Pencarian

Tiga Dara Pendekar 5

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 5


Kam Hong-ti pun tamat belajar dan berpisah dengan gurunya.
Bersama Liau-in dan kawan-kawan, mereka disebut Kanglamchit-
hiap atau tujuh pendekar dari daerah Kanglam.
Di antara Jit-hiap ini, ilmu silat Liau-in yang paling tinggi,
tetapi nama Kam Hong-ti yang paling cemerlang dan
tersohor, Pek Thay-koan punya kepandaian silat hanya di
bawah Liau-in dan Kam Hong-ti, oleh karena itu namanya pun
cukup terkenal dan disegani, selama malang-melintang di
daerah Kanglam (selatan sungai Tiang-kang atau Yangtse),
selama itu juga belum pernah ketemukan tan-dingan, lagi pula
tabiatnya romantis dan suka bergerak, dia lebih menyerupai
seorang Kongcu tampan, karena itu juga tumbuh tabiatnya
yang angkuh. Kini kena ditegur si pemuda tadi dengan keren, dengan
mata kepala sendiri ia pun menyaksikan kepandaian orang
memang di atas dirinya, mau tak mau ia menjadi kuncup juga.
"Dengan hormat aku terima teguran saudara, tolong tanya
si-apa she dan nama saudara yang mulia?" akhirnya ia jawab
dengan sungguh-sungguh. Pemuda tadi tertawa. "Tetapi aku bukan orang yang
berdarah jantan sejati, aku she Li bernama Siang-siang!"
sahutnya kemudian, sebagai jawaban atas perkataan Pek
Thay-koan yang me"ngaku dirinya
jantan sejati tadi. Sementara itu Teng Hiau-lan yang mendengar tanya-jawab
ke-dua orang itu di samping, merasa lagu suara pemuda baju
putih yang datang belakangan ini seperti sudah dikenalnya,
hanya lupa entah dimana. Ketika pemuda itu memperkenalkan diri, namanya mirip
wa-nita. tiba-tiba hatinya tergerak, pikirnya, "Jangan-jangan
dia inilah Lu Si-nio yang menyamar?"
Tetapi bila ia lihat sikap dan perawakan orang yang gagah
dan tampan, ia menertawai diri sendiri yang terlalu tolol, suka
berpikir yang tidak-tidak.
Dalam pada itu Pek Thay-koan dan nelayan tadi pun tercengang,
nama Li Siang-siang sungguh belum pernah mereka
dengar. "Sebenarnya urusan rumah tangga antara Pek-heng dan
Lo-tiang ini, orang luar kurang patut ikut campur," Li Siangsiang
ber-kata pula, "tapi melihat cara saling gebrak tadi
dengan mati-matian, sedikit lengah saja tentu kedua ksatria
akan terluka semua. Apalagi kalian adalah bapak mertua dan
anak menantu sendiri!"
"Siauko (engkoh cilik) inilah yang mendadak ikut campur,
aku sendiri tidak menggeraki tangan," dengan menunjuk Hiaulan,
Pek Thay-koan menyahut dengan tertawa tanpa
menyebut diri nelayan itu, tetapi orang tua itu sudah
merasakan perkataannya berduri, ia berdehem, lalu ia pun
buka suara. "Kami ayah dan anak ada sedikit perselisihan
paham dengan Pek-tayenghiong," katanya. "Kini Li-heng telah
sudi tampil ke muka buat jadi pemisah, baiklah, aku un-dang
kalian ke rumahku besok untuk jamuan sekedarnya!"
"Sudilah kiranya Locianpwe memberitahu tinggal dimana?"
tanya Li Siang-siang. "Di pulau Thian-hing!" sahut nelayan itu dengan bangga.
Mendengar itu, mendadak Li Siang-siang terperanjat. "Sudikah
Loenghiong memberitahu nama yang mulia sekalian?"
tanyanya pula. "Aku hidup dengan menangkap Hi (ikan), sudah lama
namaku terlupa!" sahut si orang tua.
"Bapak mertuaku bukan lain Hi Kak Tay-ong yang namanya
menggemparkan Kangouw!" Thay-koan mewakilkan
menerangkan. "O, sudah lama kudengar nama bapak yang mulia!"
berulang-ulang Li Siang-siang menyatakan rasa kagumnya.
"Karena bapak Hi telah sudi mengundang; mana berani aku
tidak datang!" Adalah tidak demikian dengan Teng Hiau-lan, ia tidak
menge-tahui manusia macam apakah Hi Kak Tay-ong itu.
"Siauko ini sekalian aku undang," terdengar si orang tua
ber-kata pula dengan tersenyum kepada Hiau-lan. "Ai, aku
betul-betul sudah tua dan pikun, sampai siapa gurumu yang
mulia masih belum aku tanya, begitu juga nama saudara?"
Segera Teng Hiau-lan memperkenalkan diri dan menjawab,
"Guruku ialah Thi-cio-sin-tan Nyo Tiong-eng."
Terdengar Li Siang-siang bersuara "oh", sebaliknya Hi Kak
bersikap dingin saja, rupanya ia tak percaya. "Nyo Tiong-eng
tak mempunyai Kiam-hoat yang begitu bagus!" ujarnya.
Seketika Hiau-lan menjadi bingung, ia tak tahu cara
bagaima-na harus menerangkan.
Syukur Li Siang-siang lantas bersuara, "Tui-hong-kiam-hoat
bisa turun sampai di Tionggoan sehingga tidak sampai
terputus lenyap, sungguh suatu hal yang beruntung sekali!"
"O, kiranya Kiam-hoat dari Thian-san-pay," timbrung Thaykoan,
"pantas begitu lihai. Apabila saudara Teng berlatih lebih
ba-nyak dua tahun, malam ini tubuhku mungkin sudah
bertambah be-berapa lubang!"
Perkataan itu membikin muka Hiau-lan terasa agak panas,
te-tapi sebaliknya Pek Thay-koan seperti tak ambil pusing, ia
tertawa terbahak-bahak serta menarik tangan Hiau-lan.
"Sudah jauh malam, aku hendak berangkat dulu!" tiba-tiba
Li Siang-siang mohon diri.
"Aku berangkat bersamamu!" ujar Pek Thay-koan.
Teng Hiau-lan pun ikut berpamitan.
Hi Kak kiongciu (merangkap kepalan di depan dada)
sebagai tanda hormat pada Li Siang-siang sembari
mengatakan pada Pek Thay-koan, "Pertemuan besok malam,
Thay-koan, hendaklah kau pikir masak-masak untuk ambil
ketetapan!" Setelah mereka bertiga mendarat, mendadak terdengar
Thay-koan berkata, "Li-hingte (saudara) dan Teng-hingte,
pertemuan besok malam, kukira lebih baik kalian jangan ikut
hadir!" "Apakah Pek-heng tak ingin kami terseret ikut campur
dalam urusan pribadimu?" tanya Li Siang-siang.
"Bukan itu maksudku," sahut Pek Thay-koan. "Dalam
pertemuan dengan mertuaku, mungkin ia bertujuan tidak
baik. Karena Li-heng berhati mulia dan Teng-heng pun seperti
sahabat lama wa-laupun baru kenal, urusanku tiada jeleknya
kuceritakan terus-terang. Marilah, kita cari suatu tempat yang
baik untuk berbicara."
Lalu mereka berduduk di suatu tempat di pantai itu.
"Urusan percintaan memang ruwet, tak bisa aku lepaskan
diri, kalau dibicarakan sungguh memalukan," Pek Thay-koan
mulai me-nutur dengan menghela napas. "Kalian kira orang
macam apakah bapak mertuaku itu?"
"Bajak yang malang-melintang di lautan, di lima danau dan
empat lautan, banyak terdapat begundalnya, bukankah
begitu?" sahut Li Siang-siang. Pek Thay-koan mengangguk, suatu tanda tidak salah
ucapan orang. Sesudah itu, ia mulai menceritakan kisah
pengalamannya. Kiranya pada tiga tahun berselang, dengan kepandaian Pek
Thay-koan, pernah seorang diri mengalahkan Hong-ho-ngo-pa
(lima benggolan Hong-ho), oleh karena itu namanya disegani
sekali. Pada suatu hari, ia pesiar sampai di Thay-ouw, suatu danau
terkenal di daerah selatan, di sini ia bertemu dengan putri Hi
Kak, begitu berjumpa, hati lantas terpikat.
Sebenaraya dengan ilmu silat Pek Thay-koan yang tinggi,
di-tambah orangnya cakap, beberapa tahun ini entah sudah
berapa ba-nyak orang ingin jadi perantara jodoh baginya,
tetapi selama itu ti-ada seorang pun yang ia penujui,
sebaliknya sejak ia bertemu dengan
putri Hi Kak, ia lantas tergila-gila. Sampai di sini, saking herannya tiba-tiba Hiau-lan bertanya,
"Jika begitu, pada waktu Pek-heng bertemu dengannya, tentu
mem-punyai pengalaman yang menarik, sebab kalau cuma
paras cantik saja tak mungkin Pek-heng tergila-gila!"
"Usia Teng-hengte walau masih muda, tapi dalam soal cinta
rupanya banyak pengalaman," dengan tertawa cekakakan Pek
Thay-koan menyahut. "Soal pengalamanku itu tidak begitu
menarik. Sesu-dah aku mengalahkan Hong-ho-ngo-pa, aku
masih tidak tahu mere-ka itu begundal Hi Kak, maka
sedikitpun aku tak ambil perhatian. Ketika aku sampai di Thayouw,
justru tempat ini adalah sarang ke-dua Hi Kak, ia
mengirim orangnya buat menangkap aku, dalam pertempuran
sengit, aku berhasil melukai separoh dari delapan
orang yang ia kirim, namun aku sendiri pun terluka parah,
selagi aku ber-usaha melarikan diri dari ancaman bahaya itu,
tiba-tiba putri Hi Kak muncul, ia membentak menghentikan
pengejaran mereka dan mele-paskan diriku. Belakangan
menurut cerita dari sahabat yang dekat dengan Hi Kak,
katanya dia mengagumi ilmu silatku dan tak me-nyetujui
tindak-tanduk ayahnya, maka dia sengaja menyelamatkan
diriku." Di tengah gelombang ombak laut yang menderu, Teng
Hiau-lan terkesima oleh cerita tadi, tak tertahan ia bersuara
terharu. "Teng-heng, rupanya ada juga sesuatu yang sedang kau
pikir-kan," goda Li Siang-siang dengan tertawa. Suaranya
begitu lembut dan merdu, hati Hiau-lan terguncang, suara itu
terlalu mirip dengan suara Lu Si-nio, jangan-jangan ia adalah
saudara Lu Si-nio, demi-kian ia melamun. Tetapi waktu ia tahu
kedua orang lagi menga-wasinya, ia menjadi tersipu-sipu..
"Li-heng jangan menyimpangkan cerita orang, harap Pekheng
berceritera terus!" katanya dengan tersenyum ewa.
"Setelah peristiwa itu, aku mendapat tahu juga bahwa ia
bukan lain adalah putri Hi Kak, namanya Hi Yang," demikian Pek
Thay-koan meneruskan kisahnya. "Aku pikir Hi Kak adalah
bajak laut, banyak merampok dan membunuh kaum saudagar,
kalau ia mau kembali dari jalan sesat, terhadap usaha
perjuangan memulihkan ne-gara akan banyak faedahnya. Lagi
pula, bajak laut mana yang tak pernah membunuh orang" Ia
masih belum tergolong manusia yang kejahatannya kelewat
takaran dan tak bisa diampuni, malah di ka-langan Kangouw
ia terkenal sebagai bajak berbudi.
"Oleh sebab itulah seorang diri aku segera berangkat,
menca-rinya ke Thay-ouw! Setelah aku beritahu maksud
tujuanku bahwa aku ingin melamar putrinya, hal ini sangat di
luar dugaannya. Me-lihat aku bernyali begitu besar, segera
aku diajak bertanding menja-jal ilmu silat, setelah bergebrak
setengah hari, akhimya seri. Waktu ia masuk ke belakang dan
bertanya putrinya, ternyata putrinya pun setuju, maka hari itu
juga pertunangan kami lantas ditetapkan!"
"Ehm. benar juga anak dara itu!" ujar Li Siang-siang.
"Emangnya siapa yang bilang dia salah" Yang salah ialah
mertuaku." Pek Thay-koan melanjutkan lagi. "Memang ia
pemba-jak, tak tahunya ia kena dipancing Si-hongcu, apabila
ia membantu Si-hongcu naik takhta. setelah berhasil, daerah
Soatang akan diberi-kan padanya. dengan begitu ia akan
menjadi raja lautan merangkap Soatang Thotok (gebernur). ia
hanya wajib menghadap kaisar saja dan tak usah mengirim
upeti atau bayar pajak. "Mertuaku itu tenggelam oleh pangkat dan kemewahan, ia
setuju dan menyanggupi. Berulang-ulang aku menasihati dia,
tapi tak membawa hasil, akhirnya aku putuskan hubungan dan
membatalkan pertalian mertua dan menantu! Hi Yang ternyata
sangat setia cinta-nya, ia mengirim kabar padaku bila ayahnya
tak mengizinkan, maka selama hidup ia pun tak mau menikah.
Oleh sebab itu juga jauh-jauh aku datang lagi, sedianya
hendak ke Thian-hing-to mencari mertuaku
buat menginsafkan dia lagi, tak terduga sudah kepergok di sini."
Kiranya Pek Thay-koan tak mengetahui bahwa Hi Kak
sudah mendapat kabar akan kedatangannya, semula Hi Kak
pikir biar pe-muda itu menginjak Thian-hing-to, kemudian
akan dipaksa menu-ruti kemauannya.
Tak tahunya Hi Yang cukup kenal watak Pek Thay-koan, ia
khawatir urusan jadi runyam, pula anak buah Hi Kak banyak
yang menginginkan kedudukan mewah, tentu juga tak mau
tinggal diam, seumpama nanti ia sendiri tampil ke muka untuk
menolong, mung-kin akan terlambat, karena itulah, maka ia
berkeras mengajak ayah-nya memapak kedatangan Pek Thaykoan
di tepi pantai ini. Setelah mendengar cerita Pek Thay-koan, Li Siang-siang
lan-tas berkata, "Teratai putih tumbuh dari dalam lumpur,
Lan-hoa tum-buh di lembah sunyi. Pek-heng punya tunangan
amat bijaksana dan mengagumkan, aku paling suka ikut
campur urusan orang lain, tentu aku akan membantumu
sebisanya. Pertemuan besok malam, betapa-pun aku akan ikut
pergi!" Pek Thay-koan bungkam saja, ia ragu-ragu.
"Apalagi dengan nama Kanglam-pat-hiap yang tersohor,
tidak mungkin mundur teratur!" terdengar Li Siang-siang
berkata pula. Karena kata-kata ini, Pek Thay-koan seperti teringat
sesuatu. "Ilmu silat mertuaku tidak lemah, begitu bertemu, Li-heng
dengan sekali gebrak saja sudah dapat merebut goloknya,
sungguh ke-pandaian ajaib yang hebat. Entah Li-heng
menggunakan kepandaian dari cabang mana, apakah boleh
tahu untuk menambah pengalaman kami?"
"Pek-heng sendiri juga pernah mempelajarinya, buat apa
ber-tanya lagi padaku?" jawab Li Siang-siang.
Jawaban itu makin menambah tercengang Pek Thay-koan.
Namun sebelum ia buka suara, Li Siang-siang sudah
menyam-bung lagi, "Kepandaian "Kang-jiu-jip-peh-yim"
bukankah sudah kau latih dengan baik" Tipu serangan ke-36
yang kau pelajari itu apa?"


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sing-hay-hu-ceh!" sahut Pek Thay-koan tanpa pikir.
"Nah, itulah!" ujar Li Siang-siang. "Cuma aku
memainkannya dengan sedikit cepat, pula secara mendadak
dan di luar dugaan mu-suh, maka dengan sekali gempur
lantas berhasil!" "Li-heng, bagaimana kau pun mahir ilmu silat dari cabang
kami?" seru Pek Thay-koan dengan terheran-heran.
