Pencarian

Tapak Naga Perkasa 1

Tapak Naga Perkasa Karya Harianto A Fauzi Bagian 1


"Tapak Naga Perkasa (Harianto A Fauzi) ? Penulis cerita ini adalah Harianto A Fauzi, yang banyak menulis karya fiksi, di antaranya adalah Dendam Nyi Pelet
Tapak Naga Perkasa yang mengambil setting masa kejayaan Kerajaan Mataram pada abad ke-17, berakar dari legenda tujuh pendekar sakti dari Lembah Sapta Naga. Ketujuh pendekar yang bergelar Sapta Naga ini cukup lamamalangmelintang di dunia persilatan. Tapi karena perbedaan pandangan politik, ketujuh pendekar bersaudara itu akhirnya memilih jalan masing-masing, hingga nama Sapta Naga pun lenyap terbawa masa.
Suatu hari muncul pendekar muda nan tampan bernama Aria Pamungkas, yang dari jurus-jurus yang digunakannya, dikenali sebagai murid pendekar janggut Perak salah seorang dari Sapta Naga. Pamungkas memang ditugaskan gurunya untuk menyatukan kembali Sapta Naga sekaligus menegakkan kebenaran dan keadilan.
Dalam menjalankan tugasnya itulah Pamungkas menghadapi banyak pertarungan seru, juga terlibat kisahasmaradengan dara cantik bernama Larasati, putri Demang Wicaksana.
Jalan Cerita : Kedua lengan Songar mendekap erat perut Larasati seperti tangan-tangan gurita raksasa membelit mangsanya. Yang diperlakukan tidak senonoh ini sangat kaget dan langsung menjerit.
"Auw...!" Jeritan Larasati diringi pula oleh jeritan para ibu dan gadis-gadis muda yang menyaksikan perbuatan keji tersebut. Sedang Songar dan kedua kawannya justru tertawa terbahak-bahak.
"Kurang ajar! Siapa kamu?" teriak Larasati. Ia hendak menoleh ke belakang untuk melihat tampang si jahil, namun dekapan Songar terlalu kuat, sehingga ia tidak bisa menengok, hanya bau arak dan tubuh apek preman itu yang mengisyaratkan bahwa ia sedang berurusan dengan pencoleng.
Gembil menarik tangan Songar. Ia berusaha melepas belitan tangan kekar itu dari tubuh majikannya, sambil berteriak-teriak mencaci. "Orang gila... Lepaskan majikanku...! Lepaskan...!!!
Namun, Songar hanya tertawa-tawa. Demikian pula kedua orang rekannya. Sementara itu orang-orang di pasar hanya bisa memandang dari kejauhan dengan perasaan kecut dan cemas.Ada pula beberapa orang pemuda yang ingin tampil sebagai pahlawan, namun mereka masih menimbang-nimbang risikonya. Akhirnya ada pula yang nekat, karena dorongan nuraninya yang tidak bisa melihat perbuatan biadab tersebut.
"Lepaskan dia...!" teriak seorang pemuda bertubuh ramping.
Sepontan Branjang dan Gogor berbalik badan menghadap ke asal suara. Demikian pula Songar, namun masih tetap sambil mendekap tubuh Larasati yang terus meronta-ronta.
"Hai..., ada yang mau jadi pahlawan rupanya," ucap Branjang dengan nada dingin. Preman berkulit hitam pekat, bertubuh gempal, berwajah bopeng, dengan kumis dan cambang tak terawat ini menyeringai sambil mengeraskan otot-otot tangannya yang ditumbuhi bulu-bulu lebat. Sikap khas seorang penjahat untuk menciutkan nyali lawannya. "Menjauhlah, atau wajah manismu itu aku rusak sehingga ibumu sendiri tidak bisa mengenalimu!"?
"Hai..., sabar amat kalian. Hajar saja anak ingusan yang sok jago itu," teriak Songar sambil masih mendekap Larasati. Sedang gadis yang dilecehkan ini terus meronta-ronta sambil berteriak-teriak, mencaci dan minta dilepaskan. Demikian juga Gembil.?Pembantu setia itu terus berusaha membebaskan majikannya, dengan menarik tangan sang putri demang dan memukuli Songar sambil berteriak-teriak. Namun, usaha kedua wanita itu tidak ada artinya bagi penjahat berbadan kekar yang sudah kesetanan. Bahkan sebuah tendangan dari salah satu kaki Songar membuat Gembil terlempar dan jatuh telentang. Hal tersebut semakin memicu kemarahan sang pemuda.
"Tidak bermoral. Kubunuh kalian!" teriak si pemuda sambil berkelebat melayangkan tinjunya ke wajah Branjang.?
Bersamaan dengan datangnya pukulan tersebut Branjang menggerakkan lengan kanannya seperti kipas. Gerakan cepat dari tangan yang kekar itu membuat pukulan sang pemuda meleset beberapa senti dari muka Branjang. Lalu secara cepat pula Branjang menyodok muka sang pemuda dengan punggung jari-jemarinya yang ditekuk. Sang pemuda tidak sempat mengelak. Sodokan Branjang mendarat di antara kedua matanya. Kontan anak muda itu terhenyak sambil mendekap mukanya. Ia merasakan sakit yang luar biasa dan pandangan matanya menjadi sangat gelap.
Badan pemuda itu limbung, namun tidak sampai jatuh, karena jari-jemari Branjang keburu mencengkeram tenggorokannya. Branjang lalu menarik pemuda tersebut agar tetap berdiri. Sang pemuda merasakan sakit di tenggorokkan dan susah bernafas. Kedua tangannya memegang lengan Branjang, berusaha melepaskan cengkeraman tangan itu dari lehernya. Namun, semakin ia berontak, semakin kencang jari-jari preman itu mencengkeram lehernya. Akhirnya sang pemuda pasrah, namun?tetap memegangi lengan Branjang untuk menahan agar cengkeramannya tidak semakin kencang.
Dengan tangan kirinya Branjang mencabut pedang, lalu menempelkan di tengkuk sang pemudamalang itu. Kemudian ia berteriak-teriak lantang pada orang-orang yang mengerumuninya, yang rata-rata bermuka khawatir dan takut.
"Ayo..., masih ada yang mau jadi pahlawan kesiangan lagi...?" Branjang menatap sekeliling dengan mata beringas.
Tidak ada yang berani bersuara.
"Ayo..., siapa lagi yang mau coba-coba...?"
Semakin kecut nyali para pengunjung pasar. Namun, sesaat kemudian terdengar suara yang menggetarkan.
"Aku...." Semua mata langsung terarah ke asal suara. Begitu juga Songar, Branjang dan Gogor
SONGAR melesat seperti meteor. Sebaliknya, Pamungkas tetap tenang, bergeming dari tempatnya berpijak. Namun, diam-diam ia telah mempersiapkan serangan balik yang tak akan pernah terduga oleh lawannya.
Terkaman Songar semakin dekat. Kemudian pada jarak yang sudah diperhitungkan, Pamungkas memiringkan badan sambil berteriak bagaiguntur dan tangannya berkelebat menyongsong serangan Songar. Pukulan Pamungkas tepat mengenai dada Songar. Benturan antara kepalan tangan Pamungkas dan dada Songar terdengar bagai palu godam meremukkan batu cadas.?
Songar meraung kesakitan. Tubuhnya terlempar dan jatuh di tempat semula ia berdiri. Ia terbatuk-batuk sambil menahan dadanya yang sakit. Kedua orang rekannya memandang tercengang. Sesaat kemudian menoleh pada Pamungkas. Lalu dengan kemarahan meluap-luap keduanya menghunus golok besarnya, dan bersama-sama menerjang satria dari Lembah Sapta Naga ini.?
Pamungkas sudah siap menyambut serangan lawannya. Serangan pertama datang dari Gogor. Preman berkepala botak itu membabatkan goloknya ke leher Pamungkas. Namun, sebelum senjata tajam itu menyentuh kulitnya, Pamungkas sudah menunduk. Lalu dengan gerakan sangat cepat ia memutar tubuhnya sembari menghantamkan sisi lengannya ke lambung Gogor. Penjahat berperut buncit itu memekik pendek. Lalu tubuhnya roboh bermandi debu.
Menyusul serangan dari Branjang. Si muka bopeng ini membabatkan pedangnya secara vertikal mengarah ke kening Pamungkas. Serangan itu sangat cepat, nyaris tak bisa dielakkan. Pada kondisi seperti ini taktik berkelahi dan jurus tak sempat terpikirkan. Yang dibutuhkan bagi seorang petarung hanyalah gerakan reflek. Beruntung, otot dan syaraf Pamungkas sangat terlatih untuk itu. Maka dengan gerakan refleks Pamungkas justru menubruk tubuh Branjang. Tindakan itu sangat berisiko, namun berhasil dilakukan oleh Pamungkas. Hantaman golok Branjang hanya melewati punggungnya, bahkan tubuh penjahat itu roboh terjengkang tertindih badan Pamungkas.
Branjang hendak mendekap tubuh Pamungkas. Tapi, pendekar tampan itu berotak cerdas. Ia merasa tidak mungkin menang bergulat dengan Branjang, karena badannya kalah besar dan kalah kekar. Ia segera melompat ke belakang. Branjang tidak menyia-nyiakan kesempatan menang yang nyaris diraihnya. Ia segera bangkit seraya membabatkan goloknya. Namun, kali ini posisi Pamungkas sudah lebih menguntungkan. Bersamaan dengan berkelebatnya golok ke arahnya, Pamungkas mengayunkan kakinya, tepat mengenai pangkal lengan Branjang.
Penjahat itu oleng sambil memekik kesakitan. Lantas sebelum lawannya memperbaiki posisi, Pamungkas melanjutkan serangan dengan pukulan tenaga dalamnya ke punggung Branjang. Penjahat itu terguling-guling.
Belum sempat Pamungkas bernafas lega. Tiba-tiba Songar dan Gogor sudah menyerang secara serempak.?Golok-golok besar berkelebatan menghujaninya. Pendekar muda ini benar-benar sangat kerepotan, apalagi kemudian Branjang bangkit dan bergabung dengan kedua rekannya untuk mencecar.
Pamungkas menyadari kalau ia sangat terdesak. Ia lalu berjumpalitan ke belakang untuk memperbaiki posisi. Ketiga lawannya yang sudah dirasuki ambisi membunuh itu segera memburunya, namun mereka tidak menduga sama sekali kalau tiba-tiba saja Pamungkas melesat memutar seperti baling-baling, dan tahu-tahu sudah berdiri di belakang mereka.
Gogor, Songar, dan Branjang segera berbalik badan sambil mengibaskan golok-golok mereka. Tapi, seiring dengan itu Pamungkas sudah menggerakkan tangannya secara beruntun, menghantam lengan-lengan para penjahat itu. Golok-golok besar beterbangan. Songar dan kedua kawannya kaget. Namun belum hilang rasa kaget mereka, Pamungkas sudah menggerakkan kakinya, menohok lambung dada dan kepala mereka. Ketiga penjahat itu berjatuhan seperti karung beras terlempar dari atas gerobak.Para pengunjung pasar bertepuk tangan dan bersorak ria.
Pamungkas berdiri gagah sebagai sang penakluk. Sementara Songar, Branjang dan Gogor meringkuk, merintih dan berjuang melawan rasa sakit. Ketiganya menatap Pamungkas dengan sorotan mata penuh dendam. Mereka lalu berusaha untuk bangkit meski dengan susah-payah.
"Kamu menang sekarang, anak muda, " ucap Songar sambil terhuyung-huyung, dan dengan suara berat karena menahan sakit. "Tapi, kamu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Kamu akan menyesal. Tunggu pembalasanku."
"Kalian akan binasa oleh nafsu kalian sendiri," balas Pamungkas tenang.
Songar, Branjang, dan Gogor kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Mereka berjalan terhuyung-huyung sambil memegang bagian badannya yang masih terasa nyeri. Sekali lagi para pengunjung pasar bersorak ria. Mereka mengiringi kepergian ketiga penjahat itu?dengan caci-maki.
PEDANG tipis sang pendekar cantik sudah tercabut dari sarungnya. Logam tajam itu gemerlapan memercikkan cahaya kekuning-kuningan seperti dikerubungi ribuan kunang-kunang kecil. Semuanya terperangah takjub melihat pamor pedang yang luar biasa. Namun, Baskoro yang sudah dikuasai kemarahan itu segera mengesampingkan?ketakjubannya. Anak bangsawan yang kejam ini lalu menerjang sambil membabatkan goloknya ke arah pendekar cantik. Kedua orang anak buahnya, Sampar dan Goprak, mengikuti majikannya.
