Pencarian

Bara Di Kedung Ombo 1

Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang Joko Sableng telah
Terdaftar pada Dept. Kehakiman R. I.
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek
dibawah nomor 012875
Karya: ZHAENAL FANANI SATU SESAAT Iblis Rangkap jiwa pentangkan mata
mengawasi Dewa Orok di seberang sana. Saat lain
laki-laki berkepala gundul itu melayang turun dari puncak batu lalu berkelebat
melintasi hamparan
pasir yang membelah dua kawasan berbatu. Se-
perti diceritakan dalam episode : "Kidung Maut Malam Purnama", begitu Malaikat
Penggali Kubur tahu kalau Dewa Orok ternyata masih hidup, dirinya sangat berang.
Lantas diperintahkannya Iblis Rangkap Jiwa untuk menghabisi Dewa Orok.
Sementara itu melihat Iblis Rangkap Jiwa ber-
kelebat turun dari puncak batu, Ni Luh Padmi pe-
lototkan sepasang matanya. Dada si nenek berde-
gup keras. Bukan karena melihat apa yang hendak
dilakukan laki-laki berkepala gundul itu, melainkan dia merasa Malaikat Penggali
Kubur pasti tak akan tinggal diam mengetahui dia tidak muncul di Bukit
Selamangleng dua hari yang lalu seperti
yang telah disepakatinya bersama Ratu Pemikat
dan Iblis Rangkap Jiwa.
Dari pertanyaan Ratu Pemikat sewaktu meng-
hadang kemunculannya di kawasan sebelah ka-
nan kedung, Ni Luh Padmi sudah dapat menebak
kalau Malaikat Penggali Kubur sempat muncul di
Bukit Selamangleng dua hari yang lalu. Kemuncu-
lan Malaikat Penggali Kubur sebenarnya di luar
dugaannya. Karena dia yakin pertemuan di pun-
cak bukit itu hanya diketahui olehnya serta Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa.
Dia tidak tahu kalau Ratu Pemikat sempat mengatakan rencana
pertemuan di bukit itu pada Malaikat Penggali Kubur saat perempuan cantik
bertubuh bahenol ini
menjumpai si pemuda.
Dada Ni Luh Padmi bukan saja dilanda gelisah
dengan persoalan munculnya Malaikat Penggali
Kubur di Bukit Selamangleng dua hari yang lalu.
Tapi yang lebih membuatnya gundah dan gelisah
adalah siapa yang dicari dan ditunggunya belum
juga ada tanda-tanda muncul di Kedung Ombo.
Padahal seperti alasan yang dikatakannya pada
Ratu Pemikat, si nenek telah berhasil mengetahui di mana tempat tinggal Pendeta
Sinting yang selama ini dicari dan tidak menemukan orangnya.
Ni Luh Padmi sebenarnya merasa sedikit lega
meski dia tidak menemukan Pendeta Sinting di
Jurang Tlatah Perak. Karena kepergian orang yang dicarinya masih belum lama dan
saat itu adalah
menjelang purnama. Hal itu membuat si nenek
yakin kalau kepergian Pendeta Sinting ada hubun-
gannya dengan pertemuan di Kedung Ombo. Apa-
lagi urusan di Kedung Ombo berkaitan dengan
murid tunggalnya Pendekar 131.
"Apa yang harus kulakukan sekarang"!" diam-diam Ni Luh Padmi bertanya pada diri
sendiri. "Menemui Malaikat Penggali Kubur di puncak batu itu dan mengatakan mengapa aku
tidak muncul di
Bukit Selamangleng dua hari yang lalu"!" Si nenek tengadahkan kepala ke puncak
batu di sebelahnya
di mana Malaikat Penggali Kubur sekarang telah
tegak. Nenek ini jadi terkesiap. Karena saat itu Malaikat Penggali Kubur
berpaling ke arahnya
dengan sorot mata menusuk tajam!
"Hem.... Aku masih punya dugaan kalau jaha-
nam Pendeta Sinting itu akan muncul di sini! Jadi aku tak mau buat masalah
dengan Malaikat Penggali Kubur sebelum bisa membereskan jahanam
itu! Kalau tidak, perjalananku ini hanya akan
menghasilkan kesia-siaan!"
Berpikir begitu, akhirnya perlahan-lahan Ni
Luh Padmi turun dari batu di mana dia tegak. La-
lu melangkah ke bagian belakang batu yang mem-
bentuk bukit, di mana tegak gubuk hitam yang di
bawahnya Malaikat Penggali Kubur berdiri.
Di lain pihak, melihat si nenek akan menuju ke
tempatnya, Malaikat Penggali Kubur tersenyum
dingin. Lalu dongakkan kepala seolah menunggu.
Dan begitu si nenek sudah sejarak lima langkah di belakangnya, dia putar tubuh.
Mulutnya keluarkan bentakan.
Jangan lancang buka mulut kalau tidak ku
tanya!" Ni Luh Padmi tersentak. Dia angkat tangannya memandang sejurus pada
Malaikat Peng- gali Kubur. Hatinya sudah tambah tidak enak.
Namun dia diam-diam membatin.
"Tak mungkin dia mau bikin urusan denganku
dalam situasi begini! Masalah Iblis Rangkap Jiwa kurasa lebih besar. Tapi dia
hanya memerintahkan laki-laki gundul itu selesaikan urusannya di sini!
Hem...." Tapi walau Ni Luh Padmi sudah membatin begi-
tu, si nenek tidak mau berbuat lengah. Bisa saja Malaikat Penggali Kubur berbuat
lain dengan dugaannya. Maka secara diam-diam dia kerahkan
juga tenaga dalam pada kedua tangannya. Tusuk
konde besar di tangan kanannya digenggam rapat.
"Apa yang kau lakukan hingga kau tidak mun-
cul di bukit"!" Malaikat Penggali Kubur membentak. Pandangannya menyengat
dingin. Si nenek balas memandang pada pemuda di
hadapannya. Saat itu tiba-tiba si nenek teringat akan ucapan-ucapan Gendeng
Panuntun. "Hem....
Ucapan manusia buta itu benar-benar terjadi! Aku betul-betul berurusan dengan
orang yang selama
ini tidak terduga sama sekali! Hem...!" Ni Luh Padmi menghela napas. "Tapi semua
sudah terjadi! Tak mungkin aku melangkah mundur. Bahkan
sekalipun harus menghadapi pemuda ini!" Dada si nenek berubah agak tenteram.
Malah perlahan-lahan tekadnya muncul. "Kalau dia tidak mau mengerti urusanku
hingga aku tidak muncul di
bukit dua hari yang lalu, aku siap menghadapinya saat ini!" Setelah berpikir
begitu, Ni Luh Padmi buka mulut. "Aku jumpa seseorang yang menunjukkan tempat
Pendeta Sinting! Sayang setelah
aku sampai di tempat jahanam itu, bangsatnya ti-
dak kutemukan! Aku menunggunya sampai satu
hari menjelang purnama! Ketika bangsat itu tidak muncul juga, aku akhirnya
langsung kemari!"
"Apa tugasmu mencari manusia sinting itu"!"
tanya Malaikat Penggali Kubur masih dengan sua-
ra meradang. "Tidak!" jawab si nenek dengan suara agak tinggi. "Tapi bagaimanapun juga itu
salah satu tu-juanku selama ini!"
Mendengar nada suara si nenek, Malaikat
Penggali Kubur sipitkan sepasang matanya. Lalu
enteng saja dia angkat bicara.
"Kau lupa apa yang harus kau lakukan jika
menghadapiku"!"
Karena Ni Luh Padmi sudah tahu bagaimana
tadi Iblis Rangkap Jiwa bersikap, maka dengan
menindih rasa geram, si nenek perlahan-lahan ja-
tuhkan diri berlutut di atas puncak batu.
"Kalau saja urusanku dengan tua bangka jahanam sinting itu usai, tak sudi aku
diperlakukan orang begins rupa! Hem.... Ini gara-gara jahanam sinting itu!" kata
si nenek dalam hati. Perlakuan Malaikat Penggali Kubur membuat kegeraman Ni
Luh Padmi pada Pendeta Sinting makin berkobar
dan makin dalam.
"Kau dapat menduga ke mana kira-kira orang
yang kau cari itu"!" tanya Malaikat Penggali Ku-
bur. Karena diam-diam pemuda ini ingin juga
menghabisi nyawa Pendeta Sinting, sebab Pendeta
Sinting adalah guru Pendekar 131, orang yang ha-
rus dimusnahkan!
"Kalau aku tahu ke mana perginya, aku tak
akan tinggal diam! Saat ini dia boleh berlari, tapi tak ada tempat baginya untuk
sembunyi!"
"Apa kau menganggap murid orang yang kau
cari termasuk orang yang harus kau musnahkan
juga"!"
"Hem.... Orang ini rupanya hendak menyuruh-
ku menghabisi pemuda murid Pendeta Sinting
itu!" simpul Ni Luh Padmi sambil lirikkan matanya ke seberang sana, di mana
murid Pendeta Sinting
tegak berada. "Kau takut menghadapi murid jahanam sinting itu"!" Ni Luh Padmi balik bertanya.
Mata Malaikat Penggali Kubur membesar ang-
ker. Pelipisnya bergerak-gerak. Namun kejap lain, pemuda murid Bayu Bajra ini
perdengarkan tawa
pendek. Lalu berkata dengan dada dibusungkan.
"Dengar, Nenek Tua! Saat ini tak ada yang kutaku-ti di atas bumi ini! Sejak
malam ini, kekuasaan
rimba persilatan ada dalam genggamanku!" Malaikat Penggali Kubur angkat tangan
kanannya. Lalu perlahan-lahan membuat gerakan mengepal hing-
ga terdengar suara berkeretekan.
"Lalu apa maksud ucapanmu tadi"!" tanya Ni Luh Padmi.
"Kau adalah salah seorang yang harus tunduk pada perintahku. Jadi jangan kau
anggap aku takut hadapi orang kalau aku memerintahmu
menghadapi orang itu! Kau paham maksudku"!"
Ni Luh Padmi tidak segera menjawab atau ang-
gukkan kepala walau dia sudah bisa menebak ke
arah mana ucapan Malaikat Penggali Kubur.
"Aku ingin tahu sampai di mana ilmu yang kau miliki! Hadapi manusia bangsat
bergelar Pendekar 131 itu! Tapi ingat, nyawanya untukku! Kau hanya perlu
membuatnya meregang nyawa!" ucap Malaikat Penggali Kubur lalu balikkan tubuh.
Sesungguhnya, di balik perintah Malaikat
Penggali Kubur agar Ni Luh Padmi hadapi murid
Pendeta Sinting, ada satu maksud tertentu. Malaikat Penggali Kubur telah
mendengar kalau Pende-
kar 131 membekal dua kitab sakti. Namun selama
ini dia belum sempat bertemu dengan murid Pen-
deta Sinting hingga dia tak dapat mengukur sam-
pai di mana kehebatan murid Pendeta Sinting se-
telah di tangannya tergenggam dua kitab sakti itu.
Dalam diri Malaikat Penggali Kubur sebenarnya
sudah tertanam keyakinan kalau Kitab Hitam di
tangannya lebih hebat. Tapi dia akan lebih yakin lagi kalau dia sudah melihat
bagaimana ilmu murid Pendeta Sinting saat ini. Untuk itulah dia sengaja
memerintahkan Ni Luh Padmi untuk meng-
hadapi Pendekar 131.
Di lain pihak, Ni Luh Padmi sebenarnya enggan
untuk menghadapi murid Pendeta Sinting meski
dia masih merasa geram dengan Joko karena saat
bertemu pada beberapa hari yang lalu, Joko tidak mau mengatakan di mana Pendeta
Sinting berada.
Lebih dari itu, karena dia sesungguhnya tidak
mau buang tenaga sia-sia sebelum menemukan
orang yang selama ini dicarinya.
Tapi karena Ni Luh Padmi tidak mau bikin
urusan dengan Malaikat Penggali Kubur, apalagi
setelah maklum kalau si pemuda sukar ditakluk-
kan, maka dengan langkah enggan, si nenek turun
dari puncak batu dan memutuskan menghadapi
murid Pendeta Sinting.
Sementara itu, di sebelah kiri batu yang mem-
bukit di mana Malaikat Penggali Kubur berada,
Putri Sableng tampak membuat gerakan begitu
melihat iblis Rangkap Jiwa melayang turun dari
puncak bukit. Gadis berjubah merah ini seolah
hendak berkelebat, namun entah karena apa tiba-
tiba dia urungkan niat. Dia kini hanya melihat gerakan Iblis Rangkap Jiwa yang
mulai berlari me-
lintasi hamparan pasir.
Tidak jauh dari Putri Sableng, Dewi Siluman
tampak pentangkan mata melihat gerakan iblis
Rangkap Jiwa. Tapi perempuan bercadar hitam ini
tidak membuat gerakan apa-apa.
Sedangkan kedua orang berwajah hitam yang
ada di puncak batu cadas putih sama-sama kan-
cingkan mulut dengan mata masing-masing orang
memejam rapat! Namun begitu, tampak sekali ke-
palanya bergerak mengikuti arah berlarinya Iblis Rangkap Jiwa!
Sementara di seberang, Ratu Pemikat yang te-
gak tidak jauh dari Dewa Orok segera melompat
kesamping kiri, seolah memberi jalan Iblis Rang-
kap Jiwa. Dari bentakan Malaikat Penggali Kubur
dan sikap Iblis Rangkap Jiwa, rupanya perempuan
bertubuh bahenol itu sudah dapat menangkap apa
yang akan dilakukan Iblis Rangkap Jiwa.
Tidak jauh dari Ratu Pemikat, Dewa Orok don-
gakkan kepala dengan tubuh bergetar! Dia juga
sudah tahu ke mana arah yang dituju Iblis Rang-
kap Jiwa. Pemuda bertangan buntung ini sadar
kalau jiwanya berada di ujung tanduk! Karena se-
lain paham kalau Iblis Rangkap Jiwa berilmu ting-gi dan tidak mempan pukulan,
dia juga maklum,
tanpa bundaran karet miliknya, dia tidak bisa kerahkan tenaga dalam apalagi
lepaskan pukulan.
Dia memang masih bisa kerahkan ilmu peringan
tubuh untuk berkelit menghindar. Tapi apa gu-
nanya kalau menghadapi Iblis Rangkap Jiwa" Dan
sampai kapan dia mampu menghindar menghada-
pi Iblis Rangkap Jiwa yang berilmu tinggi"
Namun melihat gerakan Iblis Rangkap Jiwa,
yang tidak kalah terkejutnya adalah murid Pende-
ta Sinting. Dia saat itu masih tegak di hamparan pasir yang membelah dua kawasan
berbatu di kanan kiri kedung. Padahal untuk sampai pada De-
wa Orok, Iblis Rangkap Jiwa harus melewati tem-
pat di mana dia saat itu tegak. iblis Rangkap Jiwa pasti tidak akan begitu saja
lewat, karena Iblis Rangkap Jiwa sendiri punya ganjalan dengan murid Pendeta


Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sinting. Berpikir sampai ke sana, akhirnya begitu Iblis
Rangkap Jiwa mulai berlari melintasi hamparan
pasir di depan kedung, murid Pendeta Sinting ce-
pat menghadang.
Gerakan Pendekar 131 membuat Dewa Orok
sedikit bernapas lega, sementara di seberang sana, Ni Luh Padmi urungkan niatnya
yang hendak berlari ke arah murid Pendeta Sinting. Dan menung-
gu apa yang akan terjadi.
Di lain pihak, melihat dirinya dihadang, Iblis
Rangkap Jiwa segera hentikan larinya sejarak tu-
juh langkah di hadapan murid Pendeta Sinting.
"Hem.... Akhirnya kau yang harus mengubah
warna air kedung terlebih dahulu!" ujar Iblis Rangkap Jiwa. Kedua tangannya
sudah terangkat
di atas kepala.
Murid Pendeta Sinting pandangi orang sesaat.
Lalu bertanya. "Imbalan apa yang kau peroleh hingga kau rela mengabdi pada pemuda di gubuk
hitam itu"! Perempuan cantik"!" Sesaat Joko hentikan ucapannya. Lalu tanpa
memberi kesempatan Iblis Rangkap Jiwa untuk angkat bicara, dia telah lanjutkan
ucapan. "Kalau imbalan itu yang kau inginkan, aku bisa memberimu lebih! Aku punya banyak
simpanan perempuan cantik! Kau tinggal sebut bagaimana
seleramu! Putih mulus, hitam manis, kuning lang-
sat"! Berambut panjang, berambut pendek, atau
keriting..." Bertubuh montok, kurus, atau gem-
brot"! Bahkan aku punya simpanan nenek-nenek
yang penampilannya tidak kalah dibanding gadis-
gadis muda!"
