Pencarian

Tiga Dara Pendekar 4

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 4


terlepas dari tindihan berat, tanpa ayal lagi segera Hiaulan
melompat keluar kalangan sembari berseru, "Suhu, Suhu!"
"Jing-ji, mengapa kau bergebrak dengan Suheng," Nyo
Tiong-eng mengomeli putrinya dengan muka bersungut.
Namun Nyo Liu-jing memang terlalu manja, ia banya ganda
tertawa saja. "Suheng mengajakku menjajal cio-hoat
padanya," sa-hutnya. "Ayah pernah bilang aku harus menurut
perkataan Suheng, maka terpaksa aku menurut juga."
Melihat cara Hiau-lan melayani Sumoaynya itu memang
ber-sungguh-sungguh, maka Nyo Tiong-eng agak ragu, ia
setengah per-caya. "Kau punya Sumoay masih terlalu muda,
sama sekali ia tidak mengerti aturan, jangan kau jajal
padanya!" katanya pada Hiau-lan.
"Tidak, Sumoay yang memaksa bergebrak, aku didesak
hing-ga tak ada jalan lain!" sahut Hiau-lan cepat, ia coba
membela diri. "Dan apa artinya ini?" tanya Nyo Tiong-eng sambil
menunjuk Pokiam yang tergeletak di lantai.
. "Sumoay menyukai pedang ini, aku berniat memberikan
padanya "." belum selesai Hiau-lan menjawab. Tiba-tibaNyo
Tiong-eng menjadi gusar. "Jing-ji, makin lama kau makin
berani, ya!" dampratnya. "Sembarangan saja kau
menghendaki pedang orang, tahukah kau asal-usul pedang
ini?" Dibentak ayahnya, akhirnya Nyo Liu-jing menangis. "Siapa
menghendaki pedangnya?" sahutnya sesenggukan.
Keruan Teng Hiau-lan merasa tidak enak, ia serba salah
dan tak tenteram. "Sumoay tidak bilang menghendaki
pedangku, ia hanya bilang suka pada pedang ini dan ingin
bergebrak tangan kosong denganku," akhirnya Hiau-lan
mengelakkan kesalahan Liu-jing.
Akan tetapi waktu Nyo Tiong-eng melihat muka Hiau-lan
yang matang biru, ia lantas tanya, "Dengan begitu, lalu kalian
men-coba cio-hoat?" Tiada jawaban, kedua muda-mudi itu menundukkan kepala.
Sudah dapat diterka Nyo Tiong-eng bahwa pasti putrinya
yang bersalah, tapi karena ia terlalu sayang padanya, maka
tidak mengU; sut lebihjauh.
"Budak liar, perguruan kita paling mengutamakan tatatertib,
walaupun ia baru masuk perguruan hari ini, tapi toh
tingkatan lebih tua, yang muda terhadap yang tua harus
menghormat," tak urung ia mengomeli putri kesayangannya
itu juga, "selanjutnya tak boleh kau-pamer kepandaian dan
menghina yang lebih tua, seandainya hendak berlatih dan
mencoba gebrakan juga tak perlu sungguh-sungguh seakan
bertempur mati-matian dengan musuh!"
Kedua anak muda kembali menunduk dan tak berani
menjawab. Walaupun begitu, dalam hati Teng Hiau-lan merasa
penasaran, ia tidak salah, tapi ikut diomeli, mukanya berubah
putih menghijau saking dongkolnya.
Rupanya Nyo Tiong-eng dapat menerka perasaan orang, ia
memegang tangannya dan dengan lemah lembut berkata
padanya, "Hiau-lan, Sumoaymu masih anak-anak, jangan kau
sesalkan dia. Kwantang-si-hiap akan berangkat, pergilah kau
keluar memberi sa-lam perpisahan pada mereka!" Lalu ia
membawa Hiau-lan ke ruang depan.
Melihat mukanya yang matang biru, Kwantang-si-hiap
saling pandang dan tersenyum, agaknya mereka mengerti apa
yang telah terjadi. Lalu Hiau-lan menghaturkan terima kasih atas budi
pertolong-an Kwantang-si-hiap terhadap jiwanya.
"Sejak kecil aku telah piatu, untung mendapat didikan dari
Ciu-tayhiap dan ajaran silat dari Pang-suhu," katanya dengan
suara sesenggukan, "tapi kini kedua Suhu sudah tewas
dengan mengenaskan, Suso dan Titli ditawan musuh pula,
untuk ini masih meng-harap Si-hiap suka bantu menyelidiki
jejak dan memberi pertolong-an pada mereka."
"Kau betul-betul berperasaan dan berbudi luhur, cuma
khawa-timya keinginan ada, tapi tenaga tidak cukup. Syukur
murid kesa-yangan Tok-pi-lo-ni, Lu Si-nio, kinipun sudah turun
gunung," ujar Hian Hong Tbjin tertawa. "Begini saja, kami
nanti akan mencari dia (Si-nio) dan minta agar dia pun
memberi banruan padamu."
Mendengar Hian Hong menyebut Si-nio, hati Hiau-lan
tergun-cang. Tetapi segera ia haturkan terima kasih pula.
"Lewat beberapa tahun lagi, sesudah pelajaranmu tamat,
kami akan datang ke sini menyambangimu," kata Hian Hong
akhirnya. Habis itu mereka lantas berangkat.
Semenjak itulah Teng Hiau-lan tinggal di rumah keluarga
Nyo, siang hari belajar silat dan malam harinya belajar ilmu
sastra. Semula ia masih menguatirkan Nyo Liu-jing menggoda
padanya, ia tidak mengerti cara bagaimana harus melayani
Sumoay cilik yang nakal itu.
Tak terduga, sesudah Teng Hiau-lan menutupi kebengalan
Nyo Liu-jing tempo hari di depan ayahnya, dara cilik itu
berbalik menaruh kemauan baik terhadapnya. Sungguhpun
tabiatnya bengal dan liar, tetapi sejak itu ia tidak mencari onar
lagi padanya, dengan begitu kedua anak muda ini dapat hidup
rukun aman tenteram. Sang tempo lewat dengan cepat, sekejap saja lima tahun
sudah berlalu. Ko-yang-pay tergolong cabang silat Lwekeh asli, oleh
karena itu, setelah Teng Hiau-lan belajar selama lima tahun,
alas dasarnya terpupuk dengan kuat, "Tui-hong-kiam-hoat"
juga dilatihnya makin sempurna.
Pada waktu senggang, ia pun sering berlatih dengan Nyo
Liu-jing, dalam hal "cio-hoat" (ilmu pukulan telapak tangan)
dan kepan-daian membidik peluru dengan gendewa walaupun
masih belum bi-sa memadai Sumoaynya, namun sudah
banyak berlainan daripada pertama kali mereka bergebrak,
pada waktu itu ia selalu di pihak ter-serang.
Sedang mengenai membaca, Nyo Liu-jing yang tabiatnya
ban-del dan malas, ia kalah jauh dibanding Teng Hiau-lan,
banyak soal dan pekerjaan kerap kali harus menjiplak dari
Suhengnya ini. Oleh sebab itu juga, kadang-kadang Nyo Liu-jing malah
harus mendekati Hiau-lan.
Terhadap tabiat Sumoay cilik yang sebentar senang dan
lain saat uring-uringan itu, Hiau-lan sering kewalahan dan
serba susah. Semenuira itu, Hiau-lan kini sudah menginjak umur dua
puluh satu, dan Nyo Liu-jing pun sudah sembilan belas tahun.
Nyo Tiong-eng yang usianya sudah mulai lanjut,
menyaksikan sepasang putra-putri cakap di hadapannya ini,
dalam hati timbul se-macam perasaan aneh.
Pada suatu hari, diam-diam ia bertanya pada putrinya,
"Bagaimana pendapatmu tentang Suhengmu ini, nak?"
Semula Nyo Liu-jing agak bingung. "Tidak ada apa-apa,
untuk apakah ayah tanyakan ini?" sahutnya.
Nyo Tiong-eng tertawa oleh kepolosan anak daranya. "Anak
bodoh," katanya, "umurmu sudah tidak kecil lagi, ah, sudah
sepan-tasnya kau memikirkan hari depanmu. Nah, bagaimana
pandangan-mu atas tingkah-laku Suhengmu, kulihat dia
termasuk pemuda yang baik, bukan?"
Baru kini Nyo Liu-jing bisa menangkap kemana maksud
per-kataan ayahnya, mukanya menjadi merah.
"Aku tidak tahu tingkah-laku segala, kemarin ia berlatih
denganku dan masih belum bisa menandingi aku!" katanya
dengan aleman. Nyo Tiong-eng tersenyum, ia tak bertanya lagi, ia pikir
mung-kin putrinya tak penujui karena kepandaian Hiau-lan
kurang tinggi. Sebenarnya Nyo Tiong-eng sangat menyukai Teng Hiaulan,
ia pikir kalau putrinya tidak penujui, maka hal itu boleh
dianggap berakhir. Di samping itu, ia juga memikirkan asalusul
Teng Hiau-lan yang tidak terang, bila putri
kesayangannya harus dijodohkan padanya, sedikitnya masih
harus dipertimbangkan lagi.
Namun ia tidak tahu, sesungguhnya putri kesayangannya
itu sudah menanam bibit percintaan yang dalam sekali.
Dalam pergaulan rapat selama lima tahun itu, meskipun
Nyo Liu-jing sudah biasa dimanja dan terlalu menuruti
tabiatnya yang keras, namun Teng Hiau-lan bisa
mengimbanginya, ia cukup sabar dan merendah terhadap
Sumoaynya itu, lambat-laun akhirnya Liu-jing merasa hampa
bila tanpa Hiau-lan di sampingnya. Tetapi nona itu sendiri
masih belum mengetahui bahwa itulah yang dinamakan cinta.
Akhimya sesudah ayahnya membicarakan soal perjodohan,
baru ia sadar. Terhadap urusan besar kehidupannya kelak,
mau tak mau ia harus menaruh perhatian.
Belum pernah ia memikirkan soal menikah, oleh karena itu
ju-ga, atas pertanyaan ayahnya ia pura-pura tak tahu
maksudnya dan malu-malu kucing, ia pun menyimpangkan
pokok pembicaraan. Pada sore harinya, dengan perasaan menanggung asmara,
Nyo Liu-jing kembali ke kamar baca, ia lihat Hiau-lan sudah
berada di situ dan sedang giat belajar, tanpa terasa ia menjadi
kikuk, ia ingin giat belajar serupa Hiau-lan, namun
bagaimanapun tak bisa tenang.
Pada kesempatan lain ia coba melirik Hiau-lan, anak muda
itu masih terus memandang kitabnya dengan penuh perhatian
laksana tidak tahu kedatangannya.
"Suheng, mari kita pergi mendaki gunung!" mendadak ia
me-ngajak dengan tertawa riang sambil melempar bukunya.
"Lho, mengapa hari ini mendaki gunung lagi?" sahut Hiaulan
dengan tak mengerti. "Aku sedang senang, kau mau pergi atau tidak?" kata Liujing.
Hiau-lan tak berani menolak, ia tertawa getir sambil
melempit bukunya. "Baiklah, kalau kau suka pergi, aku tentu
mengiringimu!" katanya kemudian.
"Melihat wajahmu yang bersungut, biarlah kita pergi
menem-bak burung saja, bukankah akan lebih senang
daripada membaca kitab di sini!" dengan tertawa Liu-jing
berkata setelah mengambil gendewanya.
Rumah keluarga Nyo membelakangi bukit dan menghadap
te-laga, setelah mendaki gunung di belakang rumah,
pemandangan te-laga dari jauh tertampak dengan jelas,
sekelilingnya rindang dengan pepohonan yang menghijau,
sedang bunga-bunga hutan mekar memenuhi
lereng bukit menambah keindahan alam semesta.
Hiau-lan memandang jauh dari tempat tinggi, .hatinya yang
lagi kesal jadi la-pang, perasaannya yang ogah-ogahan tadi
seketika lenyap separoh. Di antara bunga hutan dan pohon yang rindang itu,
burung-burung berkicau dengan ramainya. Mendadak Nyo Liujing
pentang gendewanya terus membidik, di antara dua suara
teplokan yang ter-dengar, menyusul dua ekor burung kenari
jatuh tertembak. "Burung sedang berkicau begitu merdu, kenapa kau
membi-diknya?" cela Hiau-lan. "Sungguh sayang,
pemandangan bagus te-lah kau musnahkan!"
Kalau menuruti adatnya, dicela begitu pasti Liu-jing akan
ma-rah. Tetapi kini ternyata lain, dengan tertawa genit ia
malah mengo-meli Hiau-lan, "Ah, calon Siucay tengik hendak
unjuk kepintaran lagi, aku justru senang membidiknya,"
katanya terus menarik busur hendak membidik pula.
Selagi Hiau-lan hendak menasihati lagi, tiba-tiba ia
urungkan, matanya menatap ke sana tertarik oleh sesuatu.
Nyo Liu-jing memandang menurut arah yang dituju Hiaulan,
terlihat olehnya dari hutan lebat sana mendadak muncul
dua orang, seorang tua dan yang lain muda, dengan tertawa
mereka menyaksi-kan dia membidik burung.
Diam-diam Nyo Liu-jing aseran, tapi karena orang-orang itu
tak dikenalnya, maka tiada alasan buat dia unjuk wataknya
yang bu-ruk, ia paksakan diri menahan perasaannya.
Ia tertawa dingin dan berkata pada Teng Hiau-lan, "Apa
kau tahu cara aku membidik, belum kau lihat jelas sudah
berani mengo-meli orang. Cara membidik tadi disebut "pukul
hidup-hidup tidak sampai mati, patahkan sayap tidak lecetkan
kulit". Tahukah kau?"
Habis berkata ia pentang gendewanya lagi dan kembali
seekor burung kenari kena ditembak jatuh.
Hiau-lan coba mengambil burung itu, burung kenari itu melonjak
dua kali di tangannya, lalu pentang sayap berniat
terbang, namun tak sanggup. Kiranya bidikan Nyo Liu-jing tadi hanya mengenai tulang lemas
atau tulang muda pada sayap burung kenari itu, tetapi
sedikit-pun tidak melukai daging maupun kulitnya, bahkan
lecet sedikitpun tidak, cukup apabila kenari itu mengaso
sebentar segera akan kuat terbang lagi.
Sungguhpun Teng Hiau-lan sudah sekian lama berkumpul
dengan Nyo Liu-jing, namun ia masih belum tahu bahwa
kepandaian membidik peluru sang Sumoay sudah begitu mahir
dan sudah di puncak kesempumaan. Bukan saja "Pek-hoatpek-
tiong* (seratus kali bidik seratus kali kena), malahan soal
kekuatan yang dipakai juga begitu tepat, tidak lebih tidak
kurang, persis menurut kebutuhan.
Kepandaian seperti tadi, membidik burung yang lagi
terbang di angkasa dan menangkapnya hidup-hidup, Hiau-lan
sendiri belum sanggup. Melihat wajah Hiau-lan, Nyo Liu-jing dapat menduga anak
muda itu sedang mengagumi dirinya, maka ia bertambah
senang, segera ia tarik busur hendak menembak lagi.
Sementara itu tamu tadi mendadak melangkah maju
setindak. Saat itu Nyo Liu-jing telah melepaskan pelurunya lagi,
laksana bintang meluncur cepatnya, saling susul dua
pelurunya menyambar menuju dua burung kenari.
Tak terduga, pelurunya tahu-tahu menyambar lewat dan
kedua ekor burung kenari yang ia arah ternyata hanya bercuit
kaget terus pentang sayap dan terbang kabur.
Kejadian di luar dugaan yang belum pernah dialaminya,
mem-bikin Nyo Liu-jing bermuka merah, ia merasa tidak


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerti kenapa bidikannya bisa meleset.
Ketika Nyo Liu-jing tengah merasa bingung, terdengar Teng
Hiau-lan berkata dengan lantang. "Gerak tangan tamu ini
sungguh bagus sekali!" katanya memuji.
