Suramnya Bayang Bayang 30
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 30
mereka." Istrinya tidak mencegahnya. Ia tahu, suaminya mencemaskan
ketiga anak muda itu jika terjadi benturan kekerasan karena
ketiga anak muda itu juga bersenjata serta dilandasi oleh
keyakinan yang dianggapnya benar. Keyakinan yang akan
digenggamnya dengan segala akibatnya, bahkan mati sekalipun.
Sesaat kemudian, maka suaminya itu pun telah turun dengan
tergesa-gesa kehalaman dan kemudian keluar dari pintu regol
halaman. Menembus kegelapan ia menuju ke gardu terdekat
diujung jalan itu. Kehadirannya di gardu itu memang mengejutkan. Apalagi
sikapnya yang gelisah dan tergesa-gesa.
"Sesuatu telah terjadi di rumahku," berkata orang itu.
"Apa?" bertanya seorang pengawal.
Orang itu pun kemudian telah menceritakan apa yang telah
terjadi. Tiga orang datang kepadanya untuk minta sejumlah uang
yang tidak disebutnya. Ketika ia memberikan uang itu, mereka
tidak mempersoalkan jumlahnya. Mereka pun sama sekali tidak
63 SH. Mintardja menyakiti kecuali mengatakan bahwa ketiganya akan kembali
untuk merebut Tanah Perdikan itu dari para pengkhianat.
"Kenapa kau tidak membunyikan isyarat," tegur pengawal itu.
"Aku tidak sampai hati," berkata orang yang telah dirampok
itu. "Kemana mereka sekarang?" bertanya pengawal itu pula.
"Aku tidak tahu," jawab orang yang dirampok itu.
Pengawal itu pun kemudian menyampaikan persoalannya
kepada kawan-kawannya. Orang yang malam itu mendapat tugas
memimpin sekelompok kecil kawan-kawannya itu pun segera
memerintahkan para pengawal untuk mencari.
Tetapi orang yang dirampok itu tidak berhasil mencegah para
pengawal itu membunyikan isyarat.
Dengan demikian maka sejenak kemudian, suara kentongan
pun telah menjalar dari satu gardu ke gardu yang lain. Bahkan
kemudian teah terdengar pula suara kentongan di padukuhan
terdekat menyahut isyarat yang bergema di malam yang sepi itu.
Dalam waktu yang singkat, maka semua jalan memang telah
tertutup. Kelompok-kelompok kecil anak-anak muda telah
berusaha untuk mengawasi semua sudut halaman dan setiap
jengkal dinding padukuhan, sehingga tidak seorang pun yang
akan mungkin dapat lolos dari pengamatan mereka. Karena yang
kemudian berusaha untuk menemukan ketiga orang anak muda
yang merampok uang itu bukan hanya mereka yang sedang
bertugas malam itu, tetapi semua laki-laki di padukuhan itu telah
keluar dan ikut pula mencarinya setelah mereka mendapat
keterangan apa yang telah terjadi.
Tetapi ketiga orang anak muda itu ternyata telah keluar dari
padukuhan. Mereka telah mendapat kesempatan untuk meloncati
dinding padukuhan dan hilang di bulak yang luas, di antara
tanaman jagung yang tumbuh dengan suburnya.
64 SH. Mintardja "Betapa lambannya mereka," berkata salah seorang dari
ketiga anak-anak muda itu.
Ketiganya tertawa. Yang lain telah menyahut disela-sela suara
tertawanya, "Bagaimana mereka akan dapat bertahan dengan
cara seperti ini. Lamban, sedikit dungu dan tanpa keberanian
bertindak." Ketiganya tartawa semakin keras.
Namun, di bagian lain dari Tanah Perdikan itu telah terjadi
pula suatu peristiwa yang tidak diduga sebelumnya. Malam itu
juga, di luar pengetahuan ketiga orang anak muda yang
merampok itu dua orang anak muda yang semula juga menjadi
pengawal yang berpihak kepada Jipang serta sempat melarikan
diri dari medan, berada di Tanah Perdikan itu pula. Keduanya
berada di rumah orang tua dari salah seorang diantara mereka.
Ketika keduanya mendengar kentongan berbunyi dan
menjalar diseluruh Tanah Perdikan, maka keduanya pun menjadi
cemas. Dengan tergesa-gesa mereka bersiap. Digantungkannya
pedang mereka dilambung sambil bergumam dengan kasar,
"Tentu ada pengkhianat yang telah melaporkan kehadiranku
disini. Menurut perhitunganku tidak seorang pun yang
mengetahui aku telah berada di rumah. Karena itu tentu salah
seorang dari keluarga kita sendiri yang telah berkhianat itu."
"Tidak ada seorang pun di antara kita yang sampai hati
melaporkan kehadiran kalian" jawab ayahnya.
"Tetapi kenapa para pengawal telah mengetahui kehadiran
kita dan memukul kentongan," geram anaknya.
"Bukankah sumber isyarat itu bukan dari padukuhan ini?"
bertanya ayahnya. "Mereka tidak akan mencari kemari. Tetapi
mereka akan menuju ke padukuhan sumber isyarat itu. Mungkin
ada juga kawan-kawanmu yang menyusup pulang ke rumahnya
di padukuhan lain." 65 SH. Mintardja Anaknya termangu-mangu. Namun ia pun telah bersiap
menghadapi segala kemungkinan bersama kawannya yang
menunjukkan sikap tidak senang terhadap keadaan di rumah itu.
"Apakah kau memang menjebak aku dengan mengajakku
bermalam di rumah ini?" bertanya kawannya itu.
Anak pemilik rumah itu mengerutkan keningnya. Wajahnya
menjadi tegang. Katanya, "Kau jangan membuat perkara. Kau
mengenal aku seperti aku mengenalmu. Apakah menurut
perhitunganmu aku mungkin akan berbuat demikian?"
"Siapa tahu gejolak perasaan seseorang," jawab kawannya.
"Banyak di antara kita sudah berkhianat. Dan sekarang, akan
dapat pula giliran itu datang kepadamu."
"Kau jangan mengigau," jawab anak pemilik rumah itu. "Aku
pun sedang mengalami ketegangan seperti kau. Kita sudah sama-
sama letih selama mengalami tekanan hidup yang berat.
Perasaanku pun menjadi mudah tersinggung pula seperti
perasaanmu. Karena itu biarlah kita berusaha tidak
menumbuhkan persoalan-persoalan baru yang tidak berujung
pangkal." Kawannya menggeram. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Bahkan
ia pun telah berjalan hilir mudik di ruang tengah dengan
menggenggam hulu pedang. "Jika ada seseorang datang, maka aku akan membunuhnya,"
berkata anak muda itu. "Aku tidak peduli siapa mereka.
Kedatangannya tentu dalam hubungan dengan suara kentongan
itu. Tidak ngger, percayalah bahwa tidak seorang pun diantara isi
rumah ini yang sampai hati berkhianat. Anak itu adalah anakku
yang aku besarkan dalam keadaan yang sulit dan berat. Akupun
mengenalmu sejak kau masih bayi karena ayahmu adalah
sahabatku yang baik. Bagaimana mungkin aku, dapat berkhianat
terhadap kalian. Apalagi aku tahu bahwa ayahmu sudah
meninggal sehingga kau memerlukan, seorang ayah yang
66 SH. Mintardja meskipun bukan secara wadag memiliki kedudukan yang sah
menjadi ayahmu." berkata orang tua anak muda yang satu lagi.
Kawannya itupun terdiam. Tetapi ketegangan benar-benar
telah mencekam. Suara kentongan itu masih saja menggema.
Bahkan mereka pun kemudian mendengar suara beberapa orang
anak muda yang lewat di jalan di depan rumah itu. Anak-anak
muda itu agaknya memang berada dalam kesibukan. Terdengar
sekali-kali suara lantang meskipun tak begitu jelas maksudnya.
Anak muda yang merada didalam rumah itu memang benar-
benar telah bersiap. Mereka adalah anak-anak muda yang sudah
ditempa oleh para perwira dari Jipang, sehingga ketahanan tekad
merekapun tetap menyala di dalam dada.
Namun ternyata tidak seorang pun diantara anak-anak muda
dan para pengawal yang singgah kerumah itu. Ketika suara
kentongan kemudian mereda, maka ketegangan di rumah itu pun
telah mereda pula.. Namun kedua orang anak muda itu tidak lagi
mau merebahkan badannya di amben besar di ruang dalam
rumah itu. Pemilik rumah itu pun kemudian ikut pula duduk bersama
anaknya dan kawannya yang merasa keselamatannya terancam
itu. Bahkan isterinya telah mulai merebus air di dapur. Agaknya
anak-anak muda itu tidak akan dapat tidur lagi semalam suntuk.
Namun dalam pada itu, kegelisahan hati anak-anak muda itu
masih saja setiap kali menggetarkan perasaan mereka.
Ternyata malam itu, tidak terjadi sesuatu. Ketika langit
perlahan-lahan menjadi merah oleh cahaya fajar, maka kedua
orang anak muda itu benar-benar menjadi tenang. Keduanya
justru mulai terbaring setelah mereka meneguk minuman panas
yang dihidangkan kepada mereka.
"Tidurlah" berkata pemilik rumah itu, "aku akan pergi
kesawah untuk mengairi tanaman. Jangan cemas lagi. Tidak akan
terjadi sesuatu." 67 SH. Mintardja Orang tua itu-pun kemudian meninggalkan rumahnya
menjelang matahari terbit sambil memhawa cangkul di
pundaknya. Namun ia sempat berpesan, "Aku agak lama, karena
menunggui air," Ketika orang itu telah berada di jalan, ia menjadi ragu-ragu.
Ia harus menilai kembali, pikiran yang tiba-tiba saja muncul di
kepalanya justru pada saat anaknya dan kawannya menuduhnya
berkhianat dengan melaporkan kehadirannya kepada para
pengawal. Pikiran yang sebelumnya tidak pernah terbersit di kepalanya
untuk melaporkan kehadiran anaknya itu justru bagaikan
menjadi petunjuk untuk melakukannya. Bahkan ketika ia
mendapat kesempatan untuk membicarakannya dengan
isterinya, akhirnya isterinya pun menyetujuinya, meskipun
semula ia menolak. "Jangan serahkan anakku kepada para pengawal" minta
isterinya ketika mereka berbicara di dapur semalam selagi
isterimya merebus air. "Aku kira, jalan itu adalah jalan yang terbaik Nyi" jawab
suaminya, "dengan demikian anak kita akan mendapat
pembinaan lahir dan batin dari para pemimpin Tanah Perdikan
ini yang sudah kita saksikan sendiri, bahwa mereka lebih baik
dari Ki Wiradana dan apalagi orang-orang yang
mempengaruhinya, termasuk Warsi, yang bahkan telah
menyerahkan tanah ini kepada Jipang."
Isterinya tidak begitu mengetahui persoalan yang dikatakan
suaminya. Tetapi suaminya pun kemudian berkata, "Nyai, aku
menjamin bahwa keadaan anakmu akan lebih baik jika ia berada
di tangan orang-orang Tanah Perdikan daripada ia tetap
berkeliaran dan bahkan kemudian akan kembali bergabung
dengan Warsi yang telah terbuka kedoknya bahwa Warsi adalah
salah seorang dari pengikut Kalamerta."
68 SH. Mintardja "Jika kau mempunyai keyakinan yang demikian kakang"
sahut isterinya, "terserahlah kepadamu. Mudah-mudahan
perhitunganmu itu benar "
Suaminya mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan
berhubungan langsung dengan para pemimpin sehingga tidak
akan terjadi pertempuran yang lama dan berkepanjangan, yang
akan dapat membakar perasaan dan tidak lagi mampu
mengekang diri. Jika yang melakukannya itu justru para
pemimpin, keadaannya akan berbeda. Mereka akan dengan
mudah dapat menangkap anak kita sehingga justru karena itu,
segalanya akan dapat segera dibenahi."
Istrinya mengangguk kecil. Namun di kedua matanya telah
membayang air mata. "Sudahlah," berkata suaminya. "Yang kita bicarakan ini
adalah rahasia. Jangan sampai anak kita mendengarnya."
Istrinya mengangguk. Sementara itu suaminya berdesis,
"Besok pagi-pagi aku akan berpura-pura ke sawah"
Sebenarnyalah bahwa laki-laki itu kemudian telah
memantapkan rencananya. Tetapi ia akan pergi langsung ke
rumah Kepala Tanah Perdikan itu dan bertemu dengan Iswari.
Adalah menjadi kebiasaan Iswari untuk menerima siapa saja
yang berusaha menghubunginya asal ia berada di rumah. Ia tidak
menolak pula permintaan orang tua itu untuk menghadap.
"Nyai," berkata orang tua itu. "Aku akan menyerahkan
persoalanku ke tangan Nyai sepenuhnya."
Iswari termangu-mangu. Dengan nada rendah ia bertanya,
"Persoalan apakah yang kau maksud?"
Orang tua itu pun kemudian menceriterakan tentang anaknya
yang kebetulan berada di rumah. Anaknya yang ikut dalam
pasukan Jipang dan bahkan yang telah melarikan diri dari arena
pertempuran pada saat bekas prajurit Jipang menyerang Tanah
Perdikan itu. 69 SH. Mintardja "Ia berada di rumah bersama seorang kawannya," berkata
orang tua itu. Iswari mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih atas
keteranganmu itu. Aku akan memerintahkan para pengawal
untuk mengambilnya."
"Nyai," berkata orang tua itu. "Aku mohon Nyai jangan
memerintahkan kepada anak-anak muda untuk menangkapnya.
Mereka sama-sama muda, apalagi telah dibekali dengan dendam
dan kebencian. Aku tidak sampai hati melihat anakku itu diseret
dengan kasar serta diikat tangannya."
"O," Iswari tersenyum. "Para pengawal Tanah Perdikan ini
tidak akan berbuat demikian. Mereka telah mendapat pesan agar
mereka memperlakukan anak-anak muda yang tersesat itu
sebagaimana mereka memperlakukan saudara sendiri. Jika ada
kekerasan itu adalah karena kami menginginkan segala
sesuatunya berlangsung sesuai dengan rencana. Namun anak-
anak Tanah Perdikan ini akan selalu dapat mengekang diri."
Orang tua itu mengangguk-angguk. Namun ia masih juga
memohon, "Seandainya Nyai memerintahkan anak-anak muda
untuk mengambil anakku, aku mohon Nyai menyertainya."
Iswari tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku akan berusaha agar
segala sesuatunya terjadi dengan baik. Aku mengucapkan terima
kasih atas keikhlasanmu menyerahkan anakmu yang kau nilai
telah tersesat. Mudah-mudahan kita semuanya akan dapat
menolongnya untuk menemukan jalan kembali."
"Terima kasih Nyai," berkata laki-laki tua itu. "Aku tidak akan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segera pulang, agar aku tidak melihat apa yang terjadi. Aku masih
mohon Nyai untuk menenangkan istriku jika hatinya terguncang
karena peristiwa ini, meskipun aku sudah memberitahukan
kepadanya." Iswari mengangguk. Senyumnya masih nampak pada bibirnya.
Katanya, "Aku akan berusaha berbuat sebaik-baiknya. Kau telah
dengan jujur dan bersungguh-sungguh mencari jalan keluar bagi
kesulitan yang membelit anakmu. Kami pun akan berbuat
70 SH. Mintardja sebagaimana kau lakukan, karena anakmu adalah anak Tanah
Perdikan ini. Karena itu maka ia adalah anakku juga."
"Terima kasih Nyai. Aku percaya kepada Nyai. Aku serahkan
anakku hitam putihnya kepada Nyai," berkata orang tua itu.
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun
mengangguk-angguk sambil berkata, "Aku akan berusaha."
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 26. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
71 SH. Mintardja Jilid Ke dua puluh enam Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di,
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seluruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 72 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja DEMIKIANLAH, maka laki-laki itu pun telah mohon
diri. Tetapi seperti yang dikatakannya, ia tidak segera pulang ke
rumahnya. Betapapun kegelisahan mencengkam jantungnya,
namun ia tidak ingin melihat anaknya ditangkap atau bahkan
anaknya telah menuduhnya berkhianat.
Sepeninggal orang tua itu, maka Iswari telah mencari kakek
dan neneknya. Ia telah minta Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka
untuk membicarakan permintaan orang-orang tua itu.
Kiai Badra mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Baiklah kita
turuti saja permintaan orang tua itu. Ada dua orang pengawal
yang berada di rumah itu. Namun demikian, halaman rumah itu
memang harus dikepung agar mereka tidak sempat
meninggalkan halaman jika mereka mempunyai peluang untuk
melarikan diri dengan cara apapun juga."
"Tetapi jangan menimbulkan kegelisahan," berkata Iswari.
"Baiklah," berkata Kiai Soka. "Kita serahkan saja kepada
Gandar. Biarlah ia membawa empat atau lima orang yang akan
mengawasi lingkungan rumah itu jika anak itu melarikan diri.
Tentu saja tidak perlu mempergunakan pakaian pengawal Tanah
Perdikan." Iswari sependapat dengan Kiai Soka. Karena itu maka ia pun
telah memerintahkan memanggil Gandar dan memerintahkan
kepadanya agar membawa lima orang pilihan.
Sejenak mereka telah membicarakan langkah-langkah yang
akan diambil. Mereka berusaha untuk memenuhi permintaan
laki-laki tua yang telah dengan suka rela melaporkan kehadiran
anak laki-lakinya yang dianggap memusuhi Tanah Perdikannya.
Setelah semua rencana disepakati dan dipahami, maka Gandar
pun telah memanggil lima orang pengawal terpilih. Seorang di
antaranya adalah pimpinan pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
2 SH. Mintardja Dengan terperinci Gandar memberikan penjelasan apa yang
harus mereka lakukan, agar ketenangan Tanah Perdikan yang
sudah mulai pulih kembali itu. Apalagi semalam Tanah Perdikan
baru saja diguncang kehadiran tiga orang anak muda yang telah
merampok di sebuah padukuhan, namun ketiganya sama sekali
tidak dapat ditangkap. Tetapi menilik ceritera orang tuanya, maka anak muda yang
dilaporkan itu bukannya anak muda atau salah seorang di antara
anak-anak muda yang telah merampok itu, karena anak muda
yang dilaporkan itu bersama
kawannya, berada di rumah
sejak matahari tenggelam tanpa
beranjak keluar. "Berhati-hatilah," pesan
Gandar. "Jika mereka melarikan
diri dan kalian harus menangkapnya, berbuatlah sebaik-baiknya. Ingat, bahwa
kita memerlukan kemampuan
tertinggi dari Tanah Perdikan
ini, sehingga kita memerlukan
setiap anak muda untuk tegak
dan menjadi tulang punggung
Tanah Perdikan ini."
Kelima pengawal itu mengangguk-angguk. Sementara itu Gandar pun telah
menyerahkan pelaksanaannya kepada pemimpin pengawal itu.
"Aku akan mengantarkan Iswari yang akan langsung
menangani kedua anak muda itu bersama Nyai Soka," berkata
Gandar kemudian. Sebenarnyalah, bahwa Iswari telah pergi ke rumah orang tua
yang melaporkan kehadiran anaknya dengan seorang kawannya
itu bersama dengan Nyai Soka di antar oleh Gandar. Meskipun
Iswari dan Nyai Soka memiliki kemampuan yang sangat tinggi,
3 SH. Mintardja tetapi karena ujud mereka sebagaimana seorang perempuan,
nampaknya tidak terlalu garang sehingga mungkin tidak perlu
kekerasan sama sekali untuk membawa kedua anak muda itu
keluar dari rumah itu dan dibawa ke barak tertutup.
Namun dalam pada itu, untuk melindungi istri laki-laki tua
yang melaporkan anaknya itu, maka perlu diambil langkah-
langkah pendahuluan. Karena itulah, maka ketika mereka sudah semakin dekat
dengan rumah itu, Nyai Sokalah yang mendahului memasuki
halaman. Sementara Gandar sempat melihat pemimpin pengawal
yang bertugas mengamati keadaan, duduk dibawah sebatang
pohon yang rindang beberapa puluh langkah dari regol halaman
rumah itu. Nyai Soka ternyata telah langsung menuju ke sisi rumah itu
dan menuju ke pintu butulan.
Kedatangan perempuan tua itu memang tidak banyak menarik
perhatian. Kedua anak muda yang berada di dalam rumah itu,
sebenarnya telah terbangun pula setelah mereka sempat tidur
sejenak di saat matahari terbit.
Keduanya tidak begitu tertarik pula ketika mereka mendengar
suara seorang perempuan bercakap-cakap di pintu dapur.
Namun sebenarnyalah yang berbicara itu adalah Nyai Soka. Ia
telah memberitahukan bahwa suami perempuan itu telah
menghadap Iswari dan menyerahkan persoalan anaknya kepada
perempuan itu. "Kami datang untuk memenuhi permintaannya," berkata Nyai
Soka. "Karena itu, ijinkan kami mengambil anakmu dan
kawannya." Perempuan itu mengusap matanya. Tetapi karena yang datang
seorang perempuan tua, maka hatinya memang agak menjadi
tenang, meskipun ia pun pernah mendengar tentang Nyai Soka.
"Apakah Nyai datang sendiri?" bertanya perempuan itu.
4 SH. Mintardja "Tidak," jawab Nyai Soka. "Aku datang bersama Iswari."
"Dimana Nyai Wiradana itu sekarang?" bertanya perempuan
itu. "Ia masih berada di luar regol," jawab Nyai Soka. "Karena itu
pergilah ke regol. Beritahukan kepada Iswari, bahwa ia sudah
dapat masuk. Sementara itu sebaiknya kau memang menyingkir
keluar." Perempuan itu tidak membantah. Ia pun turun ke halaman
dan menuju ke regol. Sementara itu anaknya dan kawannya
masih berada di ruang dalam. Suara perempuan di dengarnya
meskipun hanya lamat-lamat dan tidak jelas itu sama sekali tidak
menarik perhatian mereka.
Sejenak kemudian, maka perempuan ibu dari anak muda yang
berada di dalam rumah bersama kawannya itu pun melintasi
halaman. Sekali-sekali ia berpailng ke pintu rumahnya yang
masih tertutup. Demikian ia keluar dari regol, dilihatnya Iswari berdiri
bersandar disisi regol halaman rumahnya. Sejenak perempuan itu
termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Nyai Soka
mempersilakan Nyai masuk."
Iswari mendekati perempuan itu. Katanya, "Suamimu telah
mengatakan dengan niat yang jujur tentang anaknya dan seorang
kawannya yang ada di dalam rumahnya. Ia minta aku datang
menjemputnya." Perempuan itu mengangguk. Wajahnya memang nampak
suram. Namun agaknya ia memang sudah pasrah. Katanya, "Aku
serahkan anak itu kepada kebijaksanaan Nyai. Namun aku
mohon anak itu jangan dibunuh."
"Kami memerlukan semua tenaga yang ada di Tanah Perdikan
ini," jawab Iswari. "Aku memerlukannya. Memang mungkin
untuk mengembalikannya pada tempatnya yang sewajarnya dari
seorang anak muda dari Tanah Perdikan ini diperlukan waktu.
5 SH. Mintardja Namun kita bersama-sama berdoa agar waktu itu datang dengan
cepat." Perempuan itu tidak menjawab lagi. Namun dengan suara
payah ia berusaha menahan tangisnya meskipun air matanya
meleleh juga dari kedua belah matanya.
Iswarilah yang kemudian bergerak masuk. Sementara itu,
Gandar masih berdiri di regol bersama ibu anak muda yang akan
diambil oleh Iswari itu. Jika yang ada di rumah itu hanya dua orang, maka Iswari dan
Nyai Soka tentu akan dapat menyelesaikannya andaikan
keduanya mencoba untuk melawan. Yang perlu dilakukan adalah
menjaga agar keduanya atau salah seorang daripadanya tidak
melarikan diri. Di luar sadarnya Gandar menjenguk halaman rumah itu.
Dilihatnya dinding yang tidak terlalu tinggi mengelilingi
halaman. Ia pun kemudian membayangkan, berapa orang telah
mengawasi dengan cermat, sehingga tidak seorang pun di antara
keduanya akan mungkin lolos. Namun Gandar pun mengetahui
dan sudah memberikan pesan, agar mereka berusaha menangkap
anak-anak muda itu hidup meskipun mereka akan melawan.
Dalam pada itu, maka Iswari pun telah mendekati pintu
rumah yang masih tertutup itu. Nyai Soka yang melihatnya
datang telah menyongsongnya pula bersama-sama menuju ke
pintu. Sejenak kemudian, maka Iswarilah yang telah mengetuk pintu
itu perlahan-lahan sambil mendehem, sehingga yang berada di
dalam telah mendengar bahwa di luar seorang perempuan telah
mengetuk pintu rumah itu.
Meskipun demikian kedua anak muda itu memang berhati-
hati. Karena itu, mereka tidak segera membuka pintu. Dengan
langkah yang hati-hati anak muda dari pemilik rumah itu telah
beringsut ke dapur untuk mencari ibunya. Tetapi ibunya tidak
diketemukannya. 6 SH. Mintardja "Kemana ibu ini" desisnya. Ia baru saja mendengar suara
ibunya berbicara dengan seorang perempuan meskipun ia tidak
jelas apa yang dibicarakannya.
Pintu depan itu terdengar telah diketuk lagi. Memang yang
terdengar adalah suara seorang perempuan, "Siapa ada di
rumah?" Anak muda itu menjadi bimhang. Apakah ia harus membuka
pintu atau tidak. Ketika ia kembaii ke ruang dalam, maka
kawannya pun nampaknya menjadi gelisah pula.
Namun yang terdengar kemudian adalah suara perempuan itu
pula "Nyai, bukankah Nyai memesan ikan sungai segar kemarin"
suamiku baru saja pulang dari sungai untuk menebarkan jalanya.
Hasilnya aku bawa kemari. Hasil kerjanya semalam suntuk."
Anak muda yang berada didalam masih ragu-ragu. Namun
akhirnya ia menjawab, "Ibu tidak ada. Baru saja ibu keluar. Ibu
tidak meninggalkan uang."
"O" jawab suara perempuan diluar, "uangnya sudah diberikan
kemarin. Bahkan masih tersisa karena hasil suamiku tidak terlalu
banyak. Aku hanya akan menitipkan ikan basah ini saja, karena
aku masih harus, kepasar."
Sejenak keduanya saling berpandangan. Ibunya tidak pernah
dengan khusus memesan ikan air seperti itu. Ia sendiri memang
sering mencari ikan dahulu.
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin ibu memesan kepada perempuan itu karena aku dan
seorang kawanku ada disini" berkata anak muda itu didalam
hatinya. Setelah merenung sejenak, maka ia pun telah melangkah ke
pintu. Apa salahnya jika ia hanya menerima, titipan pesanan
ibunya saja, meskipun ada juga keraguan, jika perempuan itu
dapat mengenalinya. Karena itu, maka anak muda itu pun telah membuka pintu.
Hanya secukup tangannya yang terjulur, agar perempuan itu
tidak dapat melihatnya seutuhnya.
7 SH. Mintardja Namun ketika pintu terbuka, terdengar suara iswari, "Maaf
anak muda. Aku memang mengetuk pintu depan rumahmu. Aku
tidak ingin masuk lewat butulan."
Anak muda itu terkejut, Diluar sadarnya ia telah menjenguk pemempuan yang berdiri dimuka pintu itu.
Terasa jantungnya bagaikan
berhenti berdentang. Yang
berdiri dimuka pintu itu Adalah
seorang perempuan yang telah
dikenalnya. Iswari, isteri
pertama Ki Wiradana. Dengan serta merta anak muda itu berusaha untuk menutup pintu itu kembali.
Namun Iswari telah menahannya. Betapa pun anak
muda itu mengerahkan tenaganya, namun ia tidak mampu mengatasi kekuatan tenaga
cadangan perempuan diluar pi;mtu itu.
Anak muda itu menggeretakkan giginya sambil
menghentakkan tenaganya. Namun pintu itu justru telah terbuka.
Kawannya yang melihat anak muda itu berusaha menutup
pintu menjadi heran malihat tingkah lakunva. Dengan nada
tinggi ia bertanya "Kau kenapa?"
Kawannya yang terdorong oleh kekuatan Iswari berkata
lantang "Perempuan celaka. Apa kerjamu disini?"
Iswari sudah berdari, dimuka pintu yang telah terbuka. Anak
muda itu bergeser surut dengan wajah yang tegang.
Kawannya pun melihat pula kehadiran Iswari, ia pun menjadi
berdebar-debar karenanya. Bahkan dengan suara tertahan ia
menggeram, "Siapa yang telah berkhianat ?"
8 SH. Mintardja Iswari tersenyum. Sementara kedua anak muda itu menjadi
tegang. "Anak-anak muda" berkata Iswari kemudian. "Aku datang
menjemputmu. Bagiku kalian adalah anak-anakku yang hilang.
Tetapi kini kalian telah kembali kepada ibumu."
"Cukup" teriak kawan anak muda pemilik rumah itu, "siapa
yang memberitahukan kepadamu bahwa kami ada disini "
Pengkhianat itu harus dubunuh"
"Jangan terlalu, garang anak-anak muda" berkata, Iswari, "kita
memerlukan semua kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini
untuk mempertahankan diri. Pada suatu saat Tanah Perdikan ini
tentu akan dilanda oleh kegarangan-kegarangan Kalamerta.
Meskipun, orang yang disebut Kalamerta, itu sudah terbunuh
oleh Ki Gede Sembojan, tetapi para pengikutnya, keluarganya dan
bahkan tentu akan termasuk pula palari,an para bekas prajurit
Jipang, akan datang lagi ke Tanah Perdikan ini. Mereka tentu
akan berusaha untuk menguasai Tanah Perdikan ini dengan
segala isinya." "Omong kosong" bentak anak muda itu, "jangan memfitnah.
Yang berhak atas Tanah Perdikan ini adalah anak laki-laki Ki
Wiradana. Ia akan menempatkan diri dengan dukungan
siapapun, sebagai pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan ini."
"Kau benar anak muda" jawab Iswari "yang berhak
memerintah atas Tanah Perdikan ini adalah anak Ki Wiradana.
Yang aku lakukan ini pun atas nama anak Ki Wiradana.
Seandainya diakui ada beberapa orang anak Ki Wiradana, maka
yang berhak untuk menggantikannya adalah anak yang tertua
apalagi jika anak itu laki-laki."