Li Siang-siang tersenyum. "Aku pernah menyaksikan
kawan-mu memainkannya," sahutnya kemudian.
Tetapi Pek Thay-koan masih merasa tak mengerti, pikirnya,
"Di antara para saudara perguruan, yang memiliki kepandaian
luar biasa seperti itu hanya Liau-in Suheng, tetapi gerak
tangan Liau-in Suheng belum tentu bisa sedemikian cepat. Bila
dia dapat dari men-curi belajar, tidak mungkin mencapai
tingkatan setinggi ini." Demi-kian ia bertanya pada diri sendiri
dengan penuh keheranan. Sedang Teng Hiau-lan ikut bingung juga, ia tidak tahu
untuk apa mendadak Pek Thay-koan bertanya gerak silat tadi.
Rembulan sementara itu sudah bergesar pula ke tengah
cakra-wala. "Besok petang kita jumpa lagi di sini!" kata Li Siang-siang.
Habis itu ketiga orang lantas berpisah.
Tetapi belum beberapa langkah Teng Hiau-lan berjalan,
tiba-tiba terdengar seruan Li Siang-siang, "Teng-heng punya
Kiam-hoat sudah banyak bertambah maju, perjalanan ke
Thian-hing-to nanti boleh tak usah khawatir!"
Waktu Hiau-lan membaliki tubuh, ternyata Li Siang-siang
sudah pergi jauh, hanya suara tertawanya saja yang sayupsayup
masih berkumandang. Sekembalinya Hiau-lan di rumah pondokan, ia menjadi
kaget, karena cahaya lampu dalam rumah penginapan itu
terang bende-rang, Siauji dan pengurus hotel masih
menantikan kembalinya. Pe-ngurus itu berdiri dengan hormat
menyambutnya. "Kami tak tahu tuan adalah sahabat Hi Kak
Tay-ong, maka kalau ada keteledoran, harap dimaafkan!"
pintanya. Sesudah itu ia lantas menyerahkan se-buah kartu
merah. Waktu Hiau-lan membaca, ternyata Hi Kak yang telah menyuruh
orang mengirim padanya. "Hebat sekali," demikian ia
mem-batin. "Hi Kak Tay-ong betul-betul mempunyai begundal
yang banyak dan lihai, hanya dalam sekejap saja sudah dapat
menyelidiki dimana aku tinggal."
Maka ia pun tidak banyak bicara lagi, setelah beromong
beberapa kata ia lantas masuk kamar buat mengaso.
Karena kejadian aneh selama dua hari ini, Hiau-lan
bergulang-guling di atas pembaringan, sampai lama baru ia
tertidur. Besoknya waktu magrib, Hiau-lan menuju ke pantai
menurut waktu yang telah ditetapkan. Pek Thay-koan dan Li
Siang-siang berdua ternyata sudah menanti di situ.
"Kedua saudara sungguh pagi sekali!" ujar Hiau-lan.
"Sudah lama Hi Kak Tay-ong menanti kedatangan kita!"
sahut Li Siang-siang dengan tertawa. Lalu ia dekap bibir terus
bersuit. Dalam sekejap saja, dari lautan sana tertampak berlayar
men-datangi sebuah kapal besar, di atas kapal itu terdapat
beberapa lelaki tegap, dengan membungkuk dan menghormat
mereka menyilakan para tamunya naik.
Teng Hiau-lan tahu ini adalah kapal bajak Hi Kak Tay-ong,
maka ia pun tidak takut lagi, bersama orang she Pek dan Li,
mereka naik kapal itu terus berlayar menuju Thian-hing-to.
Di lautan Kuning, memang terdapat banyak sekali pulau,
ke-cuali Thian-hing-to, masih ada pula Ling-san-to, Yang-hayto,
Wei-san-to dan pulau-pulau besar kecil tak terhitung
banyaknya. Kota Jing-to di belakangnya berdiri Lau-san, pegunungan
itu membentang jauh hingga ke tepi pantai, sebelah sini laut
dan sebe-lah sana gunung, hingga Jing-to merupakan kota
yang berpeman-dangan alam indah sekali. Di lepas pantai
tertampak pulau-pulau yang mengambang di permukaan air,
remang-remang kelihatan pun-cak bukit yang menonjol
laksana gunung dewa di atas lautan, ditam-bah pula suasana
malam, cahaya lampu menyorot ke air laut me-mantulkan
sinar kelap-kelip sehingga menambah keindahan dan menakjubkan.
Setelah kapal mereka berlayar melewati beberapa pulau
kecil, lebih satu jam kemudian, terdengar pengemudi kapal
menuding ke sebuah pulau dan berkata, "Itulah Thian-hingto!"
Setelah kapal merapat segera mereka bertiga mendarat.
Di atas pulau itu ternyata batu-batu karang berdiri tegak
laksana binatang raksasa menjulang di angkasa, di atas
tebing batu sekira belasan tombak tingginya terdapat benteng
batu yang ber-tumpuk-tumpuk mengunci selat gunung, pintu
benteng tertutup ra-pat, di kedua samping tersusun pagar
perlindungan setinggi lebih setombak mengitari gunung
laksana naga yang panjang sekali. Sedang
di belakang benteng, puncak-puncak bukit menonjol
dengan megahnya dihiasi pohon-pohon tua menghijau,
remang-remang me-ngandung suasana seram.
"Ayah mertuamu mengambil kedudukan di sini, beliau tentu
sudah banyak mencurahkan tenaga dan pikiran!" dengan
tertawa Li Siang-siang memuji kemegahan pulau itu. "Pulau
demikian hebat-nya, sungguh di luar dugaanku!"
Pek Thay-koan tertawa getir, ia tidak menyahut, tetapi
segera mereka ikut utusan Hi Kak masuk ke dalam benteng.
Di dalam benteng ternyata merupakan dunia lain, di atas
pulau itu tumbuh bunga dan rumput yang aneh, paling
menarik perhatian adalah bunga yang disebut "Soa-teh-hoa"
(kamelia) yang berwarna merah tua, di malam hari ternyata
sangat indah. Sesudah mereka bertiga memasuki pintu benteng, segera
terli-hat seorang lelaki tegap mengayun bendera sambil
berseru, "Tay-ong menyilakan ketiga tamu agung berjumpa di
Chian-tiang-giam!" "Baik, silakan tunjukkan jalan!" sahut Pek Thay-koan.
Dengan tangan masih memegang bendera, orang itu
dengan cepat mendahului di depan, diikuti dengan kencang
oleh Li Siang-siang bertiga.
Keempat orang memiliki ilmu silat tinggi, maka dengan
cepat mereka memutar ke kanan dan belok ke kiri, tidak
antara lama, mereka sudah memasuki sebuah lembah hutan
sunyi, dari jauh tertampak
rumput alang-alang yang tingginya
melebihi dengkul. "Kau jalan mepet aku!" tiba-tiba Li Siang-siang merandek
dan membisiki Teng Hiau-lan.
Selagi Hiau-lan merasa bingung karena tidak tahu maksud
orang, sekonyong-konyong terdengar si penunjuk jalan itu
berkata, "Kini mulai menanjak ke atas gunung, jalanan
pegunungan rada li-cin, harap tuan berhati-hati!"
Habis berkata, segera ia mendahului mendaki gunung itu.
Waktu Teng Hiau-lan memandang ke atas, ternyata seluruh
le-reng gunung penuh belukar bercampur tumbuhan sebangsa
kaktus berduri, berbeda jauh sekali dengan pemandangan
indah di bawah gunung tadi.
la menaksir bila menggunakan Yu-Iiong-kiam untuk
membuka jalan, mungkin masih bisa naik ke atas, tapi kalau
hanya mengan-dalkan ilmu entengi tubuh untuk melayang
lewat belukar selebat itu, rasanya tidak mungkin berhasil.
Waktu ia memandang lagi, si penunjuk jalan tadi sudah
maju ke depan dengan cepat seperti tiada sesuatu yang luar
biasa. Tengah bersangsi, tiba-tiba Li Siang-siang memegang
lengan-nya terus ditarik cepat, mendadak Hiau-lan merasa
tubuhnya tera-pung, sedang kain baju Li Siang-siang
melambai tertiup angin, se-kaligus ia melayang melewati
belukar yang lebat berserak tadi, Hiau-lan merasa seperti
terapung di awang-awang, dimana lengan-nya menempel
adalah tempat yang lunak dan berbau wangi, dengan
sendirinya ia mengerutkan tubuhnya sedikit, ternyata ia
dibawa Li Siang-siang ke atas gunung.
Di antara hutan belukar itu sebenaraya ada sebuah jalan
kecil menjurus ke atas gunung melalui arah lain. Penunjuk
jalan tadi tidak membawa mereka melalui jalan kecil itu,
terang ia sengaja hendak menjajal kepandaian mereka, kalau
tak dibantu oleh Li Siang-siang, tentu bisa dapat malu,
demikian pikir Hiau-lan. Setelah penunjuk jalan itu tancapkan kaki di tempat datar,
lalu ia menoleh, tahu-tahu tiga orang sudah berdiri di
sampingnya. "Kepandaian tuan-tuan sungguh hebat sekali!" mau tak
mau ia memuji juga. Habis itu ia menyingsing baju terus mendaki ke atas pula
melalui jalan kecil. Ketiga orang menguntit terus dengan kencang, jalan kecil
itu melingkar-lingkar dan berbelok-belok, sesudah melewati
berbagai rintangan, akhirnya menaiki sebuah puncak gunung
yang curam. Di atas puncak itu penuh tumbuh pohon-pohon tua yang
rin-dang sekali, burung-burung berkicau ramai, laksana
memasuki du-nia lain. "
Sesudah melanjutkan tak lama lagi, tiba-tiba terlihat
dinding tebing menghadang di depan mereka, tembok gunung
itu menjulang tinggi sedikitnya ada dua atau tiga puluh
tombak dan halus licin, sedikitpun tiada tempat yang dapat
dibuat mendaki ke atas. "Celaka!" Li Siang-siang mengeluh demi melihat tebing
yang curam itu. "Tebing yang berbahaya begini, aku dan Pek
Thay-koan masih sanggup mendaki, tetapi bagaimana aku
dapat mencangking seorang lagi."
Penunjuk jalan itu membawa mereka mengitari tebing
curam, tiba-tiba terlihat di depan dinding gunung ada sebuah
pohon beri-ngin tua tumbuh mencuat keluar, di atas pohon
penuh bergelayut akar yang melambai-lambai tertiup angin,
bahkan ada beberapa akar panjang membuai kian kemari.
"Nah, baiklah kita naik dari sini!" kata penunjuk jalan itu.
Lalu ia keluarkan seutas tambang, di pucuk tambang
terpasang gantolan besi, waktu ia lemparkan, gantolan itu
segera menyangkol pada pohon beringin tua itu. Ia pegang
tambangnya, tubuhnya ber-ayun beberapa kali, sesudah itu
mendadak ia membuai sekerasnya terus melayang ke atas
pohon beringin. Kiranya ilmu entengi tubuh orang itu walaupun bagus,
namun masih belum mencapai puncak kesempurnaan, oleh
karena itu sebe-lumnya ia menyediakan tambang, dengan
meminjam ayunan tambang, ia mendaki tebing curam itu.
Melihat gerak orang, Li Siang-siang tersenyum. "Ada
tangga ini, tak usah banyak buang tenaga!" katanya sambil
menunjuk akar panjang pohon beringin.
Sementara itu Pek Thay-koan telah membikin singsat
pakaian-nya, lalu ia enjot tubuh, kedua tangan meraup ke
atas, segera ia dapat memegang akar pohon yang cukup
kuat, berbareng mengayun cepat menuju ke atas pohon.
"Teng-hingte, apa kau sudah siap!" tanya Li Siang-siang.
Habis itu, ia segera menutul kaki, dengan gerakan
mengapung . ia sambar akar yang dilepaskan Pek Thay-koan
yang sedang membuai ke arahnya, menyusul mendadak ia
membaliki tubuh, dengan kepala di bawah dan kaki di atas
seperti hendak terjungkal jatuh.
Hiau-lan sampai berseru kaget, tapi dengan tersenyum
simpul Li Siang-siang melingkarkan kaki pada akar pohon,
kedua tangan melambai ke bawah. "Naiklah, lekas!" serunya.
Di antara perasaan kagum oleh kepandaian Li Siang-siang
yang luar biasa itu, tiba-tiba hati Teng Hiau-lan tergerak.
Gaya ilmu entengi tubuh Li Siang-siang yang indah dan
tinggi tiada taranya ini, tiba-tiba mengingatkan dia pada waktu
pertemuan-nya dengan Lu Si-nio di Bin-san dahulu, pemah
gadis itu balapan ilmu entengi tubuh dengan "Ban-li-tui-hong"
Liu Sian-gai dari Kwantang-si-hiap, waktu itu Lu Si-nio juga
memondong dirinya meloncat ke atas puncak yang curam.
Kepandaian yang luar biasa itu temyata serupa benar dengan
Li Siang-siang. Walaupun ternganga, tapi ia tidak ayal, dengan cepat ia
pun meloncat ke atas dan menggandul pada kedua tangan Li
Siang-siang yang halus, kemudian ia pun melayang naik ke
atas tebing. Si penunjuk jalan melihat mereka bertiga tanpa bantuan tali
sudah bisa naik ke atas, mau tak mau ia kagum tak terhingga,
maka tidak berani mempersulit orang lebih jauh, ia bawa
ketiga orang me-nyusur jalanan kecil"tadi terus naik ke atas
puncak gunung. Di atas gunung, pemandangan temyata lain dengan
keadaan di atas pulau tadi. Setelah ketiga orang naik sampai
puncak Chian-tiang-giam (tebing seribu kaki), segera mereka
rasakan hawa sejuk dan hati lapang, di atas gunung itu
pepohonan lebat sekali, jika me-mandang jauh ke laut Kuning,
maka yang tertampak adalah angkasa luas tanpa tepi, layar
perahu nelayan kelihatan remang-remang se-perti bulu putih
yang terapung di lautan. "Tid.ak nyana, gunung ini bisa lebih megah daripada
gunung Gan-thang dan Thian-tay!" ujar Li Siang-siang.
Gan-thang-san dan Thian-tay-san adalah dua gunung
ternama di Tiongkok. "Tinggi Gan-thang dan Thian-tay mencakar langit,
kemegahan dan keindahannya serba lengkap," sahut Pek
Thay-koan dengan ter-tawa. "Puncak ini walau bagus, tapi
bagaimanapun hanya sebuah puncak saja."
Li Siang-siang mengerti perkataannya itu sengaja mengejek
Hi Kak, maka ia hanya tersenyum dan tidak berkata lagi.
Sebaliknya si penunjuk jalan itu tampak berubah parasnya,
merasa kurang senang. Sesudah mereka berjalan kira-kira setengah li di atas
gunung, tiba-tiba di depan mereka muncul sebuah gedung


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang megah, tembok terkapur putih bersih, tapi penuh tumbuh cit-le berduri,
di tengah terdapat pintu gerbang yang terpajang dengan
mewah sekali, dua sayap daun pintu besi terbuka lebar, di
kanan kiri berbaris bebe-rapa prajurit bersenjata menjaga
jalan yang menuju ke dalam.
Dengan tak gentar mereka bertiga terus berjalan masuk di
an-tara prajurit bersenjata itu, mereka melalui jalanan
panjang, mema-suki sebuah taman bunga, taman yang indah
sekali, banyak gunung-gunungan palsu dan terJapat pancuran
air pula di tengah sebuah em-pang, di tengah empang
terbangun sebuah gardu yang luas dengan jendela terbuat
dari kaca, di sekitar gardu tertanam bunga-bunga, bi-la naik
ke atas gunung-gunungan palsu dapat memandang jauh ke
laut Kuning. Dalam hati Hiau-lan membatin, Hi Kak Tay-ong sungguh
pin-tar menikmati keindahan, dengan membikin taman megah
ini, entah berapa banyak harta dan tenaga yang telah
dikorbankan. "Tamu agung tiba!" penunjuk jalan tadi berseru, terus menyingkap
kerai lemas sebuah pintu gardu.
