Pencarian

Tiga Dara Pendekar 15

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 15


mereka," Kam Hong-ti menerangkan.
Bing-capsah-ling atau tiga belas kuburan raja dinasti Bing
letaknya di bawah Tiang-siu-san di utara kota Pakkhia, nama
itu adalah sebutan keseluruhan bagi ketiga belas kuburan raja
Bing yang berturut-turut, di sekitar kuburan ini, di lingkungan
tanah seluas ratusan li, di sebelah timur, barat dan utara
penuh dengan puncak bukit yang menjulang tinggi mirip alingaling
saja, sedang sebelah selatan adalah tanah datar yang
mirip mulut trompet menjulur ke kota Pakkhia, di mulut jalan
ini berdiri dua bukit yang disebut Liong-san dan Hou-san
(bukit naga dan harimau), yang berkedudukan mengapit.
Desa sekitar kuburan agung itu, semua memakai nama
kuburan raja itu. Setelah bangsa Boanciu masuk ke
pedalaman, daerah kuburan ini ditetapkan sebagai lapangan
berburu, rakyat jelata dilarang keras masuk ke daerah
terlarang ini untuk berburu. Tetapi kalau orang berdiri di
lereng gunung sekitarnya, keadaan dalam daerah cekung atau
tanah mangkok ini dapat tertampak dengan jelas.
Begitulah, besok paginya Kam Hong-ti dan Lu Si-nio sudah
berada di kuburan itu, mereka datang ke kuburan utama dari
Bing-ling, yaitu yang disebut Tiang-ling, kuburan Kaisar Bing
Seng Co, mereka menanti di atas bukit sekitarnya.
Bangunan Tiang-ling terhitung yang paling megah di antara
ketiga belas kuburan agung itu, meski kuburan itu terhitung
daerah terlarang, tetapi bila dipandang dari atas bukit, pilar
dan batu nisan yang berdiri tegak dengan megahnya, patung
batu yang berjajar, semuanya tertampak cukup jelas.
Ketika Lu Si-nio memandang dari atas, tak tertahan
perasaannya bergolak, ia teringat pada tanah airnya yang
terjajah, seketika air matanya berlinang.
Melihat Sumoaynya berduka, lekas Kam Hong-ti menghibur.
"Jika Suhu ada di sini, dia orang tua entah akan bagaimana
rasa dukanya," ujar Lu Si-nio pilu.
Sebagaimana telah diterangkan, guru mereka, Tok-pi-sin-ni
adalah putri Kaisar Cong-cing, kaisar terakhir dari ahala Bing.
Teringat pada gurunya, maka bungkamlah Kam Hong-ti, ia
pun berduka dan tak sanggup buka suara pula.
Begitulah, setelah mereka menunggu hampir dekat lohor,
tiba-tiba mereka lihat jalanan yang menuju ke tanah kuburan
ini debu mengepul tinggi, belasan penunggang kuda
mendatangi secepat terbang, supaya tak kepergok orang, Kam
Hong-ti dan Lu Si-nio sembunyi di belakang sebuah pohon
besar. Selang tak lama, rombongan orang tadi sudah sampai
di depan istana Tiang-ling dan mengaso. Ketika Lu Si-nio
meneliti, betul juga ia lihat Teng Hiau-lan ikut bersama
mereka, bahkan berkata sangat hormat terhadap In Te.
"Bagaimana kini?" tanya Kam Hong-ti pada Sumoaynya
setelah bukti sudah nyata.
Karena itu Lu Si-nio menjadi bungkam, tak mampu ia
mendebat Suhengnya lagi. "Coba dengan cara bagaimana kita memancing dia buat
bicara dengan kita?" akhirnya Lu Si-nio berkata.
"Hal ini rada sukar, ya sukar sekali," ujar Kam Hong-ti.
Tetapi setelah ia pikir sejenak, tiba-tiba berkata lagi, "Kau
membawa senjata rahasia tidak?"
"Bawa," sahut Si-nio.
"Sebentar kau coba berusaha membunuh In Te, kau
sengaja unjuk diri untuk Teng Hiau-lan, coba lihat apa
tindakannya," ujar Kam Hong-ti.
"Tetapi kalau sekali pukul dengan tepat aku berhasil
membunuh In Te, apa ini bukan membantu si keparat In
Ceng?" kata Lu Si-nio dengan tertawa. "Sungguhpun pangeran
Boanciu yang mana saja bakal naik takhta tidak nanti ada
yang berfaedah untuk bangsa Han, tetapi aku paling benci In
Ceng, seumpama aku disuruh pilih, aku lebih suka In Te yang
naik takhta." "Memangnya, siapa yang tidak benci In Ceng?" sahut Kam
Hong-ti dengan tertawa. "Tetapi aku suruh kau menyerang In
Te hal ini tidak berarti kau harus membunuh dia, cukup kalau
memberi sedikit tanda padanya, perlunya hanya untuk melihat
bagaimana reaksi Hiau-lan. Ilmu entengi tubuhmu sangat
tinggi, begitu kau unjuk diri, pancing agar para pengawal
mengejar kau, pasti mereka tak mampu menyusul kau. Saat
itu bila Teng Hiau-lan sudah terang membantu In Te dan
melawan kau, segera aku bereskan nyawanya."
Mendengar kata-kata Suhengnya yang tegas ini, Lu Si-nio
tergetar hatinya, ia tahu sekali Kam Hong-ti berkata, tentu ia
lakukan, tapi soalnya sangat penting, tidak enak membantah
lagi. Hanya dalam hati ia berdoa semoga Teng Hiau-lan tidak
menyerah pada kerajaan Boan.
Sementara itu setelah In Te bersama rombongan mengaso
sejenak, ia lantas membawa anjing pemburu berjalan keluar
dari kuburan Tiang-ling. Lapangan berburu terletak di sebelah
barat Tiang-ling, kebetulan mereka harus melalui bukit dimana
Kam Hong-ti dan Lu Si-nio bersembunyi.
Dalam pada itu, Lu Si-nio sudah berkeringat menanti orang,
ia lihat In Te lewat di depannya dan Teng Hiau-lan justru
berada di samping pangeran itu, ia lihat Kam Hong-ti memberi
tanda menyerang dengan ujung mulutnya. Tidak ayal lagi,
sekonyong-konyong Lu Si-nio menubruk keluar dari tempat
sembunyinya, terus ayun tangan, sekaligus tiga buah belati
disambitkan melalui tiga jurusan.
Dalam sekejap tertampak Teng Hiau-lan melolos pedang
pusakanya, Yu-liong-pokiam, sekali sampuk ia pukul jatuh
belati yang datang dari jurusan tengah, In Te sendiri sudah
berpengalaman di medan pertempuran, dengan sendirinya
gerak tubuhnya pun cepat, mendadak ia gunakan gerakan
'Hong-hong-tiam-thau' (burung cendrawasih memanggut
kepala), ia hindarkan sambaran belati yang menyerang dari
sebelah kiri, sedang pengawal yang lain pun berhasil
menyambut belati sebelah kanan dengan jepitan jarinya lalu
disambitkan kembali. "Tangkap pembunuh!" pengawal itu berteriak.
Ketika mendadak Teng Hian-lan melihat seorang wanita
muda menubruk keluar dari samping jalan, sekalipun orang
sudah berubah muka, namun ia tahu wanita muda ini tentu Lu
Si-nio adanya, ia jadi tertegun sejenak, dalam pada itu para
pengawal yang lain secara beramai sudah mengembut maju.
"Tangkap dia!" sem In Te pada bayangkaranya.
Teng Hiau-lan sendiri setelah tertegun dan ragu-ragu
sejenak, segera ia putar pedangnya ikut menguber.
Di samping sana, Kam Hong-ti dapat melihat dengan jelas
cara Teng Hiau-lan membela In Te dengan mati-matian, ia
menjadi gusar sekali. Waktu itu para pengawal yang mengudak Lu Si-nio sudah
sampai di kaki bukit sebelah barat, Teng Hiau-lan agak
belakang menguber, ia jadi ketinggalan rada jauh. Maka tanpa
ragu-ragu Kam Hong-ti incar baik-baik pemuda ini, sekali ia
ayun tangan, enam buah pisau terbang dihamburkan
berbareng dengan sinar mengkilap, semuanya diarahkan ke
tempat berbahaya di tubuh Teng Hiau-lan.
Di luar dugaan, pada waktu Kam Hong-ti ayun tangan, saat
itu juga tiba-tiba terdengar suara jepretan gendewa beruntun,
menyusul enam buah Hui-to yang dia sambitkan tadi terpukul
jatuh di udara. Sungguh tidak kepalang kejut Kam Hong-ti
atas kejadian ini. Dalam pada itu terdengar pula suara mendesir, dua buah
peluru menyambar lewat di atas kepalanya, tiba-tiba Kam
Hong-ti jadi teringat pada seorang, ia balik tubuhnya tems
menguber ke tempat datangnya pelum, ia lihat di atas bukit
sebelah utara ada bayangan tubuh tinggi kums secepat
terbang tumn sampai di kaki bukit, lekas Kam Hong-ti
keluarkan kepandaian berlari cepat 'Pat-poh-koa-sian' atau
mengejar tonggeret dalam delapan langkah, dengan kencang
ia udak orang itu, dalam sekejap sudah mengejar melampaui
dua bukit. "Nyo-locianpwe! Mengapa bergurau padaku?" Kam Hong-ti
bersem. Mendadak orang tinggi kums di depan itu berhenti dan
berpaling, maka tertampaklah jenggot orang yang panjang
melambai tertiup angin pegunungan.
"Kam-tayhiap, hampir saja kau bikin kacau umsan besar!"
kata orang tua yang bukan lain adalah Thi-cio-sin-tan Nyo
Tiong-eng. Kam Hong-ti tercengang atas ucapan orang, ia bingung,
tadinya ia mengira orang tua ini sengaja membela muridnya
sendiri. "Apakah kedatangan Locianpwe berhubungan dengan
urusan Teng Hiau-lan?" segera ia bertanya.
"Betul," jawab Nyo Tiong-eng.
Kam Hong-ti menjadi heran, ia tidak habis mengerti atas
kelakuan orang tua ini. "Locianpwe adalah pemimpin kalangan
Bu-lim yang dijunjung tinggi, mengapa membela murid yang
berkhianat?" tanyanya kemudian.
"Haha! Biarlah sekali ini ganti aku yang mohonkan ampun
untuk muridku," sahut Nyo Tiong-eng dengan tertawa. "Hiaulan
menanggung penderitaan batin yang maha besar, punya
urusan pribadi yang maha rahasia dan sekali-kali ia bukan
manusia penjual kawan yang terkutuk!"
Kembali Kam Hong-ti bingung sejenak oleh serentetan
"maha" perkataan orang, ia masih ingat apa yang dikatakan
ini adalah perkataan sendiri yang pernah diucapkan untuk
Teng Hiau-lan dahulu kepada Nyo Tiong-eng, oleh sebab itu,
tanpa terasa tergerak juga hatinya.
"Jika Locianpwe sendiri berkata demikian, tentulah aku
orang she Kam ini yang sembrono," ia meminta maaf sembari
memberi hormat. Kam Hong-ti dan Nyo Tiong-eng masing-masing terkenal
sebagai pendekar yang dijunjung tinggi dan dihormati, sebagai
pemimpin dunia persilatan yang seorang di utara dan yang
lain di selatan, sebab itu, dulu begitu Nyo Tiong-eng
mendengar perkataan Kam Hong-ti, seketika lenyap salah
pahamnya pada Teng Hiau-lan, sebaliknya kini setelah Kam
Hong-ti mendengar Nyo Tiong-eng berkata demikian, maka ia
pun yakin Teng Hiau-lan pasti bukan manusia jahat.
Dalam pada itu, selagi Kam Hong-ti hendak bertanya
sebab-musababnya, ia dengar Nyo Tiong-eng telah buka suara
dengan tertawa, "Sumoaymu pun sudah datang!"
Ketika Kam Hong-ti berpaling, betul juga ia lihat Lu Si-nio
sedang meloncat turun dari atas bukit sebelah depan, tidak
antara lama, nona itupun sudah sampai di hadapannya.
"Kawanan pengawal itu kena aku pancing dan berputar
keliling beberapa kali, sampai kini mungkin mereka masih kian
kemari berputar di lembah gurung sana!" tutur Lu Si-nio
dengan tertawa geli. Lalu ia sambung lagi, "Di atas bukit sana
aku lihat Nyo-locian-pwe telah memancing Suheng ke sini,
tentunya kalian sudah berbicara dengan Hiau-lan bukan?"
Kam Hong-ti menggeleng kepala atas pertanyaan ini.
"Tidak perlu bicara dengan dia," ujar Nyo Tiong-eng
kemudian. "Ada seorang tokoh luar biasa yang tinggal di
pedusunan dekat sini, justru dia ingin sekali berbicara dengan
kalian." Kam Hong-ti menjadi terkejut, ia pikir tokoh macam apakah
sampai Nyo Tiong-eng begitu memujanya"
"Mungkinkah salah seorang pendekar?" tanya Lu Si-nio.
"Setelah kalian bertemu tentu akan tahu," sahut Nyo Tiongeng
sengaja jual mahal. Ia lantas bawa Kam Hong-ti dan Lu Si-nio menuju ke
lembah gunung sebelah yang lain, akhirnya tertampaklah
rumah pedusunan yang pendek kecil tersebar di lereng
pegunungan yang naik turun.
Nyo Tiong-eng membawa mereka sampai di luar sebuah
rumah kecil lalu berhenti, terdengarlah oleh mereka di dalam
ramah ada orang sedang menyanyikan sajak, sajak patriotik
yang membangun semangat. "He, kiranya Can-pepek ada di sini," seru Lu Si-nio
kegirangan setelah kenal suara orang.
Segera ia maju mengetuk pintu, sedang suara bersajak di
dalam seketika berhenti, ketika pintu terbuka, tertampaklah
seorang tua kampungan yang sudah ubanan berjalan keluar,
meski berdandan sederhana sebagai petani, tetapi sinar
matanya kelihatan menyorot tajam.
Sesudah memandang sekejap pada Lu Si-nio, orang tua ini
lantas tertawa dan berkata, "Menjadi abu sekalipun aku kenal
kau si dara ini, dan yang ini tentunya kau punya Suheng,
Kanglam-tayhiap bukan?"
Mendengar orang menyebut dirinya, lekas Kam Hong-ti
memberi hormat. "Lotiang tentunya Can-losianseng dari
Pohtam bukan?"' balasnya menyapa.
"Sudah lama kita saling kenal nama masing-masing, tidak
nyana hari ini dapat berjumpa di sini," sahut si kakek dengan
gelak tertawa. Kiranya orang tua ini bernama Can Ceng, orang asal
Pohtam di propinsi Ouwlam, ilmu kesusastraan dan
perilakunya sudah lama dihargai orang, untuk menghormat
padanya, biasanya orang hanya menyebut dia 'Pohtamsianseng'
dan tidak menyebut namanya.
Pada tiga puluh tahun berselang, waktu itu ia masih
seorarg sekolahan biasa, meski tulisannya cukup baik, namun
belum tertampak ada yang luar biasa. Belakangan ketika ia
ikut ujian ke kota Enghin, ia dapat membaca tulisan Lu Liuliang
yang bersifat mengkritik, di antaranya terdapat teori soal
pertahanan menghadapi pihac musuh dari luar, ada pula teori
tentang penentangan sistim feodal. Karena tulisan ini, ia
menjadi sadar, ia kagum sekali pendapat Lu Liu-liang itu.