Anak muda itu terrnangu-mangu. Namun hatinya yang telah
dicengkam oleh kesetiaannya yang membuta kepada Ki Wiradana
menggeram, "Persetan, anak laki-laki Ki Wiradana itu ada pada
Nyi Wiradana yang telah dikhiamati oleh orang-orang Tanah
Perdikan ini sendiri, justru pada saat kami berjuang untuk
9 SH. Mintardja menegakkan keadilan di Demak, karena Hadiwijaya dari Pajang
telah berusaha merebut tahta Demak meskipun ia tidak berhak."
Iswari mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun
bertanya "Anak muda, apakah kau tahu apa yang terjadi dengan
Ki Wiradana itu" Anak muda itu mengerutkan keningnya. Keduanya saling
berpandangan sejenak. Namun anak muda pemilik rumah itu
berdesis "Kalian telah membunuhnya. Kami sudah
mendengarnya." Iswari menggelengkan kepalanya. Kemudian dengan suara
tersendat ia berkata, "Anak-anak muda. Ketahuilah, Ki Wiradana
memang telah terbunuh. Tetapi yang membunuh adalah orang-
orang yang berada didalam lingkungannya sendiri."
"Maksudmu para pengawalnya?" bertanya anak muda itu.
"Isterinya yang kau sebut. mempunyai seorang anak yang
berhak untuk menggantikan kedudukannya itu. Dibantu oleh
laki-laki yang terlalu dekat dengan perempuan itu" jawab Iswari.
"Ki Rangga Gupita ?" tiba-tiba saja anak muda itu menyebut
sebuah nama. Iswari mengerutkan keningnya. Anak muda itu tentu sudah
mempunyai kecurigaan tentang hubungan antara Warsi dengan
Ki Rangga Gupita, sehingga karena itu, maka dengan serta merta
ia telah menyebutnya. Karena itu Iswari mengangguk. Jawabnya "Kau benar anak
muda. Itulah yang terjadi."
Kedua anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian salah seorang diantara mereka berkata, "omoug
kosong. Kalian telah memutar balik kenyataan."
"Siapa yang memutar balik kenyataan" Apa yang kau lihat
sebenarnya hubungan antara Warsi, Ki Wiradana dan laki-laki
dari Jipang yang bernama Ki Rangga Gupita itu" bertanya Iswari,
"Anak-anak muda. Persoalannya bukan sekadar persoalan antara
10 SH. Mintardja Pajang dan Jipang atau antara Tanah Perdikan Sembojan yang
diperebutkan oleh dua pihak yang masing-masing mengaku
sebagai pengemban tugas anak-anak Ki Wiradana, tetapi ada
persoalan lain atara Ki Wiradana dan Ki Rangga Gupita sebagai
laki-laki dalam hubungannya dengan Warsi sebagai perempuan."
Kedua anak muda itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba salah
seorang di antara mereka berkata dengan suara bergetar, "Apa
sebenarnya yang kau katakan itu" Seharusnya kau melihat
kepada dirimu. Yang mengalami persoalan seperti itu bukan Ki
Wiradana, tetapi kau sendiri. Kau telah tersisih ketika Nyi
Wiradana yang muda itu datang. Kau telah melepaskan dendam
dan kebencianmu dengan caramu. Kau korbankan Tanah
Perdikan ini tanpa mengenal pertimbangan bagi masa depan,
sekadar untuk memenuhi gejolak darahmu yang dibakar oleh
perasaan cemburu seorang perempuan."
Wajah Iswari menegang. Namun ia masih menahan dirinya,
"Anak muda. Aku datang dengan maksud baik. Tetapi jika kau
tidak mau melihat kenyataan, maka aku akan dapat bertindak
atas kalian. Selama ini, aku masih berpengharapan atas kalian."
Wajah anak-anak muda itu menjadi tegang. Mereka memang
pernah mendengar bahwa Iswari adalah seorang yang sulit
dilawan di peperangan sebagaimana Warsi. Namun
bagaimanapun juga dalam keadaan yang demikian, anak-anak
muda itu melihat ujud seorang perempuan yang nampaknya
lemah lembut dan keibuan. Karena itu, maka mereka sulit untuk
membayangkan, bagaimana Iswari mampu bertindak dengan
kekerasan. Apalagi mereka memang sudah tersudut pada satu keharusan
untuk berusaha melepaskan diri. Siapapun yang dihadapinya
maka keduanya harus melawan dan berusaha untuk keluar dari
Tanah Perdikan Sembojan yang agaknya mengetahui
kehadirannya itu. Karena itu, maka kedua anak muda itu pun telah bersiap.
Sementara Iswari masih berkata, "Anak-anak muda. Jangan
11 SH. Mintardja berusaha untuk memberikan perlawanan. Rumah dan halaman
ini sudah terkepung. Kalian tidak akan dapat keluar dengan cara
apapun juga." "Persetan," geram anak muda pemilik rumah itu, "Aku akan
melakukannya." "Sia-sia," desis Iswari.
Namun tiba-tiba saja anak muda itu telah menarik senjatanya
yang tidak pernah terpisah dari tubuhnya. Dengan serta merta ia
mengacukan senjatanya kepada Iswari sambil membentak,
"Jangan mencoba untuk berbuat sesuatu. Ujung pedang ini akan
menusuk dadamu tanpa belas kasihan. Kecuali jika kau mau
mencarikan jalan bagi kami keluar Tanah Perdikan ini."
Iswari mengerutkan keningnya. Ujung pedang itu memang
telah melekat didadanya. Sementara itu anak muda yang seorang
lagi telah pula menggenggam senjatanya sambil menggeram,
"Jika kau tidak mau mencarikan jalan keluar, kau adalah korban
yang sia-sia setelah kau merasa memenangkan pertarungan
melawan Warsi untuk merebut Tanah ini, maksudku itu."
Iswari tidak segera menjawab. Diamatinya kedua anak muda
itu. Namun Iswari masih berusaha untuk membujuk mereka
meskipun pada sorot mata kedua anak itu nampak api bagaikan
menyala, "Anak-anak muda. Aku sudah berjanji untuk tidak
berlaku kasar kepada anak-anak muda yang ingin pulang kepada
induknya. Aku pun tidak ingin berbuat kasar kepada kalian
berdua, karena kalian adalah anak-anakku dalam kedudukan
sebagai pelaksana pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan
Sembojan. Aku ingin kalian pulang dengan keyakinan atas masa
depan Tanah Perdikan Sembojan ini."
"Persetan," geram anak muda kawan pemilik rumah itu.
"Cepat. Bawa kami keluar. Jika seorang saja di antara para
pengawalmu yang bertindak diluar kehendak kami, maka kaulah
yang akan menjadi korban."
12 SH. Mintardja "Jadi kalian benar-benar tidak mau mendengarkan seruanku
untuk kembali pulang sebagai seorang anak yang pernah hilang
dari pangkuan ibunya?" bertanya Iswari.
"Cukup," anak muda itu hampir berteriak. Namun ia masih
berusaha untuk menekan suaranya. Ia sadar, bahwa halaman itu
tentu sudah dikepung. Jika suaranya memancing perhatian para
pengawal, maka keadaan akan menjadi lebih sulit lagi baginya.
"Baiklah," berkata Iswari. "Jika kalian memilih jalan
kekerasan, apaboleh buat."
"Aku dapat menusuk dadamu sekarang," berkata anak muda
pemilik rumah itu. "Cepat berputar dan berjalan. Kaulah yang
membuka jalan bagi kami sampai perbatasan Tanah Perdikan.
Tidak seorang pun boleh mengikuti kami. Atau kau terkapar mati
disini." Iswari menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa ujung pedang
anak muda itu memang menekan dadanya.
"Dadamu terlalu lunak bagi ujung pedangku," geram anak
muda itu. "Baiklah," jawab Iswari. "Kalian agaknya benar-benar tidak
mau mendengar permintaanku."
"Cepat berputar dan berjalan," berkata anak muda itu.
Iswari memang berputar. Tetapi saat ia berputar itulah terjadi
sesuatu yang tidak dikehendaki oleh kedua anak muda itu.
Demikian cepatnya Iswari bergerak. Meskipun ia tidak
mengenakan pakaian khususnya, karena ia mengenakan pakaian
seorang ibu Tanah Perdikan. Namun dengan sedikit
menyingsingkan kain panjangnya, Iswari telah berhasil melenting
mengambil jarak. Tiba-tiba saja Iswari telah berdiri dihalaman
beberapa langkah dari anak-anak muda itu.
Nyai Soka yang berada di halaman telah memperhitungkan,
bahwa demikianlah yang akan terjadi, karena ia mengikuti segala
pembicaraan Iswari dengan anak-anak muda itu.
13 SH. Mintardja Kedua anak muda itu terkejut bukan buatan. Namun ia tidak
ingin kehilangan Iswari. Karena itu, maka keduanya pun segara
meloncat memburunya. Ditempat yang lebih luas, maka gerak Iswari tidak lagi
terkekang. Itulah sebabnya kedua anak muda itu benar-benar
menjadi berdebar-debar. Keduanya merasa bahwa mereka tidak
akan sempat mendekati Iswari dan apalagi menyerangnya dengan
senjata mereka meskipun mereka benar-benar ingin
melakukannya. Namun kedua anak muda itu tidak menyerah. Mereka benar-
benar berniat menguasai Iswari agar dengan demikian
perempuan itu dapat menjadi syarat untuk keluar dari Tanah
Perdikan. Iswari memang menjadi kecewa terhadap anak-anak muda itu.
Tetapi ia sudah berjanji untuk memperlakukan anak muda itu
dengan baik kepada ayahnya yang telah dengan jujur
memberitahukan kehadiran anaknya dirumahnya.
Gandar yang berada di regol mendengar keributan yang terjadi
di halaman. Karena itu, maka ia pun telah menjenguknya dan ia
pun melihat kedua anak muda itu telah menyerang Iswari. Bukan
sekadar untuk mengusirnya pergi, tetapi keduanya benar-benar
telah menyerang untuk melukai tubuh Iswari itu.
Secara naluriah Gandar bergeser memasuki halaman. Namun
ketika ia melihat Nyai Soka masih tetap berdiri tanpa berbuat
apa-apa, maka ia pun telah mengendalikan dirinya.
Beberapa saat lamanya Gandar menyaksikan kedua orang
anak muda itu berusaha menguasai Iswari tanpa menghindari
kemungkinan untuk melukainya. Keduanya ingin
mempergunakan Iswari untuk perisai dalam keadaan apapun.
Bahkan dalam keadaan yang semakin bingung, keduanya tidak
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi tahu apa yang mereka lakukan. Mereka semakin menjadi
kasar dan senjata mereka semakin cepat bergerak. Namun Iswari
yang memiliki ilmu yang tinggi itu sama sekali tidak mengalami
kesuitan untuk menghindari setiap serangan.
14 SH. Mintardja "Jangan kehilangan akal," berkata Iswari." Sebaiknya kalian
mempergunakan nalar kalian sebaik-baiknya."
"Persetan," geram anak muda, kawan pemilik rumah itu. "Jika
ujung pedangku menembus dadamu dan membunuhmu, bukan
salahku." Iswari meloncat kesamping ketika pedang anak muda itu
terjulur lurus ke dadanya. Namun ia pun telah dengan cepat
merendahkan diri ketika pedang anak muda yang seorang lagi
menembus lehernya. Ternyata Gandar tidak telaten melihat perlakuan Iswari
terhadap kedua anak muda itu. Karena itu, maka perlahan-lahan
iapun telah melangkah mendekati Nyai Soka sambil berdesis,
"Aku akan menangkap keduanya."
"Iswari sudah berjanji kepada ayah salah seorang dari mereka
untuk memperlakukan mereka dengan baik. Bukankah kau
melihat ibunya diluar regol" Kepada ibunya Iswari juga telah
mengatakan bahwa anak itu akan diperlakukan dengan bak
Tanpa menciderainya dan apalagi lebih dari itu" berkata Nyai
Soka, "karena itu biarlah Iswari berusaha untuk membuat mereka
menjadi letih dan kehabisan tenaga."
"Tetapi dengan demikian diperlukan waktu yang lama. Jika
sekelompok pengawal lewat di depan regol dan melihat apa yang
terjadi, akibatnya akan lebih parah bagi keduanya." jawab
Gandar. Nyai Soka melihat regol yang tidak terbuka sepenuhnya
Namun kemungkinan bahwa yang terjadi itu dilihat orang yang
lewat, meskipun jalan di depan regol itu tidak banvak dihalui
orang, tentu akan menarik pehatian dan mungkin akan terjadi
sesuatu yang tidak dikehendaki.
Untuk beberapa saat Nyai Soka masih merenung. Namun
akhirnya ia pun berkata, "Baiklah. Bantulah Iswari untuk
menangkap anak-anak muda itu. Tetapi jangan ciderai mereka."
15 SH. Mintardja Gandar mengangguk kecil. Ia pun kemudian melangkah
mendekati kedua anak muda yang masih berusaha untuk
menyerang Iswari dengan senjata mereka. Bahkan keduanya
ternyata telah sampai pada tataran kemampuan mereka yang
tertinggi, sehingga mereka tidak lagi dapat mengekang diri untuk
benar-benar membunuh Iswari agar mereka sempat melarikan
diri, karena mereka seakan-akan telah menjadi putus asa untuk
dapat menguasai dan mempergunakan Iswari sebagai perisai.
Namun semakin cepat keduanya bergerak, bagi Iswari justru
semakin baik. Keduanya akan cepat menjadi letih sehingga
menjadi semakin cepat pula untuk dapat menguasai mereka
tanpa menyakiti. Tetapi ternyata Gandar telah mendekatinya. Iswari yang
metihat Gandar memasuki arena mengerutkan keningnya.
Namun ketika ia melihat sikap Gandar, maka Iswari pun
menyadari, bahwa Gandar mengerti apa yang sedang
dilakukannya. Karena itu, Iswari tidak mencegahnya. Dibiarkannya Gandar
mendekat dan kemudian berkata, "Anak-anak muda. Apakah
kalian tidak berusaha untuk mengerti?"
Kedua anak muda itu mengumpat hampir berbareng. Namun
kehadiran Gandar memang membuat keduanya mwjadi semakin berdebar-debar.
"Anak-anak muda" berkata Gandar, "hentikanlah. Kita akan
berbicara. dengan baik."
Tetapi, kedua anak muda yang justru menjadi berputus-asa itu
tidak mendengarnya. Mereka justru: menjadi semakin
kebingungan ,karena, kehadiran Gandar.
Karena itu, maka seorang diantara kedua orang itu telah
menyerang Gandar dengan serta merta.
Gandar memang menghendaki demikian. Ia akan mendapat
kesempatan untuk mempercepat penyelesa.ian sesuai dengan
16 SH. Mintardja kehendak Iswari. Ia akan dapat memancing anak muda itu untuk
bekerja lebih keras. Karena itu, tidak seperti Iswari yang hanya meloncat dan
melenting menghindari serangan-serangan kedua, anak muda
itu, namun- Gandar justru sekali-sekali juga menyerangnya,
meskipun ia tidak mempergunakan senjata.
Ternyata bahwa memang Gandar lah yang lebih dahulu
menyelesaikan tugasnya. Lawannya itu menjadi semakin letih
karena ia tidak saja harus menyerang, tetapi juga menghindari
serangan-serangan Gandar yang kadang-kadang tidak
diperhitungkannya lebih dahulu. Gejolak di dada anak muda itu
menjadi semakin menggelora, ketika tangan Gandar yang tidak
bersenjata itu, sempat menyentuh tubuh lawannya. Meskipun
akibat dari, sentuhan itu tidak gawat, tetapi perasaan sakit telah menyengatnya. Semakin lama justru menjadi semakin sering,
sementara tenaganya telah menjadi semakin susut.
Akhirnya anak muda itu memang tidak dapat berbuat lain.
Ketika ia benar-benar sudah memeras tenaganya serta perasaan
sakit telah menjalar ke seluruh tubuhnya, maka ia pun telah
kehilangan kekuatannya untuk melawan. Pada saat-saat ia
menyerang dan tidak menyentuh sasaran, ia pun justru telah
terhuyung-huyung terseret oleh ayunan senjatanya sendiri.
Bahkan beberapa kali anak
muda itu harus mempertahankan keseimbangannya, agar tidak
jatuh terjerembab. Namun pada saatnya, kekuatan anak muda itu benar-
benar telah terperas habis.
Karena itu, maka ketika ia
berusaha menusuk lambung Gandar, namun tidak 17 SH. Mintardja menyentuhnya, anak muda itu tidak lagi mampu bertahan. Ia pun
telah terjerumus dan kakinya seakan-akan tidak mampu lagi
mengikuti gerak tubuhnya, sehingga akhirnya anak muda itu pun
telah terjatuh. Gandar membiarkan saja anak muda itu tertelungkup.
Pedangnya justru terlepas selangkah terpisah dari tangannya.
Dengan susah payah anak muda itu menggapai pedangnya
tanpa dicegah oleh Gandar. Dengan susah payah pula ia berusaha
untuk berdiri. Namun ia sudah tidak mampu berbuat apa-apa
lagi. Meskipun ia berhasil berdiri di atas kedua kakinya, tetapi ia
tidak mampu lagi untuk menyerang meskipun Gandar berdiri
sejangkau ujung pedangnya.
"Bagaimana anak muda?" bertanya Gandar.
Anak muda itu menggeram. Sementara itu anak muda yang
seorang lagi agaknya masih lebih segar, karena Iswari tidak
menyakitinya. Tetapi karena Gandar telah menyelesaikan anak muda yang
seorang lagi, maka Iswari pun ingin mempercepat
penyelesaiannya pula. Karena itu, maka ia pun telah mengambil jalan pintas. Ia tidak
ingin memaksa lawannya berhenti berkelahi dengan
menyakitinya. Tetapi ketika pedang lawannya terayun lepas di
atas kepalanya karena ia merunduk, maka ia pun tiba-tiba telah
meloncat mendekat. Kedua tangannya dengan cepat menggapai
kedua pundak anak muda itu.
Tidak terdengar anak muda itu mengeluh. Tetapi dengan
demikian maka seakan-akan kekuatan anak muda itu terhisap
habis oleh jari-jari yang menekan bagian belakang kedua
pundaknya. "Duduklah anak muda," desis Iswari.
Sebenarnyalah anak muda itu tidak lagi mampu berdiri. Ketika
Iswari menekan pundaknya itu, maka ia pun telah jatuh terduduk
di tanah. 18 SH. Mintardja Anak-anak muda yang sudah kehilangan kekuatannya itu
masih menunjukkan sikap bermusuhan, sehingga Iswari pun
berkata, "Aku kecewa terhadap kalian. Aku sudah berusaha untuk
berbuat sebaik-baiknya. Tetapi kalian sama sekali tidak
menanggapinya." Kedua anak muda itu tidak menjawab. Gandar pun telah
memaksa lawannya untuk duduk pula disisi kawannya yang telah
dilumpuhkan oleh Iswari. "Nah," berkata Iswari. "Jika kalian memang tidak mau
mendengar kata-kataku, kalian akan aku tinggalkan disini. Aku
tidak tahu, siapa lagi yang bakal datang. Tetapi pasti bukan aku,
Gandar atau Nyai Soka. Mungkin para pengawal. Atau mungkin
anak-anak nakal disekitar rumahmu ini. Melihat kalian, mereka
akan merasa mendapat barang mainan."
"Gila," geram anak muda yang telah kehilangan tenaganya
karena bertempur melawan Gandar, bahkan yang tubuhnya telah
disakiti itu. Gandar termangu-mangu sejenak. Agaknya kedua orang anak
muda itu benar-benar sudah dikuasai oleh pengertian yang
pernah dijejalkan oleh para perwira Jipang yang pernah
menempa mereka. Namun demikian, Gandar harus menahan diri meskipun rasa-
rasanya tangannya memang menjadi gatal untuk memukul mulut
anak muda yang menjadi keras kepala itu.
Tetapi Iswari masih berpengharapan. Karena itu, Iswari pun
kemudian berkata, "Nah, pikirkan. Apakah kau ikut bersama
kami, atau kami akan membiarkan kalian disini. Kami tidak
mempunyai banyak waktu untuk menunggu kalian. Kami masih
harus melakukan kerja yang lain."
Yang terdengar hanyalah gemeretak gigi kedua orang anak
muda itu. Karena itu, maka Iswari pun berkata, "Nah, marilah anak-anak
ini kita tinggalkan disini. Marilah Gandar."
19 SH. Mintardja Iswari pun segera beranjak dari tempat itu. Gandar dan Nyai
Soka pun mengikutinya pula. Beberapa langkah anak-anak muda
itu masih mencoba bertahan. Namun ketika Iswari hampir
sampai di regol halaman, terdengar salah seorang dari kedua
anak muda itu memanggilnya, "Nyai tunggu."
Iswari berhenti. Demikian pula Nyai Soka dan Gandar.
"Ada apa?" bertanya Iswari.
"Jangan tinggalkan kami disini", berkata anak muda itu.
"Kenapa" Bukankah kalian tidak mau ikut bersama kami?"
bertanya Iswari. "Kalian akan pergi kemana?" bertanya anak muda itu.
"Pulang," jawab Iswari.
Kedua anak muda itu memang tidak mempunyai pilihan lain.
Jika mereka benar-benar ditinggalkan, maka mereka akan
mengalami perlakuan yang sangat buruk dari anak-anak muda
Tanah Perdikan Sembojan apabila mereka berdatangan. Bahkan
Iswari mungkin akan memanggil anak-anak muda itu. Atau
bahkan sebenarnyalah bahwa rumah itu memang sudah
dikepung, sehingga tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk
meloloskan diri dan meninggalkan Tanah Perdikan itu.
Karena itu, mereka memang tidak mempunyai pilihan lain.
Dengan nada berat, maka seorang di antara mereka berkata,
"Kami akan mengikuti kalian."
Iswari menarik dalam-dalam. Ternyata bahwa ia tidak perlu
mempergunakan kekerasan lagi lewat para pengawal untuk
membawa kedua orang anak muda itu.
"Baiklah," berkata Iswari kemudian. "Marilah."
Iswari pun justru telah berbalik mendekati kedua anak muda
itu. Dengan lembut ia berkata, "Lepaskan senjata kalian.
Bersikaplah wajar disepanjang jalan. Jangan merasa dirimu
tawanan, sehingga perjalanan kita tidak menarik perhatian orang
lain. 20 SH. Mintardja Kedua anak muda itu memang tidak dapat berbuat lain.
Mereka melakukan apa saja yang dikatakan oleh Iswari. Mereka
telah melepas wrangka senjata mereka yang tergantung
dilambung. Kemudian membenahi pakaian mereka dan berusaha
bersikap wajar, meskipun jantung mereka bergejolak
menghentak-hentak di dalam dada.
Demikianlah sejenak kemudian, maka mereka pun telah
keluar dari regol rumah itu. Iswari berjalan di paling depan
bersama Nyai Soka. Kemudian kedua orang anak muda itu
berjalan dibelakangnya. Dan dipaling belakang adalah Gandar.
Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa kedua orang
anak muda itu tawanan yang harus dibawa ke barak khusus.
Ibu salah seorang dari anak muda yang berada diluar regol
melihat anaknya meninggalkan rumahnya tanpa berpaling.
Hampir saja ia berteriak. Namun suaranya ditahankannya
dikerongkongan. Sejak semula ia memang tidak berani melihat
apa yang terjadi di halaman. Ketika terjadi sedikit keributan,
hatinya bagaikan rontok di dalam dadanya. Seolah-olah ia
melihat kedua orang anaknya itu tengah bertempur dengan
orang-orang yang akan menangkapnya. Namun ia sama sekali
tidak berani menjengukkan kepalanya di regol. Bahkan ia telah
menutup telinganya dengan tangannya agar ia tidak mendengar
apa yang terjadi. Namun perempuan itu sebagaimana suaminya telah pasrah,
apapun yang akan terjadi dengan anaknya. Bahwa Iswari telah
mau datang sendiri untuk mengambil anaknya itu pun
merupakan satu kesempatan yang sangat menguntungkan,
sehingga kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi
atas anaknya dapat dikurangi.
Demikian anaknya itu melangkah menjauh, maka perempuan
itu pun segera berlari masuk regol halaman rumahnya. Ia
tertegun ketika melihat dua helai pedang terletak di tanah.
Dipungutnya senjata itu beserta sarungnya dan membawanya
masuk ke dalam. Perempuan itu mengerti, bahwa anaknya dan
21 SH. Mintardja kawannya itu tentu mencoba memberikan perlawanan. Namun
mereka tidak mampu bertahan.
"Untunglah bahwa Iswari lah yang datang sendiri," berkata
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perempuan itu. "Jika yang datang para pengawal yang masih
muda, semuda anakku, maka akibatnya tentu lain."
Jantung perempuan itu telah bergetar semakin cepat. Tiba-
tiba saja ia telah berlari masuk ke ruang dalam. Dibantingnya
tubuhnya di amben yang besar sambil menelungkup. Perempuan
itu tidak dapat menahan tangisnya yang menghentak dari dalam
dadanya yang serasa telah penuh dengan kegelisahan.
Perempuan itu tidak menyadari, berapa lama ia
menangis. Namun tiba-tiba
terasa pundaknya disentuh oleh
tangan yang meskipun kasar
tetapi terasa lunak. "Kang," desisnya ketika
perempuan itu mengangkat wajahnya yang basah. Suaminya yang pulang dari
sawah memandangnya dengan
jantung yang berdebar-debar.
Dengan suara sendat ia bertanya, "Bagaimana dengan
anak kita Nyai?" Perempuan itu bangkit dan
duduk disamping suaminya. Disela-sela isak tangisnya ia
menjawab, "Anak kita sudah diambil, kakang."
"Siapa yang mengambilnya?" bertanya suaminya.
"Nyai Wiradana sendiri," jawab istrinya.
"Syukurlah. Iswari telah memenuhi janjinya," desis suaminya.
22 SH. Mintardja "Tetapi anak kita memang keras kepala, kakang. Anak kita dan
kawannya agaknya telah melawan," berkata istrinya.
"O," suaminya mengerutkan keningnya.
"Tetapi tidak terjadi sesuatu. Keduanya telah dibawa. Aku
tidak berani menyapanya ketika anak kita lewat pintu regol,
meskipun aku ada disebelah regol itu. Apalagi anak kita memang
tidak berpaling." Suaminya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia
berkata, "Tetapi begitu akan lebih baik.Jika pada suatu saat anak
kita itu bertemu dengan para pengawal Tanah Perdikan ini, maka
akibatnya akan berbeda. Jika anak-anak muda bertemu dengan
anak-anak muda dalam landasan yang berbeda apalagi
bertentangan, maka akibatnya akan gawat."
Istrinya mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab lagi.
Bahkan perlahan-lahan istrinya itu berdiri dan berdesis, "Aku
akan ke dapur." Ketika istrinya itu pergi ke dapur, ternyata suaminya pun
masih merenungi keadaan untuk beberapa saat. Bagaimanapun
juga anak yang diambil oleh Iswari itu adalah anaknya. Namun
baginya keadaan itu akan lebih baik daripada anaknya
berkeliaran dengan para bekas prajurit Jipang dengan tanpa
tujuan atau bahkan jatuh ketangan gerombolan Kalamerta.
Karena ditangan Nyai Wiradana, ayahnya berharap bahwa anak
itu akan dapat menjadi baik kembali dan hidupnya dapat
memberikan arti. Dalam pada itu, pemimpin pengawal yang duduk di depan
rumah orang itu pada saat Iswari mengambil anak muda dari
rumah itu, telah melangkah pergi pula. Ketika seorang yang
mengenalnya bertanya, anak muda itu menjawab, "Sekali-kali
ingin juga berjalan-jalan melihat keindahan Tanah Perdikan ini
tanpa ketegangan pakaian pengawal."
Kawannya tersenyum. Karena ia tidak mengerti persoalannya
maka ia pun berkata, "Kau aneh. Bukankah hal seperti ini sering
kau lakukan" Apakah selama ini kau merasa terbelenggu oleh
23 SH. Mintardja pakaianmu karena pakaian itu menunjukkan siapakah kau dan
apakah kedudukanmu di Tanah Perdikan ini."
"Bukan. Bukan begitu maksudku. Tetapi baiklah, begitu tiba-
tiba aku ingin berjalan-jalan dalam keadaan seperti ini. Singgah
di bibiku untuk mencari jambu air dan duwet," jawab pemimpin
pengawal itu. "Ah," kawannya tertawa. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Namun
katanya, "Kau mau mencari ikan disungai" Aku akan membuka
rumpon sebentar lagi. Tentu ikannya akan banyak sekali, karena
rumpon itu sudah aku buat
lama sekali." "Terima kasih. Lain kali
saja," jawab pemimpin
pengawal itu. Kawannya tertawa. Sementara itu pemimpin pengawal yang sadar bahwa
kawannya itu memang sedang
mengganggunya itu pun tertawa pula katanya, "Sudahlah sebelum aku tinju
kau." Keduanya tertawa semakin keras. Namun kawannya itu
berkata, "Jangan membantah,
bukankah kau sedang mengawasi Nyai Wiradana yang sedang
mengambil kedua orang kawan kita yang keras kepala itu" He,
aku bertemu dengan mereka."
Pemimpin pengawal itu masih saja tertawa. Katanya,
"Sudahlah. Pulanglah. Biyungmu sudah menyenduk nasi hangat."
Anak muda itu tertawa semakin keras. Namun ia pun
kemudian meninggalkan pemimpin pengawal itu. Namun
ternyata anak muda itu telah bertemu lagi pengawal dalam
24 SH. Mintardja pakaian sehari-hari. Bahkan seorang lagi yang berjarak agak jauh
dibelakang. Dalam pada itu, Iswari yang berjalan bersama Nyai Soka
memang tidak menarik perhatian. Hanya orang-orang tertentu
sajalah yang sedikit tertarik kepada dua orang anak muda yang
berjalan di belakangnya. Sedangkan beberapa langkah lagi,
Gandar telah mengikutinya pula.
Meskipun tidak banyak orang yang memperhatikan selama
mereka berjalan, namun kedua anak muda itu merasa sebagai
tontonan di perjalanan. Meskipun tangannya tidak terikat, dan
tidak ada ujung senjata yang merunduk dipunggungnya, namun
perasaan mereka setiap kali bergetar, jika seorang telah menyapa
Nyai Wiradana, seolah-olah orang itu ingin mendapat penjelasan,
kenapa dengan kedua orang anak muda itu.
