Pencarian

Air Mata Kasih Tertumpah 1

Jaka Sembung 5 Air Mata Kasih Tertumpah Di Kandang Haur Bagian 1


Karya Djair Warni
Penerbit Sarana Karya, Jakarta
Cetakan pertama 1991
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau pun peristiwa
hanyalah kebetulan belaka
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
AIRMATA KASIH TERTUMPAH DI KANDANG HAUR
"Tar...! Tar...! Tar...!" Suara lecutan cam-buk menghantam tubuh gadis itu,
terdengar nyaring
dan sambung-menyambung. Terdengar pula jerit
dan rintih kesakitan. Beberapa pasang mata me-
natap dengan buas, sementara puluhan lainnya
menyaksikan dengan airmata berlinang-Linang.
Roijah! Gadis berusia muda itu sedang mene-
rima hukuman berupa siksaan. Tubuhnya hampir
telanjang, karena seluruh pakaiannya telah so-
bek. Begitu juga kulit tubuhnya akibat kerasnya cambukan yang menerpa dirinya.
Darah segar menetes, bahkan di beberapa
bagian tubuhnya bercucuran, membasahi bumi
persada. Tanah di sekelilingnya merah dan basah, seperti sedang melukiskan
sejarah yang kelak
akan turun-temurun.
Perlahan kepala gadis itu terkulai lemas.
Rambutnya yang hitam panjang terurai menutupi
sebagian wajahnya. Kedua kelopak matanya pun
tertutup. Lalu ia tak ingat apa-apa lagi.
Di desa Kandang Haur, kejadian seperti itu
bukanlah hal yang aneh bagi penduduk. Tentara
kumpeni Belanda tampaknya menerapkan sistim
hukum rimba, di mana setiap orang, terutama pa-
ra pendekar yang dianggap pembangkang disiksa
habis-habisan. Tragisnya lagi, penyiksaan itu
sengaja dilakukan di depan umum dengan mak-
sud sebagai peringatan kepada penduduk lainnya
agar tidak membangkang
Roijah telah cukup lama dikenal sebagai pen-
dekar yang memiliki sifat kesatria yang patut diti-ru. Selain ramah tamah, ia
juga selalu ringan
tangan memberikan pertolongan bagi orang yang
sedang kesusahan.
Hampir semua penduduk Kandang Haur me-
rasa simpati padanya. Namun sebaliknya, Kum-
peni Belanda menganggapnya musuh yang harus
dilenyapkan. Sepak terjangnya selama ini telah
membuat penjajah kalang kabut.
Gadis itu bagaikan siluman saja masuk ke loji
musuh, lalu mencuri perbekalan tentara Belanda, seperti beras, ikan, bahkan uang
dan perhiasan emas. Demikian lihainya gadis itu, sehingga sela-ma ini ia selalu lolos dari
sergapan musuh. Di kalangan pasukan Residen Cirebon yang dipimpin
oleh Leonard Van Eisen, gadis itu dijuluki "Bajing Ireng" yang dapat diartikan
sebagai maling yang menyerupai seekor Tupai berbulu hitam, karena
pakaian Bajing Ireng memang serba hitam.
Roijah adalah putri Kepala Desa Kandang
Haur, Bek Marto. Usia gadis itu baru sekitar dua puluh tahun. Rambutnya yang
hitam legam dan
agak bergelombang dibiarkan jatuh terurai sam-
pai ke pinggul. Wajahnya mulus dengan raut wa-
jah yang bulat telor. Hidungnya agak mancung,
bibirnya merah merekah dan jika mengulum se-
nyum kelihatan seperti bunga mawar yang sedang
mekar. Sepasang matanya bening dan selalu ber-
sinar-sinar. Alis matanya lentik dan tebal menandakan ia seorang yang
berpendirian kokoh.
Seperti kata pepatah, sepandai-pandai tupai
melompat, sekali-sekali pasti jatuh juga. Demi-
kianlah nasib putri Kepala Desa itu. Dalam per-
sembunyiannya, ketika hari masih pagi, ia dike-
pung puluhan pasukan Residen.
Roijah melarikan diri sampai ke hutan di be-
lakang desa. Namun pasukan musuh kali ini ru-
panya tidak mau bertindak tanggung-tanggung.
Ke mana pun ia melarikan diri, pasukan lawan telah menghadang. Dan akhirnya,
setelah mero- bohkan beberapa orang pasukan penjajah, Roijah
dapat diringkus.
Kedua tangan Roijah segera diikat ke bela-
kang. "Bawa pemberontak itu ke alun-alun!" perintah pemimpin pasukan itu.
Dalam keadaan tak berdaya, Roijah dilempar-
kan ke dalam kereta kuda beroda dua. Kereta ku-
da yang biasanya digunakan untuk mengangkut
barang-barang itu kemudian digiring ke alun-alun pasar Kandang Haur
"Hei, minggir! Semua minggir!" teriak pasukan itu sambil mengayun-ayunkan
senjatanya. Penduduk menjadi ketakutan dan segera menyingkir.
"Hei, kalian semua! Dengar dan perhatian
baik-baik siapa perempuan di dalam gerobak ini.
Dia menjadi contoh buat kalian bahwa siapa saja yang coba-coba membangkang atau
memberontak akan mengalami nasib seperti dia!"
Mengetahui wanita yang baru tertangkap itu
adalah Roijah, penduduk menjadi terkejut. Mere-
ka berhamburan keluar rumah ingin menyaksi-
kan keadaan gadis itu. Namun tak ada yang be-
rani mendekat karena takut melihat kebengisan
pasukan pemerintah.
"Kasihan... Roijah ditangkap," kata seorang lelaki setengah baya.
Kaum ibu-ibu di desa Kandang Haur bahkan
tak sedikit yang menitikkan air mata, karena mereka sudah bisa membayangkan
hukuman apa yang bakal menimpa Roijah. Orang yang tak ber-
salah saja sering disiksa apalagi yang dituduh
bersalah. Suara derap langkah kuda terdengar jelas,
karena keadaan sangat sepi. Tak ada penduduk
yang berani bicara keras-keras, sehingga yang
kadang-kadang terdengar hanya suara bisikan
dan isak tangis.
Tak lama kemudian, gerobak kuda itu pun
sampai di alun-alun pasar. Dari jarak sekitar sepuluh meter, penduduk
bergerombol ingin me-
nyaksikan hukuman yang akan diterima Roijah.
Di antara kerumunan penduduk itu, ada seo-
rang gadis yang kira-kira berusia jauh lebih muda dari Roijah. Gadis itu pun
cantik jelita. Rambutnya yang cukup panjang dikuncir ke belakang,
Sinar matanya pun tampak selalu bersinar-sinar.
Ia mengenakan baju kurung dengan dada agak
terbuka, dan mengenakan celana panjang seten-
gah betis. Di punggungnya tergantung sebilah pedang bermata dua. Tak salah lagi,
ia pastilah seorang pendekar muda yang memiliki ilmu yang cu-
kup tinggi, Namun melihat gerak-geriknya dapat-
lah diterka bahwa ia bukan warga desa Kandang
Haur. Siapakah sebenarnya pendekar wanita itu"
dia adalah Ranti, putri angkat raja rampok Gem-
bong Wungu dari desa Perbutulan, yang jaraknya
berpuluh-puluh kilo meter dari desa Kandang
Haur. Tak ada yang tahu maksud kedatangan ga-
dis itu, bahkan kehadirannyapun kurang diperha-
tikan, karena mata penduduk desa Kandang Haur
selalu tertuju kepada Roijah.
"Siapakah dia, pak" Kenapa dia sampai digiring Kumpeni Belanda" Apa salahnya?"
tanya Ranti kepada lelaki di sampingnya.
"Dia adalah Roijah, anak Bek Marto kepala
desa di sini. Ayah dan anak itu dituduh pembe-
rontak oleh pemerintah."
"Pemberontak?"
"Ya. Ayahnya dituduh pemberontak karena
tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Sedang
putrinya ini sering mencuri beras dari gudang
tuan tanah Van Eisen. Tapi ia mencurinya untuk
dibagikan kepada penduduk. Keduanya sangat
baik. Ah... beberapa waktu lalu Bek Marto ditembak mati di alun-alun pasar ini.
Sekarang Roijah tentu akan menyusul. Sungguh malang nasib
pendekar itu, ya Tuhan!"
Mendengar penjelasan lelaki itu, makin terke-
jutlah Ranti. Roijah, bisik hatinya. Kalau begitu inilah orang yang kucari-cari,
kekasih Parmin.
Ternyata Roijah adalah seorang pendekar sejati.
Semua penduduk di desa ini menangisi nasibnya,
karena sebentar lagi ia akan ditembak.
Pada waktu lalu, Parmin yang dijuluki pende-
kar Jaka Sembung itu telah menceritakan tentang kekasihnya ini kepada Ranti.
Pemuda itu secara
halus menolak kehadiran Ranti di sisinya, sebab ia sudah terikat janji dengan
Roijah. Seperti diceritakan pada awal kisah ini, Ranti
adalah putri kandung guru silat desa Perbutulan, yakni Gagak Ciremai. Namun
ketika ia masih kecil, ayahnya dibunuh Gembong Wungu yang ke-
mudian memungut Ranti sebagai anak angkat.
Sepak terjang pendekar bermata satu Gem-
bong Wungu kemudian sangat sadis dan brutal.