Golok-golok besar berkelebatan mencari sasaran. Tapi, sang perawan menghindarinya dengan gerakan yang sangat lincah dan manis, layaknya seorang penari yang tengah beraksi di panggung pertunjukan. Pamungkas yang masih dalam keadaan terikat sangat terpesona menyaksikan gerakan-gerakan indah pendekar wanita itu.
Gagal pada serangan awal, Baskoro dan anak buahnya semakin bernafsu. Mereka semakin buas mengibaskan senjata mautnya. Tapi, serangan yang dilancarkan dengan emosi meluap-luap tentu saja kurang terarah dan sangat mudah diantisipasi lawan.?Akibatnya, serangan-serangan Baskoro dan anak buahnya hanya menebas semak-semak serta ranting pepohonan.?Beruntung, sejauh ini lawannya hanya menghindar saja, seakan sengaja ingin bermain-main. Hal tersebut semakin menambah beringas anak bangsawan congkak itu.
Pertarungan sudah berjalan belasan jurus. Tiba-tiba sang pendekar cantik bergerak mundur dengan cara bersalto beberapa kali. Wanita itu berdiri pada jarak yang tak terjangkau serangan lawan. Baskoro dan anak buahnya tidak berani gegabah menyerang. Tampaknya menunggu dan mempelajari apa yang akan dilakukan lawannya.
Gadis itu memandang tajam pada Baskoro dan kedua pengawalnya, lalu memainkan pedangnya dengan gerakan yang sangat menarik. Kalau Baskoro cerdas, tentunya dia mengerti bahwa pendekar wanita itu tengah memberi peringatan awal kalau dia mulai bersungguh-sungguh. Namun, Baskoro sudah kadung dikuasai nafsu membunuh. Anak muda itu lalu membuka serangannya kembali, diikuti kedua tukang pukulnya. Si muka elok menyongsong serangan mereka dengan kipasan pedang tipisnya.
Tring...!! Tring...!! Tring...!!!
Pedang indah beradu dengan golok-golok besar. Akibatnya sungguh tak terduga. Ketiga golok besar itu tertebas separonya dan potongannya berjatuhan ke tanah seperti potongan bambu. Baskoro dan kedua anak buahnya terbelalak. Sementara sang lawan hanya tersenyum tipis.
Sang perawan mengangkat dagu sambil menatap sayu pada ketiga lawannya, terkesan memberi peringatan kedua bahwa serangan berikutnya bisa berakibat fatal. Tapi, Baskoro tidak peduli. Dengan sisa potongan goloknya anak bangsawan itu nekad menyerang, demikian pula kedua orang pengawal setianya. Kembali si gadis menyongsong serangan mereka. Kali ini ia tidak mengibaskan pedangnya. Ia hanya menggunakan kelenturan tubuhnya dan keindahan geraknya. Namun, kendati demikian, serangan Baskoro dan anak buahnya tidak mampu menyentuh kulitnya yang mulus, bahkan serangan balik beruntun dari si cantik mendarat di tubuh ketiga manusia jahat itu.
Buk...!! Des...!! Plak...!!
Tendangan dan pukulan si cantik membuat Sampar dan Goprak?terlempar, sedang Baskoro terjajar menghantam pohon jati. Sang gadis lalu bergerak memutar seperti tarian balet, dan tahu-tahu sudah berdiri di depan Baskoro sambil menodongkan ujung pedangnya ke pangkal leher anak muda itu. Baskoro terbelalak dan menggigil ketakutan.
"Aku sangat jijik melihat tampang licik seperti kamu. Tapi, beruntung kamu karena saat ini aku tidak bergairah melumuri pedang mahalku dengan darah murahanmu," ucap si cantik dengan suara merdu. "Pergi kamu sebelum pikiranku berubah!"
Seketika itu juga Baskoro lari terbirit-birirt. Kedua anak buahnya menyusul. Pendekar ayu itu lalu melepas ikatan Pamungkas dengan libasan pedangnya.
"Terima kasih!" ucap Pamungkas setelah terlepas dari ikatan.??
"Kamu harus lebih waspada. Dikota besar banyak serigala berkaki dua,"ucap si cantik sambil memasukkan pedang indahnya pada sarungnya yang menempel di punggung.
Usai bicara pendekar wanita itu lalu bersiap pergi. Namun, buru-buru Pamungkas menahan langkahnya dengan pertanyaan. "Emp, Nona, boleh saya tahu siapa nama Nona?"
Sang gadis menoleh sedikit. "Orang memanggilku Pedang Kunang-kunang," jawab sang gadis pendek, lalu melesat pergi
"JANGGUT Perak!" ucap Mahesa Kaliki setengah memekik.
Benar. Orang yang baru saja datang itu adalah Janggut Perak,?guru Pamungkas, atau dikenal pula dengan julukan Naga Keenam, karena dia orang tertua kedua di antara anggota Tujuh Naga Perkasa. Pendekar yang kharismatik itu hanya diam memandang tajam wajah Mahesa Kaliki yang tampak gugup, karena tidak menduga akan kemunculan orang yang ditakuti oleh para pendekar aliran hitam itu.
"Ha...ha...ha... sepertinya para naga mulai bosan meringkuk dalam sarang," ucap Mahesa Kaliki menutupi kegugupannya. "Sayangnya hanya satu naga yang muncul. Atau memang tujuh naga hanya tinggal naga berjanggut ini" Ha...ha...ha...."
"Kamu menutupi rasa takutmu dengan mulut besar, Mahesa Kaliki. Berkacalah! Sebenarnya kamu orang yang bernyali kecil, dan hanya berani pada anak-anak," balas Janggut Perak dengan nada mengejek.
"Kurang ajar! Mahesa Kaliki tidak pernah takut pada siapa pun. Majulah kambing tua! Biar kuremukkan tulang-tulang rapuhmu itu!!"
"Sayang... saya tidak berminat mengotori tanganku dengan darah penjahat rendahan sepertimu."
Usai berucap, Janggut Perak lalu melesat pergi sambil memondong tubuh Pamungkas. Orangtua itu bergerak seperti belalang. Meloncat dari satu ranting ke ranting pohon lainnya dengan sangat cepat.?
? Mahesa Kaliki merasa sangat terhina dengan ucapan Janggut Perak, namun ia berpikir dua kali untuk mengejar pendekar yang namanya pernah menggetarkan dunia persilatan itu. Mahesa Kaliki dan anak buahnya kemudian berlalu meninggalkan Pasar Keningar yang porak-poranda akibat ulahnya.
WARNA kuning kemerahan mengambang di ufuk barat. Sang mentari siap berganti tugas dengan rembulan. Alam mulai lengang, selengang jiwa Pamungkas yang tergolek tak berdaya di altar batu. Janggut Perak, sang guru, duduk bersila di sisinya sambil menyalurkan tenaga dalam ke dada murid kesayangannya itu.
Hawa hangat meresap ke tubuh Pamungkas. Terasa nikmat, menghantarkan jiwa Pamungkas hadir dalam kenangan perjalanan hidup yang berujud setengah mimpi antara sadar dan tidak sadar. Ia merasa seperti kembali ke masa lalu. Tatkala ia menangis dalam gendongan seorang laki-laki yang berjalan sempoyongan karena luka-luka di tubuhnya. Ia belum bisa mengenali siapa lelaki yang menggendongnya, karena usianya belum genap dua tahun. Yang ia ingat hanya lelaki itu berpakaian layaknya seorang prajurit.
Dengan tertatih-tatih lelaki itu berjalan setengah berlari menerobos pekatnya malam yang dingin. Sepi. Yang terdengar hanyalah tangis bayi dalam gendongannya.
Menjelang dini hari lelaki itu sampai di kaki lembah Sapta Naga. Ia meletakkan bayi yang digendongnya di atas rumput basah, dialasi selendang batik. Lelaki itu meletakkan sebilah keris kecil di sisi sang bayi, kemudian pergi meninggalkan bayi itu sendirian.
Tangis bayi membahana, memecah kesunyian malam, mengagetkan Janggut Perak yang sedang bersemadi. Pendekar sakti itu lalu mendatangi asal suara tangisan. Betapa terkejutnya orangtua itu mendapati makhluk kecil tak berdosa yang tergolek sendirian. Ia lalu memungut bayi itu, membesarkan dan memberinya nama Aria Pamungkas.?
Di bawah asuhan Janggut Perak yang bijaksana, Pamungkas tumbuh menjadi pemuda gagah. Digembleng dan dilatih ilmu kanoragan, hingga ia menguasai ilmu pukulan Tapak Naga, pukulan khas milik Janggut Perak yang sangat terkenal.?
Dirasa sudah cukup untuk bisa mandiri, Janggut Perak lalu menyuruh muridnya untuk turun gunung.
"Pamungkas, sudah saatnya kamu meninggalkan tempat ini." ucap Janggut Perak ketika guru dan murid itu saling duduk berhadapan.
"Kenapa" Apa saya telah mengecewakan Guru?" tanya Pamungkas, heran.
"Tentu saja tidak. Tapi, demi masa depanmu, temukan jati dirimu dan carilah pula enam paman gurumu yang lain. Belajarlah pada mereka."
Soal jati dirinya, sedikit banyak Pamungkas sudah mengerti, karena gurunya sering menceritakan hal itu. Tapi tentang keenam paman gurunya" Janggut Perak tidak pernah menceritakannya.
"Apa masih ada orang lain yang layak saya panggil guru, selain Guru?" tanya Pamungkas heran.
Sejenak Janggut Perak diam sambil menghela nafas panjang, seolah ada ganjalan untuk menjawab pertanyaan muridnya. Sesaat kemudian, dengan suara berat orang tua itu bertutur, "Kamu tahu apa makna nama Lembah Sapta Naga ini?"
Pamungkas menggeleng. "Karena di sini pernah tinggal tujuh orang pendekar hebat, sehebat naga-naga perkasa. Mereka datang dari tujuh penjuru angin.Mereka mengikat tali persaudaraan berdasarkan kesamaan tujuan, yaitu menegakkan keadilan dan memberantas kejahatan."
PAMUNGKAS diantar seorang prajurit ke kandang kuda. Tampaknya itulah hukuman yang harus dijalani. Ia ditempatkan bekerja di situ, membersihkan kandang dan merawat kuda-kuda. Sebetulnya hukuman tersebut dirasakan tidak adil oleh Pamungkas, karena dia memang tidak bersalah. Namun dia sengaja tidak membela diri. Dia akan menjalani hukuman tersebut sebagai upaya untuk belajar banyak hal.
Prajurit yang mengantar Pamungkas berlalu. Tinggallah anak muda itu berdiri bengong sendirian. Ia melihatlima ekor kuda yang bagus-bagus dalam kandang yang bersekat-sekat. Salah seekor di antaranya sudah dikenalinya, yakni kuda yang ditunggangi Tumenggung Wiroguno. Kuda itu yang paling bagus di antara empat kuda yang lain. Warna bulunya hitam mengkilat terawat. Badannya tinggi tegap, dan otot-otot kakinya sangat kokoh. Sungguh seekor kendaraan perang yang hebat.?
Seorang lelaki bongkok sedang menyapu di salah satu kandang. Saat melihat Pamungkas datang, ia langsung menghentikan pekerjaannya dan mendekati anak muda itu.
"Kamu yang bernama Pamungkas?" tanya si bongkok dengan suara parau.
"Benar, Paman."
"Paman..." Memangnya aku sudah layak dipanggil Paman" Aku ini masih muda, tahu"! Hanya wajahku saja yang kelihatan tua," ucap lelaki yang wajahnya memang sudah layak dipanggil paman itu.
"Eem, maaf. Jadi aku harus memanggil bagaimana?" tanya Pamungkas.
"Namaku Welas. Panggil saja aku Kang Welas. Aku paketik*)?di sini."
"Baiklah, Kang..., Kang Welas. Sekarang apa yang harus saya kerjakan?"
Lelaki bongkok yang mengaku bernama Welas itu lalu mengulungkan sapu lidi di tangannya. "Sapu bersih kandang-kandang itu. Kotorannya taruh di lubangsana dan bakar."
Tanpa bertanya lagi Pamungkas lalu menuruti apa yang diperintahkan Welas. Sementara Pamungkas bekerja, lelaki bongkok itu malah duduk bersila di tempat teduh, lalu mengeluarkan tembakau klobot (daun jagung kering) dan korek api dari saku baju luriknya.
Selanjutnya laki-laki bongkok itu membuat rokok lintingan, dan mengisapnya sambil merem melek. Ia tampak menikmati sekali rokok buatannya sendiri itu. Pamungkas sangat mendongkol, namun mencoba untuk bersabar. Tentunya ia dipekerjakan di situ tidak untuk menggantikan Welas, tapi hanya sekadar membantunya. Namun tampaknya si bongkok itu memanfaatkan kesempatan tersebut untuk bermalas-malasan.