Iblis Rangkap Jiwa pentangkan mata dengan
hidung mendengus. Tapi sebelum laki-laki ini
sempat buka mulut, dari arah puncak batu cadas
putih terdengar teriakan.
"Hai, Teman Baru! Tidak dinyana kalau kau
punya simpanan perempuan begitu lengkap! Ke-
napa kau tadi tidak memberi tawaran pada kami
berdua"! Apa penampilan kami berdua kurang ke-
ren"! Padahal kalau diukur dengan orang di hada-
panmu, siapa pun juga pasti mengatakan kami le-
bih cakep!"
"Betul! Lihat, rambut di kepalanya saja dia tidak punya. Apalagi rambut di
dalamnya! Hik....
Hik.... Hik. .! Raut wajahnya hanya tinggal tulang-belulang. Bagaimana bentuk
senjata saktinya"!
Jangan-jangan hanya tinggal kerangka tanpa dag-
ing! Waduh.... Mungkin bentuknya akan lucu!"
"Lucu memang lucu!" sahut satunya. "Yang ku-bayangkan bagaimana cara
bekerjanya"!"
"Husyy! Jangan bicara jauh-jauh sampai ke si-tu! Di sini ada telinga seorang
gadis yang ikut mendengarkan!"
"Ah.... Aku tidak bicara terlalu jauh! Aku hanya membayangkan! Dan kalaupun ada
telinga gadis yang mendengarkan dan ikut membayangkan, itu
salahnya sendiri!"
Lalu terdengar suara tawa bergelak bersahut-
sahutan. Malah semua orang lamat-lamat juga
mendengar suara tawa perempuan cekikikan yang
berasal dari kawasan berbatu di sebelah kiri kedung di atas mana Malaikat
Penggali Kubur tegak.
Iblis Rangkap Jiwa sentakkan kaki kanannya.
Kepalanya berpaling mendongak ke arah puncak
batu cadas putih. Namun gerakan laki-laki berke-
pala gundul ini terlambat. Karena matanya sudah
tidak melihat dua kepala berambut awut-awutan
yang tadi nongol di bibir puncak batu.
"Aku telah menawarkan imbalan padamu! Ba-
gaimana"! Kau pilih yang mana"! Atau kau ingin
borong semuanya"!" ujar murid Pendeta Sinting.
'Tak ada imbalan yang kuminta selain selembar
jiwamu!" hardik Iblis Rangkap Jiwa dengan kepala masih berpaling ke puncak batu
cadas. "Ah.... Aku tahu sekarang!" kata Joko. "Mungkin kau orang yang tidak suka dengan
perempuan! Kalau kau lebih suka laki-laki, aku juga punya
banyak simpanan! Kau tinggal katakan bagaimana
yang kau inginkan.... Hitam legam berbulu, putih mulus, atau setengah putih
berbintik-bintik hitam" Ah, aku lupa! Mereka yang kutawarkan pa-
damu tadi, punya keistimewaan! Mereka bisa ber-
suara merdu, meringkih, malah mendesah-desah
juga ada...!"
Iblis Rangkap Jiwa sentakkan kepalanya meng-
hadap Joko. Namun lagi-lagi sebelum dia sempat
buka mulut, dari puncak batu cadas putih terden-
gar seruan. "Raden Mas Antar Bumi! Kita tertipu!" Seruan itu jelas menunjukkan kalau yang
berseru adalah Raden Mas Antar Langit.
"Tertipu apa?" kata seruan yang menyahut.
"Mendengar ucapan Teman Baru tadi, kurasa
yang ditawarkan bukan sebangsa manusia! Tapi
bangsanya binatang! Sialan betul Teman Baru itu!
Tega-teganya ajukan tawaran bangsa binatang pa-
da orang!"
"Mungkin Teman Baru itu tahu kalau orang
yang ditawari suka bangsa binatang! Kalau tidak, mana mungkin dia tawarkan
itu"!"
"Ah.... Kasihan juga ya..." Penampilan keren dan angker, tak tahunya berselera
menyimpang!"
Untuk kesekian kalinya kembali terdengar sua-
ra tawa bersahut-sahutan. Malah suara tawa pe-
rempuan yang cekikikan sudah meledak menda-
hului suara tawa dari puncak batu cadas putih.
Mendengar suara-suara yang memojokkan di-
rinya, Iblis Rangkap Jiwa jadi kalap. Sambil putar tubuh laksana hendak terbang,
laki-laki berkepala gundul ini berkelebat menghadap batu cadas putih. Kedua
tangannya bergerak.
Wuuttt! Wuuutt!
Dua gelombang hitam menggebrak ganas ke
arah puncak batu cadas putih. Dua kepala yang
baru saja hendak nongol serta-merta lenyap. Sua-
ra tawa bersahut-sahutan laksana dirobek setan!
Brakkk! Brakkk!
Bibir julangan batu cadas putih longsor di dua
tempat membentuk sempalan besar. Batu cadas
putih tampak bertabur di atas hamparan pasir.
Meski tempat yang terkena hantaman pukulan ib-
lis Rangkap Jiwa adalah kawasan batu cadas pu-
tih di depan kedung, tapi semua orang yang ada di tempat itu rasakan tempat
pijakan masing-masing
bergetar keras. Malah gaung suara berderaknya
julangan batu cadas putih sempat membuat dada
berdebam! Jelas pertanda kalau Iblis Rangkap Ji-
wa lepaskan pukulan dengan tenaga dalam sangat
kuat! Semua kepala kini terarah pada puncak batu
cadas putih. Sementara Iblis Rangkap Jiwa sudah
tegak di tempatnya semula di hadapan murid Pen-
deta Sinting dengan mata mendelik ke puncak ba-
tu cadas. Bahkan kedua tangannya masih terang-
kat di atas kepalanya seolah siap hendak lepaskan pukulan kedua kalinya.
Semua orang sesaat jadi terdiam dan menung-
gu-nunggu dengan dada berdebar. Karena dari
puncak batu cadas putih tidak terlihat lagi adanya gerakan atau terdengarnya
suara orang! "Ke mana mereka" Apa mereka terluka kena bi-as hantaman orang ini"! Hem....
Bagaimana cara menghadapi orang ini"! Kulihat gadis sialan itu berada di seberang dan bergabung
dengan Malaikat
Penggali Kubur! Sementara tak mungkin Ratu Pe-
mikat melakukannya. Karena meski dia tegak ber-
seberangan dengan Malaikat Penggali Kubur, tapi
kuyakin dia berpihak ke pemuda itu!" Diam-diam murid Pendeta Sinting membatin.
Karena ditunggu agak lama dari puncak batu
cadas putih tidak juga terlihat adanya gerakan
atau suara yang terdengar, akhirnya Iblis Rangkap Jiwa palingkan kepala ke arah
murid Pendeta Sinting. "Kau berani bicara kurang ajar padaku! Nya-
wamu akan kubelah dua kali!" bentak Iblis Rangkap Jiwa saking geramnya.
"Kau jangan termakan ucapan orang-orang tadi!
Yang kutawarkan padamu manusia asli! Bukan
bangsa binatang!" ujar murid Pendeta Sinting.
Joko sengaja mengulur waktu sambil berpikir
bagaimana cara melumpuhkan orang di hadapan-
nya. Karena seperti diketahui, Iblis Rangkap Jiwa memiliki kepandaian sangat
tinggi dan tidak
mempan pukulan. Sementara kekuatan yang dimi-
likinya itu baru bisa musnah kalau laki-laki berkepala gundul itu melihat pantat
seorang laki-laki dan perempuan secara bersamaan. Padahal untuk
itu tidak mudah mendapatkannya sekarang dan
dalam keadaan seperti ini.
"Dengar, Keparat!" sentak Iblis Rangkap Jiwa.
"Aku tidak akan terima imbalan apa pun! Nyawamu sudah lebih daripada semuanya!"
"Ah, kebetulan sekali! Sejak jumpa pertama kali dahulu, aku memang ingin
tanyakan apa sebab-nya kau inginkan nyawaku! Sekarang bisa je-
laskan!" kata Joko dengan dada berdebar, karena sampai saat ini dia belum
menemukan jalan keluar bagaimana cara menghadapi Iblis Rangkap
Jiwa. "Kau tak akan peroleh penjelasan apa-apa!"
hardik Iblis Rangkap Jiwa.
"Iblis Rangkap Jiwa! Jangan terlalu banyak mulut!" Tiba-tiba terdengar teriakan
dari puncak batu bergubuk hitam. "Kau selesaikan tugasmu! Keparat di hadapanmu
ada yang akan menghadapinya
sendiri!" Tanpa berpaling pada orang yang buka teria-
kan, Iblis Rangkap Jiwa sudah tahu siapa adanya
orang yang baru saja berteriak.
"Kau masih bernasib baik, Jahanam!" desis Iblis Rangkap Jiwa. "Tapi jangan harap
kau nanti bi-sa tewas sebelum mencicipi kedua tanganku!"
Habis berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa arah-
kan pandangannya pada Dewa Orok. Laki-laki
berkepala gundul ini cepat berkelebat. Namun be-
lum sampai sosoknya bergerak, tiba-tiba dari puncak batu cadas putih terdengar
teriakan. "Hai, Teman Baru! Siapa akhirnya yang dipilih orang di hadapanmu itu"!"
Semua kepala kini kembali tertuju pada puncak
batu cadas putih kecuali kepala Iblis Rangkap Ji-wa. Satu kepala berwajah hitam
tampak nongol di
bibir batu yang sebagian hancur akibat pukulan
Iblis Rangkap Jiwa.
"Dia tidak memilih salah satu dari tawaranku!
Aku jadi tak habis pikir, apa sebenarnya imbalan yang diiming-imingkan pemuda di
bawah gubuk itu hingga dia mau-maunya saja lakukan apa yang
diperintahkan orang!" kata Joko sambil melirik ke arah Iblis Rangkap Jiwa.
Iblis Rangkap Jiwa tambah panas mendapati
orang di atas puncak batu cadas masih bisa kelu-
arkan suara. Dia sebenarnya ingin lepaskan puku-
lan sekali lagi, bahkan ingin berkelebat naik ke puncak batu cadas putih. Namun
karena baru sa-ja mendengar perintah Malaikat Penggali Kubur,
mau tak mau dia harus tindih dahulu kemara-
hannya dan segera selesaikan tugasnya menghabi-
si Dewa Orok. Dengan membawa kemarahan menggejolak, Ib-
lis Rangkap Jiwa berkelebat ke arah Dewa Orok.
Tapi satu suara tiba-tiba menyeruak. Jelas suara ini mirip sekali dengan suara
Malaikat Penggali
Kubur tadi. "Iblis Rangkap Jiwa! Tahan gerakanmu! Kau
kembali dahulu ke puncak batu di mana kau tadi
berada!" Iblis Rangkap Jiwa tahan gerakannya. Lalu pu-
tar tubuh dengan tulang dahi bergerak. Kepalanya tengadah memandang ke jurusan
puncak batu bergubuk hitam di seberang sana. Saat itulah dari puncak batu bergubuk hitam
terdengar teriakan
dahsyat. "Keparat! Bukan aku yang berteriak barusan!
Cepat lakukan tugasmu!"
Ucapan Malaikat Penggali Kubur tentu saja
membuat Iblis Rangkap Jiwa bingung. Saat itulah
dari puncak batu cadas putih terdengar orang bergumam.
"Suaramu mirip! Sayang Teman Baru kita tak
bisa gunakan kesempatan! Lihat, ia tetap diam di tempatnya tanpa berbuat apa-
apa!" "Dasar sontoloyo sedeng! Tidak tahu kalau dia di beri kesempatan untuk berbuat
sesuatu!" terdengar sahutan.
Iblis Rangkap Jiwa tegak dengan kaki bergetar.
Kini dia maklum kalau suara yang menahan gera-
kannya tadi adalah suara salah seorang yang be-
rada di puncak batu cadas putih! Bukan ucapan
Malaikat Penggali Kubur.
Iblis Rangkap Jiwa cepat balikkan tubuh hen-
dak langsung berkelebat ke arah Dewa Orok, na-
mun laki-laki ini terkesiap kaget. Bersamaan dengan gerakannya memutar, dua buah
benda hitam menghantam tengkuk serta lambungnya!
Iblis Rangkap Jiwa berseru tertahan. Karena
saat itu juga dia rasakan sekujur tubuhnya kejang tak bisa digerakkan!
* * * DUA BANGSAT! Berani kau berlaku pengecut meno-
tokku dari belakang!" teriak Iblis Rangkap Jiwa dengan suara keras bergetar.
Karena sewaktu totokan yang ternyata dilakukan murid Pendeta
Sinting bersarang di tengkuk dan lambungnya, la-
ki-laki berkepala gundul ini sedang putar tubuh
hendak menghadap ke tempat Dewa Orok. Maka


Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kini sosoknya tepat menghadap ke julangan batu
cadas putih. Joko melangkah mundur dua tindak. Mungkin
karena tadi terlalu tenggelam mencari jalan keluar untuk lumpuhkan Iblis Rangkap
Jiwa, di benak-nya tidak terpikir sama sekali kalau gerakan dan ulah Iblis
Rangkap Jiwa bisa ditahan dengan totokan. Dia baru tersadar setelah mendengar
guma- man kedua orang di atas puncak batu cadas pu-
tih. Hingga begitu Iblis Rangkap Jiwa hendak ba-
likkan tubuh, cepat dia sarangkan totokan pada
laki-laki berkepala gundul itu.
"Kau akan menyesal, Jahanam!" teriak Iblis Rangkap Jiwa.
"Penyesalan hanya akan datang di kemudian
hari! Jadi untuk saat ini jangan bicara soal sesal menyesal! Kalau boleh
dibilang menyesal, sebenarnya kau yang harus merasa menyesal! Aku te-
lah tawarkan kenikmatan padamu, tapi kau meno-
lak!" kata Joko sambil arahkan pandangan ke puncak batu cadas putih.
Dua wajah hitam dan rambut awut-awutan
tampak nongol di bibir batu cadas yang sebagian
telah hancur. Sesaat kedua wajah ini saling ber-
hadapan dengan mata saling pandang. Lalu sama-
sama arahkan pandangannya pada Iblis Rangkap
Jiwa. "Lihat Iblis Rangkapan itu! Apa yang dilakukan"! Menghadap ke arah kita terus
menerus! Jangan-jangan dia naksir kita!"
"Hussyy! Dia itu tengah bersemadi! Dan mum-
pung dia bersemadi, bagaimana kalau kita bukti-
kan"!"
"Buktikan apanya"!" tanya satunya.
"Wajahnya hampir tidak tertutup daging. Kepalanya tidak ditumbuhi rambut! Aku
ingin tahu, apakah senjata saktinya juga tidak berdaging dan
gundul pula"! Lagi pula bukankah kau butuh ce-
lana"! Kalau orang lagi semadi begitu, apa pun
yang dilakukan orang terhadapnya, dia tak akan
peduli!" "Ah.... Tentu satu pemandangan menarik di bulan yang tengah purnama begini! Aku
pun juga perlu celananya!"
"Keparat! Berani kalian teruskan maksud, ku-kuliti daging kalian!" teriak Iblis
Rangkap Jiwa. "Bagaimana ini" Apa ada orang bersemadi bisa mengancam"!"
"Itulah semadi bangsanya iblis! Dia masih bisa berbicara bahkan mengancam! Tapi
percayalah. Dia tak akan peduli meski apa pun yang akan kau
lakukan terhadapnya! Kita buktikan sekarang...."
Dua kepala ini lantas beringsut mundur. Kare-
na puncak batu cadas letaknya paling tinggi, maka semua orang tak tahu apa yang
diperbuat kedua
orang itu. Namun sebelum dua kepala milik dua
laki-laki berwajah hitam ini benar-benar bering-
sut, satu teriakan keras membelah menguman-
dang di tempat itu.
"Jangan ada yang berani bergerak! Atau kalian akan mengalami nasib seperti ini!"
Begitu suara teriakan lenyap, yang ternyata di-
perdengarkan oleh Malaikat Penggali Kubur, ter-
dengar suara deru perlahan. Tidak ada gelombang
atau sapuan angin. Namun di kejap lain semua
mata di tempat itu membeliak.
Julangan batu cadas bergetar dahsyat. Lalu
laksana disapu gelombang hebat yang berkekua-
tan kuat, julangan batu cadas putih hancur ber-
keping-keping. Hamburan batu cadas tampak
memenuhi pemandangan di atas Kedung Ombo.
