Pencarian

Tiga Dara Pendekar 3

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 3


kepala musuh. Tak terduga, mendadak Sat Thian-ji mengulur
kedua tangan, dari sepuluh jarinya tiba-tiba terjulur keluar
kuku sepanjang beberapa senti. Waktu kuku beradu dengan
cincin baja, segera terbit su-ara gemerincing.
Belum lenyap kejut Liu Sian-gai oleh.gerakan musuh yang
luar biasa itu, tiba-tiba jari musuh mencolok ke matanya
laksana pisau belati, lekas Liu Sian-gai melompat
menghindarkan serangan. Dalam pada itu Hian Hong pun tidak tinggal diam. Dengan
tangan kanan pedang dan tangan kiri tongkat, ia
memberondong serangan dari sebelah belakang, namun
ketangkasan Sat Thian-ji harus dipuji, ia berlompatan laksana
terbang, sedang sepuluh jarinya men-cakar, menggaruk,
menutuk dan menggaet serupa cakar elang saja.
Siang-mo atau kedua iblis itu sudah lebih tiga puluh tahun
ber-diam di Niau-eng-to, kerap kali menyaksikan pertarungan
seru an tara elang dan ular berbisa, dari pertarungan itulah
tidak sedikit ge-rak tipu silat istimewa yang telah mereka
ciptakan. Lebih-lebih Pat-pi-sin-mo Sat Thian-ji yang terkenal
kemahirannya dalam ilmu en-tengi tubuh dan tenaga luar,
bahkan ia anggap Niau-eng sebagai gurunya, banyak caracara
menubruk, menyerang dari atas seperti burung itu yang
telah ia yakinkan. Walau dalam hal Ginkang dia sedikit
kalah dari Ban-li-tui-hong, tetapi soal kepintaran silat lainnya
sebaliknya ia jauh berada di atasnya, misalnya dalam hal cara
menubruk dari atas saja Liu Sian-gai sudah tak mungkin
menyamainya. Lebih dari itu, Sat Thian-ji meyakinkan pula semacam ilmu
silat tunggal, disebut "Niau-eng-jiau" atau cakar elang kucing,
sesuai dengan sumber dimana ia mendapatkan ilham ilmu silat
itu. Senjata Niau-eng-jiau adalah kesepuluh kuku jarinya yang
sudah berpuluh tahun tak pernah dirajinkan atau digunting,
tiap kuku jarinya sepanjang beberapa senti dan kerasnya
melebihi batu, dalam keadaan biasa kuku itu melingkar pada
pucuk jari, tetapi se-waktu hendak dipergunakan, mendadak
menjulur dan merupakan cakar yang tajam, bahkan kesepuluh
kuku jari itu beracun pula, se-muanya sudah terendam dalam
air bisa yang paling jahat dari ular-ular berbisa, apabila
tercakar luka oleh kukunya dan tiada obat pe-munah racun
ular, maka dalam dua belas jam korbannya akan ter-binasa.
Entah telah berapa banyak orang-orang gagah Kangouw yang
terbinasa di bawah kesepuluh kukunya yang lihai itu.
Sementara itu, dengan tongkat dan pedang memutar
berbareng, kembali Hian Hong Totiang bergebrak seru dengan
Pat-pi-sin-mo. Loan-pi-hong-kiam-hoat dimainkan sedemikian
rupa sehingga menerbitkan angin menderu dan membawa
sinar gemerdep, ditam-bah tongkat di tangan kirinya
mengemplang serta menyerampang dengan hebat sekali.
Di bawah rangsekan pedang dan tongkat sekaligus itu, Patpi-
sin-mo mengulur kesepuluh cakarnya, ia keluarkan gerak
menubruk seperti elang kucing, tiba-tiba menyambar dari atas
seperti rajawali terbang, saat lain mengitar cepat laksana ular,
ia menubruk maju te-rus mencakar, membeset dan macammacam
serangan pula, dengan cara begitu semua penjuru
tertampak seakan hanya bayangan tubuh Sat Thian-ji yang
terus berputar, satu orang seperti tumbuh delapan tangan
sesuai julukan yang orang berikan padanya.
Menghadapi lawan setangguh itu, mau tak mau Hian Hong
Totiang harus mengakui Pat-pi-sin-mo ini benar-benar lawan
yang belum pernah ia jumpai selama hidup!
Di pihak lain, Pat-pi-sin-mo diam-diam pun terkejut oleh kecekatan
Hian Hong, sama sekali ia tidak menduga Loan-pihong-
kiam-hoat bi?a begitu lihai.
Dengan cara serangan melawan serangan dan keras
melawan keras, pertarungan seru mereka merupakan
perebutan siapa yang mendahului dalam sekejap itu saja. Hian
Hong umpamanya, ia me-rasa cakaran musuh senantiasa
mendesak sampai di mukanya dan susah sekali untuk
menghindarkannya. Sebaliknya bagi Pat-pi-sin-mo, ia pun
berulang-ulang harus menghadapi sinar pedang yang menyilaukan
dan tak pernah jauh dari tempat berbahaya di
tubuhnya. Pertarungan luar biasa dan mati-matian ini begitu hebat
hingga akhirnya yang tertampak hanya tongkat dan pedang
yang sambar-menyambar bercampur sepuluh kuku cakar yang
beterbangan, siapa di antara mereka sedikit meleng pasti tak
akan luput dari kematian.
Nampak Suhengnya dalam keadaan genting, dengan
Ginkang-nya yang tinggi, Liu Sian-gai bantu mengeroyok,
apabila Sat Thian-toh membalik hendak menjambret padanya,
segera ia melayang per-gi menghindar. Dengan bantuan
Sutenya ini, barulah Hian Hong To-jin bisa mendapat sedikit
keunggulan. Ketika pertarungan sengit berlangsung, mendadak
terdengar Tay-lik-sin-mo dan Tan Goan-pa memekik keras.
Rupanya di sebelah sana Siau-mi-lik Long-goat Siansu dan
Tan-ciang-gay-pi Tan Goan-pa yang bergabung melawan TayTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
lik-sin-mo Sat Thian-toh, mereka pun sudah sampai pada saat
yang me-nentukan mati-hidup masing-masing pihak.
Long-goat Siansu beberapa kali menyemburkan arak, baju
Sat Thian-toh sudah berlubang-lubang kecil tak terhitung
banyaknya. Sat Thian-toh menjadi murka, sekali menggerung,
sekuat tenaga ia menyobek baju sendiri menjadi helai-helai
kecil, kini separoh tubuhnya
telanjang, kulitnya yang kuning
kecoklatan tertampak jelas.
"He, Hwesio gemuk, berapa banyak senjata rahasiamu juga
aku tak takut padamu! Untuk apa bolak-balik kau semburkan
arak-mu?" teriaknya sambil mementang kedua tangannya, ia
perlihatkan ototnya yang hijau menonjol kuat. Sesudah itu, ia
mengepal dan kedua tangannya meninju berbareng ke arah
pelipis Long-goat Siansu.
Long-goat menyambut serangan lawan dengan bergelak
terta-wa, ia berputar menurut gaya serangan musuh, pada
saat itu ia mele-paskan cambuk kulit yang terikat di
pinggangnya, terus menyabet.
Seperti belalang menangkap tonggeret, tetapi dikuntit
burung gereja di belakang. Saat Sat Thian-toh menyerang
Long-goat Siansu, Tan Goan-pa pun menyusul di
belakangnya, seperti cara Sat Thian-toh menyerang
musuhnya, dengan tipu "Siang-liong-jut-hay" (dua naga keluar
lautan), Tan Goan-pa menggablok kedua pelipis musuh
dengan kedua belah tangannya.
Namun Sat Thian-toh tidak gampang kecundang, tiba-tiba
ia mendak dan menyikut ke belakang, menyusul mendadak ia
memba-lik, disambung satu pukulan keras, kepalan tangan
kanannya mendadak memukul dari bawah siku yang
menyikut tadi. Melihat ada kesempatan baik, Tan Goan-pa sedikit mundur,
segera ia papaki dengan tangan kiri menyanggah ke atas,
berbareng tangan kanan memegang tangan musuh terus
ditekuk ke bawah, ge-rakan ini adalah kepandaian yang
menjadi kebanggaan Tan Goan-pa, satu tipu serangan yang
mematikan "Hun-kin-cho-kut-jiu", gerak tipu cara memisahkan
otot dan membikin keseleo tulang musuh, se-kali tekuk dan
tangan lain menyanggah tangan lawan ke atas akan bisa
membikin otot putus dan tulang patah, betapapun tinggi ilmu
silatnya, bila terkena tak mungkin dapat melawan.
Tak terduga, kali ini Tan Goan-pa ternyata tidak berhasih
Sat Thian-toh yang tangannya ditarik dan ditekuk, seperti tak
berasa sa-ja, malah tangannya ditekan ke bawah, sesudah itu
mendadak tangan kirinya menghantam ke atas.
Lekas Goan-pa kendurkan cekalannya tadi, ia sendiri tak
ingin kena dijotos, tetapi karena sedikit lambat, terpaksa ia
angkat pundak dan terima dipukul mentah-mentah oleh
hantaman Tay-lik-sin-mo, keruan ia terpental terhuyunghuyung.
Dalam pada itu, cambuk Long-goat Siansu beruntun dua
kali berhasil menyabet punggung Sat Thian-toh. Dengan
menggerung gusar. Sat Thian-toh membalik tangannya
meraup ke belakang dan cambuk lawan kena diraup terus
ditarik, Long-goat Siansu tak sang-gup menahan dan ikut
tertarik maju, untuk menghindarkan malape-taka, lekas Longgoat
melepaskan tangan, karena itu pula Sat Thian-toh yang
terlalu bernapsu menarik sekuat tenaga tak keburu menahan
diri sehingga jatuh ti_rjengkang.
Tan Goan-pa tak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia
menubruk ke atas tubuh orang, dengan berguling-guling Sat
Thian-toh mendadak merangkul kencang tubuh Goan-pa,
meskipun gigirnya dua kali kena dihantam, namun Tan Goanpa
akhirnya kena ditindihnya di sebelah bawah.
Sesudah dapat merebut kembali cambuknya, Long-goat
Siansu menjadi terkejut waktu melihat mereka berdua
bergulang-guling sa-ling betot di tanah, dengan cambuknya
Long-goat menunggu kesempatan,
tapi ia tak berani sembarang turun tangan, takut mengenai kawan sendiri.
Tak lama kemudian, Tan Goan-pa kewalahan, kedua
tangannya kena ditekan lawan, dengan sikunya Sat Thian-toh
menahan da-da Goan-pa dan menekan sekuatnya.
Kesempatan itu segera diguna-kan dengan baik oleh Longgoat
Siansu, cambuknya segera menyabet
ke belakang kepala Sat Thian-toh. Saking sakitnya kena pecutan itu,
terpaksa Sat Thian-toh melompat bangun sambil mengangkat
badan Tan Goan-pa, terus dilemparkan, sesudah itu ia
menghadapi Long-goat Siansu dengan sengit.
Di sebelah sana Liu Sian-gai jadi kaget, lekas ia tinggalkan
Pat-pi-sin-mo dan melompat ke sana, ia sambut Tan Goan-pa
yang dilemparkan itu, lalu dilepas kembali. Waktu ia
mengamati, kepala dan muka Tan Goan-pa babak-belur.
"Bagaimana?" tanyanya.
"Tak apa, hanya luka luar saja!" sahut Goan-pa dengan mengertak
gigi. Setelah itu, dengan menggerakkan kedua
tangan, segera ia menerjang maju lagi. Sementara itu Hian Hong Totiang dan Long-goat Siansu
ber-ulang-ulang mundur karena tercecar oleh kedua manusia
iblis itu! Selamanya Goan-pa belum pernah dipedaya orang begitu
rupa, keruan api amarahnya memuncak, ketika ia maju
bergebrak lagi, ia menjadi makin beringas dan tangkas.
Selang tidak lama, kembali Goan-pa menggunakan "Hunkin-
cho-kut", mendesak maju dengan menghadapi bahaya, ia
berhasil memegang pundak Tay-lik-sin-mo dan terns dipuntir.
Tak terduga kembali Sat Thian-toh seperti tak berasa saja, ia
angkat tangannya dan Tan Goan-pa terpaksa harus mencium
tanah. "He, kau si cebol ini berulang-ulang menggelitik aku, mau
apa kau?" teriak Tay-lik-sin-mo mengejek.
Sesudah Goan-pa berbangkit kembali, ia terbungkam tak
bisa berkutik. la telah menggunakan ilmu kebanggaannya,
tetapi orang haiiya menganggapnya menggelitik saja, keruan
ia mati kutu. Kiranya Sat Thian-toh berkulit dan bertulang keras laksana
kulit tembaga dan tulang baja, bukan saja kebal terhadap
senjata tajam, bahkan ilmu "Hun-kin-cho-kut" yang paling lihai
juga tak mempan melukainya. Tadi berulang-ulang ia kena
dicambuk dan terjotos, kecuali pecutan Long-goat Siansu
paling akhir yang me-ngenai belakang kepalanya itu yang
iarasakan rada kesakitan, selain itu, hakikatnya ia tidak
anggap sesuatu yang luar biasa.
Sungguhpun Long-goat mempunyai Lwekang yang tinggi,
tapi ia pun tak berdaya menghadapi lawan yang tangguh itu.
la berjuluk "Siau-mi-lik", si Budha tertawa, namun sekarang ia
tak bisa tertawa, terpaksa hanya melayani musuh dengan
sekuat tenaga, sembari ber-tempur sambil mundur!
Sementara itu, setelah Goan-pa bertarung sengit dan kena
di-pukul sekali, ia merasakan seluruh rangka tulangnya
kesakitan. "Jite, Site, geser ke sini, kita hadapi mereka dengan
berjpjar!" terdengar Hian Hong berseru.
Pada kesempatan lain Long-goat Siansu telah menghirup
pula seteguk araknya, sesudah itu ia semburkan untuk
menyerang kedua mata musuh. Terpaksa Sat Thian-toh harus
menutupi kedua mata-nya, karena itu rangsekannya menjadi
kendur, kesempatan baik itu dipergunakan Long-goat dan
Goan-pa untuk mundur dengan cepat dan menggabungkan
diri dengan Hian Hong Tojin.
Dengan berendeng mereka menghadapi musuh, sudah
tentu kekuatan bertahan mereka banyak tertambah.
Sementara itu Pat-pi-sin-mo mundur dengan cepat, Tan Goanpa
coba memburu maju dengan"sebelah tangannya
membelah, namun segera ia rasakan angin mendesir tiba,
kuku-kuku Sat Thian-ji yang panjang sudah menan-cap di
pundaknya. Dengan cepat pedang Hian Hong Tojin membabat
untuk menolong kawannya agar tidak terserang lebih jauh,
namun Sat Thian-ji cukup gesit, ia melompat menghindarkan
babatan orang. Sementara itu Hian Hong telah merogoh sepotong kue
kering dari sakunya dan dengan cepat dilemparkan pada
Goan-pa sambil berteriak, "Kuku musuh beracun, lekas telan
kue kering itu!"

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Goan-pa terkaget, ia menurut, kue kering itu ia kunyah dan
ditelan, pundaknya terasa sakit dan panas.
Pada saat itu juga Tay-lik-sin-mo Sat Thian-toh merangsek
maju, tetapi Liu Sian-gai mendahului menubruk, dengan
Ginkang yang luar biasa, ia tekuk kesepuluh jarinya yang
bercincin baja, terns dikeprukkan ke kepala Sat Thian-toh dan
mengenainya dengan tepat.
Keruan Sat Thian-toh merasa seakan kepala hendak pecah.
Sa-king gusarnya, ia angkat kedua tangan terus menyengkelit
sekuatnya hingga Liu Sian-gai terpental sejauh beberapa
tombak. Di pihak lain, ilmu pedang "Loan-pi-hong" Hian Hong
Tojin yang cepat dan lihai
telah menusuk pula sampai di
lengan Sat Thian-toh, tetapi dengan
sedikit mengerutkan daging, pedang itu meleset lewat. Tiba-tiba Hian Hong
tergerak hatinya, ia tahu lawan memiliki Gwakang yang sudah
sangat sempurna, maka diam-diam ia kumpulkan tenaga
dalam, berbareng pedangnya ia putar balik, keruan Sat Thiantoh
memekik kesakitan, ternyata lengannya lecet dan
mengucurkan da-rah, ia pun melompat pergi!