Sejak itulah ia membakar semua kitab pelajarannya yang kolot
dan tidak mengejar pangkat dengan ujian lagi, malah ia
mengirim muridnya, Thio Hi ke kediaman Lu Liu-liang buat
mencari kitab pelajaran, waktu itu Lu Liu-liang sudah wafat,
tetapi paman Lu Si-nio, Lu Ek-tiong, memberikan kitab
tinggalan ayahnya. Setelah memperoleh kitab tinggalan Lu Liu-liang, akhirnya
Can Ceng meneruskan cita-cita perjuangan Lu Liu-liang, ia pun
menjadikan anti Boan sebagai tugasnya. Meski ia bukan murid
yang diajar sendiri oleh Lu Liu-liang, tetapi justru ia yang
betul-betul meneruskan perjuangan Lu Liu-liang. Belakangan
Can Ceng sendiri datang ke rumah keluarga Lu di Ciangkan, ia
berkenalan dengan Lu Po-tiong (ayah Lu Si-nio), Lu Ek-tiong,
Giam Hong-kui dan kawan-kawan untuk mempelajari lebih


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendalam teori ajaran Lu Liu-liang. Oleh sebab itu sejak kecil
Lu Si-nio sudah kenal baik orang tua ini.
"Kapan Can-pepek datang ke kotaraja?" tanya Lu Si-nio.
"Belum lama, hanya tiga hari lebih dulu dari kalian," sahut
Can Ceng dengan tertawa. "Can-pepek tahu jejak kami seluruhnya?" tanya Lu Si-nio.
"Sudah banyak ketemu kawan lama di sini, mengapa tidak
tahu?" ujar Can Ceng dengan tertawa pula. "Cuma tempat
tinggal kalian aku belum tahu, kalau tidak, tentu aku sudah
menyambangi kalian dahulu dan tidak perlu minta bantuan
Nyo-losiangseng memancing kalian datang ke sini dengan
susah payah." "Apa kedatangan kami ke sini hari ini, sebelumnya Cansian-
seng pun sudah tahu?" Kam Hong-ti ikut bertanya.
"Akulah yang berusaha mengirim Teng Hiau-lan masuk ke
istana In Te, dengan sendirinya aku harus mengawasi
dirinya," sahut Can Ceng. "Kemarin ketika aku mendengar
Kam-tayhiap mencari tahu diri Hiau-lan, aku lantas menduga
hari ini pasti kalian akan menanti dia di sini."
"Untuk apa Can-pepek mengatur Hiau-lan ke dalam istana
ln Te?" kembali Lu Si-nio bertanya dengan heran.
Can Ceng tidak lantas menjawab, ia hirup tehnya dahulu.
"Bangsa Boanciu sudah ada tujuh delapan puluh tahun
masuk ke pedalaman, kekuasaan mereka sudah terpupuk
dengan kukuh, jika sekarang kita kerahkan rakyat yang setia
dan kerek bendera pemberontakan untuk merobohkan
pemerintah Boan, mungkin sudah terlalu sulit," katanya
kemudian. "Oleh karena itu harus dilaksanakan melalui dua
jalan, pertama adalah menghasut golongan panglima dalam
pasukan Boan agar memberontak, jalan lain adalah berusaha
supaya di antara bangsa mereka sendiri saling bunuh dan
curiga." Mendengar teori ini, dalam hati Kam Hong-ti tidak
sependapat, ia pikir, urusan pembangkitan kembali negara
yang maha besar mana boleh bergantung pada seseorang
saja" Memang penting juga pakai tipu muslihat untuk
mengobarkan pemberontakan, tetapi bagaimanapun tak
mungkin bisa diandalkan sebagai kekuatan pokok.
Sekalipun ia berpikir demikian, tetapi Can Ceng adalah
seorang pelajar kenamaan pada masa itu, Kam Hong-ti baru
pertama kali berkenalan, maka meski tidak sepaham terhadap
teori orang, namun tidak enak baginya untuk berdebat dengan
orang tua ini. Dalam pada itu terdengar Lu Si-nio telah buka suara pula.
"Apa maksud tujuan\paman agar supaya Hiau-lan
menghasut In Te bercekcok dengan In Ceng dan biar mereka saling
gempur dan saling bunuh?" tanya si nona.
"Ya," sahut Can Ceng. "Jika mereka saling gempur, tidak
peduli siapa di antara mereka yang menang atau kalah,
semuanya berarti merugikan bangsa Boanciu sendiri. Kerugian
di pihak mereka berarti kekuatan kita bertambah."
Habis itu ia lantas ceritakan perjalanannya ke utara sini
bersama Nyo Tiong-eng. Kiranya Can Ceng sudah lama berkelana di kalangan
Kangouw, banyak pula ia bercampur gaul dengan para
pahlawan dan patriot di kalangan pengembara, dengan Nyo
Tiong-eng mereka terhitung kenalan lama. Tiga bulan lalu ia
mengunjungi Nyo Tiong-eng dan mendengar cerita tentang
asal-usul Teng Hiau-lau yang ruwet, ia jadi tertarik dan
mendapat pikiran baru, ia anggap dapat menggunakan
pemuda itu untuk maksud tujuannya. Maka secara tergesa
mereka lantas datang di kotaraja. Setelah sampai di tempat
tujuan, mereka mengetahui Kaisar Khong-hi sedang sakit
payah, hal ini dianggap kesempatan paling baik pula. Oleh
sebab itulah Teng Hiau-lan sengaja dikirim untuk pukul Lui-tai
dan unjuk kepandaian agar bisa menyelundup masuk ke istana
In Te. "Ada satu hal yang kalian belum tahu," kemudian Can Ceng
berkata lagi. "Meski sudah ada setengah bulan In Te pulang
ke kotaraja, tetapi selama itu dia belum pernah berjumpa
dengan ayah-bagindanya, Kaisar Khong-hi."
"Betulkah begitu?" tanya Lu Si-nio heran. "Bukankah
Khong-hi paling sayang pada putra ke-14 ini, mengapa ia tidak
membiarkan dia masuk istana untuk bertemu?"
"Siapa lagi kalau bukan In Ceng yang mengacau?" ujar Can
Ceng. "Dia mendapat sokongan Long-toh yang membantunya
menjaga rapat pintu gerbang istana."
"Aneh, Khong-hi adalah orang pintar dan bisa berpikir, ia
pun bukan orang yang gampang didekati, tetapi istana kini
sudah berada di bawah pengaruh In Ceng dan komplotannya,
maka dapat dibayangkan sakit Khong-hi yang sudah parah
sekali." "Aku pun berpikir begitu," sahut Can Ceng. "Oleh sebab itu
aku ingin mereka saling gempur sendiri di dalam, hal ini harus
dilaksanakan selekasnya."
Setelah pasang omong sebentar, lalu Lu Si-nio tanya Nyo
Tiong-eng, "Dan dimanakah putrimu?"
"Aku kuatir dia bikin onar, maka tidak mengajak dia," sahut
Nyo Tiong-eng. "Dia sudah bertunangan dengan Hiau-lan."
Mendengar kabar ini, berulang kali Lu Si-nio mengucap
selamat pada orang tua itu, tetapi dalam hati ia pikir biasanya
Hiau-lan benci dan muak terhadap gadis itu, dikuatirkan
perjodohan ini bakal terjadi sesuatu"
Karena pikiran ini, Lu Si-nio rada tak tenteram hatinya,
tetapi tak berani mengutarakannya.
"Anak Eng, kau punya hari baik mungkin juga sudah dekat
bukan?" dengan tertawa Can Ceng menggoda Lu Si-nio.
"Sebelum aku datang ke rumah Nyo-loenghiong, pernah aku
naik ke Sian-he-nia dan bertemu Cay-khoan, ia sudah bisa
keluar biara dan berjalan di pelataran."
Lu Si-nio menjadi kemalu-maluan, mukanya bersemu
merah, tetapi dalam hati sangat girang mendengar kabar baik
kekasihnya. "Ketika aku mengunjungi kamar tulisnya, malah aku
merampas sebuah sajaknya," kata Can Ceng pula.
"Mengapa harus dirampas?" tanya Lu Si-nio tak tahan lagi.
Can Ceng bergelak tertawa. "Setelah kau lihat tentu kau
akan tahu sendiri!" sahutnya.
Lalu ia keluarkan selembar kertas dari bajunya, ternyata
tulisan di atasnya betul adalah tulisan Sim Cay-khoan. Apa
yang tertulis di atasnya bukan lain sebuah sajak cinta yang
merindukan kekasih, betapa dalam rasa cintanya dan betapa
mesra keinginan akan bersua kembali, semua terlukis dalam
sajak Sim Cay-khoan ini. Sehabis membaca sajak sang kekasih, Lu Si-nio sendiri
girang sekali dan rada malu, namun dalam hati ia pikir, setelah
urusan di sini selesai, segera aku harus kembali ke sana buat
mendampinginya. Kembali pada Teng Hiau-lan, hari itu setelah mendadak
nampak Lu Si-nio dan Kam Hong-ti, ia jadi terkejut, kuatir
tugasnya menjadi runyam dan ketahuan In Te. Syukur
kemudian Kam Hongti dipancing menyingkir oleh Nyo Tiongeng,
ia pun lantas menyusul pengawal yang lain mengejar
hingga melintasi beberapa bukit, sampai akhirnya Lu Si-nio
menghilang baru mereka balik kembali.
Ketika melihat para pengawalnya tak berhasil menangkap
pe-nyatron, In Te menjadi tidak senang. Katanya, "Dua
perusuh sepele saja tak bisa menangkapnya, apa gunanya
kalian ini?" Karena dampratan ini, para pengawal tak berani bersuara.
"Masih lumayan kau, siapa gerangan yang membantu kau
dengan Didikan peluru gendewa secara diam-diam tadi?"
demikian In Te bertanya pada Teng Hiau-lan.
"Hamba sendiri tidak tahu," sahut Hiau-lan.
In Te pun tidak mengusut lebih jauh, ia urung berburu dan
segera pulang ke kota. Diam-diam Teng Hiau-lan bergirang karena terhindar dari
prasangka, tak terduga setelah kembali sampai di istana
pangeran, mendadak In Te menuding dia dan membentak,
"Tangkap dia!" Segera pengawal dari kedua samping menubruk maju
dengan cepat, akan tetapi Teng Hiau-lan sedikitpun tak
melawan, ia menyerah membiarkan dirinya ditangkap.
"Kau diam-diam bermaksud jahat, terang kau sejalan
dengan kaum pembunuh tadi, apa kau kira aku bisa
dikelabui?" bentak In Te pula.
Hiau-lan pura-pura mengeluh dan menyatakan
penasarannya. "Hamba kurang hati-hati melakukan
penjagaan, dosa ini memang besar," katanya membela diri.
"Tapi jika dibilang hamba bersekongkol dengan kaum
penjahat, meski mati pun hamba tak terima."
"Tetapi mengapa pada waktu mengejar pembunuh wanita
itu, kau ketinggalan jauh di belakang?" tanya In Te pula.
"Itu karena hamba menderita sedikit luka, meski tidak
parah, tetapi hamba terkejut juga, oleh karenanya rada
terlambat mengubernya," Hiau-lan menerangkan.
Habis itu, ia lantas mengulur pergelangan tangan dan betul
ada goresan sepanjang tiga senti bekas kena senjata tajam.
Kiranya pada waktu Teng Hiau-lan menyampuk belati terbang
yang disambitkan Lu Si-nio, ia sengaja angkat pedangnya dan
membiarkan sebuah belati itu menyerempet pergelangan
tangannya. Melihat bukti ini, wajah In Te tertampak rada pulih kembali
seperti biasa. Katanya, "Mengapa tidak kau katakan sejak
tadi?" "Sebab hanya luka sedikit, hamba tak berani bikin ribut dan
pamer," sahut Teng Hiau-lan.
Penuturan ini makin membikin In Te percaya, air mukanya
pun berubah lebih baik lagi. "Kalau begitu, ternyata kau cukup
setia padaku," ujarnya.
"Tuanku yang bijaksana tentu mengetahui," sahut Hiau-lan.
Sementara itu kedua mata In Te yang menyorot tajam
masih terus mengerling pergi datang, Hiau-lan teringat pada
pesan Can Ceng agar berlaku tabah tapi hati-hati, maka ia
tetap berdiri di tempat dengan lagak biasa, tidak mengunjuk
sesuatu tanda yang mencurigakan.
Selang tak lama baru terdengar ln Te buka suara, "Baiklah,
kalau begitu akulah yang telah salah menyangka kau. Boleh
lepaskan dia!" Segera Teng Hiau-lan menjura dan mengucapkan terima
kasih. "Kau ternyata betul-betul setia, besok kunaikkan
pangkatmu menjadi Tothong pengawal pribadiku," terdengar
In Te berkata dengan wajah senang.
Karena kejadian itu, semalam suntuk Teng Hiau-lan tak
enak tidur, Capsi-hongcu ternyata begini cerdik, ia kuatir rasa
curiga pangeran itu tidak gampang dibikin lenyap.
Betul juga dugaannya, pada malam hari kedua, In Te
perintahkan orang panggil dia seorang diri masuk ke kamar
rahasia. Keruan hati Teng Hiau-lan berdebar tak tenteram.
"Harap kau menyelesaikan satu urusanku," demikian In Te
berkata padanya. "Silakan tuanku menerangkan," sahut Hiau-lan.
"Urusan ini sangat gampang dilaksanakan," ujar In Te,
berbareng ia lantas ambil seutas tali tambang dan sebotol
obat, lalu menyambung lagi, "Hendaklah kau pergi membunuh
seorang tawanan. Setelah kau jirat lehernya dengan tali ini
hingga mati, kau boleh siram mayatnya dengan air obat ini.
Ini adalah obat mujizat dalam istana, sehabis disiramkan,
mayatnya segera hancur-luluh menjadi air darah. Tawanan itu
tersekap di kamar ketiga di atas loteng sebelah timur istana
ini. Pergilah kau!" Hiau-lan terima perintah itu, ia berangkat tanpa ragu-ragu,
ketika sampai di kamar tahanan itu, ia dorong pintu kamar,
maka terdengar olehnya suara rintihan seorang di tempat
gelap. Hiau-lan tutup kembali pintu kamar itu, ia nyalakan api
dengan batu geretan-nya, maka tertampak olehnya seorang
laki-laki dengan rambut terurai dan muka kotor sedang
meringkuk di pojok kamar.
"Bagus, boleh kau bunuh aku! Bangsa Han dan rakyat kami
tidak nanti menyerah begini saja! Coba saja kalian bangsa
anjing bisa sewenang-wenang hingga kapan?" demikianlah ia
dengar tahanan itu sedang mencaci-maki sambil merintih.
Terkejut sekali Teng Hiau-lan, dari lagu suara yang
diucapkan, rupanya orang segolongan dengan dirinya.
"He, kau tawanan celaka ini, hari ini adalah hari
kematianmu, ada apa lagi yang hendak kau katakan pada saat
terakhir?" segera Hiau-lan maju membentak.
Tawanan itu membuka mata. "Kau ini bangsa asing atau
bangsa Han?" tiba-tiba ia bertanya.
"Peduli apa kau pada diriku!" sahut Hiau-lan.
"Tampaknya kau adalah bangsa Han, tetapi mengapa
terima jadi anjing dan alap-alap pemburu bangsa asing?"
tegor orang itu. Hiau-lan tidak menjawab, ia mengeluarkan tali yang
dibawanya tadi, tetapi pikirannya tak tetap dan ragu-ragu
antara membunuh atau menolong dia lolos" Jika harus bunuh
dia, terang dalam hati tak tega" Kalau tidak bunuh dia, tugas
yang diberi Can Ceng pasti gagal karenanya.
Tengah ia ragu-ragu, tiba-tiba ia dengar orang itu bertanya
lagi. "Coba aku ingin tanya sekali lagi, kini waktu apa?"
"Hampir dekat tengah malam," sahut Hiau-lan.
"Aku telah berjanji dengan seorang yang berkepandaian
tinggi hendak menolong aku pada tengah malam nanti,
marilah kau ikut pergi bersama kami," kata orang itu.