Namun akhirnya kedua anak muda itu telah sampai ke rumah
Nyai Wiradana. Dengan ramah Iswari itu pun mempersilakan
kedua anak muda itu duduk di pendapa, ditemani oleh Gandar,
meskipun kedua anak muda itu menyadari, bahwa Gandar bukan
sekedar menemani mereka, tetapi mengawasi mereka.
Tanpa disadari kedua anak muda itu memandang berkeliling.
Rumah itu tidak berubah. Di regol masih ada petugas yang
berjaga-jaga sebagaimana saat Ki Wiradana masih ada. Namun
agaknya karena suasana yang masih hangat penjagaan itu
agaknya telah diperkuat. Beberapa saat kedua anak muda itu duduk bersama Gandar.
Bagaimanapun juga Gandar bersikap ramah, tetapi ternyata
kedua anak muda itu tetap merasa terkungkung oleh perasaan
mereka sendiri, bahwa mereka berdiri diseberang batas dengan
Gandar dan anak-anak muda yang berada di regol dan di gardu.
Karena itu, maka mereka tidak dapat berbicara dengan lancar.
Sekali-sekali Gandar bertanya. Tetapi jawabnya sepatah-patah
dan kadang-kadang tidak jelas artinya.
25 SH. Mintardja Baru beberapa saat kemudian Iswari keluar dan duduk pula
bersama mereka. Tetapi tidak dengan Nyai Soka. Yang kemudian
duduk bersama mereka adalah Kiai Badra dan Kiai Soka.
Dengan beberapa kalimat panjang kedua orang tua itu
memberikan petunjuk dan sedikit peringatan kepada kedua orang
anak muda itu. Mereka mencoba membuka hati keduanya,
meskipun kedua orang tua itu sadar, bahwa hal yang demikian itu
tentu tidak akan dapat terjadi dengan serta merta.
"Kalian masih muda," berkata Kiai Badra. "Jika kalian terjebak
pada sikap yang keliru, maka hari depan kalian tidak akan dapat
diharapkan. Padahal hari depan Tanah Perdikan ini tentu terletak
pada anak-anak muda sebaya dengan kalian, dan kemudian akan
menyusul anak-anak muda yang lebih muda lagi. Terus-menerus
tanpa berhenti. Jika aliran ini pada suatu saat terputus, maka
Tanah Perdikan ini akan mengalami guncangan. Bahkan
mungkin Tanah Perdikan ini akan merangkak menuju ke jalan
yang keliru dan terjerumus ke dalam jurang kehancuran,
sebagaimana yang kita lihat, bahwa hal itu hampir saja terjadi.
Jika Tanah Perdikan ini merupakan keluarga dari Kadipaten
Pajang, tiba-tiba sekelompok orang telah memaksa
menempatkan Tanah Perdikan ini dibawah perintah Jipang."
Kedua anak muda itu memang tidak menjawab. Tetapi yang
dikatakan oleh Kiai Badra itu bagi mereka merupakan keterangan
yang sudah sewajarnya diucapkan oleh orang yang berpendirian
tain. "Persetan"geram anak-anak muda itu didalam hatinya.
Menilik gerak wajah kedua anak muda itu, Kiai Badra, Kiai
Soka maupun Iswari, bahkan Gandar mengetahui bahwa mereka
tidak banyak menghiraukan keterangan Kiai Badra, tetapi Kiai
Badra sendiri yakin bahwa pada suatu saat anakanak muda itu
akan sempat merenungkannya.
"Anak-anak muda memang sulit untuk langsung menerima
pikiran orang lain yang dianggapnya berbeda dengan
keyakinannya" berkata KIai Badra didalam hatinya.
26 SH. Mintardja Namun dengan kesadaran yang demikian, maka orang-orang
tua itu, termasuk Iswari dan Gandar tidak cepat menjadi marah
melihat tingkah laku kedua orang anak muda itu, yang kadang-
kadang dengan sengaja menunjukkan sikap tidak senang mereka.
Namun demikian merekapun tidak berbicara terlalu panjang,
agar tidak terlalu banyak beban yang harus dipikul oleh perasaan
kedua orang itu, sehingga justru akan dapat membuat keduanya
kehilangan penalaran. Karena itu; mnaka Kiai Sokapun kemudian berkata, "Anak-
anak muda, Baiklah kalian berada diantara kawan-kawan kalian.
Mungkin, terasa bahwa kalian belum. dapat menyesuaikan diri:
Tetapi, kalian harus berusaha. Apapun yrang tergerak didalam
hati kalian, apapun sikap dan pandangan kalian terhadap Tanah
Perdikan ini, tetapi dalam pergaulan hidup diantara sesama,
dalam suasana yang mungkin tidak kalian kehendaki, maka
kalian harus berusaha untuk menyesuaikan diri."
Kedua anak muda itu memandang Kiai Soka dengan tajamnya.
Anak-anak muda yang tidak terlalu banyak berbicara itu tahu
pasti bahwa mereka akan dimasukkan kedalam satu barak yang
khusus, tidak lebih baik dari seorang tawanan.
Karena itu, tiba-tiba saja seorang diantara mereka berkata,
"Lakukan apa yang ingin kalian lakukan atas kami"
Kiai Soka mengerutkan dahimya. Namun ia pun tersenyum,
"Jangan gusar anak-anak muda. Kadang-kadang kita memang
harus menempuh jalan berliku; untuk mencapai satu tujuan."
"Jangan berceritera kepada kami sebagaimana kepada anak-
anak menjelang tidurnya" geram anak muda itu, "jika kami harus
dihukum, hukumlah." Gandar mengatupkan guginya rapat-rapat Tetapi masih
menahan hatinya. "Itu adalah sikap yang wajar" berkata Kiai Badra, "sayang
bahwa kalian telah menggenggam keyakinan yang salah. Seorang
laki-laki memang harus berani menempuh kesulitan apapun
untuk tetap tegak pada keyakinannya. Namun harus diakui,
27 SH. Mintardja bahwa ada keyakinan yang perlu dipertimbangkan. Sebagaimana
sifat seseorang yang terkena salah, demikian juga kita
menetapkan satu keyakinan. Karena itu disamping satu
keyakinan, maka seseorang pun harus berani setiap kali
memperhitungkan kembali keyakinan yang telah dipegangnya.
Dalam perubahan yang terjadi disekitarnya, maka mungkin sekali
seseorang berkesempatan melihat bahwa keyakinan yang
sebelumnya digenggamnya erat-erat itu ternyata keliru. Ternyata
bukanlah yang seharusnya dimiliki. Dan agaknya sudah tiba
waktunya bagi kalian untuk melihat kembali keyakinan yang
mantap didalam diri kalian itu bersumber dari apa dan dari
siapa" Untuk kepentingan apa dan bagi siapa?"
Kedua anak muda itu menggeretakkan gigii. Tetapi mereka
harus mengendalikan diri karena mereka mengerti kedudukan
mereka dihadapan orang-orang yang tidak mungkin dapat
mereka atasi dalam segala keadaan dan waktu.
Demikianlah maka sejenak kemudian, Kiai Badra berkata
kepada Gandar, "Gandar, tolong antarkan kedua anak-anak muda
ini ketempatnya. Mudah-mudahan ia manemuk.an suasana yang dapat membantunya menilai keadaan."
Kedua anak muda itu. tidak banyak lagi bertingkah. Mereka
menyadari kedudukan mereka. Karena itu, maka mereka pun
kemudian mengikuti saja kemana. Gandar membawa mereka.
Sebenarnyalah kedua anak muda itu telah dibawa ke sebuah
barak khusus. Barak yang memang diperuntukkan bagi mereka
yang baru dalam tataran kebimbangan, bahkan mereka yang dengan keras tetap pada keyakinannya yang telah diletakkan oleh
para perwira Jipang, yang menganggap bahwa Ki Wiradana dan
Warsi adalah pasangan yang berhak memimpin Tanah Perdikan
itu. Jika kemudian Ki Wiradana terbunuh maka anak Warsi lah
yang berhak untuk memimpin Tanah Perdikan itu dibawah
perwalian ibunya, Warsi. 28 SH. Mintardja Tetapi Gandar sendiri adalah orang yang pilihan lahir dan
batinnya. Dan tanpa cemas sama sekali, ia membawa kedua
orang anak muda itu memasuki barak khusus itu.
Beberapa pasang mata memandanginya dengan penuh
kebencian. Ketika Gandar memasuki gerbang, para penjaga
berkata, "Marilah. Kami ikut mengantar."
Tetapi Gandar tersenyum. Katanya, "Jangan menarik
perhatian mereka. Biar aku sendiri mengantar. Jika perlu aku
akan memanggil kalian."
Demikianlah, maka Gandar telah memasuki barak khusus itu
seorang diri. Dibawanya kedua orang anak muda itu ke bilik yang
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih tersedia tempat bagi keduanya, meskipun bilik itu sudah
dihuni sebelumnya. Ternyata kedua orang anak
muda itu disambut baik oleh
kawan-kawannya. Apalagi yang
pernah berada di dalam satu
kelompok dengan keduanya pada pasukan pengawal Tanah
Perdikan Menoreh yang ikut
dalam pasukan Jipang membayangi Pajang dari sisi
Timur. "He, marilah," berkata
seorang anak muda yang bertubuh tinggi kekar. "Ternyata kita bertemu lagi.
Dimana kau ditangkap oleh
kerbau dungu itu?" Kedua anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun orang
yang menyapanya itu sama sekali tidak merasa takut untuk
menyebut Gandar dengan kata-kata yang sengaja dibuat sangat
menyakitkan hati. 29 SH. Mintardja "Kerbau itu tidak akan berani marah kepada kita. Kita akan
dapat membantainya disini," berkata anak muda yang bertubuh
tinggi kekar itu. Seorang yang lain menyambung, "Marilah. Selamat datang di
istana kami ini. Jangan hiraukan keledai itu. Ia tidak akan berani
berbuat apa-apa." Gandar memang tidak menanggapinya. Ia justru tertawa
betapapun hatinya bergejolak dahsyat sekali.
"Silakan mengucapkan kata-kata apa saja," berkata Gandar.
"Kalian memang tidak mungkin berbuat apa-apa kecuali
mengumpat-umpat. Jika mengumpat-umpat itu mampu
memberikan kepuasan kepada kalian, maka silakan. Aku tidak
akan mengganggu kesempatan kalian terakhir untuk mendapat
kepuasan. "Gila," geram orang bertubuh tinggi kekar itu. "Kau kira kau
benar-benar seorang yang memiliki kelebihan" Seandainya aku
mendapat kesempatan, aku ingin menantangmu berperang
tanding." Gandar mengerutkan keningnya. Selangkah demi selangkah ia
mendekati anak muda itu. Tetapi bibirnya masih saja tersenyum,
"Apakah kau berkata sebenarnya" Jika kau berkata sebenarnya
aku akan mengusahakan kesempatan itu. Kita akan berperang
tanding. Kita akan menentukan, siapakah di antara kita yang
mampu bertahan hidup. He, kau kenal Ki Rangga Gupita"
Katakan, apakah kau saudara seperguruannya, atau kau
barangkali merasa memiliki kemampuan setingkat dengan
perwira Jipang dalam tugas sandi itu dan yang ternyata telah
membunuh Ki Wiradana untuk merebut istrinya yang memang
tidak setia itu" Nah, jika kau merasa memiliki kemampuan
setingkat Ki Rangga Gupita, maka kita akan berperang tanding
sebagaimana pernah aku lakukan dengan Rangga Gupita?"
Wajah anak muda itu menjadi merah. Namun ia masih
mencoba menjawab karena beberapa pasang mata
30 SH. Mintardja memandanginya, "Bohong. Kau bukan tandingan Ki Rangga
Gupita." "Baiklah, barangkali kau mengenal Warsi di peperangan" Atau
siapa lagi?" bertanya Gandar. "Namun aku tidak bermaksud
menakut-nakuti. Siapa yang ingin berperang tanding dengan aku,
aku sama sekali tidak berkeberatan."
Anak muda yang bertubuh tinggi kekar itu ternyata mulai
berpikir. Bagaimanapun juga ia memang pernah mendengar
tentang Gandar yang memiliki ilmu yang tinggi itu.
Namun ternyata Gandar tidak segera meninggalkan tempat
itu. Meskipun ia masih tetap tersenyum, namun ia berkata, "Nah,
siapa yang ingin melakukannya seperti anak ini."
Adalah diluar dugaan, bahwa Gandar benar-benar mendekati
anak muda bertubuh tinggi kekar itu. Dengan serta merta ia
menarik ikat kepalanya dan menggenggam rambutnya. "Inilah
contoh seorang anak muda yang berani. Yang dalam keadaan
terjepit di barak khusus ini, masih juga berani menyatakan
sikapnya." Anak muda yang bertubuh tinggi itu terkejut. Tetapi betapa
besar pengaruh sikap Gandar itu. Ternyata anak muda yang
mulutnya berani mengumpat itu, tidak segera mampu berbuat
sesuatu, ketika justru kepalanyalah yang telah diraba oleh
Gandar. "Mari anak manis," berkata Gandar. "Kita menghadap para
pemimpin Tanah Perdikan ini untuk mohon kesempatan
berperang tanding." Anak muda bertubuh tinggi kekar itu menjadi pucat. Ia
mengharap kawan-kawannya berbuat sesuatu. Tetapi ternyata
kawan-kawannya, bahkan yang telah ikut mengumpati Gandar
itu pun tidak ada yang berani berbuat sesuatu. Demikian pula
kedua orang anak muda yang baru saja dibawa masuk itu.
31 SH. Mintardja Karena anak muda itu tidak segera berbuat sesuatu, maka
Gandarlah yang berkata selanjutnya, "Nah marilah. Bukankah
kau menantang aku?" Anak muda itu masih membeku. Bahkan wajahnya menjadi
bertambah pucat. Ia tidak menyangka bahwa Gandar akan
langsung berbuat demikian tanpa ragu-ragu.
Tetapi Gandar pun merasa wajib membuat demikian. Ia harus
tetap berwibawa dihadapan anak-anak muda yang ditempatkan
dibarak-barak khusus untuk mendapat tuntunan ke jalan
kembali. Ketegangan telah mencengkam suasana. Namun karena anak
muda itu tidak berbuat apa-apa, maka Gandar pun kemudian
berkata, "Baiklah. Nampaknya kau ingin menunda tantanganmu.
Aku tidak berkeberatan, kapanpun kau menghendaki. Aku akan
minta agar hal itu diijinkan."
Sepatah kata pun anak muda itu tidak menjawab. Sementara
itu Gandar pun kemudian berkata, "Aku minta diri. Biarlah dua
orang kawan kalian ini diterima di antara kalian. Tetapi terserah
kepada kalian. Namun seperti yang sudah sering aku katakan,
atau dikatakan oleh para pemimpin Tanah Perdikan ini,
Sembojan memang menunggu tenaga kalian. Tanah ini
memerlukan uluran tangan untuk membenahinya setelah untuk
beberapa lama kita koyak-koyak sendiri, namun karena dorongan
dan pengaruh dari luar."
Tidak seorang pun menjawab. Namun Gandar pun sadar,
bahwa kata-katanya itu tentu diterima dengan tanggapan yang
berbeda-benda di antara anak-anak muda itu. Tentu ada yang
dicerna dan ditanggapi dengan baik, tentu tentu ada yang masih
ragu-ragu dan bahkan ada di antara mereka yang mencemohnya
di dalam hati. Tetapi bagi Gandar hal itu bukannya persoalan yang harus
ditanggapinya secara khusus, karena yang menangani anak-anak
muda itu adalah seluruh pimpinan Tanah Perdikan Sembojan.
Bahkan satu dua orang perwira dari Pajang pun setiap kali ikut
32 SH. Mintardja pula turun ke barak-barak khusus itu untuk memberikan
penjelasan-penjelasan, terutama kedudukan Tanah Perdikan
Sembojan dalam hubungannya dengan Pajang, Jipang dan
sebelum itu Demak. Sejenak kemudian maka Gandar pun kemudian berkata sambil
melangkah pergi, "Cobalah berpikir. Pergunakanlah nalar kalian
sebaik-baiknya." Tidak ada yang menjawab. Dan Gandar pun memang tidak
menunggu jawaban. Sejenak kemudian ia pun telah melangkah
menjauh dan keluar dari lingkungan barak khusus itu.
"Layanilah mereka baik-baik," berkata Gandar kepada para
pengawal. "Rawatlah sebagaimana merawat orang sakit
meskipun yang sakit bukan wadagnya."
Para pengawal itu tersenyum meskipun mereka tahu bahwa
Gandar bersungguh-sungguh. Pemimpin pengawal itu pun
berkata, "Kami mengerti Gandar. Tetapi kami tidak mempunyai
pengalaman untuk merawat orang-orang yang sakit jiwanya.
Kadang-kadang kami kehilangan kesabaran dan justru jantung
kami sendirilah yang hampir rontok karenanya."
Gandar mengangguk-angguk. Ia pun sadar akan hal itu.
Bahkan ia pun kemudian menceriterakan apa yang baru saja
dialami. Namun kemudian ia berkata, "Kita memang sedang
memikul beban yang sangat berat untuk mengembalikan mereka
ke pangkuan kampung halaman dengan kesadaran sepenuhnya."
"Tetapi Gandar," tiba-tiba pemipin pengawal yang bertugas itu
berbisik, "Mereka justru mendapat perlakuan yang sangat baik.
Keadaan mereka menurut pengamatan kami, justru lebih baik
dari para pengawal."
"Ah, jangan beranggapan begitu," sahut Gandar.
"Mereka mendapat makan, minum, pakaian dan alat-alat yang
cukup," pemimpin pengawal itu menjelaskan.
"Seperti sudah aku katakan. Mereka adalah orang-orang yang
sedang sakit," jawab Gandar.
33 SH. Mintardja "Dan karena itu maka mereka perlu dimanjakan?" bertanya
pemimpin kelompok itu pula.
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berkata,
"Namun bagaimanapun juga mereka tetap berada di dalam
lingkungan tertutup. Mereka tidak dapat berjalan-jalan di bulak-
bulak panjang memandangi ijaunya hasil kerja kita di sawah.
Mereka tidak dapat mengunjungi sanak-kadang dan kawan-
kawan mereka dalam keadaan bebas seperti kita."
Pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk kecil. Katanya,
"Ya. Aku mengerti."
"Dengan demikian kita akan dapat mengambil makna dari
peristiwa itu. Ternyata kebebasan lebih berharga dari kemanjaan
yang diberikan kepada saudara-saudara kita itu. Pada satu saat
saudara-saudara kita itu pun akan menyadarinya pula sejalan
dengan gerak nurani mereka untuk melihat kebenaran di Tanah
Perdikan ini," berkata Gandar pula. Lalu, "Dengan demikian,
maka mereka akan dapat lebur kembali ke dalam lingkungan
kita." Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Namun ia
masih juga bertanya, "Tetapi bagaimana dengan kebiasaan
mereka. Mungkin kesadaran itu akan timbul. Namun jika mereka
menuntut lebih banyak."
"Maksudmu?" bertanya Gandar.
"Kebebasan itu dan kemanjaan sekaligus," jawab pemimpin
pengawal yang bertugas saat itu.
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mudah-
mudahan terdapat keseimbangan sikap jiwani di dalam diri
mereka. Kebebasan itu akan mereka peroleh tidak bersama
dengan kemanjaan, tetapi dengan rasa tanggung jawab."
Pemimpin pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
ia pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, "Mudah-
mudahan." 34 SH. Mintardja Gandar lah yang kemudian tersenyum. Ia mengerti
sepenuhnya perasaan pemimpin pengawal yang sedang bertugas
itu. Perasaan yang demikian tentu tidak hanya tersirat di dalam
hatinya. Tetapi tentu juga di dalam hati para pengawal yang lain.
Mereka yang merasa bekerja keras dan mengorbankan apa saja,
bahkan seandainya nyawa mereka harus direnggut pula di medan
perang sebagaimana terjadi atas kawan-kawan dan saudara-
saudara mereka, harus selalu menahan diri menghadapi sikap
kawan-kawan mereka yang pernah berkhianat kepada Tanah
Perdikan Sembojan itu. Yang meskipun berada di dalam barak
khusus dan tertutup, namun mereka mendapat pelayanan yang
cukup baik. Meskipun demikian pemimpin pengawal itu berusaha untuk
dapat mengerti keterangan Gandar, bagaimanapun juga mereka
tidak mendapatkan kebebasan.
Demikianlah, maka anak-anak muda yang menyerah itu pun
semakin hari semakin bertambah. Baik oleh karena mereka tidak
lagi mempunyai harapan untuk berbuat sesuatu, atau menjadi
putus asa atau karena pengaruh orang-orang yang pernah mereka
temui selama mereka bersembunyi-sembunyi.
Keadaan Tanah Perdikan Sembojan yang nampaknya menjadi
semakin baik dan tenang pun menjadi dorongan bagi mereka
untuk kembali ke kampung halaman. Apalagi dengan sengaja
Iswari telah menyebarkan keterangan lewat orang-orang Tanah
Perdikan Sembojan, bahwa ia akan memberikan pengampunan
kepada anak-anak Sembojan yang ingin kembali ke kampung
halamannya. Untuk itu mereka telah ditampung di dalam barak-barak yang
khusus. Mereka mendapat penjelasan, keterangan dan
kesempatan untuk berbicara secara terbuka, apakah yang
sebenarnya terjadi dengan Tanah Perdikan itu. Anak-anak muda
yang kembali itu mendapat kesempatan untuk menyatakan
pendapatnya, membantah, mempersoalkan, menanyakan dan
sikap apapun juga pada kesempatan-kesempatan yang memang
banyak diberikan oleh Iswari. Dengan demikian maka mereka
35 SH. Mintardja perlahan-lahan menemukan satu keyakinan baru tentang Tanah
Perdikan mereka. Bukan sekadar keterangan yang harus mereka
dengarkan dan mereka telan tanpa mengunyahnya sama sekali.
Sedikit demi sedikit, harapan Iswari mulai nampak. Sebagian
anak-anak muda yang berada di dalam barak-barak khusus itu
mulai terbuka hatinya. Dalam perdebatan yang kadang-kadang
sengit, kadang-kadang dibayangi oleh gelapnya perasaan, namun
penjelasan-penjelasan yang mereka dengar dari para pemimpin
Tanah Perdikan Sembojan dan para perwira dari Pajang agaknya
mampu meyakinkan mereka tanpa memaksakannya. Dan
mulailah mereka melihat ke dalam diri mereka sendiri. Mereka
seakan-akan telah melihat satu pertunjukan tentang diri mereka
sendiri. Mereka seakan-akan telah melihat dengan jelas,
bagaimana mereka mulai melangkahkan kakinya ke arah yang
sesat. Dan mereka pun mulai menilai apa yang pernah dilakukan
Ki Wiradana sejak kedatangan seorang penari jalanan yang
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bernama Warsi. Perlahan-lahan penyesalan mulai mencengkam jantung.
Seandainya semua itu tidak terjadi, maka ketenangan Tanah
Perdikan ini tidak akan pernah diganggu. Mereka tidak akan
pernah berdiri dengan batasan jarak yang keras dengan kawan-
kawan dan saudara-saudara mereka yang kemudian ternyata
berpendirian lain. Sejalan dengan itu, maka kehidupan di Tanah Perdikan
Sembojan pun mulai menjadi pulih kembali. Berita tentang
pemindahan pusat pimpinan pemerintahan dari Demak ke
Pajang disambut dengan gembira di Tanah Perdikan Sembojan.
Dengan demikian maka kedudukan Sembojan menjadi semakin
kuat. Apalagi Adipati Hadiwijaya kemudian telah bergelar
menjadi Sultan Hadiwijaya yang berkedudukan di Pajang.
Namun demikian, para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan
tidak pernah melupakan, bahwa di antara kemajuan yang dicapai
dalam tatanan kehidupan di Tanah Perdikan Sembojan masih
ada lawan yang selalu mengintai dengan penuh dendam.
36 SH. Mintardja Warsi yang melahirkan anak laki-laki dari Ki Wiradana masih
tetap merasa, bahwa anaknya akan berhak untuk menggantikan
kedudukan suaminya. Satu-satunya penghalang yang terbesar adalah hadirnya
seorang anak pula dari Iswari. Kecuali Iswari memang istri yang
lebih dahulu dari Ki Wiradana, anaknya pun lahir lebih dahulu
pula meskipun hanya berjarak bulan.
Karena itu, bagi Warsi dan orang-orang yang kemudian tetap
menjadi pendukungnya, cara yang paling cepat untuk kembali ke
Tanah Perdikan Sembojan adalah membunuh anak Ki Wiradana
yang lahir dari Iswari. "Aku berhasil membunuh Ki Gede Sembojan," geram Warsi.
"Kenapa aku tidak dapat membunuh anak itu?"
Namun demikian Warsi pun mengerti, bahwa Iswari tentu
akan tetap berhati-hati dengan anaknya. Mungkin Iswari tidak
akan pernah membiarkan anaknya keluar dari halaman
rumahnya, sementara itu beberapa orang pengawal akan selalu
mengawasinya dari segala penjuru.
"Tetapi aku harus dapat melakukannya," berkata Warsi di
dalam hatinya. Apalagi Ki Rangga Gupita yang kehilangan
kesatuan dan lingkungannya di Jipang bersama beberapa orang
bekas prajurit Jipang yang berhasil dihimpunnya tetap
mendukungnya untuk mendapatkan satu landasan tempat
berpijak. Sementara itu Warsi pun berusaha untuk menghimpun
pula kekuatan Kalamerta yang pecah sepeninggal Kalamerta itu
sendiri. Sebenarnyalah, bahwa meskipun persoalan tahta Demak
sudah diselesaikan, namun pertentangan-pertentangan masih
berkecamuk di beberapa tempat.
Di sebelah Barat Pajang, di beberapa tempat masih juga
berkeliaran bekas-bekas prajurit Jipang. Mereka telah
menempatkan diri di sekitar sebuah Kademangan yang sangat
subur. Mereka memilih hutan-hutan yang membujur ke Utara di
sebelah Barat Kademangan Sangkal Putung dan kemudian
37 SH. Mintardja melintang ke Barat dekat dengan sebuah tempat yang disebut
Macanan. Pasukan yang dipimpin oleh seorang Senapati yang
memiliki ilmu yang tinggi yang disadapnya dari gurunya Ki Patih
Mantahun, ternyata tidak tunduk kepada perintah untuk
meletakkan senjata yang kemudian diserukan oleh para Panglima
Jipang sendiri. Pasukan itu telah berusaha untuk tetap
mengadakan perlawanan terhadap Pajang, meskipun tidak
langsung menghadapi prajurit-prajurit Pajang sendiri.
Namun dengan menempatkan pasukan di hutan-hutan di
sekitar Sangkal Putung itu, maka Pajang pun telah menempatkan
pasukannya yang kuat di antara Jati Anom dan Sangkal Putung,
sementara di beberapa Kademangan telah dibentuk pasukan
pengawal yang dibawah tuntunan dan bimbingan para perwira
prajurit Pajang. Dengan demikian maka Kademangan-
kademangan itu sendiri telah membangun kekuatan yang
mempertahankan diri sendiri.
Rangga Gupita dengan pasukan Jipang yang kecil memang
telah membuat hubungan dengan pimpinan pasukan Jipang yang
tinggal di hutan-hutan di sebelah Barat Pajang. Tetapi Senapati
yang memimpin pasukan itu tidak dengan serta merta bersedia
membantunya. "Kau telah berusaha memperalat kami untuk kepentingan
pribadimu," berkata Senapati di sebelah Barat Pajang itu ketika
Ki Rangga Gupita membuat hubungan dengannya.
"Tetapi kita akan mendapat satu landasan yang kuat. Sebuah
Tanah Perdikan yang cukup luas dan subur. Apalagi perempuan
itu mempunyai hak untuk memerintah Tanah Perdikan itu atas
nama anaknya sehingga Warsi akan dapat banyak membantu
kita, menentukan jalannya pemerintahan di Tanah Perdikan itu,"
berkata Ki Rangga Gupita.
"Jangan mimpi," jawab Senapati pasukan Jipang yang
bersembunyi di hutan-hutan di sebelah Barat Pajang. "Aku pun
akan dapat membuat satu landasan disini. Karena itu, jika kau
memang ingin bergabung dengan kami, bawa orang-orangmu
38 SH. Mintardja yang tinggal beberapa orang itu kemari. Jangan perintah aku
untuk membantumu menuruti perempuan yang telah
menjebakmu sebagaimana ia menjebak Ki Wiradana
sebelumnya." "Darimana kau tahu persoalan perempuan itu dengan Ki
Wiradana?" bertanya Ki Rangga Gupita.
"Pengawalmu juga punya mulut. Ia bercerita kepada kawan-
kawannya disini. Aku tidak tahu darimana pengawal itu
mendengar cerita tentang Warsi dan Wiradana. Tentang seorang
penari jalanan dan seorang anak dan bahkan kemudian
Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan."
Ki Rangga Gupita tidak dapat membantah lagi. Para
pengawalnya itu tentu mendengar dari anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan yang ada di dalam lingkungan pasukan
Jipang. Sementara itu Senapati itu pun kemudian berkata, "Jika kau
masih tetap ingin berjuang bersama kami, bawa pasukanmu itu
kemari. Atau jika pada suatu saat aku mempunyai perhitungan
lain, aku akan mencari hubungan denganmu."
"Kau akan datang kepada kami setelah kami kuasai Tanah
Perdikan itu," desis Ki Rangga Gupita.
"Aku bukan pengemis seperti itu," geram Senapati Jipang.
Namun kemudian ia berkata, "Jika aku datang, tidak untuk minta
belas kasihanmu. Tetapi aku datang dengan pasukan dan
menduduki Tanah Perdikan itu dengan kekuatan."
"Kau kasar sekali," jawab Ki Rangga Gupita.
"Kita memang orang-orang kasar," jawab Senapati itu.
"Apalagi setelah kita kehilangan tempat berpijak. Maka kita
menjadi semakin kasar, pemberang, pendendam dan agaknya
kita tidak lagi mempunyai kepercayaan di antara kita. Dan aku
telah menuduhmu bahwa kau akan mengambil keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan peristiwa ini. Tanah Perdikan,
perempuan dan kedudukan."
