Pencarian

Pedang Golok Yang Menggetarkan 1

Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen Bagian 1


Thian Kiam Coat To Karya : Wo Lung Shen Saduran : Boe Beng Tjoe JILID 1 LAWAN-LAWAN GANAS
Ketika itu cuaca guram bercampur hujan rintik rintik,Justru itu lima ekor kuda tunggang tengah beriari lari dengan kencang dijalan yang berlumpur, tanpa menghiraukan turunnya air langit itu. Anginpun turut bertiup tiup.
Kuda yang lari terdepan dikendalikan oleh seorang anak muda usia empat atau lima belas tahun- Dia berpakaian biru singsat, sepatunya sepatu ringan, dan pada pelananya tergangung sebuah pedang.
Penunggang kuda yang kedua adalah seorang nona berumur delapan atau semblan belas tahun parasnya cantik. Hanya ketika itu, wajahnya muram duka dan letih, seperti juga rambutnya yang kusut. Pakaiannya berlepotan lumpur. Sedangkan lengannya yang kiri dibalut dengan sapu tangan putih yang tembus oleh darah merah
Penunggang kuda yang ketiga tak dapat dijelaskan warna pakaiannya, sebab dia bagaikan habis mandi lumpur, hanya usianya diduga dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun- Dia adalah seorang pemuda.
Sebagai penunggang kuda yang keempat adalah seorang nyonya setengah baya, yang sepasang alisnya hampir menempel satu dengan lain- Wajahnya sangat muram karena kedukaan Ia membalut lehernya dengan saputangan yang juga ditembus oleh darah merah. Ia seperti baru terkena luka.
Penunggang kuda yang kelima, yang terakhir adalah seorang pria umur lima puluh tahun lebih. Dia ini berdandan singkat dan membekal sebatang golok. Dia memelihara janggut yang panjang dan telah ubanan. Dia bermata tajam akan tetapi disaat ini, kedua belah matanya seperti digenangi air, sedangkan mukanya bergoreskan empat lintang luka luka golok. yang dua di antaranya masih baru.
Dipandang dari seluruhnya, teranglah bahwa kelima penunggang kuda ini tengah melarikan diri atau menyingkir dari sesuatu. semua kuda mereka nampak sudah letih sekali.
Cuaca sementara itu makin muram dan hujan dengan perlahan lahan mulai tambah deras turunnya...
Si orang tua berjanggut putih itu memandang kesekitarnya. Tiba tiba dia mengeduttali kudanya, membuat kudanya itu terkejut lalu berjingkrak untuk terus berlompat lari, hingga sesaat kemudian dia telah dapat menyusul sinyonya setengah tua.
"Marilah kita beristirahat sebentar" katanya sambil menghela napas panjang. "segera kita akan melanjutkan perjalanan kita ini. Bagaimana dengan lukamu itu" Parah juga, bukan"
Berkata demikian, tanpa merasa, orang tua ini melelehkan air matanya. Nampaknya dia sangat berduka. Air matanya jatuh berderai.
Si nyonya yang diajak bicara, yang tadinya berwajah duka, tersenyum.
"Tak apa apa" sahutnya tenang, sedang sebenarnya, dia terpaksa mesti menguatkan hatinya melawan rasa dukanya. "Inilah luka ringan yang aku masih dapat mengatasinya. Hanya... ah aku menguatirkan anak Koan-.. dia..."
Si nona, yang menjadi penunggang kuda yang kedua, tiba tiba berpaling.
"Ibu, aku tak kurang suatu apa" ucapannya. Tapi, walaupun dia tersenyum, dua tetes air matanya masih jatuh berderai.
"Anak Koan, jangan kau mendustai ayahmu..." kata si pria tua.
"Ayah, aku memang tak kurang suatu apa" kata si nona cepat. Diam diam dia menggertakkan giginya. Dia pun mengangkat sebelah lengannya. "Ayah lihat, lenganku tak sakit lagi"
Akan tetapi, dengan mengangkat dan menggerakkan tangan itu, timbul rasa nyerinya yang hebat, hingga nona itu mengeluarkan
peluh dingin- Lekas lekas dia menyampingkan mukanya, untuk tak memperlihatkan wajahnya kepada kedua orang tuanya itu. Terus dia menjepit perut kudanya, membuat binatang tunggangannya itu berlari kencang.
orang tua itu bermata jeli, ia bagaikan dapat melihat luka lengan puterinya itu. ia mengerti, tanpa perawatan yang cepat, lengan itu bisa bercacat, saking berduka, ia berdongak. mengawasi langit.
"Aku Tjoh Kam Pek..." keluhnya, "melihat keatas aku tak malu kepada langit, melihat ke bawah, aku tak malu kepada bumi, karenanya mengapa kami sampai menjadi begini" Kenapa aku mesti membuat isteri dan anak anakku tersangkut paut hingga mereka mesti mengikutiku sengsara merantau menyingkirkan diri"..."
si nyonya melarikan kudanya, menyusul si orang tua, suaminya. setelah datang dekat, ia mengulurkan lengan kanannya, untuk menyeka tangan kiri si suami.
"Janganlah kau berduka suamiku," katanya, halus. "Manusia baik akan memperoleh berkah Tuhan yang Maha Kuasa... salah paham ini penasaran kita ini akhir akhirnya akan dapat dibikin jelas juga. Kapan telah tiba saatnya maka orang orang Rimba Persilatan itu pasti bakal menjadi malu sendirinya..."
orang tua itu, yang menyebut dirinya Tjoh Kam Pek. menggelengkan kepala.
"sudah delapan tahun..." sahutnya, sedih bercampur murka. "Kita telah melintasi air air yang hitam dan gunung gunung yang putih, kita telah menjelajah padang pasir dan tegalan belukar, akan tetapi, dimanakah tempat kita mendiamkan diri" Ah... sudah delapan tahun, belum pernah kita dapat beristirahat tenang barang tiga hari, kita terus mesti berlari lari... sakit hati ini, yang dalam bagaikan
lautan. tak ada harinya untuk dilampiaskan.... Terang sudah bahwa orang orang Rimba Persilatan, semuanya menghendaki dapat membekuk kita sekeluarga, baru mereka akan merasa puas walaupun aku memiliki lidah tajam seperti souw Tjin, sulit bagiku untuk memberikan penjelasan..."
"Jangan bersusah hati, suamiku, berkata si nyonya, "sang waktu masih panjang, siang hari masih banyak. tak usahlah kita terburu napsu..."
Kam Pek mengawasi isterinya. Ia melihat sapu tangan putih yang melilit leher isterinya yang telah menjadi merah seluruhnya. Itulah bukti bahwa darah segar masih mengalir keluar. sejenak, ia merasa malu pada dirinya sendiri, karena tidak mampu membelai melindungi isteri itu
"Kita telah berlari lari satu malam dan setengah hari," katanya kemudian. "Jikalau aku tidak salah hitung, seng su Kio pasti tak ada seperjalanan seratus mil lagi, karena itu, marilah kita beristirahat sebentar." Dengan perlahan lahan sinyonya mengangguk
"Baiklah" sahutnya. "Kitapun perlu memeriksa lukanya anak anak... Ah kasihan anak-anak yang tidak berdosa ini, mereka mesti mengikuti kita untuk menderita kesengsaraan selama delapan tahun, belum pernah ada satu haripun dimana kita dapat berdiam dengan tenang." Bukan kepalang berdukanya Kam Pek.
"Aku adalah seorang laki-laki sejati," katanya "akan tetapi aku tidak sanggup melindungi istri dan anak-anakku. sungguh memalukan" suara orang tua ini menggetar.
"Jangan kau sesalkan dirimu, suamiku," berkata sang istri.
"Biar bagaimana sebab musabab dari ini semua adalah aku sendiri, istrimu." Kam Pek mengangkat kepalanya, dia menghela napas.
"Bukankah didepan sana itu ada sebuah rumah suci?" katanya.
"Mari kita pergi kesana, untuk melindungi diri dari hujan dan angin."
Begitu habis mengucapkan kata katanya itu orang tua ini segera menarik tali kudanya, untuk melarikan binatang itu ke arah kuil yang disebutnya. Nyonya Kam menyusul suaminya diikuti oleh anak-anak mereka. Tujuan mereka adalah arah barat utara, barat laut.
sang hujan, dari gerimis telah semakin keras, semakin lebat. Cuaca juga menjadi bertambah guramJauh disebelah depan, sebuah
gunung bagaikan diliputi uap-uap yang seperti menyambungkan bumi dengan langit.
Perjalanan itu tak jauh lagi, akan tetapi karena semuanya dikaburkan keras, kelima kuda Kam Pek berlima menjadi sangat letih, tapi syukurlah mereka segera juga tiba ditempat tujuan.
Itulah san sin Bio sebuah kuil malaikat gunung. saking kecilnya, ruang melainkan satu. Walaupun kecil, tembok seluruhnya putih bersih, gentingnya baru, dan pintunya baru juga. semua itu menandakan bahwa kuil ini baru diperbaharuhi.
Paling dulu Kam Pek lompat turun dari kudanya. Ketika ia membentangkan kedua belah tangan untuk menyambut istrinya, dan membantuinya turun dari kudanya, istri itu sebaliknya mendahului lompat turun dari atas kuda tunggangannya.
"Tak usah melayani aku," kata sinyonya perlahan "Lekas lihat si Koan, anak kita..."
sementara itu sinona, yang disebut anak Koan telah lompat turun dari kudanya menyusul turun ayah bundanya. setelah itu ia langsung menghampiri anak laki-laki usia empat atau lima belas tahun itu.
"Adik, mari turun", kata lembut, "Kita beristirahat disini."
Bocah itu ketika menghentikan kudanya tidak segera lompat turun. ia hanya mengangkat mukanya, sedangkan sepasang alisnya berkerut, seolah sedang memikirkan sesuatu yang tak ringan- ini adalah karena, berlari larian selama delapan tahun telah membuat ia dalam penghidupannya matang terlalu siang. Didalam usia empat tahun atau lima belas tahun itu, telah lenyap masa kegembiraan yang wajar, hingga ia tak lagi mirip dengan seorang anak yang baru mulai besar...
sinona mengulurkan tangannya, dengan sabar mencekal lengan kanan bocah itu.
"siauw Pek. kau memikirkan apa?" suaranya halus.
Bocah itu, yang dipanggil siauw Pek. nampak terkejut, tetapi hanya sekilas saja. segera ia lompat turun dari kudanya, bahkan ia tersenyum.
"Aku tidak memikirkan apa apa, kakak," sahutnya "Apakah kita hendak beristirahat?" si nona tertawa sedih.
"Ya," sahutnya. "Kita sudah berlari lari selama satu malam setengah hari... Kuda kita pun telah lelah, hingga tak dapat lari terlebih jauh lagi..."
Habis berkata, si nona memandangi adiknya itu. Ia mengira ngira tinggi tubuhnya si adik, Tiba tiba air matanya turun menetes. Ia ingat, ketika mereka lari meninggalkan rumah mereka, adik ini masih seorang bocah cilik yang belum tahu apa apa, akan tetapi sekarang, dia telah menjadi besar mirip dengan seorang pemuda. si adik diajak lari menyingkir didalam usia enam atau tujuh tahun- siauw Pek pun mengawasi kakaknya itu sang enci atau kakak wanita.
"Kakak. tubuhku lebih tinggi daripada tubuhmu" ujarnya. Kakaknya tertawa tawa.
"Ya, kau lebih tinggi" katanya. "Kau telah jadi besar"
Delapan tahun lamanya. Keluarga Coh ini hidup didalam perantauan merantau sambil berlari lari bersembunyi dari pengejaran musuh musuh mereka selama itu mereka sering kehujanan, kelaparan, dan kehausan. selama itu juga, merekapun telah mengenal banyak, belajar bukan sedikit. Hingga masing mereka tak ingin membuat mereka satu pada lain menjadi berduka. Bersama sama mereka saling menguatkan hati, saling mencoba untuk menderita sendiri sendiri
Disaat itu datanglah sianak muda, mendekati si bocah. Dia adalah seorang yang berusia dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun. Dengan tiba tiba saja dia mengulurkan tangannya menyabuti tali kuda adiknya.
"Pergilah kamu bersama sama ayah dan ibu masuk kedalam kuil untuk beristirahat" katanya, sambil tertawa.
" Kakak, kau justru yang paling lelah," kata si nona pada pemuda itu. Ia bicara dengan suara sangat perlahan dan halus.
Pemuda dengan pakaian bermandikan lumpur itu tertawa hambar. Dia tidak menjawab, hanya terus menuntun kelima ekor kuda mereka menuju sisi kuil dimana ada sebuah pekarangan yang ditumbuhi rumput. Disitu kelima ekor kuda itu lantas makan rumput dengan lahapnya karena mereka sudah sangat lapar. Kam Pek menggebriki air hujan pada bajunya.
"Ki Pek, tinggalkan kuda itu", katanya pada putera sulungnya. "Kau juga harus turut beristirahat".
"sebentar, ayah." sahut si pemuda. "sekarang ini baiklah ayah periksa dahulu luka ibu dan adik Koan."
Kam Pek mengangguk, ia melurut jenggotnya yang panjang,
terus melangkah kedalam kuil, menyusul isteri dan kedua anaknya.
Memang biasanya, setiap ada waktu untuk istirahat, Ki Pek selalu mengurus dahulu kelima ekor kuda mereka, supaya semua binatang tunggangan itu dapat makan dan mengaso cukup. Ia mengerti pentingnya hal itu. selama delapan tahun, belum pernah ia lalui walau sehari juapun.
Didalam ruang kuil yang kecil itu, Kam Pek duduk berempat bersama isteri dan dua anaknya. Ia meloloskan kantung kain minyak yang diikat pada pinggangnya, untuk membuka kantung itu, ia mengeluarkan isinya, ialah bekal santapan kering.
"Anak mari makan" katanya. "Ini mungkin perjalanan kita yang terakhir, setelah ini, bisa jadi tidak akan ada orang lagi yang menyusul dan mengejar ngejar kita..."
sembari berkata-kata, Kam Pek membuka tutup sebuah botol yang terbuat dari batu kemala putih. setelah itu ia memandang isterinya, sambil tertawa sedih.
"Ini juga botol kita yang terakhir..." katanya, pelan. Terus ia menoleh kepada anak gadisnya, dan selanjutnya berkata : "Anak Koan mari, aku hendak lihat lukamu."
" Luka ku tak parah, ayah," kata sinona. "Baiklah ayah periksa dahulu lukanya ibu."
si nyonya, atau sang ibu tertawa tawar.
"lbumu telah berusia lanjut, luka ini baginya tidak ada artinya," katanya. "Luka dileher ini, andaikata tidak diobati, paling juga akan menimbulkan satu cacad. Tidak demikian dengan kau, anak. Kau masih muda, jika tanganmu cacad, kau bakal menyesal seumur hidupmu..."
"Tapi obat ini cukup untukmu berdua", Kam Pek menyela.