Tetapi kemudian, Ranti dendam pada ayah ang-
katnya itu, terutama setelah ibu kandungnya
yang muncul tiba-tiba tewas di ujung golok Gem-
bong Wungu. Pada saat itulah Parmin muncul, bahkan ke-
mudian dapat merobohkan raja rampok itu berkat
bantuan monyet-monyet di hutan 'Plangon' tak
jauh dari desa Perbutulan. Tanpa disadari, Ranti kemudian menaruh hati kepada
Parmin, namun cintanya bertepuk sebelah tangan.
Ranti sangat terpukul. Juga penasaran. Ia in-
gin tahu gadis seperti apa sebenarnya kekasih
Parmin itu. Maka ia pun berangkat ke desa Kan-
dang Haur. Tepat ketika ia tiba di desa itu, ia melihat Roijah sedang digiring
ke tempat penyiksaan di alun-alun pasar Kandang Haur.
Putri kepala desa itu kini diseret ke tengah
alun-alun. Di situ telah disediakan pancangan
kayu yang mirip gawang setinggi sekitar satu me-
ter. Tali yang mengikat kedua tangan pendekar
wanita berkebaya kembang-kembang itu dibuka,
lalu diikatkan ke masing-masing sudut pancang
kayu itu. Roijah terlihat setengah jongkok di bawah tatapan mata cemas para
penduduk. Salah seorang tukang pukul pemerintah
Kumpeni tampil ke depan. Ia mengambil selembar
surat kemudian membacakannya dengan suara
keras-keras. "Saudara-saudara sekalian. Hari ini kalian kembali menyaksikan pelaksanaan
hukuman terhadap seorang pemberontak di desa ini. Kalian
dengarkan, perempuan ini adalah seorang pembe-
rontak yang bersekongkol dengan ayahnya. Oleh
karena itu, atas nama dan kuasa Residen Cire-
bon, hari ini ia akan dijatuhi hukuman.
Selain itu, ia ternyata adalah si Bajing Ireng, maling besar yang telah
menghabiskan berpuluh
kuintal beras dari gudang penggilingan tuan Van Eisen di Kandang Haur. Ini akan
menjadi contoh buat kalian. Sekali lagi kuperingatkan, jangan co-ba-coba menentang pemerintah
kalau tak ingin
nasibnya seperti ini."
Penduduk menahan nafas. Sebagian di anta-
ranya memalingkan muka karena merasa tak ta-
han menyaksikan hukuman yang bakal dijatuh-
kan kepada Roijah.
"Cambuk dia!" perintah kepala tukang pukul itu. Seorang algojo segera
mengayunkan cambuk-nya berulangkali ke tubuh Roijah.
Ya, Allah... kuatkanlah hambamu menahan
siksaan ini, sampai ajalku tiba. Parmin... oh, ka-sihku. Selamat tinggal, Oh,
Tuhan ampunilah segala dosaku.. bisik hati gadis itu dengan airmata berlinang-
linang. "Kurang ajar! Biadab!" Tiba-tiba Ratih berkata tanpa sadar. Ia sungguh sangat
benci dan geram
melihat kekejaman pemerintah Kumpeni Belanda,
ia ingin menebas batang leher algojo itu hingga putus. Tetapi ia masih bisa
berfikir dengan tenang, karena bagaimana pun juga, ia tidak boleh bertindak
sembrono dalam keadaan seperti itu.
Apalagi karena pasukan pemerintah Belanda di-
perlengkapi bedil. Ia tak mungkin bisa berbuat
apa-apa. Bahkan jika berani melawan, ia pasti
mati konyol. Setelah Roijah jatuh tak sadarkan diri, tu-
buhnya kemudian di lemparkan ke dalam gerobak
kuda. "Bawa dia!" teriak kepala tukang pukul itu.
Ranti menjadi semakin cemas. Mau dibawa ke
mana dia" tanya hatinya was-was, ia mencoba
membuntuti dari belakang, tetapi hanya sampai
di sekitar alun-alun saja, karena gerobak dan pasukan Kumpeni Belanda menuju ke
arah loji. Tak seorang penduduk pun di perbolehkan mendekat.
Dengan langkah lesu, Ranti meninggalkan
tempat itu. Perutnya mulai terasa lapar. Maka ia segera mampir ke salah satu
warung makan di
sekitar alun-alun pasar. Di warung itu, Ranti
kembali mendengarkan pembicaraan hangat para
pengunjung warung itu mengenai ditangkapnya
Roijah. Sehingga Ranti semakin sadar bahwa Roi-
jah merupakan tokoh yang sangat dikagumi seka-
ligus dikasihi penduduk desa Kandang Haur
Perlahan-lahan, matahari mulai condong ke


Jaka Sembung 5 Air Mata Kasih Tertumpah Di Kandang Haur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barat. Bahkan kini telah tenggelam di ufuk barat.
Hari mulai malam. Beringsut-ingsut hingga ten-
gah malam. Para centeng di desa itu memukul
besi bulat sebagai ganti lonceng sebanyak dua belas kali, terdengar dari arah
gudang penggilingan milik Van Eisen. Suara itu bergema sampai ke pe-losok desa.
Ranti sudah berbaring, tetapi belum pulas.
Gadis itu kini tidur di kandang kerbau, di belakang rumah salah seorang penduduk
di desa itu. Gadis itu menumpuk jemari dan menjadikannya
alas tidur, tanpa selimut. Bau tak sedap kotoran kerbau menusuk hidung dan
sesekali terdengar
pula lenguh kerbau itu.
Tetapi bukan keadaan yang kurang menye-
nangkan itu yang membuat Ranti tak bisa meme-
jamkan mata. Ia kini teringat pada Roijah. Ya,
Roijah. Bagaimanakah nasib gadis itu sekarang"
tanya hati Ranti. Ia mengetahui Roijah dipenjarakan di dekat gudang penggilingan
beras milik Van Eisen. Tetapi ia juga menyadari bahwa penjagaan di tempat itu
sangat ketat dan rapat.
Diam-diam Ranti merasa bimbang juga, bah-
kan khawatir tidak bisa menerobos masuk gu-
dang tanpa diketahui penjaga. Sambil menghela
nafas dalam-dalam, Ranti duduk bersandar pada
tiang kandang kerbau itu. Ia memutar otak men-
cari akal untuk bisa masuk ke ruang penjara Roi-
jah. Sejak kecil, Ranti memang sudah digembleng mempelajari berbagai ilmu silat
dari ayah angkatnya Gembong Wungu. Hampir semua ilmu raja
rampok itu telah dipelajarinya. Tetapi karena selama ini ia belum pernah
bertarung dengan mu-
suh, ia khawatir nantinya malah jadi gugup apa-
lagi menghadapi musuh dalam jumlah banyak.
Tidak mengherankan jika Ranti merasa demi-
kian. Bagaimana pun juga, sikap Gembong Wun-
gu dalam mengasuh dan membesarkannya tentu-
lah sangat berpengaruh bagi perkembangan ji-
wanya. Selama ini Ranti selalu dimanjakan Gem-
bong Wungu dan apa saja kemauannya selalu di-
penuhi. Penduduk yang sebagian besar adalah
perampok di desa Perbutulan tak ada yang berani macam-macam terhadap gadis itu.
Bahkan untuk menggodanya pun tak ada yang berani. Padahal
sebagai gadis remaja yang cantik jelita tentulah banyak yang tertarik atau
menaruh hati pada
Ranti. Jika misalnya ada yang bersikap men-
jengkelkan, Ranti segera saja memberi-
tahukannya kepada Gembong Wungu. Biasanya
tanpa bertanya lebih dulu, Gembong Wungu lang-
sung saja menghukum orang tersebut, bahkan ji-
ka sudah kalap, raja rampok itu tak segan-segan menghabisi nyawa orang yang
berbuat tak baik
kepada Ranti. Aneh memang! Gembong Wungu yang selalu
bersikap kejam dan sadis di luaran senantiasa
bersikap lembut dan penuh kasih sayang kepada
Ranti. Maka setelah hidup menyendiri sekarang,
Ranti memiliki sifat yang agak kurang percaya
pada diri sendiri.
Ketika sedang termenung dan berpikir-pikir
dalam kebimbangan, tiba-tiba terdengar suara
irama seruling diiringi petikan gitar.
Kombinasi kedua alat musik itu terdengar
sangat serasi, merdu dan mendayu-dayu. Sepinya
malam seperti tertegun oleh alunan irama itu.
Rupanya dua pemuda pemusik jalanan yang
menamakan dirinya sebagai "Group Tarling"
iseng-iseng muncul di desa Kandang Haur. Seje-
nak, alunan nada yang mereka bawakan dengan
penuh perasaan menciptakan suasana romantis,
sekaligus keresahan terutama bagi gadis-gadis
desa. Hal itu karena lirik lagu yang diperdengarkan, biar agak lucu namun dapat
mengung- kapkan kegelisahan bagi wanita yang sedang pa-
tah hati. Beberapa gadis yang kebetulan sulit meme-
jamkan mata segera membuka pintu rumah, begi-
tu juga warga lainnya ingin menyaksikan tonto-
nan "Tarling" itu.
Ranti pun merasa tertarik, sehingga pikiran-
nya terpusat pada nyanyian dan musik kedua le-
laki itu. Suara gitar dan seruling yang sangat
merdu. Siapakah gerangan orang itu" tanya ha-
tinya. Mendengar suara merdu seruling itu, Ranti
jadi teringat kepada Parmin. Ya, Parmin pun sangat mahir dan suka meniup
seruling dengan nada
yang mendayu-dayu, sambil duduk menyendiri.