Kiranya pada waktu Nyo Liu-jing membidik burung tadi, pemuda
asing tadi telah menggerakkan tangan dan menyentil
jarinya, dua jarinya yang menjepit dua buah "Po-teh-ci",
semacam senjata rahasia kecil berupa butiran tasbih, telah ia
selentikkan hingga mem-bentur peluru Nyo Liu-jing dan
membelokkan arahnya. Nyo Liu-jing yang sedang mencurahkan seluruh perhatian
pa-da bidikannya, tak tahu orang berbuat jahil, sebaliknya
Teng Hiaulan sudah biasa memakai senjata rahasia lembut kecil
serupa Hui-bong, malah Hui-bong jauh lebih kecil dari "Po-tehci",
oleh karena itu, begitu nampak jari tangan si pemuda
bergerak, segera Hiau-lan tahu apa yang terjadi.
Setelah tersingkap rahasianya oleh Hiau-lan, selagi pemuda
asing itu hendak buka suara, baru bibirnya bergerak,
mendadak peluru Nyo Liu-jing laksana hujan sudah dibidikkan
padanya saling susul dan beterbangan, dalam sekejap ada
tujuh delapan peluru yang mengarah padanya.
Mau tak mau pemuda itu kerepotan juga, ia kibaskan
lengan bajunya dengan cepat dan tubuhnya berkelit dengan
sebat, dengan begitu ia berhasil mengebut jatuh peluru yang
dibidikkan Nyo Liu-jing, di samping ia hindarkan dengan
berkelit. "Kau nona cilik ini sungguh tak tahu aturan!" akhirnya
pemuda itu buka mulut juga. Mendingan bila ia tidak buka mulut, begitu ia bersuara,
tiba-tiba sebuah peluru menyambar ke mukanya, ia hendak
mengegos menghindarkan diri, namun terlambat, dengan
tepat peluru itu kena bibirnya hingga gigi depan goyah, tidak
urung ia merasa sakit yang tidak kepalang dan mulut
berdarah. Tamu asing yang tua sebenarnya masih menonton di
samping dengan tertawa, kini melihat kawannya kena bidik,.
lekas ia maju dan memapah pemuda itu. "Bagaimana
keadaanmu?" tanyanya dengan
khawatir. "Tak apa-apa!" sahut pemuda itu dengan menahan sakit.
Lalu ia semprotkan air darah yang memenuhi mulutnya,
untung giginya tidak sampai patah dan copot!
Dalam pada itu Nyo Liu-jing sudah menyimpan kembali
gen-dewanya, ia tertawa mengejek.
"Nonamu membidik burung sendiri, ada sangkut-paut apa
dengan kalian, untuk apa kau unjuk kepintaran dan berbuat
jahil?" katanya dengan penasaran. "Hm, aku kira
kepandaianmu tinggi, tak tahunya sebutir peluru kecil itu saja
tidak tahan. Ini namanya jual lagak di hadapan guru!"
Diejek begitu, wajah pemuda itu berubah, dalam hati ia
gemas sekali, batinnya, "Kau budak liar ini, kalau tidak diberi
sedikit rasa, tentu tidak tahu kelihaian tuan mudamu!"
Walaupun dalam hati mendongkol dan mencaci, tapi di
mulut ia tak berani mengatakannya.
Si tamu asing yang tua rupanya adalah ayah si pemuda, ia
menghela napas melihat keadaan pemuda itu, ia seperti
khawatir kalau pemuda itu menjadi murka, maka mengulur
tangan menghadang sambil melompat maju. "Nona cilik ini
apakah putri kesayangan Thi-cio-sin-tan Nyo Tiong-eng?"
tanyanya dengan ramah. Akan tetapi Nyo Liu-jing telah ngambek, ia palingkan kepala
ke jurusan lain dan tidak menjawab pertanyaan orang, rasa
gusarnya masih belum padam, ia masih ingin melabrak si
pemuda. Dalam hati ia berpikir, tua bangka ini kenal nama
ayahku, boleh jadi ia adalah sahabat ayah, apabila aku
menjawab pertanyaannya, maka perkela-hian tentu akan
gagal, biar aku tidak menggubris padanya agar ke-gusaran
mereka timbul, dengan begitu aku dan Teng-suheng bisa
menghantam mereka hingga kocar-kacir.
Sebaliknya tidak demikian dengan jalan pikiran Teng Hiaulan,
ia berusia lebih tua, pengalamannya pun lebih banyak,
waktu ia lihat Nyo Liu-jing membuang muka tidak menggubris,
sedang orang tua itu tampak bersikap serba salah dan
canggung, ia khawatir keadaan
makin memburuk, tak terasa
sebelah tangannya memegang pundak Sumoaynya sembari
berkata dengan suara perlahan, "Sudah-lah, jangan kau gusar,
apa kau lupa pada apa yang Suhu ajarkan pa-damu" Terhadap
tamu hams hormat. tak boleh seperti ini." Habis itu ia
berpaling dan berkata pula kepada orang ma tadi, "Kedua man
tamu jangan gusar, memang betul kami adalah "."
Belum selesai kata-kata "anak murid Thi-cio-sin-tan"
diucap-kan, tiba-tiba pemuda tadi sudah memotong
perkataannya. "Peduli apa denganmu, anak haram?" dengan
gusar ia membentak. "Sek-kiu, jangan kau sembarang buka mulut memaki
orang!" lekas orang ma itu mencegah.
Seketika Teng Hiau-lan tertegun karena bingung, ia
hentikan kata-katanya yang masih belum selesai itu, sedang
pemuda tadi dengan mata berapi bagaikan srigala Iapar
sedang melotot padanya, ia
heran dan tidak tahu sebab-musabab yang membikin
pemuda itu begitu murka"
Patutnya, yang melukai pemuda itu adalah Sumoaynya dan
ia sendiri justru menasihati dengan maksud baik, bukannya
orang murka terhadap Sumoaynya, sebaliknya malah
mencaci-maki padanya, sungguh keterlaluan. Demikian pikir
Hiau-lan. Sementara itu si pemuda sesudah ditegur ayahnya,
amarahnya masih belum lenyap, ia melompat maju lagi. "He,
kau ini tentu murid pujian Nyo-lokunsu!"serunya dengan
suara lantang. "Aku yang tak berguna ini ingin mencoba ilmu
silat anak murid jago ternama."
Melihat orang malah menantangnya, betapa sabar Teng
Hiau-lan kinipun timbul kegusarannya, namun sedapat
mungkin ia coba bertahan.
"Kita selamanya tak pernah kenal, untuk apa harus
bertanding dan menjajal silat!" sahut Hiau-lan walaupun
dengan mendongkol. Jika Hiau-lan coba mengelakkan pertarungan yang tiada
man-faatnya itu, tidak demikian Nyo Liu-jing, gadis ini menjadi
gusar dan matanya mendelik, ia memutar tubuh dan
mendorong Hiau-lan. "Suko, bagaimana kau ini?" dengan gusar ia tegur
Suhengnya. "Orang mencaci-maki hingga kakek-moyangmu
ikut tersangkut, kau ternyata terima begitu saja, apakah kau
tidak takut ditertawai orang sebagai sampah yang tak
berguna" Kau tak malu, aku yang merasa terhina, lekas kau
maju terima tantangannya, kalau tidak, aku takkan mengaku
kau sebagai Suheng lagi!"
Dalam pada itu, tamu yang ma cepat mencegah, katanya,
"Aku dan Nyo-loenghiong adalah sahabat lama, Siauji
(anakku) tabiatnya berangasan dan tak pandai bicara hingga
membikin kesal Siauko (engkoh cilik) ini, di sini aku wakilkan
dia mohon dimaafkan!"
"Kami berikan maaf," timbrung Nyo Liu-jing dari samping,
"tetapi karena kami sudah ditantang dengan tunjuk hidung,
setidak-nya kami harus minta pengajaran beberapa gebrakan
dalam hal ilmu pukulan!"
Perkataan menerocos itu, mau tak mau membikin orang ma
itu berkerut kening. "Putri Nyo Tiong-eng mengapa begini
kasar dan liar?" begitu pikirnya dalam hati.
Sementara itu, belum disuruh si pemuda sudah melepaskan
ba-ju luarnya terus dilemparkan ke tanah. "Baiklah aku minta
penga-jaran beberapa gebrak dahulu dari Siauko ini, apabila
bemntung aku yang menang, nanti boleh kusambut ilmu silat
nona!" dengan dong-kol ia terima ucapan Nyo Liu-jing.
Ditantang dan didorong dari kedua belah pihak, ditambah
da-lam hati memang gusar terhadap pemuda yang
dianggapnya tak so-pan itu, Teng Hiau-lan kipatkan tangan
Liu-jing yang masih me-megangnya, lalu ia melompat maju ke
tengah kalangan. "Kalau saudara berkeras hendak menjajal padaku, Siaute
ter-paksa terima dengan baik!" dengan merangkap kedua
kepalan ia pun berseru. "Bagus, bagus!" sambut si pemuda.
Sesudah itu dengan cepat ia mendahului memukul dan
menjo-tos kepala orang. Hiau-lan berdiri tegak, ia tidak bergerak sedikitpun, ia
tunggu tangan lawan mendekat baru mendadak mengegos ke
samping, ber-bareng sebelah tangannya memotong miring ke
atas, keruan kedua tangan bentrok dan menerbitkan suara,
pemuda itu tergetar mundur dua tindak.
Dalam beberapa tahun ini Lwekang Teng Hiau-lan telah
maju pesat, kepandaiannya dalam hal "thi-cio", telapak tangan
besi, sudah terlatih dengan sempurna, bila orang lain, kena
dipotong tangannya pasti patah!
Namun pemuda itu ternyata lihai juga, begitu mundur
lantas maju kembali, dengan langkah cepat ia menubruk ke
depan terus kedua kakinya menendang saling susul.
Cepat tangan kiri Hiau-lan memotong dengan gerak "Hokte-
cam-hou" (mendekam lantai memenggal harimau), namun
pemuda itu menarik sebelah kakinya, menyusul sebelah kaki
yang lain menendang pula dan begitu seterusnya, kakinya
naik turun dengan cepat sekali. Mau tak mau Teng Hiau-lan
terdesak mundur menghin-darkan tendangan yang makin
gencar itu. "Kepandaian tangan tak bisa menandingi hingga kaki ikut
maju!" terdengar Nyo Liu-jing mengejek di samping.
Sekonyong-konyong tertampak pemuda tadi menubruk ke
de-pan, kedua kakinya berdiri kuat, dengan tangan kiri
melindungi diri, tangan kanan segera memukul ke dada Hiaulan
sambil membentak, "Baik, sekarang coba lagi "thi-cio"
keluarga Nyo kalian yang terso-hor!"
Atas pukulan lawan yang cepat itu, Teng Hiau-lan masih
sem-pat memutar tubuh dan berganti langkah, lalu kedua
tangannya balas memukul berbareng
Tak terduga, gerak pemuda lawan ternyata sebat luar
biasa, kedudukan tubuhnya tidak berubah, tapi ia menggeser
kaki terus menangkiskan tangannya ke atas, menangkis sambil
menyerang, dengan cepat ia memukul kuat hingga membawa
sambaran angin. Kiranya yang diyakinkan pemuda itu adalah "Ngo-hing-kun",
gerakan "Ngo-hing-kun" terdiri dari tipu serangan yang
merangsek terus-menerus. Serangan pertama tadi diterima Teng Hiau-lan dengan
keras lawan keras, yakni beradunya kedua tangan dengan
kuat. Rupanya tenaga pemuda tadi kalah kuat, atas benturan
itu ia tergetar mundur hingga tipu serangan lain tak sempat
dikeluarkan, terpaksa ia keluarkan "Wan-yang-lian-hoan-tui",
tendangan susul-menyusul tadi, untuk menahan musuh dan
balas menyerang. Tetapi tendangan saling susul dengan cepat itu tak bisa
ber-tahan lama karena harus banyak mengeluarkan tenaga,
oleh karena itu, pada kesempatan Nyo Liu-jing menyindir tadi,
Teng Hiau-lan yang lagi terdesak oleh tendangannya segera ia
ubah dan kembali pada silat pukulan asli ajaran perguruannya.
Dalam pada itu si pemuda sudah dapat mengukur kekuatan
masing-masing pihak, ia tahu tenaga dalam sendiri masih
belum me-madai Hiau-lan, maka ia selalu menghindari
berhadapan dari muka, senantiasa menyerang dari samping
dibarengi dengan pukulan yang cepat, begitu mendahului,
segera merangsek beruntun secara mem-badai, dengan begitu
Teng Hiau-lan tak diberi kesempatan mengeluarkan
kepandaian "thi-cio"nya yang memang lihai itu.
Pertarungan mereka berdua makin lama makin hebat dan
se-ngit, tiap serangan Ngo-hing-kun pemuda itu dengan cepat
selalu disusul pukulan yang kedua, ketiga dan seterusnya!
Teng Hiau-lan tidak menjadi gentar, kuda-kudanya terlatih
begitu kuat, ia menancapkan kaki begitu rupa tanpa goyah
sedikitpun, sedang tiap gerak pukulannya pun mengandung
tenaga luar biasa, ditambah kepandaian menangkap dan
mencekal dari Kim-na-jiu-hoat.
Sesudah pertarangan berjalan hampir enam tujuh puluh
jurus, tiba-tiba pemuda itu memukul dengan gaya membelah,
ia memo-tong dari atas ke bawah.
Tenaga pukulan ini sangat kuat, Teng Hiau-lan angkat
tangan-nya menangkis, kepalan dan telapak tangan beradu,
tetapi segera Hiau-lan merasa telapak tangan kesakitan, ia
barengi menyampuk ke samping hingga kepalan tangan lawan
dilempar pergi, menyusul Hiau-lan surungkan telapak tangan
ke depan. Namun lawan cukup licin juga, dengan gerakan "Say-cu-yothau"
(singa menggeleng kepala), mendadak ia mengubah
tipu pukulan dengan gaya "menyelusup", kepalan menerobos
dari bawah te-rus menghantam ke rahang Teng Hiau-lan.
Tipu serangan ini terkenal dengan nama "Ciong-thian-bau"
(meriam menggelagar di angkasa), kepalan menjotos ke atas.
Tetapi Teng Hiau-lan tidak gampang dipedayai, ia ayun
kem-bali tangannya, dari menyurung ia ubah menjadi
menggaet, dengan begitu kepalan si pemuda yang
menyelusup hendak menjotos kena disampuk pergi lagi.
Menyusul dengan cepat luar biasa mendadak Teng Hiau-lan
putar badan terus menarik sambil membentak, "Kena!"


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua tangannya dengan cepat dapat menahan lengan si
pemuda dengan Kim-na-jiu-hoat (ilmu mencengkeram) yang
lihai, terus ia barengi puntiran. Tak tersangka, sekonyong-konyong pemuda itu
menjatuhkan diri ke bawah, kakinya secepat kilat menendang
ke bawah iga Teng Hiau-lan!
Serangan di luar dugaan itu cepat sekali, dengan tepat
Hiau-lan terkena, ia menjerit, tangannya yang membetot tadi
ia surung lagi, cekalannya menjadi kendor, maka ia roboh
terguling. Namun tidak terkecuali si pemuda itu, dengan sekali jeritan
ia pun menggelongsor telentang.
Terkejut sekali Nyo Liu-jing waktu nampak Suhengnya
roboh, gendewanya bekerja dengan cepat, di antara suara
jepretan tali gen-dewanya itu, beberapa peluru ia bidikkan
untuk menahan musuh dan menolong kawan.
Si orang tua yang menonton sejak tadi tertawa bergelak, ia
ki-baskan kedua lengan bajunya, maka tertampak lengan
bajunya rae-nari beterbangan, sedang peluru tidak tampak
ada yang terjatuh, agaknya semua digulung lengan bajunya
itu. Mendadak orang tua itu bersoja menghadap ke atas sambil
berseru, "Nyo-toako, selamat bertemu!"
Waktu Nyo Liu-jing membuka mata lebar-lebar, terlihat
oleh-nya seorang secepat terbang dari sebelah bukit sana
sedang men-datangi, siapalagi kalau bukan ayahnya!
