Pencarian

Tiga Dara Pendekar 14

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 14


hendaklah ampuni orang!"
Suara bisikan itu sekata demi sekata terdengar jelas dan
tandas sekali. Waktu Thian-yap Sanjin menegasi sambil pasang kudakuda
siap menyerang dan menjaga diri, terlihat berdiri di
depannya seorang Hwesio tinggi kurus dengan jubah putih
biru, kaki memakai sepatu terbuat dari serat rami, tangan
membawa kebut, di pergelangan tangan yang lain tergantung
segandeng biji tasbih. Hwesio ini bukan lain ialah Pun-bu Taysu, Kam-si atau
pengawas Siau-lim-si adanya!
Demi mengenali siapa yang dihadapinya, Thian-yap Sanjin
jadi mengkeret, sudah pernah ia saksikan kepandaian Pun-bu
Siansu yang lihai ketika ia mengiringi Si-hongcu ke Siau-lim-si
dahulu, oleh karenanya ia tak berani unjuk kecongkakan.
"Sanjin tentu baik-baik selama ini!" terdengar Pun-bu Taysu
bertanya dengan merangkap kedua tangan.
Lekas Thian-yap Sanjin balas menghormat dan menjawab,
"Tentu Siansu sendiri pun sehat-sehat juga!"
"Baik juga berkat doamu," sahut Pun-bu. "Sebagai ketua
suatu cabang silat kenamaan, kiranya Sanjin ada tempo juga
berpesiar ke Hangciu sini?"
Sudah tahu, tapi Pun-bu sengaja bertanya, keruan Thianyap
Sanjin gelagapan dan mukanya merah, seketika tak
sanggup menjawab. Sementara itu Han Tiong-san suami-istri beserta Tang Kijoan
pun sudah menyusul tiba. Di antara mereka bertiga hanya Tang Ki-joan yang kenal
Pun-bu Siansu, ia pun jeri menghadapi Hwesio tua ini. Tapi
tidak demikian dengan Han Tiong-san suami-istri, mereka
belum pernah melihat Pun-bu, ketika mereka nampak Thianyap
Sanjin sedang saling memberi hormat dengan seorang
Hwesio, sedang Lu Si-nio berdiri di samping, mereka jadi
terheran-heran. "Mengapa Sute berhenti di sini?" Han Tiong-san menegur.
Habis itu ia angkat paculnya terus mengemplang Lu Si-nio.
Namun Pun-bu Taysu keburu maju mencegahnya.
"Buat apa Si-cu (tuan budiman) harus cekcok dengan
seorang anak perempuan, lihatlah muka Pinceng dan ampuni
dia!" dengan merangkap tangan Pun-bu berkata sambil
tersenyum. Tetapi Han Tiong-san jadi gusar. "Peduli apa dengan kau?"
ia membentak, berbareng paculnya diayun terus membacok
lagi. "Jangan!" Thian-yap Sanjin coba mencegah Suhengnya.
Akan tetapi sudah terlambat, Pun-bu sudah gerakkan
kebutnya ke atas, sekali tangkis, seketika Han Tiong-san
merasakan satu kekuatan yang hebat sekali laksana ribuan
kati menindih turun, paculnya kena ditahan dan terlilit kebut
orang. "Suheng, ini adalah paderi berilmu, Pun-bu Taysu, Kam-si
dari Siau-lim-si!" lekas Thian-yap Sanjin menerangkan
sebelum keadaan menjadi lebih runyam.
Mau tidak mau Han Tiong-san terkejut juga mendengar
nama orang yang tersohor itu, sementara Pun-bu telah
kendurkan kebutnya hingga Han Tiong-san bisa menarik
kembali paculnya. "Penjahat wanita ini adalah cucu pengkhianat Lu Liu-liang,
Taysu adalah paderi berilmu tinggi, mengapa melindungi dia?"
secara bandel Han Tiong-san masih berani menegur.
Sebagai jawaban Pun-bu Taysu tertawa mengejek. "Soal
Wan-joan Siansing berkhianat atau tidak, tak perlu diurus,"
sahutnya kemudian. "Tetapi kalian berdua adalah tokoh
kenamaan dari Bu-lim dan pemimpin sesuatu cabang
persilatan, entah sejak kapan kalian bekerja pada kerajaan,
apa kalian membawa surat perintah penangkapan dari
pembesar negeri?" Kembali sudah tahu Pun-bu sengaja bertanya, ia sudah
tahu bahwa mereka telah menjual diri pada Si-hongcu, namun
sengaja ia bertanya dengan kata-kata sindiran, sudah tentu
dengan kedudukan Han Tiong-san dan Thian-yap Sanjin, tidak
nanti mereka bekerja untuk pembesar negeri setempat.
Sebenarnya Han Tiong-san gusar sekali atas sindiran orang,
tetapi ia tak berani bertindak secara gegabah.
Sementara itu setelah mengaso sebentar, tenaga Lu Si-nio
rada pulih, segera ia ayun tangan melepas tiga anak panah
bersuara, satu bersuara panjang dan yang dua pendek, terus
menggema ke angkasa, lalu dengan pedang melintang di dada
ia lantas tantang orang dengan tertawa dingin.
"Thian-yap Sanjin, kau mempunyai Suheng, aku pun punya
Suheng. Jika kau hendak main keroyok, kami pun ada
orangnya yang akan menyambut kalian. Kalau kau hendak
satu lawan satu, maka coba tetapkan harinya dan katakan
peratarannya, pasti aku layani kau."
Dampratan ini membikin Thian-yap Sanjin menjadi malu,
serba salah juga. Sebab mereka berdua saudara seperguruan
sudah lama terkenal, dengan kedudukannya, satu lawan satu
menempur Lu Si-nio saja sudah bisa dikatai orang tua lawan
muda, apalagi sekarang mereka menang secara keroyokan,
dengan empat jagoan kelas satu mengembut' seorang wanita,
sekalipun mereka bisa menewaskan jiwa Lu Si-nio, namun bila
tersiar di Kangouw tidak mungkin mereka dibenarkan.
Begitulah demi nampak Lu Si-nio melepaskan anak panah
bersuara, Han Tiong-san mengerti ia sedang memanggil
saudara seperguruannya. Ia berpikir, "Si gundul tua Pun-bu ini
sungguh luar biasa, dengan sekali gerak tadi sudah bisa
diketahui dia tidak boleh dibuat main-main. Sedang si budak
hina, Lu Si-nio ini meski terluka, namun sedikitnya masih
sanggup bertempur lagi. Dengan kami berempat melawan
mereka berdua saja belum tentu bisa menang, apalagi kalau
nanti Kam Hong-ti dan Pek Thay-koan menyusul datang, dapat
dipastikan pihak sendiri akan kalah."
"Si-nio, di hadapan orang tua jangan bersikap unggulkan
diri!" sementara terdengar Pun-bu Taysu membuka suara
dengan tersenyum. "Percekcokan lebih baik diselesaikan
daripada dilangsungkan, di antara kalian toh tiada sakit hati
atau dendam, perlu apa harus berjanji buat bertanding
segala" Menumt pendapatku, umsan hari ini paling baik dibikin
habis saja sampai di sini."
Dengan kata-kata ini kelihatannya dia omeli Lu Si-nio,
tetapi sebenarnya ia mendamprat Thian-yap Sanjin dan Han
Tiong-san. Sebab di kalangan Bu-lim, kedudukan Pun-bu
Siansu sejajar dengan Ie Lan-cu, tingkatannya sangat tinggi
dan dihormati, Han Tiong-san dan Thian-yap Sanjin berdua
masih rendah setengah tingkatan daripadanya. Karena itulah
Thian-yap Sanjin lantas mundur teratur. Segera ia mendahului
memberi hormat. "Apa yang Taysu katakan tentu kami turut dengan hormat,"
ujarnya. Sebaliknya Han Tiong-san masih penasaran, ia masih
kurang terima. "Urusan hari ini boleh selesai di sini tetapi
urusan kelak tidak bisa dibiarkan," katanya.
"Itulah aku tak peduli," sahut Pun-bu Taysu tertawa.
Begitulah setelah Han Tiong-san berempat pergi, Pun-bu
Siansu lantas bertanya pada Lu Si-nio, "Nyalimu sungguh
besar, mengapa kau berani melawan empat gembong iblis ini
seorang diri!" "Itu karena terpaksa," sahut Lu Si-nio. Lalu ia menceritakan
kisah pengalamannya. "Siau-lim-si tidak beruntung telah mengeluarkan seorang
murid murtad seperti Ong Cun-it hingga kalian kaum pendekar
Kangouw ikut terkena bencana," ujar Pun-bu dengan
menghela napas penyesalan.
Sebagaimana diketahui, Ong Cun-it adalah nama samaran
Si-hongcu, si Pangeran keempat In Ceng, karena sudah biasa
memanggil Ong Cun-it, maka walaupun sudah tahu bahwa
Sutitnya ini In Ceng adanya, namun bila menyebutnya masih
tetap memakai nama seperti biasa.
"Seumpama In Ceng tidak masuk ke pintu perguruan
cabang Taysu, tentu juga ia akan bermusuhan dengan kita,"
sahut Lu Si-nio dengan tertawa. "Soal ini tiada sangkutpautnya
dengan Siau-lim-si, harap Taysu jangan sesalkan
diri." Tengah mereka bicara, menddak mereka mendengar
menga-ungnya anak panah yang menggema di angkasa, dua
suara panjang dan satunya pendek.
"Kam-chitko sudah datang!" kata Lu Si-nio dengan girang.
Selang tak lama, betul saja tertampak Kam Hong-ti dan Pek
Thay-koan sudah mendatangi dengan c.epat.
Demi nampak muka Lu Si-nio rada pucat, mereka jadi
kaget, tetapi kemudian setelah nampak Pun-bu Taysu juga
berada di samping, mereka menjadi girang pula.
Lalu Lu Si-nio menceritakan pengalamannya dan
pertolongan Pun-bu Taysu tadi, lekas Kam Hong-ti dan Pek
Thay-koan menghaturkan terima kasih.
"Bagaimana dengan lukamu, Pat-moay?" tanya Kam Hongti
kemudian. "Beruntung senjata rahasia musuh tidak berbisa!" sahut Sinio
sambil memijat betisnya yang terluka.
"Senjata rahasia apakah?" tanya Pek Thay-koan.
"Hanya sebuah jarum kecil," Si-nio menerangkan.
Pek Thay-koan ahli menggunakan senjata rahasia jarum
Bwe-hoa-ciam, maka ia pandai pula menyembuhkan luka
semacam ini. "Jika tak berbisa, itulah gampang," katanya
kemudian, "kalau tempat luka dibelih sedikit, lalu disedot
keluar saja dengan besi pengisap (besi sembrani)."
Di lain pihak, Kam Hong-ti pun sedang bercakap dengan
Pun-bu Taysu. "Ada keperluan apakah Taysu turun gunung?"
ia bertanya. "Aku mempunyai seorang murid yang mengetuai kelenteng
Cu-in-si di Siau-san-koan," sahut Pun-bu.
"Ha, tentu In-hong Suheng bukan?" tanya Kam Hong-ti.
"Dia dan Loh-suheng bersahabat rapat sekali. Tempo hari
kami pernah datang ke Siausan, sebenarnya kami berniat
mencari dia, sayang kami kebentur hal lain, maka belum
sempat bertemu." "Syukur Kam-tayhiap belum pergi mentari dia, jika ke sana,
tentu percuma," ujar Pun-bu Siansu.
"Kenapa" Apa dia sudah tidak di Siausan?" tanya Kam
Hong-ti heran. "Dia sudah ditangkap oleh jagoan pemerintah Hangciu,
kabarnya didakwa mengirim berita untuk Loh-hiapsu," kata
Pun-bu. Kam Hong-ti berseru kaget atas keterangan ini. Tiba-tiba ia
teringat pada suara pertarungan sengit yang didengarnya di
kaki bukit Sian-he-nia serta lukisan yang dia temukan di sana,
kini ia dapat menduga orang yang tertangkap waktu itu adalah
In-hong Hwesio. Maka cepat ia katakan lagi, "In-hong Suheng tertimpa
bencana disebabkan urusan Loh-suheng kami, dalam hal ini
jika Taysu perlu tenaga kami, harap silakan bicara saja."
"Kini belum perlu," sahut Pun-bu tertawa, "Aku berniat
minta orangnya pada Lian Keng-hiau saja!"
"Minta pada Lian Keng-hiau?" tanya Kam Hong-ti tidak
mengerti. "Ada hubungan apa dengan dia?"
"Mungkin kau belum tahu bahwa Lian Keng-hiau, bocah itu
kini sudah gagah, pangkatnya sudah tinggi, aku mendengar
kabar bahwa ia telah pulang dari Hokkian dengan memimpin
pasukannya menuju Pakkhia dan hari ini akan sampai di
Hangciu," sahut Pun-bu. "Kabarnya gubernur Ciatkang hendak
menyerahkan padanya serombongan tawanan kerajaan dan
orang yang dicurigai. Maka besok juga aku akan
mengunjunginya." Kam Hong-ti jadi kuatir mendengar niat orang. "Taysu, hal
ini hendaklah dipikirkan lagi!" katanya lekas.
"Ada pendapat apakah, Kam-tayhiap?" tanya Pun-bu.
"Lian Keng-hiau kini sudah menjadi panglima kerajaan Jing,
mungkin keadaan tidak menguntungkan Taysu," ujar Kam
Hong-ti. "Keng-hiau si bocah ini sejak kecil kubina hingga besar, dia
punya Lo-han-kun-hoat juga aku sendiri yang mengajarkan,
kiranya tidak nanti ia berani kurangajar padaku," ujar Pun-bu.
"Tetapi ada baiknya kalau berlaku hati-hati," kata Kam
Hong-ti lagi. Namun Pun-bu tetap pada pendiriannya. Katanya lagi,
"Pembawaan Keng-hiau memang luar biasa, seorang yang
berbakat dan jarang diketemukan selama beratus tahun ini,
seandainya dia tersesat, aku harus melihatnya juga dengan
mata kepalaku sendiri, coba dia tersesat sampai berapa
jahatnya!" Hendaklah diketahui bahwa usia Pun-bu Taysu sudah lebih
60 tahun, walaupun ia pandang segala hal di dunia fana ini
khayal belaka sesuai agama yang dipeluknya, namun manusia
tetap manusia, watak asli orang tua yang suka pada anakanak
masih cukup tebal, apalagi waktu kecil Lian Keng-hiau,
dalam setahun boleh dikata ada setengah tahun tinggal di
Siau-lim-si sedangkan Siau-lim-sam-lo (tiga tema dari Siau-limsi)
yakni Pun-khong, Pun-bu dan Bu-cu bertiga, sangat sayang
sekali padanya, hal ini sebagian besar karena kecerdasan dan
kepintarannya yang luar biasa, sebagian pula disebabkan
karena kaum Hwesio yang hidup sebatangkara, tak punya bini
dan tiada anak pula, maka setelah menginjak usia tua, dengan
sendirinya sangat menyukai anak-anak.
Di antara Siau-lim-sam-lo, Pun-bu yang paling sayang pada
Lian Keng-hiau, sebab itulah, belakangan setelah terjadi
peristiwa dimana Keng-hiau dengan berani ikut menjadi saksi
dan membenarkan surat wasiat tinggalan Pun-khong untuk In
Ceng, hingga ia terlepas dari tuduhan yang dilimpahkan
padanya, kala itu Pun-bu sendiri pun merasa sedih sekali. Dan
justru karena perasaan yang bercampur aduk antara suka dan
benci itulah, maka Pun-bu masih belum dapat melupakan
bocah kesayangannya dahulu, lalu ingin bertemu sekali lagi
dengan Lian Keng-hiau. Begitulah maka sewaktu Kam Hong-ti hendak inenasehati
lebih jauh, Pun-bu sudah lantas kibaskan kebutnya, katanya,
"Apalagi, meski Pinceng sudah tua dan tenaga lemah, kalau
hanya sedikit prajurit Lian Keng-hiau, belum tentu aku bisa
terkurung!" Di antara tiga tetua dari Siau-lim-si, Pun-bu Siansu yang
paling keras kepala dan gampang naik darah, terbukti dengan


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perkataannya tadi. Terpaksa Kam Hong-ti tak berani buka mulut lebih banyak,
ia hanya mengatakan, "Kalau begitu, baiklah kami menantikan
berita yang menyenangkan di Siu-jiang-su-ih!"