Ranti masih ingat, suatu malam ketika ia dan
Parmin akan berpisah. Malam itu, Parmin meniup
seruling mengalunkan nada-nada rindu dan cinta
asmara yang tertahan. Dengan perasaan tak me-
nentu, Ranti menghampiri pemuda itu.
Dengan berbagai cara, Ranti mencoba mem-
bujuk Parmin agar mau tinggal di desa Perbutu-
lan, sedikitnya dalam beberapa hari saja. Namun dengan tegas dikatakan oleh
pemuda itu bahwa ia harus segera berangkat, untuk menghubungi pa-ra pendekar di
seluruh lereng gunung Ciremai untuk bersatu mengusir penjajah dari bumi
tercinta. Sebagai seorang gadis, Ranti merasa kikuk
juga mengungkapkan isi hatinya. Tetapi karena
perasaan itu tak bisa ditahan-tahan lagi, ia akhirnya mengatakannya. Suaranya
tersendat- sendat dan bibirnya gemetaran saat menyatakan
cinta kepada Parmin.
Dan apa yang dikatakan Parmin, kemudian
meluluhlantakkan harapan Ranti. Parmin ternya-
ta telah punya pilihan lain yakni Roijah yang kini sedang dipenjarakan Kumpeni
Belanda. Ah, Parmin. Parmin! bisik hati Ranti sedih.
Gadis itu kemudian tersentak mendengar su-
ara pemusik jalanan itu, menyanyikan sebuah la-
gu yang seolah-olah ditujukan padanya.
"Kucing kurus mandi di kali tidak tahu sang tikus geli tertawa badan kurus
memikirkan si jan-tung hati karena si dia tak mau membalas cinta"
Mendengar lirik lagu yang jenaka itu ditam-
bah permainan musik yang sangat merdu, maka
makin banyak juga penduduk yang keluar rumah
sekadar menghibur hati, karena seharian bekerja keras ditambah lagi tekanan
bathin oleh perla-kuan pemerintah Kumpeni Belanda yang kurang
manusiawi. Setelah berjoget dan berjingkrak-jingkrak se-
bentar, Parto anggota grup pemusik jalanan itu
kembali melantunkan lirik lagu yang jenaka.
"Jauh-jauh bangau datang mencari ikan di rawa jauh-jauh andinda datang karena
hati me-mendam cin...trong"
Kurang ajar! maki Ranti di dalam hati, karena
merasa tersindir. Saking geramnya, gadis itu memukul tiang kandang kerbau hingga
nyaris patah. Sementara itu, centeng-centeng Van Eisen ju-
ga sangat tertarik mendengar lagu-lagu pemusik
jalanan itu. Mereka menjadi lalai akan tugasnya, lalu ikut nimbrung bersama
penduduk menyaksikan penampilan Parto dan kawannya.
Ranti menjadi girang menyaksikannya. Ia se-
gera bangkit dan keluar dari kandang kerbau. Da-ra yang tangkas itu tak ingin
menyia-nyiakan kesempatan baik itu.
Dengan gerakan yang sangat ringan sehingga
tidak menimbulkan suara mencurigakan, Ranti
meloncat ke dekat kamar tahanan itu. Hm, inilah tempatnya, aku akan segera
memasukinya. Kata
hati Ranti tanpa ragu-ragu lagi.
Tetapi manakala ia menyaksikan gembok be-
sar yang mengunci pintu tahanan itu, ia pun me-
rasa ragu lagi. Ranti sempat bingung bagaimana
caranya membuka gembok besar itu.
Ah, dengan pedang bermata dua hadiah al-
marhum ayahnya Gagak Ciremai, ia tentu bisa
mematahkan gembok yang terbuat dari kuningan
itu. Ia tahu bahwa pedang itu terbuat dari baja pilihan, namun selama ini ia
belum pernah meng-
gunakannya. Sekaranglah saat terbaik untuk
menguji kemampuan pedang itu. Maka Ranti pun
segera mencabut pedang itu dari sarungnya,
sehingga tampak cahaya berkilauan di gelapan
malam. Tetapi ketika ia hendak mengayunkan tenaga
melalui ujung senjatanya untuk membabat gem-
bok itu, tiba-tiba ia ragu. Bahkan merasa dirinya sangat bodoh.
Alangkah bodohnya kau! Untuk apa kau da-
tang jauh-jauh dari lereng Ciremai ke Kandang
Haur" Hanya untuk mengemis cinta dan meminta
belas kasihan Roijah" Mengapa pula kau hendak
membebaskan Roijah" Kenapa tak kau biarkan
dia disiksa Kumpeni Belanda sampai mampus"
Kata-kata itu seperti terngiang-ngiang di telinga Ranti, sehingga untuk beberapa
saat, gadis itu
hanya diam terpaku bagaikan patung.
Ya, memang benar! Jika ia membebaskan
Roijah dari penjara Belanda, maka tak mungkin
lagi baginya untuk hidup berdampingan dengan
Parmin. Sebab rasanya tak mungkin Parmin mau
mengingkari janjinya kepada Roijah
Sebaliknya, jika ia membiarkan Roijah terbe-
lenggu di penjara, besar sekali kemungkinan ga-
dis itu akan disiksa untuk kemudian di hukum
mati. Jika itu terjadi, terbukalah peluang bagi Ranti mendekati Parmin.
Tetapi... ah, hati kecil Ranti benar-benar tidak setuju. Itu bukan sikap seorang
kesatria, melainkan sikap seorang pengecut busuk. Apalagi jika ia teringat pesan
almarhum ibunya sesaat sebelum
menghembuskan nafas terakhir, yang memin-
tanya untuk mengabdi pada sesama manusia, te-
rutama yang sedang kesusahan.
Saat itu ibu Ranti bertarung habis-habisan
dengan Gembong Wungu di Cadas Kuriling. Kea-
daan ibu Ranti waktu itu sangat memprihatinkan, tak ubahnya orang gila atau
gelandangan. Tidaklah aneh, sebab selama lima belas tahun wanita
tua itu hidup menyendiri dilembah dedemit sam-
bil memperdalam ilmu silatnya.
Namun ketika membalaskan dendam atas
kematian suaminya, ia tewas di ujung golok Gem-
bong Wungu. Sebelum menghembuskan nafas te-
rakhir, Ranti masih sempat memeluk tubuh
ibunya yang berlumuran darah. Saat itulah
ibunya berpesan agar Ranti mengabdi kepada
kemanusiaan, mengamalkan ilmunya untuk ke-
bajikan. Sekarang, melihat Roijah dipenjara dan akan
dihukum mati, apakah ia masih harus membiar-
kannya" Lalu di mana rasa kemanusiaannya dan
di mana sifat kependekarannya" Apakah ilmunya
hanya untuk berbuat kejahatan seperti yang dilakukan ayah angkatnya Gembong
Wungu" Oh, tidak! Tidak! Ranti tidak ingin seperti raja rampok itu.
Ia harus menyelamatkan Roijah, harus mem-
bebaskannya dari penjara Kumpeni. Maka sambil
mengerahkan tenaga dalamnya, Ranti mengayun-
kan senjatanya membabat gembok penjara itu.
"Trak!" Gembok itu pun putus seketika. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Ranti
segera masuk ke ruangan itu.
Di dalam ruangan itu, tubuh Roijah ter-
telungkup lemah di atas lantai. Bagian pung-
gungnya yang tak ditutupi pakaian lagi tampak
penuh luka-luka bekas cambukan.
Oh, kasihan betul dia, bisik hati Ranti sambil
berjalan berjingkat-jingkat mendekati tubuh Roijah. Ranti menyentuh pundak
Roijah, lalu meng-
goyang-goyangnya dengan pelan.
"Kak Roijah...?" bisiknya. Tetapi Roijah tidak menyahut. Dengan nafasnya
terdengar sangat pelan. Mungkin gadis itu sedang dalam keadaan
masih pingsan. "Aku akan membebaskanmu," bisik Ranti.
Dipanggulnya tubuh Roijah di atas pundak sebe-
lah kiri. Setelah itu, ia meloncat keluar dari ruangan penjara.
Tatkala Ranti sedang berlari keluar ruang
penjara sambil memanggul tubuh Roijah, seorang
centeng berjalan ke arah ruangan penjara. Agak-
nya, lelaki itu sangat terhibur oleh kehadiran pemusik jalanan group "Tarling"
itu. Centeng penjaga gudang Van Eisen itupun bernyanyi-nyanyi
dengan nada jenaka, menirukan gaya kedua pe-
musik jalanan itu : "Pohon angker pohon beringin, lebih tinggi pohon kelapa.
Malam ini begitu dingin, lebih enak tidur sama janda".
Tiba-tiba nyanyian centeng itu terhenti, kare-
na ia melihat bayangan berkelebat melarikan diri dari alah penjara.
"Hei, berhenti kau monyet! Siapa kau, hah?"
bentaknya sambil berlari mengejar bayangan itu.
Ranti menjadi terkejut dan cemas setelah
menyadari bahwa perbuatannya telah diketahui
musuh. Sambil mengerahkan segenap tenaganya,
gadis itu melarikan diri sekencang-kencangnya.
Tetapi centeng itu pun rupanya memiliki ilmu
yang cukup lumayan. Dalam waktu yang tidak
terlalu lama, ia berhasil mengejar Ranti.
Tak ada lagi pilihan lain bagi Ranti. Sambil
memanggul tubuh Roijah, ia mencabut pedang-
nya. Secepat kilat mengayunkannya ke arah ke-
pala centeng itu.