39 SH. Mintardja "Cukup," potong Ki Rangga Gupita dengan wajah yang merah.
"Jika kau tidak mau melakukan permintaanku, katakan bahwa
kau tidak bersedia. Jangan mengada-ada. Aku sendiri masih
mempunyai pasukan yang cukup untuk memasuki Tanah
Perdikan itu dan membangun kekuatan di atasnya. Jangan
menyesal, bahwa pada suatu saat, akulah yang memasuki Jipang
dengan tanda-tanda kebesaran."
Senapati itu justru tertawa. Katanya "Kau memang seorang
pemimpin yang baik. Bermipilah disisi perempuan itu. Itu akan
lebih baik bagimu daripada berbicara tentang perang dan
petualangan." Ki Rangga Gupita memang marah sekali. Tetapi ia tidak dapat
berbuat banyak, karena ia berada. diantara sepasakan prajurit
Jipang yang berada dihutan-hutan itu.
Karena itu, maka ia pun dengan tergesa-gesa pula minta diri
meninggalkan harapannya untuk mendapat bantuan dari kawan-
kawannya di sebelah Berat Pajapg.
Dengan demikian, maka yang harus dilakukannya adalah
mengumpulkan bekas pasukan Jipang di sebelah Timur Pajang
sebanyak-banyaknya bersama dengan para pengikut Kalamerta
yang akan dihimpun oleh Warsi dan ayahnya.
Dengan kekuatan itu mereka akan memasuki Tanah Perdikan
Sembojan. Tetapi Rangga Gupita menyadari, bahwa untuk melakukan hal
itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Ia tidak akan dapat
melakukannya barang satu dua hari saja. Tetapi ia memerlukan
waktu berbulan bahkan bertahun-tahun. Sehingga datang saatnya
untuk memasuki Tanah Perdikan Sembojan dengan baik yang
masih tersisa pada anak Warsi. Dengan hak itu, maka Tanah
Perdikan akan dapat dipersiapkan untuk menemukan langkah-
langkah berikutnya. Dengan kenyataan yang ada, maka Ki Rangga Gupita dan
Warsi telah menyusun sebuah tempat tinggal yang tersendiri.
Mereka telah membangun kembali sebuah padepokan yang
40 SH. Mintardja sebenarnya adalah salah satu dari sarang gerombolan Kalamerta.
Namun Ki Rangga Gupita dan Warsi memang membuatya
sebagai sebuah padepokan yang baik, bersih dan asri tanpa
memberikan kesan kekasaran dan kekerasan. Warsi tidak lagi
mau tinggal bersama ayahnya dan menempuh cara tersendiri
dalam laku yang dibebani perasaan dendam kepada Iswari dan
Tanah Perdikan Seambojan. Beberapa orang pengikutnya berada
pula di padepokan itu. Di padepokan itu mereka menempuh cara
hidup yang baik dan layak. Namun diluar padepokan itu, cara
hidup sebagaimana dilakukan oleh gerombolan Kalamerta masih
tetap mereka lakukan. Di beberapa tempat, Warsi memang membuat beberapa
sarang dalam keadaan yang jauh bersedia, bahkan bertentangn
dengan padepokan yang dibangunkannya. Di beberapa tempat
terdapat sarang-sarang yang kasar dan bersuasana keras. Dari
sarang-sarang itulah para pengikutnya melakukan kekerasan.
Namun siapapun yang memasuki padepokannya, maka ia
harus berusaha untuk menjad:ikan dirinya orang lain.
Demikianlah Warsi dan Ki Rangga Gupita hidup dalam dua
dunia yang mempunyai watak yang bertentangan. Di padepokan,
keduanya hidup sebagai dua orang suami isteni yang baik dan
wajar. Sementara itu keduanya pun telah menyebut diri mereka
dengan nama rangkap. Di padepokan keduanya menyebut diri mereka Kiai dan Nyai
Premati. Sementara itu, para pengikutnya, telah mendapat
perintah untuk memegang rahasia mereka sekeras-kerasnya.
Siapa yang diketahui membocorkaa rahasia itu, maka. tidak ada
hukuman lain kecuali hukuman mati.
Para pengikut Ki Rangga Gupita dan Warsi yang ikut tinggal di
padepokan terpencil itu tidak terlalu banyak. Sebagian besar dari
para pengikutnya justru tersebar di sarang-sarang mereka yang
garang, yang tersembunyi dan tidak diketahui oleh orang lain.
Para pengikutnya terutama adalah para bekas prajurit Jipang,
sisa-sisa gerombolan Kalamerta dan ada juga anak-anak Tanah
41 SH. Mintardja Perdikan Sembojan yang telah tersesat semakin jauh dari jalan
menuju kembali ke kampung halaman. Mereka dengan dibekali
dengan harapan-harapan dan dendam, telah menjadi pengikut
yang setia. Yang tidak lagi mengerti dari tujuan hidup mereka
sendiri. Dengan kasar mereka melakukan pekerjaan yang diberikan
kepada mereka untuk merampas, merampok dan menyamun.
Mereka merasa bahwa mereka wajib melakukannya, karena hasil
kerja mereka itu akan menjadi modal untuk mendaki satu cita-
cita yang amat tinggi. "Jika kita tidak dapat menikmati hasilnya, maka anak cucu
kitalah yang akan memetiknya," berkata Ki Rangga Gupita.
Dalam pada itu, pada saat-saat tertentu Ki Rangga Gupita dan
Warsi memang berada di padepokannya sebagai Kiai dan Nyai
Premati. Meskipun letak padepokan itu memang agak terpencil,
agak jauh dari padukuhan, bahkan dari sebuah hutan yang
termasuk lebat hanya berjarak sebentang ara-ara perdu, namun
padepokan itu dikenali juga oleh beberapa orang di padukuhan-
padukuhan yang tersebar agak jauh itu.
Kiai dan Nyai Premati dikenal sebagai dua orang pertapa yang
baik dan rendah hati. Banyak orang yang mengenalnya sebagai
dua orang suami istri yang hidup dalam suasana yang tenang,
tentram dan penuh kedamaian hati.
Namun sebenarnyalah di dalam dada kedua orang itu menyala
api dendam yang bagaikan menggapai langit. Dendam itu
berkobar di tempat-tempat lain di luar padukuhan itu dan
sekitarnya. Bahkan dendam itu hampir saja membakar anak Warsi
sendiri. Betapa bencinya Warsi kepada Ki Wiradana yang
ternyata tidak dapat menjadi alas untuk mencapai satu
kedudukan yang baik baginya dan bagi keinginannya untuk hidup
melebihi orang kebanyakan. Jika semula laki-laki yang bernama
Wiradana itu memang berhasil meluluhkan hatinya saat-saat
dendam atas kematian pamannya membakar jantungnya,
42 SH. Mintardja sehingga ia tidak sampai hati membunuh laki-laki itu, maka
kemudian anggapannya telah berubah sama sekali. Laki-laki yang
bernama Wiradana itu adalah orang yang baginya telah
merampas seluruh masa depannya.
Seandainya tidak ada terpercik harapan pada anak laki-lakinya
untuk mempergunakan haknya sebagai pewaris Tanah Perdikan
Sembojan, maka anak itu tidak akan banyak berarti lagi baginya.
Bahkan mungkin anak itu telah diberikannya kepada perempuan
yang pernah dipaksa menjadi pemomongnya.
"Tetapi jika kau tidak dapat memperoleh hak itu atas Tanah
Perdikan Sembojan maka kau tidak lebih baik dari ayahmu,"
berkata Warsi kepada anak laki-lakinya dengan kasar.
Bayi itu memandang wajah ibunya tanpa mengerti
persoalannya. Dengan tatapan yang bening ia justru tersenyum
sambil melenjit di pangkuan perempuan yang selalu dibakar oleh
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kebencian itu. Tetapi ibunya justru membentak, "Diam anak setan. Jika kau
melenjit-lenjit aku lepaskan kau biar kepalamu terantuk batu
dibawah kakiku itu."
Anak itu tidak tahu apa yang diucapkan ibunya. Ia justru
berteriak kegirangan. Namun sementara itu, Ki Rangga Gupita lah yang berkata,
"kenapa tidak kau lakukan" Anak itu merupakan beban bagi kita.
Bukan hanya beban perawatannya tetapi juga beban perasaan.
Bukankah kau juga merasakan?"
"Aku masih ingin menunggu bahwa pada suatu saat aku dapat
membunuh anak Iswari itu. Dengan demikian anak ini akan
dapat menuntut haknya," jawab Warsi.
"Untuk berapa lama kita akan menunggu," geram Ki Rangga
Gupita. "Seandainya anak Iswari itu terbunuh, masih banyak
orang yang akan berbicara tentang anakmu itu. Mungkin Pajang
juga akan ikut campur."
43 SH. Mintardja "Apakah kita perlu berbicara dengan Pajang?" bertanya Warsi.
"Jika aku berhasil membunuh anak Iswari, dan kita berhasil
memasuki Tanah Perdikan Sembojan, maka aku akan dapat
mempergunakannya, memaksakan kehendakku atas orang-orang
Tanah Perdikan itu. Disetujui atau tidak disetujui oleh Pajang.
Sebelum Pajang akhirnya mengambil langkah kekerasan, kita
harus sudah dapat menyusun kekuatan itu. Kita dapat berbicara
lagi dengan Senapati Jipang di hutan-hutan di sekitar Sangkal
Putung itu. Jika mereka melihat kita berhasil, aku kira mereka
tidak akan berkeberatan untuk bekerjasama dengan kita. Akan
lebih baik kalau kita dapat menghimpun kekuatan yang lebih luas
dengan cara apapun juga. Kita akan dapat membakar perasaan
tidak puas atas pemerintahan Sultan Hadiwijaya. Kita dapat
mempergunakan banyak alasan untuk menyalakan kebencian itu.
Apalagi Hadiwijaya adalah anak dari daerah Tingkir yang
kedudukannya tidak lebih tinggi dari kita sendiri. Kita tidak perlu
takut kena kutuk dan tuahnya karena derajatnya adalah
sebagaimana derajat kita."
Ki Rangga Gupita yang juga menyebut dirinya Kiai Premati
tidak menjawab. Ia masih mencoba untuk menyetujui pendapat
Warsi tentang anak yang berada di tangan Warsi itu.
Namun sebenarnyalah anak itu tumbuh tanpa kasih sayang.
Bahkan anak itu kemudian lebih banyak berada ditangan
pemomongnya dari pada ditangan Warsi. Pemomong yang
akhirnya didapat juga dari keluarga para pengikut ayah Warsi di
padukuhannya. Tetapi karena sikap Warsi sendiri, maka pemomongnya pun
tidak terlalu banyak menunjukkan kasih sayangnya kepada anak-
anak. Ia kadang-kadang berlaku kasar juga kepada anak yang
masih belum mengerti arti hidupnya sendiri.
Namun dalam permainan Warsi yang sempurna, maka
dihadapan orang lain di luar padepokannya, nampaknya Warsi
yang disebut Nyai Premati bersama laki-laki yang dianggap
suaminya, Kiai Premati, dapat berlaku sangat manis kepada anak
laki-lakinya itu. Dan tentu demikian pula dengan pemomongnya.
44 SH. Mintardja Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Sembojan Iswari pun
tengah memelihara anak laki-lakinya yang beberapa bulan lebih
tua dari anak Warsi. Namun agaknya keadaan anak Iswari itu
jauh berbeda dengan anak Warsi. Anak Iswari itu ternyata
mendapat perawatan dan pelayanan yang sewajarnya. Ia
mendapat kasih sayang dari ibunya dan orang-orang di
sekitarnya. Meskipun anak itu tidak mengenal ayahnya, tetapi ia
mendapat tuntunan dan bimbingan yang memadai sebagai
seorang anak laki-laki yang dipersiapkan kelak untuk menjadi
seorang Kepala Tanah Perdikan.
Meskipun anak itu masih bayi, namun setiap orang
disekitarnya mengharapkan, bahwa ia akan menjadi orang yang
besar kelak, yang tidak akan tergelincir seperti ayahnya.
Dengan demikian maka anak Iswari itu tumbuh dengan
suburnya. Bukan hanya wadagnya, tetapi juga jiwanya menjadi
tegar. Ia mendapat kegembiraan dengan permainan-permainan
yang banyak diberikan kepadanya. Pemomongnya adalah seorang
perempuan yang riang. Yang gemar berdendang, bukan saja saat-
saat menjelang tidur. Tetapi hampir setiap saat.
Di antara kawan-kawannya yang sebaya, anak Iswari nampak
mempunyai perbawa yang lebih besar. Ada sesuatu yang lain.
Agaknya karena asuhan yang bersungguh-sungguh serta cermat
dilandasi oleh kasih sayang yang tinggi.
Namun anak Iswari sekali-kali tidak menjadi manja. Setiap
kali orang-orang tua telah memperingatkan Iswari, agar anaknya
tidak menjadi manja. Salah satu kelemahan Ki Wiradana adalah
justru karena kemanjaannya. Ia adalah satu-satunya anak laki-
laki Ki Gede Sembojan. Namun agaknya K Gede kurang tepat
membimbingnya, sehingga anak itu tidak mewarisi kelebihan-
kelebihan Ki Gede, tetapi justru kekurangan-kekurangannya.
"Jadi pengalaman pahitmu itu menjadi pelajaran," berkata
Nyai Soka. "Kemanjaan tidak memberikan keuntungan apa-apa
bagi seorang anak. Seorang yang mengasihi anaknya berlebihan
45 SH. Mintardja dengan memanjakannya itu berarti menjerumuskan anak itu
sendiri ke dalam kesulitan."
Iswari pun telah berpegangan kepada pesan-pesan orang-
orang tua itu. Ia pun mengalami kepahitan yang tidak akan
dilupakannya meskipun ia tidak mendemdamnya, justru karena
suaminya seorang yang manja dan kemudian dalam
kemanjaannya itu ia telah memanjakan dirinya sendiri.
Dalam hubungan sehari-hari dengan orang-orang
disekitarnya, anak Iswari itu lebih dikenal dengan nama
panggilannya. Ia lebih senang dipanggil Risang daripada
namanya yang panjang. Sementara itu orang-orang lain pun lebih
senang pula memanggil Risang, karena jika dipanggil dengan
sebutan lain anak itu sama sekali tidak berpaling.
Dari hari ke hari Risang tumbuh semakin besar. Ia sudah
mempunyai pengalaman baru. Beberapa kali ia terjatuh waktu
belajar berjalan. Namun Risang tidak pernah menyerah. Sehingga
akhirnya Risang pada umurnya setahun lebih beberapa hari
sudah benar-benar dapat berjalan.
Pada saat-saat berikutnya Risang dengan cepat dapat berlari-
lari kecil. Memanggil-manggil ibunya dan nama pemomongnya.
Bahkan kemudian sepatah-patah Risang sudah dapat berbicara.
Iswari menjadi gembira sekali melihat perkembangan Risang.
Meskipun sekali-kali anak itu mengingatkannya kepada tingkah
laku ayahnya. Bahkan hampir saja membunuhnya, namun justru
Iswari merasa senasib dengan anak itu. Matinya adalah matinya
anak itu dan hidupnya adalah hidup anak itu.
Karena itu, kasihnya kepada anak itu justru semakin
bertambah-tambah, meskipun ia selalu ingat kepada pesan,
bahwa ia tidak boleh memanjakannya.
Bahkan Iswari beberapa kali terpaksa memperingatkan
perempuan yang disebut Serigala Betina. Ialah yang justru sering
memanjakan Risang. Perempuan itu pun tiba-tiba ikut merasa
bahwa Risang adalah anaknya. Ia merasa bahwa hadirnya Risang
karena ia tidak melakukan perintah Ki Wiradana, meskipun ia
46 SH. Mintardja tidak mengucapkannya kepada Iswari. Sehingga dengan
demikian, meskipun ia tidak melahirkan Risang, tetapi ia merasa
punya hak pula untuk ikut mengakunya sebagai anaknya.
Namun akhirnya perempuan itu menyadari, bahwa
bagaimanapun juga Risang adalah anak Iswari. Dan ia harus
mengikuti keinginannya untuk tidak memanjakan anak itu.
Di samping perawatan dan asuhan yang sungguh-sungguh
Iswari tetap berhati-hati atas keselamatan anaknya itu. Ia
mempercayakan pengamatan keselamatan anaknya kepada
perempuan yang disebut Serigala Betina, yang ternyata lebih
senang dipanggil Bibi oleh Risang. Bahkan kemudian bukan saja
oleh Risang. Semua orang kemudian telah memanggilnya Bibi,
sehingga Bibi itu seakan-akan telah berubah bukan sebagai
sebutan, tetapi sebagai namanya.
Di samping Bibi, Iswari juga membebankan pengawasan
anaknya kepada Gandar. Meskipun untuk sementara rumah
Iswari masih tetap dijaga oleh sekelompok kecil pengawal yang
bergiliran, namun Iswari sadar, bahwa lawannya adalah orang
berilmu tinggi, sehingga hanya orang-orang berilmu tinggi
sajalah yang pantas untuk melindungi anaknya dari intaian
mereka. Jika Risang bermain di halaman di pagi hari dikawani oleh
pemomongnya, maka Gandar duduk di tangga pendapa. Jika
Gandar sekali-kali pergi ke sawah, maka Bibilah yang kemudian
ikut bermain-main dengan Risang. Bahkan Bibi banyak dapat
membuat mainan yang membuat Risang menjadi gembira.
Namun regol rumah itu tidak tertutup bagi anak-anak sebaya
Risang yang kadang-kadang diasuh oleh kakak perempuannya
atau bahkan oleh ibunya bermain-main di halaman itu. Justru
dengan demikian Risang akan mendapat kawan dan
membiasakannya bermain dalam satu lingkungan. Bukan sendiri.
Kebiasaan bergaul itu akan memberikan arti yang baik baginya
dimasa perkembangannya nanti.
47 SH. Mintardja Di antara kawan-kawannya pun Risang tidak dibiasakan
menang sendiri. Ia harus bersikap wajar kepada teman-temannya
meskipun ia adalah calon Kepala Tanah Perdikan itu.
Dalam pada itu, di samping mengamati perkembangan Risang,
maka Iswari juga harus mengamati perkembangan nalar budi
anak-anak muda Tanah Perdikan yang berada di dalam barak-
barak khusus. Ternyata mereka telah cukup lama berada dalam
lingkungan yang terbatas. Sebagian besar dari mereka telah
menunjukkan perubahan keyakinan dan sikap terhadap Tanah
Kelahirannya. Karena itu, maka Iswari memandang perlu untuk mengambil
langkah-langkah bagi mereka. Ia sadar, jika mereka terlalu lama
berada di dalam lingkungan yang tertutup, maka justru akan
dapat terjadi perkembangan jiwa yang tidak diharapkannya.
Dalam satu kesempatan, maka Iswari telah mengundang
orang-orang tua di Tanah Perdikan itu untuk berbicara tentang
anak-anak muda itu. Apakah yang sebaiknya dilakukan atas
mereka. "Mereka telah terlalu lama merasa disekap dalam satu
lingkungan tertutup, kakek," berkata Iswari kepada Kiai Badra
dan Kiai Soka. Kiai Badra mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya,
"Tetapi bukankah masih ada di antara mereka yang belum
mengerti apakah sebenarnya maksud kita terhadap mereka."
"Ya. Tetapi sebagian kecil saja," jawab Iswari.
"Jika demikian," berkata Kiai Soka. "Sebaiknya diadakan
pemisahan untuk sementara. Kita akan memilih siapakah di
antara mereka yang sudah pantas untuk diturunkan kembali ke
dalam lingkungan kehidupan yang sewajarnya. Namun siapa pula
yang masih belum waktunya untuk dikembalikan ke dalam
lingkungan yang lebih luas di Tanah Perdikan ini."
Iswari mengangguk-angguk. Langkah itu mungkin adalah
langkah yang paling baik yang dapat segera dilakukan, sebelum ia
48 SH. Mintardja mengambil keputusan yang lebih tajam mengenai anak-anak
muda Tanah Perdikan Sembojan yang pernah terbius oleh
tempaan lahir dan batin dari para perwira Jipang.
Karena itu, maka Iswari pun perlu mendapat bahan-bahan
dari mereka yang mendapat tugas untuk setiap kali memberikan
penjelasan kepada anak-anak muda itu, termasuk ke beberapa
orang perwira Pajang. Siapa saja di antara mereka yang masih
perlu mendapat pembatasan untuk tidak dilepaskan dalam
kehidupan wajar di Tanah Perdikan Sembojan.
Dengan cara itulah, maka Iswari telah memilih, siapakah di
antara anak-anak muda itu yang masih harus tinggal dan
siapakah yang sudah pantas untuk meninggalkan barak-barak
khusus dan tertutup itu. Namun Iswari tidak dengan serta merta melepaskan mereka.
Anak-anak muda yang sudah dianggap menjadi baik itu telah
dipindahkan ke barak yang lain. Barak yang tidak lagi diawasi
terlalu ketat. Bahkan mereka yang tinggal di barak itu sudah
diperkenankan untuk menengok keluarga mereka dan tinggal di
rumah selama sehari. Di sore hari mereka diwajibkan untuk
kembali ke barak. Hal seperti itu berlaku untuk waktu dua pekan. Setelah
ternyata tidak terjadi sesuatu, maka datanglah saatnya anak-anak
muda itu dilepas. Namun Iswari justru telah merencanakan untuk mengadakan
upacara yang meriah. Pelepasan itu justru diberikan pengertian
penerimaan kembali anak-anak mereka yang telah dianggap
hilang. Seluruh Tanah Perdikan akan merayakannya. Semua
padukuhan akan menerima anak-anak mereka yang hilang di
banjar dengan mengundang orang tua atau keluarga yang masih
ada. Para Bekel sebagai wakil para penghuni padukuhan akan
memberikan sesorah sebagai pernyataan suka cita atas
kembalinya anak-anak mereka di antara keluarganya.
49 SH. Mintardja Demikianlah, pada saat yang ditentukan, semua banjar
padukuhan memang nampak ramai. Lebih ramai dari hari-hari
biasa. Lampu minyak sudah dipersiapkan di pendapa. Sejak
matahari turun, helai-helai tikar pandan yang putih sudah
dibentangkan di pendapa. Namun demikian, nampak penjagaan menjadi lebih ketat dari
hari-hari yang lain. Para pengawal berkelompok di banjar dan di
gardu-gardu. Justru lengkap dengan senjata.
Menjelang matahari terbenam, maka dengan dikawal oleh
masing-masing dua orang, anak-anak muda yang telah disisihkan
dalam barak khusus itu dilepas dan di antar kembali ke
padukuhan masing-masing. Mereka langsung di antar ke banjar
padukuhan, yang memang telah mempersiapkan penerimaan. Ki
Bekel yang sudah berada di Banjar bersama orang itu mereka
menerima kedatangan anak-anak muda itu dengan ramah dan
akrab. Seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu jarak di antara
mereka. Ki Bekel yang pada masa kekuasaan Ki Wiradana dengan
lambaran kekuatan para pengawal yang saat itu dikembalikan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepada orang tua atau keluarganya itu, pernah mengalami
bentakan-bentakan dan bahkan surutnya kekuasaan mereka,
harus menyingkirkan perasaan kesal dan apalagi dendam.
Demikianlah, maka kehadiran anak-anak muda itu telah
diterima dengan kemeriahan. Bahkan ada di antara para Bekel
yang telah mempersiapkan makan dan minum sebaik-baiknya
untuk menghormati anak-anak mereka yang pulang kembali
kepada sanak kadangnya. Namun dibalik kemeriahan itu, pemimpin pengawal Tanah
Perdikan telah menghadap Iswari di rumahnya bersama dengan
dua orang pimpinan pengawal yang lain, yang diterimanya di
ruang dalam. "Apakah Nyai tidak mengunjungi salah satu banjar yang
tengah mengadakan keramaian untuk menerima anak-anak
mereka kembali?" bertanya pimpinan pengawal itu.
50 SH. Mintardja Iswari tersenyum. Katanya, "Ada juga niatku. Tetapi
seandainya tidak, aku yakin para Bekel akan melakukannya
dengan sebaik-baiknya."
"Kami tidak akan lama," berkata pimpinan pengawal itu.
"Kalian tidak perlu tergesa-gesa," berkata Iswari. "Katakan apa
yang ingin kalian katakan. Jika ada persoalan marilah kita
pecahkan. Sudah aku katakan, jika aku tidak pergi pun tidak akan
mengurangi kemeriahan penerimaan saudara-saudara kita
kembali ke dalam keluarga kita."
"Tetapi agaknya Nyai lebih baik jika ikut dalam kegembiraan
ini, karena bukankah Nyai yang telah memerintahkannya?"
bertanya pemimpin pengawal itu.
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Menilik sikap dan gelagat
para pemimpin pengawal itu, Iswari dapat menebak apa yang
tersirat di dalam hati mereka.
Meskipun demikian Iswari tidak mau mendahului menyebut
perasaan yang tersimpan itu. Bahkan ia pun kemudian berkata,
"Jika demikian marilah. Kita bersama-sama pergi untuk ikut
bersuka ria dengan saudara-saudara kita yang telah kembali."
Pemimpin pengawal itu menggeleng. Katanya, "Keramaian itu
tidak untuk kita Nyai. Keramaian itu adalah untuk saudara-
saudara kita. Tugas kita adalah bekerja keras, menjaga keamanan
Tanah Perdikan ini. Bertempur dan jika perlu mengorbankan
nyawa kita. Biarlah yang mendapat penyambutan dengan
keramaian bergembira karena keramaian itu. Tetapi bukankah
sudah menjadi janji kita, bahwa kita akan hidup prihatin sampai
Tanah Perdikan ini mekar kembali?"
Iswari termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian,
"Bukankah sudah sewajarnya jika kita merasa gembira, bahwa
saudara-saudara kita yang sudah kita anggap mati itu dapat
hidup kembali dan bersatu kembali dengan keluarganya."
"Tetapi mereka tidak mati Nyai," jawab pimpinan pengawal
yang lain. "Mereka tetap hidup. Mereka justru membunuh
51 SH. Mintardja saudara-saudara kita yang lain. Dalam ucapan lain, mereka telah
berkhianat." Iswari mengangguk-angguk. Katanya, "Itulah yang aku
maksudkan. Mereka bukan berarti mati dalam ujud kewadagan.
Tetapi mereka mati dalam pengertian kejiwaan. Mereka telah
kehilangan kepribadian mereka bahkan berkhianat. Dan kini
kepribadian itu telah diketemukan kembali. Karena itu, bukankah
wajib mereka kita terima kembali" Mereka memang telah
tersesat. Tetapi mereka telah melakukan langkah-langkah
perbaikan. Mereka telah menyesali kesalahan-kesalahan itu dan
berjanji tidak akan melakukannya kembali."
"Tetapi mereka telah melakukan pengkhianatan. Mereka telah
melakukan kesalahan-kesalahan yang sangat besar bagi Tanah
ini.. Bahkan mereka telah menentang Pajang. Sementara itu kita
belum melihat apakah benar mereka akan bertingkah laku baik."
berkata pemimpin pengawal itu, "Namun kita sudah
menyelenggarakan satu keramaian untuk menerima mereka.
Bersuka ria sehingga melanggar janji kita untuk tetap hidup
dalam keprihatinan selama Tanah ini belum pulih sama sekali.
Alangkah senangnya anak-anak inuda itu, Seharusnya mereka
menerima hukumannya. Tetapi mereka justru diterima sebagai
seorang pahlawan. Karena sebenarnyalah Tanah Perdikan ini
belum sempat menerima pahlawan pahlawannya dengan
kegembiraan seperti ini."
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada
dalam ia berkata, "Anak-anakku. Siapakah yang paling
bergembira sekarang ini menurut pendapatmu?"
"Tentu mereka yang mendapatkan kebebasan dalam
kemanjaan seperti ine. Aku mendengar istilah ini dari seorang
pemimpin kelompok yang pernah bertugas di barak khusus itu.
Anak-anak itu memang terlalu manja. Juga disaat
pembebasaannya" jawab pemimpin pengawal itu.
52 SH. Mintardja Iswari memandangi wajah anak muda itu dengan tajamnya,
sehingga anak-anak muda itupun dengan gelisah telah menunduk
perlahan-lahan. "Anak-anakku" berkata Iswari kemudian perlahan-lahan tetapi
jelas, "sebenarnyalah bahwa yang paling bergembira karena
saudara-saudara kita itu telah kembali. Kitalah yang selama ini
berusaha mencari dan menemukan mereka. Pada satu saat kita
mendapat satu keyakinan bahwa saudara-saudara kita itu benar-
benar telah berada diantara kita. Bukankah kita yang paling
bergembira karenanya" Mereka juga bergembira karena mereka
berhasil dibangunkan dari mimpi-mimpi. buruk. Mereka telah
dilemparkan dari jalan sesat ke jalan yang benar. Dan mereka
pun telah menyesali kesalahan itu. Namun diantara kita
semuanya, maka kita yang menemukan-mereka itulah yang
merasa paling bergembira, sehingga kegembiraan ini adalah
untuk kita scmuanya. Pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak. Namun
kata-kata Iswari itu menyentuh perasaannya, sehingga perlahan-
lahan ia mampu mengendapkannya. Demikian juga kedua orang
kawannya, "Karena para pimpinan pengawal itu tidak menjawab, maka
Iswari pun kemudian berkata, "Apakah kalian dapat mengerti
dan mencerna kata-kataku" Dengan demikian jangan sampai
terjadi, bahwa seorang yang telah berkhianat dan berbuat
kesalahan justru ikut dalam bujana yang meriah dalam
penyesalannya dan pertaubatannya, namun terjadi bahwa
saudaranya yang patuh dan setia selama ini bahkan tidak ikut
dalam kegembiraan itu dan justru berada dalam kemasgulan."
Iswari berhenti sejenak, lalu katanya "Karena itu, marilah kita
bergembira bersama-sama dalam saat yang baik ini. Marilah kita
bersukur bahwa saudara-saudara kita yang sesat itu telah
kembali, Bawalah semua pengawal dan anak. anak muda dalam
kegembiraan. Besok kita telah menjadi semakin tegar dalam kerja
karena saudara-saudara kita telah ikut didalamnya. Namun
bagaimanapun juga, kita memang harus berhati-hati. Mereka
Peristiwa Merah Salju 14 Munculnya Jit Cu Kiong ( Istana Mustika Matahari) Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Kisah Membunuh Naga 38
mereka." Istrinya tidak mencegahnya. Ia tahu, suaminya mencemaskan
ketiga anak muda itu jika terjadi benturan kekerasan karena
ketiga anak muda itu juga bersenjata serta dilandasi oleh
keyakinan yang dianggapnya benar. Keyakinan yang akan
digenggamnya dengan segala akibatnya, bahkan mati sekalipun.
