Pencarian

Si Cakar Rajawali 1

Jaka Sembung 6 Si Cakar Rajawali Bagian 1


SI CAKAR RAJAWALI Karya Djair Warni
Penerbit SARANA KARYA
Cetakan pertama 1991
Setting oleh : Trias Typesetting Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang
mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau pun peristiwa
hanyalah kebetulan belaka
1 Hari sudah malam. Tetapi keadaan di sekitar pantai itu cukup terang disinari
rembulan. Kali Pekik tampak memanjang dari Utara ke arah Selatan, berkelok-kelok
dan berkilau-kilau ditimpa sinar rembulan.
Muara kali itu berdesir-desir
diterjang ombak laut, yang datang bagaikan saling berlomba ke pantai. Di sana
terlihat puluhan benda kehitam-hitaman mengambang di permukaan air.
Bentuknya kecil panjang, bergerak perlahan-lahan dan hilir mudik. Itulah buaya-
buaya yang terkenal sangat ganas dan telah sering mengambil korban jiwa.
Tak jauh dari muara yang banyak
dihuni buaya itu, tumbuh sebatang pohon besar, tinggi dan cukup rindang.
Kadang-kadang hempasan ombak laut sampai ke batang pohon itu, tetapi pohon itu
tetap tegar. Bahkan
sepertinya berlaku sombong menantang hempasan air laut maupun terjangan angin.
Daun-daunnya bergoyang-goyang ditiup angin malam. Beberapa helai daun kering
gugur, lalu jatuh
melayang-layang ke pantai berpasir putih.
Sekitar lima meter dari pohon
itu, berdiri seorang lelaki. Sepasang matanya menatap ke arah muara yang
dihuni buaya. Mulutnya terkatup rapat dan tubuhnya pun tegak tanpa bergerak-
gerak mirip patung.
Lelaki itu masih cukup kekar,
berusia sekitar dua puluh lima tahun, dengan tubuh yang kekar. Kumisnya panjang
melingkar di atas bibirnya yang kehitam-hitaman. Ia mengenakan ikat kepala
belang-belang. Alis
matanya tebal, pertanda ia seorang pria yang keras hati
Tetapi melihat sikapnya saat itu, agaknya ia sedang menanggung penderitaan batin maupun lahir yang sangat
menyakitkan. Wajahnya yang mencerminkan kekerasan itu terlihat menahan sakit dan
dendam. Di bawah sinar rembulan, tampak
tangan kanannya di bagian pergelangan bengkok dan membengkak kaku seperti
cengkrong. Tulang pergelangan tangannya itu pastilah remuk, sehingga tidak bisa
digerakkan. Nyerinya bukan main, seperti ditusuk-tusuk jarum.
Berkali-kali terdengar pria itu
mengeluh dan merintih kesakitan. "Oh, Pak Guru. Seandainya engkau masih hidup,
engkau tentu akan mengobati tanganku ini sampai sembuh seperti sedia kala. Tapi
engkau telah pergi untuk selamanya, gugur di tangan jahanam itu. Aku akan
menuntut balas atas kematianmu ini," lelaki itu bergumam dalam hati.
Siapakah sebenarnya lelaki itu"
Dialah Barna pendekar yang kelak akan dikenal sebagai si Cakar Rajawali.
Beberapa hari lalu gurunya bertarung habis-habisan dengan Jaka Sembung di tepi
muara kali Pekik. Melalui
pertarungan yang sangat panjang dan menegangkan, gurunya akhirnya terlempar
dalam keadaan tak berdaya ke dalam muara itu. Tak ayal lagi, tubuh itu pun habis
dicabik-cabik oleh puluhan buaya. Di muara sungai itulah gurunya terkubur.
Dalam pertarungan sebelumnya
Barna menderita luka tulang remuk di bagian pergelangan tangan kanannya.
Sebentar ada rasa putus asa dalam hatinya, karena ia telah hidup
menyendiri, tanpa guru bahkan tanpa sanak saudara. Tetapi karena kebencian dan
dendam di dalam hatinya, semangat-nya berkobar kembali. Tidak! Aku tidak boleh
putus asa. Aku akan melatih tanganku yang cacat ini, ia berkata dalam hati.
Perlahan-lahan, ia berlutut dan
mengangguk-angguk ke arah muara kali Pekik. "Guru, selamat jalan! Mohon doa
restu untuk muridmu...." katanya dengan suara bergetar. Setelah itu, ia kembali
bangkit dan melangkah
meninggalkan tempat itu.
Esok harinya, matahari bersinar
sangat teriknya bagai hendak membakar
pasir pantai teluk Cirebon. Pasir pantai yang sangat luas itu terlihat
mengeluarkan uap seperti air mendidih, yang menginjaknya pastilah akan
kepanasan. Itulah sebabnya pantai itu nyaris tak pernah didatangi manusia bila
siang. Tetapi di pantai pasir itu sekarang tampak seorang lelaki sedang duduk
setengah berjongkok.
Perbuatannya sangat aneh,
sekaligus mengagumkan. Ia membenamkan tangan kanannya ke dalam pasir yang panas
itu. Itulah Barna! Lelaki muda itu mulai berlatih, mempersiapkan tangan kanannya
yang cacat menjadi kuat serta berbahaya. Berjam-jam lamanya ia berbuat seperti
itu. Dan ketika matahari mulai condong ke Barat, ia menarik tangannya dan
beristirahat. Malam harinya, ia berlatih silat dengan sangat tekunnya. Begitulah ia habiskan
hari-harinya di pantai teluk Cirebon. Tak ada yang mengetahui atau
menyaksikannya. Seiring dengan
perjalanan waktu, ilmunya pun semakin tinggi dan pergelangan tangannya mulai
sembuh. Karena sepanjang hari dipanggang sinar matahari di pantai, kulit
tubuhnya pun menjadi hitam legam.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan terus berlalu tanpa terasa. Pergelangan tangan
kanannya selain tidak sakit
lagi, juga telah kuat. Tetapi bentuknya berbeda dengan tangan kirinya.
Pergelangan tangan itu terlihat lebih besar, kaku dan kehitam-hitaman karena
sepanjang hari dibenamkan di pasir panas. Jika dibuka dengan posisi hendak
mencengkeram, tangan kanannya terlihat seperti terbuat dari besi.
Ia berlatih terus, seperti telah lupa segala-galanya sebab hanya
memikirkan ilmu silat yang sedang dipelajarinya. Setengah tahun kemudian,
terlihat ada kemajuan dalam dirinya. Sekarang ia tak melatih tangan kanannya
lagi di pasir pantai, melainkan di dalam air mendidih.
Setiap hari selama berjam-jam, Barna menyalakan api menjerang air di dalam
kuali. Di dalam air mendidih itulah ia
membenamkan tangan kanannya sehingga menjadi sangat kuat. Bahkan pada hari-hari
berikutnya, ia mulai bisa melatih tangannya itu di dalam kobaran api.
Sungguh luar biasa, pergelangan
tangannya sama sekali tidak terbakar.
Memang hampir tidak masuk akal!
Namun di kalangan dunia persilatan, ilmu melatih tangan seperti itu, karena
selain membutuhkan waktu yang sangat lama, juga ketekunan disertai tekad baja.
Jika berhasil, tangan tersebut
akan menjadi kuat luar biasa. Batang
pohon yang sangat kuat pun bisa
terkelupas oleh sambaran jemari tangan itu. Selain itu, tenaga dalam yang
menyambar dari telapak tangannya mengandung
hawa panas yang dapat
membuat lawan kewalahan.
Kehebatan tangan kanannya itulah yang membuatnya dijuluki Si Cakar Rajawali.
Karena cengkeraman tangan kanannya memang mirip cakar burung rajawali.
Beberapa bulan kemudian setelah
ilmunya dirasakan sempurna, ia pernah keluar dari tempatnya mengasingkan diri
sambil memperdalam ilmu, pergi ke kota untuk membeli kebutuhan hidupnya.
Tanpa ia inginkan, ia hendak ditipu jagoan-jagoan pasar, bahkan mereka
memperlakukannya sangat kasar. Maka ia pun mengamuk bagaikan banteng luka.
Tangan kanannya yang sekeras baja itu menyambar-nyambar amat dahsyatnya.
Akibatnya memang luar biasa! Setiap jagoan yang terkena sambaran tangannya
langsung roboh bersimbah darah.
Nama Si Cakar Rajawali segera
meluas, berpindah dari mulut ke mulut.
Dan nama itu bahkan merupakan semacam momok yang sangat menakutkan bagi para
pendekar di sekitar daerah pantai Cirebon.
Jarang ada pendekar yang
mengetahui latar belakang Si Cakar Rajawali. Karena sebelum menguasai
ilmu cakar maut itu, ia memang belum dikenal orang dalam dunia persilatan.
2 Teriknya sinar matahari tidak
hanya menyengat pantai teluk Cirebon.
Tetapi juga memanggang Desa Pamanukan di daerah Utara Cirebon. Penduduk tampak
enggan bicara karena siang itu udara sangat panas. Hanya beberapa petani yang
kelihatan bekerja seperti biasa, atau membawa pulang hasil ladangnya, ke rumah
masing-masing. Di tengah-tengah desa yang
sedang kepanasan itu, tampak seorang gadis cantik melangkah agak gontai.