Sebelum sempat mencabut senjatanya, cen-
teng itu tertegun menyaksikan cahaya putih me-
nyambar ke arah kepalanya. Ia hendak mengelak,
namun tak sempat lagi. Tiba-tiba sekujur tubuh-


Jaka Sembung 5 Air Mata Kasih Tertumpah Di Kandang Haur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya gemetaran, dan kepalanya terasa pedih.
Disertai suara jerit panjang, tubuh centeng
itu ambruk dan terkapar di tanah dengan kepala
hampir terbelah dua, terkena sabetan pedang di
tangan Ranti. "Mampus kau, tikus busuk!" maki Ranti lalu kembali melarikan diri. Namun sebelum
berhasil lari jauh, ia sudah dikepung para penjaga lainnya.
Rupanya suara jeritan tadi terdengar oleh para
penjaga, lalu berlarian ke arah suara itu. Alangkah terkejutnya mereka
menyaksikan di bawah
sinar rembulan yang sedang terang benderang
seorang gadis berusaha melarikan sambil me-
manggul seorang wanita.
"Kawan-kawan, hati-hati menghadapi singa
betina ini. Lihat, ia telah membunuh si Bagor teman kita. Ha-ha-ha, ternyata
cantik juga setan
betina ini, kawan-kawan. Tapi dia berani menan-
tang jago-jago Kandang Haur, seolah-olah men-
ganggap kita hanya seperti tauco. Buat mengha-
dapi dia cukup ku keluarkan ilmu 'Deprok Man-
jangan' ini." kata si Punuk sambil tertawa-tawa.
Kepungan pun makin diperketat. Para jagoan
itu menghunus golok dan bersiap-siap menyerang
Ranti dari segala penjuru. Apa boleh buat, daripada menyerah lebih baik mati
bersimbah darah
dengan cara kesatria.
Maka Ranti lebih dulu memulai serangan.
Tidak tanggung-tanggung. Serangan yang dikelu-
arkannya sangat cepat dan mematikan. Gadis itu
memang telah memutuskan, sekali menyerang
sedikitnya harus bisa menjatuhkan seorang la-
wan. Sinar senjatanya yang bermata dua berkele-
batan ke sana ke mari. "Mampus kau anjing-
anjing Kumpeni!" bentaknya. Dalam beberapa ge-brakan, goloknya berhasil membabat
tiga empat orang musuh. Para centeng itu menjadi terkejut.
Mereka baru sadar bahwa gadis itu yang dihadapi sekarang ini bukanlah orang
sembarangan. Mereka tidak boleh anggap remeh, karena salah-salah bisa jadi nyawa
mereka yang melayang.
"Bangsat! Rupanya kau boleh juga, setan betina! Kawan-kawan, hati-hati, ia
memiliki ilmu siluman. Kepung rapat-rapat dan serang serentak
dari segala penjuru. Modar kau, setan betina..."
teriak si Punuk sambil melancarkan serangan
mautnya. Pada dasarnya, Ranti sebenarnya sudah me-
miliki ilmu silat yang sangat tinggi, bahkan boleh dikatakan ilmu yang
dikuasainya jarang bisa di-tandingi ilmu lainnya. Tidak percuma hampir se-
lama lima belas tahun tokoh sesat Gembong
Wungu yang memiliki kesaktian yang sangat ting-
gi menggemblengnya dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi karena Ranti masih sangat muda
dan pengalamannya pun boleh dikatakan masih
sangat dangkal, ia merasa kewalahan juga meng-
hadapi lawan yang sedemikian banyaknya. Apala-
gi saat ini ia harus selalu menjaga keselamatan Roijah agar jangan sampai
terkena serangan lawan. Di samping itu, berat tubuh Roijah juga
sangat mempengaruhi kelincahannya. Seandainya
ia bertarung tanpa memanggul orang, barangkali
ia tidak akan secepat itu terdesak
Makin lama, perlawanan Ranti semakin le-
mah. Bahkan kini ia tak punya kesempatan- lagi
untuk memberikan serangan balasan, karena se-
rangan bertubi-tubi dari gerombolan musuh.
Hanya karena semangatnya yang menggebu-gebu
saja ia masih bisa bertahan
"Sebaiknya kau menyerah, nona cantik. Kau
akan kujadikan gundikku yang kesepuluh dan
kau akan merasakan nikmatnya tidur bersama-
ku," kata si Punuk sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Diam kau, monyet! Lebih baik mati daripada
menyerah di hadapanmu!" bentak Ranti geram.
Gadis tangkas itu menerjang si Punuk dengan se-
rangan mautnya. Sementara kaki kirinya me-
nyambar dengan dahsyat mengarah ke pusar si
Punuk. Jurus itu adalah salah satu dari sekian puluh
macam jurus mematikan yang diajarkan si mata
satu Gembong Wungu kepada Ranti, yaitu bagian
dari ilmu "Dewa Banyu Nitis", jurus "Angin Beliung". Jurus itu pada dasarnya
bertitik pusat pa-da senjata di tangan yang sengaja diarahkan ke-
pada bagian-bagian tubuh yang sangat penting di tubuh lawan. Dan untuk lebih
memperkuat serangan, Ranti mengayunkan kaki kirinya dengan
maksud perhatian lawan terpecah.
Sama seperti namanya "Angin Beliung", pedang di tangan Rantipun diputar cepat
sekali sehingga kelihatan seolah-oleh jadi banyak sekali.
Di samping itu, Ranti pun mengerahkan tenaga
dalam sehingga putaran senjatanya menimbulkan
putaran angin beliung.
Sayang tenaga dalam Ranti belum men-capai
kesempurnaan dan keadaan saat ini juga kurang
menguntungkan karena berat tubuh Roijah, se-
hingga serangannya tidak bisa dilancarkan secara sempurna.
Seandainya almarhum Gembong Wungu mi-
salnya yang mengeluarkan jurus itu, besar sekali kemungkinan para centeng Van
Eisen itu sudah
terjungkal hanya karena putaran angin beliung
yang tercipta dari jurus maut itu.
Dengan gerakan yang cepat, si Punuk meng-
geser tubuhnya ke sebelah kanan, sehingga ten-
dangan kaki kiri Ranti tidak mengenai sasaran.
Namun pada saat yang bersamaan, pedang Ranti
menyambar ke arah lehernya. Sambil berseru ka-
get karena tak mengira akan diserang seperti itu, si Punuk mengangkat goloknya
menangkis serangan lawan.
"Trang...!"
Kedua golok itu beradu keras, menimbulkan
pijaran bunga api menandakan betapa kuatnya
pertemuan kedua senjata itu.
Tubuh Ranti sampai terjungkal, sedang-kan
tubuh si Punuk terlempar beberapa meter ke be-
lakang, menandakan tenaga dalam Ranti masih
unggul dibandingkan lawan.
Secepat kilat, Ranti bangkit kembali masih te-
tap dengan memanggul Roijah. Namun baru saja
berdiri, serangan lawan sudah datang bertubi-
tubi. Mungkin riwayat ku akan berakhir sampai di sini, bisik hati gadis itu
sedih. Betapa tidak, ia bukan hanya tidak berhasil menyelamatkan Roijah, tetapi
keselamatannya pun kini terancam.
Di saat-saat kritis itu, tiba-tiba muncul seso-
sok tubuh kecil dari dalam semak-semak. Gadis
itu masih kecil, usianya mungkin baru sekitar li-ma tahun. Rambutnya dikepang
dua ke samping,
sehingga mirip tanduk kambing. Ia mengenakan
baju kembang-kembang sama dengan celana pan-
jangnya. Sedangkan di pinggangnya terlilitkan
kain sarung yang membuatnya mirip badut. Di
pinggangnya diselipkan sebuah senjata ketepel.
Siapakah sebenarnya si 'Upik' itu" Pembaca
tentu masih ingat akan seorang gadis kecil yang menangis di tengah malam karena
sangat lapar. Nah, itulah dia si Kinong.
Cecunguk-cecunguk itu harus diberi pe-
lajaran. Biar tahu rasa dulu mereka, si Kinong
bergumam geram. Kemudian ia memanggil keta-
pelnya dan mengarahkan peluruhnya yang beru-
pa batu-batu kecil itu ke arah para jagoan desa Kandang Haur yang sedang
mengeroyok Ranti.
Kinong ternyata sangat mahir menggunakan
senjatanya. Peluru ketapelnya secara beruntun
menghantam bagian wajah, kepala dan tubuh pa-
ra centeng lawan Ranti.
"Aduh..!" si Punuk berterik kesakitan ketika sebuah batu kecil menghantam
mulutnya. Teman-temannya yang lain juga mengalami nasib
yang sama. Maka kalang kabut jugalah komplo-
tan centeng Tuan tanah Van Eisen karena seran-
gan rahasia si Kinong.
"Aduh, ada apa ini hah?" teriak si Punuk kesakitan.
"Ada setan menyerang dari semak-semak," teriak temannya.
Melihat para pengeroyoknya kalang kabut,
Ranti pun segera melarikan diri ke arah hutan tak jauh dari tempat itu.
Tentu saja para centeng itu menjadi terkejut,
melihat Ranti melarikan diri.
"Hei, dia melarikan diri. Kejar dia! Ayo, jangan sampai lolos" teriak si Punuk
dengan suara menggelegar.
"Tangkap!" teriak teman-temannya.
Ranti sengaja melarikan diri ke arah asal batu
peluru ketapel si Kinong barusan. Sebab sewaktu bertempur tadi, sekilas ia
sempat melihat bayangan tubuh gadis cilik itu di balik semak-semak.
Siapakah gerangan anak kecil itu" Kenapa ia
membantu aku" tanya hati Ranti.
