Pencarian

Suramnya Bayang Bayang 36

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 36


dengan demikian perhatiannya terhadap Saruju terlepas
sejenak. Pada saat yang demikian Saruju telah meloncat
mendekat dari samping. Senjatanya teracu lurus ke depan.
Lawannya berusaha untuk menggeliat. Namun tiba-tiba
saja ujung senjata Damar telah menyambarnya. Sekali lagi
segores tipis luka mengenai pahanya dan mengoyak kain
panjangnya. Namun ketika Saruju menebaskan senjatanya, lawannya
itulah yang sempat terguling. Ujung senjatanya mematuk
dengan cepat ke arah perut Saruju. Namun karena Saruju
bergeser, maka senjata itu tidak mengenai sasaran. Tetapi
sempat pula tergores dilambung. Meskipun tidak dalam,
namun dari luka itu telah mengalir darah pula.
Kemarahan Damar dan Saruju semakin menjadi-jadi.
Serangan mereka semakin cepat bergantian datang susul
menyusul. Luka-luka yang terasa semakin pedih membuat
keduanya semakin keras dan kasar.
Demikain kerasnya, maka pada akhirnya lawannya itu
tidak mampu lagi untuk bertahan. Darah yang mengalir dari
luka-lukanya menjadi semakin banyak, sehingga tubuhnya
pun menjadi semakin lemah.
11 SH. Mintardja Meskipun tenaga Damar dan Saruju menjadi semakin
susut, tetapi ternyata keduanya masih memiliki kelebihan dari lawannya. Bekas pelatih Damar dan Saruju itu akhirnya terpaksa
menyerahkan nyawanya kepada kedua orang anak muda Tanah Perdikan yang sedang marah itu. Namun ternyata bahwa Damar dan Saruju pun kemudian seolah-olah menjadi tidak bertenaga lagi.
Dengan lemahnya keduanya terduduk ditanah bertelekan
senjata mereka masing-masing.
Gandar yang ternyata telah menyelesaikan tugasnya,
telah sempat mendekatinya sementara Sambi Wulung dan
Jati Wulung mengatur anak-anak muda Tanah Perdikan
Sembojan setelah mereka menyelesaikan pertempuran.
"Bagaimana dengan kalian?" bertanya Gandar.
Nafas kedua anak muda itu menjadi terengah- engah.
Sementara luka-luka mereka sangat pedih karena keringat
yang mengalir dari dalam kulit mereka.
"Kalian sudah membawa obat untuk mengatasi luka-luka
itu sementara menunggu perawatan yang lebih baik?"
bertanya Gandar. Damar dan Saruju mengangguk-angguk. Anak-anak
muda Tanah Perdikan Sembojan memang membawa serbuk
12 SH. Mintardja yang dapat untuk sementara mengatasi kesulitan jika
mereka terluka. "Obati," berkata Gandar kemudian. "Pertempuran sudah
selesai." Damar dan Saruju menarik nafas dalam-dalam. Mereka
telah mengambil serbuk yang mereka bawa didalam sebuah
tabung kecil yang mereka letakkan di dalam kantung ikat
pinggang mereka. Dengan serbuk itu mereka berusaha
untuk memampatkan darah yang mengalir dari luka-luka
ditubuh mereka. Sementara itu, para prajurit Pajang dan anak-anak muda
Tanah Perdikan Sembojan telah memulai membenahi diri.
Mereka telah mengumpulkan kawan-kawan mereka yang
terluka dan yang gugur. Sementara itu, bekas prajurit
Jipang yang bertahan di barak dan goa itu tidak banyak lagi
yang tetap hidup dan menyerah. Mereka telah bertempur
sampai kesempatan yang terakhir. Sebagian besar dari
mereka telah terbunuh di peperangan. Apalagi mereka yang
telah bertempur mempertahankan mulut goa.
Dalam pada itu, maka Senapati yang memimpin pasukan
Pajang dan para pengawal Tanah Perdikan Sembojan itu
telah memanggil para pemimpin kelompok termasuk
Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung. Mereka ingin
membicarakan langkah-langkah seterusnya yang sebaiknya
mereka ambil. "Apakah kita akan menelusuri sarang-sarang selanjutnya
atau kita akan kembali dahulu ke Pajang atau ke Tanah
Perdikan Sembojan yang lebih dekat untuk membenahi diri
dan menitipkan para tawanan?" bertanya Senapati yang
memimpin para prajurit dari Pajang itu.
13 SH. Mintardja "Kita perhitungkan untung ruginya," desis salah seorang
pemimpin kelompok. "Apakah kesulitan kita jika kita
berjalan terus, dan apa pula keuntungannya jika kita
kembali ke Tanah Perdikan Sembojan."
Senapati yang memimpin pasukan itu pun kemudian
berkata, "Kita sudah melihat akhir dari peperangan ini.
Kawan-kawan kita telah berkurang. Sementara itu kita
membawa beban para tawanan. Apakah dengan keadaan
yang demikian kita akan dapat menghancurkan sarang
berikutnya yang akan kita datangi?"
Seorang pemimpin kelompok yang lain berkata, "Apakah
setiap sarang orang Jipang itu tentu sekuat ini?"
"Itulah yang belum kita ketahui," jawab Senapati itu.
Namun dalam pada itu Gandar pun berkata, "Kita tidak
boleh tergesa-gesa mengambil sikap. Disini kita dapat
menangkap beberapa orang. Kita akan dapat berbicara
dengan mereka. Kita dapat mengajukan beberapa
pertanyaan kepada beberapa orang di antara mereka secara
terpisah. Dari jawaban-jawaban mereka kita akan dapat
mengambil kesimpulan. Apakah kita dapat meneruskan
perjalanan atau kita harus menyerahkan kembali pasukan
kita." Senapati pasukan itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Kita akan berbicara dengan lima orang di antara
para tawanan dalam keadaan terpisah. Kita akan dapat
mengambil kesimpulan tentang jawaban-jawaban mereka.
Mana yang mereka ucapkan dengan benar dan mana yang
tidak atau bahkan sengaja menyesatkan. Sementara itu,
kawan-kawan kita dapat merawat mereka yang terluka dan
menguburkan mereka yang gugur. Kita tidak akan dapat
membawa mereka kembali. Dengan demikian, maka untuk
sementara kita akan menguburkannya di sini. Apabila kelak
14 SH. Mintardja ada kesempatan untuk memindahkannya, maka kelak akan
dilakukannya." Demikianlah maka para prajurit Pajang dan anak-anak
muda Tanah Perdikan Sembojan telah menguburkan
kawan-kawan mereka. Tetapi juga secara terpisah mereka
telah menguburkan orang-orang Jipang yang terbunuh,
dibantu oleh orang-orang Jipang yang sudah menyerah.
Pada saat yang sama, beberapa orang pemimpin Pajang
telah memeriksa beberapa orang di antara para tawanan
untuk mendapat gambaran tentang kekuatan mereka.
Gandar pun telah mendapat tugas yang demikian pula.
Bersama Sambi Wulung dan Jati Wulung, Gandar telah
dihadap oleh dua orang bekas prajurit Jipang yang
menyerah. Bahkan Gandar telah memanggil pula Damar
dan Saruju yang meskipun terluka, namun mereka sempat
pula duduk bersama Gandar.
Berbagai pertanyaan telah diajukan kepada kedua orang
itu. Namun agaknya kedua orang itu benar-benar telah
dalam keletihan sehingga nampaknya keduanya tidak
berbelit-belit lagi. Mereka menjawab apa adanya sesuai
dengan apa yang mereka ketahui. Apalagi seorang di antara
kedua orang itu telah mengenal Damar dan Saruju dengan
baik, sehingga mereka merasa tidak akan dapat berbohong.
Meskipun sebenarnya Damar dan Saruju tidak mengerti
sebagian besar dari persoalan yang mereka kemukakan,
karena apa yang diketahui oleh keduanya itu sangat
terbatas. Namun kedua orang Jipang itu ragu-ragu pula
bahwa mungkin Damar dan Saruju telah mengetahuinya.
Ternyata bukan hanya kedua orang bekas prajurit Jipang
itu sajalah yang berkata terus terang. Beberapa orang yang
lain pun berbuat seperti itu pula. Mereka telah menjadi
putus asa dan kehilangan keberanian mereka untuk
15 SH. Mintardja menantang maut dengan cara apapun juga. Ketika mereka
melihat wajah-wajah garang dari prajurit Pajang yang
marah dalam pertempuran itu, maka orang-orang Jipang
itu tidak lagi berniat untuk bertahan.
Memang ada juga satu dua orang yang berkeras untuk
tidak mengatakan sesuatu. Bahkan mereka telah
menengadahkan dada mereka dan menantang untuk
ditikam tembus sampai ke punggung.
Terhadap orang-orang yang demikian, maka orang-orang
Pajang dan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan harus
mengambil sikap berhati-hati. Para perwira Pajang telah
menyisihkan orang-orang yang mengeraskan hatinya itu
untuk mendapat penjagaan yang lebih kuat dari kawan-
kawannya yang lain. Dari hasil pembicaraan para pemimpin Pajang dan
Tanah Perdikan Sembojan maka diketahui bahwa beberapa
sarang yang lain memiliki kekuatan yang berbeda-beda.
Tetapi pada umumnya sarang itu tidak sekuat sarang yang
telah dipecahkan itu. "Hanya ada dua tempat" berkata salah seorang prajurit
Jipang, " disini dan di Goa Malang. Yang lain adalah
sarang=sarang yang lebih kecil"
"Kau berkata sebenarnya?" bertanya seorang perwira
Pajang. "Menurut kebiasaan di antara kalian, maka seorang
di antara kalian tidak dapat mengetahui terlalu banyak
seperti yang kau katakan itu."
"Adalah kebetulan bahwa aku pernah mendapat tugas di
Goa Malang," jawab bekas prajurit Jipang itu
Namun para perwira Pajang tidak dengan begitu saja
percaya. Mereka telah berusaha menyaring keterangan yang
mereka dapat dari para bekas prajurit Jipang itu. Jawaban-
16 SH. Mintardja jawaban yang berbeda satu sama lain sesuai dengan
pengenalan mereka, namun yang ternyata saling mengisi
dan dapat dipercaya. Akhirnya para pemimpin Pajang itu mengambil
kesimpulan, bahwa memang hanya ada dua sarang yang
paling kuat. Sarang yang telah mereka pecahkan itu dan
satu lagi di Goa Malang. Agaknya hanya ada satu dua orang
di antara para tawanan yang pernah pergi ke Goa Malang
itu. "Tetapi Goa Malang itu cukup jauh," berkata salah
seorang perwira Pajang, pemimpin kelompok yang
terhitung sudah lebih tua dari yang lain.
Tetapi seorang perwira yang masih muda berkata, "Apa
salahnya. Kita tidak terikat waktu. Kita sebaiknya langsung
pergi ke Goa Malang. Kita akan menyelesaikan tugas kita
dengan tuntas. Bahkan jika perlu, sarang-sarang yang kecil
itu kita hancurkan pula. Kita berharap bahwa kita akan
bertemu dengan Ki Rangga disalah satu di antara sarang-
sarangnya." Senapati yang memimpin seluruh pasukan itu termangu-
mangu. Namun ia pun kemudian berkata, "Tetapi kita tidak
dapat mempergunakan seluruh kekuatan yang ada pada kita
sekarang. Kita harus meninggalkan sebagian dari pasukan
kita disini sekaligus untuk menjaga, para tawanan, merawat
kawan-kawan kita yang terluka dan menjaga barang-barang
rampasan yang ditimbun di dalam goa itu."
Perwira yang masih muda itu termangu-mangu. Namun
kemudian ia pun mengangguk kecil, "Ya. Itu yang lupa aku
pertimbangkan." "Dengan kekuatan yang sudah berkurang dan apalagi
sebagian dari mereka masih harus ditinggal di barak ini,
17 SH. Mintardja maka kita pantas meragukan, apakah kita akan mampu
memasuki Goa Malang yang menurut keterangan orang-
orang yang tertawan, dan agaknya dapat dipercaya,
berkekuatan sebesar barak ini. Bahkan mungkin sekali Ki
Rangga dan Warsi secara kebetulan ada di Goa Malang,
karena goa itu lebih sering dikunjunginya daripada sarang-
sarangnya yang lain," berkata Senapati dari pasukan Pajang
itu. Para perwira mengangguk-angguk. Mereka menyadari
bahwa tugas mereka justru semakin ketat.
Dalam kebimbangan itu Gandar berkata, "Memang
menurut pendapatku kita tidak dapat terus ke Goa Malang
dalam keadaan seperti ini. Kita harus memperkuat pasukan
kita. Setidak-tidaknya pasukan baru yang harus menunggu
tempat ini serta menjaga para tawanan. Untuk itu jika
disetujui, aku akan dapat kembali ke Tanah Perdikan
Sembojan untuk mengambil sekelompok pengawal lagi."
Senapati dari pasukan Pajang itu termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian katanya, "Anak-anak muda
Sembojan diperlukan bagi Tanah Perdikan itu sendiri.
Meskipun mungkin masih dapat diminta untuk
mengirimkan sekelompok lagi untuk kepentingan ini, tetapi
jangan terlalu banyak."
"Aku akan membawa separo dari pasukan pengawal yang
pernah aku bawa sebelumnya," berkata Gandar.
"Baiklah," berkata Senapati itu. "Terpaksa aku
memerintahkan para penghubung untuk kembali ke Pajang.
Meskipun memerlukan waktu yang agak lama. Sementara


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, kita harus berjaga-jaga ditempat ini."
"Kita memang harus memilih yang paling baik di antara
beberapa kemungkinan. Jika orang-orang Ki Rangga
18 SH. Mintardja mengetahui, bahwa kita telah menduduki tempat ini, ada
dua kemungkinan dapat terjadi. Mereka mengosongkan
sarang-sarang yang lain termasuk Goa Malang, atau mereka
berusaha merebut kembali sarang mereka," berkata Gandar.
"Ya," berkata Senapati itu. "Karena itu kita harus
berusaha mengatasinya. Sementara kita memperkuat
kedudukan kita disini, maka usaha untuk mendatangkan
kekuatan baru itu harus secepatnya kita lakukan"
Namun dalam pada itu seorang perwira bertanya,
"Apakah untuk mengisi waktu kita dapat mendatangi sarang
yang dianggap lebih lemah dari Goa Malang?"
"Memang mungkin. Tetapi jika hal itu menyebabkan
kehadiran kita diketahui, maka kita akan kehilangan Goa
Malang itu sendiri, karena mereka telah
mengosongkannya," jawab Senapati itu. Namun katanya
kemudian, "Meskipun kemungkinan itu dapat terjadi
setelah mereka mengetahui bahwa sarang mereka disini
sudah kita kuasai. Tetapi kita berharap bahwa hubungan
antara sarang yang satu dengan yang lain tidak terlalu
rapat, sehingga berita tentang kehadiran kita disini tidak
segera mereka ketahui."
