Pencarian

Bajing Ireng Maling Budiman 1

Jaka Sembung 1 Bajing Ireng Maling Budiman Bagian 1


SERIAL JAKA SEMBUNG
Karya Djair Warni
judul asli Bajing Ireng Maling
Budiman alih versi Syahlendra Maulana
penerbit SARANA KARYA
cetakan pertama 1991
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Di Edit Oleh : Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau pun peristiwa
hanyalah kebetulan belaka.
Hari telah larut malam. Seluruh
penduduk kampung telah tidur dengan
lelap. Sinar purnama memancarkan
sinarnya yang lembut keperakan.
Serangga malam mengisi keheningan
malam dengan tembang-tembangnya yang membangkitkan rasa kekaguman manusia
terhadap suasana malam. Suasana syahdu itu dibuyarkan oleh jerit tangis anak
kecil dari sebuah pondok yang letaknya terpencil dari pondok-pondok lainnya.
Suara tangisan itu terdengar begitu
menyayat hati yang mendengarnya.
Pondok itu dihuni sepasang suami
istri yang dikaruniai seorang anak
perempuan yang berumur tiga tahun.
Anak itu diberi nama Kinong. Pak
Kinong bekerja sebagai buruh tani yang hanya mengandalkan upah dari pemilik
tanah yang digarapnya, istrinya
bekerja mengumpulkan kayu bakar yang kemudian dijual di pasar. Ia juga
kadang-kadang bekerja sebagai buruh
potong padi pada saat musim panen
tiba. "Pak, cobalah pinjam beras barang sedikit saja kepada tetangga...! Siapa tahu
mereka menaruh belas kasihan
kepada kita.....!" bujuk Bu Kinong penuh harap.
Suaminya hanya duduk termenung ke
arah jendela memandang keluar dengan tatapan matanya yang kosong.
"Kasihan, sih, kasihan...! Tetapi mereka juga sama seperti kita,
kelaparan!" keluh Pak Kinong dengan nada putus asa.
"Coba-coba sajalah, Pak! Si
Kinong ini sangat lapar!" seru
istrinya sambil menenangkan si Kinong yang merengek-rengek minta makan.
"Pinjam sama siapa, Bu?" tanya pak Kinong sambil bangkit mengambil
rokok kawungnya diatas meja.
"Lagipula semua orang sedang
enak-enaknya tidur! Salah-salah aku
bisa disangka maling oleh penduduk!
Sudahlah, kamu suruh tidur saja anak itu, Bujuklah sebisamu Bu!" ujar Pak Kinong
sambil menghisap rokok
kawungnya dalam-dalam.
"Sampai kapan kita hidup terus
begini ya, Pak" kita mungkin orang tua bisa saja tahan lapar, tapi anak
kecil...?" keluh istrinya.
Kinong seolah tahu sedang
dibicarakan oleh kedua orang tuanya, maka ia sengaja meledakkan tangis
sekuat-kuatnya sampai otot-otot
lehernya menegang.
"Makaaaan......! Hengg.......
Kinong lapaaal....!"
"Sampai kapan kau bilang" Huh!
Tentu saja sampai tuan tanah Van Eisen mampus! Atau sampai penjajah itu
angkat kaki dari negeri kita!" umpat Pak Kinong sambil menggebrak meja
bambu di hadapannya. Meja yang sudah reyot itu semakin bertambah reyot
jadinya. "Berapa lama lagi" Sebulan"
Setahun?" tanya Bu Kinong sengit.
"Sampai kita masuk liang kuburpun belum tentu hal itu terjadi!" Pak Kinong
mendengus. Suasana kembali
hening. Suami istri itu sama-sama
terdiam. Sementara itu di antara atap-atap
rumah terlihatlah sesosok tubuh
melompat-lompat dengan lincahnya dari atap rumah yang satu ke atap rumah
yang lain seperti seekor bajing. Ia
mengenakan pakaian serba hitam.
Rambutnya terurai sebatas pinggang.
Wajahnya ditutupi cadar hitam, hanya sepasang matanya saja yang tampak. Di
pinggangnya terselip sebuah golok,
yang terjepit di antara sabuk dan kain sarung yang melapisi celana pangsinya.
Begitu ringan tubuhnya melompat
kesana kemari tanpa menimbulkan bunyi sedikitpun. Hanya sesekali ditandai
dengan terhentinya suara unggas
bernyanyi karena terganggu dengan
kelebatan sosok tubuhnya.
Dengan satu hentakan ia meloncat
turun. Tubuhnya melayang seperti
sehelai daun kering yang jatuh di
tanah, namun kedua kakinya berpijak
dengan mantap. Setelah mengamati keadaan
sekelilingnya untuk meyakinkan dirinya bahwa sudah tidak ada orang lain yang
membuntutinya, ia berjalan mengendap-endap. Di punggungnya terlihat sebuah
bungkusan seperti sebuah karung.
Tiba-tiba ia berhenti melangkah
karena mendengar suara tangisan anak kecil yang sudah parau dan tersendat-
sendat. Lalu orang itu melangkah
menuju sebuah pondok dimana suara
tangisan itu berasal.
* * * Seketika pintu rumah gubuk itu
didorong dari luar lebar-lebar,
sesosok tubuh dengan pakaian serba
hitam sudah berdiri tegak di ambang
pintu. Sepasang suami istri itu terkejut
dan sambil gemetar melangkah mundur
merapat ke dinding bilik.
"A... ampun! Kami orang miskin
yang tak punya apa-apa lagi untuk
dimakan, apalagi barang berharga!"
kata Pak Kinong dengan tersendat-
sendat. Keringat dingin mengaliri
tubuhnya. "Jangan takut! Aku bukan
perampok! Namaku Bajing Ireng!" seraya menghampiri sepasang suami istri
tersebut dengan tenang. Sorot matanya terlihat ramah dan lembut.
"Jangan takut! Aku adalah Bajing Ireng! Ambillah beras dalam karung ini, Pak!"
Dalam remang-remang cahaya lampu
tempel yang menerangi pondok itu,
terlihatlah sepasang mata yang bening dan indah dengan bulu-bulu lentik di
antara rambut yang tergerai di dahi
dan cadar yang menutupi batang
hidungnya sampai dagu. Ternyata ia
seorang wanita.
Bajing Ireng tersenyum sambil
menyodorkan karung yang digendongnya kepada suami istri tersebut.
"Karung ini berisi beras,
ambillah! Anak Bapak sudah sangat
menderita karena menahan lapar!"
Bajing Ireng berkata lembut.
Tetapi mereka masih ragu-ragu
untuk menerima pemberian tak terduga dari seseorang yang sama sekali belum
mereka kenal dengan baik.
"Jangan ragu-ragu! Ambillah! Aku paling tidak suka menyaksikan rakyat yang
terlalu menderita!" suaranya berubah tinggi.
Akhirnya Pak Kinong menerima
karung beras tersebut sambil
menjatuhkan diri berlutut diikuti oleh Bu Kinong di hadapan Bajing Ireng.
"Terimakasih Pendekar! beribu
terima kasih atas pemberian ini.
Bagaimana kami yang miskin ini harus membalas budi baik anda....?" katanya
dengan mata berkaca-kaca.
Bajing Ireng mengangkat bahu Pak
Kinong agar segera berdiri.
"Sudahlah, Pak! Bapak dan Ibu
tidak perlu berkata seperti itu.
Bersyukurlah kepada Allah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
karena aku hanya sekedar perantara
untuk menyampaikan pertolonganNya!
Berdoalah selalu agar tidak terlalu
lama menghadapi hidup yang miskin dan sengsara seperti ini!"
Kedua orang tua itu perlahan-
lahan berdiri memandang Bajing Ireng dengan mata berbinar-binar karena
terharu mendengar ucapan yang begitu mulia dari seseorang yang begitu
peduli terhadap nasib rakyat kecil
seperti mereka.
