Pencarian

Bajing Ireng Maling Budiman 2

Jaka Sembung 1 Bajing Ireng Maling Budiman Bagian 2


sisi Bajing Ireng yang coba
beringsut menjauhi pemuda yang sama
sekali tak dikenalnya.
"Ijinkanlah aku melepaskan
totokan pada tubuhmu akibat serangan si Beruang Kuning itu!" kata Parmin dengan
lembut. Bajing Ireng menganggukkan
kepalanya memberi ijin kepadanya.
Parmin lalu membalikan tubuh Bajing
Ireng dan memijit leher Bajing Ireng.
Beberapa saat kemudian Bajing Ireng
dapat menggerak-gerakkan tubuhnya. Ia lalu duduk bersila mengatur napas
untuk memulihkan kesegaran tubuhnya.
"Aku sangat berhutang budi kepada anda!" ucap Bajing Ireng.
"Ah, kita adalah kawan
seperjuangan sekarang. Tubuhmu sudah bebas dari pengaruh totokan itu. Nah!
Ceritakan siapa dirimu sebenarnya!"
pinta Parmin pada kawan barunya itu.
Tetapi Bajing Ireng hanya diam
saja. Ia tak berani menceritakan siapa dirinya. Parmin dapat menangkap apa
yang tersirat di hati Bajing Ireng.
"Ceritakanlah! Tidak apa-apa! Tak seorangpun mendengar percakapan kita!
Ayo, ceritakan!" kata Parmin sambil mengamati daerah sekelilingnya untuk
meyakinkan Bajing Ireng.
"Bolehkah aku menolongmu membuka cadar itu?"
"Boleh aku membuka cadarmu?"
Bajing Ireng kembali diam. Ia tak
kuasa menolak permintaan Parmin.
Parmin kemudian membuka cadar
yang menutupi wajah Bajing Ireng de-
ngan lembut dan perlahan-lahan sekali.
Ia menatap wajah Bajing Ireng seakanakan tak percaya. Baru kali ini ia
melihat gadis secantik Bajing Ireng.
Parmin tidak menyangka bahwa gadis
secantik Bajing Ireng sudah mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi dan
berani berjuang melawan kekuasaan tuan tanah Belanda yang bercokol di desa
kandang haur dan mencengkram daerah
sekitarnya. "Siapakah kau" Aku ingin
mengenalmu lebih jauh!" bisik Parmin penuh harap.
Bajing Ireng menundukkan
kepalanya menghindari tatapan pemuda yang baru dikenalnya tetapi telah
terasa menyentuh kalbunya.
"Namaku Roijah! Aku adalah anak Pak Marto, kepala desa di sini!" sahut Bajing Ireng pelan.
Kemudian ia memberanikan diri me-
natap mata pemuda tersebut. Mata kedua anak muda itu sekilas beradu pandang.
"Siapakah anda" Kelihatannya anda adalah seorang pengembara." tanya Roijah
tersipu malu dan pipinya tiba-tiba merona merah jambu.
"Ya, benar! Namaku Parmin. Aku
seorang pengembara yang datang dari
pantai utara." jawab Parmin terus menatap wajah Roijah yang cantik
rupawan. Hatinya bergetar segencar
getaran yang ada di hati Roijah juga.
Roijah malu wajahnya dipandangi
terus-menerus oleh Parmin. Ia hanya
tertunduk diam. Demikian juga dengan Parmin. Ia menjadi serba salah.
"Hmm.... ilmu silatmu cukup
tinggi! Boleh aku mengetahui gurumu"
Barang-kali kau tidak berkeberatan
untuk menyebutkannya, bukan?" tanya Parmin memulai kembali pembicaraan
yang agak lama terhenti.
Roijah agak terkejut mendengar
pertanyaan itu.
"Aku... aku... aku mempelajarinya di sebuah buku kuno!" sahutnya
terbata-bata. "Dari sebuah buku kuno" Darimana kau mendapatkan kitab itu?" tanya Parmin merasa
heran sambil terus menatap Roijah.
Roijah dipandangi Parmin seperti
merasa malu. Lagi-lagi wajahnya
memerah dan hatinya berbunga-bunga. Ia membuang wajahnya ke arah lain.
"Oh, mengapa kau menatapku
seperti itu" aku malu! Berpalinglah ke arah lain!" kata Roijah dalam hati.
Parmin tersenyum dan segera
memalingkan wajahnya membelakangi
Roijah. Ia seakan dapat membaca isi
hati Roijah. "Baiklah! Aku menghadap ke sini.
Rupanya kau masih gadis pingitan,
ya.." Sekarang ceritakanlah bagaimana kau mendapatkan buku kuno tersebut!"
Roijah masih tertunduk membisu,
maka Parmin membalikkan tubuhnya kembali berhadapan dengan Roijah. Sejenak ia
merhandangi wajah cantik yang tak pernah jemu bagi siapa saja yang
memandangnya. Parmin menarik napas. Mendadak ia
bicara terputus.
"Roijah, tahukah kau" Aku...
aku... hatiku berkata bahwa aku telah mencintaimu!" kata Parmin dengan jantung
yang berdebar-debar.
Roijah terkejut sekali mendengar
keterus terangan Parmin. Tubuhnya
terasa bergetar mendengar Parmin
menyebut namanya. Begitu mesranya,
sampai meresap ke dalam dada.
"Oh! Akupun.....ah! Aku malu
mengatakannya! Sebenarnya tadi ketika kau memijit leherku, dadaku terasa
bergemuruh! Sepertinya kau...aku juga mencintaimu!" desah Roijah lembut sekali
sambil memalingkan wajahnya
yang memerah ke arah lain.
Parmin senang sekali mendengar
Roijah berkata begitu. Ia lalu
memegang bahu Roijah mesra sekali.
Dunia ini terasa indah. Kuburan di
sekitarnya mereka seperti berubah
menjadi taman sari yang ditumbuhi oleh aneka warna bunga.
Sementara itu sinar bulan
menyelimuti malam yang menyongsong
dini hari. Cakrawala begitu bening dan indah. Rinai embun yang turun menambah
suasana malam itu menjadi sensual.
Unggas-unggas malam dan rumput-rumput liar menjadi saksi pernyataan cinta
sepasang muda-mudi tersebut. Mereka
begitu polos dalam mengutarakan
perasaannya masing-masing. Kemudian
mereka duduk di atas batu-batu makam yang beronggok tak bernisan lagi.
*** "Aku menemukan buku itu di atas tikar shajadah di dalam kamarku!" kata Roijah
menceritakan asal mula buku
kuno itu. Sementara Parmin duduk de-
ngan tenang sambil mendengarkan cerita Roijah dengan penuh perhatian.
"Sehabis mengambil air wudhu, aku terkejut sekali melihat buku yang
entah darimana datangnya. Aku
memperhatikan buku itu dan berniat
untuk memberitahukan kepada ayah.
Tetapi aku membaca serangkaian kata-
kata yang tertulis di halaman depan
buku kuno tersebut. PELAJARILAH BUKU
INI SAMPAI SELESAI DAN JANGAN ADA SEORANGPUN YANG BOLEH TAHU.
Aku berpikir, siapa yang telah memberikan buku kuno ini" Lalu aku membuka
halaman berikutnya. Sungguh di luar
dugaan! Ternyata buku kuno itu berisi gambar-gambar yang melukiskan jurus-jurus
silat! Gambar-gambar itu
sederhana namun mudah untuk
dimengerti. Terlukis di atas lembar-
lembar kulit yang bersih dan tipis.