"Tetapi bukankah orang yang kita tangkap ketika mereka
sedang berjalan turun itu merencanakan satu pertemuan
dengan kawan-kawannya dari sarangnya yang lain?"
bertanya perwira itu. "Ya," jawab Senapati itu. "Karena itu kita harus bersiap-
siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan itu. Mereka
mengosongkan sarang mereka yang akan berarti tugas kita
bertambah panjang, atau mereka akan merebut sarang
mereka itu. 19 SH. Mintardja Para perwira yang ikut dalam pembicaraan itu
mengangguk-angguk. Sementara itu, maka Senapati itu pun
telah memerintahkan dua orang penghubung untuk pergi ke
Pajang bersama Gandar yang akan pergi ke Tanah Perdikan.
Mereka akan membawa pasukan masing-masing.
"Aturlah agar kalian bersama-sama datang ke tempat ini
sebagaimana kita berangkat," berkata Senapati itu.
Tanpa menunggu waktu yang lain, maka para
penghubung itu pun segera bersiap sebagaimana Gandar.
Namun Gandar telah menunjuk dua orang yang akan
menjadi kawannya berbincang diperjalanan menuju ke
Tanah Perdikan Sembojan setelah ia harus berpisah dengan
kedua penghubung yang pergi ke Pajang itu. Sedangkan
anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan telah
diserahkan kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung yang
memiliki kemampuan melampaui orang kebanyakan.
"Jika benar pasukan Ki Rangga itu datang untuk merebut
Goa disebelah, maka mungkin kalian harus berhadapan
dengan Ki Rangga dan seorang lagi dengan Warsi itu
sendiri," pesan Gandar kepada kedua orang itu.
"Mudah-mudahan mereka tidak segera datang kemari,"
desis Sambi Wulung. "Meskipun sebenarnya kemungkinan itu sangat
menguntungkan kita. Kita akan dapat menangkap Ki
Rangga dan Warsi tanpa harus menyusuri lereng-lereng
pegunungan," sahut Gandar.
Demikianlah, sejenak kemudian Gandar serta kedua
orang pengawal dari Tanah Perdikan Sembojan dan para
penghubung itu pun segera berangkat. Mereka akan
menempuh perjalanan yang cukup panjang. Sementara itu
Sambi Wulung dan Jati Wulung sekali lagi mendapat pesan
20 SH. Mintardja dari Gandar tanpa didengar orang lain, "Kemampuan kalian
sangat diperlukan disini. Senapati itu memiliki kekuatan
dan ketrampilan olah kanuragan. Tetapi untuk menghadapi
ilmu yang rumit, ia memerlukan bantuan."
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk,
sambil berdesis Sambi Wulung menjawab, "Aku akan
berbuat sejauh dapat aku lakukan."
Gandar mengangguk pula. Namun ia kemudian
meninggalkan Sambi Wulung dan Jati Wulung yang
melepas mereka. Disebelah lain berdiri para Senapati dan
perwira Pajang yang lain.
Demikianlah Gandar telah menempuh perjalanan
menuruni lereng pegunungan. Jalan setapak yang
melingkar-lingkar. Namun mereka tidak saja harus berhati-
hati dilicinnya jalan sempit itu, tetapi juga kemungkinan
bahwa mereka bertemu dengan orang-orang yang akan
mengadakan hubungan dengan sarang yang telah direbut
oleh para prajurit Pajang dan para pengawal Tanah
Perdikan itu. Namun ternyata mereka tidak bertemu dengan seorang
pun. Mereka tidak mengalami hambatan apapun di
perjalanan menuju ke dataran, sampai saatnya mereka
berpisah. Tanah Perdikan Sembojan agak lebih dekat dari Pajang.
Karena itu, maka Gandar mempunyai waktu lebih banyak
dari para penghubung. Namun kesiagaan para prajurit
Pajang tentu lebih tinggi dari para pengawal di Tanah
Perdikan Sembojan, meskipun para pengawal itu sudah
memiliki keterampilan seorang prajurit. Namun para
pengawal Tanah Perdikan Sembojan masih mempunyai
tugas rangkap. Selain mereka harus mengawal Tanah
Perdikan mereka, mereka pun masih harus juga bekerja
21 SH. Mintardja sehari-hari sebagaimana anak-anak muda yang lain, kecuali
pada saat-saat mereka bertugas yang dilakukan bergilir dari
kelompok yang satu kepada kelompok yang lain.
Ketika Gandar datang dengan dua orang pengawal,
Iswari menjadi terkejut karenanya. Namun kemudian
hatinya menjadi tenang ketika ia melihat Gandar yang tidak terlalu gelap kecuali karena perjalanannya
yang panjang. "Tidak ada apa-apa Nyai,"
berkata Gandar yang melihat
secercah kecemasan dihati
Iswari. "Jadi," bertanya Iswari.
Gandar pun kemudian menceriterakan apa yang telah
terjadi. Memang ada beberapa orang di antara para
pengawal Tanah Perdikan yang gugur dan terluka. Namun
jumlahnya hanya kecil dibanding dengan jumlah para
pengawal seluruhnya. Iswari mengangguk-angguk. Namun terbayang di angan-
angannya bahwa anak-anak muda Tanah Perdikan masih
akan menempuh tugas yang lebih berat. Mereka masih
harus menyusuri lereng dan lambung pegunungan untuk
mencapai tempat yang disebut Goa Malang. Salah satu
sarang yang kuat dari para pengikut Ki Rangga Gupita dan
Warsi. Goa dan mungkin beberapa barak yang dihuni oleh
bekas prajurit Jipang yang memiliki kemampuan prajurit
ditambah dengan pengalaman yang pahit, sehingga mereka
akan merupakan orang-orang yang keras dan bahkan
22 SH. Mintardja mungkin tidak lagi mempunyai pertimbangan nalar yang
wajar lagi menghadapi sesamanya. Apalagi di antara mereka
terdapat orang-orang yang dihimpun kembali dari bekas
para pengikut Kalamerta yang mendendam Tanah Perdikan
Sembojan. "Kita harus menyediakan sekitar limapuluh orang Nyai,
sementara itu Pajang akan mengambil kekuatan berlipat"
berkata Gandar. "Apakah sedemikian besar susutnya pasukan kita?"
bertanya Iswari. "Tidak" sahut Gandar, dan ia pun telah menjelaskan
bahwa sebagian dari mereka akan berada di goa yang telah
direbut lebih dahulu sekaligus menunggui para tawanan.
Sementara yang lain akan pergi ke Goa Malang.
"Dengan demikian maka pasukan yang akan tersusun itu
masih harus dibagi" berkata Gandar, "mungkin kekuatan
yang ditinggalkan untuk menunggui goa yang telah dikuasai
Pajang serta menjaga para tawanan itu akan sama besarnya
dengan yang akan pergi ke Goa Malang, karena ada
kemungkinan bahwa justru Ki Rangga lah yang menyergap
kedudukan pasukan Pajang yang ditinggalkan itu."
Iswari mendapat gambaran yang jelas tentang
kedudukan pasukan Pajang dan para pengawal Tanah
Perdikan Sembojan. Karena itu maka katanya, "Baiklah
Gandar. Kau sendirilah yang menyiapkan kelima puluh
orang pengawal itu. Kau harus berterus terang tentang
medan yang akan kalian hadapi, sehingga dengan demikian
maka kau dapat juga minta agar anak-anak itu berterus
terang. Jika mereka tidak cukup mempunyai keberanian
serta kesediaan untuk berkorban, bahkan berkorban jiwa,
biarlah mereka tidak ikut dalam pasukanmu."
23 SH. Mintardja "Aku mengerti Nyai" jawab Gandar, "namun
pengorbanan itu juga dipersembahkan bagi Tanah Perdikan
ini. Jika kekuatan mereka telah dihancurkan, maka mereka
tidak akan lagi membayangi kekuasaan di Tanah Perdikan
ini." "Pengertian itu memang perlu Gandar" jawab Iswari,
"nah, segalanya terserah kepadamu. Sementara itu,
kekuatan yang tinggal harus mengerti pula, bahwa mereka
akan mendapat tugas ganda di Tanah Perdikan ini."
Demikianlah, maka Gandar pun segera mengumpulkan
para pemimpin kelompok serta para Bekel yang tersebar di
padukuhan-padukuhan. Dengan jelas Gandar
menceriterakan kepada mereka, apa yang telah terjadi pada
pasukan Tanah Perdikan Sembojan di perjalanan dan di
sarang para pengikut Ki Rangga Gupita dan Warsi.
"Ternyata bahwa aku masih harus kembali untuk
membawa lagi sekelompok kecil pasukan para pengawal
Tanah Perdikan ini." berkata Gandar kemudian. Lalu,
"Tetapi dengan pengertian bahwa pasukan yang akan
berangkat harus pasukan yang menyadari akan perjalanan
yang bakal ditempuh."
Gandar pun telah menguraikan kemungkinan yang dapat
terjadi, serta perjalanan yang berat yang harus mereka
lakukan, Apalagi jika saatnya mereka bertemu dengan para
pengikut Ki Rangga Gupita.
"Mereka seolah-olah telah kehilangan kesadaran mereka.
Mereka seakan-akan tidak lagi mempergunakan nalar dan
perasaan mereka masing-masing. Sehingga karena itu,
maka seolah-olah kita akan menghadapi sekelompok orang
yang tidak menyadari tentang dirinya sendiri dan apa yang
dilakukannya. Untuk itu diperlukan bukan hanya
ketrampilan dan kemampuan bermain senjata, tetapi juga
24 SH. Mintardja ketabahan menghadapi orang-orang yang demikian."
berkata Gandar. Para Bekel dan para pemimpin kelompok itu
mengangguk-angguk. Dari ceritera Gandar mereka
mendapat gambaran apa yang akan mereka hadapi jika
mereka harus pergi menyusul pasukan Tanah Perdikan yang
terdahulu. Dalam pada itu maka Gandarpun berkata, "Aku
mendapat tugas untuk membawa lima puluh orang
pengawal lagi menyusul pasukan yang terdahulu. Tetapi
dengan pengertian, bahwa kelima puluh orang itu harus
mengerti benar tugas dan kemungkinan yang bakal terjadi.
Karena itu, maka kelima puluh orang itu sifatnya adalah
suka rela. Meskipun demikian kita akan memilih yang terbaik
diantara mereka. Jika jumlahnya ternyata kurang dari lima
puluh itupun tidak menjadi soal. Yang penting yang akan
berangkat bersamaku harus menyadari benar apa yang
mungkin terjadi." Pertemuan itu ditutup dengan beberapa persoalan yang
dikemukakan oleh para Bekel dan pemimpin kelompok
yang akan mengumpulkan para pengawal yang akan pergi
bersama Gandar. Merekapun kemudian telah menentukan
batas terakhir dari pernyataan kesediaan seseorang untuk
dengan suka rela ikut serta dalam pasukan kecil itu.
"BESOK, menjelang senja adalah saat terakhir. Di malam
itu kita akan menentukan siapa saja yang benar-benar akan
dapat ikut berangkat, karena disamping kesediaan juga kita
akan menilai kemampuan seseorang. Lima puluh orang
adalah sekadar ancer-ancer. Jika tidak dipenuhi karena
pertimbangan-pertimbangan tertentu tidak akan ada
kaitan," berkata Gandar kemudian.
25 SH. Mintardja Demikianlah, maka setelah pertemuan itu selesai, para
Bekel dan para pemimpin kelompok pun tidak menyia-
nyiakan waktu. Demikian mereka sampai ke padukuhan
mereka masing-masing, maka mereka pun segera
melakukan perintah Gandar. Ki Bekel dan pemimpin
pengawal di padukuhan segera memanggil para pengawal
dari segala tataran. Mereka pun telah mendapat penjelasan sebagaimana
Gandar menjelaskan kepada para Bekel dan pemimpin
kelompok di padukuhan. Mereka pun telah menjelaskan
kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas mereka yang


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berangkat. Karena itu, maka pembentukan pasukan
sekarang ini adalah berdasarkan atas suka rela.
Para pengawal Tanah Perdikan itu mengangguk-angguk.
Ketika mereka mendengarkan penjelasan tentang
lingkungan yang akan mereka datangi, maka mereka pun
mendapat gambaran selengkapnya, apa yang mungkin
terjadi atas mereka. Namun ternyata semua itu tidak menggetarkan sehelai
bulu pun bagi para pengawal itu. Mereka justru telah
berebut menyatakan kesediaan mereka untuk pergi
menyusul pasukan mereka yang terdahulu.
"Kemungkinan untuk kembali dan tidak kembali sama
besarnya," berkata pemimpin kelompok itu. "Karena itu
pertimbangkan baik-baik."
"Telah kami pertimbangkan baik-baik," jawab salah
seorang pengawal. "Kematian bukannya persoalan manusia.
Sebagaimana kelahiran, maka kematian itu tergantung
kepada Yang Maha Agung. Pergi ke medan atau tidak pergi,
jika kematian itu datang, maka ia akan menyergap kapan
saja dikehendaki." 26 SH. Mintardja Pemimpin kelompoknya mengangguk-angguk. Lalu,
katanya, "Baiklah. Kita akan menyampaikan nama-nama
kalian yang bersedia itu kepada Gandar. Selambat-
lambatnya esok sore. Di malam harinya para pemimpin
Tanah Perdikan Sembojan akan menentukan siapakah di
antara kita yang akan berangkat. Mungkin untuk satu
padukuhan akan diambil hanya lima atau enam orang anak
muda," pemimpin kelompok itu terdiam sesaat. Namun
kemudian katanya, "Tetapi harus juga disadari, bahwa para
pengawal yang tinggal pun akan mendapat beban berat.
Mungkin justru mereka yang harus bertempur mati-matian.
Jika Ki Rangga menghindari pertempuran di barak-barak
dan goa-goa sarang mereka, dan justru malahan datang ke
Tanah Perdikan yang mereka anggap kosong itu, maka kita
yang tinggal itulah yang akan bertempur mati-matian."
"Karena itu, segalanya kami serahkan saja kepada Yang
Maha Agung. Namun kita sudah berusaha sejauh dapat kita
lakukan. Karena itu, maka bagiku tidak ada persoalan jika
aku diperkenankan menyusul pasukan yang terdahulu,"
berkata seorang pengawal.
Pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Lalu
katanya, "Ternyata semua orang di antara para pengawal
telah menyatakan kesediaannya. Adalah kewajiban para
pemimpin Tanah Perdikan ini untuk memilih."
Demikianlah, maka ternyata disemua padukuhan terjadi
hal yang serupa. Tidak seorang pun yang menyatakan
dirinya berkeberatan untuk berangkat menyusul para
pengawal yang terdahulu. Ketika hal itu kemudian disampaikan kepada Gandar
yang kemudian melaporkannya kepada Iswari, maka
Iswaripun merasa betapa besar dukungan anak-anak muda
itu atas kepemimpinannya. Karena itu maka katanya kepada
27 SH. Mintardja Gandar, "Kita wajib berterima kasih kepada para
pengawal,khususnya dan anak-anak muda pada urlumnya
atas sikap mereka yang sangat mernbesarkan hati itu."
"Ya Nyai" jawab Gandar, "ternyata mereka benar-benar
telah menyerahkan segala-galanya bagi kepentingan Tanah
Perdikan ini." "Kau jangan membuat mereka kecewa. Yang tidak
terpilih harus tetap merasa bahwa mereka sangat
diperlukan oleh Tanah Perdikan ini." berkata Iswari.
