Pencarian

Air Mata Kasih Tertumpah 2

Jaka Sembung 5 Air Mata Kasih Tertumpah Di Kandang Haur Bagian 2


pula bahwa Parmin adalah pendekar sakti yang
namanya tersohor ke seluruh lereng Ciremai,
yakni pendekar Jaka Sembung.
Di kalangan dunia persilatan, nama itu telah
bagaikan suatu perlambang kehebatan dan kesa-
triaan seorang pendekar. Karena Jaka Sembung
tidak pernah menggunakan ilmunya untuk me-
nyusahkan orang, bahkan senantiasa membela
yang baik dan orang-orang dalam kesusahan.
Pendekar itu juga berupa keras mengusir kaum
penjajah dari bumi nusantara tercinta. Bukan seperti tokoh lainnya, seperti
Gembong Wungu mi-
salnya, malahan menambah penderitaan rakyat
yang tadinya sudah sengsara lantaran kejamnya
pemerintahan Kumpeni Belanda.
Ranti tidak terlalu mempersalahkan diri sen-
diri karena terlanjur mencintai Parmin. Bahkan
menurut perkiraannya, siapa pun pasti menaruh
perasaan yang sama jika punya pengalaman yang
sama sewaktu bertemu dengan lelaki perkasa itu.
Dulu Ranti hampir selalu bisa memiliki apa
saja yang ia inginkan. Sebab apa saja yang ia
minta, pastilah akan dikabulkan Gembong Wun-
gu. Tetapi sekarang, gadis itu menyadari bahwa
dalam hidup ini tidaklah semua keinginan itu bi-sa dipenuhi. Seandainya pun dia
masih hidup bersama Gembong Wungu seperti dulu, ayahnya
itu tentulah tidak akan bisa memberikan atau
merampas cinta dari hati Parmin untuk diberikan padanya.
Manusia bisa diperbudak, bisa ditaklukkan
dengan berbagai cara dan usaha. Tetapi hati nu-
raninya tetaplah miliknya, tidak bisa di kuasai orang lain. Itu sebab jasad
manusia bisa dijajah, namun tidaklah demikian dengan hati sanuba-rinya.
Dalam kehidupan sekarang ini, orang-orang
masih banyak yang kurang menyadarinya. Anak-
anak orang kaya misalnya bisa saja meminta
keinginannya kepada orang tuanya. Tetapi jika
meminta cinta tentulah tidak akan bisa diberikan.
Sebab cinta lahir sendiri, tanpa disadari dan tanpa direncanakan. Dan cinta itu
tidaklah bisa dipaksakan.
Seseorang bisa dipaksa untuk melakukan se-
suatu, tetapi ia tak mungkin bisa dipaksa men-
cintai seseorang. Di sinilah terlihat, bahwa di dalam hidup ini semuanya serba
terbatas. Dan har-
ta duniawi bukanlah jaminan bagi orang untuk
meraih kebahagiaan. Jadi jika ada yang berang-
gapan bahwa yang bahagia itu hanyalah orang
kaya, itu bukanlah anggapan yang benar. Kurang
apa rupanya Ranti sewaktu di dalam asuhan
Gembong Wungu" Tetapi ia kemudian merasa hi-
dupnya gersang, setelah jatuh cinta kepada Par-
min. Ia merasa dalam hidupnya ada yang kurang,
bahkan terasa ada yang hilang.
Setelah usai mandi, Ranti mulai menyusuri
hutan itu mencari apa saja yang bisa dijadikan
sarapan pagi. Rupanya di hutan itu jarang sekali ada pohon yang buahnya bisa
dimakan. Hanya pohonnya saja yang besar dan tinggi, buahnya tak ada gunanya!
Gadis itu bersungut-sungut dalam hati. Jan-
gan-jangan aku mati kelaparan di tengah hutan
ini, pikirnya kesal. Tetapi tiba-tiba telinganya mendengar suara gemerisik
dedaunan kering,
pasti itu binatang. Tanpa menimbulkan suara
mencurigakan, Ranti mendekat ke arah suara itu
dan mengintip dari balik semak-semak.
Seekor rusa jantan yang beranjak dewasa
tampak sedang memakan rumput dengan lahap,
sama sekali tak menyadari ada sepasang mata
sedang mengawasi. Pucuk dicinta ulam tiba. Ini
kesempatan baik, tak boleh dilewatkan begitu sa-ja. Ini makanan yang amat lezat,
pikir Ranti sambil memungut batu yang sedikit lebih besar dari kepalan
tangannya. Sambil mengerahkan tenaga dalam, Ranti
menyambitkan batu itu ke arah rusa jantan yang
sedang merumput. Batu itu menyambar cepat se-
kali. "Tak!" Dengan sangat telaknya, batu itu menghantam tepat bagian batok
kepala rusa jantan itu. Demikian kuatnya sambitan batu itu
hingga kepala rusa itu pecah. Sambil mengoek,
tubuh rusa itu ambruk.
Darah segar bercampur benak berhamburan
dari kepalanya yang telah berantakan.
"Ha-ha-ha... dapat makanan yang enak aku
hari ini. Roijahpun tentu akan senang nanti," gu-
mam Ranti sambil melangkah menghampiri rusa
itu. Dibelai-belainya bulu binatang bertanduk itu dengan lembut. Sayang,
pikirnya, binatang seelok engkau harus mati di tanganku. Tapi mungkin
sudah takdirmu, mungkin jika tidak begini eng-
kau pun akan dimangsa macan. Bukankah lebih
baik aku yang memakanmu daripada macan"
Sambil tersenyum-senyum, Ranti memanggul
tubuh rusa bernasib malang itu. Tetesan darah
dari bagian kepala binatang itu tidak di perdulikan Ranti, sehingga bajunya
basah dan merah.
Ranti benar-benar girang, sewaktu berjalan pu-
lang ke tempatnya tadi tidur bersama Roijah, ia bernyanyi-nyanyi kecil.
Ternyata Roijah sudah duduk bersandar pada
batang pohon besar di tempat itu. Wajahnya tidak sepucat tadi lagi. Sepasang
matanya mulai bersinar-sinar, menatap ke arah Ranti yang sedang
membawa seekor rusa jantan.
"Hai, apakah yang kau bawa itu" Dapat dari mana kau rusa sebesar itu?" tanya
Roijah terhe-ran-heran.
"Tenanglah, kak Roijah. Kita akan makan besar hari ini. Orang Belanda yang
paling kaya pun belum tentu mampu makan menjangan seperti
ini." "Kau selalu menyebut-nyebut Belanda. Apakah kau punya hubungan dengan
penjajah itu?"
tanya Roijah sambil mengerenyitkan kening hing-
ga tampak berkerut-kerut.
"Ya," sahut Ranti seenaknya.
"Kau tentu kenal baik bangsat-bangsat sialan itu. Bahkan bisa jadi... maaf,
orang-orang kita pun banyak yang mau jadi anjing mereka. Bahkan kaum perempuan
kita tidak sedikit yang jadi gundik serdadu penjajah itu..."
"Ya, kau benar!" sahut Ranti tanpa melirik kepada Roijah. Gadis itu meletakkan
rusa di atas tanah. Setelah itu, ia mengumpulkan dedaunan
dan ranting-ranting kering. Dua buah bongkah
batu cadas ia adukan disertai tenaga dalam hing-ga menimbulkan percikan api.
Dengan cara kuno
seperti itu, Ranti dapat menyalakan api.
Dalam sekejap, api sudah menyala-nyala.
Ranti lalu menguliti dan memotong-motong dag-
ing rusa itu dan menusuknya dengan ranting-
ranting kayu. "Hari ini kita akan makan daging panggang
sepuas-puas hati. Kau tentu senang, bukan?"
Roijah memperhatikan ketrampilan Ranti
dengan pandangan rasa kagum. Diam-diam, ia
merasa bersyukur juga, karena dalam keadaan
seperti itu ada orang yang mau menolongnya, bi-
arpun di dalam hati ia yakin bahwa di balik kebaikan Ranti, pasti ada maksud
tertentu. Entah
apa! "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi,"
ujar Roijah. "O, iya" Aku lupa. Kak Roijah menanyakan
apa tadi?" tanya Ranti ternyata melirik wanita itu sejenak. Lalu ia mulai
memutar-mutar daging ru-sa yang telah dipotong-potongnya di atas api.
"Itu tadi, masalah gundik Belanda. Bukankah
tadi kau pun mengakui bahwa gadis-gadis kita
banyak yang jadi gundik penjajah itu adik yang
manis?" "Iya, ya. Memang banyak gadis kita seperti itu. Maksud kakak sebenarnya apa" Apa
mak-sudnya menanyakan masalah gundik Belanda?"
"Kau tadi bilang punya hubungan dengan Be-
landa. Tapi... saya tak berani mengatakan jika
seandainya adik yang demikian muda dan cantik
jelita adalah wanita seperti itu."
Ranti tertawa ngakak sehingga suara tawanya
bergema sampai keseluruh penjuru hutan belan-
tara itu. Ia merasa sangat geli mendengar ucapan Roijah. Tetapi ia sama sekali
tidak tersinggung, sebab ia yakin Roijah sengaja memancingnya untuk menceritakan
siapa sebenarnya dirinya.