Berkata begitu, suami ini lantas membuka balutan pada leher isterinya, hingga ia melihat bekas suatu bacokan yang dalam sekira satu dim, luka mana hampir mengelilingi seluruh leher, Luka itu masih mengeluarkan darah. Maka ia menjadi terkejut sekali.
"Hebat juga golok ini" katanya didalam hati. "syukur lukanya tidak sampai mengenai otot besar..."
Tidak ayal lagi Kam Pek memakaikan obat pada luka istrinya, ialah obat bubuk warna putih, cepat-cepat ia membalutnya. "sekarang giliranmu, anak Koan" katanya kemudian-
sembari membuka balutan pada lengannya Bun Koan, demikian nama anak dara itu menghampiri ayahnya lantas melonjorkan tangannya.
Luka itu diperolehnya beberapa hari yang lalu karena kurang
terawat, dan terkena angin dan air hujan, tampak mulai bernanah.
Ayah itu mengerutkan alisnya. "Anakku, katanya, menghela napas, kalau terlambat dua hari lagi, akan hebatlah kesudahannya luka ini, yaitu lengan kirimu ini bakal bercacad..."
Habis berkata, Kam Pek menuang sisa isi botolnya, lalu botol itu dilempar dan kemudian dibalutnya pula luka puterinya.
"Mudah mudahan inilah perjalanan kita yang terakhir. tak usah kita tercandak dan terkepung lagi oleh musuh kita yang tangguh..." katanya perlahan, dengan wajah yang suram.
"Ayah", tiba-tiba siauw Pek. sianak tanggung berkata, "ada suatu hal yang aku tidak mengerti, aku tidak tahu, aku dapat bertanya atau tidak..."
Kam Pek tercengang. segera ia mengawasi putera bungsunya itu. Ia melihat wajah si putera muram, bagaikan orang yang gusar. Tiba tiba ia menghela napas panjang.
"Kau tanyalah, anak" serunya kemudian. "sebenarnya, sekalipun kamu tidak menanyakannya, aku toh bakal memberi penjelasan kepada kamu"
"Aku ingat," berkata sianak. "di itu hari yang aku ingat dan mengerti, itulah saatnya kita serumah tangga sedang berada didalam pelarian"
"oh, anakku." berkata si nyonya usia pertengahan, yang tak dapat menahan turun air matanya, " ketika pada tahun itu kita mulai meninggalkan rumah kita untuk meying kirkan diri, usiamu belum lewat tujuh tahun..."
"sekarang ini, berapa tahun usiaku?" si anak bertanya. "Lima belas", jawab sang ayah.
"Aku turut berlari dalam usia tujuh tahun." berkata lagi si anak, "sekarang umurku lima belas tahun. itu berarti aku telah turut merantau selama delapan tahun. selama itu aku ingat aku turut melintasi gunung, menyeberangi sungai, menjelajah keselatan dan keutara, ke perbatasan, kedaerah es dan salju, menginjak tanah padang pasir dimana angin keras menderu deru selama itu kita sekeluarga belum pernah mempunyai tempat dimana kita bisa menginjakkan kaki kita sampai lama, dimana mana selalu ada saja musuh-musuh yang menyandak kita oh, ayah, sebenarnya perbuatan salah apakah yang pernah ayah lakukan hingga
menyebabkan semua orang rimba persilatan didalam dunia ini serempak memusuhimu,"
Muda usia si anak akan tetapi sudah sejak beberapa tahun ia memikirkan soal ini yang membuatnya tak mengerti dan heran, hingga ia menerka-nerka didalam masgul dan bingungnya. Baru hari ini ia dapat kesempatan mengajukan pertanyaannya ini.
Belum lagi ayahnya memberikan jawaban dengan suaranya yang keras, Siauw Pek sudah berkata pula : "setiap kali muncul orang orang menempur ayah, ibu, kakak dan enci, setiap kalinya mereka itu adalah orang orang yang berlainan. Mungkinkah mereka itu mempunyai dendam kesumat yang hebat sekali terhadap ayah " Mungkinkah mereka orang-orang jahat semua."
"Tutup mulut " mendadak berseru sang ibu "Bagaimana kau berani bicara begini rupa terhadap ayahmu" Apakah kamu tidak tahu aturan".
Mendengar teguran ibunya, bocah itu nampak sabar, akan tetapi ia masih menatap ayahnya dan sembari menangis, ia berkata : "Maaf ayah, aku bersalah " segera ia menjatuhkan diri, berlutut dihadapan ayahnya itu. Kam Pek menoleh kepada isterinya.
"Jangan tegur dia," katanya sabar. ia menghela napas. "Dengar aku si orang she Coh yang tak punya guna," tambahnya. "Aku telah membuat isteri dan anak anakku turut merantau sengsara selama bertahun tahun..." ia mengangkat tangannya mengusap usap kepala anak bungsunya itu, lalu dengan suara parau, ia berkata pula : "Anak. kau tidak salah. Ayahmu tidak berdaya mencuci salah paham dan dendam penasaran ini, hingga kamu semua, anak anakku, terpaksa mendapat nama yang tidak bersih" siauw Pek mengangkat kepalanya, ia mengawasi ayahnya.
"Ayah Dendam penasaran ini dapatkan ayah menjelaskannya kepadaku?" ia bertanya. Ayahnya tertawa sedih, seraya mengangguk.
"Tentu dapat aku menjelaskan kepadamu, anak-anakku". jawabnya. "saat ini justeru saat yang terakhir. Memang, walaupun
kau tidak menanyakan, ayahmu hendak menggunakan kesempatan ini buat cerita kepada kamu, supaya kamu semua tahu duduknya persoalan."
Coh Bun Koan, siputeri, yang sejak tadi diam saja mengawasi ayahnya, tiba-tiba menyela.
"Ayah, sabar", katanya "Kita sudah bisa menyingkir selama delapan tahun, belum pernah musuh-musuh kita berhasil memuaskan hati mereka karena itu, kenapa kita tidak dapat memikir terlebih jauh " Ilmu silat kakak bertambah maju setiap hari, aku sendiri merasakan diriku memperoleh kemajuan juga, maka itu, baiklah kita tunggu sampai luka lenganku ini sudah sembuh, nanti kita mencoba melawan pula musuh musuh kita itu. Kali ini, kita akan melawan secara mati matian Hanya ada satu hal yang tidak aku mengeri. Kenapa ayah rela menerima luka-luka serangan dari musuh musuh kita tetapi ayah sendiri tak sudi membalasnya dengan serangan balasan yang mematikan mereka ?"
Wajah Kam Pek bersedih dan muram, akan tetapi mendengar pertanyaan puterinya itu, ia tersenyum. Dengan suara yang bernada menghibur, ia menjawab. "Tak dapat ayahmu melakukan kesalahan lagi sesudah terlebih dahulu d la membuat suatu kekeliruan. sekarang ini ayahmu sudah berusia lebih daripada setengah abad, kalau aku mesti mati, aku rela, tak usah jadi penjelasan. Mungkinkah aku membuat permusuhan lebih hebat yang akibatnya bakal diderita oleh kamu semua " Tidak. aku tak dapat menanam bibit permusuhan semacam itu"
"Ayah sangat bermurah hati," berkata sinona, berduka. "Tetapi disamping itu, ayah, musuh-musuh kita yang mengejar kita tak henti hentinya itu sama sekali tak sudi memberi ampun kepada kita. selama beberapa tahun, ayah dan ibu telah menghadapi ratusan kali pertarungan, sempat ayah dan ibu mendapat luka ringan dan berat toh semua itu tak dapat merobah hati musuh-musuh ganas itu. Tetap mereka masih mengejarnya untuk membasmi kita Kenapa semangat ayah bagaikan telah runtuh ?" Tjoh Kam Pek menggelengkan kepala.
"Bukan, anak. semangan ayahmu belum runtuh " katanya. "Aku menjadi seperti tak berdaya karena paksaan suasana. sebab aku insaf tak dapat kita menghindarkan diri dari ancaman marabahaya melainkan dengan kita bekerja sama dan berkelahi mati matian. Musuh-musuh kita itu, sembilan partai yang telah mengirim pemberitahuan kepada seluruh dunia Rimba Persilatan menganjurkan orang-orang Rimba Persilatan yang mana saja untuk membekuk ayahmu ini. Mereka itu telah dijanjikan, siapa saja yang berhasil menawan hidup hidup diriku, dia akan diberi hak memulih dan mendapatkan tiga macam ilmu silat yang istimewa dari kesembilan partai persilatan yang besar itu, sedangkan siapa yang bisa menangkapku dalam keadaan mati ia akan memperoleh satu macam ilmu kepandaian istimewa. Itulah hadiah yang luar biasa, yang belum pernah ada sejak dahulu kala. Itulah hadiah yang paling berharga hingga orang tertarik. siapa tidak tahu bahwa setiap partai itu memiliki masing masing tiga macam ilmu kepandaian yang istimewa Bukanlah sembilan partai itu menjadi dua puluh tujuh ilmu silat yang mahir sekali" siapa mempunyai ilmu silat itu, pasti dia bakal menjagoi dunia sungai Telaga, dunia Persilatan"
"sekarang aku telah mengerti," kata Nona Bun Koan. "Rupa rupanya musuh kita itu, yaitu disebabkan mereka ingin memperoleh ilmu silat yang istimewa itu, mereka memusuhi kita walaupun kedua belah pihak tak ada pemusuhan yang besar."
"Ya, begitulah duduknya hal sebenarnya," sahut Kam Pek, memastikan- " Karena itu, semua orang di Rimba Persilatan telah menjadi musuh musuh kita sekeluarga. Coba pikir dapatkah kita menentangnya?" Ia menarik napasnya panjang panjang, terus menambahkan :
"oleh karena itu, bagi kita semua, tidak ada menyingkirkan diri Aku tidak percaya bahwa didalam dunia yang begini luas bakal tidak ada satu tempat dimana kita bisa berlindung yang tenang dan aman. Memang sudah delapan tahun kita berlarian dan masih belum menemukan tempat itu, akan tetapi, kita tak berputus asa. Kita harus mencari kehidupan dalam kematian. Kita harus mencoba
mencari jalan hidup" Bun Koan masih hendak menanyakan lebih jauh, tapi siauw pek, adiknya, menyela.
"sebenarnya, ayah," tanya si anak bungsu. "urusan apakah yang menyebabkan kesembilan partai besar itu memusuhi ayah sampai mereka mengumumkan berita menjanjikan hadiah ilmu silat yang istimewa?".
sebelum menjawab Kam Pek menoleh pada isterinya, lalu ia tertawa sedih.
"Kali ini, apakah mati atau hidup, sulit untuk dapat dipastikan. oleh karena itu, jika sekarang kita tidak memberi penjelasan pada anak anak kita ini, mungkin sudah tidak ada temponya yang lain lagi..."
sang nyonya istri itu menyahut sabar: "Kalau begitu, terserahmu suamiku".
segera Kam Pek mengangkat palanya. Dan ia menghela napas, melegakan hatinya.
"Anak inilah satu soal yang sulit sekali, suatu salah paham yang sukar untuk dijelaskan". Katanya kemudian. "Bicara sebenarnya, sampai disaat ini, ayahmu masih belum dapat menerka tepat, apakah itu fitnah atau suatu kebetulan saja. Coba kesembilan partai itu tidak terus terusan mengejar padaku, mungkin selama delapan tahun aku telah berhasil membekuk si pelaku utamanya yang bersalah."
Tiba tiba sang ayah itu menghentikan kata katanya. Mungkin kuatir, anak anaknya tidak akan mempercayainya.
"sakit hati apakah itu ayah?", tanya siauw Pek. " Kenapa ayah tak bicara terus?"
"Jikalau aku bicara terus", kata sang ayah ragu, "Aku kuatir kau sukar mempercayai..." Ia diam sejenak. tiba tiba berkata keras : "Kie Pek. mari ayah ingin bicara kepadamu semua".
Putera sulung itu, yang masih berada diluar kuil, menyahut panggilan ayahnya terus lari masuk.
"Ada apakah ayah?", tanyanya sambil menggibriki air hujan pada bajunya. Ayahnya bangkit dengan perlahan lahan.
"Tahukah kami sebabnya kesembilan partai besar mengirimkan pemberitahuannya itu" Kenapa mereka bersatu padu hendak memusnahkan kita sekeluarga?" Demikian pertanyaan ayah itu akhirnya. Kam Pek menghela napas perlahan-
"Aku hanya ketahui ayah mempunyai dendam penasaran yang hebat sekali," sahutnya.
"Tahukah sebabnya?"
"sebegitu jauh yang aku tahu itu disebabkan empat ketua dari kesembilan partai besar itu telah dibunuh secara diam diam," sahut sang anak. "Dan didalam hal itu kesembilan partai besar telah mencurigai dan menuduh ayah yang melakukan pembunuhan gelap itu, lalu membabi buta tanpa memberi penjelasan, mereka menitahkan murid murid mereka mencari dan menyerang ayah. Demikianlah sudah terjadi, para murid kesembilan partai besar itu telah menyerbu Pek Ho Po yang mana dilakukan diwaktu malam gelap gulita, mereka membasminya sampai kita terpaksa mengangkat kaki dari rumah kita itu..."
Rumahnya keluarga Tjoh itu dinamakan "Pek Ho Po", yang berarti "dusun burung Jenjang putih". sebagai umumnya, dusun itu merupakan perkampungan orang orang she Tjoh berikut para pegawainya.
Tiba tiba siauw Pek memandang kakaknya dan bertanya: " Kakak, kenapa mereka itu menyangka ayah?" Ditanya begitu, Kie Pek melengak.
"Entahlah," sahutnya sejenak kemudian-"Aku tak jelas..." Habis menjawab adiknya, kakak itu berpaling kepada ayahnya.
"Rupa- rupanya," ia meneruskan setelah hening sejenak. "justru di saat ketua-ketua dari keempat partai besar itu, yaitu siauw Limpay, Bu Tong Pay, Ngo Bie Pay dan Khong Tong Pay, telah dibinasakan orang, justru ayah tiba dipuncak Yan-le Hong di bukit Pek Man itu"
Pek Ma san, atau bukit "Kuda Putih", adalah bukit di mana terjadi bencana atas diri ketua keempat partai itu, dan tempat terjadinya ialah diatas Yan-le Hong, puncak "Asap dan Hujan".
Jawaban Kie Pek ini ditujukan kepada siauw Pek. adiknya, akan tetapi tak langsung tertuju juga kepada ayahnya. Biar bagaimana, iapun merasa heran, hingga ia meragu ragukan keterangan ayahnya itu.
Kam Pek mengusut janggutnya yang panjang. Ia tertawa menyeringai, terus memandang istrinya.
"Tidak heran jikalau kesembilan partai besar mengirim pemberitahuan kepada kau Dunia sungai Telaga untuk menjanjikan hadiah guna membinasakan kita," katanya perlahan, "kau lihat sendiri, sekalipun anak anak kita, mereka juga menyaksikan ayah sendiri." Kaum sungai Telaga, Yang ouw, adalah sama dengan kaum Rimba Persilatan, Bu Lim.