"Silakan tamu masuk!" terdengar suara Hi Kak Tay-ong
berseru dari dalam. Waktu itu rembulan muda sudah menyingsing, tiba-tiba
dari dalam muncul sebarisan pelayan perempuan muda,
dengan tangan membawa lentera mereka menyambut
kedatangan para tamu agung!
Kemudian mereka bertiga memasuki gardu yang beruangan
luas, seketika mata menjadi silau.
Dalam ruangan itu temyata penuh alat-alat mewah dan
barang mestika yang menyolok, permadani dan kain jendela
ditaburi muti-ara dan batu manikam.
Sedang di depan gardu sana terdapat pula sebuah balkon,
di sana sudah siap beberapa meja perjamuan.
Begitu nampak mereka bertiga masuk, segera terdengar Hi
Kak Tay-ong tertawa terbahak-bahak. "Ketiga ksatria sejati
temyata tidak ingkar janji dan benar-benar datang," serunya
sambil berdiri. "Di sini masih terdapat beberapa kawan dari
kalangan Kangouw, marilah saling berkenalan!"
Waktu Teng Hiau-lan memandang Hi Kak Tay-ong,
rajabajak laut ini ternyata sudah berlainan sekali dengan tadi
malam. Kalau tadi malam ia berdandan sebagai kaum nelayan
miskin, maka kini ia mengenakan jubah sulaman yang ditaburi
mutiara dan batu permata, kepalanya memakai topi kebesaran
yang indah dengan penuh batu permata pula, ia berdandan
sebagai maharaja. Di ruangan gardu berduduk belasan orang, saat melihat
keda-tangan Pek Thay-koan, mereka berdiri sambil
mengucapkan, "Sela-mat datang atas kunjungan anggota
Kanglam-pat-hiap dari jauh!"
Teng Hiau-lan coba melihat siapa saja mereka, maka bukan
main terkejutnya. Di antara tamu-tamu duluan itu terdapat
dua orang kakek bermuka kuning hangus, memakai baju kain
kasar, paras mereka kaku tanpa mengunjuk sesuatu
perasaan. Mereka bukan lain ia-lah Pat-pi-sin-mo Sat Thian-ji
dan Tay-lik-sin-mo Sat Thian-toh!
Melihat Teng Hiau-lan memasuki ruangan tengah, tiba-tiba
Sat Thian-ji pelototkan matanya yang aneh, segera ia
mengulur ta-ngan hendak menjambret dari jauh. "Kau murid
khianat ini, masih berani bertemu denganku!" ia berteriak
dengan gusar. Namun Pek Thay-koan lantas angkat tangannya
mewakilkan menangkis. "Awas! Kuku beracun!" terdengar Li Siang-siang berseru.
Atas peringatan rekannya itu, cepat Pek Thay-koan
mengubah gerak tangannya, ia tekuk dua jarinya terus
menggantol pergelangan tangan Sat Thian-ji.
Tentu saja Pat-pi-sin-mo tidak membiarkan tangannya
dicekal orang, ia dorong ke depan dan kedua orang tergetar
mundur bebe-rapa tindak. Sat Thian-ji merasakan pergelangan
tangan kaku kese-mutan, sedang Pek Thay-koan pun
merasakan dadanya sesak, se-perti kena dipalu.
Walaupun kedua orang hanya saling tukar sekali gebrakan,
namun sudah dapat mengukur kepandaian lawan.
"Apa katamu" Bocah ini adalah muridmu?" dengan mata
men-delik Hi Kak Tay-ong menegas.
"Bukan, aku bukan murid iblis ini," Teng Hiau-lan membantah.
"Guruku adalah Tui-hong-kiam Ciu Jing dan Thi-cio-sintan
Nyo Tiong-eng!" "O," Hi Kak Tay-ong bersuara. "Kalau ada persoalan apaapa
boleh diurus nanti saja."
Di pihak lain, Sin-mo-siang-lo melihat ada orang dari
Kanglam- pat-hiap yang membela Teng Hiau-lan, apalagi Hi
Kak Tay-ong sudah buka suara pula, maka mereka tak berani
membikin rusuh lagi perjamuan itu, dengan menahan gusar
tak berani bersuara pula.
Setelah semua orang naik ke atas balkon terbuka itu, Hi
Kak Tay-ong menyilakan ketiga tamunya menduduki tempat
yang ter-hormat, di tempat yang disediakan untuk tamu
terhormat itu ternyata masih kosong dua tempat lagi.
Hi Kak sendiri menduduki tempat tuan rumah dan Sin-mosiang-
lo pun duduk di tempatnya sendiri. Di samping itu masih
ada empat orang pula yang menemani.
Hi Kak Tay-ong memperkenalkan keempat orang itu satu
per satu, "Yang di sebelah kanan ialah Ling-hun Tocu Wei
Yang-wi dan yang sana adalah Hay-hun Hwesio dari Ngo-cisan,
sedang yang di sebelah kiri ialah Thay-ouw Cecu Bing Bukong
dan yang lain adalah ahli obat dari Sing-siok-hay, Thianyap
Sanjin!" Menyusul Sin-mo-siang-lo pun diperkenalkan
kepada Pek Thay-koan bertiga.
Mendengar nama orang-orang itu, Pek Thay-koan dan Teng
Hiau-lan terkejut sekali. Hay-hun Hwesio adalah ahli pedang
yang disegani di Lamkiang atau daerah selatan, sudah lebih
dua puluh ta-hun mengasingkan diri di atas gunung Ngo-cisan,
di pulau Haylam (Hainan), jauh-jauh ia tinggal di pulau
yang terpisah dari daratan, sudah lama tidak pernah
menginjakkan kaki ke pedalaman. Hwe-hun Tongcu Liong
Bok-kong yang membunuh Ciu Jing bukan lain ialah muridnya.
Sedang Thay-ouw Cecu Bing Bu-kong adalah orang kedua
atau tangan kanan Hi Kak sendiri, ia mahir ilmu Thi-soa-cio
(tela-pak tangan pasir besi), senjatanya "Go-bi-ji" (sejenis
cundrik), me-rupakan senjata yang dapat dipakai di darat dan
air, ilmu silatnya tidak di bawah Hi Kak. Ahli obat dari Sing-siok-hay, Thian-yap Sanjin, satu-satunya
orang yang tak dikenal asal-usulnya, tetapi kalau melihat
mukanya yang merah kuat seperti anak muda dan rambutnya
subur, tingkah- lakunya bergaya sebagai imam berilmu, begitu
melihat segera akan tahu dia pasti seorang tokoh yang tinggi
ilmu Lwekangnya. Mengenai kelihaian Sin-mo-siang-lo sudah tak perlu
dicerita-kan lagi, Teng Hiau-lan sudah cukup merasakannya.
Oleh karena itu ia membatin, "Dengan Bu-lim-ko-jiu (ahli silat
kelas tinggi dunia persilatan) yang begini banyak, seumpama
Li Siang-siang dan Pek Thay-koan punya kepandaian lebih
tinggi lagi, rasanya susah juga melawan mereka."
Ketika ia pandang dua rekannya itu, ia lihat Pek Thay-koan
memang rada berubah air mukanya, sedangkan Li Siang-siang
ma-sih bersikap biasa saja seperti tiada sesuatu yang ia
khawatirkan, malahan ia berbicara dan tertawa seperti biasa.
Sementara itu setelah para tamu berduduk, Thian-yap
Sanjin ternyata mengincar tempat duduk pertama yang masih
kosong. "Ke-napa tamu agung pertama masih belum datang?"
ia sengaja bertanya dengan nada dingin.
Ilmu silat Thian-yap Sanjin sudah terlatih sedemikian
hebat-nya, untuk pertama kali datang di Tionggoan, ia pikir
dirinya pasti akan dihormati sebagai tamu utama, tak terduga
tuan rumah ternyata tidak meminta dirinya menduduki kursi
pertama, maka dalam hati merasa dongkol.
Hi Kak Tay-ong tidak lantas menjawab, ia minta semua
orang duduk tenang, sesudah itu ia berdiri dan angkat bicara,
"Silakan Hap-congkoan hadir!"
Pek Thay-koan sendiri waktu melihat kursi pertama masih
kosong, juga merasa kurang senang, pikirnya, "Eh, kiranya
Gak-thio (bapak mertua) bukan menjamu aku saja, tapi ada
tamu agung lain-nya. Baiklah, aku justru ingin tahu macam
apakah orangnya?" Begitulah setelah Hi Kak Tay-ong bersuara tadi, di luar
segera musik berbunyi, tidak antara lama, sebarisan pelayan
cantik dengan menenteng lentera menyongsong masuk
seorang lelaki gagah tegap berusia empat puluhan lebih.
Orang ini berdandan sebagai bangsa Hwe, sinar matanya
tajam, di pinggangnya tergantung dua benda bundar serupa
bola, dengan langkah lebar ia masuk terus menduduki kursi
pertama yang telah disediakan, sikapnya angkuh.
Atas kedatangan orang ini, yang pertama berdiri adalah
Sin-mo-siang-lo, menyusul Bing Bu-kong, Wei Yang-wi dan
lainnya ikut berdiri, hanya Thian-yap Sanjin dan Hay-hun
Hwesio berdua saja yang memberi hormat dengan sedikit
membungkuk tubuh. Melihat orang ini, yang paling terkejut ialah Teng Hiau-lan.
"Aku kenal orang ini!" bisiknyapada Li Siang-siang.
Dalam pada itu Li Siang-siang dan Pek Thay-koan memang
lagi merasa heran, melihat orang itu berjalan dengan langkah
kuat dan mata bersinar, jelas Lwekangnya sangat tinggi, tapi
kalau diurut menurut tingkatan umur, tentu masih di bawah
Sin-mo-siang-lo, en-tah berdasar apa ia berani menduduki
kursi pertama itu. Karena herannya, kini mendengar Teng Hiau-lan kenal asalusul
orang, keruan mereka menjadi ingin tahu.
"Ia adalah hamba seorang sahabatku yang baru!" demikian
Hiau-lan coba menerangkan.
Sudah tentu, keterangan itu tidak memuaskan kedua
kawan-nya. Pek Thay-koan yang pertama berkerut kening, ia
mendongkol karena dalam keadaan demikian Teng Hiau-lan
masih bergurau. Na-mun dongkolnya itu segera lenyap ketika
apa yang terjadi berikut-nya membikin ia terlebih heran.
Sesudah tamu agung tadi duduk di tempatnya, matanya
me-ngerling, ke seluruh sudut, tiba-tiba ia berdiri kembali dan
mengu-lurkan tangan pada Teng Hiau-lan. "Eh, kiranya Tengheng
pun datang ke perjamuan ini, selamat bertemu
kembali!" serunya kepada pemuda itu.
Hiau-lan mengulur tangan menjabat tangan orang dan
balas menyapa dengan tertawa. "Baik-baikkah Ong-kongcu?"
tanyanya. "Baik, baik sekali! Terima kasih atas perhatianmu!" sahut
orang itu dengan sangat hormat.
Kejadian ini bukan saja di luar dugaan Pek Thay-koan dan
Li Siang-siang, bahkan semua orang, termasuk Hi Kale Tayong,
tiada seorang pun yang tidak merasa heran. Lebih-lebih
Sin-mo-siang-lo, sikap mereka seketika berubah hebat.
Sesudah itu, perjamuan lantas dimulai, Hi Kak Tay-ong
menu-angkan secawan arak ke hadapan tamu agungnya.
Hal 234 -235 hitam dan bersinar mengkilap, hal ini sungguh susah
dimengerti. Apalagi di atas Thian-hing-to terjaga keras dan
rapat, puncak tung-gal di atas pulau yang curam berbahaya
pun sukar didaki, namun pengemis tua ini seperti turan dari
langit saja, tahu-tahu muncul dan menerobos sampai di
tempat perjamuan baru diketahui para pen-jaga, kalau dia
tidak memiliki kepandaian yang menakjubkan, mana bisa
terjadi hal demikian. Karena pikiran itu, cepat Hi Kak Tay-ong menyambut
dengan hormat. "Haha! Hi Kak Tay-ong temyata betul budiman, tidak menghukum
aku yang terobosan ke sini malah menyilakan aku
minum arak," terdengar pengemis perempuan tua itu bergelak
tertawa atas sambutan tuan rumah. "Hari ini aku naik ke
puncak sini, boleh dika-ta tidak sia-sia tenagaku."
Sesudah itu ia ketok-ketok tongkatnya ke lantai sambil
berja-lan menuju ke tempat duduk utama yang masih kosong.
Keruan saja Hi Kak menjadi kaget, di meja perjamuan
hanya tinggal sebuah tempat utama yang masih menunggu
kedatangan ta-mu agung lainnya, mana boleh diduduki
pengemis perempuan tua ini" Ia jadi serba susah. Segera ia
maju mencegah. "Lothaythay (ibu tua), silakan duduk di
sebelah sana saja!" dengan tersenyum ia me-nunjuk ke satu
tempat duduk lainnya. Ia menunjuk tempat itu, tetapi si perempuan tua ternyata
tidak bergeser dan mendadak berhenti.
"Aku suruh kau datang besok malam, mengapa malam ini
kau sudah datang ke sini?" sekonyong-konyong ia bertanya
sembari me-nuding Teng Hiau-lan demi melihat pemuda
itupun hadir di antara para tetamu.
Ditegur secara begitu, Hiau-lan terperanjat, "Kiranya orang
kosen yang mencuri dan mengembalikan pedangku itu
memang betul adalah wanita tua ini!" demikian pikirnya.
Maka lekas ia berdiri tegak dan memberi hormat. "Harap
Lo-cianpwe memaafkan, Tecu diundang ke perjamuan ini oleh
Hi Kak Tay-ong, maka tak berani bolos!" tuturnya.
Tetapi demi mendengar jawaban itu, tiba-tiba pengemis perempuan
tua itu marah-marah. "Persetan dengan segala
Tecu apa! Kau bocah goblok ini apakah soal sebutan saja tidak
bisa membe-dakan?" tiba-tiba ia mendamprat. "Apa gurumu
tidak pernah mene-rangkan padamu tentang tingkatanmu di
perguruan kita?" Dibentak dan didamprat secara begitu, Hiau-lan jadi
kelabak-an, bingung, tak mengerti cara bagaimana harus
berbuat. Sementara itu terdengar Hi Kak bersuara pula. "Apakah
sau-dara cilik ini adalah kau punya Wanpwe?" dengan tertawa
ia bertanya, "kalau begitu, entah sebutan apa antara
Lothaythay dengan "Thi-cio-sin-tan" Nyo Tiong-eng?"


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hahaha! Apa Thi-cio-sin-tan segala, aku hanya tahu anak
du-ngu ini paling banyak hanya terhitung aku punya cucumurid!"
dengan gelak tertawa nenek itu menjawab.
Ling-hun Tocu Wei Yang-wi jadi heran. "Mengapabilang
"paling banyak", apakah kau sendiri pun tidak jelas akan
tingkatanmu?" tanyanya.
"Bagaimana aku bisa jelas, sedang ia baru kukenal kemarin
dulu," sahut pengemis tua itu dengan lagak angkuh. "Pada
waktu aku bertemu dia, belum tentu aku mau mengakui dia
sebagai cucu-murid! Mungkin sekali ia malah setingkat lebih
rendah dari cucu-muridku!"
Karena penjelasan itu, semua orang yang berada di situ
berke-rut kening. Mereka semua termasuk Bu-lim-cianpwe
(angkatan tua dunia persilatan), mereka mengerti usia Nyo
Tiong-eng sudah lebih setengah abad, orang-orang tua
setingkat gurunya sudah meninggal semua, darimana bisa
mendadak muncul seorang nenek pengemis pembual ini,
terang perkataannya hanya bohong belaka.