Sementara itu Kinong yang duduk
di balai bambu dalam kamar sudah
berhenti menangis. Ia seperti
menyadari bahwa telah datang seorang dewa penolong khusus bagi dirinya.
"Baiklah, Pak! Aku sekarang mohon diri!" pamit Bajing Ireng. Tanpa bicara lagi
langsung berkelebat
menghilang entah kemana ditelan oleh kegelapan malam.
Kedua suami istri itu hanya
saling pandang seakan-akan tidak
percaya dengan apa yang baru saja
terjadi. "Alhamdulillah... Mak! Kita bisa makan sekarang. Inilah salah satu
Rahmat yang diberikan oleh Tuhan untuk kita!" desah Pak Kinong
sambil mengangkat tangan dan wajah menengadah ke atas merasa bersyukur.
"Mari pak, kita segera menanak
nasi! Kitapun sudah lapar sekali
bukan?" kata Bu Kinong sambil
menggendong si Kinong keluar kamar
menuju dapur. "Ya, Tuhan! Siapakah dewa
penolong tadi ya, Pak" Mungkin ia
seorang Malaikat yang sengaja
diturunkan oleh Tuhan ke bumi untuk
menolong orang-orang miskin seperti
kita ya, Pak!" ujar Bu Kinong sambil cepat-cepat mencuci beras dengan air yang
diambilnya dari dalam gentong di sudut dapur itu. Pak Kinong
menganggukkan kepalanya seraya tak
henti-hentinya mengucapkan kata-kata syukur kepada Tuhan.
Kinong duduk di atas dingklik di
sisi ibunya sambil sebentar-sebentar menyeka ingus dan menghapus air
matanya dengan punggung telapak
tangannya. Sepasang matanya kini
terlihat bundar berbinar-binar penuh harapan.
*** Di suatu senja dari kejauhan
terlihat sebuah rumah yang paling
besar dan bagus di wilayah Kandang
Haur. Atap rumah itu terbuat dari
genteng berwarna coklat, dindingnya
terbuat dari batu bata. Halamannya
ditumbuhi bunga mawar dan tanaman hias lainnya yang tersusun rapi berpagar
tembok. Rumah itu adalah rumah Kepala
Desa, Pak Marta namanya. Sebenarnya ia masih keturunan bangsawan Sunda dengan
nama lengkap Marta Wargasasmita.
Setelah menjadi Kepala Desa Kandang Haur, ia terkenal dengan sebutan Pak Marta.
Beliau tinggal bersama anak
gadisnya, Roijah. Sedangkan istrinya telah lama meninggal ketika Roijah
berumur sepuluh tahun.
Dari dalam rumah itu terdengar
alunan suara Roijah yang sangat merdu melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an.
Suaranya terdengar begitu syahdu
merasuk kalbu bagi siapa saja yang
mendengarnya. Beberapa saat kemudian suara
merdu tersebut berhenti. Roijah
selesai mengaji. Setelah menutup kitab suci Al Qur'an di atas lekarnya, ia
lalu menggeser duduknya menghadap
ayahnya yang sedang istirahat duduk di atas sebuah kursi goyang sambil
menghisap cerutu.
"Ayah, kudengar tadi malam gudang beras milik tuan Van Eisen kemalingan lagi,
Ayah....!" tanya Roijah memecah keheningan senja selepas waktu
maghrib. "Ya!" jawab Pak Marto singkat sambil menghembuskan asap cerutunya
kuat-kuat. "Tetapi jangan kuatir! Mulai
malam ini tuan tanah Van Eisen akan
menyewa jago-jago bayaran untuk
menangkap si pencuri yang berani
kurang ajar tersebut!" dengus Pak Marta si Kepala Desa.
"Kalau aku menjadi kepala desa, aku akan menyewa jago-jago bayaran
untuk melindungi pencuri itu!" tiba-tiba Roijah menyeletuk.
Bagaikan mendengar petir di siang
hari, seketika Pak Marta meloncat dari tempat duduknya.
"Hah! Apa katamu, Roijah" Coba
katakan sekali lagi!" teriak Pak Marta menahan marah.
"Ya, Ayah! Aku akan melindungi
pencuri itu!" jawab Roijah sekali lagi dengan nada menantang. Ia berbicara
seolah-olah bukan dengan ayahnya.
Roijah berjalan menuju jendela
melempar pandangannya keluar. Diam
sesaat dan membalikkan tubuhnya
kembali menghadap ayahnya.
"Coba saja pikir...! Ayah
diperbudak oleh penjajah hanya untuk memeras bangsa sendiri. Rakyat
menderita dan kelaparan akibat
perbuatan ayah secara tidak
langsung!!" kata Roijah mengecam ayahnya sendiri sehingga membuat Pak Marta
mendidih darahnya menahan amarah yang tak terbendung lagi.


Jaka Sembung 1 Bajing Ireng Maling Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heh! Roijah! siapa yang
mengajari kau berkata begitu terhadap orang tua mu, hah!!" bentak Pak Marta
menggelegar. Roijah menggigit bibirnya
tertunduk diam.
Melihat anaknya tak menjawab
pertanyaannya Pak Marta tak kuasa
menahan amarahnya.
"Siapa yang mengajari kau" Siapa!
Akan kupecahkan batok kepalanya! Siapa dia" Jawab!!" tanya Pak Marta semakin
geram dan penasaran.
"Tak seorangpun mengajari aku,
Ayah! Aku melihat dengan mata kepala sendiri. Mereka yang terus menerus
memeras keringat tetapi hidupnya
menderita! Sedangkan mereka yang
kerjanya menjilat penjajah hidupnya
mewah uncang-uncang kaki tanpa merasa bersalah!" sahut Roijah tenang.
"Kau berani mengatakan ayahmu
sendiri sebagai penjilat, hah"! Kau
anak perempuan tahu apa! Urus saja
dapur! Kau tak perlu tahu urusan orang tua mengerti?" bentak Pak Marta.
Perkataan ayahnya bukan membuat
Roijah takut, justru sebaliknya ia
semakin berani menyangkal segala
perkataan ayahnya.
"Ayah merendahkan derajat kaum
wanita! Justru ayah seharusnya
menghargai perasaan wanita yang dapat merasakan penderitaan dan kesengsaraan
bangsanya yang dijajah!" Roijah menarik napas panjang. Sementara Pak Marta
bersungut-sungut mendengarkan.
"Mengapa perasaan itu tidak
timbul dari hati seorang pemimpin
seperti ayah" Ayah bisa saja menyusun kekuatan untuk melakukan pemberontakan
kepada tuan-tuan tanah kalau ayah mau!
Ayah adalah seorang yang paling
berkuasa di desa ini. Ayah kan seorang kepala desa!!" seru Roijah menyakinkan
ayahnya. Merasa dipojokkan oleh anaknya
sendiri, Pak Marta tak kuasa lagi
menahan amarahnya yang memang sejak tadi ditahannya.
"Diaaaamm!! Kau anak tak tahu
diuntung! Berani benar kau nasehati
ayahmu, he" Kutampar kau nanti!!"
bentak Pak Marta dengan tatapan nanar dan napas mendengus, serta terdengar
gemertaknya gigi.
Roijah meninggalkan ayahnya dan
ia segera berlari masuk ke kamarnya
langsung menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur dan menangis. Hanya itu yang
dapat dilakukan oleh seorang anak perempuan, walaupun terhadap ayahnya sendiri.
Sementara itu Pak Marta duduk
menghisap cerutunya dalam-dalam sambil pikiran menembus masa lalu pada saat
istrinya masih hidup. Kalau saja
ibunya Roijah masih ada, tentu saja
Roijah tidak menjadi anak pembangkang seperti sekarang ini. Mungkin jadi
seorang anak yang penurut.