"Jadi kak Roijah menuduh saya ini gundik
Belanda?" "Ah, aku tidak menuduh seperti itu. Aku
hanya bertanya saja. Adik jangan salah paham."
"Aku tidak salah paham. Tapi kalau memang
aku ini adalah gundik Belanda, kak Roijah mau
apa" Itu hak ku, bukan" Aku kira kak Roijah tak berhak melarangku bersenang-
senang dengan pa-ra serdadu penjajah itu."
"Jadi...?" seru Roijah tercekat.
Ranti tampak tak acuh. Sambil tersenyum, ia
memanggang daging lainnya. Bau sedap daging
panggang itu memenuhi sekitar hutan. Roijah di-
am-diam merasa sangat lapar. Tetapi ia masih
sangat penasaran karena Ranti tadi sepertinya telah mengakui dirinya adalah
gundik Belanda.
"Adik yang baik hati, bolehkah aku tahu namamu" Dari mana asalmu?"
"Tunggulah, kak Roijah. Tak baik mem-
bicarakan hal-hal serius dalam keadaan lapar.
Kata temanku dahulu, jika bicara selagi lapar li-dah kita bisa keseleo."
"Bila perlu aku tidak akan makan. Jangan ki-ra aku mau makan-makanan anjing
Belanda. Le- bih baik aku mati kelaparan."
Ranti tidak menyahut lagi. Daging panggang-
nya sudah matang. Ia meletakkannya di atas de-
daunan dan kemudian menyuguhkannya di ha-
dapan Roijah. "Sayang tidak ada garam dan cabe. Daging
panggang ini pasti semakin lezat. Tapi tak apalah, tanpa apa-apa juga enak,
bukan" Ayo, kita makan saja. Makanlah sebanyak-banyaknya biar ke-
sehatanmu cepat pulih kembali."
Roijah menatap Ranti dengan sinar mata
yang terlalu sukar di mengerti makanannya. Ada
keraguan terpancar dalam sinar mata gadis itu,
ada rasa tak senang dan entah apa lagi. Ia mem-
perhatikan Ranti yang sedang makan daging
panggang dengan sangat lahapnya.
"Hei, kenapa kak Roijah diam saja" Ayo, makanlah, kak. Jangan diam saja. Ingat,
kakak se- dang sakit. Jika tak makan banyak, penyakit ka-
kak pasti susah sembuhnya."
"Aku tak mau makan sebelum kau mengakui
siapa sebenarnya dirimu."
"Ah, kak Roijah tampaknya terlalu sulit percaya pada orang. Padahal kakak adalah
seorang pendekar yang dikagumi orang. Sekalipun misal-
nya ada alasan bagi kakak untuk mencurigai
saya, apakah sikap seperti itu baik?"
"Ah, adik yang manis. Saya jadi merasa tak enak. Tapi baiklah sekarang aku akan
makan bersamamu." Roijah lalu makan dengan lahap seperti halnya Ranti.
Sambil mengunyah-ngunyah daging panggang
itu, Roijah memperhatikan wajah Ranti. Sungguh
sangat cantik dan cerdas pikirnya. Tetapi tam-
paknya gadis di hadapannya itu agak kolokan dan tidak begitu perduli akan
perasaan orang lain.
Melihat gerak-gerik Ranti, yakin pulalah Roi-
jah bahwa gadis itu bukan orang sembarangan.
Pastilah pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi.
Kalau tidak demikian, mustahil Ranti bisa mem-
bawanya kabur dari tahanan gudang Van Eisen,
kemudian melarikannya sampai ke tengah hutan
ini. Entah siapa sebenarnya gadis di hadapannya itu dan dari golongan mana pula,
sehingga mau menyelamatkannya. Sejenak Roijah agak ragu ju-
ga mengenai kecurigaannya terhadap Ranti. Se-
bab menurut pikiran Roijah, kalau misalnya Ranti bermaksud jelek padanya bisa
saja gadis itu membunuhnya sewaktu ia sedang tak sadarkan
diri. Tapi siapa tahu, Ranti memang ingin me-
nangkapnya hidup-hidup. Bukankah orang-orang
Kumpeni Belanda suka berbuat seperti itu"
"Adik yang manis," ujar Roijah setelah beberapa saat terdiam dan termenung,
"Saya sebenarnya sangat berterima kasih padamu terutama
atas keberanianmu menyelamatkan aku dari pen-
jara Van Eisen. Saya tak tahu bagaimana caranya membalas budi baikmu ini.
Sekalipun misalnya
adik bermaksud jelek padaku, tapi sedikitnya untuk saat ini saya bisa menikmati
udara bebas. Sekarang kalau adik tidak keberatan, tolonglah
katakan, siapa sebenarnya adik ini?"
"Kak Roijah, sebaiknya kita selesai makan dulu. Ayah ku... eh, maksudku teman ku
dulu sering bilang tidak baik bicara kalau lagi makan.
Nanti sajalah, kak. Percayalah, saya akan menceritakan semuanya."
Mereka makan kembali dengan lahapnya.
Ranti makan dengan sikap yang santai dan tidak
malu-malu. Mulutnya tampak terbuka lebar-lebar
di kala mengunyah makanan dan menimbulkan
bunyi menciplak keras. Lain halnya dengan Roi-
jah, tampak agak hati-hati dan makan dengan
mulut kebanyakan tertutup kalau sedang mengu-
nyah, karena ia memang seorang anak bangsa-
wan. Melihat cara makan kedua gadis itu, bisa diterka keduanya mempunyai sifat
yang agak ber- beda. Ranti lebih supel dan terbuka dan tampak
lebih ceria dan lincah. Ia tidak terlalu pintar menyembunyikan isi hatinya,
karena cenderung bi-
cara ceplas-ceplos.
Lain halnya dengan Roijah, selain tampak
jauh lebih dewasa dari Ranti, gadis ayu itu kelihatannya punya sifat yang agak


Jaka Sembung 5 Air Mata Kasih Tertumpah Di Kandang Haur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati-hati dan perasa pula. Di samping itu, Roijah tampaknya kurang
ceria dan suka termenung.
Ranti sendiri tidak terlalu memperdulikan si-
kap Roijah. Sebab selama ini ia memang sudah
terbiasa tidak mau perduli akan perasaan orang.
Ranti sekarang datang ke kawasan Kandang Haur
bukan karena ia seorang pejuang yang ingin bahu membahu dengan pendekar lainnya
untuk mengusir penjajah. Selama ini malah hampir tidak
pernah memikirkan masalah pen-jajahan dan ba-
gaimana mengusir Belanda dari bumi nusantara
tercinta. Ia mempunyai maksud lain yang sifatnya sangat pribadi dan hanya perlu
diketahui Roijah sendiri.
Demikian bergejolaknya hasrat di hati Ranti
untuk mengatakannya kepada Roijah, sehingga ia
menempuh perjalanan yang sangat jauh dengan
jalan kaki dari desa Perbutulan ke desa Kandang Haur. Ia berlari dan berjalan
masuk keluar hutan kurang lebih dari satu minggu, sebelum sampai di desa Kandang
Haur. Namun tadinya, Ranti sama sekali tidak me-
nyangka bahwa Roijah akan mengalami musibah
ditangkap dan disiksa habis-habisan oleh peme-
rintah Kumpeni Belanda. Untunglah ia segera tiba di desa itu dan berhasil
menyelamatkan Roijah.
Seandainya tidak, barangkali Roijah tidak akan
bisa hidup lebih lama lagi.
Seusai makan, Ranti segera membenahi sisa-
sisa makanan mereka dan menyimpan daging ru-
sa yang tersisa. Ia lalu mengambil air minum dari mata air jernih dan sejuk tak
jauh dari tempat itu dengan dedaunan, kemudian memberikannya kepada Roijah.
"Minumlah, kak. Tentunya kau sudah haus
setelah makan panggang tadi."
"Terimakasih, dik. Kau sangat baik."
"Terimakasih juga atas pujian kakak."
"Ah, kau pintar bicara. Sekarang bolehkah saya mengulangi pertanyaanku tadi?"
"Mengenai apakah itu" Maaf, aku suka lupa
kalau lagi kenyang. Sejak dari kecil aku begitu.
Kakak tanya apa tadi?"
"Adik yang manis, siapakah kau sebenarnya"
Kenapa kau bersusah-susah menolong aku dari
siksaan Belanda" Maaf, aku bukannya tak senang
kau tolong, tapi aku masih sangat penasaran se-
belum mendengar penjelasan darimu."
"Baiklah kalau begitu. Agaknya kakak me-
mang tidak akan bisa tenang sebelum mendengar
penjelasan dariku. Namaku adalah Ranti, ya Ran-
ti. Sekali lagi Ranti, ingat baik-baik, kak Roijah.
Nanti kakak lupa."
"Nama yang bagus, lalu siapakah kau sebe-
narnya?" "Saya adalah putri tunggal Gagak Ciremai,
seorang guru silat dari desa Perbutulan. Kakak
tahu desa Perbutulan, bukan?"
"Ya, saya pernah dengar walaupun belum
pernah ke sana. Kenapa sejauh itu adik datang ke mari?"