Pekerjaan membersihkan kandang dan membakar sampah sudah selesai dikerjakan Pamungkas. Keringat mengucur membasahi badannya. Pamungkas lalu mendekati Welas yang bersandar terkantuk-kantuk pada pohon sawo kecik.
"Kang...!" tegur Pamungkas.
Welas langsung tergagap-gagap. "Oh, ya...ya...Ada apa"Ada apa?" ucapnya belingsatan."Sudah saya selesaikan," balas Pamungkas sambil tersenyum, berharap dipersilakan beristirahat. Tapi harapannya meleset.
"Sekarang bersihkan tempat pakan dan ganti dengan yang baru. Rumputnya ada di belakang kandang," Welas memberi perintah lagi. "Jangan lupa buang duri-duri dan rumput yang sudah kering, bisa membuat kuda tersedak."
Usai memberi perintah, Welas langsung bersandar lagi. Matanya memejam dan mulutnya mengecap-ngecap. Meski sebal, Pamungkas menuruti saja perintah laki-laki bongkok itu. Ia bekerja kembali tanpa mengenal lelah. Selesai mengganti pakan, Pamungkas melapor lagi pada Welas. Rupanya masih ada pekerjaan lain yang harus dikerjakan Pamungkas.
"Sekarang mandikan kuda-kuda itu!" perintah Welas lagi.
"Tapi, saya belum mengerti soal kuda," Pamungkas memberi pertimbangan.
"Aku beri tahu nanti. Sekarang keluarkan mereka satu per satu. Tapi, hati-hati dengan kuda hitam yang paling ujungsana itu. Dia si bawon, kuda kesayangan Gusti Tumenggung. Aku merawatnya lebih dari diriku sendiri."
Sejenak Pamungkas masih berdiri termangu-mangu. Akhirnya ia beranjak mengeluarkan kuda-kuda dari kandang satu persatu. Kemudian memandikannya. Welas mengawasi dan memberi arahan dengan sangat hati-hati.
Memandikan dan merawat kuda ternyata pekerjaan yang sangat rumit dan melelahkan. Apalagi bagi Pamungkas yang buta sama sekali soal kuda. Namun, berkat Welas yang mengajarinya, kini Pamungkas mulai tahu soal kuda. Hal inilah yang menghapus rasa dongkol Pamungkas pada lelaki bongkok yang berlaku sok seperti mandor itu.
Pamungkas bekerja hingga sore hari. Ia diberi kesempatan beristirahat hanya saat makan siang saja. Malamnya ia ditempatkan tidur bersama Welas di gubuk kecil dekat kandang kuda. Namun, karena lelah dan penat, maka semalaman Pamungkas hanya kelimpungan saja, tidak bisa tidur. Sementara Welas sudah mendengkur seperti kucing.
Dalam keadaan antara tidur dan terjaga, tiba-tiba Pamungkas mendengar langkah-langkah ringan di luar gubuk. Langkah dua orang yang berjalan mengendap-endap.
PAMUNGKAS dan Baskoro masih berhadap-hadapan. Keduanya saling menaksir dan mengukur kekuatan lawan. Kini Baskoro mulai sadar siapa lawan yang dihadapi. Anak bangsawan itu tidak lagi berani meremehkan Pamungkas. Namun sikap congkak dan pemberangnya masih tampak menghiasi wajahnya. Ia menatap Pamungkas dengan mata melotot, seakan ingin menelannya bulat-bulat.?
Suasana tegang dan hening.Para penonton layaknya tengah menantikan peristiwa yang luar biasa. Tidak ada suara yang terdengar, kecuali dengus dan kaki kuda yang menghentak-hentak?tanah.
Gong berbunyi. Terdengar sangat nyaring seperti letusan meriam di tengah malam hening. Namun, Pamungkas dan Baskoro tidak langsung bertindak. Keduanya masih diam, saling menunggu serangan lawan. Suasana menjadi lebih hening dan tegang. Semuanya menahan napas, dengan mata melotot dan kening berkerut, menanti detik-detik yang menentukan.
Perlahan-lahan Baskoro dan Pamungkas mengangkat tombak dan meletakkan pada posisi siap menyerang. Lalu..., sedikit demi sedikit menarik dagu ke atas, sambil menghirup napas dalam-dalam sehingga dada keduanya tampak membusung. Kemudian...
"Yeaah...!!!" Serentak kedua ksatria itu berteriak nyaring sambil menyentakkan tali kekang kuda masing-masing. Disusul sorak-sorai para penonton yang menggelegar seperti letusan gunung berapi.
Kuda-kuda melesat bagai anak panah lepas dari busurnya, derap langkah kakinya terdengar seperti irama genderang perang, berpadu dengan gemerincing suara pakaiannya, debu tebal membubung ke angkasa, dan ujung tombak sama-sama mengarah ke dada lawan.
Kedua ekor kuda terus bergerak saling mendekati. Kini keduanya sudah saling berpapasan. Tombak-tombak nyaris menyentuh dada. Namun, pada saat yang tepat secara serentak kedua ksatria itu saling menangkis. Batang tombak beradu dan menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Tidak ada yang tersodok tombak. Tidak ada yang terjatuh dari punggung kuda.Para penonton berseru gemuruh, sebagian pembesar sampai beranjak dari tempat duduknya karena terpesona.
Pamungkas dan Baskoro langsung memutar kudanya masing-masing. Selanjutnya, tanpa menunggu aba-aba lagi Baskoro langsung menerjang Pamungkas dengan penuh ambisi. Agaknya anak bangsawan ini sudah tidak mengindahkan lagi peraturan pertandingan. Yang ada dalam benaknya hanyalah nafsu untuk menjatuhkan Pamungkas.
Baskoro membabatkan tombaknya ke leher Pamungkas, selagi murid Janggut Perak itu belum siap dan dalam posisi yang kurang menguntungkan. Tapi, untunglah pendekar dari Lembah Sapta Naga ini cekatan. Ia segera merunduk dan serangan lawan hanya menghantam udara kosong.?
Baskoro semakin bernafsu. Bangsawan muda ini berbalik dan langsung membabatkan kembali batang tombaknya. Kali ini Pamungkas sudah siap dan bisa membaca serangan lawan. Ia menyongsong ayunan tombak dengan sebuah tangkisan keras pada pangkalnya. Tombak Baskoro terpental?dan jatuh tepat di depan kaki kudanya yang sedang berlari. Akibatnya kuda itu keserimpet dan terjerembab. Baskoro terlempar jatuh mencium tanah, diiringi sorak-sorai penonton.
Pamungkas merasa tidak enak. Pendekar muda itu buru-buru turun dari kuda dan menghampiri putra Tumenggung Kurawan untuk membantunya berdiri. Tapi, apa yang didapat. Tiba-tiba Baskoro berdiri dan menendang dada Pamungkas. Murid Janggut Perak itu terjajar beberapa langkah. Dua orang lelaki kekar bertampang seram tampil ke depan melindungi Baskoro. Mereka adalah Sampar dan Goprak, pengawal setia anak bangsawan congkak itu.
"Kau akan menerima balasannya!" ucap Baskoro geram sambil menuding Pamungkas. Anak bangsawan yang berangasan itu lalu?menghentak kesal sambil memandang Pamungkas penuh dendam dan kebencian. Kemudian berlalu diiringi para pengawalnya. Pamungkas yang masih lugu hanya berdiri bengong memandang kepergian lawan tandingnya.
Tumenggung Kurawan pun menyusul, meninggalkan tempat duduknya.?Sambil beranjak orang tua itu?melirik penuh kebencian pada?Tumenggung Wiroguno yang tersenyum menang. Sementara gemuruh sorak-sorai penonton terus membahana, mengelu-elukan kemenangan Pamungkas, terutama penonton dari kalangan rakyat jelata, karena bangga wakil dari kastanya keluar sebagai juara.
Pertandingan sore hari itu memuaskan semua penonton. Nama Pamungkas menjadi pembicaraan hangat di mana-mana. Dan orang yang paling senang atas kemenangan Pamungkas adalah Tumenggung Wiroguno. Karena telah berhasil mempermalukan Baskoro yang dinilainya sangat congkak dan memuakkan. Serta, yang paling penting, bisa membaca lebih jelas sikap Tumenggung Kurawan yang nyata-nyata memusuhinya.
PAMUNGKAS masih berdiri termangu-mangu, terpesona akan kecantikan dan kehebatan pendekar wanita yang telah menolongnya. Sebagai lelaki normal tentu saja ia ingin berkenalan dan berbincang-bincang barang sejenak dengan wanita perkasa yang mempesona itu. Tapi, pendekar?wanita itu sangat cepat berlalu.
Pamungkas bersiap melangkah meninggalkan tempat itu, namun tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara seseorang yang meledeknya. "Ha...ha...ha..., gadis cantik dan sangat hebat, siapa pun pasti tertarik. Sayang dia cepat berlalu, meninggalkan sang jejaka...."
Pamungkas menoleh?ke asal datangnya suara, tapi tidak ada siapa-siapa. Pamungkas heran, keningnya berkerut sambil matanya nyalang memandang ke segenap arah, mencari kalau-kalau orang yang berujar tadi bersembunyi di balik semak-semak.
"Aku di sini." Suara itu lagi, kali ini sangat dekat, dan terasa ada yang mencolek pundak Pamungkas. Spontan anak muda itu menoleh kembali ke arah semula. Ia sangat terkejut. Orang yang dicarinya sudah berdiri di hadapannya, dan lebih terkejut lagi karena orang itu adalah Sontoloyo.
"Paman Sontoloyo?" ucap Pamungkas kaget bercampur senang.
"Rupanya kamu punya bakat jadi buaya darat. Mudah terpesona pada wanita cantik," ejek Sontoloyo.
Pamungkas tersipu malu. "Paman melihatnya?"
"Saya melihatmu sejak menjadi bulan-bulanan Baskoro dan anak buahnya."
"Kenapa Paman tidak menolong saya?"
"Saya pikir kamu cerdas, ternyata mudah diperdaya orang."
Pamungkas tertunduk malu. "Anak Tumenggung itu sangat licik."
"Dan masih banyak manusia semacam itu di muka bumi ini. Hati-hati dan waspadalah!"
"Terima kasih, Paman mengingatkan saya."
Sontoloyo memandang sejenak wajah Pamungkas, lalu berucap lagi. "Saya dengar namamu mulai terkenal di Kota Gede ini, dan menjadi orang kesayangan Tumenggung Wiroguno. Bukan tidak mungkin bangsawan itu akan memberimu kedudukan yang menggiurkan."
Pamungkas lalu menceritakan semuanya, termasuk tawaran dari Tumenggung Wiroguno.
"Kamu menerimanya?" tanya Sontoloyo.
"Saya lebih berat pada tugas yang dibebankan guru."
"Bagus," puji Sontoloyo. "Selayaknya seorang pendekar tidak terikat oleh siapa pun, kecuali pada kebenaran, agar tidak berpihak dalam bertindak."
"Terima kasih. Tapi untuk menjadi pendekar hebat rasanya masih jauh dari harapan, kecuali kalau Paman bersedia memberi bimbingan."
Sontoloyo tahu apa yang dimaksud Pamungkas. Pendekar aneh itu tertawa terbahak-bahak. "Ha...ha...ha... Kamu menjebakku anak muda. Tak usah, ya... Jangan berharap. Saya tidak akan menurunkan ilmuku pada siapa pun."
"Berarti Paman membiarkan orang seperti Mahesa Kaliki berkeliaran menebar kejahatan."
Sejenak Sontoloyo terhenyak. "Kamu sudah bertemu perampok busuk itu?"
"Dia nyaris meremukkan kepala saya."
Sontoloyo diam beberapa saat. Tampaknya orang tua itu mulai mempertimbangkan permohonan Pamungkas. Namun, mendadak tercium bau wangi yang sangat menyengat. Sontoloyo kaget. "Kurang ajar. Lagi-lagilima wanita binal itu. Mereka seperti memiliki penciuman harimau, bisa mencium bau keringatku lewat arah angin."
Tanpa memikirkan lagi Pamungkas, Sontoloyo lalu melesat pergi. Dan tak lama berselang tampak kelompoklima bunga beracun berkelebat mengejar Sontoloyo. Pamungkas sangat kecewa. Anak muda itu lalu melangkah pergi.
?* * * ? ? DI sebuah warung tuak, Baskoro dan kedua orang anak buahnya sedang melampiaskan kekesalannya dengan menenggak minuman memabukkan itu.
"Kurang ajar...," dengus Baskoro. "Saya sudah telanjur membuka topeng... Dia mengenaliku. Dia bisa membeberkan pada Sultan kalau kita yang selama ini berusaha membunuh Tumenggung Wiroguno."