Dalam pada itu, Sat Thian-ji mencakar kepala Hian Hong.
Lekas Hian Hong mengegos, tidak urung pundaknya kena
dicengke-ram, cepat ia melompat pergi dan menggeragoti kue
kering pemu-nah racun yang ia bawa.
Di sebelah sana Sat Thian-toh yang kena dilukai, walaupun
se belah lengannya tidak leluasa bergerak, namun ia masih
tetap me-nubruk dan menggempur secara hebat dan lihai
sekali! Sesudah Si-hiap dan Siang-mo saling gebrak secara sengit,
lama-kelamaan Hian Hong Tojin dan Tan Goan-pa mulai
merasa mual, rasanya hendak muntah. Kiranya kuku Sat
Thian-ji yang bera-cun itu mengandung racun yang paling
jahat dari bisa ular yang di-sebut "Kim-soa-coa" atau ular
benang emas, sekalipun kue kering yang Hian Hong bekal itu
adalah obat terbagus pemunah racun, namun
hanya bisa menahan menjalarnya racun, racun yang bekerja he-bat
dalam perut dengan sendirinya sukar ditahan.
Siang-mo yang lihai itu, yang seorang pandai dalam
Ginkang, hantaman dan tubrukannya dari atas sangat
membahayakan. Sedang yang lain memiliki kulit tembaga dan
tulang baja yang kebal dan bertenaga luar biasa, sungguhpun
Si-hiap juga mempunyai kepan-daian tunggal, akhirnya
mereka kewalahan juga. Sekuat tenaga Hian Hong bertahan sebentar, akhirnya ia
mun-tahkan air kuning, cepat Sat Thian-ji berkelit. Tiba-tiba
Hian Hong sadar. "Jite, Samte, lekas keluar dari kalangan!"
serunya. "Jite se-rang mata mereka dengan arak dan Samte
mengepruk kepala mereka dengan cincin bajamu!"
Begitulah ketika Sat Thian-ji mengangkat kuku hendak
men-cakar, Liu Sian-gai dan Long-goat Siansu berdua keburu
melompat pergi dahulu. Habis itu tanpa ayal Long-goat segera
membuka mulut dan menyemprot, dua arus arak segera
mengincar kedua mata Pat-pi-sin-mo.
Dengan sekali memutar badan, cepat sekali Sat Thian-ji
melu-putkan diri dari serangan arak tadi. Dalam pada itu,
mulut Long-goat Siansu telah mangap lagi, kini kedua arus
perak itu menuju ke muka Sat Thian-toh, mengincar kedua
matanya. Tay-lik-sin-mo yang Ginkangnya tidak setinggi saudara tuanya
itu, terpaksa harus melindungi kedua mata dengan
sebelah ta-ngannya dan dengan tangan lain ia melayani
musuh, arus arak kena pada tangannya yang lebar besar dan
muncrat beterbangan, meski-pun mengenai badannya, karena
kebal, dengan sendirinya ia tak ta-kut. Namun justru pada
saat itu juga, pedang Hian Hong Tojin ber ulang tiga kali
menusuk pula. Sat Thian-toh terpaksa harus melompat
sini dan menghindar ke sana dengan kalang kabut. "Plok," terdengar
suara keras, kepalanya kena dikepruk sekali oleh cincin
baja Liu Sian-gai. Pada umumnya orang yang berlatih Gwakang atau
kekuatan luar, selalu ada titik lemah dan menjadi ciri yang
dapat mengaki-batkan luka atau binasa baginya, kecuali itu,
seperti di atas kepala, tempat ubun-ubun, pelipis,
selangkangan dan beberapa tempat Iain-pun merupakan
tempat kelemahan, walaupun tidak sampai membahayakan
jiwanya apabila terpukul, tetapi kalau pemukulnya memiliki
tenaga besar, sudah tentu sakitnya tak tertahan juga.
Keruan Sat Thian-toh yang kena dikepruk kesakitan, sampai
matanya berkunang dan berteriak.
Di lain pihak, serangan Hian Hong tidak menjadi kendur,
sinar pedang berkelebat, ia menusuk ke tempat berbahaya
musuh. Secepat kilat Sat Thian-ji menubruk dari atas, sepuluh
kuku jarinya laksana kait segera mencengkeram untuk
menolong saudaranya. Tetapi Hian Hong Tojin tak gampang dipecundangi, ia
berpu-tar cepat terus mundur ke belakang, ketika Sat Thiantoh
merangsek bersama Sat Thian-ji, Long-goat Siansu segera
menyemprotkan arak secara beruntun mengarah mata musuh.
Di antara Si-hiap atau empat pendekar, Lwekang Long-goat
hanya sedikit di bawah Hian Hong, kepandaiannya
menyembur arak untuk melukai orang sudah dilatih
sedemikian rupa hingga tak dapat diduga orang. Ia bisa
menyemprotkan arak laksana rantai perak dan sekaligus
dalam beberapa kali, ia mahir pula membuat arak menjadi
peluru laksana hujan es untuk mengarah kedua mata musuh
dan sukar dihindari. Sungguhpun Siang-mo terhitung tokoh
silat kaliber besar, tetapi harus melayani senjata rahasia
seaneh itu, di samping masih harus menghadapi tiga pendekar
lain yang mengeroyok ber-bareng, mau tak mau mereka
merasa kerepotan juga. Dengan cara begitu, kedudukan masing-masing pihak
segera berubah, kalau tadi pihak Siang-mo berada di atas
angin, sebaliknya kini Si-hiap berada di pihak penyerang,
mereka mengeluarkan ke-pandaian yang hebat untuk
mendesak Siang-mo, hingga mereka ter paksa melompat ke
sini dan menghindar ke sana.
Dalam pertarungan sengit itu, beruntun Sat Thian-ji
berhasil menghindarkan peluru arak dan mengegoskan cincin
baja, lalu ia mengulur kuku hendak mencengkeram Tan Goanpa.
Tetapi Hian Hong pun memperlihatkan ketangkasannya,
pedang dimainkan se-demikian hebat, tiap serangan selalu
merupakan ancaman berbahaya bagi Pat-pi-sin-mo. Terpaksa
Sat Thian-ji harus mengeluar-kan ilmu silat Niau-eng-jiau yang
tinggi, mendadak ia meloncat ke atas, dengan gerakan hendak
mencakar ia membikin jeri Liu Sian-gai se-hingga terpaksa
mundur, sesudah itu dengan berjumpalitan ia turun kembali
ke bawah. Selagi ia hendak menyapa Sat Thian-toh agar cepat
mundur, sekonyong-konyong Pang Ing yang berada dalam
gendongannya, rupanya terlalu keras ikut dipontangpantingkan,
kembali menjerit menangis lagi.
Suara pekik tangis yang mendadak itu membikin Sat Thianji
jadi tertegun, sementara itu Long-goat Siansu telah
menyemburkan araknya lagi dan dengan cepat menyambar ke
mukanya. Lekas Sat Thian-ji menghindar, tetapi segera ia
dipapaki ujung pedang Hian Hong, sinar perak gemerdep
menusuk ke tenggorokannya dari sam-ping. Untung Sat Thianji
masih sempat menundukkan kepala dan sedikit mendak,
terasa angin tajam menyambar tiba, ia menduga tu-sukan
pedang sekali ini tentu sukar dihindarkan, oleh karena itu ia
kumpulkan tenaga dan kerutkan otot daging dengan harapan
mengu-rangi lukanya. Tak terduga, justru pada detik itu, jerit tangis Pang Ing
makin menjadi-jadi. Hal ini justru telah menyelamatkan Sat
Thian-ji. Kiranya pada waktu tusukan pedang Hian Hong sampai, kebetulan
Sat Thian-ji menunduk dan membungkuk hingga
paras mu-ka Pang Ing yang merah jambu dan mungil
menongol keluar. Se-benarnya tusukan Hian Hong ini hendak
mengarah tempat yang berbahaya
pada leher Sat Thian-ji, tapi karena muka Pang Ing men-dongak mendadak hingga
merintangi serangannya. Ketika si kecil tiba-tiba menampak
sinar pedang yang gemerdep, kembali ia menjerit
ketakutan Dengan susah payah Hian Hong akhirnya mendapat kesempatan
bagus itu, tapi ternyata terganggu oleh Pang Ing,
seumpama Si-hiap dan Siang-mo mempunyai dendam betapa
besarpun, serangan Hian Hong juga tak tega diteruskan.
Kaum ahli bertanding hanya tergantung dalam sekejap
saja, Hian Hong merandek oleh keraguannya tadi dan tak jadi
menusuk, maka ia berbalik kena dicakar oleh Sat Thian-ji yang
telah memba-liki tangannya, lima guratan pada pergelangan
tangan Hian Hong segera tertampak dan pedang pun terjatuh. Nampak saudara tuanya berhasil, Sat Thian-toh pun tak
mau ketinggalan, dengan suitan aneh, ia menubruk maju juga.
Ia me-mukul secepat kilat ke arah kepala lawan. Tadi ia kena
dilukai sekali oleh Hian Hong, maka kemurkaannya sudah
memuncak, pukul-annya ini mempergunakan seluruh
tenaganya, ia berniat menghan-cur-luluhkan Hian Hong Tojin!
Mengetahui bahaya yang mengancam rekannya, Tan Goanpa
tak menghiraukan resiko yang ia hadapi, dengan mengadu
jiwa ia memukul dengan kedua tangannya dari samping.
Keruan tiga tangan segera bertemu, di antara suara "plakplok"
yang keras, tangan kiri Tan Goan-pa yang beradu paling
berat segera menggantung ke bawah,
saking serunya benturan tadi, tulang pergelangan tangannya tergetar patah.
Sebaliknya tenaga pukulan Sat Thian-toh yang amat keras
masih terus menggebrak, kontan Hian Hong Tojin terpental
setombak lebihjauhnya. Sat Thian-toh masih belum puas, ia tinggalkan Tan Goanpa,
segera ia memburu dan menubruk secara kalap, ia hendak
mengha-bisi jiwa Hian Hong.
Untung Lwekang Hian Hong Tojin sudah sangat dalam, ditambah
Tan Goan-pa yang telah menangkiskan dahulu, maka
tenaga serangan Sat Thian-toh sudah banyak berkurang,
maka pukulan yang mengenainya tadi tidak sampai melukai,
namun begitu ia sudah tak bisa berdiri tetap hingga terpental.
Melihat gelagat jelek, Liu Sian-gai dan Long-goat Siansu lekas
memburu maju, mereka me-ngerubut Pat-pi-sin-mo, karena
tahu kepandaian Sat Thian-ji di atas Sat Thian-toh, sesudah
Hian Hong terpukul, untuk melawan Sat Thian-toh mungkin
masih sanggup, tapi untuk menahan Sat Thian-ji terang tak
kuat, oleh karena itu mereka membiarkan Sat Thian-toh
memburu Hian Hong, sedang mereka menghalangi Sat Thianji.
Setelah Hian Hong terkena racun cakaran, urat nadi tangan
ka-nannya terasa panas sakit bercampur kaku gatal, ia
menduga luka-nya tentu tidak enteng. Sementara itu Sat
Thian-toh secara kalap da-ri belakang menubruk pula, keruan
api amarahnya pun memuncak.
"Baiklah aku adu jiwa padamu!" teriaknya dengan murka.
Ia kumpulkan tenaga dan tongkatnya diayun, sekali
membalik segera ia menghantam. Karena terlalu
mengandalkan tubuhnya yang kebal, Sat Thian-toh merangsek
maju tanpa berkelit atau menghin-dari serangan lawan,
beruntun ia pun memukul, tetapi segera terde-ngar suara
gebrukan yang keras, iganya kena disodok sekali oleh tongkat
lawan. Sebenarnya tempat iga itu bukan titik lemah latihan
kekebalannya, lagi pula bukan tempat bahaya, senjata biasa
saja tak bisa melukainya, tapi kini kena disodok, mau tak mau
ia merasa sakit yang meresap tulang, betapa tinggi Gwakang
Tay-lik-sin-mo ju-ga tak sanggup menahan, ia memuntahkan
darah segar, dua tulang iganya ternyata patah!
Dalam pada itu, Hian Hong masih mengamuk dengan
hebat, tongkatnya menyapu dan mengemplang laksana angin
badai dan hu-jan keras tiada hentinya. Kini Sat Thian-toh
sudah tak berani sem-barang menerima pukulan lawan
dengan tubuhnya, berulang ia me-lompat berkelit, berbareng
dengan kekuatan "Tay-kim-kong-jiu", ia berusaha
mengguncang pergi tongkat lawan.
Dalam pertarungan sengit itu, tenaga serangan tongkat
dirasa-kan Sat Thian-toh luar biasa, sebaliknya Hian Hong pun
merasa kekuatan pukulan musuh seperti getaran halilintar,
masing-masing pi-hak tiada yang berani memandang enteng
lawan lagi. Waktu pertarungan sengit memuncak, tongkat Hian Hong
me-nyerampang sekuatnya beberapa kali, dengan melompat
Sat Thian-toh dapat menghindar, tetapi tongkat Hian Hong
mengenai sepotong batu gunung di pinggir, di antara remukan
batu yang beterbangan, tiba-tiba menggelundung keluar
seorang dari balik batu itu.
"Hian Hong Totiang, lekas tolong aku!" terdengar orang itu
berseru. Orang itu bukan lain ialah Teng Hiau-lan. Ia kena ditutuk
Sat Thian-ji yang membuat tubuhnya kaku tak bisa bergerak
dan ditaruh di tengah apitan dua batu besar, dengan mata
kepala sendiri ia me-nyaksikan pertempuran yang maha
dahsyat itu hingga mulut ternga-nga, suara bentakan saling
kejar akhirnya mendekat dan mendadak batu terpukul nancur,
tubuhnya tergetar keras, tiba-tiba jalan darah-nya jadi lancar,
kiranya Hiat-to yang ditutuk tadi kebetulan tergetar lepas.
"Kau siapa?" tanya Hian Hong.
"Aku adalah si bocah yang dulu dipungut Ciu Jing!" seru
Hiau-lan sambil melompat keluar dari timbunan remukan batu.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hian Hong terkejut, tapi beberapa hantaman tongkatnya
segera membikin Sat Thian-toh haras mundur, sesudah itu ia
memburu ke dekat Teng Hiau-lan. "O, kiranya kau berada di
sini!" serunya lagi.
"Totiang, pakailah pedangku ini!" teriak Teng Hiau-lan
sambil mengangsurkan Yu-liong-kiam padanya.
Pada waktu sebelum memenuhi janji pertemuan sepuluh
tahun yang lalu dengan Pang Kong-tiau, Ciu Jing pernah
menemui Hian Hong di Kwantang. Rupanya selama tiga
puluhan tahun Ciu Jing menjadi buronan dan kerap kali haras
menghadapi bahaya, ia kha-watir suatu ketika dirinya mungkin
tiada harapan lagi, maka lebih dulu ia minta bantuan Hian
Hong agar kelak suka mengawasi murid kesayangan satusatunya
itu di Kangouw. Waktu itu Hian Hong pernah bertanya, "Rupa orang muda
gampang berubah, bagaimana aku bisa mengenalnya hanya
menurat apa yang kau sebutkan?"
Atas pertanyaan itu Ciu Jing berpikir sejenak, lalu ia menjawab,
"Soal ini gampang, kelak bila kau temukan pemuda
menggu-nakan Yu-liong-kiam, maka itulah dia!"
Hian Hong Tojin adalah sahabat sehidup-semati Ciu Jing,
oleh karena itu, tanpa ragu ia lantas berjanji.