Atas tawaran ini, pikiran Hiau-lan menjadi kacau dan
sangsi, ia maju mendekat dua langkah.
"Jika kau bunuh aku, maka selamanya kau akan menjadi
orang berdosa terhadap bangsa Han," kata orang itu pula.
Mendengar ucapan ini, tergerak hati Teng Hiau-lan, tibatiba
ia menjawab dengan tertawa dingin, "Aku hanya tahu
menjalankan tugas Pwelek, kini aku harus mengirim kau
menuju surga." Melihat Hiau-lan tidak mau dibujuk, orang itu menjadi
gusar. "Aku adalah pemimpin pasukan pemberontak di baratlaut,
kau bunuh diriku, tidak nanti saudaraku akan
mengampuni kau!" serunya.
"Tutup bacotmu!" bentak Hiau-lan. Habis ini ia lantas
angkat tawanan ini, ia keluarkan tali dan menjirat lehernya.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tolong Ji-ko!" sekonyong-konyong tawanan ini berteriak.
Berbareng mendadak dari luar jendela terdengar suara
keras, ruji jendela ternyata sudah putus seluruhnya, dalam
kegelapan dari luar melayang masuk seorang dengan pedang
terhunus terus membacok. Namun dengan gampang Hiau-lan
berkelit ke samping. "Lekas lepaskan Toakoku!" bentak orang yang baru datang.
"Ada pembunuh!" Hiau-lan pun berteriak memanggil
pembantu. Sementara itu orang sudah menyerang lagi, setelah berkelit
dua kali, Teng Hiau-lan pun mencabut pedangnya, dalam
sekejap orang sudah merangsek dengan lima kali serangan,
namun Hiau-lan tidak unjuk kelemahan, ia pun balas menusuk
empat kali. "Sungguh tidak malu, dengan kepandaianmu ini terima
membudak pada Pwelek bangsa Boanciu?" sambil bertempur
orang itu membentak. "Berani kau ngaco-belo, besar sekali nyalimu! Lekas kau
menyerahkan!" Hiau-lan pun balas membentak.
Habis itu ia percepat senjatanya terus maju mendesak.
Dalam kegelapan, dari sinar pedangnya yang mengkilap,
dapat terlihat lawannya ini ternyata bertopeng beringas dan
menakutkan. Beruntun Teng Hiau-lan pakai tipu 'Bok-ong-sin-cun' atau
kuda malaikat dari Bok-ong, dan 'Ong-tan-jing-kim' atau
burung hijau dari Ong Tan, dua tipu serangan dari Tui-hongkiam-
hoat, yang sekali ia menusuk ke bagian bawah orang
dan yang lain senjatanya tegak mengarah muka orang. Kedua
tipu serangan atas dan bawah ini sangat sulit digunakan
berbareng, akan tetapi merupakan tipu serangan yang paling
berbahaya dari Tui-hong-kiam-hoat.
Tetapi gerak tubuh orang itu cukup hebat dan tangkas
sekali, ia putar pedangnya ke atas dan ke bawah, di antara
goncangan angin pedangnya, Yu-liong-pokiam ternyata
dibentur ke samping. Hiau-lan terkejut, lekas ia tarik pedang untuk melepaskan
daya serangan lawan, habis itu ia putar senjatanya membabat
dari samping, tetapi orang bertopeng ini telah palangkan
pedang menangkis, keruan lelatu api memuncrat dan pedang
orang itu tergumpil. "Pedang bagus!" seru orang itu memuji.
Teng Hiau-lan percepat serangannya, namun mendadak ia
rasakan ujung pedang seperti kena disedot oleh sesuatu
benda dan ujung senjatanya melenceng menusuk tempat
kosong, sebaliknya pada saat yang sama tahu-tahu pedang
orang sudah menusuk sampai dekat perutnya.
Lekas Teng Hiau-lan menggeser tubuh dan berkelit ke
samping. Sebenarnya bila orang itu mau meneruskan
pedangnya, sedikitnya kulit perut Teng Hiau-lan akan terbeset,
tetapi aneh, rupanya orang ini sengaja menahan serangannya.
"Lekas sadar ke jalan yang benar dan aku akan ampuni
jiwamu!" orang itu membentak pula.
"Keparat, rasakan senjataku!" balas Hiau-lan memaki.
Ia ayun pedang ke atas, dengan tipu 'Hui-pau-liu-coan'
atau air menggerujuk arus beterbangan, sinar pedangnya
yang gemerlapan laksana beratus ribu bintik perak
menghambur turun dari atas.
Agaknya dampratan Hiau-lan tadi rada menggusarkan
orang bertopeng itu, ia angkat pedangnya dan menusuk dari
arah tengah di bawah kurungan sinar pedang Yu-liongpokiam!
Menghadapi lawan setangguh ini, mau tidak mau Teng
Hiau-lan harus keluarkan seluruh tipu serangan yang paling
hebat dari Thian-san-kiam-hoat yang beraneka macam
perubahannya. 'Dalam keadaan demikian, meski ilmu pedang
orang bertopeng itu tidak sebagus ilmu pedang Teng Hiau-lan,
tetapi karena lebih ulet, ia telah pergunakan gaya
pertempuran secara menempel, memuntir, menusuk dan
menghantam, dengan demikian ia masih bisa mematahkan
setiap serangan Teng Hiau-lan.
Setelah pertarungan berjalan sekian lama, Hiau-lan sudah
memainkan Tui-hong-kiam-hoat yang seluruhnya berjumlah
72 jurus, namun tidak sanggup menyenggol tubuh orang, dan
selagi ia bermaksud ganti dengan Si-mi-kiam-hoat yang lebih
hebat, tiba-tiba lawannya mendahului, pedang orang secepat
kilat sudah menumpang di atas pedangnya terus dipuntir
dengan kuat, tanpa kuasa senjata Hiau-lan ikut berputar
dengan pedang lawan, setelah dipuntir dua lingkaran, dengan
suara mendesir Yu-liong-pokiam terlepas dari cekalannya dan
terbang ke udara. Justru pada saat itu juga, mendadak orang bertopeng itu
tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba kamar yang gelap gulita itu
menjadi terang benderang dan tertampak Capsi-hongcu In Te
sudah berdiri di dalam kamar dengan tersenyum.
"Kau memang betul setia padaku, marilah sini!" panggil
pangeran itu. Dalam pada itu, tawanan istimewa yang meringkuk di pojok
kamar tadi tahu-tahu melompat bangun, belenggu yang tadi
berada di atas tubuhnya entah sejak kapan sudah terlepas
semua. Teng Hiau-lan mengusap keringat yang membasahi
jidatnya, dalam hati ia bersyukur dirinya tidak sampai
terjebak. Sebenarnya Teng Hiau-lan tidak menduga bahwa ln Te bisa
menjajal dirinya dengan tipu muslihat ini hingga hampir saja ia
ter-jirat karena hampir ia melepas tawanan penting tadi.
Beruntung ia masih cukup cerdik, justru pada saat ia hendak
melepaskan tawanan itu, mendadak dilihatnya sesuatu yang
mencurigakan, malahan sesudah orang bertopeng itu datang,
hal yang membikin sangsi bertambah pula, maka Teng Hiaulan
lantas turuti tipu muslihat oiang, ia sengaja keluarkan
segenap kepandaiannya untuk bertarung dengan orang itu
untuk menunjukkan kesetiaannya kepada In Te secara
sungguh-sungguh. Dimanakah letak yang dicurigai Teng Hiau-lan"
Pertama, kalau tawanan itu adalah tawanan maha penting,
sepatutnya sudah disiksa dan dianiaya, tentunya terluka parah
dan tak bisa berkutik lagi, atau ditutuk jalan darahnya, atau
dijaga rapat oleh jagoan lihai, tapi semuanya ini ternyata tidak
ada, bahkan tawanan penting ini hanya memakai belenggu
biasa saja, bagi orang yang berilmu silat tinggi, dengan
gampang pasti akan lolos.
Kedua, tawanan itu sengaja memamerkan kedudukan
dirinya yang penting sebagai pemimpin pasukan pemberontak
di daerah barat laut di hadapan jagalnya, hal ini sangat aneh
dan mencurigakan. Ketiga, jika apa yang dikatakan tawanan itu benar adanya,
sedangkan Teng Hiau-lan sebagai orang yang baru masuk
istana pangeran, mana mungkin In Te mau percaya dan
menyerahkan tugas penting itu padanya.
Keempat, setelah orang bertopeng itu datang, bukannya
dia lebih dulu menolong kawan, tetapi malah menempur lawan
lebih dulu, hal ini tidak lazim, sebab jika betul-betul kaum
pendekar dari kalangan Kangouw, yang hendak ditolong
adalah orang penting, tidak nanti membiarkan orang yang
hendak ditolongnya, malah lebih dulu menggertak lawan agar
menyerah saja. Kelima, ketika ia membentak agar Teng Hiau-lan
memberontak saja, ia suruh pemuda ini jangan menjadi budak
dari 'Pwelek' bangsa Boanciu, jika betul-betul orang itu kaum
patriot bansa Han, tidak nanti ia menyebut bangsa Boanciu
dengan sebutan agung itu (Pwelek berarti Pangeran dalam
bahasa Boan). Keenam, setelah hampir satu jam musuh datang, Teng
Hiau-lan sudah berulang kali berteriak minta bantuan, meski
tidak sedikit jagoan dalam istana pangeran itu, namun
seorang pun tiada yang muncul membantu padanya.
Kesemuanya ini sudah terang adalah jebakan yang sengaja
dipasang In Te. Semenjak Hiau-lan menginjakkan kaki di
dalam kamar tahanan itu, satu per satu dari keenam tanda
yang mencurigakan ini berturut-turut tertampak sampai
akhirnya In Te muncul, namun demikian, bila bukan orang
yang cerdas dan bisa berpikir cepat, susah juga untuk bisa
mengetahuinya. Begitulah, setelah In Te menyaksikan gerak-gerik Teng
Hiau-lan dengan terang, akhirnya ia unjuk diri dari jalan
bawah tanah. Kiranya kamar tawanan ini adalah tempat yang
dirahasiakan di istana pangeran ini dan ada di bawah tanah
yang menembus keluar. Tatkala mendadak Hiau-lan melihat ln Te unjukkan diri, ia
sengaja berlagak kuatir, dengan satu langkah kilat ia
melompat maju dan menghadang di antara ln Te dan orang
bertopeng itu. "Dia bukan pembunuh," terdengar In Te membuka suara.
"Ki-ciangkun silakan tanggalkan topengmu dan kalian berdua
boleh saling berkenalan."
Orang bertopeng mengiakan sambil mencopot topengnya,
dia ternyata bukan lain daripada ahli pedang nomor satu di
pasukan ln Te yang bernama Ki Pi-sia.
Ki Pi-sia asalnya adalah Ki-jin (salah satu suku atau
bendera dari delapan pasukan yang dibentuk bangsa Boanciu
setelah berkuasa), ilmu pedangnya banyak menghimpun
intisari Hong-lui-kiam-hoat dari Tiang-pek-san-pay, bersama
Thongling (kapten) dari pasukan pengawal pribadi In Te, Pui
Kin-beng, mereka berdua disebut sebagai dua pahlawan
pangeran ke-14 ini. Lebih-lebih karena Ki Pi-sia termasuk
orang Ki-jin, maka ia menjadi kesayangan In Te.
Begitulah, sesudah tahu siapa orang bertopeng itu, Teng
Hiau-lan lantas meminta maaf sambil berkata. "Beruntung Kiciangkun
hanya bennaksud menjajal saja, jika betul-betul
pembunuh adanya, maka nyawaku dapat dipastikan sudah
melayang sejak tadi. Kepan-daianku belum terlatih baik
sungguh memalukan." Karena umpakan ini, Ki Pi-sia tampak senang dan tertawa
lebar. "Kalau persoalkan Kiam-hoat, kau jauh lebih tinggi dari
aku, lewat berapa tahun, jika lebih gial kau melatih diri, tentu
aku bukan tandinganmu lagi," katanya.
In Te pun sangat gembira, katanya pada Hiau-lan, "Coba
serahkan botol obat itu."
Hiau-lan menurut perintah itu, ia keluarkan botol obat dari
sakunya, beruntung botol ini tidak pecah karena pertempuran
tadi. Setelah In Te terima kembali botol itu, ia buka sumbat
botol terus diteguk ke mulutnya.
Terkejut sekali Teng Hiau-lan, namun sebelum ia buka
suara, In Te sudah angsurkan botol obat itu padanya.
"Kalian tentu sudah letih karena pertarungan tadi,
minumlah seteguk juga," katanya.
Hiau-lan ragu-ragu, tetapi tak berani membantah, terpaksa
ia tirukan orang dan meneguk isi botol itu, segera terasakan
bau harum dan sedap sekali, kiranya isi botol itu adalah arak
yang paling enak dan bukannya racun sebagai dikatakan In
Te. Berturut-turut Ki Pi-sia pun ikut minum, dengan sebelah
kaki bertekuk lutut ia terima hadiah arak itu, menyusul pula si
pengawal yang menyamar sebagai tawanan penting tadi pun
ikut minum. Kiranya cara pemberian arak semacam ini, dimulai dengan
pemimpin mereka minum dahulu, sudah itu yang lain berturutturut
ikut meneguk sekali, cara ini adalah penghormatan
tertinggi dalam pasukan Boanciu, dan hanya para panglima
yang berjasa besar saja yang bisa memperoleh anugerah dari
Cukong atau junjungan mereka.
Sehabis minum arak, tiba-tiba terlihat In Te menarik muka
lagi. "Kau memiliki kepandaian tinggi, mengapa kau melamar,
dulu kau kerja apa dan dimana?" tanyanya pada Teng Hiaulan.
Akan tetapi Hiau-lan tidak menjadi gugup, dalam hati sudah
siap jawaban yang masuk di akal.
"Hendaklah Pwelek suka memaafkan, hamba ada sesuatu
hendak melapor," katanya kemudian dengan mata mengerling
ke kanan dan ke kiri. "Mereka semua adalah orang kepercayaanku, tiada
halangannya kau bicara terus terang," sahut In Te.
Segera Teng Hiau-lan mengeluarkan sebuah batu giok yang
diterimanya dari Khong-hi dahulu. "Tentunya Pwelek pernah
melihat benda ini," katanya sambil mengangsurkan giok itu
pada In Te. Pangeran ini terkejut setelah menyambut benda itu, ia
kenal batu giok itu adalah milik ayah bagindanya yang selalu
dibawa di badannya, mengapa kini bisa jatuh di tangan orang
ini. "Hamba tadinya adalah pengawal pribadi Hongsiang
(kaisar), oleh karena ada urusan maha penting, maka masuk
ke sini," Hiau-lan menerangkan.
In Te menyahut sekali, diam-diam ia membatin orang ini
hebat juga asal-asulnya. "Sejak kapan kau masuk istana?"
tiba-tiba ia bertanya sambil kedua matanya menatap Hiau-lan.
"Tahun yang lalu aku baru masuk istana," jawab Hiau-lan.
"O, kiranya begitu, tahun yang lalu aku berada di Jinghay,
pantas tidak pernah ketemu kau," ujar In Te. "Dan ada urusan
rahasia apa yang hendak kau beritahu padaku?"
"Pwelek sudah lama dipilih Hongsiang sebagai
penggantinya, apakah Pwelek sudah tahu?" kata Hiau-lan.
Sekalipun ln Te tahu bahwa ayah bagindanya paling sayang
pada dirinya, namun mengenai takhta, karena di atasnya
masih ada tiga belas kakaknya yang lebih tua, maka ia tak
berani terlalu menaruh harapan. Tetapi kini mendadak
mendapat berita baik ini, tanpa tertahan ia menjadi girang
bercampur kaget. "Selama ini Si-pwelek sangat giat berusaha memperoleh
kedudukan mahkota, tentunya Pwelek sudah tahu," sambung
Teng Hiau-lan pula. Mendengar kata-kata ini, mata In Te melotot seketika.