Mendengar kata kata ayah itu, mendadak siauw Pek menjatuhkan dirinya berlutut dihadapan orang tuanya, sembari menangis, ia berkata. "Sama sekali bukan aku mencurigai ayah, melainkan mengharap ayah sudi memberikan keterangan yang jelas supaya kelak dikemudian hari aku dapat melakukan penyelidikan guna mencuci bersih penasaran ayah ini."
Wajahnya Kam Pek tiba tiba menjadi pucat tubuhnyapun
bergemetar. Teranglah bahwa hatinya telah terguncang keras.
Karena ini, buat sekian lama, tak dapat ia mengucapkan sesuatu.
Tiba tiba Nonya Tjoh berkata. "suamiku kau beritahukanlah kepada mereka Ah, sampai disaat ini, tak usah kau menolongku melindungi muka terangku..." Kam Pek menarik napas perlahan. ia
memandang anak anaknya. "Tahukah kamu tempat tujuan kita?" tanyanya.
Bun Koan, yang sekian lama itu berdiam saja, menyahut dengan tiba tiba. "Itulah seng su Kio "
Siauw Pek heran, Seng Su Kio adalah nama jembatan, dan artinya "Peng Lu" itu ialah " Hidup mati". sebenarnya ia hendak meminta keterangan akan tetapi melihat muka ibunya, yang mengucurkan air mata deras, ia menahan kehendaknya. Kam Pek memandang anak anaknya satu persatu.
"Tahukah kamu, kenapa tempat itu diberi nama seng Lu Kio?" ia bertanya.
"Aku tidak tahu", jawab Bun Koan sang puteri.
"Itu adalah sebuah tempat yang keadaannya sangat berbahaya", mengerangkan sang ayah. "Di dalam kalangan Rimba Persilatan, nama tempat itu tak pernah lenyap dari benak pikiran. Apakah sebabnya itu" sebenarnya, aku sendiri tidak mengetahuinya jelas, cuma aku dengar telah pernah ada ratusan, ya ribuan orang orang Rimba Persilatan yang telah membuang jiwa raganya di situ"
"Jikalau tempat itu sedemikian berbahaya, buat apakah kita pergi kesana?" tanya Bun Koan
"Mustahilkah di dalam dunia yang begini lebar ini tidak ada satu tempat juga dimana dapat kita menaungkan diri?"
"Tidak, tidak ada lagi" sahut sang ayah.
"Di gunung yang lebat, disungai yang luas, juga dipadang pasir dan tanah belukar, ditempat mana saja kemana kita dapat pergi, kesana mereka akan dapat menyusul dan menyandak, kecuali seng su Kio. Di sana, sebaliknya, walaupun tempat sangat berbahaya, kita masih dapat mencari suatu jalan hidup,.."
"Maafkan anakmu, ayah," tanya Nona Bun " Kenapa tempat itu diberi nama seng su Kio jembatan Hidup Mati yang demikian seram?"
"Menurut cerita," menjawab Kam Pek. yang memberikan keterangannya, "tempat itu sebenarnya adalah sebuah jembatan batu, yang sepanjang tahun gelap tertutup kabut hitam dan tebal, dan siapa menginjak dan jalan di atas jembatan itu maka dalam hal hidup atau mati, dia sudah tidak berkuasa lagi atas dirinya. Begitu jauh, selama beberapa puluh tahun, cuma ada dua orang yang berhasil menyeberang melintas ijembatan maut itu, akan tetapi tentang mereka, tak ada yang tahu mati atau hidup, semenjak berhasilnya dua orang itu, belakangan lantas ada orang orang Rimba Persilatan yang mencoba mengikuti jejak mereka, hanya, tak ada di antara mereka yang mencapai maksud hatinya."
"Jikalau begitu, ayah, dapatkah kita menyeberangi?" tanya sang puteri. Ayah itu tertawa, dia menggelengkan kepalanya.
"Aku juga tak tahu," sahutnya. " Karena kedua tjianpwee itu telah mendahului kita dan telah berhasil, kita juga dapat mencobanya. siapa tahu jika di dalam kematian ada kehidupan" Kita pun terpaksa, bukan" Terpaksa ayahmu mengajak kamu, untuk mencoba coba..."
Kam Pek menghargai ke dua yang telah berhasil melintasi seng su Kio itu maka juga ia menyebut mereka dengan panggilan "tjianpwee" yang berarti "orang yang terdahulu yang terlebih tua, yang dihormati."
Mendadak wajah ayah ini berubah menjadi keren. ia bicara terus, perlahan tetapi tetap. Katanya : "Asal diantara kamu ada satu orang saja yang berhasil tiba disebrang, dilain tepi dijembatan itu, maka
berarti bahwa Keluarga Coh tak akan putus, akan ada anggotanya
yang dapat menyambungnya hidup terus. Bagiku itu sudah cukup."
Baru saja berhenti suaranya Kam Pek, maka terdengarlah suara gemuruh ringkiknya kuda, yang datang dari tempat yang jauh. Kam Pek kaget sehingga mukanya menjadi pucat.
" Kembali ada musuh menyusul kita" katanya Dengan lincah si nyonya lompat bangun, untuk lari keluar kuil.
"Aku mau mengambil kuda kita" katanya.
"Tak usah ibu susah susah" kata Kie Pek. Putera ini mau lompat keluar tetapi ayahnya mencegahnya.
"Biarkan ibumu yang pergi" kata orang tua itu, yang suaranya berubah sangar. lalu dengan dingin, dia menambahkan: "Jikalau kita semua membuang jiwa kita dibawah jembatan maut itu, ya, sudah saja, itulah nasib kita, walaupun demikian, aku mengharap, semoga kita memperoleh berkah Tuhan Yang Kuasa, supaya di antara kamu anak anakku ada seorang satu yang dapat melindungi jiwanya. Jika harapanku ini terkabul, siapapun diantara kami yang hidup, kau harus segera pergi keJie-wan disebelah selatan kota Gak yang. Disana kamu cari seorang tuna netra yang disebut LaUw Hay-cu atau Lauw si Buta. Kepadanya kamu tanyakan apa dia masih menyimpan atau tidak barang titipan sahabat kekalnya dari kaum Pek Kun- yaitu Partai putih. Umpama kata dia balik bertanya : "sekarang ini waktu apa?" kaujawablah : sekarang waktu lohor sedang matahari merah marong". Apabila dia berkata pula : Dijalan ketanah baka tidak ada tempat mondok bermalam, maka tak salah, dialah benar orang yang kau cari. setelah itu kau timpali kata katanya itu dengan kata kata ini: "Tetamu datang dari Tanah Barat tempat Buddha." Dengan begitu dapatlah kau minta barang titipan ayahmu itu..."
Bicara sampai disitu, kata kata Kam Pek berhenti pula secara tiba
tiba. Kali ini karena ia mendengar suara bentakan yang datang dari
luar kuil malaikat gunung itu. Tanpa ragu ragu ia lompat keluar.
Menyaksikan gerak gerik ayahnya, Kie Pek menyambar lengan kanan siauw Pek, adiknya, dengan suara dalam, ia berkata : "Selama delapan tahun ini belum pernah kau mendapat luka, karena itu selagi sekarang kita sudah berada dekat dengan seng su Kio, kau harus terus dapat melindungi keutuhan tubuhmu ini. ini sangat perlu, sebab kaulah yang harus mencuci bersih penasaran ayah bunda kita. Kau dengar kakakmu, adikku, segeralah naik keatas kudamu dan pergi kabur "
Begitu habis dia menutup mulutnya, Kie Pek segera berjalan didepan adiknya, untuk keluar dari san sin Lio.
Bun Koan juga lompat keluar dengan gerakan lincah. Kurung walet menembusi kerai, ia melintas disisinya Siauw Pek. untuk mendahului Kie Pek.
Diluar kuil, didalam pekarangan, telah nampak Nyonya Kam Pek sedang menempur seorang pendeta yang tubuhnya besar. senjata pendeta itu ialah sebatang sekop "goal gee hong piansan" yang besar. itulah senjata istimewa untuk para pendeta, atau hweeshio. Berkilauan senjata istimewa itu dan anginnya bersiur siur keras, dan dengan itu si nyonya bagaikan kena terkurung.
Kam Pek. yang telah tiba diluar, lantas menghunus senjatanya, golok Kimpwee Kay san toe, sedangkan tangan kirinya merogoh kesakunya, mengeluarkan sebilah pisau belati yang panjang kira kira satu kaki, yang kedua belah tajamnya bersinar mencorong. Begitu lekas ia datang dekat, ia lompat kepada si pendeta, untuk menangkis turunnya senjata pendeta itu, hingga kedua senjata mereka bentrok keras dan nyaring suaranya. selagi hong pian san
kena tertangkis itu, si penangkis meneruskan menikam dengan
tangan kirinya, dengan tipu silat "Merogo saku pengambil mutiara." Pendeta itu terkejut, terpaksa ia mundur setindak.
Justru itu Coh Siauw Pek menghunus pedangnya, segera maju.
" Kakak. minggir" teriaknya. "Mereka sangat kejam, mereka tidak sudi memberi kesempatan mereka telah mengejar kita sampai tak
ada tempat sembunyi untuk kita, karenanya daripada kita mesti
merantau terus tak berketentuan, marilah kita adu jiwa kita"
Menyusul itu terdengarlah teriakan Bun Koan "Kakak Adik.. Lekas naik kudamu melanjutkan perjalanan kami. Aku akan bantu ayah dan ibu melawan musuh musuh ganas kita ini "
Berbareng dengan itu, tampak muncullah pula belasan musuh lainnya, yang langsung mengepung Kam Pek dan istrinya. Maka orang she Coh itu dengan pedang ditangan kanan dan pisau belati ditangan kiri, terus membuat perlawanan- Di dalam pertempuran ini, ia terus mendampingi istrinya. Karena Nyonya Coh tidak dapat, tidak
sudi, menyingkirkan diri Untuk sejenak itu, musuh itu tak dapat berbuat apa apa.
Erat hubungannya suami istri itu, rapi cara pembalasan dirinya. inilah akibat pengalaman mereka selama delapan tahun, selama mana hampir tak hentinya mereka menentang musuh musuh yang mengejar, menyerbu dan mengeroyoknya. Hingga pertempuran itu berupa sebagai latihan silat bagi mereka berdua. Hingga dengan sendirinya kepandaian mereka jadi bertambah maju.
Coh Kie Pek tidak pergi menyingkir walaupun adiknya Bun Koan, telah menyuruhnya. Sebaliknya, dia segera meraba kepinggangnya, untuk meloloskan sepotong joan pian, yaitu cambuk lemas yang menjadi senjatanya, sedangkan tangan kirinya mencabut dari sela sela kaos kakinya sebatang kim kiam, pedang emas, panjang satu kaki.
"Adik Koan,jangan maju" ia berseru ketika melihat Bun Koan
menggerakkan tubuhnya untuk menghampiri ayah bunda mereka.
Nona Coh sudah melepaskan tali kudanya dan telah menghunus pedangnya, ia melengak mendengar suara Kie Pek, sang kakak. Lekas ia menoleh.
"Mau apa, kak?" tanyanya. Belum pernah ia mendengar suara sebengis itu dari kakaknya.
Kedua matanya Kie Pek terbuka lebar, bundarnya berputar tajam dia mengawasi adik perempuan itu.
"sebagai kakak. belum pernah aku bicara keras terhadapmu" kata kakak ini "sekarang ini lain sekarang, siapa tidak mendengar kata kataku, dia tak akan diakui lagi sebagai saudaraku..." Ia berhenti sejenak, lalu sambungnya. "sekarang pergi kamu naik kuda, kau ajak adik Siauw meneruskan perjalanan " Air mata Bun Koan turun deras. tetapi ia tertawa sedih.
"Kau keliru, kak." katanya. "Adalah kau, kakak. dan adik Siauw, yang berat tanggung jawabnya. Kamulah yang harus mencuci bersih sakit hati ayah dan ibu Aku seorang wanita, taruh kata aku dapat
hidup terus, mana ada faedahnya untukku" Apa yang aku dapat perbuat" Karena itu, kakak. maafkan adikmu ini. Lebih baik kaulah yang mengajak adik"
"Adik Koan, tutup mulutmu" bentak kakak itu gusar. "Apakah kau
percaya ilmu silatmu lebih lihay daripada ilmu silat kakakmu ini?"
"Aku tahu, memang aku kalah," sahut adik perempuan itu.
"Jikalau begitu, kau mengerti sudah." kata si kakak. "Kali ini musuh yang menyandak kita ini pasti adalah jago jago dari kesembilan partai besar itu dengan begitu, walaupun kau telah berkeputusan untuk membuat tubuhmu hancur lebur, tak nanti dapat kau membantu dan menolong ayah dan ibu Maka itu, kau dengar aku, pergi kau ajak adik Siauw, kamu berdua lebih dahulu berangkat pergi"
Keras kata kata yang terakhir itu, tetapi suara itu rada menggetar, sedang matanya si pemuda telah mengucurkan air. Bun Koan menangis.
"Kakak. tak dapat kau..." katanya terputus...
"Diam" bentak sang kakak. "Aku larang kau bicra Kau dengar kata kataku atau tidak ?"
Adik itu melihat biji mata merah dari kakaknya, tapi ia juga melihat air mata orang, lemahlah hatinya, maka perlahan lahan ia menurunkan tangannya yang menghunus pedang. "Baik... baik... kakak," katanya. "Akan aku dengar kata katamu." Jawaban ini lantas tercampur dengan tangisan terisak isak...
Kie Pek tersenyum sedih. "Nah, beginilah baru adikku Adikku yang baik," katanya. "Sekarang pergilah kau. Baik baik melindungi adik kita, tak usah menunggu lagi ayah bunda dan aku. Lekas kamu naik ke kudamu. semoga Tuhan Yang Maha Kuasa mengasihani kamu berdua, supaya kamu berhasil menyeberangi jembatan seng su Kio..."
Berkata demikian, Kie Pek menghampiri Siauw Pek. untuk mengambil alih pedangnya adik itu, di lain pihak. la menyerahkan kim kiam pada si adik sembari berkata : "Adikku, kau peganglah pedang ini pedang pusaka dari kaum Kim Kiam Bun kita. Dahulu kala, kakek luar kita dengan mengandalkan pedang ini untuk membikin cemerlang Kek Ho Kun kita sayang, di saat kita sedang membangun terus, timbullah peristiwa ini, yang membuat sembilan partai memusuhi kita, dalam hal mana mereka telah dibantu oleh empat rombongan Bun dua Hwee dan tiga Pang lainnya. sehingga kejadian malam itu, hampir seratus jago-jago Rimba Persilatan dari delapan belas rombongan persilatan itu, telah mengepung kita, hingga dalam satu malam ini, musnah ludaslah Pek Ho Sun kita yang telah dibangun dengan susah payah syukur untuk kita, berkat kegagahan ayah dan kecerdasan ibu kita, kita dapat dilindungi, diajak meloloskan diri dari mara bahaya. Hingga kejadianlah selama delapan tahun, kita hidup terlunta lunta didalam perantauan diselatan dan utara sungai Besar, di padang pasir, di hutan belukar, hingga sering kita mesti melakukan pertempuran mati hidup, Ayah telah mewariskan pedang emas ini kepadaku, tetapi sekarang aku menyerahkannya kepadamu, aku minta sukalah kau menyimpannya baik-baik, supaya kelak di belakang hari kau dapat membangun pula Pek Ho BUn "
Siauw Pek menyambut pedang emas itu. "Kakak..." katanya, "aku..."
