Suramnya Bayang Bayang 35
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 35
tergeser dari tempatnya. Bahkan tergetarpun tidak. Justru
malahan Rumpak lah yang terdesak dan jatuh menghantam
dinding yang kuat, kemudian berguling ditanah.
21 SH. Mintardja Dengan tangkas Rumpak melenting berdiri. Namun rasa-
rasanya punggungnya akan patah, sehingga tidak mungkin
lagi baginya untuk berlari meninggalkan halaman itu. Ia
tidak akan mampu lagi belari cukup cepat untuk mencapai
dinding itu dan ia pun merasa ragu bahwa dengan
punggung yang bagaikan patah itu, apakah ia dapat
meloncat. Namun perhitungannya pun kemudian tertuju kepada perempuan yang nampaknya menjadi gugup dan bertanya, "Apa yang
telah terjadi?" Tetapi Rumpak menjawab, "Ternyata kau
bukan perempuan kebanyakan. Kau dengan sengaja telah menghentikan
aku dengan tenagamu yang besar, yang mampu membenturkan tubuhku pada dinding pada saat aku
berlari. Meskipun aku mengerti, bahwa sentuhan yang tidak
terlalu besar akan mampu mengguncang keseimbangan
seseorang yang sedang berlari dengan tergesa-gesa, namun
terasa bahwa aku memiliki kekuatan yang besar. Karena itu,
perempuan tua, kau harus menanggung akibat dari
perbuatanmu. Kau sudah menggagalkan niatku."
"Apa yang akan kau lakukan Ki Sanak?" bertanya
perempuan itu. 22 SH. Mintardja "Mematahkan tulang belakangmu seperti yang terjadi
padaku. Tulang belakangku terasa seakan-akan telah
patah," jawab Rumpak.
Perempuan tua itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Sudahlah Ki Sanak. Jika punggungmu
sakit, sebaiknya kau beristirahat. Berbaring sajalah untuk
menenangkan diri. Sebentar saja perasaan sakit itu akan
hilang." "Persetan," geram Rumpak. "Aku semakin yakin, bahwa
kau termasuk seorang perempuan yang memiliki ilmu
seperti perempuan yang disebut Serigala Betina itu. Karena
itu, maka aku ingin memutar tubumu sehingga tulang
belakangmu patah karenanya."
"Jangan mempersulit diri Ki Sanak," berkata perempuan
itu. Tetapi Rumpak tidak mau mendengarnya lagi. Dengan
kemarahan yang memuncak ia menggeram sambil
menerkam tubuh perempuan tua itu. Perempuan yang telah
menggagalkannya untuk meninggalkan bilik itu.
Namun ketika tangannya menyentuh tubuh perempuan
itu, Rumpak terkejut. Tangannya, terutama jari-jarinya
terasa seolah-olah berpatahan. Ternyata tubuh perempuan
tua itu menjadi keras seperti baja.
Akhirnya Rumpak harus mengakui kenyataan.
Perempuan itu benar-benar seorang perempuan yang
memiliki ilmu yang tinggi.
Karena itu, maka ia pun telah melepaskan
cengkeramannya dan membanting diri duduk
dipembaringannya. Katanya, "Nyai. Aku menjadi semakin
yakin akan kekecilan diriku di Tanah Perdikan ini. Inilah
23 SH. Mintardja sebabnya maka Saruju dan Damar tidak berani melakukan
tugasnya." "Tenanglah," berkata perempuan tua itu. "Renungilah
keadaanmu sebaik-baiknya. Pada satu saat, kau akan
dipanggil lagi menghadap seperti tadi. Aku juga hadir ketika
kau dipanggil Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan
Sembojan yang kebetulan seorang perempuan. Mungkin ia
dapat berlaku lembut seperti kebanyakan perempuan.
Tetapi ia akan dapat menjadi garang karena
kedudukannya." Rumpak tidak menjawab. Namun jantungnya menjadi
semakin berdebar-debar. Sementara itu perempuan tua itu
berkata, "Sudahlah. Kesempatanmu untuk beristirahat tidak
banyak lagi. Menurut pendapatku sebaiknya kau
pergunakan waktumu sebaik-baiknya."
Rumpak masih tetap berdiam diri. Sementara
perempuan itu telah selesai membenahi mangkuk-mangkuk
yang kotor. Sambil menjinjing mangkuk-mangkuk itu
perempuan tua itu berkata, "Ingatlah. Jika kau berkata
dengan jujur, maka persoalan-persoalan yang tidak baik
akan dapat dikesampingkan. Sebaliknya jika kau tidak
berkata dengan jujur, mungkin kau akan mengalami
perlakuan yang belum pernah kau bayangkan sebelumnya."
Perempuan tua itu tidak menunggu jawaban. Perlahan-
lahan ia keluar dari dalam bilik itu. Kemudian terdengar
pintu bilik itu ditutup dan diselarak dari luar.
Rumpah menarik nafas dalam-dalam. Dalam waktu yang
dekat, ia semakin mengenali Tanah Perdikan itu. Di Tanah
Perdikan itu terdapat orang-orang yang berilmu sangat
tinggi jauh melampaui dugaannya. Jika semula orang yang
paling dikagumi hanyalah Ki Rangga Gupita dan Warsi
disamping Ki Randukeling yang tidak pernah muncul lagi,
24 SH. Mintardja ternyata ia telah bertemu dengan orang-orang yang
memiliki ilmu tanpa diduga sebelumnya.
Namun demikian perasaan Rumpak perlahan-lahan
menjadi tenang. Ia pun kemudian mampu memaksa hatinya
pasrah atas apa yang dapat terjadi atas dirinya.
Sejenak kemudian, Rumpak justru berbaring
dipembaringannya. Ia mulai menerawang kemungkinan-
kemungkinan yang bakal terjadi atas dirinya. Namun
pengenalannya atas kemampuan seorang perempuan tua itu
sangat berkesan di dalam dirinya.
SEKILAS Rumpak teringat kembali akan perempuan
yang menyebut dirinya Serigala Betina. Perempuan gemuk
itu tentu seorang perempuan yang garang. Kemudian
dibayangkannya bagaimana Gandar itu melakukan sesuatu
jika ia menjadi jengkel karena pertanyaan-pertanyaannya
tidak terjawab. Laki-laki yang telah mengalahkannya di
pertempuran, dan kemudian bagai-mana dengan Iswari
sendiri. Namun bagi Rumpak semuanya itu adalah sekelompok
orang-orang berilmu tinggi yang telah menangkapnya ke
dalam satu keadaan tanpa kemungkinan lain, kecuali
pasrah. Dalam kesibukan angan-angan, Rumpak justru tidak
menyadari bahwa waktu berjalan terlalu cepat. Ia terkejut
ketika selarak pintu biliknya terangkat. Kemudian perlahan-
lahan pintu itu pun terbuka.
Yang berdiri dimuka pintu kemudian adalah Gandar.
"Rumpak," meskipun ujud Gandar cukup garang, tetapi
suaranya terdengar wajar ditelinga. "Marilah. Kita akan
berbicara tentang beberapa hal."
25 SH. Mintardja Rumpak pun kemudian bangkit dari pembaringannya.
Sejenak ia membenahi diri. Kemudian ia pun berjalan
seperti tanpa perasaan menuju ke pintu.
Gandar bergeser kesamping. Kemudian Rumpaklah yang
berjalan didepan menuju ke ruang dalam rumah Pemangku
Jabatan Kepala Tanah Perdikan itu.
Rumpak sama sekali tidak merasa tegang lagi ketika ia
duduk di antara beberapa orang. Ia tidak sempat
memandang wajah mereka seorang demi seorang,
sebagaimana yang telah terjadi sebelumnya. Ia hanya tahu
ada beberapa orang yang telah duduk melingkar. Ia juga
tidak melihat perempuan tua yang telah membawa
mangkuk makanan ke dalam biliknya yang ternyata ada
pula di ruang itu. Tiba-tiba saja ketika Iswari memasuki
ruang itu, hatinya merasa sejuk. Rumpak tidak tahu, apakah
sebabnya bahwa ia lebih tenang jika Iswari ada di antara
orang-orang Sembojan itu.
"Rumpak," berkata Iswari kemudian. "Kau tentu sudah
tahu, untuk apa kami memanggilmu. Pagi tadi kau nampak
sangat letih, sehingga karena itu pertemuan kita telah
tertunda." Rumpak menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia menjawab sambil mengangguk, "Ya Nyi. Aku
tahu." "Nah, jika demikian, aku minta kau bersedia bekerja
sama dengan kami, agar tidak timbul ketegangan yang tidak
berarti bagi kita semuanya," berkata Iswari.
Hampir di luar sadarnya Rumpak mengangguk sambil
menjawab, "Baik Nyai."
26 SH. Mintardja Iswari mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
"Terima kasih Ki Sanak. Jika benar demikian, maka
pertemuan ini akan cepat berakhir."
Rumpak termangu-mangu sejenak. Tetapi ia memang
tidak mempunyai pilihan lain.
Sejenak kemudian, maka Iswari pun bertanya, "Jika
demikian Ki Sanak. Bukankah kau dapat mengatakan serba
sedikit yang kau ketahui tentang Ki Rangga Gupita dan
Warsi yang sampai saat ini masih selalu mengganggu
ketenangan Tanah Perdikan ini?"
Rumpak memandang wajah Iswari sekilas. Tetapi ia
melihat wajah itu tetap tenang dan tidak bergejolak. Tetapi
Rumpak tiba-tiba saja dicengkam oleh ketakutan untuk
melihat wajah-wajah orang lain disekitarnya, sehingga ia
tetap tidak mengerti siapa saja yang berada di ruang itu.
"Tentu Damar dan Saruju ada juga disini," berkata
Rumpak di dalam hatinya. "Ki
Sanak," berkata Iswari pula. "Silakan. Bukankah Ki Sanak
tidak berkeberatan untuk bekerja bersama dengan kami?"
Rumpak tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu maka
ia pun mulai menceritakan serba singkat tentang
keadaannya dan kedudukannya. Ia berada disalah satu
sarang dari beberapa sarang para pengikut Ki Rangga
Gupita. Namun seperti Damar dan Saruju serta kawan-
kawannya yang lain yang tertangkap hidup-hidup dan
diperiksa di tempat dan waktu yang terpisah, mereka sama
sekali tidak menyebut tentang sebuah padepokan yang rapi,
tertib dan bersih. Yang berhubungan akrab dengan
padukuhan-padukuhan disekitarnya dan dianggap sebagai
tempat untuk minta petunjuk dan bahkan nasihat-nasihat
untuk mengatasi beberapa macam kesulitan yang terjadi di
27 SH. Mintardja padukuhan-padukuhan. Kesulitan tentang tanaman mereka
yang tidak dapat tumbuh subur disawah dan pategalan,
tentang hama yang menyerang batang-batang kelapa dan
tentang banyak hal yang memberikan kesan, betapa
pentingnya kehadiran padepokan itu di antara orang-orang
padukuhan. Karena itu, yang dapat ditangkap dari pembicaraan para
pemimpin Tanah Perdikan Sembojan dengan orang-orang
yang dikirim oleh Ki Rangga dan Warsi tidak lebih dari
beberapa sarang gerombolan yang garang dan kasar.
Beberapa buah goa yang telah dibangun secara khusus
sehingga mampu menjadi tempat tinggal dan dihuni oleh
sekelompok pengikut Ki Rangga dan Warsi.
Rumpak memang dapat menyebutkan beberapa tempat
dari sarang-sarang gerombolannya yang banyak, meskipun
tidak semua. Iswari mendengarkan keterangan itu sambil
mengangguk-angguk. Ia percaya tentang apa yang
dikatakan oleh Rumpak, karena keterangan itu tidak
bertentangan dengan keterangan kawan-kawannya yang
tertangkap dan tidak pula bertentangan dengan keterangan
Saruju dan Damar. Dalam pada itu, para pemimpin Tanah Perdikan yang
ada di ruang itu mengangguk-angguk. Ternyata mereka
berhasil memaksa Rumpak berbicara tanpa menyakiti
tubuhnya. Damar dan Saruju memang ada pula ditempat
itu. Seakan-akan ia menjadi saksi kebenaran keterangan
Rumpak tentang lingkungannya.
"Baiklah," berkata Iswari kemudian. "Kau sudah
mengatakan apa yang kau ketahui. Karena itu, maka kau
akan dikembalikan ke dalam bilikmu. Untuk sementara
persoalan yang kau kemukakan telah cukup bagi kami.
28 SH. Mintardja Tetapi mungkin pada saat lain keteranganmu yang lainlah
yang kami perlukan. Apalagi jika persoalannya telah berada
di tangan para pemimpin Pajang yang tentu juga
berkepentingan dengan gerombolan-gerombolan yang
kalian katakan itu untuk membersihkan Pajang dari
gangguan mereka." Rumpak tidak menjawab. Ia sadar, bahwa ia sudah
berkhianat. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat lain.
Apalagi setelah ia mendengar alasan dan keterangan
tentang sikap Tanah Perdikan Sembojan serta Pajang,
kenapa mereka harus membersihkan gerombolan-
gerombolan sisa-sisa pasukan Jipang.
"Selama ini aku mendengar sikap dari satu sisi saja,"
berkata Rumpak di dalam hatinya. "Dengan demikian maka
aku tidak dapat melihat hubungan persoalannya dengan
pertimbangan yang utuh. Itulah agaknya maka Damar dan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saruju yang sempat tinggal di Tanah Perdikan ini, kembali
kepada keluarganya dan kepada kampung halamannya,
justru karena ia mendapatkan bahan pertimbangan tentang
sikapnya itu." Tetapi Rumpak tidak menyatakan sesuatu. Semuanya
telah terlambat baginya. Bagi Tanah Perdikan, ia adalah
seorang tawanan karena ia berusaha untuk membunuh
Damar, meskipun Damar adalah bekas seorang pengikut Ki
Rangga Gupita dan Warsi. Sejenak kemudian, maka Gandar pun telah membawa
Rumpak kembali ke biliknya. Sementara itu Gandar sempat
berkata, "Nah, bukankah jika kau mau membantu kami,
maka kau tidak akan mengalami perlakuan yang kasar,
karena agaknya untuk waktu-waktu yang akan datang masih
banyak keteranganmu yang kami perlukan."
29 SH. Mintardja Rumpak tidak menjawab. Tetapi ia memang menjadi
cemas. Jika keterangan yang diperlukan itu benar-benar
tidak diketahuinya, maka ia akan dapat berada dalam
keadaan yang sulit, seolah-olah ia dengan sengaja
menyembunyikan sesuatu. Dalam pada itu, setelah Rumpak dibawa kembali ke
biliknya, maka para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan
itu pun mulai membicarakan persoalan yang mereka
hadapi. Tetapi agaknya yang mereka hadapi itu tidak saja
berada di Tanah Perdikan Sembojan yang menjadi daerah
jangkau kekuasaan Pemangku Jabatan Kepala Tanah
Perdikan Sembojan, karena sarang-sarang gerombolan itu
semuanya berada diluar Tanah Perdikan.
Ternyata bahwa Iswari memerlukan satu kesempatan
tersendiri untuk membicarakan persoalan gerombolan dari
bekas para prajurit Jipang yang ternyata telah berbaur
dengan sisa-sisa kekuatan gerombolan Kalamerta yang
sempat dihimpuan kembali.
Sementara itu, perhatian Iswari terhadap Risang menjadi
semakin tajam. Risang adalah sasaran utama dari
gerombolan yang masih berusaha untuk mendapat
kesempatan merampas Tanah Perdikan itu, karena seorang
di antara anak Ki Wiradana ada di antara gerombolan itu.
Karena itulah maka pengawasan terhadap Risang
menjadi semakin ketat. Namun agar Risang tidak menjadi
seorang yang terlepas dari lingkungannya, maka Iswari
memberikan kesempatan kepada anaknya untuk bermain-
main dengan anak-anak sebayanya. Namun dalam keadaan
yang demikian, pengamanan atas anak itu dilakukan
dengan bersungguh-sungguh. Bukan saja Bibi lebih banyak
mempergunakan waktunya untuk berada di dekat Risang.
Tetapi juga Gandar, Nyai Soka dan Iswari sendiri.
30 SH. Mintardja Untuk menjaga banyak kemungkinan, maka Iswari justru
membiarkan anak-anak tetangga-tetangganya bermain di
halaman rumahnya yang luas daripada melepaskan Risang
keluar dari halaman dan bermain di jalan atau ditempat-
tempat lain. Meskipun demikian agar Risang tidak menjadi seorang yang berpandangan
sempit kelak, maka sekali-
kali Risang masih juga dibawanya keluar. Namun jika demikian, maka beberapa orang terpercaya
mengikutinya pula. Sekali-kali Risang memang diajak juga pergi ke
sungai. Pergi ke sawah dan
pategalan. Pergi ke bendungan dan tempat- tempat lain yang perlu dikenalinya. Tetapi dengan satu keyakinan, bahwa
keselamatannya akan tetap dilindungi. Bahkan Risang lebih
banyak pergi bersama ibunya sendiri bersama Gandar dan
Bibi. Sementara itu para pengawal di padukuhan-
padukuhan masih saja berada dalam kesiagaan tertinggi
setelah terjadi usaha pembunuhan terhadap keluarga
Damar. Di pihak lain, Ki Rangga dan Warsi ternyata telah
mendapat laporan tentang kegagalan Rumpak dan kawan-
kawannya. Ternyata Rumpak tidak berhasil membunuh
salah seorang keluarga Damar. Bahkan Rumpak dan
31 SH. Mintardja beberapa orang kawannya tertangkap hidup-hidup,
sementara yang lain tertangkap mati.
"Gila," geram Ki Rangga. "Ternyata mereka adalah tikus-
tikus yang dungu. Mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
Membunuh kecoak pun tidak dapat mereka lakukan.
Bahkan mereka telah dihancurkan oleh orang-orang Tanah
Perdikan Sembojan." Warsi pun mengumpat tidak habis-habisnya. Dengan
nada tinggi ia berkata, "Jika demikian, dengan cara apa lagi
kita harus membunuh anak itu?"
"Kita tidak boleh putus asa. Kita akan membunuhnya.
Jika kita tidak melakukannya, lalu apa artinya anakmu itu"
Ia tidak akan berguna sama sekali bagi kita," sahut Ki
Rangga. "Anak itu memang membawa nasib buruk," geram Warsi.
"Tetapi aku masih akan tetap memeliharanya sampai
saatnya kita dapat membunuh Risang. Anak itu akan
memasuki Tanah Perdikan dengan haknya sebagai anak
Wiradana." Ki Rangga tidak menjawab. Bahkan kebenciannya
terhadap anak Wiradana itu menjadi semakin menyala di
dalam hatinya. Anak itu seakan-akan hanya merupakan
beban saja dan bahkan membuatnya selalu teringat kepada
ayah anak itu yang sudah terbunuh.
Tetapi untuk sementara ia masih menyabarkan dirinya.
Mungkin masih ada kesempatan. Namun jika memang tidak
ada lagi kemungkinan untuk membunuh Risang, maka
Puguh itu pun tidak akan berarti apa-apa lagi.
Karena itulah, maka perlakuan terhadap Puguh itu tidak
menjadi bertambah baik. Anak itu setiap hari dibebani
dengan tuntutan-tuntutan yang sangat berat. Ibunya dan Ki
32 SH. Mintardja Rangga menyebutnya sebagai satu usaha untuk menempa
anak itu. "Jika sejak kecil ia mengalami tekanan yang berat, maka
tubuhnya akan terbiasa untuk melawan dan mengatasinya.
Ia akan menjadi seorang yang kuat lahir dan batin. Jika
saatnya ia menguasai ilmu, kanuragan, maka ia akan
menjadi seorang yang tidak akan terlawan. Kemampuannya
dan kebesaran jiwanya akan menggulung semua lawan-
lawannya" berkata Warsi kepada orang yang diserahinya,
orang yang pernah diakunya sebagai ayah Warsi disaaat ia
memasuki Tanah Perdikan Sombajan sebagai seorang
penari jalanan. Orang yang setiap hari mangasuh Puguh itu
mengangguk. Seperti keinginan dan sikap ibunya, maka ia
pun bersikap keras terhadap Puguh. Ia memaksa anak itu
untuk melakukan latihan-latihan yang sangat berat dibandingkan dengan umurnya yang baru mulai semi.
Tetapi Puguh tidak sempat mengeluh. Ia memang sering
menangis. Namun lambat laun anak itu merasa bahwa
tangisnya tidak berarti apa-apa lagi. Karena na itu, maka
setiap kali anak yang masih sangat muda itu berusaha
menyembunyikan tangisn:ya sehingga kadang-kadang
dadanyalah yang menjadi sesak oleh isaknya.
"Kau tidak haleh menjadi manja" geram ibunya setiap
kali anak itu menangis, "kau anak seorang pengecut. Kau
tidak boleh menjadi seorang pengecut pula. Kau harus
menjadi laki-laki yang pantas sebagai anak Warsi."
Puguh sama sekali tidak mengerti arti kata-kata ibunya
itu. Tetapi ia tidak menjawab. Namun setiap kali anak itu
sibuk mengusap air matanya, agar ibunya tidak pernah
melihatnya menangis. 33 SH. Mintardja Samentara sikap orang-orang di sekitarnya terhadap
anak kecil itu masih belum beruhah, Ki Rangga dan Warsi
telah dibebani tugas yang lain untuk menyelamatkan
beberapa buah sarangnya yang tentu akan diketahui oleh
orang-orang Tanah Perdikan Sembojan.
"Sarang itu harus dikosongkan" berkata Warsi.
"Sebenarnya kita tidak perlu mencemaskannya. Orang.
orang Tanah Perdikan Sembojan tidak akan berani
menjangkau sarang-sarang kita, sementara Pajang tidak
akan menghiraukannya seandainya Tanah Perdikan
Sembajan melaporkantaya." jawab Ki Rangga.
"Tetapi kita harus berjaga-jaga" berkata Warsi pula, "kita
sudah terlalu banyak kehilangan. Sebaiknya kita tidak
menjadi lengah." Ki Rangga mengangguk kecil. Jawabnya, "Baiklah. Kita
akan menutup dua buah sarang kita. Sarang yang semula
dihuni oleh Rampak dan kawan-kawannya, sementara satu
lagi yang dihuni semula oleh Damar dan Saruju."
"Satu lagi" berkata Warsi, "yang bersama-sama dengan
Rumpak tidak hanya berasal dari satu sarang."
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya
kemudian, "Baiklah. Kita akan memindahkan tiga buah
sarang kita. Jika tergesa-gesa dan kita belum mendapatkan
tempat lain yang baik, maka biarlah ketiga sarang itu kita
tempelkan pada tiga buah sarang yang sudah ada."
"Aku setuju" berkata Warsi, "itu, lebih baik daripada
ketiga sarang itu dihancurkan oleh orang~orang Tanah
Perdikan Sembojan yang dibantu oleh para prajurit Pajang."
Dalam pada itu, sebenarnyalah Iswari telah berbicara
dengan, para perwira Pajang. Iswari telah malaporkan apa
34 SH. Mintardja yang diketahui tentang gerombalan bekas prajurit Jipang
dan bekas orang-orang yang menjadi pengikut Kalamerta.
"Bukan satu-satunya" jawab perwira Pajang itu, "di
sebelah Barat Pajang, pasukan Jiipang yang saat itu berada
disisi Barat juga menyusun kekuatan. Mereka mencari
landasan di sekitar Kademangan Sangkal Putung yang
subur. Pasukan itu agaknya masih lebih kuat dari pasukan
Ki Rangga Gupita, Namun karena Ki Rangga memecah
pasukannya menjadi bagian-bagian yang kecil, agaknya, kita
memang sulit untuk menilainya."
"Beberapa buah sarangnya dapat kita ketahui justru
karena ada di-antara mereka yang tertangkap" berkata
lswaril. "Kami menyadari, seperti sepasukan yang terada di
sekitar Sangkal Putung yang subur itu, maka gerombolan Ki
Rangga teptu merupakan gangguan yang perlu mendapat
perhatian." jawab perwira Pajang itu.
"Apakah Pajang masih belum mengambil langkah-
langkah yang perlu untuk menghancurkan kekuatan sisa-
sisa prajurit Jipang yang ada di Sangkal Putung dan
sekitarnya?" bertanya Iswari.
"Kami sudah menempatkan pasukan Pajang di Sangkal
Putung. Bersama-sama dengan rakyat Sangkal Putung dan
Kademangan di sekitiarnya mereka selalu berhasil mengusir
sisa-sisa pasukan Pajang itu. Namun tujuan mereka yang
terakhir .bukan sekedar mengusir, tetapi menghancurkan
seluruh sisa-sisa pasukan Jipang itu." jawab perwira Pajang
itu. "Jika demikian, apakah tidak sebaiknya diambil tindakan
juga atas sarang-sarang kekuatan pasukan Ki Rangga itu"
Mudah-mudahan dengan demikian gangguan atas tegaknya
35 SH. Mintardja Pajang akan dapat dikurangi sejauh-jauhnya," berkata
Iswari kemudian. "Tetapi kita tidak akan menemukan sasaran," berkata
perwira Pajang itu., "Aku yakin, bahwa setelah orang-
orangnya tertangkap Ki Rangga akan menarik orang-
orangnya dari sarang yang mungkin akan disebut oleh
orang-orangnya yang tertangkap itu."
Iswari mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya,
"Tetapi ada beberapa buah sarang yang dikenalinya.
Mungkin satu dua di antara sarang-sarang itu akan
dikosongkan. Tetapi tidak semuanya sebagaimana
dikatakan oleh orang yang tertangkap itu."
Perwira Pajang itu menggeleng, katanya, "Apa yang
dikenal oleh seseorang tentu bukan segala-galanya. Tentu
ada sarang-sarang lain yang tidak diketahuinya."
"Jika kita mendengar langsung keterangannya, maka kita
dapat menangkap isyarat tentang sarang-sarang yang
bertebaran. Memang tidak semuanya dikenal, tetapi
Rumpak sebagai seorang yang telah mendapat kepercayaan
maka yang diketahuinya bukan sekadar lingkungan yang
sempit. Apalagi ada beberapa sumber keterangan yang ada
di Tanah Perdikan ini. Selain orang-orang yang tertangkap,
maka Damar dan Saruju sendiri akan dapat menjadi sumber
keterangan itu." Perwira Pajang itu mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Baiklah. Aku akan membicarakannya dengan Senapati.
Jika Senapati setuju, maka kita akan dapat berangkat.
Sepasukan yang disiapkan oleh Pajang dan sekelompok
yang lain akan disiapkan oleh Tanah Perdikan Sembojan,
meskipun bukan berarti bahwa Sembojan harus
dikosongkan." 36 SH. Mintardja Demikianlah, maka Tanah Perdikan Sembojan telah
menyiapkan pasukan yang kuat untuk bersama-sama
pasukan Pajang menelusuri daerah yang asing untuk
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencari sumber kejahatan yang kadang-kadang terasa
sangat mengganggu Pajang yang baru tumbuh.
Untuk itu maka Iswari telah memerintahkan Damar dan
Saruju untuk ikut. Namun dalam pada itu, para pemimpin Tanah Perdikan
Sembojan serta para perwira Pajang menganjurkan agar
Iswari sendiri tidak usah ikut serta.
"Kenapa?" bertanya Iswari.
"Tanah Perdikan ini sedang mulai berkembang," jawab
seorang perwira Pajang. Namun Kiai Badra mempunyai pertimbangan lain.
Katanya, "Kau harus mengamati Risang. Siapa tahu, justru
dalam saat-saat pemburuan itu, mereka telah mengirimkan
sekelompok orang yang memiliki kemampuan melampaui
orang-orang mereka terdahulu untuk membunuh atau
mengambil Risang." Iswari termangu-mangu. Namun ketika Kiai Badra
menyebut Risang, maka jantungnya memang berdegup
lebih keras. Dengan kepala tunduk maka Iswari pun kemudian
berkata, "Baiklah. Aku akan tinggal di Tanah Perdikan ini."
Dalam pada itu, dalam pasukan Tanah Perdikan yang
kuat meskipun tidak terlalu banyak jumlahnya terdapat
Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung. Gandar sendirilah
yang akan memegang pimpinan pasukan Tanah Perdikan
Sembojan. 37 SH. Mintardja Ketika semua persiapan telah selesai, maka seperti yang
diperintahkan oleh para perwira dari Pajang mereka harus
mulai bergerak. Mereka diperkenankan membawa tunggul
yang pernah diberikan oleh Pajang kepada Tanah Perdikan
itu pada saat mereka mendapat wewenang untuk memegang
pimpinan di Tanah Perdikan dan melawan pasukan Warsi
dan Ki Rangga Gupita. "Dengan tunggul itu, maka kalian memang bergerak atas
nama Pajang," berkata seorang perwira Pajang. "Daerah
yang akan kalian lewati tidak akan merasa tersinggung,
karena kalian tidak bergerak atas nama Tanah Perdikan
Sembojan, tetapi atas nama pemerintahan Pajang."
Sebanyak lima kelompok Pasukan Tanah Perdikan telah
berangkat. Setiap kelompok terdiri dari duapuluh orang.
Sehingga semua kekuatan Tanah Perdikan yang akan ikut
dalam usaha penumpasan gerombolan Ki Rangga dan Warsi
yang terdiri dari bekas prajurit Jipang dan orang-orang
yang pernah menjadi pengikut Kalamerta, semua berjumlah
seratus orang ditambah dengan tiga orang pemimpinnya.
Jumlah itu memang terlalu sedikit. Tetapi, prajurit
Pajang akan berjumlah tiga kali lipat. Karena Pajang
memang ingin menumpas gerombolan itu sehingga tidak
akan menimbulkan gangguan-gangguan yang berarti.
Rumpak sendiri, ternyata tidak dibawa oleh pasukan
Tanah Perdikan Sembojan. Namun kecuali Damar dan
Saruju, telah ikut pula orang-orang yang tertawan bersama
Rumpak. Namun dalam pada itu, di Tanah Perdikan Sembojan
sendiri, pengawasan dan pengamatan terhadap daerahnya
sama sekali tidak menjadi kendor. Bahkan untuk tetap
melindungi keluarga Damar dan Saruju, para pengawal
telah memindahkan gardu mereka. Untuk sementara gardu
38 SH. Mintardja terdekat menjadi kosong. Tetapi mereka berada di Serambi
rumah Damar dan Saruju itu.
