Pencarian

Suramnya Bayang Bayang 31

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 31


53 SH. Mintardja yang telah menyatakan bertaubat dan kembali itu masih harus
membuktikan ucapannya. Mereka masih belum berhak
memegang kendali pada segala tingkatan. Dan kita yang selama
ini setia dan patuh, harus tetap mengawasi dengan sikap yang
bertanggung jawab." Pemimpin kelompok itu termernung sejenak, namun
kemudian mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Nyai. Aku
mengerti. Kawan-kawanku inipun agaknya mengerti pula."
"Ya, kami mengerti" jawab keduanya hampir berbareng.
"Syukurlah" desis Iswari, "jika demikian, silahkan ikut
bergembira. Semua pengawal yang bertugas dan tidak bertugas.
Bahkan semua orang di Tanah Perdikan ini. Kerja kita masih
panjang." Ketiga pengawal itu pun kemudian minta diri. Ketika mereka
turun ke halaman, mereka melihat Risang berlari-lari dikejar oleh
Gandar. Namun tiba-tiba saja Risang telah terjatuh. Ketika
.pemimpin pengawal itu dengan bergegas mendekatinya Risang
telah bangkit. Wajahnya berkerut. Namun Gandar yang sama
sekali tidak berusaha menolong itu berkata, "He, kataknya telah
meloncat." Risang memandang Gandar sejenak. Namun ia pun kemudian
tertawa sambil berlari lagi.
Namun dalam pada itu ibunyalah yang berkata, "Sudahlah.
Hari mulai gelap." "Tetapi ia masih senang bermain," jawab Gandar.
Iswari tersenyum. Namun kemudian, "Ia harus dibersihkan
lagi. Kaki dan tangannya tentu kotor sekali."
"Itu pertanda anak laki-laki," jawab Gandar pula.
Iswari justru tertawa. Katanya, "Jadi anak laki-laki harus kotor
kaki dan tangannya?"
Gandar pun tertawa pula. Para pengawal yang baru saja keluar
dari ruang dalam itu pun tertawa pula.
54 SH. Mintardja Tetapi Risang agaknya masih berkeberatan. Karena itu, ketika
pemomongnya berusaha mendekatinya, ia justru berlari lagi.
Namun Gandarlah yang kemudian meloncat menangkapnya.
Risang meronta, tetapi ia tidak menangis ketika ibunya berkata,
"Mari. Ikut aku. Tetapi kaki dan tanganmu harus dibersihkan
dahulu. Kita melihat-lihat sekeliling Tanah Perdikan."
Demikianlah, maka para pengawal pun telah minta diri.
Mereka berjanji untuk mengajak kawan-kawannya bergembira
pula malam ini. Memang bukan sewajarnya mereka merasa iri,
karena merekalah yang sebenarnya merasa gembira menerima
saudara-saudaranya kembali.
Sepeninggal para pemimpin pengawal itu, Iswari pun telah
bersiap-siap. Ia ingin melihat-lihat Tanah Perdikan dalam
keseluruhan. Karena itu, maka ia telah mengajak Gandar dan Bibi
untuk bersamanya, berkuda bersama Risang.
"Hati-hatilah," pesan Kiai Badra, "Anak itu nakal sekali. Ia
tidak boleh melonjak-lonjak di atas punggung kuda yang sedang
berjalan." "Ya kakek," jawab Iswari. "Aku akan menjaganya.
"Jangan terlalu malam. Anak itu tidak boleh terlalu banyak
terkena embun malam yang dingin," pesan Nyai Soka pula.
Namun Gandar lah yang menjawab, "Ia harus menjadi anak
yang kuat. Yang tahan panas dan dingin."
Nyai Soka tersenyum, jawabannya, "Untuk itu diperlukan
keadaan yang khusus."
Iswari pun tersenyum pula. Namun kemudian ia pun telah
minta diri untuk pergi melihat-lihat keramaian dibeberapa
padukuhan. Namun hampir semua padukuhan akan menerima
beberapa orang anak mudanya, meskipun ada pula yang hanya
seorang dan bahkan tidak sama sekali.
Di samping tiga ekor kuda yang ditumpangi Iswari bersama
Risang, Bibi dan Gandar masih ada dua lagi pengawal yang pergi
bersama mereka, melintasi bulak-bulak panjang dan pendek,
55 SH. Mintardja mengunjungi padukuhan-padukuhan yang sedang mengadakan
keramaian. Ternyata penerimaan anak-anak muda dengan upacara yang
khusus itu memang memberikan kesan yang mendalam kepada
sebagian besar di antara anak-anak muda itu. Mereka merasa
diterima kembali ke dalam satu lingkungan sanak kadangnya
yang berjiwa besar. Yang melupakan segala permusuhan yang
pernah terjadi. Sehingga dengan demikian, peristiwa itu telah
memberikan tekanan batin kepada mereka untuk benar-benar
menenuhi janji pertaubatannya terhadap kampung halamannya.
Bahkan di dalam hati mereka berkata, "Aku harus menebus
kesalahan yang pernah aku lakukan."
Namun satu dua di antara mereka, memang ada yang berhati
batu. Yang mampu berpura-pura berlaku sebagaimana saudara-
saudaranya. Namun kebencian dan dendam masih tetap menyala
di hati mereka. Sebagaimana dipesan oleh Iswari, maka para pengawal yang
setia dan patuh kepada cita-cita kebesaran Tanah Perdikan itu,
harus mengawasi mereka dengan panuh tanggung jawab.
Namun dalam pada itu ternyata sepasang mata telah sempat
melihat Iswari keluar dari regol padukuhan induk, justru
bersama anak laki-lakinya. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa
ia menyusup di antara tanaman di sawah, menyusuri pematang
menuju ke sebuah tempat yang sepi di tengah-tengah bulak.
"Apa yang kau lihat?" bertanya kawannya.
"Iswari memang pergi keluar dari padukuhan induk," jawab
orang itu. "Aku telah melihatnya."
"Jika demikian, kita cari anaknya di rumahnya. Kita akan
membunuhnya," berkata kawannya itu pula.
"Anak itu dibawanya," jawab orang yang telah melihat Iswari
itu. 56 SH. Mintardja "Dibawa" Maksudmu anak itu menyertainya?" bertanya
kawannya. "Ya. Anak itu menyertainya," jawab orang yang bertemu
dengan Iswari itu. "Gila," geram kawannya. "Kemana orang itu pergi" Berapa
orang pengawal yang bersama?"
"Menurut penglihatanku ada empat orang yang mengawalnya.
Iswari duduk berkuda dipaling depan memangku anaknya itu,"
jawab orang yang melihatnya itu.
"Kita akan mencegatnya," berkata kawannya. "Kita berjumlah
lebih dari lima orang."
"Tetapi kau tahu, Iswari bukan orang kebanyakan," berkata
yang lain. "Ada sepuluh orang yang kita bawa sekarang," berkata orang
yang dianggap tertua di antara mereka. "Kita memang harus
memperhitungkan segala kemungkinan. Tetapi keadaan sekarang
di Tanah Perdikan ini merupakan keadaan yang menguntungkan.
Semua orang sibuk dengan keramaian yang ada di hampir semua
padukuhan. Kita memperhitungkan kelengahan mereka, apalagi
setelah mereka merasa keadaan Tanah Perdikan ini menjadi
wajar kembali sehingga mereka berani melepaskan anak-anak
muda yang mereka tahan dalam barak-barak khusus."
"Ya. Keadaan malam ini agaknya menguntungkan sekali.
Meskipun perhitungan kita keliru, bahwa anak Iswari itu tidak
ditinggal di rumahnya oleh ibunya dan orang-orang yang
mungkin mengawasinya sehari-hari. Tetapi kita justru akan dapat
sekaligus memanfaatkannya. Kita bunuh anak itu bersama ibunya
sekaligus," berkata yang lain di antara kesepuluh orang itu.
Sementara itu orang yang tertua itu menyahut, "Baiklah.
Iswari tentu tidak akan dapat mempergunakan kemampuannya
sepenuhnya. Ia merasa wajib melindungi anaknya yang tidak
akan dapat diserahkannya atau dipercayakannya kepada orang
57 SH. Mintardja lain yang kemampuannya berada dibawah kemampuan Iswari itu
sendiri." Yang lain mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan
orang tertua di antara mereka itu. Namun seorang di antara
mereka bertanya, "Tetapi dimana Iswari itu sekarang?"
"Ia keluar dari padukuhan induk. Ia tentu akan mengunjungi
salah satu padukuhan atau mungkin dari padukuhan yang satu ke
padukuhan yang berikutnya," jawab orang yang telah melihat
Iswari itu. "Jika demikian marilah kita mencoba mencegatnya di bulak
antara padukuhan yang pertama dikunjungi sesuai dengan arah
perjalanannya ke padukuhan disebelahnya."
"Mereka berkuda," berkata orang yang menjumpai Iswari.
"Tetapi mereka tidak akan berjalan terus. Mereka tentu akan
berhenti di padukuhan itu untuk beberapa lama. Mudah-
mudahan kita dapat menyusulnya dan mencegatnya di bulak
berikutnya," jawab yang tertua.
Demikianlah mereka telah bersepakat untuk pergi ke bulan
sebelah. Mereka telah membagi diri dalam dua atau tiga orang,
menyusuri pematang menuju ke bulan di seberang padukuhan
yang pertama. Mereka akan bertemu lagi di sekitar pertengahan
bulak panjang. Kemudian setelah melihat medan, mereka akan
menentukan dimana mereka akan mencegat Iswari dan anaknya.
Dengan tergesa-gesa kesepuluh orang itu menempuh jalan
mereka masing-masing menuju ke bulak di seberang padukuhan
itu. Ternyata suasana di luar padukuhan memang sepi. Pada ujung
malam jalan-jalan sudah tidak lagi dilalui seorang pun. Sawah-
sawah pun tidak dijenguk lagi meskipun air di parit mengalir
deras. Bahkan ada kotak-kotak sawah yang airnya telah
melimpah, sementara disebelah lain, sawahnya masih belum
diairi sama sekali. 58 SH. Mintardja Agaknya orang-orang disetiap padukuhan lebih senang
bergembira bersama keluarga yang sedang menerima anak-
anaknya kembali. Mereka yang tidak berkepentingan ingin
sekadar melihat apa yang akan terjadi di banjar, sementara yang
lain ingin ikut makan-makan beramai-ramai. Sedangkan ada pula
yang terpaksa menunggui rumah karena hampir semua
keluarganya pergi ke banjar.
Memang ada bermacam-macam tanggapan atas peristiwa yang
terjadi di hampir semua banjar itu. Namun pada umumya para
Bekel berhasil memberikan penjelasan kenapa mereka harus
menerima dengan gembira kehadiran kembali anak-anak mereka
yang telah mereka anggap hilang, bahkan mati.
Sementara itu sepuluh orang yang berusaha untuk
menghadang Iswari pun telah berada ditempat yang mereka
tentukan. Menilik keadaan medan, maka mereka telah
menentukan bahwa mereka akan menunggu Iswari di simpang
empat di tengah-tengah bulak itu.
Namun sudah beberapa lama mereka menunggu, ternyata
Iswari masih belum lewat. Dengan sisa kesabaran yang tinggal
selembar seorang di antara mereka berkata, "Perempuan itu tidak
akan melalui jalan ini."
"Kita tunggu sebentar lagi," sahut yang tertua.
"Bukankah perempuan itu mengajak anaknya" Tentu ia akan
segera kembali," berkata yang lain.
"Belum tentu," sahut yang lain lagi. "Kita tunggu sebentar. Jika
perempuan itu ternyata memang tidak lewat, salah seorang di
antara kita akan melihat ke banjar. Apakah Iswari masih disana
atau tidak." "Kenapa harus menunggu," berkata yang lain pula. "Salah
seorang dari kita akan pergi kesana sekarang. Ada atau tidak, kita
akan segera mengetahuinya."
"Baiklah," berkata yang tertua. "Siapakah di antara kalian yang
akan pergi?" 59 SH. Mintardja "Biarkan aku pergi," berkata seorang yang bertubuh kecil,
"Aku akan masuk ke halaman banjar. Tentu banyak orang disana,
sehingga kehadiranku tidak akan menarik perhatian."
"Kau salah," berkata yang tertua. "Disemua banjar ada
keramaian sehingga yang ada di setiap banjar, tentu hanya orang-
orang dari padukuhan itu sendiri. Jika ada orang dari luar
padukuhan memang pantas dicurigai."
"Jadi bagaimana?" bertanya orang bertubuh kecil itu.
"Lihat banjar saja. Tetapi jangan sampai ada orang yang
mengetahuinya," berkata yang tertua.
"Baiklah," desis yang bertubuh kecil itu. "Aku akan pergi."
Namun ternyata orang itu tidak perlu pergi. Sejenak kemudian
mereka telah mendengar derap kaki kuda yang datang.
"Itukah mereka?" bertanya seorang di antara sepuluh orang
itu. "Berpencarlah. Mungkin merekalah yang lewat. Kita harus
serta merta bertindak. Jangan ragu-ragu. yang penting anak itu
harus mati. Yang lain jika mungkin. Jika kita merasa tidak dapat
melakukannya, maka kita akan melarikan diri. Kita sadar, bahwa
segera akan terdengar tanda bahaya dengan isyarat kentongan.
Karena itu, kita harus menempuh cara seperti yang sudah kita
sepakati bersama," pesan orang yang tertua di antara mereka.
Orang-orang itu pun segera berpencar. Mereka berada
disebelah menyebelah jalan bulak, berlindung pada pohon perdu
dan bahkan batang padi di sawah.
Dalam pada itu derap kaki kuda itu semakin lama menjadi
semakin dekat. Dalam keremangan malam, orang-orang itu
melihat beberapa penunggang kuda yang menjadi semakin jelas.
Seorang di antara mereka memang berkuda berdua dengan
seorang anak-anak dipangkuannya.
Kesepuluh orang itu pun segera menjadi pasti. Perempuan
yang berkuda bersama anaknya itu tentu Iswari.
60 SH. Mintardja Karena itu, maka ketika kuda itu menjadi semakin dekat.
Beberapa orang telah berloncatan ke tengah jalan. Dengan
demikian maka kuda-kuda itu pun terkejut, sehingga mereka pun
berhenti dengan tiba-tiba. Kendalipun telah ditarik, sehingga
kuda-kuda itu bagaikan dihentakkan. Beberapa di antara kuda-
kuda itu justru meringkik sambil mengangkat kaki depannya.
Iswari memang tangkas pula berkuda. Ia berhasil menguasai
kuda dengan memutarnya ke arah yang berlawanan. Namun ia


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sadar sepenuhnya bahwa bahaya memang telah datang.
Namun yang berkuda bersamanya adalah diantaranya Gandar
dan Bibi. Itulah sebabnya, maka dalam keadaan yang gawat itu
keduanya cepat mengambil sikap Kedua ekor kuda itu pun cepat
dikuasai. Namun di jalan yang sempit dan malam hari, sulit bagi
keduanya untuk bertempur di atas punggung kuda melawan
orang dalam jumlah yang lebih banyak. Karena itu, maka mereka
pun telah dengan cepat-cepat meloncat turun.
Orang-orang yang menghentikan iring-iringan itu pun telah
bertindak cepat pula. Tujuan mereka yang utama adalah anak
dipangkuan Iswari, sehingga karena itu, maka beberapa orang di
antara mereka telah siap untuk meloncat menyerang.