Kie Pek memotong dengan mengibaskan tangannya.
"Lekas naik kudamu dan pergi " titahnya. "Percayalah, ayah adalah seorang lelaki sejati, tak mungkin dia mencelakakan empat ketua dari keempat partai besar itu. Dalam perkara ini mesti ada rahasia yang masih gelap"
Tepat waktu itu terdengarlah suara nyaring dan keren dari Coh Kam Pek : "Kamu kawanmu manusia ganas, kamu keterlaluan Lihatlah, hari ini coh Kam Pek akan membuka suatu pembunuhan besar besaran "
Boleh dibilang belum berhenti mendengungnya suara keren itu, disana sudah terdengar satu jeritan keras yang menyayatkan hati. Itulah jeritan kematian dari salah seorang musuh yang roboh sebagai korban golok Kimpwee to dari jago she Coh itu.
Akibat robohnya musuh itu hebat sekali. segera terdengar bentakan galak dan bengis, tanda kemurkaan musuh disebabkan salah seorang kawannya terbiasakan- Menyusul kejadian itu berkilau kilaulah cahaya dari pelbagai macam alat senjata yang melurruk ke arah Kam Pek suami istri.
Terang sudah, Kam Pek mesti melayani kemurkaan lawan sebanyak itu. Melihat semua itu tiba-tiba Kie Pek memeluk tubuh adiknya, untuk dipondong naik ke atas punggung kudanya, di lain pihak. dengan roman garang ia berkata keras pada Bun Koan : "Lekas kau ajak adik Siauw menyingkir "
Nona Bun mengangkat tangan bajunya, untuk menepas air matanya, terus ia mengayun tangannya itu, guna menepuk punggung kuda Siauw Pek hingga kuda itu kaget dan kesakitan dan segera berjingkrak untuk kemudian lompat lari sambil mendengarkan ringkik yang keras dan panjang. setelah itu, enci ini pun menggeprak kudanya sendiri, menyusul pergi guna melindungi adiknya itu.
Kie Pek mengawasi sampai kedua adik itu sudah pergi belasan tombak jauhnya, baru ia mengeluarkan seruan nyaring, baru ia berkata nyaring kepada ibunya " ibu silahkan beristirahat, nanti aku yang menentang mereka itu" Dan kata katanya ini disusul dengan majunya ia sendiri ke arah musuh.
Bun Koan dan siauw Pek sementara itu telah terus melarikan kuda mereka, sampai belasan li, sesudah mana tiba-tiba kuda mereka itu memperdengarkan ringkikan keras, dan seketika itu pula keduanya roboh sendirinya, rebah di tengah jalan
Itu adalah karena sangat letihnya kedua binatang itu walaupun keduanya adalah kuda kuda pilihan telah terlatih baik, hanya kali ini keduanya telah mesti berlari lari teralu lama, sedang saat
mengasonya terlalu sedikit, atau mereka sudah mesti larat pula, tak heran mereka kehabisan tenaga.
Bun Koan siauw Pek masing-masing lompat turun dari kuda mereka.
"Apakah kau terluka, adikku?" tanya sang kakak. menghampiri saudaranya.
"Tidak" sahut sang adik,
Nona Bun mengangkat kepala, memandang ke depan, jauh kira2 satu li lebih, ia melihat sebuah gunung. segera ia mengerti, walaupun kuda mereka tangguh, mereka tak akan sanggup mendaki lewat bukit itu. Diam diam ia menghela nafas. Tanpa mengatakan apa apa, ia melepas pelana kudanya, lalu sambil menepuk-nepuk kedua binatang itu, ia berkata :
"Kudaku pergilah kamu, kamu sudah merdeka" Kemudian, segera ia memegang tangan siauw Pek, untuk diajak lari ke arah bukit di sebelah depan itu.
Tiba-tiba Siauw Pek merandak. menghela napas.
"Kakak." tanyanya, "Kau lihat ayah dan ibu, sanggupkah mereka mengundurkan musuh?"
"Musuh berjumlah besar," sahut sang kakak. "Mereka juga nampaknya kosen semua, mungkin sulit untuk mengusir mereka, akan tetapi ayah kita gagah sekali dan ilmu pedang ibu telah mencapai kesempurnaannya, sedang kakak Kie selama ini memperoleh kemajuan pesat. Maka aku percaya, ayah bertiga tidaklah sukar untuk meloloskan diri dari kepungan. Kau jangan kuatir adik."
Di mulut Bun Koan mengatakan demikian dalam hati ia kuatir bukan main. Musuh berjumlah besar dan ayah mereka bertiga sudah terluka dan letih, Terpaksa saja ia mesti menghibur adiknya ini.
Siauw Pek memandang mega yang tebal bagaikan memenuhi langit, lalu seorang diri berkata-kata: "Ayah bagaikan mempunyai kesulitan yang tak dapat ia utarakan dengan kata-katanya... Ah
Terang ayah dapat memberitahukan kita kenapa ia mesti diuber-
uber musuh toh ia masih tak sudi menjelaskannya kepada kita..."
sehabis itu, adik ini menoleh kepada kakaknya. Ia merasa pasti saudari ini tahu segala apa lebih banyak daripada apa yang diketahuinya sendiri. Bun Koan dapat menerka hati adiknya itu. Ia mengegosi soal itu.
"Lihat disana, adik," katanya. setelah melintasi bukit itu, kita akan segera tiba di seng su Kio. Menurut ayah, itulah sebuah jembatan yang menyeramkan, selama beberapa puluh tahun, entah berapa ratus jiwa jago jago Rimba Persilatan yang telah tersia siakan disana, akan tetapi kita semoga Tuhan Yang Maha Kuaa memberkahimu, agar kau dapat tak kurang suatu apa menyeberanginya."
Kakak ini juga berkata kata sambil memandang ke lain arah,
supaya sinar matanya tak bentrok dengan sinar matanya saudara itu
sekonyong-konyong Siauw Pek menggentak tangan kanannya yang dipegangi Bun Koan, untuk melepaskan diri.
"Jangan kau mendustai aku, kakak" katanya keras. " Kenapa kah aku tidak diberitahukan duduk persoalannya" sebenarnya ayah telah melakukan kesalahan apakah" Kesembilan partai besar ternama baik, kenapa mereka justru memusuhi kita kaum Pek Ho Bun begini hebat?" Ia berhenti sejenak. dan menarik napas panjang.
" Kakak." tanya pula kemudian, "aku tahu kau mengetahui duduk perkaranya, mengapa kau tidak suka menceritakan padaku" Kakak jika kau tidak suka bicara, aku tak sudi mengakui lagi kau sebagai kakakku"
Hebat suara adik ini lain dari biasanya. Biasanya, ia sangat sayang dan menghormati kakaknya itu. Tadi tadinya belum pernah Bun Koan menyaksikan adiknya ini bersikap demikian keras. Ia
menjadi bingung dan berduka, tak merasa air matanya keluar bercucuran-
Tiba-tiba siauw Pek mendongak dan tertawa keras Lalu, tiba-tiba dia mengangkat kakinya, untuk lari kedepan
Anak muda ini panas hatinya, tak dapat ia lampiaskan itu, tak dapat lagi ia mengendalikan diri, maka itu ia bagaikan kalap. Ia lari sekeras-kerasnya menuju kebukit didepan itu.
Bukan main kagetnya Bun Koan, sang kakak.
"Adik" ia berseru seraya lari menyusul. Ia kuatir juga jalanan sukar dan licin bekas habis hujan, "Adik tunggu. Lekas berhenti Aku akan beritahukan padamu"
siauw Pek dapat mendengar suara kakaknya itu. tiba tiba hatinya reda, seketika itu juga ia berhenti lari.
Bun Koan lompat, menyambar lengan adiknya itu. Ia memegang erat erat.
"Adikku" katanya terharu, "kau sabarlah. Di antara kita bersaudara, kaulah yang berbakat paling baik. Ayah telah mengatakan, untuk mencuci bersih sakit hati keluarga Coh ini. Tanggung jawabnya ada pada kau, kenapa kau menganggap dirimu begini ringan."
siauw Pek menangis. Ia menepis air matanya.
"Kakak", katanya. "Jikalau benar ayah telah melakukan suatu kesalahan besar, kita anak anaknya, harus menebus dosa itu, itulah kewajiban kita sebagai anaknya yangb berbakti. Jikalau ayah tidak melakukan sesuatu yang buruk. kenapa ayah tidak mau menceritakan jelas jelas kepada kita?"
"Ayah jujur dan gagah, mana mungkin dia melakukan sesuatu
kejahatan?" kata Bun Koan. "Jangan kau menerka yang tidak tidak
dik. Maukah kau memfitnah ayahmu?" siauw Pek menggeleng. "Habis kenapa ayah tak sudi menuturkannya?" tanyanya.
"Ayah mempunyai kesulitan Mana mungkin kita sebagai anak memaksanya?"
Adik itu mendongak. Ia berpikir.
"Mungkinkah itu mengenai ibu ?" tanyanya pula kemudian-
"Aku tidak tahu..." jawab sang kakak menggelengkan kepalanya.
"Kau tentu tahu kakak. cuma kau tidak suka bicara" kata siauw Pek. yang mengawasi tajam Ia berhenti sejenak. ketika ia bicara pula, sikap dan suaranya keras, " Kakak, kaulah putera ayah dan ibu Kakak apakah aku bukan puteranya ayah dan ibu juga" Kakak Kie dan kau sendiri mengetahuinya tapi mengapa kau tidak sudi memberi keterangan padaku?"
Nona Bun merasa bersusah hati. Ia sulit sekali. Ia menggenggam tangan adiknya itu tetapi Ia tidak dapat membuka mulutnya. Cuma air matanya yang turun meleleh dikedua belah pipinya.
siauw Pek makin heran, kecurigaannya jadi bertambah-tambah.


Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak dapat tidak. mesti aku paksa dia", pikirnya. Lantas, ia berontak melepaskan tangannya dari genggaman kakaknya. Ia berkata keras : "Kakak. jikalau benar ayah bersalah, kita harus menanggung dosanya, pantas kita menyerahkan batang leher kita untuk ditabas musuh musuh kita. Didalam hal itu, kita mati tak usah menyesal. kalau musuh2 hanya memfitnah kita pertahankan hidup kita ini, hidup yang berharga, guna mencuci penasaran itu" Bun Koan menangis.
"Kau benar, adikku," katanya. "Kau memang harus menjaga dirimu baik baik..."
"Tetapi, kakakku," bentak si adik, "jikalau kau tidak suka bercerita padaku, baiklah aku akan mati sekarang, supaya kau melihatnya" Berkata begitu, ia melompat keluar ke batu besar didepan, untuk lari kejurang
DI depan itu banyak batu besar bermunculan, berlumut dan licin bekas kehujanan, sulit untuk dijalani. siapa tergelincir disitu, celakalah dia siauw Pek justeru lari kesana, untuk merayap naik.
Bun Koan kaget tak kepalang, segera ia lompat menyusul.
"Adik" teriaknya. "Adik, lekas turun Mari aku kasih tahu padamu"
Siauw Pek mendengar suara itu, dia melompat turun. Dia menaruh kakinya diatas sebuah batu.
Di antara saudara saudarinya, siauw Pek adalah yang ilmu silatnya terlemah, tetapi mengenai bakat, dialah yang terbaik. Hanya saja Kam Pek tidak mau memberikan segera dia pelajaran silat guna menjaga, melindungi bakatnya itu. Dia terlebih dahulu diajari duduk bersemedi, untuk memperkokoh tenaga dalamnya. Dia diajari lweekang-laykang ilmu tenaga dalam itu. Disamping itu, dia dibekali beberapa jurus tipu silat pedang, untuk membela diri Di dalam hal keng kang tee ciong (ilmu ringan tubuh dan berlompat mencelat) dia belum diwarisi sama sekali. Kalau tadi dia dapat melompat pesat dan indah, itu disebabkan semangatnya yang dibantu dari hasil latihan tenaga dalamnya itu. Tapi dia belum terlatih sempurna. Dia dapat menaruh kakinya tapi tubuhnya limbung, kaki tidak terletakkan tepat, sedang batu itu berlumut dan licin. Maka tak ampun lagi, dia tergelincir roboh
" Celaka" teriak Bun Koan-
Tetapi si kakak sebat, dia sadar, maka dia sambar kaki kanan adiknya itu, untuk dicekal dan ditarik. sayang, dia tergesa gesa, kudanya kurang teguh, sedangkan tubuhnya condong kedepan,
maka itu dia dapat tertarik adiknya dan gemburlah kuda kuda itu,
tubuhnya kena terbetot. " Celaka" dia berseru di dalam hati, cemas.
Tapi nona ini tidak menjadi gugup, dengan sebet dia menyambar dengan kakinya pada cabang cabang pohon cemara di dekatnya, guna memancangkan kakinya itu, maka dia berhasil mempertahankan diri, Hingga dia berhasil menyelamatkan adiknya.
Walaupun telah selamat, tapi muka si nona menjadi pucat pasi, kagetnya tadi. Tubuhnya juga mengeluarkan peluh dingin- Tetapi
dia tetap memegangi tangan adiknya erat erat. yang dia pandang
dengan mata melongo sebab mulutnya tak dapat berkata kata jua.
siauw Pek sendiri tak kaget, dia dapat menenangkan dirinya. Dia balik mengawasi diri kakaknya itu.
"sekarang kakak. kau mau bicara atau tidak?" tanyanya keras, walau ia tahu kagetnya sang kakak itu belum hilang seluruhnya. Bun Koan menyeka peluh di dahinya.
"Aku akan bicara," sahutnya. "tetapi harus kau ketahui, apa yang aku tahu ada batasnya, sebab ini juga keterangan tidak lengkap dari ayah sendiri.."
"Berapa banyak yang kau ketahui, berapa banyak yang kau beritahu padaku" kata sang adik,
"Peristiwa itu mengenai nama baik ibu," kata si kakak. "Itu
sebabnya kenapa ayah segan membicarakannya pada kita..."
Paras siauw Pek berubah pucat, kedua matanya dipentang lebar. "Apa..." Mengenai nama ibu" Kenapakah" Lekas kau bicara" kata sang adik,
"sabar, dik Berikanlah kesempatan padaku untuk bicara dengan tenang." siauw Pek terus mengawasi kakaknya.