Habis itu Pun-bu Taysu memberi salam perpisahan dan
melanjutkan perjalanannya sendiri. Dengan memandangi
bayangan Hwesio tua itu, tidak tertahan Kam Hong-ti
menghela napas penyesalan.
Kembali bercerita mengenai Lian Keng-hiau, setelah ia
bersama Liau-in sampai di Hangciu, mereka lantas mendengar
Loh Bin-ciam telah kena dirampas Lu Si-nio.
Keruan Liau-in berjingkrak murka, ia mencaci-maki kalangkabut,
tak demikian dengan Lian Keng-hiau, ia hanya
tersenyum. "Hanya seorang Loh Bin-ciam saja berapakah nilainya?"
ujar Keng-hiau- "Seluruh jagat kini berada di genggaman kita,
sekalipun dia bisa lolos, gerakan apa yang bisa ia perbuat?"
Karena itu amarah Liau-in menjadi rada reda. Tidak lama
kemudian rombongan Han Tiong-san dan Thian-yap Sanjin
pun kembali, mereka minta bertemu dan melapor tentang
munculnya Pun-bu Taysu yang menolong Lu Si-nio terlepas
dari cengkeraman mereka. Mendengar Pun-bu Taysu muncul, mau tidak mau Lian
Keng-hiau mengerut kening. "Tua bangka ini justru paling
suka ikut campur urusan orang lain," katanya.
"Jika ia kebentur di tanganku, pasti aku suruh rasakan
sekali kemplangan tongkatku!" kata Liau-in dengan gusar.
Ia gemas karena pernah merasakan lihainya orang, tatkala
ia harus membela Si-hongcu di Soatang dahulu, kejadian itu
hingga kini masih belum bisa dilupakannya.
Tetapi dengan kata-katanya tadi, diam-diam Han Tiong-san
jadi geli dan menertawai dia. Batinnya, "Tongkatmu belum
tentu lebih kuat dari paculku, buat apa kau omong besar!"
Lian Keng-hiau dengan Liau-in, Han Tiong-san dan Thianyap
Sanjin adalah kenalan lama, maka ia ajak mereka tinggal
di markas tentaranya untuk mengobrol lebih banyak.
Pada hari itu juga, Ciatkang Sunbu Li Wi menyerahkan
delapan belas orang tahanan padanya, ketika Lian Keng-hiau
periksa, ia lihat di dalamnya terdapat In-hong Hwesio,
seketika ia terdiam, lalu ia perintahkan wakilnya, Gak Ciong-ki,
menggiring tawanan itu ke pasukannya. Sedang dia sendiri
bicara dengan Li Wi, habis itu bersama Liau-in dan kawankawan
mohon diri. Malam itu di markas tentara Lian Keng-hiau terang
benderang dengan lilin besar yang menyala, ia menjamu
besar-besaran Liau-in dan lain-lain.
Liau-in dan kawan-kawan anggap diri mereka adalah
angkatan lebih tua dari Lian Keng-hiau, oleh karena itu, demi
nampak Keng-hiau telah menjadi panglima suatu pasukan
besar, mereka pun merasa kagum dan iri hati.
"Bagaimanapun memang Lian cilik lebih berguna, kita yang
kurang belajar Peng-si (kitab militer), pergi-datang akhirnya
tetap begini saja!" ujar Liau-in.
"Mana, mana! Taysu sendiri adalah Kok-su (imam negara),
itu kan lebih agung!" lekas Lian Keng-hiau ganti mengumpak
orang. Kemudian berulang ia menuang arak pada para tamunya,
semuanya dia loloh sampai mabuk dan tak ingat diri.
Setelah perjamuan bubar, Keng-hiau kembali ke
perkemahan sendiri, ia dengar suara kentongan berbunyi tiga
kali, suatu tanda sudah tengah malam. Ia tersenyum, lalu
menyingkap tirai yang membatasi tengah kemahnya,
mendadak Pang Lin melompat keluar dengan cepat.
"Eh, kiranya kau ini pemabukan, kau minum hingga mabuk,
lekas menyingkir sedikit jauh dari sini!" demikian dara itu
berkata. "Kau anak kecil ini tahu apa" Kalau aku tidak minum arak,
kau tentu akan digiring kembali ke istana," ujar Lian Kenghiau.
Mendengar kata-kata ini, Pang Lin tertawa mengikik.
"Usiamu berselisih tidak banyak dari aku, kaulah yang lagi
mengoceh seperti anak kecil, coba katakan, kau minum arak
ada sangkut-paut apa dengan diriku?" tanyanya.
"Ssssst, jangan keras-keras, Po-kok Siansu ada di sini, aku
minum bersama mereka dan loloh mereka sampai mabuk
semua," sahut Keng-hiau dengan suara tertahan.
Keterangan ini membikin Pang Lin girang, biji matanya
yang bundar hitam berputar, tiba-tiba ia tertawa sambil
bertepuk tangan. "Ha, memang kau sangat pintar, setelah kau bikin mereka
mabuk, kau lantas lepaskan aku lari, kalau begitu di kota
Hangciu ini tiada orang lagi yang bisa menangkap aku,"
katanya cepat, sudah itu ia hendak melangkah pergi.
"Nanti dulu!" lekas Keng-hiau menahannya.
"Kenapa kau tidak jadi melepaskan aku?" tegur Pang Lin
sembari membalik tubuhnya.
"Coba beritahu padaku, siapa namamu" Dimana ayahbunda-
mu?" tanya Keng-hiau tiba-tiba.
Lian Keng-hiau mengajukan pertanyaan ini hanya
bermaksud memancing sampai berapa banyak Pang Lin ingat
asal-usulnya sendiri. Padahal asal-usul Pang Lin, Keng-hiau
sendiri pun tidak tahu, ia hanya mengetahui anak dara itu
dibawa datang oleh gurunya, yaitu mendiang Ciong Ban-tong.
Karena itulah, atas pertanyaan tadi Pang Lin menjadi
tercengang dan tak mampu menjawab, alisnya terkerut rapat.
"Selamanya belum pernah ada orang bertanya padaku tentang
hal ini!" sahutnya kemudian. "
"Karena itu maka sekarang aku yang tanya!" sahut Kenghiau.
"Kau tanya, aku sendiri pun tidak tahu," kata Pang Lin.
"Sat-pepek hanya bilang aku sejak kecil sudah tak punya
orang tua, katanya dia yang merawat dan membesarkan aku.
Mereka memang-gil aku Yan-ji (anak Yan)."
"Katanya kau tidak mau kembali lagi ke istana, lalu hendak
kemana kau?" tanya Keng-hiau.
Pang Lin tertawa, dari tertawanya ini Keng-hiau dapat
melihat dengan jelas dekik pada pipinya hingga menambah
cantik dan manisnya anak dara ini.
"He, kau betul-betul nakal, orang bertanya dengan
sungguh-sungguh, kau hanya tertawa saja," kata Keng-hiau
lagi. "Pertanyaanmu tadi lucu sekali, apa kau kuatir aku akan
berte-bal muka tinggal di rumahmu untuk selamanya?"
Tergerak hati Keng-hiau oleh jawaban ini. "Aku tanya kau
hendak kemana, mengapa bilang lucu!" ia balas tanya. "Dalam
satu-dua tahun lagi, dara cilik seperti kau akan berubah
menjadi seorang nona besar, apakah kau masih akan bebas
keluyuran ke timur dan ke barat, melewatkan hari-hari di
antara hutan dan bermalam di kelenteng bobrok?"
"Apa jeleknya semua itu?" sahut Pang Lin tidak sependapat.
"Jika aku perlu sesuatu, aku bisa mencuri, mencuri adalah hal
yang gampang sekali, lagi sangat menyenangkan, tahukah
kau?" katanya lagi. Keng-hiau mendongkol dan geli juga mendengar jawaban
ini. "Orang-orang istana pangeran banyak yang berkeliaran di
Kangouw, apa kau tidak takut kepergok mereka?" ia bertanya
lagi. "Mataku cukup jeli, begitu aku nampak mereka, segera aku
lari," sahut Pang Lin tanpa pikir. "Lagi pula hanya Po-kok
Siansu yang tahu aku mengeluyur keluar istana, lainnya tidak,
umpama nenek yang cerewet itu, begitu kenal, dia lantas
tanya ini dan itu, tanya aku diperintah untuk melakukan tugas
apa oleh Si-hongcu."
Lian Keng-hiau tahu bahwa nenek cerewet yang dimaksud
itu ialah istri Han Tiong-san, Yap Hing-poh, ia jadi tertawa
geli. Tetapi merasa girang juga karena anak dara ini mau
berkata terus terang apa yang dialaminya.
Maka ia idntas berkata lagi, "Memang hanya Po-kok Siansu
saja yang tahu, tetapi kelak bukan mustahil bakal diketahui
orang banyak. Jika Si-hongcu lihat kau belum pulang, tentu
akan mengirim orang menangkap kau."
"Hm, jangan kau coba menggertak aku, aku tidak takut!"
sahut Pang Lin. Di mulut dia bilang tidak takut, tetapi Lian Keng-hiau dapat
melihat mukanya berubah pucat, ia tahu, dalam hati si anak
dara sebenarnya ketakutan.
"Lebih baik kau tinggal saja di rumahku, aku tidak kuatir
kau bertebal muka untuk tinggal selamanya di sana," katanya
kemudian. "Apa, tinggal di rumahmu" Ada siapakah di rumahmu?"
tanya Pang Lin rada heran karena tawaran yang di luar
dugaan itu. "Hanya ada ayah dan ibuku, selain itu hanya kaum hamba,"
sahut Keng-hiau. "Di rumahku ada taman yang luas, di
dalamnya ada bunga dan burung, menarik sekali, kau boleh
tinggal di sana." Pang Lin tersenyum, ia tidak lantas menjawab mau atau
tidak! Sementara itu Lian Keng-hiau lantas mengeluarkan
sepotong batu giok yang berukir bagus dan disodorkan pada
Pang Lin. "Ayahku bernama Lian Toan-ling, tinggal di luar kota Tanliu,
propinsi Holam," ia menerangkan lagi, "begitu sampai di
Tan-liu, pada siapa saja kau tanya, tentu kenal beliau, bila kau
sudah ketemu ayahku, serahkan batu giok ini, bilang aku yang
suruh kau ke sana. Tetapi jangan sembarang orang kau
beritahu, mengertikah kau?"
Pang Lin terima giok jade yang diberikan itu. "Ehm,
menarik sekali benda ini," ujarnya. "Kau sungguh ceriwis,
belum tentu aku akan pergi ke rumahmu."
Sebenarnya Lian Keng-hiau masih mengandalkan bantuan
In Ceng untuk naik ke atas, mestinya ia jangan ambil resiko
diam-diam melepaskan orang yang disukai In Ceng. Tetapi
entah mengapa, senyuman yang menarik dari Pang Lin
membikin dia lupa daratan akan segala bahaya, bahkan
sesudah ia ambil keputusan, segera ia pun menyiapkan dayaupaya
untuk menghadapi segala kemungkinan, sekalipun
kemudian ketahuan, ia tidak kuatir juga.
Sementara itu, setelah menerima batu giok itu, segera
Pang Lin hendak bertindak pergi.
"He, bocah tolol, apa dengan begitu saja kau lantas hendak
berangkat?" ujar Lian Keng-hiau. Habis itu ia lantas keluarkan
sepasang pakaian kacung kuda dan disodorkan padanya,
"Pakailah ini, salin pakaian ke dalam sana!"
Begitulah, tatkala Pang Lin selesai tukar pakaian, Lian
Keng-hiau sudah memanggil menghadap perwira yang dinas
malam dan diperintah membawa Pang Lin keluar markas
tentara secara diam-diam, dengan memandangi bayangan
tubuh Pang Lin yang kecil terbenam di malam gelap, tak tahan
Lian Keng-hiau menghela napas.
Besok paginya, Lian Keng-hiau memeriksa ke bagian
belakang kemahnya, ia lihat Liau-in dan kawan-kawan masih
mengge-ros belum bangun, rupanya karena pengaruh arak
semalam. "Betul-betul lelaki kuat tetapi otak udang!" ia membatin
dengan tertawa. Lalu ia suruh menyadarkan mereka, ia sendiri lantas
kembali lebih dulu ke tengah kemahnya untuk membuka
sidang, ia hendak memeriksa tawanan yang dicurigai.
Tetapi sebelum pemeriksaan berlangsung, tiba-tiba datang
laporan bahwa ada satu Hwesio tua minta bertemu. Lian
Keng-hiau jadi ragu-ragu, ia mengerut kening, lalu
menggoyang tangan tanda menolak, tetapi tiba-tiba ia
berubah pikiran. "Baiklah, suruh dia masuk!" katanya kemudian. "Tawanan
itu sementara jangan dibawa kemari dulu!"
"Sejenak kemudian, tertampaklah Pun-bu Siansu dengan
memegang kebut masuk dengan langkah lebar. Lekas Lian
Keng-hiau menyambut dengan sangat hormat, sudah
beberapa tahun mereka tak berjumpa, ia lihat Pun-bu Siansu masih kuat seperti
dulu, bahkan kedua matanya bersinar tajam, tanpa gusar
sudah besar perbawanya. Keadaan ini membikin Lian Kenghiau
berdebar kurang tenteram.
"Taysu datang dari jauh, maafkan sebelumnya tidak
mengadakan penyambutan," Keng-hiau memberi hormat
sambil menyapa. Sebagai sahutan, Pun-bu Taysu menjengek dengan suara
hidung sambil sedikit angkat tangan kiri. "Ehm, mana aku
berani, kau kini panglima besar, mana berani aku minta kau
bikin penyambutan!" sindirnya.
Waktu itu Lian Keng-hiau sedang membungkuk tubuh buat
menjalankan penghormatan, tetapi mendadak ia merasakan
satu kekuatan yang sangat besar telah mengangkat naik
dirinya, bukan main rasa kejutnya, ia pun menjadi serba sulit
karena Pun-bu Taysu ternyata tidak sudi menerima
penghormatannya. Kemudian Lian Keng-hiau menyilakan tetamunya duduk, ia
sendiri menggeser kursi kebesarannya yang berlapis kulit
macan, ia menemani duduk tamunya di sebelah samping.
"Wanpwe bisa memperoleh kedudukan ini, semuanya berkat
petunjuk dan ajaran Taysu dahulu!" Keng-hiau membuka
suara lagi. "Hm!" kembali Pun-bu menjengek. "Apakah yang pernah
aku ajarkan padamu?"
< Melihat orang bersikap angkuh, Keng-hiau kenal Hwesio
tua ini wataknya sangat berangasan, makin tua makin keras,
maka ia tak berani cari gara-gara.
Setelah saling diam sejenak, kemudian baru Keng-hiau
berkata lagi dengan muka tertawa, "Lo-han-kun yang Taysu
ajarkan dulu, hingga kini masih Wanpwe latih tiap hari."
"Apa gunanya Lo-han-kun" Tidak mungkin Lo-han-kun bisa
menjadikan kau mendapat kedudukan begini tinggi!" sahut
Pun-bu secara dingin. Melihat sikap orang yang makin kaku, Lian Keng-hiau tak
berani bersuara lagi. Merasa Keng-hiau berlaku sangat hormat padanya, rasa
gusar Pun-bu rada mereda, katanya lagi, "Bagus sekali
sahabat yang kau peroleh! Kedudukanmu semua berkat
bantuan Ong Cun-it bukan?"
"Si-hongcu adalah Sutit engkau orang tua!" sahut Lian
Keng-hiau dengan tertawa.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar jawaban ini, Pun-bu menjadi gusar. "Aku tidak
punya Sutit begitu agung seperti dia!" katanya dengan ketus.