Lembaran-lembaran buku itu dibundel
dan dijahit dengan benang dari kulit juga. Di samping itu yang lebih
mengejutkanku adalah kutemukan pula
satu stel pakaian silat serba hitam
berikut sebuah cadar dan sebuah golok berhulu kayu hitam dengan ukiran
berbentuk kepala bajing, kemudian aku mencoba pakaian itu dan mempelajari
jurus-jurus yang tertera dalam buku
itu. Aku mulai membaca bab pertama.
Kitab itu ternyata bertulisan huruf-
huruf Arab dengan bahasa Jawa Cirebon.
Aku mulai mempelajari jurus pertama.
Tanganku menyilang di dada dan kedua kaki berdiri sejajar dengan tubuh agak
merendah membentuk kuda-kuda.
Begitulah sampai aku terasa lelah.
Setiap malam selesai sholat, aku
mempelajari kembali jurus demi jurus dengan tekun. Semua itu aku lakukan
tanpa sepengetahuan ayahku. Setiap
malam selesai sholat, aku selalu
mengurung diri di kamar sehingga ayah sedikit curiga. Tetapi aku bilang
padanya bahwa aku hanya sedikit merasa tidak enak badan atau alasan-alasan
lainnya. Ayahku percaya saja!" kata Roijah dengan nada bersemangat sambil
menggeser duduknya. Dan tanpa sadar ia semakin dekat dengan Parmin. Parmin
sendiri bukan tidak tahu akan hal itu.
Ia diam-diam mengulum senyum dengan
harapan agar Roijah lebih dekat
menggeser duduknya lagi.
Roijah kembali melanjutkan
ceritanya. "Begitulah terus-menerus setiap malam. Aku selalu mempelajari buku
tersebut dengan sungguh-sungguh.
Tepatnya pada bulan yang ketigapuluh aku dapat menyelesaikan bab terakhir.
Semua jurus-jurusnya berjumlah seratus satu!" lanjut Roijah.
"Aku merasa puas dapat
menjalankan amanat yang diberikan
seseorang untuk mempelajari buku
tersebut. Dan pada malam Jum'at
dibulan Ramadhan menjelang makan sahur ketika aku sedang mempelajari jurus
yang paling terakhir dengan semangat yang menyala-nyala, terdengar suara
seseorang di luar jendela kamarku. Aku merasa terkejut sekali! Kemudian aku
bergegas ke jendela untuk meyakinkan sumber tersebut.
"Selamat, muridku! Kau telah
berhasil mempelajari buku itu dengan baik! Nah, sekarang kembalikanlah buku itu
dan ikutlah aku keluar!" perintah suara itu pelan.
"Memang terdengar seperti orang yang berbisik tetapi sungguh aneh,
suara itu terdengar begitu jelas
ditelingaku." Lanjut Roijah.
"Aku segera membuka jendela dan aku terkejut! Dari pantulan sinar
bulan terlihat sesosok tubuh berdiri di balik semak-semak. Kemudian orang
tersebut menghampiriku. Ternyata ia
seorang nenek-nenek! Wajahnya yang
keriput dengan rambut putih sebatas
pinggang berjumbai-jumbai ditiup
angin. Wajahnya masih terlihat cantik meskipun sudah tua. Aku memastikan
bahwa di usia mudanya tentu dia
seorang gadis yang cantik jelita!"
"Keluarlah, muridku! Aku akan
memberi restu kepadamu!" ujar nenek itu dengan suara yang tenang. Kedua
tangannya terbentang untuk
menyambutku. "Baik, guru!" kataku lalu
meloncat keluar menghampirinya dan aku segera bertekuk lutut di hadapannya
sebagai pernyataan hormat seorang
murid kepada gurunya.
"Kau sudah menguasai ilmu silat Dermayon! Aku adalah Nini Sari!
Sekarang kau resmi menjadi muridku.
Aku akan memberimu pelajaran ilmu
meringankan tubuh agar kau dapat
dengan mudah melompat-lompat seperti seekor bajing."
"Aku menganggukkan kepala. Kemudian ia membawaku ke suatu tempat yang sangat
terpencil. Setelah sampai ia
berdiri tegak di depan sebuah pohon
yang besar dan tinggi. Aku
memperhatikan guruku dengan penuh rasa ingin tahu apakah yang akan ia
lakukan" Tiba-tiba guruku meloncat ke atas dahan pohon itu. Aku hanya diam
memperhatikan guruku yang sudah
berdiri diatas dahan pohon itu.
Kemudian guruku menggerakan jarinya
mengisyaratkan agar aku mengikuti apa yang dilakukannya. Aku meloncat ke
atas salah satu dahan pohon yang lain.
Lalu guruku segera menjatuhkan dirinya seperti seekor kelelawar yang sedang
tidur. Kepalanya menjuntai ke bawah
sedangkan kakinya menjepit dahan
tersebut yang semula sebagai tempat
berpijak. Kedua tangannya tersedakep menyilang di dada aku mengikuti apa
yang dilakukan guruku tanpa banyak
bicara. Mula-mula aku hampir saja
terjatuh ke bawah ketika mencoba
posisi bergelantung dengan kepala
dibawah, karena jepitan kakiku pada
dahan pohon kurang kuat dan hampir
terlepas! Tapi lama kelamaan aku dapat menguasai diri dan bisa menggelantung
seperti kelelawar yang dicontohkan
Nini Sari guruku. Namun sekarang
timbul masalah baru! Kepalaku pusing seakan-akan seluruh darah dalam
tubuhku menumpuk di kepala dan
kepalaku rasanya akan meledak! Itupun akhirnya dapat kuatasi atas petunjuk
guruku melalui sistim pernapasan,
sehingga aliran darah dapat terbagi
rata secara normal seperti posisi
dalam keadaan berdiri."
"Ternyata guruku mengetahui semua kesulitanku!"
"Atur napasmu dengan baik! Jurus pertama ini merupakan kunci dari ilmu
meringankan tubuh yang akan kuturunkan kepadamu, muridku!' katanya
tenang, mantap dan penuh wibawa.
Untuk pertama kali Roijah merasa sulit untuk bergantung dengan kaki di atas
dahan seperti seekor Kelelawar yang sedang tidur itu.
"Aku merasa malu dan kagum pada guruku. Ia dapat merasakan getaran tubuh ku dan
suara napasku yang tidak
teratur. Betapa tinggi ilmu silat yang dimilikinya. Padahal jarak antara
dahan pohon yang kugelantungi dengan dahan yang digelantungi guruku cukup jauh!
Mungkin karena meniru posisi
kelelawar tidur maka pendengarannyapun menjadi tajam seperti kelelawar!
Demikianlah setiap malam aku
digembleng oleh guruku. Dan pada bulan pertama aku dapat menguasai jurus
pertama dengan sempurna. Melihat aku sudah dapat menguasai jurus yang


Jaka Sembung 1 Bajing Ireng Maling Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diberikannya, guruku mulai memberikan jurus berikutnya. Guruku berjalan
mencari pohon yang cabang-cabangnya
bersudut siku agar dapat ditiduri
dengan baik. Lalu ia melompat dengan ringannya ke cabang pohon itu. Ia
tidur terlentang pada salah satu
cabang tak ubahnya seperti orang yang tidur diatas tempat tidur saja.
Tangannya disilangkan di perut.
Semakin lama semakin aku tahu betapa tinggi ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki guruku, betapa tidak! Dari
cabang pohon yang besar kemudian
beralih rebah terlentang di cabang-
cabang pohon yang lebih kecil. Aku
lalu melompat juga ke cabang-cabang
pohon itu mengikuti segala yang
dilakukan oleh guru!"
