Pencarian

Tapak Naga Perkasa 2

Tapak Naga Perkasa Karya Harianto A Fauzi Bagian 2


Tutur Larasati tadi membuat sang pemuda tertegun. Ia memandang wajah Larasati dalam-dalam seakan memastikan apa benar orang yang telah ditolongnya seorang wanita. Beberapa saat kemudian sang pemuda mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Pantas. Sejak semula saya sudah mencurigai nada suara dan leher Ki Sanak yang tanpa jakun. Sekarang saya yakin kalau..., Mas Roro seorang wanita," tutur sang pemuda sambil memperbaiki cara memanggil Larasati.
Larasati tersenyum. "Ki Sanak masih ingat kalau kita sudah pernah bertemu sebelumnya?"
"Ya. Di pasar Keningar, saat Mas Roro diganggu anak buah Mahesa Kaliki. Saya yang tanpa ilmu kanuragan memadai berlagak sok jago hendak menolong Mas Roro. Akibatnya saya babak-belur dihajar oleh Branjang, Gogor, dan Songar. Untung saja ada Pamungkas. Kalau tidak, mungkin tidak ada cerita saya telah menolong Mas Roro dari keroyokan kawanan anjing hutan."
Pemuda itu tersenyum. Demikian pula Larasati. Tapi, senyuman Larasati lebih cepat pudar dan berubah menjadi sendu. Ucapan pemuda itu tentang Pamungkas, menghadirkan kerinduannya pada kekasihnya yang kini entah berada di mana...(
RESPATI masih melantunkan tembangnya yang disertai kekuatan tenaga dalam. Para prajurit semakin tersiksa. Bahkan beberapa orang di antara mereka sampai berlinang air mata, dan dari lubang hidung maupun telinga mengalir darah segar.
Respati semakin meningkatkan kekuatan tenaga dalam yang disalurkan melalui lantunan tembang. Para prajurit sudah tidak kuat lagi menahan serangan halus itu. Satu per satu mereka tumbang berserakan di tanah dan kuda-kuda mereka meringkik liar.Respati menghentikan alunan tembangnya lalu bergegas menarik tangan Larasati. "Ayo kita pergi sebelum mereka sadar kembali!"
Tanpa membantah, Larasati menurut saja ketika lengannya dihela Respati. Kedua anak muda itu kembali melanjutkan pelariannya.
Rupanya pengaruh lantunan tembang Respati tidak terlalu lama. Terbukti, beberapa saat kemudian para prajurit sudah sadar kembali dan buru-buru bangun, lantas berlompatan ke atas punggung kuda masing-masing.
"Kurang ajar! Kita telah diperdaya oleh pemuda itu!" ucap Nantang Yuda dengan nada marah. "Ayo kejar sebelum mereka jauh!"
Tanpa menunggu perintah yang kedua kali, para prajurit segera memacu kuda mereka, kembali mengejar Respati dan Larasati.
Firasat Respati mengatakan, para prajurit sudah?mengejarnya kembali. Pemuda itu menarik lengan Larasati agar berlari lebih kencang lagi. "Ayo cepat! Agaknya prajurit-prajurit itu sudah?mengejar kita lagi!" ucap Respati.
Meski tulang-tulang terasa ngilu serta telapak kaki panas, Larasati berusaha semakin mempercepat langkahnya. Namun, sebagai wanita tentu saja ia mempunyai keterbatasan. Apalagi ia tidak terbiasa dengan kondisi berat seperti yang sedang dialami. Larasati mulai terseok dan nyaris jatuh. Bahkan sebagian jari kakinya berdarah karena terantuk.
Beberapa saat lamanya Larasati masih mencoba bertahan. Ia mencoba berlari sekuat kemampuannya. Namun, akhirnya kekuatannya sudah melampaui ambang batas. Larasati tidak kuat lagi berlari. Putri demang itu akhirnya berhenti dengan napas terengah-engah. Respati tidak bisa memaksa. Pemuda ini maklum. Celakanya para prajurit semakin dekat.
"Saya sudah tidak kuat lagi, Kakang," ucap Larasati sambil tersengal-sengal. "Pergilah dan tinggalkan saya sendiri. Mereka hanya menginginkan saya."
"Tidak!" jawab Respati tegas. "Apa pun yang terjadi, saya akan setia menemani."
Larasati trenyuh mendengar ucapan Respati. Gadis itu menatap wajah pemuda di hadapannya. Respati pun mengimbangi dengan hal yang sama. Keduanya saling berpandangan.
Tatapan Respati seakan mengantarkan kekuatan baru bagi Larasati. Gadis itu lalu berucap tegas. "Kita tidak boleh menyerah begitu saja, Kakang."
"Yah, kita tidak boleh menyerah. Selagi ada kesempatan menyelamatkan diri, kita harus manfaatkan kesempatan itu sebisa mungkin," ucap Respati. "Ayo kita jalan lagi!"
Dengan tertatih-tatih dan dipapah Respati, kembali Larasati melangkahkan kaki. Namun kurang dari seratus langkah mereka berjalan, tiba-tiba di hadapan mereka sudah berdiri beberapa orang prajurit. Namun pakaian mereka berbeda dengan seragam para pengejarnya. Satu hal lagi yang membuat Respati dan Larasati terpaku, pimpinan prajurit itu sudah mereka kenal. Dia adalah pemuda yang telah menyelamatkan mereka dari terkaman harimau di alun-alun Kota Gede. Dia adalah Pronocitro.
Pronocitro dan anak buahnya hanya diam memandang Larasati dan Respati. Kedua anak muda itu pun diam terpaku, tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Sementara itu derap langkah kuda para prajurit yang mengejarnya mulai terdengar. Respati dan Larasati menengok ke belakang. Benar.Para prajurit itu sudah tampak mengarah ke tempat tersebut.
Respati dan Larasati kebingungan. Sementara derap kaki kuda terdengar kian dekat. Akhirnya tanpa sadar Respati menarik lengan Larasati untuk diajaknya bersembunyi di semak-semak di belakang Pronocitro dan para anak buahnya. Dan ternyata mereka diam saja. Hal itu yang membuat Larasati dan Respati semakin bingung.
Tak berapa lama kemudian para pengejar sudah sampai di hadapan Pronocitro. Serentak mereka menghentikan kuda-kuda mereka.
"Maaf, Ki Sanak. Kami sedang memburu dua orang perusuh. Izinkanlah kami lewat untuk mencari para penjahat itu," ucap Nantang Yuda.
"Kami tidak melihat seorang pun melintas di sini. Barangkali mereka lari ke arah lain," balas Pronocitro.
"Tapi, kami melihat mereka lari ke arah sini," Nantang Yuda mendebat.
"Maaf, Ki Sanak. Ini wilayah hukum Gusti Tumenggung Wiroguno dan saya lurah prajurit di sini. Saya yang bertanggung jawab keamanan di wilayah ini. Pergilah! Kalau memang buron itu bersembunyi di sini, biar saya dan teman-teman yang menangani."
Sejenak Nantang Yuda menatap Pronocitro dengan wajah tidak puas. Demikian pula Sampar dan Goprak yang sudah pernah berurusan dengan pemuda itu. Namun, akhirnya mereka berlalu dari hadapan Pronocitro.
RESPATI dan Larasati makan dengan sangat lahapnya. Meski masakan?yang mereka santap jauh dari ukuran enak, keduanya tampak sangat?menikmati. Benar kata orang-orang tua bahwa lauk yang paling nikmat adalah rasa lapar.
Sementara kedua anak muda itu sedang melahap makanannya, sang?nenek duduk di dipan meracik sirih, kapur, gambir, serta kelengkapan nginang lainnya. Sambil melakukan pekerjaannya, orang tua itu terus meracau, bicara apa saja yang melintas di benaknya. Respati dan Larasati menanggapinya?sambil lalu saja, karena masih sibuk dengan urusan perut mereka.
Menjelang suapan terakhir, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita memanggil-manggil sang nenek dari luar sana. "Nek..., Nenek... Ini aku datang. Aku membawakan tembakau susur kesukaan nenek."
Respati dan?Larasati terkesiap. Sang nenek menajamkan pendengarannya sambil matanya terpicing menatap ke arah pintu. Dan tak lama kemudian pintu terbuka. Seorang wanita muda yang sangat cantik muncul di ambang pintu. Wanita ini tak lain adalah Mendut, sang perawan boyongan dari Pati.
Mendut terhenyak manakala melihat Respati dan Larasati. Demikian pula?kedua anak muda itu. Mereka hanya saling pandang dan terperangah. Sang?Nenek pun kebingungan. Wanita tua itu memandang Mendut dan Larasati secara berganti-ganti dengan kening berkerut.
"Aduh..., aduh..., aduh... Apa yang sedang terjadi di rumahku?" ucap sang?nenek kebingungan sambil memegang keningnya. "Di sana ada Widuri, cucuku. Di sini muncul lagi Widuri. Mana yang benar ini...?"
Respati, Larasati, dan Mendut kebingungan hendak menanggapi ucapan sang nenek. Semuanya bungkam.
Untunglah tiba-tiba saja Pronocitro muncul dan menjawab pertanyaan sang nenek.
"Aih, Nenek. Kenapa bingung" Kami semua cucu Nenek. Ini saya Sudiro dan adik saya Widuri. Nah, yang sedang makan itu Sujiwo dan adiknya, Pinasti," kata Pronocitro lincah, mengelabui sang nenek.
"Sujiwo dan Pinasti..." Aku punya cucu yang namanya Sujiwo dan?Pinasti..." Jadi saya masih punya cucu yang lain... Anak siapa, ya...?" sang nenek semakin bingung.
"Sudahlah, Nek. Nenek memang pelupa. Jangan-jangan sama saya dan Widuri juga lupa?" kata Pronocitro lagi.
"Kalau Widuri, saya tidak pernah lupa, karena dia selalu berbau tembakau dan membawa tembakau susur untuk saya," tutur sang nenek. "Ah..., sudahlah. Kalian membuat saya bingung. Bisa-bisa saya mati berdiri karena?kebingungan. Saya mau tidur dulu," lanjut sang nenek sambil berjalan terbungkuk-bungkuk meninggalkan para anak muda itu.
"Nenek memang harus banyak beristirahat biar awet muda," kata Pronocitro sambil tersenyum dan memandang kepergian wanita tua itu.
Setelah sang nenek menghilang di balik pintu kamar, Pranocitro mendekati Respati dan Larasati.
"Maaf, saya belum sempat mengatakan, jangan kaget kalau sewaktu-waktu Ni Mas Mendut datang ke sini," ucap Pronocitro sambil menggandeng lengan calon selir Tumenggung Wiroguno itu.
Respati terbelalak. "Di..., dia Roro Mendut?" tanya pemuda itu?sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Mendut, seakan tidak percaya dengan ucapan Pronocitro tadi. "Bukankah dia...?"
"Yah. Calon selir Gusti Tumenggung Wiroguno," sahut Pronocitro sebelum Respati menyelesaikan pertanyaannya.
"Tapi..., bagaimana mungkin...?" Respati tidak melanjutkan kata-katanya, seperti ada yang menyekat tenggorokannya.
Pronocitro tanggap apa yang hendak ditanyakan Respati. Pemuda itu lantas?menjelaskan. "Ini urusan anak muda. Sebagai orang muda kamu pasti setuju apa yang saya lakukan."
"Main belakang dengan calon selir majikan sendiri?"
"Tergantung dari sisi mana menilainya. Yang pasti, setiap orang dikaruniai perasaan cinta. Dan rasa cinta itu bagai anak panah emas. Begitu berharganya sehingga sang pemilik hanya mengarahkan pada sasaran tepat yang diinginkannya. Tak seorang pun berhak merampasnya karena merasa berkuasa."
Semuanya diam. Tak seorang pun menanggapi kata-kata Pronocitro tadi. Suasana menjadi beku. Pronocitro lalu berucap lagi pada Respati untuk mencairkan kembali suasana beku tersebut.?
"Hm.... Tampaknya sangat bijaksana kalau kita ngobrol di luar. Biar wanita dan wanita saling berbagi cerita."
Respati menatap Larasati, seakan minta pendapat. Tatapan balasan dari putri demang itu mengisyaratkan kalau ia setuju Respati menyambut tawaran Pronocitro. Pemuda itu lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan beriringan dengan Pronocitro meninggalkan ruangan. Larasati dan Mendut saling berpandangan
RESPATI menyapukan pandangannya ke segenap arah, namun dia tidak menemukan Nenek Bungah.
"Ada apa?" tanya Larasati yang belum tahu apa yang merisaukan Respati.