"Tenang, Tuan," hibur Goprak. "Anak itu belum punya hubungan langsung dengan istana, tentu saja ucapan Tuan lebih didengar katimbang tukang kuda itu. Lagi pula pikiran Sultan sedang??terpusat pada rencana penyerangan ke Pati, jadi masalah ini terlalu kecil di mata Sultan."
Baskoro tertawa puas. "Ha...ha...ha... Betul... Betul sekali. Sekarang kamu punya saran apa?" ia bertanya pada Sampar.
"Sebaiknya Tuan melibatkan diri pada penyerangan ke Pati untuk mencuri perhatian Sultan. Saya rasa ini tameng yang sangat kuat untuk berlindung dari tudingan Tumenggung Wiroguno.
Kembali Baskoro tertawa puas. Ia lalu melambaikan tangannya pada beberapa orang wanita penghibur. Mereka lantas tenggelam lebih dalam pada kesenangan nista.
BERITA peperangan dari Pati mulai mengalir, menjadi bahan perbincangan marak di pasar-pasar dan tempat ramai lainnya. Pasukan Kerajaan Mataram dengan kekuatan tempur yang cukup besar kewalahan menghadapi bala tentara Adipati Pragola yang bertekad mempertahankan wilayahnya sampai titik darah penghabisan. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Bumi di pesisir laut utara itu bersimbah genangan darah para ksatria. Awan mendung menyelimuti langit tanah Jawa. Tangis sedih dan wajah ketakutan mengiringi langkah para pengungsi yang bergegas meninggalkan kampung halaman tercinta.
Sementara suasana dimedan perang Pati hingar-bingar oleh pesta mengerikan, di dalamkota Mataram suasana tampak sunyi dan lengang, tak ubahnya sebuah negeri besar yang hanya ditunggui para lelaki jompo, wanita, dan anak-anak saja. Hal ini dimanfaatkan para penjahat sebagai kesempatan untuk melancarkan aksi kejinya. Berita perampokan, penculikan, dan pembunuhan menjadi menu pembicaraan sehari-hari di warung-warung maupun beranda rumah.
Aksi kejahatan yang paling menonjol tentu saja dilakukan oleh kelompok Mahesa Kaliki. Penjahat berbadan raksasa itu mengerahkan anak buahnya menebar kejahatan di mana-mana, tanpa khawatir ada yang menghalangi. Bahkan karena merasa aman beraksi, kawanan ini mulai berani beroperasi di sekitar ibukota Mataram. Seperti pagi itu, tatkala serombongan pedagang usai berniaga di pasar Kota Gede, Songar, Gogor, dan Branjang mencegatnya di tepi hutan.
"Serahkan uang kalian, kalau masih ingin bertemu anak istri," gertak Songar.
Parapedagang itu gemetar ketakutan. Mereka hanya terdiri dari para laki-laki setengah baya, dan tak seorang pun menguasai ilmu bela diri.
"Ampun, Tuan. Saya tidak punya apa-apa untuk dirampok...," ucap salah seorang pedagang mengiba.
"Kurang ajar. Beraninya kamu berbohong!" bentak Branjang.
"Benar, Tuan. Kami hanya pedagang kecil. Hasil berjualan kami hanya cukup untuk makan sehari. Kalau Tuan ambil, apa yang bisa dimakan anak istriku di rumah?" iba pedagang yang lain.
Rengekan para pedagang tadi bukannya menimbulkan rasa iba bagi Songar dan kedua rekannya, tapi justru sebaliknya. Ketiga anak buah Mahesa Kaliki itu menatap dingin para pedagang sambil melolos golok?dari sarungnya. Semakin gemetar tubuh para pedagang, keringat dingin membasahi tubuh. Bahkan ada yang sampai terkencing-kencing di celana.
"Am...ampuni kami, Tuan...," iba salah seorang pedagang dengan suara bergetar dan terbata-bata. Songar dan kedua rekannya seakan tak mendengar ucapan memelas tadi. Ketiga penjahat itu terus melangkah maju dengan tatapan buas. Bahkan mereka sudah bersiap mengayunkan senjata. Namun tiba-tiba terdengar ucapan seseorang.
"Lepaskan mereka!"
Kontan semuanya menoleh ke asal datangnya suara. Semuanya terkejut, terutama Songar dan kawan-kawan.
Kenapa" Karena yang bersuara tadi adalah Pamungkas, yang pernah membuat Songar, Gogor, dan Branjang babak belur.
Beberapa saat lamanya ketiga preman itu hanya berdiri terperangah, memandang Pamungkas yang berdiri menantang. Kesempatan tersebut dimanfaatkan para pedagang untuk melarikan diri. Dan para anak buah Mahesa Kaliki membiarkan saja hal itu terjadi, karena perhatian mereka lebih tertuju pada Pamungkas.
"Kurang ajar. Kamu lagi rupanya!" ucap?Gogor sesaat kemudian.
"Ya, aku selalu muncul saat kejahatan merajalela," balas Pamungkas kalem.
"Huh, jangan bangga karena pernah mengalahkan kami, anak muda. Karena hari ini adalah akhir riwayatmu!"
"Penjahat selalu berkata seperti itu untuk menutupi nyalinya yang kerdil."
"Kurang ajar! Kamu akan membayar ucapan lancangmu dengan kematian yang sangat menyakitkan!" teriak Branjang meluap-luap.
"Hm..., sayang sekali. Sesungguhnya saya lebih suka menghadapi Mahesa Kaliki daripada tikus-tikus peliharaannya yang hanya besar mulut ini."
Direndahkan seperti itu kemarahan Songar, Branjang, dan Gogor langsung mencapai ubun-ubun dan lupa akan kehebatan anak muda yang pernah membuat mereka jungkir balik. Ketiga penjahat itu langsung merangsek Pamungkas dengan ayunan golok-golok besar mereka. Tentu saja Pamungkas sudah sangat siap menghadapi serangan itu.
Hanya dengan gerakan-gerakan ringan Pamungkas berhasil menghindari serangan lawan-lawannya yang kalap. Mereka menyerang dengan penuh nafsu, layaknya singa-singa lapar menerkam mangsanya. Namun Pamungkas melayaninya dengan main-main saja. Hingga beberapa jurus pendekar tampan ini hanya menghindar dan berkelit, sesekali memberi serangan balasan ringan dengan menjitak jidat atau menyentil kuping mereka. Seakan-akan ketiga lawannya itu sarana untuk berlatih
MERASA dipermainkan, kemarahan Songar, Baranjang dan Gogor mencapai puncaknya. Mereka semakin gencar mencercah Pamungkas dengan libasan goloknya. Hal tersebut justru dianggap sebagai permainan yang menyenangkan bagi murid Janggut Perak, karena lawan-lawannya menyerang tanpa nalar lagi, dan tidak menyadari kalau tenaganya mudah terkuras.
Merasa cukup bermain-main, Pamungkas mulai meningkatkan aksinya. Kini pendekar tampan itu tidak hanya menghindar, namun juga membalas gempuran lawan. Sebuah serangan balik membuat golok-golok tajam Songar dan kawan-kawannya beterbangan. Disusul dengan tendangan beruntun, yang telak menghantam kepala para penjahat itu.?Songar, Branjang, dan Gogor memekik kesakitan. Tubuh mereka oleng lantas jatuh bergelimpangan.
Pamungkas berdiri tegak di antara ketiga penjahat yang memandangnya dengan wajah ketakutan. Murid Janggut Perak ini tidak berkata apa-apa, hanya menatap wajah ketiga lawannya. Namun tatapannya seakan menyiratkan makna menyuruh pergi lawan-lawannya sebelum pikirannya berubah.
Songar, Baranjang, dan Gogor mengerti makna tatapan tersebut. Ketiga penjahat itu lantas beringsut menjauh, kemudian belingsatan melarikan diri. Pamungkas hanya memandangi kepergian mereka.?
Dengan napas ngos-ngosan dan keringat bercucuran Songar, Branjang, dan Gogor terus berlari, seakan takut kalau Pamungkas mengejarnya dan menghajarnya kembali. Semak-semak rebah, batu kerikil beterbangan diterjang langkah kaki ketiga penjahat tersebut.
Tapi, mendadak langkah mereka terhenti, dan mata mereka terbelalak.
Adaapa" Rupanya Mahesa Kaliki dan anak buahnya yang lain sudah berdiri menghadang. Hal ini lebih menakutkan katimbang Pamungkas. Karena kepala perampok ini tidak pernah suka melihat anak buahnya gagal untuk kedua kalinya.
Songar, Gogor, dan Branjang langsung berlutut di hadapan pemimpin mereka yang wajahnya merah padam memendam kemarahan.
"Ampun, Ki.... Anak itu memang hebat...," ucap Songar mengiba.
Mahesa Kaliki tidak menjawab. Gembong penjahat berbadan tambun itu hanya memandang tajam pada Songar. Tiba-tiba ia berteriak mengguntur, tangannya berkelebat menghantam kepala Songar. Perampokmalang itu terlempar belasan meter, tubuhnya jatuh ke tanah, namun kepalanya sudah tidak berbentuk lagi. Orang itu berkelonjotan sejenak, lantas diam tak bergerak selamanya. Semua yang menyaksikan kejadian itu diam tertegun dan bergidik ngeri.
Apa yang dilakukan Mahesa Kaliki pada Songar merupakan peringatan bagi anak buahnya yang lain, bahwa seperti itulah ganjaran bagi yang gagal melakukan tugas untuk kedua kalinya.
Pandangan mata Mahesa Kaliki kini tertuju pada Branjang dan Gogor. Kedua rekan sekerja Songar itu terpaku kaku seperti mayat saking takutnya. Apalagi ketika Mahesa Kaliki mendekatinya.
Namun, sebelum Mahesa Kaliki sempat melakukan sesuatu pada kedua orang anak buahnya yang dianggap gagal menjalankan tugas itu, Pamungkas muncul. Rupanya anak muda ini sengaja membuntuti Songar, Branjang, dan Gogor agar bisa menemukan sarang mereka.
Kedatangan Pamungkas menyelamatkan nyawa Branjang dan Gogor, karena Mahesa Kaliki lebih tertarik pada kedatangan anak muda yang pemberani itu.?
"Herrg.... Kamu datang untuk menggantikan ganjaran mereka," geram Mahesa Kaliki sambil menuding Branjang dan Gogor.
"Kasihan sekali anak buahmu. Mereka sudah mempertaruhkan nyawa untuk memperkaya majikannya, tapi masih mendapat perlakuan kejam," ejek Pamungkas kalem.
"Tutup mulutmu, kutu busuk!" bentak Mahesa Kaliki. "Hm..., sebetulnya saya mengagumi keberanianmu, anak muda. Untuk itu saya memberi kamu dua pilihan, pergi dan jangan campuri urusanku atau bernasib seperti dia," ucap Mahesa Kaliki sambil menunjuk tubuh Songar yang terbujur kaku.
"Saya lebih memilih kamu menggeletak seperti dia," balas Pamungkas sambil menuding mayat Songar pula.
Ucapan Pamungkas tentu saja mendidihkan kepala Mahesa Kaliki. Namun penjahat itu masih mencoba menahan kemarahannya. "Apa gurumu memberi tambahan ilmu baru, sehingga kamu seberani ini di hadapan Mahesa Kaliki?"
"Tak perlu tambahan ilmu hanya untuk menyentil kutu gemuk."
Kini Mahesa Kaliki benar-benar tidak bisa membendung lagi kemarahannya. Penjahat gemuk itu lalu menggeram bagai singa sambil menghentakkan kakinya ke tanah. Seketika tanah di hadapannya merekah dan bergerak seperti ular bergerak ke arah Pamungkas
TANAH tempat Pamungkas berpijak merekah. Makin lama makin lebar dan seakan hendak menyedot tubuh pendekar muda itu masuk ke dalamnya. Pamungkas berusaha bertahan dengan mengerahkan tenaga dalamnya.
Hal yang sama dilakukan oleh Mahesa Kaliki. Penjahat gembrot itu mengeluarkan tenaga dalamnya untuk menyedot tubuh Pamungkas agar terkubur dalam rengkahan tanah buatannya.
Perang?tenaga dalam berlangsung cukup lama. Wajah kedua petarung itu merah padam dibasahi keringat yang mengalir deras bagai anak sungai.Para anak buah Mahesa Kaliki diam terpesona menyaksikan pertarungan yang menegangkan tersebut. Hening, tak ada suara, hanya desir angin semilir yang menerbangkan daun-daun kering yang terdengar.
Beberapa saat kemudian, kembali Mahesa Kaliki berteriak sambil menghentakkan kaki ke tanah. Tanah yang merekah itu menutup kembali, namun kemudian terjadi ledakan dahsyat. Pamungkas segera melesat ke atas. Berjumpalitan di udara lalu mendarat kembali ke tanah dan berdiri tegak menghadapi Mahesa Kaliki.