Roijah menarik napas panjang.
"Demikianlah setiap malam aku
selalu keluar rumah melalui jendela
untuk menerima gemblengan dari guruku.
Semua itu kulakukan dengan tekun dan semangat yang menyala. Kemajuan-kemajuan
yang kucapai dalam latihan
itu begitu cepat bukan semata-mata
karena bakat, tetapi karena kemauan
serta semangat yang tinggi. Selain itu guruku pernah berkata bahwa semangat yang
ada pada diriku timbul karena
rasa benci kepada penjajah Kumpeni
Belanda yang mengakibatkan rakyat
hidup semakin miskin dan sengsara".
"Demikianlah akhirnya pada bulan yang ketigapuluh aku berhasil
menamatkan pelajaran ilmu meringankan tubuh itu. Jadi jumlah seluruh waktu untuk
menuntut ilmu silat itu adalah enam puluh bulan atau lima tahun. Itu adalah
waktu yang sama bagi seorang
gadis untuk menjalankan masa pingitan dari usia tiga belas tahun sampai usia
delapan belas tahun!" Sambung Roijah.
"Muridku, kau telah berhasil menguasai semua ilmu yang kuberikan!
Nah, mulai sekarang kau harus
menggunakan ilmu itu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dibumi ini. Dan kau
jangan takabur tetapi harus
bersikap tawadhu...! Ingat pesanku
baik-baik!" ujar guruku sambil
mengelus-elus bahuku.
"Aku akan menjalankan perintah
guru! Dan akan menumpas segala bentuk kejahatan dibumi ini!" kataku dengan penuh
kesungguhan dan menanamkan tekad dalam kalbu.
"Maka sejak saat itu guruku pergi meninggalkan aku dan kembali ke tempat dari
mana ia datang. Pada awalnya
perpisahan itu begitu berat kurasakan, karena ia bukan hanya sebagai guru
yang memberiku ilmu silat tapi ia juga sebagai ibu yang menyayangiku dengan
sepenuh jiwanya." kata Roijah
mengakhiri kisahnya kepada Parmin.
*** "Dan aku sebagai gadis pingitan, rasanya tak ada jalan lain bagiku
untuk menolong bangsaku sendiri selain menjadi seorang pencuri beras dari
gudang milik tuan Van Eisen! Aku tak tahan melihat penderitaan rakyat!"
kata Roijah kesal.
Parmin menggeser duduknya lebih
dekat kepada Roijah. Sinar matanya
berbinar. "Aku bangga melihatmu, Roijah!"
kata Parmin dengan senyum dan
pandangan penuh arti.
"Ditengah-tengah kebejatan moral bangsa yang dijajah ini masih ada pula orang
yang berjiwa patriot seperti
kau!" Roijah merasa senang dipuji oleh
laki-laki yang dicintainya.
Parmin lalu berdiri. Sedangkan
pandangannya tak lepas-lepas dari
Roijah, yang sibuk membenahi
rambutnya. Rambut yang semula
dibiarkan tergerai sebatas pinggang
itu kini dibuntelnya menjadi berbentuk sanggul. Dengan dandanan rambut
seperti itu, Parmin melihat Roijah
menjadi seorang gadis yang lebih
dewasa dengan kecantikan yang anggun.
"Marilah kita membulatkan tekad untuk berjuang mengusir penjajah dari negeri ini
bahu-membahu, Roijah!" seru Parmin seraya mengepalkan tangan
kanannya. Roijah menganggukkan kepalanya
tanda setuju. Disusul pula dengan
acungan tangan kanan yang mengepal.
Sementara itu di ufuk timur mulai
terang dan tak terasa ayam telah mulai berkokok. Dinginnya malam berangsur-
angsur mulai terusir.
Parmin menghampiri Roijah. Lalu
ia memegang bahu Roijah lembut dan
mesra. Wajah mereka begitu dekat.
Roijah menundukkan kepalanya tak
sanggup membalas tatapan Parmin yang terasa menembus jantung Roijah
sehingga jantungnya berdetak keras.
Suara kokok ayam bersahut-sahutan
bahkan terasa tenggelam oleh
gemuruhnya dada sepasang muda-mudi
yang sedang dilanda cinta itu.
"Sekarang hampir menjelang subuh!
Cepatlah kau pulang dan kita berjumpa kembali besok untuk menyusun kekuatan!
Pulanglah Roijah...!" kata Parmin begitu mesra sambil mencium kening
Roijah. Jantung Roijah terasa berhenti
saat Parmin mencium keningnya. Ia
merasa sangat bahagia saat itu. Roijah hanya tertunduk diam seribu bahasa.
Parmin mengangkat wajah Roijah dan
ditatapnya dalam-dalam. Dalam sekali seperti seorang yang menyelami sebuah
telaga hati yang bening dan teduh.
"Pulanglah!" seru Parmin.
Roijah membalas tatapan Parmin
dengan hati yang berbunga-bunga
seperti ledakan bunga yang tiba-tiba mekar dengan indahnya.
"Baiklah, aku segera pulang, kang Parmin!" sahut Roijah lembut.
Tanpa sengaja Roijah memanggil
kang kepada Parmin, sesuatu yang
mengandung arti khusus.
Kemudian mereka berjalan
berlawanan arah sambil melambaikan
tangan tanda berpisah. Roijah berjalan perlahan-lahan membawa perasaan
bahagia. Begitu juga dengan Parmin.
*** Beberapa waktu kemudian secara
serempak terjadilah pemberontakan-
pemberontakan para petani kepada tuan-tuan tanah. Mereka menuntut haknya
supaya tanah mereka dikembalikan.
Kerusuhan itu terus menjalar sampai
kotapraja Cirebon. Mereka mendatangi rumah tuan-tuan tanah beramai-ramai
sambil mengacungkan senjata mereka
masing-masing. Ada yang bersenjata
golok, parang, kayu, arit, sekop dan sebagainya. Para tuan tanah kewalahan
menghadapi mereka dan para tuan tanah menyampaikan hal ini ke Residen, agar
segera mengambil tindakan yang tegas guna menanggulangi para pemberontakan itu
secepatnya. Pihak pemerintah Kumpeni Belanda
yang berkepentingan dengan tanggung
jawab keuntungan terhadap pemerintah pusat di Negeri Belanda, merasa perlu
mempertahankan kekuasaan para tuan
tanah Belanda sebagai sumber devisa
bagi negaranya di eropa sana. Oleh
karena itu Kumpeni Belanda segera
mengerahkan segenap kekuatan
militernya, mengirimkan serdadu
beserta persenjataannya untuk menumpas pemberontak para petani di seluruh
wilayah karesidenan Cirebon.
Akibatnya banyak korban jatuh,
terutama di pihak para petani dan
rakyat kecil yang tak berdosa. Sebagai penguasa setempat, Residen merasa
serba salah. Residen sebagai penguasa sipil harus bertanggung jawab kepada
penguasa militer Kumpeni Belanda dan bertanggung jawab kepada masyarakat
sebagai warganya yang terdiri dari
para tuan tanah serta rakyat pribumi tanah jajahan. Kedudukannya benar-benar
terjepit seperti menghadapi buah simalakama, dimakan ibu mati tidak
dimakan bapak mati. Tapi biar
bagaimanapun Residen harus berani
mengambil keputusan yang terbaik.
Keputusan yang fragmatis bagi
kehidupan sebuah negeri jajahan.