"Ke mana Nenek?" tanya balik Respati sambil masih mencari-cari orang tua itu.
Barulah Larasati sadar apa yang terjadi. Sebagaimana Respati, putri demang itu?lalu mencari-cari sang nenek, namun tidak menemukannya. Ia lantas melebarkan pandangannya hingga ke ujung jalan dan melihat sang nenek sedang?berjalan tergesa-gesa di kejauhan sana. "Itu dia!" ucap Larasati sambil membidikkan jari telunjuknya ke ujung jalan. "Mau ke mana nenek itu?"
Respati tidak langsung menjawab pertanyaan Larasati. Pemuda itu hanya diam memperhatikan gerak langkah sang nenek yang semakin menjauh dari rumahnya. Ada kejanggalan yang dirasakan Respati. Meski baru beberapa hari serumah dengan sang nenek, namun dia sudah hapal betul kalau orang tua itu tidak selincah sosok yang dilihatnya di kejauhan sana.
"Celaka.... Dia bukan Nenek Bungah!" ucap Respati setengah memekik. Pemuda itu langsung berbalik badan dan berlari ke rumah. Sementara Larasati tampak kebingungan. Ia memandang ke arah Respati dan orang yang berjalan semakin menjauh secara bergantian. Gadis itu akhirnya berlari menyusul Respati.
"Hai...! Tunggu, Kakang!" teriak Larasati sambil mengejar Respati.
Respati seakan tidak peduli dengan panggilan Larasati. Pemuda itu berlari sekencang mungkin. Begitu sampai di rumah dia langsung menuju ke kamar Nenek Bungah dan membuka pintu kamar orang tua itu. Betapa terkejutnya Respati karena Nenek Bungah tergeletak di tanah bersimbah darah.
Belum sempat Respati melihat keadaan orang tua itu, Larasati datang tergesa-gesa. Gadis itu langsung menjerit begitu melihat keadaan Nenek Bungah.?"Ouw....!!
Ngeri menyaksikan pemandangan di depannya, tanpa sadar Larasati menyembunyikan wajahnya di dada Respati. Pemuda itu menyambutnya dengan memeluknya erat-erat.
"Apa yang terjadi pada Nenek?" ucap Larasati sambil terisak.
"Seseorang mencelakainya dan penjahat itu telah memata-matai kita. Jangan ke mana-mana! Saya akan mengejar?durjana yang menyamar sebagai Nenek tadi."
Perlahan-lahan Respati melepaskan pelukannya. Lalu melesat ke arah kepergian orang yang diduga sebagai mata-mata itu.
Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya Respati berlari sekencang mungkin mengejar si penjahat. Meski jaraknya terlalu jauh, namun sedikit demi sedikit sang durjana mulai tersusul.
"Berhenti kamu pengecut...!" teriak Respati sambil berlari. Tentu saja sang penjahat tidak menggubris teriakan itu, bahkan semakin memperkencang langkahnya. Tidak mau kehilangan buronannya, Respati semakin mempercepat larinya.
Kurang lebih sebentangan selendang lagi penjahat itu bisa dijamah, namun tanpa diduga tiba-tiba orang itu berbalik badan sambil menusukkan sebilah pisau ke arah perut Respati. Tidak ada kesempatan berpikir untuk mengelak atau menangkis. Hanya gerak refleks yang sangat terlatih yang bisa menghindarkan Respati dari tikaman benda tajam itu. Untungnya gerak refleks Respati bekerja sempurna. Pemuda itu berputar seperti gasing dan senjata lawan hanya merobek kain bajunya.
Belum sempat Respati memasang kuda-kuda, pembunuh itu sudah melompat seperti katak?ke arahnya sambil bersiap menikamkan pisau yang digenggam dengan kedua belah tangannya. Namun, Respati bertindak tepat. Bersamaan dengan datangnya serangan ia menjatuhkan diri ke belakang sambil kedua kakinya dibandulkan ke atas.
Bandulan kaki Respati tepat menghantam perut si penyerang sehingga orang itu terlempar dan?jatuh bergulung-gulung seperti bola.
Respati segera bangkit dan bersiap melancarkan serangan berikutnya. Tapi, tiba-tiba dari semak-semak meluncur beberapa bilah pisau ke arahnya. Untunglah Respati waspada. Dengan sangat gesitnya pendekar muda itu menghindari desingan pisau-pisau.
Rupanya sang penyerang gelap yang lebih dari satu orang itu tidak hanya berhenti sampai di situ. Mereka mengulangi lagi lemparannya. Kali ini lebih gencar dan terarah. Sejauh ini Respati masih mampu mengatasi. Ia berhasil menepis senjata-senjata berbahaya tersebut hingga berguguran seperti daun kering. Namun, tanpa disadarinya sebilah pisau terlepas dari perhatiannya. Senjata itu melesat bagai anak panah terlepas dari busurnya.
Crap..!! Pisau itu menancap di dada kirinya. Respati terjajar beberapa meter, lalu membentur pohon dan roboh seperti buah jatuh dari pohonnya. Hampir bersamaan dengan itu dua orang tak dikenal muncul dari semak-semak, lalu menyambar sang?mata-mata dan membawanya pergi. Respati berusaha bangkit untuk mengejar. Namun mendadak pandangannya menjadi gelap dan pemuda itu tak sadarkan diri.
PRONOCITRO berjalan mondar-mandir di pendopo Katumenggungan. Sepertinya ada peperangan besar di?benaknya. Peperangan antara sejumlah rencana penting dengan berbagai persoalan dan risiko yang akan dihadapi jika rencana itu dijalankan sekarang. Cukup lama peperangan itu berlangsung, namun akhirnya dimenangkan oleh rencananya.Rencana apa yang akan dijalankan pemuda Pekalongan ini"
Apa lagi kalau bukan membawa lari Mendut dari kediaman Tumenggung Wiroguno. Sudah lama dia menunggu-nunggu kesempatan baik dan kini kesempatan emas itu terbuka lebar-lebar. Kepergian Tumenggung berburu memungkinkan dia bisa bergerak dengan leluasa. Tapi, ada hal yang mengganjal di hati anak? muda ini. Pandangan Sang Tumenggung saat berangkat dirasa sangat misterius. Jangan-jangan kepergian sang penguasa itu hanyalah siasat untuk menjebaknya, mengingat isu hubungannya dengan Mendut sudah tersebar ke mana-mana. Tapi, bisa jadi prasangka itu hanyalah bayangan dari perasaan takutnya. Pronocitro akhirnya memilih jawaban yang kedua.
"Yah, saya harus bergerak sekarang. Apapun akibatnya," gumam Pronocitro lirih, tapi mengandung energi yang sangat kuat. Tiba-tiba ada satu hal lagi yang mengganggu tekadnya. Kapal yang ditunggu belum tiba di Pekalongan. Setelah agak lama merenung, Pronocitro akhirnya mengambil keputusan, yang penting dia membawa Mendut kabur dari rumah Tumenggung. Selanjutnya bisa bersembunyi di sekitar Pekalongan sambil menunggu kapal itu berlabuh.
Pronocitro sudah bulat dengan tekadnya. Dia harus memberitahu rencana tersebut?kepada Mendut. Tapi, dengan apa"?Setelah merenung sejenak Pronocitro teringat sesuatu. Ia lalu merogoh kantung ikat pinggangnya dan mengeluarkan?selinting rokok. Rokok pemberian Mendut yang tak pernah diisapnya karena dia memang bukan perokok. Rokok itu hanya sebagai penghibur hatinya jika tiba-tiba teringat pada Mendut, dipandanginya, dielus, ataupun diciuminya sebagaimana yang ia lakukan pada sang kekasih.
Sejenak Pronocitro memandangi rokok tersebut, lalu membuka ikatannya, membuang tembakaunya, selanjutnya membentangkan klobot pembalut rokok tersebut dan menorehnya dengan ujung keris. Ia?menuliskan sesuatu.
Usai melakukan pekerjaannya, Pronocitro menoleh ke sana kemari. Kebetulan dia melihat Welas yang sedang menyirami tanaman. Pronocitro bergegas menghampiri bujang bongkok itu.
"Kang! Tolong sampaikan ini pada Mendut!" ucap Pronocitro setengah berbisik pada Welas.
"Apa ini?" tanya Welas yang tidak mau begitu saja diperintah.
"Surat," jawab Pronocitro jujur, karena tahu Welas tidak suka dibohongi.Sejenak Welas hanya memandangi Pronocitro. Lalu berucap dengan nada khawatir. "Lho..., apa kamu tidak sadar kalau sedang menjadi bahan pergunjingan di mana-mana" Kok masih berani-beraninya ngirim surat untuk?Mendut?"
"Justru itu, Kang saya minta tolong sampean."
"Ah, tidak, ah. Saya tidak mau terlibat masalah ini. Saya masih ingin hidup bebas, tidak mau dikurung di penjara," ujar Welas sambil melangkah mundur.
"Ayolah, Kang. Pada siapa lagi saya minta tolong kalau bukan sampean" Di sini saya tidak punya siapa-siapa selain Kang Welas yang sudah saya anggap saudara sendiri," rayu Ponocitro sambil menggenggamkan sejumlah uang ke tangan Welas. Welas mulai melunak. "Tapi, kalau ada apa-apa jangan bawa nama saya lho!"
"Beres. Lagi pula tidak akan ada apa-apa. Percayalah!"
Akhirnya Welas mengangguk. Sekali lagi bujang bongkok itu memandang Pronocitro dengan tatapan khawatir, kemudian berlalu menjalankan perintah orang yang sudah mengupahnya itu. Pronocitro memandangi??kepergian Welas dengan wajah puas.
Sementara itu, Mendut sedang gelisah karena pergunjingan tentang dirinya sudah sampai di telinganya.Para selir yang tinggal serumah pun mulai jaga jarak,?takut terkena imbas kemarahan Tumenggung Wiroguno. Gadis Pati itu berjalan mondar-mandir di taman, berusaha menyingkirkan kegelisahannya.
Tak berapa lama kemudian Welas datang berpura-pura menyapu taman. Tatkala keadaan dirasa aman sang tukang kebun lalu melemparsurat dari Pronocitro tepat di sisi kaki Mendut.?Lelaki bongkok itu tetap berpura-pura membersihkan taman agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Mendut memungutsurat tersebut dan langsung membawanya masuk ke kamarnya. Ia lalu membentangkan gulungan klobot itu dan mengolesinya dengan gincu. Tampak tulisan dalam pembungkus rokok itu sebagai berikut : Ni Mas. Inilah saat yang tepat untuk mewujudkan rencana kita. Pergilah ke rumah tua malam ini. Aku menunggumu disana . Mantapkan niatmu dan bulatkan tekadmu. Apa pun akibat yang akan terjadi, kita tanggung bersama. Sebagaimana janji yang kita ucapkan.Susah senang bersama, hidup mati berdua, satu lubang dua jasad.
Mendut menggulung kembali pembungkus rokok itu lalu menggengamnya erat-erat. Ia tidak tahu, seharusnya?merasa?senang atau takut karena kedua-duanya muncul bersamaan. Mendut hanya diam merenung
MATAHARI tinggal keningnya saja di balik bukit. Binatang malam mulai bersolek untuk tampil sesaat lagi. Seruling Respati?masih mengalun, bahkan terdengar kian syahdu. Tiba-tiba Pronocitro sudah berdiri di sisi Respati dan pemuda itu langsung menghentikan permainan musik tiupnya.
"Kenapa berhenti?" tanya Pronocitro.
"Oh, Kakang Pronocitro. Sudah lama di sini?"
"Separo lagu terakhir yang kamu mainkan."
Pronocitro lalu duduk di sisi Respati. "Tiupan serulingmu sangat syahdu. Sepertinya hatimu ikut bersenandung?"
"Ah, Kakang terlalu berlebihan. Saya hanya memainkan lagu para penggembala yang kesepian di gunung," Respati berkilah.
"Sepinya hati penggembala berbeda dengan sepinya jiwa orang yang sedang kasmaran. Dan saya merasakan hal yang kedua pada tiupan serulingmu. Saya bisa merasakan itu karena saya sendiri sedang jatuh cinta."
Respati tidak bisa berkilah dari ucapan Pronocitro, namun dia masih berusaha menyembunyikan kejujurannya.
"Kamu sedang jatuh cinta pada gadis itu kan?" tanya Pronocitro, seperti memojokkan.
Respati gelagapan. Beberapa saat lamanya dia masih tampak bingung dan kesulitan menjawab, namun akhirnya?mengangguk malu-malu.
