Pencarian

Tangan Darah 1

Dewa Linglung 21 Tangan Darah Bagian 1


SATU NANJAR MELANGKAH LEBAR mendekati
kuda putih yang tertambat di bawah pohon di
muka kedai itu. Lalu mengamati kuda itu seje-
nak, kemudian menepuk-nepuk leher binatang
itu. "Haha... kuda bagus! kuda bagus! Tak kecewa aku membelinya..." berkata
perlahan pemuda ini dengan tersenyum puas. Lalu membuka tali
sanggurdi yang terikat di batang pohon. Kemu-
dian melompat ke atas punggung binatang terse-
but. Tak lama si Dewa Linglung telah memacunya
dengan cepat berlalu dari muka kedai di sudut
kota itu. Kira-kira sepenanak nasi dan perjalanan
yang ditempuhnya telah sampai di ujung jalan
memanjang berliku-liku, Nanjar memperlambat
lari kudanya. Kepalanya menengadah menatap ke
arah matahari. "Hm, hari masih belum terlalu siang. Aku
tak perlu tergesa-gesa... Lagi pula perutku baru saja habis diisi" gumam Nanjar
seraya menepuk dan mengusap-ngusap perutnya. "Biarlah nasi turun dulu, dan aku
bisa menikmati pemandangan
indah di lereng bukit itu" katanya dalam hati.
Nanjar sengaja membelokkan kudanya ke jalan
setapak memasuki hutan kecil. Pemandangan dis-
ini memang indah. Di sebelah depan tampak le-
reng bukit yang menghijau. Gemericik suara air
terjun yang turun dari atas bukit, serta hutan
bambu dan beberapa rumah penduduk terlihat
dari tempat itu.
Duduk santai di atas punggung kuda dan
membiarkan binatang itu melangkah perlahan
sambil sesekali memakan rumput membuat Nan-
jar teringat masa silam. Masa kanak-kanaknya di
lereng gunung Rogojembangan, ketika masih
menjadi murid mendiang gurunya Ki Bayu Sheta
si Pendekar Bayangan.
Dalam suasana yang sepi, hening dan begi-
tu damai itu Nanjar tak tahan untuk meniup se-
ruling. Lengannya meraba-raba pinggangnya
mencari benda itu. Tiba-tiba pemuda ini tersentak kaget. "Hah!" dimana seruling
tulangku...?" Wajah Nanjar nampak berubah seketika, karena tak
menjumpai benda itu.
Pada saat itu tiba-tiba telinga Nanjar me-
nangkap suara derap kaki kuda. Seekor kuda
coklat membedal cepat melintasi jalan. Ketika
Nanjar menoleh, dia dapat melihat penunggang-
nya adalah seorang bocah laki-laki berusia ku-
rang lebih tiga belas tahun duduk di atas pelana.
Sebentar saja kuda coklat dan penunggangnya itu
melintas, dan menghilang di belokan jalan.
Nanjar kerenyitkan keningnya. "Hm, kalau
tak salah bukankah bocah laki-laki itu adalah
pembantu si tukang kedai" Mau kemana dia"
Mengapa melarikan kuda begitu cepat?" Walau hatinya agak heran, tapi diam-diam
Nanjar kagum akan kepandaian si bocah pembantu itu
yang mahir menunggang kuda.
Baru saja Nanjar mengeprak kuda untuk
ke luar dari hutan kecil itu, mendadak kembali
terdengar derap kaki-kaki kuda. Si Dewa Linglung jadi terlongong heran, karena
kembali melintas ti-ga ekor kuda. Dua coklat, dan satu hitam. Ketika penunggang
kuda itu ternyata dua orang laki-laki bertampang kasar dan tubuh kekar, dan
seorang wanita yang berpakaian warna hijau. Wanita ber-
baju hijau inilah yang menunggang kuda berbulu
hitam. "Kalian kejar terus bocah itu, dan tangkap hidup-hidup!" teriak si wanita
baju hijau. "Baik, ketua...!" menyahut kedua penunggang kuda itu serempak, seraya
mempercepat lari
kudanya. Sehingga sebentar saja wanita berbaju
hijau itu tertinggal jauh. Tiba-tiba wanita mendadak menahan tali kendali. Lalu
memutar kuda, dan kembali ke belakang. Matanya yang jeli ter-
nyata telah menangkap adanya manusia di hutan
kecil itu. Suara ringkik kuda terdengar ketika wanita
ini menahan lari kuda tunggangannya. Dan wani-
ta ini membentak keras.
"Sobat penunggang kuda putih! Segera kau
ke luar dari tempat persembunyianmu!" Tentu sa-ja Nanjar mengetahui kalau kata-
kata itu dituju-
kan padanya. Nanjar yang memang mau ke luar
dari hutan kecil itu, tak ayal segera menerobos ke luar. Terpampang jelas kini
wajah si penunggang
kuda hitam itu. Ternyata dia seorang gadis yang
ditaksir berusia dua puluhan tahun. Gadis yang
cukup matang dan dewasa, serta tak mungkin ti-
dak tentu mempunyai kepandaian tinggi.
"Ha, tampangnya boleh juga. Cantik, ma-
nis... tapi alisnya yang berbulu lebat dan agak lurus itu menandakan dia seorang
gadis berwatak keras dan galak. Pantas kalau menjadi seorang
ketua. Siapa adanya gadis ini?" berkata si Dewa Linglung dalam hati.
Melihat penunggang kuda putih itu adalah
seorang yang walau pun gagah tapi tampak seper-
ti orang tolol tengah memperhatikan wajahnya,
gadis ini tersenyum dingin.
"Heh! rupanya kau orangnya yang telah
mencuri kuda putih milik Raden BAGUS CITRO"
Selain pandai mencuri rupanya kau juga seorang
laki-laki hidung belang..." membentak si gadis, seraya lengannya bergerak tahu-
tahu ujung cambuk telah menyambar ke wajah si Dewa Linglung.
"Terimalah ini!" bentakan gadis itu mengi-ringi sambaran ujung cambuknya. Dalam
benak gadis ini telah dapat membayangkan si pemuda
dogol pencuri kuda itu akan menjerit terkena
sambaran ujung cambuknya. Dia memang ingin
memberi pelajaran pada pemuda itu.
Akan tetapi diluar dugaan secepat kilat
lengan si pemuda telah menyambar ujung cam-
buknya, dan... satu betotan keras membuat cam-
buknya justru terlepas. Bahkan nyaris saja tu-
buhnya terjungkal jatuh terbawa betotan keras
itu kalau dia tak melepaskan cambuknya. Hal
yang sungguh diluar dugaan itu membuat wajah
dara ini seketika berubah merah padam.
"Kurang ajar! Rupanya kau punya kepan-
daian juga maling tengik! Terimalah ini!" bentak si dara cantik. Cepat sekali
lengannya bergerak, ta-hu-tahu tiga benda berkilat meluncur deras ke
arah si Dewa Linglung.
Terkejut Nanjar melihat tiga buah berkilat
menyambar cepat ke arahnya. "Gila benar-benar telengas!" memaki Nanjar dalam
hati. Tapi detik itu juga dia segera gunakan cambuk di tangannya. Dua senjata
rahasia terpental kena ujung
cambuk, dan satu lagi yang mengarah ke leher
dapat ditangkap. Tampak sebuah belati kecil ter-
selip di antara kedua jarinya.