"Rupanya ibu telah menerima sebuah surat rahasia habis itu ibu pergi diam diam." Bun Koan mulai bercerita. "Ketika ayah mengetahui kepergian ibu ayah langsung pergi menyusul. Untuk itu ayah telah mendaki puncak Yap Ie Hong di gunung Pek Na san itu. Justru itu, disana telah terjadi kejadian hebat, bahwa ketua ketua
dari keempat partai besar itu sudah dibinasakan orang, hingga
seterusnya terjadilah ini, peristiwa penasaran yang hebat sekali."
siauw Pek menghela napas, untuk melegakan hatinya. "Kemudian?" tanyanya.
"Ayah kita telah menerima budi besar dari kakek luar." Bun Koan melanjutkan- "ia telah dipelihara dan dididik, tidak saja kakek telah mewariskan ilmu silatnya, ia juga dihadiahkan anak perempuannya, yaitu ibu kita bahkan yang terakhir ayah diwariskan juga partai Pek Ho Bun, hingga ia melanjutkan jabatan kakek luar sebagai ketua partai itu..."
"Memang, ayah sangat bersyukur kepada kakek luar," kata siauw Pek. "Sudah tentu ayah tak sudi melukai hati ibu, Didalam hal ini apabila benar kehormatan ibu tersangkut paut pasti ayah akan melindunginya."
Bun Koan mengangguk, tapi terus menggelengkan kepala.
"Tak mungkin kehormatan ibu tersangkut paut," katanya. "Ayah dan ibu sangat saling menyinta, seingatku belum pernah menemui ayah dan ibu berselisih satu dengan lain- Tapi aneh sikapnya ibu. Hari itu ibu meninggalkan sepucuk suratnya, terus ia pergi. Aku percaya hal itu disebabkan oleh suatu kesulitan-.."
"Kenapa ibu meninggalkan suratnya kemudian pergi?" tanya siauw Pek. "sebelum itu apakah tak ada tanda sesuatu?"
"Ketika kejadian, usiaku masih kecil. aku baru saja mengerti urusan," jawab Bun Koan- "Menurut apa yang aku ingat, hari hari sebelumnya itu aku tak melihat sesuatu yang luar biasa. Pernah secara diam diam aku menanyakan kakak Kie kalau dia ingat sesuatu yang menyangkut kepergian ibu, mungkin yang mencurigainya." Tiba tiba saja, si nona memutuskan kata katanya itu.
"Nah, habis apa kata kakak Kie?" tanyanya.
"Kakak bilang..." sahut Bun Koan, ragu ragu, "Bahwa ia melihat seorang pria berbaju kuning datang kepada budak pelayan itu, setelah mana, ya, malamnya, ibu meninggalkan surat itu dan lalu pergi."
siauw Pek mendongak. la menarik napas panjang, lalu ia berdiam.
"Adik, jangan kau mencurigai ayah dan ibu," kata Bun Koan- "Ayah adalah seorang laki laki sejati, tak mungkin dia mencelakakan keempat ketua partai besar itu, dan lagi mereka itu adalah ketua partai yang gagah perkasa, jago jagonya rimba Persilatan yang kenamaan- Ayah seorang diri, mana mungkin membinasakan mereka berempat itu?" siauw Pek memandang tajam kearah wajah kakaknya, ia masih berdiam saja. Bun Koan menarik napas perlahan, agaknya ia sangat duka.
"lbu adalah seorang wanita bijaksana, orangnya lemah lembut dan terhadap ayah ia sangat cinta." kata Bun Koan pula. "Aku tidak percaya ibu dapat melakukan sesuatu yang bisa melukai hati ayah atau mencemarkan namanya."
"Kalau begitu, jadinya semua itu ialah salahnya keempat ketua
partai itu?" tanya siauw Pek setelah berdiam beberapa lama.
"oleh karena urusan masih gelap. aku tidak berani mengatakan apa apa," jawab Bun Koan- "Ayah telah memberi petunjuk kepada kita, maka kelak di belakang hari, perlahan lahan saja kita membuat penyelidikan, aku percaya tak akan terlalu sulit buat kita mengetahui duduknya hal yang sebenarnya..."
"Tentang ibu," siauw Pek masih penasaran- " Kenapa ibu meninggalkan surat dan pergi" Kenapa ibu pergi dengan meninggalkan surat itu?"
Bun Koan agak gugup. "Jangan semberono, adikku" cegah Bun Koan- "Ayah tidak mau memberi keterangan kepada kita, mungkin ada sesuatu yang memberatkannya. Ah, sekarang ini Yang paling penting sekarang ialah kau harus menjaga dirimu baik baik, adikku. Ayah dan ibu mengandel kepada kau yang dijadikan harapannya Cuma kau yang nanti bisa mencuci bersih nama ayah dan ibu" Dengan muka pucat, siauw Pek tertawa.
"semua orang Rimba Persilatan menjadi musuh musuh kita," ia bertanya, "bagaimana caranya kita melakukan pembalasan terhadap mereka itu?"
"Tetapi ingat, adik," kata Bun Koan dengan roman sungguh sungguh. "siapa menjadi anak. tak boleh menghina ayah dan ibunya"
"Aku tahu," kata adik itu. "Di dalam dunia tidak ada ayah bunda yang tak benar." Bergolak darahnya anak tanggung itu, tiba tiba saja dia menangis.
"Adik," berkata sang kakak, sabar, "aku lebih tua beberapa tahun dari padamu, dan pengalamanku selama delapan tahun membuat
aku mengetahui banyak sekali. Ayah gagah dan jujur, ibu berbudi
pekerti halus, tak mungkin mereka curang terhadap lain orang..."
suaranya Nona Tjoh berhenti dengan tiba tiba. Dari kejauhan ia mendengar satu suara keras, yang menyapanya: "Adik Koan disana" Kenapa kau tidak ajak adik siauw pergi" Buat apa kau berdiam disana?" Bun Koan mengenali suara kakaknya, Kie Pek.
"Adik, mari kita lekas pergi" ia mengajak adiknya, suaranya perlahan- Dan terus ia pegang tangan siauw Pek. buat ditarik diajak pergi. sekarang ini kakak beradik ini mulai berjalan nanjak.
sesudah berjalan sekian lama, tiba tiba siauw Pek berkata pada kakaknya : "Kakak, mari kita berhenti dulu sebentar baru kita berjalan pula"
Bun Koan dapat menerka hati adiknya ini. Dia itu ingat ayah bundanya, dan kakaknya, Ki Pek. Pasti sekali, ia pun ingat orang tua dan saudaranya itu. Tapi ia ingat akan tugasnya membawa adiknya ini ke tempat yang aman ia adalah tugas sangat berat. Maka ia mengendalikan dirinya. Toh, tak urung, ia menghentikan tindakannya, seperti si adik telah diam berdiri la menoleh ke belakang, ke arah dari mana mereka datang tadi.
Air langit masih terus turun, angin masih bertiup. Diantara hujan
angin itu, tampak sinar berkelebat dari pelbagai senjata tajam. Di
sana juga terlihat tubuh-tubuh yang berderak gesit dan lincah.
samar-samar tampak Coh Kam Pek didampingi isterinya disebelah kanan, puteranya di sebelah kiri tampak juga bekerja golok emas,
pedang panjang dan cambuk lunak. yang bergerak bersatu padu. Ayah bunda dan kakak tengah berkelahi melayani para pengepung mereka, mereka mengadu jiwa sambil main mundur.
sekarang ini musuh tak lagi berjumlah belasan, malahan puluhan, mereka semua mendesak dengan hebat. Terlihat yang terdepan seorang pendeta dengan tubuh tinggi besar, yang bersenjatakan goat gee san, dialah yang mendesak dengan hebat sekali.
Disebelah kiri si pendeta terdapat seorang yang bertubuh kecil dan kate, tangan kirinya mencekal selembar tameng besi, tangan kanannya menggenggam sebatang golok pendek. Dia seorang yang
gerak geriknya gesit sekali, dan terlihat dia sering berloncatan ke kiri
dan ke kanan, untuk menerjang dan berkelit. Nyata dia sangat licik.
Di sebelah kanan si pendeta terdapat seorang toosu, atau imam,
penganut agama Too Kauw, usianya pertengahan- Dia
bersenjatakan sebatang pedang panjang. tampangnya bengis.
Mereka bertigalah yang mengepalai rombongan untuk mengepung dan mendesak Kam Pek suami isteri dan ketiga putera mereka.
"Kakak", tanya siauw Pek, "apakah pendeta itu pendeta murid dari siauw Lim sie?"
-000d0w00- JILID 2 "Ya", jawab kakak yang ditanya. "Setahun yang lalu pernah aku bersama kakak Kie menempur dia, hampir aku terbinasa di ujung senjatanya yang istimewa itu Dia bosen sekali, sebab dialah salah seorang jago dari Siauw Lim Sie."
"Dan itu imam serta si kate kecil yang kelihatan gesit sekali, apakah kakak kenal mereka?" Siauw pek tanya lagi.
"Kenapa aku tidak mengenalnya?" Bun Koan membaliki. Si imam pernah menempur ayah dan ibu. Dia bernama Kim Ciong, dia menjadi salah seorang jago dari Bu Tong Pay. Dia terkenal dengan ilmu silat pedangnya. Dan si kate kecil itu" Dialah jago dari partai Pat Kwa Bun, namanya ouw Bwee, gelarnya Hui Sin siTua Terbang. Sekarang mereka itu berkumpul menjadi satu, mungkin sulit sekali untuk ayah dan ibu serta kakak Kie menentangnya ... "
Selagi si nona berbicara, Kam Pek sudah mundur kira kira tiga tombak. Ia terperanjat sekali. Segera ia menarik tangan adiknya. "Mari kita lekas pergi" ajaknya.
Ketika itu terdengar suatu suara parau : "coh Kam Pek, Apakah kau masih tidak mau meletakkan senjatamu, untuk manda ditelikung" Mungkinkah kau hendak menanti sampai tubuhmu melintang sebagai mayat di tanah datar ini?"
Bun Koan mengajak adiknya lari terus, mereka mendengar tegas sekali suara parau itu, yang membuat hati mereka gemetar.
Coh Kam Pek, dengan goloknya merentang hong pian san si pendeta.
"Kita suami istri dan anak-anak sekeluarga ilmu jiwa" katanya nyaring, "kita telah dikejar kejar dan dicandak berulang ulang oleh kamu selama delapan tahun, apakah itu masih belum cukup" Apakah kamu masih tidak ingin menghentikan sepak terjang kamu ini?" Si pendeta tinggi besar tertawa dingin.
"Ketua kami telah celaka karena mu," sahutnya bengis. "Apakah sakit hati itu tak usah dibalas?"
Menyusul suara pendeta, terdengar suara berisik lainnya, antaranya, "Taysu, buat apa mengadu mulut dengannya" Manusia itu sangat bandel, dia telah melakukan banyak kejahatan, mana dia sudi menyerah kalah dengan mudah saja?"
"Taysu", ialah bahasa panggilan untuk seorang pendeta hweeshio, umat Agama Buddha.
Di lain pihak terdengar suara ini : "Jangan binasakan jiwa mereka itu Kita harus membekuk mereka hidup hidup"
Menyusul itu terdengar lagi suara nyaring bagaikan genta besar. "Jikalau Coh Kam Pek mati bukankah perkara kematiannya keempat ketua partai akan jadi gelap Bukankah perkara itu jadi sulit dipencahkannya" Maka itu janganlah dibinasakan dia"
Siauw Pek mendengar tentang semua kata kata itu, sakit hatinya hingga darahnya bergolak tangannya gemetaran. Ia berduka dan gusar menjadi satu. Bun Koan merasai bergemetarnya tangan adik itu, ia dapat menerka sebab musababnya, tanpa ayal lagi, ia menarik lebih keras tangan saudaranya. Terus mereka berlari sampai melintasi dua buah puncak. Baru disitulah sinona mengendorkan larinya. Ia telah bermandikan keringat dan napasnya sengal sengal. Ia toh memasang telinga. Sudah tidak ada lagi suara beradunya pelbagai macam senjata.
Kemudian kakak ini melihat kepada adiknya, Wajahnya Siauw Pek gelap muram, alisnya berdiri. Terang bahwa dia tengah dipengaruhi hawa amarahnya. Dia berdiri bagaikan patung.
"Adikku, kenapa kau?" tanya Bun Koan- Dia terkejut dan kuatir, tapi dia menanya dengan sabar.
"Jikalau aku belum mengetahui dengan jelas duduknya perkara, matipun mataku tak akan meram" sahut adik itu, yang mendadak terus menyemburkan darah segar, setelah mana dia menubruk kakaknya, menangis keras didalam rangkulan kakak itu
Nona Bun turut menangis. Iapun sangat berduka dan penasaran-
Sebenarnya ia telah berpengalaman, walaupun usianya masih muda,
akan tetapi kesusahan hati adiknya ini membuat hatinya lemah.
Entah berapa lama kakak beradik itu menangis, tiba-tiba Siauw Pek merasakan tangannya ada yang menarik. sedang telinganya mendengar suara yang lemah lembut ini: "Anak, apakah seorang laki-laki mudah mengeluarkan air matanya" Sudah, jangan kau menangis lagi"
Anak itu mengangkat kepalanya, untuk melihat orang yang menariknya, dan tiba-tiba ia menjadi kaget sekali^
Coh Kam Pek berdiri didepan puteranya, pipi kirinya penuh dengan darah segar dan separuh dari bajunya telah merah dengan darah.
Coh Kie Pek juga ada bersama ayahnya, dia terluka pada lengan
kanan serta paha kirinya, kedua luka itu masih mengalirkan darah
Memandangi ayah dan kakak itu, anak bungsu ini berkata keras:
"Jika aku dapat melindungijiwaku, akan kubalas sakit hati ini"
Dengan perlahan Kam Pek mengulur tangan kanannya, mengusap-usap rambut puteranya.
"Tetapi, anak," katanya sabar, "siapa menjadi laki laki sejati, dia pasti dapat membedakan jelas mana budi dan yang mana penasan. Untuk keluarga Coh, kaulah anak yang paling berbakat, jikalau Tuhan Yang Maha Kuasa mengasihanimu, pasti keluarga kita dapat mempertahankan dirinya, dan itulah yasamu. Ingat anak, kalau kelak dikemudian hari kau berhasil membalas sakit hati kita ini, jangan kau sembrono membunuh orang, mesti kau ketahui dulu sampai jelas" Siauw Pek heran-
"Kakak Koan mengatakan ayah jujur, inilah tak salah" pikirnya. "Di dalam luka parah dan sedang bergusar, ayah masih tak melupakan kesadarannya, ia masih ingat akan kebenaran dan kesalahan..."
Berpikir demikian, anak ini malu sendirinya. Hampir ia keliru menerka sifat ayahnya itu.
Kam Pek menghela nafas, ia berkata: "Telah aku ketahui jelas, didalam dunia ini, ditempat mana saja yang dapat disampaikan manusia di situ tak ada lowongan untuk kita sekeluarga mendiamkan diri, maka aku menyesal sekali. Coba dari dulu dulu aku langsung membawa kau kemari, tak akan mesti terlunta lunta dan menderita selama delapan tahun-.."
