Pencarian

Topan Di Borobudur 2

Boma Gendeng 5 Topan Di Borobudur Bagian 2


merupakan suruhan para
dedengkot golongan hitam yang tak suka kemun-
culan dirimu sebagai Pendekar Tahun 2000."
"Apa Nek, saya Pendekar Tahun 2000" Nek
setiap muncul kau membawa keanehan. Sulit bisa
dipercaya."
"Dalam rimba persilatan keanehan hanya
selangkah jaraknya dari kematian. Itu sebabnya
setiap keanehan harus kau perhatikan, harus kak pecahkan sebelum keanehan
memecah kepalamu!
Mahluk bernama Pangeran Matahari itu ilmunya
tinggi. Selain itu mata biasa tidak bisa melihat ujudnya karena dia sudah diusap
dengan benda ini oleh gurunya yang bernama Si Muka Bang-
kai..." Dari balik baju hitam bututnya di bawah ketiak kiri si nenek keluarkan
sebuah benda berbentuk dan sebesar telur burung merpati, ber-
warna biru bercahaya.
"Apa itu Nek?" tanya Boma.
"Batu Penyusup Batin," jawab si nenek. "Ji-ka batu ini kau genggam, ujudmu tak
kan terlihat oleh siapapun. Kau lenyap, menghilang dari pemandangan mata
manusia. Jika Pangeran Mata-
hari muncul orang lain tak bisa melihat dirinya, ta-pi kau bisa."
"Kalau saya bisa menghilang wah enak ju-
ga Nek," kata Boma.
"Enaknya?" tanya si nenek.
"Saya bisa gentayangan kemana-mana.
Masuk bioskop nggak bayar. Ngintip orang paca-
ran. Ngintipin cewek mandi. Masuk ke kamar pen-
ganten baru..."
"Anak Setan!" bentak si nenek. "Ilmu apa sa-ja kalau dipergunakan salah, untuk
kejahatan bisa kualat makan diri sendiri."
"Nek, gimana kalau setelah menghilang
saya tidak bisa kembali ke alam nyata" Bisa cela-ka saya seumur-umur."
"Dasar anak gendenk! Tubuhmu tidak
ludes, tidak menghilang benaran. Yang kejadian
mata manusia tidak bisa melihat sosokmu. Itu bisa melindungi dirimu dari segala
macam bahaya! Bukan buat ngintip cewek kencing!"
Boma mengusap bahu kanan, bagian di
bawah tulang belikat. Disitu ada daging tubuhnya
yang menonjol. "Nek, saya tetap nggak mau menerima batu
itu. Ngeri Nek."
"Kalau jadi anak tolol boleh saja. Tapi jangan kelewatan. Aku sudah bilang
dirimu terancam bahaya maut. Pangeran Matahari akan muncul
mau membunuhmu. Aku pinjamkan batu ini sela-
ma beberapa hari padamu."
"Saya nggak berani Nek. Tetap nggak bera-
ni. Takut..."
"Takut apa jijik"! Karena batu ini barusan aku keluarkan dari ketiakku hah"!"
Boma menowel hidungnya.
"Tidak, bukan karena itu Nek..."
"Jangan dusta Anak Setan!"
"Saya nggak dusta Nek. Sumpah..."
"Jangan suka bersumpah! Urusan sumpah-
mu sama guru cantik itu belum beres. Sekarang
kamu sumpah lagi sama nenek jelek ini! Bisa tambah celaka kamu!"
"Kok.,.. kok Nenek tau saya sumpah sama
Ibu Renata?" Tanya Boma heran.
"Apa yang aku tidak tahu mengenai dirimu.
Yang tersembunyi dalam celana di bawah perutmu
itu juga aku tahu! Ada tahi lalat di lempengan sebelah kiri! Hik... hik.. hik!"
Boma melengak kaget. Kaget karena apa
yang dikatakan si nenek memang benar adanya.
Tak sadar dia turunkan tangan meraba bagian
bawa celananya. Tawa cekikikan si nenek tambah
keras "Anak Setan, kau tetap tidak mau menerima Batu Penyusup Batin ini"!"
Boma gelengkan kepala" Tangan kirinya
masih menekap bagian bawah perut.
Si nenek tampak kesal.
"Terserah kamu!" katanya. "Kalau kau celaka jangan salahkan aku!" Perempuan tua
berwajah angker dengan lima tusuk konde di kepalanya
itu melangkah mendekati Boma. Anak lelaki itu
mundur. "Kamu takut?" Si nenek menyeringai.
"Nek, Nenek ini siapa sih sebenarnya?"
"Kalau aku beri tahu namaku apa kau mau
menerima batu sakti ini?"
"Nggak Nek, nggak. Biar saja saya nggak
tau nama Nenek,.."
Si muka angker tertawa panjang. "Bagus,
kau rupanya tidak mempan disogok! Hiik,,.
hik..hik!"
Nenek itu maju lagi satu langkah. Tiba-tiba
tangan kirinya ditepukkan ke bahu kanan Boma
seraya berkata. "Kau akan menyesal tidak mau kupinjamkan batu sakti itu. Aku
pergi sekarang!"
Boma merasa bahunya yang ditepuk men-
jadi pegal dan berat.
"Nek, pintu keluar sebelah sana," kata Bo-ma ketika dia melihat si nenek
melangkah ke arah jendela yang tertutup.
"Siapa bilang aku keluar lewat pintu!" jawab si nenek sambil tertawa lebar.
Tangannya bergerak membuka daun jendela. "Anak tolol, dengan baik-baik. Batu
Penyusup Batin sudah aku susupkan ke dalam bahu kanan di bawah tulang be-
likatmu. Jika kau mengusap bahumu satu kali, sosokmu akan menjadi samar. Jika
kau mengusap kedua kali tubuhmu akan lenyap dari pemandan-
gan mata manusia. Jika kau mengusap sekali lagi, ujudmu akan kembali seperti
semula." Boma tersentak kaget. Dirabanya bahu ka-
na di bawah tulang belikat. Astaga, ada sesuatu
yang menonjol pada daging dibawa tulang beli-
katnya. Selagi Boma bingung, kaget dan juga ta-
kut si nenek kembali tertawa cekikikan. Lalu se-
kali dia berkelebat sosoknya melesat keluar lewat
jendela. Boma mengejar ke jendela, namun dia
hanya melihat kegelapan di luar sana. Si nenek
tak kelihatan lagi......
*** Di atas tempat tidur Boma raba bahu ka-
nannya. Daging di bahu itu masih menonjol tanda
Batu Penyusup Batin masih ada di situ. Dipan-
danginya surat kabar Minggu yang bertebaran di
atas tempat tidur.
"Ciri-ciri Pangeran Matahari yang dis-
ebutkan nenek aneh itu sama dengan pemuda
yang diberitakan di koran. Apa bener Pangeran
Matahari itu ada betulan" Kalau dia benar ada la-
lu apa benar dia mau membunuh aku" Apa sa-
lahku" Pendekar Tahun 2000. Kata si nenek ka-
rena aku Pendekar Tahun 2000. Orang-orang go-
longan hitam mau mateni aku karena aku Pende-
kar Tahun 2000. Gila! Ini dunia nyata, bukan ce-
rita silat." Boma menowel hidungnya. Dia men-
gambil salah satu dari tiga surat kabar itu dan
membacanya sekali lagi, ia kembali merenung
bersandar ke dinding kamar. "Tapi gimana kalau apa yang dibilang nenek aneh itu
benar" Buk-tinya waktu batu ini aku gosok dua kali, bokap
nggak ngeliat aku. Padahal aku dalam kamar di
depan jidatnya! Lalu waktu Ibu Renata yang me-
meluk aku tak sengaja menekan batu sampai dua
kali, sosokku juga lenyap."
Sambil merenung mengingat-ingat seperti
itu tidak sadar Boma usap bahu kanannya satu
kali. "Pangeran Matahari, mungkin aku musti
hati-hati. Aneh memang. Tapi aku ingat. Si nenek
bilang keanehan hanya selangkah jaraknya dari
kematian." Boma menowel hidungnya. Mengeliat
satu kali. Tidak sadar dia mengusap bahu kanan-
nya sekali lagi lalu turun dari tempat tidur
"Saatnya aku musti turun ke bawah. Ban-
tuin bokap nyablon sebelum dia nyap-nyap."
Sebelum pergi ke halaman samping rumah
tempat ayahnya sibuk menyablon, Boma ke ruang
makan dulu. Saat itu ibunya tengah menyiangi
ikan di dapur. Dari dapur perempuan ini bisa me-
lihat ke ruang makan. Mula-mula dia kerenyitkan
kening heran. Rasa heran kemudian berubah
menjadi takut ketika dilihatnya tudung plastik di-
atas meja naik, terbuka ke atas. Padahal dia tidak
melihat siapapun berdiri di sekitar meja makan.
Boma yang membuka tudung plastik itu
hanya melihat sebuah piring kecil berisi sambel.
"Laper, tapi cuman ada sambel..." Kata
Boma dalam hati lalu tudung plastik ditutupkan-
nya kembali. Anak ini pergi ke tempat ayahnya
bekerja. "Ayah, mari Boma bantuin nyablon." kata
Boma pada ayahnya.
"Gini hari baru bangun kamu," kata ayah
Boma, Sumitro Danurejo lelaki pensiunan De-
partemen Penerangan tanpa berpaling. "Sini, ka-mu bawa masuk kaos yang sudah
disablon. Su- sun di kursi tamu. Ikat sepuluh-sepuluh...." Lalu tak acuh lelaki ini berpaling.
Pekerjaannya menyablon langsung berhenti. Barusan ia jelas men-
dengar suara anaknya berkata mau membantu
pekerjaannya. Dia mendengar suara tapi orang-
nya tidak kelihatan.