Namun gerak Gandar dan Bibi ternyata lebih cepat dari
mereka. Tiba-tiba saja kedua orang itu telah menyerang dengan
dahsyatnya, sehingga orang-orang yang sudah siap menerkam
Risang itu pun harus berloncat surut.
Namun pada saat yang demikian beberapa orang lagi telah
siap untuk meloncat menyerang dari kedua sisi jalan, sementara
Gandar dan Bibi mendesak kawan-kawannya mundur.
Untunglah bahwa para pengawal itu pun dapat bertindak
cepat pula. Mereka pun telah berloncatan dari kuda mereka pula.
Dengan pedang ditangan, mereka pun telah mencegah orang-
orang yang siap menyerang Risang.
Dalam keadaan yang demikian, maka Iswari pun sempat
meloncat turun pula. Kemudian memeluk Risang pada bahu
kirinya, sementara tangan kanannya telah siap menghadapi
61 SH. Mintardja segala kemungkinan. Bahkan untuk melindungi Risang, Iswari
sama sekali tidak berusaha untuk menahan diri lagi.
Sebenarnyalah bahwa kemampuan Iswari bukan saja terbatas
dalam olah kanuragan. Ia sudah merambat kepadai ilmu yang
rumit, yang berhasil disadapnya dari neneknya, Nyai Soka.
Sehingga dengan demikian, maka Iswari benar-benar merupakan
seorang perempuan yang pilih tanding.
Dengan Risang didukungan, Iswari memang menjadi sangat
garang. Sebagai seekor induk ayam yang sama sekai tidak gentar
menghadapi elang yang paling ganas sekalipun.
Untuk sesaat, perkelahian terjadi dengan sengitnya. Namun
seorang di antara mereka berhasil menyusup pertahanan salah
seorang pengawal dari sisi kiri. Dengan tangkasnya ia meloncat
sambil menjulurkan pedangnya ke arah lambung Risang di dalam
pelukan tangan kiri ibunya.
Namun ternyata bahwa Iswari sempat bergeser kesamping
sesaat sebelum ujung pedang itu menyentuh Risang. Dengan
demikian maka orang yang menyerangnya itu justru hampir saja
melanggarnya. Dengan susah payah orang itu berusaha menahan
tubuhnya dan bergeser menjauh. Namun tiba-tiba terasa telapak
tangan Iswari mengenai pundaknya.
Hampir di luar sadarnya orang itu berteriak mengaduh
kesakitan. Tubuhnya terlempar selangkah, namun kemudian ia
pun telah berguling-guling masuk ke dalam parit. Namun air
parit itu tidak menolongnya. Pundaknya itu masih saja bagaikan
terbakar. Bekas sentuhan tangan Iswari membuat kulitnya
terkelupas seperti terkena bara api.
Karena itu, maka ia pun justru melenting keluar dari parit.
Meskipun badannya dan pakaiannya menjadi basah kuyup, tetapi
pundaknya rasa-rasanya masih tetap bagaikan disentuh bara.
Untuk beberapa saat orang itu kebingungan sendiri. Sampai
berteriak-teriak kesakitan. ia tidak tahu lagi dimana pedangnya
terjatuh. 62 SH. Mintardja Sementara itu, Gandar, Bibi dan dua orang pengawal yang lain
pun telah bertempur dengan garangnya. Lawannya yang telah
berkurang seorang itu pun berusaha untuk dapat menembus
pertahanan para pengawal dan menyerang Risang yang berada di
dalam pelukan ibunya. Namun Gandar dan bibi memang terlalu garang bagi lawan-
lawannya. Gandar tidak bertempur sebagaimana ia bertempur
melawan anak muda yang akan diambil dari rumahnya, karena
ayahnya telah melaporkannya. Tetapi ia benar-benar bertempur
untuk menghancurkan lawannya justru karena di antara mereka
terdapat Risang. Bibi pun telah bertempur dengan keras pula. Ketika lawan-
lawannya telah menarik senjata mereka masing-masing, maka
Bibi pun telah mempergunakan senjatanya. Ia mampu
mempergunakan apa saja yang dapat dipegangnya. Karena itu, ia
pun mampu bertempur melawan senjata-senjata yang kuat dan
tajam dengan mempergunakan selendangnya. Namun yang pada
ujung selendangnya disebelah menyebelah terdapat juntai
untaian biji baja. Dengan selendang itu, Bibi telah bertempur
dengan keras pula. Dalam pada itu, kedua pengawal yang harus bertempur
masing-masing melawan dua orang yang keras dan kasar itu pun
menjadi agak terdesak, sehingga pertahanannya pun seakan-akan
telah membuka ke samping. Kesempatan itu telah dipergunakan
oleh seorang di antara mereka untuk dengan serta merta
menyerang Risang sebagaimana pernah dilakukan oleh seorang
yang terdahulu. Namun ternyata nasibnya tidak berbeda pula. Orang itu tidak
menyerang dengan menjulurkan pedangnya menusuk kearah
Risang. Tetapi pedang itu menebas mendatar setinggi punggung
Risang. Iswari dengan tangkas meloncat surut. Namun tiba-tiba saja
kakinya telah menghantam pergelangan tangan lawannya,
sehingga rasa-rasanya tulang dipergelangannya itu telah patah
63 SH. Mintardja dan sendinya telah terlepas. Demikian pula pedangnya pun telah
meloncat pula dari tangannya. Bahkan sebelum ia memperbaiki
keadaannya, maka Iswari yang mendukung Risang itupun sempat
meloncat mendekatinya. Ketika telapak tangan Iswari itu
menghantam dada orang itu, maka rasa-rasanya dadanya telah
dihantam oleh pecahan batu yang terlontar dari mulut gunung
berapi yang sedang meletus. Demikian kerasnya menghentak
dadanya dan sentuhan itu pun rasanya telah membakar tubuhnya
pula. Orang itu telah terlempar beberapa langkah. Ia jatuh
terlentang. Namun ia tidak mampu bangkit lagi karena isi
dadanya bagaikan telah menjadi hangus. Bahkan beberapa saat
kemudian ia pun tidak lagi menyadari sesuatu lagi, karena ia pun
menjadi pingsan. Disebelah lain, Gandar tidak menahan diri lagi menghadapi
orang-orang yang dengan licik menyerang. Apalagi Gandar
menjadi pasti, bahwa orang-orang itu telah mendapat perintah
dari Warsi, sehingga dengan demikian, maka ia pun telah
berusaha secepat mungkin menyelesaikan pertempuran.
Gandar yang tidak mempergunakan senjata apapun itu, telah
sempat menarik tonggak di pinggir jalan. Tonggak itu memang
tidak lebih dari tonggak bambu. Namun tonggak bambu itu
ternyata ujungnya, yang tertanam ditanah telah diruncingkan.
Ternyata tonggak bambu itu menjadi senjata yang sangat
dahsyat di tangan Gandar. Ketika seorang lawannya
menyerangnya, Gandar berhasil mengelak diri kesamping.
Sementara itu lawannya yang lain dengan cepat memburunya.
Pedangnya terjulur lurus mengarah ke dada Gandar. Gandar yang
baru saja menginjakkan kakinya tidak sempat meloncat lagi.
Justru karena itu, maka ia pun telah merendahkan tubuhnya
sambil menjulurkan tongkat bambunya yang runcing di ujungnya
itu. Akibatnya memang mengerikan sekali. Ujung pedang
lawannya memang tidak menyentuh tubuhnya, tetapi justru
64 SH. Mintardja ujung bambunya yang runcing itulah yang menembus dada
lawannya. Yang berteriak justru Iswari sambil mendukung Risang,
"Gandar. Apa yang kau lakukan?"
Gandar memang juga terkejut, sehingga senjata itu telah
dilepaskannya. Orang yang dikenai senjata Gandar itu memang tidak sempat
mengeluh. Ia pun kemudian terkapar jatuh ditanah. Mati.
Ternyata bukan hanya Gandar yang telah membunuh
lawannya. Bibi pun telah membunuh seorang lawan pula dengan
selendangnya. Ketika juntai selendangnya mengenai dada
lawannya, rasa-rasanya dada itu telah terhimpit dua buah gunung
anakan, sehingga tidak seutas nafas pun yang sempat lagi melalui
kerongkongannya. Pertempuran itu benar-benar telah menggetarkan jantung
orang-orang yang berniat untuk membunuh Risang itu. Beberapa
di antara mereka telah terbaring mati. Karena itu, mereka merasa
tidak mungkin dapat melaksanakan rencana mereka untuk
membunuh Risang, apalagi bersama ibunya dan para
pengawalnya. Dengan demikian maka tidak ada kemungkinan lain bagi
mereka selain melarikan diri.
Demikianlah, maka orang tertua di antara mereka pun telah
memberikan isyarat, sehingga orang-orang yang telah menyerang
iring-iringan itu pun bersiap untuk meninggalkan medan.
Sementara itu orang yang terluka pundaknya yang bagaikan
menjadi gila telah berteriak, "Tunggu, jangan tinggalkan aku."
Seorang kawannya yang justru menjadi jengkel tidak
memberinya kesempatan lagi. Tiba-tiba saja justru pedang
kawannya itu telah menusuk lambungnya, sehingga orang itu pun
telah terdiam. Gandar yang melihat hal itu menjadi sangat marah. Karena
itu maka ketika orang yang telah membunuh kawannya itu
65 SH. Mintardja dengan pedang sempat berlari meninggalkan arena, Gandar telah
meloncat menerkamnya dan sebuah ayunan tangan yang keras
sekali telah memukul tengkuk orang itu.
Ternyata Gandar tidak perlu mengulangi pukulan itu. Tulang
leher orang itu sudah dipatahkannya, sehingga karena itu, maka
ia pun segera jatuh tertelungkup. Mati.
Gandar dan Bibi tidak mengejar orang-orang yang melarikan
diri, karena mereka tidak yakin bahwa sudah tidak ada bahaya
yang lain yang lebih besar mengancam Risang. Mungkin orang-
orang itu sekadar memancingnya dan kemudian datang orang
yang lebih berbahaya lagi dari lingkungan mereka. Bahkan
mungkin Warsi sendiri atau Ki Rangga Gupita atau justru Ki
Randukeling. Kedua pengawal itu pun tidak melakukannya pula. Mereka
pun bersiap menghadapi kemungkinan yang masih mungkin
terjadi. Demikian pula Iswari. Ia tidak segera beranjak dari
tempatnya. Dipeluknya Risang erat-erat di dadanya. Apapun yang
terjadi Risang tidak akan dapat berpisah dari padanya.
Sementara itu, Risang sendiri menjadi gemetar. Ia tidak tahu
apa yang terjadi. Namun anak itu ternyata tidak menangis.
Namun setelah kemudian ibunya memutarnya dan menciumnya
dengan haru, anak itu justru menangis.
"O, jangan menangis anak manis," Bibinyalah yang berlari-
lari mendekat. Sementara itu dari tempatnya Gandar berkata,
"Laki-laki tidak boleh menangis."
Namun Iswari berkata, "Biarlah ia menangis. Anak-anak
memang harus menangis. Ia tidak boleh menahan menangis
sebagaimana jika ia nanti menjadi besar. Baru kemudian kita
mengajarkannya kepadanya, sebaiknya ia tidak menangis hanya
karena cengeng. Tetapi dalam keadaan yang khusus, menangis
kadang-kadang ada gunanya."
66 SH. Mintardja Gandar mengerutkan keningnya. Baginya hanya ada satu
anggapan, bahwa laki-laki tidak boleh menangis. Tetapi Risang
adalah anak laki-laki yang masih kanak-kanak, sehingga karena
itu ia tidak berkeberatan Risang menangis. Bahkan tangisnya
terdengar keras sekali. Lepas tanpa ditahan-tahan.
Baru sejenak kemudian ibunya mulai menenangkan dengan
kata-kata lembut dan manis.
Sedikit demi sedikit Risang menjadi tenang. Sementara para
pengawal telah mengumpulkan kuda-kuda mereka.
"Marilah," berkata Gandar kemudian, "Kita melanjutkan
perjalanan. Iswari menarik nafas dalam-dalam. Seorang di antara orang-
orang yang mencegatnya itu telah dibunuhnya langsung. Karena
yang pingsan itu pun kemudian telah meninggal pula. Namun
kemudian katanya,"Lalu bagaimana dengan mayat-mayat itu?"
"Kita akan menyerahkannya kepada orang-orang di
padukuhan sebelah," berkata Gandar.
Iswari menjadi ragu-ragu. Namun suasana hatinya sudah
tidak tenang lagi jika ia harus mengunjungi banjar padukuhan
berikutnya. Terutama karena Risang nampaknya masih selalu
berdebar-debar. Namun dalam pada itu Gandar yang melihat keragu-raguan
Iswari pun berkata, "Satu pengalaman pertama bagi Risang
menyaksikan kekerasan dunia kanuragan."
"Dadanya sangat berdebar-debar," berkata Iswari. "Sebaiknya
kita kembali saja. Mudah-mudahan upacara penerimaan di
banjar-banjar padukuhan itu berjalan lancar."
Gandar mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika kau
menghendaki, kita akan kembali."
"Tetapi tidak melalui padukuhan sebelah yang tadi kita
kunjungi agar tidak menarik perhatian orang-orang padukuhan
itu, bahwa kita cepat kembali," berkata Iswari.
67 SH. Mintardja "Tetapi untuk mengubur orang-orang ini?" bertanya Gandar.
"Kau sajalah nanti pergi ke Ki Bekel, setelah upacara kira-kira
selesai. Aku kira tidak akan ada binatang buas yang sampai
ketempat ini," berkata Iswari.
Gandar tidak membantah. Namun bersama para pengawal
mereka menyingkirkan mayat-mayat yang berserakan itu dan
meletakkannya di atas tanggul diseberang parit.
Sejenak kemudian maka iring-iringan orang berkuda itu pun
telah berputar kembali ke padukuhan induk. Namun mereka
tidak menempuh jalan semula. Mereka tidak melintasi
padukuhan yang telah mereka kunjungi agar tidak menimbulkan
kegelisahan di padukuhan itu selama upacara penerimaan itu


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih berlangsung. Ketika kemudian mereka sampai di rumah Nyai Wiradana
dan naik ke pendapa, maka nampaklah bahwa ada beberapa
percik noda darah pada tubuh Gandar.
"Bersihkan dirimu," berkata Iswari.
Gandar mengangguk. Ia pun segera berganti pakaian dan
sekaligus mencucinya agar noda darah itu tidak telanjur
mengering dan tidak larut lagi ke dalam air lerak.
Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka yang mendapat
pemberitahuan itu pun menjadi berdebar-debar. Setelah sekian
lama tidak terjadi sesuatu, maka api yang memang tersimpan di
dalam sekam itu nampaknya mulai membakar.
"Besok kita mengadakan pertemuan," berkata Iswari. "Jika
yang menjadi sasaran adalah anakku, itu sekadar lambang dari
Tanah Perdikan ini dalam keseluruhan. Kita tidak boleh
terlambat menanggapi persoalan ini."
"Aku sependapat," berkata Kiai Badra. "Semua orang yang
memegang kendali pimpinan di segala tingkatan harus mendapat
penjelasan." 68 SH. Mintardja Demikianlah malam itu Gandar mempunyai tugas menemui
Ki Bekel. Ia bersama kedua orang pengwal yang bersamanya
menghadapi kesepuluh orang yang telah menyerangnya itu telah
pergi ke padukuhan sebelah. Agaknya upacara memang sudah
selesai ketika Gandar memasuki banjar. Tetapi karena Ki Bekel
juga sudah pulang maka Gandar harus menyusul ke rumahnya.