"Mendiang ketua Pun-khong Taysu telah meninggalkan
surat wasiat dan dengan jelas tercantum di dalamnya bahwa
Si-hongcu masih tetap terhitung anak murid Siau-lim, meski
dia berasal keluarga agung dan tinggi kedudukannya, namun
terhadap budi pendidikan Siau-lim tidak pernah ia lupakan,"
ujar Keng-hiau. "Pada waktu aku meninggalkan kotaraja, dia
malah berkata padaku bahwa bila kelak dia naik takhta, dia
akan bersujud lagi ke Siau-lim-si."
Apa yang dikatakan ini sebenarnya bohong belaka, yang
betul In Ceng mengatakan padanya bahwa bila kelak dia naik
takhta, dia akan babat habis seluruh Siau-lim-si.
Mendengar ocehan Keng-hiau tadi, sudah tentu Pun-bu
tidak gampang percaya, saking gusarnya ia hanya tertawa
dingin saja. "Dulu dengan mati-matian kau ikut membuktikan bahwa
surat wasiat itu adalah tulisan tangan Suhengku, jasamu ini
betul-betul besar sekali!" tiba-tiba ia berkata lagi.
Tergoncang hati Lian Keng-hiau oleh ucapan ini. Hatinya
merasa tidak tenteram, diam-diam ia memperhitungkan daya
upaya apa yang baik untuk menghadapi kemungkinan yang
bakal terjadi. Dalam pada itu Pun-bu telah melirik beberapa kali pada
Keng-hiau, dalam hati ia membatin, "Anak ini betul-betul
sudah berubah, yang dipikir hanya kedudukan dan keagungan,
ia sudah lupa bahwa dirinya adalah bangsa Han."
Sungguhpun hatinya berpikir demikian, tetapi menurut
peraturan rumah-tangga, Siau-lim-si biasanya tidak ikut
campur urusan pemerintahan, namun juga tidak melarang
anak murid Siau-lim-pay menjadi pembesar negeri, apalagi
Lian Keng-hiau resminya bukan murid Siau-lim-si, lebih-lebih
Pun-bu tidak berhak mengurusnya.
Melihat Pun-bu tidak berkata lagi, air mukanya pun kembali
normal, barulah kemudian Lian Keng-hiau berani buka suara
pula. "Apakah kesehatan Bu-cu Siansu baik-baik saja?" dengan
tertawa ia bertanya. "Baik!" sahut Pun-bu tetap dingin.
"Sejak dulu kata orang, guru seperti orang tua sendiri.
Meski aku tidak punya rejeki untuk masuk ke pintu perguruan
Siau-lim, berkat petunjuk yang pernah Taysu berikan,
selamanya aku sudah anggap Taysu sebagai guru," kata Lian
Keng-hiau lagi. "Kini Taysu datang dari jauh, sudilah kiranya
Tecu sediakan sekedar santapan."
Habis itu ia lantas perintahkan menyediakan perjamuan.
"Nanti dulu!" tiba-tiba Pun-bu memotong.
"Ada pesan apakah, Taysu?" tanya Keng-hiau.
"Kedatanganku ke sini bukan untuk mengemis makan,"
sahut Pun-bu ketus. "Aku hendak tanya kau, tawanan dicurigai
yang hendak kau giring ke kotaraja itu, apa muridku In-hong
termasuk di dalamnya?"
Keng-hiau menjadi serba salah untuk menjawab, ia raguragu.
"Ya, ada termasuk di dalamnya," akhirnya ia menyahut
juga. "Tuduhan apa yang dilontarkan padanya?" desak Pun-bu.
"Ia dicurigai mengirim berita untuk pemberontak Loh Binciam,"
kata Keng-hiau. "Apa ada bukti?" tanya pula Pun-bu.
"Belum didapatkan," jawab Keng-hiau.
"Kalau begitu harap Lian-tayciangkun mengizinkan aku
menjamin supaya dia dibebaskan."
"Berlebihan kata-kata Taysu ini," sahut Keng-hiau cepat.
"Tidak perlu kau merendah diri segala, katakan saja terus
terang, boleh atau tidak?" Pun-bu mendesak pula.
"Soal ini, ini... ."jawab Keng-hiau tak tegas.
"Ini apa?" sela Pun-bu. "Kalau tiada bukti, sekalipun
menurut peraturan pemerintahmu juga boleh ditanggung
tahan luar, apakah Kam-si dari Siau-lim-si yang menjadi
penjaminnya, kau Lian-tayciangkun merasa tidak percaya?"
Karena kepepet, Lian Keng-hiau jadi gelagapan.
"Dia adalah orang yang dimaui Si-hongcu," akhirnya
terpaksa ia berterus terang.
Pun-bu jadi naik darah. "Bagus, kalau begitu kau boleh
katakan pada Ong Cun-it bahwa orangnya dibawa pergi
olehku, jika dia mau, boleh suruh dia datang minta orangnya
ke Siau-lim-si!" katanya dengan berteriak.
Dengan unjuk kemurkaan, diam-diam Pun-bu sudah siap
bila perlu akan menggunakan tangan besi.
Tak terduga, Lian Keng-hiau berbalik malah tertawa sambil
membungkuk rendah memberi hormat.
"Harap Taysu jangan marah!" katanya membujuk.
"Wanpwe akan segera mendatangkan In-hong Suheng ke sini
buat minta maaf padanya. Jika terjadi apa-apa biar aku yang
menanggungnya. Harap Taysu menunggu sebentar."
Lalu ia panggil perwira bawahannya dan diperintah
seperlunya, tidak lama kemudian, betul juga prajurit pengawal
sudah membawa datang In-hong Hwesio.
Sepuluh tahun yang lalu In-hong pernah pulang ke Siaulim-
si, tatkala itu Lian Keng-hiau masih bocah berumur sebelas
tahun, mereka berdua pernah bertemu. Lian Keng-hiau sendiri
lantas membuka belenggu In-hong.
"Suhu!" panggil In-hong ketika nampak Pun-bu berada
dalam perkemahan ini. "Kau harus menghaturkan terima kasih pada Liantayciangkun
atas budinya yang sudi membebaskan kau," ujar
Pun-bu. Karena terpaksa oleh perintah sang guru, In-hong
merangkap tangan memberi hormat, meski dalam hati ia
curiga dan sangsi. Nampak orang mau membebaskan In-hong, hawa amarah
Pun-bu mulai padam, ia pikir apapun juga Lian Keng-hiau
adalah seorang yang punya perasaan, masih belum jelek
seluruhnya. Sementara itu prajurit menyuguhkan makanan dan
minuman, Lian Keng-hiau sendiri menuang tiga cangkir teh
panas yang berbau harum. "Taysu datang dari tempat jauh,
sudilah kiianya bersantap sedikit," ia angkat cangkir mengajak
minum tamunya. Tanpa ragu-ragu Pun-bu angkat cangkir teh, tetapi sebelum
ia minum, tiba-tiba terdengar In-hong membuka suara.
"Suhu, sebaiknya kita jangan bikin repot Lian-ciangkun,
marilah kita berangkat!" ia mengajak gurunya.
"In-hong Suheng, mengapa kau berlaku seperti orang luar
saja," ujar Keng-hiau sambil tenggak habis tehnya. "Baru
kemarin aku kembali di Hangciu hingga Suheng terlalu lama
mengalami siksaan, hatiku sungguh tidak enak sekali. Jika kini
Suheng tidak sudi memberi muka, apa bukan berarti hendak
menyalahkan Siaute!"
Ketika Pun-bu dengar In-hong mengajak berangkat,
hatinya tergerak, tetapi dilihatnya Keng-hiau menenggak habis
teh dalam cangkirnya, ia jadi menertawai In-hong terlalu
banyak curiga. "Selamanya aku tidak pernah terima budi dari kaum
pembesar, biar hari ini aku pecahkan itu," kata Pun-bu
kemudian dengan tertawa sambil angkat cangkirnya dan
diminum habis. Terpaksa In-hong mengikuti gurunya, ia angkat cangkir
teh, tapi tidak segera meminumnya, ia hanya tempelkan
cangkir ke bibir sembari masih sangsi.
Tengah ragu-ragu, tiba-tiba Pun-bu Taysu meloncat naik
berbareng memukul cangkir teh yang dipegang In-hong
hingga cangkir itu pecah berantakan. "Lian Keng-hiau, berani
kau pedayai aku!" berbareng ia membentak pula.
Akan tetapi rupanya Lian Keng-hiau sudah siap dengan apa
yang bakal terjadi, dalam gelak tertawanya ia sudah
mengkeret masuk ke belakang perkemahan.
Tanpa ayal Pun-bu menguber, kebutnya disabetkan hingga
tirai kemah tergulung, tetapi dari balik tirai tiba-tiba datang
sambaran angin, ternyata Liau-in Hwesio hantamkan
tongkatnya dari dalam. "In-hong, terjang keluar ikut aku!" seru Pun-bu.
Menyusul kebutnya menyabet pula, ia libat tongkat Liau-in
dengan kencang, lalu sebelah tangan memotong ke pundak
orang. Dari dalam kembali melompat keluar seorang dengan
cepat, orang ini ialah Thian-yap Sanjin, ia dorong kedua
telapak tangannya ke depan, sepenuh tenaga ia sambut
pukulan Pun-bu tadi. Kesempatan ini dipergunakan Liau-in untuk melepas
tongkatnya dari gubetan kebut lawan. Dalam pada itu dari
sebelah sana kembali menerjang keluar Han Tiong-san dan
Tang Ki-joan. Secara beramai empat jagoan kelas satu
mengepung Pur.-bu berdua di tengah kalangan.
Di samping lain, Lian Keng-hiau pun sudah menampakkan
diri lagi, ia duduk di kursinya yang berlapis kulit macan, dari
jauh ia mengikuti pertarungan sengit itu.
Tidak kepalang gusar Pun-bu Taysu, ia gemas sekali atas
tipu muslihat orang, ia angkat kebutnya, secepat kilat ia sabet
Tang Ki-joan. Dengan gerakan 'Boan-liong-jiau-poh' (ular naga
melingkar langkah), lekas Tan Ki-joan mengegos ke samping,
dari sana ia memukul pula.
Sekali tidak berhasil, mendadak Pun-bu melompat ke
jurusan lain, kini yang diincar adalah Thian-yap Sanjin, tibatiba
ia menyerang dengan tipu pukulan yang mematikan.
Tangan kiri menjaga di depan dada dan tangan kanan
menangkis, Thian-yap Sanjin berusaha mengelak serangan
orang. "Kena!" mendadak Pun-bu menggertak.
Keras lagi cepat sekali pukulannya itu, Thian-yap Sanjin tak
sanggup menangkis hingga tergetar mundur dua tiga meter
jauhnya. Menyusul kebut Pun-bu Taysu terus bekerja, kali ini ia
sabet muka Liau-in. Di antara empat lawannya ini, yang paling
dibenci adalah Liau-in, oleh karena itu, tipu pukulan yang
dilancarkan adalah tipu pukulan mematikan yang disebut 'Ngoliong-
jiau-bin' atau lima ekor naga mencakar muka.
Sebenarnya tak gampang bagi Liau-in menghindarkan
serangan yang berbahaya ini bila Han Tiong-san tidak keburu
membantunya dari samping dengan menghujani segenggam
'Hui-hong-ciam' (jarum belalang beracun) ke muka Pun-bu
Taysu. Sebab itulah terpaksa Pun-bu harus tarik kebutnya
buat menyapu senjata rahasia itu, beberapa puluh jarum
belalang itu disapu jatuh semua jadi bubuk.
Dan karena itu juga Liau-in lantas terlepas dari ancaman
kebut Pun-bu yang hampir merusak mukanya tadi, lekas ia
meloncat mundur hingga jauh.
"Kurung dia! Dia sudah kena racun, tak nanti bisa lolos!"
serunya pada begundalnya.
Habis itu ia pimpin pengepungan itu dengan memutar
tongkatnya sedemikian rupa hingga membawa sambaran
angin yang menderu, ia tidak memberi waktu pada Pun-bu
untuk mendekat. Begitu pula Thian-yap Sanjin, Han Tiong-san
dan Tang Ki-joan pun menerjang berbareng.
Walaupun senjata Pun-bu yang berupa kebut dapat
digunakan untuk melibat senjata lawan, tetapi di bawah
keroyokan empat jagoan kelas satu yang menerjang
berbareng, jika ia harus melibat senjata seorang lawan, pasti
juga akan memberi lubang kepada musuh lain untuk
menggempur, hal ini dengan sendirinya tak menguntungkan
baginya. Terpaksa ia harus bertahan menghadapi musuh yang
berjumlah lebih banyak ini.
Sebenarnya bicara soal kekuatan silat, sebagai Kam-si Siaulim-
si yang tersohor, kepandaian Pun-bu terhitung nomor satu
atau dua di kalangan Bu-lim, seorang diri melawan empat,
sekalipun belum pasti memperoleh kemenangan, namun tidak
nanti ia menyerah begitu saja, sedikitnya ia masih sanggup
bertahan. Tetapi sayang, ia telah dipedayai Lian Keng-hiau, yakni
sudah minum teh yang dicampur dengan bubuk obat 'KhongTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
jiok-ta', yaitu semacam obat racun yang paling keras, karena
itu, sesudah bertempur sebentar, perlahan pandangan
matanya mulai gelap, badannya pun dirasakan seperti ditusuktusuk
oleh jarum. Dalam keadaan demikian Pun-bu Taysu masih tetap
berusaha melepaskan diri dari bahaya, ia tidak menyerah
mentah-mentah dipedayai orang, berkat Lwekangnya yang
tinggi dan terlatih sekian puluh tahun, ia coba atur
pernapasan, dengan demikian secara paksa ia tahan supaya
kerja racun dalam tubuhnya tertekan, berbareng ia
membentak keras, kebutnya menyabet Han Tiong-san dan
melibat senjatanya. Namun Liau-in cukup cepat, tongkatnya menyerampang
dari bawah, terpaksa Pun-bu harus meloncat ke atas buat
berkelit, tetapi gerak badannya tidak percuma, berbareng ia
hantamkan juga sebelah tangannya hingga membikin Tang Kijoan
tergetar mencelat keluar perkemahan.
Nampak kawannya kecundang; lekas Thian-yap Sanjin
menerjang maju dengan pukulannya, Pun-bu sudah keburu
menerobos keluar dari kepungan melalui lubang yang
ditinggalkan Tang Ki-joan, keruan garis kepungan Liau-in dan
kawan-kawan jadi bobol dan kacau, bila kemudian bisa
mengembut lagi, Pun-bu pun sudah menerjang sampai di
pinggir perkemahan. In-hong Hwesio adalah murid pertama Pun-bu Siansu,
meski ilmu silatnya tidak lemah, tapi bila dibanding Liau-in dan
kawan-kawan terang ia masih kalah setingkat. Sebab itulah,
tadi masih berdampingan rapat dengan gurunya untuk
menghalau musuh, tapi karena terlambat selangkah, ia kena
disikut Thian-yap Sanjin dan digempur pula secara hebat oleh
pukulan menggeledek, maka akhirnya terpisahlah In-hong dari
gurunya. Ketika mendengar di belakang ada suara pukulan, tanpa
ayal Pun-bu membaliki tangan terus menghantam. Karena
serangan ini Thian-yap Sanjin terpaksa harus lepaskan Inhong
dan meloncat ke samping, bila kemudian Pun-bu beserta
muridnya bisa bergabung lagi, kembali mereka terkepung di
tengah oleh empat musuh kuat.
Begitulah, Liau-in berempat kembali mengembut dengan
hebat, makin lama makin kuat. Dengan tongkatnya yang
menari laksana seekor ular naga, Liau-in sendiri menghalang


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di jurusan tengah; Han Tiong-san dengan Pi-hun-tuhnya
membacok dan menggaruk, serangannya ditumplekkan pada
In-hong; sedang Thian-yap Sanjin dan Tang Ki-joan berdua
membantu dari kedua sayap, dengan demikian Pun-bu tak
sempat mengincar seorang lawan saja dan tak sempat
mengeluarkan tipu serangannya yang mematikan.