Peluh membasahi sekujur tubuhnya hingga bajunya
terlihat basah.
Berkali-kali ia meneguk air liur
sendiri atau membasahi bibirnya dengan air ludah sekadar untuk menahan rasa
dahaga dan lapar yang amat sangat.
Itulah dia Ranti, putri almarhum Gagak Ciremai dari Desa Perbutulan.
Dara jelita yang memiliki ilmu tinggi, tetapi sedang mengalami prahara cinta,
karena harapannya yang begitu indah telah kandas, terhempas di batu-batu karang.
Harapannya telah hancur
berkeping-keping.
Seperti diceritakan pada awal
kisah, Ranti datang dari Desa
Perbutulan ke Desa Kandang Haur untuk
menemui Roijah, kekasih Parmin. Dara jelita yang dididik dan dibesarkan raja
rampok Gembong Wungu ini
bermaksud menantang Roijah untuk bertarung memperebutkan Parmin, Si Jaka
Sembung. Setibanya di Desa
Kandang Haur, ia berhasil menyelamatkan Roijah dari penjara Van Eisen.
Tapi di tengah hutan Loyang, Ranti mengajak Roijah bertarung hidup mati dalam
arti siapa yang hidup atau menang dialah yang berhak mendampingi Parmin.
Tetapi kemudian, Ranti menyadari sepenuhnya bahwa cinta memang tidak bisa
diperebutkan. Cinta itu lahir sendiri tak bisa dipaksakan. Akhirnya ia pun
meninggalkan Roijah bersama gurunya di tengah hutan itu. Ia
berlari dan terus berlari ke luar hutan Loyang, lalu masuk hutan lain lagi. Air
mata gadis itu tak henti-hentinya menetes membasahi wajahnya.
Entah berapa hari ia berlari ke
luar masuk hutan, Ranti sendiri tidak mengingatnya. Hatinya sangat terpukul
karena kegagalannya meraih mimpi-mimpinya yang sangat indah. Akhirnya, dalam
keadaan sangat lemas, kehausan dan kelaparan, dara jelita itu sampai di depan
desa Pamanukan.
Ranti sebenarnya tidak mempunyai kenalan di desa itu. Ia cuma kebetulan saja
sampai di sana dalam
perjalanannya yang tanpa tujuan pasti.
Sejenak ia hentikan langkahnya di depan sebuah warung di tengah desa. Di dalam
warung itu tampak seorang lelaki sedang makan sendirian dengan posisi duduk
membelakangi Ranti.
Rasa haus dan lapar semakin
menyiksa. Ranti ingin mampir ke warung itu, tetapi ia tak mempunyai uang lagi.
Ia kembali merasakan betapa menyakitkan jika tidak mempunyai uang, apalagi kalau
sedang berada di desa orang.
"Apa akalku sekarang?" pikir gadis itu setengah putus asa. "Ah, sebaiknya aku
mencoba menawarkan diri mencuci piring kepada pemilik warung itu agar aku bisa
minum atau makan."
Namun ketika melangkah hendak ke warung itu, tiba-tiba seorang lelaki setengah
baya menghampirinya. Lelaki itu kurus dan matanya cekung dengan kumis tipis tapi
panjang, membuatnya kelihatan lebih tua dari umur
sebenarnya. Melihat sinar mata pria itu, Ranti segera menduga bahwa orang yang
belum dikenalnya itu pastilah orang licik dan jahat.
Sambil tersenyum dengan setengah menyeringai, Tapor yang dijuluki Serigala
Pamanukan itu menatap Ranti dari ujung kaki sampai ke ujung
rambut. "He, he, he, kelihatannya nona
merupakan orang asing di desa ini.
Agaknya nona sedang dalam kesulitan.
Kalau seandainya nona membutuhkan pertolongan, dengan senang hati akan saya
bantu, nona," kata Tapor.
"Apa maksudmu?" tanya Ranti ketus, tidak senang melihat sikap pria itu, terutama
sinar matanya yang jelalatan melirik ke arah dada Ranti.
"Maksud saya begini nona. Saya lihat pedang nona itu sangat bagus.
Saya ingin memilikinya. Bagaimana kubeli beberapa gulden" Nona tentu tidak
keberatan."
"Maaf, pak! Senjata ini adalah senjata pusaka pemberian ayahku. Tidak mungkin
dijual. Permisi, aku mau pergi dulu," ujar Ranti sambil membalikkan badan hendak
meninggalkan Serigala Pamanukan.
"Hei, tunggu dulu, nona! Saya bermaksud baik. Saya yakin saat ini nona sangat
kehausan dan kelaparan, namun tidak mempunyai bekal uang lagi.
Biarlah aku membeli senjatamu itu,"
kata Tapor sambil mencolek tangan Ranti.
Melihat tingkah lelaki itu agak
kurang ajar, menjadi panas juga hati Ranti. Lelaki itu sepertinya
menanggapi Ranti sebagai gadis murahan yang bisa diperdaya begitu saja.
Seumur hidupnya, Ranti belum pernah dicolek-colek lelaki yang bermaksud
kurang ajar seperti itu.
Tetapi agaknya, Tapor sudah
terbiasa tidak perduli perasaan orang lain. Walaupun wajah Ranti mulai merah dan
matanya mendelik bagai memancarkan api, Tapor tetap cengengesan, bahkan kembali
mencolek Ranti.
"Heh, orang tua seperti kau jangan kurang ajar, ya! Nanti kepalamu sendiri yang
belah dua oleh senjata pusakaku. Sudah kubilang aku tidak akan menjualnya malah
bersikap kurang ajar lagi."
"Aduh, jangan galak begitu, nona manis. Apa salahnya nona menjual senjata pusaka
itu kalau nona memang sangat membutuhkan uang" Pedang itu toh tidak akan bisa
memberikan nona minuman dan makanan."
"Tutup mulutmu!"
Agaknya pertengkaran mulut itu
terdengar oleh Karta, lelaki yang sedang makan di warung tersebut. Ia segera
bangkit dari duduknya, lalu melangkah menghampiri kedua orang yang sedang
bertengkar itu.
Sebenarnya, Karta tidak mau
mencampuri urusan orang. Apalagi karena ia juga merupakan pendatang baru di desa
Pamanukan. Namun ketika mendengar suara Ranti, tiba-tiba saja dadanya berdebar
tak karuan. Suara itu terasa begitu dekat dengan jiwanya, bahkan selama ini
bagaikan perlambang
kebahagiaan baginya.
Ketika memperhatikan wajah
Ranti, terkejut juga Karta karena gadis itu masih sangat muda dan cantik jelita.
Agaknya ia juga baru kali ini menginjakkan kakinya di desa ini.
Mungkin ia pendekar yang suka
mengembara, atau paling tidak sedang dalam perjalanan menunaikan tugas penting.
Demikianlah dugaan Karta yang dijuluki si Gila Dari Muara Bondet.
"Maaf, saudara-saudara, saya mengganggu pembicaraan saudara berdua.
Ada apakah gerangan sehingga orang tua yang tentu saja bijak sana terlibat
pembicaraan yang kurang menyenangkan dengan seorang gadis?"
"Hai, siapakah kau anak muda"
Kenapa begitu lancang mencampuri urusan orang?" kata Serigala Pamanukan dengan
nada tak bersahabat.
"Ah, agaknya tuan telah salah mengerti. Saya sama sekali tidak bermaksud


Jaka Sembung 6 Si Cakar Rajawali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencampuri urusan tuan. Saya tidak berhak mencampurinya sebab di antara kita
memang tidak ada hubungan apa-apa. Sama seperti tuan yang saya kira juga tidak
berhak mencampuri urusan nona itu."
"Agaknya kau belum kenal siapa aku, ya! Akulah si Serigala Pamanukan, jagoan
nomor wahid di desa ini. Kau orang pendatang jangan coba-coba sok jadi pahlawan.
Sayang jika keda-
tanganmu ke sini hanya untuk
mengantarkan nyawa!"
"Sungguh merupakan suatu kehormatan bagi saya yang rendah dapat bertemu dengan
jagoan desa ini. Tetapi janganlah memaksanya, jangan memperalat kelemahannya
untuk memperdayai.
Barang pusaka memang tidak boleh diperjual belikan. Sebab harganya sama dengan
nyawa atau kasih sayang orang yang memberikan pusaka itu. Saya yakin, jagoan
sehebat Serigala Pamanukan tentu sudah mengetahuinya."
"Kurang ajar! Agaknya kau harus diberi pelajaran agar tidak lancang mencampuri
urusan orang."
"Sudah kubilang, saya tidak bermaksud mencampuri. Tetapi bagaimana mungkin aku
diam melihat seorang gadis hendak diperdayai orang tua
sepertimu?"
"Oh, jadi kau berani menantang aku, hah?"
"Maaf, aku tak perlu lagi
melayanimu," kata Karta ketus.
"Tunggu!" bentak Serigala Pamanukan sambil menggenggam hulu
goloknya. "Maaf, saya harus pergi sekarang. Harap kau tidak terlalu memaksaku." Lalu
dengan sikap tak mau perduli lagi kepada Serigala Pamanukan, Karta menghampiri
Ranti, kemudian dengan sikap bersahabat: "Maaf, nona!
Nona jangan salah paham terhadap saya.