Pronocitro tersenyum tipis, lalu menghela nafas panjang, seakan sulit hendak menyampaikan sesuatu pada Respati. Setelah sejenak merenung akhirnya dia berkata lirih. "Saya bisa memahami?rasanya orang jatuh cinta. Ada segunung cita-cita dan harapan, sekaligus menyimpan kecemasan yang sama besarnya dengan harapannya. Menyakitkan sekali memang jika harapan itu akhirnya?pupus karena sang dambaan hati sudah ada yang punya."
"Maksud kakang, gadis itu sudah punya kekasih?"
Sejenak Pronocitro memandang wajah Respati, lalu mengangguk-angguk. "Yah, dan kekasihnya itu sahabatku sendiri, Pamungkas. Saat ini dia sedang?mencari kekasihnya di Kota Gede ini."
Seketika tergambar kekecewaan di wajah Respati. Bagai daun segar yang tersiram air panas, mendadak layu dan menunduk. Beberapa saat lamanya pemuda itu hanya merenung.
"Lebih baik kamu saya beritahu sekarang daripada berlarut-larut."
"Terima kasih," balas Respati sambil mengangguk-angguk. Ia lalu bergumam.?"Pamungkas.... Saya mengenal dia. Seorang pendekar tampan dan perkasa. Saya sudah menyaksikan sendiri kehebatannya di Pasar Keningar. Yah, dia memang lebih pantas menyanding Pinasthi, dari pada aku yang tidak ada daya sama sekali ini."
"Hai...! Kenapa kamu jadi rendah diri seperti itu" Seorang ksatria harus tegar menghadapi apa pun," ucap Pronocitro memotivasi. Pemuda Pekalongan itu lalu merangkul pundak Respati dan mengelus-elusnya sambil berkata menghibur. "Sabarlah, kawan. Hidup ini memang tidak seperti melangkah di jalanan berbalut marmer yang halus, mulus dan sejuk, tapi penuh batu sandungan dan berliku-liku. Namun semuanya itu akan mendewasakan dan mengantar kita pada tempat yang lebih baik. Lagi pula perjalanan belum berakhir. Bisa jadi memang dia jodohmu, atau setidaknya kamu akan mendapatkan yang lebih baik dari dia."
Respati merasa terhibur oleh tutur kata Pronocitro. Pemuda itu mengangguk-angguk. Pronocitro melanjutkan kata-katanya lagi.
"Oh, ya. Kesehatanmu masih buruk. Kamu harus banyak beristirahat.?Mari ke dalam!"
Pronocitro mengulurkan tangannya. Tanpa menolak Respati menyambut uluran tangan Pronocitro. Kedua anak muda itu lalu berjalan beriringan masuk ke dalam rumah.
Belum lama berselang, tiba-tiba Mendut datang tergopoh-gopoh diantar Welas. Gadis boyongan itu segera merangkul kekasihnya sambil menangis tersedu-sedu. "Oh, Kakang.... Aku takut sekali."
Pronocitro mengusap air mata kekasihnya dengan penuh kasih sayang. "Apa yang ditakutkan, Ni Mas" Sebentar lagi kita akan bebas dan hidup bahagia di tempat yang sangat indah serta damai."
Mendut membenamkan mukanya ke dada Pronocitro dan tangisnya semakin?menjadi-jadi. Pronocito membelai-belai rambut kekasihnya itu untuk menenangkannya. Respati dan Larasati memandang bengong kejadian tersebut, karena mereka memang tidak tahu permasalahannya.
"Emp..., maaf.Ada apa ini sebenarnya?" Respati memberanikan diri bertanya. Pronocitro tidak langsung menjawab, seakan berat untuk mengungkapkannya.
"Oh, maaf kalau pertanyaanku tidak sopan," Respati merasa bersalah.
"Oh, tidak!" sahut Pronocitro. "Saya hanya sulit mengucapkan kata perpisahan pada orang-orang yang sudah saya anggap sahabat seperti kalian."
"Maksud Kakang?" kini Larasati yang memberanikan diri bertanya.
"Kami akan pergi dari sini untuk selamanya," jawab Pronocitro
PARAprajurit menggeledah semua tempat. Tak seinci pun ruangan dalam rumah tua itu yang terlewatkan dari pandangan para prajurit. Kolong tempat tidur, kolong meja, kamar tidur, kamar mandi, langit-langit, bahkan tempayan yang tengkurap pun mereka balikkan, siapa tahu orang yang mereka cari bersembunyi di dalamnya. Namun, mereka tidak menemukan orang yang mereka cari. Akhirnya para prajurit menghadap Sang Tumenggung dan melaporkan apa adanya.
"Sudah semua tempat digeledah, Gusti. Tapi, tidak ditemukan siapa-siapa kecuali seorang nenek-nenek yang sedang terbaring sakit," lapor prajurit yang mengepalai pencarian itu.
"Sepertinya mereka memang tidak ada di sini, Gusti," sambung yang lain.
"Kurang ajar. Meski mataku mata tua, tapi masih cukup awas kalau hanya untuk melihat pada jarak setembakan anak panah," balas Tumenggung marah.
"Tapi, kami sudah memeriksa semua tempat, Gusti, bahkan sampai lubang tikus pun kami korek-korek."
"Dasar tidak berguna. Saya melihat dengan mata kepala sendiri, kedua bangsat itu masuk ke sini. Ayo cari sampai ketemu!" teriak Tumenggung semakin marah.
Tentu saja para prajurit tidak berani membantah perintah tuannya. Namun sebelum mereka bergerak, tiba-tiba Nenek Bungah ke luar dari dalam kamarnya sambil marah-marah. "Hai...!
Anak-anak nakal, dari mana kalian ini" Tidak tahu diri. Berisik di rumah orang tua yang sedang sakit. Ayo pergi...! Pergisana !"
Tumenggung menatap nenek pikun itu sambil mengernyitkan dahi, sedang para prajurit hanya melongo. Mereka tidak tahu harus berbuat apa.
"Hai...! Kenapa masih diam di situ" Apa kalian tidak melihat kedua cucuku juga sedang sakit.
Ayo pergi atau saya siram dubang (air ludah berwarna merah bagi orang yang mempunyai kebiasaan nginang/makan sirih)!
Sang Nenek mengangkat paidon (semacam bokor untuk menampung dubang). Tanpa sadar Tumenggung langsung bergegas ke luar rumah, diikuti para anak buahnya. Nenek Bungah segera menutup pintu rumahnya dengan kasar sambil masih ngedumel layaknya sedang kesal pada kawanan anak nakal.
Sesampai di luar rumah barulah Tumenggung Wiroguno sadar bahwa sudah bertindak memalukan. Dia yang seorang penguasa harus lari terbirirt-birit hanya karena digertak nenek-nenek pikun. Untuk menutupi rasa malunya, Tumenggung lantas berteriak-teriak kasar pada anak buahnya. "Ayo, menyebar kalian dan kejar para penjahat itu. Jangan pernah kembali sebelum berhasil meringkus mereka!"
Paraprajurit langsung menyebar ke segenap penjuru. Obor-obor dinyalakan dan pedang dihunus. Tumenggung Wiroguno memandang kepergian para anak buahnya dengan muka?masam karena kemarahannya semakin menumpuk. Tak berapa lama kemudian seorang prajurit tergopoh-gopoh menghadap Tumenggung sambil menyerahkan sesuatu. "Saya menemukan ini, Gusti."
Tumenggung langsung meraih apa yang disodorkan prajurit tadi. Ternyata gulungan klobot,surat Pronocitro untuk Mendut. Di bawah cahaya obor Tumenggung Wiroguno membacanya. Kontan darah orang tua itu melonjak hingga ke ubun-ubun dan dadanya seperti mau meledak menahan amarah yang luar biasa.
"Kurang ajar!" teriak Tumenggung sambil meremas gulungan klobot itu, lalu membantingnya ke tanah. "Mereka belum lama meninggalkan tempat itu. Ayo kejar! Jangan sampai lolos!!"
Spontan para prajurit berhamburan ke arah yang ditunjuk Tumenggung. Barisan obor berjajar bagai kawanan kunang-kunang besar. Derap langkah dan ringkik kuda menyibukkan malam yang seharusnya sunyi sepi itu.
Sepeninggal Tumenggung Wiroguno dan pasukannya rumah Nenek Bungah kembali sunyi. Sang nenek kembali ke kamarnya untuk beristirahat, sedang?Larasati berbincang dengan Respati.
"Kenapa kamu tidak berterus terang saja pada Tumenggung, siapa?diri kamu?" ucap?Respati.
"Itu tadi kesempatan emas. Kamu bisa mengatakan masalahmu dan kamu bisa cepat pulang ke Wonoringkih."
"Kalau aku berterus terang maka Kakang Pronocitro dan Kang Mbok Mendut akan celaka. Lagi pula Gusti Tumenggung sedang murka, pasti laporanku tidak ditanggapi secara baik. Mungkin malah sebaliknya."
Respati membenarkan alasan Larasati. Sejenak suasana hening, lalu Respati memulai lagi ucapannya.?"Sayang sekali. Sekarang kesempatanmu hilang." Larasati menghela nafas panjang. "Mungkin?takdirnya memang harus seperti ini. Sekarang bagaimana?"
"Pergi dari sini secepat mungkin. Saya khawatir Tumenggung akan kembali ke sini untuk menangkap kita."
"Kesehatan Kakang sendiri bagaimana?"
"Jangan hiraukan. Saya masih sanggup berjalan seharian."
Larasati hanya diam merenung, seakan mempertimbangkan ucapan Respati, dan sebelum gadis itu menanggapi, sang pemuda berucap lagi sambil memegang lengan Larasati.
"Sebaiknya kita pergi ke arah yang berbeda. Kita berpisah sampai di sini saja."
Larasati terkejut mendengar ucapan Respati tadi. Putri demang itu terbelalak
Kini Larasati sedikit mendapat kelonggaran dari Baskoro. Ia bisa berjalan-jalan lagi dengan tenang di tanah kelahirannya yang baru saja ditinggal mengembara. Namun, meski mendapat kelonggaran, tetap saja ia melangkah dengan murung. Ia seperti kehilangan kampung halamannya dan serasa berjalan di tempat asing. Tidak ada lagi suasana desa yang asri dan damai; tidak ada lagi teman sejawat yang mengajaknya bercanda; dan tidak ada lagi warga yang menyapanya ramah. Yang tampak sepanjang ia berjalan adalah suasana ti-dak bersahabat, para anak buah Baskoro yang bertampang dingin dan seram, serta orang-orang desanya yang pontang-panting dipaksa membangun benteng pertahanan.
Larasati terus menyisir jalan-jalan yang biasa ia lalui semasa keadaan damai. Tapi yang dilakukan putri demang ini tidak sekadar bernostalgia menyusuri jalan kenangan. Gadis ayu ini sedang memulai aksinya, menyelidiki keadaan sesungguhnya yang terjadi di kampungnya, memata-matai kekuatan Baskoro serta mencari tahu di mana ayah dan kekasihnya dikurung.
Tiba-tiba seorang lelaki berseragam prajurit memanggilnya lirih dari semak-semak. Larasati dan Gembil menoleh. Laki-laki itu memberi isyarat pada Larasati agar mendekat. Putri demang itu memandang pembantunya, seakan minta pertimbangan.
Lelaki di balik semak-semak lalu berbisik. "Jangan takut Mas Roro. Saya orang Wonoringkih yang masih setia pada Ki Demang. Cepatlah kemari sebelum ada yang melihat," desak lelaki setengah baya itu.
Sekali lagi Larasati memandang wajah Gembil. Pembantu berbadan subur itu mengangguk perlahan. Keduanya lantas bergegas menyelinap ke balik semak-semak. Mereka berta-tapan langsung dengan lelaki yang memanggilnya. Larasti mengerutkan kening. Lamat-lamat ia mengenali lelaki itu memang orang Wonoringkih.
"Maaf kalau saya lupa, tidak mengenali Paman lagi," ucap Larasati sopan.
"Saya memahami Mas Roro. Dalam keadaan sulit seperti ini masih untung kalau hanya ingatan yang hilang. Karena banyak yang sudah kehilangan rasa malu, harga diri, bahkan rasa kemanusiaannya, untuk kemudian menghamba pada manusia sesat itu."
Larasati mengangguk sambil tersenyum tipis, lalu bertanya. "Paman siapa?"
"Nama saya Sentiko. Memang, saya tidak terlalu dekat dengan Ki Demang. Tapi sampai saat ini saya masih setia pada beliau dan mengakui kedudukannya sebagai penguasa yang sah di kademangan ini."
Membandingkan pakaian dan ucapan lelaki itu, Gembil jadi tergoda untuk bertanya. "Tapi..., tapi kenapa...?"