"Tunggu dulu, kak Roijah. Tadi kau mena-
nyakan siapa aku sebenarnya, biar kujawab dulu.
Ayahku tadi adalah Gagak Ciremai. Tapi aku sen-
diri tak pernah mengenalnya, karena menurut ce-
rita pada usia satu tahun, maksudku ketika aku
berusia sekecil itu, ayahku itu meninggal. Me-
ninggal karena apa tak perlu kuceritakan."
"Lalu siapakah ibumu?"
"Ah, itu tak perlu kuceritakan. Sekarang giliranmu bercerita, siapakah kau
sebenarnya dan kenapa sampai ditangkap dan disiksa Belanda?"
"Bukankah kau sudah tahu namaku?"
"Ya, Lalu kenapa kau sampai ditangkap Be-
landa" Aku sempat melihatmu disiksa di alun-
alun pasar Kandang Haur."
"Panjang ceritanya, dik Ranti. Tapi baiklah, aku akan menceritakannya.
Sebelumnya aku sangat berterima kasih karena kau telah meno-
longku. Masih semuda ini kau telah mempunyai
sikap kesatria. Aku kagum padamu."
"Kak Roijah tak perlu bicara bertele-tele. Ceri-takanlah semuanya."
"Ya, dik Ranti. Selain sudah tahu namaku,
barangkali kau pun sudah pernah dengar bahwa
aku adalah pencuri yang dijuluki si Bajing Ireng.
Julukan maling itu diberikan Kumpeni Belanda,
karena aku memang mencuri setiap ada kesempa-
tan dari mereka."
"Oh jadi kau ini rupanya suka mencuri, ya?"
"Ya, betul. Beberapa tahun terakhir ini aku selalu mencuri dari bangsa penjajah,
dan sama sekali belum pernah mencuri dari bangsaku sen-
diri. Setiap kali beraksi, aku selalu mengenakan pakaian dan penutup muka yang
serba hitam. Karena itulah aku dijuluki Bajing Ireng. Walau-
pun demikian, selama ini tak ada yang tahu siapa sebenarnya Bajing Ireng itu.
Bukan hanya pihak
Belanda bahkan ayah ku sendiri pun tak pernah
tahu siapa maling yang muncul dan hilang bagai-
kan siluman itu. Tetapi seperti kata pepatah, sepandai-pandai tupai melompat
sekali-sekali jatuh juga. Demikian juga diriku. Belanda yang rupanya sangat
penasaran menyebar mata-mata di seluruh penjuru desa Kandang Haur."
"Terus kak Roijah tertangkap, begitu?"
"Ya, aku dan ayah sama-sama tertangkap pu-
la. Belanda membuka kedok penyamaranku dan
baru saat itulah ayahku mengetahui bahwa Baj-
ing Ireng adalah putrinya sendiri."
"Kenapa ayahmu ditangkap" Apakah ayahmu
juga suka mencuri seperti dirimu?"
"Tidak, dik Ranti. Saya sebenarnya agak malu menceritakannya. Tapi biarlah dik
Ranti mengetahui semuanya. Ayahku Bek Marto sebenarnya
adalah... adalah..." Roijah tak meneruskan ucapannya. Ia tiba-tiba menangis
tersedu-sedu sam-
bil menutupi wajahnya dengan kedua belah tela-
pak tangannya. "Kenapa kakak menangis" Ada apa sebenar-
nya?" Roijah menyeka airmata, lalu menghela nafas
dalam-dalam sekadar untuk menenangkan pera-
saannya yang tak menentu. Setelah itu ia melan-
jutkan ceritanya.
"Bek Marto, ayahku itu adalah Kepala Desa di Kandang Haur. Seperti halnya kepala
Desa di mana saja daerah jajahan Belanda, ayahku pun
sebenarnya adalah penghianat bangsa. Ayahku
mau diperbudak penjajah demi harta duniawi. Ji-
ka adik mencemoohkan ayahku, terserahlah."
"Oh, tak kusangka keadaannya seperti itu."
"Apa boleh buat, barangkali si Bajing Ireng memang sudah di takdirkan punya ayah
seorang penghianat sebelum akhirnya ia juga sadar. Teta-pi kemudian Belanda menangkap
ayahku dengan tuduhan telah bersekongkol denganku, karena
terbukti bahwa Bajing Ireng adalah anaknya sen-
diri, padahal seperti yang kukatakan tadi, ayahku baru mengetahuinya setelah aku
tertangkap. Ayahku memang membela diri, bahkan aku pun
mengaku dengan terus terang. Tapi semuanya
sudah terlanjur, hukuman Kumpeni Belanda tak
bisa ditawar-tawar lagi."
Masih tetap dengan airmata berlinang-linang,
Roijah menceritakan saat-saat ketika ayahnya ditangkap dan diseret serdadu
Kumpeni Belanda
untuk menjalani hukuman.
Hari itu masih siang. Puluhan tentara dan al-
gojo pemerintah Kumpeni Belanda menggiring
Bek Marto dengan kedua tangan terikat ke alun-
alun pasar Kandang Haur. Seperti halnya ketika
Roijah dihukum. Belanda pun sengaja melaksa-
nakan hukuman mati terhadap Bek Marto di
tempat umum dengan maksud agar penduduk tak
berani lagi memberontak terhadap penjajah Be-
landa. Puluhan bahkan ratusan penduduk berdiri
agak jauh dari tempat itu sambil memperhatikan
Bek Marto dengan mata hampir tak berkedip dan
tanpa mengeluarkan suara. Semuanya diliputi ke-
tegangan dan kecemasan, sebab pemerintah Be-
landa telah mengumumkan bahwa Bek Marto
akan dihukum mati! Dihukum mati di hadapan
regu tembak. Sebelum menjalani hukuman mati, Bek Marto
masih diberi kesempatan untuk mengucapkan
pesan-pesan terakhir. Dengan sangat tenang Bek
Marto berdiri di tengah alun-alun. Ia mengenakan peci dan kain sarung seperti
halnya orang yang
hendak sembahyang. Dan orangtua itu memang
benar-benar berdoa, menyerahkan segenap jiwa
raganya ke hadapan yang Maha Kuasa.
Bek Marto berdoa bukan karena takut meng-
hadapi hukuman mati. Sama sekali tidak. Orang-
tua itu malah kelihatan senang menghadapi hu-
kuman seperti itu, karena ia telah menyadari
bahwa selama ini ia telah mengkhianati bang-
sanya sendiri. Ia patut dihukum dengan huku-
man yang paling berat.
Sejenak orangtua itu menitikkan airmata. Ia
menatap ke segala penjuru. Tampaklah olehnya
rumah-rumah penduduk yang sangat sederhana
bahkan mencerminkan kemiskinan yang teramat
sangat. Wajah-wajah penduduk desa tampak mu-
ram, sepertinya di wajah-wajah itu Bek Marto melihat lukisan penderitaan dan
kesengsaraan, oleh karena kejamnya penjajah. Sekalipun demikian,
di mata penduduk masih terlihat kasih sayang
dan rasa prihatin atas nasib Bek Marto.
Tak terkatakan betapa terharunya hati Kepala
Desa itu menyaksikannya. Kenapa baru sekarang
aku menyadarinya" Pikirnya dengan hati perih
bagaikan diiris-iris. Ia seharusnya berjuang sam-
pai titik darah penghabisan untuk mengusir pen-
jajah. Bumi tempatnya berpijak sekarang adalah
warisan nenek moyangnya, bukan kekuasaan
kaum penjajah dan bangsa asing manapun.
Tuhanku, jika seandainya dosa-dosaku tidak
termaafkan lagi, aku tidak akan terlalu menyesal.
Tetapi janganlah kiranya ada lagi penghianat seperti aku di bumi tercinta ini,
kata hati Bek Marto. Ketika ia mendapat isyarat dari pimpinan algojo agar segera
bicara, Bek Marto segera melangkah ke depan. Ia kembali menatap ke arah
sekelilingnya, kemudian mulai berkata:
"Saudara-saudara tercinta. Mungkin tiada la-gi artinya penyesalan bagiku, karena
setan yang selama ini merasuki pikiranku mungkin akan tertawa dan mencemoohkan
diriku. Sekarang aku
baru menyadari betapa licik dan durjananya
kaum penjajah yang telah sekian puluh tahun
menguasai daerah kita....."
Bek Marto berhenti sejenak, lalu melan-
jutkan: "Pada detik-detik terakhir ini, aku mengharapkan semoga darah dan dagingku bisa
menyu- burkan bumi kita tercinta sebagai pertanda bah-
wa saya dilahirkan, dibesarkan dan mati di sini, walaupun mungkin tak patut
untuk dikenang. Tetapi setidaknya saya sangat berharap semoga ke-
musnahanku di ujung senjata penjajah akan
menjadi contoh bagi pemimpin lainnya yang ba-
rangkali belum sadar dan masih mau menjilat te-
lapak kaki penjajah bangsanya sendiri. Selamat
tinggal saudara-saudaraku. Doaku beserta kalian semua. Berjuanglah sampai titik
darah penghabisan dan percayalah, penjajah laknat akan angkat kaki dari negeri
kita..." Setelah Bek Marto selesai mengucapkan pe-
san terakhirnya, komandan algojo memberi isya-
rat, sambil mengangkat pedang panjangnya ting-
gi-tinggi. Sebanyak enam orang anggota regu
tampak segera bersiap-siap di hadapan Bek Mar-
to. Laras senapan segera diangkat dan diarahkan ke bagian tubuh Bek Marto.