"Serangan yang hebat, tapi sungguh terlalu
keji untuk membunuh orang yang belum tentu
bersalah!" berkata Nanjar dengan tersenyum. Lalu melemparkan benda itu ke tanah.
Adapun dara ini disamping terkejut, tapi diam-diam juga ka-
gum atas kegesitan pemuda itu yang dengan mu-
dah membuat serangan senjata rahasianya luput,
bahkan dapat ditangkapnya.
"Huh! sudah jelas kau pencurinya. Apakah
kuda putih itu bukan merupakan bukti bahwa
kau yang mencuri" Kalau aku tak bertindak te-
lengas pada sebangsa maling picisan macam kau,
tentu kau akan bertindak kurang ajar padaku!"
berkata dara ini dengan tak menunjukkan keter-
kejutannya. "Bagus! Kini setelah dua kali seranganmu
gagal, apakah kau tetap penasaran untuk mem-
bunuhku?" kata si Dewa Linglung dengan sikap tetap tenang. Bahkan matanya
menatap si dara
baju hijau. "Mungkin ya, mungkin juga tidak! Tapi ha-
dapilah dulu senjataku yang ini!" sahut si gadis seraya mencabut sebuah benda di
balik pung-gungnya. Ternyata sebuah kapak pendek bermata
lebar. Nanjar memperhatikan senjata si dara.
Mendadak dia tersenyum lebar, dan berkata.
"Aha... rupanya kau di rumah sering membantu kakekmu membelah kayu. Mengapa kau
pergunakan senjata laki-laki?" Gadis ini mencibirkan bibir dengan melototkan
matanya. Wajahnya seketika kembali memerah dan terasa panas dice-
mooh demikian. Dan didetik itu dengan membentak keras
tubuhnya tiba-tiba melompat dari punggung ku-
da. Tabasan kapak mendesing ke arah leher si
Dewa Linglung. Tapi Nanjar telah melompat dari
kuda putihnya. Nyaris saja mata kapak menabas
leher binatang itu kalau dia tak mendorong kuda
putih itu. "Aha... kau sangat bernafsu sekali menye-
rang dengan membabi buta. Kalau kuda putih itu
mati jangan-jangan kaulah yang ketempuhan
menggantinya pada raden Bagus Citro itu!" berkata Nanjar yang telah berdiri di
tanah. Gadis itu hanya mendengus, dan kembali
membentak. Kali ini terjangan kapaknya benar-
benar membuat Nanjar terkesiap. Karena seran-
gan yang dilancarkan dara itu begitu cepat. Tabasan-tabasan kapaknya mengandung
maut. Bah- kan serangan itu diiringi pula dengan jotosan dan tendangan berantai.
Diam-diam Nanjar kagum dengan kegesi-
tan sang dara. Sambil berkelit kesana-kemari
Nanjar memperhatikan gerakan-gerakan lawan.
Sembilan jurus telah lewat, namun selama itu
kapak si gadis belum berhasil menggores kulit si Dewa Linglung, bahkan ujung
bajunyapun tidak.
Tiba-tiba dara ini merobah gerakan. Diirin-
gi bentakan melengking kapak di tangannya men-
dadak berubah menjadi gulungan sinar berkrede-
pan mengurung tubuh Nanjar.
Whut! Whut! Whut!
Serangkai tabasan nyaris membuat kepala
si Dewa Linglung menggelinding dari batang le-
hernya. Akan tetapi saat itu mendadak si pemuda
gondrong itu bersiul keras, dan tubuhnya menda-
dak terhuyung-huyung.
"Hihi... ternyata tenagamu tak seberapa
maling tengik!" si dara tertawa mengejek. Dia mengira Nanjar kehabisan napas
karena diserang
terus menerus, dan terhuyung-huyung karena
penglihatannya kabur melihat gulungan sinar pu-
tih kapaknya yang menyilaukan mata. Disaat
yang baik dara ini mengirim tendangan ke arah
bagian tubuh di bawah pusar pemuda itu. Seran-
gan ini akan mengakhiri pertarungan.
Akan tetapi mencelos hati gadis ini, karena
diluar dugaan serangan itu kembali lolos. Tubuh
pemuda dogol itu kembali terhuyung ke belakang.
Tampaknya seperti tak sengaja, karena sepasang
mata lawan saat itu terpejam. Mengetahui ten-
dangannya meleset gadis ini cepat menyusulnya
dengan jotosan ke arah dada. Dalam keadaan
hampir terjerembab itu mana mungkin lawan da-
pat menghindari serangan.
Akan tetapi apa yang terjadi kemudian"
Dara ini terperangah kaget. Karena tahu-tahu ka-
paknya telah terlepas dari pegangannya, dan jotosan keras ke arah dada mendadak
tertahan, ka- rena lengannya kena dicekal oleh pemuda itu. Se-
belum dia menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu
tubuhnya telah berada dalam dekapan pemuda
itu, dan entah beberapa kali berguling-guling. Ketika gulingan tubuh mereka
terhenti, dara itu
membelalakkan matanya, karena kini si pemuda
telah menindih di bagian atas tubuhnya, dan ten-
gah cengar-cengir memandangnya dengan jarak
wajah sangat dekat. Bahkan hidung mereka ham-
pir bersentuhan.
Dara itu merasa nyawanya terbang dari ra-
ganya. Wajahnya pucat pias tak berdarah. "Keparat! Lepaskan aku...!" berteriak
si gadis sambil kerahkan tenaga untuk melepaskan diri. Tapi sedi-
kitpun dia tak mampu bergerak.
"Hahaha... kalau sudah begini, kalau kau
tak mau menuruti kehendakku lebih baik kau pa-
srah saja. Kalau kau terus merontapun tak ada
gunanya. Cuma menghabiskan tenagamu saja!"
berkata Nanjar dengan cengar-cengir.
Merinding rasanya bulu kuduk si gadis ke-
tika mendengar kata-kata pemuda itu. Terbayan-
glah di hadapannya apa yang bakal terjadi. Cela-
kanya dia mengira berhadapan dengan seorang
pemuda hidung belang.
"Tidak! lepaskan aku! Lebih baik mati dari
pada menurutkan kehendakmu!" teriak si gadis seraya kembali meronta dan
menepiskan wajahnya. Tapi kembali dia mengeluh. Sampai tena-
ganya hampir habis, dan keringat membasahi se-
kujur tubuh, toh dia tak mampu melepaskan diri.
"Hm, bukankah sudah kukatakan, lebih
baik kau menuruti kehendakku?" kata Nanjar
mengulang kata-katanya. Dara itu tak menjawab
selain memejamkan mata. Harapannya adalah
pada dua orang anak buahnya yang segera mun-
cul menolong dia. Tapi apakah mereka mampu
menghadapi si pemuda dogol ini" Sebelum mereka mampu menolong dirinya, pemuda
itu takkan bodoh untuk menotok dia terlebih dulu.


Dewa Linglung 21 Tangan Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan perlawanan dua orang anak buahnya sudah
diduganya tak akan mampu mengalahkan pemu-
da ini. Dalam hati dia menyesali kecerobohannya
yang menganggap enteng lawan. Siapa kira si pe-
muda bertampang dogol ini seorang pemuda yang
berilmu tinggi.