"Anak itu, katanya mau nolong. Kok malah
pergi"! Boma"! Eeehhh!" Sumitro Danurejo ter-
sentak ketika dia melihat susunan kaos oblong
yang sudah kering disablon bergerak sendiri, te-
rangkat dari meja di ujung sana lalu seolah me-
layang bergerak sepanjang samping rumah, me-
luncur ke ruang tamu. Sumitro Danurejo melang-
kah cepat-cepat ke ruang tamu. Dia tidak melihat
siapa-siapa. "Boma"! Kau dimana?"
"Ayah bilang bawa kaos ini ke ruang ta-
mu?" Jawab Boma. Dia memperhatikan air muka
ayahnya. Pucat seperti ada sesuatu yang mena-
kutkan. "Aku berdiri di sini, dia tidak melihat.
Jangan-jangan..," Boma sadar. Tangan kirinya digerakkan ke bahu hendak mengusap
tonjolan daging bahu yang disusupi Batu Penyusup Batin.
Tapi otaknya cepat bekerja. Kalau sosoknya yang
tadi tidak kelihatan tiba-tiba muncul dan terlihat
di tempat itu oleh ayahnya, lelaki itu bukan saja
terkejut tapi buntut-buntutnya dia bisa susah ka-
rena ayahnya pasti akan mengajukan seribu satu
macam pertanyaan padanya. Boma masuk ke da-
lam rumah. Di ruang tengah dia mengusap dulu
Batu Penyusup Batin satu kali. Sosoknya serta
merta muncul dalam ujud nyata. Boma pegang
wajahnya sendiri, usap-usap sekujur tubuhnya.
Setelah yakin kalau tubuhnya kini benar-benar
berada dalam ujud nyata, anak ini keluar kembali
ke ruang tamu. "Ayah manggil Boma?" tanya Boma pura-
pura. Sumitro Danurejo turunkan kaca mata te-
balnya ke bawah hidung, pandangi anaknya dari
kepala sampai ke kaki. Melirik ke arah kursi tamu
dimana tersusun kaos oblong yang tadi disuruh-
nya Boma membawa masuk ke dalam situ.
"Aneh...." ucapnya perlahan. Dia kembali
ke samping rumah ke meja tempat dia menyab-
lon. Untuk beberapa lamanya lelaki ini tegak ter-
diam berpikir-pikir.
Tiba-tiba istrinya muncul, mendatangi
dengan langkah bergegas. Wajah perempuan ini
kelihatan pucat.
"Ada apa Bu?" tanya Sumitro Danurejo pa-
da istrinya. "Saya melihat sesuatu yang menakutkan di
meja makan Pak" jawab Hesti, Ibu Boma.
"Kau melihat hantu?"
Perempuan itu menggeleng. "Saya tidak
melihat siapa-siapa. Tapi saya melihat tudung
plastik di atas meja makan terbuka dan tertutup
sendirinya...."
"Kau yakin melihat...."
"Pak, saya tidak dusta...." Sumitro Danure-jo angkat tangan kirinya, memberi
isyarat agar sang istri menghentikan ucapannya. Lalu dengan
suara perlahan lelaki ini berkata. "Barusan aku juga mengalami satu keanehan.
Aku mendengar suara Boma, katanya mau menolong pekerjaan-
ku. Aku suruh dia membawa kaos yang sudah
disablon ke dalam. Ke ruang tamu. Lalu kaos-
kaos itu seperti melayang di udara. Aku ikuti.
Ternyata kaos itu sudah berada di atas kursi
ruang tamu. Anehnya aku sama sekali tidak me-
lihat Boma."
Dua suami istri itu terdiam sesaat.
"Jangan-jangan ada hantu di rumah ini"
Bisik Sumitro Danurejo.
"Puluhan tahun kita tinggal di sini pak.
Masa' sih baru sekarang ada hantunya..."
"Mungkin saja. Wong hantunya baru seka-
rang. Hantunya menyerupai anak kita. Boma."
"Bapak ini bicara apa" masakan anak sen-
diri dibilang hantu" Barusan aku melihat anak
itu diruang tamu. Merapikan susunan kaos ob-
long" "Sulit aku menerangkan Bu. Tapi ada sesuatu yang tidak beres di rumah
ini." Kata Sumitro Danurejo pula.
Di ruang tamu Boma mendengar semua
pembicaraan kedua orang tuanya itu. Anak ini
menowel hidungnya beberapa kali.
"Batu Penyusup Batin. Bikin urusan saja,"


Boma Gendeng 5 Topan Di Borobudur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ucap Boma dalam hati. "Kalau nenek itu datang
aku akan suruh dia mengambil batu ini kembali."
7 BOMA TIDAK IKUT KE BOROBUDUR
JAM ISTIRAHAT pertama. Gita Parwati, Vi-
no, Rio, Firman, Andi dan Ronny serta Allan ngo-
brol di taman. Mereka membicarakan berita yang
dimuat di surat kabar Minggu mengenai peristiwa
perkelahian dua orang aneh di jembatan penyebe-
rangan di depan gedung Sarinah.
"Boma kemana?" tanya Rio.
"Tu, lagi ke sini," kata si gendut Gita sambil monyongkan bibirnya ke arah Boma
yang berjalan mendatangi. "Teman-teman, kayaknya ogut nggak bisa
ikut ke Borobudur sama-sama kalian minggu de-
pan." "Nggak salah dengar nih"!" ujar Gita.
"Dwita aja anak kelas lain ikut gabung. Kok
kamu dedengkot kelas H-9 malah nggak!" ujar
Firman ceking. "Aku tahu," kata Vino. "Aku bisa nebak.
Mungkin kawan kita ini nggak ikut karena yang
jadi tour leader Si Umar musuh bebuyutan."
"Benar Bom?" tanya Ronny. "Acuh aja!
Guru kayak gitu nggak usah dipikirin."
Boma tidak menjawab, hanya menowel hi-
dungnya dua kali.
"Kalau tebakan gue tadi salah, masih ada
tebakan cadangan," Vino berkata lagi. "Teman ki-ta nggak ikut justru karena
Dwita ikut."
"Itu sih ngawur!" kata Rio. "Kau tahu dong gimana hatinya Dwi sama kita pe teman
dan hati kita pe teman terhadap tu cewek. Iya 'kan Bom?"
Boma tersenyum, masih belum mau bicara.
"Tunggu dulu," kata Vino belum mau ka-
lah. "Gue pikir-pikir. Kayaknya ini bukan cuma permainan hati tapi nyangkut
harga diri."
"Ah, sok tahu lu!" Kata Ronny sambil men-
geplak kepala Vino. Tapi dia juga bertanya. "Harga diri apa" Siapa?"
"Kita semua tahu Dwita mau ikut orang tu-
anya pindah ke luar negeri. Bokap nya dapat tugas baru di PBB New York. Boma
"taunya juga dari ki-ta-kita. Bukan langsung dari Dwita. Teman kita
merasa kurang dianggap. Kira-kira gitu ceri-
tanya." "Brengsek! Bisa juga kamu ngarang!" Boma keluarkan ucapan juga pada
akhirnya. "Habis cuma kamu doang yang nggak ikut
ke Borobudur. Teman-teman, ini merupakan satu
tragedi, Bo!"
"Kamu ada halangan apa" Uang tour kalau
nggak salah kamu udah bayar." Kata Ronny pula
Boma menowel hidungnya. Dia mau men-
jawab. Tiba-tiba Pak Zakir, penjaga dan pengawal
kebersihan sekolah datang. Memberi tahu kalau
Boma dipanggil Pak Sanyoto.
Boma menowel hidungnya kembali. "Wah,
kira-kira ada apa 'ni Bom?" ujar Gita.
"Jangan-jangan dia tahu aku yang ngerjain
motornya," jawab Boma. "Kalian tunggu, aku pergi nemuin Si Umar dulu."
Waktu istirahat tinggal beberapa menit lagi
ketika Boma keluar dari Ruang Guru SMU Nu-
santara III, melangkah tenang-tenang saja men-
dapatkan kawan-kawannya.
"Gimana Bom?" tanya Ronny yang bersama
teman-teman lainnya tak sabar mau tahu menga-
pa Boma dipanggil guru Olahraga Pak Sanyoto.
"Yang jelas bukan soal motor," kata Boma.
"Pak Sanyoto mau kasih aku kerjaan banyak.
Ngebantuin dia soal tour ke Borobudur. Mulai
ngurusin karcis kereta api, ngurusin penginapan,
konsumsi, keamanan. Pokoknya banyak."
"Kok Si Umar jadi shobib banget sama ka-mu" Jangan-jangan ada apa-apanya."
berkata Ronny Celepuk. "Tapi." kata Boma meneruskan. "Si Umar langsung clep diem waktu ogut bilang ogut
nggak ikut. Habis diem mulutnya nyerocos ngomong
yang enggak-enggak. Aku dibilang mau nyabot
tour. Katanya kalau sampai ada anak-anak lain
yang nggak ikut gara-gara aku, dia mau lapor ke
Kepala Sekolah dan aku bakal dikenain sanksi
berat." "Kalau gitu kita semua pada nggak ikut aja!" Kata Vino pula.
"Jangan gitu. Kasihan teman-temen yang
lain kalau acara jadi rusak." kata Boma lalu menowel hidungnya.
"Habis kamu juga sih yang jadi gara-gara
konyol. Tour macam begini nggak tiga taon sekali." Ucap Gita Parwati.
"Gua rasa Si Umar cuma belagak marah
kamu nggak ikut. Padahal sebenarnya hatinya
pasti happy." kata Vino pula.
"Kok kamu bisa ngomong gitu?" tanya Bo-
ma. "Kalau kamu nggak ada berarti Si Umar
nggak punya rival. Bebas deh dia ngedeketin Ibu
Renata." Jawab Vino.