Para pengawal yang tidak bertugas di malam itu telah ikut
dibangunkan pula untuk membantu kawan-kawannya
menyelenggarakan dan merawat mayat-mayat yang ada di bulak.
Bagaimanapun juga peristiwa itu telah menggemparkan anak-
anak muda bukan saja dari padukuhan itu, tetapi berita tentang
peristiwa yang teradi di tengah bulak itu pun segera tersebar
diseluruh Tanah Perdikan.
Di hari berikutnya, Iswari memang telah mengundang para
pemimpin pengawal bukan saja dari Tanah Perdikan Sembojan,
tetapi juga anak-anak muda di Kademangan di sekitarnya. Iswari
juga mengundang Sambi Wulung dan Jati Wulung yang ternyata
lebih banyak tinggal di padukuhan-padukuhan di lingkungan
kademangan tetangga. Atas persetujuan Iswari ia memimpin
anak-anak muda itu untuk berlatih dalam olah kanuragan,
sehingga para pengawal Kademangan disekitar Tanah Perdikan
Sembojan pun telah jauh meningkat. Bagi Tanah Perdikan
Sembojan hal itu menguntungkan sekali, karena hubunganna
dengan kademangan-kademangan itu telah dibina semakin baik.
Dalam pada itu, jauh dari Tanah Perdikan Sembojan
sekelompok kecil orang yang dalam keadaan letih memasuki
sebuah hutan kecil. Di dalam hutan itu terdapat salah satu sarang
dari para pengikut Warsi dan Ki Rangga Gupita.
Kedatangan mereka telah disambut dengan perasaan gelisah
oleh para penghuninya. Dan ternyata Warsi dan Ki Rangga
Gupita pada saat-saat itu berada pula di sarang yang tersembunyi
di hutan kecil itu. 69 SH. Mintardja Menilik sikap, pandangan mata dan ungkapan wajah mereka,
maka Warsi sudah menduga, apa yang telah terjadi. Apalagi
jumlah mereka sudah jauh susut daripada saat mereka berangkat.
Ketika orang-orang yang tersisa itu kemudian menghadap
Warsi dan Ki Rangga Gupita, maka mereka pun telah
menceritakan apa yang terjadi.
Warsi menghentakkan kakinya sementara Ki Rangga Gupita
menggeram. Kegagalan itu telah membuat jantung mereka
berdegup semakin cepat. "Kami mempercayakan pekerjaan ini kepada kalian yang
kami anggap memiliki pengalaman dan kemampuan terbaik di
antara kawan-kawan kalian," suara Ki Rangga gemetar menahan
gejolak perasaannya. Orang-orang yang tersisa itu hanya dapat menundukkan
kepalanya saja. Untuk beberapa saat mereka berdiam diri.
Membantah atau memberikan penjelasan tanpa diminta justru
akan berakibat gawat. "Kenapa kebodohan itu dapat terjadi he?" Ki Rangga tiba-tiba
membentak. Orang tertua di antara mereka itu pun masih merasa ragu.
Namun kemudian ia terpaksa juga berbicara, "Perhitungan kami
ternyata salah. Kami memperhitungkan bahwa Nyai Wiradana
dan orang-orang yang dianggap pemimpin di Tanah Perdikan itu
meninggalkan rumah mereka mengunjungi keramaian di
padukuhan-padukuhan. Namun ternyata anak itu justru dibawa
oleh ibunya." Ki Rangga Gupita memandang orang itu dengan mata yang
bagaikan menyala. Namun kemudian ia pun menyadari, bahwa
tiga orang yang berada di perjalanan diikuti oleh dua orang
pengawal itu mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Bahkan Ki
Rangga Gupita bersama dua orang lainnya yang memiliki ilmu
setingkat pun akan dapat pula mengalahkan sepuluh orangnya
itu. 70 SH. Mintardja Dalam pada itu, Warsi yang sangat kecewa berkata lantang,
"Lain kali aku sendiri yang akan pergi."
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya kepada
Warsi, "Kita perlu bertemu dengan Ki Randukeling. Besok atau
besok lusa. Kita memerlukan pertimbangannya."
"Ki Randukeling tiba-tiba saja menjadi acuh tidak acuh. Pada
hal kakeklah yang dahulu menekankan kepada kami untuk
berhubungan dengan Jipang," sahut Warsi.
"Bukan acuh tak acuh. Tetapi Ki Randukeling tentu
mempunyai perhitungan yang sedang dipersiapkan sebaik-
baiknya. Ia memang bukan sebagaimana kita ambil keputusan
meskipun bagi kita rasa-rasanya orang-orang tua itu menjadi
sangat lamban," jawab Ki Rangga Gupita.
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 27. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
Jilid Ke dua puluh tujuh Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di,
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
71 SH. Mintardja ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seluruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 72 SH. Mintardja 73 SH. Mintardja "JIKA DEMIKIAN, apa perlunya kita berhubungan
dengan kakek tua yang lamban itu?" bertanya Warsi.
"Nampaknya kakek tua itu kecewa kematian cucunya yang
disayangi." "Siapa?" bertanya Ki Rangga Gupita.
"Wiradana," jawab Warsi.
"Bah," Ki Rangga Gupita memalingkan wajahnya.
"Bukankah kau juga menjadi muak?" bertanya Warsi pula.
Ki Rangga tidak segera menjawab. Namun kemudian katanya,
"Kita akan memikirkannya kemudian. Namun kegagalan ini tentu
akan sempat membuat Tanah Perdikan itu berjaga-jaga. Kita
harus menunggu kesempatan yang lain yang tidak akan datang
setiap pekan, bahkan beberapa bulan mendatang."
Warsi mengerutkan keningnya. Namun ia pun telah
menyahut, "Kita akan menunggu kesempatan itu sampai
kapanpun. Kita tidak boleh menjadi jemu dan berputus asa."
"Ya. Kita tidak akan menjadi jemu dan berputus asa," lalu Ki
Rangga Gupita itu pun berkata kepada orang-orang yang gagal,
"Jadikan pengalamanmu itu petunjuk bagi tugas-tugasmu masa
datang. Tugas-tugas kita menjadi semakin berat. Tetapi ia adalah
akibat beban yang kita pikulkan ke atas pundak kita sendiri. Di
atas Bumi Demak ini harus ada perubahan. Jika Karebet itu yang
menjadi raja, kenapa bukan salah seorang di antara kita, yang
sama-sama dilahirkan di antara banyak orang. Sementara itu
masih banyak orang yang lebih pantas untuk memegang kendali
pemerintahan. Memang perjuangan ini adalah perjuangan yang
sangat berat. Kita harus mengerahkan semua kekuatan yang ada
dan sejalan dengan keyakinan kita, darimanapun kita berasal."
Orang-orang itu mengangguk-angguk. Namun tidak seorang
pun yang menjawab. 74 SH. Mintardja "Nah," berkata Ki Rangga. "Sekarang beristirahatlah kalian.
Tugas kalian masih banyak. Jangan terpancang kepada kegagalan
ini agar tugas-tugas kalian berikutnya tidak dibayangi oleh
kesuraman itu." Orang-Orang itu pun segera meninggalkan ruangan itu.
Demikian mereka memasuki sebuah barak yang panjang, maka
mereka pun langsung merebahkan diri di atas sebuah amben
yang besar. Kengerian masih terbayang di wajah-wajah itu. Mereka masih
membayangkan bagaimana orang-orang Tanah Perdikan
Sembojan itu mampu melawan mereka dengan senjata-senjata
apa saja. Bahkan tangan perempuan yang menggendong anaknya
itu telah mampu membuat dua orang di antara mereka
kehilangan kesempatan untuk melawan, meskipun yang seorang
telah mereka bunuh sendiri.
Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Sembojan telah di dapat
kata sepakat untuk meningkatkan kewaspadaan. Yang terjadi itu
adalah langkah permulaan. Tentu akan disusul dengan langkah-
langkah berikutnya yang tentu akan menjadi lebih keras dan
barangkali lebih kasar. Namun para Bekel pun sepakat, bahwa mereka tidak perlu
membuat Tanah Perdikan itu menjadi gelisah. Yang perlu
mendapat cambuk untuk lebih banyak berbuat adalah para
pengawal saja. Para pengawal yang semakin lama menjadi
semakin mapan. Namun para pengawal itu tidak terpisah dari
anak-anak mudanya, karena mereka memang berasal dari
lingkungan anak-anak muda itu pula.
Karena itu dimalam hari, bukan hanya para pengawal saja
yang bertugas. Tetapi gardu-gardu pun dipanuhi oleh anak-anak
muda yang memang mempunyai kebiasaan bermain di gardu-
gardu. Berkelakar dan bergurau dengan kawan kawan. Bermain
macanan atau bas-basan. Bahkan binten dan geresan.
75 SH. Mintardja Namun dalam pada itu, Iswari menjadi semakin berhati-hati dengan Risang. Ia
sadar, bahwa Risang adalah
sasaran utama dari setiap usaha
untuk memutuskan aliran hak
atas Tanah Perdikan ini. Tanpa
Risang maka darah Ki Wiradana akan mengalir di
dalam tubuh anaknya yang lahir dari ibu yang lain, yang
tentu akan menuntut hak yang
sama pula sebagaimana Risang.
Meskipun para perwira Pajang
setiap kali mengatakan, bahwa
Pajang berhak untuk mencegahnya, namun kebimbangan masih tetap ada
di hati Iswari. Bahkan seandainya Pajang berhak mencegah anak
Warsi mewarisi kedudukan ayahnya, namun sudah barang tentu
bahwa Iswari tidak akan merelakan anaknya menjadi korban.
Karena itu, maka Risang dibawah asuhan pemomongnya,
tidak pernah terpisah dari Gandar atau Bibi selain Iswari sendiri.
Dimanapun anak itu berada, maka ia selalu dibawah pengawasan
Gandar, atau jika Gandar sedang sibuk, maka Bibi lah yang
bermain bersamanya. Dalam pada itu, Tanah Perdikan yang menjadi semakin
tenang telah berkembang semakin baik. Anak-anak muda yang
pernah mengambil langkah yang salah pun telah menemukan
kembali jalan mereka sebagai anak Tanah Perikan Sembojan. Apa
yang pernah terjadi, bagi mereka tinggallah satu kenangan
bahkan bagaikan satu mimpi yang buruk di dalam tidur yang
gelisah. 76 SH. Mintardja Tatanan-tatanan yang wajar mulai berlaku lagi di Tanah
Perdikan. Pembagian pekerjaan di antara para bebahu dan para
pengawal menjadi semakin jelas.
Dalam keadaan yang semakin baik, maka perlahan-tahan
pasukan Pajang pun telah ditarik kembali. Para perwira dan
sekelompok kecil prajurit yang ditinggalkan, bertugas bukan saja


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membantu mempertahankan ketenangan dan keadaan yang
semakin mantap, namun mereka juga membantu memberikan
latihan-latihan kepada anak-anak muda Tanah Perdikan
Seanbojan dan sekitarnya.
Sementaram itu, keadaan pemerintahan yang telah berpindah
di, Pajang pun menjadi semakin tenang pula. Gejolak-gejolak
kecil memang masih terjadi d beberapa tempat. Tetapi
Hadiwijaya yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya telah
mampu menata kembali susunan pemerintahan di bekas
Kerajaan Demak. Ia telah menempatkan para Adipati di tempat
yang tepat dan sesuai dengan paugeran yang berlaku.
Dengan demikian maka Pajang pun telah berangsur menjadi
tumbuh dan berkembang, menyusul kebesaran Demak yang telah
runtuh karena benturan diantara keluarga sendiri.
Namun Pajang masih belum dapat membersihkan sisa-sisa
para prajurit Jipang yang tersebar dalam kelompok-kelompok
kecil. Mereka masih merupakan duri didalam tubuh Pajang.
Bahkan sekali-sekali kelompok-kelompok kecil itu berhasil
membuat hubungan antara mereka untuk menyusup langkah-
langkah yang meskipun tidak akan mampu mengguncang Pajang,
tetapi setidak-tidaknya mereka dapatt menggelitik Sultan
Hadiwijaya dan melepaskan dendam mereka meskipun pada
sasaran yang tidak seharusnya. Tetapi kelompok-kelompok kecil
itu mendapat kepuasan meskipun hanya untuk sesaat.
Namun disaat berikutnya, pasukan Pajang yang kuat telah
datang memburu mereka, mendesak mereka sampai ke tengah
hutan dan bahkan memperlakukan mereka tidak lebih dari
gerombolan-gerombolan perampok dan penyamun.
77 SH. Mintardja Tetapi di sudut lain yang
terpencil dari keramaian,
sebuah padepokan ternyata
dapat berkembang dengan baik.
Beberapa orang cantrik yang
rajin dan ramah, telah tinggal di
padepokan itu pula. Setiap kali,
para cantrik telah berhubungan
dengan orang-orang padukuhan. Mereka memberikan hasil kebun mereka kepada orang-orang
yang membutuhkan. Para cantrik itu membiarkan, bahkan
mempersilahkan orang-orang
padukuhan memetik hasil pategalan yang mereka garap.
Di pategalan itu ditanam batang-batang pepohonan yang berarti
bagi kehidupan sehari-hari. Para cantrikk telah menanam pohon
melinjo, batang-batang kelapa yang memang sudah ada sejak
tempat itu menjadi salah satu sarang gerombolan Kalamerta.
Pohon buah-buahan, dan pohon pisang yang bertebaran dalam
rumpun-rumpun yang subur.
Bahkan para cantrik itu telah menanam pohon yang
meaghasilkan sayur-sayuran. Pohon waluh, kates, tiga batang
pohon keluwih yang tumbuh menjadi besar, batang kacang
panjang yang merambat pada lanjarannya dan di kolam batang
kangkung hidup dengan subumya, sementara itu beberapa jenis
ikan telah dipelihara pula dikolam itu, sehingga orang-orang
padukuhan dapat ikut memancingnya jika mereka memerlukan.
Dengan demikian maka Ki dan Nyi Prcmati merupakan orang
yang paling baik yang dikenal oleh orang-orang padukuhan yang
berada di sekitar padepokan itu, justru pada jarak yang tidak
tirlalu dekat. Namun kebaikan hati Ki dan Nyi Premati rasa-rasanya tidak akan pernah dapat mereka lupakan.
78 SH. Mintardja Sebenarnyalah, dibalik tingkah laku Ki dan Nyi Premati yang
sangat dipuji oleh orang-orang padukuhan itu, tersembunyi niat
yang sangat keji. Mereka telah merencanakan untuk menjebak
orang-on"ang padukuhan itu. Bagaimanapun juga, anak-anak
muda dari beberapa padukuhan itu akan dapat memperkuat
kedudukannya. Tanpa memberikan kesan buruk, mereka akan
dapat menghisap anak-anak muda dari beberapa padukuhan
untuk masuk kedalam padepokan itu. Mereka akan ditempa
untuk menjadi prajurit pang memiliki kemampuan yang tinggi.
Kemudian mereka akan dilemparkan ke sarang-sarang Kalamerta
yang mempunyai, nafas yang berbeda serta memaksa mereka
menyesuaikan diri deagan kehidupan yang sebenarnya.