Mahesa Kaliki tersenyum sinis. "Kamu lebih maju dari kemarin, anak muda. Pantas berani unjuk gigi di hadapanku. Nah, sekarang majulah! Serang aku! Aku ingin tahu sejauh mana kemampuanmu!"
Pamungkas tidak gegabah menanggapi tantangan lawannya, karena bisa jadi ucapan tadi merupakan taktik agar Pamungkas terjebak dalam perangkap Mahesa Kaliki. Apa yang ada di benak pendekar muda itu memang benar. Mahesa Kaliki tengah menyiapkan ajian Lintah Rawa.
"Pasti dia?sedang mempersiapkan ajian Lintah Rawa. Saya tidak boleh menyentuh tubuhnya," gumam Pamungkas. "Hm..., bagaimana aku harus menyerangnya?"
Beberapa saat lamanya Pamungkas masih berpikir keras mencari upaya untuk mengantisipasi ajian Lintah Rawa. Namun, agaknya Mahesa Kaliki tidak sabar menanti serangan lawan. Gembong perampok yang agresif ini lalu mengambil inisiatif untuk menyerang. Penjahat berbadan gendut itu melesat cepat layaknya katak raksasa hendak menangkap nyamuk. Pamungkas terkesiap, karena tidak menduga orang berbadan subur itu bisa bergerak demikian gesitnya. Nyaris terkaman Mahesa Kaliki mengenai sasaran, namun dengan gerakan refleksPamungkas menghindar. Serangan Mahesa Kaliki hanya menghantam pohon besar yang langsung rebah membawa suara gemuruh.
Pamungkas semakin waspada. Namun belum sempat berpikir jauh Mahesa Kaliki sudah merangseknya kembali. Dalam keadaan mendesak?itu, tiba-tiba Pamungkas mendapat ide bagus. Ia menendang batu-batu yang berserakan di tanah. Batu-batu yang ditendang disertai tenaga dalam itu bagai peluru ketepel raksasa yang meluruk ke arah Mahesa Kaliki.
Ternyata taktik Pamungkas ini sangat jitu. Mahesa Kaliki kewalahan menghindari desingan batu yang bertubi-tubi, hingga konsentrasi ajian Lintah Rawanya kacau-balau. Hal ini bisa dibaca oleh Pamungkas. Pendekar muda yang sangat cerdas ini segera meluruk sambil menghunjamkan sisi telapak kakinya ke arah dada Mahesa Kaliki.?
Jder...!!! Tendangan Pamungkas tepat mengenai dada Mahesa Kaliki. Gembong pencoleng itu terjajar belasan meter dan menabrak pohon yang langsung tumbang menimbulkan suara berdebum.Para anak buah Mahesa Kaliki terhenyak kaget. Tidak menyangka pimpinannya bisa kecolongan.
Dengan kemarahan yang berkobar-kobar Mahesa Kaliki segera bangkit. Ia menggeram keras seperti singa kelaparan. "Herrg...Haram jadah, kambing kurap!! Belum pernah ada yang berani menendang dada Mahesa Kaliki. Kuremukkan kepalamu anak tikus!!!" Mahesa Kaliki mengumpat-umpat.
Mahesa Kaliki mengaum-mengguntur, tubuhnya bergetar keras. Pepohonan bergoyang dan daunnya berguguran karenanya. Semua anak buahnya menutup telinga karena tidak tahan dengan suara raungan pemimpinnya yang memekakkan telinga.
Sebelum Mahesa Kaliki berbuat lebih lanjut, Pamungkas mencoba mendahului menyerang. Ia mengulangi lagi teknik penyerangan dengan menendang bongkahan-bongkahan batu. Tentu saja Mahesa Kaliki tidak mau kecolongan untuk yang kedua kalinya. Kepala perampok ini telah membentengi diri dengan ajian Halilintar. Batu-batu yang meluruk ke arahnya hancur berkeping-keping sebelum sempat menyentuh kulitnya.
Dan yang tidak pernah terduga oleh Pamungkas, sebagian batu-batu itu meluruk kembali menyerang balik. Pentalan batu-batu itu lebih kencang dari lontaran awal. Pamungkas sangat kewalahan menghindari senjatanya sendiri. Tangan dan kakinya mulai bengkak-bengkak. Hingga akhirnya sebongkah batu sebesar kepala kucing meluruk tak terhindarkan lagi, menghantam lambung Pamungkas hingga jatuh terguling-guling. Mahesa Kaliki tertawa terbahak-bahak.
DENGAN menahan sakit di lambung Pamungkas memaksakan berdiri untuk bersiap menghadapi Mahesa Kaliki. Sambil memasang kuda-kuda, diam-diam pendekar muda ini mengerahkan tenaga dalam untuk mengurangi rasa sakit di lambungnya.
Mahesa Kaliki berkoar-koar mengejek Pamungkas. "Ha...ha...ha.... Kamu pasti menyesal telah berani melawanku, anak muda. Melihat kemampuanmu, gurumu pun rasanya tidak akan nempil menghadapiku."
Ucapan Mahesa Kaliki mulai memancing emosi Pamungkas. "Tutup mulutmu, sapi gendut! Jangan rendahkan guruku!" balas Pamungkas sengit. Anak muda itu tidak sadar kalau kemarahannya justru yang ditunggu-tunggu Mahesa Kaliki.?
Mahesa Kaliki terus memanas-manasi Pamungkas. "Ha...ha...ha...Mana si tua bangka itu" Biasanya monyet berjanggut itu muncul saat muridnya merengek kesakitan. Ha...ha...ha..."
Kini Pamungkas benar-benar marah. Dia tidak pernah rela nama besar gurunya dilecehkan. Tanpa mempertimbangkan berbagai kemungkinan, pendekar muda itu lalu melesat menyerang membabi buta. Mahesa Kaliki tersenyum senang, merasa pancingannya berhasil. Penjahat tambun itu melayani serangan Pamungkas sambil tertawa-tawa dan mengejek. Merasa dipermainkan, kemarahan Pamungkas semakin meluap-luap. Ia lebih gencar lagi menyerang tanpa perhitungan. Tentu saja hal ini menjadi sasaran empuk bagi Mahesa Kaliki. Hanya dengan gerakan-gerakan ringan saja penjahat berpengalaman itu bisa mematahkan serangan Pamungkas, bahkan satu dua pukulan mulai bersarang di tubuh Pamungkas.
Rasa sakit dan perasaan kesal semakin menghilangkan akal sehat Pamungkas. Ia menyerang sekenanya saja, tanpa pertimbangan taktik?dan strategi bertempur. Mahesa Kaliki semakin bersemangat. Serangan-serangannya tak pernah gagal mengenai sasaran. Wajah Pamungkas mulai dihiasi memar-memar dan bercak darah.
Suatu ketika Mahesa Kaliki seperti sengaja menampakkan kelengahan. Pamungkas merasa mendapat peluang bagus untuk menghantam lawan. Dengan mengerahkan sisa kekuatan dan tenaga dalam murid Janggut Perak ini melayangkan pukulan.
Blub...!!! Pukulan Pamungkas tepat menghantam dada Mahesa Kaliki. Tapi apa yang terjadi"
Tangan Pamungkas menempel pada dada lurah pencoleng itu. Barulah Pamungkas menyadari kalau ia telah terjebak permainan Mahesa Kaliki. Penjahat itu sengaja pura-pura lengah agar Pamungkas menghantamnya, namun diam-diam dia telah mengerahkan ajian Lintah Rawa.
Tangan Pamungkas lengket bagai terekat lem super kuat. Mendadak seluruh tubuhnya menjadi lemas. Kini tangannya terasa kesemutan, dan rasa kesemutan itu merambat mulai dari tangan hingga ke sekujur tubuh. Pamungkas tidak punya daya apa-apa lagi, seperti kehabisan darah tersedot lintah raksasa.
Mahesa Kaliki tertawa terbahak-bahak. "Ha...ha...ha... Hanya seupil kemampuan sudah berani menyatroni Mahesa Kaliki. Mampuslah sekarang anak muda!"
Mahesa Kaliki menghentak keras. Dadanya menggelembung seperti balon, dan tubuh Pamungkas terlontar belasan meter. Pemuda itu tak mampu bangkit lagi. Perlahan-lahan Mahesa Kaliki menghampirinya. Perampok yang tak mengenal belas kasihan itu menarik baju Pamungkas sehingga berdiri terkulai. Lalu kepalan tangan kanannya yang sudah terisi ajian Wadas Sempal diancang-ancang untuk menghantam kepala Pamungkas.
Kepalan tangan Mahesa Kaliki meluruk kencang menghampiri kepala Pamungkas. Seruas kaki belalang lagi sudah meremukkan kepala pendekar muda itu, tapi mendadak Mahesa Kaliki mengurungkan niatnya.
"Tidak!" ucap Mahesa Kaliki. "Saya punya rencana yang lebih seru lagi."
Mahesa Kaliki lalu melepas kembali cengkeraman tangannya, sehingga tubuh Pamungkas jatuh terkulai seperti kain basah. Kemudian raja penyamun itu memberi isyarat pada anak buahnya untuk mengangkat tubuh Pamungkas. Mahesa Kaliki meninggalkan tempat itu, diikuti para anak buahnya sambil memikul tubuh Pamungkas seperti kijang buruan.
Mereka kembali ke markas. Markas mereka tersembunyi di tengah hutan lebat. Terdiri dari bangunan-bangunan kayu, mirip perkampungan kecil. Dilingkupi pagar dari batang-batang kayu besar yang ujungnya runcing seperti benteng pertahanan. Kondisi alam yang liar dan keras merupakan pelindung alami yang menyulitkan musuh mendatanginya.
Tepat di tengah perkampungan perampok itu terdapat bangunan semacam kerangkeng harimau. Mahesa Kaliki menyuruh anak buahnya untuk memasukkan Pamungkas ke dalam kurungan tersebut.
Beberapa orang wanita binal menyambut kedatangan Mahesa Kaliki dan mengiringinya masuk ke sebuah bangunan yang paling besar.
Sontoloyo bangkit dari rebahan, lalu duduk dan bercerita. "Dulu kami mempunyai cita-cita untuk menciptakan satu jurus yang tak tertandingi. Jurus itu merupakan gabungan dari ilmu-ilmu yang dimiliki oleh para anggota Tujuh Pendekar Naga. Disepakati sebagai peletak dasar jurus itu adalah ilmu gurumu si Janggut Perak, karena ibarat bangunan, ilmu gurumu mempunyai pondasi yang sangat kuat. Maka jurus baru yang ingin kami ciptakan pun kami beri nama Pukulan Tapak Naga Perkasa, seperti nama ilmu gurumu. Tapi, rupanya sejarah berbicara lain. Tujuh Pendekar Naga Perkasa bercerai-berai sebelum cita-cita itu terwujud."
Sontoloyo menghela napas panjang dan menampakkan muka kecewa. "Jadi Pukulan Tapak Naga Perkasa yang diajarkan guru itu merupakan jurus dasar?" tanya Pamungkas.
"Benar. Namun, sekarang sudah meningkat sejak kamu menguasai Ilmu Inti Buana. Dan untuk menyempurnakannya kamu harus mencari kelima paman gurumu yang lain untuk menyatukan ilmu mereka."
"Tidak hanya itu. Pesan Guru, kalau bisa juga untuk menyatukan mereka kembali."
"Pekerjaan yang sangat sulit, tapi saya sangat bangga kalau kamu bisa mewujudkannya. Saya mendukungmu."
Ucapan Sontoloyo tadi membuat Pamungkas terhenyak, karena selama ini orang yang telah mengajarinya ilmu Inti Buana itu terkesan tidak peduli dan hanya asyik dengan dirinya sendiri. "Paman mendukung keinginan guru?" tanya Pamungkas setengah menyelidik.
Sontoloyo terkekeh-kekeh. "He...he...he... Terus terang saja, saya sangat sehati dengan gurumu. Cuma bedanya, dia orang yang sangat bersungguh-sungguh, sedang saya cengengesan. He...he...he..."
Pamungkas tersenyum. "Tapi, Paman orang yang sangat teliti dan berhati-hati."
"Jangan memuji! Saya orang yang paling tidak suka dipuji," jawab Sontoloyo sewot.
"Oh, maaf. Tapi, ucapan Paman sangat melegakan hati saya. Semakin bulat tekad saya untuk segera mewujudkan keinginan guru."
"Kalau sudah bulat tekadmu, kenapa berlama-lama menghamba pada Tumenggung Wiroguno" Kamu ibarat orang yang berjalan di tempat. Ayo pergi dan cari paman-paman gurumu!"