"Dari mana kau tahu Ibu Renata juga ikut
Vino tertawa tapi tak menjawab.
"Pasti dari Si Centil!" kata Gita Parwati. Ayo ngaku, bener kan"!" Tangan kiri
Gita Parwati hendak menjewer telinga Vino.
Anak lelaki itu cepat-cepat jauhkan kepala
"Ho-o. Memang aku tau dari Sulastri." Vino mengaku.
"Cewek lu 'kan?" ujar Gita.
"Enak aja lu!"
"Jangan bohong!" kata Rio sambil nyengir.
"Ada anak yang lihat kamu pulang sekolah naik
mikrolet berdua sama Sulastri. Turun di Atrium
Senen." "Anak yang ngeliat pasti matanya lamur,"
kata Vino. "Pokoknya terserah kalian mau ngo-
mong kek!"
Boma duduk diam di bangku taman. Se-
mua anak menduga-duga apa yang ada di benak
teman mereka ini.
"Sebenarnya kenapa sih kamu nggak mau
ikut Bom?" Bertanya Ronny Celepuk.
"Betul, kami semua juga pengen tau," kata Andi pula.
"Pak Sanyoto juga nanya' begitu," jawab
Boma. "Kalian ingat kejadian orang yang diram-
pok di bajaj?"
"Yang buntut-buntutnya kamu diclurit lalu
terpaksa ngerem di rumah sakit," kata Ronny.
Boma mengangguk. "Sidang Pengadilan
pertama akan dilangsungkan minggu depan. Aku
nggak tahu hari tanggal berapa. Tapi yang jelas
minggu depan. Aku saksi utama. Sudah dipesan
oleh orang Kejaksaan agar aku harus hadir. Surat
panggilan akan menyusul. Paling lambat lusa."
Semua anak yang ada di tempat itu jadi
terdiam. "Yaaah, kalau memang begitu mau di-
apain lagi..." kata Ronny.
Bel tanda masuk berdentang. Anak-anak
itu melangkah memasuki kelas tanpa ada yang
bicara lagi. Begitu duduk di bangku masing-
masing Ronny berpaling pada Boma.
"Kalau Ibu Renata tau kamu nggak ikut,
mungkin dia juga bakalan nggak pergi."
"Mungkin itu yang dikawatirin Si Umar.
Jadi marahnya Si Umar sama kamu bukan kare-
na kamu nggak ikut tapi takut ibu Renata juga
batal ikut."
Boma pandangi Vino yang barusan menge-
luarkan ucapan itu.
"Apa perlu gua kasi tahu Ibu Renata" Biar
Si Umar tau rasa?" tanya Vino pula.
"Nggak usah. Jangan...." jawab Boma. Per-
cakapan terhenti ketika guru yang akan mengajar
memasuki kelas.
*** JAM istirahat kedua, anak-anak itu ber-
kumpul lagi di taman.
"Aku nggak habis pikir," kata Rio. "Sehabis peristiwa buah anggur yang dia gilas
sama motor bututnya, Si Umar kok nggak malu masih terus
ngincerin Ibu Renata..."
"Orang ngedablek macam begitu mana
punya malu. Jangan-jangan kemaluan juga nggak
punya!" ujar Vino.
Suara tawa memenuhi pinggiran lapangan
basket. "Mulutlu brengsek Vin!" kata Gita sambil mencubit pinggang Vino hingga
anak lelaki ini
melintir kesakitan. "Dosa lu ngatain guru kayak begitu!"
"Sstt teman-teman, ada orang penting da-
tang" Andi berkata sambil goyangkan kepala ke
kiri. Semua anak memandang ke arah goyangan
kepala Andi. "Uh! Segala kucing garong aja lu bilang
orang penting. Tak u~u la yauw! " kata Gita Parwati sambil mencibir.
Yang datang Trini Damayanti. Di tangan ki-
rinya di menenteng sebuah kantong plastik hitam.
"Teman-teman, aku bawa tempe goreng." Dari jauh Trini sudah berteriak sambil
mengangkat tinggi-tinggi kantong plastik hitam.
Gita Parwati yang memang tidak pernah
berbaikan dengan Trini kembali mencibir.
"Uh... baru tempe aja bangga amat. Teman-
teman, Ogut pergi dulu ya. Ogut akan kembali se-
telah pesan-pesan berikut ini. Huaaahh!" Gita
mencibir. Sebelum Trini sampai di tempat itu ce-
wek paling gemuk di seluruh SMU Nusantara III
itu sudah melangkah pergi.
Vino berpaling pada Allan.
"Lan, cabut sono buruan. Lu mau di PHK
sama Gita" Apa lagi kalau kamu sampai makan
tempenya si Trini."
Allan jadi serba salah. Akhirnya dengan
suara agak dikeraskan agar terdengar Trini anak
lelaki ini berkata.
"Aku mau kencing dulu. Sisain tempenya."
"Bukan basa basi ni ye?" Rio meledek.
Sebelum Trini sampai Allan bergegas ke
bagian belakang sekolah. Namun setengah jalan
membelok ke jurusan lain.
8 ORANG GILA MENGAMUK DI SMU NUSANTARA
III SORE itu sehabis latihan basket Boma, Vi-
no, Ronny dan Allan pulang sama-sama. Mereka
pulang paling belakang. Teman-teman yang lain
sudah lebih dulu. Sambil jalan menuju pintu ger-
bang keluar Ronny berkata.
"Bom, maen lu jelek amat sekali ini. Bola
yang masuk bisa diitung."
"Kurang vitamin dia Ron," menimpali Vino.
Boma tersenyum. Mengusap hidungnya. "Ulangan
juga jeblok semua. Matematika dapet empat. Fisi-
ka kemaren cuman tiga..."
"Itu sih udah langganannya Boma," Allan
ikut bicara. "Yang heran masa' sih ulangan Baha-
sa Indonesia juga dapat lima."
"Gua rasa temen kita ini udah keberatan
cewek," ucap Ronny sambil memain-mainkan bola
basket yang dibawanya.
"Maksudlu keberatan cewek gimana?" Bo-
ma akhirnya keluarkan suara juga.
"Maksud gue keberatan kebanyakan. Su-
dah ada Trini, Dwita kamu suka juga. Eh, Ibu
Renata masih kamu lirik."
"Gue nggak ngerasa mereka cewek gua.
Gue biasa-biasa aja sama mereka."
"Justru karena biasa-biasa maka jadi luar
biasa!" kata Vino pula disambut ketawa Allan dan Ronny "Ala kalian semua cuma
bisa ngenyek!"
"Bukan ngenyek Bom." kata Ronny. "Kami cuma pengen tau kamu ini lagi kenapa"
Kadang-kadang aku liat kamu dikelas seperti ngelamun.
Kadang-kadang gelisah. Lalu aku sering liat kamu
sebentar-sebentar memandang ke luar kelas. Ka-
lau lagi di luar kelas mata kamu suka jelalatan
kemana-mana. Kalau pulang sekolah sekarang
langsung pulang. Dulu kamu sering ngajak nge-
liat pameran ama jalan kemana aja..."
"Jangan-jangan temen kita udah dipingit
Ron. Nggak boleh kemana-mana." Kata Vino sam-
bil senyum-senyum.
"Kalau gitu aku jadi mau tahu siapa yang
mingit," ucap Ronny pula. "Biar jelek begini aku nggak nolak kalau ada yang mau
mingit gua!"
"Nenek jompo, lu mau Ron?" tanya Vino.
"Sialan. Itu sih kelewatan. Tapi biar jompo
kalau jutawan rasanya gua nggak nolak!" Ronny
tertawa membahak.
Allan dan Vino ikut gelak-gelak.
"Ketawa situ sampai mulut kalian robek!"
Kata Boma mulai kesal. "Terus terang gua me-
mang lagi gelisah."
"Maksudlu gelisah geli-geli basah?" ujar Vi-no membuat Allan dan Ronny kembali
tertawa. "Aku nggak becanda. Ada yang mau nge-
bunuh aku," menerangkan Boma.
Allan, Vino dan Ronny langsung hentikan
langkah mereka.
"Kamu ngacok atau mabok Bom?" tanya Al-
lan "Siapa yang mau ngebunuh kamu?" tanya Vino. "Si Anton?"
Boma menggeleng.


Boma Gendeng 5 Topan Di Borobudur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kaki tangan suruhannya si Anton" Kan
orangnya udah ketangkep semua."
Boma menggeleng lagi.
"Mungkin teman-teman rampok di bajaj,
dendam sama kamu?"
"Bukan juga," jawab Boma.
"Lalu siapa?"
"Aku belum pernah liat orangnya. Tapi ba-
gaimana ciri-cirinya aku sudah tau..."
"Ini bener-bener aneh!" Kata Ronny. Dia
pegang lengan Boma. "Bom, kamu nggak lagi de-
mam panas 'kan?"
"Memangnya kenapa?" tanya Boma.
"Kamu bilang ada yang mau bunuh kamu.
Tidak pernah liat orangnya tapi tau ciri-cirinya.
Kalau gitu, kenapa kamu nggak lapor polisi saja.
Minta perlindungan..."
"Kamu semua sudah baca 'kan di koran pe-
ristiwa perkelahian orang-orang aneh di jembatan
penyeberangan Sarinah."
"Jelas sudah baca. Hari Senin kemarin
kamu sendiri yang bawa korannya ke sekolah."
"Orang yang berpakaian serba hitam, pakai
ikat kepala kain merah yang disebut dalam koran,
itu orangnya yang mau ngebunuh aku."
Ronny, Vino dan Allan memandang wajah
Boma lekat-lekat lalu ke tiga anak ini saling pan-
dang satu sama lain. Ronny yang duluan tertawa,
diikuti Vino lalu Allan.