Sayup-sayup terdengar suara adzan
berkumandang. Roijah segera bangkit dan
menghapus air mata yang membasahi
pipinya. Kemudian berjalan ke sumur
untuk mengambil air wudhu melakukan
sholat Isya. Selesai sholat Roijah memanjatkan
doa. "Ya Allah! Berikanlah hambaMu
kekuatan untuk menghadapi cobaanMu, ya Allah! Berikan keinsyafan pada ayahku,
Sadarkanlah dia dari kekeliruannya...!
Ya Allah! Lindungi bangsaku!
Lepaskanlah bangsaku dari cengkeraman penjajah! Amiiin......."
Tanpa terasa air matanya kembali
menetes membasahi kedua pipinya.
Selesai melakukan sholat, Roijah
bergegas ke dapur. Ia harus menyiapkan makan malam untuk ayahnya.
*** Malam kembali menyelubungi desa
Kandang Haur. Bulan di langit semakin lerang menyebarkan cahayanya ke
seluruh marcapada. Namun suasana sunyi dan mencekap menyelimuti desa tersebut.
Demikian pula suasana di
sekitar gudang penggilingan beras
milik tuan tanah Van Eisen.
Tapi di balik kegelapan malam,
berdiri sosok-sosok tubuh yang kekar dan bertampang seram di setiap tempat-
tempat tertentu di desa itu, terutama di sekitar gudang penggilingan beras milik
tuan tanah Van Eisen.
Menjelang tengah malam, keluarlah
sesosok tubuh serba hitam menyelinap di balik pohon yang rimbun sambil
mengamati daerah sekitar gudang
penggilingan beras itu. Langkah-
langkahnya tidak menimbulkan bunyi
sedikitpun. Sosok tubuh itu lalu
berjalan ke balik gudang penggilingan beras tersebut.
Sementara para penjaga berusaha
menghalau dinginnya malam dengan
kegiatan masing-masing, tanpa
sepengetahuan mereka sosok tubuh hitam itu sudah tegak berdiri di belakang
salah satu penjaga yang sedang
menikmati sebatang rokok sambil
melamun. Dengan satu pukulan keras
orang tersebut melenguh sekejap,
kemudian tubuhnya melorot jatuh untuk tidak bangun lagi. Dari mulutnya
keluar darah kental tanda ia mengalami luka dalam cukup parah akibat pukulan
dari seorang yang benar-benar berilmu tinggi.
Melihat temannya roboh diserang
oleh orang tak dikenal, yang lainnya segera berlari mengepung. Masing-masing
mencabut golok dan sosok tubuh serba hitam itu kini dikelilingi oleh tidak
kurang dari sepuluh orang jago-jago bayaran.
"Heiitt! Ladalah! Rupanya kau
maling keparat yang sering mencuri
beras dari gudang ini!" teriak salah satu penjaga gudang dengan lantang
sambil memutar-mutarkan goloknya.
"Hi hi hi! Kalian semua hanya
manusia-manusia kerbau yang cuma bisa membela perut sendiri saja!"
Suara mengejek itu sangat merdu
namun menyakitkan telinga bagi mereka yang mendengarkannya.
Merasa dihina, mereka segera
mengepung membentuk lingkaran yang
ketat mengelilingi sang maling selama ini berani menguras gudang milik tuan
besar mereka. "Ayo, maju satu persatu biar aku tebas batang leher kalian! Aku Bajing Ireng
tidak segan-segan menyingkirkan siapa saja yang menjadi budak Kompeni Belanda!!"
seru Bajing Ireng siap memasang kuda-kudanya.
Tetapi tak satupun dari mereka
yang berani menyerang. Masing-masing hanya berdiri pasang kuda-kuda.
Sementara Bajing Ireng tak merasa
gentar sedikitpun walau menghadapi
pengepung yang semakin bertambah
jumlahnya. "Inikah jagoan-jagoan termashur yang selalu dibanggakan oleh tuan
tanah bule itu" Tahukah kalian bahwa sesungguhnya kalian adalah manusia-manusia
yang bisa dibeli dengan
gulden! Manusia-manusia yang kecanduan roti dan keju! Aku malu melihat
bangsaku sendiri yang diperalat oleh penjajah begitu tega hidup enak di
atas penderitaan serta kemiskinan
bangsanya sendiri! Sebenarnya aku muak berkelahi dengan kalian!!" katanya sambil
berkacak pinggang. "Tapi apa boleh buat! Aku tak sudi melihat
penderitaan rakyat kecil yang
tertindas!"
Jago-jago sewaan masih terpana
memandang Bajing Ireng tanpa mulai
membuka serangan.
"Kalian lihat! Bangsa siapakah
yang dijajah ini" Bangsa siapakah yang menderita ini" Aku, Bajing Ireng akan
memberi pelajaran sedikit kepada
kalian." seru Bajing Ireng sambil matanya tajam mengawasi para begundal yang
mengelilinginya dengan posisi
siap siaga. "Kalian manusia-manusia! Tidak
lebih berharga dari seekor lalat!
Siapa yang menjadi tuanmu, haa! Orang asing bukan...." Dan kalian yang
memusuhi adalah aku, bangsamu sendiri!
Berkulit sawo matang dan berambut
hitam seperti kalian juga!!" Kata Bajing Ireng menyadarkan para penjaga itu.
"Jika masih sayang nyawa dan
sayang anak istri, minggirlah kalian!
Ini peringatan dariku!" ancam Bajing Ireng siap menyerang.
Tetapi tiba-tiba salah seorang
dari mereka memberi isyarat kepada
teman-temannya agar mulai menyerang
Bajing Ireng secara serentak. Mereka mulai mendesak. Tapi Bajing Ireng
langsung saja menendang dengan satu
gerakan yang memutar dan cepat sekali tanpa bisa mereka hindari. Begitu
cepat dan beruntun.
Tendangan itu mengenai dada para
pengepungnya. Mereka langsung roboh
hanya dengan satu gebrakan saja.
"Rupanya kalian menganggap remeh peringatanku! Ayo, siapa lagi yang
berani mati, majulah!" teriak Bajing Ireng siap dengan jurusnya. Tangan
kanan menyilang di dada dan tangan
kirinya di atas kepala. Sebuah jurus yang sama sekali baru mereka lihat.
Melihat lawan-lawannya tidak
memberikan reaksi lagi Bajing Ireng
segera menurunkan tangannya kembali ke posisi semula dan berdiri tegak,
setelah menarik kuda-kudanya. Para
penjaga gudang dan jago-jago bayaran itu hanya berdiri diam memegangi
dadanya masing-masing sambil meringis menahan sakit dan dari sela bibir
mereka mengalir darah hitam, darah
luka dalam. "Ingat! Jangan coba-coba
menghalangiku lagi, kalau kalian masih ingin melihat sinar matahari esok
pagi! Selamat malam dan sampai jumpa lagi...!" seru Bajing Ireng sambil membuat
satu gerakan salto ke belakang dan disusul dengan sebuah loncatan ke atap
bangunan gudang beras yang cukup tinggi itu dengan mudahnya.
Bajing Ireng meloncat hilang ke
balik semak-semak dan hilang di
kegelapan malam. Para penjaga itu
hanya bisa saling pandang merasa heran dan kagum.
Keesokan harinya Pak Marta
bersungut-sungut karena para jago-jago desanya gagal menangkap si pencuri
yang telah diketahui menamakan dirinya Bajing Ireng.
"Hm, pantas! Pencurinya seorang jago silat yang luar biasa! Buktinya ia dapat
menghajar beberapa orang
sekaligus!" kata Pak Marta kepada anaknya Roijah yang sedang menjahit
kebaya baru pemberiannya sebagai tanda penyesalannya kemarin. Begitu caranya ia
meminta maaf pada anaknya.
Pak Marto bangkit dari tempat
duduknya. "Bayangkan, sekali gebrak tiga
orang roboh dan muntah darah tanpa
ampun!!" seru Pak Marta sambil
berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumahnya yang cukup luas.
Roijah hanya tersenyum melihat
ayahnya menggerutu terus-menerus.