Belakangan, pada waktu Ciu Jing bertarung sengit melawan
kaum Hiat-ti-cu di kotaraja, karena sukar melawan musuh
yang ba nyak, ia diuber dari ibukota sampai Holam. Ketika Ciu
Jing dikejar, Kwantang-si-hiap pun sudah menerima kabar itu,
pertama karena hendak menolong sahabat lama, kedua waktu
itupun mereka hendak hadir dalam pertemuan orang-orang
gagah lima propinsi utara, maka Hian Hong mengumpulkan
saudara-saudaranya ikut menyusul ke selatan. Tak tahunya
baru sampai di Bingcin mereka sudah bertemu dengan orangorang
gagah yang lolos dari Thay-hing-san, karena keganasan
Siang-mo, tidak sedikit kawan-kawan baik mereka yang
terbunuh secara mengerikan. Karena keadaan genting, maka
mereka naik gunung berbareng untuk menempur Siang-mo.
Dan sama sekali tidak mereka duga bahwa dalam
pertarungan sengit ini mendadak Teng Hiau-lan bisa muncul!
Setelah Hian Hong Tojin menerima pedang yang
diangsurkan itu, ia menyentilnya beberapa kali, lalu bersuit
panjang hingga suara menggema. "Baiklah, kau ikut aku
menerjang pergi!" sahutnya dengan
senang. Sebaliknya Pat-pi-sin-mo menjadi ribut melihat Teng Hiaulan
hendak diajak pergi Hian Hong, ia menghantam serabutan
untuk memaksa mundur Long-goat Siansu dan Liu Sian-gai,
habis itu dengan suara tajam ia berseru. "Hian Hong keparat,
berani kau rebut muridku!"
Menyusul, dengan sekali enjot tubuh, ia unjuk kepandaian
is-timewa Niau-eng menubruk dari atas, tiga kali turun-naik,
mendadak ia meloncat lebih tiga tombak tingginya, ia ulur
kesepuluh kuku tangannya yang panjang tajam lagi"beracun
terus mencengkeram dari atas. Lekas Hian Hong angkat Yu-liong-kiam ke atas. Sat Thian-ji
yang tubuhnya terapung di udara, terus berputar dan tetap
mencengkeram ke bawah. Serangan elang kucing biasanya
tidak pernah me-leset, ia mengira dapat menghindarkan
pedang musuh, tak tahunya Yu-liong-kiam adalah pedang
pusaka, ujung pedang bersinar meng-kilap mengikuti ayunan
Hian Hong, tiba-tiba seperti bisa mulur lebih
panjang, kontan lima kuku jari Sat Thian-ji sebelah kanan yang panjang itu
terpapas hampir separoh. Tidak kepalang gusar Sat Thian-ji, dengan menggerung ia
ba lik ke bawah, sekali mencengkeram, tangan kanannya
hendak men-cakar lengan Hian Hong, berbareng tangan kiri
menjulur mencengkeram pundak Teng Hiau-lan. Cepat Hian Hong membalikkan pedang, memotong dari
bawah ke atas, lekas Sat Thian-ji menarik tangannya, tetapi
kuku tangan kiri tetap menuju pundak Teng Hiau-lan. Untuk
menolongnya, Hian Hong gunakan tipu "Kim-tiau-tian-sit"
(garuda pentang sayap), secepat kilat mencegat tangan Patpi-
sin-mo, ia memotong ke tengah. Rupanya Sat Thian-ji jeri
juga menghadapi Pokiam, tubuhnya berputar dengan cepat,
pedang Hian Hong menyelusup lewat di bawah
ketiaknya, sedang cakaran tangan kiri Sat Thian-ji dengan sen-dirinya
diurungkan. Wajah Teng Hiau-lan menjadi pucat dan menjerit kaget.
Sementara itu Hian Hong tidak pernah mengendurkan
pedang-nya, dengan gerakan "Giok-li-tau-so" (si putri
melempar tali) terus "Kim-khe-jio-bi" (ayam emas berebut
beras),-beruntun beberapa serangan
ia memotong ke pinggang dan membabat pundak musuh.
Sudah tentu Sat Thian-ji tidak gampang dipedayai,
kepandai-annya meniru cara elang kucing berkelit dan
menubruk tidak dapat dipandang enteng. Keuletan Sat Thian-ji
masih di atas Hian Hong, ditambah dia sudah terluka pula,
sebenarnya Hian Hong tidak sang-gup menandingi, tapi
karena ia memakai Pokiam, tentu lebih meng-untungkannya.
Sebaliknya pada waktu Sat Thian-ji hendak menyerang, ia
ha-rus memperhitungkan tekanan pedang lawan dan tak
berani semba-rang mendekat.
Pada saat itu juga, "Ban-li-tui-hong" Liu Sian-gai rnaju
menge-rubut, sepuluh cincin bajanya menggempur dengan
hebat. Bersama Hian Hong, mereka mengeroyok dari mukabelakang,
dengan cara begitu serangan Sat Thian-ji yang
sangat lihai dapat dibendung.
Pada kesempatan lain, Hian Hong merogoh keluar dua
potong kue kering pemunah racun, yang sepotong ia
lemparkan pada Teng Hiau-lan dan yang lain segera digeragoti
dengan bernapsu. Pada saat itu juga, Liu Sian-gai yang harus
menghadapi serangan Pat-pi-sin-mo sudah terdesak hingga
terpaksa berulang-ulang mundur!
Di samping sana, Tay-lik-sin-mo Sat Thian-toh juga sedang
memaksa Long-goat Siansu dan Tan Goan-pa berulang kali lari
ke kanan dan melompat ke kiri untuk menghindari
serangannya. Kare-na melihat gelagat tidak menguntungkan,
Hian Hong merasakan lu-ka di tangan kanan makin sakit
pegal, akhirnya ia menjadi nekat.
Teng Hiau-lan paling rendah kepandaiannya, sesudah kena
ca-karan tadi, meskipun menelan kue pemunah racun, namun
masih merasa tak tahan, kepala dirasakan pening dan
pandangan mata menjadi gelap, ia sempoyongan hendak
roboh. Dalam pada itu Long-goat pun kena dicakar sekali. Hian
Hong Tojin njembatin, empat serangkai di antaranya tiga
sudah terluka, kalau pertempuran diteruskan tak usah
disangsikan lagi pasti akan kalah.
Ketika berpikir, kembali Sat Thian-ji menubruk dan
menghan-tam dari atas dengan gaya serangan elang kucing,
sekali cengkeram ia berniat menjambret Teng Hiau-lan.
Namun Hian Hong keburu membentak keras, Yu-liong-kiam
membabat ke atas, pada waktu Sat Thian-ji haras berputar
balik untuk berkelit, tongkat di tangan kiri Hian Hong
mendadak ditimpukkan, gerak serangan ini adalah tipu
serangan terakhir pada waktu terancam bahaya yang disebut
"Pek-hong-koan-jit" (pelangi menembus sinar matahari). Pada
saat tubuh Sat Thian-ji masih terapung, terpaksa ia haras
terima sambitan tongkat itu dengan telapak tangannya,
segera terdengar suara "plak", te-pat tengah telapak
tangannya terjojoh hingga rasa sakitnya meresap tulang.
Lekas Pat-pi-sin-mo berjumpalitan dan kemudian
menancap-kan kaki kembali ke tanah, tetapi Pang Ing yang
berada di gendong-annya kembali menangis, suara
tangisannya malah sudah serak.
Sementara itu Hian Hong lekas membangunkan Teng Hiaulan
dan diserahkan kepada Liu Sian-gai sambil berpesan,
"Samte, kau bawa dia lari, menuju ke barat daya dan naik ke
Bin-san!" Liu Sian-gai merasa heran atas pesan Suhengnya itu,
mengapa harus naik ke Bin-san" Pada saat yang menentukan
mati-hidup me-reka itu, tak mungkin ada kesempatan
bertanya lagi. Segera ia ang-kat Hiau-lan ke atas punggung.
"Pisahkan diri secara berkelompok, tak usah tunggu aku!"
terdengar Hian Hong berseru pula. Liu Sian-gai biasanya sangat menghormati Suhengnya,
maka tanpa buka suara lagi segera ia keluarkan kepandaian
aslinya Ban-li-tui-hong (pemburu angin berpuluh ribu li) yang
menggambarkan ke-cepatannya berlari jarak jauh, segera ia
kabur turun gunung dengan membawa Teng Hiau-lan.
Sementara itu dengan pedang terhunus Hian Hong
mengha-dang musuh di sebelah belakang untuk melindungi
Long-goat Siansu dan Tan Goan-pa, mereka kabur juga
melalui jurusan lain. Ketika Sat Thian-ji selesai membubuhi obat dan
membungkus lukanya, sementara itu Si-hiap sudah kabur
melalui dua jalan. "Kau pergi kejar si hidung kerbau itu (hidung kerbau
mengo-lok Hian Hong) dan aku yang memburu si pemuda!"
kata Pat-pi-sin-mo pada saudaranya sesudah berpikir sejenak.
Sungguhpun Sat Thian-ji gemas terhadap Hian Hong, tapi
ia berpendapat kelompok Hian Hong bertiga ini sudah terluka
semua, cepat atau lambat akhirnya akan lumpuh juga oleh
serangan racun kukunya, walaupun kepandaian Sat Thian-toh
lebih rendah, namun hanya sedikit terluka luar saja, dengan
satu lawan tiga masih sang-gup. Sebaliknya Liu Sian-gai
memiliki Ginkang yang sempurna, kalau
Sat Thian-toh yang mengejar pasti takkan bisa kecandak. Apa-lagi Teng Hiau-lan
yang dibawa kabur Liu Sian-gai adalah pemuda berbakat yang
jarang ditemukan dalam dunia persilatan, keinginan
mendapatkan murid yang baik dari Sat Thian-ji rupanya
mendorong dia untuk mengejar lebih jauh.
Dengan langkah lebar secepat terbang, tak ayal lagi Pat-pisin-
mo Sat Thian-ji segera mengejar Liu Sian-gai. Ginkang
kedua orang tidak terlalu jauh berselisih, tetapi Liu Sian-gai
menggendong seorang dewasa, sedang Sat Thian-ji hanya
menggendong anak bayi, dengan bandingan itu, terang Liu
Sian-gai menderita rugi. Walaupun
begitu, Liu Sian-gai memperoleh kesempatan lari dahulu, oleh karena itu meski
Sat Thian-ji mengejar setengah harian toh masih tetap tidak
nampak bayangan Liu Sian-gai.
Bin-san ada di sebelah barat propinsi Holam, termasuk
anak cabang gunung Cin-nia-san, jaraknya dari Thay-hing-san
kira-kira empat lima ratus li.
Pada waktu lohor hari kedua, Liu Sian-gai sudah sampai di
kota Sin-an, apabila maju lagi adalah Ham-kok-khay dan Binsan
sudah dalam pandangan mata.
Dalam pada itu, Teng Hiau-lan yang terluka, racunnya
bekerja hebat, sampai di Sin-an ia sudah tak mampu bicara
lagi. Liu Sian-gai membawanya mengaso pada sebuah rumah
pon-dok untuk menyedot darah dan memunahkan racunnya,
setelah itu perlahan-lahan baru Teng Hiau-lan sadar kembali.
Sebenarnya Liu Sian-gai berniat menyembunyikan diri
dahulu di rumah pondokan ini, sesudah Sat Thian-ji mengejar
lewat baru ia akan melanjutkan perjalanannya. Tidak terduga
pada sore harinya, tiba-tiba ia dengar di luar kamar ada suara
tangisan anak kecil, waktu
ia singkap kerai dan melongok
keluar, ia menjadi terkejut, kira-nya yang di luar ialah Pat-pisin-
mo yang sedang menyuapi Pang Ing makan bubur,
ternyata iblis itupun menginap di rumah pondokan
yang sama. Begitu Liu Sian-gai menongol, segera ia kepergok Sat
Thian-ji. Dengan cepat Thian-ji menggendong kembali Pang
Ing, dengan langkah lebar ia menghampiri Liu Sian-gai.
Sementara itu di dalam kamar, Liu Sian-gai cepat
mengangkat Teng Hiau-lan pula, sekali pukul ia bikin remuk
ruji jendela, segera ia menerobos keluar dan melarikan diri
lagi. Ketika Sat Thian-ji berhasil mendobrak pintu, ia pun
menyu-sul melompat keluar jendela terus memburu. Sedang
pengurus hotel berteriak-teriak "maling" di belakang mereka,
sementara itu mereka sudah jauh sampai di jalan besar.
Sin-an hanya kota kecil, tapi karena hari belum gelap,
dengan sendirinya masih ramai dengan orang yang berlalulalang.
Dengan saling kejarnya mereka berdua sepanjang jalan
raya, keruan keadaan seketika menjadi kalang-kabut. Justru
karena itu makin menjadikan tak sabarnya Sat Thian-ji, ia
tumbuk dan tabrak orang-orang di jalan yang ia pandang
merintanginya, sebab itu pula ia agak terhalang, sedang Liu
Sian-gai sementara itu sudah sampai di luar kota.
Bukan main gemasnya Sat Thian-ji, ia keluarkan seluruh
ke-mahiran Ginkangnya untuk memburu bayangan Liu Siangai
yang lapat-lapat masih tampak.
"Hayo, sekalipun kau lari ke pucuk langit juga Locu (bapak)
akan menjolokmu turun!" cacinya dari belakang saking
gemasnya. Namun Liu Sian-gai tak menghiraukan pengejarnya, ia
bung-kam seribu bahasa, terus berlari sekencang-kencangnya.
Tak lama kemudian, kembali ia meninggalkan Pat-pi-sin-mo
hingga jauh. Sesudah matahari terbenam dan bulan mulai muncul dari
balik pegunungan, dari jauh Liu Sian-gai sudah mendengar
suara ombak bergemuruh mendampar, ia mengerti sudah
sampai di tepi Hongho (Huangho).


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pegunungan Yao-san dan Bin-san membentang luas
berdekat-an dengan Hongho, sejak dulu kala diakui sebagai
tempat berbaha-ya. Waktu Liu Sian-gai mendongak
memandang ke atas, ternyata Bin-san sudah tegak berdiri di
depannya, dua puncak gunung Bin-san dan Yao-san berjajar
dengan tebing yang curam, di sebelah se-latan gunung adalah
Hongho. Diam-diam Liu Sian-gai merasa senang, pegunungan itu
begitu curam dan berbahaya, Ginkang Sat Thian-ji belum bisa
memadai dia, bila lawan dapat memanjat sampai di atas
gunung, dirinya tentu sudah melintas ke sebelah gunung sana.
Segera Liu Sian-gai mendaki gunung itu, ia naik ke induk
puncak sebelah timur, makin jauh makin hebat, hutan belukar
tumbuh dengan lebatnya dan duri tumbuhan berserakan
memenuhi jalanan, bercampur pepohonan beraneka warna
yang tak teratur berbaris di kedua pinggir jalan.
Dengan hati-hati Liu Sian-gai maju terus ke atas, tak lama
kemudian di depan terlihat lereng gunung yang curam gelap,
tebing menonjol di sana-sini. Dengan menggendong seorang
dewasa, seca-ra susah payah di bawah cahaya bulan, Liu
Sian-gai memilih tempat yang dapat dibuat menancapkan
kaki, ia naik dan panjat dengan ber-bagai akal, ketika
mencapai ketinggian tujuh delapan tombak, ia li-hat batu-batu
cadas aneh dan bermacam-macam, dipandang di ma-lam hari
terasa seram. Liu Sian-gai mengumpulkan semangat, ia bedakan dahulu
arah yang hendak dituju, lalu menerobos maju melalui lekukan
yang ba-nyak berserak batu itu.
Tak lama, tiba-tiba pandangan matanya terbeliak, temyata
di depan terbuka luas, berupa sebuah lembah kecil yang
mengitari pun-cak gunung, di samping puncak itu
menggelantung sebuah air terjun yang airnya berhamburan
laksana taburan mutiara, pemandangan di situ indah menarik.