"Kalian pasti nggak percaya! Ya sudah!"
Boma melangkah.
"Tunggu!" kata Ronny sambil pegang len-
gan temannya. "Dalam surat kabar disebut orang-orang yang berkelahi itu adalah
orang-orang sakti
dari Banten..."
Boma menggeleng.
"Bukan, mereka bukan orang Banten. Itu
dugaan wartawan saja. Yang mau bunuh aku itu
namanya Pangeran Matahari. Dia bukan mahluk
dari alam kita."
" Ajie Busyet! Sebangsa hantu" Jin" tanya Allan. "Di koran kalau aku nggak
salah, nama orang itu nggak disebut-sebut. Dari mana kamu
tau Bom, kalau orang itu namanya Pangeran Ma-
tahari. Nama aneh..."
"Ada yang memberi tau." Jawab Boma.
"Siapa?"
"Aku nggak bisa ngasih tau."
"Aneh lagi!" Kata Ronny sambil perhatikan wajah Boma dan mainkan bola basket di
tangannya. Entah bagaimana bola itu terpelanting, ber-
gulir di atas aspal, meluncur ke arah pintu ger-
bang sekolah. Di pintu gerbang sekolah satu kaki mema-
kai sandal kulit menahan bola basket merah yang
hendak bergulir ke jalan raya. Orang ini masih
muda. Bertubuh tinggi besar. Mengenakan celana
hitam, kemeja hitam. Rambutnya yang gondrong
dikuncir ke belakang. Di keningnya melilit sehelai
kain berwarna merah. Di punggung tergantung
sehelai mantel hitam. Dari jauh Boma tidak dapat
melihat jelas gambar yang tertera di kemeja hitam
orang itu. Tapi dia yakin itu adalah gambar gu-
nung dan sinar matahari.
Boma terbelalak.
"Pangeran Matahari..." ucapnya dengan su-
ara gemetar. Dia pegang lengan Rony dan berka-
ta. "Ron... Itu.... itu orangnya yang mau nge-
bunuh aku."
"Ronny, Vinno dan Allan memperhatikan
ke arah pintu gerbang sekolah.
"Bom, kalau gua liat," kata Ronny. "Dari dandanannya aja orang yang kamu sebut
Pange- ran Matahari ini nggak lebih dari orang gila!"
Pemuda berpakaian dan bermantel hitam
yang menahan bola basket di pintu gerbang seko-
lah berpaling pada Pak Saud penjaga pintu yang
duduk di rumah penjagaan.
"Yang pakai kaos putih, rambut pendek itu
Pak?" "Betul, itu Boma saudaranya situ yang situ cari." "Ah, dia sudah besar.
Tinggi lagi. Saya hampir tak mengenali," kata pemuda berpakaian
serba hitam sambil anggukkan kepala dan serin-
gai aneh bermain di mulutnya. Kakinya bergerak
ke bawah, menekan bola basket. Bola itu pecah
dengan mengeluarkan letusan keras.
Di dalam rumah jaga Pak Saud tersentak
kaget. Mukanya sampai pucat dan badannya
sampai lemas. "Gila! Bola gue dipecahin!" Ronny berteriak marah. Dia melangkah hendak
mendatangi orang
itu tapi Boma cepat memegang tangannya.
Di depan sana pemuda berpakaian serba
hitam yang memang adalah Pangeran Matahari
mulai melangkah ke arah Boma dan kawan-
kawan. "Hati-hati Ron. Kalau dia memang orang gi-la, berarti kalau dia ngebunuh
kita, dia nggak
bakal dituntut!"
"Gila kek, nggak kek pokoknya gua hajar
dulu. Enak aja mecahin bola gua..."
"Ron, kamu liat sendiri. Mana ada orang
mampu mecahin bola basket dengan injakan ka-
ki. Dia punya tenaga luar biasa. Bola itu medel
seperti dilindas ban truk!"
Ronny hentikan langkahnya. Dia sadar apa
yang dikatakan Boma memang benar. Kini gan-
tian Allan yang meradang.
"Ron, aku setuju. Biar gila musti kita hajar
dulu!" "Biar badannya gede jangkung, kalau kita keroyok berempat masa' sih nggak
ngejengkang!"
kata Vino. Memang keempat anak itu walau cek-
ing-ceking tapi memiliki badan rata-rata tinggi.
Boma 174 Cm. Ronny 176, Allan dan Vino 172
Cm. Sedang orang yang bakal mereka hadapi pal-
ing tidak sekitar 175 tingginya dan bobotnya be-
sar kokoh. Pangeran Matahari hanya tinggal sekitar
sepuluh langkah dari hadapan ke empat anak itu.
"Ron, Vino, Allan. Kalian lari! Lari!" Boma menyuruh kawan-kawannya lari.
"Lari" Gue nggak sepengecut itu Bom. Satu
lawan satu aja gua rasa gua nggak bakalan ka-
lah!" Kata Ronny yang kembali timbul semangat-
nya mendengar ucapan Vino tadi.
"Jangan sok jago! Jangan tolol! Kita berha-
dapan bukan dengan manusia biasa! Lari! Ayo!"
Boma setengah berteriak lalu tangannya kiri ka-
nannya mendorong Ronny dan Vino ke samping.
Dia berputar ke belakang mendorong dada Allan.
"Lari!" teriak Boma. "Berpencar!"
Ronny, Vino dan Allan jadi bingung. Tiga
anak ini jelas tidak takut kalau harus berkelahi
dengan pemuda tinggi besar yang mereka anggap
orang gila itu. Tapi ketika melihat Boma lari ke
balik pohon besar, ketiganya sesaat jadi bimbang.
Ketika Pangeran Matahari melompat berusaha
mengejar Boma ke balik pohon. Alan, Vino dan
Ronny serta merta lari berpencaran.
"Bukan orang gila Ron!" kata Vino sambil
lari. "Orang mabok! Teller! Aku mencium bau al-kohol waktu tadi dia melesat di
sampingku!"
Melompat ke balik pohon besar Pangeran
Matahari tidak menemukan Boma.
"Bocah edan! Kamu lari kemana hah"!"
Pangeran Matahari pukul pohon besar itu
dengan tangan kiri hingga batang pohon yang be-
sarnya sepemelukan itu hancur berkeping-keping.
Pangeran Matahari memandang ke atas pohon.
"Kurang ajar!" Dia tidak melihat Boma di atas pohon itu.
Karena tidak berhasil menemukan Boma,
Pangeran Matahari kini mengalihkan perhatian-
nya pada Ronny, Allan dan Vino. Ronny yang pal-
ing dekat. Dia segera melompat mengejar Ronny.
Pak Saud, penjaga Pintu gerbang sekolah heran
ada kaget juga ada ketika melihat pemuda berpa-
kaian hitam berikat kepala merah itu mengejari
anak sekolah. "Wong sinting! Tadi katanya nyari Boma
saudaranya. Sekarang kok nguberin anak-anak!"
Pak Saud segera keluar dari rumah jaga mengejar
Pangeran Matahari.
"Hai! Apa-apaan ini" Sampeyan mau bikin apa sama anak-anak"!"
Pangeran Matahari berpaling. Menyeringai.
Tangan kirinya bergerak. Sekali dia mendorong
Pak Saud yang kurus kering itu terlempar sama
beberapa meter, jatuh terbanting, kepalanya
membentur aspal. Pak Saud pingsan tak berkutik
lagi. Di jalan raya, orang-orang yang lalu lalang
pedagang kaki lima dan pengemudi ojek yang me-
lihat kejadian itu segera berkerubung. Mereka
mengira ada orang gila mengamuk di halaman se-
kolah SMU Nusantara III.
Ronny begitu melihat Pak Saud didorong
keras sampai tak sadarkan diri, jadi beringas. Ka-
lau tadi karena disuruh Boma dia lari, kini dia
malah berbalik mengejar ke arah Pangeran Mata-
hari. Allan dan Vino ragu-ragu. Tapi hanya seben-
tar. Kedua anak ini menyusul Ronny, mengha-
dang Pangeran Matahari.
"Kalian mau mati" Mau mati barengan"!"
Kertak Pangeran Matahari. "Mana Boma"! Mana
Boma"!"
Ronny menjawab dengan mengacungkan
tinjunya. Di samping kiri dan kanan Allan dan
Vino siap pula menerjang.
Pangeran Matahari tertawa bergelak. "Bo-
cah-bocah tolol! Biar aku bikin geger sekolahan
ini! Kupecahkan semua kepala kalian! Kowe duluan!" Teriak Pangeran Matahari.
Tubuhnya keluarkan suara menderu ketika melesat ke arah
Ronny. Ronny yang pernah ikut Karate melihat pe-
rut Pangeran Matahari dalam keadaan terbuka
segera hantamkan tinjunya ke perut lawan dalam
pukulan yang disebut Gyaku Tzuki.
"Bukk!"
Bersamaan dengan mendaratnya telak jo-
tosan tangan kanannya di perut Pangeran Mata-
hari, Ronny menjerit kesakitan sambil mengibas-
ngibaskan tangan kanan. Dia seperti memukul
batu. Pangeran Matahari tertawa bergelak. Lima
jari tangan kanannya mengeluarkan suara berke-
retakan. Lima jari tangan itu kemudian memben-
tuk tinju. Didahului bentakan keras Pangeran
Matahari berkelebat. Tubuhnya melayang setinggi
pinggang. Tangan kanannya laksana kilat meng-
gebuk ke batok kepala Ronny.