Sedangkan pengamanan terhadap Risang pun telah
ditingkatkan pula. Bibi kemudian tidak mempumyai tugas
lain kecuali mengasuh Risang bersama pemomongnya
selain Iswari sendiri. Bahkan N'yai Sokapun kemudian lebih
banyak berada didekat Risang pula.
Sedangkan Kiai Badra dan Kiai Soka mendapat tugas
untuk mengamati seluruh isi Tanah Perdikan bersama
dengan para pemimpin pengawal.
Demikianlah, maka sebuah pasukan telah bergerak dari
Tanah Perdikan Sembojan. Namun mereka telah membawa
tunggul yang dapat menjadi pertanda bahwa mereka
bergerak atas perintah Pajang. Beberapa Kademangan yang
mula-mula terkejut melihat kehadiran sebuah pasukan,
kemudian ternyata mereka menyadari, bahwaa pasukan itu
bergerak dengan membawa landasan kuasa dari pemerintah
di Pajang. Dengan demikian tidak ada sebuah Kademangan
pun yang dilalui pasukan Sembojan itu yang merasa
berkeberatan. Di tempat yang sudah ditentukan, pasukan Sembojan itu
memang harus berhenti untuk menunggu hadirnya pasukan
Pajang dengan kekuatan tiga kali lipat atau lebih.
Dengan menunjukkan atas kuasa yang berupa tunggul
itu, maka pasukan Sembojan telah berhenti dan mendapat
tempat menunggu di Banjar Kademangan Kedung
Waringin. Bahkan mereka mendapat pelayanan yang sangat
baik. Karena menurut Ki Demang di Kedung Waringin
usaha untuk menumpas sekelompok gerombolan yang
sering melakukan .pengacauan akan banyak artinya bagi
Kedung Waringin. 39 SH. Mintardja "Pada saat-saat terakhir, Kademangan ini: memang
dibayangi oleh segeromboban penjahat yang tidaik begitu
jelas tujuannya. Mereka tidak hanya merampas barang dan
perhiasan. Tetapi mereka selalu menyebut bahwa mereka
berada pada tataran perjuangan untuk menegakkan kembali
Kadipaten Jipang. Sehingga seolah-olah mereka tidak
sekedar merampok sebagai satu tujuan. Tetapi sebagai
langkah untuk melakukan perjuangan yang panjang yang
mereka anggap perjuangan yang harus didukung oleh
semua orang di lingkungan daerah Demak."berkata Ki
Demang di Kedung Waringin.
Gandar yang memimpm pasukan itu mengangguk-
angguk. Katanya, "Tindakan mereka sudah terlalu.jauh
menyakiti hati Tanah Perdikan Sembojan, dan ternyata juga
Kademangan-kademangan yang lain."
Meskipun Gandar tidak menceriterakan hubungan antara
garombolan itu dan Tanah Perdikan secara khusus, namun
Ki Demang Kedung Waringin dapat menangkap bahwa
gerombolan itu telah membuat Tanah Perdikan Sembojan
menjadi salah satu daerah yang telah dikacaukannya.
"Untungnya kalian memiliki kekuatan yang cukup besar
untuk melawan" berkata Ki Dzanang Kedung Waringin.
"Aku kira jumlah anak-anak muda dan laki-laki dalam
batas usia tertentu dibanding dengan jumlah penduduk
tidak jauh berbeda dengan Kademangan ini," jawab Gandar.
Ki Demang mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
pun mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin demikian.
Tetapi di Kademangan ini tidak ada orang yang mampu
menghimpun mereka untuk menjadi satu kekuatan yang
besar. Kami memang mempunyai sekelompok anak-anak
muda yang kami sebut pengawal Kademangan. Bahkan
disetiap padukuhan terdapat para pengawal. Namun tidak
40 SH. Mintardja terlalu banyak dapat diharapkan dari mereka. Aku pun tidak
ingin mengorbankan mereka dalam benturan kekerasan
dengan gerombolan yang kuat, garang dan kasar itu. Para
pengawal tidak akan dapat berbuat apa-apa," Ki Demang itu
berhenti sejenak, lalu. "Tetapi jika aku boleh tahu, apakah
anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan ini sudah
mendapat gambaran tentang kemampuan gerombolan itu,
sehingga jika mereka benar-benar telah berbenturan,
mereka tidak akan terkejut atau bahkan menjadi
kebingungan?" "Kami pernah ikut bersama pasukan Pajang bertempur
melawan mereka," jawab Gandar. "Kami pernah berada di
medan perang disebelah Timur Pajang menghadapi
pasukan Jipang dan kami pun telah berhasil mengusir
pasukan dari bekas para prajurit Jipang yang berada di
Tanah Perdikan kami."
"Bukan main," desis Ki Demang. "Suatu pengalaman
yang sangat berharga. Tetapi bagaimanakah Tanah
Perdikan Sembojan mamu membentuk suatu pasukan yang
kuat. Bukan saja jumlahnya yang besar, tetapi kemampuan
yang tinggi." "Kami telah menempa anak-anak muda kami. Tidak
hanya dalam waktu satu dua hari," jawab Gandar tanpa
menceritakan apa yang pernah terjadi seluruhnya. Gandar
juga tidak menceritakan bahwa termasuk orang-orang
Jipang yang mula-mula telah menempa anak-anak muda
Tanah Perdikan Sembojan. Namun dalam pada itu Ki Demang Kedung Waringin pun
berkata, "Kami ingin melakukan sebagaimana pernah Ki
Sanak lakukan di Tanah Perdikan Sembojan, sehingga
setidak-tidaknya kami akan dapat melindungi diri kami dari
41 SH. Mintardja perampokan yang ganas yang sering terjadi Kademangan
ini." "Ki Demang. Pada waktu yang dekat, akan datang
pasukan dari Pajang yang akan bersama-sama dengan kami
menuju ke sarang para perampok itu. Kalian dapat
mengutarakannya kepada para perwira dari Pajang. Mereka
tentu menaruh perhatian dan bersedia membantu kalian,
karena kekuatan yang terbangun dari Kademangan-
kademangan pada dasarnya adalah kekuatan Pajang pula,"
berkata Gandar. Ki Demang mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia
berkata, "Aku akan mencobanya. Tetapi sudah barang tentu
aku harus membangkitkan minat anak-anak muda di
Kademangan ini untuk melakukannya."
"Keadaan yang sulit, peristiwa perampokan yang sering
terjadi dan keadaan yang tidak menentu, akan mendorong
anak-anak muda itu untuk membentuk dirinya. Terdorong
oleh tanggung jawab yang tinggi, maka mereka tentu akan
berbuat sesuatu," berkata Gandar.
Ki Demang Kedung Waringin mengangguk-angguk.
Kehadiran anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan itu
akan dapat dijadikan contoh betapa anak-anak muda akan
mampu berbuat lebih banyak bagi kampung halamannya.
Karena itulah, maka Ki Demang telah memanggil
beberapa orang anak muda yang paling berpengaruh di
Kademangannya dan pemimpin pengawal yang
kemampuannya kurang memadai, mereka diminta oleh Ki
Demang untuk berkenalan dan berbicara tentang banyak
hal dengan anak-anak Tanah Perdikan Sembojan itu.
42 SH. Mintardja Dalam pada itu, ternyata pasukan Tanah Perdikan
Sembojan berada di Kedung Waringin untuk waktu yang
cukup lama. Mereka telah sempat bermalam pula semalam.
Namun ternyata yang semalam itu telah dapat
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Ki Demang untuk
menggugah anak-anak muda Kademangan Kedung
Waringin yang seolah-olah sedang terkantuk-kantuk itu.
Di malam itu Gandar sempat menunjukkan kemampuan
para pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang tidak
ubahnya kemampuan seorang prajurit. Mereka telah
melakukan permainan dengan senjata untuk menunjukkan
ketangkasan mereka memegang pedang dan tombak.
Bahkan anak-anak muda Sembojan itu atas permintaan Ki
Demang juga telah menunjukkan kemampuan mereka
berkelahi dengan tangan tanpa senjata.
"Luar biasa," desis Ki Demang. "Aku juga ingin
membentuk sekelompok pengawal yang memiliki
kemampuan seperti itu."
Ketika di hari berikutnya pasukan Pajang datang pula di
Kademangan Kedung Waringin, maka yang pertama-tama
dinyatakan oleh Ki Demang setelah mengucapkan selamat
datang adalah niat ntuk menyusun pasukan pengawal yang
benar-benar mampu menjaga keselamatan
Kademangannya. "Bagus sekali," sahut Senapati Pajang yang memimpin
pasukan Pajang yang kuat, "Kami ingin memenuhinya
setelah tugas ini selesai."
Demikianlah, pasukan Pajang itu pun telah bermalam
pula semalam sehingga pasukan Tanah Perdikan Sembojan
sempat pula beristirahat lebih lama dan berhubungan lebih
43 SH. Mintardja banyak lagi dengan anak-anak muda Kademangan Kedung
Waringin. Namun dihari berikutnya, maka seluruh pasukan telah
bersiap untuk melanjutkan perjalanan mereka yang masih
panjang. Sebuah iring-iringan pasukan yang kuat. Pajang
memang tidak ingin bekerja setengah-setengah.
Meskipun demikian, mereka telah memperhitungkan
pula kemungkinan bahwa mereka akan menjumpai sarang
yang telah dikosongkan. Dalam pasukan itu, Damar dan Saruju menjadi bagian
dari mereka yang menunjukkan jalan disamping orang-
orang yang telah tertangkap bersama Rumpak. Namun
seperti dugaan beberapa orang, Damar dan Saruju pun
menduga, bahwa sarang-sarang itu telah dikosongkan
demikian Rumpak dan kawan-kawannya tertangkap.
Meskipun demikian, pasukan itu harus melihat langsung
sarang-sarang yang pernah disebut oleh Damar, Saruju,
Rumpak dan yang telah tertangkap lainnya.
Karena itu, maka iring-iringan itu telah menyelusuri
untuk beberapa lama Kali Kedawung. Namun kemudian
iring-iringan itu mengambil jalan kekiri. Melewati bagian
hutan yang lebat yang agak sulit ditembus, kemudian
memasuki daerah yang berawa-rawa.
Jalan yang ditempuh oleh pasukan itu memang sulit.
Mereka menuju ke kaki Gunung Kukusan.
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk beberapa lama iring-iringan itu berjalan dilereng-
lereng perbukitan dan kemudian menuruni lembah-lembah
yang masih pepat oleh pepohonan.
Jarak yang mereka tempuh memang belum terlalu jauh.
Tetapi mereka telah menghabiskan waktu hampir sehari.
44 SH. Mintardja Mereka hanya beristirahat beberapa saat ketika matahari
tepat berada di atas ubun-ubun. Mereka sempat makan dan
minum bekal yang mereka bawa. Kemudian mereka
melanjutkan perjalanan mereka yang berat.
Namun Senapati yang memimpin pasukan itu tidak
memaksakan pasukannya untuk memeras tenaga dihari
pertama. Meskipun matahari masih agak tinggi, namun
Senapati pasukan itu udah memberikan isyarat, bahwa
mereka akan mencari tempat untuk bermalam.
Beberapa orang telah memencar. Ternyata dua orang di
antara mereka telah menemukan tempat yang sangat baik
untuk bermalam. Mereka menemukan sebuah dataran yang
terdiri dari hamparan batu padas. Satu dua batang pohon
yang kurus tumbuh mencuat dari sela-sela batu padas itu.
Senapati Pajang itu pun telah membawa pasukannya ke
hamparan batu padas itu. Ternyata beberapa orang sependapat, bahwa tempat itu
adalah yang paling baik untuk bermalam. Apalagi
disebelahnya terdapat air terjun yang meskipun hanya kecil,
namun dapat mereka pergunakan sebaik-baiknya. Bahkan
untuk minum sekalipun. Beberapa puluh langkah dari hamparan batu padas itu
terdapat hutan perdu yang luas. Namun karena letaknya
dilereng bukit, maka padang itu terdiri dari tebing-tebing
yang curam, celah-celah lembah yang miring dan bahkan
jurang-jurang yang dalam.
Senapati itu pun kemudian memerintahkan pasukannya
untuk beristirahat meskipun matahari masih nampak dan
panasnya masih terasa menyengat tengkuk. Namun para
prajurit itu memang telah merasa letih menempuh
perjalanan yang berat itu.
45 SH. Mintardja "Setelah kita melewati puntuk itu, maka akan terdapat
jalan setapak. Namun lebih baik dari jalan yang telah kita
lewati. Kita akan menuju ke daerah disela-sela Gunung
Kemukus itu dengan Gunung Lawu," berkata Damar kepada
Gandar. "Mereka memilih tempat yang sulit," desis Gandar.
"Mereka harus tetap berada ditempat yang tersembunyi,"
jawab Damar. "Hanya jika mereka memerlukan sesuatu,
maka sekelompok orang akan turun. Juga jika mereka
menganggap perlu untuk mendapat sesuatu yang menurut
istilah mereka dana bagi perjuangan untuk menegakkan
Jipang kembali. Mereka melintasi jalan yang sulit untuk
kemudian memasuki padukuhan-padukuhan yang mereka
anggap menyimpan barang-barang berharga, atau uang.
Perolehan mereka itu kemudian mereka bawa ke sarang
mereka kembali untuk disimpan sehingga saatnya Ki
Rangga dan Warsi mengambilnya untuk dikumpulkan."
"Tempat untuk mengumpulkan hasil rampasan itulah
yang belum pernah kalian sebut. Juga Rumpak tidak
menyebut," berkata Gandar.
Tetapi Saruju yang menggeleng berkata, "Tidak seorang
pun di antara kami yang mengetahuinya. Penyimpanan itu
dilakukan oleh Ki Rangga dan Warsi. Mungkin dua tiga
orang kepercayaan mereka sajalah yang tahu dimana harta
benda itu disimpan."
Gandar mengangguk-angguk. Ia percaya akan keterangan
itu. Ki Rangga dan Warsi tentu tidak akan mempercayai
orang-orangnya sepenuhnya.
Malam itu, pasukan Pajang dan Tanah Perdikan
Sembojan telah bermalam di tempat terbuka dengan satu
dua batang pohon yang tumbuh dicelah-celah batu padas.
46 SH. Mintardja Meskipun batu padas itu dibeberapa bagian berlumut dan
terasa basah, tetapi dibeberapa bagian hamparan itu cukup
baik bagi para prajurit untuk bermalam.
Mereka telah mulai membuat perapian ketika matahari
tenggelam. Beberapa perapian menerangi tempat itu. Bukan
saja menerangi, tetapi juga menghangatkan tempat yang
udaranya terasa sangat dingin sampai menggigit tulang.
Sementara itu, beberapa orang mendapat tugas untuk
berjaga-jaga. Mereka bergantian berjalan hilir mudik di
antara pasukan yang sedang beristirahat itu.
Namun menjelang dini hari, sekelompok yang lain telah
terbangun pula. Mereka sibuk menyiapkan makan dan
minuman bagi kawan-kawan mereka, meskipun hanya
sekadarnya sesuai dengan kemungkinan yang dapat mereka
berikan ditempat yang khusus itu.
Menjelang matahari terbit, bergantian mereka telah pergi
ke parit dibawah air terjun yang tidak terlalu besar. Namun
ternyata disebelah lain mereka juga menemukan mata air
yang dapat pula mereka pergunakan untuk mandi.
Ketika matahari mulai naik, maka pasukan itu telah
selesai. Mereka telah mulai makan dan minum. Kemudian
mereka tinggal menunggu perintah Senapatinya untuk
berangkat. Sementara itu, ternyata Senapati itu masih memberikan
beberapa pesan. Pada bagian terakhir ia berkata, "Kita
jangan sampai kehabisan tenaga dalam perjalanan. Karena
itu, kita berjalan sesuai dengan tenaga yang dapat kita
berikan untuk sehari. Namun nampaknya kita akan segera
sampai ketempat tujuan, Mungkin besok."
47 SH. Mintardja Senapati itu memang telah berbicara dengan Damar dan
Saruju. Juga orang yang mereka bawa sebagai penunjuk
jalan, di antara mereka yang tertangkap bersama Rumpak.
Jalan yang kemudian mereka tempuh memang masih
saja sulit. Sesuai dengan perintah Senapati, maka mereka
tidak memaksa diri untuk mencapai jarak tertentu. Tetapi
mereka lebih banyak memperhatikan keadaan diri mereka.
Jika mereka kemudian menjadi sangat letih dan kemudian
mereka menjumpai lawan yang kuat, maka keadaan mereka
akan menjadi gawat. Namun seperti yang dikatakan Damar, maka setelah
mereka melampaui sebuah bukit, maka mereka turun ke
jalan setapak. Jalan itu memang tidak terlalu baik, tetapi
agaknya jalan itu sering dilalui orang-orang padukuhan
untuk melintas dan mencari kayu ke hutan.
Namun Senapati dari pasukan itu menjadi heran, bahwa
mereka melihat dari tempat yang tinggi, sebuah padukuhan
kecil di lereng agak ke bawah.
"Bagaimana mungkin ada padukuhan di tempat itu?"
bertanya Senapati itu. Saruju lah yang kemudian memberikan keterangan,
"Padukuhan itu mempunyai jalur hubungan melalui jalan
Utara." Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya
pula, "Tetapi apakah ada jalur jalan yang cukup baik?"
Saruju menggeleng. Katanya, "Tidak. Hanya ada jalan
setapak seperti jalan yang kita lalui sekarang."
"Apakah yang menjadi makanan pokok mereka yang
tinggal di padukuhan itu?" bertanya Senapati.
48 SH. Mintardja "Mereka mempunyai pategalan yang cukup luas. Bahkan
dibawah padukuhan itu terdapat sawah bertingkat. Air
bukan masalah yang sulit, sebagaimana kita lihat disini.
Mereka menanam ketela pohon di pategalan dan menanam
padi disawah," jawab Saruju.
Tentang kebutuhan lain" Garam misalnya?" bertanya
Senapati itu pula. "Mereka harus turun lewat jalur Utara menuju ke sebuah
padukuhan yang cukup jauh. Ada sebuah pasar kecil di
padukuhan itu. Jika mereka mulai turun menjelang
matahari terbit, menjelang senja mereka baru kembali
dengan membawa garam dan kadang-kadang kebutuhan
yang lain." Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga
bertanya, "Apakah padukuhan itu tidak sering diganggu
oleh para pengikut Ki Rangga?"
"Padukuhan itu miskin. Tidak ada apapun yang berarti
yang dapat diambil. Namun kadang-kadang di antara
orang-orang Ki Rangga dan Warsi ada juga yang sering
singgah di padukuhan itu sekadar memerlukan makan. Nasi
atau ketela pohon," jawab Saruju.
"Tetapi darimana orang-orang itu mendapat uang untuk
membeli garam, pakaian atau keperluan-keperluan lain?"
bertanya Senapati itu pula.
"Mereka menanam pohon kelapa. Tetapi mereka juga
beternak ayam dan kambing. Sekali-kali orang-orang Ki
Rangga memang mengambil kambing dari padukuhan itu.
Tetapi jarang sekali. Bahkan kadang-kadang kambing itu
dibelinya, meskipun uangnya juga sekadar hasil rampasan,"
jawab Saruju. 49 SH. Mintardja Senapati itu mengangguk-angguk. Ia kemudian
mendapat gambaran jalan yang harus mereka tempuh.
"Sarang yang satu dengan yang lain tidak terlalu dekat
jaraknya," berkata Saruju kemudian.
"Tetapi dimana Ki Rangga dan Warsi sering tinggal?"
bertanya Senapati itu. "Kami tidak mengetahuinya. Bahkan hampir setiap orang
dari sarang yang berbeda jika saling bertemu, tidak seorang
pun yang dapat mengatakan, sebagian besar waktunya Ki
Rangga dan Warsi itu berada dimana. Sekali-kali mereka
berada di salah satu sarang. Tetapi tidak lebih dari dua
malam, Ki Rangga dan Warsi tentu sudah berpindah
tempat. Bahkan kadang-kadang ia tidak berada di manapun
untuk waktu yang agak lama," jawab Saruju.
Senapati itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
pun bertanya, "Apakah kita akan melewati padukuhan kecil
itu?" "Sebaiknya tidak," jawab Saruju. "Jika ada orang-orang
Ki Rangga yang kebetulan berada di tempat itu, maka
mereka akan dapat memberikan isyarat kepada kawan-
kawannya untuk menghindar."
Senapati itu mengangguk-angguk, sementara Saruju
berkata selanjutnya, "Padukuhan itu bukan satu-satunya.
Disebelah nanti kita akan menjumpai lagi padukuhan
serupa." Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
bertanya lagi. Demikianlah iring-iringan itu telah menyusuri jalan
setapak dilereng pegunungan. Sekali-kali mereka hilang
ditelan rimbunnya dedaunan. Namun kemudian mereka
50 SH. Mintardja berjalan melalui wajah batu padas yang keras dan kadang-
kadang berujung runcing. Ternyata bahwa di daerah itu air cukup melimpah.
Dilereng-lereng air menitik seperti diteritis rumah.
Kemudian mengalir lewat relung-relung batu padas dan
akhirnya menjadi parit-parit kecil.
Agaknya air itu tetap menitik disegala musim. Meskipun
kemarau mengeringkan ngarai namun agaknya air
didinding perbukitan itu tetap menitik.
Ketika mereka harus beristirahat di siang hari maka
Senapati itu telah memanggil beberapa rang pemimpin
kelompok di dalam pasukannya. Ia pun telah memanggil
Gandar, Damar dan Saruju.
Sambil menunggu matahari turun ke arah Barat setelah
melewati puncak, maka mereka telah membicarakan
rencana perjalanan mereka.
"Aku memilih sasaran yang belum pernah dihuni oleh
Damar, Saruju atau Rumpak dan orang-orangnya. Mungkin
kau pernah melihat satu di antara sarang-sarang itu. Jika
mungkin yang cukup besar dan berarti," berkata Senapati
itu. Gandar dan para perwira Pajang sependapat. Namun
sasaran itu harus mereka tentukan. Apa-kah ada di antara
mereka yang dapat menunjukkan sasaran itu, terutama
Damar dan Saruju. Untuk beberapa saat Damar dan Saruju merenung.
Namun tiba-tiba dipanggilnya seorang di antara orang-
orang yang tertawan bersama Rumpak yang dibawa serta
dalam iring-iringan itu. 51 SH. Mintardja "Nah," berkata Damar. "Bukankah kau pernah
mendatangi sarang-sarang yang lain kecuali sarangmu
sendiri" Kau pernah mendapat tugas untuk membawa
barang-barang rampasan. Nah, agaknya kau akan dapat
menunjukkannya." "Aku tidak pernah," jawab orang itu. "Bukan aku yang
harus membawa barang-barang rampasan."
"Jangan berbohong. Di Tanah Perdikan Sembojan kau
sudah bersikap baik. Kau telah bersedia mengadakan kerja
sama dengan kami. Tetapi kini tiba-tiba kau ingkar dari
kesediaanmu itu," berkata Damar.
"Benar Damar," sahut orang itu. "Aku memang sudah
bersedia, untuk bekerja sama karena aku tidak mempunyai
pilihan lain. Tetapi aku tidak pernah mendapat tugas
membawa barang-barang itu. Meskipun demikian,
barangkali aku dapat menyebutnya satu di antara sarang
yang lain kecuali tempat tinggalku, hanya sekadar dari
sebuah percakapan dengan seorang kawan yang bertugas di
tempat lain, namun yang bersama-sama mendapat perintah
untuk turun dan mengambil kekayaan seseorang."
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Damar mengangguk-angguk. Katanya, "Nah, sebutkan.
Kita sudah sampai disini. Pada umumnya sarang itu dapat
ditempuh lewat jalan ini, meskipun ada satu dua yang
menurut pendengaranku berada di arah lain."
Orang itu pun kemudian menyebut satu di antara sarang
para pengikut Ki Rangga yang pernah diketahuinya.
Meskipun ia sendiri belum pernah datang ketempat itu,
tetapi ancar-ancar itu terasa agak jelas. Justru lebih dekat
dari yang lain. "Baiklah," berkata Senapati itu. "Kita akan mencoba
mendatangi sarang itu. Kita harus mengepungnya dan tidak
52 SH. Mintardja memberi kesempatan seorang pun lolos, agar kedatangan
kita tidak segera tersebar di antara mereka."
Tetapi Senapati itu tidak akan mengepung tempat itu
segera. Mereka menunggu matahari turun. Kemudian
mereka akan melanjutkan perjalanan mendekati sarang itu.
Mereka akan bermalam di sekitar sarang itu dan sekaligus
mengamatinya. Jika orang-orang Ki Rangga itu menyadari,
maka kepungan justru akan dirapatkan. Senapati itu akan
menunda pertempuran sampai hari berikutnya setelah
matahari terbit. Tetapi jika malam itu orang-orang di sarang
itu memaksakan pertempuran, maka apaboleh buat.
Tetapi Damar kemudian berkata, "Senapati. Orang-orang
disarang itu lebih memahami medan daripada kita.
Pengalaman mereka sebagai prajurit Jipang dan kehidupan
yang keras selama ini, membuat mereka menjadi keras dan
bahkan kasar dan liar. Karena itu aku minta
dipertimbangkan, jika harus terjadi pertempuran di malam
hari di medan yang sangat berat ini."
"Tetapi prajurit-prajurit Pajang juga prajurit yang
terlatih. Tidak lebih buruk dari prajurit Jipang," jawab
Senapati itu, "Kami telah ditempa untuk bertempur siang
atau malam." "Tetapi satu kelebihan dari bekas prajurit-prajurit Jipang
itu," berkata Damar.
"Apa?" desak Senapati itu.
"Seperti yang sudah aku katakan. Mereka lebih mengenal
daerah ini. Padahal seperti yang kita lihat, daerah ini adalah
daerah yang sulit. Jika kita harus bertempur di malam hari,
maka kita akan banyak mengalami kesulitan karena lereng-
lereng terjal dan batu-batu padas yang licin. Celah-celah
53 SH. Mintardja berbatuan yang menganga dan seperti kita lihat, alam tidak
terlalu ramah disini," sahut Damar.
Ternyata Senapati itu memahami keterangan Damar.
Karena itu, maka katanya kemudian, "Baiklah. Aku
mendengarkan petunjukmu. Tetapi lalu apa yang sebaiknya
kita lakukan sekarang?"
"Jangan terlalu dekat," berkata Damar. "Besok dini hari
kita merangkak mendekat, sehingga pada saatnya matahari
naik, kita sudah dapat mengepung tempat itu. Seperti aku
katakan, aku belum pernah melihat tempat itu. Orang yang
menyebut tempat itu belum pernah dilihatnya pula. Karena
itu, menilik keadaan alam ditempat ini, maka kita dapat
membayangkan tempat yang akan kita tuju."
Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, "Nampaknya
kau juga mempunyai pengamatan setajam prajurit.
Meskipun sebenarnya aku yakin akan kemampuan prajurit-
prajuritku, namun aku sependapat denganmu. Kita akan
memperlambat gerak pasukan ini. Tetapi aku akan
mengirimkan dua orang untuk berusaha melihat-lihat
keadaan di sekitar tempat ini."
Damar mengangguk-angguk. Namun sebelum ia
mengatakan sesuatu, Senapati itu mendahului, "Aku tahu,
kau akan berpesan agar kedua orang itu berhati-hati.
Mungkin orang-orang Ki Rangga Gupita melihat keduanya
lebih dahulu, sehingga persoalannya akan menjadi lain."
Damar mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian tersenyum. "Dua orangku tidak akan pergi terlalu jauh dari pasukan.
Mereka hanya akan mengamati keadaan disekitar tempat
ini," berkata Senapati itu.
54 SH. Mintardja Damar mengangguk-angguk. Sementara itu, Senapati itu
pun berkata kepada Gandar, "Kau berikan seorang di antara
orang-orangmu. Biarlah bertiga mereka mengamati
keadaan. Kita akan menunggu sambil beristirahat disini.
Menurut perhitungan Damar, tempatnya sudah tidak terlalu
jauh lagi." Demikianlah, ketiga orang yang sudah disiapkan itu pun
segera meninggalkan induk pasukan. Mereka mendapat
waktu beberapa saat untuk mengamati keadaan. Mereka
harus segera kembali dan memberikan laporan tentang
pengamatan mereka. Pasukan itu masih akan maju
beberapa tonggak lagi, justru mengambil jalan yang
bergeser dari arah semula, karena mereka akan mendatangi
sarang yang lain, yang menurut salah seorang di antara
mereka yang tertangkap bersama Rumpak, justru berada
ditempat yang lebih dekat, meskipun arahnya berubah.
Ketiga orang yang mengamati keadaan itu memang
melihat, bahwa medannya terlalu berat. Sangat berbahaya
bagi mereka untuk bertempur di malam hari. Mereka pun
kemudian melihat jalur jalan setapak yang berbelok.
Agaknya jalan itulah yang harus mereka tempuh menuju ke
sarang yang akan menjadi sasaran pertama itu.
Beberapa tonggak mereka mengikuti jalur jalan yang
bergeser dari arah semula itu. Namun mereka pun tidak
menemukan sesuatu yang menarik, kecuali jalan yang sulit
ditepi tebing yang tinggi atau jurang yang dalam.
Namun waktu mereka tidak terlalu banyak. Mereka pun
harus segera kembali untuk melaporkan apa yang telah
mereka lihat. Sejenak kemudian, ketiganya telah memberikan laporan
tentang daerah itu. Semuanya masih tetap seperti
lingkungan di sekitar mereka. Daerah perbukitan di Gunung
55 SH. Mintardja Kukus itu memang masih agak sulit dilalui. Tetapi mereka
harus menempuh jalan itu.
Setelah matahati turun, maka pasukan itu telah bergerak
kembali. Tetapi tidak terlalu cepat. Mereka akan berhenti
lagi ditempat yang tidak terlalu dekat dengan sasaran.
Dimalam hari jika mereka harus membuat perapian karena
dingin, serta sekelompok yang harus menyiapkan makanan
dan minuman, agar tidak akan tampak dari sarang yang
akan mereka tuju. Perjalanan berikutnya memang sulit. Jumlah pasukan
yang banyak berjalan dijalan setapak, merupakan iring-
iringan yang panjang, seperti iring-iringan semut di atas
bebatuan. Merangkak berkelok-kelok mengikut jalan yang
juga berkelok-kelok. Namun seperti yang dikatakan Damar, maka mereka
tidak akan berada ditempat yang terlalu dekat. Setelah
mereka menempuh jalan yang berbelok dari arah semula,
maka beberapa saat kemudian mereka telah mencari tempat
untuk bermalam. Ternyata mereka tidak menemukan tempat yang baik.