Diam-diam, gadis itu merasa bersyukur juga
atas bantuan orang misterius itu. Sebab tanpa
bantuannya, entah apa yang bakal menimpa Ran-
ti maupun Roijah. Ranti memang memiliki ilmu
tinggi, tetapi dalam keadaan seperti itu tadi, sangat tipis harapannya untuk
dapat meloloskan diri atau merobohkan semua lawannya.
Ketika dahulu Gembong Wungu menggem-
blengnya, si raja rampok itu selalu berpesan agar Ranti berusaha bersikap tenang
biar dalam keadaan bagaimana pun juga. Orang yang bersikap
tenang, biasanya akan bisa menemukan jalan ke-
luar menghadapi kesulitannya.
Memang benarlah apa yang dikatakan Gem-
bong Wungu. Dalam hidup ini, manusia sering
merasa gugup atau panik jika sedang menghadapi
kesulitan. Karena rasa gugup dan panik itu, pikiran orang bersangkutan pun
menjadi kalut dan
tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Aki-
batnya jalan keluar yang sebenarnya sudah bera-
da di depan mata tidak terlihat lagi olehnya. Sehingga kadang-kadang orang itu
malah mengam- bil jalan yang salah.
Agaknya Ranti pun kurang tenang tadi, se-
waktu menghadapi lawan-lawannya. Seharusnya
jika pertarungan memang tidak bisa dielakkan la-gi ia menurunkan tubuh Roijah
kemudian mener-
jang musuh dengan leluasa. Seandainya itu dila-
kukan, hampir dapat dipastikan bahwa dalam
waktu singkat ia akan dapat merobohkan lawan-
lawannya. Setelah itu, ia bisa melarikan diri sambil
membawa Roijah dengan lebih leluasa. Sebab pa-
da kenyataannya, centeng-centeng itu belumlah
mampu mengimbanginya sekalipun menyerang
secara berbarengan.
Namun dalam pertarungan itu tadi, Ranti
hanya berfikir untuk bisa melarikan diri. Bahkan karena belum pernah bertarung
secara sunggu-han, ia menjadi panik. Ia merasa takut gagal menyelamatkan dirinya
dan Roijah. Kini gadis itu telah memasuki hutan. Semen-
tara musuh-musuhnya masih mengejar di bela-
kang. Ranti menerjang rerumputan dan semak-
semak dengan berlari sekuat tenaga.
"Bangsat! Sialan! Setan betina itu makin
jauh. Ayo, cepat. Kita harus menangkapnya!" Terdengar teriakan di belakangnya.
Makin lama, Ranti makin jauh masuk hutan
hingga akhirnya memasuki kawasan hutan
Loyang. "Stop! Stop!" teriak si Punuk geram.
Teman-temannya sesama centeng berhenti,
lalu menghampirinya dengan nafas tersengal-
sengal. "Ada apa" Kenapa kita berhenti?"
"Kita tak perlu mengejarnya lagi. Hutan ini
angker, dihuni dedemit yang buas, dan binatang-
binatang berbahaya. Biarlah wanita iblis itu mati diterkam macan."
'Ya, kau memang benar. Hutan ini angker. Se-
jak dari dulu, hanya orang gila yang mau masuk
ke sini. Aku juga takut, sebaiknya kita pulang sa-ja," sambung si Gotom yang
rupanya hanya ku-misnya saja yang panjang tapi nyalinya sangat
kecil. "Tapi bagaimana nanti nasib kita" Van Eisen tentu akan marah besar, bahkan pasti
akan menghukum kita. Menurut pendapat ku, sebaik-
nya kita mengejar monyet betina itu dan harus
menangkapnya. Ia tentu tak bisa melarikan diri
jauh-jauh, karena di samping sangat letih, saya yakin ia belum mengetahui seluk-
beluk hutan ini." "Ah, biarlah!" kata si Punuk dengan ketus,
"Biarlah nanti aku yang bertanggungjawab. Dalam keadaan malam begini, bagaimana
bisa kita mengejarnya" Kalian lihat sendiri tadi, wanita siluman itu memiliki ilmu yang
sangat tinggi. Nya-wa ku nyaris melayang di ujung senjatanya."
"Aku sangat setuju. Di samping itu, wanita itu tentu tidak akan bisa selamat
selama berada di tengah hutan angker ini. Kalau tidak diterkam binatang buas,
tentu ia akan dimangsa setan
penghuni hutan ini."
"Tuan Van Eisen sudah memutuskan akan
menghukum mati Roijah. Sekarang ia dibawa ka-
bur. Mungkin nanti kita sendiri yang akan dihu-
kum mati sebagai gantinya"
"Kau terlalu khawatir, sobat. Saat ini kita memang gagal menangkapnya. Tetapi
percayalah, cepat atau lambat orang itu pasti tertangkap. Ayo, kita pulang saja," kata si
Punuk seraya menarik lengan kawannya.
"Ya, baiklah kalau begitu." Para centeng penjaga gudang penggilingan Van Eisen
itu segera pulang meninggalkan hutan itu. Tanpa mereka
sadari, si Kinong mendengar semua pembicaraan
mereka dari balik pepohonan hanya beberapa me-


Jaka Sembung 5 Air Mata Kasih Tertumpah Di Kandang Haur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ter dari tempat itu.
Anak kecil yang sangat lincah itu sebenarnya
bermaksud mengejar Ranti tadi. Tetapi karena kalah cepat, Kinong akhirnya jadi
tertinggal. Se-
dangkan para centeng itu pun semakin dekat, se-
hingga ia segera bersembunyi di balik pepohonan.
Kini setelah para centeng bertampang seram
itu meninggalkan hutan, Kinong menjadi gembira.
Ia segera keluar dari tempat persembunyiannya,
lalu berjingkrak-jingkrak kegirangan, sambil bernyanyi-nyanyi.
"Jrik pung jrik. Plang ketimpang plang. Paling enak siang-siang makan rujak
pecel, dimakannya
di bawah pohon aren. Centeng-centeng itu kayak
sambel, itulah kerbo piaraan Van Eisen..."
Lagu itu dinyanyikannya berulang-ulang, se-
hingga suaranya terdengar dan bergema ke seke-
liling penjuru hutan. Suara Kinong yang kecil
nyaring, membuat gema suaranya terdengar agak
menyeramkan. Seandainya ada yang mendengarnya, mung-
kin orang itu akan ketakutan karena mengira su-
ara itu adalah suara kuntilanak sedang me-
nyanyi. Sementara itu, si dara tangkas Ranti masih
berlari sekencang-kencangnya, seolah-olah cen-
teng-centeng Van Eisen masih mengejar di bela-
kang. Roijah yang berada di pundaknya belum ju-
ga sadarkan diri. Agaknya wanita itu menderita
luka-luka yang sangat parah. Ia seharusnya men-
dapat perawatan yang baik, bukannya dipanggul
dengan berlari-lari. Goncangan-goncangan yang
dialaminya karena dibawa berlari-lari tentu akan membuat luka-lukanya semakin
parah. Tetapi Ranti seperti tidak menyadarinya.
Dara jelita itu terus berlari walaupun kecepa-
tannya mulai berkurang karena tenaganya sema-
kin terkuras. Ia makin jauh masuk hutan. Pepo-
honan semakin tinggi dan rapat dengan akar-akar malang melintang. Ranti menjadi
sangat hati-hati, takut tersandung, atau siapa tahu ada jurang
yang tertutup dedaunan dan semak-semak.
Agaknya, hutan itu belum pernah didatangi
manusia. Tak ada tanda-tanda bahwa hutan itu
telah pernah didatangi apalagi dihuni orang. Hal itu membuat Ranti semakin hati-
hati. Tiba-tiba kaki Ranti menginjak rawa-rawa, ge-
lap dan dingin sekali. "Aduh! aku masuk rawa-rawa!" kata gadis itu tanpa sadar.
Karena sudah terlanjur, Ranti meneruskan langkahnya. Makin
ke tengah rawa-rawa itu ternyata semakin dalam
hingga sampai sebatas dadanya.
Dasar rawa-rawa itu terlumpur dan seper-
tinya mengandung tenaga sedotan yang sangat
kuat. Ranti mulai cemas, apalagi karena rawa-
rawa itu cukup luas. Sejenak ia menyesal karena terlanjur masuk ke sana. Tetapi
untuk berbalik lagi juga sudah percuma.
Sewaktu kecil, Ranti sudah pernah menden-
gar cerita bahwa di tengah-tengah hutan biasanya ada rawa-rawa yang sangat
berbahaya. Rawa-rawa seperti itu bisa menyedot benda apa saja
yang masuk hingga tenggelam dan hilang. Karena
hal itu, orang-orang sering bilang di dalam rawa-rawa itu ada makhluk halus
pemangsa manusia.
Akan tetapi Gembong Wungu dahulu menje-
laskan kepada Ranti bahwa sebenarnya di tengah
rawa seperti itu tidak ada apa-apa. Adanya daya sedot rawa-rawa bukanlah karena
ada setan dan sejenisnya, melainkan karena adanya pergeseran
air dan lumpur sewaktu terinjak.