Sementara itu Teng Hiau-lan dan pemuda tadi sudah
merang-kak bangun. Si pemuda meringis, kedua tangannya lurus ke bawah
karena kesakitan. Teng Hiau-lan sendiri juga memegang
pinggang dan kaki lemas, tulang iganya pun kesakitan.
Kedua orang kesakitan terkena serangan lawan.
Sementara itu dengan tangan masih menarik tali gendewa,
Nyo Liu-jing masih terkesima di samping.
"Jing-ji, tentu kau telah bikin onar lagi bukan?" omel Nyo
Tiong-eng pada putrinya sesudah berhadapan.
Liu-jing tak berani menjawab, Hiau-lan yang mewakilkan
dia menjawab dengan muka kemerahan. "Tiada sangkut
pautnya dengan Sumoay, saudara inilah yang memaksa
hendak menjajal diri murid!" tuturnya.
Nampak Hiau-lan selalu berusaha membela Nyo Liu-jing, si
pemuda tadi kembali memperlihatkan wajah yang gusar dan
benci, ia pelototi Teng Hiau-lan.
Si orang tua rupanya dapat melihat itu, ia merasa dongkol
ber-campur geli. "Putramu kiranya sudah begini besar, bukankah dia ini yang
bernama Sek-kiu?" kata Nyo Tiong-eng dengan gembira
setelah me-mandang sejenak pada pemuda tadi.
"Nyo-toako, kubawa keponakanmu datang
menyambangimu, tentu tidak kau sangka bukan?" sahut si
orang tua. "Haha! Kepandaian Sek-kiu temyata sudah banyak maju,
ten-dangan kilat tadi harus dipuji kebagusannya!" dengan
gelak tertawa Nyo Tiong-eng berkata pula. "Hiau-lan, sini
berkenalan dengan Su-heng ini! Eh, mengapa baru saja
bertemu kalian lantas saling jajal!"
Paras si pemuda berubah merah oleh perkataan terakhir
itu. "Jing-moay punya kepandaian hebat sekali dan pelurunya
pun sa-ngat jitu!" katanya kemudian.
Penuturan itu membikin Nyo Tiong-eng menjengek, ia pandang
putrinya dengan sinar mata keren sambil mengelus
jenggot. "Kembali kau pamerkan gendewa serta pelurumu!"
omelnya pada sang putri. Nyo Liu-jing menunduk, mukanya sedikit diangkat dan biji
matanya sedikit melirik. "Oh, tidak, tidak!" lekas si pemuda coba membantah buat
Nyo Liu-jing. Si orang tua tadi sebenarnya bermaksud membiarkan Nyo
Tiong-eng memberi ajaran pada putrinya, tetapi waktu ia pikir
pu-tranya pun bersalah, kini melihat Nyo Tiong-eng mendesak
dan pu-tranya menjawab tak keruan serta gugup, ia
tersenyum dan menim-brung, "O, tidak! Jing-ji hanya
mempertunjukan kepandaian "mema-tahkan sayap tidak
melecetkan kulit" yang hebat, beberapa ekor bu-rung kenari
dibidiknya jatuh!" Mendengar ucapannya itu, baru Nyo Tiong-eng berubah tenang
kembali dan tersenyum. Lalu Tiong-eng mengomeli putrinya yang suka membidik
bu-rung tak berdaya dan suka cari gara-gara. Habis itu ia
gandeng ta-ngan si pemuda tadi dan tangan lain menarik
Hiau-lan, mereka ber-dua dihadapkan.
"Tidak berkelahi tidak berkenalan, kalian berdua seterusnya
agar suka berkawan!" ujarnya tersenyum. "Ce-toako, ini
adalah mu-ridku yang baru, namanya Teng Hiau-lan. Hiau-lan,
Loenghiong ini ialah "Ca-ih-sin-say" Ce Bin-kau Locianpwe yang sering
kusebut!" Hiau-lan memberi hormat dan menyatakan kekagumannya.
Sebaliknya si pemuda tadi hanya menjawab dengan dingin
saja. Sesudah itu ia memandang ke jurusan lain, sedikitpun
tak mem-perhatikan Hiau-lan.
Diam-diam Hiau-lan merasa heran, ia bingung dimana
pernah membikin tamunya itu kurang senang" Ia tidak tahu,
tujuan kedua orang tua dan ,adalah hendak melamar Nyo Liu-jing.
"Ca-ih-sin-say" Ce Bin-kau adalah sahabat lama Nyo Tiongeng,
dua puluh tahun lalu mereka disebut "Pak-kok-sianghiong"
atau dua pahlawan dari negeri utara.
Ce Sek-kiu,. putra Ce Bin-kau, hanya empat tahun lebih tua
dari Nyo Liu-jing, mereka dibesarkan di tempat yang sama dan
se-jak kecil suka bermain bersama. Tetapi pada waktu Nyo
Liu-jing berusia tujuh tahun, Ce Bin-kau ada keperluan dan
harus melakukan perjalanan jauh, ia harus pergi ke Liautang.
Katanya pada Nyo Tiong-eng dengan tertawa sebelum mereka
berpisah, "Toako, coba lihat, dua bocah ini juga merasa berat
untuk berpisah!" "Kapan kau baru bisa pulang, bagaimana kalau aku
besarkan Jing-ji untuk istri Sek-kiu?" ujar Nyo Tiong-eng.
Tetapi Ce Bin-kau tidak lantas menjawab, ia berpikir,
sesudah itu baru berkata, "Urusan ini memang baik, tetapi
Siaute kali ini harus keluar Kwan (tembok besar) untuk
melawan musuh tangguh perguruan kami, soal selamat atau
malapetaka sukar diduga. Bila beruntung bisa menang, entah
berapa lama baru bisa bersua pula dengan Toako" Jika
sekarang kita menjodohkan kedua bocah ini, jangan-jangan
kelak terjadi sesuatu yang tak terduga, hal mana tentu akan
membikin susah masa remaja Titli (keponakan). Lebih baik
kita tangguhkan dahulu urusan ini, bila kemudian kami bisa
kembali dengan selamat dan Titli pun masih belum berjodoh,
kala itu bisa kita bicarakan lagi!"
Nyo Tiong-eng pikir betul juga pendapat sahabatnya itu,
oleh sebab itu soal perjodohan lalu tertunda.
Siapa tahu begitu berpisah sudah dua belas tahun lamanya,
bagaimana rupa Ce Sek-kiu, Nyo Liu-jing sudah lupa
seluruhnya, Nyo Tiong-eng pun mengira sahabatnya itu tentu
telah mengalami nasib malang, lama kelamaan ia pun sudah
lupa. Tak terduga Ce Bin-kau masih ingat baik-baik urusan itu,
wa-laupun sudah lama, ia ajak putranya pulang ke selatan dan
menyam-bangi keluarga Nyo lagi. Tak terduga waktu bertemu
di bukit bela-kang rumah, melihat Teng Hiau-lan begitu akrab
bersama Nyo Liu-jing, mau tak mau ayah dan anak menjadi
sangsi. Ce Sek-kiu seperti Liu-jing, ia pun putra tunggal, oleh
karena itu tabiatnya yang terlalu dimanja sejak kecil pun tak
ter-kendali, sebab itu pula, ia tumplekkan kegusarannya
kepada Teng Hiau-lan. Sementara itu Nyo Liu-jing yang dapat membidik mulut
Sek-kiu, dalam hati ia pun tak tenteram, khawatir didamprat
ayahnya. Tak tahunya besok pagi waktu ia memberi selamat pagi padanya,
ternyata wajah ayahnya malah berseri-seri.
"Jing-ji, teman kecilmu sudah datang, mengapa tidak kau
sapa dan ajak bermain?" dengan tertawa Nyo Tiong-eng
berkata pada putrinya sembari mengelus jenggot.
Tapi Nyo Liu-jing lantas buang muka dan merasa jengah.
"Ki-ni kan bukan masa anak-anak lagi!" sahutnya dengan
tertawa ewa. Mendengar itu, Nyo Tiong-eng berdehem, ia tertawa. "Ya,
memang betul, bukankah sudah nona besar yang berusia
sembilan belas!" ujarnya. "Sek-kiu selama beberapa tahun
belakangan ini ikut ayahnya berada di Kwangwa, sedikitnya ia
pun sudah punya nama, melihat kepandaian silatnya, juga
tergolong pilihan, entah bagaimana
pikiranmu?" "Ayah, apa yang kau maksudkan?" tanya Liu-jing dengan
ber-kerut kening. "Ce-pepek minta kau menjadi menantunya!" sahut Tiongeng
dengan tertawa. Sekonyong-konyong air muka Nyo Liu-jing berubah. "Aku
tidak mau menikah!" jawabnya ketus.
"Jing-ji, kau sudah bukan anak-anak lagi, tapi masih begini
sembrono, apakah ayah bisa mendampingimu selama hidup?"
dengan sungguh-sungguh Tiong-eng berkata. "Kau juga
harus belajar sedikit tentang kehidupan, keluarga Ce adalah sahabat
lama kita, Sek-kiu orangnya boleh juga, apalagi yang tak
mencocoki hatimu?" Sebenarnya Nyo Liu-jing hendak unjuk tabiatnya yang
manja, tapi melihat ayahnya berkata dengan sungguhsungguh,
seketika ia tak berani bersuara.
"Tak mungkin kau menolak lagi, sewaktu kau berusia tujuh
tahun, siang-siang aku sudah sanggupkan dirimu kepada
orang!" Nyo Tiong-eng melanjutkan pula.
Mata Nyo Liu-jing berputar, tiba-tiba ia mempunyai sesuatu
akal, segera ia berkata, "Ayah ingin putrimu menikah, boleh
juga, cuma harus memenuhi satu syarat lebih dulu!"
"Syarat apa itu" Lekas katakan!" tanya Tiong-eng.
"Nama ayah maha sohor di Ho-siok (utara sekitar Hongho),
sedikitnya harus mempunyai menantu pahlawan yang lain
daripada yang lain!" Liu-jing menerangkan.
"Ehm, betul juga perkataanmu!" dengan senang Tiong-eng
membenarkan. "Sebab itulah, lebih dulu aku ingin bertanding dengannya,
se-sudah itu baru bicara soal jodoh!"
"Kau masih hendak bertanding dengan orang?" tanya
Tiong-eng tak mengerti. "Ya," sahut Liu-jing, "kalau ia dapat menangkan putrimu,
dengan sendirinya aku bersedia dan suka menjadi istrinya,
sebaliknya kalau ia tak bisa menandingi aku, mempunyai
menantu yang tak be-cus begitu, ayah sendiri pun akan
kehilangan muka!" "Anak perempuan sdka unggulkan diri "." belum habis perkataan
Tiong-eng, tiba-tiba kerai tersingkap dan Ce Bin-kau
ayah beranak masuk. Setelah memberi salam selamat, Nyo Liu-jing segera
mengelu-yur pergi. Sejak Ce Sek-kiu kena dibidik Nyo Liu-jing, selama dua hari
ini ia merasa masgul dan mendongkol. Sekarang ia ikut
ayahnya datang memberi selamat pagi pada Nyo Tiong-eng,
tapi baru sampai depan pintu, mereka sudah mendengar suara
Nyo Liu-jing yang keras, tanpa terasa mereka menghentikan
langkah untuk mendengarkan, masih mending bila mereka
tidak mendengar, begitu men-dengar yang dikatakan Nyo Liujing,
air muka Sek-kiu seketika ber-ubah.
Tetapi Ce Bin-kau keburu memegang tangan putranya
sambil berbisik padanya, "Jangan menuruti tabiatmu, diam
saja dan ikut aku!" Dalam hati ia pun membatin, "Gadis Nyo Tiong-eng
ternyata begini liar, sedikitnya Sek-ji haras unjuk kepandaian
supaya di ke-mudian hari gampang mengajarnya! Liu-jing
hanya seorang wanita, seumpama kepandaiannya lebih tinggi
lagi toh tak akan bisa mele-bihi Sek-ji. Suhengnya saja bukan
tandingan Sek-ji, pasti Sek-ji tak akan kalah padanya."
Begitulah, maka sesudah berhadapan dengan Nyo Tiongeng,
Ce Bin-kau lantas buka suara, "Toako, kemarin telah kita
bicarakan soal berbesanan, syukur Toako tak pandang rendah
pada putraku, Toako telah menerimanya dengan ikhlas.
Namun begitu, putra-putri kita sudah cukup dewasa, sebagai
orang tua kurang baik kalau kita terlalu main paksa, entah
bagaimana dengan pikiran Titli sendiri?"
"Soal ini " ini "." Nyo Tiong-eng menyahut dengan raguragu
dan tak lancar. Akan tetapi sebelum ia bicara lebih jauh, tiba-tiba Ce Sekkiu
memotong dan mendahuluinya. "Pepek tersohor di daerah
Ho-siok sini, sudah tentu harimau tidak melahirkan anak
kambing, sudah tentu Jing-moay adalah pahlawan perkasa
dari kaum wanita. Titji tidak tahu diri ingin minta belajar
beberapa jurus pada Jing-moay, apabila memang terpaut
terlalu banyak; maka Titji sendiri tiada muka buat
mempersuntingnya sebagai istri dan boleh silakan Jing-moay
dijodohkan pada orang yang lebih cocok."
Mendengar penuturan itu, Nyo Tiong-eng mengerti apa
yang dikatakan putrinya tadi tentu didengar seluruhnya oleh
Ce Sek-kiu. Maka lekas ia coba mendinginkan suasana, katanya, "Kau
pu-nya adik Jing masih bertabiat anak-anak dan tak mengerti
aturan, hendaknya kau suka mengalah padanya."
Sementara itu terdengar Ce Bin-kau tertawa terbahak.
"Kita adalah sahabat lama, untuk apa bicara begitu?"
ujarnya. "Kata peribahasa, perjodohan harus seimbang dan setimpal


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bara merupakan jodoh yang cocok. Kita sering mendengar
bahwa go-longan orang terpelajar kalau memilih menantu,
suka mempersulit dengan menguji calon menantu dahulu,
bara kemudian diperboleh-kan menjalankan upacara dan
masuk kamar pengantin. Kita orang dari golongan persilatan,
kalau putra-putri kita saling menguji ke-palan dan kaki,
kemudian bara mempertunangkan mereka, cara ini-pun
merupakan cerita bagus buat dunia persilatan kita, toh tidak
pakai senjata tajam, tidak perlu adu jiwa, asal menyenggol
pihak lawan sudah cukup. Aku kira hal ini tiada halangannya!"
Nyo Tiong-eng merenung sejenak, ia lihat Ce Sek-kiu sudah
bergerak hendak maju, batinnya, "Anak ini punya kemauan
besar, kalau tidak dibiarkan mereka saling uji, soal jodoh
mungkin sukar dirangkapkan."
Karena pikiran itu, maka dengan ikhlas lantas ia
menyetujui. Mengenai diri Teng Hiau-lan, waktu mendengar keluarga Ce
meminang Sumoaynya, ia jadi girang sekali, walaupun ia
sendiri tidak puas dengan lagak Ce Sek-kiu yang congkak dan
takabur, namun melihat kedua belah pihak memang setimpal
dan cocok, apalagi tabiat Sumoaynya pun serupa. Kedua
orang yang berwatak sama mungkin bisa hidup rukun dengan
baik. Oleh karena itu dengan
girang ia pergi memberi selamat
pada Sumoaynya. Tak tahunya, Nyo Liu-jing malah melotot padanya,
kemudian ia tertawa cekikikan. "Suheng yang dungu, boleh
kau lihat saja nan-ti!" katanya.
Malam itu, di lapangan latihan keluarga Nyo terangbenderang
dengan api obor. Dengan senyum-simpul Nyo Liujing
berdiri di tengah lapangan, mengenakan pakaian ringkas
bira laut, pakai ikat pinggang merah.
Melihat si nona makin dipandang makin menarik, Ce Sekkiu
seakan setengah mabuk, pikirnya, "Melihat gelagatnya, ia
tidak lebih hanya hendak menguji kepandaianku saja, tapi
hatinya sudah se-ratus persen menurut dan setuju, aku hanya
akan melayani secukup-nya saja dan tak usah bertarung
sungguh-sungguh dengannya."