Maka lekas Teng Hiau-lan teruskan, "Bukannya hamba
menghasut di antara sesama saudara Pwelek, tetapi
"Tetapi kenyataan memang demikian bukan?" potong In
Te. Lekas Teng Hian-lan berlutut dan menjura membenarkan
sambil minta ampun. "Memang sudah lama aku tahu ln Ceng si keparat ini tidak
bermaksud baik!" terdengar ln Te berkata dengan mendengus.
"Maka kalau Pwelek tidak berusaha lebih dulu, mungkin itik


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sudah masak bisa terbang lagi!" ujar Teng Hiau-lan
sambil mendongak. "Apa maksud perkataanmu?" tanya In Te sembari
mendelik. "Sejak Hongsiang menderita sakit hingga kini sudah
setengah bulan, Pwelek pulang ke sini pun sudah hampir
sepuluh hari, tetapi mengapa Hongsiang belum memanggil
Pwelek menghadap?" kata Hiau-lan.
"Apakah mungkin ada kaum Dorna yang mengacau di
dalamnya?" sahat In Te dengan gusar.
"Ya, Kok-hiu (adik permaisuri) Longetoh, jenderal Ortai dan
menteri Thio Ting-giok, tiga orang ini adalah sekomplotan
dengan Si-Pwelek," Hiau-lan menerangkan.
"Memang aku sudah dengar bahwa yang berada di samping
Hu-ong (ayah baginda) kecuali beberapa tabib kerajaan dan
beberapa dayang kepercayaan, yang lain adalah ketiga orang
tadi," kata In Te. "Kalau begitu, urusan ini perlu
dipertimbangkan. Dan bagaimana menurut pendapatmu?"
"Pwelek harus berdaya-upaya menjumpai Hong-siang,"
sahut Teng Hiau-lan. "Belum mendapat titah panggilan, cara bagaimana bisa
bertemu?" tanya In Te pula. "Jika perlu, terjang saja masuk ke sana," jawab Hiau-lan.
"Lagi pula Pwelek memegang kekuasaan besar, jika siangsiang
mengatur...." Mendengar sampai di sini, mendadak wajah In Te berubah.
"Sudahlah aku paham semua maksud baikmu," katanya
memotong. "Tak usah kau teruskan lagi, bolehlah kau
mengundurkan diri dari sini."
Padahal ln Te memang sudah mengatur apa yang perlu, ia
pun mengerti In Ceng paling banyak mempunyai jago berilmu
silat tinggi, ia kuatir dirinya dipedayai, maka sengaja ia atur
pasukan besarnya di luar kota dan di^bawah pimpinan
panglima kepercayaannya, Futuh, ia telah memberi pesan
apabila mendadak ia ditahan atau ada sesuatu kejadian di luar
dugaan, segera pasukan besar ini harus dikerahkan untuk
melawan In Ceng. Bercerita mengenai perebutan kekuasaan ini, perlu
diterangkan bahwa Kaisar Kong-hi yang biasanya sehat kuat,
di atas singgasana takhtanya selama 61 tahun, malah pada
sepuluh tahun takhtanya yang terakhir ia masih mengunjungi
Lanwan (satu tempat lapang) untuk berburu, ia masih
kelihatan sehat karena masih sanggup menunggang kuda dan
mengudak rusa. Tak terduga sekembalinya berburu,
mendadak ia jatuh sakit. Biasanya orang tua yang berbadan sehat dan jarang sakit,
bila suatu ketika jatuh sakit, pada umumnya tentu susah
sembuh, begitu juga dengan Kaisar Khong-hi, beberapa hari ia
jatuh sakit, penyakitnya lantas bertambah berat.
Kemudian Khong-hi pindah ke istana Yang-jun-wan untuk
merawat penyakitnya, semula ia masih paksakan diri untuk
mengurus pekerjaan negara, tetapi makin lama semakin
payah, akhirnya ia perintahkan Kok-kiu Longetoh dan Menteri
Thio Ting-giok untuk sementara mewakilinya sebagai
'mangkubumi'. Kaisar Khong-hi adalah orang yang suka unggul, selama
hidup ia bertempur ke selatan dan ke barat, ia banyak
memajukan kesusastraan (salah satu karyanya yang terkenal
ialah 'Kamus besar Khong-hi' yang dikarang oleh sastrawan
pada masa itu atas perintahnya), pembuatan irigasi, kemajuan
pemerintahan dan ilmu silat umumnya pun berkat jasanya,
tidak nyana sesudah menginjak hari tua, belasan putranya
saling gempur dan cakar-cakaran baik secara terang ataupun
gelap, yang satu hantam sini, yang lain gempur sana hingga
Khong-hi sendiri tak berdaya.
Oleh sebab itu, sesudah ia jatuh sakit, ia makin masgul dan
tidak ingin bertemu dengan darah-dagingnya sendiri, bukan
saja In Te, sekalipun In Ceng yang berusaha dengan segala
daya-upaya mohon bertemu juga selalu ditolak, paling banyak
hanya menjura untuk bertanya kesehatan ayah bagindanya
dari luar kamar yang teraling kerai.
Apa yang In Te dan Teng Hiau-lan curigai bahwa ada kaum
dorna yang mengacau sebenarnya hanya separo saja yang
betul. In Ceng memang memperoleh bantuan dari Longetoh,
Ortai dan Thio Ting-giok yang menjadi mata-matanya, ia
menyuap pula Kiong-li (dayang), dan Thaykam yang
berdekatan dengan Khong-hi, maka setiap gerak-gerik dan
perkataan Khong-hi selalu dapat diketahui In Ceng dengan
terang. Pada tanggal 13 bulan 11 tahun 61 Kaisar Khong-hi, sakit
maharaja ternyata payah sekali, setelah minum semangkok
wedang jin-som atau kolesom, semangatnya kelihatan rada
kuat dan pikiran jernih kembali, tiba-tiba ia teringat kejadian
enam puluhan tahun yang lalu, ia merasa keagungan dirinya
yang tiada bandingan itu seperti asap dan awan yang lewat di
depan matanya, sungguhpun tidak sedikit putranya, tetapi apa
yang mereka perebutkan tidak lebih hanya urusan kedudukan
atau takhta, sedikitpun mereka tidak mempunyai kasih-sayang
antara ayah dan anak. Karena pikiran ini, ia merasakan kesunyian yang tak
terhing-ga, tanpa terasa ia teringat pada sobat baiknya di
masa anak-anak yakni Nilan Yong-yo, tetapi sayang Nilan
Yong-yo tidak berumur panjang, baru berusia 31 tahun sudah
meninggal, kalau tidak, di hari tuanya ini tentu masih ada
seorang sahabat yang dapat diajak bicara.
Begitulah, ketika kaum dayang nampak junjungan mereka
meronta ingin bangun, mereka segera mendekati dan
bertanya kesehatannya. "Di rak buku yang tengah sana ada sebuah kipas, coba
ambilkan kemari," perintah Khong-hi.
Thaykam yang diperintah jadi heran, ia tidak mengerti apa
gunanya mengambil kipas karena masa itu musim dingin"
Akan tetapi titah kaisar tidak berani ia membantah.
Maka sesudah kipas berada di tangannya, terdengar
Khong-hi menghela napas panjang.
Sekejap itu terbayang kejadian empat puluhan tahun yang
lalu, tatkala ia memimpin sendiri pasukan ekspedisi menyerbu
jauh ke barat ke daerah terpencil bersama Nilan Yong-yo,
waktu itu mereka berada di sekitar Turfan, suhu tempat ini
rada aneh, di siang hari panas terik, tapi di malam hari amat
dingin, padang pasir di luar pun sunyi senyap, dimana ia dan
Nilan Yong-yo pernah membicarakan kebangkitan dan
keruntuhan dunia dengan menunjuk tempat yang
bersangkutan. Pernah Nilan Yong-yo menasehatkan dia jangan terlalu
mengandal kekuatan militer, dirinya malah menertawakan
Nilan Yong-yo sebagai buah pikiran kaum pelajar yang lemah.
Tetapi kini, sesudah bertahun-tahun bertempur ke sana sini,
para suku bangsa yang digempurnya itu ternyata masih tetap
belum mau tunduk, agaknya apa yang dikatakan Nilan Yongyo
dahulu bukanlah tiada beralasan sama sekali.
Waktu itu pernah Nilan Yong-yo menulis sebuah sajak di
atas sebuah kipas untuknya, karena dirinya tidak suka dengan
kata-kata dalam sajak itu, maka selama ini kipasnya selalu
diselipkan di atas rak buku.
Sambil merenung Khong-hi buka kipas itu dan membaca
sajak yang tertulis di atasnya.'
Sementara itu Longetoh dan Ortai yang mendampingi Sri
Baginda, ketika nampak sang junjungan terkesima membaca
sajak itu. Sudah tentu tidak pernah menduga bahwa Kaisar
Khong-hi yang begitu lama di atas takhtanya, usia pun sudah
begitu tua, keagungan dan kejayaan sudah sampai di
puncaknya, tiada yang tahu pada saat ajalnya perasaannya
ternyata begini sunyi dan hampa.
"Semangat Hongsiang baru mulai pulih, harap jangan
terlalu membikin lelah diri," Longetoh mendekati pembaringan
Khong-hi dan berkata, "Lekas panggil Capsi-pwelek In Te ke
sini!" perintah Khong-hi dengan senyum pedih sambil
mengayun tangannya. Agaknya ia sendiri sudah tahu bakal
tidak lama lagi tinggal di dunia fana ini, maka mulai saat ini ia
hendak memberi pesan terakhir.
Di pihak lain, perebutan mahkota di antara putra pangeran
itu ternyata makin panas, dalam dua hari ini karena mereka
mendengar sakitnya Khong-hi bertambah berat, sejak pagipagi
sekali mereka sudah berkerumun di luar istana Yan-junwan
hingga jauh malam baru mereka pulang mengaso, pada
esok harinya kembali mereka berkumpul lagi, tiap orang sama
mengharapkan bakal tertimpa rezeki, meski harus menggigil
menghadapi angin dingin di musim salju, namun mereka
menanti juga di luar taman itu. Sekalipun mereka berjumpa
satu sama lain di antara saudara sendiri, namun hanya
menyapa secara dingin saja, mereka mengiri satu sama lain,
maka tiada yang saling pasang omong.
Pada hari itu tengah para putra pangeran tak sabar
menunggu, tiba-tiba mereka lihat Longetoh mendatangi
dengan berlari, seketika mereka lantas maju berkerumun.
Dalam pada itu terdengar Longetoh berseru dari jauh, "Ada
titah dari Hongsiang, para Hongcu (putra pangeran) tidak
perlu masuk ke dalam, hanya Si-hongcu yarig dipanggil
menghadap!" Keruan In Ceng girang sekali, segera ia melompat maju,
sambil menarik Longetoh mereka segera berlari masuk ke
dalam. Mendengar bahwa yang dipanggil hanya Si-hongcu In
Ceng, pangeran yang lain seketika tertegun dan kecewa, di
antara mereka Kiu-hongcu In Tong, pangeran kesembilan, wataknya
paling keras dan kasar, ia yang paling dulu membangkang.
"Tak usah peduli dia, kita semua masuk saja!" dengan ayun
tangannya ia hasut pangeran lain.
Sudah tentu semannya disambut secara beramai-ramai
oleh para pangeran, dengan membawa pengikutnya,
berduyun-duyun segera mereka menerjang masuk, pengawal
yang menjaga taman mana berani merintangi mereka. Teng
Hiau-lan dan Ki Pi-sia adalah pengikut Capsi-hongcu In Te,
tatkala itu ikut serta di antara rombongan yang membanjir ke
dalam taman. Di pihak sana, Khong-hi setelah perintahkan memanggil In
Te menghadap, ia pun berada dalam keadaan sadar tak sadar
lagi, secara remang-remang ia seperti merasakan dirinya
berada di atas gunung Ngo-tay-san, ia lihat ada seorang
Hwesio tua yang kums sedang memandangnya dengan mata
melotot gusar, ia kenal Hwesio ini bukan lain daripada ayah
bagindanya, Kaisar Sun-ti, tanpa tertahan seketika ia
ketakutan hingga sukmanya hampir terbang meninggalkan
raganya. "Hu-ong (ayah baginda), ampun!" teriaknya ketakutan.
Nampak Khong-hi seperti mengigau, Ortai lantas maju dan
menggoyang tubuhnya. "Mendusinlah Hongsiang, sebentar lagi Capsi-hongcu akan
datang!" lapornya. Dengan mandi keringat dingin saking takutnya, Kaisar
Khong-hi membalik tubuhnya di pembaringan. "Tempat
apakah ini?" mendadak ia bertanya.
"Yang-jun-wan!" sahut Ortai.
"Bohong kau, di sini Ngo-tay-san!"kata Khong-hi pula.
Nampak keadaan sang kaisar, diam-diam Ortai mengeluh,
ia tahu keadaan Hongsiang sudah terlalu payah dan sudah tak
sadar akan diri sendiri, tetapi Si-hongcu masih belum tampak
datang. Dalam pada itu terlihat Khong-hi kembali membalikkan
tubuh, lalu mendadak ia berteriak, "Kalian lekas usir Hwesio
tua itu! Lekas! Jangan perbolehkan dia masuk!"
Saat itu bam kelihatan Si-hongcu In Ceng bersama
Longetoh dengan berlari mendatangi dengan cepat.
"Hongsiang, Capsi-hongcu sudah datang!" dengan bertekuk
lutut Ortai melapor. Maka secara perlahan-lahan Khong-hi mulai sadar kembali,
ia ulur tangannya meraba ke muka ln Ceng yang sementara
itu telah berlutut di hadapan pembaringannya.
"Kau, kau, kau bukan In Te!" sekonyong-konyong Khong-hi
berteriak. "Ananda menghadap karena panggilan ayah baginda!"
sahut In Ceng, Akan tetapi tiba-tiba Khong-hi seperti sehat kembali, ia
menjadi gusar. "Bagus, bagus sekali! Aku belum mati, tapi kalian sudah
bersekongkol membohongi aku!" bentaknya keras. Berbareng
itu ia ambil serenceng biji tasbih terus disambitkan ke muka In
Ceng. Perbuatan ini membikin Longetoh berseru kaget.
Pada saat itu juga, di luar pintu terdengar suara orang riuh
ramai, dalam keadaan genting ini In Ceng harus ambil
tindakan cepat, ia mengertak gigi dan tegakkan hati,
mendadak ia menubruk ke atas pembaringan.
Tanpa ampun lagi segera terdengar Khong-hi menjerit
ngeri, pernapasan pun putus dan mangkatlah dia!
Khong-hi yang membunuh ayahnya di atas Ngo-tay-san,
kini ternyata harus menebus dosanya dengan mati di bawah
tangan putranya sendiri juga (mengenai Khong-hi membunuh
ayahnya, kaisar Sun-ti, yang menjadi Hwesio, bacalah Tujuh
Pendekar Thian-san). Kembali bercerita para putra pangeran tadi, setelah mereka
menerjang masuk ke dalam, setiba di luar kamar baginda raja
mereka lantas dicegat sepasukan Ham-lim-kun, pasukan
penjaga istana. Kiranya Longetoh pun sudah
memperhitungkan kemungkinan putra pangeran yang lain tak
menurut perintah, oleh sebab itu sebelumnya ia sudah
mengatur penjagaan. Dalam saat kritis itu segera Teng Hiau-lan mendorong In
Te. la mengisiki pangeran ini, "Pwelek harus segera ambil
tindakan cepat dan tegas!"
