengunjungi padukuhan-
padukuhan atau kebiasaan-kebiasaan yang lain yang dapat
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
36 SH. Mintardja memberinya kesempatan untuk bertemu seorang dengan
seorang. "Aku harus membalaskan dendam seluruh keluarga
Kalamerta. Menurut pengamatanku, laki-laki ini masih belum
mampu menguasai ilmunya dengan sempurna," berkata Warsi di
dalam hatinya. Dengan demikian, maka Warsi pun berusaha untuk
mendapatkan kesempatan-kesempatan berikutnya, agar
Wiradana memperhatikannya.
Hampir tidak terduga oleh Warsi sendiri, ketika pada satu
sore, sebelum rombongan itu kebar di halaman banjar tiba-tiba
saja Wiradana sudah ada di banjar itu. Bahkan Wiradana telah
menyempatkan diri untuk bertemu dengan rombongan yang
sudah berhias dan siap untuk mulai dengan kebarnya di halaman.
Dalam pada itu, sebenarnyalah Warsi seorang gadis yang
sangat cantik. Dalam jarak yang lebih dekat, Wiradana sempat
melihat kecantikan Warsi yang wajahnya selalu menundukkan
seakan-akan ia tidak mempunyai keberanian untuk bertatap
muka dengan Wiradana. Namun dalam pada itu, setiap kali Warsi pun telah mencuri
pandang. Selagi Wiradana berbincang dengan anggota
rombongan kecil itu, sekali-kali Warsi sempat memandang wajah
anak muda itu. Tidak ada yang memperhatikan kerut wajah Warsi yang sudah
berhias, sehingga nampaknya ia semakin cantik. Tidak ada pula
yang melihat apa yang sebenarnya tersirat di hati perempuan itu.
Demikianlah, Wiradana sempat berbincang-bincang beberapa
lamanya dengan rombongan kecil itu. Juga dengan Warsi sendiri.
"Silahkan," berkata Wiradana kemudian, "Kami menerima
kalian dengan senang hati. Terbukti hampir setiap malam kalian
mendapat panggilan di beberapa rumah di berbagai padukuhan
dalam kepentingan yang berbeda. Ada yang hanya sekadar ingin
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
37 SH. Mintardja bersenang-senang. Tetapi ada yang justru untuk menutup satu
kerja yang cukup melelahkan. Tetapi pada dasarnya kami tidak
berkeberatan atas kehadiran kalian disini."
Demikianlah, ketika Wiradana meninggalkan banjar sebelum
kebar, pengendang yang menjadi pemimpin rombongan itu
berdesis di telinga Warsi, "Dua hari lagi, pengantin itu akan
mengadakan upacara selamatan. Memang tidak terbiasa untuk
mengadakan upacara di selapan hari yang biasanya dilakukan
untuk pengantin hari kelahiran. Tetapi agaknya ada juga orang-
orang terpandang yang melakukan upacara untuk memperingati
hari perkawinan. Dan setelah itu, maka kau akan dapat segera
menyelesaikan tugasmu. Isteri Wiradana akan segera menjadi
janda." WARSI mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kita harus tahu,
kapan Wiradana berada di luar padukuhan induk seorang diri."
"Menilik cara hidupnya, maka kesempatan banyak kau
peroleh. Ia sering berada di padukuhan-padukuhan di luar
padukuhan induk dan kembali seorang diri justru pada malam
hari. Sebagaimana diceriterakan oleh para pengawal Tanah
Perdikan ini," berkata salah seorang pengiringnya.
"Kita harus meyakinkannya," jawab Warsi. "Mulai nanti
malam, aku akan menyelidikinya."
"Tidak sekadar menyelidiki," berkata pengiringnya. "Jika
kesempatan itu ada, kau langsung dapat bertindak."
"Bukankah masih belum selapan?" bertanya Warsi.
"Jangan terikat dengan selapan. Selapan hanyalah ancar-ancar
waktu yang akan kau berikan kepada istri Wiradana. Kurang satu
atau dua hari sama sekali bukan soal," berkata pengendangnya.