Namun Kiai dan Nyi Premati memang sudah
memperhitungkan langkah-langkah dalam waktu yang panjang.
Karena Warsi sudah bertekad, sampai kapan pun ia akan tetap
berusaha untuk menempatkan anaknya pada kedudukan
ayahnya, Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Sementara itu anak laki-laki yang dilahirkan oleh Warsi itu
pun tumbuh juga sebagaimana anak Iswari. Semakin lama
semakin besar. Namun dalam suasana yang berbeda.
Meskipun anak laki-laki Warsi yang dipanggil Puguh itu
tinggal pula di dalam sebuah padepokan yang bersuasana tenang
dan damai, namun ia sendiri mengalami perlakuan yang berbeda.
Hanya di hadapan orang lain sajalah Warsi menunjukkan sikap
manis kepada anaknya. Tetapi di padepokan, dan dalam
kehidupan sehari-hari, Warsi adalah seorang ibu yang keras.
Kekecewaan, penyesalan dan dendam yang tertimbun di dalam
dirinya, kadang-kadang tertumpah kepada anaknya yang tidak
bersalah sama sekali. Namun di samping perlakuan yang kasar dan keras, Warsi
juga memaksa anaknya untuk memasuki masa-masa persiapan
untuk menyadap kemampuan dalam olah kanuragan. Anaknya
harus menjadi seorang yang keras hati namun juga memiliki
bekal kemampuan yang tinggi.
79 SH. Mintardja Karena itu, sejak masih kanak-kanak Puguh sudah
dipersiapkannya. Diajarinya Puguh berlari-lari disetiap pagi sejak ia mampu
berjalan. Bahkan kadang-kadang diseretnya dengan kasar dan
umpatan-umpatan kotor apabila anak itu cepat menjadi letih.
Warsi tidak peduli mendengar tangisnya yang kadang-kadang
meninggi. "Anak malas," geram Warsi setiap kali. "Kedunguan ayahnya
agaknya menurun pada anak ini."
Ki Rangga Gupita sama sekali tidak menghiraukan anak itu.
Bahkan ia menjadi muak dan ingin rasanya untuk melempar anak
itu ke dalam hutan. "Biar saja anak itu diterkam binatang buas atau anjing-anjing
liar," geramnya. Tetapi nampaknya Warsi masih tetap ingin memeliharanya
dengan caranya. Dengan demikian maka Puguh tumbuh dalam suasana yang
menekan. Pemomongnya pun sama sekali tidak mempunyai kasih
sayang kepadanya, justru karena sikap Warsi sendiri. Seisi
padepokan pun membayangkan wajah anak itu sebagaimana
wajah Ki Wiradana yang mereka anggap sebagai seorang
pemimpin yang gagal, yang tidak memberikan arti apa-apa di
dalam hidupnya selain memberikan anak itu.
Karena itu, maka tidak seorang pun di antara penghuni
padepokan yang nampaknya sebagai orang-orang yang ramah
dan baik hati untuk memperhatikan perkembangan dan
pertumbuhan Puguh dengan baik, dalam arti yang baik pula.
Namun ibunya sama sekali tidak menghiraukannya.
Meskipun Warsi tahu tidak seorang pun yang tertarik kepada
anak laki-lakinya, bahkan hampir semua orang menjadi muak
melihatnya, ia sama sekali tidak berkeberatan.
80 SH. Mintardja Yang dilakukan oleh Warsi atas anaknya itu adalah
mempersiapkannya dengan keras dan kasar. Dipanggilnya orang
yang pernah diakunya sebagai bapaknya ketika ia menjadi
seorang penari yang berkeliling di Tanah Perdikan Sembojan.
Orang yang menjadi pengendangnya itu. Diserahinya orang itu
untuk membentuk kemampuan dasar pada anak laki-lakinya
yang terlampau kecil itu.
"Anak itu masih sangat
kecil," berkata pengendangnya
itu. "Jadi menurut kau, anak itu
dibiarkan dahulu sampai tua.
Baru ia harus menekuni olah
kanuragan," bentak Warsi.
"Bukan begitu. Tetapi
biarlah ia tumbuh dahulu dengan wajar sampai saatnya ia
dapat disebut anak-anak. Bukan lagi bayi," jawab laki-laki
yang pernah disebut ayahnya
itu. "Ia sudah pandai berlari-
lari," suara Warsi meninggi. "Sejak seumurnyalah ia harus mulai
dibentuk untuk menjadi seorang yang memiliki kemampuan dan
ilmu yang tinggi. Kau sadari kelemahanmu di antara orang-orang
berilmu" Nah, itu karena keterlambatanmu mulai menyadap ilmu
kanuragan itu. Apalagi dalam perkembangannya kau adalah
seorang pemalas. Karena itu apa yang kau capai sama sekali tidak
berarti." Orang itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Sementara Warsi berkata selanjutnya, "Anak ini tidak boleh
mewarisi kedunguan ayahnya. Tidak pula mewarisi kelemahan
dan kemalasannya. Karena itu, sejak kanak-kanak kau harus
memimpinnya dengan baik. Kau harus memberikan pengetahuan
81 SH. Mintardja dasar olah kanuragan. Biarlah nanti akulah yang melanjutkannya
jika datang saatnya."
Orang yang pernah diaku sebagai ayah Warsi itu
mengangguk-angguk. Ia memang tidak akan dapat membantah.
Karena itu maka katanya, "Baiklah. Aku akan mencobanya.
Namun dalam beberapa hari ini biarlah aku memperkenalkan diri
kepada anak itu." "Kenalilah anak itu sebaik-baikmya." berkata Warsi, "ingat,
kau tidak boleh gagal. Kaulah yang akan meletakkan pengetahuan
dasar pada anak itu, yang akan menjadi alas perkembangannya
kemudian. Segalanya akan tergantung kepada alas itu. Jika alas
itu goyah, maka betapapun juga aku menjejalinya dengan segala
macam ilmu, maka ilmu itu pun akan tetap goyah pula. Karena
itu maka tanggung jawabmu atas anak itu cukup berat."
"Tetapi kau tahu, bahwa aku tidak mempunyai kemampuan
dan ilmu yang cukup untuk itu" berkata laki-laki yang pernah
diakunya sebagai ayahnya itu.
"Yang kau miliki sudah cukup untuk memberikan dasar pada
anak itu. Yang penting adalah bagaimana dasar itu benar-benar
matang dan mapan didalam dirinya." berkata Warsi kemudian.
Laki-laki itu mengangguk-aagguk. Namun ia sadar, bahwa ia
telah menerima tugas yang berat.
Dihari-hari pertama ia memperkenalkan dirinya kepada anak
laki-laki yang dipanggil Puguh itu. Dengan ramah ia ikut
bermain-main bersama pemomongnya.
Namun di hari pertama itu juga ia melihat sikap pemomong
Puguh yang kasar terhadap anak momongannya.
Tetapi laki-laki itu tidak memberikan tanggapannya. Ia masih
dalam tataran melihat-lihat anak yang harus diasuhnya dibidang
kanuragan itu. Bukan saja anak itu sendiri tetapi juga
lingkungannya. Ketika sepekan telah lewat, maka laki-laki itu tahu benar,
sia,pakah yang sedang dihadapinya. Seorang anak laki-laki kecil
82 SH. Mintardja yang terlempar kedalam satu kehidupan yang tidak terasa manis.
Kelahirannya yang semula memang diharapkan oleh ibunya itu,
temyata tidak menyusuri jalan kehidupan yang lembut.
Laki-laki itu sendiri memang bukan laki-laki yang
mengarungi kehidupan ini dengan wajar. Tetapi laki-laki itu
adalah satu diantara laki-laki yang kasar dan hidup dalam dunia
kelam. Karena itu, maka dasar kehidupannya dengan cepat
mewarnai sikapnya terhadap anak itu. Apalagi ketika ia melihat
sikap Warsi sendiri kepada anaknya.
"Dengan demikian maka aku harus membentuknya dengan
cara sebagaimana, dilakukan oledi ibunya" berkata laki-laki itu.
Demikianlah, maka anak yang masih sangat muda itti harus
mulai bersentuhan dengan dasar-dasar pembentukan diri untuk
menerima latihan-latihan olah kanuragan.
Ia harus mulai berlatih dengan memaksa, diri melakukan
gerak dan sikap yang tidak dimengerti. Pagi pagi sekali, anak itu
telah diajaknya berlari-lari. Kemudian setelah mandi dengan air
yang dingin menjelang matahari terbit, oleh pemomongnya anak
yang di sebut Puguh itu harus makan pagi.
Jika kemudian anak itu bermain-main, maka permainannya
mengarah kepada usaha laki-laki yang pernah diaku menjadi
ayah Warsi itu untuk meletakkan dasar-dasar olah kanuragan.
Laki-laki itu dan bahkan Warsi sendiri tidak tahu arah
perkembangan jiwa anak itu. Anak laki-laki yang mulai berbicara
tentang beberapa hal disekitarnya itu tidak mendapat tuntunan
dan ajaran yang pantas bagi perkembangan jiwanya. Yang dilihat
dan dialaminya adalah sikap yang keras dan kasar. Orang-orang
di sekitarnya selalu memaksakan kehendakaya atas dirinya. Anak
yang disebut Puguh itu harus melakukan apa yang diperintahkan
orang lain kepadanya. Dengan demikian, maka anak itu pun telah terdorong
kedalam satu sikap yang tertutup. Ia tidak terbiasa menyatakan
pendapatnya. Puguh hanya siap menerima apa yang
83 SH. Mintardja diperintahkan orang lain kepadanya. Melakukannya, meskipun
dengan hati yang dibebani oleh ketidak-tahuan dan bahkan
penolakan dari dalam. Tetapi penolakan itu tidak pernah sempat
dinyatakannya kepada siapapun juga.
Apalagi pada tataran umurnya, maka penolakan itu
merupakan gejolak yang terjadi
didalam dadanya tanpaa mengetahui arti yang mungkin


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjadi didalam jiwanya. Puguh yang kemudian tumbuh dalam suasana yang
mengikatnya itu, telah menjadi
seorang anak yang pendiam.
Tidak banyak berbicara dan
ujud tubuhnya pun tidak nampak seger dan besar. Tetapi
tubuh yang kecil itu ternyata
telah terbiasa mengalami perlakuan yang keras sehingga
Puguh sendiri tanpa menyadarinya memiliki tubuh yang
tertempa. Tulang-tulangnya merupakan tulang-tulang yang
tumbuh dengan kuat. Urat-uratnya liat dan jantungnya
berkembang dengan mapan. Matanya yang agak cekung
memancar dengan tajamnya. Dipandanginya segala sesuatunya
dengan penuh kecurigaan. Namun kecurigaan itu hanya sekedar
menyumbat didalam hatinya tanpa dinyatakan dengan cara
apapun juga. Sementara itu Warsi sendiri hampir tidak pernah lagi
bersentuhan dengan Puguh. Ia sibuk dengan pekerjaannya. Jika
ia berada di padepokan, maka ia adalah seorang perempuan yang
lembut, ramah dan penuh dengan perasaan belas kasihan.
Sebagai Nyi Premati ia adalah perempuan yang dikagumi oleh
para penghuni pandukuhan disekitar padepokannya.
84 SH. Mintardja Namun jika Warsi itu keluar dari padepokannya, tanpa
diketahui oleh orang-orang padukuhan bersama Ki Rangga
Gupita dan berada disarang-sarangnya yang lain, maka ia adalah
seorang perempuan yang kasar dan bengis. Namun kemampuan
dan ilmunya memang mendukungnya untuk berlaku demikian.
Sehingga para pengikutnya menjadi patuh dan takut kepadanya
dan kepada Ki Rangga Gupita.
Apalagi beberapa orang diantara para pengikutnya, merasa
bahwa mereka harus melakukannya dengan landasan kesetiaan.
Masih terbayang dipelupuk mata mereka, harapan yang manis
bagi masa depan. Tanah Perdikan Sembojan dan bahkan
Kadipaten Jipang yang besar dan kuat.
Beberapa orang yang pernah berhubungan dengan kelompok-
kelompok bekas prajurit Jipang memang dapat memberikan
banyak harapan bagi mereka. Bekas prajurit Jipang yang tersebar
dibeberapa tempat itu pun masih juga berpengalaman
sebagaimana para pengikut Ki Rangga Gupita. Bahkan para
pengikut Ki Rangga masih mempunyai pengharapan lain.
Landasan perjuangan yang lebih mapan. Tanah Perdikan
Sembojan. Sementara itu di Tanah Perdikan Sembojan, suasana telah
menjadi mapan. Tidak banyak lagi masalah yang timbul.
Sementara itu kegiatan anak-anak muda masih tetap tinggi.
Bahkan demikian pula kademangan-kademangan di sekitarnya.
Dalam suasana itulah Risang berkembang. Ia tumbuh
semakin besar. Kasih sayang ibunya telah membekali jiwanya
justru pada saat wadag dan jiwanya mulai tumbuh. Orang-orang
yang ada disekitarnya pun berbuat sebagaimana Iswari
memperlakukannya. Sementara itu, Gandar lah yang atas kemauannya sendiri
ingin menjadikan Risang seorang anak yang pilihan. Karena itu,
maka Gandar telah menyampaikan niatnya itu kepada Iswari,
agar ia di ijinkan untuk berbuat sesuatu atas Risang pada usianya
yang masih sangat muda. 85 SH. Mintardja "Belum waktunya bagi anak itu untuk mendapat tuntunan
dalam olah kanuragan," berkata Iswari.
"Aku belum akan menuntunnya dan apalagi menempa Risang
dalam olah kanuragan. Aku baru akan mempersiapkannya pada
suatu saat ia mengalami latihan-latihan di permulaan," jawab
Gandar. Iswari tersenyum. Namun katanya, "Tetapi kau harus
menyesuaikan diri dengan keadaannya. Bukan Risang yang
menyesuaikan diri dengan keinginanmu. Tetapi kaulah yang
harus pandai-pandai membawanya dalam persiapan itu sesuai
dengan perkembangan tubuh dan jiwanya."
"Aku mengerti," jawab Gandar. "Jika diijinkan, maka aku
akan melakukannya dengan sebaik-baiknya."
Iswari mengangguk. Namun ia tidak memutuskannya sendiri.
Hal itu disampaikannya pula kepada Nyai Soka.
"Gandar terlalu tergesa-gesa," berkata Nyai Soka. "Ia ingin
segera melihat anak itu memiliki sesuatu."
"Tetapi aku sudah memberikan beberapa pesan," berkata
Iswari. "Baiklah. Aku akan melihat apa yang dilakukan Gandar atas
anak itu. Jika ia salah langkah, akibatnya justru akan merugikan
pertumbuhan anak itu," sahut Nyai Soka.
Namun ternyata Gandar mampu menahan diri untuk dengan
cepat membentuk Risang dalam olah kanuragan. Yang
dilakukannya kemudian adalah membawa Risang bermain.
Namun permainan yang memang disusun sesuai dengan
keinginan Gandar. Risang telah dibawa bermain-main dengan
permainan yang banyak menggerakkan tubuhnya. Berkejar-
kejaran, sembunyi-sembunyian dan permainan-permainan yang
lain. Dalam usianya yang masih sangat muda, Risang telah
dibuatkan jagrag dengan kayu yang bersilang tegak dan
mendatar. Dibiarkannya Risang memanjat, menyusup di antara
86 SH. Mintardja kayu yang mendatar, kemudian berpegangan kayu yang tegak,
menyelusuri batang-batang kayu yang menyilang.