Tetapi sebagai prajurit, mereka sama sekali tidak mengeluh.
"Batasi perapian," berkata Senapati itu. "Usahakan
berada ditempat yang terlindung dari arah sasaran.
Para prajurit dan para pengawal dari. Tanah Perdikan itu
menyadari arti perintah itu. Karena itu, maka mereka pun
telah berusaha untuk mencari tempat yang paling baik
untuk membuat -perapian. Itu pun mereka buat setelah
malam turun. Ternyata malam itu tidak terjadi sesuatu. Beberapa orang
diantara para prajurit mendapat tugas untuk mengamati
keadaan. Meskipun mereka kedinginan oleh udara malam
56 SH. Mintardja lereng pagunungan, namun mereka tetap dalam tugas
mereka. Dalam malam yang kelam, Senapati yang memimpin
pasukan Pajang itu menjadi semakin menyadari, bahwa
medan memang terlalu berat. Ia sendiri seakan-akan segan
untuk beringsut dari tempatnya. Ketika ia berjalan diantara
para prajuritnya yang baru saja tertidur nyenyak di sebelah
perapian yang meredup, hatinya menjadi berdebar-debar
melihat kegelapan yang menganga. Diambilnya sebuah batu
sebesar genggaman tangannya dan dilemparkannya.
Baru yang hilang di dalam gelap itu ternyata telah
meninggalkan suara gemerasak memanjang.
"Jika seseorang yang sedang bertempur terperosok
kedalamnya, digelapnya malam lagi, maka tidak ada orang
yang dapat menolongpya" berkata Senapati itu kepada diri
sendiri. Hampir semalam suntuk Senapati Pajang itu tidak
tertidur sebagaimana Gandar. Namun menjelang diri hari
Gandar dapat tertidur beberapa saat lebih dahulu dari
Senapati itu. Sementara itu, beberapa orang telah bangun. Mereka
adalah orang-orang yang mendapat tugas untuk
menyediakm makan dan minum bagi sekelompok prajurit
itu. "Kita tidak mempunyai air yang cukup" berkata salah
seorang diantara mereka, "yang kita sediakan sejak kemarin
hanyalah cukup untuk menanak nasi. Tetapi tidak untuk
buat minuman." "Biarlah mereka mencari minum seadiri-sendiri" sahut
kawannya, "tetapi agaknya lingkungan ini tidak terlalu sulit
untuk mencari air." 57 SH. Mintardja "Apakah kita akan mengumpulkan air dari, titik-titik air
di lereng itu?" Nanti sajalah. Sekarang kita harus menyediakan nasi.
Kita masih mempunyai, sebungkus besar serondeng dan
dendeng yang dapat dipergunakan untuk lauk bagi para
prajurit dan pengawal Tanah Perdikan itu."
Sebelum matahari terbit, maka para prajurit dan
pengawal Tanah Perdikan Sembojan telah mendapat
bagian, mereka masing-masing yang dibungkus dengan
daun pisang yang sudah mulai berwarna kekuning-
kuningan. Tetapi itu tidak penting. Yang penting mereka sempat
makan nasi hangat dengan serundeng dan dendeng. Namun
pagi itu mereka tidak mendapat minuman hangat.
Demikianlah, sebelum matahari itu mulai memancar,
pasukan itu mulai bergerak. Tiga orang telah mendahului
pasukan itu untuk mengamati keadaan. Seorang diantara
mereka bertiga adalah Sambi Wulung.
Namun tiba-tiba saja ketiga orang itu harus dengan cepat
menyelinap ke balik sebuah gerumbul. Dari arah depan
mereka melihat dua orang yang berjalan turun dari kaki
bukit. Untunglah bahwa pada jalan yang berkelok kedua orang
itu tidak melihat lebih dahulu tiga orang yang berjalan di
arah bawah mereka karena jalan yang menurun. Karena itu,
maka ketiga orang itu sempat bersembunyi dibalik
gerumbul. Namun seorang diantara mereka berbisik, "Apa yang kita
lakukan atas orang itu?"
58 SH. Mintardja "Mereka akan bertemu juga dengan iring-iringan di
belakang kita." sahut Sambi Wulung.
"Kita harus menangkap mereka. Mau tidak mau. Tetapi
kita harus muncul dari balik gerumbul setelah mereka
lewat. Sehingga jika rnereka berusaha, untuk berlari
kebawah, mereka akan terjebak juga oleh pasukan kita."
berkata seorang yang lain.
Ketiganya segera berdiam diri, karena kedua orang itu
menjadi samakin dekat. Seperti yang direncanakan, mereka bertiga yang
bersembunyi di balik gerumbul itu sama sekali tidak
bergerak ketika kedua orang itu lewat. Namun demikian
mereka berada beberapa langkah membelakangi mereka,
maka hampir berbareng ketiganya telah meloncat dari
gerumbul. Kedua orang itu terkejut. Mereka segera meloncat
berbalik dan, bersiaga menghadapi segala kemungkinan
dengan sikap yang meyakinkan.
"Keduanya tentu prajurit" desis seorang diantara prajurid
Pajang itu. Sambi Wulung mengangguk. Sementara itu ketiga orang
itu pun maju beberapa langkah mendekat.
"Siapa kalian," salah seorang dari kedua orang itulah
yang justru telah bertanya.
Seorang dari prajurit Pajang itu pun maju pula
selangkah. Dengan nada rendah ia menjawab, "Kami datang
untuk menemui kalian. Tetapi sebut, apakah kalian
memang orang yang kami cari?"
"Siapa yang kalian cari?" bertanya orang itu.
59 SH. Mintardja "Bukankah kalian bekas prajurit Jipang yang
bersembunyi di daerah ini?" prajurit Pajang itu langsung
menunjuk. Kedua orang itu menjadi tegang. Sementara itu prajurit
Pajang itu berkata, "Masih sepagi ini kalian telah turun.
Mungkin kalian membawa tugas penting?"
Kedua orang itu menjadi semakin tegang. Mereka sadar,
bahwa mereka telah berhadapan dengan orang-orang yang
akan mengganggu ketenangan sarang mereka.
Namun seorang di antara mereka masih berkata, "Aku
adalah penghuni padukuhan sebelah. Aku sedang mencari
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
daun kates grandel untuk obat."
"Baiklah. Jika demikian ikut kami," berkata prajurit
Pajang itu. Kedua orang itu saling berpandangan. Namun yang
seorang kemudian bertanya, "Untuk apa" Dan siapakah
kalian?" "Sudahlah. Kita sudah saling mengetahui. Kau adalah
penghuni sarang para pengikut Ki Rangga Gupita.
Sebaiknya kita berterus terang," jawab prajurit Pajang itu.
"Dan kau adalah orang Tanah Perdikan Sembojan," tiba-
tiba orang itu menebak. Yang menyahut adalah Sambi Wulung, "Ya. Aku adalah
orang Tanah Perdikan Sembojan. Adalah kebetulan bahwa
kita bertemu disini. Sebaiknya kalian bersedia
menunjukkan dimana sarangmu itu. Kami baru mengetahui
ancang-ancangnya." "Persetan," geram kedua orang itu hampir berbareng.
60 SH. Mintardja "Jangan menentang. Tidak ada gunanya. Kau pun tidak
akan dapat lari karena jalur jalan itu tertutup. Kecuali kau
memang ingin meloncat ke dalam jurang itu," berkata
prajurit Pajang itu. Kedua orang itu menjadi termangu-mangu. Namun
seorang di antara mereka kemudian berkata, "Terserah, kau
sebut siapa saja kami berdua. Tetapi kami bukan pengecut
yang menyerahkan kedua pergelangan tangan untuk diikat."
Prajurit Pajang itu pun menggeram. Katanya, "Kau
terlalu sombong. Baiklah. Jika demikian kami harus
mempergunakan kekerasan untuk memaksamu menyerah."
Di luar sadarnya kedua orang itu memandang ke atas,
kelereng bukit yang lebih tinggi. Agaknya memang terlalu
jauh, untuk berteriak memberikan isyarat kepada kawan-
kawan mereka. Karena itu, maka yang dapat dilakukannya adalah
melawan ketiga orang itu dengan segenap kemampuan yang
ada. Kedua prajurit Pajang itu pun segera bersiap. Demikian
pula Sambi Wulung. Sementara itu kedua orang yang turun
dari bukit itu pun telah mempersiapkan diri pula. Dari sikap
mereka tentu bekas prajurit Jipang.
"Bukan salahku jika kalian bertiga akan menjadi
makanan burung pemakan bangkai yang banyak berkeliaran
di daerah ini," berkata salah seorang dari kedua orang itu.
"Biarlah kami menyelesaikannya," berkata salah seorang
prajurit Pajang itu kepada Sambi Wulung. "Kau berjaga-jaga
saja jika ada di antara mereka yang berusaha untuk
melarikan diri." 61 SH. Mintardja Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Agaknya orang
Pajang ini juga mempunyai sifat yang sombong. Karena ia
datang dari Tanah Perdikan, maka orang-orang Pajang itu
tentu menganggapnya tidak mempunyai kemampuan
setingkat dengan para prajurit itu.
Tetapi Sambi Wulung tidak menanggapi, justru pada saat
musuh berada di depan hidung mereka. Sambi Wulung itu
lebih senang mematuhi keinginan kedua prajurit Pajang itu
untuk berjaga-jaga. Sejenak kemudian, dua orang prajurit Pajang itu telah
bergerak mendekat. Mereka mulai bergeser dan
menempatkan diri menghadapi kedua orang yang
dianggapnya bekas prajurit Jipang itu.
Sambi Wulung memperhatikan sikap keempat orang itu
dengan jantung yang berdebaran. Keempat orang itu
nampaknya memiliki bekal yang seimbang. Namun sebelum
mereka mulai dengan pertempuran, agaknya memang sulit
untuk menilai, siapakah di antara mereka yang terbaik.
Sejenak kemudian, maka prajurit Pajang itu pun telah
mulai menyerang. Mereka tidak ingin mempergunakan
waktu yang berkepanjangan. Karena itu, maka mereka pun
segera menarik senjata mereka sehingga kedua orang yang
turun dari bukit itu pun telah menggenggam senjata mereka
pula. Demikianlah, maka pertempuran antara dua orang
prajurit Pajang dan dua orang lawannya itu berjalan dengan
sengitnya. Seperti yang diduga oleh Sambi Wulung, kedua
pihak memang memiliki tingkat ilmu yang sama. Namun
ternyata bahwa orang yang baru turun dari bukit itu
memiliki pengenalan yang lebih akrab dengan lingkungan,
sehingga mereka tidak begitu banyak terganggu oleh arena
yang nampaknya memang berbahaya.
62 SH. Mintardja Karena itulah, maka kedua prajurit Pajang itu pun mulai
terdesak. Kecuali memperhatikan tata gerak lawan,
keduanya harus sangat berhati-hati menempatkan kaki
mereka, karena mereka akan dapat tergelincir.
Sambi Wulung menjadi semakin tegang. Tetapi ia masih
belum melibatkan diri. Ia ragu, apakah para prajurit Pajang
itu tidak tersinggung jika ia langsung memasuki
pertempuran. Namun dalam keadaan yang mendesak. Sambi Wulung
sudah mempersiapkan diri.
Belum lagi Sambi Wulung memasuki pertempuran, tiba-
tiba saja seorang di antara kedua prajurit itu telah
tergelincir. Untunglah bahwa tangannya sempat meraih
sebatang pohon perdu yang tumbuh di lereng jurang
dipinggir jalan. Namun pada saat yang demikian lawannya
tiba-tiba saja tertawa sambil mengayunkan senjatanya.
Katanya, "Jika pohon ini aku patahkan, maka kau akan
dihisap oleh dalamnya jurang. Kepalamu akan terhempas
pada batu padas dibawah itu."
Namun sebelum hal itu terjadi, maka Sambi Wulung
dengan tangkasnya telah meloncat menyerang.
Serangannya beruntun mengejutkan. Sambi Wulung pun
mempergunakan pedang pula sebagaimana lawannya.
Namun pada benturan pertama lawannya benar-benar
terkejut. Sambi Wulung ternyata memiliki kekuatan yang
sangat besar. Tetapi lawannya itu tidak menunjukkan kecemasannya.
Ia pun dengan sigap memperbaiki keadaannya. Kemudian
ia pun telah membalas menyerang dengan kecepatan yang
tinggi. 63 SH. Mintardja Sementara itu, prajurit Pajang yang tergantung di atas
jurang itu mengalami kesulitan.
Ketika prajurit Pajang itu berusaha untuk naik, maka
batang perdu tempatnya bergantung itu justru semakin
runduk. Setiap ia bergerak, maka batang itu terasa akan
menjadi patah. Sementara itu, prajurit Pajang yang seorang lagi masih
juga terdesak oleh lawannya yang mempunyai pengalaman
lebih baik di atas medan yang tidak terlalu luas dan licin.
Sambi Wulung ternyata mengetahui kesulitan prajurit
Pajang yang bergantung pada batang perdu itu. Karena itu,
maka ia pun berusaha untuk menekan lawannya secepatnya
agar ia mendapat kesempatan untuk menolong prajurit itu.
Ternyata bahwa dugaan prajurit Pajang tentang orang-
orang Sembojan itu keliru. Jika semula para prajurit Pajang
itu mengalami kesulitan karena medan, ternyata Sambi
Wulung mampu mengatasinya. Dengan mengerahkan
tenaga cadangannya, maka kekuatannya bagaikan berlipat.
Kecepatan geraknya pun melampaui kecepatan burung
sikatan menyambar belalang.
Lawannya benar-benar terdesak. Dengan hati-hati Sambi
Wulung berusaha untuk mendesak lawannya mendekati
pertempuran antara prajurit Pajang yang seorang lagi.
Dalam pertempuran yang keras, maka bekas prajurit
Jipang itu tidak mampu melindungi dirinya sendiri. Tiba-
tiba saja ujung pedang Sambi Wulung telah tergores di
dadanya. Namun goresan itu hanya goresan tipis meskipun
memanjang. Namun demikian, dari goresan itu telah menitik darah
yang membasahi bajunya yang koyak.
64 SH. Mintardja Pada kesempatan itu, maka Sambi Wulung pun
kemudian berteriak kepada prajurit Pajang yang seorang,
"Tinggalkan lawanmu. Tolonglah kawanmu itu."
Prajurit Pajang itu tidak segera dapat meninggalkan
lawannya. Lawannya yang menyadari kesulitan prajurit
yang bergantung pada pohon perdu itu tidak mau
melepaskan lawannya yang akan menolong prajurit Pajang
itu. Bahkan ia pun justru semakin menekan prajurit Pajang
itu dan berusaha untuk mendesaknya masuk ke dalam
jurang. Sambi Wulung yang kemudian mencemaskan kedua prajurit Pajang itu,
akhirnya mengambil keputusan untuk mengakhiri
perlawanan lawannya yang keras, garang dan kasar itu.
Ternyata Sambi Wulung pun
mampu bertempur dengan keras, garang dan kasar. Itulah sebabnya, maka sejenak kemudian, pedangnya pun telah berputar seperti baling- baling. Kekuatannya pun meningkat sejalan dengan meningkatnya kecepatan geraknya. Lawannya yang terluka itu memang menjadi bingung.
Betapapun ia akrab dengan medan, tetapi lawannya terlalu
kuat dan terlalu cepat baginya. Karena itu, maka sekali lagi
65 SH. Mintardja segores luka telah menganga di pundakya. Lebih dalam dari
luka semula. Orang itu mengaduh tertahan. Belum lagi ia
memperbaiki keadaannya, maka serangan berikutnya telah
menerkamnya pula. Sambi Wulung benar-benar menjadi garang. Apalagi
ketika kemudian prajurit Pajang yang tergantung itu mulai
memanggil kawannya. Katanya dengan nada tinggi,
"Tolong, pohon ini akan patah."
"Bertahanlah sebentar," Sambi Wulunglah yang berteriak
menjawab. Satu serangan yang cepat dan keras, tidak lagi dapat
dihindari oleh lawannya. Demikian tiba-tiba terasa ujung
pedang Sambi Wulung itu telah tergores dilambungnya
pula. Bekas prajurit Jipang itu terdorong surut. Hampir saja ia
pun tergelincir dan masuk ke dalam jurang. Namun
ternyata bahwa ia telah berhasil menjatuhkan dirinya dan
tertahan oleh sebuah pohon yang lebih kuat dari sebatang
pohon perdu yang digantungi oleh prajurit Pajang itu.
Oleh luka-lukanya, maka bekas prajurit Jipang itu tidak
lagi mampu untuk bangkit. Darah mengalir dengan
derasnya dari tiga lukanya.
Karena itu, maka ia pun tetap terbaring bertumpu pada
sebatang pohon sehingga ia tidak terguling jatuh betapapun
tubuhnya merasa lemah. Setelah Sambi Wulung kehilangan lawannya, ia tidak
langsung menolong prajurit Pajang itu, karena prajurit
Pajang yang bertempur itu pun telah mengalami kesulitan.
Karena itu, maka ia pun meloncat mengambil alih
66 SH. Mintardja perlawanan prajurit Pajang itu dan berkata kepadanya,
"Tolong kawanmu. Tetapi hati-hati. Jangan kau sendiri
justru terseret pula masuk ke dalam jurang."
Bekas prajurit Jipang itu mengumpat. Tetapi ia tidak
dapat berbuat sesuatu. Ia pun kemudian ternyata mendapat
lawan yang jauh lebih berat dari prajurit Pajang itu.
Demikian terlepas dari lawannya, maka prajurit Pajang
itu berusaha untuk menolong kawannya. Tepat pada saat ia
menelungkup menggapai tangan kawannya sambil
berpegangan pada sebatang pohon yang lain, maka perdu
tempat prajurit itu bergantung mulai berderak.
"Tangkap tanganku," berkata prajurit Pajang yang
berusaha menolong itu. Ternyata pertolongan itu tepat datang pada waktunya.
Sejenak kemudian, dengan susah payah prajurit Pajang itu
dapat naik ke atas bibir jurang.
Sejenak keduanya duduk dengan nafas terengah-engah.
Baru kemudian prajurit yang terperosok itu bertanya, "Di
mana lawan yang seorang lagi?"
Prajurit Pajang yang menolongnya itu menunjuk ke arah
sesosok tubuh yang terbaring diam, tersangkut pada
sebatang pohon. "Siapa yang melumpuhkannya?" bertanya prajurit itu.
Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia menunjuk kepada
Sambi Wulung. Prajurit Pajang yang baru saja tertolong itu menarik
nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Sambi Wulung itu
mampu berbuat lebih baik dari prajurit Pajang. Bahkan
orang itu telah mampu mengalahkan kedua lawannya yang
semula bertempur melawan dua orang prajurit Pajang.
67 SH. Mintardja Sebenarnyalah Sambi Wulung telah mengalahkan
lawannya yang seorang lagi. Dengan serangan yang keras
Sambi Wulung mendesak lawannya. Namun ternyata
lawannya itu masih dapat menghindar. Tetapi Sambi
Wulung tudak melepaskannya. Ketika ujung pedngnya tidak
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyentuh sasaran, maka ia telah memutar pedangnya dan
dengan serangan mendatar ia mendesak lawannya.
Lawannya yang tidak mempunyai banyak kesempatan itu
berusaha untuk bergeser meskipun kakinya telah berada
dibibir jurang. Serangan mendatar itu memang tidak mengenai
lawannya. Tetapi sebelum lawannya sempat memperbaiki
keadaannya, pedang Sambi Wulung itu telah berputar dan
mematuk dada lawannya. Bekas prajurit Jipang itu menjadi kebingungan. Ia tidak
sempat lagi berkisar. Jika ia mundur lagi, maka ia tentu
akan terperosok masuk ke dalam jurang.
Karena itu, maka ia pun telah berusaha untuk menangkis
serangan itu dengan mengerahkan segenap tenaganya,
bekas prajurit Jipang itu berusaha untuk memukul pedang
Sambi Wulung menyamping. Namun Sambi Wulung tidak membiarkan pedangnya
bergeser. Ia justru memutar pedangnya itu. Demikian
cepatnya, sehingga lawannya tidak mempunyai kesempatan
lagi. Pedangnya justru bagaikan terhisap oleh pedang Sambi
Wulung. Prajurit Pajang yang duduk di pinggir jurang itu pun
menjadi semakin berdebar-debar. Mereka tidak mengira
bahwa orang Sembojan itu mampu bertempur demikian
garangnya. 68 SH. Mintardja Keduanya dengan wajah tegang sempat melihat pedang
bekas prajurit Jipang itu terlempar dari tangannya dan
masuk ke dalam jurang yang dalam.
Sambi Wulung kemudian mengacukan pedangnya di
dada orang itu. Dengan nada rendah tetapi berat Sambi
Wulung bertanya, "Kau menyerah atau aku dorong kau
masuk ke dalam jurang."
Orang itu menjadi pucat. Apalagi ketika ujung pedang
Sambi Wulung melekat didadanya, "Jawab," bentak Sambi
Wulung. Orang itu tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu,
maka jawabnya ragu, "Aku menyerah."
"Kau tidak bohong?" desak Sambi Wulung.
"Tidak. Aku menyerah," suara orang itu menjadi gemetar.
Pada saat yang demikian itulah, pasukan Pajang nampak
mendekati arena pertempuran. Senapati Pajang itu menjadi
heran melihat apa yang terjadi. Orang Sembojan itu
mengacukan pedangnya ke arah seseorang, sementara
kedua orang prajurit Pajang itu baru kemudian bangkit
berdiri dengan tergesa-gesa.
Sambi Wulung yang telah menguasai lawannya
sepenuhnya itu pun kemudian memerintahkan lawannya
untuk bergeser ketengah. Kemudian memerintahkannya
untuk duduk di tanah. Senapati Pajang yang berjalan di paling depan telah
memberikan isyarat agar pasukannya berhenti. Kemudian
dengan heran ia bertanya, "Apa yang terjadi" Kenapa kalian
berdua justru hanya duduk-duduk saja sementara kawanmu
bertempur?" 69 SH. Mintardja Kedua prajurit Pajang itu termangu-mangu, Namun
seorang diantara mereka menjawab, "Kawanku ini hampir
saja terperosok ke dalam jurang. Aku baru saja
menolongnya dan mengangkat naik"
"Apa yang terjadi?" bertanya Senapati itu.
"Ampun," desis prajurit Pajang itu. Dengan singkat ia
menceritakan seluruhnya yang telah terjadi. ia pun
kemudian menunjuk kepada sesosok tubuh yang terbaring
diam tersangkut pada sebatang pohon di pinggir jurang.
"Orang Sembojan itu pulalah yang telah
mengalahkannya," berkata prajurit Pajang itu dengan jujur.
Lalu, "Tanpa orang Sembojan itu, mungkin kami berdua
telah terbunuh disini."
Senapati itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian
melangkah mendekati bekas prajurit Jipang yang terbaring
itu. Ketika ia berjongkok dan memegang tangannya, maka
katanya,"Sayang. Orang ini sudah mati."
"O," Sambi Wulung pun mendekatinya pula. Tetapi orang
itu benar-benar telah mati.
"Kehabisan darah," berkata Senapati itu. "Lukanya telah
mengalirkan darah tanpa dapat dicegah."
Sambi Wulung mengangguk-angguk.
"Jadi bagaimana dengan kedua orang itu?" bertanya
Senapati itu. Sambi Wulung pun kemudian menceritakan tentang
kedua orang itu. "Agaknya mereka memang berasal dari
salah satu sarang para pengikut Ki Rangga Gupita".
70 SH. Mintardja Senapati itu pun kemudian memberikan isyarat, agar
pasukannya beristirahat sejenak. Ia mempunyai
kepentingan dengan orang yang menyerang itu.
Ternyata bahwa orang itu tidak banyak berbelit-belit. Ia
menjawab pertanyaan sebagaimana adanya. Ternyata
bahwa setiap pengikut Ki Rangga selalu dibatasi
pengenalannya atas sarang-sarang yang dibuatnya. Hanya
orang-orang tertentu sajalah yang mengenali sarang-sarang
para pengikutnya di beberapa tempat.
"Kau akan kemana?" bertanya Senapati itu.
Orang itu tidak dapat ingkar. Ia memang mendapat tugas
untuk menghubungi kawannya. Tetapi tidak disarang yang
lain. Ia harus menemui kawannya justru di sebuah
padukuhan kecil untuk menerima perintah.
"Perintah apa kira-kira yang akan kau terima?" bertanya
Senapati itu. "Aku tidak tahu," jawab tawanan itu. "Tetapi tentu sekitar
usaha untuk mengambil harta benda di padukuhan-
padukuhan." "Di padukuhan-padukuhan kecil itu?" bertanya Senapati.
"Tentu tidak. Tetapi kami harus pergi ketempat yang
cukup jauh. Kami harus memasuki padukuhan-padukuhan
yang besar, yang sudah diketahui lebih dahulu, bahwa di
padukuhan-padukuhan itu tersimpan harta benda yang
cukup untuk membantu perjuangan kami," jawab orang itu.
Senapati itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun
berkata, "Baiklah. Segala sesuatunya akan dapat kita
bicarakan nanti. Sekarang aku ingin pergi ke sarangmu. Aku
ingin bertemu dengan pemimpinmu. Apakah Ki Rangga
Gupita sering datang kemari?"
71 SH. Mintardja "Pernah. Tetapi jarang sekali," jawab orang itu.
Tawanan itu memang tidak dapat berbuat lain. Ia dipaksa
kembali ke sarangnya, sementara itu Senapati itu telah
berkata, "Setelah kita selesai, maka kita akan mengurus
mayat kawanmu itu." Tawanan itu tidak menjawab. Dua orang prajurit
mengawalnya. Sementara itu iring-iringan pun berjalan
maju dengan hati-hati. Disepanjang perjalanan itu, dua orang perwira telah
berusaha untuk menyadap keterangan dari tawanan itu.
Ternyata bahwa sarang mereka terletak ditempat yang
agak tinggi. Bukan sebuah goa saja. Tetapi disamping goa
yang memang terdapat disitu, mereka pun telah membuat
beberapa buah barak. "Kami harus mengepungnya," desis perwira itu.
"Sulit dilakukan," berkata tawanan itu. "Sarang kami
dikelilingi oleh jurang yang terjal. Jalan satu-satunya adalah
jalan ini. Tetapi ada kalanya kawan-kawan kami menelusur
turun lewat jurang-jurang itu untuk mencapai jalur jalan
dibawah dengan cara yang lebih cepat. Tetapi kadang-
kadang dapat terjadi kesulitan.
Kadang-kadang pakaian dapat koyak oleh duri-duri yang
tajam. Bukan hanya pakaian tetapi kadang-kadang kulit
kami." Perwira itu kemudian mendapat gambaran serba sedikit.
Memang sulit untuk mengepung tempat itu. Satu-satunya
cara adalah menyergap dengan tiba-tiba.
"Tetapi penghuni sarang kami kini bertambah. Ada
beberapa sarang yang dikosongkan karena beberapa orang
72 SH. Mintardja di antara kami tertangkap. Dari sarang kami yang
dikosongkan itu, sebagian ada pula disini."
Perwira itu mengangguk-angguk. Namun menurut
tawanan itu, jumlah mereka tidak terlalu banyak, sehingga
jumlah prajurit Pajang yang datang, serta para pengawal
Tanah Perdikan itu akan dapat mengatasi perlawanan
mereka betapapun garang, keras dan kasarnya mereka.
"Pasukan kita berlipat hampir tiga kali," berkata perwira
itu. Sejenak kemudian, maka perwira yang menyadap
keterangan dari tawanan itu telah melaporkan kepada
Senapatinya. Dengan demikian maka Senapati itu pun telah
memerintahkan mengatur pasukannya karena mereka tidak
akan mengepung tempat itu, tetapi mereka akan menyergap
dengan tiba-tiba. "Tetapi kita jangan terjebak oleh keterangan yang dibuat-
buat," berkata Senapati itu.
Ternyata bahwa jarak antara tempat mereka berhenti dan
sarang gerombolan itu masih agak jauh, sehingga mereka
tidak dapat menyergap pada saat yang dikehendaki.
Demikianlah matahari mulai naik perlahan-lahan
dilangit. Iring-iringan itu merayap terus mendekati sasaran.
Untunglah bahwa pepohonan dilereng bukit itu cukup
rimbun, sehingga iring-iringan yang panjang itu tidak
dengan segera dapat dilihat.
Beberapa tonggak dari sasaran, maka Senapati itu telah
memerintahkan pasukan berhenti. Lingkungan dan medan
pun mulai berubah. Jurang tidak lagi terdapat di sebelah
menyebelah jalan sempit. Tetapi di lereng bukit itu mulai
terdapat dataran yang agak luas.
73 SH. Mintardja Senapati itu mulai membagi pasukan. Sebagian akan
menyergap lewat arah yang lain, sementara induk pasukan
akan tetap mendekati sarang itu melalui jalur jalan.
"Jalan yang harus ditempuh untuk mendekati sarang
kami lewat hutan itu agak sulit," berkata tawanan itu
memperingatkan. "Kenapa?" bertanya Senapati pasukan Pajang.
"Jalan sangat licin dan banyak terdapat semak-semak
duri," jawab tawanan itu.
"Tetapi bukankah mungkin dicapai lewat hutan itu?"
bertanya seorang perwira.
"Memang mungkin meskipun sulit. Lewat hutan itu
mereka akan mendekati sarang kami dari sisi sebelah kiri
yang tidak berjarak dari jalur jalan masuk lewat jalan
setapak ini. Hampir tidak ada artinya, dibanding dengan
kesulitan yang akan dialami," berkata tawanan itu pula.
Perwira Pajang itu mulai ragu-ragu. Namun akhirnya
Gandarlah yang berkata, "Aku dan para pengawal akan
menempuh jalan hutan ini. Para prajurit akan sangat
iperlukan untuk menyergap dengan tiba-tiba. Jika aku
terlambat datang, maka agaknya tidak akan terlalu
mengganggu penyergapan itu sendiri. Mungkin ada di
antara mereka yang melarikan diri ke hutan-hutan sempit
itu. Mudah-mudahan kami sempat menyergap mereka."