Ronny yang masih belum menyadari sepe-
nuhnya dengan siapa dia berhadapan rundukkan
badan sambil silangkan dua tangan melindungi
kepala. Jangankan tangan biasa. Sekalipun dua
batangan besi yang melindungi kepala Ronny saat
itu, pukulan Pangeran Matahari akan mematah-
kan batangan besi itu lalu menembus menghan-
curkan kepalanya!
"Bukkk!"
Ronny terheran-heran ketika melihat di
hadapannya Pangeran Matahari terhuyung-
huyung sambil pegangi tengkuk. Dari mulutnya
keluar makian marah.
"Kurang ajar! Setan dari mana berani me-
mukul tengkukku?"
"Bukkk!"
Pangeran Matahari menjerit kesakitan. Kini
tangannya beralih memegangi telinga kanannya.
Matanya mendelik memandang pada Ronny. Lalu
pada Vino dan Allan. Dia tahu betul, tidak seo-
rangpun dari tiga anak ini yang memukul telinga
kanannya. Lalu siapa"!
"Jahanam! Kalau kubunuh salah satu dari
bangsat ini, masakan setan itu tidak unjukkan di-
ri!" Pangeran Matahari keluarkan suara meng-
gereng. Tiba-tiba sekali dia melompat ke arah Vi-
no. Anak inilah yang akan dijadikannya korban
pertama! Tapi setengah jalan tubuh Pangeran Mata-
hari tertahan lalu krakk!
Pangeran Matahari meraung keras sambil
pegangi tulang iganya di sebelah kanan. Dua ka-
kinya mundur terhuyung. Matanya membeliak
besar. Bukan memancarkan amarah atau kega-
nasan tapi benar-benar karena kesakitan dan ada
rasa kecut. "Kurang ajar... Mungkin Sinto Gendeng
yang membantu anak itu. Nenek pengecut! Tidak
berani unjukkan diri! Rasakan nanti pembalasan-
ku!" Sambil pegangi dadanya sebelah kanan,
terbungkuk-bungkuk Pangeran Matahari lari me-
ninggalkan halaman sekolah. Di pintu gerbang,
orang banyak yang berkerumun menyaksikan ke-
jadian itu cepat-cepat menyingkir sebelum kena
tabrak sosok besar tinggi Pangeran Matahari yang
mereka anggap orang gila itu.
"Boma, mana Boma?" tanya Ronny.


Boma Gendeng 5 Topan Di Borobudur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tadi aku liat dia lari ke balik pohon besar
itu!" kata Vino sambil menunjuk ke arah pohon
besar yang dipukul hancur batangnya oleh Pange-
ran Matahari. Ronny, Vino dan Allan segera lari ke pohon
besar. Benar saja. Dibalik pohon Boma mereka
temui duduk menjelepok di tanah, meringis kesa-
kitan sambil pegangi tangan kanannya yang
bengkak merah. "Kenapa tanganmu Bom?" tanya Ronny.
"Waktu lari ke balik pohon ini, gue kepele-
set Ron. Gue coba nahan sama tangan kanan.
Mungkin salah jatuh. Tangan ogut kedengklek.
Gila! Sakitnya! Mana orang gilanya"!" Boma berpegangan ke pohon dengan tangan
kiri lalu berdi-
ri sambil ulurkan kepala ke balik pohon.
"Udah kabur!" jawab Ronny. "Aneh, dia kabur kesakitan. Kayaknya ada yang mukulin
dia." "Mukulin dia" Kalian yang mukul?" ujar
Boma. "Boro-boro mukulin. Kalau nggak ada kejadian aneh itu kami bertiga mungkin
udah awara- hum!" jawab Vino.
"Teman-teman, ayo kita tolong Pak Saud..."
kata Allan. "Tunggu," Vino pegangi bahu Ronny den-
gan tangan kiri. "Kita-kita pasti bakalan dipanggil sama Kepala Sekolah. Kita
harus kasi keterangan
sama. Ada orang gila masuk ke halaman sekolah.
Nguberin kita."
" Rebes!" kata Ronny. "Ayo.."
"Tunggu," kata Boma lagi. "Wartawan pasti nyariin kita. Nanyain kita. Jawab
dengan cerita yang sama. Oke?"
"Oke!" jawab Allan. Vino dan Ronny baren-
gan. "Sekarang kita tolong Pak Saud." kata Bo-ma. Sambil melangkah cepat dia
melanjutkan ucapannya. "Aku takut kalau penjaga sekolah itu sampai koit. Urusan jadi tambah
kagak karuan. Gua lagi yang jadi bulan-bulanan Polisi."
Beberapa orang telah menolong Pak Saud
ketika Boma dan kawan-kawannya sampai.
9 SINTO GENDENG MENGOBATI TANGAN BOMA
MALAM itu Boma tertidur nyenyak setelah
tangannya diperban lalu diguyur arak gosok yang
dibawa Allan. Di luar langit terkembang gelap
tanpa bulan tanpa bintang. Angin bertiup agak
kencang. Daun pohon di depan jendela kamar
Boma bergoyang-goyang mengeluarkan suara ge-
merisik halus. Tiba-tiba sesiur angin lebih ken-
cang bertiup. Dan jendela kamar yang tadinya ter-
tutup rapat mendadak terpentang lebar. Satu
bayangan hitam entah dari mana datangnya me-
lesat masuk ke dalam kamar Boma lewat jendela
yang terbuka. Seorang nenek bungkuk, berkulit hitam,
tinggi kurus tegak menyeringai disamping tempat
tidur Boma. Lima tusuk konde perak bergoyang-
goyang di atas kepalanya. Kamar itu serta merta
dipenuhi bau pesing.
Si nenek perhatikan tangan Boma yang di-
perban dan dibasahi arak gosok. Dia tundukkan
kepala mendekatkan hidungnya ke tangan yang
dibalut. "Arak gosok. Cara pengobatan tolol! Paling
cepat satu minggu baru tanganmu sembuh!
Hik....hik!"
Si nenek yang bukan lain Sinto Gendeng
melangkah mundar mandir di samping tempat ti-
dur Boma. Lalu berhenti dia cabut sehelai rambut
putih dikepalanya. Sambil tertawa-tawa nenek ini
memasukan rambut ke telinga Boma lalu diputar-
putar. Karuan saja dalam tidurnya Boma keliha-
tan tersentak-sentak kepalanya. Si nenek tertawa
senang. Dari telinga, dia berpindah ke hidung.
Ujung rambut dimasukannya ke salah satu lo-
bang hidung Boma. Lalu diputar-putar. Cuping
hidung Boma bergerak-gerak. Mulut anak ini ikut
komat-kamit. Sinto Gendeng masukkan ujung
rambut lebih dalam. Tiba-tiba Boma bersin keras
langsung terbangun. Anak ini setengah terduduk
di atas tempat tidur, menggosok-gosokkan hi-
dungnya yang berair dengan tangan kiri. Saat itu-
lah dia mencium bau pesing santar sekali. Teng-
kuk Boma langsung dingin. Dia melirik ke samp-
ing dan melihat sosok hitam itu.
"Nek!"
"Hik...hik...hik! Memang aku!"
Boma bersurut ke belakang, duduk ber-
sandar ke dinding.
"Anak Gendenk! Kenapa tanganmu?" tanya
Sinto Gendeng. "Bengkak Nek. Keseleo. Kedengklek..."
"Kenapa bengkak" Kenapa keseleo" Kenapa
kedengklek"! Apa itu kedengklek"!"
"Anu Nek, saya berkelahi Nek."
"Hemm... Ngaku juga kamu. Berkelahi sa-
ma siapa?"
"Sama Pangeran Matahari."
Sinto Gendeng terkejut. Undur dua lang-
kah. Menatap Boma tak berkesip lalu tertawa
mengekeh. "Sekarang kau percaya kalau yang
namanya Pangeran Matahari itu benaran ada"!"
"Saya percaya Nek," jawab Boma.
"Sekarang kau percaya kalau Pangeran Ma-
tahari benar-benar mau membunuhmu"!"
"Percaya Nek."
"Bagus! Berarti otakmu sudah lempeng.
Hik...hik...hik. Dimana kejadiannya?" Tanya si nenek. "Di sekolahan Nek... sore-
sore. Sehabis latihan basket sama teman-teman."
"Hemm... Aku sudah duga. Kau perguna-
kan batu sakti ketika Pangeran Matahari hendak
membunuhmu?"
"Benar Nek. Terpaksa. Kalau tidak...."
"Kau pergunakan tangan kananmu memu-
kul Pangeran Matahari"!"
"Benar Nek. Nggak mempan. Tangan saya
malah jadi bengkak begini."
Si nenek tertawa cekikikan.
"Kau tidak mempergunakan tangan kiri
yang sudah aku isi hawa murni?"
"Pergunakan Nek. Saya memukulnya dua
kali. Satu kali menjotos telinganya. Lalu sekali la-gi memukul dadanya. Saya
mendengar suara tu-
lang patah. Tapi dia tidak mati. Dulu Nenek per-
nah memberi tau jika saya memukul orang den-
gan tangan kiri ini bisa mati...."
"Nyatanya Pangeran Matahari tidak mati!
Cuma luka dan patah tulang."
"Betul Nek...."
"Pangeran Matahari bukan manusia biasa.
Dia mahluk dari alamku. Pukulan tangan kirimu
bisa mencederainya tapi belum tentu bisa mem-
bunuh. Kecuali kalau kau gebuk perabotan di se-
langkangannya. Hik...hi...hik...Yang bisa mati ke-
na hantaman tangan kirimu adalah manusia bi-
asa. Jadi kau tetap harus berhati-hati memper-
gunakan tangan kiri itu. Sekarang buka balutan
di tangan kananmu..."
"Kenapa Nek?"
"Aku mau mengobati tanganmu. Tanya-
tanya segala!"
"Sudah diobati Nek. Pakai arak," kata Bo-
ma menerangkan.