Tetapi jika nona kiranya tidak
keberatan, marilah kita sama-sama minum dan makan di warung itu. Saya yakin nona
adalah teman senasib dan seperjuangan."
"Terima kasih atas kebaikan hati tuan," ujar Ranti pelan.
Kemudian kedua pendekar berusia
muda itu melangkah meninggalkan
Serigala Pamanukan, hendak masuk ke warung itu kembali. Namun Serigala Pamanukan
yang agaknya sangat tersinggung atas sikap dan kata-kata Karta kembali membentak
dengan wajah merah padam.
"Tunggu dulu anak muda! Kau tidak boleh pergi begitu saja seolah-olah tidak
memandang sebelah mata pun terhadap diriku ini. Ini adalah
penghinaan bagiku. Dan siapa yang berani menghinaku, berarti ia sudah bosan
hidup." Karta menatap Serigala Pamanukan dengan sikap yang sangat tenang.
Bahkan dengan senyum yang sangat ramah, ia menyahut: "Saudara yang terhormat,
jika kau menuduh aku
menghina dan memandang rendah,
terserahlah. Tetapi kau pun harus menghormati orang. Saya belum selesai makan
tadi, tapi terpaksa harus
meninggalkan nasi di meja. Sayang kalau dihinggapi lalat. Dan kalau kau
ingin ikut makan bersama-sama,
silahkan. Kalau tidak, maaf dulu, kami harus segera ke warung itu. Kasihan nona
ini tampaknya sudah sangat
kelaparan dan kehausan."
"Kurang ajar! Mulutmu yang
lancang itu akan kurobek-robek nanti.
Tapi baiklah, sekarang aku beri
kesempatan untukmu untuk menghabiskan makananmu. Tetapi setelah itu, jangan
harap kau boleh angkat kaki dari sini sebelum berurusan denganku."
"Terima kasih atas kemurahanmu memberi aku kesempatan untuk makan kembali."
Karta menarik tangan Ranti
memasuki warung itu. Setelah Ranti duduk, Karta menghampiri pemilik warung itu.
"Pak, tolong bikinkan makanan sekalian dengan minumannya untuk nona ini,"
katanya. "Baik, den!"
Ketika pemilik warung sedang
menyediakan makanan buat Ranti,
Serigala Pamanukan muncul di pintu warung. Ia menatap Karta dengan sinar mata
merah bagaikan memancarkan api.
Gerahamnya gemeretak, pertanda
kemarahannya sudah mencapai puncaknya.
"Makan dan minumlah sepuasmu, gembel busuk! Mungkin ini adalah kesempatan
terakhir bagimu untuk menikmati lezatnya makanan," kata jagoan desa itu dengan
sikap mengancam. "Ha-ha-ha, Serigala Pamanukan!
Julukanmu sungguh hebat, tapi sikapmu seperti anak kecil saja," sahut Karta
seenaknya. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi,
Serigala Pamanukan segera meninggalkan warung itu. Karta menatap kepergian
lelaki itu sambil tersenyum, seolah-olah geli melihat sikap jagoan desa itu.
Sikap Karta demikian tenangnya, sehingga ia seolah-olah merasa tidak pernah
terjadi apa-apa, atau tampak tak mau perduli apa pun akan dilakukan Serigala
Pamanukan. 3 Tetapi rupanya, Pak Joran
pemilik warung makan itu justru sangat cemas. Sambil menyuguhkan makanan dan
minuman di meja di hadapan Ranti, lelaki itu mengatakan agar Karta dan Ranti
hati-hati. Serigala Pamanukan itu katanya sangat brutal dan
mempunyai banyak komplotan yang tak segan-segan berbuat kejam kepada siapa pun
yang dianggap berani menantang.
Setelah menyediakan semua
pesanan Karta, Pak Joran melihat ke luar melalui jendela warungnya. Orang tua
itu menghela napas dalam-dalam.
Wajahnya sedikit muram, mungkin sangat takut membayangkan sesuatu yang tak
diinginkan akan segera terjadi di warungnya.
"Sebaiknya kalian berdua hati-hati. Serigala Pamanukan itu sangat kejam dan
memiliki ilmu kesaktian tinggi. Selama ini tak pernah ada penduduk di desa ini
yang berani melawannya. Pekerjaannya hanya berbuat jahat saja, memeras dan
menyiksa penduduk.
Semua penduduk desa
Pamanukan ini telah benci kepada komplotan mereka."
"Tampaknya bapak sangat takut padanya. Apakah Serigala Pamanukan itu mau makan
daging manusia?" kata Karta dengan sikap sangat memandang remeh kepada lelaki
tadi. "Ah, agaknya kalian berdua
memang belum kenal padanya. Sebaiknya kalian berhati-hati. Sesal kemudian tiada
guna, demikian pesan orang-orang tua dulu. Kalau sudah marah, Serigala Pamanukan
pasti akan mengajak anak buah serta kawan-kawannya ke sini untuk menangkap atau
bahkan mencelakakan kalian berdua. Ia tidak akan mau berhenti sebelum niatnya
terlaksana."
"Terima kasih atas nasehat
bapak. Tetapi bapak harus mengetahui bahwa kejahatan, cepat atau lambat, pasti
akan ada akhirnya. Bapak tak perlu terlalu khawatir atas keselamatan kami
berdua. Percayalah,
ucapanku tadi suatu saat nanti pasti akan terbukti."
Ketika Ranti baru menghabiskan
setengah makannya, tiba-tiba puluhan lelaki datang ke warung itu bersama
Serigala Pamanukan. Para lelaki yang merupakan komplotan jagoan desa itu segera
berdiri di depan warung dengan posisi melingkar, seolah-olah sedang
mempersiapkan pagar betis supaya Karta tidak bisa melarikan diri.
Serigala Pamanukan maju beberapa langkah. Di tangannya kini telah terhunus
sebilah golok panjang.
Setelah memberi isyarat agar teman-temannya segera bersiap-siap, lelaki itu
berteriak: "Keluar kau, bedebah!
Cepat keluar! Kalau tidak, aku akan mengobrak-abrik warung itu berikut isinya."
Pak Joran pemilik warung itu
menjadi ketakutan. Wajahnya pucat pasi dan sekujur tubuhnya gemetaran
dibasahi keringat dingin. Dengan tergopoh-gopoh, lelaki tua itu
bersembunyi di dapur. Ia hanya berani mengintip apa yang bakal terjadi melalui
celah-celah dinding.
Lain halnya dengan Karta, pemuda itu tampak tidak gentar sedikit pun juga. Ia
malah masih sempai minum beberapa teguk, kemudian tertawa tergelak-gelak.
"Ha-ha-ha....! Rupanya kau telah
mengundang teman-temanmu ke warung ini, sobat yang baik hati. Sayang sekali,
uangku tak cukup lagi untuk membayar makanan kalian semua.
Bagaimana kalau kalian saja yang bayar. Sebagai tuan rumah yang baik, kalian
tentu tidak akan keberatan, bukan?"
"Jangan banyak bicara kau,
monyet! Keluarlah! Engkau harus diberi pelajaran supaya menjadi contoh bagi yang
lainnya bahwa siapapun yang berani mencoba-coba menantang Serigala Pamanukan
pasti akan mampus!"
Karta kembali tertawa seakan-
akan tidak ada sesuatu yang perlu dipikirkan. Diam-diam Ranti merasa kagum juga
melihat ketenangan pemuda yang baru dikenalnya itu. Betapa tidak, sekali pun
telah dikepung puluhan pendekar yang tampaknya rata-rata memiliki ilmu yang
cukup tinggi, ia tetap tenang.
Sikap tenang pemuda itu
mengingatkan Ranti kepada Parmin.
Pemuda yang dicintainya itu pun
memiliki ketenangan yang luar biasa.
Ranti masih ingat, ketika hendak berhadapan dengan Gembong Wungu, Parmin tetap
bersikap tenang. Tak terlihat gentar apalagi gugup, padahal semua orang tahu
siapa sebenarnya Gembong Wungu dan betapa tinggi ilmu silat yang dimilikinya.
Entah siapa yang bakal menang, seandainya Parmin berhadapan dengan Karta. Ranti
membanding-bandingkan kedua lelaki itu di dalam hati.
"Nona yang baik hati, harap nona tidak merasa terganggu atas kehadiran tikus-
tikus itu. Saya sebenarnya masih ingin menemani nona makan, sebab tak sopan
rasanya meninggalkan teman makan sendirian. Tapi apa boleh buat, mereka
tampaknya tak sabaran lagi. Saya harus segera menemui mereka sekarang juga,"
kata Karta sambil menatap Ranti dalam-dalam.
"Ah, saya jadi menyesal telah merepotkan tuan!" kata Ranti dengan suara hampir
tak terdengar. Gadis itu menundukkan kepala sambil mengetuk-ngetuk jemari
tangannya ke atas meja.
Entah apa yang sedang dipikirkannya, tak seorang pun tahu.
"Maaf, nona. Saya harus menemui mereka sekarang," kata Karta lagi.
"Oh, hati-hatilah. Tampaknya mereka adalah orang-orang jahat."
Sambil tersenyum, Karta keluar
dari warung itu. Rambutnya yang
panjang bergoyang bagaikan menari-nari ditiup angin kencang. Sepasang matanya
yang mencorong tajam bagaikan mata elang menyapu gerombolan jagoan desa
Pamanukan. Ia kembali tersenyum, entah karena apa.