Sesaat kemudian, maka suaminya itu pun telah turun dengan
tergesa-gesa kehalaman dan kemudian keluar dari pintu regol
halaman. Menembus kegelapan ia menuju ke gardu terdekat
diujung jalan itu. Kehadirannya di gardu itu memang mengejutkan. Apalagi
sikapnya yang gelisah dan tergesa-gesa.
"Sesuatu telah terjadi di rumahku," berkata orang itu.
"Apa?" bertanya seorang pengawal.
Orang itu pun kemudian telah menceritakan apa yang telah
terjadi. Tiga orang datang kepadanya untuk minta sejumlah uang
yang tidak disebutnya. Ketika ia memberikan uang itu, mereka
tidak mempersoalkan jumlahnya. Mereka pun sama sekali tidak
63 SH. Mintardja menyakiti kecuali mengatakan bahwa ketiganya akan kembali
untuk merebut Tanah Perdikan itu dari para pengkhianat.
"Kenapa kau tidak membunyikan isyarat," tegur pengawal itu.
"Aku tidak sampai hati," berkata orang yang telah dirampok
itu. "Kemana mereka sekarang?" bertanya pengawal itu pula.
"Aku tidak tahu," jawab orang yang dirampok itu.
Pengawal itu pun kemudian menyampaikan persoalannya
kepada kawan-kawannya. Orang yang malam itu mendapat tugas
memimpin sekelompok kecil kawan-kawannya itu pun segera
memerintahkan para pengawal untuk mencari.
Tetapi orang yang dirampok itu tidak berhasil mencegah para
pengawal itu membunyikan isyarat.
Dengan demikian maka sejenak kemudian, suara kentongan
pun telah menjalar dari satu gardu ke gardu yang lain. Bahkan
kemudian teah terdengar pula suara kentongan di padukuhan
terdekat menyahut isyarat yang bergema di malam yang sepi itu.
Dalam waktu yang singkat, maka semua jalan memang telah
tertutup. Kelompok-kelompok kecil anak-anak muda telah
berusaha untuk mengawasi semua sudut halaman dan setiap
jengkal dinding padukuhan, sehingga tidak seorang pun yang
akan mungkin dapat lolos dari pengamatan mereka. Karena yang
kemudian berusaha untuk menemukan ketiga orang anak muda
yang merampok uang itu bukan hanya mereka yang sedang
bertugas malam itu, tetapi semua laki-laki di padukuhan itu telah
keluar dan ikut pula mencarinya setelah mereka mendapat
keterangan apa yang telah terjadi.
Tetapi ketiga orang anak muda itu ternyata telah keluar dari
padukuhan. Mereka telah mendapat kesempatan untuk meloncati
dinding padukuhan dan hilang di bulak yang luas, di antara
tanaman jagung yang tumbuh dengan suburnya.
64 SH. Mintardja "Betapa lambannya mereka," berkata salah seorang dari
ketiga anak-anak muda itu.
Ketiganya tertawa. Yang lain telah menyahut disela-sela suara
tertawanya, "Bagaimana mereka akan dapat bertahan dengan
cara seperti ini. Lamban, sedikit dungu dan tanpa keberanian
bertindak." Ketiganya tartawa semakin keras.
Namun, di bagian lain dari Tanah Perdikan itu telah terjadi
pula suatu peristiwa yang tidak diduga sebelumnya. Malam itu
juga, di luar pengetahuan ketiga orang anak muda yang
merampok itu dua orang anak muda yang semula juga menjadi
pengawal yang berpihak kepada Jipang serta sempat melarikan
diri dari medan, berada di Tanah Perdikan itu pula. Keduanya
berada di rumah orang tua dari salah seorang diantara mereka.
Ketika keduanya mendengar kentongan berbunyi dan
menjalar diseluruh Tanah Perdikan, maka keduanya pun menjadi
cemas. Dengan tergesa-gesa mereka bersiap. Digantungkannya
pedang mereka dilambung sambil bergumam dengan kasar,
"Tentu ada pengkhianat yang telah melaporkan kehadiranku
disini. Menurut perhitunganku tidak seorang pun yang
mengetahui aku telah berada di rumah. Karena itu tentu salah
seorang dari keluarga kita sendiri yang telah berkhianat itu."
"Tidak ada seorang pun di antara kita yang sampai hati
melaporkan kehadiran kalian" jawab ayahnya.
"Tetapi kenapa para pengawal telah mengetahui kehadiran
kita dan memukul kentongan," geram anaknya.
"Bukankah sumber isyarat itu bukan dari padukuhan ini?"
bertanya ayahnya. "Mereka tidak akan mencari kemari. Tetapi
mereka akan menuju ke padukuhan sumber isyarat itu. Mungkin
ada juga kawan-kawanmu yang menyusup pulang ke rumahnya
di padukuhan lain." 65 SH. Mintardja Anaknya termangu-mangu. Namun ia pun telah bersiap
menghadapi segala kemungkinan bersama kawannya yang
menunjukkan sikap tidak senang terhadap keadaan di rumah itu.
"Apakah kau memang menjebak aku dengan mengajakku
bermalam di rumah ini?" bertanya kawannya itu.
Anak pemilik rumah itu mengerutkan keningnya. Wajahnya
menjadi tegang. Katanya, "Kau jangan membuat perkara. Kau
mengenal aku seperti aku mengenalmu. Apakah menurut
perhitunganmu aku mungkin akan berbuat demikian?"
"Siapa tahu gejolak perasaan seseorang," jawab kawannya.
"Banyak di antara kita sudah berkhianat. Dan sekarang, akan
dapat pula giliran itu datang kepadamu."
"Kau jangan mengigau," jawab anak pemilik rumah itu. "Aku
pun sedang mengalami ketegangan seperti kau. Kita sudah sama-
sama letih selama mengalami tekanan hidup yang berat.
Perasaanku pun menjadi mudah tersinggung pula seperti
perasaanmu. Karena itu biarlah kita berusaha tidak
menumbuhkan persoalan-persoalan baru yang tidak berujung
pangkal." Kawannya menggeram. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Bahkan
ia pun telah berjalan hilir mudik di ruang tengah dengan
menggenggam hulu pedang. "Jika ada seseorang datang, maka aku akan membunuhnya,"
berkata anak muda itu. "Aku tidak peduli siapa mereka.
Kedatangannya tentu dalam hubungan dengan suara kentongan
itu. Tidak ngger, percayalah bahwa tidak seorang pun diantara isi
rumah ini yang sampai hati berkhianat. Anak itu adalah anakku
yang aku besarkan dalam keadaan yang sulit dan berat. Akupun
mengenalmu sejak kau masih bayi karena ayahmu adalah
sahabatku yang baik. Bagaimana mungkin aku, dapat berkhianat
terhadap kalian. Apalagi aku tahu bahwa ayahmu sudah
meninggal sehingga kau memerlukan, seorang ayah yang
66 SH. Mintardja meskipun bukan secara wadag memiliki kedudukan yang sah
menjadi ayahmu." berkata orang tua anak muda yang satu lagi.
Kawannya itupun terdiam. Tetapi ketegangan benar-benar
telah mencekam. Suara kentongan itu masih saja menggema.
Bahkan mereka pun kemudian mendengar suara beberapa orang
anak muda yang lewat di jalan di depan rumah itu. Anak-anak
muda itu agaknya memang berada dalam kesibukan. Terdengar
sekali-kali suara lantang meskipun tak begitu jelas maksudnya.
Anak muda yang merada didalam rumah itu memang benar-
benar telah bersiap. Mereka adalah anak-anak muda yang sudah
ditempa oleh para perwira dari Jipang, sehingga ketahanan tekad
merekapun tetap menyala di dalam dada.
Namun ternyata tidak seorang pun diantara anak-anak muda
dan para pengawal yang singgah kerumah itu. Ketika suara
kentongan kemudian mereda, maka ketegangan di rumah itu pun
telah mereda pula.. Namun kedua orang anak muda itu tidak lagi
mau merebahkan badannya di amben besar di ruang dalam
rumah itu. Pemilik rumah itu pun kemudian ikut pula duduk bersama
anaknya dan kawannya yang merasa keselamatannya terancam
itu. Bahkan isterinya telah mulai merebus air di dapur. Agaknya
anak-anak muda itu tidak akan dapat tidur lagi semalam suntuk.
Namun dalam pada itu, kegelisahan hati anak-anak muda itu
masih saja setiap kali menggetarkan perasaan mereka.
Ternyata malam itu, tidak terjadi sesuatu. Ketika langit
perlahan-lahan menjadi merah oleh cahaya fajar, maka kedua
orang anak muda itu benar-benar menjadi tenang. Keduanya
justru mulai terbaring setelah mereka meneguk minuman panas
yang dihidangkan kepada mereka.
"Tidurlah" berkata pemilik rumah itu, "aku akan pergi
kesawah untuk mengairi tanaman. Jangan cemas lagi. Tidak akan
terjadi sesuatu." 67 SH. Mintardja Orang tua itu-pun kemudian meninggalkan rumahnya
menjelang matahari terbit sambil memhawa cangkul di
pundaknya. Namun ia sempat berpesan, "Aku agak lama, karena
menunggui air," Ketika orang itu telah berada di jalan, ia menjadi ragu-ragu.
Ia harus menilai kembali, pikiran yang tiba-tiba saja muncul di
kepalanya justru pada saat anaknya dan kawannya menuduhnya
berkhianat dengan melaporkan kehadirannya kepada para
pengawal. Pikiran yang sebelumnya tidak pernah terbersit di kepalanya
untuk melaporkan kehadiran anaknya itu justru bagaikan
menjadi petunjuk untuk melakukannya. Bahkan ketika ia
mendapat kesempatan untuk membicarakannya dengan
isterinya, akhirnya isterinya pun menyetujuinya, meskipun
semula ia menolak. "Jangan serahkan anakku kepada para pengawal" minta
isterinya ketika mereka berbicara di dapur semalam selagi
isterimya merebus air. "Aku kira, jalan itu adalah jalan yang terbaik Nyi" jawab
suaminya, "dengan demikian anak kita akan mendapat
pembinaan lahir dan batin dari para pemimpin Tanah Perdikan
ini yang sudah kita saksikan sendiri, bahwa mereka lebih baik
dari Ki Wiradana dan apalagi orang-orang yang
mempengaruhinya, termasuk Warsi, yang bahkan telah
menyerahkan tanah ini kepada Jipang."
Isterinya tidak begitu mengetahui persoalan yang dikatakan
suaminya. Tetapi suaminya pun kemudian berkata, "Nyai, aku
menjamin bahwa keadaan anakmu akan lebih baik jika ia berada
di tangan orang-orang Tanah Perdikan daripada ia tetap
berkeliaran dan bahkan kemudian akan kembali bergabung
dengan Warsi yang telah terbuka kedoknya bahwa Warsi adalah
salah seorang dari pengikut Kalamerta."
68 SH. Mintardja "Jika kau mempunyai keyakinan yang demikian kakang"
sahut isterinya, "terserahlah kepadamu. Mudah-mudahan
perhitunganmu itu benar "
Suaminya mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan
berhubungan langsung dengan para pemimpin sehingga tidak
akan terjadi pertempuran yang lama dan berkepanjangan, yang
akan dapat membakar perasaan dan tidak lagi mampu
mengekang diri. Jika yang melakukannya itu justru para
pemimpin, keadaannya akan berbeda. Mereka akan dengan
mudah dapat menangkap anak kita sehingga justru karena itu,
segalanya akan dapat segera dibenahi."
Istrinya mengangguk kecil. Namun di kedua matanya telah
membayang air mata. "Sudahlah," berkata suaminya. "Yang kita bicarakan ini
adalah rahasia. Jangan sampai anak kita mendengarnya."
Istrinya mengangguk. Sementara itu suaminya berdesis,
"Besok pagi-pagi aku akan berpura-pura ke sawah"
Sebenarnyalah bahwa laki-laki itu kemudian telah
memantapkan rencananya. Tetapi ia akan pergi langsung ke
rumah Kepala Tanah Perdikan itu dan bertemu dengan Iswari.
Adalah menjadi kebiasaan Iswari untuk menerima siapa saja
yang berusaha menghubunginya asal ia berada di rumah. Ia tidak
menolak pula permintaan orang tua itu untuk menghadap.
"Nyai," berkata orang tua itu. "Aku akan menyerahkan
persoalanku ke tangan Nyai sepenuhnya."
Iswari termangu-mangu. Dengan nada rendah ia bertanya,
"Persoalan apakah yang kau maksud?"
Orang tua itu pun kemudian menceriterakan tentang anaknya
yang kebetulan berada di rumah. Anaknya yang ikut dalam
pasukan Jipang dan bahkan yang telah melarikan diri dari arena
pertempuran pada saat bekas prajurit Jipang menyerang Tanah
Perdikan itu. 69 SH. Mintardja "Ia berada di rumah bersama seorang kawannya," berkata
orang tua itu. Iswari mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih atas
keteranganmu itu. Aku akan memerintahkan para pengawal
untuk mengambilnya."
"Nyai," berkata orang tua itu. "Aku mohon Nyai jangan
memerintahkan kepada anak-anak muda untuk menangkapnya.
Mereka sama-sama muda, apalagi telah dibekali dengan dendam
dan kebencian. Aku tidak sampai hati melihat anakku itu diseret
dengan kasar serta diikat tangannya."
"O," Iswari tersenyum. "Para pengawal Tanah Perdikan ini
tidak akan berbuat demikian. Mereka telah mendapat pesan agar
mereka memperlakukan anak-anak muda yang tersesat itu
sebagaimana mereka memperlakukan saudara sendiri. Jika ada
kekerasan itu adalah karena kami menginginkan segala
sesuatunya berlangsung sesuai dengan rencana. Namun anak-
anak Tanah Perdikan ini akan selalu dapat mengekang diri."
Orang tua itu mengangguk-angguk. Namun ia masih juga
memohon, "Seandainya Nyai memerintahkan anak-anak muda
untuk mengambil anakku, aku mohon Nyai menyertainya."
Iswari tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku akan berusaha agar
segala sesuatunya terjadi dengan baik. Aku mengucapkan terima
kasih atas keikhlasanmu menyerahkan anakmu yang kau nilai
telah tersesat. Mudah-mudahan kita semuanya akan dapat
menolongnya untuk menemukan jalan kembali."
"Terima kasih Nyai," berkata laki-laki tua itu. "Aku tidak akan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segera pulang, agar aku tidak melihat apa yang terjadi. Aku masih
mohon Nyai untuk menenangkan istriku jika hatinya terguncang
karena peristiwa ini, meskipun aku sudah memberitahukan
kepadanya." Iswari mengangguk. Senyumnya masih nampak pada bibirnya.
Katanya, "Aku akan berusaha berbuat sebaik-baiknya. Kau telah
dengan jujur dan bersungguh-sungguh mencari jalan keluar bagi
kesulitan yang membelit anakmu. Kami pun akan berbuat
70 SH. Mintardja sebagaimana kau lakukan, karena anakmu adalah anak Tanah
Perdikan ini. Karena itu maka ia adalah anakku juga."
"Terima kasih Nyai. Aku percaya kepada Nyai. Aku serahkan
anakku hitam putihnya kepada Nyai," berkata orang tua itu.
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun
mengangguk-angguk sambil berkata, "Aku akan berusaha."
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 26. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
71 SH. Mintardja Jilid Ke dua puluh enam Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di,
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seluruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 72 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja DEMIKIANLAH, maka laki-laki itu pun telah mohon
diri. Tetapi seperti yang dikatakannya, ia tidak segera pulang ke
rumahnya. Betapapun kegelisahan mencengkam jantungnya,
namun ia tidak ingin melihat anaknya ditangkap atau bahkan
anaknya telah menuduhnya berkhianat.
Sepeninggal orang tua itu, maka Iswari telah mencari kakek
dan neneknya. Ia telah minta Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka
untuk membicarakan permintaan orang-orang tua itu.
Kiai Badra mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Baiklah kita
turuti saja permintaan orang tua itu. Ada dua orang pengawal
yang berada di rumah itu. Namun demikian, halaman rumah itu
memang harus dikepung agar mereka tidak sempat
meninggalkan halaman jika mereka mempunyai peluang untuk
melarikan diri dengan cara apapun juga."
"Tetapi jangan menimbulkan kegelisahan," berkata Iswari.
"Baiklah," berkata Kiai Soka. "Kita serahkan saja kepada
Gandar. Biarlah ia membawa empat atau lima orang yang akan
mengawasi lingkungan rumah itu jika anak itu melarikan diri.
Tentu saja tidak perlu mempergunakan pakaian pengawal Tanah
Perdikan." Iswari sependapat dengan Kiai Soka. Karena itu maka ia pun
telah memerintahkan memanggil Gandar dan memerintahkan
kepadanya agar membawa lima orang pilihan.
Sejenak mereka telah membicarakan langkah-langkah yang
akan diambil. Mereka berusaha untuk memenuhi permintaan
laki-laki tua yang telah dengan suka rela melaporkan kehadiran
anak laki-lakinya yang dianggap memusuhi Tanah Perdikannya.
Setelah semua rencana disepakati dan dipahami, maka Gandar
pun telah memanggil lima orang pengawal terpilih. Seorang di
antaranya adalah pimpinan pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
2 SH. Mintardja Dengan terperinci Gandar memberikan penjelasan apa yang
harus mereka lakukan, agar ketenangan Tanah Perdikan yang
sudah mulai pulih kembali itu. Apalagi semalam Tanah Perdikan
baru saja diguncang kehadiran tiga orang anak muda yang telah
merampok di sebuah padukuhan, namun ketiganya sama sekali
tidak dapat ditangkap. Tetapi menilik ceritera orang tuanya, maka anak muda yang
dilaporkan itu bukannya anak muda atau salah seorang di antara
anak-anak muda yang telah merampok itu, karena anak muda
yang dilaporkan itu bersama
kawannya, berada di rumah
sejak matahari tenggelam tanpa
beranjak keluar. "Berhati-hatilah," pesan
Gandar. "Jika mereka melarikan
diri dan kalian harus menangkapnya, berbuatlah sebaik-baiknya. Ingat, bahwa
kita memerlukan kemampuan
tertinggi dari Tanah Perdikan
ini, sehingga kita memerlukan
setiap anak muda untuk tegak
dan menjadi tulang punggung
Tanah Perdikan ini."
Kelima pengawal itu mengangguk-angguk. Sementara itu Gandar pun telah
menyerahkan pelaksanaannya kepada pemimpin pengawal itu.
"Aku akan mengantarkan Iswari yang akan langsung
menangani kedua anak muda itu bersama Nyai Soka," berkata
Gandar kemudian. Sebenarnyalah, bahwa Iswari telah pergi ke rumah orang tua
yang melaporkan kehadiran anaknya dengan seorang kawannya
itu bersama dengan Nyai Soka di antar oleh Gandar. Meskipun
Iswari dan Nyai Soka memiliki kemampuan yang sangat tinggi,
3 SH. Mintardja tetapi karena ujud mereka sebagaimana seorang perempuan,
nampaknya tidak terlalu garang sehingga mungkin tidak perlu
kekerasan sama sekali untuk membawa kedua anak muda itu
keluar dari rumah itu dan dibawa ke barak tertutup.
Namun dalam pada itu, untuk melindungi istri laki-laki tua
yang melaporkan anaknya itu, maka perlu diambil langkah-
langkah pendahuluan. Karena itulah, maka ketika mereka sudah semakin dekat
dengan rumah itu, Nyai Sokalah yang mendahului memasuki
halaman. Sementara Gandar sempat melihat pemimpin pengawal
yang bertugas mengamati keadaan, duduk dibawah sebatang
pohon yang rindang beberapa puluh langkah dari regol halaman
rumah itu. Nyai Soka ternyata telah langsung menuju ke sisi rumah itu
dan menuju ke pintu butulan.
Kedatangan perempuan tua itu memang tidak banyak menarik
perhatian. Kedua anak muda yang berada di dalam rumah itu,
sebenarnya telah terbangun pula setelah mereka sempat tidur
sejenak di saat matahari terbit.
Keduanya tidak begitu tertarik pula ketika mereka mendengar
suara seorang perempuan bercakap-cakap di pintu dapur.
Namun sebenarnyalah yang berbicara itu adalah Nyai Soka. Ia
telah memberitahukan bahwa suami perempuan itu telah
menghadap Iswari dan menyerahkan persoalan anaknya kepada
perempuan itu. "Kami datang untuk memenuhi permintaannya," berkata Nyai
Soka. "Karena itu, ijinkan kami mengambil anakmu dan
kawannya." Perempuan itu mengusap matanya. Tetapi karena yang datang
seorang perempuan tua, maka hatinya memang agak menjadi
tenang, meskipun ia pun pernah mendengar tentang Nyai Soka.
"Apakah Nyai datang sendiri?" bertanya perempuan itu.
4 SH. Mintardja "Tidak," jawab Nyai Soka. "Aku datang bersama Iswari."
"Dimana Nyai Wiradana itu sekarang?" bertanya perempuan
itu. "Ia masih berada di luar regol," jawab Nyai Soka. "Karena itu
pergilah ke regol. Beritahukan kepada Iswari, bahwa ia sudah
dapat masuk. Sementara itu sebaiknya kau memang menyingkir
keluar." Perempuan itu tidak membantah. Ia pun turun ke halaman
dan menuju ke regol. Sementara itu anaknya dan kawannya
masih berada di ruang dalam. Suara perempuan di dengarnya
meskipun hanya lamat-lamat dan tidak jelas itu sama sekali tidak
menarik perhatian mereka.
Sejenak kemudian, maka perempuan ibu dari anak muda yang
berada di dalam rumah bersama kawannya itu pun melintasi
halaman. Sekali-sekali ia berpailng ke pintu rumahnya yang
masih tertutup. Demikian ia keluar dari regol, dilihatnya Iswari berdiri
bersandar disisi regol halaman rumahnya. Sejenak perempuan itu
termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Nyai Soka
mempersilakan Nyai masuk."
Iswari mendekati perempuan itu. Katanya, "Suamimu telah
mengatakan dengan niat yang jujur tentang anaknya dan seorang
kawannya yang ada di dalam rumahnya. Ia minta aku datang
menjemputnya." Perempuan itu mengangguk. Wajahnya memang nampak
suram. Namun agaknya ia memang sudah pasrah. Katanya, "Aku
serahkan anak itu kepada kebijaksanaan Nyai. Namun aku
mohon anak itu jangan dibunuh."
"Kami memerlukan semua tenaga yang ada di Tanah Perdikan
ini," jawab Iswari. "Aku memerlukannya. Memang mungkin
untuk mengembalikannya pada tempatnya yang sewajarnya dari
seorang anak muda dari Tanah Perdikan ini diperlukan waktu.
5 SH. Mintardja Namun kita bersama-sama berdoa agar waktu itu datang dengan
cepat." Perempuan itu tidak menjawab lagi. Namun dengan suara
payah ia berusaha menahan tangisnya meskipun air matanya
meleleh juga dari kedua belah matanya.
Iswarilah yang kemudian bergerak masuk. Sementara itu,
Gandar masih berdiri di regol bersama ibu anak muda yang akan
diambil oleh Iswari itu. Jika yang ada di rumah itu hanya dua orang, maka Iswari dan
Nyai Soka tentu akan dapat menyelesaikannya andaikan
keduanya mencoba untuk melawan. Yang perlu dilakukan adalah
menjaga agar keduanya atau salah seorang daripadanya tidak
melarikan diri. Di luar sadarnya Gandar menjenguk halaman rumah itu.
Dilihatnya dinding yang tidak terlalu tinggi mengelilingi
halaman. Ia pun kemudian membayangkan, berapa orang telah
mengawasi dengan cermat, sehingga tidak seorang pun di antara
keduanya akan mungkin lolos. Namun Gandar pun mengetahui
dan sudah memberikan pesan, agar mereka berusaha menangkap
anak-anak muda itu hidup meskipun mereka akan melawan.
Dalam pada itu, maka Iswari pun telah mendekati pintu
rumah yang masih tertutup itu. Nyai Soka yang melihatnya
datang telah menyongsongnya pula bersama-sama menuju ke
pintu. Sejenak kemudian, maka Iswarilah yang telah mengetuk pintu
itu perlahan-lahan sambil mendehem, sehingga yang berada di
dalam telah mendengar bahwa di luar seorang perempuan telah
mengetuk pintu rumah itu.
Meskipun demikian kedua anak muda itu memang berhati-
hati. Karena itu, mereka tidak segera membuka pintu. Dengan
langkah yang hati-hati anak muda dari pemilik rumah itu telah
beringsut ke dapur untuk mencari ibunya. Tetapi ibunya tidak
diketemukannya. 6 SH. Mintardja "Kemana ibu ini" desisnya. Ia baru saja mendengar suara
ibunya berbicara dengan seorang perempuan meskipun ia tidak
jelas apa yang dibicarakannya.
Pintu depan itu terdengar telah diketuk lagi. Memang yang
terdengar adalah suara seorang perempuan, "Siapa ada di
rumah?" Anak muda itu menjadi bimhang. Apakah ia harus membuka
pintu atau tidak. Ketika ia kembaii ke ruang dalam, maka
kawannya pun nampaknya menjadi gelisah pula.
Namun yang terdengar kemudian adalah suara perempuan itu
pula "Nyai, bukankah Nyai memesan ikan sungai segar kemarin"
suamiku baru saja pulang dari sungai untuk menebarkan jalanya.
Hasilnya aku bawa kemari. Hasil kerjanya semalam suntuk."
Anak muda yang berada didalam masih ragu-ragu. Namun
akhirnya ia menjawab, "Ibu tidak ada. Baru saja ibu keluar. Ibu
tidak meninggalkan uang."
"O" jawab suara perempuan diluar, "uangnya sudah diberikan
kemarin. Bahkan masih tersisa karena hasil suamiku tidak terlalu
banyak. Aku hanya akan menitipkan ikan basah ini saja, karena
aku masih harus, kepasar."
Sejenak keduanya saling berpandangan. Ibunya tidak pernah
dengan khusus memesan ikan air seperti itu. Ia sendiri memang
sering mencari ikan dahulu.
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin ibu memesan kepada perempuan itu karena aku dan
seorang kawanku ada disini" berkata anak muda itu didalam
hatinya. Setelah merenung sejenak, maka ia pun telah melangkah ke
pintu. Apa salahnya jika ia hanya menerima, titipan pesanan
ibunya saja, meskipun ada juga keraguan, jika perempuan itu
dapat mengenalinya. Karena itu, maka anak muda itu pun telah membuka pintu.
Hanya secukup tangannya yang terjulur, agar perempuan itu
tidak dapat melihatnya seutuhnya.
7 SH. Mintardja Namun ketika pintu terbuka, terdengar suara iswari, "Maaf
anak muda. Aku memang mengetuk pintu depan rumahmu. Aku
tidak ingin masuk lewat butulan."
Anak muda itu terkejut, Diluar sadarnya ia telah menjenguk pemempuan yang berdiri dimuka pintu itu.
Terasa jantungnya bagaikan
berhenti berdentang. Yang
berdiri dimuka pintu itu Adalah
seorang perempuan yang telah
dikenalnya. Iswari, isteri
pertama Ki Wiradana. Dengan serta merta anak muda itu berusaha untuk menutup pintu itu kembali.
Namun Iswari telah menahannya. Betapa pun anak
muda itu mengerahkan tenaganya, namun ia tidak mampu mengatasi kekuatan tenaga
cadangan perempuan diluar pi;mtu itu.
Anak muda itu menggeretakkan giginya sambil
menghentakkan tenaganya. Namun pintu itu justru telah terbuka.
Kawannya yang melihat anak muda itu berusaha menutup
pintu menjadi heran malihat tingkah lakunva. Dengan nada
tinggi ia bertanya "Kau kenapa?"
Kawannya yang terdorong oleh kekuatan Iswari berkata
lantang "Perempuan celaka. Apa kerjamu disini?"
Iswari sudah berdari, dimuka pintu yang telah terbuka. Anak
muda itu bergeser surut dengan wajah yang tegang.
Kawannya pun melihat pula kehadiran Iswari, ia pun menjadi
berdebar-debar karenanya. Bahkan dengan suara tertahan ia
menggeram, "Siapa yang telah berkhianat ?"
8 SH. Mintardja Iswari tersenyum. Sementara kedua anak muda itu menjadi
tegang. "Anak-anak muda" berkata Iswari kemudian. "Aku datang
menjemputmu. Bagiku kalian adalah anak-anakku yang hilang.
Tetapi kini kalian telah kembali kepada ibumu."
"Cukup" teriak kawan anak muda pemilik rumah itu, "siapa
yang memberitahukan kepadamu bahwa kami ada disini "
Pengkhianat itu harus dubunuh"
"Jangan terlalu, garang anak-anak muda" berkata, Iswari, "kita
memerlukan semua kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini
untuk mempertahankan diri. Pada suatu saat Tanah Perdikan ini
tentu akan dilanda oleh kegarangan-kegarangan Kalamerta.
Meskipun, orang yang disebut Kalamerta, itu sudah terbunuh
oleh Ki Gede Sembojan, tetapi para pengikutnya, keluarganya dan
bahkan tentu akan termasuk pula palari,an para bekas prajurit
Jipang, akan datang lagi ke Tanah Perdikan ini. Mereka tentu
akan berusaha untuk menguasai Tanah Perdikan ini dengan
segala isinya." "Omong kosong" bentak anak muda itu, "jangan memfitnah.
Yang berhak atas Tanah Perdikan ini adalah anak laki-laki Ki
Wiradana. Ia akan menempatkan diri dengan dukungan
siapapun, sebagai pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan ini."
"Kau benar anak muda" jawab Iswari "yang berhak
memerintah atas Tanah Perdikan ini adalah anak Ki Wiradana.
Yang aku lakukan ini pun atas nama anak Ki Wiradana.
Seandainya diakui ada beberapa orang anak Ki Wiradana, maka
yang berhak untuk menggantikannya adalah anak yang tertua
apalagi jika anak itu laki-laki."