Hanya Hi Kak seorang yang berpendapat lain, ia teringat
bah-wa Teng Hiau-lan masih mempunyai seorang guru lagi,
yaitu "Tui-hong-kiam" Ciu Jing. Karena itu, tiba-tiba ia jadi
teringat lagi pada seorang, tanpa terasa ia sangat terperanjat.
Orang itu hidup pada ma-sa permulaan Kaisar Khong-hi,
hingga kini sudah beberapa puluh tahun tiada kabar ceritanya,
bahkan Hi Kak sendiri hanya mendengar
namanya dari golongan yang lebih tua, apa mungkin orang itu masih hidup
dan mendadak muncul di sini"
Tengah ia bingung dan ragu-ragu, terdengar nenek
pengemis tadi sudah buka suara lagi, "Bagaimana, sampai aku
punya cucu-murid saja kau undang menduduki tempat yang
terhormat, sebalik-nya mengharuskan aku duduk di tempat
bawahnya?" Sementara itu dengan gugup tapi cepat Hiau-lan
meninggalkan kursinya, ia memberi penghormatan besar
kepada nenek pengemis itu dengan berlutut.
Keruan saja perbuatan itu membikin gempar para tetamu
yang hadir. Di antara tetamu itu adalah tamu agung Haptoh
yang merasa paling terkejut hingga wajah berubah.
Ia tadi mengaku sebagai sahabat Teng Hiau-lan, kini tahutahu
muncul seorang nenek pengemis yang menganggap
pemuda itu sebagai cucu-murid, kalau menurut kebiasaan di
kalangan Kangouw, bukankah Haptoh harus merosot tiga
tingkatan secara mendadak!"
Dalam pada itu, Hay-hun Hwesio temyata sudah gatal
tangan, ia putar kursinya dan maju ke depan sambil mengulur
tangan. Saat itu si nenek pengemis sedang mengangkat bangun
Teng Hiau-lan, mendadak Hay-hun Hwesio ulurkan tangan
menghalang ke tengah. "Kalau mau menjalankan adat penghormatan secara
perguru-an, tak usah dilakukan di sini!" kata Hay-hun.
Perbuatan Hay-hun Hwesio ini memang bukan tiada
sebabnya. la datang jauh-jauh dari lautan selatan, tapi tak
bisa menduduki tempat utama, memangnya ia lagi mendongkol dan ingin cari perkara, kini ditambah lagak nenek
pengemis yang angkuh dan tak pandang sebelah mata pada
orang lain, tentu saja dalam hati Hay-hun tambah gemas,
maka sengaja hendak unjuk kepandaian, diam-diam ia kumpulkan
tenaga dalam hendak mencoba nenek itu dan ingin
membu-atnya malu di depan orang banyak.
Dengan latihan berpuluh tahun, sudah tentu tidak boleh
dipan-dang enteng kepandaian Hay-hun Hwesio, dengan
mengulur tangan menghalang tadi, tenaganya tidak terbatas
ribuan kati saja. - Tak terduga, tempat dimana tangannya menyenggol
ternyata lunak seperti mengenai tempat kosong, menyusul
tiba-tiba ia terkejut karena dengkulnya dirasakan linu pegal
terus bertekuk lutut. "Haya, jangan, jangan! Mengapa kau pun menjalankan
penghormatan sedemikian besar!" terdengar seruan nenek
pengemis itu. Tanpa kuasa Hay-hun Hwesio bertekuk lutut di hadapan si
nenek itu seakan menjalankan penghormatan, untung
dengan cepat ia dapat mengumpulkan tenaga dan mengatur
pemapasan sehingga ja-lan darahnya lancar kembali dan
dapat berdiri tegak lagi. Keruan saja
mukanya jadi merah padam saking malu. Kiran>a entah dengan cara bagaimana, dalam sekejap
mata tadi si nenek pengemis sudah menutuk Hiat-to di
dengkul Hay-hun Hwesio sehingga berlutut tanpa kuasa.
Tentu saja bukan main gusar Hay-hun Hwesio, dia
termasuk pemimpin cabang persilatan sendiri, mendapat malu
demikian ter-paksa ditelan mentah-mentah, diam-diam ia pun
berdaya upaya me-nuntut balas, sementara ia tidak berani
mengunjuk kemurkaan. Karena itu, seluruh ruangan jadi gempar lagi, sampai
Haptoh mau tak mau terbelalak matanya.
Yang paling serba susah adalah tuan rumah. Hi Kak Tayong.
"Bing-lote, maafkan, silakan kau saja yang pindah ke meja
sebelah sana, wakilkan aku melayani tetamu!" lekas ia
meminta Thay-ouw Cecu Bing Bu-kong. Tidak baik dia minta
tetamunya pindah tempat, terpaksa Hi Kak menyuruh wakilnya
yang mengalah. Si nenek pengemis itu ternyata tidak sungkan, dengan
lagak yang dibikin-bikin seperti tuan besar, ia pun segera
menduduki tempat yang dikosongkan itu, tempatnya justru
berada di sebelah Hay-hun Hwesio.
Segera Hi Kak menyuguh minuman pada tetamunya. Lewat
sejenak, nenek itu ternyata masih duduk di tempatnya, tiada
sesuatu tanda yang mencurigakan, barulah Hi Kak merasa
agak lega. Maka untuk meneruskan apa yang masih belum
selesai diucapkan tadi, ia lantas berdiri dan buka suara lagi,
"Pek-tayenghiong, tadi kau bilang hendak memberi sesuatu
petunjuk, nah, kini silakan bicara!"
Dengan muka gusar segera Pek Thay-koan berdiri. "Mohon
ta-nya Lotiang," tanyanya dengan suara keras, "aku Pek Thaykoan
pernah berbuat kesalahan apa hingga Lotiang tidak
mengizinkan aku berjumpa dengan bakal istriku?"
Atas pertanyaan itu, terlihat wajah Hi Kak bersungut.
"Kalau kau mengaku aku sebagai orang yang lebih tua darimu,
di kala aku hendak membikin perayaan dan mendapat gelar
raja, mengapa kau taruh dirimu di luar urusan ini?" sahutnya.
Melihat bakal bapak mertua dan anak menantu itu
bercekeok, Haptoh coba menjadi pemisah. "Sudahlah, di
antara mertua dan menantu,
ada urusan apa boleh dirunding
baik-baik, tak usah marah-marah. Menurut aku, bila Pekenghiong
bersama Kanglam-pat-hiap bersedia membantu sang
mertua, maka Hi Kak Tay-ong tentu akan menarik kembali
keputusannya dan kedua keluarga pahlawan tentu bisa terjalin
menjadi besanan, bukankah begitu?"
Hi Kak mengangguk atas ujar orang. "Itu tergantung dia!"
sahutnya. Akan tetapi Pek Thay-koan tiba-tiba tertawa menyindir.
"Lotiang angkat diri sebagai raja, jika tujuannya untuk
gerak-an melawan penjajah dan mengusir penindas, maka
Thay-koan pasti tidak akan menolak," katanya dengan gagah
berani. "Tetapi bila untuk
menerima perintah dari apa yang
disebut Si-ongya dan berniat membagi tanah air kita hingga
pecah belah, terima menjadi begun-dal dan mengekor pada
bangsa lain hanya untuk bisa menjagoi la-utan, maka mati
pun Thay-koan tidak mungkin ikut!"
Karena perkataan itu, seketika Hi Kak Tay-ong menjadi
gusar. "Thay-koan, kau sungguh kurangajar sekali!"
dampratnya murka. "Aku merajai lautan sini, tidak usah
menghadap sang kaisar dan tak perlu mengirim upeti, dimana
tempatnya yang kau anggap menodai cita-cita luhur kita?"
Atas jawaban orang yang tetap tidak mau insaf itu, Pek
Thay-koan sangat menyesal hingga sesenggukan hampir
menangis. "Lotiang, kau sungguh terlalu gegabah sekali,
ternyata engkau mau per-caya pada segala ocehan budak
Boan," demikian ia coba menyadar-kan bakal mertuanya itu.
"Kalau kau bantu menaikkan takhta apa yang disebut Sihongcu,
paling banyak engkau hanya merupakan se-orang Go
Sam-kui (nama seorang pengkhianat) saja, meskipun mendapatkan
bagian daerah untuk menjadi raja, namun tidak
akan ter-hindar dari bahaya kemusnahan! Marilah! kalau kita
hendak bergerak, maka berjuanglah secara gagah berani, apa gunanya
membantu musuh, ikut merebut kekuasaan dan menaikkan
takhta buat orang lain?"
Namun rangkaian kata-kata itu ternyata tetap sia-sia saja,
tiba-tiba Hi Kak Tay-ong membanting cawan araknya. "Kau
betul-betul tidak menurut?" bentaknya.
"Kanglam-pat-hiap, kepala boleh dipotong tetapi cita-cita
tak mungkin dihina!" sahut Pek Thay-koan dengan ketus.
Mendengar jawaban itu, mendadak Hi Kak Tay-ong tertawa
dingin. "Silakan Po-kok Siansu hadir, akan kulihat apakah betul
Kanglam-pat-hiap semua bersikap kukuh tetapi tolol seperti
kau!" ia memberi perintah pada bawahannya.
Menyusul di luar gardu terdengar musik berbunyi pula, dua
baris pengawal di luar serentak berseru menyambut tamu
agung. Ternyata penghormatan penyambutan sekarang tidak di
bawah menyambut Haptoh tadi. Menyediakan dua tempat
duduk untuk dua tamu agung, hal ini jarang terjadi, ditambah
kedua tamu agung ini sama sekali tak pernah terkenal di dunia
persilatan, hal mana membikin
orang heran. Kini bukan saja Pek Thay-koan dan Li Siang-siang berdua
yang menaruh perhatian, bahkan semua orang mengangkat
kepala memandang keluar, mereka ingin tahu manusia macam
apakah yang disebut Po-kok Siansu itu.
Sesudah genderang berbunyi tiga kali, dua belas pengawal
berbaris menjadi dua pasukan menyongsong masuk seorang
Hwesio gendut. Tangan Hwesio itu memegang Siantheng, semacam
tongkat kaum padri yang terbuat dari baja, sebesar bulatan
gelas, dengan muka cengar-cengir dan sepasang matanya
seperti mata maling terus mengincar pelayan cantik yang
meladeni di kedua samping, sedikit-pun tiada sikap terpuji
sebagai tamu agung yang harus dihormati.
Agaknya Hi Kak sendiri merasa sikap serupa itu tidak pada
tempatnya, maka lekas ia memapak ke depan.
Hwesio gendut itu berjalan lagi beberapa tindak, tapi tibatiba
ia berhenti. Dalam pada itu terdengar suara Pek Thay-koan yang
diucap-kan gemetar, "Liau-in Suheng, kiranya kau pun berada
di sini!" Nada perkataannya seperti raengandung rasa penyesalan
yang tak terhingga. Li Siang-siang dengan cepat berdiri, hanya si nenek
pengemis tadi yang masih duduk seenaknya saja di kursinya,
bahkan tertawa ding in. Liau-in Hwesio adalah kepala dari Kanglam-pat-hiap,
kiranya tiada seorang ksatria pun yang tak mengetahui di
kolong langit ini. Yang tidak diketahui mungkin adalah Liau-in
pun sudah menerima undangan Si-hongcu In Ceng dan telah
diangkat serta diberi gelar Po-kok Siansu.
Karena disapa Pek Thay-koan tadi, mendadak Liau-in
tertegun juga. Tetapi segera ia paksakan diri menjawab, "Kau
boleh datang kemari, mengapa aku tidak?"
"Kedatanganku ini pertama adalah hendak bertemu dengan
ba-kal istriku, kedua untuk mencegah Gak-thio yang akan
takluk pada Jing-ting (kerajaan Boan Jing)," jawab Pek Thaykoan
dengan bera-ni. "Dan maaf, aku bertanya, kedatangan
Suheng ke sini ada ke-perluan apa?"
Karena pertanyaan terakhir itu, muka Liau-in Hwesio yang
gemuk berminyak berubah hebat, ia gelagapan sambil
memegang tongkatnya tanpa bisa menjawab.
Kiranya pada enam tujuh tahun yang lalu, Liau-in Hwesio
telah berkenalan dengan Ling-hun Tocu Wei Yang-wi. Karena
ber-gaul dengan sahabat yang tidak baik, maka lambat-laun ia
pun ikut terjerumus. Dasarnya dia memang berasal dari kaum
begal, dahulu sesudah ia ditundukkan dan diterima sebagai
murid oleh Tok-pi-sin-ni, karena larangan perguruan yang
keras, ia tak berani sembarang berbuat sewenang-wenang,
penghidupan belasan tahun yang kosong sunyi ia lewatkan di
dalam kuil dengan perasaan tak betah. Sesudah tamat belajar
dan berpisah dengan gurunya, karena takut akan keli-haian
Tok-pi-sin-ni, ia pun belum berani berlaku sewenang-wenang
dan berbuat kejahatan. Hanya secara umpet-umpetan saja ia
datang ke pulau Ling-hun untuk berfoya-foya dengan Wei
Yang-wi. Sekalipun begitu, Tok-pi-sin-ni pun telah mendengar selentingan
itu. Lima tahun yang lalu, pada waktu Teng Hiau-lan
untuk pertama kalinya berada di Bin-san, ia dengar Tok-pi-sinni
memberi pesan pada Lu Si-nio agar murid perempuannya
itu mewakilkan dia membikin pembersihan pintu perguruan,
apabila Liau-in tetap mem-bandel dan bertambah jahat, maka
Si-nio boleh memenggal kepala-nya, bereskan jiwanya.
Dua tahun lalu, Tok-pi-sin-ni wafat di Bin-san. Pek Thaykoan
mengajak saudara sepergumannya, Co Jin-hu, Loh Binciam,
Kam Hong-ti, Ciu Sun dan kawan-kawan melayat ke
gunung, tetapi Liau-in Hwesio ternyata tidak mau ikut


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berangkat. Waktu itu Pek Thay-koan sudah merasa curiga,- namun ia
masih tak menduga bahwa sesudah gurunya mangkat, tabiat
jahat sang Suheng timbul kembali, bahkan melebihi yang dulu.
Si-hongcu In Ceng mengetahui ciri Liau-in, maka telah menyamar
sebagai rakyat biasa dan berkelana di Kangouw, lalu
meng-angkat saudara atau "kiatpay" dengan Liau-in, malah In
Ceng mem-bawa beberapa Kiongli (dayang) yang cantik dari
istana dan disu-guhkan padanya.
Liau-in Hwesio sudah makin gelap pikiran, ia tak bisa membedakan
kebajikan dan kejahatan lagi, larangan keras gurunya
sudah dibuang keluar kepala, ia terima gelar yang diberi Sihongcu
dan dengan setia hendak membalas budi
pengangkatan itu, bahkan mem-bantu pangeran itu merangkul
orang gagah kalangan Kangouw.
Walaupun Tok-pi-sin-ni sudah mangkat, tapi perbawanya
masih tetap hidup. Oleh karena itu, saat ditegur Pek Thay-koan tadi, muka
Liau-in yang gemuk seketika berubah, ia tak mampu
menjawab pertanyaan Sutenya itu. Melihat Liau-in berada dalam keadaan sulit, Hi Kak Tay-ong
menjadi khawatir. "Po-kok Siansu berilmu silat tiada
bandingan, maka Si-hongcu menganggapnya sebagai tangan
kanan. Pek Thay-koan, berani kau membantah perkataan
Suhengmu?" katanya untuk membakar hati Liau-in.
Tak tahunya demi mendengar keterangan itu, Pek Thaykoan
bertambah gusar. "Suheng, apa betul katanya tadi?"
tanyanya dengan suara keras.
Karena sudah kepepet, tiada jalan lagi, daFi malu Liau-in
ber-ubah menjadi murka. "Pek Thay-koan, kau berbicara
dengan siapa?" gertaknya.