"Jangan pakai obat itu, tolol. Satu minggu
bengkak tanganmu belum tentu sembuh. Ayo le-
kas luka balutan itu!"
Boma terpaksa membuka perban basah di
tangan kanannya.
"Turunkan tangan kananmu. Ulurkan ke
depan sini."
Boma ulurkan tangan kanannya ke dekat
lutut si nenek.
Sinto Gendeng singsingkan kain panjang
hitamnya yang basah oleh air kencing.
"Awas! jangan kau berani menarik tangan-
mu!" Kata si nenek pula. Lalu dia pelintir dan peras kain hitam yang basah oleh
air kencing itu
hingga air kencing yang ada di kain mengucur ja-
tuh membasahi tangan kanan Boma yang beng-
kak. Boma kerenyitkan hidung pejamkan mata.
Nafasnya sudah sesak tidak tahan mencium bau
pesing yang amat santar.
"Tanganmu terasa dingin atau hangat?"
Sinto Gendeng tiba-tiba bertanya.
Boma masih mengerenyit dan pejamkan
mata. "Anak Gendenk! Aku bertanya apa kau tu-
li!" "Anu Nek.... Kau tanya apa tadi Nek?"
"Budek! Aku tanya tanganmu terasa dingin
apa hangat?"
"Hangat-hangat dingin Nek," jawab Boma
"Anak Gendenk!" si nenek merutuk. "Dengar. Besok pagi tanganmu kujamin sembuh.
Aku memberi bukti bukan janji!"
Boma batuk-batuk. "Seperti iklan saja
Nek!" kata Boma.
Sinto Gendeng tertawa geli lalu turunkan
kakinya kembali. Boma tarik tangannya. Dia me-
narik ujung seperei tempat tidur. Hendak menye-
ka kencing yang membasahi tangannya.
"Jangan diseka! Biar kering sendiri!" kata Sinto Gendeng. "Agar lebih cepat
sembuhmu dan lebih afdol, nanti kalau tidur tangan itu kau
cium-cium!"
"Tobat deh Nek. Mana tahan!"
Sinto Gendeng tertawa cekikikan. "Anak
Gendenk! Sekarang kau dengar baik-baik. Pange-
ran Matahari pasti akan mencarimu kembali un-
tuk melaksanakan niatnya. Kau harus berhati-
hati. Kau boleh membawa terus Batu Penutup
Batin ditubuhmu..."
"Nek, karena saya punya batu, saya mung-
kin bisa selamat dari tangan Pangeran Matahari.
Tapi bagaimana dengan teman-teman saya?"
Sinto Gendeng terdiam. Lalu nenek ini
angguk-anggukkan kepala beberapa kali. Dalam
hati dia berkata. "Anak baik... Anak baik. Tidak pernah mengingat diri dan
kepentingan sendiri.
Selalu ingat teman-temannya."
"Aku akan pikirkan ucapanmu itu. Aku
akan cari jalan. Tapi aku tanya dulu. Yang mau
kau selamatkan teman-temanmu yang mana?"
"Semua Nek. Tentu saja semua."
"Oo, jadi bukan cewek genit yang namanya
Si Trini itu. Juga bukan cuma cewek cakep yang
namanya Si Dwita itu. Hik...hik...hik. Lalu bagai-
mana dengan cewek satu lagi?"
"Nek, saya nggak ngarti. Semua mereka
teman-teman saya. Saya....."
"Huss... Diam dulu. Yang aku mau tanya
bagaimana dengan cewek satunya lagi."
"Cewek yang mana?"
"Hik...hik...hik. Guru Bahasa Inggris yang
cantik itu. Ibu Renata. Yang aku lihat kau peluki
di kamarnya waktu dia lagi sakit itu.
Hik...hik...hik..."
Boma menowel hidungnya. Anak ini lupa.
Semula dia hendak mempergunakan tangan ka-
nannya yang basah oleh air kencing. Tapi begitu
ingat dia segera ganti dengan tangan kiri.
"Anak Gendenk, dengar. Yang penting kau
harus hati-hati. Harus menjaga diri. Pangeran
Matahari pasti akan berusaha kembali menghabi-
simu. Setiap saat harus waspada. Mengenai te-
man-temanmu ada yang akan memperhatikan."
"Siapa?" Boma ingin tahu.
"Nanti saja. Kau akan tahu sendiri." jawab Sinto Gendeng. "Sekarang kau boleh
melanjutkan tidur. Awas, jangan kau mimpikan cewek-cewek
itu. Salah-salah kau bisa mandi basah, mandi ju-
nub. Hik...hik... hik..."
Sinto Gendeng susun jari-jari tangan ki-
rinya di atas bibir. Sambil melayangkan tangan
itu dia berkelebat ke arah jendela. Bersamaan
dengan lenyapnya sosok si nenek di luar sana,
jendela yang tadi terbuka kini tertutup kembali.
Boma usap-usap tengkuknya. Dia sudah
sering bertemu dengan nenek itu. Setiap bertemu
rasa takut selalu menyelimuti dirinya.
*** PAGI keesokan begitu bangun yang perta-
ma sekali dilakukan Boma adalah melihat tangan
kanannya. Dia hampir tak bisa percaya. Bengkak
dan warna merah di tangan itu lenyap. Hanya sa-
tu yang masih tertinggal. Bau pesing kencing si
nenek. *** PAGI hari itu setelah masuk sekolah baru
para pelajar SMU Nusantara III mengetahui apa
yang terjadi sore kemarin. SMU Nusantara III


Boma Gendeng 5 Topan Di Borobudur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi geger. Boma, Allan, Vino dan Ronny dike-
rubungi. Bukan saja oleh anak-anak Kelas II-9
tapi hampir semua pelajar mulai dari Kelas I
sampai Kelas III. Seperti sudah diduga ke empat
anak ini dipanggil Kepala Sekolah. Sesuai dengan
perjanjian keempatnya mengarang cerita seperti
skenario nya sama.
Setelah keempat anak itu meninggalkan
ruangan Pak Nugroho Kepala Sekolah SMU Nu-
santara III berpikir-pikir sambil pegangi kening.
Sepertinya ada yang tidak klop antara apa yang
diceritakan Boma dan kawan-kawannya dengan
apa yang dibacanya di surat kabar. Untuk me-
mastikan diambilnya satu dari beberapa surat
kabar terbitan pagi yang ada di atas meja. Dia
membaca kembali berita yang tadi sudah diba-
canya. Orang gila Mengamuk di SMU Nusantara III
Sore kemarin (Selasa) seorang pemuda gila
berdandanan aneh mengamuk di SMU Nusantara
III. Menurut keterangan Saud, penjaga sekolah,
mula-mula pemuda kurang waras itu datang mem-
beri tahu mau mencari saudaranya, seorang pela-
jar bernama Boma. Sore itu Boma (anak kelas 2)
dan beberapa temannya (Allan, Ronny dan Vino)
baru saja selesai latihan basket di lapangan sekolah ketika Boma dan kawan-kawan
pulang, di ha- laman sekolah pemuda gila itu langsung menye-
rang. Penjaga sekolah yang coba menolong sempat jatuh pingsan karena didorong
secara keras dan
jatuh diaspal. Pemuda gila kemudian melarikan di-ri. Ada yang melihat ketika
lari telinga kanan pemuda gila itu mengucurkan darah. Pihak berwajib segera akan
melakukan pengusutan sehubungan
dengan pengakuan gila itu bahwa Boma adalah
saudaranya. Beberapa waktu lalu di jembatan penyebe-
rangan Sarinah terjadi pengeroyokan hingga tewas terhadap diri seorang pengamen
tua. Salah seorang pengeroyok memiliki ciri-ciri yang sama dengan orang gila
itu. Jenazah pengamen tua itu ke-
mudian diculik secara aneh dalam perjalanan ke
RSCM. Sampai saat ini jenazah itu tidak pernah di-temukan.
Boma sendiri adalah pelajar yang tahun la-
lu pernah mengalami celaka di Gunung Gede. Anak itu putera seorang pensiunan
Departemen Penerangan adalah juga anak yang pernah menolong
seorang wanita yang hendak dirampok di Jl. Kra-
mat Raya. Sidang pengadilan perkara ini diha-
rapkan akan dilangsungkan minggu depan..
*** Di dalam kelas, sebelum jam pelajaran di-
mulai. Ronny mengeluarkan surat kabar yang
sama dengan yang dibaca Pak Nugroho.
"Aku udah baca di rumah pagi tadi..." kata Boma "Sialan," ucap Ronny. "Nama gua
ditulis Ronno"
"Untung bukan Rondo," sahut Vino yang
membuat semua anak yang ada disitu tertawa ge-
li. Boma memberikan surat kabar itu pada
Vino dan Allan yang belum membacanya.
"Masalah berat Ron," ucap Boma selanjut-
nya. "Wartawan menghubungkan pemuda gila itu
dengan peristiwa pengeroyokan di jembatan pe-
nyeberangan Sarinah. Kita pasti kebawa-bawa.
Polisi bakal nyariin kita..."
"Bukan bakal Bom. Memang udah datang!"
kata Ronny sambil memandang ke pintu kelas.
Boma mengangkat kepalanya, memandang
ke pintu. Di situ berdiri Kepala Sekolah, mene-
mani dua orang petugas Kepolisian.
Di dalam Ruang Kepala Sekolah Boma dan
kawan-kawan diminta menceritakan secara leng-
kap apa yang terjadi sore hari Selasa itu. Bebera-
pa orang guru diantaranya Pak Bugi Ibrahim wali
kelas II-9, Ibu Renata dan Pak Sanyoto turut ha-
dir di ruangan itu. Pak Saud juga ada di situ. Se-
belumnya polisi telah menanyai penjaga sekolah
ini. "Orang itu mengaku saudara Dik Boma.