Anak muda itu terrnangu-mangu. Namun hatinya yang telah
dicengkam oleh kesetiaannya yang membuta kepada Ki Wiradana
menggeram, "Persetan, anak laki-laki Ki Wiradana itu ada pada
Nyi Wiradana yang telah dikhiamati oleh orang-orang Tanah
Perdikan ini sendiri, justru pada saat kami berjuang untuk
9 SH. Mintardja menegakkan keadilan di Demak, karena Hadiwijaya dari Pajang
telah berusaha merebut tahta Demak meskipun ia tidak berhak."
Iswari mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun
bertanya "Anak muda, apakah kau tahu apa yang terjadi dengan
Ki Wiradana itu" Anak muda itu mengerutkan keningnya. Keduanya saling
berpandangan sejenak. Namun anak muda pemilik rumah itu
berdesis "Kalian telah membunuhnya. Kami sudah
mendengarnya." Iswari menggelengkan kepalanya. Kemudian dengan suara
tersendat ia berkata, "Anak-anak muda. Ketahuilah, Ki Wiradana
memang telah terbunuh. Tetapi yang membunuh adalah orang-
orang yang berada didalam lingkungannya sendiri."
"Maksudmu para pengawalnya?" bertanya anak muda itu.
"Isterinya yang kau sebut. mempunyai seorang anak yang
berhak untuk menggantikan kedudukannya itu. Dibantu oleh
laki-laki yang terlalu dekat dengan perempuan itu" jawab Iswari.
"Ki Rangga Gupita ?" tiba-tiba saja anak muda itu menyebut
sebuah nama. Iswari mengerutkan keningnya. Anak muda itu tentu sudah
mempunyai kecurigaan tentang hubungan antara Warsi dengan
Ki Rangga Gupita, sehingga karena itu, maka dengan serta merta
ia telah menyebutnya. Karena itu Iswari mengangguk. Jawabnya "Kau benar anak
muda. Itulah yang terjadi."
Kedua anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian salah seorang diantara mereka berkata, "omoug
kosong. Kalian telah memutar balik kenyataan."
"Siapa yang memutar balik kenyataan" Apa yang kau lihat
sebenarnya hubungan antara Warsi, Ki Wiradana dan laki-laki
dari Jipang yang bernama Ki Rangga Gupita itu" bertanya Iswari,
"Anak-anak muda. Persoalannya bukan sekadar persoalan antara
10 SH. Mintardja Pajang dan Jipang atau antara Tanah Perdikan Sembojan yang
diperebutkan oleh dua pihak yang masing-masing mengaku
sebagai pengemban tugas anak-anak Ki Wiradana, tetapi ada
persoalan lain atara Ki Wiradana dan Ki Rangga Gupita sebagai
laki-laki dalam hubungannya dengan Warsi sebagai perempuan."
Kedua anak muda itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba salah
seorang di antara mereka berkata dengan suara bergetar, "Apa
sebenarnya yang kau katakan itu" Seharusnya kau melihat
kepada dirimu. Yang mengalami persoalan seperti itu bukan Ki
Wiradana, tetapi kau sendiri. Kau telah tersisih ketika Nyi
Wiradana yang muda itu datang. Kau telah melepaskan dendam
dan kebencianmu dengan caramu. Kau korbankan Tanah
Perdikan ini tanpa mengenal pertimbangan bagi masa depan,
sekadar untuk memenuhi gejolak darahmu yang dibakar oleh
perasaan cemburu seorang perempuan."
Wajah Iswari menegang. Namun ia masih menahan dirinya,
"Anak muda. Aku datang dengan maksud baik. Tetapi jika kau
tidak mau melihat kenyataan, maka aku akan dapat bertindak
atas kalian. Selama ini, aku masih berpengharapan atas kalian."
Wajah anak-anak muda itu menjadi tegang. Mereka memang
pernah mendengar bahwa Iswari adalah seorang yang sulit
dilawan di peperangan sebagaimana Warsi. Namun
bagaimanapun juga dalam keadaan yang demikian, anak-anak
muda itu melihat ujud seorang perempuan yang nampaknya
lemah lembut dan keibuan. Karena itu, maka mereka sulit untuk
membayangkan, bagaimana Iswari mampu bertindak dengan
kekerasan. Apalagi mereka memang sudah tersudut pada satu keharusan
untuk berusaha melepaskan diri. Siapapun yang dihadapinya
maka keduanya harus melawan dan berusaha untuk keluar dari
Tanah Perdikan Sembojan yang agaknya mengetahui
kehadirannya itu. Karena itu, maka kedua anak muda itu pun telah bersiap.
Sementara Iswari masih berkata, "Anak-anak muda. Jangan
11 SH. Mintardja berusaha untuk memberikan perlawanan. Rumah dan halaman
ini sudah terkepung. Kalian tidak akan dapat keluar dengan cara
apapun juga." "Persetan," geram anak muda pemilik rumah itu, "Aku akan
melakukannya." "Sia-sia," desis Iswari.
Namun tiba-tiba saja anak muda itu telah menarik senjatanya
yang tidak pernah terpisah dari tubuhnya. Dengan serta merta ia
mengacukan senjatanya kepada Iswari sambil membentak,
"Jangan mencoba untuk berbuat sesuatu. Ujung pedang ini akan
menusuk dadamu tanpa belas kasihan. Kecuali jika kau mau
mencarikan jalan bagi kami keluar Tanah Perdikan ini."
Iswari mengerutkan keningnya. Ujung pedang itu memang
telah melekat didadanya. Sementara itu anak muda yang seorang
lagi telah pula menggenggam senjatanya sambil menggeram,
"Jika kau tidak mau mencarikan jalan keluar, kau adalah korban
yang sia-sia setelah kau merasa memenangkan pertarungan
melawan Warsi untuk merebut Tanah ini, maksudku itu."
Iswari tidak segera menjawab. Diamatinya kedua anak muda
itu. Namun Iswari masih berusaha untuk membujuk mereka
meskipun pada sorot mata kedua anak itu nampak api bagaikan
menyala, "Anak-anak muda. Aku sudah berjanji untuk tidak
berlaku kasar kepada anak-anak muda yang ingin pulang kepada
induknya. Aku pun tidak ingin berbuat kasar kepada kalian
berdua, karena kalian adalah anak-anakku dalam kedudukan
sebagai pelaksana pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan
Sembojan. Aku ingin kalian pulang dengan keyakinan atas masa
depan Tanah Perdikan Sembojan ini."
"Persetan," geram anak muda kawan pemilik rumah itu.
"Cepat. Bawa kami keluar. Jika seorang saja di antara para
pengawalmu yang bertindak diluar kehendak kami, maka kaulah
yang akan menjadi korban."
12 SH. Mintardja "Jadi kalian benar-benar tidak mau mendengarkan seruanku
untuk kembali pulang sebagai seorang anak yang pernah hilang
dari pangkuan ibunya?" bertanya Iswari.
"Cukup," anak muda itu hampir berteriak. Namun ia masih
berusaha untuk menekan suaranya. Ia sadar, bahwa halaman itu
tentu sudah dikepung. Jika suaranya memancing perhatian para
pengawal, maka keadaan akan menjadi lebih sulit lagi baginya.
"Baiklah," berkata Iswari. "Jika kalian memilih jalan
kekerasan, apaboleh buat."
"Aku dapat menusuk dadamu sekarang," berkata anak muda
pemilik rumah itu. "Cepat berputar dan berjalan. Kaulah yang
membuka jalan bagi kami sampai perbatasan Tanah Perdikan.
Tidak seorang pun boleh mengikuti kami. Atau kau terkapar mati
disini." Iswari menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa ujung pedang
anak muda itu memang menekan dadanya.
"Dadamu terlalu lunak bagi ujung pedangku," geram anak
muda itu. "Baiklah," jawab Iswari. "Kalian agaknya benar-benar tidak
mau mendengar permintaanku."
"Cepat berputar dan berjalan," berkata anak muda itu.
Iswari memang berputar. Tetapi saat ia berputar itulah terjadi
sesuatu yang tidak dikehendaki oleh kedua anak muda itu.
Demikian cepatnya Iswari bergerak. Meskipun ia tidak
mengenakan pakaian khususnya, karena ia mengenakan pakaian
seorang ibu Tanah Perdikan. Namun dengan sedikit
menyingsingkan kain panjangnya, Iswari telah berhasil melenting
mengambil jarak. Tiba-tiba saja Iswari telah berdiri dihalaman
beberapa langkah dari anak-anak muda itu.
Nyai Soka yang berada di halaman telah memperhitungkan,
bahwa demikianlah yang akan terjadi, karena ia mengikuti segala
pembicaraan Iswari dengan anak-anak muda itu.
13 SH. Mintardja Kedua anak muda itu terkejut bukan buatan. Namun ia tidak
ingin kehilangan Iswari. Karena itu, maka keduanya pun segara
meloncat memburunya. Ditempat yang lebih luas, maka gerak Iswari tidak lagi
terkekang. Itulah sebabnya kedua anak muda itu benar-benar
menjadi berdebar-debar. Keduanya merasa bahwa mereka tidak
akan sempat mendekati Iswari dan apalagi menyerangnya dengan
senjata mereka meskipun mereka benar-benar ingin
melakukannya. Namun kedua anak muda itu tidak menyerah. Mereka benar-
benar berniat menguasai Iswari agar dengan demikian
perempuan itu dapat menjadi syarat untuk keluar dari Tanah
Perdikan. Iswari memang menjadi kecewa terhadap anak-anak muda itu.
Tetapi ia sudah berjanji untuk memperlakukan anak muda itu
dengan baik kepada ayahnya yang telah dengan jujur
memberitahukan kehadiran anaknya dirumahnya.
Gandar yang berada di regol mendengar keributan yang terjadi
di halaman. Karena itu, maka ia pun telah menjenguknya dan ia
pun melihat kedua anak muda itu telah menyerang Iswari. Bukan
sekadar untuk mengusirnya pergi, tetapi keduanya benar-benar
telah menyerang untuk melukai tubuh Iswari itu.
Secara naluriah Gandar bergeser memasuki halaman. Namun
ketika ia melihat Nyai Soka masih tetap berdiri tanpa berbuat
apa-apa, maka ia pun telah mengendalikan dirinya.
Beberapa saat lamanya Gandar menyaksikan kedua orang
anak muda itu berusaha menguasai Iswari tanpa menghindari
kemungkinan untuk melukainya. Keduanya ingin
mempergunakan Iswari untuk perisai dalam keadaan apapun.
Bahkan dalam keadaan yang semakin bingung, keduanya tidak
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi tahu apa yang mereka lakukan. Mereka semakin menjadi
kasar dan senjata mereka semakin cepat bergerak. Namun Iswari
yang memiliki ilmu yang tinggi itu sama sekali tidak mengalami
kesuitan untuk menghindari setiap serangan.
14 SH. Mintardja "Jangan kehilangan akal," berkata Iswari." Sebaiknya kalian
mempergunakan nalar kalian sebaik-baiknya."
"Persetan," geram anak muda, kawan pemilik rumah itu. "Jika
ujung pedangku menembus dadamu dan membunuhmu, bukan
salahku." Iswari meloncat kesamping ketika pedang anak muda itu
terjulur lurus ke dadanya. Namun ia pun telah dengan cepat
merendahkan diri ketika pedang anak muda yang seorang lagi
menembus lehernya. Ternyata Gandar tidak telaten melihat perlakuan Iswari
terhadap kedua anak muda itu. Karena itu, maka perlahan-lahan
iapun telah melangkah mendekati Nyai Soka sambil berdesis,
"Aku akan menangkap keduanya."
"Iswari sudah berjanji kepada ayah salah seorang dari mereka
untuk memperlakukan mereka dengan baik. Bukankah kau
melihat ibunya diluar regol" Kepada ibunya Iswari juga telah
mengatakan bahwa anak itu akan diperlakukan dengan bak
Tanpa menciderainya dan apalagi lebih dari itu" berkata Nyai
Soka, "karena itu biarlah Iswari berusaha untuk membuat mereka
menjadi letih dan kehabisan tenaga."
"Tetapi dengan demikian diperlukan waktu yang lama. Jika
sekelompok pengawal lewat di depan regol dan melihat apa yang
terjadi, akibatnya akan lebih parah bagi keduanya." jawab
Gandar. Nyai Soka melihat regol yang tidak terbuka sepenuhnya
Namun kemungkinan bahwa yang terjadi itu dilihat orang yang
lewat, meskipun jalan di depan regol itu tidak banvak dihalui
orang, tentu akan menarik pehatian dan mungkin akan terjadi
sesuatu yang tidak dikehendaki.
Untuk beberapa saat Nyai Soka masih merenung. Namun
akhirnya ia pun berkata, "Baiklah. Bantulah Iswari untuk
menangkap anak-anak muda itu. Tetapi jangan ciderai mereka."
15 SH. Mintardja Gandar mengangguk kecil. Ia pun kemudian melangkah
mendekati kedua anak muda yang masih berusaha untuk
menyerang Iswari dengan senjata mereka. Bahkan keduanya
ternyata telah sampai pada tataran kemampuan mereka yang
tertinggi, sehingga mereka tidak lagi dapat mengekang diri untuk
benar-benar membunuh Iswari agar mereka sempat melarikan
diri, karena mereka seakan-akan telah menjadi putus asa untuk
dapat menguasai dan mempergunakan Iswari sebagai perisai.
Namun semakin cepat keduanya bergerak, bagi Iswari justru
semakin baik. Keduanya akan cepat menjadi letih sehingga
menjadi semakin cepat pula untuk dapat menguasai mereka
tanpa menyakiti. Tetapi ternyata Gandar telah mendekatinya. Iswari yang
metihat Gandar memasuki arena mengerutkan keningnya.
Namun ketika ia melihat sikap Gandar, maka Iswari pun
menyadari, bahwa Gandar mengerti apa yang sedang
dilakukannya. Karena itu, Iswari tidak mencegahnya. Dibiarkannya Gandar
mendekat dan kemudian berkata, "Anak-anak muda. Apakah
kalian tidak berusaha untuk mengerti?"
Kedua anak muda itu mengumpat hampir berbareng. Namun
kehadiran Gandar memang membuat keduanya mwjadi semakin berdebar-debar.
"Anak-anak muda" berkata Gandar, "hentikanlah. Kita akan
berbicara. dengan baik."
Tetapi, kedua anak muda yang justru menjadi berputus-asa itu
tidak mendengarnya. Mereka justru: menjadi semakin
kebingungan ,karena, kehadiran Gandar.
Karena itu, maka seorang diantara kedua orang itu telah
menyerang Gandar dengan serta merta.
Gandar memang menghendaki demikian. Ia akan mendapat
kesempatan untuk mempercepat penyelesa.ian sesuai dengan
16 SH. Mintardja kehendak Iswari. Ia akan dapat memancing anak muda itu untuk
bekerja lebih keras. Karena itu, tidak seperti Iswari yang hanya meloncat dan
melenting menghindari serangan-serangan kedua, anak muda
itu, namun- Gandar justru sekali-sekali juga menyerangnya,
meskipun ia tidak mempergunakan senjata.
Ternyata bahwa memang Gandar lah yang lebih dahulu
menyelesaikan tugasnya. Lawannya itu menjadi semakin letih
karena ia tidak saja harus menyerang, tetapi juga menghindari
serangan-serangan Gandar yang kadang-kadang tidak
diperhitungkannya lebih dahulu. Gejolak di dada anak muda itu
menjadi semakin menggelora, ketika tangan Gandar yang tidak
bersenjata itu, sempat menyentuh tubuh lawannya. Meskipun
akibat dari, sentuhan itu tidak gawat, tetapi perasaan sakit telah menyengatnya. Semakin lama justru menjadi semakin sering,
sementara tenaganya telah menjadi semakin susut.
Akhirnya anak muda itu memang tidak dapat berbuat lain.
Ketika ia benar-benar sudah memeras tenaganya serta perasaan
sakit telah menjalar ke seluruh tubuhnya, maka ia pun telah
kehilangan kekuatannya untuk melawan. Pada saat-saat ia
menyerang dan tidak menyentuh sasaran, ia pun justru telah
terhuyung-huyung terseret oleh ayunan senjatanya sendiri.
Bahkan beberapa kali anak
muda itu harus mempertahankan keseimbangannya, agar tidak
jatuh terjerembab. Namun pada saatnya, kekuatan anak muda itu benar-
benar telah terperas habis.
Karena itu, maka ketika ia
berusaha menusuk lambung Gandar, namun tidak 17 SH. Mintardja menyentuhnya, anak muda itu tidak lagi mampu bertahan. Ia pun
telah terjerumus dan kakinya seakan-akan tidak mampu lagi
mengikuti gerak tubuhnya, sehingga akhirnya anak muda itu pun
telah terjatuh. Gandar membiarkan saja anak muda itu tertelungkup.
Pedangnya justru terlepas selangkah terpisah dari tangannya.
Dengan susah payah anak muda itu menggapai pedangnya
tanpa dicegah oleh Gandar. Dengan susah payah pula ia berusaha
untuk berdiri. Namun ia sudah tidak mampu berbuat apa-apa
lagi. Meskipun ia berhasil berdiri di atas kedua kakinya, tetapi ia
tidak mampu lagi untuk menyerang meskipun Gandar berdiri
sejangkau ujung pedangnya.
"Bagaimana anak muda?" bertanya Gandar.
Anak muda itu menggeram. Sementara itu anak muda yang
seorang lagi agaknya masih lebih segar, karena Iswari tidak
menyakitinya. Tetapi karena Gandar telah menyelesaikan anak muda yang
seorang lagi, maka Iswari pun ingin mempercepat
penyelesaiannya pula. Karena itu, maka ia pun telah mengambil jalan pintas. Ia tidak
ingin memaksa lawannya berhenti berkelahi dengan
menyakitinya. Tetapi ketika pedang lawannya terayun lepas di
atas kepalanya karena ia merunduk, maka ia pun tiba-tiba telah
meloncat mendekat. Kedua tangannya dengan cepat menggapai
kedua pundak anak muda itu.
Tidak terdengar anak muda itu mengeluh. Tetapi dengan
demikian maka seakan-akan kekuatan anak muda itu terhisap
habis oleh jari-jari yang menekan bagian belakang kedua
pundaknya. "Duduklah anak muda," desis Iswari.
Sebenarnyalah anak muda itu tidak lagi mampu berdiri. Ketika
Iswari menekan pundaknya itu, maka ia pun telah jatuh terduduk
di tanah. 18 SH. Mintardja Anak-anak muda yang sudah kehilangan kekuatannya itu
masih menunjukkan sikap bermusuhan, sehingga Iswari pun
berkata, "Aku kecewa terhadap kalian. Aku sudah berusaha untuk
berbuat sebaik-baiknya. Tetapi kalian sama sekali tidak
menanggapinya." Kedua anak muda itu tidak menjawab. Gandar pun telah
memaksa lawannya untuk duduk pula disisi kawannya yang telah
dilumpuhkan oleh Iswari. "Nah," berkata Iswari. "Jika kalian memang tidak mau
mendengar kata-kataku, kalian akan aku tinggalkan disini. Aku
tidak tahu, siapa lagi yang bakal datang. Tetapi pasti bukan aku,
Gandar atau Nyai Soka. Mungkin para pengawal. Atau mungkin
anak-anak nakal disekitar rumahmu ini. Melihat kalian, mereka
akan merasa mendapat barang mainan."
"Gila," geram anak muda yang telah kehilangan tenaganya
karena bertempur melawan Gandar, bahkan yang tubuhnya telah
disakiti itu. Gandar termangu-mangu sejenak. Agaknya kedua orang anak
muda itu benar-benar sudah dikuasai oleh pengertian yang
pernah dijejalkan oleh para perwira Jipang yang pernah
menempa mereka. Namun demikian, Gandar harus menahan diri meskipun rasa-
rasanya tangannya memang menjadi gatal untuk memukul mulut
anak muda yang menjadi keras kepala itu.
Tetapi Iswari masih berpengharapan. Karena itu, Iswari pun
kemudian berkata, "Nah, pikirkan. Apakah kau ikut bersama
kami, atau kami akan membiarkan kalian disini. Kami tidak
mempunyai banyak waktu untuk menunggu kalian. Kami masih
harus melakukan kerja yang lain."
Yang terdengar hanyalah gemeretak gigi kedua orang anak
muda itu. Karena itu, maka Iswari pun berkata, "Nah, marilah anak-anak
ini kita tinggalkan disini. Marilah Gandar."
19 SH. Mintardja Iswari pun segera beranjak dari tempat itu. Gandar dan Nyai
Soka pun mengikutinya pula. Beberapa langkah anak-anak muda
itu masih mencoba bertahan. Namun ketika Iswari hampir
sampai di regol halaman, terdengar salah seorang dari kedua
anak muda itu memanggilnya, "Nyai tunggu."
Iswari berhenti. Demikian pula Nyai Soka dan Gandar.
"Ada apa?" bertanya Iswari.
"Jangan tinggalkan kami disini", berkata anak muda itu.
"Kenapa" Bukankah kalian tidak mau ikut bersama kami?"
bertanya Iswari. "Kalian akan pergi kemana?" bertanya anak muda itu.
"Pulang," jawab Iswari.
Kedua anak muda itu memang tidak mempunyai pilihan lain.
Jika mereka benar-benar ditinggalkan, maka mereka akan
mengalami perlakuan yang sangat buruk dari anak-anak muda
Tanah Perdikan Sembojan apabila mereka berdatangan. Bahkan
Iswari mungkin akan memanggil anak-anak muda itu. Atau
bahkan sebenarnyalah bahwa rumah itu memang sudah
dikepung, sehingga tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk
meloloskan diri dan meninggalkan Tanah Perdikan itu.
Karena itu, mereka memang tidak mempunyai pilihan lain.
Dengan nada berat, maka seorang di antara mereka berkata,
"Kami akan mengikuti kalian."
Iswari menarik dalam-dalam. Ternyata bahwa ia tidak perlu
mempergunakan kekerasan lagi lewat para pengawal untuk
membawa kedua orang anak muda itu.
"Baiklah," berkata Iswari kemudian. "Marilah."
Iswari pun justru telah berbalik mendekati kedua anak muda
itu. Dengan lembut ia berkata, "Lepaskan senjata kalian.
Bersikaplah wajar disepanjang jalan. Jangan merasa dirimu
tawanan, sehingga perjalanan kita tidak menarik perhatian orang
lain. 20 SH. Mintardja Kedua anak muda itu memang tidak dapat berbuat lain.
Mereka melakukan apa saja yang dikatakan oleh Iswari. Mereka
telah melepas wrangka senjata mereka yang tergantung
dilambung. Kemudian membenahi pakaian mereka dan berusaha
bersikap wajar, meskipun jantung mereka bergejolak
menghentak-hentak di dalam dada.
Demikianlah sejenak kemudian, maka mereka pun telah
keluar dari regol rumah itu. Iswari berjalan di paling depan
bersama Nyai Soka. Kemudian kedua orang anak muda itu
berjalan dibelakangnya. Dan dipaling belakang adalah Gandar.
Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa kedua orang
anak muda itu tawanan yang harus dibawa ke barak khusus.
Ibu salah seorang dari anak muda yang berada diluar regol
melihat anaknya meninggalkan rumahnya tanpa berpaling.
Hampir saja ia berteriak. Namun suaranya ditahankannya
dikerongkongan. Sejak semula ia memang tidak berani melihat
apa yang terjadi di halaman. Ketika terjadi sedikit keributan,
hatinya bagaikan rontok di dalam dadanya. Seolah-olah ia
melihat kedua orang anaknya itu tengah bertempur dengan
orang-orang yang akan menangkapnya. Namun ia sama sekali
tidak berani menjengukkan kepalanya di regol. Bahkan ia telah
menutup telinganya dengan tangannya agar ia tidak mendengar
apa yang terjadi. Namun perempuan itu sebagaimana suaminya telah pasrah,
apapun yang akan terjadi dengan anaknya. Bahwa Iswari telah
mau datang sendiri untuk mengambil anaknya itu pun
merupakan satu kesempatan yang sangat menguntungkan,
sehingga kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi
atas anaknya dapat dikurangi.
Demikian anaknya itu melangkah menjauh, maka perempuan
itu pun segera berlari masuk regol halaman rumahnya. Ia
tertegun ketika melihat dua helai pedang terletak di tanah.
Dipungutnya senjata itu beserta sarungnya dan membawanya
masuk ke dalam. Perempuan itu mengerti, bahwa anaknya dan
21 SH. Mintardja kawannya itu tentu mencoba memberikan perlawanan. Namun
mereka tidak mampu bertahan.
"Untunglah bahwa Iswari lah yang datang sendiri," berkata
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perempuan itu. "Jika yang datang para pengawal yang masih
muda, semuda anakku, maka akibatnya tentu lain."
Jantung perempuan itu telah bergetar semakin cepat. Tiba-
tiba saja ia telah berlari masuk ke ruang dalam. Dibantingnya
tubuhnya di amben yang besar sambil menelungkup. Perempuan
itu tidak dapat menahan tangisnya yang menghentak dari dalam
dadanya yang serasa telah penuh dengan kegelisahan.
Perempuan itu tidak menyadari, berapa lama ia
menangis. Namun tiba-tiba
terasa pundaknya disentuh oleh
tangan yang meskipun kasar
tetapi terasa lunak. "Kang," desisnya ketika
perempuan itu mengangkat wajahnya yang basah. Suaminya yang pulang dari
sawah memandangnya dengan
jantung yang berdebar-debar.
Dengan suara sendat ia bertanya, "Bagaimana dengan
anak kita Nyai?" Perempuan itu bangkit dan
duduk disamping suaminya. Disela-sela isak tangisnya ia
menjawab, "Anak kita sudah diambil, kakang."
"Siapa yang mengambilnya?" bertanya suaminya.
"Nyai Wiradana sendiri," jawab istrinya.
"Syukurlah. Iswari telah memenuhi janjinya," desis suaminya.
22 SH. Mintardja "Tetapi anak kita memang keras kepala, kakang. Anak kita dan
kawannya agaknya telah melawan," berkata istrinya.
"O," suaminya mengerutkan keningnya.
"Tetapi tidak terjadi sesuatu. Keduanya telah dibawa. Aku
tidak berani menyapanya ketika anak kita lewat pintu regol,
meskipun aku ada disebelah regol itu. Apalagi anak kita memang
tidak berpaling." Suaminya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia
berkata, "Tetapi begitu akan lebih baik.Jika pada suatu saat anak
kita itu bertemu dengan para pengawal Tanah Perdikan ini, maka
akibatnya akan berbeda. Jika anak-anak muda bertemu dengan
anak-anak muda dalam landasan yang berbeda apalagi
bertentangan, maka akibatnya akan gawat."
Istrinya mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab lagi.
Bahkan perlahan-lahan istrinya itu berdiri dan berdesis, "Aku
akan ke dapur." Ketika istrinya itu pergi ke dapur, ternyata suaminya pun
masih merenungi keadaan untuk beberapa saat. Bagaimanapun
juga anak yang diambil oleh Iswari itu adalah anaknya. Namun
baginya keadaan itu akan lebih baik daripada anaknya
berkeliaran dengan para bekas prajurit Jipang dengan tanpa
tujuan atau bahkan jatuh ketangan gerombolan Kalamerta.
Karena ditangan Nyai Wiradana, ayahnya berharap bahwa anak
itu akan dapat menjadi baik kembali dan hidupnya dapat
memberikan arti. Dalam pada itu, pemimpin pengawal yang duduk di depan
rumah orang itu pada saat Iswari mengambil anak muda dari
rumah itu, telah melangkah pergi pula. Ketika seorang yang
mengenalnya bertanya, anak muda itu menjawab, "Sekali-kali
ingin juga berjalan-jalan melihat keindahan Tanah Perdikan ini
tanpa ketegangan pakaian pengawal."
Kawannya tersenyum. Karena ia tidak mengerti persoalannya
maka ia pun berkata, "Kau aneh. Bukankah hal seperti ini sering
kau lakukan" Apakah selama ini kau merasa terbelenggu oleh
23 SH. Mintardja pakaianmu karena pakaian itu menunjukkan siapakah kau dan
apakah kedudukanmu di Tanah Perdikan ini."
"Bukan. Bukan begitu maksudku. Tetapi baiklah, begitu tiba-
tiba aku ingin berjalan-jalan dalam keadaan seperti ini. Singgah
di bibiku untuk mencari jambu air dan duwet," jawab pemimpin
pengawal itu. "Ah," kawannya tertawa. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Namun
katanya, "Kau mau mencari ikan disungai" Aku akan membuka
rumpon sebentar lagi. Tentu ikannya akan banyak sekali, karena
rumpon itu sudah aku buat
lama sekali." "Terima kasih. Lain kali
saja," jawab pemimpin
pengawal itu. Kawannya tertawa. Sementara itu pemimpin pengawal yang sadar bahwa
kawannya itu memang sedang
mengganggunya itu pun tertawa pula katanya, "Sudahlah sebelum aku tinju
kau." Keduanya tertawa semakin keras. Namun kawannya itu
berkata, "Jangan membantah,
bukankah kau sedang mengawasi Nyai Wiradana yang sedang
mengambil kedua orang kawan kita yang keras kepala itu" He,
aku bertemu dengan mereka."
Pemimpin pengawal itu masih saja tertawa. Katanya,
"Sudahlah. Pulanglah. Biyungmu sudah menyenduk nasi hangat."
Anak muda itu tertawa semakin keras. Namun ia pun
kemudian meninggalkan pemimpin pengawal itu. Namun
ternyata anak muda itu telah bertemu lagi pengawal dalam
24 SH. Mintardja pakaian sehari-hari. Bahkan seorang lagi yang berjarak agak jauh
dibelakang. Dalam pada itu, Iswari yang berjalan bersama Nyai Soka
memang tidak menarik perhatian. Hanya orang-orang tertentu
sajalah yang sedikit tertarik kepada dua orang anak muda yang
berjalan di belakangnya. Sedangkan beberapa langkah lagi,
Gandar telah mengikutinya pula.
Meskipun tidak banyak orang yang memperhatikan selama
mereka berjalan, namun kedua anak muda itu merasa sebagai
tontonan di perjalanan. Meskipun tangannya tidak terikat, dan
tidak ada ujung senjata yang merunduk dipunggungnya, namun
perasaan mereka setiap kali bergetar, jika seorang telah menyapa
Nyai Wiradana, seolah-olah orang itu ingin mendapat penjelasan,
kenapa dengan kedua orang anak muda itu.