In Te terima kisikan ini, segera ia berteriak, "Kami datang
untuk menanyakan kesehatan Hu-ong, siapa berani merintangi
kami?" Atas protes ini, pangeran lain menyambutnya dengan
berteriak riuh gemuruh, karena perbawa itu, pasukan istana


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu menjadi keder, sekalipun senjata mereka diangkat, namun
kaki tangan mereka sudah lemas dan gemetar.
Pada saat sedang ribut itu, dari dalam kamar mendadak
terdengar suara jeritan ngeri, para pangeran menjadi
terkesima, tetapi segera ada sesosok bayangan orang
mendadak melayang lewat melalui atas kepala barisan
pasukan penjaga istana yang paling depan, terus menerobos
masuk ke dalam kamar baginda melalui jendela.
Sementara itu setelah Si-hongcu, dengan tangan sendiri
mencekik ayah bagindanya hingga mati, ketika ia lepaskan
tangannya, saking takutnya ia sendiri lantas jatuh terduduk ke
bawah ranjang. "Kionghi Hongsiang, tugas besar telah selesai!" kata
Longetoh segera sesudah nampak tindakan In Ceng berhasil.
Belum-belum ia sudah memanggil In Ceng sebagai Hongsiang.
Pada saat itu juga, tiba-tiba tampak bayangan orang masuk
dari jendela. "Siapa kau?" Ortai membentak dengan cepat dan segera
maju hendak mencegat. Akan tetapi tanpa buka suara sedikitpun, mendadak orang
itu menyerang dengan sekali pukul, ia bildn Ortai jatuh
tersungkur. Lalu orang itu berlutut di depan pembaringan, ia
mendongak dan mendadak menangis sambil mengeluh, "O,
ternyata kedatanganku terlambat!"
Orang ini ternyata Teng Hiau-lan adanya. Semasa Khong-hi
masih hidup ia tak sudi mengaku ayah padanya, tetapi kini
melihat kaisar telah mati, rasa hubungan ayah dan anak yang
timbul dari hati nurani membikin dia berlutut tanpa terasa.
Sementara itu semangat In Ceng sudah pulih kembali,
dengan cepat ia lantas melompal bangun, segera ia menubruk
sambil menutuk dengan jarinya ke 'Lou-cing-hiat' di pundak
Hiau-lan, seketika Hiau-lan roboh tak berkutik meski mulutnya
masih terbuka dan air mata berlinang.
Sebenarnya kepandaian Teng Hiau-lan sekarang sudah
menanjak lebih tinggi daripara Si-hongcu ln Ceng. tetapi
dalam keadaan kehancuran hati, mana terpikir olehnya buat
menjaga diri" "Hongsiang tak perlu kuatir," ujar Longetoh sambil
menggandeng tangan In Ceng keluar dari kamar.
Meski In Ceng belum naik takhta secara resmi, tapi
pembesar penjilat itu ternyata sudah ganti sebutan pada
pangeran itu dengan Hongsiang atau baginda.
Begitulah, setelah In Ceng tenangkan diri, ia lantas purapura
menjerit dan menangis. Ketika itu para pangeran sedang ribut di luar, ketika
mendengar suara tangisan, mereka lantas saling berebut lebih
dulu menerobos masuk, meski Ham-lim-kun, pasukan penjaga
istana segera angkat senjata, namun hanya buat menakuti
saja, tatkala pangeran itu menerjang sungguhan, mereka
lantas menyingkir. "Negara tidak boleh sehari tanpa kepala dan rakyat tidak
boleh sehari tanpa tuan," terdengar Longetoh berseru, "Kami
sebagai pembesar yang ditugaskan oleh mendiang Sri
Baginda, kami persilakan para pangeran lekas datang ke
istana Cing-tay-kong-tian untuk mendengarkan pembacaan
surat wasiat!" Karena seruan ini, para pangeran lantas tenang kembali.
Setelah Sri Baginda wafat, siapa pun tiada yang ingin masuk
kamar lagi, secara berbondong mereka menuju ke istana Cingtay-
ong-tian untuk menantikan kabar siapa yang bakal
menggantikan takhta. Sementara itu Longetoh telah menyerahkan Teng Hiau-lan
kepada pasukan Ham-lim-kun dan digiring ke dalam istana.
"Orang ini pengikut pangeran yang mana?" segera ia
bertanya di hadapan para pangeran itu.
Para pangeran sedang terburu-buru hendak menuju ke
istana Cing-tay-kong-tian, maka tiada seorang pun yang
menggubris padanya. Dalam hati In Te pun mendongkol
karena Teng Hiau-lan secara gegabah bikin gara-gara, kuatir
urusannya bisa runyam, maka ia pun tak berani mengakui
Teng Hiau-lan sebagai pengikutnya. Dalam hati ia hanya
membatin, "Biar sesudah aku naik takhta, aku bunuh saja
dia!" Sementara itu sudah hampir magrib, pintu gerbang istana
sidang kaisar itu sebenarnya sudah ditutup, tetapi karena
perlu membacakan surat wasiat kaisar di hadapan para
pangeran, pintu gerbang itu terpaksa dibuka kembali. Sedang
para kerabat atau sanak-kadang kerajaan dan pembesar tinggi
sipil maupun militer, setelah mendengar berita wafatnya
baginda raja, beramai mereka datang, begitu pula para selir
raja pun datang mendengarkan di samping istana.
Selang tak lama, semua pembesar tinggi sudah datang
lengkap. Di bawah pendopo istana penuh berjajar rapat tiga
ribu prajurit Ham-lim-kun. Para pangeran pun berjubel di
dalam istana sehingga suasana riuh ramai.
Di antara para pangeran itu, In Te sendiri pun berdebar, ia
memandangi papan besar di tengah belandar utama istana
yang ber-tuliskan 'Cing-tay-kong-beng' itu.
Dan justru dalam keadaan yang sangat tegang itu,
mendadak In Te ditarik orang dengan perlahan, ketika ia
menoleh, ia lihat bukan lain adalah orang kepercayaannya,
Thongling pasukan pengawal pribadinya, Pui Kin-beng.
"Telah terjadi pergolakan dalam pasukan!" demikian Pui
Kin-beng berbisik padanya.
Terkejut sekali In Te oleh laporan yang tiba-tiba itu. "Apa
katamu?" tanyanya. "Lian Keng-hiau mengatakan atas titah kaisar dia telah
menjabat sebagai Bu-wan-huciangkun untuk sementara
menggantikan tugas Pwelek," lapor Pui Kin-beng pula.
"Sepuluh ribu tentara Tiat-ki-kun yang dia pimpin kini sudah
berkemah di antara pasukan kita berada." (Tiat-ki-kun =
pasukan berkuda gerak cepat).
In Te makin terkejut oleh laporan itu, ia pun tidak habis
mengerti, Lian Keng-hiau tidak lebih hanya seorang Thetuk,
tentara yang dipimpinnya sekali pun gagah perkasa dan
pandai berperang, tetapi kalau dibanding pasukan besar yang
dipimpinnya yang berjumlah dua ratus ribu orang, sama
seperti telur membentur batu, tetapi mengapa sebaliknya
pasukan sendiri bisa kena 'diambil-alih' olehnya"
Maka dengan cepat segera ia bertanya, "Kekuasaan yang
dipegang Futuh apa masih kuat" Para perwira apakah masih
tetap setia padaku?"
"Futuh masih baik-baik saja," tutur Pui Kin-beng. "Pasukan
pribadi dan perwira dari dua belas batalion sudah kerahkan
tenaga yang ada, untuk mengepung dan mengawasi pasukan
Lian Keng-hiau, maka harap Pwelek lekas kembali ke sana!"
Mendengar bahwa jenderal kepercayaannya, Futuh, masih
tetap pada tugasnya, barulah In Te merasa agak lega.
"Asal kekuasaan masih ada pada kita dan prajurit masih
tetap setia, kita tak usah kuatir, kau boleh pulang saja lebih
dulu," sahut ln Te kemudian. "Kau boleh sampaikan
perintahku supaya berdaya upaya menahan Lian Keng-hiau
lebih dulu." Pui Kin-beng menjadi ragu-ragu, mukanya mengunjuk sulit
untuk melaksanakan perintah tadi.
Di lain pihak, waktu para pangeran lain mendengar In Te
berbisik dengan orang, mereka lantas berpaling dan mendesis.
"Lekas kembali sana!" desak In Te pada jago
bayangkaranya sambil mendorong.
Terpaksa Pui Kin-beng bertindak pergi menerobos di antara
orang yang berjubel. Tengah keadaan ribut, tiba-tiba terdengar Thaykam yang
bertugas sebagai protokol membunyikan genta besar yang ada
di dalam istana sambil berseni, "Silakan membaca surat
wasiat!" Maka dalam sekejap keadaan dalam istana yang tadinya
riuh ramai, kini menjadi sunyi senyap.
Sementara, itu terlihatlah Longetoh, Ortai, Thio Ting-giok,
tiga pembesar ini maju ke tengah istana, di ruangan tengah
sudah disediakan meja sembahyang, sesudah ketiga orang ini
menjalankan penghormatan terhadap Thian (Allah),
bayangkara istana lantas memasang tangga yang diperlukan,
Longetoh yang bertugas mendaki tangga itu untuk mengambil
surat wasiat tinggalan Kaisar Khong-hi yang tersimpan di
belakang papan merek besar itu.
Bukan main detik yang mendebarkan hati ini, semua
pangeran tegang leher menanti pembacaan surat wasiat ayah
baginda mereka. Kemudian tertampaklah Longetoh dengan
tenang dan perlahan turun kembali dengan tangan memegang
sebuah kotak bersulam emas, sesudah berdiri di tengah istana
kembali, ia buka kotak dan mengambil keluar secarik surat
wasiat, lalu dibacanya dengan suara lantang, "... takhta ini
diturunkan kepada membaca sampai di sini, Longetoh sengaja
tarik panjang suaranya, oleh karena itu suasana jadi lebih
tegang dan mendebarkan, bahkan pangeran yang merasa tak
sabar sudah ada yang melangkah maju seakan hendak
membaca sendiri apa terusan isi surat wasiat itu.
Longetoh ternyata pandai bikin sensasi, ia sengaja
berdehem dahulu, habis itu baru ia baca lagi, "... Si-hongcu!"
Keruan seketika suasana menjadi riuh gemuruh! Sebab,
semua orang tahu bahwa Kaisar Khong-hi justru paling benci
kepada Si-hongcu In Ceng, mengapa sekarang justru
menurunkan takhta padanya"
Itulah rahasia yang belum mereka ketahui bahwa surat
wasiat itu asalnya tertulis, "takhta diturunkan kepada Capsihongcu",
tetapi oleh ln Ceng secara rahasia telah dikirim
Thian-yap Sanjin dan Pang Lin untuk mencuri lihat isi surat
wasiat itu. Sesudah mengetahui apa yang tertulis di dalamnya, atas
usul Longetoh, surat wasiat itu telah diubah, yakni huruf "Cap"
(sepuluh) ditambahi dengan satu garis di atasnya dan
ditambahi satu pengkol-an pada bawahnya hingga merupakan
satu huruf "Ih" yang berarti "kepada", dengan begitu tulisan
yang tadinya berbunyi, 'Takhta diturunkan "Cap"-si Hongcu',
kini berubah menjadi, 'Takhta diturunkan "kepada" Si-hongcu'!
(Perlu diketahui bahwa mengubah atau menambah satu
garis atau satu goresan pada huruf Tionghoa pada umumnya
memang tidak terlalu sulit " Gan K.L.).
Begitulah, maka dalam suasana yang kacau itu, Kiuhongcu,
pangeran kesembilan ln Tong dan Cap-hongcu,
pangeran kesepuluh, ln Go, dua pangeran ini yang pertamatama
kurang terima, mereka lantas mengajukan protes.
"Aku tak percaya!" teriak mereka berbareng sambil
melangkah maju menuju ke tengah.
Akan tetapi mereka segera dicegat oleh penjaga yang
sudah di tempatkan dalam istana sejak tadi.
In Tong dan In Go berdua pun pandai ilmu silat, mereka
mengira Si-wi atau pengawal ini serupa saja seperti pasukan
Ham-lim-kun tadi yang hanya pura-pura berteriak mencegah
saja tetapi tak berani merintangi sungguh-sungguh, oleh
sebab itu, secara paksa mereka lantas hendak menerjang ke
tengah untuk merebut surat wasiat tadi.
Dalam keadaan desak-mendesak itu, tak terduga In Ceng
mendadak berubah sikap, sekonyong-konyong ia membentak,
"Tangkap mereka!"
Maka menubruk majulah dengan cepat dua orang ke arah
dua pangeran itu. "Siapa yang berani merintangi aku?" teriak In Tong dan In
Go berbareng, mereka masih tetap membandel.
Kedua pangeran ini tidak tahu bahwa kedua jago pengawal
yang menubruk maju ini bukan pengawal biasa. Sungguh
tindakan yang cerdik dari Si-hongcu In Ceng yang mengetahui
bakal terjadi peristiwa seperti hari ini, maka bukan saja ia
sudah berhasil 'membeli' semua Ham-lim-kun dan penjaga
istana, bahkan dua hari sebelumnya ia sudah menyelundupkan
belasan jago kepercayaannya ke dalam badan-badan itu, dan
kedua jago pengawal yang menubruk maju tadi bukan lain
ialah Han Tiong-san dan Tang Ki-joan adanya.
Dalam pada itu, karena dirintangi, In Tong dan In Go
menjadi gusar, mereka lantas menghantam, akan tetapi tidak
lebih dari beberapa jurus saja mereka sudah ditutuk roboh
dan dilempar ke bawah undak-undakan istana, segera orang
kepercayaan Si-hongcu yang berada di dalam pasukan Hamlim-
kun maju meringkus mereka.
Habis itu tiga ribu prajurit Ham-lim-kun itu serentak
berseru, "Hidup kaisar baru!" Begitu keras dan menggelegar
seruan ketiga ribu orang itu, kerOan pembesar lain yang hadir
menjadi kuncup. Sementara-itu secara berbondong para pengawal lantas
menaikkan In Ceng ke atas singgasana, In Ceng sendiri pun
tidak sungkan lagi, segera ia mengenakan pakaian lengkap
sebagai kaisar dengan mahkotanya, di bawah iringan
Longetoh beserta begundalnya, maka duduklah In Ceng di
atas singgasana takhtanya.
"Ban-swe!" berseru pula pasukan Ham-lim-kun sampai tiga
kali, sedang pembesar yang hadir baik militer maupun sipil
sebagian besar pun sudah kena 'dibeli' oleh ln Ceng, sebagian
kecil lagi berada dalam kedudukan terpaksa, mau tak mau
akhirnya seorang demi seorang maju menyembah kepada Sri
Baginda mereka yang baru.
Para pangeran semula termangu oleh peristiwa yang tak
terduga itu, tetapi akhirnya terpaksa juga maju menyembah.
Kemudian setelah acara penghormatan berakhir, berkatalah
ln Ceng, "In Tung dan In Go mengacau sidang istana, mereka
melanggar peraturan secara kasar, dengan ini kuperintahkan
segera membebaskan gelar mereka sebagai pangeran dan
diserahkan pada Cong-jin-hu (badan pemeriksa dalam istana)
untuk diperiksa!" Lalu ia sambung lagi, "Sianke (mendiang
kaisar) punya surat wasiat, para kerabat sebenarnya tiada hak
buat membacanya, tetapi hari ini karena terjadi keonaran,
agar bisa membuktikan keadaan yang sebenarnya dan tanpa
curang, boleh para kerabat membacanya."
Habis itu ia lantas menyerahkan surat wasiat tinggalan
Khong-hi, sudah tentu para pangeran berebut untuk membaca
dengan mata kepala sendiri, dan ketika mereka melihat surat
itu memang betul tulisan tangan Khong-hi, bahkan dengan
jelas ditulis, "Takhta diturunkan kepada. Si-hongcu", sekalipun
dalam hati mereka masih merasa penasaran, namun mereka
lalu tak berani bersuara lagi.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu terdengar In Ceng berkata pula, "Pada saat
Sian-te masih belum mangkat aku diharuskan meneruskan
takhtanya, malah aku diberi serenceng tasbih ini sebagai
bukti. Karena tak bisa menolak, terpaksa aku menerima
kemauan terakhir Hu-ong (ayah baginda), maka selanjutnya
masih mengharap para saudara banyak membantu untuk
kejayaan kita bersama."
