Pencarian

Suramnya Bayang Bayang 1

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 1


SH. Mintardja Http://kangz ` - usi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
1 1 SH. Mintardja Pengantar Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
i i SH. Mintardja Daftar Isi Pengantar Daftar Isi Jilid Pertama Jilid Kedua Jilid Ketiga Jilid Keempat Jilid Kelima Jilid Keenam Jilid Ketujuh Jilid Kedelapan Jilid Kesembilan Jilid Kesepuluh Jilid Kesebelas Jilid Ke dua belas Jilid Ke tiga belas Jilid Ke empat belas Jilid Ke lima belas Jilid Ke enam belas Jilid Ke tujuh belas Jilid Ke delapan belas Jilid Ke sembilan belas Jilid Ke dua puluh Jilid Ke dua puluh satu Jilid Ke dua puluh dua Jilid Ke dua puluh empat Jilid Ke dua puluh lima Jilid Ke dua puluh enam Jilid Ke dua puluh tujuh Jilid Ke dua puluh delapan
Jilid Ke dua puluh sembilan
Jilid Ke tiga puluh Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
ii ii SH. Mintardja Jilid Ke tiga puluh satu Jilid Ke tiga puluh dua Jilid Ke tiga puluh tiga Jilid Ke tiga puluh empat
Jilid Pertama KETIKA hujan reda di ujung malam, maka bulan pun mulai
nampak di balik bayangan mega yang kelabu. Jalan-jalan yang
sunyi menjadi licin dan berlumpur. Sementara pintu-pintu sudah
tertutup rapat. Namun dalam pada itu, dalam keheningan yang semakin
mencengkam, seseorang duduk di atas sebuah amben bambu
sambil mengusap hulu pedangnya. Sebuah mangkuk berisi air
panas masih terletak di hadapannya.
Sesekali orang itu meneguk minuman panas itu. Namun
kemudian perlahan-lahan ia bangkit sambil bergumam,
"Waktunya telah tiba."
Orang itu berdiri tegak sambil memandangi ruangan itu dari
sudut sampai ke sudut. Setiap benda yang ada di ruang itu
diperhatikan dengan seksama. Namun kemudian ia pun telah
menarik nafas dalam-dalam.
Sambil melangkah ke pintu, orang itu memanggil,
"Wiradana"."
Seorang anak muda yang mendengar panggilan itu pun
bangkit dari pembaringannya. Udara yang dingin telah
mendorongnya untuk berbaring sambil merenungi dirinya
sendiri. Ketika Wiradana memasuki ruang tengah, dilihatnya ayahnya
berdiri dengan pedang di lambung.
"Ayah?" desis anak muda itu.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
iii iii SH. Mintardja "Ayah akan pergi. Aku tidak tahu apakah aku akan kembali
atau tidak. Tetapi kau sudah cukup dewasa. Kau tahu apa yang
harus kau lakukan," desis orang berpedang itu.
"Ayah akan kemana?" tanya Wiradana.
"Baiklah. Aku akan berkata terus terang. Justru karena aku
mengharap bahwa kau akan dapat menanggapi keadaan dengan
sebaik-baiknya." Ayahnya terdiam sejenak, lalu, "Wiradana,
Tanah Perdikan ini mulai berkembang. Kau harus dapat berbuat
sebagaimana ayah berbuat selama ini atas Tanah Perdikan ini.
Seandainya ayah tidak kembali, maka aku yakin bahwa Tanah
Perdikan ini tidak akan menjadi kuncup. Tetapi akan mekar dan
menjadi sejahtera." "Apa sebenarnya yang akan ayah lakukan?" tanya Wiradana.
"Hari ini adalah hari yang sudah aku janjikan untuk bertemu
dengan Gonggang Wirit," jawab ayahnya.
"Siapakah Gonggang Wirit itu, ayah?" tanya Wiradana.
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tidak banyak
orang yang mengenal namanya. Bahkan aku kira orang itu telah
mati pula. Namun tiba-tiba ia datang ke Tanah perdikan
Sembojan ini." "Apa hubungannya dengan ayah dan untuk apa ia datang
kemari?" desak Wiradana.
"Persoalan itu sebenarnya telah terjadi sejak kau belum
dilahirkan." Wajah orang tua itu menjadi keruh. "Persoalannya
berkisar pada persoalan ibumu. Aku telah bertengkar dengan
seseorang sehingga aku tidak dapat berbuat lain daripada
membunuhnya. Laki-laki yang mati itu adalah adik orang yang
bernama Gonggang Wirit. Untunglah bahwa ibumu sekarang
sudah tidak ada lagi, sehingga ia tidak melihat, bahwa
pertentangan yang terjadi lebih dari duapuluh tahun yang lalu itu
masih saja berkelanjutan."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
iv iv SH. Mintardja "Apakah Gonggang Wirit datang memang untuk
mempersoalkan peristiwa yang terjadi lebih dari duapuluh tahun
yang lalu itu?" tanya Wiradana.
"Agaknya tidak, Wiradana," jawab ayahnya. "Ternyata
sekarang Gonggang Wirit telah menjadi seorang gegedug yang
membuat negeri ini menjadi keruh. Mungkin Tanah perdikan ini
dianggapnya terlalu jauh dari pusat pemerintahan di Demak,
sehingga Gonggang Wirit telah memilih daerah yang sedang
tumbuh ini menjadi sasarannya."
"Ayah, apakah Gonggang Wirit mempunyai hubungan dengan
gerombolan Kalamerta yang membuat rusuh di Tanah perdikan
Sembojan ini?" tanya Wiradana.
"Ternyata Kalamerta itu adalah Gonggang Wirit," jawab
ayahnya. "Ia memang menggantikan namanya dan melakukan
pekerjaan yang nista dengan kemampuannya yang tinggi dalam
olah kanuragan. Agaknya Tanah Perdikan ini akan banyak
mengalami kesulitan jika kita harus berhadapan langsung dengan
gerombolan itu." "Tetapi kenapa ayah akan menemuinya sekarang" Sebab
menurut tanggapanku, ayah akan menemuinya dalam perang
tanding," sahut Wiradana dengan cemas.
"Ya. Aku memang mengharap dapat bertemu dengan
Gonggang Wirit dalam perang tanding. Aku tidak mempunyai
cara lain untuk menyelamatkan Tanah Perdikan ini.
Jika aku berhasil memancingnya, maka aku kira para
pengikutnya akan kehilangan pegangan, sehingga para pengawal
Tanah Perdikan ini akan dapat menghadapi mereka," jawab
ayahnya. "Ayah yakin akan dapat membunuhnya?" tanya Wiradana.
"Aku akan mencobanya. Tetapi jika aku tidak berhasil, dan aku
justru terbunuh, maka jangan kau sesali. Mungkin aku memang
harus menebus tingkah lakuku lebih dari duapuluh tahun yang
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
v v SH. Mintardja lalu. Tetapi jika terjadi demikian, kau harus dengan cepat
memberikan laporan, tidak usah ke pusat pemerintahan di
Demak. Kau dapat menugaskan dua-tiga orang untuk
melaporkan ke Kadipaten Pajang yang jauh lebih dekat. Mudah-
mudahan Pajang menaruh perhatian atas tingkah laku
segerombolan berandal di Tanah Perdikan Sembojan ini," jawab
ayahnya. Wiradana termanggu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Ayah, sebaiknya ayah tidak pergi seorang diri. Apakah ayah
yakin, bahwa orang itu akan menghadapi ayah dengan jujur?"
"Aku sudah berhasil memancing persoalan. Aku berhasil
mengungkat persoalan lama sehingga aku berhasil membatasi
persoalan itu antara aku dengan Gonggong Wirit, kakak dari
seorang yang pernah aku bunuh lebih dari dua puluh tahun yang
lalu," jawab ayahnya pula.
"Jadi ayah memang sudah pernah bertemu dengan orang itu?"
bertanya Wiradana pula. "Aku bertemu dengan seseorang yang pernah aku kenal justru
dari sudut pasar, di pande besi ketika aku ingin memesan sepuluh
kejen bajak untuk padukuhan Gambir," jawab ayahnya pula.
"Agaknya Gonggang Wirit tidak lupa kepadaku sebagaimana aku
tidak lupa kepadanya meskipun kit sudah berpisah. Ternyata
sorot matanya masih tetap memancarkan dendam atas kematian
adiknya meskipun itu sudah terjadi lama sekali. Ketika orang itu
tahu, bahwa aku adalah kepala Tanah Perdikan ini, maka ia
mengancam akan menghancurkan Tanah Perdikan itu. Satu-
satunya jalan adalah memancing kebenciannya kepadaku dan
membatasi persoalannya sebagai persoalan pribadi. Akhirnya,
aku berhasil menjebaknya dalam satu perang tanding."
"Bagaimana jika orang itu curang ayah?" bertanya Wiradana
pula. Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
vi vi SH. Mintardja "Tidak. Ia sudah mengatakan, bahwa dalam persoalan pribadi
ini, akan berdiri di atas harga dirinya demi menuntut balas atas
kematian adiknya itu," jawab ayah Wiradana.
Wiradana menarik nafas. Tetapi kecemasan tetap membayang
di wajahnya. Sehingga akhirnya ia berkata, "Ayah, aku akan ikut
bersama ayah." Tetapi ayahnya menggeleng. Katanya, "Kau tinggal di rumah.
Jika aku harus terbunuh untuk menembus ketamakanku dua
puluh tahun yang lalu, biarlah itu terjadi. Tetapi aku akan dapat
berbuat sesuatu atas Tanah Perdikan ini. Tetapi jika kau juga
menjadi korban, maka akibatnya akan sangat parah bagi
Semboyan." Wiradana menjadi semakin tegang. Namun ia tidak akan
dapat mencegah ayahnya. Ia tahu benar sifat ayahnya. Jika ia
sudah mengambil satu keputusan, maka sulitlah baginya untuk
mengubahnya. Namun Wiradana sadar, bahwa yang dilakukan ayahnya itu
bukannya karena persoalan pribadinya semata-mata. Tetapi
cenderung untuk menyelamatkan Tanah Perdikannya, meskipun
mungkin ia harus mengorbankan dirinya.
Demikianlah, akhirnya Kepala Tanah Perdikan Sembojan,
yang juga disebut Ki Gede Sembojan itu kemudian meninggalkan
rumahnya. Ketika ia turun tanggap pendapa, sekali lagi ia
berpaling kepada anaknya sambil berkata, "Hati-hatilah. Banyak
kemungkinan dapat terjadi."
Wiradana mengangguk kecil. Dengan suara sendat ia berkata,
"Aku akan berusaha berbuat sebaik-baiknya ayah".
Ki Gede Sembojan tersenyum. Namun kemudian ia pun
melangkah melintasi halaman.
Di gardu, di depan regol Ki Gede Sembojan terhenti sejenak.
Kepada para peronda yang berada di gardu sambil kedinginan Ki
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
vii vii SH. Mintardja Gede berkata, "Berhati-hatilah. Meskipun jalan licin dan


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlumpur, jangan segan untuk turun dan mengelilingi daerah
pengamatan kalian." "Baik Ki Gede," jawab anak-anak muda yang berada di gardu
itu. Namun dalam pada itu, salah seorang dari mereka bertanya,
"Ki Gede akan pergi kemana?"
"Aku akan melihat-lihat saja," jawab Ki Gede, "Mudah-
mudahan gardu-gardu tidak menjadi kosong, justru dalam
keadaan yang terlalu sepi ini."
Demikianlah maka Ki Gede pun telah menyusup dan hilang di
kegelapan. Wiradana berdiri termangu-mangu. Ia tidak bertanya dimana
perang tanding itu akan diadakan. Karena ia tahu pasti bahwa
ayahnya tidak akan menunjukkannya.
Dalam pada itu, Ki Gede Sembojan pun telah menyusuri jalan
padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan. Sekali-kali Ki Gede
harus menyisih karena air yang tergenang. Namun Ki Gede harus
selalu berhati-hati karena jalan yang licin dan berlumpur.
Sejenak kemudian Ki Gede terhenti. Dihadapannya nampak
lampu obor menyala di gardu di ujung jalan. Agaknya, beberapa
orang anak muda berada di gardu itu. Meskipun tidak seramai
hari-hari yang lain, pada saat jalan tidak menjadi basah dan licin,
namun ternyata bahwa gardu itu tidak menjadi kosong meskipun
hujan turun sejak sore. Tetapi agaknya Ki Gede tidak mau disapa lagi oleh orang-
orang Sembojan. Justru karena itu, maka ia pun telah menyusup
ke sebuah halaman. Kemudian Ki Gede telah keluar dari
Pedukuhan Induk itu dengan meloncati dinding disebelah pintu
gerbang sehingga tidak seorang peronda pun yang
mengetahuinya. Setelah berada di bulak persawahan yang panjang, maka
langkah Ki Gede pun menjadi semakin cepat dan panjang. Ia
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
viii viii SH. Mintardja ingin segera bertemu dengan orang yang bernama Gonggang
Wirit dan yang ternyata telah mengganti namanya dengan
Kalamerta, yang pada saat-saat terakhir telah mengganggu
ketenangan hidup di Tanah Perdikan Sembojan.
Dengan langkah pasti Ki Gede pergi ke tempat yang jarang
dikunjungi oleh seseorang. Ketika ia sampai ke sebuah sungai
yang kecil, maka ia pun segera menelusurinya. Ia telah berjanji
bertemu dengan Gonggang Wirit di ujung Kali Pideksa. Sebuah
sungai kecil yang menyusuri lereng perbukitan, namun yang
kemudian saling bergabung dengan sungai-sungai kecil yang lain
sehingga akhirnya menjadi sebuah bengawan yang besar dan
panjang menyusuri ngarai membelah tanah di daerah Timur.
Ki Gede memperlambat langkahnya ketika ia berada di ujung
hutan yang tidak terlalu lebat. Sejenak ia berdiri termangu-
mangu di atas tebing. Terdengar suara air yang gemerecik agak
lebih besar dari hari-hari sebelumnya oleh curah air hujan yang
tidak henti-hentinya. Ki Gede kemudian berhenti di antara dua batang pohon yang
besar yang tumbuh tidak terlalu jauh dan agak terpisah dengan
pepohonan yang lain oleh beberapa puluh langkah tanah berbatu
padas. Selagi Ki Gede termangu-mangu, maka tiba-tiba saja terdengar
suara tertawa berkepanjangan.
"Gila," geram Ki Gede di
dalam hatinya, "Ia melihat aku
datang, tetapi aku tidak melihatnya." Ki Gede berdiri tegak di antara kedua batang pohon
yang besar itu. Ia sadar, bahwa
orang yang tertawa itu ingin
menunjukkan kepadanya, bahwa ia memiliki kemampuan
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
ix ix SH. Mintardja untuk menggetarkan isi dada seseorang hanya dengan suaranya
saja. Sebenarnya suara itu semakin lama semakin keras.
Getarannya telah mengguncang bukan hanya dedaunan, tetapi
rasa-rasanya isi dada Ki Gede pun telah terguncang pula.