Komandan regu menatap anggotanya sejenak,
lalu melirik Bek Marto. Setelah itu, ia berteriak memberi aba-aba. Bersamaan
dengan turunnya
pedang di tangannya, terdengar suara tembakan
secara serempak, mengoyak-ngoyak udara dan
bergema sampai ke tengah hutan. Tubuh Bek
Marto ambruk ke tanah dalam keadaan bersim-
bah darah. Penduduk menutup mata sambil mengu-
capkan. Bek Marto telah menemui ajalnya. Da-
rahnya mengucur deras membasahi tanah airnya.
Kini semuanya telah berakhir. Nama Bek Marto
hanya tinggal jadi kenangan.
"Itulah kisah kematian ayahku, dik Ranti..."
ujar Roijah dengan suara serak.
"Kasihan ayahmu..."
"Aku tak bisa melukiskan bagaimana pera-
saanku saat itu, dik Ranti. Tetapi jauh di lubuk hatiku masih ada rasa bangga,
karena di saat akhir hidupnya ayah menyadari kekeliruannya dan
mengharapkan kematiannya jadi contoh bagi pe-
mimpin lainnya agar tidak mau diperbudak penja-
jah." "Aku sangat prihatin mendengar itu, kak Roijah. Semoga Tuhan mengampuni
ayahmu." "Ya, dik Ranti. Tetapi sekarang aku telah sebatangkara. Tidak ada lagi sanak
saudaraku," ka-ta Roijah dengan tangis semakin menjadi-jadi. Ia menyandarkan
tubuh ke batang pohon menum-pahkan segala yang bergejolak di dalam hatinya.
"Sudahlah, kak Roijah. Sebagai pendekar, ki-ta tidak boleh terlalu sedih atas
segala cobaan yang kita hadapi. Aku mengerti perasaanmu, kak.
Hidup sebatangkara memang menyakitkan. Tetapi
aku pun telah sebatang kara. Tak ada ayah dan
ibu, begitu juga sanak pamili."
"Kau benar, dik Ranti. Ah, betapa tololnya aku terlalu menyesali semua yang


Jaka Sembung 5 Air Mata Kasih Tertumpah Di Kandang Haur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah terjadi. Yang telah terjadi itu biarlah terjadi. Mungkin semua ini telah takdir.
Terimakasih, dik Ranti.
Kau sangat baik."
"Ah, kak Roijah. Bahkan kalau dipikir-pikir, kakak masih lebih beruntung
daripada aku. Karena saat ini masih ada yang mencintaimu, kak!"
Roijah agak terkejut juga mendengar ucapan
Ranti itu. Sambil menyeka airmata, gadis itu menatap Ranti dalam-dalam, "Apa
maksudmu, dik Ranti?"
"Kakak masih beruntung karena Parmin
mencintaimu. Bukankah kakak juga sangat men-
cintainya?"
"Hah" Jadi... jadi kau mengenal Parmin?"
"Ya, kak. Aku mengenalnya."
"Dimanakah kau mengenalnya dan di mana
dia sekarang" Aku sudah lama tak bertemu den-
gannya." "Kak Roijah, maafkan aku. Sebenarnya untuk itulah aku datang ke mari." Ranti
kemudian menjatuhkan dirinya ke pangkuan Roijah. Dan tak
lama kemudian, tangisnya pun meledak. Air ma-
tanya bagaikan air hujan ditumpahkan dari lan-
git. Lama gadis itu menangis terisak-isak, sementara Roijah mendekap dan
membelai-belai ram-
butnya dengan penuh rasa haru. Roijahpun tak
henti-hentinya mengucapkan kata-kata hiburan
agar Ranti segera diam dan bisa menguasai perasaannya.
"Sudahlah, dik Ranti. Hatiku tambah sedih
melihatmu menangis. Hapuslah air matamu, jan-
gan terlalu sedih. Bukankah tadi kau sendiri yang bilang agar kita jangan
terlalu sedih" Kau bilang tadi, sebagai pendekar, kita tidak boleh menangis.
Katakanlah hatimu. Dan coba ceritakan bagaima-
na kau bisa berkenalan dengan Parmin."
"Baiklah, kak Roijah!" sahut Ranti seraya menyeka airmata. Ia pun menghela nafas
dalam- dalam untuk menenangkan perasaannya yang ga-
lau. Setelah perasaannya agak tenang, Ranti pun mulai bercerita.
"Kak Roijah, seperti yang saya ceritakan tadi aku adalah putri Gagak Ciremai.
Tapi sejak kecil, karena ayahku keburu meninggal dunia, aku di-pungut sebagai
anak angkat oleh Gembong Wun-
gu." "Gembong Wungu" Maksudmu pendekar
bermata satu itu?"
"Ya. Apakah kak Roijah mengenalnya?"
"Tidak, dik Ranti. Tetapi aku sering mendengar namanya. Kabarnya dia adalah raja
rampok yang memiliki kesaktian yang jarang ada tandingnya."
"Ya, mungkin begitulah keadaannya. Tapi ta-hukah kakak betapa hancurnya
perasaanku ke- mudian" Lima belas tahun setelah ayahku me-
ninggal aku mengetahui bahwa Gembong Wungu
bukanlah ayah kandungku bahkan punya hu-
bungan familipun tidak. Bahkan kemudian kuke-
tahui dia sendirilah yang membunuh ayahku Ga-
gak Ciremai."
"Sungguh kejam. Lalu bagaimana dengan
ibumu?" "Setelah ayahku terbunuh oleh Gembong
Wungu, ibuku melarikan diri ke hutan dan baru
lima belas tahun kemudian muncul di desa Per-
butulan dengan maksud hendak membalas den-
dam. Selama lima belas tahun itu, ibuku rupanya diam-diam memperdalam ilmu untuk
membalas dendam. Tetapi ibuku pun akhirnya meninggal di
ujung senjata Gembong Wungu."
"Kurang ajar! Benar-benar biadab si raja
rampok itu!" seru Roijah geram.
"Saat itulah aku berkenalan dengan Parmin.
Kebetulan ia singgah didesa Perbutulan untuk
bekerja sebagai petani upahan karena dalam per-
jalanan katanya kehabisan bekal."
"Lalu bagaimana selanjutnya?"
"Aku nekat menantang Gembong Wungu un-
tuk bertarung sampai dia atau saya yang mati.
Tetapi Parmin menasehatiku, katanya bajingan
itu bukanlah tandinganku. Apalagi sebelum me-
ninggal, ibuku sempat berpesan agar aku tak
membalaskan dendam terhadap Gembong Wun-
gu. Aku tak tahu harus melakukan apa lagi. Un-
tunglah saat itu Parmin datang dan sebagai seorang kesatria menantang Gembong
Wungu berta- rung." "Lalu" Lalu... siapa yang kalah...?"
"Yang kalah pastilah yang salah. Saya me-
nyaksikan sendiri pertarungan itu. Tampaknya
Parmin sendiri pun tidak kuat menghadapi apala-
gi mengalahkan Gembong Wungu..."
"Jadi... dia telah meninggal...?" sela Roijah dengan wajah yang tiba-tiba
berubah pucat pasi.
"Tidak, kak. Sewaktu bertarung, tiba-tiba ratusan bahkan mungkin ribuan monyet
menyerbu Gembong Wungu. Karena sangat kesakitan, Gem-
bong Wungu berlari tak tentu arah hingga akhir-
nya terjatuh ke dalam sebuah jurang yang sangat dalam dan akhirnya menemui
ajalnya di jurang
itu." "Oh... kak Parmin..." desah Roijah lega.
"Sejak itu, aku mulai menyadari bahwa aku
telah jatuh cinta padanya. Maafkan aku, kak Roijah. Aku tahu kakak mencintainya
dan telah ber- janji padanya. Tetapi ketahuilah, kak Roijah. Cintamu belum tentu lebih besar
daripada cintaku
padanya." Lama Roijah termenung mendengar ucapan
Ranti itu. Sepertinya kata-kata itu merupakan
suatu isyarat baginya bahwa ia harus siap meng-
hadapi kenyataan. Pantas saja Ranti jauh-jauh
mau menemuinya. Rupanya antara gadis itu dan
Parmin telah terjalin hubungan rahasia.
Sebagaimana halnya kaum gadis pada
umumnya, rasa cemburu pun langsung bergejo-
lak di dalam hati Roijah. Tetapi karena gadis itu sudah dewasa dan sudah
terbiasa menghadapi
berbagai macam problema dalam hidupnya, Roi-
jah bisa menyembunyikan isi hatinya. Walau den-
gan perasaan hancur, ia toh masih bisa menyada-
ri bahwa jika kekasihnya memang telah berpaling pada gadis lain, ia tidak akan
bisa berbuat apa-apa. Bukankah masalah cinta itu adalah hak aza-
si manusia"
Sama seperti tidak bisa memaksa seseorang
mencintai, seseorang juga tidak bisa terlalu dipaksa untuk setia. Orang bisa
berjanji bahkan
bersumpah, tetapi berbagai hal kemudian bisa
membuat orang tersebut benar-benar melupakan
atau terpaksa melupakan janjinya itu.