Kemudian atas kebijaksanaan
Residen, maka para tuan tanah harus
mengembalikan tanah-tanah kepada
pemiliknya masing-masing. Keputusan
tersebut disambut gembira oleh rakyat Cirebon. Sedangkan para tuan tanah
menganggap keputusan itu sangat
merugikan mereka. Akhirnya dengan
terpaksa mereka mengembalikan tanah
kepada pemiliknya masing-masing.
Kini rakyat Cirebon bagian utara
telah mulai mengerjakan tanahnya kembali dengan tenang tanpa pemerasan
dari tuan-tuan tanah Belanda. Dan
mereka tidak perlu membayar pajak
tanah. *** Demikian juga dengan tanah Pak
Kinong dan Bu Kinong.
Mereka kelihatan sangat gembira
menggarap tanahnya sendiri. Peluh membasahi seluruh tubuh Pak Kinong.
Wajahnya terlihat begitu cerah di
siang hari meskipun tubuhnya terasa
lelah. Sementara itu dari kejauhan Bu
Kinong berjalan membawa bakul yang
berisi makanan untuk Pak Kinong yang sedang duduk istirahat di pinggiran
sawahnya melepaskan lelah sambil
memandangi tanah yang habis
dicangkulnya. "Pak, makanan sudah siap!" teriak Bu Kinong sambil menurunkan bakul di
punggungnya. Melihat istrinya sudah menyiapkan
makan, Pak Kinong langsung
menghampirinya. Mereka berdua duduk
dibawah pohon yang rindang sambil
menyantap makanan dengan lahap walau cuma dengan lauk ikan asin, sambal dan
sayur bening. "Hmm... akhirnya kita dapat
menggarap tanah kita kembali ya, Bu!
Kita harus bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan KaruniaNya kepada
kita ya, Bu?" kata Pak Kinong sambil menyendok sayur bening kesukaannya dan
dituangkan di atas nasinya.
"Ya, Pak! Kita harus bersyukur!
Tapi kau habiskan dulu nasimu baru
bicara lagi. Nanti batuk!" seru Bu Kinong mengingatkan suaminya.
Pak Kinong menuruti kata
istrinya. Setelah selesai makan, pak Kinong lalu kembali melanjutkan
pembicaraannya, sementara Bu Kinong
membenahi bakulnya.
"Ini berkat jasa kepemimpinan seorang pendekar dari pantai utara
Eretan itu, Bu! Ternyata dia yang
telah memompakan semangat kemerdekaan kepada rakyat di segala pelosok
kampung di seluruh wilayah Karesidenan Cirebon ini!" kata Pak Kinong sambil
menghisap rokok kawungnya seperti
biasa. Bu Kinong agaknya tidak mau
kalah. Maka ia membanggakan seseorang dari jenis kaumnya.
"Hei, Pak! Bukan cuma karena jasa pemuda Eretan itu saja! Tapi jangan
lupa pula keberadaan pendekar wanita yang terkenal dengan nama Bajing Ireng yang
pernah menolong kita tempo hari.
Ternyata tidak lain dia itu putrinya Pak Marto, kepala desa kita sendiri!!"
"Tentu saja aku tak mengabaikan jasa Bajing Ireng, Bu! Apalagi dia
pernah menolong kita sewaktu
kelaparan. Tanpa dia mungkin si Kinong tidak hidup sampai sekarang!" ujar Pak
Kinong sambil menyulut rokok kawungnya yang tiba-tiba mati tertiup angin.
Berkali-kali ia menyalakan batu
pemantik api namun gagal, membuat ia menggerutu.
"Apa cita-citamu untuk anak kita si Kinong, Bu?"
"Aku akan minta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar si Kinong kelak
menjadi seorang pendekar seperti
Bajing Ireng, Pak!" sahut Bu Kinong sambil pandangan matanya menerawang ke
langit. Hening sejenak.
"Eh, Pak! Jang Parmin dan Neng
Roijah itu pantasnya jadi suami-istri saja...! Benar-benar pasangan yang
cocok, serasi! Pemudanya tampan dan
gagah sedangkan gadisnya cantik
jelita. Anu... seperti Arjuna dan
Srikandi ya, Pak?" kata Bu Kinong seakan-akan mewakili kehendaknya
sendiri, dan ia ingin melihat pemuda dari Eretan itu menjadi suami Bajing Ireng.
"Sayang, Pak Marto tak sudi punya menantu seorang pemuda yang ia anggap sebagai
musuh, musuh pemerintah Kumpeni Belanda dan musuh bagi dirinya!"
jawab pak Kinong dengan sengit seakanakan ia pun mewakili kehendaknya
sendiri untuk menyatakan protes kepada kepala desanya.
"Ya ya! Oleh sebab itu jadinya
mereka terpaksa mengadakan pertemuan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi.
Sebaliknya Pak Marto sendiri mengancam akan menangkap Parmin dengan tuduhan
maling bila ia suatu saat
memergoki pertemuan mereka itu! Huh!
Orang tua macam apa itu" Kepada
anaknya sendiri tega berbuat sekejam itu!!" tak kalah sengitnya Bu Kinong
bicara. *** Malam semakin larut. Angin
bertiup dengan lembut. Bulan purnama memancarkan sinarnya menerangi seluruh
alam. Suara serangga malam membuat
suasana malam itu menjadi ceria dan
indah. Para penduduk telah tidur


Jaka Sembung 1 Bajing Ireng Maling Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lelap. Mereka sudah terbuai mimpi yang indah. Mimpi tentang panen yang
berlimpah-ruah, dan mimpi tentang
kehidupan yang layak tanpa kehadiran segala bentuk penjajahan dan
pemerasan. Tapi lain halnya dengan Roijah.
Ia belum dapat memejamkan matanya.
Hatinya begitu gelisah. Sekali-kali ia membalik-balikkan tubuhnya di atas
tempat tidur. Ia teringat kembali saat pertemuannya yang pertama dengan
Parmin. Ia tersenyum sendiri tatkala mengingat saat Parmin mencium
keningnya. Hatinya merasa rindu sekali kepada Parmin kekasihnya.
Di saat Roijah sedang
membayangkan wajah Parmin yang tampan dan simpatik tiba-tiba ia dikejutkan
dengan terdengarnya sesuatu yang
memecahkan kesunyian malam itu.
"Hmm.... malam-malam begini
kudengar suara seruling demikian
merdunya. Lagunya adalah kidung
kesayanganku! Siapa yang meniup
seruling itu" Aku jadi penasaran!"
desah Roijah dalam hati.
Suara seruling itu terdengar
begitu merdu dan syahdu sekali seakanakan melukiskan perasaan orang yang
meniupnya. Perasaan menahan rindu yang mendalam.
Roijah perlahan-lahan bangkit
dari tempat tidurnya. Ia sepertinya
diperintah oleh sanubarinya untuk
menghampiri suara tersebut. Pakaian yang melekat ditubuhnya masih lusuh
tidak karuan. Ia lalu berdiri
menghadap cermin yang terletak persis di depan tempat tidurnya. Segera ia
membenahi diri.
Setelah selesai berhias diri,
Roijah berjalan ke arah jendela untuk melihat siapa gerangan yang meniup
seruling itu. Lalu Roijah membuka jendela kamar
tidurnya perlahan-lahan.
Sinar bulan langsung menerobos ke
dalam kamar tidur yang sengaja
dimatikan lampunya oleh Roijah agar
tidak ketahuan oleh orang yang sedang meniup seruling itu.
Roijah memperhatikan orang itu.
"Heh"! Oh... tak kusangka
ternyata dialah yang meniup seruling itu!" gumam Roijah seakan tak percaya.