Tetapi Warsi mengerutkan keningnya. Dengan sungguh-
sungguh ia menjawab, "Yang akan membunuhnya aku atau kau?"
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
38 SH. Mintardja Para pengiringnya telah mengenal sifat Warsi dengan baik.
Karena itu, maka mereka tidak menyahut lagi. Segalanya
memang terserah kepada Warsi.
Demikianlah seperti yang dikatakan. Lewat tengah malam, jika
orang-orang Sembojan telah tidur lelap, Warsi telah keluar dari
banjar tanpa diketahui oleh para peronda. Menurut pengetahuan
para peronda, orang-orang dalam rombongan tledek itu telah
tertidur kelelahan. Mereka kembali dari ngamen beberapa saat
sebelum tengah malam. Sehingga ketika tidak ada lagi suara
bercakap-cakap di antara mereka, maka para peronda pun
menyangka bahwa mereka telah tertidur nyenyak.
Namun dalam pada itu, Warsi dalam keadaan yang khusus
telah berada di sekitar rumah Ki Gede. Beberapa orang peronda
masih berjaga-jaga di regol halaman. Agaknya Sembojan masih
belum melupakan kemungkinan hadirnya kembali orang-orang
yang semula menjadi pengikut Kalamerta dan yang telah
dihancurkan oleh Wiradana.
Sementara itu, ternyata bahwa Wiradana memang sering
berada di antara para peronda. Bahkan ketika Warsi telah
melakukan pengamatan itu barang tiga hari, maka ia pun
mengetahui bahwa Wiradana sering keluar dari halaman
rumahnya melihat-lihat gardu-gardu peronda yang lain seorang
diri. Dengan demikian, maka Warsi pun melihat satu kemungkinan
untuk memancingnya keluar padukuhan dan menantangnya
perang tanding untuk menentukan siapa di antara mereka yang
akan mati terbunuh. Tetapi Warsi yakin, bahwa ia akan dapat
memenangkan perang tanding itu. Menurut penglihatannya
Wiradana memang bukan orang yang memiliki ilmu seperti
ayahnya. Namun sejauh itu, ia masih belum berbuat sesuatu.
"Warsi," berkata pengendangnya, "Kemarin waktu yang
selapan itu telah datang. Hari ini kita sudah berada di luar batas
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
39 SH. Mintardja waktu yang kau berikan. Karena itu, agar kita tidak terlalu lama
berada disini, maka kau akan dapat bertindak secepatnya."
Warsi mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Kita salah
memilih waktu. Tetapi sulit bagi kita untuk merubahnya. Jika
kita tetap berkeliling di siang hari, maka kita mempunyai banyak
kesempatan. Benar seperti yang kita dengar, bahwa Wiradana
sering berada di padukuhan-padukuhan kecil dan kembali ke
padukuhan induk di malam hari. Tetapi pada saat itu, aku masih
harus menari. Ia kembali ke padukuhan induk tidak lebih dari
saat sirep bocah. Sementara itu, pertunjukan masih dalam
suasana yang paling mantap untuk satu pertunjukan."
"Jadi, bagaimana menurut pertimbanganmu?" bertanya
tukang gendangnya. "AKU sudah menyelidikinya. Aku yakin, bahwa pada suatu
saat aku akan dapat memancingnya keluar," jawab Warsi.
"Memang pada saat sirep bocah ia kembali dari padukuhan-
padukuhan lain meskipun ternyata tidak setiap hari menurut
keterangan yang aku dengar dan barangkali juga kalian dengar
dari peronda-peronda itu. Tetapi biasanya di tengah malam
Wiradana juga keluar rumahnya dan melihat gardu-gardu di
padukuhan induk ini."
"Nah, bukankah kau mempunyai kesempatan juga?" bertanya
salah seorang pengikutnya.