Dan di antara kepingan batu cadas, tampak dua
sosok hitam membubung ke udara, lalu melayang-
layang dan lenyap di balik julangan batu cadas
putih yang kini tinggal separoh.
"Hem.... Daya kekuatan Kitab Hitam itu ternyata luar biasa! Apa isi Kitab Serat
Biru dan Sundrik Cakra mampu membendungnya"!" Diam-diam
murid Pendeta Sinting membatin. Lalu arahkan
pandangannya ke tempat mana tadi dua sosok hi-
tam melayang jatuh. Namun meski julangan batu
cadas putih telah terpenggal separo, batu cadas
itu masih kira-kira setinggi tujuh tombak, hingga pandangan Joko masih
terhalang. Sementara itu di seberang sana, Malaikat Peng-
gali Kubur cepat berpaling pada Ni Luh Padmi.
"Nenek keparat! Apa lagi yang kau tunggu"!
Atau kepalamu ingin kubuat seperti batu cadas
itu"!"
Tanpa berpikir lagi, Ni Luh Padmi segera berke-
lebat dan tahu-tahu sosoknya telah tegak tujuh
langkah di hadapan murid Pendeta Sinting.
"Nek! Bebaskan aku dahulu!" kata Iblis Rangkap Jiwa begitu menyadari kalau si
nenek tegak tidak jauh dari tempatnya.
Ni Luh Padmi tidak hiraukan ucapan Iblis
Rangkap Jiwa. Dia arahkan pandangannya pada
murid Pendeta Sinting dan perhatikan si pemuda
dengan seksama. "Murid dan gurunya hampir tidak ada bedanya! Dalam situasi
begini masih bisa-bisanya bercanda dan main-main! Sebenarnya aku
tidak punya silang sengketa besar dengan pemuda
ini! Kalaupun ada itu hanya karena dia dulu tidak mau mengatakan di mana bangsat
gurunya men-dekam! Hem.... Tapi saat ini lain urusannya!"
"Nek! Kenapa kau tak segera membebaskan-
ku"!" seru Iblis Rangkap Jiwa ketika menyadari Ni Luh Padmi tidak segera lakukan
keinginannya. "Aku tidak diperintah untuk membebaskanmu!
Aku punya tugas menghabisi pemuda sinting ini!"
"Tapi tak ada salahnya kau membebaskanku!"
"Pemuda sinting ini yang menotokmu! Minta tolong padanya! Aku tak mau bertindak
selain yang diperintah! Itu pun karena aku sudah telanjur!"
"Nek! Meski bukan perintah, tapi...."
"Dengar! Sekali aku bilang tidak, tidak!" potong Ni Luh Padmi dengan suara agak
keras. "Bangsat! Menyesal aku membiarkanmu hidup
sampai malam ini! Tahu kau memendam niat bu-
suk, sejak pertama di bukit itu kau kuhabisi!"
ucap Iblis Rangkap Jiwa.
Si nenek tertawa pendek. "Percuma kau sesali apa yang telah terjadi! Bukan hanya
kau, tahu begini keadaannya, aku juga menyesal ikut berkom-
plot denganmu!. Bukannya dapat menemukan
orang yang kucari, malah jadi budak orang!"
"Eh, jadi kau masih rindu sama guruku"!" Joko menyahut.
Ni Luh Padmi mendelik. Joko tidak peduli. Dia
lanjutkan ucapannya. "Nek.... Tinggalkan tempat ini! Aku akan tunjukkan di mana
orang yang kau cari...." "Terlambat, Anak Sinting! Aku telah tahu di mana sarang gurumu! Sayang,
bangsatnya sudah
minggat saat aku sampai di sana!'
"Hem.... Pasti kau datang ke Jurang Tlatah Perak! Kalau kau ke sana, sampai
kiamat pun kau tak akan temukan guruku!"
Dahi Ni Luh Padmi berkerut. "Apa benar uca-
pan pemuda sinting itu"! Apa jahanam sinting itu punya dua sarang"!"
Sebenarnya murid Pendeta Sinting tadi hanya
memancing. Dia tadi lamat-lamat masih menden-
gar pembicaraan si nenek dengan Malaikat Peng-
gali Kubur. Dan begitu melihat perubahan pada
paras muka si nenek, Joko cepat lanjutkan uca-
pannya. "Kau jangan heran, Nek! Selama ini orang memang mengetahui kalau Pendeta Sinting
berada di Jurang Tlatah Perak. Tapi yang benar, tempat itu sudah ditinggalkan sepuluh
purnama yang lalu!"
Tanpa sadar, Ni Luh Padmi segera buka mulut
bertanya. "Sekarang di mana"!"
"Sepuluh purnama yang lalu, guruku berkena-
lan dengan seorang gadis muda cantik jelita. En-
tah apanya yang menarik dari guruku, gadis muda
itu jatuh cinta. Singkatnya mereka lantas kawin!
Pesta perkawinan mereka diadakan besar-
besaran...."
"Cukup!" tukas si nenek. Paras wajahnya merah membara laksana dipanggang.
Pandangan matanya berkilat-kilat. "Aku tak tanya segala macam perkawinan dan
pesta! Aku tanya sekarang di ma-na! Kau dengar" Sekarang di mana!"
"Jangan percaya ucapan dusta pemuda itu!" Iblis Rangkap Jiwa menyahut.
Mungkin karena jengkel, dan mendengar Iblis
Rangkap Jiwa ikut-ikutan buka suara, Ni Luh
Padmi segera menghardik.
"Kuperingatkan kau, Iblis Rangkap Jiwa! Jangan ikut-ikutan bicara! Atau kau
ingin kubuat tak bisa buka mulut, hah"!"
Iblis Rangkap Jiwa menyumpah-nyumpah da-
lam hati. Sementara melihat gelagat, Joko sedikit banyak sudah dapat menebak apa
urusan si nenek dengan Pendeta Sinting gurunya.
"Nek!" kata Joko. "Nada bicaramu sepertinya kau merasa cemburu mendengar guruku
kawin dengan gadis muda berwajah cantik...."
Ni Luh Padmi genggam tusuk kondenya erat-
erat dengan tangan bergetar. Jelas kalau si nenek sedang menindih rasa geram.
"Dengar, Anak Sinting! Aku tak peduli bangsat gurumu itu kawin dengan gadis
cantik atau tidak!
Aku juga tak peduli jahanam gurumu itu pesta
sampai beberapa purnama! Jadi jangan lancang
bicara menuduh cemburu!"
"Ah.... Bagaimana kau ini"! Padahal menurut cerita guruku, kalian berdua dahulu
adalah pa-sangan serasi! Ke mana-mana selalu berdua bah-
kan saling bergandengan tangan! Di mana ada kau
pasti di situ ada guruku! Kau tahu, Nek! Guruku
sebenarnya masih sering mengingatmu! Dia sering
menceritakanmu! Hanya saja dia tidak mau berte-
rus terang...."
"Terus terang apa"!" sentak si nenek. Namun murid Pendeta Sinting masih bisa
menangkap na-da kegembiraan disentakkan suara si nenek.
"Dia tak mau mengatakan mengapa akhirnya
berpisah denganmu! Meski begitu, sedikit banyak
aku bisa menebak apa yang memisahkan kalian
berdua...."
Ni Luh Padmi tidak segera menyahut. Wajahnya
yang sejenak tadi tampak berseri kini merah men-
gelam. Dadanya naik turun dengan keras.
"Dari pembicaraan guruku, aku bisa menduga
kalau kau yang terlebih dahulu terpikat dengan
orang lain! Betul bukan"!" ujar Joko dengan sunggingkan senyum.
Lagi-lagi Ni Luh Padmi tidak menyahut. Hanya
wajahnya yang makin merah mengelam. Malah
saat itu juga si nenek angkat kepalanya pandangi bentangan langit Kedung Ombo
yang makin tampak terang benderang.
"Aku telah lama hidup dengan Pendeta Sinting.
Dia orangnya setia dan penuh pengertian! Jadi
mustahil dia berbuat yang tidak-tidak padamu,
apalagi sampai terpikat dengan gadis lain! Kalaupun sampai dia kawin lagi dengan
gadis muda cantik, itu karena dia sudah terlalu lama menung-gumu dan tak ada kabar
beritanya! Aku...."
"Diam!" teriak si nenek setengah menjerit. "Kau tak ada bedanya dengan tua
bangka jahanam itu!
Pandai bicara dan pintar memutar balik kenya-
taan! Anak sinting sepertimu layak mampus selagi muda, agar nantinya tidak
meminta korban!"
Keengganan si nenek untuk berhadapan den-
gan murid Pendeta Sinting karena dirasa urusan-
nya hanya sepele jadi berubah. Kini si nenek jadi bernafsu untuk membunuh Joko.
Di lain pihak, Pendekar 131 jadi makin yakin apa sebenarnya
urusan yang mengganjal antara si nenek dengan
gurunya. "Nek! Urusan asmara tidak akan ada ujungnya kalau diselesaikan dengan hati
dibungkus rasa cemburu dan kebencian! Justru mungkin kau
akan mendapatkan penyesalan yang lebih dalam!
Kau memang akan mendapat kepuasan jika telah
membunuh Pendeta Sinting. Tapi apalah artinya
kepuasan kalau cuma sekejap"! Dan setelah itu
didera rasa sesal berkepanjangan"!"
"Dengar, Anak Sinting! Kau masih bau kencing!
Tak patut memberi nasihat! Lagi pula tua bangka
jahanam itu sengaja mengatakan yang baik-baik
padamu! Sementara apa yang jelek disimpan un-
tuk dirinya sendiri! Aku masih beri kesempatan
padamu! Katakan di mana tua bangka jahanam
itu sekarang!"
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. "Aku.
akan mengatakan padamu kalau kau mau selesai-
kan urusan dengan tanpa cemburu dan keben-
cian! Dan tinggalkan tempat ini sekarang juga!"
"Buang keinginanmu itu, Anak Sinting! Keben-cianku sudah setinggi langit sedalam
lautan! Tak ada yang dapat sirnakan kebencian itu selain lu-muran darah gurumu
di tanganku!" '
"Nek! Kau masih ingat akan ucapan orang bermata buta berjuluk Gendeng
Panuntun"!" tanya Joko masih coba menyadarkan si nenek.
"Tak kan ada yang bisa halangi langkahku,
Anak Sinting! Apalagi hanya sebuah ramalan seo-
rang manusia buta dan gendeng!" ujar Ni Luh Padmi..Mungkin karena telah dibuncah
rasa marah, si nenek sampai lupa berpikir dari mana mu-
rid Pendeta Sinting mengetahui kalau Gendeng
Panuntun pernah berkata pada si nenek.
"Hem.... Kalau begini keras kepalanya, rasanya tak bisa aku membuatnya sadar!
Sayang Eyang Guru tidak muncul di tempat ini! Seandainya sa-
ja...." Pendekar 131 tidak lanjutkan kata hatinya ka-
rena saat itu dari arah puncak batu bergubuk hi-
tam terdengar Malaikat Penggali Kubur berteriak.
"Nenek keparat! Lekas kau regangkan nyawa


Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda jahanam di hadapanmu itu!"
"Kau dengar itu, Anak Sinting"!" ucap Ni Luh Padmi sedikit menahan suaranya.
"Kau masih
punya kesempatan untuk jawab pertanyaanku ta-
di! Jika tidak...." Si nenek tidak lanjutkan ucapannya. Hanya sepasang tangannya
membuat ge- rakan. Tangan kanan yang menggenggam tusuk
konde besar berwarna hitam ditarik sedikit ke belakang. Sementara tangan kiri
diangkat. "Aku akan mengatakan kalau kau sudah ting-
galkan tempat ini!" ujar Joko sambil diam-diam kerahkan tenaga dalam pada kedua
tangannya. "Mumpung masih ada kesempatan, cepat tinggalkan tempat ini!" sambung Joko ketika
melihat si nenek terdiam. "Kau boleh berlaku licik hendak menipuku! Ta-pi aku tidak sebodoh yang kau kira!
Jangan harap aku percaya pada murid tua bangka jahanam itu!"
Habis berkata begitu, Ni Luh Padmi merangsek
ke depan. Tangan kirinya berkelebat lepaskan pu-
kulan ke arah kepala Joko. Satu gelombang men-
cuat sebelum tangan itu sendiri menghantam sa-
saran pertanda jelas kalau kelebatan tangan itu
mengandung tenaga dalam kuat.
Melihat si nenek telah lepaskan pukulan, murid
Pendeta Sinting tidak tinggal diam. Tangan ka-
nannya diangkat menghadang kelebatan tangan
kiri si nenek. Bukkk! Baik tangan kiri si nenek mau pun tangan ka-
nan Joko tampak sama terpental balik ke bela-
kang. Tubuh Ni Luh Padmi sedikit bergetar dengan mata mendelik. Meski si nenek
sudah pernah jumpa dengan Joko dan terlibat baku hantam,
namun sebenarnya si nenek ini belum yakin benar
akan kekuatan lawan. Hingga untuk meyakinkan
dirinya, si nenek coba mengadu tenaga. Dilain pihak, sesungguhnya murid Pendeta
Sinting tidak mau melayani Ni Luh Padmi, apalagi mengingat
pesan eyang gurunya. Tapi kalau dia berdiam diri, niscaya si nenek akan
membunuhnya. Hingga
meski Joko tidak tinggal diam, dia sejauh mungkin coba menghindari bentrok yang
bisa membuat cedera dalam. Malah murid Pendeta Sinting masih
coba menyadarkan si nenek dengan angkat bicara
lagi. "Nek! Percuma saja...."
Ucapan Joko belum usai, Ni Luh Padmi telah
menukasnya dengan berkelebat ke depan. Kalau
tadi tangan kirinya yang lepaskan pukulan, kini
kedua tangannya sekaligus bergerak menghantam.
Tangan kiri mengarah pada leher sementara tan-
gan kanan yang memegang tusuk konde berkele-
bat ke arah lambung.
Joko sempat terkesiap. Gerakan si nenek telah
membuat murid Pendeta Sinting maklum kalau si
nenek benar-benar hendak membunuhnya. Maka
Joko pun tak mau berlaku ayal. Dia pun tidak
menunggu pukulan si nenek sampai. Begitu Ni
Luh Padmi berkelebat, Joko segera menghadang
dengan kedua tangan memangkas gerakan kedua
tangan si nenek. Hingga tak ampun lagi untuk ke-
dua kalinya kedua orang ini saling beradu puku-
lan. Bukkk! Bukkk! Terdengar dua kali benturan keras. Tubuh Ni
Luh Padmi terhuyung-huyung lalu tersurut sam-
pai empat langkah. Paras wajahnya pucat dengan
dahi dibanjiri keringat. Kedua tangannya jelas
tampak bergetar. Malah kalau saja dia tidak cepat kerahkan tenaga dalam untuk
menahan huyungan
tubuhnya, niscaya sosoknya akan terjerembab!
Di depan sana, murid Pendeta Sinting surutkan
langkah satu tindak. Meski wajahnya berubah,
namun jelas dia masih dapat kuasai diri. Malah
begitu si nenek lipat gandakan tenaga dalamnya,
murid Pendeta Sinting sudah lama tegak dengan
kedua, kaki laksana dipacak dan bibir sungging-
kan senyum. Mendapati hal demikian, bukannya membuat
Ni Luh Padmi segera memaklumi diri, sebaliknya
si nenek hentakkan kedua kakinya. Laksana ter-
bang sosoknya berkelebat. Dari jarak tiga langkah, kedua tangannya membuka lalu
lepaskan pukulan
jarak jauh dengan tenaga dalam luar biasa dah-
syat. Satu gelombang angin menderu deras ke arah
Joko. Karena tidak mungkin lagi menghadang pu-
kulan si nenek dengan tenaga asal-asalan, pada
akhirnya murid Pendeta Sinting siapkan pukulan
'Lembur Kuning'. Hal ini sebenarnya terlalu berisiko. Namun bagi Joko tidak ada
jalan lain. Begitu gelombang telah menderu, Joko cepat
kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Saat itu juga kedua tangan Joko berubah menjadi
kuning. Saat kedua tangannya mendorong, tam-
paklah sinar kuning melesat. Lalu satu sapuan gelombang dahsyat membawa hawa
panas mengge- brak. "Pukulan 'Lembur Kuning'!" satu seruan terdengar dari julangan batu cadas putih
yang telah terpenggal setengahnya.