Benarlah ternyata dia adalah
Parmin! Roijah tertegun memandang Parmin
yang sedang meniup seruling sambil
berdiri di luar pekarangan rumahnya.
Dan sebaliknya Parmin tidak
mengetahui bahwa dirinya sedang
diperhatikan oleh Roijah. Ia sedang
menikmati lagu yang dibawakannya
melalui alunan suara seruling.
Ternyata peniup seruling itu tak lain adalah Parmin, pemuda yang sedang
dirindukannya. Tiba-tiba Roijah memberi sebuah
isyarat. "Sstt....!!" seru Roijah.
Parmin segera menghentikan
lagunya karena mendengar suara seorang wanita. Lalu ia menoleh ke arah
jendela sumber suara tersebut.
Dilihatnya Roijah berdiri memakai
kebaya dengan rambut berbentuk sanggul tersenyum di ambang jendela kamarnya.
Tanpa bicara lagi Parmin segera
menghampiri Roijah.
Ia melompati pagar yang berada di
depannya dengan sigap.
"Belum tidur kau, sayang"
Lihatlah bulan purnama di atas sana
bersinar begitu indahnya memanggil
kehadiran kita berdua...!" kata Parmin dengan nada penuh harapan.
Wajahnya menengadah keatas
memandang keindahan sinar bulan
purnama. Roijah ikut menengadahkan
wajahnya memandang langit dengan
perasaan yang sama. Tetapi perasaan
itu sirna kembali dengan perasaan
rindu yang mendalam.
Kemudian Parmin memegangi tangan
Roijah dan meremasnya dengan erat.
Roijah membalas meremas tangan Parmin dengan erat pula.
"Aku terbangun oleh alunan
serulingmu!" kata Roijah pelan.
Parmin tersenyum memandang Roijah
yang semakin erat meremas jarinya.
Mereka saling pandang-pandangan.
Tetapi tiba-tiba Roijah memalingkan
wajahnya merasa malu. Parmin kembali tersenyum memandang wajah Roijah dengan
senang. Dari jauh terdengar sayup-sayup
suara kentongan dipukul oleh para
ronda yang sedang berkeliling kampung.
Suara itu menyadarkan Roijah yang
kemudian melongokkan kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan mengamati daerah
sekeliling rumahnya dengan cemas!
Takut-takut kalau ada orang yang
melihat mereka.
"Cepatlah kau masuk! Nanti ada
ronda datang kemari!" seru Roijah pada Parmin yang masih memegangi tangannya.
Wajahnya terlihat sangat cemas
dan takut. Parmin lalu segera masuk ke dalam kamar Roijah meloncat melalui
jendela. Kemudian Roijah mengamati keadaan
di luar untuk menyakinkan bahwa tidak ada orang yang sedang berdiri
mengamati keadaan kamar tidurnya
sambil tersenyum.
Parmin membalikkan tubuhnya dan
terkejut melihat Roijah sudah berdiri di hadapannya. Ia tersenyum.
"Besok aku berangkat ke selatan, Roijah!" kata Parmin sambil menggapit tangan
Roijah dan digenggamnya erat-erat.
Roijah agak terkejut mendengar
apa yang dituturkan Parmin. Wajahnya melukiskan ketakutan dan kecemasan.
Tapi sedapat mungkin ia menekan
perasaan itu agar tak terlihat di
hadapan Parmin. Ia harus tetap berjiwa besar.
"Aku akan berdoa untuk
keselamatan dan keberangkatanmu, kang Parmin...!" Ujar Roijah membalas genggaman
tangan Parmin erat sekali.
Seakan-akan ia tidak mau ditinggalkan.
Dan tanpa terasa air matanya yang
meleleh jatuh dikedua belah pipinya.
Parmin terharu melihatnya.
"Mengapa kau menangis, sayang?"
kata Parmin sambil memegang dagu indah milik Roijah.
"Seorang pendekar tak pantas
mengeluarkan air matanya di saat-saat seperti ini!!" bujuk Parmin menyeka air
mata Roijah dengan penuh
kelembutan. Roijah menatap Parmin dalam-
dalam. "Sebagai seorang wanita, aku
menangis meratapi kesepian yang akan kuhadapi setelah kau pergi. Aku akan merasa
kehilanganmu! Ingin rasanya aku meninggalkan kamar yang membosankan
ini untuk turut serta mendampingimu
dalam menjalankan tugas tersebut!"
desah Roijah merebahkan kepalanya di atas dada Parmin yang bidang. Ia
menemukan kesejukan di sana.
Parmin mendekap tubuh Roijah erat
sekali. Kehangatan rasa cinta yang
suci dan menggelora menjalari tubuh
mereka saat ini. Parmin dapat
merasakan debar jantung Roijah melalui pelukannya.
Kemudian Parmin membelai rambut
Roijah dengan mesra.
"Sabarlah, sayang....! tugas yang lebih besar dan mulia telah menanti
kita. Jika tugas itu telah aku
jalankan, kita akan segera berkumpul kembali!" kata Parmin penuh kasih sayang.
Tangannya kembali membelai ujung
rambut halus yang tumbuh dikening
Roijah. Rambut halus seperti itu akan dipangkas habis bila seorang gadis
habis masa pingitannya dan siap
memasuki jenjang perkawinan.
Dan Roijah semakin erat mendekap
Parmin. Seakan-akan ia tak mau ditinggalkan oleh Parmin.
"Parmin! Kaulah laki-laki yang
pertama yang telah menyentuhku! Ayah terlalu kejam!" isak Roijah lebih erat lagi
mendekap Parmin.
"Sudahlah jangan menangis,
sayangku! Percayalah, aku akan cepat kembali setelah tugas itu selesai. Dan aku
akan kembali untuk meminangmu,
Roijah...! Nah, selamat tinggal,
sayang! Aku pergi, ya?" ujar Parmin mencium kening Roijah dengan lembut
dan penuh perasaan. Lama sekali.
Seakan-akan Parmin ingin meresapinya dalam-dalam. Roijah memejamkan matanya
menikmati ciuman itu. Parmin
melepaskan ciumannya. Kemudian ia
menatap wajah Roijah lekat-lekat dan berjalan menghampiri jendela. Parmin lalu
membuka jendela dan meloncat
keluar sambil melambaikan tangannya.
Roijah membalas lambaian tangan Parmin melepas kepergian sang kekasih dengan
setulus hati. Dan Roijah berdoa dalam hati agar Tuhan selalu melindungi
Parmin dan semoga Tuhan merestui
pertautan tali kasih diantara mereka.
Kemudian Roijah menutup
jendelanya. Ia langsung merebahkan
tubuhnya di atas tempat tidur. Tak
lama kemudian ia memejamkan matanya.
Sementara itu Parmin terus berjalan
menembus kegelapan malam untuk
menunaikan tugas yang dibebankan oleh agama, bangsa dan tanah airnya.
*** Ketika Parmin melangkahkan kaki
dari pekarangan rumah Bek Marto,
belasan pasang mata dengan tajam
mengikutinya dari kegelapan rumpun-
rumpun pohon di sekelilingnya. Naluri pendekar muda dari daerah pantai
Eretan ini segera menangkap segala
yang mencurigakan itu, tetapi ia
berusaha untuk bersikap setenang
mungkin dan melangkah dengan mantap
meninggalkan desa Kandang Haur.
Persis di batas desa, beberapa
sosok tubuh berloncatan menghadang dan mengepung Parmin dari segala penjuru.