Sementara itu siauw Pek telah mengawasi ayahnya. ia melihat luka yang masih mengalirkan darah, hatinya menjadi sakit, tak kuat ia menahan diri, lantas ia menangis. "Ayah, ibu," katanya, "kenapa luka ayah dan ibu tidak dibalut?" Ketika itu nyonya Coh telah mendampingi suaminya.
"Ini hanya luka dikulit," menjawab sang ayah, "aku dapat mempertahankan diriku." Ia hening sejenak. untuk berpikit, baru ia menambahkan :"Musuh-musuh yang tangguh telah berhasil kita pukul mundur, akan tetapi sebentar, pasti mereka bakal datang, karena itu, mari kita lekas-lekas melanjutkan perjalanan kita". Ia menoleh kepada isteri dan anaknya, terus ia menanya : "Isteriku, dan kau, Kie Pek masih dapatkah kau berjalan?" Sang isteri tertawa sedih.
"Luka ku tidak parah, tak usah kau menghiraukan aku," sahutnya lembut.
"Akupun masih kuat," berkata Kie Pek.
"Bagus" seru jago tua itu "Kita keluarga Coh, pria dan wanita, semua bangsa tangguh. Nah, mari kita pergi"
Lantas orang tua ini menarik tangannya siauw Pek. Ia membuka tindakan lebar.
Lukanya si nyonya dan putra sulungnya sebenarnya parah, akan
tetapi ibu dan anak itu menggemertakan gigi, mereka paksakan diri
bertindak mengikuti suami dan ayah itu Bun Koan berjalan bersama.
Dapat dimengerti bahwa perjalanan itu adalah perjalanan yang penuh penderitaan, akan tetapi selama itu, sang suami isteri saling mengenal diri mereka, tidak ada yang saling menghibur, bahkan mereka bungkam semua.
Terus, terus mereka berjalan, hingga mereka melintasi dua tikungan bukit. Hanya sekarang mendadak mereka menghadapi sesuatu yang dapat menciutkan hati mereka...
Di hadapan keluarga ini menghalang sebuah jurang, yang lembahnya gelap sekali, penuh uap atau kabut hitam, hingga sejauh
lima kaki, tak nampak suatu apa. Dan di sebelah kanan itu, di mana ada tembokan gunung, yang batunya licin, terdapat ukiran tiga huruf besar : "Seng Su Kio", yang warnanya merah Jadi itulah dia jembatan Hidup Mati
Pada kedua sisi tiga huruf yang menakuti itu terdapat dua baris huruf huruf kecil warna putih, yang masing masingnya berbunyi: "Hidup manusia seratus tahun, tak dua jiwanya. Disini, hidup atau mati, sebuah jalannya "
Sekian lama Kam Pek mengawasi ketiga huruf besar itu, ia diam sambil otaknya bekerja, baru sesaat kemudian ia menghela napas dan berkata. "Anak. jikalau kau jalan memutarkan tembok licin, di sana ada sebuah jembatan baru yang menghubungkan jurang sebelah sini dengan jurang sebelah sana, itulah dia Seng Su Kio, jembatan yang harus kita lintasi..."
Siauw Pek memandang jurang itu, ia melihat uap hitam di dalam jurang bergerak gerik tak hentinya, tanpa merasa, timbul rasa jerinya.
Selagi mereka berdiam, dengan mata tertuju kepada jurang, tiba tiba hujan berhenti hingga sesaat kemudian, sang angin segera
membawa buyar kabut yang tebal guram, hingga sebagai gantinya,
nampak cuaca yang terang karena munculnya sang Surya...
Walaupun demikian, cahaya matahari yang kuat itu tak dapat menembuskan kegelapan di dalam jurang, hingga sekarang menjadi jelas perbedaan diantara kabut gelap dan jagat bersih.
Lama juga sang waktu lewat, baru terdengar suaranya Coh Kam Pek.
"Entah siapa si orang yang pandai yang telah menulis dua baris kata kata yang bernada nasehat itu," ujarnya. "Sudah ditulis tegas, toh masih ada jago jago silat yang masih berani mencoba melintasi jembatan maut ini, hingga mereka semua mengubur tubuh mereka di kolong jembatan-"
Mendengar kata kata ayahnya, tiba tiba Siauw Pek bertanya: "Ayah, jikalau kita berhasil menyeberangi jembatan Seng Su Kio ini, dapatkah kita menyingkir dari pengejaran orang orang Rimba Persilatan itu?"
"Itulah satu soal, anakku," sahut sang ayah "Inilah jalan satu satunya, jalan yang terakhir, untuk keluarga kita, tiada itu, meskipun kesempatan hidup hanya ada satu atau dua perseribu, terpaksa kita tak dapat menghiraukannya lagi..."
"Ayah," tanya Bun Koan, "apakah ayah tahu jalannya untuk melintasi jembatan ini?"
"Tidak." sahut sang ayah, terus terang. "Bahkan di dalam dunia, mungkin tak ada seorang lain juga yang mengetahuinya. Tidak pernah terdengar bahwa siapa yang pernah mencoba menyeberang disini telah berhasil kembali dengan masih hidup."
"Jikalau begitu," berkata pula si nona, "bukankah siapa menyeberang disini, sudah pasti bagiannya ialah mati?"
"Melihat keadaan kita sekarang ini anak," berkata siorang tua, "kesempatan kita buat hidup adalah mencoba jalan kematian ini. Anak. jikalau di dalam dunia ini ada orang yang tahu caranya jalan di Seng Su Kio, atau kalau jembatan ini mudah dilintasi, tak akan ayahmu mengajak kamu datang kemari"
Berkata begitu, ayah ini lantas bertindak maju.
Siauw Pek mengikuti ayahnya, disusul oleh ibu dan dua saudaranya.
Mereka menghampiri pinggiran tembok gunung dimana ada ukiran nama Seng Su Kio itu Benar saja, disitu tampak sebuah jalanan batu yang bertepikan jurang, yang lebarnya cuma setengah kaki. Jalan batu itu sudah lumutan, suatu bukti bahwa sudah lama tak ada orang yang menginjak untuk melintas iya. Panjangnya jalanan lebih kurang lima tombak. ujungnya yang lain sampai kepada jembatan maut, jembatan yang merupakan sepotong batu putih. Tak dapat dikenali, jembatan itu buatan manusia atau alam
dan panjangnya juga tak ketahuan karena tak terlihat ujungnya yang lain- cuma, sejauh lima kaki, lantas jembatan itu terbenam didalam kabut hitam legam. Kam Pek menghela napas.
"Jembatan ini pastilah Seng Su Kio..." katanya. Ia rupanya bersangsi juga mengenai jembatan itu, ia cuma pernah dengar namanya tetapi belum pernah lihat roman macamnya.
Habis berkata, orang tua ini mengeluarkan satu botol kecil dari sakunya. Itulah botol terbuat dari batu pualam. Ketika ia memencet keras, pecahlah botol itu, hingga terlihat isinya, tiga butir obat pulung warna merah tua.
"Anak anak," katanya. "inilah obat yang terbuat dari campuran dua belas macam bahan beracun, jikalau obat ini kita kemu didalam mulut, kita akan terhindar dari serangan uap beracun yang biasa terdapat ditanah pegunungan seperti ini. Hayolah kamu kemut seorang sebutir"
"Cuma tiga butir, ayah?" Siauw Pek tanya. "Bagaimana dengan ayah dan ibu?"
"Ini cuma persiapan yang ada baiknya tetapi tidak ada bahayanya," menerangkan ayah itu. "Kabut hitam itu racunnya atau tidak. masih belum ketahuan, taruh kata benar ada ayah dan ibumu tidak takut sama sekali, sebab tenaga dalam kamu hingga kamu dapat melawannya."
"Aku merasa bahwa tenaga dalamku telah maju banyak, ayah," berkata Kie Pek si anak sulung. "Akupun masih muda dan sedang tangguhnya, karena itu baiklah pil itu ayah saja yang pakai..."
Kam Pek tertawa menyeringai. Ia mengangsurkan obat itu kepada istrinya.
"Anak Kie sangat berbakti," katanya, "Kau saja yang mengenya." Istri itu tidak menyahut, ia hanya membungkuk menjura.
"Aku adalah seorang wanita, jikalau aku mesti mati, aku tak usah disayangi," katanya. "Sebaliknya kamu ayah dan anak anak. siapa
saja dari kamu, harganya lebih besar daripada harga diriku. Hayo, siapa saja dari kamu yang mengemunya"
Baru sinyonya menutup mulutnya, tiba tiba mereka mendengar seruan yang nyaring yang datangnya dari arah dimana mereka
datang tadi. Serempak mereka berpaling. Maka mereka melihat
munculnya belasan orang yang lagi berlari lari keras kearah mereka
Segera setelah datang lebih dekat, terlihat tegas rombongan itu dikepalai oleh pendeta dari siauw Lim Sie yang tadi. Dia mudah dikenali karena tubuhnya yang tinggi besar serta senjatanya yang istimewa itu Hanya kali ini kepalanya dibungkus, atau lebih tepat dibalut dengan kain putih.
Disebelah kiri pendeta itu ada seorang imam. Ternyata dia ini adalah Kim Ciong Toojin si imam dari Bu Tong Pay. Dia berusia setengah tua dan pedangnya bergemerlapan-Dan dia juga dibalut lengannya yang kiri.
Seperti semula tadi, pendeta dan imam itu didampingi oleh kawannya yang kita kenal tadi, ialah Hui-Sui ouw Kwee, juga dari partai Pat Kwa Bun Sikate kecil ini tetap bersenjatakan tameng serta golok pendek
"Kembali mereka bertiga yang menjadi biang keladinya" kata Bun Koan gusar.
Kam Pek terluka parah, akan tetapi semangatnya tetap mantap. pikirannya juga tetap jernih. Ia lantas memandang tajam. Tak usah lama segera ia melihat bahwa dibelakang rombongan musuh, terpisah kira sepuluh tombak. ada seorang lain yang rupa rupanya mengenakan jubah warna abu abu.
Selagi sang ayah memasang mata, Kie Pek berseru secara tiba tiba, seruan mana disusul dengan lompatnya untuk maju memapaki kawanan musuh: Ia juga memperdengarkan suaranya yang nyaring. "Manusia manusia ganas yang tak terbunuh musuh. Mari maju, aku hendak mengadu jiwa denganmu"
Thjoh Siauw Pek juga merasakan darahnya bergolak. tangannya meraba Kim Kiam, pedang emasnya, sambil berseru, ia lompat majuk neladan kakaknya. Kam Pek terperanjat.
"Kie Pek siauw Pek Kembali" ia berteriak memanggil.
Kie Pek menghentikan langkah larinya. Ia terkejut mendengar ayahnya menyebut nama Siauw Pek. Ketika ia menoleh kebelakang, ia melihat adiknya lagi menyusulnya.
"Tahan" ia berseru sambil maju, dengan tangan kirinya menyambar lengan kanan saudaranya yang terus diajaknya kembali kepada ayah mereka.
Ketika itu diantara para pengejar sudah ada beberapa orang yang berhasil datang mendekat sampai kira kira empat tombak. Mereka lantas berpencar, mengambil sikap mengurung. Sampai disitu, dengan senjata masing masing terhunus, mereka bertindak maju pelan pelan-
Tjoh Kam Pek menggeser tubuhnya hingga ia berdiri berdampingan dengan isterinya. Ia menghunus goloknya di tangan kanan dan pisau belati di tangan kiri. Ia menoleh kepada Kie Pek dan berkata dengan keras: "Kie Pek dengar Dengan susah payah aku dan ibumu melindungi kamu sampai disini, harapanku ialah supaya ada jiwa anggota keluarga Tjoh yang dapat diselamatkan, supaya keluarga kita dapat menyambung turunannya. Dari itu, mengertilah kau Bersama ibumu, aku akan menahan musuh. Kamu sendiri, lekaslah pergi menyeberang"
Sebelum Kie Pek menyahut ayahnya, diantara musuh terdengar suara nyaring: "Jangan biarkan mereka terjun kejurang. Mari maju serempak"
Benar saja, dengan riuhnya suara sambutan kawanan musuh itu maju meluruk. senjata mereka dibolang balingkan. Kam Pek pun maju, dengan golok Kay santoo, ia menangkis serangan pertama, menyusul kemudian dengan pisau belati, ia menikam ouw Bwee si Tua terbang, ketua Pat Kwa Bun.
Hui Siu paling lihay ilmu meringankan tubuhnya, karenanya dia maju di muka.
Kie Pek menggertakkan giginya, ditariknya tangan Siauw Pek, dan kepada Bun Koan, dia berkata: "Adik Koan, tak dapat kita
menyia nyiakan harapan ayah dan ibu. Silahkan maju ke muka,
buka jalan buat adik Siauw" Muka si nona bermandikan air mata.
"Baiklah" sahutnya, terpaksa. Ia lantas bertindak maju, berjalan dijalan batu yang licin dan tak lebar.
Kie Pek menolak tubuh adiknya, menyuruhnya jalan di jalanan berbahaya itu, mengikuti encinya. Katanya: "Adik siauw, majulah Kau menjadi harapan terakhir dari Keluarga Tjoh, kau harus menyayangi dirimu"
Siauw Pek menyahut tanpa sadar, dengan perlahan ia bertindak maju.
Kie Pek menyusut mukanya yang penuh air mata, ia menoleh ke belakang. Dengan kaget ia melihat ayahnya sudah rebah melintang di tanah pegunungan itu, sedang ibunya lagi berkelahi bagaikan kalap. sebab ibunya, yang menggenggam pedang di tangan kiri dan kanan merabuh musuh secara kalang kabut
Kam Pek telah luka parah. Kalau dia masih dapat bertahan, itu disebabkan nyalinya yang besar dan tenaga dalamnya yang tangguh, tetapi dia mesti melawan ouw Bwee yang kosen, dia telah terpaksa mengeluarkan tenaga terlalu besar, yang menyebabkan darahnya mengalir berlebihan, sebab lukanya payah pula. Satu kali goloknya yang berat dapat ditangkis musuh. Sebelum ia berdaya, kaki musuh itu melayang ke tubuhnya. Dia tak lagi gesit sebagai semula, depakan itu membuatnya roboh terkulai.
Kim Tjiong Toodjin lompat maju, niatnya menotok musuhnya supaya tidak berdaya. Di luar dugaan, Kam Pek melihat datangnya musuh itu, segera dia mengerahkan sisa tenaganya, hendak menikam dengan pisau belatinya. Si imam kaget sekali. Syukur matanya jeli dan gerakannya tangkas. Sambil berkelit, ia merampas pisau belati itu, hingga ia berhasil menolong dirinya.