Dengan memperhatikan pertumbuhannya, maka Gandar
telah membawa Risang mempersiapkan tubuhnya dengan baik
justru dalam permainan yang membuat Risang gembira. Bahkan
beberapa orang kawan sebayanya telah ikut pula bermain
bersamanya. Namun dalam usianya yang masih sangat muda,
Risang telah menunjukkan kelebihannya dengan anak-anak yang
lain dalam usia sebaya. Namun dalam pada itu, Gandar tidak pernah melupakan
bahwa keselamatan anak itu harus dijaga sebaik-baiknya. Usaha
yang pernah dilakukan untuk membunuh anak itu merupakan
peringatan yang keras, agar anak itu mendapat perlindungan
yang baik. Namun usaha itu dilakukan tanpa ada jemunya. Kegagalan
yang pernah terjadi, justru membuat Warsi semakin bernafsu
untuk melakukannya. Tetapi Ki Rangga Gupita telah melarangnya untuk
melakukannya sendiri. Ketika Warsi berniat untuk pergi ke Tanah
Perdikan Sembojan, Ki Rangga berusaha mencegahnya, "Kau
tidak boleh melupakan kenyataan, bahwa di Tanah Perdikan itu
terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan yang harus
diperhitungkan." "Aku tidak akan menantang mereka," berkata Warsi. "Tetapi
aku akan membunuh anak itu dengan caraku. Aku mempunyai
cara yang baik sebagaimana aku pergunakan untuk membunuh
Ki Gede Sembojan. Aku mempunyai kemampuan
mempergunakan sumpit. Sehingga aku dapat membidiknya dari
jarak jauh. Jika mata sumpitku berhasil menyentuhnya, maka
tidak akan ada obat yang dapat menolongnya."
"Tetapi kau tidak dapat melakukannya tanpa mendekati
dinding rumah itu," berkata Ki Rangga. "Anak itu tentu berada
dilingkungan dinding halamannya."
87 SH. Mintardja "Dimanapun anak itu berada," berkata Warsi. "Harus ada
jalan untuk membunuhnya."
"Tetapi belum saatnya kau melaksanakannya sendiri," berkata
Ki Rangga. "Kita masih mempunyai beberapa orang yang pantas
dipercaya untuk melakukannya."
"Tetapi jika mereka gagal dan tertangkap, maka mereka akan
mengungkapkan padepokan yang kita bangun dengan susah
payah, serta rahasia ujud kehidupan kita yang lain itu pun akan
terbuka," berkata Warsi.
"Kenapa kau cemas hal itu?" bertanya Ki Rangga. "Kita akan
memerintahkan orang-orang kita dari luar padepokan. Kita akan
memerintahkan beberapa orang dari salah satu di antara sarang
kita yang jauh. Orang-orang yang tidak banyak mengenal
padepokan ini dan tidak akan dapat berbicara apapun tentang
rahasia kehidupan kita disini. Namun tentu saja kita berharap
bahwa usaha itu berhasil. Setidak-tidaknya tidak seorang pun di
antara mereka yang tertangkap."
Warsi mengangguk-angguk. Katanya, "Namun kita
memerlukan waktu yang baik dan tepat. Aku justru berharap
bahwa satu dua anak-anak Tanah Perdikan Sembojan sendiri
yang masih setia kepada kita akan dapat membantu kita."
"Apa yang dapat mereka lakukan?" bertanya Ki Rangga.
Warsi termangu-mangu. Bagaikan melihat satu kejadian di
dalam mimpi ia berkata, "Jika ada satu dua orang di antara
mereka yang benar-benar dapat dipercaya. Kita minta anak-anak
itu berpura-pura kembali ke kampung halamannya.
Menyerahkan diri dan berbuat sebagaimana anak-anak muda
yang pernah menyerah sebelumnya. Namun mereka pada suatu
saat harus dapat membunuh anak Wiradana itu."
"Satu rencana yang sulit," berkata Ki Rangga Gupita.
"Memang," jawab Warsi. "Tetapi bukannya tidak mungkin.
"Aku condong mempergunakan orang-orang yang tidak akan
dapat membuka rahasia padepokan ini, sementara itu ia adalah
88 SH. Mintardja orang yang memiliki kemampuan yang cukup tinggi," berkata Ki
Rangga. "Kita akan menempuh dua jalur," berkata Warsi. "Satu jalur
sebagaimana kau katakan. Jalur yang lain sebagaimana aku
katakan. Sudah tentu kita akan memilih anak-anak Sembojan
yang tidak mengenal padepokan ini pula sebagaimana orang yang
kau maksudkan. Di beberapa sarang terpisah masih ada anak-
anak Sembojan yang setia kepada Puguh sebagai anak Ki
Wiradana." Ki Rangga Gupita mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Semua cara yang kita anggap baik akan kita tempuh. Namun kita
harus menyadari bahwa keadaan Tanah Perdikan itu tentu sudah
berubah. Seandainya anak Iswari itu terbunuh, kita agaknya
masih akan menempuh jalan panjang."
"Kita menyadarinya," berkata Warsi. "Namun kita pun tahu,
bahwa sebagian besar pasukan Pajang telah ditarik. Dengan
demikian maka kekuatan Tanah Perdikan itu tergantung kepada
para pengawal Tanah Perdikan itu sendiri."
Ki Rangga Gupita mengangguk-angguk pula. Hampir
berguman ia berkata, "Kita akan menempuh banyak cara."
"Kita akan segera mencari orang sebagaimana kita
maksudkan," berkata Warsi.
"Yang sesuai dengan rencanaku tidak akan terlalu sulit,"
berkata Ki Rangga Gupita. "Yang harus benar-benar
diperhitungkan adalah rencana sebagaimana kau maksudkan."
Namun keduanya memang sudah bertekad untuk menempuh
segala cara. Karena itu, maka keduanya pun telah berusaha untuk
menemukan orang-orang sebagaimana mereka maksudkan.
Memang seperti dikatakan oleh Ki Rangga Gupita, bahwa
mencari orang yang dianggap memiliki kemampuan yang cukup
untuk memasuki Tanah Perdikan Sembojan lebih cepat mereka
dapatkan. Dua orang bekas prajurit pilihan dari Jipang dan
89 SH. Mintardja seorang dari gerombolan Kalamerta yang telah terhimpun
kembali. Mereka bertiga adalah orang-orang yang telah meluluhkan
cara hidup mereka dengan jalan yang ditempuh oleh Ki Wiradana
dan Warsi dalam ujudnya yang keras dan kasar. Mereka tinggal di
salah satu sarang terpisah dari gerombolan yang dipimpin oleh Ki
Rangga dan Warsi. "Kalian harus menyesuaikan
diri dengan keadaan Tanah
Perdikan itu," berkata Ki
Rangga. "Kegagalan yang
pernah terjadi, justru pada saat
yang tepat, menjadi pengalaman yang harus kita
perhitungkan." Ketiga orang itu mengangguk-angguk. "Kalian tidak akan dibatasi
waktu," berkata Warsi. "Karena
itu kalian tidak perlu tergesa-
gesa. Kalian dapat mengamati
keadaan sebaik-baiknya. Hanya
apabila kalian yakin akan
berhasil kalian dapat mulai bertindak.
Karena di dalam hidup sehari-hari, betapapun ketatnya
penjagaan disekitar anak itu, agaknya akan diketemukan pula
saat-saat para pengawalnya lengah. Nah, pada saat itu,
dimanapun anak itu berada, kalian dapat bertindak."
Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Rangga
berkata, "Untuk mencukupi hidup kalian selama kalian berada di
Tanah Perdikan, kalian tidak usah cemas. Kita mempunyai
banyak persediaan. Meskipun demikian jika kalian merasa
kekurangan, kalian dapat mengambil sendiri. Tetapi ingat, jangan
90 SH. Mintardja di Tanah Perdikan Sembojan atau di Kademangan-kademangan
disekitarnya." "Baiklah," berkata salah seorang dari ketiga orang itu. "Kami
akan berusaha untuk melakukan tugas kami dengan sebaik-
baiknya. Kami akan mempelajari sebab-sebab kegagalan dari
usaha yang terdahulu. Dan kami akan menemukan cara yang
paling baik. Apalagi kami tidak tergesa-gesa sehingga kami
mempunyai banyak waktu untuk menentukan sikap."
"Usahakan agar semua terjadi tanpa menjeratmu. Usahakan
agar kalian tidak membuka rahasia tentang sarang kita disini.
Ukuran kejantanan seseorang adalah dapat kami lihat pada sikap
dan keberhasilan kalian," berkata Ki Rangga Gupita.
"Besok kami akan bersiap-siap," berkata salah seorang dari
mereka.

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yang akan kalian lakukan adalah perpaduan antara dendam
dan cita-cita," berkata Warsi. "Kita menginginkan sesuatu yang
baik bagi masa depan. Bukan saja bagi Tanah Perdikan
Sembojan. Tetapi landasan bagi perjuangan Jipang. Saat ini
masih tersebar kesatria-kesatria Jipang yang masih tetap setia
pada perjuangannya. Meskipun untuk sementara kita berjuang
dengan cara yang terpisah-pisah, tetapi jika kita memiliki
landasan yang mapan, maka perjuangan kita akan menjadi lebih
mapan." Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Tertanam di jantung
mereka bahwa apa yang mereka lakukan adalah perpaduan
antara dendam dan cita-cita. Dengan tekad yang membara, maka
mereka akan melakukannya sebaik-baiknya.
"Kalian telah mengenal Tanah Perdikan dengan baik. Tetapi
dengan demikian kalian pun harus ingat, bahwa ada di antara
anak-anak muda Tanah Perdikan itu yang mengenal kalian,"
berkata Warsi kemudian. "Tetapi pada saat aku menjadi prajurit," berkata salah
seorang dari kedua bekas prajurit Jipang itu. "Sekarang aku
sudah berubah. Aku sekarang memelihara jambang dan kumis.
91 SH. Mintardja Luka di kening ini telah mengubah ujud wajahku. Sementara
kawanku ini pun telah berubah pula. Ia dahulu tidak mengalami
cacat mata. Sementara kawan yang ketiga itu agaknya memang
belum pernah tinggal di Tanah Perdikan."
"Kalian harus mendapat tebusan dari cacat yang kalian derita
itu," berkata Ki Rangga.
"Ya," berkata bekas prajurit itu. "Kami akan menuntut
sepuluh kali lipat dari cacat kami. Ditambah dengan kematian
anak Iswari itu." "Bagus," berkata Warsi. "Itu adalah sikap jantan. Namun
perlu kalian ketahui, bahwa usaha untuk menyingkirkan anak itu
kita tempuh lewat segala macam cara. Karena itu, kalian bertiga
bukan satu-satunya kelompok yang aku tugaskan untuk
melakukan tugas itu. Selain kalian bertiga, ada kelompok lain
yang aku tugaskan untuk melakukannya. Bukan berarti bahwa
kami tidak percaya kepada kalian. Tetapi yang mana saja yang
dapat kesempatan menurut cara masing-masing."
"Siapakah yang mendapat tugas itu selain kami?" bertanya
bekas prajurit itu. "Aku belum menentukan sekarang," jawab Warsi. "Namun
pada saatnya apabila mengetahui orang-orang itu, maka kalian
harus saling membantu. Orang yang datang kemudian itu pun
jika mungkin tentu akan mencari hubungan dengan kalian."
Ketiga orang itu pun mengangguk-angguk. Bagi mereka lebih
banyak kawan dalam tugas itu, tentu akan lebih baik.
Namun Ki Rangga masih juga berpesan, "Tetapi kalian tidak
usah menunggu. Ada atau tidak ada, usahakanlah melakukan
tugas kalian sebaik-baiknya."
"Baik Ki Rangga," jawab bekas prajurit Jipang itu. "Kami akan
mengusahakan." Demikianlah, maka ketika Warsi dan Ki Rangga
meninggalkan sarang yang satu itu, maka ketiga orang itu telah
membicarakan apa yang sebaiknya mereka lakukan. Di hari
92 SH. Mintardja berikutnya mereka sudah mempersiapkan segala sesuatunya yang
mereka anggap perlu untuk dibawa ke Tanah Perdikan Sembojan.
"Kita lebih dahulu akan mengenali kembali Tanah Perdikan
itu," berkata salah seorang bekas prajurit yang cacat dikeningnya
dan yang telah membiarkan jambang dan kumisnya tumbuh.
"Baru kemudian kita menentukan langkah-langkah yang paling
baik untuk melaksanakannya."
"Kitalah yang harus lebih dahulu berhasil," berkata bekas
prajurit yang matanya menjadi cacat. "Sebelum orang lain datang
ke Tanah Perdikan, anak itu harus sudah mati. Bukankah mudah
sekali membunuh anak-anak" Meskipun kita sadar, bahwa di
sekeliling anak itu tentu terdapat pengawal-pengawal."
"Kita tidak boleh mengesampingkan kenyataan bahwa di
Tanah Perdikan Sembojan terdapat orang-orang kuat," berkata
seorang yang terhimpun dari bekas gerombolan Kalamerta,
"Bukan karena kita harus menjadi gentar, tetapi kita wajib
berhati-hati." "Ya," jawab bekas prajurit yang cacat di kening, "Kita harus
sangat berhati-hati."
Demikianlah, setelah semua persiapan dilakukan, maka
ketiga orang itu pun segera berangkat menuju ke Tanah Perdikan
Sembojan untuk mengemban tugas yang berat, justru karena di
Tanah Perdikan itu terdapat orang-orang berilmu.
Ketiga orang itu sama sekali tidak langsung memasuki Tanah
Perdikan, tetapi mereka menuju ke sebuah hutan kecil yang
terletak justru di luar Tanah Perdikan.
Dari tempat itu, mereka bertiga berusaha untuk mengenali
kembali Tanah Perdikan yang pernah dihuni oleh dua orang di
antara mereka bertiga ketika mereka membantu para perwira
Jipang menempa anak-anak muda Tanah Perdikan itu menjelang
anak-anak itu dibawa ke Pajang, karena kedua prajurit itu pernah
menjadi pemimpin kelompok pasukan Jipang.
93 SH. Mintardja Sementara orang-orang yang telah berada di depan pintu
Tanah Perdikan itu berusaha untuk mencari jalan menyelesaikan
tugas mereka, maka Warsi dan Ki Rangga sedang melihat-lihat
setiap sarang mereka, untuk menemukan anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan yang masih dianggap setia kepada Ki
Wiradana, yang kesetiaannya itu melimpah kepada Puguh, anak
Ki Wiradana. Ternyata usaha mereka tidak sia-sia. Mereka menemukan
beberapa orang anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang telah
menjadi luluh dengan orang-orang disekitarnya. Mereka
melakukan apa yang dilakukan oleh bekas prajurit-prajurit
Jipang dan para pengikut Kalamerta. Bahkan menurut beberapa
keterangan, anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan itu telah
memiliki segala macam sifat, tingkah laku dan cita-cita
sebagaimana bekas para prajurit Jipang.
Namun sebelum Warsi memberikan tugas kepada mereka,
maka ia berusaha untuk mengetahui dengan pasti, sikap batin
anak-anak muda Tanah Perdikan itu.