Namun Ki Gede adalah seorang yang telah mapan dalam olah
kanuragan. Karena itu, maka iapun mampu mengungkapkan
daya tahannya untuk melawan suara tertawa itu. Bahkan dengan
memusatkan nalar budinya, maka Ki Gede pun segera
mengetahui, dimana lawannya itu telah menunggu.
Tetapi Ki Gede masih tetap berdiri tegak. Ia sama sekali tidak
berusaha melawan suara tertawa itu, kecuali bertahan agar isi
dadanya tidak terguncang-guncang.
Dalam pada itu, akhirnya suara tertawa itu menurun dengan
sendirinya. Agaknya orang yang melontarkan suara itu menyadari
bahwa suara tertawanya tidak banyak berpengaruh atas orang
yang baru datang itu. Bahkan karena sikap diamnya, maka rasa-
rasanya orang yang berdiri di antara dua batang pohon itu
merasa terlalu yakin akan dirinya.
"Turunlah," tiba-tiba saja terdengar suara Ki Gede.
"Persetan," geram orang yang duduk di atas sebatang dahan
pada pohon kelapa itu. "Jangan menunggu aku mengguncang pohon ini dengan
tanganku," berkata Ki Gede selanjutnya.
Tetapi orang yang di atas dahan itu telah tertawa lagi. Tetapi
tertawa dengan suara wajar. Katanya, "Kau sangka aku percaya
bahwa kau mampu mengguncang pohon raksasa ini?"
"Cobalah berpegangan dengan erat, agar kau tidak terjatuh
dari dahan itu," jawab Ki Gede.
"Jangan membual," jawab orang itu, yang justru kemudian
telah meloncat turun beberapa langkah saja dihadapan Ki Gede.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
x x SH. Mintardja "Gonggang Wirit," berkata Ki Gede, "Agaknya ilmumu
memang sudah menjadi semakin matang."
"Jangan berkata begitu Ki Gede," jawab Gonggang Wirit,
"Meskipun nampaknya kau memuji, tetapi itu merupakan suatu
penghinaan. Dua puluh tahun telah lalu. Kau sangka dalam waktu
itu ilmu seseorang seharusnya tidak berubah, sehingga apabila
ada yang mampu meningkatkan ilmunya masih harus mendapat
pujian?" "Bukan maksudku Gonggang Wirit. Tetapi aku benar-benar
kagum melihat kemampuanmu mengguncangkan dedaunan
dengan suara tertawamu. Meskipun ilmu Gelap Ngampar mu itu
masih baru dalam tingkat permulaan."
Gonggang Wirit mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian tertawa pula. Katanya, "Jangan menutupi
kecemasanmu dengan penilaian yang tidak berarti apa-apa itu.
Apapun yang kau katakan, tetapi aku mampu mengguncang
pepohonan dengan suaraku. Aku akan mampu juga
menghancurkan isi dadamu seandainya aku mengerahkan
segenap tenaga ilmuku."
Ki Gede Sembojan tersenyum. Katanya, "Sebuah mimpi yang
manis. Tetapi kalau akan segera terbangun dan melihat
kenyataan yang sangat pahit dari akhir mimpimu."
"Kita agaknya sama-sama ingin membual. Tetapi baiklah, kau
sudah datang memenuhi janjimu. Aku pun datang sebagaimana
seorang laki-laki karena persoalan yang kita hadapi sekarang
adalah persoalan dendam pribadi," berkata Gonggang Wirit. Lalu,
"Tetapi seandainya kau berurusan dengan Kalamerta, maka aku
tidak akan bersusah payah bersikap jangan. Mungkin aku akan
membantumu beramai-ramai disini bersama para pengikutku."
"Terima kasih," jawab Ki Gede, "Persoalan kita memang
persoalan antara kau dan aku. Bukan persoalan segerombolan
orang yang dipimpin oleh Kalamerta, yang akan merampok di
daerah Tanah Perdikan Sembojan."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xi xi SH. Mintardja "Karena itu, maka kita akan mempergunakan waktu itu
sebaik-baiknya. Kematian adikku dua puluh tahun yang lalu,
tidak akan pernah dapat aku lupakan. Adikku itu adalah
saudaraku satu-satunya, sehingga sejak aku kehilangan anak itu,
maka hidupku menjadi sepi. Bahkan seandainya aku tidak
kehilangan adikku, mungkin jalan hidupku akan berlainan
dengan jalan yang aku tempuh sekarang. Mungkin aku tidak
perlu berperisai nama Kalamerta. Mungkin aku justru menjadi
seorang saudagar yang kaya atau mungkin seorang kepala Tanah
Perdikan seperti yang kau jabat sekarang," berkata Gonggang
Wirit. "Aku sama sekali tidak sengaja merusak jalan hidupmu.
Persoalannya adalah antara aku dan adikku. Jika kau kemudian
terlibat, bahkan kemudian menjadi persoalan di antara kita, sama
sekali bukan yang aku kehendaki. Tetapi karena agaknya
dendammu tidak dapat kau susut, maka aku telah berjanji untuk
datang malam ini," sahut Ki Gede Sembojan.
"Ketamakanmu membuat jantungku meledak. Agaknya setelah
dua puluh tahun lebih, aku baru mendapat kesempatan untuk
membalas sakit hati itu. Tetapi jika aku berhasil membunuhmu,
biarlah perempuan itu melihat mayatmu dibawah telapak kakiku.
Tetapi mungkin perempuan itu justru akan bersyukur, karena ia
telah merasa tersiksa selama ia berada di tanganmu. Karena
dengan jujur harus kau akui, bahwa sebenarnya perempuan itu
memilih adikku daripada kau," geram Gonggang Wirit.
"Perempuan itu telah meninggal sejak beberapa tahun yang
lalu," desis Ki Gede Sembojan.
"Ia tentu akan sakit-sakitan selama ia menjadi isterimu. Satu-
satunya hiburan baginya adalah bahwa kau telah mewarisi
derajat pamanmu, Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang tentu
akan kau miliki dengan cara yang licik pula. Mungkin kau bunuh
pamanmu dengan racun, sekaligus anak-anaknya. Mungkin kau
tipu pamanmu dengan cara apapun juga, sehingga akhirnya
Tanah Perdikan ini jatuh ke tanganmu."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xii xii SH. Mintardja "Tidak," jawab Ki Gede Sembojan, "Aku warisi Tanah Perdikan
ini sebagaimana seharusnya. Paman tidak mempunyai seorang
anak pun, sehingga aku mendapat kesempatan untuk
menggantikannya dan menerima semua warisannya."
"Kau dapat saja ingkar. Tetapi orang seperti kau tentu tidak
dapat dipercaya. Aku tidak akan dapat melupakan bagaimana kau
licik merebut perempuan itu, dan kemudian kau peristrikan
setelah kau bunuh adikku," jawab Gonggang Wirit menjadi
marah. "Yang telah terjadi dua puluh tahun yang lalu itu tidak akan
dapat diulang kembali. Jika sekarang kau ingin menuntut balas,
lakukanlah. Yang terjadi itu adalah akibat panasnya darah kami
yang sama-sama masih muda," berkata Ki Gede Sembojan.
"Kau benar," Gonggang Wirit mengangguk-angguk, "Kita
sekarang sudah menjadi tua. Umur kita sudah menjadi setengah
abad. Karena itu kita akan menyelesaikan persoalan ini dengan
sikap orang tua. Siapa yang lemah di antara kita, akan
mendahului kembali ke kelanggengan."
"Aku sudah siap," desis Ki Gede.
Gonggang Wirit pun segera mempersiapkan diri pula. Mereka
bergeser beberapa puluh langkah dari pohon raksasa itu dan
berdiri di atas tanah berbatu padas.
Ki Gede termangu-mangu sejenak ketika ia melihat lawannya
menarik sebilah keris yang sangat besar dari punggungnya.
Katanya, "Keris ini dibuat khusus oleh kakekku untuk ayahku
yang kemudian diberikannya kepadaku. Dengan keris ini, aku
akan menyelesaikan dendamku disini, sehingga tidak akan
menjadi beban selama hidupku. Sebelum aku dapat
membunuhmu, maka aku tidak akan pernah merasa tenang
karena seakan-akan aku telah mengabdikan jerit adikku pada
saat kau tikam jantungnya dengan pedang."
Ki Gede Sembojan menarik nafas dalam-dalam. Sekilas
mengawang kenangan yang tidak begitu jernih melintas di angan-
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xiii xiii SH. Mintardja angannya. Hatinya memang telah ternoda hitam. Tetapi saat itu
ia memang tidak dapat menghindarinya.
Dua puluh tahun lebih sudah berlalu. Ternyata segalanya telah
berubah. Ia telah menjadi Kepala Perdikan, sementara saudara
tua dari seorang anak muda yang ditikamnya sampai mati, justru
menjadi seorang Kepala berandal yang ditakuti, yang telah
datang untuk mengganggu ketenangan di Tanah Perdikannya.
Namun Ki Gede berusaha untuk mengusir kenangannya itu. Ia
tidak ingin terganggu oleh perasaan bersalah dalam menghadapi
orang yang benar-benar akan membunuhnya.
"Aku harus berbuat sebaik-baiknya di atas alas keadaanku
sekarang. Aku berbuat untuk Tanah Perdikan. Sama sekali bukan
karena persoalan pribadi, meskipun aku telah menggunakannya
sebagai alasan," berkata Ki Gede di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka Ki Gede pun menjadi mantap. Ia
tidak merasa lagi bertempur karena ketamakannya. Tetapi ia
berdiri sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan yang berhadapan
dengan seorang pemimpin dari sekelompok perampok yang
ganas yang akan membuat Sembojan menjadi miskin.
Sejenak kemudian, karena lawannya telah menarik kerisnya
yang besar yang digantungkannya di punggungnya, maka Ki Gede
pun telah menarik pedangnya. Pedang yang dinamainya Sabet
Kiai Tatit. Sejenak kemudian kedua orang yang sudah menggenggam
senjata di tangan masing-masing itu pun mulai bergerak. Sambil
menjulurkan kerisnya Gonggang Wirit berkata, "Aku ingin
persoalan ini cepat selesai. Karena itu, maka aku segera
mempergunakan pusakaku."
"Aku tidak berkeberatan," jawab Ki Gede Sembojan, "Aku pun
ingin segera melihat nyawamu terkapar disini, sebelum aku
memanggil para pengawal untuk menguburmu."


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xiv xiv SH. Mintardja Gonggang Wirit menggeram, namun ia tidak menjawab lagi.
Tetapi kerisnyalah yang mulai bergerak.
Sejenak kemudian, maka Gonggang Wirit lah yang mulai
menyerang lawannya. Pedangnya berputaran, namun kemudian
mematuk lurus ke arah jantung.
Tetapi Ki Gede memang sudah siap menghadapinya. Karena
itu, serangan yang pertama itu sama sekali tidak berarti. Dengan
gerak yang sederhana ia memiringkan tubuhnya, sehingga keris
itu sama sekali tidak menyentuhnya.
Gonggang Wirit tersenyum. Tetapi ia menggerakkan
pergelangan tangannya sehingga pedang itu pun berubah arah.
Serangannya menjadi mendatar setinggi dada.
Ki Gede melihat perubahan itu. Karena itu, maka ia terpaksa
bergeser lagi selangkah surut.
Gonggang Wirit tidak menyerangnya lagi. Ia menarik
senjatanya. Namun selangkah ia bergeser sambil memutar
kerisnya yang besar itu. "Kau masih mampu bergerak cepat, Ki Gede", desis Gonggang
Wirit. Ki Gede Sembojan tidak menjawab sama sekali. Tetapi ia pun
telah bersiap menghadapi serangan-serangan berikutnya.
Dalam pada itu, Gonggang Wirit pun telah mulai dengan
sungguh-sungguh. Selangkah ia meloncat maju, kerisnya
menyambar dengan cepat, sementara Ki Gede pun telah meloncat
pula menghindar secepatnya datangnya serangan. Namun
Gonggang Wirit telah melibasnya dalam permainan senjata yang
cepat dan berbahaya. Tetapi serangan-serangan Gonggang Wirit masih belum
membuat Ki Gede menjadi bingung. Ki Gede masih tetap melihat
keris lawannya dengan jernih, meskipun ia menyadari, bahwa
menilik ujudnya, keris itu tentu keris yang mempunyai tuah yang
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xv xv SH. Mintardja tinggi. Bahkan menurut ujung dan warnanya, keris itu tentu
merupakan senjata yang paling berarti bagi Gonggang Wirit.
Sejenak kemudian, maka keduanya pun telah terlibat dalam
pertempuran yang semakin sengit. Keduanya bergerak semakin
cepat, sementara senjata mereka pun menyambar-nyambar
dengan garangnya. Ketika kemudian terjadi benturan-benturan antara keris
Gonggang Wirit yang besar dengan Sabet Ki Gede yang
dinamainya Kiai Tatit, maka bunga api pun telah memercik ke
udara, mengoyak kelamnya malam.
Ternyata bahwa kedua orang itu adalah orang-orang yang
memiliki kemampuan yang luar biasa. Keduanya mampu
bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, sementara
kekuatan mereka pun sulit untuk dijajagi menurut ukuran
kekuatan wadag orang kebanyakan. Sambaran senjata mereka
telah menimbulkan desing angin yang mengguncang udara
malam yang gelap. Hanya orang-orang yang memiliki ketajaman penglihatan
melampaui ketajaman mata biasa sajalah yang mampu melihat
gerak ujung senjata lawan yang bagaikan seekor lalat mengitari
sasarannya. Dalam pada itu, selagi kedua orang yang berilmu tinggi itu
bertempur di sebelah pohon-pohon raksasa di ujung Kali Pideksa
maka di rumahnya Wiradana menunggunya dengan sangat
gelisah. Sekali-kali timbul niatnya untuk mencari ayahnya. Tetapi
jika hal itu diketahui oleh ayahnya, maka ayahnya justru akan
menjadi marah kepadanya. Bahkan barangkali kedatangannya di
arena perang tanding itu akan dapat mempengaruhi kemampuan
ayahnya menghadapi lawannya yang dikenal dengan Kalamerta,
namun yang oleh ayahnya disebut Gonggang Wirit.
Namun kadang-kadang dalam kegelisahan Wiradana berniat
untuk berbicara dengan para peronda, agar merekalah yang
mencari ayahnya. Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xvi xvi SH. Mintardja Tetapi niat itupun telah diurungkannya pula. Sehingga
akhirnya dalam kegelisahannya Wiradana itu mondar-mandir
saja di dalam biliknya. Kadang-kadang ia justru keluar ke ruang
dalam dan dengan jantung yang berdebaran memandangi pintu
bilik ayahnya yang tidak tertutup rapat.
Di gardu, anak-anak muda yang meronda berusaha untuk
melawan kantuknya dengan saling berceritera. Bahkan ada yang
sempat bergurau dan tertawa berkepanjangan. Seorang anak
muda yang kekurus-kurusan duduk di sudut gardu tanpa
menghiraukan kawan-kawannya. Ia tidak ikut tertawa dalam
gurau yang kadang-kadang kasar. Ia pun tidak ikut berceritera
tentang lelembut yang beterbangan di dalam gelapnya malam.