Benar?" tanya salah seorang Polisi.
"Nggak benar Pak. Kenal juga nggak, saya
baru sekali kemarin ngeliat orang itu," jawab Bo-ma. "Namanya orang gila Pak,"
kata Ronny. "Dia bisa saja mengaku sudara siapa saja. Ke-
mungkinan dia tahu nama Boma. Lalu bilang
saudara Boma."
Dua anggota Polisi itu kemudian berganti-
ganti mengajukan pertanyaan lalu mengajak
anak-anak itu menunjukan tempat kejadian. Ke-
tika meninggalkan Ruang Kepala Sekolah Boma
dan kawan-kawan mendengar ada seseorang
mengeluarkan kata-kata tidak enak.
"Ini akibat dari gara-gara punya ilmu yang
bukan-bukan. Nama sekolah jadi tercemar..."
Boma berpaling. Dia tidak melihat orang-
nya, terlindung di balik sosok Kepala Sekolah.
Tapi Boma tahu yang barusan berkata adalah Pak
Sanyoto, Guru Olah Raga.
"Sialan, enak aja kuya itu ngomong. Bu-
kannya prihatin kita muridnya mau digebukin
orang gila eh malah nyap-nyap nggak karuan. Bi-
ar gua datengin Bom." kata Ronny.
Boma pegang tangan kawannya dan berbi-
sik. "Tenang aja Ron. Easy... easy my friend. "
Boma tersenyum dan kedipkan matanya lalu me-
nowel hidungnya dua kali.
10 BOMA! BOMA! BOMA!
DI DALAM gerbong kereta Senja Utama
yang dipenuhi guru dan para pelajar SMU Nusan-
tara III yang akan berangkat ke Yogyakarta itu
ada tiga wajah menunjukkan rasa girang gembira.
Mereka adalah Ibu Renata. Trini Damayanti dan
Dwita Tifani. Ibu Renata memperhatikan arloji di perge-
langan tangan kirinya. Jika tidak terjadi penun-
daan kereta akan segera meninggalkan Stasiun
Gambir lima menit lagi. Kegelisahan terbayang di
wajah cantik guru Bahasa Inggris ini. Lewat kaca
jendela dia menatap ke arah peron yang terletak
di tingkat paling atas bangunan stasiun. Hatinya
mengharap sesuatu keajaiban akan terjadi. Na-
mun harapan tinggal harapan. Begitu banyak
orang di peron sepanjang jalur 4 dan 3. Namun
orang yang diharapkannya muncul tidak keliha-
tan. Ibu Renata menyadari apa yang diha-
rapkannya tidak mungkin terjadi. Pandangan pe-
nuh harapan guru Bahasa Inggris itu berubah
kosong. Dia sengaja tidak mengalihkan mata keti-
ka Pak Sanyoto bersama Ronny Celepuk melewati
kursinya, memeriksa dan mencocokkan daftar
anak-anak kelas II-9 SMU Nusantara III. Kecuali
Boma yang tidak ikut, semua anak lengkap dan
telah duduk di kursi masing-masing.
Lima menit menunggu berangkatnya kereta
terasa begitu lama bagi Ibu Renata. Perasaan itu
membuat hati dan pikirannya kacau. Saat ini ra-
sanya dia ingin turun saja dari kereta. Dia baru
tahu kalau Boma Tri Sumitro tidak ikut setelah
para pelajar SMU Nusantara III berkumpul di Sta-
siun Gambir. Sebelumnya Ibu Renata hanya tahu
kalau Pak Bugi Ibrahim, Wali Kelas II-9 yang ti-
dak ikut karena ada hajatan di kampungnya di
Pandegelang. Kalau saja dia tahu Boma tidak ikut
hatinya mungkin tak akan tergerak untuk pergi.
Boma, mengapa dia tidak ikut" Mengapa
dia tidak memberitahu kalau tidak ikut" Perta-
nyaan itu muncul tidak henti-hentinya dalam hati
Ibu Renata. Salah satu dari teman-temannya pas-
ti tahu sebelumnya kalau Boma tidak ikut. Juga
tentu tahu apa sebabnya. Namun tidak seorang-
pun memberitahu padanya. Seperti sengaja me-
rahasiakan"
Boma...Boma, di mana kau"
Tiba-tiba ada satu perasaan dan dugaan
menyelinap dalam hati Ibu Renata. Mungkinkah
Boma sengaja tidak ikut dalam tour itu karena
Boma tidak suka dirinya pergi bersama dengan
Pak Sanyoto" Sejauh dan sedalam itukah pera-
saan anak itu" Atau sebaliknya. Anak itu sengaja
memberi kesempatan pada Pak Sanyoto agar bisa
lebih mendekati dirinya"
Ibu Renata mengalihkan pandangannya ke
dalam gerbong. Di deretan kursi ujung sebelah ki-
ri, dia melihat Vino dan Firman. Di depan mereka
duduk Sulastri bersebelahan dengan Gita Parwati
Firman tiba-tiba berdiri lalu menepuk bahu
Sulastri yang duduk di depannya.
"Lastri, aku pindah ke tempat duduk ka-
mu. Kamu duduk di sini di samping Vino."
"Eeh cowok ceking! Jangan ngeledek ka-
mu!" kata Sulastri sambil memutar duduknya lalu mencubit lengan Firman yang
kurus. "Kamu yang jangan belagak," jawab Fir-
man. "Lagian aku 'kan cuma disuruh sama Vino."
"Brengsek lu!" teriak Vino seraya menarik temannya itu hingga Firman terhenyak
ke kursi. Ibu Renata tersenyum seperti dipaksakan
ketika melihat senda gurau anak-anak itu. Ma-
tanya kemudian dialihkan ke jurusan lain.
Di deretan kursi sebelah kanan, bersisian
dengan Gita, duduk Allan bersebelahan dengan
Andi. Dia tahu kalau Allan suka sama Gita tapi
Andi tidak usil seperti Firman. Tidak menyuruh
Allan agar pindah duduk di samping Gita.
Kemudian Ibu Renata melihat Rio duduk
berdampingan dengan Trini. Diperhatikannya wa-
jah anak perempuan itu. Trini kelihatan tenang-
tenang saja, tapi jelas ada bayangan ketidak ce-
riaan di wajahnya. Dia lebih banyak diam dari
pada ikut ngobrol dan bercanda dengan teman-
teman di sekitarnya. Sekali-sekali kepalanya dis-
andarkan ke kursi dan matanya dipejamkan.
Ibu Renata menduga. Ketidak ceriaan Trini
itu, apakah sama penyebabnya seperti apa yang
saat itu dirasakannya" Karena Boma tidak ikut"
Gita Parwati yang rupanya sejak tadi meli-
hat sikap Trini, berbisik pada Sulastri yang du-
duk di sebelahnya.
"Lastri, coba kamu liat si Kucing Garong
itu. Kereta belon jalan udah ngantuk. Begitu kere-
ta jalan pasti deh dia ngorok. Ileran lagi!"
Gita dan Sulastri tertawa cekikikan.
"Ei dut!" kata Vino dari belakang. "Jangan ngakak melulu. Nanti ngompol kamu!"
"Sialan, emangnya gue orok!" Gita menya-
huti dengan wajah cemberut sambil memukul
sandaran kursi di samping kepalanya.
Satu baris di depan kursi Rio dan Trini ada
dua bangku kosong. Satu yang bakal diduduki
Ronny. Satu lagi mungkin kursi yang seharusnya
diduduki Boma. Lalu Pak Sanyoto akan duduk di
mana" Seolah baru menyadari Ibu Renata me-
mandang pada kursi kosong di samping kanan-
nya. Mata Ibu Renata mencari-cari seseorang.
Orang yang dicarinya itu duduk di deretan kursi
sebelah kiri, dekat pintu. Menatap keluar jendela.
Dwita Tifani. Anak perempuan ini sesekali mem-
buka majalah yang dibawanya. Tapi Ibu Renata
tahu perhatian Dwita tidak sepenuhnya pada ma-
jalah itu. Sebentar-sebentar dia menarik nafas
panjang memandang ke luar jendela lalu kembali
membuka-buka halaman majalah.
Ibu Renata ikut-ikutan menarik nafas da-
lam. Kembali hatinya menduga. Tidak cerianya
Trini, gelisahnya Dwita diakibatkan oleh sebab
yang sama. Boma"
Ketika Dwita mengalihkan pandangan ke
dalam gerbong, Ibu Renata melambaikan tangan
tetapi Dwita tidak melihat. Beberapa kali dico-
banya tetap saja anak perempuan itu tidak meli-
hat. Anak perempuan yang duduk di samping
Dwita yang kebetulan melihat gerakan tangan Ibu
Renata akhirnya memberitahu Dwita kalau guru
Bahasa Inggris itu memanggilnya.
Dwita tidak segera berdiri. Dia memandang
ke urusan Ibu Renata. Tersenyum, namun dibalik
senyum itu hatinya bertanya-tanya. Mengapa dia
dipanggil" Dia senang sama Ibu Renata. Orang-
nya baik, cantik dan cara mengajarnya mudah di-
cerna. Tapi sejak dia mendengar cerita teman-
temannya bahwa Ibu Renata pernah mengajak
Boma menonton, Dwita merasa seolah dia kehi-
langan sesuatu. Sesuatu itu bernama keper-
cayaan. Dia merasa hilang kepercayaan pada
guru bahasa Inggris itu. Dia juga hilang keper-
cayaan terhadap Boma. Lebih dari itu dia merasa
hilang kepercayaan pada diri sendiri. Dan saat itu
hatinya bertanya. Apa memang ada gunanya dia
ikut tour ke Borobudur itu. Bersama anak-anak
yang bukan teman satu kelas dengan dia" Walau
mereka semua baik padanya. Mungkin dia telah
melakukan satu ketololan yang sia-sia.