Namun akhirnya kedua anak muda itu telah sampai ke rumah
Nyai Wiradana. Dengan ramah Iswari itu pun mempersilakan
kedua anak muda itu duduk di pendapa, ditemani oleh Gandar,
meskipun kedua anak muda itu menyadari, bahwa Gandar bukan
sekedar menemani mereka, tetapi mengawasi mereka.
Tanpa disadari kedua anak muda itu memandang berkeliling.
Rumah itu tidak berubah. Di regol masih ada petugas yang
berjaga-jaga sebagaimana saat Ki Wiradana masih ada. Namun
agaknya karena suasana yang masih hangat penjagaan itu
agaknya telah diperkuat. Beberapa saat kedua anak muda itu duduk bersama Gandar.
Bagaimanapun juga Gandar bersikap ramah, tetapi ternyata
kedua anak muda itu tetap merasa terkungkung oleh perasaan
mereka sendiri, bahwa mereka berdiri diseberang batas dengan
Gandar dan anak-anak muda yang berada di regol dan di gardu.
Karena itu, maka mereka tidak dapat berbicara dengan lancar.
Sekali-sekali Gandar bertanya. Tetapi jawabnya sepatah-patah
dan kadang-kadang tidak jelas artinya.
25 SH. Mintardja Baru beberapa saat kemudian Iswari keluar dan duduk pula
bersama mereka. Tetapi tidak dengan Nyai Soka. Yang kemudian
duduk bersama mereka adalah Kiai Badra dan Kiai Soka.
Dengan beberapa kalimat panjang kedua orang tua itu
memberikan petunjuk dan sedikit peringatan kepada kedua orang
anak muda itu. Mereka mencoba membuka hati keduanya,
meskipun kedua orang tua itu sadar, bahwa hal yang demikian itu
tentu tidak akan dapat terjadi dengan serta merta.
"Kalian masih muda," berkata Kiai Badra. "Jika kalian terjebak
pada sikap yang keliru, maka hari depan kalian tidak akan dapat
diharapkan. Padahal hari depan Tanah Perdikan ini tentu terletak
pada anak-anak muda sebaya dengan kalian, dan kemudian akan
menyusul anak-anak muda yang lebih muda lagi. Terus-menerus
tanpa berhenti. Jika aliran ini pada suatu saat terputus, maka
Tanah Perdikan ini akan mengalami guncangan. Bahkan
mungkin Tanah Perdikan ini akan merangkak menuju ke jalan
yang keliru dan terjerumus ke dalam jurang kehancuran,
sebagaimana yang kita lihat, bahwa hal itu hampir saja terjadi.
Jika Tanah Perdikan ini merupakan keluarga dari Kadipaten
Pajang, tiba-tiba sekelompok orang telah memaksa
menempatkan Tanah Perdikan ini dibawah perintah Jipang."
Kedua anak muda itu memang tidak menjawab. Tetapi yang
dikatakan oleh Kiai Badra itu bagi mereka merupakan keterangan
yang sudah sewajarnya diucapkan oleh orang yang berpendirian
tain. "Persetan"geram anak-anak muda itu didalam hatinya.
Menilik gerak wajah kedua anak muda itu, Kiai Badra, Kiai
Soka maupun Iswari, bahkan Gandar mengetahui bahwa mereka
tidak banyak menghiraukan keterangan Kiai Badra, tetapi Kiai
Badra sendiri yakin bahwa pada suatu saat anakanak muda itu
akan sempat merenungkannya.
"Anak-anak muda memang sulit untuk langsung menerima
pikiran orang lain yang dianggapnya berbeda dengan
keyakinannya" berkata KIai Badra didalam hatinya.
26 SH. Mintardja Namun dengan kesadaran yang demikian, maka orang-orang
tua itu, termasuk Iswari dan Gandar tidak cepat menjadi marah
melihat tingkah laku kedua orang anak muda itu, yang kadang-
kadang dengan sengaja menunjukkan sikap tidak senang mereka.
Namun demikian merekapun tidak berbicara terlalu panjang,
agar tidak terlalu banyak beban yang harus dipikul oleh perasaan
kedua orang itu, sehingga justru akan dapat membuat keduanya
kehilangan penalaran. Karena itu; mnaka Kiai Sokapun kemudian berkata, "Anak-
anak muda, Baiklah kalian berada diantara kawan-kawan kalian.
Mungkin, terasa bahwa kalian belum. dapat menyesuaikan diri:
Tetapi, kalian harus berusaha. Apapun yrang tergerak didalam
hati kalian, apapun sikap dan pandangan kalian terhadap Tanah
Perdikan ini, tetapi dalam pergaulan hidup diantara sesama,
dalam suasana yang mungkin tidak kalian kehendaki, maka
kalian harus berusaha untuk menyesuaikan diri."
Kedua anak muda itu memandang Kiai Soka dengan tajamnya.
Anak-anak muda yang tidak terlalu banyak berbicara itu tahu
pasti bahwa mereka akan dimasukkan kedalam satu barak yang
khusus, tidak lebih baik dari seorang tawanan.
Karena itu, tiba-tiba saja seorang diantara mereka berkata,
"Lakukan apa yang ingin kalian lakukan atas kami"
Kiai Soka mengerutkan dahimya. Namun ia pun tersenyum,
"Jangan gusar anak-anak muda. Kadang-kadang kita memang
harus menempuh jalan berliku; untuk mencapai satu tujuan."
"Jangan berceritera kepada kami sebagaimana kepada anak-
anak menjelang tidurnya" geram anak muda itu, "jika kami harus
dihukum, hukumlah." Gandar mengatupkan guginya rapat-rapat Tetapi masih
menahan hatinya. "Itu adalah sikap yang wajar" berkata Kiai Badra, "sayang
bahwa kalian telah menggenggam keyakinan yang salah. Seorang
laki-laki memang harus berani menempuh kesulitan apapun
untuk tetap tegak pada keyakinannya. Namun harus diakui,
27 SH. Mintardja bahwa ada keyakinan yang perlu dipertimbangkan. Sebagaimana
sifat seseorang yang terkena salah, demikian juga kita
menetapkan satu keyakinan. Karena itu disamping satu
keyakinan, maka seseorang pun harus berani setiap kali
memperhitungkan kembali keyakinan yang telah dipegangnya.
Dalam perubahan yang terjadi disekitarnya, maka mungkin sekali
seseorang berkesempatan melihat bahwa keyakinan yang
sebelumnya digenggamnya erat-erat itu ternyata keliru. Ternyata
bukanlah yang seharusnya dimiliki. Dan agaknya sudah tiba
waktunya bagi kalian untuk melihat kembali keyakinan yang
mantap didalam diri kalian itu bersumber dari apa dan dari
siapa" Untuk kepentingan apa dan bagi siapa?"
Kedua anak muda itu menggeretakkan gigii. Tetapi mereka
harus mengendalikan diri karena mereka mengerti kedudukan
mereka dihadapan orang-orang yang tidak mungkin dapat
mereka atasi dalam segala keadaan dan waktu.
Demikianlah maka sejenak kemudian, Kiai Badra berkata
kepada Gandar, "Gandar, tolong antarkan kedua anak-anak muda
ini ketempatnya. Mudah-mudahan ia manemuk.an suasana yang dapat membantunya menilai keadaan."
Kedua anak muda itu. tidak banyak lagi bertingkah. Mereka
menyadari kedudukan mereka. Karena itu, maka mereka pun
kemudian mengikuti saja kemana. Gandar membawa mereka.
Sebenarnyalah kedua anak muda itu telah dibawa ke sebuah
barak khusus. Barak yang memang diperuntukkan bagi mereka
yang baru dalam tataran kebimbangan, bahkan mereka yang dengan keras tetap pada keyakinannya yang telah diletakkan oleh
para perwira Jipang, yang menganggap bahwa Ki Wiradana dan
Warsi adalah pasangan yang berhak memimpin Tanah Perdikan
itu. Jika kemudian Ki Wiradana terbunuh maka anak Warsi lah
yang berhak untuk memimpin Tanah Perdikan itu dibawah
perwalian ibunya, Warsi. 28 SH. Mintardja Tetapi Gandar sendiri adalah orang yang pilihan lahir dan
batinnya. Dan tanpa cemas sama sekali, ia membawa kedua
orang anak muda itu memasuki barak khusus itu.
Beberapa pasang mata memandanginya dengan penuh
kebencian. Ketika Gandar memasuki gerbang, para penjaga
berkata, "Marilah. Kami ikut mengantar."
Tetapi Gandar tersenyum. Katanya, "Jangan menarik
perhatian mereka. Biar aku sendiri mengantar. Jika perlu aku
akan memanggil kalian."
Demikianlah, maka Gandar telah memasuki barak khusus itu
seorang diri. Dibawanya kedua orang anak muda itu ke bilik yang
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih tersedia tempat bagi keduanya, meskipun bilik itu sudah
dihuni sebelumnya. Ternyata kedua orang anak
muda itu disambut baik oleh
kawan-kawannya. Apalagi yang
pernah berada di dalam satu
kelompok dengan keduanya pada pasukan pengawal Tanah
Perdikan Menoreh yang ikut
dalam pasukan Jipang membayangi Pajang dari sisi
Timur. "He, marilah," berkata
seorang anak muda yang bertubuh tinggi kekar. "Ternyata kita bertemu lagi.
Dimana kau ditangkap oleh
kerbau dungu itu?" Kedua anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun orang
yang menyapanya itu sama sekali tidak merasa takut untuk
menyebut Gandar dengan kata-kata yang sengaja dibuat sangat
menyakitkan hati. 29 SH. Mintardja "Kerbau itu tidak akan berani marah kepada kita. Kita akan
dapat membantainya disini," berkata anak muda yang bertubuh
tinggi kekar itu. Seorang yang lain menyambung, "Marilah. Selamat datang di
istana kami ini. Jangan hiraukan keledai itu. Ia tidak akan berani
berbuat apa-apa." Gandar memang tidak menanggapinya. Ia justru tertawa
betapapun hatinya bergejolak dahsyat sekali.
"Silakan mengucapkan kata-kata apa saja," berkata Gandar.
"Kalian memang tidak mungkin berbuat apa-apa kecuali
mengumpat-umpat. Jika mengumpat-umpat itu mampu
memberikan kepuasan kepada kalian, maka silakan. Aku tidak
akan mengganggu kesempatan kalian terakhir untuk mendapat
kepuasan. "Gila," geram orang bertubuh tinggi kekar itu. "Kau kira kau
benar-benar seorang yang memiliki kelebihan" Seandainya aku
mendapat kesempatan, aku ingin menantangmu berperang
tanding." Gandar mengerutkan keningnya. Selangkah demi selangkah ia
mendekati anak muda itu. Tetapi bibirnya masih saja tersenyum,
"Apakah kau berkata sebenarnya" Jika kau berkata sebenarnya
aku akan mengusahakan kesempatan itu. Kita akan berperang
tanding. Kita akan menentukan, siapakah di antara kita yang
mampu bertahan hidup. He, kau kenal Ki Rangga Gupita"
Katakan, apakah kau saudara seperguruannya, atau kau
barangkali merasa memiliki kemampuan setingkat dengan
perwira Jipang dalam tugas sandi itu dan yang ternyata telah
membunuh Ki Wiradana untuk merebut istrinya yang memang
tidak setia itu" Nah, jika kau merasa memiliki kemampuan
setingkat Ki Rangga Gupita, maka kita akan berperang tanding
sebagaimana pernah aku lakukan dengan Rangga Gupita?"
Wajah anak muda itu menjadi merah. Namun ia masih
mencoba menjawab karena beberapa pasang mata
30 SH. Mintardja memandanginya, "Bohong. Kau bukan tandingan Ki Rangga
Gupita." "Baiklah, barangkali kau mengenal Warsi di peperangan" Atau
siapa lagi?" bertanya Gandar. "Namun aku tidak bermaksud
menakut-nakuti. Siapa yang ingin berperang tanding dengan aku,
aku sama sekali tidak berkeberatan."
Anak muda yang bertubuh tinggi kekar itu ternyata mulai
berpikir. Bagaimanapun juga ia memang pernah mendengar
tentang Gandar yang memiliki ilmu yang tinggi itu.
Namun ternyata Gandar tidak segera meninggalkan tempat
itu. Meskipun ia masih tetap tersenyum, namun ia berkata, "Nah,
siapa yang ingin melakukannya seperti anak ini."
Adalah diluar dugaan, bahwa Gandar benar-benar mendekati
anak muda bertubuh tinggi kekar itu. Dengan serta merta ia
menarik ikat kepalanya dan menggenggam rambutnya. "Inilah
contoh seorang anak muda yang berani. Yang dalam keadaan
terjepit di barak khusus ini, masih juga berani menyatakan
sikapnya." Anak muda yang bertubuh tinggi itu terkejut. Tetapi betapa
besar pengaruh sikap Gandar itu. Ternyata anak muda yang
mulutnya berani mengumpat itu, tidak segera mampu berbuat
sesuatu, ketika justru kepalanyalah yang telah diraba oleh
Gandar. "Mari anak manis," berkata Gandar. "Kita menghadap para
pemimpin Tanah Perdikan ini untuk mohon kesempatan
berperang tanding." Anak muda bertubuh tinggi kekar itu menjadi pucat. Ia
mengharap kawan-kawannya berbuat sesuatu. Tetapi ternyata
kawan-kawannya, bahkan yang telah ikut mengumpati Gandar
itu pun tidak ada yang berani berbuat sesuatu. Demikian pula
kedua orang anak muda yang baru saja dibawa masuk itu.
31 SH. Mintardja Karena anak muda itu tidak segera berbuat sesuatu, maka
Gandarlah yang berkata selanjutnya, "Nah marilah. Bukankah
kau menantang aku?" Anak muda itu masih membeku. Bahkan wajahnya menjadi
bertambah pucat. Ia tidak menyangka bahwa Gandar akan
langsung berbuat demikian tanpa ragu-ragu.
Tetapi Gandar pun merasa wajib membuat demikian. Ia harus
tetap berwibawa dihadapan anak-anak muda yang ditempatkan
dibarak-barak khusus untuk mendapat tuntunan ke jalan
kembali. Ketegangan telah mencengkam suasana. Namun karena anak
muda itu tidak berbuat apa-apa, maka Gandar pun kemudian
berkata, "Baiklah. Nampaknya kau ingin menunda tantanganmu.
Aku tidak berkeberatan, kapanpun kau menghendaki. Aku akan
minta agar hal itu diijinkan."
Sepatah kata pun anak muda itu tidak menjawab. Sementara
itu Gandar pun kemudian berkata, "Aku minta diri. Biarlah dua
orang kawan kalian ini diterima di antara kalian. Tetapi terserah
kepada kalian. Namun seperti yang sudah sering aku katakan,
atau dikatakan oleh para pemimpin Tanah Perdikan ini,
Sembojan memang menunggu tenaga kalian. Tanah ini
memerlukan uluran tangan untuk membenahinya setelah untuk
beberapa lama kita koyak-koyak sendiri, namun karena dorongan
dan pengaruh dari luar."
Tidak seorang pun menjawab. Namun Gandar pun sadar,
bahwa kata-katanya itu tentu diterima dengan tanggapan yang
berbeda-benda di antara anak-anak muda itu. Tentu ada yang
dicerna dan ditanggapi dengan baik, tentu tentu ada yang masih
ragu-ragu dan bahkan ada di antara mereka yang mencemohnya
di dalam hati. Tetapi bagi Gandar hal itu bukannya persoalan yang harus
ditanggapinya secara khusus, karena yang menangani anak-anak
muda itu adalah seluruh pimpinan Tanah Perdikan Sembojan.
Bahkan satu dua orang perwira dari Pajang pun setiap kali ikut
32 SH. Mintardja pula turun ke barak-barak khusus itu untuk memberikan
penjelasan-penjelasan, terutama kedudukan Tanah Perdikan
Sembojan dalam hubungannya dengan Pajang, Jipang dan
sebelum itu Demak. Sejenak kemudian maka Gandar pun kemudian berkata sambil
melangkah pergi, "Cobalah berpikir. Pergunakanlah nalar kalian
sebaik-baiknya." Tidak ada yang menjawab. Dan Gandar pun memang tidak
menunggu jawaban. Sejenak kemudian ia pun telah melangkah
menjauh dan keluar dari lingkungan barak khusus itu.
"Layanilah mereka baik-baik," berkata Gandar kepada para
pengawal. "Rawatlah sebagaimana merawat orang sakit
meskipun yang sakit bukan wadagnya."
Para pengawal itu tersenyum meskipun mereka tahu bahwa
Gandar bersungguh-sungguh. Pemimpin pengawal itu pun
berkata, "Kami mengerti Gandar. Tetapi kami tidak mempunyai
pengalaman untuk merawat orang-orang yang sakit jiwanya.
Kadang-kadang kami kehilangan kesabaran dan justru jantung
kami sendirilah yang hampir rontok karenanya."
Gandar mengangguk-angguk. Ia pun sadar akan hal itu.
Bahkan ia pun kemudian menceriterakan apa yang baru saja
dialami. Namun kemudian ia berkata, "Kita memang sedang
memikul beban yang sangat berat untuk mengembalikan mereka
ke pangkuan kampung halaman dengan kesadaran sepenuhnya."
"Tetapi Gandar," tiba-tiba pemipin pengawal yang bertugas itu
berbisik, "Mereka justru mendapat perlakuan yang sangat baik.
Keadaan mereka menurut pengamatan kami, justru lebih baik
dari para pengawal."
"Ah, jangan beranggapan begitu," sahut Gandar.
"Mereka mendapat makan, minum, pakaian dan alat-alat yang
cukup," pemimpin pengawal itu menjelaskan.
"Seperti sudah aku katakan. Mereka adalah orang-orang yang
sedang sakit," jawab Gandar.
33 SH. Mintardja "Dan karena itu maka mereka perlu dimanjakan?" bertanya
pemimpin kelompok itu pula.
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berkata,
"Namun bagaimanapun juga mereka tetap berada di dalam
lingkungan tertutup. Mereka tidak dapat berjalan-jalan di bulak-
bulak panjang memandangi ijaunya hasil kerja kita di sawah.
Mereka tidak dapat mengunjungi sanak-kadang dan kawan-
kawan mereka dalam keadaan bebas seperti kita."
Pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk kecil. Katanya,
"Ya. Aku mengerti."
"Dengan demikian kita akan dapat mengambil makna dari
peristiwa itu. Ternyata kebebasan lebih berharga dari kemanjaan
yang diberikan kepada saudara-saudara kita itu. Pada satu saat
saudara-saudara kita itu pun akan menyadarinya pula sejalan
dengan gerak nurani mereka untuk melihat kebenaran di Tanah
Perdikan ini," berkata Gandar pula. Lalu, "Dengan demikian,
maka mereka akan dapat lebur kembali ke dalam lingkungan
kita." Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Namun ia
masih juga bertanya, "Tetapi bagaimana dengan kebiasaan
mereka. Mungkin kesadaran itu akan timbul. Namun jika mereka
menuntut lebih banyak."
"Maksudmu?" bertanya Gandar.
"Kebebasan itu dan kemanjaan sekaligus," jawab pemimpin
pengawal yang bertugas saat itu.
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mudah-
mudahan terdapat keseimbangan sikap jiwani di dalam diri
mereka. Kebebasan itu akan mereka peroleh tidak bersama
dengan kemanjaan, tetapi dengan rasa tanggung jawab."
Pemimpin pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
ia pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, "Mudah-
mudahan." 34 SH. Mintardja Gandar lah yang kemudian tersenyum. Ia mengerti
sepenuhnya perasaan pemimpin pengawal yang sedang bertugas
itu. Perasaan yang demikian tentu tidak hanya tersirat di dalam
hatinya. Tetapi tentu juga di dalam hati para pengawal yang lain.
Mereka yang merasa bekerja keras dan mengorbankan apa saja,
bahkan seandainya nyawa mereka harus direnggut pula di medan
perang sebagaimana terjadi atas kawan-kawan dan saudara-
saudara mereka, harus selalu menahan diri menghadapi sikap
kawan-kawan mereka yang pernah berkhianat kepada Tanah
Perdikan Sembojan itu. Yang meskipun berada di dalam barak
khusus dan tertutup, namun mereka mendapat pelayanan yang
cukup baik. Meskipun demikian pemimpin pengawal itu berusaha untuk
dapat mengerti keterangan Gandar, bagaimanapun juga mereka
tidak mendapatkan kebebasan.
Demikianlah, maka anak-anak muda yang menyerah itu pun
semakin hari semakin bertambah. Baik oleh karena mereka tidak
lagi mempunyai harapan untuk berbuat sesuatu, atau menjadi
putus asa atau karena pengaruh orang-orang yang pernah mereka
temui selama mereka bersembunyi-sembunyi.
Keadaan Tanah Perdikan Sembojan yang nampaknya menjadi
semakin baik dan tenang pun menjadi dorongan bagi mereka
untuk kembali ke kampung halaman. Apalagi dengan sengaja
Iswari telah menyebarkan keterangan lewat orang-orang Tanah
Perdikan Sembojan, bahwa ia akan memberikan pengampunan
kepada anak-anak Sembojan yang ingin kembali ke kampung
halamannya. Untuk itu mereka telah ditampung di dalam barak-barak yang
khusus. Mereka mendapat penjelasan, keterangan dan
kesempatan untuk berbicara secara terbuka, apakah yang
sebenarnya terjadi dengan Tanah Perdikan itu. Anak-anak muda
yang kembali itu mendapat kesempatan untuk menyatakan
pendapatnya, membantah, mempersoalkan, menanyakan dan
sikap apapun juga pada kesempatan-kesempatan yang memang
banyak diberikan oleh Iswari. Dengan demikian maka mereka
35 SH. Mintardja perlahan-lahan menemukan satu keyakinan baru tentang Tanah
Perdikan mereka. Bukan sekadar keterangan yang harus mereka
dengarkan dan mereka telan tanpa mengunyahnya sama sekali.
Sedikit demi sedikit, harapan Iswari mulai nampak. Sebagian
anak-anak muda yang berada di dalam barak-barak khusus itu
mulai terbuka hatinya. Dalam perdebatan yang kadang-kadang
sengit, kadang-kadang dibayangi oleh gelapnya perasaan, namun
penjelasan-penjelasan yang mereka dengar dari para pemimpin
Tanah Perdikan Sembojan dan para perwira dari Pajang agaknya
mampu meyakinkan mereka tanpa memaksakannya. Dan
mulailah mereka melihat ke dalam diri mereka sendiri. Mereka
seakan-akan telah melihat satu pertunjukan tentang diri mereka
sendiri. Mereka seakan-akan telah melihat dengan jelas,
bagaimana mereka mulai melangkahkan kakinya ke arah yang
sesat. Dan mereka pun mulai menilai apa yang pernah dilakukan
Ki Wiradana sejak kedatangan seorang penari jalanan yang
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bernama Warsi. Perlahan-lahan penyesalan mulai mencengkam jantung.
Seandainya semua itu tidak terjadi, maka ketenangan Tanah
Perdikan ini tidak akan pernah diganggu. Mereka tidak akan
pernah berdiri dengan batasan jarak yang keras dengan kawan-
kawan dan saudara-saudara mereka yang kemudian ternyata
berpendirian lain. Sejalan dengan itu, maka kehidupan di Tanah Perdikan
Sembojan pun mulai menjadi pulih kembali. Berita tentang
pemindahan pusat pimpinan pemerintahan dari Demak ke
Pajang disambut dengan gembira di Tanah Perdikan Sembojan.
Dengan demikian maka kedudukan Sembojan menjadi semakin
kuat. Apalagi Adipati Hadiwijaya kemudian telah bergelar
menjadi Sultan Hadiwijaya yang berkedudukan di Pajang.
Namun demikian, para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan
tidak pernah melupakan, bahwa di antara kemajuan yang dicapai
dalam tatanan kehidupan di Tanah Perdikan Sembojan masih
ada lawan yang selalu mengintai dengan penuh dendam.
36 SH. Mintardja Warsi yang melahirkan anak laki-laki dari Ki Wiradana masih
tetap merasa, bahwa anaknya akan berhak untuk menggantikan
kedudukan suaminya. Satu-satunya penghalang yang terbesar adalah hadirnya
seorang anak pula dari Iswari. Kecuali Iswari memang istri yang
lebih dahulu dari Ki Wiradana, anaknya pun lahir lebih dahulu
pula meskipun hanya berjarak bulan.
Karena itu, bagi Warsi dan orang-orang yang kemudian tetap
menjadi pendukungnya, cara yang paling cepat untuk kembali ke
Tanah Perdikan Sembojan adalah membunuh anak Ki Wiradana
yang lahir dari Iswari. "Aku berhasil membunuh Ki Gede Sembojan," geram Warsi.
"Kenapa aku tidak dapat membunuh anak itu?"
Namun demikian Warsi pun mengerti, bahwa Iswari tentu
akan tetap berhati-hati dengan anaknya. Mungkin Iswari tidak
akan pernah membiarkan anaknya keluar dari halaman
rumahnya, sementara itu beberapa orang pengawal akan selalu
mengawasinya dari segala penjuru.
"Tetapi aku harus dapat melakukannya," berkata Warsi di
dalam hatinya. Apalagi Ki Rangga Gupita yang kehilangan
kesatuan dan lingkungannya di Jipang bersama beberapa orang
bekas prajurit Jipang yang berhasil dihimpunnya tetap
mendukungnya untuk mendapatkan satu landasan tempat
berpijak. Sementara itu Warsi pun berusaha untuk menghimpun
pula kekuatan Kalamerta yang pecah sepeninggal Kalamerta itu
sendiri. Sebenarnyalah, bahwa meskipun persoalan tahta Demak
sudah diselesaikan, namun pertentangan-pertentangan masih
berkecamuk di beberapa tempat.
Di sebelah Barat Pajang, di beberapa tempat masih juga
berkeliaran bekas-bekas prajurit Jipang. Mereka telah
menempatkan diri di sekitar sebuah Kademangan yang sangat
subur. Mereka memilih hutan-hutan yang membujur ke Utara di
sebelah Barat Kademangan Sangkal Putung dan kemudian
37 SH. Mintardja melintang ke Barat dekat dengan sebuah tempat yang disebut
Macanan. Pasukan yang dipimpin oleh seorang Senapati yang
memiliki ilmu yang tinggi yang disadapnya dari gurunya Ki Patih
Mantahun, ternyata tidak tunduk kepada perintah untuk
meletakkan senjata yang kemudian diserukan oleh para Panglima
Jipang sendiri. Pasukan itu telah berusaha untuk tetap
mengadakan perlawanan terhadap Pajang, meskipun tidak
langsung menghadapi prajurit-prajurit Pajang sendiri.
Namun dengan menempatkan pasukan di hutan-hutan di
sekitar Sangkal Putung itu, maka Pajang pun telah menempatkan
pasukannya yang kuat di antara Jati Anom dan Sangkal Putung,
sementara di beberapa Kademangan telah dibentuk pasukan
pengawal yang dibawah tuntunan dan bimbingan para perwira
prajurit Pajang. Dengan demikian maka Kademangan-
kademangan itu sendiri telah membangun kekuatan yang
mempertahankan diri sendiri.
Rangga Gupita dengan pasukan Jipang yang kecil memang
telah membuat hubungan dengan pimpinan pasukan Jipang yang
tinggal di hutan-hutan di sebelah Barat Pajang. Tetapi Senapati
yang memimpin pasukan itu tidak dengan serta merta bersedia
membantunya. "Kau telah berusaha memperalat kami untuk kepentingan
pribadimu," berkata Senapati di sebelah Barat Pajang itu ketika
Ki Rangga Gupita membuat hubungan dengannya.
"Tetapi kita akan mendapat satu landasan yang kuat. Sebuah
Tanah Perdikan yang cukup luas dan subur. Apalagi perempuan
itu mempunyai hak untuk memerintah Tanah Perdikan itu atas
nama anaknya sehingga Warsi akan dapat banyak membantu
kita, menentukan jalannya pemerintahan di Tanah Perdikan itu,"
berkata Ki Rangga Gupita.
"Jangan mimpi," jawab Senapati pasukan Jipang yang
bersembunyi di hutan-hutan di sebelah Barat Pajang. "Aku pun
akan dapat membuat satu landasan disini. Karena itu, jika kau
memang ingin bergabung dengan kami, bawa orang-orangmu
38 SH. Mintardja yang tinggal beberapa orang itu kemari. Jangan perintah aku
untuk membantumu menuruti perempuan yang telah
menjebakmu sebagaimana ia menjebak Ki Wiradana
sebelumnya." "Darimana kau tahu persoalan perempuan itu dengan Ki
Wiradana?" bertanya Ki Rangga Gupita.
"Pengawalmu juga punya mulut. Ia bercerita kepada kawan-
kawannya disini. Aku tidak tahu darimana pengawal itu
mendengar cerita tentang Warsi dan Wiradana. Tentang seorang
penari jalanan dan seorang anak dan bahkan kemudian
Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan."
Ki Rangga Gupita tidak dapat membantah lagi. Para
pengawalnya itu tentu mendengar dari anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan yang ada di dalam lingkungan pasukan
Jipang. Sementara itu Senapati itu pun kemudian berkata, "Jika kau
masih tetap ingin berjuang bersama kami, bawa pasukanmu itu
kemari. Atau jika pada suatu saat aku mempunyai perhitungan
lain, aku akan mencari hubungan denganmu."
"Kau akan datang kepada kami setelah kami kuasai Tanah
Perdikan itu," desis Ki Rangga Gupita.
"Aku bukan pengemis seperti itu," geram Senapati Jipang.
Namun kemudian ia berkata, "Jika aku datang, tidak untuk minta
belas kasihanmu. Tetapi aku datang dengan pasukan dan
menduduki Tanah Perdikan itu dengan kekuatan."
"Kau kasar sekali," jawab Ki Rangga Gupita.
"Kita memang orang-orang kasar," jawab Senapati itu.
"Apalagi setelah kita kehilangan tempat berpijak. Maka kita
menjadi semakin kasar, pemberang, pendendam dan agaknya
kita tidak lagi mempunyai kepercayaan di antara kita. Dan aku
telah menuduhmu bahwa kau akan mengambil keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan peristiwa ini. Tanah Perdikan,
perempuan dan kedudukan."