Tetapi tiba-tiba saja seorang kawannya menegornya, "He, apa
yang kau lakukan" Itukah agaknya yang membuatmu diam saja,
tetapi mulutmu tidak berhenti mengunyah."
"Agaknya bagiku lebih bermanfaat mengunyah ketela rebus ini
daripada membual ke sana kemari tidak ada ujung pangkalnya,"
jawab anak muda yang kekurus-kurusan itu.
"Kau memang tidak pernah berhenti makan. Tetapi kau tetap
kurus saja," gumam kawannya itu.
Anak muda yang kekurus-kurusan itu tidak menjawab. Tetapi
mulutnya masih saja mengunyah makanan tanpa henti-hentinya.
Sementara itu, dua orang yang berada di ujung Kali Pideksa,
disebelah pohon raksasa yang berdiri tegak dalam kelamnya
malam, masih saja bertempur dengan dahsyatnya. Ternyata
keduanya adalah orang yang berilmu tinggi. Setelah lebih dari
duapuluh tahun mereka berpisah, agaknya ilmu mereka telah
meningkat dengan pesatnya.
Gonggang Wirit dan Ki Gede Sembojan agaknya tanpa saling
mengetahui keadaan masing-masing telah menimpa diri dalam
jalannya yang ternyata pada satu saat telah bersilang.
Pertempuran yang terjadi itu, semakin lama menjadi semakin
cepat, sehingga keduanya bagaikan berubah menjadi bayang-
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xvii xvii SH. Mintardja bayang yang berputaran. Senjata mereka yang terayun-ayun telah
menimbulkan angin yang berputaran menggerakkan daun-daun
dari pohon raksasa itu. Benturan yang terjadi itu telah
menggeretakkan jantung masing-masing. Bahkan tangan-tangan
mereka pun terasa menjadi pedih.
Ternyata senjata ditangan masing-masing adalah senjata
pilihan yang sulit dicari bandingnya. Keris yang besar ditangan
Gonggang Wirit memiliki kemampuan yang sebanding dengan
Sabet Kiai Tatit, di tangan Ki Gede Sembojan.
Namun betapapun juga mereka memiliki kemampuan gerak
yang cepat, namun setelah bermain-main dengan senjata untuk
beberapa lamanya, maka ujung-ujung senjata itu telah mulai
menjilat tubuh lawannya. Pedang Ki Gede Sembojan telah
tergores di tubuh Gonggang Wirit, menyilang di dada. Namun
kemudian ujung keris Gonggang Wirit pun telah tergores di
lengan Ki Gede pula. "Gila," geram Ki Gede.
Sementara itu terdengar Gonggang Wirit tertawa. Katanya,
"Kau akan mati. Warangan pada kerisku itu tidak akan terlawan
oleh obat yang manapun juga."
Ki Gede Sembojan menggeram. Tetapi ia menyadari, apa yang
dapat terjadi atas dirinya. Karena itu, maka sambil bersiaga
menghadapi kemungkinan berikutnya, ia telah mengambil
sebutir obat dari kantong ikat pinggangnya. Ia sengaja membawa
obat itu, karena ia menyadari, bahwa keris lawannya itu tentu
mengandung bisa yang kuat. Ketika Ki Gede bertemu dengan
orang itu di tempat seorang pande besi, Ki Gede sudah melihat
bahwa orang itu adalah pemimpin gerombolan Kalamerta, jika
orang yang dikenalnya bernama Gonggang Wirit itu tidak
mengatakannya sendiri tentang dirinya.
Tetapi ketika ia menelan obat itu, Gonggang Wirit tertawa
semakin keras. Katanya, "Tidak ada gunanya. Obat apapun juga,
tidak akan menolongmu."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xviii xviii SH. Mintardja "Gila," geram Ki Gede.
Kemarahan yang memuncak telah menghentak di dada Ki
Gede. Tiba-tiba saja diluar
dugaan lawannya, pada saat
lawannya tertawa berkepanjangan, Ki Gede telah
meloncat menyerang. Demikian
cepatnya sehingga lawannya itu
tidak sempat berbuat layak.
Untuk melindungi dirinya,
maka Gonggang Wirit telah
menangkis serangan itu. Tetapi
serangan yang datang terlalu
cepat itu tidak seluruhnya
dapat dihindarkannya. Meskipun ujung pedang Ki Gede tidak menghunjam ke dadanya,
namun pedang itu telah mengoyak pundaknya.
Gonggang Wirit menyeringai menahan pedih. Ketika terasa
darah meleleh dari luka itu, maka ia pun menjadi sangat marah
pula. Karena itulah, maka pertempuran itupun menjadi semakin
meningkat pula. Ki Gede yang telah terkena racun itupun mulai
merasakan pengaruhnya. Tubuhnya terasa menjadi semakin
lemah. Obat yang telah ditelannya hanya mampu menghambat
peredaran bisa yang telah menusuk ke dalam urat dadanya.
Tetapi Gonggang Wirit yang telah menitikkan darah semakin
banyak itu pun kekuatannya telah menjadi susut pula. Meskipun
luka di dadanya tidak begitu dalam, tetapi darah telah menitik
pula, sementara dari pundaknya yang terkoyak, darah pun
mengalir bagaikan terperas.
Dengan demikian, maka kedua orang yang berilmu tinggi itu
semakin lama ternyata menjadi semakin lemah pula. Dalam
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xix xix SH. Mintardja kemarahan yang memuncak, Ki Gede masih sempat
menghentakkan sisa tenaganya sehingga ujung pedangnya
sempat menyusup sekali lagi ke sela-sela putaran keris lawannya,
sehingga pedang itu telah menghunjam ke lambung Gonggang
Wirit. Tetapi pada saat yang hampir bersamaan pula keris
Gonggang Wirit yang berbisa itu telah menyobek kulit Ki Gede
pada pergelangan tangannya.
Gonggang Wirit yang lambungnya sobek itu terhuyung-
huyung beberapa langkah surut. Dipandanginya lawannya yang
membuatnya mendendam selama lebih dari duapuluh tahun.
Kebencian yang sangat memancar dari kedua belah matanya yang
merah, sementara darahnya masih saja mengalir tidak henti-
hentinya. Sesaat kemudian pandangan mata Gonggang Wirit itu pun
menjadi buram. Tubuhnya menjadi semakin lemah, sementara
darahnya mengalir tanpa dapat dibendung lagi.
Namun dalam keadaan yang demikian ia masih tertawa sambil
berkata, "Ki Gede, kau memang berhasil melukai aku. Mungkin
aku akan mati. Tetapi kau pun akan mati pula malam ini. Obat
apapun juga tidak akan dapat menolongmu. Racunku akan
bekerja dengan pasti, menghancurkan jaringan di dalam
tubuhmu, mencengkam otakmu dan kemudian membekukannya
sehingga kau akan mati."
Ki Gede tidak menjawab. Tetapi tubuhnya mulai terasa
menjadi lain. Sendi-sendinya seakan-akan tidak lagi dapat
dikuasainya. Dagingnya bagaikan menjadi kejang-kejang dan
darahnya serasa mulai semakin sendat.
Ketika Gonggang Wirit kemudian terjatuh di tanah, maka Ki
Gede berusaha untuk mengambil sebutir obat penangkal
racunnya. Dengan susah payah ia mencoba menelannya. Tetapi
obat tertelan, kaki Ki Gede tidak lagi kuat menyangga tubuhnya,
sehingga Ki Gede itu pun kemudian jatuh terduduk.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xx xx SH. Mintardja Obatnya memang benar-benar tidak dapat menolak atas racun
yang menghunjam semakin dalam di tubuhnya. Seperti dikatakan
oleh Gonggang Wirit bahwa racun itu akan merusak seluruh
jaringan tubuhnya, mencengkam otaknya dan kemudian
membekukannya. Sementara itu, obat yang ditelannya, hanya
mampu memperlambat kepastian yang tidak akan dapat
terhindar dari dirinya. Tubuh Ki Gede semakin lama menjadi semakin lemah. Bahkan
akhirnya malam serasa menjadi semakin gelap. Bintang-bintang
yang mulai mengintip dari balik sisa awan di langit, menjadi
pudar dan akhirnya lenyap sama sekali.
Namun dalam pada itu, pada saat terakhir kesadarannya, Ki
Gede masih sempat berkata kepada dirinya, "Jika saat ini
memang harus datang kepadaku, maka tugasku memang sudah
selesai. Lebih dari itu, agaknya aku memang harus menebus
noda-noda yang terpercik di hatiku dua puluh tahun yang lalu."
Malam pun menjadi semakin sepi. Dua sosok tubuh terbaring
diam tidak jauh dari dua batang pohon raksasa yang tumbuh
terpisah dari hutan yang tidak terlalu lebat oleh beberapa puluh
langkah tanah berbatu padas.
Yang terdengar kemudian hanyalah suara burung kedasih
yang ngelangut yang sekali-sekali diterpa oleh gonggong anjing
hutan yang tidak begitu lebat.
Namun, anjing-anjing hutan itu menjadi liar ketika mereka
mencium bau darah yang dibawa angin malam yang berdesah di
dedaunan, sehingga gonggongannya menjadi semakin keras,
bersahut-sahutan. Di rumah Ki Gede Sembojan, kegelisahan Wiradana rasa-


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rasanya tidak dapat ditahankannya lagi. Dengan keringat yang
membasahi di punggungnya, Wiradana itupun melangkah keluar.
Sejenak ia berdiri di pendapa. Namun kemudian ia pun turun ke
halaman dan hampir diluar sadarnya ia pun mendekati para
pengawal yang meronda. Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xxi xxi SH. Mintardja "Hampir fajar," desis Wiradana.
"Ya," jawab salah seorang pengawal, "Tetapi kau akan
kemana?" Wiradana tidak segera menjawab. Tetapi ia sadar, bahwa
pedangnya ternyata telah menarik perhatian, sehingga pengawal
itu telah bertanya kepadanya.
Beberapa saat Wiradana masih tetap terdiam. Tetapi
kemudian katanya, "Ayah masih belum kembali."
Para pengawal yang berada di gardu itu baru teringat, bahwa
Ki Gede telah meninggalkan halaman rumahnya dan pergi tanpa
memberitahukan arahnya. Ki Gede Sembojan memang sering pergi seorang diri tanpa
orang lain yang mengawalnya. Bukan saja di siang hari, tetapi
juga di malam hari. Tetapi kebiasaannya, jika pergi di malam hari
Ki Gede tidak pernah pergi sampai matahari terbit jika tidak ada
sesuatu yang sangat penting. Itulah kebiasaan Ki Gede untuk
melakukan kewajibannya menjelang pagi.
Tetapi pada malam itu, pada saat langit menjadi merah, Ki
Gede ternyata masih belum kembali.
Karena itu, anak-anak muda yang berada di gardu itu pun
telah menunda untuk tidak segera pulang. Mereka menunggu
beberapa saat lamanya, mungkin ada sesuatu yang penting yang
harus mereka lakukan. Dengan demikian, maka rumah Ki Gede Sembojan itu telah
diliputi oleh kegelisahan. Bukan saja Wiradana, tetapi anak-anak
muda yang berjaga-jaga di gardu pun menjadi gelisah. Apalagi
ketika matahari kemudian mulai memanjat langit di sebelah
Timur. "Apa yang terjadi?" bertanya anak-anak itu kepada Wiradana.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xxii xxii SH. Mintardja Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Ada semacam keragu-
raguan untuk mengatakan apa yang telah dilakukan oleh
ayahnya. Tetapi oleh kegelisahannya sendiri, maka Wiradana pun telah
terdorong berkata, "Semalam ayah telah melakukan perang
tanding." "He," anak-anak muda itu terkejut, sehingga mereka pun
bergeser mendekat, "Perang tanding?" hampir bersamaan mereka
mengulang. Wiradana mengangguk. "Wiradana," berkata salah seorang di antara mereka, "Jadi kau
sudah mengetahui bahwa Ki Gede telah memasuki perang
tanding?" "Ya," jawab Wiradana singkat.
"Dan kau tidak berbuat apa-apa?" bertanya yang lain.
Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
"Bukankah kalian juga mengenal ayahku" Jika ia ingin pergi
seorang diri, maka ia harus pergi seorang diri."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka memang
mengenal watak Ki Gede Sembojan, sehingga karena itu, maka
mereka memang tidak menyalahkan Wiradana.
Namun dalam pada itu, salah seorang di antara anak-anak
muda itu bertanya, "Dengan siapa Ki Gede berperang tanding?"
"Dengan lawan lamanya, Gonggang Wirit. Tetapi yang
kemudian bernama Kalamerta," jawab Wiradana.
"Kalamerta," kembali anak-anak muda itu terkejut. Kalamerta
bagi mereka adalah hantu yang menakutkan. Tanah Perdikan
Sembojan telah mengadakan persiapan yang kuat untuk
menghadapi gerombolan Kalamerta yang mulai mengganggu.
Bahkan menurut beberapa orang yang pernah bersentuhan
dengan orang-orang dari gerombolan itu, Kalamerta adalah orang
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xxiii xxiii SH. Mintardja yang bukan manusia biasa. Menurut para pengikutnya yang
mulai mengganggu Tanah Perdikan itu, Kalamerta adalah ujud
dari manusia yang memiliki kemampuan tidak terbatas.
"Wiradana," berkata salah seorang anak muda, "Apakah kau
tidak pernah mendengar nama itu?"
"Tentu pernah," jawab Wiradana. "Sebagaimana ayah juga
pernah mendengarnya."
"Tetapi kenapa Ki Gede telah turun dalam perang tanding"
Seharusnya kita, para pengawal di seluruh Tanah Perdikan
dikerahkan untuk menghadapi gerombolan itu. Itupun masih
belum tentu kita akan dapat mengalahkan gerombolan yang
dipimpin oleh seseorang yang memiliki kemampuan tidak
terbatas," sahut salah seorang di antara anak-anak muda itu.
Lalu, "Tetapi tentu ada bedanya jika kita semuanya ikut
melibatkan diri dalam usaha untuk mengusir gerombolan itu."
"Tetapi ayah tidak akan menghadapi seluruh gerombolan
Kalamerta. Ayah akan melakukan perang tanding dengan
pemimpin gerombolan itu, yang dikenal bernama Gonggang
Wirit," jawab Wiradana.
Tetapi salah seorang di antara anak-anak muda itu berkata,
"Kalamerta itulah yang disebut memiliki kemampuan yang tidak
terbatas. Sebenarnyalah jika demikian, kami mencemaskan
keselamatan Ki Gede."
Wiradana mengerutkan keningnya. Kecemasan itu telah
mencengkam jantungnya pula.
Tetapi ia masih ragu-ragu untuk memerintahkan mencari
ayahnya. Jika perang tanding itu masih belum selesai, maka
akibatnya justru akan menyulitkan ayahnya sendiri.