"Nenek cantik! Lekas menyingkir!" Lagi-lagi terdengar seruan dari puncak batu
cadas putih yang
sudah terpenggal. Bersamaan dengan terdengar-
nya suara seruan, dua tangan tampak bergerak
dari julangan batu cadas putih yang tinggal separo tingginya. Satu mendorong ke
arah si nenek hingga nenek ini langsung terpental satu setengah
tombak, sedang tangan satunya lagi mendorong ke
arah cahaya kuning yang kini memangkas gelom-
bang pukulan si nenek.
Satu ledakan keras segera mengguncang Ke-
dung Ombo tatkala gelombang angin si nenek di-
barengi gelombang dahsyat yang tiba-tiba melesat dari dorongan tangan orang di
batu cadas putih
bentrok dengan pukulan 'Lembur Kuning' yang di-
lepas murid Pendeta Sinting.
Di seberang sana, terlihat murid Pendeta Sint-
ing terhuyung dengan mulut megap-megap dan
wajah pucat pasi. Kedua tangannya gemetar. Tan-
gan satu tampak dikibas-kibaskan untuk le-
nyapkan rasa kesemutan dan kekakuan, tangan
satunya lagi pegangi dadanya yang terasa sesak.
Di hadapan murid Pendeta Sinting, meski do-
rongan tangan orang dari batu cadas putih sela-
matkan Ni Luh Padmi dari cedera parah, namun
tak urung juga tubuhnya masih bergetar akibat
pukulannya terhadang pukulan 'Lembur Kuning'.
Malah ketika si nenek hendak berkelebat lagi, dia rasakan kedua kakinya goyah.
Hingga untuk sesaat dia urungkan niat berkelebat. Lalu berpaling ke arah batu
cadas putih yang telah terpapas akibat pukulan Malaikat Penggali Kubur.
"Siapa orang-orang itu sebenarnya" Mengapa
mereka menolongku"! Apa mereka itu kaki tangan
Malaikat Penggali Kubur"!" Si nenek membatin dengan kening berkerut. Karena
sepasang matanya tidak melihat adanya orang yang muncul di
batu cadas. Dia hanya melihat dua buah tangan
yang membuat gerakan melambai-lambai!
Bukan hanya Ni Luh Padmi yang dibuncah ber-
bagai tanya. Murid Pendeta Sinting tampak si-
pitkan sepasang matanya dan membatin. "Belum dapat kupastikan siapa gerangan
mereka adanya! Yang pasti, mereka punya kekuatan tenaga dalam
luar biasa! Buktinya dia mampu terus melambai-
lambai setelah menghadang pukulan 'Lembur
Kuning'! Joko berpaling pada Ni Luh Padmi. Saat bersa-
maan si nenek juga menoleh. Kedua orang ini se-
saat sama saling pandang. Tiba-tiba terdengar suara orang mengeluh.
Joko dan Ni Luh Padmi gerakkan kepala mas-
ing-masing ke arah lamping batu cadas putih asal suara keluhan terdengar. Di
lamping batu cadas
putih yang telah terpenggal tampak sosok Iblis
Rangkap Jiwa duduk bersandar dengan tubuh
masih kejang kaku.
Ketika Joko dan Ni Luh Padmi berpaling, Iblis
Rangkap Jiwa tampak gerakkan bola matanya,
mendelik angker ke arah si nenek. Mulutnya yang
merupakan satu-satunya anggota tubuh yang bisa
bergerak terlihat membuka, lalu terdengarlah ucapannya.
"Nek! Aku akan ampuni selembar nyawamu ka-
lau kau bebaskan aku sekarang juga! Kalau tidak, nyawamu nanti akan kucabut
sendiri!" Ni Luh Padmi hanya pandangi Iblis Rangkap
Jiwa dengan seringai dingin. Lantas berpaling lagi pada murid Pendeta Sinting.
Iblis Rangkap Jiwa
memaki habis-habisan. Namun karena tubuhnya
masih tertotok, laki-laki berkepala gundul ini
hanya dapat berteriak tanpa dapat gerakkan ang-
gota tubuhnya. Malah dia tadi ikut tersapu akibat bentroknya pukulan Joko dengan
pukulan si nenek dan dorongan tangan dari atas batu cadas pu-
tih. Hingga tubuhnya terpental dan akhirnya
menghantam lamping batu cadas putih.
Sebenarnya secara diam-diam Iblis Rangkap
Jiwa telah kerahkan tenaga dalam untuk be-
baskan diri dari totokan yang disarangkan murid
Pendeta Sinting. Namun baru saja kedua tangan-
nya bergeletar pertanda urat-uratnya telah dapat tersaluri tenaga, terdengar
ledakan dahsyat akibat bentroknya pukulan Joko dan si nenek. Hal ini
membuat konsentrasi Iblis Rangkap Jiwa pecah.
Dan belum sempat dia konsentrasi kembali, so-
soknya telah tersapu gelombang bias bentroknya
pukulan. Bukan saja membuat sosoknya meng-
hantam lamping batu cadas putih, namun juga
sosoknya tegang kaku kembali! Namun Iblis Rang-
kap Jiwa masih bernapas lega, karena dengan ter-
sapunya tubuhnya ke lamping batu cadas putih,
maka dengan leluasa dia dapat konsentrasi kem-
bali untuk bebaskan diri dari totokan tanpa takut tersapu bias bentroknya
pukulan lagi. Hingga begitu permintaannya tidak digubris Ni Luh Padmi,
Iblis Rangkap Jiwa segera pejamkan sepasang ma-
tanya lalu kerahkan tenaga sedapat mungkin.
Di lain pihak, mendapati murid Pendeta Sinting
bukan lawan yang begitu mudah ditaklukkan, naf-
su membunuh Ni Luh Padmi makin berkobar.
Hingga begitu berpaling, tangan kirinya langsung bergerak lepaskan pukulan.
Sementara tangannya
sentakkan tusuk konde hitam! Wuttt! Wuutt!
Dua suara deruan terdengar. Satu berupa ge-
lombang angin dahsyat, satunya lagi melesatnya
tusuk konde hitam si nenek. Ini adalah sebuah serangan yang mematikan. Karena
orang yang dis-
erang sekaligus harus hadang dengan dua puku-
lan. Jika tidak, salah satu dari gelombang angin atau lesatan tusuk konde akan
menghantam! Apalagi tusuk konde hitam si nenek sulit diterka dari arah mana akan
datang menghantam, karena begitu tusuk konde melesat dan si nenek gerak-
gerakkan tangan kanannya, tusuk konde hitam
yang sedang melesat membuat gerakan meliuk-
liuk di udara laksana dikendalikan tangan kanan
si nenek! "Hem.... Senjata andalannya harus kulumpuh-
kan dahulu!" gumam Joko. Secepat kilat kedua tangannya didorong lepaskan pukulan
'Lembur Kuning'. Kejap lain Joko cepat melompat ke samp-
ing seraya bergulingan. Lalu tangan kirinya bergerak menyentak ke depan.
Wuuuttt! Dari tangan kiri murid Pendeta Sinting melesat
serat-serat laksana benang berwarna biru terang.
inilah tanda kalau Pendekar 131 telah lepaskan
pukulan 'Serat Biru'!
Di atas hamparan pasir tampak sinar kuning
menyungkup, lalu menghantam gelombang angin
yang keluar dari tangan kiri Ni Luh Padmi. Leda-
kan keras terdengar. Pasir tampak bertaburan.
Hebatnya, tusuk konde hitam si nenek tetap mele-
sat di tengah taburan pasir dan kini berbelok arah menuju tempat Joko
bergulingan. Namun begitu serat-serat biru laksana benang
menghampar, lesatan tusuk konde tertahan di
udara. Malah saat itu juga serat-serat biru telah membungkus tusuk konde hitam
si nenek. Ni Luh Padmi yang sejenak tadi tampak ter-
huyung akibat pukulan tangan kirinya bentrok
dengan pukulan 'Lembur Kuning' cepat kerahkan
tenaga dalam pada kedua kakinya. Hingga kejap
itu juga kedua kakinya melesak masuk ke hampa-
ran pasir! Ini dilakukan si nenek untuk menjaga
tubuhnya agar tidak goyah, karena tangannya
akan bergerak kendalikan tusuk konde yang kini
telah terbungkus serat-serat biru.
Melihat Ni Luh Padmi coba pacakkan kaki, Joko
tak sia-siakan kesempatan. Belum sampai tangan
si nenek bergerak kendalikan tusuk kondenya,
tangan murid Pendeta Sinting telah menyentak.
Tusuk konde yang terbungkus serat-serat biru
tersapu deras. Ni Luh Padmi menjerit tinggi. Si nenek memang
masih sempat gerakkan tangan untuk kendalikan
tusuk kondenya. Namun gerakannya sudah ter-
lambat. Tusuk konde melesat laksana kilat dan hampir
saja melabrak kepala si nenek kalau nenek ini tidak cepat-cepat rebahkan diri ke
belakang. Si nenek lupa kalau dia telah pacakkan kedua kakinya
ke hamparan pasir, hingga begitu tubuhnya rebah
ke belakang, dia terkesiap sendiri karena kakinya


Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpacak! Namun karena dia tak mau tusuk kon-
denya melabrak kepalanya sendiri, dia paksakan
juga tubuhnya rebah ke belakang.
Krakkk! Krakkk!
Ni Luh Padmi berseru tertahan. Dia berniat un-
tuk angkat tubuhnya ke atas. Namun pergelangan
kakinya tak bisa digerakkan dan juga sangat le-
mah untuk menopang tubuh. Hingga mau tak
mau akhirnya si nenek jatuhkan diri duduk den-
gan lutut menekuk!
Tusuk konde terus melesat ke belakang. Lalu
terdengar ledakan keras di belakang sana. Disusul kemudian dengan terdengarnya
dua orang bergumam. Kejap lain terdengar suara keluhan keras
dan makian panjang pendek.
Meski merasa tulang kedua kakinya tak bisa
digerakkan, Ni Luh Padmi tak kuat menahan un-
tuk mengetahui apa yang terjadi di belakang. Berpaling ke belakang, sepasang
mata si nenek mem-
beliak besar. Julangan batu cadas putih yang terpenggal se-
tengah tampak rengkah dan di satu tempat tam-
pak lobang menganga besar. Lobang menganga
yang ternyata akibat melesak masuknya tusuk
konde si nenek hanya beberapa jengkal dari kepa-
la Iblis Rangkap Jiwa!
Hal inilah yang membuat Iblis Rangkap Jiwa
memaki habis-habisan karena kembali konsentra-
sinya buyar! Sementara kedua orang di batu cadas putih terdengar bergumam tak
jelas karena tempat di mana mereka berada bergetar keras dan sebagian batu cadas
putih berhamburan!
Sementara itu melihat Ni Luh Padmi jatuh ter-
duduk, dari puncak batu bergubuk hitam Malaikat
Penggali Kubur tampak menyeringai.
"Ilmu masih sedangkal mata kaki sudah berani
menyeberang laut!" desisnya lalu berpaling ke arah Dewi Siluman yang sejak tadi
perhatikan Joko dan Ni Luh Padmi.
Belum sempat Malaikat Penggali Kubur buka
mulut, Dewi Siluman yang sebenarnya sudah ti-
dak sabar segera saja berkelebat melintasi hamparan pasir. Namun baru saja sosok
perempuan ber- jubah dan bercadar hitam ini bergerak, satu
bayangan merah bergerak mendahului dan memo-
tong larinya Dewi Siluman, membuat perempuan
ini hentikan larinya.
Memandang ke depan, kontan sepasang mata
Dewi Siluman membelalak berkilat.
"Sudah kuduga kalau kau adalah musuh dalam
selimut!" bentak Dewi Siluman ketika mengetahui kalau yang menghadang adalah
gadis berjubah merah Putri Sableng!
"Kau hendak ke mana anak Daeng Upas"!" kata Putri Sableng, membuat Dewi Siluman
surutkan kaki satu tindak.
"Siapa kau sebenarnya"!" hardik Dewi Siluman dengan suara bergetar. Dia terkejut
besar mendapati orang sebut nama almarhum ibunya!
Yang dibentak cekikikan sebentar, lain buka
mulut. "Menurutmu, siapa aku sebenarnya"!" Putri Sableng balik bertanya.
Dewi Siluman terdiam. Sepasang matanya per-
hatikan lebih seksama gadis berparas cantik yang tegak di hadapannya. "Selama
ini Ibu jarang sekali keluar, kalaupun keluar, itu saat terjadi peristiwa
Tengkorak Berdarah! Adalah hal aneh kalau gadis
semuda ini telah mengenali ibuku yang meninggal
dalam peristiwa Tengkorak Berdarah!"
"Kudengar seorang buta pernah menasihati mu untuk tinggalkan dunia persilatan
dan kawin! Mumpung belum terlambat, kurasa itulah jalan
satu-satunya yang harus kau lakukan saat ini,
Durga Ratih!"
Dewi Siluman tegak laksana dipaku. Mulutnya
terkancing rapat. Matanya makin mendelik. "Jahanam! Gadis ini rupanya tahu
banyak tentang di-
riku! Bagaimana hal ini bisa terjadi"!" Dewi Siluman dibuncah berbagai hal yang
menurutnya ti- dak mungkin. Karena gadis di hadapannya
usianya masih di bawahnya. Sementara dia sendiri selama ini tidak pernah
memperkenalkan diri dengan nama asli yakni Durga Ratih! Lebih-lebih dia tak
pernah cerita tentang nasihat orang buta yang bukan lain adalah Gendeng Panuntun
yang memang pernah menasihati dirinya agar tinggalkan
dunia persilatan dan kawin!
* * * TIGA KARENA tak mau terus bertanya-tanya dengan
diri sendiri yang jawabannya tidak mungkin dida-
pat, sementara dia sudah tidak sabar ingin meng-
hadapi murid Pendeta Sinting, Dewi Siluman alih-
kan pandangannya seraya mendesis garang.
"Siapa pun kau adanya, menyingkirlah dari hadapanku!"
Habis berkata begitu, Dewi Siluman melangkah
maju. Putri Sableng tetap tidak bergeming dari
tempatnya. Kemarahan Dewi Siluman tak dapat
dibendung lagi, hingga seraya hentikan langkah
sejarak empat tindak dari hadapan Putri Sableng, perempuan berjubah dan bercadar
hitam ini angkat kedua tangannya.
"Tunggu!" tahan Putri Sableng. "Apa hubun-
ganmu dengan Malaikat di gubuk hitam itu sama
seperti saat kalian berada di Pulau Biru"!"
"Keparat! Dia tahu peristiwa di Pulau Biru! Padahal waktu itu jelas kalau setan
ini tidak ada di sana!" batin Dewi Siluman. Lalu berkata.
"Apa hubunganku, itu urusanku! Menyingkir-
lah!" Dewi Siluman sudah melompat ke depan sebe-
lum terdengar suara sahutan dari Putri Sableng.
Kedua tangannya bergerak lakukan hantaman.
Putri Sableng ikut angkat kedua tangannya. Lu-
tutnya ditekuk hingga tubuhnya sedikit melorot.
Bukkk! Bukkk! Kedua tangan Dewi Siluman beradu keras den-
gan kedua tangan Putri Sableng yang dipalangkan
di atas kepalanya.
Dewi Siluman tersentak. Dia cepat mundur tiga
langkah. Sepasang matanya membeliak perhatikan
kedua tangannya yang tampak bergetar keras. Da-
ri bentrok tangan tadi, Dewi Siluman sudah mak-
lum kalau gadis berjubah merah memiliki tenaga
dalam kuat. Namun karena sudah dibungkus ha-
wa kemarahan, dia tak mau pikir panjang lagi. Dia cepat kerahkan tenaga dalam
pada kedua tangannya. Kejap lain kedua tangannya disentakkan ke
depan. Wuutt! Wuuutt!
Dari kedua tangan Dewi Siluman melesat kabut
hitam keluarkan gema dahsyat serta gelombang
angin dan hawa panas! Inilah tanda kalau Dewi Siluman telah lepaskan pukulan
andalannya yang
dikenal dengan pukulan 'Kabut Neraka'.
Seakan sudah tahu pukulan andalan perem-
puan berjubah hitam, Putri Sableng sudah jejak-
kan kedua kakinya terlebih dahulu. Hingga saat
kabut hitam melanggar, sosoknya telah loncat di
udara. Dari atas udara, gadis cantik berjubah me-
rah ini cepat sentakkan kedua tangannya ke ba-
wah. Blammm! Lesatan kabut hitam tertahan sejenak di udara.