"Saudara-saudara sekalian, saya
ucapkan selamat datang atas kedatangan kalian ke sini. Saya yakin saudara-
saudara adalah para pendekar yang gagah perkasa yang tak mau ribut hanya karena
sebilah pedang pusaka. Seperti yang sudah saya katakan kepada saudara Serigala
Pamanukan tadi, benda pusaka hanya bisa dinilai dengan nyawa atau kasih sayang
orang yang memberikannya dan tidaklah boleh diperjual-belikan.
Karena itu, dengan segala hormat saya minta saudara-saudara sekalian tidak
memaksa nona itu lagi untuk menjual senjata pusakanya."
"Kau jangan berlagak pilon, gembel busuk! Tadi aku memang ingin membeli senjata
pusakanya. Tapi
persoalannya bukan itu lagi. Kau telah berani berbuat kurang ajar terhadapku,
Serigala Pamanukan. Kelancanganmu itulah yang harus kau pertanggung jawabkan
sekarang. Aku tahu kau bukan orang sembarangan, kau pastilah
pendekar sakti yang sengaja datang ke desa Pamanukan untuk merebut kekuasaan
kami. Tapi jangan harap niat busukmu itu bisa tercapai."
Karta mereguk minuman dari dalam gelasnya yang sengaja ia bawa tadi dari dalam
warung. Setelah mereguk minuman itu, Karta kembali menatap Serigala Pamanukan
dengan sikap yang terlalu sukar dimengerti maknanya.
Kusni, jagoan desa Pamanukan
lainnya yang dijuluki si Botak dari Neraka rupanya mengenal Karta. Jagoan yang
kini berusia sekitar lima puluh lima tahun itu agaknya pernah bertemu dengan
Karta, dan telah membuktikan sendiri bahwa kehebatan ilmu Karta bukan hanya
sekedar isapan jempol belaka.
"Kawan-kawan, harap hati-hati terhadap iblis ini. Aku kenal padanya.
Dialah si Gila dari Muara Bondet. Aku pernah bertemu dengannya," kata Kusni
sambil menghunus goloknya.
"Ha-ha-ha.... rupanya di antara kawan-kawan sekalian sudah ada yang kenal sama
aku. Karena itu, aku merasa tak perlu lagi memperkenalkan diri.
Aku memang si Gila dari Muara Bondet, tapi aku tidaklah gila seperti yang kalian
maksudkan. Kalian sendirilah yang gila, beraninya hanya main
keroyokan saja. Terhadap seorang gadis lagi. Karena itu, kalau saranku ini tidak
terlalu berat, sebaiknya kalian kembali menghadap guru kalian untuk belajar
lagi." kata si Gila Dari Muara Bondet.
"Bangsat!" bentak Serigala Pamanukan geram. Lalu kepada teman-temannya, ia
berseru: "Kawan-kawan, pergunakan cara kita yang biasa,
'Jepit Rajungan' untuk mengurung monyet ini. Biar tahu rasa dia. Hajar dia
sampai... hep!" Tiba-tiba ucapan
Tapor itu terhenti, karena air minum yang disemburkan Karta melalui
mulutnya tepat menghantam mulut jagoan desa itu.
Sewaktu menyemburkan air itu
tadi, Karta mengerahkan tenaga dalam, sehingga air minum dari mulutnya berubah
seperti beku dan keras. Cukup sakit memang, tetapi bukan rasa sakit itu yang
membuat Serigala Pamanukan marah bukan main, melainkan karena merasa dihina.
"Serang...!" teriak jagoan desa itu dengan suara mengguntur. Bersamaan dengan
itu, ia menerjang Karta dengan dahsyat. Goloknya diayunkan ke kepala pemuda itu.
Jagoan desa lainnya juga segera menerjang dengan ganas,
sehingga si Gila Dari Muara Bondet diserang dari berbagai penjuru.
Karta secepat kilat berkelit ke
kiri dan ke kanan. Tubuhnya tampak berkelebatan di antara sela-sela sabetan
senjata lawan. Demikian
cepatnya gerakan pemuda itu, sehingga lawan-lawannya semakin marah dan
penasaran. Semua serangan mereka dapat dielakkan. Hampir tak dapat dipercaya
gerombolan jagoan desa Pamanukan tidak dapat berbuat banyak menghadapi
seorang pemuda yang boleh dikatakan masih sangat hijau dan muda dibanding
mereka. Apa kata orang-orang nanti jika
mereka tidak dapat mengalahkan seorang pemuda pendatang seperti Karta" Orang-
orang tentu akan menertawakan mereka.
Merendahkan mereka! Maka Serigala Pamanukan dan teman-temannya semakin ganas dan
beringas. Mereka
mengeluarkan semua ilmu simpanannya dengan harapan dapat merobohkan lawan.
Akan tetapi si Gila Dari Muara
Bondet agaknya bukanlah tandingan mereka. Pemuda itu sekarang tidak hanya
menghindar lagi, tetapi juga mulai menyerang dengan gerakan yang semakin cepat.
Pemuda itu membuka kain sarungnya dan menggunakannya sebagai senjata.
Di tangan seorang pendekar yang memiliki ilmu tinggi seperti si Gila Dari Muara
Bondet, kain sarung itu bisa menjadi senjata yang cukup ampuh.
Kadang-kadang kain sarung itu berubah jadi keras dan kaku bagaikan kayu, dan
kadang-kadang lemas menyambar-nyambar lawan-lawannya bagaikan sebuah cemeti.
Para jagoan desa Pamanukan
menjadi kalang kabut dan jatuh bangun terkena pukulan, tendangan dan
sambaran kain sarung Karta. Melihat itu, makin terkejutlah Tapor. Diam-diam
jagoan desa Pamanukan itu harus mengakui bahwa Karta memang seorang pendekar
yang luar biasa. Bahkan tadi, ia sungguh tak mengira kepandaian pemuda pendatang
tersebut setinggi
itu. "Hati-hati, kawan-kawan. Tikus busuk ini mempunyai ilmu siluman!"
teriak Tapor.

Jaka Sembung 6 Si Cakar Rajawali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha-ha-ha, Serigala Pamanukan.
Mengapa kau belum juga menyerah?" kata Karta sambil tertawa mengejek.
"Jangan sombong, gembel busuk!
Kau pasti mampus!"
"Kalianlah yang akan mampus!"
bentak Karta. Agaknya pemuda itu tidak mau main-main lagi. Serangan-serangannya
makin ganas dan mematikan.
Satu per satu, jagoan desa Pamanukan itu pun roboh tak bisa bangkit lagi dengan
luka-luka yang cukup parah.
Sebagian di antaranya malah terkapar tak sadarkan diri.
4 Penduduk desa Pamanukan yang
sejak tadi bergerombol menyaksikan pertarungan itu menjadi terkejut dan sangat
kagum. Mereka seolah-olah tak percaya pada penglihatannya sendiri.
Bagaimana mungkin seorang pemuda pendatang dengan demikian mudahnya mengalahkan
gerombolan jagoan desa"
Selama ini Serigala Pamanukan
dan kawan-kawannya terkenal sangat ganas dan memiliki ilmu tinggi. Tak ada yang
berani melawan jagoan-jagoan desa itu, walaupun sikap maupun
perbuatan mereka sangat menggelisahkan penduduk. Kini para jagoan desa telah
roboh, di tangan seorang pemuda.
Siapakah gerangan pemuda itu" Penduduk bertanya-tanya satu sama lainnya.
Namun tak ada yang kenal pada Karta.
Diam-diam, penduduk desa itu
sangat bersyukur karena Serigala Pamanukan dan komplotannya dirobohkan pendekar
muda itu. Mereka bahkan sangat mengharap agar cecunguk-cecunguk desa itu dibunuh
saja agar kelak tidak berbuat jahat lagi.
Ranti pun merasa kagum! Diam-
diam merasa bahwa kepandaian Karta berada di atas kepandaiannya sendiri.
"Entah siapa sebenarnya pemuda ini," pikir gadis itu sambil melangkah
menghampiri Karta.
"Terima kasih, tuan telah
menyelamatkan saya dari amukan para jagoan-jagoan tengik itu," kata Ranti sambil
tersenyum manis. Matanya yang bening menatap wajah Karta dengan bersinar-sinar.
"Ah, hanya kebetulan saja, nona.
Bukankah nona pun bisa berbuat seperti itu?" ujar Karta.
Penduduk desa itu menghampiri
dan mengerumuni Karta. Beberapa di antaranya mengucapkan terima kasih, lalu
mengajak pendekar gagah perkasa itu bersama Ranti mampir ke rumahnya untuk
dijamu, makan dan minum
seadanya. "Selama ini penduduk desa ini sangat sengsara karena perbuatan mereka. Kami
diperas setiap hari, jika melawan disiksa habis-habisan. Bahkan beberapa hari
lalu, mereka memperkosa wanita desa ini."
"Sungguh perbuatan yang sangat kejam, dan biadab!" kata Ranti dengan wajah merah
padam. Sebagai seorang gadis, pemerkosaan memang lebih cepat menyentuh perasaan
kewanitaan nya. Ia dapat merasakan bahwa seorang wanita yang diperkosa akan
merasa sangat tersiksa, baik lahir maupun batin.