Setelah berlangsung tidak lama, di jidat Pun-bu sudah
mulai berkeringat, suatu tanda Hwesio tua itu sudah mulai
kewalahan, ia pun insyaf keadaan sudah gawat dan tak
menguntungkan lagi. "In-hong!" mendadak ia berseru pada sang murid, "hari ini
aku mati di sini, kau. lekas kembali ke Ko-san untuk
memberitahu pada Susiok, tak usah kau pikirkan diriku lagi!"
Habis itu, sekonyong-konyong ia incar Tang Ki-joan, tems
pukulkan kedua tangannya berbareng secara cepat.
Tadi Tang Ki-joan sudah merasakan sekali tenaga pukulan
Hwesio tua ini, ia sudah kenal kelihaian orang, maka tak
berani paksakan diri buat menangkis, lekas ia mengegos buat
berkelit. Di pihak lain, Liau-in pun pergunakan kesempatan itu untuk
hantamkan tongkatnya dengan mengemplang ke atas kepala
Pun-bu Taysu. Waktu itu tangan kanan Pun-bu dengan kebutnya sedang
menangkis serangan dari Thian-yap Sanjin, sedang telapak
tangan kiri ia gunakan buat menggempur mundur Tang KiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
joan, karena itu ia tidak keburu menarik kembali serangannya,
tampaknya sukar menghindarkan kemplangan tongkat Liau-in.
Tapi justru dalam saat yang menentukan inilah Pun-bu
perlihatkan ilmu silatnya yang tiada tara, tertampak ia angkat
pundak, "plok" terdengar suara keras, tongkat Liau-in seperti
kena mengemplang papan besi yang keras sampai tongkatnya
membal kembali. Pada saat itu juga, dengan sekali bentakan menggeledek,
tiba-tiba Pun-bu melayang lewat melalui atas kepala Thian-yap
Sanjin terus memburu Lian Keng-hiau yang sedang duduk
seenaknya menyaksikan pertarungan sengit itu.
Keruan saja tindakan Pun-bu ini membikin Liau-in dan lainlain
sangat terkejut, mereka berbareng segera berusaha
mencegat. "In-hong, lekas pergi!" terdengar Pun-bu berteriak.
Tetapi kembali In-hong Hwesio ragu-ragu, ia tidak tega
meninggalkan gurunya. "Murid tak berguna, apa kau ingin kematianku tidak
diketahui orang?" Pun-bu membentak pula.
Sementara itu Lian Keng-hiau sudah berhasil menyingkir ke
belakang kemah, sambil membentak, Pun-bu tidak
menghentikan tindakannya, ia masih terus menerjang ke
belakang kemah. Ketika In-hong masih ragu-ragu dan tertegun, keadaan
sudah tak mengizinkan pula, dari luar ia dikerubut para
prajurit dan perwira secara beramai. Mau tak mau kini In-hong
harus bertindak tegas, ia mengertak gigi dan menggertak,
sekali ulur tangan ia berhasil merebut sebatang tombak
panjang. "Suhu, aku berangkat!" serunya. Berbareng ia kerjakan
tombak rampasannya dengan cepat, ia menerjang keluar
perkemahan. Para perwira itu tidak tinggi ilmu silatnya, sudah tentu tidak
mungkin mereka mampu menahan terjangan In-hong, dalam
sekejap In-hong sudah berhasil lolos keluar kepungan.
Sementara itu Liau-in berempat jagoan masih terus
menyusul kencang di belakang Pun-bu yang sedang memburu
Lian Keng-hiau, untuk menghalangi kejaran orang, dari dalam
Lian Keng-hiau telah sambitkan dua buah kursi.
Akan tetapi dua buah kursi itu tidak mungkin bisa
merintangi Pun-bu, ia angkat telapak tangannya terus
menggabruk, dua kursi itu kena dipukul hingga remuk
berantakan. Namun dengan sedikit me-randek ini, dari
belakang, tongkat Liau-in hampir kena menyodok
punggungnya. Tiba-tiba Pun-bu membentak, kebutnya mendadak melibat
balik hingga tongkat Liau-in terlilit, sekalipun Liau-in terkenal
dengan tenaga raksasanya, namun sedikitpun tak sanggup
membikin goyah si Hwesio tua itu.
Dari jurusan lain lekas Thian-yap Sanjin kirim kedua telapak
tangannya berbareng, ia menahan tenaga pukulan tangan kiri
Pun-bu Taysu yang waktu itu telah dipukulkan juga,
bersamaan pula. Tang Ki-joan dan Han Tiong-san pun
menyerang dari kiri kanan.
Karena kerubutan ini, terpaksa Pun-bu tarik tangan kirinya,
tetapi karena ini, Thian-yap Sanjin berbalik jadi sempoyongan
dan hampir jatuh tersungkur. Kesempatan ini digunakan Liauin
untuk menarik tongkatnya. Pun-bu memang sudah
kendurkan kebutannya yang menggubet senjata orang, tetapi
segera ia alihkan sasarannya pada Han Tiong-san, terus
mengirim tipu pukulan yang mematikan!
Thian-yap Sanjin biasanya sangat mengunggulkan tenaga
pukulan telapak tangannya, sama sekali tidak dia duga bahwa
dengan sekali gebrak tadi, Pun-bu Taysu yang tangan kanan
dengan kebutnya sedang melayani tongkat Liau-in. dan hanya
memakai telapak tangan kiri sudah bisa kalahkan dia, diamdiam
Thian-yap menjadi jeri, maka gerak-geriknya pun tidak
seganas tadi lagi. "Jangan takut, dia sudah minum teh beracun Khong-jiok-ta,
tidak nanti bisa hidup!" terdengar Lian Keng-hiau berseru dari
dalam kemah untuk mengobarkan semangat tempur
begundalnya. Karena itu, timbul pula keberanian Thian-yap Sanjin, ketika
ia lihat Han Tiong-san berada di bawah ancaman kebut lawan,
cepat ia gerakkan tangannya buat menolong sang Suheng.
Tetapi tidak lebih dari tiga gebrakan, kembali ia kena tergetar
lagi sejauh tiga tombak lebih.
"Haha! Lian Keng-hiau! Bagus sekali perbuatanmu!" saking
murka dan pedih hatinya, Pun-bu Taysu berbalik bergelak
tertawa. Mendengar suara tertawa yang mengerikan ini, sekalipun
Lian Keng-hiau seorang tokoh besar, tidak urung mengkirik
juga dan nyalinya pecah. Dalam hati ia membatin, "Walau aku
pernah terima budimu tapi Si-pwelek berniat menyapu rata
Siau-lim-si, terpaksa aku harus lenyapkan kau dahulu."
Sungguhpun demikian, ia sudah tidak berani mengikuti
pertarungan itu lagi, ia bersembunyi ke belakang perkemahan
di bawah penjagaan para prajuritnya.
Begitulah, dalam keadaan murka segera Pun-bu susulmenyusul
memberi pukulan yang mematikan di bawah iringan
tawa seram. Tatkala itu Han Tiong-san tengah bergerak dengan tipu
'Khay-san-pi-ciok' (membuka gunung menyingkirkan batu), ia
ayun paculnya dan dibacokkan.
Mendadak terdengar Pun-bu membentak lagi, ia angkat
pundaknya, kembali terima sekali hantaman tongkat Liau-in,
berbareng ia ayun telapak tangan kiri, ia sampuk dengan
keras hingga pacul Han Tiong-san yang sedang dihantamkan
terbang dari tangannya. Waktu itu Tang Ki-joan pun sedang menyerang dari
belakang, tetapi Pun-bu telah gabrukan telapak tangan kirinya
ke depan sambil membentak "Kena!"
Ternyata Han Tiong-san yang menjadi sasarannya lagi, ia
kena dipukul terjungkal oleh Pun-bu, berbareng Pun-bu putar
tangannya yang lain, kebutnya disabetkan ke belakang,
serangan mendadak ini tidak keburu dihindarkan oleh Tang Kjjoan,
tangannya kena dilihat oleh kebut orang.
Nampak kawannya bakal celaka, secepat kilat Liau-in ayun
tongkatnya untuk menolong, namun dengan cepat Pun-bu
membalik tubuh, ia tarik kebutnya hingga Tang Ki-joan
terseret maju, berbareng terus disurung ke depan untuk
memapak tongkat Liau-in. Dalam gugupnya karena kuatir tongkatnya bakal mengenai
kawan sendiri, lekas Liau-in tarik kembali senjatanya.
"Pergi!" terdengar Pun-bu menggertak pula, ia ayun
tangannya sepenuh tenaga, Tang Ki-joan yang tangannya
masih tergubet kebut dilempar keluar perkemahan.
Beberapa jurus ini terjadi secepat kilat, dengan mati-matian
Pun-bu telah korbankan tubuhnya untuk menerima dua kali
gebukan tongkat Liau-in, hasilnya dia hantam Han Tiong-san
dan Tang KJh joan berdua hingga terluka parah dan
menggeletak semaput di tanah tak bisa berkutik lagi.
Nampak apa yang terjadi, Liau-in dan Thian-yap Sanjin
makin menjadi jeri. Sebaliknya Pun-bu masih bergelak tertawa, mendadak ia
sabetkan kebutnya ke arah kepala Thian-yap Sanjin lagi. Lekas
Thian-yap berjumpalitan ke belakang untuk menghindarkan
serangan ini, di pihak lain, Liau-in mengayun tongkatnya
mengemplang lagi. Namun Pun-bu tidak lepaskan musuhnya begitu saja,
mendadak kebutnya membalik, laksana anak panah ia
timpukkan, serangan ini sama sekali di luar dugaan Thian-yap
Sanjin, keruan saja iganya kena tertimpuk dengan jitu, ia
menjerit terus terguling.
Waktu itu tongkat Liau-in sudah dekat kepala Pun-bu,
tetapi ia masih keburu angkat tangan kirinya buat menangkis,
ia membentak pula, "Kena!"
Menyusul tangan kanannya diangkat terus memegang
kencang tongkat lawan, Liau-in ternyata tak mampu kuasai
diri lagi, ia terseret maju, lekas ia kendorkan cekalan dengan
niat melarikan diri. Namun Pun-bu tak memberi kesempatan
padanya, Hwesio tua ini angkat sebelah kakinya, dengan tepat
Liau-in kena ditendang dadanya hingga memuntahkan darah
segar dari mulutnya, Liau-in roboh semaput tanpa bisa
berkutik lagi. Setelah bereskan keempat lawannya, Pun-bu masih tertawa
keras, mendadak ia terduduk ke lantai.
Keng-hiau yang sudah pecah nyalinya menyaksikan
ketangkasan Hwesio tua itu, mendengar suara tawanya yang
seram, tak berani keluar melongok, para perwira dan bintara
pun bersembunyi. Lama kelamaan suara tawa Pun-bu mulai perlahan dan
mulai lemah, tiba-tiba ia menunduk hingga kepalanya
menempel dada, ia komak-kamik sendiri, "Bagus kau, Lian
Keng-hiau! Bagus kau! Bagus, bagus
Makin lama makin perlahan suaranya dan akhirnya sunyi.
Selang agak lama, ada seorang pengawal yang tabah,
secara berindap-indap coba mendekati, ia coba dorong orang,
tetapi sedikitpun Pun-bu tidak bergerak.
Maka pengawal itu jadi lebih berani, ia coba meraba
dadanya, sudah itu mendadak ia berseru, "Hwesio jahat ini
sudah mati!" Mendengar itu. Lian Keng-hiau baru berani keluar,
sekalipun demikian ia masih jeri juga, belum berani mendekati
Pun-bu. "Tayswe, Hwesio jahat ini sudah mati!" kembali pengawal
itu melapor. Sesudah yakin Pun-bu tidak bernyawa lagi, mendadak Lian
Keng-hiau menjerit menangis. Katanya kepada Gak Ciong-ki
sambil menangis, "Untuk kepentingan negara, Keng-hiau telah
melupakan kepentingan pribadi. Meski Hwesto ini bukan
guruku, tetapi aku pernah mendapat ajaran silatnya, hari ini
dia berusaha merampas tawanan, tidak bisa tidak terpaksa
aku harus membunuhnya, cuma dalam hati aku merasa tak
tega juga." Habis itu, ia seka air matanya dan memberi perintah pada
bawahannya, "Bikinkan sebuah peti jenazah yang bagus dan
kuburkan dia dengan baik."
Menyaksikan peristiwa ini, diam-diam Gak Ciong-ki merasa
ngeri juga. Pikirnya, "Hm, cara kau berlagak kucing menangisi
tikus ini, hendak kau pertontonkan untuk siapa?"
Sejak itulah Gak Ciong-ki jadi lebih kenal siapa Lian Kenghiau,
dalam takutnya diam-diam ia berlaku hati-hati juga
padanya. Dalam pada itu, Liau-in berempat ternyata terluka parah
semua, lebih-lebih Thian-yap Sanjin yang tulang iganya patah
kena sodokan gagang kebut, lukanya paling berat. Lalu Lian
Keng-hiau perintahkan bawahannya menyadarkan, namun
mereka masih belum bisa bergerak, mereka hanya merintih
kesakitan. Tongkat Liau-in ternyata bengkok kena ditekuk oleh Punbu,
nampak senjatanya ini, Liau-in yang sudah sadar, saking
gusar kembali jatuh pingsan lagi.
Meski luka mereka parah, tapi beruntung memiliki tenaga
dalam yang terlatih, oleh karenanya jiwa mereka tidak
berbahaya, Lian Keng-hiau sendiri adalah murid Ciong Ban-tong, ia rada
paham ilmu ketabiban, maka lekas ia sediakan kamar
tersendiri untuk mereka dan dirawat, di samping itu Lian
Keng-hiau tidak lupa memikirkan tipu daya untuk menghadapi
Siau-lim-si kelak. Kembali berbicara tentang Kam Hong-ti dan Lu Si-nio yang
sembunyikan diri di kediaman Ki Teng-hong. Sementara itu
luka orang tua ini sudah sembuh, sedang luka Lu Si-nio
sendiri, karena jarum yang menancap di betisnya itu tidak
berbisa, maka setelah disedot keluar oleh batu penyedot dan
dirawat dua hari, nona ini sudah pulih kembali dan bisa
bergerak lagi seperti biasa.
Pada hari itu mereka sedang berkerumun di tengah
ruangan dan sedang mengobrol.
Kata Lu Si-nio, "Beruntung hari itu Pun-bu Taysu datang,
jika tidak, mungkin Siaumoay tidak bisa bersua lagi dengan
kalian." "Jiwa pahlawan Pun-bu Taysu betul-betul sangat
mengagumkan orang," ujar Kam Hong-ti. "Tetapi ia suka turuti
pikiran sendiri, terhadap jahanam Lian Keng-hiau, sekalipun di
mulut ia mendamprat, tapi dalam hati sangat sayang padanya.
Mau tak mau aku kuatir keselamatannya!"
Tengah mereka pasang omong, tiba-tiba ada laporan, "Di
luar ada seorang Hwesio, dengan jubah compang-camping,
muka penuh noda darah, minta bertemu dengan Kamtayhiap."
Mendengar laporan ini, Kam Hong-ti berseru kaget, cepat ia
berlari keluar, kemudian masuklah seorang Hwesio dengan
langkah sempoyongan terus jatuh tersungkur di lantai. Waktu


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kam Hong-ti periksa, Hwesio ini ternyata bukan Pun-bu Taysu,
sudah tentu ia merasa sangsi dan heran sekali.
Sementara itu karena mendengar suara ribut, Loh Bin-ciam
pun sudah menyusul keluar, ketika ia mengenali siapa Hwesio
ini, segera ia berseru, "In-hong Suheng, kenapakah kau?"
Dengan cepat ia ambil air dingin dan disemprotkan ke
mukanya agar lekas sadar, sesudah ingat akan dirinya,
seketika In-hong menangis keras.
"Guruku mungkin sudah mengalami nasib malang!"
teriaknya dengan menggerung.
Pedih sekali hati Lu Si-nio melihat keadaan orang, dengan
cepat ia minta penjelasan apa yang telah terjadi. Maka
berceritalah In-hong apa yang dialami mereka guru dan
murid. Keruan tidak kepalang rasa" gusar Lu Si-nio dan Kam Hongti
karena kelicikan dan kerendahan pihak musuh.