"Tentu, Paman, tapi saya harus menunggu saat yang tepat."
"Kenapa?" "Saya rasa Gusti Tumenggung tidak mengizinkan saya pergi pada saat-saat seperti ini."


Tapak Naga Perkasa Karya Harianto A Fauzi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hai! Kamu orang merdeka. Kamu bebas pergi ke mana saja yang kamu suka. Lagi pula Tumenggung Wiroguno pasti memahami jiwa kependekaranmu yang bebas, serta tugas berat sedang kamu emban dari gurumu."
Pamungkas merenung sejenak. "Yah, saya memang bodoh. Terima kasih Paman telah mengingatkan saya. Lantas, selanjutnya siapa lagi yang harus saya temui?"
"Paman gurumu yang dijuluki Naga Keling. Tahapan ilmunya setingkat di atas ilmu saya." Sontoloyo menghela napas panjang sebelum melanjutkan kata-katanya. "Cuma... sulit sekali menemukan dia. Ibaratnya mencari potongan ujung jarum dalam tumpukan sekam."
"Sesulit apa pun akan saya cari."
Sontoloyo tersenyum. Pamungkas melanjutkan pertanyaannya. "Paman bisa menunjukkan bagaimana ciri-ciri beliau?"
"Sudah barang tentu kulitnya hitam kelam seperti jelaga."
"Hanya itu?" Sontoloyo merenung sejenak. "Emp..., dia suka bersenandung. Suaranya sangat merdu."
Kening Pamungkas langsung berkerut. Ia merasa pernah bertemu orang dengan ciri-ciri seperti yang dikatakan Sontoloyo tadi. Tapi, dia lupa, kapan dan di mana. Pamungkas menoleh lagi pada paman gurunya untuk bertanya lebih lanjut, namun orang tua itu sudah mendengkur. Pamungkas hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum tipis. Anak muda itu pun lalu rebahan di rumput. Rasa lelah, penat, kantuk, serta desir angin semilir membuatnya terlelap tak berapa lama kemudian.
Matahari bersinar sangat terik. Panasnya memanggang pipi Pamungkas. Anak muda itu terhenyak bangun. Mendongak ke atas. Matahari sudah tepat di atas ubun-ubunnya.
"Aduh lelap sekali... Sudah berapa lama aku tertidur," gumam Pamungkas. Anak muda itu lalu menoleh ke tempat Sontoloyo tertidur. Tapi, orang tua itu sudah tidak di tempatnya lagi. Pamungkas sangat gemas dan kecewa. Untuk kesekian kalinya dia diperdaya paman gurunya yang berperilaku aneh itu
Welas kali ini merupakan teguran lebih keras dari sebelumnya. Dara belia itu pun buru-buru mengekor di belakang si perawat kuda, diiringi dua orang emban yang membantunya. Sambil berjalan, pandangan Mendut terus mengarah pada Pronocitro yang berdiri mematung, mengiringi kepergiannya dengan tatapan sendu.
Hingga menjelang pagi Pronocitro tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya terus teringat pada kejadian siang tadi. Rokok pemberian Mendut masih tersisa. Tampaknya anak muda ini sengaja mengawet-awet rokok itu. Dia hanya sebentar-sebentar saja menyulutnya, kemudian mematikannya lagi, sepertinya sayang kalau rokok itu cepat habis. Dan pada setiap asap yang mengepul terbayang wajah dan senyum menawan sang perawan Pati. Lamunan anak muda ini berpacu dengan waktu. Ingin hari cepat berganti dan memandang kembali gadis pujaannya.
Tumenggung Wiroguno sangat terkejut mendapat laporan istrinya, bahwa sehari berjualan Mendut berhasil meraup uang sebanyak delapan puluh reyal. Sebelumnya suami-istri bangsawan ini bahkan tidak yakin Mendut bisa memperoleh uang sereyal pun. Dengan uang sebanyak itu Mendut bisa membayar uang wadal selamalima pekan lebih.
Tumenggung tua itu bersungut-sungut menerima uang wadal dari Mendut, karena bukan uang itu yang diharapkan. Bangsawan berpengaruh ini sudah cukup kaya. Uang wadal itu hanya sebagai sarana untuk menekan sang perawan boyongan agar besedia?menjadi selirnya. Tapi, ternyata Mendut bisa memenuhinya. Hal tersebut semakin membengkakkan gengsi sang pejabat, dan semakin menguatkan kemauannya untuk bisa menyunting Mendut sebagai selir. Kemauan itu pun tidak lagi didasari hasrat biologis semata, tapi gengsi seorang penguasa yang tidak rela kemauannya ditolak, apalagi oleh gadis rampasan perang.
Dengan mata melotot dan muka bersemu merah, Tumenggung Wiroguno kemudian berkata pada istrinya. "Katakan pada anak tidak tahu diri itu, selanjutnya saya menetapkan uang wadal sebesar sepuluh reyal sehari."
SAKING terkejutnya, tanpa sadar Mendut melompati jendela kemudian mengusap kepala Pronocitro yang memar.
"Oh..., pasti sakit sekali. Maaf..., maafkan saya, Kakang," ucap Mendut panik sambil terus mengusap-usap kepala Pronocitro.
"Tidak apa-apa. Ini salah saya sendiri," balas Pronocitro sambil menahan sakit.
Semula Pronocitro biasa-biasa saja menyikapi usapan tangan Mendut, karena pikirannya terkonsentrasi pada rasa nyeri di kepalanya. Namun manakala telah menyadari ada tangan lembut yang membelai-belai kepalanya, spontan ia melupakan rasa sakitnya dan berkonsentrasi pada usapan lembut tangan perawan Pati itu. Sampai-sampai anak muda itu merem melek merasakan usapan nikmat tersebut.
Lama sekali Pronocitro menikmati belaian tangan Mendut. Sampai akhirnya Mendut menyadari hal tersebut. Gadis itu segera menarik tangannya. "Oh, bagaimana, Kakang" Sudah hilang rasa sakitnya?" ucapnya agak malu-malu.
Pronocitro terperanjat. "Oh... iya... sudah. Sudah hilang," balas Pronocitro gugup sembari berdiri.
Sejenak suasana bisu. Rasa gugup, canggung, dan takut membuat kedua orang muda itu sulit mencari kata-kata untuk bahan obrolan. Tapi, agaknya Mendut lebih bisa mengatasi kendala tersebut. Kemudian dengan masih malu-malu perawan Pati itu berinisiatif mencairkan kebekuan. "Kakang sangat pemberani. Hanya untuk menemui perawan boyongan seperti saya rela menempuh bahaya."
Pronocitro tersenyum. "Demi Ni Mas, apa pun akan saya tempuh, sekalipun harus mengarungi lautan bara," tuturnya membual.
Mendut bangga kendatipun diekspresikan dengan sikap tersipu malu. Beberapa saat kemudian wajah gadis hitam manis itu mendadak pucat dan pandangannya cemas menoleh ke segenap arah. Rupanya dia menyadari kalau tempat pertemuan itu tidak aman. "Kakang, saya rasa di sini sangat berbahaya."
"Betul, Ni Mas. Tapi, di mana kita bisa berbincang secara leluasa?" tanya balik Pronocitro.
"Saya ada tempat yang aman," balas Mendut.
Tanpa menunggu kesepakatan dari Pronocitro, Mendut langsung menutup kembali daun jendela agar tidak menimbulkan kecurigaan. Gadis itu kemudian melangkah pergi. Bagai kerbau dicocok hidungnya, pemuda Pekalongan itu mengekor saja di belakang Mendut. Keduanya berjalan mengendap-endap sambil pandangannya waspada seperti pasangan maling, menerobos malam yang gelap dalam belukar taman katumenggungan.
Sementara itu tanpa sepengetahuan pasangan muda-mudi tadi, Welas tengah mengintip gerak-gerik mereka dari balik semak-semak yang rimbun dan gelap. "Edan... Anak ini benar-benar nekat," gumam Welas. "Bagaimana kalau sampai Gusti Tumenggung tahu" Wah bisa tamat riwayat anak itu. Edan.... Bocah edan...."
Sejenak Welas masih mengiringi kepergian mereka dengan pandangan matanya. Kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepala jejaka bongkok itu melangkah pergi, kembali ke tempat tidurnya.
Agaknya firasat Mendut terjawab. Beberapa saat kemudian beberapa orang prajurit ronda melintas di tempat itu. Mereka berhenti sejenak untuk memeriksa dan memastikan tempat itu aman. Salah seorang prajurit yang kelihatan nakal mencoba mengintip ke dalam kamar Mendut lewat celah-celah dinding kayu, tapi temannya segera menariknya sambil melotot. Prajurit itu hanya nyengir saja.
Mendut dan Pronocitro sedang memadu kasih, disaksikan bintang-gemintang yang bertebaran memenuhi langit. Tapi, ternyata bintang-bintang pada malam itu tidak hanya menjadi saksi suasana indah dua ingsan yang sedang kasmaran saja, melainkan juga saksi kegilaan sekelompok laki-laki yang tengah berpesta mabuk-mabukan di sebuah tempat mesum. Dengan iringan tabuhan gamelan yang rampak dan para penari yang meliuk-liuk menggoda, para lelaki itu menenggak minuman beralkohol. Umpatan kasar dan kata-kata kotor terlontar dari mulut-mulut orang yang sudah mabuk berat itu. Sementara beberapa orang wanita binal duduk di pangkuan para lelaki itu sambil menuangkan minuman keras.
Siapakah mereka" Ternyata para lelaki itu adalah Baskoro dan anak buahnya.
Tapi, apa yang sedang mereka rayakan"
Oh, mengerikan sekali. Mereka merayakan sesuatu yang berkait dengan peristiwa di Lembah Jati Gumbolo. Di hadapan Sultan, Baskoro melaporkan bahwa dia dan pasukannya yang berhasil menumpas orang-orang sesat pengikut Topeng Perak. Sisa-sisa para perusuh yang hendak diserahkan ke istana memberontak di tengah hutan dan?terpaksa dihabisi semuanya. Selain itu Baskoro juga mengatakan bahwa kemungkinan besar bahaya laten gerombolan sesat itu akan bangkit kembali. Demang Wicaksana tidak bisa diandalkan, bahkan dicurigai turut berdiri di belakang gerombolan yang berniat menggulingkan kewibawaan Sultan itu.
Karena cara bicaranya sangat meyakinkan, maka Sultan percaya, bahkan dia ditugaskan secara resmi sebagai pengawas keamanan untuk Kademangan Wonoringkih. Tentu saja hal ini akan menjadi bencana baru bagi Kademangan Wonoringkih serta masalah bagi hubunganasmara Pamungkas dan Larasati.
SEORANG ksatria sejati pantang menoleh ke belakang saat melangkah kemedan tempur, karena bisa melemahkan niat. Semangat seperti itulah yang menjiwai Pamungkas sehingga tetap tegar melangkah, meski sebagai manusia normal hatinya menjerit harus berpisah dengan orang yang disayanginya, di saat pohon cinta yang ditanam sedang tumbuh subur.
Wajah Larasati terus membayang di pelupuk mata Pamungkas di setiap tapak kakinya. Tapi pendekar muda itu berusaha mengesampingkannya agar langkahnya tidak terhambat. Dan ketika sudah jauh meninggalkan Kademangan Wonoringkih, barulah murid Janggut Perak ini menengok. Namun bukan untuk menuruti perasaan cengengnya, melainkan sekadar mengucapkan kata perpisahan pada kampung yang penuh kenangan itu, sekaligus berjanji akan segera kembali. Sesuatu yang tidak bisa disembunyikan dari wajah ksatria tampan ini adalah perasaan khawatir akan keselamatan Larasati dan ayahnya, mengingat tempat itu kini bagai dikepung kawanan serigala.
Apa yang dikhawatirkan Pamungkas terbukti. Kademangan Wonoringkih kini tak bedanya seperti penjara besar bagi Demang Wicaksana dan warganya. Mereka tidak boleh bepergian meninggalkan wilayah kademangan. Setiap titik masuk atau keluar dijaga sangat ketat oleh anak buah Baskoro. Bahkan terkesan mereka tengah membangun sebuah pertahanan di kademangan itu.
Sepak terjang para prajurit pun sangat meresahkan penduduk. Tidak sebagaimana layaknya prajurit Mataram yang berjiwa melindungi dan mengayomi rakyat. Anak buah Baskoro justru berbuat seenaknya sendiri. Melakukan perampasan, berjudi, mabuk-mabukan, bahkan mengganggu anak gadis orang. Demang Wicaksana sangat prihatin, namun tidak bisa berbuat apa-apa.
Rumekso, orang yang sudah menyimpan bibit kedengkian pada Demang Wicaksana, terlihat sudah akrab dengan Baskoro. Sepertinya Rumekso sudah lama ditanam Baskoro untuk membantu aksinya. Pemuda?brewok ini rela melakukan apa saja untuk Baskoro.