DUA Sementara itu dua penunggang kuda coklat
yang mengejar bocah laki-laki yang membedal
kudanya dengan cepat seperti dikejar hantu ak-
hirnya berhasil menyusul bocah itu.
Siapa adanya bocah laki-laki berusia tiga
belasan tahun ini, memang tak lain dari pemban-
tu si pemilik kedai di sisi kota yang dikunjungi Nanjar. Ketika bocah ini agak
melambatkan lari
kudanya, dengan kepala dipalingkan ke kanan ki-
ri memperhatikan sekitarnya, mendadak dia ter-
sentak kaget ketika melihat dua ekor kuda mun-
cul di belakangnya.
"Hm, siapakah mereka...?" membatin dalam hati bocah laki-laki ini. Baru saja dia
menepi untuk memberi jalan, justru mereka berhenti. Salah seorang membentak
keras. "Bocah keparat! Kalau tidak anaknya tentu
kau keponakan si pencuri kuda putih milik raden
Bagus Rono itu. Menyerahlah untuk kami ring-
kus!" Tentu saja bentakan itu membuat wajah anak laki-laki ini seketika berubah
pucat pias. "Aku... aku..." katanya tergagap. Matanya menatap pada kedua orang bertampang
kasar itu lalu menatap pada seruling berukir kepala Naga ter-
buat dari tulang yang dicekal di tangan kirinya.
Bocah ini terheran, dia tak mengenal kedua
orang itu dan mengapa pemuda yang singgah di
kedai majikannya itu dituduh pencuri kuda" Pa-
dahal dia melihat sendiri pemuda itu telah mem-
beli kuda putih itu dari seorang laki-laki berbaju abu-abu yang duduk mengobrol
di kedai majikannya. Bahkan dia melihat ketika pemuda itu
memberikan sejumlah uang untuk membayar
harga kuda. Setelah menerima uang bayaran orang laki-
laki berbaju abu-abu itu segera meninggalkan ke-
dai. Tak lama si pemuda pembeli kuda itupun se-
gera membayar harga makanan, lalu menghampi-
ri kuda putih yang tertambat di muka kedai. Pe-
muda berambut gondrong itu seingatnya tadi se-
waktu memesan makanan telah pergi ke belakang
untuk membuang hajat kecil, dan dia sendiri yang menunjukkan tempatnya. Ketika
pemuda berambut gondrong itu pergi meninggalkan kedai den-
gan menunggang kuda putih yang telah dibelinya.
Mendadak dia ingin membuang hajat kecil pula.
Sempat pula dia memperhatikan pemuda beram-
but gondrong itu lenyap di balik tikungan jalan.
Lalu bergegas dia ke belakang.
Di atas bak tempat air matanya menatap
pada sebuah benda tergeletak. Ternyata sebuah
seruling. Karena melihat benda itu, dia telah
mengurungkan niatnya. Diambilnya seruling ber-
bentuk aneh berukir kepala Naga itu dan dibolak-
baliknya dengan mendecak kagum. Tapi milik
siapakah benda itu...." Demikian pikirnya.
Karena yang belum lama masuk ke kamar
kecil itu adalah si pemuda gondrong itu, akhirnya
dia berpendapat benda itu tentu milik pemuda
pembeli kuda putih itu. Entah mengapa dalam
hatinya mengatakan bahwa dia harus menyusul
si pemuda gondrong untuk memberikan benda
yang tertinggal itu. Demikianlah, dengan cepat dia selipkan benda itu ke balik
baju di belakang
punggung. Lalu tanpa setahu majikannya dia me-
nyelinap ke belakang.
Pamannya mempunyai seekor kuda yang
sudah tua, dan jarang dipergunakan. Apalagi
sang paman akhir-akhir ini sering sakit-sakitan.
Dulu dia yang sering mencari rumput untuk
memberi makan kuda tua itu. Tapi setelah dia
bekerja di kedai, dia tak sempat lagi mencarikan rumput.
Pamannya mempunyai seorang anak gadis
yang pemalas, kerjanya hanya keluyuran saja.
Bahkan akhir-akhir ini pamannya jatuh sakit.
Mungkin kesal memikirkan kelakuan anak gadis-
nya. Tapi sejak pamannya sakit, anak gadis pa-
mannya itu jarang pergi ke luar. Bahkan pernah
sekali dia melihat gadis itu mencarikan rumput
buat makan kuda tua itu. Hatinya merasa lega,
karena kuda tua itu tentu akan terurus makan
minumnya. Sebenarnya dia menyenangi kuda.
Ayahnya semasa hidupnya sering mengajari dia
menunggang kuda. Kalau saja keadaannya seperti
dulu, tentu dia akan meminta kuda tua itu dari
pamannya, dan akan dirawatnya baik-baik
Sayang, kini dia seorang yatim piatu. Kuda
milik ayahnya telah dijual. Dan dia harus bekerja-
di kedai untuk menangsal perut. Pamannya juga
bukan dari keluarga orang berada. Bahkan untuk
makan sehari-haripun sukar. Dengan hidup ber-
dua bersama anak gadisnya sang paman harus
membanting tulang bekerja sebagai orang upahan
di Kota Raja. Agaknya itulah yang membuat kehidupan
keluarga sang paman kurang sempurna. Anak
gadisnya sejak berusia tiga belas tahun sering ditinggalkan di rumah. Bahkan
sampai dua tiga ha-
ri dia baru pulang. Akibatnya setelah si gadis me-ningkat dewasa, dia menjadi
seorang anak yang
sukar diurus. Bahkan tak begitu memperhatikan
keadaan orang tuanya.
Ketika dia mendekati kandang kuda yang
terletak di samping pondok sang paman, dia
mendengar suara anak gadis pamannya.
"Ayah, aku tak dapat lama-lama disini.
Uang itu kukira cukup untuk kau makan selama
sebulan. Dan obat yang kubelikan harus kau mi-
num agar penyakitmu cepat sembuh. Oh, ya! Se-
baiknya kuda tua itu kau jual saja, atau kau be-
rikan pada tetangga karena tak terurus. Dan. hm, kukira Galot sebaiknya kau
suruh berhenti bekerja. Dia bisa mengurusmu selama kau sakit meng-
gantikan aku..."
Terdengar suara pamannya menyahut sete-
lah terbatuk-batuk.
"Kau mau kemana Jumpeni?"
"Ayah tak usah mengkhawatirkan aku. Aku
dapat menjaga diriku. Aku akan kembali sebulan
kemudian..." Setelah berkata gadis anak pamannya itu segera pergi. Suasana
kembali hening.
Dia berpikir sejenak, apakah akan mene-
mui pamannya dulu, ataukah mengeluarkan ku-
da dan meminjam binatang itu untuk mengejar si
pemuda rambut gondrong"
Akhirnya dia memutuskan untuk mengelu-
arkan kuda. Pelahan-lahan ia membuka pintu
kandang, lalu kuda tua itu diseret ke luar. Binatang itu meringkik perlahan.