"Jangan dungu. Aku tentu akan dapat melakukannya di
padukuhan induk ini. Tetapi aku harus memancingnya keluar,
agar tidak ada yang ikut campur, apalagi para pengawal," jawab
Warsi. "Segalanya terserah kepadamu. Yang penting, Wiradana
syukur Ki Gede dapat kau bunuh," berkata pengendangnya.
"Kau hanya tahu hasilnya. Tetapi kau tidak mau tahu
kesulitan-kesulitan yang dapat timbul," geram Warsi.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
40 SH. Mintardja Para pengiringnya tidak menyahut lagi. Mereka tidak banyak
dapat berbuat. Karena itu, segalanya memang terserah kepada
Warsi. Namun, ketika mereka telah berada lebih dari sepuluh hari di
tempat itu Warsi masih belum berbuat apa-apa. Pengendangnya
dengan cemas berkata, "Warsi. Bagaimana pun juga ramah
tamahnya orang-orang Perdikan ini terhadap kita, namun
ternyata kita sudah terlalu lama berada disini. Semua padukuhan
di Tanah Perdikan ini sudah kita jelajahi. Dan akhirnya kita pun
harus dapat mengambil kesimpulan, bahwa pertunjukan kita
sudah mulai terasa jenuh bagi orang-orang Tanah Perdikan ini."
"Lalu apa yang kau maksud?" bertanya Warsi.
"Terserahlah menurut pertimbanganmu," sahut tukang
gendang itu. Warsi menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Besok
segala-galanya akan berakhir."
Pengendangnya mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia
berkata, "Syukurlah jika kau sudah mengambil satu ketetapan.
Dengan demikian maka kita akan segera dapat kembali ke dalam
lingkungan kita sendiri. Meskipun disini diterima dengan baik
dan ramah, namun agaknya memang lebih senang hidup di
lingkungan keluarga sendiri."
"Kita sedang menjalankan satu kewajiban," berkata Warsi.
"Bahkan kita akan mendapat hasil ganda. Kita akan dapat
membunuh Wiradana, meskipun barangkali tidak dapat aku


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lakukan atas ayahnya, dan kita mendapat banyak uang."
"Apa artinya uang itu?" jawab tukang gendangnya. "Dengan
memasuki rumah seorang saudagar kaya maka aku akan
mendapatkan lebih banyak dari jumlah yang dapat kita
kumpulkan selama tiga ngamen."
"Tetapi nilainya berbeda," jawab Warsi. "Uang yang kita
dapatkan dengan kerja itu rasa-rasanya memang memberikan
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
41 SH. Mintardja kenikmatan tersendiri kepada kita. Jika kita membeli minuman,
terasa alangkah segarnya dan jika kita membeli makanan
alangkah nikmatnya. Kita dapat menelannya tanpa ragu-ragu
sama sekali." "Sejak kapan kau dapat mengatakannya demikian?" bertanya
tukang gendang itu. Warsi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian katanya,
"Baiklah. Aku ulangi, besok segala-galanya akan selesai. Tetapi
aku tidak akan dapat membunuh ayah Wiradana. Bukankah
menurut pendengaran kita, ia menjadi cacat. Biarlah ia tetap
hidup dalam keadaan cacat itu. Ia bukan harimau lapar yang siap
menerkam dengan garang. Tetapi kini ia tidak lebih dari kucing
sakit-sakitan." Tukang gendangnya tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar
berharap bahwa di hari berikutnya Warsi akan menyelesaikan
tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Demikianlah di hari berikutnya itu, seperti biasa rombongan
kecil itu bersiap-siap menjelang senja. Namun ternyata bahwa
mereka tidak segera dapat kebar di halaman. Wiradana ternyata
telah datang ke banjar untuk menemui rombongan kecil itu.