"Tadi pagi Tuan Leonard Van
Eiser" memanggilku! Katanya, jika aku tidak sanggup menyingkirkan pencuri
itu, maka tuan Leonard Van Eisen akan membuat laporan langsung ke Residen
Cirebon!" gumam Pak Marta merasa kesal. Tanpa disadarinya, rokok cerutu yang
dipegangnya remuk diremasnya.
"Dan tahukah kau?" tanya Pak Marta pada Roijah yang sedang sibuk
memasukkan benang ke lubang jarum.
"Ini berarti jabatanku sebagai
kepala desa akan dicopot!!"
Roijah acuh tak acuh menanggapi
ayahnya yang takut kehilangan jabatan, dan masa depannya. Ia bangkit
meninggalkan jahitannya untuk membuat segelas teh tubruk kegemaran ayahnya.
Mudah-mudahan setelah mereguk teh itu, amarah ayahnya agak menurun dan tidak
uring-uringan terus-menerus.
"Kenapa ayah begitu takut! Tidak jadi kepala desapun kita masih bisa
hidup! Kita tidak usah diperbudak oleh bangsa Belanda!" kata Roijah menutup
gelas besar setelah mengaduk teh di
dalamnya dengan tutup gelas.
"Hidup yang bagaimana" Aku tidak mau makan singkong dan ikan asin! Aku ingin
hidup layak, punya pendapatan
besar dan menjadi orang
terhormat....!" ucap Pak Marta dengan penuh keyakinan.
"Tak ada bangsa yang dapat hidup layak selama bangsa itu sendiri masih
dijajah!!" jawab Roijah dengan nada sedikit ketus.
Roijah berhenti menjahit karena
ujung jarinya tertusuk jarum.
"Karena takut menghadapi hidup
ini, ayah hanya menggantungkan hidup di bawah telapak kaki penjajah
Belanda. Bila penjajah sudah tidak
lagi membutuhkan ayah lagi, maka ayah pasti akan dicampakkan begitu saja
seperti orang yang membuang kulit
pisang ke dalam tong sampah!!" sindir Roijah sambil mengulum jari
telunjuknya yang berdarah.
Pak Marto mendengar ocehan anak-
nya yang sudah melanggar batas, mem-
buat darahnya bergejolak sampai ke
ubun-ubun. Ia tak kuasa lagi
menahannya, sehingga napasnya
terdengar bagai dengusan hewan liar
yang siap mencabik-cabik mangsanya.
"Diaaaamm!! Anak setan! Lagi-lagi kau mau mengajari aku! Aku tidak perlu
dinasehati. Aku ini ayahmu,
mengerti"!" teriak Pak Marta seolah kesetanan. Kedua tangannya mengepal
keras dan ia memukul meja yang berada di hadapannya, tanpa menghiraukan
bahwa meja marmer itu terlalu tebal
dan keras dibanding dengan kepalan
tangannya.

Jaka Sembung 1 Bajing Ireng Maling Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau berkata sembarangan! Kalau ketahuan mata-mata Belanda bisa-bisa kamu
dianggap pemberontak!! Dan kau
tahu apa hukuman
bagi seorang pemberontak, ha" Ditembak mati!!
Penjajah tidak mau tahu terhadap
siapapun! juga terhadap anak kepala
desa sekalipun, mengerti!!" bentak Pak Marta seraya menghampiri Roijah dengan
tatapan mata yang nanar.
"Itulah kematian yang paling
mulia, ayah! Kita akan mati sebagai
pahlawan bangsa! Kita akan dikenang
oleh seluruh masyarakat! Bahkan bukan saja mulia dihadapan masyarakat,
tetapi dihadapan Tuhan. Kita mati
syahid, karena menegakkan kebenaran
dan keadilan sesuai dengan ajaran
agama kita!!" sahut Roijah tenang dan mantap seolah-olah tak sedikitpun ia
merasa takut kepada ayahnya.
"Tutup mulutmu!! Ayo masuk ke
kamarmu dan jangan keluar-keluar
lagi...! Awas kalan berani keluar lagi akan kuhajar! Kau hanya membuat
pikiranku jadi bertambah ruwet saja, bukannya berusaha meringankan beban
orang tuamu!" hardik Pak Marta. Lalu menendang pintu kamar Roijah sampai
pintu tersebut terbuka lebar.
"Maafkan aku, ayah! Sebetulnya
aku tidak bermaksud menyakiti perasaan ayah!" kata Roijah sambil berusaha
menghindari tatapan mata ayahnya dengan menundukkan wajahnya. Roijah
berusaha juga sebagai anak yang
berbakti kepada orang tua, maka Roijah meninggalkan ayahnya menuju kamarnya.
Pak Marta hanya menarik napas
panjang, karena ia sebenarnya sangat sayang pada Roijah buah hati satu-satunya.
* * * Suatu hari di alun-alun pasar
terpancang papan pengumuman yang dapat dilihat oleh setiap orang yang lewat.
Ditulis dalam huruf Arab
berbahasa Sunda-Jawa. Pengumuman itu bersifat sayembara yang dipasang atas
perintah tuan tanah Leonard Van Eisen.
Leonard Van Eisen melebarkan
sayapnya ke daerah-daerah seluruh
kawasan Karesidenan Cirebon bagian
utara. Hal ini dimungkinkan karena
prestasinya yang tinggi dalam membantu terlaksananya kehendak pemerintah
Kompeni Belanda di daerah pantai utara Pulau Jawa bagian barat.
Di antara kerumunan orang-orang
yang membaca pengumuman tersebut,
terlihatlah seseorang bertubuh pendek dan gemuk berjalan menuju papan
pengumuman. Matanya sipit dengan alis
tebal seperti semut yang menumpuk.
Kepalanya botak. Ia mengenakan pakaian serba kuning. Lelaki itu berjalan
menyeruak kerumunan orang untuk
melihat dari dekat papan pengumuman.
Setelah membaca alisnya terangkat ke atas sambil meludah.
"Akan kutangkap Bajing Ireng
hidup-hidup!" desisnya.
Lalu ia membalikan tubuhnya dan
mendadak bertabrakan dengan seorang
ibu yang menggendong sebuah bakul. Si botak menatap ibu itu dengan mata begis
sehingga si ibu ketakutan.
Segera si botak berjalan menuju
kediaman tuan tanah Leonard Van Eisen.
Sambil membenahi isi bakul yang
tercecer, ibu itu melihat papan
pengumuman dan coba memahami apa yang tertulis disana. Tapi ia sadar bahwa
dirinya buta huruf dan mau tak mau ia harus bertanya kepada orang lain yang
berada di sekitar papan pengumuman
itu. Di wajahnya terlihat kecemasan
setelah mengetahui isi pengumuman itu.
Ia lalu pulang ke tempat tinggalnya
dengan langkah tergesa-gesa agar cepat sampai dan memberitahukan kabar ini
kepada suaminya.
Ibu tersebut tak lain adalah Bu
Kinong. Setelah sampai ia menaruh bakul
di atas balai-balai. Suaminya, Pak
Kinong, sedang duduk melepas lelah
sehabis membabat rumput liar di
teritisan rumah.
"Pak, di pasar orang-orang ribut membaca pengumuman yang dipasang oleh tuan
tanah Van Eisen. Katanya barang siapa yang dapat menangkap maling tersebut akan
mendapat hadiah yang
besar!" kata Bu Kinong sambil
mengambil kue serabi kesukaan suaminya dari dalam bakul.
"Maling apa ya, Pak" Katanya
maling yang setiap saat selalu mencuri beras dari gudang penggilingan. Apakah
orang yang memberi beras pada kita
malam-malam tempo hari ya, pak?"
sambung Bu Kinong sambil menghampiri si Kinong yang baru saja terbangun
dari tidurnya di kamar karena balai-
balai tempat tidurnya sudah banjir
oleh ompolnya sendiri.
Kemudian ia menggendong si Kinong
untuk membersihkan tubuh si Kinong dan sekalian mengganti otonya yang basah
kuyup. Suaminya hanya diam saja.