Hatinya seketika
menjadi berdebar. "Ssst...!" dia tempelkan jari te-lunjuknya di atas bibir lalu
menepuk-nepuk leher kuda. Di luar kandang dia berhenti sejenak untuk melihat ke
pintu pondok sang paman. Pintu
itu masih tertutup. Dia menarik napas lega, kare-na tak ada tanda-tanda pamannya
mencurigai. Dituntunnya kuda itu hingga agak jauh, baru
kemudian dia melompat ke punggung binatang
itu. Tak lama dia telah membedal kudanya den-
gan cepat melalui hutan kecil, memotong jalan.
Dan selang beberapa saat kemudian dia telah tiba di jalan besar.
"Aku harus segera menyusul laki-laki ram-
but gondrong itu, dan memberikan benda milik-
nya yang tertinggal ini..." dia berkata dalam hati.
Kuda tua itu berlari cepat, seolah tena-
ganya dikerahkan untuk berlari. Tampaknya bi-
natang itu merasa girang karena bosan berada di
kandang berbau pengap. Sepanjang jalan dia me-
ringkik, seperti mengutarakan rasa girangnya
dapat berlari dialam bebas.
Bocah itu tak mengetahui kalau sepening-
gal dia menuju rumah pamannya, kedai majikan-
nya telah didatangi oleh tiga orang penunggang
kuda. Tiga penunggang kuda itu dua laki-laki bertampang seram dan bertubuh kekar
dan seorang lagi adalah seorang dara berbaju hijau menyan-
dang pedang di pinggang.
Begitu turun dari kuda dua laki-laki kekar
itu jelalatkan matanya ke dalam kedai, lalu men-
gawasi sekitarnya. Dara baju hijau masuk ke da-
lam, dan sekali lengannya bergerak telah men-
cengkeram leher baju si pemilik kedai.
"Cepat katakan! apakah kau melihat seseo-
rang menunggang kuda putih singgah di kedai-
mu?" Tentu saja si pemilik kedai bergetar ketakutan. "Kalau ti... tidak salah
memang seorang tamuku singgah di kedaiku, dan... memang kuli-hat dia menunggang
kuda berbulu putih.." sahutnya tergagap.
"Bagus! Ke mana sekarang dia?" bentak
gadis baju hijau itu.
"Sudah.... sudah pergi, den... Oh, ya! ada
apakah sebenarnya, den?"
Tapi dara ini tak menjawab, bahkan kem-
bali membentak. "Ke arah mana dia pergi"!"
Si pemilik kedai ini cepat menunjuk. "Ke...
ke sana, den..."
Dara ini arahkan tatapannya pada dua la-
ki-laki kekar itu. Kemudian menatap pada si pe-
milik kedai. "Awas, kalau kau berdusta, akan ku-buat kepalamu menggelinding dari
batang tu- buhmu!" berkata gadis ini dengan suara dingin.
Lalu balikkan tubuh, dan memberi isyarat pada
dua laki-laki kawannya untuk segera mengejar
orang yang dicarinya,
Laki-laki pemilik kedai ini cuma terlongong
memandang mereka yang membedal kuda dengan
cepat dari muka kedainya hingga lenyap di tikun-
gan jalan. "Heh... siapakah mereka" Aku tak begitu memperhatikan tetamuku, tapi
memang tadi telah datang seorang penunggang kuda dan ma-
kan di kedaiku. Lalu muncul lagi seorang pemuda
berambut gondrong bertampang tolol. Dua-
duanya kemudian pergi setelah membayar maka-
nan..." berkata si pemilik kedai ini dalam hati.
"Eh, kemana si Galot?" sentaknya karena sadar kalau bocah pembantunya tak
kelihatan batang hidungnya.
"Galot! Galot!" teriaknya sambil mencari-cari bocah itu ke belakang. Sang
pemilik kedai ini tak mengetahui kalau bocah laki-laki yang dicarinya tengah
membedal kuda di jalan besar bagai
dikejar setan mengejar si pemuda gondrong untuk
mengantarkan seruling anehnya yang terting-
gal..... TIGA NANJAR tertawa gelak-gelak mendengar
kata-kata si gadis baju hijau. "Haha... kau salah terka kalau menuduhku mau
memperkosamu, anak manis! Aku hanya mau tanya, siapa kau se-
benarnya, dan apa hubungannya dengan raden
Bagus Citro, serta siapa adanya orang yang kau
sebutkan itu?" berkata Nanjar, seraya lengannya mengelus pundak si gadis
"Lepaskan dulu aku! baru akan kujawab
pertanyaanmu!" sahut dara ini dengan wajah dija-lari rona merah, dan hati
berdebar, khawatir si
pemuda dogol itu berbuat kurang ajar.
"Hm, apakah kau mau memegang kata-
katamu?" tanya Nanjar.
"Aku akan pegang kata-kataku, tapi kau-
pun harus pegang pula janjimu tak akan meng-
gangguku..." tukas si gadis yang mulai berani menatap Nanjar dengan sorot
matanya yang tajam. Setelah menegasi diam-diam dia mengakui
ketampanan wajah si pemuda. Dari sorot ma-
tanya pemuda di hadapannya itu tampaknya tak
punya ciri-ciri seorang laki-laki bergajul. Diam-diam dia berharap dugaannya tak
meleset. Dia memang telah berlaku gegabah, dan sembarangan
menuduh orang. Siapa tahu pemuda ini memang
bukan pencurinya. Demikian pikir si dara baju hijau. Dewa Linglung tertawa
berderai mendengar
jawaban kata-kata gadis itu. "Haha... jangan khawatir, nona manis! Aku si Dewa
Linglung akan pegang janji. Kuakui kau memang cantik, ayu
dan... kulit tubuhmu pun putih mulus. Tapi..
sayang adatmu keras dan kaku, juga galak! Kau
memang cocok menjadi seorang pesilat, sayang-
nya kau terlalu bersikap ceroboh. Bagaimana ka-
lau kebetulan aku seorang laki-laki hidung be-
lang" Hehe... tentu siang-siang kau sudah..."
"Cukup!" bentak si dara dengan wajah berubah merah. "Lekas kau buka totokanmu!"
"Haha... baik! Baik, nona manis..." Nanjar gerakkan lengannya membuka totokan di
jalan darah si dara jelita itu. Begitu merasai totokan ditubuhnya telah terbuka, gadis
itu melompat ban-
gun. Nanjar tetap tenang, bahkan segera berkata.
"Nah, sekarang jawab pertanyaanku tadi!"
"Terima kasih atas kebaikan hatimu, sobat!
Baiklah, aku akan ceritakan siapa aku dan apa
hubungannya dengan raden Bagus Citro. Nama-
ku... WIRANINGSIH. Raden Bagus Citro adalah
ayah angkatku. Beliau bekas seorang Panglima


Dewa Linglung 21 Tangan Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kerajaan yang telah mengundurkan diri. Kini be-
liau mengangkat diri menjadi Ketua Partai Teratai Emas di wilayah timur.
Beberapa hari yang lalu
ayahku telah kehilangan seekor kuda putih mi-
liknya. Selaku anak dan sebagai ketua dari dua
puluh orang bawahanku dalam perusahaan Pen-
gawal Barang Partai Telaga Emas, aku berkewaji-
ban melacak jejak pencuri kuda itu. Apalagi kuda putih itu adalah kuda
kesayangan ayahku..." tu-
tur si dara ini sambil menunjuk pada kuda putih
yang tengah tenang-tenang makan rumput tak
jauh dari mereka.