Lalu begitu terhantam gelombang yang keluar dari sentakan kedua tangan Putri
Sableng, kabut hitam laksana ditekan tenaga luar biasa, hingga saat itu juga
kabut hitam menukik deras ke hamparan
pasir. Terdengar ledakan keras. Hamparan pasir
muncrat sampai beberapa tombak ke udara. Begi-
tu semburatan pasir lenyap, tampak lobang men-
ganga besar! Meski pukulannya dipangkas orang dari atas
udara, namun bias bentroknya pukulan masih ju-
ga menghantam Dewi Siluman. Hingga begitu ter-
dengar ledakan, sosok perempuan berjubah hitam
itu terhuyung-huyung. Sementara di atas udara
Putri Sableng membuat gerakan jungkir balik, lalu mendarat tujuh langkah di
hadapan Dewi Siluman
dengan tangan berkacak pinggang. Namun kali ini
sikap gadis berjubah merah lain. Pandangannya
menyengat tajam. Mulutnya bergerak-gerak meski
tidak perdengarkan suara. Paras wajahnya jelas
menunjukkan kalau dadanya dilanda kemarahan.
Di hadapan Putri Sableng, Dewi Siluman tak
mau lagi sembunyikan rasa kejut. Belum dapat
menduga siapa adanya si gadis, kini ditambah
dengan pertanyaan yang makin pelik. Karena ga-
dis berjubah merah rasanya mengerti benar akan
pukulan yang akan dilepas! Hingga bukan saja
pukulannya tidak menghantam sasaran tapi
mampu ditebas masuk ke hamparan pasir sampai
lenyap! "Durga Ratih! Aku hanya peringatkan kau seka-li lagi! Pergi dari sini!"
Meski hatinya mulai kecut, namun rasa pena-
saran membuat Dewi Siluman lupakan kekuatan
diri. Hingga saat itu juga dia perdengarkan tawa pendek. Lalu berucap.
"Jangankan hanya sekali, seratus kali kau
ucapkan peringatan, aku tak akan pergi dari sini!
Justru aku yang peringatkan padamu! Menying-
kirlah dari hadapanku! Kalau kau ingin berhada-
pan denganku, tunggulah sampai aku selesaikan
pemuda keparat itu!" Tangan kiri Dewi Siluman bergerak menunjuk pada murid
Pendeta Sinting di
seberang. "Hem.... Jadi kau ingin mengalami nasib lebih buruk daripada yang pernah kau
alami di Pulau Biru"!" tanya Putri Sableng.
"Apa yang kau tahu tentang nasibku di Pulau Biru, hah?" Kau hanya dengar dari
mulut orang lancang!" sahut Dewi Siluman.
Putri Sableng sudah buka mulut, tapi sebelum
suaranya terdengar, satu teriakan membahana
terdengar dari puncak batu bergubuk hitam.
"Dewi Siluman! Kau terlalu banyak umbar sua-ra! Lekas selesaikan gadis
pengkhianat itu!"
Walau sudah tahu kalau Malaikat Penggali Ku-
bur malam ini bukan Malaikat Penggali Kubur pa-
da beberapa waktu yang lalu, namun Dewi Silu-
man bukanlah orang yang begitu saja mau dipe-
rintah. Perempuan bercadar hitam ini dongakkan
sedikit kepalanya. Lalu berkata lantang.
"Aku memang akan selesaikan gadis bermulut
lancang ini! Tapi bukan karena turut perintahmu!"
"Hem.... Enak benar suaramu! Apakah kau tak tahu kalau malam ini Malaikat
Penggali Kubur akan mentasbihkan diri sebagai raja di raja rimba persilatan"! Dan itu berarti
semua orang harus
tunduk di bawah telapak kakiku! Termasuk kau!"
"Persetan mau jadi apa kau malam ini! Yang je-
las kau tak bisa seenakmu memberi perintah pa-
daku!" Tampang Malaikat Penggali Kubur terlihat be-
rubah. Namun kejap lain pemuda ini telah perden-
garkan tawa bergelak sambil berujar.
"Kau ternyata datang ke tempat yang salah!
Ha.... Ha.... Ha...! Dan ternyata otakmu juga tolol karena tak mau melihat
kenyataan! Aku tahu....
Kau memang bisa lolos dari Pulau Biru. Tapi apa
kau pikir Kedung Ombo sama dengan Pulau Biru"!
Apa kau kira manusia yang berkata ini sama den-
gan Malaikat Penggali Kubur waktu berada di Pu-
lau Biru dulu"!"
Dewi Siluman tidak hiraukan ucapan Malaikat
Penggali Kubur. Dia palingkan muka menghadap
Putri Sableng. Saat itulah mendadak terlihat ber-kiblatnya cahaya terang yang
cuma sekejap. Saat
bersamaan terdengar suara deruan keras. Lalu sa-
tu gelombang dahsyat melanggar dari puncak batu
di mana Malaikat Penggali Kubur berada. Ternyata Malaikat Penggali Kubur telah
lepaskan pukulan
sakti 'Telaga Surya' yang dulu pernah menjadi pukulan andalannya sebelum
mendapatkan Kitab Hi-
tam. Karena terus dilatih apalagi dengan Kitab Hitam di balik pakaiannya, maka
pukulan 'Telaga
Surya' yang kali ini dilepas Malaikat Penggali Kubur tiga kali lebih dahsyat
daripada beberapa wak-tu yang lalu.
Di bawah sana, Dewi Siluman tampak terke-
siap. Dia tidak menduga sama sekali kalau Malai-
kat Penggali Kubur akan kirimkan pukulan. Apa-
lagi dia sedang dilanda penasaran dengan Putri
Sableng. Hingga meski Dewi Siluman sempat
membuat gerakan angkat kedua tangannya untuk
memangkas pukulan 'Telaga Surya', namun dia ti-
dak punya kesempatan lagi untuk sentakkan ke-
dua tangannya. Dewi Siluman rasakan nyawanya terbang. Ke-
dua tangannya di atas kepala namun tak lagi
membuat gerakan apa-apa. Perempuan ini hanya
bisa perdengarkan seruan pelan dengan lutut
goyah! "Setan! Mengapa kau diam saja"!" bentak Putri Sableng. Gadis berjubah merah ini
dorong tangan kanannya ke arah Dewi Siluman. Lalu melompat
mundur. Dewi Siluman terpekik. Sosoknya mencelat
mental sampai beberapa tombak lalu terkapar di
atas hamparan pasir. Namun hal ini menyela-
matkan nyawanya dari pukulan Malaikat Penggali
Kubur. Karena bersamaan dengan mencelatnya
tubuh, tempat di mana tadi dia berada terbuncah
ledakan dahsyat!


Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terhuyung-huyung Dewi Siluman bergerak
bangkit. Memandang sejenak pada Putri Sableng
yang sama-sama terlihat karena udara masih di-
taburi muncratan pasir. Entah apa yang terpikir
dalam benak perempuan bercadar hitam ini, yang
jelas dia segera kerahkan tenaga dalam, lalu berkelebat ke arah murid Pendeta
Sinting yang masih tegak di seberang sana.
Sementara itu, tidak jauh dari tempat tegaknya
Pendekar 131, si nenek Ni Luh Padmi cepat tarik
kedua kakinya yang terpacak di dalam pasir. Wa-
lau si nenek tahu kalau tulang kakinya patah,
namun sekuat tenaga dia coba bangkit. Sosok Ni
Luh Padmi sejenak tampak terhuyung-huyung lalu
limbung dan jatuh kembali ke hamparan pasir!
"Keparat!" Si nenek memaki-maki sendiri karena kedua kakinya yang patah tidak
kuasa lagi me- nopang tubuhnya. Tapi si nenek rupanya tidak
mau begitu saja menyerah. Dengan duduk di atas
hamparan pasir, dia cepat salurkan tenaga dalam
pada kedua tangannya. Lalu diangkat dan disen-
takkan ke arah murid Pendeta Sinting yang tegak
hanya sejarak sembilan langkah dari tempatnya
berada. Namun Ni Luh Padmi mendadak urungkan
niat. Kepala si nenek berpaling. Memandang ke de-
pan, matanya mendelik merah. Rahangnya te-
rangkat. Mulutnya membentak.
"Jangan kau campur tangan urusan ini!"
Dewi Siluman yang ternyata sudah tegak di situ
perdengarkan dengusan marah. Tapi perempuan
berjubah dan bercadar hitam ini tidak arahkan
pandangannya pada si nenek, melainkan ke arah
murid Pendeta Sinting yang kini juga tengah me-
mandangnya. "Tua bangka! Aku tidak campur tangan uru-
sanmu! Aku punya urusan yang belum selesai
dengan keparat itu!" kata Dewi Siluman.
"Ah.... Kurasa di antara kita sudah tidak ada urusan lagi!" ujar Joko seraya
sunggingkan senyum.
Dewi Siluman untuk beberapa saat pandangi
murid Pendeta Sinting. Perempuan ini rasakan de-
baran dadanya agak keras. Dia tak tahu perasaan
apa yang kini menjalari dadanya. Namun Dewi Si-
luman cepat tepiskan perasaan. Lalu alihkan pan-
dangan sambil berkata.
"Kau boleh anggap urusan selesai. Tapi aku tidak! Dan aku akan anggap urusan
kita selesai ka-
lau kau serahkan apa yang kuminta tempo hari
'sekarang juga!" Dewi Siluman ulurkan tangan kanannya ke depan.
Ni Luh Padmi pandangi murid Pendeta Sinting
dan Dewi Siluman silih berganti. Nenek ini sebe-
narnya hendak buka mulut, namun Dewi Siluman
sudah membentak.
"Nek! Kau saat ini sudah tak berdaya! Jadi jangan berani buka suara sebelum aku
selesaikan urusanku!"
Ni Luh Padmi untuk kesekian kalinya me-
nyumpah habis-habisan. Dia menyesal mengeta-
hui keadaannya saat ini. Kedua tangannya me-
mang masih mampu lepaskan pukulan. Namun
tanpa tusuk konde hitamnya serta ditambah ke-
dua kakinya yang tidak mampu lagi menopang tu-
buh, bagaimanapun juga membuat si nenek akan
kesulitan untuk bergerak selamatkan diri kalau
diserang lawan. Tapi si nenek rupanya sudah bu-
latkan tekad. Bahkan dia sudah memutuskan, ti-
dak dapat membunuh gurunya, muridnya pun ti-
dak jadi apa! Hingga begitu mendengar ucapan
Dewi Siluman, Ni Luh Padmi segera angkat bicara.
"Aku memang sudah tak berdaya! Tapi bukan
berarti aku tidak sanggup untuk membunuh! Me-
nyingkirlah dahulu!"
Dewi Siluman tertawa pendek bernada menge-
jek. "Jangankan kau, perintah junjunganmu Malaikat Penggali Kubur pun tidak ada
apa-apanya bagiku!" Dewi Siluman kembali gerak-gerakkan tangan kanannya yang masih menjulur
membuat gerakan meminta.
"Kau masih punya kesempatan! Serahkan!"
bentak Dewi Siluman pada Joko.
Belum sampai Joko buka mulut, kedua tangan
Ni Luh Padmi sudah bergerak lepaskan pukulan
pada Dewi Siluman.
"Bangsat! Tua bangka tak tahu diuntung!" maki Dewi Siluman. Tangan kanannya
cepat ditarik pulang dan serta-merta didorong ke depan menyong-
song pukulan si nenek. Karena ingin cepat sele-
saikan urusan, tak tanggung-tanggung, Dewi Si-
luman langsung song-song pukulan Ni Luh Padmi
dengan lepas pukulan 'Kabut Neraka'!
Meski pukulan Ni Luh Padmi mampu memben-
dung pukulan 'Kabut Neraka', namun bagaimana-
pun juga si nenek tak akan dapat hindarkan diri
dari bias bentroknya pukulan. Hingga hal itu pasti akan membuat si nenek cedera
berat. Berpikir sampai ke sana, dan ingat akan pesan
eyang gurunya, sebelum pukulan Kabut Neraka'
sempat bertemu dengan pukulan Ni Luh Padmi,
murid Pendeta Sinting cepat berkelebat ke depan.
Tangan kanannya segera menyambar bahu si ne-
nek yang baru saja lepaskan pukulan dengan du-
duk di atas hamparan pasir.
Mungkin menduga kalau murid Pendeta Sinting
hendak menghantamnya, si nenek keluarkan se-
ruan karena dia sudah terlambat sekali untuk
membuat gerakan jika murid Pendeta Sinting be-
nar-benar hendak menghantamnya.
Ni Luh Padmi rasakan tubuhnya terseret di atas
pasir sampai beberapa tombak. Bersamaan den-
gan itu Kedung Ombo diguncang ledakan. Hampa-
ran berpasir untuk kesekian kalinya pula bertaburan ke udara.
Ni Luh Padmi buka kelopak matanya saat tu-
buhnya merasakan ditaburi pasir. Belum sampai
dia dapat jelas memandang, satu suara dekat se-
kali dengan dirinya terdengar.
"Nek...! Percuma kau berada di sini! Orang yang kau cari tidak ada! Kau hanya
akan sia-siakan
nyawa kalau terus bersikap keras kepala! Cepat
tinggalkan tempat ini!"
"Jahanam! Suara Anak Sinting itu!" desis Ni Luh Padmi tanpa perlu melihat lagi
siapa adanya orang yang baru saja perdengarkan suara.
Dengan kemarahan makin menggelegak, Ni Luh
Padmi berteriak.
"Orang yang kucari memang tidak ada! Tapi
dengan kematianmu, rasanya hatiku bisa sedikit
lega!" Tanpa peduli kalau dirinya baru saja disela-
matkan orang, si nenek putar tangannya lalu ser-
ta-merta dihantamkan ke arah mana dia yakin
murid Pendeta Sinting berada karena saat itu pe-
mandangan masih tertutup hamburan pasir.
Tapi si nenek tiba-tiba menjerit. Kedua tangan-
nya yang hendak menghantam belum bergerak,
Joko berkelebat dari arah samping kanan. Ni Luh
Padmi putar kedua tangannya hendak menghan-
tam ke samping kanan. Namun terlambat. Dua to-
tokan dahsyat sudah bersarang di pangkal kedua
tangannya. Hingga bukan saja tubuhnya langsung
kaku namun kedua tangannya tetap terapung di
atas udara dengan tegang!
Belum habis rasa kaget si nenek, dia merasa-
kan tubuhnya bergerak di hamparan pasir. Gera-
kan tubuhnya baru terhenti saat dia merasa di belakangnya ada sesuatu yang
menghadang. Dan tak
jauh dari tempatnya terdengar suara dengusan
napas orang. Ni Luh Padmi segera lirikkan matanya, karena
tubuhnya tak bisa digerakkan. Si nenek tersentak.
Dia saat itu ternyata duduk bersandar pada batu
dan hanya sejarak tiga langkah dari Iblis Rangkap Jiwa!
* * * EMPAT SEMENTARA itu, begitu terdengar ledakan, De-
wi Siluman cepat jatuhkan diri bergulingan di atas pasir. Sambil bergulingan
sepasang matanya memandang liar. Hingga begitu hamburan pasir le-
nyap, perempuan ini cepat bangkit dan serta-
merta sentakkan kedua tangannya ke arah murid
Pendeta Sinting yang ternyata tegak tidak jauh da-ri tempat Ni Luh Padmi yang
bersandar duduk pa-
da lamping batu cadas putih yang terpenggal.
Kabut hitam melintas di atas hamparan pasir
dengan suara menggemuruh. Hamburan pasir
yang baru saja sirap terlihat bertaburan lagi terkena sambaran gelombang yang
menyertai hampa-
ran kabut hitam pukulan 'Kabut Neraka' Dewi Si-
luman. Mendapati Dewi Siluman sudah lepas pukulan
ke arahnya, kejengkelan murid Pendeta Sinting
naik ke ubun-ubun. Sambil membentak garang,
Joko lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'.
Kini di atas hamparan pasir yang membentang
membelah kawasan berbatu tampak dihiasi kabut
hitam dan semburatan warna kuning. Suara ge-
muruh makin memekak. Lalu Kedung Ombo ber-
guncang dahsyat tatkala kabut hitam bentrok
dengan sinar kuning.
Sosok Dewi Siluman terseret beberapa langkah
ke belakang dengan dada bergetar keras naik tu-
run. Meski wajah perempuan ini tertutup cadar,
tapi jelas kalau perempuan ini berubah paras.
Sementara di seberang depan sana, murid Pendeta
Sinting cepat hentikan gerakan kakinya yang
mundur. Bentroknya pukulan mau tak mau masih
membuat perubahan pada wajah Joko yang geta-
ran dadanya tidak sekeras yang terlihat pada Dewi
Siluman. Dewi Siluman segera lirikkan mata meneliti.