"Bu makan, Kinong lapaaal!"
teriak si Kinong membetot-betot baju ibunya.
"Tapi dia telah menolong kita,"
Di saat itu jauh segala kegiatan
dan berbagai keluh kesah yang terjadi di desa Kandang Haur, terlihatlah dua
bayangan berkelebat di udara dengan
ringannya di atas pasir pantai Eretan yang seperti perak. Tampak dua orang yang
sedang bertarung. Suara deburan ombak yang menghantam karang disertai lengking
burung-burung camar tak
mengusik konsentrasi kedua orang
tersebut. "Hiaaaaaat!!" dengan jurus-jurus yang luar biasa, pemuda tegap itu
menghindari setiap serangan yang
ditujukan kepadanya. Beberapa kali ia melakukan gerakan salto di udara dan
meliuk-liuk seperti seekor burung
elang yang menyambar-nyambar ke bawah mematuk mengsanya.
Sementara lawannya adalah kakek
bertelanjang dada dengan rambut yang kumel dan janggut panjang berwarna
putih, dengan gencar menyerang
muridnya yang meliuk-liuk di udara.
Mereka sebenarnya
sedang melakukan
latihan, tetapi dengan sungguh-sungguh seperti dua orang musuh yang sedang
bertarung mati-matian.
Tiba-tiba si kakek menghentikan
serangannya. "Ha ha ha! Kau hampir
mengalahkanku dalam dua puluh lima
jurus! Cukuplah latihan kita kali ini, muridku! Akhir-akhir ini kau semakin maju
pesat." kata sang guru yang bernama Ki Sapu Angin.
Pemuda itu bernama Parmin yang
kemudian menurunkan tangannya kembali tegak berdiri memandang gurunya dengan
penuh rasa hormat dan cinta kepada
gurunya seperti terhadap orang tuanya sendiri.
"Kini kau telah menguasai semua jurus-jurus silat GUNUNG SEMBUNG
dengan sempurna! Ilmu ini belum ada
tandingannya untuk seluruh cabang
pencak silat manapun di daerah
Pasundan!" kata Ki Sapu Angin kepada Parmin yang tegap dan tampan sambil
menepuk-nepuk pundak murid tunggalnya itu.
"Ilmu silat GUNUNG SEMBUNG dahulu hanya dimiliki oleh para wali dan para kyai
untuk menghadapi segala kekerasan dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa
ini, anakku!"
Parmin mendengarkan segala
wejangan dari ilmu yang disampaikan
gurunya dengan penuh perhatian.
Sejak lepas susu ibunya, Parmin
sudah diminta Ki Sapu Angin untuk
menjadi murid tunggalnya dan tinggal bersamanya di pantai Eretan.
Maka tibalah saat yang telah lama
dinantikan sampai hari ini.
"Kurasa sudah cukup bekal ilmu
yang kuturunkan untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan di negeri ini.
Semua ilmu yang kumiliki sudah
kuwariskan kepadamu. Kau tak perlu
lagi merasa kuatir dalam menghadapi
musuh-musuhmu yang tangguh sekalipun, kau pasti menang! Asal kau lakukan
dengan tenang dan pasrah kepada Tuhan, karena ridho Ilahi adalah di atas
segalanya bagi kita, anakku." lanjut gurunya dengan yakin.
Lalu ia mengalihkan pandangannya
ke laut lepas. "Sayang aku sudah tua, tenagaku sudah mulai melemah walaupun
semangatku untuk menegakkan kebenaran dan keadilan masih menyala-nyala!"
keluh gurunya sambil membalikan
tubuhnya memandang muridnya. Kemudian ia memegang pundak muridnya dan
menatap penuh harap.
"Nah, sekarang pergilah!
Bergabunglah dengan pendekar-pendekar dari selatan. Nasib bangsamu terletak di
tangan pemuda-pemuda seperti kau!
Doaku menyertaimu, Parmin! Jangan
segan-segan kau meringankan tangan
untuk menolong sesamamu yang sedang
menderita kesusahan. Dan sampaikan
salamku untuk kawan-kawan
seperjuanganku. Biarlah aku
menghabiskan sisa hidupku dengan jala, kail, dan dayung. Pantai Eretan adalah
tempat yang cocok bagi pengembaraanku yang terakhir!" perintah gurunya dengan
air mata berkaca-kaca dan
menetes membasahi pipinya yang penuh dengan keriput di usianya yang telah senja.
Sementara itu Parmin mendengarkan
segala petuah yang disampaikan Ki Sapu Angin dengan rasa haru. Tiba-tiba Parmin
melorot tanpa tenaga ke bawah
bertekuk lutut di hadapan gurunya yang sangat ia sayangi untuk mohon doa
restu. "Kek! Aku akan selalu ingat akan petuah kakek. Aku akan menegakkan
kebenaran dan keadilan di negeri ini.
Selama dibumi ini masih merajalela
segala kejahatan, aku tidak tinggal
diam!" janji muridnya pada sang guru.
"Aku mohon diri sekarang, kek!"
hampir-hampir ia tak sanggup menahan rasa haru.
Kemudian ia berjalan meninggalkan
gurunya dengan mata yang masih
berkaca-kaca. Betapa tidak, karena
harus menghadapi perpisahan setelah
lebih dari lima belas tahun mereka
hidup bersama dalam suka dan duka
sebagai dua orang murid dan guru di tempat yang sunyi terpencil itu.
Parmin terus berjalan menyelusuri
pantai sampai tidak terlihat lagi oleh mata Ki Sapu Angin.
"Semoga Tuhan selalu menyertaimu, nak!" desahnya lirih.
Malam itu terjadi ribu-ribut di
luar rumah Pak Marta. Rupanya para
jago di desa itu bersama-sama
mendatangi rumah Pak Marta dan dengan tak sabar mereka menggedor-gedor
pintu. Sepertinya ada keperluan yang teramat penting untuk dibicarakan.
"Pak Marta! Pak Marta! Buka pintu sebentar, cepat! Pak Marta!" teriak para jago
tersebut. Pintu segera terbuka. Tampak
wajah Pak Marta geram karena terganggu tidur nyenyaknya dengan kedatangan
orang-orang yang tak tahu waktu.
"Ada apa ini" Kalian tak tahu
diri, malam-malam begini mengganggu
orang tidur. Ada apa?" teriak Pak Marta melototkan matanya.
"Maaf, Pak Marta!" sahut para jago merendah.
"Malam ini kami mengintai maling yang selalu mencuri beras di gudang
penggilingan, salah seorang jago
berilmu tinggi berhasil menguntit
maling itu. Tiba-tiba maling itu masuk ke dalam rumah Pak Marta dan tidak
keluar lagi sampai saat ini!"
Mendengar pernjelasan dari para
jago desa, Pak Marta kaget bukan main.
"Hah, apa katamu! Maling itu
masuk kemari?" pekik Pak Marta seolah tak percaya.
"He, jangan-jangan dia datang
ingin merampok hartaku! Bangsat....
maling itu!!" umpat Pak Marta sambil mengepalkan tangannya.
"Oleh karena itu kami ingin
menggeledah seluruh isi rumah ini,
barangkali maling itu masih berada
dalam rumah ini!" seru seorang jago desa yang bertampang seram itu
mewakili teman-temannya.
Tak ayal lagi Pak Marta
mengijinkan para jago itu untuk
menggeledah rumahnya. Mereka masuk
sambil tetap siaga menghadapi segala kemungkinan yang terjadi sambil
memeriksa setiap sudut rumah Pak
Marta. Mereka bertindak dengan teliti, sampai-sampai dapur dan sumur serta
jamban di belakang rumah tak terlewat begitu saja.
Sementara para jago sibuk
memeriksa, Pak Marta menuju pintu
kamar Roijah. "Roijah! Roijah! Bangunlah
sebentar, buka pintunya," teriak ayahnya dari luar.
Dan pintu kamar terbuka.