"Baik, bila terjadi sesuatu atas keselamatan Pun-bu Taysu,
kami pasti akan balaskan'sakit hatinya," ikrar mereka bersama.
"Lian Keng-hiau memegang kekuasaan besar, di markasnya
juga penuh dengan jagoan, sakit hati ini tidak gampang
dibalas!" kata In-hong Hwesio. "Setelah mengaso di sini,
segera aku akan kembali ke Ko-san buat melapor pada Cu-ji
Hongtiang (ketua)." "Baik, biar kami antar kau ke Ko-san," ujar Kam Hong-ti.
Malamnya, orang yang dikirim Ki Teng-hong buat mencari
berita telah kembali dan membenarkan berita kemalangan
Pun-bu, sudah tentu berita sedih ini membikin para pendekar
sangat berduka, mereka mencucurkan air mata, segera
mengadakan sembahyangan untuk arwah Pun-bu yang sudah
wafat itu. Tengah mereka berduka, tiba-tiba terdengar suara "tingting-
ting", suara kelenengan yang berkumandang dari jauh,
seketika juga Kam Hong-ti melompat pergi, ia membuka pintu
buat memeriksa. Perkampungan Siu-jiang-su-ih dibangun di
atas lereng bukit, oleh karena itu, suara yang berkumandang
terbawa angin dapat didengar dengan jelas sekali.
Waktu Kam Hong-ti naik ke tempat tinggi buat
memandang, tiada bayangan orang yang tertampak, ia jadi
heran. Tiba-tiba suara kelenengan tadi terdengar pula,
mendadak sesosok bayangan muncul dari balik lereng bukit
sana, dalam sekejap saja sudah sampai di tengah gunung.
Kesehatan orang membikin Kam Hong-ti terkejut.
"Pat-moay, mari sini!" ia memanggil Lu Si-nio.
Belum lenyap suara panggilannya, tahu-tahu orang tadi
sudah sampai di depannya. Waktu ia lihat jelas, ternyata
orang yang ada di hadapannya ini adalah seorang tabib
Kangouw yang berjenggot cabang tiga, tangan memegang
sebuah galah pikulan. Begitu dekat, tabib ini lantas memanggut pada Kam Hongti.
"Apakah Ki Teng-hong Losiansing ada di sini?" ia bertanya.
Dalam pada itu Lu Si-nio dan Ki Teng-hong pun sudah
keluar dari dalam, waktu mereka mengamati tabib ini, tiada di
antara mereka yang kenal.
Kam Hong-ti jadi curiga, tetapi sebelum ia memancing
perkataan orang lebih jauh, Ki Teng-hong yang semula tak
berani perkenalkan diri, sesudah mengamati sejenak dan
melihat galah pikulan yang dipegang orang, tiba-tiba ia
menyapa, "Apa yang datang Bu-locianpwe adanya?"
"Betul aku yang rendah she Bu, darimana Losiansing
mendapat tahu?" sahut tabib Kangouw itu sembari merangkap
tangan sebagai tanda hormat.
"Pernah Li-kongcu menyebut tentang dirimu," kata Ki Tenghong.
"Kiranya tuan sendiri adalah Ki-losiansing!" "Betul, apakah
locianpwe telah melihat Li-kongcu?" tanya Ki Teng-hong.
Mendengar pertanyaan itu, si tabib berbalik jadi heran
sekali, ia memandang sekejap pada Kam Hong-ti dan Lu Sinio.
Nampak keragu-raguan orang, lekas Ki Teng-hong
memperkenalkan mereka. Mendengar bahwa si tabib adalah
adik lelaki Bu Ging-yao yang bernama Bu Sing-hua, lekas Kam
Hong-ti memberi hormat dan pandang orang sebagai kaum
Cianpwe. "Sudah lama aku kagumi nama Kanglam-tayhiap yang
tersohor, walau aku pernah sekali bertemu dengan guru
kalian, tetapi pintu perguruan kita tidak sama, kita boleh
bersahabat secara biasa, bolehlah pandang sama tingkat
saja," ujar Bu Sing-hua.
Namun Kam Hong-ti berkeras tidak mau, ia tetap
memandang orang sebagai kaum Cianpwe atau angkatan
yang lebih tua, karena itu terpaksa Bu Sing-hua menerima
setengah hormat orang, sudah itu ia disongsong masuk ke
dalam rumah. "Apakah Li Ti tidak ada di sini?" tanya Bu Sing-hua sesudah
ambil tempat duduknya. "Justru kami malah ingin mencari dia," sahut Ki Teng-hong.
"Bocah ini sungguh tidak tahu urusan," ujar Bu Sing-hua,
"dengan susah payah aku tolong dia lolos dan suruh jangan
sembarang bergerak lagi, siapa tahu baru sekejap mata sudah
menghilang pula." Mendengar penuturan ini, Ki Teng-hong jadi bingung. "Ada
apa?" tanyanya. "Oleh ibunya, Li Ti disuruh turun gunung cari pengalaman,
tapi Taciku itu masih merasa kuatir, maka aku dipesan untuk
mengawasinya secara diam-diam, Bu Sing-hua menerangkan.
"Hari itu ia ditawan Liau-in di tepi telaga dan terluka otot
tulangnya. Tetapi aku telah menolongnya dengan merampas
dari tangan pengawal Ciatkang Sunbu. aku bikin keder pula
Hwesio jahat itu dengan ilmu pukulan 'Liu-hun-hwi-siu' yang
lihai." "Ah, kalau begitu Li-kongcu betul-betul seorang yang suka
pegang janji, betul juga pagi hari itu ia telah mengunjungi
kami," sela Lu Si-nio. "Dan ada pula seorang nona cilik, entah
siapa?" "Aku tidak melihat nona cilik apa segala," sahut Bu Singhua.
Ia hirup teh panas yang disuguhkan, lantas ia sambung
lagi, "Sesudah aku berhasil menolongnya, aku lantas bawa dia
kembali ke Wi-liong-koan di Po-ciok-san, biara dimana aku
tinggal. Aku pesan agar dia merawat lukanya di rumah biara
itu, bila pasukan Lian Keng-hiau sudah pergi jauh baru boleh
unjuk diri lagi. Kemarin aku pergi ke kota untuk beli obat,
pulangnya aku mendengar laporan dari imam penjaga katanya
Li Ti telah keluar. Aku menunggu sampai tengah malam,
namun tetap tidak tampak dia kembali, ia pun tidak
meninggalkan sesuatu surat atau catatan, maka aku
menyangka dia tentu datang ke sini buat mencari kau!"
Mendengar cerita ini, Ki Teng-hong dan Kam Hong-ti jadi
saling pandang, mereka bingung dan kuatir akan keselamatan
Li Ti. "Li-kongcu orangnya cerdik dan pintar, ilmu pedangnya pun
tinggi, kiranya takkan terjadi sesuatu atas dirinya," ujar Lu Sinio.
"Tetapi para jagoan kelas tinggi banyak berkumpul di
Hangciu, hanya seorang Liau-in Hwesio saja dia tak sanggup
melawan, bagaimana aku dapat merasa tenteram?" sahut Bu
Sing-hua. "Menurut taksiranku. Liau-in dan kawan-kawan pasti terluka
parah," kata Kam Hong-ti. "Dengan kepandaian Li-kongcu,
selain Liau-in dan beberapa kawannya, selebihnya tidak nanti
mampu melukainya." "Darimana Kam-tayhiap bisa menduga bahwa Hwesio
kejam itu terluka parah?" tanya Bu Sing-hua heran.
Memang tidak salah kalau Bu Sing-hua merasa heran,
sebab ia pikir dengan kepandaian dirinya paling banyak baru
bisa mengalahkan Liau-in tetapi tak bisa melukainya, maka
siapa lagi yang memiliki ilmu silat begitu tinggi dan bisa
melukai Liau-in" Kam Hong-ti lantas ceritakan cara bagaimana Pun-bu Taysu
mengalami nasib malang. Katanya lagi, "Menurut cerita Bulocian-
pwe tadi, sesudah Liau-in kena digertak kabur,
kebetulan ia berpapasan dengan pasukan Lian Keng-hiau,
tentu Lian Keng-hiau akan mengundang Liau-in ke
perkemahannya. Dan karena itu, Pun-bu Taysu, tokoh nomor
satu atau dua pada zaman ini, dengan sendirinya tidak mau
menyerah untuk diringkus begitu saja."
Sementara itu luka In-hong Hwesio pun sudah baik, ia pun
ke-, luar menemui Bu Sing-hua dan menceritakan kisah yang
dialaminya hari itu, ia pun yakin Liau-in berempat pasti terluka
parah, mendengar cerita ini, Bu Sing-hua baru mau percaya
dan lega hatinya. Terhadap nama Pun-bu Taysu, sejak lama Bu Sing-hua
sudah sangat mengagumi, kini mendengar berita nasib malang
padri ini, ia pun ikut berduka cita, ia lantas sembahyang di
hadapan meja abu yang diadakan Kam Hong-ti dan kawankawan
itu. "Biar aku pergi mencari lagi," katanya kemudian, ia
maksudkan mencari keponakannya, Li Ti.
"Sudah jauh malam, mengasolah dulu semalam di sini,
besok kita berpencar ikut mencarinya," ujar Ki Teng-hong.
Meski namanya memberi pelajaran sekolah, Ki Teng-hong
sebenarnya mendirikan Siu-jiang-su-ih lebih banyak bertujuan
menyebar paham patriotik Lu Liu-liang, anak muridnya pun
tergolong kaum muda yang berdarah panas, oleh karena itu
sekolahnya ini seakan merupakan cabang perkumpulan
rahasia di Ciatkang. Begitulah, selama tiga hari berturut-turut Ki Teng-hong
mengirim orang mencari kabar Li Ti, tetapi sedikitpun tidak
berhasil. Lewat beberapa hari, pasukan besar yang dipimpin Lian
Keng-hiau pun berangkat, tetapi kabar berita tentang Li Ti
masih tetap belum diperoleh.
"Tampaknya harus minta bantuan kawan kalangan
Kangouw untuk ikut mencarinya," ujar Bu Sing-hua akhirnya
dengan menghela napas. "Di daerah sekitar Kanglam, tentu aku akan bantu
sebisanya." kata Kam Hong-ti.
Oleh Lu Si-nio lantas ditanya kemana selanjutnya
perjalanan Bu Sing-hua "Aku ingin mengunjungi kampung halaman Lian Kenghiau,"
kata Bu Sing-hua. "Aku ingin pindahkan kerangka miang
Ciong Ban-tong." Semua orang tahu bahwa dia pernah memperoleh petunjuk
ilmu silat Pho Jing-cu, tokoh tua Bu-kek-pay, kalau diurut,
tingkatannya malah setingkat lebih tinggi dari Ciong Ban-tong.
Setelah Ciong Ban-tong meninggal, Bu-kek-pay tiada ahli waris
lain lagi, urusan selanjutnya dengan sendirinya jatuh ke
tangan Bu Sing-hua untuk menyelesaikannya.
"Baiklah, kami akan antar In-hong Suheng kembali ke Kosan,
kebetulan kita satu jurusan dengan Locianpwe," ujar Kam
Hong-ti. Besok paginya, Kam Hong-ti, Lu Si-nio, Loh Bin-ciam, Pek
Thay-koan dan Hi Yang serombongan lantas berpisah dengan
Ki Teng-hong, mereka mengawal ln-hong Hwesio pulang ke
Ko-san, Bu Sing-hua pun berangkat bersama mereka, hanya
setelah sampai di kota Tinghong, mereka lantas berpisah ke
arah masing-masing. Setelah berpisah beberapa tahun, pegunungan Ko-san yang
mereka tuju ternyata masih sama seperti dahulu, sembari
mendaki gunung, Lu Si-nio menghela napas kecil, ia kuatir
tempat suci yang sudah berumur ribuan tahun ini bakal
termusnah menjadi abu. Di samping itu, In-hong Hwesio merasa sedih, terutama
kalau teringat nasib gurunya yang mengenaskan itu.
Setelah sampai di atas gunung, mereka lantas dipapak dan
disambut oleh padri penerima tamu.
Sampai di ruangan tamu, mereka disambut sendiri oleh
Hong-hoat Taysu. Hong-hoat adalah padri agung utama
ruangan Ciang-king-tong, kedudukannya hanya di bawah Siaulim-
sam-lo atau tiga tema Siau-lim-si. Maka lekas In-hong
memberi hormat. "Berita malang dari Kam-si sudah diketahui oleh Cu-ji," kata
Hong-hoat Taysu dengan suara rendah dan muka muram,
sebelum In-hong melapor. "Mohon Susiok suka sampaikan pada Cu-ji bahwa anak
murid tingkat ke-48, In-hong, mohon menghadap," kata Inhong
Hwesio. "Cu-ji sedang memberi khotbah di ruangan Tat-mo-ih, aku
sudah sediakan tempat duduk untukmu, pergilah kau ke
sana," kata Hong-hoat pula. "Kali ini mungkin adalah untuk
penghabisan kalinya beliau memberi khotbah di biara kita di
Ko-san ini." Begitulah, Hong-hoat Taysu kemudian menemani para
tamunya di ruangan depan ini, maka masuklah In-hong
Hwesio menuju ke ruangan Tat-mo-ih dengan perasaan berat,
ia ambil tempat duduk yang sudah disediakan untuknya, ia
lihat kedua belas anak murid pertama Siau-lim-si duduk
terpekur dengan kepala menunduk sedang mendengarkan
khotbah. Khotbah itu amat menggetar jiwa pendengarnya hingga
akhirnya kedua belas murid pertama dan In-hong mengalirkan
air mata terharu. "Silakan Kam-tayhiap kemari," terdengar Bu-cu Siansu
membuka suara. In-hong Hwesio maju menghadap, akan tetapi Bu-cu
Siansu, ketua Siau-lim-si sudah mendahuluinya berkata, "Tak
usahlah kau menceritakan lagi!"
Tidak lama kemudian Kam Hong-ti telah diantar datang.
"Kam-tayhiap yang setia kawan dan jauh-jauh datang
memberi kabar, kami segenap padri Siau-lim-si tiada yang
tidak berterima kasih," Bu-cu Siansu menyapa sambil memberi
hormat. Lekas Kam Hong-ti balas menghormat. Sahutnya, "Pun-bu
Taysu yang gagah perkasa ternyata mengalami nasib malang
di tangan musuh, Hong-ti sendiri waktu itu ada di Hangciu,
tetapi tidak bisa ikut membagi derita itu, sungguh sangat
memalukan." "Kawanan orang berkuasa sedang malang melintang, hanya
tenaga manusia saja sukar menghindarkan bencana, meski
Pun-bu Suheng sudah meninggal, namun urusannya mungkin
masih belum selesai sampai di sini!" ujar Bu-cu.
Kam Hong-ti terdiam dan tidak menanggapi.
"In Ceng dan Lian Keng-hiau semuanya keluaran Siau-limsi,
jika In Ceng naik takhta, dibantu Lian Keng-hiau yang


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sewenang-wenang, itu berarti bencana bagi Siau-lim-si sudah
tiba," kata Bu-cu pula.
"Dengan kesaktian Siansu, apakah tidak dapat
dihindarkan?" tanya Kam Hong-ti.
"Kecuali kalau suasana berganti, jika tidak, bencana ini
pasti sukar dihindarkan," kata Bu-cu.
Kam Hong-ti terdiam, dalam hati ia membatin, "Kenapa
tidak berontak saja!" Tetapi demi nampak kedua mata Bu-cu
Siansu bersinar tajam dan memandang jauh ke sana, ia
mengerti padri berilmu ini sedang memeras otak, maka tak
berani ia usil. Lewat sejenak, akhirnya terdengar Bu-cu Siansu
menghela napas panjang. "Mulai besok para padri Siau-lim-si sudah akan berpencar,"
katanya kemudian, "aku berniat mendirikan kembali biara kita
Poh-thian, Hokkian, dan Lamhay di Kwitang, kelak mungkin
perlu bantuan Kam-tayhiap."
"Kapan saja Siansu memerlukan tenagaku, senantiasa aku
siap," sahut Kam Hong-ti.