"Dengan dua orang anak buahku aku sege-
ra mencari jejak si pencuri. Dari penjelasan seorang penduduk yang tak berapa
jauh dari markas
ayahku, dia pernah melihat seseorang menung-
gang kuda putih melintas di jalan desa. Dengan
bekal petunjuk itu aku lalu mengejar pencuri ku-
da itu, yang dilihatnya menjelang sore kemarin..."
"Petunjuk itu semakin jelas ketika di desa
Jago Alas ini seorang petani mengatakan baru sa-
ja melintas seorang berpenunggang kuda putih.
Demikianlah hingga kami temukan bekas-bekas
tapak kaki kuda di jalan besar desa yang terus
kami lacak. Hingga kemudian kami jumpai se-
buah kedai di sudut jalan itu. Kamipun berkeya-
kinan kalau si pencuri kuda itu pasti singgah di kedai tersebut..." kata gadis
bernama Wiraningsih itu mengakhiri penuturannya.
Nanjar tersenyum mengangguk-angguk.
"Lalu kalian lantas mengejar setelah mendapat petunjuk dari pak kedai itu,
bukan" Dan kau melihat aku menunggang kuda putih ini, lalu lang-
sung saja kau menuduhku si pencuri kuda...!"
berkata Nanjar, sambil garuk-garuk tengkuknya.
"Karena aku sudah beberapa hari kesal
mencari jejak pencuri kuda itu, kalau kutemukan
seseorang menunggang kuda putih yang kukenal
adalah milik ayahku tentu saja aku menyangka
kau pencurinya!" potong Wiraningsih. Sebelum
Nanjar membuka mulut, kembali dia menyambar.
"Baik! kini kau tak mengakui bahwa kau
telah mencurinya, tapi dari mana kau dapatkan
kuda putih milik ayahku itu?" tanyanya ketus.
"Hm, memang aku harus menjelaskan pa-
damu, kalau tidak tentu akan terjadi kesalah pa-
haman..." kata Nanjar dengan tersenyum.
Kemudian segera menceritakan secara
singkat dari mana asalnya dia memperoleh kuda
itu. Mendengar penjelasan Nanjar gadis ini ker-
nyitkan keningnya. "Apakah kau mengenali orang yang telah menjual kuda itu?"
"Wah... aku agak lupa. Bagaimana tam-
pangnya, ya?" berkata Nanjar sambil memegang keningnya.
"Aiih! Sungguh celaka! Kalau kau tak ingat
tampangnya bagaimana aku harus meringkus
pencuri itu" Dia harus bertanggung jawab atas
pencurian itu, dan kami harus menangkapnya!"
Wiraningsih tunjukkan sikap kecewa. Diam-diam
dara ini juga heran karena pemuda itu bisa tak
ingat wajah orang yang telah menjual kuda itu
padanya. "Kalau aku melihat orangnya, pasti aku in-
gat tampangnya!" kata Nanjar menukas. Diam-
diam geli juga hati dara ini.
"Pemuda ini tampaknya seperti orang tolol,
apakah memang tolol betulan?" berkata dia dalam hati. "Sejak kecil sampai
sebesar ini, baru kuli-hat seorang yang masih muda seperti anda telah
linglung! Kalau kejadian pertemuan dengan pen-
jual kuda itu belum lama, mengapa anda bisa lu-
pa?" Nanjar tertawa tergelak-gelak. "Haha... aku memang linglung. Dan sering
linglung. Apa lagi
kalau di hadapan seorang gadis cantik!" Tentu sa-ja kata-kata Nanjar membuat
Wiraningsih meme-
rah wajahnya. Dara ini palingkan wajahnya den-
gan tersipu. Tapi alangkah terkejutnya ketika
menoleh lagi ternyata pemuda itu telah lenyap da-ri hadapannya. Untunglah
sekilas masih sempat
dia melihat bayangan putih berkelebat.
"Nona Wiraningsih! Silahkan kau bawa pu-
lang kuda putih itu. Jangan pikirkan pencuri ku-
da itu. Serahkan saja padaku, biar aku yang
membekuknya!" sesaat setelah sosok bayangan putih itu lenyap, telinganya
mendengar suara si
pemuda itu. Dara ini tertegun.
Agak lama dia terlongong, dan dari bibirnya
terdengar suara menggumam perlahan. "Ah, ternyata dia seorang pendekar muda yang
berilmu tinggi. Sayang aku tak sempat menanyakan nama
atau gelarnya..." Mendadak alis si gadis ter-jungkit. "He" Apakah dia yang
berjulukan si Dewa Linglung?" sentak hatinya tiba-tiba, karena teringat akan
sebuah gelar aneh yang pernah diden-
garnya dari orang Rimba Hijau yang pernah ber-
kunjung ke markas ayahnya.
Diam-diam dalam hati dara ini ada rasa
masygul, mengapa tak sedari tadi dia menanya-
kan siapa adanya pemuda itu" Wiraningsih
menghela napas dalam-dalam, lalu berkelebat ke
arah kuda putih. Sekali gerakkan tubuhnya, pan-
tat dara ini telah menyentuh punggung kuda. Tak
lama dia telah membedalnya dengan cepat ke luar
dari hutan kecil itu....
EMPAT Tadinya Nanjar akan pergi menyusul si
penjual kuda yang mengambil jalan berlawanan di
jalur jalan besar desa di muka kedai itu. Tapi segera mengurungkan niatnya,
karena teringat pada
bocah laki-laki pembantu pak kedai yang tadi di-
lihatnya berkuda dengan cepat. Kemudian me-
nyusul tiga penunggang kuda melintasi sisi jalan dimana dia memasuki hutan kecil
itu. Nanjar mengetahui kalau dua penunggang
kuda itu adalah anak buah si dara galak bernama
Wiraningsih yang telah dipecundanginya.
"Hm, aku khawatir ada terjadi sesuatu
dengan bocah itu..." pikir Nanjar. Segera dia berkelebat menyusul kejurusan dua
penunggang ku- da dan bocah laki-laki itu membedal kuda.
Setelah menyusuri jalan besar yang berli-
ku-liku itu mendadak Nanjar tersentak kaget. Tak jauh di hadapannya tampak
tergeletak sesosok
tubuh dan dua ekor kuda terkapar ditengah jalan.
Dengan gerakan Bangau Sakti Mengejar
Mangsa, Nanjar telah tiba di tempat kejadian itu.
Tampaklah si bocah laki-laki yang tadi membedal
kuda tunggangannya bagai dikejar setan, dalam
keadaan tergeletak dengan tangan dan kaki teri-
kat. Melirik ke arah dua ekor kuda, ternyata ku-
da-kuda itu adalah milik dua orang anak buah si
gadis baju hijau tadi. Kedua binatang itu telah
mati dengan kepala hancur.
Cepat Nanjar memeriksa nadi bocah itu.
Dalam ketegangan yang mendebarkan itu Nanjar
bersyukur karena bocah itu hanya pingsan saja.
Segera Nanjar lepaskan ikatannya.