Tampak Roijah keluar sambil
mengucek-ucek matanya dan menguap berusaha menahan rasa kantuk.
"Apakah ada orang yang masuk ke dalam kamarmu, tadi" Maling itu masuk kemari
kata mereka!" kata ayahnya merasa cemas. Ia takut, khawatir
maling itu akan melukai anak
tunggalnya. "Entahlah! Aku tidur nyenyak
sekali sampai ayah mengetok pintu dan aku terkejut. Oh ya" Apakah maling itu
memang benar-benar kemari" Ah, jika
demikian aku mau saja menjadi


Jaka Sembung 1 Bajing Ireng Maling Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

istrinya. Dan jika ternyata ia seorang perempuan aku akan menjadikan dia
sebagai saudaraku!" sahut Roijah dengan senyum menantang sambil
membetulkan rambutnya yang tergerai
menunggu reaksi ayahnya.
Seketika Pak Marta kalap
mendengar Roijah berkata seperti itu terhadapnya apalagi di depan para jago desa
yang sudah berkumpul di depan
kamar anaknya. "Diam! Diam kau!!'" bentak Pak Marta sambil berjalan menuju ruang
tamu. Lalu Pak Marta menghampiri para
jago desa yang sudah duduk-duduk di
kursi tamu. Ada beberapa orang di
antaranya sedang menikmati rokok
kelobot dan sigaret. Salah seorang
dari mereka memberi laporan.
"Semua ruangan sudah kami
periksa! Tetapi maling itu tidak
diketemukan! Nah, selamat malam Pak
Marta. Maafkan kami yang terpaksa
mengganggu istirahat bapak tadi!" kata mereka sambil beranjak satu persatu
keluar rumah. "Oh, tak apa-apa! Bukankah kita harus selalu waspada menjaga
lingkungan kita dari segala kerusuhan-kerusuhan yang akan terjadi!" tukas Pak
Marta mengantarkan para jago desa itu sampai ke depan pintu.
"Baiklah, pak kami mohon diri
untuk berjaga-jaga kembali!" kata mereka langsung berjalan meninggalkan rumah
Pak Marta. Pak Marta menutup pintu rumahnya
dengan wajah lesu dan dalam benaknya menyimpan tanda tanya besar. Kemana
perginya maling tersebut" Apa mungkin ia lenyap begitu saja seperti ditelan
lantai kamar rumahnya ini" Rasa-rasanya tak masuk akal!
Keesokan harinya matahari
bersinar cerah menerangi kaki langit sebelah timur yang ditingkahi kokok
ayam dan cicit burung diatas dahan.
Dari kejauhan seseorang berjalan
dengan tenangnya melintasi desa. Orang itu memakai tudung kepala dari anyaman
bambu berbentuk caping sehingga
sebagian wajahnya tertutup. Kain
sarung menyilang di dadanya. Ia
berjalan menelusuri pematang sawah
menikmati cerahnya pagi hari itu
dengan nikmat. Seorang petani sedang mencangkul sawahnya berhenti sesaat
memandang orang tersebut. Ia
memastikan adanya kehadiran seorang
pendatang baru yang lewat di
kampungnya. Tiba-tiba ia terkejut.
"Heh"! Orang itu mengherankan sekali! Dia seenaknya saja berjalan di atas
pematang sawah yang basah baru
kubikin, tapi... dia tidak
meninggalkan jejak kakinya barang
sedikitpun di atasnya, seakan-akan dia sedang terbang! Mungkin dia seorang
jago silat yang sengaja datang dari
jauh untuk mengikuti sayembara yang
dibuat tuan tanah Van Eisen untuk
menangkap maling itu!" pikir petani itu dengan wajah keheranan sambil
menyeka keringat yang mengalir di
keningnya. Ia seperti tak percaya
dengan apa yang sedang disaksikannya dengan mata kepalanya sendiri.
Pendatang itu kemudian berhenti
di depan sebuah papan yang tertancap di atas pematang sawah. Dia
memperhatikan papan tersebut sambil
berkacak pinggang dan membaca tulisan dengan huruf-huruf latin yang tertera di
situ. "Tanah ini milik Van Eisen..."
katanya sinis. "Van Eisen" Mengapa bukan milik si Salim atau si Tarjo..." Tahukah kau he" Bahwa
aku akan mengusirmu dari
bumi nusantara ini!!" desis pendatang baru bertudung caping itu seraya
mencabut goloknya yang terselip
dipinggangnya. "Van Eisen! Terimalah kehancuran secara simbolik dariku!! Dari Bangsa
nusantara!" dengusnya. "Hiyaaaaaaat!!
teriaknya sambil mengayunkan goloknya secepat kilat membabat papan tersebut
berulang kali. Tetapi papan itu
terlihat masih tetap saja berdiri
tegak menancap di atas pematang sawah tak bergeming. Apa karena golok yang
diayunkan hanya menebas udara" Atau
goloknya yang tumpul"
Tiba-tiba angin bertiup kencang
dan menerpa papan bertonggak itu.
Pemuda dengan tudung coping itu
menyabetkan goloknya berulang-ulang
pada papan nama yang terpancang di
pematang sawah itu. Dan apa yang
terjadi benar-benar diluar dugaan.
Papan pengumuman itu roboh menjadi
tiga bagian. "Itulah hari depanmu!" kata si pendekar caping berdiri tegak
menyaksikan papan tersebut roboh dan terkapar dipematang sawah.
Sementara itu petani yang sejak
tadi melihat apa yang dilakukan
pendatang aneh itu sekali lagi ia
dibuat terperangah heran.
"Oh! Masya Allah! Kayu pancang
itu semula masih tegak berdiri tapi
tak tahunya kayu itu sudah terpotong tiga dan baru roboh setelah tertiup
angin. Begitu tinggi ilmu tenaga dalam mengiringi sabetan golok yang dimiliki
pendatang itu!!" desisnya kagum.
"Kau harus enyah dari bumi
kami!!" geram orang itu sambil menatap papan pancang yang sudah bertebaran
tak berdiri angkuh lagi.
Kemudian dengan satu sentakan ia
menendang papan yang bertuliskan nama Van Eisen itu ke hadapan si petani
yang sedang mencangkul. Si petani
hanya bisa melongo keheranan dan sama sekali tak mengerti apa arti
kehancuran simbolik yang diucapkan
oleh orang itu.
"Kau bukan bangsa tempe yang mau memeras keringat untuk kesenangan dan kekayaan
penjajah semata-mata, bukan"
Ayo injak papan itu demi kehormatan
bangsa nusantara!!" perintahnya pada petani itu.
Setelah menyaksikan si petani
menginjak papan itu atas perintahnya kemudian ia kembali meneruskan
perjalanannya. Sedangkan si petani
hanya memandang orang itu dengan
pandangan heran dan ia sama sekali tak tahu kalau pendatang bertudung caping itu
tidak lain adalah Parmin murid
tunggal Ki Sapu Angin yang kini dalam perjalanan sudah sampai di daerah
Kandang Haur. * * * Pemuda dengan tudung caping itu
menyabetkan goloknya berulang-ulang pada papan nama yang terpancang di pematang
sawah itu Saat itu di rumah Leonard Van
Eisen terlihat orang berkepala botak berbaju kuning yang beberapa hari
berselang membaca papan pengumuman
sayembara yang dipasang di pasar,
bertemu langsung dengan tuan Van
Eisen. Ternyata ia mendaftarkan diri untuk ikut membekuk maling yang
dikenal dengan julukan Bajing Ireng.
Si Botak memperkenalkan diri dengan
nama Beruang Kuning Dari Gurun Gobi, minta bayaran yang sangat tinggi pada tuan
Van Eisen. "Kami sanggup memenuhi permintaan anda, asalkan anda dapat menangkap maling itu
dalam keadaan mati atau
hidup..!" "Tuan akan melihat sendiri
hasilnya nanti malam! Aku akan
menangkap maling itu hidup-hidup!"
jawab si Beruang Kuning dengan pasti.