Akan tetapi cinta memang boleh dikatakan
tak pernah lepas dari rasa egois. Mementingkan
diri sendiri. Orang mencintai berarti ingin memiliki, bahkan menguasai. Sadar
atau tidak sadar,
seorang pemuda misalnya biasanya tidak senang
melihat pacarnya pergi bersama lelaki lain. Pa-
dahal antara kekasihnya itu dengan lelaki lain ta-di belum tentu ada apa-apa.
Tetapi dengan alasan antara mereka ada hubungan cinta yang dinilai
sebagai penguasaan, si pemuda pun merasa
punya hak melarang, bahkan marah.
Itulah sekilas tenang cinta, yang barangkali
sering disalah tafsirkan. Cinta yang kata orang bi-sa mendatangkan kebahagiaan
tetapi juga bisa
mendatangkan kehancuran dalam kehidupan.
Entah itu namanya cinta sejati, atau hanya sekadar keegoisan dan dorongan untuk
menguasai, wallahualam. Roijah merupakan pendekar wanita yang
memiliki ilmu tinggi. Ia juga memiliki keberanian luar biasa dan telah sering
menghadapi kesulitan dalam hidupnya sebagai seorang pendekar. Tetapi mendengar
kata-kata Ranti itu tadi, perasaannya jadi tak menentu. Diam-diam ia merasa
seperti takut menghadapi kenyataan menyakitkan, jika ia harus berpisah dengan
kekasihnya. "Saya tak mengira persoalannya demikian.
Rupanya dik Rantipun mencintainya. Apakah
Parmin juga mencintaimu" Kalau memang demi-
kian..." "Tidak, Kak Roijah!" sela Ranti cepat, "Parmin tidak mencintai diriku. Di
hatinya hanya ada kau seorang, kak."
"Jadi..?" kata Roijah bingung bercampur cemas. Ranti tidak menyahut. Gadis itu
tiba-tiba bangkit, kemudian meloncat jauh ke belakang.
Wajahnya yang tadi pucat pasi kini berubah me-
rah padam. Sepasang matanya menatap liar, ba-
gaikan singa kelaparan siap menerkam mangsa.
Diam-diam Roijah terkejut menyaksikan peruba-
han Ranti. Gadis itu tampak berubah menjadi ga-
nas dan buas. Sikapnya sekarang menunjukkan
bahwa ia sedang sungguh-sungguh hendak men-
gadu nyawa dengan Roijah.
"Tidak! Seorang pendekar tidak boleh menangis. Sekarang mari kita bertarung
untuk menen- tukan siapa yang paling berhak untuk memiliki
cinta Parmin. Kau atau aku. Ayo, bangkitlah! Cabut senjata mu dan kita
selesaikan persoalan ini sampai salah seorang di antara kita mampus."
"Aduh, dik Ranti. Kau telah menyelamatkan
nyawaku dari tangan penjajah. Aku berhutang
nyawa padamu. Kalau kau memang berhak mem-
bunuhku, seharusnya kau melakukannya ketika
aku belum sadar tadi. Tapi sekarang, terserah
padamulah, dik Ranti. Aku tidak akan mau mela-
wanmu. Bunuhlah aku sekarang juga!"
"Itu bukan sifat seorang kesatria," kata Ranti sambil menghunus senjatanya, "Kau
adalah seorang pendekar hebat. Tapi aku tidak takut pada-
mu. Aku siap mengadu nyawa denganmu. Ayo,
bangkitlah dan hadapi aku!"
"Dik Ranti, selain berhutang nyawa padamu, aku juga sangat menyayangimu. Demi
langit dan bumi, aku tidak ingin mengecewakan hatimu, dik!
Kau boleh membenciku, tapi aku tidak akan per-
nah membencimu. Sekarang aku telah menyadari
bahwa diriku memang tidak pantas mengha-
rapkan Parmin. Pergilah padanya, antara aku dan dia tak ada apa-apa lagi. Atau
kalau dik Ranti
memang tidak bisa menahan hasrat untuk mem-
bunuhku, silahkan. Aku sudah rela, dik. Aku
akan bangga mati di tanganmu. Itu lebih baik da-
ripada mati di tangan Penjajah Belanda laknat
itu." "Huh, aku tak membutuhkan senjata ini," teriak Ranti sembari melemparkan
senjatanya ke tanah. Ia lalu melangkah ke hadapan Roijah dan
menatap wanita itu dengan sikap yang tampak
semakin ganas. "Mari kita bertarung secara kesatria"
"Dik Ranti, aku sudah mengatakan semuanya
padamu. Kenapa kau belum juga melakukan niat
hatimu" Seharusnya kau tak membuang senja-
tamu itu. Ambillah, dan laksanakan niat hatimu sepuas hati. Aku menyayangimu,
dik! aku sudah merelakan nyawaku untukmu!"
"Jangan banyak omong. Aku tak butuh kata-
kata seperti itu. Jangan bersikap pengecut. Bajing Ireng. Aku tidak mau
menyerang orang yang tak
mengadakan perlawanan. Bangkitlah!"
"Berbuatlah sesukamu, adikku yang manis."
Roijah menatap Ranti dengan tatapan sendu.
Mata gadis itu berkaca-kaca, sedih, terharu, menyesal dan entah apa lagi. Ia
sungguh tak me-
nyangka persoalannya akan jadi begini. Tetapi
melihat betapa besarnya harapan Ranti terhadap
Parmin, diam-diam Roijah telah merelakan keka-
sihnya untuk hidup berdampingan dengan Ranti.
Maka Roijah pun sudah pasrah, siap menerima
kematian di tangan Ranti.
Melihat Roijah tetap tidak mau memberikan
perlawanan, makin panas jugalah hati Ranti. In-
gin rasanya ia menerjang Roijah dengan serangan mautnya. Tetapi bagaimana
mungkin ia menye-
rang orang yang tak mau memberikan perlawa-
nan" "Bangsat kau, Bajing Ireng! Kau pengecut,
kau..." Ranti menghentikan ucapannya. Tiba-tiba da-
ri balik pepohonan meluncur sebatang tombak
dengan kecepatan tinggi ke arah Roijah. Sebagai pendekar yang memiliki ilmu
tinggi, Roijah sebenarnya dapat menyadari bahwa dirinya terancam
bahaya. Tetapi karena kondisi tubuhnya sangat
lemah, kecil kemungkinan baginya untuk menge-
lak. Di samping itu, dalam waktu yang singkat
itu, ia telah memutuskan lebih baik mati agar
Ranti merasa bebas berdekatan dengan Parmin.
Tetapi dengan kecepatan yang luar biasa,
Ranti meloncat bagaikan burung elang menyam-
bar tubuh Roijah sehingga wanita itu lolos dari maut. Senjata tombak itu
menancap ke batang
pohon tempat Roijah tadi bersandar.
Ketika tubuh Ranti dan Roijah masih berada
di udara, menyusul lagi puluhan batang tombak
menyambar. Sambil berteriak nyaring, Ranti ber-
jumpalitan beberapa kali sambil mendekap tubuh
Roijah sehingga senjata-senjata yang dilontarkan dari tempat tersembunyi itu
tidak ada yang berhasil melukai kedua gadis itu.
Ranti memang memiliki ilmu silat luar biasa.
Pendekar yang ilmunya biasa-biasa saja, mustahil akan bisa menyelamatkan diri
apa lagi sambil
membopong tubuh Roijah.


Jaka Sembung 5 Air Mata Kasih Tertumpah Di Kandang Haur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan gerakan yang sangat ringan, Ranti
mendaratkan kakinya di atas tanah. Ia menge-
rahkan segenap perhatiannya untuk bersiap- siap jikalau diserang lagi.
"Hei, orang-orang pengecut! Keluarlah, jangan berani menyerang dari tempat
persembunyian. Hai, anjing-anjing, monyet-monyet, keluarlah.
Hadapi aku secara jantan. Akan kucincang tubuh
kalian." Ranti memaki-maki sambil mengacung-
acungkan senjata.
Roijah yang kondisi tubuhnya masih sangat
lemah, berusaha untuk berdiri dan bersiap-siap
untuk menghadapi serangan lawan. Diam-diam,
Roijah kagum juga melihat ketangkasan Ranti ta-
di menyelamatkan dirinya. Tampaknya ilmunya
sendiri belum tentu lebih tinggi dari gadis itu. Entah siapa sebenarnya yang
menyerang mereka se-
cara gelap. Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa sam-
bung-menyambung dari segala penjuru. Ranti
dan Roijah saling memutar tubuh sambil menatap
ke sekelilingnya, karena suara tawa itu tampak-
nya datang dari segala penjuru.