"Den Mas...," ucap Rumekso pada Baskoro saat tengah memijit-mijit kaki pemuda licik itu.
"Adaapa...?" jawab Baskoro.
"Sepertinya Den Mas Baskoro lebih layak menjadi demang di sini."
Baskoro langsung bangkit dan mengumpat-umpat. "Kurang ajar kamu! Jabatan apa demang itu, hah"! Aku lebih layak menjadi seorang adipati atau tumenggung, tahu"!"
Rumekso ketakutan dan merasa bersalah, lalu mencari-cari alasan untuk memperbaiki ucapannya tadi. "Emp..., maksud saya juga begitu... Maksud saya, sebelum jadi bupati atau tumenggung, Den Mas bisa memulainya dengan menjadi demang di sini."
Baskoro hanya menanggapi dengan tatapan angkuh, mengisyaratkan bahwa ia menerima argumen Rumekso. Si cambang lebat melanjutkan kata-katanya. "Emp..., ngomong-ngomong, enak lho menjadi demang di sini. Gadisnya cantik-cantik, terutama putri Ki Demang."
Mendengar ucapan Rumekso yang terakhir, mata Baskoro langsung berbinar-binar. "Eh, menurut kamu, cocok ndak dia sama aku?"
"Siapa..." Larasati" Wah, nggak cocok lagi, tapi cuocok galigacok. Seperti itu lho..., Kamajaya dan Dewi Ratih, simbol pasangan yang sangat serasi dalam dunia pewayangan," Rumekso berusaha menyenangkan Baskoro. Tapi, Baskoro malah sewot.
"Bodoh! Bukan untuk diperistri, tapi untuk mainan. Kalau untuk istri, dia bukan kelasku, tahu?"
Rumekso tersenyum lebar. "Walah..., apalagi untuk itu. Ya..., ya.... cocok..., cocok sekali. Saya setuju itu, biar gadis sombong itu tahu rasa."
Selagi Baskoro dan Rumekso sedang asyik membicarakan Larasati, dari kejauhan tampak putri demang itu sedang berjalan, ditemani Gembil. Baskoro langsung mengibas-ngibaskan telapak tangannya, memberi isyarat agar Rumekso?menyingkir.
Sambil beringsut pergi Rumekso berbisik. "Hati-hati lho, Den! Dia itu seperti burung seriti. Cantik, tapi patukannya tajam."
"Saya justru ingin mencoba patukannya."
Rumekso tersenyum, lalu menjauh. Tanpa sepengetahuan Baskoro, pemuda itu menyelinap di tempat terlindung untuk mengintip apa yang akan dilakukan Baskoro.
Larasati melintas di depan Baskoro. Pemuda itu langsung menghadangnya. "Hendak ke mana, nona manis?" sapa Baskoro dengan keramahan yang dibuat-buat.
Larasati merasa risih mendengar sapaan itu. Namun putri demang ini berusaha untuk tetap menghargai pemuda itu sebagai pejabat istana. Kemudian putri demang ini menjawab sopan. "Sekadar melemaskan kaki dan mengusir kepenatan."
"Oh, kalau begitu lebih menyenangkan jika ada yang menemani," Baskoro mulai melontarkan rayuan serigalanya.
"Saya merasa tersanjung sekali. Tapi maaf, Raden, saya rasa ini kurang baik di mata masyarakat, karena akan merendahkan martabat Raden yang seharusnya dijaga," balas Larasati diplomatis, sekaligus mengandung sindiran pedas.
Baskoro merasa ditohok, bahkan tidak bisa berkata apa-apa lagi tatkala Larasati berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya. Baskoro hanya memandangi kepergiannya dengan perasaan dongkol. (Bersambung)
TAPAK NAGA PERKASA (85) BASKORO masih berdiri mematung dengan muka cemberut. Sementara Rumekso cekikikan di tempat persembunyiannya. Baskoro sangat marah menyadari menjadi bahan tertawaan bawahannya.
"Kurang ajar! Masih di situ rupanya, kamu" Apa yang kamu tertawakan, monyet" Ke sini, biar kuhajar sampai mampus!" ujar Baskoro seperti letusan meriam.
Tentu saja Rumekso bukannya mendekat, tapi berlari menghindar. Baskoro mengambil sebongkah batu sebesar kepala kucing, lalu melemparkannya ke arah Rumekso. Untunglah Baskoro bukan pelempar yang baik. Batu itu tidak mengenai sasaran yang diinginkan.
Larasati dan Gembil sudah jauh meninggalkan Baskoro. Sambil berjalan mereka membicarakan kejadian yang baru saja dialami.
"Ih, menjijikkan sekali," ucap Gembil sengit. "Biar jelek begini, amit-amit..., jangan sampai dapat lelaki seperti Baskoro."
"Kenapa, Mbok?"
"Yaa, tampan sih tampan, tapi mata keranjang dan kelihatannya sangat kejam."
"Sst...! Hati-hati kalau bicara, Mbok! Sekarang rumput pun punya telinga. Sehalus apa pun pembicaraan kita bisa sampai ke telinga Raden Baskoro."
"Biar saja. Saya, ndak takut, kok. Apa hak dia melarang orang bicara?"
"Ya, tapi nanti semuanya jadi repot."
Gembil sejenak diam. "Coba kalau ada Den Pamungkas, pasti si mulut buaya itu tidak berani macam-macam sama Den Ayu."
"Sudahlah, jangan membicarakan orang yang pergi menjalankan tugas, nanti menghambat langkahnya!" Larasati menasihati Gembil. Meski berbicara dengan nada suara tegar, namun gadis muda ini tidak bisa menyembunyikan raut mukanya yang sendu, karena teringat Pamungkas.
Gembil bisa membaca apa yang tergambar di wajah Larasati. Lalu iseng-iseng bertanya pada majikannya. "Den Laras kangen ndak sama Den Pamungkas?"
Larasati tertegun mendengar pertanyaan pembantunya. Tidak bisa dipungkiri, Larasati memang rindu pada Pamungkas.
Bahkan kerinduannya kini sangat menggumpal layaknya sumbatan di rongga hatinya. Sehingga berpikir apa pun, selalu teringat Pamungkas. Demikian besarnya sumbatan bongkahan rindu tersebut sampai-sampai sulit diungkapkan dengan kata-kata. Larasati hanya menjawab dengan pandangan mata sendu dan tarikan alis atas pertanyaan Gembil tadi. Putri demang itu lalu berusaha mengalihkan perhatian ke hal lain.?
Gembil merasa sudah mendapat jawaban yang memuaskan. Perempuan bulat nangka itu tidak berani bertanya lebih jauh lagi. Majikan dan pembantu itu lantas meneruskan perjalanan lagi, menikmati pemandangan alam Kademangan Wonoringkih yang mempesona.
Sementara itu, Pamungkas yang dirindukan Larasati sedang duduk melamun memandang puncak Merapi yang tak pernah berhenti mengepulkan asap. Asap pertanda ada panas, dan panas adalah gejolak, demikian gumam pendekar muda itu dalam hati. Merapi yang tenang pun menyimpan gejolak. Tampaknya gejolak selalu ada pada apa pun, termasuk di dadanya.???
Namun, gejolak di dadanya kini bukan karena bara peperangan melainkan apiasmara . Api yang bahan bakunya terdiri dari hidung mancung, pipi halus merona merah, mata berbinar, tubuh semampai, serta tutur kata lembut menggoda. Api dari bahanbaku ini justru lebih hebat daya bakarnya, membuat Pamungkas selalu resah kepanasan. Tidur tak nyenyak, makan pun tak pernah enak, karena selalu teringat pada sosok?mempesona, Larasati sang pujaan hati.
Hampir seperempat perjalanan matahari dari timur ke barat Pamungkas melamunkan wajah Larasati. Lamunan itu baru buyar tatkala sebuah serangan gelap mengarah ke arahnya. Dengan sangat sigap pendekar muda ini melesat bagai piring terbang. Serangan tenaga dalam jarak jauh itu menghantam batu tempat ia duduk dan hancur berkeping-keping.
Pamungkas mendarat kembali di rerumputan sambil matanya liar mencari pelontar serangan gelap tadi. Tiba-tiba ia melihat sosok bayangan yang berkelebat melarikan diri.
"Hai...! Berhenti kamu, pengecut...!" teriak Pamungkas, lalu melesat mengejar bayangan tadi.
Sosok yang berpakaian serba kelabu itu bergerak sangat cepat seperti belalang raksasa berlompatan dari satu pijakan ke pijakan lainnya. Pamungkas merasa pernah melihat gerakan seperti itu. Namun karena pikirannya terpusat ingin menangkap orang itu, dia tidak sempat mengingat-ingat siapa pendekar di depannya.
Tiba-tiba sosok berpakaian serba abu-abu itu berbalik sambil melancarkan serangan dahyat. Pamungkas tidak menduga sama sekali serangan tersebut. Nyaris nyawanya melayang oleh pukulan jarak jauh yang luar biasa dari lawannya. Untung saja dia sempat menghindar. Namun, belum sempat murid Janggut Perak itu bernafas lega dan memperbaiki kuda-kuda, lawannya sudah mencecarnya dengan serangkaian serangan yang lebih hebat. Pamungkas semakin kewalahan dan nyaris tidak sanggup mengatasi keadaan.?Apalagi ketika sebuah serangan mematikan meluruk ke arahnya. Tidak ada kesempatan menghindar. Pamungkas terbelalak.
DEMANG Wicaksana masih memandangi Larasati, seakan tidak percaya mendengar apa yang diucapkan anak semata wayangnya itu. "Tidak salah yang ayah dengar?" ucap demang itu beberapa saat kemudian.
"Tidak, Ayah. Kalau diizinkan saya rela berangkat kekota raja untuk menghadap Sultan," jawab Larasati tegas.
Sejenak Demang Wicaksana diam.Ada rona haru dan kebanggaan yang tergambar pada raut wajahnya. "Ayah bangga dan haru mendengar ucapanmu, anakku. Tapi sedari kecil ayah tidak pernah menyiapkan kamu menjadi ksatria. Ayah tidak pernah mengajarimu ilmu bela diri atau olah kanoragan lainnya. Ayah memang menghendaki kamu menjadi wanita yang anggun dan lemah lembut. Jadi bagaimana mungkin kamu bisa menyusup dan menerobos anak buah Baskoro yang liar itu?"
Larasati tersenyum. "Rupanya Ayah lupa kalau dulu Ayah adalah seorang prajurit tangguh. Mana mungkin darah kesatria Ayah tidak merembes pada putrimu satu-satunya ini?"
Demang Wicaksana gelagapan, nyaris tidak bisa menjawab pertanyaan putrinya yang diplomatis. "Ta..., tapi bagaimanapun juga kamu seorang wanita anakku," ucap Demang kemudian.
"Justru itu yang memudahkan saya, Ayah. Baskoro dan anak buahnya tidak akan pernah menduga kalau saya berani menyusup ke luar."
Sejenak Demang Wicaksana diam. Dalam hati dia membenarkan pendapat anaknya, namun tetap khawatir putri satu-satunya itu menempuh bahaya. Dua pertimbangan yang saling bertentangan itu membuat Ki Demang cukup lama merenung dan kepalanya menjadi berdenyut-denyut.
Larasati tidak sabar menunggu. "Bagaimana, Ayah?"
Demang Wicaksana medesah. "Ayah belum bisa memberi keputusan sekarang. Ayah mau istirahat dulu."
Demang Wicaksana lalu beringsut pergi sambil memegang keningnya. Larasati tidak berani berkata lagi. Anak gadis itu hanya memandangi langkah ayahnya dengan pandangan kasihan.
Meski membenarkan pendapat anaknya, namun Demang Wicaksana tidak pernah mengizinkan Larasati menembus bahaya. Mengingat gadis itu adalah keluarga satu-satunya yang masih tersisa. Sebaliknya Larasati yang keras hati tidak bisa dicegah.
Maka pada tengah malam, saat semuanya sudah terlelap tidur, diam-diam dara ayu itu mengendap-endap ke kandang kuda. Gadis yang kesehariannya lemah gemulai tampak lincah manakala berpakaian ala lelaki. Ia lalu menuntun kudanya perlahan-lahan, berusaha tidak menimbulkan suara, agar tidak membangunkan ayahnya atau siapa saja yang bisa mencegah kepergiannya.