Karena itu, maka Wiradana itu pun berkata, "Kita akan
menunggu sampai tengah hari. Jika sampai tengah hari ayah
belum kembali, maka kita akan mencarinya."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xxiv xxiv SH. Mintardja "Sampai tengah hari?" bertanya seorang di antara anak-anak
muda itu. "Itu terlalu lama. Tentu kita tidak ingin terlambat."
Wiradana termangu-mangu. Tetapi ia yakin, bahwa ayahnya
akan mampu melakukan perang tanding untuk waktu yang lama
jika kedua-duanya masih tetap dalam keseimbangan. Tetapi
sudah tentu bahwa ia pun tidak ingin terlibat jika terjadi sesuatu
atas ayahnya. Untuk beberapa saat Wiradana termangu-mangu. Ia
benar-benar dicengkam oleh
kebimbangan menghadapi persoalan yang mendebarkan
itu. Namun dalam pada itu, selagi anak-anak muda itu
masih berbincang tentang banyak kemungkinan, mereka
telah dikejutkan oleh kedatangan sebuah pedati yang
diikuti oleh sederet anak muda
Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan beberapa orang tua pun
ikut pula bersama mereka.
Wiradana menjadi berdebar-debar. Dengan serta merta ia pun
telah menyongsong pedati itu keluar regol halaman rumahnya.
"Ada apa?" Wiradana itu pun bertanya kepada seseorang yang
berada di depan pedati itu.
"Ki Gede terluka parah," jawab orang itu.
"Ayah," desis Wiradana.
"Ya," jawab orang itu.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xxv xxv SH. Mintardja Wiradana pun kemudian meloncat untuk naik ke dalam
pedati. Tetapi seorang tua berjanggut putih telah mencegahnya.
Katanya, "Jangan anak muda."
"Aku anaknya. Siapa kau?" bertanya Wiradana.
"O, jadi kau putera Ki Gede Sembojan?" bertanya orang tua
itu. "Ya. Aku Wiradana," jawabnya.
Orang tua itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tetap
mencegahnya. Katanya, "Jika kau adalah puteranya, maka
seharusnya kau mengikuti petunjukku. Ki Gede sedang dalam
keadaan yang sangat gawat."
Wiradana termangu-mangu. Namun ia pun mengurungkan
niatnya untuk memasuki pedati itu.
Perlahan-lahan pedati itu memasuki regol halaman rumah Ki
Gede, dengan diikuti oleh sebuah iring-iringan yang panjang.
Orang-orang Sembojan itu ingin tahu, apa yang telah terjadi
dengan Kepala Tanah Perdikannya.
Pedati itu pun kemudian berhenti di depan pendapa. Orang
tua berjanggut putih itupun kemudian meminta Wiradana dan
beberapa orang yang lain membantunya, mengangkat Ki Gede
dan membawanya ke dalam biliknya.
"Apa yang telah terjadi?" Wiradana mendesak.
Orang tua itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Aku harus berusaha menolongnya lebih dahulu. Baru kemudian
aku akan berceritera, meskipun aku tidak banyak mengetahui
persoalannya." Wiradana tidak mengganggunya lagi. Ketika Ki Gede sudah
terbaring di pembaringannya, maka seorang laki-laki yang masih
cukup muda bergeser mendekati orang berjanggut putih itu.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xxvi xxvi SH. Mintardja "Kita harus mengulanginya lagi," berkata orang berjanggut
putih itu. "Tetapi agaknya obat kita yang pertama telah berhasil
menghentikan racun yang sangat tajam itu."
"Ya Kiai," jawab laki-laki yang masih agak muda itu, "Mudah-
mudahan Kiai dapat berhasil."
"Ambillah air," berkata orang berjanggut putih itu.
Laki-laki itu pun kemudian minta kepada Wiradana
semangkuk air bersih. "Cepat, ambil air," desis Wiradana kepada salah seorang anak
muda yang berdiri di belakangnya.
Sejenak kemudian, anak muda itu telah menyerahkan
semangkuk air kepada orang tua berjanggut putih itu.
"Maaf Ki Sanak," berkata orang tua itu kemudian kepada
orang-orang yang ada di dalam bilik Ki Gede, "Aku mohon Ki
Sanak keluar dari bilik ini, kecuali yang sangat berkepentingan,
agar udara di dalam bilik ini tidak menjadi terlalu pengab."
Wiradana lah yang kemudian mempersilahkan orang-orang
yang berjejalan di dalam bilik itu untuk keluar. Hanya Wiradana
dan seorang pembantu terdekat Ki Gede sajalah yang kemudian
berada di bilik itu. "Angger," berkata orang berjanggut putih itu, "Kami berusaha
untuk mengobati luka-luka ayah angger dengan segenap
kemampuan yang ada pada kami. Tetapi segalanya terserah
kepada Yang Maha Agung. Karena itu, berdoalah bersama dengan
kami, mudah-mudahan usaha ini berhasil."
Wiradana mengangguk kecil. Namun sebenarnyalah
jantungnya bagaikan meledak oleh kecemasan.
Sejenak kemudian, maka orang tua itu telah meramu obat
yang dibawanya. Sebagian dari obat-obat itu akan dimasukkan ke
dalam tubuh Ki Gede lewat kerongkongannya, sementara yang
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xxvii xxvii SH. Mintardja lain akan dioleskan pada luka yang terkena racun yang sangat
tajam itu. "Kami sudah berusaha mengobatinya pada saat kami
menemukannya," berkata orang tua itu sambil meramu obat,
"Agaknya keadaannya memang sangat parah."
Wiradana tidak menjawab. Tetapi dengan tegang ia mengikuti
usaha orang yang tidak dikenalnya itu. Di dalam hati,
sebagaimana dikatakan oleh orang berjanggut putih itu,
Wiradana berdoa bagi keselamatan ayahnya.
Dengan hati-hati maka setelah ramuan obat itu selesai
dicairkan, diteteskannya ke bibir Ki Gede yang seakan-akan telah
membeku. Ketika titik-titik ramuan obat itu perlahan-lahan
masuk ke dalam kerongkongan itu, maka orang berjanggut putih
itu menarik nafas dalam-dalam.
"Kita masih dapat berpengharapan ngger," desisnya.
Wiradana menjadi semakin tegang. Tetapi ia hanya dapat
berdiri termangu apa yang akan terjadi.
Setelah ramuan obat itu sebagian besar dengan telaten telah
dimasukkan ke dalam kerongkongan, maka dengan obat yang
lain, luka Ki Gede yang sebenarnya tidak terlalu dalam itu telah
diolesinya pula. "Semoga saja obat-obat ini ada manfaatnya," gumam orang tua
itu kemudian. Wiradana yang cemas itu pun kemudian bertanya, "Apakah
yang sebenarnya telah terjadi dengan ayah, Kiai?"
Orang berjanggut putih itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian sambil bergeser sedikit ia pun berkata, "Marilah
silahkan duduk ngger."
Wiradana termangu-mangu. Namun ia pun kemudian telah
duduk pula di bibir amben telah mengambil dingklik kayu dan
duduk pula di hadapan orang tua itu.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xxviii xxviii SH. Mintardja "Angger," berkata orang tua itu. "Sebenarnya kami berdua pun


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak terlalu banyak tahu apa yang telah terjadi. Ketika kami
berdua berjalan melalui ujung Kali Pideksa, maka kami telah
menemukan dua sosok tubuh yang terbaring diam. Untunglah
anjing-anjing liar di hutan itu masih belum menemukan. Tanpa
mengetahui apa sebabnya, maka kami berusaha untuk melihat
keadaan kedua sosok tubuh itu. Yang seorang mengalami luka
parah karena ujung senjata telah menyayat kulit dan dagingnya,
sementara yang lain mengalami luka tidak begitu dalam, tetapi
luka itu telah menjadi pintu masuknya racun yang sangat kuat.
Ketika kami berdua mengamati keduanya, maka seorang di
antaranya telah meninggal. Luka yang parah itu agaknya telah
menumpahkan terlalu banyak darah, sehingga orang itu tidak
dapat bertahan untuk tetap hidup. Sementara yang seorang lagi
masih mampu bertahan atas tajamnya racun di dalam tubuhnya.
Agaknya yang seorang itu telah berusaha mengobati dirinya
sendiri, tetapi racun yang masuk ke dalam tubuh itu memang
terlalu kuat, sehingga obat itu tidak dapat menolak seluruhnya
kekuatan racun yang menyusup memasuki urat darahnya.
Untunglah bahwa aku juga membawa obat penangkal racun yang
agaknya lebih baik dari obat yang dimiliki oleh orang ini, yang
kemudian ternyata adalah Ki Gede Sembojan."
Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Menilik ceritera orang
itu, maka seorang lagi yang diketemukan terbaring di ujung Kali
Pideksa itu telah mati. Dan orang itu tentu Gonggang Wirit yang
juga disebut Kalamerta. Namun dalam pada itu, Wiradana itu pun masih juga bertanya
untuk meyakinkan dugaannya, "Kiai, apakah Kiai mengetahui,
siapakah yang telah terbunuh itu?"
Orang tua itu menggeleng. Jawabnya, "Tidak ngger. Aku tidak
tahu siapakah yang telah meninggal itu."
"Dimanakah mayat itu sekarang, Kiai?" bertanya Wiradana.
"Pada saat aku menemukan, maka aku menjadi ragu-ragu atas
keduanya. Aku memang sudah menduga, bahwa telah terjadi
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xxix xxix SH. Mintardja perang tanding. Karena itu, maka keduanya telah kami bawa ke
padukuhan terdekat. Kami berdua telah memapah kedua tubuh
itu. Dan di padukuhan terdekat, barulah aku tahu, bahwa seorang
di antara keduanya adalah Ki Gede Sembojan menurut
pengenalan orang-orang padukuhan itu," berkata orang tua itu,
"Tetapi yang lain, tidak seorang pun dapat mengatakannya. Dan
sementara ini tubuh yang kami tinggal di banjar padukuhan itu,
yang ternyata adalah daerah Sembojan pula."
Wiradana mengangguk-angguk. Ia pun kemudian
menceriterakan kepada orang tua itu, apa yang telah dilakukan
oleh ayahnya. "Ayah memang memancing perang tanding dengan pemimpin
brandal Kalamerta yang mulai menjamah Tanah Perdikan ini,
Kiai," berkata Wiradana.
?"Kalamerta?" jawab orang tua itu menjadi tegang. "Jadi yang
terbunuh itu agaknya adalah Kalamerta itu sendiri."
"Mungkin sekali," jawab Wiradana.
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin sekali.
Memang aku melihat ciri-ciri pada orang yang disebut Kalamerta
itu." "Apakah Kiai mengenal ciri-cirinya?" bertanya Wiradana.
"Ya. Aku menemukan sebilah keris yang besar sekali. Menurut
pendengaranku, senjata Kalamerta adalah keris yang besar itu,"
jawab orang tua itu. "Jika demikian agaknya ayah telah berhasil membunuhnya,
meskipun keadaan ayah sendiri menjadi parah," desis Wiradana.
Namun kemudian katanya, "Dengan demikian maka kekuatan
gerombolan itu menjadi jauh susut, karena kekuatan mereka
hanyalah bertumpu kepada kemampuan seseorang. Sedangkan
yang lain tidak lebih dari orang kebanyakan, sehingga
gerombolan brandal itu tidak lagi menakutkan bagi kami."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xxx xxx SH. Mintardja Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian,
maka Ki Gede Sembojan ini memang orang yang luar biasa.
Orang yang memiliki kemampuan yang tidak terbatas
sebagaimana Kalamerta itu sendiri."
"Aku tidak dapat mengatakan apa-apa tentang ayahku. Tetapi
ayah memang seorang yang tekun berada di dalam sanggar,"
berkata Wiradana. "Tetapi bukankah dengan demikian angger juga seorang yang
memiliki ilmu yang tidak terbatas seperti ayah angger itu?"
bertanya orang tua itu. Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya
dipandanginya pembantu ayahnya yang terdekat itu. Namun
akhirnya ia berkata, "Aku adalah seorang anak yang malas. Aku
memang mempelajari ilmu dari ayah. Tetapi aku baru memiliki
dasar-dasarnya saja yang masih harus dikembangkan.
"O," orang tua itu mengangguk-angguk, "Sebenarnyalah itu
sudah cukup. Bukankah memang hanya dasar-dasarnya itu saja
yang dapat diwariskan kepada orang lain. Tetapi yang menerima
itulah yang harus mengembangkannya sendiri."
"Begitulah yang dikatakan ayah kepadaku," jawab Wiradana,
"Tetapi aku bukan orang yang rajin dan tekun, sehingga
perkembangan ilmuku pun tidak sepesat yang ayah kehendaki."
Orang tua itu tersenyum. Katanya, "Angger merendahkan diri.
Agaknya memang menjadi tabiat orang-orang berilmu tinggi
untuk merendahkan dirinya."
"Aku tidak merendahkan diri," jawab Wiradana. "Dengan jujur
aku katakan aku memang kurang rajin menekuni ilmu itu."
Tetapi orang tua itu berkata, "Itu bukan soal. Tetapi angger
telah menguasai dasar-dasarnya, sehingga terbersit niat angger
untuk mendalaminya, maka angger dapat melakukan setiap saat."
Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
menjawab lagi. Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xxxi xxxi SH. Mintardja Dalam pada itu, obat yang diberikan oleh orang tua itu pun
mulai bekerja. Perlahan-lahan tetapi mampu menumbuhkan harapan bagi
Wiradana. Ketika bibir ayahnya mulai bergerak, rasa-rasanya
Wiradana ingin meloncat dan mengguncangkan
membangunkannya. Tetapi orang tua itu melarangnya. Katanya, "jangan kau
kejutkan ngger. Biarlah ayahmu sadar dengan sendirinya oleh
kekuatan obat yang bekerja di dalam tubuhnya."
Wiradana mengangguk kecil. Betapapun juga terjadi
pergolakan di dalam dadanya, namun ia masih harus menahan
diri. "Biarlah ayahmu sadar dari pingsannya yang gawat. Baru jika
keadaan memungkinkan, kita dapat bertanya sesuatu
kepadanya," berkata orang tua itu.
Dengan demikian, maka orang-orang yang ada di dalam bilik
itupun kemudian hanya sekadar menunggu perkembangan
keadaan Ki Gede Sembojan itu.
Dalam pada itu, maka orang-orang yang ada diluar bilik itu
pun menjadi sangat gelisah. Beberapa orang telah turun ke
halaman. Tetapi ada di antara mereka yang masih saja berada di
ruang dalam. Mereka menunggu, apakah yang terjadi dengan
kepala Tanah Perdikan mereka yang menurut orang-orang
Sembojan adalah seorang yang bekerja keras untuk kepentingan
Tanah Perdikan itu. Seorang yang dengan sungguh-sungguh
memperhatikan keadaan mereka, melampaui Kepala Tanah
Perdikan yang terdahulu. Yang karena tidak mempunyai seorang
anak pun telah melimpahkan kekuasaan kepada kemenakannya.