Senapati itu sependapat. Gandar dan pasukannya akan
memisahkan diri memasuki hutan. Mereka akan mendekati
sarang itu lewat puntuk-puntuk kecil yang licin dan
ditumbuhi semak-semak berduri.
"Kita harus menunjukkan, bahwa kita tidak sekadar
menggenapi syarat untuk ikut hadir disini," berkata Gandar.
74 SH. Mintardja "Kita harus menunjukkan, bahwa kita memang ikut serta
dalam penumpasan ini."
Para pengawal dari Tanah Perdikan itu pun mengangguk-
angguk. Mereka memang harus menyatakan diri mereka,
bahwa kehadiran mereka memang diperlukan. Sambi
Wulung telah mengalami satu perlakuan, bahwa prajurit-
prajurit Pajang menganggap orang-orang dari Tanah
Perdikan Sembojan itu sekadar sebagai satu kesempatan.
Demikianlah Gandar yang hanya mendapat gambaran
tentang sasaran dari tawanan yang ditangkap oleh Sambi
Wulung itu, telah membagi pasukannya menjadi dua
kelompok besar yang masing-masing akan dipimpin oleh
Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Kita harus mampu memasuki barak itu dengan cepat
dan mencegah mereka melarikan diri dengan meloncat dan
menelusur turun di tebing-tebing itu sebagaimana sering
mereka lakukan," berkata Gandar. "Pasukan kita harus
dengan cepat memasuki lingkungan barak itu dan berusaha
mengepungnya, meskipun hal itu sulit dilakukan. Tetapi
bukan mustahil. Kita mengepung barak itu di dalam
halaman barak itu sendiri, sementara kita berharap bahwa
pasukan Pajang itu tepat pada waktunya berhasil memasuki
barak-barak itu. Sedangkan sebagian lagi akan menyumbat
goa disebelahnya dengan pasukan pula."
Dengan dasar gerak sebagaimana dikatakan oleh Gandar,
maka pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu maju
menembus hutan yang tidak terlalu luas disebuah dataran
di lereng bukit. Mereka memang menembus sebuah medan kecil yang
lebat. Tetapi ternyata medannya tidak seberat sebagaimana
dikatakan oleh tawanan itu.
75 SH. Mintardja "Tawanan itu mengharap tidak sekelompok pun di antara
pasukan ini yang mendekati lewat hutan ini," berkata
Gandar. "Agaknya tawanan itu masih berusaha memberikan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesempatan kepada kawan-kawannya untuk melarikan
diri." Sambi Wulung yang berada disebelah Gandar
mengangguk-angguk. Dengan demikian maka mereka
menjadi semakin yakin, bahwa mereka akan dapat berbuat
sesuatu dalam tugas mereka itu.
Dalam pada itu, Jati Wulung telah membawa pasukannya
melebar. Sementara Sambi Wulung berusaha untuk
mendekati sasaran dari satu arah.
Semakin dekat dengan sasaran maka orang-orang dalam
kelompok yang dipimpin oleh Jati Wulung menjadi semakin
terpecah. Mereka berada dalam satu kelompok-kelompok
yang terdiri dari sepuluh orang, sehingga lima kelompok itu
telah maju dalam rutan masing-masing.
Semakin dekat dengan sasaran, maka orang-orang dalam
kelompok bergeser sedikit kekiri. Ia akan mendekati
sasaran tidak terlalu jauh dari kehadiran pasukan Pajang,
namun dari arah yang berbeda.
Gerak pasukan Pajang dan Tanah Perdikan Sembojan itu
memang tidak diduga sebelumnya oleh mereka yang berada
di sarang itu. Seperti Ki Rangga, mereka memang agak
mengabaikan kemungkinan seperti itu.
Para pengikut Ki Rangga, bekas prajurit-prajurit Jipang
pada umumnya menganggap bahwa Tanah Perdikan
Sembojan tidak mempunyai cukup kekuatan untuk
menyusuri lereng-lereng pegunungan pada jarak yang
begitu jauh. Karena itu, meskipun mereka mendapat
keterangan dari Damar dan Saruju serta orang-orang yang
76 SH. Mintardja telah mereka tangkap, maka orang-orang Tanah Perdikan
Sembojan tidak akan datang. Demikian pula para prajurit
Pajang. Pajang yang sedang sibuk untuk menegakkan
kewibawaannya itu tentu lebih banyak berhubungan dengan
para Adipati dan Tumenggung yang masih belum mapan.
Prajurit Pajang tentu masih dipergunakan untuk
menunjukkan kekuatan Pajang kepada pihak-pihak tertentu
yang masih ragu-ragu dengan kekuasaan Pajang.
Jika tidak didesak oleh Warsi, maka Ki Rangga memang
tidak akan mengosongkan beberapa di antara sarang
mereka. Namun perhitungan Warsi pun ternyata dapat
ditebak oleh Pajang sehingga Pajang tidak langsung pergi ke
sarang-sarang orang yang tertangkap di Tanah Perdikan.
Tetapi Pajang telah memilih sasaran yang lain.
Demikianlah, maka pasukan Pajang dan Tanah Perdikan
itu bergerak semakin dekat. Beberapa langkah sebelum
sampai ke barak, maka Gandar telah memperlambat
pasukannya. Dengan isyarat ia menahan gerak maju Sambi
Wulung dan Jati Wulung, karena mereka belum melihat
tanda-tanda pasukan Pajang sampai ke sasaran pula.
Dalam pada itu Senapati Pajang itu pun telah membagi
pasukannya pula. Sekelompok di antara mereka harus
langsung menyumbat mulut goa disebelah barak yang
didirikan untuk menampung bekas prajurit Jipang yang
berada dibawah pengaruh Ki Rangga Gupita.
Sementara itu, maka Gandar sendirilah yang menyusup
dibawah gerumbul-gerumbul perdu dan bergerak
mendekati sasaran. Beberapa puluh langkah dari barak itu
Gandar berhenti. Ia sudah melihat dinding yang tidak rapat
yang terbuat dari bambu yang tidak terlalu kuat.
Sejenak kemudian, maka Gandar pun telah melihat iring-
iringan pasukan Pajang yang agaknya telah berhenti
77 SH. Mintardja sebentar untuk mengambil ancang-ancang. Ternyata
prajurit Pajang itu datang berlari-lari menyergap sasaran.
Gandar pun telah melemparkan batu ke arah pasukannya
sebagai isyarat. Ia memang sudah memberitahukan. Jika ia
melemparkan batu, maka pasukannya harus mulai
bergerak. Sebenarnyalah suara gemerasak batu di dedaunan hutan
telah membuat perintah bagi Sambi Wulung untuk
menggerakkan pasukannya. Namun sebelum itu ia pun
telah melemparkan batu pula ke arah pasukan Jati Wulung
yang berada disisi yang lain.
Dengan demikian kelompok pasukan dari Tanah
Perdikan itu pun telah maju pula dengan cepat, sehingga
mereka pun akan mampu mengimbangi kecepatan
kehadiran pasukan Pajang.
Sebenarnyalah ketika sorak yang riuh menerpa barak
yang terpencil itu, maka seisi barak itu menjadi terkejut
bukan buatan. Mereka tidak mengira sama sekali, bahwa bahaya akan
menyergap mereka, memang tidak memasang orang untuk
mengamati keadaan. Ternyata kelengahan itu telah
membuat mereka diterkam oleh pasukan Pajang dan Tanah
Perdikan Sembojan. Dalam pada itu, sebagian dari pasukan Pajang itu
memang langsung menuju ke sebuah goa yang besar tetapi
tidak terlalu dalam yang terdapat ditebing lereng
pegunungan pada batu padas yang kering. Sementara yang
lain telah langsung memasuki halaman barak yang tidak
terlalu luas, tetapi memanjang.
Orang-orang yang ada di dalam barak-barak itu terkejut
bukan buatan. Dengan serta merta mereka pun telah
78 SH. Mintardja menyambar senjata-senjata mereka. Sebagai seorang yang
telah ditempa oleh kerasnya latihan prajurit Jipang,
kemudian oleh kerasnya kehidupan yang mereka jalani
untuk waktu yang cukup lama sejak jatuhnya Jipang, maka
mereka pun menjadi orang-orang yang keras dan tangguh
seperti batu-batu padas dipegunungan itu sendiri.
Dengan serta merta maka isi padepokan itu telah
menyongsong pasukan Pajang yang datang dari regol
sebelah depan. Sehingga untuk beberapa saat pasukan
Pajang itu tertahan. Namun karena jumlahnya yang besar,
maka pasukan itu pun telah merembes memasuki
lingkungan barak itu. Dalam pada itu, orang-orang Jipang yang terkejut dan
melawan dengan serta merta itu, sebagian memang telah
menentukan sikap yang serta merta pula, untuk bergeser
kehutan sempit disebelah barak mereka.
Beberapa orang telah siap untuk mundur sambil
bertempur dan kemudian mereka akan menghambur ke
dalam hutan itu untuk memberikan perlawanan secara
khusus. Mereka dapat berlari-lari sambil bertempur di
antara pepohonan yang meskipun tidak sepapat hutan-
hutan di ngarai namun cukup memberikan perlindungan
mereka. Namun demikian mereka bergeser kedinding, tiba-tiba
sepasukan yang lain telah datang pula menghancurkan
dinding bambu mereka. Pasukan yang datang itu adalah
pasukan Sambi Wulung bersama Gandar sendiri.
Orang-orang yang tinggal di barak itu mengumpat sejadi-
jadinya. Mereka tidak dapat memencar ke luar dari halaman
barak yang ternyata telah diserang dari beberapa arah.
79 SH. Mintardja Namun beberapa di antara mereka masih memikirkan
kemungkinan untuk turun dari belakang barak itu.
Menyusur kebawah lewat lereng yang memang sering
mereka turuni itu meskipun kadang-kadang mereka terkena
duri. "Orang-orang Pajang itu tentu tidak akan berani
melakukannya," berkata orang-orang di barak itu didalam
hatinya. Tetapi orang-orang itu telah terkejut pula akan kehadiran
kelompok-kelompok pasukan yang langsung menyusup ke
dalam barak sambil merusak pagar bambu. Mereka ternyata
telah berusaha untuk langsung berada di bagian belakang
dari barak itu dan menutup kemungkinan orang-orang di
barak itu untuk melarikan diri menelusur turun lewat tebing
dibelakang barak itu. Dengan demikian maka para prajurit Pajang dan para
pengawal Tanah Perdikan Sembojan telah mengatasi
kesulitan untuk dapat mengepung barak itu, karena mereka
telah menutup kemungkinan di lingkungan barak itu
sendiri, bukan diluarnya.
Pertempuran pun segera berkembang. Ternyata bahwa
orang-orang yang tinggal di barak itu adalah orang-orang
yang cukup garang. Selain mereka memang memiliki
kemampuan bertempur sebagaimana seorang prajurit,
ternyata bahwa mereka adalah orang-orang yang merasa
terikat pada kesetiaan mereka terhadap Jipang.
Itulah sebabnya, maka orang-orang di barak itu yang
hampir semuanya adalah bekas prajurit Jipang, telah
bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan
mereka. Mereka meloncat, menyerang, bergeser dan
kadang-kadang berloncatan surut. Sementara yang lain
80 SH. Mintardja telah berteriak dengan nyaring, yang dalam kelompok kecil
berusaha menembus pasukan Pajang yang ketat.
Namun para pengawal Tanah Perdikan Sembojan,
sebagaimana para prajurit Pajang tidak terkejut karenanya.
Gandar sudah berusaha untuk membekali para pengawal
dengan pengertian, bahwa bekas prajurit Jipang yang
terhimpit oleh keadaan itu tentu akan menjadi semakin
garang dan keras. Selagi mereka masih berada dalam
pasukan yang utuh dibawah naungan panji-panji Kadipaten
Jipang, mereka sudah dikenal sebagai prajurit-prajurit yang
keras. Apalagi setelah mereka ditempa oleh kerasnya
petualangan. Demikianlah pertempuran pun segera menjadi keras dan
kasar. Para pengawal Tanah Perdikan Sembojan mula-mula
memang merasa gelisah melihat cara lawan mereka
bertempur. Namun mereka memiliki jumlah orang yang
lebih banyak. Apalagi setelah para prajurit Pajang yang juga
cukup berpengalaman itu menebar.
Agak berbeda dengan kedua orang prajurit Pajang yang
bertempur di jalan yang sempit dan bibir jurang yang licin,
maka para prajurit Pajang di barak itu mendapat tempat
yang agak leluasa. Mereka tidak berdiri hanya beberapa
langkah dari bibir jurang yang dalam. Namun mereka
berada ditempat yang dapat dipergunakannya untuk
mengembangkan kemampuan mereka bertempur.
Karena itulah, maka para prajurit Pajang dan para
pengawal dari Tanah Perdikan Sembojan dapat bertempur
dengan mapan. Sementara itu dipelataran goa disebelah halaman barak
itu pun telah terjadi pertempuran yang keras dan kasar.
Para bekas prajurit Jipang yang ada di dalam goa itu telah
berusaha untuk mempertahankan goa mereka dengan
81 SH. Mintardja segenap kemampuan mereka, karena di dalam goa itu
tersimpan barang-barang milik gerombolan mereka yang
oleh Ki Rangga disebut sebagai harta kekayaan yang akan
menjadi bekal mereka untuk menegakkan Jipang kembali.
Prajurit Pajang yang berada di mulut goa itu memang
terkejut menghadapi perlawanan yang luar biasa dari bekas
prajurit Jipang itu. Ternyata beberapa orang di antara
mereka adalah perwira Jipang yang memiliki kemampuan
lebih baik dari para prajurit mereka.
Dengan demikian meskipun jumlah mereka lebih kecil
dari jumlah para prajurit Pajang, namun mereka tetap
bertahan di halaman goa yang tidak terlalu sempit.
Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang
bertebaran dimana-mana. Ternyata para pengawal Tanah
Perdikan Sembojan yang cukup berpengalaman itu masih
juga sekali-kali merasa tergetar melihat kekerasan dan
kekasaran bekas para prajurit Jipang yang tinggal di barak
itu. Namun Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah
memberikan semacam sandaran kekuatan jiwani terhadap
para pengawal Tanah Perdikan. Mereka melihat bagaimana
ketiga orang pemimpin mereka itu bertempur.
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 31. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
82 SH. Mintardja Jilid Ke tiga puluh satu Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di,
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seluruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 83 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja SEMENTARA ITU, Damar dan Saruju ternyata
telah ikut pula bertempur bersama para pengawal,
sementara tawanan yang mereka bawa dari Tanah Perdikan
Sembojan serta tawanan yang ditangkap Sambi Wulung
dijalan setapak menuju ke sarang itu, telah diserahkan
kepada beberapa orang prajurit Pajang yang tugasnya
sehari-hari menyiapkan makan dan minum pasukannya.
Namun bagaimanapun juga, mereka adalah prajurit-
prajurit, sehingga dalam keadaan yang gawat, mereka pun
mampu mempermainkan pedang.
Ternyata Damar dan Saruju memiliki kemampuan
bertempur yang seimbang dengan orang-orang yang tinggal
di sarang bekas prajurit Jipang itu. Bahkan diluar dugaan,
tiba-tiba saja Damar telah bertemu dengan seseorang yang
dikenalnya, seorang bekas prajurit Jipang yang pernah
menjadi pelatihnya. "Kau," geram bekas prajurit Jipang itu.
Damar memang menjadi berdebar-debar. Orang itu
adalah bekas pelatihnya. Bagaimanapun juga terasa sesuatu
bergetar dihati Damar. Namun Damar tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun
kemudian telah menyerang bekas pelatihnya itu.
"Aku sudah mampu mengembangkan ilmuku," berkata
Damar di dalam hatinya. "Kemampuanku bukan sekadar
pengetahuan dasar olah kanuragan sebagaimana
diajarkannya kepadaku."
Dengan demikian maka Damar menjadi semakin mantap.
Namun kadang-kadang getaran dijantungnya masih juga
membuatnya merasa lebih kecil dari lawannya.
2 SH. Mintardja Namun suasana pertempuran itu memang
menguntungkan Damar. Jumlah para pengawal dari Tanah
Perdikan Sembojan dan para prajurit Pajang berlipat dari
jumlah lawannya. Meskipun tidak semua prajurit Pajang
ikut bertempur, karena ada di antara mereka yang harus
menjaga para tawanan dan sebagian lagi harus berjaga-jaga
di luar barak itu serta sekelompok yang lain merupakan
kekuatan adangan, namun jumlahnya memang sudah lebih
banyak dari bekas prajurit Jipang yang ada di dalam
sarangnya itu. Beberapa orang di antara mereka memang berusaha
untuk melarikan diri. Namun di bagian belakang dari barak
itu, telah menebar pasukan pengawal dari Tanah Perdikan
Sembojan, sehingga mereka tidak akan dapat dengan serta
merta meluncur turun di tebing yang tinggi dibelakang
barak mereka, meskipun hal itu memang sudah sering
mereka lakukan. Namun betapapun prajurit Pajang dan pengawal Tanah
Perdikan Sembojan yang jumlahnya lebih banyak, tetapi
perlawanan bekas prajurit Jipang itu telah menggetarkan
jantung setiap orang. Damar yang bertempur melawan pelatihnya, ternyata
memang masih belum menemukan keseimbangan. Damar
semakin lama menjadi semakin terdesak.
Tetapi ternyata Saruju yang berada tidak jauh dari
padanya sempat melihat keadaannya. Karena itu, maka ia
pun telah meloncat mendekatinya.
Mula-mula Saruju pun terkejut. Bekas prajurit Jipang itu
memang pernah pula menjadi pelatihnya sebagaimana
Damar. 3 SH. Mintardja "Marilah," geram bekas prajurit Jipang itu. "Kau yang
telah berkhianat. Datanglah kepadaku, agar aku akan dapat
melaksanakan hukuman mati itu atasmu."
"Siapa yang berkhianat?"
bertanya Saruju. "Kalian berdua," jawab
bekas pelatihnya itu. "Aku
mendengar dari para perwira. Mereka menyesal telah mengirimkan kalian berdua ke Tanah Perdikan Sembojan untuk membunuh anak Wiradana itu." "Agaknya kau termasuk
orang yang beruntung dapat
mengetahui persoalan yang
dituduhkan kepadaku,"
berkata Damar. "Jika
demikian, maka kau termasuk orang yang kami perlukan.
Kau juga mengetahui beberapa hal tentang perkembangan
pasukan Ki Rangga dan Warsi itu sekarang. Tidak seperti
aku dan Damar," berkata Saruju. "Aku dan Damar hanya
tahu apa yang terjadi disarang kami tanpa mengetahui apa
yang terjadi ditempat lain."
"Kalian tidak pantas untuk mengetahui banyak hal.
Apalagi terbukti kalian telah berkhianat," geram bekas
pelatihnya itu. Damar dan Saruju tidak menjawab lagi. Mereka berdua
telah bertempur berpasangan melawan bekas pelatihnya
yang ternyata masih tetap memiliki kelebihan dari mereka.
4 SH. Mintardja Namun ketika Damar dan Saruju bertempur berdua,
maka kedudukan mereka menjadi lebih baik. Meskipun
bekas pelatihnya itu masih tetap menunjukkan kecepatan
gerak yang kadang-kadang mengejutkan, namun dengan
bertempur berpasangan, kedudukan Damar dan Saruju
menjadi semakin mapan. Dalam hiruk pikuk pertempuran itu, Damar dan Saruju
telah menunjukkan bahwa ilmu yang mereka terima dari
para prajurit Jipang, tidak sekadar mereka pergunakan
sebagaimana mereka pelajari. Tetapi ilmu itu telah
berkembang di dalam diri kedua orang anak muda itu,
karena mereka pun telah ditempa pengalaman pula. Mereka
telah ikut bertempur melawan prajurit Pajang di medan
sebelah Timur Pajang. Mereka pun telah ikut dalam
pertempuran-pertempuran yang lain serta pengalaman
mereka menjelajah padukuhan untuk merampas harta
benda orang-orang padukuhan tanpa belas kasihan.
Dengan pengalaman mereka yang panjang, maka
kemampuan kedua anak muda itu pun menjadi semakin
berkembang, meskipun dengan ciri-ciri yang sama seperti
prajurit Jipang itu sendiri.
Karena itulah maka pertempuran di antara Damar dan
Saruju di satu pihak, serta bekas prajurit Jipang yang
pernah menjadi pelatihnya dipihak lain itu pun menjadi
keras dan kasar. Sementara itu, Gandar yang memiliki kemampuan tidak
sekadar kemampuan seorang prajurit, ternyata telah
berhasil mengoyak tata tempur bekas prajurit Jipang yang
ada di sekitarnya. Demikian pula Sambi Wulung dan Jati
Wulung. Apalagi jumlah para pengawal beserta para
prajurit Pajang lebih banyak dari lawan-lawan mereka.
5 SH. Mintardja Dengan demikian, maka bekas prajurit Jipang itu pun
semakin lama menjadi semakin terdesak ketengah-tengah
halaman barak mereka. Mereka sama sekali tidak melihat
kesempatan untuk melarikan diri.Ketika seorang di antara
mereka, memaksa diri untuk menghindar dari medan dan
dengan tidak berperhitungan berlari ke arah belakang
halaman barak mereka, meloncati pagar dan langsung
meluncur turun, maka ternyata ia tidak mampu menguasai
dirinya sendiri. Ia bukannya meluncur menuruni tebing itu
dengan kaki menjulur kebawah dengan keseimbangan yang
mapan. Tetapi orang itu telah erlempar dan jatuh ke dalam
jurang tanpa mampu mengatur diri. Karena itulah yang
terdengar kemudian adalah teriakan panjang. Namun
kemudian suara itu bagaikan hilang ditelan deru dan
dentang senjata beradu. Seorang pengawal yang lepas dari lawannya sempat
menjenguk ke dalam lereng yang dalam itu. Tetapi ia tidak
melihat sesuatu. Meskipun demikian ia memang dapat
melihat kemungkinan untuk dapat menuruni tebing itu jika
tidak tergesa-gesa dan berhati-hati.
Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi
semakin ganas dan garang. Hampir setiap orang terpancing
untuk bertempur dengan kasar. Teriakan-teriakan
mengatasi dentang senjata sementara umpatan kasar
terdengar di antara keluh kesakitan.
Senapati Pajang yang menyaksikan pertempuran itu
memang menjadi berdebar-debar. Meskipun bekas para
prajurit Jipang itu jumlahnya jauh lebih sedikit, tetapi
mereka bertempur dengan jantung yang membara di dalam
dada mereka. Namun ternyata bahwa jumlah dan kemampuan setiap
orang di dalam medan pertempuran merupakan penentu
6 SH. Mintardja dalam perang keseluruhan. Meskipun kemampuan seorang-
seorang dari para prajurit Jipang ditambah dengan api yang
menyala di dalam dada mereka, namun jumlah prajurit
Pajang dan para pengawal Tanah Perdikan Sembojan jauh
lebih banyak. Sementara itu kemampuan prajurit Jipang
dengan lawan mereka seakan-akan tidak terpaut. Hanya
pengalaman mereka yang berbeda itu sajalah yang
membuat warna tata tempur mereka berbeda pula.
Meskipun keduabelah pihak bertempur dengan keras,
bahkan kasar, namun pada bekas prajurit Jipang itu
terdapat meskipun semburat, warna kebengisan dan
kekejaman. Tetapi hal itu terjadi justru karena mereka merasa
terhimpit oleh keadaan. Mereka selalu merasa diburu
kemanapun mereka berada. Tetapi juga karena mereka
terbiasa memaksakan kehendaknya kepada orang lain
dengan garang pada saat-saat mereka merampas dan
mengambil milik orang lain itu.
Bagaimanapun juga bekas prajurit Jipang itu bertempur,
namun ternyata bahwa mereka tidak mampu untuk tetap
bertahan. Perlawanan mereka pun telah terkoyak dimana-
mana. Meskipun demikian, pertempuran dipelataran goa itu
masih berlangsung dengan dahsyatnya. Para bekas prajurit
Jipang ternyata tidak mau beringsut setapak pun juga.
Mereka tidak melepaskan kesempatan sama sekali bagi
lawan-lawan mereka untuk bergeser maju ke mulut goa itu.
Namun para prajurit Pajang pun tidak mau bergeser
mundur dari tempat mereka berpijak. Pertempuran yang
keras itu agaknya telah mengaburkan segala macam
pertimbangan nalar. Kedua belah pihak telah dicengkam
oleh kemarahan yang mencengkam. Kekerasan dan
7 SH. Mintardja kematian di antara kawan-kawan mereka, telah membuat
mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali membunuh.
Sebenarnyalah maka pembunuhan-pembunuhan itu
telah terjadi. Prajurit Pajang yang jumlahnya lebih banyak
ternyata mendapat kesempatan untuk membunuh lebih
banyak pula. Tetapi bekas prajurit Jipang itu sama sekali tidak
beringsut dari tempatnya. Meskipun jumlah mereka
semakin susut, tetapi mereka masih tetap berada di tempat
mereka berpijak. Mulut goa itu masih saja seakan-akan
tersumbat. Namun satu-satu orang-orang Jipang itu telah jatuh
tersungkur ditanah, sehingga akhirnya jumlah mereka pun
menjadi semakin susut. Namun para perwira Pajang itu
menggeleng-gelengkan kepalanya ketika mereka melihat
bekas prajurit Jipang yang tinggal seorang itu pun masih
juga berusaha untuk menahan orang-orang Pajang yang
akan memasuki mulut goa itu.
Para perwira Pajang menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata bekas prajurit Jipang yang berada di goa itu telah
gugur sampai orang yang terakhir.
"Luar biasa," desis para perwira Pajang yang
menyaksikan pertempuran itu. "Jika keprajuritan masih
melekat dihati mereka. Sayang mereka telah diderai
memasuki jalan yang sesat."
Sebenarnyalah orang yang terakhir dari bekas para
prajurit Jipang itu sudah jatuh. Dengan demikian maka
para prajurit Pajang pun mulai memasuki goa itu. Namun
mereka tidak ingin menjadi korban yang sia-sia. Karena itu
mereka menjadi sangat berhati-hati.
8 SH. Mintardja Setiap langkah harus mereka perhitungkan sebaik-
baiknya. Apalagi di dalam goa itu semakin dalam menjadi
semakin gelap. Namun para prajurit Pajang itu mengurungkan niatnya
untuk memasuki goa itu tidak terlalu dalam. Tetapi para
perwira Pajang telah memerintahkan mereka untuk
menarik diri. "Kita harus berhati-hati," perintah seorang perwira.
"Kalian berjaga-jaga saja diplataran goa ini. Kami harus
berhubungan dengan para prajurit yang bertempur di
antara barak-barak di sebelah."
Para prajurit Pajang itu tidak mempersoalkan perintah
itu. Apalagi dalam arena yang keras dan garang. Maka
ikatan paugeran bagi prajurit terasa menjadi semakin ketat.
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setiap perintah dari pimpinan mereka harus mereka
jalankan sebaik-baiknya. Dengan demikian maka para prajurit Pajang itu pun telah
berjaga-jaga di plataran goa. Beberapa orang berdiri
dimulut goa menghadap ke dalam. Mereka harus berhati-
hati untuk menghadapi setiap kemungkinan yang dapat
terjadi. Sementara itu, maka beberapa orang telah
mempergunakan kesempatan itu untuk menolong dan
merawat kawan-kawan mereka. Terutama yang terluka.
Sementara itu mereka masih belum sempat berbuat sesuatu
terhadap tubuh-tubuh yang berserakan, yang gugur di
peperangan yang keras itu.
Dalam pada itu, pertempuran di barak itu pun sudah
mendekati saat-saat terakhir. Para prajurit Pajang dan para
pengawal Tanah Perdikan benar-benar telah menguasai
keadaan. Di beberapa bagian masih terjadi pertempuran.
9 SH. Mintardja Namun beberapa saat kemudian, maka para bekas prajurit
Jipang yang tersisa itu pun telah menyerah.
Namun dalam pada itu, Damar dan Saruju harus
menempuh jalan yang tidak mereka inginkan. Pelatihnya
ternyata bertempur dengan keras dan pantang menyerah.
Dalam keadaan yang terdesak, ternyata bekas prajurit
Jipang itu telah sempat melukai Damar dan Saruju
meskipun tidak terlalu parah. Namun dari luka itu telah
mengalir darah. Kemarahan Damar dan Saruju telah melonjak ke ubun-
ubun. Itulah sebabnya maka mereka pun telah memperketat
serangan-serangan mereka, sehingga akhirnya keduanya
berhasil menyentuh bekas pelatihnya itu dengan ujung
senjata mereka. Bukan hanya segores, tetapi beberapa gores
luka telah menganga di tubuhnya.
Namun luka-luka itu telah membuatnya bagaikan gila.
Prajurit Jipang itu justru telah mengamuk sejadi-jadinya. Ia
sama sekali tidak lagi membuat perhitungan-perhitungan
mapan. Bahkan dalam keadaan yang semakin sulit, maka ia
pun menjadi semakin kehilangan keseimbangan nalar.
Dengan demikian, maka kedua belah pihak benar-benar
telah dibakar oleh kemarahan karena luka-luka ditubuh
masing-masing. Itulah sebabnya, maka Damar dan Saruju
pun tidak pernah lagi berharap bahwa pelatih mereka itu
akan menyerah. Dalam pertarungan yang keras dan kasar,
maka senjata Damar telah berhasil menambah luka ditubuh
pelatihnya itu. Namun pelatihnya itu sempat pula
mengayunkan senjatanya ke kening Damar. Justru pada
saat Damar merendah sambil melindungi keningnya dengan
senjatanya, lawannya itu mengurungkan serangannya. Tiba-
tiba saja kakinyalah yang melingkar menebas kelambung
Damar. 10 SH. Mintardja Ketika tumit lawannya mengenai lambungnya, terdengar
Damar mengeluh tertahan. Pada saat yang demikian,
pelatihnya yang berpengalaman itu seakan-akan mendapat
kesempatan. Ia pun telah siap meloncat untuk
menyelesaikan Damar yang sedang kesakitan.
Tetapi ketika ia meloncat sambil mengayunkan
pedangnya, Damar justru menjatuhkan dirinya. Kakinya
dengan cepat berputar menyapu kaki lawannya.