"Tidak apa-apa. Mereka memang jahat dan sesat. Mudah-mudahan saja dengan adanya
kejadian ini mereka menjadi insyaf. Kami akan berangkat sekarang. Kalau misalnya
sikap mereka belum juga berubah, aku berjanji akan datang lagi ke desa ini untuk
memberi pelajaran," kata Karta.
"Aduh, kenapa tuan dan nona harus secepat itu meninggalkan desa ini" Siapakah
nama tuan berdua yang gagah perkasa dan cantik jelita?"
"Bapak-bapak tak perlu
mengetahui nama kami. Tapi percayalah, nanti kami akan datang lagi ke desa ini.
Kami ingin tahu apakah Serigala Pamanukan masih belum juga berubah atau
bagaimana. Nah, selamat tinggal saudara-saudara sekalian. Sampai
ketemu lagi nanti."
Setelah berkata begitu, Karta
dan Ranti melangkah meninggalkan desa itu diiringi tatapan mata penuh kagum
penduduk desa Pamanukan. Pemuda itu tampan dan gagah perkasa, sedangkan gadisnya
cantik jelita dan tampaknya juga bukan orang sembarangan. Entah dari mana asal
sepasang muda mudi yang sangat mengagumkan itu, kata hati penduduk desa
tersebut. Seolah-olah tidak sadar, Karta
dan Ranti sama-sama melangkah sampai ke luar desa. Mereka hanyut dalam pikiran
masing-masing, hingga akhirnya sama-sama terkejut ketika menyadari bahwa mereka
sebenarnya belum saling kenal.
"Bolehkah aku tahu siapa kau, dik" Siapa namamu dan dari manakah asalmu"
Sekarang adik mau ke mana?"
tanya Karta dengan sikap yang agak kaku.
"Namaku Ranti, dari desa
Perbutulan di lereng Utara gunung Ciremai. O, iya terima kasih atas
pertolonganmu, pendekar budiman. Tanpa pertolonganmu, aku tak berani
membayangkan apa yang bakal terjadi pada diriku."
Karta tertegun mendengar suara
Ranti. Suara itu mirip sekali dengan suara Nuraini, kekasihnya yang
beberapa tahun lalu meninggal dunia
sebelum mereka sempat mewujudkan cita-cita cinta mereka. Kenapa suara gadis ini
mirip sekali dengan suara Nuraini"
Apakah aku salah dengar" bisik hati Karta dengan perasaan tak menentu.
"Eh, kenapa kau diam saja,
pendekar budiman?" tegur Ranti sambil menatap wajah Karta dalam-dalam.
"Oh, aku tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa, dik. Hendak ke manakah tujuanmu, dik
Ranti" Apakah kau sedang dalam kesulitan" Jika...."
"Ah, tidak!" Ranti menyela ucapan Karta, "Aku tidak mau ke mana-mana. Aku hanya
jalan-jalan saja, ingin melihat-lihat keadaan desa orang lain di seluruh tanah
Cirebon ini."
"Kalau begitu, bolehkah kita menjadi kawan seperjalanan?"
"Terima kasih, pendekar. Kau telah berbuat baik padaku. Semoga Tuhan membalas
budi baikmu. Tapi biarlah aku melanjutkan perjalanan sendiri. Nah, sekarang kita
sudah sampai di batas desa. Biarlah kita mengambil jalan masing-masing. Selamat
berpisah, pendekar budiman!"
Lalu Ranti meloncat, tubuhnya
melesat dan dalam sekejap hilang di balik pepohonan. Tak terdengar lagi suara
percakapan, hanya suara desir angin menerpa dedaunan. Si Gila Dari Muara Bondet
berdiri termangu-mangu.
Hatinya serasa hancur luluh. Rasa sepi
dan hampa merejam kalbunya. Entah karena apa, ia sendiri belum bisa memastikan.
"Oh, Tuhan, kenapa hanya sekejap saja ia berada di dekatku"
Kenapa....?" Hati pemuda itu merintih sedih. "Nuraini, oh Nuraini"
Mungkinkah engkau telah menjelma kembali ke bumi ini?"
Pertemuan yang teramat singkat
itu ternyata telah membuat luka lama di hati Karta kambuh lagi. Kenangan indah
dan manis kembali memenuhi benaknya. Ia teringat masa-masa penuh kemesraan
tatkala Nuraini masih berada di sisinya. Memang saat itu cukup banyak tantangan.
Tetapi dengan dua hati yang berpadu jadi satu, semua itu bisa dihadapi dan
diatasi. Karta dan Nuraini melangkah bersama, berbagi suka maupun duka.
Janji pun teruntai mengikat dua
hati yang sedang dimabuk asmara.
Tetapi semua itu hanya tinggal
kenangan. Perjalanan hidup ini memang terlalu penuh dengan misteri. Apa yang
terjadi esok hari, tak seorang pun tahu. Manusia hanya bisa meramal dan mereka-
reka. Karena itu orang
mengatakan, manusia hanya bisa
merencanakan tapi keputusan tetap di tangan Tuhan.
Di luar segala perhitungan dan
harapan, maut merenggut nyawa Nuraini.
Gadis itu pergi dan takkan pernah lagi kembali. Ia pergi bersama cinta yang
masih bersemi di dalam sanubari. Karta pun merasa terhempas ke dalam jurang yang
maha dalam dan gelap. Segala harapan dan mimpinya yang indah hancur sudah. Tiada
lagi yang bisa ia
harapkan. Cinta yang telah sempat memberinya keindahan ternyata juga memberinya
kehancuran. Kenyataan ini terlalu pahit dan
menyakitkan. Karta yang dijuluki si Gila Dari Muara Bondet itu memang memiliki
ilmu silat yang sangat
tinggi. Ia telah bertahun-tahun
melanglang buana menembus jalan penuh duri, menghadapi musuh-musuh yang tangguh.
Ia sudah terbiasa menghadapi berbagai macam cobaan. Namun kepergian Nuraini
untuk selama-lama tidak bisa ia tahankan. Jiwa dan hatinya terlalu rapuh untuk
bisa menerima cobaan seperti itu.
Maka sejak saat itu, Karta
menghadapi hari-harinya yang kelam. Ia melangkah tanpa harapan. Penyesalan
selalu bergayut di dadanya. Seandainya dia dan Nuraini memang harus berpisah
karena kematian, kenapa bukan ia yang lebih dulu mati" Itu lebih baik
daripada ia harus hidup menyendiri tanpa kekasihnya itu.
Sekarang, ia bertemu dengan
seorang gadis cantik jelita yang
suaranya mirip sekali dengan Nuraini.
Tidaklah mengherankan jika perasaannya terasa kosong melompong setelah
kepergian Ranti.
Tanpa disadari oleh Karta, gadis yang baru saja meninggalkan dirinya juga merasa
tak menentu. Ranti berlari dan terus berlari sampai akhirnya ia tiba di
sepanjang tebing kali Cimanuk menuju ke arah muaranya.
Ranti merasa menyesal karena
meninggalkan pemuda itu. Tetapi ia memaksakan diri untuk melupakannya.
"Sebagai wanita aku tidak boleh terlalu penurut kepada lelaki, apalagi yang baru
kukenal," pikir gadis itu.
Tetapi entah mengapa pula ada rasa kesal menyusup ke dalam hatinya karena
terlanjur mengenal pendekar budiman itu.
"Tak seharusnya aku berkenalan dengannya!" bisik hati Ranti. Dan diam-diam, ia
mulai merasakan bahwa kegagalan cintanya yang pertama telah menjadi semacam
trauma baginya. Ia tak ingin perkenalannya dengan Karta melahirkan rasa cinta di
dalam hatinya. Ia tak ingin gagal lagi, seperti ketika ia mencintai Parmin. Ia merasa
lebih baik hidup menyendiri, jauh dari cinta dan lelaki daripada kelak ia
mengalami kegagalan lagi.
Akhirnya dara jelita itu tiba di pinggir tebing kali Cimanuk. Ranti
duduk bersandar pada batang pohon rindang yang tumbuh di atas tebing itu. Tebing
itu cukup curam dan dalam.
Di bawahnya mengalir tenang kali Cimanuk. Burung-burung bangau terbang kian ke
mari, melintas di antara mega-mega, di atas kali Cimanuk. Beberapa ekor di
antara burung bangau itu terbang berpasang-pasangan, mencerminkan kesetiaan dan
kemesraan. "Ah...." hati Ranti kembali merintih.
5 Jauh di seberang kali, tampak
rumah penduduk berjejer di antara pepohonan. Sementara di tengah sungai yang
cukup jernih itu, tampak sampan hilir mudik menyeberangkan orang dari daratan
sebelah Timur ke Barat. Tukang sampan penyeberang orang itu bekerja keras
mengayuh dayung agar lebih cepat sampai di seberang. Lelaki itu
mengenakan topi lebar terbuat dari anyaman bambu untuk melindungi wajahnya dari
sengatan terik matahari.
Itulah pekerjaan sehari-hari lelaki itu untuk menghidupi keluarganya.
Istri dan anak-anaknya tentu
sedang menunggunya di rumah dan
mengharap uang yang dibawa hari ini lebih banyak dari hari-hari kemarin.
Berat juga tanggung jawab lelaki itu
terhadap keluarganya. Tetapi alangkah bahagianya hidup bersama orang yang
dicintai. Mereka akan berbagi suka maupun duka, saling bercanda dan bertukar
pikiran jika seandainya ada sesuatu persoalan.