Tetapi di luar dugaan, begitu kedua orang berhadapan dan
saling memberi normal baru saja Ce Sek-kiu mengucapkan.
"Jing-moay. silakan dahulu!" Sekonyong-konyong Nyo Liu-jing
dengan ccpat menggunakan tipu "Wan-kiong-sia-goat" (tarik
gendewa memanah rembulan), jari tangannya segera
menutuk ke dada orang. Tipu serangan ini adalah pukulan mematikan dari Ling-huncio
keluarga Nyo, gerakannya seperti pancingan tetapi juga
seperti sungguh-sungguh. Ce Sek-kiu berseru terkejut olch tipu serangan itu, Iekas ia
mengegos dengan cepat. sedang kedua kaki menggeser
sebat. dengan gerakan *Hong-ciam-loh-hoa" (angin badai
merontokkan bu-nga). beruntun ia elakkan tiga kali serangan
lawan. "Ilaya. jangan sungkan Toako!" seru Liu-jing dengan
tertawa, ia sengaja memancing amarah orang.
Dalam pada itu tangannya tidak menjadi kendur. ia
merangsek maju pula. dengan satu tangan menyanggah ke
alas, tangan lain menerobos dari bawah terus menghantam
bahu kanan law an dengan tipu Yap-te-thau-tho" (mencuri
buah tho dari bauah daun). tipu pukulannya cepat sekali. mirip
orang bergebrak mati-matian.
Nampak tipu serangan berbahaya itu. Teng Hiau-lan yang
menonton di samping sampai bertenak kaget.
Akan tetapi dengan sedikit miringkan badan, tangan Sekkiu
menyurung ke depan dengan tenaga penuh.
Bila Nyo Liu-jing kena ditolak, maka dapat dipastikan ia
akan jatuh telentang. tetapi rupanya Ce Sek-kiu masih tidak
sungguh-sungguh, gerakannya hanya setengah-setengah saja.
begitu dorong segera ia tarik kembali.
Sebaliknya Nyo Liu-jing ternyata cukup licin juga. agaknya
ia dapat menduga tipu serangan lawan. ia putar tubuh,
membiarkan punggungnya jadi sasaran. tapi sebelum
kekuatan tangan Ce Sek-kiu sampai. sekali enjot. dengan
enteng sekali ia melayang naik setinggi Iebih setombak.
kemudian dengan cepat ia tancapkan kaki kembali di belakang
Sek-kiu. Ketika Ce Sek-kiu ikut memutar tubuh. dengan cepat
mengulur tangan hendak menjambret tahu-tahu terdengar
suara "plak", pundaknya kena ditabok oleh Nyo Liu-jing.
"Titji, tak usah sungkan, layani saja dengan sungguhsungguh,
tak perlu mengalah!" Nyo Tiong-eng berseru kepada
Sek-kiu. Dalam pada itu, segera terlihat Ce Sek-kiu memutar
langkah dengan gerak "Kuay-bong-hoan-sin" (ular sawah
membalik tubuh), ia setengah memutar badan, sedang
pukulan Ngo-hing-kun dengan cepat lantas merangsek,
menghantam dan lain saat mencengkeram, secepat kilat
lengan kanan Nyo Liu-jing sudah kena dicekal oleh-nya, terus
ditarik ke samping supaya tangan si nona yang lain tak
berdaya buat menolong. Dengan begitu bila kakinya menjegal,
terus si nona ditarik, dengan segera Nyo Liu-jing bisa
dibanting roboh! Melihat gelagat bagus itu, terlihat wajah Ce Bin-kau dan
Teng Hiau-lan mengunjuk rasa senang, mereka menaksir
dengan tipu gerakan ini pasti Ce Sek-kiu akan mendapat
kemenangan, dengan begitu urusan perjodohan bisa lantas
terangkap. Tak tersangka Nyo Liujing
tidak menyerah mentah-mentah, dengan sekali menggerakkan tangannya yang dicekal, ia menarik terus diputar balik, dalam sekejap tangannya sudah terlepas. Belum sempat Teng Hiau-lan memperhatikan cara bagaimana Nyo Liu-jing melepaskan diri dari bahaya, tiba-tiba terdengar seruan Sek-kiu yang kesakitan, pundaknya kena digablok sekali lagi oleh Liujing.
"Kedua gerak tipu Titli sungguh bagus sekali dan tepat!" Ce
Bin-kau memuji. "Sebenarnya kepandaiannya masih di bawah putramu,"
sahut Nyo Tiong-eng mengerut kening. "Hanya wataknya
memang suka menang, maka ia tidak mau mengalah.
Sebenarnya cukup apabila Sek-kiu dengan tenang melayani
dia, tak perlu terburu-buru menyerang, ia pasti akan menang!"
Perkataan itu diucapkan dengan keras, terang bermaksud
agar didengar Ce Sek-kiu yang sedang bertempur di kalangan.
Betul juga, mendengar petunjuk itu segera Ce Sek-kiu
insaf, ia ubah Ngo-hing-kun, segera ia kirim kedua kepalan
terus menghantam dengan cepat ke sebelah bawah lawan.
Tenaga Nyo Liu-jing memang tak bisa memadai lawan,
maka ia ambil beberapa kesempatan selagi pihak lawan lalai,
beruntun ia balas menyerang beberapa kali, tetapi karena tak
berhasil, segera ia melayang lewat di samping Ce Sek-kiu
sambil membisikinya dengan
suara sangat menghina, "Tak
nanti aku takut walaupun kau diberi petunjuk orang, paling
kau hanya kebagian gebukan!"
Perkataannya dibisikkan begitu perlahan, orang di samping
tak mendengar, tetapi bagi Ce Sek-kiu kata-kata itu laksana
senjata tajam menusuk perasaannya. Keruan ia berjingkrak
gusar, tetapi sepatah kata pun ia tak bersuara, sebaliknya
makin gencar mengirim jotosan kepadu lawan.
Berbareng ia membatin juga, "Hm, budak kurang-ajar, aku
Ce Sek-kiu sudah malang melintang di Kwangwa, siapa yang
tidak memuji diriku masih muda dan perkasa, mana boleh
kau budak cilik ini memandang hina padaku."
Begitulah, dengan tangan kiri siap di dada, kepalan kanan
dengan tipu "Ok-hou-to-sim" (harimau buas mencari hati),
kemudian "Ya-be-thiau-kan" (kuda liar melompati sungai),
menyusul "Tay-bong-tun-eng" (ular sawah raksasa menelan
garuda), beruntun ia menyerang dengan beberapa tipu
pukulan berbahaya. Pukulan yang gencar itu makin menambah sengit
pertarungan mereka, tiap serangannya membawa angin keras
dan membikin ang-kin Nyo Liu-jing yang terlibat di pinggang
melambai-lambai tertiup. Sebaliknya Nyo Liu-jing bagaikan kupu-kupu menerobos di
antara tangkai bunga, ia melayang ke sini dan meloncat ke
sana dengan tidak kalah cepatnya. Teng Hiau-lan sempat mengikuti pertarungan itu, insaflah
dia walaupun tampaknya Nyo Liu-jing kewalahan dan tercecar,
namun berulang-ulang si nona dapat balas menghantam
lawan dengan pukulan mematikan! "Celaka!" diam-diam ia khawatir.
la pandang Suhunya, terlihat Nyo Tiong-eng pun berkerut
kening dengan rapat dan sikapnya tegang.
Setelah berjalan lima puluh jurus kemudian, pertarungan
bu-kan menjadi reda, sebaliknya malah bertambah tegang. Ce
Sek-kiu merangsek dengan tipu serangan bertubi-tubi laksana
angin badai dan hujan lebat, tetapi Nyo Liu-jing dengan
enteng melayang kian-kemari.
Semula Ce Bin-kau masih tenang-tenang saja, tapi kini
tidak urung ia pun berubah wajah, tanpa terasa setindak demi
setindak ia pun menggeser maju seperti halnya Nyo Tiongeng.
Ilmu pukulan Nyo Liu-jing memang ajaran asli keturunan,
ja-uh lebih lihai daripada Teng Hiau-lan. Meski Ce Sek-kiu
berke-pandaian lebih tinggi, tenaganya pun lebih besar, tetapi
dalam hal ciang-hoat atau ilmu pukulan, ia berbalik kalah
setingkat. Ditambah waktu mulai ia sudah menaruh
pantangan, hendak mengalah, tidak heran ia harus menelan
beberapa kali gablokan cuma-cuma, sampai akhirnya disusul
pancingan kata-kata Nyo Liu-jing hingga timbul kegusarannya.
Ahli silat jika bertanding, paling pantang naik pitam dan
me-nuruti napsu hati, dengan perasaan yang tak tenang itu,
gampang di-pergunakan musuh dengan baik.
Begitulah maka setelah Sek-kiu merangsek dengan murka
tapi tak berhasil, sebaliknya harus menghadapi
bahayaberulang-ulang, terpaksa ia gunakan tipu serangan
berbahaya tapi membawa resiko, dengan gerakan "Giok-licwan-
so" (gadis ayu menyusup benang), ia memukul ke
depan. Sekonyong-konyong dengan cepat sekali Nyo Liu-jing
memu-tar ke belakangnya, pada waktu Ce Sek-kiu masih
belum sempat mengubah gerakannya, kedua tangan ia dorong
sekuat tenaga. Ketika mendadak Sek-kiu merasa angin santar mendekati
tu-buh, ia pikir akan melompat ke depan, tapi khawatir
dibarengi Liu-jing dengan sekali tolakan lagi, dirinya pasti akan
jatuh terjerembab. Tetapi bila melompat ke samping, ia
khawatir juga lawan menggu-nakan kesempatan itu untuk
menyerang tempat yang tak terjaga.
Dalam keadaan serba salah itu, seketika timbul pikiran
jahat Sek-kiu, ia tidak pikir panjang lagi, dengan "Swan-coankian-
khun" (jagat berputar), ia membalik tubuh dengan cepat,
bukannya menge-lak serangan lawan, sebaliknya ia barengi
menyerang, tangan kanan diangkat ke atas, tangan kiri
menjotos ke muka Nyo Liu-jing dengan tipu "Ling-yo-kua-kak"
(kambing menanduk). Berdebar hati Teng Hiau-lan waktu nampak keadaan
berbahaya itu, kalau tadi ia menguatirkan Ce Sek-kiu, maka
kini ia takut kalau Sumoaynya yang kena dilukai.
Selagi ia berpikir hendak meneriaki Ce Sek-kiu supaya
jangan meneruskan hantamannya itu, tiba-tiba kedua orang
tua yang rae-nonton di samping sudah mendahului berseru.
"Baiklah kami mengaku kalah saja, nona, jangan kau
hantam habis-habisan!" terdengar Ce Bin-kau berteriak
dengan suara khawatir. Berbareng itu, L-rdengar juga seruan Nyo Tiong-eng, "Jingji,
jangan sembrono!" Hiau-lan menjadi bingung, tapi segera ia dengar suara
benda patah dibarengi suara jerit kesakitan dan gerungan
gusar Ce Sek-kiu, lalu terlihat pemuda ini roboh terguling.
Cepat Ce Bin-kau menarik bangun putranya, ternyata
tulang tangan kanan Ce Sek-kiu telah patah hingga lengan
menggantung terkulai, keringat menetes saking kesakitan,
otot hijau di batok ke-palanya pun menonjol keluar.
Kiranya tadi Nyo Liu-jing telah menggunakan kesempatan
sa-at Sek-kiu memakai serangan berbahaya itu, mendadak ia
pun mem-berikan tipu serangan mematikan, dengan sebelah
tangan ia mene-puk ke tekukan lengan lawan terus dibarengi
memuntir. Thi-cio atau telapak tangan besi keluarga Nyo yang
lihai itu dengan sendirinya tidak boleh dibuat gegabah, kena
dipukul saja sudah celaka, apalagi Nyo Liu-jing membarengi
dengan memuntir dan membetot.
"Nona, kejam sekali kau!" Sek-kiu mendesis walaupun
sambil merintih kesakitan.
Sebaliknya Ce Bin-kau tanpa berkata terus angkat tangan
putranya yang patah, dengan kuat ia tarik dan disambung
kembali, ke-mudian ia robek kain bajunya untuk membebat.
Nyo Tiong-eng meniup jenggot dengan mata mendelik
saking gusarnya, mendadak ia melangkah maju, ia angkat
tangannya dan segera hendak digablokkan ke kepala putrinya.
"Biar aku bereskan kau budak liar ini!" dampratnya.
Syukur tangannya yang telah diangkat dan belum


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diturunkan itu, mendadak Ce Bin-kau melompat maju dan
menahannya. "Toako," kata Ce Bin-kau dengan suara tajam, "jika mau
mencari yang bersalah, haras salahkan putraku yang tak
becus, walau-pun ia sudah merasakan Thi-cio nona, tetapi
masih belum menjadi cacat! Soal menyambung tulang dan
memulihkan otot, aku masih sanggup, Toako, kau tak usah
khawatir! Cuma soal perjodohan boleh tak usah disebut lagi,
biar Siauji (anakku) belajar lagi sepuluh tahun, kala itu apabila
ada kemajuan, nanti boleh minta pengajaran pada nona."
Mendengar perkataan kawan yang lembut tetapi membawa
maksud yang keras itu, saking gusar dan gemasnya, Nyo
Tiong-eng sampai mengucurkan air mata dan terpaku di
tempatnya. Persaha-batan selama beberapa puluh tahun, kini
telah berubah demikian gara-gara anak perempuannya, ia
cemas dan hancur rasa hatinya. Selagi ia hendak berkata, Ce
Bin-kau sudah menggendong putranya berlari pergi laksana
terbang. Nyo Tiong-eng tertegun, ia hendak mengejar, namun kaki
di-rasakan lemas tak bertenaga, lapat-lapat terdengar seruan
Ce Bin-kau yang terputus-putus berkumandang terbawa angin,
"Nyo-toako, persaudaraan kita masih tetap berlangsung, tetapi
urusan anak-anak tidak usah disinggung pula!" Habis itu
bayangan mereka lantas menghilang ke balik bukit.
Dengan muka muram menghijau, segera Nyo Tiong-eng
men-damprat putrinya, bentaknya, "Budak liar, sini ikut aku!"
Dengan hati kebat-kebit Teng Hiau-lan pun ikut di belakang
mereka, ia mengerti guranya sedang memuncak gusarnya, ia
khawatir kalau terlalu berat hukuman yang dijatuhkan kepada
Sumoaynya, hingga mungkin membikin Liu-jing menjadi cacat,
oleh karena itu dengan rasa tak tenteram ia mengikuti
mereka, ia pikir, bila perlu terpaksa hendak mintakan ampun
bagi Liu-jing. Tak terduga, waktu melihat Hiau-lan mengikuti mereka,
Nyo Tiong-eng lantas mendelikkan mata. "Hiau-lan, untuk apa
kau ikut kemari?" semprotnya dengan tak sayang lagi. "Tiada
hubungannya denganmu. Kau boleh pergi!"
Wajah Hiau-lan terasa panas, ia tercengang, tetapi segera
ia beranikan diri mengutarakan pikirannya. "Baru untuk
pertama kali Sumoay turun kalangan dan salah tangan dengan
tidak sengaja, harap Suhu suka mengampuni dia yang usianya masih muda
dan pe-ngalaman cetek, hukumlah dia seringan-ringannya!"
Nyo Tiong-eng menjengek, tapi segera terharu juga. "Kau
boleh pergi, aku sendiri bisa kira-kira!" katanya dengan
melambaikan tangan. Nampak sikap ayahnya yang sungguh-sungguh ini, Nyo Liujing
tak berani berlaku manja lagi seperti biasanya. Setelah
ikut ke kamar baca, segera ia berlutut di hadapan ayahnya.
"Budak liar, tahu juga kau akan kesalahanmu?" Nyo Tiongeng
mulai memeriksa. "Sudah berjanji kalian hanya saling uji
dan jajal, mengapa kau berani turun tangan dengan kejam?"