Sentiko tanggap apa yang hendak ditanyakan Gembil. Lelaki itu segera menjawab sebelum Gembil menyelesaikan pertanyaannya. "Oh, kalian jangan memandang pakaian yang saya kenakan ini. Saya hanya berpura-pura setia pada Baskoro. Hati saya tetap setia pada Ki Demang dan Mataram. Hanya dengan cara inilah saya leluasa memata-matai mereka."
Gembil dan Larasati mengangguk-angguk, memaklumi apa yang dilakukan Sentiko. Lelaki itu melanjutkan
penuturannya. "Nah, kalau Ni Mas hendak mengirimkan sesuatu pada Ki Demang atau Pamungkas, saya bersedia membantu."
Wajah Larasati langsung berbunga-bunga. "Oh terima kasih, Paman. Sekarang tunjukkan di mana ayah dan Kakang Pamungkas ditahan?"
Laki-laki itu menuding ke arah dua buah bangunan. "Dulu mereka dikurung di bangunan besar itu bersama beberapa tahanan lainnya. Tapi, sejak beberapa hari lalu Pamungkas dipisahkan sendirian di bangunan yang kecil di sebelahnya."
Larasati mengangguk-angguk sambil memandangi kedua bangunan yang ditunjukkan Sentiko secara bergantian.
"Baiklah, Mas Roro, saya harus pergi. Hubungi saya bila membutuhkan sesuatu," ucap Sentiko seraya bergegas pergi.
Tentu saja Larasati dan Gembil tidak bisa mencegah kepergian Sentiko, meski masih banyak yang ingin ditanyakan, karena lelaki itu harus waspada dengan keselamatannya.
Larasati dan Gembil masih berdiri di tempatnya sambil memandangi kedua bangunan tempat ayahnya dan kekasihnya dikurung.
Gembil mulai khawatir. Ia menengok ke kanan kiri dengan cemas. Pembantu setia itu lalu memperingatkan majikannya. "Kita pergi, Den Roro. Nanti ada yang melihat dan kita akan dicurigai?"
Larasati seakan tidak mendengar ajakan pembantunya. Ia masih menatap kedua bangunan tersebut secara bergantian, seakan ingin pandangannya bisa menembus ke dalamsana dan melihat keadaan kedua orang yang sangat dicintainya itu.
Gembil mengulangi ajakannya sambil mencolek lengan Larasati. "Kita pergi, Den! Nanti keburu ada yang melihat kita."
Larasati tersentak sadar. Putri demang itu setuju dengan kekhawatiran pembantunya. Ia lalu memalingkan pandangan dari kedua bangunan tersebut dan bersiap pergi. Namun seketika langkahnya tertahan, matanya terbelalak dan dadanya berdegup kencang.Ada sesuatu yang membuatnya sangat terkejut dan ketakutan
Larasati dan Gembil masih berdiri tertegun dengan dada berdegup keras karena ketakutan. Seseorang sudah berdiri di hadapannya. Orang itu adalah Rumekso. Lelaki menyebalkan tersebut memandang Larasati dan Gembil dengan tatapan curiga.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Rumekso menyelidik.
"Eh, anu, sedang cari angin...," dengan agak gugup Gembil menyambar pertanyaan Rumekso.
"Cari angin" Kenapa di sini" Ini tempat terlarang. Siapa pun yang ke sini harus minta izin!" ucap Rumekso dengan suara keras, sampai-sampai air ludahnya menyembur seperti hujan gerimis.
Gembil tidak bisa menahan rasa gelinya. Tentu saja hal tersebut membuat Rumekso semakin geram.
"Hai! Kamu kira saya main-main, ya?" bentak Rumekso.
Gembil gelagapan. "Oh, tidak. Tidak, Ki! Maaf. saya minta maaf." Rupanya kata maaf Gembil tidak mengurangi wajah garang Rumekso. Lelaki itu terus menatap kedua wanita di hadapannya dengan mata melotot. Gembil membisikkan sesuatu pada Larasati. Putri demang itu mengangguk-angguk seraya menyerahkan sejumlah uang pada pembantunya.
"Maaf, Ki. Kami betul-betul tidak tahu. Jangan diadukan pada siapa-siapa, ya" Dan ini sekadar untuk memparbaiki kesalahan kami," ucap Gembil merayu sambil mengangsurkan uang dari majikannya.
Tanpa mengucap sepatah kata pun Rumekso lantas menyambar uang dari tangan Gembil seperti ular kobra menyambar belalang. Gembil lalu menghela lengan majikannya untuk diajak pergi. Namun, belum genap tiga langkah mereka berjalan, Rumekso menegurnya.
"Hei...! Mau ke mana kalian?"
"Pulang," balas Gembil ringan.
"Den Mas Baskoro memanggil."
"Saya?" tanya Gembil sambil menunjuk dadanya.
"Setan alas. Bukan kamu! Majikanmu, bodoh," balas Rumekso agak dongkol.
Gembil dan Larasati langsung saling berpandangan. Namun, Rumekso membentaknya. "Ayo cepat. Saya sudah lama mencari kalian."
Tidak ada pilihan bagi Larasati kecuali memenuhi panggilan Baskoro. Yah dia harus mengikuti permainan itu dengan manis agar rencananya berjalan mulus. Rumekso mengiringi mereka dari belakang.
Saat itu Baskoro sedang menerima tamu beberapa orang asing. Larasati sangat heran melihat postur tubuh, kulit, rambut, dan pakaian para tamu yang semuanya berbeda dengan bangsanya. Mereka adalah orang-orang Belanda, dan baru kali ini Larasti melihat bangsa pendatang dari Negeri Kincir Angin tersebut.
Kapten Molenaar-orang yang pangkatnya paling tinggi di antara para tamu itu-sedang terlibat pembicaraan dengan Baskoro.
"Ini sungguh bingkisan yang sangat istimewa dari pucuk pimpinan kami diBatavia , Tuan," ucap Molenaar sambil memamerkan sepucuk meriam. "Jarang sekali kami memberi hadiah senjata berat, pada seorang raja sekalipun."
"Lantas kenapa Tuan-tuan begitu bermurah hati pada kami?" tanya Baskoro.
"Oh, tentu saja karena kami memandang prospek persahabatan kita. Kami melihat pula Tuan punya masa depan yang baik. Tuan bisa menjadi raja besar seperti Mataram."
Baskoro tersenyum atas sanjungan itu. "Lalu apa yang Tuan harapkan dari kami?"
"Tidak banyak. Pucuk pimpinan kami hanya minta Tuan menjual hasil bumi dari sini hanya kepada kami."
"Itu, sih kecil," balas Baskoro menyombongkan diri.
"Dan satu lagi. Teruskan permusuhan Tuan dengan Mataram. Kami akan selalu menyokong persenjataan yang Tuan butuhkan."
"Jangan khawatir. Tapi, saya belum melihat bukti kehebatan senjata Tuan."
Kapten Molenaar tertawa terbahak-bahak. "Ha...ha...ha.... Pasti Tuan akan terkejut melihat kehebatan senjata kami yang mampu menghancurkan bukit batu."
Molenaar lalu memberi isyarat pada anak buahnya. Beberapa orang serdadu Belanda maju bersiap-siap menguji kehebatan senjata yang mereka banggakan. Meriam itu mereka arahkan ke bukit batu. Bubuk mesiu dan peluru sudah dipasang.
Seorang serdadu sudah menyalakan obor, siap menyulut sumbu yang akan meledakkan mesiu dalam perut meriam. Baskoro melirik Larasati. Tiba-tiba saja ada rencana busuk yang melintas. Bangsawan muda itu lalu mencegah serdadu yang hendak menyulut sumbu meriam.
"Tunggu dulu!" Baskoro lantas mengarahkan laras meriam tersebut ke bangunan tempat Pamungkas di penjara. Sekali lagi Baskoro melirik Larasati, seakan ingin melihat reaksi gadis muda itu. Larasati sangat gelisah, namun berusaha menyembunyikan perasaannya agar tidak menarik kecurigaan Baskoro, dan dia yakin Baskoro tidak akan melakukan itu.
Di luar dugaan Larasati, ternyata Baskoro bersungguh-sungguh. Ia memberi isyarat agar sumbu meriam segera disulut. Sang serdadu maju memenuhi perintah Baskoro. Sumbu terbakar dan nyala api merambat sedikit demi sedikit bagai ular api yang bergerak hendak mematuk bubuk mesiu di perut meriam.
JAKA Pekik memisahkan diri dari kelompok Tujuh Pendekar Lembah Naga dan berguru pada seorang pendekar beraliran sesat, yang selain mengajarkan ilmu silat juga mengajari mantra-mantra penakluk perempuan. Setelah cukup ilmunya Jaka Pekik kembali lagi ke dunia ramai, namun sudah?menjadi sosok dan pribadi yang berbeda.
Dengan ketampanan dan bekal ilmu baru yang dimiliki, Jaka Pekik tampil sebagai sosok pendekar pemetik bunga dan berjuluk Kamasura. Kepintarannya memoles wajah dan dandanan membuatnya tidak dikenali orang. Namun, sesekali ia kembali tampil sebagai Naga Tampan untuk?menemui Arum Gendhis, kekasihnya.
Dengan sosok barunya ini banyak gadis belia, bahkan istri-istri pejabat,?yang jatuh ke dalam pelukannya. Namun, ibarat anak panah yang melesat dari busurnya, sasaran utama yang dituju adalah Pudak Ayu.
Apa yang diinginkan Jaka Pekik akhirnya kesampaian. Dengan rayuan mautnya dan mantra pemikat?jiwa yang hebat ia berhasil menaklukan kekasih Aria Kumitir. Wanita tercantik di antara enam pendekar wanita itu tidak berdaya dalam pelukan sang pemetik bunga. Apa yang tidak seharusnya dilakukan pun akhirnya terjadi, dan Pudak Ayu berbadan dua.
Puas dengan apa yang dilakukan, Jaka Pekik lalu mencampakkan Pudak Ayu dan kembali pada kekasihnya. Tinggallah si sulung ini merenungi nasib dan kesalahannya karena telah menghianati kekasihnya. Tidak kuat menanggung rasa malu dan bersalah, Pudak Ayu akhirnya bunuh diri. Sebelum mengembuskan napas terakhir, wanita itu berkata pada adik-adiknya bahwa dia telah menjadi korban laki-laki, dan berpesan agar mereka berhati-hati terhadap kaum lelaki.
Kelima orang saudara Pudak Ayu tidak mengerti siapa lelaki yang dimaksud kakaknya. Mereka mengira bahwa?kakaknya telah dihianati oleh Aria Kumitir.?Sejak saat itu kelima orang pendekar wanita itu bersumpah?memusuhi kaum lelaki dan memburu Aria Kumitir untuk dimintai pertanggungjawabannya.
Sementara itu Aria Kumitir sendiri tidak tahu bahwa pelaku kejahatan terhadap kekasihnya adalah saudara sekelompoknya. Dia hanya mengenal bahwa penjahat itu berjuluk Kamasura. Aria Kumitir memburu orang tersebut.
Usaha pencarian Aria Kumitir membuahkan hasil. Mereka bertemu dan bertarung mati-matian.
Meski sudah menuntut ilmu pada tokoh sakti, tapi ternyata kemampuan Jaka Pekik belum bisa mengungguli Aria Kumitir. Naga Tampan yang mengubah sosok menjadi Kamasura itu keteter dan akhirnya roboh oleh ilmu pukulan Inti Buana milik Aria Kumitir.
Naga yang paling lucu di antara saudara-saudaranya ini hendak membunuh lawannya, namun pada saat itu pula terkuak jati diri sang pemetik bunga. Aria Kumitir tertegun dan nyaris tidak percaya dengan kenyataan yang dihadapi. Mana mungkin dia tega membunuh saudara seperjuangannya, yang pernah bersama-samamalang melintang memberantas kejahatan, hidup seatap dalam suka dan duka.
Rasa marah yang sebelumnya berkobar-kobar mendadak padam, berganti dengan rasa kecewa, kesal, dan lain sebagainya yang membuat lelaki ini hanya diam terpaku. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Jaka Pekik untuk melarikan diri.
Sejak saat itu berita tentang Naga Tampan ini tidak terdengar lagi. Rupanya dia mengasingkan diri untuk menempa kemampuan. Setelah dirasa cukup, dia muncul kembali, namun dalam sosok yang berbeda lagi. Dia tampil mengenakan topeng serta pakaian serba gemerlapan untuk menyembunyikan jati dirinya dan berjuluk Topeng Perak.