"Apakah yang telah terjadi...?" sentak si Dewa Linglung. Matanya jelalatan
mencari-cari di mana adanya dua penunggang kuda yang binatang tunggangannya
telah tewas itu. Disaat itu telinganya mendengar derap suara kaki kuda men-
datangi Ternyata yang muncul di situ adalah si da-
ra baju hijau tadi. Tentu saja dara ini terkejut melihat adanya Nanjar di tempat
itu, serta melihat dua ekor kuda yang dikenali adalah kuda-kuda
anak buahnya. Dan di depan si pemuda tampak
tergeletak seorang bocah laki-laki. Itulah bocah laki-laki yang tadi dikejar-
kejarnya. "Apa yang terjadi...." Siapa yang membu-
nuh kuda-kuda ini" Dan kemana dua orang anak
buahku?" tanya si dara beruntun. Dia telah melompat dari punggung kuda dan
berdiri menatap
Nanjar dan kuda-kuda yang berkaparan itu, juga
memperhatikan si bocah laki-laki yang tergeletak di tanah.
Nanjar mengangkat bahu. "Hm, mana aku
tahu" Ketika aku tiba di tempat ini aku hanya
melihat bocah ini terikat dengan tali ini. Dan dua ekor kuda ini telah mati!"
sahut Nanjar dengan suara hambar.
"Apakah kau menyangka aku yang telah
melakukan?" sambung Nanjar melihat dara itu terdiam dengan wajah tegang.
"Ti... tidak! tapi siapa yang telah membu-
nuh kedua kuda, yang mengikat bocah laki-laki
ini..." Mata Wiraningsih menjalari sekitar tempat itu. Mendadak dia menunjuk ke
arah semak belukar. "Itu pakaian mereka?" teriaknya. Nanjar dan gadis itu sama-
sama melompat ke tempat itu.
Tampak seonggok pakaian tersangkut di ranting
kayu. "Coba kau lihat di balik semak!" perintah Nanjar. Tak menunggu dua kali,
dara ini segera
melompat menyibak semak belukar. Mendadak
tampak dara itu seperti tertegun. Matanya mem-
belalak. Dan... tiba-tiba saja dia berteriak tertahan seraya melompat ke luar.
"Apa yang kau lihat?" tanya Nanjar heran melihat wajah gadis itu tampak pucat
pias. "Aku... aku tak dapat mengatakannya...
kau lihat saja sendiri..." sahut Wiraningsih seraya menundukkan wajah dan
menutupi dengan kedua tangannya.
Nanjar cepat melompat kebalik semak be-
lukar. Apakah yang terlihat di hadapannya" Ter-
nyata dua sosok tubuh laki-laki tergeletak tanpa
pakaian. Dan yang membuat Nanjar membeliak-
kan matanya adalah kedua barang larangan me-
reka telah dipotong habis. Darah membanjir men-
ganak sungai. Sebagian tampak telah mengering.
Nanjar kembali ke luar dari dalam semak
belukar. Tampak olehnya dara baju hijau itu ma-
sih tertunduk. "Apakah kau dapat bisa menduga siapa
yang telah membunuhnya?" tanya Nanjar.
"Aku belum bisa menduga dia yang mem-
bunuhnya dengan melakukan cara keji seperti
itu. Tapi berita yang kudengar sebulan yang lalu, korban yang telah tewas dengan
cara demikian telah belasan orang. Bahkan diantaranya terdapat
dua orang dari pihak Kerajaan...!" menyahut Wiraningsih.
"Siapakah dia yang kau maksudkan?" Nanjar kerutkan keningnya.
"Orang itu menggelari dirinya si TANGAN
DARAH" Nanjar manggut-manggut. "Melihat cara membunuhnya tentu dia seorang dari
jenismu, dan korbannya kukira tentu orang-orang sejenis
laki-laki hidung belang...!"
"Mengenai itu aku tak tahu pasti!" tukas Wiraningsih seraya melangkah mendekati
kudanya. Sedang Nanjar melompat ke arah bocah
laki-laki itu. "SOBAT PENDEKAR DEWA LINGLUNG! Se-
nang sekali aku dapat berkenalan dengan anda.
Kalau kau dapat meluangkan waktumu, singgah-
lah ke markas Teratai Emas. Ayahku tentu se-
nang sekali dengan kedatanganmu..." berkata Wiraningsih yang telah berada di
punggung kuda putih. Kuda yang ditungganginya adalah kuda
putih raden Bagus Citro.
Nanjar berdiri menatap dara itu. Sebelah
matanya disipitkan. "Kalau sudah beres urusanku, pasti aku ke sana, nona
Wiraningsih" ucap Nanjar dengan tersenyum. Gadis itu tersipu dan
tanpa setahu Nanjar dada sang dara berdebar.
Sukar untuk dikatakan, kiranya setitik benih cin-ta telah bersemi di hati si
gadis baju hijau anak angkat Ketua partai Teratai Emas itu.
Dara ini mengangguk, lalu cepat memutar
kuda. Sebelum memacu binatang tunggangannya
Wiraningsih kembali menoleh. "Aku telah meninggalkan kudaku di tempat tadi, di
hutan kecil itu.
Kalau kau memerlukan binatang itu, kau dapat
mempergunakannya..."
Nanjar mengangguk. "Terima kasih atas
kebaikan hatimu, nona manis" sahut Nanjar. Wiraningsih tak menunggu lama, segera
membedal kuda dengan cepat. Sebentar saja kuda putih dan
penunggangnya itu telah lenyap di tikungan ja-
lan.... Nanjar pondong tubuh bocah laki-laki itu ke atas pundak, kemudian
berkelebat meninggalkan tempat itu.
LIMA RADEN BAGUS CITRO duduk dikursi rotan
berbantalkan kapas empuk yang dibalut dengan
kain sutra berwarna gading bersulam benang-
benang emas. Matanya memandang ke depan
dengan sorot mata yang suram.
Sudah dua hari sejak kembalinya Wira-
ningsih, dia sering duduk termangu-mangu di
kursinya. Tampaknya dia seperti tengah menanti-
nanti kedatangan seseorang, atau hatinya sedang
resah, seperti ada sesuatu hal yang tengah dipi-
kirkannya. Ketika terdengar suara langkah kaki men-
dekati ke arah ruangan itu, dia menoleh. Tampak
Wiraningsih sang anak angkatnya sedang menda-
tangi. "Ayah...! Tak adakah pemuda pendekar itu berkunjung kemari?" tanya gadis
ini seraya duduk di tikar permadani di hadapan laki-laki berusia lima puluhan
itu. Raden Bagus Citro menggeleng. Jari-jari
lengannya mengelus sejumput jenggotnya yang
tumbuh di dagu. Matanya kembali dilayangkan ke
arah depan. "Disamping aku tengah menunggu keda-
tangannya, aku juga tengah menanti kedatangan
seorang tetamu, seorang sahabat lamaku!" berkata raden Bagus Citro.
"Sahabat lama ayah..." Siapakah dia?"
tanya Wiraningsih. Laki-laki ini tak menyahut,


Dewa Linglung 21 Tangan Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendengarannya yang peka telah dapat menang-
kap suara ketukan tongkat di luar markasnya.