Namun Liu Sian-gai tidak menghiraukan, tak sempat
menikmatinya. Selagi ia hendak menyusuri lembah itu untuk
memanjat ke lereng sebelah sana, mendadak dari pinggir
gerujukan air itu muncul seseorang. Liu Sian-gai tercengang
melihatnya. Orang itu ternyata seorang gadis, raut muka berpotongan
daun sirih, mata besar, alis panjang lentik, tertampak jelas
sekali kecan-tikannya. Sungguh di luar dugaan Liu Sian-gai
bahwa di pegunung-an sunyi itu bisa tersembunyi seorang
gadis secantik itu. "Tuan tamu ada urusan apakah malam-malam begini naik
ke gunung sini?" terdengar gadis itu menegur.
Lebih dulu Liu Sian-gai menenangkan pikiran, sesudah itu
ba-ru menjawab, "Nona, harap kau jangan urus aku!"
Mendapat jawaban yang kurang memuaskan, si gadis
tertawa geli. "Justru aku suka mengurus orang lain!" katanya
bandel. Belum habis perkataannya, mendadak ia enjot tubuhnya
dan melompat ke atas, di antara kesiur angin pegunungan
malam yang sepoi-sepoi dan lambaian ujung bajunya, laksana
dewi kahyangan yang turun tiba-tiba, tahu-tahu ia sudah
mendahului menghadang di depan Liu Sian-gai.
Melihat gerakan Ginkangnya yang luar biasa itu, Liu Siangai
terjuluk "Ban-li-tui-hong", tak urung diam-diam merasa
kagum. "Aku mengerti kepandaian nona yang tidak biasa, tetapi
harap jangan mempersulit aku yang sedang buron ini!" kata
Sian-gai sam-bil merangkap tangan memberi hormat, setelah
ia melihat kepandaian orang yang tinggi itu. "Eh, orang buron" Mengapa kau buron, coba ceritakan
yang jelas!" sahut gadis itu dengan heran, matanya
mengerling tajam. Keruan Liu Sian-gai jadi kelabakan karena dirintangi.
"Sudah lah nona, musuh yang mengejar sudah hampir tiba,
berlakulah mu-rah hati, biarlah aku lewat!" katanya pula
dengan tak sabar. "Tidak boleh!" sahut si gadis tanpa menghiraukan orang
lain sedang khawatir atau tidak.
Dalam pada itu, dari jauh sudah berkumandang suara
suitan aneh. Tak tertahan pula dongkol Liu Sian-gai atas
recokan si gadis, kedua kakinya menutul, ia segera melayang
miring maju. Tak terdu-ga, baru saja ia dapat menancapkan
kaki kembali, tahu-tahu si gadis dengan tersenyum simpul
sudah menghadang di depannya.
Liu Sian-gai dijuluki Ban-li-tui-hong yang menggambarkan
kesebatan dan kecepatannya dalam ilmu entengi tubuh,
ilmunya itu memang sudah tiada lawan di dalam Bu-lim, tak
terduga akan ter-jungkal dengan seorang gadis muda belia. Ia
merasa penasaran, tubuhnya
melayang naik pula, ia melayang ke sebelah timur. Tak ta-hunya baru sebelah
kakinya menempel tanah, si gadis kembali sudah
berdiri di depannya lagi. "Kau menggendong orang, tentu tak leluasa berlompatan,
ba-iknya kau taruh dulu anak besar itu!" ujar si nona dengan
tersenyum manis, entah mengejek atau bersungguh-sungguh.
Bukan main mengkal Liu Sian-gai, selama hidup ilmu yang
paling ia banggakan adalah Ginkang, oleh karena itu ia tak
mau me-nyerah mentah-mentah, keinginannya untuk menang
segera timbul, betul juga, ia lantas menaruh Teng Hiau-lan
yang digendong itu, lalu ia pentang kedua tangan, terus
mengenjot tubuh laksana burung menjulang ke langit, ia
bermaksud melayang ke atas puncak yang terjal. Dalam pada
itu, tiba-tiba terdengar angin mendesir di samping
telinganya, segumpal bayangan putih telah melayang lewat. Se-tiba di
atas puncak, ternyata masih tetap didahului si gadis tadi yang
masih menghadang di depannya. Bahkan gadis itu melepaskan
pula tangannya, sesosok tubuh telah ia letakkan ke bawah.
"Bagaimana?" tanyanya kemudian dengan tertawa.
Rupanya ia mewakilkan Liu Sian-gai menggendong Hiaulan,
setelah itu baru ia keluarkan Ginkangnya menyusul ke
atas, dengan cara begini ternyata Liu Sian-gai tetap kalah
cepat. Tanpa terasa Liu Sian-gai menjadi kesal dan putus asa.
"Su-dahlah, sudahlah! Selamanya aku anggap Ginkangku
sudah tiada tandingan, tak terduga di bumi ini masih ada
orang pandai seperti kau!" katanya dengan menghcla napas
panjang. "Tetapi kau pun sangat hcbat!" sahut gadis itu dengan
tertawa. Sementara itu Teng Hiau-lan yang terluka berat. seluruh
tubuh tak bertenaga, hanya masih mempunyai perasaan.
Waktu ia dikem-pit olch si gadis dan kemudian melayang naik
ke atas puncak mirip terbang, ia jadi terkesima dan
memandang si gadis dengan mata ler-buka Icbar.
"Kau sebenamya manusia atau arvvah halus di pegunungan
si-ni?" tanya Hiau-lan tak tahan melihat wajah si gadis yang
cantik itu. Gadis itu tertawa gcli, segera ia mengerut kening demi
nam-pak luka orang. "He, bagaimana kau bisa terluka parah?"
tanyanya. Sementara itu suara suitan aneh tadi sudah makin dekat.
"Si iblis sudah datang, lekas biarkan aku lari!" kata Sian-gai
dengan gclisah. Pada saat itu juga. bayangan hitam di lembah gunung sana
makin lama makin membesar. dalam sekejap saja Pat-pi-sinmo
sudah menampakkan diri. "Haha, Liu Sian-gai, kau bolch
lari sampai ke ujung langit, aku pun akan mengejarmu sampai
ujung langit!" seru iblis itu.
"Nona, lekas minggir. biar aku lari!" pinta Sian-gai pula.
"Apakah orang itu yang melukaimu?" tanya si gadis sambil
menarik Teng Hiau-lan ke sampingnya. Ia tidak hiraukan
permin-taan Liu Sian-gai.
"Betul dia!" sahut Hiau-lan sembari menumuk Pat-pi-sinmo.
Si gadis menjadi gusar. "Baik, aku balaskan menusuknya
se-kali dengan pedangku!" katanya. Habis itu, ia serahkan
Teng Hiau-lan kepada Liu Sian-gai sambil berpesan, "Jaga dia
baik-baik, tak usah kau takut dan lari!"
Habis berkata, dengan gerakan cnteng ia melayang turun
dari atas puncak. Waktu mata Sat Thian-ji terbeliak, seorang gadis sudah
berdiri di depannya. "Kau bocah perempuan ini lekas
menyingkir, aku tak kan melukaimu!" bentak Pat-pi-sin-mo.
Biasanya Sat Thian-ji membunuh orang tanpa kenal ampun,
mana dia mau membiarkan orang menghalanginya. Tapi
karena me-lihat gadis di depannya ini cantik molek, maka agak
timbul rasa sa-yangnya, kalau tidak, siang-siang ia sudah
turan tangan melukainya. "Bagaimana, kau yakin bisa melukai aku?" tanya si gadis
atas bentakan orang tadi.
Akan tetapi Sat Thian-ji tidak peduli jawaban itu, ia enjot
tu-buh dan melayang ke atas, selagi hendak mengapung lebih
tinggi lagi, mendadak suara nyaring si gadis membentak di
pinggir telinga-nya, "Tak boleh kau naik!"
Keruan saja Sat Thian-ji menjadi gusar. "Baiklah, kau
sendiri yang mengantar jiwa, jangan kau salahkan aku!"
bentaknya. Habis itu, sepuluh jari kukunya menjulur, segera ia
cengkeram ke bawah, tetapi di antara suara tertawa cekikikan,
gadis itu berge-rak, angin lembut mendesir, tahu-tahu ia
sudah menghilang! Dengan sebelah tangan Sat Thian-ji melindungi diri, tangan
kanan mencengkeram menurut arah suara angin.
"Serangan keji sekali!" bentak si gadis tiba-tiba. Sesudah
itu sinar hijau tiba-tiba berkelebat, ia keluarkan pedangnya,
dengan ce-pat sekali dua tusukannya menyerang tempat
berbahaya Sat Thian-ji, gaya serangannya begitu tepat dan
cepat, tampaknya berada di atas Hian Hong Tojin.
Bukan main terkejutnya Sat Thian-ji. ia mengerti telah
mene-mukan tandingan tangguh. "Bagus!" bentaknya sambil
mengegos, kemudian ia membalik dengan cepat, dengan
gerakan "Hong-tian-lo-hoa" (angin meniup bunga rontok),
beruntun ia hindarkan dua kali tusukan itu.
Ia tidak berani ayal, pada kesempatan gadis itu menarik
pedangnya dan belum mengubah lain serangan, cepat ia
menubruk ma-ju, dengan tangan kanan menyanggah ke atas,
tangan kiri mencengkeram ke bawah dada si gadis. Pertarungan yang hebat itu membikin Liu Sian-gai
berdebar, sepuluh kuku Sat Thian-ji yang mirip kaitan tampak
sudah sampai di bawah ketiak si gadis, tapi mendadak, entah
kenapa, Sat Thian-ji menggerung keras, sesudah itu kedua
tangannya terpentang meng-enjot naik hingga setinggi lebih
setombak dengan gerakan "Wi-ho-jiong-siau" (burung bangau
menjulang ke langit), kemudian ia tan-capkan kembali kakinya
ke sudut sebelah barat, gerakannya sebat cepat, tampaknya
bukan seperti kena luka, hanya tak dapat dime-ngerti,
mengapa pada saat serangannya hampir berhasil, sekonyongkonyong
ia menarik diri dan meloncat pergi"
Ketika pandangan Sian-gai beralih pada si gadis, tertampak
tangan kiri si nona bergerak menurut gaya pedang, sedang
pedang yang tergenggam di tangan kanan menuding ke
depan, dengan sikap sungguh-sungguh dan mata tanpa
berkedip sedang memandang Sat Thian-ji, suatu tanda
keadaan sangat tegang. Sebaliknya Sat Thian-ji mementang dua tangan, biji
matanya yang melotot besar juga sedang memandang si gadis
dengan penuh perhatian. Jarak kedua orang hanya beberapa
kaki jauhnya, muka berhadapan dengan muka, keduanya tak
berani sembarang bergerak.
Keadaan itu membikin Liu Sian-gai tidak mengerti dan
penuh tanda tanya. Liu Sian-gai tidak tahu bahwa dalam sekejap tadi, kedua
orang saling tukar beberapa kali serangan. Waktu Pat-pi-sinmo
mengulur kukunya mencengkeram, hanya tinggal
beberapa senti ia dapat men-cakar dada halus si gadis, tetapi
di luar dugaannya, justru beberapa senti itulah ia tidak bisa
mengenai sasarannya. Kedua orang menggunakan kepandaian masing-masing
yang tinggi, setiap gerakan diri sendiri dan pihak musuh serta
kecepatan berkelit semuanya sudah diperhitungkan, Sat
Thian-ji menaksir ca-karannya sekali ini pasti kena. Tak
terduga, baru saja kukunya hampir
menempel tubuh orang, gadis itu tidak bergerak, namun daging tubuhnya bisa sedikit
dekuk secara mendadak, bila kuku Sat Thian-ji bisa diulur
beberapa senti lebih panjang mungkin akan bisa me-robek
dada gadis itu, namun tangan Sat Thian-ji yang panjang
sudah keburu diulur sepenuhnya dan tak mungkin lebih
panjang lagi, justru dalam sesaat itu juga, di atas kepalanya
sekonyong-konyong te-rasa dingin, untung kepandaian Sat
Thian-ji juga sudah sampai pun-cak kesempurnaan, secara
paksa ia mendak dan kepala sedikit mi ring, sambil berkelit ia
tetap menyerang, dengan begitu si gadis tak sempat
mengubah serangan pula. Sesudah itu baru Sat Thian-ji melompat
mundur. Namun, sekalipun begitu, tidak urung
rambutnya yang panjang lebat sudah terkupas sebagian oleh
pedang si gadis. Diam-diam gadis itupun terkejut, "Hian-li-kiam-hoaf sudah
diyakinkan hingga seakan tiada lubang, tak terduga masih bisa
juga Sat Thian-ji lolos di bawah pedangnya.
Dalam hati ia pun mengakui Pat-pi-sin-mo memang betul lihai,
pantas Suhunya wanti-wanti berpesan agar berhati-hati
meng-hadapinya! Begitulah dengan saling pandang, kedua orang menanti
saat baik untuk membuka serangan baru, masing-masing
pihak tak bera-ni sembarang bergerak.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lewat tidak lama, mendadak si gadis tertawa sambil
berseru, "Ayo, majulah!"
Pada saat itu juga, tiba-tiba Sat Thian-ji meloncat ke atas,
se-puluh jarinya kembali mencakar, ia mengira pada waktu si
gadis tertawa, perhatiannya akan berkurang, hingga sekaligus
dapat mero-bohkannya. Tak terduga, tertawanya itu hanya pancingan si gadis,
sebe-lumnya ia sudah siap sedia, begitu Pat-pi-sin-mo
menubruk, segera pedangnya diangkat ke atas dan diayun
hingga merupakan satu ling-karan. Sat Thian-ji mengubah tipu
serangannya, tangan kiri dari ca-kar berubah menjadi
memotong. Begitulah kedua pihak bergantian saling serang.
Kini Sat Thian-ji sudah menancapkan kaki kembali, ia buka
serangan baru lagi, sambil menubruk dari atas dan
menggempur dari bawah, di antaranya terselip pula serangan
dengan cara membeset, menutuk dan menghantam, sepuluh
kukunya mirip pisau yang taj-am, keganasannya sungguh luar
biasa, dimana tangan kakinya bergerak
selalu membawa angin pukulan yang kuat! Pertarungan sengit ini jauh lebih hebat dibanding waktu
Siang-mo melawan Kwantang-si-hiap, tentu saja diam-diam
Liu Sian-gai terkejut dan berdebar.
Sebaliknya si gadis melayani lawannya dengan tenang.
Sinar pedangnya berkelebat dan kain bajunya pun melambailambai
ter-bawa angin, ia bergerak secara gesit dan enteng
sekali, di kala per-kelahian sampai pada puncaknya, tertampak
ia tetap tersenyum ma-nis. Tiba-tiba gerak pedangnya
berubah, sinar perak memancar, lalu buyar dan mendadak
rapat kembali, tampaknya tidak begitu lihai, tapi ternyata
sukar dielakkan. Kiranya si gadis memang sengaja memancing agar Sat
Thian-ji menyerang dahulu,
ia ingin membikin lumpuh kekuatan lawan untuk kemudian menggempurnya, bila lawan sudah tidak berdaya. Dan betul juga, setelah beberapa kali tak
berhasil mencengkeram lawan, akhirnya Sat Thian-ji
terkurung sendiri oleh sinar
pedang, terpaksa ia harus
menerjang dengan mati-matian!
Melihat perubahan itu, baru Liu Sian-gai merasa lega. Pikirnya,
"Kiam-hoat Toako sudah merupakan kepandaian yang
jarang diketemukan, tapi kepandaian gadis ini tampaknya
masih di atasnya. Sungguh sukar mengerti, dengan usianya
yang masih muda-belia ini bagaimana bisa memperoleh
kepandaian sedemikian tinggi! Jangan-jangan Toako
menyuruh aku menyingkir ke Bin-san sini mungkin ada
hubungannya dengan gadis ini?"
Ketika ia berpikir dan bertanya-tanya pada diri sendiri, tibatiba
dari kejauhan kembali terdengar suitan aneh.
Liu Sian-gai dapat mendengar dengan jelas, terang itu
adalah suitan Tay-lik-sin-mo Sat Thian-toh, diam-diam ia
khawatir sekali. "Kena!" tiba-tiba terdengar si gadis membentak.
Pada waktu Sian-gai rnengawasi, tertampak pertarungan
yang menggetarkan hati itu sudah kelihatan siapa yang
menang atau siapa yang kalah. Pundak Sat Thian-ji terlihat
merah berdarah dan me-lompat keluar kalangan pertempuran.