Mereka adalah jago-jago bayaran yang didatangkan dari desa-desa lain. Yang lebih
istimewa kali ini adalah
kehadiran beberapa serdadu Kumpeni
Belanda dengan senjata lengkap bedil, pestol dan kele-wang. Mereka berdiri
berjajar siap-siaga di belakang
barisan jago-jago pribumi.
"Tidak semudah itu kau
meninggalkan Kandang Haur setelah kau hancurkan segala rencana Tuan Van
Eisen!" tampil salah seorang dari mereka yang mewakili siapa yang
merencanakan pencegatan itu.
"Tuanmu itu sebenarnya seorang
sipil Belanda tetapi mengatas namakan semua usaha dan kegiatannya di daerah ini
kepada serdadu Kumpeni Belanda.
Dia menggunakan serdadu Kumpeni
sebagai tameng! Bagiku sama saja, Van Eisen mau pun Kumpeni Belanda adalah
penjajah negeri kita!" Parmin bicara dengan nada penuh penekanan agar jago-jago
bayaran yang terdiri dari orang-orang pribumi itu menyadari siapa
sebenarnya mereka.
"Kami tak butuh kotbahmu, santri busuk!"
"God Verdome Ceg!" terdengar makian dari barisan belakang dan
disusul oleh bunyi kokangan senjata
mesiu. "Terserah kalian dan kalian boleh singkirkan aku! Tetapi bagi ku
berpantang mati sebelum ajal, karena nyawaku bukanlah milik kalian. Soal
hidup dan mati hanya di tangan Tuhan!"
jawab Parmin dengan tegas.
"Tutup bacotmu, bangsat!" disusul dengan isyarat penyerangan, maka
serempak jago-jago bayaran itu
meluncur dengan nafsu membunuh yang
ganas dan keji.
"Haiiiiit!!" Parmin menangkis kian-kemari dibarengi dengan gerak
sepasang kakinya yang bergerak lincah sambil sesekali melancarkan tendangan yang
telak, sehingga pada gebrakan
pertama itu tiga orang pengeroyoknya dibuat terpelanting.
Sementara itu serdadu Kumpeni Be-
landa yang berfungsi sebagai backing tak bisa berbuat apa-apa menghadapi
pertarungan yang semrawut ini. Pestol dan bedilnya tak bisa mereka gunakan,
karena kuatir menembak orang-orang
bayaran itu. Beberapa orang jago pribumi
bertumbangan ke tanah terkena hantaman jurus-jurus silat Gunung Sembung yang
konon dulu adalah ilmu silat para wali dalam menghadapi kekerasan selama
mereka menjalankan tugas penyebaran
agama. Namun dilain fihak, beberapa buah sayatan senjata tajam berhasil
juga menerobos pertahanan Parmin dan masih terbatas dengan koyaknya baju
dan celana yang dipakainya.
Pendekar muda ini benar-benar
mengamuk bagaikan banteng ketaton.
Lawan-lawan yang ganas itu hampir
seluruhnya telah ambruk dan
berpelantingan seperti diterpa angin beliung. Kini tinggal beberapa
gelintir orang saja yang tersisa dan itupun sudah kepayahan dengan gerak
limbung dan ngawur.
Melihat hal itu, serdadu-serdadu
Kumpeni belanda segera
mencabut kelewangnya dan menyerang secara
berbarengan.

Jaka Sembung 1 Bajing Ireng Maling Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mampus kowe orang! Hiyaaaaa!!"
tetapi begitu mereka menyerbu sasaran, Parmin tiba-tiba melesat ke udara
dengan sebuah loncatan disusul dengan tendangan kedua kakinya secara
bersamaan menghantam kepala dua orang serdadu yang terdekat.
"Duivel!" umpat mereka
sempoyongan dengan pandangan mata yang penuh kunang-kunang, lalu roboh ke
tanah. Parmin mendarat tepat di belakang
dua orang serdadu yang masih terkesima dengan loncatan mendadak tersebut.
Begitu mereka menoleh ke belakang, tangan Parmin yang mengepal menghajar
wajah mereka sehingga terhuyung-huyung dengan bibir masing-masing pecah
berhamburan darah.
"Untuk menghadapi kalian tak
perlu aku memakai senjata, kalau perlu aku bisa menggunakan senjata kalian
sendiri!" ujar Parmin sambil merampas sebuah kelewang dari tangan salah
seorang serdadu Kumpeni dan segera
membalikkan kelewang itu menghujam
perut si pemilik sendiri.
Terkejut bukan main serdadu yang
malang itu, namun segera disusul
dengan nyawanya yang terputus.
Sementara kawan-kawan lainnya yang
tercecer tadi segera bangkit untuk
memulai serangan pembalasan. Mereka
bergerak mengelilingi pendekar muda
yang gagah perkasa itu dengan nafas
yang menggebu-gebu karena geram bukan main. Di lain fihak Parmin memandangi
mereka satu persatu melalui lirikan
matanya yang tenang namun penuh
kewaspadaan. Angin malam mengiringi suasana
tegang mencekam itu dengan desirannya yang merontokkan daun-daun kering,
sehingga suasana pertarungan itu
semakin tampak dramatis.
Tiba-tiba dari suatu arah
terdengar seruan seseorang yang segera menghentikan pertarungan itu.
"Tunggu dulu!"
Ternyata suara itu datang dari
seorang lelaki setengah baya yang
sudah mereka kenal baik selama ini.
Dia adalah Pak Marta atau Bek
Marto. Melihat kedatangannya, Parmin
segera bersiap-siap pula untuk
menghadapi kemungkinan dengan melipat gandakan kemampuannya.
"Tuan-tuan biarkan dia pergi!"
ujar Bek Marto dengan penampilan yang berwibawa membuat Parmin tertegun
sejenak melihat perubahan itu. Ia
melihat ada sesuatu yang berubah pada diri ayah kekasihnya, Roijah.
"So" Kenapa tuan Bek bicara
seperti itu?" tanya seorang serdadu sambil memegangi pipinya yang bengkak dan
biru legam. "Dia orang telah merusak rencana Kumpeni! Dia orang telah membuat Van Eisen
mengembalikan tanah orang-orang pribumi! Dia orang telah bikin pailit Van Eisen!
Dia orang harus kita bikin mampus!" sambungnya sambil meludah ke tanah. Ludah
itu berwarna merah oleh darahnya sendiri.
"Pemuda itu benar, tuan!" jawab Bek Marto tenang.
"Aku tidak takut lagi kehilangan jabatanku sebagai kepala desa dan aku juga
tidak bernafsu lagi untuk menjadi seorang demang atau pangkat-pangkat
lain yang lebih tinggi seperti yang
pernah dijanjikan oleh Leonard Van
Eisen kepadaku bila aku selalu
mematuhi kehendaknya!" lanjut lelaki setengah baya itu dengan ekspresi
wajah yang datar tanpa emosi
sedikitpun. Kata-kata itu merupakan sambaran
geledek bagi telinga serdadu Kumpeni dan membuat mereka tersekat kaget.
"Apa yang membuat dia berubah?"
tanya Parmin dalam hati.
"Katakan hal ini kepada tuan
besar anda!" seru Bek Marto tegas, kemudian pandangan matanya ditujukan kepada
Parmin yang masih mengambil
sikap siap-siaga.
"Anakku Roijah telah membuka
mataku yang buta selama ini, nak Parmin! Silahkan pergi dan semoga
berhasil dengan perjuanganmu!"
"Terima kasih, pak." jawab Parmin, sementara para pengepungnya
sudah bangun dan bermaksud mengadakan pembalasan dengan mengurungnya rapat-
rapat. Senjata tajam berbagai bentuk siap untuk dihujamkan, tinggal
menunggu komando dari pimpinan serdadu Kumpeni.