Gandar mengangguk-angguk. Memang para pengawal itu
tidak boleh merasa diri mereka dibeda-bedakan. Baik
tingkat kemampuan mereka maupun tanggung jawab
mereka. Karena itu, maka setelah batas waktu yang ditentukan
oleh Gandar selesai, maka sekali lagi ia berbicara dengan
para pemimpin kelompok dan para bekel. Gandar ternyata
memerlukan pertimbangan mereka untuk menentukan
siapakah diantara para pengawal dari padukuhan-
padukuhan yang akan ditunjuk untuk berangkat ke sarang
para pengikut Ki Rangga dan Warsi.
Dengan berbagai macarn pertimbangan. maka akhirnya
Gandar akan membawa tidak hanya lima puluh orang,
tetapi justru lebih banyak. Semua yang akan pergi bersama
Gandar adalah tujuh puluh orang.
Namun dalam pada itu Gandar telah berpesan kepada
para pemimpin padukuhan. Baik pemimpin pengawal
maupun Ki Bekel, agar yang tidak terpilih tidak merasa
dirinya dianggap kecil. Demikianlah dihari berikutnya, para pemimpin ke
lompok di setiap padukuhan telah memberitahukan kepada
para pengawal, siapakah yang akan berangkat dan siapakah
28 SH. Mintardja yang harus menunggui padukuhan masing-masing, karena
kemungkinan buruk itu justru akan terjadi di Tanah
Perdikan itu sendiri. Sebagaimana dipesan oleh Gandar, maka para pemimpin
penigawal di padukuhan-padukuhan itu berusaha untuk
tidak membuat para pengawal yang tidak terpilih itu
menjadi kecewa. Tetapi karena yang terpilih itu hanya
sebagian kecil, dan yang tinggal justru lebih banyak, maka
mereka yang tinggal memang tidak merasa dianggap tidak
berarti meskipun mereka kecewa juga karena tidak dapat
ikut berangkat. Keinginan itu juga didorong oleh keinginan
untuk menempuh satu kesempatan petualangan yang
menarik bagi anak-anak muda.
Ternyata Gandar tidak banyak membuang waktu.
Dengan para penghubung dari Pajang ia sudah mengatur
waktu. Pasukan yang dibawanya itu akan bertemu dengan
pasukan Pajang sebagaimana pernah dilakukan yang
kemudian bersama-sama menuju ke sasaran.
Karena itu, maka setelah segala persiapan dilakukan
dengan saksama, termasuk persediaan makanan dan
persediaan-persediaan lain yang mungkin mereka per
lukan, maka pasukan itupun telah siap untuk berangkat.
Pasukan kecil itu telah mohon diri kepada Nyai Wiradana
dengan berkumpul di halaman. Dengan penuh kesediaan
untuk berkorban maka pasukan itu telah siap berangkat.
Iswari sempat memberikan beberapa pesan. Namun
kemudian katanya, "Segalanya, hitam putihnya, baik
buruknya, jaya hancurnya Tanah Perdikan ini memang
terletak ditangan anak-anak mudanya. Dan kalian telah
menunjukkan, bahwa kalian dengan penuh tanggungjawab
telah menyatakan kesediaan kalian untuk menyusun dan
menentukan masa depan dari Tanah Perdikan ini."
29 SH. Mintardja Pesan Iswari itu telah memberikan dorongan yang lebih
besar lagi bagi para pengawal itu untuk berbuat sesuatu bagi
Tanah Perdikan mereka. Ketika semuanya sudah siap, maka Gandarpun telah
minta diri kepada Nyai Wiradana, kepada orang-orang tua
yang ikut mengendalikan kepemimpinan Tanah Perdikan
itu disekitar Nyai Wiradana, dan kepada seluruh r,akyat
Tanah Perdikan yang diwakili oleh para Bekel dari
padukuhan-padukuhan diseluruh Tanah Perdikan.
Sesaat kemudian, maka iring-iringan itupun telah
berangkat. Seperti yang terdahulu, maka mereka memang
sepasukan kecil yang akan berangkat ke medan perang yang
berat. Karena itu, bagaimanapun juga, maka beberapa orang
ibu yang melepaskan anak mereka pergi, telah menitikkan
air mata. Bukan karena ia tidak rela anaknya ikut serta
menegakkan Tanah Perdikan Sembojan, tetapi kewajaran
seorang ibu yang melihat anaknya pergi dengan
kemungkinan untuk tidak kembali lagi.
Beberapa saat kemudian, pasukan itu telah
meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan. Namun Gandar
yang telah banyak dikenal oleh Kademangan disekitarnya,
tanpa kesulitan apapun lewat melintas jalan-jalan dan
bahkan padukuhan-padukuhan di Kademangan itu.
Sekali-kali pasukan Gandar memang harus berhenti.
Tetapi bukan karena hambatan. Tetapi Gandar lah yang
merasa perlu untuk memberikan penjelasan jika pasukan
itu melewati padukuhan induk sebuah Kademangan atau
justru melihat sekelompok orang yang nampaknya
bertanya-tanya tentang pasukannya.
30 SH. Mintardja Namun karena Gandar mengambil jalan yang pernah
dilaluinya bersama pasukannya yang terdahulu, maka
orang-orang yang melihat pasukan itu pun segera menjadi
jelas oleh keterangan Gandar yang singkat.
Ternyata pasukan itu sama sekali tidak mendapat
hambatan diperjalanan. Sesuai dengan persetujuannya
dengan Prajurit Pajang, maka kedua pasukan itu telah
bertemu di Kademangan Kedung Waringin.
Dari Kedung Waringin pasukan dari Pajang dan Tanah
Perdikan Sembojan itu langsung menuju ke tempat pasukan
induk mereka menunggu. Namun dalam pada itu, peristiwa yang terjadi di sarang
para pengikut Ki Rangga dan Warsi itu telah diketahui oleh
mereka. Ketidakhadiran orang-orang dari sarang itu dalam
pertemuan yang telah ditentukan telah menimbulkan
kecurigaan. Ketika hal itu dilaporkan kepada Ki Rangga dan
Warsi, maka Ki Rangga pun segera memerintahkan
beberapa orang pilihan di antara bekas prajurit Jipang
untuk mengamati tempat itu.
"Berhati-hatilah," pesan Ki Rangga. "Jika kalian
tertangkap, maka kalian akan diperas untuk menunjukkan
sarang-sarang kita yang lain. Namun kalian harus berusaha
untuk tidak mengatakannya. Apapun yang terjadi atas
kalian, maka kalian adalah pahlawan-pahlawan Jipang yang
berjuang untuk menegakkan Jipang kembali."
Orang-orang itu mengangguk-angguk. Sementara Ki
Rangga berkata selanjutnya, "Jika terpaksa kalian harus
menunjukkan salah satu sarang, maka katakanlah bahwa
yang kau ketahui adalah sarang yang telah kita kosongkan
itu karena Rampak tertangkap di Tanah Perdikan Sembojan
itu." 31 SH. Mintardja Demikianlah maka beberapa orang pilihan dari bekas
prajurit Jipang itu telah berangkat menuju kesarang mereka
yang telah direbut oleh pasukan Pajang dan pasukan
pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
Dengan sangat hati-hati mereka mendekati tempat itu
dimalam hari. Orang-orang yang bertugas itu, selain orang-
orang pilihan juga orang-orang yang telah mengenal medan
itu sebaik-baiknya. Dengan demikian, mereka dapat mendekati goa dan
barak-barak itu tanpa melalui satu-satu jalan yang menuju
ke sarang itu. Justru karena mereka sempat melakukannya
dengan hati-hati dan perlahan-lahan.
Di dalam gelapnya malam orang itu mendekati tebing.
Selangkah demi selangkah. Mereka merayap berpegangan
batu-batu padas yang kuat.
Demikianlah, maka mereka pun telah muncul beberapa
puluh langkah dari mulut goa diseberang pelataran goa itu.
Sedangkan yang lain merayap dari arah belakang dan
muncul dibelakang barak-barak yang terdapat disisi goa.
Dari tempat mereka itu, maka mereka segera melihat
bahwa yang berjaga-jaga di mulut goa itu bukan lagi kawan-
kawan mereka, tetapi para prajurit Pajang. Sementara itu
yang muncul dari belakang barak, sempat memasuki
halaman barak itu dan dengan sangat berhati-hati
mengamati keadaan. Ternyata mereka pun menjadi yakin, bahwa sepasukan
yang kuat telah berada dibekas sarang mereka itu.
Orang-orang yang berada di belakang barak itu pun
sempat melihat prajurit yang bertugas berjaga-jaga. Tetapi
karena prajurit itu sama sekali tidak menduga, bahwa
seseorang akan dapat mencapai barak itu dari arah
32 SH. Mintardja belakang, maka agaknya mereka memang menjadi agak
kurang berhati-hati. Tetapi orang-orang yang memasuki barak itu dari arah
belakang memang tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya
sekadar mengamati keadaan. Karena itu setelah mereka
menganggap cukup, maka mereka pun segera meninggalkan
tempat itu. Namun mereka tidak turun lewat tebing yang curam itu
di malam hari. Tetapi karena mereka melihat kemungkinan
untuk keluar lewat samping, maka merekapun telah
mengambil jalan itu. Meskipun mereka mengerti, bahwa
mereka akan sampai ke jalan setapak, satu-satunya jalan
yang menghubungkan barak itu dengan dunia luar.
Tetapi dimalam hari, dalam jarak yang agak jauh, maka
mereka yakin bahwa prajurit Pajang tidak akan berkeliaran
sampai kesana. Lewat jalan setapak itu, mereka menuju ketempat yang
telah ditentukan, untuk dapat bertemu dengan kawan-
kawan mereka yang mendekati barak dan goa itu dari arah
yang berbeda. Mereka ternyata sempat saling bertemu sebagaimana
direncanakan. Bersama-sama mereka menuruni tebing
untuk melaporkan hasil pengamatan mereka kepada Ki
Rangga dan Warsi. "Setan alas" Ki Rangga mengumpat dengan kasar.
"Orang-orang Pajang memang gila. Darimana mereka tahu
bahwa di tempat itu terdapat sarang kita yang cukup besar."
"Mungkin dari orang-orang kita yang tertangkap" jawab
bekas prajurit Jipang yang baru saja melaporkan


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengamatannya atas pasukan Pajang itu.
33 SH. Mintardja "Hal itu memang mungkin saja terjadi. Agaknya orang-
orang Pajang telah mempergunakan cara apapun untuk
memeras keterangan kawan-kawan kita yang berhasil
mereka tangkap. Agaknya daya tahan seseorang memang
berbeda. Tentu ada diantara orang-orang kita yang tidak
mampu bertahan terhadap tekanan itu dan mengatakan apa
yang mereka ketahui. Tetapi jelas bukan dari Damar dan
Saruju. Mereka belum pernah datang ketempat itu." berkata
Ki Rangga. "Memang sulit untuk mengetahui dengan pasti, apa saja
yang sudah diketahui oleh setiap orang didalam lingkungan
kita" berkata Warsi, "yang kita anggap belum mengetahui,
ternyata sekali ia pernah mendapat tugas untuk
menghubungi seseorang ditempat itu."
"Mungkin sekali.terjadi" sahut Ki Rangga, "tetapi
sekarang apa yang harus kita lakukan. Orang-orang Pajang
itu tentu berhasil menangkap hidup sebagian dari orang-
orang kita. Demikian rapatnya mereka mengepung,
sehingga tidak seorangpun yang dapat lolos."
"Jalannya hanya satu" jawab bekas prajurit Jipang yang
telah melihat goa dan barak itu, "jika jalan itu sudah
ditutup, maka memang sulit bagi orang-orang kita untuk
keluar." "Tetapi bukankah mereka dapat turun lewat tebing?"
bertanya Warsi. "Terlalu sulit untuk langkah yang tergesa-gesa.
Seandainya ada juga yang mencoba, maka dengan anak
panah, orang itu akan menjadi sasaran yang mapan" jawab
bekas prajurit Jipang itu.
Raden Rangga dan Warsi itupun mengangguk-angguk.
Namun jantung mereka rasa-rasanya hampir pecah karena
34 SH. Mintardja menahan gejolak kemarahan. Bukan saja karena sepasukan
mereka yang cukup kuat telah dihancurkan, tetapi juga
karena sebagian harta benda yang telah mereka kumpulkan
jatuh ketangan orang-orang Pajang.
Dalam pada itu, maka Ki Rangga itupun kemudian
bertanya, "Menurut perhitunganmu, apakah mungkin kita
mengumpulkan pasukan sejumlah orang-orang yang ada di
barak itu?" "Aku kira mungkin Ki Rangga" jawab bekas prajurit
Jipang itu, "jika kita mempunyai waktu tiga hari saja, maka
kita akan sempat menarik semua orang disegala tempat dan
mendatangi barak itu. Menurut penglihatan kami, mereka
berada dibarak sebagaimana orang-orang kita berada
dibarak. Memang mungkin jumlah mereka sedikit lebih
banyak dengan beberapa kelompok kecil yang sedang
bertugas. Sementara itu sekelompok lain sedang mengawasi
kawan-kawan kita yang tertawan."
"Jika demikian, maka kita akan menyerang mereka. Kita
akan memasuki barak itu dimalam hari dengan cara
sebagaimana kalian tempuh. Kami akan dengan cepat
menyergap mereka dan menghancurkan mereka tanpa
ampun. Kita tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbagan-
pertimbangan apapun lagi. Kita harus menguasai tempat
itu, berapapun kita harus membunuh." berkata Ki Rangga.
"Hal itu memang mungkin. Sebagian dari kita akan
merayap naik lewat tebing. Baik dari depan maupun dari
belakang. Jika kita sudah memasuki barak itu dan
mengacaukan mereka, maka kawan-kawan kita yang lain,
yang telah bersiap di jalan setapak itu, akan menyerbu
masuk. Mudah-mudahan kita akan berhasil. Kita akan,
memusnahkan mereka. Yang kurang mengenal medan,
tentu akan berlari-larian. Sebagian dari mereka akan
35 SH. Mintardja terjerumus ke jurang-jurang yang dalam itu. Yang
menelusur di sisi belakang disudut barak itu, mungkin tidak
akan segera mati. Tetapi tangannya dan kakinya tentu akan
patah. Meskipun larnbat, orang itu akhirnya tentu akan
mati juga." jawab bekas prajurit Jipang itu.
Ki Rangga dan Warsi pun kemudian menyusun rencana
dengan seksama. Mereka minta bekas prajurit yang
memasuki barak itu bersama beberapa orang kawannya
menjelaskan keadaannya, agar Ki Rangga dan Warsi
mempunyai bahan yang lengkap bagi rencananya itu.
"Kita tidak boleh gagal," berkata Ki Rangga., "Jika kita
gagal maka kita akan menjadi semakin lemah."
Warsi menarik nafas dalam-dalam. Seperti yang
dikatakan oleh Ki Rangga, jika mereka gagal dan tidak lagi
mempunyai kekuatan yang cukup, maka Warsi dan Ki
Rangga akan surut selangkah. Mereka harus melepaskan
keinginan untuk sementara menegakkan kedudukan di
Tanah Perdikan Sembojan. Mereka harus mundur dan
untuk sementara bersembunyi di padepokan mereka yang
nampaknya tenteram dan damai.