Tidak ada persoalan yang penting. Tetapi ia sekadar didorong
oleh satu keinginan untuk berbincang saja. Wiradana sendiri
tidak tahu kenapa ia berbuat demikian. Tetapi ia tidak mampu
menolak keinginannya untuk berbicara dengan penari yang
cantik itu. "Kita sudah terlalu lama mendapat kemurahan hati Ki
Wiradana," berkata Warsi sambil merendah. "Karena itu
seharusnya kami sudah meninggalkan tempat ini untuk
melanjutkan perjalanan menjelajahi padukuhan-padukuhan
untuk sekadar mengatasi paceklik yang kejam di daerah kami."
"Kalian tidak perlu tergesa-gesa," sahut Wiradana. "Kalian
dapat tinggal disini sampai kapan pun."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
42 SH. Mintardja "Tetapi orang-orang Tanah Perdikan ini sudah mulai jenuh
dengan tontonan yang tidak berarti ini," desis Warsi sambil
menundukkan kepalanya. "Tentu belum," berkata Wiradana. "Cobalah untuk beberapa
hari lagi. Tetapi jika kalian akan menembus padukuhan-
padukuhan lain di luar Tanah Perdikan ini, tetapi tetap tinggal di
banjar ini, kami pun tidak berkeberatan."
"Perjalanan kami akan terlalu jauh," jawab Warsi.
Wiradana mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya,
"Bagaimana pun juga, sebenarnya kami akan dapat memberikan
tempat sebaik-baiknya kepada kalian. Kecuali jika kalian memang
sudah tidak lagi memerlukan tempat ini."
Warsi mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya ia
mengangkat wajahnya memandang Wiradana. Namun ternyata
bahwa sorot mata Wiradana bagaikan mencekam jantungnya,
sehingga Warsi itu pun dengan serta merta telah menunduk
kembali. Terasa jantung Warsi bagaikan berdegup semakin cepat.
Wiradana ternyata seorang laki-laki yang jauh dari yang
dibayangkannya. Jika ia datang dengan membawa dendam yang
menyala di hatinya, maka berhadapan dengan laki-laki itu,
hatinya bagaikan menjadi lembut sebagaimana hati seorang
perempuan. Untuk beberapa saat, mereka saling berdiam diri. Namun
kemudian Wiradana itu pun bangkit sambil berkata, "Tanah ini
terbuka bagi kalian sampai kapan pun juga kalian kehendaki."
"Terima kasih," jawab Warsi masih sambil menunduk. Baru
ketika Wiradana melangkah meninggalkannya, maka Warsi itu
pun mengangkat wajahnya, memandangi langkah yang tegap
menjauhinya. Tetapi rasa-rasanya langkah itu meninggalkan
kesan yang dalam di hatinya.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
43 SH. Mintardja Dalam pada itu, maka waktu kebar pun telah tiba, bahkan
biasanya dilakukan lebih awal. Tetapi karena kehadiran
Wiradana, maka kebar itu pun terpaksa mundur beberapa saat.
Sementara itu di halaman telah banyak anak-anak muda yang
datang untuk sekadar melihat Warsi menari meskipun tidak
lama, sekadar untuk menghangatkan badannya dan memberikan
sedikit hiburan kepada para tetangga, karena rombongan kecil itu
sudah bermalam di banjar.
Seperti biasanya, maka pada saat sirep uwong, menjelang
tengah malam, rombongan itu sudah kembali ke banjar. Setelah
membenahi gamelan dan diri mereka masing-masing, maka
orang-orang dari rombongan itu pun mulai beristirahat. Mereka
sekadar minum dan makan, sebelum mereka berbaring di amben
di serambi banjar. "Malam ini segala-galanya akan selesai," berkata
pengendangnya kepada Warsi.
Warsi memandanginya dengan sorot mata yang asing. Namun
kemudian ia pun mengangguk kecil sambil menjawab, "Ya.
Segala-galanya harus selesai."
"KITA akan berusaha untuk mendapat perhatian para
peronda. Mereka harus mengetahui bahwa kita semuanya
lengkap berada disini. Mereka tentu tidak akan mengira bahwa
kau telah meninggalkan banjar dan membunuh Wiradana.
Hartanya Penghianat 1 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Perawan Lembah Wilis 11
^