Setelah beberapa hari Kam Hong-ti dan kawan-kawan
tinggal di Siau-lim-si, karena melihat para padri Siau-lim-si
sedang repot urusan pemindahan biara, maka mereka lantas
mohon diri. "Aku mendengar dari Hong-hoat Taysu, katanya Can Ceng
sudah tiba di Pakkhia," kata Lu Si-nio sesudah mereka turun
gunung. "Kini kita berada di propinsi Ho-lam, mari sekalian kita
menuju Pakkhia!" ajak Pek Thay-koan.
Perlu diterangkan, Can Ceng juga merupakan salah seorang
murid kesayangan Lu Liu-liang, selama beberapa puluh tahun
ia kian kemari bergerak untuk kepentingan kebangkitan
kembali negara leluhur, dengan Giam Hong-kui dan Sim Caykhoan
mereka bersahabat akrab sekali.
Begitulah maka Kam Hong-ti berkata, "Aku dan Kwantangsi-
hiap juga ada janji pertemuan di Pakkhia pada tahun yang
akan datang, baiklah kalau kita mau ke sana, cuma kita harus
waspada." Kam Hong-ti mahir merias muka, maka ia lantas menjadi
juru rias bagi kawannya, setelah mereka berubah wajah, maka
berangkatlah mereka menuju ke kotaraja.
Sang tempo lewat dengan cepat, musim rontok telah
berlalu dan disusul dengan datangnya musim dingin. Ketika
rombongan Kam Hong-ti sampai di kotaraja, sementara itu
sudah pertengahan musim dingin, bunga salju laksana bulu
angsa memutih beterbangan dengan lebatnya. Ketika mereka
masuk ke dalam kota, tiba-tiba mereka nampak sepasukan
Lamma dengan berbaris secara khidmat sedang menuju ke
jurusan istana. Kam Hong-ti dan kawan-kawan berteduh di bawah emper
sebuah warung, mereka dengar orang di dalam warung
sedang mempercakapkan barisan Lamma tadi.
"Kabarnya kaisar tua sedang sakit, maka sengaja
mendatangkan Lamma besar dari Tibet untuk membacakan
kitab suci dan sembahyang, coba lihat hebat sekali lagak
mereka," demikian percakapan itu.
Tergerak hati Lu Si-nio mendengar cerita itu, tetapi ia tidak
lantas buka suara, ia tunggu setelah pasukan Lamma itu
berlalu baru ia bisiki Kam Hong-ti. "Kebetulan sekali
kedatangan kita, mungkin kita dapat menyaksikan si keparat
In Ceng naik ke singgasana takhtanya!" katanya.
"Aku dengar cerita dari kawan di Kangouw, katanya
belasan putra Kaisar Khong-hi diam-diam sedang saling
gempur dan bersaing untuk merebut takhta, agaknya yang
akan naik takhta belum tentu In Ceng," ujar Kam Hong-ti.
"Tetapi yang paling giat dan bernapsu memperoleh takhta
adalah In Ceng, orang kosen yang dia kumpulkan pun paling
banyak, tampaknya putra-putra pangeran lainnya bukan
tandingannya," sahut Lu Si-nio.
"Peduli siapa di antara mereka yang bakal naik takhta," ujar
Kam Hong-ti dengan tertawa, "sama saja, tidak nanti
bermanfaat bagi kita bangsa Han, buat apa kita ikut urus!"
Meski Kam Hong-ti belum pernah datang di Pakkhia, tapi
hubungannya luas dan kenalannya banyak, tidak sedikit
sahabatnya yang tinggal di Pakkhia, ketika mendengar kabar
kedatangan Kam Hong-ti, tidak sedikit yang menawarkan agar
tinggal di rumahnya, namun satu demi satu tawaran itu ditolak
Kam Hong-ti dengan halus, mereka tetap tinggal di rumah
pondokan hingga dua hari.
"Meski kita sudah ganti rupa tetapi rumah pondokan tetap
bukan tempat yang baik buat tinggal," ujar Lu Si-nio.
"Aku sudah menaksir, tentu ada satu orang yang bakal
datang mengundang kita," kata Kam Hong-ti dengan
tersenyum. Lu Si-nio jadi heran, ia tanya gerangan siapa yang
ditunggu" "Aku katakan juga kau tak kenal, tetapi guru orang ini kau
malah sudah pernah bertemu," sahut Kam Hong-ti. "
Lu Si-nio mengerti Suhengnya ini sengaja mau main tekateki,
maka dengan tertawa ia pun tidak bertanya lebih jauh.
Betul juga, pada hari ketiga, jongos penginapan datang
mem-beritahu mereka. Katanya, "Teng-ya (tuan Teng, Kam
Hong-ti menyamar dengan nama Teng Liong), di luar ada
seorang Hwesio dengan membawa buku derma hendak
meminta sedekah padamu!"
"Baik, silakan dia masuk," sahut Hong-ti tanpa ragu-ragu.
Jongos penginapan jadi heran melihat orang begitu murah
hati. "Semula aku mengira Hwesio itu datang secara ngawur,
tak tahunya dia memang betul sudah kenal dengan tuan,"
katanya. Tidak lama jongos itu membawa masuk seorang Hwesio,
muka padri ini kurus bersih, tampaknya usianya sekitar
setengah abad. "Aku kira siapa, tak tahu kau adanya," kata Kam Hong-ti
dengan gelak tertawa sambil menutup pintu kamar. "Dan
mengapa kau menjadi Hwesio."
"Ya, maka aku sengaja datang minta sedekah padamu!"
sahut padri itu. "Ha, kupingmu sungguh tajam, rupanya kau mendengar
aku mendapatkan harta karun dari Tiat-sian-pang," kata Kam
Hong-ti dengan terbahak-bahak.
Tetapi tiba-tiba ia lihat Hwesio itu tertawa getir, katanya,
"Setelah mengenakan jubah, urusan jadi tambah banyak,
lewat tahun aku pun akan meninggalkan Pakkhia," kata si
Hwesio. "Apa?" tanya Kam Hong-ti heran. "Kau betul-betul telah
purus asa dan pandang segalanya kosong belaka?"
Kembali Hwesio itu tertawa, tertawa yang terlebih getir.
"Mari minum di biaraku yang bobrok itu!" akhirnya ia
mengajak. Kam Hong-ti terima tawaran itu, ia bereskan rekening
penginapan dan ikut Hwesio itu menuju luar kota, sesudah
sampai di luar kota, baru Kam Hong-ti kenalkan Hwesio ini
pada rekan-rekannya. Kiranya Hwesio ini aslinya bernama Ciok Keh-jiu, seperti
diketahui adalah bekas kekasih ibu Teng Hiau-lan, ia pun
merupakan ahli waris satu-satunya Bu Sing-hua.
Lu Si-nio sendiri pernah dengar dari Bu Sing-hua ketika
bercerita di tengah jalan, katanya dia masih punya seorang
murid, sama sekali tak terduga adalah Hwesio ini, ia jadi heran
mengapa selama ini Kam Hong-ti tidak pernah menceriterakan
hal ini padanya. Tidak lama kemudian mereka sampai di Se-san, bukit
sebelah barat kota, si Hwesio berjalan di depan sebagai
penunjuk jalan, ia membawa tamunya ini ke sebuah kelenteng
bobrok di kaki bukit. "Inilah tempat tinggalku." katanya dengan tertawa pada
tetamunya. Kelenteng kuno ini sudah tak terpakai, walaupun
keadaannya bobrok tak terurus, tapi tempatnya cukup luas.
Si Hwesio membersihkan debu yang memenuhi ruangan
kelenteng itu, lalu dari dinding ia turunkan dua buah Ho-lo
(buli-buli) yang penuh berisi arak, ia ajak tetamunya minum
bersama. "Masih belum kami ketahui sehutanmu dalam Buddha?"
tanya Kam Hong-ti. "Aku memberi nama pada diriku sendiri sebagai Ling-sian,"
sahut si Hwesio. Kam Hong-ti tertawa mendengar nama agama orang.
"Namamu Ling-sian, tapi hatimu mungkin masih belum
sungguh-sungguh dingin," ujar Kam Hong-ti dengan tertawa
(Ling-sian berarti dingin dan suci).
Atas kelakar ini, kembali Ling-sian mengunjuk senyum
getir, ia meneguk araknya dengan bernapsu, dalam sekejap
Ho-lo yang penuh isinya telah diminum hingga kering.
Lantaran kekasihnya terkurung di istana, selama tiga puluh
tahun belum pernah dilupakan oleh Ciok Keh-jiu, sesudah
gagal masuk ke istana tahun yang lalu, ia jadi putus asa dan
patah semangatnya, karena itu ia lantas cukur rambut
menyadi Hwesio. Namun ia tidak tahu bahwa kekasihnya itu sudah
meninggal, oleh karena itu, sekalipun ia sudah jadi Hwesio, ia
masih belum rela meninggalkan Pakkhia.
Melihat kelakuan orang, Kam Hong-ti jadi tertawa, ia pun
meneguk araknya. "Buat apa kau siksa dirimu sendiri, apa
gunanya kau mengenakan jubah suci?" katanya kemudian
dengan geleng kepala. "Mungkin bila tahun lalu aku sempat berjumpa dengan
kalian, bisa jadi harapanku sudah terkabul," ujar Ling-sian
Hwesio. Habis itu ia lantas ceritakan pengalamannya tahun
lalu ketika ia gagal menyelidik ke dalam istana.
"Biarlah kelak kami iringi kau ke sana lagi," kata Kam Hongti
untuk menghiburnya. "Kini aku sudah menjadi Hwesio, urusan ini tak usah
dipersoalkan lagi," sahut Ling-sian.
Ling-sian tahu bahwa Lu Si-nio adalah Sumoay Kam Hongti,
juga cucu perempuan pujangga Lu Wan-joan, ia jadi sangat
tertarik, ia lantas tanya berbagai soal tentang sastra dan
ajaran Buddha yang dijawab dengan baik dan tepat sekali oleh
Lu Si-nio. "Banyak terima kasih atas keteranganmu yang telah
menyadarkan diriku dari jalan keliru," kata Ling-sian akhirnya
sambil berdiri memberi hormat.
"Hendaklah Cianpwe jangan merendah hati," lekas Lu Si-nio
balas hormat orang. Mendengar panggilan orang padanya, Ling-sian bergelak
tertawa. "Aku saling menyebut saudara dengan Suhengmu,
mana boleh kau panggil aku Cianpwe?" katanya. Berkata
sampai di sini, dari sinar matanya tertampak semangat
gembira sekali. "Meski Ciok-toako pakai nama gelaran Ling-sian, tapi
perasaannya yang agung masih tetap tersembunyi di dalam
hatinya," ujar Kam Hong-ti.
Kembali Ling-sian unjuk senyum kecut. "Menengok kepada
kejadian tiga puluh tahun lalu, seperti dalam mimpi dan
laksana asap yang buyar. Ah, sudahlah, tak usah dibicarakan
lagi, marilah kita minum!" katanya.
Tak lama, Ling-sian sendiri jatuh mabuk lebih dulu.
"Hwesio ini sungguh menarik sekali," ujar Pek Thay-koan
dengan tertawa. Kemudian Kam Hong-ti dukung Ling-sian
masuk ke kamarnya buat mengaso.
Kam Hong-ti menanti sesudah Ling-sian tidur, lalu ia
meronda ke sekeliling kelenteng, ia lihat beberapa kamar
lainnya sudah disediakan tempat-tidur.
"Meski Hwesio ini tampaknya ceroboh, tetapi sebenarnya ia
berlaku hati-hati sekali, sungguh seorang yang simpatik," kata
Lu Si-nio. "Kalau tidak, mana bisa dia menunggu selama tiga puluh
tahun untuk seorang wanita," ujar Kam Hong-ti.
Lalu Kam Hong-ti menceritakan asal-usul Ling-sian, tak
tertahan semua orang jadi terharu atas nasib orang, lebihlebih
Loh Bin-ciam yang merasa paling tersinggung, ia terus
meneguk araknya. "Loh-suheng tidak perlu berduka, meski Li Bing-cu adalah
putri keluarga bangsawan, tetapi tutur bahasa dan
kelakuannya, dia tidak dapat disamakan dengan seorang
dayang istana yang lemah," Lu Si-nio coba menghibur.
Kemudian Kam Hong-ti bercerita pula kisah perkenalannya
dengan Ciok Keh-jiu. Kejadian ini adalah tiga tahun yang lalu
ketika Ciok Keh-jiu baru datang di Kanglam, ia masih asing
daerah ini, dan kekurangan ongkos juga, maka ia lantas
mengamen sebagai penjual obat untuk sekedar cari uang, tapi
karena ia tak paham aturan Kangouw, sebelumnya ia tidak
menghadap pada 'Toako', yakni jagoan penguasa setempat,
oleh begundal 'Toako' setempat ia dimintai komisi pendapatan
secara paksa, sudah tentu Ciok Keh-jiu tidak menyerah
mentah-mentah, dengan sedikit gerak tangannya ia bikin
kawanan penyatron itu lari terbirit-birit.
"Soalnya sebenarnya biasa saja, tak terduga 'Toako'
setempat itu ternyata adalah anak murid benggolan
penyamun, nampak seorang asing mengunjuk ilmu silat begitu
tinggi, mau tak mau ia jadi curiga, ia mengira orang adalah
Poh-thau atau opas yang dikirim dari kotaraja, maka secara
diam-diam kejadian itu dilaporkan kepada benggolan
penyamun itu. Mendengar bahwa ada orang semacam itu
datang ke tempatnya, benggolan itu segera membawa
begundalnya menegur Ciok Keh-jiu dan karena percekcokan
mulut, akhirnya mereka saling gebrak, seorang diri Ciok Kehjiu
tak unggulan melawan orang banyak, akhirnya ia tertawan.
Kebetulan tatkala itu Kam Hong-ti justru sampai di tempat
itu, begitu mendengar peristiwa itu, segera ia pergi menemui
benggolan penyamun itu, ia minta bertemu dengan tamu
asing yang ditawannya itu. Begitu melihat, Kam Hong-ti yakin
orang ini bukan opas yang dikirim pemerintah, segera ia minta
kelonggaran untuk Ciok Keh-jiu dan supaya dibebaskan.
Meski orang belum kenal padanya tapi sudah berusaha
membela dirinya, keruan Ciok Keh-jiu sangat berterima kasih
dan kagum atas budi luhur Kam Hong-ti. Kemudian setelah
saling perkenalkan diri, ketika mengetahui penolongnya ini
adalah Kanglam-tayhiap, Ciok Keh-jiu jadi lebih hormat dan
kagum padanya. Karena merasa sangat cocok, mereka lalu
mengikat sahabat. Tatkala itu Ciok Keh-jiu telah ceritakan


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

asal-usulnya pada Kam Hong-ti, ia pun berjanji agar kelak
bertemu pula di kotaraja.
Oleh karena urusan orang bersangkutan dengan rahasia
istana, lagi pula adalah urusan pribadi Ciok Keh-jiu, maka
selama itu belum pernah Kam Hong-ti ceritakan
pengalamannya ini kepada saudara seperguruannya.
Esok paginya, begitu bangun tidur, kembali Ling-sian
mengajak Kam Hong-ti minum arak lagi.
"Cara minum begini, tidak usah tiga hari, harta-benda
kelenteng bobrokmu ini pasti akan ludes," ujar Kam Hong-ti
tertawa atas tawaran orang. Habis itu lantas ia merogoh
kantong dan keluarkan segenggam uang perak dan
menyambung pula, "Biarlah hari ini aku yang menjadi tuan
rumah." Ling-sian melotot ketika melihat uang perak orang.
"Hm, sungguh pelit, bisa buat apa uang perak sekian ini?"
katanya. Kam Hong-ti tercengang oleh kata-kata itu, ia bingung,
pikirnya, "Kau Hwesio ini bisa makan berapa banyak, masakah
uang perak sepuluh tahil masih belum cukup?" Maka ia lantas
bertanya, "Kalau begitu, perlu berapa banyak baru cukup?"
"Coba kau kasih sepuluh ribu tahil," kata Ling-sian.