Ki Rangga pun berpikir demikian pula. Namun Ki
Rangga masih juga berkata di dalam hatinya,, "Anak itu
tidak mempunyai arti apa-apa lagi."
Tetapi bagi rakyat Sembojan sendiri, mereka tentu tidak
akan menolak Puguh seandainya Risang benar-benar sudah
mati. Dengan demikian maka akhirnya Ki Rangga dan Warsi
itu sampai pada kesimpulan, bahwa mereka harus
mengirimkan penghubung kesemua sarang yang masih ada.
Semua orang harus dikumpulkan ditempat yang ditentukan.
Kemudian mereka bersama-sama menyerang para prajurit
36 SH. Mintardja Pajang, dengan cara seperti yang dikatakan oleh Ki Rangga,
dengan cara seperti yang dilakukan oleh beberapa orang
yang telah memasuki barak dan melihat-lihat mulut goa
yang dijaga oleh para prajurit Pajang.
"Ingat," berkata Ki Rangga. "Di dalam goa itu terdapat
banyak sekali harta benda yang dapat kita pergunakan
untuk menegakkan kembali Jipang atau untuk membeli
kesetiaan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan."
Sebenarnya Warsi pun menganggap demikian. Tetapi
setiap kali masih terbersit harapan, bahwa anak itu akan
dapat membawanya kembali memasuki Tanah Perdikan
Sembojan, meskipun Warsi sadar, bahwa Pajang tentu akan
ikut menghalangi. "Kita harus menyelamatkannya," desis salah seorang
bekas prajurit Jipang yang melihat di mulut goa itu
beberapa prajurit Pajang bersiaga.
Namun jika mereka menyerang dengan laku seperti yang
akan mereka tempuh, maka dengan isyarat, sekelompok
orang akan berloncatan naik dari sisi tebing langsung
menyerang para penjaga yang tidak menduga sama sekali
itu. Pada saat mereka menikam setiap orang, maka mereka
melepaskan isyarat, agar kawan-kawan mereka yang
menuju ke barak itu lewat jalan lain, segera memasuki
arena. Sementara itu yang memasuki barak dari belakang
telah membakar barak-barak dengan prajurit Pajang yang
masih tidur nyenyak di dalamnya.
Tetapi untuk itu mereka memang memerlukan waktu tiga
hari. Meskipun demikian, rencana itu memang benar-benar
akan dilaksanakan. Ki Rangga benar-benar telah
mengirimkan utusan kesemua sarang yang ada. Disamping
37 SH. Mintardja perintah itu, maka pada sarang yang mereka pergunakan
untuk menyimpan harta benda, diperintahkan supaya
segera dipindahkan. Mereka harus dapat menemukan
tempat yang dapat dipersiapkan dengan cepat dan
tersembunyi. Kalau perlu ditimbun dengan batu-batu padas
agar jejaknya tidak mudah diketahui.
"Tetapi orang-orang yang menyimpan harta benda itu
tidak perlu ikut bersama kami menyerang pasukan Pajang
yang telah menduduki satu di antara barak-barak kami,"
berkata Ki Rangga. "Setidak-tidaknya ada orang yang
mengetahuinya dan tetap hidup."
Demikianlah, persiapan itu benar-benar berlangsung tiga
hari. Setelah semuanya benar-benar telah siap, maka sekali
lagi, bekas prajurit Jipang yang pernah datang ke barak itu
ditugaskan untuk sekali lagi mengamati keadaan.
Ternyata ketika bekas prajurit itu dengan beberapa orang
kawannya memasuki barak itu lagi, suasana sama sekali
masih belum berubah. Namun mereka menjadi lebih cermat
menghitung kekuatan para prajurit Pajang itu.
Dengan gembira mereka memastikan bahwa jumlah
prajurit Pajang itu tidak terlalu jauh dibandingkan dengan
jumlah kawan-kawan mereka yang ada di barak itu
sebelumnya. Dengan menarik semua kawan mereka dari semua
tempat, kecuali dari padepokan yang tersendiri itu yang
dibuatnya bersuasana damai, maka Ki Rangga dan Warsi
telah mempersiapkan satu sergapan balasan.
Meskipun demikian jumlah orang-orang mereka lebih
sedikit. Tetapi sergapan itu akan memberikan kesempatan
kepada Ki Rangga dan orang-orangnya untuk mengurangi
jumlah lawan sebanyak-banyaknya tanpa belas kasihan,
38 SH. Mintardja sehingga pada saat mereka menyadari jumlah mereka telah
jauh berkurang. Dengan cermat maka Ki Rangga pun telah membagi
orang-orangnya. Sebagian akan naik tebing dan langsung
sampai ke mulut goa. Sebagian yang lebih besar akan naik
lewat lereng dibelakang barak itu. Kelompok ini agak lebih
besar dari kelompok yang akan muncul di depan goa.
Sedangkan kelompok yang terakhir akan menyergap
melalui jalan yang menghubungkan sarang itu dengan
dunia luar. Kelompok ini adalah kelompok yang terbesar.
Pada saat-saat terakhir, maka Ki Rangga telah
mengumpulkan semua pemimpin kelompok. Dengan tegas
Ki Rangga memberikan beberapa petunjuk dan perintah
terakhir. Bahkan disertai dengan ancaman dan larangan-
larangan. "Nah," berkata Ki Rangga. "Kalian adalah prajurit.
Lakukan semua perintahku sebagaimana seorang prajurit
melakukan perintah panglimanya. Kalian pun harus
menyampaikan semuanya kepada setiap prajurit. Ingat,
semua pengingkaran dan pengkhianatan atas perintahku,
hukumannya adalah hukuman mati."
Para pemimpin kelompok itu pun mengangguk-angguk.
Mereka pun segera kembali kepada kelompok mereka
masing-masing. Mereka pun telah menyampaikan semua
perintah Ki Rangga dengan segala macam ancaman
hukuman. Seperti Ki Rangga, maka para pemimpin
kelompok itu pun berkata, "Setiap pelanggaran dan
pengkhianatan, hukumannya adalah hukuman mati."
Perintah itu benar-benar merupakan perintah yang harus
ditaati. Mereka menganggap Ki Rangga Gupita benar-benar
sebagai pemimpin tertinggi mereka yang akan dapat
membangun Jipang kembali.
39 SH. Mintardja Karena itu, maka tidak seorang pun di antara mereka
yang akan berani melanggar perintahnya. Sebagaimana
para bekas prajurit yang bertempur sampai mati diplataran
goa yang disergap oleh para prajurit Pajang, maka bekal itu
pulalah yang dibawa para bekas prajurit Jipang itu.
Tetapi yang ikut dalam sergapan itu bukan saja bekas-
bekas prajurit Jipang. Di antara mereka terdapat juga bekas
para pengikut Kalamerta. Namun agaknya mereka pun
menganggap bahwa perintah Ki Rangga dan sudah barang
tentu atas persetujuan Warsi itu memang tidak dapat
dilanggar. Memang kepatuhan mereka terhadap setiap
paugeran agak berbeda dengan para bekas prajurit Jipang.
Namun setelah bergaul dan berbuat bersama dalam banyak
hal, maka para pengikut Kalamerta yang jumlahnya lebih
sedikit itu merasa tidak berani menentang sikap yang
berlaku di antara para bekas prajurit Jipang yang keras dan
patuh itu.Jika para pengikut Kalamerta itu semula termasuk
orang-orang kasar dan tidak diikat oleh paugeran maka
setiap orang bekas prajurit Jipang itu adalah orang-orang
yang kasar dan tidak diikat oleh paugeran yang keras pula.
Yang akhirnya paugeran ini pun telah menjerat para
pengikut Kalamerta. Apalagi karena Warsi sendiri selalu
mengatakan kepada mereka, bahwa mereka harus
menyesuaikan dirinya dengan para bekas prajurit Jipang,
sehingga di dalam lingkungan mereka hanya akan terdapat
satu warna kehidupan. Semula hal itu sama sekali tidak menarik bagi para
pengikut Kalamerta. Karena itu, ada beberapa di antara
mereka yang memilih hidup menurut cara dan jalan mereka
masing-masing. Namun sebagian besar dari mereka
ternyata telah mematuhi perintah Warsi dan ayahnya yang
merupakan garis penerus dari Kalamerta itu.
40 SH. Mintardja Bahkan kawan-kawan mereka yang memisahkan diri itu,
akhirnya harus terbunuh oleh kekuatan para pengikut
Kalamerta yang lain bersama para bekas prajurit Jipang
dibawah pimpinan Ki Rangga itu, karena mereka dianggap
hanya akan mengganggu saja dilingkungan jelajah para
pengikut prajurit Jipang itu.
Demikianlah, maka akhirnya hanya terdapat satu puncak
kekuasaan yang dipegang oleh Ki Rangga Gupita dan Warsi.
Dua orang yang berilmu tinggi melampaui kebanyakan
orang dalam lingkungan olah kanuragan.
Dalam pada itu, setelah semuanya jelas bagi setiap orang
dalam pasukan Ki Rangga Gupita itu, maka pasukan itu pun
telah berangkat. Mereka memperhitungkan perjalanan


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka sampai di tujuan menjelang gelap Mereka mendapat
kesempatan untuk mengatur diri sebaik-baiknya. Kemudian
mereka sempat beristirahat sampai menjelang dini hari. Di
dini hari mereka mulai merayap naik. Sebelum fajar
menyingsing mereka harus sudah menyergap lawan di
mulut goa dan di barak itu.
Dengan demikian, ketika matahari terbit, maka seluruh
pasukan Jipang akan menghadapi lawan yang sudah
menjadi sangat lemah oleh sergapan yang tiba-tiba itu.
Demikian cermat perhitungan Ki Rangga dan Warsi,
maka setiap orang dari pasukannya telah membawa bekal
makanan yang akan dapat mereka makan sebelum
pertempuran terjadi. Mereka tidak akan sempat membuat
api dan memasak di tempat, karena dengan demikian akan
mengundang perhatian para prajurit Pajang.
Pada saat terakhir maka semua pimpinan kelompok telah
memperingatkan. Dihadapan kalian adalah prajurit-prajurit
Pajang yang memiliki kemampuan bertempur sangat tinggi.
Karena itu kalian harus mampu menunjukkan, bahwa
41 SH. Mintardja prajurit Jipang tidak kalah tinggi kemampuannya dari
mereka." Seperti yang diperhitungkan, maka mereka mendekati
sasaran menjelang senja. Mereka berhenti pada jarak
tertentu. Hanya mereka yang akan mendekati sasaran lewat
jalan yang lain sajalah yang kemudian mulai bergerak.
Sebagian menuju ke lereng di hadapan mulut goa dan yang
lain menuju ke arah belakang barak. Jalan yang mereka
tempuh memang bukan jalan yang mudah. Tetapi cukup
sulit dan rumit. Kadang-kadang mereka harus berjalan
melekat pada tebing bukit. Apalagi dalam gelapnya malam.
Tidak semua orang di antara mereka mengenali medan
dengan baik. Justru hanya beberapa orang sajalah yang
tahu pasti, medan disekitar barak itu.
Namun dengan sangat hati-hati dan dengan isyarat
tertentu mereka berhasil melalui jalan melingkar menuju ke
tempat yang telah ditentukan.
"Kita akan naik," desis para pemimpin kelompok. Baik
yang akan muncul di depan mulut goa, maupun yang akan
sampai ke bagian belakang barak.
Ternyata menjelang tengah malam mereka baru sampai
ditempat masing-masing yang jaraknya cukup jauh.
Sementara itu induk pasukan mereka pun telah bergerak
pula mendekati sasaran. Jika mereka menerima isyarat,
maka mereka akan segera menyergap masuk ke dalam
lingkungan barak dan goa itu melalui jalan setapak.
Tengah malam seluruh pasukan itu sempat beristirahat.
Baik yang berada di induk pasukan, maupun yang berada di
tempat yang terpisah. Yang mendapat tugas mendaki
sampai ke mulut goa dan yang bertugas memanjat sampai
ke bagian belakang barak.
42 SH. Mintardja Namun tempat yang mereka pergunakan memang tidak
terlalu luas. yang berada di bawah tebing di depan mulut
goa dan dibelakang barak itu harus mencari tempat yang
menebar. Mereka beristirahat dimanapun ada tempat yang
agak luang. Sementara itu, yang berada di jalan setapak itu
membutuhkan jarak yang panjang. Di jalan itu pula mereka
berbaring silang melintang tanpa menghiraukan pakaian
mereka yang menjadi kotor oleh keringat dan debu. Namun
pada umumnya pakaian mereka bukanlah pakaian yang
bersih. Meskipun ujung dari pasukan Ki Rangga itu hanya
berjarak beberapa puluh langkah dari barak, namun
ekornya terletak di tempat yang agak jauh.
Beberapa orang di antara mereka memang dapat dengan
serta merta tidur nyenyak. Tetapi yang lain masih harus
bercakap-cakap dengan kawannya. Bagaimanapun,
perasaan mereka juga disentuh oleh kegelisahan karena
mereka didini hari akan bertempur dengan prajurit Pajang.
Menurut pengalaman, bahwa prajurit Pajang dimanapun
adalah prajurit pilihan yang sulit untuk diatasi
kemampuannya. Apalagi dalam pertempuran dalam satu
kesatuan. Bahkan beberapa orang untuk mengatasi kegelisahannya
justru telah berjalan hilir mudik, sementara yang lain duduk
di atas batu sambil berdendang perlahan-lahan. Seolah-olah
ia telah menyalurkan gejolak di dalam hatinya lewat suara
tembangnya. Namun tanpa mereka ketahui dua orang yang telah
berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan setapak itu
terkejut. Mereka tiba-tiba terhenti beberapa belas langkah
dari orang yang berdiri di paling ujung. Keduanya
43 SH. Mintardja mendengar suara orang bercakap-cakap dan bahkan
berdendang perlahan-lahan.
Keduanya menjadi termangu-mangu. Untuk sesaat
keduanya berusaha mendengarkan percakapan mereka.
Semula mereka mengira bahwa para prajurit Pajang telah
meronda sampai ke tempat itu.
Namun sejenak kemudian mereka mendengar suara
tertawa ditempat yang agak lebih jauh. Namun suara
tertawa itu tiba-tiba telah berhenti.
"Sangat mencurigakan," bisik salah seorang dari
keduanya. "Ya," desis yang lain. "Cepat. Kau pergi ke induk pasukan.
Laporkan kepada Senapati, agar pasukan itu menghentikan
perjalanan. Jangan mendekat lagi. Aku akan berada disini
untuk melihat lebih jauh, siapakah mereka."
Orang yang pertama termangu-mangu. Namun
kawannya mendesaknya, "Cepat, sebelum terlambat."
Orang itu pun kemudian bergeser surut. Dengan sangat
berhati-hati maka ia pun telah menghilang dalam
kegelapan, kembali menyusuri jalan yang baru saja
dilaluinya. Sementara kawannya telah tinggal dan
mengamati keadaan. Dari pembicaraan yang didengar lamat-lamat, kadang-
kadang terdengar kadang-kadang tidak, maka orang itu
mengambil kesimpulan bahwa mereka bukannya para
prajurit Pajang yang sedang meronda. Bahkan ia pun
mengambil kesimpulan bahwa jumlah orang-orang yang
berada ditempat itu, disepanjang jalan setapak itu, cukup
banyak. 44 SH. Mintardja Setelah meyakinkan diri, maka orang itu pun dengan
hati-hati telah menarik diri pula meninggalkan tempat itu
kembali ke induk pasukannya.