"Bagus! Saudara harus membuktikan janji anda untuk menangkap maling itu ludup-
hidup. Kalau janji anda meleset, maka anda akan tahu sendiri
akibatnya!! Sekarang mari kita rayakan pertemuan mi dengan minum anggur,
ayo...!" seru Van Eisen sambil
menyodorkan gelas kepada Beruang
Kuning. Beruang Kuning menerima gelas
yang disodorkan padanya. Tanpa ragu
lagi ia menenggak habis isi gelas itu.
Demikian juga dengan Leonard Van
Eisen. Malam harinya seperti biasa di
saat orang telah tidur dengan lelap.
Sesosok tubuh serba hitam melompat-
lompat dan mengendap-endap seperti
seekor Bajing di atas atap-atap rumah penduduk. Dia tak lain adalah Bajing Ireng
sang maling budiman penolong
rakyat miskin. Tiba-tiba sesosok bayangan lain
berkelebat cepat ke atas atap salah
satu rumah dan berdiri menghadang
Bajing Ireng. Gerakan orang tersebut yang ternyata adalah Beruang Kuning
dari Gurun Gobi, itu sukar diikuti
dengan mata biasa. Bajing Ireng agak gentar menghadapi lawannya kali ini.
Beruang Kuning tertawa terbahak-bahak.
Suaranya mengandung tenaga dalam yang hebat sehingga membuat telinga menjadi
pekak bagi siapa saja yang
mendengarnya. Apa lagi bagi orang yang ilmu tenaga dalamnya masih rendah maka
telinganya bisa menjadi tuli.
Bajing Ireng menggerakan ilmu
pernapasan dan tenaga dalamnya untuk menghalau suara yang dilancarkan
pendekar berkepala botak tersebut.
"Ha ha ha ha ha ha ha!! Pantas
malingnya begitu lihai dan hebat.
Tentu saja tak tertandingi oleh jago-jago pribumi disini! Ternyata julukan
Bajing Ireng tidak percuma kau
sandang, karena gerakanmu memang mirip seekor bajing. Tetapi lebih baik kau
menyerah saja, manis! Karena malam ini adalah malam terakhir petualanganmu,
maling manis! Aku akan menyerahkan
dirimu pada tuan Van Eisen!" kata Beruang Kuning dengan gaya rayuan yang tengik.
Bajing Ireng menjadi panas
hati mendengar cara lawannya berbicara dan tarikan-tarikan wajahnya yang
begitu nyinyir menyebalkan. Saat itu ia seperti menghadapi seorang dengan wajah
seperti ketimun suri yang sudah lodo karena busuk.
"Bangsat! Siapakah kau, he
bajingan gendut berkepala botak"!
Pulanglah kau kembali ke negeri
asalmu, botak!" hardik Bajing Ireng dengan nada begitu lugas dan ketus.
Emosinya sebagai seorang perempuan
terlihat begitu nyata.
Mendengar hinaan itu, Beruang Ku-
ning dari Gurun Gobi hanya tersenyum.
Senyuman sinis penuh ancaman.
"Dunia persilatan di negeriku
mengenalku dengan julukan Si Dewa Suci Penyebar Bala! Dan di negeri Jawa
Dwipa ini aku bergelar Beruang Kuning dari Gurun Gobi sesuai dengan tempat
asalku di sana!" jawab Beruang Kuning.
"Hi hi hi hi hi hi hi! Hai, Dewa Gundul! Kau datang jauh-jauh dari
tanah leluhurmu hanya untuk membuat
kegaduhan disini. Sesudah itu kau akan mengeruk kekayaan negeri kami untuk
mengisi perut gendutmu yang seperti
gentong air itu! Kau memang benar-
benar bangsat!! Dan kau tak lebih dari sebuah benalu bagi bangsa kami,
Beruang gundul!" kata Bajing Ireng dengan nada mengejek.
Dan hal ini membuat Beruang
Kuning tak dapat lagi menahan
amarahnya. "Hayyaa! Aku tidak membutuhkan
ocehanmu! Uang adalah raja dari segala raja! Manusia dapat dikendalikan
dengan uang! Hidup ini hanya untuk
uang! Hanya manusia bodoh saja yang
tidak mau menggunakan kesempatan emas yang berada di depan mata!" katanya sambil
merentangkan tangannya
membentuk sebuah jurus. Agaknya inilah jurus pembukaan gaya Beruang Kuning.
"Oh, rupanya demikian sifat dari seorang dewa!" sindir lembut Bajing Ireng
sambil membentuk kuda-kuda.
"Aku tidak akan mundur menghadapi manusia tengik macam kau! Majulah
daripada hidup di bawah telapak kaki penjajah lebih baik mati berkalang
tanah! Ayo gundul gendut!!" teriak Bajing Ireng menanti serangan Beruang Kuning.
Tanpa banyak bicara lagi, Beruang
Kuning melancarkan serangan yang
pertama dan merangsak Bajing Ireng.
Jurus-jurus yang dilancarkan Beruang Kuning menderu-deru seperti angin
puyuh. Bajing Ireng mengeluarkan semua ilmu yang dimilikinya dalam menghadapi
serangan dari pendekar asing yang
berilmu tinggi itu. Serangan demi
serangan dilancarkan secara bergantian oleh pendekar itu sehingga udara di
sekitarnya bergetar dan merontokkan
daun-daun kering akibat kehebatan
tenaga dalam masing-masing.
Dengan cengkeraman, Beruang
Kuning segera melancarkan serangan ke arah Bajing Ireng.
Para penjaga gudang penggilingan
beras datang berlari untuk menyaksikan pertarungan itu. Salah seorang dari
mereka menunjuk ke atas dengan
perasaan kagum dan terpesona.
"Lihat! Orang dari negeri
seberang itu bertarung dengan Bajing Ireng di atas sana, lihat!!" teriaknya
kepada teman-temannya.
"Kurasa kedua-duanya bukan orang sembarangan. Mereka memiliki ilmu
meringan tubuh yang tinggi, sehingga dapat bertarung di atas atap rumah
dengan lincah!" decak kagum dari para penjaga gudang beras menyaksikan
kehebatan kedua orang itu.
Pertarungan sengit itu berlangsung cukup lama. Berpuluh-puluh jurus sudah mereka kerahkan tetapi
pertarungan itu masih terlihat
seimbang dan tampaknya pertarungan ini tak mungkin berakhir sampai pagi.


Jaka Sembung 1 Bajing Ireng Maling Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara ayam berkokok tidak menarik
perhatian kedua orang yang sedang bertarung, itu. Beruang Kuning justru
semakin gencar melancarkan serangannya sehingga Bajing Ireng terdesak. Bajing
Ireng merasa dirinya kewalahan, ia
meloncat turun ke bawah diikuti oleh gerak salto Beruang Kuning yang terus
mengejarnya. Pertarungan dilanjutkan di atas tanah yang mulai berembun.
"Hmm, lihatlah Bajing Ireng sudah mulai kelihatan terdesak oleh serangan maut
yang dilancarkan pendekar dari
negeri seberang itu!!" komentar para penjaga gudang terus menyaksikan
pertarungan tersebut dengan rasa ingin tahu yang kian menggebu.
Pertarungan mereka beralih menuju
makam tua, suatu kawasan kuburan yang sudah ditumbuhi semak-belukar.
Suatu kesempatan tiba-tiba
pendekar botak itu melancarkan
serangan dan berhasil mengenai ulu
hati Bajing Ireng.
"Aduh!" Bajing Ireng mengerang kesakitan. Tubuhnya melorot ke bawah tak sanggup
berdiri lagi. Bajing Ireng terkulai lemas dan bersandar pada batu nisan salah
satu makam tua di situ.