39 SH. Mintardja "Cukup," potong Ki Rangga Gupita dengan wajah yang merah.
"Jika kau tidak mau melakukan permintaanku, katakan bahwa
kau tidak bersedia. Jangan mengada-ada. Aku sendiri masih
mempunyai pasukan yang cukup untuk memasuki Tanah
Perdikan itu dan membangun kekuatan di atasnya. Jangan
menyesal, bahwa pada suatu saat, akulah yang memasuki Jipang
dengan tanda-tanda kebesaran."
Senapati itu justru tertawa. Katanya "Kau memang seorang
pemimpin yang baik. Bermipilah disisi perempuan itu. Itu akan
lebih baik bagimu daripada berbicara tentang perang dan
petualangan." Ki Rangga Gupita memang marah sekali. Tetapi ia tidak dapat
berbuat banyak, karena ia berada. diantara sepasakan prajurit
Jipang yang berada dihutan-hutan itu.
Karena itu, maka ia pun dengan tergesa-gesa pula minta diri
meninggalkan harapannya untuk mendapat bantuan dari kawan-
kawannya di sebelah Berat Pajapg.
Dengan demikian, maka yang harus dilakukannya adalah
mengumpulkan bekas pasukan Jipang di sebelah Timur Pajang
sebanyak-banyaknya bersama dengan para pengikut Kalamerta
yang akan dihimpun oleh Warsi dan ayahnya.
Dengan kekuatan itu mereka akan memasuki Tanah Perdikan
Sembojan. Tetapi Rangga Gupita menyadari, bahwa untuk melakukan hal
itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Ia tidak akan dapat
melakukannya barang satu dua hari saja. Tetapi ia memerlukan
waktu berbulan bahkan bertahun-tahun. Sehingga datang saatnya
untuk memasuki Tanah Perdikan Sembojan dengan baik yang
masih tersisa pada anak Warsi. Dengan hak itu, maka Tanah
Perdikan akan dapat dipersiapkan untuk menemukan langkah-
langkah berikutnya. Dengan kenyataan yang ada, maka Ki Rangga Gupita dan
Warsi telah menyusun sebuah tempat tinggal yang tersendiri.
Mereka telah membangun kembali sebuah padepokan yang
40 SH. Mintardja sebenarnya adalah salah satu dari sarang gerombolan Kalamerta.
Namun Ki Rangga Gupita dan Warsi memang membuatya
sebagai sebuah padepokan yang baik, bersih dan asri tanpa
memberikan kesan kekasaran dan kekerasan. Warsi tidak lagi
mau tinggal bersama ayahnya dan menempuh cara tersendiri
dalam laku yang dibebani perasaan dendam kepada Iswari dan
Tanah Perdikan Seambojan. Beberapa orang pengikutnya berada
pula di padepokan itu. Di padepokan itu mereka menempuh cara
hidup yang baik dan layak. Namun diluar padepokan itu, cara
hidup sebagaimana dilakukan oleh gerombolan Kalamerta masih
tetap mereka lakukan. Di beberapa tempat, Warsi memang membuat beberapa
sarang dalam keadaan yang jauh bersedia, bahkan bertentangn
dengan padepokan yang dibangunkannya. Di beberapa tempat
terdapat sarang-sarang yang kasar dan bersuasana keras. Dari
sarang-sarang itulah para pengikutnya melakukan kekerasan.
Namun siapapun yang memasuki padepokannya, maka ia
harus berusaha untuk menjad:ikan dirinya orang lain.
Demikianlah Warsi dan Ki Rangga Gupita hidup dalam dua
dunia yang mempunyai watak yang bertentangan. Di padepokan,
keduanya hidup sebagai dua orang suami isteni yang baik dan
wajar. Sementara itu keduanya pun telah menyebut diri mereka
dengan nama rangkap. Di padepokan keduanya menyebut diri mereka Kiai dan Nyai
Premati. Sementara itu, para pengikutnya, telah mendapat
perintah untuk memegang rahasia mereka sekeras-kerasnya.
Siapa yang diketahui membocorkaa rahasia itu, maka. tidak ada
hukuman lain kecuali hukuman mati.
Para pengikut Ki Rangga Gupita dan Warsi yang ikut tinggal di
padepokan terpencil itu tidak terlalu banyak. Sebagian besar dari
para pengikutnya justru tersebar di sarang-sarang mereka yang
garang, yang tersembunyi dan tidak diketahui oleh orang lain.
Para pengikutnya terutama adalah para bekas prajurit Jipang,
sisa-sisa gerombolan Kalamerta dan ada juga anak-anak Tanah
41 SH. Mintardja Perdikan Sembojan yang telah tersesat semakin jauh dari jalan
menuju kembali ke kampung halaman. Mereka dengan dibekali
dengan harapan-harapan dan dendam, telah menjadi pengikut
yang setia. Yang tidak lagi mengerti dari tujuan hidup mereka
sendiri. Dengan kasar mereka melakukan pekerjaan yang diberikan
kepada mereka untuk merampas, merampok dan menyamun.
Mereka merasa bahwa mereka wajib melakukannya, karena hasil
kerja mereka itu akan menjadi modal untuk mendaki satu cita-
cita yang amat tinggi. "Jika kita tidak dapat menikmati hasilnya, maka anak cucu
kitalah yang akan memetiknya," berkata Ki Rangga Gupita.
Dalam pada itu, pada saat-saat tertentu Ki Rangga Gupita dan
Warsi memang berada di padepokannya sebagai Kiai dan Nyai
Premati. Meskipun letak padepokan itu memang agak terpencil,
agak jauh dari padukuhan, bahkan dari sebuah hutan yang
termasuk lebat hanya berjarak sebentang ara-ara perdu, namun
padepokan itu dikenali juga oleh beberapa orang di padukuhan-
padukuhan yang tersebar agak jauh itu.
Kiai dan Nyai Premati dikenal sebagai dua orang pertapa yang
baik dan rendah hati. Banyak orang yang mengenalnya sebagai
dua orang suami istri yang hidup dalam suasana yang tenang,
tentram dan penuh kedamaian hati.
Namun sebenarnyalah di dalam dada kedua orang itu menyala
api dendam yang bagaikan menggapai langit. Dendam itu
berkobar di tempat-tempat lain di luar padukuhan itu dan
sekitarnya. Bahkan dendam itu hampir saja membakar anak Warsi
sendiri. Betapa bencinya Warsi kepada Ki Wiradana yang
ternyata tidak dapat menjadi alas untuk mencapai satu
kedudukan yang baik baginya dan bagi keinginannya untuk hidup
melebihi orang kebanyakan. Jika semula laki-laki yang bernama
Wiradana itu memang berhasil meluluhkan hatinya saat-saat
dendam atas kematian pamannya membakar jantungnya,
42 SH. Mintardja sehingga ia tidak sampai hati membunuh laki-laki itu, maka
kemudian anggapannya telah berubah sama sekali. Laki-laki yang
bernama Wiradana itu adalah orang yang baginya telah
merampas seluruh masa depannya.
Seandainya tidak ada terpercik harapan pada anak laki-lakinya
untuk mempergunakan haknya sebagai pewaris Tanah Perdikan
Sembojan, maka anak itu tidak akan banyak berarti lagi baginya.
Bahkan mungkin anak itu telah diberikannya kepada perempuan
yang pernah dipaksa menjadi pemomongnya.
"Tetapi jika kau tidak dapat memperoleh hak itu atas Tanah
Perdikan Sembojan maka kau tidak lebih baik dari ayahmu,"
berkata Warsi kepada anak laki-lakinya dengan kasar.
Bayi itu memandang wajah ibunya tanpa mengerti
persoalannya. Dengan tatapan yang bening ia justru tersenyum
sambil melenjit di pangkuan perempuan yang selalu dibakar oleh
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kebencian itu. Tetapi ibunya justru membentak, "Diam anak setan. Jika kau
melenjit-lenjit aku lepaskan kau biar kepalamu terantuk batu
dibawah kakiku itu."
Anak itu tidak tahu apa yang diucapkan ibunya. Ia justru
berteriak kegirangan. Namun sementara itu, Ki Rangga Gupita lah yang berkata,
"kenapa tidak kau lakukan" Anak itu merupakan beban bagi kita.
Bukan hanya beban perawatannya tetapi juga beban perasaan.
Bukankah kau juga merasakan?"
"Aku masih ingin menunggu bahwa pada suatu saat aku dapat
membunuh anak Iswari itu. Dengan demikian anak ini akan
dapat menuntut haknya," jawab Warsi.
"Untuk berapa lama kita akan menunggu," geram Ki Rangga
Gupita. "Seandainya anak Iswari itu terbunuh, masih banyak
orang yang akan berbicara tentang anakmu itu. Mungkin Pajang
juga akan ikut campur."
43 SH. Mintardja "Apakah kita perlu berbicara dengan Pajang?" bertanya Warsi.
"Jika aku berhasil membunuh anak Iswari, dan kita berhasil
memasuki Tanah Perdikan Sembojan, maka aku akan dapat
mempergunakannya, memaksakan kehendakku atas orang-orang
Tanah Perdikan itu. Disetujui atau tidak disetujui oleh Pajang.
Sebelum Pajang akhirnya mengambil langkah kekerasan, kita
harus sudah dapat menyusun kekuatan itu. Kita dapat berbicara
lagi dengan Senapati Jipang di hutan-hutan di sekitar Sangkal
Putung itu. Jika mereka melihat kita berhasil, aku kira mereka
tidak akan berkeberatan untuk bekerjasama dengan kita. Akan
lebih baik kalau kita dapat menghimpun kekuatan yang lebih luas
dengan cara apapun juga. Kita akan dapat membakar perasaan
tidak puas atas pemerintahan Sultan Hadiwijaya. Kita dapat
mempergunakan banyak alasan untuk menyalakan kebencian itu.
Apalagi Hadiwijaya adalah anak dari daerah Tingkir yang
kedudukannya tidak lebih tinggi dari kita sendiri. Kita tidak perlu
takut kena kutuk dan tuahnya karena derajatnya adalah
sebagaimana derajat kita."
Ki Rangga Gupita yang juga menyebut dirinya Kiai Premati
tidak menjawab. Ia masih mencoba untuk menyetujui pendapat
Warsi tentang anak yang berada di tangan Warsi itu.
Namun sebenarnyalah anak itu tumbuh tanpa kasih sayang.
Bahkan anak itu kemudian lebih banyak berada ditangan
pemomongnya dari pada ditangan Warsi. Pemomong yang
akhirnya didapat juga dari keluarga para pengikut ayah Warsi di
padukuhannya. Tetapi karena sikap Warsi sendiri, maka pemomongnya pun
tidak terlalu banyak menunjukkan kasih sayangnya kepada anak-
anak. Ia kadang-kadang berlaku kasar juga kepada anak yang
masih belum mengerti arti hidupnya sendiri.
Namun dalam permainan Warsi yang sempurna, maka
dihadapan orang lain di luar padepokannya, nampaknya Warsi
yang disebut Nyai Premati bersama laki-laki yang dianggap
suaminya, Kiai Premati, dapat berlaku sangat manis kepada anak
laki-lakinya itu. Dan tentu demikian pula dengan pemomongnya.
44 SH. Mintardja Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Sembojan Iswari pun
tengah memelihara anak laki-lakinya yang beberapa bulan lebih
tua dari anak Warsi. Namun agaknya keadaan anak Iswari itu
jauh berbeda dengan anak Warsi. Anak Iswari itu ternyata
mendapat perawatan dan pelayanan yang sewajarnya. Ia
mendapat kasih sayang dari ibunya dan orang-orang di
sekitarnya. Meskipun anak itu tidak mengenal ayahnya, tetapi ia
mendapat tuntunan dan bimbingan yang memadai sebagai
seorang anak laki-laki yang dipersiapkan kelak untuk menjadi
seorang Kepala Tanah Perdikan.
Meskipun anak itu masih bayi, namun setiap orang
disekitarnya mengharapkan, bahwa ia akan menjadi orang yang
besar kelak, yang tidak akan tergelincir seperti ayahnya.
Dengan demikian maka anak Iswari itu tumbuh dengan
suburnya. Bukan hanya wadagnya, tetapi juga jiwanya menjadi
tegar. Ia mendapat kegembiraan dengan permainan-permainan
yang banyak diberikan kepadanya. Pemomongnya adalah seorang
perempuan yang riang. Yang gemar berdendang, bukan saja saat-
saat menjelang tidur. Tetapi hampir setiap saat.
Di antara kawan-kawannya yang sebaya, anak Iswari nampak
mempunyai perbawa yang lebih besar. Ada sesuatu yang lain.
Agaknya karena asuhan yang bersungguh-sungguh serta cermat
dilandasi oleh kasih sayang yang tinggi.
Namun anak Iswari sekali-kali tidak menjadi manja. Setiap
kali orang-orang tua telah memperingatkan Iswari, agar anaknya
tidak menjadi manja. Salah satu kelemahan Ki Wiradana adalah
justru karena kemanjaannya. Ia adalah satu-satunya anak laki-
laki Ki Gede Sembojan. Namun agaknya K Gede kurang tepat
membimbingnya, sehingga anak itu tidak mewarisi kelebihan-
kelebihan Ki Gede, tetapi justru kekurangan-kekurangannya.
"Jadi pengalaman pahitmu itu menjadi pelajaran," berkata
Nyai Soka. "Kemanjaan tidak memberikan keuntungan apa-apa
bagi seorang anak. Seorang yang mengasihi anaknya berlebihan
45 SH. Mintardja dengan memanjakannya itu berarti menjerumuskan anak itu
sendiri ke dalam kesulitan."
Iswari pun telah berpegangan kepada pesan-pesan orang-
orang tua itu. Ia pun mengalami kepahitan yang tidak akan
dilupakannya meskipun ia tidak mendemdamnya, justru karena
suaminya seorang yang manja dan kemudian dalam
kemanjaannya itu ia telah memanjakan dirinya sendiri.
Dalam hubungan sehari-hari dengan orang-orang
disekitarnya, anak Iswari itu lebih dikenal dengan nama
panggilannya. Ia lebih senang dipanggil Risang daripada
namanya yang panjang. Sementara itu orang-orang lain pun lebih
senang pula memanggil Risang, karena jika dipanggil dengan
sebutan lain anak itu sama sekali tidak berpaling.
Dari hari ke hari Risang tumbuh semakin besar. Ia sudah
mempunyai pengalaman baru. Beberapa kali ia terjatuh waktu
belajar berjalan. Namun Risang tidak pernah menyerah. Sehingga
akhirnya Risang pada umurnya setahun lebih beberapa hari
sudah benar-benar dapat berjalan.
Pada saat-saat berikutnya Risang dengan cepat dapat berlari-
lari kecil. Memanggil-manggil ibunya dan nama pemomongnya.
Bahkan kemudian sepatah-patah Risang sudah dapat berbicara.
Iswari menjadi gembira sekali melihat perkembangan Risang.
Meskipun sekali-kali anak itu mengingatkannya kepada tingkah
laku ayahnya. Bahkan hampir saja membunuhnya, namun justru
Iswari merasa senasib dengan anak itu. Matinya adalah matinya
anak itu dan hidupnya adalah hidup anak itu.
Karena itu, kasihnya kepada anak itu justru semakin
bertambah-tambah, meskipun ia selalu ingat kepada pesan,
bahwa ia tidak boleh memanjakannya.
Bahkan Iswari beberapa kali terpaksa memperingatkan
perempuan yang disebut Serigala Betina. Ialah yang justru sering
memanjakan Risang. Perempuan itu pun tiba-tiba ikut merasa
bahwa Risang adalah anaknya. Ia merasa bahwa hadirnya Risang
karena ia tidak melakukan perintah Ki Wiradana, meskipun ia
46 SH. Mintardja tidak mengucapkannya kepada Iswari. Sehingga dengan
demikian, meskipun ia tidak melahirkan Risang, tetapi ia merasa
punya hak pula untuk ikut mengakunya sebagai anaknya.
Namun akhirnya perempuan itu menyadari, bahwa
bagaimanapun juga Risang adalah anak Iswari. Dan ia harus
mengikuti keinginannya untuk tidak memanjakan anak itu.
Di samping perawatan dan asuhan yang sungguh-sungguh
Iswari tetap berhati-hati atas keselamatan anaknya itu. Ia
mempercayakan pengamatan keselamatan anaknya kepada
perempuan yang disebut Serigala Betina, yang ternyata lebih
senang dipanggil Bibi oleh Risang. Bahkan kemudian bukan saja
oleh Risang. Semua orang kemudian telah memanggilnya Bibi,
sehingga Bibi itu seakan-akan telah berubah bukan sebagai
sebutan, tetapi sebagai namanya.
Di samping Bibi, Iswari juga membebankan pengawasan
anaknya kepada Gandar. Meskipun untuk sementara rumah
Iswari masih tetap dijaga oleh sekelompok kecil pengawal yang
bergiliran, namun Iswari sadar, bahwa lawannya adalah orang
berilmu tinggi, sehingga hanya orang-orang berilmu tinggi
sajalah yang pantas untuk melindungi anaknya dari intaian
mereka. Jika Risang bermain di halaman di pagi hari dikawani oleh
pemomongnya, maka Gandar duduk di tangga pendapa. Jika
Gandar sekali-kali pergi ke sawah, maka Bibilah yang kemudian
ikut bermain-main dengan Risang. Bahkan Bibi banyak dapat
membuat mainan yang membuat Risang menjadi gembira.
Namun regol rumah itu tidak tertutup bagi anak-anak sebaya
Risang yang kadang-kadang diasuh oleh kakak perempuannya
atau bahkan oleh ibunya bermain-main di halaman itu. Justru
dengan demikian Risang akan mendapat kawan dan
membiasakannya bermain dalam satu lingkungan. Bukan sendiri.
Kebiasaan bergaul itu akan memberikan arti yang baik baginya
dimasa perkembangannya nanti.
47 SH. Mintardja Di antara kawan-kawannya pun Risang tidak dibiasakan
menang sendiri. Ia harus bersikap wajar kepada teman-temannya
meskipun ia adalah calon Kepala Tanah Perdikan itu.
Dalam pada itu, di samping mengamati perkembangan Risang,
maka Iswari juga harus mengamati perkembangan nalar budi
anak-anak muda Tanah Perdikan yang berada di dalam barak-
barak khusus. Ternyata mereka telah cukup lama berada dalam
lingkungan yang terbatas. Sebagian besar dari mereka telah
menunjukkan perubahan keyakinan dan sikap terhadap Tanah
Kelahirannya. Karena itu, maka Iswari memandang perlu untuk mengambil
langkah-langkah bagi mereka. Ia sadar, jika mereka terlalu lama
berada di dalam lingkungan yang tertutup, maka justru akan
dapat terjadi perkembangan jiwa yang tidak diharapkannya.
Dalam satu kesempatan, maka Iswari telah mengundang
orang-orang tua di Tanah Perdikan itu untuk berbicara tentang
anak-anak muda itu. Apakah yang sebaiknya dilakukan atas
mereka. "Mereka telah terlalu lama merasa disekap dalam satu
lingkungan tertutup, kakek," berkata Iswari kepada Kiai Badra
dan Kiai Soka. Kiai Badra mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya,
"Tetapi bukankah masih ada di antara mereka yang belum
mengerti apakah sebenarnya maksud kita terhadap mereka."
"Ya. Tetapi sebagian kecil saja," jawab Iswari.
"Jika demikian," berkata Kiai Soka. "Sebaiknya diadakan
pemisahan untuk sementara. Kita akan memilih siapakah di
antara mereka yang sudah pantas untuk diturunkan kembali ke
dalam lingkungan kehidupan yang sewajarnya. Namun siapa pula
yang masih belum waktunya untuk dikembalikan ke dalam
lingkungan yang lebih luas di Tanah Perdikan ini."
Iswari mengangguk-angguk. Langkah itu mungkin adalah
langkah yang paling baik yang dapat segera dilakukan, sebelum ia
48 SH. Mintardja mengambil keputusan yang lebih tajam mengenai anak-anak
muda Tanah Perdikan Sembojan yang pernah terbius oleh
tempaan lahir dan batin dari para perwira Jipang.
Karena itu, maka Iswari pun perlu mendapat bahan-bahan
dari mereka yang mendapat tugas untuk setiap kali memberikan
penjelasan kepada anak-anak muda itu, termasuk ke beberapa
orang perwira Pajang. Siapa saja di antara mereka yang masih
perlu mendapat pembatasan untuk tidak dilepaskan dalam
kehidupan wajar di Tanah Perdikan Sembojan.
Dengan cara itulah, maka Iswari telah memilih, siapakah di
antara anak-anak muda itu yang masih harus tinggal dan
siapakah yang sudah pantas untuk meninggalkan barak-barak
khusus dan tertutup itu. Namun Iswari tidak dengan serta merta melepaskan mereka.
Anak-anak muda yang sudah dianggap menjadi baik itu telah
dipindahkan ke barak yang lain. Barak yang tidak lagi diawasi
terlalu ketat. Bahkan mereka yang tinggal di barak itu sudah
diperkenankan untuk menengok keluarga mereka dan tinggal di
rumah selama sehari. Di sore hari mereka diwajibkan untuk
kembali ke barak. Hal seperti itu berlaku untuk waktu dua pekan. Setelah
ternyata tidak terjadi sesuatu, maka datanglah saatnya anak-anak
muda itu dilepas. Namun Iswari justru telah merencanakan untuk mengadakan
upacara yang meriah. Pelepasan itu justru diberikan pengertian
penerimaan kembali anak-anak mereka yang telah dianggap
hilang. Seluruh Tanah Perdikan akan merayakannya. Semua
padukuhan akan menerima anak-anak mereka yang hilang di
banjar dengan mengundang orang tua atau keluarga yang masih
ada. Para Bekel sebagai wakil para penghuni padukuhan akan
memberikan sesorah sebagai pernyataan suka cita atas
kembalinya anak-anak mereka di antara keluarganya.
49 SH. Mintardja Demikianlah, pada saat yang ditentukan, semua banjar
padukuhan memang nampak ramai. Lebih ramai dari hari-hari
biasa. Lampu minyak sudah dipersiapkan di pendapa. Sejak
matahari turun, helai-helai tikar pandan yang putih sudah
dibentangkan di pendapa. Namun demikian, nampak penjagaan menjadi lebih ketat dari
hari-hari yang lain. Para pengawal berkelompok di banjar dan di
gardu-gardu. Justru lengkap dengan senjata.
Menjelang matahari terbenam, maka dengan dikawal oleh
masing-masing dua orang, anak-anak muda yang telah disisihkan
dalam barak khusus itu dilepas dan di antar kembali ke
padukuhan masing-masing. Mereka langsung di antar ke banjar
padukuhan, yang memang telah mempersiapkan penerimaan. Ki
Bekel yang sudah berada di Banjar bersama orang itu mereka
menerima kedatangan anak-anak muda itu dengan ramah dan
akrab. Seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu jarak di antara
mereka. Ki Bekel yang pada masa kekuasaan Ki Wiradana dengan
lambaran kekuatan para pengawal yang saat itu dikembalikan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepada orang tua atau keluarganya itu, pernah mengalami
bentakan-bentakan dan bahkan surutnya kekuasaan mereka,
harus menyingkirkan perasaan kesal dan apalagi dendam.
Demikianlah, maka kehadiran anak-anak muda itu telah
diterima dengan kemeriahan. Bahkan ada di antara para Bekel
yang telah mempersiapkan makan dan minum sebaik-baiknya
untuk menghormati anak-anak mereka yang pulang kembali
kepada sanak kadangnya. Namun dibalik kemeriahan itu, pemimpin pengawal Tanah
Perdikan telah menghadap Iswari di rumahnya bersama dengan
dua orang pimpinan pengawal yang lain, yang diterimanya di
ruang dalam. "Apakah Nyai tidak mengunjungi salah satu banjar yang
tengah mengadakan keramaian untuk menerima anak-anak
mereka kembali?" bertanya pimpinan pengawal itu.
50 SH. Mintardja Iswari tersenyum. Katanya, "Ada juga niatku. Tetapi
seandainya tidak, aku yakin para Bekel akan melakukannya
dengan sebaik-baiknya."
"Kami tidak akan lama," berkata pimpinan pengawal itu.
"Kalian tidak perlu tergesa-gesa," berkata Iswari. "Katakan apa
yang ingin kalian katakan. Jika ada persoalan marilah kita
pecahkan. Sudah aku katakan, jika aku tidak pergi pun tidak akan
mengurangi kemeriahan penerimaan saudara-saudara kita
kembali ke dalam keluarga kita."
"Tetapi agaknya Nyai lebih baik jika ikut dalam kegembiraan
ini, karena bukankah Nyai yang telah memerintahkannya?"
bertanya pemimpin pengawal itu.
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Menilik sikap dan gelagat
para pemimpin pengawal itu, Iswari dapat menebak apa yang
tersirat di dalam hati mereka.
Meskipun demikian Iswari tidak mau mendahului menyebut
perasaan yang tersimpan itu. Bahkan ia pun kemudian berkata,
"Jika demikian marilah. Kita bersama-sama pergi untuk ikut
bersuka ria dengan saudara-saudara kita yang telah kembali."
Pemimpin pengawal itu menggeleng. Katanya, "Keramaian itu
tidak untuk kita Nyai. Keramaian itu adalah untuk saudara-
saudara kita. Tugas kita adalah bekerja keras, menjaga keamanan
Tanah Perdikan ini. Bertempur dan jika perlu mengorbankan
nyawa kita. Biarlah yang mendapat penyambutan dengan
keramaian bergembira karena keramaian itu. Tetapi bukankah
sudah menjadi janji kita, bahwa kita akan hidup prihatin sampai
Tanah Perdikan ini mekar kembali?"
Iswari termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian,
"Bukankah sudah sewajarnya jika kita merasa gembira, bahwa
saudara-saudara kita yang sudah kita anggap mati itu dapat
hidup kembali dan bersatu kembali dengan keluarganya."
"Tetapi mereka tidak mati Nyai," jawab pimpinan pengawal
yang lain. "Mereka tetap hidup. Mereka justru membunuh
51 SH. Mintardja saudara-saudara kita yang lain. Dalam ucapan lain, mereka telah
berkhianat." Iswari mengangguk-angguk. Katanya, "Itulah yang aku
maksudkan. Mereka bukan berarti mati dalam ujud kewadagan.
Tetapi mereka mati dalam pengertian kejiwaan. Mereka telah
kehilangan kepribadian mereka bahkan berkhianat. Dan kini
kepribadian itu telah diketemukan kembali. Karena itu, bukankah
wajib mereka kita terima kembali" Mereka memang telah
tersesat. Tetapi mereka telah melakukan langkah-langkah
perbaikan. Mereka telah menyesali kesalahan-kesalahan itu dan
berjanji tidak akan melakukannya kembali."
"Tetapi mereka telah melakukan pengkhianatan. Mereka telah
melakukan kesalahan-kesalahan yang sangat besar bagi Tanah
ini.. Bahkan mereka telah menentang Pajang. Sementara itu kita
belum melihat apakah benar mereka akan bertingkah laku baik."
berkata pemimpin pengawal itu, "Namun kita sudah
menyelenggarakan satu keramaian untuk menerima mereka.
Bersuka ria sehingga melanggar janji kita untuk tetap hidup
dalam keprihatinan selama Tanah ini belum pulih sama sekali.
Alangkah senangnya anak-anak inuda itu, Seharusnya mereka
menerima hukumannya. Tetapi mereka justru diterima sebagai
seorang pahlawan. Karena sebenarnyalah Tanah Perdikan ini
belum sempat menerima pahlawan pahlawannya dengan
kegembiraan seperti ini."
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada
dalam ia berkata, "Anak-anakku. Siapakah yang paling
bergembira sekarang ini menurut pendapatmu?"
"Tentu mereka yang mendapatkan kebebasan dalam
kemanjaan seperti ine. Aku mendengar istilah ini dari seorang
pemimpin kelompok yang pernah bertugas di barak khusus itu.
Anak-anak itu memang terlalu manja. Juga disaat
pembebasaannya" jawab pemimpin pengawal itu.
52 SH. Mintardja Iswari memandangi wajah anak muda itu dengan tajamnya,
sehingga anak-anak muda itupun dengan gelisah telah menunduk
perlahan-lahan. "Anak-anakku" berkata Iswari kemudian perlahan-lahan tetapi
jelas, "sebenarnyalah bahwa yang paling bergembira karena
saudara-saudara kita itu telah kembali. Kitalah yang selama ini
berusaha mencari dan menemukan mereka. Pada satu saat kita
mendapat satu keyakinan bahwa saudara-saudara kita itu benar-
benar telah berada diantara kita. Bukankah kita yang paling
bergembira karenanya" Mereka juga bergembira karena mereka
berhasil dibangunkan dari mimpi-mimpi. buruk. Mereka telah
dilemparkan dari jalan sesat ke jalan yang benar. Dan mereka
pun telah menyesali kesalahan itu. Namun diantara kita
semuanya, maka kita yang menemukan-mereka itulah yang
merasa paling bergembira, sehingga kegembiraan ini adalah
untuk kita scmuanya. Pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak. Namun
kata-kata Iswari itu menyentuh perasaannya, sehingga perlahan-
lahan ia mampu mengendapkannya. Demikian juga kedua orang
kawannya, "Karena para pimpinan pengawal itu tidak menjawab, maka
Iswari pun kemudian berkata, "Apakah kalian dapat mengerti
dan mencerna kata-kataku" Dengan demikian jangan sampai
terjadi, bahwa seorang yang telah berkhianat dan berbuat
kesalahan justru ikut dalam bujana yang meriah dalam
penyesalannya dan pertaubatannya, namun terjadi bahwa
saudaranya yang patuh dan setia selama ini bahkan tidak ikut
dalam kegembiraan itu dan justru berada dalam kemasgulan."
Iswari berhenti sejenak, lalu katanya "Karena itu, marilah kita
bergembira bersama-sama dalam saat yang baik ini. Marilah kita
bersukur bahwa saudara-saudara kita yang sesat itu telah
kembali, Bawalah semua pengawal dan anak. anak muda dalam
kegembiraan. Besok kita telah menjadi semakin tegar dalam kerja
karena saudara-saudara kita telah ikut didalamnya. Namun
bagaimanapun juga, kita memang harus berhati-hati. Mereka
Peristiwa Merah Salju 14 Munculnya Jit Cu Kiong ( Istana Mustika Matahari) Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Kisah Membunuh Naga 38