Kemunculan Topeng Perak yang misterius diyakini oleh Arum Gendhis sebagai kekasihnya. Meski dia dan adik-adiknya sudah berjanji untuk memusuhi kaum lelaki, tapi wanita ini tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa dia masih memendam rasa cinta. Pertemuannya yang tak terduga dengan cinta sejatinya yang sudah lama menghilang tidak bisa menyembunyikan kerinduannya. Pasangan insan yang sudah berumur ini memadu kasih sebagaimana anak muda.
"Ke mana saja Kakang selama ini?" tanya Nyai Gendhis sesaat setelah rasa rindunya terlampiaskan.
"Terlalu panjang untuk diceritakan. Sudahlah, kita mulai lagi dari awal," jawab Topeng Perak kalem.
"Tidak," jawab Nyai Gendhis tegas. "Saya dan adik-adik sudah berjanji di hadapan jasad yunda Pudak Ayu bahwa kami tidak akan menikah dan menyatakan perang terhadap kaum lelaki sebelum bisa meringkus lelaki yang telah merusak kesucian yunda Pudak Ayu."?
Topeng Perak tersenyum aneh.
Nyai Gendhis heran. "Kenapa, Kakang?" tanya ketua Lima Bunga Beracun itu.
"Oh, tidak. Tidak apa-apa," jawab Topeng Perak agak gugup. "Saya akan membantumu meringkus bajingan itu." Nyai Gendhis tersenyum
NYAI Gendhis dan Topeng Perak masih berdua-duaan di tempat sepi.
"Kenapa Kakang membantu anak itu" Apa Kakang juga ingin menjadi seorang penguasa?" tanya Nyai Gendhis pada Topeng Perak.
"Tidak. Aku hanya tertarik pada semangat dan ambisinya. Kebetulan pula aku juga menentang takhta Sultan Agung," jawab Topeng Perak.
"Kakang yakin akan berhasil?"
"Saya selalu yakin dengan apa yang saya lakukan." Nyai Gendhis mengangguk-angguk. Topeng Perak melanjutkan.
"Kamu dan adik-adikmu bersedia membantu,kan ?"
"Yah. Karena ada Kakang di balik anak muda itu."
Topeng Perak tersenyum. Demikian pula Nyai Gendhis. Wanita itu lalu merapatkan tubuhnya ke dada Topeng Perak, layaknya anak muda yang sedang memadu kasih.
Sementara pasangan manusia berumur itu sedang berasyik-masyuk, di sebuah lorong bawah tanah di lingkungan markas Baskoro, dua orang sedang berjalan mengendap-endap dengan sangat hati-hati dan waspada. Kedua orang itu tak lain adalah Larasati dan Sentiko. Dalam temaram penerangan obor mereka berjalan membungkuk-bungkuk menembus lorong yang rendah, dingin,?dan lembab itu.
"Masih jauh, Paman?" tanya Larasati lirih.
"Sebentar lagi, Den Ayu. Kira-kira seratus langkah lagi kita akan sampai di ujung lorong dan kita akan membelok ke kiri. Disana ada rongga yang agak luas. Di sanalah Den Pamungkas ditawan," jawab Sentiko setengah berbisik.
Sejenak Larasati merenung, seakan membayangkan bagaimana rasanya dikurung di tempat lembab itu. "Kejam sekali, Baskoro. Kakang Pamungkas pasti tersiksa disana ," keluh Larasati.
"Mari kita lanjutkan, Den. Nanti keburu ada yang memergoki."
Kedua orang itu lalu melanjutkan perjalanannya. Seperti yang mereka bicarakan tadi, keduanya sedang menyelinap untuk menjenguk Pamungkas yang dikurung di ruang bawah tanah.
Bagaimana Larasati tahu kalau Pamungkas disekap disana "
Tentu saja itu hasil penyelidikan Sentiko. Sebagaimana yang dijanjikan sebelumnya, lelaki yang tetap setia pada Demang Wicaksana itu menyelidiki di mana Pamungkas disekap. Usahanya tidak sia-sia.
Setelah mendapat kepastian tempat Pamungkas ditawan, Sentiko lantas memberitahu Larasati. Namun, di luar dugaannya, putri demang itu mendesaknya untuk menjenguk kesana . Tentu saja Sentiko kelabakan, karena di samping sulit ditempuh juga sangat berbahaya. Tapi, Larasati terus mendesak. Akhirnya dengan berat hati Sentiko mengabulkannya, tentu sebelumnya dia sudah mengatur dengan orang-orang yang masih setia kepada Demang yang sah.
Larasati dan pemandunya sudah sampai di ujung lorong, di tikungan yang membelok ke kiri sebagaimana dikatakan Sentiko sebelumnya. Sentiko lantas memadamkan api obor. Keadaan menjadi gelap sementara, namun perlahan-lahan tergantikan oleh cahaya temaram yang berasal dari sisi kiri lorong. Larasati menengok ke sisi itu. Benar seperti yang dikatakan Sentiko, disana ada rongga yang cukup lebar, seperti ruangan utama dalam gua. Ia melihat dua ruangan berterali besi?dan beberapa orang penjaga.
"Paman," ucap Larasati sambil melirik ke arah para penjaga di kejauhansana .
Sentiko tanggap apa yang dimaksud putri demang itu. "Tenang, Den Ayu. Mereka orang-orang kita. Saya sudah mengaturnya sebelumnya."
Larasti masih tetap diam, seakan belum percaya betul dengan ucapan Sentiko.
"Mari, Den Ayu!" ucap Sentiko lagi.
Tanpa menunggu tanggapan Larasati, lelaki setengah baya itu lalu melangkah. Dengan agak takut-takut Larasati mengekor di belakang Sentiko. Tak berapa lama kemudian mereka sudah sampai di tempat tujuan. Sentiko mendekati para penjaga dan membisikkan sesuatu. Sementara Larasati berhenti dan tetap berdiri di kejauhan.
Parapenjaga mengangguk-angguk, lalu menjauh dari terali besi. Sentiko melambaikan tangan, memberi isyarat pada Larasati bahwa semuanya sudah beres.
Dengan hati berdebar-debar putri demang itu berjalan menuju ke terali besi. ia menempelkan mukanya di kisi-kisi logam yang dingin tersebut. Gelap tidak tampak apa pun dalam ruang yang lembab tersebut.
Sentiko mengabil obor yang menempel di dinding untuk menerangi ruangan di balik terali tersebut. Kini tampak sosok manusia yang duduk bersandar tak berdaya di dinding. Sosok itu seperti patung tak terawat.
"Itu dia, Den Ayu?" ucap Sentiko.


Tapak Naga Perkasa Karya Harianto A Fauzi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Larasati menyipitkan mata untuk mempertajam penglihatannya. Benar orang itu adalah Pamungkas. Larasati terkesiap
LARASATI masih berdiri tertegun, seakan tidak yakin dengan penglihatannya. Benarkah sosok tak berdaya yang bersadar di dinding gua itu kekasihnya" Kemudian dengan bibir gemetar dan tanpa sadar Larasati menyebut nama yang yang amat disayanginya itu.
"Ka..., Kakang Pamungkas...!"
Sosok dalam gelap itu tersentak, namun kemudian terdiam lagi, seakan memastikan ada suara wanita yang memanggilnya. Larasati mengulangi lagi ucapannya. "Kakang Pamungkas.... Ini aku Larasati,"
Sosok yang memang Pamungkas itu?kembali tersentak. Kini pandangannya langsung terarah ke terali besi. Dia baru menyadari kalau ada cahaya obor dan dua orang yang memerhatikannya.
?Beberapa saat lamanya Pamungkas masih diam seperti orang bingung. Mungkin tekanan fisik dan mental yang dialaminya selama dipenjara telah membuatnya seperti orang linglung.
Demi melihat keadaan kekasihnya yang sangat memprihatinkan itu tanpa sadar air mata Larasati meleleh di pipi, sesaat kemudian mulai terdengar?isak tangisnya.
Pamungkas masih diam melongo menatap orang-orang di luar terali. Ia masih belum percaya dengan penglihatannya.
"Kakang Pamungkas.... Apa yang telah terjadi, Kang?" ucap Larasati lagi sambil menangis. "Kemarilah, Kang! Ini aku Larasati, kekasihmu."
Kalimat Larasati yang terakhir tadi menyadarkan Pamungkas?akan kenyataan di hadapannya. Orang yang berdiri di luar terali itu bukanlah sebuah halusinasi, tapi benar-benar kekasihnya, Larasati, sang kembang Kademangan Wonoringkih.
"Larasati...?" ucap Pamungkas lirih dengan nada agak bertanya.
Larasati tersenyum dalam isaknya. "Iya, ini aku Larasati," balas putri demang itu sangat girang.
Seperti anak balita melihat ibunya setelah seharian ditinggal pergi, serta-merta Pamungkas bangkit dan langsung memburu ke arah Larasati. Namun, belum sempat melangkah ia jatuh terjerembap. Pendekar yang pantang menyerah ini berusaha bangkit dan mencoba lagi. Tapi, seperti sebelumnya, ia jatuh dan terjatuh lagi hingga berkali-kali.
Pamungkas akhirnya menggelasut seperti ular agar bisa mencapai terali. Sementara itu Larasati menjulur-julurkan tangannya ke dalam kurungan sambil menangis.
"Ayo, Kang...! Cepatlah. Kamu pasti bisa," ucap Larasati menyemangati kekasihnya.
Rupanya usaha Larasti tidak sia-sia. Kata-katanya membuat Pamungkas percaya diri. Dengan sangat bersemangat Pamungkas terus bergerak sedikit demi sediki, hingga akhirnya sampai di hadapan sang putri demang. Pendekar Lembah Naga yang sedang terkena musibah ini segera meraih tangan kekasihnya yang dijulurkan dari luar terali, lalu menciuminya berulang kali. Tidak ada kata yang mampu terucap dari mulut Larasati kecuali rasa haru dan isak tangisnya yang semakin menjadi.
"Ka..., Kakang_.?Kenapa jadi begini, Kang?" ucap Larasati setelah bisa menguasai perasaannya. Sebetulnya gadis ini sangat rindu pada Pamungkas, tapi perasaan ibanya pada sang kekasih melebihi rasa rindunya hingga kata-kata rindu tak sempat terucap dari mulutnya.
"Jangan risaukan aku...," jawab Pamungkas tersengal-sengal. "Aku bisa mengatasi keadaanku sendiri."
"Kakang..., mari saya bantu keluar dari sini, Kang...." Ucap Larasati tanpa sadar. Tentu saja ucapan itu membuat Sentiko tersentak.
"Den Ayu. Tidak mungkin kita membawanya keluar. Nyawa kita semua akan terancam," ucap Sentiko menyadarkan Larasati.
Agaknya Larasati lupa pada tujuan semula yang hanya ingin menjenguk Pamungkas. Ia meronta-ronta seperti anak kecil. "Tidak! Tidak! Saya akan membawanya keluar!" teriak Larasati sambil menggoyang-goyangkan terali besi, layaknya mampu mencopotnya.
Tentu saja Sentiko semakin panik. Teriakan Larasati bisa mengundang kecurigaan anak buah Baskoro. Sentiko menarik tubuh Larasati. Tapi semakin keras Sentiko menariknya, semakin erat tangan Larasati mencengkeram terali.
"Den Ayu, kenapa begini" Bukankah Den Ayu hanya berniat menjenguknya dan berjanji tidak membuat ulah yang demikian?"
Larasati seakan tidak mendengar ucapan Sentiko. Gadis itu semakin tak terkendali. Bersamaan dengan itu salah seorang penjaga memberitahu Sentiko kalau ada yang datang. Tidak ada pilihan lain bagi Sentiko. Llelaki setengah baya itu lalu memukul tengkuk Larasati hingga pingsan. Sentiko lalu membopongnya ke tempat tersembunyi dan para penjaga kembali pada posisinya semula.
Benar yang dikatakan penjaga tadi. Tak berapa lama kemudian beberapa orang anak buah Baskoro datang sambil menggotong tubuh seorang lelaki yang tampaknya tak berdaya
PARAprajurit yang baru datang memberi isyarat pada penjaga untuk membuka terali besi. Setelah pintu terbuka mereka lantas melempar sosok tak berdaya yang mereka gotong itu ke dalam kurungan, layaknya karung sampah.
Sebelum pergi meninggalkan tempat itu salah seorang bertanya pada penjaga. "Sepertinya saya tadi mendengar ada orang yang berteriak-teriak dari sini?"
Penjaga agak gelagapan, tapi untunglah cepat mendapat bahan untuk mengelabuhi si penanya. "Oh itu. Dia yang berteriak-teriak," jawab penjaga sambil menuding Pamungkas.