Kedua orang itu adalah pengamat yang harus berjalan
mendahului pasukan induk. Karena itu, maka mereka pun
kemudian telah berada kembali di antara pasukan
induknya. Orang yang lebih dahulu kembali ke pasukan induk itu
masih belum dapat memberikan banyak keterangan selain
menghentikan pasukan itu. Baru ketika kawannya
menyusulnya, maka ia dapat memberikan laporan yang
lebih terperinci tentang orang-orang yang mereka temui di
jalan setapak itu. Senapati itu pun kemudian berbicara dengan Gandar dan
beberapa orang perwira yang lain. Kesimpulan mereka
adalah, bahwa orang-orang Ki Rangga dan Warsi telah
mengepung barak itu dan berusaha untuk mengambil
kembali apa yang pernah dirampas oleh para prajurit
Pajang. "Apa yang harus kita lakukan?" bertanya Senapati itu.
Gandar termangu-mangu sejenak, sementara Senapati
itu berkata selanjutnya, "Apakah kira-kira para prajurit
Pajang dan para pengawal Tanah Perdikan mengetahui
bahwa mereka telah dikepung?"
"Aku kira belum," sahut orang yang mengamati orang-
orang yang ada di tengah jalan sambil berbaring-baring itu.
"Nampaknya orang-orang yang sedang mengepung itu pun
sedang beristirahat. Mungkin mereka menunggu fajar. Baru
mereka akan menyerang."
Senapati itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kita
harus menemukan cara untuk memberikan peringatan
45 SH. Mintardja kepada orang-orang yang berada di barak itu. Beruntunglah
mereka jika mereka sudah mengetahui. Jika belum maka
mereka akan ditikam selagi mereka masih tidur."
Gandar mengangguk-angguk. Katanya, "Padahal sulit
untuk mencapai tempat itu tanpa melalui jalan setapak.
Padahal di jalan setapak itu, orang-orang Ki Rangga
betebaran." Senapati itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya,
"Bagaimana dengan tebing bukit ini?"
"Maksud Senapati?" bertanya Gandar.
"Apakah ditebing sebelah menyebelah jalan setapak itu
terdapat ilalang, atau rerumputan kering atau gerumbul-
gerumbul yang dapat dibakar?" bertanya Senapati itu.
Gandar mengangguk-angguk. Nampak Senapati itu cepat
mendapat akal. Rerumputan dan ilalang kering dilereng
bukit itu akan dibakarnya.
"Aku sependapat," jawab Gandar. "Sebaiknya kita
berusaha membakar tebing di lereng sebelah jalan setapak
itu." Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, "Bagus.
Mereka akan memandang ke arah yang berbeda. Namun
kita harus bersiap sepenuhnya. Mungkin mereka justru
mengarahkan serangannya kepada kita."
Seorang perwira yang termangu-mangu tiba-tiba saja
berkata, "Menurut perhitungan wajar, mereka baru akan
menyerang menjelang atau pada saat dini hari. Karena itu,
bagaimana jika kita menunggu sampai saat-saat menjelang
dini hari itu. Atau kita mengirimkan orang yang harus
mengawasi sampai saatnya mereka bersiap."
46 SH. Mintardja "Satu pikiran yang tepat," sahut Senapati itu. "Jika
demikian maka aku menugaskan dua orang yang sejak
semula telah melihat orang-orang itu. Mereka akan dapat
menyesuaikan dirinya dan berusaha mencari tempat yang
paling baik. Tetapi jangan hanya berdua. Sebaiknya kalian
berempat. Tetapi tidak bersama-sama."
Demikianlah, maka empat orang telah merangkak
mendekati tempat orang-orang yang sedang beristirahat di
jalan setapak itu. Ternyata di antara mereka masih terdapat
beberapa orang yang belum dapat tidur. Namun agaknya
dua orang yang berdiri tegak dengan senjata telanjang di
ujung kelompok itu adalah dua orang yang bertugas.
Keempat orang itulah yang kemudian menempatkan
dirinya di balik gerumbul-gerumbul perdu. Dari tempat
mereka, mereka dapat melihat meskipun tidak jelas, orang-
orang yang sedang beristirahat itu. Namun sudah tidak
terdengar lagi di antara mereka yang masih bercakap-cakap.
Ternyata empat orang itu harus menunggu cukup lama.
Bahkan ada di antara mereka yang menjadi terkantuk-
kantuk, sehingga kawannya memberi isyarat agar ia tidur
saja. "Tetapi jangan mendekur," bisiknya.
Kawannya menggeleng. Ia justru kehilangan kantuknya
dan duduk menghadap ke arah kegelapan.
Keempat orang itu memang merasakan tugas mereka
sangat berat. Lebih baik berbuat sesuatu meskipun
berbahaya dari pada duduk menunggu seperti itu.
Namun akhirnya waktu pun telah mendekati dini hari.
Karena itu, maka orang-orang yang sedang beristirahat itu
pun telah dibangunkan meskipun tanpa menimbulkan suara
47 SH. Mintardja gaduh, agar tidak didengar oleh orang-orang Pajang yang
berada di Barak. Ketika keempat orang itu melihat orang-orang yang
beristirahat di jalan setapak itu sudah dibangunkan, maka
dua orang di antara mereka telah bergeser surut dan
kembali ke induk pasukan.
Seorang di antara mereka mengumpat, "Anak iblis. Kami
yang harus merangkak dan bersembunyi dibalik gerumbul
menjadi makanan nyamuk, sementara yang lain tertidur
nyenyak." Tetapi Senapati pasukan itu tidak tertidur. Ia tetap
terjaga meskipun tubuhnya juga merasa letih. Pasukan itu
berjalan dari Kedung Waringin sampai ke tempat itu tanpa
beristirahat. Mereka memang pernah berhenti diperjalanan.
Tetapi hanya sekadar duduk-duduk sejenak. Karena belum
lagi mereka merasa beristirahat yang sebenarnya, barisan
itu harus sudah berangkat lagi.
Ketika mereka diselubungi oleh gelapnya malam, seorang
perwira di antara mereka bertanya, "Apakah kita akan
bermalam?" "Mana yang lebih baik. Bermalam disini, atau sekaligus
kita capai padepokan itu kira-kira ditengah malam. Kita
akan dapat beristirahat dengan sepuas-puasnya ditempat
yang memadai," bertanya Senapati pasukan itu.
"Kita berjalan terus," sahut perwira yang lain.
Bahkan kemudian para perwira memang menghendaki
agar pasukan itu berjalan terus.
Namun ternyata bahwa akhirnya pasukan itu pun
berhenti di jalan. 48 SH. Mintardja Dalam kelelahan beberapa orang memang sudah sempat
tertidur meskipun hanya sambil bersandar. Namun hal itu
telah cukup memberikan kesempatan bagi mereka untuk
beristirahat.

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua orang itu pun segera melaporkan, bahwa orang-
orang yang tidur disepanjang jalan setapak menuju ke barak
itu telah dibangunkan dengan hati-hati agar tidak
menumbuhkan kegaduhan. "Baik," desis Senapatinya. "Kita juga akan bersiap."
Dengan hati-hati pula orang-orang yang sedang tidur itu
pun, dibangunkannya. Para prajurit yang bertugas harus
membangunkan kawan-kawannya, agar mereka siap
menghadapi segala kemungkinan.
Sebenarnyalah, Senapati itu pun telah memerintahkan
beberapa orang menyalakan api dengan membakar
rerumputan kering di lereng.
"Mudah-mudahan api itu dapat membuat orang-orang
yang ada di barak itu bersiap sedia, sehingga dengan
demikian mereka tidak akan dapat ditikam dalam
mimpinya." Beberapa orang, termasuk Gandar pun segera merayap
melintasi jalan setapak dan turun perlahan-lahan di sisi
sebelah timur jalan. Tebing memang belum begitu curam
seperti jika mereka berada di mulut goa atau di belakang
barak. Ketika mereka menyalakan titikan, maka kawan-
kawannya yang lain berusaha untuk menutupnya dengan
kain panjangnya, agar loncatan apinya tidak dapat dilihat
oleh orang lain. 49 SH. Mintardja Namun ketika tiba-tiba saja ilalang di lereng itu terbakar
oleh beberapa obor yang dilemparkan, barulah api itu
menarik perhatian. Minyak yang terdapat di dalam obor,
atau biji-biji jarak yang dirangkai, ternyata telah
mempercepat berkobarnya api.
Para pemimpin kelompok dari para pengikut Ki Rangga
memang menjadi heran. Mereka tidak melihat bunga api
memercik. Mereka tidak melihat tanda-tanda apapun juga,
sehingga akhirnya api itu sudah menjalar.
Para pengikut Ki Rangga dan Warsi itu menjadi gempar.
Api itu benar-benar membuat mereka menjadi bingung.
Bahkan Ki Rangga dan Warsi pun dengan tangkasnya telah
meloncat diikuti oleh beberapa orang pengawalnya menuju
ketempat api itu mulai menjalar.
Tetapi mereka tidak menemukan seorang pun. Orang-
orang yang telah membakar ilalang itu sudah pergi.
"Kita percepat keadaan," teriak Ki Rangga.
Karena itulah, maka Ki Rangga telah memerintahkan
orang-orangnya untuk dengan cepat menyerang.
"Kita tidak usah menunggu isyarat," teriaknya.
Para pemimpin kelompok pun tanggap. Ki Rangga tentu
tidak ingin kehilangan waktu. Selagi orang-orang Pajang
belum bersiap sepenuhnya, pasukan Ki Rangga itu telah
memasuki barak dan mulut goa.
Sementara itu, para bekas prajurit Jipang yang memanjat
tebing telah mencapai lebih dari separo. Menjelang dini
mereka memang sudah mulai memanjat. Mereka harus
berlaku hati-hati karena banyak hambatan.
Ternyata api itu memang mampu menarik perhatian.
Mereka yang bertugas di plataran goa segera melihat api di
50 SH. Mintardja bagian bawah lereng bukit itu. Namun mereka pun segera
menganggap bahwa peristiwa itu bukan peristiwa wajar.
Karena itu, maka mereka pun dengan segera telah
melaporkan kepada Senapatinya, tentang apa yang
dilihatnya. Senapati pasukan Pajang itu pun segera memerintahkan
kawannya seorang demi seorang di barak itu bangun.
Mereka membangunkan kawannya seorang demi seorang.
Dari mulut ke mulut mereka diberi tahukan bahwa dibawah
lereng bukit itu terdapat api yang menyala tidak sewajarnya.
Sejenak kemudian, maka seisi barak itu telah terbangun.
Demikian pula mereka yang berada di mulut goa. Sebagai
prajurit dan pengawal maka mereka pun dengan cepat
mempersiapkan diri mereka. Senjata merekalah yang
pertama-tama diraihnya dan bersiap untuk dipergunakan.
Pada saat yang demikian, Ki Rangga dan Warsi telah
memerintahkan pasukannya untuk menyerang tanpa
menunggu isyarat dari mereka yang memanjat tebing.
Justru Ki Rangga lah yang kemudian meneriakkan perintah,
semua orang agar langsung menyerang dimanapun mereka
berada. Memang beberapa bagian dari kelompok-kelompok yang
memanjat tebing di depan mulut goa dan dibelakang barak
sudah mencapai tanggul. Sebagaimana pasukan yang
dipimpin langsung oleh Ki Rangga dan Warsi, maka mereka
yang sudah melintasi tanggul itu pun telah menyerang pula
dengan serta merta. Kehadiran mereka dari segala arah memang
mengejutkan. Ketika para prajurit Pajang dan anak-anak
muda Tanah Perdikan Smebojan bersikap menyongsong
kehadiran induk pasukan lawan yang dipimpin oleh Ki
Rangga dan Warsi dengan tergesa-gesa karena mereka baru
51 SH. Mintardja saja dibangunkan kawan-kawan mereka, maka tiba-tiba saja
diplataran mulut goa dan di bagian belakang dari barak
mereka telah menyusup para bekas prajurit Jipang pula.
Karena itu, maka mereka pun segera terlibat ke dalam
pertempuran. Sementara pasukan penyerang datang
membanjir, maka para prajurit Pajang dan para pengawal
Tanah Perdikan Sembojan masih ada yang termangu-
mangu di dalam barak. Tetapi teriakan-teriakan dan sorak yang mengguruh telah mengisyaratkan kepada
mereka, bahwa pertempuran
telah berlangsung. "Jadi merekalah yang kini
menyerang kita," desis
seorang prajurit Pajang yang
memang sudah mendapat penjelasan bahwa kemungkinan itu mungkin saja terjadi. Demikianlah, maka para prajurit dan pengawal dari
Sembojan itu pun segera telah turun di medan pertempuran. Menjelang fajar, maka
langit masih nampak suram.
Karena itulah, maka mereka yang bertempur itu pun
menjadi sangat hati-hati agar mereka tidak salah menusuk
punggung kawan sendiri. Sebenarnyalah, bahwa para bekas prajurit Jipang itu pun
merasa kecewa. Mereka ingin menemukan para prajurit
Pajang dan para pengawal Tanah Perdikan itu masih tidur.
52 SH. Mintardja Mereka ingin membunuh sebanyak-banyaknya sebelum
mereka harus bertempur. Tetapi yang ditemuinya ternyata berbeda. Meskipun
masih belum siap benar, tetapi orang-orang Pajang itu telah
terbangun dan telah siap untuk melawan ketika mereka
turun ke halaman barak atau mereka yang berada di mulut
goa. Namun para pengikut Ki Rangga dan Warsi, bekas
prajurit-prajurit Jipang itu memang luar biasa. Mereka
dengan garangnya menyergap lawan-lawan mereka tanpa
ampun. Namun prajurit Pajang pun sejenak kemudian telah
menjadi garang pula. Mereka pun kemudian telah memutar
senjata mereka. Apalagi yang bersenjata tombak pendek.
Seolah-olah tombak itu telah menjadi baling-baling
ditangan prajurit Pajang yang mumpuni.
Sejenak kemudian pertempuran telah berkobar dimana-
mana. Semakin lama orang-orang yang menyerang lewat
lereng di depan mulut goa dan dibelakang banjar itu pun
menjadi semakin banyak. Sementara itu para prajurit Pajang dan para pengawal
Tanah Perdikan harus dibagi. Mereka yang menghadapi
para bekas prajurit Jipang yang memanjat tebing dan
mereka yang harus menghadapi lawan yang menyerang
lewat jalan setapak. Para prajurit Pajang tidak sempat membuat perhitungan,
berapa bagian di antara mereka yang harus berada di
plataran, di halaman belakang barak dan di depan barak
untuk menahan arus pasukan yang kuat dan akan
memasuki barak itu dari jalan setapak.