"Surah dia meletakkan anak yang digendong itu!" Teng
Hiau-lan berseru di samping dengan suara serak.
Belum lenyap suaranya, tiba-tiba Sat Thian-toh sudah
muncul di antara lereng gunung, ketika Liu Sian-gai melongok
lebih jauh lagi, tidak nampak bayangan ketiga saudaranya.
Melihat adiknya telah menyusul datang, Sat Thian-ji girang,
sepuluh kuku jarinya bergerak, kembali ia menubruk maju
lagi. Sementara itu Sat Thian-toh yang mukanya babak-belur,
dengan sekali menggerung juga lantas ikut menerjang.
Si gadis memapaki Sat Thian-toh, pedangnya secepat kilat
menabas. Melihat bahaya, Sat Thian-ji lekas menolong,
cakamya menjambret "Hiat-hay-hiat" di punggung lawan,
namun Kiam-hoat si nona cepat luar biasa, ujung pedangnya
berhasil menggores pun-dak Sat Thian-toh hingga darah
mengucur. Sementara itu kuku Sat Thian-ji baru menempel bajunya,
mendadak si gadis menggeliat, pedangnya berbalik memotong
dengan tipu "Ok-liong-kui-bwe" (ular naga membalik ekor), ia
mem-babat kedua kaki lawan, terpaksa Sat Thian-ji harus
menarik tangan dan meloncat ke atas.
"Hantam dia dengan pukulan berat!" serunya pada sang
adik. Dalam dua hari ini, berulang-ulang Sat Thian-toh terluka
oleh pedang, memangnya ia sedang mendongkol, keruan saja
sekarang ia menjadi makin murka, kedua tangannya naik
turun dan menggem-pur dengan hebat, terpaksa si gadis tak
berani terlalu mendesak, ia hanya menunggu kesempatan baik
untuk memberi serangan mema-tikan pada lawan.
Di samping itu Sat Thian-ji dengan kesepuluh kukunya yang
tajam dan gerak tubuh yang enteng telah merangsek pula,
dengan main keroyokan, Siang-mo akhirnya berbalik dari
pihak diserang ja-di pihak penyerang, mereka mengerubut si
gadis di tengah. Sebenarnya kepandaian Sat Thian-toh tidak lemah, tadi
karena belum mengetahui gaya serangan lawan dan maju
secara gegabah, maka ia telah merasakan satu tusukan, kini
setelah merangsek kem-bali dan di bawah perlindungan
saudara tuanya, menggunakan kepandaian
"Kim-kong-tay-likjiu-
hoat", secara paksa ia hendak mere-but senjata si gadis.
Cara bersilat Sat Thian-toh yang baru ini memang hebat,
angin pukulan menderu saling bentur dengan sambaran angin
pedang, mau tak mau gerak pedang si gadis sedikit
terpengaruh, gaya serangan-nya tidak secepat tadi, sering kali
pada waktu pedang hampir me-ngenai tubuh lawan yang
berbahaya, karena tersampuk angin pukulan,
segera melenceng dan luput, sebaliknya cakar Sat Thian-ji yang tajam
tiada hentinya berusaha mencengkeram ke arahnya.
Kiam-hoat si gadis menang karena kegesitan dan
kecepatan-nya, tipu serangannya juga beraneka ragam dan
sangat lihai, tapi so-al tenaga dan keuletan, ia masih di bawah
Sat Thian-ji. Apalagi kedua lawan memiliki kepandaian tunggal sendiri
dan dapat saling bahu-membahu, daya tekanan mereka
dengan sendiri-nya bertambah satu kali lipat.
Si gadis kini t^rdesak sehingga harus menjaga diri. Segera
ia ubah Kiam-hoat lagi, seluruh tubuhnya seketika tampak
diselubungi sinar perak mengkilap, ketiga orang saling desak
di antara batu pe-gunungan itu dan berputar kian kemari,
meskipun Siang-mo berada di atas angin, namun si gadis pun
tidak.unjuk kelemahan, hingga untuk
sementara pertempuran sukar dipisahkan. Dengan penuh perhatian Liu Sian-gai mengikuti perkelahian
sengit itu, selagi keadaan menjadi tegang, mendadak ia
dengar Teng Hiau-lan yang ada di sampingnya merintih,
matanya meram-melek, mukanya mulai kehitam-hitaman,
rupanya racun di dalam tubuhnya mulai menjalar.
Bukan main kejut Liu Sian-gai melihat keadaan itu, ia
menjadi gugup, tak sempat pula ia ikuti pertarungan seru itu,
lekas ia robek baju di dada Teng Hiau-lan, sesudah itu,
dengan batu kerikil tajam ia gores hingga luka dan
membiarkan darah mengucur keluar untuk menghambat
serangan racun. "Liu-tayhiap, lebih baik kau selamatkan diri saja, jangan
pedu-likan aku lagi!" dengan napas kempas-kempis Teng
Hiau-lan berka-ta dengan suara-lemah.
"Jangan kau pikir yang tidak-tidak, tak mungkin kau mati,
ma-ri kita pergi!" sahut Sian-gai. Lalu ia pondong Hiau-lan
terus hendak kabur melalui jalan pegunungan lain. Akan
tetapi sebelum ia bertindak, mendadak ia dengar suara
teriakan dan gertakan Siang-mo, sedang Kiam-hoat si gadis
tampak mulai kalut. Sian-gai menjadi
ragu-ragu. Pikirnya, dengan maksud baik si gadis angkat senjata
memberi bantuan dan menandingi Siang-mo seorang diri,
sekarang mana bo-leh aku tinggalkan dia dan pergi begitu
saja. la hendak letakkan Hiau-lan kembali, tapi terlihat kedua
mata Hiau-lan terpejam, napasnya pun makin lama makin
lemah, ia kha-watir bila dirinya pergi membantu gadis itu,
sebelum bisa menang, Teng Hiau-lan mungkin tak tertolong
lagi. Ia menjadi ragu-ragu dan tak tahu apa yang haras
diperbuatnya. Sementara itu serangan Siang-mo makin hebat, gerungan
dan bentakan mereka seakan menggetar bumi.
Akhimya Liu Sian-gai haras ambil suatu keputusan, ia mengertak
gigi dan membatin, "Orang Kangouw paling
mengutamakan soal setia kawan, lebih baik mati daripada
nama temoda. Semoga saudara cilik ini bernasib baik dan
selamat!" Sesudah itu, ia letakkan kembali Teng Hiau-lan, kemudian
dengan langkah lebar secepat terbang ia turun kalangan.
Tapi baru saja ia melangkah beberapa tindak, tiba-tiba di
ang-kasa pegunungan itu berkumandang suara burung
raksasa, seketika bumng-burung dalam hutan yang lebat sama
bercuitan dan kemudian terbang keluar ketakutan.
Liu Sian-gai terkejut, ia tidak mengerti burung aneh apakah
yang mempunyai pengaruh begitu besar"
Dalam sekejap, tiba-tiba di atas kepalanya angin menderu,
dua ekor burung rajawali besar, seekor hitam dan seekor
putih, dengan mementang sayapnya yang lebar, cepat
melayang lewat. Mendadak Siang-mo bersiul aneh, sesudah itu mereka
lantas melompat keluar kalangan, pada saat yang sama juga,
di samping air terjun tadi sekonyong-konyong muncul pula
seorang, ternyata seorang Nikoh (Biksuni) tua bertangan satu.
Liu Sian-gai menaruh selurah perhatian terhadap burung
raksasa di atas, hingga tak tahu sejak kapan si Nikoh tua itu
muncul. Tok-pi-lo-ni (Nikoh tua bertangan tunggal) itu berjalan
maju beberapa langkah, kemudian ia bersuara, "Muridku,
apakah masih belum beres?"
Mendengar suaranya itu, tiba-tiba Siang-mo memutar
tubuh teras lari terbirit-birit, tapi mereka masih berani
meninggalkan ucap-an, "Tok-pi-lo-ni, jika berani coba cari
kami di Niau-eng-to!"
"Hm, tunggu saja, kalian boleh lihat nanti, pasti ada orang
yang akan mengobrak-abrik sarangmu!" sera si Nikoh tua
sambil menjengek, "dan kini kalian haras tinggalkan sedikit
barang tanda mata dahulu!"
Sesudah itu ia mendekap bibir dan bersuit, kedua burung
raksasa tadi secepat kilat menyambar ke sana, dalam sekejap
terbang kembali dan hinggap di pundak si Nikoh tua, di antara
paruh mereka yang panjang sudah bertambah masing-masing
dengan ikat kepala Siang-mo.
Dengan tertawa si gadis berlari mendekat dan mengelus
kedua binatang itu. "Mengapa Suhu tidak menyurah si hitam
dan si putih memaruk mereka sekali?" ia berkata dengan
memoncongkan mulut-nya yang mungil.
Si Nikoh tua tertawa. "Kau sendiri sudah menjajal mereka
ber-dua tadi," katanya kemudian, "apakah kau masih belum
tahu sampai dimana kekuatan mereka" Si putih dan si hitam
bagaimana sanggup melukai mereka" Mereka hanya takul
pada perbawaku saja, maka tak berani melawan si hitam dan
si putih hingga mendadak mereka kena diselomoti!"
"Dan bagaimana dengan Kiam-hoatku, Suhu" Apa sudah
boleh unjuk diri di muka umum?" dengan tertawa aleman si
gadis ber-tanya pula. "Kau punya Kiam-hoat sudah jauh lebih kuat dari semua
Su-hengmu," ujar si Nikoh tua. "Hanya saja, musuhmu entah
berapa kali lipat lebih lihai daripada Siang-mo" Kepandaianku
sudah kutu-rankan semuanya padamu, kini kau sudah
mencapai tujuh delapan bagian, bila berlatih lagi beberapa
tahun, Siang-mo bukan lagi tan-dinganmu! Mengenai dapat
tidaknya kau membalas sakit hatimu, tergantung
keberuntunganmu kelak!"
Sehabis berkata, ia berpaling dan perlahan-lahan mendekati
Liu Sian-gai. "Kami guru dan murid hanya mengurusi tetekbengek
dan bicara kepentingan sendiri, sampai tamu agung
ditelantarkan sejak tadi!" katanya sambil tertawa.
Liu Sian-gai merasa girang bercampur kaget, tidak nyana
bisa bertemu dengan Nikoh sakti angkatan tua di atas Bin-san
sini. Tok-pi-sin-ni mempunyai Kiam-hoat luar biasa hebatnya, ja
rang sekali ia bergebrak dan bermusuhan dengan orang, maka
sela-ma tiga puluhan tahun ini tiada orang yang mengetahui
jejaknya. Konon menurut cerita golongan tua dunia persilatan,
ia sebenarnya adalah putri Kaisar Cong-ceng, kaisar terakhir
ahala Bing, namanya Tiang-peng Kiongcu.
Ketika Jwan-ong Li Cu-sing menyerbu kotaraja, Cong-ceng
menggantung diri di Bwe-san, sebelum mati, ia khawatir
Tiang-peng Kiongcu mendapat hinaan dari kaum
pemberontak, maka ia membacok sekenanya dengan pedang
hingga sebelah tangan Tiang-peng terkutung. Keruan Tiangpeng
Kiongcu menggelongsor ber-mandi darah dan


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkelojotan. Rupanya Kaisar Cong-ceng tak tega turun
tangan lebih lanjut, karena itulah Tiang-peng Kiongcu terhin-.
dar dari kematian. Belakangan Li Cu-sing masuk ke istana. ia cukup menghormati
setiap keluarga kerajaan, waktu nampak keadaan Tiangpeng
Kiongcu yang malang itu. ia menghela napas atas
ketegaan Cong-ceng, ia perintahkan Kiong-li (pelayan istana)
memayangnya ke da-lam istana dan dirawat baik-baik.
Peristiwa itu tidak saja menjadi cerita dalam dunia
persilatan, bahkan dalam tulisan sejarah pun disebut dengan
jelas dan bukan dongeng belaka. Sedang mengenai
bagaimana akhirnya Tiang-peng Kiongcu bisa keluar dari
istana dan belajar ilmu silat, memang ba-nyak menjadi bahan
cerita dan dongeng yang berbeda-beda.
Liu Sian-gai memperkirakan, waktu itu orang Boan
(Manehu) menduduki pedal aman lebih enam puluh tahun,
tidak tersangka putri kaisar Bing terakhir masih hidup dengan
sehat. Maka lekas ia member!
hormat. "Kwantang-si-hiap gagah dan berbudi, memang haras
dipuji," ujar Tok-pi-sin-ni, lalu ia berkata pula sambil menunjuk
Teng Hiau-lan, "Dan dia tentu luka tercakar oleh Pat-pi-sinmo?"
"Ya, harap Sin-ni suka menolongnya!" Sian-gai mernohon.
"Soal lain aku tak berani omong besar," sahut Tok-pi-sin-ni,
"tapi soal menyembuhkan bisa ular, rasanya aku masih boleh
juga!" Lalu Sian-gai memayang Teng Hiau-lan dan membisiki telinganya,
"Sudah selamat sekarang. Siang-mo sudah dipukul
lari!" Perlahan-lahan Hiau-lan membuka matanya. "Dan
bagaimana dengan aku punya Titli (keponakan perempuan)"
Sudahkah kau me-rebutnya kembali?" tanyanya dengan suara
lemah. "Tidak, dia telah digondol lari!" jawab Sian-gai.
Keterangan itu membuat mata Teng Hiau-lan mendelik, ia
ja-tuh pingsan lagi. "Akulah yang lengah, hanya memikirkan menonton anak
Eng mencoba ilmu pedangnya, tidak tersangka dara cilik itu
hasil ram-pasan si iblis dari orang lain," ujar Tok-pi-sin-ni.
"Budi pertolongan jiwa, tak nanti Wanpwe melupakan!" Liu
Sian-gai mengucapkan terima kasih.
"Sementara kau ikut aku kembali ke pegununganku,
sebentar lagi beberapa sahabatmu yang lain juga akan
datang," Tok-pi-lo-ni berkata pula.
Liu Sian-gai jadi berpikir lagi dan merasa heran, sahabatnya
di Holam, kecuali Nyo Tiong-eng, seingatnya sudah tiada lagi.
Kembali tentang Teng Hiau-lan, sesudah pingsan, ia sendiri
tak mengetahui sudah lewat berapa lama, sampai pada satu
saat ia mendusin, segera tercium bau wangi semerbak, waktu
ia membuka mata, ternyata Liu Sian-gai sudah tidak di
sampingnya lagi, dirinya rebah di dalam sebuah kamar bersih
yang terpajang dengan rajin dan indah, ia coba mengingat
kembali, teringat waktu itu si gadis sedang bertarung sengit
dengan Siang-mo, lalu Liu Sian-gai meletakkan dirinya
ke tanah, sesudah itu ia lantas tak ingat lagi.
Ia menduga si gadis dapat mengalahkan Siang-mo atau
dua iblis itu yang menolong dirinya, dan apakah ini kamarnya"
Ia coba bergerak hendak bangun, tetapi segera dirasakan
selu-ruh tubuhnya sakit dan tulangnya seakan retak, tenaga
tak ada. Waktu ia lihat lagi, tertampak olehnya di atas dinding
tergan-tung sepasang "Lian" yang mengapit seperangkap kain
sutra yang tertulis dengan sajak panjang lebar, pada akhir
sajak itu tertera se-baris tulisan yang maksudnya, "Dihaturkan
kepada Liu-liang Sian-sing pada ulang tahunnya, ditulis oleh
Tan Ho-cu." Teng Hiau-lan sering mendengar Ciu Jing bercerita tentang
kepahlawanan kaum patriot dari ahala yang lalu, ia mengerti
Tan Ho-cu atau Tan Cu-liong adalah pahlawan pada akhir
ahala Bing, bahkan terkenal karena sajaknya. Sesudah bangsa
Boan masuk pe-dalaman, ia memberontak di Thayouw, tapi
karena gerakannya keta-huan hingga ia tertawan, pada waktu
digiring, di tengah jalan ia bu-nuh diri dengan terjun ke
sungai. Hiau-lan sedikit paham tentang ilmu sastra, ia pun
mengetahui sajak yang ditulis itu adalah sajak yang
menyesalkan tanah air yang termusnahkan dan membangun
semangat para patriot untuk mene-gakkan negara kembali.