Selain sangat keras, suara tawa itu juga men-
gandung tenaga dalam yang sangat tinggi, sehing-ga terasa menusuk-nusuk anak
telinga dan mem-
buat dada Ranti dan Roijah berdebar-debar. Ta-
hulah Ranti bahwa lelaki yang mengeluarkan sua-
ra tawa itu bukanlah orang sembarangan.
Ia sudah sering mendengar bahwa di dunia
persilatan banyak pendekar yang memiliki ke-
mampuan menyerang lawan dengan suaranya.
Serangan seperti itu hanya bisa dilakukan jika
orang bersangkutan sudah memiliki tenaga dalam
yang sangat kuat. Sebagai contoh, suara auman
harimau bisa membuat orang gemetar dan lemas,
memperlihatkan betapa suara auman itu men-
gandung kekuatan. Ranti sendiri sudah pernah
diajari ayahnya menggunakan ilmu seperti itu,
walaupun hanya secara garis besarnya saja.
"Kak Roijah, tutup pendengaranmu. Agaknya
si bangsat itu hendak bermain-main denganku."
"Ya, dik Ranti. Hati-hatilah, tampaknya orang itu bukan orang sembarangan,"
sahut Roijah was-was. Ranti memusatkan perhatiannya sejenak. Ia
menahan nafas sambil menghimpun tenaga da-
lamnya. Setelah itu, ia mengeluarkan suara leng-kingan berkepanjangan. Luar
biasa! Suara leng-
kingan gadis jelita itu terasa menggetarkan de-
daunan dan mengalahkan suara gelak tawa lelaki
misterius itu. Suara gelak tawa itu pun terhenti. Bersamaan
dengan itu, puluhan lelaki bertampang seram ber-loncatan dari balik pepohonan
dan langsung membentuk lingkaran, mengepung Ranti dan Roi-
jah. Para lelaki itu hampir semuanya bersenjata golok selain beberapa orang di
antaranya memegang senjata tombak berukuran sekitar satu se-
tengah meter. "Licik!" bentak Ranti geram.
"Ha-ha-ha.,.!" gerombolan lelaki itu sama-sama tertawa tergelak kembali.
"Huh, anjing-anjing kurap, tak tahu diri, Kenapa jumlah kalian hanya segini
saja" Di mana
yang lain" Kebetulan aku sudah cukup lama ti-
dak latihan. Senjataku pun sudah haus minum
darah. Ayo bangsat-bangsat siluman, majulah.
Akan kucincang tubuh kalian!"
"Hei, hati-hati kawan-kawan semua. Jangan
sampai kedua tikus cantik ini lolos. Tangkap mereka hidup-hidup!" bentak si
Cenot, pemimpin gerombolan itu.
"Kak Roijah, tetaplah berlindung di be-
lakangku. Akan kusikat mereka satu per satu!"
kata Ranti sambil memasang kuda-kuda
"Hati-hati, dik!"
Gerombolan lelaki yang sedikitnya berjumlah
lima belas orang itu mengepung semakin rapat.
Sementara si Cenot sendiri agak jauh di belakang untuk memberi komando.
"Siap, kawan-kawan. Serbuuu...!" teriak si Cenot dengan suara menggelegar.
Gerombolan lelaki yang ternyata adalah se-
waan pemerintah Kumpeni Belanda itu mulai me-
nyerang dengan ganas.
"Mampus kalian anjing-anjing Belanda!" bentak Ranti. Gadis itu segera
mengeluarkan ilmunya yang paling hebat yakni 'Grojogan Sewu' yang
membuat senjatanya tampak berubah jadi banyak
sekali dan menyerang lawan dari segala penjuru.
Ilmu tersebut ternyata luar biasa cepat dan
setiap serangan selalu mengarah ke bagian-
bagian tubuh yang sangat vital bagi lawan hanya dalam beberapa jurus saja, Ranti
berhasil merobohkan empat lawan hingga terjungkal berlumu-
ran darah. Ranti mengamuk bagaikan banteng ter-luka.
Sedikit pun ia tidak mau memberikan lawan ke-
sempatan untuk menyerang. Sementara Roijah
sendiri hanya bergerak alakadarnya saja, sebab
tubuhnya masih sangat lemah. Roijah kebanya-
kan menghindar sambil berusaha berlindung di
belakang tubuh Ranti.
"Hei, kawan-kawan. Hati-hati!" teriak si Cenot yang rupanya terkejut juga
menyaksikan sepak
terjang Ranti yang sangat ganas. Mendengar te-
riakan Cenot, para pengeroyok Ranti dan Roijah
serentak meloncat mundur. Mereka melirik te-
man-temannya yang terkapar tak bernyawa. Sete-
lah itu kemudian melirik Cenot, seolah-olah minta petunjuk.
"Gunakan sergapan kita yang paling ampuh!
Kedua singa betina itu pasti tidak akan berkutik!"
kata Cenot. Sebanyak tujuh orang sisa anak buah Cenot
segera mengangguk. Mereka lalu membentuk
lingkaran, mengelilingi Ranti dan Roijah. Tak la-ma kemudian, mereka berteriak-
teriak sambil berlari-lari mengelilingi kedua lawannya.
Makin lama gerak lari gerombolan pengeroyok
makin cepat. Hebatnya lagi, sambil bergerak me-
lingkar, mereka juga mengeluarkan suara untuk
membingungkan lawan. Rupanya benar juga
omongan Cenot tadi bahwa itu adalah serangan
andalan mereka.
Diam-diam Ranti terkejut juga. Sebab seumur
hidupnya ia belum pernah menghadapi serangan
seperti itu. Untunglah Roijah segera dapat mem-
baca gelagat yang kurang baik itu, karena ia memang jauh lebih berpengalaman
dari pada Ranti
sendiri. "Dik Ranti, hati-hatilah. Serangan seperti ini sangat berbahaya. Kita harus
melumpuhkan salah seorang di antaranya agar lingkaran setan itu buyar."
Ranti mengangguk. Sebelum lawan menye-
rang, ia sudah meloncat menyerang salah seorang di antara musuh. Senjata di
tangannya bergerak
cepat bagaikan kilat menyambar.
Tetapi alangkah terkejutnya gadis itu, ketika
lawan yang diserangnya tidak mengelak, bahkan
balas menyerang dengan mengarahkan goloknya
ke arah dada Ranti.
Sementara lelaki di belakangnya melindungi
temannya dari serangan Ranti.
Ranti terpaksa menarik senjatanya untuk
menangkis serangan lawan. Terdengar suara ber-
dentang disertai pijaran bunga api karena berte-munya kedua senjata itu.
"Kurang ajar!" bentak Ranti geram. Ia lalu mempersiapkan serangan baru yaitu
permainan silat 'Angin Beliung' yang merupakan puncak dari ilmu 'Dewa Banyu Nitis'.
Ranti menerjang dengan dahsyat. Tubuhnya
melayang, kemudian menyambar turun bagaikan
burung elang. Senjata di tangannya diputar me-
nangkis serangan lawan. Sementara tangan kiri
dan kaki kirinya menyambar dengan kekuatan
dahsyat. Bersamaan ketika senjata mereka beradu,
kaki kiri Ranti dengan telak menghantam dada
salah seorang lawan. Begitu, kuatnya tendangan
dara jelita itu, sehingga lawannya terlempar beberapa meter. Darah kental
kehitam-hitaman ter-
sembur dari mulutnya. Setelah itu kepalanya terkulai. Nyawanya telah melayang.
Dengan lumpuhnya salah seorang di antara
gerombolan pengeroyok itu, serangan mereka pun
menjadi kacau. Kesempatan itu tak disia-siakan
Ranti. Ia mengamuk lagi membabat lawan-
lawannya dengan serangan mautnya.
Satu per satu kawanan pengeroyok itu roboh
di ujung senjata Ranti. Darah segar tercecer di mana-mana. Mayat bergelimpangan
sehingga sekitar tempat itu tampak sangat mengerikan.
Ketika matahari telah condong ke barat, se-
mua anak buah Cenot telah roboh. Sekarang
tinggal Cenot seorang. Lelaki itu terkejut juga menyaksikan kehebatan Ranti.
Hampir ia tak percaya belasan anak buahnya roboh di tangan seo-
rang gadis cantik jelita dan masih sangat muda
lagi. Siapakah gerangan pendekar wanita yang
memiliki ilmu tinggi dan jika mengamuk tampak
sangat beringas dan ganas" Si Cenot tidak bisa
menebak, tetapi menurut perkiraannya pendekar
wanita itu pastilah mempunyai hubungan dengan
Roijah. Mungkin keduanya masih satu perguruan.
Sekalipun Cenot memang belum pernah ber-
tarung dengan Roijah, namun ia sudah menden-
gar sepak terjang Roijah yang sangat hebat. Entah sudah berapa orang yang tewas
di tangan gadis
itu. Bahkan selama ini pemerintah Kumpeni Be-
landa sering menyewa jagoan-jagoan hanya untuk
membekuk Roijah yang dijuluki si Bajing Ireng
itu. Namun tidak ada yang berhasil menangkap
Roijah. Pemerintah Kumpeni Belanda akhirnya
menghubungi pendekar yang memiliki ilmu yang
sangat tinggi yakni si Cenot sendiri, seorang jagoan dari Juntinyungat Karang
Panjalin yang di-
juluki Malaikat Samber Nyawa. Lelaki ini sudah
cukup lama dikenal sebagai pendekar tanpa tand-
ing di wilayah Jawa Barat.