Ki Gede Sembojan yang terluka dan dalam keadaan yang gawat
itu. Sementara itu, di dalam bilik orang tua berjanggut putih itu
dengan tegang pula mengikuti perkembangan keadaan Ki Gede
Samboyan. Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xxxii xxxii SH. Mintardja Orang-orang yang berada di dalam bilik itu menjadi berdebar-
debar ketika mereka melihat Ki Gede mulai membuka matanya.
Wiradana beringsut semakin dekat. Tetapi seperti pesan orang
tua berjanggut putih itu. Wiradana sama sekali tidak
menyentuhnya. Akhirnya wajah yang pucat itu mulai bergerak. Ki Gede yang
telah membuka matanya itu mencoba untuk melihat orang-orang
yang berada di sekitarnya.
Mula-mula yang nampak adalah tubuh-tubuh yang buram
tanpa dapat dikenalnya. Namun perlahan-lahan Ki Gede mulai melihat seorang yang
berjanggut putih memandanginya dengan tatapan mata yang
sejuk. Perlahan-lahan Ki Gede mencoba untuk mengingat kembali
apa yang telah terjadi dengan dirinya. Perlahan-lahan pula ia
mulai dapat mengenang kembali perang tanding di ujung Kali
Pideksa, di sebelah sepasang pohon raksasa yang terpisah oleh
beberapa puluh langkah tanah berbatu padas.
"Apakah aku memang sudah mati," berkata Ki Gede di dalam
hati. "Dan yang berjanggut putih ini adalah ujud-ujud aneh di
akhirat?" Namun ketika ia perlahan-lahan menggerakkan kepalanya,
maka dilihatnya wajah anak laki-lakinya, Wiradana.
"Wiradana," perlahan sekali terdengar Ki Gede berdesis.
Namun Wiradana yang dengan sungguh-sungguh
memperhatikan perkembangan ayahnya itu mendengarnya.
Karena itu, maka ia pun semakin dekat sambil menjawab, "Ya
ayah. Ini aku Wiradana."
Ki Gede mencoba menarik nafas panjang. Tetapi terasa pusat
dadanya masih pedih bagaikan tertusuk duri.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xxxiii xxxiii SH. Mintardja Namun kemudian terdengar Ki Gede itu berdesah, "Aku
sekarang berada dimana Wiradana" Apakah aku masih tetap
hidup?" "Ya ayah," jawab Wiradana, "Ayah masih tetap hidup. Ayah
sekarang berada dirumah."
"O," Ki Gede menyeringai menahan sakit di seluruh tubuhnya,
"Jadi aku masih tetap hidup?"
"Ya ayah. Seseorang telah menolong ayah," jawab Wiradana.
"Siapa" Bukankah aku telah terkena racun yang tidak dapat
diobati" Obat penangkal racun yang aku bawa ternyata tidak
berhasil melawan racun yang sangat kuat, yang terdapat pada
ujung keris Gonggang Wirit," desis Ki Gede.
Wiradana termangu-mangu. Ia memang belum bertanya,
siapakah sebenarnya orang tua yang telah menolong ayahnya itu.
Karena itu, maka baru kemudian ia bertanya, "Siapakah
sebenarnya Kiai ini?"
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Aku penghuni sebuah padepokan yang terpencil, Ki
Gede. Aku tinggal bersama seorang yang masih terhitung
kadangku sendiri, yang sekarang ikut bersamaku ini, serta
seorang cucuku perempuan. Yang sudi menyebut namaku adalah
Kiai Badra." "Kiai telah menolong aku?" bertanya Ki Gede.
"Secara kebetulan kami berdua menemukan Ki Gede
terbaring. Menilik keadaan Ki Gede, maka agaknya Ki Gede telah
terkena racun yang luar biasa, sehingga obat yang agaknya telah
Ki Gede telan sebelumnya tidak berhasil menahan kekuatan
racun itu selain menghambatnya."
"Terima kasih," suara Ki Gede masih sendat. Tetapi jelas
terdengar. Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xxxiv xxxiv SH. Mintardja "Sementara ini silakan Ki Gede beristirahat sebaik-baiknya.
Mudah-mudahan keadaan Ki Gede akan menjadi semakin baik,"
berkata Ki Badra itu. Ki Gede menarik nafas. Dadanya masih terasa sakit. Tetapi
peredaran pernafasannya terasa menjadi semakin lapang.
Dalam pada itu, maka orang tua berjanggut putih yang
bernama Ki Badra itu pun berkata, "Angger Wiradana. Terserah
kepada angger. Di banjar padukuhan di dekat Kali Pideksa
terdapat mayat yang mungkin sebagaimana disebut oleh angger
sebagai Kalamerta. Mayat itu dapat diselenggarakan sebagaimana
seharusnya." "Baik Kiai. Kami akan mengubur mayat itu baik-baik," jawab
Wiradana. Namun sementara itu, Kiai Badra pun berkata, "Tetapi sayang
sekali ngger, bahwa aku tidak dapat terlalu lama berada di tempat
ini. Aku akan segera minta diri."
"Kenapa terlalu tergesa-gesa," bertanya Wiradana, "Aku
mohon agar Kiai bersedia tinggal disini untuk sementara sampai
keadaan ayah menjadi semakin baik."
"Aku akan meninggalkan
obat untuk kesembuhan Ki Gede, ngger. Tetapi aku tidak
akan dapat tinggal lebih lama
lagi. Aku telah meninggalkan
cucuku, seorang gadis yang
mungkin akan menjadi ketakutan jika aku terlalu lama
pergi," jawab Ki Badra.
"Apakah tidak ada orang lain
di padepokan Kiai" Mungkin
para cantrik atau putut?"
bertanya Wiradana. Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xxxv xxxv SH. Mintardja Tetapi Kiai Badra menggeleng. Katanya, "Aku hanya


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempunyai seorang cantrik yang kebetulan adalah masih ada
hubungan darah. Dan sekarang ia berada disini pula, sehingga
cucuku itu benar-benar hanya seorang diri."
Wiradana termangu-mangu. Sementara itu, Ki Gede yang juga
mendengar pembicaraan itu berdesis, "Kiai jangan pergi."
"Maaf Ki Gede," jawab Kiai Badra. "Aku tidak sampai hati
untuk meninggalkan cucuku terlalu lama. Nanti, pada saat lain,
mungkin dua atau tiga hari lagi aku akan datang. Kecuali untuk
melihat kesehatan Ki Gede, aku akan membawa obat lagi
seandainya obat yang aku tinggalkan nanti sudah habis."
Dahi Ki Gede nampak berkerut. Ketika ia ingin beringsut,
ternyata ia memerlukan bantuan Wiradana.
"Kiai," berkata Ki Gede itu kemudian, "Jika cucu Kiai itu
memang tidak ada kawannya di padepokan, biarlah ia dibawa
kemari. Biarlah cantrik Kiai yang seorang itu menjemputnya."
Ki Badra termangu-mangu sejenak. Dipandanginya laki-laki
yang mengikutinya itu. Namun kemudian katanya, "Aku mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya jika Ki Gede memperkenankan aku
membawa cucuku ke rumah ini. Tetapi biarlah aku sendiri
menjemputnya, sementara cantrikku ini akan tinggal disini. Ia
akan dapat memberikan pengobatan sebaik-baiknya, jika aku
sudah menyediakan obatnya. Ia sudah memiliki pengalaman yang
cukup karena ia terlalu sering melihat dan membantu aku
mengobati orang sakit."
Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian
berdesis menahan sakit. Baru kemudian katanya, "Baiklah Kiai.
Jika demikian silakan. Tetapi Kiai jangan terlalu lama pergi."
"Aku akan berusaha secepatnya kembali Ki Gede. Aku akan
berada disini sampai keadaan Ki Gede menjadi baik," berkata
orang tua berjanggut putih.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xxxvi xxxvi SH. Mintardja "Jika demikian, apakah Kiai memerlukan kuda?" bertanya
Wiradana. "Tidak. Tidak ngger. Biarlah aku berjalan kaki saja," jawab
orang tua itu, lalu, "Tetapi tolong selain menyelenggarakan mayat
orang yang mungkin adalah Kalamerta itu, kembalikan pedati
yang aku bawa untuk membawa Ki Gede itu kepada pemiliknya.
Aku tidak tahu siapakah namanya. Ia tinggal di padukuhan itu
pula. Aku meminjamnya untuk membawa Ki Gede agar tidak
terlalu mengganggu keadaan tubuhnya yang sangat lemah itu."
"Baik Kiai," jawab Wiradana. "Aku akan segera
mengembalikannya." Demikianlah, maka orang tua itu pun segera minta diri,
sementara laki-laki yang disebut cantriknya itu pun telah
ditinggalkannya, untuk membantu merawat Ki Gede Sembojan.
"Siapa namamu Ki Sanak?" bertanya Wiradana kepada orang
itu. "Gandar," jawab orang itu singkat.
Wiradana mengangguk kecil. Hampir tidak didengar orang
lain ia mengulang, "Gandar."
Dengan demikian, maka sepeninggal orang tua berjanggut
putih itu, Gandar lah yang menunggui Ki Gede bersama
Wiradana. Dengan sungguh-sungguh Gandar selalu
memperhatikan keadaan Ki Gede. Dilakukannya sebagaimana
pesan Kiai Badra dengan sebaik-baiknya.
Karena itulah, maka keadaan Ki Gede memang berangsur-
angsur baik. Di hari pertama, maka Ki Gede sudah dapat menelan
titik-titik air yang diteteskan di bibirnya. Dengan demikian maka
keadaannya pun berangsur menjadi segar.
Wiradana dan orang-orang Sembojan pun menjadi semakin
berpengharapan. Meskipun Ki Gede masih berada di
pembaringannya, dan masih belum mampu bangkit untuk duduk,
namun wajahnya sudah berangsur nampak menjadi merah.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xxxvii xxxvii SH. Mintardja Noda-noda yang kebiru-biruan di tubuhnya tidak lagi bertambah
mekar. Ketika malam kemudian turun, maka Wiradana pun telah
memanggil beberapa orang untuk mendengarkan laporan tentang
Kalamerta yang berada di banjar padukuhan di ujung Tanah
Perdikan. Dari beberapa pengawal Wiradana mendapat
keterangan bahwa ada sesuatu peristiwa yang penting.
"Tetapi semua pengawal Tanah Perdikan harus selalu bersiap-
siap," berkata Wiradana. "Gonggang Wirit yang dikenal bernama
Kalamerta itu mempunyai pengikut yang kuat. Jika mereka
menjadi marah atas kematian pemimpinnya, maka mereka akan
dapat berbuat apa saja diluar dugaan kita."
"Kami selalu bersiaga," jawab pemimpin pengawal Tanah
Perdikan Sembojan. "Setiap saat anak-anak kami dapat
dikerahkan." "Terima kasih," berkata Wiradana. "Meskipun agaknya
gerombolan yang sudah kehilangan pemimpinnya itu tidak akan
segarang sebelumnya pada saat Kalamerta masih memimpin
mereka." "Tetapi dapat juga sebaliknya," jawab pemimpin pengawal.
"Kematian pemimpinnya, membuat mereka menjadi gila dan
berbuat apa saja diluar batas-batas peradaban manusia."
Wiradana mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Memang
mungkin. Sebaiknya kita memang harus bersiap-siap."
Pemimpin pengawal itu pun kemudian meninggalkan
Wiradana. Dengan para pemimpin pengawal di padukuhan-
padukuhan yang termasuk dalam daerah Tanah Perdikan
Sembojan, ia telah mengadakan satu pembicaraan untuk
menanggapi kemungkinan yang dapat terjadi.
Sebenarnyalah, bahwa kematian Gonggang Wirit yang juga
disebut Kalamerta itu sudah sampai ke telinga para pengikutnya.
Kemarahan yang luar biasa telah membakar jantung mereka.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xxxviii xxxvii SH. Mintardja Seorang yang paling mendapat kepercayaan dari Gonggang Wirit
dengan serta merta telah mengangkat dirinya menjadi pemimpin
gerombolan Kalamerta itu.
"Kita akan menghancurkan Tanah Perdikan Sembojan,"
berkata orang itu, orang yang bertubuh tinggi kekar dan
berambut ikal. "Tetapi kita sudah kehilangan pemimpin kita," desis seorang
pengikutnya. "Tanah Perdikan Sembojan pun sudah kehilangan
pemimpinnya, setidak-tidaknya untuk sementara. Ki Gede
Sembojan dalam keadaan luka parah, sehingga ia tidak akan
turun ke medan. Tanpa Ki Gede, maka Sembojan pun tidak
memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan kita," berkata
orang bertubuh kekar itu. "Kita akan menghancurkan Sembojan
dan membakarnya menjadi karang abang, setelah itu kita
mengambil semua kekayaan yang ada di Tanah Perdikan itu. Kita
juga akan membunuh Ki Gede yang sedang terluka parah itu.
Kematian pemimpin kita harus ditebus dengan sangat mahal oleh
orang-orang Tanah Perdikan Sembojan."
Para pengikut Kalamerta itu mengangguk-angguk. Sebagian
terbesar dari mereka sependapat dengan orang yang bertubuh
tinggi dan kekar itu, agar mereka menghancurkan Tanah
Perdikan Sembojan setelah mereka mengambil semua kekayaan
yang ada di Tanah Perdikan itu.
"Kapan kita akan melakukannya?" bertanya salah seorang di
antara para pengikut Kalamerta itu, "Malam nanti?"
"Jangan tergesa-gesa. Hari ini seluruh Tanah Perdikan itu
tentu sedang mempersiapkan diri. Kita akan menunggu dua tiga
hari. Jika mereka lengah, maka kita akan menyergap. Meskipun
kita tidak gentar melawan para pengawal yang kehilangan
pemimpinnya itu dalam kekuatan puncak mereka. Tetapi
sebaiknya kita juga memperhitungkan korban di pihak kita
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xxxix xxxix SH. Mintardja sendiri. Kita dapat menghancurkan Tanah Perdikan itu dengan
korban yang sekecil-kecilnya," jawab orang bertubuh kekar itu.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Ternyata orang yang
bertubuh kekar itu mempunyai perhitungan yang mapan dan
mampu menahan gejolak perasaannya. Sehingga karena itulah,
maka para pengikut Kalamerta itu harus bersabar untuk
beberapa hari. Namun demikian, setiap hari dua atau tiga orang
di antara mereka telah keluar dari persembunyian mereka, turun
ke daerah Tanah Perdikan untuk mengamati keadaan.
Namun dalam pada itu, anak-anak muda Sembojan ternyata
tidak pernah lengah. Setelah dua hari dari peristiwa yang terjadi
di ujung Kali Pideksa itu, anak-anak muda Sembojan justru
memperketat penjagaan mereka. Gardu-gardu setiap malam
dipenuhi oleh anak-anak muda, sementara para pengawal yang
terlatih telah bersiap di banjar-banjar. Jika terjadi sesuatu
dimana pun juga, mereka siap untuk bertindak.