Melihat beberapa perkataan dalam sajak dimana Tan Culiong
menulis, dihaturkan kepada "Liu-liang", maka yang
dipanggil "Liu-liang Siansing" ini pasti adalah pujangga pada
zaman itu. Tiba-tiba ia teringat, Liu-liang Siansing ini apakah bukan Lu
Liu-liang, sastrawan tersohor di Ciatkang timur" Begitu ia
menduga. Lu Liu-liang pada waktu kerajaan Bing hancur, ia menolak
undangan pemerintah Boan, ia lebih suka cukur rambut
menjadi Hwesio, di samping itu, ia mengarang buku yang
isinya mengo-barkan semangat melawan penjajahan hingga
besar sekali membawa pengaruh pada kaum patriot.
Teng Hiau-lan semenjak kecil berkelana di Kangouw, maka
tidak pernah belajar ilmu sastra baik, buku karangan Lu Liuliang
belum pernah ia baca, tapi sudah lama ia dengar nama
besarnya, dalam hati sudah lama kagum dan memujanya.
Ia tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba pintu kamar
terbu-ka, gadis yang ia temukan tadi malam berjalan masuk.
"Eh, kau sudah mendusin!" kata si nona tersenyum manis.
"Terima kasih atas budi pertolongan Lihiap, maafkan aku
tak dapat memberi hormat!" kata Hiau-lan.
"Guruku yang telah menolongmu, tiada sangkut-pautnya
denganku," ujar si gadis. "He, jangan kau sebut Lihiap lagi
padaku, ta-mat belajar saja aku belum! Kau boleh panggil aku
Lu Si-nio saja!" "Lu Si-nio?" hati Hiau-lan tergerak, ia menyebut nama itu
dengan suara perlahan, lalu menegas, "Ai, kalau begitu kau
adalah Lu Liu-liang Siansing punya"."
"Cucu perempuan!" dengan tertawa Lu Si-nio menyambung
perkataannya. Seketika Hiau-lan memandangnya dengan kesima, sama
sekali tidak menduga bahwa cucu perempuan pujangga besar
itu bisa me-miliki ilmu silat begitu tinggi.
"Adik cilik, tahun ini kau berumur berapa?" dengan
tersenyum tiba-tiba Lu Si-nio bertanya.
"Enam belas!" sahut Hiau-lan.
?"Baru berumur enam belas sudah punya kepandaian
begini, boleh dikata sudah lumayan," ujar Si-nio. "Dengan
umur semuda kau, ternyata sudah berani bertempur melawan
Siang-mo, pantas guruku bilang kau memiliki bakat bagus
dan dengan cermat mengo-batimu. Aku lebih tua tiga tahun
darimu, kau boleh panggil enci Lu Eng saja padaku!"
Baru kini Hiau-lan tahu bahwa gadis ini asli bernama Lu
Eng. "Si-nio" mungkin adalah panggilan menurut urutan pada
keluarga-nya. Si berarti empat dan Nio maksudnya
perempuan. Mungkin ia adalah anak perempuan yang
keempat. Bila Teng Hiau-lan teringat pada kepandaiannya yang
begitu tinggi, ia jadi berpikir, "Dia hanya lebih tua dariku tiga
tahun, tetapi ilmu silatnya sudah di atas Kwantang-si-hiap dan
Sin-mo-siang-lo, seumpama aku berlatih lagi sepuluh tahun
juga belum tentu bisa me-madainya." Teringat demikian,
tanpa terasa ia jadi malu sendiri.
"Pernahkah kau baca buku karangan engkongku?" Si-nio
bertanya. "Belum," sahut Hiau-lan, "tapi namanya yang maha sohor
itu sudah lama kudengar dan kagum!"
"Orang yang belajar silat juga harus belajar sedikit sastra,"
kata pula Lu Si-nio. "Kini kau dalam usia yang harus mencari
pe-ngetahuan, aku hadiahkan sebuah kitab karangan beliau
padamu." Mendengar perkataan orang, Hiau-lan jadi makin malu hati,
segera ia menghaturkan terima kasih. Dalam hati kecil, rasa
kagum-nya terhadap Lu Si-nio sudah luar biasa, ia anggap
bagai dewi kah-yangan dan tak berani memandangnya.
Setelah terdiam agak lama, tiba-tiba terdengar suara
wanita agak berumur sedang bertanya di kamar sebelah, "Apa
anak itu su dah baik?"
"Sudah baik!" terdengar Si-nio menyahut. Lalu ia menoleh
dan berkata pada Teng Hiau-lan, "Guruku memanggilmu ke
sana. Coba kau turun pembaringan, apakah sudah sanggup
jalan sendiri?" Hiau-lan menurut, ia turun ke bawah dan coba
berjalan beberapa tindak, segera ia merasa sehat kuat,
sedikitpun tak merasa susah.
"Cici, harap kau bawa aku menemui beliau," dengan girang
Hiau-lan meminta. Di kamar sebelah terpajang mirip ruang sembahyang, di
tengah ada patung pemujaan yang tertutup sehelai kain
kuning hingga tak tertampak jelas.
Begitu Hiau-lan masuk ke dalam, segera ia disambut
dengan suara yang sudah dikenalnya, "Hiau-lan, nyawamu
akhirnya terebut kembali, lekas kau memberi hormat pada
Sin-ni!" Yang memanggilnya bukan lain "Ban-li-tui-hong" Liu Siangai.
Di sampingnya duduk bersila si Nikoh tua bertangan
tunggal dan masih ada pula seorang kakek yang tak ia kenal.
Lekas Hiau-lan maju memberi hormat, tapi karena ia tak
me-ngetahui sebutan Nikoh tua itu, maka ia menjadi bingung
harus me-manggil dengan nama apa.
"Aku tak mempunyai gelar, sedang namaku, sudah lama
aku pun tak memakainya lagi," terdengar Nikoh tua itu
berkata, agaknya ia tahu keragu-raguan Hiau-lan. "Di
kalangan Kangouw orang me-nyebutku Tok-pi-lo-ni, maka
boleh juga kau sebut aku dengan nama itu. Eh, tak usah kau
banyak berterima kasih padaku, yang harus kau haturkan
terima kasih adalah Liu-tayhiap, ia telah menggendongmu
jauh-jauh dari Thay-hing-san ke sini!"
Hiau-lan menurut, secara hormat sekali ia menjura pada Liu
Sian-gai. Dengan tertawa Sian-gai lantas menariknya berdiri.
Sehabis Si-nio memberi hormat pada gurunya, kemudian
berkata pada orang tua di samping itu, "Giam-sioksiok jauhjauh
ke-mari, jangan-jangan ayahku ada kesulitan?"
"Kau disuruh pulang oleh Giam-sioksiok," Tok-pi-lo-ni mendahului
menerangkan. Sekonyong-konyong Si-nio terguncang perasaannya.
Sementa ra itu si kakek she Giam sudah mulai berkata,
"Ayahmu sudah tua, akhir-akhir ini sakit-sakitan lagi, ia sangat
kangen pada dirimu!"
"Eng-ji," Tok-pi-lo-ni berkata pula, "sudah sembilan tahun
kau berguru padaku, kepandaian sudah lebih banyak kau
pelajari da-ripada semua Suhengmu, dan tiada yang bisa
diajarkan lagi padamu, baiknya besok kau berangkat saja."
Atas petuah gurunya itu, Lu Si-nio sangat terharu.
"Tiada perjainuan yang tidak bubar di jagat ini," kata Tokpi-
lo-ni pula, "kau adalah muridku tersayang, kau harus ingat
baik-baik ajaranku. Sesudah kau pulang menyambangi
keluargamu, kau boleh pergi sekalian mencari kabar
Toasuheng (kakak seperguruan tertua) dan melihat tingkahlakunya,
bila betul ia mengkhianati perguruan kita, maka
boleh lantas kau penggal kepalanya dan bawa kemari diperlihatkan
padaku!" Bukan main kejut Liu Sian-gai oleh perkataan tadi, tapi
pada saat itu juga, di luar tiba-tiba terdengar beberapa kali
suitan panjang. "Ehm, mereka pun sudah datang!" ujar Tok-pi-lo-ni sambil
berbangkit. Ketika pintu terbuka perlahan-lahan, Tok-pi-lo-ni segera
berkata pula dengan gembira, "Hian Hong Totiang, baikbaikkah
sela-ma ini?" Menyusul dari luar beberapa bayangan berkelebat, tiba-tiba
tiga orang sudah berdiri di depan mereka, ternyata bukan lain
adalah Hian Hong Tojin, Long-goat Hwesio dan Tan Goan-pa,
tiga orang dari Kwantang si-hiap.
"Berkat pengaruh Sin-ni yang telah membikin keder kedua
iblis itu, terimalah hormat Pinto," kata Hian Hong sambil membungkuk
memberi hormat. Baru kini Liu Sian-gai mengetahui bahwa saudaranya itupun
buron ke Bin-san, tujuannya tidak lain adalah memancing
kedua iblis itu untuk berjumpa dengan Tok-pi-lo-ni.
Lalu Tok-pi-lo-ni menyilakan Kwantang-si-hiap masuk ke
ku-ilnya, kemudian diperkenalkan pada kakek she Giam itu.
Orang tua itu ternyata bukan dari kalangan persilatan, tapi
mu-rid Lu Liu-liang, termasuk seorang sastrawan dari Ciatkang
timur. Dalam beberapa puluh tahun ini, di daerah sepanjang
pantai teng-gara telah tersebar paham ajaran Lu Liu-Iiang,
kakek itu dengan ayah Lu Si-nio, Lu Po-tiong, adalah patriot
yang bekerja di bawah tanah untuk melawan pemerintah
Boan. Hian Hong Tojin pun sudah lama mendengar namanya,
karena itu ia lantas kiongciu dan berkata dengan tertawa,
"Selama kita orang-orang Bun dan Bu mempunyai cita-cita
yang sama dan bersatu-padu di seluruh negeri, tak usah kuatir
negara kita tak akan ditegakkan kembali."
Mendengar ucapan itu, agaknya Tok-pi-lo-ni terharu
perasa-annya, matanya menjadi merah berkaca, ia pandang
meja pemujaan dengan terkesima. Kwantang-si-hiap
mengetahui dia adalah putri kerajaan ahala yang lalu, hatinya
berduka karena negeri yang mus-nah dan terbayang pada
kemungkinan yang akan datang, maka me-reka pun tak bisa
berkata-kata. Setelah lewat sedikit lama, barulah Tok-pi-lo-ni tersadar.
"Pin-ni belum bersih dari pikiran fana, harap Toheng jangan
menerta-wai," katanya kepada Hian Hong.
Hian Hong tidak menjawab perkataan orang, sebaliknya ia
membelokkan pokok pembicaraan. "Beberapa tahun yang lalu
aku mendengar Siang-mo terpincang sebelah kaki, aku lantas


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menduga tentu Sin-ni yang telah menghajar mereka," katanya
kemudian. "Tiga tahun yang lalu aku mengembara sampai di Pat-tatnia,
di sanalah aku bertemu dengan kedua iblis itu," dengan
tertawa Tok-pi-lo-ni bercerita, "ternyata mereka tak tahu diri
dan berkeras ingin bertanding denganku. Waktu itu perbuatan
jahat mereka belum keterlaluan, oleh karena itu aku hanya
memberikan sedikit hu-kuman saja pada mereka."
"Untung mereka telah dilukai Sin-ni, kalau tidak,
pertarungan di Thay-hing-san kali ini jangan harap kami bisa
selamat!" ujar Hian Hong Tojin. Lalu ia ceritakan bagaimana
kedua iblis itu telah dibeli oleh In Ceng, dan bagaimana
melakukan pembunuhan kejam ter-hadap para pahlawan dari
lima propinsi utara. Sudah tentu cerita itu membikin Tok-pi-loni
menjadi gusar sekali. "Sayang. kalau mengetahui hal ini sebelumnya, hari ini
tidak mungkin aku lepaskan mereka pergi," kata Tok-pi-lo-ni
dengan ge mas. Sesudah mengobrol ke timur dan ke barat, akhirnya Tok-pilo-
ni berkata. "Belakangan ini Si-hiap apa pernah datang ke
Kang-lam?" tanyanya.
"Sudah lebih sepuluh tahun kami bersaudara belum
menginjak lewat Tiangkang (sungai Yangtse)," sahut Hian
Hong. "Kabarnya muridku terbesar bersekongkol dengan kawanan
penjahat kangouw dan banyak mengganggu keselamatan
umum, apakah Si-hiap pernah mendengar kabar ini?" tanya si
Nikoh tua. Tetapi jawaban Hian Hong adalah menggeleng kepala.
"Selama aku masih hidup, ia masih merasa jeri, oleh sebab
itu walaupun ia tak setia pada kesucian agama, namuri belum
berani terang-terangan berbuat kejahatan, khawatirnya kalau
aku mangkat nanti, mungkin tiada orang lagi yang sanggup
mengatasinya," kata Tok-pi-sin-ni.
Hian Hong terkejut oleh keterangan itu, sungguh ia tidak
menduga bahwa murid pertama Nikoh tua itu bisa begitu
lihai. Kiranya Tok-pi-lo-ni mempunyai delapan murid, kecuali Lu
Si-nio, tujuh orang lainnya sudah tamat belajar dan tersebar di
daerah Kanglam (selatan sungai Yangtse) dan berjuluk
"Kanglam-chit-hiap" (Tujuh pendekar Kanglam). Yang pertama
bernama Liau-in, seorang Hwesio, ilmu silatnya paling tinggi,
pernah dengan senjata "Sian-tiang", tongkat kaum padri,
sekaligus mengalahkan dua belas jagoan kelas berat, hingga
namanya tersohor dan menjagoi daerah Kanglam.
Sungguhpun "Jit-hiap" keluar dari pintu perguruan yang
sama, tetapi kepandaian silat mereka berselisih sangat jauh
dan tak sama, Kam Hong-ti yang terhitung nomor tujuh
menurut urutan mereka, namapya paling terkenal, Namun soal
Lwekang dan Gwakang kalau dibandingkan Liau-in masih
selisih banyak. Sesudah itu baru terhitung kepandaian Pek Thay-koan,
urutan nomor lima. Sedang Loh Bin-ciam, Li Gwan, dan Ciu
Sun dan Iain-lain, mereka lebih rendah lagi dan tiada
kepandaian yang istimewa.
Loh Bin-ciam dan Ciu Sun pernah datang ke Kwantang dan
untuk menghormati kaum Cianpwe, mereka pernah menemui
Hian Hong, la pun coba bergcbrak dengan mereka, tapi tiada
tiga puluh jurus mercka berdua sudah kewalahan.
Kala itu Hian Hong pernah berpikir, "Mengapa murid Tokpi-
lo-ni berkepandaian begini rcndah. Kam Hong-ti dan Liau-in
Hwe-sio. walaupun namanya menggctarkan daerah Kanglam,
kepandai-annya tentu terbatas juga kalau melihat Sute
mereka ini." Tetapi kini mendengar Tok-pi-lo-ni berkata bahwa bakal
tiada yang sanggup mengatasi Liau-in, ia jadi sangsi dan
kurang percaya. "Hari ini untuk pertama kalinya mencoba pedang, ia sudah
bisa mengalahkan Pat-pi-sin-mo, hal ini sudah boleh dikata
hebat juga," kata Tok-pi-lo-ni pula dengan menuding Lu Sinio,
"tetapi ia masih harus berlatih beberapa tahun lagi bam
bisa mengatasi Toa-suhengnya."
Mendengar perkataan terakhir itu, Hian Hong lebih
terperan-jat, ketika ia memandang Lu Si-nio, nona itu hanya
menunduk sam-bil tertawa kecil saja, jelas tertampak satu
dara cilik yang masih ingusan, sungguh sukar dibayangkan
bahwa Kiam-hoatnya bisa begitu lihai.