Oleh karena itu, jika sudah terlanjur masuk
rawa-rawa berbahaya, sebaiknya jangan panik
dan meronta-ronta. Hal itu bukannya bisa mem-
berikan jalan keluar, malahan akan membuat tu-
buh lebih cepat terbenam. Demikian pesan Gem-
bong Wungu. Untuk membuktikan ucapannya itu, si raja
rampok Gembong Wungu pernah membawa Ranti
ke sebuah rawa-rawa di tengah hutan di lereng
Ciremai. Disaksikan oleh Ranti, pendekar berma-
ta satu itu masuk ke dalam rawa-rawa dan me-
ronta-ronta. Akibatnya, tubuhnya menjadi terbe-
nam. Jagoan yang memiliki berbagai ilmu kesak-
tian itu kemudian memperlihatkan cara yang pal-
ing baik untuk menyelamatkan diri dari dalam
rawa-rawa itu. Ranti teringat pesan ayah angkatnya itu. Ia
pun berhenti sejenak sambil menghela nafas da-
lam-dalam. Ia memusatkan perhatiannya, lalu
mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Tak lama
kemudian, Ranti menggerak-gerakkan kedua ka-
kinya, setelah berjalan dan berenang.
Benar juga pesan Gembong Wungu itu. Tu-
buh Ranti tidak terbenam lagi. Bahkan makin la-
ma, ia semakin dekat ke tepi rawa dan akhirnya
selamatlah dia bersama Roijah.
Uh, aku sudah sangat lemah, keluhnya dalam
hati. Tetapi kemudian, Ranti merasa terkejut ketika merasakan benda-benda kecil
dan licin me- rayap di kedua kakinya. Geli dan terasa menjijikkan. Benda apakah gerangan itu"
Ranti memperhatikan kedua kakinya. Ternya-
ta lintah! Puluhan binatang kecil penghisap darah itu tampak sedang merayap di
kakinya. Hampir
saja Ranti berteriak kaget. Tapi ia segera dapat menguasai diri. Ia menurunkan
tubuh Roijah, la-lu berusaha melepaskan lintah-lintah itu.
Kata orang, melepaskan lintah harus mema-
kai air ludah, pikirnya. Lalu ia membasahi tangannya dengan air ludah. Benar
juga, lintah- lintah itu dengan mudah dapat dilepaskannya.
Lintah-lintah sialan. Kau seperti serdadu
Kumpeni Belanda saja, kerjanya hanya menghi-
sap darah orang! Maki Ranti geram. Ia lalu men-
gangkat tubuh Roijah dan melanjutkan perjala-
nan. Ia mulai berfikir bahwa tempat itu kurang
menyenangkan. Padahal sebenarnya tubuhnya
sudah sangat lelah. Itu sebabnya ia memaksakan
diri meninggalkan tempat itu untuk mencari tem-
pat peristirahatan yang cukup nyaman.
Ranti terus berjalan dengan langkah yang
mulai terseok-seok.
Tanpa ia sadari, ada sepasang mata me-
ngawasinya dari atas pepohonan. Ia seorang wa-
nita berusia tua, mungkin sudah berumur sekitar enam puluh tahun.
Agaknya wanita berambut putih itu bukanlah
orang sembarangan. Ia bukannya duduk di dahan
pohon melainkan bergelantungan dengan posisi
kepala ke bawah, sementara kedua ujung kakinya
dikaitkan ke dahan. Kedua tangannya didekapkan
di dada. Nafasnya terdengar sangat teratur. Posisi seperti itu adalah semedi
yang sangat baik untuk mengatur kelancaran peredaran darah. Tetapi di
kalangan dunia persilatan, semedi dengan posisi tubuh terbalik seperti itu
biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah memiliki kesak-
tian tinggi. Karena di samping harus mampu
menguasai peredaran darahnya yang jadi terbalik, ia juga harus menumpukan berat
badannya hanya pada kedua ujung kakinya yang terkait ke
dahan. Ranti terus melangkah tanpa menyadari
orang aneh yang sedang berada di atas. Namun
baru beberapa meter melewati tempat itu, tiba-
tiba terdengar sapaan yang membuat Ranti terke-
jut bukan main.
"Tunggu dulu, nona..."
Hah, seperti suara wanita. Apakah aku tidak
salah dengar" Jangan-jangan itu suara kuntila-
nak, pikir Ranti sambil menggenggam hulu pe-
dangnya. Ketika Ranti membalikkan tubuh, tampaklah
olehnya seorang wanita meloncat dari atas pohon dan mendarat di tanah dengan
sangat ringan sehingga hampir tak menimbulkan suara. Diam-
diam Ranti terkejut juga, karena sebagai orang
yang memiliki ilmu silat kelas tinggi, ia segera dapat melihat bahwa wanita tua
itu bukanlah orang sembarangan.
"Siapakah yang kau gendong itu, nona ma-
nis" Hendak kau bawa ke mana dia?" tanya wanita itu juga.
Ranti tidak segera menjawab. Matanya yang
senantiasa berbinar tajam mengawasi wanita tua
di depannya. Rambut wanita itu cukup panjang
dan sudah hampir semuanya memutih, dibiarkan
awut-awutan sampai ke pinggulnya. Ia mengena-
kan baju dan celana panjang sebatas betis serba hijau dan di pinggangnya
dililitkan ikat pinggang berupa sabuk dari kain berwarna hitam.
Wajah nenek tua itu sudah keriputan teruta-
ma di bagian kening dan pipinya. Kulit tangannya pun sudah mengendur dan
tubuhnya kurus.
Akan tetapi sinar mata wanita tua itu tampak
masih berbinar tajam, pertanda ia masih memiliki semangat hidup yang berkobar-
kobar. Ranti tidak lupa memperhatikan senyum di
bibir nenek tua itu.
Menurut penilaiannya, senyum itu tulus dan
tampaknya wanita itu memiliki hati yang welas
asih dan bersikap lembut. Tetapi dalam keadaan
seperti sekarang ini, Ranti tidak mau percaya begitu saja. Sebab bagaimana pun
juga, orang yang tampaknya baik hati itu belum tentu kenyataannya begitu.
Buah yang dari luar tampak bagus juga be-
lum tentu rasanya enak. Begitu halnya buah yang kelihatannya jelek, mungkin
isinya enak, seperti buah embacang misalnya. Ranti sudah sering
mendengarnya, bahkan membuktikan sendiri.
"Hai nona manis, kenapa kau diam saja" Sia-pa yang kau gendong itu dan hendak
mau kau bawa ke mana dia?" tanya wanita tua itu lagi.
"Kenapa kau menanyakannya, nenek tua"
Siapakah kau?"
"Tampaknya kau seorang gadis yang galak,
padahal wajahmu cantik jelita. Buat apa kau me-
nanyakan diriku, nona manis?"
"Baiklah kalau begitu. Di antara kita tak ada urusan apa-apa. Harap kau minggir
agar aku melanjutkan perjalanan."
"He-he-he, tidak semudah itu nona manis.
Jawab dulu pertanyaan saya tadi, baru kau boleh pergi."
"Dasar nenek peot, tak tahu diri. Kalau kau memang ingin tahu siapa aku,
sebutkan dulu namamu. Jangan kau kira aku takut padamu
Ayo, jangan sampai aku kehilangan kesabaran."
"Aduh, galak sekali! Tapi baiklah, aku perkenalkan diriku. Namaku Nyi Saidah.
Cukup, bu- kan" Sekarang giliranmu memperkenalkan diri,
setelah itu berikan wanita yang kau gendong itu padaku."
Mendengar ucapan Nyi Saidah yang terakhir
tadi, bukan main marahnya Ranti. Dadanya ba-
gaikan hendak meledak menahan amarah. Ia su-
dah mempertaruhkan nyawa untuk membawa
Roijah melarikan diri. Sekarang nenek peot yang mengaku bernama Nyi Saidah itu
malah memin-tanya dengan sikap seolah-olah sangat pandang
remeh pada Ranti. Maka tanpa pikir panjang lagi, Ranti segera menghunus
senjatanya dan bersiap-siap mengadu nyawa dengan wanita tua di hada-
pannya. Dalam pikiran gadis itu, Nyi Saidah adalah
antek-antek Kumpeni Belanda yang sengaja dis-
uruh untuk merebut Roijah kembali. Demi apa-
pun juga, Ranti bertekad akan mempertahankan
Roijah. Bahkan ia rela mati daripada harus melepaskan Roijah ke pihak musuh.
"Rupanya nenek tua yang sudah hampir ma-
suk liang kubur masih mau jadi anjing penjajah
Belanda. Sekarang terimalah ini, hiaaaat..!"
Sambil menggendong tubuh Roijah, Ranti me-
loncat dengan kecepatan tinggi dan menyabetkan
goloknya ke arah pinggang Nyi Saidah. Serangan
itu masih cukup berbahaya dan jika mengenai sa-
saran niscaya lawan akan rubuh dan tewas seke-
tika. Namun dengan gerakan yang sangat ringan,
Nyi Saidah meloncat tinggi ke udara, sehingga sabetan golok Ranti hanya mengenai
angin. Sewak- tu masih melayang di udara, tubuh Nyi Saidah
berjumpalitan beberapa kali menjauhi Ranti.
"Tunggu dulu, nona manis. Jangan menye-
rang aku seperti itu. Apakah kau tidak kasihan
melihat nenek tua seperti aku" Seranganmu san-
gat ganas, aku bisa kehilangan nyawa di ujung
senjatamu."
Mendengar ucapan Nyi Saidah, makin panas
juga hati Ranti. Sebab gadis itu menanggapi kata-kata nenek tua itu adalah
sindiran, seolah-olah mengatakan serangan Ranti tidak ada apa-apanya, bahkan
jika mau, Nyi Saidah dalam Se-
kejap bisa membunuh Ranti.