"Bicara terhadap Suheng!" dengan tangan lurus Pek Thayk"oan
menjawab. "Maafkan, aku hendak tanya Suheng,
kesepuluh la-rangan dari Suhu, apa yang disebut pada
larangan yang pertama?"
Hendaklah diketahui bahwa Tok-pi-sin-ni asalnya ialah putri
kerajaan Bing, oleh karena itu pasal pertama dari kesepuluh
larang-annya adalah "Hoan-jing-hok-bing" (melawan Boan Jing
dan mem-bangun kerajaan Bing), siapa saja yang berkhianat
dan takluk pada musuh, para saudara seperguruan boleh
membunuhnya bersama-sa-ma tanpa ampun.
Keruan saja teguran tentang pantangan itu raembikin air
muka Liau-in seketika berubah lagi.
Sementara itu Pek Thay-koan mendesak pula. "Toasuheng
adalah kepala perguruan kita, sesudah Suhu wafat,
seharusnya Toasuheng mewakilkan beliau melaksanakan citacitanya
untuk mem-beri teladan pada saudara seperguruan!"
Akan tetapi tiba-tiba Liau-in Hwesio tertawa dingin. "Thaykoan,
soal ini boleh ditunda dulu," mendadak ia berkata. "Kau
dan aku telah berpisah selama beberapa tahun, bagaimana
dengan kema-juan kepandaianmu, hari ini juga aku ingin
menguji dirimu!" Karena kata-kata itu, Pek Thay-koan jadi terperanjat.
"Ingatkah kau apa yang telah Suhu pesankan?" Liau-in
Hwesio bertanya pula. Memang di antara anak murid Tok-pi-sin-ni, soal tua-miida
di-bedakan dengan keras sekali.
Setelah Kanglam-chit-hiap (sebelum Lu Si-nio unjuk diri)
me-rantau di Kangouw, waktu itu tanda-tanda kejahatan Liauin
masih belum tampak. Biasanya Tok-pi-sin-ni suka
memerintah dia menguji kemajuan kepandaian enam orang
adik seperguruannya. Liau-in memang paling tinggi ilmu
silatnya, tempo-tempo menggantikan gurunya memberi
pelajaran pada para Sutenya. Belakangan setelah
Liau-in berhubungan rapat dengan orang-orang jahat dan
tenggelam oleh pengaruh minuman keras dan paras cantik, ia
pun malas menguji kepandaian para Sutenya. Melihat Liau-in tidak menjawab pertanyaannya, sebaliknya
malah mengemukakan pesan gurunya untuk menangkis. Meski
men-dongkol, terpaksa Pek Thay-koan tak bisa berbuat apaapa.
"Kepandaian Siaute sebagian besar memang Suheng
yang mengajarkan, silakan menguji!" terpaksa ia menjawab.
"Bagus kalau kau sudah mengerti hal itu!" kata Liau-in pula
dengan senyum ejek. "Nah. kini coba kau unjukkan
kepandaianmu yang paling mahir kau latih beberapa tahun
ini!" Pek Thay-koan menjawab baik, sesudah itu ia berjalan
keluar. "Di luar gardu sana bunga Sante (kamelia) sedang
mekar, aku ingin memetiknya beberapa tangkai!" katanya
pada Hi Kak Tay-ong. "Silakan, kau boleh memetiknya," ujar tuan rumah itu.
"Marilah, harap para hadirin ikut aku keluar buat memilih
bunga, coba tangkai mana yang paling baik, kemudian baru
aku memetiknya," kata Pek Thay-koan lagi. Para tamu sudah lama kagum akan nama sohor Kanglampat-
hiap, sudah tentu mereka ingin sekali menyaksikan betapa
tinggi kepandaian Pek Thay-koan. Maka tanpa diundang
untuk kedua kali-nya. dengan beramai membanjir keluar.
Di sekitar rumah gardu itu ternyata penuh tumbub bunga
Sante yang lagi mekar memerah, sembari melihat sepanjang
jalan, Pek Thay-koan memilih, setelah memilih tujuh belas
tangkai, tiap bunga oleh Pek Thay-koan telah diberi tanda,
tapi tidak lantas ia petik, sebaliknya
ia kembali lagi ke dalam gardu. "Bagaimana" Tidak jadi?" tanya Wei Yang-wi heran.
"Harap semua api pelita disirapkan dahulu untuk
sementara!" tiba-tiba Pek Thay-koan meminta pada Hi Kak
Tay-ong. Permintaan itu membikin Hi Kak agak sangsi.
"Aku berada di sini, tak nanti ia berani berbuat
sembarangan!" dengan gelak tertawa Liau-in membikin
mantap hati tuan rumah. Maka Hi Kak lantas mengayun tangan, sekejap saja semua
api lilin dipadamkan. Sinar rembulan muda remang-remang, kini kebetulan
tertutup pula oleh awan, maka dalam gardu seketika menjadi
gelap gulita. Sementara itu tiba-tiba terdengar beberapa kali suara
keresek-an, semua orang menyembunyi kepala dan mengerut
leher, takut ter-kena senjata rahasia nyasar.
"Harap nyalakan lampu kembali!" dalam kegelapan
terdengar Pek Thay-koan berseru pula.
Pada saat lain, kembali ruangan gardu terang benderang
Iak-sana siang hari. "Marilah para hadirin, harap ikut aku pergi memetik
bunga," ajak Pek Thay-koan tiba-tiba. Sesudah itu ia
mendahului keluar dan diikuti beramai oleh semua orang.
Ketika mereka sampai di taman bunga sekitar gardu itu,
maka di atas tanah terlihat sudah berserakan belasan tangkai
bunga Sante, ketika dipungut dan diperiksa, ternyata bukan
lain daripada bunga-bunga yang tadi telah diberi tanda, waktu
dihitung, jumlahnya pun tidak lebih tidak kurang, persis tujuh
belas tangkai. Yang hadir dalam perjamuan itu kesemuanya adalah orangorang
gagah Kangouw dan sudah tentu mahir tentang senjata
rahasia, tetapi demi nampak kepandaian Pek Thay-koan tadi,
tidak terta-han mereka ternganga saking kagumnya.
Soalnya memang luar biasa, dalam kegelapan seperti tadi,
un-tuk mengarah dengan tepat saja susah, apalagi bungabunga
yang diberi tanda itu tidak menggerombol pada suatu
tempat, melainkan terpisah di beberapa tempat di sekitar
gardu, namun dengan gam-pang Pek Thay-koan sanggup
menyambitnya jatuh satu per satu dengan
teraling jendela. Kemahirannya dalam hal senjata rahasia ini betul-betul sudah
sampai tingkatan yang paling ajaib.
Dalam beberapa tahun paling akhir ini memang Pek Thaykoan
telah melatih diri dalam hal senjata rahasia Bwe-hoaciam,
se-dianya memang untuk berjaga-jaga apabila
Suhengnya berkhianat, maka dapat menggunakan senjata
rahasianya ini untuk menambah kekurangan ilmu silat sendiri
yang masih jauh di bawah sang Su-heng itu.
"Cara menggunakan senjata rahasia tadi, entah termasuk
hitungan atau tidak, harap Suheng suka menerangkan!"
menghormat dengan tangan melurus ke bawah ia berkata
kepada Liau-in. Sungguhpun dalam mulut ia merendah, tetapi sebenarnya
dalam hati ia merasa puas dan bangga.
Di luar dugaan, Liau-in memandang saja tidak padanya,
bah-kan dengan ketus ia menjawab, "Tidak!"
Karena ucapan itu, keruan saja seketika seluruh hadirin
menjadi gempar dan ramai, mereka menganggap perkataan
Liau-in itu keterlaluan dan bermulut besar.
Ling-hun Tocu Wei Yang-wi menganggap dirinya kenalan
lama Liau-in, maka ia buka suara. "Liau-in Taysu, senjata
rahasia Su-temu boleh dikata ajaib sekali," ujarnya dengan
tertawa. "Kami bukan
saja belum pernah melihat, bahkan
mendengar saja belum, namun
Taysu malah menganggap belum masuk hitungan, keputusan-mu itu sungguh terlalu
tidak adil!" Ternyata Liau-in hanya menjengek. "Kau betul-betul seperti
katak dalam sumur, sedikit melihat, banyak mengheran,"
sahutnya, sesudah itu ia berpaling dan berkata kepada Pek
Thay-koan. "Bunga adalah benda mati, tetapi manusia adalah
hidup, kau punya Bwe-hoa-ciam hanya boleh buat menyambit
orang biasa, tapi bagi orang yang berkepandaian sedikit tinggi
saja, tak mungkin bisa mengenai-nya!"
"Memang betul perkataan Suheng!" sahut Pek Thay-koan.
Walaupun berkata begitu, tapi dalam hati ia merasa penasaran
dan tidak terima. Bagaimana ia tidak penasaran" Orang lain kalau menyambit
Bwe-hoa-ciam paling jauh tidak lebih dari tiga tombak, sedang
dia bisa mencapai hingga lebih lima tombak, bahkan dapat
menimpuk jalan darah dan mengarah mata yang sukar
dielakkan musuh, tapi kini Toasuhengnya bilang senjata
rahasianya itu tak bisa digunakan dengan baik, sudah tentu ia
penasaran dan tidak bisa terima.
Sementara itu Liau-in Hwesio memandang Pek Thay-koan,
ru-panya ia memahami apa yang terpikir dalam hati orang.
"Kau tidak percaya bukan?" katanya dengan dingin. "Nah,
baik, aku nanti ber-diri di sana dan kau boleh menimpuk
sesukamu!" Perkataan itu seakan memandang enteng padanya, kembali
rasa amarah Pek Thay-koan memuncak. "Tampaknya
Toasuheng su-dah rela takluk kepada musuh," demikian
pikimya. "Jika itu sudah kemauannya, maka dia merupakan
musuhku juga, untuk apa akii bi-cara tentang persaudaraan
dengan dia?" Karena pikiran itu, tidak ayal lagi segera ia berjalan keluar
da-ri balkon sambi] berseru. "Jika begitu, harap Suheng hatihati!"
ia terima tantangan orang.
Liau-in pun ikut keluar ke tengah pelataran, sedang para
teta-mu sama mundur mepet ke dinding.
"Nanti dulu!" tiba-tiba Liau-in berseru sambil mengetok
tong-katnya. Kemudian ia bertanya kepada Hi Kak, "Apa kau
sedia sen-jata rahasia?"
"Tentu sedia," sahut Hi Kak dengan tertawa. "Hong-bwepiau,
Thi-cit-Ie, Po-teh-ci, Hui-hong-ciok, Liu-yap-to, semua
ada, mana yang kau inginkan?"
"Semuanya mau, boleh kau perintahkan menggotong
keluar dua keranjang!" kata Liau-in tanpa pikir.
Betul juga, Hi Kak lantas perintahkan anak buahnya
menggotong keluar dua keranjang senjata rahasia yang
diminta. Liau-in menyuruh taruh satu keranjang ke depan Pek Thaykoan,
sedang sekeranjang lainnya ia bagikan kepada jago-jago
pe-ngawal Hi Kak. "Thay-koan," katanya kemudian, "bila nanti
kau punya Bwe-hoa-ciam habis dihamburkan, boleh kau
gunakan senjata rahasia di dalam keranjang itu!"
Mendengar penjelasan itu, baru semua orang mengerti
untuk keperluan apa kedua keranjang senjata rahasia itu
disediakan, kira-nya justru untuk cadangan buat Pek Thaykoan,
keruan saja rasa gu-sar Pek Thay-koan tak terkatakan.
Setelah semuanya diatur beres, segera terlihat Liau-in ayun
tongkatnya dan diputar di atas kepala hingga merupakan satu
bun-daran, saking santarnya hingga menerbitkan suara angin
menderu, menyusul semua api lilin tersirap, sedang api lentera
yang terkurung dalam corong kain pun tak urung ikut
bergoyang tak tetap. "Nah, kini boleh mulai!" seru Liau-in kepada Pek Thaykoan.
Kini Pek Thay-koan tidak sungkan lagi, sekali ayun tangan,
maka terdengarlah suara gemerincing yang riuh ramai, ia
hambur-kan segenggam jarumnya.
Akan tetapi aneh sekali, percuma saja senjata rahasianya
itu, seperti batu yang tenggelam di lautan belaka.
Ternyata Liau-in memutar tongkatnya sedemikian rupa


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hingga merupakan satu lingkaran dan cepat hingga tak
mungkin ditembus oleh air maupun angin.
Diam-diam Pek Thay-koan berpikir, kepandaian sang
Suheng memang betul lihai, Bwe-hoa-ciam tak mungkin bisa
mengenainya. Tengah ia berdaya-upaya cara bagaimana
mengakali Suhengnya itu, tiba-tiba ia lihat Liau-in mengubah
gerakan tongkatnya. Liau-in tidak
memutar tongkatnya secepat tadi, sebaliknya menjadi lambat, ia menutul ke timur
dan menyabet ke barat dengan perlahan, karena itu kelihatan
banyak lubang terbuka. Nampak ada kesempatan, Pek Thay-koan tidak ayal, segera
ia ayun kedua tangan berbareng, susul menyusul ia
hamburkan Bwe-hoa-ciam dengan cepat, tanpa bersinar tanpa
bersuara, bila orang lain,
tidak mustahil akan tertancap oleh
jarum itu hingga akan berwu-jud seperti landak.
Akan tetapi Liau-in tidak gampang kecundang, ia masih
tetap berdiri di tempat tanpa menggeser sedikitpun, sedang
tongkatnya tidak bertambah cepat, namun jarum yang
dihamburkan sedikitpun tidak
terdengar adanya suara berbenturan, begitu mendekat tongkatnya,
seperti tenggelam di lautan tanpa bekas. Bukan main terperanjatnya Pek Thay-koan melihat Bwehoa-
ciam tak berhasil, ia mengira tentu bobot Bwe-hoa-ciam
terlalu enteng, maka tak bisa mendekati Suhengnya.
Saking gemasnya, tanpa pikir panjang lagi segera ia tukar
senjata rahasia, ia sambar sekenanya senjata rahasia yang
berada dalam tenggok yang tersedia tadi, terus ia sambitkan
sekuatnya dengan sa-ling susul.
Tak terduga, bukan saja Liau-in tidak menjadi keder,
sebaliknya ia malah merasa kurang puas, ia tertawa bergelak
dan berseru, "Masih terlalu kurang banyak! Hi Kak Tay-ong,
perintahkan bawah anmu ikut menghamburkan senjata
rahasia lainnya di dalam tenggok itu!"
Hi Kak penuhi permintaannya, ia memberi tanda, menyusul
itu senjata rahasia yang beraneka ragamnya laksana hujan
dihamburkan ke arah Liau-in.
Namun yang tertampak hanya lelatu api yang bercipratan
di-barengi suara nyaring beradunya benda keras, Pek Thaykoan
punya Bwe-boan-ciam pun ditimpukkan lagi bercampur
di antara Am-gi atau senjata rahasia lainnya.
Lewat tak lama, Am-gi atau senjata rahasia yang
berhamburan itu makin lama makin sedikit. sampai akhirnya
bukan saja Bwe-hoa-ciam Pek Thay-koan sudah habis bersih,
bahkan dua tenggok yang berisikan senjata rahasia tadipun
sudah kosong, habis. Saat itulah lilin besar dinyalakan kembali, maka keadaan
men-jadi terang benderang. Segera terdengar suara terkejut
bercampur kagum yang tak terhingga dari para tetamu setelah
mereka menge-tahui apa yang telah terjadi. "Liau-in Taysu
sungguh tiada banding-annya, kami kagum sepenuh hati!"
seru mereka berbareng. Dengan muka berseri Liau-in berdiri tegak dengan tongkat
ter-pegang melintang, ia merasa bangga sekali atas pujian
orang. Sedang di lantai terlihat segundukan besi yang bukan lain
ada-lah senjata rahasia sebanyak dua tenggok tadi, kini
merupakan besi rongsok yang tak terhitung banyaknya, ujung
tongkat Liau-in tertampak
hitam gombyok laksana bola
berbulu. Menyaksikan itu, mau tak mau Pek Thay-koan jadi
bungkam, tak bisa bersuara.