Prajurit itu menoleh pada Pamungkas, lalu tersenyum mengejek. Tampaknya dia percaya dengan jawaban penjaga, mungkin karena sudah biasa mendapati orang yang berteriak-teriak histeris akibat?tekanan mental dan fisik selama dalam penjara.
Sambil tertawa-tawa kecil mengejek Pamungkas prajurit itu berlalu, diiringi teman-temannya. Beberapa saat setelah para prajurit tadi menghilang, penjaga lalu memberi isyarat pada Sentiko bahwa keadaan sudah aman. Sambil menggotong tubuh Larasati yang masih terkulai pingsan, Santiko lantas bergegas pergi.
Keadaan dalam penjara itu kembali senyap. Pamungkas masih diam mematung di tempatnya. Wajah Larasati masih terbayang-bayang di pelupuk matanya. Rupanya kedatangan dan kata-kata kekasihnya tadi seakan memberinya tenaga baru. Perlahan-lahan timbul semangatnya untuk bangkit kembali dan mendobrak keadaannya yang seperti lelaki renta tak berdaya. Pamungkas lalu duduk bersila dan mulai melakukan gerakan-gerakan pernafasan.
Sudah cukup lama Pamungkas melakukan gerakan-gerakan pernafasan tersebut, namun tidak ada reaksi apapun pada tubuhnya. Otot-ototnya tetap lemas tak bertenaga. Hanya keringat saja yang membanjir membasahi tubuhnya. Pamungkas menghempaskan kedua tinjunya ke tanah dan napasnya tersengal-sengal karena letih bercampur kesal.
Pamungkas yang berkemauan keras tidak mau menyerah begitu saja. Ia hendak mencobanya lagi, tapi tiba-tiba terdengar ucapan seseorang. "Percuma. Meski seluruh kekuatan kamu kerahkan, kamu tidak bisa mengembalikan tenaga dalammu, karena simpul utama tenaga dalammu sudah dibekukan Topeng Perak."
Serta-merta Pamungkas menoleh ke asal suara. Ternyata yang berbicara adalah lelaki yang baru saja dibawa para prajurit tadi.?Lelaki itu masih tergeletak seperti saat dilempar para prajurit. Tapi ditilik dari suaranya, tampaknya ia sehat-sehat saja, tidak seperti yang tampak.?Dan benar, lelaki itu memang sehat-sehat saja, terbukti ia kemudian bangkit dan berjalan menghampiri Pamungkas.
Beberapa saat kemudian lelaki itu sudah sampai di hadapan Pamungkas. Murid Janggut Perak itu seketika terbelalak dan hampir tak percaya dengan penglihatannya manakala melihat wajah sang pendatang.
"Ka..., kamu...?" ucap Pamungkas setengah memekik.
Wajar Pamungkas terkejut karena lelaki yang menghampirinya itu sudah dikenalnya, bahkan ada beberapa peristiwa yang berkaitan dengan orang tersebut.?
Siapa lelaki itu" Lelaki itu tak lain adalah Respati. Pemuda itu mamandang Pamungkas sambil tersenyum. Sedang murid Janggut Perak itu?hanya tercengang menatapnya.
"Bagaimana kamu bisa sampai di sini?" tanya Pamungkas beberapa saat setelah bisa mengatasi perasaannya.
"Sengaja. Saya sengaja masuk ke sini," jawab Respati kalem.
Pamungkas lebih heran lagi mendengar jawaban anak muda itu. "Sengaja" Apa maksudmu?"
"Yah, karena guru yang menyuruhku," jawab Respati lagi seakan tidak ada beban. Sebaliknya Pamungkas semakin bingung. Dan sebelum murid Janggut Perak itu bertanya lagi, Repati melanjutkan kata-katanya. "Orang-orang yang membawaku tadi adalah orang-orang yang masih setia pada Demang Wicaksana. Sebelumnya kami sudah mengaturnya. Saya berpura-pura membuat kekacauan dan mereka pura-pura menangkapku, lalu membawaku ke sini."
Beberapa saat lamanya?Pamungkas masih terbengong-bengong. Lalu bertanya lagi pada pemuda yang sempat mengundang kecemburuannya itu. "Lantas apa maksud gurumu menyuruhmu ke sini?"
"Untuk membantu Kakang."
"Membantu saya?" Pamungkas terkejut.
"Ya," jawab Respati singkat.
"Siapa nama gurumu?"
"Ki Baguswara."
"Baguswara...?" gumam Pamungkas sambil mengerutkan dahi, mengingat-ingat kalau-kalau sudah pernah mendengar nama itu.
Sebelum bayangan Pamungkas menemukan sosok yang memiliki nama Baguswara itu, Respati melanjutkan ucapannya. "Dia lelaki yang selama ini kakang cari...."
Pamungkas tersentak, semakin tidak mengerti dengan ucapan Respati.
Baskoro dan para sekutunya masih diam tertegun. Kekagetan mereka atas munculnya tiga dari tujuh orang Pendekar Lembah Naga belum hilang, sudah dikejutkan lagi oleh ulah Respati dan Pamungkas. Mereka tidak habis pikir bagaimana mungkin kekuatan anak muda itu bisa pulih sedemikian cepatnya. Belum sempat terjawab semua keheranan Baskoro dan para sekutunya, tawa Sontoloyo sudah membuyarkan semuanya. Ha...ha...ha .Ada pesta besar rupanya. Sayang, pestanya sangat meriah, tapi yang datang cuma kawanan serigala.
Ucapan Sontoloyo kontan membangkitkan kemarahan Lima Bunga Beracun. Nyai Gendhis yang sudah lama memendam dendam cukup dalam segera menyambar perkataan Sontoloyo. Tua bangka kerempeng bau dendeng! Bagus sekali kamu muncul. Jadi aku dan adik-adikku tidak perlu repot-repot mencarimu.
He...he he . Rupanya kamu tidak pernah bosan bermain-main denganku, nenek genit. Ayo kemarilah! Kejar aku! ucap Sontoloyo setengah meledek sambil melesat ke luar arena. Nyai Gendhis dan adik-adiknya tidak mau lagi kehilangan buronan. Mereka segera mengejar sang pendekar konyol sambil berteriak geram, Jangan lari kamu pengecut!
Ha ha ha.... Aku tidak lari. Aku hanya mencari tempat yang sedikit lapang. Di situ sumpek, ucap Sontoloyo sambil terus melesat. Nyai Gendhis dan adik-adiknya semakin gemas. Mereka meningkatkan ilmu meringankan tubuh mereka agar cepat menyusul musuh bebuyutan mereka itu. Apa yang dilakukan Sontoloyo bukanlah tanpa pertimbangan. Pendekar Lembah Naga yang paling kocak itu sengaja memancing Lima Bunga Beracun ke luar arena untuk memecah kekuatan.
Sepeninggal Lima Bunga Beracun serta Sontoloyo, Pamungkas segera mengarahkan pandangannya kepada Baskoro. Dengan mata menyala karena masih memendam kemarahan yang meluap-luap pendekar muda itu berkata pedas.
Tamat riwayatmu pengecut, kecuali jika kamu menyerah dan kami bawa ke Mataram sebagai tawanan perang. Baskoro tertawa dingin. Ha ha ha. Terus terang saja aku kagum akan kehebatanmu, tapi terlalu bermimpi untuk bisa menyentuhku, apalagi menangkapku.
Hm . Kamu terlalu yakin dengan peralatan dan orang-orang yang ada di sekitarmu. Baiklah, akan segera saya buktikan kalau mereka tidak mampu melindungimu. Usai berucap, Pamungkas langsung melesat menyerang Baskoro. Namun, sebagaimana biasa, Jalunatas dan Sarungkala segera melompat menghadang murid Janggut Perak itu.
Tidak ada pilihan lain bagi Pamungkas kecuali meladeni serangan kedua pendekar jahat itu. Untuk keempat kalinya murid Janggut Perak berhadapan dengan pasangan pengawal Baskoro yang berbahaya tersebut. Tentu saja pendekar muda itu sudah hapal betul dengan arah setiap serangan kedua lawannya. Maka dengan sangat entengnya ksatria Lembah Naga ini mematahkan serangan Sarungkala dan Jalunatas. Apalagi ada kekuatan baru yang menjalar pada tubuh pendekar perkasa ini semenjak bertemu dengan Respati.
Ya, seperti yang dikatakan Respati sebelumnya. Kedatangan pendekar muda itu ke penjara untuk berbagi ilmu pada Pamungkas. Hal tersebut atas perintah Naga Keling, gurunya. Pamungkas yang sangat berbakat dan punya dasar tenaga dalam cukup kuat ini dengan begitu mudahnya bisa menguasai ilmu Naga Keling.
Pertarungan Pamungkas dengan Jalunatas dan Sarungkala layaknya sebuah ertunjukan yang menarik, sampai-sampai semuanya hanya diam terbengong- bengong menyaksikannya. Namun, hal itu tidak berlangsung lama pada Baskoro. Anak muda itu cepat sadar akan apa yang harus dilakukan. Ia segera memberi isyarat pada para prajurit pemanah untuk bertindak.
Parapemanah yang sudah bersiap-siap di atap benteng itu tanggap apa yang dikehendaki majikannya. Salah seorang di antara mereka segera berteriak. Tembak ! Sedetik kemudian puluhan anak panah meluruk ke arah Respati, Naga Keling dan Janggut Perak. Ketiga orang pendekar itu sangat kaget, namun sebelum senjata-senjata itu menyentuh sasarannya, Naga Keling berteriak nyaring.
Teriakan laki-laki hitam berbadan tambun itu menimbulkan getaran angin yang sangat kuat. Puluhan anak panah terpental dan berterbangan ke arah lain. Gagal pada serangan pertama, para pemanah bersiap membidik untuk yang kedua kalinya. Tapi, Janggut Perak segera melesat seperti belalang raksasa dan mengamuk di antara pasukan pemanah. Orang-orang itu berjatuhan ke tanah sebelum sempat membentangkan busurnya.
Sejenak Baskoro terpaku, namun segera sadar dan memberi aba-apa pada tentaranya yang lain.Para prajurit yang sudah siaga dengan senjatanya lantas merangsek maju. Naga Keling dan Respati yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan segera menyongsong serangan para prajurit itu
PERTEMPURAN semakin seru. Kademangan Wonoringkih layaknya Padang Kurusetra,medan pertempuran antara Kurawa dan Pandawa. Korban semakin banyak berjatuhan dari kedua belah pihak. Tapi, agaknya kekuatan musuh lebih besar. Melihat kondisi tersebut, Naga Keling, Respati, dan Pedang
Kunang-kunang kembali melibatkan diri ke tengah arena.
Keikutsertaan ketiga pendekar sakti itu menyeimbangkan kekuatan, bahkan sepak terjang mereka menciutkan nyali pasukan musuh. Sebaliknya bagi pasukan Wiroguno dan orang-orang Wonoringkih, kehadiran tiga pendekar itu menggelorakan semangat.
Sementara itu, Pamungkas punya rencana berbeda. Ia menerobos keluar dari arena untuk mencari seseorang. Siapa lagi kalau bukan Larasati, kekasihnya. Namun, orang yang dicarinya itu tidak ada lagi di tempatnya.
Pamungkas menyapukan pandangannya ke segenap arah, mengintip dari celah-celah orang-orang yang sedang bertempur. Tiba-tiba ia melihat berkelebatnya sosok Baskoro di kejauhan yang tergesa-gesa meninggalkanmedan pertempuran. Anak muda itu tidak sendirian, tapi sambil menggelandang seseorang.
"Larasati...!" ucap Pamungkas setengah memekik.
Benar. Orang yang digelandang Baskoro adalah Larasati. Pamungkas berusaha mengejar Baskoro, namun para anak buah pemuda jahat itu selalu menghalanginya. Mereka datang silih berganti menghadang Pamungkas. Demi sang kekasih, terpaksa pendekar perkasa ini bertindak keras. Ia mengumbar pukulan andalannya. Akibatnya, setiap orang yang mendekat tak tertolong lagi nyawanya.
Satu demi satu para penghalang Pamungkas bertumbangan. Akhirnya pemuda?itu berhasil keluar dari pertempuran, namun orang yang dikejarnya sudah tidak tampak lagi. Baskoro seperti menghilang.
"Ke mana si keparat itu?" gumam Pamungkas sambil menyapukan pandangan ke segenap arah. Tapi, orang yang dicarinya tetap tidak ditemukan. Bahkan jejak kakinya pun tak membekas di tanah.
Selagi Pamungkas kebingungan, Sentiko berlari-lari mendatanginya.
"Dia lari lewat jalan rahasia, Den," ucap Sentiko sambil terengah-engah.