Melihat ayahnya roboh, darah Kie Pek bergolak. Hampir ia melompat maju, hendak menerjang ouw Bwee, tapi pada saat itu pula ia melihat ibunya roboh di tangan si pendeta dari Siauw Lim Sie, pendeta yang mulanya berhasil menangkis mental pedang kiri ibunya, sedangkan ouw Bwee melanjuti menikam punggung si nyonya
Bukan main sakit hatinya Kie Pek. la telah mesti menyaksikan kejadian hebat itu dengan matanya sendiri Bagaimana mungkin ia dapat mengendalikan hawa amarahnya" Ia sudah mengangkat sebelah kakinya, hendak bertindak maju, tapi seketika itu ia menoleh kepada adiknya...
Justru itu, dengan Kim Kiam di tangan Siauw Pek pun lagi bertindak maju...
Tiba tiba anak sulung itu sadar akan dirinya, ingat akan tugasnya yang berat. Ia bertanggung jawab akan adiknya itu, yang mesti jadi penyambung Keluarga Tjoh. Maka ia menggemertakkan giginya, seraya lompat menghadang di depan Siauw Pek.
"Hei, anak kecil" tiba tiba terdengar suara yang dingin dan seram. "Kenapa kamu masih tidak mau meletakkan senjatamu"
Kenapa kamu tidak mau mengangsurkan tanganmu untuk
ditelikung" Apalagi yang kamu tunggu?" Itu adalah ejekan musuh.. BAB DUA
JEMBATAN HIDUP ATAU MATI Panas hati Kie Pek. akan tetapi dia toh menjawab dengan dingin- "Anggota keluarga Tjoh, kepalanya dapat dikutung, darahnya dapat dialirkan, tetapi mereka tak dapat dihina"
Rombongan musuh kagum mendengar suara gagah itu, umumnya mereka memuji di dalam hati masing masing, "Sungguh
gagah bocah itu dia mirip ayahnya Benarlah apa kata pepatah, Bapak harimau tak akan beranak anjing"
Akan tetapi ouw Bwee si Tua Terbang menggerakkan golok dan tamengnya.
"Bocah cilik tak tau atau mampus" ejeknya. "Benarkah kau percaya dirimu gagah melebihi ayahmu?" terus ia membacok dengan goloknya kepada lengan si pemuda yang mencekal cambuk lunak
Kie Pek melihat serangan itu. Ia menarik kembali tangan kanannya. Berbareng dengan itu, dengan pedang di tangan kiri, ia membalas menabas ke pinggang musuh congkak, takabur dan bermulut jahat.
ouw Bwee menangkis dengan tamengnya, hingga terdengarlah suara nyaring dari benturan pedang dengan tameng itu. Dia membela diri sambil memutar tubuhnya. Itulah suatu tipu silat kaum Pat Kwa Bun, jurus yang dinamakan "Pat Kwa Tun" atau "Pat Kwa menyingkir" Hampir berbareng dengan itu, tibalah satu serangan lain- Satu sinar pedang berkelebat
"Adik, awas" seru Kie Pek, kaget. Serangan itu diarahkan kepada siauw Pek.
Kakak ini tak sempat menggunakan cambuknya, terpaksa ia gunakan pedangnya, maka beradulah pedangnya itu dengan lawan, menyusul menyambar ia dengan cambuknya dengan cambukkan "Sin Liong Yau Tauw" (Naga Sakti menggoyangkan kepala). Penyerang itu ternyata Kim Ciong Toojin si imam dari Bu Tong Pay. Berbareng dengan itu, belasan musuh datang mendesak.
Kie Pek hendak menempur sekalian musuh itu, tetapi ia mengambil kesempatan akan memandang dahulu kearah saudara saudaranya maka ia dapat melihat Bun Koan, adiknya itu tengah bertarung dengan ouw Bwee.
Nona Tjoh kosen tetapi ouw Bwee bukan sembarangan lawan, dia ini mendesak dengan golok dan tamengnya. Syukur buat si
nona, di tempat sempit seperti itu, lawannya tak leluasa menggunakan tamengnya itu. ouw Bwee tahu diri, dia berhati hati. Tak sudi dia nanti terpeleset dan jatuh kejurang
Sambil berkelahi, Bun Koan berseru pada adiknya: "Adik, ingat akan keluarga Tjoh. Kaulah anggota satu satunya yang diharapkan. Jangan kau sia siakan harapan ayah dan ibu kita Lekas pergi sebrangi jembatan"
Nona ini mengantarkan adiknya itu, tetapi ketika ia mendengar suara Kie Pek. ia menoleh, hingga melihat saudaranya itu sedang mengadu jiwa, justru itulah, ouw Bwee datang menyerang, ia menyuruh adiknya lari, ia sendiri menghadang orang Pat Kwa Bun itu.
siauw Pek berduka, hatinya panas, akan tetapi ia dapat berpikir. "Benar, tak dapat aku mati. Tak harusnya aku membuat ayah dan ibu nanti mengatakan aku tidak berbakti, hingga dengan begitu aku sampai menyia nyiakan usaha kakak Kie dan enci Koan yang telah melindungiku"
Tepat bocah ini berpikir begitu, terdengar satu jeritan hebat yang menyayat hati,
yang bergema di lembah gunung. Jeritan itu jeritan kakaknya. Dan cepat ia menoleh masih sempat ia melihat Kie Pek roboh terluka dan tubuhnya terpelanting kejurang
Hebat pemandangan itu, kaget Siauw Pek hingga sejenak itu ia lupa akan dirinya. Samar samar ia mendengar pula suaranya Bun Koan- "Ayah bunda dan kakak Kie telah terbinasa aku pun tak dapat bertahan lagi oh, adikku, tinggal kaulah turunan Keluarga Coh satu
satunya Adikku, kuatkan hatimu, kau mesti hidup terus. Kau
pergilah, roh ayah dan ibu serta kakak Kie akan melindungimu..."
Tiba-tiba ada suatu cahaya perak menyambar kepundak kanan si bocah, hingga dia merasai hawa dingin- Seolah tetap tak sadarkan diri la bertindak maju untuk melalui jalan sempit dan licin itu.
Bun Koan tengah bertempur terus. ouw Bwee adalah seorang lawan yang setimpal. Hanya sayang si nona tengah bergusar dan nyeri di hati, pikirannya tak tentram sebab memikirkan keselamatan Siauw Pek adiknya. dengan segera ia dapat didesak lawannya yang ganas itu.
Ketika itu si pendeta Siauw Lim Sie maju ke arah jalan sempit itu, dengan senjatanya dia memukul mukul lumut yang licin, untuk menyingkirkannya, supaya ia dapat berjalan di situ.
Kim Ciong Toojin juga mengajukan diri, mungkin dia berniat mendahului sipendeta. ketika dia sampai di dekat Bun Koan dan Puw Bwee, mendadak ia menjejak tanah, untuk mencelat melintasi kepala dua orang yang sedang mengadu jiwa itu.
Bun Koan menyangka orang hendak membokongnya, ia menikam keatas dengan tipu pedang "Sian Ho Leng In-, atau jenjang sakti melayang diantara mega.
Kim Ciong terkejut, dia mengeluarkan jerit tertahan, akibat serangan yang tidak disangka, tak sempat ia membela diri, maka pahanya kena tertikam, hingga darahnya borboran keluar syukurlah ia tabah, sambil menahan nyeri, dia meletakkan kakinya ditanah. Lebih dahulu dia menggunakan pedangnya, yang ditancapkan di tanah, untuk menjaga tubuhnya.
ouw Bwee menggunakan saat yang baik. Disaat Bun Koan menikam si imam, ia membacok si nona, hingga nona itu terluka bahunya.
Kembali dua orang, yang hanya terlihat bayangannya, lompat melewati kepalanya Nona Coh dan ouw Bwee, dan menyusul itu, terdengar satu jeritan yang mengerikan, karena salah satu bayangan sudah tergelincir ke dalam jurang
Tapi bayangan itu bukannya korban serangan, hanya ia mampus sendirinya. Ketika dia lompat, dia turun tepat diatasan Kim Ciong. Imam itu terkejut, ia berkelit. Sibayangan menginjak tempat kosong, dia tergelincir seketika. Maka ia menyerahkan jiwanya kepada jurang yang curam itu
Kim CIong ngeri, ia lantas merandak. Bayangan yang satunya turut berhenti juga.
Bun Koan menjadi putus asa. Ia telah terluka dan letih sekali, tak dapat melayani terus musuhnya, karenanya ia menjadi nekad. Tiba- tiba ia menikam ouw Bwee, selagi musuh menangkis. mendadak ia menyerbu dengan tubuhnya, niatnya ialah membuat tubuh musuh terpental dan roboh tergelincir kedalam jurang
Jago Pat Kwa Bun itu terkejut, dengan cepat dia mundur dua tindak. Tameng ditangan kiri dilepaskan, lalu dengan lima jari tangan kirinya itu ia memapaki tubuh si nona, untuk menyambar dan mencekal lengan kirinya.
Hanya sedetik itu, habislah tenaga lengan kiri Nona coh, hingga pedangnya terlepas dan jatuh kedalam jurang, dan ia menjadi tawanan musuhnya itu.
ouw Bwee girang sekali berhasil menangkap hidup Nona coh. Ia merasa jasanya seimbang dengan jasa sipendeta dari Siauw LIm Sie yang berhasil merobohkan coh Kam Pek, kini tinggallah Siauw Pek seorang.
Kim Ciong Toojin beristirahat sebentar, lantas mulai maju lagi, walaupun dengan terhuyung huyung sebab luka pada pahanya. Dia lah seorang imam, tetapi dia tak kalah tamaknya dengan ouw Bwee. Dia sangat mengharapkan dapat membekuk Siauw Pek hidup atau mati.
Lagi enam atau tujuh bayangan berlomba maju, tak segan mereka lompat melewati kepalanya si orang she ouw.
Siauw Pek sendiri telah berhasil melintasi jalan tanah kecil yang licin, hingga dilain saat ia sudah berada didepan Seng Su Kio, jembatan maut itu. Ia berjalan terus, membuka tindakannya diatas jembatan batu. Ia masih seperti tak sadarkan diri. Pada kedua belah matanya juga tak tampak air mata bercucuran, ia berjalan perlahan, sedikitpun tak kentara bahwa ia merasa jeri.
Ketika Kim Ciong akhirnya dapat melewati jalanan sempit licin itu, Siauw Pek sudah berada diatas jembatan tiga atau empat kaki terpisah dari tanah tepian jurang, kalau umpama dia menjambret, imam ini mungkin dapat menyambar bajunya bocah itu. Tapi dia tak berani melakukan ini. Sebab pahanya nyeri, tidak dapat lompat atau memasang kuda-kuda dengan tubuh cenderung kedepan- Toh dia penasaran sekali. Lantas dia menekan jembatan dengan ujung pedangnya, untuk mencoba menaruh kaki guna berjalan di jembatan itu.
Tiba-tiba terlihat satu bayangan orang berkelebat, itulah bayangan seorang yang lompat lewat di atas kepala si imam. Dengan begitu bayangan itu lebih dahulu tiba di jembatan maut itu. Dialah seorang dengan dandanan ringkas dan bersenjatakan pedang. Sambil bertindak maju, dia mengulur tangan kirinya untuk menjambret leher baju Siauw Pek.
Kim Ciong Toojin mendongkol sekali. orang telah mencoba melewatinya, guna merampas bakal mangsanya itu. Sejenak ia berpikir, apa yang harus dilakukannya.
Sekonyong-konyong, terdengar satu jeritan seram, dan terlihat tubuh bayangan tadi tergelincir kedalam jurang
"Ah" si imam berseru dengan suara tertahan- Dia jeri sekali, matanya memandang bingung. Dia menjadi separuh heran, melihat Siauw Pek bertindak terus diatas jembatan mati hidup itu, jalannya perlahan tetapi tetap dan tenang. Terus dia mengawasi sampai tubuh si bocah lenyap diantara kabut hitam.
Saking kesengsem, imam ini tidak memperdulikan ketika di belakangnya terdengar jeritan dari kesakitan, baru kemudian dia
sadar tatkala mendengar satu suara dingin menegurnya: "Eh, too-
heng, kenapalah kakakku itu terjatuh kedalam jurang ?"
"Too-heng" ialah panggilang kakak untuk seorang imam.
"Mana aku tahu" sahutnya gusar atas pertanyaan kasar itu. Meskipun menjawab dia tak memutar tubuhnya.
Tiba-tiba terdengar tertawa nyaring, disusul dengan kata kata:
"Kedut tuan tuan jangan kamu berselisih" Lalu tampak bayangan
orang lompat kearah jembatan, rupanya untuk menyusul Siauw Pek.
Kembali Kim Tjong terkejut. Kali ini disebabkan batang lehernya terasa dingin sekali. Karena ada sebatang golok yang ditandalkanpada lehernya. Segera dia mendengar satu suara bengis: "Apakah kakakmu dibokong olehmu, tootiang?"
Belum lagi Kim Tjong menjawab pertanyaan itu, telinganya mendengar jeritan hebat seperti semula tadi. Sebab bayangan yang barusan melayang melewatinya, yang mau menyusul Siauw Pek. telah tergelincir kedalam jurang, tubuhnya lenyap d idalam kegelapan-
Mungkin jurang itu dalamnya ribuan tombak didalam situ orang tak melihat apa apa. Si imam sangat gusar, akan tetapi dia harus menyabarkan diri. Dia telah diancam maut, tak dapat melawan lagi. Asal tenaga dikerahkan, golok itu pasti akan menabas kutung batang lehernya.
Tapi dia menjawab dengan suara penuh kedongkolan- Katanya : "Jikalau jembatan ini tidak aneh dan tak nanti dia dipanggil jembatan Hidup,Mati" menyaksikan bayangan yang barusan mampus itu, itulah bukti bahwa kakaknya bukan dibinasakan si imam, dia menarik pulang goloknya.
"Maaf untuk kesembronoanku," katanya.
Kim Tjong hanya memperdengarkan suara dingini "Hm" Dia tak menjawab. Dia tahu diri. Dia telah terluka, tak dapat dia berkelahi lagi. Diam-diam dia menelan kedongkolannya
orang yang mengancam si iamam itu berdiri melongo. Melihat kawannya tergelincir, dia menjadi ciut nyalinya.
Sementara ouw Bwee juga memandang kearah jembatan di mana Siauw Pek lenyap bagaikan ditelan kabut hitam itu.
"Aneh" katanya kemudian- "Alangkah anehnya jembatan ini. Dan bocah she Tjoh itu dengan cara bagaimana dia dapat berjalan menyeberang dengan tidak kurang suatu apa"..."
Kim Tjong mendengar suara rekan itu, dia tidak menjawab sebaliknya dia bertanya : "ouw Sie tju kau mempunyai julukan Hui Siu yang tersohor itu, ilmu ringan tubuhmu menjagoi didalam Rimba Persilatan, mengapa kau tidak mau mencoba melintasi jembatan itu?" ouw Bwee tertawa kering.