"Toako, jiwaku justru nona cilik inilah yang menolong!" kata
Liu Sian-gai. Diperkuat keterangan Liu Sian-gai itu. mau tidak mau Hian
Hong percaya. "O, kiranya belum sampai Sin-ni sendiri yang turun tangan
dan kedua iblis itu sudah dihantam lari." katanya kemudian.
Tok-pi-lo-ni tertawa, katanya, "Bukan begitu soalnya. Dia
belum memiliki kemampuan itu, ketika aku unjuk diri barulah
membikin kedua iblis itu lari terbirit-birit."
"Dua tahun belakangan ini," katanya pula setelah berhenti
se-jenak, "terhadap Liau-in yang berkelakuan kotor dan
mencemarkan nama baik perguruan, sedikit banyak aku pun
sudah mendengar. Oleh karena itu sengaja aku turunkan
"Hian-li-kiam-hoat" pada Eng-ji, agar kelak bila Liau-in masih
tetap berbuat kejahatan, aku suruh Eng-ji mewakilkanku
membuat pembersihan perguruan. Tapi mung-kin latihannya
masih kurang sempurna dan pengalaman cetek, maka masih
diharapkan bantuan dari Si-hiap."
Atas pesan itu, Hian Hong tak dapat berkata, sementara itu
si Nikoh tua bertangan satu melanjutkan pula, "Eng-ji besok
akan tu-run gunung dan seterusnya berkelana di Kangouw,
selanjutnya ha-rap Si-hiap suka mengawasi."
Kwantang-si-hiap berulang mengiakan dengan rendah hati
atas permintaan orang. "Begitu Lihiap unjuk diri, maka genaplah menjadi Kanglampat-
hiap, persis satu kali lipat lebih banyak dari kami, kalau
dari utara dan selatan bisa saling bantu, pasti akan makin
bertambah he-bat kekuatan kita," dengan tertawa Tan Goanpa
mengutarakan pi-kirannya.
"Mudah-mudahan begitu!" sahut Tok-pi-lo-ni dengan
muram. Tiba-tiba Goan-pa ingat sesuatu dan menyadari telah
kelepas-an omong, karena Liau-in Hwesio sudah tersesat ke
jalan yang sa-lah, bagaimana bisa terhitung sebagai
pendekar" "Sayang Li-hiap hendak nienuju ke Kanglam," katanya pula
dengan tertawa mengada-ada, "kalau tidak, kita bersama ke
kota raja, sedikitnya akan membikin morat-marit kota
terlarang itu." "Pasti akan terjadi pada suatu hari!" sahut Lu Si-nio dengan
spontan. Keruan saja jawaban mendadak itu membikin Kwantang-sihiap
saling pandang dan terheran-heran.
Sebaliknya Tok-pi-lo-ni dengan dingin berkata, "Cita-citamu
yang bagus harus dipuji, cuma masih diperlukan .nyali yang
besar dan kecermatan."
"Titli, engkongmu mengemukakan teori tentang melawan
pen-jajah asing, yang dia naikkan adalah bendera pihak yang
benar dan adil," si sastrawan Giam Hong-kui dengan perlahan
ikut menim-brung, "bila kita hendak mengusir musuh dari
negeri kita, tidak akan berhasil kiranya kalau meniru jalan
yang ditempuh sebangsa Hing Ko dan Yao Li."
Hing Ko dan Yao Li adalah pahlawan yang hidup pada
zaman Cian-kok, Hing Ko terkenal melakukan pembunuhan
terhadap Cin Ong dan Yao Li melakukan tusukan pada Khing
Ih, semuanya adalah cerita kepahlawanan yang tersohor dari
zaman ke zaman. De ngan contoh itu, maksud Giam Hong-kui
adalah tidak setuju pada cara pembunuhan gelap untuk
menentukan nasib negara. Malahan mengandung nada
memandang rendah terhadap perbuatan kekeras-an semacam
itu. Keruan Hian Hong merasa tersinggung, ia kurang senang.
"Tetapi daripada kaum sekolahan yang hanya omong kosong
saja juga tak akan ada manfaatnya!" sahutnya dengan dingin.
Wajah Lu Si-nio berubah kemerahan, segera ia pun berkata
dengan suara rendah, "Terima kasih atas ajaran paman.
Tetapi nmenurut aku, apa yang dikatakan Thay-su-kong
adalah lebih benar, dengan pengetahuan kaum sekolahan
kalau bergabung dengan ke-gagahan kaum ksatria barulah
kemudian bisa melaksanakan pekerjaan besar."
Apa yang Lu Si-nio katakan berasal dari "Su-ki", kitab
karang-an Suma Sian atau terkenal juga dengan nama Thaysu-
kong. "Eh, kiranya dalam beberapa tahun ini kau masih belum
mene-lantarkan pelajaran kitab," dengan mengelus jenggot
Giam Hong-kui berkata dengan tertawa.
Lu Si-nio menghirup air tehnya, perlahan-lahan ia benahi
ram-butnya yang melambai kusut, sesudah itu mendadak ia
bertanya dengan rasa sunyi, "Cay-khoan sekarang tentu
sudah dewasa" Apakah masih belajar ikut ayahku?"
"Ia sudah tumbuh tinggi besar, hampir setengah kepala
lebih tinggi dari ayahmu!" sahut Giam Hong-kui. "Ia sangat
giat sekali belajar, tiada kitab yang belum dibacanya, kelak
yang bisa me-wariskan teori ajaran engkongmu mungkin
hanya dia seorang saja."
Di satu pihak orang sedang asyik bercakap-cakap, Teng
Hiau-lan yang mendengarkan di samping menjadi terkesima.
Meski ia tidak kenal siapakah "Cay-khoan" yang disebut itu,
tetapi mende-ngar Lu Si-nio menyebutnya dengan penuh
perhatian, tiba-tiba hatinya tergetar dan timbul semacam
perasaan yang sukar dijelaskan.
Dalam pada itu Hian Hong telah menepuk pundaknya
sambil berkata dengan menghela napas, "Ciu-tayhiap adalah
sahabatku se-lama berpuluh tahun, ia memasrahkan kau
padaku dengan sungguh-sungguh, mau tak mau aku harus
mengurus. Soalnya kami berempat selamanya bergelandangan
di Kangouw, kini malah tambah bermu-suhan dengan Sihongcu,
tentu makin tak akan tenteram tinggal di suatu
tempat untuk mengajarkan kepandaian silat padamu."
Berkata sampai di sini, ia merandek, lalu ia berpaling dan
berkata pada Tok-pi-lo-ni, "Harap Sin-ni mengingat bahwa dia
adalah ajaran langsung dari cabang Ciu-tayhiap, maka sudilah
menerima-nya sebagai murid."
Bukan kepalang girang Teng Hiau-lan, dengan cepat ia
sudah akan memberi hormat pada Nikoh sakti itu. Namun
sebelum ia me-lakukan, Tok-pi-lo-ni sudah menahannya.
"Usiaku sudah lanjut, sesudah menerima Eng-ji sebagai
murid, aku bersumpah tidak menambah murid lagi," dengan
tersenyum Nikoh tua itu menerangkan. "Di lima propinsi utara
masih ada seorang tokoh yang namanya tidak asing lagi bagi
kita, mengapa Hian Hong Toheng tidak mengirim dia ke sana
saja?" "Apakah yang Sin-ni maksudkan "Thi-cio-sin-tan" Nyo Tiongeng?"
Hian Hong bertanya. "Memang betul!" sahut si Nikoh tua.
Hian Hong membatin, kepandaian Nyo Tiong-eng tidak di
ba-wah dirinya, peristiwa di Thay-hing-san kali ini Nyo Tiongeng
ter-nyata sanggup lolos dari bawah tangan Siang-mo yang
kejam itu, suatu tanda tua-tua keladi dan kepandaiannya
makin maju. Lagi pula ia juga sahabat karibnya selama
berpuluh tahun ini, menyerahkan Hiau-lan padanya memang
sangat cocok sekali. Setelah mengambil keputusan itu, lalu ia berkata, "Kalau
Sin-ni memang tidak terima murid lagi, baiklah, terpaksa hams
bikin repot Nyo-loenghiong saja!"
Malam telah lalu, besok paginya Kwantang-si-hiap, Lu Sinio
dan kawan-kawan turun dari Bin-san, terbagi menjadi dua
jurusan, Si-hiap membawa Teng Hiau-lan pergi mencari Nyo
Tiong-eng, sedang Lu Si-nio dan Giam Hong-kui kembali ke
rumah asal meieka di selatan. ,
Pada waktu memberi salam perpisahan, dengan kesima Hiau-lan memandang Lu Si-nio yang mencemplak kudanya dengan cepat. "Adik cilik, beberapa tahun lagi aku akan menyambangimu diTang-ping!" seru Lu
Si-nio di atas kudanya pada saat terakhir. Nyo Tiong-eng tinggal di Tang-ping-koan (kabupaten Tangping)
propinsi Soatang. Di daerah Tang-ping-koan ada sebuah
tela-ga besar bernama Tang-ping-ou, kediaman keluarga Nyo
mengha-dap telaga dan membelakangi bukit,
pemandangannya sangat indah.
Hari itu Teng Hiau-lan mengikuti Kwantang-si-hiap sampai
di luar perkampungan keluarga Nyo, ia lihat di sekitarnya
lereng bukit membentang jauh, air telaga bening bersih,
dikitari pohon Liu yang menghijau permai. Belum Teng Hiaulan
masuk ke rumah orang she Nyo, ia sudah tertarik oleh
tempat yang indah itu. Sesudah mereka sampai di tengah bukit, tiba-tiba
tertampak beberapa buah rumah biasa yang dibangun
bersandarkan gunung, di bawah pohon yang rindang ada
sebuah lapangan rata, di tengah la-pangan itu ada seorang
anak gadis sedang berlatih silat, tangannya memegang
sebuah gendewa yang sedang dipentang dan membidik-kan
peluru ke angkasa, lalu ia lepaskan lagi peluru lain, menyusul
lantas berbenturan dengan peluru yang dibidikkan duluan,


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makin lama peluru yang dibidikkan makin banyak dan makin
ramai pula bentrokan di udara hingga laksana. bintang
meluncur, tampaknya bagus sekali.
"Sin-tan (peluru sakti) yang hebat!" seru Hian Hong
memuji. Gadis itu menoleh demi mendengar seruan orang, tapi
waktu melihat Hiau-lan, ia jadi tertawa geli.
"He, malam itu apa kau tidak mampus ketakutan!" katanya
ke-mudian. Maksudnya kejadian di hotel tempo hari itu.
"Liu-jing, lekas kau beritahukan ayahmu bahwa Kwantangsi-
hiap minta bertemu!" kata Hian-Hong Tojin padanya..
Tanpa disuruh kedua kalinya, gadis itu lari pulang ke
rumah. "Nyo Tiong-eng tidak mempunyai putra, ia hanya punya
putri tunggal ini sehingga memanjakannya laksana mestika!"
tutur Hian Hong pada teman-temannya.
"Aku dengar dari kalangan persilatan di Soatang, katanya
ada Li-sin-tong (anak perempuan ajaib) bernama Nyo Liu-jing,
mungkin adalah dia ini!" kata Liu Sian-gai.
"Memang tidak salah," sahut Hian Hong. "Karena ayahnya
menyukai pohon Yang-liu, oleh karena itu memberikan nama
yang aneh itu padanya (Nyo Liu-jing atau Yang Liu-jing =
pohon Yang-liu menghijau)."
Selagi mereka bicara, Nyo Tiong-eng sudah memapak
keluar. "Angin apakah yang telah meniup kalian ke sini!" sera
orang she Nyo itu dari jauh.
Kemudian ia menghaturkan terima kasih lebih dulu pada Liu
Sian-gai dan Tan Goan-pa yang telah menolongnya pada
malam itu. "Masih ada pula engkoh cilik ini, malam itu ia telah hamburkan
segenggam Hui-bong, ayah seharusnya berterima kasih
juga padanya," Nyo Liu-jing menimbrung dengan tertawa.
Demi mendengar perkataan ini, Nyo Tiong-eng terbahakbahak.
"Memang betul, aku sudah tua dan suka lupa, Siau-ko
(engkoh cilik) ini punya senjata rahasia sungguh tidak
lemah!" katanya. Dalam pada itu Hian Hong telah mengedipi Teng Hiau-lan,
tanpa menunggu perintah lagi .segera Hiau-lan bertekuk lutut
dan menjura tiga kali ke hadapan Nyo Tiong-eng.
Dengan bingung Nyo Tiong-eng menariknya bangun.
"Apakah artinya ini?" tanyanya dengan tidak mengerti.
"Anak ini sudah piatu dan tiada sandaran, harap Lauko
(sau-dara tua) suka menerimanya sebagai murid," kata Hian
Hong ber-terus terang. Akan tetapi Nyo Tiong-eng tidak lantas menjawab, ia
berkerut kening. "Pulang saja dulu, bicaralah nanti!" sahutnya
kemudian. Sesudah membawa tamunya ke rumah, lalu Nyo Tiong-eng
menarik Hian Hong ke samping, sesudah bicara agak lama,
barulah ia berpaling dan berkata pada Teng Hiau-lan, "Coba
kau tunjukkan semua kepandaian yang pernah kau pelajari!"
Hiau-lan juga tidak ayal, ia lolos pedang pusaka Yu-liongpokiam,
lebih dulu ia membungkuk memberi hormat,
kemudian me-mainkan "Tui-hong-kiam-hoat", segera
tertampak sinar mengkilat menyambar memenuhi seluruh
ruangan. "Baiklah, sudah cukup!" sera Nyo Tiong-eng.
Sedang Nyo Liu-jing masih membuka lebar kedua matanya
mengincar Yu-liong-pokiam.
"Berdasarkan pada segenggam Hui-bong pada malam itu
dan Tui-hong-kiam-hoat barusan ini, baiklah aku terima kau
sebagai murid!" kata Nyo Tiong-eng kemudian.
Bukan main girang Teng Hiau-lan, dengan disaksikan
Kwan-tang-si-hiap segera ia menjalankan penghormatan
mengangkat guru. Hian Hong mengangkat tangan memberi selamat pada Nyo
Tiong-eng, katanya, "Murid memilih guru dan guru memilih
murid. Toako, aku tanggung kau merasa puas terhadap
muridmu ini." Nyo Tiong-eng tertawa, habis itu dengan sungguh-sungguh
ia berkata pada Teng Hiau-lan, "Anak murid dari golongan Koyang-
pay kita biasanya keras sekali terikat oleh peraturan, kini
aku ba-cakan padamu dua belas larangan dari perguruan kita,
kau haras mempertimbangkan dengan baik, bila sekiranya kau
keberatan, bo-leh kau katakan teras terang dan aku tak akan
memaksamu!" Teng Hiau-lan tak menjawab, dengan tangan luras ke
bawah ia mendengarkan apa yang bakal diutarakan gurunya
itu. "Larangan pertama, tidak boleh mencuri, merampok dan
ber-buat cabul!" demikian Nyo Tiong-eng mulai membacakan.
Teng Hiau-lan mengangguk tanda setuju, lalu Nyo Tiongeng
melanjutkan pula, "Kedua, tak boleh menjual kawan untuk
keun-tungan sendiri. Ketiga, dilarang menghina dan
menganiaya yang lemah. Keempat, tak boleh dekat pembesar
dan bergaul dengan peja-bat negeri. Anak murid Ko-yangpang
dilarang berhubungan dengan pembesar negeri,
dapatkah kau menurat?" tanya Nyo Tiong-eng me-negas.
"Ayah angkatku Ciu-tayhiap terbinasa oleh jagoan kerajaan
Boan, kebencianku terhadap pembesar negeri laksana duri
menusuk tulang!" sahut Teng Hiau-lan dengan tegas.
"Dan yang kelima tak boleh berserikatan untuk berkelahi,"
Nyo Tiong-eng meneraskan pula. "Keenam, dilarang minum
arak danbikin onar "."