Ia berkata sembari mengeluarkan tasbih yang Khong-hi
sam-bitkan padanya itu, tetapi di sini ia sengaja berlagak
berduka, bahkan meneteskan air mata.
Dalam menjalankan siasatnya, In Ceng memang sangat
cerdik, ia tahu betul bahwa pada diri para pangeran itu sedikit
banyak masih punya pengaruh tertentu, oleh sebab itu tidak
bisa tidak ia harus berpura-pura menarik hati saudarasaudaranya
ini. Di lain pihak, Capsi-hongcu In Te pun tidak kurang
penasarannya, saking dongkolnya hingga kaki tangannya
dirasakan dingin, ia yang pertama mengundurkan diri dari
persidangan, disusul pangeran yang lain.
Malam itu juga, In Ceng (kini dengan sebutan Kaisar Yongceng)
segera pindah tinggal dalam istana Kian-jing-kiong,
bahkan semalam suntuk ia terus kumpulkan semua orang
kepercayaannya untuk bekerja lembur, antara lain yang perlu
diselesaikan adalah menentukan pejabat tinggi yang penting
dan penggantian para gubernur bagi orang kepercayaannya,
pula pengawasan kepada para pangeran, lalu pemusatan
kekuasaan militer dan lain-lain lagi, tindakan yang diambil ini
adalah tindakan cepat dengan tujuan memperteguh
takhtanya. Begitulah, sehabis menyelesaikan beberapa urusan penting
itu, sementara itu sudah jauh malam, baru saja Longetoh dan
kawan-kawan mengundurkan diri, segera In Ceng mengirim
orang menghubungi Lian Keng-hiau.
"Hongsiang hendaklah suka istirahat dulu, besok pagi masih
harus mengadakan sidang pagi!" lapor Thaykam yang
melayaninya. Memangnya In Ceng sendiri pun sudah merasa letih maka
ia berkata, "Jika Lian Keng-hiau mengirim orangnya ke sini,
segera suruh dia menemui aku!"
Habis itu ia lantas tidur dengan mendekap di atas meja.
Dalam keadaan layap-layap, ia seperti melihat Khong-hi
berada di depannya dengan muka penuh darah, selagi ia
hendak berteriak, tiba-tiba dilihatnya pula dengan pedang
terhunus Lu Si-nio menyerangnya, saking kagetnya, In Ceng
tersadar dari impiannya dengan mandi keringat dingin.
"Po-kok Siansu mohon menghadap," ia dengar Thaykam
melapor. "Panggil kemari!" sahut In Ceng.
Sejenak kemudian, masuklah Liau-in Hwesio, di hadapan In
Ceng yang kini sudah menjadi maharaja, Hwesio ini ternyata
tidak berlutut menyembah melainkan hanya membungkuk
tubuh saja. "Kionghi, tuanku sudah naik takhta," ia memberi selamat.
Ternyata Liau-in terlalu unggulkan dirinya yang banyak
berjasa, maka ia tetap memandang In Ceng seperti ketika
masih di dalam istana pangeran saja. Sudah tentu sikapnya ini
membuat ln Ceng diam-diam kurang senang, batinnya,
"Gerombolan orang ini kelak harus kulenyapkan seorang demi
seorang, supaya mereka tak sembarang membicarakan
perbuatanku di kalangan Kangouw."
Sekalipun batinnya demikian, tetapi karena ia baru
menduduki singgasananya, masih banyak tugas yang perlu
bantuan orang yang dianggapnya berbahaya ini, oleh
karenanya ia pun tidak mengunjuk sesuatu tanda.
"Ada keperluan apakah kedatangan Koksu?" tanyanya
kemudian pada Liau-in. "Lapor Hongsiang, pembunuh yang ditangkap Hongsiang
hari ini sudah diketahui siapa adanya," lapor Liau-in.
Mendengar penuturan ini, In Ceng rada mendongkol, ia
mengerut kening, pikirnya, "Masakah urusan sekecil ini saja
bikin ribut aku." Karena itu ia hanya bertanya sekenanya, "Katanya
bayangkara dari istana pangeran yang mana?"
"Ini tidak diketahui, tetapi padanya diketemukan surat
tinggalan Siante, yakni Teng Hiau-lan yang pernah menyebut
dirinya sebagai bayangkara dalam istana," tutur Liau-in lagi.
Keterangan terakhir ini rupanya agak menarik bagi In Ceng.
Maka ia lantas perintahkan, "Baiklah, bawa dia ke sini!"
Sebenarnya Teng Hiau-lan telah merias mukanya dengan
Th-yong-tan' yang diberi Kam Hong-ti ketika ia datang di
kotaraja ini. Tetapi ilmu merias dua ratus tahun yang lalu
masih jauh bila dibandingkan dengan bahan riasan zaman ini,
apalagi Liau-in tergolong jago kawakan, begitu ia kesut
dengan handuk basah ke muka Hiau-lan, seketika kembali
muka aslinya. "Hm, mengapa kau selalu bermusuhan dengan aku?"
jengek In Ceng begitu mengenali Teng Hiau-lan setelah
digusur masuk. Sebelum orang menjawab, Liau-in telah keluarkan surat
perintah yang dulu Teng Hiau-lan dapat dari Khong-hi, yakni
ketika pemuda ini ingin bertemu dengan In Ceng, maka ia
mohon Khong-hi menuliskan surat, belakangan meski ia sudah
sampai di istana In Ceng, sebelum ia unjukkan surat itu,
kebetulan terjadi pengacauan istana oleh Kwantang-si-hiap,
oleh sebab itu In Ceng belum melihatnya.
Kini setelah In Ceng membaca surat perintah Khong-hi
yang minta supaya In Ceng berlaku baik-baik pada orang
pembawa surat ini, tak tahan lagi ia jadi heran dan timbul
curiganya. "Darimanakah asal-usulmu?" segera ia bertanya.
Akan tetapi dengan mata melotot Teng Hiau-lan
membungkam, sepatah kata pun tidak menjawab.
Nampak kebandelan orang, selagi In Ceng hendak jalankan
siksaan biar orang tahu rasa, mendadak di luar terjadi ributribut.
"Kebakaran, kebakaran!" tiba-tiba terdengar para dayang
berteriak. Bukan main terkejut In Ceng oleh kejadian tiba-tiba ini, ia
dorong pintu buat memandang keluar, tapi mendadak ia
rasakan sambaran angin tajam yang datang dari muka, dari
atas genteng kaca di istana samping mendadak melompat
turun seorang, dengan pedang yang diputar secepat angin,
beruntun dua kali pendatang ini menusuk In Ceng.
Orang yang tiba-tiba datang ini ternyata bukan lain
daripada orang yang mengejutkan dan membikin pecah nyali
In Ceng dalam mimpi itu, adalah Lu Si-nio!
Munculnya Lu Si-nio yang mendadak ini, membuat kaget In
Ceng hingga ia berdiri terpaku.
Melihat tuannya berada dalam bahaya, Liau-in tidak
berpeluk tangan, ia menggerung sekali, dengan kepalan
tangan yang besar kasar ia menjotos ke muka Lu Si-nio,
berbareng sebelah kakinya menendang, serangan ini memakai
dua jalan, pukulannyi hanya pura-pura, tetapi tendangannya
yang sungguh-sungguh. Karena tidak menyangka, pedang Lu Si-nio hampir
tertendang terbang, lekas ia tinggalkan In Ceng, dengan gerak
cepat 'Hong-hong-tiam-thau' atau burung cendrawasih
memanggut kepala, ia balik senjatanya balas menyerang dua
kali. Tetapi dengan gerak langkah 'Boan-liong-jiau-poh' atau ular
naga melingkar langkah, ia lantas berkelit ke belakang Lu Sinio,
dari sini kembali ia angkat sebelah kakinya buat
mendepak punggung orang. Serangan yang dipakai oleh Liau-in adalah gabungan dari
tipu silat 'Hok-hou-kun' dan 'Lian-hoan-tui', ilmu pukulan
penakluk harimau dan tendangan berantai, gaya serangannya
lihai luar biasa. Ketika mendadak Lu Si-nio mendengar angin menyambar di
belakangnya, dengan cepat ia meloncat ke atas, karena itu
tendangan Liau-in mengenai tempat kosong, sebab mendadak
kehilangan imbangan, maka menyelononglah Liau-in dua
langkah ke depan. Kesempatan ini tidak di-sia-siakan Lu Si-nio, dengan
sebelah tangan ia menahan belandar atas gedung istana itu,
sebelah tangan yang lain menimpukkan dua belati yang
membawa suara mengaung, dua belati ia bagi ke arah In
Ceng dan Liau-in. Beberapa gebrakan ini terjadi secepat kilat, karena In Ceng
sedang tertegun, sesudah Liau-in mewakilkan dia melawan Lu
Si-nio baru dia bisa tenangkan diri, ia lantas ulur tangan
hendak menutuk Teng Hiau-lan di tempat yang membikin
pingsan, tak terduga mendadak pisau terbang Lu Si-nio
menyambar padanya, di bawah ancaman maut, lekas In Ceng
menjatuhkan diri ke lantai terus menggelundung pergi, maka
lewatlah pisau terbang itu di atas kepalanya, ketika ia
berbangkit kembali, ia pun mencabut pedangnya.
Sedang pisau yang mengarah Liau-in kena dijepit dengan
dua jari oleh Hwesio ini, dengan tenaga raksasa 'Kim-kong-cilik'
ia tekuk patah belati itu.
"Po-kok Siansu, kau bereskan Teng Hiau-lan dulu!" In Ceng
berseru. Lantaran Teng Hiau-lan menyimpan surat tulisan Khong-hi,
lagi tidak diketahui asal-usul pemuda ini, maka In Ceng sangat
mencurigainya, sebab itu pula meski dalam keadaan sangat
genting, ia tidak lupa perintahkan Liau-in menghabisi jiwa
pemuda itu. Dengan sendirinya perintah itu diturut oleh Liau-in, ia
melompat maju ke depan Teng Hiau-lan, akan tetapi di
sebelah sana Lu Si-nio melayang turun, lebih dulu ia jambret
Teng Hiau-lan terus diangkat dan melompat ke atas belandar
besar itu. Sementara itu karena mendengar ribut-ribut di dalam
istana, pengawal di luar secara berbondong membanjir buat
menolong Sri Baginda yang baru.
"Kau terluka tidak?" tanya Lu Si-nio pada Teng Hiau-lan
sambil menabas putus borgol di tubuh pemuda itu sesudah
mereka berada di atas belandar.
"Tidak!" sahut Hiau-lan.
Kiranya Liau-in telah membaca surat tulisan Khong-hi yang
mengharuskan ln Ceng berlaku baik pada Teng Hiau-lan, maka
sebelum melaporkan, ia tak berani sembarang menyiksanya.
Begitulah maka sesudah mendengar Hiau-lan tidak terluka,
hati Lu Si-nio menjadi lega. "Baik, kalau begitu kita terjang
keluar!" ajaknya kemudian.
Habis itu ia meloncat ke atas lagi, di antara angin sambaran
pedangnya, ia bikin hancur genteng kaca di atas atap istana
itu hingga berwujud satu lubang.
Nampak orang membobol genteng buat melarikan diri,
sudah tentu para pengawal tak membiarkan musuh kabur
begitu saja, apalagi di hadapan Sri Baginda, ada dua jago
pengawal yang Ginkang-nya bagus, segera mereka melompat
ke atas buat menjambret Lu Si-nio.
Akan tetapi siapakah Lu Si-nio" Tidak begitu gampang nona
ini kecundang. Dengan tangan kiri ia lempar Teng Hiau-lan
keluar melalui lubang atap yang dibobolnya tadi, sedang
senjata yang berada di tangan kanan berbareng bekerja, ia
menusuk dan menikam, baru saja tangan kedua jago
pengawal tadi menempel belandar, kontan mereka kena
dijojoh Hiat-tonya dan terguling ke bawah.
Sungguhpun ilmu silat Liau-in sangat tinggi, tetapi
menyaksikan gebrakan ini, tak tertahan ia pun terkejut dan
merasa jeri. Sebaliknya In Ceng menjadi murka melihat jago
pengawalnya tak mampu menangkap Lu Si-nio.
"Lekas tangkap budak hina itu!" ia membentak supaya
pengawalnya bekerja lebih giat.
Memangnya Liau-in cukup licin, tadi sesudah ia bertukar
beberapa gebrak dengan Lu Si-nio, ia lihat Sumoaynya ini
sudah lebih maju lagi Kiam-hoatnya, sedang ia sendiri tidak
membawa senjata (tongkatnya dibikin melengkung oleh Punbu
Taysu dan belum bikin yang baru), jika ia harus bergebrak
melawan orang dengan tangan kosong dan satu lawan satu, ia
kuatir dirinya tidak bakal unggul, sebaliknya kalau mengeroyok
bersama dengan jago pengawal, ia akan kehilangan pamor
sebagai seorang Suheng, walaupun sudah tidak diakui, oleh
sebab itulah, begitu In Ceng memberi perintah penangkapan,
jago pengawal lain seketika berebut maju, hanya Liau-in
sendiri saja yang diam tidak bergerak.
"Cukong (tuanku), mungkin mereka masih ada begundal
lainnya, biar aku menjaga Cukong di sini," beginilah alasan
Liau-in pada In Ceng, "Baiklah, boleh juga kau tinggal di sini," sahut In Ceng.
Meski di mulut ia berkata demikian, tetapi dalam hati
sebenarnya ia kurang senang atas sikap Hwesio ini.
Sementara Lu Si-nio yang memiliki Ginkang sangat bagus,
kepandaian Teng Hiau-lan pun setingkat lebih tinggi daripada
jago pengawal itu, dalam sekejap mereka menerobos keluar
dari bobolan genteng tadi, mereka sudah melayang lewat
beberapa deret istana yang lain.
Tetapi di luar sana mereka telah ditunggu oleh Tang Kijoan
dan Kam Thian-liong, dua orang ini segera menggempur
dari dua samping, kepandaian kedua orang ini masih berada di
atas jago pengawal lainnya, maka Lu Si-nio tak berani
pandang enteng, segera ia sambitkan pisau lagi.
Namun dengan sekali tangkis Kam Thian-liong
menghantam jatuh pisau terbang pertama, ia incar pisau yang
kedua dengan maksud untuk berkelit ke samping kiri, tak
terduga Lu Si-nio seperti sudah memperhitungkan ia bakal
ambil tindakan ini, maka sewaktu melepaskan senjata rahasia,
diam-diam ia pakai gerak lain, kalau pisau yang pertama
menjurus lurus ke depan, adalah pisau kedua sesudah dekat
musuh mendadak bisa menikung ke kiri.
Keruan kaget sekali Kam Thian-liong oleh senjata rahasia
ini, syukur ia masih bisa menghindarkan diri dengan cepat,
sekalipun demikian, tidak urung pundaknya kesrempet hingga
baju pundaknya terobek, saking kagetnya Kam Thian-liong
jadi jeri, ia tak berani menguber lagi.
Di samping itu, Tang Ki-joan pun tidak tinggal diam, kontan
ia balas serangan orang dengan tiga buah 'Tau-kut-ting', paku
penembus tulang yang lihai.
Tetapi serangan ini kena dipukul jatuh oleh Lu Si-nio,


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang paku yang ketiga menyambar lewat di atas pundak
Teng Hiau-lan hingga pemuda inipun terperanjat.