"Tetapi aku tak mau mengorbankan keselamatan Bapak sendiri. Biarkan aku
menghadapi mereka sampai titik darah yang penghabisan! Bukan tidak mungkin
mereka juga akan membunuhmu sekarang!"
Parmin memperingatkan Bek Marto dengan menatap orang-orang yang mengepungnya
satu persatu. Bek Marto tersenyum senang dan
tangannya tiba-tiba menunjuk ke
sekeliling tempat itu.
"Aku tidak sendirian, nak!
Lihatlah di sekitar kita, rakyat
Kandang Haur berkumpul membentuk pagar betis dengan senjata apa adanya untuk
menghadapi segala kemungkinan!"
Terkesiap jago-jago bayaran dan
para serdadu itu demi melihat di
sekitar mereka penduduk desa
berbondong-bondong memagari tempat itu membawa obor dan senjata apa saja
seperti cangkul, arit, pisau dapur,
pentungan dan sebagainya. Bahkan
diantara mereka ada yang membawa alu penumbuk padi.
Seketika hati mereka menjadi
ciut. Kalaupun dilawan, jumlah mereka sendiri jauh tak sebanding dengan
jumlah seluruh penduduk yang sudah
berkumpul itu. "Kita rajam mereka!"
"Usir mereka dari desa Kandang
Haur!" "Ya, kita tak sudi dijajah!"
Teriak dan pekik penduduk desa
itu semakin riuh dan meninggi sehingga memekakkan telinga membuat wajah-wajah
para jago bayaran dan serdadu-serdadu itu berkeringat dingin karena merasa
cemas. "Mereka menuntut kebebasan,
tuan!" tegas Bek Marto lebih jauh mewakili suara hati penduduk desanya.
"Ya, betul!!" disambut pekik gegap-gempita penduduk desa secara
serempak. Melihat gejala yang tak
menguntungkan ini, kepala serdadu
Kumpeni memberikan isyarat kepada anak buahnya termasuk kepada jago-jago
bayaran itu. "Kita bubar! Kita gotong kawan-
kawan kita yang terluka. Cepat.....!!"
perintahnya dengan nada gugup. Parmin hanya tersenyum melihat semuanya ini, dan
setelah membungkuk hormat kepada Bek Marto, iapun segera bergegas pergi
meninggalkan desa Kandang Haur.
Sore itu sehabis sholat isya,
Roijah membuat teh tubruk dicampur
dengan gula batu kesukaan ayahnya.
Kemudian ia membawanya keruang tamu
dimana biasanya Bek Marto duduk
berleha-leha di atas kursi goyangnya.
Segelas besar teh tubruk itu ia
letakkan diatas meja marmer besar
disamping ayahnya duduk. Setelah
mengaduk dengan sendok, lalu
meletakkan tutup gelas bersandar pada tatakan.
"Ayah tidak mengisap cerutu
lagi?" "Persetan dengan rokok borjuis
itu!" sahut Bek Marto dengan sengit disusul lemparan senyum manis kepada Roijah
anak tunggal yang disayangnya.
"Kalau ibu masih ada, tentu ia
sangat bangga melihatnya." komentar Roijah sambil mencium pipi ayahnya.
"Dengan rokok kelobot, rasanya
jauh lebih nikmat!" ujar Bek Marto sambil memilih tembakau didalam
lembaran daun jagung yang sudah
dimasak dan mengundang rasa manis itu.
"Bagaimana kalau ayah dicopot
oleh Van Eisen dari jabatan sebagai
kepala desa?"
"Aku bisa jadi petani!" lanjut Bek Marto lebih semangat.
Setelah berdiam sejenak, Roijah
kembali menggoda ayahnya.
"Kabarnya sejak Van Eisen
mengembalikan tanah-tanah kepada
rakyat, gudang beras Tuan Belanda itu sudah tidak lagi disatroni oleh Bajing
Ireng ya, pak?"
"Ya!" Bek Marto menjawab singkat.
"Lalu kemana Bajing Ireng itu
kini berada ya?" lanjutnya pula sengaja memancing pendapat ayahnya
tentang si maling budiman itu.
Sementara itu di tempat tinggal
Pak Kinong, Bu Kinong sedang tertawa terpingkal-pingkal melihat kelakuan
anaknya yang masih berusia balita itu.
Kinong gadis kecil yang lucu dengan
rambut di kuncir dua kiri dan kanan
sedang melakukan gerak-gerak seperti seorang pendekar silat.
Yang lebih lucu lagi adalah
separuh dari wajahnya ditutup dengan kain serbet, sehingga sepasang matanya saja
yang bundar seperti telur itu
yang terlihat. Rambut poninya menutupi seluruh dahinya yang nong-nong, yang
membuat dia diberi nama Kinong,
berkali-kali ia sibakkan karena sering menutupi pandangan matanya.
"Ciaaat! Heyaaat!" begitu
teriaknya berulang kali sambil kakinya menendang ke depan dan tangannya
dikibaskan ke kiri dan ke kanan dengan lincahnya.
"Ini si Bajing Ileng!" celotehnya dengan lidah yang cadel menyebut tokoh
idolanya dengan penuh rasa bangga.
"Apa benar anak emak mau jadi
seorang pendekar yang sakti?" tanya Bu Kinong menggoda.
"Benal!" jawab Kinong dengan cepat sambil melompat-lompat dengan
lincahnya. Kini tubuhnya sudah gemuk karena tak kurang makan lagi. Kinong tumbuh
dengan gemuk dan montok sekali membuat siapapun yang melihatnya akan merasa
gregetan ingin mencubitnya.
Apalagi pipinya yang mengencang dan
kemerahan seperti buah tomat yang
ranum itu sangat menggoda orang untuk menjawilnya.
Tiba-tiba ia menghentikan
geraknya mencopot serbet yang menutupi wajahnya.
"Kinong lapal, mak!" teriaknya sambil memegangi perutnya yang mulai keroncongan.
Anak kecil ini memang
makannya kuat, sehari lebih dari tiga kali. Selain itu Pak Kinong
sepulangnya dari sawah sering membawa oleh-oleh jajanan yang ia beli di
warung. Kue serabi sangat disukai oleh anak tunggalnya itu, sehingga kawan-
kawannya main sekampungnya
menjulukinya Si Muka Serabi.
Sewaktu-waktu Pak Kinong sering
memancing jawab dari anaknya yang lucu itu dan Kinong sendiri segera
menjawabnya dengan lugas.
"Kalau besar mau jadi apa kau,
Nong?" "Jadi Bajing Ileng!"
"Kenapa mau jadi Bajing Ireng?"
"Kalena kalo ada anak yang lapal, dia cuka kasih belas."
Kinong bergerak lincah seperti
seorang pendekar sambil berteriak:
"Inilah dia Bajing Ileng!"
"Oh, kalau ada anak yang lapar, Bajing Ireng suka kasih beras ya?"
tanggap Bu Kinong menengahi
pembicaraan bapak dan anak itu. Memang di usianya yang hampir senja itu, Pak
Kinong dan Bu Kinong baru dikaruniai anak dan sekarang baru menginjak usia dua
setengah tahun.
*** Baru beberapa hari Roijah
berpisah dengan pemuda yang
dicintainya, rasanya seperti sudah
beberapa bulan baginya. Ini membuat ia sering melamun dan pandangan matanya
menerawang jauh seperti berusaha
menembus batas-batas ruang untuk
mencari jejak dimana sang kekasihnya itu kini sedang berada.