Bagaimana ia berani buka mulut" Kalau senjata rahasia tadi
telah berubah menjadi besi rongsok tak menjadi soal baginya,
tetapi Bwe-hoa-ciam yang ia yakinkan sedemikian rupa,
bobotnya enteng pula, boleh dikata tanpa suara dan tanpa
rupa, dimana ada lubang di situ tentu kena. Tetapi kini, satu
saja tidak ketinggalan, semuanya kena tersedot ujung tongkat
Liau-in, tongkat besi sembrani yang da-pat menyedot jarum.
Kemudian sedikit Liau-in menghembus napas, seketika
terbit-lah suara gemerisik aneh, bola di ujung tongkat itu
berubah menjadi bubuk terus rontok jatuh ke lantai bertumpuk-tumpuk.
Betapa tinggi kemahiran Liau-in Hwesio membikin semua
orang menjadi kesima dengan mulut ternganga saking kagum.
Dalam pada itu, dengan tongkat melintang tercekal di
tangan, Liau-in tertawa terbahak. "Thay-koan, kini kau
menyerah tidak!" "Kemahiran Suheng tiada taranya, mana berani Siaute tidak
menyerah," sahut Pek Thay-koan. "Cuma "."
"Cuma apa?" potong Liau-in. "Apa barangkali selain ilmu silat,
masih ada soal lain lagi yang kau tak rela menyerah?"
"Kalau Suheng melanggar larangan Suhu, maka Siaute
tidak mungkin menyerah!" sahut Thay-koan membusungkan
dada. Karena jawaban ketus itu, Liau-in jadi gusar, ia menjengek.
"Aku harap kau tahu gelagat sedikit, ikutlah Hi Kak Tay-ong
dan membantu Si-hongcu naik takhta," katanya. "Bukan saja
kau, bahkan semua anggota Kanglam-pat-hiap hams menurut
perkataanku!" "Dan larangan pertama dari Suhu apa Suheng tak pikirkan
lagi?" tanya Pek Thay-koan dengan bandel.
Liau-in tertawa dingin, ia mengejek. "Hm, larangan apa
sega-la" Suhu sudah meninggal, maka akulah yang paling
berkuasa se-karang! Kalau kau tak mufakat, boleh kau
kumpulkan semua sau-dara seperguruan dan bicarakan
peraturannya padaku. Kini aturan-nya adalah tongkatku ini!"
sampai di sini ia acungkan tongkatnya. "Pek Thay-koan,
nyalimu besar sekali, berani kau membangkang ajaran
Suhengmu, lekas kau berlutut buat terima hukuman!"
Serentetan perkataan itu membuat Pek Thay-koan makin
men-dongkol, tapi juga khawatir. Berpisah selama beberapa
tahun, ia li-hat kepandaian Liau-in sudah banyak lebih tinggi,
menyaksikan cara tongkatnya menyedot senjata rahasia saja,
suatu tanda Lwekangnya sudah sampai pada puncak
kesempurnaan, jangankan ia sendiri bukan
tandingannya, bahkan seumpama semua saudara seperguruan-nya
bergabung mengeroyok juga belum tentu bisa
merobohkannya, terang hinaan di depan mata sekarang sukar
dihindarkan, demikian ia berpikir.
Tetapi sebelum keadaan memuncak, tiba-tiba terdengar
seorang tertawa mengejek, "Tak punya malu! Jenazah Suhu
belum lagi dingin sudah hendak main kuasa dan menghina
Sute!" Liau-in menjadi murka, matanya melotot. "Siapa yang
berani kurangajar padaku?" gertaknya sambil memandang
sekelilingnya. Belum lenyap perkataannya, sekonyong-konyong di antara
te-tamu itu ada seorang melompat maju. "Tok-pi-sin-ni
mengirim aku ke sini buat memberi ajaran kepada muridnya
yang durhaka dan tak kenal mati atau hidup!" seru orang itu
dengan nyaring. Para tamu lainnya menjadi kaget, pandangan mereka
seketika ditumplekkan kepada orang ini. Ternyata orang ini
berparas cakap, rupanya seperti anak pelajar lemah gemulai
yang baru menginjak dewasa. Orang ini bukan lain daripada
orang yang datang bersama Pek Thay-koan, Li Siang-siang
adanya! Demi mengetahui yang tampil hanya seorang pemuda tak
di-kenal, sungguhpun murka sekali, namun Liau-in masih tak
berani segera unjuk kemurkaannya. Karena dirinya kepala
Kanglam-pat-hiap, mana boleh bertanding dengan seorang
anak muda yang ting-katannya jauh di bawahnya"
Dengan menahan perasaan, ia pun balas tertawa
mengejek. "Tok-pi-sin-ni menyuruh kau bocah ini mengajar
padaku" Haha, sungguh lucu! Sebaliknya aku hendak tanya
kau, murid siapakah kau ini" Kapan keluar dari perguruan"
Masih ingusan sudah berani sembarang mengoceh, aku akan
tangkap gurumu ke sini dan hukum dia yang tak becus
mengajar murid!" Atas perkataan Liau-in itu, semua orang tertawa riuh,
mereka geli karena pemuda lemah ini berani sembarangan
omong besar, dengan membonceng nama Tok-pi-sin-ni
katanya hendak mengajar Liau-in Hwesio segala.
Dengan ilmu silat Liau-in yang tiada tandingannya, kalau
be-tul Tok-pi-sin-ni ada pesan terakhir, maka" orang yang
diserahi tugas itu seharusnya juga kaum Cianpwe atau ketua
sesuatu cabang per-silatan, mana mungkin menyerahkan
tugas itu kepada seorang anak pelajar yang lemah begitu"
Akan tetapi Li Siang-siang sedikitpun tidak terpengaruh
oleh suara tertawaan yang mengolok padanya itu, sebaliknya
ia bersikap biasa saja. Ia tunggu suara tertawa berhenti, lalu
berkata dengan dingin, "Liau-in, kau menyatakan berani menangkap guruku"
Hm, se-umpama kau memiliki kepandaian setinggi langit,
kalau bertemu guruku tentu kau akan berlutut dan minta
ampun juga!" Sudah tentu, ucapan itu membuat Liau-in menjadi makin
murka. "Dimana gurumu?" teriaknya dengan gusar. "Aku beri
tempo ti-ga bulan padamu untuk memanggil dia menemui
aku, kalau tak kau laksanakan, biar kau lari sampai di pucuk
langit pun tak mungkin lolos! Tiga bulan lagi kau panggil
gurumu ke Thian-hing-to sini, de-ngar tidak?"
"Perlu apa sampai tiga bulan lamanya, saat ini juga guruku
sudah berada di sini!" sahut Li Siang-siang dengan tertawa.
Liau-in mengerling ke seluruh ruangan. "Mana dia" Keluar
sini!" teriaknya kalap. Namun terlihat Li Siang-siang telah mengangkat tinggi
kedua tangannya. "Berlutut!" ia menggertak. Ternyata
tangannya meme-gang sebilah pelat emas yang diangkat
tinggi. Nampak pelat emas itu, tiba-tiba muka Liau-in berubah
hebat. Pelat emas itu bukan lain adalah barang tinggalan Tok-pisin-
ni, di atasnya terukir sepuluh pasal larangan besar
perguruannya, waktu Kanglam-pat-hiap masuk perguruan,
semua pernah mende-ngar sepuluh larangan itu yang
dibacakan oleh Suhu mereka dengan mengangkat tinggi-tinggi
pelat emas itu, mereka pun pernah berlutut kepada pelat
emas itu sebagai sumpah setia.
Walaupun Tok-pi-sin-ni sudah wafat, tapi perbawanya
ternyata masih tinggal, nampak pelat emas itu, bukan main
kejut Liau-in. Menyaksikan itu, semua orang heran. Tampaknya orang ini
benar-benar utusan Tok-pi-sin-ni, demikian pikir mereka.
Melihat gelagat tak menguntungkan, lekas Hi Kak
bertindak. "Jika Taysu tunduk pada bocah ini, apakah takkan
ditertawai kaum Enghiong (ksatria) seluruh jagat!" demikian ia
membisiki Liau-in. Karena hasutan itu, rasa keder Liau-in segera lenyap dan pikiran jahatnya timbu kembali. "Walaupun Kimpay (pelat emas) ini memang betul barang tinggalan Suhu, tetapi Suhu sudah mati. di jagat ini siapa yang mampu mengatasi aku, buat apa takut padanya!" demikian batinnya. Dalam pada itu, terdengar Li Siang-siang membentak lagi, "Liau-in, apakah kau
berani membangkang guru dan berkhianat pada leluhur" Tidak
lekas berlutut kau!"
Tetapi jawaban Lau-in adalah mendadak membentak,
berba-rcng telapak tangannya terus memukul ke depan,
berniat menghancurkan pelat emas itu.
Namun Li Siang-siang pun cukup sebat, tangan kiri
mengayun dan tangan lainnya segera menyimpan kembali
pelat emas itu ke bajunya, di antara guncangan keras angin
pukulan itu, ikat kepala Li Siang-siang yang hijau tersingkap
dan kabur jatuh, maka rambutnya yang panjang lebat segera
tertampak jelas. "He, kiranya kau adalah Pat-moay (adik kedelapan)!" sem
Pek Thay-koan melonjak ketika melihat rambut itu.
Memang tidak salah, pemuda yang lemah gemulai dan
mengaku bernama Li Siang-siang ini memang bukan lain ialah
Lu Si-nio. Teng Hiau-lan girang bercampur kejut, hatinya berdebar.
batinnya, "Siang-siang (dua-dua) sama dengan Si (empat),
terang na ma Siang-siang ini nama pedengan Lu Si-nio, aku
sungguh tolol sekali, begini saja tak mampu memikirkan!"
Ketika ia memandang lagi pada Lu Si-nio, tertampak nona
itu masih tenang-tenang saja menghadapi Liau-in dengan tak
gentar. Di pihak lain, dengan pukulannya tadi Liau-in tak dapat
merobohkan Lu Si-nio, ia pun rada heran.
Segera ia maju ke tengah dengan menjinjing tongkatnya
yang bulatan tengahnya sebesar cawan.
"Apakah kau murid penutup (terkecil) Suhu yang bernama
Lu Si-nio?" tanyanya. "Perguruan kita biasanya sangat


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengutamakan tua dan muda, kini untuk pertama kali kau
bertemu Suheng, menga-pa kau tidak berlutut memberi
hormat?" Atas teguran itu Lu Si-nio malah balas mendamprat. "Cis,
kau tak menurut pada larangan Suhu, kau sudah menjadi
murid durhaka perguruan, kini setelah melihat Kimpay kau tak
berlutut, malah berani bicara tentang peraturan perguruan
denganku" Dan bagaimana kau masih punya muka buat
mengaku sebagai Suheng padaku?"
Roman Liau-in dari hijau berubah jadi putih dan dari putih
balik jadi merah. Saking malu ia menjadi murka. "Lu Si-nio!
Kau berani berbuat apa?" gertaknya gusar.
"Aku hendak melaksanakan pesan Suhu, menghimpun
saudara seperguruan dan minta pertanggungan jawabmu!"
sahut Lu Si-nio. "Jika kau masih tidak mau mengubah
kelakuanmu, maka segera kami penggal kepalamu untuk
dibuat sembahyang kepada arwah Suhu di alam baka!"
Mendengar itu saking murkanya Liau-in bergelak tertawa
ma-lah. "Siausumoay, berapa tahun kau belajar silat, lantas
berani kurangajar di depan Suhengmu?" serunya dengan
masih tetap tertawa. Namun dengan sekali lompatan
membalik, Lu Si-nio meloncat keluar kalangan. "Liau-in, aku
pun hendak melihat sebenarnya berapa
banyak kepandaian yang telah kau warisi dari Suhu!" teriaknya menantang.
Tawa Liau-in malah menjadi-jadi bagai orang gila. "Aku sudah
malang-melintang setengah umurku, belum pernah ada
orang berani menantang di hadapanku!" katanya. "Tidak
nyana kini Su-moay malah menantang sang Suheng!"
Sementara itu Lu Si-nio sudah melolos pedang dan
dituding-kan ke depan. "Siapa sudi menjadi Sumoaymu?"
dampratnya. Mendapat dampratan berulang-ulang, mendadak suara
tertawa Liau-in berhenti. [a ketok tongkatnya ke lantai. "Kau
belum cakap untuk menantang aku!" bentaknya tiba-tiba.
"Para tamu terhormat yang berada di sini, siapa kiranya yang
sudi mewakilkan aku me-nangkap budak hina ini?"
Para tamu yang hadir semuanya kalau bukan tokoh dunia
persilatan yang tersohor, tentu adalah benggolan dari
kalangan Kang-ouw, melihat Lu Si-nio hanya seorang gadis
muda jelita, mereka menduga pasti tak seberapa tinggi ilmu
silatnya, maka dengan sen-dirinya suka memberi jasa baik
kepada Liau-in, seakan takut ketinggalan, mereka melolos
senjata terus melompat maju ke tengah.
Melihat keadaan demikian ini, Lu Si-nio memutar
pedangnya, segera menerbitkan sinar dingin yang gemerdep.
"Tak punya malu, apa kalian hendak main keroyok?" serunya
menyindir. Karena itu, semua orang yang maju jadi mengkeret dan
tertegun seketika. Mereka termasuk tokoh Kangouw yang
telah punya nama, sudah tentu mereka tak ingin mendapat
nama jelek. Pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar Haptoh yang
menduduki tempat utama tadi membuka suara, "Hendak
bertanding boleh keluar sana! Satu lawan satu, harus menurut
peraturan Kangouw, jangan mengacaukan ketentuan itu!"
Dengan beberapa perkataan itu, meski suaranya tidak
terlalu keras, tapi cukup membikin pekak telinga orang hingga
mendenging seperti orang dibentak di tepi kuping saja,
bahkan orang-orang yang berdiri sedikit jauh di luar gardu
sana pun seperti mendengar halilintar menggelegar.
Seketika itu juga, baik dalam ruangan maupun di pelataran
luar, semua menjadi kuncup dan sunyi.
Baru kini orang-orang gagah yang hadir itu mengenal
Haptoh yang menduduki tempat tamu agung itu memang
bukan tiada sebabnya, nyata memang betul-betul mempunyai
keahlian yang tinggi. Lu Si-nio melihat Haptoh telah pamerkan Lwekangnya
dengan kepandaian "Say-cu-hau" (singa mengaum),
wibawanya membikin keder para orang gagah, segera ia tarik
napas dalam-dalam dan hendak
membalas pameran orang itu. Namun belum sampai ia bertindak, tiba-tiba terlihat Thianyap
Sanjin melompat maju. "Memang betul apa yang Hap-congkoan katakan!" serunya.
"Hari ini yang hadir semuanya tokoh ternama Bu-lim, setiap
orang boleh unjuk kepandaian di luar sana dan bertanding di
atas puncak, biar aku orang pegunungan ini bisa bertambah
pengalaman. Sekarang aku yang sudah tua bangkotan boleh
membuka jalan bagi para Enghiong!"
Habis berkata, ia berdiri di tengah kalangan sambil
membungkuk memberi hormat. Akan tetapi dengan sikapnya
itu sekaligus ia telah unjuk kemahiran. Seketika itu juga angin
santar meniup, me-nyusul daun jendela berkaca berbunyi
kelotakan, kemudian terdengar
pula Thian-yap Sanjin bersuit
panjang, ketika ia berdiri tegak kembali, angin pun berhenti,
daun jendela semuanya ternyata sudah terbuka, di luar bunga
rontok bertebaran, tangkai daun mendoyong miring ke sana
sini, laksana habis disiak oleh tangan manusia saja.