Sadar kalau tidak mengalami cedera yang parah,
perempuan ini cepat melompat ke depan. Dari ja-
rak tujuh langkah, sepasang kakinya bergerak
menghentak pasir.
Dari sepasang mata di wajah bercadar hitam
milik Dewi Siluman melesat dua sinar hitam
menggidikkan. Bersamaan itu hamparan pasir di
bawah sinar hitam yang melesat terlihat membe-
lah rengkah membentuk jalur lurus ke arah Pen-
dekar 131! "Sinar Setan!" terdengar seruan dari puncak ba-tu cadas putih yang terpenggal
mengenali dua si-
nar hitam yang melesat dari sepasang mata Dewi
Siluman. Joko tak mau bertindak ayal. Dia telah tahu
bagaimana ganasnya 'Sinar Setan' milik Dewi Si-
luman jika benar-benar menghantam. Maka serta-
merta dikerahkan tenaga dalam pada tangan ki-
rinya. Wuuttt! Tangan kiri murid Pendeta Sinting bergerak
memukul ke depan. Tampak serat-serat biru lak-
sana benang terang melesat ke depan menyong-
song dua sinar hitam.
Serat-serat biru cepat membungkus dua sinar
hitam. Kejap lain serat-serat biru ambyar dan sinar hitam bertabur ke udara.
Pada saat yang sama terdengar debuman keras.
Tubuh Pendekar 131 terpental satu tombak.
Untung di belakangnya menghadang batu cadas
putih, hingga sosoknya tertahan. Paras mukanya
kali ini pucat pasi. Mulutnya terbuka megap-
megap atur napasnya yang seolah tersumbat. Se-
kujur tubuhnya laksana dipanggang, hingga pa-
kaiannya tampak basah kuyup. Sosoknya bergetar
keras. Jauh di depan sana, sosok Dewi Siluman tam-
pak terduduk hanya empat langkah dari bibir ke-
dung. Dari bagian bawah cadar hitamnya tampak
menetes cairan merah. Jelas menunjukkan kalau
Dewi Siluman telah terluka dalam cukup parah.
* * * Di lain tempat, tepatnya di kawasan berbatu
sebelah kanan kedung di mana tegak Ratu Pemi-
kat dan Dewa Orok, tiba-tiba terjadi kegegeran.
Begitu terjadi bentrok pukulan antara Dewi Silu-
man dan murid Pendeta Sinting, Ratu Pemikat
yang sedari tadi tegak mematung melihat apa yang terjadi di depan sana, mendadak
membuat gerakan memutar tubuh menghadang Dewa Orok..
"Iblis Rangkap Jiwa tak bisa selesaikan tugasnya menyelesaikan pemuda buntung
ini. Pasti Ma- laikat Penggali Kubur akan membebankan tugas
padaku! Mumpung di sana masih terjadi bentrok,
lebih baik kuselesaikan pemuda ini dahulu!"
membatin Ratu Pemikat.
Sedari tadi Ratu Pemikat memang menunggu
waktu yang tepat. Menurut keterangan yang sem-
pat didengar dari Iblis Rangkap Jiwa, dia dapat
menduga kalau Pendekar 131 tidak akan tinggal
diam kalau Dewa Orok diserang lawan, karena Ib-
lis Rangkap Jiwa pernah mengatakan kalau di-


Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rinya sempat dikeroyok murid Pendeta Sinting
bersama Dewa Orok.
Melihat gerakan Ratu Pemikat, Dewa Orok tam-
pak terkejut meski dia sendiri sejak tadi sudah
waspada. Namun Dewa Orok cepat tutupi pera-
saan kaget dengan buka mulut.
"Kurasa tak ada gunanya kita berada di sini!
Aku ngeri melihat orang berkelahi! Bagaimana ka-
lau kita pergi sama-sama"! Kau tak merasa malu
bukan jalan bersama pemuda sepertiku"!"
Ratu Pemikat tampaknya sudah dapat memba-
ca jalan pikiran Dewa Orok. Namun sejauh ini dia masih bimbang. "Parasnya jelas
kalau dia merasa ketakutan! Tapi apa sebenarnya yang membuat
dia takut"! Dari pertemuannya denganku beberapa
waktu yang lalu, jelas kalau dia membekal ilmu tidak rendah! Atau jangan-jangan
ini hanya musli-
hatnya saja...."
Ratu Pemikat tidak tahu kalau tanpa bundaran
karet yang diambilnya dan diserahkan pada Ma-
laikat Penggali Kubur, Dewa Orok tidak akan
mampu berbuat banyak. Dia hanya dapat kerah-
kan ilmu peringan tubuh tanpa dapat kerahkan
tenaga dalam untuk lepaskan pukulan.
"Hem.... Apakah aku harus bebaskan Iblis
Rangkap Jiwa dahulu"! Tapi.... itu akan membuat
suasana makin tidak karuan! Lagi pula manusia
iblis itu pasti punya rencana kotor di balik peker-jaannya ini!" Ratu Pemikat
masih menimbang-
nimbang hingga untuk beberapa saat dia tidak
sambuti ucapan Dewa Orok, membuat pemuda
bertangan buntung ini tidak enak. Dia segera buka mulut lagi.
"Kau tak usah khawatir. Aku telah melupakan urusan dulu itu!"
"Apa yang membuat pemuda ini berkata begi-
tu"! Padahal siapa pun adanya orang yang diper-
lakukan seperti dia waktu itu, pasti akan memen-
dam dendam! Hem.... Ada yang tak beres dengan
pemuda ini!" Ratu Pemikat diam-diam mencium gelagat kalau Dewa Orok sembunyikan
sesuatu. Dengan sunggingkan senyum, Ratu Pemikat
melompat dan tegak hanya tiga langkah dari ha-
dapan Dewa Orok. Dewa Orok sendiri tampak li-
rikkan mata ke samping kanan kiri. Dia coba me-
nindih rasa kaget dan rasa gelisah.
"Kau hendak mengajakku pergi ke mana"!"
tanya Ratu Pemikat. Suara tawanya terdengar per-
lahan. "Ke mana kau suka aku akan turuti! Asalkan
kau tidak merasa malu!" kata Dewa Orok dengan suara sedikit bergetar.
"Aku mau saja dan tak merasa malu! Hanya
aku masih merasa sangsi!"
Ketegangan Dewa Orok sedikit mereda. "Apa
yang kau sangsikan"!"
Ratu Pemikat pandangi sekujur tubuh pemuda
bertangan buntung di hadapannya dengan tertawa
pelan. "Apa nanti yang dapat kau berikan padaku"!" tanya Ratu Pemikat.
"Apa yang kau minta aku berusaha menda-
patkannya!" jawab Dewa Orok meski belum tahu benar arah ucapan Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat dongakkan kepala. "Seorang pe-
rempuan membutuhkan belaian.... Apa kau sang-
gup lakukan belaian-belaian mesra"!"
Dewa Orok kancingkan mulut. Ratu Pemikat
luruskan kepalanya. "Kalau kau merasa sanggup lakukan belaian, aku akan pergi
saat ini juga ber-samamu! Jika tidak, bukan saja kau tidak akan
bisa mengajakku pergi, namun nyawamu harus
tertinggal di sini!"
"Aduh.... Mengapa pembicaraan ini kau kait-
kaitkan dengan nyawa"!"
"Biarlah itu menjadi pertanyaan yang harus
kau cari sendiri jawabannya!" Ratu Pemikat tertawa panjang. Tapi tiba-tiba
sosoknya melompat ke
depan. Kedua tangannya lakukan hantaman den-
gan tenaga dalam.
Karena sejak tadi sudah waspada, begitu sosok
Ratu Pemikat melompat, Dewa Orok segera berke-
lebat selamatkan diri. Namun entah karena tak
mau orang mengetahui apa yang kini menimpa di-
rinya, sambil berkelebat sepasang kakinya berge-
rak seolah hendak lepaskan pukulan!
Ratu Pemikat rupanya tak mau beri kesempa-
tan. Begitu sergapannya lolos, perempuan bertu-
buh bahenol ini segera mengejar. Tapi lagi-lagi
Dewa Orok sudah berkelebat selamatkan diri.
Jengkel sergapannya gagal lagi, Ratu Pemikat
lepaskan pukulan jarak jauh dengan sentakkan
kedua tangannya. Hingga saat itu juga tampak sa-
tu hembusan angin keras menghampar ke arah
Dewa Orok. Karena saat itu Dewa Orok tegak di atas batu,
dan berpikir Ratu Pemikat pasti akan mengejar
kalau dia berkelebat lagi, maka tanpa pikir pan-
jang lagi, Dewa Orok melompat turun dari batu
dan meringkuk di baliknya!
Hembusan angin yang keluar dari kedua tan-
gan Ratu Pemikat lewat di atas kepala Dewa Orok
dan menyapu pasir jauh ke depan sana. Namun
tak urung membuat kepala Dewa Orok tersentak,
karena dia hanya bertahan dengan tenaga luar,
sementara hembusan angin itu melesat dengan
pengerahan tenaga dalam.
Begitu hembusan angin lewat, Dewa Orok cepat
bangkit hendak berkelebat. Namun satu sapuan
telah melanggar dari atas batu di mana Dewa Orok meringkuk selamatkan diri,
membuat pemuda bertangan buntung ini bukan saja urungkan niat
berkelebat melainkan harus cepat rebahkan kepa-
la hingga mengantuk pasir yang ada di sela-sela
batu. Ratu Pemikat yang ternyata baru saja sapukan
kaki kanannya dari atas batu lebih bernafsu
menghabisi Dewa Orok apalagi melihat si pemuda
tidak lakukan pukulan balik yang membuat Ratu
Pemikat seakan dipermainkan!
Begitu sapuan kaki kanannya masih mampu
dihindari Dewa Orok, Ratu Pemikat melompat tu-
run. Kaki kirinya kini membuat gerakan menen-
dang. Karena tidak ada ruang untuk menghindar,
sementara sapuan kaki kiri telah bergerak, mau
tak mau membuat Dewa Orok harus angkat ka-
kinya untuk lindungi kepalanya. Bukkk!
Kaki kanan Dewa Orok yang menangkis ten-
dangan kaki Ratu Pemikat tampak mencelat dan
menghantam batu di belakangnya. Hal ini mem-
buat tubuh bagian atasnya berputar. Karena te-
gaknya Ratu Pemikat tidak jauh dari tempat Dewa
Orok, kepala Dewa Orok yang berputar menghan-
tam kaki kanan Ratu Pemikat yang dibuat tum-
puan tubuh saat lakukan tendangan.
Dessss! Ratu Pemikat berseru tertahan. Sosoknya ter-
huyung hampir roboh kalau saja kaki kiri Ratu
Pemikat tidak segera menjejak pasir.
Meski Dewa Orok tidak dapat kerahkan tenaga
dalam, namun karena tendangan kaki Ratu Pemi-
kat bertenaga dalam, maka tak urung akibat yang
dihasilkan juga masih mengandung tenaga dalam.
Hingga benturan kepala Dewa Orok mampu mem-
buat sosok Ratu Pemikat terhuyung.
Di lain pihak, karena tak bisa kerahkan tenaga
dalam dan harus menangkis tendangan bertenaga
dalam, maka Dewa Orok rasakan kakinya mau
tanggal dan kepalanya yang baru saja membentur
kaki kanan Ratu Pemikat seakan pecah! Namun
sejauh ini Dewa Orok coba tahan agar suara kelu-
hannya tidak terdengar. Malah pemuda bertangan
buntung ini coba tersenyum meski dengan sekujur
tubuh sakit bukan alang kepalang!
Ratu Pemikat tegak dengan dahi berkerut. Bu-
kan perhatikan Dewa Orok yang kini tersenyum
setengah meringis, melainkan merasa heran. Dari
bertemunya kaki tadi, perempuan ini merasa mak-
lum kalau tangkisan kaki orang tidak dialiri tena-ga dalam.
"Hem.... Mungkin dia memandangku remeh!
Hingga tak perlu kerahkan tenaga dalam! Keparat
betul!" gumam Ratu Pemikat dalam hati. Lalu perempuan ini lipat gandakan tenaga
dalamnya. Saat lain sosok Ratu Pemikat tampak bergetar,
membuat Dewa Orok merasa kecut. Karena geta-
ran tubuh si perempuan jelas menandakan kalau
sang Ratu tengah kerahkan segenap tenaga da-
lamnya! Sadar akan gelagat yang mengancam nya-
wanya, Dewa Orok berpikir cepat. Dengan andal-
kan tenaga luar, kedua kakinya digerakkan ber-
samaan menendang ke pinggul sang Ratu.
Tahu gerakan orang, Ratu Pemikat tak mau
bertindak lengah. Dengan cepat dia putar diri setengah lingkaran. Seraya
melompat setengah tom-
bak, kedua kakinya disentakkan ke arah kedua
kaki Dewa Orok.
Sepasang kaki Dewa Orok mental balik dan un-
tuk kedua kalinya menghantam batu di belakang-
nya! Bukan hanya sampai di situ, karena tendan-
gan kaki Ratu Pemikat dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi, maka begitu kakinya mental, kepala Dewa Orok berputar cepat pulang
balik ke depan ke belakang karena kakinya kembali mental sete-
lah menghantam batu di belakang nya.
Mungkin karena begitu kerasnya tendangan
dan benturan dengan batu, maka meski Dewa
Orok coba menahan suara, akhirnya terdengar ju-
ga seruan dari mulutnya. Malah kedua kakinya
yang baru saja menangkis kaki Ratu Pemikat tam-
pak mengembung besar!
Dewa Orok kerjapkan matanya. Namun secepat
kilat pemuda bertangan buntung ini katupkan
kembali sepasang matanya karena kaki kanan Ra-
tu Pemikat telah berada di atas kepalanya!
"Celaka! Mati aku...," gumam Dewa Orok dengan tengkuk dingin. Dia sudah menduga
kalau kaki kanan sang Ratu akan menyapu kepalanya.
Namun dugaan Dewa Orok meleset. Karena di-
tunggu sampai agak lama, tidak ada kaki yang
menyapu kepalanya! Bahkan tidak terdengar sua-
ra berkelebatnya angin!
Perlahan-lahan Dewa Orok buka kelopak ma-
tanya. Saat itulah tiba-tiba satu telapak kaki sudah menempel di keningnya!
"Kau berlaku bodoh jika coba-coba menghada-
piku tanpa tenaga dalam! Aku pun juga ingin tahu apakah kau mampu selamatkan
nyawamu saat ini!" ujar Ratu Pemikat lalu tekankan kaki kanannya yang menginjak kening Dewa
Orok. Dewa Orok meringis kesakitan namun anehnya
sepasang matanya bukannya menyipit, melainkan
terpentang besar, karena dengan satu telapak kaki di atas kening Dewa Orok
sementara satunya lagi
menginjak pasir, membuat Dewa Orok dengan je-
las melihat bagian dalam anggota tubuh sang Ratu mulai dari kaki sampai pangkal
paha! Tapi pandangan Dewa Orok tidak dapat berlan-
jut karena saat itu juga Ratu Pemikat makin te-
kankan kakinya hingga kepala Dewa Orok melesak
masuk ke dalam pasir!
"Ratu.... Apa sebenarnya yang membuatmu in-
ginkan nyawaku...?" tanya Dewa Orok dengan suara tersendat.
Ratu Pemikat tertawa pendek. "Aku akan jawab pertanyaanmu, karena inilah jawaban
terakhir yang kau dengar!" Ratu Pemikat memandang tajam pada pemuda di bawahnya. "Kau
masih ingat saat menipuku tentang keberadaan Pendekar 131
beberapa waktu yang lalu"!"
"Ah.... Jadi itu masalahnya.... Padahal sungguh, aku telah mengatakan yang
sebenarnya! Apa
kau tidak ke tempat yang kukatakan"!" Dewa Orok balik bertanya.
Ratu Pemikat jawab pertanyaan Dewa Orok
dengan tersenyum dingin. Lalu buka mulut lagi.
"Dengar! Aku mungkin masih memperpanjang
nyawamu, tapi katakan dahulu siapa yang menye-
lamatkanmu!"
"Aku berusaha sendiri...."
Ratu Pemikat makin keraskan pijakannya pada
kening Dewa Orok hingga kepala pemuda bertan-
gan buntung ini hampir seluruhnya terbenam ma-
suk ke dalam pasir. Kini wajah Dewa Orok tampak
sudah sejajar dengan hamparan pasir!
"Baik. Akan kukatakan siapa yang menolongku!