Meskipun kesiagaan itu tidak lepas dari pengamatan para
pengawas yang dikirim oleh gerombolan Kalamerta, namun
akhirnya orang bertubuh tinggi kekar itu mempunyai
pertimbangan lain. "Kita tidak dapat menunggu lebih lama lagi," berkata orang
bertubuh tinggi kekar itu. "Jika dalam dua hari lagi, kesiagaan
mereka tidak menurun, maka kita harus bertindak. Aku kira,
meskipun mereka mengerahkan segenap pengawal dan anak-
anak muda yang ada di Tanah Perdikan, mereka tidak akan dapat
melawan kekuatan kita. Meskipun jumlah kita jauh lebih sedikit,
tetapi kita mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak. Kita
akan menghancurkan padukuhan demi padukuhan. Selagi
padukuhan itu memanggil para pengawal dari padukuhan lain,
kita sudah selesai dengan penghancuran para pengawal di
padukuhan itu." "Dan kita masih sibuk merampok semua harta benda yang ada
di tempat itu," berkata yang lain.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xl xl SH. Mintardja "Tidak. Kita tidak akan merampok pada hari yang sama. Kita
akan menghancurkan padukuhan demi padukuhan," berkata
orang bertubuh tinggi itu, "Baru kemudian setelah Tanah
Perdikan itu tidak mempunyai kekuatan, kita akan merampok."
Tetapi seorang yang berumur lebih tua dari orang bertubuh
tinggi itu berkata, "Kita jangan lengah. Jika hal ini telah didengar
oleh Adipati Pajang, maka mereka akan dapat mengirim pasukan
kemari." Orang bertubuh tinggi itu mengerutkan keningnya sambil
mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar. Karena itu, maka kita
akan melihat keadaan. Kapan kita akan merampok. Tetapi
seandainya prajurit-prajurit dari Kadipaten Pajang itu datang,
apalagi dari Demak, maka kita akan meninggalkan tempat ini.
Meskipun seandainya kita tidak mendapat apa-apa, kita sudah
dapat membalaskan dendam kematian pemimpin kita. Syukurlah
jika kita sempat membunuh Ki Gede yang sudah tidak berdaya
itu." Kawan-kawannya pun mengangguk-angguk. Agaknya
demikianlah yang akan dapat mereka lakukan atas Tanah
Perdikan yang telah membunuh pemimpin mereka yang sangat
mereka banggakan. Kalamerta, orang yang sebelumnya dianggap
memiliki kemampuan yang tidak ada batasnya. Namun yang
dalam parang tanding melawan Ki Gede Sembojan telah
terbunuh di arena. Dalam pada itu, sebagaimana mereka memperhitungkan
sebelumnya, maka dalam waktu dua hari lagi, kesigapan anak-
anak muda Sembojan sama sekali tidak mengendor. Gardu-gardu
masih tetap penuh setiap malam, dan banjar-banjar pun tidak
pernah kosong oleh para pengawal yang siap dengan senjata-
senjata mereka. Sementara itu, keadaan Ki Gede menjadi berangsur baik.
Wajahnya tidak lagi pucat, karena darahnya telah mengalir
sewajarnya. Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xli xli SH. Mintardja Namun demikian, Ki Gede masih tetap berbaring di
tempatnya. Ia masih belum dapat bangkit untuk duduk. Anggota
badannya masih terasa sangat lemah.
Pada hari keempat, obat yang ditinggalkan oleh Kiai Badra
telah hampir habis seluruhnya. Gandar yang setiap hari merawat
Ki Gede sudah mulai gelisah. Jika Kiai Badra tidak segera datang,
Maka ia akan kehabisan obat, sementara keadaan Ki Gede masih
sangat lemah. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Kiai Badra tidak
melupakan janjinya. Pada saat obat yang ditinggalkan bagi Ki
Gede sudah habis, maka Kiai Badra telah datang bersama
cucunya perempuan, seorang gadis yang sudah meningkat
dewasa. Gandar yang menyebut kedatangan Kiai Badra itu menarik
nafas dalam-dalam sambil berkata, "Aku sudah gelisah Kiai."
"Aku sebenarnya ingin datang lebih cepat," berkata Kiai Badra.
"Tetapi adikmu telah menghambat keberangkatanku sehari."
Gandar memandang wajah cucu perempuan Kiai Badra itu.
Kemudian sambil tersenyum ia berkata, "Kau merajuk?"
Gadis itu tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-
dalam. "Marilah," Wiradana mempersilahkan.
Kiai Badra pun kemudian naik ke pendapa. Sementara itu,
Wiradana telah memerintahkan untuk membersihkan gandok
sebelah kiri karena untuk sementara Kiai Badra akan tinggal di
Kabuyutan itu bersama Gandar dan cucunya.
Setelah beristirahat sejenak, dan setelah mereka minum air
panas dengan hidangan beberapa potong makanan, maka Kiai
Badra pun dipersilakan untuk melihat Ki Gede, sementara cucu
perempuannya dipersilakan untuk beristirahat di gandok sebelah
kiri. Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xlii

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

xlii SH. Mintardja "Hampir saja aku gagal mengajaknya," berkata Kiai Badra
kepada Gandar. "Aku memang sudah mengira," jawab Gandar.
"Untunglah, akhirnya ia mau juga ikut bersamaku," berkata
Kiai Badra kemudian, "Tetapi hanya untuk dua tiga hari."
Gandar tersenyum. Lalu katanya, "Mudah-mudahan dalam
waktu itu keadaan Ki Gede Semboyan sudah menjadi baik"
Demikianlah, sejenak kemudian, maka bersama Wiradana dan
Gandar, Kiai Badra telah memasuki bilik Ki Gede yang masih saja
terbaring di pembaringannya.
"Selamat datang Kiai," desis Ki Gede yang melihat kehadiran
orang berjanggut putih itu.
"Selamat Ki Gede," jawab Kiai Badra. "Bagaimana keadaan Ki
Gede?" "Sebagaimana Kiai lihat, aku sudah berangsur baik. Tetapi aku
masih belum dapat bangkit Kiai. Rasa-rasanya tubuhku telah
kehilangan segenap urat nadinya dan bahkan tulang-tulangnya,"
jawab Ki Gede. Kiai Badra mengerutkan keningnya. Sepercik kecemasan
melonjak didadanya. Namun demikian, ia sama sekali masih
belum mengatakan sesuatu sebelumnya ia melihat keadaan Ki
Gede. Sejenak kemudian, maka Kiai Badra pun mulai meraba
tubuh Ki Gede yang sudah menjadi hangat kembali. Namun demikian, ada sesuatu
yang membuat jantung Kiai
Badra berdegup semakin keras.
Perlahan-lahan Kiai Badra
mengangkat tangan Ki Gede,
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xliii xliii SH. Mintardja menggerakkan pergelangannya dan kemudan menekuk sikunya
perlahan-lahan. Demikian pula atas kaki Ki Gede yang ternyata
masih belum dapat digerakkan sama sekali.
Wajah Ki Badra menjadi tegang. Dipandanginya Ki Gede yang
terbaring itu. Tetapi untuk beberapa saat ia masih tetap berdiam
diri. "Bagaimana Kiai?" bertanya Ki Gede.
Kiai Badra tidak segera menjawab. Terasa sesuatu telah
tertahan didalam hatinya.
Ternyata Ki Gede melihat kegelisahan di wajah orang tua itu.
Karena itu, maka katanya, "Kiai. Katakan apa yang Kiai ketahui.
Kiai tidak usah menjadi ragu-ragu. Aku bukan kanak-kanak lagi,
yang mungkin akan mengingkari satu kenyataan yang harus
disandang. Tetapi aku sudah cukup tua mengalami apapun yang
telah terjadi atas diriku sebagai satu kenyataan."
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
katanya, "Ki Gede. Sebenarnya terlalu berat bagiku untuk
mengatakannya tentang keadaan Ki Gede."
"Katakan Kiai, bahkan seandainya aku mati sekalipun," desis
Ki Gede. Tetapi Kiai Badra menggeleng. Katanya, "Agaknya Yang Maha
Murah masih memperkenankan Ki Gede untuk tetap menjadi
pemimpin Tanah Perdikan ini untuk beberapa lama lagi. Namun
ada sesuatu yang pantas Ki Gede ketahui. Aku mohon Ki Gede
dapat menerimanya dengan sikap dewasa, karena menurut
pendapatku, semakin cepat Ki Gede mengetahui, akibatnya akan
menjadi semakin baik."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah Kiai.
Katakanlah." Kiai Badra merenung sejenak. Namun kemudian katanya, "Ki
Gede. Kita memang wenang untuk berusaha. Tetapi segalanya
terserah kepada Yang Maha Agung. Sebagaimana kita sudah
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xliv xliv SH. Mintardja berusaha bagi kesembuhan Ki Gede. Tetapi segala sesuatunya
terserah kepada Yang Maha Bijaksana."
"Apa yang akan terjadi Kiai?" bertanya Ki Gede, "Apakah aku
akan segera mati?" "Tidak Ki Gede. Menilik perkembangan keadaan Ki Gede serta
keadaan tubuh Ki Gede, maka Ki Gede agaknya akan sembuh,
jika tidak terdapat keadaan yang sangat khusus," jawab Ki Badra.
Lalu, "Tetapi ternyata bahwa terdapat kelainan pada tangan dan
kaki Ki Gede, yang nampaknya mengalami suatu keadaan yang
kurang sewajarnya" Wajah Ki Gede menegang sejenak. Kemudian dengan nada
dalam ia bertanya, "Maksud Kiai, apakah aku akan lumpuh?"
Kiai Badra tidak segera menjawab. Tetapi kemudian katanya,
"Ki Gede. Agaknya memang demikian. Tetapi menurut
pengamatanku, kelumpuhan Ki Gede bukan kelumpuhan mutlak.
Mungkin Ki Gede masih akan dapat berjalan dan menggunakan
tangan, sebagaimana anggota badan Ki Gede yang lain. Tetapi
tangan dan kaki Ki Gede tidak akan mempunyai kekuatan
sewajarnya." Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Dengan sendat ia
berkata, "Aku mengerti, Kiai. Racun dari pusaka Gonggang Wirit
itu telah melenyapkan segenap kemampuan ilmuku, karena
kelemahan anggota badanku, sehingga kemudian aku tidak akan
lebih dari sesosok golek yang terbuat dari daging dan tulang
tanpa dapat berbuat apa-apa."
Ki Badra tidak menyahut. Tetapi sebenarnyalah, bahwa Ki
Gede menurut pengamatan Kiai Badra akan mengalami kesulitan
dengan ilmunya, karena anggota badannya akan menjadi sangat
lemah. "Baiklah Kiai," berkata Ki Gede kemudian, "Biarlah aku masih
tetap mengucapkan terima kasih bahwa aku tidak mati. Meskipun
aku tidak akan memiliki ilmuku sebagaimana sebelumnya,
namun aku masih mampu berbuat sesuatu."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xlv xlv SH. Mintardja "Ya Ki Gede," jawab Kiai Badra kemudian, "Sebenarnyalah
bukan ilmu Ki Gede yang akan hilang dan tidak dapat Ki Gede
kuasai lagi. Tetapi anggota badan Ki Gede sebagai alat untuk
mengungkapkan ilmu itu tidak lagi memadai. Dengan demikian
Ki Gede masih akan tetap memiliki kemampuan untuk
memberikan petunjuk dan pengarahan kepada angger Wiradana,
agar angger Wiradana mampu menguasai seluruh kemampuan Ki
Gede." Ki Gede mengangguk-angguk kecil. Dipandanginya Wiradana
sambil berkata, "Kau dengar Wiradana. Karena itu, maka satu-
satunya harapanku adalah kau."
Wiradana menundukkan kepalanya. Ada semacam kegelisahan
di dalam hatinya, justru karena ayahnya akan kehilangan
kesempatan untuk memiliki kembali semua ilmunya, karena
tidak ada lagi dukungan wadagnya.
"Tetapi menurut ayah, aku harus berusaha untuk memiliki
semua ilmunya," berkata Wiradana di dalam hatinya.
Untuk sejenak, bilik itu dicengkam oleh keheningan. Ki Gede
yang terbaring itu menatap langit-langit di atas pembaringannya
dengan kegelisahan yang menghentak-hentak di dadanya. Namun
kemudian, Ki Gede itu pun berhasil menguasai perasaannya.
Seperti yang dikatakan, akhirnya ia masih juga mengucapkan
syukur, bahwa ia masih tetap hidup dan mendapat kesempatan
untuk membuat anak laki-lakinya menjadi lebih baik dan
menuntunnya dalam memimpin Tanah Perdikan Sembojan yang
besar itu Karena itu, maka yang mula-mula memecahkan keheningan
itu adalah Ki Gede sendiri, "Kiai. Jika demikian maka aku akan
tetap mengharap, agar untuk sementara Kiai tetap berada di
Tanah Perdikan ini. Selain dengan demikian Kiai dapat menolong
keadaanku, mungkin Kiai akan dapat menolong aku pula,
menyempurnakan ilmu Wiradana."
"Maksud Ki Gede ilmu kanuragan?" bertanya Kiai Badra.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xlvi xlvi SH. Mintardja "Ya," jawab Ki Gede.
Tetapi Kiai Badra itu pun menggeleng. Katanya, "Maaf Ki. Aku
sama sekali tidak bersentuhan dengan ilmu kanuragan."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu. Dengan demikian, maka Kiai Badra pun kemudian berkata,
"Sudahlah Ki Gede, silahkan beristirahat sebaik-baiknya. Aku
pun akan beristirahat di gandok. Cucuku kini telah berada disini
pula." "Syukurlah Kiai," jawab Ki Gede. "Mudah-mudahan ia kerasan
tinggal disini." Demikianlah, Kiai Badra itu pun meninggalkan Ki Gede
berbaring di dalam biliknya. Wiradana yang mengikutinya
dengan nada gelisah bertanya, "Apakah ayah benar-benar tidak
akan mampu berbuat apa-apa lagi dalam olah kanuragan?"
"Bukan tidak dapat berbuat apa-apa lagi, ngger. Tetapi
kemampuan wadagnya akan sangat terbatas. Karena itu, maka
aku ingin mempersilahkan angger untuk mengambil alih segala
sesuatunya. Dengan demikian yang akan memperingan perasaan
ayah angger, angger memiliki kemampuan sebagaimana ayah
angger, maka Ki Gede tentu akan merasa seakan-akan
kemampuan dirinya telah pulih kembali, meskipun dengan
mempergunakan harapannya," jawab Kiai Badra.
Wiradana mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Ki Badra.
Namun akan berarti ia harus bekerja sangat berat.
"Angger Wiradana," berkata Kiai Badra kemudian, "Dalam
keadaan wajar, bukankah Ki Gede pada satu saat tentu akan
meninggalkan angger juga" Ki Gede tentu akan meninggalkan
Tanah Perdikan ini pula untuk selama-lamanya" Bukankah
dalam keadaan yang demikian angger juga yang harus bangkit
untuk menerima semua tugas dan kewajiban Ki Gede atas Tanah
Perdikan ini?" Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xlvii xlvii SH. Mintardja Wiradana mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti Kiai."
"Nah. Agaknya segalanya memang harus dipercepat. Tetapi
seperti ayah angger, maka angger dapat bersyukur, sementara ini
ayah masih dapat menuntun angger. Baik dalam olah kanuragan,
maupun dalam memimpin Tanah Perdikan ini."