"Di mana?" tanya Pamungkas.
Sentiko menuding ke salah satu sisi dinding, namun tiba-tiba sebilah tombak meluncur deras ke arahnya. Dan....
Crab...!! Tombak panjang itu tepat menghunjam punggung Sentiko hingga tembus ke ulu hati. Lelaki setengah baya tersebut limbung, lalu ambruk ke tanah, tewas sebelum sempat menjawab pertanyaan Pamungkas.
Bukan main marahnya murid Janggut Perak ini. Ia lantas memekik keras sambil menghantarkan pukulan jarak jauhnya pada pelempar tombak. Lelaki yang menyebalkan itu terjajar beberapa meter, jatuh terguling-guling, berkelojotan sejenak dan akhirnya terkapar tewas mengenaskan.
Sejenak Pamungkas memandangi tubuh Sentiko yang terkulai lemas bermandikan darah. Kemudian mencabut tombak yang menancap di tubuh lelakimalang tersebut. Selanjutnya menggotong sosok tak bernyawa itu dan membaringkannya di tempat teduh. Pendekar muda ini menaruh penghargaan mendalam pada orang yang sangat loyal pada Demang Wicaksana.
Sebenarnya Pamungkas ingin merawat jenazah Sentiko lebih baik lagi sebagai wujud penghargaannya, namun dia harus mengejar Baskoro secepatnya untuk menangkap lelaki itu dan membebaskan kekasihnya. Akhirnya dengan berat hati pendekar Lembah Naga ini meninggalkan jasad Sentiko sendirian.
Baru berjalan beberapa tindak, tiba-tiba Pamungkas menghentikan langkahnya. Yah, ke mana dia harus mengejar Baskoro" Sentiko belum sempat menunjukkan di mana jalan rahasia tersebut. Pamungkas merenung sejenak. Ia teringat Sentiko sempat menuding ke salah satu sisi dinding.?
Pamungkas mengamati dinding tersebut. Mungkinkah di balik dinding yang kokoh itu ada lorong rahasia" Ah, tidak ada waktu untuk menganalisa atau memeriksanya. Pamungkas lalu mengambil jalan pintas, berspekulasi. Ia melakukan gerakan-gerakan, bersiap melontarkan ilmu pukulannya, Tapak Naga
Perkasa untuk menghancurkan dinding yang dimaksud.
Blar...!!! Pukulan Tapak Naga Perkasa sudah dilontarkan. Dinding batu yang kokoh itu hancur berantakan. Debu berterbangan ke mana-mana, dan saat debu sudah menipis diterbangkan angin, tampak sebuah terowongan gelap.
Benar yang dikatakan Sentiko.Ada jalan rahasia dalam benteng pertahanan yang dibangun Baskoro. Tanpa pikir panjang Pamungkas segera menerobos terowongan gelap tersebut.
Langkah yang gegabah, karena?tidak terpikirkan oleh murid Janggut Perak ini bahwa jalan rahasia tersebut?tentu saja juga dilengkapi dengan berbagai jebakan mematikan
PAMUNGKAS terus melangkah menyusuri terowongan gelap. Tiba-tiba tanah yang dia pijak ambrol ke bawah. Sebelum tubuhnya amblas ke dalam lubang tersebut secara reflek Pamungkas melakukan gerakan salto sangat cepat layaknya yoyo, lalu melesat ke depan.
Pamungkas berdiri di pinggir lubang yang menganga. Meski keadaan dalam lubang itu tidak tampak jelas, tapi dia yakin bahwa di bawah sana dipenuhi bambu-bambu runcing sebagaimana pada jebakan babi hutan.
Barulah murid Janggut Perak ini menyadari bahwa jalan rahasia tersebut dipenuhi dengan berbagai jebakan. Dan baru saja Pamungkas bernafas lega, tiba-tiba ia merasakan desiran angin dari sejumlah benda tajam yang meluruk ke arahnya.
Ya, benar. Benda-benda itu adalah sejumlah tombak yang terlontar secara otomatis dari sisi-sisi dinding di seputar Pamungkas. Serangan pertama datang dari arah depan Pamungkas, tepat mengarah ke ulu hati. Saat benda berbahaya itu hampir menyentuh kulitnya, Pamungkas memiringkan badan sambil mengibaskan tangan. Tombak itu patah menjadi dua.
Hampir bersamaan dengan serangan pertama, dua buah tombak kembali mengujam dari arah depan, mengicar?perut Pamungkas. Pendekar perkasa ini segera melesat ke atas seperti bola terpental. Kedua belah tombak melintas seperti terpedo di bawah kakinya.
Pamungkas berjumpalitan mendarat ke tanah. Namun, baru saja kakinya menapak di lantai terowongan, kembali dua buah tombak meluncur dari sisi kiri dan kanan. Sang pewaris para pendekar Lembah Naga ini segera berputar seperti gasing. Tapi, agaknya rancangan serangan kedua tombak yang terakhir ini sudah diperhitungkan jika sasarannya melakukan upaya seperti yang dilakukan Pamungkas. Sehingga, meski bisa menghindar dari hunjaman maut tersebut, salah satu mata tombak sempat menggores lambung Pamungkas.
Pamungkas berdiri terengah-engah sambil memegangi lambungnya yang mengucurkan darah. Sejenak anak muda itu memandangi jalan yang akan dilaluinya, memperkirakan jebakan-jebakan selanjutnya yang bakal mengancamnya. Kemudian, dengan hati yang mantap Pamungkas meneruskan langkahnya. Tentu saja kali ini dia lebih berhati-hati dan waspada.
Belasan meter sudah kaki Pamungkas merambah lorong rahasia tersebut. Kini dia sampai pada ruangan yang cukup luas. Di seputar ruangan tersebut terdapat sejumlah lorong. Tentu saja lorong-lorong itu adalah jebakan dan hanya satu lorong yang benar, yang menghubungkan dengan dunia luar. Jika salah masuk pasti nasib buruk sudah menanti.
Sejenak Pamungkas berhenti sambil memutar-mutar pandangan, menganalisa semua lorong tersebut. Lalu ia berteriak. Suara teriakannya menggema dalam lorong-lorong tersebut dan memantul kembali.
Sungguh upaya yang pintar. Dengan suaranya tadi pendekar cerdas ini bisa memastikan antara lorong jebakan dengan lorong yang bisa membawanya keluar. Lorong yang memantulkan kembali suaranya pasti lorong jebakan dan lorong yang paling jauh menggemakan suaranya pasti jalan rahasia yang sebenarnya.
Pamungkas kembali meneruskan perjalanannya, menyusuri lorong yang diyakini sebagai jalan rahasia yang sebenarnya. Seluruh panca inderanya diaktifkan semaksimal mungkin untuk mendeteksi setiap bahaya yang sewaktu-waktu menyerangnya.
Tidak sia-sia yang dilakukan murid Janggut Perak. Tiba-tiba sebuah balok kayu yang tergantung layaknya balok pemukul genta pada kuil-kuil di Jepang mengarah ke kepalanya. Dengan sangat sigap Pamungkas menendang balik balok tersebut?sehingga kembali mengayun dan menghantam dinding lorong.
Pamungkas selamat dari hantaman balok besar tadi. Tapi, apa yang terjadi"
Rupanya justru serangan balik seperti yang dilakukan Pamungkas tadi yang diinginkan sang perancang jebakan. Hantaman balok ke dinding itu layaknya tangan yang menarik pelatuk senapan. Tiba-tiba dinding dan atap lorong bergetar seperti terjadi gempa bumi. Pamungkas diam dengan mata terbelalak, sangat terkejut dengan apa yang terjadi.
Beberapa saat kemudian atap lorong mulai berguguran dan dinding-dindingnya ambruk seperti pilar-pilar beton dirobohkan secara berurutan. Barulah Pamungkas menyadari apa yang harus dilakukan. Pendekar muda ini langsung melesat lari. Tapi, dinding dan atap lorong terus berguguran layaknya berpacu lari dengan Murid Janggut Perak.
Ah, sangat seru apa yang terjadi dalam lorong. Tapi, tak kalah serunya adalah pertempuran yang masih berlangsung di luar lorong rahasia tersebut. Pasukan musuh semakin terdesak. Sedang perang tanding antara Tumenggung Wiroguno dan Kurawan seakan memasuki babak penentuan.
Tumenggung Kurawan sangat bernafsu untuk bisa membunuh lawannya. Sebaliknya Tumenggung Wiroguno yang sangat kenyang dengan pengalaman bertempur hanya menghindar serta menangkis, seakan mengumbar emosi lawannya agar kehabisan nafas. Namun, pada saat yang tepat, senapati Mataram itu berhasil melayangkan tendangannya ke dada lawannya. Tumenggung Kurawan terpekik dan jatuh terjengkang
TUMENGGUNG Wiroguno berdiri tegak sambil menatap Tumenggung Kurawan yang masih tergeletak setengah telentang. Kalau saja Tumenggung Wiroguno mau, tentunya sudah bisa mengakhiri pertarungan tersebut. Namun senapati ini masih menghargai nilai-nilai keksatriaan.
"Berdirilah. Aku tidak terbiasa membunuh lawan yang sudah tak berdaya," ucap Tumenggung Wiroguno.
Tumenggung Kurawan kemudian bangkit. Lelaki bertampang masam itu mendengus sambil menatap penuh kebencian pada Tumenggung Wiroguno.
"Kamu akan menyesal telah menyia-nyiakan kesempatan," ucap Tumenggung Kurawan. "Nasibmu akan sama buruknya seperti sahabatmu, Rangga Sempana dan keluarganya. Ha...ha...ha...."
Ucapan Tumenggung Kurawan terdengar pula oleh Respati yang bertempur tidak jauh dari kedua ksatria tua tersebut. Anak muda itu sangat terkejut, lantas keluar dari arena pertempuran dan mendekat ke arah dua orang tumenggung yang sedang berselisih.
Tumenggung Wiroguno membalas ucapan Tumenggung Kurawan. "Sudah kuduga sebelumnya kalau kamu yang memfitnah sahabatku itu. Aku akan membalaskan sakit hati sahabatku itu."
Sekali lagi Respati tersentak kaget mendengar ucapan Tumenggung Wiroguno. Sepertinya ada rahasia penting yang tersimpan di hati anak muda ini" Benar. Rangga Sempana adalah ayah Respati. Dan dia tengah mencari orang yang telah memfitnah ayahnya, sehingga seluruh keluarganya ditumpas oleh pasukan kerajaan pada pemerintahan masa lalu. Kini orang yang mengaku memfitnah ayahnya itu ada di hadapannya. Tapi, Respati tidak mau gegabah. Anak muda ini masih menunggu perkembangan lebih lanjut.
Tumenggung Kurawan tertawa dingin pada Tumenggung Wiroguno. "Jangan mimpi, kawan. Kamulah yang akan mampus."
Usai berucap, Tumenggung Kurawan langsung melesat dengan keris terhunus di tangan. Tapi, Tumenggung Wiroguno selalu siap menghadapi serangan lawannya. Pendekar tua ini segera berkelit, dan tikaman lawan hanya menghajar tempat kosong. Namun, sesuatu tak terduga terjadi. Tiba-tiba Tumenggung Kurawan menebarkan semacam bubuk beracun.
Bubuk yang ditebar Tumenggung Kurawan membuat mata Tumenggung Wioroguno terasa sangat pedih dan kepalanya pusing berdenyut-denyut. Bangsawan Mataram itu terhuyung-huyung sambil mendekap matanya dengan telapak tangannya.
Tumenggung Kurawan tertawa terbahak-bahak. "Ha...ha...ha.... Saya tidak pernah berkata bohong, kawan. Kurawan selalu memenuhi ambisinya. Kini pergilah sekarang dengan penasaran."
Sekali lagi Tumenggung Kurawan melompat ke arah Tumenggung Wiroguno sambil mengarahkan ujung kerisnya ke dada bangsawan tua itu. Namun, sebelum ujung keris beracun itu menyentuh sasaran, Respati melesat menerjang?bangsawan bermuka masam tersebut.
Tumenggung Kurawan terjajar dan jatuh bergulung-gulung. Namun, segera bangkit dengan kemarahan berkobar-kobar.?"Kurang ajar. Tidak tahu aturan. Siapa kamu, anak muda?" ucap Tumenggung Kurawan berapi-api.
"Aku satu-satunya anak yang selamat dari orang yang telah Tuan fitnah," jawab Respati?kalem, namun memendam rasa marah.
Tumenggung Kurawan kaget. "Rangga Sempana" Kamu anak Rangga Sempana?"