Kembali Kam Hong-ti tercengang oleh permintaan orang,
tetapi segera ia dengar Ling-sian bergelak tertawa. "Haha, kan
sudah kukatakan hendak minta derma padamu, apa kau kira
aku berpura-pura?" kata Hwesio itu kemudian.
Melihat orang bersungguh-sungguh, akhirnya Hong-ti ikut
tertawa geli. "Memang aku mengira kau hanya berkelakar
saja!" katanya. "Tetapi jika kau mau, jangan kata sepuluh
ribu, dua puluh ribu tahil pun ada."
Berbareng itu ia lantas keluarkan serenceng mutiara
mestika dari bajunya dan berkata lagi, "Ini harta karun yang
kurampas dari kawanan Tiat-sian-pang, silakan Toako ambil
dan pakai saja." Ling-sian pun tidak menolak, ia terima pemberian itu. "Aku
minta uang dari kau, perlunya untuk menolong para janda dan
piatu," katanya kemudian dengan tertawa.
"Memangnya kau sudah jadi murid Buddha, dengan
sendirinya kau harus banyak berbuat kebajikan," ujar Kam
Hong-ti. Atas ucapan ini terlihat Ling-sian melotot lagi. Tetapi tibatiba
ia tertawa pula. "Apa yang hendak aku tolong bukan
janda dan anak piatu dari keluarga orang biasa," katanya.
"Bukan keluarga orang biasa?" tanya Kam Hong-ti, "kalau
begitu apa keluarga hartawan atau bangsawan?"
"Justru yang selalu aku tolong adalah janda dan anak piatu
dari musuh besar kalian," kata Ling-sian.
"Toako, kembali kau berkelakar lagi," ujar Kam Hong-ti
tidak mengerti. "Sedikitpun tidak berkelakar," tiba-tiba Ling-sian bicara
dengan wajah sungguh-sungguh. "Coba jawab, kalian kaum
pendekar Kangouw ini bukankah musuh besar bayangkara
istana?" "Mereka mati-matian bekerja untuk si tua kaisar dan
menguber kami, dengan sendirinya adalah musuh kami,"
sahut Hong-ti. "Justru yang hendak aku tolong adalah para janda dan
piatu dari bayangkara itu," kata Ling-sian lagi. "Kau tentu tahu
bahwa tiga puluhan tahun yang lampau pernah aku bekerja di
bagian luar istana, kala itu Ciu Jing masih menjadi pengawal
dalam istana dan belum memberontak, aku bersama Ciu Jing
serta seorang pengawal lainnya yang bernama Kau Sam-pian
adalah sahabat karib sekali."
"Hal itu pernah kudengar dari kau," sela Kam Hong-ti. "Ciutayhiap
adalah orang yang sangat aku kagumi selama hidup,
walau Kau-ya (tuan Kau) masih berada di istana, tapi terhadap
para kawan di Kangouw, seringkah ia ikut melindungi,
bayangkara semacam dia bukan saja tidak menjadi lawan,
bahkan boleh dibilang adalah kawan kita."
"Nasib orang yang menjadi pengawal dalam istana,
sebenarnya juga sangat menyedihkan," ujar Ling-sian pula.
"Karena aku bergaul rapat dengan Ciu Jing dan Kau Sam-pian,
maka berkenalan juga dengan sedikit pengawal lainnya.
Tahun yang lalu ketika aku kembali lagi ke sini, aku dapati
sembilan di antara sepuluh mereka sudah meninggal, banyak
di antara mereka yang meninggalkan istri dan anak, oleh
kaisar tidak diberi pensiun, mereka tidak digubris juga oleh
penduduk tetangga karena di masa hidup para bayangkara itu
banyak berlagak dan menindas rakyat."
"Betul-betul dosa mereka merembet kepada anak-cucu,"
kata Kam Hong-ti terharu.
Begitulah setelah mereka pasang omong, Ling-sian lantas
berangkat ke kota untuk membeli arak.
"Apa ada kabar tentang Kwantang-si-hiap?" tanya Kam
Hong-ti ketika Lian-sian pulang pada malamnya.
"Mereka masih belum datang," sahut Liang-sian. "Tapi
sebaliknya aku bertemu kawan kalangan Bu-lim, mereka
dengar kau telah datang, maka mereka telah mencari
kemana-mana. Aku tahu kau tak suka unjuk diri, maka
seluruhnya telah kujawab tidak tahu."
"Bagus sekali jawabanmu itu," ujar Kam Hong-ti.
"Sebenarnya kawan itu kebanyakan juga kawan yang sudah
kenamaan, kini aku sudah mengubah mukaku, andaikan
bertemu mungkin juga mereka tak kenal."
Sementara itu Pek Thay-koan pun ikut bertanya apa ada
kabar baru di kotaraja"
"Tiada, kecuali sakit kaisar tua bertambah berat, hanya ada
kabar mengenai putra pangeran ke-14 telah kembali ke
ibukota," tutur Ling-sian.
Capsi-hongcu atau putra pangeran ke-14 bernama ln Te,
dia adalah putra pangeran satu-satunya yang paling disayang
oleh Kaisar Khong-hi, beberapa kali ia pimpin pasukan
ekspedisi ke barat, kini ia masih tetap dalam jabatan
militernya, pangkatnya setingkat jenderal dengan sebutan 'Buwan-
ciangkun'. Mendengar Ling-sian menyebut Capsi-hongcu ln Te, tibatiba
Lu Si-nio teringat pada pengalaman Teng Hiau-lan yang
pernah diceritakan itu. "Kembalinya Capsi-hongcu apa bukan karena untuk
perebutan takhta?" ia lantas bertanya.
"Itulah aku tidak tahu," sahut Ling-sian. "Pengetahuanku
tentang urusan dalam istana dahulu cukup banyak, tetapi kini
aku ber-balik tidak sudi mencari tahu lagi."
"Dengan kembalinya seorang pangeran sebenarnya bukan
sesuatu kabar baru yang mengherankan," ujar Pek Thay-koan
yang berlainan pendapat. "Bukan begitu soalnya," kata Ling-sian pula. "Yang menarik
tentunya kembalinya Capsi-hongcu jauh-jauh dari Jinghay
dengan membawa pasukan besar, kini pasukannya
ditempatkan di luar benteng kota, ini soal pertama. Kedua
adalah sekembalinya, ia lantas mendirikan sebuah lapangan
pertandingan di depan kelenteng Hou-kok-si, di lapangan itu
didirikan dua panggung pertandingan, yang satu untuk
bertanding gulat dan yang lain untuk pertandingan silat. Yang
menjadi miang punggung pertandingan adalah pahlawan dari
pasukannya, bahkan diadakan hadiah besar, siapa saja yang
mampu membanting roboh, penantang pertandingan
mendapat hadiah seratus tahil emas murni, atau kalau dapat
menghantam sekali pada jago panggung pertandingan,
hadiahnya sepuluh tahil emas. Lapangan pertandingan ini
sudah berlangsung tiga hari hingga sekarang."
Mendengar cerita ini, Hi Yang jadi tertarik. Di antara
mereka hanya nona ini yang dibesarkan di perkampungan
yang jauh dari keramaian, sudah lama ia terpesona oleh
kemewahan kehidupan di kota, tak ia duga sesudah sampai di
kotaraja sebaliknya ia harus mengeram di dalam sebuah
kelenteng bobrok terpencil, oleh sebab itu sebenarnya ia
sedang masgul. "Mengapa kita tidak masuk kota menonton keramaian," tak
tertahan ia lantas buka suara.
Di antara mereka, Pek Thay-koan pun tergolong orang
yang suka bergerak, maka segera ia menyokong ajakan
kekasihnya itu. "Kita toh sudah merias muka sedemikian rupa, pesiar
sejenak ke dalam kota agaknya tiada halangannya," ujarnya.
Sebenarnya Kam Hong-ti tidak ingin pergi, tetapi Pek Thaykoan
pernah Suhengnya, tidak enak buat membangkang
keinginannya. Maka ia berkata, "Jika nona Hi dan Pek-suheng
ingin pergi, maka baiklah kita pergi bersama."
Kelenteng Hou-kok-si adalah satu di antara kelenteng
terbesar di Pakkhia, tiap tahun pada hari raya Capgomeh,
Pekcun dan Tiong-chiu pasti membikin perayaan selama lima
hari, suasana selalu ramai sekali. Kini meski bukan hari raya
tersebut, tetapi karena Capsi-hongcu telah mengadakan
panggung pertandingan di depan kelenteng itu, penonton
yang membanjir ternyata jauh lebih ramai daripada hari raya.
Sesampainya di tempat tujuan, Kam Hong-ti berlima yang
memiliki kepandaian tinggi, dengan gampang dapat
menerobos ke depan di antara penonton yang berjubel.
Hari ini mereka kebetulan menyaksikan panggung dimana
diadakan pertandingan gulat yang sedang berlangsung,
sebagai jago penantang adalah seorang jago gulat bangsa
Mongol, perawakan gagah dan kuat.
Setelah hampir setengah hari Kam Hong-ti dan kawankawan
menonton, mereka lihat sudah ada lima orang berturutturut
dikalahkan oleh jago Mongol itu, karena kemenangan itu
rupanya jago Mongol itupun senang sekali.
"Sudah lama kudengar di ibukota sini banyak orang pandai,
entah berapa banyak jago yang tersembunyi tak
menampakkan diri, mengapa kini tidak sudi memberi sedikit
pelajaran, apakah jago ibukota memang hanya sebegini saja?"
demikian ia sesumbar dengan congkak.
"Chit-te, kalau kau gunakan kepandaianmu 'Ciam-ih-sippat-
tiat', tanggung dia akan mendapat malu," ujar Pek Thaykoan
berbisik. "Go-ko, hendaklah jangan cari gara-gara," kata Kam Hongti.
"Aku hanya bergurau saja, siapa yang ingin ikut
bertanding," sahut Pek Thay-koan.
Begitulah selang agak lama, ternyata tiada orang lagi yang
berani terima tantangan jago gulat Mongol itu.
"Jika tiada lawan lagi, aku akan pulang mengaso, sampai
ketemu nanti sore," kata si Mongol kemudian.
Akan tetapi pada saat itu juga, mendadak di antara
penonton yang penuh sesak itu menerobos keluar seorang
pemuda terus melompat ke atas 'lui-tai' atau panggung
pertandingan. "Marilah aku yang minta sedikit pelajaran padamu!"
serunya pada jago gulat Mongol.
Nampak pemuda ini, Lu Si-nio menjadi kaget. Meski wajah
pemuda ini telah dirias lain, namun lagu suaranya belum
berubah, terang sekali pemuda ini ialah Teng Hiau-lan adanya.
Pikirnya, mengapa Hiau-lan pun datang kemari" Ia
mempunyai asal-usul yang sangat dirahasiakan, juga bukan
orang yang suka cari gara-gara, mengapa ia unjuk muka di
panggung pertandingan" Entah Nyo Tiong-eng beserta
putrinya ikut datang tidak"
Demikian Si-nio bertanya dalam hati. Tetapi ketika ia
longak-longok ke kanan dan ke kiri, ia tidak melihat seorang
kenalan pun, sementara itu di atas panggung kedua orang
sudah mulai bergebrak. Jago Mongol itu adalah jago gulat kenamaan, hakikatnya ia
tidak pandang sebelah mata pada Teng Hiau-lan yang
dianggapnya bocah ingusan, segera ia pakai dua tangannya
membetot kedua lengan Teng Hiau-lan, kakinya sedikit
melengkung, dengkulnya maju ke depan.
Ia menduga lawannya pasti akan terlempar pergi, tak
tersangka dugaannya meleset, sedikitpun Teng Hiau-lan tidak
bergerak, sebaliknya jago Mongol sendiri malah merasakan
ketiaknya geli, linu dan kaku, habis itu ia sendiri yang
terpelanting roboh. "Caramu ini bukan cara gulat!" seru jago Mongol itu sambil
melompat bangun. "Mengapa bukan?" sahut Hiau-lan. "Sudah terang kau
kuban-ting roboh!" Sementara itu penonton telah bersorak-sorai di bawah
panggung. Walaupun jago Mongol itu tahu bahwa lawannya tidak
memakai cara lazim dalam pergulatan, tapi ia sendiri pun tidak
mengerti mengapa bisa mendadak terasa linu dan lemas tak
bertenaga terus roboh terbanting" Karena itu bukan main
dongkolnya dan penuh penasaran.
"Baik, mari kita coba sekali lagi secara terang-terangan, jika
kau bisa robohkan aku, segera aku menyerah," teriaknya.
Sebenarnya Teng Hiau-lan memang tidak paham cara
bergulat, tadi ia gunakan 'Hut-hiat', yakni menutuk secara
mengebut, ia kebut 'Moa-yang-hiat' (tempat yang
menimbulkan geli dan kaku) jago Mongol ini dan paksa
lawannya roboh. Kini melihat orang masih penasaran, dalam
hati ia membatin, "Baik, biar aku hajar sekali lagi kau!"
Maka ia lantas pasang kuda-kuda menurut jago Mongol
tadi, kedua kakinya rada ditekuk dan kedua lengannya diulur
ke depan sambil berkata, "Hayo, boleh maju!"
Tanpa ayal jago Mongol itu segera menubruk maju, ia
pegang pergelangan tangan Hiau-lan terus dibetot dan
dibanting. Namun serangannya ternyata tidak membawa hasil.
Sejak tadi Hiau-lan menonton pertandingan di bawah
panggung, sudah ia pikirkan cara gulat ini yang rada mirip
dengan Kim-na-jiu, yakni kepandaian cara mencekal dan
menawan, ia pfkir, mengapa aku tidak pakai Kim-na-jiu dan
diubah sedikit" Setelah ambil ketetapan, segera ia keluarkan tenaga untuk
melawan betotan jago Mongol tadi.
Tenaga jago Mongol itu memang jauh lebih besar dari Teng
Hiau-lan, tangannya menarik dan menjegal dengan kakinya,
dengan segera tampak Teng Hiau-lan akan terbanting roboh.
Di luar dugaan, tiba-tiba tangan Hiau-lan selicin ikan dan
mendadak bisa lolos dari cekalannya, tubuhnya mendadak
sedikit menggeser, sedang tangan kiri mendorong dan tangan
kanan menarik, ia pinjam tenaga orang untuk membanting,
seketika tubuh jago Mongol yang sebesar kerbau itu kena


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilempar ke bawah panggung.
Gerak bantingan Hiau-lan justru adalah tipu paling lihai dari
tipu gulat. Teng Hiau-lan belajar tipu ini dari lawannya
ditambah memakai tenaga dalamnya, dicampur pula dengan
gerak Kim-na-jiu, akhirnya lawan kena dibanting roboh dan
dilempar ke bawah. Jago Mongol itu semula menduga dirinya
akan terbanting hingga kepala pecah dan darah mengalir, tak
tersangka lemparan Hiau-lan ternyata tepat sekali, ternyata
jago Mongol itu bisa tancapkan kaki dengan enak sekali di atas
tanah seperti diletakkan orang saja.
"Bagus, seratus tahil emas ini memang harus menjadi
bagianmu!" ia acungkan jempolnya sebagai tanda
penghargaan, nyata ia sudah menyerah betul-betul.
Atas pujian orang, Teng Hiau-lan tersenyum, tetapi
sebelum ia buka suara, tiba-tiba dari bawah panggung
melompat naik pula seorang.
"Bagus sekali, bergulat memakai Kim-na-jiu, sungguh
jarang diketemukan. Biarlah aku punya 'lui-tai' sekalian kau
pukul saja!" terdengar orang itu mengejek.
Terkejut sekali Teng Hiau-lan mendengar orang kenal gerak
tipunya tadi, ia mengerti lawan pasti bukan sembarang orang.
Ia lantas balas bertanya. Kemudian baru diketahuinya bahwa
orang ini adalah jago penantang di panggung pertandingan
silat di sebelah sana, seorang pelatih kenamaan dari pasukan
Capsi-hongcu, namanya Hun Tay-peng.