Tapi angkat dahulu kakimu!" ujar Dewa Orok
sambil meringis, tapi tak urung sepasang matanya masih melirik pada pangkal paha
Ratu Pemikat yang tepat di atas kepalanya.
"Kau hanya buang-buang waktu!" sentak Ratu Pemikat. Tangan kanan perempuan
cantik ini telah terangkat. Lalu serta-merta dihantamkan
sambil bungkukkan tubuh.
Karena tak bisa berbuat apa-apa lagi, akhirnya
Dewa Orok hanya bisa memandang hantaman
tangan sang Ratu yang pasti sekali hantam akan
membuat nyawanya melayang.
Sejengkal lagi tangan kanan Ratu Pemikat men-
jebol dada Dewa Orok, satu bayangan berkelebat
lalu lenyap di balik salah satu batu tidak jauh dari tempat Ratu Pemikat. Pada
saat yang sama, dua
benda hitam melesat lurus. Satu mengarah pada


Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paha kanan Ratu Pemikat satunya lagi ke arah
tangan kanannya yang sedang menghantam.
Ratu Pemikat tersentak. Tangan dan kakinya
laksana dihantam kekuatan dahsyat. Hingga tan-
gan kanannya mental ke belakang, sementara kaki
kanannya tersapu deras ke belakang. Sosoknya
terhuyung-huyung sampai beberapa langkah ke
belakang. Anehnya, dua benda hitam yang baru saja
membuatnya tersentak mundur dan ternyata dua
buah batu hitam sebesar ibu jari, mental balik
dengan cepat sebelum akhirnya lenyap di balik ba-tu. "Jahanam! Siapa berbuat
bodoh ikut campur urusan ini, hah"!" bentak Ratu Pemikat. Sepasang matanya
memandang ke hamparan pasir yang
membentang di depan sana. Lalu terus lurus ke
seberang. Terakhir kali ke arah puncak batu cadas putih. "Hem.... Berarti ada
orang lain yang muncul di tempat ini!" kata Ratu Pemikat dalam hati setelah
memperhatikan sekeliling. 'Apa bangsat ini
yang menolong pemuda buntung ini beberapa
waktu yang lalu"!" Ratu Pemikat arahkan pandangan pada batu di mana tadi dia
masih bisa me- nangkap lenyapnya satu bayangan serta lenyap-
nya dua batu hitam yang mampu membuat sosok-
nya mundur. Mungkin karena geram, Ratu Pemikat lupakan
urusannya dengan Dewa Orok. Dia cepat berkele-
bat ke arah batu di mana tadi bayangan lenyap.
Tapi Ratu Pemikat jadi terkesiap sendiri. Kare-
na tanpa diduga sama sekali satu bayangan telah
muncul berkelebat dari balik batu dan langsung
menyongsong sosok Ratu Pemikat!
Ratu Pemikat berseru kaget. Kedua tangannya
cepat bergerak lakukan hantaman ke arah sosok
yang menyongsongnya. Namun belum sampai tan-
gannya menghantam, sosok orang yang berkelebat
dari balik batu telah menubruk tubuhnya! Hingga
kedua orang ini melayang deras lalu sama terka-
par di atas sela pasir di antara batu. Tubuh orang yang menubruk tampak berada
di atas tubuh Ratu
Pemikat! Ratu Pemikat memaki habis-habisan. Dia ge-
liatkan tubuh lalu kakinya diangkat dengan lutut menyodok. Tapi Ratu Pemikat
terkejut. Bukan saja dia tidak mampu gerakkan kaki, dia juga tidak bi-sa
geliatkan tubuh!
"Bangsat!" teriak Ratu Pemikat. Tangan kanan kirinya bergerak menghantam ke arah
sosok yang masih meringkuk telungkup di atas tubuhnya.
Orang yang berada di atas tubuh Ratu Pemikat
gerakkan kepalanya pada dada Ratu Pemikat. Saat
itu juga sosoknya melesat memberosot ke bawah.
Ratu Pemikat teruskan hantaman tangannya. Na-
mun perempuan bertubuh sintal ini terperangah.
Kedua kakinya terasa dipegang tangan orang.
Belum habis rasa kaget dan juga belum tahu
apa yang akan diperbuat orang, Ratu Pemikat ra-
sakan kedua kakinya diangkat orang hingga mau
tak mau hantaman kedua tangannya tak bisa dite-
ruskan. "Kurang ajar!" hardik Ratu Pemikat. Dia cepat sentakkan kedua kakinya yang masih
terasa dipegang tangan orang.
Bukkk! Bukkk! Kedua kaki Ratu Pemikat menghantam deras.
Bukan pada sosok orang melainkan ke atas pasir.
Karena begitu kedua kaki sang Ratu menyentak,
orang di bawahnya serta-merta lepaskan pegan-
gannya. Ratu Pemikat cepat bergerak bangkit. Meman-
dang ke depan, dia melihat seorang laki-laki be-
rambut panjang hitam lebat di kelabang dua. Wa-
jahnya bundar dengan hidung agak besar. Orang
ini duduk bersandar pada batu. Melihat sekilas
tubuhnya, Ratu Pemikat cepat bisa menebak ka-
lau orang di depannya bertubuh pendek!
"Cebol kurang ajar! Siapa kau"!" bentak Ratu Pemikat.
Orang yang dibentak sekilas memandang pada
Ratu Pemikat. Tanpa buka mulut dia perlahan-
lahan bangkit. Ternyata tubuh orang ini memang
pendek. Laki-laki ini tidak lain adalah Cucu Dewa.
"Aku mencari seseorang. Harap kau tidak bertanya dahulu siapa aku!" kata Cucu
Dewa lalu melangkah ke arah tempatnya Dewa Orok.
Ratu Pemikat naik pitam. Tanpa buka mulut
lagi, kedua tangannya lepaskan satu pukulan ja-
rak jauh ke arah Cucu Dewa.
Cucu Dewa arahkan wajahnya menghadap Ratu
Pemikat. Mulutnya dibuka menganga. Sekali hem-
buskan napas, dari mulutnya melesat dua batu hi-
tam sebesar ibu jari.
Desss! Desss! Kedua tangan Ratu Pemikat laksana disapu ge-
lombang besar. Hingga meski dari kedua tangan-
nya melesat dua gelombang angin deras, namun
arahnya sudah jauh melenceng.
Cucu Dewa menyedot. Dua buah batu hitam
mental dari kedua tangan Ratu Pemikat lalu lurus
masuk kembali ke mulut Cucu Dewa. Lalu orang
bertubuh pendek ini teruskan langkah.
Melihat bagaimana dengan mudahnya orang
dapat lencengkan pukulannya, Ratu Pemikat
menggembor marah. Kedua tangannya cepat dis-
entakkan. Wuutt! Wuuttt! Tampak dua sinar biru terang melesat lalu me-
nyungkup tempat ini. Saat bersamaan gelombang
angin deras berkiblat! Inilah tanda kalau Ratu Pemikat telah lepaskan pukulan
'Hamparan Langit'.
* * * LIMA BERSAMAAN dengan menyungkupnya sinar bi-
ru terang pukulan sakti 'Hamparan Langit' yang
dilepas Ratu Pemikat, dari arah seberang sana,
tampak cahaya terang berkiblat dari puncak batu
bergubuk hitam. Cahaya terang itu cuma sekejap
lalu lenyap. Namun bersamaan lenyapnya cahaya
terang, satu suara menggemuruh terdengar. Kejap
lain gelombang dahsyat menggebrak ke bawah di
mana saat itu Putri Sableng tegak.
Gadis berjubah merah cepat dongakkan kepala.
Lalu serta-merta kedua tangannya didorong ke
atas dengan tekuk lututnya.
Gelombang yang menggebrak ke bawah yang
baru saja dilancarkan Malaikat Penggali Kubur
tertahan sejenak di atas udara. Lalu begitu tangan Putri Sableng menyentak untuk
kedua kalinya, gelombang dahsyat tadi membalik ke atas!
Malaikat Penggali Kubur menyeringai. Pemuda
ini tidak gerakkan kaki untuk menghindar. Dia
hanya gerakkan sedikit tubuh atasnya.
Wuusss! Gelombang pukulan 'Telaga Surya' Malaikat
Penggali Kubur yang membalik hanya Lewat satu
jengkal di atas pemiliknya. Lalu menghantam atas, gubuk.
Prakk! Prakk! Prakkk! Prakkk!
Terdengar suara benda pecah empat kali bertu-
rut-turut. Disusul dengan terdengarnya suara kain robek. Gubuk hitam beratap dan
berdinding kain
hitam tercabut dari batu lalu melayang ke angkasa dengan kain kepulkan asap!
Ketika tiang gubuk
dan kainnya luruh, hanya tinggal serpihan!
Malaikat Penggali Kubur gerakkan tangan kiri
mengusap perutnya. Tubuhnya dihadapkan lurus
ke bawah pada Putri Sableng. Mulutnya sungging-
kan senyum aneh.
Dari puncak batu terdengar suara menderu
sangat pelan. Tidak terlihat adanya gelombang
atau sapuan angin yang melesat. Namun hampa-
ran pasir di sana sudah terlihat bertaburan.
Putri Sableng yang sudah mencium gelagat ba-
haya Cepat berkelebat. Kedua tangannya disen-
takkan ke atas. Saat bersamaan tiba-tiba dari batu cadas putih tampak empat
gelombang angin
menghampar melintasi hamparan pasir dan men-
garah lurus ke arah mana saat itu tangan Putri
Sableng menyentak.
Satu dentuman laksana hendak membongkar
Kedung Ombo terdengar ketika sentakan kedua
tangan Putri Sableng dan gelombang yang melesat
dari batu cadas putih beradu dahsyat dengan ge-
lombang tidak terlihat yang keluar dari balik pakaian Malaikat Penggali Kubur.
Batu membukit di mana Malaikat Penggali Ku-
bur berada laksana diguncang gempa. Lalu ter-
dengar suara berkeretekan. Kejap lain batu mem-
bentuk bukit itu merengkah! Malaikat Penggali
Kubur tersurut satu tindak. Sepasang matanya
liar memandang ke arah batu cadas putih. Lalu
kedua kakinya dihentakkan ke puncak batu.
Byaarr! Puncak batu yang sudah rengkah dan masih
berguncang akibat bentroknya pukulan, langsung
pecah berkeping-keping dan longsor hampir seten-
gahnya! Malaikat Penggali Kubur sudah berkelebat melayang turun sebelum batu
pijakannya ambyar.
Sementara begitu terdengar dentuman, sosok
Putri Sableng tampak mencelat sampai satu tom-
bak dan jatuh terduduk dengan paras pucat pasi.
Kedua tangannya terasa tegang dan aliran darah-
nya tersumbat. Namun gadis ini tak bisa berlama-
lama duduk, karena puncak batu di mana tadi
Malaikat Penggali Kubur berada telah longsor. Putri Sableng cepat berkelebat
lalu mencari tempat agak aman dari hamburan pasir dan batu.
Sementara itu, bersamaan terdengarnya suara
dentuman, dari puncak batu cadas putih terden-
gar suara orang bergumam. Kejap lain terlihat dua sosok tubuh terpelanting dari
puncak batu cadas
putih. Lalu semua orang yang ada di depan ke-
dung melihat dua orang berwajah hitam melang-
kah tertatih-tatih dari arah samping batu cadas
putih ke hamparan pasir di depan kedung.
Kedua orang berwajah hitam sejenak arahkan
pandangan pada Dewi Siluman yang terduduk ti-
dak jauh dari batu membukit yang sudah longsor.
Yang sebelah kanan yang bertelanjang dada
dan bukan lain adalah Raden Mas Antar Bumi ge-
leng-gelengkan kepala. Orang ini sejenak rapikan baju yang kini dipakai untuk
menutupi bagian
bawah tubuhnya.
"Raden Mas Antar Langit.... Tahu begini yang terjadi di sini, seharusnya kita
ikuti saran iblis Rangkapan itu...," ujar Raden Mas Antar Bumi sambil arahkan
pandangan pada iblis Rangkap
Jiwa yang masih terpekur kerahkan tenaga dalam
untuk bebaskan diri dari totokan Joko. Orang ini lantas berpaling pada Dewi
Siluman. "Gara-gara kau penasaran dengan si Jubah Hitam yang tak mengenakan apa-apa lagi,
kepergian kita tertunda! Kalau sudah begini, apa artinya gadis cantik meski di balik
jubahnya tidak mengenakan apa-apa lagi"! Pada akhirnya kita bukannya
menghilangkan kutuk, sebaliknya harus rela di-
buat main-main orang berjubah putih itu!" Terakhir kali Raden Mas Antar Bumi
arahkan pandan-
gan pada Malaikat Penggali Kubur. Namun cuma
sekejap, tanpa buka mulut lagi orang ini melang-
kah perlahan-lahan ke arah lamping batu cadas
putih di mana Ni Luh Padmi duduk bersandar ti-
dak jauh dari Iblis Rangkap Jiwa dengan tubuh
masih kaku dan kedua tangan terangkat ke atas.
"Nek...!" kata Raden Mas Antar Bumi. "Kau tak keberatan bukan aku duduk di
sampingmu"!"
Tanpa menunggu sahutan dari Ni Luh Padmi,
Raden Mas Antar Bumi duduk di samping si nenek
lalu tertawa-tawa pada Raden Mas Antar Langit
yang memperhatikan sikapnya.
"Dasar! Mau dekati nenek saja masih bicara
yang bukan-bukan!" gumam Raden Mas Antar
Langit. Dia edarkan pandangannya berkeliling.
"Hem.... Enaknya aku duduk di samping siapa"!
Apa si Jubah Hitam mau duduk berdampingan
denganku"!" ujar Raden Mas Antar Langit.
"Kau terlalu banyak pertimbangan! Coba saja langsung ke sana!" sahut Raden Mas
Antar Bumi. Raden Mas Antar Langit anggukkan kepalanya.
Memandang sekilas pada murid Pendeta Sinting
yang tegak memperhatikan dengan sikap waspada.
Lalu mulai melangkah ke arah Dewi Siluman.
Baru melangkah tiga tindak, dari seberang de-
pan terdengar Dewi Siluman sudah membentak
garang. "Sekali lagi kau angkat kakimu, aku tak keberatan mencabut nyawamu!"
Dewi Siluman bangkit. Meski masih tampak sedikit terhuyung
namun perempuan ini cepat kuasai diri. Kedua
tangannya siap lepaskan pukulan.
Raden Mas Antar Langit tutup mulutnya den-
gan telapak tangan kanan. Lalu berpaling pada
Raden Mas Antar Bumi. "Tadi suaranya terdengar merdu mendayu. Kenapa sekarang
begitu galak"
Apa ini karena setelah melihat wajah kita yang
terkena kutuk ini?"
"Ah.... Kau selalu saja kurang percaya diri!" ka-ta Raden Mas Antar Bumi.
"Hem.... Bukan begitu! Terus terang saja aku ngeri! Kau lihat sendiri bagaimana
si Jubah Hitam tadi bisa main-main dengan kabut hitam dan sinar hitam! Aku takut
kalau wajah yang hitam ini nantinya semakin hitam saja.... Lebih baik aku ikut
duduk di sampingmu saja...." Raden Mas Antar Langit akhirnya melangkah perlahan


Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

darn duduk bersandar di samping Raden Mas Antar Bumi.
Baru saja Raden Mas Antar langit duduk, tiba-
tiba di depan sana Dewi Siluman sudah sentakkan
kedua tangannya lepaskan pukulan 'Kabut Nera-
ka'. Begitu kabut hitam melesat, perempuan ber-
jubah dan bercadar hitam ini hentakkan kaki.
Saat itu juga dari sepasang matanya mencuat si-
nar hitam. Joko tak mau tinggal diam. Karena jelas puku-
lan Dewi Siluman kali ini tidak bisa dipandang
sembarangan. Perempuan itu telah lepaskan dua
pukulan sakti saling berbarengan.
Joko angkat kedua tangannya. Lalu disentak-
kan pukulan 'Lembur Kuning'. Kejap lain tangan
kirinya mendorong lepas pukulan 'Serat Biru'.
Blammm! Hamparan pasir di depan Kedung Ombo berge-
tar hebat tatkala pukulan 'Kabut Neraka' bertemu dengan pukulan 'Lembur Kuning'.
Kabut hitam serta sinar bersemburatan warna kuning membu-
bung ke udara pecah berantakan.
Belum lenyap suara ledakan pertama, tiba-tiba
dua sinar hitam yang mencuat dari sepasang mata
Dewi Siluman tertahan di udara lalu terbungkus
serat-serat biru terang yang keluar dari tangan kiri murid Pendeta Sinting. Saat
lain sinar hitam yang terbungkus serat-serat biru muncrat ke udara keluarkan
ledakan dahsyat!