Sedangkan Ranti sendiri, kepada
siapakah ia harus menceritakan segala keluh kesahnya" Orang tua tidak punya,
sanak famili pun demikian. Bahkan sahabat dekat pun tidak ada. Ia merasa dirinya
terkucilkan, merasa terlempar ke dunia kesepian yang teramat
menyakitkan. "Ayah, ibu, mengapa aku harus tersesat ke dalam dunia yang sunyi ini?" rintih
gadis itu. Tanpa ia sadari air mata menetes satu persatu membasahi wajahnya yang
kusam. Ternyata hidup kesepian merupakan siksaan batin yang teramat
menyakitkan. Segalanya terasa gersang hampa dan serba menjepit.
Memang demikianlah kehidupan
ini. Harta dan kedudukan tidaklah cukup bagi orang. Tetapi juga perhatian dan
kasih sayang baik dari orang yang dicintai maupun kerabat lainnya. Orang tidak
akan merasa hidupnya tenang jika merasa tak
diperhatikan atau disayangi.
Ini membuktikan bahwa dalam
hidup ini, manusia
tidak hanya memerlukan kebutuhan lahir, tetapi
juga kebutuhan batin. Seorang anak misalnya jika merasa tak diperhatikan dan
disayangi di rumah biasanya akan mencari pelarian di luaran. Dalam keadaan
seperti inilah si anak sering terjerumus ke dalam hal-hal yang kurang baik.
Meskipun misalnya keadaan materi di rumahnya serba berkecukupan dan mewah.
Ranti hampir saja putus asa. Ia
sungguh tidak tahu harus melakukan apa agar bisa terbebas dari belenggu
kehidupan yang penuh kesunyian serta kegersangan ini. Tanpa ia inginkan, ia
teringat lagi ketika ia masih dalam asuhan Gembong Wungu. Saat itu rasanya tiada
yang kurang sebab waktu itu ia memang belum mengenal cinta. Ia hanya butuh
perhiasan, uang dan sebagainya.
Rupanya kehidupan sewaktu kecil
lebih enak dibandingkan setelah
dewasa, pikir gadis itu sedih. Ia tidak mau memikirkan lebih lanjut apakah
anggapannya itu benar atau salah. Ia cuma merasakan hidupnya sekarang jauh lebih
menyakitkan daripada sewaktu dirinya masih kecil.
"Dik Ranti...!"
Tiba-tiba terdengar seorang
laki-laki menyebut namanya. Ia segera berpaling menatap ke arah asal suara itu.
Alangkah terkejutnya Ranti, karena di tempat itu telah berdiri si Gila Dari
Muara Bondet. "Oh, kau pendekar dari Muara Bondet. Mengapa kau mengikuti aku ke tempat ini"
Mau apa kau?" ujar Ranti dengan suara tidak bersahabat.
Karta tidak segera menyahut.
Pemuda itu merasa tak menentu mendapat sambutan kurang bersahabat dari Ranti.
Tadi ia memang sengaja menyusul Ranti, karena masih sangat penasaran. Ketika
tubuh Ranti lenyap, pendekar dari Muara Bondet itu segera menyusul.
Ia mengerahkan ilmu lari cepat
yang telah hampir mencapai kesem-purnaan. Tubuhnya berkelebatan di sela-sela
pepohonan dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, pendekar muda itu dapat
menyusul Ranti. Tetapi ia tidak segera menghampiri, melainkan membuntuti dari
belakang, ingin tahu hendak ke mana sebenarnya gadis itu.
Karta merasa terkejut juga
setelah melihat Ranti duduk menyendiri di atas tebing sambil bersandar di batang
pohon. Apalagi saat mengetahui bahwa Ranti menitikkan air mata. Gadis ini
pastilah sedang menghadapi suatu problema hidup yang rumit sehingga membuatnya
sedih. Tapi entah apa.
"Kenapa kau diam saja, pendekar Muara Bondet" Kenapa kau menyusulku ke tempat
ini?" tanya Ranti membuat Karta tersentak dari lamunannya.
"Maafkan saya, nona. Saya
sebenarnya tak bermaksud mengganggu
ketenanganmu. Tapi ada suatu hal yang membuatku tak bisa menahan diri untuk
menemuimu. Maksudku...."
"Kalau kau memang tidak ingin mengangguku, tinggalkan tempat ini sekarang juga.
Aku memang berhutang budi padamu, tapi jangan memperalat budi baikmu itu untuk
memperdayaiku. Harap kau meninggalkan aku sendirian di sini!"
"Dik Ranti, saya mengerti


Jaka Sembung 6 Si Cakar Rajawali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perasaanmu. Baiklah, aku akan
meninggalkanmu sendiri di sini. Tapi sebelumnya harap kau tidak keberatan untuk
mendengar penjelasan dariku. Ini sangat penting untuk kuutarakan, karena terasa
sangat mengganjal di hati."
"Aku tak perlu mendengar apa-apa darimu pendekar Muara Bondet. Pergilah sekarang
juga. Kau pun tentunya tahu tidak baik bagi lelaki dan wanita berduaan di tempat
sepi seperti ini."
"Memang tidak baik jika
terkandung niat buruk. Aku hanya ingin mengutarakan isi hatiku, dik Ranti.
Kau jangan salah paham. Aku sungguh tidak bermaksud jelek padamu.
Percayalah, dik! Sedikitnya kita bisa mengobrol sebentar."
"Tidak!" Ranti berteriak sambil meloncat berdiri. Wajahnya tampak merah padam,
matanya mendelik bagaikan hendak menelan lelaki di hadapannya
itu hidup-hidup, "Kau harus pergi dari sini. Ayo, cepat pergi! Kalau tidak,
jangan salahkan aku jika terpaksa mencabut senjataku."
"Tenanglah, dik Ranti. Jangan terlalu cepat marah."
"Aku tak butuh nasehatmu.
Rupanya kau ingin berbuat kurang ajar padaku, ya" Jangan harap niat busukmu itu
bisa terlaksana. Langkahi dulu mayatku, baru boleh kau sentuh
diriku." Karta menghela nafas dalam-dalam sekedar untuk menahan rasa sesak di dalam
dadanya. "Niat busuk?" pikirnya sedih. Rupanya Ranti beranggapan jelek padanya
mengira dirinya hendak berbuat bejat. Entah apa alasan Ranti hingga beranggapan
seperti itu. Apakah
wajahnya memang wajah penipu atau wajah pemerkosa"
Karta sangat sedih, karena gadis yang suaranya mirip dengan mendiang kekasihnya
sama sekali tidak mau mempercayainya, malahan menuduhnya yang bukan-bukan.
Tetapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia cukup mengerti perasaan
Ranti. Mungkin gadis itu bersikap demikian hanya karena sedang mengalami
persoalan yang sangat rumit. Kebanyakan orang memang begitu, jika sedang kalut,
mudah marah dan tersinggung.
Pendekar muda itu menghibur diri
sendiri. "Kenapa kau diam saja, hah"
Kenapa belum juga angkat kaki dari sini?" bentak Ranti.
"Oh, dik Ranti. Kau terlalu ber-prasangka buruk padaku. Aku sebenarnya hanya
ingin mengatakan bahwa sewaktu kita pertama kali bertemu, perasaanku jadi tak
menentu karena suaramu sangat mirip dengan orang yang kucintai. Aku tak bisa
melupakannya. Sayang ia telah tiada...."
"Kau kira aku wanita yang lemah, hah" Jangan harap rayuan gombal
seperti itu bisa menggodaku. Baiklah, agaknya kau harus diberi pelajaran.
Nih, terimalah ini!" Setelah berkata begitu, Ranti segera meloncat
menerjang Karta. Tubuhnya melayang bagai rajawali menyambar ke arah lawan.
Pedang diayun cepat sekali mengincar leher Karta. Agaknya dara jelita itu tidak
mau perduli lagi tentang keselamatan Karta. Karena kalau saja sabetan pedangnya
itu mengenai sasaran, tak ayal lagi leher itu pasti akan terpisah dari badan.
Untunglah si Gila Dari Muara
Bondet memiliki ilmu tinggi. Dengan gerakan yang tidak kalah cepatnya, lelaki
itu menggeser kakinya ke
belakang sehingga sabetan senjata lawan tidak mengenai sasaran. Setelah itu,
Karta meloncat jauh ke belakang
untuk menghindari serangan Ranti berikutnya.
"Sabarlah nona. Jangan menyerang aku seperti itu. Kalau kau memang tidak senang
padaku, biarlah aku pergi sekarang juga."
"Diam kau bangsat!" Ranti membentak, lalu kembali menyerang Karta dengan ganas.
Gadis itu segera mengeluarkan ilmu simpanan yang pernah diajarkan Gembong Wungu
padanya, karena ia tahu Karta bukanlah orang sembarangan. Pedang gadis itu
menyambar-nyambar cepat sekali dan penuh tipu daya yang sangat berbahaya.
Tipu seperti itu memang sudah
merupakan ciri khas ilmu Gembong Wungu. Sama seperti halnya tokoh sesat lainnya,
almarhum raja rampok itu juga selalu berusaha menjatuhkan lawan secepat mungkin
dengan cara-cara keji dan penuh tipuan. Ilmu itu kemudian diwariskan kepada
Ranti, sehingga tanpa disadari, ilmunya selalu penuh tipu daya yang sangat
berbahaya. Jika lawan lengah sedikit saja, pasti akan bernasib fatal. Jika tidak
cacat, mungkin akan segera kehilangan nyawa.