"Ia pun menghantam dengan pukulan mematikan, apa
ayah tak melihatnya tadi?" sahut Nyo Liu-jing dengan
sesenggukan. "Masih berani kau membela diri" Bila kau tak terlalu
mende-sak orang, masakah orang lain bisa bergebrak
sungguh-sungguh ter-hadapmu?" damprat Tiong-eng dengan
gusar. "Sesungguhnya anak tidak sudi menjadi istrinya!" tiba-tiba"
Nyo Liu-jing melontarkan isi hatinya terus terang.
Nyo Tiong-eng tertegun, ia sama sekali tidak menduga. "O,
kiranya begitu!" katanya kemudian dengan mengelus jenggot.
"Ya, sebenarnya anak hendak mengatakan tadi, tapi
khawatir ayah marah," lanjut Nyo Liu-jing. "Oleh karena itu,
terpaksa anak bergebrak menjajal silatnya, dengan begitu
supaya ia tahu diri dan mundur teratur. Tak tahunya begitu
kepalan sudah maju, sukar di-tarik kembali, hingga salah
tangan dan mencelakai saudara dari keluarga Ce!"
"Melihat cara kau unggulkan diri dan berbuat keji, apa aku
tak menjadi gusar?" bentak Nyo Tiong-eng pula. "Hm,
bagaimana biasanya aku mengajarmu?" Tiba-tiba Nyo Liu-jing mendekam di lantai terus menangis
ter-sedu-sedu. "Anak terima hukuman yang ayah berikan,
sekalipun di-cacatkan juga takkan menyesali ayah," katanya
dengan tersenggak-sengguk. "Yang haras disesalkan adalah
mengapa ibu siang-siang sudah meninggal hingga anak
kurang terurus dan tiada yang meng-ajar, sampai bikin onar
dan membuat gusar ayah!"
Nyo Liu-jing" memang sejak kecil sudah ditinggal mangkat
ibunya, ia dibesarkan oleh ayahnya saja. Kini mendengar
gadisnya menyebut sang ibu, tak tertahan Nyo Tiong-eng jadi
terharu. Ter-ingat olehnya sesudah ditinggal istri, dirinya
merangkap kewajiban sebagai ibu dan ayah, sesungguhnya
putrinya memang terlalu di-manjakan sehingga tabiatnya
menjadi begitu buruk, sedikitnya dia sendiri hams memikul
kesalahan itu. "Baiklah, asal kau insaf!" katanya kemudian dengan
menghela napas. Melihat lagu suara ayahnya sudah berubah halus dan
berkata seperti biasa, baru Nyo Liu-jing merasa lega.
Sehabis menghela napas tadi, Nyo Tiong-eng coba
memper-hatikan gadisnya juga, ia lihat di balik paras mukanya
seperti ter-sembunyi perasaan apa-apa yang tidak dikatakan,
oleh karena itu hatinya jadi tergerak.
"Bangkitlah kau, aku hendak tanya padamu," katanya
kemudian. "Mengapa kau tidak sudi menjadi istri Sek-kiu, hal
apakah yang tidak memuaskanmu" Soal ilmu silat, apakah kau
begitu bodoh sehingga tidak lihat tadi, begitu maju ia sengaja
mengalah padamu, tapi sebenarnya kepandaiannya jauh lebih
tinggi darimu?" Nyo Liu-jing tidak lantas menjawab, ia usap air matanya,
sesudah itu ia tersenyum malu, "Masakah ayah tak tahu,
dalam hati putrimu sudah penujui orang lain?"
Mata Nyo Tiong-eng terbuka lebar dan selagi ia hendak
ber-tanya lebih jauh, tiba-tiba Nyo Liu-jing menutupi mukanya
dengan lengan baju karena malu, lalu berlari pergi.
Nyo Liu-jing masih belum hilang sifat anak-anaknya,
setelah mengalami pertarungan sengit tadi, ia khawatir kelak
ayahnya me-maksa dirinya menikah dengan orang lain lagi,
maka tanpa aling-aling ia lantas melontarkan isi hatinya.
Tetapi terbukanya rahasia hati si nona justru membikin Nyo
Tiong-eng terkejut bercampur girang, ia berjalan mondarmandir
di dalam kamar bacanya dengan menggendong
tangan, tetapi masih belum juga dapat mengambil sesuatu
keputusan. Ia membatin, "Eh, kiranya budak liar ini telah
mencintai Suhengnya. Tadinya ia tak berani
mengatakan terus terang hingga menimbulkan
peristiwa ini dan membikin aib diriku pada Ce-laute!"
Tetapi segera ia berpikir lagi, "Hiau-lan si bocah inipun
tidak jelek, kecuali asal-usulnya yang kurang jelas, hal lainnya
juga tidak kalah dengan Sek-kiu."
Pikirannya menjadi timbul tenggelam tak tenteram, semula
ia berpikir hendak meringkus putrinya dan dibawa ke rumah
keluarga Ce unruK meminta maaf, tapi demi mendengar
putrinya mengutara-kan isi hatinya, ia khawatir nanti jika
berhadapan malah akan bikin keadaan makin runyam.
Ketika ia mendongak, terlihat wajah mendiang istrinya yang
terlukis pada satu pigura yang tergantung di dinding, ia
menghela napas pula, mendadak ia singkap kerai kamar dan
pergi mencari Teng Hiau-lan.
Mengenai Teng Hiau-lan yang telah berkumpul dengan Nyo
Liu-jing selama lima tahun, terhadap sifat si nona yang terlalu
di-umbar itu, ia masih bisa paksakan diri melayani, padahal
dalam hati ia sangat jemu dan benci, hakikatnya sedikitpun
tiada pikiran untuk mencintainya.
Sebaliknya terhadap Lu Si-nio, murid terakhir Tok-pi-sin-ni,
meski haru bertemu muka sekali, namun bibit asmara sudah
tumbuh dalam hatinya. Sikap Lu Si-nio yang begitu wajar tetapi menarik, suara dan
senyumnya, semuanya selalu terbayang dalam kalbunya
selama lima tahun ini, hanya saja karena Lu Si-nio memiliki
ilmu silat yang tiada tara, pintar baca dan paham syair, maka
Hiau-lan memandangnya laksana dewi kahyangan, ia
memujanya, tetapi tak berani menaruh sesuatu pikiran untuk
memilikinya, ia mengerti perasaannya itu hanya
akan terpendam untuk selamanya dan sebagai kenang-kenangan
masa hidupnya! Sudah tentu mimpi pun tidak pernah Nyo Tiong-eng
berpikir bahwa si "bocah gede" ini bisa mempunyai isi hati
seruwet itu. Sementara itu sang dewi malam sudah menghias di tengah
ca-krawala, angin malam meniup sepoi-sepoi nyaman.
Waktu Nyo Tiong-eng sampai di kamar baca Hiau-lan, ia
tak menemukan pemuda itu. Orang tua itu tertawa geli dan
berkata pada diri sendiri, "Aku memang terburu-buru, waktu
ini tentu ia telah pergi tidur, mana bisa tinggal di karaar baca"
Biarlah aku bicara pa-danya besok saja."
Begitulah, maka ia bermaksud keluar kembali dari kamar
itu. Tetapi sebelum ia melangkah lebih jauh, tiba-tiba
dilihatnya di atas meja tergeletak secarik kertas tulis yang
berisikan sajak, tinta tu-lisannya tampak masih belum kering.
Terdorong rasa ingin tahu, ia lantas mengambil kertas itu,
ia lempit dan dimasukkan ke sakunya, ia hendak mengetahui
sampai dimana kemajuan sekolah Hiau-lan.
Si guru sekolah yang memberi pelajaran pada Teng Hiaulan
dan Nyo Liu-jing tinggal di kamar sebelah, sementara itu di
karaar-nya masih tertampak sinar terang, tentunya belum
tidur. Maka Nyo Tiong-eng lantas menuju ke sana.
Guru sekolah itu adalah saudara sepupu Nyo Tiong-eng
sendiri, meski ia seorang Siucay (gelar kesusastraan terendah
bagi ka-um sekolahan masa itu) yang tak lulus, namun masih
terhitung pin-tar juga. Waktu ditanya mengenai kemajuan sekolah Hiau-lan, guru
itu memberikan kesimpulannya, "Bocah ini mempunyai bakat
melebihi orang lain, walaupun hanya lima tahun, tapi soal
kitab kuno dan bersyair, ia sudah mempunyai dasar, walaupun
tak mungkin menjadi seorang sastrawan ternama, namun
sudah tergolong pandai juga."
Sementara itu Nyo Tiong-eng mengeluarkan kertas
berisikan sajak tadi. "Coba lihat, apakah yang ditulisnya ini?"
tanyanya dengan tertawa. "Mirip syair, tapi seperti bukan pula,
aku tak pandai membaca, coba kau jelaskan padaku."
Ketika guru itu melihat, ternyata tulisan itu adalah sebuah
sajak yang agak panjang dan diberi judul "Pek-ji-ling" (sajak
seratus huruf), sajak itu memang seluruhnya berisi seratus
huruf persis. Sembari membaca, wajah guru itu tertampak sebentar
menun-juk girang. kemudian berubah sedih dan akhirnya
menjadi bungkam. "Bagaimana" Apa yang dikatakannya?"
tanya Tiong-eng yang sudah tak sabar.
"Aku khawatir bocah ini bisa tersesat!" sahut si guru sambil
menghela napas. Nyo Tiong-eng terkejut oleh keterangan itu. "Apakah bocah
ini mempunyai pikiran buruk yang dapat diketahui oleh
Siansing?" tanyanya cepat.
Guru itu geleng kepala. "Bukan itu maksudku!" jawabnya.
Kiranya sajak ini bukan lain adalah sajak rindu Teng Hiaulan
terhadap Lu Si-nio. Dalam sajak itu mula-mula ia sesalkan
asal-usul diri sendiri yang tak jelas dan kemasgulan hatinya
yang ditulisnya dengan penuh perasaan, sedang terhadap Lu
Si-nio dilukiskannya betapa ia memujanya seperti dewi.
Si guru sekolah tak tahu bahwa Hiau-lan mempunyai
penga-laman masa lalu, ia hanya merasa maksud sajak itu
penuh penye-salan dan berperasaan hampa, mengenangkan
kekasih yang hanya dapat dipandang tetapi tak dapat diraih,
seperti mengenangkan bidadari kahyangan yang jauh tak
tertampak. Oleh karena itu, maka si guru rada bingung dan
tak paham. Atas pertanyaan Nyo Tiong-eng tadi, akhirnya ia menjawab,
"Memangnya, dalam umur seperti dia tak bisa disalahkan juga.
Sajak ini adalah sajak merindukan kekasih, timbul dari
perasaan cinta, tapi cukup sopan sehingga tak dapat
dikatakan berpikiran buruk."
"Tapi mengapa Siansing tadi bilang dia bisa tersesat?"
desak Nyo Tiong-eng. "Arti dalam sajak ini seperti mengatakan kekasihnya sukar
di-persunting olehnya, ia pandang kekasihnya seperti bidadari
dan menganggapnya laksana dewi kahyangan!" si guru
sekolah mene-rangkan, "bahkan dalam sajaknya masih
menyitir beberapa bait syair
kuno di zaman dulu "Dan apa yang dikatakan oleh syair itu?" sela Nyo Tiongeng.
"Syair itu ialah nyanyian rakyat negeri Cin pada zaman
Chun-jiu, maksudnya secara singkat menyatakan, dapat
dipandang, tapi tak mungkin dimiliki," si guru sekolah
menerangkan. "Kalau dua muda-mudi saling cinta-menyintai
tidak menjadi soal, yang dikha-watirkan adalah rindu seorang
diri, cinta tak terbalas hingga pikiran tersesat, itulah yang
berbahaya bagi kehidupannya!"
Mendapat penjelasan itu, sudah tentu Nyo Tiong-eng mempunyai
pendapat sendiri, tiba-tiba ia tertawa.
"Eh, kiranya Hiau-lan juga sedang merindukan Jing-ji, ia
lihat Jing-ji terlalu manja dan suka umbar tabiataya, maka ia
mengira ti-ada harapan, sebab itu dalam sajaknya ia anggap
hanya dapat di-pandang, tetapi tak bisa dimiliki!" begitulah ia
berpikir. "Siansing tak usah khawatir, ia bukan sedang rindu seorang
diri!" akhirnya ia berkata kepada si guru sekolah, habis itu ia
pun berlalu. Malam itu, Teng Hiau-lan tak bisa tidur nyenyak, ia


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkenang pada Lu Si-nio, tapi juga teringat pada Nyo Liu-jing,
akhirnya ia tertawa geli sendiri. Pikirnya, ilmu silat Lu Si-nio entah berapa kali lipat lebih
tinggi daripada Nyo Liu-jing, namun perangainya begitu halus
dan gampang didekati, sebaliknya Nyo Liu-jing hanya memiliki
sedikit kepandaian. tapi congkak dan suka bertingkah,
sungguh suatu per-bandingan yang menyolok sekali.
Kemudian kejadian di siang hari terbayang kembali dalam
be-naknya, teringat cara bagaimana si nona itu menghajar Ce
Sek-kiu dengan keji, tak terasa ia mengkirik. Semalaman itu ia
tak tenteram dan bermimpi buruk.
Besoknya pagi-pagi sekali Nyo Tiong-eng sudah memanggil
Teng Hiau-lan. Begitu berjumpa, segera Nyo Tiong-eng
bertanya, "Hiau-lan, kau sudah lima tahun tinggal di sini,
kinipun sudah de-wasa, seharusnya juga mesti berpikir untuk
berumah tangga. Waktu Hian-hong Totiang membawa kau
kemari, pernah ia berkata bahwa kau yatim piatu, tentu kau
belum pernah mengikat jodoh bukan?"
Hiau-lan terkejut dan bingung oleh berondongan
pertanyaan yang mendadak itu. "Belum!" jawabnya kemudian.
"Hahaha!" Tiong-eng tertawa lebar saking gembiranya. "Kalau
begitu, apa sudah mempunyai orang yang kau penujui?"
Muka Hiau-lan merah jengah, sebagai ganti jawabannya, ia
menggeleng kepala. "Guru adalah seperti ayah, tiada halangan kau berkata
terus-terang saja!" kata Tiong-eng pula.
"Tidak ada!" akhirnya Hiau-lan menjawab dengan setengah
menggumam. "Orang muda memang suka malu-malu kucing!" ujar Tiongeng.
Sesudah itu ia merogoh keluar kertas tulis berisikan sajak
itu. "Apakah ini yang kau tulis?" tanyanya lagi seraya
menyodor-kan kertas itu pada Hiau-lan.
Keruan saja makin menjadi merah muka pemuda itu, dan
se-lagi ia hendak menerangkan, tiba-tiba terdengar Nyo Tiongeng
bu-ka suara pula. "Jing-ji pun mempunyai perasaan yang sama seperti kau,"
ujar orang tua itu. "Sebagai orang tua, sederhana saja aku,
kalau kalian berdua suka sama suka, akan kusuruh orang
mendatangkan Hian-hong Totiang dan minta dia menjadi wali
pihak lelaki, dengan begitu
kalian berdua lekas menikah dan
aku pun bisa melunasi harap-anku selama ini."
Mendengar penuturan itu, Teng Hiau-lan laksana disambar
ge-ledek di siang hari bolong, seketika itu ia tak bisa
mengucapkan se-patah kata pun!
Melihat perubahan wajah Teng Hiau-lan yang menunduk
dan bungkam, Nyo Tiong-eng masih menyangka pemuda itu
malu. Maka dengan tersenyum segera ia berkata, "Perempuan
menikah dan lelaki kawin adalah urusan yang maha besar
bagi kehidupan manusia, aku yang memberi keputusan, takut
apalagi hingga kau tak berani bicara?"
"Pelajaran Tecu belum selesai, tak berani mempunyai
pikiran untuk berumah tangga, lagi pula tak berani
menginginkan Sumoay!" tiba-tiba Hiau-lan menyahut dengan
tekanan suara rendah. Nyo Tiong-eng tersenyum atas jawaban orang, ia pandang
kertas sajak yang berada di tangan Hiau-lan itu.