Pelatihnya itu sempat meloncat menghindar. Namun
Rajawali Emas 3 Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Tusuk Kondai Pusaka 21
tergeser dari tempatnya. Bahkan tergetarpun tidak. Justru
malahan Rumpak lah yang terdesak dan jatuh menghantam
dinding yang kuat, kemudian berguling ditanah.
21 SH. Mintardja Dengan tangkas Rumpak melenting berdiri. Namun rasa-
rasanya punggungnya akan patah, sehingga tidak mungkin
lagi baginya untuk berlari meninggalkan halaman itu. Ia
tidak akan mampu lagi belari cukup cepat untuk mencapai
dinding itu dan ia pun merasa ragu bahwa dengan
punggung yang bagaikan patah itu, apakah ia dapat
meloncat. Namun perhitungannya pun kemudian tertuju kepada perempuan yang nampaknya menjadi gugup dan bertanya, "Apa yang
telah terjadi?" Tetapi Rumpak menjawab, "Ternyata kau
bukan perempuan kebanyakan. Kau dengan sengaja telah menghentikan
aku dengan tenagamu yang besar, yang mampu membenturkan tubuhku pada dinding pada saat aku
berlari. Meskipun aku mengerti, bahwa sentuhan yang tidak
terlalu besar akan mampu mengguncang keseimbangan
seseorang yang sedang berlari dengan tergesa-gesa, namun
terasa bahwa aku memiliki kekuatan yang besar. Karena itu,
perempuan tua, kau harus menanggung akibat dari
perbuatanmu. Kau sudah menggagalkan niatku."
"Apa yang akan kau lakukan Ki Sanak?" bertanya
perempuan itu. 22 SH. Mintardja "Mematahkan tulang belakangmu seperti yang terjadi
padaku. Tulang belakangku terasa seakan-akan telah
patah," jawab Rumpak.
Perempuan tua itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Sudahlah Ki Sanak. Jika punggungmu
sakit, sebaiknya kau beristirahat. Berbaring sajalah untuk
menenangkan diri. Sebentar saja perasaan sakit itu akan
hilang." "Persetan," geram Rumpak. "Aku semakin yakin, bahwa
kau termasuk seorang perempuan yang memiliki ilmu
seperti perempuan yang disebut Serigala Betina itu. Karena
itu, maka aku ingin memutar tubumu sehingga tulang
belakangmu patah karenanya."
"Jangan mempersulit diri Ki Sanak," berkata perempuan
itu. Tetapi Rumpak tidak mau mendengarnya lagi. Dengan
kemarahan yang memuncak ia menggeram sambil
menerkam tubuh perempuan tua itu. Perempuan yang telah
menggagalkannya untuk meninggalkan bilik itu.
Namun ketika tangannya menyentuh tubuh perempuan
itu, Rumpak terkejut. Tangannya, terutama jari-jarinya
terasa seolah-olah berpatahan. Ternyata tubuh perempuan
tua itu menjadi keras seperti baja.
Akhirnya Rumpak harus mengakui kenyataan.
Perempuan itu benar-benar seorang perempuan yang
memiliki ilmu yang tinggi.
Karena itu, maka ia pun telah melepaskan
cengkeramannya dan membanting diri duduk
dipembaringannya. Katanya, "Nyai. Aku menjadi semakin
yakin akan kekecilan diriku di Tanah Perdikan ini. Inilah
23 SH. Mintardja sebabnya maka Saruju dan Damar tidak berani melakukan
tugasnya." "Tenanglah," berkata perempuan tua itu. "Renungilah
keadaanmu sebaik-baiknya. Pada satu saat, kau akan
dipanggil lagi menghadap seperti tadi. Aku juga hadir ketika
kau dipanggil Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan
Sembojan yang kebetulan seorang perempuan. Mungkin ia
dapat berlaku lembut seperti kebanyakan perempuan.
Tetapi ia akan dapat menjadi garang karena
kedudukannya." Rumpak tidak menjawab. Namun jantungnya menjadi
semakin berdebar-debar. Sementara itu perempuan tua itu
berkata, "Sudahlah. Kesempatanmu untuk beristirahat tidak
banyak lagi. Menurut pendapatku sebaiknya kau
pergunakan waktumu sebaik-baiknya."
Rumpak masih tetap berdiam diri. Sementara
perempuan itu telah selesai membenahi mangkuk-mangkuk
yang kotor. Sambil menjinjing mangkuk-mangkuk itu
perempuan tua itu berkata, "Ingatlah. Jika kau berkata
dengan jujur, maka persoalan-persoalan yang tidak baik
akan dapat dikesampingkan. Sebaliknya jika kau tidak
berkata dengan jujur, mungkin kau akan mengalami
perlakuan yang belum pernah kau bayangkan sebelumnya."
Perempuan tua itu tidak menunggu jawaban. Perlahan-
lahan ia keluar dari dalam bilik itu. Kemudian terdengar
pintu bilik itu ditutup dan diselarak dari luar.
Rumpah menarik nafas dalam-dalam. Dalam waktu yang
dekat, ia semakin mengenali Tanah Perdikan itu. Di Tanah
Perdikan itu terdapat orang-orang yang berilmu sangat
tinggi jauh melampaui dugaannya. Jika semula orang yang
paling dikagumi hanyalah Ki Rangga Gupita dan Warsi
disamping Ki Randukeling yang tidak pernah muncul lagi,
24 SH. Mintardja ternyata ia telah bertemu dengan orang-orang yang
memiliki ilmu tanpa diduga sebelumnya.
Namun demikian perasaan Rumpak perlahan-lahan
menjadi tenang. Ia pun kemudian mampu memaksa hatinya
pasrah atas apa yang dapat terjadi atas dirinya.
Sejenak kemudian, Rumpak justru berbaring
dipembaringannya. Ia mulai menerawang kemungkinan-
kemungkinan yang bakal terjadi atas dirinya. Namun
pengenalannya atas kemampuan seorang perempuan tua itu
sangat berkesan di dalam dirinya.
SEKILAS Rumpak teringat kembali akan perempuan
yang menyebut dirinya Serigala Betina. Perempuan gemuk
itu tentu seorang perempuan yang garang. Kemudian
dibayangkannya bagaimana Gandar itu melakukan sesuatu
jika ia menjadi jengkel karena pertanyaan-pertanyaannya
tidak terjawab. Laki-laki yang telah mengalahkannya di
pertempuran, dan kemudian bagai-mana dengan Iswari
sendiri. Namun bagi Rumpak semuanya itu adalah sekelompok
orang-orang berilmu tinggi yang telah menangkapnya ke
dalam satu keadaan tanpa kemungkinan lain, kecuali
pasrah. Dalam kesibukan angan-angan, Rumpak justru tidak
menyadari bahwa waktu berjalan terlalu cepat. Ia terkejut
ketika selarak pintu biliknya terangkat. Kemudian perlahan-
lahan pintu itu pun terbuka.
Yang berdiri dimuka pintu kemudian adalah Gandar.
"Rumpak," meskipun ujud Gandar cukup garang, tetapi
suaranya terdengar wajar ditelinga. "Marilah. Kita akan
berbicara tentang beberapa hal."
25 SH. Mintardja Rumpak pun kemudian bangkit dari pembaringannya.
Sejenak ia membenahi diri. Kemudian ia pun berjalan
seperti tanpa perasaan menuju ke pintu.
Gandar bergeser kesamping. Kemudian Rumpaklah yang
berjalan didepan menuju ke ruang dalam rumah Pemangku
Jabatan Kepala Tanah Perdikan itu.
Rumpak sama sekali tidak merasa tegang lagi ketika ia
duduk di antara beberapa orang. Ia tidak sempat
memandang wajah mereka seorang demi seorang,
sebagaimana yang telah terjadi sebelumnya. Ia hanya tahu
ada beberapa orang yang telah duduk melingkar. Ia juga
tidak melihat perempuan tua yang telah membawa
mangkuk makanan ke dalam biliknya yang ternyata ada
pula di ruang itu. Tiba-tiba saja ketika Iswari memasuki
ruang itu, hatinya merasa sejuk. Rumpak tidak tahu, apakah
sebabnya bahwa ia lebih tenang jika Iswari ada di antara
orang-orang Sembojan itu.
"Rumpak," berkata Iswari kemudian. "Kau tentu sudah
tahu, untuk apa kami memanggilmu. Pagi tadi kau nampak
sangat letih, sehingga karena itu pertemuan kita telah
tertunda." Rumpak menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia menjawab sambil mengangguk, "Ya Nyi. Aku
tahu." "Nah, jika demikian, aku minta kau bersedia bekerja
sama dengan kami, agar tidak timbul ketegangan yang tidak
berarti bagi kita semuanya," berkata Iswari.
Hampir di luar sadarnya Rumpak mengangguk sambil
menjawab, "Baik Nyai."
26 SH. Mintardja Iswari mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
"Terima kasih Ki Sanak. Jika benar demikian, maka
pertemuan ini akan cepat berakhir."
Rumpak termangu-mangu sejenak. Tetapi ia memang
tidak mempunyai pilihan lain.
Sejenak kemudian, maka Iswari pun bertanya, "Jika
demikian Ki Sanak. Bukankah kau dapat mengatakan serba
sedikit yang kau ketahui tentang Ki Rangga Gupita dan
Warsi yang sampai saat ini masih selalu mengganggu
ketenangan Tanah Perdikan ini?"
Rumpak memandang wajah Iswari sekilas. Tetapi ia
melihat wajah itu tetap tenang dan tidak bergejolak. Tetapi
Rumpak tiba-tiba saja dicengkam oleh ketakutan untuk
melihat wajah-wajah orang lain disekitarnya, sehingga ia
tetap tidak mengerti siapa saja yang berada di ruang itu.
"Tentu Damar dan Saruju ada juga disini," berkata
Rumpak di dalam hatinya. "Ki
Sanak," berkata Iswari pula. "Silakan. Bukankah Ki Sanak
tidak berkeberatan untuk bekerja bersama dengan kami?"
Rumpak tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu maka
ia pun mulai menceritakan serba singkat tentang
keadaannya dan kedudukannya. Ia berada disalah satu
sarang dari beberapa sarang para pengikut Ki Rangga
Gupita. Namun seperti Damar dan Saruju serta kawan-
kawannya yang lain yang tertangkap hidup-hidup dan
diperiksa di tempat dan waktu yang terpisah, mereka sama
sekali tidak menyebut tentang sebuah padepokan yang rapi,
tertib dan bersih. Yang berhubungan akrab dengan
padukuhan-padukuhan disekitarnya dan dianggap sebagai
tempat untuk minta petunjuk dan bahkan nasihat-nasihat
untuk mengatasi beberapa macam kesulitan yang terjadi di
27 SH. Mintardja padukuhan-padukuhan. Kesulitan tentang tanaman mereka
yang tidak dapat tumbuh subur disawah dan pategalan,
tentang hama yang menyerang batang-batang kelapa dan
tentang banyak hal yang memberikan kesan, betapa
pentingnya kehadiran padepokan itu di antara orang-orang
padukuhan. Karena itu, yang dapat ditangkap dari pembicaraan para
pemimpin Tanah Perdikan Sembojan dengan orang-orang
yang dikirim oleh Ki Rangga dan Warsi tidak lebih dari
beberapa sarang gerombolan yang garang dan kasar.
Beberapa buah goa yang telah dibangun secara khusus
sehingga mampu menjadi tempat tinggal dan dihuni oleh
sekelompok pengikut Ki Rangga dan Warsi.
Rumpak memang dapat menyebutkan beberapa tempat
dari sarang-sarang gerombolannya yang banyak, meskipun
tidak semua. Iswari mendengarkan keterangan itu sambil
mengangguk-angguk. Ia percaya tentang apa yang
dikatakan oleh Rumpak, karena keterangan itu tidak
bertentangan dengan keterangan kawan-kawannya yang
tertangkap dan tidak pula bertentangan dengan keterangan
Saruju dan Damar. Dalam pada itu, para pemimpin Tanah Perdikan yang
ada di ruang itu mengangguk-angguk. Ternyata mereka
berhasil memaksa Rumpak berbicara tanpa menyakiti
tubuhnya. Damar dan Saruju memang ada pula ditempat
itu. Seakan-akan ia menjadi saksi kebenaran keterangan
Rumpak tentang lingkungannya.
"Baiklah," berkata Iswari kemudian. "Kau sudah
mengatakan apa yang kau ketahui. Karena itu, maka kau
akan dikembalikan ke dalam bilikmu. Untuk sementara
persoalan yang kau kemukakan telah cukup bagi kami.
28 SH. Mintardja Tetapi mungkin pada saat lain keteranganmu yang lainlah
yang kami perlukan. Apalagi jika persoalannya telah berada
di tangan para pemimpin Pajang yang tentu juga
berkepentingan dengan gerombolan-gerombolan yang
kalian katakan itu untuk membersihkan Pajang dari
gangguan mereka." Rumpak tidak menjawab. Ia sadar, bahwa ia sudah
berkhianat. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat lain.
Apalagi setelah ia mendengar alasan dan keterangan
tentang sikap Tanah Perdikan Sembojan serta Pajang,
kenapa mereka harus membersihkan gerombolan-
gerombolan sisa-sisa pasukan Jipang.
"Selama ini aku mendengar sikap dari satu sisi saja,"
berkata Rumpak di dalam hatinya. "Dengan demikian maka
aku tidak dapat melihat hubungan persoalannya dengan
pertimbangan yang utuh. Itulah agaknya maka Damar dan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saruju yang sempat tinggal di Tanah Perdikan ini, kembali
kepada keluarganya dan kepada kampung halamannya,
justru karena ia mendapatkan bahan pertimbangan tentang
sikapnya itu." Tetapi Rumpak tidak menyatakan sesuatu. Semuanya
telah terlambat baginya. Bagi Tanah Perdikan, ia adalah
seorang tawanan karena ia berusaha untuk membunuh
Damar, meskipun Damar adalah bekas seorang pengikut Ki
Rangga Gupita dan Warsi. Sejenak kemudian, maka Gandar pun telah membawa
Rumpak kembali ke biliknya. Sementara itu Gandar sempat
berkata, "Nah, bukankah jika kau mau membantu kami,
maka kau tidak akan mengalami perlakuan yang kasar,
karena agaknya untuk waktu-waktu yang akan datang masih
banyak keteranganmu yang kami perlukan."
29 SH. Mintardja Rumpak tidak menjawab. Tetapi ia memang menjadi
cemas. Jika keterangan yang diperlukan itu benar-benar
tidak diketahuinya, maka ia akan dapat berada dalam
keadaan yang sulit, seolah-olah ia dengan sengaja
menyembunyikan sesuatu. Dalam pada itu, setelah Rumpak dibawa kembali ke
biliknya, maka para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan
itu pun mulai membicarakan persoalan yang mereka
hadapi. Tetapi agaknya yang mereka hadapi itu tidak saja
berada di Tanah Perdikan Sembojan yang menjadi daerah
jangkau kekuasaan Pemangku Jabatan Kepala Tanah
Perdikan Sembojan, karena sarang-sarang gerombolan itu
semuanya berada diluar Tanah Perdikan.
Ternyata bahwa Iswari memerlukan satu kesempatan
tersendiri untuk membicarakan persoalan gerombolan dari
bekas para prajurit Jipang yang ternyata telah berbaur
dengan sisa-sisa kekuatan gerombolan Kalamerta yang
sempat dihimpuan kembali.
Sementara itu, perhatian Iswari terhadap Risang menjadi
semakin tajam. Risang adalah sasaran utama dari
gerombolan yang masih berusaha untuk mendapat
kesempatan merampas Tanah Perdikan itu, karena seorang
di antara anak Ki Wiradana ada di antara gerombolan itu.
Karena itulah maka pengawasan terhadap Risang
menjadi semakin ketat. Namun agar Risang tidak menjadi
seorang yang terlepas dari lingkungannya, maka Iswari
memberikan kesempatan kepada anaknya untuk bermain-
main dengan anak-anak sebayanya. Namun dalam keadaan
yang demikian, pengamanan atas anak itu dilakukan
dengan bersungguh-sungguh. Bukan saja Bibi lebih banyak
mempergunakan waktunya untuk berada di dekat Risang.
Tetapi juga Gandar, Nyai Soka dan Iswari sendiri.
30 SH. Mintardja Untuk menjaga banyak kemungkinan, maka Iswari justru
membiarkan anak-anak tetangga-tetangganya bermain di
halaman rumahnya yang luas daripada melepaskan Risang
keluar dari halaman dan bermain di jalan atau ditempat-
tempat lain. Meskipun demikian agar Risang tidak menjadi seorang yang berpandangan
sempit kelak, maka sekali-
kali Risang masih juga dibawanya keluar. Namun jika demikian, maka beberapa orang terpercaya
mengikutinya pula. Sekali-kali Risang memang diajak juga pergi ke
sungai. Pergi ke sawah dan
pategalan. Pergi ke bendungan dan tempat- tempat lain yang perlu dikenalinya. Tetapi dengan satu keyakinan, bahwa
keselamatannya akan tetap dilindungi. Bahkan Risang lebih
banyak pergi bersama ibunya sendiri bersama Gandar dan
Bibi. Sementara itu para pengawal di padukuhan-
padukuhan masih saja berada dalam kesiagaan tertinggi
setelah terjadi usaha pembunuhan terhadap keluarga
Damar. Di pihak lain, Ki Rangga dan Warsi ternyata telah
mendapat laporan tentang kegagalan Rumpak dan kawan-
kawannya. Ternyata Rumpak tidak berhasil membunuh
salah seorang keluarga Damar. Bahkan Rumpak dan
31 SH. Mintardja beberapa orang kawannya tertangkap hidup-hidup,
sementara yang lain tertangkap mati.
"Gila," geram Ki Rangga. "Ternyata mereka adalah tikus-
tikus yang dungu. Mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
Membunuh kecoak pun tidak dapat mereka lakukan.
Bahkan mereka telah dihancurkan oleh orang-orang Tanah
Perdikan Sembojan." Warsi pun mengumpat tidak habis-habisnya. Dengan
nada tinggi ia berkata, "Jika demikian, dengan cara apa lagi
kita harus membunuh anak itu?"
"Kita tidak boleh putus asa. Kita akan membunuhnya.
Jika kita tidak melakukannya, lalu apa artinya anakmu itu"
Ia tidak akan berguna sama sekali bagi kita," sahut Ki
Rangga. "Anak itu memang membawa nasib buruk," geram Warsi.
"Tetapi aku masih akan tetap memeliharanya sampai
saatnya kita dapat membunuh Risang. Anak itu akan
memasuki Tanah Perdikan dengan haknya sebagai anak
Wiradana." Ki Rangga tidak menjawab. Bahkan kebenciannya
terhadap anak Wiradana itu menjadi semakin menyala di
dalam hatinya. Anak itu seakan-akan hanya merupakan
beban saja dan bahkan membuatnya selalu teringat kepada
ayah anak itu yang sudah terbunuh.
Tetapi untuk sementara ia masih menyabarkan dirinya.
Mungkin masih ada kesempatan. Namun jika memang tidak
ada lagi kemungkinan untuk membunuh Risang, maka
Puguh itu pun tidak akan berarti apa-apa lagi.
Karena itulah, maka perlakuan terhadap Puguh itu tidak
menjadi bertambah baik. Anak itu setiap hari dibebani
dengan tuntutan-tuntutan yang sangat berat. Ibunya dan Ki
32 SH. Mintardja Rangga menyebutnya sebagai satu usaha untuk menempa
anak itu. "Jika sejak kecil ia mengalami tekanan yang berat, maka
tubuhnya akan terbiasa untuk melawan dan mengatasinya.
Ia akan menjadi seorang yang kuat lahir dan batin. Jika
saatnya ia menguasai ilmu, kanuragan, maka ia akan
menjadi seorang yang tidak akan terlawan. Kemampuannya
dan kebesaran jiwanya akan menggulung semua lawan-
lawannya" berkata Warsi kepada orang yang diserahinya,
orang yang pernah diakunya sebagai ayah Warsi disaaat ia
memasuki Tanah Perdikan Sombajan sebagai seorang
penari jalanan. Orang yang setiap hari mangasuh Puguh itu
mengangguk. Seperti keinginan dan sikap ibunya, maka ia
pun bersikap keras terhadap Puguh. Ia memaksa anak itu
untuk melakukan latihan-latihan yang sangat berat dibandingkan dengan umurnya yang baru mulai semi.
Tetapi Puguh tidak sempat mengeluh. Ia memang sering
menangis. Namun lambat laun anak itu merasa bahwa
tangisnya tidak berarti apa-apa lagi. Karena na itu, maka
setiap kali anak yang masih sangat muda itu berusaha
menyembunyikan tangisn:ya sehingga kadang-kadang
dadanyalah yang menjadi sesak oleh isaknya.
"Kau tidak haleh menjadi manja" geram ibunya setiap
kali anak itu menangis, "kau anak seorang pengecut. Kau
tidak boleh menjadi seorang pengecut pula. Kau harus
menjadi laki-laki yang pantas sebagai anak Warsi."
Puguh sama sekali tidak mengerti arti kata-kata ibunya
itu. Tetapi ia tidak menjawab. Namun setiap kali anak itu
sibuk mengusap air matanya, agar ibunya tidak pernah
melihatnya menangis. 33 SH. Mintardja Samentara sikap orang-orang di sekitarnya terhadap
anak kecil itu masih belum beruhah, Ki Rangga dan Warsi
telah dibebani tugas yang lain untuk menyelamatkan
beberapa buah sarangnya yang tentu akan diketahui oleh
orang-orang Tanah Perdikan Sembojan.
"Sarang itu harus dikosongkan" berkata Warsi.
"Sebenarnya kita tidak perlu mencemaskannya. Orang.
orang Tanah Perdikan Sembojan tidak akan berani
menjangkau sarang-sarang kita, sementara Pajang tidak
akan menghiraukannya seandainya Tanah Perdikan
Sembajan melaporkantaya." jawab Ki Rangga.
"Tetapi kita harus berjaga-jaga" berkata Warsi pula, "kita
sudah terlalu banyak kehilangan. Sebaiknya kita tidak
menjadi lengah." Ki Rangga mengangguk kecil. Jawabnya, "Baiklah. Kita
akan menutup dua buah sarang kita. Sarang yang semula
dihuni oleh Rampak dan kawan-kawannya, sementara satu
lagi yang dihuni semula oleh Damar dan Saruju."
"Satu lagi" berkata Warsi, "yang bersama-sama dengan
Rumpak tidak hanya berasal dari satu sarang."
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya
kemudian, "Baiklah. Kita akan memindahkan tiga buah
sarang kita. Jika tergesa-gesa dan kita belum mendapatkan
tempat lain yang baik, maka biarlah ketiga sarang itu kita
tempelkan pada tiga buah sarang yang sudah ada."
"Aku setuju" berkata Warsi, "itu, lebih baik daripada
ketiga sarang itu dihancurkan oleh orang~orang Tanah
Perdikan Sembojan yang dibantu oleh para prajurit Pajang."
Dalam pada itu, sebenarnyalah Iswari telah berbicara
dengan, para perwira Pajang. Iswari telah malaporkan apa
34 SH. Mintardja yang diketahui tentang gerombalan bekas prajurit Jipang
dan bekas orang-orang yang menjadi pengikut Kalamerta.
"Bukan satu-satunya" jawab perwira Pajang itu, "di
sebelah Barat Pajang, pasukan Jiipang yang saat itu berada
disisi Barat juga menyusun kekuatan. Mereka mencari
landasan di sekitar Kademangan Sangkal Putung yang
subur. Pasukan itu agaknya masih lebih kuat dari pasukan
Ki Rangga Gupita, Namun karena Ki Rangga memecah
pasukannya menjadi bagian-bagian yang kecil, agaknya, kita
memang sulit untuk menilainya."
"Beberapa buah sarangnya dapat kita ketahui justru
karena ada di-antara mereka yang tertangkap" berkata
lswaril. "Kami menyadari, seperti sepasukan yang terada di
sekitar Sangkal Putung yang subur itu, maka gerombolan Ki
Rangga teptu merupakan gangguan yang perlu mendapat
perhatian." jawab perwira Pajang itu.
"Apakah Pajang masih belum mengambil langkah-
langkah yang perlu untuk menghancurkan kekuatan sisa-
sisa prajurit Jipang yang ada di Sangkal Putung dan
sekitarnya?" bertanya Iswari.
"Kami sudah menempatkan pasukan Pajang di Sangkal
Putung. Bersama-sama dengan rakyat Sangkal Putung dan
Kademangan di sekitiarnya mereka selalu berhasil mengusir
sisa-sisa pasukan Pajang itu. Namun tujuan mereka yang
terakhir .bukan sekedar mengusir, tetapi menghancurkan
seluruh sisa-sisa pasukan Jipang itu." jawab perwira Pajang
itu. "Jika demikian, apakah tidak sebaiknya diambil tindakan
juga atas sarang-sarang kekuatan pasukan Ki Rangga itu"
Mudah-mudahan dengan demikian gangguan atas tegaknya
35 SH. Mintardja Pajang akan dapat dikurangi sejauh-jauhnya," berkata
Iswari kemudian. "Tetapi kita tidak akan menemukan sasaran," berkata
perwira Pajang itu., "Aku yakin, bahwa setelah orang-
orangnya tertangkap Ki Rangga akan menarik orang-
orangnya dari sarang yang mungkin akan disebut oleh
orang-orangnya yang tertangkap itu."
Iswari mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya,
"Tetapi ada beberapa buah sarang yang dikenalinya.
Mungkin satu dua di antara sarang-sarang itu akan
dikosongkan. Tetapi tidak semuanya sebagaimana
dikatakan oleh orang yang tertangkap itu."
Perwira Pajang itu menggeleng, katanya, "Apa yang
dikenal oleh seseorang tentu bukan segala-galanya. Tentu
ada sarang-sarang lain yang tidak diketahuinya."
"Jika kita mendengar langsung keterangannya, maka kita
dapat menangkap isyarat tentang sarang-sarang yang
bertebaran. Memang tidak semuanya dikenal, tetapi
Rumpak sebagai seorang yang telah mendapat kepercayaan
maka yang diketahuinya bukan sekadar lingkungan yang
sempit. Apalagi ada beberapa sumber keterangan yang ada
di Tanah Perdikan ini. Selain orang-orang yang tertangkap,
maka Damar dan Saruju sendiri akan dapat menjadi sumber
keterangan itu." Perwira Pajang itu mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Baiklah. Aku akan membicarakannya dengan Senapati.
Jika Senapati setuju, maka kita akan dapat berangkat.
Sepasukan yang disiapkan oleh Pajang dan sekelompok
yang lain akan disiapkan oleh Tanah Perdikan Sembojan,
meskipun bukan berarti bahwa Sembojan harus
dikosongkan." 36 SH. Mintardja Demikianlah, maka Tanah Perdikan Sembojan telah
menyiapkan pasukan yang kuat untuk bersama-sama
pasukan Pajang menelusuri daerah yang asing untuk
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencari sumber kejahatan yang kadang-kadang terasa
sangat mengganggu Pajang yang baru tumbuh.
Untuk itu maka Iswari telah memerintahkan Damar dan
Saruju untuk ikut. Namun dalam pada itu, para pemimpin Tanah Perdikan
Sembojan serta para perwira Pajang menganjurkan agar
Iswari sendiri tidak usah ikut serta.
"Kenapa?" bertanya Iswari.
"Tanah Perdikan ini sedang mulai berkembang," jawab
seorang perwira Pajang. Namun Kiai Badra mempunyai pertimbangan lain.
Katanya, "Kau harus mengamati Risang. Siapa tahu, justru
dalam saat-saat pemburuan itu, mereka telah mengirimkan
sekelompok orang yang memiliki kemampuan melampaui
orang-orang mereka terdahulu untuk membunuh atau
mengambil Risang." Iswari termangu-mangu. Namun ketika Kiai Badra
menyebut Risang, maka jantungnya memang berdegup
lebih keras. Dengan kepala tunduk maka Iswari pun kemudian
berkata, "Baiklah. Aku akan tinggal di Tanah Perdikan ini."
Dalam pada itu, dalam pasukan Tanah Perdikan yang
kuat meskipun tidak terlalu banyak jumlahnya terdapat
Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung. Gandar sendirilah
yang akan memegang pimpinan pasukan Tanah Perdikan
Sembojan. 37 SH. Mintardja Ketika semua persiapan telah selesai, maka seperti yang
diperintahkan oleh para perwira dari Pajang mereka harus
mulai bergerak. Mereka diperkenankan membawa tunggul
yang pernah diberikan oleh Pajang kepada Tanah Perdikan
itu pada saat mereka mendapat wewenang untuk memegang
pimpinan di Tanah Perdikan dan melawan pasukan Warsi
dan Ki Rangga Gupita. "Dengan tunggul itu, maka kalian memang bergerak atas
nama Pajang," berkata seorang perwira Pajang. "Daerah
yang akan kalian lewati tidak akan merasa tersinggung,
karena kalian tidak bergerak atas nama Tanah Perdikan
Sembojan, tetapi atas nama pemerintahan Pajang."
Sebanyak lima kelompok Pasukan Tanah Perdikan telah
berangkat. Setiap kelompok terdiri dari duapuluh orang.
Sehingga semua kekuatan Tanah Perdikan yang akan ikut
dalam usaha penumpasan gerombolan Ki Rangga dan Warsi
yang terdiri dari bekas prajurit Jipang dan orang-orang
yang pernah menjadi pengikut Kalamerta, semua berjumlah
seratus orang ditambah dengan tiga orang pemimpinnya.
Jumlah itu memang terlalu sedikit. Tetapi, prajurit
Pajang akan berjumlah tiga kali lipat. Karena Pajang
memang ingin menumpas gerombolan itu sehingga tidak
akan menimbulkan gangguan-gangguan yang berarti.
Rumpak sendiri, ternyata tidak dibawa oleh pasukan
Tanah Perdikan Sembojan. Namun kecuali Damar dan
Saruju, telah ikut pula orang-orang yang tertawan bersama
Rumpak. Namun dalam pada itu, di Tanah Perdikan Sembojan
sendiri, pengawasan dan pengamatan terhadap daerahnya
sama sekali tidak menjadi kendor. Bahkan untuk tetap
melindungi keluarga Damar dan Saruju, para pengawal
telah memindahkan gardu mereka. Untuk sementara gardu
38 SH. Mintardja terdekat menjadi kosong. Tetapi mereka berada di Serambi
rumah Damar dan Saruju itu.