Seketika wajah Beruang Kuning
berseri-seri melihat tubuh Bajing
Ireng sudah tergolek tak berdaya dan suara tawanya memecah dinginnya udara pagi
saat itu. "Ha ha ha ha ha ha ! Sekarang kau baru mengakui kehebatanku" Kau tak
dapat bergerak lagi dan semua orang
tentu ingin tahu siapa sebenarnya
Bajing Ireng!" teriak Beruang Kuning alias Dewa Suci Penyebar Bala kepada para
penjaga gudang yang
menghampirinya dengan berbondong-
bondong. "Tahukah kalian" Kalian kan
penduduk desa ini, bukan.." Tentu
dapat mengenali wajah yang tersembunyi di balik cadar hitam ini!" teriak Beruang
Kuning kepada para penjaga
gudang yang berkerumun mengelilingi
Bajing Ireng yang sudah tak dapat
berbuat apa-apa lagi.
"Tahukah kalian, berapa hadiah
yang akan aku terima dari tuan Van
Eisen ha" Lima kali lipat dari hadiah yang dijanjikan dalam sayembara itu!
Bukankah ini suatu keberuntungan yang sangat besar, bukan" Selanjutnya aku akan
hidup uncang-uncang kaki
menikmati hadiah itu!" ujar Beruang Kuning dengan kesombongan yang membuat iri
para jago-jago pribumi bila
mendengarnya. "Nah, cobalah kalian dekat
kemari! Kita akan menyaksikan siapa
sebenarnya maling ini!" kata Beruang Kuning meng-hampiri Bajing Ireng yang
terbujur lemah tanpa daya dan menyerah kepada nasib. Walaupun dengan sekuat hati
Bajing Ireng mencoba untuk
bergerak, tetap seluruh persendian
tubuhnya terasa lolos tak berfungsi
lagi. Beruang Kuning mengulurkan tangan
untuk membuka cadar yang menutupi
wajah Bajing Ireng.
"Jangan sentuh aku, bangsat!"
teriak Bajing Ireng dengan cemas.
"Ha ha ha ha ha! Tenang saja anak manis. Aku dapat berbuat apa saja terhadap
dirimu!" sahut Beruang Kuning semakin jumawa penuh kesombongan.
Ketika tangan kekar itu hendak
membetot cadar dari wajah Bajing Ireng tiba-tiba sebuah batu melayang tepat
mengenai tangannya, sehingga tangan
Beruang Kuning yang menjulur itu
ditariknya kembali sambil meringis
kesakitan. "Huh ! Siapa yang berani kurang ajar kepadaku" Ayo. Tunjukkan
dirimu...!" umpat Beruang Kuning bagai disengat lebah.
Dan seketika berdirilah sesosok
tubuh tegap bertudung caping di
hadapan mereka. Orang itu melangkah
dengan tenang mendekati Beruang Kuning yang masih terperangah kagum dengan
ilmu tenaga dalam yang dimiliki orang itu. Para penjaga gudang segera
mengurung orang itu dengan golok
terhunus. Mereka telah memastikan
bahwa siapapun yang datang membantu
Bajing Ireng berarti musuh yang harus disingkirkan pula.
Parmin si pendekar bertudung
caping segera memberi peringatan.
"Jangan sentuh gadis itu!
Pergilah kalian menyingkir!" katanya dengan nada yang mantap dan berwibawa.
"Uh...uhh! Siapa kau, he" Mengapa kau membokongku"! Kau telah berani
mencampuri urusanku! Siapa namamu,
pemuda?" tanya Beruang Kuning sambil
terus memegangi tangannya yang melepuh biru akibat lemparan batu itu.
"Apalah arti sebuah nama" Nama
bagiku tak begitu penting! Aku
tekankan sekali lagi kalau ingin
selamat segeralah menyingkir dari
sini! He, pernahkah kau mendengar nama Syarif Hidayatullah?" tanya Parmin pada
Beruang Kuning alias Dewa Suci
Penyebar Bala. Dengan sekali kibas, senjata-
senjata rahasia itu rontok
berpelantingan "Atau orang menyebutnya Sunan
Gunung Jati. Beliau telah
mempersunting seorang putri dari
negerimu! Hmm, oleh karena itu
seharusnya kau tidak menodai nilai-
nilai persahabatan itu!" sambungnya tanpa merasa gentar terhadap siapapun.
"Janganlah kau mengotori tanah
Cirebon dengan segala ulahmu yang
memuakkan!!" lanjut Parmin mengusir pendekar dari Gurun Gobi dengan nada keras
dan menyakitkan.
Beruang Kuning merasa diremehkan
oleh pemuda pribumi itu di hadapan
para penjaga gudang seorang tuan tanah Belanda yang saat ini menumpahkan
harapan kepadanya.
"Persetan dengan ocehanmu!!"
teriak Beruang Kuning.
Lalu ia tiba-tiba berteriak
sambil melontarkan senjata rahasianya ke arah Parmin. Senjata rahasia itu
meluncur begitu cepat sehingga tak
terlihat oleh pandangan mata biasa.
Melihat serangan yang dilontarkan
oleh lawannya secara tak terduga, lalu Parmin secepat kilat mencabut golok
yang terselip di pinggangnya, dan
tiba-tiba Ting! Ting! Ting! Ting!
Terdengar suara benturan dua
senjata yang terbuat dari logam.
Pisau-pisau itu beradu dengan golok, melejit lalu menancap di tanah tanpa dapat
menyentuh sama sekali
sasarannya. "Ha ha ha ha ha ha! Percuma saja kau menggunakan senjata rahasiamu,
kakek gundul!!" ujar Parmin sambil menyarungkan goloknya kembali.
Melihat senjata rahasianya
berhasil ditangkis lawan dengan mudah Beruang Kuning menjadi geram sekali.
Kemudian tanpa diduga ia melancarkan serangan ke aran Parmin. Tendangan
Beruang Kuning hanya mengenai caping pemuda itu sampai terpental lepas
sehingga terlihatlah wajah pemiliknya yang sangat tampan dan simpatik.
Kehadirannya membuat pesona baru bagi dunia persilatan. Ia seorang pendekar yang
naik darat bukan turun gunung
seperti kebanyakan pendekar pada
umumnya. Bajing Ireng dan para penjaga
menyaksikan pertarungan sengit itu
berdecak kagum. Hanya beberapa jurus saja Parmin berhasil mendaratkan
tendangan keras ke dahi Beruang
Kuning. Tendangan tersebut sempat
membuat tubuh lawannya mundur beberapa langkah ke belakang. Baru saja ia
mengatur napas untuk membuka serangan baru, secepat itu pula sebuah
tendangan telah mendarat lagi di dada Beruang Kuning.
Beruang Kuning memegangi dadanya
merasakan sakit yang teramat sangat.
"U-huk! U-huk! Hoak....! Stop!
Stop! Aku mengakui kau lebih unggul
dariku. Tetapi jangan merasa bangga
dulu, tunggulah saat pembalasanku...!"
desisnya sambil terbatuk-batuk. Dari mulutnya mengalir darah kental, darah luka
dalam rongga dadanya.
Parmin menghentikan serangannya.
Beruang Kuning berjalan
sempoyongan. Kemudian ia melakukan
gerakan salto meloncat ke atas atap
sebuah rumah. "Sampai berjumpa lagi, kawan!"
katanya langsung menghilang di
kegelapan malam menjelang remang pagi.
"Aku akan menunggumu walau sampai dunia kiamat!" teriak Parmin
membiarkan Beruang Kuning pergi. Lalu ia menghampiri para penjaga gudang
yang hanya berdiri mematung.
"Hei, kalian kerbau-kerbau dungu!
Mengapa bengong di sini saja" Ayo
pergi semuanya?" bentak Parmin.
Tanpa bicara sepatah katapun para
penjaga gudang itu segera pergi menuju posnya masing-masing.
*** Parmin lalu mendekati Bajing
Ireng yang masih tergeletak tak
berdaya. Ia menatap Bajing Ireng penuh rasa kasihan dan perlahan-lahan duduk di
Pendekar Riang 5 Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali 27
^