Larasati dan kudanya sudah mendekati pintu regol. Ia melihatlima orang anak buah Baskoro yang sedang berjaga-jaga disana . Mereka kelihatan kantuk dan tengah mabuk. Perlahan-lahan Larasati naik ke punggung kudanya. Kemudian dengan satu hentakan keras kuda itu melesat bagai anak panah menerobos penjagaanlima orang prajurit. Kelima orang itu sangat terkejut, hingga hanya bisa diam tertegun tanpa sempat memikirkan apa yang harus diperbuat. Ketika kuda Larasati sudah jauh menerobos kegelapan barulah para penjaga itu berteriak-teriak panik.
"Adapenyusup...!Ada penyusup...!" teriak para penjaga bersahut-sahutan. Seketika suasana menjadi kacau balau.Para prajurit berhamburan muncul.
"Adapenyusup lari kesana !" ucap penjaga berperut buncit pada Baskoro.
"Kurang ajar! Kenapa diam saja" Ayo kejar...!" teriak Baskoro seperti petir.
Beberapa orang prajurit langsung berlarian ke kandang kuda, dan sebentar kemudian mereka sudah melesat ke arah kepergian Larasati.
Larasati memang bukan penunggang kuda yang baik, tapi dia lebih menguasai liku-liku alam Kademangan Wonoringkih dan sangat hapal dengan jalan-jalan pintas, sehingga sangat leluasa menghindari kejaran anak buah Baskoro.
Sementara Larasati tengah berjuang keras untuk bisa keluar dari wilayah Wonoringkih, Baskoro mengumpulkan seluruh anak buahnya. Bangsawan muda yang berangasan itu sangat marah pada anak buahnya yang dinilai lengah.
"Bodoh...! Apa saja pekerjaanmu sampai tidak tahu ada penyusup yang masuk?" hardik?Baskoro melengking sambil melayangkan ujung telapak kakinya ke rahang salah seorang penjaga yang sial itu. Orang itu langsung terjengkang sambil memekik kesakitan. Yang lain menyembah-nyembah minta maaf.
"Maaf, Raden. Maaf... Sepertinya orang itu sudah sejak lama ada di dalam kademangan," ucap salah seorang penjaga mencoba mengemukakan pembelaan. "Kami hanya bisa melihat dia keluar dari sini, dan dia menunggang kuda sangat cepat."
"Dan kalian sedang mabuk. Iya,kan ?" sahut Baskoro.
Parapenjaga tidak bisa menjawab. Mereka hanya menunduk, mengakui kesalahannya. Baskoro kemudian berucap dengan nada suara dingin pada seluruh anak buahnya. "Ini peringatan bagi semuanya yang melalaikan tugas. Hukum mati mereka!"
Goprak, Sampar, serta beberapa orang lagi segera maju dan menggelandang para penjaga itu. Orang-orang yangmalang tersebut meronta-ronta dan berteriak mengiba minta ampun. Namun Baskoro seakan tidak mendengarnya. Anak muda itu bahkan menyeringai sambil membusungkan dada. Tampak sorot matanya yang dingin seperti serigala. Tak lama kemudian dari kejauhan terdengar lolong kematian sebanyaklima kali.
GOPRAK, Sampar, dan teman-temannya masih mengurung Sontoloyo. Mereka memegang erat hulu goloknya masing-masing, bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Orang tua! Sebaiknya kamu pergi dari sini sebelum menyesal," ucap Goprak meremehkan Sontoloyo.
"He...he...he..., aku justru menyesal kalau harus pergi, sementara kalian mengeroyok orang yang tak berdaya," jawab Sontoloyo. "Apa salah anak muda ini" Kelihatannya dia pemuda baik-baik saja."
"Dia penyusup. Dia?harus ditangkap!" sahut Sampar mendukung Goprak.
Sontoloyo mengerutkan dahi. "Penyusup" Memangnya kalian sedang berperang dengan siapa" Saya dengar Mataram tidak sedang berperang dengan siapa pun," Sontoloyo menoleh pada Larasati. "Yakan , anak muda?"
Larasati mengangguk-angguk.
Sontoloyo berkata lagi pada para prajurit. "Nah, iyakan " Kalian berbohong. Jangan suka membohongi orang tua, nanti kualat seperti jambu monyet, kepalaya jadi monyet. Eh, salah. Kepalanya ada di bawah," ucap Sontoloyo seperti menasihati sejumlah anak kecil.
Goprak merasa dipermainkan. Orang kepercayaan Baskoro ini mulai geram. "Ah, jangan banyak cakap kamu, gembel! Pergi atau celaka bersama pemuda itu!"
"He...he...he... Tidak dua-duanya. Tidak pergi juga tidak mungkin celaka di tangan kalian," jawab Sontoloyo sambil cengengesan.
Goprak sudah tidak bisa lagi membendung kemarahannya. Ia lalu memerintahkan teman-temannya untuk menyerang.Para prajurit itu langsung berhamburan menyerang Sontoloyo. Namun, hanya dengan gerakan-gerakan ringan dan jenaka pendekar kocak itu menghindari serangan-serangan gencar anak buah Baskoro.
Hal tersebut membuat Goprak dan teman-temannya semakin berang. Mereka membabi buta membabatkan golok kesana-kemari. Tapi, Sontoloyo tetap melayaninya sambil cengengesan seperti sedang main-main.
"He...he...he... Kalian seperti laler ijo (lalat hijau--Red). Suara saja yang berisik, tapi tidak ada apa-apanya dan menangnya cuma dengan yang lembek-lembek dan bau," ejek Sontoloyo sambil bergerak kesana-kemari menghindari serangan.
"Kurang ajar! Dasar gembel sinting! Menyesal kalau aku tidak bisa menyobek mulut lancangmu itu!" balas Go prak sambil membabatkan goloknya membabi buta.
"He...he...he... Kamu pasti menyesal. Makanya sebelum menyesal, pulang saja ke barak dan ngorok sampai sore," ucap Sontoloyo sembarangan.
Diledek semacam itu kemarahan Goprak dan kawan-kawan nyaris melampaui ubun-ubun. Mereka semakin bernafsu untuk membunuh. Tentu saja serangan mereka pun semakin liar. Padahal, bagi pendekar sakti dan berpengalaman seperti Sontoloyo, keadaan itu justru menguntungkannya, karena pikiran sang lawan sedang dibelenggu kemarahan sehingga kurang kontrol dan menyerang tanpa pertimbangan. Maka tidak heran kalau beberapa menit kemudian pukulan, tendangan, serta ujung tongkat Sontoloyo berturut-turut menghantam tubuh?Goprak dan kawan-kawannya.Para prajurit itu roboh satu per satu.
Goprak dan kawan-kawan langsung berdiri kembali. Namun sebelum berbuat lebih lanjut, Sontoloyo memutar tongkatnya seperti menggambar kipas di udara. Angin yang diakibatkan putaran tongkat itu membuat para prajurit terpental beberapa langkah.
Paraprajurit segera bangkit lagi, namun kali ini dengan wajah bengong dan ragu-ragu untuk bertindak. Mereka hanya saling pandang, seakan sedang mencari kesepakatan bersama untuk menentukan tindakan selanjutnya. Belum sempat kata sepakat tercetus, tiba-tiba Sontoloyo berteriak menghardik sambil menghentakkan tongkatnya ke tanah.
Tanpa kesepakatan sebelumnya para prajurit segera berlompatan ke atas punggung kuda masing-masing dan melarikannya dengan sangat kencang seperti diburu setan. Sontoloyo tertawa terkekeh-kekeh sambil berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang kegirangan berhasil mengusir anjing.
Beberapa saat lamanya Sontoloyo masih tertawa-tawa sambil memandangi arah kepergian para prajurit tadi. Dan tawanya baru terhenti tatkala Larasati mengucapkan rasa terima kasihnya. "Paman, terima kasih atas pertolongannya."
Perlahan-lahan Sontoloyo menoleh untuk berhadapan muka dengan Larasati. Beberapa saat lamanya pendekar konyol itu hanya menatap Larasati dengan kening berkerut. Larasati mengulangi ucapan terima kasihnya.
"Sekali lagi terima kasih, Paman."
Masih dengan kening berkerut Sontoloyo lalu berbicara. "Heh, suara dan wajahmu sangat aneh, bahkan dadamu terlalu tebal untuk seorang lelaki."
Hanya karena penasaran tak sadar Sontoloyo hendak meraba dada Larasti, tapi secara refleks putri Demang Wicaksana ini menghindar sambil memekik kecil. Sontoloyo kaget dan dengan refleks pula menarik tangannya layaknya tersentuh api.
Larasati lantas melepas ikat kepalanya. Rambut panjangnya yang indah langsung tergerai melambai-lambai terhempas angin. Gadis yang menawan ini tersenyum. Sontoloyo terbelalak.
LARASATI masih berdiri kaku di tempatnya. Hanya matanya saja yang bisa melirik ke kiri dan ke kanan, berharap ada yang menolongnya. Belum terkabul harapannya, tiba-tiba kudanya meringkik keras sambil menggoyang-goyangkan kepala serta menghentak-hentakkan kakinya, mengisyaratkan adanya bahaya yang datang. Binatang itu lantas melesat pergi meninggalkan majikannya. Larasati hendak berteriak memanggilnya, namun mulutnya seperti terkunci.
Hanya selang sekian detik dengan kepergian kuda tadi, sekawanan anjing hutan bermunculan dari semak-semak. Binatang-binatang pemakan daging itu kelihatannya sangat lapar. Mereka menjulur-julurkan lidahnya yang berlendir dan memamerkan gigi-gigi runcingnya. Sementara sorot matanya yang merah bagai nyala api menatap tajam wajah sang putri demang sambil menggeram menyeramkan.
Ketakutan Larasati sudah mencapai puncaknya. Kalau saja tidak dalam keadaan tertotok mungkin sudah terkulai tak sadarkan diri. Namun, agaknya pingsan lebih baik daripada tersiksa dalam ketakutan yang amat sangat.
Anjing-anjing liar itu menggeram rendah sambil mencengkeramkan kuku-kukunya ke tanah, seakan berancang-ancang untuk melakukan penyerangan.
Ternyata benar. Tak berapa lama kemudian binatang-binatang buas itu berlompatan menerkam Larasati. Namun, sebelum kuku-kuku tajam dan gigi-gigi runcing anjing-anjing hutan itu menggores kulit sang dara ayu, sesosok tubuh ramping berkelebat menghantam binatang-binatang itu hingga berterbangan.
Sosok ramping yang ternyata seorang pemuda tampan itu kemudian berdiri di depan Larasati, layaknya benteng pelindung dari serangan para anjing hutan.
Anjing-anjing liar itu menyalak dan menatap marah pada pemuda ramping yang telah menggagalkan pesta poranya. Mereka berganti sasaran mengurung sang penghalang. Beberapa saat kemudian anjing-anjing itu kembali berlompatan menyerang sang pemuda. Tapi, rupanya sang pemuda bukan tandingan binatang-binatang itu. Makhluk-makhluk hutan yang ganas tersebut kembali beterbangan terkena tendangan dan pukulan sang pemuda.
Anjing-anjing hutan itu berjatuhan ke tanah seperti mangga rontok dari pohonnya. Binatang-binatang itu berkelojotan sebentar,lalu diam tak bergerak untuk selamanya.
Sang pemuda lalu mendekati Larasati dan membebaskan dari totokan. Putri demang itu langsung ambruk ke tanah seperti kain basah. Rasa capai dan ketakutan yang amat sangat membuatnya sangat?lemas dan nyaris pingsan.
Sang pemuda membantunya bangkit lagi dan memapahnya ke bawah pohon. Larasati lalu duduk dan bersandar pada pohon tersebut. Beberapa saat lamanya putri demang itu masih belum bisa berucap. Ia hanya bisa menyeka keringat dinginnya yang membasahi wajah, sedang napasnya masih tersengal-sengal karena degup jantungnya belum?normal kembali. Sang pemuda sabar menunggu hingga keadaan Larasati normal kembali.
"Tet...terima kasih, Ki Sanak," ucap Larasati beberapa saat kemudian dengan napas masih tersengal-sengal."Sama-sama," jawab pemuda itu. "Siapa yang telah menotok Ki Sanak?"
"Limaorang wanita berdandan menor dan memakai parfum yang harumnya sangat menyengat," jawab Larasati. Kini suaranya mulai normal, karena rasa takutnya sudah berangsur-angsur pergi.
"Lima Bunga Beracun," gumam sang pemuda.
"Ki Sanak?mengenal mereka?"
"Siapa pun yang suka berkelana di rimba persilatan pasti mengenal mereka. Merekalima bersaudara yang berotak kotor dan selalu memburu laki-laki muda untuk kesenangan nafsunya."
"Kalau begitu mereka salah sasaran telah menotok saya..."
"Kenapa" Bukankah Ki Sanak seorang pemuda tampan?"
"Saya seorang perempuan. Saya Larasati, putri Demang Wonoringkih."
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 6 Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong Pendekar Patung Emas 1
^