Ia membaca teras sampai pada yang kedua belps, ia
berkata, "Larangan terakhir ini paling penting, adalah tak
boleh mendustai guru dan menodai leluhur! Segala urasan tak
boleh berbohong pada guru, semuanya haras dikatakan yang
sebenarnya, lebih-lebih dilarang bersekongkol dengan
penjahat untuk menghina orang tua. Me-langgar larangan ini,
hukuman enteng sedikitnya dimusnahkan ke-pandaiannya,
hukuman berat, tubuh bisa dibeset menjadi beberapa keping,
dapatkah kau menurut?"
Larangan terakhir ini mau tak mau membikin Teng Hiau-lan
rada ragu-ragu. Tetapi rupanya Nyo Tiong-eng dapat menerka apa yang
dikan-dung dalam pikiran pemuda itu, katanya, "Aku mengerti
asal-usul-mu memang sedikit aneh, maka tentang asal-usulmu
yang dahulu aku tak peduli, tetapi selanjutnya semua urusan
dilarang mendustai aku sedikitpun!"
"Apa yang telah lalu, aku sendiri pun tak jelas, tetapi
selanjutnya dengan sendirinya murid akan taat pada apa
yang In-su (guru berbudi) pesan!" sahut Hiau-lan dengan
menjura pula. "Sudahlah, bangunlah kau!" dengan menghela napas
akhirnya Nyo Tiong-eng berkata pula. "Dalam beberapa puluh
tahun ini be-lum pernah aku menerima murid, sekarang kau
adalah Suheng! Liu-jing, sini, memberi hormatlah pada
Suhengmu!" Akan tetapi Nyo Liu-jing ternyata cukup bandel, ia tidak
lan-tas menurut. "Aku hendak menjajal kepandaiannya, kalau
ia bisa menangkan aku baru kupanggil dia Suheng!" sahutnya
manja. Keruan Hiau-lan jadi serba salah, lekas ia berkata,
"Kepandai-anku tak seberapa, bagaimana bisa menandingi
Sumoay, tidak, Suci, apalagi aku lebih belakang masuk
perguruan, mana aku berani?"
"Liu-jing, jangan sembarang omong, apa tak takut
ditertawai para Supek yang ada di sini?" Nyo Tiong-eng
mengomeli gadisnya. "Hiau-lan, berapa umurmu tahun ini?"
"Enam belas," jawab Hiau-lan.
"Kau lebih tua dua tahun dari Liu-jing," kata Nyo Tiong-eng
pula. "Urutan dalam perguruanku tidak mempersoalkan siapa
yang lebih dulu belajar, tetapi diurut menurut tua-mudanya
umur. Liu-jing, lekas memberi hormat dengan menjura dan
seterusnya harus menurut perkataan Suheng!"
"Masih harus menjura segala?" kata si nona bengal sambil
me-lelet lidah. Namun ayahnya keburu membentak lagi, "Lekas lakukan!"
Terpaksa Nyo Liu-jing menurut, tapi dengan cepat Hiau-lan
menariknya bangun. Tak tahunya mendadak Nyo Liu-jing
kipatkan tangannya, karena tak menduga akan kejadian yang
tiba-tiba itu, hampir saja Hiau-lan terbanting jatuh.
"Jangan Totiang menertawai," kata Nyo Tiong-eng pada
Hian Hong atas kenakalan putrinya itu. "Maklum, sejak kecil
putriku ini sudah tak mempunyai ibu, aku terlalu
memanjakannya, sudah ber-umur empat belas, masih bersifat
anak-anak!" Habis itu, ia berpaling dan berkata pada Teng Hiau-lan,
"Ilmu silat golongan kita paling mengutamakan pemupukan
tenaga dasar, kulihat Kiam-hoatmu meski sudah baik, namun
kekuatan dasarnya masih kurang, mulai besok kau boleh ikut
aku belajar kepandaian dasar, kemudian maju setindak demi
setindak, jangan serakah ingin belajar terlalu banyak. Kau
sudah pernah belajar pada guru ternama, terhadap
pelajaranku, apakah kau ada pendapat lain?"
"Aku menginginkan siang belajar silat dan malam belajar
sas-tra, sedikit banyak murid ingin mempelajari kitab!" sahut
Hiau-lan mendadak. Mendengar permohonan yang tiba-tiba itu, Kwantang-sihiap
saling pandang dengan tercengang.
Umumnya dalam dunia persilatan kalau menerima murid,
se-lamanya yang diutamakan adalah kepandaian
menggunakan senjata dan tipu pukulan, terhadap kaum
sekolahan yang lemah gemulai sa-ma sekali tak dipandang
sebelah mata, juga selamanya tiada murid yang mengajukan
permohonan serupa itu. Nyo Tiong-eng sendiri pun tercengang oleh permintaan
Hiau-lan yang tak tersangka-sangka itu, segera ia tertawa
terbahak-bahak! "Baik, apa yang kau katakan cocok dengan pendapatku!"
dengan mengelus jenggot Tiong-eng berkata sambil tertawa.
"Hian Hong Toheng, kita orang yang belajar silat sering kali
mempunyai ciri berangasan, waktu aku masih muda, entah
berapa banyak keo-naran yang telah kulakukan. Aku punya
putri kesayangan ini, baru bisa sedikit kepandaian sudah
seperti anak liar, hanya pintar main senjata, tapi soal sopansantun
sedikitpun tidak paham. Menurut pandanganku, kelak
tentu susah mencarikan jodoh untuknya, maka sudah lama
aku pun punya pikiran hendak mencari guru buat meng-ajar
dia membaca, untuk mengubah tabiatnya yang liar biarpun
ha-nya sedikit. Hiau-lan bermaksud belajar Bun dan Bu, hal ini
sung-guh baik sekali. Aku mempunyai seorang saudara
sepupu, walaupun Siucay yang tak lulus, tetapi cukup
mengerti dasar sastra, besok aku undang dia memberi
pelajaran sastra pada mereka berdua."
Mendengar uraian itu, diam-diam Hian Hong menertawai,
ba-tinnya, "Putrimu ini terang kau sendiri yang terlalu
memanjakan se-hingga begini bengal, ada sangkut-paut apa
dengan soal sekolah se-gala?"
Begitulah Nyo Tiong-eng telah menerima Teng Hiau-lan
seba-gai murid, ia gembira sekali dan segera memerintahkan
putrinya itu mengantar muridnya ke belakang untuk
sembahyang di depan abu Subo (ibu guru), sedang ia sendiri
mengawani Kwantang-si-hiap mengobrol, sampai akhirnya
Kwantang-si-hiap mohon diri, barulah ia masuk ke belakang
untuk mencari Teng Hiau-lan.
Tak terduga sudah dicari kian kemari masih belum ketemu,
waktu sampai di pelataran dalam baru mendadak ia
mendengar ada suara gedebukan beradunya kepalan, waktu ia
menegasi, terlihat pu-tri saru-sarunya itu sedang mengayun
tangan dengan kencang, sedang
mencecar Teng Hiau-lan hingga yang tersebut belakangan ini terpaksa harus main
mundur terus. Kiranya Nyo Liu-jing masih bersifat kekanak-kanakan, sesudah
menyembah Suheng tadi, dalam hati ia kurang rela.
Sehabis ia membawa Teng Hiau-lan menyembahyangi
Subo, segera ia tarik tangan pemuda itu dan diajak ke
pelataran belakang. Sudah tentu Teng Hiau-lan tak berani menolak, ia mengikut
ke belakang. Tapi setiba di pelataran itu Nyo Liu-jing
mendadak ber-kata, "He, coba lihat pedangmu itu!"
Keruan Hiau-lan ragu-ragu atas permintaan itu, belum
sampai ia menjawab, Nyo Liu-jing sudah mendahului pula,
"Eh, kau ini mengapa begitu pelit, toh aku bukan
menghendaki milikmu!"
Karena tiada jalan lagi, terpaksa Hiau-lan lepaskan pedang
dan diangsurkan. "Sumoay harap hati-hati, pedang ini sangat
tajam, jangan sampai tanganmu terluka!" pesannya.
Nyo Liu-jing menyahut dengan mendenguskan suara dari
hi-dung, sesudah itu ia lolos pedang terus dimainkan sejenak,
gerak-annya walaupun tidak secepat Tui-hong-kiam-hoat, tapi
sudah terhi-tung hebat dan mengagumkan.
"Sumoay memang hebat, delapan belas rupa senjata mahir
se-luruhnya," Hiau-lan memuji.
Tapi kembali N>o Liu-jing menjengek. "Siapa sudi dipuji!"
sahutnya dengan menarik muka. "Hai, ayahku bilang kau
punya Kiam-hoat sangat bagus, sekarang aku justru ingin
coba ilmu pedangmu dengan kedua tanganku yang kosong."
"Sumoay punya kepandaian silat tinggi dan kuat, aku
terima mengaku kalah, tak usah dicoba lagi," kata Hiau-lan
dengan rendah hati. Akan tetapi mana Nyo Liu-jing mau menurut. "Nanti dulu,"
katanya, "perkataan tadi masih belum habis! Apabila aku
kalah, segera aku menjura padamu tiga kali, tetapi kalau kau
yang kalah, pedang ini harus kau berikan padaku. Nah, kini
pedang ini kau ambil kembali dulu. Nih, terimalah!"


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berbareng itu, segera ia lemparkan pedangnya pada Hiaulan
sambil meneriakinya lagi, "Terimalah dengan betul! Hayo,
mengapa tidak lekas kau lancarkan seranganmu!"
Teng Hiau-lan menjadi gugup hingga mandi keringat.
"Mana boleh jadi!" katanya berulang-ulang sembari
menggoyang tangan. Namun Nyo Liu-jing segera menjengek lagi. "Hah, nampaknya
kau takut kalah dan kehilangan pokiam ini, apa kau kira
aku tak bisa menerka hatimu!" katanya menyindir.
Sebenarnya Teng Hiau-lan tergolong anak cerdik juga,
tetapi saat ini ternyata ia dipermainkan oleh Sumoay baru itu
tanpa ber-daya dan serba salah. Pedang pusaka itu adalah
pemberian Ciu Jing, sudah tentu tak mungkin diberikan pada
Nyo Liu-jing. Karena itu dengan mandi keringat saking
gugupnya, Hiau-lan hanya berdiri te-gak saja tak sanggup
berkata-kata. "Bagaimana?" desak si gadis bengal itu sambil maju dua
tin-dak dan mengangkat tangannya.
Karena tiada jalan lagi, mau tak inau Hiau-lan harus ambil
ke-putusan, ia masukkan pedang kembali ke sarungnya,
sesudah itu ia angsurkan kepada Nyo Liu-jing, "Sumoay,
pedang ini kuberikan padamu saja!"
Melihat kelakuan orang, Nyo Liu-jing menegak kening.
"Huh, siapa ingin pemberianmu!" katanya kemudian sambil
mendesak lagi, "Ayo, lekas angkat senjatamu, bila aku tak
mampu dengan ta-ngan kosong merebut senjatamu, segera
aku menjura padamu!"
"Ini " ini aku sekali-kali tak berani!" sahut Hiau-lan sambil
mundur terus. Akan tetapi si bengal ternyata tidak pedulikan orang, di
antara suara tertawa dinginnya, mendadak satu serangan
telah dikirim ke muka Hiau-lan.
Cepat Hiau-lan berkelit, namun terlambat, pipinya kena
ditam-par hingga terasa panas pedas. Kapan Hiau-lan pernah
menerima hinaan semacam itu" Ia tak bisa menguasai diri lagi
dan naik darah. Sementara itu Nyo Liu-jing beruntun menyusuli beberapa
pukulan lagi, tiap pukulan cukup ganas.
Hiau-lan berusaha menghindarkan semua serangan itu,
tetapi pundaknya kena digablok sekali lagi. Untung usia Nyo
Liu-jing ma-sih muda dan tenaganya kecil, kalau tidak, pasti
Hiau-lan tak tahan oleh pukulan itu.
Akhirnya tak tahan lagi, Teng Hiau-lan lemparkan
pedangnya ke tanah, sesudah itu dengan berdehem sekali ia
berkata, "Sumoay, aku terlalu dipaksa, baiklah aku layani
Sumoay bermain, tapi jangan kau bersungguh-sungguh!"
"Bagus, akhirnya kau unjuk juga kepandaianmu!" sahut Liujing
dengan tertawa genit. Sebenarnya perbuatannya itu semata-mata hanya sifat
kanak-kanak belaka. Oleh karena ia lihat Suheng baru ini
gugup, maka ia ingin mempermainkannya, padahal ia tidak
bermaksud mengincar pedangnya dengan sungguh-sungguh.
Sifat Teng Hiau-lan halus di luar dan keras di dalam.
Sesudah merasakan dua kali gablokan dan tamparan tadi, ia
naik darah dan gusar, ia kibaskan lengan bajunya terus
pentang kedua tangan, berbareng susul-menyusul ia
memukul. "Pukulan hebat!" dengan tertawa Liu-jing berseru.
Berbareng tubuhnya sedikit menggeser, segera ia balik
memotong lengan ka-nan Hiau-lan, ketika Hiau-lan menangkis
ke atas dengan tangan kiri, Nyo Liu-jing cepat sekali
mengubah tipu serangannya, dengan ge-rakan "Kim-liong-tamjiau"
(naga emas mengulur cakar), cepat sekali
ia mengarah muka Hiau-lan, hendak mencakar!
Sebenarnya Hiau-lan hanya bermaksud memberi sedikit
rasa pada lawannya agar si bengal menjadi kuncup dan
mundur teratur. Tak terduga, Nyo Tiong-eng yang disebut
orang "Thi-cio-sin-tan", dengan sendirinya dalam hal cio-hoat
atau ilmu pukulan juga lain daripada yang lain. Sejak kecil Nyo
Liu-jing sudah belajar silat ikut ayahnya, walaupun usianya
masih muda, tetapi dalam hal cio-hoat ia sudah hebat.
Ketika diketahui Teng Hiau-lan naik darah, balasan
serangannya cukup membahayakan, Nyo Liu-jing tertawa
dingin beberapa kali, segera ia pun mengubah tipu
serangannya, kedua tangannya naik turun dan memukul
susul-menyusul, pukulannya begitu hebat lagi berani, tiba-tiba
menyerang dan lain saat menjaga diri, mendadak
merangsek maju dan sekonyong-konyong mundur cepat. Peru-bahannya
beraneka ragam dan tiada hentinya memberondong lawan
dengan pukulan dahsyat. Baru kini Hiau-lan merasakan beratnya lawan, ia tidak menduga
cio-hoat si nona bisa begitu hebat.
Sesudah bertarung beberapa puluh jurus, perlahan-lahan
tam-pak Hiau-lan tak unggulan dan tak tahan lagi.
"Bagaimana Suheng" Apa sudah letih?" sengaja Nyo Liujing
terus menggoda. "Serahkanlah pedangmu padaku! Tetapi
itu adalah piala yang aku dapat dari kemenangan, aku tidak
terima pemberianmu secara cuma-cuma." Saking gemas karena jahilnya si nona, dalam hati Teng
Hiau-lan tak rela memberikan pokiam yang didapatnya dari
Ciu Jing, dengan mengertak gigi ia coba bertahan terus.
Pikirnya, kau hanya seorang dara cilik saja, coba berapa
besar tenagamu, kalau sudah lama, masakah kau sanggup
bertahan. Begitulah ia lantas ubah siasat, ia melulu menjaga
rapat dirinya, ia pi-kir hendak membikin letih lawannya.
Tak terduga lewat beberapa puluh juras lagi, bukan saja
dalam hal tenaga Nyo Liu-jing tidak menjadi berkurang,
bahkan pukul-annya makin gencar dan lihai. "Plak-plak!"
terdengar dua suara lagi, ternyata Hiau-lan kena dijotos lagi
dua kali di dada dan pundaknya.
Sungguhpun Nyo Liu-jing masih muda dan tenaga kecil, namun
terasa sakit juga pukulannya itu. Terpaksa dengan
mendongkol bercampur gugup Teng Hiau-lan main mundur
pula. Saat itu "Thi-cio-sin-tan" Nyo Tiong-eng keburu datang. Seakan
Geger Dunia Persilatan 4 Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Panji Wulung 15
^