Karena serang-menyerang dengan senjata rahasia kedua
belah pihak ini, mereka jadi terhalang, sementara itu
pengawal istana sudah mengepung dari empat penjuru.
Dengan pedang terhunus Lu Si-nio membuka jalan di depan,
ia membawa Teng Hiau-lan kabur terus dengan memilih jalan
yang sepi. Waktu itu mereka sudah memasuki taman istana bagian
belakang, baru saja mereka melayang lewat sebuah bukitbukitan,
mendadak dari depan menyerbu keluar sebarisan
pengawal. Pengawal yang berada paling depan tertampak
bergerak dengan cepat dan gesit sekali, segera Hiau-lan
mengenali orang ini bukan lain daripada jago pengawal yang
pernah menunjukkan dia mencari ibu di dalam istana dahulu,
yaitu Kau Sam-pian. Dalam pada itu terlihat Kau Sam-pian telah ayun tangan,
menyusul terdengar suara panah bersuara menyambar ke
arah mereka. Teng Hiau-lan terperanjat, pikirnya, "Kau Sam-pian adalah
sobat baik guruku (Ciu Jing), mengapa terhadap diriku kini dia
tidak kenal ampun?" Waktu itu anak panah bersuara tadi sudah menyambar
lewat di atas kepala Lu Si-nio, menyusul Lu Si-nio lantas
melayang ke sana dengan cepat, ia memburu menuju ke
tempat dimana anak panah bersuara tadi jatuh. Hiau-lan jadi
tergerak hatinya melihat tindakan kawannya ini, dengan
kencang ia susul di belakang Lu Si-nio.
Di belakang sana Kau Sam-pian ternyata sudah mendahului
pengawal lain menguber, beruntun ia pun melepas beberapa
panah bersuara, ada yang menyambar ke kiri dan ada pula
yang terbang ke jurusan kanan, tetapi tempat dimana anak
panah itu jatuh, di situlah selalu Lu Si-nio menuju, laksana
anak panah itu memang sengaja menjadi petunjuk jalan,
akhirnya rombongan pengawal tadi tertinggal jauh di
belakang, mereka membelok masuk ke dalam semak bunga di
antara bukit-bukitan palsu, ternyata di sini mereka tidak ketemukan
seorang pun yang merintangi mereka. Akhirnya
setelah panah bersuara itu berhenti. Lu Si-nio pun
menghentikan langkah. "Haha, memang Ling-sian punya akal yang bagus!" ujar Sinio
dengan tertawa. Dalam pada itu mendadak dari dekat persembunyian
mereka melompat keluar seorang terus memegang kencang
pundak Teng Hiau-lan sambil berseru tertahan, "Ha, kau
datang juga!" Waktu Hiau-lan menoleh, ia lihat orang ini ialah seorang
Hwesio, ia tercengang karena kenal orang ini adalah Ciok Kehjiu
yang dahulu pernah bergebrak dengan dia di dalam istana
ini. Jambretan J-ing-sian pada Teng Hiau-lan tadi adalah gerak
tipu Kim-na-jiu yang lihai, tulang lemas di pundak mendadak
kena dicekal dan dipencet oleh tiga jari, seketika Teng Hiaulan
tak bisa berkutik "Orang sendiri!" cepat Lu Si-nio memberitahu.
Ling-sian jadi heran. "Mana bisa, bukankah dia jago
pengawal dalam istana?" ia tanya.
"Ia adalah putra Hay-hong!" sahut Lu Si-nio.
Mendengar nama Hay-hong disebut, seketika Ling-sian
kelihatan gemetar, lekas ia lepaskan cekalannya, ia bawa Lu
Si-nio dan Teng Hiau-lan masuk ke dalam sebuah gua. Dalam
kegelapan Teng Hiau-lan nampak sinar mata Hwesio ini
berkelap-kelip selalu menatap padanya.
"Hiau-lan, dia adalah sobat karib mendiang ibumu," Lu Sinio
coba memperkenalkan mereka.
Seketika Teng Hiau-lan pun terguncang hatinya, air
matanya lantas berlinang.
"Sudahkah kau bertemu dengan ibumu?" tanya Ling-sian
kemudian. "Sudah!" jawab Hiau-lan.
"Bawalah aku menemuinya di istana pengasingan itu," pinta
Ling-sian. "Kau tidak usah mencarinya lagi!" sahut Hiau-lan dengan
tak lancar karena tersenggak-sengguk. "Ibu sudah lama
meninggal!" Keterangan ini membikin Ling-sian terpaku seketika, rasa
dinginnya menembus hulu hati. Ia sudah menanti selama tiga
puluh tahun, bahkan ia sudah jadi Hwesio, tetapi masih belum
melupakan cinta kasihnya di masa lampau, tak tersangka
dambaan hatinya sudah meninggal.
Kiranya pada tiga puluhan tahun berselang, Ling-sian
pernah bekerja di dalam istana sebagai pesuruh, ia banyak
berkenalan dengan pengawal dalam istana. Sejak tahun lalu ia
datang ke kotaraja dan menyembunyikan diri di Se-san, saban
kali ia memberi sokongan pula kepada janda piatu jago
pengawal tua yang sudah meninggal, oleh sebab itu, jago
pengawal lama yang masih belum pensiun agak akrab dengan
dia. Pada waktu Khong-hi wafat, tidak antara lama, di antara
sobat jago pengawal ada yang mengirim kabar padanya,
diberitahukan bahwa Teng Hiau-lan ditawan dan In Ceng pun
sudah pindah ke dalam istana.
Di antara pengawal angkatan tua, kecuali Kau Sam-pian
dan beberapa orang lain yang terbatas, kebanyakan sudah
loyo' dan tak berpengaruh lagi, tugas mereka dalam istana
tidak lebih hanya nama saja, tetapi sebenarnya menganggur.
Apalagi sesudah kaisar baru naik takhta, mereka merasa
kuatir dan tak tenteram, maka Ling-sian menjadi sasaran
mereka untuk diajak berunding tentang nasib mereka.
Sewaktu Ling-sian berbicara dengan kawanan bayangkara ini,
Kam Hong-ti dan Lu Si-nio pun hadir dan mendengar dengan
jelas di kamar mereka. "Bagaimana Ciok-toako, apa kau masih ingin masuk istana
lagi?" tanya Kam Hong-ti begitu kawanan jago pengawal
pergi. "Di sekitar In Ceng penuh jago lihai, selanjutnya istana
pasti akan dijaga terlebih keras lagi, mana bisa aku masuk ke
sana?" sahut Ling-sian.
"Justru kebalikannya menurut pendapatku," ujar Kam
Hong-ti dengan tertawa. "Di waktu mereka sedang repot
urusan penggantian kaisar baru, saat itulah paling gampang
untuk menyelundup masuk ke dalam istana, jika lewat sedikit
hari lagi, kesempatan ini akan hilang percuma."
Mendengar pendapat orang cukup masuk di akal, keadaan
dalam istana Ling-sian pun sudah cukup hapal, maka malam
itu bersama Lu Si-nio, mereka mengunjungi istana lagi secara
diam-diam. Betul juga dugaan Kam Hong-ti, karena sedang ribut
urusan penggantian kaisar baru, maka penjagaan dalam istana
rada kendor. ln Ceng sendiri karena masih terlalu sibuk
membereskan urusan lain yang lebih penting, terhadap jago
pengawal dalam istana pun belum sempat mengaturnya,
sedangkan Haptoh, Liau-in dan kawan-kawan karena baru
saja masuk istana kaisar, tempatnya mereka belum hapal.
Maka dengan gampang Lu Si-nio lantas kobarkan api pada
salah satu istana yang rada sepi untuk memancing pergi
penjaga ln Ceng, dan pada kesempatan itu Lu Si-nio menolong
Teng Hiau-lan meloloskan diri dari cengkeraman maut.
Demikianlah, sesudah Ling-sian mendengar bahwa
dambaan hatinya sudah meninggal, ia jadi termangu.
" "Urusan kita sudah selesai, marilah kita keluar istana,"
ajak Lu Si-nio. Namun rupanya Ling-sian masih berada dalam
kedukaannya, ia tanya Hiau-lan lagi, "Kapankah ia
meninggal?" "Justru pada malam di kala kau masuk istana dahulu itu,"
tutur Hiau-lan. Keterangan ini membikin muka Ling-sian menjadi pucat.
Dalam pada itu di luar gua terlihat berkelebatnya bayangan
orang, ternyata Kau Sam-pian sedang mendatangi.
"Beruntung jago pengawal In Ceng belum hapal dengan
tempat dalam istana dan jalanan sini, pula bayangkara yang
tua tidak sudi menjual tenaga sepenuhnya pada In Ceng,
kalau tidak, kalian sungguh sukar buat lolos!" Kau Sam-pian
berkata dengan tertawa. Habis itu tiba-tiba ia merasa suasana
dalam gua rada lain dari biasanya, ia lantas bertanya, "Cioktoako,
mengapa tiada yang membuka suara?"
"Hay-hong sudah meninggal!" sahut Ling-sian dengan
perasaan pilu. "Hay-hong sudah meninggal?" Kau Sam-pian menegas.
"Pantas, sesudah kau masuk istana dulu, istana pengasingan
itu lantas disegel, semula aku mengira dipindah ke tempat
tahanan lain." "Meski Hay-hong sudah mati, namun aku masih ingin
menengok ke istana tahanannya untuk melihat bagaimana
keadaan tempat tinggalnya itu sekarang," tiba-tiba Ling-sian
berkata lagi. Kau Sam-pian bungkam atas kemauan orang ini, sebaliknya
di kegelapan tertampak mata Teng Hiau-lan mengembeng air
mata. "Aku pun ingin ke sana sekali lagi," kata pemuda itu.
Melihat keinginan dua orang ini, Kau Sam-ian menghela
napas. "Seorang hamba hanya mengabdi pada satu majikan,
selanjutnya aku pun tidak ingin tinggal lebih lama lagi dalam
istana, biarlah aku bawa kalian ke sana," katanya kemudian.
Selang agak lama, keadaan ribut di luar sudah sepi
kembali, Kau Sam-pian lantas membawa Ling-sian bertiga
dengan mengambil jalanan kecil yang sepi terus menuju ke
istana pengasingan. Sepanjang jalan meskipun pernah ditegur
oleh penjaga pada dua tiga tempat, tetapi karena mereka
bukan orang In Ceng, maka sesudah Kau Sam-pian memberi
tanda rahasia, dengan gampang mereka lewat tanpa
halangan. Tak lama kemudian, sampailah mereka di tepi sebuah
empang dengan airnya yang berkelap-kelip di malam hari.
"Di tepi empang seberang sana, rumah yang terbuat dari
batu hitam itulah istana pengasingan," Kau Sam-pian
memberitahu pada kawannya.
Setelah mereka sampai di depan istana, tiba-tiba mereka
lihat pintu batu istana itu setengah terbuka, keruan Kau Sampian
sangat heran, sementara itu Ling-sian sudah tak sabar
lagi, ia mendahului menyerobot ke depan terus mendorong
pintu itu dan masuk. "Apakah Ong-tuitio (kapten) yang datang?" tiba-tiba
terdengar orang bertanya dari dalam.
Waktu Ling-sian menegas, ia lihat ada dua kiongli atau
dayang wanita yang sedang menyapu dan membersihkan
istana itu. Semula Ling-sian tertegun sejenak karena kedua kiongli itu
seperti sudah pernah ia lihat, karena itu, ia tidak menggubris
pertanyaan mereka tadi tentang "Ong-tuitio" segala, begitu
maju ia lantas menegur, "He, apakah kalian kenal Hay-hong?"
Mendengar teguran itu, kedua dayang menjadi kaget. "He,
kau Hwesio ini muncul darimana?" tanya mereka dengan
terkejut. Sementara itu Kau Sam-pian sudah melangkah maju.
Katanya pada kedua dayang itu, "Dia adalah orang
kepercayaan Hongsiang sekarang, mengapa kalian tidak
menjawab pertanyaannya?"
Memang kabar tentang Liau-in Hwesio ikut In Ceng masuk
istana sudah tersiar di kalangan istana, keruan kedua kiongli
itu salah duga bahwa Ling-sian adalah Hwesio yang disebut
Po-kok Siansu itu, mereka menjadi pucat ketakutan.
"Lekas katakan!!' Ling-sian lantas membentak.
Tidak kepalang rasa takut mereka, namun tidak urung
seorang di antara kiongli itu lantas menjawab, "Hay-hong
sudah lama meninggal, bahkan kamilah yang menggotong dia
keluar dari sini untuk dikuburkan!"
Keterangan ini kembali memukul perasaan Ling-sian, di
antara sinar matanya mendadak terpancar semacam sinar
yang aneh, ia remas jari tangan sendiri dengan perasaan
hancur. "Bukankah digotong keluar dengan balai-balai bambu?"
tiba-tiba ia bertanya pula.
"Ya, betul!" sahut kiongli itu.
Seketika Ling-sian terpaku seperti patung, dalam benaknya
seperti terbayang sebuah lukisan yang sudah luntur warnanya,
menggambarkan empat kiongli menggotong sebuah balai-balai
bambu, di atas balai-balai itu rebah sesosok tubuh wanita
yang tertutup dengan kain putih dengan rambut jarang-jarang
dan ubanan, mukanya sangat menakutkan, kedua tangannya
menjulur keluar, tertampak jari tangannya laksana cakar
ayam. Itu adalah pemandangan yang ia lihat ketika untuk pertama
kalinya ia menyelidik ke dalam istana yang dijumpainya secara
kebetulan. Ia tak percaya bahwa wanita jelek laksana mayat
hidup yang dijumpainya malam itu adalah Hay-hong yang
dulunya secantik bidadari"
Dalam sekejap pikirannya timbul tenggelam seperti ombak
samudra yang bergulung-gulung mendampar, tiba-tiba semua
itu lenyap dan tenang kembali, Ling-sian benar-benar
mengalami gon-cangan kalbu hebat yang selama ini belum
pernah dirasakannya. Melihat orang berdiri terpaku, Kau Sam-pian mengira Lingsian
saking sedihnya telah menjadi gila, maka lekas ia
menariknya. "Ciok-toako, hendaklah kau berpikir panjang,"
katanya. Akan tetapi mendadak Ling-sian tertawa sambil
menggumam. "Toako, kenapakah kau?" tanya Kau Sam-pian kuatir.
Namun Ling-sian masih terus tertawa.
"Terlepas dari kulit busuk, kembalikan wajah asliku, kulit*
busuk dan wajah asli asalnya memang satu. Keelokan wanita
memang kosong, kosong sama dengan keelokan, baru kini aku
paham semuanya," begitulah ia menggumamkan ajaran
Buddha. Melihat kawannya kurang waras, Kau Sam-pian menjadi
kuatir, ketika hendak menghiburnya, tiba-tiba Lu Si-nio
tersenyum. "Selamat Taysu telah sadar akan ajaran Buddha,


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selanjutnya jalan menuju ke dunia suci sudah terbuka
bagimu," dengan merangkap tangan si nona memberi
selamat. Sebaliknya Kau Sam-pian dan Teng Hiau-lan jadi bingung,
mereka tidak mengerti apa yang dikatakan Lu Si-nio tadi.
"Sudahlah kalian jangan bikin ribut padanya, kini ia jauh
lebih tenang hatinya daripada kapan saja," ujar Lu Si-hio.
Sementara itu kedua kiongli tadi yang melihat mereka
seperti orang gendeng, Ling-sian pun tidak mirip Liau-in
seperti apa yang sering dibicarakan para Thaykam dalam
istana, maka mereka tidak ketakutan lagi seperti tadi.
"Apakah kalian kenal Ong-tuitio" Segera ia akan kemari,
kami masih harus bikin bersih tempat ini!" begitu dengan
hormat mereka bertanya. "Ong-tuitio siapakah?" tanya Kau Sam-pian.