Tampaknya Belanda tidak mau main-main la-
gi, terutama setelah Roijah menghilang dari penjara dibawa kabur oleh seorang
pendekar wanita
yang ilmunya juga sangat tinggi. Itulah makanya Si Cenot bersama belasan orang
anak buahnya disewa untuk menangkap Roijah kembali.
Sekarang melihat kehebatan Ranti, si Cenot
pun harus mengakui kagum. Bahkan terus-terang
ia tidak menyangka ia akan bisa menemukan wa-
nita yang sangat muda dan cantik jelita memiliki ilmu setinggi itu. Tetapi
sebagai seorang pendekar yang sudah puluhan tahun malang melintang di
dunia persilatan dan sudah sangat berpengala-
man pula. Si malaikat Samber Nyawa itu tidak
gentar sama sekali. Ia yakin sekali bahwa ia akan dapat mengalahkan Ranti.
Maka ia pun tertawa terpingkal-pingkal sete-
lah semua anak buahnya roboh.
"Hebat! Luar biasa! Tadinya singa betina ini kukira hanyalah anak tikus. Tapi
jangan semba- rang mengumbar bacot di hadapanku. Akulah si
Cenot yang dijuluki Malaikat Samber Nyawa yang
tiada tandingan di Jawa Barat. Aku sengaja
memperkenalkan diri agar kalian tidak mati pe-
nasaran. Sebaliknya, aku juga tidak ingin mem-
bunuh orang yang belum kuketahui namanya.
Ayo, sekarang harap kalian berdua tidak kebera-
tan untuk memperkenalkan diri."
"Hati-hati, dik Ranti. Ia bukan orang sembarangan," bisik Roijah was-was.
"Tenanglah, kak Roijah. Sebaiknya kakak
menyingkir. Biar saya yang menghadapi si ku-
nyuk tua itu."
"Hei, kalian tak perlu bisik-bisik. Ayo, bicara-lah!" kata Cenot lagi.
Ranti masih tetapi tidak menyahut. Dara jeli-
ta itu memperhatikan Cenot. Lelaki itu sudah tua, mungkin sudah berumur lima
puluh tahun. Tubuhnya agak pendek dan kurus. Ia mengenakan
pakaian serba hijau bergaris-garis dengan celana panjang sebatas betis, dan di
pinggangnya yang
ramping dililitkan kain sarung sejenis songket.
Kedua pipi Cenot agak gempal dan sepasang ma-
tanya tampak selalu melotot, sehingga kalau ia
tertawa ia mirip sekali badut. Sikapnya agak tidak perduli terhadap orang lain
yang jika berjalan kelihatan loyo.
Pendekar yang dijuluki Malaikat Samber
Nyawa itu mempunyai sebilah golok mengkilap
yang kini telah terhunus di tangan kirinya.
Agaknya biarpun sikapnya tampak anggap
remeh terhadap lawan, namun ia sudah bertekad
untuk tidak main-main. Selain karena lawan me-
miliki ilmu yang cukup tinggi, ia juga ingin sece-patnya melumpuhkan kemudian
menyerahkan kepada Van Eisen.
"Hei, nona cantik. Kenapa kau diam saja"
Siapakah namamu?"
"Huh, monyet kelaparan. Jangan kira aku takut padamu. Aku sudah siap mengadu
nyawa denganmu. Kau tak perlu banyak bicara. Jika kau memang bukan pengecut, hadapilah
aku. Aku sudah siap!"
"Baiklah kalau begitu. Agaknya kau memang
sudah di takdirkan mati di tanganku. Sayang dua nona cantik seperti kalian harus
mati sekarang. Seharusnya kalian berdua jadi biniku. Tapi tak
apalah nona manis. Nanti aku akan kaya raya,
dapat hadiah melimpah ruah dari Van Eisen se-


Jaka Sembung 5 Air Mata Kasih Tertumpah Di Kandang Haur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagai ganti kedua kepala kalian."
"Bangsat tak tahu diri. Akan kucincang tu-
buhmu, bedebah!"
Sambil tertawa-tawa, si Cenot pasang kuda-
kuda. Kedua kakinya dibuka lebar-lebar, kemu-
dian kedua lututnya ditekuk hingga hampir me-
rapat ke dada. Dengan posisi seperti orang jongkok seperti itu, ia meliuk-
liukkan badan dengan gaya yang sangat lemas dan mirip kucing sedang
sakit perut. Sementara tangan kanannya yang ki-
ni memegang golok diacung tinggi-tinggi ke belakang. Gaya main silat yang sangat
aneh. Ranti di-am-diam terkejut juga, sebab ia sudah dapat me-
nerka bahwa di balik gaya yang tampak semrawut
itu tersimpan sesuatu gerak yang sangat berba-
haya. Untuk menghadapi lawan seperti ini diper-
lukan kewaspadaan yang tinggi, tidak boleh len-
gah sedikit pun juga apalagi menganggap remeh.
Ranti mempersiapkan diri untuk memulai se-
rangan dengan jurus maut bagian dari ilmu silat, Dewa Banyu Nitis. Sambil
berteriak nyaring, dara muda itu meloncat tinggi ke arah lawan. Tangan
kiri disilangkan di depan dada, sementara tangan kanan yang memegang senjata
dilipat di sebelah
kiri. Kari kanannya ditekuk, sehingga posisinya memungkinkan Ranti bisa
menyerang dari berbagai arah dan dengan perkembangan jurus yang
sulit ditebak. Si Cenot pun berteriak nyaring sambil me-
mindahkan goloknya ke tangan kiri. Agaknya si
Malaikat Samber Nyawa itu segera menyadari
bahwa serangan Ranti sangat berbahaya, dan
dengan senjata di tangan kiri, lebih menguntungkan baginya menghadapi serangan
itu. Dan itu merupakan salah satu keistimewaan Cenot, di
mana tangan kiri maupun tangan kanannya sama
berbahayanya jika memegang senjata.
Didahului serangan kaki dan tangan, senjata
Ranti menyambar dahsyat ke arah dada Cenot.
Dengan gerakan-gerakan yang sangat aneh, Cenot
menghindar, lalu mengangkat goloknya menang-
kis sabetan senjata lawan.
"Trang...!" Kedua senjata itu beradu keras, disertai percikan bunga api. Tubuh
Rianti yang sedang melayang di udara terdorong mundur, se-
hingga ia terpaksa melakukan salto beberapa kali ke belakang untuk menguasai
keseimbangan tu-
buh. Sedangkan tubuh Cenot juga terdorong be-
berapa langkah.
Dapatlah diketahui bahwa tenaga dalam Ce-
not sedikit lebih kuat dibanding Ranti. Hal itu membuat Ranti sangat geram. Ia
kembali menerjang dengan ganas. Benarlah seperti apa yang di-duganya semula
bahwa Cenot bukanlah orang
sembarangan. Lelaki itu selain memiliki gerakan yang sangat cepat, juga terasa
sangat aneh, sepertinya tak lazim diperlihatkan para pendekar.
Untunglah Rianti memiliki semangat baja dan
kelincahan tubuh yang sangat baik, sehingga
sampai pertarungan itu berlangsung berpuluh-
puluh jurus, ia masih dapat bertahan sambil se-
kali-sekali balas menyerang.
Namun makin lama tenaganya makin terku-
ras juga. Apalagi karena sebelumnya ia mengha-
dapi keroyokan belasan anak buah Cenot. Walau-
pun lawan-lawannya itu rata-rata tidak memiliki ilmu yang tinggi, namun cukup
banyak menguras
tenaga Ranti. Makin lama perlawanan Ranti ma-
kin melemah. Hari mulai senja, langit telah kelabu. Tiba-
tiba saja permainan silat Cenot sering ngawur,
bacokan-bacokan goloknya sering salah sasaran.
Tahulah Ranti bahwa musuhnya itu mempunyai
kelemahan yakni matanya rabun ayam.
Tentu saja Ranti sangat girang. Semangatnya
berkobar kembali, dan seperti memberikan tenaga baru baginya. Kalau tadi ia
terdesak oleh lawan, kini keadaan telah berbalik. Ranti yang berada di atas
angin dan tampaknya hanya menunggu wak-
tu saja untuk merobohkan lawan.
Benar saja! Beberapa saat kemudian, senjata
di tangan Ranti dengan telak menyabet leher Ce-
not hingga hampir putus. Lelaki itu menjerit panjang. Tubuhnya ambruk ke tanah
dengan darah segar memancar deras membasahi pakaian dan
tanah di sekitarnya. Sejenak tubuh jagoan Malaikat Samber Nyawa itu menggelepar-
gelepar, sete- lah itu tak bergerak-gerak lagi. Nyawanya telah melayang entah ke mana.
"Mampus kau bangsat!" maki gadis itu sambil meludah. Ia lalu menyeka keringat
yang membasahi wajah. Sungguh suatu pertarungan yang
luar biasa. Seumur hidup, Ranti belum pernah
menghadapi lawan setangguh Cenot. Seandainya
lawannya itu tidak rabun ayam, entah apa yang
bakal terjadi. Mungkin Ranti sendiri yang akan
mengalami nasib naas.