Sedangkan pengamanan terhadap Risang pun telah
ditingkatkan pula. Bibi kemudian tidak mempumyai tugas
lain kecuali mengasuh Risang bersama pemomongnya
selain Iswari sendiri. Bahkan N'yai Sokapun kemudian lebih
banyak berada didekat Risang pula.
Sedangkan Kiai Badra dan Kiai Soka mendapat tugas
untuk mengamati seluruh isi Tanah Perdikan bersama
dengan para pemimpin pengawal.
Demikianlah, maka sebuah pasukan telah bergerak dari
Tanah Perdikan Sembojan. Namun mereka telah membawa
tunggul yang dapat menjadi pertanda bahwa mereka
bergerak atas perintah Pajang. Beberapa Kademangan yang
mula-mula terkejut melihat kehadiran sebuah pasukan,
kemudian ternyata mereka menyadari, bahwaa pasukan itu
bergerak dengan membawa landasan kuasa dari pemerintah
di Pajang. Dengan demikian tidak ada sebuah Kademangan
pun yang dilalui pasukan Sembojan itu yang merasa
berkeberatan. Di tempat yang sudah ditentukan, pasukan Sembojan itu
memang harus berhenti untuk menunggu hadirnya pasukan
Pajang dengan kekuatan tiga kali lipat atau lebih.
Dengan menunjukkan atas kuasa yang berupa tunggul
itu, maka pasukan Sembojan telah berhenti dan mendapat
tempat menunggu di Banjar Kademangan Kedung
Waringin. Bahkan mereka mendapat pelayanan yang sangat
baik. Karena menurut Ki Demang di Kedung Waringin
usaha untuk menumpas sekelompok gerombolan yang
sering melakukan .pengacauan akan banyak artinya bagi
Kedung Waringin. 39 SH. Mintardja "Pada saat-saat terakhir, Kademangan ini: memang
dibayangi oleh segeromboban penjahat yang tidaik begitu
jelas tujuannya. Mereka tidak hanya merampas barang dan
perhiasan. Tetapi mereka selalu menyebut bahwa mereka
berada pada tataran perjuangan untuk menegakkan kembali
Kadipaten Jipang. Sehingga seolah-olah mereka tidak
sekedar merampok sebagai satu tujuan. Tetapi sebagai
langkah untuk melakukan perjuangan yang panjang yang
mereka anggap perjuangan yang harus didukung oleh
semua orang di lingkungan daerah Demak."berkata Ki
Demang di Kedung Waringin.
Gandar yang memimpm pasukan itu mengangguk-
angguk. Katanya, "Tindakan mereka sudah terlalu.jauh
menyakiti hati Tanah Perdikan Sembojan, dan ternyata juga
Kademangan-kademangan yang lain."
Meskipun Gandar tidak menceriterakan hubungan antara
garombolan itu dan Tanah Perdikan secara khusus, namun
Ki Demang Kedung Waringin dapat menangkap bahwa
gerombolan itu telah membuat Tanah Perdikan Sembojan
menjadi salah satu daerah yang telah dikacaukannya.
"Untungnya kalian memiliki kekuatan yang cukup besar
untuk melawan" berkata Ki Dzanang Kedung Waringin.
"Aku kira jumlah anak-anak muda dan laki-laki dalam
batas usia tertentu dibanding dengan jumlah penduduk
tidak jauh berbeda dengan Kademangan ini," jawab Gandar.
Ki Demang mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
pun mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin demikian.
Tetapi di Kademangan ini tidak ada orang yang mampu
menghimpun mereka untuk menjadi satu kekuatan yang
besar. Kami memang mempunyai sekelompok anak-anak
muda yang kami sebut pengawal Kademangan. Bahkan
disetiap padukuhan terdapat para pengawal. Namun tidak
40 SH. Mintardja terlalu banyak dapat diharapkan dari mereka. Aku pun tidak
ingin mengorbankan mereka dalam benturan kekerasan
dengan gerombolan yang kuat, garang dan kasar itu. Para
pengawal tidak akan dapat berbuat apa-apa," Ki Demang itu
berhenti sejenak, lalu. "Tetapi jika aku boleh tahu, apakah
anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan ini sudah
mendapat gambaran tentang kemampuan gerombolan itu,
sehingga jika mereka benar-benar telah berbenturan,
mereka tidak akan terkejut atau bahkan menjadi
kebingungan?" "Kami pernah ikut bersama pasukan Pajang bertempur
melawan mereka," jawab Gandar. "Kami pernah berada di
medan perang disebelah Timur Pajang menghadapi
pasukan Jipang dan kami pun telah berhasil mengusir
pasukan dari bekas para prajurit Jipang yang berada di
Tanah Perdikan kami."
"Bukan main," desis Ki Demang. "Suatu pengalaman
yang sangat berharga. Tetapi bagaimanakah Tanah
Perdikan Sembojan mamu membentuk suatu pasukan yang
kuat. Bukan saja jumlahnya yang besar, tetapi kemampuan
yang tinggi." "Kami telah menempa anak-anak muda kami. Tidak
hanya dalam waktu satu dua hari," jawab Gandar tanpa
menceritakan apa yang pernah terjadi seluruhnya. Gandar
juga tidak menceritakan bahwa termasuk orang-orang
Jipang yang mula-mula telah menempa anak-anak muda
Tanah Perdikan Sembojan. Namun dalam pada itu Ki Demang Kedung Waringin pun
berkata, "Kami ingin melakukan sebagaimana pernah Ki
Sanak lakukan di Tanah Perdikan Sembojan, sehingga
setidak-tidaknya kami akan dapat melindungi diri kami dari
41 SH. Mintardja perampokan yang ganas yang sering terjadi Kademangan
ini." "Ki Demang. Pada waktu yang dekat, akan datang
pasukan dari Pajang yang akan bersama-sama dengan kami
menuju ke sarang para perampok itu. Kalian dapat
mengutarakannya kepada para perwira dari Pajang. Mereka
tentu menaruh perhatian dan bersedia membantu kalian,
karena kekuatan yang terbangun dari Kademangan-
kademangan pada dasarnya adalah kekuatan Pajang pula,"
berkata Gandar. Ki Demang mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia
berkata, "Aku akan mencobanya. Tetapi sudah barang tentu
aku harus membangkitkan minat anak-anak muda di
Kademangan ini untuk melakukannya."
"Keadaan yang sulit, peristiwa perampokan yang sering
terjadi dan keadaan yang tidak menentu, akan mendorong
anak-anak muda itu untuk membentuk dirinya. Terdorong
oleh tanggung jawab yang tinggi, maka mereka tentu akan
berbuat sesuatu," berkata Gandar.
Ki Demang Kedung Waringin mengangguk-angguk.
Kehadiran anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan itu
akan dapat dijadikan contoh betapa anak-anak muda akan
mampu berbuat lebih banyak bagi kampung halamannya.
Karena itulah, maka Ki Demang telah memanggil
beberapa orang anak muda yang paling berpengaruh di
Kademangannya dan pemimpin pengawal yang
kemampuannya kurang memadai, mereka diminta oleh Ki
Demang untuk berkenalan dan berbicara tentang banyak
hal dengan anak-anak Tanah Perdikan Sembojan itu.
42 SH. Mintardja Dalam pada itu, ternyata pasukan Tanah Perdikan
Sembojan berada di Kedung Waringin untuk waktu yang
cukup lama. Mereka telah sempat bermalam pula semalam.
Namun ternyata yang semalam itu telah dapat
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Ki Demang untuk
menggugah anak-anak muda Kademangan Kedung
Waringin yang seolah-olah sedang terkantuk-kantuk itu.
Di malam itu Gandar sempat menunjukkan kemampuan
para pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang tidak
ubahnya kemampuan seorang prajurit. Mereka telah
melakukan permainan dengan senjata untuk menunjukkan
ketangkasan mereka memegang pedang dan tombak.
Bahkan anak-anak muda Sembojan itu atas permintaan Ki
Demang juga telah menunjukkan kemampuan mereka
berkelahi dengan tangan tanpa senjata.
"Luar biasa," desis Ki Demang. "Aku juga ingin
membentuk sekelompok pengawal yang memiliki
kemampuan seperti itu."
Ketika di hari berikutnya pasukan Pajang datang pula di
Kademangan Kedung Waringin, maka yang pertama-tama
dinyatakan oleh Ki Demang setelah mengucapkan selamat
datang adalah niat ntuk menyusun pasukan pengawal yang
benar-benar mampu menjaga keselamatan
Kademangannya. "Bagus sekali," sahut Senapati Pajang yang memimpin
pasukan Pajang yang kuat, "Kami ingin memenuhinya
setelah tugas ini selesai."
Demikianlah, pasukan Pajang itu pun telah bermalam
pula semalam sehingga pasukan Tanah Perdikan Sembojan
sempat pula beristirahat lebih lama dan berhubungan lebih
43 SH. Mintardja banyak lagi dengan anak-anak muda Kademangan Kedung
Waringin. Namun dihari berikutnya, maka seluruh pasukan telah
bersiap untuk melanjutkan perjalanan mereka yang masih
panjang. Sebuah iring-iringan pasukan yang kuat. Pajang
memang tidak ingin bekerja setengah-setengah.
Meskipun demikian, mereka telah memperhitungkan
pula kemungkinan bahwa mereka akan menjumpai sarang
yang telah dikosongkan. Dalam pasukan itu, Damar dan Saruju menjadi bagian
dari mereka yang menunjukkan jalan disamping orang-
orang yang telah tertangkap bersama Rumpak. Namun
seperti dugaan beberapa orang, Damar dan Saruju pun
menduga, bahwa sarang-sarang itu telah dikosongkan
demikian Rumpak dan kawan-kawannya tertangkap.
Meskipun demikian, pasukan itu harus melihat langsung
sarang-sarang yang pernah disebut oleh Damar, Saruju,
Rumpak dan yang telah tertangkap lainnya.
Karena itu, maka iring-iringan itu telah menyelusuri
untuk beberapa lama Kali Kedawung. Namun kemudian
iring-iringan itu mengambil jalan kekiri. Melewati bagian
hutan yang lebat yang agak sulit ditembus, kemudian
memasuki daerah yang berawa-rawa.
Jalan yang ditempuh oleh pasukan itu memang sulit.
Mereka menuju ke kaki Gunung Kukusan.
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk beberapa lama iring-iringan itu berjalan dilereng-
lereng perbukitan dan kemudian menuruni lembah-lembah
yang masih pepat oleh pepohonan.
Jarak yang mereka tempuh memang belum terlalu jauh.
Tetapi mereka telah menghabiskan waktu hampir sehari.
44 SH. Mintardja Mereka hanya beristirahat beberapa saat ketika matahari
tepat berada di atas ubun-ubun. Mereka sempat makan dan
minum bekal yang mereka bawa. Kemudian mereka
melanjutkan perjalanan mereka yang berat.
Namun Senapati yang memimpin pasukan itu tidak
memaksakan pasukannya untuk memeras tenaga dihari
pertama. Meskipun matahari masih agak tinggi, namun
Senapati pasukan itu udah memberikan isyarat, bahwa
mereka akan mencari tempat untuk bermalam.
Beberapa orang telah memencar. Ternyata dua orang di
antara mereka telah menemukan tempat yang sangat baik
untuk bermalam. Mereka menemukan sebuah dataran yang
terdiri dari hamparan batu padas. Satu dua batang pohon
yang kurus tumbuh mencuat dari sela-sela batu padas itu.
Senapati Pajang itu pun telah membawa pasukannya ke
hamparan batu padas itu. Ternyata beberapa orang sependapat, bahwa tempat itu
adalah yang paling baik untuk bermalam. Apalagi
disebelahnya terdapat air terjun yang meskipun hanya kecil,
namun dapat mereka pergunakan sebaik-baiknya. Bahkan
untuk minum sekalipun. Beberapa puluh langkah dari hamparan batu padas itu
terdapat hutan perdu yang luas. Namun karena letaknya
dilereng bukit, maka padang itu terdiri dari tebing-tebing
yang curam, celah-celah lembah yang miring dan bahkan
jurang-jurang yang dalam.
Senapati itu pun kemudian memerintahkan pasukannya
untuk beristirahat meskipun matahari masih nampak dan
panasnya masih terasa menyengat tengkuk. Namun para
prajurit itu memang telah merasa letih menempuh
perjalanan yang berat itu.
45 SH. Mintardja "Setelah kita melewati puntuk itu, maka akan terdapat
jalan setapak. Namun lebih baik dari jalan yang telah kita
lewati. Kita akan menuju ke daerah disela-sela Gunung
Kemukus itu dengan Gunung Lawu," berkata Damar kepada
Gandar. "Mereka memilih tempat yang sulit," desis Gandar.
"Mereka harus tetap berada ditempat yang tersembunyi,"
jawab Damar. "Hanya jika mereka memerlukan sesuatu,
maka sekelompok orang akan turun. Juga jika mereka
menganggap perlu untuk mendapat sesuatu yang menurut
istilah mereka dana bagi perjuangan untuk menegakkan
Jipang kembali. Mereka melintasi jalan yang sulit untuk
kemudian memasuki padukuhan-padukuhan yang mereka
anggap menyimpan barang-barang berharga, atau uang.
Perolehan mereka itu kemudian mereka bawa ke sarang
mereka kembali untuk disimpan sehingga saatnya Ki
Rangga dan Warsi mengambilnya untuk dikumpulkan."
"Tempat untuk mengumpulkan hasil rampasan itulah
yang belum pernah kalian sebut. Juga Rumpak tidak
menyebut," berkata Gandar.
Tetapi Saruju yang menggeleng berkata, "Tidak seorang
pun di antara kami yang mengetahuinya. Penyimpanan itu
dilakukan oleh Ki Rangga dan Warsi. Mungkin dua tiga
orang kepercayaan mereka sajalah yang tahu dimana harta
benda itu disimpan."
Gandar mengangguk-angguk. Ia percaya akan keterangan
itu. Ki Rangga dan Warsi tentu tidak akan mempercayai
orang-orangnya sepenuhnya.
Malam itu, pasukan Pajang dan Tanah Perdikan
Sembojan telah bermalam di tempat terbuka dengan satu
dua batang pohon yang tumbuh dicelah-celah batu padas.
46 SH. Mintardja Meskipun batu padas itu dibeberapa bagian berlumut dan
terasa basah, tetapi dibeberapa bagian hamparan itu cukup
baik bagi para prajurit untuk bermalam.
Mereka telah mulai membuat perapian ketika matahari
tenggelam. Beberapa perapian menerangi tempat itu. Bukan
saja menerangi, tetapi juga menghangatkan tempat yang
udaranya terasa sangat dingin sampai menggigit tulang.
Sementara itu, beberapa orang mendapat tugas untuk
berjaga-jaga. Mereka bergantian berjalan hilir mudik di
antara pasukan yang sedang beristirahat itu.
Namun menjelang dini hari, sekelompok yang lain telah
terbangun pula. Mereka sibuk menyiapkan makan dan
minuman bagi kawan-kawan mereka, meskipun hanya
sekadarnya sesuai dengan kemungkinan yang dapat mereka
berikan ditempat yang khusus itu.
Menjelang matahari terbit, bergantian mereka telah pergi
ke parit dibawah air terjun yang tidak terlalu besar. Namun
ternyata disebelah lain mereka juga menemukan mata air
yang dapat pula mereka pergunakan untuk mandi.
Ketika matahari mulai naik, maka pasukan itu telah
selesai. Mereka telah mulai makan dan minum. Kemudian
mereka tinggal menunggu perintah Senapatinya untuk
berangkat. Sementara itu, ternyata Senapati itu masih memberikan
beberapa pesan. Pada bagian terakhir ia berkata, "Kita
jangan sampai kehabisan tenaga dalam perjalanan. Karena
itu, kita berjalan sesuai dengan tenaga yang dapat kita
berikan untuk sehari. Namun nampaknya kita akan segera
sampai ketempat tujuan, Mungkin besok."
47 SH. Mintardja Senapati itu memang telah berbicara dengan Damar dan
Saruju. Juga orang yang mereka bawa sebagai penunjuk
jalan, di antara mereka yang tertangkap bersama Rumpak.
Jalan yang kemudian mereka tempuh memang masih
saja sulit. Sesuai dengan perintah Senapati, maka mereka
tidak memaksa diri untuk mencapai jarak tertentu. Tetapi
mereka lebih banyak memperhatikan keadaan diri mereka.
Jika mereka kemudian menjadi sangat letih dan kemudian
mereka menjumpai lawan yang kuat, maka keadaan mereka
akan menjadi gawat. Namun seperti yang dikatakan Damar, maka setelah
mereka melampaui sebuah bukit, maka mereka turun ke
jalan setapak. Jalan itu memang tidak terlalu baik, tetapi
agaknya jalan itu sering dilalui orang-orang padukuhan
untuk melintas dan mencari kayu ke hutan.
Namun Senapati dari pasukan itu menjadi heran, bahwa
mereka melihat dari tempat yang tinggi, sebuah padukuhan
kecil di lereng agak ke bawah.
"Bagaimana mungkin ada padukuhan di tempat itu?"
bertanya Senapati itu. Saruju lah yang kemudian memberikan keterangan,
"Padukuhan itu mempunyai jalur hubungan melalui jalan
Utara." Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya
pula, "Tetapi apakah ada jalur jalan yang cukup baik?"
Saruju menggeleng. Katanya, "Tidak. Hanya ada jalan
setapak seperti jalan yang kita lalui sekarang."
"Apakah yang menjadi makanan pokok mereka yang
tinggal di padukuhan itu?" bertanya Senapati.
48 SH. Mintardja "Mereka mempunyai pategalan yang cukup luas. Bahkan
dibawah padukuhan itu terdapat sawah bertingkat. Air
bukan masalah yang sulit, sebagaimana kita lihat disini.
Mereka menanam ketela pohon di pategalan dan menanam
padi disawah," jawab Saruju.
Tentang kebutuhan lain" Garam misalnya?" bertanya
Senapati itu pula. "Mereka harus turun lewat jalur Utara menuju ke sebuah
padukuhan yang cukup jauh. Ada sebuah pasar kecil di
padukuhan itu. Jika mereka mulai turun menjelang
matahari terbit, menjelang senja mereka baru kembali
dengan membawa garam dan kadang-kadang kebutuhan
yang lain." Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga
bertanya, "Apakah padukuhan itu tidak sering diganggu
oleh para pengikut Ki Rangga?"
"Padukuhan itu miskin. Tidak ada apapun yang berarti
yang dapat diambil. Namun kadang-kadang di antara
orang-orang Ki Rangga dan Warsi ada juga yang sering
singgah di padukuhan itu sekadar memerlukan makan. Nasi
atau ketela pohon," jawab Saruju.
"Tetapi darimana orang-orang itu mendapat uang untuk
membeli garam, pakaian atau keperluan-keperluan lain?"
bertanya Senapati itu pula.
"Mereka menanam pohon kelapa. Tetapi mereka juga
beternak ayam dan kambing. Sekali-kali orang-orang Ki
Rangga memang mengambil kambing dari padukuhan itu.
Tetapi jarang sekali. Bahkan kadang-kadang kambing itu
dibelinya, meskipun uangnya juga sekadar hasil rampasan,"
jawab Saruju. 49 SH. Mintardja Senapati itu mengangguk-angguk. Ia kemudian
mendapat gambaran jalan yang harus mereka tempuh.
"Sarang yang satu dengan yang lain tidak terlalu dekat
jaraknya," berkata Saruju kemudian.
"Tetapi dimana Ki Rangga dan Warsi sering tinggal?"
bertanya Senapati itu. "Kami tidak mengetahuinya. Bahkan hampir setiap orang
dari sarang yang berbeda jika saling bertemu, tidak seorang
pun yang dapat mengatakan, sebagian besar waktunya Ki
Rangga dan Warsi itu berada dimana. Sekali-kali mereka
berada di salah satu sarang. Tetapi tidak lebih dari dua
malam, Ki Rangga dan Warsi tentu sudah berpindah
tempat. Bahkan kadang-kadang ia tidak berada di manapun
untuk waktu yang agak lama," jawab Saruju.
Senapati itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
pun bertanya, "Apakah kita akan melewati padukuhan kecil
itu?" "Sebaiknya tidak," jawab Saruju. "Jika ada orang-orang
Ki Rangga yang kebetulan berada di tempat itu, maka
mereka akan dapat memberikan isyarat kepada kawan-
kawannya untuk menghindar."
Senapati itu mengangguk-angguk, sementara Saruju
berkata selanjutnya, "Padukuhan itu bukan satu-satunya.
Disebelah nanti kita akan menjumpai lagi padukuhan
serupa." Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
bertanya lagi. Demikianlah iring-iringan itu telah menyusuri jalan
setapak dilereng pegunungan. Sekali-kali mereka hilang
ditelan rimbunnya dedaunan. Namun kemudian mereka
50 SH. Mintardja berjalan melalui wajah batu padas yang keras dan kadang-
kadang berujung runcing. Ternyata bahwa di daerah itu air cukup melimpah.
Dilereng-lereng air menitik seperti diteritis rumah.
Kemudian mengalir lewat relung-relung batu padas dan
akhirnya menjadi parit-parit kecil.
Agaknya air itu tetap menitik disegala musim. Meskipun
kemarau mengeringkan ngarai namun agaknya air
didinding perbukitan itu tetap menitik.
Ketika mereka harus beristirahat di siang hari maka
Senapati itu telah memanggil beberapa rang pemimpin
kelompok di dalam pasukannya. Ia pun telah memanggil
Gandar, Damar dan Saruju.
Sambil menunggu matahari turun ke arah Barat setelah
melewati puncak, maka mereka telah membicarakan
rencana perjalanan mereka.
"Aku memilih sasaran yang belum pernah dihuni oleh
Damar, Saruju atau Rumpak dan orang-orangnya. Mungkin
kau pernah melihat satu di antara sarang-sarang itu. Jika
mungkin yang cukup besar dan berarti," berkata Senapati
itu. Gandar dan para perwira Pajang sependapat. Namun
sasaran itu harus mereka tentukan. Apa-kah ada di antara
mereka yang dapat menunjukkan sasaran itu, terutama
Damar dan Saruju. Untuk beberapa saat Damar dan Saruju merenung.
Namun tiba-tiba dipanggilnya seorang di antara orang-
orang yang tertawan bersama Rumpak yang dibawa serta
dalam iring-iringan itu. 51 SH. Mintardja "Nah," berkata Damar. "Bukankah kau pernah
mendatangi sarang-sarang yang lain kecuali sarangmu
sendiri" Kau pernah mendapat tugas untuk membawa
barang-barang rampasan. Nah, agaknya kau akan dapat
menunjukkannya." "Aku tidak pernah," jawab orang itu. "Bukan aku yang
harus membawa barang-barang rampasan."
"Jangan berbohong. Di Tanah Perdikan Sembojan kau
sudah bersikap baik. Kau telah bersedia mengadakan kerja
sama dengan kami. Tetapi kini tiba-tiba kau ingkar dari
kesediaanmu itu," berkata Damar.
"Benar Damar," sahut orang itu. "Aku memang sudah
bersedia, untuk bekerja sama karena aku tidak mempunyai
pilihan lain. Tetapi aku tidak pernah mendapat tugas
membawa barang-barang itu. Meskipun demikian,
barangkali aku dapat menyebutnya satu di antara sarang
yang lain kecuali tempat tinggalku, hanya sekadar dari
sebuah percakapan dengan seorang kawan yang bertugas di
tempat lain, namun yang bersama-sama mendapat perintah
untuk turun dan mengambil kekayaan seseorang."
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Damar mengangguk-angguk. Katanya, "Nah, sebutkan.
Kita sudah sampai disini. Pada umumnya sarang itu dapat
ditempuh lewat jalan ini, meskipun ada satu dua yang
menurut pendengaranku berada di arah lain."
Orang itu pun kemudian menyebut satu di antara sarang
para pengikut Ki Rangga yang pernah diketahuinya.
Meskipun ia sendiri belum pernah datang ketempat itu,
tetapi ancar-ancar itu terasa agak jelas. Justru lebih dekat
dari yang lain. "Baiklah," berkata Senapati itu. "Kita akan mencoba
mendatangi sarang itu. Kita harus mengepungnya dan tidak
52 SH. Mintardja memberi kesempatan seorang pun lolos, agar kedatangan
kita tidak segera tersebar di antara mereka."
Tetapi Senapati itu tidak akan mengepung tempat itu
segera. Mereka menunggu matahari turun. Kemudian
mereka akan melanjutkan perjalanan mendekati sarang itu.
Mereka akan bermalam di sekitar sarang itu dan sekaligus
mengamatinya. Jika orang-orang Ki Rangga itu menyadari,
maka kepungan justru akan dirapatkan. Senapati itu akan
menunda pertempuran sampai hari berikutnya setelah
matahari terbit. Tetapi jika malam itu orang-orang di sarang
itu memaksakan pertempuran, maka apaboleh buat.
Tetapi Damar kemudian berkata, "Senapati. Orang-orang
disarang itu lebih memahami medan daripada kita.
Pengalaman mereka sebagai prajurit Jipang dan kehidupan
yang keras selama ini, membuat mereka menjadi keras dan
bahkan kasar dan liar. Karena itu aku minta
dipertimbangkan, jika harus terjadi pertempuran di malam
hari di medan yang sangat berat ini."
"Tetapi prajurit-prajurit Pajang juga prajurit yang
terlatih. Tidak lebih buruk dari prajurit Jipang," jawab
Senapati itu, "Kami telah ditempa untuk bertempur siang
atau malam." "Tetapi satu kelebihan dari bekas prajurit-prajurit Jipang
itu," berkata Damar.
"Apa?" desak Senapati itu.
"Seperti yang sudah aku katakan. Mereka lebih mengenal
daerah ini. Padahal seperti yang kita lihat, daerah ini adalah
daerah yang sulit. Jika kita harus bertempur di malam hari,
maka kita akan banyak mengalami kesulitan karena lereng-
lereng terjal dan batu-batu padas yang licin. Celah-celah
53 SH. Mintardja berbatuan yang menganga dan seperti kita lihat, alam tidak
terlalu ramah disini," sahut Damar.
Ternyata Senapati itu memahami keterangan Damar.
Karena itu, maka katanya kemudian, "Baiklah. Aku
mendengarkan petunjukmu. Tetapi lalu apa yang sebaiknya
kita lakukan sekarang?"
"Jangan terlalu dekat," berkata Damar. "Besok dini hari
kita merangkak mendekat, sehingga pada saatnya matahari
naik, kita sudah dapat mengepung tempat itu. Seperti aku
katakan, aku belum pernah melihat tempat itu. Orang yang
menyebut tempat itu belum pernah dilihatnya pula. Karena
itu, menilik keadaan alam ditempat ini, maka kita dapat
membayangkan tempat yang akan kita tuju."
Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, "Nampaknya
kau juga mempunyai pengamatan setajam prajurit.
Meskipun sebenarnya aku yakin akan kemampuan prajurit-
prajuritku, namun aku sependapat denganmu. Kita akan
memperlambat gerak pasukan ini. Tetapi aku akan
mengirimkan dua orang untuk berusaha melihat-lihat
keadaan di sekitar tempat ini."
Damar mengangguk-angguk. Namun sebelum ia
mengatakan sesuatu, Senapati itu mendahului, "Aku tahu,
kau akan berpesan agar kedua orang itu berhati-hati.
Mungkin orang-orang Ki Rangga Gupita melihat keduanya
lebih dahulu, sehingga persoalannya akan menjadi lain."
Damar mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian tersenyum. "Dua orangku tidak akan pergi terlalu jauh dari pasukan.
Mereka hanya akan mengamati keadaan disekitar tempat
ini," berkata Senapati itu.
54 SH. Mintardja Damar mengangguk-angguk. Sementara itu, Senapati itu
pun berkata kepada Gandar, "Kau berikan seorang di antara
orang-orangmu. Biarlah bertiga mereka mengamati
keadaan. Kita akan menunggu sambil beristirahat disini.
Menurut perhitungan Damar, tempatnya sudah tidak terlalu
jauh lagi." Demikianlah, ketiga orang yang sudah disiapkan itu pun
segera meninggalkan induk pasukan. Mereka mendapat
waktu beberapa saat untuk mengamati keadaan. Mereka
harus segera kembali dan memberikan laporan tentang
pengamatan mereka. Pasukan itu masih akan maju
beberapa tonggak lagi, justru mengambil jalan yang
bergeser dari arah semula, karena mereka akan mendatangi
sarang yang lain, yang menurut salah seorang di antara
mereka yang tertangkap bersama Rumpak, justru berada
ditempat yang lebih dekat, meskipun arahnya berubah.
Ketiga orang yang mengamati keadaan itu memang
melihat, bahwa medannya terlalu berat. Sangat berbahaya
bagi mereka untuk bertempur di malam hari. Mereka pun
kemudian melihat jalur jalan setapak yang berbelok.
Agaknya jalan itulah yang harus mereka tempuh menuju ke
sarang yang akan menjadi sasaran pertama itu.
Beberapa tonggak mereka mengikuti jalur jalan yang
bergeser dari arah semula itu. Namun mereka pun tidak
menemukan sesuatu yang menarik, kecuali jalan yang sulit
ditepi tebing yang tinggi atau jurang yang dalam.
Namun waktu mereka tidak terlalu banyak. Mereka pun
harus segera kembali untuk melaporkan apa yang telah
mereka lihat. Sejenak kemudian, ketiganya telah memberikan laporan
tentang daerah itu. Semuanya masih tetap seperti
lingkungan di sekitar mereka. Daerah perbukitan di Gunung
55 SH. Mintardja Kukus itu memang masih agak sulit dilalui. Tetapi mereka
harus menempuh jalan itu.
Setelah matahati turun, maka pasukan itu telah bergerak
kembali. Tetapi tidak terlalu cepat. Mereka akan berhenti
lagi ditempat yang tidak terlalu dekat dengan sasaran.
Dimalam hari jika mereka harus membuat perapian karena
dingin, serta sekelompok yang harus menyiapkan makanan
dan minuman, agar tidak akan tampak dari sarang yang
akan mereka tuju. Perjalanan berikutnya memang sulit. Jumlah pasukan
yang banyak berjalan dijalan setapak, merupakan iring-
iringan yang panjang, seperti iring-iringan semut di atas
bebatuan. Merangkak berkelok-kelok mengikut jalan yang
juga berkelok-kelok. Namun seperti yang dikatakan Damar, maka mereka
tidak akan berada ditempat yang terlalu dekat. Setelah
mereka menempuh jalan yang berbelok dari arah semula,
maka beberapa saat kemudian mereka telah mencari tempat
untuk bermalam. Ternyata mereka tidak menemukan tempat yang baik.