Atas tantangan tadi, Teng Hiau-lan pun tidak menolak,
dengan memberi hormat ia berkata, "Baiklah, silakan Hunkauthau
memberi pelajaran." Menyaksikan pertandingan ini, Lu Si-nio yang menonton di
bawah menjadi heran, ia tidak mengerti apa tujuan Teng
Hiau-lan ikut bertanding.
Sementara itu Hun Tay-peng yang melihat lawannya
berlaku tenang, ia mengerti orang pasti ahli Lwekang, ia ingin
mencoba kepandaian orang dulu.
"Maaf!" serunya, segera tangannya menyodok ke dada
orang, dalam pukulannya ini tersembunyi kekuatan yang
besar. Teng Hiau-lan pun tidak ayal, ia baliki tangannya terus
mendorong ke depan, namun segera ia rasakan tipu serangan
orang sudah berubah memotong dari samping, maka dengan
cepat ia tang-kiskan tangan ke atas, ia patahkan tenaga
serangan orang, berbareng sebelah tangannya yang lain
berputar dan balas memukul ke depan.
"Bagus!" seru Hun Tay-peng. la berkelit terus menubruk
maju menyerang ke tempat kosong sebelah kiri.
"Tampaknya Hiau-lan sudah banyak maju," Lu Si-nio bisiki
Suhengnya setelah menyaksikan pertandingan ini.
Kam Hong-ti mengiakan, tetapi dalam hati ia merasa
kurang senang terhadap tindakan Teng Hiau-lan, seperti juga
Lu Si-nio, ia pun tidak mengerti apa maksud tujuan pemuda
ini. Diam-diam ia omeli pemuda itu, "Hendak mencoba sampai
dimana kemajuanmu juga tidak perlu dipamerkan di tempat
ini." Begitulah setelah Hun Tay-peng menjajal kekuatan Hiaulan,
ia pun tak berani ayal, sekonyong-konyong ia rangkap
jarinya terus menutuk ke* lambung Hiau-lan, cara tutukan ini
disebut 'Tiau-jiu', adalah cara mematahkan tenaga dalam,
tenaga yang terkumpul pada jarinya tidak kepalang kuatnya.
Lekas Teng Hiau-lan sedikit putar tubuh, telapak tangannya
sedikit mendorong, sedang kepalan kanan dari tengah terus
menghantam ke muka, serangan ini memaksa Hun Tay-peng
doyongkan dirinya ke belakang sambil menarik kembali
tutukannya tadi, namun Teng Hiau-lan tidak berhenti sampai
di situ, mendadak ia merangsek maju, telapak tangan yang
lain terus memotong ke depan lagi.
"Bagus!" seru Hun Tay-peng pula. Ia angkat kedua tangan
ke atas terus ditangkiskan ke samping, dengan demikian ia
patahkan tipu serangan Hiau-lan. Begitu bergebrak, segera
mereka terlepas lagi dan masing-masing waspada.
"Hayo lagi!" tantang Hun Tay-peng pula. Habis itu kembali
ia menubruk maju. Setelah saling jajal tenaga masing-masing, serangan
mereka sudah berubah semua, Hun Tay-peng menggeraki
tangannya naik turun secepat roda angin, ia mencecar Teng
Hiau-lan. Ilmu pukulannya disebut 'Hong-jia-jiu' (pukulan roda angin)
adalah ciptaan jago utara Ho Giok-tong, paling bermanfaat
untuk menyerang dari dekat, setelah Teng Hiau-lan mundur
dua langkah dan angkat tangannya menangkis, ia paksakan
diri menyambut dua puluhan jurus pukulan orang, namun
akhirnya ia rasakan tekanan lawan yang cukup berat.
Nampak pemuda ini terdesak, Lu Si-nio mengerut kening, ia
pikir, dengan kepandaian Teng Hiau-lan terang tidak di bawah
kepandaian musuhnya, tetapi mengapa tidak mampu melayani
tipu pukulan lawannya ini.
Selang tak lama, tampak Teng Hiau-lan sudah terdesak
sampai tepi panggung, penonton yang dekat di bawah
panggung menyingkir kuatir ketubruk bila orang terjungkal
jatuh. Tak tersangka mendadak Teng Hiau-lan meloncat ke atas,
dengan cepat ia melayang lewat melalui atas kepala Hun Taypeng,
ketika ia putar balik tubuhnya, ilmu pukulannya segera
berubah. Melihat dalam keadaan terdesak Teng Hiau-lan masih
mampu menyingkir menyelamatkan diri, para penonton
bersorak-sorai memuji, sebaliknya Hun Tay-peng terkejut, ia
lihat pemuda ini bergerak secara gesit, perubahan tipu
pukulannya pun aneh tanpa bisa diraba! Kemana ia
menyerang dengan pukulan 'Hong-jia-jiu', ke sana pula Teng
Hiau-lan menyingkir, ia desak ke timur, lawan menghindar ke
barat, tetapi ketika ia uber ke barat, tahu-tahu musuh sudah
berada di sebelah lain. Tampaknya Teng Hiau-lan seperti
sudah tahu tipu serangan musuh bakal menuju kemana, tiap
gerak tipu lawan seperti sudah terduga olehnya lebih dulu.
Mengapa Teng Hiau-lan bisa mendadak berubah di atas
angin" Kiranya selama tiga tahun pemuda ini berada di bawah
bimbingan Ie Lan-cu, yang menjadi pokok pelajarannya adalah
Kiam-hoat atau ilmu pedang, sedang ciang-hoat atau ilmu
pukulan tangan kosong ia pun paham tetapi tidak terlatih
dengan baik. Meski demikian, Thiansan-ciang-hoat memang
tercipta dari intisari berbagai cabang silat, bila bisa
menggunakannya secara tepat, untuk melayani cabang silat
mana saja boleh dipastikan sanggup bertahan dan tidak nanti
kalah. Memang Teng Hiau-lan masih kurang pengalaman dalam
pertarungan, belum pernah juga ia melihat ilmu pukulan
'Hong-jia-jiu' lawan, maka semula ia rada kepayahan melayani
ilmu pukulan lawan yang aneh ini. Tapi setelah lewat dua tiga
puluh jurus, lambat-laun ia dapat memahami gerak tipu orang,
ia lantas mainkan 'Si-mi-ciang-hoat' dari Thian-san-ciang-hoat
untuk mematahkan pukulan lawan dari jarak dekat.
Meski Thian-san-ciang-hoat yang Teng Hiau-lan pelajari
baru setengah matang, tetapi untuk melayani Hun Tay-peng
sudah boleh dikata berlebihan. Oleh sebab itu dalam
pandangan golongan ahli sebangsa Kam Hong-ti dan Lu Si-nio,
tampaknya Ciang-hoat Teng Hiau-lan masih banyak
kelemahan, namun dalam pandangan Hun Tay-peng sudah
luar biasa hebatnya. Sementara itu makin lama semakin cepat Teng Hiau-lan
cecar lawannya, karena sudah kewalahan, selagi Hun Taypeng
hendak berseru berhenti, namun sudah terlambat,
pundaknya kena digebuk sekali oleh telapak tangan Teng
Hiau-lan, untung Hun Tay-peng cukup kuat badannya dan
sudah terlatih, ia hanya sedikit sempoyongan dan tidak sampai
jatuh tersungkur. . "Maafkan!" kata Teng Hiau-lan sembari menghentikan
pukulannya lebih jauh, dengan tangan lurus ia lantas berdiri di
tempat. Di belakang panggung Lui-tai itu terdapat sebuah tenda, di
bawah sorak-sorai yang ramai, dari tenda itu keluar seorang
perwira dan berkata pada Teng Hiau-lan, "Silakan Enghiong
(ksatria) masuk ke dalam untuk terima hadiah!"
Dalam pada itu Hun Tay-peng telah umumkan di hadapan
para penonton bahwa pertunjukan hari ini sudah berakhir.
Sekalipun demikian, penonton yang terpesona oleh
pertandingan tadi masih terus berjubel belum mau bubar.
Setelah Teng Hiau-lan ikut perwira tadi masuk ke dalam
tenda, sebagai salam perkenalan perwira itu mengulur
tangannya yang lantas dijabat oleh Teng Hiau-lan, tetapi
pemuda ini menjadi kaget ketika tiba-tiba ia merasa tenaga
pihak lawan besar sekali hingga kelima jarinya yang
tergenggam itu terasa kesakitan.
"Memang betul-betul orang berkepandaian!" terdengar
perwira itu berkata dengan gelak tertawa sambil melepas
tangannya. Habis itu ia lantas tanya nama orang, sudah tentu tidak
nanti Teng Hiau-lan katakan nama yang sebenarnya, ia
perkenalkan nama palsunya yang ia reka sendiri.
"Siaute menjadi Thongling (setingkat kapten) dari pengawal
pribadi Capsi-hongcu, selama ini ikut pasukan ekspedisi ke
barat, maka tiada tempo buat berkenalan dengan para
pahlawan, sungguh memalukan sekali," perwira itu membuka
suara pula. Mendengar kata-kata itu, maka mengertilah Teng Hiau-lan
siapa yang berhadapan dengan dirinya ini.
"Kiranya Pui-thongling, maaf aku kurang hormat!" kata
Teng Hiau-lan. Di dalam pasukan Capsi-hongcu ada dua orang yang ilmu
silatnya sangat tinggi, seorang di antaranya ialah perwira ini,
kapten pengawal pribadi yang bernama Pui Kin-beng. Sebelum
Teng Hiau-lan pukul Lui-tai, ia sudah dengar nama orang,
sebab itu segera ia tahu siapa orang di hadapannya ini.
"Hendaklah Congsu (orang gagah) tunggu sebentar, biar
aku suruh mereka ambil hadiahnya," Pui Kin-beng berkata
lagi. "Siaute sudah lama mengagumi pahlawan dalam pasukan
Cap-si-pwelek, kedatanganku ini bertujuan meminta pelajaran
dan bukan mengharapkan emas," ujar Teng Hiau-lan. "Puithongling
sendiri berilmu silat tiada bandingan, mengapa tidak
jadi jago penantang?"
Pui Kin-beng bergelak-tawa. "Mari masuk ke belakang
untuk pasang omong sebentar!" ajaknya kemudian.
Sebenarnya Teng Hiau-lan sudah tahu maksud tujuan
Capsi-hongcu mengadakan panggung pertandingan itu, ia pun
tahu maksud tujuan Pui Kin-beng yang diam-diam memilih
orang pandai di belakang layar, tetapi ia sengaja bertanya
untuk menutupi maksud tujuan sendiri.
Kembali mengenai Lu Si-nio dan kawan-kawan yang penuh
tanda tanya karena kelakuan Teng Hiau-lan, sesudah mereka
menunggu di depan panggung, akhirnya nampak Teng HiauTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
lan keluar dari tenda bersama serombongan perwira, terus
mencemplak kuda ikut pergi dengan mereka, sementara itu
perlahan-lahan penonton mulai bubar dan keadaan menjadi
sepi. "Marilah kita kembali saja," ajak Kam Hong-ti dengan
perasaan gusar. Sepanjang jalan Lu Si-nio terus bungkam, mereka kembali
ke kelenteng bobrok kediaman Ling-sian Hwesio, di sini Kam
Hong-ti tidak tahan lagi, dengan kepalan ia gebrak meja.
Lu Si-nio paling rapat hubungannya dengan Kam Hong-ti,
oleh karena itu ia cukup kenal watak Suhengnya ini, ketika ia
lihat Kam Hong-ti marah, ia tahu Suhengnya mencurigai Teng
Hiau-lan, maka ia lantas mendahului berkata, "Aku kira Teng
Hiau-lan bukan manusia yang suka menjual kawan untuk
kebahagiaan sendiri!"
"Pat-moay, terhadap Teng Hiau-lan sudah tentu kau lebih
kenal daripada aku," sahut Kam Hong-ti. "Tetapi apapun juga
jadinya ia memang anak Hong dan cucu naga (maksudnya
keturunan atau berdarah kerajaan), kau pun tidak boleh
terlalu percaya padanya."
"Tetapi sejak dilahirkan, belum ada sebulan ia sudah
meninggalkan istana, selamanya ia di bawah asuhan kaum
pendekar kita, mana bisa kita pandang dia seperti pangeran
bangsa Boanciu?" ujar Lu Si-nio yang tidak sependapat
dengan Suhengnya. "Lagi pula, jika dia pikirkan kebahagiaan,
ketika di dalam istana ia bertemu dengan kaisar, saat itu ia
lantas mengaku ayah dan kembali ke pangkuan keluarganya
dan minta diberi pangkat dan harta kekayaan."
"Meski demikian, kita harus berjaga-jaga," kata Kam Hongti
pula. "Hati manusia gampang berubah, lihat saja Ang Sengtiu
pada akhir ahala Bing yang menganggap dirinya sebagai
pahlawan besar, belakangan bukankah menyerah juga pada
pihak Boanciu dan menjadi manusia terkutuk dalam sejarah"
Kini siapa yang tahu kalau Teng Hiau-lan berubah hatinya, ia
lihat In Te paling besar harapannya naik takhta, ia lantas
bermaksud ikut padanya?"
"Memang tidak salah kalau Chit-ko berpikir panjang, tetapi
kita harus memandang lebih jauh baru bisa menentukannya,"
ujar Lu Si-nio pula. "Baik, dalam tiga hari pasti aku bisa mendapatkan kabar
beritanya," kata Kam Hong-ti akhirnya.
Tiga hari kemudian, betul juga Kam Hong-ti telah
mendapatkan keterangan mengenai Teng Hiau-lan.
"Dugaanku ternyata tidak meleset, memang betul Teng
Hiau-lan telah menyerah pada In Te, ia telah menjadi
pengawal pribadi ln Te dan berpangkat Tothong (setingkat
letnan)," secara gemas Kam Hong-ti memberitahukan pada Lu
Si-nio. Mendengar penuturan ini. Lu Si-nio mengerut kening, ia
terdiam dan merenung sejenak.
"Ya, umpama betul begitu, mungkin di dalamnya ada
alasan lain," katanya kemudian.
Namun Kam Hong-ti masih tetap pada pandangannya.
Katanya, "Segala hendaklah jangan selalu berpikir segi
baiknya saja, dulu pernah kita bantu dia menyelesaikan selisih
pahamnya dengan Nyo-loenghiong dan Kwantang-si-hiap serta
kawan-kawan Bu-lim, tetapi kini ia sudah menerima jabatan
dalam pasukan Boanciu, kita tak dapat memandang padanya
seperti dahulu kala. Harus diketahui, justru karena Teng Hiaulan


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar dari asuhan kaum pendekar, pula kenal baik sekali
dengan kita, bila kini ia berubah hati dan membantu kaum
Boanciu untuk bermusuhan dengan kita, inilah betul-betul satu
musuh yang paling berbahaya!"
"Dan kalau begitu, menurut pendapat Suheng harus
bagaimana?" tanya Lu Si-nio.
"Kita harus bertindak cepat, pada waktu ia belum
memegang kekuasaan, kita bunuh saja dia!" sahut Kam Hongti.
"Bunuh dia?" Lu Si-nio menegas.
"Ya, apakah kita harus piara macan untuk menantikan
bahaya di kemudian hari?" sahut Kam Hong-ti.
"Tetapi bagaimanapun juga kita harus temui dia dulu, kita
harus tanya yang terang," ujar Lu Si-nio masih menyangsikan
tuduhan Suhengnya ini. "Memang Pat-moay selalu berhati lemah. Baiklah, kalau kau
harus bertemu dengan dia, kita besok pergi ke Bing-capsahling
(kuburan tiga belas raja ahala Bing)," kata Kam Hong-ti.
"Apa kau sudah berjanji dengan dia?" tanya Si-nio dengan
girang. "Bukan aku yang janji dengan dia, tetapi In Te yang
berjanji dengan dia," sahut Kam Hong-ti.
Lu Si-nio jadi heran. "Apa maksudnya?" ia bertanya.
"Besok ln Te hendak berburu ke Bing-ling dengan
membawa serombongan pengawal pribadi kepercayaannya,
aku mendapat kabar bahwa Teng Hiau-lan pun ikut di antara
Sepak Terjang Hui Sing 2 Lambang Naga Panji Naga Sakti Karya Wo Lung Shen Tembang Tantangan 26
^