Sekonyong-konyong Teng Hiau-lan angkat kepala.
"Terhadap Sumoay, sedikitpun aku tidak berani menaruh
pikiran yang tidak-tidak!" tiba-tiba ia beranikan diri berkata.
Jawabannya sungguh di luar dugaan Nyo Tiong-eng, ia tercengang,
tapi demi melihat sikap Hiau-lan yang sungguhsungguh,
terang kata-kata itu bukan hanya untuk menutupi
rasa malunya saja. Nyo Tiong-eng berdehem dua kali, lalu ia remas-remas
tangan sendiri dan tiba-tiba berkata dengan keren sembari
berdiri. "Pada waktu kau masuk perguruan, pernah kau
bersumpah akan taat pada dua belas larangan, kedua belas
larangan itu apa masih kau ingat?" tanyanya.
Hiau-lan membetulkan tempat duduknya, sesudah itu ia
lurus-kan tangan dan menjawab, "Masih ingat!"
"Apa yang dikatakan pada larangan yang terakhir!" tanya
pula Nyo Tiong-eng. "Tak boleh Gi-su-biat-co!" sahut Hiau-lan.
"Apa artinya itu?" tanya Tiong-eng.
"Segala urusan tidak boleh mendustai Suhu, semuanya
harus berteras terang, lebih-lebih tak boleh bersekongkol
dengan orang lu-ar dan menghinakan orang tua, bila
melanggar pantangan ini, kalau enteng"dihukum
memusnahkan ilmu silatnya dan kalau berat tubuh dibetot
dengan lima ekor kuda!"
"Baik! Dan kini aku hendak tanya," kata Tiong-eng lebih
jauh. "Sajak yang kau tulis ini, Siansing bilang maksudnya
mengenang-kan seorang wanita, apakah betul?"
"Ya, betul!" sahut Hiau-lan.
"Siapakah gerangan wanita yang kau kenangkan itu?"
desak Tiong-eng. Merah muka Hiau-lan hingga sampai leher. "Tetapi bu "
bu-kan Sumoay!" dengan susah payah akhirnya tercetus
perkataan itu dari mulutnya.
Akan tetapi jawabannya membikin Nyo Tiong-eng lemas
lesu, dengan kecewa ia duduk kembali. "Baiklah, kau boleh
pergi!" kata-nya kemudian dengan melambaikan tangan.
Seperti kehilangan sukma, dengan linglung Hiau-lan
berjalan keluar, ia mendaki bukit di belakang rumah, dilihatnya
pemandang-an pegunungan yang menghijau permai dan air
telaga yang bening mengkilap, di sanalah ia menghela napas
panjang. "Pemandangan dan tempat yang bagus, tetapi bukan lagi
tempat yang dapat dibuat menetap terus!" ia menggumam
sendiri. Bila teringat kegarangan dan kejumawaan Sumoaynya,
tanpa terasa ia mengkirik. Ia kenal tabiat Sumoaynya, bila sudah
meng-inginkan sesuatu, maka jangan harap ia mau
menyudahi sebelum berhasil memperolehnya.
Mana Hiau-lan berani mengharapkan punya istri semacam
itu. Malam itu, ia memeras otak, berpikir pulang-pergi dan
bolak-balik, akhirnya ia ambil keputusan untuk pergi dari situ!
Tengah malam ia berbangkit, bebenah dan meringkasi
bekal-nya, sesudah itu dia,.v-diam ia lantas berangkat!
Di lain pihak, setelah Nyo Liu-jing memaparkan isi hatinya
pada sang ayah, ia malu tetapi gembira juga, sebab ia tahu
ayahnya yang biasanya sangat sayang padanya tentu akan
pergi membica-rakannya dengan Suhengnya. Dan Suheng
yang tak pernah me-nyangka akan hal itu entah betapa
girangnya, begitu pikirnya.
Sama sekali ia tidak menduga justru kesudahannya adalah
se-baliknya, karena Teng Hiau-lan ternyata tidak menyukai
dia. Hari itu, karena merasa malu, ia sengaja menghindari
bertemu muka dengan Hiau-lan, ia pikir biar ayah
membicarakan dahulu dengan
Suhengnya, tentu ia akan diberi kabar juga. Siapa tahu sehari suntuk ayahnya ternyata
tidak mencarinya. Malam itu, ia gulang-guling tak bisa tidur, dengan susah
payah ia tunggu sampai pagi, ia tak tahan lagi, buru-buru
berdandan terus pergi menghadap ayahnya.
Ia temukan ayahnya sedang berjalan mondar-mandir di
bawah rak bunga dengan wajah lesu, keruan ia terkejut. "Tiatia
(ayah), apa kau sakit?" tanyanya khawatir.
Akan tetapi Nyo Tiong-eng menghela napas. "Hiau-lan telah
pergi!" katanya kemudian dengan lemah.
"Apa betul?" Liu-jing menegas, sungguh ia tak percaya.
Segera Nyo Tiong-eng mengeluarkan sepucuk surat dan
dise-rahkan pada putrinya. "Boleh kau baca sendiri!" ujarnya.
Betul juga surat itu adalah tulisan Hiau-lan. Dalam surat itu
tertulis dengan jelas, lebih dulu Hiau-lan menyatakan terima
kasih-nya atas budi gurunya yang selama lima tahun ini
memelihara dan mengajar padanya, kemudian ia menampik
halus soal perjodohan yang hendak dirangkap itu.
Habis membaca, Nyo Liu-jing menjadi gusar, alisnya yang
lentik menegak. "Tia, aku pergi mencari dia!" dengan mata
melotot ia berkata. "Anak bodoh, orang lain tidak sudi, buat apa kau memaksanya?"
ujar sang ayah. "Siapa yang sudi memaksa dia" Aku ingin jalan-jalan keluar
karena tidak ingin mengeram diri di rumah!" sahut si gadis
dengan menggigit bibir, mungkin sambil menahan
perasaannya. "Baik juga kalau begitu!" sahut Tiong-eng akhirnya. Ia tak
merintangi niat putri satu-satunya itu ".
**** Sebulan kemudian, di pantai Laut Kuning di semenanjung
Soatang (Santung) muncul seorang pemuda, ia sedang
mendengar-kan deru ombak laut yang mendampar dan
memandang langit yang cerah, tampak penuh mengandung
perasaan yang tak terlukiskan.
Pemuda itu bukan lain adalah Teng Hiau-lan yang telah
me-ninggalkan rumah Suhunya secara diam-diam dan kini
merantau di Kangouw. Setelah ia tinggalkan keluarga Nyo, semula ia berniat pergi
ke kotaraja untuk mencari "kabar Khong Lian-he, Suso atau
ipar pe-rempuan perguruannya itu. Tapi kemudian ia pikir
kepandaian silat sendiri masih jauh untuk bisa menandingi Sinmo-
siang-lo, ia takut begitu sampai di ibukota dan kepergok
kaum Hiat-ti-cu, sebelum berhasil menolong orang, sebaliknya
jiwanya sendiri bisa melayang lebih dulu.
Ia tidak punya sanak-sahabat, pikir punya pikir, akhirnya ia
mengubah rencananya. Ia teringat pada Hian-hong Totiang,
hanya imam inilah sahabat karib Ciu Jing, ayah angkatnya.
Kwantang-si-hiap pernah berjanji padanya buat membantu
mencarikan anak keturunan keluarga Pang. Apa yang sudah
diucapkan oleh kaum pendekar perkasa tentu akan dipegang
teguh dan ditepati. Oleh sebab itulah, maka Hiau-lan bermaksud melalui
semenanjung Soatang lalu menyeberangi Put-hay (laut
Pohai), kemudian menuju ke Liautang untuk mencari Kwantang-si-hiap.
Hari itu ia sampai di Jing-to (Tsyingtao), ia lagi asyik menikmati
pemandangan laut untuk melapangkan kemasgulan
hatinya. Selama hidup belum pernah Hiau-lan melihat lautan, oleh
karena itu, tanpa terasa ia tertarik oleh kemegahan samudera
raya itu. Seorang diri ia memasuki sebuah restoran berloteng, ia
pesan sebotol arak dan menempati sebuah meja yang
berdekatan dengan jendela, sembari minb.n arak sambil
menikmati damparan ombak laut.
Tengah ia terpesona oleh pemandangan indah itu, tiba-tiba
ter-dengar suara ribut, waktu ia menoleh, tertampak ada
sebarisan pe-tugas negara sedang naik ke loteng.
Teng Hiau-lan coba tenangkan diri, ia telah menyiapkan jawaban
bila dirinya ditanya. Tak tahunya opas itu ternyata bertanya dengan sangat
teliti, bukan saja tanya she dan .nama orang, bahkan tanya
pula apakah Hiau-lan mempunyai sahabat atau sanak-famili di
Jing-to. "Aku hanya kaum pelancongan saja yang kebetulan lewat
di sini. mana bisa punya sahabat!" sahut Hiau-lan.
"Kau sendiri mengaku Siucay dari Tong-ping-koan dan hendak
tilik famili ke Liautang," kata seorang opas dengan
tertawa di-ngin, "pertama, kau tidak memiliki ijazah sekolah
sebagai Siucay, kedua, logat suaramu pun mencurigakan. Hm,
siapa berani men-jamin perkataanmu itu tidak dusta! He,
sahabat! Bagus sekali per-buatanmu, ya!"
"Aku tidak melakukan sesuatu perbuatan apa-apa!" bantah
Hiau-lan. Tetapi bagaimana petugas itu mau percaya, ia keluarkan
rantai borgol terus dijiratkan ke leher Teng Hiau-lan. "Ikut
kami ke kantor dulu, bicara nanti!" bentaknya lagi.
Namuh dengan sedikit mengegos, Hiau-lan meluputkan diri
dari jiratan rantai. Karena itu petugas tadi menubruk tempat
kosong. "Bagus, kau masih berani melawan!" teriak opas itu murka.
Segera ia lolos lempengan besi terus mengemplang dari
depan. Selagi Teng Hiau-lan hendak menggeraki tangannya,
sebuah suara sudah mendahului, "Tahan dulu!"
Ketika semua orang berpaling, ternyata yang membentak
ada-lah seorang Kongcu (pemuda) yang berada di meja
sebelah, dengan mengibas kipas lempitnya, dengan enteng ia
melompat dan menga-dang di tengah kedua orang yang saling
tarik urat itu. "Siapa kau?" opas itu membentak.
Sesudah itu ia mengulur tangan hendak menjambret, tapi
tiba-tiba ia merasakan tangannya kesakitan sendiri. Dari
samping ternyata sudah menerobos keluar pula seorang lelaki
bertubuh tegap dan memegang tangan si opas garang itu.
"Apa kau cari mampus?" terdengar lelaki itu membentak.
Kongcu tadi tersenyum. "Lepaskan dia!" katanya.
Sementara itu para petugas lain sudah berkerumun maju
dan siap bertempur. "Siapa yang menjadi pemimpin?" dengan mata melotot
Kongcu tadi bertanya. Sinar matanya menyorot tajam, meski suara pertanyaannya
tak terlalu keras, namun mempunyai keangkeran yang tak
terbatas hing-ga membikin orang merasa keder. Petugas tadi


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai tergetar mundur beberapa tindak.
Dalam pada itu, seorang Pothau .(kepala polisi) yang
usianya sudah agak lanjut tampil ke depan.
"Rekan saya yang ceroboh telah membikin gusar tuan,
harap dimaafkan!" Pothau itu berkata sembari memberi
hormat. "Tolong tanya siapakah ayah Kongcu yang terhormat
dan ada hubungan apa dengan sobat ini?"
Pothau tua ini bisa melihat gelagat, ia yakin Kongcu itu
pasti putra pembesar negeri, makanya berani ikut campur
urusannya Tak terduga, yang ditanya hanya tertawa dingin saja.
"Dengan dirimu saja hendak kau tanya asal-usulku?" sahut si
Kongcu dengan menjengek. Sesudah itu ia mekarkan
kipasnya, perlahan ia mengibas dua kali ke hadapan petugas
tua itu. Demi mengetahui apa yang dilihat, seketika muka Pothau
tua berubah, dengan cepat segera ia bertekuk lutut. "Maaf,
maaf! Harap Kongcu suka memberi ampun!" dengan suara
gemetar ia memohon. "Baiklah, kalian boleh pergi, tamu ini adalah sahabatku, aku
tanggung omongannya tadi tak dusta!" akhirnya Kongcu itu
berkata. Dengan sangat hormat sekali, Pothau tua itu menjura,
sesudah itu bersama anak buahnya lekas berlalu.
Sudah tentu peristiwa itu sangat mengejutkan dan
mengheran-kan Hiau-lan. Namun ia pun menghaturkan terima
kasih. Sementara rombongan petugas itu sudah pergi semua, di
atas loteng kedai arak itu telah ramai kembali, banyak tetamu
sedang mempersoalkan kejadian tadi.
"Hm, menangkap "Jay-hoa-cat" (maling pemetik bunga, maling
cabul) sampai ke sini, sungguh aneh!" terdengar pelayan
kedai berkata dengan suara keras.
"Mereka betul-betul tidak punya mata, mana ada Jay-hoacat
yang sopan-santun seperti tuan tamu ini!" celetuk seorang
tamu peminum arak. "Tetapi hal inipun tak bisa menyalahkan mereka," timbrung
seorang tamu lain. "Keonaran yang diperbuat maling cabul itu
begitu hebat, mereka didesak atasannya setiap hari, dengan
sendirinya mereka berusaha mencari ke semua tempat."
"Ya, tapi mana ada Jay-hoa-cat yang berani terangterangan
duduk di kedai arak untuk menanti ditangkap!" sahut
pelayan yang tak menyetujui kata orang.
"Bukan begitu soalnya, Jay-hoa-cat yang berkepandaian
tinggi dan bernyali besar itu, bukan mustahil ia datang ke
kedai ini!" sam-bung tamu satunya lagi. "Lagi pula petugas
dengan giat berusaha menangkapnya, hal itu termasuk
kewajibannya untuk menyelamat-kan rakyat dari gangguan!"
"Hm, mungkin penjahat yang hendak ditangkap belum
kena, rakyat tak berdosa sudah merasakan penangkapan yang
sewenang-wenang!" seorang tamu lain mengejek.
Mendengar percakapan itu, Teng Hiau-lan jadi heran. Untuk
mengetahui apa yang terjadi, ia memanggil pelayan untuk
dimintai keterangan. "Apakah di tempat sini telah terjadi gangguan Jay-hoacat?"
tanya pada pelayan. "Wah, hebat sekali gangguannya!" sahut si pelayan. "Dalam
sepuluh hari ini, tiap hari pasti terjadi "perusakan bunga".
Perawan baik-baik, di waktu tengah malam tahu-tahu sudah
lenyap digondol orang, sampai putri hartawan Ong Pek-ban
dan pembesar Ciu Siu-pi juga kena digondol maling!"
"Bisa terjadi demikian?" sahut Hiau-lan gusar hingga kedua
alisnya menegak, tanpa terasa tangannya menepuk pedang
yang ter-gantung di pinggangnya. Tiba-tiba ia lihat Kongcu
muda tadi dengan sinar mata tajam lagi memandang padanya,
karena itu muka-nya menjadi merah, kikuk atas kelakuannya
tadi. "O, kiranya mereka menyangka aku adalah maling tukang
pe-tik bunga!" katanya dengan menyeringai.
Selagi bicara, para tetamu kembali ribut lagi. "Ada
sebarisan serdadu datang lagi dari jauh!" seru seorang tamu
yang duduk dekat jendela.
Karena takut terjadi keonaran lagi, para tamu lekas
memberes-kan pembayaran dan bubar, hanya tertinggal si
Kongcu dan pengi-ringnya. lelaki tegap tadi, serta Teng Hiaulan.
Si pelayan tahu Kongcu ini bukan sembarang Kongcu, maka
dengan cepat ia menukar beberapa macam lauk-pauk serta
membi-kin hangat lagi tiga botol arak.
"Tadi kegembiraan kita telah dibikin buyar oleh kawanan
bu-dak itu!" ujar si Kongcu, ia mengundang Hiau-lan ke
mejanya dan memulai dengan makanan mereka yang baru.