Tetapi sebagai prajurit, mereka sama sekali tidak mengeluh.
"Batasi perapian," berkata Senapati itu. "Usahakan
berada ditempat yang terlindung dari arah sasaran.
Para prajurit dan para pengawal dari. Tanah Perdikan itu
menyadari arti perintah itu. Karena itu, maka mereka pun
telah berusaha untuk mencari tempat yang paling baik
untuk membuat -perapian. Itu pun mereka buat setelah
malam turun. Ternyata malam itu tidak terjadi sesuatu. Beberapa orang
diantara para prajurit mendapat tugas untuk mengamati
keadaan. Meskipun mereka kedinginan oleh udara malam
56 SH. Mintardja lereng pagunungan, namun mereka tetap dalam tugas
mereka. Dalam malam yang kelam, Senapati yang memimpin
pasukan Pajang itu menjadi semakin menyadari, bahwa
medan memang terlalu berat. Ia sendiri seakan-akan segan
untuk beringsut dari tempatnya. Ketika ia berjalan diantara
para prajuritnya yang baru saja tertidur nyenyak di sebelah
perapian yang meredup, hatinya menjadi berdebar-debar
melihat kegelapan yang menganga. Diambilnya sebuah batu
sebesar genggaman tangannya dan dilemparkannya.
Baru yang hilang di dalam gelap itu ternyata telah
meninggalkan suara gemerasak memanjang.
"Jika seseorang yang sedang bertempur terperosok
kedalamnya, digelapnya malam lagi, maka tidak ada orang
yang dapat menolongpya" berkata Senapati itu kepada diri
sendiri. Hampir semalam suntuk Senapati Pajang itu tidak
tertidur sebagaimana Gandar. Namun menjelang diri hari
Gandar dapat tertidur beberapa saat lebih dahulu dari
Senapati itu. Sementara itu, beberapa orang telah bangun. Mereka
adalah orang-orang yang mendapat tugas untuk
menyediakm makan dan minum bagi sekelompok prajurit
itu. "Kita tidak mempunyai air yang cukup" berkata salah
seorang diantara mereka, "yang kita sediakan sejak kemarin
hanyalah cukup untuk menanak nasi. Tetapi tidak untuk
buat minuman." "Biarlah mereka mencari minum seadiri-sendiri" sahut
kawannya, "tetapi agaknya lingkungan ini tidak terlalu sulit
untuk mencari air." 57 SH. Mintardja "Apakah kita akan mengumpulkan air dari, titik-titik air
di lereng itu?" Nanti sajalah. Sekarang kita harus menyediakan nasi.
Kita masih mempunyai, sebungkus besar serondeng dan
dendeng yang dapat dipergunakan untuk lauk bagi para
prajurit dan pengawal Tanah Perdikan itu."
Sebelum matahari terbit, maka para prajurit dan
pengawal Tanah Perdikan Sembojan telah mendapat
bagian, mereka masing-masing yang dibungkus dengan
daun pisang yang sudah mulai berwarna kekuning-
kuningan. Tetapi itu tidak penting. Yang penting mereka sempat
makan nasi hangat dengan serundeng dan dendeng. Namun
pagi itu mereka tidak mendapat minuman hangat.
Demikianlah, sebelum matahari itu mulai memancar,
pasukan itu mulai bergerak. Tiga orang telah mendahului
pasukan itu untuk mengamati keadaan. Seorang diantara
mereka bertiga adalah Sambi Wulung.
Namun tiba-tiba saja ketiga orang itu harus dengan cepat
menyelinap ke balik sebuah gerumbul. Dari arah depan
mereka melihat dua orang yang berjalan turun dari kaki
bukit. Untunglah bahwa pada jalan yang berkelok kedua orang
itu tidak melihat lebih dahulu tiga orang yang berjalan di
arah bawah mereka karena jalan yang menurun. Karena itu,
maka ketiga orang itu sempat bersembunyi dibalik
gerumbul. Namun seorang diantara mereka berbisik, "Apa yang kita
lakukan atas orang itu?"
58 SH. Mintardja "Mereka akan bertemu juga dengan iring-iringan di
belakang kita." sahut Sambi Wulung.
"Kita harus menangkap mereka. Mau tidak mau. Tetapi
kita harus muncul dari balik gerumbul setelah mereka
lewat. Sehingga jika rnereka berusaha, untuk berlari
kebawah, mereka akan terjebak juga oleh pasukan kita."
berkata seorang yang lain.
Ketiganya segera berdiam diri, karena kedua orang itu
menjadi samakin dekat. Seperti yang direncanakan, mereka bertiga yang
bersembunyi di balik gerumbul itu sama sekali tidak
bergerak ketika kedua orang itu lewat. Namun demikian
mereka berada beberapa langkah membelakangi mereka,
maka hampir berbareng ketiganya telah meloncat dari
gerumbul. Kedua orang itu terkejut. Mereka segera meloncat
berbalik dan, bersiaga menghadapi segala kemungkinan
dengan sikap yang meyakinkan.
"Keduanya tentu prajurit" desis seorang diantara prajurid
Pajang itu. Sambi Wulung mengangguk. Sementara itu ketiga orang
itu pun maju beberapa langkah mendekat.
"Siapa kalian," salah seorang dari kedua orang itulah
yang justru telah bertanya.
Seorang dari prajurit Pajang itu pun maju pula
selangkah. Dengan nada rendah ia menjawab, "Kami datang
untuk menemui kalian. Tetapi sebut, apakah kalian
memang orang yang kami cari?"
"Siapa yang kalian cari?" bertanya orang itu.
59 SH. Mintardja "Bukankah kalian bekas prajurit Jipang yang
bersembunyi di daerah ini?" prajurit Pajang itu langsung
menunjuk. Kedua orang itu menjadi tegang. Sementara itu prajurit
Pajang itu berkata, "Masih sepagi ini kalian telah turun.
Mungkin kalian membawa tugas penting?"
Kedua orang itu menjadi semakin tegang. Mereka sadar,
bahwa mereka telah berhadapan dengan orang-orang yang
akan mengganggu ketenangan sarang mereka.
Namun seorang di antara mereka masih berkata, "Aku
adalah penghuni padukuhan sebelah. Aku sedang mencari
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
daun kates grandel untuk obat."
"Baiklah. Jika demikian ikut kami," berkata prajurit
Pajang itu. Kedua orang itu saling berpandangan. Namun yang
seorang kemudian bertanya, "Untuk apa" Dan siapakah
kalian?" "Sudahlah. Kita sudah saling mengetahui. Kau adalah
penghuni sarang para pengikut Ki Rangga Gupita.
Sebaiknya kita berterus terang," jawab prajurit Pajang itu.
"Dan kau adalah orang Tanah Perdikan Sembojan," tiba-
tiba orang itu menebak. Yang menyahut adalah Sambi Wulung, "Ya. Aku adalah
orang Tanah Perdikan Sembojan. Adalah kebetulan bahwa
kita bertemu disini. Sebaiknya kalian bersedia
menunjukkan dimana sarangmu itu. Kami baru mengetahui
ancang-ancangnya." "Persetan," geram kedua orang itu hampir berbareng.
60 SH. Mintardja "Jangan menentang. Tidak ada gunanya. Kau pun tidak
akan dapat lari karena jalur jalan itu tertutup. Kecuali kau
memang ingin meloncat ke dalam jurang itu," berkata
prajurit Pajang itu. Kedua orang itu menjadi termangu-mangu. Namun
seorang di antara mereka kemudian berkata, "Terserah, kau
sebut siapa saja kami berdua. Tetapi kami bukan pengecut
yang menyerahkan kedua pergelangan tangan untuk diikat."
Prajurit Pajang itu pun menggeram. Katanya, "Kau
terlalu sombong. Baiklah. Jika demikian kami harus
mempergunakan kekerasan untuk memaksamu menyerah."
Di luar sadarnya kedua orang itu memandang ke atas,
kelereng bukit yang lebih tinggi. Agaknya memang terlalu
jauh, untuk berteriak memberikan isyarat kepada kawan-
kawan mereka. Karena itu, maka yang dapat dilakukannya adalah
melawan ketiga orang itu dengan segenap kemampuan yang
ada. Kedua prajurit Pajang itu pun segera bersiap. Demikian
pula Sambi Wulung. Sementara itu kedua orang yang turun
dari bukit itu pun telah mempersiapkan diri pula. Dari sikap
mereka tentu bekas prajurit Jipang.
"Bukan salahku jika kalian bertiga akan menjadi
makanan burung pemakan bangkai yang banyak berkeliaran
di daerah ini," berkata salah seorang dari kedua orang itu.
"Biarlah kami menyelesaikannya," berkata salah seorang
prajurit Pajang itu kepada Sambi Wulung. "Kau berjaga-jaga
saja jika ada di antara mereka yang berusaha untuk
melarikan diri." 61 SH. Mintardja Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Agaknya orang
Pajang ini juga mempunyai sifat yang sombong. Karena ia
datang dari Tanah Perdikan, maka orang-orang Pajang itu
tentu menganggapnya tidak mempunyai kemampuan
setingkat dengan para prajurit itu.
Tetapi Sambi Wulung tidak menanggapi, justru pada saat
musuh berada di depan hidung mereka. Sambi Wulung itu
lebih senang mematuhi keinginan kedua prajurit Pajang itu
untuk berjaga-jaga. Sejenak kemudian, dua orang prajurit Pajang itu telah
bergerak mendekat. Mereka mulai bergeser dan
menempatkan diri menghadapi kedua orang yang
dianggapnya bekas prajurit Jipang itu.
Sambi Wulung memperhatikan sikap keempat orang itu
dengan jantung yang berdebaran. Keempat orang itu
nampaknya memiliki bekal yang seimbang. Namun sebelum
mereka mulai dengan pertempuran, agaknya memang sulit
untuk menilai, siapakah di antara mereka yang terbaik.
Sejenak kemudian, maka prajurit Pajang itu pun telah
mulai menyerang. Mereka tidak ingin mempergunakan
waktu yang berkepanjangan. Karena itu, maka mereka pun
segera menarik senjata mereka sehingga kedua orang yang
turun dari bukit itu pun telah menggenggam senjata mereka
pula. Demikianlah, maka pertempuran antara dua orang
prajurit Pajang dan dua orang lawannya itu berjalan dengan
sengitnya. Seperti yang diduga oleh Sambi Wulung, kedua
pihak memang memiliki tingkat ilmu yang sama. Namun
ternyata bahwa orang yang baru turun dari bukit itu
memiliki pengenalan yang lebih akrab dengan lingkungan,
sehingga mereka tidak begitu banyak terganggu oleh arena
yang nampaknya memang berbahaya.
62 SH. Mintardja Karena itulah, maka kedua prajurit Pajang itu pun mulai
terdesak. Kecuali memperhatikan tata gerak lawan,
keduanya harus sangat berhati-hati menempatkan kaki
mereka, karena mereka akan dapat tergelincir.
Sambi Wulung menjadi semakin tegang. Tetapi ia masih
belum melibatkan diri. Ia ragu, apakah para prajurit Pajang
itu tidak tersinggung jika ia langsung memasuki
pertempuran. Namun dalam keadaan yang mendesak. Sambi Wulung
sudah mempersiapkan diri.
Belum lagi Sambi Wulung memasuki pertempuran, tiba-
tiba saja seorang di antara kedua prajurit itu telah
tergelincir. Untunglah bahwa tangannya sempat meraih
sebatang pohon perdu yang tumbuh di lereng jurang
dipinggir jalan. Namun pada saat yang demikian lawannya
tiba-tiba saja tertawa sambil mengayunkan senjatanya.
Katanya, "Jika pohon ini aku patahkan, maka kau akan
dihisap oleh dalamnya jurang. Kepalamu akan terhempas
pada batu padas dibawah itu."
Namun sebelum hal itu terjadi, maka Sambi Wulung
dengan tangkasnya telah meloncat menyerang.
Serangannya beruntun mengejutkan. Sambi Wulung pun
mempergunakan pedang pula sebagaimana lawannya.
Namun pada benturan pertama lawannya benar-benar
terkejut. Sambi Wulung ternyata memiliki kekuatan yang
sangat besar. Tetapi lawannya itu tidak menunjukkan kecemasannya.
Ia pun dengan sigap memperbaiki keadaannya. Kemudian
ia pun telah membalas menyerang dengan kecepatan yang
tinggi. 63 SH. Mintardja Sementara itu, prajurit Pajang yang tergantung di atas
jurang itu mengalami kesulitan.
Ketika prajurit Pajang itu berusaha untuk naik, maka
batang perdu tempatnya bergantung itu justru semakin
runduk. Setiap ia bergerak, maka batang itu terasa akan
menjadi patah. Sementara itu, prajurit Pajang yang seorang lagi masih
juga terdesak oleh lawannya yang mempunyai pengalaman
lebih baik di atas medan yang tidak terlalu luas dan licin.
Sambi Wulung ternyata mengetahui kesulitan prajurit
Pajang yang bergantung pada batang perdu itu. Karena itu,
maka ia pun berusaha untuk menekan lawannya secepatnya
agar ia mendapat kesempatan untuk menolong prajurit itu.
Ternyata bahwa dugaan prajurit Pajang tentang orang-
orang Sembojan itu keliru. Jika semula para prajurit Pajang
itu mengalami kesulitan karena medan, ternyata Sambi
Wulung mampu mengatasinya. Dengan mengerahkan
tenaga cadangannya, maka kekuatannya bagaikan berlipat.
Kecepatan geraknya pun melampaui kecepatan burung
sikatan menyambar belalang.
Lawannya benar-benar terdesak. Dengan hati-hati Sambi
Wulung berusaha untuk mendesak lawannya mendekati
pertempuran antara prajurit Pajang yang seorang lagi.
Dalam pertempuran yang keras, maka bekas prajurit
Jipang itu tidak mampu melindungi dirinya sendiri. Tiba-
tiba saja ujung pedang Sambi Wulung telah tergores di
dadanya. Namun goresan itu hanya goresan tipis meskipun
memanjang. Namun demikian, dari goresan itu telah menitik darah
yang membasahi bajunya yang koyak.
64 SH. Mintardja Pada kesempatan itu, maka Sambi Wulung pun
kemudian berteriak kepada prajurit Pajang yang seorang,
"Tinggalkan lawanmu. Tolonglah kawanmu itu."
Prajurit Pajang itu tidak segera dapat meninggalkan
lawannya. Lawannya yang menyadari kesulitan prajurit
yang bergantung pada pohon perdu itu tidak mau
melepaskan lawannya yang akan menolong prajurit Pajang
itu. Bahkan ia pun justru semakin menekan prajurit Pajang
itu dan berusaha untuk mendesaknya masuk ke dalam
jurang. Sambi Wulung yang kemudian mencemaskan kedua prajurit Pajang itu,
akhirnya mengambil keputusan untuk mengakhiri
perlawanan lawannya yang keras, garang dan kasar itu.
Ternyata Sambi Wulung pun
mampu bertempur dengan keras, garang dan kasar. Itulah sebabnya, maka sejenak kemudian, pedangnya pun telah berputar seperti baling- baling. Kekuatannya pun meningkat sejalan dengan meningkatnya kecepatan geraknya. Lawannya yang terluka itu memang menjadi bingung.
Betapapun ia akrab dengan medan, tetapi lawannya terlalu
kuat dan terlalu cepat baginya. Karena itu, maka sekali lagi
65 SH. Mintardja segores luka telah menganga di pundakya. Lebih dalam dari
luka semula. Orang itu mengaduh tertahan. Belum lagi ia
memperbaiki keadaannya, maka serangan berikutnya telah
menerkamnya pula. Sambi Wulung benar-benar menjadi garang. Apalagi
ketika kemudian prajurit Pajang yang tergantung itu mulai
memanggil kawannya. Katanya dengan nada tinggi,
"Tolong, pohon ini akan patah."
"Bertahanlah sebentar," Sambi Wulunglah yang berteriak
menjawab. Satu serangan yang cepat dan keras, tidak lagi dapat
dihindari oleh lawannya. Demikian tiba-tiba terasa ujung
pedang Sambi Wulung itu telah tergores dilambungnya
pula. Bekas prajurit Jipang itu terdorong surut. Hampir saja ia
pun tergelincir dan masuk ke dalam jurang. Namun
ternyata bahwa ia telah berhasil menjatuhkan dirinya dan
tertahan oleh sebuah pohon yang lebih kuat dari sebatang
pohon perdu yang digantungi oleh prajurit Pajang itu.
Oleh luka-lukanya, maka bekas prajurit Jipang itu tidak
lagi mampu untuk bangkit. Darah mengalir dengan
derasnya dari tiga lukanya.
Karena itu, maka ia pun tetap terbaring bertumpu pada
sebatang pohon sehingga ia tidak terguling jatuh betapapun
tubuhnya merasa lemah. Setelah Sambi Wulung kehilangan lawannya, ia tidak
langsung menolong prajurit Pajang itu, karena prajurit
Pajang yang bertempur itu pun telah mengalami kesulitan.
Karena itu, maka ia pun meloncat mengambil alih
66 SH. Mintardja perlawanan prajurit Pajang itu dan berkata kepadanya,
"Tolong kawanmu. Tetapi hati-hati. Jangan kau sendiri
justru terseret pula masuk ke dalam jurang."
Bekas prajurit Jipang itu mengumpat. Tetapi ia tidak
dapat berbuat sesuatu. Ia pun kemudian ternyata mendapat
lawan yang jauh lebih berat dari prajurit Pajang itu.
Demikian terlepas dari lawannya, maka prajurit Pajang
itu berusaha untuk menolong kawannya. Tepat pada saat ia
menelungkup menggapai tangan kawannya sambil
berpegangan pada sebatang pohon yang lain, maka perdu
tempat prajurit itu bergantung mulai berderak.
"Tangkap tanganku," berkata prajurit Pajang yang
berusaha menolong itu. Ternyata pertolongan itu tepat datang pada waktunya.
Sejenak kemudian, dengan susah payah prajurit Pajang itu
dapat naik ke atas bibir jurang.
Sejenak keduanya duduk dengan nafas terengah-engah.
Baru kemudian prajurit yang terperosok itu bertanya, "Di
mana lawan yang seorang lagi?"
Prajurit Pajang yang menolongnya itu menunjuk ke arah
sesosok tubuh yang terbaring diam, tersangkut pada
sebatang pohon. "Siapa yang melumpuhkannya?" bertanya prajurit itu.
Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia menunjuk kepada
Sambi Wulung. Prajurit Pajang yang baru saja tertolong itu menarik
nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Sambi Wulung itu
mampu berbuat lebih baik dari prajurit Pajang. Bahkan
orang itu telah mampu mengalahkan kedua lawannya yang
semula bertempur melawan dua orang prajurit Pajang.
67 SH. Mintardja Sebenarnyalah Sambi Wulung telah mengalahkan
lawannya yang seorang lagi. Dengan serangan yang keras
Sambi Wulung mendesak lawannya. Namun ternyata
lawannya itu masih dapat menghindar. Tetapi Sambi
Wulung tudak melepaskannya. Ketika ujung pedngnya tidak
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyentuh sasaran, maka ia telah memutar pedangnya dan
dengan serangan mendatar ia mendesak lawannya.
Lawannya yang tidak mempunyai banyak kesempatan itu
berusaha untuk bergeser meskipun kakinya telah berada
dibibir jurang. Serangan mendatar itu memang tidak mengenai
lawannya. Tetapi sebelum lawannya sempat memperbaiki
keadaannya, pedang Sambi Wulung itu telah berputar dan
mematuk dada lawannya. Bekas prajurit Jipang itu menjadi kebingungan. Ia tidak
sempat lagi berkisar. Jika ia mundur lagi, maka ia tentu
akan terperosok masuk ke dalam jurang.
Karena itu, maka ia pun telah berusaha untuk menangkis
serangan itu dengan mengerahkan segenap tenaganya,
bekas prajurit Jipang itu berusaha untuk memukul pedang
Sambi Wulung menyamping. Namun Sambi Wulung tidak membiarkan pedangnya
bergeser. Ia justru memutar pedangnya itu. Demikian
cepatnya, sehingga lawannya tidak mempunyai kesempatan
lagi. Pedangnya justru bagaikan terhisap oleh pedang Sambi
Wulung. Prajurit Pajang yang duduk di pinggir jurang itu pun
menjadi semakin berdebar-debar. Mereka tidak mengira
bahwa orang Sembojan itu mampu bertempur demikian
garangnya. 68 SH. Mintardja Keduanya dengan wajah tegang sempat melihat pedang
bekas prajurit Jipang itu terlempar dari tangannya dan
masuk ke dalam jurang yang dalam.
Sambi Wulung kemudian mengacukan pedangnya di
dada orang itu. Dengan nada rendah tetapi berat Sambi
Wulung bertanya, "Kau menyerah atau aku dorong kau
masuk ke dalam jurang."
Orang itu menjadi pucat. Apalagi ketika ujung pedang
Sambi Wulung melekat didadanya, "Jawab," bentak Sambi
Wulung. Orang itu tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu,
maka jawabnya ragu, "Aku menyerah."
"Kau tidak bohong?" desak Sambi Wulung.
"Tidak. Aku menyerah," suara orang itu menjadi gemetar.
Pada saat yang demikian itulah, pasukan Pajang nampak
mendekati arena pertempuran. Senapati Pajang itu menjadi
heran melihat apa yang terjadi. Orang Sembojan itu
mengacukan pedangnya ke arah seseorang, sementara
kedua orang prajurit Pajang itu baru kemudian bangkit
berdiri dengan tergesa-gesa.
Sambi Wulung yang telah menguasai lawannya
sepenuhnya itu pun kemudian memerintahkan lawannya
untuk bergeser ketengah. Kemudian memerintahkannya
untuk duduk di tanah. Senapati Pajang yang berjalan di paling depan telah
memberikan isyarat agar pasukannya berhenti. Kemudian
dengan heran ia bertanya, "Apa yang terjadi" Kenapa kalian
berdua justru hanya duduk-duduk saja sementara kawanmu
bertempur?" 69 SH. Mintardja Kedua prajurit Pajang itu termangu-mangu, Namun
seorang diantara mereka menjawab, "Kawanku ini hampir
saja terperosok ke dalam jurang. Aku baru saja
menolongnya dan mengangkat naik"
"Apa yang terjadi?" bertanya Senapati itu.
"Ampun," desis prajurit Pajang itu. Dengan singkat ia
menceritakan seluruhnya yang telah terjadi. ia pun
kemudian menunjuk kepada sesosok tubuh yang terbaring
diam tersangkut pada sebatang pohon di pinggir jurang.
"Orang Sembojan itu pulalah yang telah
mengalahkannya," berkata prajurit Pajang itu dengan jujur.
Lalu, "Tanpa orang Sembojan itu, mungkin kami berdua
telah terbunuh disini."
Senapati itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian
melangkah mendekati bekas prajurit Jipang yang terbaring
itu. Ketika ia berjongkok dan memegang tangannya, maka
katanya,"Sayang. Orang ini sudah mati."
"O," Sambi Wulung pun mendekatinya pula. Tetapi orang
itu benar-benar telah mati.
"Kehabisan darah," berkata Senapati itu. "Lukanya telah
mengalirkan darah tanpa dapat dicegah."
Sambi Wulung mengangguk-angguk.
"Jadi bagaimana dengan kedua orang itu?" bertanya
Senapati itu. Sambi Wulung pun kemudian menceritakan tentang
kedua orang itu. "Agaknya mereka memang berasal dari
salah satu sarang para pengikut Ki Rangga Gupita".
70 SH. Mintardja Senapati itu pun kemudian memberikan isyarat, agar
pasukannya beristirahat sejenak. Ia mempunyai
kepentingan dengan orang yang menyerang itu.
Ternyata bahwa orang itu tidak banyak berbelit-belit. Ia
menjawab pertanyaan sebagaimana adanya. Ternyata
bahwa setiap pengikut Ki Rangga selalu dibatasi
pengenalannya atas sarang-sarang yang dibuatnya. Hanya
orang-orang tertentu sajalah yang mengenali sarang-sarang
para pengikutnya di beberapa tempat.
"Kau akan kemana?" bertanya Senapati itu.
Orang itu tidak dapat ingkar. Ia memang mendapat tugas
untuk menghubungi kawannya. Tetapi tidak disarang yang
lain. Ia harus menemui kawannya justru di sebuah
padukuhan kecil untuk menerima perintah.
"Perintah apa kira-kira yang akan kau terima?" bertanya
Senapati itu. "Aku tidak tahu," jawab tawanan itu. "Tetapi tentu sekitar
usaha untuk mengambil harta benda di padukuhan-
padukuhan." "Di padukuhan-padukuhan kecil itu?" bertanya Senapati.
"Tentu tidak. Tetapi kami harus pergi ketempat yang
cukup jauh. Kami harus memasuki padukuhan-padukuhan
yang besar, yang sudah diketahui lebih dahulu, bahwa di
padukuhan-padukuhan itu tersimpan harta benda yang
cukup untuk membantu perjuangan kami," jawab orang itu.
Senapati itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun
berkata, "Baiklah. Segala sesuatunya akan dapat kita
bicarakan nanti. Sekarang aku ingin pergi ke sarangmu. Aku
ingin bertemu dengan pemimpinmu. Apakah Ki Rangga
Gupita sering datang kemari?"
71 SH. Mintardja "Pernah. Tetapi jarang sekali," jawab orang itu.
Tawanan itu memang tidak dapat berbuat lain. Ia dipaksa
kembali ke sarangnya, sementara itu Senapati itu telah
berkata, "Setelah kita selesai, maka kita akan mengurus
mayat kawanmu itu." Tawanan itu tidak menjawab. Dua orang prajurit
mengawalnya. Sementara itu iring-iringan pun berjalan
maju dengan hati-hati. Disepanjang perjalanan itu, dua orang perwira telah
berusaha untuk menyadap keterangan dari tawanan itu.
Ternyata bahwa sarang mereka terletak ditempat yang
agak tinggi. Bukan sebuah goa saja. Tetapi disamping goa
yang memang terdapat disitu, mereka pun telah membuat
beberapa buah barak. "Kami harus mengepungnya," desis perwira itu.
"Sulit dilakukan," berkata tawanan itu. "Sarang kami
dikelilingi oleh jurang yang terjal. Jalan satu-satunya adalah
jalan ini. Tetapi ada kalanya kawan-kawan kami menelusur
turun lewat jurang-jurang itu untuk mencapai jalur jalan
dibawah dengan cara yang lebih cepat. Tetapi kadang-
kadang dapat terjadi kesulitan.
Kadang-kadang pakaian dapat koyak oleh duri-duri yang
tajam. Bukan hanya pakaian tetapi kadang-kadang kulit
kami." Perwira itu kemudian mendapat gambaran serba sedikit.
Memang sulit untuk mengepung tempat itu. Satu-satunya
cara adalah menyergap dengan tiba-tiba.
"Tetapi penghuni sarang kami kini bertambah. Ada
beberapa sarang yang dikosongkan karena beberapa orang
72 SH. Mintardja di antara kami tertangkap. Dari sarang kami yang
dikosongkan itu, sebagian ada pula disini."
Perwira itu mengangguk-angguk. Namun menurut
tawanan itu, jumlah mereka tidak terlalu banyak, sehingga
jumlah prajurit Pajang yang datang, serta para pengawal
Tanah Perdikan itu akan dapat mengatasi perlawanan
mereka betapapun garang, keras dan kasarnya mereka.
"Pasukan kita berlipat hampir tiga kali," berkata perwira
itu. Sejenak kemudian, maka perwira yang menyadap
keterangan dari tawanan itu telah melaporkan kepada
Senapatinya. Dengan demikian maka Senapati itu pun telah
memerintahkan mengatur pasukannya karena mereka tidak
akan mengepung tempat itu, tetapi mereka akan menyergap
dengan tiba-tiba. "Tetapi kita jangan terjebak oleh keterangan yang dibuat-
buat," berkata Senapati itu.
Ternyata bahwa jarak antara tempat mereka berhenti dan
sarang gerombolan itu masih agak jauh, sehingga mereka
tidak dapat menyergap pada saat yang dikehendaki.
Demikianlah matahari mulai naik perlahan-lahan
dilangit. Iring-iringan itu merayap terus mendekati sasaran.
Untunglah bahwa pepohonan dilereng bukit itu cukup
rimbun, sehingga iring-iringan yang panjang itu tidak
dengan segera dapat dilihat.
Beberapa tonggak dari sasaran, maka Senapati itu telah
memerintahkan pasukan berhenti. Lingkungan dan medan
pun mulai berubah. Jurang tidak lagi terdapat di sebelah
menyebelah jalan sempit. Tetapi di lereng bukit itu mulai
terdapat dataran yang agak luas.
73 SH. Mintardja Senapati itu mulai membagi pasukan. Sebagian akan
menyergap lewat arah yang lain, sementara induk pasukan
akan tetap mendekati sarang itu melalui jalur jalan.
"Jalan yang harus ditempuh untuk mendekati sarang
kami lewat hutan itu agak sulit," berkata tawanan itu
memperingatkan. "Kenapa?" bertanya Senapati pasukan Pajang.
"Jalan sangat licin dan banyak terdapat semak-semak
duri," jawab tawanan itu.
"Tetapi bukankah mungkin dicapai lewat hutan itu?"
bertanya seorang perwira.
"Memang mungkin meskipun sulit. Lewat hutan itu
mereka akan mendekati sarang kami dari sisi sebelah kiri
yang tidak berjarak dari jalur jalan masuk lewat jalan
setapak ini. Hampir tidak ada artinya, dibanding dengan
kesulitan yang akan dialami," berkata tawanan itu pula.
Perwira Pajang itu mulai ragu-ragu. Namun akhirnya
Gandarlah yang berkata, "Aku dan para pengawal akan
menempuh jalan hutan ini. Para prajurit akan sangat
iperlukan untuk menyergap dengan tiba-tiba. Jika aku
terlambat datang, maka agaknya tidak akan terlalu
mengganggu penyergapan itu sendiri. Mungkin ada di
antara mereka yang melarikan diri ke hutan-hutan sempit
itu. Mudah-mudahan kami sempat menyergap mereka."