Ibu Renata kembali melambaikan tangan.


Boma Gendeng 5 Topan Di Borobudur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dwita berdiri. Ketika melewati kursi Andi, anak lelaki ini
berdiri dan berbisik. "Dwita, kamu duduk aja di bangku kosong di samping Ibu
Rena. Jangan sampai Pak Sanyoto duduk di sebelahnya."
"Memangnya kenapa?" Tanya Dwita.
"Kami teman-teman yang ikut, mewakili
Boma. Kami enggak suka sama Si Umar..."
"Si Umar" Siapa Si Umar?"
"Maksud gua Pak Sanyoto. Gede kepala dia
kalau bisa duduk di samping Ibu Rena." jawab
Andi. "Oo, jadi kalian ini semua mata-matanya Boma" Dibayar berapa kalian
ngejagain Ibu Renata?" "Nggak, bukan dibayar. Ini cuma tanda setia kawan."
"Kalian kok sayang banget sih sama Ibu
Renata" Boma juga gitu ya?"
"Boma sayangnya kan cuma sama kamu,"
Andi sambil tertawa. "Udah pergi sana. Ibu Rena manggil kamu."
"Ibu memanggil saya?" tanya Dwita begitu
sampai di hadapan Ibu Renata.
"Kursi di samping saya kosong. Duduk saja
sini. Saya nggak ada teman ngobrol."
"Boleh?"
"Kenapa tidak?"
"Saya kira itu kursi buat Pak Sanyoto."
Ibu Renata tidak menyangka Dwita akan
kata begitu. Dia menutupi air muka keterkeju-
tannya dengan tersenyum.
"Kita mencarter seluruh gerbong ini. Siapa
boleh duduk di tempat yang disukainya."
Dwita akhirnya duduk di samping Ibu Re-
nata. Guru Bahasa Inggris, ini menarik nafas le-
ga. Paling tidak saat itu dia telah terlepas dari sa-tu hal yang akan membuatnya
tidak enak sepan-
jang perjalanan. Yaitu kalau Pak Sanyoto sampai
duduk di sebelahnya. Sebaliknya, setelah duduk
di samping Ibu Renata, Dwita merasa dia telah
melakukan satu kekeliruan. Seharusnya tadi dia
menolak duduk di samping guru Bahasa Inggris
ini. Dari cerita yang didengarnya, Dwita sudah bi-
sa menduga bagaimana sebenarnya perasaan gu-
runya itu terhadap Boma.
Dwita terduduk diam. Sampai dilihatnya
Ibu Renata melihat jam di pergelangan tangan kiri
jam 19.20. Sama dengan waktu yang ditunjukkan
jam bulat besar yang tergantung di bawah atap
peron. "Seharusnya kereta sudah berangkat," Suara Ibu Renata seolah bicara pada
dirinya sendiri.
"Mungkin sebentar lagi, Bu." Kata Dwita.
Anak ini melirik. Dia melihat Ibu Renata meman-
dang ke arah tangga peron seolah mencari-cari
seseorang. Dwita tahu siapa yang dicari Ibu Renata.
Dan ia juga tahu orang yang dicarinya itu jelas-
jelas tidak akan muncul. Apalagi di saat-saat ke-
reta hendak berangkat seperti itu.
Trini membuka matanya yang sejak tadi
dipejamkan. Dia melirik pada Rio.
"Rio, kamu tau sebenarnya kenapa Boma
nggak ikut?" Pertanyaan ini sejak tadi disimpan Trini dalam dadanya.
Rio yang tidak menyangka akan ditanya
seperti itu sesaat jadi terdiam.
"Ayo, kamu jangan bohong. Kamu pasti tau
kenapa." "Kayaknya sih dia ada halangan."
"Pasti. Nggak ikut karena ada halangan.
Tapi halangan apa" Halangan 'kan juga bisa dibi-
kin-bikin."
"Kalau nggak salah dia pernah bilang.
Minggu ini dia harus menghadiri sidang pengadi-
lan..." Lalu Rio menceritakan peristiwa perampo-kan yang sampai membuat Boma
celaka kena clurit itu. "Kasihan juga Boma kalau begitu," kata
Trini sambil melunjurkan dua kakinya selurus
mungkin. "Tapi kok dia nggak ngasi tau sama aku sih?" "Boma aja ngasi tau kita-
kita mendadak. Kita semua pada kesel. Tapi mau dibilang apa.
Mungkin tu anak lagi banyak pikiran. Inget nggak
kejadian dia, Ronny, Allan dan Vino diserang
orang gila beberapa hari lalu." kata Rio pula.
Dari pengeras suara di peron petugas
memberitahu bahwa kereta Senja Utama jurusan
Yogyakarta siap untuk berangkat.
Putuslah harapan Ibu Renata. Dwita ter-
diam, Trini memandang sayu keluar jendela.
Di ujung peron Stasiun Gambir terdengar
suara peluit. Kereta mulai bergerak. Ibu Renata
merasa seperti ada sesuatu yang menyekat teng-
gorokannya. Tiba-tiba sepasang mata bening guru
Bahasa Inggris ini membesar. Tangannya men-
cekal lengan kursi, tapi yang dipegang justru len-
gan Dwita membuat anak perempuan ini berpal-
ing memandangi wajah Ibu Renata lalu mengikuti
pandangan mata guru Bahasa Inggris itu ke arah
peron. Di peron sana, di antara orang banyak,
seorang anak lelaki bertopi pet biru, memakai T-
shirt putih dan jins serta tas besar menempel di
punggungnya muncul keluar dari tangga pada ja-
lur 4, berlari searah kereta yang bergerak perla-
han. "Boma...!" Ucap Ibu Renata antara percaya dan tidak. Suaranya cukup keras,
membuat semua anak di dalam gerbong itu memalingkan ke-
pala ke arah peron.
Vino berdiri dari kursinya. Dia menunjuk
ke luar jendela. Di luar sana, Boma berlari ken-
cang sepanjang peron menuju pintu kereta yang
terbuka. "Eeii bener lu! Itu Boma!"
"Teman-teman! Liat! Boma!"
"Ah! Gendenk bener 'tu anak! Katanya
nggak mau ikutan!"
Ronny, Gita, Allan dan Firman berdiri dari
kursi. "Bom! Cepetan Bom!" teriak Vino.
"Tancep Boma!" teriak si gemuk Gita.
Semua pelajar dalam gerbong, termasuk
Ibu Renata berdiri pula dari kursi mereka, sama-
sama berteriak.
"Boma! Boma!"
"Cepeeetttt Bom...!"
Gerbong yang ditumpangi anak-anak SMU
Nusantara III hanya tinggal dua puluh meter lagi
dari ujung peron. Pada saat itulah sosok tubuh
Boma laksana terbang melesat memasuki pintu.
Dua kakinya mendarat di lantai kereta. Seisi kere-
ta bersorak riuh. Boma berdiri berpegangan pada
tiang besi. Bahunya turun naik. Diantara nafas-
nya yang tersengal-sengal dia masih bisa berucap.
" Alhamdulillah. Untung masih keburu!"
Boma menowel hidungnya berulang kali.
Saat itu juga hampir semua anak yang ada
dalam kereta menyerbu Boma. Ronny menekan
topi pet di kepala Boma hingga terbenam sampai
ke alis. Vino memeluki temannya itu. Gita Parwati
usap-usap dagu Boma. Firman bergelantungan di
pinggang. Trini memencet hidung Boma. Ketika
Ronny dan Boma saling tos anak-anak lain di se-
kitar situ mengikuti.
"Lagi-lagi kamu bikin kejutan Bom!" kata
Ronny. "Lu bilang nggak bisa ikut! Sekarang
muncul!" "Lompatan 'lu tadi boleh juga Bom. Kayak
lompatan Jet Li aja!" kata Andi.
"Gila, lemes gua!" kata Boma tapi wajah
yang keringatan memancarkan kegembiraan.
"Ogut duduk dimana" Masih ada kursi kosong
nggak?" "Kamu tinggal pilih Bom. Mau duduki
samping Den Ayu Trini Damayanti, atau di sebelah Den Putri Dwita Tifani atau di
dekat Sri Ratu Renata...?" kata Ronny. Anak-anak bersorak riuh. Ibu Renata
kelihatan tersipu, wajahnya tampak keme-rahan. "Atau di depan disamping Den Mas
Masinis kereta saja!" kata Vino yang membuat gerbong kereta itu kembali riuh
oleh sorak dan gelak tawa.
Satu-satunya orang yang seolah tidak dapat me-
nerima kenyataan itu adalah Guru Olah Raga Pak
Sanyoto. Dia duduk terdiam di kursi yang sebe-
lumnya ditempati Dwita, memperhatikan anak-
anak yang sebentar-sebentar bersorak dan terta-
wa-tawa lalu melirik ke arah Ibu Renata, Dwita
dan Trini. Sekali lagi dia memandang ke arah
Dwita. Hatinya kesal. Tadi anak itu duduk di kur-
si yang kini didudukinya. Kenapa pindah ke
samping Ibu Renata" Seharusnya dia yang duduk
disamping Guru Bahasa Inggris itu.
Munculnya Boma merubah suasana di da-
lam perjalanan menjadi jauh lebih ceria. Tiga wa-
jah yang sebelumnya tampak lesu tidak bergairah
kini kelihatan banyak senyum penuh ceria. Ketiga
orang ini adalah Ibu Renata, Dwita Tifani dan Tri
Damayanti. Boma duduk di kursi di sebelah Ronny. Vi-
no, Rio, Gita, Andi dan
Pendekar Setia 3 Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Rahasia Hiolo Kumala 5
^