Kedung Ombo laksana disapu gelombang gem-
pa. Kedua orang berwajah hitam sama angkat tan-
gan masing-masing di atas kepala untuk tutupi di-ri dari hamburan pasir. Sosok
mereka berdua ti-
dak bergeming sedikit pun! Sementara di samping
kedua orang berwajah hitam ini, sosok Ni Luh
Padmi tampak terhempas ke lamping batu cadas
putih di belakangnya. Hingga si nenek perdengar-
kan makian. Di samping si nenek, Iblis Rangkap Jiwa tam-
pak rapatkan mata. Laki-laki ini coba menindih
guncangan tubuhnya agar konsentrasinya tidak
pecah. Hingga meski tubuhnya tampak pulang ba-
lik terhempas ke lamping batu di belakangnya, dia tak hendak buka kelopak
matanya! Sementara itu begitu ledakan kedua terdengar,
sosok murid Pendeta Sinting terlempar beberapa
langkah ke belakang. Terhuyung sejenak lalu te-
gak dengan sekujur tubuh bergetar keras. Wajah-
nya laksana tak berdarah. Mulutnya terbuka tan-
pa keluarkan suara.
Di seberang depan, sosok Dewi Siluman tersapu
deras ke belakang. Perempuan ini perdengarkan
seruan tertahan. Karena kedua kakinya sudah
masuk di pinggir kedung. Dari cadar hitamnya
makin banyak kucurkan darah.
Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Dewi Silu-
man gapaikan kedua tangannya agar tubuhnya ti-
dak terus merosot masuk ke dalam kedung. Na-
mun karena di hadapannya hanya ada hamparan
pasir, akhirnya perempuan ini tekankan kedua
tangannya ke bibir kedung. Bertumpu pada kedua
tangannya yang masuk ke dalam pasir, perem-
puan ini pelan-pelan merangkak naik. Begitu ke-
dua kakinya keluar dari bibir kedung, kepala Dewi Siluman tampak terkulai di
atas pasir. Raden Mas Antar Langit bergerak bangkit. Na-
mun tangan kanan Raden Mas Antar Bumi meng-
hadang di depan tubuhnya. "Jangan bertindak bodoh! Lihat ke samping!"
Raden Mas Antar Langit berpaling ke samping.
Saat itu tampak sosok Malaikat Penggali Kubur
sudah melesat. Dan tahu-tahu si pemuda murid
Bayu Bajra ini telah tegak sepuluh langkah di hadapan Pendekar 131!
Malaikat Penggali Kubur sapukan pandangan-
nya ke depan. Memandang sinis pada murid Pen-
deta Sinting, lalu pada Raden Mas Antar Langit
dan Raden Mas Antar Bumi. Terus ke arah Ni Luh
Padmi dan Iblis Rangkap Jiwa. Masih tanpa buka
suara, Malaikat Penggali Kubur berpaling ke ka-
wasan berbatu sebelah kanan kedung di mana ta-
di Ratu Pemikat dan Dewa Orok serta Cucu Dewa
berada. Terakhir kali pemuda murid Bayu Bajra
ini menoleh ke arah Dewi Siluman yang perlahan-
lahan angkat tubuhnya berusaha bangkit duduk.
"Dengar!" Malaikat Penggali Kubur buka mulut dengan suara keras membahana.
"Membunuh kalian semua tidak sulit bagiku! Tapi aku masih ampuni nyawa kalian
masing-masing! Aku memberi
kesempatan pada kalian semua untuk maju satu
persatu berlutut di hadapanku!"
Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur
berpaling ke arah Dewi Siluman yang telah bangkit duduk. Lalu putar tubuh tepat
menghadap perempuan bercadar hitam dengan seringai dingin. Tan-
gan kirinya terangkat menunjuk.
"Kau!" Malaikat Penggali Kubur dongakkan kepala. "Merangkak ke hadapanku dan
berlutut!"
Dewi Siluman angkat kepalanya memandang
marah pada Malaikat Penggali Kubur. Meski pe-
rempuan bercadar hitam anak Daeng Upas ini me-
rasakan tengkuknya dingin namun dia belum juga
turuti ucapan Malaikat Penggali Kubur. Malah se-
kuat tenaga diam-diam dia himpun sisa tenaga da-
lamnya dan disalurkan pada matanya.
"Malaikat Penggali Kubur hanya ucapkan perintah satu kali!" Tangan kiri Malaikat
Penggali Kubur ditarik pulang ke belakang. Namun kejap lain justru kedua
tangannya sudah bergerak memukul
ke depan dengan telapak mengepal.
Wuutt! Wuutt! Tampak dua cahaya mencuat sekejap lalu sir-
na. Saat yang sama satu gelombang dahsyat su-
dah melanda ke arah Dewi Siluman.
Dewi Siluman cepat sentakkan bahunya ke ba-
wah. Dari sepasang matanya melarik dua sinar hi-
tam. Namun karena saat lepaskan pukulan 'Sinar
Setan' tenaga dalamnya sudah jauh berkurang
dan dalam keadaan terluka dalam, maka larikan
sinar hitam itu langsung tersapu gelombang yang
mencuat dari kedua tangan Malaikat Penggali Ku-
bur Hingga yang melesat ke arah Dewi Siluman
kali ini gelombang dari tangan Malaikat Penggali Kubur serta pukulan Dewi
Siluman sendiri yang
membalik. Dewi Siluman hanya sempat perdengarkan sua-
ra jeritan. Saat lain sosoknya mencelat ke bela-
kang. Karena di belakangnya adalah kedung, un-
tuk beberapa saat sosok Dewi Siluman tampak
melayang di atas kedung dan tampak terbanting
sebelum akhirnya meluncur ke bawah!
Byuuurrr! Air kedung muncrat ke udara. Saat muncratan
air luruh, tampak air kedung telah disemburati
warna merah kehitam-hitaman. Sesaat kemudian,
air kedung terlihat bergelombang, lalu muncullah sosok Dewi Siluman mengambang
telungkup di atas permukaan air!
Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar
Bumi tampak saling pandang. Sebenarnya Raden
Mas Antar Langit sudah hendak bergerak tatkala
Malaikat Penggali Kubur lepaskan pukulan 'Telaga Surya'. Namun tangan kanan
Raden Mas Antar
Bumi kembali merentang di depannya, hingga ge-
rakannya tertahan.
Di lain pihak, murid Pendeta Sinting tadi juga
hendak bergerak, namun diurungkan karena posi-
si dirinya yang menghadap Dewi Siluman mem-
buatnya sulit untuk membendung pukulan Malai-
kat Penggali Kubur, malah tak urung pukulannya
nanti akan melabrak Dewi Siluman.
Sesaat Kedung Ombo dicekam kesepian yang
mengandung hawa kematian. Tapi tidak lama ke-
mudian, kesepian telah dipecah dengan suara Ma-
laikat Penggali Kubur. '
"Itu adalah contoh! Dan kalian akan mengalami
nasib yang sama jika tidak lakukan perintahku!"
Malaikat Penggali Kubur putar tubuhnya kembali
menghadap Pendekar 131 dan beberapa orang
yang duduk di lamping batu cadas putih.
Malaikat Penggali Kubur memandang beringas
pada murid Pendeta Sinting. Tangan kirinya te-
rangkat. Bukan menunjuk pada Pendekar 131 me-
lainkan pada Raden Mas Antar Langit dan Raden
Mas Antar Bumi yang duduk bersandar berdam-
pingan. "Kau berdua!" kata Malaikat Penggali Kubur dengan mata memandang ke arah
Pendekar 131. "Merangkak dan berlutut di hadapanku!"
Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar
Bumi saling berpandangan. Sosok keduanya
menggigil dengan mata saling mendelik.
"Bagaimana"!" gumam Raden Mas Antar Langit.
"Aku tak mau mengalami nasib sama seperti si Jubah Hitam itu.... Aku ingin hidup
seribu tahun lagi meski harus tetap mengemban kutuk ini...."
Raden Mas Antar Bumi berpaling pada Ni Luh
Padmi. "Menurutmu bagaimana, Nek..." Harus
merangkak dan berlutut di depan orang gagah
itu"!"
Ni Luh Padmi melirik dengan bola mata mende-
lik. "itu urusanmu!"
Mendapati jawaban si nenek, Raden Mas Antar
Bumi memandang ke arah Iblis Rangkap Jiwa. Ka-
rena laki-laki berkepala gundul itu masih juga pejamkan matanya, tangan Raden
Mas Antar Bumi menjulur melewati dada Ni Luh Padmi lalu meng-
goyang-goyangkan sosok Iblis Rangkap Jiwa.
"Hai, Teman! Kalau menurutmu bagaimana"!"
Iblis Rangkap Jiwa tidak menyahut. Bahkan la-
ki-laki ini tidak buka kelopak matanya. Hanya napasnya yang tampak makin menderu
keras. Raden Mas Antar Bumi tarik pulang tangannya,
lalu memandang pada murid Pendeta Sinting dan
berkata. "Hai, Teman Baru! Kau bisa memberi saran"!"
"Meski belum yakin benar, tapi rupanya mereka berdua tidak berada di pihak
Malaikat Penggali
Kubur! Hem...." Murid Pendeta Sinting membatin dalam hati. Lalu berkata.
"Kudengar di antara kalian tadi ingin hidup seribu tahun lagi! Jika begitu tidak
ada salahnya kalian berdua turuti perintah orang itu!" sambil berkata sepasang
mata Joko tampak berkedip bebe-
rapa kali. Dalam hati Joko membatin. "Mudah-mudahan mereka tahu isyaratku...."
Raden Mas Antar Bumi kembali arahkan pan-
dangannya pada Raden Mas Antar Langit.
"Kita turuti perintahnya. Tapi tanyakan dahulu apa imbalan yang kelak diberikan
pada kita! Percuma kalau kita harus berlutut di kaki orang tan-pa mendapat
imbalan apa-apa...."
"Hem.... Kalau nanti orang itu tanya, kira-kira imbalan apa yang kau minta"!"
Raden Mas Antar Bumi sorongkan kepalanya ke
telinga Raden Mas Antar Langit.
"Aku naksir nenek di sampingku...."
"Wah, celaka!" desis Raden Mas Antar Langit.
Lalu orang ini ganti sorongkan wajahnya ke telinga Raden Mas Antar Bumi. "Terus
terang saja.... Aku juga naksir nenek cantik itu...."
Raden Mas Antar Bumi terlonjak. Lalu buka
mulut dengan suara agak keras.
"Kuharap kau mau mengerti! Tak mungkin satu nenek harus kita bagi dua! Kau nanti
minta imbalan yang lain saja!"
Merasa dirinya yang dibicarakan, Ni Luh Padmi
jadi naik pitam. "Bangsat kurang ajar! Kalian kira
aku ini apa, hah"!"
"Nek.... Seharusnya kau berterima kasih!" Joko menyahut. "Mereka berdua naksir
padamu...."
"Keparat! Kau akan menyesal, Anak Sinting!"
maki Ni Luh Padmi lalu lirikkan matanya dengan
bola mata membelalak.
"Harap kalian berdua bersabar! Seorang nenek akan berlaku begitu bila merasa
dirinya ditaksir orang...," kata Joko sambil jerengkan kedua matanya.
"Aduh.... Aku jadi malu! Semua orang sekarang tahu kalau aku naksir...," ujar
Raden Mas Antar Bumi. Lalu berpaling lagi pada temannya. "Bagaimana" Kau mau
mengerti bukan"! Kau minta im-
balan yang lain saja!"
"Kalian berdua!" mendadak terdengar kembali bentakan Malaikat Penggali Kubur.
Kedua tangannya kini telah terangkat mengepal. "Kalian ingin mengalami nasib
sama dengan perempuan yang
terapung itu"!"
Tanpa menunggu sahutan orang, kedua tangan
Malaikat Penggali Kubur bergerak.
"Tahan! Tahan!"
Kedua orang berwajah hitam berseru hampir
berbarengan. Saat yang sama keduanya tekuk tu-
buh masing-masing ke depan dengan kedua tan-
gan di atas pasir. Lalu perlahan-lahan keduanya
merangkak ke arah Malaikat Penggali Kubur.
"Hai, kalian mainan apa"! Lihat! Aku juga
punya mainan!" Tiba-tiba dari arah kawasan berbatu di sebelah kanan kedung
terdengar orang
berteriak. Murid Pendeta Sinting berpaling. Ni Luh Padmi
lirikkan matanya. Kedua orang berwajah hitam
hentikan rangkakannya, lalu gerakkan kepala.
Malaikat Penggali Kubur mendengus namun cepat
sentakkan kepalanya menoleh. Hanya Iblis Rang-
kap Jiwa yang tetap terpejam. Dan tiba-tiba dari arah kawasan berbatu sebelah
kiri kedung terdengar orang tertawa cekikikan!
*

Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

* * ENAM MALAIKAT Penggali Kubur tegak dengan rahang
mengembung besar dan pelipis bergerak-gerak.
Sepasang matanya terpentang besar memperhati-
kan tak berkesip pada kawasan berbatu di sebelah kanan kedung, di mana baru saja
terdengar teriakan orang.
Di sebelah batu paling depan yang berbatasan
dengan hamparan pasir, terlihat dua orang laki-
laki duduk di atas batu saling berdampingan. Se-
belah kanan adalah seorang pemuda bertangan
buntung dan tidak lain adalah Dewa Orok. Di se-
belahnya adalah seorang laki-laki berambut pan-
jang hitam lebat dikelabang dua bertubuh pendek.
Dia adalah Cucu Dewa.
Di bawah kedua orang ini tampak sosok perem-
puan berpakaian biru tipis dan tidak lain adalah Ratu Pemikat. Ratu Pemikat
duduk bersimpuh di
hamparan pasir dengan wajah pucat pasi. Malah
dari sudut bibirnya tampak mengalirkan darah.
Kedua tangannya disatukan ke belakang dan teri-
kat kain hitam.
"Cucu Pangeran...," teriak Cucu Dewa pada Malaikat Penggali Kubur. Cucu Dewa
memanggil Ma- laikat Penggali Kubur dengan Cucu Pangeran ka-
rena pada waktu Malaikat Penggali Kubur menye-
lidik ke tempatnya di pesisir pantai timur, Malai-
kat Penggali Kubur mengaku sebagai salah satu
Cucu Pangeran. (Lebih jelasnya tentang pertemuan Malaikat Penggali Kubur dengan
Cucu Dewa, sila-kan baca serial Joko Sableng dalam episode : "Titah dari Liang
Lahat"). "Senang bisa bertemu kembali denganmu, Cucu Pangeran! Kedatanganku tidak akan
lama. Aku hanya mengantarkan keponakanku ini!" Cucu De-wa arahkan pandangannya pada Dewa
Orok yang berada di sampingnya. "Dia hendak bicara denganmu!"
Malaikat Penggali Kubur busungkan dadanya
menarik napas panjang. Dia sebenarnya sudah ti-
dak sabar melihat kemunculan Dewa Orok dan
disusul kemunculannya Cucu Dewa. Dua orang
yang harus dihabisi sesuai perintah dari liang lahat di mana dia mendapatkan
Kitab Hitam. Na-
mun melihat Pendekar 131 sudah di hadapannya
serta melihat bagaimana Ratu Pemikat bersimpuh
dengan kedua tangan bersatu ke belakang, Malai-
kat Penggali Kubur tahan keinginan. Namun se-
jauh ini dia belum sahuti ucapan Cucu Dewa.
Seperti diketahui, karena merasa jengkel den-
gan Cucu Dewa yang melangkah ke arah Dewa
Orok, Ratu Pemikat segera lepaskan pukulan an-
dalan 'Hamparan Langit'. Hingga saat itu juga kawasan berbatu sebelah kanan
kedung dibungkus
sinar biru terang.
Cucu Dewa hentikan langkah. Putar tubuhnya
sejenak lalu tekuk lututnya hingga tubuhnya yang pendek makin melorot. Saat
bersamaan kedua
tangannya bergerak mendorong ke depan.
Dari kedua tangan Cucu Dewa melesat bebera-
pa bundaran asap putih. Datang bergelombang
saling susul menyusul.
Bundaran asap terdepan tiba-tiba pecah ketika
disapu sinar biru terang. Namun sinar biru men-
dadak tertahan setelah berhasil membuat pecah
bundaran paling depan. Saat itu bundaran kedua
melesat lalu membentur sinar biru. Namun lagi-
Laron Pengisap Darah 6 Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Renjana Pendekar 8
^