Nyata kelcuatan telapak tangan Thian-yap Sanjin sudah
sedemikian tinggi sehingga dari jauh sanggup mengguncang
pohon dan merontokkan bunga dalam jarak antara dua tiga
puluh tindak, sedang kaca jendela sebaliknya tidak menjadi
hancur dan pecah. Menyaksikan kepandaiannya itu, bukan saja yang lain, tidak
terkecuali Liau-in, Haptoh, Lu Si-nio dan Hay-hun Hwesio yang
ter-hitung tokoh kelas wahid juga merasa di luar dugaan,
seketika itu juga suara tepuk tangan segera terdengar
bergemuruh sebagai tanda memuji.
Dengan muka berseri-seri puas, Thian-yap Sanjin bersama
Hi Kak berjalan keluar gardu besar itu.
Melihat para tamu yang hadir itu tidak kurang dengan
orang-orang kosen, bahkan tiap orang memiliki kepandaian
yang tinggi sekali, tak terasa Pek Thay-koan menjadi agak jeri.
"Pat-moay, harap kau sedikit hati-hati!" diam-diam ia memberi
pesan pada Lu Si-nio. Dalam pada itu Lu Si-nio memang lagi berpikir cara
bagaimana harus bertindak untuk menghindarkan bahaya dari
keroyokan benggolan itu. Tiba-tiba ia lihat si nenek pengemis
tadi memperlihatkan senyum ejek, tapi nenek itupun keluar
bersama orang banyak. Tergerak hati Lu Si-nio, tengah ia berniat menyapa, nenek
pengemis itu sudah keburu menyelusup di antara orang
banyak dan berjalan keluar berdampingan dengan Thian-yap
Sanjin. Setelah keluar dari gardu dan melewati gunung-gunungan
pal-su, di sebelah sana terdapat lapangan luas, di tengah
lapangan ter-sedia komplit macam-macam senjata, Semua
orang lantas berdiri berjajar hingga berwujud satu Iingkaran.
Lu Si-nio, Pek Thay-koan dan Teng Hiau-lan berduduk di
suatu tempat, sedang di pihak lain Haptoh, Liau-in dan Hi Kak
bertiga pun duduk di suatu tempat yang berhadapan dengan
mereka. Lebih dulu Hi Kak berdiri dan angkat bicara. "Pek Thaykoan
dan Lu Si-nio bersalah, mereka tak mau mengalah pada
Suhengnya, Po-kok Siansu tidak ingin bergebrak dengan
Siaupwe (tingkatan ke-cil), kini kita selesaikan menurut
peraturan Bu-Iim dengan satu lawan satu, Enghiong mana
yang sudi mewakilkan Po-kok Siansu
memberi ajaran pada kaum Siaupwe ini?"
Baru habis berkata, tiba-tiba Li^u-in mencegah, "Nanti
dulu!" "Po-kok Siansu masih ada petunjuk apa?" tanya Hi Kak
Tayong. "Menurut pesan dari Suhu, aku diwajibkan menguji
kepandaian para saudara seperguruan," sahut Liau-in. "Nah,
Lu Si-nio, kalau kau memang murid penutup Suhu, malah kau
tadi sudah menonjol-kan pula pasal-pasal larangan Suhu buat
melawanku, kini kita untuk pertama kalinya bertemu, kau
tidak menyembah pada Suheng, hal ini boleh dianggap sudah,
tapi kau perlu mengunjuk kepandaian yang telah kau pelajari
dan dipertontonkan di sini, biar aku menim-bang apakah kau
memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam salah satu
Kanglam-pat-hiap atau tidak?"
Menurut peraturan dunia persilatan umumnya, bila sang
guru sudah meninggal dan di antara anak muridnya terdapat
persoalan, maka Ciangbunjin atau pejabat ketua wajib
membikin pembersihan dalam perguruan dan orang yang
menjabat Ciangbunjin kebanyakan ialah murid pertama. Tetapi
kalau Ciangbunjin sendiri yang meng-khianati perguruannya,
maka akan diputuskan bersama oleh para saudara
seperguruan dengan bersembahyang di depan pemujaan sang
guru, lebih dulu dipecat dari perguruan lalu beramai menghukumnya.
Kini Lu Si-nio mendapat pesan tinggalan gurunya,
walaupun ia boleh bertindak sebagaimana mestinya, namun
harus pula melalui cara yang lazim tadi, lebih dulu ia
mempermaklumkan hal itu kepa-da khalayak ramai, baru
setelah itu memecat Liau-in. Kalau peraturan
itu tak dijalankan tentu kalangan persilatan masih tetap mengaku
Liau-in sebagai kepala Kanglam-pat-hiap atau delapan
pendekar dari Kanglam. Kini Liau-in selaku Toasuheng hendak menguji kepandaian
silat Lu Si-nio, tujuan Liau-in sebenarnya adalah karena ia
sangsi, jangan-jangan gurunya pilih kasih, menurunkan
kepandaian rahasia apa kepada Lu Si-nio, maka lebih dulu ia
hendak menjajalnya. Sebaliknya dalam pendengaran Thay-koan, ia anggap Liauin
sengaja hendak menghina Sumoay sendiri.
Sedang dalam pandangan orang lain, meski mereka
mengang-gap sikap Liau-in itu agak keterlaluan, namun masih
belum mero-sotkan derajatnya sebagai seorang Suheng.
Keruan saja seketika itu pandangan semua orang menatap
Lu Si-nio, mereka ingin tahu apa dia terima dihina mentahmentah
oleh Suhengnya. Lebih-lebih mereka ingin mengetahui
kepandaian apa yang dimiliki si nona.
Tak tahunya Lu Si-nio hanya tertawa dingin saja. "Apa yang
kau tertawakan" Kau mau taat pada peraturan per-guruan
atau tidak?" Liau-in mendamprat lagi.
Namun Lu Si-nio tidak gubris padanya, ia tetap tertawa,
tertawa terus dan tertawa tiada hentinya.
Karena orang hanya tertawa dan tidak gubris padanya,
mula-mula Liau-in bertambah murka, tapi kemudian
mendadak air muka-nya berubah hebat.
Ternyata suara tertawa Lu Si-nio ada begitu ulem, begitu
ha-lus, bibirnya terlihat bergerak perlahan dan semua orang
yang ber-ada di situ lantas mendengar semacam suara
tertawa yang nyaring lembut dan naik turun alunan suaranya,
berirama dan seperti terpu-tus-pums pula, tapi lantas
tersambung kembali. Sekejap kemudian, suara tertawanya
mulai berlainan, kini nadanya makin tinggi, makin keras
suaranya dan makin jauh berkumandang, suara tertawa itu
seperti datang dari angkasa saja.
Lewat sejenak kemudian, tiba-tiba Si-nio tertawa tambah
keras, suaranya berkumandang hingga saling sahut di antara
lembah gunung, kemudian makin keras hingga menimbulkan
suara gemuruh seperti pertempuran sengit di medan perang.
Akhirnya suara tertawanya berhenti, tetapi suara yang
berkumandang masih saling sahut di antara lembah sunyi,
laksana puncak gunung tunggal pulau ini bersembunyi banyak
sekali dewi kahyang-an yang lagi menertawai Liau-in dengan
tiada hentinya. Dengan tertawa dinginnya itu, justru Lu Si-nio telah unjuk
Lwekangnya yang hebat sekali.
Orang yang sudah tinggi Lwekangnya, dapat tarik suara
dan atur napasnya sedemikian panjang dan jauh, suaranya
berkumandang dan bergelombang. Dengan suara tertawanya
tadi justru Lu Si-nio telah membuktikan betapa kuat tenaga
dalamnya. Caranya itu tak sama dengan Haptoh yang
mengaum hebat. Tetapi buat golong-an ahli, dengan suara
tertawa yang ulem halus itu, jauh lebih hebat daripada ilmu
auman singa yang Haptoh pamerkan tadi.
Memang Lu Si-nio cerdik sekali, dengan berlagak tertawa ia
mengunjuk ilmu silatnyu yang tinggi, caranya tidak melanggar
peraturan perguruannya, memenuhi pula permintaan Liau-in
yang hendak menguji padanya. Sudah tentu, perbuatannya diam-diam sangat dikagumi
oleh para jagoan yang hadir, semua takjub oleh keberanian
dan kecer-dikan Si-nio. Walaupun berubah air mukanya, namun Liau-in tak mampu
berbuat apa-apa, malah diam-diam ia merasa terkejut dan
heran, ba-gaimana Sumoay ciliknya ini bisa memiliki
kepandaian setinggi itu, tampaknya tidak di bawah dirinya..
Begitulah, maka setelah selesai tertawa. segera Lu Si-nio
men-desak maju lagi. "Hubungan seperguruan sudah putus,
kini aku me-wakilkan Suhu buat bikin pembersihan
perguruan!" katanya sambil mengangkat pedang.
Baru habis berkata tiba-tiba terdengar suara siiitan keras,
me-nyusul di tengah lapangan telah muncul seorang.
Orang ini mengenakan kopiah berujung lancip seperti
tanduk kambing, tubuhnya memakai jubah hitam pertapaan,
tangannya pun mencekal sebatang pedang yang bersinar
mengkilap. " "Aku wakilkan Liau-in Taysu mengajar Siaupwe," demikian
seru orang itu. Dia bukan lain daripada Hay-hun Hwesio, ahli pedang dari
Ngo-ci-san di pulau Hay-lam (Hainan) yang namanya
menggetarkan daerah selatan.
Tadi ia kena dipedayai oleh si nenek pengemis,


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memangnya ia lagi mendongkol sekali, sebenarnya ia tidak
sudi bergebrak mela-wan Lu Si-nio, tapi kemudian setelah
menyaksikan Lwekangnya yang tinggi, ia merasa bergebrak
melawan Si-nio masih tidak merosotkan derajatnya, ia pikir
dengan Kiamhoatnya akan dapat me-ngalahkan si nona
sehingga dapat menutupi malunya tadi.
Sementara itu, dengan roman keren Lu Si-nio melompat
mun-dur sejauh tujuh delapan tindak. sesudah itu pedang di
tangannya memutar terus menuding ke depan. tangan lain
lurus ke bawah dan mata memandang ujung pedang, kaki
pasang kuda-kuda dengan ku-at sekali laksana gunung yang
tak goyah. sikapnya tenang seperti air telaga yang jernih.
"Hay-hun Taysu dengan Kiam-hoatnya yang tersohor di
selu-rah benua dan menjagoi daerah selatan," Lu Si-nio
berkata dengan dingin, "kalau sudi memberi petunjuk, aku
yang menjadi kaum mu-da merasa beruntung sekali!"
Dengan perkataan itu, kelihatannya merendah hati, tetapi
sebe-narnya tajam menantang.
Oleh karena itu segera air muka Hay-hun Hwesio kemerahmerahan,
ia lihat Si-nio unjuk senjata dan berdiri tegak, terang
ke-pandaiannya tidak boleh dipandang enteng, maka diamdiam
ia pun rada jeri dan menyesal, ia khawatir dengan
namanya yang sudah tersohor itu, kalau menang masih
mendingan, sebaliknya kalau ka-lah, hal ini sungguh celaka
baginya. Karena ragu-ragu, maka walau pedangnya sudah mulai
berge-rak, namun tak berani sembarang menyerang dahulu.
Di pihak lain, Lu Si-nio cukup mengetahui kelihaian lawan,
oleh sebab itu ia sengaja tenangkan diri dan menanti. ia jaga
rapat dirinya. "Katanya Taysu hendak mengajar kaum
Siaupwe, tetapi mengapa tidak lekas turun tangan!" ejeknya.
Dalam pada itu, ratusan mata semuanya menatap ke
tengah ka-langan pertarungan, bahkan terdengar ada orang
tertawa menyindir. Merasa dirinya menjadi sasaran ejekan orang, Hay-hun
Hwesio menjadi murka. "Lihat senjata!" gertaknya tiba-tiba, lalu tangannya
bergerak, senjata dengan membawa sambaran angin santar
segera membabat. Lu Si-nio cukup waspada, pedangnya bergerak, ia angkat
ke atas terus diputar balik, dengan gerakan "Biau-jiu-ti-sing"
atau tangan halus memetik bintang, senjatanya dapat
menahan pedang Hay-hun, berbareng ia dorong ke depan,
ujung pedang terus menga-rah pundak lawan.
Dengan bergerak lebih dulu tadi, tak tahunya Hay-hun
Hwesio berbalik malah menjadi terserang, maka lekas ia
memutar pedang, dalam sekejap ia dapat mematahkan
serangan Si-nio, kemudian dengan
cepat memutar tubuh seperti kitiran, segera sinar pedang me-menuhi seluruh
kalangan seakan ular naga yang lagi menari, ia ku-rung Lu Sinio
di da"am sinar pedangnya.
Begitu bergebrak, kedua orang saling mengetahui telah
kete-mukan tandingan berat, kini kedua belah pihak berebut
menyerang, cepat lawan cepat, dalam sekejap sudah
bergebrak hampir lima pu-luh jurus dan masih belum tampak
keunggulan masing-masing.
Lu Si-nio merasa gaya serangan lawan sangat aneh,
tampak-nya seperti di depan, tapi tahu-tahu telah berada di
belakang, kelihatannya menyerang kanan, mendadak
menjurus ke kiri. "Pantas namanya menggetarkan daerah selatan, ternyata
me-mang betul Kiam-hoatnya berlainan dengan Tionggoan
(daerah tengah)," begitu pikirnya. Llntung Si-nio memiliki ilmu entengi tubuh yang bagus,
gerak tubuhnya enteng dan gesit, walau belum mendapatkan
akal untuk memecahkan tipu serangan musuh, namun tidak
sampai kecundang. Lewat tidak lama, Hay-hun Hwesio yang merangsek terusmenerus
masih juga belum berhasil, ia tambah ganas lagi, tiap
tipu serangan berubah tiada tentu dan sukar diraba.
Tetapi Lu Si-nio pun tidak kurang tangkasnya, ia berlari mengitari
lapangan pertempuran, gayanya laksana kupu-kupu
yang menari dan menyelusup di antara tangkai bunga, baju
putihnya melam-bai tertiup angin, di waktu berputar cepat,
hanya tertampak segu-lungan bayangan putih yang kabur
terbawa angin. Sampai akhirnya di dalam lingkaran sinar pedang itu, tak
bisa dibedakan lagi mana bayangan senjata dan mana
bayangan orang. Buat golongan ahli yang hadir, melihat Lu Si-nio terus
berlari mengitar dan main berkelit, lebih banyak terserang
daripada menyerang, mereka mengira tentu tenaganya
kurang, maka hendak meng-gunakan kegesitan untuk
mengulur waktu, menanti kesempatan untuk merangsek
kembali. Cuma Kiam-hoat Hay-hun Hwesio begitu cepat dan
hebat laksana sambaran kilat, hanya main berkelit dan
menghindar saja, mereka menyangsikan apakah Lu Si-nio
sanggup melayani terus. Teng Hiau-lan sendiri ikut berdebar, ia khawatir
keselamatan Si-nio, telapak tangan berkeringat saking
khawatirnya, karena di-genggam kencang sambil menahan
napas apabila Si-nio berada da-lam keadaan bahaya.
"Bagaimana baiknya" Tampaknya Lu-cici tak mampu
menan-dingi keledai gundul itu!" katanya kepada Pek Thaykoan
sambil memegang tangan orang.
Melihat perubahan roman Teng Hiau-lan yang khawatir itu,
Pek Thay-koan menghiburnya. "Jangan takut, ia cukup mampu
me-lawannya!" sahutnya.
Biarpun berkata begitu, tapi sebenarnya dalam hati Pek
Thay-koan pun merasa khawatir.
Di antara orang-orang itu, hubungan Thian-yap Sanjin
paling karib dengan Hay-hun Hwesio. Melihat Hay-hun Hwesio
berada di atas angin dan terus merangsek lawannya, ia
senang sekali. "Hay-hun Taysu memang luar biasa," ujarnya
tertawa girang. "Kiam-hoat-nya begitu ajaib, bocah
perempuan ini sanggup menahannya sede-mikian lama sudah
boleh dikata hebat, memang tidak malu sebagai salah seorang
dari Kanglam-pat-hiap!"