Hari itu Roijah sedang mengingat
Parmin kekasihnya. Tetapi lamunan
Roijah segera terputus ketika
didengarnya orang berbicara dengan
ayahnya di ruang depan. Suara itu
cukup keras dan dapat ditangkap dengan jelas dari kamarnya.
"Bek Marto pasti berkomplot
dengan maling itu!"
"Ya, kau pasti bersekongkol
dengan Bajing Ireng!"
Dari balik gorden pintu, Roijah
melihat beberapa orang dengan wajah-
wajah kasar bertolak pinggang sambil menuding-nuding ayahnya.
"Dengan alasan apa kalian
menuduhku?" tanya Bek marto dengan tenang. Roijah diam-diam merasa bangga
terhadap perubahan perangai ayahnya
akhir-akhir ini.
"Pertama, kami pernah membuntuti maling itu dan ternyata ia masuk ke
rumah ini dan tidak keluar lagi.
Kedua, setelah tanah milik rakyat
dikembalikan oleh Van Eisen dan rakyat mengerjakan sawahnya masing-masing,
Bajing Ireng sudah tidak muncul-muncul lagi. Tepat sekali waktunya dengan
perubahan sikapmu terhadap Kumpeni
Belanda!" tukas mereka dengan berapi-api.
"Tuduhan tanpa bukti adalah
fitnah!" Bek Marto masih bisa men jawab dengan tenang.
"Baik! Kalau begitu kami akan
menggeledah kamar anakmu! Berikan
kunci lemarinya pada kami!"
"Apa hubungannya dengan anakku
Roijah?" kali ini Bek marto agak meninggikan suaranya.


Jaka Sembung 1 Bajing Ireng Maling Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar maksud para jago desa
yang berfihak pada Van Eisen itu,
Roijah menjadi terkejut bukan
kepalang. Apa mereka sudah tahu bahwa Bajing Ireng adalah dirinya" Dari mana
mereka tahu" Seingatnya hanya Parmin dan Pak Kinong serta istrinya saja
yang tahu siapa Bajing Ireng
sebenarnya. "Jangan banyak tanya! Mana kunci lemari anakmu!" desak tukang-tukang pukul sang
tuan tanah kepada Bek
Marto. Roijah tahu, jika mereka
menggeledah lemari dikamarnya tentu
akan menemukan sebuah peti berisi
kitab dan seperangkat pakaian silat
pemberian gurunya Peti itu sudah lama ia simpan di sana tanpa siapapun yang
mengetahuinya termasuk ayahnya
sendiri. Maka Roijah segera keluar
menuju ruang tamu untuk menghadapi
jagoan-jagoan tersebut.
"Aku tidak sudi memberikan kunci lemariku pada mereka, ayah!"
"Roijah?" sambut Bek Marto dengan nada heran.
"Ini suatu penghinaan terhadap
seorang gadis yang sedang menjalani
masa pingitan. Lebih baik terus terang dari siapa sumbernya, mereka menuduh aku
sebagai Bajing Ireng?"
"Kami memiliki orang andalan yang dapat menembus segala sesuatu yang
tersembunyi, seorang dukun sakti yang dapat bekerja sama dengan makhluk-makhluk
halus!" ujar salah seorang dari mereka dengan nada pongah.
"Kalau benar, kenapa tidak ia
suruh makhluk halus itu langsung
membunuh orang yang dicurigai" Aku tak gentar menghadapi jenis makhluk
seperti itu" tantang Roijah.
"Nah, jelas dialah orangnya,
terbukti tidak mau digeledah!! Ayo
tunggu apa lagi" Tangkap anak Bek
Marto itu dan kita hadapkan kepada
Tuan Leonard Van Eisen agar dijatuhi hukuman yang setimpal. Ayo kita
tangkap!" Dua orang dari mereka segera
menyergap Roijah yang meronta-ronta
sebagaimana layaknya seorang anak
perempuan biasa yang tak punya ilmu
bela diri. Melihat hal ini Bek Marto bertindak mencegahnya, tetapi ia
segera terjerembab karena
kakinya digaet oleh begundal yang lain!
"Lepaskan! Jangan sentuh aku!"
"Kalau tidak mengaku juga, kau
akan kukerjai didepan ayahmu ini,
neng!" disusul tangan mereka yang kekar itu membetot kebaya Roijah
sampai robek bagian dadanya sehingga kutangnya tampak dan membuat nafsu
binatang mereka semakin memuncak.
Sekali lagi Bek Marto mencoba
melindungi anaknya, tetapi sebuah
tendangan telak segera membuatnya
terpelanting ke lantai. Sementara itu salah seorang dari mereka mencoba
untuk membetot angkin pengikat kain yang dipakai Roijah.
Tepat pada detik-detik kritis itu
tiba-tiba tangan begundal yang
terjulur itu tersentak keras karena
sebuah batu kerikil di lemparkan orang tepat mengenainya.
Serentak ketiga jago bayaran itu memekik dengan ranting pohon tertancap di dahi
masing-masing. "Woaaaaaa"!" begundal biadab itu menjerit dengan kerasnya dan kedua
temannya menoleh kearah datangnya
suara lantang dari atas dahan pohon di depan rumah Bek Marto. Semua yang
hadir disitu terperangah kaget melihat sesosok tubuh dengan pakaian serba
hitam dan wajah yang tertutup kain
cadar berwarna hitam pula.
"Kalian mencari Bajing Ireng"
Inilah aku! Silakan tangkap aku
barangkali Van Eisen akan membuat
kalian jadi kaya-raya!"
Kontan tiga orang jago bayaran
itu melepaskan Roijah dan segera
memburu orang yang dicarinya, masing-masing dengan senjata terhunus. Namun baru
saja sampai di bawah pohon itu, tiba-tiba mereka bertiga meraung
kesakitan dengan potongan ranting
pohon yang tertancap di dahi masing-
masing. Ketiganya kemudian secara
bersamaan ambruk ke tanah untuk tidak bisa bangun lagi.
"Mereka hanya kecoa-kecoa
busuk.yang sepantasnya harus bernasib seperti itu!" ujar pendekar yang menamakan
dirinya Bajing Ireng,
disaksikan oleh Bek Marto dengan
pandangan penuh rasa kagum dan heran.
Roijah sendiri untuk beberapa
saat masih terperangah menatap
pendekar sakti yang masih bertengger di atas dahan pohon tepat di samping pintu
pekarangan itu.
"Hi hi hi hi hi..... terpaksa
Bajing Ireng muncul di siang hari
bolong!" katanya dan disusul dengan sebuah gerak salto di udara beberapa kali ia
melesat meninggalkan
pekarangan rumah Bek Marto dan lenyap dibalik rimbunan pohon di seberang
sana. Roijah menghela nafas dengan puji
syukur kepada Tuhan karena tanpa
terduga dapat lepas dari ancaman
bahaya para begundal yang kemaruk
hadiah itu. Bibirnya yang rekah delima itu bergetar dan membisikkan sesuatu
hampir tidak terdengar oleh ayahnya
sendiri yang masih menahan sakit
akibat tendangan tadi.
"Terimakasih, guru!"
Kemana tujuan perjalanan
Parmin murid tunggal Ki Sapu
Angin selanjutnya"
Ikutilah kisah Jaka Sembung
selanjutnya dalam episode
SI GILA DARI MUARA BONDET
SELESAI Scan/Convert/E-Book : Abu keisel
Tukang Edit : Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Sponsor Utama :
Warung Mbok Tukijem Pendekar Pemetik Harpa 20 Rahasia Dewi Purbosari Karya Aryani W Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 5
^