"Hm... dia telah datang..." katanya lirih. Wiraningsih menoleh ke arah pintu,
akan tetapi tak meli-
hat ada orang yang muncul.
"Pergilah anakku, tinggalkan ruangan ini.
Biar aku yang menerima kedatangannya" kata raden Bagus Citro memberi isyarat
pada gadis itu.
Walaupun Wiraningsih belum melihat ada sosok
tubuh yang muncul di ruangan itu, tapi dia telah dapat menduga yang bakal datang
adalah bukan orang sembarangan, dan masih sahabat gurunya.
Tentu saja ilmunya sangat tinggi. Tak menunggu
sampai diperintah dua kali, cepat dia beranjak
meninggalkan ruangan itu.
"Pendengaran ayah sangat tajam, tentu dia
telah mendengar dan mengetahui kedatangan te-
tamu, sahabatnya itu, Entah siapa adanya orang
itu...?" membatin si gadis dalam hati seraya menyelinap ke luar pintu. Tapi
diam-diam dia menn-
gintip dari balik tirai dengan perasaan tegang ingin tahu.
Sesosok bayangan berkelebat di belakang
gadis ini, tahu-tahu Wiraningsih tersentak kaget, karena sepasang lengan telah
membekap mulut dan memeluk pinggangnya.
Gadis ini merasa angin menerpa deras, ke-
tika tubuhnya dibawa berkelebat. Jantungnya se-
rasa copot, karena kejadian itu tiada terduga. Entah siapa adanya orang yang
telah memasuki markas Teratai Emas itu tanpa seorangpun anak
buah raden Bagus Citro yang mengetahui. Akan
tetapi dia dapat merasakan orang yang telah
membawanya berkelebat itu adalah seorang wani-
ta. Diluar tahu Wiraningsih, ternyata ada se-
sosok bayangan pula yang berkelebat cepat mem-
buntuti di belakang mereka. Wiraningsih merasa-
kan hidungnya mencium bau harum yang mem-
buat sesak napasnya ketika sehelai kain me-
nyumpal hidungnya. Selanjutnya dia terkulai
pingsan tak sadarkan diri, dan tak tahu apa-apa
lagi.... Sosok tubuh ini gerakannya cepat bagai
walet, melompat bagaikan terbang ke luar dari
pagar tembok, lalu melesat ke arah hutan. Dan
bayangan sosok tubuh di belakangnya terus
membuntuti. Gerakannya pun tak kalah cepat
dengan sosok tubuh di depannya.
Sementara itu tetamu yang dinantikan ra-
den Bagus Citro bagaikan Malaikat saja layaknya
tahu-tahu telah muncul di hadapan laki-laki itu.
Tampak jelas kini siapa adanya orang ini.
Ternyata seorang laki-laki tua yang usianya
hampir sebaya dengan umur raden Bagus Citro.
Laki-laki tua ini bertubuh kurus bagai galah.
Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai me-
mutih. Jubahnya pun putih. Kecuali tongkat yang
dicekalnya yang berwarna hitam berkilat. Tam-
paknya terbuat dari logam keras.
"Selamat datang dimarkas Teratai Emas,
sobat Tongkat Iblis! Aku Bagus Citro sudah lama
menunggu..." berkata raden Bagus Citro ketua Partai Teratai Emas ini. Walau
sikapnya tampak
seperti biasa saja, tapi diam-diam hati laki-laki ini terkejut, karena
kemunculan orang yang ditung-gunya ini bagaikan siluman saja. Bahkan dalam
hati Bagus Citro berkata. "Aku sudah menduga ilmunya tentu bertambah tinggi. Ah,
agaknya hari ini tak dapat tidak adalah hari penentuan mati
hidupku..."
Bagus Citro bangkit dari kursinya, seraya
menjura membungkukkan tubuh. Dengan gera-
kan ini Bagus Citro telah mempersiapkan tenaga
dalam yang disalurkan kedua lengannya.
"Hm, Pendekar Kipas Darah! Aku lebih su-
ka memanggilmu dengan nama WIRANGGENI!
Agaknya sekarang kau tampak hidup senang dan
mandiri, tidak menggantungkan hidup pada Kera-
jaan lagi!"
"Ya! Tampaknya memang begitu, tapi... aku
justru merasa sebaliknya. Dan kau tampaknya
masih tetap sehat, dan ilmu kepandaianmu se-
makin maju pesat, sobat Kendil Liwung!" sahut Bagus Citro yang nama sebenarnya
adalah Wiranggeni.
Mendengar kata-kata Bagus Citro orang
tua jubah putih ini tertawa terkekeh. Selesai
mengumbar tertawa mendadak suaranya berubah
dingin. "Wiranggeni! Tentu kau sudah maklum dengan kedatanganku! Dan tentu kau
telah siap pula untuk menghadapiku!"
Bagus Citro tampak tetap bersikap tenang,
bahkan segera menyahut.
"Persoalan lama itu agaknya tak dapat hi-
lang dari ingatanmu, Kendil Liwung! Kau selalu
menganggap aku yang telah menjebloskan kau
dalam penjara Liang Kubur dibukit Hantu..." kata Bagus Citro disertai helaan
napasnya. "Hm, bukan masalah itu yang lebih berat
bagiku, Wiranggeni. Tapi tuntutan arwah
SULASMI, adikku. Dia mengharapkan kematian-
mu dan akulah yang diwakilkannya untuk me-
renggut nyawamu. Lima tahun terkurung dipenja-
ra Liang Kubur justru telah membuat aku ber-
tambah ilmu kepandaian seperti kau lihat. Aku
masih tetap segar bugar!" berkata Kendil Liwung dengan nada sedingin es dan
suara yang parau
menggelitik jantung.
Kalau saja ada petir menyambar saat itu
tentu tak membuat seterkejut saat itu, ketika Bagus Citro mendengar disebut-
sebutnya nama Su-
lasmi. Akan tetapi laki-laki tua ini pandai me-
nyembunyikan keterkejutan hatinya, dengan ber-
sikap biasa saja tanpa berubah parasnya.
"Kau menyebut-nyebut Sulasmi yang telah
hidup tenang di alam Baka. Kuharap kau tak
menghubungkan urusan ini dengan arwah men-
diang istriku itu, Kendil Liwung..." berkata Bagus Citro, seolah menyangkal
adanya arwah sang istri yang telah menuntut kematiannya.
"Hm, racun yang kau bubuhkan untuk
membunuh adikku untuk menutup rahasia diri-
mu itu kurang sempurna, Wiranggeni. Sebelum
nyawanya benar-benar lepas, aku telah mem-
bongkar kuburannya, dan dia sempat mencerita-
kan kelicikanmu!" berkata dingin Kendil Liwung.
"Perampokan harta benda Kerajaan lima
tahun yang lalu itu memang didalangi olehmu.
Sebelumnya kau memang telah berniat menying-
kirkan adikku, karena dengan hartamu kau bisa
menggaet wanita cantik lain. Hm, apakah kau
masih tetap mempertahankan kesucian dirimu
tanpa noda" Huh! Kesucian taik! Kau tak lebih
dari musang berbulu ayam, atau serigala berbulu
domba yang bermanis mulut di hadapan Sang
Prabu, tapi kau menikam dari belakang.