53 SH. Mintardja Dalam pada itu Sambi Wulung dan Jati Wulung pun
telah dengan tergesa-gesa mengatur pasukan pengawal
Tanah Perdikan Sembojan. Sambi Wulung dan Jati Wulung
tidak memecah pasukannya. Mereka membawa pasukannya
untuk menghadapi pasukan induk para pengikut Ki Rangga
yang dipimpin oleh Ki Rangga dan Warsi sendiri.
Namun dalam pada itu, ketika orang-orang yang
memanjat tebing itu sudah semuanya naik ke tanggul, maka
ternyata bahwa bekas para prajurit Jipang yang menyerang
itu jumlahnya memang agak lebih banyak. Dengan
demikian prajurit Pajang harus bekerja keras untuk
menahan serangan itu. Sebenarnya serangan itu memang sudah diperhitungkan
kemungkinannya sejak mereka menduduki tempat itu.
Namun mereka tidak menyangka bahwa serangan itu
datang demikian tiba-tiba dan datang dari segala arah
seperti yang terjadi. Tidak seorang pun diantara prajurit
Pajang dan pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang
mengira bahwa serangan itu akan datang pula dari arah
tebing yang sangat curam itu.
Ketika langit kemudian menjadi semakin terang, maka
nampak bahwa pertempuran telah berkobar dimana-mana.
Senjata pun berdentang semakin cepat dan bunga api
memercik keudara. Teriakan-teriakan memekakkan telinga
terdengar disegala arah. Para pengikut Ki Rangga dan Warsi
ternyata telah berteriak-teriak dengan kasar. Namun
teriakan-teriakan itu memang berpengaruh atas
pertempuran itu. Para prajurit Pajang dan para pengawal
Tanah Perdikan Sembojan merasa. seakan-akan lawan
itu berada dimana-mana. Ki Rangga dan Warsi yang kemudian menyaksikan
pertempuran itu pun mengangguk-angguk. Dengan nada
54 SH. Mintardja datar Ki Rangga berkata, "Sayang, ada pengkhianat yang
agaknya memberikan isyarat dengan sengaja: Tanpa api itu,
maka kita tentu akan dengan cepat dan mudah menumpas
orang-orang Pajang."
"Tetapi keadaannya tidak jauh berbeda" berkata Warsi,
"nampaknya pasukan kita pun akan segera menguasai
segala medan. Mereka telah terkejut melihat kehadiran
pasukan.kita dari arah tebing. Arah yang sama sekali tidak
mereka perhitungan."'
Sebenarnyalah bahwa orang-orang Pajang yang tergesa-
gesa itu kurang dapat menempatkan diri. Meskipun lambat
laun pertahanan mereka menjadi mapan, namun
keterkejutan mereka atas kehadiran lawan dari arah tebing
itu masih saja membuat mereka kurang yakin akan
pertahanan yang mereka susun dengan tergesa-gesa itu.
Namun Senapati Pajang itu merasa berterima kasih atas
timbulnya api di lereng. Api yang telah mengguncang
perasaan para penjaga yang melihatnya sebagai satu hal
yang tidak wajar. Sehingga dengan demikian mereka
sempat membangunkan para prajurit dan pengawal yang
ada dibarak. Meskipun persiapan mereka kurang mapan
tetapi keadaan mereka menjadi jauh lebih baik daripada
seandainya mereka tidak mendapat isyarat itu. Sengaja atau
tidak sengaja. Seandainya tidak ada api yang menyala di
tebing dan membakar ilalang, maka orang-orang Jipang itu
akan memasuki barak-barak dan membunuh sekehendak
hati mereka. Dengan demikian maka perlawanan selan-
jutnya akan menjadi sangat lemah.
Ki Rangga Gupita dan Warsi masih belum turun langsung
ke medan. Mereka masih mengamati keadaan pasu kan
mereka. Terutama yang datang melalui jalan setapak dan
langsung menyergap ke pintu-regol barak yang sebenarnya
55 SH. Mintardja tidak berarti apa-apa lagi, karena dindingnya sudah lebih
dahulu terbuka dan belum diperbaiki.
Menurut pengamatan Ki Rangga dan Warsi, maka
mereka pasti akan mampu menghancurkan para prajurit
Pajang dan para pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang
mempertahankan tempat itu.
"Kita akan dapat membalas sakit hati kita dan sekaligus
mendapatkan kembali harta benda kita yang ada didalam
goa itu. Aku kira orang-orang Pajang itu belum sempat
membawanya pergi. Menurut perhitunganku, mereka justru
masih akan mendatangi sarang-sarang kita yang lain.
Dengan tamak mereka tentu ingin mendapat harta benda
lebih banyak lagi." berkata Ki Rangga.
"Mereka tidak akan menyerahkan barang-barang
rampasan itu kepada Pajang. Mereka tentu akan membagi
barang-barang berharga itu diantara mereka sendiri." sahut
Warsi. "Tetapi ternyata mereka tidak mendapatkan kesempatan
itu." Ki Rangga tertawa.
Dalam pada itu, pertempuran semakin lama menjadi
semakin seru. Pasukan Pajang perlahan-lahan mampu
mengatur diri diantara kelompok-kelompok mereka.
Semakin .langit menjadi terang, maka semakin jelaslan bagi
mereka yang bertempur itu, siapakah lawan dan siapakah


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawan. Namun prajurit Pajang ternyata masih belum
sempat mengenakan pakaian keprajuritan mereka
selengkapnya. Bahkan ada diantara mereka yang bertempur
dalam pakaian yang mereka pergunakan untuk tidur sambil
mengikatkan kain panjang mereka di lambung.
Namun bahwa mereka telah terbangun itu, bagi mereka
adalah satu pertolongan yang besar atas nyawa mereka,
56 SH. Mintardja karena mereka sempat memberikan perlawanan, sehingga
bekas para prajurit Jipang itu tidak sempat memasuki
barak-barak selagi mereka masih tidur.
MESKIPUN demikian, maka para prajurit Pajang itu
memang melihat bahwa lawan mereka ternyata tidak lebih
sedikit dari jumlah mereka, bahkan agak lebih banyak.
Senapati yang memimpin pasukan Pajang itu bergumam,
"Darimana Rangga Gupita sempat mengumpulkan orang
sebanyak itu. Bekas prajurit Jipang dan sebagian kecil anak-
anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang sempat mereka
racuni itu, ternyata masih dapat dihimpunnya kembali."
Namun satu kali Senapati itu melihat sekelompok di
antara para pengikut Ki Rangga itu yang mempunyai ciri
yang lain dari prajurit Jipang. Karena bagaimanapun juga,
ciri dari prajurit Jipang itu masih dapat dikenalinya
meskipun mereka telah bergeser dari sikap dan perjuangan
mereka sebagai prajurit. "Inilah yang mungkin disebut bekas pengikut Kalamerta
itu," berkata Senapati itu.
Sebenarnyalah bahwa jumlah yang besar dari para
pengikut Ki Rangga itu memang terdiri dari bekas prajurit
Jipang yang dapat dihimpunnya. Bukan saja yang semula
berada di pasukan Jipang yang berada di sebelah Timur
Pajang. Tetapi bekas prajurit Jipang yang melarikan diri
dari arena dan medan yang manapun juga, ditambah
dengan bekas para pengikut Kalamerta. Satu gerombolan
yang besar dan yang seakan-akan kehilangan ikatannya
sepeninggal Kalamerta sendiri.
Namun ternyata bahwa keberanian dan tekad prajurit
Pajang pun tidak kalah besarnya dengan orang-orang
Jipang. Jika pada saat para prajurit Pajang menyerang
57 SH. Mintardja tempat itu, maka bekas para prajurit Jipang bertahan tanpa
mengenal gentar, demikian pulalah yang dilakukan oleh
para prajurit Pajang. Meskipun mereka menyadari bahwa
kekuatan mereka lebih kecil dari para pengikut Ki Rangga
dan Warsi, namun tidak terbersit dihati untuk melepaskan
kewajiban mereka itu. Dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung berada
ditengah-tengah anak-anak muda Tanah Perdikan.
Keduanya telah memberikan dorongan jiwani kepada para
pengawal, karena Sambi Wulung dan Jati Wulung mampu
melakukan sesuatu yang tidak dapat mereka perhitungkan
dengan nalar mereka. Karena itulah, maka meskipun para pengawal Tanah
Perdikan Sembojan tidak memiliki kemampuan besar yang
lebih baik dari para prajurit, namun mereka pun sama
sekali tidak bergeser dari tempat mereka melakukan
perlawanan. Sementara itu, dari jarak yang agak jauh namun masih
dapat menyaksikan dengan jelas, dua orang pengamat yang
mengikuti pertempuran itu. Namun kemudian seorang di
antara mereka berkata, "Pasukan yang menyerang itu
terlalu kuat." "Kita laporkan kepada Senapati, agar ia dapat cepat
mengambil langkah pengamanan bagi para prajurit Pajang
dan para pengawal dari Tanah Perdikan Sembojan," desis
salah seorang di antara mereka, "Agaknya para prajurit
Pajang dan para pengawal Tanah Perdikan mengalami
tekanan yang sangat kuat."
Kedua orang itu pun dengan cepat telah menarik diri dan
segera melaporkan apa yang telah mereka lihat.
58 SH. Mintardja Senapati pasukan Pajang itu pun segera berbicara dengan
Gandar. Sesuai dengan laporan itu, maka keduanya
sependapat bahwa mereka harus segera terjun ke medan.
"Kita akan menyerang dari belakang garis pertempuran
dari pasukan Ki Rangga dan Warsi. Memang mungkin
terjadi, bahwa kemarahan Ki Rangga dan Warsi itu akan
tertuju kepada kita, apabila keduanya ada di dalam
pasukannya. Karena itu, maka kita harus membentuk
kekuatan untuk melawan mereka.
Gandar menjadi termangu-mangu. Sebenarnya ia dapat
menyatakan kesediaan untuk melawan seorang di antara
mereka. Tetapi ia merasa segan, bahwa ia akan dapat
menyinggung perasaan Senapati itu.
Namun ia pun kemudian berniat menyatakan dirinya
untuk bergabung dengan kekuatan yang mungkin
merupakan sekelompok orang-orang terpilih.
Sebenarnyalah bahwa Senapati itu telah menyatakan
dirinya melawan salah seorang di antara mereka berdua,
sedangkan ia telah menunjuk tiga orang perwira lainnya
untuk melawan yang seorang lagi.
"Tetapi kita belum pasti, bahwa keduanya ada di dalam
pasukannya. Tetapi sebagaimana pernah kita dengar,
keduanya memiliki kemampuan yang tinggi. Keduanya
adalah murid dari perguruan yang baik sebelum mereka,
terutama Ki Rangga Gupita, memasuki kesatuan sandi
pasukan Jipang," berkata Senapati itu.
Dalam kesempatan itu, maka Gandar telah menyatakan
diri untuk bergabung dengan ketiga orang perwira yang
disiapkan untuk melawan Ki Rangga Gupita itu.
Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, "Silakan jika
kau memang bermaksud demikian. Tetapi sebaiknya kau
59 SH. Mintardja mengetahui bahwa Ki Rangga maupun Warsi adalah orang-
orang yang berilmu tinggi."
Demikianlah maka setelah semuanya disiapkan sebaik-
baiknya, maka Senapati itu pun telah memerintahkan
pasukan itu untuk berangkat naik melalui jalan setapak dan
menyerang pasukan Ki Rangga dari arah belakang.
"Tetapi kita harus berhati-
hati," berkata Gandar kepada
Senapati itu. "Mudah-
mudahan ujung dari pasukan
ini dapat mencapai dataran
di atas itu. Jika Ki Rangga
cepat berpikir dan menyumbat mulut lorong itu,
maka kita akan mengalami kesulitan, karena pasukan
kita yang lain akan terhenti
dibelakang medan yang sangat sempit." "Jadi bagaimana menurut
pertimbanganmu?" bertanya
Senapati itu. "Orang-orang terpilih harus berada di ujung pasukan.
Mereka mendapat tugas untuk membuka sumbatan itu jika
hal itu memang dilakukan oleh Ki Rangga," berkata Gandar.
"Baiklah," berkata Senapati itu. Lalu katanya, "Aku dan
beberapa orang perwira yang terpilih akan berada di ujung
pasukan." "Jika diperkenankan," minta Gandar. "Apakah aku juga
diperbolehkan bersama enapati?"
60 SH. Mintardja Senapati itu mengerutkan keningnya. Dengan nada datar
ia bertanya, "Bagaimana dengan pasukanmu?"
Gandar menyadari, bahwa Senapati itu tidak begitu
senang mendengar permintaannya setelah ia juga minta
untuk ikut melawan salah seorang di antara pemimpin dari
pasukan penyerang itu. Namun Gandar tidak memperdulikannya. Maka itu
jawabannya, "Aku sudah menyerahkan persoalan pasukan
kecil dari Tanah Perdikan itu kepada pemimpin-pemimpin
kelompok. Namun jika aku diperkenankan ikut di ujung
pasukan, setidak-tidaknya aku dapat menjadi penunjuk
jalan." Senapati itu kemudian menyahut, "Terserah kepadamu."
Gandar tidak menjawab. Namun ia pun kemudian telah
bergabung dengan para perwira yang bertugas menjadi
paruh dari pasukan yang akan melibatkan diri ke dalam
pertempuran itu. Sejenak kemudian maka pasukan itu pun mulai bergerak.
Mereka menyusuri jalan yang sempit naik ke lereng bukit.
Mereka menuju ke sebuah dataran yang agak luas di atas
bukit itu. Gandar lah yang paling berdebar-debar. Bukan karena ia
menjadi cemas tentang dirinya yang berada di ujung
pasukan itu. Tetapi ia justru cemas bahwa pasukan lawan
akan menyumbat mereka di jalan sempit, sehingga pasukan
mereka tidak akan banyak berarti. Mereka yang berada di
belakang tidak akan segera dapat ikut bertempur karena
mereka akan tetap berada di belakang garis benturan yang
sempit. Sedang sebelah menyebelah jalan itu terdapat
lereng yang terjal. 61 SH. Mintardja Untuk beberapa saat, lawan yang sedang bertempur di
sekitar barak itu tidak menyadari, bahwa pasukan yang lain
sedang merayap naik. Beberapa puluh langkah lagi mereka
akan sampai ke sasaran. Karena itu, maka Gandar pun telah
menyampaikan usul, "Berilah kesempatan kepadaku dan
para perwira ini untuk mendahului. Dalam kelompok kecil
kami dapat maju sambil merunduk dan lebih cepat sampai
ke ujung lorong sebelum perhatian mereka tertuju kepada
kami. Sementara itu yang lain pun setelah kami beri isyarat
harus dengan cepat menyusul di belakang. Kami akan dapat
memanfaatkan gerumbul-gerumbul yang ada disebelah
menyebelah jalan itu."
"Tidak banyak gunanya," desis Senapati itu.
"Biarlah pasukan ini tinggal di sebelah kelokan sampai
saatnya kami memberikan isyarat," berkata Gandar.
Senapati itu termangu-mangu. Namun nampaknya
Gandar sangat yakin akan sikapnya.
"Isyarat apa yang akan kau berikan?" bertanya Senapati
itu. "Lihatlah ke arah kami. Kami akan melambaikan tangan
kami," jawab Gandar.