Sebagai gadis yang sudah terbiasa hidup
manja, amarah Ranti lebih cepat berkobar. Dulu
sewaktu masih hidup dalam asuhan Gembong
Wungu, tak seorang pun berani berlaku kasar
padanya. Semua penduduk di desa Perbutulan
menghormati dan menakutinya. Selain karena
Ranti memang sudah memiliki ilmu silat tinggi,
penduduk juga sangat menakuti Gembong Wun-
gu. Sedangkan Ranti sendiri suka mengadu kepa-
da ayah angkatnya itu. Dan biasanya Gembong
Wungu tidak mau tahu apakah Ranti yang salah
atau benar. Ia langsung saja menghukum orang
yang diadukan Ranti, tanpa memberikan orang
itu kesempatan untuk membela diri.
Sekarang mendengar ada orang yang berani
mengejek sekaligus merendahkan dirinya, bukan
main geramnya Ranti. Ia kembali berteriak nyar-


Jaka Sembung 5 Air Mata Kasih Tertumpah Di Kandang Haur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ing sambil menyerang Nyi Saidah, dengan ganas.
Namun kembali wanita tua itu dapat dengan
mudah mengelakkan serangan Ranti. Tubuhnya
bagaikan kapas saja melayang tinggi ke udara,
kemudian kedua kakinya mendarat dengan rin-
gan di atas dahan pepohonan.
"Tunggu dulu, nona manis. Aku ingin menga-
takan sesuatu padamu. Percayalah, aku tak ber-
maksud jelek," kata Nyi Saidah dari atas pohon.
"Tidak! Ayo, turun kau nenek peot. Biar kau tahu, aku lebih baik mati daripada
menyerahkan orang ini padamu. Kalau kau memang mengin-
ginkannya, turunlah. Mari kita selesaikan persoalan kita sampai salah seorang di
antara kita mati.
Jangan kau kira aku takut padamu, nenek silu-
man. Akan kucincang tubuhmu sampai halus."
"Kau terlalu takabur, nona. Serahkan dia padaku," bentak Nyi Saidah. Tubuh
wanita tua itu tiba-tiba jungkir balik. Kedua kakinya mengait
dahan pohon sehingga tubuhnya bergayutan se-
perti seekor monyet. Beberapa detik kemudian,
kedua tangannya mencengkeram ke arah Roijah.
Tentu saja Ranti sangat terkejut melihat ke-
hebatan wanita tua itu. Apalagi setelah menyak-
sikan betapa cepatnya gerakan musuh. Ia segera
merunduk sehingga kedua tangan Nyi Saidah ti-
dak berhasil menjangkau tubuh Roijah. Dengan
kecepatan kilat, Ranti lalu menyabetkan pedang-
nya ke arah perut Nyi Saidah.
"Tak ada gunanya menyerang aku, nona!" ka-ta Nyi Saidah sambil mengayunkan tubuh
ke be- lakang sehingga senjata Ranti kembali gagal mengenai sasaran.
"Kau pasti mampus di tanganku, nenek peot!"
bentak Ranti tak kalah geramnya. Pedang ia
ayunkan secara beruntun mengincar tubuh la-
wan. Dengan gerakan yang sangat cepat tetapi terlihat santai, Nyi Saidah
menggoyang-goyangkan
tubuhnya sedemikian rupa sehingga semua se-
rangan Ranti tidak mengenai sasaran.
Dan sampai sebegitu jauh, Nyi Saidah tidak
balas menyerang seolah-olah sedang memberikan
kesempatan kepada lawan untuk mengeluarkan
semua ilmunya. Tak terkatakan betapa kesalnya
hati Ranti. Tidak adakah artinya ilmu yang sela-ma ini ia pelajari" Masakan
hanya menyerang la-
wan yang sedang bergelantungan di atas pohon
saja dia tidak bisa" Sialnya lagi, Nyi Saidah sama sekali tidak melawan, seperti
hendak memper-mainkannya.
Nyi Saidah rupanya sudah bisa membaca pi-
kiran Ranti. Wanita tua itu tetap bergelantungan dengan posisi terbalik,
sehingga makin lama Ranti semakin penasaran. Serangannya pun semakin
ngawur, apalagi dalam kondisi yang sangat lemah seperti itu, belum lagi karena
ia sedang memanggul tubuh seorang gadis.
Saking kesalnya melihat serangannya tak sa-
tu pun berhasil melukai lawan, Ranti melempar-
kan pedang persis mengarah ke bagian dada Nyi
Saidah. Senjata itu menyambar sangat cepat se-
hingga membentuk kilatan cahaya bagaikan pe-
langi. Selain itu, Ranti menyambitkan tiga bilah pisau kecil ke arah musuh yang
sangat diben-cinya itu.
"Serangan yang sangat berbahaya," kata Nyi
Saidah. Wanita tua itu lalu melesat ke atas dahan yang lebih tinggi lagi. Pisau-
pisau Ranti lagi-lagi hanya mengenai angin, lalu tertancap di dahan
pohon. Nyi Saidah memang berhasil mengelakkan
serangan beruntun dari Ranti, tetapi ia sempat terdesak dan terpaksa meloncat
lebih tinggi lagi.
Kesempatan itu digunakan Ranti untuk melarikan
diri dari hutan tersebut.
Apa boleh buat, aku harus menyingkir dari
tempat ini. Tetapi aku tak takut padanya. Suatu saat nanti, aku pasti akan
membuatnya bertekuk
lutut di hadapanku. Akan kurobek mulutnya yang
teramat lancang itu, Bahkan bila perlu akan ku-
cincang tubuhnya, kata Ranti dalam hati.
Setelah memungut pedangnya, Ranti segera
mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Tubuhnya
lalu melesat dengan mempergunakan ilmu lonca-
tan 'Kidang Lembayung', sehingga tubuhnya me-
loncat sejauh beberapa tombak. Ranti berlari menembus semak belukar dan
berkelebatan di anta-
ra pepohonan. Ranti telah menyadari bahwa dalam keadaan
seperti sekarang ini, ia tak mungkin mampu men-
galahkan nenek tua itu. Terlalu memaksakan diri juga tak ada artinya. Itu
sebabnya Ranti terpaksa pula menekan rasa dongkol dalam hatinya. Ia
masih sangat penasaran dan belum menerima ka-
lah dari nenek tua itu.
Tunggulah nenek sialan. Suatu saat nanti
aku akan mencarimu. Akan kucincang tubuhmu!
Aku tidak takut padamu! Ranti memaki-maki di
dalam hati. Ia merasa bahwa hatinya tidak akan pernah lega sebelum membuat Nyi
Saidah bertekuk lutut.
Ranti terus berlari, entah sudah berapa jauh.
Ia hampir lupa segala-galanya, sebab ia pikirkan sekarang adalah bagaimana dapat
berlari sejauh mungkin membawa Roijah agar tidak ada yang
mengganggunya lagi.
Putri kandung Gagak Ciremai itu memang
memiliki kekuatan luar biasa. Semangatnya juga
masih berkobar-kobar ditambah tekad kokoh ba-
gaikan batu karang. Sejak dari desa Kandang
Haur sambil menggendong tubuh Roijah ia berta-
rung habis-habisan dengan puluhan centeng Van
Eisen. Kemudian berlari lagi dan bertarung den-
gan Nyi Saidah. Setelah itu berlari lagi dengan mengerahkan segenap tenaganya.
Sejak kecil, Ranti juga sudah digembleng
dengan keras oleh almarhum Gembong Wungu.
Selama latihan, ia sudah terbiasa menguras tena-ga. Tetapi bagaimana juga, gadis
itu juga sama seperti manusia lainnya yakni mempunyai ke-
mampuan yang terbatas.
Orang bisa saja menguasai ilmu kelas tinggi
yang mungkin jarang tandingannya. Boleh memi-
liki tenaga luar biasa pula, tetapi ada batasnya.
Ranti seolah-olah lupa akan keadaan dirinya sendiri, sehingga masih terus
memaksakan diri ber-
lari. Tiba-tiba tubuhnya kejang karena terlalu banyak menguras tenaga. Kakinya
terpeleset, ke-
mudian terpelanting beberapa meter bersama tu-
buh Roijah. Sejenak kedua tubuh gadis itu berguling-
gulingan, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi dengan posisi tubuh miring dan
saling berdekatan. Ranti tidak ingat apa-apa lagi.
Di saat Ranti tak sadarkan diri, tiba-tiba Nyi
Saidah muncul di tempat itu. Diam-diam wanita
tua itu rupanya mengikuti ke mana Ranti tadi
melarikan diri. Ketika diserang Ranti dengan pisau, dia terpaksa melompat ke
dahan pohon yang
lebih tinggi lagi. Kesempatan itu digunakan Ranti melarikan diri.
Akan tetapi dengan ilmunya yang sangat ting-
gi, Nyi Saidah dengan segera dapat menyusul
Ranti dan terus membuntuti dari belakang tanpa
sepengetahuan gadis itu. Sebenarnya, wanita be-
rambut putih itu tidak sungguh-sungguh tadi se-
waktu bertarung atau sewaktu diserang Ranti.
Seandainya ia mengerahkan segenap ke-
mampuannya dan jika ia mau, mungkin kea-
daannya akan jadi lain. Namun ada satu pertim-
bangan bagi Nyi Saidah yang membuatnya mera-
sa tak perlu melayani kekerasan hati Ranti. Apalagi ketika Ranti menuduhnya anjing Belanda
yang hendak merebut Roijah, diam-diam Nyi Sai-
dah merasa geli juga sekaligus gemas. Tetapi tadi, Ranti tidak mau memberinya
kesempatan menjelaskan siapa dia sebenarnya.