"Ya, ya Kiai," jawab Wiradana. "Aku akan mencobanya."
"Angger tentu akan dapat melakukannya," berkata Kiai Badra
sambil tersenyum. "Bukankah sekarang angger sudah memiliki modal untuk itu.
Angger sudah memiliki kemampuan dalam olah kanuragan,
sementara itu angger pun telah mulai ikut dalam mengatur
pemerintahan di Tanah Perdikan ini."
Wiradana mengangguk-angguk. Tetapi yang terbayang adalah
beban yang akan diletakkan di pundaknya.
Demikianlah, maka dari hari ke hari Kiai Badra masih
berusaha untuk berbuat sesuatu atas Ki Gede. Namun
kemampuannya memang terbatas sebagaimana orang lain dalam
keterbatasannya masing-masing.
Karena itu, Kiai Badra tidak dapat berbuat apa-apa juga atas
kemungkinan yang buruk pada anggota badan Ki Gede Sembojan.
Namun setidak-tidaknya Kiai Badra akan dapat mengurangi
kemungkinan kelumpuhan mutlak.
Namun dalam pada itu, ternyata para pengikut Kalamerta
yang kehilangan pemimpinnya sudah tidak sabar lagi. Mereka
benar-benar sudah siap untuk menyerang Tanah Perdikan
Sembojan. Tetapi orang yang bertubuh tinggi kekar yang memimpin
gerombolan Kalamerta itu cukup cerdik. Ia tidak akan melawan
seluruh kekuatan Tanah Perdikan Sembojan. Karena itu, maka ia
telah membuat rencana sebaik-baiknya. Gerombolan Kalamerta
akan menghancurkan padukuhan demi padukuhan.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xlviii xlviii SH. Mintardja Tetapi yang terjadi adalah tidak seperti yang dikehendaki oleh
orang bertubuh tinggi itu. Adalah satu kecelakaan bahwa
Wiradana sendiri yang kebetulan berada di sebuah kedai itu
dalam pasar yang ramai telah melihat orang yang agak
mencurigakan. Dua orang yang bertubuh besar dan berwajah
keras. Tingkah laku mereka sama sekali tidak mencerminkan
tingkah laku orang-orang Sembojan atau Kademangan di
sekitarnya. Tetapi Wiradana tidak tergesa-gesa bertindak atas mereka.
Bahkan Wiradana berusaha untuk dapat duduk di dekat mereka
dan mulai bercakap-cakap.
"Apakah Ki Sanak orang Sembojan?" bertanya Wiradana.
"Kau orang mana?" salah seorang dari keduanya bertanya.
"Aku orang Keduwung," jawab Wiradana.
"Kenapa kau sampai ke Sembojan?" bertanya orang itu.
"Aku seorang pedagang wesi aji," jawab Wiradana yang
kemudian memesan tuak. "Beri aku tuak," minta Wiradana.
Pemilik warung itu heran. Wiradana tidak pernah memesan
tuak. Tetapi dengan matanya Wiradana sempat memberi isyarat,
sehingga pemilik warung itu pun kemudian memberikan
sebumbung tuak aren yang keras.
"He, kau pernah minum tuak?" bertanya Wiradana.
Kedua orang itu mengerutkan keningnya. Tuak adalah jenis
minuman yang sangat menarik bagi mereka. Tetapi sudah
beberapa lama mereka tidak sempat minum tuak, karena selama
mereka berada di Tanah Perdikan Sembojan, mereka tidak
mendapat kesempatan untuk membelinya. Selain mereka belum
tahu dimana mereka mendapatkan, juga uang yang mereka
bahwa memang sangat terbatas. Apalagi sebelum mereka berhasil
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
xlix

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

xlix SH. Mintardja mendapatkan sesuatu pemimpin mereka, Kalamerta sudah
terbunuh. "Marilah," berkata Wiradana, "Orang-orang Keduwung
memang senang minum arak. Adalah perlambang laki-laki bagi
siapa yang dapat menelan tuak paling banyak."
Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi ketika Wiradana
menuang tuak itu ke bumbung-bumbung kecil, maka keduanya
telah meneguknya sampai kering.
Tetapi Wiradana tidak tinggal diam. Dengan cepat ia
menuangkan lagi sehingga bumbung-bumbung itu menjadi
penuh kembali. Agar orang-orang itu tidak menjadi curiga, maka Wiradana
yang tidak terbiasa minum tuak itu pun telah membasahi
mulutnya dengan tuak pula. Bahkan ia pun pura-pura telah
meneguk, beberapa bumbung pula.
Ternyata bahwa usaha Wiradana berhasil. Perlahan-lahan
kedua orang itu mulai mabuk. Sementara itu Wiradana telah
memerintahkan kepada pemilik kedai untuk menutup saja pintu
kedainya untuk sementara.
"Aku akan berbicara dengan mereka," berkata Wiradana.
Pemilik kedai itu tahu pasti niat Wiradana. Tetapi ia menurut
saja apa yang diperintahkannya.
Dalam keadaan mabuk itulah Wiradana bertanya kepada
keduanya. Siapakah mereka sebenarnya. Tanpa dapat menahan
dan mencegah diri mereka maka keduanya pun telah mengatakan
rencana mereka. "Tanah Perdikan ini akan kami hancurkan," berkata salah
seorang dari mereka. "Bagus," sahut Wiradana, "Aku akan membantu. Tetapi
siapakah kalian?" Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
l l SH. Mintardja "Kami adalah orang-orang yang harus mengamati
perkembangan Tanah Perdikan ini. Kami adalah pengikut
Kalamerta yang terbunuh. Dan kami sedang menyiapkan rencana
untuk membalas dendam."
Keduanya juga mengatakan, bahwa mereka sedang mengamati
padukuhan terpenting selain padukuhan induk di Tanah
Perdikan itu. Padukuhan itulah yang akan menjadi sasaran
pertama. Kemudian padukuhan-padukuhan yang lain pula.
Wiradana berhasil menyadap beberapa keterangan penting
tentang kedua orang itu dan seluruh gerombolan Kalamerta.
Tetapi ia bertindak cerdik. Wiradana tidak menangkap kedua
orang itu. Tetapi ia membiarkan saja kedua orang itu kembali ke
gerombolannya. Ketika keduanya mulai sadar, maka mereka berusaha untuk
mengenali keadaan sekitarnya. Ternyata orang yang menyebut
dirinya orang Keduwung itu sudah tidak ada di tempatnya. Yang
ada adalah justru dua orang lain yang agaknya baru saja masuk.
"He," salah seorang dari kedua orang yang mabuk itu
memanggil pemilik kedai, "Dimana orang Keduwung itu?"
"Orang itu telah dilempar keluar dari pasar oleh orang-orang
di sekitar warung ini," jawab pemilik kedai itu.
"Kenapa?" bertanya orang yang baru sadar itu.
"Orang itu mabuk. Seperti juga kalian. Tetapi kalian berdua
langsung saja tidur, meskipun cukup lama sehingga pasar ini
sudah sepi, jawab pemilik kedai itu. Tetapi orang Keduwang itu
akan mengamuk. Hampir saja warung ini akan menjadi
berantakan karena ulahnya."
Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika mereka
menengok keluar, ternyata pasar sudah sepi. Matahari pun telah
melampaui titik puncak di langit.
"Agaknya aku cukup lama tidur disini," gumam salah seorang
dari kedua orang yang mabuk itu.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
li li SH. Mintardja "Ya," jawab pemilik kedai,
"Kalian berdua telah
mempergunakan dua dingklik
di warung ini, sehingga orang-
orang lain yang akan membeli
makanan di warung ini tidak
mendapat tempat selain pada
satu dingklik di sebelah."
Orang yang masih sedikit pusing itu termangu-mangu.
Namun terloncat pula kata-
katanya, "Kami minta maaf.
Tetapi orang Keduwung itu
memang gila. Ia telah membuat
aku mabuk, meski dirinya sendiri juga mabuk."
"Bahkan nampaknya orang
itu berbahaya," sahut pemilik kedai.
"Kami minta diri," berkata salah seorang dari kedua orang
berwajah kasar itu, "Biarlah harga tuak itu dibayar oleh orang
Keduwung itu jika ia datang kemari."
Pemilik kedai itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu
ia bertanya, "Jadi aku harus menunggu orang Kademangan itu?"
"Bukankah ia yang memesan?" desis yang lain.
"Ya. Ya," jawab pemilik warung itu, "Biarlah aku bertanya
kepadanya. Ia sering datang kemari di hari pasaran.
Kedua orang itu pun kemudian meninggalkan kedai itu.
Kepala mereka masih terasa pening. Namun salah seorang dari
mereka ber0kata, "Untunglah kami langsung tertidur ketika kami
menjadi mabuk, sehingga kami tidak berbicara tentang rencana
yang akan kami lakukan atas Tanah Perdikan ini."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lii lii SH. Mintardja "Tetapi orang Keduwung itu memang orang gila," geram yang
lain. "Untunglah bahwa ia pun mabuk dan bahkan dilemparkan
keluar pasar. Jika ia memancing persoalan, dalam keadaan
mabuk, kami pun akan dapat juga berbuat sesuatu yang tidak
sewajarnya, sementara kami sedang mengemban tugas rahasia."
Kawannya tidak menjawab. Tetapi keduanya merasa
beruntung, bahwa tidak seorang pun yang mendengar sesuatu
dari mulut mereka. "Jika kami mengungkapkan rahasia kami, maka kami tentu
sudah ditangkap oleh orang-orang Sembojan," berkata mereka di
dalam hati. Namun dalam pada itu, segala rahasia itu telah didengar oleh
Wiradana. Bahkan kemudian telah dilaporkannya kepada
ayahnya yang masih saja terbaring di pembaringannya.
"Jadi kedua orang itu kau biarkan saja?" bertanya ayahnya.
"Ya ayah. Dengan demikian mereka akan merasa bahwa
rahasia mereka masih belum kita ketahui," jawab Wiradana.
"Bagus. Kau memang cerdik. Jika demikian, maka siapkan
para pengawal. Menilik sikap mereka yang ingin menghancurkan
padukuhan demi padukuhan, kekuatan mereka tidak akan
mengimbangi seluruh kekuatan padukuhan-padukuhan
Sembojan jika bergabung. Karena itu, jangan menunggu. Kalian
yang harus pergi kepada mereka, dengan mengerahkan segenap
kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini."
"Baik ayah. Menjelang fajar kami akan berangkat. Tepat pada
saat matahari terbit kami akan menghancurkan mereka dan
membebaskan Sembojan dari kemungkinan yang paling buruk,"
desis Wiradana. "Berhati-hatilah Wiradana. Ayah tidak dapat menyertaimu.
Mudah-mudahan kau berhasil. Sebenarnyalah Tanah Perdikan
ini selanjutnya akan banyak tergantung kepadamu," berkata Ki
Gede kemudian. Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
liii liii SH. Mintardja Wiradana pun kemudian telah minta diri kepada ayahnya
untuk mempersiapkan segala sesuatunya, serta mohon doa restu,
agar usahanya benar-benar akan berhasil.
Namun dalam pada itu, Wiradana telah mengajak Kiai Badra
dan Gandar untuk ikut pula bersama pasukan itu.
"Kiai tidak usah ikut bertempur," berkata Wiradana. "Tetapi
jika terjadi kesulitan yang gawat pada anak-anak Sembojan, Kiai
akan dapat menolongnya dengan cepat tanpa menunggu
membawa mereka kembali ke padukuhan induk ini."
"Tetapi aku akan menjadi ketakutan," berkata Kiai Badra.
"Pertempuran tentu akan sangat mengerikan."
"Sepuluh orang akan menjadi pelindung Kiai dan Gandar.
Mereka tidak akan beranjak dari sisi Kiai apapun yang akan
terjadi di peperangan itu," jawab Wiradana.
Akhirnya Kiai Badra tidak menolak. Namun demikian, ada
masalah yang harus diatasinya. Mula-mula cucunya berkeberatan
ditinggalkan sendiri oleh kakeknya. Tetapi akhirnya cucu
perempuannya itu harus melepaskan Kiai Badra pergi.
Demikianlah, setelah semuanya dipersiapkan sebaik-baiknya
tanpa banyak memberikan kesan yang mungkin dapat dilihat
oleh pengamat yang dikirim oleh para pengikut Kalamerta, maka
Wiradana pun menentukan, menjelang fajar di hari berikutnya
mereka akan berangkat. Sesuai dengan keterangan kedua pengikut Kalamerta di dalam
mabuknya, mereka telah bersembunyi di hutan yang tidak terlalu
besar yang terpisahkan dari padukuhan di ujung Tanah Perdikan
oleh bulak persawahan dan padang perdu yang gersang.
"Kita akan memasuki hutan itu di saat langit mulai menjadi
merah. Kita akan menyerang mereka tepat pada saat matahari
terbit," berkata Wiradana kepada para pemimpin pengawal, "Aku
sudah mendapat gambaran, dimana mereka membuat sarang.
Dalam mabuknya kedua orang itu telah memberikan petunjuk
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
liv liv SH. Mintardja agak terperinci dengan ciri-ciri yang mudah dikenal. Kita, anak-
anak Sembojan tentu mengenal hutan itu lebih baik dari para
pengikut Kalamerta. Kita sering bermain-main di hutan semasa
kecil. Menggembala di padang rumput dan mencari kayu bakar di
pinggir hutan itu pula."
Dengan tekad yang bulat untuk menyelamatkan Tanah
Perdikan mereka, maka anak-anak muda Sembojan dan para
pengawal yang berpengalaman telah mempersiapkan diri sebaik-
baiknya. Bukan saja kesiapan lahir, tetapi juga kesiapan batin.
"Yang ragu-ragu, tidak usah ikut," berkata Wiradana.
Tetapi tidak ada seorang pun yang mengundurkan diri.
Mereka semuanya sudah bertekad untuk menghancurkan para
pengikut Kalamerta itu lebih dahulu sebelum mereka justru
menghancurkan Tanah Perdikan Sembojan.
Menjelang keberangkatan pasukan Tanah Perdikan Sembojan
itu, maka mereka telah berusaha untuk dapat beristirahat sebaik-
baiknya, sehingga jika saatnya tiba, mereka akan dapat
mempergunakan tenaga mereka sepenuhnya.
Sebagaimana mereka merencanakan, maka menjelang fajar
pasukan Tanah Perdikan Sembojan sudah siap. Sementara itu
telah terjadi kesibukan pula di dapur Ki Gede dan di beberapa
tempat yang lain untuk mempersiapkan makan pagi bagi mereka
yang akan pergi ke hutan disebelah padang perdu.
Baru setelah segala persiapan tidak mengecewakan, maka
Wiradana itu pun minta diri kepada ayahnya di pembaringannya.
"Sebentar lagi, langit akan menjadi merah ayah," berkata
Wiradana. "Kami akan berangkat. Sebelum matahari terbit, kami
harus sudah mengepung sarang gerombolan Kalamerta itu dan
kemudian menghancurkannya."