Karena itu, maka Warsi dan Ki Rangga telah menugaskan
seorang kepercayaannya untuk berada disarang yang sama
dengan anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang masih
ada di antara bekas para prajurit Jipang itu.
Dengan hati-hati kepercayaan Warsi dan Ki Rangga itu mulai
mendekati anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan itu. Ia
berusaha untuk dapat berbicara cukup banyak, mengungkit sikap
batin mereka. Sementara itu, orang itu pun telah mengamati
sikap lahir anak-anak itu yang tidak lagi ada bedanya dengan
bekas para prajurit Jipang dan bekas pengikut Kalamerta.
Sehingga dengan demikian, maka kepercayaan Warsi dan Ki
Rangga itu akhirnya memberikan laporan, bahwa hampir semua
dari anak-anak muda itu dapat dipercaya.
"Kau dapat menunjuk dua orang di antara mereka yang paling
baik untuk ditugaskan justru di Tanah Perdikan Sembojan
sendiri?" bertanya Warsi.
94 SH. Mintardja "Aku akan menyebut beberapa nama," berkata kepercayaan
Warsi itu. "Nanti aku persilakan untuk memilihnya."
Warsi dan Ki Rangga ternyata telah menyatakan keinginan
mereka untuk dapat langsung berhubungan dengan anak-anak
muda itu. Sehingga karena itu, maka Warsi dan Ki Rangga telah
berada di salah satu sarangnya dan tinggal bersama beberapa
orang anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang masih ada
bersama dengan mereka. Dari pengamatan langsung itu, baik Warsi maupun Ki Rangga
mempunyai pendapat yang sama dengan kepercayaannya, bahwa
anak-anak muda yang tinggal di tempat itu masih tetap
menunjukkan kesetiaan yang tinggi kepada satu cita-cita untuk
membawa kekuasaan Ki Wiradana kembali ke Tanah Perdikan
Sembojan. Anak Ki Wiradana yang bernama puguh itu.
Karena itu, secara langsung, bersama kepercayaannya Warsi
dan Ki Rangga telah memilih dua orang di antara mereka.
Namun baik Warsi maupun Ki Rangga tidak langsung
memberikan tugas itu kepada mereka. Kedua orang itu harus
mengalami pendadaran lebih dahulu di luar sadar mereka.
Keduanya telah benar-benar diuji kesetiaan mereka dengan
tugas-tugas berat bersama dengan kepercayaan Warsi dan Ki
Rangga itu. Ternyata bahwa keduanya memang telah menunjukkan
kesetiaan mereka. Bahkan ketika oleh kepercayaan Ki Rangga
dan Warsi, kedua anak itu dibawa memasuki kota Pajang untuk
melakukan perampokan, mereka sama sekali tidak menunjukkan
perasaan gentar. "Kita merampok rumah seorang pedagang, langsung di Kota
Raja," berkata kepercayaan Warsi itu. "Pedagang itu adalah
seorang pedagang kaya dan banyak memberikan sumbangan
kepada para prajurit Pajang selama perang dengan Jipang.
Biarlah sekarang ia merasa kecewa, bahwa setelah perang
selesai, Pajang tidak lagi menghiraukannya. Pajang tidak lagi
95 SH. Mintardja mengingat jasa-jasa pedagang itu, sehingga perlindungan pun
tidak dapatkannya lagi."
Kedua anak muda Tanah Perdikan itu justru merasa bangga
bahwa mereka mendapat kepercayaan untuk melakukannya
bersama kepercayaan Ki Rangga itu.
Namun untuk melakukan tugas yang berat itu, mereka tidak
hanya bertiga. Bersama mereka adalah seorang bekas perwira
Jipang dan seorang bekas pengikut Kalamerta yang dianggap
memiliki kemampuan yang cukup. Sehingga dengan demikian
untuk memasuki Kota Raja dan merampok rumah seorang
pedagang kaya itu, mereka lakukan berlima.
Tugas itu memang tugas yang berbahaya. Namun ternyata
bahwa kelima orang itu mampu melakukannya. Memang ada
perlawanan kecil dari pedagang yang kaya itu dan dua orang
pengawalnya. Namun dalam waktu dekat, keduanya dapat
dilumpuhkan. Meskipun mereka tidak dibunuh, tetapi mereka mengalami
luka-luka yang cukup parah.
Untuk memberikan kesan dalam tugasnya, maka kepercayaan
Ki Rangga dan Warsi itu sebelum meninggalkan rumahnya
sempat berkata kepada pedagang yang kaya itu, "Nah, apa yang
kau peroleh sekarang setelah Pajang menang" Perlindungan tidak
kau peroleh sehingga kami sempat memasuki rumahmu dan
mengambil kekayaanmu. Pajang yang sudah menang tidak
menghiraukan kau lagi. Bantuan yang pernah kau berikan bagi
perang yang tidak adil itu tidak ada gunanya lagi bagimu. Kau
sekarang benar-benar telah dilupakan oleh orang-orang yang
pernah kau bantu pada waktu itu."
"Persetan," geram pedagang yang terluka itu.
Kepercayaan Ki Rangga tertawa. Katanya, "Kau masih tidak
mau melihat kenyataan?"
Pedagang itu tidak menjawab. Sementara itu kelima orang
yang merampok rumahnya sempat menertawakannya sambil
96 SH. Mintardja meninggalkan rumahnya. Beberapa macam barang berharga
telah dibawa oleh para perampok yang memperkenalkan diri
sebagai prajurit Jipang. Di pintu keluar, kepercayaan Warsi itu berkata,
"Laporkan kepada para
pemimpin Pajang, bahwa kami
masih akan datang lagi ke Kota
Raja dalam waktu-waktu mendatang, karena orang- orang yang bernasib seperti
kau ini banyak sekali."
Pedang itu mengumpat. Tetapi ia tidak menjawab sama
sekali. Sepeninggal para perampok
itu, maka istri pedagang yang
ketakutan itu berusaha merawat luka suaminya dan
para pengawalnya. Namun apa yang dapat dilakukan kurang
memadai dengan luka yang diderita.
Atas perintah pedagang itu, maka istrinya telah memukul
kentongan yang terdapat dilongkangan. Suara kentongan itu
telah menguak sepinya malam, sehingga para pengawal dengan
cepat telah berdatangan. Sementara itu, prajurit peronda berkuda
yang mendengar suara kentongan itu pun membagi tugas. Dua
orang langsung menuju ke sumber isyarat, dua orang yang lain
telah berusaha untuk melingkari padukuhan yang menjadi
sumber isyarat itu. Sementara itu kelima orang perampok itu telah sempat
meninggalkan padukuhan itu. Bahkan sebelum para penjaga
dinding Kota Raja bersiaga sepenuhnya dan mengawasi setiap
jangkal dari dinding kota apalagi pintu-pintu gerbangnya, maka
97 SH. Mintardja kelima orang itu telah berhasil keluar dengan meloncat dinding
yang tinggi itu dengan kemampuan seorang prajurit pilihan.
Bagi para prajurit Pajang, peristiwa itu merupakan percikan
noda pada tugas mereka. Ternyata Kota Raja yang dianggap
tenang dan tentram itu telah diguncang oleh tindak kekerasan
yang dilakukan oleh para bekas prajurit Jipang.
Namun bagi Ki Rangga dan Warsi, langkah itu merupakan
pendadaran bagi kedua anak muda dari Tanah Perdikan
Sembojan itu. Namun ternyata bahwa hasil yang diperoleh kelima
orang itu pun agaknya sangat memuaskan, bahkan menimbulkan
niat untuk melakukannya lagi pada kesempatan lain yang cukup
baik dan memungkinkan. Karena dengan peristiwa itu, para
prajurit Pajang tentu akan menjadi lebih berhati-hati.
Tetapi rencana untuk mengulangi perampokan itu
merupakan rencana sampingan. Yang penting bagi Ki Rangga dan
Warsi adalah keyakinan yang mantap tentang kedua orang anak
muda dari Tanah Perdikan itu.
Karena itu, ketika pertimbangan-pertimbangan sudah


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diperhitungkan dengan seksama, maka kedua orang anak muda
itu telah dipanggil oleh Ki Rangga dan Warsi untuk menghadap
bersama kepercayaan kedua orang pemimpin mereka itu.
Kedua orang anak muda Tanah Perdikan itu memang menjadi
gelisah. Mereka mencoba untuk menilai diri mereka sendiri,
apakah mereka telah melakukan kesalahan.
Namun kepercayaan Warsi itu pun kemudian meyakinkan
mereka, bahwa mereka dipanggil untuk mendapatkan tugas yang
khusus. "Tugas apa?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Nanti kalian akan mendengarnya langsung. Tidak ada
seorang pun yang tahu, tugas apa yang akan dibebankan
kepadamu," jawab kepercayaan Warsi itu.
Demikianlah, maka dengan hati yang berdebar-debar kedua
orang itu telah menghadap Ki Rangga dan Warsi. Dua orang yang
98 SH. Mintardja dianggap pemimpin tertinggi dari satu gerombolan yang besar,
yang terdiri dari para bekas prajurit Jipang, bekas pengikut
Kalamerta, para pengikut ayah Warsi dan anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan yang tidak mau kembali ke kampung
halaman mereka. "Duduklah," terdengar suara Ki Rangga yang berat menekan.
Kedua orang anak muda itu telah duduk sambil
menundukkan kepala disebelah kepercayaan pemimpin mereka
itu. "Siapa nama kalian?" tiba-tiba saja Ki Rangga bertanya.
Kepercayaan itu telah mengangkat wajahnya untuk
menjawab. Tetapi Ki Rangga mendahului, "Aku ingin mereka
mengucapkan nama mereka masing-masing. Bukan orang lain,
karena aku sudah pernah mendengar namanya dari orang-orang
lain." Kepercayaan Ki Rangga itu menarik nafas. Lalu katanya
kepada kedua orang anak muda itu, "Sebut nama kalian masing-
masing." Seorang yang lebih tua dari yang lain pun kemudian
menjawab, "Namaku Saruju."
"Sarju atau Saruju?" Ki Rangga menegaskan.
"Orang tuaku menyebut namaku Saruju. Bukan Sarju," jawab
anak itu. Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Nama yang bagus.
Dan kau?" "Damar," jawab yang seorang.
"Juga nama yang bagus. Damar berarti lampu," sahut Ki
Rangga. "Mudah-mudahan kau dapat menerangi hati orang-
orang Tanah Perdikanmu yang kini sedang gelap karena pokal
Iswari. Kau tahu siapa Iswari?"
99 SH. Mintardja Anak muda itu ragu-ragu. Namun kemudian ia pun
mengangguk sambil menjawab. "Ya."
"Nah, sebut. Siapa Iswari itu," berkata Ki Rangga pula.
"Iswari adalah istri pertama Ki Wiradana," jawab anak muda
itu. "Hanya itu yang kau ketahui tentang Iswari?" bertanya Ki
Rangga kemudian. Anak muda itu menjadi bingung. Ia tidak tahu bagaimana ia
harus menjawab. Sementara itu, Ki Ranggalah yang menjawab sendiri. "Iswari
itu bukan orang Tanah Perdikan Sembojan. Iswari itu seorang
pendatang. Kau ingat, kapan Iswari itu datang" Kau ingat saat
Iswari kawin dengan Wiradana" Bagaimana liciknya kakek Iswari
itu. Dengan curang dilukainya Ki Gede pada waktu itu. Kemudian
ia berpura-pura menolongnya. Sementara itu, ia
memperkenalkan cucunya, seorang gadis kepada Ki Gede yang
kemudian memaksa anaknya Ki Wiradana kawin dengan gadis itu
karena Ki Gede merasa berhutang budi."
Anak muda itu mengangguk-angguk. Ia mencoba mengingat
peristiwa itu. Memang agak mirip. Namun alasannya agak
berbeda dari yang diketahuinya.
"Nah. Kau tentu mendengar ceritera yang lain. Bahkan kakek
Iswari itu telah menolong dan menyelamatkan nyawa Ki Gede"
berkata Ki Rangga. Damar mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya iapun
telah berpaling kepada Saruju. Kemudian ia pun menjawab, "Ya
Ki Rangga. Kami mendengar cerita bahwa kakek Iswari itu telah
menyelamatkan Ki Gede."
"Nah, betapa liciknya mereka. Akhirnya Ki Gede itu pun
disingkirkannya," berkata Ki Rangga. "Nah, siapa mengira bahwa
Iswari telah menyingkirkan Ki Gede itu ketika kedudukannya
terancam," berkata Ki Rangga. "Tentu saja bukan tangan Iswari
sendiri." 100 SH. Mintardja Damar mengangguk-angguk. Ceritera itu memang masuk di
akalnya. Sementara Ki Rangga berkata, "Nah. Adalah kewajiban
anak-anak muda Tanah Perdikan sendiri untuk menyingkirkan
perempuan seperti Iswari itu. Meskipun ia mempunyai anak
dengan Ki Wiradana, namun anak itu akan meneruskan
kecurangan yang pernah dilakukan oleh ibunya. Apalagi
seandainya Ki Wiradana masih tetap hidup, maka kau dapat
menebak, anaknya yang manakah yang akan ditetapkan untuk
menggantikannya." Damar dan Saruju mengangguk-angguk. Menurut
pengamatannya, Ki Wiradana memang lebih dekat dengan Warsi
daripada Iswari. Namun jika kenyataan lain muncul di dalam
ingatannya, terutama tentang hubungan Warsi dengan Ki Rangga
Gupita, maka dengan serta merta diusirnya dari kepalanya.
Banyak hal yang kemudian dikatakan oleh Ki Rangga dan
Warsi tentang Tanah Perdikan Sembojan dan tentang Iswari.
Sehingga kedua anak muda itu pun semakin yakin, bahwa Iswari
sama sekali tidak berhak untuk menguasai kepemimpinan Tanah
Perdikan Sembojan. Demikian pula anak laki-lakinya.
"Sementara itu, anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan
telah kehilangan gairah perjuangannya," berkata Warsi. "Mereka
telah menyerah karena tidak tahan mengalami kesulitan selama
perjuangan berlangsung. Sebenarnya saatnya tepat sekali untuk
menghalau Iswari dari Tanah Perdikan, karena kita mempunyai
kawan-kawan seperjuangan sekarang ini. Mereka yang ingin
menegakkan Jipang kembali akan dapat membantu kita. Namun
ternyata sebagian dari anak-anak muda kita telah kehilangan
kejantanannya." Damar dan Saruju mengangguk-angguk. Sedangkan Warsi
masih berkata selanjutnya, "Nah, mulailah dengan satu tugas
yang mulia. Kita harus mempergunakan cara. Berhasil
menangkap ikannya, tanpa mengeruhkan airnya. Sebagaimana
kau ketahui, banyak anak-anak Tanah Perdikan yang menyerah
dan kembali ke kampung halamannya yang menurut pengamatan
lahiriah memang menjadi lebih baik. Tetapi sudah tentu dengan
101 SH. Mintardja mengorbankan cita-cita. Namun kalian tidak akan berbuat
demikian. Kalian kami perintahkan untuk dengan penuh
kesadaran menyerahkan diri. Tetapi kita kehilangan cita-cita
perjuangan kalian. Jika kalian telah berada kembali di kampung
halaman dan tinggal bersama keluarga kalian, apalagi kalian
telah sempat menyesuaikan diri dengan kehidupan Tanah
Perdikan Sembojan yang menurut ujud lahiriahnya menjadi
bertambah baik itu, maka mulailah tugas kalian yang
sebenarnya." Damar dan Saruju termangu-mangu. Mereka masih belum
begitu jelas tentang tugas yang harus diembannya. Namun
kemudian Warsi telah menjelaskan.