Kembali Hiau-lan menghaturkan terima kasih atas
pertolong-annya tadi. Akan tetapi si Kongcu menganggap hal
mana bukan sesuatu yang luar biasa.
"Itu belum apa-apa," ujarnya sambil kibas-kibas kipasnya.
"Ayahku mempunyai hubungan baik dengan Soatang Sunbu
(gu-bernur) yang sekarang ini, tulisan di atas kipas ini justru
adalah Soatang Sunbu yang menulis sendiri, Pothau tua tadi
barangkali kenal tulisan Sunbu, maka ia tak berani merecoki
kita lebih jauh!" Mata Hiau-lan yang jeli sekelebatan dapat melihat apa yang
tertulis di atas kipas adalah "Ih-lam-ouw-kui-sia", arti lima
huruf itu adalah: ditulis sambil berlutut oleh Ih Lam-ouw. Hati
Teng Hiau-lan seketika menjadi dingin. Apakah ayahnya adalah pembesar
tinggi di kotaraja" Begitu ia membatin.
Sikapnya jadi lain dan tawar bila teringat pada larangan gurunya,
antara lain melarang setiap murid berdekatan dengan
pembesar dan bergaul dengan pejabat negeri.
Sementara itu terdengar Kongcu itu buka suara lagi. "Ih
Lam-ouw ini keluaran Hanlim (semacam lembaga
kesusastraan), gaya tulisannya masih bo^h juga. Pada waktu
sebelum ia berjaya, pernah menjadi murid ayahku, oleh
karena itu ia sangat menghormati ayah. Keluargaku, dari
leluhur hingga kini, belum pernah ada yang menjadi
pembesar negeri." Mendengar penuturan itu, baru hati Hiau-lan merasa agak
le-ga. Kemudian ia coba mencari tahu nama orang.
"Aku she Ong bernama Cun-it," Kongcu itu
memperkenalkan diri. "Dan dia adalah Haptoh, pelayanku,
orang Hwe." Teng Hiau-lan kemudian memberitahukan namanya sendiri.
Ong Cun-it ternyata ramah-tamah sekali terhadapnya.
"Heng-tay (saudara) membawa pedang di pinggang, tentunya
seorang ahli pedang!" ia bertanya.
Akan tetapi lekas Hiau-lan menyangkal, "O, tidak, hanya
pernah belajar beberapa jurus tak berarti, mana bisa
dikatakan ahli." Ong Cun-it tersenyum atas jawaban orang, lalu ia kebas
kipasnya lagi, kemudian berkata dengan suara menyanjung.
"Tempat "Bong-hay-lau" ini meski bagus, cuma kurang
tinggi, kalau Hengtay suka menikmati pemandangan yang
indah, paling baik adalah menumpang perahu pesiar ke laut,
konon "Thian-hing-to" yang tidak jauh dari muara sungai
terdapat puncak yang tinggi, dengan mendaki puncak itu
untuk memandang matahari terbit, itu-lah baru merupakan
pemandangan yang menakjubkan di dunia ini!"
"Hengtay betul-betul orang yang suka akan keindahan!"
Hiau-lan memuji. Ia merasa bersyukur bahwa Ong Cun-it telah mengalihkan
pembicaraan pada soal lain. Tak terduga, segera terlihat orang
se-perti teringat sesuatu, lalu berkata, "Betul juga, di atas
puncak tung-gal pulau itu, kita dapat bersyair sembari
menarikan pedang, sung guh termasuk suatu kegembiraan
hidup manusja, entah Hengtay apa boleh pinjam lihat
pedangmu itu?" Perkataan orang yang terakhir itu membikin Hiau-lan jadi
ser-ba salah. Pedang pusaka itu oleh Ciu Jing telah wantiwanti
dipesan padanya agar tidak sembarangan diunjukkan
pada orang. Tapi Ong Cun-it begini ramah-tamah, lagi pula
telah menolong dirinya tadi, bagaimana bisa bilang tak boleh.
Selagi merasa ragu, tiba-tiba tangga loteng berbunyi riuh,
me-nyusul naik dua orang wanita. Yang di depan adalah
wanita beram-but panjang hitam gompyok sampai terurai ke
pundak, sinar ram-butnya mengkilap hitam, tetapi kulit
mukanya sudah keriput. Kalau melihat rambutnya itu, jelas
serupa rambut gadis berumur dua pu-luhan, sebaliknya kalau
memandang mukanya yang sudah keriput, seperti nenek yang
sudah berusia lebih lima puluhan.
Sedang yang mengikut di belakangnya adalah gadis
bermuka cantik, alisnya panjang lentik, belum hilang sifat
kekanak-kanakan-nya, seorang gadis yang baru berusia enam
belas tahun. Ketika si Kongcu berpaling, wanita yang di depan segera
ber-kata padanya, "Apakah tuan tamu hendak menanggap
nyanyian?" Kiranya wanita itu kerjanya adalah mengamen,
penjual suara, maka ia tawarkan orang menanggap padanya.
Ong Cun-it melirik pada pengawalnya dan memberi isyarat,
baru kemudian ia berkata, "Boleh juga!"
Tertampak si nenek mengeluarkan dua keping papan
bambu, ia ketok-ketok kepingan bambu membentuk irama,
menyusul si gadis tarik suara, menyanyi.
Apa yang dinyanyikan adalah sebuah lagu yang memuji
seorang pahlawan negeri Ce di zaman dahulu, walaupur
negerinya musnah, tetapi ia berteguh hati tak mau takluk
pada musuh, ia me-lawan penjajah dengan lima ratus
prajuritnya di Thian-hing-to sampai
titik darahpengabisan ".
Belum selesai nyanyian si gadis, tertampak Ong Cun-it mengerut
kening. "Sudahlah, tak usah diteruskan!" ia
menghentikan. "Tuan lagi menghadapi Thian-hing-to, mengapa berbalik
tak sudi mendengar nyanyian yang memuji pulau itu?" tanya
si nenek. Sementara itu, pengawal Ong Cun-it sudah tak sabar lagi,
ia membentak, "Tak usah cerewet!"
"Berikan persen dan suruh mereka pergi!" ujar Ong Cun-it
pada pengiringnya itu. Waktu Haptoh mengayun tangan, dua renceng uang perak
di-lemparkan pada si nenek.
Di luar dugaan, nenek itu menolak. "Siapa kesudian
menerima uangmu!" omelnya. Sambil berkata ia kebut dengan
lengan bajunya, ketika uang perak terserak di atas meja,
ternyata sudah men jadi re-mukan berkeping-keping.
Ong Cun-it dan Haptoh terkejut, namun kedua wanita tadi
sudah keburu pergi. Haptoh rupanya hendak mengejar, tapi
segera di-cegah Ong Cun-it. "Biarkan saja ia pergi," ujamya.
"Teng-heng, tadi kita bicara soal pinjam lihat Pokiam, entah
boleh atau tidak?" Mendengar orang mengulangi permintaannya lagi, kembali
Hiau-lan menjadi bingung pula.
"Soal ini " ini "." jawabnya tergagap. Tanpa terasa
tangan-nya meraba ke pinggang, tiba-tiba ia berpekik terkejut.
"Pedangku hilang!" serunya.
Waktu diperiksa, betul juga pinggangnya sudah kosong,
pedang yang tergantung di pinggang benar-benar sudah
lenyap tanpa bekas. "Gerak tangan si pengemis perempuan tua itu sungguh
cepat sekali!" Haptoh mengutarakan pendapatnya.
Akan tetapi Teng Hiau-lan yang kehilangan Pokiam jadi kelabakan,
hatinya bingung, lekas ia mohon diri.
Kejadian itu temyata tidak mempengaruhi kegembiraan
Ong Cun-it, sambil mengangkat tangan memberi salam
perpisahan pada orang, ia masih berkata, "Teng-heng tidak
usah khawatir, Pokiam yang hilang itu, Siaute akan minta
orangku bantu mencarikan."
Setelah Hiau-lan mengucapkan terima kasih, segera ia
turun dari loteng rumah makan itu terus menyusul si nenek
tadi. Akan tetapi jalanan di pantai yang rindang oleh pepohonan
ha-nya terdapat prajurit-prajurit yang meronda, mana ada
bayangan si nenek. Para prajurit yang berjaga, melihat Hiau-lan berlari keluar
dari kedai, ternyata tiada seorang pun yang merintangi.
Selama belajar lima tahun pada Nyo Tiong-eng, dalam hal
Sin-tan atau pelor ajaib keluarga Nyo, ia sudah mahir sekali,
apalagi senjata rahasia yang dia sendiri gunakan adalah Huibong,
bobot Hui-bong enteng sekali, maka sulit untuk
mempelajarinya, dari situ, soal kejelian mata harus dilatih
lebih dulu. Akan tetapi dengan kepandaiannya itu, Pokiam dicuri orang
sedikitpun ia tak merasa, soal pencurinya apakah si nenek
atau bu-kan, betapa tinggi ilmu silat si pencuri itu dapatlah
dibayangkan. Hiau-lan berpikir tiada harapan lagi
mendapatkan kembali pedang pusakanya itu.
Dengan menunduk kepala dan penuh penyesalan, ia
berjalan menyusuri pantai, makin lama makin jauh.
Tiba-tiba ia lihat di luar muara sungai sana terdapat
beberapa kapal nelayan yang tertambat, pada sebuah kapal
agak besar, di mu-ka kapal itu sedang berdiri seorang wanita
muda dengan perawakan menggiurkan dan cantik sekali.
Waktu Hiau-lan mengawasi ternyata bukan gadis yang
dilihat-nya tadi. Ia tertawa geli atas kelakuan sendiri yang bernapsu ingin
mendapatkan kembali pedangnya. "Pokiam terang sudah hilang, lebih baik pulang saja,"
begitu-lah pikirnya. Ia lanjutkan pula beberapa tindak,
sementara itu wanita tadi sudah masuk ke dalam ruangan
kapal beratap. Ketika ia berpaling, tertampak di sebelahnya ada seorang
pe-muda bermuka cakap, juga sedang mernandangi kapal


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nelayan itu dengan penuh perhatian.
Melihat pemuda itu terkesima oleh kapal nelayan, tiba-tiba
pi-kiran Hiau-lan tergerak, "Jangan-jangan inilah "Jay-hoat-cat"
itu!" Tiba-tiba terlihat pemuda itu mengibaskan lengan bajunya.
Mata Hiau-lan cukup jeli, ia tahu, itu adalah cara
menyambitkan senjata rahasia dari bawah lengan baju yang
lihai, senjata rahasia yang disambitkan bobotnya enteng
sekali, orang biasa yang berdiri di sampingnya belum tentu
dapat mengetahui. Hiau-lan tunggu sesudah pemuda tadi berlalu, baru ia
mende-kati tepian perahu itu, ternyata di samping perahu
sudah bertambah dengan gambar Bwe-hoa, bunga sakura
berkelopak lima, terang dan jelas sekali gambar itu laksana
ukiran saja. Hiau-lan tahu, itu tentu tercipta oleh senjata rahasia sejenis
Bwe-hoa-ciam, maka diam-diam ia berpikir, "Celaka, tentu ini
ting-galan maling cabul itu sebagai tanda, agaknya ia telah
penujui pe-rempuan muda di atas kapal tadi."
Ia khawatir maling itu malam nanti akan memetik bunga di
kapal ini, selagi ia hendak memperingatkan juragan perahu,
men-dadak pintu ruangan perahu terbuka, wanita tadi
melangkah keluar. Melihat Hiau-lan, wanita itu melotot dan alisnya berdiri, ia
celupkan pengayuhnya ke dalam air, mendadak ia mencukil
hingga air muncrat ke arah Hiau-lan.
Tidak pernah Hiau-lan duga akan kejadian itu, keruan saja
muka dan bajunya basah kuyup, malahan kulit mukanya
terasa pedas. Mengayuh beberapa kali, wanita nelayan itu sudah
mendayung pergi perahunya.
Hiau-lan mengusap percikan air tadi, diam-diam ia merasa
pe-nasaran. Tentu wanita tadi menganggap dia sebagai
pemuda hidung belang yang suka mengganggu wanita.
Dalam hati ia berpikir, kalau sekarang memberitahu
mereka, bukannya akan percaya, mungkin malah akan timbul
curiga dan me-ngira aku mempunyai maksud busuk, lebih baik
malam ini saja aku datang lagi dan menangkap maling
pemetik bunga itu, dengan begi-tu dapat melenyapkan juga
suatu malapetaka bagi masyarakat.
Setelah ambil keputusan itu, ia lihat perahu nelayan tadi
ber-henti di muara sungai sebelah sana. ia lantas kembali ke
dalam kota dan pulang ke pondoknya.
Waktu Hiau-lan meninggalkan rumah pondoknya tadi, pintu
jendela kamarnya sudah ia tutup rapat, bahkan pintu kamar ia
gem-bok dengan baik. Tetapi pada waktu pintu kamar ia buka,
tiba-tiba ia merasa adanya desiran angin, cepat Hiau-lan
menoleh, namun tiada sesuatu bayangan pun yang ia
dapatkan. Dalam hati ia menertawai diri sendiri yang sok sangsi dan
curiga. Tak tahunya begitu ia memasuki kamar, mendadak ia
lihat sinar gemerlapan, hampir ia berteriak kaget.
Kiranya tertampak sebatang pedang yang menggeletak di
atas meja, jelas bukan lain Yu-liong-pokiam yang baru hilang
tadi, sedang sarung pedang tergantung di dinding. Hiau-lan
angkat Pokiam itu, ternyata di bawah pedang tertindih secarik
kertas. "Tengah malam sesudah lewat tiga hari boleh
menjumpai aku di Thian-hing-to!" begitulah Hiau-lan melihat
apa yang tertulis di atasnya.
Bukan main perasaan Hiau-lan, hati bingung tak keruan,
tidak tahu apa maksud sebenamya si pencuri pedang itu"
Sedang Thian-hing-to yang disebut, ia tidak lahu dimana
Ictaknya. Namun masih ada tempo tiga hari menurut janji itu,
jadi masih bisa diselidiki.
Setelah tenang kembali, pikimya, si pencuri pedang ini
adalah orang pandai dari golongan Cianpwe (angkatan tua),
tentu tiada maksud jahat terhadapku. Tetapi kalau orang
jahat, tak mungkin ia mau mengcmbalikan pedangku.
Kejadian ini walaupun aneh, tetapi tidak berbahaya.
Sebaliknya malam nanti menempur si Jay-hoa-cat tidak boleh
tidak harus hati-hati. Melihat caranya menggeraki sen-jata
rahasia, terang kepandaian bangsat itu jarang ada bandingan
dalam dunia persilatan. Habis itu, ia tidak berpikir lebih jauh lagi. segera ia tidur.
Waktu ia mendusin, hari sudah magrib, sesudah Hiau-lan
ma kan malam dan mengaso lagi sebentar, lantas ia cantelkan
pedang nya di pinggang dan mengantongi Hui-bong
seperlunya, terus ia melangkah keluar rumah pondok itu.
"Malam ini mungkin akan agak terlambat pulang," ia mem
beritahu pada pelayan sebelum ia berangkat.
"Khek-koa (tuan tamu) silakan saja!" ujar Siauji, si pelayan.
"Kalau ada orang mencariku, jangan lupa tanya namanya!"
pe-san Hiau-lan. "Sudah tentu!" sahut Siauji.
Segera Hiau-lan berjalan menuju pantai.
Malam itu adalah tanggal muda. sinar bulan remang
rcmang diseling bintang berkelap-kelip membentang jauh di
cakrawala nan luas, pemandangan demikian makin menambah
keseraman ombak samudera yang mendampar.
Akhirnya Teng Hiau-lan dapat menemukan perahu nelayan
si-ang tadi, ia bersembunyi di belakang batu karang di tepi
laut, dengan hati berdebar ia menantikan datangnya Jay-hoacat,
maling pe-metik bunga. Sesudah menunggu agak lama, bulan muda yang
melengkung perlahan mulai bergeser sampai di tengah
angkasa, tanda sudah tengah malam.