Kemudian kau fitnah istrimu, bahwa dia
telah berbuat serong dengan diriku. Sungguh licik kau Wiranggeni! Aku memang
bukan saudara kandung sedarah dengan Sulasmi, tapi otakku
tak sekotor dan sebejat otakmu!" Kata-kata Kendil Liwung terdengar di telinga
Bagus Citro bagaikan hunjaman belati yang menusuk jantungnya.
Seketika berubahlah paras muka laki-laki
ini. Apa yang dikatakan Kendil Liwung memang
benar. Akan tetapi sungguh dia tak menyangka
kalau Kendil Liwung masih bisa bertahan hidup
setelah dipenjarakan di penjara Liang Kubur se-
lama lima tahun, dengan tuduhan telah melaku-
kan perampokan harta benda Kerajaan, dan mau
menggagahi Sulasmi adiknya yang telah diperistri oleh Bagus Citro.
Usia Sulasmi memang berbeda jauh den-
gan Wiranggeni yang telah berganti nama dengan
nama raden Bagus Citro sejak dia menjabat seba-
gai Penasihat Kerajaan. Sejak mendengar berita
kemunculan Kendil Liwung yang telah bangkit da-
ri "Liang Kubur" itu, Bagus Citro sudah terkejut.
Kegiatan usaha pengantar barang pun mulai di-
hentikan untuk sementara, karena anak buahnya
digunakan untuk memperketat penjagaan di da-
lam dan di luar markas.
Akan tetapi sampai beberapa bulan tak ada
tanda-tanda kemunculan Kendil Liwung, hingga
dia kembali mengaktifkan anak buahnya. Hingga
kemudian dia kehilangan kuda putih tunggan-
gannya, setelah dia menerima sepucuk surat yang
dikirim oleh Kendil Liwung, dan menghubungkan
hilangnya kuda itu dengan Kendil Liwung. Diam-
diam dia telah mempersiapkan diri untuk me-
nyambut kedatangan laki-laki tua itu.
ENAM "Bagus! Kalau kau sudah tahu rahasiaku,
maka kaupun tak mungkin kubiarkan untuk
mengambil nyawaku. Justru kaulah yang harus
berhati-hati dengan jiwamu!" bentak Bagus Citro.
Mendadak meja di hadapannya digulingkan. Detik
itu juga membersitlah ratusan senjata rahasia
meluruk ke arah Kendil Liwung.
Terkejut Kendil Liwung melihat jebakan
yang telah dipasang Wiranggeni. Tampaknya sulit
bagi laki-laki tua itu untuk meloloskan diri dari serangan jebakan itu. Akan
tetapi di detik itu ti-ba-tiba Kendil Liwung acungkan tongkatnya di
depan dada. Suatu hal yang sangat menakjubkan tam-
pak di depan mata. Ratusan senjata rahasia be-
rupa jarum beracun itu seketika menempel pada
bagian pangkal tongkat hitam Kendil Liwung.
Tentu saja kejadian itu membuat berubah paras
Wiranggeni. Namun secepat itu pula dia telah
mengeluarkan senjata Kipas mautnya yang ter-
kenal dengan julukan Kipas Darah.
Membersit sinar kekuningan menyambar
ke arah batok kepala Kendil Liwung. Serangan ini dibarengi dengan pukulan tangan
kiri yang mengandung kekuatan tenaga dalam.
BHLAR! DHES! Lantai ruangan itu hancur beserpihan.
Terdengar teriakan tertahan Wiranggeni. Tampak
tubuh laki-laki ketua partai Teratai Emas itu terhuyung. Ternyata hantaman
pukulannya telah
mendapat sambutan dari Kendil Liwung. Laki-laki
tua jubah putih itu rebahkan tubuhnya ketika se-
rangan senjata lawan menyambar. Lalu mengges-
er tubuh ke samping. Bersamaan dengan hancur-
nya lantai ruangan, ujung tongkatnya berhasil
menyodok ke arah dada lawan.
Hal itu sangat diluar dugaan Wiranggeni.
Karena dia telah memperhitungkan bila serangan
senjata rahasia lolos, maka senjata mautnya yang
akan dapat menghabisi lawan. Sungguh diluar
dugaan kalau bukan saja dia terperangah kaget
melihat ratusan senjata rahasia tak satupun yang menyentuh kulit lawan, bahkan
dadanya sendiri
kena sodokan tongkat laki-laki tua itu.
"Benar-benar tak salah kalau orang menju-
luki si Tongkat Iblis!" memaki Wiranggeni dalam hati, seraya memeluk sebuah
tiang pilar di dekat-nya. Wajahnya tampak menyeringai menahan sa-
kit pada dadanya. Kalau dia tak siang-siang me-
nyalurkan tenaga dalam sekujur tubuh tentu tu-
lang dadanya telah ambrol.
"Kau tak akan lolos dari tanganku, manu-
sia licik!" membentak Kendil Liwung. Tubuh laki-laki tua itu berkelebat.
Tongkatnya menyambar.
BRAKK! Tiang pilar itu hancur. Tapi Wiranggeni
telah lenyap dari tempat itu. Mendadak terdengar suara aneh dari sekitar
ruangan. Puluhan lubang-lubang kecil tampak terbuka di sekitar dinding.
Tahu-tahu membersitlah puluhan anak panah ke
arah Kendil Liwung.
Laki-laki ini membentak keras. Tubuhnya
melompat gesit dan menempel dilangit-langit. Pu-
luhan anak panah tampak bersyiuran dibawah-
nya. Lagi-lagi suatu hal yang diluar dugaan Wi-
ranggeni. Jebakan kedua yang telah disediakan
itu lolos, karena Kendil Liwung memiliki ilmu cecak, hingga tubuhnya dapat
menempel di langit-
langit ruangan.
Kendil Liwung menggeram marah, dan me-
lompat ke bawah begitu serangan anak panah itu
habis. Lalu menghambur ke luar ruangan, menge-
jar Wiranggeni yang bayangan tubuhnya terlihat
berkelebat ke lain ruangan.
Baru saja dia tiba diruangan itu tiba-tiba
puluhan lasykar partai Teratai Emas telah men-
gurung dengan senjata-senjata terhunus.
"Keparat! Kalian hanya mencari mati saja!"
membentak Kendil Liwung. Dua puluh orang me-
nerjang dengan bentakan-bentakan riuh. Senjata-
senjata mereka siap merencah tubuh laki-laki tua ini. Kendil Liwung menggeram
marah. Mendadak
dia kibaskan ujung lengan jubahnya ke pangkal
tongkat... Menghamburlah ratusan jarum-jarum
maut yang tadi menempel di pangkal tongkat itu.
Dan detik selanjutnya terdengar suara jeritan-
jeritan parau menyayat hati. Enam belas tubuh
roboh terjungkal dan sekarat meregang nyawa
dan tewas seketika.


Dewa Linglung 21 Tangan Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hayo maju yang sudah bosan hidup!" bentak Kendil Liwung menyeringai menggertak.
Tam- paknya nyali lasykar partai Teratai Emas agak
ciut. Tapi mendadak empat orang telah maju ke
Pendekar Pengejar Nyawa 4 Lencana Pembunuh Naga Karya Khu Lung Bende Mataram 4
^