"Kabarnya nama lengkapnya ialah Ong Ling," sahut kiongli
itu ragu-ragu. "Kalian adalah orang Hongsiang, apakah tidak
kenal dia?" Mendengar nama Ong Ling disebut, bukan main girang
Teng Hiau-lan bercampur terkejut. Pikirnya, "Dicari tidak
ketemu, dapatnya tanpa buang tenaga."
Maka lekas ia menyahut, "O, kenal, tentu kenal! Justru dia
adalah sobat lama dengan aku, apakah dia akan tinggal di
sini?" "Ya, besok pagi ia akan pindah ke sini, makanya Hap-congkoan
perintahkan kami bikin bersih tempat ini," tutur kedua
kiongli itu pula. "Bagus sekali, biar kami menunggunya di sini," kata Hiaulan.
Habis itu ia dorong pintu kamar terus masuk ke dalam,
perbuatannya ini diikuti oleh Kau Sam-pian bertiga.
"Sudah hampir terang tanah, apakah kalian tidak mau
keluar istana?" tanya Kau Sam-pian berbisik sesudah melihat
cuaca yang remang-remang.
Lu Si-nio pun merasa gerak-gerik Teng Hiau-lan agak luar
biasa, maka ia lantas bertanya, "Siapakah Ong Ling itu" Ada
urusan apakah kau tunggu dia" Kalau sampai terang tanah,
kita tidak gampang lagi keluar istana."
"Dia adalah Suhengku," jawab Teng Hiau-lan.
Habis itu ia menceritakan kisahnya dahulu tentang
pengkhianatan Ong Ling pada keluarga gurunya, bahkan
menggondol pergi Suso atau iparnya.
Sebenarnya Lu Si-nio sudah pernah mendengar cerita ini
dari Teng Hiau-lan, cuma nama Ong Ling tidak dia ingat lagi,
sudah tentu kini ia pun merasa tertarik.
"Kalau begitu, baiklah kita sembunyi satu hari di sini,"
katanya kemudian dengan tertawa.
"Di bumi ini ternyata ada seorang rendah dan kotor sebagai
dia, tentu saja aku tidak bisa lepaskan dia lagi," sokong Kau
Sam-pian. Hanya Ling-sian sendiri yang masih tetap bungkam, tanpa
berkata ia kian kemari berjalan dalam kamar, tiba-tiba di pojok
kamar ia dapatkan sebuah Khim (kecapi), dan dipetik dua kali
hingga berbunyilah alat musik itu. Mendengar suara khim ini
Teng Hiau-lan jadi teringat pada kejadian yang lalu, tanpa
tertahan air matanya bercucuran.
"Eh, kiranya di sini masih ada sebuah khim bobrok, buang
saja," kata Kiongli yang sedang masuk ke kamar.
"Tak usah, biar nanti aku membawanya keluar," sahut Lu
Si-nio. Begitulah maka selang tak lama cuaca pun sudah terang.
Tiba-tiba dari luar berkumandang suara tindakan orang yang
ramai, Ong Ling dan dua pengawal telah masuk ke dalam.
Kiranya Ong Ling yang mengekor In Ceng, akhirnya ia
mendapat suatu pangkat kecil sebagai Tuitio atau kapten
pasukan pengawal, sesudah In Ceng naik takhta, ia pun lantas
ikut masuk istana. Waktu itu dari kapten ia sudah naik pangkat menjadi Congkoan
(komandan) seluruh pasukan pengawal dalam istana.
Haptoh tahu bahwa ilmu silat Ong Ling biasa saja, maka ia
cuma diberi satu tugas sepele, yakni menyuruh dia menjaga
Ham-hoa-wan, taman kerajaan sebagai rumah tinggalnya,
istana pengasingan yang dahulu itu lantas dibikin bersih dan
"diirikan padanya. Bisa mendapatkan sebuah 'istana', Ong Ling
pun tidak peduli lagi apa tempat itu bekas tempat tahanan
atau bukan, dalam hati ia gembira sekali, sebab itulah pagipagi
ia sudah bawa barang-barangnya bersama dua pengawal
bawahannya pindah ke sini.
Begitulah tatkala Ong Ling melangkah masuk ke dalam
istana pengasingan itu, segera ia mencium bau apek yang tak
sedap, ia mengerut kening.
"Mengapa tidak bersih?" ia bentak Kiongli yang bertugas.
Lalu ia sambung lagi, "Dinding ini harus dikapur sekalian."
Tengah ia berlagak sebagai tuan besar, sekonyongkonyong
dari dalam kamar melompat keluar seorang,
sebenarnya kiongli itu sedang hendak mengatakan, "Ongtuitio,
kawanmu sedang tunggu kau di sini." Tetapi sebelum
diucapkan, tahu-tahu Ong Ling dan dua pengawalnya sudah
menjerit dan roboh terguling.
"Hm, Tuan besar Ong Ling, baik-baik saja kau selama ini?"
begitulah Teng Hiau-lan lantas menegur dengan menjengek.
"Tentunya kau sudah makmur dan senang bukan" Apakah kau
masih kenal diriku?"
Dengan gerak cepat Ong Ling kena ditutuk roboh oleh Teng
Hiau-lan, keruan ia menjadi kaget dan akhirnya ketakutan
ketika mengenali siapa yang berada di hadapannya.
"Teng-sute, kau, kau ia berkata dengan suara terputusputus.
Akan tetapi sebelum terang perkataannya, Hiau-lan sudah
angkat sebelah kaki terus menginjak di atas dadanya. "Dimana
Pang-suso?" bentak pemuda ini.
"Dia tiada di sini," sahut Ong Ling.
"Tentu telah kau celakai dia bukan?" bentak Hiau-lan lagi.
"Mana kakak berani?" kata Ong Ling.
"Siapa sudi bersebutan saudara dengan kau" Lekas
katakan, dimana Suso berada?" bentak Hiau-lan pula.
"Aku pun tidak tahu dia ada dimana," sahut Ong Ling,
Karena orang tetap tidak mau mengaku, Hiau-lan menjadi
gusar, ujung kakinya sedikit ditekan, seketika Ong Ling
menjerit kesakitan. "Sudah lama dia kabur!" seru Ong Ling kemudian.
Sudah tentu Hiau-lan tidak gampang percaya, kembali ia
injak lebih keras, keruan Ong Ling tidak tahan, dengan
menjerit ia jatuh pingsan.
Menyaksikan kejadian itu, kedua Kiongli tadi ketakutan
hingga muka pucat lesi. Tapi Lu Si-nio lantas menghibur
mereka supaya jangan takut.
Selang tak lama,perlahan-lahan Ong Ling sadar kembali.
"Apa kau masih tidak mau mengaku?" bentak Hiau-lan lagi.
"Memang betul dia telah kabur, dipukul mati pun aku tidak
tahu kini dia berada dimana," sahut Ong Ling sambil merintih.
Sudah tersiksa dan kesakitan sedemikian rupa masih begitu
jawabnya, Hiau-lan.membatin, memang Pang-suso
berkepandaian lebih tinggi dari dia, boleh jadi dia memang
sudah lolos dari cengkeramannya.
"Sejak kapan ia kabur?" ia tanya lagi.
"Tiga hari sesudah datang di kotaraja," jawab Ong Ling.
Apa yang diduga Hiau-lan adalah betul. Susonya, Khong
Lian-he, lebih tinggi ilmu silatnya daripada Ong Ling, maka
beruntung berhasil lolos dari mulut macan.
Dahulu tatkala Khong Lian-he tertawan oleh Siang-mo dan
diserahkan pada Ong Ling, ia dipaksa Ong Ling yang hendak
mengawini dia, tetapi dengan alasan harus berkabung untuk
ayah dan suaminya yang meninggal, Khong Lian-he berkata
harus tunggu seratus hari dahulu baru mau menikah.
Ilmu silat Ong Ling memang di bawah Khong Lian-he, maka
ia tak mampu dekat padanya, kemudian sesudah sampai di
kotaraja, setelah Siang-mo masuk istana, tingkatan pangkat
tidak sama, mereka lantas berpisah dengan Ong Ling.
Waktu masih di tengah jalan, Khong Lian-he tidak
melarikan diri karena ia segan pada Siang-mo, tetapi kini
Siang-mo sudah tak di situ lagi, hanya Ong Ling seorang diri
mana bisa melawan dia, maka sesudah Ong Ling dihajar lalu
ia melarikan diri. Dalam pada itu Kau Sam-pian sudah tak sabar, ia keluar
darj kamar dan bertanya, "Apakah masih belum selesai?"
"Pang-suko, hari ini dapatlah aku membalaskan sakit
hatimu!" terdengar Hiau-lan tertawa pilu sambil mendongak,
habis itu sebelah telapak tangannya lantas digablokkan, maka
pecahlah batok kepala Ong Ling oleh pukulan itu.
"Lekas berangkat, cuaca sudah hampir terang, kalau
lambat sedikit sudah tak keburu lagi," ajak Kau Sam-pian
Waktu itu cuaca remang-remang, kembang salju masih
membeku, tetapi di luar taman sudah terdengar suara
terompet berbunyi. "Congkoan yang baru sungguh giat, fajar baru menyingsing
sudah lantas apel besar bagi pasukan pengawal!" ujar Kau
Sam-pian. Habis keluar dari istana itu, ia bawa Lu Si-nio dan lain-lain
berangkat dengan cepat. Haptoh yang baru saja naik pangkat sebagai Congkoan
baru dalam istana, hari pertama sudah lantas terjadi huruTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hara, keruan ia gusar sekali, maka pagi sekali ia lantas
kumpulkan semua pengawal dengan maksud bikin
pembersihan di antara petugas lama dan diganti dengan orang
kepercayaannya. Sementara itu ia sendiri sedang meronda
sampai di taman bunga, mendadak ia lihat beberapa
bayangan orang melayang pergi menuju ke jurusan barat-laut
secepat terbang, malahan orang yang paling depan dapat ia
kenali sebagai Lu Si-nio.
Haptoh menjadi murka, katanya dalam hati, "Kurangajar!
Budak hina itu sungguh bernyali besar, ternyata ia berani
bermalam di dalam istana."
Maka tanpa pikir ia ayun tangannya, dua bola seketika
melayang ke angkasa dengan membawa suara mengaung.
"Hiat-ti-cu bisa berbuat apa padaku!" sahut Lu Si-nio
dengan tertawa atas serangan itu. Ia melompat ke atas,
pedang 'Siang-hoa-kiam' menyampuk, maka di antara
berkelebatnya sinar perak, pisau yang berada dalam senjata
rahasia istimewa itu seketika berhamburan laksana hujan
belati. Di sebelah sana, sebuah Hiat-ti-cu yang lain telah disambut
Kau Sam-pian, ia pun meniru cara Lu Si-nio, tongkatnya
menyampuk cepat, Hiat-ti-cu itu disapu pergi dan terjatuh di
antara gerombolan pengawal istana hingga kawanan
bayangkara itu berlari menyingkir.
"Kejar lekas!" seru Haptoh.
Akan tetapi dalam sekejap Lu Si-nio dan kawan-kawan
sudah berhasil melalui beberapa buah bukit-bukitan palsu dan
sampai di pintu gerbang 'Sun-cing-bun'.
Kabur sampai di sini baru Kau Sam-pian merasa lega, tetapi
di luar dugaannya, sekonyong-konyong terdengar terompet
berbunyi riuh, Tang Ki-joan bersama Thian-yap Sanjin tibatiba
muncul dari kanan-kiri dengan membawa barisan
pengawal, secepat terbang mereka memburu tiba.
"Celaka!" mau tak mau Lu Si-nio mengeluh juga.
"Jangan kuatir, mari ikut aku!" kata Kau Sam-pian.
Di luar pintu gerbang Sun-cing-bun adalah pegunungan
Keng-san, penjaga pintu gerbang ini sebagian besar adalah
bayangkara tua, dengan sendirinya mereka cukup kenal Kau
Sam-pian, maka tanpa ayal segera Kau Sam-pian berlari ke
depan sana. "Hai, kawanan pengacau sudah kabur keluar, apakah kalian
tidak melihatnya?" bentaknya berlagak.
"Tidak tahu!" sahut penjaga itu.
"Lekas buka pintu, biar kami kejar mereka!" seru Kau Sampian
lagi. Namun di antara bayangkara penjaga itu terdapat pula
orang baru begundal In Ceng, ketika melihat Kau Sam-pian
berjumlah empat orang, di antaranya ada Hwesio, dan wanita
muda pula, mereka menjadi curiga.
"Kalian ini siapa?" mereka balas bertanya.
"Pengawal kaisar sendiri!" sabut Kau Sam-pian.
Di antara penjaga itu terdapat pula kenalan Ling-sian,
ketika Ling-sian memberi isyarat, dalam keadaan kacau
dengan cepat pintu gerbang dibuka, maka secepat terbang
Kau Sam-pian berempat berhasil lolos keluar.
Ketika Tang Ki-joan dan kawan-kawan menyusul tiba, pintu
gerbang sudah tertutup kembali. Dengan sendirinya penjaga
itu memeriksa keterangan rombongan Tang Ki-joan dan ketika
selesai, di lain pihak rombongan Lu Si-nio sudah kabur.
Tentu saja Haptoh menjadi murka dan uring-uringan, tapi
tak bisa menyalahkan para penjaga, karena Kau Sam-pian
memang betul adalah pengawal kesayangan kaisar yang lama
dan berpengaruh, siapa pun tidak menyangka begitu kaisar
tua mangkat, seketika juga ia memberontak.
Kembali pada Lu Si-nio dan kawan-kawan, setelah berhasil
lolos berkat bantuan Kau Sam-pian dan dengan selamat
sampai di luar istana terlarang itu.
"Lu-cici, pedangku telah dirampas oleh si keparat Liau-in,"
tutur Hiau-lan pada Lu Si-nio.
"Biar kelak kita bikin perhitungan dengan dia, kini kita
kembali saja buat berunding dengan Chit-ko," sahut Lu Si-nio.
"Sehabis peristiwa ini, jago pengawal lama tadi pasti
mendapat teguran, perubahan petugas dalam istana tentu
akan banyak dilakukan, penjagaan pun pasti diperkeras,
selanjutnya kita tidak boleh sembarangan ke sana lagi," Kau
Sam-pian ikut mengutarakan pikirannya.
Sesudah kembali di kelenteng di Se-san, mereka disambut
Pek Thay-koan. "Mengapa kalian baru kembali sekarang,
hampir saja Chit-ko bersama Kwantang-si-hiap masuk istana buat
mencari kalian," katanya dengan tertawa.
"He, Kwantang-si-hiap pun datang?" tanya Ling-sian girang.
Habis itu dengan berlari ia masuk ke dalam.
Terdengar Hian-hong Tojin berseru dari dalam, "Ciok-toako,
kami akan bikin kesal kau lagi!"
"Kesal apalagi, kini aku sudah mengenakan jubah Buddha,"
sahut Ling-sian dengan tertawa.
Lalu Lu Si-nio dan Teng Hiau-lan menjumpai Kwantang-sihiap.
"Kami empat saudara kali ini betul-betul terjungkal dengan


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyedihkan, sudah jatuh di tangan seorang gadis cilik, jatuh
lagi di bawah tangan seorang Kangouw-longtiong," tutur
Long-goat Hwesio. "Apa?" tanya Ling-sian kaget, "dengan siapa kalian
bergebrak?" Tan Goan-pa lantas gulung lengan bajunya, ia unjuk satu
goresan bekas luka di lengannya.
"Coba kalian lihat, budak cilik itu betul-betul kejam sekali,
kalau bukan Hian-hong Toako paham ilmu pertabiban, pasti
lenganku, ini terbuang di bawah tangannya!" tutur Goan-pa.
"Kali ini kami datang ke kotaraja," Liu Sian-gai ikut menutur
Misteri Kapal Layar Pancawarna 2 Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung Para Ksatria Penjaga Majapahit 22
^