"Ini sudah waktunya!" begitu pikir Hiau-lan.
Dan betul saja, selang tak lama kemudian, sesosok
bayangan dengan cepat mendatangi. Walaupun di bawah
sinar bulan remang-remang, namun bisa terlihat jelas orang
itu berpakaian putih mulus.
Diam-diam Hiau-lan heran. Pakaian putih adalah pantangan
keras bagi "Ya-hing-jin" (orang jalan malam), apalagi tujuannya
hendak "Jay-hoa" (petik bunga) alias berbuat cabul.
Saat orang berpakaian putih itu sampai di tepi laut,
siapalagi kalau bukan pemuda yang dilihat Hiau-lan siang tadi"
Segera Hiau-lan siapkan Hui-bong, senjata rahasianya yang khas, tapi belum sampai ia hamburkan, terlihat pemuda tadi telah menutul kaki melayang naik laksana garuda menjulang ke langit. ia meloncat ke atas tiang layar kapal itu. "Hayo, tangkap Jayhoa-
cat!" tanpa pikir Hiau-lan berteriak. Berbareng tangan mengayun, Hui-bong segera ia
hamburkan. "Akulah adanya, harap Moay-cu (adik perempuan,
dimaksudkan adik kekasih) sudi keluar!" terdengar pemuda itu
berseru tanpa menghiraukan teriakan dan senjata rahasia
Teng Hiau-lan. Sekonyong-konyong dari dalam kamar perahu menyerobot
keluar seorang, sekaligus ia penggal putus tiang layar dengan
golok. Sekali jumpalitan, pemuda berbaju putih itu berbalik turun
ke atas perahu, gerak tubuhnya gesit sekali, terang ia tidak
terluka. Hiau-lan menduga, hamburan Hui-bongnya tadi
percuma saja. Yang menyerobot keluar dari kamar kapal tadi ternyata
seorang nelayan yang usianya sudah lanjut, cepat sekali
beruntun mem-babat dengan goloknya pada si pemuda baju
putih. "Huh, tak punya malu, kau datang ke sini untuk apa?"
nelayan tua itu menyindir.
Pemuda baju putih bertangan kosong, maka ia hanya
berkelit sana dan mengegos sini untuk menghindarkan
serangan, tapi tak ba-las menyerang, bahkan terus
memanggil, "Hi-moay, Hi-moay!"
Sementara itu dari dalam ruang perahu terdengar suara tangisan,
mendadak wanita cantik yang Hiau-lan lihat pada
siang harinya meloncat keluar. "Thay-koan, baiklah kau pergi
saja!" terdengar ia berseru dengan air mata meleleh.
"Budak hina, lekas masuk!" terdengar nelayan tua tadi
men-damprat dengan gusar.
Dalam pada itu, berulang tiga kali pemuda baju putih
menghindarkan serangan, sesudah itu mendadak ia mencelat,
ia mener-jang ke dekat gadis nelayan itu!
Teng Hiau-lan ternyata tidak mau tinggal diam, sekuat
tenaga ia enjot tubuh melayang naik ke atas kapal, dengan
gerak tipu "Sian-jin-ki-loh" (sang dewa menunjuk jalan), Yuliong-
pokiam segera ia tusukkan ke dada si pemuda baju
putih. "Besar sekali nyalimu, Jay-hoa-cat!" bentaknya lagi.
Saat pemuda itu mendadak melihat sinar mengkilap
menyam-bar ke arahnya, cepat ia mengegos menghindarkan
diri. la terce-ngang karena dirinya mendadak diserang.
"Siapa Jay-hoa-cat?" balasnya membentak dengan bingung.
Tetapi kembali Teng Hiau-lan mengirim satu tusukan.
Sedang nelayan tua tadi mendorong gadisnya masuk ke
dalam kamar perahu, dari romannya tertampak ia pun rada
heran. Dengan tangan mencekal golok, ia mengadang di pojok
geladak perahu, tetapi tidak ikut mengerubut. Hiau-lan mainkan "Tui-hong-kiam-hoat" dengan kecepatan
lu-ar biasa, dengan bertangan kosong pemuda baju putih itu
merasa rada berat juga, ditambah tempatnya di atas perahu
yang tidak begitu lebar, berkelit ke kanan atau mengegos ke
kiri, semua dapat dicapai ujung pedang.
Begitulah Hiau-lan memutar pedang pusakanya lebih hebat,
sedikitnya ia sudah menusuk dua tiga puluh kali, namun sekali
saja masih belum bisa mengenai sasaran, dalam hati ia
merasa heran. Sebaliknya di tempat sesempit itu, pemuda baju putih
itupun kurang leluasa, untuk melayani Kiam-hoat yang bukan
main lihai-nya itu, ia tak sempat mengeluarkan kepandaian
"Kang-jiu-cio-pek-yin" (dengan tangan kosong merebut senjata
lawan), sekalipun ke-pandaiannya memang tinggi, tak urung
ia mandi keringat juga. Saking gopohnya karena tusukannya tak berhasil, Teng
Hiau-lan keluarkan bagian "Tui-hong-kiam-hoat" yang paling
lihai, ia se-lalu menyerang bagian atas, mengarah kedua mata
orang. "He, saudara, kalau kau tidak berhenti menyerang, jangan
kau salahkan aku nanti!" bentak si pemuda tiba-tiba, rupanya
ia sudah hilang sabar. Habis itu mendadak terdengar suara membrebet, pemuda
itu telah merobek sebagian baju putihnya terus dipuntir,
segera pokiam Hiau-lan tergulung kain bajunya itu.
Hiau-lan merasa tangan kesakitan laksana menumbuk
papan besi, sedikit kendor tangannya, pokiamnya ternyata
terlepas dari genggaman dan terlempar jatuh ke atas geladak
perahu dengan me-nerbitkan suara nyaring.
Untuk menghindarkan bahaya lebih jauh, Hiau-lan menggelundungkan
diri ke geladak, sedang Hui-bong yang sudah
disedia-kan di tangan lain segera ia tebarkan lagi.
Sama sekali tidak terduga oleh pemuda baju putih itu
bahwa sesudah Hiau-lan kehilangan senjatanya masih coba
membela diri mati-matian, karena sedikit lengah, segera
kakinya terkena dua buah Hui-bong, ia terhuyung-huyung
sampai di pinggir geladak.
Pada kesempatan itu, Hiau-lan meloncat berdiri kembali, ia
berjaga apabila diserang kembali oleh lawan.
Tetapi pemuda baju putih itu ternyata tidak menyerang,
dengan suara serak ia berkata, "Lotiang (bapak), apa betul
sudah begitu tega kau?"
Sebagai jawaban, tiba-tiba nelayan tua itu membentak,
"Pek Thay-koan, ada jalan ke sorga tidak kau ke sana, neraka
yang tidak berpintu justru kau masuki. Apabila kau tidak lekas
merat, segera aku binasakan kau!"
Sesudah itu goloknya diputar hingga sinar putih
menyerupai satu bundaran. Teng Hiau-lan yang berdiri di
samping merasakan rambut dan bajunya melambai-lambai
tertiup sambaran angin golok. Karena itu Hiau-lan menjadi
jeri, ia tahu tenaga si nelayan tua pasti tidak di bawah
Kwantang-si-hiap. Sementara itu pemuda baju putih yang kakinya terluka dan
tak leluasa bergerak berseru lagi, "Hi-moay, Hi-moay! Selama
hidup ki-ta sudah tak mungkh bertemu lagi!"
Sekonyong-konyong terdengar suara pekikan dari dalam
ruang perahu, gadis nelayan tadi dengan sekali pukul telah
membikin re-muk pintu kamar, tanpa menghiraukan perintah
ayahnya lagi, ia meloncat
keluar. Tetapi si nelayan tua lantas menggeraki goloknya dengan
tipu "Moa-koh-boat-hun" (dewi Moa-koh menyingkirkan awan),
mendadak ia mengayun senjata terus membabat, dengan
gerak tangan ce-pat luar biasa, sebelum putrinya datang
mendekat, ia hendak membabat
kutung tubuh si pemuda baju putih. Sementara itu, setelah mengalami pertarungan
sengit, tambang tambatan perahu ternyata terputus, perahu
nelayan itupun terapung dan melaju menuruti arus air, waktu
itu sudah belasan tombak jauhnya terpisah dari daratan.
Justru pada waktu nelayan tadi mengayunkan golok
membabat, tiba-tiba dari permukaan air terdengar suara
seruan nyaring, "Tahan dulu!"
Lenyap suaranya, orangnya pun sampai. Tiba-tiba seorang


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda baju putih melayang tiba dari permukaan laut.
Ketika pandangan Hiau-lan masih kabur, tahu-tahu pemuda
dari permukaan air itu sudah melompat sampai di atas geladak
perahu. Dalam pada itu, nelayan yang lagi mengayunkan golok tibatiba
merasakan pergelangan tangan kaku kesemutan, "Houthau-
to", golok berujung tebal lebar, kena direbut beg"itu saja
oleh pemuda yang baru datang itu tanpa berdaya sedikitpun.
Bapak nelayan yang malang-melintang selama hidupnya
itu, namanya sudah tersohor dan disegani kaum Kangouw,
belum per-nah ia ketemukan tandingan, tak tahunya, kini tidak
lebih hanya se kali gebrakan saja, entah dengan cara
bagaimana goloknya sudah terampas oleh si pemuda. Keruan
saja tidak kepalang gusarnya, tapi ia pun terkejut juga, maka
tak berani sembarang umbar amarah. "Hm, Pek Thay-koan,
kiranya kau mengajak begundal, apa kau sudah
merencanakan hendak merebut bakal istri?" dengan dingin ia
berkata pada pemuda baju putih yang duluan.
Setelah Teng Hiau-lan tenang kembali, ia lihat pemuda baju
putih yang datang belakangan ini beroman cakap dengan alis
lentik bagus, bajunya melambai tertiup angin, bahkan lebih
tampan dari pemuda baju putih yang duluan.
Waktu ia menoleh, dilihatnya di permukaan laut terapung
be-berapa keping papan kayu kecil, barulah ia mengerti
pemuda ini menggunakan kepandaian "Ting-ping-toh-cui" yang
luar biasa, dengan meminjam daya papan kecil itu, ia
melayang tiba seperti ter-bang di atas air saja.
Mengenai ilmu entengi tubuh "Ting-ping-toh-cui" (menumpang
daun kapu-kapu menyeberangi air), Hiau-lan hanya
pernah mendengar orang bercerita, tidak nyana kini dengan
mata kepala sendiri ia menyaksikan ilmu hebat itu.
Waktu ia mengawasi lagi, terlihat wajah pemuda ini seperti
sudah pernah ia kenal entah dimana.
"Nanti dulu Lotiang, biar aku tanya dia!" dengan perlahanlahan
pemuda baju putih yang datang belakangan berkata
sebagai jawaban terhadap pertanyaan nelayan tadi. Sesudah
itu ia menuding pemuda baju putih yang duluan. dengan
muka sungguh-sungguh ia bertanya, "Apa kau ini yang
bernama Pek Thay-koan" Anak murid siapa?"
"Pek Thay-koan berdiri tak pernah berganti nama dan
duduk tak pernah tukar she, aku adalah murid Tok-pi-sin-ni,
urutan nomor lima dari Kanglam-pat-hiap," jawab pemuda
yang duluan dengan si-kap angkuh sekali. "Terima kasih atas
budi pertolongan saudara tadi.
Numpang tanya saudara hendak memberi petunjuk apa?"
Atas jawaban jumawa ini, pemuda yang belakangan
tertampak mengerut kening. Tapi dengan suara kereng segera
ia bertanya pula, "Tok-pi-sin-ni mempunyai tata-tertib
perguruan yang keras, malammalam
kau menggerayangi perahu nelayan ini, apakah
tujuanmu?" Pertanyaan itu ternyata tak bisa diterima begitu saja oleh
Pek Thay-koan. "Kau turun tangan memberi bantuan, budi itu
aku terima," sahutnya dengan angkuh, "tetapi selain aku
punya Suhu serta saudara seperguruanku, tidak peduli orang
gagah darimana, tidak mungkin mengemukakan peraturan
perguruan untuk memaksa diri-ku! Aku Pek Thay-koan adalah
seorang jantan sejati, sejak tampil di Kangouw beruntung
masih belum ada yang mencurigai aku berbuat jahat atau
berkelakuan busuk!" Sementara itu Teng Hiau-lan tak bisa menguasai diri lagi,
segera menyeletuk, "Perbuatan cabul di sini apa bukan
perbuatanmu?" "Apa" Perbuatan cabul?" Thay-koan terbahak-bahak. "Kau
boleh tanya padanya! Ia adalah bakal istriku!" katanya lagi
sambil menuding si gadis nelayan.
Saat itu si gadis nelayan sudah berhenti menangis. "Urusan
ru-mah tangga kami sampai membikin repot para saudara,
sungguh ka-mi merasa tak enak sekali!" katanya dengan suara
perlahan. Akan tetapi kembali si nelayan mendorongnya sambil membentak,
"Kembali sana ke dalam kamar!"
"Eh, kiranya betul ia adalah tunanganmu," pemuda baju
putih yang datang belakangan tadi berkata dengan tersenyum.
"Kalau begitu, mengapa bapak mertua dan anak menantu
saling menggeraki senjata?"
Atas pertanyaan itu, air muka si nelayan tua tampak
masam, sedang Pek Thay-koan hanya bungkam saja.
Karena tiada jawaban, pemuda tadi bertanya pula pada Pek
Thay-koan dengan muka lebih keren dan sungguh-sungguh,
"Aku dengar tiap murid Tok-pi-sin-ni yang sudah tamat belajar
dan hendak berangkat, tentu menerima penegasan peraturan
yang telah di-tetapkan perguruan, kini aku hendak tanya Pekheng,
bagaimana bu-nyi pasal 8 dari peraturan itu!"
Mendengar teguran dan pertanyaan itu, Pek Thay-koan tercengang.
Bunyi dari pasal 8 adalah: Setelah ternama, dilarang
som-bong! Sekali-kali tak boleh mengunggulkan diri.
Oleh sebab itu, dalam hati Pek Thay-koan berpikir,
"Bagaima na pemuda ini bisa tahu peraturan perguruanku.
Jangan-jangan dia adalah saudara seperguruanku. Sesudah
aku meninggalkan perguru-an, kabarnya Suhu hanya
menerima seorang murid perempuan, ialah cucu perempuan
pujangga besar Ciatkang timur Lu Liu-liang, na-manya Lu Eng,
nama kecilnya Si-nio, beberapa tahun paling akhir ini namanya
mulai terkenal di kalangan-Kangouw. Hanya dia seorang
yang belum pernah kujumpai, sedang enam saudara sepergu-ruan
lelaki yang lain, semuanya aku sudah kenal betul, namun tiada
seorang pun yang mirip dia! Apakah mungkin dia anak murid
ca-bang perguruan kami yang lain, tetapi selamanya aku
belum pernah tahu guru mempunyai saudara seperguruan!?"
Begitulah berbagai tanda tanya timbul dalam benaknya.
Tetapi segera ia punya pendapat lain, "Jangan-jangan ia
adalah anak murid Cianpwe yang mempunyai hubungan baik
dengan guruku?" Sebelum Lu Si-nio, memang Tok-pi-sin-ni mempunyai tujuh
orang murid lelaki. Yang pertama adalah Liau-in Hwesio,
selanjut-nya berurutan ialah, Ciu Sun, Loh Bin-ciam. Co Jin-hu.
Pek Thay-koan, Li Gwan dan Kam Hong-ti.
Pada waktu Lu Si-nio memasuki perguruan, kala itu hanya
tinggal Kam Hong-ti sendiri yang belum tamat belajar, sedang
sele-bihnya sudah tamat dan pergi mengembangkan nama
sendiri. Oleh sebab itu, yang kenal Lu Si-nio hanya Kam Hongti
seorang. Tiga tahun sesudah Lu Si-nio masuk perguruan,
Kisah Pedang Bersatu Padu 9 Pendekar Wanita Buta Serial Tujuh Manusia Harimau (7) Karya Motinggo Busye Sukma Pedang 10
^