Melihat Ranti terjatuh tadi, tahulah Nyi Sai-
dah bahwa gadis itu sudah pingsan. Ia segera
menghampiri tubuh Roijah dan mengurut urut
tubuh gadis itu dengan maksud untuk mengem-
balikan daya guna urat syaraf Roijah.
Nyi Saidah tampak menghela nafas sambil
menggeleng-gelengkan kepala ketika memperhati-
kan luka-luka di bagian punggung Roijah. Untuk
Roijah segera bisa tertolong. Kalau tidak, luka-luka bekas cambukan di tubuhnya
bisa berakibat fatal. Sambil mengurut-urut tubuh Roijah, mulut
nenek tua yang sudah ompong itu tak henti-
hentinya mengunyah-ngunyah daun-daunan un-
tuk dijadikan obat mengobati luka-luka di sekujur tubuh gadis itu. Ramuan itu
kemudian dioleskan
ke luka-luka di tubuh Roijah.
Sehabis mengobati Roijah, Nyi Saidah segera
meninggalkan tempat itu. Mungkin wanita tua itu hendak mencari ramuan obat yang
lebih baik lagi.
Atau mungkin juga sengaja merahasiakan kehadi-
rannya entah dengan maksud apa.
Malam sudah berganti pagi. Embun turun
membasahi bumi. Udara di pagi itu dipenuhi
bunyi kicauan burung-burung, seolah-olah men-
ciptakan nada-nada yang sangat ceria, datang da-ri jarak berbeda-beda. Jarak
seluas udara itu seolah-olah menunjukkan sebuah kehidupan.
Oh, alangkah senangnya hidup. Alangkah in-
dahnya kalau bisa hidup dan mencintai hidup.
Dan jika hidup itu sendiri tidak menjanjikan penderitaan dan perpisahan yang
sangat menya- kitkan, terutama dengan orang-orang yang dicin-
tai. Tetapi adakah hidup yang hanya menjanjikan keindahan" Di mana gerangan ada
kehidupan seperti itu" Ranti sudah sering memikirkannya,
namun belum pernah menemukan jawabannya.
Ia sekarang sudah bangun dari tidurnya. Tubuh-
nya terasa lebih segar setelah istirahat dan tidur entah berapa jam lamanya.
Sinar mentari pagi
menerobos dari celah-celah dedaunan, menerpa
wajahnya, seolah-olah menyuruh Ranti untuk se-
gera bangkit. Ketika Ranti menggosok-gosok matanya, Roi-
jah pun terbangun. Ia masih tidur menelungkup,
karena sekujur punggungnya yang penuh luka
cambuk masih nyeri. Ia melirik ke sekelilingnya, hanya pepohonan dan semak-
semak. Roijah merasa sangat asing, atau apakah ia sedang ber-
mimpi" Seingatnya, ia berada di dalam penjara
gudang penggilingan padi milik Van Eisen. Tetapi kenapa ia sekarang berada di
tengah hutan" Apakah ia benar-benar telah terbebas dari sekapan
serdadu penjajah"
"Oh, di manakah aku sekarang?" ujar Roijah dengan suara setengah merintih.
Ranti melirik ke arah Roijah dengan girang.
"Kau sudah terbangun, kak Roijah?"
Roijah menatap Ranti. Tak terkatakan betapa
terkejutnya gadis itu ketika menyadari bahwa gadis yang kini berada di dekatnya
sama sekali tak ia kenal. Seumur hidupnya rasanya ia belum pernah melihat wajah
itu. Lama juga Roijah mengin-
gat-ingat, sebab siapa tahu ia telah lupa. Tetapi ia kembali merasa yakin bahwa
ia belum pernah
bertemu dengan wanita di sampingnya.
Akan tetapi kenapa wanita cantik di dekatnya
itu mengetahui namanya" Bahkan wanita itu me-
nyebut namanya dengan sikap akrab seolah-olah
mereka sudah cukup lama saling kenal.
"Kenapa kau diam saja, kak Roijah?" tanya Ranti membuat lamunan Roijah buyar.
"Aku...aku tak tahu. Di manakah aku seka-
rang" Kenapa ada di tengah hutan ini" Apakah
aku sedang bermimpi" Siapakah kau sebenarnya"
Aku..." kata Roijah tergagap.
Ranti tersenyum manis. Ia bisa memaklumi
sikap Roijah. Bahkan seandainya ia sendiri yang mengalami nasib seperti Roijah,
sikapnya pun pasti seperti itu. Ya, siapa pun tentu akan heran sekaligus cemas jika tanpa
sadar telah berada di tengah hutan bersama seseorang yang tak dikenal. Roijah
sama sekali belum kenal kepada Ranti.
Dan apa maksud gadis itu belum diketahui. Ranti bisa saja bermaksud baik
padanya, tetapi juga tak tertutup kemungkinannya sebagai orang jahat
yang bermaksud buruk padanya. Sedangkan saat
ini, kondisi Roijah masih sangat lemah, luka-
lukanya pun masih sangat nyeri. Jadi seandainya nanti Ranti hendak mencelakakan
dirinya, tak ada kemungkinan baginya untuk menyelamatkan
diri. "Tenanglah, kak Roijah. Tetaplah berbaring.
Tubuhmu masih sangat lemah, luka-lukamu ma-
sih sangat parah. Jangan banyak bergerak nanti
keadaanmu tambah parah."
"Apakah kau yang menolongku" Siapakah
kau sebenarnya?"
"Ah, kak Roijah. Sebaiknya kau bisa agak
bersabar sejenak. Saat ini sebaiknya kau tak per-lu tahu siapa aku sebenarnya.
Nanti aku akan menjelaskan semuanya."
"Aku masih penasaran," ujar Roijah sambil berusaha bangkit. Tetapi tiba-tiba,
tubuhnya jatuh lemas kembali. Luka-lukanya terasa semakin
nyeri. Bahkan karena terlalu memaksakan diri
bergerak tadi luka cambuk di tubuhnya sebagian
mengeluarkan darah kembali.
"Aduh..." rintih Roijah hampir tak terdengar.
"Apa kubilang, kak Roijah" Sebaiknya kau tenang-tenang saja dulu. Tetaplah
berbaring seperti tadi."
"Aku masih sangat penasaran. Tolong kata-
kan, siapa kau sebenarnya" Jika kau adalah
orang-orang dari fihak Kumpeni Belanda, tolong
jangan biarkan aku hidup lebih lama lagi. Bunuhlah aku sekarang juga daripada
harus diserahkan kembali kepada Kumpeni Belanda."
"Ah, kak Roijah. Apakah tampangku memang
mirip anjing Belanda atau adakah alasan bagimu


Jaka Sembung 5 Air Mata Kasih Tertumpah Di Kandang Haur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencurigaiku seperti itu?"
"Kalau begitu, siapakah kau sebenarnya?"
"Nanti aku akan menceritakannya, kak Roi-
jah. Sekarang berbaringlah dengan tenang agar
luka-lukamu lebih cepat sembuh. Aku akan me-
nyiapkan sarapan pagi kita."
Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Roijah
segera berbaring. Ranti membalikkan badan, lalu melangkah meninggalkan tempat
itu. Ia tidak segera mencari sarapan pagi, melainkan terlebih
dulu mandi di sebuah kolam kecil berupa mata
air yang sangat jernih dan sejuk sekali.
Tadi Ranti sebenarnya kebetulan saja lewat
dari tempat itu ketika sedang mencari makanan
sekadar mengganjal perut. Tanpa pikir panjang
lagi, gadis itu segera menanggalkan semua pa-
kaiannya. Lalu ia berendam sepuas hati.
Sambil berendam di air sejuk dan jernih,
Ranti teringat akan perkenalannya dengan Par-
min beberapa waktu lalu. Saat itu Ranti masih
dalam asuhan si raja rampok Gembong Wungu
dan sama sekali belum mengetahui bahwa jagoan
bermata satu itu bukanlah ayah kandungnya.
Ketika itu, Ranti mandi di kali di hutan sepi
tak jauh di belakang desa Perbutulan. Ketika sedang menyisir rambut sambil
berjemur di atas se-bongkah batu, tiba-tiba ia melihat Parmin tak
jauh dari tempatnya mandi. Ranti geram bukan
main, karena mengira lelaki itu sedang mengin-
tipnya mandi. Tanpa memberikan Parmin kesempatan
membela diri, Ranti segera menyerang dengan
ganas. Seandainya Parmin tidak memiliki ilmu silat tinggi, besar kemungkinan ia
akan mati di tangan Ranti. Sebab saat itu Ranti masih sangat kolokan dan siapa saja yang
dianggap berani lancang berbuat kotor padanya harus diserang tanpa tanggung-
tanggung. Dan jika orang itu misalnya
mati, itu dianggap hukuman setimpal. Ayahnya
Gembong Wungu pun tidak akan menyalahkan,
bahkan pasti membelanya dan membenarkan si-
kapnya itu. Melirikan mata sedikit saja kepada
Ranti sudah dianggap sangat kurang ajar, apalagi
kalau sampai mengintipnya mandi.
Tetapi ternyata, Parmin bukanlah orang sem-
barangan. Pemuda itu selain memiliki wajah tam-
pan dan sikap yang simpatik, juga memiliki ilmu yang sangat tinggi. Kemudian
Ranti mengetahui
Pendekar Cacad 14 Misteri Tirai Setanggi Tujuh Manusia Harimau (4) Karya Motinggo Busye Harimau Mendekam Naga Sembunyi 9
^