"Pergilah. Berhati-hatilah menghadapi gerombolan itu," pesan
ayahnya. Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lv lv SH. Mintardja Demikianlah, sejenak kemudian maka sebuah iring-iringan
yang panjang meninggalkan rumah Ki Gede Sembojan.
Sementara kelompok yang lain telah berangkat dari banjar dan
beberapa kelompok kecil dari padukuhan-padukuhan yang lain
pula. Mereka telah menentukan satu tempat di sebuah pategalan,
di pinggir padang perdu, untuk berkumpul sebelum mereka
menyeberangi padang itu. Dengan isyarat kentongan dalam nada yang tidak
mencurigakan, maka kelompok-kelompok itu tahu pasti, kapan
mereka harus berangkat. Karena itu, ketika mereka mendengar
kentongan dalam nada dara muluk ganda, maka mereka pun
segera menuju ke tempat yang telah ditentukan.
Ternyata segalanya berlangsung sebagaimana direncanakan.
Pada saat hari masih gelap, meskipun bayangan fajar telah
nampak di langit, pasukan Tanah Perdikan yang cukup besar itu
pun telah menyeberangi padang perdu. Untuk tidak menarik
perhatian, seandainya secara kebetulan para pengikut Kalamerta
yang mengawasi padang perdu itu, maka mereka telah berpencar.
Dengan sangat hati-hati mereka berusaha untuk tetap berlindung
oleh gerumbul-gerumbul liar yang tumbuh disana sini di padang
itu. Demikian pasukan itu sampai ke tepi hutan, maka
sebagaimana telah di atur oleh Wiradana, pasukan itu pun segera
berpencar. Meskipun hari masih tetap gelap, tetapi mereka harus
menemukan ciri-ciri dari arah yang harus mereka lalui.
Meskipun gerak pasukan itu menjadi lamban, tetapi
kelompok-kelompok yang lebih kecil telah mencapai tempat-
tempat yang sudah ditentukan. Sebenarnyalah, mereka
menemukan apa yang dikatakan oleh Wiradana. Mereka telah
menemukan gumuk-gumuk kecil di satu arah, sementara yang
lain menemukan sebatang pohon raksasa yang dahannya telah
patah di arah yang lain. Dengan demikian, maka pasukan itu merasa, bahwa mereka
telah menempatkan diri di tempat yang benar.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lvi

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lvi SH. Mintardja Yang harus mereka lakukan kemudian adalah menunggu saat
matahari terbit yang akan mereka pergunakan sebagai ancar-
ancar untuk mulai bergerak.
Ternyata bahwa waktu yang tidak panjang itu terasa sangat
menegangkan. Disela-sela pepohonan hutan yang tidak begitu
lebat, mereka melihat langit menjadi semakin cerah. Sementara
itu, lima orang di antara mereka menunggu di pinggir hutan,
mengamati langit yang mulai dibayangi oleh cahaya matahari.
"Hanya tinggal menunggu sekejap lagi," desis salah seorang di
antara mereka. "Ya. Lihat. Bayangan itu mulai nampak," sahut yang lain.
"Nah, sekarang," terdengar orang tertua di antara mereka
memberi aba-aba. Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terdengar suara
kentongan kecil yang dibawa oleh seorang dari mereka. Suara
kentongan yang bernada tinggi itu telah menyusup di antara
pepohonan dan dedaunan. Suaranya bergema memecah
keheningan pagi di hutan yang sepi.
Anak-anak muda Sembojan dan para pengawal yang tegang,
tiba-tiba saja telah bangkit. Mereka segera menarik senjata-
senjata mereka dari sarungnya. Dengan jantung yang serasa
berdegup semakin cepat mereka menunggu pemimpin-pemimpin
kelompok mereka memberikan aba-aba.
Demikianlah sejenak kemudian aba-aba pun telah
mengumandang di dalam hutan itu. Berbareng dengan itu, maka
anak-anak muda Sembojan dan para pengawal itu pun telah
dengan cepat melangkah maju ke sasaran.
Sebagaimana digambarkan oleh Wiradana, maka di dalam
hutan itu memang terdapat beberapa buah gubug yang terpencar.
Gubug yang dihuni oleh gerombolan Kalamerta yang ganas yang
ditakuti oleh banyak orang dan telah membuat gelisah di
beberapa tempat. Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lvii lvii SH. Mintardja Kedatangan orang-orang Sembojan itu memang mengejutkan.
Orang-orang yang berada di dalam gubug-gubug itu sama sekali
tidak menyangka, bahwa justru orang-orang Sembojan lah yang
telah menyerang mereka lebih dahulu. Karena itu, beberapa
orang telah terbangun dan mendengar suara kentongan dan
kemudian teriakan aba-aba para pemimpin kelompok, telah
berteriak-teriak pula di dalam gubug mereka.
"Bangun," teriak orang-orang yang mendengar kedatangan
serangan yang tiba-tiba itu, "Cepat bangun jika kalian tidak ingin
dibantai di pembaringan."
Para pengikut gerombolan Kalamerta itu pun menjadi terkejut
karenanya. Beberapa orang yang dengan tergesa-gesa bangkit dan
tidak segera dapat menanggapi keadaan, sehingga seorang di
antara mereka sempat bertanya, "Ada apa?"
"Cepat ambil senjatamu sebelum dipenggal kepalamu," jawab
kawannya. Demikianlah, gubug-gubug itu pun menjadi riuh. Orang-orang
yang ada di dalam gubug itu pun serentak menggapai senjata
mereka tanpa dapat membenahi diri. Dengan tergesa-gesa
mereka berloncatan keluar dari gubug-gubug mereka
menyongsong kedatangan anak-anak muda Sembojan.
Tetapi anak-anak muda Sembojan sudah terlalu dekat,
sehingga karena itu, maka rasa-rasanya mereka menjadi
kebingungan. Anak-anak muda itu datang dari segala penjuru,
seakan-akan bermunculan dari setiap batang pohon di sekitar
gubug-gubug mereka. Tetapi para pengikut Kalamerta adalah orang-orang yang
penuh dengan pengalaman. Hidup mereka selalu diwarnai oleh
kekerasan, sehingga karena itu, maka mereka pun segera
menyesuaikan diri dengan keadaan yang mereka hadapi.
Tiba-tiba saja para pengikut Kalamerta itu pun berteriak
nyaring, menyambut kedatangan anak-anak muda Sembojan dan
para pengawal dengan senjata mereka.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lviii lviii SH. Mintardja Ketika kedua belah pihak berteriak, maka suasana pun
menjadi sangat gaduh. Namun segera senjata pun berdentangan.
Anak-anak Sembojan dan para pengawal Tanah Perdikan itu
mempunyai kesempatan dan peluang yang lebih baik dari
lawannya yang baru saja bangkit dari tidurnya. Bahkan masih ada
di antara mereka yang meloncat dari pembaringan dan berlari
keluar sambil mengusap mata yang masih kabur.
Selain kesempatan yang lebih baik, jumlah anak-anak muda
dan pengawal Tanah Perdikan Sembojan adalah jauh lebih
banyak dari jumlah para perampok yang tinggal di gubug-gubug
itu. Orang yang bertubuh tinggi dan kekar yang telah mengambil
alih pimpinan gerombolan itu mengumpat-umpat dengan kasar.
Ia pun tidak menyangka sama sekali, bahwa orang-orang
Sembojan itu mengetahui persembunyian mereka dan bahkan
telah datang menyerang dengan kekuatan yang tidak dapat
diimbangi. Kemarahan yang mencengkam jantungnya telah membuatnya
bagaikan seekor harimau yang kelaparan. Senjatanya sebuah
canggah bertangkai pendek menyambar-nyambar dengan
dahsyatnya. Namun sebenarnyalah lawan memang terlalu
banyak. Sehingga bagi para perampok itu, hampir tidak ada
kesempatan sama sekali untuk dapat menyelamatkan diri.
Dalam pada itu, Wiradana yang berdiri tegak sambil
mengamati seluruh medan itu masih juga sempat berteriak,
"Hancurkan mereka. Gerombolan itu adalah gerombolan yang
paling ganas yang pernah disebut namanya. Ayah sudah
membunuh pemimpinnya, sehingga karena itu, maka kalian
harus menghancurkan sisanya."
Anak-anak muda dan pengawal Tanah Perdikan Sembojan
ternyata berbuat cepat dan sebaik-baiknya. Perlawanan orang-
orang yang bersarang di gubug itu tidak terlalu berarti. Satu di
antara mereka mengamuk dengan garangnya. Tetapi untuk
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lix lix SH. Mintardja menghadapi orang-orang yang demikian, maka dua atau tiga
orang anak muda dan pengawal telah menghadapinya bersama-
sama. Terpisah dari pertempuran itu, Kiai Badra dan Gandar
mengikuti hiruk pikuk itu dengan jantung yang berdebaran.
Sepuluh orang pengawal Tanah Perdikan Sembojan menunggui
mereka dengan senjata siap ditangan. Jika keadaan menjadi
gawat, maka sepuluh orang itu telah siap untuk bertempur
melindungi Kiai Badra yang hadir di pertempuran itu sambil
membawa obat-obat yang mungkin diperlukan.
Sementara itu Wiradana masih sibuk meneriakkan aba-aba.
Namun ketika ia melihat perlawanan para pengikut Kalamerta itu
menjadi semakin lemah, maka ia pun kemudian berdiri sambil
bertolak pinggang. Di bibirnya membayang sebuah senyuman, sementara itu
terdengar ia berdesis yang hanya dapat didengarnya sendiri,
"Ayah, aku berhasil menghancurkan gerombolan yang paling
garang yang pernah disebut namanya di tlatah Pajang."
Sebenarnyalah pada saat itu, anak-anak muda dan pengawal
Sembojan benar-benar telah menguasai keadaan. Gerombolan
Kalamerta tidak mempunyai kesempatan lagi untuk
mempertahankan dirinya. Bahkan setiap orang di antara mereka,
tidak mempunyai peluang untuk melindungi dirinya sendiri.
Karena itu, maka orang-orang yang tersisa di antara mereka,
tidak dapat berbuat lain kecuali melarikan diri. Selagi ada
kesempatan, tanpa menghiraukan kawan-kawan mereka, maka
para pengikut Kalamerta itu telah bercerai berai untuk mencari
hidup masing-masing. Tetapi, anak-anak muda dan para pengawal Sembojan tidak
melepaskan mereka begitu saja. Beberapa orang yang bernasib
buruk, telah kehilangan kesempatan sama sekali ketika punggung
mereka tertembus ujung tombak.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lx lx SH. Mintardja Namun akhirnya pertempuran yang terhitung singkat itu
segera selesai. Sementara matahari pun sudah memanjat semakin
tinggi. Yang tinggal kemudian adalah tubuh-tubuh yang terkapar
berlumuran darah. "Kumpulkan kawan-kawan kita yang terluka," teriak Wiradana
kemudian. Ternyata bahwa selain yang luka-luka, ada juga empat orang
anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang gugur dalam
pertempuran itu. Wiradana merenungi kedua sosok mayat itu dengan wajah
yang murung. Sambil menghentakkan tangannya ia menggeram,
"Seharusnya semua orang di dalam gerombolan itu dibunuh
saja". Anak-anak muda yang kemudian mengerumuni kawan mereka
yang gugur itu pun menjadi marah pula. Namun orang-orang
Kalamerta itu sudah benar-benar dihancurkannya. Yang tersisa
telah berusaha untuk menyelamatkan dirinya.
"Panggil Kiai Badra," gumam Wiradana.
Sejenak kemudian maka Kiai Badra pun telah berada di antara
anak-anak muda Sembojan. Dengan tekun dibantu oleh Gandar
dan anak-anak muda itu sendiri. Kiai Badra berusaha untuk
mengobati mereka yang terluka. Terutama mereka yang terluka
parah. Ketika tugas itu telah dilakukan dengan sebaik-baiknya, maka
ia pun mulai menanyakan tentang orang-orang dari gerombolan
Kalamerta. Katanya, "Aku akan mengobati mereka yang terluka
pula." Wiradana menjadi heran. Sambil berdiri bertolak pinggang ia
bertanya, "Apakah gunanya Kiai?"
"Bukankah menjadi kewajibanku untuk mengobati setiap
orang yang terluka?" jawab Kiai Badra. "Bagiku tidak ada
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lxi lxi SH. Mintardja batasnya kawan atau lawan di medan perang. Semua orang yang
terluka memang harus mendapat pengobatan."
Wiradana mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian
berpaling kepada anak-anak muda Sembojan. Dengan wajah yang
aneh ia memandang anak-anak muda itu seorang demi seorang.
Tiba-tiba saja terdengar suaranya meledak. Wiradana dan
anak-anak muda Sembojan itu tertawa berkepanjangan, sehingga
Kiai Badra menjadi heran.
"Kenapa kalian tertawa?" bertanya Kiai Badra.
"Sikap Kiai memang aneh," jawab Wiradana, "Mereka adalah
orang-orang yang garang yang sangat berbahaya bagi pergaulan
sesama. Bagi mereka, tidak ada jalan yang lebih baik daripada
jalan ke neraka. Seandainya Kiai menolongnya sekarang, maka
hal itu akan sama artinya bahwa Kiai telah ikut terlibat kedalam
satu langkah yang akan dapat mengakibatkan korban yang
berjatuhan di kemudian hari. Tindakan yang tidak
berperikemanusiaan dan mungkin lebih dari itu semua."
Kiai Badra termangu-mangu. Ia tidak begitu mengerti jalan
pikiran anak-anak muda Sembojan itu sebagaimana anak-anak
muda itu juga tidak mengerti jalan pikiran Kiai Badra.
Namun ternyata bahwa tidak ada usaha sama sekali untuk
menolong orang-orang terluka parah pada gerombolan
Kalamerta. "Kiai," berkata Wiradana kemudian, "Kita akan segera
meninggalkan tempat ini. Kita akan kembali ke Sembojan."
"Bagaimana dengan orang-orang itu" Apakah kita tidak akan
menguburkannya?" bertanya Kiai Badra.
"Jangan cemas. Kawan-kawan mereka tentu akan kembali.
Mereka akan mengubur kawan-kawan mereka yang terbunuh di
pertempuran ini. Meskipun aku sangsi, apakah mereka mau
membawa kawan-kawan mereka yang terluka parah," jawab
Wiradana. Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
lxii lxii SH. Mintardja Sungguh satu sikap yang sulit untuk diterima. Tetapi Kiai
Badra tidak dapat mencegah mereka. Sejenak kemudian orang-
orang Sembojan itu pun telah bersiap-siap untuk kembali sambil
memapah kawan-kawan mereka yang terluka serta membawa dua
sosok mayat yang membuat anak-anak muda Sembojan semakin
marah kepada orang-orang dalam gerombolan Kalamerta.
Demikianlah, maka iring-iringan yang panjang pun kemudian
keluar dari hutan yang tidak begitu lebat menuju ke padukuhan
induk Tanah Perdikan Sembojan. Mereka telah membawa hasil
yang gemilang sekaligus membawa empat sosok mayat yang telah
Pendekar Cengeng 4 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 27
^