Senapati itu pun kemudian tidak berkeberatan. Beberapa
orang perwira termasuk Gandar telah mendahului pasukan.
Mereka mengendap-endap dari balik gerumbul di pinggir
jalan setapak itu ke gerumbul berikutnya. Tetapi mereka
harus sangat berhati-hati, agar mereka tidak terjerumus
masuk ke dalam jurang. Ternyata pasukan Ki Rangga tidak segera melihat
mereka, karena pasukan itu sedang terlibat dalam
pertempuran yang sengit. Setiap orang hanya
62 SH. Mintardja memperhatikan orang-orang yang ada disekitarnya, karena
setiap kelengahan akan berarti kematian.
Meskipun kemudian sudah mulai nampak bahwa
pasukan para pengikut Ki Rangga mulai mendesak. Tetapi
perlawanan Pajang dan para pengawal dari Tanah Perdikan
tidak mulai susut. Sambi Wulung dan Jati Wulung ternyata mampu
mengguncangkan hati lawan-lawannya. Kemampuannya
yang melampaui kemampuan para prajurit itu, benar-benar
menggetarkan. Setiap kali, maka seorang telah tersisih dari
medan. Berturut-turut. Dengan demikian maka para pengawal pun menjadi
berbesar hati. Betapapun besar tekanan atas mereka,
namun mereka rasa-rasanya tidak akan dapat dikalahkan
oleh para bekas prajurit Jipang itu.
Pada saat-saat yang sangat gawat itulah, seorang demi
seorang, para perwira Pajang dan Gandar bergeser maju.
Dari gerumbul yang satu bergeser ke gerumbul berikutnya.
Namun akhirnya mereka berhenti beberapa langkah dari
mulut lorong sempit itu, yang dapat dicapainya dengan
beberapa loncatan saja. Sejenak kemudian, maka Gandar pun telah memberikan
isyarat kepada pasukan Pajang yang berhenti di kelokan
yang menurun, sehingga tidak mudah nampak dari arena
pertempuran, kecuali jika mereka yang di atas dengan
sengaja menjenguk ke bawah ke jalan yang berliku-liku
turun. Mungkin mereka akan dapat melihat sebuah pasukan
yang merayap seperti ular.
Seorang yang mengawasinya di kelokan, melihat isyarat
itu. Dengan serta merta, maka ia pun telah memberikan
isyarat kepada Senapati yang berdiri di ujung pasukan.
63 SH. Mintardja Tanpa menunggu lagi, maka pasukan itu pun segera
berjalan dengan cepat. Naik beberapa langkah dan
kemudian timbul dari kelokan, seperti ular yang muncul
dari lubang sarangnya. Sampai beberapa saat lamanya pasukan itu berlari-lari
kecil tanpa dilihat seorang pun. Namun kemudian bekas
prajurit Jipang yang justru bertempur di halaman baraklah
yang lebih dahulu melihat iring-iringan itu. Karena itu,
maka tiba-tiba ia pun berteriak, "Hati-hati. Pasukan itu
datang." Teriakan itu tidak segera mendapat tanggapan. Sorak-
sorai masih saja terdengar gemuruh di antara erang
kesakitan. Karena itu, maka ia berteriak sekali lagi, "Awas. Kita


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diserang oleh sebuah pasukan baru."
Ketika orang yang lain sempat berpaling, mereka pun
melihat pula kedatangan pasukan itu. Karena itu, maka ia
pun berteriak pula keras-keras, "Hati-hati. Pasukan itu
datang." Ternyata orang ketiga, keempat dan seterusnya melihat
juga kehadiran pasukan itu, sehingga mereka pun telah
berteriak-teriak pula sekuat-kuatnya. Bahkan seorang di
antara mereka sempat menyibak dan berlari menuju ke
belakang garis benturan antara para prajurit Pajang dan
para pengikut Ki Rangga. "Lihat," orang itu berteriak dengan gugup. "Pasukan itu."
Semula kawan-kawannya tidak tanggap. Namun ketika
beberapa orang berpaling, maka mereka pun terkejut.
Seorang di antara para pemimpin kelompok segera berlari
menemui Ki Rangga dan Warsi yang sedang mengamati
pertempuran itu dengan seksama. Ki Rangga dan Warsi
64 SH. Mintardja sedang digayuti oleh bayangan kemenangan. Mereka
bertekad untuk dapat membalas sakit hati dan mengambil
kembali harta benda mereka yang telah dirampas oleh
orang-orang Pajang dan Tanah Perdikan Sembojan.
Ketika orang yang datang kepadanya itu dengan gugup
memberitahukan bahwa telah datang sebuah pasukan baru,
maka Ki Rangga dan Warsi terkejut bukan kepalang.
Namun mereka memang dapat mengambil keputusan
dengan cepat. Karena itu, maka Ki Rangga pun berteriak,
"Tutup jalan sempit itu dengan pasukan."
Perintah itu pun segera tumimbal. Seorang pemimpin
kelompok yang mendengarnya dengan cepat
memerintahkan kepada kelompoknya untuk menutup
mulut lorong yang memasuki dataran yang luas di atas bukit
itu, agar pasukan itu tidak dapat masuk dan membantu
kawan-kawannya yang sedang bertempur. Jika bagian ujung
pasukan yang datang itu tertahan oleh sekelompok pasukan,
maka yang berada di belakang akan menjadi sia-sia.
Setidak-tidaknya untuk sementara. Sehingga Ki Rangga dan
Warsi sempat menyelesaikan tugasnya menghancurkan
orang-orang Pajang dan orang-orang Tanah Perdikan yang
sudah lebih dahulu ada ditempat itu.
"Jika demikian, kita harus ikut serta," berkata Ki Rangga.
"Ya," jawab Warsi.
"Aku sudah terdesak oleh keinginan untuk membantai
orang-orang sombong itu."
Demikianlah maka Ki Rangga dan Warsi pun telah
bersiap-siap untuk memasuki arena. Sementara itu
sekelompok pasukannya telah berlari-lari ke mulut lorong.
Pada saat yang hampir bersamaan, maka Ki Rangga telah
menerima laporan, bahwa dua orang pengawal Tanah
65 SH. Mintardja Perdikan Sembojan ternyata memiliki kemampuan yang
sangat tinggi. "Darimana kau tahu, bahwa orang itu pengawal Tanah
Perdikan Sembojan. Bukankah prajurit-prajurit Pajang juga
tidak sempat mengenakan tanda-tanda keprajuritan
mereka?" bertanya Ki Rangga.
"Tetapi orang itu mengatakan sendiri. Sambil menikam
orang itu berteriak, "Lawan aku, pengawal Tanah Perdikan
Sembojan," jawab orang yang melaporkan itu.
"Apa yang kalian lakukan untuk mengatasinya?" bertanya
Ki Rangga. "Orang itu telah dihadapi oleh tiga atau empat orang
bersama-sama," jawab orang itu.
"Bagus," jawab Ki Rangga. Namun agaknya Warsi
berpendirian lain. "Biarlah aku melihatnya, siapakah orang
itu." Ki Rangga tidak mencegahnya. Ketika kemudian Warsi
bergerak, maka ia pun justru mengikutinya.
Namun keduanya telah tertegun. Mereka melihat
sekelompok pasukannya yang menyumbat mulut lorong itu
menjadi kacau. Bahkan beberapa orang telah terdesak
mundur. Seorang diantaranya telah terlempar jatuh.
Kemudian disusul orang kedua dan orang ketiga.
"Gila," geram Ki Rangga. "Apa yang terjadi?"
Ketika Ki Rangga meloncat ke mulut lorong itu, ia sudah
terlambat. Pasukan itu telah ke mulut lorong yang tidak
tersumbat karena Gandar dan beberapa orang perwira
sempat menghentakkan kekuatan yang berusaha untuk
menutup lorong itu. Dengan dorongan kekuatan yang
mengejutkan, Gandar dan para perwira itu sempat
66 SH. Mintardja mengoyak pasukan sekelompok yang terkejut ketika tiba-
tiba saja muncul orang-orang dari balik gerumbul
sementara perhatian mereka tertuju kepada pasukan yang
berlari-lari mendekat itu.
Betapapun pasukan Ki Rangga itu berusaha, namun
pasukan Pajang yang datang itu telah berhasil menerobos
masuk sehingga mereka dapat membuka jalan untuk
memberi kesempatan kawan-kawan mereka menghambur
ke dataran yang cukup luas di atas bukit itu.
Ki Rangga menjadi sangat marah. Ternyata pasukan yang
baru telah datang tepat pada waktu Ki Rangga dan Warsi
hampir berhasil menghancurkan pasukan Pajang.
Dengan demikian maka pertempuran pun kemudian
telah meluas. Sebagian dari pasukan Ki Rangga yang telah
mendesak prajurit Pajang yang terdahulu itu telah berbalik
dan melawan pasukan Pajang yang baru datang itu.
Pasukan yang nampak lebih lengkap dengan pertanda dan
ciri-ciri prajurit Pajang.
Demikianlah maka Ki Rangga dan Warsi telah
mengamuk tanpa dapat dikekang lagi. Keduanya telah
berusaha menghancurkan pasukan yang baru datang itu.
Namun seperti yang sudah direncanakan, maka Senapati
pasukan Pajang itu telah menempatkan diri menghadapi Ki
Rangga, sementara Gandar bertemu dengan Warsi. Namun
tiga orang perwira telah lebih dahulu berhadapan dengan
Warsi yang marah itu. Untuk beberapa saat Gandar hanya memperhatikan
pertempuran itu dari jarak tertentu. Gandar sendiri berada
di antara para prajurit Pajang yang telah berada di dataran
dipuncak bukit itu. Sebagian dari mereka telah mengalir ke
hutan rindang di samping barak. Bahkan beberapa orang
67 SH. Mintardja telah berusaha untuk membuat hubungan dengan kawan-
kawan mereka yang lebih dahulu berada di tempat itu.
Namun mereka masih mengalami kesulitan karena
pertempuran yang seru terjadi melingkari barak dan mulut
goa. Apalagi di antara mereka yang datang menyerang dari
tebing yang langsung berada di pelataran goa dan
dibelakang barak. Kehadiran pasukan itu telah membesarkan hati kawan-
kawan mereka yang telah merasa tertekan oleh kekuatan
pasukan Ki Rangga. Para prajurit Pajang yang telah
dikepung itu tiba-tiba merasa seakan-akan kepepatan di
dadanya menjadi longgar kembali.
Karena itu, maka seakan-akan telah meledak
kegembiraan di hati mereka, sehingga di luar sadar mereka,
maka mereka telah menyambut kedatangan kawan-kawan
mereka itu dengan sorak yang gemuruh.
Sementara itu betapa sendatnya, namun perlahan-lahan
semua orang dalam pasukan yang baru datang itu telah
berhasil memasuki arena. Mereka semuanya telah terlepas
dari lorong yang sempit yang diapit oleh jurang yang cukup
dalam. Senapati Pajang yang bertempur melawan Ki Rangga
Gupita itu ternyata telah engalami kesulitan. Ki Rangga,
seorang perwira dari pasukan sandi Jipang itu ternyata
memiliki ilmu yang sangat tinggi. Bukan saja keterampilan
dan kekuatannya bermain senjata, tetapi rasa-rasanya ia
memiliki kelebihan yang tidak dapat dijajagi dengan nalar.
Karena itu, maka Senapati Pajang itu pun segera
terdesak. Namun dengan demikian beberapa orang perwira
yang melihat keadaannya segera tampil membantunya.
Apalagi ketika mereka menyadari, bahwa prajurit Pajang
dan para pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang baru
68 SH. Mintardja hadir itu telah mampu menempatkan diri mereka dengan
baik. Senapati Pajang itu merasakan sesuatu yang tidak wajar
pada lawannya. Rasa-rasanya udara disekitarnya menjadi
panas sehingga lawan-lawannya tidak mampu
mendekatinya. Apalagi ketika Ki Rangga itu dengan sengaja berusaha
untuk berada di dalam riuhnya pertempuran. Para prajurit
Pajang disekitarnya termasuk senapatinya dan beberapa
orang perwira Pajang yang melawannya, merasa betapa
tenaganya tidak dapat dipergunakannya dengan wajar
karena udara terasa menjadi sangat panas. Dalam keadaan
yang demikian maka kemampuan perlawanan mereka pun
menjadi jauh susut. Mereka seakan-akan telah kehilangan
kesempatan untuk menggerakkan senjata.
Jika beberapa orang telah mengalami keadaan yang
demikian, maka Ki Rangga dengan cepat bergeser menjauh.
Sebelum orang-orang itu mampu memperbaiki keadaannya,
maka para pengikutnya yang telah mengenali cara yang
dilakukannya harus dengan cepat memburu ketempat itu
dan menyelesaikan lawan-lawan yang kehilangan kekuatan
itu. Tetapi mereka tidak mudah untuk berbuat demikian atas
prajurit Pajang, karena prajurit Pajang yang lain dengan
cepat pula melindungi kawan-kawannya, sementara udara
panas itu telah menyusut bersama Ki Rangga yang bergeser.
Meskipun demikian ternyata jatuh juga korban karena
kelambatan prajurit Pajang elindungi kawan-kawannya itu.
Tetapi ternyata menghadapi prajurit Pajang yang
berpengalaman Ki Rangga tidak banyak mempunyai
69 SH. Mintardja kesempatan. Karena para prajurit Pajang itu dengan cepat
pula berusaha mengatasi kelebihan Ki Rangga.
Karena mereka sulit untuk mendekat, maka para perwira
Pajang itu telah menyerangnya dari jarak yang mungkin
dapat mereka jangkau. Beberapa orang perwira telah mempergunakan pisau-
pisau belati kecil yang dilontarkan. Bahkan ada pula yang
mempergunakan lembing dan tombak.
Ki Rangga Gupita menggeram. Dengan lantang ia
berkata, "He, inikah prajurit-prajurit Pajang yang besar itu"
Bertempur dengan licik dan tidak bertanggung jawab" Ayo,
siapakah pemimpin tertinggi dari pasukan Pajang ini. Kita
akan bertempur sebagai laki-laki. Seorang lawan seorang."
Tetapi seorang perwira Pajang menyahut, "Kita berada di
peperangan. Kita tidak berperang tanding. Karena itu kita
tidak terikat pada ketentuan perang seorang lawan
seorang." "Persetan," geram Ki Rangga. Namun memang sulit
baginya mengatasi lawan yang memiliki pengalaman yang
luas meskipun secara pribadi mereka sama sekali tidak
mampu mengimbangi kemampuannya.
Di bagian lain, Warsi telah bertempur pula dengan
garangnya. Untuk melawan senjata yang teracu dari banyak
arah, maka Warsi lebih senang mempergunakan senjata
keras. Jika ia mempergunakan rantainya dan membelit
senjata lawannya, ia tidak akan dengan cepat mampu
mengatasi serangan berikutnya dari arah yang berbeda.
Karena itu, maka Warsi telah memilih mempergunakan
pedang, meskipun rantainya dapat disiapkannya kapan saja
ia inginkan. 70 SH. Mintardja Dengan pedang Warsi memang menjadi sangat garang.