Di kalangan tokoh-tokoh dunia
hitam, jarang ada istilah melumpuhkan lawan tanpa melukainya. Lain halnya dengan
para pendekar yang sikapnya kesatria, sering merobohkan lawan tanpa menurunkan
tangan kejam. Misalnya dengan cara memukul lawan hingga pingsan, dan jika siuman
kembali tidak akan menderita luka parah.
Ranti sebenarnya kurang menya-
darinya, sebab ia hanya merasa bahwa dalam setiap pertarungan ia harus menyerang
jika punya kesempatan dan mengelak jika diserang. Lawan pun tentu menginginkan
kemenangan. Karena itu dalam setiap pertarungan hanya ada dua kemungkinan,
menang atau kalah.
Demikian nasehat Gembong Wungu dahulu.
Ganasnya serangan Ranti membuat
Karta terkejut. Sebab siapa nyana, seorang gadis cantik jelita seperti Ranti
mempunyai sikap ganas dan buas.
Pendekar dari Muara Bondet itu pun segera berloncatan ke sana ke mari
menghindari serangan Ranti. Tubuhnya berkelebatan di sela-sela kilatan-kilatan
senjata lawan. "Kau keras kepala, dik Ranti.
Dan seranganmu sangat ganas.
Tenanglah, aku tak bermaksud jelek padamu," teriak Karta sambil meloncat tinggi
mengelakkan serangan Ranti.
Namun kata-katanya itu bukannya
membuat Ranti menjadi tenang, malahan semakin beringas. Ia merasa lelaki itu
memandang rendah padanya, bahkan menghinanya. Apalagi sejak tadi Karta sama
sekali belum mau melakukan
serangan balasan, selain menghindar
saja. Maka makin panas jugalah hati Ranti.
Sikap dara jelita itu makin
berangasan. Tetapi kewaspadaannya pun menjadi berkurang. Karena sangat marah, ia
seolah-olah melupakan
pertahanan dirinya sendiri sebab yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana
supaya dapat segera merobohkan Karta.
Seandainya pendekar Muara Bondet itu mau, mungkin sejak tadi Ranti sudah roboh
oleh serangannya. Tetapi ia tidak mau melakukannya. Sebab untuk apa ia melayani
kekerasan Ranti"
Bukankah di antara mereka tidak ada persoalan apa-apa" Ranti hanya salah paham
saja, atau mungkin hanya karena terdorong kemelut yang melanda
hatinya. Ranti terus menyerang Karta,
dengan serangan yang mulai tampak agak tidak karuan. Ia kembali menerjang Karta
yang saat itu sedang berdiri di pinggir tebing curam. Pedangnya
diayunkan dari arah kanan ke sebelah kiri, mengarah ke arah pinggang pemuda itu.
Dalam keadaan terdesak seperti
itu, Karta tidak bisa berbuat banyak.
Ia tidak mungkin mundur lagi untuk mengelak, karena kalau itu ia lakukan pasti
akan terjatuh ke arus sungai.
Maka Karta pun segera meloncat tinggi sehingga serangan lawan dapat ia
elakkan. Namun akibatnya cukup fatal bagi Ranti. Karena terjangannya sangat kuat tadi, ia
tidak dapat lagi menguasai atau menahan laju tubuhnya. Disertai jeritan panjang,
tubuhnya terjatuh ke dalam arus kali Cimanuk.
"Dik Ranti!" teriak Karta terkejut. Tanpa pikir panjang lagi, pemuda itu segera
terjun ke dalam sungai, dengan maksud untuk
menyelamatkan Ranti.
Arus sungai di pinggir tebing
itu ternyata sangat deras. Dalam sekejap saja tubuh Ranti sudah hanyut terbawa
arus. Sebagai anak gunung, dara jelita itu memang tidak pandai berenang.
Nafasnya segera sesak, bahkan tanpa sengaja ia telah meminum air sungai.
Si Gila Dari Muara Bondet
mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencari tubuh Ranti. Pendekar muda itu
memang sudah cukup terlatih melawan arus sungai, walaupun harus diakui arus
Cimanuk lebih ganas dari kali Bondet.
Sekali waktu, tampak oleh Karta
tangan Ranti melambai agak jauh di depannya. Tetapi hanya sekejap
kemudian, tangan itu telah lenyap ke dalam arus air. Dengan perasaan
dicekam kecemasan Karta segera
berenang ke arah itu. Tetapi ia
kembali kecewa, karena ia belum juga berhasil menemukan tubuh Ranti.
Ya Tuhan. Kalau gadis itu
kehilangan nyawa di sungai ini,
biarlah aku juga mati terkubur di sini, kata hati Karta.
Ia terus berenang sambil tak
henti-hentinya berdoa agar ia segera menemukan Ranti. Akhirnya doanya pun
terkabul. Ia dapat menangkap tangan Ranti. Tetapi keduanya sudah terlanjur
terperangkap masuk pusaran air dahsyat di sekitar muara kali itu.
Pusaran air itu terjadi karena
bertemunya dua arus kuat dari arah yang berlawanan. Karena bentrokan arus itu
sangat kuat, arus di sekitar itu pun menjadi berputar-putar yang makin ke bawah
makin kencang. Itulah sebabnya pusaran air
sungai itu mengandung tenaga sedot yang sangat kuat. Makhluk hidup maupun benda
mati jika sudah terlanjur
terperangkap pusaran arus, akan dibawa berputar-putar, makin lama makin ke bawah
hingga akhirnya sampai ke dasar sungai.
Selama ini pusaran arus kali
Cimanuk itu telah banyak mengambil korban jiwa manusia, mau pun hewan ternak
yang kebetulan sampai ke
pusarannya. Tidaklah mengherankan jika pusaran air itu sangat menakutkan
penduduk di sekitar itu. Bahkan
dulunya ada yang percaya bahwa pusaran arus itu adalah tempat para jin maupun
makhluk halus lainnya untuk mandi.
Mereka tidak senang jika ada yang lancang mandi di tempat itu, sehingga bagi
yang melanggarnya, baik sengaja maupun tidak sengaja akan dihanyutkan sampai
mati. 6 Sebagai orang yang sudah ter-
biasa bermain-main di sungai, terkejut juga Karta setelah menyadari bahwa
dirinya bersama Ranti telah
terperangkap pusaran arus dahsyat.
Putaran arus sungai itu sangat kuat, sehingga dada Karta serasa bagaikan hendak
pecah. Walaupun demikian, pendekar
Muara Bondet itu tidak mau melepaskan tangan Ranti. Ia terus berusaha sekuat
tenaga menarik tubuh wanita itu ke luar pusaran air. Makin lama, tenaga Karta
pun makin terkuras. Rasa putus asa mulai menghinggapi pikirannya.
Akan tetapi sebagai pendekar
yang sejak lama telah digembleng dengan keras, Karta tidak mau berserah atau
pasrah kepada nasib. Ia tetap berprinsip, selama masih bisa bergerak ia tidak
boleh berhenti berusaha.
Di sinilah terlihat bahwa
sebelum ajal memang berpantang mati.
Secara kebetulan, arus sungai yang sedang pasang menghantam pusaran air itu.
Akibatnya tubuh kedua insan itu terlempar ke luar pusaran. Dengan sisa-sisa
tenaganya, Karta menyeret tubuh Ranti, hingga akhirnya sampai ke tepi sungai.
"Terima kasih, Tuhan. Engkau telah menyelamatkan kami," kata pemuda itu dengan
napas tersengal-sengal.
Lalu ia membopong tubuh Ranti yang agaknya sudah cukup lama tak sadarkan diri,
ke atas tebing.
Perlahan-lahan, Karta merebahkan tubuh Ranti di bawah pohon rindang.
Diperiksanya urat nadi gadis itu, masih berdenyut tapi agak pelan.
Berarti gadis itu hanya pingsan saja karena kelelahan. Tak ada luka yang
mengkhawatirkan. Karta menghela napas lega dan membiarkan Ranti tidur dengan
pulasnya. Perasaan Karta masih tak menentu mengingat peristiwa yang nyaris
merenggut nyawanya dan nyawa Ranti.
Seandainya ia tidak berhasil
menyelamatkan Ranti, alangkah
berdosanya dirinya. Sebab bagaimanapun juga, Ranti terjatuh ke kali Cimanuk
adalah gara-gara sikapnya juga.
Ranti sudah berulang kali
menyuruhnya pergi, tetapi ia masih mencoba membujuk-bujuk hingga akhirnya gadis
itu kehilangan kesabaran.
Karta kemudian membuka bajunya
dan menggantungkannya di dahan pohon agar cepat kering. Sambil menunggu
pakaiannya itu kering, pendekar Muara Bondet duduk membelakangi Ranti.
Sepasang matanya menatap ke arah arus kali Cimanuk, lalu ke arah hutan di
seberang sungai.
Pendekar itu kembali terkenang
akan Nuraini, bahkan merasa kekasihnya itu seolah-olah sedang berada di sisinya.