Senapati itu sependapat. Gandar dan pasukannya akan
memisahkan diri memasuki hutan. Mereka akan mendekati
sarang itu lewat puntuk-puntuk kecil yang licin dan
ditumbuhi semak-semak berduri.
"Kita harus menunjukkan, bahwa kita tidak sekadar
menggenapi syarat untuk ikut hadir disini," berkata Gandar.
74 SH. Mintardja "Kita harus menunjukkan, bahwa kita memang ikut serta
dalam penumpasan ini."
Para pengawal dari Tanah Perdikan itu pun mengangguk-
angguk. Mereka memang harus menyatakan diri mereka,
bahwa kehadiran mereka memang diperlukan. Sambi
Wulung telah mengalami satu perlakuan, bahwa prajurit-
prajurit Pajang menganggap orang-orang dari Tanah
Perdikan Sembojan itu sekadar sebagai satu kesempatan.
Demikianlah Gandar yang hanya mendapat gambaran
tentang sasaran dari tawanan yang ditangkap oleh Sambi
Wulung itu, telah membagi pasukannya menjadi dua
kelompok besar yang masing-masing akan dipimpin oleh
Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Kita harus mampu memasuki barak itu dengan cepat
dan mencegah mereka melarikan diri dengan meloncat dan
menelusur turun di tebing-tebing itu sebagaimana sering
mereka lakukan," berkata Gandar. "Pasukan kita harus
dengan cepat memasuki lingkungan barak itu dan berusaha
mengepungnya, meskipun hal itu sulit dilakukan. Tetapi
bukan mustahil. Kita mengepung barak itu di dalam
halaman barak itu sendiri, sementara kita berharap bahwa
pasukan Pajang itu tepat pada waktunya berhasil memasuki
barak-barak itu. Sedangkan sebagian lagi akan menyumbat
goa disebelahnya dengan pasukan pula."
Dengan dasar gerak sebagaimana dikatakan oleh Gandar,
maka pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu maju
menembus hutan yang tidak terlalu luas disebuah dataran
di lereng bukit. Mereka memang menembus sebuah medan kecil yang
lebat. Tetapi ternyata medannya tidak seberat sebagaimana
dikatakan oleh tawanan itu.
75 SH. Mintardja "Tawanan itu mengharap tidak sekelompok pun di antara
pasukan ini yang mendekati lewat hutan ini," berkata
Gandar. "Agaknya tawanan itu masih berusaha memberikan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesempatan kepada kawan-kawannya untuk melarikan
diri." Sambi Wulung yang berada disebelah Gandar
mengangguk-angguk. Dengan demikian maka mereka
menjadi semakin yakin, bahwa mereka akan dapat berbuat
sesuatu dalam tugas mereka itu.
Dalam pada itu, Jati Wulung telah membawa pasukannya
melebar. Sementara Sambi Wulung berusaha untuk
mendekati sasaran dari satu arah.
Semakin dekat dengan sasaran maka orang-orang dalam
kelompok yang dipimpin oleh Jati Wulung menjadi semakin
terpecah. Mereka berada dalam satu kelompok-kelompok
yang terdiri dari sepuluh orang, sehingga lima kelompok itu
telah maju dalam rutan masing-masing.
Semakin dekat dengan sasaran, maka orang-orang dalam
kelompok bergeser sedikit kekiri. Ia akan mendekati
sasaran tidak terlalu jauh dari kehadiran pasukan Pajang,
namun dari arah yang berbeda.
Gerak pasukan Pajang dan Tanah Perdikan Sembojan itu
memang tidak diduga sebelumnya oleh mereka yang berada
di sarang itu. Seperti Ki Rangga, mereka memang agak
mengabaikan kemungkinan seperti itu.
Para pengikut Ki Rangga, bekas prajurit-prajurit Jipang
pada umumnya menganggap bahwa Tanah Perdikan
Sembojan tidak mempunyai cukup kekuatan untuk
menyusuri lereng-lereng pegunungan pada jarak yang
begitu jauh. Karena itu, meskipun mereka mendapat
keterangan dari Damar dan Saruju serta orang-orang yang
76 SH. Mintardja telah mereka tangkap, maka orang-orang Tanah Perdikan
Sembojan tidak akan datang. Demikian pula para prajurit
Pajang. Pajang yang sedang sibuk untuk menegakkan
kewibawaannya itu tentu lebih banyak berhubungan dengan
para Adipati dan Tumenggung yang masih belum mapan.
Prajurit Pajang tentu masih dipergunakan untuk
menunjukkan kekuatan Pajang kepada pihak-pihak tertentu
yang masih ragu-ragu dengan kekuasaan Pajang.
Jika tidak didesak oleh Warsi, maka Ki Rangga memang
tidak akan mengosongkan beberapa di antara sarang
mereka. Namun perhitungan Warsi pun ternyata dapat
ditebak oleh Pajang sehingga Pajang tidak langsung pergi ke
sarang-sarang orang yang tertangkap di Tanah Perdikan.
Tetapi Pajang telah memilih sasaran yang lain.
Demikianlah, maka pasukan Pajang dan Tanah Perdikan
itu bergerak semakin dekat. Beberapa langkah sebelum
sampai ke barak, maka Gandar telah memperlambat
pasukannya. Dengan isyarat ia menahan gerak maju Sambi
Wulung dan Jati Wulung, karena mereka belum melihat
tanda-tanda pasukan Pajang sampai ke sasaran pula.
Dalam pada itu Senapati Pajang itu pun telah membagi
pasukannya pula. Sekelompok di antara mereka harus
langsung menyumbat mulut goa disebelah barak yang
didirikan untuk menampung bekas prajurit Jipang yang
berada dibawah pengaruh Ki Rangga Gupita.
Sementara itu, maka Gandar sendirilah yang menyusup
dibawah gerumbul-gerumbul perdu dan bergerak
mendekati sasaran. Beberapa puluh langkah dari barak itu
Gandar berhenti. Ia sudah melihat dinding yang tidak rapat
yang terbuat dari bambu yang tidak terlalu kuat.
Sejenak kemudian, maka Gandar pun telah melihat iring-
iringan pasukan Pajang yang agaknya telah berhenti
77 SH. Mintardja sebentar untuk mengambil ancang-ancang. Ternyata
prajurit Pajang itu datang berlari-lari menyergap sasaran.
Gandar pun telah melemparkan batu ke arah pasukannya
sebagai isyarat. Ia memang sudah memberitahukan. Jika ia
melemparkan batu, maka pasukannya harus mulai
bergerak. Sebenarnyalah suara gemerasak batu di dedaunan hutan
telah membuat perintah bagi Sambi Wulung untuk
menggerakkan pasukannya. Namun sebelum itu ia pun
telah melemparkan batu pula ke arah pasukan Jati Wulung
yang berada disisi yang lain.
Dengan demikian kelompok pasukan dari Tanah
Perdikan itu pun telah maju pula dengan cepat, sehingga
mereka pun akan mampu mengimbangi kecepatan
kehadiran pasukan Pajang.
Sebenarnyalah ketika sorak yang riuh menerpa barak
yang terpencil itu, maka seisi barak itu menjadi terkejut
bukan buatan. Mereka tidak mengira sama sekali, bahwa bahaya akan
menyergap mereka, memang tidak memasang orang untuk
mengamati keadaan. Ternyata kelengahan itu telah
membuat mereka diterkam oleh pasukan Pajang dan Tanah
Perdikan Sembojan. Dalam pada itu, sebagian dari pasukan Pajang itu
memang langsung menuju ke sebuah goa yang besar tetapi
tidak terlalu dalam yang terdapat ditebing lereng
pegunungan pada batu padas yang kering. Sementara yang
lain telah langsung memasuki halaman barak yang tidak
terlalu luas, tetapi memanjang.
Orang-orang yang ada di dalam barak-barak itu terkejut
bukan buatan. Dengan serta merta mereka pun telah
78 SH. Mintardja menyambar senjata-senjata mereka. Sebagai seorang yang
telah ditempa oleh kerasnya latihan prajurit Jipang,
kemudian oleh kerasnya kehidupan yang mereka jalani
untuk waktu yang cukup lama sejak jatuhnya Jipang, maka
mereka pun menjadi orang-orang yang keras dan tangguh
seperti batu-batu padas dipegunungan itu sendiri.
Dengan serta merta maka isi padepokan itu telah
menyongsong pasukan Pajang yang datang dari regol
sebelah depan. Sehingga untuk beberapa saat pasukan
Pajang itu tertahan. Namun karena jumlahnya yang besar,
maka pasukan itu pun telah merembes memasuki
lingkungan barak itu. Dalam pada itu, orang-orang Jipang yang terkejut dan
melawan dengan serta merta itu, sebagian memang telah
menentukan sikap yang serta merta pula, untuk bergeser
kehutan sempit disebelah barak mereka.
Beberapa orang telah siap untuk mundur sambil
bertempur dan kemudian mereka akan menghambur ke
dalam hutan itu untuk memberikan perlawanan secara
khusus. Mereka dapat berlari-lari sambil bertempur di
antara pepohonan yang meskipun tidak sepapat hutan-
hutan di ngarai namun cukup memberikan perlindungan
mereka. Namun demikian mereka bergeser kedinding, tiba-tiba
sepasukan yang lain telah datang pula menghancurkan
dinding bambu mereka. Pasukan yang datang itu adalah
pasukan Sambi Wulung bersama Gandar sendiri.
Orang-orang yang tinggal di barak itu mengumpat sejadi-
jadinya. Mereka tidak dapat memencar ke luar dari halaman
barak yang ternyata telah diserang dari beberapa arah.
79 SH. Mintardja Namun beberapa di antara mereka masih memikirkan
kemungkinan untuk turun dari belakang barak itu.
Menyusur kebawah lewat lereng yang memang sering
mereka turuni itu meskipun kadang-kadang mereka terkena
duri. "Orang-orang Pajang itu tentu tidak akan berani
melakukannya," berkata orang-orang di barak itu didalam
hatinya. Tetapi orang-orang itu telah terkejut pula akan kehadiran
kelompok-kelompok pasukan yang langsung menyusup ke
dalam barak sambil merusak pagar bambu. Mereka ternyata
telah berusaha untuk langsung berada di bagian belakang
dari barak itu dan menutup kemungkinan orang-orang di
barak itu untuk melarikan diri menelusur turun lewat tebing
dibelakang barak itu. Dengan demikian maka para prajurit Pajang dan para
pengawal Tanah Perdikan Sembojan telah mengatasi
kesulitan untuk dapat mengepung barak itu, karena mereka
telah menutup kemungkinan di lingkungan barak itu
sendiri, bukan diluarnya.
Pertempuran pun segera berkembang. Ternyata bahwa
orang-orang yang tinggal di barak itu adalah orang-orang
yang cukup garang. Selain mereka memang memiliki
kemampuan bertempur sebagaimana seorang prajurit,
ternyata bahwa mereka adalah orang-orang yang merasa
terikat pada kesetiaan mereka terhadap Jipang.
Itulah sebabnya, maka orang-orang di barak itu yang
hampir semuanya adalah bekas prajurit Jipang, telah
bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan
mereka. Mereka meloncat, menyerang, bergeser dan
kadang-kadang berloncatan surut. Sementara yang lain
80 SH. Mintardja telah berteriak dengan nyaring, yang dalam kelompok kecil
berusaha menembus pasukan Pajang yang ketat.
Namun para pengawal Tanah Perdikan Sembojan,
sebagaimana para prajurit Pajang tidak terkejut karenanya.
Gandar sudah berusaha untuk membekali para pengawal
dengan pengertian, bahwa bekas prajurit Jipang yang
terhimpit oleh keadaan itu tentu akan menjadi semakin
garang dan keras. Selagi mereka masih berada dalam
pasukan yang utuh dibawah naungan panji-panji Kadipaten
Jipang, mereka sudah dikenal sebagai prajurit-prajurit yang
keras. Apalagi setelah mereka ditempa oleh kerasnya
petualangan. Demikianlah pertempuran pun segera menjadi keras dan
kasar. Para pengawal Tanah Perdikan Sembojan mula-mula
memang merasa gelisah melihat cara lawan mereka
bertempur. Namun mereka memiliki jumlah orang yang
lebih banyak. Apalagi setelah para prajurit Pajang yang juga
cukup berpengalaman itu menebar.
Agak berbeda dengan kedua orang prajurit Pajang yang
bertempur di jalan yang sempit dan bibir jurang yang licin,
maka para prajurit Pajang di barak itu mendapat tempat
yang agak leluasa. Mereka tidak berdiri hanya beberapa
langkah dari bibir jurang yang dalam. Namun mereka
berada ditempat yang dapat dipergunakannya untuk
mengembangkan kemampuan mereka bertempur.
Karena itulah, maka para prajurit Pajang dan para
pengawal dari Tanah Perdikan Sembojan dapat bertempur
dengan mapan. Sementara itu dipelataran goa disebelah halaman barak
itu pun telah terjadi pertempuran yang keras dan kasar.
Para bekas prajurit Jipang yang ada di dalam goa itu telah
berusaha untuk mempertahankan goa mereka dengan
81 SH. Mintardja segenap kemampuan mereka, karena di dalam goa itu
tersimpan barang-barang milik gerombolan mereka yang
oleh Ki Rangga disebut sebagai harta kekayaan yang akan
menjadi bekal mereka untuk menegakkan Jipang kembali.
Prajurit Pajang yang berada di mulut goa itu memang
terkejut menghadapi perlawanan yang luar biasa dari bekas
prajurit Jipang itu. Ternyata beberapa orang di antara
mereka adalah perwira Jipang yang memiliki kemampuan
lebih baik dari para prajurit mereka.
Dengan demikian meskipun jumlah mereka lebih kecil
dari jumlah para prajurit Pajang, namun mereka tetap
bertahan di halaman goa yang tidak terlalu sempit.
Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang
bertebaran dimana-mana. Ternyata para pengawal Tanah
Perdikan Sembojan yang cukup berpengalaman itu masih
juga sekali-kali merasa tergetar melihat kekerasan dan
kekasaran bekas para prajurit Jipang yang tinggal di barak
itu. Namun Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah
memberikan semacam sandaran kekuatan jiwani terhadap
para pengawal Tanah Perdikan. Mereka melihat bagaimana
ketiga orang pemimpin mereka itu bertempur.
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 31. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
82 SH. Mintardja Jilid Ke tiga puluh satu Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di,
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seluruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 83 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja SEMENTARA ITU, Damar dan Saruju ternyata
telah ikut pula bertempur bersama para pengawal,
sementara tawanan yang mereka bawa dari Tanah Perdikan
Sembojan serta tawanan yang ditangkap Sambi Wulung
dijalan setapak menuju ke sarang itu, telah diserahkan
kepada beberapa orang prajurit Pajang yang tugasnya
sehari-hari menyiapkan makan dan minum pasukannya.
Namun bagaimanapun juga, mereka adalah prajurit-
prajurit, sehingga dalam keadaan yang gawat, mereka pun
mampu mempermainkan pedang.
Ternyata Damar dan Saruju memiliki kemampuan
bertempur yang seimbang dengan orang-orang yang tinggal
di sarang bekas prajurit Jipang itu. Bahkan diluar dugaan,
tiba-tiba saja Damar telah bertemu dengan seseorang yang
dikenalnya, seorang bekas prajurit Jipang yang pernah
menjadi pelatihnya. "Kau," geram bekas prajurit Jipang itu.
Damar memang menjadi berdebar-debar. Orang itu
adalah bekas pelatihnya. Bagaimanapun juga terasa sesuatu
bergetar dihati Damar. Namun Damar tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun
kemudian telah menyerang bekas pelatihnya itu.
"Aku sudah mampu mengembangkan ilmuku," berkata
Damar di dalam hatinya. "Kemampuanku bukan sekadar
pengetahuan dasar olah kanuragan sebagaimana
diajarkannya kepadaku."
Dengan demikian maka Damar menjadi semakin mantap.
Namun kadang-kadang getaran dijantungnya masih juga
membuatnya merasa lebih kecil dari lawannya.
2 SH. Mintardja Namun suasana pertempuran itu memang
menguntungkan Damar. Jumlah para pengawal dari Tanah
Perdikan Sembojan dan para prajurit Pajang berlipat dari
jumlah lawannya. Meskipun tidak semua prajurit Pajang
ikut bertempur, karena ada di antara mereka yang harus
menjaga para tawanan dan sebagian lagi harus berjaga-jaga
di luar barak itu serta sekelompok yang lain merupakan
kekuatan adangan, namun jumlahnya memang sudah lebih
banyak dari bekas prajurit Jipang yang ada di dalam
sarangnya itu. Beberapa orang di antara mereka memang berusaha
untuk melarikan diri. Namun di bagian belakang dari barak
itu, telah menebar pasukan pengawal dari Tanah Perdikan
Sembojan, sehingga mereka tidak akan dapat dengan serta
merta meluncur turun di tebing yang tinggi dibelakang
barak mereka, meskipun hal itu memang sudah sering
mereka lakukan. Namun betapapun prajurit Pajang dan pengawal Tanah
Perdikan Sembojan yang jumlahnya lebih banyak, tetapi
perlawanan bekas prajurit Jipang itu telah menggetarkan
jantung setiap orang. Damar yang bertempur melawan pelatihnya, ternyata
memang masih belum menemukan keseimbangan. Damar
semakin lama menjadi semakin terdesak.
Tetapi ternyata Saruju yang berada tidak jauh dari
padanya sempat melihat keadaannya. Karena itu, maka ia
pun telah meloncat mendekatinya.
Mula-mula Saruju pun terkejut. Bekas prajurit Jipang itu
memang pernah pula menjadi pelatihnya sebagaimana
Damar. 3 SH. Mintardja "Marilah," geram bekas prajurit Jipang itu. "Kau yang
telah berkhianat. Datanglah kepadaku, agar aku akan dapat
melaksanakan hukuman mati itu atasmu."
"Siapa yang berkhianat?"
bertanya Saruju. "Kalian berdua," jawab
bekas pelatihnya itu. "Aku
mendengar dari para perwira. Mereka menyesal telah mengirimkan kalian berdua ke Tanah Perdikan Sembojan untuk membunuh anak Wiradana itu." "Agaknya kau termasuk
orang yang beruntung dapat
mengetahui persoalan yang
dituduhkan kepadaku,"
berkata Damar. "Jika
demikian, maka kau termasuk orang yang kami perlukan.
Kau juga mengetahui beberapa hal tentang perkembangan
pasukan Ki Rangga dan Warsi itu sekarang. Tidak seperti
aku dan Damar," berkata Saruju. "Aku dan Damar hanya
tahu apa yang terjadi disarang kami tanpa mengetahui apa
yang terjadi ditempat lain."
"Kalian tidak pantas untuk mengetahui banyak hal.
Apalagi terbukti kalian telah berkhianat," geram bekas
pelatihnya itu. Damar dan Saruju tidak menjawab lagi. Mereka berdua
telah bertempur berpasangan melawan bekas pelatihnya
yang ternyata masih tetap memiliki kelebihan dari mereka.
4 SH. Mintardja Namun ketika Damar dan Saruju bertempur berdua,
maka kedudukan mereka menjadi lebih baik. Meskipun
bekas pelatihnya itu masih tetap menunjukkan kecepatan
gerak yang kadang-kadang mengejutkan, namun dengan
bertempur berpasangan, kedudukan Damar dan Saruju
menjadi semakin mapan. Dalam hiruk pikuk pertempuran itu, Damar dan Saruju
telah menunjukkan bahwa ilmu yang mereka terima dari
para prajurit Jipang, tidak sekadar mereka pergunakan
sebagaimana mereka pelajari. Tetapi ilmu itu telah
berkembang di dalam diri kedua orang anak muda itu,
karena mereka pun telah ditempa pengalaman pula. Mereka
telah ikut bertempur melawan prajurit Pajang di medan
sebelah Timur Pajang. Mereka pun telah ikut dalam
pertempuran-pertempuran yang lain serta pengalaman
mereka menjelajah padukuhan untuk merampas harta
benda orang-orang padukuhan tanpa belas kasihan.
Dengan pengalaman mereka yang panjang, maka
kemampuan kedua anak muda itu pun menjadi semakin
berkembang, meskipun dengan ciri-ciri yang sama seperti
prajurit Jipang itu sendiri.
Karena itulah maka pertempuran di antara Damar dan
Saruju di satu pihak, serta bekas prajurit Jipang yang
pernah menjadi pelatihnya dipihak lain itu pun menjadi
keras dan kasar. Sementara itu, Gandar yang memiliki kemampuan tidak
sekadar kemampuan seorang prajurit, ternyata telah
berhasil mengoyak tata tempur bekas prajurit Jipang yang
ada di sekitarnya. Demikian pula Sambi Wulung dan Jati
Wulung. Apalagi jumlah para pengawal beserta para
prajurit Pajang lebih banyak dari lawan-lawan mereka.
5 SH. Mintardja Dengan demikian, maka bekas prajurit Jipang itu pun
semakin lama menjadi semakin terdesak ketengah-tengah
halaman barak mereka. Mereka sama sekali tidak melihat
kesempatan untuk melarikan diri.Ketika seorang di antara
mereka, memaksa diri untuk menghindar dari medan dan
dengan tidak berperhitungan berlari ke arah belakang
halaman barak mereka, meloncati pagar dan langsung
meluncur turun, maka ternyata ia tidak mampu menguasai
dirinya sendiri. Ia bukannya meluncur menuruni tebing itu
dengan kaki menjulur kebawah dengan keseimbangan yang
mapan. Tetapi orang itu telah erlempar dan jatuh ke dalam
jurang tanpa mampu mengatur diri. Karena itulah yang
terdengar kemudian adalah teriakan panjang. Namun
kemudian suara itu bagaikan hilang ditelan deru dan
dentang senjata beradu. Seorang pengawal yang lepas dari lawannya sempat
menjenguk ke dalam lereng yang dalam itu. Tetapi ia tidak
melihat sesuatu. Meskipun demikian ia memang dapat
melihat kemungkinan untuk dapat menuruni tebing itu jika
tidak tergesa-gesa dan berhati-hati.
Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi
semakin ganas dan garang. Hampir setiap orang terpancing
untuk bertempur dengan kasar. Teriakan-teriakan
mengatasi dentang senjata sementara umpatan kasar
terdengar di antara keluh kesakitan.
Senapati Pajang yang menyaksikan pertempuran itu
memang menjadi berdebar-debar. Meskipun bekas para
prajurit Jipang itu jumlahnya jauh lebih sedikit, tetapi
mereka bertempur dengan jantung yang membara di dalam
dada mereka. Namun ternyata bahwa jumlah dan kemampuan setiap
orang di dalam medan pertempuran merupakan penentu
6 SH. Mintardja dalam perang keseluruhan. Meskipun kemampuan seorang-
seorang dari para prajurit Jipang ditambah dengan api yang
menyala di dalam dada mereka, namun jumlah prajurit
Pajang dan para pengawal Tanah Perdikan Sembojan jauh
lebih banyak. Sementara itu kemampuan prajurit Jipang
dengan lawan mereka seakan-akan tidak terpaut. Hanya
pengalaman mereka yang berbeda itu sajalah yang
membuat warna tata tempur mereka berbeda pula.
Meskipun keduabelah pihak bertempur dengan keras,
bahkan kasar, namun pada bekas prajurit Jipang itu
terdapat meskipun semburat, warna kebengisan dan
kekejaman. Tetapi hal itu terjadi justru karena mereka merasa
terhimpit oleh keadaan. Mereka selalu merasa diburu
kemanapun mereka berada. Tetapi juga karena mereka
terbiasa memaksakan kehendaknya kepada orang lain
dengan garang pada saat-saat mereka merampas dan
mengambil milik orang lain itu.
Bagaimanapun juga bekas prajurit Jipang itu bertempur,
namun ternyata bahwa mereka tidak mampu untuk tetap
bertahan. Perlawanan mereka pun telah terkoyak dimana-
mana. Meskipun demikian, pertempuran dipelataran goa itu
masih berlangsung dengan dahsyatnya. Para bekas prajurit
Jipang ternyata tidak mau beringsut setapak pun juga.
Mereka tidak melepaskan kesempatan sama sekali bagi
lawan-lawan mereka untuk bergeser maju ke mulut goa itu.
Namun para prajurit Pajang pun tidak mau bergeser
mundur dari tempat mereka berpijak. Pertempuran yang
keras itu agaknya telah mengaburkan segala macam
pertimbangan nalar. Kedua belah pihak telah dicengkam
oleh kemarahan yang mencengkam. Kekerasan dan
7 SH. Mintardja kematian di antara kawan-kawan mereka, telah membuat
mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali membunuh.
Sebenarnyalah maka pembunuhan-pembunuhan itu
telah terjadi. Prajurit Pajang yang jumlahnya lebih banyak
ternyata mendapat kesempatan untuk membunuh lebih
banyak pula. Tetapi bekas prajurit Jipang itu sama sekali tidak
beringsut dari tempatnya. Meskipun jumlah mereka
semakin susut, tetapi mereka masih tetap berada di tempat
mereka berpijak. Mulut goa itu masih saja seakan-akan
tersumbat. Namun satu-satu orang-orang Jipang itu telah jatuh
tersungkur ditanah, sehingga akhirnya jumlah mereka pun
menjadi semakin susut. Namun para perwira Pajang itu
menggeleng-gelengkan kepalanya ketika mereka melihat
bekas prajurit Jipang yang tinggal seorang itu pun masih
juga berusaha untuk menahan orang-orang Pajang yang
akan memasuki mulut goa itu.
Para perwira Pajang menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata bekas prajurit Jipang yang berada di goa itu telah
gugur sampai orang yang terakhir.
"Luar biasa," desis para perwira Pajang yang
menyaksikan pertempuran itu. "Jika keprajuritan masih
melekat dihati mereka. Sayang mereka telah diderai
memasuki jalan yang sesat."
Sebenarnyalah orang yang terakhir dari bekas para
prajurit Jipang itu sudah jatuh. Dengan demikian maka
para prajurit Pajang pun mulai memasuki goa itu. Namun
mereka tidak ingin menjadi korban yang sia-sia. Karena itu
mereka menjadi sangat berhati-hati.
8 SH. Mintardja Setiap langkah harus mereka perhitungkan sebaik-
baiknya. Apalagi di dalam goa itu semakin dalam menjadi
semakin gelap. Namun para prajurit Pajang itu mengurungkan niatnya
untuk memasuki goa itu tidak terlalu dalam. Tetapi para
perwira Pajang telah memerintahkan mereka untuk
menarik diri. "Kita harus berhati-hati," perintah seorang perwira.
"Kalian berjaga-jaga saja diplataran goa ini. Kami harus
berhubungan dengan para prajurit yang bertempur di
antara barak-barak di sebelah."
Para prajurit Pajang itu tidak mempersoalkan perintah
itu. Apalagi dalam arena yang keras dan garang. Maka
ikatan paugeran bagi prajurit terasa menjadi semakin ketat.
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setiap perintah dari pimpinan mereka harus mereka
jalankan sebaik-baiknya. Dengan demikian maka para prajurit Pajang itu pun telah
berjaga-jaga di plataran goa. Beberapa orang berdiri
dimulut goa menghadap ke dalam. Mereka harus berhati-
hati untuk menghadapi setiap kemungkinan yang dapat
terjadi. Sementara itu, maka beberapa orang telah
mempergunakan kesempatan itu untuk menolong dan
merawat kawan-kawan mereka. Terutama yang terluka.
Sementara itu mereka masih belum sempat berbuat sesuatu
terhadap tubuh-tubuh yang berserakan, yang gugur di
peperangan yang keras itu.
Dalam pada itu, pertempuran di barak itu pun sudah
mendekati saat-saat terakhir. Para prajurit Pajang dan para
pengawal Tanah Perdikan benar-benar telah menguasai
keadaan. Di beberapa bagian masih terjadi pertempuran.
9 SH. Mintardja Namun beberapa saat kemudian, maka para bekas prajurit
Jipang yang tersisa itu pun telah menyerah.
Namun dalam pada itu, Damar dan Saruju harus
menempuh jalan yang tidak mereka inginkan. Pelatihnya
ternyata bertempur dengan keras dan pantang menyerah.
Dalam keadaan yang terdesak, ternyata bekas prajurit
Jipang itu telah sempat melukai Damar dan Saruju
meskipun tidak terlalu parah. Namun dari luka itu telah
mengalir darah. Kemarahan Damar dan Saruju telah melonjak ke ubun-
ubun. Itulah sebabnya maka mereka pun telah memperketat
serangan-serangan mereka, sehingga akhirnya keduanya
berhasil menyentuh bekas pelatihnya itu dengan ujung
senjata mereka. Bukan hanya segores, tetapi beberapa gores
luka telah menganga di tubuhnya.
Namun luka-luka itu telah membuatnya bagaikan gila.
Prajurit Jipang itu justru telah mengamuk sejadi-jadinya. Ia
sama sekali tidak lagi membuat perhitungan-perhitungan
mapan. Bahkan dalam keadaan yang semakin sulit, maka ia
pun menjadi semakin kehilangan keseimbangan nalar.
Dengan demikian, maka kedua belah pihak benar-benar
telah dibakar oleh kemarahan karena luka-luka ditubuh
masing-masing. Itulah sebabnya, maka Damar dan Saruju
pun tidak pernah lagi berharap bahwa pelatih mereka itu
akan menyerah. Dalam pertarungan yang keras dan kasar,
maka senjata Damar telah berhasil menambah luka ditubuh
pelatihnya itu. Namun pelatihnya itu sempat pula
mengayunkan senjatanya ke kening Damar. Justru pada
saat Damar merendah sambil melindungi keningnya dengan
senjatanya, lawannya itu mengurungkan serangannya. Tiba-
tiba saja kakinyalah yang melingkar menebas kelambung
Damar. 10 SH. Mintardja Ketika tumit lawannya mengenai lambungnya, terdengar
Damar mengeluh tertahan. Pada saat yang demikian,
pelatihnya yang berpengalaman itu seakan-akan mendapat
kesempatan. Ia pun telah siap meloncat untuk
menyelesaikan Damar yang sedang kesakitan.
Tetapi ketika ia meloncat sambil mengayunkan
pedangnya, Damar justru menjatuhkan dirinya. Kakinya
dengan cepat berputar menyapu kaki lawannya.
Pelatihnya itu sempat meloncat menghindar. Namun
Rajawali Emas 3 Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Tusuk Kondai Pusaka 21