Senjata itu menyambar-nyambar dengan cepat dan sangat
keras. Beberapa senjata di tangan lawannya telah bergetar
dan bahkan ada yang terlepas. Namun seperti juga terjadi
pada Ki Rangga, maka beberapa orang perwira yang
berpengalaman telah mengepungnya dan membatasi
geraknya. Namun demikian para perwira itu kadang-kadang harus
menebar. Pada saat-saat tertentu Warsi berhasil
mengguncang kepungan itu. Bahkan beberapa kali ia
berhasil lolos dan menyerang lawan-lawanna dengan sangat
garang. Namun setiap kali Warsi memang telah terjebak dalam
kepungan untuk membatasi geraknya. Meskipun demikian,
Warsi merupakan seorang yang disegani oleh lawan-
lawannya. Tetapi pada suatu saat, para perwira yang mengepungnya
menjadi agak bingung. Tiba-tiba saja Warsi telah
memberikan isyarat kepada beberapa orang pengikutnya.
Sehingga dengan demikian maka beberapa orang telah
datang membantunya. Dengan demikian, maka mereka yang bertempur dalam
satu kelompok kecil untuk melawan Warsi itu menjadi
kesulitan. Para pengikut Warsi itu telah berusaha untuk
mengurai kepungan mereka dan mengikat setiap orang
dalam pertempuran melawan salah seorang di antara
mereka. Sekian banyak prajurit Pajang datang membantu, maka
sekian banyak pengikut Warsi datang pula. Sehingga
pertempuran pun menjadi semakin seru.
71 SH. Mintardja Tiga orang perwira yang mendapat tugas pokok melawan
Warsi pun mengalami kesulitan. Sekali-kali mereka
mendapat serangan dari para pengikut Warsi sehingga


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kadang-kadang memang hanya seorang saja di antara
mereka yang sempat bertempur dengan perempuan yang
garang itu. Dalam pada itu, pertempuran di seluruh arena itu pun
benar-benar berpengaruh oleh kehadiran pasukan Pajang.
Mereka telah berhasil menyerap sebagian dari para bekas
prajurit Jipang dan para bekas pengikut Kalamerta untuk
melawan mereka, sehingga dengan demikian maka lawan
dari para prajurit Pajang dan para pengawal Tanah
Perdikan yang terdahulu pun menjadi susut.
Dalam keadaan yang demikian maka baik Sambi Wulung
maupun Jati Wulung mendapat kesempatan lebih banyak
untuk mengoyak pertahanan lawan mereka. Dengan
kemampuan mereka yang tinggi, maka orang-orang Jipang
dan bekas pengikut Kalamerta menjadi sibuk
menghadapinya. Seperti sikap prajurit Pajang pula, maka
bekas prajurit Jipang itu telah menghadapi Sambi Wulung
dan Jati Wulung dalam kelompok-kelompok kecil.
Tetapi karena Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak
terlalu banyak berpengalaman dalam perang kelompok,
maka mereka tidak dapat berbuat seperti yang dilakukan
Warsi. Namun demikian, meskipun Sambi Wulung dan Jati
Wulung bertempur seorang diri melawan sekelompok kecil
lawan, namun keduanya merupakan hantu yang
menakutkan bagi orang-orang Jipang dan bekas pengikut
Kalamerta itu. Sementara itu Gandar masih bertempur di antara para
prajurit Pajang tidak jauh dari Warsi yang mampu
72 SH. Mintardja membingungkan para perwira yang bertugas melawannya.
Apalagi karena para pengikut Kalamerta mampu
memisahkan orang-orang yang mengepung Warsi itu
dengan para perwira. Bahkan beberapa orang kemudian
sempat memaksa seorang perwira saja bertempur
menghadapi Warsi karena para pengikutnya itu telah
memancing pertempuran dengan perwira-perwira lain yang
berada di sekitar Warsi. Di mulut goa, pertempuran pun telah berkobar semakin
dahsyat. Meskipun para prajurit Pajang yang datang
kemudian belum berhasil membuat hubungan dengan
mereka, namun para prajurit Pajang yang mempertahankan
goa itu tidak lagi merasa mendapat tekanan yang berat,
meskipun tekad mereka tidak kalah besarnya dengan tekad
para bekas prajurit Jipang yang mempertahankan goa itu
sebelumnya. Dengan demikian maka para prajurit Pajang itu mulai
dirayapi oleh harapan bahwa mereka akan dapat mengatasi
sergapan lawan yang sangat mengejutkan itu.
Demikianlah suasana pertempuran itu dibeberapa
bagian. Prajurit Pajang memang merasa bahwa himpitan
lawan atas mereka menjadi semakin longgar. Mereka tidak
tahu, berapa banyak kawan mereka yang datang. Tetapi
menilik pembicaraan sebelumnya, maka yang datang itu
tentu bukan pasukan yang sangat besar. Meskipun
demikian mereka yang datang tepat pada waktunya mereka
sangat diperlukan itu benar-benar dapat menyelamatkan
pasukan Pajang yang hampir saja koyak. Jika pasukan itu
telah koyak, maka untuk selanjutnya maka lawan-lawan
mereka tidak lagi mempunyai hambatan untuk membantai
mereka. Bahkan para pengikat Ki Rangga itu pun tidak akan
dapat dikutuk karena melanggar paugeran perang.
73 SH. Mintardja "Tidak ada paugeran yang mengikat kami," geram salah
seorang pengikut Warsi itu.
Dalam pada itu, Warsi berhasil menghalau lawannya atas
bantuan para pengikutnya, sehingga yang dihadapinya
menjadi tidak lebih dari satu orang.
Tetapi para perwira Pajang yang merasa dirinya prajurit
yang berpengalaman itu berusaha degan sekuat tenaganya
untuk mengimbangi kemampuan Warsi.
Namun usahanya sia-sia saja. Bagaimana pun juga sulit
baginya untuk mampu mengimbangi kecepatan garaknya,
kekuatan ayunan pedangnya dan kekuatan-kekuatan lain
yang memancar dari dalam dirinya.
Karena itu, maka sejenak kemudian perwira itu pun telah
terdesak semakin keras, ia mulai merasa terhimpit oleh
kekuatan ilmu perempuan yang garang itu.
Gandar yang bertempur di antara para prajurit Pajang itu
sempat melihat, betapa seorang perwira mengalami
kesulitan menghadapi Warsi. Karena itu sesuai dengan ijin
yang telah diberikan oleh Senapatinya, maka ia pun
perlahan-lahan mendekati lingkaran pertempuran itu.
Baru dalam keadaan yang paling sulit bagi perwira itu,
justru pada saat Warsi sudah siap mengayunkan pedangnya
pada saat perwira itu jatuh terbaring ditanah, Gandar
meloncat mendekati sambil berdesis, "Bukan main. Kau
benar-benar seorang perempuan yang luar biasa."
Wajah Warsi tegang. Ayunan pedangnya itu telah
membentur kekuatan yang mampu mengimbangi
kekuatannya, sehingga pedangnya tergeser dan sama sekali
tidak menyentuh perwira yang sudah kehilangan
kesempatan untuk menyelamatkan diri itu.
74 SH. Mintardja "Gila," geram Warsi. "Kau ganggu aku yang hampir saja
berhasil mengajari prajurit Pajang untuk mengenal
kenyataan, bahwa prajurit Pajang masih harus banyak
berlatih dan menempa diri jika mereka ingin berhadapan
dengan kami, penguasa Tanah Perdikan Sembojan yang
sebenarnya." "Ah, sudahlah," desis Gandar. "Aku mengakui
kelebihanmu dari perwira itu. Tetapi kau tidak perlu
mengigau tentang Tanah Perdikan Sembojan. Kalian tidak
akan pernah dapat kembali lagi dengan cara apapun juga.
Kasar atau lembut." "Persetan dengan kau,"
bentak Warsi. "Jika kau sudah berhasil
meyakinkan orang Pajang bahwa kau memang tidak terkalahkan, maka biarlah
sekarang aku membuktikan,
bahwa orang-orang dari Tanah Perdikan Sembojan tidak akan dapat kau kalahkan." "Iblis kau," geram Warsi.
"Alangkah sombongnya.
Marilah kita buktikan, apakah yang meloncat dari
mulutmu itu bukan sekadar bualan. Namun jika kau mati
dan tubuhmu terkapar disini dan terinjak-injak, maka itu
bukan salahku." Gandar tidak menjawab. Ia hanya tersenyum saja sambil
mengacukan ujung pedangnya.
75 SH. Mintardja Warsi pun mulai bergeser. Sementara itu perwira yang
hampir saja dibunuhnya itu telah bangkit. Dengan jantung
yang berdebar-debar ia melihat orang dari Tanah Perdikan
Sembojan itu sedang bertempur melawan Warsi, yang
memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Perwira itulah yang kemudian mendekat sambil berkata,
"Kita akan membunuhnya bersama-sama."
Gandar tidak menjawab. Tetapi ia sempat
memperhatikan wajah perwira itu sejenak. Namun
kemudian perhatiannya telah tertuju kepada Warsi
sepenuhnya. Warsi melingkar hampir satu lingkaran penuh sehingga
keduanya bergeser dari tempatnya. Dengan nada berat
Warsi berkata, "Marilah orang se Tanah Perdikan, keroyok
aku." Gandar yang sudah berhada dihadapannya menyahut,
"Aku akan menghadapimu seorang melawan seorang,
seperti seorang penari yang sedang melakukan tayub.
Bukankah orang yang ngibing itu tentu juga hanya seorang,
sebagaimana pernah kau lakukan?"
"Setan kau," bentak Warsi.
Namun Gandar itu justru tertawa. Bagi perwira Pajang
itu sikap Gandar memang kurang dapat
dipertanggungjawabkan, sehingga perwira Pajang itu
berkata di dalam hatinya, "Apakah orang itu belum tahu
bahwa Warsi memang berilmu sangat tinggi?"
Tetapi sejenak kemudian, telah terjadi pertempuran yang
mendebarkan bagi perwira itu. Baik Warsi maupun Gandar
telah bersenjatakan pedang, sehingga kedudukan keduanya
memang seimbang. Yang penting kemudian, bagaimana
kedua orang itu menguasai pedangnya.
76 SH. Mintardja Sejenak kemudian, Warsi pun mulai mengayunkan
pedangnya. Sementara itu, Gandar pun telah bersiap
sepenuhnya untuk menghadapinya.
Sejenak kemudian kedua orang itu sudah terlibat dalam
pertempuran yang semakin lama semakin sengit. Ternyata
meskipun Warsi seorang perempuan, tetapi ia mampu
meloncat-loncat dengan cepatnya. Namun Gandar pun
memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Itulah sebabnya,
maka ia sama sekali tidak gentar menghadapi Warsi.
Ketika pedang mereka mulai beradu, dan getaran-getaran
ilmu mereka berbenturan lewat senjata mereka, maka
Gandar pun mulai menilai lawannya.
"Apakah perempuan itu mempunyai kelebihan dari
Iswari?" bertanya Gandar kepada dirinya sendiri.
Demikianlah maka pertempuran antara Gandar dan
Warsi itu pun semakin lama menjadi semakin cepat. Apalagi
ketika mereka sudah mulai menambah dan meningkatkan
ilmu mereka mulai gerak, sikap dan ayunan senjata mereka.
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 32. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
77 SH. Mintardja Jilid Ke tiga puluh dua Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di,
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seluruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 78 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja PERWIRA yang menyaksikan pertempuran antara
Warsi dan Gandar itu menjadi termangu-mangu. Ternyata
orang Tanah Perdikan Sembojan itu benar-benar seorang
yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Sebagaimana ia tidak mengira bahwa Warsi memiliki
kemampuan yang luar biasa, maka ia pun tidak menduga
bahwa Gandar pun ternyata seorang yang pilih tanding.
Loncatan-loncatan yang cepat dan panjang, desing
ayunan senjata mereka, benturan yang memercikkan bunga
api dan kelebihan-kelebihan yang lain, membuat perwira itu
menjadi keheranan. Tetapi ternyata perwira itu tidak mempunyai kesempatan
lebih lama lagi untuk mengagumi kemampuan Gandar.
Ketika seorang pengikut Warsi itu menyerangnya, maka
perwira itu harus mempertahankan dirinya.
Karena itu, maka sejenak kemudian perwira itulah yang
telah meninggalkan Warsi dan membiarkannya bertempur
melawan Gandar, seorang melawan seorang.
Namun demikian perwira yang harus melayani serangan
salah seorang bekas pengikut Kalamerta itu sempat berkata
kepada diri sendiri, "Agaknya Senapati pun belum
mengenalnya, sehingga ia agak segan memberikan
kesempatan Gandar bertempur bersama kami untuk
menghadapi Warsi. Namun akhirnya, yang lain justru tidak
mendapat kesempatan untuk bertempur melawan Warsi,
selain Gandar itu." Ketika perwira itu semakin dalam terlibat pertempuran
dengan bekas pengikut Kalamerta yang menjadi pengikut
Warsi yang setia itu, maka ia tidak mempunyai kesempatan


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk dengan leluasa menyaksikan pertempuran itu,
2 SH. Mintardja meskipun serba sedikit ia masih juga dapat melihat
sepintas, apa yang terjadi dengan keduanya.
Dalam keseluruhannya, pertempuran yang terjadi di
dataran di atas bukit itu benar-benar mendebarkan.
Perlahan-lahan keseimbangan pertempuran itu memang
mulai bergeser. Kedatangan pasukan Pajang bersama anak-
anak muda Tanah Perdikan Sembojan itu benar-benar telah
mengubah keadaan. Jika pasukan itu terlambat beberapa
saat saja, maka keadaannya tentu sudah jauh berbeda.
Perlahan-lahan, maka pasukan Pajang dan Tanah
Perdikan Sembojan mulai menguasai bagian-bagian yang
penting di dataran itu. Para prajurit Pajang benar-benar
telah mapan di plataran dan di mulut goa, sehingga orang-
orang Jipang itu tidak akan mampu menembusnya lagi.
Sementara itu, di halaman barak, disela-sela barak-barak
itu sendiri, pasukan Pajang telah berhasil mendesak lawan-
lawan mereka bergeser dari setiap sela-sela barak-barak
sebelum mereka sempat merusak bangunan-bangunan itu.
Karena itu maka pertempuran selanjutnya hanyalah
terjadi disekitar plataran goa, di sebelah halaman barak-
barak yang dihuni itu, serta di hutan kecil disini barak.
Dihutan yang tidak begitu lebat itu telah terjadi
pertempuran yang sangat rumit. Mereka mempergunakan
setiap pepohonan menjadi perisai bagi yang terdesak.
Meskipun hutan itu termasuk. hutan yang tidak lebat dan
terletak di tempat yang tidak begitu subur, namun di hutan
itu juga terdapat pepohonan yang besar dan rimbun.
Sambil berputar-putar diantara pepohonan maka baik
para prajurit Pajang, para pengawal Tanah Perdikan
Sembojan, maupun para pengikut Ki Rangga dan Warsi
berusaha untuk dapat menghunjamkan senjata mereka ke
tubuh lawan. Mereka tidak lagi terikat oleh lawan yang
3 SH. Mintardja saling berhadapan. Tetapi siapapun juga yang lengah akan
Anak Pendekar 12 Lentera Maut ( Ang Teng Hek Mo) Karya Khu Lung Harpa Iblis Jari Sakti 34
^