"Betul." Tumenggung Kurawan menggeram. "Bagus. Kalau begitu aku akan menuntaskan pekerjaan yang belum selesai, sekarang."
Seperti sebelumnya, usai berucap Tumenggung Kurawan langsung menyerang lawannya. Tentu saja tikaman orang tua itu sangat mudah dielakkan oleh Respati yang lebih muda dan gesit. Namun, karena nafsu angkara murka tengah berkobar di benaknya, maka?lelaki tua tersebut tak kalah garangnya. Ia menyerang dengan membabi buta. Respati tidak berani gegabah menghadapi lawannya, apa lagi orang tua itu tidak segan-segan bertindak licik.
Benar apa yang diwaspadai Respati. Seperti yang dilakukan terhadap Tumenggung Wiroguno, sambil menyerang Tumenggung?Kurawan menebarkan bubuk beracun. Namun, karena sudah mewaspadai kemungkinan tersebut, maka Respati segera menahan nafas dan menutup matanya dengan telapak tangan.
Upaya yang dilakukan Respati cukup bagus, namun belum sepenuhnya aman, bahaya lain mengancamnya karena Tumenggung Kurawan sudah memperhitungkan sebelumnya. Tatkala Respati menutup mata, orang tua itu segera menerjang sambil menghujamkan kerisnya ke arah anak muda itu. Sepertinya tidak ada kesempatan menghindar bagi Respati.?Bahaya maut sedang menjemputnya.
PAMUNGKAS masih diam termangu-mangu di bibir jurang, seakan tidak percaya dengan kejadian yang menimpa kekasihnya. Sementara itu suara jeritan Larasati terasa masih bergaung di telinganya. Bergaung dan bergaung lagi berulang-ulang.
Pamungkas memukul-mukulkan tinjunya ke tanah karena kesal tidak bisa menyelamatkan kekasihnya. Tanpa terasa air matanya pun menetes, bahkan kemudian menangis meraung-raung. Rasa sedih, sesal, dan bersalah, bercampur aduk jadi satu di hatinya. Tidak disadari kalau hal tersebut semakin mempercepat kerja racun dalam tubuhnya menuju titik paling mematikan.
Pamungkas memekik pendek. Terasa ada sesuatu yang menusuk jantungnya dan menyumbat pernapasannya. Pemuda itu menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih, lalu diam tak bergerak. Seluruh otot dan persendiannya kaku. Hanya bola matanya saja yang masih bisa bergerak-gerak, menyiratkan kalau pemuda ini tengah merasakan sakit yang luar biasa.
Beberapa saat kemudian rasa sakit yang teramat sangat itu perlahan-lahan menghilangkan kesadaran Pamungkas. Dalam keadaan kesadaran yang kian menurun, rasa sakit itu perlahan menghilang dan berubah menjadi perasaan aneh. Ia merasakan alam di sekelilingnya menjadi sangat senyap dan ganjil,?seakan dia sudah berada di alam transisi menuju alam keabadian.
Tiba-tiba Pamungkas melihat sosok wanita cantik melayang-layang layaknya kunang-kunang menuju ke arahnya. Sosok itu kemudian berdiri di sisinya. Kecantikan serta keanggunannya yang mengagumkan terlihat semakin nyata.
"Oh..., bidadarikah ini?" tanya Pamungkas dalam hati. "Bidadari yang menjemputku ke surga" Sudah matikah aku?"
Yah, dalam keadaan kesadaran yang semakin pudar itu memungkinkan sekali halusinasi-halusinasi muncul di benak Pamungkas. Segala yang terjadi di sekitarnya seakan terjadi di alam khayalan. Termasuk munculnya pendekar cantik yang dikiranya bibadari itu, yang?tak lain adalah Pedang Kunang-kunang.
Pendekar cantik itu berdiri mengamati wajah Pamungkas yang mulai membiru. Kemudian ia menotok jalan darah Pamungkas. Lalu melolos pedang indahnya dan menempelkan ujungnya pada luka di lambung Pamungkas.
Apa yang sedang dilakukan Pedang Kunang-kunang"
Oh, rupanya dia berusaha mengobati Pamungkas. Sesuatu yang belum terungkapkan oleh siapa pun, bahwa pedang pendekar cantik ini?bisa menyedot berbagai racun ganas dalam tubuh manusia.
Kehebatan pedang sakti sang pendekar cantik berkerja sangat baik. Perlahan-lahan racun dalam tubuh Pamungkas tersedot keluar. Warna biru pada muka pendekar gagah itu sedikit demi sedikit berubah memerah segar. Namun, seiring dengan itu Pamungkas merasakan rasa sakit yang lebih menyiksa dari sebelumnya. Seakan ada ratusan kelabang yang bergerak berebutan hendak keluar dari tubuhnya.
Pamungkas hendak meronta, tapi simpul syaraf utamanya sudah ditotok oleh penolongnya. Hanya sorot matanya yang melotot serta otot-otot leher dan tangannya yang menegang yang mengisyaratkan bahwa pendekar itu tengah berjuang melawan rasa sakit yang sangat dahsyat.
Berangsur-angsur rasa sakit dalam tubuh Pamungkas mereda. Pendekar itu terkulai lemas, namun belum sepenuhnya selamat dari pengaruh racun jahat. Sesaat kemudian suhu badan murid Janggut Perak ini menjadi sangat dingin, layaknya direndam dalam kolam es. Pendekar muda itu menggigil hebat.
Pedang Kunang-kunang berdiri termangu-mangu. Proses penyembuhan yang dilakukan belum tuntas, dan dia harus memasuki tahap penyelesaian yang paling sulit dilakukan. Betapa tidak, gadis remaja itu harus membuka bajunya dan memeluk tubuh Pamungkas untuk mentransfer panas tubuhnya ke badan Pamungkas. Hanya dengan cara itu dia bisa mengusir hawa dingin yang tengah menyiksa Pamungkas.
Beberapa saat lamanya Pedang Kunang-kunang masih berdiri termangu-mangu. Sementara Pamungkas semakin menggigil sampai terguling-guling. Bukan tidak mungkin nyawa pendekar muda itu akan berlalu jika dibiarkan barang lima menit saja. Tidak ada pilihan lain bagi Pedang Kunang-kunag jika ingin menuntaskan pekerjaannya.?
Perlahan-lahan Pedang Kunang-kunang menarik bagian atas bajunya, lantas dengan agak ragu-ragu mulai memeluk tubuh Pamungkas. Bagian atas dada gadis itu menempel erat pada dada telanjang Pamungkas.
Sedikit demi sedikit hawa panas Pedang Kunang-kunang mulai mengalir ke badan Pamungkas. Suhu tubuh yang semula sedingin es kini mulai menghangat. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Dalam keadaan kesadaran yang masih buram, Pamungkas merasa seakan tengah bermimpi bercumbu dengan Larasati, kekasihnya. Pelukan gadis penolongnya disambut dengan penuh gairah. Sedang Pedang Kunang-kunang yang baru pertama kalinya bersentuhan dengan kulit lelaki tanpa sadar terbawa oleh irama suasana hangat yang tengah bergelora pada tubuh pasiennya. Tanpa sadar pendekar cantik ini membalas gairah Pamungkas. Akhirnya pergumulan mesra pun terjadi di tempat terbuka itu.
PAMUNGKAS dan Pedang Kunang-kunang masih bergumul di rerumputan. Sambil bergumul Pamungkas terus meracau memanggil-manggil nama kekasihnya.
"Oh, Larasati.... Jangan tinggalkan aku. Jangan tinggalkan aku.... Aku tak bisa hidup tanpamu...."
Racauan Pamungkas menyadarkan Pedang Kunang-kunang. Gadis itu lalu berusaha melepaskan pelukan murid Janggut Perak. Tapi, rupanya tenaga sang pendekar muda sudah pulih kembali. Dekapannya sangat kuat dan Pedang?Kunang-kunang sulit menepisnya.
Pendekar cantik itu meronta, namun belum bisa melepaskan belitan tangan Pamungkas. Bahkan dekapan pendekar perkasa itu kian kencang terbawa nafsu birahinya yang mulai terbit. Akhirnya, Pedang Kunang-kunang menggunakan kekerasan. Ia berteriak nyaring sambil menghantamkan kepalan tangannya ke muka Pamungkas.
Jdak...! Pamungkas tersentak?dan terjajar beberapa langkah. Seiring dengan itu kesadaran sang pendekar Lembah Naga ini pulih. Dia terbelalak kaget dan sejenak diam terpaku, tak percaya dengan penglihatannya.
Sementara itu Pedang Kunang-kunang tersipu malu-malu sambil membenahi pakaiannya.
"No..., nona yang telah menolongku?" tanya Pamungkas agak gugup.
Pedang Kunang-kunang hanya mengangguk tipis, sementara mukanya masih merona merah, menampakkan perasaan malu.
"Oh, maafkan saya, Nona. Yang terjadi tadi sungguh di luar kesadaran saya," ucap Pamungkas berusaha memperbaiki kesalahannya.
"Ya, saya tahu," balas Pedang Kunang-kunang pendek.
Pendekar cantik itu lalu bersiap untuk pergi, namun Pamungkas mencegahnya.
"Tunggu, Nona!"
Pedang Kunang-kunang mengurungkan niatnya. Gadis itu hanya diam, seakan menunggu apa yang hendak dikatakan Pamungkas selanjutnya.
"Saya mengucapkan terima kasih atas pertolongan Nona," ucap Pamungkas?kemudian.
Sejenak Pedang Kunang-kunang hanya memandangi wajah Pamungkas. Terlihat pada air muka gadis itu, bahwa ada kesan yang aneh di hatinya, mungkin karena masih terbawa oleh peristiwa yang baru saja dialami bersama murid Janggut Perak. Ia lalu menjawab lirih. "Lupakan saja."
Pamungkas hanya diam memandangi Pedang Kunang-kunang. Pendekar wanita itu merasa aneh dengan sikap Pamungkas. Namun, dia lalu mengabaikan dan bersiap pergi. Tapi, belum sempat melangkah, tiba-tiba Pamungkas berteriak membahana, lalu melompat ke jurang.
Pedang Kunang-kunang?sangat kaget. Untunglah dia cepat tanggap apa yang harus dilakukan. Pendekar wanita itu segera melesat seperti burung walet, memutar menghadang Pamungkas dan menendangnya. Tendangan yang disertai tenaga dalam itu layaknya senjata pelontar yang melemparkan Pamungkas kembali ke tempat semula.
Pamungkas jatuh terjengkang. Pedang Kunang-kunang lalu mendarat di hadapannya. Pamungkas memandang penolongnya seperti orang linglung.
"Kenapa kamu lakukan itu?" tanya pendekar cantik itu setengah kesal.
Pamungkas tidak menjawab. Bahkan layaknya anak kecil ia lalu menangis tersedu-sedu sambil menutup mukanya dengan telapak tangan. "Aku bersalah. Aku bersalah. Aku tidak bisa menyelamatkan dia," ucap Pamungkas di sela tangisnya.
"Apa kamu bisa mengubah takdir yang sudah digariskan" Apa kematianmu cukup untuk menebus rasa bersalahmu?" tanya Pedang Kunang-kunang lagi.
Pamungkas tidak bisa menjawab. Ucapan Pedang Kunang-kunang itu sangat bermakna, tapi duka di hatinya terlalu dalam sehingga pendekar muda itu tetap saja tenggelam dalam isak tangisnya.
Pedang Kunang-kunang akhirnya terharu pula dengan kejadian yang dialami Pamungkas. Beberapa saat lamanya pendekar cantik itu diam merenung. Apa yang dilakukan murid Janggut Perak tadi merupakan wujud kesetiaan seorang lelaki pada kekasihnya. Dan bagi gadis belia yang sedang mencari sosok pendamping, tentu saja ia mengidolakan orang seperti Pamungkas ini. Diam-diam mulai timbul rasa simpatik di hati Pedang Kunang-kunang pada murid Janggut Perak itu.
Pedang Kunang-kunang masih diam merenung sambil menatap Pamungkas. Tiba-tiba kebisuannya terpecahkan oleh suara?Pamungkas.
"Saya harus menemukan Larasati. Apa pun yang terjadi pada dia, saya harus membawanya pulang," ucap Pamungkas sambil masih terisak.
"Jangan bodoh. Kedalaman jurang ini belum terukur dan tenagamu belum betul-betul pulih," Pedang Kunang-kunang mencoba memberi pertimbangan.
Seperti anak kecil yang dinasehati ibunya, Pamungkas tidak berani membantah. Pendekar muda itu hanya diam menunduk.
Pendekar Seribu Diri 8 Pendekar Tongkat Dari Liongsan Liong-san Tung-hiap Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta 6
^