"Sungguh hebat kau, dik Ranti. Kau adalah
yang amat perkasa, bisa mengalahkan jagoan se-
tangguh itu," kata Roijah yang sejak tadi mengawasi pertarungan itu dengan dada
berdebar- debar. Ranti hanya melirik sekejap. Setelah itu, ia
kembali menyeka keringat dengan sikap seperti
tak mendengar ucapan Roijah.
"Dik Ranti, aku sangat kagum padamu."
"Tidak!" Tiba-tiba Ranti berteriak nyaring sambil melemparkan senjatanya, "Kau
tak perlu memujiku. Mari kita selesaikan kembali urusan
kita. Ayo, bersiap-siaplah. Aku akan mengadu
nyawa denganmu sampai salah seorang di antara
kita yang mampus."
Roijah sangat terkejut mendengar kata-kata
Ranti. Sungguh ia tak menyangka Ranti masih
bersikap galak padanya. Bahkan tampak masih
ingin bertarung dengannya. Diam-diam Roijah
mengeluh, karena gadis yang sangat dikaguminya
itu masih bersikap aneh padanya.
"Kau jangan diam saja, Bajing Ireng! Bersiap-siaplah menghadapi aku!"
"Dik Ranti, untuk kedua kalinya kau menye-
lamatkan nyawaku. Kau sangat berjasa terhadap
diriku. Mungkin aku tidak akan pernah bisa
membalas budi baikmu. Karena itu, ketahuilah,
apapun yang akan terjadi, aku Roijah anak dari
Bek Marto tidak akan mau melawanmu. Lakukan-
lah apa yang kau lakukan sesuai kehendak hati-
mu. " "Diam! Aku bukan pengecut! Pokoknya kita
harus bertarung demi Parmin. Kau harus mela-
wanku, jangan bersikap pengecut seperti itu. Mari kita selesaikan. Bersiaplah
kau, Bajing Ireng!"
"Dik Ranti, kenapa kau masih harus banyak
bicara" Kenapa tak segera kau ambil senjatamu
dan membunuhku?"
Karena sangat kesal, tiba-tiba Ranti menam-
par pipi Roijah. Demikian kerasnya tamparan itu, sehingga tubuh Roijah
terpelanting dan terjerem-bab ke tanah.
"Agaknya kau harus diberi pemanasan. Su-
dah cukup, bukan" Sekarang bangkitlah. Ayo,
bangkit. Jangan sampai membuat aku kehilangan
kesabaran!"
"Bunuhlah aku, dik Ranti. Aku sudah rela seperti halnya aku merelakanmu
berdampingan dengan Parmin, asalkan kau betul-betul mencin-
tainya. Demi Tuhan aku benar-benar rela..."
"Kurang ajar! Agaknya aku harus menyeret
tubuhmu agar mau melawanku..."
"Tunggu!" Tiba-tiba terdengar suara agak pelan namun mengandung wibawa yang
sangat da- lam. Ketika Ranti menoleh.
Tampaklah olehnya Nyi Saidah, nenek tua
yang beberapa hari lalu berniat merampas Roijah dari tangan Ranti.
"Oh, kau lagi nenek peot!" bentak Ranti geram. Melihat kedatangan Nyi Saidah,
tiba-tiba Roijah bangkit, lalu berlutut sambil memeluk kedua kaki wanita tua
itu. "Ibu guru..." ujar Roijah penuh haru.
"Oh, betapa merananya hidupmu, muridku.
Betul, kau jangan meladeni nona yang berkela-
kuan aneh itu." Ujar Nyi Saidah alias Nini Sari.
"Oh, jadi kaukah gurunya, nenek peot" Kuperingatkan padamu, jangan mencampuri
urusanku dengannya. Kalau tidak, kalian berdua boleh ma-
ju mengeroyokku. Akan kukirim kalian ke neraka
seperti anjing-anjing Belanda ini!"
"Aduh, anak manis. Kenapa kau segalak itu"
Roijah adalah muridku. Sebagai guru, saya tentu patut mengetahui persoalan yang
dihadapinya."
"Ah, nenek peot seperti kau tahu apa?"
"Aku mengerti, anak manis. Justru karena
itu aku perlu memberimu nasehat, anak jelita."
"Aku tak butuh nasehatmu, nenek siluman!"
"Aku menghaturkan terimakasih padamu atas
segala kebaikanmu telah menyelamatkan nyawa
muridku sebanyak dua kali. Tetapi haruslah kau
sadari pula bahwa cinta bukan suatu barang yang bisa diperebutkan seperti piala.
Cinta hanya bisa terpadu juga dua hati saling menyentuh."
"Sudah kubilang aku tak butuh nasehatmu.
Jangan berkotbah di hadapanku, nenek peot. Le-
bih baik kau cabut senjatamu dan kita selesaikan persoalan ini secara kesatria."
"Anak manis, aku tahu kau bicara kasar se-
perti itu pastilah tidak keluar dari hati nuranimu.
Kau hanya terpengaruh oleh emosi yang tak me-
nentu. Sadarilah itu, anak manis. Kau adalah
seorang pendekar yang tangguh. Tanyalah hati
nuranimu sendiri apakah sikap seperti itu me-
mang baik atau tidak."
"Baik atau tidak itu urusanku. Kalau kau
memang keberatan, hadapilah aku."
"Tak ada gunanya kau menantang kau, anak
manis. Sebab aku tak akan menghadapimu seka-
lipun harus kau bunuh."
"Hm, guru dan muridnya sama saja, sama-
sama pengecut."
"Aku juga pernah muda. Sebelum kau lahir,
aku sudah merasakan apa itu cinta. Cinta itu lahir sendiri, anak manis. Tanpa
disadari dan tanpa direncanakan. Oleh karena itu, cinta tidaklah bisa
dipaksakan. Muridku Roijah telah mengalah padamu. Ia rela kau berdampingan
dengan Parmin. Tetapi apakah itu bisa sebagai jaminan bagimu
bahwa lelaki itu akan mau menerimamu?"
Ranti tidak menyahut lagi. Sebab jauh di lu-
buk hatinya, ia mulai mengakui kebenaran kata-
kata Nyi Saidah itu.
"Camkanlah itu, anak manis. Aku yakin kau
sudah cukup dewasa untuk bisa merenung-
renungkannya. Kasihan Roijah. Janganlah me-
nambah penderitaan bathin baginya. Kau tentu
tahu, ayahnya baru saja ditembak mati Belanda.
Setelah itu ia disiksa dan dipenjarakan. Tapi un-tunglah kau menyelamatkannya.
Sungguh perbu- atan yang sangat mulia. Karena itu, aku saran-
kan, carilah pria lain yang lebih patut mendam-
pingimu. Pria di dunia ini bukan hanya satu
orang saja. Kau muda dan cantik serta memiliki
ilmu tinggi. Pasti banyak yang jatuh cinta pada-mu." Mendengar itu, menitiklah
airmata Ranti. Ia mulai menyadari kekeliruannya. Bahkan kini ia
merasa malu pada dirinya sendiri. Tak terlu-
kiskan lagi perasaan gadis itu sekarang.
"Ah, aku tak tahu harus bicara apa lagi. Ternyata cinta itu terlalu menyakitkan
bagiku. Kusadari pula betapa tulus dan sucinya cintamu, kak Roijah. Tak ada hak
bagiku untuk mengganggu-mu. Sekarang aku harus pergi. Ya, biarlah aku
pergi..." "Dik Ranti, jangan berkata begitu..." seru Roijah terharu. Ia pun meneteskan
airmata, memba-
sahi pipinya yang pucat.
"Maafkan aku, kak. Biarlah aku pergi. Ku-
doakan semoga kakak hidup bahagia.
"Selamat tinggal..." Setelah berkata begitu, Ranti segera meloncat meninggalkan
tempat itu. "Dik Ranti, Tunggu!" teriak Roijah.
"Biarkanlah dia pergi. Hatinya sekeras baja.
Ia perlu waktu untuk menyadari kekeliruannya
dan juga untuk mengobati luka dalam hatinya,"
ujar Nyi Sadah alias Nini Sari dengan suara lembut. Ranti berlari menembus
kegelapan malam,
membawa kegelapan di dalam hatinya. Dara jelita itu terus berlari dan berlari
dengan isak tangis yang tersendat-sendat. Ia berlari seperti ketika pertama
kalinya datang ke daerah utara itu. Namun di dalam hatinya kini tergores sebuah
luka yang kelak barangkali akan menjadi kenangan
seumur hidup baginya.
T A M A T Cinta memang indah, penuh mimpi nan
membuai memberikan harapan-harapan menjan-
jikan dunia milik berdua dan Ranti ingin meraihnya di antara duri-duri serta
acungan senjata tapi cinta yang pertama singgah dalam hidupnya tidak seindah apa
yang dibayangkan.
Bagaimanakah nasib dara jelita itu setelah
Episode ini" Kita nantikan saja judul berikutnya, yaitu:
"SI CAKAR RAJAWALI"
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pahlawan Dan Kaisar 19 Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa Prabarini 1
^