"Tak ada perlunya buat aku melakukan percobaan itu" sahutnya. "Kau lihat sendiri, aku telah berhasil menawan hidup, hidup anak perempuannya keluarga Tjoh. Tuan tuan, jikalau kamu tidak berhasil membekuk bocah She Tjoh itu, pastilah cuma aku sendiri yang berhasil menangkap hidup turunan musuh kita" Itulah kata kata takbur, nadanya tercampur ejekan-
"ouw Sie tju," kata Kim Tjong, "bukankah kau mengharap memperoleh salah satu ilmu istimewa dari kesembilan partai besar mengapa kau tidak mau mencoba menempuh jembatan luar biasa ini?" Hui Siu berlaku tenang.
"Aku telah menawan satu orang, sudah cukup, katanya. "Sudah selayaknya jikalau aku memberi kesempatan hidup kepada yang lain-lainnya. Mana dapat aku berlaku kejam menghabiskan orang seluruh keluarga?"
Baru ouw Bwee menutup mulutnya, terdengar satu suara tajam diantara rekan-rekannya: "Bocah itu tak kurang suatu apa, mungkin itu disebabkan dia berjalan perlahan lahan-"
"Itu benar" sahut suara parau, "Saudara ku, pergilah naik kejembatan untuk mencoba"
Baharu berhenti suara itu, nampak seorang yang tubuhnya kate dan kecil lompat keatas jembatan maut. Setelah menaruh kaki, dia berdiri diam sejenak. untuk meluruskan jalan napasnya, guna menenangkan diri. Dia berjalan dengan sangat perlahan, dengan amat berhati hati
Semua mata mengawasi dengan perhatian penuh, semua bagaikan menahan napas. Sunyi disekitar mereka itu.
orang itu berjalan terus, dia sampai ditempat dimana kabut mulai tebal. Hanya sekejap dia telah lenyap didalam kabut hitam itu, lalu mendadak orang mendengar jeritannya yang membangunkan bulu roma. Itulah pertanda bahwa dia telah tergelincir jatuh Semua orang kaget, semua heran Semua merasa giris hati. Kenapa orang itu tergelincir juga" Apakah sebabnya"
Semua mata masih tertuju kearah jembatan ketika mendengar suaranya ouw Bwee: "Aku si tua mempunyai suatu pikiran, yaitu daya saling membantu. Mungkin kita dapat mencobanya."
"Memang saudara ouw banyak pendapatnya" berkata Kim Tjiong Toodjin- " Kenapa kau tidak mencoba sendiri, saudara?"


Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jikalau kau sudi mencoba, tooheng aku suka menemanimu, "jawab Hui Kiu. Siimam tertawa tawar.
"Pintoo sudah terluka, tetapi pintoo percaya masih ada
keberanian untuk menemui kau, saudara ouw" katanya. " Hanya
belum tahu aku, apakah dayamu itu" ingin pintoo mendengarnya ." "Pintoo" adalah istilah imam membahasakan dirinya sendiri.
Ketika itu, rombongan pengejar telah berkumpul semua, rata- rata mereka mendengarkan pembicaraan Kim Tjong dan ouw Bwee mereka terus memasang telinga.
"Jembatan Seng Su Kio ini," berkata ouw Bwee kemudian, "selama beberapa puluh tahun, telah menjadi kuburan dari beberapa jago-jago Rimba Persilatan. Kenapa dia dapat menyeberang tanpa mengalami bencana" Kalau begitu mesti ada rahasianya"
"Tak usahlah kau menyebut-nyebut tentang rahasianya, saudara ouw" terdengar satu suara dingin. "Bukankah semua orang telah menyaksikannya sendiri hebatnya jembatan ini" Apakah rahasianya itu?"
Semua orang menatap kepada orang yang membuka suara itu.
ouw Bwee segera berpaling. orang itu lagi berdiri di belakangnya. Dialah seorang dengan pakaian hitam seluruhnya. Dia bermuka kuning kebiru biruan, di pipi kirinya ada kutil hitam sebesar duit tembaga. Di bahunya, tergantung sebuah pedang panjang berambut merah.
"Heran" pikir jago Pat Kwa Bun inL "Sejak kapan dia tiba di belakangku?"
Memang, tak tahu dia kapankah datangnya orang itu. Yang ia tahu, sejak semula di dalam rombongannya tak ada orang itu. Tetapi dia tak tercengang lama. Lantas dia tertawa terbahak bahak. Lalu segera ia berkata. "Aku kira siapa tak tahunya saudara Tjee" orang serba hitam itu menggerakkan mukanya entah tertawa atau tidak.
"Jangan sungkan sungkan, saudara ouw" katanya, "Aku justru hendak mendengar pikiranmu yang luhur"
Di dalam rombongannya ini, ouw Bwee merasa bahwa dialah yang paling lihay, sampai pun si pendeta dari Siauw Lim Sie dan Kim Tjiong Toojin, tak dia hiraukan, akan tetapi terhadap orang ini, dia menaruh hormat sekali. Begitulah, dengan suara lembut dia berkata:
"Menurutku, seorang seorang saja yang coba pergi menyeberang..."
Di antara Kim Tjiong Toojin dan ouw Bwee tidak ada permusuhan, tetapi mereka saling membenci satu sama lain. Dari itu, mendengar perkataannya si orang she ouw, si imam berkata: "Bukankah orang yang akan nyeberang itu kau sendiri adanya, ouw Sietju?" ouw Bwee tertawa tawar.
"Siapapun dia, sama saja" jawabnya dingin " orang yang menyebrang pinggangnya harus diikat tali yang kuat. Ujung tali itu mesti diikat pada seorang lain. Seandainya orang yang menyebrang itu tergelincir jatuh, orang yang lainnya menariknya. Tentu dia
membutuhkan bantuan beberapa orang, mencegah janganlah sampai ia jatuh ke dalam jurang"
"Benar" tertawa sijubah hitam- "Pikiran ini tidak sempurna tapi dapat dicoba"
" Karena terluka, pintoo tak dapat mencobanya," berkata Kim Tjiong Toojin- " orang pun harus dipilih jangan yang ilmu silatnya tak beraturan, kalau begitu, akan sia sia belaka dia mencobanya Sekarang ini, ouw Sie Tju, orang yang paling tepat adalah kau sendiri.
Kau ini selain ilmu ringan tubuhmu hebat, juga pandai berpikir, otakmu cerdas, setiap saat kau dapat merubah siasat" ouw Bwee tertawa dingin.
"Jikalau yang menyeberang aku, tentunya kaulah yang harus membantu" katanya.
"Pasti pinto suka sekali membantu" sahut si imam.
ouw Bwee mendapat julukan Hui Siu, si Tua Terbang, karena mahirnya ilmu meringankan tubuhnya. Tapi sekarang dia menyesal sendiri karena mengutarakan pikirannya itu.
"Aku celakakan diriku sendiri..." pikirnya. Lantas dia menotok dua kali jalan darah Bun Koan, habis itu, dia berkata pada si orang she Tjee: "Aku mau minta bantuanmu, saudara Tjee"
Dengan sinar mata dingin, orang itu menyapu wajah Hui Siu.
"Bicaralah, saudara Puw" sambutnya. "Asal aku sanggup..."
"Pasti kau sanggup saudara Tjee. Kecuali kau di sini tidak ada orang lain lagi."
ouw Bwee berhenti sebentar, sebelum orang menyahut, ia sudah menyambung: "Aku mau minta saudara menjadi saksi sekalian memohon bantuanmu. Begini. Andaikata aku dan Kim Tjong Tooheng lacur dan mendapat bahaya, nona she Tjoh yang kutawan ini kuserahkan padamu. Ketika kesembilan partai besar mengumumkan pemberitahuan dan mengundang pelbagai partai
lainnya untuk bekerja sama, mereka akan menjanjikan akan mewariskan ilmu kepandaian sebanyak dua puluh tujuh macam kepada orang yang berhasil menawan satu atau lebih anggota keluarganya Tjoh Kam Pek. Itu adalah janji umum, yang diketahui khalayak ramai. Sekarang ini, nona ini adalah anggota satu satunya yang masih hidup dari keluarga Tjoh. Andaikata mereka itu menggunakan sesuatu alasan untuk menolak mereka tak akan menyangkal seluruhnya. Salah satu tentu diwariskan juga"
"Jikalau begitu, aku menghaturkan terima kasih kepadamu" berkata siorang she Tjee, yang wajahnya tak berubah, tak gembira, tak bersyukur, dan suaranya tetap dingin-
"Masih ada satu lagi, saudara Tjee"
"Bicaralah" kata siserba hitam singkat.
Dengan mata bersinar tajam, ouw Bwee memandang Kim Tjiong Toodjin-
"Tooheng, aku minta sukalah pedangmu kau titipkan kepada
saudara Tjee" katanya. "Aku hanya hendak menjaga supaya selagi
aku berjalan di atas jembatan, kau tidak menebas putus talinya"
"Dihadapan banyak mata ini, mana mungkin pintoo berani
memutus tali" berkata siimam "Saudara ouw, kau terlalu curiga."
"Terpaksa aku berlaku teliti, tooheng. Kita manusia, kita kenal orangnya, kenal wajahnya tidak kenal hatinya"
Mendadak saja, berbareng dengan juaranya ouw Bwee itu, siorang she tjee menyambar tangan kanan Kim Tjong Toodjin berkata. " Ucapan saudara ouw bukannya suatu permintaan yang keterlaluan, karena itu tootiang serahkan senjatamu"
Kim Tjong terkejut. Ia merasa cekalan orang itu kuat bagaikan besi. Ia tidak berani menuang sebab ia tahu ia sedang luka. Dengan sabar ia meloloskan pedangnya. ouw Bwee menyerahkan Bun Koan pada orang she Tjee itu.
"Segalanya aku membuat kau berabe, saudara Tjee." katanya ia terus merogo sakunya,
mengeluarkan segumpal tali sutra putih. Sembari menunjukkan tali itu, ia berkata: "Tali ini dapat menahan barang berat seribu kati, walaupun tooheng tangguh, dengan tangan kosong kau tak akan dapat memutuskannya" Kim Tjong mengulurkan tangannya.
"Mari serahkan padaku" katanya.
"Tunggu sebentar, tooheng. Tak berani aku membuat kau capek."
Berkata begitu, jago Pat Kwa Bun mengikat pinggangnya sendiri. Kemudian dia tertawa dan berkata kepada siimam: "Mari aku yang tolong mengikat pinggangmu, tooheng, Bersediakah kau?" Jago ini mau berlaku hati-hati.
Di dalam hati, Kim Tjiong menyesal. Pikirnya "Manusia ini sangat licik..." tapi ia mesti memberikan jawabannya, maka ia lantas berkata: "Kau terlalu berkuatir, saudara ouw, sampai tak tercaya padaku."
"Bukan begitu, tooheng. Andaikata aku celaka tak beruntung, pastilah tooheng bersedia menemani aku berkorban bukan" Nah, dengan begitu aku tak akan menyesal mati"
Terpaksa Kim Tjiong manda saja, kemudian ia mengerahkan tenaga dalamnya, dengan menahan nyeri lukanya, ia menancap kuda-kudanya punggung menempel pada tembok gunung.
"ouw Sie-tju silahkan" katanya setelah ia bersiap sedia itu.
ouw Bwee menghunus golok pendeknya dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya, ia menyerahkan tali padakim Tjong Toodjin, lalu sembari tertawa, dia berkata: "Tooheng, aku minta kau mengulurnya perlahan-lahan Sekarang kita berdua adalah saudara saudara sehidup semati" Terus, tanpa menanti jawaban, ia bertindak mendaki jembatan.
Walaupun dia tidak turut pergi kejembatan Kim Tjong Toodjin tegang sendirinya, diam diam hatinya goncang. Ia ingat liehaynya jembatan Hidup Mati itu. Bagaimana kalau ia kena terbetot ouw Bwee" Karena ini, terpaksa ia mengerahkan tenaganya.
ouw Bwee terpaksa melakoni percobaan hidup mati itu. Ia malu terhadap si imam. Ia mengarahkan tenaga dalamnya, untuk membuat tubuhnya dapat berjalan dengan tetap. Ia bertindak dengan perlahan- Segera ia merasakan tiupan angin yang sangat dingin, hingga mau tidak mau, ia merunduk.
Hanya sebentar ouw Bwee sudah mendekati bagian jembatan dimana mulai terdapat kabut hitam. Ia merasakan kabut bagaikan air telaga yang bergelombang keras, yang bergerak turun naik mengikuti arus deras. Ia memasang matanya tetapi tidak berhasil
matanya menembus kabut hitam itu. Karena itu, sia-sia belaka ia
mencoba mencari Tjoh Siauw Pek yang ia ingin lihat tubuhnya.
"Bocah itu dapat menyeberang, mustahil aku tidak?" pikirnya.
tiba-tiba saja hati jago ini menjadi besar, maka dia mulai bertindak maju pula. Tapi dia cerdik, selagi bertindak itu, dia
memberati tubuhnya kebelakang, kaki yang dipakai bertindak.
diringankan- Inilah cara untuk mencegah kakinya itu terjeblos.
Setelah memasuki kabut itu, baru ouw Bwee merasakan satu perubahan- Kaki kirinya terasa sangat dingin seperti direndam didalam air es. Siuran angin juga mengibar-ngibarkan ujung bajunya. Dengan sabar, diletakkannya kaki kirinya diatas jembatan- Ia mencoba menoleh. Sempat ia melihat mata rekan-rekannya tertuju kepadanya.
" Kiranya Seng Su Kio yang tersohor di kolong langit ini cuma begini saja" pikir ouw Bwee kemudian, ia merasa bangga sendiri.
Sekarang ia mulai mengangkat kaki kanannya, untuk bertindak.
Dengan demikian seluruh tubuhnya telah berada dalam kabut.
Dengan perlahan, jago Pat Kwa Bun ini bertindak pula. Tak lagi ia merasa ngeri. Ia sudah maju dua tindak. cuma hawa sangat dingin yang mengganggunya. Hawa itu dapat dilawannya.
Tiba-tiba ada angin keras datang dari sebelah depan, siurannya keras.
Dengan cepat ouw Bwee mengayunkan tangan kirinya, guna menolak angin itu. Angin itu datang lagi, bagaikan bergelombang ia bertahan lagi. Hanya sebentar, ia sudah kena tertolak. Selagi ia terkejut, tubuhnya sudah lantas terpelanting. Menyusul itu, didalam kabut itu terdengar jeritan dahsyat, lalu sirap.
Kim Tjiong Todjin pun kaget. Dia merasa tali yang dipegangnya membetot turun- Hatinya gentar. Di saat itu si serba hitam mengulur tangannya, menyambar tali, untuk ditarik.
"Akan aku bantu kau" katanya kepada si imam. Dan dia mendampingi imam itu. Berdua orang ini menarik tali itu.
Semua orang lainnya juga terperanjat, mereka telah mendengar dan melihat. Setelah saling memandang, sesuatu lantas turun tangan, berebut memegang tali, untuk membantu menarik.
Perlahan lahan tali itu terangkat naik, makin pendek, makin pendek, dan akhirnya, tubuh ouw Bwee terangkat naik tubuh yang dingin dan kaku
Iblis Sungai Telaga 12 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Peristiwa Burung Kenari 9
^