Kedua anak muda itu harus membunuh anak Wiradana yang
lahir dari Iswari. Kedua anak muda itu mengangguk-angguk.
Sudah agak lama mereka tidak melihat Tanah Perdikan Sembojan
tanah kelahirannya. Mereka pun tidak dapat membayangkan,
cara hidup anak Wiradana yang lahir dari Iswari itu. Namun
nampaknya tugas yang harus mereka lakukan adalah tugas yang
rumit. "Kami memberikan kepercayaan ini kepada kalian berdua
setelah kalian membuktikan, bahwa kalian mampu melakukan
tugas-tugas yang lain dengan baik. Bahkan kalian berdua
bersama tiga orang kawan kalian telah memasuki Kota Raja
Pajang yang terkenal mendapat pengawasan yang sangat keras,"
berkata Ki Rangga. Lalu, "Tetapi tugas ini bukan tugas kekerasan
melulu. Tugas ini justru memerlukan permainan sikap batin dari
kalian berdua. Karena itu, maka diperlukan landasan kesiapan
perjuangan yang dalam dan tidak tergoyahkan."
Kedua anak muda itu tidak menyahut. Ada berbagai perasaan
yang bergelut di hati mereka.
"Nah" berkata Warsi kemudian, "kau mempunyai waktu
untuk berpikir, apakah kalian bersedia melakukan tugas ini atau
tidak. Tetapi menurut penilaian kami, kalian berdualah yang
paling dapat kami percaya. Kami tidak melihat orang lain
102 SH. Mintardja meskipun disini masih ada juga beberapa orang anak muda dari.
Tanah Perdikan Sembajan. Sementara itu kau tentu menyadari,
bahwa tugas ini adalah tugas rahasia. Tidak boleh seorang pun
yang mendengarnya. Bahkan kawan-kawanmu sendiri yang berasal dari Tanah Perdikan Sembojan. Hanya kalian berdua
sajalah yang tahu disamping kami."
Anak-anak muda 'itu termangu-mangu. Memang ada
perasaan bangga yang terbersit dihati mereka, karena justru
mereka berdualah yang mendapat kepercayaan untuk melakukan
tugas, itu. "Kami tidak pernah memberikan kesempatan berpikir dalam
tugas-tugas yang kami serahkan kepada kawan-kawan kalian.
Semua perintah harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Tetapi
tugas yang satu ini agak lain. Tugas ini menyangkut kampung
halamanmu, keluargamu, kawan-kawanmu dan yang terpenting
adalah ketahanan tekatmu untuk berjuang, meskipun dalam
keadaan yang paling sulit sekalipun." berkata Ki Rangga,
"sementara itu kau akan memasuki daerah yang akan dapat
memberi kesegaran bernafas. Akan dapat memberikan
kehangatan karena kalian akan berada diantara keluarga kalian.
Namun justru semua itu adalah pendadaran bagi kesetiaanmu
bagi perjuangan." Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sedangkan Ki
Rangga masih berkata terus, "Besok kalian dapat memberikan
jawaban." Kedua anak muda itu menarik nafas dalam-dalam.
Sejenak kemudian, maka Ki Rangga dan Warsi pun telah
meninggalkan mereka dan kepercayaannya. Untuk beberapa saat
ketiganya masih duduk di ruang itu untuk memperbincangkan tugas yang baru saja dikatakan oleh Ki Rangga dan Warsi.
Dalam pada itu kepercayaan Ki Rangga itupun berkata,
"Tugas kalian nampaknya memang tidak terlalu berat. Tetapi
justru merupakan bahan jiwani yang luar biasa. Kalian harus
benar-benar tabah menghadapi godaan-godaan ujud lahiriah
103 SH. Mintardja selama kalian berada di Tanah Perdikan. Kalian tidak boleh
terseret arus dan bahkan tenggelam sama sekali.
Kedua anak muda Itu mengangguk-angguk. Sementara itu
kepercayaan Ki Rangga dan Warsi itupun kemudian berkata,
"Berpikirlah sampai besok. Kau harus menggambil keputusan
sebaik-baiknya." "Baiklah" berkata Saruju, "kami akan membuat
pertimbangan-pertimbangan sebaik-baiknya. Namun pada
dasarnya kami adalah anak-anak muda yang setia pada
perjuangan kami." "Bagus".berkata kepercayaan Warsi dan Ki Rangga itu,
"kalian memang mendapat kepercayaan untuk tugas yang
barangkali tidak akan dapat dilakukan oleh orang lain.
"Kami sudah terbiasa dengan tugas-tugas berbahaya" berkata
Damar. Kepercayaan Ki Rangga itu menepuk bahunya. Kemudian
sambil bergeser ia berkata, "Marilah,. Kita sudah selesai. Besok
kalian,berdua tentu dipanggil lagi oleh Ki Rangga."
Keduanya mengangguk. Besak mereka berdua harus
memberikan jawab. "Hari itu beberapa kali mereka berdua berbincang. Namun
nampaknya keduanya tidak mempunyai masalah. Keduanya
dengan senang hati, siap melaksanakan tugas yang pelik Itu.
Bahkan seorang diantara mereka berkata, "Aku memang
sudah rindu-kepada keluargaku."
"Tetapi keluarga kita tidak boleh menjerat tugas-tugas kita
selanjutnya" desis yang lain.
"Tentu tidak. Tetapi bukankah didalam tugas ini kita justru
akan dapat memanfaatkannya. Kita kembali kepada keluarga,
namun seperti yang dikatakan oleh Ki Rangga bahwa kita tidak
kehilangan gairah perjuangan kita." sahut kawannya.
104 SH. Mintardja Keduanya mengangguk-angguk. Tetapi mereka memang tidak
dapatt membayangkan Tanah Perdikan di hari-hari terakhir.
Dihari berikutnya keduanya memang dipanggil oleh Ki
Rangga. Seperti yang sudah diduga, maka Ki Rangga dan Warsi
hanya ingin mendengar jawaban mereka.
"Kami telah mempertimbangkannya masak-masak" berkata
Saruju, "kami bersedia melakukannya."
"Bagaimana dengan kau Damar?" bertanya Ki Rangga.
"Aku terima tugas ini dengan penuh tanggung jawab,"
katanya. "Bagus," berkata Ki Rangga. "Aku sudah mengira bahwa
kalian akan melakukannya dengan senang hati. Dan bukankah
kalian masih mempunyai keluarga di Tanah Perdikan Sembojan"
Dengan demikian kalian mempunyai tempat tinggal selama
kalian berada di arena tugas kalian."
"Aku masih mempunyai ayah dan ibu," berkata Saruju.
"Mudah-mudahan ayah dan ibuku masih ada, selain tiga adikku."
"Bagaimana dengan kau Damar?" bertanya Ki Rangga pula.
"Aku masih mempunyai ayah dan ibu. Bahkan pada waktu
aku terakhir berada di Tanah Perdikan, kakekku pun masih ada."
"Apakah kau mempunyai adik?" bertanya Ki Rangga.
"Aku mempunyai dua adik perempuan," jawab Damar.
Ki Rangga dan Warsi mengangguk-angguk. Mereka saling
memandang sejenak. Namun kemudian Ki Rangga itu
mengangkat wajahnya. Lalu katanya, "Baiklah. Kalian akan
mendapat tugas penting ini. Kalian akan pulang ke Tanah


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perdikan Sembojan. Kalian akan menyerah dan kemudian seperti
kawan-kawan kalian yang lain, maka kalian tentu akan
dimasukkan ke dalam barak khusus untuk beberapa lama.
Kemudian kalian akan dilepaskan dan bebas sepenuhnya. Kalian
akan berada kembali di antara sanak kadang dan kehidupan yang
menurut ujud lahiriah lebih baik dari kehidupan kita disini.
105 SH. Mintardja Sementara itu kalian pun telah mendapat keterangan, ceritera
dan kabar yang tentu saja telah disusun berdasarkan atas
kebohongan besar. Selama di dalam barak tertutup kalian akan
digelitik oleh kepalsuan yang akan dapat membuat kalian
kehilangan pengamatan atas perasaan kalian, sehingga dapat
mengakibatkan kalian kehilangan pegangan."
Kedua anak muda itu mendengarkan keterangan itu dengan
seksama. Namun dengan demikian mereka mempunyai bekal
pengertian tentang kesulitan yang bakal mereka hadapi.
Terutama kesulitan jiwani. Mereka tidak boleh terpengaruh oleh
kebohongan besar yang diucapkan oleh para pemimpin Tanah
Perdikan Sembojan. Namun dalam pada itu, keduanya menjadi berdebar-debar
ketika Ki Rangga berkata, "Tetapi anak-anak. Bukan berarti kami
tidak mempercayaimu. Jika kami tidak mempercayai kalian
berdua, maka kami tidak akan memberikan tugas kepada kalian.
Tetapi sebagaimana kebiasaan kami, bahwa semua tugas harus
dilakukan dengan baik, dengan pasti dan tanpa keragu-raguan
sedikitpun juga. Untuk itu maka kami bekali kalian dengan
pengertian, bahwa jika kalian gagal karena keadaan yang rumit
dan tidak teratasi, kalian tidak akan mendapat hukuman apa-apa.
Kegagalan adalah wajar dari setiap usaha. Usaha itu dapat
berhasil dan dapat pula tidak berhasil, namun dapat
dipertanggung jawabkan. Tetapi jika kalian tergelincir kedalam
satu langkah pengkhianatan, maka kalian akan menyesal. Kalian
berdua akan kami singkirkan. Bukan saja kalian berdua, tetapi
seluruh keluarga kalian. Ayah, ibu, adik-adik kalian bahkan kakek
atau nenek kalian jika masih ada."
Terasa dada kedua anak muda itu bergejolak. Ternyata Ki
Rangga bukan saja membekali mereka dengan ketebalan tekad
dan gairah perjuangan yang tinggi, tetapi Ki Rangga juga telah
mengancam keluarga mereka.
Namun kedua anak muda itu tidak dapat berbuat lain
daripada menerimanya. Agaknya ancaman yang demikian
106 SH. Mintardja memang menjadi rangkaian dari perintah yang harus
dijalankannya. "Nah," berkata Ki Rangga. "Apakah kalian sudah jelas?"
Kedua orang anak muda itu mengangguk meskipun
jantungnya terasa berdegup semakin cepat.
"Nah, jika demikian kalian mempunyai waktu cukup untuk
bersiap-siap," berkata Warsi. "Kalian bukan saja harus
mempersiapkan bekal kewadagan kalian. Tetapi kalian harus
mempersiapkan bekal kejiwaan kalian yang justru lebih berat.
Sementara itu, kalian akan mendapat petunjuk, bagaimana kalian
dapat berhubungan dengan kami disini. Serta petunjuk
bagaimana kalian sebaiknya melakukan tugas kalian apabila hal
itu diperlukan. Besok kalian akan menerima bekal kewadagan.
Uang dan barangkali apa lagi yang perlu kalian bawa. Sedangkan
bekal kejiwaan harus kalian persiapkan sendiri."
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk betapapun terasa
dadanya bergejolak. Kedua anak muda itu pun kemudian telah diserahkan kepada
kepercayaan Ki Rangga untuk melakukan persiapan-persiapan
sepenuhnya. Sebagaimana dikatakan oleh Ki Rangga, ternyata
bahwa keduanya memang mendapat bekal uang yang cukup.
Uang yang seakan-akan hanya sekadar untuk ambil saja dari
rumah orang-orang kaya. Namun kepercayaan Ki Rangga dan Warsi itu masih
berpesan, "Namun berhati-hatilah dengan uang itu. Kalian tidak
akan dapat membawanya dengan serta merta. Jika kalian
membawa uang sedemikian banyaknya, maka kalian tentu akan
dicurigai. Demikian pula jika uang itu kalian bawa pulang dan
kalian sembunyikan di rumah masing-masing."
"Jadi harus kami apakan uang itu?" bertanya Saruju.
"Kalian harus menyembunyikannya di tempat yang tidak
sering didatangi orang," berkata kepercayaan Ki Rangga itu.
"Kalian hanya akan mengambil uang itu seperlunya saja. Ingat,
107 SH. Mintardja bahwa kalian tidak dapat menyelesaikan tugas kalian dalam
waktu dua atau tiga bulan. Mungkin setengah tahun, tetapi jika
kesempatan tiba-tiba terbuka, maka kalian akan dapat lebih cepat
bertindak atas anak Iswari itu."
"Baiklah," jawab keduanya hampir berbareng. Namun
seorang di antara mereka kemudian berkata, "Bukankah kami
akan selalu mendapat petunjuk dalam tugas-tugas kami"
Sebagaimana Nyai Wiradana pernah mengatakannya kepada
kami." "Ya. Kami akan selalu mengamati kalian dan melindungi
kalian dalam keadaan tertentu. Kami akan selalu memberikan
petunjuk-petunjuk. Dan kami pun akan ikut berbuat sesuatu jika
diperlukan bantuan," jawab kepercayaan Ki Rangga itu.
Bahkan kemudian kepercayaan Ki Rangga itu pun berkata,
"Tetapi yang harus kau ketahui bahwa usaha kami menyingkirkan
anak Iswari itu tidak hanya melalui satu jalur. Bukan hanya kau
yang akan melakukan tugas tersebut. Ki Rangga dan Nyi
Wiradana sepakat untuk melakukannya dengan segala cara,
sehingga jika kalian menemukan orang lain melakukannya,
kalian jangan menghalanginya. Bahkan jika perlu kalian harus
membantunya." "Siapa?" bertanya kedua orang anak muda itu.
"Untuk sementara kalian berdua. Tetapi mungkin besok atau
lusa orang lain akan melakukannya dengan cara yang berbeda.
Dengan cara yang berbeda-beda itu, tentu ada satu di antaranya
yang berhasil," berkata kepercayaan Ki Rangga itu.
Kedua anak muda Sembojan itu mengangguk-angguk. Namun
dalam pada itu mereka pun merasa, bahwa tentu ada orang yang
akan selalu mengawasi tugas mereka dan bahkan tingkah laku
mereka. Sehingga dengan demikian, maka mereka memang harus
berhati-hati. Mereka tidak boleh menyimpang dari tugas mereka,
apalagi berkhianat, karena yang menjadi tanggungan adalah
seluruh keluarga mereka. 108 SH. Mintardja Demikianlah, maka ketika mereka berdua telah
mempersiapkan segala sesuatunya yang dianggap penting, maka
mereka pun telah berangkat menuju ke Tanah Perdikan
Sembojan. Jarak antara sarang mereka dengan Tanah Perdikan
Sembojan memang tidak terlalu dekat. Namun bagi mereka jarak
itu sama sekali bukan lagi merupakan masalah.
Seperti yang sudah direncanakan, maka mereka telah
mendapat bekal uang yang cukup. Uang yang seakan-akan tinggal
mengambil seberapa mereka suka di rumah orang-orang kaya.
Namun seperti yang dipesankan, maka uang itu tidak mereka
bawa memasuki Tanah Perdikan Sembojan. Ketika mereka
berjalan semakin mendekati tujuan, maka mereka telah
memperhitungkan waktu. Mereka menunggu matahari terbenam
untuk menyembunyikan uang mereka disebuah gumuk kecil yang
memang tidak pernah dijamah oleh manusia. Sebuah bukit padas
yang gersang disebuah padang perdu di pinggir hutan.