Dengan perkataannya ini, di satu pihak sengaja memuji
Hay-hun, sedang di lain pihak ia menjunjung kehormatan
Liau-in. Akan tetapi Liau-in ternyata bersikap dingin saja, ia
tersenyum tawar dan mengerut kening, tapi tidak berkata apaapa.
"Thian-yap Sanjin, kau punya Lwekang memang tinggi
sekali, tapi dalam hal Kiam-hoat rupanya kau belum cukup
dalam menye-laminya!" tiba-tiba Pat-pi-sin-mo Sat Thian-ji
menyeletuk. Dikatakan dirinya belum cukup dalam mempelajari Kiamhoat
atau ilmu pedang, keruan Thian-yap Sanjin menjadi
murka. "Apa" Kau maksudkan penglihatanku salah?" teriaknya
gusar. "Tidak, tidak! Mana aku berani berkata, begitu!" sahut Sat
Thian-ji. "Cuma menurut pandanganku yang bodoh ini, Kiamhoat
anak dara ini jauh lebih pandai daripada Hay-hun Taysu!"
Sebenarnya Sat Thian-ji juga bukan ahli Kiam-hoat, hanya
saja dia pernah bertempur dengan Lu Si-nio di Bin-san dahulu
dan te-lah merasakan pahit getirnya, bahkan dengan kekuatan
mereka ber-dua saudara juga belum dapat mengalahkan si
nona. Hal itu sudah terjadi lima tahun yang lalu, kini melihat
gerak tubuh Lu Si-nio, tampaknya sudah banyak lebih maju
daripada dahulu. Karena itulah, begitu melihat Hay-hun
Hwesio merangsek dan menyerang lawannya dengan kalap,
hal itu justru meniru caranya dulu melawan Si-nio, maka ia
berani memastikan pendapatnya tadi, dengan demikian ia
bermaksud hendak unjuk kejituan penglihatan-nya, berbareng
untuk menjatuhkan nama baik Thian-yap Sanjin.
Perbuatannya ini sebenarnya bukan tiada sebab. Seperti
dike-tahui, Sin-mo-siang-lo diundang oleh Si-hongcu dengan
kehormatan selaku "Kok-su" atau imam negara, ia mengira
sudah boleh anggap diri paling kuasa, tak terduga, orang
pandai yang diundang makin lama makin banyak, sampai
kepala Kanglam-pat-hiap Liau-in Hwesio
pun ikut diundang. Kini bertambah pula Hay-hun Hwesio dan Thian-yap Sanjin,
sedangkan tingkatan Thian-yap Sanjin tampaknya masih di
atas dirinya. Oleh sebab itu mereka bersaudara khawatir kalau
kedudukan mereka kian lama kian terdesak dan makin rendah.
maka ia sengaja ambil kesempatan baik ini, pada waktu orang
lagi bertempur, sengaja ia berbicara tentang ilmu pedang
orang untuk merusak nama dan menurunkan harga Thian-yap
Sanjin. Sudah tentu pikiran sempit Sat Thian-ji itu tidak disadari
oleh Thian-yap Sanjin, maka atas jawaban orang tadi ia
menjadi tambah penasaran. "Kalian bersaudara agaknya juga
bukan ahli Kiam-hoat!" demikian debatnya lagi.
Dengan perkataannya itu, ia setengah hendak menyindir
ilmu silat Siang-mo tidak lebih hanya ajaran golongan liar yang
tak ter-kenal. Sudah tentu Sat Thian-ji mengerti maksud perkataan
orang, maka ia sengaja mengungkit lagi. "Bukannya aku
sengaja membe-sarkan kemahiran musuh dan merendahkan
kepandaian kawan sendiri,"
sahutnya, "tapi menurut
pandanganku, tidak sampai setengah jam, Hay-hun Hwesio
pasti akan mengalami kekalahan! Kalau San-jin tak percaya,
beranikah kau bertaruh?"
"Bertaruh?" tanya Thian-yap Sanjin. "Bertaruh apa?"
"Kalau meleset penglihatanku, kami berdua segera pulang
ke Niau-eng-to!" sahut Sat Thian-ji.
"Jadi!" Thian-yap Sanjin terima baik tantangan itu. "Kalau
aku yang salah lihat, maka aku pun segera pulang kandang!"
Begitulah selagi mereka hendak berjabat tangan sebagai
per-nyataan akur, tiba-tiba Haptoh dan Liau-in keburu menarik
pergi mereka berdua. "Buat apa harus begitu!" kata mereka berbareng. "Kita
masih harus membantu Si-hongcu naik takhta sepenuh
tenaga, mana boleh k"ta bertengkar dan melemahkan
kekuatan sendiri! Menurut kami, lebih baik kalian mengubah
cara taruhan itu. Begini saja, jika Hay-hun Hwesio yang
menang, maka hal ini boleh dianggap berakhir, tetapi kalau
kalah, maka kalian berdua boleh pergi menempur anak dara
itu, coba siapa yang berhasil menangkapnya!"
Sat Thian-ji bungkam, ia tidak buka suara, tidak demikian
dengan Thian-yap Sanjin, ia masih merasa penasaran. "Aku
tidak sudi bergebrak dengan kaum Siaupwe (anak kecil),"
ujarnya. "Lagipula anak dara ini jelas bukan tandingan Hayhun,
buat apa aku maju sendiri!"
Sembari berkata, rasa gusarnya pun tertampak di parasnya.
Tetapi Liau-in dan Haptoh sudah menarik pergi mereka
berdua dan memisahkan di suatu tempat, mereka berpikir
setelah urusan beres, biar siapa yang menang bertaruh,
keduanya akan diakurkan kembali.
Begitulah insiden itu baru berakhir, waktu mereka melihat
ke tengah kalangan lagi, pertarungan ternyata makin hebat,
Lu Si-nio masih tetap berlari mengitari lapangan, sedang Hayhun
Hwesio ju-ga tetap merangsek dan menyerang dengan
kalap, dari Iuar tampak-nya keadaan belum berubah, tapi bagi
kaum ahli sudah terlihat jelas walaupun Lu Si-nio berada
dalam kurungan sinar pedang, namun ia mulai mertyambut
serangan orang, malah balas menggempur, kini ia sudah mulai
balas merangsek sambil membela diri.
Melihat perubahan itu, Liau-in masih anggap sepi, tetapi
lain dengan Haptoh, ia merasa heran dan terkejut sekali.
"Apa betul penglihatan Sat Thian-ji bahwa Kiam-hoat anak
dara yang ajaib ini masih berada di atas Hay-hun Hwesio?"
demikian ia bertanya-tanya dalam hati.
Sementara itu Pek Thay-koan pun sudah dapat mengetahui
adanya perubahan kedudukan itu, hanya Teng Hiau-lan saja
seorang yang masih merasa berdebar dan khawatir.
Kiranya setelah hay-hun Hwesio bertukar sekali serangan
dengan Lu Si-nio, segera ia mengetahui bahwa Si-nio adalah
tandingan tangguh yang jarang dijumpai selama hidupnya.
Oleh sebab itu juga, ia keluarkan seluruh kemahirannya, ia
pikir dengan rangsekan yang luar biasa akan dapat
memperoleh kemenangan dan sekaligus unjuk
ketangkasannya di hadapan orang banyak.
Semula ia mengira meski Kiam-hoat Lu Si-nio tinggi, tapi
ba-gaimanapun juga ia adalah seorang wanita, tenaga
maupun penga-laman tentu masih jauh di bawah dirinya. Ia
tidak tahu bahwa yang dipelajari Lu Si-nio justru kepandaian
yang paling dibanggakan oleh Tok-pi-sin-ni. Nikoh tua
bertangan tunggal itu telah beberapa tahun meyakinkan Hianli-
kiam-hoat, tetapi baru pada tahun kedua setelah Lu Si-nio
berguru padanya, ilmu pedang itu berhasil ia selami dengan
baik, bukan saja sudah sampai tingkatan yang tiada taranya,
bahkan boleh dikata telah bersatu-padu dengan jiwa raganya,
ia banyak menambahkan perubahan pada Hian-li-kiam-hoat
aslinya. Pada waktu Tok-pi-sin-ni belum sempurna meyakinkan ilmu
pedangnya itu, ia belum berani menurunkan kepandaian yang
belum masak itu pada anak muridnya, oleh karena itu,
Kanglam-chit-hiap tiada seorang pun yang terkenal
menggunakan pedang. Memang Lu Si-nio terhitung ada jodoh, ia berguru pada
Nikoh tua itu pada masa usianya yang sudah lanjut, oleh


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebab itu juga ialah satu-satunya yang memperoleh intisari
kepandaiannya. Kini melawan musuh kuat, ia keluarkan semua kepandaian
yang dipelajarinya, ia berlari mengitar seluruh kalangan,
kelihatan-nya seperti berkelit menghindar, tetapi sebenarnya
banyak mengan-dung gerak perubahan yang tak dapat diraba.
Tiap gerakan mungkin pancingan dan mungkin pula
sungguhan, di antara perubahan gerakannya itu dapat
berubah lagi. Akhirnya sampailah pada suatu saat yang menentukan. Sinio
mengetahui kegarangan musuh sudah banyak berkurang,
maka men-dadak gerak pedangnya berubah, tiba-tiba sinar
tajam berkelebat, ia mulai balas menyerang dengan gencar
sambil masih tetap menjaga rapat dirinya.
Dengan siasatnya itu, betul-betul Lu Si-nio menjadi hebat
se-kali, di waktu tenang ia prihatin sekali seperti kucing
mengincar ti-kus, tapi di kala harus bergerak, ia lincah laksana
kelinci terlepas. Di pihak lain Hay-hun Hwesio juga terhitung seorang ahli
Kiam-hoat kawakan, maka segera ia insaf bahwa ilmu pedang
lawan memang jauh lebih hebat dan menakjubkan daripada
dirinya, ia jadi terkejut bercampur gugup, ia merangsek dan
menerjang dengan hebat serta mengeluarkan seluruh
tenaganya, tetapi lawan temyata tenang-tenang saja,
tampaknya tidak banyak bergerak namun sedi-kitpun ia tak
bisa melukainya. Mau tak mau Hay-hun Hwesio menjadi jeri, ia tahu gelagat
je-lek, maka berulang-ulang ia incar orang dengan serangan
berbahaya, pedangnya berputar, jubah penapaannya ikut
mengebas, habis itu ujung pedangnya mendadak menyambar
naik ke atas. Atas serangan itu, tiba-tiba Lu Sio-nio menarik senjatanya
dan berdiri tegak, tetapi kedua matanya bersinar tajam,
pedang Hay-hun Hwesio menyambar tiba dan ia masih diam
saja seperti tak merasa. Ketika itu, seluruh lapangan sunyi senyap, semua orang
berde-bar menyaksikan pertarangan mati-matian itu, Teng
Hiau-lan sam-pai memejamkan kedua mata, ia tak tega
menyaksikan saat yang lu-ar biasa itu.
Tak terduga, dalam sekejap itu seperti letikan lelatu api,
mendadak terdengar Lu Si-nio bersuit nyaring, sekonyongkonyong
ia mencelat ke atas, sepatunya bahkan menginjak ke
arah ujung senjata lawan dan dengan meminjam tenaga
injakan itu, tubuhnya berjum-palitan, cepat sekali laksana
burung terbang ia melayang lewat di atas kepala Hay-hun
Hwesio. Berbareng itu, belum sampai ia menancapkan kaki kembali,
pedangnya diayun selagi ia masih terapung di udara, dengan
tipu serangan mematikan "Peh-khing-koan-jit" (pelangi putih
menembus sinar matahari), pedangnya menikam dari atas ke
bawah, mengarah kepala Hay-hun Hwesio yang gundul itu.
"Celaka!" terdengar seruan Hay-hun Hwesio.
Untuk melepaskan diri dari ancaman bencana, lekas ia
angkat pedangnya menyampuk ke atas, untuk melindungi
kepalanya sem-bari mengurangi daya serangan lawan.
Tidak terduga, begitu kedua pedang saling bentur, Lu Si-nio
yang berada di sebelah atas membarengi memuntir pedang
terus di-angkat, maka segera terdengar suara "kraak", pedang
Hay-hun Hwesio terkutung menjadi dua dan kena disengkelit
pergi hingga jauh, sebaliknya Lu Si-nio sendiri dengan senyum
manis menancapkan kaki kembali ke tanah dengan tenang, ia
pegang senjatanya di depan dada sembari membungkuk
memberi hormat. "Hay-hun Taysu, Siaupwe bersyukur engkau sudi
mengalah!*" ujarnya.
Keruan saja seketika itu muka Hay-hun Hwesio merah
padam saking malunya, jika saja bumi berlubang, ingin ia
menyelusup ma-suk ke dalam.
Pertarungan sengit mengadu pedang tadi begitu hebatnya
se-hingga membikin para jagoan yang menyaksikan merasa
kagum. Di antaranya Sat Thian-ji yang merasa senang sekali
ramalannya ter-bukti benar, tapi di samping itu ia pun merasa
jeri. Ia senang ramalannya
betul, dengan begitu menanglah
taruhannya dengan Thian-yap Sanjin tadi, tapi jeri melihat
kepandaian Lu Si-nio ternyata sudah
sampai puncak kesempurnaan, dulu ia pernah merasakan sendiri lihainya
orang, tampaknya tak mungkin ia mampu membalas den-dam
itu. Dalam pada itu, Thian-yap Sanjin yang merasa dirinya
terhina karena penglihatannya keliru, mukanya dari merah
berubah menjadi hijau, ia mengertak gigi, tiba-tiba ia
berbangkit dan hendak turun kalangan menempur Lu Si-nio.
Namun baru saja ia berdiri, sekonyong-konyong pundaknya
ditahan orang. "Thian-yap Toheng, biar aku saja yang
bereskan bu-dak hina ini!" terdengar Liau-in membisiki.
Walaupun Liau-in sudah tersesat, namun ia pun seorang lakilaki
kalangan Kangouw, dengan tindakannya, ia bermaksud
mem-pertahankan kedudukannya sebagai pemimpin Kanglampat-
hiap. Semula ia tak bersedia bergebrak dengan Lu Si-nio, karena
ia tak mau disebut sebagai orang tua menganiaya orang
muda, ia me-ngira salah seorang jagoan yang ada di situ
sudah dapat menangkap hidup-hidup Lu Si-nio. Tak terduga
justru kejadian adalah sebalik-nya, Hay-hun Hwesio sebagai
tokoh silat yang memiliki ilmu pedang begitu tinggi dan hebat,
ternyata harus menerima kekalahan dengan senjata terkutung
dan karena itu pula namanya pun merosot.
Walaupun Liau-in tahu kepandaian Thian-yap Sanjin masih
di atas Hay-hun Hwesio, namun ia rada khawatir juga janganjangan
akan terjadi hal-hal di luar dugaan, hingga bukan saja
nama baik Thian-yap Sanjin yang harum selama ini akan
tersapu bersih, bah-kan ia sendiri pun akan dicaci maki oleh
sesama golongannya, bah-wa ia membiarkan Sumoaynya
menghinakan golongan Cianpwe dan mematahkan nama baik
tokoh yang sudah tersohor untuk memamer-kan kepandaian
perguruan sendiri. Karena itulah, Liau-in mencegah Thian-yap
Sanjin dan ia sendiri tampil ke muka.
Dengan majunya Liau-in Hwesio, semua orang mengerti
bakal menyaksikan pertunjukan bagus, maka mereka
bersorak. Mereka tahu ilmu silat Liau-in sejak malang
melintang di kalangan Kangouw belum pernah menemukan
tandingan, maka ingin menyaksikan cara bagaimana ia akan
menangkap hidup-hidup Sumoaynya dan mem-pertontonkan
kepandaian silatnya. Di pihak lain, diam-diam Pek Thay-koan menjadi ketar-ketir
khawatir, akan tetapi keadaan sudah terpaksa, tak mungkin ia
Dendam Iblis Seribu Wajah 19 Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok 4
^