Duduk sambil menatapnya dengan penuh kemesraan. Sinar mata dan senyum gadis itu
teruntai indah dan erat sehingga tidak mungkin dipisahkan tanpa merusak
keindahannya. Karta tidak tahu harus melakukan apa agar bisa melupakan kekasihnya itu. Dengan
putus asa, ia memejamkan mata. Lalu bagaikan orang yang sedang mengigau, ia
berbisik: "Selamat jalan kekasihku. Selamat jalan pujaan hati, nafas kehidupanku yang
abadi. Tak akan pernah lagi kulihat engkau, seperti dulu ketika kita sama-sama
mereguk nikmat dan manisnya madu cinta kita."
Tak lama kemudian, Ranti bangun
dari tidurnya. Sekujur tubuhnya terasa nyeri dan lemas sekali. Ia menggosok-
gosok kedua matanya dan menatap Karta yang sedang duduk bertelanjang dada tak
jauh dari tempatnya tidur tadi.
Melihat lelaki itu, maka prasangka buruk pun segera menghinggapi pikiran
Ranti. Ia pingsan tadi, entah berapa lama. Pastilah si Gila dari Muara Bondet
itu telah berbuat kurang ajar pada dirinya.
Maka Ranti pun segera meloncat
ke hadapan Karta. Wajahnya merah padam, dadanya turun naik tak teratur karena
amarah yang tak terkendalikan.
Sambil menuding Karta dengan tangan kiri, ia berkata dengan kasar:
"Bajingan kau! Apa yang telah kau lakukan terhadap diriku ketika pingsan tadi,
hah" Bajingan, kurang ajar kau!
Berani kau berbuat kurang ajar padaku.
Akan kucincang tubuhmu!"
Tentu saja Karta sangat terkejut. Tadinya ia mengira Ranti akan mengucapkan terima kasih padanya karena
ia telah menyelamatkannya dari pusaran arus kali Cimanuk. Lalu
setelah itu, mereka akan berbincang-bincang penuh persahabatan. Namun tanpa
diduga-duga, gadis itu malah menuduhnya berbuat kurang ajar. Karta jadi kesal
sekaligus tak tahu harus mengucapkan apa.
"Jangan diam kau, bajingan!
Pengecut! Kau telah menodai aku ketika sedang pingsan tadi. Kubunuh kau
bangsat!" bentak gadis itu lagi.
"Dik Ranti, kenapa kau berkata seperti itu" Kenapa kau tega menuduh aku seburuk
itu" Demi Allah, aku tak berbuat apa-apa terhadap dirimu."
"Diam! Lelaki pengecut seperti kau mana mau mengaku" Bangsat tengik seperti kau
harus dilenyapkan dari permukaan bumi ini. Kau telah
menghancurkan hidupku!"
Karta tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mimpi pun ia tak menyangka akan dituduh
seperti itu. Pendekar itu pun melangkah lebih dekat ke hadapan Ranti. Kepasrahan
dan keputusasaan tercermin di wajahnya yang pucat.
"Dik Ranti, aku sungguh tak menyangka gadis seperti kau akan sampai hati menuduh
aku sekotor itu.
Tapi agaknya kau tidak akan mau
percaya padaku. Baiklah kalau begitu.


Jaka Sembung 6 Si Cakar Rajawali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tidak perlu berkata apa-apa lagi.
Kalau kau memang menuduh aku seperti itu cabutlah senjatamu, bunuhlah aku.
Aku sudah rela. Biarlah Tuhan yang tahu keadaan yang sebenarnya!"
Ranti meludah dengan sebal,
"Huh, dasar pengecut. Beraninya hanya sama perempuan," makinya kesal.
"Tak apalah dik Ranti jika kau tidak senang padaku. Tetapi tak
seharusnya kau menuduh aku serendah itu. Ayo, cabutlah senjatamu. Laku-kanlah
apa yang kau inginkan."
"Huh, kau pikir aku pengecut seperti dirimu" Kalau kau memang bukan pengecut,
kenapa tidak kau biarkan saja aku mampus di kali itu" Kau pikir aku senang
karena bantuanmu" Aku
sangat benci padamu tahu?"
"Terserahlah, dik Ranti. Saya pun tak merasa telah menolongmu. Tapi aku yakin
orang bijaksana selalu tahu menghormati kebaikan orang lain
padanya. Tahu menilai mana yang baik dan mana yang tidak baik. Atau
sedikitnya di atas sana masih ada Tuhan yang Maha Adil dan penuh kasih sayang."
"Dasar laki-laki tak tahu diri!
Awas ya! Kalau kau masih berani
mengikutiku, akan kubunuh kau. Aku tidak akan memberikan ampun lagi."
Habis berkata begitu, Ranti
segera meloncat dari hadapan Karta.
Tubuhnya melayang ringan bagaikan kapas, dan dalam sekejap telah lenyap di balik
pepohonan dan semak-semak.
Ranti terus berlari sambil
mengerahkan segenap kekuatannya agar dapat segera menjauh dari tebing kali
Cimanuk. Ia tidak bisa melukiskan bagaimana perasaannya sekarang. Entah gembira
atau sedih. Sebab sebagai gadis yang telah menginjak dewasa, ia sudah bisa
memastikan bahwa
kehormatannya masih utuh. Karta tidak berbuat apa-apa padanya seperti yang ia
tuduhkan tadi. "Oh, alangkah tolol dan kurang ajarnya diriku. Nyawaku telah ia selamatkan.
Tetapi bukannya berterima kasih, malahan menuduhnya berbuat
kurang ajar. Padahal lelaki itu baik hati, memiliki sikap yang lembut dan gagah
perkasa pula. Kenapa sikapku harus seperti itu tadi sewaktu
berhadapan dengannya?" Gadis itu membatin sambil terus berlari.
Menjelang senja, Ranti isti-
rahat, duduk bersandar pada pohon. Ia mulai kelelahan dan pikirannya makin
kalut. Wajah Karta masih terbayang-bayang di pelupuk matanya. Kata-kata pemuda
itu terngiang-ngiang kembali di telinganya. Dan pcnyesalannya pun semakin
menjadi-jadi alas sikapnya yang keterlaluan terhadap pemuda dari Muara Bondet
itu. Putri Gagak Ciremai itu semakin
menyadari bahwa dalam dirinya ada yang kurang beres. Ia telah membohongi hati
nuraninya sendiri. Ia memaki-maki Karta bahkan menuduhnya telah berbuat kurang
ajar. Padahal sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, ia harus mengaku bahwa ia
mengagumi pria itu. Atau sedikitnya ia butuh seorang kawan yang dapat dijadikan
sebagai tempat mengadu dan menumpahkan segala keluh kesah.
Mengingat sikapnya yang
dinilainya tidak wajar itu, Ranti pun teringat akan perlakuannya beberapa waktu
lalu ketika berhadapan dengan Roijah, kekasih Parmin di desa Kandang Haur. Saat
itu Ranti sengaja datang dari desa Perbutulan dan menemukan
Roijah sedang dihukum cambuk oleh Kompeni Belanda, kemudian dipenjarakan di
gudang penggilingan padi milik Van Eisen.
Ranti kemudian dapat menyelamat-
kan Roijah dan membawanya sampai ke hutan Loyang. Di tengah hutan itulah Ranti
mengajak Roijah bertarung hidup mati untuk memperebutkan Parmin.
Katanya siapa yang menang, dialah yang berhak mendampingi Parmin. Padahal saat
itu kondisi tubuh Roijah sangat lemah akibat siksaan centeng-centeng Belanda.
Alangkah piciknya pikiran Ranti, seolah-olah menganggap cinta itu dapat
diperebutkan seperti halnya piala.
Untunglah ia kemudian dapat menyadari kekeliruannya berkat nasehat guru Roijah.
Ia kemudian menyadari bahwa cinta itu memang tidak bisa
diperebutkan, karena cinta itu lahir sendiri tanpa disadari dan tanpa
direncanakan. Ya, tanpa disadari. Apakah
sekarang tanpa sadar pula ia telah jatuh cinta kepada Karta" Oh, ia teringat
sekarang. Dulu pun ketika pertama kali bertemu dengan Parmin, ia menuduh pemuda
itu sengaja mengintipnya sewaktu mandi. Ranti bahkan menyerang Parmin dengan ganas.
Untunglah pemuda itu memiliki ilmu kesaktian yang tinggi, sehingga dapat
mengelakkan semua serangan Ranti.
Peristiwanya kira-kira sama seperti yang terjadi antara Ranti dengan Karta
sekarang. Dan Parmin memang memiliki
banyak kesamaan dengan Karta. Keduanya sama-sama gagah perkasa dan memiliki ilmu
tinggi. Selalu mau membela kaum lemah dari penindasan-penindasan, bersikap
lembut dan penuh kasih sayang. Cuma saja, Parmin yang
dijuluki Jaka Sembung itu kelihatan lebih dewasa dan lebih saleh
penampilannya dibandingkan Karta yang dijuluki si Gila Dari Muara Bondet.
Rambut Parmin dicukur pendek,
sedangkan rambut Karta dibiarkan panjang sampai ke pinggang. Persamaan atau
perbedaan lainnya masih dalam pemikiran Ranti, karena ia belum tahu banyak
mengenai diri Karta.
Dulu, dengan sikapnya yang
Pendekar Gila 2 Pedang Medali Naga Karya Batara Manusia Srigala 1
^