"Tidak seorang pun yang akan pernah datang kemari,"
berkata Saruju. Damar mengangguk-angguk. Namun katanya, "Tetapi apakah
tempat ini tidak terlalu jauh?"
"Aku kira tidak," jawab Saruju. "Mudah-mudahan orang yang
bertugas mengawasi kita tidak melihat kita disini sekarang."
"Seandainya melihat, apa salahnya" Bukankah kita tidak
menyalahi tugas yang dibebankan kepada kita," sahut Damar.
"Bukan demikian," berkata Saruju. "Tetapi kita wajib
mencurigai setiap orang. Jika orang itu melihat kita menyimpan
uang disini, mungkin orang itu akan mengambilnya."
Damar menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Mudah-
mudahan tidak seorang pun yang melihatnya."
Saruju memang menyembunyikan uang pada sebuah lubang
batu padas. Uang yang disimpannya di dalam sebuah kotak kayu
kecil itu kemudian dibalut dengan sejenis ijuk yang mereka
dapatkan pada sejenis pohon aren liar dihutan untuk menahan
109 SH. Mintardja agar peti kayu itu tidak cepat menjadi rapuh. Kemudian menutup
lubang itu dengan bongkah-bongkah batu padas pula. Baru
kemudian Saruju memberikan tanda pada tempat itu.
"Marilah," berkata Saruju. "Kita meneruskan perjalanan
memasuki Tanah Perdikan. "Aku kira lebih baik jika kita memasuki Tanah Perdikan ekok
pagi. Di siang hari kita tentu akan dicurigai. Jika kita memasuki
Tanah Perdikan itu di malam hari, maka tanggapan para
pengawal tentu akan lebih tajam daripada jika kita masuk disiang
hari." Saruju termenung sejenak. Namun kemudian ia pun
mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita memasuki Tanah
Perdikan disiang hari. Kita akan menyerahkan diri di padukuhan
yang paling ujung." "Bagus. Kita memang harus datang ke padukuhan yang paling
ujung. Juga untuk menghindari kecurigaan yang berlebihan. Jika
kita melewati padukuhan di ujung Tanah Perdikan maka tentu
ada yang merasa terlampaui."
Keduanya ternyata sependapat, sehingga tidak ada persoalan
lagi di antara mereka. Yang mereka lakukan kemudian adalah
mencari tempat untuk bermalam.
Namun dalam kehidupan mereka yang keras, keduanya tidak
mengalami kesulitan apapun. Mereka telah mendapat tempat
yang baik untuk tidur. Mereka telah berbaring di atas rerumputan
kering dibalik sebuah gerumbul perdu. Keduanya sama sekali
tidak merasa takut terhadap binatang buas. Bahkan seandainya
seekor harimau datang mendekat, keduanya tidak akan lari.
Tetapi keduanya tentu akan melawan meskipun mereka berdua
hanya bersenjata pisau belati panjang. Itu pun akan ditinggalkan
di luar Tanah Perdikan Sembojan jika saatnya tiba bagi mereka
untuk memasuki padukuhan.
Sementara itu, di Tanah Perdikan Sembojan telah lebih
dahulu hadir tiga orang yang mendapat tugas yang sama, namun
dengan cara lain. Mereka tidak perlu berada atau tinggal di Tanah
110 SH. Mintardja Perdikan. Mereka dapat berada dimana saja. Namun mereka
harus mencari kesempatan untuk dapat membunuh anak Iswari.
Karena itu, ketiga orang itu telah mempergunakan cara yang
lebih kasar. Tetapi mereka berada di luar Tanah Perdikan.
Mereka tinggal disebuah tempat persembunyian yang mereka
buat ditengah-tengah hutan kecil. Hutan yang sudah tidak terlalu
banyak dihuni binatang. Apalagi binatang buas. Disekitar hutan
kecil itu telah digarap tanah pategalan yang dipersiapkan untuk
kemudian dijadikan tempat pemukiman. Jika jumlah penduduk
di Kademangan disebelah Tanah Perdikan itu menjadi semakin
banyak, maka memang harus dibuka padukuhan-padukuhan
baru. Hutan yang masih terlalu luas masih dapat disusut untuk
dijadikan tempat tinggal yang akan tumbuh menjadi padukuhan-
padukuhan yang ramai. Dari tempat mereka bersembunyi mereka akan berusaha
untuk dapat mengamati padukuhan induk dan mereka harus
berusaha untuk dapat selalu mendekati rumah Iswari.
Namun mereka pun sadar, bahwa rumah itu dihuni oleh
orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi mereka pun
yakin bahwa pada suatu saat orang-orang itu akan lengah.
"Jika kita anggap tidak berbahaya sekali, maka kita akan
mendekat disiang hari," berkata bekas pengikut Kalamerta.
"Mungkin kita dapat melakukannya," jawab orang yang cacat
wajahnya. "Bukankah kita mempunyai waktu yang longgar
sehingga kita tidak perlu tergesa-gesa."
"Memang tidak tergesa-gesa. Tetapi Ki Rangga akan
mengirimkan orang lain. Kita tidak boleh terlambat. Mereka pun
orang lain itu mungkin akan membantu kita, tetapi tindak
kepahlawanan kita akan dinilai berkurang," berkata orang yang
cacat matanya sebelah. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Kemudian bekas
prajurit Jipang yang lain itu pun berkata, "Baiklah. Kita adalah
orang yang paling baik di antara para pejuang yang masih setia
untuk menegakkan kembali Jipang yang besar. Kita adalah
111 SH. Mintardja orang-orang yang akan berhasil merebut landasan perjuangan
kita, Tanah Perdikan Sembojan. Jika kita berhasil membunuh
anak Iswari, maka kita adalah orang yang paling berjasa dalam
perjuangan ini. Dengan kematian anak Iswari, maka Puguh
adalah satu-satunya anak Wiradana."
"Tetapi kita harus menyadari, bahwa tugas ini sangat
berbahaya. Dengan demikian kita tidak akan pernah lengah,"
berkata bekas pengikut Kalamerta.
Namun orang yang matanya cacat sebelah itu menyahut, "Ya.
Kita tidak boleh lengah barang sekejap pun. Justru kita
menunggu para pengawal anak Iswari itu lengah."
Dengan demikian, maka ketiga orang itu telah membuat
rencana yang paling baik bagi mereka. Seorang di antara mereka
bergantian di siang hari akan berjalan lewat jalan di depan rumah
Iswari. Tidak ada orang yang mencurigainya, karena jalan itu
merupakan jalan yang memang banyak dilalui orang dari
Kademangan yang satu ke Kademangan yang lain, yang letaknya
berseberangan disebelah menyebelah Tanah Perdikan Sembojan.
Mereka akan lewat berganti-ganti sambil mengamati halaman
rumah Iswari. Akan lebih baik jika mereka sempat melihat
keadaan halaman rumah itu dan melihat anak Iswari itu
bermain-main. Namun di malam hari mereka akan pergi bersama-sama. Tiga
orang. Mereka akan langsung melihat-lihat keadaan rumah itu
meskipun harus dengan sangat berhati-hati.
Ketika mereka untuk pertama kali di malam hari memasuki
padukuhan induk, maka mereka memang menjadi sangat
berdebar-debar. Rasa-rasanya beberapa pasang mata selalu
mengikuti mereka kemanapun mereka pergi.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun akhirnya mereka dapat meyakinkan diri sendiri,
bahwa tidak seorang pun yang melihat mereka. Tanah Perdikan
Sembojan yang sudah menjadi semakin tenang itu pun agaknya
tidak lagi mendapat penjagaan yang berlebihan, meskipun masih
nampak betapa para pengawal menjadi sangat berhati-hati
112 SH. Mintardja Ketika mereka berhasil pada usaha mereka yang pertama
untuk mendekati rumah Iswari di malam hari, maka mereka telah
melakukan pekerjaan yang sama untuk malam-malam
berikutnya. Mereka melakukannya hampir setiap dua atau tiga
malam sekali. Namun ternyata mereka tidak segera menemukan dimana
anak Iswari itu tidur di malam hari. Meskipun mereka kadang-
kadang menunggu untuk waktu yang cukup lama, namun seakan-
akan anak Iswari itu tidak pernah terbangun di malam hari dan
apalagi menangis. Jika mereka mendengar tangis anak-anak
mereka akan segera tahu, dimanakah bilik anak itu.
Tetapi mereka tidak dapat terlalu lama menunggu disekitar
rumah Iswari. Agaknya terlalu berbahaya bagi mereka. Setiap kali
peronda pergi berkeliling rumah dan halaman. Merasa seakan-
akan telah mengamati setiap jengkal tanah, bahkan di luar
halaman. Namun ketiga orang itu tidak berputus asa. Mereka selalu
datang kembali dan menunggu beberapa lamanya. Sementara itu
disiang hari mereka seorang-seorang berusaha melintasi di depan
rumah Iswari sambil mengamati keadaan. Mereka melihat saat
yang paling aman, selagi jalan itu ramai dilalui orang. Pagi-pagi
setelah matahari naik, jalan itu banyak dilalui orang yang akan
pergi ke pasar. Atau menjelang tengah hari, saat orang-orang
pulang dari pasar. Ketika bekas prajurit Jipang yang cacat wajahnya itu lewat di
pagi hari, sekali ia melihat seorang laki-laki bermain dihalaman.
Perhatiannya segera tertarik. Namun ia tidak dapat berbuat
sesuatu pada waktu itu. Bekas prajurit itu melihat anak laki-laki
itu bermain dengan seorang laki-laki yang tentu salah seorang
pelindungnya. Bekas prajurit itu tidak akan gentar menghadapi
seandainya di halaman itu tidak terdapat beberapa orang lain.
Dan di antara mereka tentu terdapat satu atau dua orang
pengawal Tanah Perdikan yang bertugas di rumah itu. Mungkin
mereka bertugas di malam hari, namun karena sesuatu hal
mereka masih belum sempat pulang. Atau bahkan mereka baru
113 SH. Mintardja datang menggantikan kawannya yang bertugas dimalam hari.
Dalam penglihatannya yang singkat bekas prajurit Jipang itu
melihat seorang yang membawa pedang dilambung, berdiri dekat
dibibir pintu regol yang terbuka lebar.
Dengan demikian, maka bekas prajurit Jipang itu semakin
menyadari bahwa tugas yang diembannya adalah tugas yang
berat dan sulit, meskipun hanya sekadar membunuh anak-anak.
Pada kesempatan lain, kawannya yang cacat pada matanya
telah berhenti beberapa langkah dari pintu gerbang halaman
rumah Iswari. Ia berpura-pura kelelahan memikul dua ikat kayu
bakar besar yang akan dibawanya ke pasar.
Sambil duduk di antara kedua ikat kayu bakar itu, ia sempat
mengamati halaman rumah Iswari. Ia pun melihat seorang anak
yang sedang disuapi sambil berlari-lari. Pemomongnya seorang
perempuan dengan sabar mengikutinya sambil sekali-kali
menyuapi mulut anak itu. "Tentu anak itu yang dimaksud," berkata bekas prajurit
Jipang itu di dalam hatinya.
Tetapi ia pun tidak dapat bertindak karena ia melihat seorang
perempuan yang berdiri ditangga pendapa. Iswari itu sendiri.
Perempuan itu sekali-kali melambaikan tangannya kepada
anak yang sedang bermain di halaman. Sementara pemomongnya
masih saja sibuk menyuapinya sambil berlari kesana-kemari.
Bekas prajurit Jipang yang berpura-pura menjadi penjual
kayu bakar itu hanya dapat menggeretakkan giginya. Namun ia
pun kemudian berkata kepada diri sendiri, "Aku akan
mendapatkan kesempatan itu pada satu saat."
Ia masih duduk beberapa saat di dekat regol sambil
menunggu kemungkinan yang tidak dapat diperhitungkan.
Namun kesempatan itu tidak didapatkannya pagi itu.
Ia pun kemudian meneruskan perjalanannya, memanggul
kayu bakar itu di pasar. Namun karena kayu bakar itu benar-
benar telah sampai di pasar, maka kayu itu dijualnya pula kepada
114 SH. Mintardja seorang penjual nasi di sebuah warung yang cukup ramai di
pinggir pasar. Dari hasil penjualan kayu itu maka ia pun langsung
duduk di dekat seorang penjual nasi kuluban didekat pintu
masuk pasar itu. Ia sama sekali tidak membeli nasi di kedai yang
lebih baik, tetapi nasi kuluban itu sangat menarik perhatiannya.
Bahkan setelah ia selesai makan, ia telah membeli pula dua
bungkus nasi kuluban yang dibawanya kembali
kepersembunyiannya untuk kedua kawannya yang tinggal.
Ketika ia menceriterakan kepada kedua kawannya, maka
kedua kawannya itu tertawa. Mereka mengerti bahwa bekas
prajurit yang cacat pada matanya itu berpura-pura menjual kayu.
Namun bahwa ia benar-benar telah menjual kayu itu kepada
penjual nasi di pasar, agaknya telah menimbulkan kegelian di
antara mereka. "Lihat hasilnya," berkata bekas prajurit itu sambil
memberikan dua bungkus besar nasi kuluban."
"Sepikul kayu bakar yang berat itu mendapat ganti tiga
bungkus nasi kuluban," desis kawannya.
"Dua," jawabnya. "Yang satu telah aku makan seberapa
perutku mampu menampungnya."
Kedua kawannya tertawa pula. Seorang di antara mereka
berkata, "Kita membawa bekal uang yang cukup. Kau tidak usah
menjadi penjual kayu seperti itu."
"Jangan bodoh," berkata bekas prajurit yang menjual kayu
bakar itu. "Dengan menjual kayu bakar, aku akan mendapat
banyak kesempatan mengamati regol rumah Iswari. Selain itu
kepalang tanggung kayu yang sudah sampai di pasar itu."
Namun ternyata bekas prajurit itu mempunyai pengharapan
lain. Jika ia sudah dikenal sebagai penjual kayu bakar, maka ia
akan lebih banyak mempunyai kemungkinan untuk hilir mudik
tanpa dicurigai orang. Karena itulah, maka ia tidak menjadi jera membawa sepikul
kayu bakar. Ia selalu lewat dimuka gerbang rumah Iswari. Sekali-
115 SH. Mintardja kali ia sempat melihat anak itu dihalaman. Namun kadang-
kadang tidak sama sekali.
Sementara itu kedua kawannya membiarkannya berlalu
demikian. Bahkan pada satu saat bekas pengikut Kalamerta itu
pun telah mengikutinya pada jarak tertentu. Ketika penjual kayu
itu berhenti diregol, diseberang jalan yang membelah padukuhan
induk itu, orang itu pun mendekatinya dan duduk pula
bersamanya dibelakang sepikul kayu bakar itu.
Mereka berdua memang sempat melihat Risang berlari-lari di
halaman. Tetapi mereka juga melihat pengawal yang berada
dibelakang regol. Bukan saja menjaga pintu yang terbuka lebar
itu. Tetapi kadang-kadang ia ikut bermain dengan anak itu.
"Kita akan melihatnya disiang hari," berkata bekas pengikut
Kalamerta itu. Kisah Pedang Di Sungai Es 12 Pedang Hati Suci Karya Jin Yong Naga Sakti Sungai Kuning 2
^